Buletin slilit arena oktober 2013

Page 1

www.lpmarena.com


INDEKS

Sabtu, 12 Oktober 2013

BUDAYA

UNIVERSITARIA SLiLiT ARENA Diterbitkan Oleh: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Pelindung Allah SWT Penasehat Rektor UIN Sunan Kalijaga

13|

6|

Satu Tembang untuk Dies Natalis

Kemahalan, Mahasiswa Ogah Pakai Bus UIN

OPINI

Salah satu tujuan pengadaan bus UIN ialah untuk mendukung kegiatan mahasiswa. Namun pada keyataannya, mahasiswa enggan untuk menyewa bus UIN. Alasannya karena biaya sewa bus dianggap terlalu mahal dan

14| Menyegarkan Kembali Pemikiran OPAK KANCAH

Pembina Abdur Rozaki, S.Ag, M.Si

8|

Pemimpin Umum Taufiqurrohman

Fakultas Pendidikan Bermasalah dalam Kuota

Wk. Pemimpin Umum Ahmad Jamaludin

FITK tengah gencar membuka jurusan baru.

Sekretaris Umum Ayu Usada Rengkaning Tyas

masyarakat. Namun di balik itu semua,

18|

fakultas yang seharusnya mencerminkan

Diperbatasan Sebuah Negeri

Dewan Redaksi Anik Malussolehah, Munfa’ati

9|

19|

Pemimpin Redaksi Robi Kurniawan

Mahasiswa KUI Keluhkan Kemelut Konversi

Kaki Telanjang

Bendahara Puji Hariyanto

Redaktur Online Folly Akbar Redaktur SLiLiT Januardi Husin S Redaktur Bahasa Indah Fajar Rosalina Staf Redaksi N Hafsanatul H, Ulufun N, Imra’atu S, Istikhana NH, Elmi, Andy, Fendi, Arif, Lilik, Khusni H,Chusna, Lugas, Mugiarjo, Ulfatul F, Anis, Dedik, Ghafur, Novi, Arifki, Ichus, Haetami, Bayu, Soim, Wulan, Riswan, Irsal, Ifa, Chafid Rancang Sampul & Tata Letak S Ghidafian Hafidz

Alasannya untuk menjawab kebutuhan

Mandeknya koordinasi konversi matakuliah 2013 di Jurusan KUI antara Kajur dan dosendosennya membuat hubungan kedua belah pihak menjadi renggang. Mahasiswa terkena dampak nyata atas kejadian ini.

10| FEBI Pindah, Fasilitas Susah Keterpisahan geografis antara kampus FEBI dan kampus pusat menyulitkan para mahasiswa FEBI dalam mengakses berbagai fasilitas yang ada di kampus pusat.

Lukisan Sampul Muka Enggar Romadioni Judul: Pengembara Fotografer Abdul Majid Direktur Perusahaan & Produksi Intan Pratiwi Koordinator Pusda Hasbullah Syarif Koordinator Jarkom Hartanto Ardi Saputra Koordinator PSDM Ahmad Taufiq Kantor Redaksi/Tata Usaha Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adi Sucipto Yogyakarta 55281 Telp. 085282638050 (Intan Pratiwi) http//: www.lpmarena.com No Rekening 0216 2175 90 BNI Unit UGM atas nama Taufiqurrohman

15| Logika Mayoritas SASTRA

PUSTAKA

21| Melawan “Jihad” Penebar Teror CATATAN KAKI

4| Keluarga Seorang kawan bercerita, teman dekatnya pengen membuat sebuah Keluarga mahasiswa daerah di kampus. “Pendiri pertama bung !” ujar kawan saya

12|

EDITORIAL

Nafas Ormawa di Kampus Dua

5|

Pindahnya FEBI dari kampus pusat berdampak kepada kegiatan Ormawa yang dijalani oleh mahasiswa. Mengingat pentingnya hal ini bagi mahasiswa, birokrat diharapkan mengambil langkah-langkah yang pro terhadap kegiatan mahasiswa.

Autogestion Kita tahu, perpincangan tentang gerakan mahasiswa acapkali berakhir dengan keletihan. Klimaks dari perpincangan itu biasanya adalah ke-gerundelan;

SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan maupun artikel ke alamat redaksi LPM ARENA. Dan bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan SLiLiT ARENA, bisa menuliskan hak jawabnya, atau datang langsung ke kantor redaksi LPM ARENA guna berdiskusi lebih lanjut. Wartawan SLiLiT ARENA dibekali tanda pengenal dalam setiap peliputan dan tidak menerima amplop dalam bentuk apapun


SURAT PEMBACA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Kurangnya Media Pengembangan Output Mahasiswa* Tempo hari saya pernah ditanya oleh seorang mahasiswa baru, “Mas, menurut sampeyan kampus yang baik itu yang seperti apa?”. Ditanya dengan pertanyaan spontan tersebut, sejujurnya saya agak tercengan juga. Sudah cukup lama saya kuliah bahkan saya sendiri belum pernah menanyakan hal tersebut kepada diri saya sendiri. Setelah terdiam beberapa saat lantas saya menjawab, “Menurut saya kampus yang baik adalah kampus yang dapat memberikan input yang baik bagi mahasiswa dan juga mampu menyiapkan output yang baik pula kepada mahasiswa.” Saya jadi teringat dalam suatu buku sejarah ketika dulu Bung Karno memberikan pidatonya di Universitas Hasanudin Makassar, beliau berkata “Kalau ingin membangun Indonesia timur, bangunlah sumber daya manusianya. Kalau ingin membangun sumber daya manusia, bangunlah universitasnya!” Dari sini setidaknya saya mendapat gambaran bahwa kampus yang baik adalah kampus yang mampu membangunkan sumber daya manusia dimana dalam usaha tersebut pastilah harus selalu ada dua hal yang saling berkaitan yakni proses internalisasi dan proses eksternalisasi. Bila kita bedah kampus putih kita UIN Sunan Kaliga ini, setiap tahun selalu diupayakan peningkatan mutu pendidikan dan fasilitas pengembangan hardskill dan softskill untuk civitas di dalamnya. Meski selalu ada kekurangan dan ketidakpuasan, tapi upaya tersebut patut kita apresiasi karena setiap tahun selalu ada progress yang nyata meski tidak kita rasakan di semua bidang.

Namun yang disayangkan di sini adalah, tidak adanya konsentrasi terhadap upaya eksternalisasi atau wahana output mahasiswa. Dalam bidang tulis-menulis misalnya, jarang sekali media yang disediakan kampus untuk mahasiswa. Seperti misalnya mediasi riset untuk mahasiswa, saya menilai upaya kampus masih minim. Padahal riset adalah salah satu jantung pengembangan intelektual universitas. Atau bila kita menyoroti lembaga pengabdian masyarakat yang ada di kampus, mungkin akan bergerak secara agresif pada program KKN (Kuliah Kerja Nyata) saja. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kampus (baca: warga sekitar, anak jalanan, pengemis, orang gila, dsb.) pun tidak dilakukan oleh kampus secara sistematis dan terorganisir, hanya sebatas upaya individual saja. Padahal seharusnya kampus dapat menjadikan masyarakat lebih hidup dan lebih manusiawi. Terlebih lagi bila melihat aspek kewirausahaan, bila di kampus lain seperti UII dan UGM selalu membuka program pendanaan usaha mahasiswa, maka di UIN Sunan Kalijaga hal tersebut tidak dapat dinikmati secara massive oleh mahasiswa. Bahkan informasi tentangnya pun sangat sulit diakses. Memang, tidak ada sesuatu yang dibangun langsung menjadi mapan. Perlu proses tiada henti untuk meningkatan eksistensi dan mutu sebuah institusi. Dan sehubungan dengan hal tersebut, kritik dan nilai-nilai ideal adalah makanan wajib bila kita ingin terus bertumbuh. *Abdul Jawad, mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama FUSPI 2011

Sepetik Asa di Kampus Baru* Tahun ajaran 2013-2014 menjadi tahun yang berbeda bagi mahasiswa FEBI karena perkuliahan dilakukan di kampus dua, yang berada di Maguwoharjo.Beberapa mahasiswa baru kadang mengeluhkan jauhnya jarak antara kampus FEBI dengan kampus pusat. Namun, ada hal yang tak kalah penting dari dampak kepindahan FEBI, yaitu kegiatan organisasi, baik intra maupun ekstra, yang dominan diselenggarakan di kampus pusat. Hal ini menyebabkan beberapa mahasiswa harus rela tidak mengikuti kegiatan organisasi, karena jauhnya jarak antara kos dan kampus pusat. Oleh sebab itu, kami mengaharapkan agar seluruh organisasi-organisasi baik ekstra maupun intra, membuka

pendaftaran di sekitar FEBI. Kami (mahasiswa semester tiga) juga akan mengadakan kegiatan silaturahim dengan mahasiswa baru. Kegiatan tersebut bisa berupa pengenalan kampus, pengenalan organisasi baik intra maupun ekstra, dan sharing seputar kesan-pesan selama pembelajaran di kampus FEBI. Kegiatan ini nantinya diharapkan, para mahasiswa baru bisa mengutarakan seluruh kesan dan pesannya selama melakukan aktifitas pembelajaran di FEBI dan akan diserahkan kepada pihak fakultas sebagai media pembenahan fakultas. *Fauza, mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah semester tiga, FEBI

SLiLiT ARENA

|3


CATATAN KAKI

Sabtu, 12 Oktober 2013

Keluarga*

S

eorang kawan bercerita, teman dekatnya pengen membuat sebuah Keluarga mahasiswa daerah di kampus. “Pendiri pertama bung !” ujar kawan saya menirukan teman dekatnya. Kawan saya meneruskan, bahwa teman dekatnya adalah penggalang, ketua, sekaligus sekretaris merangkap bendahara. “Benar-benar pioneer,” tutur kawan saya.

Setiap hari teman dekat itu membuka stan pendaftaran anggota, seorang diri. Pagi-pagi ia akan terlihat menggotong meja lipat, tikar, dan selembar banner yang bertuliskan nama keluarga mahasiswa daerah yang ia dirikan. Banner itu berukuran sekira 50 x 100 cm dengan empat tali kekang pada tiap ujungnya. Biasanya ia kaitkan tali itu pada tiang atau pohon disekitar trotoar tempatnya mangkal. Seharian ia menunggu, anggota-anggota keluarga yang diharapnya pulang. Demi sebuah keluarga, guna membangun tempat istirah bersama. Mencipta sebuah komunitas alami seperti terbayang dalam ikatan darah, laiknya keluarga di rumah, keluarga mahasiswa. Berbeda dengan keluarga di rumah, tali kekang yang dipakai dalam keluarga ini bukanlah denyut nadi, tali kekangnya adalah kesamaan etnis, ras atau suku, mungkin juga daerah. Komunitas adalah sebuah “bayang” menurut Ben Anderson. Bayangan atas suatu konsep utuh sebagai kelompok yang mengidentifikasikan persamaan identitas, mungkin bertali suku, ras, pun daerah. Mereka meyakini sebuah kesatuan dimana sebenarnya tak murni tunggal. Meski sama etnis, kita tak mengenal tiap-tiap seorang di dalamnya. Meski satu daerah, kita tak tahu nama dan alamat dari tiap anggota yang terdaftar didalamnya. “Komunitas Diaspora” begitu istilah kontemporer, keluarga mahasiswa daerah mungkin termasuk dalam kategorinya, meski dalam bentuk yang lebih kecil dan sederhana. Sebuah Kelompok sosial jalinan dari orangorang yang berpindah dari daerah asal ke tempat yang baru demi suatu kepentingan, dalam hal ini kita adalah seorang yang berkepentingan studi. Floya Anthias menyebut bahwa Komunitas Diaspora adalah mereka yang membangun identitas dan solidaritas “origin” di tempat baru. Mendasarkan dan menegakkan pondasi dasar komunitas mereka ditempat baru dengan memori serta mitos tentang daerah asal.

4

|

SLiLiT ARENA

Ada berbagai lipatan keterkaitan emosi yang berkelindan disini. Setiap yang merasa jauh dari rumah akan menyimpan kerinduan untuk pulang. Bisa juga rasa tak bisa menyatu denga situasi dan keadaan baru, perasaan dislokasi. Dalam kondisi ini, “keluarga duplikat” berkemungkinan meredam tekanan. Setidaknya membuat nyaman sebagai tempat pulang, meski hanya sekedar temporal. Sebagai landasan pribadi, komunitas-komunitas ini tentu hal yang perlu bahkan niscaya adanya. Menyambung komunikasi individu ditempat baru, membantu proses adaptasi, juga sebagai komunitas yang saling bantu antar satu dengan yang lain. Guna melawan perasaan diasporis-keterpisahan dari komunitas aslipertautan nilai dan moral karena keterkaitan identitas tentu banyak berkontribusi disini. Karena hidup tak melulu tentang diri. Dalam konteks yang lebih luas, terlihat secercah “gelap”, mungkin juga persoalan yang menjelma dalam bentuk kekhawatiran. Keberagaman kelompok adalah lahan kering yang mudah sekali terbakar oleh sulut api perbedaan. Pembentukan kelompok/komunitas baru di satu sisi adalah penarikan sebuah garis batas. Lebih jauh dari sekedar embel-embel nama dan warna, adalah identitas. Ada prasangka-prasangka dan stereotif sebab garis batas identitas. Dalam realita perbedaan identitas sangat sensitif memicu gerak-reaksi individu, karena ia bermain di wilayah emosi. Pada Komunitas Diaspora ada pengaktifan solidaritas berdasarkan identitas jatidiri, sehingga apapun yang mengusiknya, berarti konflik. Kejadian keributan antar kelompok warga di Sapen pada sabtu malam 14 september lalu mungkin bisa menjadi pengingat yang tepat. Sehingga niatan baik membangun “keluarga” tak terjerumus dalam disorientasi sosial. Terlebih kita adalah orang-orang terdidik, meski bukan jaminan tetapi alangkah baiknya terlebih dahulu sedia payung. Sebelum benar-benar turun hujan. *Ahmad Jamaludin Email : jamaludin_ahmd@yahoo.com


Sabtu, 12 Oktober 2013

EDITORIAL

Autogestion

K

ita tahu, perpincangan tentang gerakan mahasiswa acapkali berakhir dengan keletihan. Klimaks dari perpincangan itu biasanya adalah kegerundelan; mahasiswa hari ini gak ada gaung-gaung nya, atau muncul klaim lain-dengan nada yang serupa; Mahasiswa sekarang ngak kritis lagi..! kemudian berbagai macam tanggapan akan saling menyahuti. Ada yang ikut membenarkan, ada pula yang muak –mungkin menurutnya gerakan mahasiswa tak bisa lagi diharapkan, jadi sia-sia saja membicakannya- dan ada pula yang mencoba untuk menahan dulu klaim itu untuk dinyatakan absah. Persis di kelompok terakhir ini soal jadi menarik, bukan karena kita ingin berpanjang-panjang dalam pembicaraan, namun karena asa itu belum habis dan 'menahan' berarti ingin memikirkan ulang –yang berarti tidak ingin menerimanya secara mentah tanpa syarat. Asa itu belum hilang karena kita melihatnya sebagai gerakan sosial, bukan hanya gerakan politik. Dalam artian gerakan mahasiswa tidak berorientasi pada perubahan an sich, namun lebih dari itu gerakan mahasiswa telah tertelan pada masyarakat yang –niatnya- akan diperjuangkan. Pilihan ini terasa sulit karena sebelumnya –dengan sadar- kita telah menyatakan diri meninggalkan eforia kegagahan mahasiswa masa silam atau heroiknya perubahan nasional dengan menampilkan mahasiswa sebagai agent-nya. Meninggalkan itu berarti fokus menatap hari ini, dengan kedilemaan dan keriuhan tantangannya, namun tetap dengan 'menggendong' beban sejarah mahasiswa. Ini baik karena sikap ini berarti upaya untuk terus memproduksi makna, untuk terus mempertanyakan keadaan serta melahirkan pola-pola baru. Upaya-upaya ini-lah yang terganjal dalam laju gerakan mahasiswa hari ini. Demikian terjadi, lebih pelik, karena factor dari dalam; Ketergantungan pada alumni dan ketidakmampuan mengkritisi ideologi. Ketergantungan pada generasi tua yang telah meninggalkan 'nama' mahasiswa menjadi problem serius ketika; 'menolong berarti menguasai', si 'tua' terus terikat pada cerita-cerita lamanya dan tidak menyalangkan matanya untuk persoalan mahasiswa hari ini. Generasi hari ini, jika terus dipandang sebagai anak baru kemarin yang tidak tahu apa-apa akan membekukan fikiran

mereka. Kita tahu, fikiran kreatif tidak akan disebut gebrakan baru jika tertahan di pola lama. Yang mesti dilakukan gerakan berkaitan dengan generasi terdahulunya adalah mempertanyakan laku baik mereka dan meninggalkan kesalahan hari lalu. Bagi generasi lewat atau generasi yang akan lewat, dengan pahit harus disebutkan, hendaknya siap untuk tidak didengarkan lagi atau siap untuk akan ditinggalkan –dan mungkin dilupakan. Bisa saja yang terakhir ini menjadi keniscayaan; bukankah sebuah idealism hendaknya tanpa pamrih? Selanjutnya persoalan ideologi. Kebanyakan kita melihat soal terakhir ini sebagai sesuatu yang telah selesai dan tak perlu di pertanyakan lagi. Ini benar-benar keliru. Mempertanyakan berarti membongkar ulang, mempertanyakan bisa juga bermakna mencari lebih telaten. Namun pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diskusi ideologi internal gerakan acapkali kamuflase dari pembenaran-pembenaran ideologi. Ideologi dimaknai doktrin. Lantas itulah, nan bisa dihadirkan disini hanya sebuah gambaran umum. Setiap gerakan pasti punya pertanyaan lanjutan untuk gambaran ini. Demikian terjadi, karena setiap gerakan mempunyai semangat serta sejarah yang berbeda. Ketika ini dihadirkan, bisa saja dipahami sebagai pembuka lorong tanpa ujung. Reformulasi gerakan sebagai agenda yang mesti dibayar tunai. Ketika formula 'baru' ditemui, gerakan mahasiswa bisa saja tidak heroik. Tak masalah. Namun jelas gerakan itu akan mawas diri dengan pembacaan kondisi kontemporer. Kita rasa ini hasil yang mesti dipertimbangkan. Selagi kita belum keburu menghakimi gerakan mahasiswa –yang kita masuk didalamnya- sebagai gerakan abal-abal, pengaturan internal gerakan sebagai subyek (autogestion) bisa jadi tawaran atas pertimbangan itu. Belum lagi persoalan eksternal yang menusuk sampai kejantung lembaga dan cultural gerakan kita. Mulai dari hal lumrah namun sulit seperti tuntutan orang tua dan ketidakpastian masa depan, hingga hal transendental seperti soal tawar posisi dan eksistensi. Ketika ini disebutkan, kita rasa kelompok lain –mungkin kelompok diluar gerakan mahasiswa- akan merenungkan diri juga.[] Redaksi

Redaksi SLiLiT ARENA menerima kritik dan saran terhadap editorial.Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Bentuk tulisan utuh 400-700 kata. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Saran/Kritik Editorial_SLiLiT ARENA

SLiLiT ARENA

|5


UNIVERSITARIA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Abdul Madjid/LPM ARENA

Senin (30/9) Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Dayamas) BNNP DIY melakukan tes urine pada mahasiswa UIN Suka. Tes Urine kali ini diiukti sekitar 50 mahasiswa Jurusan PMI Fakultas Dakwah. Kegiatan yang bertajuk “Peran serta Kampus dalam Menciptakan Kampus Bebas Narkoba” ini merupakan agenda Dayamas BNNP-DIY guna mensosialisasikan bahaya narkoba. Kegiatan ini melibatkan 5 kampus yang ada di Yogyakarta. Yakni UIN Suka, Janabadra, Atmajaya, Amikom, dan Poltekkes Bhakti Sosial Indonesia.[] Abdul Madjid

Kemahalan, Mahasiswa Ogah Pakai Bus UIN Salah satu tujuan pengadaan bus UIN ialah untuk mendukung kegiatan mahasiswa. Namun pada keyataannya, mahasiswa enggan untuk menyewa bus UIN. Alasannya karena biaya sewa bus dianggap terlalu mahal dan mekanisme yang terlalu menyulitkan mahasiswa. Oleh: Faridatul Chusna, wawancara bersama Hartanto Ardi Saputra

B

us UIN merupakan fasilitas dari universitas untuk mahasiswa yang sekarang mulai jarang digunakan oleh mahasiswa. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Peraturan pemerintah yang telah ditetapkan mulai 29 Mei 2012 bahwa nomor kendaraan berplat merah atau milik pemerintah harus memakai pertamina dek atau non subsidi. Akibatnya tarif penyewaan bus UIN meningkat, apalagi pada hari libur kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan banyak kegiatan mahasiswa yang mengambil hari-hari tersebut, sehingga mahasiswa lebih memilih menyewa bus luar. Seperti yang diakui oleh Ibnu Hibban, panitia Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Pada tanggal 20-25 September 2013, Hibban berencana akan melakukan PKD di Kalasan. Ia meengaku enggan menyewa bus UIN, dan lebih memilih menyewa bus luar dengan alasan harganya lebih murah. “Kan itu sesuatu

6

|

SLiLiT ARENA

yang lucu, fasilitas yang ada di UIN terkadang mahasiswa yang mau memakai kesulitan. Harus mengikuti prosedurprosedur tertentu, kemudian dihalangi dengan harga yang sangat tinggi menurut saya, karena dibandingkan dengan bus luar malah lebih murah,” katanya. Ia juga mengatakan, prosedur peminjaman bus UIN sangat lama. “Kita memutuskan memakai bus luar karena memang pertimbangannya daripada megikuti proses yang ada lebih baik kita memakai bus luar tanpa prosedur yang penting DP selesai,” kata Hibban. Sementara itu Riyadi Suryana, ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) AlJamiah menceritakan pengalamannya beberapa kali ketika proses menyewa bus UIN. Bulan oktober tahun lalu, UKM AlJamiah berencana ingin menggunakan bus UIN untuk melaksanakan agenda Perekrutan Anggota Baru di Magelang. Namun mereka gagal memakai bus UIN dikarenakan hingga hari-H belum ada kesepakatan biaya dengan Nur Hadiyah,

Kasubag Perlengkapan dan Transportasi Bagian Rumah Tangga Biro Adum. Akhirnya mereka menyewa bus luar. “Kita lebih memilih bus luar, karena bus UIN operasionalnya lebih mahal. Memang normal, bus UIN kan plat nya merah, jadi tidak ada subsidi sehingga biaya lebih mahal. Hampir lebih mahal sekitar 60%,” jelasnya. Riyadi juga menceritakan pengalaman yang lain. Sekitar delapan bulan yang lalu ketika UKM Al-Jamiah ingin mengadakan promosi UKM di MAN Gandekan Bantul. Ia mengakui bahwa sudah fix akan menyewa bus UIN. Tetapi ternyata ketika akan berangkat, bus UIN tidak bisa berangkat. “Kita dildilannya sama pak Budi (supir bus UIN) sudah oke. Cuma pas paginya itu bus tidak bisa keluar karena kunci masih di bu Nur, ya mungkin itu harganya nggak pas,” ungkapnya. Riyadi menyarankan, lebih baik masalah perhitungan biaya sewa bus UIN diserahkan pada supir bus. “Serahkan


UNIVERSITARIA

Sabtu, 12 Oktober 2013

saja pada driver nya. Driver nya kan lebih tau. Kalau bu Nur kan di dalam ruangan sehinga peritungannya kan kurang valid. Mungkin lebih bagusnya diserahkan ke driver nya. Nanti dari driver kan komunikasi ke bu Nur dari perjalanan ke mana habisnya sekian”. Ia berharap bus UIN lebih bisa membantu kegiatan mahasiswa. Menanggapi masalah bus UIN yang semakin mahal Nur mengatakan bahwa bus UIN sekarang menggunakan solar non subsidi sejak peraturan pemerintah pada 29 Mei 2012. Selain itu, salah satu faktor sewa bus UIN mahal dikarenakan honor untuk supir pada Sabtu-Minggu diluar jam kerja. “Penyewaan hari Sabtu dan Minggu itu kan hari libur. Driver kan mesti bengung-bengung kalo tidak sesuai dengan (maaf) ganti kecapean. Karena kan istilahnya kita manusia. Beliau kan juga punya waktu buat keluarga, ngapain kalau kesana nganter-nganter kalau tidak sesuai dengan penghasilan,” tuturnya. Kabag Rumah Tangga UIN Suka Ali Sodiq mengatakan, bus UIN saat ini berjumlah dua unit. Yang satu ber-AC dan yang lain tak ada fasilitas AC nya. Bus yang ber-AC khusus untuk kegiatankegiatan yang bersifat tamu, sedangkan yang non-AC khusus untuk mem-back up kegiatan mahasiswa. Alur peminjaman bus UIN yaitu dengan cara mengajukan surat permohonan peminjaman bus, ditujukan ke Rumah Tangga. Tapi surat diserahkan pada bagian TU, kemudian baru didisposisi ke bagian Rumah Tangga. Tak jauh berbeda degan Nur, Ali Sodiq mengatakan, biaya sewa hari Sabtu-Minggu lebih mahal dikarenakan tambahan biaya sopir. Jika hari SeninJum'at itu peminjam tidak dikenakan biaya sopir, karena sopir itu PNS. Tapi kalau hari Sabtu-Minggu, peminjam dikenakan biaya sopir, karena diluar jam kerja PNS. Antara Rp 50.000, - Rp 100.000, dan juga menginap atau tidak. “Karena sopir itu kan terbatas, cuma seorang. Pemakaian kebanyakan hari Sabtu-Minggu, siapa sih orang yang dalam satu minggu pergi terus. SeninJumat masuk kerja. Sabtu-Minggu masih suruh anter mahasiswa, dia kan punya hak untuk keluarga,” katanya. Mekanisme penghitungan harga sewa bus UIN ditentukan dari jarak tempuhnya, karena berpengaruh pada BBM. Harga BBM untuk mobil plat merah yaitu Rp 10.700,-/liter. Bus UIN

Ya saya bilang ke bu Nur gitu. Dalam arti kalau untuk anak-anak itu dilangsungkan ke saya. Saya tu sering marah sama bu Nur, sampek kunci saya serahkan. Saya gak mau, males super bis trimo dadi tukang sapu ae. Sekarang anak-anak belum ada yang pinjem, dari sebelum lebaran sampai sekarang satu liter maksimal menempuh jarak 5 Km. Jika jaraknya jauh, semisal luar Provinsi, akan dikenakan biaya pemeliharaan bus kepada si peminjam. Karena dana pemeliharaan bus dari negara tidak cukup bila tingkat pemakaiannya terlalu jauh. Semua dana yang diperoleh dari penyewaan bus UIN akan masuk dalam Badan Layanan Umum. “Misalnya ke Parangtritis, pulangpergi katakanlah 80 Km, maka biaya sewanya Rp 171.200,-. Karena plat merah itu harus menggunakan pertamina dek (non subsidi), jika melanggar akan diberi sanksi terhitung mulai 29 Mei 2012 lalu,” kata Ali Sodiq. Hal yang berbeda dialami oleh UKM Korps Suka Rela (KSR). Pada bulan Mei 2013 lalu, UKM KSR melakukan kunjungan Palang Merah Indonesia ke Jakarta Timur dan Universitas Negeri Jakarta selama 4 hari 3 malam. Ciheni, bendahara KSR mengatakan, penyewaan bus UIN dihitung 3 hari yaitu Rp 300.000,-. Tetapi biaya kru bus dan BBM, tarif tol, perawatan, dan lain-lain ditanggung sendiri. Karena keterbatasan dana, KSR minta keringatan kepada rektorat. Akhirnya biaya Rp 300.000,tersebut dihilangkan. BBM juga mendapat yang subsidi dari rektorat. Hanya dikenakan biaya supir Rp 1 . 2 0 0 . 0 0 0 , - . To t a l b i a y a y a n g dikeluarkan selama 3 hari penyewaan bus UIN yaitu Rp 3.170.000,-. “Kalau dibanding dengan bus lain, bus UIN jauh lebih murah. Kalau perhitungan bus pariwisata YogyakartaJakarta sewa 2 juta perhari,” kata Ciheni. Ketika dimintai alasan rektorat memberi subsidi terhadap UKM KSR terkait penggunaan bus ke Jakarta terkait adanya subsidi dari rektorat, ia mengungkapkan tidak tahu menahu. “Saya tidak tahu itu, subsidi apa? Saya tidak paham,” katanya. Sementara itu, Budi, supir bus UIN Suka mengatakan dirinya tidak mengenal istilah uang lembur. “Kalau kerja SabtuMinggu boleh dihitung lembur, tapi tidak ada hitungan uang lembur. Ya cuman kalau ada tarikan bus, ya sisa-sisa dari

pembelian solar. Kalau Sabtu-Minggu nganter mahasiswa saya nggak pandang hari kerja atau libur,” ungkapnya lantas tertawa. Budi mengiyakan bahwa kegiatan mahasiswa yang memerlukan jasa bus UIN kebanyakan hari Sabtu, Minggu, dan hari libur/tanggal merah. “Kalau mau minta tarif tambahan buat anak-anak, saya nggak tega. Dapatnya ya dari uang solar. Umpamanya dapatnya Rp 350.000,- katakan, buat belanja solar Rp 200.000,-. Masih Rp 150.000,- ,ya itu uang lembur saya,” kata Budi. Budi menjelaskan, ketentuan harga semuanya diatur oleh Nur, dengan penghitungan biaya sewa yaitu jarak tempuh. Ia menyadari tarif sewa bus UIN terlalu mahal untuk dijangkau oleh mahasiswa UIN, karena hitungannya ialah BBM non subsidi. Ia mengatakan, “Kalau dipakai anakanak (mahasiswa UIN) saya usahakan pakai solar subsidi. Saya beli nggak pakek bus UIN, saya beli ke teman. Kadang Rp 6.000,-/liter, kadang Rp 6.500,-. Bu Nur tahu, kebetulan yang ngejok teman kantor. Harusnya dikurangi, tapi saya nggak tahu bu Nur mintanya ke mereka berapa.” “Sebenarnya ini tadi rahasia. Seharusnya kan kita beli solar yang non subsidi, karena untuk anak-anak akhirnya tak bantu kayak gitu biar operasional jalan.” Budi mengkritisi kepemimpinan Nur dalam mekanisme penyewaan bus UIN. Menurutnya, lebih baik dirinya yang langsung berhubungan dengan mahasiswa. Keruwetan dalam mekanisme penyewaan bus yang menyebabkan mahasiswa enggan menggunakan bus UIN. “Ya saya bilang ke bu Nur gitu. Dalam arti kalau untuk anak-anak itu dilangsungkan ke saya. Saya tu sering marah sama bu Nur, sampek kunci saya serahkan. Saya gak mau, males super bis trimo dadi tukang sapu ae. Sekarang anak-anak belum ada yang pinjem, dari sebelum lebaran sampai sekarang,” ungkapnya.[]

SLiLiT ARENA

|7


UNIVERSITARIA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Fakultas Pendidikan Bermasalah dalam Kuota Annisatul Ummah/LPM ARENA

FITK tengah gencar membuka jurusan baru. Alasannya untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Namun di balik itu semua, fakultas yang seharusnya mencerminkan pendidikan yang ideal ini masih bermasalah dalam hal kuota kelas yang dianggap terlalu gendut. Oleh Annisatul Ummah

F

akultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Sunan Kalijaga yang kedepannya akan melahirkan insan-insan pendidik, sangat ironis ketika permasalahan dalam hal proses pendidikan (belajar mengajar) masih terkendala masalah kuota dan ruang perkuliahan. Setelah dibukanya Prodi Pendidikan Guru Rhaudatul Athfal (PGRA) dan juga sedang menggodok jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, ternyata masih meninggalkan permasalahaan yang belum terselesaikan. PGRA sendiri dibuka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta undang-undang dimana pemerintah memberikan perintah pada perguruan tinggi untuk memenuhi tuntutan masyarakat serta masyarakat pun menghendaki adanya jurusan baru tersebut. Seperti halnya PGRA, penggodokan Pendidikan Bahasa Inggris pun memiliki alasan yang sama. Gencarnya FITK membuka jurusan baru ternyata belum diimbangi dengan penyelesaian masalah perkuliahan. Seperti yang terjadi di Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dimana beberapa kuota ada yang mencapai 60. Hal tersebut ditanggapi Kajur PGMI Istiningsih yang mengatakan, sebenarnya pada awal penginputan PGMI hanya akan menawarkan kuota 45 namun dari pihak PKSI justru membuka kuota 60. Dulu sebelum masa revisi selesai, PGMI pernah mengkomunikasi dengan pihak PKSI. Intinya mencari solusi dari masalah kuota itu, dimana akan ada rencana pemerataan kelas di PGMI. Yang konsekuensinya memindahkan mahasiswa dari kelas gemuk ke kelas yang longgar. Secara sistem hal tersebut masih mungkin dilakukan. PKSI nantinya hanya akan mensupport secara teknis jika akan ada pemerataan. PKSI hanya tinggal menunggu konfirmasi

8

|

SLiLiT ARENA

karena dalam hal tersebut menjadi wewenang jurusan. Rencana pemerataan mahasiswa PGMI dari kuota yang terlalu gendut ke kelas yang kuotanya longgar ditegaskan oleh Kajur bahwa hal tersebut bukan kepentingan jurusan, namun hal tersebut dilakukan untuk kepentingan mahasiswa sendiri agar perkuliahan berjalan dengan nyaman dan efektif. Ini semua baru simulasi dengan memperhatikan makin sedikit kuota maka kuliah akan semakin efektif. “Dalam hal kuota yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan dari PGMI dimana kuotanya ditambah adalah karena kesalahan sistem,” kata Isti. Dari pihak Pusat Komunikasi dan Sistem Informasi (PKSI) menanggapinya dengan mengatakan, masalah kuota ataupun ruang perkuliahan adalah hak dari tiap-tiap jurusan. Karena masalah kuota sebenarnya sudah dirapatkan dalam rapat akademik yang diselenggarakan di PAU (Pusat Administrasi Umum) yang dihadiri oleh WR I (bagian Akademik dan Kemahasiswaan), Biro AAK, serta Wakil Dekan I dari tiap-tiap fakultas. “Yang menjadi miss komunikasi mungkin karena tidak semua Kaprodi/Kajur mengetahui,” ujar Agung, ketua PKSI. Dalam hal kuota, sampai saat ini dari masing-masing pihak (PKSI dan ProdiRed.) sedang menuggu kepastian untuk memastikan pemerataan. Dari pihak PKSI yang menunggu persetujuan dari pihak Prodi dan dari pihak fakultas yang berusaha mengkomunikasikan tentang hal ini. Sampai berita ini diturunkan, pemerataan mahasiswa tersebut belum juga direalisasikan. “Belum ada info

Kuota input KRS Jurusan PGMI

lebih lanjut dari fakultas dan Kabag TU. Saya sudah menghubungi ibunya (Kajur PGMI-Red.). Tapi belum fix,” kata Agung. Ternyata dari jurusan baru yang dibukapun memiliki permasalahan tidak jauh berbeda PGMI yaitu mengenai kuota yang gemuk. Kuota di PGRA pada awalnya hanya akan menerima 40 mahasiswa, namun sekarang berjumlah 52 mahasiswa. Menurut penuturan Kaprodi PGRA Sumedi, hal ini disebabkan kekhawatiran dari pihak Fakultas jika yang registrasi ternyata kurangdari 40 mahasiswa, sehingga yang diterima jumlahnya 62 mahasiswa, dan yang melakukan registrasi ada 52 mahasiswa. “Harusnya mahasiswa yang diterima diatas 40, diterima dengan syarat apabila dari 40 mahasiswa yang diterima ada yang mengundurkan diri atau tidak daftar ulang. Dengan begitu jumlah mahasiswa yang ada tidak akan lebihdari 40 orang,” ujar Sumedi. Dalam hal perkuliahan apabila jumlah mahasiswanya terlalu gendut dirasa kurang efektif hal proses belajar mengajar tersebut disampaikan Nur dan Tika mahasiswa PGMI semester tiga. Hal senada juga disampaikan Agustin mahasiswa PGMI semester lima yang menyayangkan terjadinya masalah kuota dalam proses belajar mengajar. Karena semisal terjadi pemerataan dan mahasiswa harus mengikuti kelas lain setelah pemerataan, sedangkan mahasiswa menginput KRS tujuannya untuk menyesuaikan jadwal kegiatan


UNIVERSITARIA

Sabtu, 12 Oktober 2013

mahasiswa. “Dengan gencarnya fakultas membuka jurusan baru dimana perkuliahan terselenggara sampai menjelang magrib, dikhawatirkan akan terjadi jam kuliah malam,” tutur Agustin. Ta n g g a p a n l a i n d i l o n t a r k a n

Sugiantoro, mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam semester sembilan yang mengatakan pembukaan jurusan baru di FITK menurutnya bagus, namun yang terpenting disini bagaimana menerima mahasiswa baru yang merata.

“Dalam hal pendidikan, Tarbiyah akan melahirkan kader-kader pendidik. Perihal kedepannya akan ditentukan masing-masing kepala yang akan terjun dalam dunia pendidikan,” katanya.[]

Mahasiswa KUI Keluhkan Kemelut Konversi Mandeknya koordinasi konversi matakuliah 2013 di Jurusan KUI antara Kajur dan dosen-dosennya membuat hubungan kedua belah pihak menjadi renggang. Mahasiswa terkena dampak nyata atas kejadian ini. Oleh Andy Robandi

P

erubahan kurikulum wajib dilakukan oleh semua Perguruan Tinggi setiap lima tahun sekali. Konversi matakuliah merupakan bagian di dalamnya, sebagai usaha untuk memperbaiki kurikulum agar lebih baik. Kurikulum sendiri merupakan milik beberapa pihak di dalamnya, yakni mahasiswa, dosen, dan instansi kampus itu sendiri. UIN Sunan Kalijaga pada tahun ini untuk pertamakalinya melakukan perubahan kurikulum secara serempak di semua fakultasnya. Akan tetapi perubahan kurikulum tahun ini belum dipersiapkan sepenuhnya, sehingga dampaknya membawa kebingungan kepada mahasiswanya, terkecuali mahasiswa baru 2013. Molornya pengimputan Kartu Rencana Studi (KRS) dan masa revisi sudah menjadi fenomena setiap tahunnya. Tahun ini hal tersebut kembali terjadi. Pengimputan KRS dan masa revisi yang semula ditetapkan pada tanggal 19 Agustus diperpanjang sampai pada tanggal 14 Oktober. Hal tersebut karena adanya konversi mata kuliah. Bukan hanya itu. Telatnya sosialisasi konversi matakuliah, yang ternyata disebabkan ketidakjelasan koordinasi pihak-pihak yang terkait dalam proses konversi matakuliah menjadi persoalan tersendiri. Hal tersebut dialami Jurusan Keuangan Islam (KUI) yang sampai minggu ketiga masa perkuliahan masih ada penambahan matakuliah baru. Muhammad Saefullah, mahasiswa Jurusan KUI mengeluhkan konversi yang

terkesan muncul tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan dan sosialisasi konversi matakuliah. Hal tersebut yang menyebabkan dirinya kebingungan dalam pengimputan KRS. “Waktu awal, bingung juga sih mas ngisi KRS nya. Soalnya di KUI sendiri tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi bahwa ada konversi matakuliah,” ucap mahasiswa yang sudah menginjak semester lima itu. Senada dengan itu, problematika mandeknya koordinasi di internal Jurusan KUI juga dirasakan oleh m a h a s i s w a l a i n s e p e r t i Wa h i d , mahasiswa Jurusan KUI semester tujuh “Nggak cuma saya mas yang belum paham konversi itu seperti apa, tementemen saya juga,” paparnya. Ia juga menyayangkan proses civitas akademik yang sampai minggu ketiga belum juga kondusif. Masih juga ada mata kuliah yang dalam pengisian KRS dosennya default, kelas yang diliburkan, sampai absensi yang belum jadi, “Wah kacau mas, sampai sekarang belum kondusif, masih ada dosen default, absensi belum jadi, ya banyak lah,” tutur mahasiswa yang sedang menunggu jam perkuliahan. Ditemui di sekretariat BEM-J, Sururuddin selaku ketua BEM-J KUI sendiri menjelaskan, isu renggangnya hubungan Kajur dengan dosen di internal KUI terkait konversi saat ini tengah merebak. Isu tersebut juga disebabkan karena terbaginya fokus dosen-dosen KUI yang sebagian dari mereka juga mengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Islam (FEBI). “Saya rasa tidak hanya karena koordinasi Kajur ke dosen yang menghambat civitas akademik mahasiswa KUI, tapi terbaginya fokus dosen oleh FEBI juga. Makanya kelas sering kosong atau libur,” terangnya. Menurut mahasiswa semester lima itu, harusnya problematika gejolak di internal KUI bisa cepat diatasi sebelumnya, sehingga tidak menghambat proses perkuliahan mahasiswa. Terkait sosialisasi, pihak jurusan sendiri sudah mengirimkan surat kepada BEM-J untuk memberitahukan kepada mahasiswa KUI tentang adanya konversi matakuliah. Namun BEM-J sendiri tidak mengetahui perihal surat yang dilayangkan oleh jurusan untuk mengumumkan konversi tersebut. “Surat dari Kajur saya kurang tahu ya mas, karena kami juga waktu itu sedang sibuk mengagendakan OPAK,” tambahnya. Di ruangannya, Widiarini yang baru diangkat sebagai Kajur KUI membenarkan bahwa konversi matakuliah tahun ini tidak melalui koordinasi terlebihdahulu dengan dosendosen KUI. Menurutnya, hal ini disebabkan waktu yang diberikan oleh Wakil Rektor I untuk pembuatan format kurikulum Jurusan KUI terbatas. Sehingga dirinya belum mempersiapkan dan mengkoordinasikan dengan dosendosen KUI. Disamping itu, dirinya baru diangkat sebagai Kajur KUI, yang sebelumnya dijabat oleh Slamet Hilmi. “Waktu yang diberikan untuk mengkonversi terbatas mas, jadi ya

SLiLiT ARENA

|9


UNIVERSITARIA

nggak sempet koordinasi, dan saya juga soalnya baru diangkat jadi Kajur jadi agak sedikit kebingungan juga,” ucapnya. Terkait sosialisasi, Widiarini mengatakan, dirinya telah mengirimkan surat kepada BEM-J untuk mengumumkan bahwa akan ada konversi matakuliah. Begitu juga dengan dosendosen KUI, juga telah dikirimi surat untuk menghadiri rapat perubahan kurikulum. Namun tak ada satupun dosen yang hadir di dalam ruang rapat. “Saya sudah ngirim surat ke anak BEM-J dan dosen-dosen tentang adanya konversi mas, tapi ya mungkin masih pada sibuk. Yang satu ngurusin OPAK, dan yang dosen-dosen mungkin juga masih berkumpul sama keluarganya, karena habis lebaran juga kan mas,” katanya. Akhmad Yusuf Khoiruddin, salah seorang dosen di KUI menanggapi hal ini. Dirinya mengakui tidak adanya koordinasi dari awal antara dosen-dosen KUI dan Kajur. “Selama ini ada kesan yang tidak bisa ditutup-tutupi memang, tapi bukan karena kami sibuk mas, tapi

Sabtu, 12 Oktober 2013

karena tidak adanya pemberitahuan dari awal soal konversi,” kata dosen yang juga mengajar di FEBI ini. Ketidakhadiran dosen-dosen dalam rapat adalah bagian dari kekecewaan para dosen terhadap Kajur, yang sebelumnya sudah membuat format kurikulum baru tanpa perundingan atau koordinasi dengan dosen-dosen KUI. Menurut Yusuf, kesibukan dosen KUI yang juga mengajar di FEBI tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan koordinasi. Kerena sejauh ini, dosen-dosen tersebut masih bisa mengatur waktu. “Kemaren-kemaren memang mau ngadain rapat, tapi buat apa rapat kalau ternyata format kurikulum itu sendiri sudah dibuat. Menurut saya, rapat kemarin itu kayak pembentukan silabi,” kata Yusuf. Dari gedung rektorat, Sekar Ayu Aryani selaku Wakil Rektor I, angkat bicara terkait perubahan Kurikulum 2013. Sekar menjelaskan, aturan perubahan kurikulum tersebut sudah lama, yaitu semenjak kepemimpinan Musa Asy'ari. “SK perubahan kurikulum udah ada mas, itu sudah ada tiga tahun

yang lalu sejak pak Musa diangkat sebagai rektor. Kalau terkait waktu yang dikasih sebenarnya enggak kok, itu kan sudah lama dan kita sudah melakukan rapat dengan semua Kajur sebelumnya,” katanya. “Kalau terkait format kurikulum, yang berhak menentukan ya memang prodi/jurusan, bukan hanya Kajur,” kata Sekar menambahi. Noorhaidi selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum juga angkat bicara. Menurutnya, isu tersebut hanya provokasi dari segelintir orang, di tengah kondisi Jurusan KUI yang memang sedang tidak maksimal. Noorhaidi mengatakan, terbaginya fokus dosen KUI dengan FEBI membuat konversi jadi tidak maksimal. “KUI memang sedang dikasih cobaan mas. Sebagian dosennya kan ngajar juga di FEBI, jadi ya agak terganggu juga, harus ngurus dua fakultas. Saya berani menjamin mas, design kurikulum di Syariah yang paling baik dibanding dengan fakultas lain,” katanya.[]

FEBI Pindah, Fasilitas Susah Keterpisahan geografis antara kampus FEBI dan kampus pusat menyulitkan para mahasiswa FEBI dalam mengakses berbagai fasilitas yang ada di kampus pusat. M Arif Setiawan/LPM ARENA

Oleh M Arif Setiawan

T

erhitung sejak tahun akademik 2013-2014, para mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta kini tidak lagi menjalani proses perkuliahan di gedung TK Raudlatul Athfal UIN Suka. Proses perkuliahan FEBI kini dilakukan di gedung baru yang berada di kawasan University Hotel di Maguwoharjo. Perpindahan tempat perkuliahan tersebut menjadikan FEBI secara geografis terpisah dari kampus pusat. Kondisi tersebut berdampak pada kesulitan mahasiswa FEBI dalam mengakses fasilitas-fasilitas universitas yang ada di kampus pusat. Mahasiswa

10

|

SLiLiT ARENA

Gedung baru perkuliahan FEBI masih dalam tahap pembangunan

FEBI kini tidak bisa semudah mahasiswa fakultas lain dalam mengakses berbagai fasilitas seperti perpustakaan, Pusat Bahasa Asing (PBA), laboratorium

Information and Communication Technology (ICT) di PKSI (Pusat Komunilasi dan Sistem Informasi), hotspot area, Student Center (SC),


h

UNIVERSITARIA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Poliklinik, dan fasilitas-fasilitas lain di kampus pusat. Kesulitan tersebut terjadi lantaran jarak antara kampus FEBI dan kampus pusat dianggap cukup jauh oleh mahasiswa sedangkan fasilitas-fasilitas tersebut tidak tersedia di kampus FEBI. Kenyataan tersebut disesalkan oleh beberapa mahasiswa FEBI. Seperti yang diungkapkan Jundi, mahasiswa baru Jurusan Ekonomi Syariah yang merasa kecewa tidak bisa mengakses fasilitasfasilitas di kampus pusat seperti mahasiswa fakultas lain. Padahal, menurutnya mahasiswa FEBI juga punya hak yang sama dengan fakultas lain karena sama-sama bayar. “Pasti kecewa bang, apalagi sebelumnya kita juga udah bayar kayak yang lain. Sehingga ketika kampus FEBI itu pindah ke Maguwo, otomatis fasilitas-fasilitas tersebut tidak bisa kita nikmati setiap hari bang kayak di fakultas-fakultas lain,” keluhnya. Jundi menuturkan jika selama ini mahasiswa FEBI yang mengikuti kuliah bahasa asing harus bolak-balik menuju kampus FEBI dan kampus pusat. Bahkan ada beberapa mahasiswa FEBI yang selisih antara jam matakuliah di FEBI dengan jam kuliah Bahasa Asing hanya satu jam, sehingga para dosen Pusat Bahasa memberikan toleransi keterlambatan kepada mahasiswamahasiswa FEBI. “Sebenarnya ada beberapa hari tertentu mahasiswa FEBI selesai kuliah itu pukul 11.30 kemudian pada pukul 12.30 sudah harus mulai kuliah bahasa sehingga jarak waktu yang dia habiskan untuk shalat, makan siang, dan perjalanan harus cukup dengan waktu satu jam. Dosen-dosen bahasa itu masih memberikan toleransi 15 menit kepada mahasiswa FEBI,” tuturnya. Ia juga merasa kesulitan jika ada tugas-tugas kelompok karena harus mencari bahan-bahan referensi ke perpustakaan yang berada di kampus pusat. Ia mengatakan “Susahnya kalau ada tugas-tugas kelompok, bahanbahannya pun mau tidak mau ke perpustakaan, jadi harus main ke kampus pusat lagi.” Kesulitan lain juga dirasakan Atik mahasiswa Perbankan Syariah semester III yang merasa keadaan di kampus pusat lebih nyaman bagi mahasiswa daripada di kampus FEBI. “Ya enakan disinilah (kampus pusat-Red.). Kalau disini banyak fasilitasnya, mau ngapa-ngapain enak kayak mau ke perpus dan lainnya. Kalau di sana (kampus FEBI) kan

Menurut aku kasihan juga mahasiswa baru itu, kan mereka harus repot-repot kesana (kampus pusat-Red.) terus kalau ada kuliah lagi kan harus ke sini (kampus FEBI-Red.). Seharusnya yang kayak kuliah bahasa itu dilaksanain disini biar lebih efisien gitu aksesnya lebih sulit karena harus kesini,” ungkapnya pada ARENA. Kekecewaan lain juga datang dari Mahadir, mahasiswa Keuangan Syariah semester I yang pasrah menerima kebijakan kampus. “Ya kecewa juga sih, tapi gimana ya, kembali kalau kebijakan kampus udah kaya gini kan,” ujarnya. Mahasiswa yang berasal dari Medan tersebut berharap pihak kampus memberi fasilitas bus bagi mahasiswa yang hendak kuliah bahasa asing karena selama ini jika mahasiswa naik TransJogja memakan waktu 30 hingga 40 menit perjalanan dari FEBI ke kampus pusat. “Kalau masalah bahasa gitu kan kalau bisa ada bus gitu supaya kita gak naik Trans. Karena kasihan temen-temen yang jarak jam matakuliah bahasa dengan yang lain mepet. Biasanya paling cepet setengah jam naik Trans, sebenarnya nunggu Transnya yang lama sehingga perjalanannya bisa sampai rata-rata 40 menit,” harapnya. Harapan tersebut senada dengan Fauzan mahasiswa Ekonomi Syariah semester III yang berharap setidaknya mahasiswa baru diberikan fasilitas bus supaya tidak kesulitan dalam menjalani perkuliahan bahasa asing.“Kita juga sebenarnya pengen supaya minimal ada akses bus buat mahasiswa baru karena ada kan Maba yang keluar jam 11.30 sedangkan setelah itu harus ke pusat bahasa 12.45, ini kan kendala banget gitu mas,” katanya. Mahasiswa yang aktif di Forum Studi Ekonomi Islam tersebut turut merasa prihatin dengan kesulitan mahasiswa FEBI terutama mahasiswa baru. Mulai dari keadaan gedung FEBI yang dinilai belum kondusif dijadikan perkuliahan karena masih dalam masa pembangunan hingga masalah kesuliatan para mahasiswa dalam mengakses fasilitas kampus. Keprihatinan lain juga disampaikan Sri Hartati yang merasa kasihan dengan mahasiswa baru yang harus menjalani kuliah bahasa asing di kampus pusat. Ia berharap kuliah bahasa asing bagi mahassiwa FEBI dilakukan di FEBI saja supaya terasa lebih efisien bagi mahasiswa. “Menurut aku kasihan juga mahasiswa baru itu, kan mereka harus repot-repot kesana (kampus pusat-Red.)

terus kalau ada kuliah lagi kan harus ke sini (kampus FEBI-Red.). Seharusnya yang kayak kuliah bahasa itu dilaksanain disini biar lebih efisien gitu,” ucapnya. Mahasiswa Perbankan Syariah semester III tersebut juga berharap jika di FEBI disediakan perpustakaan fakultas supaya mahasiswa FEBI tidak kesulitan dalam mengakses kepustakaan. “Kalau soal perpustakaan, FEBI dikasih perpustakaan lah gitu, alangkah baiknya,” katanya. Guna mengantisipasi kesulitankesulitan tersebut tak ayal membuat beberapa mahasiwa FEBI memilih kost di dekat kampus pusat. Seperti yang dilakukan Ma'ruf yang lebih memilih kost di sekitar kampus pusat tepatnya di Sapen karena ia dapat mengakses fasilitas-fasilitas kampus lebih mudah. “Saya kost di Sapen mas, karena disana kan lebih enak, fasilitas lebih banyak di kampus pusat, terus kayak perpustakaan juga ada disana.” Ia tidak merasa kesulitan ketika hendak kuliah menuju kampus FEBI karena ia memiliki kendaraan roda dua. Langkah menempati kost di sekitar kampus pusat juga dilakukan Na'mauz Zahirah, mahsiswa Perbankan Syariah semester III. Selain karena dapat dengan mudah mengakses fasilitas-fasilitas di kampus pusat, harga sewa yang ditawarkan tempat kostnya juga lebih murah bila dibandingkan dengan kebanyakan tempat kost disekitar kampus FEBI. Selain itu kebutuhankebutuhan seperti makan dan fotokopi, di sekitar kampus FEBI terbatas dan harganya relatif lebih mahal. Berbeda dengan lingkungan kampus pusat yang menawarkan banyak pilihan dan relatif lebih murah. “Kost sekitar sini (sekitar kampus FEBI-Red.) lebih mahal mas, terus kalau mau kayak fotokopi dan makan itu masih sulit lah dan secara harga juga lebih mahal. Kalau disana kan pilihannya banyak, kalau disini terbatas mas,” ungkapnya. Pilihan menempati kost di sekitar kampus pusat memang menjadi pilihan alternatif bagi beberapa mahasiswa FEBI dalam mengatasi keterbatasan fasilitas di kampus FEBI. Khususnya bagi mereka yang memiliki kendaraan pribadi.[]

SLiLiT ARENA

| 11


UNIVERSITARIA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Nafas Ormawa di Kampus Dua Pindahnya FEBI dari kampus pusat berdampak kepada kegiatan Ormawa yang dijalani oleh mahasiswa. Mengingat pentingnya hal ini bagi mahasiswa, birokrat diharapkan mengambil langkah-langkah yang pro terhadap kegiatan mahasiswa. Oleh Dedik Prihatmoko

O

rganisasi mahasiswa (Ormawa) sangatlah penting untuk diikuti karena dengan mengikutinya mahasiswa memperoleh suatu pengalaman yang sangat berharga. Selain itu, Ormawa juga merupakan wahana pengembangan softskill yang tidak didapatnya di kelas reguler. Ormawa-ormawa yang ada di UIN Suka, baik itu yang intra (seperti UKM dan BEM) maupun yang ekstra (PMII, HMI, KAMMI, IMM, dan lain-lain) selain sebagai wadah para mahasiswa untuk berorganisasi juga akan melatih mahasiswa dalam hal kepemimpinan, manajemen, membangun wawasan akademik, menumbuhkembangkan idealisme, menumbuhkan rasa tanggung jawab, solidaritas, rela berkorban dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa bisa belajar banyak disana dan juga sebagai proses pendewasaan diri. Hal ini selaras dengan pandangan Zundi, mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah semester I, “Terkait kegiatan keorganisasian adalah suatu hal yang penting pastinya karena ketika di perkuliahan kita hanya belajar dan belajar. Namun ketika kita mengikuti organisasi ataupun UKM kita dapat merefresh baik dengan musawarah, bertemu temen-temen di organisasi ataupun UKM.” Hal yang sama disampaikan Fita mahasiswi FEBI semester III, “Tergantung orangnya kalau orangnya aktif, suka dengan hatinya, ya penting. Tapi kalau dia setengah-setengah dalam mengikuti ya kurang penting jadinya,” kata Fita. Ketika crew ARENA berkunjung ke FEBI di kampus dua yang berlokasi di daerah Maguwoharjo, aktivitas mahasiswa masih jarang terlihat. Hanya terlihat aktifitas perkuliahan di beberapa ruang kelas. Tampak juga beberapa organisasi ekstra yang membuka stand pendaftaran. Diantaranya ialah PMII,

12

|

SLiLiT ARENA

Forum Studi Ekonomi Islam (ForSEI), dan Kopma UIN Suka. Ageng, salah satu perwakilan dari ForSEI menyebutkan, “Di ForSEI tidak membuka cabang dikarenakan ForSEI sendiri memang lingkupnya seluruh kampus. Kami disini membuka stand bertujuan untuk menjaring mahasiswa FEBI supaya ikut bergabung bersamasama mengkaji Ekonomi Islam.” Terkait kegiatan yang berada di kampus pusat yang lokasinya cukup jauh, ForSEI menghimbau mahasiswa FEBI yang sudah tergabung bisa tetap mengikuti kegiatan diskusi di pusat. ForSEI rencananya akan mengadakan diskusi tidak hanya di pusat melainkan di fakultas FEBI. “Nanti ketika sudah jadi gedung, di sini (FEBI-Red.) kita akan mengadakan diskusi untuk menjalin kekerabatan,” kata Ageng. Kegiatan Ormawa FEBI saat ini belum ada. Bahkan organisasi internal (BEM-F) pun juga belum terbentuk. Dimas, mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah semester I menyebutkan, kegiatan organisasi di FEBI masih belum ada karena belum ada prosedur yang dibentuk. “Bahkan disini untuk BEMFakultas juga belum terbentuk karena merupakan kampus baru,” terangnya. Pemindahan FEBI dari kampus pusat secara tidak langsung mempengaruhi kegiatan mahasiswa yang sebelumnya sudah mengikuti dan aktif di beberapa Ormawa. Lokasi kampus yang terbilang jauh menjadi faktor terkendalanya beberapa aktifitas kegiatan mahasiswa, pasalnya untuk kegiatan organisasi serta UKM hanya terdapat di kampus pusat. Hal inilah yang dirasakan Fauzan, mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah semester I, yang sebelumnya sudah lebih dulu mengikuti organisasi ekstra kampus. “Keluhan pasti ada, khususnya untuk anak-anak FEBI itu sendiri karena banyak temen-temen yang masih

memanfaatkan Transjogja. Kalau dari UIN pusat ke sini (FEBI-Red.) masih bisa ditempuh dengan waktu sekitar 15-20 menit. Tapi dari sini ke UIN pusat itu harus ditempuh selama 30-45 menit karena ketika naik Trans harus ikut transit ke bandara Adi Sucipto dulu kemudian baru pindah bus lagi belum lagi kalau tidak kedapatan bus, hal ini tentu sangat melelahkan untuk kami,” kata mahasiswa yang aktif di KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) tersebut. Hal yang senada juga di ungkapkan Dimas yang mengikuti UKM Olahraga. “Dalam hal perkuliahan di semester ini, setiap hari rabu contohnya, saya full mengikuti kuliah baik di kampus pusat ataupun kampus sini. Dari pukul 07:00 –12.00 WIB di kampus dua, lalu pukul 12:30–14:30 WIB di kampus pusat untuk mengikuti kuliah di Pusat Bahasa. Kemudian pukul 16:00 WIB harus balik lagi ke kampus dua, sehingga hal ini lumayan melelahkan,” kata Dimas. Kejadian ini tentu menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan untuk para pemegang kebijakan baik di FEBI, rektorat, dan pihak-pihak terkait. Karena bagaimanapun, FEBI juga bagian dari UIN Suka yang mahasiswanya berhak untuk berorganisasi. Sehingga perlu adanya terobosan-terobosan baru menyikapi hal ini. “Keorganisasian serta UKM sangat penting. Pasalnya di FEBI ini belum terdapat yang namanya BEM Fakultas. Sehingga kami diharapkan untuk mengikuti suatu keorganisasian maupun kegiatan lain seperti UKM. Harapannya mungkin untuk kedepannya antara pihak Fakultas ataupun Universitas bekerjasama khususnya untuk membantu mahasiswa FEBI dengan menyediakan fasilitas mahasiswa FEBI. Mungkin dengan menyediakan bus Universitas untuk melayani mahasiswa FEBI, ” kata Zundi.[]


BUDAYA

Satu Tembang untuk Dies Natalis

Lugas Subarkah/LPM ARENA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli 'Islam itu harus mengikuti perkembangan zaman, tetapi bukan larut dalam zaman tersebut' Jaman kang kapungkur P.T.A.I.N kang nami Temah institut sanyata Pawiyatan luhur yekti Jumangkah universitas Rongewu papat dumadi

Suka Laras tampil pada acara Syawalan UIN Sunan Kalijaga 2013 di Gedung Multi Purpose

Oleh Wakhidatul Khoiriyah

I

tulah sepenggal lirik tembang Jawa yang terdengar merdu dari sudut ruangan kecil Multi Purpose (MP) sayap barat sore itu, Selasa (24/9). Alunan lagu ini sembari diringi musik tradisional Jawa yang sayup-sayup berbunyi, atau biasa disebut gamelan. Yang memainkannya ialah grup musik karawitan, yang menamai dirinya Suka Laras. Terlihat disana ada beberapa orang yang sudah lanjut usia. Tetapi memperlihatkan wajah-wajah yang semangat dan kecintaan yang tinggi pada seni. Terlihat ada beberapa orang lakilaki dan satu perempuan yang menabuh gamelan seperti kendang, saron, bonang, rebab, gong, kenong, sleten, gender, dan tak lupa juga ada kecrek sebagai pelengkap. Terlihat juga dua orang perermpuan yang sedang serius menembang lirik tembang diatas. Sore itu mereka memang sengaja latihan untuk persiapanian pentas pada tanggal 27 September 2013 pada acara dies natalis UIN Sunan Kalijaga yang ke62. Ini adalah kesempatan mereka pentas yang kesekian kalinya di acara yang diselenggarakan UIN Suka, karena sebelumnya karawitan Suka Laras juga sudah sering tampil di momen-momen besar yang diselenggarakan UIN seperti acara syawalan UIN Suka, sertifikasi guru di UIN Suka, temu kangen alumni Fakultas Dakwah, dan hampir setiap wisuda di UIN Suka pasti mereka ngisi di acara tersebut. Tembang ini memang sengaja diciptakan oleh Sutiman, selaku penggubah lagu di grup karawitan Suka Laras untuk dipentaskan diacara Dies Natalis UIN Sunan Kalijaga. “Sebenarnya tembang ini menceritakan

tentang bagaimana perubahan PTAIN menjadi UIN,” kata Sutiman di sela-sela menabuh bonang. Tembang ini akan disuguhkan ketika mereka tampil agar orang-orang tahu cerita bagaimana perubahan PTAIN menjadi UIN. *** Komunitas Karawitan Suka Laras hadir di UIN Suka pada tahun 2009. Kehadirannya dipelopori oleh Sutiman selaku Kamtib Perpus UIN Suka dan temannya Kawit yang ingin memfungsikan kembali gamelan yang ada di UIN. “ Banyak gamelan tapi tidak digunakan,” jelas Sutiman. Nama Suka Laras ini diambil dari kata Suka dari kata “Sunan Kalijaga” sebagai simbol kalau komunitas ini berasal dari UIN Sunan Kalijaga dan Laras diambil dari bahasa Jawa yang artinya nada. Hadirnya Suka laras ini memiliki tujuan untuk mensyiarkan agama lewat gamelan. “Sebenarnya kalau kita melihat sejarah dulu, Sunan Kalijaga juga salah satu wali yang menyebarkan agama Islam lewat gamelan. Jadi sangat pas jika karawitan Suka Laras ini juga hadir di UIN Suka,” kata Sedya Sentosa, selaku ketua dua di Suka Laras. Suka Laras ini hadir untuk masayarakat UIN. Semuanya bisa berlatih, baik dosen, staf, karyawan, hingga mahasiswa. Sampai saat ini anggota Suka Laras sudah ada 19 anggota yang berasal dari kalangan dosen dan staf karyawan UIN Suka dan 40 orang yang berasal dari mahasiswa. Karawitan suka Laras ini mempunyai jadwal latihan seminggu dua kali. Pada hari Selasa dan Jumat, pukul 14:00 WIB sampai 16:00 WIB. Hari Selasa khusus

untuk anggota dosen dan staf karyawan, dan Jumat untuk para mahasiswa. Untuk pelatih karawitan sendiri meminta kepada masyarakat sekitar UIN Suka yang berdomisili di daerah Sapen yang memang berkompeten dalam bidang ini yakni Jumadi. Sedangkan untuk reqruitment anggota sendiri Suka Laras memang tidak ada buka stan atau persyaratan tertentu, bagi yang punya minat dan kemauan langsung saja daftar dan ikut latian bersama Suka Laras. “Kita memang tidak buka stan, tapi cukup gethok tular dari mulut ke mulut, karena kalau ada niat pasti ada kemauan,” kata Sedya . Layaknya komunitas yang lain, keberadaan karawitan Suka Laras juga mengalami pasang surut dalam perjalanannya. “Tetapi pada saat itu UIN Suka pernah mengadakan pagelaran wayang dengan mengundang dalang Ki Anom Suroto, ternyata mendapat tanggapan yang luar biasa di masyarakat UIN dan sekitarnya, dan mulai dari situlah karawitan Suka Laras ini mulai bangkit kembali,” kenang Sedya dengan mengulum senyum. Harapannya dengan manusia berlatih karawitan akan menjadi manusia yang berkarakter. Adanya karawitan Suka laras ini diharapkan menjadi sebuah sarana untuk mengaktualisasikan nilai-nilai budaya lokal, serta menggali budaya lokal itu sendiri karena pentingnya budaya lokal yang harus dilestarikan. “Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli 'Islam itu harus mengikuti perkembangan zaman, tetapi bukan berarti larut dalam zaman tersebut',” tutur Sedya diujung pembicaraan sore itu.[]

SLiLiT ARENA

| 13


OPINI

Sabtu, 12 Oktober 2013

Menyegarkan Kembali Pemikiran OPAK Oleh Rahmatullah*

A

pakah di luar negeri ada OPAK? Pertanyaan itu menggambarkan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap OPAK. Karena selama ini, yang terlihat dan terekam di benak calon mahasiswa atau bisa dikatakan mahasiswa baru adalah kesiapan mental untuk berhadapan dengan kakak senior mereka di kampus dan akan “dikerjain” habis-habisan. Tentu banyak alasan yang akan dikemukakan oleh para senior untuk menepis hal tersebut. Dan yang paling masyhur adalah untuk melatih dan menanamkan jiwa kekritisan dan kepekaan mahasiswa terhadap kondisi social saat ini. Akan tetapi, pertanyaannya sekarang adalah apakah menanamkan jiwa kekritisan dan kepekaan itu hanya bisa dilakukan dengan kekerasan dan senioritas? Yang lebih memprihatinkan lagi, tidak sedikit dari senior yang justru mencontohkan sikap yang kurang baik kepada juniornya. Inilah permasalahan yang harus dikaji kembali atau meminjam istilah Nurkholis Majid yaitu “menyegarkan pemikiran”. Kita butuh penyegaran pemikiran, untuk merefresh kembali paradigma yang salah terhadap implementasi OPAK. Kembali ke pertanyaan di awal, apakah di luar negeri ada OPAK? Kalau kita browsing internet, kita bias mengetahui bahwa di luar negeri pun ternyata ada OPAK. Hanya saja, dalam hal ini yang perlu ditekankan adalah implementasi OPAK nya yang tidak mengenal kekerasan dan senioritas. Peran OPAK sebagai wadah bagi mahasiswa baru untuk mengenal lingkungan kampus dan akademik benar-benar berjalan dengan kondusif. Berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia saat ini. Mayoritas universitas baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba untuk menunjukkan kehebatannya dalam mengelola OPAK. Hal ini dibuktikan dengan pengadaan atribut yang aneh dan unik bagi mahasiswa baru. Seolah-olah mahasiswa baru itu laksana anak ayam yang mau untuk disuruh apa saja. Tentunya hal ini sudah lari dari tujuan awal diadakannya OPAK. Oleh karena itu, yang perlu dirombak bukanlah peniadaan OPAK, tetapi peniadaan kekerasan ataupun senioritas termasuk pengadaan atribut-atribut yang tidak perlu. Disadari atau tidak, atribut-atribut tersebut hanya

14

|

SLiLiT ARENA

membuang-buang uang saja dan mengotori lingkungan. Kalau mau observasi, beberapa hari setelah OPAK selesai, sampah bekas atribut OPAK masih ada yang berserakan di halaman fakultas tertentu. Dilihat dari sudut pandang manapun, tentunya akan bertabrakan dengan nilai-nilai kebenaran. Termasuk juga sikap yang berlebihan dalam membuat yel-yel dan saling menjatuhkan antar fakultas, sehingga secara tidak langsung menanggalkan akhlak al-karimah sebagai pakaian kepribadian kita. Itu merupakan sekelumit catatan kelam OPAK yang harus dirombak. Meminjam istilah kaidah ushul fiqh yaitu “menjaga tradisi dulu yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Inilah sikap yang tepat bagi kita dalam menyikapi dilematis OPAK : pro dan kontra. Secara umum, gambaran OPAK yang ideal tanpa kehilangan dimensi ruh OPAK itu sendiri adalah dengan menanamkan sikap kritis dan analitis tanpa kekerasan dan senioritas. Banyak hal yang bisa menumbuhkan jiwa kritis mahasiswa, diantaranya melalui permainanpermainan edukatif yang cerdas ataupun dibuat sistem pelatihan seperti pramuka. Selain itu, jika kita berkaca pada negara-negara barat (misalnya di Amerika Serikat), sistem yang diberlakukan adalah sistem kekeluargaan. Mahasiswa baru disambut dengan suka cita laksana anak raja, bukan anak pembantu yang siap untuk “dikerjain”. Selain itu, mahasiswa baru juga diajak untuk berinteraksi dengan lingkungan kampus secara langsung guna mengenalkan wawasan wiyata mandala serta ruang lingkup visi misi kampus. Tidak ada ceramah ataupun orasi dari senior yang membuat kita menjadi mengantuk. Dan hal ini, sudah mulai diikuti oleh beberapa universitas negeri di Indonesia, Tentunya, untuk mengubah sistem ini juga tidak mudah. Pastilah akan ada perlawananperlawanan dari berbagai pihak, tetapi jika kita kembali ke pemahaman awal dari diadakannya OPAK, maka tentunya tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma yang salah tersebut. Selain itu, sebagai seorang muslim yang juga berkuliah di kampus yang berlabel Islam, sudah sepantasnya OPAK yang dilaksanakan tidak berbenturan dengan nilai Islam itu sendiri. Seperti mengulur waktu shalat terlalu lama. Hal ini sangat disayangkan, justru seharusnya dalam situasi OPAK inilah mahasiswa baru perlu ditanamkan sikap keislamannya. Seperti shalat tepat waktu secara berjama'ah, shalat sunnah dhuha,


Sabtu, 12 Oktober 2013

bertutur kata dan berpakaian yang sopan dan syar'i. Sehingga yang nampak dari implementasi OPAK itu mencerminkan ke-UIN-an yang selalu mengintegrasikan dan menginterkoneksikan keilmuannya. Tetapi, tentunya ada beberapa tradisi lama OPAK pula yang tetap harus dijaga. Seperti adanya kompetisi antar fakultas dalam rangka fastabiq al-khoirot. Hal semacam ini tetap harus dilestarikan dan dikembangkan, agar kedepannya juga bisa menumbuhkan mahasiswa yang berani mengutarakan pendapatnya sebagai wujud implementasi mahasiswa yang kritis analitis. Tidak kalah pentingnya, kedisiplinan yang dilaksanakan selama OPAK juga perlu dipertahankan, tetapi dengan tanpa

Logika Mayoritas

OPINI

kekerasan. Misalnya bagi mahasiswa baru yang terlambat datang diberikan sanksi yang mendidik tentunya bukan yang keras dan tidak mendidik. Dan akhirnya, kita semua bisa menimbang dan menakar, poin-poin apa saja yang terus bisa dilestarikan dan yang harus dirombak. Sehingga kedepan, OPAK menjadi sarana bagi mahasiswa baru untuk beradaptasi dengan lingkungan akademik kampus dengan nyaman tanpa ada rasa galau atau takut kepada senior. Sekaligus juga mencitrakan senior yang baik kepada juniornya.[] * Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

KANCAH

Oleh Januardi Husin S*

J

ika Anda sedang berada di kelas. Kemudian di dalam kelas tersebut tengah membuat suatu kesepakatan. Misalnya saja menentukan jam pengganti matakuliah yang dulunya sempat kosong. Setelah hitung punya hitung, disepakati hari, jam, dan tempat yang dianggap tepat. Namun kemudian Anda dan beberapa teman Anda (anggaplah dua atau tiga orang) memprotes begini, “Pak, saya tidak bisa karena bentrok dengan matakuliah yang lain.” Maka dosen Anda bilang begini, “Apa Anda punya solusi lain?” Anda pun akan bingung. Karena toh tidak ada waktu lain yang semua bisa sepakat. Mengikuti keinginan Anda berarti menelantarkan teman-teman Anda yang kebanyakan. Mengikuti temanteman Anda yang mayoritas berarti membuat posisi Anda mengharuskan untuk dikorbankan. Kemudian dosen tersebut akan memberi solusi begini, “Tidak apaapa Anda tidak masuk, atau terlambat masuk.” Anda pun lega. Seolah-olah itulah solusi yang paling tepat dan toleran. Ya. Memang begitu lah solusi yang paling adil. Tidak ada yang lain yang lebih memungkinkan. *** Jika Anda berjumpa dengan seorang teman Anda. Kemudian teman Anda tersebut menyampaikan berita begini, “Di pertigaan A ada kecelakaan. Satu orang tewas.” Belum sempat Anda menanggapi, datang teman Anda yang lain. Kemudian menyampaikan berita seperti ini, “Di pertigaan B ada kecelakaan. Lima orang tewas.” Anda dan teman Anda yang datang pertama akan

berpikir begini, “Di pertigaan B lebih mengerikan dan memperihatinkan daripada pertigaan A.” Sepakat punya sepakat, Anda dan kedua teman Anda akan menyumbangkan sejumlah uang kepada korban di pertigaan A dan B. Ternyata jumlahnya berbeda. Yang dipertigaan B ternyata menghasilkan sumbangan yang lebih besar. Ketika harus ditanya kenapa seperti ini. Anda dan kedua teman Anda tentunya tidak perlu menjawab dengan susah. Serempak akan bilang, “Yang di pertigaan B lebih membutuhkan sumbangan yang lebih besar.” Ya. Memang begitu tindakan yang tepat. Hanya orang yang (dianggap) tidak waras ketika bilang dipertigaan A lebih membutuhkan yang lebih banyak. *** Jika Anda seorang presiden. Kemudian datang menteri Anda dan menyampaikan kondisi darurat begini, “Dengan segala hormat pak pres. Di jalan A telah terjadi bentrok antar massa. Massa yang satu jumlahnya lima orang, dan yang lain jumlahnya limapuluh orang. Mohon diambil kebijakan pak pres.” Maka Anda sebagai kepala negara akan mengambil keputusan begini, “Dengan mempertimbangkan banyak hal. Saya perintahkan untuk menangkap dan mengamankan yang lima orang. Adili mereka dan tanyakan kenapa bisa begitu banyak orang yang menyerang mereka.” Dengan sangat perkasa menteri Anda akan menangkap kelima orang tersebut dan mengadili mereka. Sidang punya sidang. Mengahasilkan keputusan bahwa yang kelima orang tersebut terbukti bersalah.

SLiLiT ARENA

| 15


KANCAH

Kemudian seorang wartawan bertanya begini kepada hakim yang paham hukumm, “Pak hakim, kenapa kelima orang tersebut divonis bersalah?” Hakim tersebut akan menjawab, “Mereka meresahkan warga yang kebanyakan.” Wartawan mengejar kembali dengan bertanya, “Mengapa dianggap meresahkan?” Hakim menjawab begini, “Ya karena mereka berbeda dengan warga. Warga merasa risih, kemudian meminta mereka untuk pergi. Masak warga yang jumlahnya limapuluh orang yang harus divonis bersalah dan diminta untuk meninggalkan rumah mereka? Itu kan dzalim dan mudharatnya lebih besar.” Ya. Jawaban hakim benar dan masuk akal. Ringkasnya begini. Tentunya lebih bermanfaat mengusir yang lima orang daripada mengusir yang limapuluh orang. Satu sel muat untuk menampung lima orang daripada menampung limapuluh orang. *** Ketiga kondisi yang saya contohkan di atas menggambarkan keadaan kita saat ini. Bahwa sebenarnya logika yang kita pakai ialah logika mayoritas. Apakah salah? Tidak salah. Apakah adil? Pilihan yang diambil dalam keadaan di atas tepat dan yang paling adil. Tapi belum adil! Kok bisa? Karena bagi saya paling adil bukan berarti adil. Adil menaungi semuanya. Paling adil hanya menaungi yang paling banyak. Artinya masih ada pihakpihak yang dianggap tidak perlu untuk “diadilkan”. Kemudian diambilkanlah solusi yang terbaik bagi yang tidak mendapatkan perlakuan yang adil. Tapi yang terbaik tidak semerta-merta menjadi yang baik! Lah kok bisa? Karena yang baik ialah mereka mendapatkan yang adil. Bukan yang teradil. Kondisinya memang seperti ini kawan. Tapi jangan berkecil hati. Karena bukan hanya di UIN Suka dan Indonesia. Hampir di seluruh penjuru dunia juga begitu keadaannya. Dan anehnya, kondisi yang seperti ini ternyata disepakati oleh kita. Dilegalkan pula dengan hukum dengan undang-undangnya. Yang melanggar harus siap menerima hukaman. Atau paling tidak dikucilkan. Dengan tidak sadar kita terjebak pada kondisi yang sangat sempit. Kita terjebak pada keadaan dimana kita harus memilih yang terbaik, dan menganggap itulah hal yang baik. Pernah dengar hadits Nabi SAW yang mengatakan, “Jika terjebak pada hal yang buruk, maka

16

|

SLiLiT ARENA

Sabtu, 12 Oktober 2013

pilihlah yang paling baik.” Maaf-maaf saja. Dalam kondisi yang seperti saat ini, walaupun saya bukan ahli hadits, saya akan menolak logika seperti hadits di atas. “Loh? Berarti sampean kafir dong mas? Tidak percaya pada Nabi SAW,” kata Anda. Astaga. Ampuni hamba ya Tuhan. Tapi tak apalah dibilang kafir. Daripada harus mengikuti apa yang bertolak belakang dengan akal sehat. Paling tidak saya masih bisa bilang begini. “Yang terjadi saat ini kita bukan berada pada kondisi yang buruk, sehingga harus memilih yang paling baik. Tapi kita berada pada kondisi yang disepakati bersama sebagai sesuatu yang buruk. Maka diambillah suatu tindakan yang kita anggap paling baik.” Artinya apa? kondisi yang “Kepepet” ini sebenarnya kita sendiri yang membuat. Kita sendiri yang bersepakat. Logika mayoritas ini kita yang buat, kita yang patuh, dan kita pula yang mengamini. Kita tidak pernah berfikir (bahkan sekedar bertanya) kenapa hal ini bisa terjadi. Kita hanya patuh pada apa yang kita sepakati. Jika kita sepakat pada baju putih (biasanya yang putih itu lambang kebaikan), maka kita akan menyalahkan ketika ada seorang teman kita yang pakai baju hitam. Bila teman kita yang pakai baju hitam mengatakan, “Saya ini orang bener loh,” maka kita lebih memilih untuk mengusir teman kita itu daripada mendengarkan apa yang ia katakan. Malang sekali nasibnya. Jika saya dan abang saya (yang saya sayangi) berada pada satu ring. Dan kami diharuskan saling membunuh. Jika tidak, maka kami berdua yang akan mati dibunuh. Ketika abang saya kemudian berhasil membunuh saya, maka demi Allah, yang saya kutuk bukan abang saya. Tapi keadaan yang mengaharuskan kami untuk saling membunuh. Saya akan mengutuk siapa kira-kira “Dedengkot” yang mengatur ini semua. Kalau penonton yang menginginkannya, maka penonton yang akan saya kutuk. Walaupun mereka jumlahnya sangat banyak. Pernah menonton film kartun Spongebob? Tahu tokoh Squidward? Bagi saya dan beberapa teman saya, Squidward yang paling rasional dan paling pintar dari yang lain. Tapi aneh bin ajaib, karena justru ia yang digambarkan tokoh yang paling bodoh. Yang paling sering terkena kesialan pula. Nah. Persisi seperti itulah yang ingin saya sampaikan. Kenapa tidak bertanya dan menganalisis siapa yang buat keadaan seperti ini. Jika salah, kenapa kemudian tetap kita ikuti dan sangat patuh. Tepat seperti film Spongebob, kita hanya penonton. Cuma bisa tertawa melihat hal yang lucu. Cuma bisa menganggap


Sabtu, 12 Oktober 2013

Squidward gila ketika ia tertimpa kesialan. Terlalu berbelit-belit memang omongan saya tentang logika mayoritas ini. Mungkin juga terlalu banyak contoh dengan yang menggunakan kata “Jika”. Sehingga seolah hanya “Ngaur” saja yang terlihat. Tak apalah. Saya paham bahwa orang kita senang berkhayal (termasuk saya loh). Saya juga paham bahwa orang kita senang jika berada ada keadaan yang sangat nyaman (saya juga). Itu sudah kodratnya manusia. Akhirnya, Gus Mus pernah bilang begini: “Demi semua yang baik, maka halal lah semua sampai yang paling tidak baik.” Inilah logika mayoritas yang kita sepakati bersama.

Kritik Atas Sistem Yang saya salahkan dalam logika mayoritas bukan pelakunya. Bukan pula saya menyalahkan limapuluh orang yang telah mengusir lima orang. Tepat seperti ketika saya tidak menyalahkan abang saya yang telah membunuh saya. Namun yang saya serang ialah sistemnya, dan orang-orang yang telah menelurkan sistem seperti ini. Ingin rasanya saya mengubah sistem seperti ini. Ingin rasanya saya membalik dunia yang menurut saya ditata dengan terbalik ini. Ingin rasanya saya mengganti kata “teradil” menjadi “adil”. Tapi saya tidak tahu siapa yang telah mengatur ini semua. Siapa yang menambahkan imbuhan “ter-“ dalam kata adil. Jika semuanya bisa saya lakukan, maka tidak perlu ada lima orang yang diusir. Tidak ada mahasiswa yang tidak datang atau datang terlambat dalam matakuliah yang sesungguhnya bentrok. Juga tidak akan malang nasib korban meninggal satu orang karena harus menerima jumlah sumbangan yang lebih sedikit dari korban yang meninggal lima orang. Sungguh saya akui dan sadari. Mengharapkan apa yang saya katakan di atas memang terlihat utopis. Sama halnya ketika mengarapkan air di tengah gurun pasir yang gersang. Kemudian kita pun berdoa, “Ya Tuhan. Hanya Engkau yang dapat memberikan hamba air untuk melegakan tergorokan hamba.” Tapi saya juga malu untuk meminta kepada Tuhan. Karena saya telah sadar bahwa saya yang ingin ditempatkan di gurun pasir. Saya bisa saja memilih ditempatkan di tempat yang tropis, seperti Indonesia misalnya. Tapi saya lebih memilih terbuang di Arab. Lalu seorang teman saya yang membenarkan apa yang saya katakan di atas mengatakan begini, “Kalau begitu kita harus melakukan revolusi. Ubah dengan paksa keadaan yang seperti ini!”

KANCAH

Saya pun manggut-manggut. Membenarkan balik saran teman saya. kemudian kami berdua kerahkan massa. Terjadilah pemberontakan di sana-sini. Bakarbakaran ban, rumah, dan manusia. Korban tak terhitung lagi jumlahnya. Babak awal pertarungan kelas dimulai. Minoritas menantang mayoritas. Namun suatu ketika saya duduk dan merenung. Ya ampun. Dengan keadaan yang seperti ini sesungguhnya saya telah terjebak dalam logika mayoritas yang saya kutuk di atas (dan sangat sempit). Maka saya pun sangat-sangat menyesal. Saya menangis mengenang korban beserta darahnya yang tumpah. Jika saya boleh mengulang keadaan. Maka saya tidak akan mengiyakan pendapat teman saya. Sehingga tidak terjadi pemahaman revolusi yang sangat dangkal. Kemudian teman saya marah. Dengan gaya Gus Mus ia berkata, “Kau ini bagaimana? Lalu kita harus bagaimana?” Maka saya akan berlari meninggalkan teman saya tersebut. Karena jika dikejar-kejar pun, saya tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada solusi konkret yang dapat saya berikan. Perubahan hanya akan terjadi jika sudah ada kesadaran kolektif. Bukan individu atau kelompok. Jika tidak demikian, maka yang terjadi ialah pertarungan kelas, dan dengan sendirinya kita akan terjebak pada logika mayoritas. Yang bisa menghentikan pertumpahan darah antara saya dan abang saya di atas ring ialah panitia acara dan para penontonnya secara keseluruhan. Jika hanya seorang atau sebagian yang bilang, “Saya dan abang saya tidak boleh saling membunuh.” Maka saya dan abang saya tetap akan saling membunuh di atas ring. Sementara penonton sibuk saling menyalahkan. Karena ketika masih terjadi pertarungan antar penonton, saya maupun abang saya tetap tidak akan merasa aman dari ancaman untuk sama-sama dibunuh. Lain halnya jika penonton dan panitia acara sudah sepakat semua bahwa apa yang terjadi ialah salah. Saya dan abang saya tidak boleh saling membunuh. Maka kita tinggal mencari siapa “Dedengkot” sesungguhnya. Siapa yang punya ide untuk “Mengadu” saya dan abang saya. Temukan. Kemudian hancurkan! Sistem memang kejam kawan. Tapi kita harus sadar, “Yang buat sistem juga kita. Yang sepakat kita. Yang menjalankanpun tidak lain ialah kita sendiri. Tapi kenapa kita tidak bisa merubah sistem?” Mari bertanya![] *Mahasiswa semester VII Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga

SLiLiT ARENA

| 17


SASTRA

Sebuah Puisi

Diperbatasan Sebuah Negeri Oleh Pipit Pitoyo* Dulu, ketika kesederhanaan meniupkan kemesraan Ketika kebersamaan merindukan harapan Wajahmu luruh dipangkuan alam Karena ketulusan yang meniadakan beban Terbersit makna-makna kesungguhan manis dalam sapaan Waktu itu kerinduan adalah gejolak rakyat Pemimpin bangsa yang senantiasa dekat Namun langkah yang tak berketipak kini Adalah geliat setiap ambisi Menghentak jejak birokrasi yang beranjak Menegak dalam gejolak Sebuah negeri dongengkah atau lagu kesengsaraan? Teronggok letih di perbatasan Antara budaya yang tak lagi fakta Agama yang kehilangan keindahannya Dan demokrasi yang tak bisa terjaga Adalah nuansa kelam dalam kehampaan peristiwa-peristiwa Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan? Kalau perjalanan pupus diujung mimpi Dan para pemimpin yang jauh dari jiwanya Lapang didalam janji Sempit menuai arti Padahal kerinduan rakyat tiada pernah bertepi Menopang harap diperbatasan ini Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan? Kalau penguasa sudah tak lagi mampu mendengarkan bicara Telinganya tuli, matapun buta Maka harta, tahta dan wanita adalah sesungguhnya bencana Riwayat kelam diperbatasan Torehan politik dan kehidupan Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan? Kalau kemungkaran merasuk dikedamaian Dalam belai lembut narkoba yang menggoda adalah generasi dan sensasi meliuk dilema Tawuran massal yang asal Antar warga dan antar pelajar Menggetar setiap nalar Atau kekerasan ormas yang menyesak nafas Tercuar sanksi nanar tatap-Mu

18

|

SLiLiT ARENA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Para koruptor yang kian berlagu Dengan dalil-dalil kemunafikannya yang memburu Adalah bangsa yang terkapar letih dalam sejarah Mendedah jiwa-jiwa terengah Pada noktah zaman yang basah Dan kemiskinan yang gamang Jua ketertinggalan yang sungsang Sunyi dalam kelalaian para pejabat Para penegak hukum dan penikmat hukum Jaksa agung yang tak agung Walau ceramahnya laksana kultum Namun karena kebijaksanannya membuatnya jadi terhukum Sedang lawyer ataupun pengacara Khotbahnya laksana burung manyar yang camar Tapi ternyata slogannya “maju tak gentar membela yang bayar� Ini karena demoralisasi telah mengusung moralitas pada asa yang tatas Racau dan terhimpit di ruang-ruang kesombongan yang tak berlingkungan Sementara kenyataan bagaikan system feodalisme Karena hilangnya jiwa nasionalisme Bertindak tanpa berjuang Berjuang menjaring bayang-bayang Karena ketulusan yang teronggok Menorehkan kebimbangan Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan? Kalau perbatasan adalah lagu setiap penantian Menguntai asa di negeri beribu wacana Terukir sepi sosok-sosok pencari makna Teoronggok dan makin terpojok Sebuah perbatasan yang menggetar sukma Mengurai pandang Menyesak dada Bila saksikan saudara-saudara teronggok dalam dilema Dalam berbagai pertimbangan yang tak selesai Menimang lecutan waktu Melaras nalar tercumbu Karena harap yang tak berlaku Merasakan beratnya ongkos pendidikan Meski dalam langkah telah dilafalkan Namun keringat yang membasah tak selalu jadi sentuhan Akhirnya hanyalah teka-teki sebagai jawaban Lalu yang bersimpuh dalam larutnya harap Dalam cerita dan kekosongannya Dan dalam kelelahannya Derita sakit yang merakit Terhimpit ekonomi yang menjepit Sungguh takdirpun jadi berpalit


SASTRA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Sebuah Cerpen

Dimanakah arti keadilan? Jika mata terasa dipermainkan oleh setiap keadaan Dimanakah arti hak asasi? Jika hati selalu memberontak oleh setiap aksi yang menusuki Dimanakah arti kemerdekaan? Jika kebebasan semakin membingungkan oleh aturan-aturan yang disediakan Dimanakah arti kesejahteraan? Jika langkah kehidupan semakin menepis ingatan karena nafsu serakah yang tak pernah terpenjarakan Dimanakah arti kebijaksanaan? Jika suara rakyat tak pernah didengarkan Dimanakah arti birokrasi? Jika hukum selalu bisa dijual dan bisa dibeli Dimanakah arti pemimpin? Jika penyuapan, korupsi dan manipulasi semakin menjadi-jadi Dimanakah arti beriman? Jika agama hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan Tuhan dibohongi Agama didustai Dan hukum dikhianati Demokrasi bahkan mencari-cari jati diri Transparansi hanyalah sebuah fantasi Beginilah jerat kesetiaan Tegar dalam keangkuhan Gontai dalam kebenaran Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan? Kalau perjalanan yang jauh adalah kesungguhan Adalah hati dan perilaku Dalam iman dan jiwa seribu Namun perbatasan yang kelam Rakyat senantiasa mengurai dendam Karena kemesraan yang terjalin Tak terbayanag jiwa-jiwa para pemimpin Maka kecintaan, pengayoman dan perhatian pada peristiwaperistiwa sosial Serta kemanusiaan juga tanggungjawab kesejahteraan adalah makna awal perbatasan Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan? Perbatasan adalah lagu realita yang berkumandang disetiap dada rakyat dan pemimpinnya Karena perjalanan adalah kebenaran dan ketulusan dalam juang dan dalam cinta Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan? Kalau kesungguhan adalah tembang-tembang jelmaan ternyata. Skp, 17 Agustus 2013. *Penulis adalah seorang mendiami sudut sebuah desa di sudut Magelang yang memilih bergelut dengan cangkul dan bercengkrama dengan gembala.

Kaki Telanjang Oleh RM Bayu

S

ore pukul 17.00. matahari menghilang di barat. Langit mulai menguning. Dan beberapa kelelawar beterbangan di udara. Tempat ini mulai lengang. Kendaraan bermotor berangsur-angsur meninggalkan area parkir. Dari kejauhan, beberapa orang singgah di ATM sebelah warung. Setelah itu, juga bergerak pergi. Lampu-lampu neon mulai dinyalakan. Di ruangan ini, kursi dan meja makan, semuanya kosong. Di dapur belakang, juru masak membereskan alat-alat dapurnya. Sementara itu, yang tertinggal di ruangangan ini hanya kita ber-dua. Entah setan dari mana yang membuat kita masih menahan duduk berlama-lama disini. “Bagaimana kamu melihat, orang seperti itu?” ia meneruskan pembicaraan. “Nampaknya, jarang sekali orang yang mau melakukan hal-hal konyol seperti itu. Mereka semua bisa kita sebut sebagai orang-orang yang ambisius. Coba bayangkan saja, berapa banyak tenaga yang harus di keluarkan untuk itu. Tetapi toh buktinya mereka semua masih mau mempertahankanya sampai sekarang,” jawabku. Gelas putih yang ada di meja, menyisakan ampas kopi. Asap putung rokok, menari-nari gemuali. Di hadapan kami, air putih hanya tinggal setengah gelas kecil. Lalat-lalat sesekali datang dan pergi di piring sisa makanan. Angin malam berangsur-angsur membelai ujung-ujung rambut. Ia mengenakan jaket kulit berwarna hitam, miliknya. “Ya, aku setuju denganmu. Tetapi aku lebih setuju mengatakan mereka adalah orang-orang gila yang mau melakukan apa yang orang lain tidak mau melakukan,“ katanya kemudian. “Belum tentu mereka itu gila. Orang-orang di luar sana itu mempunyai jalan. Begitu juga dengan kita. Bisa jadi, kita yang dianggap “gila” oleh mereka. Mereka tidak mau jikalau dikatakan “katrok”, dan kitapun tidak ingin jikalau dikatakan begitu.” Hukum alam memang kejam, katanya kemudian. Manusia harus memilih ini ataupun itu. Semuanya sama saja. Sementara masing-masing dari kita diberikan kebebasan untuk memilih jalan, katanyanya lagi. “Itu bukan sesuatu yang kejam,” bantahku. Setiap perbuatan selalu memakan korban. Entah itu kecil atau besar. Semua yang kita lakukan, seolah dengan fikiran

SLiLiT ARENA

| 19


SASTRA

Sebuah Cerpen

yang benar. Itulah “penyakit”. “Penyakit? Kenapa kau mengatakan seperti itu.” Keningnya mengkerut. Seketika badanya tegap. Kaget. Kedua matanya berkedip lebih cepat dari sebelumnya. “Ya, penyakit,” ucapku tegas. “Satu-satunya penyakit yang belum bisa disembuhkan oleh dokter medis,” aku terkekeh. “Ah, kau pandai membuat “bayolan”, “ ucapnya dengan nada kecewa. “Mana mungkin penyakit tidak ada dokter yang bisa menyembuhkan. Sekarang obat-obat yang ada di negeri seberang lebih ampuh dan higenis. Tidakkah kau mendengar kabar itu,” katanya dengan semangat. “Setiap manusia diciptakan dengan “penyakit diri”. Itupun kita tak akan bisa menolak. Kita hanya bisa berlindung di balik raut wajah yang palsu. bayangbayang. Ia tidak bisa tersentuh sekalipun kita telah berusaha sekuat tenaga. Begitulah penyakit yang aku maksudkan,” balasku pelan. Ia menghela nafas panjang. Termenung. Dari sakunya ia kelurkan satu bungkus rokok. Di bawah meja, beberapa putung rokok mengotori lantai. “Sekarang ini orang lebih suka berdandan modis. Baik perempuan atau laki-laki. Entah tua, ataupun muda. Kemana-mana orang lebih mudah karena serba ada. Lalu, dimana penyakit itu?“ rupa-rupanya, ia masih sangat penasaran. “Ya. Di situlah letak penyakitnya. Aku sendiri mempunyai kata yang tepat untuk mewakili itu.“ “ apa?” “Penyakit Gengsi,” kataku “Mereka butuh keseimbangan. Dan mau tidak mau, mereka harus melakukan hal itu,” aku melanjutkan. Azan magrib berkumandang. Sahut menyahut menggema di udara. Tak lama, juru masak datang dari belakang mengambil piring dan gelas kotor. Dilemparnya senyum kepada kami, dan kemudian menghilang di balik pintu belakang. “Kenapa kau mengatakan hal itu sebagai penyakit,” tanyanya lagi. “Manusia semacam itu bisa dikatakan sakit jikalau ia terlepas dari masalah kehidupan. Coba bayangkan saja, mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak ada ujungnya,” Kataku. “Tetapi, bukankah semua jalan itu tak pernah ada ujungnya?” “Memang. Aku sendiri berfikir, jalan memang tak

Sabtu, 12 Oktober 2013

pernah ada ujungnya. Semu. Tetapi, bukan berarti manusia seperti itu harus lepas dari kehidupan.” “Apa maksudmu?” “Pada hakikatnya, kita diciptakan untuk saling mengenal satu sama lain. Saling membantu, dan saling bekerja sama. Namun kemudian, penyakit itu datang. Penyakit yang membut manusia tidak lagi mengenal satu sama lain. Ia lebih suka mengenal dirinya sendiri. Dan ia lebih suka mempercantik dirinya.” “Ya, aku mulai mengerti sekarang. “ “Tetapi, aku tidak yakin jikalau kau mengerti,” aku terkekeh. “Setidak-tidaknya aku sedikit mengerti.” Balasnya kecewa. “Orang-orang yang digerakan oleh kesadaran, barangkali lebih paham daripada kamu,” kataku lagi. “Ini terlalu singkat untuk aku lebih mengerti dari sebelumnya,” bantahnya. “Barangkali esok atau lusa, kamu akan mengerti. “ Juru masak itu datang lagi. Kali ini ia tidak menggunakan baju dinasnya lagi. Nampaknya, ia telah bersiap untuk menutup warung ini. Dan benar saja, ia mendekat dan berkata : “Mas, warungnya akan saya tutup.” Kami mengangguk seraya membereskan barang bawaan yang tercecer. Kami telah bersiap pergi. Namun ia masih terdiam seribu bahasa. Entah apa yang ia fikirkan sekarang ini. Jarum jam mengarah pukul 18.30. “Sebentar lagi akan isya,” katanya. Dan aku meng-iyakan. Setelah barangbarang selesai dibereskan, kami beranjak pergi. “Terima kasih mbak,“ teriakku kepada juru masak itu. Dari kejauhan, ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Tepat di depan pintu gerbang, kita berpisah. Ia menuju barat, dan aku ke timur. Hari rupanya telah gelap. Namun lampu-lampu di pinggir jalan memancarkan cahaya kemilauan. Ah, waktu selalu saja bergerak cepat sekali. Sementar aku tidak bisa berbuat apa-apa. Rasanya seperti awan yang bergerak tanpa tujuan. Ya. Barangkali hidup memang seperti ini, kataku dalam hati. *Mahasiswa semester VII Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga

Redaksi SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan cerpen atau puisi.Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Cerpen/Puisi_SLiLiT ARENA

20

|

SLiLiT ARENA


PUSTAKA

Sabtu, 12 Oktober 2013

MELAWAN�JIHAD� PENEBAR TEROR Oleh M. Nur Aris Shoim

B

uku ini dengan memakai teori filsafat Ludwing Wittgenstein, berusaha menemukan akar-akar terorisme, yang antara lain terwujud dalam pola permainan bahasa teror yang khas. Dalam buku ini, Hendropriyono, mantan Badan Inteljen Negara (BIN) menyatakan, hanya lewat kajian filsafat, kita bisa menyusun metode, strategi dan taktik yang tepat dalam usaha menumpas terorisme. Kajian sejarah yang juga dilakukan menunjukkan, terorisme juga tak cuma kenal di dunia Islam. Gerakan terorisme global juga ada di antara kaum fundamentalis agama-agama samawi lain, termasuk Yahudi dan Kristen. Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan indikasi nyata sebagai lahan subur dan strategis bagi tumbuh berkembangnya segala aktifitas yang berbau terorisme. Tak sulit rasanya melihat kenyataan tersebut karena para teroris tak pernah absen dalam melakukan aksi-aksinya. Selain karena faktor pemahaman keagaman yang dogmatis-tekstualitas atau literal-skripturalis yang menyimpang, kemiskinan secara ekonomi dan prilaku kaum elit penguasa yang seenaknya saja mempertontokan kebobrokan moral di depan publik, yang menyulut kekekecewaan massal, menjadi pemicu semakin nekatnya aksi-aksi terorisme yang belakangan ini marak terjadi. Kasus bom bunuh diri di masjid Ad-Dzikro di Cirebon, beberapa waktu lalu, bukan saja akibat dari keprustasian para teroris melihat situasi negeri ini yang semakin kacau balau. Aksi tersebut sekaligus ingin menunjukkan eksistensi mereka bahwa “jihad� di negeri ini belum selesai bahkan semakin menantang bagi para pelakunya. Melihat sepak terjang para teroris yang bergerak seperti hantu, setidaknya ada tiga tesis yang berkembang mengenai basis terorisme di Indonesia. Pertama, basis ideologis terorisme berada di Solo, Jawa Tengah. Asumsi ini berdasarkan banyaknya gerakan

TERORISME Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam Penulis AM Hendropriyono Penerbit PT Kompas Media Nusantara Cetakan I,II Oktober 2009, November 2009 Tebal XXXII + 488 halaman

fundamentalisme Islam yang lahir di Solo dan juga tokoh-tokohnya. Kedua, basis ideologi terorisme di Yogyakarta. Asumsi ini mengacu pada keterbukaan kota ini terhadap penerimaan beragam kultur dan agama. Ketiga adalah Jawa Barat. Alasan ini mengacu pada banyaknya pengangguran dan tingginya angka kemiskinan, padahal dekat dengan ibu kota Jakarta sebagai pusat metropolitan yang megah sekaligus sebagai roda ekonomi. Tesis di atas tidaklah salah, juga tidaklah dapat dibenarkan seluruhnya. Perlu penelitian dan pengkajian lebih jauh mengenai basis ideologis para teroris tersebut. Penelitian selama ini menunjukkan bahwa akar terorisme mendapatkan lahan yang subur justru berasal dari lapisan paling bawah (grass root) di negeri ini. Yogyakarta, Solo dan Jawa Tengah, pada umumnya merupakan basis ideologis gerakan fundamentalisme yang cukup solid. Terlebih didukung oleh beberapa tempat latihan yang cukup strategis seperti di hutan Tawang Mangu atau hutan di bawah kaki gunung merapi. Sementara di Jawa Barat, Jakarta dan Bali, merupakan wilayah aksi terorisme yang kerap menjadi lahan aksi para teroris. Bahkan ada indikasi bahwa, Yogyakarta yang kini sedang bergiat melakukan pembangunan pasarpasar modern, merupakan target dan sasaran empuk para teroris. Hal ini mengacu pada semakin berubahnya tata ruang kota dan pergeseran kultural di Yogyakarta beberapa tahun terakhir ini. Walau pergerakan terorisme terus mengalami perubahan taktik dan strategi, pelatihan di Aceh dan perampokan salah satu bank di Medan, Sumatera Utara, merupakan gerak gerilya para teroris untuk beradu taktik

SLiLiT ARENA

| 21


PUSTAKA

dan strategi dengan aparat keamanan. Fakta ini mengacu pada satu pandangan bahwa, disiang bolong dan dikeramaain kota sekalipun, para teroris nekat melakukan aksi perampokan dan bom bunuh diri. Strategi ini merupakan skenario “jihad” gerilya kota. Artinya, hampir di seluruh wilayah di negeri ini, para teroris mengembangan jaringan sel pergerakan dan menjadikannya ladang jihad yang siap meledak kapanpun waktunya dan dimanampun tempatnya. Lapisan bawah inilah yang menurut hemat penulis merupakan lapisan yang jarang dimasuki oleh para peneliti akar gerakan fundamental keagamaan di negeri ini. Para pengamat dan peneliti terkesan asik menyimpulkan dari sudut pandang fenomenologi, disamping lemahnya peran intelejen. Padahal, lapisan inilah yang paling strategis karena bersentuhan langsung dengan jaringan yang sebenarnya. Ikatan emosional dan spiritual yang kuat menjadikan gerakan bawah tanah terorisme di negeri ini cukup solid dan kuat. Tidak bisa disimpulkan dengan mudah bahwa gerakan mereka telah lemah hanya karena satu bom bunuh diri yang sporadis. Gerakan mereka tidaklah seperti yang kita bayangkan. Kehidupan permukaan para pelaku teroris yang sering terlihat biasa-biasa saja, layaknya kehidupan masyarakat biasa dimana tempat mereka berbaur. Tetapi dalam perbauran itulah, meminjam istilah Giddens, terjadinya transformasi nilai dan ideologi. Bahkan keluarga dekat para pelaku, pun terkadang tak mengetahui kalau salah satu diantara keluarga mereka adalah pelaku teroris. Setidaknya ada beberapa kesimpulan yang perlu kita diskusikan melihat gerak dan perubahan taktik para teroris di negeri ini. Pertama, merekrut dan menempa orang-orang seperti Amrozi dan Imam Samudra paling tidak membutuhkan kurun waktu 20 tahun atau lebih. Ini mengacu pada UU pergerakan fundamentalisme di Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin, JI dan HT, yang kemudian di copi paste oleh MMI masa kepemimpinan Abu Bakar Ba'asyir dan sekarang sempalannya, Jamaah Ansarut Tauhid (JAT), serta HTI, yang berkeinginan mendirikan negara yang berideologi Islam. Tentu saja waktu yang tidak singkat menjadikan seorang Amrozi dan Imam Samudera menjadi seorang militan sempurna, yang oleh karib kerabat mereka disebut sebagai ”mujahid Islam” atau “pejuang Islam”. Amrozi dan Imam Samudera adalah produk jihad teroris jilid pertama dari misi perjuangan mengusir orang-orang asing seperti AS, Inggris atau Australia, beserta korporasinya yang menganut paham liberal, sekuler dan kapitalistik dari Indonesia, dan lebih luas, di Asia Tenggara. Bayangkan, betapa beraninya Amrozi dan Imam Samudera

22

|

SLiLiT ARENA

Sabtu, 12 Oktober 2013

menghadapi bedil kematian tanpa rasa khawatir sedikitpun. Sulit rasanya menandingi militansi seperti itu. Sementara kekokohan pendirian mereka yang berani mati mempertahankan ideologinya, membuat ketir nyali aparat-aparat kita yang telah susah payah menangkap dan meringkus mereka, terlebih aparat kita hanya mengandalkan loyalitas kepada bangsa-negara dengan gaji yang tidak sebanding dengan resiko yang sewaktuwaktu menimpa mereka, seperti cacat bahkan kematian. Kedua, pasca tewasnya Amrozi, Imam Samudera beserta Azhari dan Nurdin M Top, dua gembong arsitek teroris yang terkenal lihai dari Malaysia. Regenerasi teroris telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya, yang tak kalah militannya dengan para teroris-teroris top di atas. Penempaan generasi ini pun tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang sudah ditempa hampir 10 tahun lebih. Tidak sulit mencari pengganti Amrozi dan Imam Samudera dalam tubuh organisasi teroris. Generasi teroris ini pun semakin termotipasi dan menjadikan ”tokoh-tokoh mujahid” di atas sebagai inspirasi kharismatik perjuangan mereka selanjutnya. Posisi Amrozi dan Imam Samudera diperebutkan oleh generasigenarasi teroris tersebut karena dianggab menempati posisi istimewa/prestisius. Sementara generasi lapis ketiga, generasi belia yang ditempa dalam kurun waktu lebih kurang 5 tahun atau lebih, sebagai pengganti lapisan kedua yang akan mencapai kematangan emosional dan spiritualitas untuk menempati posisi ”top mujahid” dilapisan pertama yang telah di tinggalkan oleh Amrozi, Imam Samudera, DR. Azhari, Nurdin M. Top, dan pentolan teroris top lainya. Reproduksi bibit-bibit teroris ini sangatlah terorganisir dan sistematis. Sulit rasanya meraba keberadaan mereka ditengah situasi bangsa yang tengah mengalami sakit. Kondisi karut marutnya wajah negara kita justru memotifasi kembali ambisi gerakan terorisme melakukan aksi-aksinya yang terkadang tidak terantisipasi tempat dan waktunya. Karena kondisi demikianlah yang menjadi tempat ideal berkembangnya sel-sel terorisme. Kewaspadaan melihat secara peka lingkungan sosial terdekat kita merupakan modal penting agar kita tidak lagi kecolongan. Kelalaian sedikit saja akan berakibat fatal yang dapat menimbulkan korban jiwa dan teror ketakutan. Yang pasti, terorisme secara sosiologis merupakan batu ujian kokoh tidaknya fondasi keberbangsaan maupun keberagamaan kita dewasa ini. *Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga


KALEIDOSKOP Mapalaska Adakan Fun Raffting Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mapalaska UIN Sunan Kalijaga akan menyelenggarakan kegiatan kepecinta alaman dan fun raffting akhir Oktober 2013. Acara yang bertema “Lestari alamku, damai hatiku” tersebut akan diselenggarakan di sungai Elo, Magelang, Jawa Tengah. Rian Hermawan, ketua kegiatan fun raffting mengungkapkan acara akan diselenggarakan selama dua hari satu malam. Hari pertama akan diisi dengan materi kepecinta alaman, Out bond, dan malam sarasean. Hari kedua diisi dengan fun raffting. Pendaftaran akan dibuka pada 1 Oktober 2013 di secretariat UKM Mapalaska, lantai satu gedung student center dengan membayar Rp 80.000,-. Jumlah peserta akan dibatasi hingga 70 orang dan mendapat fasilitas berupa transportasi truk, makan, stiker, dan water guide (pemandu). Rian Hermawan mengatakan, “Kita ingin memberi pengalaman bahwa kegiatan kepecinta alaman itu tidak hanya naik gunung. Ada raffting, caving, rock clambing, mountenering, lingkungan hidup, dan pengabdian pada masyarakat.” Ia juga menambahkan bahwa tidak ada syarat khusus untuk mengikuti Fun Rafting, “Tidak bisa renang pun tidak apa-apa, yang penting sehat jasmani rohani.”[] Hartanto Ardi Saputra

update terus berita kampus di

lpmarena.com Portal Berita UIN Sunan Kalijaga

Orang Indonesia Terbuka Dalam Hal Agama Melalui Cross Cultural programme (CCP) yang diselenggarakan oleh Kemenlu RI, tujuh mahasiswa Universitas Wroslaw Polandia, berkunjung ke UIN Suka selama satu bulan, 8 September-7 Oktober 2013. Program tersebut bertujuan sebagai interaksi calon pemimpin untuk belajar harmoni agama dan budaya di Indonesia. Selama di UIN Suka, mahasiswa jurusan Filologi (ilmu terjemah teks kuno), yang terdiri enam wanita dan satu laki-laki itu ditampung di gedung Clup House. Monika Chojnacka, salah satu mahasiswa Polandia, merasa senang selama berada di UIN Suka, “Karena orang Indonesia terbuka dan tidak hanya ingin tahu kami, tetapi juga ingin tahu tentang Negara Polandia,” ujarnya, yang saat diwawancarai diterjemahkan oleh Rifki Fairuz. Sebelum datang di Indonesia, Monika memiliki pandangan bahwa dengan kemayoritasan penduduk Negara Indonesia beragama Islam, maka sedikit dialog antar umat beragama. “Kami terkejut ternyata dialog tentang agama antar umat beragama di Indonesia itu sangat terbuka. Justru di Polandia yang mayoritas beragama nasrani bila berdialog tentang agama sangat sensitif atau tabu.” Monika juga memberi masukan terhadap pendidikan di UIN Suka yang kurang mempelajari budaya Indonesia. “Kenapa mahasiswa UIN lebih dijejali dengan politik, ekonomi, sains, tetapi tidak kebudayaan, musik , bahasa dll.”[] Hartanto Ardi Saputra

UIN Disulap Kalijaga Creatif Festival (KCF) tahun ini bertema “Unit Kegiatan Mahasiswa Sebagai Ruang Pengembangan Produksi Pengetahuan”, telah diselenggarakan pada 7 Oktober, dan akan berakhir tanggal 12 Oktober 2013, bertempat di panggung demokrasi dan multy purpose. Momen KCF tahun ini terdapat berbagai hal yang berbeda dengan sebelumnya. Salah satunya stan pameran UKM menggunakan bambu dan anyaman daun kelapa. “Kalau di kemasannya kami mencoba membikin semenarik mungkin. Ya bahasaku, akan aku sulaplah lingkungan UIN Sunan Kalijaga. Stannya itu kita tidak pakai tenda , tapi kita bikin seperti gasebo, terbuat dari bambu dan anyaman welid (daun kelapa),” ujar Abdul Waris, Ketua KCF tahun ini.[] Hartanto Ardi Saputra

1.979 Mahasiswa Minati UKM* Pada tahun ini jumlah mahasiswa yang meminati Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sebanyak 1979 orang. Kebanyakan UKM masih membuka pendaftaran anggota baru. Hanya ada dua UKM yang telah menutup pendaftaran, yaitu LPM ARENA dan Korps Sukarela (KSR) Palang Merah Indonesia. UKM Mapalaska belum membuka pendaftaran. Sedangkan teater ESKA tidak membuka perekrutan anggota baru pada tahun ini. Selengkapnya, berikut jumlah mahasiswa yang mendaftar di setiap UKM: Pramuka 180 Orang; Korps Dakwah UIN Suka 50 Orang; Studi Pengembangan Bahasa Asing 350 Orang; ARENA 100 Orang; Inkai 134 Orang; Olahraga 150 Orang; Cepedi 55 Orang; Orkes Gambus Al-Jamiah 30 Orang; Al-Mizan 346 Orang; Jemaah Cinema Mahasiswa 100 Orang; PSM Gita Savana 350 Orang; KSR 150 Orang; Taekwondo 43 Orang; dan Menwa 21 Orang. [] Hasbullah Syarif

Redaksi menerima tulisan berupa

Aspirasi Pembaca Opini Esai Cerpen Puisi Tips dan Trik

*data diambil pada tanggal 8 Oktober 2013

SLiLiT ARENA

| 23


Iklan Layanan Masyarakat ini dipersembahkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa ARENA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.