Warta FKKM Edisi November 2011

Page 1

Edisi November 2011

ISSN 1410-8550

Kehutanan Masyarakat Kemana Akan Menuju?


DARI EDITOR Kita tengah disibukkan berbagai ihwal tata kelola hutan. Kepastian Tenurial, Perubahan Iklim, serta Legalitas Kayu mewarnai sektor kehutanan di Indonesia kini. Isu tersebut, menjadi tantangan bagi pegiat kehutanan masyarakat. Sebagai forum multipihak, FKKM diharapkan memberi kontribusi pemikiran yang cerdas dalam penyusunan kebijakan kehutanan. Terkini, para pihak juga melakukan dinamisasi kelembagaan. Misalnya, Pertemuan Nasional FKKM, rapat anggota Working Group Tenure, Munas APHI, serta Kongres Kehutanan Indonesia ke-lima diselenggarakan. Semua bertujuan menjawab beragam tantangan tersebut. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat tentu dapat menjadi potensi pembangunan kehutanan. Agar tak hanya jadi harapan, perlu kesungguhan bersama mewujudkannya. Salam Kehutanan Masyarakat, Redaksi WARTA

SUSUNAN REDAKSI DEWAN REDAKSI Christine Wulandari, Dian Novarina, Syamsu Alam, Fadrizal Labay, Hesti Sagiri, Udiansyah, Emi Roslinda, Nurul Qomar, CP. Munoz, IBW Putra, Bambang Widyantoro, Berdy Steven, Wisma Wardana, Rakhmat Hidayat, Rustanto, Sujarni Alloy, Muhammad Adib, Subhan, Anwar Ibrahim PENANGGUNG JAWAB Andri Santosa REDAKTUR PELAKSANA Agus Prijono, Fotocentric, Andri Santosa, Samiaji Bintang PHOTOGRAPHER Godi Utama, Andri Santosa, Fotocentric, FKKM-Sulsel, FKKM-Riau TATALETAK cintadesign_064@yahoo.com DISTRIBUSI Titik Wahyuningsih FOTO SAMPUL Fotocentric ALAMAT REDAKSI

WARTA edisi ini penerbitannya didukung oleh Ford Foundation.

Fotocentric

Gedung Kusnoto Lt. 2 Jl. Ir. H. Juanda No. 18 Bogor, 16002 Telp/Fax: 0251 8310396 Email: seknas-fkkm@indo.net.id Website: www.fkkm.org


LAPORAN UTAMA

Mempelaikan Hutan dengan Masyarakat

Andri Santosa

Hutan dan masyarakat merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Berbagi dan menebar pengalaman Kehutanan Masyarakat untuk satu tujuan: masyarakat sejahtera dan hutan lestari.

F

orum Komunikasi Kehutanan Masyarakat menggelar pertemuan nasional Kehutanan Masyarakat di Bogor 6-9 September lalu. “Pertemuan itu sebagai ajang berbagi pengalaman serta konsultasi dalam ranah Kehutanan Masyarakat,� ujar Andri Santosa, wakil Sekretaris Nasional FKKM. Menteri Kehutanan, dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Harry Santoso, menyampaikan apresiasi atas peran FKKM dalam pembangunan kehutanan. Sebagai forum multipihak, FKKM diharapkan memberi kontribusi pemikiran yang cerdas dalam penyusunan kebijakan kehutanan. Dengan melibatkan para pihak, dinamika kompleksitas

tata kelola hutan dapat ditampung dan dijabarkan dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030. “RKTN ini akan menjadi acuan untuk tata kelola hutan keberlanjutan, dan tidak menutup kemungkinan disempurnakan di kemudian hari,� demikian sambutan Menteri. Menteri juga menyatakan, tekanan terhadap sumberdaya alam telah menyebabkan hutan makin terdegradasi. Hal itu tercermin dari tinjauan tata ruang yang diusulkan pemerintah daerah. Meski tidak mudah, hampir setiap daerah mengusulkan merubah peruntukan kawasan hutan. Namun, dengan adanya RKTN, diharapkan tata kelola hutan yang adil dan berkelanjutan dapat tercapai pada tahun 2030. Dalam mencapainya, banyak hal yang perlu dilakukan,

3


LAPORAN UTAMA

kemiskinan (propoor), menciptakan lapangan kerja (projob), mendorong pertumbuhan ekonomi (progrowth) serta memperhatikan kaidah kelestarian (proenvironment). Semangat pemberdayaan itu menjadi peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. “Agar hutan lestari, masyarakat sejahtera, tidak hanya berupa slogan,” kata Andri, “persoalan sosial, ekonomi dan ekologis itulah yang menjadi perhatian FKKM.”

Andri Santosa

di antaranya melalui optimalisasi dan pemantapan kawasan hutan, peningkatan produktivitas dan nilai sumberdaya hutan, dan peningkatan peran serta masyarakat. Begitu juga, “Peningkatan riset dan teknologi kehutanan, mewujudkan kelembagaan tata kelola yang efisien dan efektif, serta mengoptimalkan keunggulan komparatif sumberdaya hutan.” HUTAN UNTUK MASYARAKAT FKKM memahami perubahan gerakan Kehutanan Masyarakat dalam dua dekade terakhir. Semangat ‘Forest for People’ telah mewarnai dunia kehutanan Indonesia sejak Kongres Kehutanan Dunia di Jakarta pada 1978. “Sejak itu, banyak inisiasi dan program didorong para pihak, seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, serta hutan tanaman rakyat,” papar Andri. Akan tetapi, kebijakan hutan desa, hutan kemitraan, dan hutan adat masih menyisakan pekerjaan

4

rumah. Andri menyatakan, kebijakan itu perlu didorong dengan politik anggaran yang mendukung, sementara birokrasi yang rumit juga masih menjadi kendala. “Seharusnya masyarakat yang mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan mendapat insentif kemudahan birokrasi.” Menteri Kehutanan juga berharap pengelolaan hutan bersama masyarakat menjadi basis dan potensi pembangunan kehutanan. Peningkatan partisipasi masyarakat ditempuh dengan penyediaan 5,6 juta hektare untuk pembangunan kehutanan berbasis masyarakat, seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat dan skema lainnya. Lebih lanjut, dalam sambutannya Menteri menyampaikan, kebijakan Kementerian Kehutanan senantiasa ditujukan untuk rakyat melalui program pemberdayaan. Sesuai dengan tujuan pembangunan yang berupaya mengentaskan

LEGALITAS KAYU Di sisi lain, untuk menanggulangi pembalakan dan perdagangan kayu ilegal, diterapkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Menteri menyatakan, SVLK adalah instrumen untuk mendukung pengelolaan hutan lestari. Dengan biaya murah dan prosedur sederhana, masyarakat dapat dengan mudah melegalkan kayunya secara akuntabel. Secara khusus, FKKM melihat ada beberapa isu yang menjadi tantangan kehutanan akhir-akhir ini. Di antaranya perubahan iklim yang dikaitkan dengan deforestasi dan degradasi lingkungan. Isu verifikasi legalitas kayu sebagai upaya penanganan pembalakan liar juga mencuri perhatian. “Namun, upaya itu masih menjadi persoalan tersendiri, terlebih di saat penguasaan kawasan hutan belum selesai disepakati para pihak,” kata Andri. Dengan begitu, memantapkan posisi Kehutanan Masyarakat dalam pasar global dan pengelolaan hutan berkelanjutan adalah tantangan besar bagi semua pihak di Indonesia. Berbagi dan menebar pengalaman ihwal Kehutanan Masyarakat harus terus didorong untuk satu tujuan: masyarakat sejahtera dan hutan lestari.**


FOKUS

Kayu Legal, Bernilai Halal Maraknya pembalakan dan perdagangan kayu liar menuntut Indonesia mampu menjamin keabsahan kayu. Para petani hutan Wonosobo dan Lampung Tengah menjawab tantangan itu; pengrajin kayu Buleleng pun tak mau ketinggalan. Andri Santosa

MENAIKAN NILAI TAWAR ari 98.403 hektare luas Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, luasan hutan negara mencapai 19.890 hektare. Nyaris seluas hutan negara itu, hutan rakyat membentang 18.982 hektare yang dikelola 40 persen keluarga Wonosobo. Luasnya hutan rakyat Wonosobo memberi tantangan sekaligus harapan. Menurut Suwondo, dari Asosiasi Petani Hutan Rakyat (APHR) Wonosobo, banyaknya pihak dalam rantai perdagangan kayu di Wonosobo membuat lalu lintas kayu menjadi rumit. Pihak pedagang misalnya, kerap mengabaikan kayu dengan surat keterangan asal usul (SKAU) atau memalsukan desa asal

D

kayu. “Tak hanya itu, terkadang desa enggan memberikan SKAU kepada warganya,” tambahnya. Suwondo mengisahkan, kini lima desa: Burat, Kalimendong, Manggis, Durensawit dan Jonggolsari telah membentuk asosiasi yang beranggotakan 4.384 orang. “Ke depan harapannya ada penambahan anggota dari desa-desa di Wonosobo,” harap Suwondo. “Awalnya, kami tidak tahumenahu tentang sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) itu,” kisahnya. Dari diskusi dengan lembaga swadaya masyarakat yang memberi sosialisasi dan pendampingan, kami mengajukan sistem verifikasi. Dari sini, sebagai syarat pengajuan, lahirlah APHR.

Penilaian telah dilakukan pada Juli 2011, kepemilikan lahan dapat ditelusuri sampai letter C, peta tersedia, batas lahan jelas. “Hasilnya, sejak 11 November 2011, asosiasinya menerima sertifikat kayu legal dari Sucofindo” terang Suwondo. Dengan cakupan 1.228 hektare hutan rakyat, Asosiasi itu kini terus mendorong sistem verifikasi legalitas kayu. Pengurus Asosiasi dari setiap desa anggota lantas melakukan sosialisasi dengan pelatihan dari Dinas Kehutanan Wonosobo dan LSM. “Sosialisasi dilakukan di dusundusun. Harapannya, masyarakat benar-benar paham tentang SVLK,” tutur Suwondo. Berkat ikhtiar yang terus-menerus, “Petani kini telah

5


FOKUS

APIK - Buleleng

meningkatkan posisi tawar harga jual kayu sekira 1,5 kali lipat.” SEJAHTERA BERKAT HUTAN LESTARI Para petani hutan di Pubian, Lampung Tengah, Lampung, menjadi saksi rasa nyeri belitan para tengkulak. Pinjaman sebelum panen tiba—biasa disebut ijon, biasanya menjadi senjata tengkulak untuk menjerat petani. “Jika panen gagal, demi melunasi utangnya, petani yang mengijon terpaksa mencuri kayu,” ujar Agus Sumantri. Lantaran telah tergadai, harga hasil bumi menjadi murah. Tekanan ekonomi itu merembet ke masalah lingkungan. Penebangan liar yang pernah merajalela membuat hutan tak lagi rimbun. Akibatnya, terjadi kekeringan karena menurunnya debit air sungai. Tak hanya itu, kebakaran hutan juga tak asing bagi warga di sekitar hutan Register 39 itu. Sejarah sejumlah kampung di Pubian memang suram. Warga kampung Pekandangan misalnya, umumnya bekerja sebagai buruh tebang dan kuli angkut. “Pembalakan

6

telah marak pada kurun 1980 hingga 1990-an,” tambah Agus. Seperti Wonosobo, petani hutan di Pubian ini juga membentuk organisasi, yakni Koperasi Giri Mukti Wana Tirta. Koperasi ini merupakan gabungan kelompok tani dari lima kampung: Payung Makmur, Kota Batu, Payung Dadi, Tawang Negri, dan Pekandangan. Koperasi ini mengkhususkan diri pada bisnis kayu rakyat. Agus menambahkan, dengan kawasan hutan rakyat seluas 275 hektare, Koperasi telah mendata kayu milik anggota sejumlah 8.968 batang. Saat ini, Koperasi telah menerima sertifikat SVLK bersama dengan Wonosobo dan daerah lain. Selain hasil hutan berupa kayu, masyarakat kini telah menikmati air yang terus mengalir berkat terjaganya hutan. “Selain untuk kebutuhan seharihari, air kini dimanfaatkan sebagai penggerak pembangkit listrik mikrohidro.” MENEPIS KEMATIAN USAHA Berada di ujung dalam aliran kayu, para pengrajin Buleleng, Bali, merasakan betul nilai penting kayu

sah. Mereka kini hanya memakai kayu yang jelas asal-usulnya untuk bahan baku kerajinan. Bahkan sertifikasi dalam pengolahan kerajinan berbahan kayu sedang mereka upayakan. “Petani dan pengrajin tergabung dalam Asosiasi Pengrajin Industri Kecil (APIK),” ujar I Gusti Putu Armada, salah satu pengurus Asosiasi itu. Awalnya, himpunan ini hanya bertujuan meningkatkan kemampuan produksi. Meski di hilir, mereka kini turut menata produksi kayu di hulu. “Bentuk asosiasi digagas untuk memperkuat dan menyiapkan diri menghadapi kompetisi dengan perusahaan besar,” lanjutnya. Armada mengatakan, bila 2013 belum menerapkan SVLK, usaha kayu akan terancam mati. Walau sudah ada SKAU dan izin tebang, pengrajin tetap perlu disertifikasi pengolahannya. “Menghadapi pasar yang lebih luas, kita harus siap dengan produk yang bersertifikat, terlebih untuk ekspor,” tambahnya. Asosiasi yang berdiri 2006 itu kini sibuk melengkapi dokumen pendukung, seperti SKAU, peta wilayah, jumlah dan ukuran tegakan. Dari sisi kelembagaan, Armada bersama Asosiasinya juga tengah membuat kesepakatan tentang sistem kelestarian hutan. Tak hanya itu, surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) untuk industri kerajinannya juga sedang mereka upayakan. Penerapan SVLK kini telah menjadi kebutuhan banyak pihak yang menggeluti bidang perkayuan. Namun, bagi masyarakat yang belum berorganisasi, masih menggantung pertanyaan besar. Kelembagaan serta urusan administrasi yang rumit masih menjadi tantangan bagi organisasi produsen atau industri kecil pengguna kayu. Tingginya permintaan dan harga kayu legal di dalam maupun luar negeri melecut penerapan sistem verifikasi kayu yang sah. Perlahan-lahan, dari ujung ke ujung, kayu beridentitas telah mewarnai perdagangan kayu negeri ini. Dari Wonosobo, Lampung Tengah, dan Buleleng, para petani hutan dan pengrajin telah membentangkan teladan bagi para sejawatnya di Tanah Air.***


FOKUS

Tantangan Zaman Bergerak Kehutanan Masyarakat hidup dalam dunia yang bergegas. Semangat zaman mempengaruhi tata kelolanya, yang hingga kini masih terus memantapkan diri.

Andri Santosa

S

ecara sosial, perubahan pasti akan terjadi, baik di tingkat individu, kelompok, maupun sistem dalam masyarakat. Entah direncanakan atau tidak, diharapkan atau tidak, perubahan adalah keniscayaan. Pada sistem sosial itulah, lingkungan dan sumberdaya alam bertumpu. Dengan begitu, perubahan sosial akan mempengaruhi tata kelola sumberdaya alam. Masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumberdaya alam misalnya, keterbatasan sumberdaya akan mempengaruhi kebijakan pengelolaannya. Mustofa Agung Sardjono, guru besar Universitas Mulawarman, mengatakan, perubahan bisa disebabkan oleh faktor internal masyarakat. “Misalnya, bertambahnya populasi, kebutuhan serta persaingan, yang berpotensi memicu konflik,” paparnya, “itu juga meningkatkan tuntutan ekonomi atas sumberdaya.” Sardjono menambahkan, faktor internal lain adalah pergeseran pola pikir, persepsi,dan longgarnya kelembagaan lokal. Ada juga faktor

eksternal: dinamika struktur sosialpolitik dan perkembangan teknologi. Begitu juga, “Kompleksitas jaringan sosial dan demokratisasi yang terus bergulir di masyarakat.” Keberagaman lingkungan alam dan sosial membuat kebijakan tata kelola sumberdaya alam semakin rumit karena perbedaan karakter, kepentingan, dan tradisi. “Idealnya, Kehutanan Masyarakat memiliki unsur pelibatan, jaminan atas hak, tanpa tekanan politik, ekonomi, serta bermanfaat bagi pelakunya,” ujar pakar kehutanan sosial ini. Nyatanya, Kehutanan Masyarakat kini hanya terbatas pada skema resmi yang dirancang dan ditetapkan pemerintah berdasarkan status kawasan dan fungsinya. Ada hutan rakyat, di lahan milik masyarakat; hutan desa, hutan adat dan hutan kemasyarakatan yang berada di lahan milik negara. Dari fungsinya, ada juga hutan tanaman rakyat serta pola kolaboratif pengelolaan hutan. Profesor yang berkiprah di Center for Social Forestry Indonesia itu

menyatakan, “Prosedur pengusulanverifikasi hingga izin kelola masih dirasa panjang dan kaku. Izin dari pemerintah daerah misalnya, tidak sama dengan izin pemanfaatan. Untuk memanfaatkan hasilnya, masyarakat masih harus mengajukan izin pemanfaatan ke Kementerian Kehutanan.” Izin bagi kawasan Kehutanan Masyarakat juga menghadapi tantangan lain. Sardjono memaparkan, “Kini hampir seluruh kawasan hutan habis terbagi buat izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu.” Istilah ‘kehutanan’ dalam Kehutanan Masyarakat, seharusnya tidak dibatasi dengan fungsi atau status kawasan. “Tidak terpaku pada bentuk hutan, orientasi pengelolaan, cakupan pelibatan, pemanfaatan, hingga pemasarannya.” Sementara itu, istilah ‘masyarakat’, perlu dipahami dalam menyusun prioritas bagi komunitas yang terlibat. “Berturutturut, komunitas yang sepenuhnya hidup dan tergantung pada hutan; lalu, komunitas yang hidup di hutan, tapi tak bergantung; dan terakhir, komunitas di luar hutan tapi bergantung pada hutan.”

7


FOKUS

SXC.hu

BERJEJARING Lantaran berperan sebagai media untuk berbagi informasi, pengalaman, dan ketrampilan, jaringan yang tergelar dalam Kehutanan Masyarakat bernilai penting. Berjejaring juga untuk mewadahi upaya membangun kesepakatan, pengakuan kepercayaan diri, dan kredibilitas. Tetapi, dari temuan di lapangan, masyarakat lokal tak gampang mengakses jaringan yang telah terangkai. Salah satunya, karena penggunaan media berbasis Internet: surat elektronik, website, serta produk cetakan yang belum menyentuh khalayak banyak. Media audio-visual seperti film, yang menarik bagi masyarakat lokal, juga belum banyak dimanfaatkan para pegiat Kehutanan Masyarakat. Jaringan diskusi kebijakan di pusat juga berjarak dengan praktiknya di tingkat lokal. Ini tidak mengherankan, karena tak banyak lembaga swadaya masyarakat dan jaringan yang bekerja sampai tingkat provinsi atau kabupaten. “Padahal, otoritas penerbitan izin Kehutanan Masyarakat ada pada tingkat provinsi dan kabupaten,” tutur Muayat Ali Muhshi. Agar peran jaringan lebih mumpuni, pelajaran itu perlu menjadi perhatian bersama. “Misalnya,

8

membangun kesetaraan masyarakat dengan pihak lain dalam pertemuan nasional antar-pihak dan fasilitasinya di tingkat regional.” Hal lain yang penting dicermati: peran lembaga dan jaringan di tingkat nasional yang kurang beragam. Tuntutan pegiat regional untuk menyuarakan sendiri aspirasinya di tingkat nasional juga menjadi pembelajaran. Menurut Muayat, tantangan berjejaring Kehutanan Masyarakat kini ada pada membangun sinergi antar lembaga serta mekanisme pembagian fokus kerja. Ia juga menegaskan, fasilitasi kelompok akar rumput untuk beraspirasi di tingkat nasional juga penting, selain desain kegiatan yang mesti disesuaikan dengan kondisi masyarakat. ADAPTASI PENGUSAHA Pengusaha hutan juga menghadapi tantangan dalam dunia yang berubah. Hal itu misalnya, terlihat dalam kasus tumpang tindih kawasan dan penataan ruang di areal konsesi. Menurut Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Bambang Widyantoro, tantangan itu berisiko memicu konflik. Bentuk kemitraan telah diterapkan pada kawasan hutan konsesi, yang juga diklaim oleh masyarakat adat.

“Kemitraan yang diterapkan sudah menuju pada pembagian peran dan hak secara partisipatif. Namun, kesesuaian pola ini bagi para pihak juga masih menjadi pertanyaan besar,” papar Bambang. Bentuk-bentuk partisipatif yang diusung pun masih belum menemui kejelasan. “Pola bantuan atau kemitraan yang bersifat charity masih umum dilakukan pengusaha. Dampaknya, kesetaraan belum tercapai.” Agaknya, upaya memantapkan tata kelola Kehutanan Masyarakat masih menyisakan pekerjaan rumah, seperti penyelarasan dengan dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik. Strategi adaptasi para pengusaha menyangkut aspek pengetahuan, pemahaman, dan resolusi konflik. Sementara itu, skema kemitraan dalam pembangunan HTI di antaranya: pengakuan hak-hak tenurial, menerima hasil panen kayu, serta boleh ke areal HTI untuk bercocok tanam. Begitu juga, masih menurut Bambang, “Menerima fasilitasi dan mediasi penyelesaian konflik, serta pendampingan dari pemerintah atau LSM.” MENYAMBUT MASA DEPAN Sardjono menegaskan perlunya dua langkah ke depan: aksi dari atas (top-down) dan dari bawah (bottomup) dalam menghadapi perubahan. Yang top-down, terdiri dari: dukungan penuh seluruh eselon satu Kementerian Kehutanan, dan kementerian terkait, terhadap perkembangan Kehutanan Masyarakat, dan komunikasi intens antar-tingkat pemerintahan, terutama Kementerian dengan pemerintah daerah. Demikian juga, “Desentralisasi dan devolusi pengelolaan hutan yang lebih besar, guna membangun kembali kepercayaan,” papar Sardjono. Sedangkan aksi bottom-up, menyangkut: pertama, penataan batas administrasi desa dan penguasaan lahan masyarakat; dan kedua, penguatan sumberdaya manusia, kelembagaan, dan modal sosial masyarakat. Titik temu dua arah aksi itu akan memastikan Kehutanan Masyarakat mampu menjawab tantangan zaman, sembari menebar manfaat bagi masyarakat.***


FOKUS

Merangkai Reformasi Tenurial Sengketa tenurial ibarat laga klasik: tak pernah usai, terus membebani pengelolaan hutan. Perlu prinsip, prasyarat dan langkah reformasi kebijakan tenurial.

B

erbagai lembaga, peneliti, dan akademisi di bidang kehutanan serta tenurial, meyakini ketakpastian dan ketimpangan penguasaan kawasan hutan telah menghambat tata kelola hutan yang adil. Himpunan yang menabalkan diri sebagai kelompok masyarakat sipil untuk reformasi tenurial itu juga memandang persoalan tenurial tak hanya menimpa masyarakat, tetapi juga bisnis kehutanan dan pemerintah. Sengketa tenurial membuat masyarakat adat dan lokal tak nyaman, hilang penghidupan, bahkan nyawa. Sektor swasta pun kerepotan, kepastian usaha terganggu; pun pemerintah terganggu kinerjanya. Toh, pertikaian tenurial terus bermunculan karena formulasi kebijakannya yang belum jelas. Kelompok itu memberi rekomendasi langkahlangkah reformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan Indonesia. Kelompok masyarakat sipil mendukung upaya pemerintah dalam mengoreksi dan menyempurnakan kebijakan tenurial. Ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari Konferensi Internasional tentang tenurial dan tata kelola hutan serta usaha kehutanan di Lombok, Juli 2011 lalu. Perubahan kebijakan penguasaan kawasan hutan yang didorong kelompok ini bertujuan untuk kepastian dan keadilan tenurial. Kepastian tenurial itu mewujud dalam tersedianya sistem hukum dan kebijakan yang jelas untuk melindungi hak kelompok pengguna hutan.

Andri Santosa

Sementara itu, keadilan tenurial nampak pada kepastian meluasnya akses masyarakat terhadap kawasan hutan. Tentunya masyarakat yang berada di lapis dasar kemiskinan yang memperoleh manfaat dari akses tersebut. Masyarakat juga diharapkan terlibat dalam proses pengambilan kebijakan. Dasar hukum dari reformasi kebijakan tenurial adalah UUD 1945, ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria dan UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kelompok masyarakat sipil mengusulkan tiga ranah perubahan untuk mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan hutan. Ketiganya adalah: perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan; penyelesaian konflik kehutanan; serta perluasan wilayah kelola rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya. Meski perangkat hukum dan kebijakan penguasaan tanah dan hutan telah tersedia, namun belum mampu memberi kepastian tenurial secara menyeluruh. Ketidakpastian itu pula yang akhirnya menimbulkan konflik di kawasan hutan. Perbaikan kebijakan dan pengukuhan kawasan ini menjadi dasar untuk: memperkuat legalitas kawasan hutan; memastikan hak para pihak atas kawasan hutan; mempercepat pengukuhan kawasan hutan; mendorong kebijakan terpadu dalam penguasaan tanah dan kawasan hutan. Juga tak kalah

penting adalah koordinasi kewenangan antarsektor terkait. Meski banyak upaya penyelesaian konflik, namun belum ada mekanisme yang komprehensif dan terlembaga. Kelompok ini mengusulkan untuk membangun strategi terpadu dalam menyelesaikan konflik tenurial kehutanan. Tak cuma itu, penyelesaian konflik harus dipercepat, untuk mencegah timbulnya sengketa baru. Penyelesaian konflik yang dilakukan pun harus melembaga, agar efektif dalam fasilitasi dan mediasinya. Masyarakat adat dan masyarakat lokal merupakan dua tipologi utama yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Data Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) tahun 2004, mengabarkan ada sekira 48,8 juta orang di dalam dan sekitar kawasan hutan yang 10,2 juta di antaranya tergolong miskin. Kebijakan perhutanan sosial yang dibuat Kementerian Kehutanan saat ini pun dipandang masih berjalan lambat. Karena itu, perlu percepatan dan perluasan kawasan hutan bagi wilayah kelola rakyat, lewat hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman rakyat. Selain itu, juga harus ada pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya. Kini, Kementerian Kehutanan telah menyambut positif usulan ini. Ketiga ranah perubahan yang diusulkan kelompok masyarakat sipil ini harus dijalankan secara simultan dan sinergis. Dengan begitu, perubahan yang diharapkan dapat terwujud pada pada paruh terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.***

9


FOKUS

Menekan Karbon:

Bonus yang Siap Ditangkap? Saat suhu bumi makin menghangat, sektor kehutanan berpeluang besar dalam mengurangi emisi karbon. Meski berbagai teladan REDD+ telah tergelar, Kehutanan Masyarakat menghadapi tugas mulia sekaligus tantangan global.

Fotocentric

P

engurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dikenal sebagai REDD+, jelas membutuhkan dukungan dari masyarakat. “REDD+ adalah mekanisme internasional untuk mengapresiasi upaya negara berkembang yang mengurangi emisi,” ujar Agus Justianto, sekretaris Kelompok Kerja Perubahan Iklim, Kementerian Kehutanan. Agus menambahkan sebagai salah satu upaya mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan, REDD+ terwadahi dalam beragam kegiatan. Di antaranya: mengurangi deforestasi dan degradasi hutan; menjaga ketersediaan cadangan karbon melalui kegiatan konservasi; serta menerapkan pengelolaan hutan berkelanjutan.

10

TANTANGAN REDD+ Prasyarat penting dalam REDD+ adalah persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan, yang dikenal dengan istilah Free Prior Informed Consent (FPIC). “Persetujuan ini adalah hak dasar bagi masyarakat hutan,” tutur Agus. Berbeda dengan FPIC yang berlaku di tataran lokal, Agus menuturkan, secara global REDD+ memiliki tantangan lain. Semisal, tidak jelasnya penjaminan atas pelaksanaan dan informasi hasil pantauan, serta pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV). Hubungan kerjasama antara negara pelaksana dengan donor pun masih menjadi soal. Kewajiban mengurangi pembalakan juga jadi pertanyaan, terlebih ketika definisi

hutan dan degradasinya belum disepakati. “Selain persoalan tata kelola kehutanan, di tingkat nasional maupun lokal, kapasitas, jaringan, anggaran serta pembagian peran antar-pihak, juga masih menyisakan tanda tanya,” paparnya. REDD+ DAN KEHUTANAN MASYARAKAT Di sisi lain, menurut Andri Santosa, perlu juga upaya mengintegrasikan kebijakan REDD+ ke dalam Kehutanan Masyarakat. Peluangnya pun besar, karena pemegang izin usaha kehutanan masyarakat pun bisa mengusulkan program REDD+. Namun, hasil kajian FKKM pada 8 kawasan dengan tipe yang berbeda—seperti hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan


FOKUS kemitraan, hutan desa, memberi perspektif lain. Meski begitu, kesiapan Kehutanan Masyarakat dalam kancah REDD+ masih perlu dimantapkan. Misalnya saja, faktor luas kawasan hutan yang kecil dan tersebar. “Apalagi terkait dengan penyiapan dokumen rancangan proyek, dikenal dengan PDD, serta dalam pelaksanaan MRV.” Selain masih rendahnya kesiapan pengelola Kehutanan Masyarakat, Andri melanjutkan, tantangan juga ada pada unsur kelembagaan, sumberdaya manusia serta teknologi. Andri memaparkan, Kehutanan Masyarakat juga terkendala dengan kurang harmonisnya berbagai kebijakan. Hal itu terlihat dari adanya tarik-menarik wewenang dan kepentingan. Kepastian akses ruang kelola juga mutlak dibutuhkan, sebagai bentuk pengakuan keberadaan masyarakat untuk pengembangan kehutanan dan REDD+. Komitmen kebijakan serta anggaran juga harus dilakukan, terutama untuk mengawal rancangan tata ruang wilayah kabupaten dan pendampingan kelembagaan Kehutanan Masyarakat. Tetapi Andri optimis bahwa REDD+ juga bisa dijadikan celah untuk pengakuan Kehutanan Masyarakat. “Sebaiknya perdagangan karbon dilihat sebagai bonus saja, utamanya pada keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.” Kisah Memangkas Karbon Upaya reforestasi hutan rawa gambut di Sumatera Selatan dilakukan di kawasan hutan tanaman industri. Di sana telah terbentuk mekanisme saling mendukung di antara berbagai usaha hasil hutan nonkayu berbasis rakyat. Najib Asmani, staf khusus Gubernur Sumatera Selatan, memaparkan, usaha-usaha itu seperti sarang walet, tangkapan ikan, pertanian ataupun pelayanan jasa. Najib menuturkan, melalui skema REDD+, perdagangan karbon dari hutan lestari bisa menjadi insentif tambahan bagi masyarakat. “Melalui momen moratorium, seharusnya

APIK - Buleleng

kita bisa merubah orientasi pengelolaan hutan kemasyarakatan,” ujar pengajar pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya itu. Begitu juga, adanya kepedulian negara lain, seperti Norwegia, seharusnya menjadi pembelajaran, agar lebih serius merehabilitasi dan melestarikan hutan demi kesejahteraan. Sementara itu, Arif Aliadi berkisah tentang program kemitraan dalam rehabilitasi kawasan yang dilakukan LATIN di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Program itu kini dijadikan program konservasi untuk pengurangan emisi. “Dalam program itu, terdapat komitmen yang melibatkan masyarakat dalam mencegah perambahan dan menjaga kawasan konservasi,” tutur Arif. Begitu juga, Ideas Consultancy Services sedang merangkai pengelolaan hutan bersama masyarakat lestari (PHBML) dengan perdagangan karbon. Meningkatnya daya dukung lahan untuk jasa lingkungan merupakan dampak positif pengelolaan hutan lestari. “Karbon sebagai salah satu jasa lingkungan bisa dianggap komoditas hasil hutan, dan diperdagangkan di melalui pasar karbon sukarela,” ujar Daru Ascarya dari Ideas Consultancy

Services. Lembaga swadaya masyarakat Fauna and Flora International juga tengah mengupayakan program REDD di Ketapang dan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. “Setelah 2 tahun program pendampingan berjalan, saat ini upayanya baru pada tahap verifikasi,” ujar Ahmad Kusworo. Di Jambi, masyarakat hutan adat Gukguk juga berusaha ke arah yang sama. Berkat tradisinya menjaga peninggalan nenek moyang, hutan di Gukguk kini masih terjaga. Saat ini pemanfaatannya terbatas pada hasil hutan nonkayu. Para peneliti juga telah mengkaji peluang REDD di sana. Beragamnya skema perdagangan karbon, memiliki tantangan yang kurang lebih sama. Baik REDD maupun pasar karbon sukarela, semua terkendala perizinan dan pengakuan. Belum lagi jika harus melalui kesepakatan antar negara dengan kepentingan berbeda. Agaknya, mekanisme pembagian keuntungan dari pasar karbon perlu diperjelas. Penyebarluasan informasi serta pengetahuan yang didapat dari kegiatan pun perlu dikuatkan, untuk berbagi pengalaman sesama para pegiat hutan lestari.***

11


FOKUS

Menatap Dunia Global dengan Kayu Legal

Fotocentric

Selain dipandang ampuh menghentikan kayu liar beredar, pengelolaan hutan produksi lestari dan sistem verifikasi legalitas kayu juga memperluas pasar kayu absah. Lima kelompok masyarakat telah meraih sertifikat kayu sah. SEPAKAT UNTUK YANG LEGAL Bermula dari Bali Declaration on Forest Law Enforcement and Governance, September 2001, Indonesia telah menunjukkan keseriusannya menangani kayu ilegal. Sejak itu pula, Indonesia mulai menjamin legalitas kayu yang melibatkan para pihak, hingga akhirnya memberlakukan Peraturan Menteri No.38 tahun 2009. Aturan ini mengatur standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Peraturan itu juga berlaku bagi produk kayu dari kawasan hutan negara, hutan hak, serta industri kayu. Singkatnya, dari hulu hingga hilir aliran kayu. Negara-negara konsumen juga telah menerapkan aturan: hanya produk hasil hutan legal saja yang dapat masuk dan diperdagangkan. Misalnya saja, Amerika Serikat dengan Amandemen Lacey Act; Uni Eropa dengan Timber Regulation; dan Goho-Wood berlaku di Jepang. “Sistem verifikasi legalitas kayu memegang prinsip tata kelola yang baik, dengan keterwakilan para pihak serta keterbukaan informasi,” terang

12

Iman Santoso, Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Sistem ini telah menjalani proses panjang sejak 2003, diawali dengan menentukan definisi legalitas kayu, kriteria, sampai indikator yang berbeda bagi tiap kawasan hutan. “Keterwakilan para pihak dalam SVLK cukup beragam,” lanjut Iman. Selain Kementerian Kehutanan sebagai regulator, ada Komite Akreditasi Nasional (KAN), juga lembaga penilai pengelolaan hutan lestari (LP-PHL) dan lembaga verifikasi legalitas kayu (LV-VLK) sebagai pihak independen. Tak hanya itu, menurut Iman, masyarakat juga terwakili dengan hadirnya lembaga pemantau independen dari organisasi non-pemerintah dan kalangan usahawan. Uni Eropa, yang juga berkomitmen memerangi pembalakan liar, kini tengah menjajaki perjanjian kemitraan sukarela atau voluntary partnership agreement (VPA) dengan negara produsen kayu, salah satunya Indonesia. Perjanjian itu untuk menekan masuknya kayu ilegal ke Uni Eropa, dengan syarat penjaminan keabsahan kayu. Ini dibuat sebagai bentuk berbagi peran dan tanggung

jawab antara pengekspor dan pengimpor kayu. Perjanjian itu diterapkan bagi semua negara yang mengekspor kayu ke Uni Eropa. Selain itu, perjanjian itu juga akan diterapkan sesuai dengan hukum yang berlaku di negara yang menandatanganinya, seperti Indonesia. “Kewajiban antara pihak yang sepakat dalam perjanjian itu bersifat timbal balik dan bisa menghindari praktik pencucian uang,” lanjut Iman. Iman menegaskan bahwa perjanjian kemitraan sukarela dapat membantu menyelamatkan pendapatan negara yang hilang karena pembalakan dan perdagangan kayu liar. “Selain mendapatkan dukungan internasional, VPA juga akan meningkatkan pengakuan atas sistem verifikasi legalitas kayu yang telah dibangun.” PENGEMBANGAN USAHA KEHUTANAN MASYARAKAT Kesenjangan kesejahteraan dianggap bisa memicu kehidupan sosial yang berisiko bagi kelestarian hutan. Berdasar data Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), dari sekira 48,8 juta orang tinggal di


FOKUS sekitar maupun di kawasan hutan, 10,2 juta diantaranya tergolong miskin. Kemiskinan itu dapat dilihat dari tingkat pendapatan, akses informasi, akses pemanfaatan, serta pemanfaatan teknologi yang masih rendah. Melihat fenomena itu, “Skema perhutanan sosial merupakan alternatif solusinya,” ungkap Harry Santoso, Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan. Pemerintah telah menerbitkan PP No. 6 tahun 2007 tentang pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan di sekitar hutan. Harry menuturkan, masyarakat diberi kemudahan untuk memperoleh manfaat hutan secara optimal dan adil. “Pengembangan kapasitas serta akses itu diwadahi dengan skema perhutanan sosial, seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa serta hutan rakyat.” Untuk memastikan skema itu berjalan baik, pemerintah juga telah membuat Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Dengan izin yang dapat diberikan pada kawasan hutan produksi maupun hutan lindung itu, kelompok masyarakat bisa memanfaatkan hutan. Bentuk pemanfaatannya rupa-rupa, seperti memungut hasil hutan nonkayu, memanfaatkan jasa lingkungan atau menanam di bawah tegakan—semacam tumpang sari. Hingga 2014, ditargetkan pembangunan hutan kemasyarakatan sebesar 2 juta hektare dan hutan desa seluas 500 ribu hektare. “Peluangnya besar, namun prosedur dan legalitas adalah hal pertama yang harus dilakukan oleh kelompok pengaju,” ujar Harry. Untuk hasil hutan berupa kayu, bisa dilakukan di kawasan hutan produksi. “Ini diatur dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK-HKm),” lanjutnya. Masih kurangnya pasokan bahan baku kayu sebesar 34 juta meter kubik per tahun, menjadi peluang bagi industri hutan rakyat. “Karena menurunnya pasokan kayu dari hutan alam, hutan rakyat dapat

Godi Utama

dikembangkan untuk revitalisasi industri kehutanan nasional.” Meski aspek pengelolaan masih perlu diperjelas kembali, potensi jasa lingkungan juga berpeluang besar. Komunitas di hulu misalnya, pantas menerima insentif atas perannya menjaga hutan, sehingga manfaat jasa lingkungan dapat tersebar luas. “Insentif itu diberikan atas pemanfaatan air di komunitas hilir, misalnya.” Jasa lingkungan berupa wisata jelas dapat juga dikelola untuk menerima insentif dari setiap kunjungan. Begitu juga, penyerapan dan penyimpanan karbon yang kini menjadi primadona jasa lingkungan. PELUANG DAN TANTANGAN KAYU LEGAL Selain isu komitmen penegakan hukum dan tata kelola hutan lestari, trend pasar global yang mewajibkan keabsahan kayu juga menjadi alasan sistem verifikasi legalitas kayu. Diah Raharjo, direktur program Multistakeholders Forestry Program (MFP) mengatakan, SVLK merupakan proses menyeluruh. “Tak hanya menyangkut sektor kehutanan, tapi juga industri dan perdagangan. Multistakeholders Forestry Program dengan pendampingan SVLKnya akan membantu masyarakat berhadapan dengan tata kelola kehutanan dan skema pasar.” Saat ini, ada 650 ribu hektare hutan tanaman rakyat, 148 ribu hektare HKm dan 43 ribu hektare hutan desa di kawasan hutan produksi,

yang dipastikan berorientasi pada produksi kayu. “Nah, tipe-tipe kawasan hutan itu harus memenuhi kriteria dan standar kinerja PHPL dan SVLK sesuai tipe kawasannya,” ujar Diah, Berkat pendampingan MFP, lima hutan kelolaan masyarakat telah mendapat sertifikat legalitas kayu. Kelimanya: Koperasi Giri Mukti Wana Tirta, Lampung Tengah; Koperasi Wana Manunggal Lestari, Gunung Kidul, Yogyakarta; Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat, Wonosobo, Jawa Tengah; Gapoktanhut Jati Mustika, Blora, Jawa Tengah; dan Koperasi Hutan Jaya Lestari, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. “Lima sertifikat ini merupakan hasil verifikasi independen PT. Sucofindo International Certification Services,” tambahnya. Diah melanjutkan bahwa keberhasilan itu membuktikan SVLK sebagai penjaminan yang terpercaya, terlebih bagi usaha perkayuan kecil dan menengah yang dikelola sekelompok masyarakat. “Dari sisi pembiayaannya menjadi lebih terjangkau.” Namun, Diah juga mewantiwanti, masih banyak tantangan di depan bagi sistem verifikasi legalitas kayu. Tantangan itu antara lain keterbatasan pendamping bagi kelompok masyarakat lokal serta pengembangan kapasitas pengelola. “Legalitas kawasan dan prosedur verifikasi yang cukup rumit juga menjadi tantangan.”***

13


KABAR DARI FKKM

Rembug Nasional untuk Menjawab Tantangan Global

B

ogor, Redaksi Warta - Untuk memantapkan Kehutanan Masyarakat dan pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia, FKKM menggelar pertemuan nasional di Bogor, 6-9 September 2011. Pertemuan ini menghasilkan Dewan Pengurus Nasional FKKM periode 2011-2014 serta arahan strategis program. Berbagai hal terkait tata kelola hutan juga diulas dalam pertemuan. Kehutanan Masyarakat kini

menghadapi tantangan memasuki pasar global, khususnya dalam perdagangan kayu rakyat, yang juga memasok bahan baku bagi industri. Perkembangan global, seperti perubahan iklim, menuntut sektor kehutanan memberi andil dalam upaya penurunan emisi karbon dunia. Secara nasional, sektor ini diharapkan mampu memangkas 14 persen emisi karbon. “Pengurangan emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan di Indonesia menjadi tantangan bagi

masyarakat,� ujar Andri Santosa, wakil Sekretaris Nasional FKKM. Andri menambahkan, moratorium perizinan hutan, kebijakan sistem verifikasi legalitas kayu, bisnis ekosistem serta green enterpreneurship, turut mewarnai pengelolaan hutan berkelanjutan selama ini. “Berbagai pengalaman dalam Kehutanan Masyarakat harus diangkat dan didorong untuk satu tujuan, yaitu masyarakat sejahtera dan hutan lestari.�***

Godi Utama

Kongres Kehutanan Indonesia ke-5

J

akarta, Redaksi Warta - Kongres Kehutanan Indonesia (KKI) ke-5 diselenggarakan di Jakarta, 21-24 November 2011. Kongres ini mengevaluasi kinerja kehutanan, juga memberi pengantar tentang kelembagaan serta Garis Besar Pembangunan Kehutanan selama lima tahun ke depan.

14

Para akademisi, LSM, masyarakat, swasta dan pemerintah berkumpul bersama dan membahas usulan pembangunan isu kehutanan nasional yang dirangkuma pada GBHK. Mediasi konflik, REDD+, tata kepemerintahan, sistem verifikasi legalitas kayu, serta restrukturisasi kehutanan. Forum ini juga mengulas

kaitan kehutanan dengan energi, pangan, perubahan iklim, tenurial dan pembangunan ekonomi. Sebagai hasilnya, Kongres memilih presidium serta anggota berbasis komite. Sebagai ketuanya, bambang Sukmananto telah dipilih untuk menjalankan tugas hingga 2016.


KABAR DARI FKKM

Rapat Kerja Nasional FKKM Bogor, Redaksi Warta - Menindaklanjuti pertemuan nasional lalu, FKKM menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional, di Bogor, 28-30 November 2011. Pertemuan ini untuk merumuskan kelembagaan dan program kerja FKKM 2011-2014.Selain finalisasi statuta dan mekanisme kerja yayasan, anggota Dewan Pengurus Nasional FKKM juga memilih pejabat sekretaris nasional. Godi Utama

Lawatan Belajar ke Hutan Bantaeng

S FKKM - Sulsel

ulawesi, Redaksi Warta - Para pihak calon pengelola Hutan Desa Namo, Sulawesi Selatan, melakukan studi banding ke tiga Hutan desa di Bantaeng, Sulawesi Selatan, pada17-21 November 2011 lalu. Fasilitator FKKM Sulawesi M. Natsir Abbas mengatakan, studi banding itu untuk mempercepat proses perizinan Hutan Desa Namo. Lokasi belajar tata kelola dilakukan di Desa Labbo, Desa Pattaneteang dan Kelurahan Campaga, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Tengah.

Rapat Besar Anggota FKKM Riau

R

iau, Redaksi Warta - FKKM Riau menggelar rapat besar anggota pada 22 September 2011, untuk mengulas capaian dan pembelajaran pada kurun 20082011. Fadrizal Labay, koordinator Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) FKKM Riau periode tersebut, mengatakan, selain untuk evaluasi,

pertemuan ini sekaligus menjadi pertanggungjawaban pengurus. Menurut Fadrizal, FKKM Riau selama ini telah mendampingi masyarakat dalam tata kelola berkelanjutan, khususnya hasil hutan nonkayu, di sekitar HTI, kawasan konservasi, serta hutan adat. Hingga 2014, koordinator

DPW dijabat oleh Ana Juliarti didampingi Aiden Yusti sebagai Sekretaris Wilayah FKKM Riau. Ia mengatakan, akan memperluas jaringan Kehutanan Masyarakat di Riau. Dirinya juga akan mendorong lembaga konservasi desa dan wisata untuk keberlanjutan hutan.

FKKM - Riau

15


Andri Santosa

LATAR BELAKANG

PERAN STRATEGIS FKKM

Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) didirikan pada 23 - 24 September 1997, sebagai inisiatif bersama yang dimaklumatkan dan dideklarasikan dalam pertemuan parapihak (multistakeholders) di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarat. FKKM didirikan sebagai wadah pertukaran informasi untuk isu kehutanan masyarakat dan kebijakan kehutanan di Indonesia. Forum ini diharapkan dapat membantu merumuskan gagasan, program, dan gerakan menuju pengembangan kehutanan masyarakat di Indonesia.

1. Memperluas wilayah kelola KM dan proses belajar bersama; 2. Melakukan mediasi konfl ik-konfl ik pengelolaan hutan; 3. Mengembangkan media pertukaran informasi dan pomosi KM; 4. Memfasilitasi proses-proses perubahan kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip KM.

Kehutanan Masyarakat merupakan salah satu jawaban untuk permasalahan mendasar dalam aspek penguasaan lahan (tenurial) sekaligus untuk mengantisipasi proses pemiskinan struktural yang terjadi akibat hancurnya sumberdaya hutan. Forum ini diperlukan keberadaannya karena konsep Kehutanan Masyarakat yang dikembangkan dengan Perhutanan Sosial belum menyentuh persoalan mendasar yang diharapkan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Cara pandang yang harus diubah menjadi cara pandang baru yaitu “Kehutanan Masyarakat” yang harus diikuti dengan desentralisasi dan evolusi, dibukanya akses terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal, diadopsinya sistem pengelolaan sumberdaya hutan (forest resource management system) dan sistem pengelolaan ekosistem hutan (forest ecosystem management system).

VISI FKKM Cara pandang pengelolaan hutan masyarakat harus berdasar pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip keadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan berkelanjutan pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial-budaya.

MISI FKKM Berperan sebagai pendorong (motivator) gerakan menuju cara pandang kehutanan masyarakat di Indone- sia. Mendukung proses-proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas (capacity building), dan perumusan kebijakan.

DEWAN PENGURUS NASIONAL FKKM 2011-2014 KOORDINATOR : Christine Wulandari (UNILA) WAKIL KOORDINATOR : Dian Novarina (PT RAPP) ANGGOTA : Syamsu Alam (Pemkab Bantaeng-Sulsel), Fadrizal Labay (Pemprov Riau), Hesti Sagiri (Pemkab Buleleng-Bali), Udiansyah (UNLAM), Emi Roslinda (UNTAN), Nurul Qomar (UNRI), CP. Munoz (PT Sinarmas Forestry), IBW Putra (PT Suka Jaya Makmur), Bambang Widyantoro (APHI), Berdy Steven (SUPHEL), Wisma Wardana (CAKRAWALA), Rakhmat Hidayat (WARSI), Rustanto (SCF), Sujarni Alloy (AMAN KALBAR), Muhammad Adib (LMDH Jateng), Subhan (Forum Hutan Desa Bantaeng-Sulsel), Anwar Ibrahim (Mukim – Aceh)

PROGRAM KERJA FKKM 2011-2014 1. Memperluas Wilayah Kelola Kehutanan Masyarakat & Proses Belajar Bersama; 2. Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kehutanan Masyarakat untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat; 3. Pembaruan Kebijakan Kehutanan Masyarakat; 4. Penguatan Kelembagaan & Jaringan Kerja FKKM.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.