Warta FKKM Edisi Maret 2011

Page 1

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 03, MARET 2006

1


WARTA FORUM KOMUNIKASI KEHUTANAN MASYARAKAT

Volume 9 Nomor 03, Maret 2006 ISSN : 1410-8550

Pemimpin Umum Didik Suharjito Pemimpin Redaksi Muayat Ali Muhshi Dewan Redaksi Haryadi Himawan Arief Budimanta Bestari Raden Nana Suparna Sih Yuniati Said Awad Redaktur Muhammad AS Tata Letak Muhammad AS Sirkulasi Totok Sadianto Alamat Redaksi Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax. (0251) 323090, E-mail: fkkm_jog@indo.net.id seknas-fkkm@indo.net.id

Dari Kami Pembaca yang budiman, Sabtu pagi bulan Maret ini, mesin cetak WARTA dicuri orang. Ini kejadian diluar dugaan. Maling beraksi tak tanggungtanggung. Si maling mengambil dua mesin cetak sekaligus. Buntutnya jadi panjang, cetak WARTA edisi lalu menjadi molor dua minggu. Kerugian ditaksir ratusan juta. Kasus ini sedang diusut. Sampai laporan ini ditulis polisi belum menemukan si pelaku.

http:// www.kehutananmasyarakat.com www.fkkm.org

Ngomong-ngomong tentang maling, akhir-akhir ini juga ada berita yang tak kalah mengelikan: Istana kepresidenan kemalingan. Dua laptop raib. Sejumlah pegawai istana kehilangan uang. Tentu saja ini mengelikan. Dengan penjagaan super ketat saja, ada celah buat maling menembus daerah ring satu itu.

Gambar Cover Depan : Biotonics Gambar Cover Belakang : Djuna Ivereigh (project Bridwach)

Maling berdasi, lebih banyak lagi. Aksi mereka membuat negara ini bangkrut.

w.a.r.t.a. fkkm. Diterbitkan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), sebagai media informasi dan komunikasi antar anggota jaringan, serta masyarakat kehutanan maupun non kehutanan yang berminat terhadap masalah-masalah kehutanan masyarakat dan perubahan kebijakan kehutanan Indonesia. Redaksi mengundang para ahli, praktisi dan pemerhati untuk menulis secara bebas, kreatif, sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan tidak selalu mencerminkan pendapat dan visi penerbit. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang akan dimuat, tanpa mengubah maksud dan isinya. Kontribusi naskah atau tulisan dapat dikirimkan ke alamat redaksi melalui pos atau email.

2

WARTAFKKM VOL.9 NO.03,MARET2006

Masih tentang maling, pada edisi ini kami mengangkat modus pencurian Jati Muna yang terkenal itu. Laporan ini ditulis Indarwati Aminuddin. Dia bekerja untuk WWF-Indonesia di Kendari, mantan direktur program Yayasan Pantau, pernah bekerja untuk harian Kendari Pos dan Kendari Ekspres. Liputan ini disponsori Unesco Jakarta. Selamat membaca.

Redaksi


OPINI

Opini Korupsi Jati Kulidawa Oleh Muhammad AS

DARI MUNA, SEBUAH kabupaten di Sulawesi Tenggara, aroma korupsi penyelewengan itu tercium. Beberapa LSM lokal mengabarkan adanya rekening titipan berupa pemasukan dalam jumlah besar ke kas daerah pemerintah kabupaten Muna senilai 10,61 triliun. Uang ini tak dilaporkan Bupati Muna dalam laporan pertangungjawabannya. Uang tersebut berasal dari total dana hasil lelang, uang letak, dana reboisasi, uang biaya penganti, dan dana provisi sumberdaya hutan. Polisi sudah menjebloskan mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muna, ketua panitia lelang, dan bendahara lelang dengan hukuman masing-masing 7-8 tahun. Tapi sang komandan, Bupati Muna sama sekali tak tersentuh hukum. Padahal ketiganya mengaku hanya menjalankan perintah bupati. Sang bupati bersikeras tak bersalah atas kasus ini. Kasus ini merupakan rentetan panjang dari kebijakan Bupati Muna yang kepinjut dengan kehebatan jati Muna. Konon kehebatannya tak kalah dengan jati Jawa. Batangnya lurus tanpa cacat dengan daun lebar. Getahnya merah. Jati Muna biasa disebut Jati Kulidawa. Tapi orang Muna dengan bangga menyebut jati mereka sebagai Jati Muna. Jati menjadi maskot kabupaten Muna. Semasa menjabat, sang bupati banyak mengeluarkan peraturan terkait dengan pengelolaan, penebangan, pengumpulan, serta pembagian posisi keungan dari eksploitasi Jati . Diduga sang bupati terlibat korupsi atas hasil hutan, terutama kayu jati ini. Ketika keluar UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999, sang bupati mengambil peran penting untuk mengambil alih pengelolaan kayu jati. Dia meminta pembagian lebih atas hasil eksploitasi jati kepada propinsi. Bupati Muna juga mengeluarkan Izin Pengelolaan Kayu Tanam Milik (IPKTM). Tiap pemilik kayu yang ingin menjual kayu harus mengantongi izin yang mesti ditandatangni pejabat setingkat bupati atau wakil bupati. Masalahnya untuk mendapat izin

ini tak gampang. Birokrasinya panjang. Pengajuan IPKTM harus melalui meja Dinas Kehutanan, perintah daerah Muna, panitia anggaran, kejaksaan, dan kepolisian. Konon, tiap meja bisanya minta tip pengurusan. Malangnya karena sulit inilah banyak calo menyodorkan jasa dengan harga yang tak murah. Alamak!. IPKTM itu diduga juga telah menyulut perusakan jati. Ada orang yang sengaja dibayar untuk menebang pohon. Lalu mereka purapura meninggalkan pohon itu dan selanjutnya disebut kayu temuan. Dengan cara ini, warga bisa jadi tertuduh menjadi perambah atau penebang jati. Jati salah satu penyumbang pendapatan terbesar Muna. Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2005 saja dipatok Rp 290,3 milyar dari Rp. 285,5 milyar. Sang bupati optimis angka itu bisa dicapai dari ekspolitasi jati. Tapi ini keputusan kontroversial. Peningkatan PAD dari hasil hutan sama halnya dengan menyedot isi hutan tanpa pertimbangan kelestarian. Di semua kawasan hutan, penebangan jati Muna begitu cepat tanpa bisa distop. Pencurian kayu begitu marak tanpa ada satu maling pun ditangkap. Banyak kayu ditemukan tanpa identitas menumpuk di kantor kejaksaan, pengadilan dan kantor kehutanan. Pemda melelang kayu ini. Jumlah jati ini terus mengalami penyusutan. Di kawasan hutan produksi, kabarnya 90 persen jatinya sudah habis. Penegak hukum harus segera mengusut tuntas habisnya kayu-kayu jati di Muna sampai ke akar-akarnya termasuk orang nomer satu yang paling bertanggungjawab di Muna. Tekad pemerintah untuk memberantas korupsi adalah itikad Mulia. Sekaranglah saatnya untuk mumulai memberantas korupsi sampai ke tingkat daerah yang selalu berlindung dibalik baju otonomi. Jangan biarkan kebanggaan jati Muna hanya tinggal jadi sejarah.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 03, MARET 2006

3


Laporan Utama

Jati Kulidawa Siapa bermain dalam pencuraian kayu-kayu jati Muna?

DOK. FWI/YASCITA

OLEH : INDARWATI AMINUDDIN SEBAIKNYA ANDA TIDAK DATANG KE MUNA SAAT MUSIM HUJAN. Sering banjir. Got-got di sepanjang jalan diluberi air keruh bercampur macam-macam sampah. Kadang saya melihat beberapa bangkai tikus hanyut. Lumpur memenuhi permukaan jalan yang bolong-bolong di banyak tempat. Muna adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara, dengan luas wilayah sekira 488 ribu hektar atau setara 4,9 ribu kilometer persegi. Tak sulit mencapai Muna. Hanya perlu tiga jam perjalanan kapal dari Kendari, ibukota provinsi Sulawesi Tenggara. Pusat kota, yang dikenal sebagai “Kawasan Ahmad Yani,� berada sekira satu kilometer dari pelabuhan yang berdermaga kecil dan hanya ramai saat kapal berlabuh selama 20 menit.Keramaian, terutama berasal dari suara pedagang, segera sirna ditelan suara stoom panjang KM Sagori, salah satu kapal yang melayani rute antarkabupaten. Pelabuhan kembali sepi. Kapal akan tiba pagi dan siang esok harinya.

4

WARTAFKKM VOL.9 NO.03,MARET2006

Muna daerah tenang. Penduduknya hanya sekira 298 ribu jiwa, dengan tingkat kemiskinan 50,9 persen. Mereka tersebar di 29 kecamatan. Penduduk terbanyak menempati Kecamatan Katobu. Warga Muna kebanyakan petani. Tak semua dari mereka punya lahan. Banyak di antaranya hanya jadi petani penggarap. Atau memasuki kawasan hutan gundul, eks lahan tebangan jati. Kayu rimba dan jati adalah salah satu sektor penyumbang pendapatan terbesar Muna.

DI HUTAN MUNA, JATI tumbuh sempurna di lahan-lahan berkapur. Di sana sekurangkurangnya tersimpan kayu jati logs

sebesar 8,6 ribu meter per kubik pada 2001, dan setahun kemudian meningkat jadi 12,2 ribu, lalu 5,9 ribu pada 2003, dan 21,1 ribu meter per kubik pada 2004. Balai Penelitian Kehutanan Sulawesi di Makassar menyebutkan kayu jati Muna memiliki empat keunggulan, yang meliputi kekuatan, kerapatan, kekerasan, serta fisik kimia. Pendeknya, kayu jati Muna sebanding dengan pohon-pohon jati yang tumbuh di Cepu, Jawa Tengah. Perbedaan kayu jati Muna dari jati Cepu hanya segi warna. Jati Muna lebih gelap. Suhendro A Basori dari Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara mengatakan bahwa jati Muna bertekstur serat indah dan batang yang


lurus. Pemerintah Muna mengklaim daerahnya sebagai penghasil jati terbaik di Indonesia. Mahfud dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan pernah membuat laporan yang menerangkan bahwa di Indonesia, jati Jawa-lah yang disebut sebagai “jati asli”. Status “asli” itu diperoleh setelah penelitian melalui teknik deoksiribonuklead acid (DNA) menggunakan sistem enzim pada 1994. Jati Jawa berasal dari proses adaptasi dengan iklim dan berkembang dari zaman quarternary dan pleistocene di Asia Tenggara. Persebaran jati meliputi sebagian besar India, Myanmar, Laos, Kamboja, bagian barat Thailand, dan Indo China. Jati juga dikembangkan di Afrika, New Zealand, Australia, Kepulauan Fiji, Taiwan, Kepulauan Pasifik, dan benua Amerika. Di Indonesia, jati tersebar di sebagian pulau Jawa, pulau Kangean, Sumba, Bali dan Muna. Jati di Muna biasa disebut kulidawa. Artinya, jati yang asalnya dari Jawa. Bisa juga berarti jati yang ditanam oleh kuli-kuli dari Jawa saat Belanda melakukan eksploitasi di Muna. Tapi orang Muna dengan bangga menyebut jati mereka sebagai jati Muna. Warga Muna bangga pada jatinya. Tapi kebanggaan itu tampaknya sedang diambang masalah. Pemerintah setempat, di bawah kepemimpinan Bupati Ridwan, terus menebang, mengeksploitasinya, dengan dalih untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi kenapa protes dari masyarakat justru makin kencang? Benarkah eksploitasi itu untuk PAD atau kepentingan segelintir pihak?

RIDWAN BUPATI

kesebelas di Muna. Dia tipe pria yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ketika tak suka, Ridwan akan bicara blak-blakan. Dia lahir pada 1957. Pada Juli 2004, Ridwan menjadi bupati untuk kedua kali melalui pemilihan

Satu-satunya kegagalan saya adalah tak bisa mengamankan hutan jati. Tak bisa mencegah kerusakannya

bupati secara langsung di Muna. Dia dari Partai Golongan Karya. Sebelum terjun ke dunia politik dia menjadi pengusaha jasa konstruksi dengan bendera PT Rapesa. Dalam buku statistik Dinas Kehutanan provinsi Sulawesi Tenggara, perusahaan ini terdaftar sebagai calon pengelola hasil hutan seluas 8.000 hektar di wilayah Lagundi, Bonegunu, kabupaten Muna. Perusahaan Ridwan ini juga menjadi satu-satunya pemegang izin taksi dan pom bensin yang hanya satusatunya di Muna. Saat jadi bupati, jabatan direktur PT Rapesa diserahkan ke anggota keluarga dekatnya. Ridwan suka mengenakan mantel panjang dengan topi. Dalam acara semiformal, Ridwan akan mengenakan jins dan kemeja lengan pendek yang lengannya digulung. Ada hari-hari tertentu dia bisa ditemui di kediamannya, misalkan saat bermain kartu atau bulutangkis. Ridwan termasuk tipe optimistik. Dia mengatakan telah berhasil membangun Muna dari tidur panjangnya. Di kota kecil itu kini telah berjejer lampu jalan, meski sebagian besar tak berfungsi, dan sarana olahraga yang –menurut La Kusa, juru bicara plus karyawan hubungan masyarakat pemerintah Muna– memakan biaya Rp 55 milyar. Ironisnya, tak banyak atlet yang dibina di sini. Riwan juga punya keyakinan bahwa pada 2006, semua jalan raya

yang rusak berat hari ini –dengan ketebalan aspal tak lebih dari lima centimeter– akan mulus dengan alokasi anggaran mencapai 70 persen. Mungkin karena keyakinan itu, Ridwan, atas persetujuan sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), diperbolehkan membeli jeep hummer senilai Rp 1,9 milyar sebagai kendaraan dinasnya. Ambisi Ridwan tak hanya sampai itu. Dia juga akan menata pantai di Raha dengan hotel-hotel dan restoran yang melibatkan investor Tomy Winata dari Artha Graha. Pada Fitri Azhari, wartawan Kendari Pos, Ridwan mengatakan telah mendekati Tomy Winata. Winata akan menjadi pengelola sekaligus pemilik saham. Tugas Ridwan adalah mengggiring Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mencicil tanpa bunga semua biaya yang akan dikeluarkan Winata. “Kita akan bayar selama lima tahun,” kata Ridwan. Sejauh ini, Ridwan baru memanggil konsultan Winata untuk mengetahui perencanaan pembangunan dan nilai investasinya. Ridwan juga telah membebaskan keharusan membayar bagi warga di tiap Puskesmas dan membangun dermaga-dermaga rakyat di tiap wilayah kepulauan. Target besarnya menjadikan Raha sebagai kota otonomi yang layak dari sisi infrastruktur. Ada banyak impian Ridwan yang sering mendapat ekspos media. Tapi semua ini tak bisa menghapus isu laten yang melekat dalam dirinya. Dia santer diisukan melakukan korupsi atas hasil hutan, terutama kayu jati. Detik-detik menjelang pelantikannya sebagai bupati, Ridwan diprotes beberapa aktivis lingkungan SWAMI (Swadaya Masyarakat Indonesia). Mereka Ihlas Muhamad, Yusti, dan Muamar Kadhafi. Para pemrotes berdiri di tugu yang berhiaskan pucuk jati, membawa pamflet yang berisikan kalimat-kalimat seram: “Jangan pilih bupati perusak

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 03, MARET 2006

5


Laporan Utama hutan dan korupsi”, “Awas waspadai bupati cabul”, dan “MOHOn jangan pilih”. Ridwan tersinggung. “Moho” adalah nama kecilnya. “Satu-satunya kegagalan saya adalah tak bisa mengamankan hutan jati. Tak bisa mencegah kerusakannya,” kata Ridwan. Kepada Aksah, wartawan Kendari Ekspres, Ridwan pernah mengatakan, meskipun tak bisa mengamankan hutan jati, tapi kerusakan tersebut setara dengan kas yang diterimanya. Ini jauh lebih baik dibanding pendahulupendahulunya: merusak hutan tanpa pemasukan kas yang setara.

KETIKA TERPILIH

sebagai anggota DPRD Muna tahun 2004, janji Mahmud Muhamad jelas: menjaga lingkungan. Mahmud pria dengan tubuh kecil dan tekanan suara yang tegas pada tiap kalimatnya. Dia terpilih dari dua pundi suara Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) tahun 2004. Ketika jadi anggota legislatif di Muna, Mahmud benar-benar berada pada titik impas finansial, kehilangan istri, dan secara ekonomi menyedihkan. Syukurnya, dia mewarisi sekitar 10 hektar lahan yang ditumbuhi jati di Desa Warambe dan Wakumoro dari kakeknya, La Ode Dika. Kawasan itu dibuka tahun 1940-an waktu Mahmud baru berusia tujuh tahun dan berada dalam asuhan kakeknya. Dia sering melihat kakeknya berpidato dan mendengar kata ni motehi be mokado (mana yang harus ditakuti, mana yang tidak) saat warga berkumpul mendengar me tula-tula (pidato). Kakek Mahmud suka berpidato di lahan jati. Dia berdiri atau duduk di hadapan banyak pengikutnya. Kata sang kakek, Muna tidak dikaruniai tanah yang gembur untuk tanaman jangka pendek. “Tapi di tanah ini, jati bisa tumbuh dengan sempurna. Batangnya lurus tanpa cacat dengan daun lebar. Getahnya merah.” La Ode Dika adalah saksi

6

WARTAFKKM VOL.9 NO.03,MARET2006

Dari Selatan Untuk Selatan

penandatanganan kawasan tutupan hutan tahun 1928 dan 1933. Ketika itu, Belanda-pemerintahan Celebes-van Boeton dan Napabelano (Muna) sepakat untuk menjaga kawasan yang ditumbuhi jati itu. Perjanjian itu awalnya disebut kontrak kesepakatan, namun jarang dijadikan rujukan karena perubahan kebijakan dari pemerintah pusat ke provinsi lalu ke kabupaten terjadi sangat cepat sejak tahun 1960-an. Tahun 2000-an, perjanjian itu praktis tak digunakan. Arsip berupa peta dan dokumen dalam bahasa Belanda hanya tersimpan di Dinas Kehutanan serta Balai Inventarisasi dan Pemetaan Wilayah Kendari. Terlebih sejak Undang-Undang Otonomi Daerah No 22 tahun 1999 diterapkan. Undang-undang inilah yang sering jadi acuan pengelolaan kewenangan secara penuh dan seringkali tidak melihat efek yang timbul. Pada 16 November 2005, ketika berlangsung rapat pembacaan nota keuangan Bupati Ridwan, Mahmud kembali mempersoalkan acuan kewenangan tadi sambil mengkritik cara-cara pemerintah daerah Muna dalam meningkatkan PAD melalui hasil hutan. Saat rapat berikutnya per 21 November, yang dihadiri Wakil Bupati La Bunga Bakka, Mahmud memilih walk out dari ruang sidang. Rapat-rapat berkenaan peningkatan PAD melalui eksploitasi jati sering berlangsung alot karena Ridwan bersikeras meningkatkan PAD dengan cara mengubah dan menaikkan APBD tahun 2005 menjadi Rp 290,3 milyar dari Rp 285,5 milyar. Ridwan optimis angka itu bisa tercapai. Hingga November 2005 saja, dana dari eksploitasi tunggak kayu yang bisa dilihat dari data belanja pengusahapengusaha kayu yang berbekal Izin Pengolahan Kayu Tanam Milik (IPKTM) telah mencapai Rp 10 milyar. Kepada saya, Mahmud bilang persoalannya bukan pada perubahan PAD itu. Yang lebih esensial adalah peningkatan PAD dari hasil hutan itu

sama halnya dengan menyedot isi hutan tanpa pertimbangan kelestarian. Mahmud tahu, pengelolaan itu akan menghabisi hutan jati Muna. Saat ini saja habisnya jati telah mencapai 90 persen di kawasan hutan produksi terbatas, yang luasnya 11.643 hektar dan hutan produksi biasa 39.685 hektar. Kata Mahmud, penebangan terjadi sangat cepat, di tiap kawasan tanpa bisa distop dan tak ada pelaku, termasuk di hutan lindung. Menurut catatan Sida, kepala seksi perencanaan karya Dinas Kehutanan Muna, registrasi terakhir dilakukan dua tahun lalu dan menunjukkan semua jati yang berasal dari usia tanam 19111968 di lahan seluas 16,9 ribu mengalami penyusutan. Jati reboisasi, yang ditanam 19691992-1993, di lahan seluas 5,4 ribu hektar juga sama memprihatinkannya. Menyusul jati di hutan tanaman industri yang ditanam pada tahun 1989-19902002. “Ya tinggal sedikit,” katanya.

SEJARAH JATI MUNA dimulai pada 1913 ketika jati mulai dieksploitasi pemerintah swapraja Muna. Belanda dan kongsi dagangnya menguasai eksploitasi itu. La Ode Dika, kakek Mahmud, pernah menolak keras eksploitasi oleh negara. Dika sempat dipenjara karena menebang jati di kawasan yang diolahnya, Wakumoro. Dika menebang jati untuk membantu banyak warga yang tak punya lahan, sangat berbeda dari yang dilakukan sebagian pejabat. Dika meninggal pada 1982-an. Semangat untuk memuliakan jati Muna tak menurun kepada anak-anaknya, termasuk yang jadi pejabat di Muna dan Sulawesi Tenggara. La Ode Rasjid, anak Dika, tak bisa berbuat banyak untuk mengatur eksploitasi jati saat jadi bupati ke-4 di Muna. Dia memang tidak mengeluarkan peraturan apapun yang terkait dengan pengelolaan jati. Namun, dia tak bisa berbuat banyak karena peraturan pengelolaan kayu justru keluar dari pusat atau provinsi.


REVISI PP 34 TAHUN 2002 Anak Dika yang lain, La Ode Kaimoeddin, saat jadi gubernur provinsi Sulawesi Tenggara malahan merestui PT Amboina mengelola tunggak jati di Muna. Tunggak jati adalah bagian bawah kayu jati yang tersisa setelah tebangan. Masalahnya, tidak hanya tunggak yang diambil, seringkali batang tengahnya ikut ditebang. Kata Mahmud, ketika restu PT Amboina keluar, dia mencoba berbicara dari hati ke hati dengan Kaimoeddin, pamannya dan mengingatkan pesan kakek La Ode Dika untuk tetap menjaga hutan. “Tapi ya begitulah, kami ternyata berbeda pemahaman soal kayu ini,” katanya. Alhasil, eksploitasi tetap jalan. Sejauh pengamatan Mahmud, kawasan jati telah habis dan kini hanya tersisa tunggak-tunggak kayu jati. Warga harus menunggu 30 tahun lagi untuk menikmati hasil jati. “Itu pun kalau tidak dicuri secara sistematis dan yang dituduh adalah warga.” Pada saat pemerintahan Kaimoeddin berakhir, PT Amboina tidak hanya berhasil membeli tunggak jati tapi juga batang jati. “Praktik di lapangan berbeda, yang dikelola tidak hanya tunggak tapi juga batang-batang jati,” kata Wakil Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara, La Ode Sadikin. PT Amboina merupakan perusahaan yang mengelola tunggaktunggak jati di wilayah Raha dan Kendari. Perusahaan itu dikelola oleh Arsyad dan istrinya, Rosmini. Rosmini perempuan parobaya, sederhana, dan mencetak tulisan direktis di kartu namanya. Secara tak sengaja saya bertemu dengannya saat mengunjungi lokasi pembuatan furnitur kayu jati di Kendari. Dia mengatakan masih mengingat ketika suratkabar menulis tentang perusahaan suaminya. “Tapi kami tidak apa-apa, karena kan ada izinnya,” katanya. “Apalagi yang kami kelola kan tunggaknya, bukan batangnya.” Batangnya ke mana? “Mereka-mereka ji yang ambil itu, ya pemerintah,” katanya lagi.

SAYA MEWAWANCARI La Ode Ghogho, pria berusia 72 tahun yang hidup di hutan lindung Kontu. Tubuhnya kecil, padat, dan matanya masih awas. Dia ingat, selepas militerisme Jepang di Indonesia dulu, dia dan rekan-rekannya diperintahkan oleh pemerintah Belanda yang berada di Raha untuk menanam jati di wilayah Kontu, yang meliputi empat kawasan yakni Kontu, Patupatu, Lasukara, dan Lawawesa. Tiap pekerja mendapat upah Rp 500 untuk penanaman satu hektar. Upah separuhnya jika hanya menanam jati per setengah hektar. Jati ditanam dengan jarak per empat meter. Setiap pemilik kebun juga diharuskan menanam jati. “Uhh pu sampai kini kita belum dibayar, “ kata Ghogho. Dia berusia 20 tahun ketika itu dan menyaksikan eksploitasi terjadi atas tunggak-tunggak yang telah berusia 10-20 tahun. Pengambilalihan jati sebenarnya telah dilakukan saat jatijati berusia empat tahun. Ketika itu, partikelir Belanda dan maskapai Vejahoma milik Hindia Belanda menguasai perusahaan pembeli kayu jati yang berada di pusat kota. “Perusahaanya dekat tugu, dan banyak mobil VW,” jelasnya. Maksudnya adalah mobil bermerek Volkswagon. Ghogho melihat perebutan jati sejak kecil hingga masa tuanya. Dia sendiri tak punya lahan tapi memiliki 10 batang pohon jati. Perebutan itu terjadi turun-temurun, dari era maskapai partikelir Belanda tahun 1901-1904 hingga tahun 1967 ketika pemerintah Indonesia mengambil alih kewenangan pengelolaan dan mengeluarkan banyak peraturan terkait tentang pengelolaan, penebangan, pengumpulan, serta pembagian posisi keuangan dari eksploitasi jati. Tahun 1986, ketika kewenangan pengelolaan sudah dipegang provinsi, Badan Otorita dilibatkan untuk mengelola kayu jati dari Muna ini. Tahun 1989, Perum Hutan Daerah

(Perhutanda) dibentuk. Tugasnya menggantikan Badan Otorita. Tahun 1993, surat keputusan gubernur kembali keluar. Kali ini menegaskan peran Perhutanda untuk mengeksploitasi dan memasarkan kayu jati. Pada tahun-tahun ini, pemerintah provinsi tak hanya diuntungkan oleh eksploitasi kayu jati, tapi juga hasil lelang dari kayu jati temuan dan sitaan. Kayu sitaan diperoleh dari hasil pembalakan liar dan penebangnya diketahui identitasnya. Kayu inilah yang akan dilelang. Uang hasil lelang masuk kas negara. Sedangkan kayu temuan merupakan hasil pembalakan liar yang tidak diketahui siapa penebangnya karena sudah kabur dan menghilangkan jejak. Kayu ini kemudian diangkut ke tempat-tempat pengumpulan kayu (TPK) dan selanjutnya dijual oleh Perhutanda. Cara penjualan, ada yang dilelang dan ada yang dijual di bawah tangan. Cara yang terakhir itu merupakan penjualan langsung kepada kilang-kilang dan industri kayu jati yang beroperasi di Sulawesi Tenggara. Tahun 2000-an keluar lagi peraturan, tiap pemilik kayu yang ingin menjual kayu harus memiliki Izin Pengelolaan Kayu Tanam Milik (IPKTM) yang ditandai dengan keluarnya tandatangan pejabat setingkat bupati atau wakil bupati. Beredar isu, tidak semua pemilik jati yang mengelola jati warisan mampu mengurus surat ini. Pertama birokrasi yang panjang. Pengajuan IPKTM harus melalui meja Dinas Kehutanan, pemerintah daerah Muna, panitia anggaran, kejaksaan, dan kepolisian. Diisukan, tiap meja biasanya meminta tip pengurusan. Kesulitan pemilik kayu jati ini dilihat sebagai peluang oleh mereka yang punya hubungan dekat dengan pejabat. Mereka muncul sebagai “penghubung” pengurusan IPKTM. Bayarannya ditentukan seberapa banyak kayu yang akan dijual. WARTA FKKM VOL. 9 NO. 03, MARET 2006

7


Laporan Utama Tiap penghubung memperoleh Rp 100 ribu per kubik. Warga biasanya menjual hingga 20 kubik dengan harga beragam, Rp 400 ribu-600 ribu per kubik ke calo, dan dari calo menjadi Rp 1,7 juta hingga Rp 2 jutaan per kubik. Tahun 2004-2005, pemilik IPKTM berjumlah 18 orang. Mereka memegang izin pengolahan di wilayah 1.524.245 hektar. Kata Ridwan, dirinya memang mendengar isu-isu itu, “tapi belum ada yang melaporkan” Ketika Ridwan menjabat, dia mengambil peran penting dengan menggunakan Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah untuk mengambil alih pengelolaan kayu jati. Dia juga “memangkas” peraturan pembagian hasil 60 : 40 persen yang dibuat oleh pemerintah provinsi. Persoalan ini menimbulkan polemik panjang antara Ridwan dan pemerintah provinsi. Pada tahun-tahun

LA ODE KARDINI lulusan sarjana ekonomi Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra). Dia pernah jadi camat di Kecamatan Tongkuno, suatu wilayah yang berjarak 50 kilometer dari ibukota kabupaten. Ini adalah wilayah yang menyumbang hampir 100 persen suara untuk Ridwan saat pemilihan bupati secara langsung. Kardini masuk dalam tim sukses Ridwan. Beberapa saat setelah Ridwan dilantik, Kardini jadi pejabat nomor satu di Dinas Kehutanan Muna. Ironisnya, selama menjabat jadi camat Tongkuna, hutan jati Tongkuno malah habis. Kardini mengatakan pusing dengan pencurian hasil hutan, terutama jati. “Ini negara ‘marcos’.. manre ongkoso (makan ongkos),” katanya. “Lalu pemerintah provinsi itu, enak saja mereka minta pembagian hasil lelang, apa jasa merekakah? “ Menurutnya, masalah yang ditimbulkan oleh habisnya jati-jati di Muna sangat banyak dan dijadikan

Kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) –sejak MARA (Majelis Amanat Rakyat), SWAMI, hingga Jaringan Advokasi Jati Sulawesi Tenggara– menunjukkan adanya pemasukan dalam jumlah besar ke kas daerah pemerintah kabupaten Muna yang disebut rekening titipan, terhitung sejak 2002. Lembaga ini memperoleh data-data tersebut dari dokumen risalah lelang tahun 2002 dan 2003. Data ini juga diperoleh dari laporan pertanggungjawaban bupati Ridwan 2003. Nilai uang yang laporkan Ridwan dalam laporan pertanggungjawaban itulah yang dipersoalkan kalangan LSM. Menurut mereka, laporan pertanggungjawaban itu sangat tidak masuk akal. Seharusnya dana yang diterima lebih besar berdasarkan kalkulasi harga dasar kayu jati dan volume kayu yang dilelang. Total selisih yang diperoleh dari dana hasil lelang kayu jati tersebut sebesar Rp 3,5 trilyun.

Ini negara ‘marcos’.. manre ongkoso (makan ongkos). Lalu pemerintah provinsi itu, enak saja mereka minta pembagian hasil lelang, apa jasa mereka?

berikutnya, berbagai surat keputusan keluar, baik dari menteri keuangan, menteri kehutanan, jaksa agung, dan Kapolri. Intinya, mengatur lelang kayu temuan, sitaan, dan rampasan. Tidak ada yang bisa memastikan berapa uang yang masuk ke kas daerah. Di luar dari eksploitasi tersebut, jati Muna juga diserang dengan pencurian kayu tanpa identitas. Kayu tertebang begitu saja, di hutan lindung ataupun di hutan produksi. Kayu temuan itu lalu diangkut ke kantor kejaksaan, pengadilan, atau kantor kehutanan. Bertumpuk, menunggu lelang. Tak ada pencuri yang bisa ketangkap. “Saya tak bisa cegah pencuri-pencuri itu,” kata La Ode Kardini, kepala Dinas Kehutanan Muna.

8

WARTAFKKM VOL.9 NO.03,MARET2006

masalah politis oleh sekelompok orang. Terlebih lagi, aparat keamanan tidak menunjukkan sikap jelas terhadap pelaku pencurian jati. “Hari ini kami tangkap pelaku, bawa ke polisi, besok lepas. Kalau begini tiap hari, saya bisa stres,” katanya. Dia mengatakan, kalau saja aparat keamanan benar-benar kompak mengatasi pembalakan liar, maka tak satu pun penjarah kayu bisa lolos. “Begini saja, kalau mau bantu perbaiki semua hutan ini, terutama jati, ya mari berperan sesuai tugas masing-masing. Jangan dibawa-bawa ke persoalan politik,” katanya. Kardini jengkel setelah dituding SWAMI sebagai “kepala dinas perusak hutan.”

Selain dana lelang, pemerintah daerah Muna juga memperoleh keuntungan dari “uang letak”. Ini sejenis pungutan biaya yang dilakukan dalam tiap pelaksanaan lelang. Peraturan pembayaran uang letak tersebut bahkan diatur dalam surat keputusan bupati tentang penetapan harga dasar kayu dan biaya pengganti lelang kayu jati barang temuan dan atau hasil operasi gabungan tim pengaman hutan Muna. Pada lelang-lelang tersebut, laporan pertanggungjawaban bupati hanya menunjuk angka Rp 767,92 juta. Ada dana sebesar Rp 775,37 juta yang dicurigai tidak dilaporkan oleh Ridwan. Dana reboisasi lelang kayu jati juga tidak masuk dalam laporan


pertanggungjawaban Ridwan. Besarnya Rp 1,67 trilyun, termasuk uang biaya pengganti lelang kayu jati Rp 4,10 milyar dan Iuran Hasil Hutan (IHH) sebesar Rp 537,23 milyar. Total dari dana hasil lelang, uang letak, dana reboisasi, uang biaya pengganti, dan dana provisi sumber daya hutan sebesar Rp 10,61 trilyun. Saat Jaringan Advokasi Jati melaporkan kasus penyelewengan dana-dana ini, penegak hukum di Kendari dengan sigap melakukan penyidikan. Hasilnya, Ridwan tetap lenggang kangkung. Namun mantan kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muna, Arief Aty Malefu, ketua panitia lelang, Simon Mahuri, dan bendahara lelang, La Ode Kudu, ketika itu dikenai hukuman penjara masing-masing 7-8 tahun. Ketiga nama ini mengatakan, “Hanya menjalankan keputusan dari pemerintah” –yang dimaksud adalah Ridwan. “Ini yang aneh, padahal amar putusan hakim menyatakan perlu menghadirkan Ridwan untuk didengar kesaksiannya,” kata Hidayatullah, koordinasi Jaringan Advokasi Jati Sulawesi Tenggara. La Kusa, sahabat sekaligus staf Ridwan yang menjabat kepala Hubungan Masyarakat kantor pemerintahan Muna, membela Ridwan. Dia mengatakan, Ridwan tak bisa dijadikan tersangka ataupun dinyatakan terlibat karena bukti-bukti tak mengarah ke Ridwan. “Mereka tak bisa membuktikan saya bersalah. Badan Pemeriksa Keuangan saja tidak memperoleh bukti apapun dari tuduhan itu,” kata Ridwan. Menurutnya, tak ada satu pun kebijakan yang dia keluarkan merugikan daerah ini. “Kalau misalnya eksploitasi kayu itu dikait-kaitkan dengan kebijakan saya, wah kebijakan yang mana?” tanyanya. Kata Ridwan, bukan salah dia kalau pencurian tetap berlangsung di depan hidung banyak orang. Tugasnya sudah cukup. Dia telah mengeluarkan uang

Rp 300 juta setahun untuk mengamankan hutan di Muna. Hasilnya? Tetap saja pencurian semakin banyak. Masak pohon sebesar tiga rentang tangan orang dewasa bisa rebah tanpa ketahuan? “Jangan tanyakan ke saya! Pertanyaannya adalah apakah saya hanya mengurusi kayu jati? Lalu apa tugas aparat keamanan itu?” Ridwan sengit kepada saya dalam wawancara per telepon. Persoalannya, mengapa lelang kayu curian tetap dilaksanakan? La Ode Kardini, kepala Dinas Kehutanan, menjawab pertanyaan ini: “Lalu harus diapakan? Dibiarkan tergeletak begitu saja kayu-kayunya?”

Kata Ridwan, bukan salah dia kalau pencurian tetap berlangsung di depan hidung banyak orang.

ISMET

EFFENDI ,

pria parobaya mantan ketua PDIP tahun 1991-1993 di Sulawesi Tenggara. Wajahnya kalem. Bapaknya, Idrus Effendi, adalah wakil gubernur pertama di Sulawesi Selatan-Tenggara. Saya menemui Ismet di Tampo, di rumahnya yang kecil dan asri. Dia hidup sederhana dan hampir saban hari menerima warga yang datang mengadu. Ketika wawancara berlangsung, sekitar 20 warga sedang berkumpul. Mereka mengatakan telah memasuki hutan produksi dan berkebun di sana. Ismet disegani tokoh politik dan dijadikan tokoh masyarakat di Muna. Pada tahun 1999, Ridwan datang menemui Ismet. Ridwan mengatakan, surat keputusannya menjadi bupati

telah turun. “Mohon petunjuk, Pak,” kata Ridwan. Di tahun pertama setelah Ridwan jadi bupati, hubungan keduanya cukup baik. Memasuki tahun selanjutnya, Ismet merasa Ridwan sudah melenceng. “Banyak peraturan yang aneh,” katanya. Peraturan aneh yang dimaksud Ismet antara lain berbagai kebijakan Ridwan yang menempatkan rekan-rekannya di posisi-posisi strategis, padahal mereka tidak paham tentang pekerjaannya. “Lihat saja, Dinas Kehutanan dipegang oleh orang nonkehutanan, jadinya begini.” Pada tahun-tahun selanjutnya, Ismet yang dianggap “bapak-abang” oleh Ridwan mulai memprotes keras IPKTM yang dikeluarkan pemerintah dan legislatif. “Ini kan aneh, pemerintah dan anggota dewan legalkan kayu temuan,” ujarnya. IPKTM itu, menurut Ismet, seperti menyulut lahirnya perusak-perusak jati. “Ada orang yang sengaja dibayar untuk menebang pohon. Lalu mereka pura-pura meninggalkan pohon itu dan selanjutnya disebut kayu temuan.” Katanya, dengan cara ini, warga bisa jadi memikul tuduhan perambah atau penebang. Kata Ismet, dirinya pernah mendesak polisi, kejaksaan, anggota parlemen maupun pejabat di Muna untuk mengusut tuntas habisnya kayukayu jati di Muna, tapi tak ada hasil. “Capek juga.” Dampak yang paling dashyat dari habisnya jati-jati itu adalah lahan kosong dan tekanan ekonomi. Perlawanan rakyat bukan tak mungkin akan kembali merebak, seperti pernah terjadi di wilayah Kontu pada 5 Desember 2005, yang berlangsung selama tujuh hari itu. Kontu diperebutkan oleh pemerintah dan warga petani yang jumlahnya 1.130 keluarga. Versi pemerintah, kawasan ini merupakan kawasan hutan lindung, versi warga lahan ini merupakan tanah ulayat. Pertikaian di kawasan itu menyebabkan jatuhnya 30 korban dari kedua pihak.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 03, MARET 2006

9


Kolom

Papua Malang Papua Sayang OLEH: LUKAS RUMBOKO WIBOWO

PAPUA SEOLAH TAK PERNAH BERHENTI DIDERA berbagai persoalan, baik yang terkait dengan HAM, OPM, Illegal logging dan sekarang Freeport, yakni meletupnya pengrusakan Plaza 89 yang diketahui sebagai kantor pusat Freeport, oleh puluhan mahasiswa akibat penertiban para penambang liar di Timika, yang memunculkan pemblokiran jalan menuju Freeport yang kemudian diselesaikan melalui tindakan represif berupa penembakan para penambang tersebut oleh aparat. Rentetan kasus tersebut sebenarnya boleh dibilang resultante dari akumulasi persoalan krusial dan amat mendasar bagi masyarakat Papua, yakni tercerabutnya kesejahteraan dan keadilan di tanah Papua.

Bio-piracy Global Kehadiran Freeport, sejak dulu telah diwarnai oleh lembaran hitam, mulai isu kolusi kotrak karya, sharing hasil yang merugikan masyarakat Papua, konflik tenurial dengan masyarakat adat serta Analisa Dampak Lingkungan yang manipulatif dan pengembngan resolusi konflik yang cenderung tidak memihak masyarakat serta represif. Stigmatisasi sebagai anggota Organisasi Merdeka (OPM) bagi

10

WARTAFKKM VOL.9 NO.03,MARET2006

para pembakang adalah obat mujarab dalam pengentasan konflik-konflik yang selalu melingkupi beroperasinya Freeport. Pengamanan investasi yang cenderung berlebihan dan tidak adil inilah yang menjadi pemantik meledaknya akumulasi ketidakpuasan masyarakat Papua. Sementara setiap

WWW.FESTOMUVESZ.HU

Akibat macetnya Freeport oleh pemblokiran masyarakat penambang liar, membuat perusahaan tersebut merugi antara 7 sampai 10 juta dollar per hari. Suatu jumlah nominal yang sangat luar biasa. Namun, jumlah itu tentunya belum sebanding dengan kerugian material dan non material yang dialami oleh masyarakat Papua, khususnya yang berada di sekitar kawasan tambang emas terbesar di Indonesia tersebut. Sejak beroperasinya Freeport sampai sekarang tidak lagi terhitung berapa sebenarnya kerugian yang dialami masyarakat. Masyarakat Papua yang hidup di sekitar lokasi telah kehilangan property right yang tak ternilai berupa hak untuk mengelola tanah komunal, hak hidup dan mendapatkan pekerjaan yang layak, hak untuk terbebas dari kebodohan, hak untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dan perlindungan dari dampak lingkungan. Dampak lingkungan yang dimaksud bukan hanya yang bersifat bio-fisik akibat pembuangan limbah (baca: tailing) yang sembarangan, tetapi juga yang bersifat sosial-budaya seperti terlindunginya tradisi, kebudayaan dan kepercayaan mereka.


hari Freeport bergelimangan jutaan dollar. Dan bahkan tidak hanya dari emas tetapi juga dari tembaga dan menurut isu yang beredar juga biji besi.. Belum lagi hilangnya biodiversitas yang tak ternilai harganya akibat cuci mangkok (open strip mining) yang dikembangkan oleh pihak penambang. Hilangnya keanekaragaman hayati yang luar biasa tanpa adanya kompensasi yang sepadan pada dasarnya merupakan bentuk “bio-piracy global “ yang patut disesalkan. Dengan hilangnya keanekaragaman hayati tersebut berdampak pada hilangnya “lebensraum” masyarakat adat yang selama ini hidupnya memiliki ketergantungan yang sangat tinggi dengan ekosistem sumberdaya alam. Masyarakat adat secara terpaksa dan dipaksa untuk keluar dari ranahnya dan hidup berdampingan dengan budaya asing yang dibawa oleh “mining culture” yang cenderung eksklusif, prosedural, rigid dan menekankan pada formalitas dan di sisi lain permisif terhadap kehidupan mabukmabukan, seks bebas (baca: prostitusi) dan budaya “hedo” lainnya. Budaya lokal dipaksa untuk menjadi sub-culture dari budaya kapitalistik global yang hipokrit dan mendewakan materi sebagai “life style”. Akhirnya bukan harmoni yang terjadi namun disharmoni akibat dua entitas budaya yang secara substansi amat berbeda terminologi dan idiologi namun dipaksa menjalin komunikasi budaya dengan alat perekat” kekuasaan dan politik atas nama negara”. Sementara mekanisme resolusi konflik cenderung menafikan hak-hak dasar masyarakat adat seperti yang termaktub dalam konvensi ILO No. 169 terkait dengan penghormatan hak-hak masyarakat adat. Potret buram masa depan dan Keadilan Papua Mencuatnya kasus Freeport, merupakan bukti carut-marut dan lemahnya pengelolaan “unrenewable resource” pemerintah. Kita selalu dibodohi oleh negara-negara penganut paham kapitalistik Aliran dana yang luarbiasa hanya memiliki efek menetes ke bawah (tricle-down effect) yang secara nominal dan aktual amat kecil dan tak sepadan dengan pengorbanan yang diberikan oleh masyarakat adat di sekitar tambang. Justru aliran dana yang melimpah tersebut banyak dinikmati oleh pemerintah pusat dan oknum-oknum elit lokal dan pusat yang tidak bertanggungjawab.

Kehidupan masyarakat adat tetap miskin dan terpinggirkan. Munculnya dualisme ekonomi bersamaan dengan beroperasinya Freeport, telah berdampak semakin beratnya “cost of living” masyarakat adat. Budaya “monetisasi” telah mengkooptasi budaya lokal yang lebih menekankan penghormatan terhadap martabat budaya lokal dan hubungan sosial diantara sesama warga. Fenomena munculnya para “ illegal miner” di komplek Freeport adalah bukti semakin menyempitnya ranah kehidupan mereka. Tekanan ekonomi yang mendera mereka membuat masyarakat lokal harus mengais rezeki di lokasi yang sebenarnya terlarang berhubung tidak ada lagi lokasi lain yang dapat menjamin kehidupannya. Kalupun ada program “community development” dari perusahaan namun kalau dihitung-hitung tak lebih 1 persen dari keuntungan yang didapat Perusahaan. Potret buram pengelolaan sumberdaya tambang di tanah Papua tersebut tampaknya akan semakin buram di masa mendatang, terutama pasca beroperasinya Freeport. Sementara pemerintah tidak memiliki grand design yang cukup sahih. Pemerintah barangkali tidak pernah membayangkan bagaimana kehidupan masyarakat pasca Freeport. Rusaknya sumberdaya alam dan terkooptasinya budaya lokal oleh budaya monetisasi telah membuat food security masyarakat lokal amat tergantung pada kehidupan yang hanya menghargai materi dalam arti semua hanya dinilai oleh uang. Hengkangnya Freeport dimasa mendatang tentunya akan mematikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Lokasi bekas penambangan dan kota yang selama ini sangat hidup dengan menampakkan budaya global akan lenyap bersamaan dengan hengkanya Freeport. Kota tersebut akan menjadi kota mati karena telah habis dan punahnya ekosistem sumberdaya alam, baik yang diperbaharui dan tidak diperbaharui. Sehingga bukan salah masyarakat Papua bila tuntutan masyarakat akan kemerdekaan di masa mendatang terakumulasi menjadi gerakan yang lebih luas, militan dan radikal. Akhirnya, siapa yang salah kalau Papua merdeka. Mari lebih arif menyikapi persoalan ini. Penulis adalah pemerhati pembangunan berkelanjutan tinggal di Bogor.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 03, MARET 2006

11


Berita

Extra Ordinary Crime Penegakan hukum sektor kehutanan masih lemah. Laksamana (Purn) Widodo AS, punya bahasa khusus buat maling kayu : extra ordinatory crime. Widodo AS mengatakan itu ketika didapuk membuka seminar illegal logging di Jakarta, awal Maret silam. Seminar ini digelar Partai Bulan Bintang. Judulnya “Pemberatasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu : Menuju Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan.” Jarang ada parpol mengelar seminar bertema kehutanan seperti ini. Lagipula isu hutan bukan isu seksi. Kampanye? Entahlah. Tapi barangkali hanya kebetulan saja. MS Kaban ketua Partai Bulan Bintang (PBB). Dia jadi Menteri Kehutanan. Bikin seminar kehutanan apa salahnya. Widodo AS bilang illegal longging sungguh luar biasa jahatnya. Karena kejahatan ini, hutan kita habis. Karena kejahatan ini dunia internasional menekan bangsa ini. Pendeknya, kalau mau dapat bantuan, dunia internasional minta masalah ini cepat dibereskan. Karena kejahatan ini, muncul problem keamanan listas negara. Karena kejahatan ini negara kehilangan devisa, industri kayu lesu dan kalah bersaing dengan negara lain. Setiap tahun hutan kita yang habis mencapai 2,8 juta hektar. Akibat pembalakan liar dan penyelundupan

12

WARTAFKKM VOL.9 NO.03,MARET2006

kayu, setiap tahun negara dirugikan 35 milyar atau rata-rata 82 milyar sehari. “Aparat harus memahami, pembalakan liar dan penyelundupan kayu perlu dilakukan langkah luar biasa, termasuk sangsi-sangsinya” Widodo setuju kalau pelaku pembalak liar itu dijerat dengan tuduhan pasal berlapis. Kapal yang tertangkap basah mengangkut kayu illegal misalnya, bisa dijerat pasal tuduhan pelanggaran pelayaran,

DOK. KOMPAS

MENKOPOLKAM,

penyelundupan, sekaligus pasal korupsi. “ Biar jera,” kata Widodo. Soal jerat menjerat dengan pasal berlapis ini pernah dilontarkan MS Kaban. Namun rupanya tak pernah digubris oleh hakim di pengadilan. Hakim cuma melihat kejahatan ini cuma masalah kriminal saja. Pastas hukumannya ringan. Malah beberapa kasus divonis bebas. Tercatat ada tiga belas cukong kayu yang lolos di pengadilan. Kaban sangat kecewa. DOK TELAPAK/IEA Lolosnya ketiga belas cukong kayu itu, kata Kaban, bukti penegakan hukum di sektor kehutanan masih lemah. “Kami sadar hakim berada di luar pemerintah. Tapi kami berharap hakim lebih mengutamakan hati nurani,”kata Kaban. Kaban minta hakim tak hanya melihat pada masalah formal saja. Tapi juga pada hal-hal yang bersifat substansial. “Yang kami tuntut adalah sense of justise dari para hakim.” Sekarang Kaban was-was dengan kasus Bun Tia. Dia cukong kayu yang beroperasi di Kalimantan Barat. “Kalau dia bebas, ini betul-betul mementahkan upaya memberantas kejahatan sektor kehutanan.” Meski begitu, Kaban tetap optimis. Dia berjanji masalah pembalakan liar akan beres tahun ini. MUHAMMAD AS


WWW.DEPTAN.GO.ID

Brimob Bahar A Kisah Brimob sewaan yang mengusir warga NAGARI KAPA, SUATU PAGI DI BULAN MARET . SEGEROMBOLAN ibu-ibu mendadak terkejut ketika mendengar suara tembakan. Dor...dor...dor.... Dari jarak yang tak jauh dari mereka, ada tiga orang buruh tanam dan dua orang pemborong terlihat sedang menanam kelapa sawit. Mereka adalah buruh Kelompok Tani Sidodadi. Para ibu itu mengampiri mereka dan meminta menghentikan penanamannya. Tapi seorang anggota Brimob tiba-tiba datang. “Keluar dari lahan garapan, jangan ganggu penanaman ini,” kata Brimob itu dengan suara membentak. Brimob itu suruhan Bahar A. Dia ketua Kelompok Tani Sidodadi. Kelompok tani ini mendapat sokongan pemerintah daerah untuk menanam sawit di atas lahan seluas 280 hektar di Nagari Kapa, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat.

Brimob suruhan Bahar A terbilang ganas. Hanya karena uang mereka mau melakukan apa saja. Mereka tega mengusir orang tuanya sendiri

Kelompok tani pimpinan Bahar A ini kabarnya sudah mendapat suntikan dana dari bank. Nilainya mencapai kurang lebih 4,5 milyar. Dana sebesar itu untuk mendukung proyek

penanaman kelapa sawit di atas tanah tersebut. Persoalan datang karena tanah ini adalah tanah ulayat warga Nagari Kapa. Sudah bertahun-tahun dikelola 180 kepala keluarga Nagari Kapa. Beberapa kali masyarakat Kapa protes. Mereka mencabut bibit kelapa sawit dari tanah tersebut. Tapi kelompok Bahar tetap memaksa. Dua anggota brimob disewa untuk mengamankan ladang sawitnya. Mulai saat itulah pengusiran terjadi. Hampir setiap hari sejak 8 Maret dua orang Brimob ini mengintimidasi, meneror dan mengancam masyarakat Nagari Kapa agar segera mengosongkan lahan dan tidak menghalangi penanaman kelapa sawit. Tak tangung-tangung, dua anggota Brimob itu kerap melepaskan tembakan. Mulanya sekali dor, tapi hari demi hari jumlah timah panas yang dimuntahkan tambah banyak. Tembakan diarahkan pada warga terutama ibu-ibu yang sedang berada di ladang. Pada 11 Maret lalu, tiga peluru panas meletus dari senapan Brimob suruhan Bahar A. Dua selonsong pelurunya ditemukan warga. Nomer serinya PIN 5.56.00, jenis peluru timah tajam. Rosman, bersama istri dan anaknya tertangkap. Rosman baru lepas setelah menandatangani surat perjanjian “tak akan mengulangi perbuatannya.” Selang sehari, tembakan kembali meletus. Kali ini sebanyak sepuluh kali. Lalu tiga orang preman suruhan Bahar A cs membakar tiga pondok milik warga. Anggota Brimob suruhan Bahar A terbilang ganas. Hanya karena uang mereka mau melakukan apa saja. Siap, seorang anggota Brimob yang sewa Bahar A tega mengusir orang tuanya sendiri, Ijas dan Mansur. Ijas dan Mansur ikut berladang di atas tanah yang akan ditanami kelapa sawit oleh Kelompok Tani Sidodadi pimpinan Bahar A. MUHAMMAD AS (OTL Tunas Mekar, LBH Padang)

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 03, MARET 2006

13


Sekilas Kepada Dimas Adityo dari Tempo, Kepala PPATK Yunus Husein mengatakan para pejabat tersebut menerima dari pengusaha kayu. Pengusaha kayunya bermain, pejabat terima dari pengusaha yang main. “Berarti ikut bermain kan? Masak tidak ada kaitan?” kata Yunus. Menteri Kehutanan MS Ka’ban mengatakan akan memecat pejabat kehutanan yang terbukti menerima transfer dana itu “Tapi ada proses hukum dulu,” kata Ka’ban.

Antara Papua dan Solomon

perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah. Menurut Korwa, degradasi hutan dapat meningkat karena kehadiran perusahaan HPH. ‘’Papua masih bersyukur karena belum terjadi bencana banjir dan longsor, sementara di Pulau Jawa, Sumatra dan Sulawesi telah terjadi bencana banjir. Manado, Sulawesi Utara, belum lama ini terjadi banjir yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia diterjang banjir. Papua masih menunggu waktu datangnya bencana,’’ kata Korwa. Selama bertahun-tahun Green Peace telah melakukan kampanye dan penyuluhan di Solomon.

G Sibertut Tak Cocok Buat HPH P DOK. UNESCO

ulau Siberut tidak cocok untuk HPH. keberadaan HPH di wilayah tersebut dikhawatirkan akan mengancam perubahan drastis terhadap kekayaan hayati di pulau seluas 4.03.300 hektar itu. “Kawasan tersebut merupakan daerah rawan dan sensitif” Kata Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat, Agus Teguh P. Tercatat ada PT Sasaki Summa Sejahtera (SSS), yang siap beroperasi di Siberut. PT SSS mengantongi izin konsesi HPH seluas 49.450 hektare. Selanjutnya ada Koperasi Andalas Mandiri (KAM). Yang ini adalah bendera Universitas Andalas dalam pengembangan Land Grand

0251-323090

14

College (LGC) seluas 45.650 di pulau Siberut. KAM diduga beroperasi tak ubahnya seperti HPH. WALHI mensomasi Menteri Kehutanan agar segera mencabut kedua ijin HPH tersebut.

Rekening Pejabat Bau Kayu

P

usat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengumumkan dari empatbelas transfer dana dari Cukong Kayu, sepuluh transaksi diantaranya masuk ke rekening pejabat. Nilai traksaksinya mencapai milyaran rupiah.

WARTAFKKM VOL.9 NO.03,MARET2006

reen Peace menginginkan Papua seperti Pulau Solomon, di Pasifik Selatan. Tempat dimana tak ada hak pengusahaan hutan (HPH). Manajer Paradise Forest Compaign Green Peace Papua, Abner Korwa, mengatakan masyarakat papua bisa menjaga dan mengelola sendiri hutannya seperti Solomon guna menghindari kehadiran HPH yang membuat kecenderungan degradasi hutan semakin meningkat. Di Solom o n , masyarakat menebang sendiri pohonpohon, sementara kayu-kayu tebangan itu dipasarkan kepada

Sekarang, di Papua, Green Peace melalui program Paradise Forest Compaign sedang menyerukan agar kelestarian lingkungan hidup yang menjadi sumber oks igen bagi kehidupan manusia diperhatikan. Apalagi, Papua selama ini menyuplai oksigen bagi miliaran jiwa manusia di belahan dunia.


Surat Bingung cari bacaan kehutanan masyarakat? klik saja www.kehutananmasyarakat.com Gajah di Sumatera

Berlanganan

Taman Wisata Alam dan Pusat Pelatihan Gajah Holiday Resort seluas 1960 ha di Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara kini hampir punah di rambah oleh masyarakat berganti dengan kebun kelapa sawit dan karet. Belum ada tindakan serius dari pihak Dinas Kehutanan Labuhanbatu. Sementara gajah-gajah yang berjumlah 16 ekor kini kekurangan makanan dan untuk memenuhi kebutuhan makanannya, gajah-gajah tersebut terpaksa di gembalakan ke areal perkebunan terdekat. Tolong perhatiannya. Pangeran Padangmatinggi, Rantauprapat, Riau

Saya sangat tertarik dengan warta fkkm, olehnya itu saya ingin berlangganan. sebelumnya makasih Dyah Jl. kesejahteraan selatan XIII blok C no.114 BTP Makassar 90245

Terima kasih informasinya. Ini informasi menarik untuk kami tindaklanjuti. (red)

Kepada pembaca yang ingin berlangganan kami akan mengirimkan majalah ini ke alamat anda (red)

Artikel untuk WARTA Apakah Warta FKKM edisi cetak masih terbit? Atau sudah diganti dengan edisi on line? Gimana cara dan syarat pengiriman artikel? Saya ada beberapa artikel pendek (format surat kabar), kalau bisa dimuat di Warta FKKM. So, kalau Warta online tidak berkenan

ya gak apa-apa. Apalagi, isunya mungkin juga sudah out of date. Kalau mau diedit juga silahkan. Atas perhatian dan bantuannya diucapkan terima kasih. Yuli Nugroho Thailand WARTA edisi cetak masih terbit. Edisi on line memang terbit duluan, itu hanya masalah teknis, on line tak usah repotrepot cetak. Kami menerima artikel bertema kehutanan, tapi dengan ulasan yang lebih luas. Kami sudah muat tulisan anda di situs kami. Dari sejumlah artikel yang anda kirim sementara mungkin hanya satu yang masuk Warta edisi cetak. Bukan apa-apa, akhir-akhir ini kiriman artikel yang masuk ke redaksi lumayan banyak, sehingga kami harus memilih, mana yang paling layak. (red)

Forum K omunik asi K ehutanan Masy ar ak at Komunik omunikasi Kehutanan Masyar arak akat (Indonesian Communication Forum on Community Forestry) Berperan Bersama untuk Pengembangan Kehutanan Masyarakat dan Perbaikan Kebijakan Kehutanan di Indonesia PEMBANGUNAN kehutanan di Indonesia selama beberapa dekade Sebagai forum multipihak, FKKM membuka diri terhadap semua pihak terakhir, telah menghasilkan berbagai persoalan akut. Persoalan-persoalan untuk terlibat di dalamnya dalam memperkuat Kehutanan Masyarakat dan yang muncul ke permukaan, diantaranya adalah tingkat deforestasi (kerusakan Perbaikan Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia. hutan) yang sangat tinggi, dan marjinalisasi/dehumanisasi masyarakat lokal yang parah. Dua keadaan ini membawa akibat pada tidak adanya hubungan Visi FKKM: Cara pandang pengelolaan hutan oleh masyarakat, harus yang bagus antara pembangunan kehutanan di satu pihak, dengan berdasar pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat, masyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada SDH di pihak lain. melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan keberlanjutan aspek Sementara, pembangunan kehutanan adalah sebuah proses yang melibatkan banyak pihak. ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Melihat kondisi ini, perlu ada perubahan paradigma pembangunan Misi FKKM: Berperan sebagai pendorong (motivator) gerakan menuju cara kehutanan, dari stated based kepada community based, dan dari timber pandang kehutanan masyarakat di Indonesia. Mendukung prosesmanagement kepada forest resources management. Pilihan ini, akan proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui memberikan peluang bagi masyarakat lokal dalam mengakses sumberdaya penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas dan perumusan kebijakan. hutan untuk kehidupan mereka. Karena itulah, para pihak yang merasa terpanggil untuk merubah kondisi Sosok FKKM: Sebagai forum dialog dan belajar bersama antar pihak, ini mendeklarasikan sebuah forum multistakeholder pada 24 September tentang kehutanan masyarakat dan perbaikan kebijakan kehutanan di 1997, yang bernama Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Indonesia.

Pengurus FKKM Koordinator DPN: Dr. Ir. Didik Suharjito, M.Sc(IPB); Anggota DPN: Ir. Haryadi Himawan, M.BA(Dept. Kehutanan), Ir. Sih Yuniati, MBA (NGO), Drs. Said Awad, M.H (Pemda), Bestari Raden (Masyarakat Adat), Ir. Nana Suparna (Pengusaha), Dr San Afri Awang (Pendiri, UGM), dan Ir. Arief Budimanta, M.Sc (Konsultan) FASILITATOR WILAYAH FKKM Syafrizaldi (Sumatra Barat), Maggara Silalahi (Riau), Wisma Wardana (Jambi); Hazairin (Lampung); Suraya Uang Kahathur (Jawa Barat); Fahrizal (Kalbar); Adri Ali Ayub (Kalteng), Humaidi (NTB); Harisetijono (NTT); M. Natsir Abbas (Sulteng); Ruslan (Sultra); Restu (Sulsel); Abdul Ma’at (Ketapang)

15

FKKM VOL. 9 NO.S. 03, MARET 2006 Sekretaris Eksekutif: Ir. Muayat Ali Muhshi; Staf Seknas: M. Abd. Syukur, Adie Usman Musa, TitikWARTA Wahyuningsih, dan Totok Alamat Seknas: Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax. (0251) 323090, E-mail: seknas-fkkm@indo.net.id, muayat@indo.net.id


16

WARTAFKKM VOL.9 NO.03,MARET2006


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.