www.lpmarena.com
INDEKS
Kamis, 28 November 2013
WAWANCARA
UNIVERSITARIA SLiLiT ARENA Diterbitkan Oleh: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Pelindung Allah SWT Penasehat Rektor UIN Sunan Kalijaga Pembina Abdur Rozaki, S.Ag, M.Si Pemimpin Umum Taufiqurrohman
6| UKT Rawan Penyelewengan Dirjen Pendis (Pendidikan Tinggi Islam) menginstruksikan PTAIN memberlakukan UKT pada tahun 2013. Namun, teknis UKT UIN Suka belum jelas sedang BOPTN sudah turun.
16| PLD, Instrumen UIN Inklusi KANCAH
18| Kandang Ayam dan Revolusi Pendidikkan SASTRA
8|
20|
UIN Genjot Penerapan UKT
Bertandang di Malam Hari
Wk. Pemimpin Umum Ahmad Jamaludin
UIN Suka telah membagi mahasiswa dalam
Sekretaris Umum Ayu Usada Rengkaning Tyas
golongan Normal.
18|
Bendahara Puji Hariyanto
9|
Dewan Redaksi Anik Malussolekhah, Munfa’ati
Mahasiswa dalam Bingkai Regulasi
Sekolah Alternatif “Mahasiswa” Kreatif
Pemimpin Redaksi Robi Kurniawan Redaktur Online Folly Akbar Redaktur SLiLiT Ahmad Jamaludin Redaktur Bahasa Indah Fajar Rosalina
dua golongan UKT, golongan miskin dengan
Meski dirasa memberatkan, mahasiswa tidak merespon regulasi kuliah malam.
4|
11|
Judul: Berkesan Fotografer Abdul Majid Direktur Perusahaan & Produksi Intan Pratiwi Koordinator Pusda Hasbullah Syarif
Rumah di Negeri Rantau CATATAN KAKI
Staf Redaksi Aan, Uul, Iim, Tika, Elmi, Andy, Fendi, Arif, Lilik, Uniq, Chusna, Lugas, Mugi, Ulfa, Aat, Dedik, Ghafur, Novi, Arifki, Ichus, Haetami, Bayu, Soim, Wulan, Riswan, Irsal, Ifa, Chafid, Usman
Seni Rupa FBS UNY. Galeri “Kasihan Bantul”
21|
E-learning butuh sosialisasi lebih Kurangnya sosialisasi menyebabkan penggunaan E-learning di kalangan dosen dan mahasiswa tak maksimal.
Lukisan Sampul Muka Enggar Romadioni, mahasiswa jurusan Pend.
LEBIHH DEKAT
10|
Koordinator Liputan Anisatul Ummah
Rancang Sampul & Tata Letak S Ghidafian Hafidz
PUSTAKA
Selamatkan Minat Baca Mahasiswa Kemudahan mengakses berbagai informasi dari internet turut mempengaruhi turunnya minat baca buku mahasiswa
12| Optimalkan Fasilitas Difabel UIN Suka sebagai kampus inklusi, sampai kini belum memberikan fasilitas yang memadai bagi mahasiswa difabel
Melek, melek, melek “Sudah lah. Jangan aneh-aneh. Yang penting kalian itu kenyang dan hidup tentram,” kata pemimpin di era seperti ini.
EDITORIAL
5| (Tidak) Menolak Belajar Berbasis Internet UIN Suka mempunyai keinginan untuk menciptakan sistem pendidikan yang berbau 'modern'; Teknologi internet mempunyai andil besar dalam proses 'belajar-mengajar', interaksi kelas bahkan diskusi.
Koordinator Jarkom Hartanto Ardi Saputra Koordinator PSDM Ahmad Taufiq Kantor Redaksi/Tata Usaha Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adi Sucipto Yogyakarta 55281 Telp. 085282638050 (Intan Pratiwi) http//: www.lpmarena.com
SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan maupun artikel ke alamat redaksi LPM ARENA. Dan bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan SLiLiT ARENA, bisa menuliskan hak jawabnya, atau datang langsung ke kantor redaksi LPM ARENA guna berdiskusi lebih lanjut.
No Rekening 0216 2175 90 BNI Unit UGM atas nama Taufiqurrohman
Wartawan SLiLiT ARENA dibekali tanda pengenal dalam setiap peliputan dan tidak menerima amplop dalam bentuk apapun
SURAT PEMBACA
Kamis, 28 November 2013
PAK TUKANG, JANGAN BERISIK DONG! Assalamualaikum wr.wb, Alhamdulillahirobbil 'alamiiinn.. . salam damai kami ucapkan untuk seluruh masyarakat UIN Sunan Kalijaga. Kami ingin menyampaikan sedikit unek-unek yang agak mengganggu dalam suasana perkuliahan, yaitu suara “tang, tong, tang� dari para tukang yang bekerja memperbaiki gedung dibeberapa fakultas. Suara dari pak tukang itu sangat keras, apalagi disaat kegiatan belajar di dalam ruang kelas. Dengan adanya pak tukang yang bekerja di samping ruang itu, jelaslah sangat mengganggu. Seperti kemarin, ketika kami presentasi, hampir teman-teman yang duduk dua meter di depan tidak mendengar. Suara kami kalah dengan suara palu dari pak tukang itu. Kami memaklumi, para tukang itu memperbaiki gedung karena memang gedungnya banyak yang retak dan harus segera diberbaiki. Namun apa nggak ada waktu lain atau hari lain untuk memperbaiki itu? Saya kira akan lebih baik jika waktu pengerjaannya dilaksanakan diluar jam aktif kuliah. Perbaikan kualitas
sarana dan prasarana memang penting, tapi hendaknya itu tidak malah mengganggu proses belajar. Akibatnya mahasiswa malah merasa nggak nyaman, dan akhirnya nggak faham apa yang disampaikan dosen. *David Maulana, Mahasiswa fakultas Syariah dan Hukum, jurusan Muamalat, angkatan 2013.
Rekrutmen Dosen, Perlu Perhatikan EQ Masih terdapat beberapa dosen yang saya rasa belum memenuhi kriteria sebagai seorang dosen. Baik dari segi intelektual maupun segi emosional. Termasuk di jurusan saya sendiri yaitu Komunikasi dan Penyiaran Islam, dosen dengan jenjang pendidikan S1 bahkan, masih seumuran dengan mahasiswa telah direkrut menjadi tenaga pengajar. Saya rasa itu kebijakan yang kurang tepat. Dalihdalih dengan alasan telah memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi. Namun, kecerdasan intelektual bukan satusatunya faktor dominan dalam rekrutmen dosen, akan tetapi, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya untuk dijadikan pertimbangan, yaitu EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosional. Maka tidak mengherankan, jika sering terjadi kejanggalan dalam proses perkuliahan. Mulai dari dosen
sering marah-marah tidak jelas, tingkah laku dosen yang tidak sopan, bahkan sering kali terucap perkataanperkataan yang kotor dalam kelas. Perlu dipikirkan adanya ketegasan dalam rekrutmen dosen, sebelum hal ini semakin berlarut-larut. Karena memang sudah seharusnya seorang dosen selain memiliki kecerdasan intelektual juga harus memiliki kemampuan mengendalikan emosi saat menghadapi berbagi situasi, baik dalam keadaan menyenangkan maupun dalam keadaan menyakitkan. Bisa berkomunikasi secara bijak dan sopan dengan mahasiswa. Karena dengan EQ yang tinggi seorang dosen akan lebih mudah memotifasi mahasiswa, begitu pula sebaliknya. *Siti Mariyam, mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam ‘11
www.lpmarena.com
3
CATATAN KAKI
Kamis, 28 November 2013
Melek, melek, melek*
D
i suatu masa, kehidupan sebuah masyarakat terlihat adem ayem saja. Pemimpinnya sangat tegas dalam mengambil kebijakan. Pemberontakan hampir nihil adanya. Warga dipilihkan semuanya mana yang baik, mana yang buruk. Diatur di segala lini. Bukan tanpa alasan tentunya. Karena orang-orang yang berada pada posisi pengambil kebijakan ini katanya pintar, berpendidikan, dan tahu mana yang baik buat warganya. “Sudah lah. Jangan aneh-aneh. Yang penting kalian itu kenyang dan hidup tentram,” kata pemimpin di era seperti ini. Warganya pun manut-manut saja. Mereka tidak punya kesempatan untuk berkata “tidak”. Bukan karena mereka tidak ingin berkata “tidak” tentunya. Tapi karena hampir semua hal yang memungkinkan mereka untuk berontak sudah dipangkas, dipotong, dihancurkan. Media diberangus. Pejuang keadilan digugurkan sejak dalam kandungan. Kejujuran dikunci rapat-rapat. Keberanian diciutkan. Karena mereka semua dianggap provokator. Pendidikan di sekolah-sekolah pun diatur sedemikian rupa kurikulumnya. Yang ditampilkan hanyalah kebaikan, kelebihan, dan hayalan hidup mapan yang utopis. Tak pelak lagi. Pada era ini masyarakatnya minim berdialektika. Pengetahuan yang terbangun hanya satu arah. Pemikiran jadi sangat sempit. Yang buruk langsung dikatakan salah, yang baik langsung dikatakan benar. *** Namun di masa yang lain, keadaan masyarakat berbanding terbalik dengan yang pertama. Warga mulai diberi kesempatan untuk mengatur hidupnya sendiri. Segala bentuk kebijakan bisa diprotes dan ditolak. Akses informasi tak terbendung, karena sampai ke pelosok-pelosok wilayah memiliki hak akses informasi yang sama. Undang-undang keterbukaan publik digelontorkan. Penelitian dibuka selebar-lebarnya. Pemerintah membuka celah untuk dikritik di segala lini, katanya. Masyarakat jadi kewalahan dalam menerima arus informasi yang tidak terbendung. Yang benar dan salah jadi kabur karena terlalu banyak kepentingan yang bermain. Pada masa ini, tidak setentram di masa pertama. Di manamana sering terdengar pemberontakan. Demonstrasi sudah jadi pemandangan yang biasa. Bentrok aparat dan sipil jadi tontonan yang menghibur di sela-sela rehat bekerja. Pejuang Hak Asasi Manusia semakin garang. Aktivis semakin percaya diri. Sepintas kehidupan terlihat sangat kacau balau. Pemimpin yang berkuasa pada era pertama pun tertawa puas, dan berkata, “Iseh kepenak jaman ku to?” Pendukung era yang kedua tak ingin ketinggalan, dan balik mencerca, “Iyo. Iseh penak jaman mu. Opo-opo murah, termasuk nyawaku!” Tapi yang pasti, pada era yang kedua masyarakatnya lebih cerdas daripada yang pertama. Karena lebih baik bodoh di era banjir informasi, daripada merasa pintar di era minim informasi. ***
4
|
SLiLiT ARENA
Melek itu artinya terjaga. Terjaga dari apa saja. Orang yang selalu melek, berarti selalu terjaga. Melek media berarti melek terhadap informasi. Terbuka dan luas pikirannya terhadap informasi. Informasi sendiri, dari zaman dahulu kala selalu dibutuhkan. Kepentingannya macam-macam. Ada yang perlu informasi untuk mengambil kebijakan, ada yang perlu informasi karena memang hasrat ingin tahunya minta terpenuhi, ada juga orang yang butuh informasi supaya tentram dalam hidupnya. Karena, pada hakikatnya manusia itu tidak dapat mencapai semua arus pengetahuan. Jika pintar pada yang satu, maka akan bodoh pada yang lain. Jadi ketika seseorang tidak terpenuhi kebutuhan akan informasinya, bisa dipastikan akan sempit pengetahunnya. Jika dalam suatu masyarakat tidak melek media, dialektika tidak akan massif terjadi. Ketimpangan dalam berpikir semakin nyata terlihat. Orang, kalau sudah tidak sempit dalam berpikir, akan jelas tampak bahwa pilihan dalam mengambil kebijakan sesungguhnya banyak sekali. Tawar-menawar jadi semakin banyak terlihat. Namun di sisi lain. Suasana memang terlihat sedikit kacau. “Permintaan masyarakat semakin aneh-aneh,” kata orang-orang pengambil kebijakan. Maka, wajar saja ketika pemangku kebijakan kewalahan memenuhi keinginan masyarakat yang aneh-aneh ini, keterbukaan informasi sering djadikan kambing hitam untuk disalahkan. “Ini karena terlalu banyak provokator,” katanya. Pihak-pihak yang memberikan kejelasan informasi dikatakan provokator. Lantas bagaimana jika arus informasi hanya satu arah? Apakah ini juga bukan bentuk dari provokator yang lebih berbahaya? Tidak ada pembanding yang dapat dijadikan sandaran untuk menilai segala sesuatu secara komprehensif. Masyarakat itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Tidak ada yang statis. Kondisi yang ada saat ini tidak lain adalah hasil dari pergulatan kondisi yang telah lalu. Itu sudah menjadi hukumnya. Sejarah itu menentukan masa kini. Kekinian itu dibentuk oleh masa lalu. Informasi seolah memperjelas hal itu. Informasi memberi peluang agar pergulatan yang terjadi lebih punya makna dan berarti. Kalaupun terjadi kekacauan, kekacauan itu bukan karena ketidaktahuan. Tapi justru karena adanya pandangan dari sudut lain, yang itu tidak bisa dilihat oleh orang-orang pemangku kebijakan. Jika pandangan itu dianggap salah, seharusnya dibantah dengan dengan argumen yang lebih rasional dan sifatnya memberi solusi. Bukan malah memotong arus informasi. “Saya punya keinginan agar Persma (Pers mahasiswa) di UIN Suka menjadi panutan Persma di kampus lain,” ujar Rusli, Pemimpin Redaksi LPM Humanius Fakultas Ushuluddin. Seratus persen saya sepakat dan mendukung Rusli. Bahwa mahasiswa itu harus melek, melek, dan melek.[] *Januardi Husin S fB: Juju isme
Kamis, 28 November 2013
EDITORIAL
(Tidak) Menolak Belajar Berbasis Internet
S
istem pembelajaran dan teknologi internet sejak tiga tahun yang lalu terus diupayakan berkesinambungan dalam gerak aplikasinya. UIN Suka mempunyai keinginan untuk menciptakan sistem pendidikan yang berbau 'modern'; Teknologi internet mempunyai andil besar dalam proses 'belajar-mengajar', interaksi kelas bahkan diskusi. Langkah-langkah penggunaan teknologi dalam pembelajaran telah diambil. Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD) sebagai motor modernisasi itu telah menyiapkan berbagai piranti; mulai hal kecil seperti mail untuk setiap orang, akun web untuk lembaga internal kampus, sampai persoalan rumit semisal jaringan dan security. Dalam kelas, kita tak jarang mendengar “Anda, silahkan kirim tugas anda via e-mail ke mail saya� dari seorang dosen di dalam kelas, atau “Saya nggak bisa hadir minggu depan, materinya silakan lihat E-learning. Absensinya silahkan diisi dua kali�. Modern-kah kondisi demikian? Jawabannya dapat kita susun dengan memutar; jika kesembrautan dan ketidaksenambungan proses adalah ciri modern, maka kondisi pembelajaran kampus dewasa ini memang telah modern. Ini dengan terang kita sebutkan karena tiga tahun belakangan ini, tidak satu atau dua persoalan saja perihal akses internet yang memusingkan kepala banyak orang. Lebih bodohnya lagi, persoalan-persoalan itu hadir berulang kali dengan bentuk yang sama, seolah kita tidak pernah belajar dari kesalahan. Cita-cita modern sebenarnya bukan barang baru di dunia pendidikan, sama halnya dengan keinginan kuat untuk 'objektif' dalam penulisan karya ilmiah. Begitu juga teknologi internet. Namun beranggapan, dengan telah memakaikan teknologi internet dalam proses pembelajaran berarti telah berupaya menciptakan sistem pembelajaran yang modern, dapat kita katakan itulah kebodohan yang terselubung. Kita ambil contoh E-learning. Sistem ini memang barang baru dikampus ini, namun barang usang dikampus orang. Pernahkah pengambil kebijakan dikampus ini mengukur sejauh mana kemampuan Elearning meningkatkan mutu pendidikan? Mungkin tidak. Karena E-learning, sampai saat ini, terseok dalam penggunaannya. Titik tekan dalam pemakaiannya tidak banyak dipahami oleh pengambil kebijakan atau oleh
banyak dosen dikampus ini. Sampai sejauh ini dan nampaknya untuk beberapa tahun kedepan, penggunaan E-learning hanya sampai pada tataran arsipasi. Dimana segala bahan dan laku belajar-mengajar diarsipkan dalam satu sistem yang nantinya dapat dilihat kapan saja dan dievaluasi sedemikian rupa. Itupun hampir dua tahun berjalan tanpa banyak perkembangan. Sistem yang dibangun pihak PTIPD nampaknya tidak begitu diapresiasi. Terbukti, sistem yang telah ada tidak direspon baik oleh para dosen di jurusan dan fakultas. Beberapa jurusan malah ada yang tidak menerapkan E-learning sebagai penunjang kegiatan kelas. Apa maksudnya ini? Secara singkat kita sebutkan bahwa; segala cita-cita yang dibangun oleh pimpinan kampus ini tidak dipahami oleh sebagian besar orang di kampus ini. Atau mungkin dipahami, tapi dengan sengaja ditolak cita-citanya. Dan penolakan itu berlangsung secara halus; seolah-olah diapresiasi namun tidak dikerjakan sama sekali. Bentuk nyata dari itu dapat kita lihat dari kekacauan sistem input KRS awal semester lalu. Dimana pihak fakultas dan jurusan saling lempar kesalahan dengan pihak PTIPD. PTIPD sebagai pembangun sistem jaringan dianggap lalai dalam penginputan jadwal, sedangkan pihak PTIPD menyalahkan pihak fakultas dan jurusan yang telat menyetorkan data ke PTIPD. Saling lempar tanggung jawab itu memakan korban para mahasiswa yang berburu jadwal dan SKS. Oleh karena itu, pembangunan sarana teknologi internet hendaknya diiringi dengan management komunikasi antara masingmasing lembaga dikampus ini. Untuk E-learning, pembelajaran di kelas, rasanya, tidak mungkin tergantikan oleh komunikasi di dunia maya. Kita masih membutuhkan komunikasi tatap muka dengan para dosen. Ini sebenarnya dipahami oleh sebagian besar mahasiswa dan dosen di UIN Suka. Makanya, gerak E-learning tidak terlalu banyak dikritisi. Seakan-akan 'gerak maju silakan, tak gerak-pun tak masalah'. Asal saja cerita sistem pembelajaran di kampus ini tidak menjadi anekdot yang telah ada; kita susahsusah membuat sungai, setelah sungai selesai dibikin, kemudian bersama-sama membangun jembatan. [] Redaksi
Redaksi SLiLiT ARENA menerima kritik dan saran terhadap editorial.Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Bentuk tulisan utuh 400-700 kata. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Saran/Kritik Editorial_SLiLiT ARENA
www.lpmarena.com
|5
UNIVERSITARIA
Kamis, 28 November 2013
L UKT Rawan Penyelewengan Dirjen Pendidikan Tinggi Islam menginstruksikan PTAIN memberlakukan UKT pada tahun 2013. Namun, teknis UKT UIN Suka belum jelas sedang BOPTN sudah turun. Oleh: Usman Hadi
B
antuan Operasional Perguruan Tinggi Negri (BOPTN) untuk tahun ajaran 2013/2014 telah diterima UIN Suka. Adapun besaran BOPTN yang telah diterima sejumlah Rp 2 6 m i l i a r. A l a s a n p e m e r i n t a h mengucurkan BOPTN adalah untuk memuluskan penerapan sistem baru pembayaran kuliah, Uang Kuliah Tunggal (UKT). Besaran BOPTN ini dibenarkan oleh Waryono, Pelaksana Harian (PLH) Wakil
6
|
SLiLiT ARENA
Rektor II bagian administrasi dan keuangan, ia membenarkan UIN Suka telah menerima BOPTN sebesar Rp 26 miliar. Berdasarkan aturan, bila telah menerima BOPTN, maka seyogianya UIN Suka telah menerapkan UKT. “Aturannya begitu, tapi yang lucu Kemenag begitu (telah mengeluarkan BOPTN, red.). Mestinya UKT dulu diberlakukan, baru BOPTN, itu yang saya nggak faham.” Turunnya BOPTN menjadi persoalan
tersendiri dalam penerapan UKT di UIN Suka. Padahal hingga saat kini teknis aturan penerapan UKT di UIN Suka juga belum jelas. UKT yang sebenarnya telah menjadi pembahasan hangat di PTN dan PTAIN sejak tahun lalu tersebut hendak diberlakukan di UIN Suka tahun ini. UKT pertama kali dicanangkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) sebagai sistem pembayaran di setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tahun 2012 lalu. Kemudian karena Direktorat Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis), badan yang membawahi Perguruan Tinggi Agama Islam Negri (PTAIN) dalam membuat aturan sifatnya mengekor kepada Dirjen Dikti, akhirnya Dirjen Pendis mengeluarkan aturan serupa tahun 2013 ini. Aturan Dirjen Pendis ini termuat pada Surat Edaran SE/Dj.I//PP.009/54/2013 tertanggal 16 Juli 2013 tentang UKT pada PTAIN di lingkungan Dirjen Pendis Kementrian Agama (Kemenag). Surat Edaran (SE) yang ditujukan kepada seluruh pimpinan PTAIN ini memuat beberapa hal terkait penerapan UKT. Pertama, UKT wajib diterapkan di PTAIN pada tahun akademik 2013/2104. Kedua, UKT yang ditanggung oleh mahasiswa harus disesuaikan oleh kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Ketiga, UKT bagi mahasiswa kurang mampu ditetapkan paling sedikit 5% dari jumlah Mahasiswa Baru (Maba). Keempat, PTAIN tidak boleh memungut uang pangkal dan uang lain selain UKT dari Maba program Strata I dan Diploma mulai tahun akademik 2013/2014. Kelima, PTAIN yang telah melakukan kutipan bagi Maba sebelum SE ini diterbitkan maka harus melakukan pertanggungjawaban di masing-masing PTAIN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Meski Dirjen Pendis telah mengelurakan SE, namun hal ini dinilai belum bisa dijadikan dasar sandaran perberlakuan UKT. SE tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang cukup. “Selama Kemenag belum mengeluarkan aturan (SK, red), kami masih seperti (menggunakan sistem, red) yang berlaku selama ini,” jelas Waryono, Tanggapan berbeda dilontarkan oleh Staff Humas Kantor Wilayah Kemenag Yogyakarta, Bramma Aji Putra. Ia berpendapat bahwa SE yang dikeluarkan
UNIVERSITARIA
Kamis, 28 November 2013
oleh Dirjen Pendis sudah cukup menjadi dasar pelaksanaan UKT. Untuk masalah teknis pelaksanaan UKT di masingmasing PTAIN sebenarnya bisa disiasati dengan SK dari rektor. Menurutnya, seyogianya rektor memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan, asal tak melanggar aturan di atasnya. Teknis penerapan UKT sendiri di UIN Suka juga belum jelas, tercermin dari belum diputusnya nasib mahasiswa yang nantiya lulus lebih dari delapan semester. “Kami (UIN, red.) belum membahas itu, pasca semester delapan membayar berapa, kami belum sampai kesana,” ungkap Waryono. Sedang dalam logika UKT asumsi dasar pembagian UKT adalah delapan semester, sebagai masa normal lulus kuliah. Sehingga mahasiswa pembayar UKT yang nantinya lulus lebih dari delapan semester harusnya telah terbebas dari uang pangkal, Praktikum, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dana Penunjang Pendidikan (DPP), Wisuda dan biaya lain. Respon berbeda dilontarkan oleh Sekar Ayu, Wakil Rektor I (WR I) bagian akademik dan kemahasiswaan. Menurutnya besaran UKT bagi mahasiwa yang kelak lulus lebih dari delapan semester sama dengan besaran UKT yang dibayarkan di awal. “Sampai kapanpun UKT segitu, ya salah sendiri kuliah lebih dari delapan semester,” jelasnya. Ta k h a n y a i t u , m o m e n t u m pemberlakuan UKT juga rawan terhadap penyelewengan, terutama dari pihak birokrasi kampus yang hendak menaikkan biaya operasional kuliah. Sekar Ayu juga mengungkapkan banyaknya birokrat kampus yang ketika rapat perumusan UKT mengusulkan diadakannya praktek bagi jurusan yang semula tidak ada. “Jurusan hanya bisa mengusulkan, tapi tidak boleh memutuskan,” tegasnya. Celah seperti ini dimungkinkan karena kondisi PTAIN berbeda dengan PTN yang dibawah naungan Dirjen Dikti. Sedari awal PTN diinstruksikan oleh Dirjen Dikti melalui SE No. 305/E/T/2012 tertanggal 21 Februari 2012 tentang larangan menaikkan tarif uang kuliah. Kemudian disusul SE No. 488/E/T/2012 tertanggal 21 Maret 2012 tentang tarif uang kuliah SPP di perguruan tinggi. Kedua SE tersebut tidak memungkinkan PTN untuk menaikkan biaya operasional kuliah
sebelum UKT di PTN diterapkan. Namun Dirjen Pendis tidak melakukan langkah serupa di PTAIN, Dirjen Pendis langsung mengeluarkan SE yang menginstruksikan PTAIN untuk menerapkan UKT pada tahun ajaran 2013/2014. Tentu kondisi ini bisa memancing penggelembungan biaya kuliah di PTAIN sebelum UKT diterapkan, termasuk UIN Suka. Penggelembungan biaya kuliah inilah yang ditentang keras oleh sejumlah kalangan, tak terkecuali dari pihak Senat Mahasiswa (SEMA) UIN Suka. Bagi SEMA, biaya kuliah di UIN Suka harus tetap terjangkau bagi semua kalangan, termasuk bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi untuk bisa mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Praktik aji mumpung tersebut kembali diamini oleh Noorhaidi Hasan, “Ada yang memanfaatkan UKT untuk membesarkan SPP-nya. Logikanya nggak nyambung! UKT itu diterapkan dengan menerima BOPTN, jadi istilahnya memberikan subsidi, kalau ada BOPTN kenapa harus menambah pungutan kepada mahasiswa,” papar Dekan fakultas Syariah dan Hukum itu kepada ARENA. Perhitungan UKT diperoleh dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dikurangi Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BKT sendiri dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 55 Tahun 2013 pasal satu ayat satu, merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada Program Studi di Perguruan Tinggi Negeri. Sementara BOPTN merupakan biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah, untuk mensubsidi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Subsidi ini dikarenakan PTN dan PTAIN di awal perkuliahan dengan sistem UKT tidak diperkenankan menarik uang masuk (uang pangkal), maka dari itu untuk meringankan beban PTN dan PTAIN, pemerintah memberikan dana berupa BOPTN. Adapun BOPTN di masing-masing perguruan tinggi digunakan sebagai dasar oleh PTN dan PTAIN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa U K T. S e m e n t a r a P e m e r i n t a h menetapkan standar satuan BOPTN secara periodik dengan
mempertimbangkan Capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis Program Studi, dan Indeks Kemahalan Wilayah. Secara sederhana rumus perhitungan UKT yakni, UKT = BKT - BOPTN, dan BKT = Unit Cost (K1 x K2 x K3). Unit Cost adalah biaya satuan pada institusi pendidikan, sedangkan K1 adalah indeks jenis Program Studi, K2 adalah Indeks Mutu PT, dan K3 adalah Indeks Kemahalan Wilayah. Butuh Pengawasan Polemik UKT belum juga menemukan titik temu, terutama masalah teknis. Melihat gelagat birokrasi kampus yang hendak menaikkan biaya kuliah dengan menambahkan program-program yang semula tidak ada, mengindikasikan perlunya proses ini untuk terus diawasi. Menanggapi kondisi ini, Dewan Mahasiswa (DEMA) yang menaungi mahasiswa UIN Suka akan melakukan kontrol kebijakan tentang UKT di UIN Suka. DEMA juga tak mempermasalahkan bila UIN Suka menerapkan sistem UKT, tetapi menurut DEMA pemberlakuan UKT tersebut harus mempertimbangkan beberapa syarat. “Fine-fine saja menerapkan UKT, asalkan: Satu, biaya kuliah sama sekali tidak pernah naik dari sistem sebelumnya. Kedua, (mahasiswa, red.) pasca semester delapan harus ada pembahasan. Kalau dari permintaan kami pasca semester delapan biaya kuliah kembali ke Rp 600 ribu (per semester, red),” tutur Badri, Wakil Ketua DEMA UIN Suka. Saefuddin, Ketua DEMA juga menambahkan bahwa tawaran dari DEMA tersebut bisa disiasati dengan SK dari rektor. Karena rektor memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan terkait dengan teknis pelaksanaan UKT. “Setiap Perguruan Tinggi berhak menentukan kebijakan, dengan catatan tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya,” jelasnya. Mengingat penerapan UKT yang rawan terhadap penaikkan biaya operasional kuliah, SEMA merespon dengan membentuk sebuah tim pengkaji. ”Tim pengkaji ini untuk membaca dan me-warning beberapa jurusan yang sebelumnya tidak ada praktik diadakan praktik,” ungkap Romel, Ketua SEMA UIN Suka.[]
www.lpmarena.com
|7
UNIVERSITARIA
Kamis, 28 November 2013
UIN Genjot Penerapan UKT UIN Suka telah membagi mahasiswa dalam dua golongan UKT, golongan miskin dengan golongan normal. Oleh: Ulfatul Fikriyah
U
ang Kuliah Tunggal (UKT) adalah sistem baru pembayaran yang ditawarkan Pemerintah kepada seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di lingkup Kementerian Agama (Kemenag). Disebutkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 55 tahun 2013 bahwa UKT merupakan sebagian Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Tahun ajaran 2013/2014 ini, UKT sudah mulai diterapkan di PTN seluruh Indonesia berlandaskan pada Surat Edaran (SE) No. 97/E/KU/2012 tentang Uang Kuliah Tunggal, serta Permendikbud No. 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal. Di Yogyakarta, ada dua universitas yang telah menggunakan sistem UKT. Yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Sementara untuk Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) belum menerapkan. Besaran UKT di masing-masing PTN berbeda-beda. Di UNY, besar UKT yang dibayar mahasiswa tiap semester dibagi ke dalam empat golongan. Golongan I dalam kisaran Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta, golongan II kisaran Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, golongan III kisaran Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta dan golongan IV kisaran Rp 3 juta sampai Rp 4 juta. Di UGM besarnya UKT dibagi menjadi lima golongan. Mulai dari golongan I yang paling rendah yaitu Rp 500 ribu sampai golongan V yaitu paling tinggi Rp 14,5 juta. Adanya penggolongan ini dimaksudkan untuk subsidi silang. Kategori penggolongan UKT di PTN seperti UNY dan UGM diatur oleh Dikti (Dirjen Pendidikan Tinggi), sedangkan di PTAIN diatur oleh Pendis (Dirjen Pendidikan Islam). Masing-masing golongan ini juga memiliki kuota jumlah mahasiswa tertentu.
8
|
SLiLiT ARENA
Kuota golongan terendah di PTAIN sendiri telah diatur dalam SE nomor Se/Dj.I/PP.009/54/2013 poin 3, yaitu UKT bagi kelompok mahasiswa kurang mampu diterapkan paling sedikit lima persen (5 %) dari jumlah mahasiswa baru yang diterima di setiap PTAIN. Sementara untuk golongan yang lebih tinggi menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa. UIN Suka saat ini membagi UKT menjadi dua golongan mahasiswa. Golongan I adalah kategori keluarga miskin yaitu Rp 0,- sampai Rp 500 ribu dan golongan II dari Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta, termasuk keluarga normal. “UKT tahun ini ada dua kategori, kategori pertama 5% untuk keluarga miskin. Dan kategori kedua 95 % UKT normal di UIN,” ungkap Noorhaidi Hasan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. Meskipun UKT belum diterapkan, tetapi UIN telah mengatur sistematika penggolongan UKT. Menurut Waryono, selaku Pelaksana Harian (PLH) Wakil Rektor II bagian administrasi dan keuangan, nantinya mahasiswa akan didata dan digolongkan sesuai dengan kemampuan ekonominya. Dalam hal ini, yang menjadi bahan pertimbangan adalah penghasilan orang tua, banyaknya tagihan listrik, alamat rumah, serta hal lain yang mendukung. Ia menjabarkan bahwa kesalahan yang mungkin terjadi ketika proses penggolongan ini dilakukan salah satunya adalah ketika input data dari mahasiswa. Selain penggolongan, saat ini perkembangan UKT di UIN suka telah sampai pada penentuan besarnya UKT dari semua Program Studi (Prodi) di setiap fakultas. Penentuan ini nantinya akan menjadi usulan yang diajukan ke Kemenag untuk kemudian dibahas bersama, dan disepakati. “Di UIN Suka sendiri sudah membahas tentang besarnya UKT masing-masing Prodi, terus sudah dikirim ke Kemenag, yang itu nanti kalau misalnya usulan itu disetujui, ya tinggal di SK-kan”, terang Waryono (6/11). Besarnya UKT masing-masing Prodi
variatif. Tergantung ada tidaknya atau banyak sedikitnya Praktikum di masingmasing Prodi. “Karena ada yang di Prodi melakukan Praktikum dua kali, ada yang Praktikum tiga kali,” jelas Waryono. Ia memberi contoh untuk UKT terendah ada di jurusan Perbandingan Agama fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Belum diterapkannya UKT di UIN Suka dijelaskan oleh Waryono karena belum adanya aturan tentang berlakunya UKT di PTAIN lingkup Kemenag yang diatur dalam peraturan menteri dengan berdasarkan surat keputusan (SK). “Kita (UIN Suka, red) itu karena Kemenag, selama Kemenag belum mengeluarkan aturan, ya kita masih seperti yang berlaku selama ini”, ungkap Waryono ketika ditemui ARENA di ruangannya. Terkait penerapan UKT di UIN, Wakil Rektor I bidang akademik dan kemahasiswaan, Sekar Ayu Aryani mengungkap bahwa pemberlakuan UKT paling lambat tahun ini sudah harus diterapkan karena Dirjen Pendis sudah mengeluarkan Surat Edaran. Keterangan ini dikuatkan oleh statement Noorhaidi yang mengatakan bahwa Tahun ini UKT akan diterapkan.” jadi, Maba (mahasiswa baru 2013, red) akan menerima uang kembalian.” Pemerintah menjanjikan bahwa berlakunya UKT akan dibarengi dengan kucuran Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Batuan ini digunakan untuk menutupi kekurangan dana akibat tidak adanya uang pangkal di awal semester. Seperti yang telah terjadi di UNY dan UGM yang di bawah Kemendikbud. Penerapan UKT di tahun pertama di kedua universitas tersebut diiringi dengan kucuran dana BOPTN dari pemerintah. Masing-masing universitas memiliki dana BOPTN yang berbeda. (baca Permendikbud nomor 55 tahun 2013). Berbeda halnya dengan yang terjadi di UIN Suka saat ini. Sekarang UIN Suka telah memperoleh kucuran dana BOPTN sebesar Rp 26 miliar namun belum menerapkan UKT. “Kami hanya menjalankan perintah Kemenag. Tidak seperti di Perguruan Tinggi (di bawah) Kemendikbud, memang disana UKT dan BOPTN itu satu paket. Tidak seperti di UIN Sunan Kalijaga hari ini, dan mungkin di PTAIN lain yang di bawah Kemenag, BOPTN memang sudah berlaku tapi UKT belum,” pungkas Waryono.[]
UNIVERSITARIA
Kamis, 28 November 2013
Mahasiswa dalam Bingkai Regulasi Meski dirasa memberatkan, mahasiswa tidak merespon penerapan regulasi kuliah malam. Oleh: Anddy Robandy
L
angit senja merunduk di ufuk barat, pukul 17.50 WIB kumandang adzan maghrib terdengar di segenap penjuru ruangan fakultas Syariah dan Hukum. Di sebuah koridor tampak segerombolan mahasiswa menuju ruangan kelas. Disusul seorang dosen di belakang mereka, menggiring para mahasiswa tersebut untuk memulai perkuliahan. Penambahan jam kuliah malam bagi mahasiswa reguler, menjadi regulasi terbaru di fakultas Syariah dan Hukum. Regulasi kuliah malam sebenarnya diperuntukkan bagi mahasiswa mandiri, namun dalam proses perkuliahan mereka digabung dengan mahasiswa reguler. Kebijakan tersebut karena ruang kelas tidak mencukupi, disamping bertambahnya jumlah mahasiswa baru pada tahun ajaran 2013/2014, juga transisi perubahan kurikulum fakultas jadi alasan. Kebijakan tersebut dirasa mahasiswa kurang efesien dalam proses pembelajaran, karenanya banyak mahasiswa mengeluh, merasa tidak kondusif ketika belajar di sore hari sampai malam. Juga kuliah hari Sabtu yang dianggap membatasi gerak aktifitas di luar kampus seperti berorganisasi, kerja, diskusi dll. Begitulah yang dirasakan Harisa, mahasiswa fakultas Syariah, dia merasakan ketidaknyamanan terkait kebijakan tersebut. “Kuliah hari Sabtu ya mas, ya dijalani aja sih mas, kebijakan dari atas emang kayak gitu, kita harus gimana lagi, tapi emang ada kesulitan kuliah hari Sabtu itu, soalnya kantor seperti Tata Usaha (TU) itu tutup kalau ada urusan jadi susah” Ujar mahasiswa semester tujuh itu. Senada dengan Harisa, Aninditya mahasiswa jurusan Keuangan Islam (KUI) menjelaskan perihal kebijakan yang dianggapnya sebuah kewajaran birokrat, meski Aninditya terpaksa mematuhi kebijakan tersebut, ia juga menyadari kuliah malam dan hari Sabtu dirasa kurang efisien. “Sebenarnya nggak enak juga mas, kita mau bilang juga udah kebijakan dari sananya, mau tidak mau harus dituruti. Ya capek, lesu, karena waktu istirahatnya jadi berkurang” keluhnya. Ansori, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMA-F) Syariah
mengaku prihatin dengan sikap mahasiswa yang seperti itu, dia juga melihat laku-lampah mahasiswa yang cenderung pragmatis “Ironis memang mas, mahasiswa tidak lagi memikirkan sampai mana keilmuan yang ia dapat, tapi lebih ke bagaimana dia mendapat nilai tinggi tanpa absensi yang di penuhi. Mereka ketika libur ya seneng, bukannya gelisah. Mereka tidak merasa kalau kuliah itu bayar” paparnya. DEMA-F juga akan terus mewantiwanti kepada Himpunan Mahasiswa Jurusan (HIMA-J) untuk mem-back up teman-teman mahasiswa jurusannya, menampung keluhan dan suara mereka. Dalam artian DEMA-F menyediakan ruang untuk mahasiswa terkait kegelisahan-kegelisahan yang dialami, kata Anshori. Dia merasakan untuk tahun ini, civitas akademik di Syariah memang kurang kondusif, ditambah persiapan birokrasi sejak awal kurang matang. Dude Malik, mahasiswa yang juga ketua organisasi pergerakan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD), menjelaskan bahwa gejala represif yang dialami mahasiswa akibat kesadaran yang terbangun dari mahasiswa hanya sebatas kesadaran naif, mencomot tiga tipologi dari Paulo Freire, kesadaran terdiri dari tiga level, antara kesadaran mistik, kesadaran naif kemudian kesadaran kritis. Kebanyakan mahasiswa terjebak pada kesadaran naif, dimana mereka kadang berfikir kritis, namun mereka sendiri tidak berusaha untuk merefleksikan sikap kritisnya terhadap regulasi birokrasi yang berlaku padanya. “Mahasiswa itu terjebak pada kesadaran naif bung!, seperti acuh tak acuh terhadap kesadarannya sendiri” keluh mahasiswa jurusan Filsafat Agama tersebut. Ditanya tanggapannya, Romel Masykuri turut berkomentar, ia melihat gejala-gejala represif yang terjadi atas mahasiswa dalam bentuk kebijakan birokrasi merupakan awal untuk membangun sikap kritis mahasiswa. Namun tampaknya, mahasiswa tengah mengalami krisis identitas, dimana kebanyakan mahasiswa sekarang belum menemukan esensi dirinya sebagai mahasiswa. “Mahasiswa sekarang lebih melihat konsensus mas, mereka bergantung pada kesepakatan mahasiswa lainnya, yang
secara tidak sadar sebenarnya mereka telah ter-hegemoni kebijakan yang membuat mereka patuh” terang Ketua SEMA itu.. Manusia pada hakekatnya memang selalu mencari kenyamanan dirinya. Begitu juga mahasiswa sekarang, sehingga tak ayal mahasiswa cenderung pragmatis, hanya peduli pada apa yang “dianggap” berguna untuknya, jelas Tri Guntur Narwaya. Menurut dosen yang juga tergabung dalam lembaga Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, mahasiswa mengalami disjungsi (tahu tapi tidak merespon) terhadap gejala-gejala represif, baik itu buat dirinya ataupun yang sudah menjadi habitus (kebiasaan) umum mahasiswa. Mereka hanya mengamini dan mematuhi kebijakan tersebut, tanpa memikirkan aspek permasalahan atau gejala represif. “Terkadang mahasiswa tidak mau ambil pusing terhadap gejala-gejala represif yang dialaminya, alhasil mahasiswa hanya menerimanya dengan legowo, masuk kuliah jam enam ia rasakan tidak kondusif, tetapi tidak ada kesadaran dalam dirinya untuk merespon gejala-gejala represif tersebut” ucap Guntur. Fenomena atas pendisiplinan tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen yang diterapkan dari disiplin militer dalam mahasiswa. Pertama, melalui Observasi Hierarkis atau kemampuan AparatusBirokrasi untuk mengawasi semua yang berada di bawahnya dengan satu kriteria tunggal. Kehadiran struktur itu merupakan satu mekanisme kekuasaan dan disiplin yang akan mengurung tubuh mahasiswa. Kedua, penormalan kebijakan refresif melalui pemahaman yang ditanamkan kepada mahasiswa. Untuk lepas dari sebuah gejala represifitas ada proses yang harus dilalui mahasiswa sebagai proses penyadaran. Pertama adalah pintar dalam kognisi pengetahuan. Kedua ialah keberpihakan, dimana kepintaran seorang mahasiswa digunakan untuk orang yang benar-benar membutuhkan. Terakhir, ketika sudah memenuhi dua proses sebelumnya, seorang harus berani dalam menyampaikan hak yang menjadi miliknya, pungkas Guntur mengakhiri.[]
www.lpmarena.com
|9
UNIVERSITARIA
Kamis, 28 November 2013
*Bagan tingkat penggunaan E-learning oleh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum
E-learning
10
Butuh Sosialisasi Lebih Kurangnya sosialisasi menyebabkan penggunaan Elearning di kalangan dosen dan mahasiswa tak maksimal. Oleh: Arifki Budia Warman
E
lectronic Learning atau biasa disebut dengan E-learning merupakan fasilitas penunjang proses perkuliahan bagi mahasiswa dan dosen yang memanfaatkan teknologi internet. Dengan menggunakan Elearning, mahasiswa dapat mengunduh materi, melihat pengumuman, tugas, SAP (Satuan Acara Perkuliahan) mata kuliah, selain itu juga disediakan forum yang dapat digunakan berinteraksi antara mahasiswa dengan dosen pengampu matakuliah. Agung Fatwanto, Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD) UIN Suka, menjelaskan bahwa E-learning merupakan salah satu media interaksi mahasiswa dengan dosen berbasis elektronik yang disediakan oleh PTIPD. Fasilitas ini sebelumnya hanya diberlakukan di fakultas Sains dan Teknologi, baru pada tahun akademik 2012/2013 mulai diberlakukan untuk seluruh fakultas di UIN Suka. E-learning hadir sebagai media pelengkap bagi proses perkuliahan di UIN Suka. Hal ini bukan berarti mengganti sistem lama yang telah berjalan. “Konsepnya kita itu tidak ingin mengganti proses pembelajaran yang selama ini berlaku, tapi hanya untuk melengkapi,” jelas Agung. Berdasarkan riset yang dilakukan ARENA di fakultas Syariah dan Hukum, pada semester ini hanya beberapa dosen yang memakai fasilitas E-learning dalam proses perkuliahan (lihat bagan*). Kurang intensifnya pemakaian Elearning di kalangan dosen dan mahasiswa ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi E-learning. Hal ini diakui oleh Agung, “yang jadi masalah itu awalnya memberikan sosialisasi, bahwa kita menyediakan media pembelajaran berbasis eloktronik ini (E-learnig, red),” Nurdhin Baroroh mengamini kondisi tersebut, dosen fakultas Syariah dan Hukum ini termasuk dosen yang memakai fasilitas E-learning. Nurdhin
10
|
SLiLiT ARENA
Diambil dari 48 dosen pengampu mata kuliah semester V Fakultas Syariah dan Hukum PUSDA LPM ARENA
menjelaskan bahwa sosialisasi dari pihak PTIPD kurang maksimal. “Sosialisasinya juga harus dari satu pintu, saya tahu adanya fasilitas E-learning ini dari teman saya,” jelasnya. Berkaca pada kondisi terkini, tampaknya program ini tak mampu memberi banyak pengaruh atas pandangan konvensional para dosen. Tak bisa dipungkiri ada saja dosen yang tetap enggan menggunakan E-learning dengan alasan lebih suka langsung berhadapan dengan mahasiswa. Interaksi langsung dengan mahasiswa dirasa lebih penting dibandingkan via dunia maya. Menyiasati hal tersebut, sebelumnya pihak PTIPD telah mencoba membuat beberapa strategi untuk sosialisasi dan mempermudah pemakaian fasilitas Elearning. Diantaranya dengan memberikan user name dan password untuk semua akun dosen dan mahasiswa serta mengirim surat edaran kepada setiap dosen untuk menggunakan fasilitas E-learning. Selain itu PTIPD juga menyelenggarakan pelatihan penggunaan sistem, namun hanya beberapa dosen yang datang. Meski begitu, langkah-langkah ini tampaknya kurang diimplementasikan secara maksimal oleh pihak PTIPD. Sebagaimana pengakuan Nurdhin yang mengatakan bahwa dia tidak pernah mendapat surat edaran dari pihak PTIPD terkait himbauan penggunaan fasilitas Elearning. Lebih lanjut Agung menjelaskan bahwa pemakaian fasilitas E-learning merupakan hak dosen. “Kita tidak dalam kewenangan memaksa, jadi kita itu hanya menyediakan medianya, memberikan informasi, ini mau dipakai atau tidak itu kewenangan dari dosen sendiri,” tegasnya. Bagi M. Jihadul Hayat, E-learning sangat penting karena ia bisa mendapatkan berbagai bahan kuliah di dalamnya. Ia menyayangkan kurang maksimalnya penggunaan E-learning di
kalangan dosen dan mahasiswa.“Fasilitas itu disediakaan ya untuk dipakai, jika tidak dipakai sama saja membuang anggaran, mending dananya untuk pengadaan Godam di fakultas-fakultas atau pengadaan buku-buku perpustakaan,” tambah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum itu. Jihad juga mengharapkan adanya penekanan terhadap dosen untuk memakai fasilitas yang telah disediakan. Disamping itu PTIPD harus lebih maksimal dalam mensosialisasikannya. “Perlunya perhatian khusus yang digagas oleh pihak PKSI (PTIPD-red.) atau rektorat, seperti seminar, pelatihan, ya rada-rada menganjurkan atau mewajibkan bagi dosen untuk menggunakan fasilitas ini,” tegasnya. Berbeda halnya dengan Agung, Ia menilai bahwa salah satu cara menarik dosen untuk memakai E-learning tidak hanya dengan sosialisasi dari PTIPD tetapi harus ada tuntutan dari mahasiswa juga. Kurang maksimalnya pemakaian Elearning juga karena tidak adanya akses bagi dosen Luar Biasa. Sehingga perlu diberikan akun khusus bagi dosen Luar Biasa agar mereka juga dapat menggunakan fasilitas E-learning. “Saran saya disamping sosialisasi, ya perlu juga memberikan fasilitas bagi dosen Luar Biasa agar mereka juga bisa menggunakan E-learning dalam proses perkuliahan,” usul Nurdhin. Fasilitas lain yang diberikan PTIPD guna memudahkan mahasiswa berhubungan dengan dosen adalah skripsi on-line. Ditanyai pendapatnya, Jihad merasa hal ini belum perlu, menurutnya yang penting adalah pembenahan fasilitas yang telah tersedia. “Yang perlu dibenahi itu dulu ya fasilitas yang telah ada, seperti input KRS kemaren, itu perlu dimaksimalkan dulu fasilitasnya agar mahasiswa tidak sulit dalam mengaksesnya,” tegasnya.[]
UNIVERSITARIA
Kamis, 28 November 2013
Selamatkan Minat Baca Mahasiswa Kemudahan mengakses berbagai informasi dari internet turut mempengaruhi turunnya minat baca buku mahasiswa. Oleh: Lugas Subarkah
M
inat baca buku mahasiswa mengalami penurunan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya aksi copy-paste mahasiswa kala mengerjakan tugas kuliah. Perkembangan teknologi disinyalir menjadi penyebab utama. Kemudahan mencari informasi lewat internet menjadi hal yang sangat mempengaruhi penurunan minat baca buku mahasiswa. Muhammad Fadli melihat, kondisi sekarang mahasiswa mengalami penurunan kemampuan natural yaitu untuk duduk dan berlama-lama membaca buku atau diskusi. Sedang di sisi lain mengalami peningkatan kemampuan artifisial, cenderung mencari hal yang praktis dan siap saji. Begitu tutur dosen Jurusan Sosiologi Agama (SA) itu. Ia melanjutkan, membaca buku itu berbeda dengan membaca di internet, dibutuhkan kemampuan natural untuk betah berlama-lama duduk dan memaknai. Buku adalah sebuah bentuk materialisasi ide dari penulis, harus dibaca dan didiskusikan. “Membaca buku adalah berdialog dengan penulis, tidak sekedar menafsirkan, tapi juga mengkritisi,” ungkapnya. Kondisi tersebut diakui oleh Mahbuban MS, mudahnya akses internet mendorong mahasiswa untuk melakukan copy-paste kala mengerjakan tugas. Hal ini dirasa lebih praktis daripada membaca buku dan mengetik banyak-banyak. “Sekarang banyak dosen yang memberi tugas misalnya makalah minimal 15 halaman, itu secara tidak langsung memancing kita buat copas (Copy-Paste, red) internet, ya meskipun tetep dieditedit dikit,” ungkap mahasiswa jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) semester III tersebut. Banyak mahasiswa yang mengeluhkan metode mengajar dosen. Seperti sistem pembuatan tugas makalah yang menargetkan jumlah halaman tertentu, harus rampung dalam jangka waktu yang relatif singkat. Hal tersebut memberi beban tersendiri terhadap
mahasiswa yang tengah minim konsumsi baca bukunya. Metode mengajar dosen disatu segi sangat berpengaruh pada minat baca buku mahasiswa. Pendapat diatas dilontarkan oleh Pajar Hatma Indra Jaya, Dosen jurusan PMI.“Menurut saya (metode mengajar, red.) sangat berpengaruh, apa lagi dosen yang galakgalak,” ujarnya sambil tertawa. Menurutnya, salah satu cara menggerakkan mahasiswa agar lebih giat membaca ada dua, pertama dengan reward, kedua dengan punishment.“ Saya melihat dosen yang berhasil (menggerakkan mahasiswanya, red.) itu dengan punishment, misalnya, kalau tidak baca buku, nilainya C,” kata Pajar. Tetapi metode pemaksaan seperti ini kurang cocok untuk metode pendidikan di perguruan tinggi. Karena metode yang digunkan adalah metode Andragogi (pembelajaran orang dewasa), dan disana tidak boleh ada paksaan. Menanggapi kondisi ini, Fadli turut mengupayakan agar mahasiswanya terus membaca buku. Dalam mengajar ia lebih menekankan mahasiswa untuk jujur, terlebih dalam mengerjakan tugas yang diberikan. “Dalam mengerjakan tugas, mahasiswa tidak perlu menulis panjangpanjang, tapi yang penting jujur,” Ungkapnya saat ditemui di sela kesibukannya mengajar Kemudahan yang seringkali diberikan dosen juga memberi dampak tersendiri bagi mahasiswa. Pemberian slide serta materi kuliah dalam bentuk hard-copy tanpa menekankan referensi buku mengkondisikan mahasiswa untuk tidak banyak membaca buku.“Saya sering meng-copy slide materi dari dosen, dan setiap saya belajar, terutama pas ujian, saya menggunakan slide itu saja sebagai rujukan materi karena lebih fokus,” tukas Mahbuban . Ia malas membaca referensi lain karena menurutnya tidak fokus pada materi yang diujikan. Disisi lain pengaruh juga timbul dari
dalam diri tiap mahasiswa. Sebaik apapun metode mengajar dosen jika mahasiswa malas membaca juga takkan banyak memberi pengaruh. “Idealnya sih (mahasiswa, red.) dikasih pencerahan, kalau membaca itu penting, dan tementemen tidak akan dapat banyak hal cuma dari kelas” ungkap Pajar. Pentingnya membaca buku juga untuk refrensi skripsi. Mendapat refrensi yang berbeda, memudahkan saat menulis ujian. Pajar juga mengungkapkan bahwa banyak mahasiswa mendapat judul skripsinya dari membaca buku. ”Kalau bukunya hanya buku yang diberikan dosen, otomatis judulnya sudah banyak di perpustakaan,” ujarnya. Kondisi menurunnya minat baca ini terlihat dari beberapa penuturan mahasiswa yang ARENA temui. Sari Ani Saroh, mahasiswi semester III jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI), mengakui bahwa dirinya tidak begitu suka membaca. “Kalau aku sih, baca buku pas ada tugas aja,” kelakarnya sambil tertawa. Kebanyakan mahasiswa biasanya hanya mencari buku wajib silabus sebagai refrensi. Hanif Irwansyah mengakui hal ini, ia lebih gemar membaca buku non-pelajaran. Dalam pandangannya membaca buku lebih pada unsur mengisi waktu luang dan sebagai hiburan.“Baca buku bisa menambah wawasan, dan juga untuk menemani k e s e n d i r i a n , s e b a g a i hiburan.”Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama semester V ini biasanya membaca buku pelajaran hanya jika ujian atau mengerjakan tugas. Tak jauh beda, Wiwit Emi Lestari, Mahasiswi Ilmu Kesejahteraan Sosial semester VII juga lebih menaruh minat membaca buku-buku fiksi. Menurutnya, membaca buku membuatnya lebih punya landasan untuk berbicara.”Baca buku itu bisa memperbanyak bahan kita untuk ngomong,” ujarnya.[]
www.lpmarena.com
| 11
UNIVERSITARIA
Kamis, 28 November 2013
Plang dan Tangga, Fasilitas mahasiswa difabel untuk memudahkan mereka mengakses jalan.
Optimalkan Fasilitas Difabel UIN Suka sebagai kampus inklusi, sampai kini belum memberikan fasilitas yang memadai bagi mahasiswa difabel. Oleh Anisatul Ummah
P
endampingan menjadi salah satu hal urgent bagi mahasiswa difabel di UIN Suka, terutama penyandang tuna netra. Mereka butuh seorang pendamping untuk membantu proses perkuliahan, seperti membaca buku hingga mengerjakan soal ujian. Tanpa pendamping, mahasiswa difabel sangat kesulitan mengerjakan ujian. Seperti dialami Muhammad Furqon waktu Ujian Tengah Semester (UTS) kemarin. Mahasiswa difabel penyandang tuna netra tersebut tidak bisa mengerjakan ujian tanpa pendamping, terlebih bila disamakan waktunya dengan mahasiswa normal. Sebenarnya ujian bagi mahasiswa difabel bisa dilakukan tanpa pendamping, yaitu dengan ujian mandiri, ungkap Siti Aminah, bagian pelayanan di Pusat Layanan Difabel (PLD). Ujian mandiri bisa membantu penyandang tuna
12
|
SLiLiT ARENA
netra, di mana hambatan mereka dalam membaca teks dapat terselesaikan meski tanpa pendamping. Dalam ujian mandiri, fakultas cukup memberikan soft file soal, kemudian akan dibaca komputer yang sudah diinstal software pembaca layar. Aminah menjelaskan bahwa ujian mandiri bagi mahasiswa difabel hanya ada di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK). Namun sekarang ujian mandiri di FDK sudah tidak berjalan. Menurut penuturan Zamakhasari, Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag TU) FDK, selama kepemimpinannya belum pernah diadakan ujian mandiri di FDK. “Paling pendampingan, karena juga nggak semua dosen tahu tentang ujian mandiri,” ujarnya. Ro'fah, salah seorang penggagas berdirinya PLD mengungkapkan,
kendala pelaksanaan ujian mandiri sejak awal adalah sosialisasi. Karena PLD awalnya bukan lembaga struktural, sehingga ketika mensosialisasikan suatu program kurang didengar. “Kalau mau kuat, instruksinya harus dari Rektor atau Wakil Rektor I, biar ada efeknya.” Kendala lain dihadapi mahasiswa difabel tuna netra ketika hendak membaca buku. Mereka masih bergantung pada bantuan volunteer untuk membacakan buku. “Kalau kita mau membuat mereka bisa baca, maka dibuat e-book, kita harus tetap bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Perpustakaan,” ujar Ro'fah PLD menjadi fasilitator UIN Suka sebagai kampus inklusi. Meski telah berjalan sejak tahun 2005, fasilitas dan pendampingan mahasiswa difabel di UIN Suka masih belum memenuhi kebetuhan. Adanya PLD sekaligus wujud pelayanan
UNIVERSITARIA
Kamis, 28 November 2013
Saya baru kali ini mengajar mahasiswa difabel, dan ketika penilaian, paling tidak saya tahu, owh… yang berkebutuhan khusus. UIN Suka tarhadap mereka yang berkebutuhan khusus. Sifatnya juga tidak 100% melayani, karena PLD juga tetap mendorong agar difabel jadi mandiri. Muhammad Furqon bisa menjadi cerminan, difabel tuna netra ini mampu menunjukkan kemandiriannya dengan berjalan di lingkungan UIN Suka tanpa pendamping. “Kita tidak bisa seperti itu, tapi kita harus bisa,” ujar Furqon. Tetapi kondisi tersebut belum cukup dijadikan alasan UIN Suka melepas mahasiswa difabel. Hal yang masih sangat mereka butuhkan adalah fasilitas penunjang perkuliahan untuk difabel belajar di UIN Suka. Persoalan lain adalah inferioritas mahasiswa difabel dalam kelas. Ketika ARENA mengikuti kegiatan perkuliahan salah seorang mahasiswa difabel Lumera Mradipta Ageng, ia terlihat masih kurang konfiden dan memilih duduk di deretan bangku belakang. “Lumera memang selalu memilih duduk di bangku belakang” ujar Luluk Maulu'ah dosen pengajar Lumera. Luluk megakui kalau ia masih bingung meladeni mahasiswa difabel seperti apa seharusnya. Hal ini sebenarnya telah diantisipasi PLD dengan memberikan surat kepada dosen pengajar difabel. Di dalamnya tercantum tips-tips bagaimana mengajar mahasiswa difabel. “Saya baru kali ini mengajar mahasiswa difabel dan ketika penilaian, paling tidak saya tahu, owh yang berkebutuhan khusus (mahasiwa difabel. red) dia,” ujar dosen pengampu Logika Matematika itu. Hal tersebut ditanggapi Ro'fah yang menceritakan, PLD terkadang dirasa oleh anak-anak difabel sebagi tempat yang aman bagi mereka bersosial, karena mereka pasti diterima di sini. “Memang PLD itu seperti zona aman, tapi itu tidak
sepenuhnya positif, karena mereka sudah minder duluan” ujarnya. Kebanyakan dosen juga kurang paham tentang bagaimana cara memperlakukan mahasiswa yang berkebutuhan khusus seperti ini. Sejak empat tahun silam pemerintah telah mengatur tentang Pendidikan Inklusi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.70 Tahun 2009. Dalam Pasal pertama menyebutkan bahwa Pendidikan Inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Sosialisasi kampus inklusi oleh PLD telah dilakukan sejak pra perguruan tinggi dengan membuka forum Kampus Cinta Inklusi. Dengan adanya forum Kampus Cinta Inklusi tersebut diharap mereka yang berkebutuhan khusus merasa memiliki hak yang sama dalam pendidikan. Dari segi pelayanan, PLD telah melakukan pelayanan semenjak mahasiswa masuk kuliah di UIN Suka. Bahkan jika mereka meminta bantuan untuk mendaftar, PLD siap membantu. Mekanisme pelayanan diberikan PLD mulai dari ketika ujian masuk biasanya sudah diberi seorang pendamping dari PLD. Melihat bidang kerja sebagai lembaga, karena PLD berada di lingkup universitas maka kerja-kerja PLD tetap disamakan dengan organisasi lain yaitu, penelitian dan advokasi. Dengan kuantitas mahasiswa difabel yang semakin banyak, dalam pendampingan
PLD membutuhkan tenaga note taker (orang yang membantu mencatat) untuk mencatatkan materi-materi kuliah. Perekrutan note taker diambil dari masing-masing kelas, note taker juga akan dibayar sebagai uang lelah. PLD pernah bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Matahariku dengan melaksanakan kegiatan bimbingan belajar dengan anakanak tuna rungu setiap minggunnya. Namun sekarang kegiatan tersebut urung dilaksanakan lagi, karena pertambahan jumlah difabel tuna rungu yang kini mencapai sepuluh orang dari sebelumnya hanya tiga orang. Kerjasama sekarang dijalankan dengan Dear Art Community (DAC), PLD mengirimkan beberapa volunteer kesana untuk belajar Bahasa Isyarat. “Dengan 40-an mahasiswa difabel tidak kita diamkan saja, otomatis akan kita layani, namun bukan berarti kita memanjakan mereka,” ungkap Siti Aminah. Bila ingin menjadi volunteer, calon dipersilhkan langsung datang ke PLD dan mengisi formulir pendaftaran. PLD tidak membuka stand pendaftaran, namun bagi siapa saja yang ingin menjadi volunteer bisa langsung bergabung. Choiriana Nur Hamidah, mahasiswiIlmu Kesejahteraan Sosial (IKS) salah seorang volunteer menceritakan bahwa menjadi volunteer atau biasa disebut sahabat difabel adalah sebab ingin bermanfaat bagi orang lain. “Aku cuma punya badan, aku pengen memaksimalkan badan yang aku punya agar bermanfaat untuk orang lain” ujarnya. Choirina menjelaskan untuk pembagian kerjanya, dengan mencocokkan kegiatan kuliah mahasiswa difabel dengan kegiatan kuliah para volunteer, yaitu dengan cara mengumpulkan Kartu Rencana Studi (KRS) lalu menyesuaikan jadwal. Pusat Layanan Difabel (PLD) menjadi lembaga yang menaungi mahasiswa difabel. Dirintis sejak tahun 2005, awalnya bernama Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) dan mulai bulan Ramadlan tahun ini berganti nama menjadi PLD. “Nama PLD itu tidak sengaja aja karena SK turun dengan nama PLD, ya mau tidak mau secara legal formal kita ikut jadi PLD. Jadi logikanya kita juga penekanannya pada pelayanan,” tegas Ro'fah.[]
www.lpmarena.com
| 13
ARENA jepret FOTOGRAFER
LUGAS SUBARKAH, ABDUL MADJID, AYU USADA RT, ULFA
,,
WAWANCARA
Kamis, 28 November 2013
PLD, Instrumen UIN Inklusi “Kami berkeyakinan bahwa universitas dan negaralah yang seharusnya memfasilitasi mereka, karena ini merupakan kewajiban Negara.� Ro'fah, penggagas PLD. Oleh Chusnul Chotimah
W
acana UIN kampus inklusi telah berhembus dari beberapa tahun lalu, tepatnya ketika konversi IAIN menjadi UIN tahun 2005. Dengan mengidentitaskan diri sebagai kampus inklusi, UIN dianggap telah mampu dan siap mewadahi segala elemen termasuk mahasiswa yang mempunyai kendala fisik (difabel). Mahasiswa penyandang difabilitas tentu tidak bisa disamaratakan dengan mahasiswa normal. Baik dari segi pengajaran ataupun fasilitas. Untuk itulah PLD (Pusat Layanan Difabel) hadir demi memberi layanan bagi penyandang difabilitas di UIN Suka. Untuk mengetahui lebih dekat, Senin, 11 November 2013 lalu ARENA mewancarai Ro'fah, salah seorang penggagas berdirinya PSLD (Pusat Studi dan Layanan Difabel) yang kini berubah nama menjadi PLD. Wawancara dilakukan di ruang Kaprodi IIS (Interdicipline Islamic Studies) gedung Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Bagaimana sejarah berdirinya PSLD di UIN Sunan Kalijaga? Sejarahnya itu berawal dari turunnya SK (Surat Keputusan) tahun 2007, tapi sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 2005 (Proses pengadaan pelayanan, red.). Saya, bu Andayani, dan pak Muhrisun mengajukan proposal ke pak Amin (Rektor UIN Suka pada tahun 2007, red.) untuk mendirikan PSLD, kebetulan time-nya tepat dengan pembangunan UIN kembali, jadi langsung di-iya-kan oleh pak Amin . Siapa pencetus pertamanya? Haha.. . kalau ngomong sejarah saya sudah lupa, mungkin saya atau bu Andayani. Berawal dari cafe, saat kita ngobrolngobrol waktu itu di McGill University, Kanada. Kebetulan cafe itu letaknya dibawah perpustakaan dan ruangan difabel ada di depan pintu. Setiap hari kita melihat pasangan tuna netra. Dari situlah kita kefikiran dengan yang ada di UIN. Setelah kepulangan kita, kita langsung mengajukan proposal dan langsung disetujui oleh pak Amin. Apa yang menjadi landasan UIN mengklaim sebagai kampus inklusi? Bukan klaim sih sebenarnya, tapi untuk mensosialisasikan cita-cita dan tujuan menuju inklusi. Inklusi adalah kondisi ideal yang butuh proses panjang. Bagaimana Anda melihat dialektika difabel dengan mahasiswa normal sejauh ini, seringkali terlihat mereka lebih nyaman bergaul dengan sesama difabel ? Berbicara dialektika adalah berbicara hambatan yang sangat variatif bukan saja aksesibilitas fisik tapi juga non-fisik. Aksesibilitas fisik misalnya, dari awal bangun tidur ketika
16
|
SLiLiT ARENA
yang normal langsung bangun mandi berangkat kuliah. Kalau mereka, misalnya tuna netra harus meraba-raba dulu, dan itu baru ketika bangun tidur, belum proses perkuliahan dan sebagainya, jadi memang sangat variatif. Selain itu memang proses memahamkan orang sangat sulit ya, proses untuk merubah persepsi orang terhadap mereka. Terkadang saja gambaran orang normal jika ada tuna netra, persepsinya langsung negatif, “Apaan sih, lah wong picek ko!� nah itu menggambarkan bahwa persepsi negatif masyarakat kita masih tinggi. Jadi wajar jika kemudian mahasiswa (difabel) sudah tak pe-de dulu ketika berinteraksi dengan mereka yang normal. Dan memang PSLD adalah zona yang nyaman yang kadangkadang membuat sisi negatifnya menjadikan mereka cenderung bergaul dengan sesamanya. Tapi zona nyaman itu penting. Bagaimana PLD memandang kesetaraan? Intinya gini mbak, kita berangkat dari pemahaman bahwa mereka sama dengan mahasiswa lain. Menyamakan hak artinya menyesuaikan apa yang mereka butuhkan. Misalnya saja mbak butuh buku untuk menunjang proses perkuliahan dan perpustakaan menyediakan buku-buku yang dibutuhkan, begitupun kami menyediakan fasilitas untuk mereka seperti tangga khusus dan komputer khusus penyandang difabilitas. Apa konsep yang ditawarkan UIN sebagai kampus inklusi? Saya rasa UIN sudah melakukan langkah-langkah afirmatif untuk mengakomodir. Kita mencoba untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian yang sudah dimodifikasi. Mulai dari ujian masuk kita sediakan pendamping ujian, dalam proses perkuliahan kita sediakan relawan. Untuk biaya, UIN sudah berkomitmen untuk menyediakan itu semua (fasilitas yang ada, red.). Di mana titik beda UIN dengan kampus lain yang juga menerima mahasiswa difabel? Kalau kampus lain misalnya UNY, mereka menerima mahasiswa namun setelah diterima dibiarkan saja, tidak diopeni dan mereka terfokus pada jurusan PLB (Pendidikan Luar Biasa) beda dengan UIN yang memfasilitasi dan memberi kebebasan memilih jurusan apa saja. Apa yang melandasi pergantian nama dari PSLD menjadi PLD ? Tahun 2007-2012 PSLD bukan lembaga struktural. Baru tahun 2013 kita sudah menjadi lembaga struktural, artinya kita sudah menjadi bagian dari UIN. Sebenarnya tidak ada yang berubah mbak, hanya persoalan SK-nya jadi kita merubah diri tapi kita tidak merubah core kita yaitu layanan, penelitian, dan
WAWANCARA
Kamis, 28 November 2013
sehingga saya dikasih pilihan sama pak Rektor mau pilih PSLD atau di Pasca, dan saya memilih Pasca, sehingga jabatan ketua yang tadinya saya pegang sekarang beralih ke pak Arif. Sama saja dulu atau sekarang, sama-sama tidak digaji. Di PSLD kan hanya soal kemanusiaan. Dulu, PSLD memperoleh dana dari mana? Duitnya dari mana-mana, UIN juga ngasih tapi nggak banyak. Ya nyari sisa-sisa anggaran, kerjasama dsb. Penelitian apa saja yang pernah dilakukan PSLD? Misalnya kita pernah melakukan penelitian dengan World Bank untuk mahasiswa di Perguruan Tinggi, konteksnya Jateng pada waktu itu. Terus kita pernah meneliti tentang bagaimana cara mereka mengerti mata kuliah sulit, semisal matematika. Sekarang PLD sedang melakukan penelitian apa? Untuk tahun ini program budgeting kita masih dalam tahap transisi, tapi kita memiliki beberapa program antara lain; penerbitan jurnal PLD khusus difabilitas dan inklusi. Kita juga sedang menyiapkan penelitian tentang difabel di dunia kerja.
Ro'fah memegang penghargaan Inclusive Award dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, yang menjadi kebanggaan PLD.
advokasi. Sekarang posisi Anda di PLD seperti apa? Setelah menjadi lembaga struktural, jabatan juga harus struktural, nah pada waktu itu saya juga menjabat sebagai Kaprodi di Pasca jadi tidak bisa menjabat dua posisi sekaligus
Bagaimana pendapat Anda terkait konstruksi bangunan kampus yang seringkali menjadi kendala mahasiswa difabel? Kita sudah tentu melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Dulu tahun 2011 pak Musa (Rektor UIN Suka) sudah menginstruksikan untuk menutup got-got yang mengganggu mahasiswa tuna netra, namun proses pembangunan seperti itu yang satu ditutup yang lainnya terbuka. Juga parkir mahasiswa yang sembarangan seringkali mengganggu mobilitas mahasiswa difabel. Kalau terkait dengan lift itu memang membutuhkan biaya besar dan itu bukan saja menjadi problem UIN tapi juga problem Jogja. Meta (salah satu mahasiswa tuna daksa) sebenarnya sudah disediakan kelas dibawah. Tapi kadang-kadang itu tak bisa dilakukan, tapi bukan berarti kami (PLD) dan pihak fakultas tidak tahu, kita sudah berusaha tapi pelaksanaannya memang kurang maksimal. Dukungan dari berbagai pihak sudah bagus, namun kemudian implementasinya yang kurang maksimal. Tapi bahwa kita sudah menjadi lembaga struktural itu berarti kita sudah menang.[]
Kancah Pemikiran Alternatif
ARENA
Selamat Datang Anggota Magang LPM Arena 2013 Isma Swastiningrum, Indria Hartika, Rohmayanti, Rosya El F, Mutiara Nur Said, Siti Umayah, Anis Nur N, Nurul Ahmad, M Faksi Fahlevi, Khaerul Amri, Mas'odi, Yazid Maulana, Ahmad Najib, Rifai Asyhari, Budi Agung Wicaksono, Zainudin Muza, Faisal Hidayat, Ahmad Syahrul Fauzi, Wirdatun Hasanah, Ucik Nur Hayati, Arum Bekti, Anisah Nur Azizah, Fitriani Aulia, Ekmil Lana Dina, Chaeruzanisazi, Salama, Fiya Ma'arifa Ulya, Atik Maratus S, Suri Andani, Sakban Khusain, M Yayi Lutfie, Surasuk Daman, Khaulah Pundhi M & Niha Nadhifah
------------------------------------------------------------
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari.� -Pramoedya AT
www.lpmarena.com
| 17
KANCAH
Kamis, 28 November 2013
Kandang Ayam dan Revolusi Pendidikan Oleh Ahmad Taufiq*
S
aya teringat kelakar seorang kawan. Andai ia kaya suatu saat, ia ingin membeli suatu kampus, lalu menutupnya, dan menggantinya dengan kandang ayam. “Ini serius bung! Agar jadi shock therapy buat masyarakat, bahwa model pendidikan tinggi yang ada saat ini sudah saatnya dibubarkan!” ungkapnya berapiapi. Ia geregetan, katanya, “pendidikan yang ada saat ini, pelan tapi pasti, mencampakkan kemanusiaan!” Entah sedang kerasukan jin mana kawan satu itu. Tapi yang jelas, dan aneh, kelakar itu rupanya disambut kawan-kawan lain, dan jadilah diskusi ringan dan mengalir (sambil tertawa) mengenai problem pendidikan kita. Kalau boleh saya ringkas, secara serampangan, kirakira begini diskusinya. Problem Pendidikan Kita Pertama, harus kita sadari bahwa institusi pendidikan adalah institusi yang inheren dalam masyarakat. Paradigma yang terbangun tentu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Kita tahu semua orang ingin hidup sejahtera. Dan kesejahteraan, dalam mindsett mayoritas masyarakat (atau logika mayoritas—istilah Januardi Husin dalam SLiLiT Edisi Oktober 2013) Indonesia saat ini adalah dengan terpenuhinya kebutuhan lahiriyah, lalu menyusul batiniah. Sementara di zaman ini, dalam memenuhinya butuh banyak uang. Mau makan enak, butuh uang. Mau rekreasi, butuh uang. Mau berobat saat sakit, butuh uang. Bahkan mau nyewa kiai (dengan “k” kecil) untuk ceramah juga butuh uang. Sementara, untuk dapat uang harus kerja, dengan gaji gede harapannya. Dan kerja seperti itu hanya bisa didapat jika seseorang berpendidikan tinggi. Apalagi persaingan di pasar kerja saat ini begitu ketat. Maka, disini institusi pendidikan pun berlomba-lomba hadir untuk membekali peserta didiknya dengan sekian keterampilan agar siap “dilempar” ke pasar kerja. Ini wajar, sebab tentu institusi pendidikan tak ingin dianggap mesin yang memproduksi “para pengangguran” karena alumninya tidak punya skill apaapa. Kedua, di Indonesia, orang miskin dilarang sekolah. Sebab sekolah itu tidak gratis. Apalagi kalau sekolah tinggi di kampus elit. Maka, dari sini, langsung atau tidak, pendidikan kita turut mereproduksi kelas-kelas sosial,
18
|
SLiLiT ARENA
melanggengkan diskriminasi. Mereka yang kaya akan dengan mudah masuk pendidikan yang berkualitas, dan mereka yang miskin tidak bakal bisa kuliah atau palingpaling akan masuk kampus “murahan” (catat: UIN Sunan Kalijaga murah, tapi [katanya] tidak murahan lho!). Ada baiknya kita tengok sejarah. Zaman penjajahan Belanda dulu yang kita kecam-kecam sebagai diskriminatif, ternyata juga kita warisi dan lanjutkan sampai sekarang. Cuma dengan pola yang berbeda. Kalau dulu diskriminasi itu (yang lebih menonjol) berdasarkan ras, sekarang berdasarkan kekayaan. Peranakan Eropa punya sekolah khusus dengan kualitas tertinggi. Etnis-etnis semacam China punya sekolahnya sendiri. Lalu anak-anak bangsawan pribumi. Dan terakhir, yang penting bisa baca-tulis dan berhitung sederhana, untuk pribumi rendahan. Sementara sekarang, yang masuk sekolah kedokteran UGM misalnya, karena biayanya sangat mahal, maka hanya tiga golongan saja yang masuk. Mereka yang kaya, lalu sangat kaya, dan sangat kaya sekali!. Karenanya, ungkapan Mao Zedong (hati-hati, dia Komunis loh!), disini tetap relevan; “Bahwa orang miskin pasti jadi bodoh. Orang bodoh pasti jadi miskin”. Inilah lingkaran manusia modern, eh lingkaran setan. Ketiga, berdasarkan dengan berjubel fakta, kita bisa simpulkan bahwa pendidikan saat ini memang tunduk, atau terseret-seret arus (sirkulasi) kapital. Kita bisa lihat bagaimana nasib Jurusan atau Program Studi yang kian dekat dengan sirkulasi kapital pasti akan berkembang, yang kian jauh pasti akan surut. Efeknya, institusi pendidikan yang awalnya memang fokus dalam kajian tertentu (seperti IAIN), agar tidak gulung tikar sebab sepi peminat, mau tak mau harus merubah dirinya agar sesuai dengan kemauan zaman (baca: kemauan pasar). Maka wajar jika banyak IAIN atau STAIN di Indonesia berbondong-bondong berubah jadi UIN. Spektrum konsumen, eh spektrum kajiannya, lebih luas. Apalagi diiming-imingi jurusan-jurusan “umum” yang dekat dengan pasar kerja. Lulus bisa langsung siap pakai. Lalu efektifitas dan efisiensi ditekankan. Entrepreneurship dijadikan kurikulum. Sertifikat ISO (International for Standardization Organization, sertifkasi yang awalnya untuk perusahaan) dibeli. Ya, fungsinya tadi, agar masyarakat percaya bahwa kampus itu memang sesuai dengan apa yang dibutuhkan
KANCAH
Kamis, 28 November 2013
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Koordinator divisi PSDM LPM ARENA. Magang jadi provokator di Forum Persma Gondes (Gondrong nDeso).
Jelas & Mengganjal
ARENA
Revolusi Pendidikan Kelakar kawan tadi rupanya bukan sekadar kelakar belaka. Ada semangat “revolusi” didalamnya. Oiya, dalam istilah paling sederhana, revolusi adalah “menjebol dan membangun”, seperti kata Bung Karno, yang di dalamnya ada pembebasan atau emansipasi. Maka, istilah revolusi pendidikan mengandaikan suatu penjebolan terhadap sistem pendidikan yang ada, lalu membangun sistem pendidikan yang baru yang
membebaskan. Lalu bagaimana bentuknya pendidikan yang membebaskan itu? Disini saya belajar dari Freire. Pertama, pendidikan yang memanusiakan manusia. Maksudnya ketika sistem sosial yang ada tidak humanis, maka pendidikan harus melakukan misi humanisasi. Humanis tidaknya suatu sistem sosial bisa dilihat dengan apakah sistem itu tetap mempertahankan atau mereproduksi penindasan atau tidak. Kelas-kelas sosial yang ada akan tetap terus dipertahankan (dan kesenjangannnya akan terus diperlebar) atau tidak. Jika iya, berarti tidak humanis. Karenanya harus dijebol. Kedua, arah pendidikan itu untuk menggerakkan masyarakat demi transformasi sosial atau revolusi sosial. Pendidikan disini sebagai pintu gerbang mencerdaskan manusia tanpa pandang bulu, agar mengerti bahwa ada sistem yang menindas dan karenanya harus dirombak total. Pendidikan adalah senjata yang bukan hanya untuk mengenali konteks penindasan masing-masing orang, masing-masing golongan dan profesi, dalam konteks kelas sosial; tapi juga untuk merombaknya. Ketiga, pendidikan itu tidak tunduk mengabdi pada kapital atau pasar, tapi mengabdi pada kemanusiaan. Dan itu mengharuskan pembubaran institusi-institusi pendidikan yang ada saat ini sebab hampir semua tunduk pada pasar. Saya tak perlu lagi menjelaskan panjang lebar soal ini. Kini, rasa-rasanya situasi pendidikan saat ini sudah sangat mendesak untuk dilakukan revolusi. Jika revolusi pendidikan tidak segera dilakukan, maka memang benar kawan saya diatas, lebih baik kita bubarkan saja kampuskampus kita, lalu kita ganti kandang Ayam (dengan “A” besar).
SLiLiT
masyarakat (atau pasar). Keempat, pendididikan (tinggi) kita saat ini yang katanya sudah demokratis (dan pluralis sekaligus), rupanya hanya demokrasi-demokrasian alias demokrasi dagelan. Demokrasi yang digembar-gemborkan, dikhianati sendiri dalam pelaksanaan keseharian dalam proses belajar-mengajar. Memang saat ini kita bebas mengkritik, mendebat dosen, atau berpendapat lain. Tapi tetap saja nilai atau Indeks Prestasi (IP), adalah kuasa dosen yang sangat menentukan. IP adalah yang yang membuat keberanian mahasiswa kendor. Juga soal tata tertib. Kamu boleh saja berpendapat bahwa sandal itu tidak ada hubungannya dengan kualitas pendidikan. Tapi saat kamu pakai sandal masuk kelas, jangan kaget jika disuruh menutup pintu dari luar. Presensi pun demikian, 75% harus dipenuhi. Kamu bebas mau memilih jurusan apa, memilih belajar apa, tapi kurikulum tetap mereka yang buatkan dan sebagainya dan seterusnya. Sehingga saat kamu menginjakkan kaki di kampus, sejak itu kebebasan dan imajinasi kreatifmu dibantai!. Lalu untuk apa semua itu dilakukan? Kita bisa jawab, oh itu demi mengajarkan kedisiplinan, ketertiban, kerapian, etika, dan banyak hal lainnya yang nantinya berujung pada demi kepentingan pasar!.
Informasi & Contact Person Lilik :+6289 865 102 16 E-mail : lpm_arena@yahoo.com Web : www.lpmarena.com Alamat Redaksi & Tata Usaha Gd. Student Center Lt. 1R.1.14 Jl. Marsda Adisucipto UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 55281
www.lpmarena.com
| 19
SASTRA
Sebuah Cerpen
Kamis, 28 November 2013
Bertandang di Malam Hari Oleh Zainuddin*
A
da yang bertandang di malam hari ketika angin menyelimuti tubuh peronda di Pos Kamling itu. Mereka menyibukkan diri dengan berbincangbincang sesuai aktivitasnya setiap malam. Setidaknya di tempat itu, selalu ada beberapa lelaki dewasa. Biasanya 6-8 orang sambil meminum kopi yang masih berasap. Lazimnya selalu ada cerita yang muncul akibat perbincangan yang mereka lakukan. Kadang mereka tertawa terbahak-bahak. Sesekali mulut mereka juga bungkam sampai tak terdengar lagi karena suaranya memang rendah. Asap rokok masih memberikan aroma harum tembakau. Apalagi tambahan zat semacam Nikotin pada batang rokok itu membuat pembicaraan mereka terus berlanjut. Setidaknya waktu subuh menjadi batas waktu mereka meronda. Tepat tengah malam, seperti sediakala selalu ada yang memisahkan diri dari peronda di Pos Kamling. Mereka itu biasanya bertugas berkeliling kampung, memastikan keadaan akan baik-baik saja. Seperti malam ini, mereka berangkat menuju gang-gang kecil yang rawan akan kejahatan. Setidaknya ada tiga orang dalam satu kelompok itu sambil melakukan perbincangan ringan. Dari gang satu menuju gang lainnya mereka lalui. Sudut-sudut kampung yang terkenal sepi juga mereka hampiri. Seakan tak ada satu jalan pun yang tak mereka lagi lewati di seluruh kampung. Setelah seluruh kampung benar-benar aman, mereka tidak akan kembali ke Pos. Namun mereka akan meneruskan perjalanan sesuai rute jalan ke rumahnya. Sementara dengan dua orang yang tetap di Pos, masih tetap terjalin percakapan hangat. Mata keduanya masih menyala-nyala, layaknya lampu Neon yang berada di tengah-tengah Pos itu. Asap rokok masih membubung atap Pos. Dan mereka itulah yang bertugas sampai waktu subuh tiba. Lewat jam malam seperti ini salah satu dari mereka; Kiplik, melihat seorang lelaki tak dikenal. Sebenarnya dia telah melihat lelaki tak dikenal itu beberapa kali dalam mingu ini. “Aku sudah beberapa kali melihat lelaki itu,” kata Kiplik menyapa rekannya Bruto. “Benarkah? Aku memang tidak banyak tahu soal warga di sini. Terlalu padat penghuninya.” “Pasti ada yang tidak beres.” “Dari mana kamu tahu dia lelaki yang tidak beres.” “Praduga saja.” “Jangan berburuk sangka.” “Tapi dia bukan warga kampung ini. Aku jamin.” Kiplik
20
|
SLiLiT ARENA
mempertegas keyakinannya mengenai lelaki yang selalu bertandang di malam hari itu. “Ketika siang, aku tidak pernah melihat lelaki itu. Dia hanya datang di malam hari. Tak ada orang yang tahu mengenai lelaki itu. Dan menurut tetangganya, rumah itu memang masih kosong. Belum ada orang yang ingin mengontrak.” “Jangan-jangan...,” mulut Bruto berhenti ketika melihat lelaki itu sedang melakukan permbicaraan di ambang pintu. Tapi dia tak tahu jelas mengenai lawan bicaranya itu. Karena lawan bicara lelaki itu tak memunculkan tubuhnya. Lalu, lelaki itu menyelinap ke dalam rumah bersamaan dengan lampu Neon yang mati di teras. Itu merupakan kasus awal penyaksian salah satu warga bahwa ada seorang lelaki yang bertandang di malam hari. Patut dicurigai. *** Malam kian berganti, sosok lelaki yang belum sempat dikenal warga itu menghilang tak terlihat lagi. Saat perbincangan hangat mulai menguak mengenai lelaki itu, kini hilang sebab tak masuk akal. Malahan orang yang punya rumah itu langsung menangkis akan pernyataan Kiplik dan beberapa petugas penjaga malam. Akhirnya Kiplik tak memperoleh kepercayaan. Dan mengenai isu lelaki itu menghilang sekejab dari perbincangan warga di sekitar rumah. Maka sejak itulah selalu ada isak tangis yang terdengar di telinga para peronda di Pos Kamling. Tangisan yang terdengar sangat pilu itu seperti mengapung di udara. Awal kemunculannya hanya membuat beberapa orang itu keheranan. “Siapakah yang menangis larut malam seperti ini?” kata salah satu dari mereka. “Kalian dengar, tidak?” “Iya. Aku mendengarnya,” balas Kiplik heran. Akhirnya para peronda itu mencari arah munculnya tangisan itu. Seluruh rumah di sekitar Pos Kamling itu mereka telisik satu-persatu. Namun mereka tetap saja tak
Kamis, 28 November 2013
ILUSTRASI
menemukan asal tangis yang sangat pilu itu. Siangnya, tersebar luaslah berita mengenai tangisan itu. Akan tetapi tak ada seorang pun yang mendengar tangisan itu kecuali para peronda. Maka timbullah rasa saling aneh antara warga dan peronda. “Saya kira tidak ada yang meninggal. Salah dengar kali, Pak” tegas salah satu warga yang tak percaya akan keterangan para peronda. “Tapi dari kami semua mendengar tangisan itu. Dan kali ini tidak mungkin kami berbohong. Kami itu delapan orang mendengar semua.” Bruto menanggapi ketidak percayaan sebagian warga itu. Akhirnya tak ada penyelesaian yang tercipta. Warga yang tidak mendengar, tetap saja tidak mempercayai bahwa ada tangisan tanpa ada sebabnya. Begitupula dengan para peronda yang mengukuhkan pendapatnya sesuai realitas sebenarnya. Malamnya, tangisan itu semakin meluas, menyelusup ke penjuru rumah sekampung. Tangisan yang begitu mengenaskan itu juga terdengar di sepertiga malam. Warga yang mendengar sangat tersentak akan tangisan itu. Warga pun bertanya-tanya. Siapakah yang meninggal? Sampai tangisan itu terdengar sangat mengenaskan. Wargapun mulai merasa cemas akan tangisan itu. Tangisan yang tak jelas munculnya itu kian marak meramaikan mimpi warga sekampung. Tangisan yang menciptakan bunga tidur warga menjadi buruk. Lebihlebih dengan tangisan itu pula yang menyebabkan bayibayi di setiap rumah menangis pada larut malam. Maka, semakin ramailah kampung dengan tangisan bayi tiap kali lewat jam malam. Semakin lama, kegelisahan warga itu memuncak. Mereka benar-benar tak memiliki rasa damai di malam hari. Hanya timbul rasa dendam dalam diri mereka karena tangisan yang tak pernah tahu asalnya. Malam mereka menjadi buruk semua membuat perbincangan hangat marak di seluruh kampung. Pak RT, RW, dan Lurah mulai menyelisik peristiwa yang sangat menyengsarakan warga sekampung. Tiap hari Pak Lurah dengan rombongannya mendatangi tiap rumah memastikan keadaan warganya baik-baik saja. “Apakah ada yang kehilangan bagian keluarga anda?” “Apa mungkin ada masalah yang belum teratasi dalam keluarga ini?” “Atau mungkin saja ada yang sedang patah hati dari keluarga ini?” Itulah pertanyaan yang sering terlontar dari rombongan Pak Lurah kepada tiap warganya dalam kunjungannya.
SASTRA
Sebuah Cerpen
Hafidz
Berhari-hari Pak Lurah beserta rombongannya melakukan blusukan ke setiap rumah. Malahan mereka menanyakan sesuatu yang tidak pantas di tanyakan karena terlalu bersifat pribadi dan rahasia. Namun apalah daya bagi Pak Lurah jika memang itu yang membuat tangisan berakhir. Akhirnya setelah beberapa hari keliling kampung, rombongan Pak Lurah menyelesaikan kunjungannya. Namun sikap Pak Lurah beserta rombongannya itu tak menuai hasil, tangisan tetap saja berlanjut, malahan semakin menjadi-jadi. Pelajaran anak-anak terganggu di sekolah sebab mereka memilih tidur di kelas setelah malamnya terusik. Jam karet juga terjadi di berbagai instansi, sebab waktu tidur warga tersita. Sungguh tangisan itu benar-benar menyengsarakan semua orang di seluruh kampung. Karena tangisan itu tak pernah berhenti, akhirnya sebagian warga memilih untuk pindah ke tempat lain. Mereka menuntut kampung itu sudah tak tenang lagi. Malahan sebagian mereka menawarkan harga murah atas rumahnya demi mendapatkan kebahagiaan. Akibatnya setiap hari Balai Desa marak akan orang-orang yang mengajukan surat pindah. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas tangisan itu, seharusnya Pak Lurah meladeni warganya. Tapi kali ini dia tak pernah muncul di Balai Desa. Ketika warga datang ke rumahnya, dia juga tak terlihat. Saat warga menghubungi lewat telepon, tak pernah ada jawaban darinya. Kala itu dia benar-benar sangat misterius keberadaannya. Dan keadaan seperti inilah membuat warga sangat marah. Warga menganggap Pak Lurah sudah keterlaluan karena lari dari tanggung jawab. Mereka menuntut agar dia segera mencopot jabatannya. Jalan akhirnya warga mengadakan sebuah pertemuan. Mereka sepakat separuh dari malamnya akan disisihkan untuk berdoa kepada Tuhan. Mereka memohon agar tangisan itu segera berakhir. Masjid-masjid sudah mulai diramaikan kembali sebagaimana fungsinya. Mereka juga saling mengunjungi rumah-rumah sekampung. Kesadaran sosial mulai dipererat kembali. Meski tangisan itu masih terdengar, tapi mereka menghiraukan. Mereka berkeyakinan bahwa tidak lama lagi tangisan itu akan lenyap. Yogyakarta, 2013 *Penulis kelahiran Sumenep, 12 September 1994. Studi di jurusan Pengembangan Masyarakat Islam FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang giat sebagai penulis di Garawiksa Institute Yogyakarta, Jl. Gedongkuning Gg. Irawan RW. 34 RT. 08 No. 306 Banguntapan Bantul Yogyakarta 55198.
www.lpmarena.com
| 21
SASTRA
Kamis, 28 November 2013
Sebuah Puisi
Ladang Yang Tercemar
toto
*
dan kini kau pun telah menjadi nama toilet di setiap fakultas tanpamu apalah artinya mahasiswa dan dosen belajar dan mengajar menjadi tidak menyenangkan karena kebelet harus dibawa pulang ke kos ataupun kontrakan. toto, kau pahlawan tanpa tanda jasa kuyakin kau sangat lelah menampung segala ee' mereka tapi, kau seakan tidak peduli pada semua
ILUSTRASI
Burung cendrawasih menyapa manusia yang telanjang dengan keluguan mereka Bersiul menjerit tak terdengar, terkubur suasana binatang baja yang sedang bercerita Amnesia telah menjamur dalam setiap isi kepala manusia yang asik menjaga binatang-binatang baja Mengisi ruang pagar bata dan atap besi yang menyelimuti mereka Kebisingan terus melaju kencang, menerjang nyanyian pengamen hingga tangisan seorang yatim piatu Binatang baja telah berhasil mengeksploitasi setiap butir debu, setiap udara sejuk yang kita hirup, setiap tetes embun pagi, dan setiap jengkal tanah yang kita pijak Rasa lapar menjadi candu dan kertas kertas berwajah orangorang yang dianggap pahlawan adalah imbalan dari deras keringat yang keluar Purnama mulai tersenyum, cahaya yang bersandar mulai berjaga pada setiap tepi jalan, yang berbaris rapi,menunggu orang-orang yang mulai lelah dengan binatang baja yang mereka gembala Pekatnya kopi dan hangat jagung bakar meredam cacing-cacing yang mulai bergeliat, atau berjalan dalam bangunan berwajah kaca penuh dengan hasil gembala mereka Udara, air, dan tanah digrogoti oleh virus sendawa dari apa yang mereka gembala Tak lagi terasa suasana puncak gunung dan angin sepoi-sepoi Suasana kebakaran dimana-mana membuka pintu impian untuk si asap
Ayi
Bantul, 7 Agustus 2013
Penyair yang hilang Entah dimana lagi kau bersembunyi Atau jangan-jangan engkau telah meninggalkan pesan untuk kami Tentang lalu yang berakhir pilu Goresan pena bukan lagi kata-kata yang membisu Entah dimana lagi kau bersembunyi Ketika panglima-panglima menjadi pengagum sejati Mereka tak mengerti bahasamu Tapi mereka memberi imbalan lukisan pada raga Aku kira kau dibawa bertamasya di gua jepang Bersama kawan yang sering bernyanyi di jalanan Tak ada merpati yang datang kerumah kami Tak ada pula wahyu yang turun dari ilahi
toto, kau kebanggaan segenap perempuan yang suka ambil foto di toilet dan inspirasi kecantikan mereka pasti ilham suci darimu toto, tolong jaga rahasia, ya tentang apa saja yang ada padaku dan apapun yang aku lakukan di atasmu. aku tidak ingin ada siapapun yang tahu apalagi ayah dan ibu di rumah. cukup kau dan aku saja yang menyimpan dalam kenangan Dan aku yakin tidak hanya aku seorang yang berbuat begitu Banyak mahasiswa, termasuk yang suka demo, Oleh karena itu kami mohon untuk menjaga rahasia kita bersama.
*Bikhu Miftah Farid Paulus, aktif bergiat di kampus. Puisi-Puisinya banyak diprint-out sendiri karena tidak mau merepotkan orang lain. Sejak 1990 senantiasa menjaga kemurnian gaya kepenulisan masa-masa di TK.
Zaman membuatku bertanya Mungkin kau sedang di surga Menikmati susu dan kurma Sampai menunggu untuk berjumpa Pesanmu kini menjadi ayat Dijaga malaikat tak bersayap Bantul, 19 Agustus 2013
R.B Arto, mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijogo, Anggota pasif di “SaLiB� (Sanggar Lingkar Bambu), Ketua KeM Bantul (Keluarga Mahasiswa Bantul)
22
|
SLiLiT ARENA
Redaksi SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan cerpen atau puisi. Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Cerpen/Puisi_SLiLiT ARENA
Kamis, 28 November 2013
PUSTAKA
Sekolah Alternatif “Mahasiswa� Kreatif Oleh: M. Arif Setiawan*
P
ada dasarnya setiap manusia mewarisi salah satu sifat Tuhan, yaitu kreatif. Tuhan adalah maha kreator sedangkan manusia merupakan mini kreator. Sir Ken Robinson seorang penasehat internasional di bidang pendidikan bahkan selalu menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang dari dirinya sendiri gemar mencipta. Kreatifitas merupakan daya yang ada dalam proses produktif (baca: kerja) yang menurut Karl Marx merupakan dasar eksistensi manusia. Di tengah kehidupan manusia yang strukturalistik dan mainstreamistik, manusia semakin terbelenggu kreatifitasnya. Kita bisa mengambil sampel dari berbagai institusi pendidikan formal. Pada halaman ke-4 buku ini disebutkan bahwa, hampir semua sistem pendidikan di muka bumi ini sebenarnya membunuh kreatifitas. Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Teknik dan ekonomi selalu menjadi gang elite dalam pilihan program studi bagi pelajar dan mahasiswa. Ke-elite-an beberapa program studi tersebut tak lain karena program studi tersebut dibutuhkan untuk menciptakan output abdi industri. Manusia kemudian diarahkan untuk menempuh pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan mencari pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan. Arahan tersebut jelas menafikan karakter “kerja� manusia yang universal. Manusia tidak lagi bebas belajar sesuai yang mereka suka, karena tidak berpotensi memperoleh pekerjaan industri. Tak mengherankan jika program studi lain seperti kesenian, antropologi, sejarah dan lainnya terpinggirkan. Akibatnya, bakat-bakat besar manusia di bidang tersebut tidak dihargai bahkan dianggap tidak berguna. Metode pembelajaran yang diterapkan di pendidikan formal cenderung topdown. Guru berperan sebagai subjek pemberi informasi dan murid adalah objek yang menerima. Guru dianggap tahu segala dan berhak penuh mengatur murid. Sedang murid tidak tahu segala dan harus menurut aturan guru. Konsekuensinya, guru menjadi pusat dalam proses belajar. Ia manusia yang bagaikan nabi, harus diikuti setiap sabda dan prilakunya oleh murid.
SILA KE-6: Kreatif Sampai Mati Penulis Wahyu Aditya Penerbit Bentang Pustaka Cetakan 2013 Tebal 203 halaman
www.lpmarena.com
| 23
PUSTAKA
Pendidikan semacam ini bagi Paulo Freire, tokoh pendidikan Brazil, akan mengasingkan murid dari realitas diri dan dunia sekitarnya. Murid hanya dibentuk menjadi duplikat gurunya. Dengan kata lain, ia hanya dididik untuk menjadi orang lain bukan menjadi diri sendiri. Paradigma mayoritas semacam ini coba didekonstruksi oleh Wadit, melalui buku Sila Ke-6: Kreatif Sampai Mati. Meski dengan penuturan yang bertipe pop culture khas anak muda masa kini, namun buku ini tak bisa dipandang sebagai buku picisan. Penyadaran yang ditawarkan Wadit tidak bisa diremehkan hanya karena metode penuturannya yang tidak tersistematika, berbeda dengan wacana akademik di kalangan universitas. Setidaknya melalui buku ini Wadit menawarkan suatu paradigma berbeda dari pandangan mainstream pendidikan. Ia beranggapan bahwa pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, bukan sekedar mengejar legitimasi formal, ijazah. Pendidikan sejatinya merupakan instrument pembebasan manusia dari kebodohan, bukan stupidifikasi terstruktur yang difasilitasi negara. Buku ini berusaha menyadarkan kembali peran manusia sebagai makhluk kreatif yang produktif, bukan sekedar makhluk ikut-ikutan yang konsumtif. Kreatif merupakan bagian integral manusia, ia adalah milik manusia. Dengan kata lain, kreatifitas bukan hanya milik seniman maupun sastrawan, ia bisa muncul pada setiap orang yang berani berkarya. Kreatifitas berawal dari keberanian untuk keluar dari zona aman alias out of the box. Wadit mengajak pembaca untuk berani merealisasikan setiap imajinasi mereka. Hal ini patut diapresiasi di tengah stagnanisasi kreatifitas generasi muda terkini. Negeri ini membutuhkan generasi yang selau kreatif dari masa ke masa, supaya tidak tenggelam dalam zaman yang selalu menuntut kreatifitas. Semakin kreatif suatu bangsa maka semakin tinggi peradabannya. Nilai lebih lain atas buku yang ditawarkan adalah posisinya sebagai buku praksis bukan teoritis. Mungkin lantaran pengaruh seorang Wadit yang praktikus bukan teoritikus. Buku praksis lebih mudah dipahami berbagai kalangan daripada buku teoritis. Selain itu, uraian buku ini juga lebih hangat, ringan dan santai. Karakter buku semacam ini lebih diminati dari pembaca multidimensi dibanding buku yang uraiannya kaku. Sehingga buku ini akan “renyah� untuk dikonsumsi pembaca dari berbagai usia, gender, profesi maupun status sosial. Sayangnya, konteks pembicaraan buku ini dalam pengambilan contoh ide kreatif terlalu concern di bidang kesenian, terlebih seni grafis. Ini tak lepas dari penulis
24
|
SLiLiT ARENA
Kamis, 28 November 2013
Pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, bukan sekedar mengejar legitimasi formal, ijazah. Pendidikan sejatinya merupakan instrument pembebasan manusia dari kebodohan, bukan stupidifikasi terstruktur yang difasilitasi negara. yang seorang graphic designers dan animator yang berkait erat dengan art industri. Alangkah baiknya jika penulis juga memunculkan figur-figur kreatif diluar konteks art industri. Karena saya kira problem sosial Indonesia terkini juga memerlukan terobosan-terobosan kreatif. Persoalan korupsi, lemahnya supremasi hukum, kemiskinan dan problem-problem lain juga perlu solusi kreatif. Meski ia sempat menyinggung persoalan ketimpangan hukum di Indonesia yaitu kasus Prita dan Rumah Sakit Internasional Omni, namun intensitasnya minimal dibanding contoh lain bidang kesenian. Betapapun multi-passion seorang manusia, ia takkan lepas dari kondisi sosial. Dengan demikian, manusia perlu menyadari secara kritis mengenai struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya disekitarnya. Dengan memiliki dua kesadaran kritis dan kreatif, manusia akan terbiasa melakukan problem solving terhadap masalahmasalah sosial secara efektif dan inovatif. Dari segi layout buku ini terlalu banyak ilustrasi gambar yang mubadzir dan memakan banyak ruang. Namun ada hal menarik yang ditawarkan pada pembaca. Ia memberi kesempatan pada pembaca untuk merevisi desain cover buku dengan mendesain cover baru pada lipatan bagian dalam cover buku. Entah karena lapang dada terhadap kritik atau bagian provokasi kreatifnya. Adapun pilihan kata yang dipakai Wadit dalam buku ini ringkas dan tidak njlimet. Sehingga pembaca tidak perlu “mengkerutkan dahi� untuk memahami penuturan penulis. Bahkan seolah sedang menikmati buku harian, sangat berbeda dengan buku berbahasa baku. *Mahasiswa semester V Jurusan Filsafat Agama FUSPI UIN Sunan Kalijaga
LEBIH DEKAT
Kamis, 28 November 2013
Rumah di Negeri Rantau Berasal dari seberang samudra. Mereka datang ke Indonesia untuk mengenyam pendidikan di negeri kita. Oleh : Faridatul Chusna
R
umah itu menghadap ke selatan, tepat di sebelah kanan tikungan jalan raya, tak jauh dari sana terlihat rel kereta api, sekitar lima puluh meter ke arah selatan. Beralamat di Perumahan Polri Gowok Blok F3 No. 76, rumah bercat putih itu tampak bersih. Bagian depan rumah sebelah kanan terdapat lambang organisai PMIPTI, sedang jendela kaca dibiarkan terbuka di sebelah kiri. Persatuan Mahasiswa Islam Patani Indonesia (PMIPTI) merupakan sebuah komunitas dalam bentuk organisasi yang mewadahi mahasiswa-mahasiswi Patani di Indonesia. Patani merupakan daerah selatan Thailand, di mana sebagian pemuda-mudinya menimba ilmu di Indonesia Rumah di Perum Polri Gowok tersebut hingga kini menjadi sekretariat PMIPTI cabang Yogyakarta. Rumah itu juga yang menjadi ruang berkumpul dan berdiskusi komunitas Patani. Bila diperhatikan, luas ruang tamunya terbilang minimalis, yaitu 2,5 X 3 meter. Tapi tetap nyaman dan terlihat indah dengan deretan buku-buku yang tertata rapi di rak, beberapa piala dan penghargaan juga melengkapi. Sementara ruang tengah dengan ukuran serupa sengaja dikosongkan sehingga terlihat lebih luas. Dinding bagian selatan bertempel struktur organisasi, bagian timur bertempel program tahunan. Di sisi lain tertempel white board bertuliskan dengan beberapa kosa kata bahasa Indonesia. Organisasi PMIPTI berdiri pada tahun 1972, 42 tahun silam. Dikisahkan, pada 15 September 1972, mahasiswa Patani mengadakan rapat di kota Bandung. Dihadiri oleh perwakilan dari tiga kota; Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Peserta rapat waktu itu berjumlah 27 mahasiswa dari tiga kota tersebut. Niatan awal pendirian organisai ini adalah untuk menyatukan mahasiswa Patani yang belajar di Indonesia. Menjaga agar komunikasi antar satu bangsa tetap terjalin di negeri rantau. Lebih jauh, untuk membangun sebuah organisasi yang bisa membantu dan menumbuh kembangkan para mahasiswa Patani, terutama urusan pendidikan. Tercatat tanggal 25 September 1972, PMIPTI dari tiga
PMIPTI, menjadi wadah bagi mahasiswa Patani yang menuntut ilmu di Indonesia.
kota diresmikan; Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Bertempat di Balai Gadeng, Asrama Putri Aceh Cut Nya’ Din, Yogyakarta, acara tersebut juga dihadiri oleh pemerintah setempat. Juga hadir Ketua Himpunan Pelajar Malaysia Indonesia (HPMI), Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Yogyakarta, Organisasi Masyarkat (Ormas) Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama Yogyakarta dan Prof. Abdul Qahar Muzakir sebagai penasihat mahasiswa. Sudah sejak waktu pertama didirikan, tidak ada pemimpim umum dalam struktur organisasinya, akan tetapi hanya pemimpin tiap cabang. Abdurrahman Che' adalah mahasiswa pertama yang diangkat sebagai pemimpin PMIPTI cabang Yogyakarta pada masa itu. Setelah lebih dari 40 tahun berdiri di tiga kota besar Jawa, beberapa kota besar lain mulai merintis pendirian cabang sendiri. Di Sumatra PMIPTI cabang Medan berdiri tahun 2003, kemudian cabang Aceh tahun 2011 serta yang paling muda cabang Riau, tahun 2013 kemarin. Saat ini PMIPTI cabang Yogyakarta anggotanya berjumlah 84, terdiri dari mahasiswa dari beberapa kampus di Yogyakarta, diantaranya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Sekolah Tinggi Agama Islam Masjid Syuhada (STAIMS). Pemimpin cabang Yogyakarta sekarang juga berasal dari UIN Suka, Bukhori mahasiswa semester V jurusan Manajemen Dakwah (MD) fakultas Dakwah dan Komunikasi. Dalam struktur organisasi PMIPTI, guna menjalankan kerja organisasi, di bawah pemimpin cabang dibentuk struktur lain berupa bidang-bidang
www.lpmarena.com
| 25
LEBIH DEKAT
yang dirasa penting untuk anggota seperti bidang; Pendidikan, Perpustakaan, Hubungan, Imigrasi, Olahraga, Budaya dan Ekonomi serta Pariwisata. Dari masing-masing bidang ini memiliki programprogram tertentu yang bertujuan untuk membantu memajukan komunitas Patani. “Diantara program mingguan dari (bidang, red.) pendidikan yaitu diskusi tentang agama, sosial, dan politik pada setiap malam Minggu. Dan hari Kamis malam Jum’at yasinan kemudian dilanjutkan dengan pelatihan ceramah atau khutbah dan jadi imam. Karena disana kalau pulang dari luar negeri langsung dianggap bisa” ungkap Bukhoree Pohji. Di bidang olahraga programnya bersifat mingguan, kegiatan olahraga dilaksanakan setiap hari minggu pagi. Biasanya olahraga yang diagendakan adalah bola voli, sepak bola dan senam pagi. Ada juga program tahunan olahraga, yaitu pertandingan dengan antar organisasi cabang PMIPTI. Seperti kendala yang biasa dihadapi ketika menetap di negeri orang, mahasiswa Patani juga mengalami kendala serupa, terutama bahasa. Hal ini sangat urgent untuk dikuasai sehingga komunikasi dan sosiaisasi dengan lingkungan baru lebih mudah. Melihat kondisi ini, PMIPTI mengadakan kursus bahasa Indonesia setiap malam Selasa, Rabu, dan Kamis. Program ini akan berjalan selama enam bulan, untuk memfasilitasi mahasiswa Patani yang masih belum lancar bahasa Indonesia. PMIPTI Yogyakarta juga berusaha membangun hubungan sosial dengan masyarakat disekitarnya dengan melakukan kunjungan ke beberapa tokoh masyarakat seperti Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Lurah. Kunjungan juga dilakukan ke beberapa organisasi lain yang dianggap penting. Setiap tahun PMIPTI Yogayakarta mengadakan kunjungan ke kota-kota dimana terdapat saudara senegara Patani mereka. “Tahun lalu kita ke Malang, kita kunjungan di orang-orang Patani juga” cerita Hamdi mantan Pemimpin PMIPTI Yogyakarta. Biasanya Study Tour ini dilaksanakan pada bulan februari selepas Ujian Akhir Semester ganjil. PMIPTI Yogyakarta pada 23-26 Agustus 2013 kemarin juga menjadi tuan rumah dalam acara pertemuan PMIPTI seluruh Indonesia. Pertemuan dua tahunan tersebut diselenggarakan di Hotel Eden Jl. Kaliurang. “Dua tahun lagi rencana pertemuan akan dilaksanakan di Riau” tambah Hamdi. Sekarang ini PMIPTI Yogyakarta sedang merintis PMIPTI di beberapa kota-kota lain yang terdapat mahasiswa Patani. Kota yang kemungkinan berdiri PMIPTI cabang baru adalah kota Semarang dan Kediri.[]
26
|
SLiLiT ARENA
Kamis, 28 November 2013
Portal Berita UIN Sunan Kalijaga
KALEIDOSKOP Pekan Olahraga Kampus ke VII Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Olahraga UIN Sunan Kalijaga kembali menggelar Pekan Olahraga Kampus (POK) ke VII. Lomba akan dilaksanakan mulai tanggal 20 November sampai 1 Desember 2013. Menyediakan enam cabang lomba ini yaitu Sepak bola, Futsal, Bola Voli (putra dan putri), Badminton, Catur, dan Tenis meja. Bagi segenap civitas mahasiswa yang ingin mengikuti lomba ini, pendaftaran dibuka tanggal 28 Oktober – 18 November 2013, pendaftaran dapat dilakukan dengan cara mendaftar langsung ke kantor UKM Olahraga di Student Center UIN Sunan Kalijaga. Selain itu pendaftaran bisa melalui stand pendaftaran yang dibuka UKM Olahraga, di bawah jembatan fakultas Sains dan Teknologi. “Ini merupakan agenda rutin tahunan kami dan terbuka untuk semua mahasiswa UIN” Ungkap Pepeng salah satu panitia acara POK.[] Hasbul
Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA-F), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas dan Jurusan (BEM-F dan BEM-J) fakultas Adab dan Ilmu Budaya menyelenggarakan Pekan Budaya dengan tema “ Meraih Kebanggaan dan Kesucian Tradisi Bangsa yang Sesungguhnya.” Kegiatan tersebut diselenggarakan mulai 16 - 20 November 2013, bertempat di fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga. “Ini merupakan agenda tahunan serta untuk memperingati Dies Natalis fakultas Adab dan Ilmu Budaya” ungkap Hasan,salah seorang panitia kegiatan. Beragam acara disajikan untuk memeriahkan kegiatan ini, mulai 16 November 2013 diadakan pameran seni rupa dan pakaian adat, bazar buku, lomba tiga bahasa. Tanggal 18 November kirab budaya dan malam budaya satu. Tanggal 19 November lomba taman baca masyarakat, sarasehan jurnalistik, talk show kepustakawanan dan malam budaya dua. Menghadirkan Zastrouw dan Ki Ageng Ganjar, juga dimeriahkan oleh tari-tarian serta penampilan Sanggar Nuun. Penutupan dilaksanakan pada Minggu 20 November dengan menyelnggarakan sarasehan budaya. Acara ini tidak hanya diikuti mahasiswa UIN saja, tapi juga masyarakat luas.[] Dedik dan Hasbul
Agenda Tahunan Metamorfosa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Metamorfosa fakultas Sains dan Teknologi mengadakan Pelatihan Jurnalistik Dasar (PLD). Agenda tahunan Metamorfosa ini diselenggarakan tanggal 16 – 17 November 2013 lalu, bertempat di Pondok Pesantren Kaliopak, Piyungan, Wonosari , Bantul. Agenda PLD ini diikuti oleh lima orang peserta yang berasal dari beberapa jurusan di fakultas Saintek. Materi dalam pelatihan antara lain: Analisis Sosial, Kode Etik Jurnalistik, Penulisan Artikel dan Opini, Teknik Reportase dan Penulisan Berita, Manajemen Redaksi, dan Desain Layout. Panitia mengundang pemateri dari LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta dan alumni Metamorfosa sendiri. Alam selaku Penanggung jawab acara PLD menjelaskan bahwa peserta pelatihan nantinya akan magang dua bulan dengan diskusi pendalaman materi dan menulis buletin.[] Anisa
lpmarena
Pekan Budaya Fakultas Adab
berita kampus di
Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) UIN Sunan Kalijaga akan menyelenggarakan Lomba Cerdas Cermat Umum (LCCU) dan Olimpiade Sains Matematika (OSM) untuk anak MI se-DIY akhir November 2013. Acara tersebut mengambil tema “ Memperingati Perjuangan Pahlawan Melalui Semangat Berprestasi Menuju Indonesia Cerdas” dan akan diselenggarakan di Gedung Convention Hall (CH) UIN Suka. Pendaftaran dibuka mulai Senin, 4 November 2013 di kesekretariatan HMPS PGMI fakultas Tarbiyah Lt. 3. Selain itu peserta juga dapat mendaftar via SMS dengan format nama sekolah_jenis lomba _jumlah tim dikirim ke nomor 085726266408. Biaya pendaftaran untuk LCC Rp 30.000/tim sedang OSM Rp 20.000/tim. Jumlah peserta dibatasi hanya sampai lima puluh sekolah. “Kegiatan berlangsung sehari pada Minggu, 24 November mulai pukul 08.00 s/d 17.00 WIB, untuk peserta alhamdulillah sudah disebar kemarin hari Senin yang mencakup seluruh MI di wilayah DIY”.Ujar Ja'a, Ketua panitia.[] Dedik
www.
HMPS PGMI Adakan LCC dan Olimpiade
update terus
Unit Kegiatan Mahasiwa (UKM) Pramuka akan mengadakan Kursus Mahir Dasar ( KMD) pada tanggal 1 - 6 Desember 2013, pendaftaran dibuka mulai Senin 18 – 28 Desember 2013. KMD merupakan kursus praktis bagi calon pembina dan pembimbing Pramuka di tingkat dasar. “Acara ini terbuka untuk umum, bagi mahasiswa UKM Pramuka maupun dari Luar” ungkap Danu salah seorang Panitia acara KMD. Acara akan diselenggarakan di Gedung Campus Service Center (Kopma) selama enam hari, dan pada hari terakhir peserta akan menginap. Untuk mengikuti agenda ini peserta dipungut biaya sebesar Rp 400 ribu, sudah termasuk fasilitas dan makanan. Materi yang akan diterima peserta terbagi menjadi dua, tiga hari klasikal dan tiga hari praktik lapangan.[] Hasbul
.com
Kursus Mahir Dasar UKM Pramuka
L Iklan Layanan Masyarakat ini dipersembahkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa ARENA www.lpmarena.com