Warta FKKM Edisi januari 2006

Page 1

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 01, JANUARI 2006

1


WARTA FORUM KOMUNIKASI KEHUTANAN MASYARAKAT

Volume 9 Nomor 01, Januari 2006 ISSN : 1410-8550

Pemimpin Umum Didik Suharjito Pemimpin Redaksi Muayat Ali Muhshi Dewan Redaksi Haryadi Himawan Arief Budimanta Bestari Raden Nana Suparna Sih Yuniati Said Awad Redaktur Muhammad AS Tata Letak Muhammad AS Sirkulasi Totok Sadianto Alamat Redaksi Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax. (0251) 323090, E-mail: fkkm_jog@indo.net.id seknas-fkkm@indo.net.id Website : www.kehutananmasyarakat.com www.fkkm.org

Dari Kami Pembaca yang budiman, Lembaran baru awal tahun ini dibuka dengan berbagai kejadian bencana alam. Pada 1 Januari lalu, banjir badang dan longsor terjadi di Jember, beberapa hari kemudian bencana longsor terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah. Berikutnya susul-menyusul bencana serupa terjadi di beberapa daerah lain di nusantara. Korban meninggal puluhan orang, dan tak hitung kerugian harta benda. Redaksi Warta pada kesempatan ini turut berbelasungkawa sedalam-dalamnya terhadap para korban yang tertimpa bencana. Banjir dan longsor sebenarnya datang rutin saban tahun. Tapi ironisnya tak ada tindakan-tindakan pencegahan dari pemerintah. Bencana alam dianggap sesuatu yang lumrah, dan selalu mengkambinghitamkan alam sebagai biang keroknya. Padahal alam tak akan mengamuk jika manusia juga arif memperlakukan alam. Ataukah bencana memang sengaja dibiarkan, sehingga bencana bisa bisa datang setiap waktu, dan akan ada banyak uang bantuan yang bisa dikorupsi. Entahlah.

w.a.r.t.a. fkkm. Diterbitkan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), sebagai media informasi dan komunikasi antar anggota jaringan, serta masyarakat kehutanan maupun non kehutanan yang berminat terhadap masalah-masalah kehutanan masyarakat dan perubahan kebijakan kehutanan Indonesia. Redaksi mengundang para ahli, praktisi dan pemerhati untuk menulis secara bebas, kreatif, sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan tidak selalu mencerminkan pendapat dan visi penerbit. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang akan dimuat, tanpa mengubah maksud dan isinya. Kontribusi naskah atau tulisan dapat dikirimkan ke alamat redaksi melalui pos atau email.

2

WARTAFKKM VOL.9 NO.01, JANUARI2006

Redaksi


Jangan Selalu Menyalahkan Alam Oleh Muhammad AS

S

etiap tahun, banjir dan longsor hampir selalu rutin terjadi. Meski sudah menelan korban ratusan orang dan tak terhitung lagi harta benda yang hilang, pemerintah selalu menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh-temeh sambil menuduh “ alam� sebagai kambing hitam. Tuduhan itupula yang dilontarkan pemerintah ketika terjadi bencana banjir dan longor di Jember, Banjarnegara dan beberapa tempat lain di Pulau Jawa yang terjadi pada awal tahun ini. Pemerintah menganggap adalah hal yang lumrah jika di pulau berpenduduk hampir 130 juta jiwa ini rawan terhadap bencana alam karena geomorfologi tanah Pulau Jawa sangat labil, apalagi curah hujan pada saat ini turun dalam intensitas sangat tinggi. Alasan seperti ini jelas menunjukkan pemerintah tak mau bertanggungjawab atas musibah yang menimpa warga negaranya sendiri. Padahal menjadi kewajiban negara untuk melindungi mereka dari segala macam ancaman, termasuk dari musibah bencana alam. Meski bencana ini telah berkali-kali terjadi, pemerintah tak melakukan tindakan komprehensif untuk menanggulanginya. Padahal jauh-jauh hari Badan Meteorologi dan Geofisika telah memperingatkan sejumlah daerah yang rawan bencana. Mereka juga memperingatkan bakal datangnya awan cumulonimbus yang mendatangkan hujan lebih banyak dari normal. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional pun setiap bulan mengeluarkan fotofoto satelit tentang hutan yang gundul. Sayangnya, semua data tersebut seperti hanya menumpuk di meja sampai banjir dan longsor datang. Tindakan ini juga sekaligus menunjukkan pemerintah lepas tangan dengan apa yang sedang terjadi. Bahwa Pulau Jawa sudah berada dalam kondisi kritis. Bencana adalah salah satu indikatator kerusakan di kawasan hutan. Jawa yang memiliki luas 3 juta hektar, hanya memiliki 1,9 juta hektar tutupan hutan yang tersebar di berbagai propinsi. Itupun hutan yang dalam kondisi baik cuma secuil. Hutan gundul di Pulau Jawa tercatat sekitar 750.000 hektar dari seluruh kawasan Perum Perhutani yang luasnya mencapai 2,56 juta hektar.

Memang, ada kebijakan larangan menebang hutan dan kewajiban melakukan reboisasi dari pemerintah, tapi upaya tersebut seakan tak sanggup mengatasi luas hutan yang terus saja menyusut. Rusaknya hutan di pulau Jawa, tentu saja bukan karena fenomena alam. Karena faktor ulah manusia berperan sangat besar dalam melahirkan kerusakan. Di Kecamatan Pati, Kabupaten Jember misalnya, sejak beberapa tahun lalu terjadi penebangan liar. Hutan lindung di Gunung Argopuro telah berubah fungsi, luasnya tak tanggung-tanggung. Sejumlah taman nasional di Jawa Timur seperti, Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Bromo-Tenger-Semeru kondisinya tak jauh berbeda. Lebih dari separuh, kondisinya rusak akibat penjarahan liar. Banyak kawasan yang sebenarnya sangat potensial bencana juga telah berubah fungsi menjadi ladang penduduk. Tapi semua fenomena itu tak membuat pemerintah berupaya merelokasi status lahan-lahan tersebut menjadi kawasan hutan kembali. Bahkan sekedar enforcement untuk melakukan konservasi dan perlindungan terhadap lahanlahan pembuat bencana tersebut. Yang terjadi justru melakukan pembiaran. Banyak hutan lindung malah diubah menjadi hutan produksi. Padahal berubahnya fungsi hutan lindung pada kawasan dengan kemiringan 40 derajat menjadi hutan produksi akan berdampak fatal. Bersiaplah bencana akan terjadi di tempat itu. Pebangan liar yang dibeking pejabat pemerintah pun dibiarkan terus marak di seluruh kawasan hutan di pulau Jawa. Pemerintah daerah dan pusat seolah tak bisa berkutik mengatasi hal ini. Banyak dalang pembalakan liar yang diajukan Departemen Kehutanan ke meja hijau juga banyak yang lepas begitu saja oleh hakim. Bencana adalah sebuah akibat. Mengkambing hitamkan alam adalah tindakan tidak terpuji sama sekali. Karena alam tak bisa disalahkan. WARTA FKKM VOL. 9 NO. 01, JANUARI 2006

3


DOK. TIM GEOLOGI UPN

LONGSOR : Bukit Pawinihan di Banjarnegara, Jawa Tengah logsor dan menimbun puluhan rumah di Dusun Gunungraja yang berada di bawahnya

Petaka di Petak 44 C Apa yang menyebabkan longsor di Bukit Pawinihan?

D

usun itu berada di bawah Gunung Pawinihan. Sawah dan kebun terbentang di sebelah baratnya, menyatu dengan lereng gunung. Lokasinya lebih rendah dari perkampungan. Di tengah dusun terdapat Mesjid As-Sa’adah. Di ujung jalan masuk, berdiri Madrasah Ibtidaiyah (MI) “Cokro”. Jalan itu sedikit menanjak menghubungkan Dusun Gunungraja dengan Dusun Kalilunjar yang berada satu kilo meter di bawahnya. Dusun Gunungraja padat dengan rumah penduduk. Lebih dari 600 orang tinggal di dusun ini. Tapi hawa dingin yang membungkus dusun itu pada Selasa malam, 2 Januari lalu membuat siapapun engan pergi keluar rumah. Hujan baru reda sore tadi setelah menguyur tanpa henti selama tiga hari. Nasuri tinggal di RT 02 bersama istri dan keempat anaknya. Keluarga itu sudah tidur sejak sore. Rumah Slamet beberapa puluh meter dari rumah Nasuri. Slamet baru tidur pukul 12.00 malam. Slamet sudah berkeluarga, tapi masih numpang di rumah orang tuanya.

4

Tak jauh dari rumah Nasuri, ada Nana Lisnawati (13), Kislam (1,5), Rian Aridansyah (5), dan Urip (5) yang tinggal bersama Misman Suwari (60), simbah mereka. Semuanya sudah tidur. Nana, Kislam dan Rian anak Muryanto. Urip keponakannya. Muryanto dan istrinya, Mirah tak tinggal bersama mereka, keduanya merantau di Jakarta. Keheningan malam tiba-tiba pecah ketika sekitar pukul 01.00 terdengar suara sreeekkkkk dari atas bukit. “Seperti pohon kelapa di seret,” kata Nasuri menirukan. Selang setengah jam, suara itu kembali terdengar. Sreekkkkkkk… Nasuri tak bisa tidur dengan tenang. Pukul 02.30 suara itu membesar “Geleduk…geledug.. geledug…tiga sampai empat kali” Warga mendengar suara gemuruh itu. Basirun, Kepala Desa Sijeruk, terbangun ketika pagi-pagi pukul 3.15, teleponnya berdering. Dari ujung telepon, Kusmedi, kepala Dusun Gunungraja, melaporkan adanya longosan.

WARTAFKKM VOL.9 NO.01, JANUARI2006

Dengan sepeda motornya, Basirun bergegas menuju lokasi. Ia memarkirkan motornya di MI Cokro dan langsung menuju rumah Kusmedi yang tak jauh dari situ. Di rumah Kusmedi, Basirun masih sempat mendengar suara gemuruh. Basurin agak lama di tempat Kusmedi. Istri Kusmedi menyiapkan kopi dan membakar ketela di belakang. Pukul 4.15, terdengar suara adzan subuh. Penduduk Gunungraja biasa menjalankan shalat subuh berjamaah. Ada beberapa jamaah di mesjid itu, termasuk Nasuri. Selesai shalat, Nasuri bergegas ke rumah kemudian membuat kopi sambil menunggu kendaraan umum yang akan membawanya ke pasar untuk menjual salak hasil kebunnya. Tapi lama ditunggu, mobil itu tak datang-datang. Sudah setengah gelas minumannya habis. Nasuri keluar IllEGAL LOGGING : rumah ingin tahu Rakitan kayu hasil terjadi., “Saya apa yang sebenarnya illegal logging sedang tidak percaya mobil kok ga bisa lewat, ditarik tongkang di apa longsornya besar,” katanya. perairan Kapuas. (Foto Di luar beberapa orang sedang EIA) mengerombol. Nasuri menghampiri mereka.


REVISI PP 34 TAHUN 2002 “Hai, pada ndeleng gunturan yuh,(Hai, ayo lihat longsoran)” “Emoh enko bae ngenteni wis awan (Tidak mau, nanti saja nunggu kalau sudah terang),” jawab salah satu dari mereka. “Ora saiki kan wis awan (Sekarang kan sudah terang)” Mereka menolak ajakan Nasuri. Nasuri akhirnya berjalan sendirian menuju bukit. Jalanan sudah rusak. Di atas bukit, pohon-pohon sudah tumbang. “Innalilahiwainnailaihirojiun, ya Allah arep ana apa… (Innalilahiwainnailaihirojiun, ya Allah akan ada apa?),” Nasuri tak percaya dengan apa yang dilihat. Tak mau celaka, Nasuri berniat turun. Tapi sebelum itu, dia sempat mengambil daun-daun albizia yang telah tumbang. Tapi baru dapat sesenggol, tanah kembali bergetar… reg…reg…reg… “Ya allah, ya Allah kok mlaku maning…( Ya Allah, ya Allah kok jalan lagi),” Nasuri panik. “Ya Allah, ya Allah Kasihinai ya Allah, ya Allah muhammadurrosulullah..tuluuuuuung..tuluuuuung..” Nasuri buru-buru turun. Dari atas gunung, suara gemuruh terdengar lebih keras. Orang-orang mulai berlarian, ada yang sambil menangis minta pertolongan. “Tolooooong..Allahuakbar,” Pekikan tolong terdengar dari mana-mana “Toloooooooooooong” Nasuri ikut berteriak “Ayo, pada ngungsi, tolooooong..tolooooong…”. Nasuri lari ke rumah menjemput istrinya. Cucunya yang baru berumur 4 tahun digendong dengan sarung. Dalam kepanikan itu, Nasuri bertemu dengan Basirun di sekitar rumah Kusnedi. “Pripun pak Lurah, niki pengungsi ajeng pripun (Pak lurah bagaimana ini. Pengungsi harus bagaimana).” Basirun sempat panik. “Wis, aku ajeng teng kecamatan (Sudah, saya mau laporan ke kecamatan)”

PENGUNGSI: Nasuri salah satu korban bencana longsor Sijeruk Banjarnegara

WP. PHOTO/SYUKUR

Nasuri kembali lari. Dia sempat melihat kayu besar meluncur ke tengah dusun. Berton-ton-tanah dari atas bukit meluncur ke perkampungan. Suara gemuruh kian besar menyemburkan angin kencang, cahaya terang muncul dari sana. Dan....brakkkkk…. Tak ada lagi suara. Tak ada lagi teriakan orang minta tolong. Dalam sekejab, dusun seluas 4 hektar itu rata dengan tanah. Muka Nasuri terkena muncratan tanah. Nasuri sekeluarga selamat. Basirun selamat, tapi sepeda motornya tertimbun. Kusmedi dan Istinya meninggal tertimbun di rumahnya. Slamet dibangunkan ibunya pukul 04.00. Ibunya yang sudah tua sangat khawatir dengan suara gemuruh yang beberapa kali didengarnya. Tapi Slamet masih terlalu malas untuk bangun. Dia baru bangun setelah ibunya kembali membangunkan Slamet beberapa menit kemudian. Tak beberapa lama, Slamet pun mendengar getaran keras itu. Secepat kilat Slamet mengandeng istrinya, Eni Setowati dan mengajaknya lari. Slamet di depan, Eni di belakang. Tapi tak sampai 100 meter, tanah mengulung mereka. Sekujur tubuh Slamet terkubur, cuma mukanya saja yang kelihatan. Ketika Slamet melihat ke belakang, istrinya sudah terkubur. Eni meninggal. Saat suara gemuruh terdengar

keras, Misna Suwani menenangkan cucu-cucunya yang ketakutan. Suwani yang biasa pergi ke pasar Cebek jam 03.00 untuk berdagang sayur, hari itu sengaja pergi agak telat. Baru jam 05.00, Suwani berangkat. Dia meninggalkan cucu-cucunya di rumah. Tapi tak beberapa lama, suara gemuruh kian besar. Dan Brakkkk…… rumah Suwani tertimpa tanah. Nana Risnawati, Kislam, Rian Aridansyah dan Urip ikut tertimbun. Semuanya meninggal. Di Jakarta, Muryanto mendapat kabar buruk itu pukul 09.30. Maryanto bergegas pulang ke Gunungraja. Mereka sampai di lokasi pukul 19.30 malam. Di sana orang-orang sudah ramai. Jalan masuk ke lokasi ditutup. Maryanto dilarang masuk. “Mas, kalau mau menemui keluarganya nunggu di Posko saja, di balai desa” kata seseorang menyarankan. Di Balai Desa, Muryanto bertemu Suwani. Samarsamar Maryanto masih mendengar Suwani menyebut Nana…. “Alhamdullilah, masih ada yang selamat..” Muryanto sedikit tenang. “Pak nana mana?” tanya Maryanto. “Nana, urip, semuanya sudah meninggal” Muryanto mendadak lemas.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 01, JANUARI 2006

5


D

usun Gunungraja masuk wilayah administrasi Desa Sijeruk, Kecamatan Gunungraja, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Angkutan umum mickrolet jurusan Karangkobar siap mengantar penumpang dengan ongkos Rp. 3000. Mobil melewati jalan beraspal yang terawat. Balai desa Sijeruk berada di pinggir jalan raya Banjarnegara-Karangkobar. Bangunannya kini telah berubah fungsi

sebagai hutan lindung. Sebelumnya adalah hutan produksi terbatas. Tim pencari fakta yang dibentuk Pemkab Banjarnegara menemukan adanya penggundulan di puncak mahkota Gunung Pawinihan. Kebotakan atau pengundulan sebagian besar berada di bagian tengah, sementara di sisi barat masih terlihat tanaman. Pemkab menyerahkan buktibukti itu kepada Menteri Lingkungan Hidup (LH), Rachmat Witoelar.

DOK. TIM GEOLOGI UPN

REKAHAN: Tanah di puncak Bukit Pawinihan merekah sepanjang 200 meter dengan kedalaman 2 meter. Rekanan diduga memicu terjadinya longsor

menjadi Posko Satuan Pelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP). Semua kebutuhan pengungsi dipasok dari posko ini. Nama posko tertera pada papan putih yang terpancang di depan bangunan. Di ruang utama terpajang berbagai informasi perkembangan bencana : foto-foto aktivitas evakuasi; daftar nama para korban dan pengungsi; sketsa longsoran; dan beberapa peta. Posko mencatat korban meninggal 76 orang, 13 orang hilang dengan jumlah pengungsi 581 orang. Total kerugian mencapai lebih dari 6,04 milyar Banyak surat kabar menulis, longsor terjadi karena gundulnya hutan di puncak Gunung Pawinihan akibat pembalakan liar. Lokasi longsor berada di petak 44 c Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Siweru, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Karangkobar, KPH Banyumas Timur. Pada 2004, pemerintah menetapkan kawasan ini

6

Tapi selang beberapa hari kemudian, Wakil Bupati Banjarnegara, Hadi Supeno meralat laporan mereka. Hadi yang juga Ketua Satlak PBP mengaku telah memberikan laporan keliru ke pemerintah pusat. ‘’Hari ini saya luruskan pernyataan sebelumnya. Jadi tidak benar ada pembalakan hutan di sana. Tim investigasi yang saya terjunkan telah membuat kesimpulan yang salah,” ungkap Hadi Supeno (Republika). Saya sendiri sempat naik ke atas bukit itu. Ada jalan setapak menuju bukit, jalannya agak licin. Satu jam naik sudah membuat napas mau putus. Bekas longsoran terlihat lebih jelas dari sini. Tanahnya membelah dari puncak bukit membentuk jurang yang dalam. Sumber longsoran ini tak bisa dilihat dari perkampungan karena letaknya yang berada di balik bukit. Tak banyak pohon tumbuh, hanya ada beberapa pohon Rasamala tumbuh besar di beberapa tempat. Bukit itu

WARTAFKKM VOL.9 NO.01, JANUARI2006

lebih banyak ditumbuhi tanaman jenis rumput gajah, pisang, salak, kaliandara atau albizia. “Di bekas longsoran itu hanya ada tiga atau empat pohon saja,” kata Yayan, pemuda asal Gunungraja. “Saya tahu persis karena saya sering ke sini,” “Yang longsor seperi itu loh” Yayan menunjuk arah puncak bukit yang pohon-pohonnya sudah jarang. “Saya ngak tahu kenapa, setahu saya sejak dulu juga sudah begitu kondisinya.” Di atas bukit itu, saya bertemu dengan Yayan secara kebetulan. Yayan muncul sambil memangul gergaji besar di pundaknya bersama Misah, kawan sekampungnya. Misah memegang golok. Keduanya masih remaja. “Rencananya saya mau menebang kayu albizia, tanaman saya yang sudah besar,”. Begitu komentar Yayan ketika ditanya mengapa dia membawa gergaji besar. “Tapi kayu itu ternyata sudah dicuri orang”. Kepada saya, Yayan mengaku baru hari itu dia berani kembali naik ke bukit setelah kejadian longsor pada Rabu pagi. Sehari sebelumnya, Yayan masih sempat menanam Kapulogo di tempat ini. Menurut Yayan sejak tahun 2000, banyak warga menanam tanaman seperti kaliandara, rumput gajah, kapulogo, salak, albizia di bukit ini. “Sebetulnya juga tidak diizinkan, tapi warga ingin seperti daerah lain yang diperbolehkan masuk mengelola hutan”. Dusun Sijeruk tak masuk dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang diluncurkan Perhutani pada tahun 2001. Dulu warga masuk ke hutan ini hanya nunut menanam kaliandra dan rumput gajah di sela-sela tanaman kayu untuk pakan ternak-ternak mereka. Sekarang, warga juga mengambil batang dan ranting Rasamala. “Tapi warga tak pernah menebang kayu Rasamala, soalnya dilarang Perhutani. Orang sini masih takut,


REVISI PP 34 TAHUN 2002 mencari kayu bakar yang kecil-kecil saja bila ketahuan petugas Perhutani masih lari.” KPH Banyumas Timur mencatat pencurian kayu marak terjadi di kawasan hutan pinus petak 60C Desa Mlaya, petak 60F Desa Tlaga, dan petak 62 62G Desa petuguran, Kecamatan Pugeran, Banjarnegara. Penjarahan juga terjadi di hutan pinus di Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara. Tapi di lokasi longsor yang berada di Petak 44 C, tak ada data yang menyatakan bahwa di lokasi itu gundul akibat pencurian. Di buku risalah tahun 1999 milik Perhutani, petak 44 C tertulis hutannya lebat, agak murni dengan tanaman Rasamala tahun 1931. Tumbuhan bawahnya rapat: kerinyu, pugeran dan lain-lain. Buku risalah adalah buku manual Perhutani yang memuat segala tetek bengek kondisi hutan di setiap unit pengelolaan hutan (petak). Jenis tegakan, tanah, tumbuhan bawah, kerapatan dan sebagainya semuanya tercatat dengan baik di buku tebal, besar bersampul coklat ini.

WP. PHOTO/SYUKUR

MISKIN TANAMAN : Tanaman yang berada di Bukit Pawinihan sangat jarang

Saya beruntung bisa melihat isi buku itu atas jasa baik seseorang yang bekerja di Perhutani KPH Bannyumas Timur. Maklum, setelah kejadian longsor di Sijeruk, beberapa instasi yang berwewenang sangat pelit dimintai keterangan. Hadi juga tak pernah mendapat laporan tentang adanya penebangan liar di Gunung Pawinihan. Makanya ketika saya menemui di kantornya, dia sempat tersinggung ketika ditanya soal ini. “Yang ngomong illegal logging siapa. Koran-koran itu merasa gagah kalau ngomong kayu menyebut illegal logging”. Tapi Hadi tak menampik adanya kerusakan di Pawinihan. Kerusakan itu, menurutnya, berada di sebelah selatan, bukan di lokasi yang mengalami longsoran. Pada 7 November lalu ada angin lisus yang menyebabkan ratusan pohon pinus yang banyak tumbuh di lokasi tersebut tumbang. “Ini yang menimbulkan praduga, kok banyak sekali kayu pinus numpuk.” Hadi juga tak membantah di lokasi longsor banyak ditanami pohon pisang dan tanaman pertanian lainnya oleh penduduk sekitar sehingga fungsi hutan lindung di Petak 44c berkurang. Hadi mengusulkan agar seluruh kawasan hutan di Gunung Pawinihan dijadikan hutan lindung, bukan hutan produksi ataupun hutan produksi terbatas. “Tapi saya hanya mengusulkan. Saya tidak punya hak. Itu terserah Perhutani dan Departemen Kehutanan, karena Perhutani masih wewenang Pemerintah Pusat. Saya mengusulkan gitu loh. Nah terserah Dephut. Ini usul saya pribadi”.

K

ejadian longsor di Gunungraja, Banjarnegara merupakan yang terbesar di Jawa Tengah sejak 40 tahun terakhir. Departemen Energi dan Sumberdaya Alam Mineral, menempatkan Banjarnegara sebagai derah rawan bencana. Dari 20

kecamatan, 8 diantaranya bertanda merah. Kecamatan Banjarmangu termasuk yang bertanda merah. Gunung Pawinihan tingginya sekitar 200 meter. Kelerenganya sangat curam. Di bagian atas sebelah timur kemiringannya mencapai lebih dari 45 derajat, dan di bagian bawah mencapai 35 derajat. Di lereng tersebut dijumpai beberapa alur-alur air yang bercabang. Beberapa waduk alami pernah ditemukan di bagian atas gunung yang terbentuk batang pohon tumbang dan batuanan. Setiap delapan atau sepuluh tahun sekali ada saja longsoran-longsoran kecil. Warga Gunungraja sering mendapati lumpur hasil longsoran pada tanaman-tanaman mereka. Tapi bencana longsor yang menimpa mereka pada Rabu pagi adalah yang terbesar. “Dari simbah saya sampai generasi saya yang ke-8 belum pernah terjadi longsoran sebesar itu,”kata Basirun. Warga juga tak percaya longsor akan menimbun rumah-rumah mereka. Jarak lereng gunung dengan dusun cukup jauh, sekitar 300 meter, terpisah sawah dan kebun. Perkiraan mereka, longsor hanya akan menimbun sawahsawah dan kebun salak mereka. Tapi dugaan itu salah. Tanah dari atas seperti meloncat dan menimbun rumah-rumah mereka. Basirun tak tahu persis apa penyebab longsor yang menimpa desanya. Dia hanya tahu bahwa diatas bukit Gunung Pawinihan sudah ada retakan. Dua bulan lalu, Basiun mendapat laporan adanya retakan ini dari seorang mandor Perhutani yang bertugas di Gunung Pawinihan. Retakan itu mencapai lebih dari 100 meter dengan kedalaman 2 meter. Tanahnya amblas. Retakan berada di sekitar tanaman kaliandra dan pohon pisang. Sebulan terakhir banyak pohon sudah miring. Kabar adanya retakan itu juga sudah lama diketahui penduduk. Mereka sering melihatnya pada saat mencari rumput untuk ternak-ternak mereka di bukit.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 01, JANUARI 2006

7


Tapi mereka memandangnya dengan biasa. Para pakar telah datang ke lokasi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Gunung Pawinihan. Saya mendatangi beberapa di antara mereka untuk memperoleh informasi bagaimana longsor di Gunung Pawinihan ini bisa tejadi. Benarkah ini fenomena alam biasa? Ataukah ada campur tangan manusia sehingga longsor yang merengkut puluhan nyawa warga Gunugraja itu bisa terjadi. Para pakar berpendapat bahwa kondisi alam setempat yang berupa perbukitan dengan tingkat kemiringan tinggi dan struktur tanah serta batuannya lunak disertai curah hujan yang tinggi telah menyebabkan terjadinya longsor di Gunung Pawinihan. Tanah di Gunung Pawinihan merupakan hasil dari pelapukan breksi piroklastik yang mengandung partikel pasir halus, lanau dan sedikit berlempung. Pada daerah dengan curah hujan tinggi, seperti di Gunung Pawinihan, jenis tanah seperti ini akan dengan mudah lapuk dan berubah menjadi bubur. Rekahan yang terjadi di atas bukit semakin memudahkan air masuk dan akan memicu longsor terjadi lebih cepat. “Saya pernah mencoba siram dengan aqua, itu saja sudah gugur. Itu menunjukkan kekompakannya sudah berkurang”. kata Andi Sungkowo. Andi adalah ketua Tim Teknik Lingkungan Kebumian dari Fakultas Teknologi Mineral UPN Jogjakarta yang ditunjuk Pemda untuk mengkaji lokasi mana yang paling aman untuk relokasi penggungsi. Ketika saya datang ke ruangnya di UPN, Andi mengajak saya ke studionya. Studio itu sebuah rumah berlantai dua dengan tata ruang yang agak berantakan. Di ruang utama, ada meja kayu agak panjang yang penuh dengan buku dan kertas kerja. Studio ini biasa dipakai Andi berdiskusi bersama koleganya yang menaruh minat di geologi lingkungan.

8

Andi becerita kepada saya, untuk melakukan tugasnya, timnya sampai harus memboyong laboraratorium tanahnya ke lokasi. Mereka mengamati puluhan sempel tanah. Bila tak puas, mereka mengambil sempel lagi, sampai-sampai hotel tempat mereka menginap kotor tidak karu-karuan. Andi berpendapat longsor yang terjadi di Gunungraja adalah proses alamiah. “Dimanapun jika kelerengannya terjal, batuannya semakin lapuk, dan curah hujannya tinggi, dia akan longsor, di manapun akan begitu”. Curah hujan di Gunung Pawinihan memang sangat lebat. Pada musim penghujan, nyaris tak ada hari tanpa hujan dalam sebulan. Hujan bisa turun sepuluh jam dalam sehari. Pada bulan Januari tahun ini, saat dimana longsor terjadi, curah hujannya mencapai 50 milliliter per hari. Ini sama artinya dengan menuangkan 50 liter air ke dalam wadah 1 meter persegi. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Siweru mencatat, curah hujan di Pawinihan pada 2005 tercatat 783,8 milimeter per tahun, tapi pada 2004

Basirun tak tahu persis apa penyebab longsor yang menimpa desanya. Dia hanya tahu bahwa diatas bukit Gunung Pawinihan sudah ada retakan

angkanya lebih tinggi hingga 892,0 milimeter per tahun. Saya heran, jika curah hujan memicu terjadinya longsor, kenapa longsor justru terjadi di tahun 2006, bukan di 2004 yang curah hujannya lebih tinggi?. Pudjo Hatmodjo, Kepala BMG Siweru Banjarnegara menjelaskan kepada saya bahwa curah hujan hanya menjadi salah satu penentu terjadinya

WARTAFKKM VOL.9 NO.01, JANUARI2006

longsor. Ada faktor lain yang ikut menentukan. Diantaranya, keadaan geografis seperti kelengan yang terjal, kemiringan, jenis tanaman, getaran, dan perlakukan lahan. Faktor kelengan yang terjal adalah faktor tetap, karena itu bukan buatan manusia, itu buatan alam. Bagaimana dengan getaran? Pada saat terjadi longsor, BMG memang menangkap adanya getaran, tapi mereka tak dapat memastikan apakah getaran itu gempa ataukah longor. “Untuk memastikannya sedikitnya butuh tiga stasiun, sementara kita hanya punya satu,” ujar Pudjo tentang kelemahan sistem gempa yang dimiliki BMG Siweru. “Saya tak dapat memastikan mana yang paling berpengaruh. Yang saya lihat lahan di sana memang sudah digarap masyarakat dengan pisang dan sebagainya. Pola hujan yang jatuh dengan satuan besar bisa membuat tanah menjadi jenuh. Karena tanah tidak ditopang oleh tanaman yang memadai maka terjadilah longsor,” jelas Pudjo. Tim Geologi Unsoed yang datang tiga hari setelah longsor semula menduga longsor lebih dipicu oleh faktor alam. Tapi setelah mereka mendatangi BMG untuk mendapatkan data curah hujan kesimpulan mereka berubah. “Curah hujan tahun 2004 ternyata lebih tinggi, tapi kenapa tidak longsor. Berarti pasti ada apa-apanya di atas bukit,” ujar Guntur Suwardi. Ia mencurigai jarangnya vegetasi di atas bukit ikut menyebabkan proses pelapukan tanah terjadi lebih cepat. Guntur adalah salah satu anggota dari Tim Geologi Unsoed. “Proses terbentuknya bubur semakin lama kemungkinannya semakin besar, karena proses batuan induknya akan semakin gampang lapuk. Cara melindunginya ya menutup dengan vegetasi, tidak ada jalan lain. Supaya air yang masuk melalui pori-pori menjadi air betul dan sebagain yang tak tertampung menjadi air permukaan atau run-off. Itu saja. nggak bisa donk alam disalahkan,” kata Guntur.


DOK. TIM GEOLOGI UPN

REVISI PP 34 TAHUN 2002

TENDA PENGUNGSI: Tenda pengungsian telah dibangun di sekitar lokasi longsor di Sijeruk. Sekitar 30 Kepala Keluarga tinggal di tenda ini.

Tentang pengaruh vegetasi ini saya mendatangi Jurusan Konservasi Fakultas Kehutanan UGM. Mereka juga telah datang ke lokasi untuk melakukan hal yang sama dengan para pakar lain. Mereka menegemukakan bahwa pemotongan lereng yang terjadi di sekitar lokasi bencana telah memicu terjadinya erosi mundur. Pemotongan lereng yang dimaksud bisa berupa sawah, kebun atau jalan di kaki lereng.Meskipun pengaruhnya sangat lama, tetapi ini akan mengganggu stabiltas lahan sehingga menyebabkan erosi mundur. Seperti gundukan pasir yang gugur akibat anak kecil membuat mainan gua di bagian bawahnya. Sri Astuti Soedjoko, salah satu dosen yang ikut melakukan kajian ini mengatakan, longsor di Gunung Pawinihan merupakan akibat terganggunya vegetetasi yang menutup lahan Gunung Pawinihan. Jarangnya tanaman berkayu seperti Rasamala dan munculnya tanaman pisang merupakan indikasi vegetasi di sana sudah berubah. “Tanaman pisang itu bisa hidup di daerah rembesan air. Kalau pisang sudah ada di sana, berarti sudah banyak rembesan, padahal rembesanrembesan yang muncul belakangan merupakan tanda-tanda akan longsor,” kata Tuti.

P

asca longsor, Gunungraja mendadak menjadi tempat “wisata”. Banyak orang dari luar Banjarnegara berduyun-duyun datang ke Gunungraja hanya sekedar untuk melihat longsoran. Tenda pengungsi telah didirikan di atas tanah lapangan, sekitar setengah kilo meter dari lokasi bencana. Mushola berdinding seng sedang didirikan di sebelahnya. Ada sekitar 30 kepala keluarga yang menempati tenda pengungsian ini. Mereka adalah para korban longsor yang kehilangan sanaksaudara dan rumah-rumah mereka. Menjelang sore anak-anak bermain di sekitar tenda. Berlari-larian, bermain petak umpet. Kadang menari bersama relawan yang datang mendampingi mereka. Tapi, banyak warga yang masih troma. Mereka mudah marah. Bila ada truk menuangkan material dan menimbulkan getaran, warga panik, berlari ke luar tenda. Mereka sangat ketakutan. Suatu sore, saya berkunjung ke tenda pengungsian ini. Saya dipersilahkan masuk ke tenda Slamet. Tenda itu berukuran 3 x 3 meter. Tingginya 1,5 meter. Di lantai, terbentang tikar berwarna putih. Kasur di pojok. Ember hitam di pojak lainnya. Lampu neon mengantung di tiang

tenda. Di bawahnya stop kontak warna putih menempel. Slamet, Nasuri, Muryanto, Sumirah, Sujeri, Siswadi, dan Madun, sedang berkumpul di situ. Slamet berbaring di kasur, Sumirah duduk di sampingnya. Yang lain duduk lesehan di dekat pintu masuk. Membuat lingkaran. “Ya jadi pengungsi seperti ini, makan juga tidak terasa enak.” kata Nasuri mengomentari suka dukanya hidup di pengungsian. “Tapi lebih enak di sini, daripada numpang di rumah orang. Tidak bebas” Tak banyak yang bisa dilakukan Nasuri di tempat pengungsian. Seperti juga yang lain, Nasuri lebih banyak bengong, tak melakukan apaapa selain menungu rumah yang dijanjikan pemerintah yang letaknya tak jauh dari tenda pengungsian. “Makanya aku kadang judeg, ya neng kene kesuwen, (makanya saya kadang stres, kalau lama-lama di sini),” Muryanto yang kehilangan semua anaknya merasa sangat terpukul atas bencana yang menimpa keluarganya. “Ya macam kita mas ya, yang tertimpa musibah bukan kita sendiri, cuman kalau ingat anak, semua hilang, semua meninggal, waduh rasaya.. “ ujar Maryanto sembari mulutnya mengecap. Saat Muryanto menceritakan ini, isrtinya, Sumirah hanya terdiam. “Saya pikir kalau kita menangis juga ga akan kembali kalau kita ga cepat-cepat kontrol. Ya macam istri saya, kalau ingat, nangis. mojok nangis. Ga ada lagi gunanya saya hidup. Cuma untuk ke depannya kita masih bingung, kita juga mau kerja ngapain, anak juga sudah ga ada. Selama ini kita kerja kan buat anak. “ Di luar matahari sudah menyingkir ke barat. Hari mulai gelap. Saya pamit. Nasuri, Slamet, Sumirah, masih berkumpul mengomentari kehidupan mereka di tenda pengungsian. MUHAMMAD AS

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 01, JANUARI 2006

9


KOLOM

Menyelamatkan Ekosistem Ja

B

elum selesai polemik banjir bandang Pacet yang terjadi beberapa tahun lalu, kini di Pulau Jawa muncul banjir bandang di Jember, disusul kemudian tanah longsor di Banjarnegara yang merenggut nyawa 76 meninggal dan 13 tidak terevakuasi. Rentetan bencana di Pulau Jawa itu menambah deretan panjang kesalahan paradigma pengelolaan ekosistem di pulau berpenduduk hampir 130 jiwa ini. Bencana alam yang terjadi di Jawa merupakan kejadian atas kelalaian manusia, bukan murni karena kejadian alam yang mampu dikontrol oleh manusia. Perhutani dan PT Perkebunan Nasional (PTPN) harus menyadari bahwa ada “sesuatu� dibalik terjadinya bencana tersebut. Hampir semua bencana alam yang terjadi di Jawa masuk dalam kawasan yang dikelola oleh Perhutani dan PTPN. Banjir bandang di Pacet dan Jember, tanah longsor di Banjarnegara, merupakan kejadian yang harus diterima secara “legowo� oleh Perhutani karena terjadi di kawasan yang dikelolanya. Bencana tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba akan tetapi ada latar belakang sejarahnya dan mengapa Jawa terus menerus dilanda bancana? Jawabannya jelas ada perubahan ekosistem di Jawa. Perubahan Ekosistem Jawa yang terjadi beberapa abad lalu kini telah memetik hasilnya. Paradigma timber ekstraction menuju timber management tidak mampu untuk mengatasi gejala alam yang ada. Berabad-abad yang lalu tidak ada masalah terhadap persoalan ekosistem di Jawa. Selain karena jumlah penduduk di Jawa tempo dulu sangat rendah jika dibandingkan dengan sekarang, kawasan hutan serta pegunungan tidak banyak yang beralih fungsi. Beralih fungsinya kawasan hutan di Jawa dimulai sejak VOC melakukan eksploitasi alam di Jawa dengan mendirikan perkebunan-perkebunan di daerah kawasan hutan. Selain itu juga berdiri Bosch Wezen perusahaan milik kolonial yang melakukan eksploitasi hutan alam di Jawa. Diangkatnya Laksamana Angkatan Laut Herman Willem Daendels tahun 1808 sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda membawa dampak terhadap perubahan ekosistem di Jawa. Berdirinya Djatibedrijfs pada masa itu, semata-mata bertujuan untuk mencari keuntungan dari hutan Jawa yang bisa di petik oleh pemerintah kolonial.

10

WARTAFKKM VOL.9 NO.01, JANUARI2006

Kerajaan Belanda tidak dapat melepaskan kenyataan bahwa kayu Jati di Jawa merupakan komuditas yang amat penting untuk membangun perekonomian nasional. Kayu Jati menjadi bahan baku untuk industri kapal di Amsterdam dan Rotterdam telah rusak karena dieksploitasi selama 150 tahun oleh VOC. Digantinya Daendels oleh Thomas Stamfofford Raffles tahun 1811 ternyata belum mampu juga untuk merehabilitasi kawasan hutan. Meskipun Daendels telah meletakkan tonggak dasar pengelolaan timber management dengan melakukan moratorium penebangan hutan Jati. Baru kemudian pada tahun 1849 didatangkan tim ahli kehutanan dari Jerman untuk menata hutan sesuai yang digariskan oleh Daendels. Tim itu terdiri dari dua sarjana kehutanan berkebangsaan Jerman disertai dengan seorang ahli kadester (ukur tanah), juga dari Jerman. Dua sarjana kehutanan dari Jerman tersebut bernama Mollier dan Neimich. Yang menarik dari tim ini adalah menganut mazhab yang berbeda: Mollier menganut mazhab timber management yang memang waktu itu hutan merupakan kawasan yang dapat dikelola untuk mendatangkan keuntungan terlebih lagi pemerintah kolonial yang mempunyai kepentingan di negara jajahan untuk melakukan eksploitasi hutan dengan management baru tetapi hasilnya berkelanjutan. Neimich mempunyai mazhab konservasi, ia beranggapan bahwa hutan di Jawa merupakan penyangga ekosistem pulau yang sangat rentan dengan perubahannya. Oleh karena itu ekosistem di Jawa harus tetap di Jaga agar tidak terjadi perubahan kondisi alam yang drastis. Argumentasi ini didasarkan bahwa di Jawa banyak sekali terdapat gunung-gunung berapi sebagai penyangga ekosistem pulau. Proposal Mollier akhirnya diterima oleh Van den Bosch selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penerimaan ini jelas sangat beralasan jika paradigma yang digunakan mengelola hutan Jawa adalah timber management maka pemerintah kolonial tetap akan mempunyai keuntungan yang besar karena hutan Industri khususnya Jati mempunyai pasar yang cukup tinggi di Eropa. Belum lagi hasil hutan non kayu seperti Gondorukem, terpentin dan lak yang juga mendapat tempat di pasar Eropa.


awa Konsekwensi logis dari pelaksanaan proposal Mollier adalah dilakukanannya langkah-langkah strategis guna mendukung pengelolaannya. Tahun 1892 terbentuklah organisasi teritorial kehutanan, Houtvesterij dan Djatibedrijfs (Perusahaan Jati), yang metamorfosisnya sekarang adalah Perhutani. Baik pada masa Houtvesterij, Djatibedrijfs dan Perhutani paradigmanya sama yaitu; timber management. Maka mulailah terjadi perubahan mendasar terhadap ekosistem pulau Jawa. Sehingga sekarang kita sudah tidak mengenali ekosistem asli pulau Jawa ini, sebagai contoh yang nyata jika kita pergi ke daerah pegunungan maka yang nampak adalah jajaran hutan pinus. Padahal jika kita lihat referensi lama tanaman pinus bukan tanaman dari Jawa melainkan dari tapanuli. Artinya ada yang merubah ekosistem hutan di pegunungan lantas siapakah mereka? Jika ekosistem hutan berubah maka yang lain juga berubah. Satwa liarnyapun juga berubah. Masyarakat di sekitarnyapun juga berubah. Tak heran jika kita melihat daerah pegunungan masyarakat kita memilih menjadi buruh-buruh perkebunan serta melakukan perubahan kawasan hutan karena keterdesakan lahan. Lahan-lahan yang subur yang sebelumnya dapat mereka kelola sekarang mereka mencari kawasan baru selain kawasan yang ditetapkan sebagai kebun dan hutan oleh pemerintah kolonial dan terjadilah konflik pengelolaan antara pihak pengelolan dengan masyarakat sekitar hutan. Bahkan konflik ini sampai sekarang belum selesai. Paradigma timber management tersebut akhirnya terjawab ketika tidak mampu untuk mengikuti perkembangan zaman. Penduduk pulau Jawa terus bertambah, sedangkan kawasan yang ditetapkan sebagai hutan relatif tetap sejak zaman kolonial. Dan masyarakat belum terlibat secara maksimal dalam pengelolaan hutan di jawa. Tak heran jika kerusakan hutan di Jawa pemicunya menjadi bermacam-macam. Ledakan penduduk, penjarahan hutan, karena dari awal paradigma yang dibangun adalah timber manegement. Baru ketika bencana alam di seluruh tanah Jawa menjadi hal yang biasa maka terkesan saling menyelahkan dan tidak pernah berfikir penyelesaiannya secara komperehensif.

OLEH : IMAM MUDHOFIR Ketua Komisi Lingkungan Hidup PB HMI (MPO)

Seandainya Van den Bosch memilih proposal Neimich untuk membangun kawasan hutan, maka kondisi alam di Jawa tidak seamburadul sekarang. Apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh Daendels, Reffles, serta Van den Bosch. Jika dulu mereka mengubah ekosistem dengan pembangunan jalan raya AnyerPanarukan yang mengalih fungsikan Mangrove sebagai kawasan jalan serta cultuurstelsel yang mengalihkan kawasan pegunungan sebagai perkebunan diulangi lagi oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan pembangunan jalan tol, pemukiman, serta industrialisasi yang tidak mengindahkan ekosistem sebagai penyangga pulau. Malahan pemerintah kolonial lebih baik karena punya tanggung jawab untuk membangun hutan kembali akibat eksploitasi oleh VOC selama 150 tahun. Dari fenomene tersebut maka pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan Ekosistem Jawa beserta penghuninya. Pertama, paradigma pengelolaan timber management harus diganti menjadi paradigma yang lebih berpihak kepada kepentingan konservasi. Kedua, perhutani dan perkebunan harus lebih mementingkan kepentingan konservasi kawasan daripada hasil. Ketiga, melakukan pelibatan aktif masyarakat yang didukung dengan UU, PP, maupun SK menteri tentang pelibatan masyarakat dalam mengelola kawasan hutan. Sehingga persoalan konservasi kawasan menjadi persoalan seluruh penghuni pulau Jawa jika tidak ingin pulau Jawa tenggelam dalam bencana. Keempat, perkebunan dan perumahan dikawasan pegunungan harus mendukung usaha ke arah ini, jika tidak pemerintah harus menjatuhkan sangsi secara tegas. MS Ka’ban selaku Menteri Kehutanan serta Transtoto Handadari sebagai direktur Perhutani harus legowo menerima kondisi ini. Hutan di Jawa bukan lagi untuk mengejar hasil yang maksimal seperti zaman Daendels tetapi lebih pada penjaga ekosistem pulau Jawa. Tetapi jika mereka tetap “ngeyel” untuk mengeksploitasi hutan Jawa maka persiapkan saja tim SAR, medis, obat-obatan dan barak penampungan yang memadai setiap tahun. Karena alam di Jawa semakin “marah”.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 01, JANUARI 2006

11

Tulisan ini dibuat atas permintaan Menteri Kehutanan I, dan Sofyan


BERITA

BERITA

Ditengah hujan bencana, Jatah Tebang Perhutani naik tahun ini.

Jatah Perhutani Naik

J

umat malam 13 Januari lalu berlangsung rapat antara Perhutani, Pemerintah Daerah dan Pejabat Dephut. Rapat mengagendakan pembahasan Jatah Produksi Tebangan (JPT) Perhutani. Perhutani usul JPT mereka dinaikkan tahun ini. Rapat berlangsung alot. Pemerintah daerah tampaknya tidak suka dengan usul ini. Apalagi bencana yang menelan korban puluhan nyawa baru saja terjadi di sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Tapi Perhutani terus melakukan lobi dan menjelaskan pentingnya kenakan JPT bagi mereka. Lama. Wakil pemda pun melunak. Rapat yang berlangsung hingga tengah malam itu akhirnya menyepakati JPT Perhutani tahun ini naik. Dari semula 739.487 meter kubik menjadi 960.000 meter kubik. Perhutani tentu senang dengan hasil rapat itu. Angka itu berarti tak jauh berbeda dengan angka yang dipatok perusahaan. Target produksi Perhutani tahun ini sekitar 980.000 meter kubik. Jika tahun ini dapat 960.000 meter kubik, berarti cuma selisih 20.000 meter kubik saja. Tapi ini keputusan panas. Sebelumnya, ada perintah dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan moratorium penebangan hutan di Jawa. Menteri Kehutanan, MS Kaban telah diminta mengatur dan membuat perencanaannya. Ide moratorium ini memang menyeruak setelah serangkaian bencana terjadi di pulau Jawa. Awal tahun ini banjir badang terjadi di Jember dan menelan korban puluhan nyawa. Tak beberapa lama, longsor terjadi di Banjarnegara. Bencana serupa terjadi di sejumlah wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bencana alam di pulau

12

GUNDUL : Bukit-bukit di Wonosobo gundul dan telah beralih fungsi menjadi perkebunan kentang WP. PHOTO

DOK TELAPAK/IEA

berpenduduk hampir 130 jiwa ini terjadi setiap tahun. Sejak tahun 1993 – 2003 tercatat ada 26 kejadian. Di Jawa Timur, selama tahun 2005 terjadi sedikitnya 17 bencana banjir dan longsor yang menewaskan 14 orang. Bencana yang terus menerus terjadi di Pulau Jawa ditengarahi karena gundulnya hutan di pulau ini. Departemen Kehutanan menyebutkan, dari sekitar 12 juta hektar lahan di Jawa, tutupan hutan yang ada cuma

WARTAFKKM VOL.9 NO.01, JANUARI2006

25 persennya saja. Itupun hutan yang kondisinya baik cuma secuil. Perhutani mengelola hutan di Jawa seluas 2,56 juta hektar atau 22 persen dari luas daratan pulau Jawa. Seluas 1.85 juta hektar berupa hutan produksi. Sekitar 700.000 hektar berada di kawasan hutan lindung. Kaban mengatakan moratorium sudah berjalan di Jawa. Namun kebijakan ini hanya berlaku untuk hutan alam sementara untuk hutan produksi tidak berlaku “ Karena kalau ditebang ya rugi,” kata Kaban. Transtoto Handhadari, direktur utama Perum Perhutani mengatakan, bencana alam yang terjadi di pulau Jawa tak ada kaitannya dengan kenaikan produksi kayu. Apalagi yang dibabat adalah kayu dari hutan produksi. Penguasa hutan Jawa itu menyatakan, bencana yang terjadi akhir-akhir ini tak akan membuat Perhutani melakukan moratorium penebangan hutan. “Tak ada moratorium penebangan hutan,” katanya. MUHAMMAD AD (AI)


Pengadilan Negeri Dompu memperkarakan PHBM di Hutan Lindung SoNcandu dan So Lembo Kabupaten Dompu, NTB. Izin Menteri Kehutanan dipersoalkan.

Terjerat PHBM SoNcandu

M

uhidin Maman, 34 tahun, duduk di kursi pesakitan. Di Pengadilan Negeri Dompu, pria itu khusuk mendengarkan tuntutan jaksa. Jaksa mendakwa Muhidin bersalah lantaran masuk hutan lindung di So Ncandu di Kabupaten Dompu, NTB tanpa izin. Jaksa menjerat Muhidin melanggar Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat 1. Ancaman hukumannya cukup berat, bisa dipenjara 10 tahun atau denda 5 milyar. Polisi menangkap Muhidin pada 10 September tahun lalu di kawasan hutan So Ncandu yang masih masuk kawasan hutan Soro Mandi Register Teknis Kehutanan (RKT) 55, Desa Matua, Koja, Dompu. Hutan Soro Mandi termasuk hutan lindung. Ketika polisi datang, Muhidin sedang melihat-lihat jambu metenya. Di situ ada pondok kecil milik Muhidin. “Siapa yang menggarap lahan ini?”tanya salah satu anggota polisi kepada Muhidin “Saya yang menggarap,” jawab Muhidin. Polisi lalu membawa Muhidin ke kantor kecamatan dan menyita parang bengkok (cila mboko) dari pondokannya sebagai barang bukti. Muhidin mengarap lahan tersebut sejak tahun 1999. Di hutan lindung tersebut Muhidin menanam berbagai tanaman palawijo dan jambu mete. Sekitar 700 kepala keluarga juga melakukan hal yang sama di kawasan seluas 750 hektar itu. Awalnya sempat dilarang. Pemda Kabupaten Dompu beberapa kali melakukan razia untuk mengeluarkan warga dari sana. Sampai dengan tahun

GUBUK : Sebuah gubung kecil berdiri di tengah areal hutan. WP. PHOTO

2002, tercatat sudah 15 kali dilakukan operasi keamanan. Selama tahun itu, tiga orang petani sudah ditangkap. Buntutnya, sekitar 542 petani yang berasal dari 9 desa melakukan aksi demonstrasi ke DPRD Dompu. Mereka menuntut pembebasan para petani dan pemerintah memberikan hak pengelolaan kawasan So Ncandu kepada warga. Tuntutan warga dikabulkan ketika di tahun 2002 Pemda Dompu mengeluarkan Peraturan Dearah No. 18 tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Di kawasan hutan lindung So Ncandu dan Solembo, Pemda Dompu mencadangkan areal seluas 750 hektar untuk program ini. Warga boleh mengelola lahan tersebut asal mereka tidak menggunakannya untuk tempat tinggal dan membangun perkampungan. Warga juga dilarang memiliki lahan tersebut. Namun keadaan kembali berubah ketika pada September 2005, Dinas Kehutanan Dompu kembali melakukan razia di kawasan tersebut. Sampai

dengan Desember 2005, sudah 69 petani yang ditangkap, termasuk Muhidin. Muhidin sendiri mengaku memiliki izin mengelola di kawasan tersbut. Izin itu atas nama kelompok tani So Ncandu Permai, dimana Muhidin termasuk salah satu anggotanya. Kelompok tani itu merupakan mitra Dinas Kehutanan dan pemda Kabupaten Dompu dalam program rehabilitasi, PHBM dan GERHAN yang dicanangkan di kawasan hutan So Ncandu di tahun 2003. Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu bahkan telah memberikan bantuan bibit jati, srikaya, jambu mente, dan nangka, berikut pendamping lapangan kepada kelompok ini untuk program tersebut. Sayang, saat polisi menangkap Muhidin, mereka tak tahu menahu soal izin tersebut, termasuk soal program GERHAN dan reboisasi yang dilakukan Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu di kawasan tersebut. Saat menangkap, polisi juga tak tahu peta lokasi areal So Ncandu. Kini nasib Muhidin, yang hanya seorang petani biasa berada di tangan pengadilan MUHAMMAD AS

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 01, JANUARI 2006

13


Pasukan Elit Hutan DEPARTEMEN kehutanan membentuk pasukan elit penumpas illegal logging. Satuan Polisi Reaksi Cepat (SPORC), nama pasukan elit itu, memiliki kemampuan sehebat pasukan elit Kopasus. Tembakannya jitu, senapannya otomatis, bisa turun menggunakan tali dari atas helikopter dengan lihai. Oh satu lagi, kemampuan intelegennya hebat. Semua kemampuan itu menurut Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Arman Malolongan digunakan untuk menumpas habis pembalak liar.

Pasukan ini direkrut dari polisi hutan dengan seleksi yang ketat. Dari 8000 polhut, hanya 300 yang bisa masuk ke jajaran barisan pasukan elit ini. Selama 38 hari di Sekolah Calon Perwira Sukabumi, Jawa Barat, mereka digembleng dengan berbagai pelatihan ala pasukan elit. Mulai dari kemampuan fisik, bela diri, menembak jitu, hingga repling. Ketigaratus orang ini akan disebar di sepuluh lokasi yang selama ini dikenal sebagai surganya illegal logging : Papua, Irian Jaya Barat, Sulawesi Selatan, kalimantan Timur, Kalimantan Barat,

FOTO KOMPAS

Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, Jambi, Riau dan Sumatera Utara. Mereka akan tinggal di asrama khusus dan kerjanya mobile. Mereka dapat bergerak di dalam propinsinya maupun propinsi lain jika diperlukan. Kini, pasukan elit hutan ni telah siap tempur. Serbuuuuuuuu.... ( AI)

Banjir Jember, Simpang Siur PEMERINTAH Daerah Jawa Timur membentuk tim investigasi untuk melacak penyebab banjir dan longosr yang terjadi di Jember pada 1 Januari lalu. Maklum, mengenai penyebab ini, informasi yang ada masih simpang siur. “Ada yang mengatakan akibat pengundulan hutan, ada yang mengatakan karena curah hujan tinggi,” kata Ketua Tim Pelaksana Investigasi, Made Sutaya. Made memang tidak mengelak bahwa banyak pihak mengatakan bahwa kasus tersebut terjadi karena

DOK TNI AD

14

WARTAFKKM VOL.9 NO.01, JANUARI2006

adanya illegal logging di puncak Argopuro. Mantan Sejken Dephut, Soeripto mengatakan ada tiga cukong kayu yang bermain di hutan lindung kawasan Argopuro, yakni Iwan Tandiono, Wilson dan Sundono. Soeripto juga menyebut Kepala Dinas Perlindungan Hutan dan Konservasi Dinas Kehutanan Jatim, Basuki Revolton. Dua karyawan Dinas Kehutanan Jatim juga terlibat, mereka adalah Yosep dan Hendowo. Pada 2003, mantan Kadishut Jatim, Susilo Sugiyono juga pernah ditahan di Rutan Kelas I Medaeng Sisoharjo garagara kasus illegal logging. Namun entah bagaimana, dia kemudian bebas dan kini malah menjadi Kepada Dinas kependudukan Pemprov Jatim. Kepala Dinas Kehutanan jatim, Agus Syamsudin mengatakan dari pantauan awal bencana jember bukan semata-mata karena illegal logging. “Tapi kami tidak ingin berpolemik” katanya. (AI)


SURAT

SURAT

Berlangganan Terima kasih yang sebesarbesarnya saya ucapkan kepada Kakak/ Abang sekalian yang selalu mengirimi saya Warta FKKM. Buletin ini terasa sangat bermanfaat bagi saya dan teman-teman diskusi lainnya. Buletin tersebut sudah sampai kepada saya satu minggu yang lalu. Nama-nama berikut: Kristof R.P. Nainggolan. Alamat :1. JL. Harmonika No. 48 pasar I, Padang Bulan, Medan 20156; dan KOMPAS-USU, Jl. Alumni No.2, Kampus USU Padang Bulan, Medan. 20156. Mohon juga dikirim warta secara berkala. Kristof Medan

Berlangganan Terima kasih atas kesediaan redaksi Warta FKKM untuk mengirimkan edisi cetak WARTA FKKM ke alamat rumah saya. Alfan Gunawan Ahmad Bogor

Kami akan mengirim WARTA ke alamat saudara. (red)

Bantuan Pada tanggal 30 Des ‘ 05 -1 Jan lalu, terjadi banjir di Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember. 1 orang meninggal dan 8 orang belum diketemukan. Dan pada tanggal 2 Jan ’06 telah terjadi tanah longsor dan banjir bandang (lumpur) dari lereng gunung Argopuro di Kecamatan Panti, Sukorambi, dan Rambipuji Kabupaten Jember, 38 orang ditemukan (meninggal). Serta puluhan rumah hancur. Diperkirakan puluhan orang lainnya belum ditemukan. Penduduk sekitar (ribuan) kaki gunung Argopuro mengungsi untuk menghindari terjadi banjir susulan.Hamim dan Pencinta Alam Jember (Tim SAR) terus melakukan pencarian mayat. Dan kita menghimpun dana/bantuan untuk korban bencana tanah longsor dan banjir bandang tsb. Hamim Jember, Jatim

Kirim Tulisan Saya mengirim artikel mengenai Pola Pengamanan Hutan yang Mantap pada Tingkat Hulu, mohon dicermati dan mungkin bisa dimuat dalam majalah konservasi/kehutanan untuk diinformasikan kepada masyarakat luas. Terima kasih. Tamen Sitorus, Lampung Tulisan anda sudah kami muat di website kami di www.kehutananmasyarakat.com. terima kasih (red)

Contoh KM I am looking for examples of good practice of small scale tree farming performed by local communities in Indonesia. Do you know of any examples that I could visit? Thanks James McCaul Denpasar Please visit to hutan rakyat in Gunung Kidul Jogjakarta. (red)

Forum K omunik asi K ehutanan Masy ar ak at Komunik omunikasi Kehutanan Masyar arak akat (Indonesian Communication Forum on Community Forestry) Berperan Bersama untuk Pengembangan Kehutanan Masyarakat dan Perbaikan Kebijakan Kehutanan di Indonesia PEMBANGUNAN kehutanan di Indonesia selama beberapa dekade terakhir, telah menghasilkan berbagai persoalan akut. Persoalan-persoalan yang muncul ke permukaan, diantaranya adalah tingkat deforestasi (kerusakan hutan) yang sangat tinggi, dan marjinalisasi/dehumanisasi masyarakat lokal yang parah. Dua keadaan ini membawa akibat pada tidak adanya hubungan yang bagus antara pembangunan kehutanan di satu pihak, dengan masyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada SDH di pihak lain. Sementara, pembangunan kehutanan adalah sebuah proses yang melibatkan banyak pihak. Melihat kondisi ini, perlu ada perubahan paradigma pembangunan kehutanan, dari stated based kepada community based, dan dari timber management kepada forest resources management. Pilihan ini, akan memberikan peluang bagi masyarakat lokal dalam mengakses sumberdaya hutan untuk kehidupan mereka. Karena itulah, para pihak yang merasa terpanggil untuk merubah kondisi ini mendeklarasikan sebuah forum multistakeholder pada 24 September 1997, yang bernama Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM).

Sebagai forum multipihak, FKKM membuka diri terhadap semua pihak untuk terlibat di dalamnya dalam memperkuat Kehutanan Masyarakat dan Perbaikan Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia. Visi FKKM: Cara pandang pengelolaan hutan oleh masyarakat, harus berdasar pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat, melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan keberlanjutan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Misi FKKM: Berperan sebagai pendorong (motivator) gerakan menuju cara pandang kehutanan masyarakat di Indonesia. Mendukung prosesproses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas dan perumusan kebijakan. Sosok FKKM: Sebagai forum dialog dan belajar bersama antar pihak, tentang kehutanan masyarakat dan perbaikan kebijakan kehutanan di Indonesia.

Pengurus FKKM Koordinator DPN: Dr. Ir. Didik Suharjito, M.Sc(IPB); Anggota DPN: Ir. Haryadi Himawan, M.BA(Dept. Kehutanan), Ir. Sih Yuniati, MBA (NGO), Drs. Said Awad, M.H (Pemda), Bestari Raden (Masyarakat Adat), Ir. Nana Suparna (Pengusaha), Dr San Afri Awang (Pendiri, UGM), dan Ir. Arief Budimanta, M.Sc (Konsultan) FASILITATOR WILAYAH FKKM Syafrizaldi (Sumatra Barat), Maggara Silalahi (Riau), Wisma Wardana (Jambi); Hazairin (Lampung); Suraya Uang Kahathur (Jawa Barat); Fahrizal (Kalbar); Adri Ali Ayub (Kalteng), Humaidi (NTB); Harisetijono (NTT); M. Natsir Abbas (Sulteng); Ruslan (Sultra); Restu (Sulsel); Abdul Ma’at (Ketapang)

15

WARTA FKKM VOL. NO. 01, Sekretaris Eksekutif: Ir. Muayat Ali Muhshi; Staf Seknas: M. Abd. Syukur, Adie Usman Musa, Titik Wahyuningsih, dan9Totok S. JANUARI 2006 Alamat Seknas: Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax. (0251) 323090, E-mail: seknas-fkkm@indo.net.id, muayat@indo.net.id


16

WARTAFKKM VOL.9 NO.01, JANUARI2006


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.