Warta FKKM Edisi Mei 2006

Page 1

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 05, MEI 2006

1


WARTA FORUM KOMUNIKASI KEHUTANAN MASYARAKAT

Volume 9 Nomor 05, Mei 2006 ISSN : 1410-8550

Pemimpin Umum Didik Suharjito Pemimpin Redaksi Muayat Ali Muhshi Dewan Redaksi Haryadi Himawan Arief Budimanta Bestari Raden Nana Suparna Sih Yuniati Said Awad Redaktur Muhammad AS Tata Letak Muhammad AS Sirkulasi Totok Sadianto Alamat Redaksi Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax. (0251) 323090, E-mail: fkkm_jog@indo.net.id seknas-fkkm@indo.net.id http:// www.kehutananmasyarakat.com www.fkkm.org Gambar Cover Depan : Riaupulp Gambar Cover Belakang : CNN PHOTO

w.a.r.t.a. fkkm. Diterbitkan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), sebagai media informasi dan komunikasi antar anggota jaringan, serta masyarakat kehutanan maupun non kehutanan yang berminat terhadap masalah-masalah kehutanan masyarakat dan perubahan kebijakan kehutanan Indonesia. Redaksi mengundang para ahli, praktisi dan pemerhati untuk menulis secara bebas, kreatif, sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan tidak selalu mencerminkan pendapat dan visi penerbit. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang akan dimuat, tanpa mengubah maksud dan isinya. Kontribusi naskah atau tulisan dapat dikirimkan ke alamat redaksi melalui pos atau email.

2

WARTA FKKM VOL.9 NO.05, MEI 2006

Dari Kami Pembaca yang budiman, Ketika edisi ini memasuki deadline tiba-tiba redaksi dikejutkan oleh berita yang sangat tidak disangka-sangka. Sabtu pagi, Jogjakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah diguncang gempa tektonik hebat. Seketika orang-orang panik, ribuan rumah, sarana umum, sekolah dan gedung-gedung perkuliahan hancur. Sedikitnya lima ribu orang meninggal kibat gempa berkekuatan 5,9 skala richter itu. Bencana tak terduga ini terjadi di tengah kekhawatiran meletusnya Gunung Merapi. Beberapa pekan sebelum itu gunung memang teraktif di dunia itu terus menerus mengeluarkan awan panas yang menyebabkan ratusan warga harus mengungsi. Namun kekhawatiran tersebut justru tak terjadi, setidaknya hingga hari ini. Yang terjadi malah gempa dari arah selatan yang tak terduga itu. Seluruh awak redaksi Warta dan jaringan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat menyampaikan duka yang dalam atas musibah tersebut. Semoga yang meninggal mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya. Mari kita bahu membahu membantu meringgankan beban kepada mereka yang terkena musibah dan berharap badai cepat berlalu. Bangkitkan Indonesiaku. Selamat membaca.

Redaksi


Sertifikasi Digugat OLEH MUAYAT ALI MUHSHI

U

ntuk kesekiankalinya sertifikasi yang dikeluarkan dengan skema LEI digugat oleh kalangan organiasi non pemerintah (ORNOP). Kali ini sertifikat Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL) yang dikeluarkan lembaga sertifikasi PT Mutu Agung Lestari kepada PT RAPP di Riau digugat oleh Jikalahari bersama HAKIKI, AMAR, WALHI Riau dan Elang. Sertifikasi adalah instrument pasar yang dikaitkan sebagai upaya mengurangi kerusakan hutan dan pencapaian pengelolaan hutan yang lestari. Pendekatan ini jelas berbeda dengan pendekatan demonstrasi dan kampanye publik serta advokasi kebijakan. Sertifikasi bisa dilakukan jika ada kesedian dari unit management untuk mengikuti proses sertifikasi dan kesiapannya untuk melakukan perbaikan-perbaikan mengikuti kriteria dan indikator dari skema sertifikasi yang diikuti. Sementara dalam advokasi, sering kali tuntutan didesakkan tanpa memperhatikan kesiapan dari pihak yang dikehendaki. Advokasi kebijakan misalnya berhenti sampai perubahan teks kebijakan. Padahal pelaksanaan kebijakan sangat ditentukan oleh persepsi, perilaku dan mekanisme kerja dari pelaksana kebijakan tersebut (birokrasi). Bahkan kampanye-kampanye publik hanya sampai menciptakan opini publik saja lalu menyerahkan perubahan itu kepada opini dan tekanan publik. Perbedaan yang lain dari sertifikasi adalah adanya unsur edukasi. Misalnya dalam skema sertifikasi LEI dikenal sertifikasi dengan peringkat emas , perak dan perunggu. Adanya peringkat ini menunjukkan kesadaran bahwa tidak ada praktek-praktek pengelolaan hutan komersial yang memenuhi kriteria dan indikator yang ideal. Dalam kenyataan kondisi yang tidak ideal tersebut tidak bisa dipersalahkan semuanya kepada unit management. Seringkali kondisi yang tidak ideal tersebut akibat dari masalah kebijakan pemerintah yang bukan merupakan kewenangan unit management. Dengan kesadaran itu skema sertifikasi LEI mengembangkan kriteria dan indikator standart yang sebenarnya merupakan konsensus antara ornop, pengusaha, dan masyarakat. Dengan karakteristik seperti di atas terlihat kampanye publik mempunyai tututan yang lebih ideal dibandingkan dengan advokasi kebijakan dan advokasi kebijakan mempunyai tuntutan yang lebih ideal dibanding dengan sertifikasi. Tapi apakah tuntutan yang lebih ideal akan lebih berhasil? Pengalaman juga menunjukkan keberhasilan ornop dan masyarakat menutup operasi HPH, tidak membuat hutan yang ditinggal tersebut dikelola dengan lestari. Malahan karena tidak siapnya kelembagaan

pemerintah dan masyarakat, mengakibat kawasan hutan menjadi open acces. Tantangan dari semua pendekatan tersebut adalah : apakah tuntutan yang disampaikan diadopsi dan dilaksanakan dengan baik dan tepat oleh pemerintah atau unit management. Sinergi pendetan kampanye publik, advokasi kebijakan dan sertifikasi menjadi sebuah gerakan yang simultan sulit dicapai. Karena kelompok pendukung dari masing-masing pendekatan mempunyai kepercayaan dan harapan terhadap perubahan yang berbeda-beda. Masing-masing kelompok dan pendekatan saat ini dituntut untuk membuktikan kinerjanya apakah bisa membuat perubahan yang cukup signifikan di lapangan pada kondisi masyarakat dan hutan. Sertifikasi sendiri mengalami perkembangan, setelah skema sertifikasi kurang mendapat tangapan yang signifikan dari pemerintah, pasar, maupun unit management. Saat ini berkembang pendekatan phase approach (sertifikasi dengan pendekatan bertahap) dan pengakuan berdasarkan legalitas kayu yang saat ini mendapat dukungan dari pasar dan lembaga donor. Legalitas kayu ini merupakan langkah awal untuk sertifikasi dan hanya melihat dari sudut legalitas formalnya saja. Sementara phase approach memberikan jangka waktu tertentu kepada unit management untuk mempersiapkan diri mengikuti skema sertifikasi. Persoalannya kemudian, bagaimana semua perkembangan tersebut tetap dikawal agar tidak menyimpang dari tujuan awalnya untuk mengurangi kerusakan dan meningkat kelestarian hutan. Gugatan-gugatan terhadap sertifikasi seharusnya menuntut LEI - sebagai inisiator nasional sertifikasi hutan – untuk melakukan instropeksi dan perenungan. Skema, kriteria dan indikator sertifikasi yang saat ini banyak mendapat kritik harus terus diperbaharui dan disempurnakan. Program-program yang dilaksanakan perlu dikaji ulang apakah sudah pada jalur yang benar dan tepat sesuai mandat dan kompetensi. Disamping itu, tantangan yang ada dan perkembangan yang terjadi menuntut kinerja yang lebih baik. Kinerja yang baik bisa diwujudkan dengan dukungan sumberdaya manusia yang profesional dan berdedikasi tinggi. Sumberdaya manusia yang diperlukan dituntut bekerja sebagai “aktivis”, tidak cukup hanya bekerja sebagai “karyawan” atau lebih tepatnya sebagai “buruh proyek” saja. Demikian juga kerangka program harus fokus dan diarahkan kepada hasil-hasil yang langsung sesuai mandat dan kompetensi. Jika semua itu tidak ada maka akan sulit menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam rangka melaksanakan mandat dan tujuan dari sertifikasi. Selamat bekerja dan berjuang. WARTA FKKM VOL. 9 NO. 05, MEI 2006

3


Sertifikasi Perunggu Riaupulp OLEH : MUHAMMAD AS

J

alan itu tanah yang padat, tak beraspal. Panjangnya mencapai 300 kilometer. Jalannya lebar, selebar jalan raya di kota-kota besar. Tegakan Akasia tumbuh rapat di kanan-kirinya. Saban hari ratusan truk besar melintas di jalan ini. Siang dan malam. Debu berterbangan dari truk bermuatan kayu bila melintas. Truk-truk itu membawa kayu Akasia ke pabrik pulp dan kertas milik PT Riau Andalan Pulp and Paper (Riaupulp) yang berada di Kompleks Riaupulp di Pangkalan Kerinci, ibukota Kabupaten Pelalawan. Kompleks Riaupulp berada di jalan utama Pangkalan Kerinci. Kompleks ini adalah sebuah kompleks yang besar dengan pabrik kertas dan pulp yang bekerja tanpa henti. Cerobong asapnya mengeluarkan asap putih siang dan malam.

4

WARTA FKKM VOL.9 NO.05, MEI 2006

Dibangun diatas tanah seluas 1.750 hektar, Riau Complex sebutan Kompleks Riaupulp dilengkapi dengan fasilitas wah. Bila Anda memasuki kompleks ini, Anda pasti terkagum-kagum. Di kompleks itu berdiri sebuah hotel bintang tiga, sekolah bertaraf internasional, klinik, taman rekreasi sampai lapangan golf dengan jalanjalan yang mulus. Di situ, lebih dari lima ratus rumah juga dibangun untuk karyawan-karyawan mereka. Pada malam hari, lampu-lampu dari pabrik menyala bagai perayaan pasar malam dari pusat pembangkit listrik Riau Power yang berkekuatan 435 Mega Watt.

RIAUPULP milik Asia Pacific Resources International Holdings Ltd. (APRIL) yang berkantor pusat di Singapura. Ketika mendirikan Riaupulp, APRIL

punya cita-cita : menjadi perusahaan pulp dan kertas berskala dunia. Kapasitas terpasang pabrik ini adalah 2 juta ton pulp per tahun. Di tahun-tahun pertama, perusahaan ini memproduksi 1,3 juta ton per tahun. Sekarang, pabrik mereka mampu memproduksi 2 juta ton pulp setiap tahun dan 350.000 ton kertas per tahun. Sekitar 80-90 persen produknya diekspor ke manca negara. APRIL membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk mencukupi semua kebutuhan bahan baku industrinya. Dari pemerintah, perusahaan ini memperoleh izin konsesi seluas 330.000 hektar selama 43 tahun. Dari lahan seluas 330.000 hektar itu, areal yang efektif ditanam seluas 167.610 hektar atau separuh dari luas keseluruhan. Sisanya mereka gunakan sebagai areal konservasi seluas 62.000

FOTO RIAUPULP

Pabrik Pulp dan Kertas Riaupulp di Pangkalan Kerinci terpadu dengan pengelolaan Hutan Tanaman Lestari


Sertifikasi Perunggu RiauPulp hektar dan selebihnya untuk tanaman kehidupan, infrastruktur dan areal tidak layak untuk hutan tanaman. APRIL membangun HTI pada tahun 1992 di Riau dibawah nama Riaupulp. Di tahun 1993 mereka mulai menanam akasia. Penanaman pertama kalinya dilakukan di wilayah Baserah. Pada tahun 1995 Riaupulp mulai memproduksi pulp secara komersial. Sampai dengan Maret 2006, realisasi tanaman mereka telah mencapai 294.529 hektar. Angka itu berasal dari APRIL 150.119 juta hektar, Mitra (Join Venture/Joint Operation) 121.564 hektar dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 22.846 hektar. Hutan Tanaman Industri (HTI) Riaupulp terbagi dalam beberapa estate (sektor) : Logas, Teso, Ukui, Langgam, Baserah, Cerenti, Mandau, dan Pelalawan. Saya pernah mengunjungi Estate Teso. Tujuh puluh lima kilometer dari Pangkalan Kerinci. Sekitar sektor ini terdapat puluhan desa-desa dan kawasan lindung Tesso Nilo. Luas Estate Teso 30.300 hektar. Saya ditemui Inra Gunawan, Manajer Planning Estate Teso. Orangnya masih muda, semangatnya tinggi. Indra sangat mahir menjelaskan segalanya tentang Teso. Saya sempat diajak melihat tanaman akasia di situ. Tanaman itu baru berumur 1,5 tahun, tapi tingginya sudah mencapai lebih dari lima meter. Itu pun daur kedua. Saya sempat kaget. Saya belum pernah melihat tanaman akasia umur 1,5 tahun setinggi itu. Batangnya lurus, berjejer rapi. Nyaris tak ada tanaman mati. Rasio kegagalan tanaman hanya 2%. Mereka akan dengan sigap menyulam bila ada tanaman gagal. Kata Inra tanaman tersebut riap atau MAI (Mean Annual Increment)-nya mencapai diatas

angka 40 m3/ha/tahun. Asal tahu saja, untuk tanaman serupa, biasanya MAI paling banter berkisar tak lebih dari 20 m3/ha/ tahun. “Orang luar sering bertanya bagaimana kami memenuhi bahan baku jika yang kami tanam cuma separuh dari luas areal konsesi. Padahal kita punya teknologi, kita bisa merekayasa pertumbuhan tanaman,� kata Yohannes Izmi Ryan. Yohannes, staf di Departemen Environment Riaufiber. Yohannes dikenal sangat akrab dengan proses sertifikasi di Riaupulp. Kata Yohannes, tak ada sesuatu yang tak mungkin. Riaupulp tak segan-segan menyewa ekspatriat yang mumpuni. Mereka digaji besar, dan harus bisa memberikan kemajuan bagi perusahaan. Mereka juga dituntut memberikan ilmunya kepada karyawan lokal. “Bila gagal silakan pulang kampung.�

Dulu semua kebutuhan benih akasia diimpor dari Papua dan Australia. Sekarang mereka berhasil menjadi pemasok benih akasia ke luar negeri. Di Estate Cerenti saya melihat orang-orang lokal situ terlibat dalam proses penanaman. Tak ada alat canggih yang dilibatkan dalam proses penanaman ini, semua pakai cara manual. Mereka menggali lubang dengan alat biasa dan memasukkan bibit-bibit akasia ke dalam tanah yang siap tanam. Semua pekerjaan dilakukan sesuai dengan prosedur baku mengikuti standar dunia. Pekerjaan pemanenan dilakukan dengan menerapkan kode praktik terbaik (Code of Best Practices). Hampir semuanya dilakukan secara manual. Mereka dilarang menebang pohon di luar ketentuan, seperti misalnya di zona riparian, sebuah kawasan yang diperuntukkan untuk konservasi.

Keseimbangan antara Aspek Produksi dan Lingkungan. Tanaman Akasia umur 3 bulan dengan latar belakang Kawasan Konservasi

FOTO RIAUPULP

Di Pusat Nursery Pelalawan, puluhan perempuan lokal dengan lincah membuat bibit akasia. Setiap harinya dari pusat pembibitan ini, ribuan bibit akasia dihasilkan dari tangan-tangan terampil mereka. Setiap tahun mereka mampu memproduksi bibit hingga 50 juta bibit.

Alat berat praktis hanya digunakan untuk menarik kayu yang sudah tertumpuk pada lajurlajur yang telah mereka tentukan dan tak boleh sembarangan lewat di luar jalurnya. Ini dilakukan untuk meminimalkan resiko pemadatan tanah dan erosi akibat penebangan.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 05, MEI 2006

5


FOTO RIAUPULP

Kawasan Lindung di Estate Teso - Riaupulp

Riaupulp mengembangkan hutan tanaman dengan konsep mosaik, yaitu suatu strategi untuk mengelola sumber daya dan nilainilai konservasi melalui pengelolaan hutan tanaman lestari yang menyeimbangkan antara kebutuhan komersial, lingkungan dan sosial. Artinya tidak seluruh kawasan yang diperoleh ditujukan untuk tanaman pokok, tapi lebih dari separuhnya digunakan pula untuk kawasan konservasi dan enclave. Paling sedikit 20% dari kawasan yang ditetapkan diperuntukkan buat pemeliharaan keanekaragaman hayati, perlindungan ekosistem dan koridor satwa. Saya mengunjungi dua diantara kawasan konservasi mereka, di Estate Teso dan Estate Cerenti. Kawasan ini tak ubahnya seperti hutan alam di tengah hamparan hutan tanaman. Memasuki kawasan ini, seperti berada di hutan belantara. Macam-macam pohon tumbuh, besar dan kecil. Beberapa diantaranya dibiarkan tumbang. Tak jarang beruang madu melintas di kawasan ini. Saya sempat melihat bekas cakaran binatang ini pada sebuah pohon. Masih baru. Gajah, harimau, juga sering melintas.

6

WARTA FKKM VOL.9 NO.05, MEI 2006

Pemantauan rutin dilakukan untuk mengamati keragaman spesies. Puluhan pohon besar difungsikan sebagai pohon induk. Namun keberhasilan mereka membangun hutan tanaman, tak bisa dengan mudah menghapus stigma buruk Riaupulp. Kampanye-kampanye sekelompok LSM di Riau sering menghubungkan Riaupulp dengan maraknya illegal logging di Propinsi Riau. Riaupulp juga dituduh mencaplok tanah warga. Awal tahun ini, ketika perusahaan memperoleh sertifikat Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL) sistem LEI, sekelompok LSM ramai-ramai berkeberatan.

SAYA MEWAWANCARI ELIEZER P Lorenzo, Manajer Departemen Environment Riaufiber. Elie, orang Philipina. Kalau bicara bahasa Indonesianya masih campurcampur dengan bahasa Inggris. Departemen Environment baru dibentuk pada 1999. Departemen ini disebut-sebut sebagai garda depan perusahaan agar pengelolaan HTI yang mereka lakukan bukan hanya punya perhatian pada sustainability produksi, tapi juga pada aspek lingkungan dan sosial. Kepada saya Elie mengatakan sertifikasi bagi Riaupulp merupakan sebuah keharusan untuk menjalankan visi misi perusahaan menjadi perusahaan terbaik di dunia “It’s the right thing to do,� katanya. Elie juga bilang sertifikasi yang dilakukan perusahaan bukan dipersiapkan kemarin-kemarin, tapi telah direncanakan sejak lama. Pada tahun 1998, Riaupulp sudah mempersiapkan proses sertifikasi ini dengan menggandeng SGS untuk melakukan audit terhadap kinerja perusahaan. Agar sasarannya lebih terfokus, SGS

merekomendasikan agar perusahaan membentuk departemen yang khusus membidangi masalah tersebut. Pada 1999 Departemen Environmentpun terbentuk. Pada tahun 2001 dan 2002 seluruh sektor di Riaupulp yang pada saat itu berjumlah sepuluh sektor mendapat sertifikat ISO 14001 (Sistem Manajemen Lingkungan-red) Pada 2002, ketika banyak perusahaan kehutanan dilanda isu penggunaan kayu liar, Riaupulp tak lepas dari isu tersebut. Di tahun itu, Riaupulp mengundang pihak ketiga, yaitu SGS International dan WWF untuk membuat protokol Wood Tracking. Protokol itu berisi prosedur monitoring dan inspeksi areal sumber bahan baku yang akan dipasok ke Riaupulp. Penerapan protokol ini diaudit oleh SGS International dan WWF sebagai pengamat. Adanya protokol ini menjamin semua bahan baku yang

Pelabelan Pohon di Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) di Estate Teso FOTO RIAUPULP

masuk ke pabrik berasal dari sumber yang legal. Ketika protokol ini diterapkan, banyak supplier yang memprotes Riaupulp karena kayu mereka tidak boleh masuk ke perusahaan. Banyak supplier yang diputus kontraknya karena di lokasi IPK tidak ditemui kegiatan logging, stock kayu, bahkan ada areal IPK yang berupa kebun sawit. Kepada supplier pemegang faktur dari areal


Sertifikasi Perunggu RiauPulp IPK seperti ini kayu mereka tidak bisa masuk ke pabrik meski dilengkapi dengan dokumen faktur yang lengkap. Sebabnya jelas, asal kayu yang tercantum di dokumen faktur berbeda dengan asal kayu sesungguhnya. Saat ini, Riaupulp berusaha memperoleh sertifikat dari dua skema sertifikasi : Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC). Mereka berharap dengan mengikuti kedua skema sertifikasi itu pengelolaan hutan tanaman mereka sesuai dengan standar Nasional dan Internasional. Sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL) sistem LEI sudah mereka peroleh di awal tahun ini. Di Indonesia, Riaupulplah yang menjadi perusahaan pertama yang memperoleh sertifikat ini. Riaupulp juga ingin meraih sertifikat pengelolaan hutan lestari dari FSC. Meski prosesnya sulit, mereka bertekad melakukannya. Elie optimis bisa memenuhi persyaratan FSC dengan konsep mosaik pada pengelolaan HTI yang mereka lakukan. Mereka hanya terbentur pada aturan FSC. Skema FSC tak mau mensertifikasi HTI yang dibangun di atas tahun 1994. LEI hanya mensertifikasi wilayah Riaupulp yang masuk dalam SK 137/Kpts-II/1997. Total wilayah yang disertifikasi mencapai 159.500 hektar. Riaupulp sebenarnya bisa saja mensertifikasi seluruh HTI mereka “Tapi karena tata batas yang belum tuntas, tidak semua wilayah bisa disertifikasi,” kata Yohannes.

JIKALAHARI SEBUAH lembaga jaringan aktifis lingkungan di Riau. Anggota jaringan ini sebagian besar LSM, namun adapula yang berasal

Tanaman Akasia umur 1 tahun FOTO RIAUPULP

dari mahasiswa pecinta alam (MAPALA). Jikalahari aktif menyerukan penyelamatan hutan Riau. Mereka tak sudi kalau hutan alam Riau hancur gara-gara kayunya terus diambil guna memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu di Riau. Yang dimaksud industri kayu di Riau salah satunya adalah Riaupulp. Saya bertemu dengan Ahmad Zazali, Wakil Koordinator Jikalahari di kantor mereka. Kepada saya, Zazali mengatakan, “ Ketika Riaupulp masih membabat hutan alam, Jikalahari akan tetap bersikap kritis kepada mereka.” Jikalahari salah satu LSM yang berkeberatan terhadap sertifikasi PHTL LEI yang diperoleh Riaupulp. Bersama mereka ada HAKIKI, AMAR, WALHI Riau dan Elang. Zazali menyebut banyak dosadosa Riaupulp yang belum terungkap dalam penilaian sertifikasi Riaupulp. “Wilayah yang disertifikasi itu dulunya adalah hutan alam,” katanya. Data Jikalahari menyebutkan, sampai dengan tahun 2005, Riau telah kehilangan hutan alam seluas 3 juta hektar. Dari luas total hutan

alam Riau, luas HTI Riaupulp yang berada di hutan alam memang masih terbilang kecil, hanya 105.000 hektar. Tapi bila ditambah luas konsesi HTI mitra Riaupulp, luasan HTI mereka jadi besar. HTI mitra Riaupulp yang berada di hutan alam mencapai 170.000 hektar. Kata Zazali, dengan cara seperti itu Riaupulp selalu bisa berlindung dari tuduhan pembuat bencana di Riau “Cerdiklah pokoknya” . Kerusakan hutan alam Riau memang telah menyebabkan bencana banjir di propinsi itu. Banjir pada 2003 telah membuat kerugian 800 milyar atau setara dengan 60% total APBD Propinsi Riau di tahun itu. “Memang tidak seratus persen bencana itu disumbang Riaupulp. Ada satu perusahaan besar lagi yang ikut menyumbang,” ucap Zazali. Jikalahari juga menuding Riaupulp tak mematuhi peraturan. Di areal HTI yang masuk SK 137/ Kpts-II/1997, perusahaan ini masih melakukan penebangan hingga ke bibir sungai. Semua kayu ditebang dan hanya menyisakan sisa-sisanya saja. “Termasuk di areal konservasi?” tanya saya. “Kayu-kayu besar di situ juga ikut ditebang, paling tinggal semak belukar,” jawab Zazali. Pernyataan Zazali ini agak janggal di kepala saya. Bukankah saya melihat sendiri banyak pohon besar masih tumbuh di areal konservasi Riaupulp? Zazali juga menyebut Riaupulp melakukan penyerobotan lahan milik masyarakat. Pihak perusahaan sering menggunakan cara-cara militeristik dalam menyelesaikan kasus tersebut. Itu terjadi di Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam. Soal klaim lahan ini, saya dapat cerita dari Patra Budianto, Direktur

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 05, MEI 2006

7


HAKIKI. Patra bilang di Desa Kuntu, desa yang letaknya di sebelah selatan kawasan suaka margasatwa Bukit Rimbang - Bukit Baling, banyak tanah ulayat yang diklaim perusahaan. Riaupulp menyatakan mereka hanya mengunakan 1.500 hektar, tapi warga menyatakan lebih besar dari itu. Luas lahan yang mereka klaim mencapai 1.800 hektar. “Itu hasil pemetaan partisipatif warga setempat,” kata Patra. Pada 2004, ketika proses penilaian sertifikasi berjalan, konflik juga terjadi di Desa Koto Baru. Warga menyita alat berat milik perusahaan. Mereka juga bentrok dengan satuan keamanan Riaupulp.

“Kalaupun diselesaikan birokrasinya panjang. Kadang penyelesaian di estate lebih lama dari pada kalau diselesaikan di manajemen Riaupulp di Kerinci” Pihak Riaupulp menyatakan semua permasalahan tersebut telah diselesaikan dengan cara musyawarah dan hasilnya disepakati oleh semua pihak terkait. HAKIKI sebenarnya menerima konsep sertifikasi. Namun buat Riaupulp, Patra mengatakan “Oke sertifikasi kalau konflik sosial ini semuanya selesai”. Sistem LEI, kata Patra, punya kelemahan pada skoring nilai. Di sistem LEI, nilai suatu aspek yang lebih tinggi bisa menutupi nilai

Keterlibatan Masyarakat Sekitar dalam Proses Produksi Benih Akasia di Riaupulp

FOTO RIAUPULP

Ketika saya mengkonfirmasi kasus ini kepada Riaupulp, Sera Noviany dari Departemen Environment Riaufiber membenarkan kasus itu. “Kami menyayangkan kejadian yang tidak diharapkan tersebut terjadi. Tapi pada waktu itu, kami sebenarnya datang dengan baikbaik untuk mengambil alat berat tersebut”, katanya. Menurut Patra, penyelesaian konflik itu tak pernah tuntas. Dulu konflik-konflik itu diselesaikan dengan menggunakan cara-cara kekerasan, sekarang masyarakat menuntut balik.

8

WARTA FKKM VOL.9 NO.05, MEI 2006

aspek lain yang lebih rendah. HAKIKI belum bisa memastikan aspek mana yang lebih tinggi dan aspek mana yang masih lemah. Dalam sertifikasi sistem LEI, ada tiga aspek yang dinilai. Pertama soal aspek produksi, kedua apek lingkungan, dan ketiga aspek sosial. Proses sertifikasi LEI juga melibatkan para pihak (stakeholders). Tentang kelemahan sertifikasi skema LEI ini memang banyak diungkap. WWF Riau bahkan mengaku tak mendukung sistem sertifikasi skema LEI, mereka lebih

mendukung skema FSC. Meski begitu, mereka pernah diundang untuk dimintai pendapatnya. Arif Budiman dari WWF Riau mengatakan, sertifikasi LEI hanya mengutamakan aspek manajemen saja. Padahal, kata Arif, ada beberapa hal yang juga perlu mendapat penekanan, diataranya soal konservasi. WWF adalah lembaga yang concern pada konservasi. WWF lama menjalin kerjasama dengan Riaupulp dalam perjanjian akses jalan, pencegahan illegal logging di Tesso Nilo dengan membentuk gugus tugas (task force), termasuk pula kolaborasi program Elephant Flying Squad, sebuah program untuk mengurangi konflik antara gajah dan manusia (human elephant mitigation conflict) dan sebagai upaya penyelamatan Gajah Sumatra. WWF sebenarnya ingin mencabut HTI terutama pada arealareal yang riskan. Tapi itu sulit dilakukan karena terbentur aturanaturan. Sekarang WWF memilih untuk menjaga kekhasan daerah tertentu. “Silahkan APRIL membangun HTI dimana saja, asal mereka melindungi areal-areal penting bagi konservasi atau high conservation value forest.” Arif bilang sampel yang diambil dalam sertifikasi di Riaupulp kurang representatif. Arif juga keberatan soal kawasan yang disertifikasi. “Areal yang disertifikasi LEI adalah areal konsesi SK 137, padahal ada beberapa areal konsesi yang berdampingan dengan kawasan yang tidak masuk sertifikasi.” Soal sampel yang kurang representatif juga dikritik Zazali. Dia bilang, dari 85 desa yang ada, hanya diambil 15 desa. Itu pun waktunya singkat. Tim penilai hanya berada di sana sehari, bahkan ada yang setengah hari saja. Kedatangan tim penilai atau


Sertifikasi Perunggu RiauPulp FOTO RIAUPULP

asesor ke lapangan yang didampingi orang-orang Riaupulp juga dikritik Zazali. Menurutnya ini berakibat buruk pada hasil yang didapat. Dosa-dosa Riaupulp menjadi tidak terkumpul dengan baik. “Mereka adalah orang luar, tentu saja Riaupulp akan mengajak mereka menemui orang-orang yang cenderung pro, sementara yang kontra tak ditemui.” Pemanenan Hutan Zazali juga Tanaman Riaupulp menganggap proses dilakukan berdasarkan sertifikasi yang dijalankan Standar Operasi tidak transparan. Tidak yang tinggi, semua stakeholder tahu Efisiensi Operasi dan Minimalisasi soal ini meski pihak Dampak Riaupulp mengaku sudah Lingkungan di mempublikasikan proses Lokasi Pemanenan sertifikasi jauh sebelumnya di media massa. “Kita langganan koran tapi tak pernah Ketika proses sertifikasi tahu,” kata Zazali. Dia mengaku berjalan, FKD berperan baru tahu kalau Riaupulp sudah mengumpulkan para stakeholder memperoleh sertifikasi setelah Riau guna memberikan masukan. Riaupulp membuat iklan besar- Mereka menggelar konsultasi. besaran di media cetak dan Wakil-wakil dari kamar hadir elektronik tentang sertifikasi ketika itu. Di situ hadir 15 mereka. Zazali malah menganggap perwakilan masyarakat, 1 iklan itu adalah sebuah perwakilan akademisi, 3 perwakilan pembohongan publik. perusahaan, 6 perwakilan lembaga Zazali punya pendapat pelibatan sertifikasi, 5 orang perwakilan publik tak bisa hanya sebatas pemerintah, 7 orang dari anggota publikasi di koran-koran karena FKD. tidak semua publik mengakses Sementara dari LSM, hadir 15 koran. Dia usul agar Asesorlah orang termasuk dari Jikalahari. yang proaktif melakukan sosialisasi, Namun kepada saya, Zazali karena sertifikasi ini adalah barang mengatakan Jikalahari tak pernah baru. “Di sini ada FKD, seharusnya dimintai pendapatnya soal sertifikasi juga bisa digunakan untuk ini. memperoleh masukan”. Saya menemui koordinator FKD singkatan dari Forum FKD, Harry Oktavian di Komunikasi Daerah. Ini adalah Pekanbaru. Harry bilang ketika lembaga yang dibentuk untuk proses penilaian sertifikasi berjalan, kepentingan sertifikasi di daerah. terjadi dinamika di internal FKD. Keanggotaannya multipihak, ada Saat itu, tak jarang mereka yang dari masyarakat, pengusaha, mengadakan pertemuan. Di situ akademisi hingga LSM. Masing- kerap dibicarakan sertifikasi yang masing wakil diberi istilah “kamar”. sedang dilakukan di Riaupulp. “Tapi

mereka yang hadir, kadang tidak mensosialiasikan hasil pertemuan kepada kamarnya masingmasing,” katanya. Saat Riaupulp memperoleh sertifikat, FKD dituduh menjadi penyokong Riaupulp. Padahal Harry pun tak sepenuhnya melihat pengelolaan HTI Riaupulp sudah sempurna. “Tak bagus-bagus amat kok,” katanya. Kepada saya, Harry mengaku salut atas komitmen Riaupulp mau terbuka dan dinilai banyak orang. Kepada LSM yang berkeberatan, Harry berharap mereka bisa lebih bijak memandang persoalan. Sertifikasi LEI yang sudah memiliki standar-standar, seharusnya menjadi pijakan mereka dalam menyatakan keberatannya. Ketika saya menemui Fadrizal Labbay dari Dinas Kehutanan Propinsi Riau juga bilang soal standar ini. Labay menyinggung soal standar sertifikasi LEI yang memakai kuisioner tanpa ada analisis terhadap hasil kuisioner itu. Dia menyindir “Kalau standarnya seperti itu anak SMA juga bisa”. Tentang sertifikasi LEI kepada Riaupulp, Labay enggan berkomentar “Tak ada sesuatu yang mesti dibahas lagi,” katanya. Sampai sekarang, pro dan kontra masih terjadi seputar sertifikasi PHTL kepada Riaupulp. Kepada saya Harry mengatakan ini adalah sebuah proses. Dia juga bilang “Sertifikasi yang Riaupulp peroleh standarnya masih perunggu, bukan perak atau emas. Jadi orang bisa melihat, bahwa perusahaan itu masih perlu ada perbaikan”, katanya.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 05, MEI 2006

9


Kolom

Selamatkan Hutan Tropis di New G OLEH: DOMINGGUS A MAMPIOPER

D

irektur WWF Indonesia Region Sahul Papua Drs Ben V Mambai MSc pernah mengungkapkan,”Hutan di Tanah Papua ibarat surga dunia yang menyimpan berbagai keindahan spesies kayu sehingga pengelolaannya perlu ditangani secara baik.” Menurut Mambai contoh pengelolaan hutan yang berhasil dengan melibatkan masyarakat lokal dilakukan Negara tetangga Papua New Guinea bersama LSM setempat. “Saya kira di Provinsi Papua bisa saja dicontoh karena kultur dan budaya masyarakat Provinsi Papua dan PNG memiliki kemiripan ,”ujar Mambai Pendapat senada juga dikatakan Ir Lindon Pangkali mantan Koordinator Forest Watch Indonesia Regio Papua. Program Ecoforestry di Papua New Guinea sangat maju karena sudah berjalan beberapa tahun. Bahkan ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu mengekspor kayu dengan memakai standar ekolabel,”ujar Pangkali. Ditegaskan masyarakat di PNG khususnya di Provinsi East New Britain sudah mampu mengekspor kayu sampai ke Eropah. “Saya sudah pernah melihat langsung di lapangan bagaimana kegiatan masyarakat pemilik kayu di PNG,”ujar Pangkali. Menurut mantan wartawan Post Courier PNG dan kini menjadi koordinator komunikasi dan informasi Ecoforestry Forum di Papua New Guinea Joe Meava bahwa selama 13 tahun perusahaan hutan skala besar (mirip HPH di Indonesia) sejak tahun 1970 an hingga 1980 an jelas sangat mempercepat dan mempengaruhi kerusakan hutan di sana. Pengusahaan hutan di sana terutama sangat didominasi oleh perusahaan Australia yang beroperasi di New Guinea Island dan Higlands Regions. Namun memasuki tahun 2000 hingga sekarang sangat didominasi oleh perusahaan perusahaan dari negeri jiran Malaysia. Dijelaskan hingga tahun 1990-an PNG telah mengeksport tiga juta kubik log per tahun sedangkan tahun 2001 mengeksport 1,3 juta kubik log. Jadi antara tahun 1993 dan 2001 telah over produksi loging dengan total eksport sebesar US $ 2,5 juta. Kini usaha loging skala kecil menjadi prioritas karena masyarakat menyadari bahwa usaha hutan skala besar justru mempercepat

10

WARTA FKKM VOL.9 NO.05, MEI 2006

rusaknya hutan alam masyarakat. Masyarakat PNG sudah menyadari bahwa nasib hutan ada di tangan mereka karena itu mereka memakai slogan,” Tommorow forest in your hands.” Untuk membantu masyarakat adat mengelola hutan skala kecil atau small scala sawmilling banyak LSM di PNG memberikan dampingan terutama yang tergabung dalam Ecoforestry Forum PNG. Salah satu contoh adalah kegiatan pendampingan masyarakat adat di Provinsi Madang yakni di Kampung Balilna yang didampingi oleh sebuah LSM bernama Foundation for People and Community Development Inc.(FPCD) sedangkan di Kampung Kimbe East New Britain Province ditangani langsung oleh European Union Island Region Environment and Community Development Program. Masyarakat di kampong Kimbe sudah memperoleh sertifikat dari The Forest Stewardship Counsil (TFSC) sejak tahun 1994. Kriteria untuk memperoleh sertifikat hasil hutan secara lestari ternyata bukan sesuatu yang gampang sebab pembiayaannya sangat mahal dan penilaiannya harus melalui beberapa pentahapan. Sertifikasi dilakukan secara terbuka dan mendapat dukungan aktif dari masyarakat maupun lembaga penting lainnya di PNG. Ada beberapa tahap penting yang harus dilalui antara lain permohonan, kunjungan ke lapangan melihat pengelolaan hutan, mempertimbangkan kembali dokumen pengelolaan hutan berupa pendataan hasil produksi dan hasil cruising timber, penilaian kembali hasil temuan di lapangan, meneliti kembali hasil temuan lapangan secara mendalam, pemberian sertifikasi dan lebelisasi produk kayu serta terakhir mempertimbangkan kembali secara periodik. Penilaian pemberian sertifikasi dan labelisasi produk dilakukan selama setahun. Pemberian sertifikasi sangat mahal dan di PNG harus disesuaikan dengan karakter dan budaya setempat. Misalnya lahan hutan yang akan dikelola harus milik klen tertentu dan tidak berada dalam sengketa atau pun perselisihan antar marga. Prinsip-prinsip dari The FSC adalah harus mempunyai pola pengelolaan hutan yang baik meliputi penyesuaian dengan prinsip-prinsip hukum di PNG maupun Intenasional. Masyarakat adat pemilik tanah dan


Guinea pemanfaatannya secara bertanggung jawab, masyarakat dengan adat istiadatnya selalu mengelola hutan secara lestari. Hubungan baik dan komitmen hak-hak tenaga kerja, keuntungan yang diperoleh dari hasil hutan bagi pembangunan gedung sekolah, rumah. Pengelolaan hutan harus selalu respek terhadap dampak-dampak lingkungan, perencanaan pengelolaan hutan dalam pemanfaatan dan melindungi hutan, memonitoring dan menilai potensi hutan, memelihara nilai-nilai konservasi, penanaman kembali hutan secara teratur. Kegiatan LSM atau NGO di PNG hanya sebatas menjadi pendamping masyarakat adat atau masyarakat basis yang disebut Community Base Organise (CBO). Kalau masyarakat tersebut sudah mapan dan mandiri maka NGO melakukan kegiatan pendampingan kepada CBO lainnya. Meski belajar dari Negara PNG tetangga sebenarnya konsep pengelolaan hutan di Provinsi Papua pernah dilakukan dengan memakai model Kopermas tetapi masih menemukan beberapa kendala yang melahirkan banyak illegal loging di Provinsi tertimur di Indonesia ini. Dari data-data yang dihimpun penulis jenis-jenis kayu yang diambil oleh beberapa pemegang HPH di Provinsi Papua meliputi jenis kayu Matoa ( Pometia spp), Bitanggur (Callophylum spp), Libani (Pterighata spp), Medang (Litsea spp), Tertentang (Campnosperma), Kayu susu (Alstonia spp, ) Duabanga Malucana, Manikara spp, Homaltum Futidumbena, Binuang (Octomeles sumatrana), Jabon (Anthocapallus cadamba), Nyatoh (Pallaqium spp), Jeujing (Albezia falcataria), Agathis Alba, Piak (Buchanania spp), Kedondong (Spondias dulcis), Ketapang Hutan, Pulai (Alstonia scholaris), Bipa (Pterygotha alata), Seman (Sterculla spp), Kayu Besi atau Merbau (Intsia spp), Grepau (Koordersiondendrom pinnatum) Sementara itu menurut dosen Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Manokwari dan mantan Rektor Uncen Ir Frans Wospakrik MSc sumber hutan di tanah Papua (Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat) sangat beraneka ragam antara lain ; (1) Kayu dengan AAC minimum sekitar 3,9 juta

meter kubik. (2) Rotan dengan daya produksi 19, 3 Kg/Ha. (3) Minyak kayu putih (120.000 ha) daya produksi 2 ton/Ha. (4) Buaya yang hidup pada habitat 6,3 juta hektar dengan populasi lebih kurang 2,6 juta ekor serta banyak potensi lainnya. Jika dilihat dari potensinya maka jelas Wospakrik di Papua terdapat sekitar 1.812 jenis pohon dan dari jumlah tersebut yang baru diindentifikasi nama botaninya baru 435 jenis dan 96 jenis di antaranya adalah jenis yang telah dimanfaatkan atau dikenal dengan nama matoa group antara lain Intsia group, Agathis group dan Rhizopora. Peneliti dan biolog dari Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa (YPMD) Papua alm.Drs Jaan Piet Baransano mengatakan keterikatan suku-suku asli papua dengan hutan dapat dilihat dari cara hidup mereka. Misalnya saja jika mereka sakit biasanya menggunakan dedaunan tanaman yang diambil dari hutan sebagai obat penawar rasa sakit. Suku Tepera dari Distrik Depapre Kabupaten Jayapura Provinsi Papua biasanya menggunakan jenis kayu Terminallis Catappa atau dalam bahasa suku Tepera disebut sarisi sebagai obat penawar kanker dan pembersih paruparu. Selain jenis diatas ada juga tanaman lain yang juga bisa dijadikan obat penawar sakit serupa misalnya kayu besi ( Intsia spp) atau dalam bahasa suku Tepera disebut Yamao Yonso. Karena itu jelas bahwa ada hubungan antara masyarakat asli dengan keberadaan hutan yang berfungsi sebagai gudang makanan dan sumber obat-obatan. Hal ini bisa terbukti dengan keberhasilan Drs I Made Budi MSc dosen Fakultas Biologi MIPA Uncen berhasil meneliti buah merah (Pandanus) yang membawanya sebagai salah seorang milyuner Papua dan kini melanglang buana ke Rusia dan China. Memang hutan alam tropis New Guinea ini banyak menyimpan misteri dan keraifan local yang belum digali dan diteliti seluruhnya. Karena itu sangat disayangkan kalau sampai hutan alam tropis di Indonesia yang tersisa ini harus punah sebelum kita memperoleh manfaat bagi kesehatan dan kehidupan umat manusia. Penulis tinggal di Papua WARTA FKKM VOL. 9 NO. 05, MEI 2006

11


Berita

Jawa Oh Jawa

FOTO WARTA

Degradasinya Hutan Jawa terus meningkat sementara jutaan penduduk menggantungkan hidupnya dari hutan tersisa. Rapot merah bagi hutan Jawa?

A

pa yang tersisa dari hutan Jawa? Data terakhir menyebutkan, dari 3 juta hektar hutan yang masih tersisa di Pulau Jawa, diperkirakan hanya 1,5 juta yang masih dalam kondisi baik. Sisanya, sekitar 700 ribu hektare saat ini dalam kondisi kritis dan sangat kritis. Dulu, pertengahan abad ke-18, hutan alamnya diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Sekarang jumlah hutan alami di Jawa-Madura hanya berkisar 773,5 ribu hektar. Sisanya berupa hutan dengan tanaman sejenis yang mayoritas ditanami jati, pinus, dan mahoni seluas 1.396,9 ribu hektar. pada hutan Jawa. Ini berarti hutan di pulau berpenduduk paling padat ini cuma menutup 16,2% dari seluruh pulau seluas 13.411.000 hektar ini. Sangat jauh dibawah angka 30% yang menjadi batas minimum cukupnya luas hutan untuk menjadi penyangga lingkungan.

12

WARTA FKKM VOL.9 NO.05, MEI 2006

FOTO WARTA

Data-data tersebut dihimpun Java Learning Center (JAVLEK), sebuah jaringan LSM yang concern terhadap isu hutan Jawa. Menurut cacatan mereka, luas hutan yang tinggal secuil ini masih akan terus berkurang. Sebab permintaan kayu dari industri

pengolahan kayu di Jawa begitu tinggi, belum lagi maraknya pasar gelap bagi kayu-kayu curian. Dampak menipisnya hutan ini sungguh terasa dengan munculnya berbagai bencana alam khususnya banjir dan tanah longsor yang mengerikan. Dan dua bencana alam yang terjadi awal tahun di Jember dan Banjarnegara adalah bukti betapa rentannya alam di Jawa. Di Wilayah Jawa-Madura yang masuk dalam kategori sangat rawan terhadap bencana banjir dan erosi luasnya sekitar 1.810,3 ribu hektar. Daerah yang berdasar kondisi fisiknya berpotensi menimbulkan bencana ini seharusnya ditanami oleh tumbuhan kayu untuk memperkecil kemungkinan terjadinya longsor dan banjir. Sayangnya, ada sekitar 856,815 ribu hektar dari kawasan rawan bencana ini yang tidak berhutan. “Bahkan karena sebab yang sangat sederhana bisa menjadi bencana yang mengerikan. Seperti di Jember, hanya gara-gara tanggul bobol kemudian menjadi bencana yang merenggut banyak korban,� kata Hery dari Javlec. Greenomic Indonesia, sebuah LSM yang kerap menghitung nilai ekonomi hutan pernah menghitung, jika kerusakan hutan Jawa terus berlangsung, potensi kerugian ekonomi yang mungkin terjadi bisa mencapai Rp 136,2 triliun per tahun. Angka ini berdasarkan perhitungan kerusakan fungsi ekologis daerah aliran sungai dan kerusakan berbagai sektor ekonomi karena bencana alam, seperti banjir, longsor, dan kekeringan.


Studi Greenomics pada Januari 2006 menunjukkan, selama 20022004 deforestasi di Jawa mencapai 102 ribu hektare. Kondisi ini terjadi pada 40 ribu hektare kawasan konservasi dan 62 ribu hektare hutan lindung. Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah adalah provinsi penyumbang terbesar deforestasi di Pulau Jawa. Akibat deforestasi itu, ujar Elfian, terjadi degradasi 330 ribu hektare hutan. Degradasi terjadi pada 76 titik di kawasan konservasi dan hutan lindung di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Degradasi kawasan konservasi diperkirakan seluas 133 ribu hektare, sementara hutan lindung mencapai 197 ribu hektare. Menurut dia, kerusakan hutan akibat degradasi dan deforestasi ini menyebabkan terganggunya 10,7 juta hektare lahan di 123 titik daerah aliran sungai. “Kalau tidak ada intervensi pemerintah, pada 2008 hutan alam Jawa akan punah,” tutur Elfian. Agus Afianto dari Info Jawa sebuah lembaga yang menyediakan layanan data hutan di Jawa menyebutkan, tingginya degradasi kerusakan hutan ini menunjukan adanya kegagalan pengelolaan hutan yang selama ini mengacu pada negara dan pengusaha. Yang dimaksud Agus tak lain adalah kegagalan Perhutani mengelola hutan Jawa. Di Pulau Jawa, Perhutani mengelola 80% hutan Negara sejak tahun 1962. Selama puluhan tahun hutan Jawa dieksploitasi secara sepihak oleh Perhutani, sementara jutaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Jawa tetap hidup dalam kemiskinan. Javlec menyebut, ada lebih dari 4 juta kepala keluarga di Pulau Jawa yang tinggal di daerah yang berbatasan atau ada di kawasan hutan. Mereka umumnya miskin,

berpendidikan rendah, tidak memiliki keahlian selain bertani, dengan angka pengangguran yang tinggi. Tak jarang mereka dituduh

Ada lebih dari 4 juta kepala keluarga di Pulau Jawa yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Mereka juga butuh hidup

sebagai perusak hutan dan pencuripencuri kayu. Kata Agus, tingginya pencurian kayu di hutan Jawa terjadi lebih karena masyarakat sekitar hutan

tak pernah dilibatkan dalam pengelolaan hutan di wilayahnya. “Karena bagaimanapun mereka juga butuh biaya hidup,” kata Agus. Kadangkala untuk mencukupi kebuhan hidup mereka, penduduk sekitar hutan mau diajak para cukong kayu jadi penebang kayu. Kalau pun tidak, mereka tak akan ambil pusing jika terjadi pencurian kayu di hutan sekitar tempat tinggal mereka. “Kalau masyarakat diberi hak kelola, ternyata hutan Perhutani ternyata juga cukup aman dari penjarahan. Karena masyarakat mendapat sumber ekonomi mereka,” katanya. Menteri Kehutanan MS Kaban pun mengakui jika Hutan di Jawa mengalami salah urus. Selain tanamannya nyaris habis, hutan di Jawa juga kurang memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan. Kata Kaban, jika hal ini dibiarkan, Hutan Jawa melaju kencang menuju kematian. Kaban juga tak segan-segan memberi nilai merah untuk Hutan Jawa. MUHAMMAD AS (MIOL, KORAN TEMPO, KOMPAS)

FOTO WARTA

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 05, MEI 2006

13


Hutan Alam Kalsel Habis

INI SUNGGUH mengerikan. Kalimantan yang dulu dikenal sebagai ladangnya kayu, kini tak lagi punya hutan alam tropis basah dataran rendah. Hutan di propinsi itu habis karena terus dieksploitasi sejak tahun 1968. Sejak tahun itu industri kayu memang banyak terkonsentrasi di Kalsel. Propinsi ini jadi pilihan industri kayu karena infrastrukturnya memadai dan jalur angkutan lautnya paling ramai.

“Hutan Kalsel paling cepat habis dibandingkan dengan hutan di tiga provinsi lainnya di Kalimantan, “ Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Sony Partono. Kini hutan alam yang tergolong cukup baik di propinsi seluas 37.530 kilometer persegi ini hanya ada di beberapa bagian Pegunungan Meratus. Di situ pun tampaknya rawan eksploitasi karena kawasan tersebut kini berubah menjadi kawasan tambang. Sony bilang jika hutan di Meratus ini tak terselamatkan, Kalsel menjadi provinsi pertama di Kalimantan yang kehabisan hutan alam. (KOMPAS)

Korupsi Dana Reboisasi KEPALA Dinas Kehutanan Barito Selatan, Wnrs diduga kuat melakukan tindak korupsi korupsi Dana Alokasi Khusus - Dana Reboisasi (DAK-DR) tahun anggaran 2004 dan 2005 di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Kejaksaan Negeri Buntok telah menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Wnrs ditetapkan sebagai tersangka setelah Kejaksaan Negeri (kejari) Buntok memeriksa dua tersangka kasus yang sama. Kedua tersangka tersebut adalah Jtrm dan Ed, yang sudah ditahan. Mereka merupakan pemegang kas dalam proyek DAK-DR 2004 dan 2005

14

senilai sekitar Rp 11 miliar. Kejari Buntok juga akan memeriksa Bupati Barito Selatan Baharudin H Lisa sebagai saksi. Menurut Jaksa penyidik Kejari Buntok, Slamet Harijadi, kejanggalan terjadi dalam pelaksanaan reboisasi untuk tahun 2004 dan 2005 di Barito Selatan di antaranya berupa ketidaksesuaian lahan yang direboisasi dengan lokasi yang semula direncanakan.

WARTA FKKM VOL.9 NO.05, MEI 2006

(KOMPAS)

FOTO EIA/TELAPAK

Olimpiade 2008 Ancam Hutan Indonesia PESTA OLAH raga dunia tahun 2008 di Baijing diduga akan membuat hutan alam Indonesia makin babak-belur. Loh apa hubungannya?. Pasalnya Republik Rakyat Cina dan Komite Olimpiade Internasional akan menggunakan kayu Merbau asal Indonesia sebanyak 800 ribu meter kubik untuk membangun fasilitas olahraga Olimpiade 2008 di Beijing. Sumber dari Friends of the Earth menyatakan sebuah badan usaha milik negara Cina sudah berencana untuk menginvestasikan satu milyar dollar untuk pengolahan kayu dan membeli kayu Merbau dari propinsi Papua, Indonesia untuk proyek tersebut. Pemerintah Indonesia pun setuju atas rencana ini, meski Pemerintah Indonesia tahu benar akan dampak kerusakan dari penebangan industri yang dilakukan di Papua. Chalid Muhammad dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang merupakan Friends of the Earth Indonesia menyebut keinginan Cina untuk membangun fasilitas Olimpiade dari kayukayu yang berasal dari hutan hujan adalah tindakan yang memalukan. Chalid meminta Komite Olimpiade Internasional untuk segera menghentikan rencana tersebut. Menurut Chalid, Republik Rakyat Cina dan Komite Olimpiade Internasional ini telah melanggar Piagam Olimpiade. “Komite Olimpiade Internasional harus bertindak sekarang. Kalau tidak, ini akan menghancurkan kredibilitas dan reputasi Komite,” kata Cholid.


SURAT Berlangganan Seandainya......

Sendainya aku bisa dapat WARTA, aku ga buta beritaberita hutan kita?

Saya adalah seorang rimbawan yang tugas di Kabupaten Lombok Timur (NTB), yang ingin saya tanyakan dalam kesempatan ini adalah apakah ada “Warta FKKM” yang gratis sebab saat saya kuliah, dosen saya mengatakan ada yg gratis dimana pengirimannya secara kontinyu. Kalau memang ada tolong kirimkan ke alamat saya karena “Warta FKKM” merupakan wahana untuk menambah wawasan dalam bidang kehutanan. Salam Rimbawan. Ariadi, S.hut Lombok, NTB

Kenapa mesti harus berandai-andai? kirim SMS aja minta dikirimi. Gratis.

Ketik nama <spasi> alamat lengkap Kirim ke 08158804090

Warta merupakan salah satu media yang selama ini didistribusikan secara cuma-cuma. Isu yang kami angkat seputar kehutanan masyarakat dan isu-isu lingkungan lainnya. Kami telah mencatat nama Anda sebagai pelanggan kami dan Anda akan dikirimi media ini pada setiap periode terbitnya. Terima kasih. (red)

Forum K omunik asi K ehutanan Masy ar ak at Komunik omunikasi Kehutanan Masyar arak akat (Indonesian Communication Forum on Community Forestry) Berperan Bersama untuk Pengembangan Kehutanan Masyarakat dan Perbaikan Kebijakan Kehutanan di Indonesia PEMBANGUNAN kehutanan di Indonesia selama beberapa dekade Sebagai forum multipihak, FKKM membuka diri terhadap semua pihak terakhir, telah menghasilkan berbagai persoalan akut. Persoalan-persoalan untuk terlibat di dalamnya dalam memperkuat Kehutanan Masyarakat dan yang muncul ke permukaan, diantaranya adalah tingkat deforestasi (kerusakan Perbaikan Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia. hutan) yang sangat tinggi, dan marjinalisasi/dehumanisasi masyarakat lokal yang parah. Dua keadaan ini membawa akibat pada tidak adanya hubungan Visi FKKM: Cara pandang pengelolaan hutan oleh masyarakat, harus yang bagus antara pembangunan kehutanan di satu pihak, dengan berdasar pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat, masyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada SDH di pihak lain. melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan keberlanjutan aspek Sementara, pembangunan kehutanan adalah sebuah proses yang melibatkan banyak pihak. ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Melihat kondisi ini, perlu ada perubahan paradigma pembangunan Misi FKKM: Berperan sebagai pendorong (motivator) gerakan menuju cara kehutanan, dari stated based kepada community based, dan dari timber pandang kehutanan masyarakat di Indonesia. Mendukung prosesmanagement kepada forest resources management. Pilihan ini, akan proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui memberikan peluang bagi masyarakat lokal dalam mengakses sumberdaya penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas dan perumusan kebijakan. hutan untuk kehidupan mereka. Karena itulah, para pihak yang merasa terpanggil untuk merubah kondisi Sosok FKKM: Sebagai forum dialog dan belajar bersama antar pihak, ini mendeklarasikan sebuah forum multistakeholder pada 24 September tentang kehutanan masyarakat dan perbaikan kebijakan kehutanan di 1997, yang bernama Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Indonesia.

Pengurus FKKM Koordinator DPN: Dr. Ir. Didik Suharjito, M.Sc(IPB); Anggota DPN: Ir. Haryadi Himawan, M.BA(Dept. Kehutanan), Ir. Sih Yuniati, MBA (NGO), Drs. Said Awad, M.H (Pemda), Bestari Raden (Masyarakat Adat), Ir. Nana Suparna (Pengusaha), Dr San Afri Awang (Pendiri, UGM), dan Ir. Arief Budimanta, M.Sc (Konsultan) FASILITATOR WILAYAH FKKM Syafrizaldi (Sumatra Barat), Maggara Silalahi (Riau), Wisma Wardana (Jambi); Hazairin (Lampung); Suraya Uang Kahathur (Jawa Barat); Fahrizal (Kalbar); Adri Ali Ayub (Kalteng), Humaidi (NTB); Harisetijono (NTT); M. Natsir Abbas (Sulteng); Ruslan (Sultra); Restu (Sulsel); Abdul Ma’at (Ketapang)

15

WARTA FKKM NO. 05, MEI 2006 Sekretaris Eksekutif: Ir. Muayat Ali Muhshi; Staf Seknas: M. Abd. Syukur, Adie Usman Musa, Titik Wahyuningsih, danVOL. Totok9 S. Alamat Seknas: Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax. (0251) 323090, E-mail: seknas-fkkm@indo.net.id, muayat@indo.net.id


16

WARTA FKKM VOL.9 NO.05, MEI 2006


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.