Warta FKKM Edisi Oktober 2006

Page 1

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006

1


OPINI

Pesan Untuk Kita, Pesan Untuk Indonesia Oleh Saifullah Yusuf Belakangan ini, mungkin terlalu sering kita mendengar, membaca, atau menyaksikan berita bencana alam dan kerusakan lingkungan yang menelan korban kemanusiaan dalam skala yang semakin meluas. Dalam setiap bencana, yang dalam skala tertentu merupakan tragedy ini, kita dapat dengan terang menyaksikan betapa panjang derita yang harus ditanggung oleh saudara-saudara kita sesama warga bangsa, yang menjadi korban bencana demi bencana tersebut. Dan, jika kita terus lalai, dalam waktu yang lebih laama hal ini akan mempunyai dampak langsung atas keberlangsungan hidup dan kehidupan bangsa ini. Suka atau tidak, jujur harus kita akui, bahwa bencana demi bencana yang mendera kita kerap disebabkan oleh kelalaian kita dalam menjaga alam dan menghargai lingkungan. Lebih menyedihkan lagi, tak sedikit pula bencana tersebut bukan hanya disebabkan oleh kelalaian semata, namun hal itu diakibatkan oleh cara pandang yang salah dalam menempatkan alam dan lingkungan dalam kontruksi pikiran kita. Namun, pada saat yang bersamaan, bisa jadi kita adalah bagian dari sekian 2

banyak orang yang menitikkan air mata, saat menyaksikan nestapa saudarasaudara kita ini. Kita pun acap dibuat terharu sekaligus bangga ketika melihat begitu kuatnya solidaritas dari bangsa ini yang dalam situasi hari ini sering dipertanyakan teerhadap saudarasaudaranya yang menjadi korban. Dalam situasi normal mungkin agak sulit membayangkan bantuan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan milyar dalam waktu singkat dapat dihimpun melalui media masa. . Tanpa mengurangi nilainya, solidaritas yang didasarkan oleh reaksi akan sebuah bencana (charitatif) akan memiliki batas. Air mata kita perlahan akan mongering, bayangan wajah korban dan nestapanya semakin jauh dan menghilang. Derita dan nestapa para korban bencana dan kerabatnya kemudian hanya menjadi lintasan obrolan keseharian kita, yang menyisahkan rasa iba dan belas kasihan. Dan, bisa jadi korban bencana kemudian hanya kita tempatkan menjadi deretan angka-angka statistik. Padahal, semestinya setiap korban kemanusiaan dan kerusakan lingkungan berapa pun besar jumlah dan luasnya kerusakan haruslah dijadikan energi buat kita secara kolektif untuk menyusun langkah bersama memperbaiki keadaan yang

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006


hampir terlambat ini. Karenanya, solidaritas atas bencana akan lebih maslahat kalau kemudian kita mapu menjadikannya sebagai momentum untuk bangkit bersatu. . Kesadaran akan pentingnya melestarikan alam dan perlindungan teerhadap keselamatan lingkungan, agaknya hari ini merupakan prioritas pokok yang harus dijadikan komitmen segenap elemen bangsa ini ke depan. Terjaganya alam dan lingkungan merupakan bagian hak-hak dasar warga negara yang seharusnya dilindungi dan terlindungi. Sudah saatnya hak-hak dasar warga negara, baik itu hak-hak sipil dann politik, maupun hak-hak ekomoni, social dan budaya tak lagi hanya menjadi komitmen di atas kertas atau hanya sekedar slogan politik semata. Setiap elemen bangsa ini, saatnya untuk menunjukan usaha bersama dalam ikhtiar menjaga kelestarian alam dan keberlangsungan lingkungan hidup yang merupakan titipan dari generasi yang akan datang. Dan, sekarang adalah saat yang tepat untuk mencari jalan system adil agar segenap warga negara republik ini, dapat menikmati kelimpahan karunia Tuhan ini secara bersama-sama. . Karena, jika kita abai dan terus lalai, bukan tidak mungkin dengan kondisi pengelolaan seperti sekarang ini, menyebabkan hutan tropis kita yang merupakan paru-paru dunia hingga menyusut drastic hingga lebih dari 70%..

Jika kita melihat data korban bencana yang diakibatkan oleh kerusakan hutan (tanah longsor dan banjir), sejak tahun 1998 hingga 2003 telah menjadi 647 kejadian bencana yang menelan ribuan korban jiwa dan kerugian ratusan milyaran rupiah bahkan lebih. Terlebih kalau perusakan lingkungan ini disebabkan oleh perilaku yang menempatkan alam dan segenap sumber dayanya hanyalah sebuah obyek yang bisa diekploitasisemau-maunya, tanpa perduli pada dampak yang buruk yang merusak, seperti perambahan hutan, pembangunan pabrik yang tidak raamah lingkungan, pembuangan sampah industri ke sungai atau daerah-daerah pemukiman, kebocoran pipa pembungan, dan berbagai kecerobah yang lebih di dasarkan guna sematamata penghematan ongkos produksi. . Dalam konteks menjadi relevan buat kita untuk kembali pada apa apa yang semestinya.Pada potensi yang memang kita miliki. Potensi yang selama ini, kalau kita mau jujur, cenderung lebih banyak dikorbankan demi dan atas nama kepentingan-kepentingan sesaat. Karenanya, sudah tidak ada waktu lagi untuk abai dan terlena secara terus menerus menyalahgunakan potensi alam kita. Betapa pentingnya untuk menjaga keselarasan antara kita dengan alam. Dan, saatnya untuk kita memberdayakan kembali masyarakat desa hutan, sebagai penyanggah utama keseimbangan alam kita. Saifullah Yusuf, Menteri Kawasan Daerah Tertinggal

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006

3


LAPORAN UTAMA

Festival dengan Pesan Politis

4

Di depan Ghra Shaba Pramana, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta akan-anak itu bermain atraktif. Berjalan memakai enggrang, permainan dari kayu yang mulai langka. Bajunya dihiasi jerami padi. Siwir-siwir. Kepalanya memakai topi caping, mirip patungpatungan petani di sawah. Mereka berbaris rapi, menabuh drumben... drem dremdem. drem drendem.

Panggung beratap rumbi dari daun kering tanaman tebu berdiri di lapangan Gra Sabra Pramana. Puluhan kentongan digantung pada salah satu tiang penyangganya. Di belakang panggung terpasang baliho besar bergambar petani tepian hutan sedang melakukan berbagai aktivitas mereka. Semua gambar bertema dukungannya terhadap nasib petani hutan.

Mereka, Pucung Growong Stilt Walking, adalah sekelompok anak-anak korban gempa Jogjakarta yang meramaikan Pekan Raya Hutan dan Masyarakatan pada pertengahan september silam.

Hari itu, ratusan petani hutan dari berbagai pelosok negeri telah bekumpul. Termasuk para aktivis LSM, birokrat, praktisi, akademisi, pengusaha hingga politisi. Diantara mereka ada Ketua Majelis Permusyawaran rakyat (MPR)

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006


Hidayat Nur Wahid, Menteri Percepatan Wilayah tertinggal, Saifullah Yusuf, dan Menteri Kehutanan, MS Kaban. Ketiganya sengaja diundang untuk ditagih komitmennya dalam mendukung apa yang menjadi cita-cita mereka : pengakuan negara atas pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat atau Community Based Forest Management (CBFM). Selama tiga hari festival ini mengelar pertemuan, diskusi, pameran, juga memutar film-film bertema hutan dan manusia. Puncaknya Festival ini membuat statemen politik tentang hutan Indonesia (lihat deklasi jogjakarta). Festival bermuatan politis? ”Memang kita ingin membangun momentum politik untuk gerakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat,” kata Hery Santoso, Direktur Java Lenrning Center (JAVLEC) sebuah lembaga jaringan LSM yang gencar mendorong dan mempromosikan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (CBFM). Setiap harinya bermacam workshop digelar, dengan tema-tema yang berbeda. Pada jam-jam yang hampir bersamaan, pameran dari berbagai produk dari petani hutan juga disuguhkan, tak ketinggalan film-film menyuguhkan kisah-kisah kehidupan masyarakat tepian hutan juga diputar. Para pengunjung dipersilahkan memilih kegiatan yang disukai. Yang memilih ikut workshop silahkan, yang mau

jalan-jalan melihat pamrean juga boleh. Yang mau santai sambil nonton film juga oke. Saya mengikuti pekan raya ini dari awal hingga akhir dan kesan nyantai itu sangat terasa. Bisanya saya mengikuti seminar di pagi hari dan jalan-jalan ke stan pameran bila sedang tak ada acara. Sore hari saya puaskan dengan nonton film. ”Gimana kemasan acaranya, enakkan?” Hery bertanya kepada saya tentang suasana festival itu. Saya menjawab, ” Saya merasa enjoy di sini.” Kami duduk di sofa dekat stand press dan coffe dan berbicara lebar. Di situ orang-orang biasa duduk santai minum kopi sambil internetan gratis. Di samping sofa, sebuah layar lebar menyajikan siaran langsung sebuah pertunjukan musik rakyat yang digelar di luar gedung. Festival ini digelar seminggu setelah kongres kehutanan Indonesia (KKI) keempat di Jakarta. Pembukaannya digelar di kawasan penting Jakarta. Bahkan sampai dua kali. Pertama panitia bikin diskusi di kawasan Senayan, lalu seremoni pembukaan di kawasan Kuningan. Di Senayan, panitia mengandeng Drajat Wibowo, ekonom sekaligus politisi dari Partai Amanat Nasioal (PAN) menjadi pembicara. Di Kuningan, di sebuah tempat nongkrong para eksekutif muda Jakarta, panitia

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006

5


LAPORAN UTAMA mengundang Menteri Kehutanan, MS Kaban. Acaranya dikemas seperti sebuah pagelaran, ada hepening art segala. Malam itu penontonnya membludak. Sebuah cafe yang disewa untuk acara pembukaan penuh sesak. MS Kaban ngobrol santai hingga larut malam. Pemilihan Jakarta sebagai tempat pembukaan bisa dimakumi. Jakarta masih segalanya, ia pusat pemerintahan, dekat dengan kekuasaan. Mengandeng politisi macam Drajat Wibowo misalnya, bisa jadi langkah jitu mendorong CBFM agar menjadi agenda para politisi di senayan. �Kita masih perlu mendorong supaya isu-isu pengelolaan hutan berbasis masyrakat bisa masuk dalam pembicaraan DPR, menjadi isu yang digagas partai. Dengan seperti itu pengelolaan hutan berbasis masyarakat bisa berjalan,� kata Hery. Wacana CBFM masih hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Kampanya CBFM kalah telak dengan kampanye anti korupsi, HAM atau malah HIV/ AID yang kampanyenya bisa diliat di layar televisi. Tapi kampanye CBFM? Comumunity Based Forest Management (CBFM) mulai menyita perhatian sekitar 1970-an. Dan makin mendapat pengakuan dunia ketika Kongres Kehutanan Dunia digelar di Jakarta pada 1978. Forest For People menjadi wacana baru pengelolaan hutan 6

Dunia. Hutan bukan hanya untuk kepentingan ekonomi semata tapi juga memiliki kepentingan sosial. Di Negara-negara berkembang seperti India, Nepal, dan Brazil, hutan tak dapat menjawab persoalan kemiskinan sekitar hutan yang makin menggila, jumlah penduduk dunia yang makin bertambah, juga konflik dalam pengelolaan hutan juga kerap terjadi. Indonesia sendiri tak luput dari masalah itu. Tersingkirnya masyarakat dari pengusahaan hutan telah menyebabkan berbagai perlawanan rakyat atas ketidakadalan dalam pengelolaan hutan. Tapi Indonesia tampaknya engan mengikuti rekomendasi kongres. Pertumbuhan ekonomi yang besar bagi pembangunan rupanya masih jadi target utama pemerintah agar bisa keluar dari krisis ekonomi, kemiskinan dan inflasi yang tinggi akibat gejolak politik di tahun 1965. Pada 1968, melalui UU penanaman modal asing, pemerintah mengembangkan investasi luar negeri untuk mengusahakan sumberdaya alam berupa hutan dan tambang. Ditahuntahun berikutnya berdirilah sistem Hak Pengelolaan Hutan (HPH) di luar jawa. Sistem ini hampir sama yang berlaku di Jawa yang pengelolaannya dimonopoli Perhutani. Sampai tahun 1989, total hutan produksi Indonesia yang dikuasai oleh

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006


pengusaha melalui sistem HPH mencapai 64 juta hektar dengan jumlah HPH mencapai 572 HPH. Tiap tahun jumlah HPH yang beroperasi di hutanhutan Indonesia kian bertambah. Pada 1980-an jumlahnya telah mencapai 600 unit. Bom minyak yang terjadi pada era itu, semakin menjauhkan Indonesia merubah politik pembangunan hutannya. Tapi sistem HPH rupanya tak hanya mendongkrak perekonomian Indonesia, tapi juga melahirkan konglemerasi. 572 HPH hanya dimiliki oleh sekitar 20 konglomerat saja. Sistem HPH juga menciptakan ketidakadilan dan kecemburuan sosial yang tajam. Konflik kawasan hutan negara dan masyarakat adat juga merebak sebagai akibat ketidakpuasan masyarakat atas sistem pengusahan hutan yang ada. Banyak cerita kehadiran HPH mengusur komunitas masyarakat yang sudah ratusan tahun tingal di areal yang menjadi konsesi HPH. Mereka yang hidup di sekitar dan di dalam hutan dipaksa menyingkir dan dipaksa cuma jadi penonton. Jumlah penduduk miskin di dalam dan sekitar hutan terus membengkak. Kerusakan hutan akibat ekspolitasi HPH juga mencengangkan. Hanya dalam jangka waktu 20 tahun hutanhutan di luar jawa hancur.

Pemerintah bukannya tinggal diam. Sepuluh tahun sejak kongres itu, berbagai jalan ditempuh pemerintah Indonesia untuk mencegah meluasnya perlawanan rakyat atas ketidakadilan dalam pengelolaan hutan. Pada 1986 misalnya, Perhutani meluncurkan program Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat, setiap HPH juga wajib membuat program pemberdayaan masyarakat. Pada 1995 pemerintah meluncurkan program HKm yang memberi peran bagi masyrakat untuk mengelola hutan. Tapi berbagai program pemerintah itu tampaknya sedikit sekali mendapat dukungan. Perlawanan rakyat masih marak terjadi. Pembakaran kamp Hak Pengelolaan Hutan (HPH), penyitaan alat berat hingga penyerabotan tanah adat terjadi dimana-mana. Beberapa diantaranya bahkan berakhir dengan meregang nyawa. Puncaknya terjadi ketika presiden Soeharto turun. Berbagai aksi penjarahan hutan terjadi hampir di seluruh wilayah hutan Indoesia. Tapi kali ini situasinya kian rumit. Banyak kelompok pembela masyarakat kemudian mengusung kembali Comunity Based Forest Management (CBFM). Tapi kali ini gagasannya lebih heroik dan dianggap sebagai jawaban atas kegagalan negara dalam membangun politik pengelolaan sumberdaya hutan selama tiga puluh tahun dibawah Orde Baru.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006

7


LAPORAN UTAMA Berbagai perubahan kemudian terjadi. Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang memberi peluang bagi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan termasuk merevisi berbagai kebijakannya. Pada 1999, UU Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dicabut dan diganti UU No. 41 tahun 1999 yang lebih memberikan peluang bagi masyrakat untuk ikut berperan. Kebijakan HKm juga beberapa kali disempurnakan. Lalu, pada 2004 pemeirntah mengeluarkan kebijakan baru atas Sosial Forestry. Namun selalu saja ada yang tidak puas atas perubahan itu. Pemerintah, masyarakat, LSM, dan masyarakat adat, sering berbeda pendapat tentang sosok CBFM. Pemerintah memandang HKm sebagai satu-satunya CBFM di Indonesia. Sementara yang lain memandang HKm bukanlah satu-satunya model CBFM yang ada di Indonesia. Ada hutan rakyat di Jawa, Parak Di Maninjau, Sumatera Barat; Tembawang di Sidas Raya, Kalimantan Barat, Repong Damar di Krui Lampung, Simpunkng di Kalimantan Timur, Pangale di Morowali, Sulawesi Tengah adapula Talun di Jawa Barat. Model-model inilah yang tidak mendapat pengakuan hokum dari pemerintah. Pemerintah juga dinilai tidak konsisten dalam menjalankan CBFM. Tak semua birokrat mendukung. Di lapangan operasionalnya bagai bumi dan langit. 8

Ada yang menyebut karena kebijakan itu selalu datang dari Jakarta hingga sulit berjalan di daerah. Petani HKm kerap mengeluh atas tak jelasan status hukum mereka. Lewat HKm, pemerintah berjanji akan memberikan kepada mereka waktu 32 tahun dalam program itu. Tapi janji itu tak pernah didapat, rata-rata mereka hanya dikasih izin sementara. Pemerintah menolak anggapan miring ini. ” Hampir tak ada orang yang mengetahui bahwa kinerja pengembangan CBFM adalah hasil perjungan rimbawan pemerintah untuk mengubah dirinya dari pemikiran konservatif dan teknikal menjadi community-oriented minds,” kata Sutaryo, seorang pejabat di Departemen Kehutanan. Pemerintah mendukung CBFM? Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap di festival ini. Malah tak hanya pemerintah. Pengusaha, birokrat, politisi, akademisi, petani, seniman, semuanya mendukung. Sekali lagi setidaknya selama festival. Usai festival saya mendengar festival ini didengar oleh Jakarta. Suatu pagi telepon di kantor Javlec berdering. Dari sebrang suara khas birokrat terdengar : ”Halo, ini dari Departemen Kehutanan, Pak Menteri mau bicara.” Muhammad AS

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006


Deklarasi Yogyakarta MEMBANGUN PERADABAN BARU UNTUK MELAKSANAKAN PENGELOLAAN HUTAN LESTARI BERBASIS MASYARAKAT Proses kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dalam sebuah negara merupakan perjalanan panjang dari sebuah peradaban untuk mencapai cita-cita yang telah dirumuskan dan disepakati. Peradaban yang dihasilkan sangat bergantung dari banyak faktor yang antara lain dicirikan oleh kesepakatan-kesepakatan internal pada sitem politik, ekonomi dan sistem sosial yang dianut. Sistem internal tersebut dalam proses peradaban harus diarahkan pada capaian yang jelas, dan menciptakan upaya untuk mencapainya, karena proses tersebut akan menghasilkan pola ragam sistem sosial tertentu. Pola ragam peradaban dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat diwarnai oleh sistem multi kultur, sehingga penghormatan semua pihak pada keragaman budaya masyarakat harus menjadi pintu masuk dari pengembangan peradaban di negara Indonesia. Hasil cipta dan karsa dari anak bangsa yang telah melahirkan keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya alam hutan adalah bagian dari proses kebudayaan dan peradaban. Peradaban itu sendiri lahir dari proses kebudayaan yang panjang, hasil dari proses konflik dan pertentangan berkepanjangan, hasil dari sebuah konsensus politik ekonomi, dan hasil dari konsensus-konsensus sosial baru. Hilang dan rusaknya hutan, bencana alam, dan kemiskinan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan merupakan hasil dari input peradaban pengelolaan hutan yang kurang tepat, dan kelemahan-kelemahan tersebut harus tidak boleh diulang oleh seluruh komponen bangsa Indonesia. Pekan Raya Hutan dan Masyarakat (PRHM) 2006 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dilaksanakan dalam rangka memastikan pembaharuan isi dari peradaban menuju bangsa dan negara Indonesia yang berakhlak dan bermoral untuk lebih menitikberatkan pembangunan sumberdaya alam hutan yang manajemen adaptif, pro-kesejahteraan masyarakat, pro-pembangunan sumberdaya hutan berkelanjutan, anti-bencana lingkungan, anti-kemiskinan rakyat, anti-monopoli dan anti-kekerasan terhadap sumberdaya alam hutan dan masyarakat. Input peradaban baru pengelolaan hutan tersebut harus menjadi spirit peningkatan kesejahteraan, dasar-dasar solidaritas sosial, dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sumberdaya hutan, serta dasar dalam pengelolaan hutan. Kami pemangku kepentingan hutan Indonesia yang hadir dalam perhelatan akbar Pekan Raya Hutan dan Masyarakat (PRHM) di UGM 2006, menyadari bahwa peradaban baru dalam pengelolaan sumberdaya hutan harus diwujudkan melalui gerakan nasional pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat. Untuk itu kami WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006

9


LAPORAN UTAMA menyatukan sikap dengan merapatkan barisan, menguatkan komitmen, mengurangi perbedaan, memperkokoh dan meneguhkan persamaan, penuh rasa persaudaraan, menjunjung setinggi-tingginya akhlak dan moral, dan ketulusan hati. Akhirnya kami menyatakan komitmen bersama untuk : (1) Melaksanakan pembangunan sumberdaya hutan sebagai rangkaian dari proses peradaban, yang mampu memerdekakan bangsa dari bencana lingkungan dan kemiskinan; (2) Memastikan dan mengakui bahwa arena gerakan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat adalah hutan rakyat, HKm, social forestry, hutan komunal / adat, hutan desa, HTI di eks HPH yang sudah dimanfaatkan masyarakat, kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, Taman Nasional Kolaborasi, dan inisiatif komuniti forestri lainnya yang ada di Indonesia. (3) Memastikan setiap bentuk pengeloaan hutan lestari berbasis masyarakat tersebut diakui secara tegas dalam peraturan perundang-undangan; (4) Melaksanakan gerakan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat atas dasar pendekatan ekosistem, sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang dinamis, dan didukung kajian ilmu pengetahuan dan teknologi; (5) Mendorong secara konsisten terjadinya perubahan atau pembaharuan kebijakan pembangunan kehutanan untuk memastikan komunitas masyarakat menjadi salah satu pelaku utama pengelola sumberdaya hutan. (6) Memperkuat pengakuan dan dukungan pentingnya kerjasama implementatif mengenai pola kemitraan secara kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan pengusaha, dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan; (7) Menyelesaikan secara bersama-sama secepatnya masalah-masalah yang berkaitan dengan penetapan zonasi di kawasan konservasi, pencadangan areal dan izin definitif pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat (8) Mendorong upaya penyelessaian konflik tenurial (konflik penguasan lahan di kawasan hutan) salah satunya dengan cara mengadopsi/mengadaptasi model-model pengelolaan oleh masyarakat (9) Mendorong dan mengembangkan skema-skema pembiayaan seperti lembaga keuangan alternatif untuk pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat. (10) Mengawal proses implementasi pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat, melalui fasilitasi para pihak dalam berbagai forum para pihak yang ada. (11) Memantau keberhasilan gerakan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat, melalui wahana kegiatan Pekan Raya Hutan Masyarakat yang dilaksanakan minimal 2 tahun sekali.

Yogyakarta, 22 September 2006 Atas Nama Semua Pemangku Kepentingan Hutan Indonesia

10

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006


Kemiskinan di Hutan Dua Kali Lipat Jumlah keluarga miskin di sekitar hutan dua kali lipat dari keluarga miskin di Indonesia. Dari seluruh desa di Indonesia, 58 persennya merupakan desa tertinggal yang berada di sekitar hutan. Hal itu dikatakan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf di Yogjakarta ketika berbicara dalam Pekan Raya Kehutananan dan Masyarakat 2006. Diakatakan Saifullah, jumlah desa yang terletak di dalam kawasan hutan mencapai 2.826 desa dengan jumlah penduduk 3,3 juta jiwa, sementara desa yang terletak di tepi hutan sejumlah 15.936 desa dengan jumlah penduduk sebanyak 33,5 juta jiwa. Jumlah keluarga yang memperoleh pendapatan seluruhnya dari kawasan hutan sebanyak 848,575 keluarga atau 45 persennya masuk kategori miskin. Sementara jumlah keluarga yang sebagian besar memperoleh pendapatannya dari kawasan hutan sebanyak 8,5 keluarga atau 3.1 keluarga atau 37,7 persen masuk kategori kelurga miskin. ”Ini menunjukkan hutan belum mampu memberikan manfaat bagi masyarakat,” kata Saifullah. Sementara itu, kontribusi sektor kehutanan bagi PDB juga makin mengecil sehingga memperkecil dukungan sumberdaya hutan bagi pendapatan keluarga-keluarga yang

bermukim di dalam maupun di tepi hutan. Pada 1992 devisa yang masuk dari kehutanan bagi PDB masih mencapai US$ 16 milyar, tapi di tahun 2003 angkanya menurun drastis, hanya US$ 6,6 milyar atau 1,58 persen dari total PDB Indonesia. Kondisi tersebut, menurut Saifullah sungguh mengkhawatirkan mengingat daerah yang sering mengalami bencana adalah desa sekitar hutan. ”Jumlah desa hutan yang cukup banyak dengan tingkat kerusakan hutan yang parah dikhwatirkan desa hutan semakin tertinggal, karena selain bencana, hutan semakin tidak sanggup mendukung kebutuhan dari penduduk di sekitarnya. Sejak tahun 1998 hingga 2003, Indonesia mengalami 647 kali bencana yang menelan korban ratusan jiwa dan kerugian milyaran rupiah. Saifullah menekankan pentingnya kesadaran dalam melestarikan alam dan perlindungan terhadap keselamatan lingkungan. Menurut Saifullah, penyelamatan alam harus dijadikan prioritas utama bangsa ini. ” Sudah saatnya hak-hak dasar warga negara, baik sipil dan politik, maupun ekonomi, sosial, dan budaya tak hanya menjadi komitmen di atas kertas atau slogan politik semata,” katanya.(Muhammad AS)

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006

11


KOLOM

Kearifan Lokal dan Kelola SDA

Oleh : Arie Sujito Kearifan lokal (Local wisdom) yang terkait didalamnya local knowledge merupakan bagian dari social capital. Sebagai peranngkat nilai, keyakinan, institusi dan mekanisme yang berkembang di masyarakat, kearifan lokal adalah sebentuk ekspresi dan mekanisme yang berkembang di masyrakat. Terletak didalamnya adalah identitas positif sebagai basis bangunan kebudayaan dalam suatu masyrakat, atau komunitas lokal. Jika demikian, bagaimana kearifan lokal dikaitkan dengan kelola sumberdaya alam (SDA)?. Apakah sebentuk romantisme, atau kontrusksi sosial masih memiliki relevansoi untuk saat ini? Bagaimana proses itu berlangsung? Setidaknya ada dua alasan, mengapa kini, banyak pihak mengkaitkan kelola SDA dengan kearifan lokal. Pertama, sejak modernisme berlangsung menciptakan sendi-sendi peradaban manusia yang kian hegemonik untuk menjawab keterbatasan tradisional, lama-kelamaan pada prosesnya modernitas mengalami krisis yang akut. Di mana-mana modernitas yang pada

12

mulanya dipercaya sebagai satusatunya jalan menuju pencerahan melalui tahapan perubahan (linier), dan kehancuran dimana-mana, dibalik fakta �keberkahan� yang didapat manusia. Modernitas berkembang menjadi modernisme, menjadi basis pijak kapitalisme. Dimengerti secara sederhana sebagai wujud pencapaian keuntungan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya (manusia dan alamnya), mengubah metode produksi dari subsisten menjadi sumberdaya pengumpulan (akumulasi), produksi dan ekspansi. Maka cara inilah yang makin mengubah keadaan alam menjadi faktor yang terus dieksploitasi untuk mendapatkan, memperkaya dan menggandakan keuntungan. Akibatnya alam makin rusak, mengalami krisis lingkungan, dan bencana tak terkendali dengan merenggut jumlah korban-korbannya (manusia). Inilah paradoks modernisasi atas SDA. Kedua, ditengah ketidakjelasan modernisasi (dalam sistem kapitalis) yang dianggap tidak mampu menyelesaikan dampak dan resikonya yang diciptakan itu, maka beberapa

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006


KOLOM pihak melirik kembali �cara tradisionalisme masa lalu� yang dianggap lebih bagus dibanding modernitas. Maka, kearifan lokal akan digali kembali. Konon dipercaya sebagai salah satu jawaban atas krisis SDA itu. Lalu pertanyaannya, masihkah cukup relevan cara ini, jangan-jangan hanya romantisme? Kalau diklasifikasikan tentu reduksionis, bahwa kegagalan kapitalisme sesungguhnya terletak pada patokan nilai yang akumulatif, ekspansif dan eksploitatif yang didalamnya tidak ada kandungan visi memelihara dan mensejahterakan masyarakat. Apalagi mengelola alam. Itulah yang disebut oleh mereka yang berhaluan kiri, bahwa kapitalisme dengan berbagai keduk pembangunan atay globalisasi (juga dilandasi cara neo liberalis) tak lain adalah imperialisasi, penjajahan dan keserakahan tak manusiawi. Resistensi atas kapitalisme SDA jelas menjadi fakta yang terus bermunculan hingga kini, kapitalisme itu kini telah menyergap kesadaran para penguasa negara dunia ketiga, seperti Indonesia, dengan jargon globalisasi. Atas perintah dan skenario negara-negara kapitalis besar, yang selama ini menggunakan mesin-mesin IMF, Word Bank dan sebagainya. Sementara tradisionalisme, kadangkala terlalu terbaca sebagai bentuk ideologi yang mandeg dan lenyap dalam belenggu mitos kenikmatan masa lalu.

Padahal jaman sudah berubah. Kita harus mengakui sejak pengetahuan berkembang, struktur sosial bergeser, kebudayaan berkembang secara cepat. Hanya saja, perubahan itu justru menjadi ancaman bagi cagar nilai-nilai dan kekayaan lokal, khususnya dalam hak kelola SDA. Tak heran kemampuan-kemampuan lokal dalam kelola SDA seringkali dianggap �kuno� dan tidak terpakai, seiring perkembangan dan kebutuhan yang terjadi. Saya terobsesi pada perlunya kita memformulasi kembali kritik atas modernisasi dan ideologi kapitalis (kapitalisme), dengan pijakan nilai dan prinsip-prinsip kelola SDA yang berkelanjutan, kesejahteraan dan demokratik, yang ternyata erat terkait dengan kandungan kearifan lokal itu. Dengan begitu, pilihannya bukan sekedar hitam putih, antara melanjutkan kembali modernisme atau menghidupkan kembali kearifan lokal. Disisi lain, soal kelola SDA modern dan kearifan lokal juga harus terkait dengan politik atas SDA yang saat ini diterapkan oleh negara. Lantas bagaimana hal itu dilakukan? Pertama, kebutuhan bagi kita untuk merumuskan ulang paradigma kelola SDA, yang lebih merupakan bentuk kompromi atau jalan transformatif nilainilai lokal yang dikontekstualisasikan dengan perubahan struktur. Dengan begitu saatnya sekarang menyediakan ruang yang lebar bagi proses negosiasi

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006

13


KOLOM pengetahuan dan ideologi antara modernitas dan tradisionalitas itu dalam hal kelola SDA, sehingga tidak terjadi dominasi dan hegemoni. Namun sebaliknya, dialog perspektif untuk menemukan sistem kelola SDA yang berpaham sustainability dan social welfare. Kedua, kita perlu mengatasi gap (kesenjangan) dalam struktur kekuasaan, antara negara, masyrakat sipil dan kekuatan ekonomi, dalam hal kelola SDA. Betapapun ruang ekspresi tersedia dalam menegosiasikan pengetahuan antara pihak itu dan pada akhirnya menemukan �konsesnsus� nilai tentang kelola SDA, tetapi jika struktur kekuasaan masih timpang yang ditandai perpaduan negara-pasar berhadapan

14

dengan masyrakat sipil (lokal) maka akan sia-sia kensesnsus nilai itu. Dengan demikian harus ada demokratisasi lokal dalam kelola sumberdaya alam. Jika cara tersebut ditemukan dan diformaliasaikan dengan baik dan tepat, maka kita sesungguhnya kita tengah menuju proses demokratisasi kelola SDA berbasis visi kelanjutan, kemanusiaan, kerakyatan dan kesejahteraan. Nilai-nilai itu, barangkali memiliki irisan dengan pengetahuan lokal di satu sisi, dan sementara di sisi lain menjadi misi pengelolaan cara baru atas SDA yang relevan di era sekarang dan masa mendatang. Arie Sujito, pengamat Sosial UGM.

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006


BERITA

Manusia-Manusia Sedehana dalam Gulungan Rool Film Film Manantalayong dimulai dengan tuturan panjang suara berat laki-laki dewasa dengan gaya seperti membaca buku pelajaran. Sembari berselang seling dengan gambar pucuk bukit, tumbuhan lebat, mulut gua, sungai, hewan-hewan di hutan, bunga bangkai, dan ikan berenang terdengar kisah berikut : Kawasan Taman Nasional Betung Karihun atau biasa disebut TNBK adalah kawasan konservasi terbesar di propinsi Kalimantan Barat. Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi melalui SK Menteri Kehutanan nomer 497 pada tanggal 5 September 1995. Secara geografis kawasan ini terletak di perhuluan sungai. Oleh karena itu, kawasan ini sangat penting keberadaannya sebagai penjaga bagi sistem kehidupan di bawahnya... selain sebagai kawasan tangkapan air yang penting, di kawasan TNBK ini juga terdapat ratusan jenis tumbuhan dan puluhan jenis hewan, termasuk tumbuhan dan hewan khas kalimantan. Akses menuju kawasan TNBK bisa ditempuh melalui lima pintu masuk, yakni DAS Kapuas, Mendalam, Sibau, Apalin, dan Embaloh.

Persis sebelum kisah mencapai ”Akses menuju kawasan..” tergambarlah lima orang naik perahu menyusuri sungai lewar berwarna coklat. Gambar diambil dari buritan perahu, membuat penonton serasa ikut naik perahu. Lantas tergelarlan peta dengan luas hampir memenuhi layar, ditingkahi kisah, ...” Melalui lima pintu masuk, yakni DAS Kapuas, Mendalam, Sibau, Apalin, dan Embaloh.” Film Manantalayong mengingatkan kita pada film-film tentang betapa indahnya Indonesia yang dulu banyak diputar oleh televisi pemerintah, TVRI. Keindahan alam, budaya yang beragam, dan keceriaan anak-anak negeri bermain di sungai atau mencebur di laut biru jadi menu yang disuguhkan. Kita pun maflum, Manantalayong buatan WWF besama PHKA, dan ITTO tahun 2004. Ketiganya adalah organisasi yang bergerak di konservasi. Manantalayong hanya satu diantara puluhan film yang diputar dalam Festival Film Hutan dan Manusia yang digelar di Jogjakarta sebagai rangkaian dari Festifal Hutan dan Masyarakat. Banyak film yang diputar di festifal ini adalah bikinan LSM sehingga kita bisa melihat bahwa film-film mereka sangat kental dengan nuansa advokasi. Penonton diajak mengikuti kemudian diajak untuk mendukung apa yang dilakukan (Mesti tidak secara langsung). Taruhlah Film Ning Opo Yo Wani? (NOW) produksi Komunitas

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006

15


BERITA Pendukung Penyelamatan Hutan Jawa (KPPHJ). Film ini bercerita tentnag kemiskinan masyarakat hutan di Jawa. Dikisahkan sabar, warga Desa Minggir, tak memiliki pekerjaan tetap. Kehidupan yang mendesak membuat dia berpikir untuk turut ambil bagian dalam mengelola hutan negara. Ketika film baru diputar, maka ingatan kita pun langsung mengarah kepada petani Hutan Kemasyarakatan yang nasibnya masih terkatung katung persis sepreti kisah Sabar dalam film ini yang kerap melakukan pertemuan dengan pemerintah tapi keadannya malah makin tak pasti karena berbagai peraturan yang keluar menjauhkan dia dari keinginan semula. Kisah yang sama dituturkan Film Seruan dari Bukit karya Yuli Andari M produksi Yayasan Damar. Mengambil setting di Kulon Progo, film ini berusaha menyakinkan kepada penonton bahwa masih terjadi tarik ulur kebijakan HKm yang buntutnya merugikan petani. Dan masih banyak film-film yang bermodel beginian. Sebutlah Langkah Maju Dayak Meratus, Negosiasi Tanpa Henti (Film ini keluar sebagai film terfavorit ), Masyarakat sebagai Aktor, Memecah Batu Mengubah Jaman, Menjaga Amanat Masa Depan. Saya yang sempat menonton pun jadi ingin berkata begini: ini film dokumenter tapi kok menggurui ya.

16

Untunglah tak semua film-film yang diputar di festival ini melulu model begituan. Film The Sakkudei, misalnya, sangat bagus memperlihatkan perubahan yang terjadi dalam komunitas suku Siberut. Film ini mengambarkan dengan jelas perubahan yang terjadi pada suku Siberut dari desakan-desakan dunia luar (Modernisme, kapitalisme dan berbagai kepentingan politis negara) lewat sebuah penuturan yang dibarengi study riset antropologi yang mendalam. Film ini tak mengurui dan menonjolkan kerja-kerja lembaga luar yang mendampingi suku tersebut (yang pada ujung-ujungnya mengajak untuk mendukung). Di luar kekurangan-kekurangan itu, hampir semua film yang diputar dalam festival ini memang ingin bercerita tentang manusia-manusia sederhana yang hidup jaduh di pedalaman. Tentang manusia yang geliat hidupnya hanya sekedar untuk bertahan dan meneruskan budaya karena harus berhadapan dengan kekuasaan. Tentang mereka mereka yang dianggap tidak mampu dan sering diposisikan sebagai perusak hutan. Ini tontonan alternatif disaat film-film kita yang banyak menampilkan wajah-wajah tampan, cantik, rumah mewah dan kehidupan metropolis. Muhammad AS

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006


SEKILAS Kabut Asap Lumpuhkan Bandara

Kabut asap tebal akibat kebakaran hutan membuat Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, lumpuh kemarin. Enam jadwal penerbangan dan dua jadwal pendaratan terpaksa ditunda dan dialihkan ke tempat lain. Kabut membuat jarak pandang di bandara di bawah 500 meter, yang tak layak untuk transportasi udara. "Memang belum ada keputusan bandara ditutup total," kata Kepala Divisi Operasional Bandara Syarif Kasim II Sabar Tarigan di Pekanbaru kemarin. Tapi semua penerbangan dan pendaratan sejak siang hingga sore hari ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Menurut Sabar, kabut asap pekat sudah menyelimuti Pekanbaru sejak pagi hari. Jarak pandang sekitar 400-600 meter bertahan hingga siang hari. Bahkan sampai pukul 3 sore, jarak pandang tidak berubah. Padahal jarak pandang minimal untuk pendaratan dan penerbangan sejauh 1.500 meter. "Kami tidak mau ambil risiko," katanya. Selain melumpuhkan bandara, kabut asap juga mengganggu jadwal perjalanan transportasi sungai dan laut. Tiga jadwal keberangkatan kapal dari Pelabuhan Sungai Duku, Pekanbaru, tujuan Bengkalis, Batam, dan Malaka ditunda sampai empat jam. "Jarak

pandang hanya 100 meter, yang membahayakan pelayaran," kata seorang anggota staf Kepala Seksi Perhubungan Laut/Sungai pada Dinas Perhubungan Riau. Menurut Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Riau Khariul Zainal, kabut asap ini merupakan kiriman dari Lampung, Sumatera Selatan, dan Jambi. Berdasarkan pantauan satelit, ada 353 titik api dari daerah tersebut. Sedangkan dari Riau sendiri hanya ada 17 titik api. "Jadi ini asap kiriman," katanya. Sedangkan World Widelife Fund Riau menyatakan kabut asap ini berasal dari 219 titik api di seluruh wilayah Riau. Sebanyak 76 titik berada di kawasan perkebunan sawit dan karet dan sisanya tersebar di berbagai tempat. "Tidak benar kalau kabut asap ini kiriman dari daerah lain," katanya. Titik api di Riau meningkat, kata dia, karena aparat tidak bertindak. Sementara itu, kabut asap di Kalimantan Tengah makin mengkhawatirkan kesehatan masyarakat. Jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut di Kota Palangkaraya meningkat drastis. Bahkan angka penderita sebanyak 1.670 orang sudah mendekati batas minimum kejadian luar biasa sebanyak 1.700 penderita. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Palangkaraya Rian Tangkudung, peningkatan penderita infeksi

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006

17


SEKILAS pernapasan ini mesti diwaspadai. Karena itu, dinas kesehatan akan mencari kantong penderita untuk penanganan dan pengobatan yang lebih baik. "Yang perlu diingat, penyakit ini bukan wabah mematikan seperti demam berdarah," kata Rian. Dinas kesehatan, kata dia, akan melakukan pemeriksaan setiap hari ke setiap kawasan yang berpotensi memiliki penderita infeksi pernapasan. Salah satu kantong penderita yang sudah ditemukan antara lain di Jalan Badak Keluruhan Jekan Raya. Selain diberikan pengobatan dan penyuluhan, warga juga diberi masker pelindung secara gratis. (Koran Tempo)

Kantor Greenpeace di Demo Kantor perwakilan LSM internasional, Greenpeace Indonesia, didemo seratusan orang yang menamakan diri Komite Masyarakat Anti Antek Imperialis (KMAAI). Massa KMAAI itu menggelar aksi di depan Kantor Greenpeace di Jl Cimandiri, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin siang dengan menaiki dua metromini. Selain melakukan orasi, mereka juga menggelar spanduk yang bertuliskan Greenpeace jangan jadi antek imperialis. Pendemo juga membagikan sejumlah poster dan selebaran bertuliskan Ganyang Greenpeace, Jangan jual nama rakyat untuk kepentingan asing dan 18

Jangan jadi aktivis kapitalis, yang dibagibagikan kepada para pengguna jalan. KMAAI menuding kelompok aktivis lingkungan internasional itu sebagai antek imperialis. Suhem, koordinator lapangan aksi KMAAI, mengatakan Greenpeace tidak pernah mengurusi Freeport, Newmont dan Exxon yang jelas-jelas telah merusak bumi Indonesia. "Tapi mereka hanya mau mengurusi kasus [lumpur] Lapindo," katanya ketika berorasi. Seperti diungkapkan Suhem, Greenpeace tercatat dua kali beraksi di Jakarta. Pertama, menggenangi kantor Menko Kesra dengan lumpur asli Lapindo Brantas Inc. Kedua, mengasapi kantor Menhut. "Karena itu, aktivis-aktivis imperialis tersebut kami minta angkat kaki dari Indonesia," ujarnya. Dua anggota Greenpeace Indonesia yang berada di dalam kantor sempat menemui demonstran untuk menerima pernyataan sikap. Keduanya hanya berdiri sambil mendengarkan orasi. Sebelum aksi itu digelar, tulis Antara, salah seorang aktivis Greenpeace, Cecilia, mengatakan pihaknya telah menerima surat pemberitahuan rencana kedatangan massa tersebut dari Kantor Polsek Menteng. "Menurut surat itu, mereka akan datang kemari pukul 14.00 dan mengajak diskusi Greenpeace tentang kasus lumpur Lapindo. Mereka menganggap Greenpeace antek imperialis," ujarnya. Oleh Endot Brilliantono (Bisnis Indonesia)

WARTA FKKM VOL. 9 NO. 10, OKTOBER 2006


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.