See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/330820449
TEORI DEKONSTRUKSI DAN DEKONSTRUKSI TEORI: STRATEGI PEMBELAJARAN ALTERNATIF PADA TEORI-TEORI SEJARAH KONTROVERSIAL PERISTIWA 1965 Conference Paper · December 2018 DOI: 10.24071/snfkip.2018.10
CITATIONS
READS
0
66
1 author: Fileksius Gulo Universitas Sanata Dharma 3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Sejarah Alternatif: Kritik Terhadap Dominasi dan Hegemoni Sejarah View project
All content following this page was uploaded by Fileksius Gulo on 19 February 2019.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
http:// usd.ac.id/snfkip2018 Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia
TEORI DEKONSTRUKSI DAN DEKONSTRUKSI TEORI: STRATEGI PEMBELAJARAN ALTERNATIF PADA TEORI-TEORI SEJARAH KONTROVERSIAL PERISTIWA 1965 Fileksius Gulo Universitas Sanata Dharma fileksiusgulo@gmail.com DOI: doi.org/10.24071/snfkip.2018.10 diterima 13 Oktober 2018; diterbitkan 21 Desember 2018 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: pertama, mendeskripsikan tentang (perkembangan) teori dekonstruksi dan keterkaitannya dengan konstruksi teori-teori sejarah yang kontroversial. Kedua, menguraikan hubungan komparatif antara teori dekonstruksi dan dekonstruksi teori dengan strategi pembelajaran sejarah alternatif (teks, konteks, dan intertekstual). Ketiga, menjelaskan implementasi dari teori dekonstruksi untuk mendekonstruksi teori-teori sejarah yang kontroversial pada peristiwa 1965 (Teori PKI, Teori AD, Teori Sukarno, Teori CIA, Teori Suharto, Teori Chaos dan Teori Sjam). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis faktual dengan metodologi penelitian pendidikan sejarah, yakni terdiri dari tahap-tahap pemilihan topik, pengumpulan data (heuristik), kritik dan verifikasi data, interpretasi dan analisis data serta penulisan laporan penelitian (historiografi). Hasil dari penelitian ini akan mendeskripsikan, menguraikan dan menjelaskan sesuai dengan tujuan penelitian di atas. Kata kunci: historigrafi, teori dekonstruksi, strategi pembelajaran, Pendahuluan Sejarah Peristiwa 1965 adalah kajian-kajian historis yang mendeskripsikan dan menganalisis tentang peristiwa Gerakan 30 September atau Gerakan 1 Oktober 1965 di Indonesia. Peristiwa Gerakan 30 September/Gerakan 1 Oktober adalah peristiwa penculikan hingga terbunuhnya enam jenderal AD dan satu perwira AD yang dilakukan oleh “kelompok” Letkol Untung. Peristiwa “penculikan” ini terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, sehingga banyak kalangan terutama Sukarno menyebutkannya dengan istilah Gestok (Gerakan Satu Oktober). Sedangkan Gerakan 30 September atau G30S adalah nama dari gerakan ini (bukan tanggal kejadian/peristiwanya). Pasca G30S, sejarah Indonesia mulai memasuki babak yang “baru”. Mulai dari perdebatan soal dalang G30S hingga pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dianggap “komunis”. Teori tentang Peristiwa 1965 cukup banyak dan beragam. Berbagai versi tentang peristiwa 1965 merujuk pada narasi (kepentingan) sejarah tentang dalang dari G30S. Versi itu antara lain menyebutkan bahwa G30S didalangi oleh: PKI (Partai Komunis Indonesia), Masalah Internal AD (Angkatan Darat), Presiden Sukarno, Mayjen Suharto, Jaringan Intelijen dan CIA, skenario Syam Kamaruzzaman, “teori” Chaos (Bdk. Sulistyo, 2000:47-61; Ambarwulan dan
82
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
Aminudin Kasdi, 2012:128-132; Pambudi, 2011:392-396; Wiharyanto, 2011:121138; Sumarkidjo, 2000:14-23; Kontjoro-Jakti (ed), 2017:151; Sucipto, 2015; Said, 2015; Ahmad, 2016:21; Adam, 2010:100; Samsudin, 2004:103-185). Selain itu, ada juga “penulis” yang menggunakan bahkan sedikit membandingkan beberapa “teori” di atas (Bdk. Dhakidae, 2003:201-207; Kasemin, 2003:42; Luhulima, 2006:14-16; Matanasi, 2016:105-120; Wanandi, 2014:46-48; Purwanto, 2006:222-274). Setiap “teori” dari peristiwa itu mempunyai variasi dan tingkat analisis masing-masing. Fakta-fakta dan interpretasinya sampai saat ini masih menjadi perdebatan dalam dunia akademik (terlebih-lebih politik), baik dalam kebenaran historisnya maupun upaya pembenaran dalam merekonstruksi historisnya. Dominasi dan hegemoni dari teori-teori tersebut berimbas pada pengajaran sejarah, baik dalam skala formal (sekolah), informal (keluarga), maupun nonformal (masyarakat). Akibatnya, penulisan dan pembelajaran sejarah Peristiwa 1965 tak bisa dielakkan dari kepentingan politik, terutama politisasi (narasi) sejarah. Dalam hal ini, sektor pendidikan terutama pembelajar sejarah akan mengalami kesulitan bahkan “ketidakberdayaan” dalam mengajarkan materi dan teori-teori kontroversial sejarah Peristiwa 1965. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi pembelajaran alternatif untuk menguraikan masalah-masalah di atas dalam rangka memanusiakan manusia lewat pembelajaran sejarah yang membebaskan. Metode Metode penelitian ini mengacu pada metode penelitian historis faktual dengan pengembangan metodologi penelitian pendidikan sejarah (Priyadi, 2012; Sjamsuddin, 2016; Kuntowijoyo, 2013:69-82; Pranoto, 2010:11; Yusuf, 2014:346-350). Tahap-tahap metode dan metodologi penelitian ini yaitu: pemilihan topik, pengumpulan data (heuristik), verifikasi data (kritik sejarah dan keabsahan data), interpretasi (analisis dan sintesis data) dan penulisan laporan penelitian (historiografi). Pemilihan topik dari penelitian ini yaitu, “teori kontroversi Peristiwa 1965”. Topik ini cukup menarik, sebab teori-teori yang mengkaji tentang sejarah Peristiwa 1965 sampai saat ini masih saling kontroversial. Dalam hal ini, pembelajar sejarah akan mengalami sedikit “kebingunan” (bahkan ketidakberdayaan) dalam mendidik dan mengajar mengenai sejarah Peristiwa 1965 yang saling kontroversial. Bertolak dari masalah di atas, penelitian ini menawarkan “teori dekonstruksi” sebagai strategi pembelajaran alternatif terhadap teori-teori sejarah kontroversial Peristiwa 1965. Dalam konteks ini, teori dekonstruksi berorientasi untuk mendekonstruksi teori-teori kontroverial dalam histori. Pemilihan topik di atas berlandas pada kedekatan emosional dan kedekatan intelektual. Dua syarat itu memang subjektif dan objektif, tetapi penting untuk diperhitungkan sebab peneliti akan “bekerja” dengan baik dan benar jikalau senang dan berminat pada pembahasan topik yang dimaksud. Setelah itu, tahap berikutnya adalah pengumpulan data (heuristik). Data dan sumber-sumber
83
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
penelitian ini dapat berupa catatan, kesaksian, dan fakta-fakta lain yang telah terkonstruksi-rekonstruksi dalam karya-karya sejarah terdahulu. Setelah pengumpulan data (heuristik), selanjutnya masuk pada tahap verifikasi data, yaitu tahap untuk mengklarifikasi atau menguji data-data dan sumber-sumber dengan melakukan serangkaian kritik, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tujuan dari langkah verifikasi adalah untuk menguji autentisitas dan kredibilitas data-data dan sumber-sumber tersebut. Kritik internal dilakukan untuk menilai kelayakan dan kredibilitas data. Kelayakan dan kredibilitas data biasanya mengacu pada kemampuan data untuk mengungkap kebenaran suatu peristiwa sejarah. Selanjutnya interpretasi dilakukan sebagai “analisis” bahan-bahan dan datadata sejarah yang telah diverifikasi. Jadi interpretasi dilakukan dengan menelaah (menguraikan) dan mensintesiskan (menggabungkan) data-data atau bahan-bahan sejarah yang telah dikritik secara internal dan eksternal. Interpretasi atau analisis data dalam metodologi penelitian sejarah sering disebut sebagai biang subjektivitas. Sebagian itu benar, tetapi sebagian salah. Benar, karena tanpa analisis data dari sejarawan, data-data tersebut tidak bisa “berbicara” dan mengungkap sesuatu di masa lalu. Sejarawan yang jujur, akan mencantumkan data dan keterangan dari mana data itu diperoleh. Orang lain dapat melihat kembali dan menganalisisnya kembali. Itulah sebabnya subjektivitas penulis sejarah diakui, tetapi untuk dihindari atau diminimalisir. Dan terakhir, tahap penulisan laporan penelitian (historiografi) pun dilaksanakan. Pembahasan Pembahasan penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama, pembahasan mengenai teori dekonstruksi serta hubungannya mendekonstruksi teori. Kedua, pembahasan hubungan komparatif antara pendekonstruksian teoriteori sejarah kontroversial terhadap strategi pembelajaran sejarah. Ketiga, pembahasan mengenai implementasi teori dekonstruksi sebagai strategi pembelajaran alternatif pada teori-teori sejarah yang saling kontroversial pada Peristiwa 1965. Teori Dekonstruksi dan Dekonstruksi Teori Teori dekonstruksi dan dekonstruksi teori dalam disiplin sejarah bertandas dari definisi bahwa karya sejarah merupakan “rekonstruksi” peristiwa pada masa lampau. Maka, dalam upaya rekonstruksi tersebut, suatu karya sejarah perlu dipertanyakan secara fundamental. Meminjam istilah Saeful Rochmat (2009:141) yang mengatakan bahwa “sejarah sebagai konstruk” merupakan ciptaaan dari penulis atau sejarawan. Maka per definisi setiap sejarah bersifat subjektif: memuat unsur-unsur dari subjek. Dengan demikian, setiap pengungkapan atau penggambaran telah melewati proses “pengolahan” dalam pikiran dan anganangan seorang subjek. Kejadian atau peristiwa sebagai sejarah dalam arti objektif diamati dan dimasukkan ke pikiran subjek sebagai persepsi, dan tentunya persepsi tidak pernah murni sebagai Ding in sich (benda sendiri) tetapi telah diberi “warna” sesuai dengan “kacamata” si subjek.
84
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
Dengan demikian, tingkat objektivitas semacam ini tentu mustahil untuk dicapai. Alasannya yaitu seringkali sejarawan tidak mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk menulis sejarah yang utuh. Kemudian sejarah ditulis oleh sejarawan dengan memakai sudut pandang tertentu, baik itu disengaja maupun tidak. Paling tidak sejarawan mencapai tingkatan inter-subjektivitas karena ketika seorang sejarawan mengkomunikasikan suatu peristiwa sejarah maka sudah menjadi intersubjektif. Fakta dikomunikasikan
Individu A
Individu B
Fakta menjadi inter-subjektif Skema 1. Hubungan antara fakta, subjektivitas dan objektivitas dalam sejarah
Komunikasi secara meluas membuat fakta semakin inter-subjektif, artinya semakin dimiliki oleh banyak subjek. Akhirnya, pada suatu waktu fakta menjadi inter-subjektif dikalangan yang sangat luas, menjadi umum sekali atau dengan istilah sejarah disebut fakta keras. Selanjutnya, tidak semua fakta berkembang menjadi fakta keras, dapat tetap menjadi fakta lunak, yaitu apabila masih tetap diragukan kepastian fakta itu (Bdk. Kartodirdjo, 1992:66). Dalam konteks ini, perkembangan teori dekonstruksi dalam histori dapat dilacak lewat kritik pascamodernisme terhadap sejarah itu sendiri. Tokoh yang meletakkan dasar itu adalah Hayden White (1973) dengan menerbitkan sebuah buku yang berjudul, Metahistory: The Historical Imagination in the Nineteenth Centrury in Europe. Buku ini mencetuskan banyak perdebatan, terutama pada kalangan sejarawan tradisional dan sejarawan profesional. Hayden White mengatakan bahwa sejarah adalah sebuah narasi yang dikuasai oleh konvensikonvensi estetika dan leih dekat ke bidang sastra daripada ke bidang ilmu pengetahuan (Nordholt, dkk (ed), 2013:48). Kalangan sejarawan profesional yang merasa terancam dan protes ketika dihadapkan pada pada tafsir-tafsir sejarah menurut pascamodernisme. Hal ini bukan karena penganut pascamodernisme menyangkal bahwa sejarawan dapat menghasilkan kebenaran objektif mengenai masa lalu, karena setiap sejarawan menyadari (setidak-tidaknya dalam teori) bahwa narasi sejarah adalah rekonstruksi yang tidak sempurna dari masa lalu yang disusun dari kepingankepingan bukti. Oleh karena itu, sejarawan pada umumnya tidak menemui
85
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
kesulitan dengan pascamodernisme, yakni menekankan bahwa kejadian yang sama dapat diberi makna yang berbeda. Dengan demikian mereka mengakui bahwa baik yang ikut dalam proses pada masa lalu maupun sejarawan yang menguraikan proses itu, memiliki interpretasi yang berbeda tergantung pada keadaan dan prespektif. Namun, biasanya penganut pascamodernisme menyangkal bahwa suatu makna “lebih baik� atau “lebih benar� daripada makna yang lain. Mereka mencurigai setiap klaim sebagai pemilik otoritas. Hal inilah yang menyebabkan sejarawan tradisional marah. Mereka percaya meskipun sejarah merupakan hasil konstruksi tetapi metodologi yang mereka gunakan adalah cara yang rasional untuk mendekati realitas masa lalu sedekat mungkin. Bahkan kemajuan historiografi tergantung pada perbedaan antara uraian yang lebih kuat dari uraian yang lebih lemah mengenai kejadian masa lalu. Relativisme yang dikemukan pascamodernisme bahwa versi-versi mengenai masa lalu yang saling berlawanan mempunyai nilai sama saja itulah yang tidak dapat diterima oleh sejarawan yang sudah mapan. Relativisme semacam itu dianggap menjadikan sejarah tidak lebih dari dunia kacau balau yang berisi narasi-narasi yang saling silang. Sementara sejarah sebagaimana produk budaya lainnya (seni atau sastra) masih dapat menjelaskan kondisi manusia, tidak lagi mendapat pengakuan pemilik pengetahuan yang mempunyai otoritas masa lalu. Di bawah kesimpulan logisnya titik pandang semacam itu menandai akhir dari sejarah karena sejarah hanya menjadi sejenis sastra yang divalidasi oleh gaya, bukan metode. Sudah jelas bahwa ide positivis abad ke-19 bahwa sejarah objektif dapat direkonstruksi melalui pengamatan empiris, pengukuran, dan deskrisi, pada umunya telah ditinggalkan. Para penganut pascapositivisme telah mengajukan bernbagai pandangan ekstrim, yakni subjektivisme murni (semua ada dalam pikiran) hingga konstruktivisme (dibentuk dalam konteks). Sebagian besar sejarawan dipengaruhi oleh perspektif pascamodernisme. Mereka mengakui peranan konstruksi dan mencatat meski untuk sementara sering tidak menerima ide dekonstruksi. Mereka menolak subjektivisme radikal. Dengan demikian menolak ‘endism’ atau matinya bidang ilmu itu (jenknins dan Munslow 2004). Antara subjektivisme dan rekonstrukstivisme ada realisme kritis pragmatis yang lebih luas diterima. Realisme kritis pragmatis mengatakan, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa meskipun sejarah dikonstruksi tetapi konvensi-konvensi penelitian yang telah teruji dapat menyingkapkan kebenaran mengenai masa lalu betapapu tidak lengkap. Untuk sementara masih bersifat tergantung pada situasi. Sejarah sebagai sebuah pengetahuan sangat tergantung pada wacana dan bentuk representasi sosial dan institusional yang lebih luas di dalam atau melalui bahasa, karena realitas objektif masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu. Dalam konteks ini, sejarah sebagai ilmu tidak dapat disebutkan sebagai representasi langsung dari objektivitas masa lalu, karena jarak itu telah mereduksi secara langsung kemampuan konstruktifnya. Sejarah sebagai kenyataan hanya merupakan sesuatu yang terjadi satu kali di masa lalu dan tidak berulang, sedangkan sejarah sebagai sebuah rekonstruksi tertulis dan lisan yang dikenal saat ini adalah produk dari bahasa, wacana dan pengalaman sesuai dengan konteksnya.
86
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
Hal itu berarti sebagai sebuah realitas, sejarah hanya ada di masa lalu dan tidak mungkin dapat dijangkau oleh sejarawan. Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses pemahaman intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu orang ke orang lain. Hal itu berarti kebenaran sejarah adalah kebenaran yang relatif. Demikian juga tidak tidak ada kebenaran absolut yang dapat ditemukan, sehingga tidak selalu diperlukan teori penjelasan yang dapat diverifikasi melalui poengujian empirik. Bagi para sejarawan konvensional yang sangat percaya pada hanya kebenaran sejarah mutlak, hal itu tentu saja akan menimbulkan masalah pada tataran epistemologi (Bdk. Purwanto, 2008:33-35). Teori Dekonstruksi Sebagai Strategi Pembelajaran Alternatif Pada Teori-Teori Sejarah Kontroversial Dalam teori sejarah, para sejarawan tak luput juga dari kesalahan-kesalahan dalam penelitian dan penulisan. Suhartono W. Pranoto (2010:57:66) menjelaskan bahwa sejarawan juga manusia biasa. Ia sering diterpa kesalahan, terutama ketika ia membuat narasi atau melakukan eksplanasi yaitu dalam proses historiografi (penulisan sejarah). Para sejarawan banyak melakukan kesalahan dalam menggunakan argumentasinya. Sudah sangat biasa bahwa tidak semua sejarawan sadar dan mengakui kesalahannya. Sesuai dengan metode sejarah, kesalahan yang dialami oleh para sejarawan juga mengikuti urutan penelitian dan penulisan sejarah, mulai dari pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (pengujian), interpretasi (penafsiran) maupun eksposisi (penyajian). Menulis sejarah, terutama sejarah nasional, bukan sekedar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga kegiatan yang bermakna politis. Berbagai klaim mengenai asal-usul, kedaulatan wilayah, legitimasi pemegang kekuasaan, status pahlawan nasional, siapa musuh dan siapa korban, peran atau nasib pengkhianat dan penjahat, siapa kaum elit dan siapa kaum tersisih, sudah lama menjadi pokok perdebatan sejarah, baik bagi pelaku politik maupun sejarawan (Nordholt, dkk (ed), 2013:1). Disamping itu, berbagai kecenderungan dalam historiografi Indonesia mencerminkan betapa berat dan menyiksanya upaya yang lengah dilakukan para sejarawan Indonesia untuk memecahkan permasalahanpermasalahan tersebut, termasuk problematika metodologi hingga masalah penggunaan sejarah sebagai ajang legitimasi kekuasaan (Soedjatmoko, dkk (ed), 1995). Pada perkembangannya, problematika di atas dihadapkan pada dominasi dan hegemoni sejarah, terutama Peristiwa 1965. Narasi sejarah tersebut (kebanyakan) dipahami sebagai legitimasi kekuasaan ditengah merebaknya krisis identitas dan pemikiran. Sentrisme sejarah yang objektif masih tersandung dengan dominasi identitas dan tafsir tunggal negara. Identitas-identitas dalam narasi sejarah Peristiwa 1965 jadinya berkiblat pada kekuasaan regiosentrisme (bisa berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan maupun ideologi). Pada sisi lain, kekurangpahaman pada konsep-konsep metodologi dan epistemologi menambah deretan permasalahan ditengah kacau-balaunya historiografi Peristiwa 1965. Kekacauan historiografi tersebut terhegemoni melalui bahan ajar sejarah di
87
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
sekolah-sekolah, film-film sejarah, nama-nama fasislitas umum, bahkan merebak pada (politisasi) gelar pahlawan nasional. Meminjam istilah Henk Schulte Nordholt, dkk (2013:2) mengutarakan dua faktor utama yang turut membentuk situasi tersebut. Pertama pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) tergantung pada penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi dan sirkulasi pengetahuan tentang masa lalu. Sumber-sumber daya itu (sampai batas tertentu) dikendalikan oleh negara, baik pada masa kolonial maupun pada pascakolonial. Kedua, tantangan terhadap narasi besar (grand narratives) tentang masyarakat dan masa lalu juga merupakan bagian dari dinamika hubungan kekuasaan. Tantangan yang berupa narasi-narasi alternatif ini dapat muncul dari kaum intelektual dan anggota masyarakat yang berada di pinggir kekuasaan. Narasi-narasi alternatif ini dimaksudkan sebagai penolakan total atau pun sebagian narasi-narasi besar terhadap momen-momen sejarah tertentu. Oleh karena itu, sebagai sejarawan harus lebih kritis dalam merekonstrusi sejarah. Intinya menelaah istilah Taufik Abdullah, dkk (1985), sejarah bukanlah sesuatu yang absolut sehingga tidak dapat direkonstruksi kembali kebenarannya secara ilmiah. Pada dasarnya, sebuah rekotruksi sejarah mutlak dilakukan, dengan catatan ditemukannya sumber-sumber baru yang dapat merubah (bahkan meruntuhkan) paradigma sebelumnya. Dalam bahasa yang sederhana, dapat dikatakan bahwa penulisan (kembali) adalah puncak segala-galanya. Sebab apa yang dituliskan itulah sejarah -yaitu histoire-recite, sejarah-sebagaimana- ia dikisahkan, yang mencoba menangkap dan memahami histoire-realite, sejarahsebagaimana-terjadi. Memunculkann kembai sejarah dengan perspektif dekonstruksi berusaha sejauh mungkin mencari “kebenaran� historis dari setiap teori-teori sejarah. Pencarian itu bermula dari suatu pertanyaan pokok. Dari pertanyaan inilah berbagai keharusan konseptual dilakukan dan bermacam proses pengerjaan penelitian dan penulisan dijalani.
88
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
Konstruksi Teori
Teori-Teori Kontroversial Peristiwa 1965 Rekonstruksi Teori
Dekonstruksi Teori
Skema 2. Hubungan antara konstruksi teori, dekonstruksi teori, dan rekonstruksi dalam sejarah Peristiwa 1965
Dalam konteks ini, teori dekonstruksi tidak saja menguji secara kritis metodologi sejarah, melainkan juga menguji dan merumuskan kembali berbagai klaim kebenaran dan pembenaran historiografi serta menyelidiki terbentuknya klaim kebenaran teori secara historis. Teori dekonstruksi dalam sejarah Peristiwa 1965 menawarkan cara mendekonstruksi teori dengan menawarkan historiografi kritis dalam membedah dominasi dan hegemoni teori sejarah. Dengan kata lain, teori dekonstruksi berusaha membuka perspektif baru terhadap narasi-narasi sejarah yang selama ini dibungkam (terutama oleh negara). Sebelumnya, narasinarasi tersebut memang sengaja dibungkam dari pihak-pihak tertentu karena dianggap megganggu dan mengancam eksistensi (legitimasi) kekuasaan. Bertolak dari problematika itu, Alun Munslow (2003:74-75) mengelaborasikan bahwa fakta sejarah dalam historiografi tidak pernah datang kepada manusia secara “murni�, sebab fakta sejarah selalu bias dalam bentuk murni: yakni fakta sejarah selalu dibiaskan melalui pikiran si perekam (subjek/penulis). Karena itu ketika sejarawan mengambil karya tulis sejarah, yang pertama dikhawatirkan tidak harus dengan fakta sejarah apa yang dikandungnya tetapi dengan sejarawan siapa yang menulisnya. Maka diperlukan mekanisme dekonstruksi sejarah untuk semakin memurnikan fakta-fakta dalam rekonstruksi sejarah. Dalam proses belajar dan pembelajaran, Ratna Wilis Dahar (2011:10-16) menyebutkan bahwa perumusan teori diperlukan agar dapat berkembangnya suatu pendidikan. Teori digunakan sebagai pemecah masalah-masalah dalam setiap bidang kajian keilmuan. Artinya, perkembangan suatu pengetahuan dalam pembelajaran dilandasi dengan adanya teori. Namun, pada saat tertentu pula, muncul pertanyaan tentang “kebenaran� terhadap suatu teori yang telah
89
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
•Data Callection •Data Processing •Verification
•Preparasi •Apersepsi •presentasi
•Resitasi
•Generalization
•Melakukan Remedial •Melakukan Pengayaan
Humanisme Education
•Problem Statement
Mastery Learning
•Simulation
Expository Learning
Enquiry-Discovery Learning
dirumuskan. Dalam hal ini, yang ingin diketahui adalah apakah teori tertentu relatif lebih baik daripada teori yang lama dan apakah bagian tertentu suatu teori memerlukan revisi. Demikian pula halnya dengan teori-teori konstroversial pada Peristiwa 1965, perlu diuji kembali kebenaran historisnya. Teori-teori yang kontroversial dapat diuji dengan menggunakan teori dekonstruksi. Kegiatan pembelajaran, dalam implementasinya mengenal banyak istilah untuk menggambarkan cara mengajar yang akan dilakukan oleh pembelajar. Saat ini begitu banyak strategi ataupun metode pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran menjadi lebih baik. Secara khusus, srategi pembelajaran alternatif yang dimaksud di sini berorientasi untuk pembebasan nilai-nilai kemanusiaan lewat pembelajaran sejarah yang membebaskan. Paradigma dekonstruksi dapat digunakan sebagai pembebasan narasi-narasi yang didominasi oleh konstruk-konstruk penindasan dalam sejarah.
•Memanusiakan Manusia •Pembelajar berdampingan dengan Pelajar •Pembelajar sebagai pelajar senior terhadap pelajar sesama •Dekonstruksi merupakan humanisasi melalui teks
Skema 3 Klasifikasi strategi pembelajaran dan hubungannya dengan dekonstruksi (Diadaptasi dari Riyanto, 2009:138-141)
Teori dekonstruksi sebagai strategi pembelajaran alternatif dalam pembelajaran sejarah berorientasi untuk mendekonstruksi teori-teori sejarah yang kontroversial. Dalam sejarah Peristiwa 1965, teori-teori yang saling kontroversial itu adalah teori PKI (Partai Komunis Indonesia), teori konflik AD (Angkatan Darat), teori Soekarno, teori Soeharto, teori CIA (Central Inteligency Agency), teori Chaos, dan teori Sjam Kammaruzaman. Permasalahan pembelajaran sejarah Peristiwa 1965 terletak pada “teks” sejarahnya, yaitu teks dari teori-teori di atas. Dekonstruksi dimaksudkan sebagai cara lain membaca teks, yaitu membaca sebagai strategi.
90
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
Sebagai strategi pembelajaran alternatif, teori dekonstruksi bukan hanya membaca apa saja yang ada dalam tulisan, melainkan menguraikan semua hal-hal lisan seperi wacana dan kultural. Wacana dan kultural yang tak tertulis adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, teks-teks tersebut bisa saja mengandung narasi-narasi yang menindas kelompok tertentu. Oleh karena itu, dekonstruksi sebagai strategi tidak terbatas pada kajian diskursus lisan dan tulisan, melainkan juga menyasar relasi kuasa atau kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan suatu wacana. Dekonstruksi teori adalah pengucapan terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang tersingkir oleh kekuasaan. Keadaan terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama penulis atau sejarawan. Maka, sebuah dekonstruksi teori adalah gerak perjalanan menuju pembebasan hidup yang telah lama disandera oleh narasi sejarah. Dekonstruksi teori dapat didefinisikan sebagai sebuah strategi untuk “membaca� cara meruntuhkan teori yang kontroversial. Dengan memakai dekonstruksi teori, anggapan-anggapan yang muncul adalah penolakan terhadap teori yang absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual. Perkara tersebut selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang ada dalam teks-teks sejarah. Pada siatuasi tertentu, anggapan tersebut hadir sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah. Implementasi Teori Dekonstruksi Sebagai Strategi Pembelajaran Alternatif Implementasi pembelajaran adalah upaya membelajarkan pelajar untuk belajar. Kegiatan pembelajaran akan melibatkan pelajar memperlajari sesuatu dengan cara efketif dan efisien. Sedangkan strategi adalah suatu rencana tentang pendayagunaan dan penggunaan potensi dan sarana yang ada untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengajaran. Meminjam definisi Dick dan Carey (dalam Riyanto, 2009:132) mengatakan bahwa strategi pembelajaran adalah semua komponen materi atau paket pengajaran dan prosedur yang digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pengajaran. Strategi pembelajaran tidak hanya terbatas pada prosedur kegiatan, melainkan termasuk seluruh komponen materi atau paket pengajaran dan pola pengajaran itu sendiri. Sebelum mengimplementasikan teori dekonstruksi dalam pembelajaran sejarah, langkah pertama sebelumnya adalah mengelompokkan teori-teori kontroversial sesuai dengan periodisasi dan kronologi sejarahnya.
91
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
Penjelasannya dalam Peristiwa 1965 dapat dilihat pada tabel berikut ini. No
Teori
Penulis
1
PKI (Partai Komunis Indonesia)
Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh
2
3
Konflik Internal AD (Angkatan Darat)
Soeharto
Judul Tulisan The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia (1968). Ditulis kembali ke dalam bahasa Indonesia, Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1971)
Benedict Anderson dan Ruth McVey
W. F. Wertheim
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Kudeta 1 Oktober: Sebuah Analisis Awal.
Soeharto and the Untung Coup – The Missing Link (1970)
92
Keterangan Teori ini digunakan oleh Orde Baru sebagai “satusatunya” teori yang dianggap “benar” dalam mengkaji Peristiwa 1965. Dalam kurikulum sejarah, teori ini “dipaksakan” sebagai satusatunya interpretasi tunggal daripada pembelajaran sejarah Peristiwa 1965. Apabila ada versi lain, maka akan “diamankan” oleh rezim militer Orde Baru. Menariknya, teori ini muncul sebagai respon atas munculnya Cornell Paper di Amerika Serikat.
Teori ini dikenal sebagai Cornell Paper. Publikasi dari paper ini sebenarnya bersifat rahasia sebab sebagian dari para peneliti ini khawatir akan disalahgunakan. Namun akhirnya Cornell Paper bocor pada 5 Maret 1966, dengan munculnya artikel di The Washington Post.
Teori ini menjelaskan bahwa pada malam 1 Oktober 1965 terjadi pertemuan antara Soeharto dengan Latief dan Letkol Untung, pimpinan tim penculik para jenderal. Pertemuan tersebut dicurigai sebagai suatu komando untuk menjalankan G30S. Namun, teori ini dibantah oleh
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
Soeharto.
4
Soekarno
Antonie Dake
5
Chaos
John D. Legge
6
CIA
Peter Dale Scott
Sebelumnya, Antonie Dake The Sukarno menjelaskan teori ini secara File, 1965eksplisit sebagai kata 1967, pengantar dari buku Chronology of Bambang S Widjanarko, The Defeat (2006) Devious Dalang: Soekarno and the so-called UntungDiterjemahkan putsch, Eye-witness (1974). ke bahasa Namun, setelah Orde Baru Indonesia, tumbang, Bambang kembali Berkas-berkas mengklarifikasi hal tersebut Soekarno 1965- bahwa ia mendapat “tekanan” 1967: dari kalangan militer kala itu, Kronologi sehingga ia memberikan Suatu kesaksian sesuai dengan apa Keruntuhan. yang dinginkan oleh kalangan militer. Teori ini menyatakan bahwa tidak ada dalang tunggal dan Sukarno: A tidak ada skenario besar Political dalam G30S. Kejadian ini Biography hanya merupakan hasil dari (1972). perpaduan “segitiga” kekuasaan di Indonesia, Diterjemahkan seperti yang disebut ke bahasa Soekarno: “unsur-unsur Indonesia, Nekolim (negara Barat), Sukarno, pimpinan PKI yang keblinger Sebuah serta oknum-oknum ABRI Biografi yang tidak benar”. Semuanya Politik. pecah dalam improvisasi di lapangan. U.S. and the Teori ini menjelaskan bahwa Overthrow of dalang G30S adalah Central Sukarno 1965Intelligence Agency (CIA) 1967 (1985) alias Amerika Serikat. Motifnya adalah menjatuhkan Diterjemahkan Soekarno yang berhaluan ke bahasa terlalu kiri. CIA dianggap Indonesia, memiliki hubungan dekat Konspirasi dengan Angkatan Darat
93
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
Soeharto-CIA: Penggulingan Soekarno, 1965-1967, serta lihat juga bukunya, Peran CIA dan Penggulingan Sukarno (edisi revisi)
Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'tat in Indonesia (2006) 7
Sjam Kamaruzam an
John Roosa
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto
Republik Indonesia sehingga bisa dengan mudah merekayasa konflik internal mereka dan menjadikannya sebagai pemicu G30S. Peter Dale Scott beranggapan, Amerika Serikat tidak suka dengan haluan kiri dan adanya komunisme di Indonesia.Terlebih lagi Soekarno membina hubungan baik dengan Uni Soviet, kemudian ke RRC, musuh bebuyutan ideologi AS. Maka, G30S pun didesain sedemikian rupa sehingga PKI menjadi kambing hitamnya.
Teori ini menjelaskan bahwa PKI tidak terlibat secara partai dalam G30S itu, melainkan “oknum� pimpinan PKI, yaitu Aidit yang memiliki garis komando dengan Sjam Kammaruzaman. Sjam dikenal sebagai pimpinan Biro Khusus PKI?
Dalam hubungannya dengan teks, Karwono dan Heni Mularsih (2017:158) mendefinisikannya sebagai sumber belajar yang mempunyai peran sangat erat dengan pembelajaran yang dilakukan, dan pola-pola yang dilakukan oleh pembelajar. Dalam hal ini, pengelompokkan teori-teori kontroversial Peristiwa 1965 menjadi sumber belajar untuk mengimplementasikan teori dekonstruksi. Sumber belajar adalah segala sesuatu dan dengan mana seseorang mempelajari sesuatu. Sumber belajar dapat dibedakan menjadi sumber belajar yang didesain
94
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
dan sumber belajar yang dimanfaatkan. Dalam pemanfaatan sumber belajar, pembelajar mempunyai tanggung jawab untuk membantu pelajar agar belajar lebih mudah, lebih lancar, lebih terarah. Oleh sebab itu, pembelajar dituntut untuk mempunyai kemampuan khusus yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar, terutama yang menyangkut dengan teori dekonstruksi. Dalam implementasinya, teori dekonstruksi dapat digunakan untuk mendekonstruksi teori. Tahapan-tahapannya dalam pembelajaran yaitu sebagai berikut.
Tahap Pra Instruksional (Mengumpulkan Teori)
Tahap Instruksional (Membaca & Mendekonstruksi Teori)
Tahap Evaluasi & Lanjutan (Mengkreasikan Teori)
Skema 4. Langkah-langkah dalam mendekonstruksi teori
Kesimpulan Teori dekonstruksi adalah cara untuk membongkar kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik teori-teori sejarah yang selama ini melekat pada padanya. Mendekonstruksi sebuah wacana, ideologi dan politisasi masa lalu dalam teori sejarah adalah upaya meruntuhkan filosofi yang melandasinya atau beroposisi secara hierarkis terhadap sesuatu yang menjadi landasan teori tersebut. Cara mendekonstruksinya adalah dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam teori sejarah tersebut. Dekonstruksi terhadap suatu teori-teori konstroversial Peristiwa 1965, dengan demikian menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi teori yang bersangkutan dengan unsur-unsur yang ada dalam teori itu sendiri. Daftar Pustaka Adisuilo, J. R. & Sutarjo. (2001). Strategi pembelajaran sejarah. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma. Al-Fayyadl, M. (2005). Derrida. Yogyakarta: LKiS. Aman. (2011). Model evaluasi pembelajaran sejarah. Yogyakarta: Ombak. Dahar, R. W. (2011). Teori-teori belajar dan pembelajaran. Jakarta: Penerbit Erlangga. Djatmika. (2018). Mengenal teks dan cara pembelajarannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
95
Prosiding Seminar Nasional FKIP 2018, Desember 2018
Garvey, B. M. K. (2015). Model-model pembelajaran sejarah di sekolah menengah. Yogyakarta: Ombak. Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Karwono & Heni, M. (2017). Belajar dan pembelajaran serta pemanfaatan sumber belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kuntiwijoyo. (2013). Pengantar ilmu sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Siberman, M. L. (2013). Active learning, 101 cara belajar siswa aktif (ed. revisi). (terjemahan Raisul Muttaqien). Bandung: Nuansa Cendekia. Sjamsuddin, H. (2016). Metodologi sejarah. Yogyakarta: Ombak. Pranoto, S. W. (2010). Teori dan metodologi sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Purwanto, B. (2008). Kesadaran dekonstruktif dan historiografi Indonesiasentris dalam Budi Susanto SJ (ed), Membaca postkolonialitas (di) Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius kerjasama dengan Lembaga Studi Realino USD. Riyanto, Y. (2009). Paradigma baru pembelajaran. Jakarta: Kencana. Rochmat, S. (2009). Ilmu sejarah dalam perspektif ilmu sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu. Yaumi, M. (2013). Prinsip-prinsip desain pembelajaran: Disesuaikan dengan kurikulum 2013 (ed. 2). Jakarta: Kencana. Yusuf, A. M. (2014). Metode penelitian: Kuantitatif, kualitatif, dan penelitian gabungan. Jakarta: Kencana.
96
View publication stats