SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
EDISI JANUARI 2016
www.lpmarena.com
DAFTAR ISI
SLiLiT
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
ARENA Jelas & Mengganjal
UNIVERSITARIA
6
Jadwal Ganda Dosen Membuat Mahasiswa Terlantar
8
Dianggap Mangkir, Dosen FISHUM Terancam Dipecat
10
Wacana Pergantian Sistem KKN Posdaya di 2016
12
Sistem Keamanan Minim, UIN Rawan Maling
Absennya dosen di kelas karena jadwal ganda merugikan beberapa mahasiswa yang mengeluhkan kurangnya memahami materi kuliah. Buruknya sistem perizinan dalam pengembangan kompetensi dosen, membuat Ahmad Uzair Fauzan, salah satu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) yang mendapatkan beasiswa studi Doktoral di Australia terancam dipecat. Banyak permasalahan pada pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) 86 periode 2015. Sistem KKN Integrasi-Interkoneksi tematik Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) dianggap tidak lagi mampu mengakomodir pelaksanaan KKN UIN Sunan Kalijaga. Sistem keamanan yang belum maksimal membuat mahasiswa merasa khawatir terhadap keamanan di lingkungan kampus. Kenyataannya, Selama ini banyak kasus kehilangan terjadi di UIN Sunan Kalijaga.
EDISI JANUARI 2016
www.lpmarena.com
DITERBITKAN OLEH: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PELINDUNG Rektor UIN Sunan Kalijaga PEMBINA Abdur Rozaki, S.Ag, M.Si PEMIMPIN UMUM Sabiq Ghidafian Hafidz WK. PEMIMPIN UMUM M. Faksi Favlevi SEKRETARIS UMUM Mutiara Nur Said BENDAHARA Anis Nur Nadhiroh DEWAN REDAKSI Ulfatul Fikriyah, Ahmad Jamaludin PEMIMPIN REDAKSI Rifai Asyhari REDAKTUR ONLINE Lugas Subarkah, Isma Swastiningrum
EDITORIAL 5 Bangku Kosong
LEBIH DEKAT 14 Asa P3S Membangun Sekolah Rakyat Bantaran Sunga
KANCAH 16 Manusia Retak:Produk Gagal Reifikasi
SASTRA
19
CERPEN|Tana PUISI|Sajak-Sajak
Sangkol Kurnia Hidayati
CATATAN KAKI 23 Ihwal Kantin di Bawah Masjid
OPINI 25 Perlukah Program Bela Negara? SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan masyarakat akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan maupun artikel ke alamat redaksi LPM ARENA. Pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan, bisa menuliskan hak jawabnya, atau datang langsung ke kantor redaksi guna berdiskusi lebih lanjut WARTAWAN SLiLiT ARENA DIBEKALI TANDA PENGENAL DALAM SETIAP PELIPUTAN DAN TIDAK MENERIMA AMPLOP DALAM BENTUK APAPUN
REDAKTUR SLiLiT Robandi REDAKTUR BAHASA Nurul Elmi STAF REDAKSI Masodi, Nisa, Oli, Riza, Agus, Ifa, Kartika, Syntia, Miftah, Zidni, Dewi, Laila, Muja, Hakim, Wulan, Rouf, Ida, Fatih ARTISTIK Muh. Ainun Najib, Lisa Masruroh LUKISAN SAMPUL MUKA Jupri Abdullah Judul “Diam, Jangan Banyak Bicara” 7,5 x 100 cm, akrilik pada kanvas, 2015 FOTOGRAFER Abdul Rohim DIREKTUR PERUSAHAAN & PRODUKSI Yazid Maulana KOORDINATOR PUSDA Imroatus Sa'adah KOORDINATOR JARKOM Ahmad Najib KOORDINATOR PSDM Khoirul Amri Kantor Redaksi/Tata Usaha Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta 55281
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
SURAT PEMBACA
Kampus Putih Ingin Hijau UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dijuluki “Kampus Putih”. Namun, seputih apapun kampus itu, keberadaan taman yang hijau pastinya menambah keindahannya. Yang satu ini perlu dilihat ulang, apakah UIN Sunan Kalijaga memiliki taman? Tidak. Keberadaan taman sebagai salah satu objek yang memperhias kampus sebenarnya juga dapat memberi suplai oksigen bagi lingkungan kampus. Di tengah teriknya matahari dan cuaca seperti saat ini, taman menjadi hal yang sangat perlu di”ada”kan. Selain dua fungsi itu, keberadaan taman yang indah sekaligus akan memperindah “Kampus Putih” dan dapat memberi daya tarik tersendiri bagi masyarakat kampus. Hingga kemudian bisa memiliki “nilai jual” yang bertambah darinya. Memang UIN Sunan Kalijaga telah memiliki sarana-prasarana yang berupa gazebo beserta rumput-rumput yang tidak seberapa luas dan indahnya. Tapi itu tidak layak disebut taman. Sebab, objek tersebut tidak menyejukkan apalagi menyegarkan. Jika saja kampus yang berjuluk “Kampus Putih” ini juga memperhijau lingkungannya dengan tanaman-tanaman disalah satu area kampusnya, betapa indahnya “Kampus Putih” yang diidam-idamkan banyak orang. *Khozin Muhsinul Asrori, mahasiswa semester I jurusan Manajemen Pendidikan Islam
Sistem Informasi KuDet (Kurang Up-Date) Di tengah masyarakat (kampus) yang lebih suka mengakses media online, keberadaan informasi melalui media online sangat memberikan pengaruh yang luar biasa. Facebook, Twitter, BBM, dan seterusnya memberikan informasi terbaru bagi jemaat media online. Kampus sebagai salah satu ruang transformasi informasi dan pengetahuan, mau tidak mau harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih ini. Hingga kemudian muncul yang namanya sistem informasi akademik, administrasi, dan yang meliputinya. UIN Sunan Kalijaga sendiri telah memiliki sistem informasi yang dioperasikan melalui media online. Dengan adanya fasilitas layanan ini, diharapkan masyarakat (kampus) dapat mengkases informasi terbaru di lingkungan kampus maupun yang bersangkutan dengan akademiknya. Namun, untuk informasi selain akademik, sistem layanan online UIN Sunan Kalijaga ini dianggap kurang up-date (KuDet). Sebab informasi yang ditampilkan selalu itu-itu saja, tidak ada pembaharuan sesuai dengan wacana atau isu yang terhangat saat ini. Hal ini sama halnya dengan radio rusak yang tidak ada gunanya dalam memberikan informasi. Apalagi, sebagai kampus yang cukup ternama ini, seharusnya layanan online menjadi salah satu aspek yang diunggulkan serta dimajukan dengan bentuk realisasi adalah terjaminnya aktualitas informasi yang disampaikan. *Ajid Fuad Muzaki, mahasiswa semester III jurusan Ilmu Alqur'an dan Tafsir
Selamat Bergabung Anggota Magang
JALAN MASIH
PANJANG
Aziz, Afin, Agung, Ajid, Andisca, Aulia, Dian, Ferdy, Hasan, Hidayatul, Ilham, Laili, Rohmah, Lana, Faqih, Wildan, Tutus, Zaenudin, Nasar, Fahmi, Nurul, Ratna, Rodi, Adit, Ni’am, Ulfa, Wahyu, Amanda, Asvari
Lembaga Pers Mahasiswa
AR EN A Surat untuk redaksi hendaknya dilengkapi biodata lengkap, fotokopi KTP/KTM yang masih berlaku, beserta nomor ponsel yang dapat dihubungi. Redaksi tidak mengembalikan surat-surat yang diterima. Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Judul file: Surat Pembaca_SLiLiT ARENA
www.lpmarena.com
3
EDITORIAL
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Bangku Kosong Judul di atas tidak bermaksud untuk menceritakan sebuah kisah misterius kematian seorang murid di sekolah yang membuat bulu kuduk berdiri, seperti dalam film-film horor. Bangku kosong merupakan sebuah fenomena yang sering terjadi di dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Bangku yang sering ditinggalkan si empunya. Bangku kosong si dosen-apalagi yang bergelar profesor-yang sibuk karena mengajar di dua atau tiga lembaga pendidikan, dan si Mahasiswa yang sibuk ngopi, diskusi, dan lainnya. Terkadang dosen merasa kesal dengan seorang mahasiswa yang sering meninggalkan bangkunya ketika masuk pelajaran. Hasilnya bangku saat ujian pun kosong, karena absensi 75% tidak terpenuhi. Begitu juga dengan beberapa mahasiswa yang merayakan si dosen yang sering meninggalkan bangku mengajarnya, yang hanya menitipkan selembar tugas. Menggerutu si dosen di warung kopi, taman-taman kampus. Kemudian keduanya hanya sebatas berasumsi, pertanyaan “jangan-jangan” seperti “jangan-jangan dosen terlalu sibuk?” Atau “jangan-jangan mahasiswa memang sudah tidak peduli dengan nilainya?,” dan jangan-jangan lain sebagainya. Bukankah tidak mau kalau dibilang manusia apatis? Kalau Paulo Freire mengkritisi model belajar “gaya bank”, entah model apa namanya proses belajar tanpa “kehadiran” di dalam kelas. Di mana mahasiswa sebagai subjek tidak lagi berhadapan dengan subjek lain (dosen) yang menjadi pengarah atau pemantik di dalam kelas. Bagaimana ada asap tanpa ada api dari bahan bakarnya. Bangku kosong menjadi momok bagi pendidikan kita saat ini. Paulo Freire mengenalkan kesadaran intransitif, kesadaran tersebut secara historis menurutnya, terbentuk karena struktur sosial. Dimana setiap subjek dikondisikan pada ketaatan semu (quasi adherence) pada ondisi yang ada, atau seolah-olah mengikuti arus 4
namun sebenarnya tidak (quasi immersion). Kesadaran intransitif dosen ataupun mahasiswa tidak bisa mengobjektifikasikan fakta dalam kehidupan seharihari. Dari kesadaran tersebut, bisa dilihat bahwa yang menjadi gejala bangku kosong bukanlah pada dua subjek antara dosen dan mahasiswa. Namun lebih kepada kebijakan struktural pemerintah kepada dua subjek. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan absensi 75% yang sangat membatasi gerak-untuk mahasiswa dan kewajiban minimal tatap muka di dalam kelas untuk dosen. Kesadaran manusia selalu berada dalam situasi historis-kultural. Atau seperti yang disebut Paulo Freire sebagai budaya bisu, yang terjadi karena hasil hubungan dari struktural antara yang mendominasi dan yang didominasi. Implikasinya, sebuah ketergantungan yang akut dari Dosen dan Mahasiswa sebagai kelompok atau masyarakat yang ditindas terhadap kelompok penindas, yakni pemerintah. Sehingga menghasilkan masyarakat yang tertutup. Kemudian Paulo Freire mengenalkan tiga hierarki kesadaran. Pertama, kesadaran mistis, jika bangku kosong ini akibat dari suatu hal yang metafisis dan jauh dari hal yang material, maka kesadaran mistislah dia.
EDITORIAL
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Semisal, bagaimana bisa bangku kosong itu karena masyarakat UIN jarang mengaji. Kedua, sesungguhnya jika seseorang yang tahu akan suatu masalah, namun tetap melakukan hal yang bermasalah tersebut, maka kesadaran naiflah dia. Seperti istilah “terjebak di dalam lubang yang sama”. Dan ketiga, kesadaran kritis yang menjadi fase paling tinggi adalah jika seseorang mengetahui persoalan, dan merefleksikannya dalam tindakan. Kesadaran kritis inilah yang digunakan Paulo Freire untuk mendorong proses dialog dan pembebasan yang akan memungkinkan kita untuk mencapai kesadaran kritis. Jika melihat tipologi kesadaran di atas, pertanyaannya untuk kita kemudian “Sudah sampai mana kesadaran kita selama ini?” Jika dua kebijakan tersebut memeng dirasa memberatkan, kenapa tidak mengubahnya saja! Semisal absensi 75%, tentu agar mahasiswa lebih mendapat ruang bebas. Atau juga beberapa dosen yang menyayangkan adanya kebijakan “baru” dari pemerintah tentang jadwal tatap muka dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore yang sangat menyuntukkan. Di akhir tulisan, seperti apa yang digaungkan oleh Karl Marx kepada khalayak umum, untuk merubah kondisi tersebut maka, “Dosen dan Mahasiswa, Bersatulahhh!!!!” Redaksi
Redaksi SLiLiT ARENA menerima kritik dan saran terhadap editorial. Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Bentuk tulisan utuh 400-700 kata. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Saran/Kritik Editorial_SLiLiT ARENA
www.lpmarena.com
5
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Jadwal Ganda Dosen Membuat Mahasiswa Terlantar Absennya dosen di kelas karena jadwal ganda merugikan beberapa mahasiswa yang mengeluhkan kurangnya memahami materi kuliah. Oleh Atik Mar'atus Shalihah
D
osen merupakan figur yang ikut berperan meningkatkan mutu mahasiswa. Keaktifan, profesionalitas, dan kehadirannya di kelas merupakan tugas utama seorang dosen. Namun, seringkali beberapa dosen memiliki tugas ganda. Selain mengajar di S1 banyak dosen yang juga mengajar di Pascasarjana ataupun di luar kampus UIN Sunan Kalijaga. Hal itu menimbulkan silang sengkarut jadwal mengajar dan membuat sebagian banyak mahasiswa kecewa. Tri Rahayu Wardani, mahasiswi Prodi Manajemen Pendidikan Islam (MPI), mengatakan bahwa absennya dosen disebabkan memiliki jadwal berbenturan antara mengajar di S1 dengan mengajar di Pascasarjana. Perkuliahan Manajemen Pesantren seharusnya berlangsung dua kali dalam seminggu dengan jumlah dua SKS setiap pertemuan. Namun, pada kenyataannya setiap mahasiswa hanya diperintahkan masuk satu kali dalam seminggu. Untuk mengganti kekosongan, mahasiswa diberi tugas observasi tanpa pendampingan dari dosen. Hal serupa juga dialami Adipati Furqon, teman satu kelas Tri Rahayu Wardani, ia mengeluh karena mata kuliah Manajemen Pesantren sering kosong. Menurut Furqon, ketidakhadiran dosen membuat mahasiswa kurang memahami materi perkuliahan. “Sering diliburkan. Kita disuruh observasi sebagai penggati kosongnya mata kuliah, padahal materi belum paham,” katanya. Sering kosongnya mata kuliah juga dirasakan Nur Fitriatus Shalihah, mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam 6
(KPI). Ia mengeluhkan dosen yang sering meninggalkan kelas dengan berbagai alasan. “sering ditinggaltinggal. Kalo belajar sendiri ya kurang paham,” katanya. Pandangan berbeda dilontarkan Charismanto, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Ia beranggapan pembelajaran dosen merupakan bentuk belajar mandiri dan aplikatif. ”Sering kosongnya dosen itu tidak terlalu tak pikirkan karena mata kuliah ini ditekankan pada praktek,” tuturnya. Hamdan Daulay, dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) yang sekaligus menjadi dosen luar biasa (LB) di Pascasarjana, beralasan bahwa untuk mengajar di Pascasarjana dosen harus memiliki kualifikasi, misalnya harus bergelar doktor. Kebetulan Hamdan termasuk dosen yang memiliki kualifikasi tersebut. Ia menjelaskan,
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
penyampaian materi terhadap mahasiswa menggunakan metode pembelajaran yang lebih fokus terhadap penerapan, tidak hanya menggurui serta mengatur seperti layaknya guru sekolah. Selain itu, mengajar di S2 hanya merupakan tugas tambahan bagi Hamdan. �Saya selalu mengutamakan tetap mengajar S1 terlebih dahulu sesuai dengan kebijakan Menteri,� tambahnya. Penjadwalan dosen setiap Fakultas ditentukan oleh Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD). Sehingga tidak mungkin dosen memiliki jadwal mengajar yang berbenturan antara S1, S2, dan S3. Kecuali dosen yang bersangkutan mengubah jadwal sesuai dengan kesepakatan bersama mahasiswa.
Alim Ruswanto, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, berpendapat agar setiap Fakultas menata ulang mengenai penyesuaian quota mahasiswa, tenaga pendidik, dan ketersedian ruangan. “Seharusnya, ke depan kita berpikirnya begini, mau banyak mahasiswa, atau sedikit mahasiswa tapi berkualitas,� ungkapnya. Menanggapi persolan ini, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Nurjanah, angkat bicara. Menurutnya, kekosongan mata kuliah karena dosen meninggalkan kelas bisa disebabkan berbagai faktor. Misalnya dinas di luar kampus, pelatihan, seminar, dan memiliki konsentrasi mengajar yang terbagi. Sepatutnya kesibukan dosen jangan dijadikan alasan untuk
meninggalkan kelas. Harus ada manajemen waktu, profesionalitas, dan tanggung jawab pada setiap dosen. Ia juga mengecam dosen LB yang meninggalkan tugas mengajar S1 untuk mengajar di S2 dengan alasan memiliki jadwal mengajar yang berbenturan. Nurjanah juga mengeluhkan kekurangan dosen di Fakultas Dakwah yang berdampak terhadap manajemen internal dosen. Setiap dosen dibebani mengajar kira-kira 12 sks setiap minggu, ditambah dengan tugas mengajar di Pascasarjana. Ia pun menegaskan, terdapat beberapa sanksi bagi dosen yang meninggalkan perkuliahan lebih dari 50%, mulai dari peringatan hingga sanksi lanjut.[]
www.lpmarena.com
7
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA | KAMIS, 31 DESEMBER 2015
Dianggap Mangkir, Dosen FISHUM Terancam Dipecat Buruknya sistem perizinan dalam pengembangan kompetensi dosen, membuat Ahmad Uzair Fauzan, salah satu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) yang mendapatkan beasiswa studi Doktoral di Australia terancam dipecat. Oleh Anis N Nadhiroh
C
ivitas akademika UIN Sunan Kalijaga digegerkan
dengan pemecatan Ahmad Uzair Fauzan, salah satu dosen Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM). Pemecatan tersebut didasarkan atas Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Kementerian Agama pada Juli 2015. Namun, SK tersebut baru diterima Uzair pada 17 September 2015. Dalam SK Uzair dianggap telah mangkir dari tugasnya sebagai dosen selama melanjutkan pendidikan untuk menempuh gelar Doktor di Flinder University, Adelaide, Australia. Uzair menceritakan kepada Arena, ia mendaftarkan diri untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada Oktober 2010. Bersamaan dengan itu, ia terpilih sebagai penerima beasiswa studi lanjut di Australia dalam jangka waktu empat tahun. Uzair kemudian meminta izin untuk melanjutnya studinya kepada Dekan dan pihak Rektorat. Namun, karena masih berstatus CPNS, izin secara tertulis tidak diberikan oleh pihak rektorat. Kemudian, Dengan berbekal perizinan secara lisan, Uzair berangkat untuk menempuh studi di luar negeri. Di tengah masa studinya, pada Maret 2012 Uzair mendapat panggilan dari Irjen Kementerian Agama yang akan melakukan investigasi terhadapnya. Ia pun kembali ke Yogyakarta untuk memenuhi panggilan tersebut sekaligus melakukan tugas riset untuk disertasi. “Saya jelaskan situasinya, semua bukti-bukti, disertasi saya, dan lainnya. Saya juga
8
mengusulkan, hal itu jangan hanya dilihat dari kehadiran fisik, tetapi dalam kaca mata yang lebih luas,” kisahnya. Uzair memaparkan, setelah kejadian itu pihak Kementerian tidak memberikan kabar sampai tahun 2014. Baru pada Juli 2015 keluar SK terkait pemecatan dirinya. Sebelumnya, 20 April 2015 ia telah merampungkan dan menyerahkan tesis. “Saya tahu dari SK itu tercantum kapan rekomendasi sidang kedua kehormatan. Tapi saya tidak pernah tahu. Saya pulang, sebagian orang terkejut 'pak Uzair kok masih di sini?' tanya mereka,” lanjutnya. Sebelum SK pemecatan turun, Uzair mengatakan selama ini tidak pernah ada surat peringatan dari Kementrian. Hanya ada investigasi dari pihak Irjen, yang menurut Uzair bukan bagian dari peringatan. Surat peringatan itu seharusnya berbentuk undangan secara resmi, seperti berita acara dan sebagainya. “Ya gak ada peringatan soal itu, tiba-tiba saya terima saja 20 Juli”. Uzair merasa ada kejanggalan ketika memperoleh SK Pemecatan pada Juli 2015. Pasalnya, SK yang diterima Uzair tertanggal 17 September 2015. Menurut aturan dalam perundang-undangan, jarak waktu SK pemecatan ketika dikeluarkan oleh institusi hingga sampai ke pihak yang dituju maksimal adalah 21 hari. “Jadi dari pihak birokrasi sendiri juga tidak sesuai prosedur yang telah ditentukan,” pungkasnya. Dengan demikian, Uzair berusaha untuk mengajukan banding. Ia didukung oleh Noorhaidi yang berinisiatif membantu dengan
membentuk tim advokasi. Uzair juga bertemu dengan Minhaji selaku rektor UIN Sunan Kalijaga saat itu, untuk meminta surat dukungan dari pihak birokrasi kampus pada Mei 2015. Sayangnya, surat dukungan tersebut baru keluar pada 2 Agustus 2015. Sebagai dosen yang belum mendapatkan tugas mengajar, Uzair tetap melaksanakan kerja-kerja sebagaimana mestinya. Begitupun ketika ia berada di Australia, dari sana ia masih memberikan pembelajaran kepada mahasiswa melalui online. “Karena tidak ada payung administrasi yang jelas, kemarin mengajar melalui online,” katanya. Ditemui di tempat berbeda, Kamsi, Dekan FISHUM menanggapi kasus yang dialami Uzair. Ia membenarkan kasus administratif yang dihadapi Uzair disebabkan tidak adanya izin tertulis. Uzair memang pernah meminta izin secara lisan kepada Dekan. Namun, Dekan hanya bisa menyampaikan izin tersebut kepada pihak rektorat. Dari pihak rektorat, izin tersebut kemudian ditujukan kepada Irjen Kemenag. “Nah yang putus itu di pihak rektorat,” ungkapnya. Senada dengan Kamsi, Sulis selaku Kepala Jurusan (Kajur) Sosiologi mengatakan bahwa semua proses telah ditempuh untuk merampungkan perkara Uzair. Ia mendukung langkah Uzair dalam meningkatkan kompetensinya sebagai upaya-upaya pengembangan potensi akademik. “Kita tidak akan pernah bisa move on kalau kita tidak ada upaya-upaya akan hal itu,” katanya.
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
“ Berbeda dengan sistem universitas-universitas di luar negeri yang tidak terlalu memprioritaskan adminisrasi, tetapi risetnya menyejarah sampai sekarang.
Sedangkan Fahri, kepala Lembaga Penjaminan mutu (LPM), menjelaskan kepada Arena terkait tujuh standar pengembangan mutu sebuah Universitas, yang salah satunya tentang kompetensi dosen. Tetapi hal tersebut tidak terlepas dari proses administrasi birokrasi yang berlaku sesuai prosedural. “Menurut saya, Uzair ini kurang di sananya aja,” ucapnya. Pendapat berbeda dikeluarkan Sutrisno, Wakil Rektor (WR) I bidang Akademik. Ia menjelaskan terkait alasan pihak birokrasi kampus yang tidak bisa memberi dukungan terhadap Uzair. Dalam pertemuan dengan Irjen Kemenag, Uzair telah menandatangani surat yang di dalamnya tertulis bahwa Uzair memang tidak berada di kantor. Surat tersebut menandakan Uzair setuju dengan SK yang dikeluarkan Menteri. “SK sudah dikeluarkan menteri, kok mengajukan keberatan, meminta dukungan, kan terjadi ketidakkonsistenan nantinya,” katanya. Menanggapi kasus yang menimpa Uzair, Noorhaidi, Direktur Pascasarjana menjelaskan, pihaknya berusaha meyakinkan jajaran di rektorat dan mengawal Uzair mengajukan banding ke Kementerian Agama. Namun, untuk proses hukumnya tetap diserahkan kepada Uzair. Selain itu, yang menjadi nilai lebih menurut Noorhaidi karena Uzair sama sekali tidak memakai dana dari negara. Uzair hanya memanfaatkan beasiswa yang diperolehnya dari Australia. Apabila aturan yang ditetapkan birokrasi adalah hitam di atas putih, maka setidaknya pihak birokrasi bisa mengatasi persoalan absensi Uzair.
“Semacam kebijaksanaan dari pihak birokrasi,” tegasnya. Noorhaidi berpendapat, perkembangan intelektualitas di Indonesia terlalu berkutat pada urusan administrasi, bukan pada wilayah budaya kultural seperti berkarya, berfikir, dan menulis. Budaya kultural belum menjadi budaya akademik di UIN Sunan Kalijaga. Berbeda dengan sistem universitas-universitas di luar negeri yang tidak terlalu memprioritaskan adminisrasi, tetapi risetnya menyejarah sampai sekarang. “Bukan berarti di sini nggak bisa. Kita dorong dengan memperbaiki sistemnya dan budaya akademiknya dibangun,” katanya. Hingga saat ini, Uzair masih menjalankan kewajibannya sebagai dosen, bahkan lebih intens dalam membimbing mahasiswa. Hal tersebut dikatakan Aulia Chairunnisa, salah satu mahasiswa yang sedang merampungkan skripsi di bawah bimbingan Uzair. Awalnya ia merasa cemas dan tidak percaya terkait informasi pemecatan Uzair. “Jadi saya konfirmasi ke beliau. Katanya 'pemberhentian belum memiliki kekuatan hukum tetap. Saya masih melakukan fungsi pendidikan seperti biasanya, termasuk membimbing skripsimu,” tuturnya dengan membacakan pesan dari Uzair melalui WhatApps. Senada dengan Aulia, M. Ro'uf, mahasiswa semester V Prodi Sosiologi, juga mengetahui perihal pemecatan dosennya. Ia menilai bahwa selama ini Uzair cukup kompeten dalam mengajar. “Saya harap dalam menghadapi kasus tersebut, pak Uzair tidak berhenti untuk tatap mengajar di kelas.” ungkapnya.[]
www.lpmarena.com
9
“
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Wacana Pergantian Sistem KKN Posdaya di 2016 Banyak permasalahan pada pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) 86 periode 2015. Sistem KKN Integrasi-Interkoneksi tematik Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) dianggap tidak lagi mampu mengakomodir pelaksanaan KKN UIN Sunan Kalijaga. Oleh Mutiara Nur Said
10
KKN Posdaya seperti yang diberikan saat pembekalan ataupun yang tertulis dalam buku panduan sebagai landasan praktik di lapangan. “Enggak paham sih, di buku juga ada tapi enggak tahu. Yang penting pas di masyarakat kita bisa tahu apa yang harus dikembangkan. Jadi setelah turun ke lapangan buku panduan tidak terpakai,” lanjut Fauzi. Selain pemahaman mahasiswa masih minim, ketidakjelasan dana stimulan pada kegiatan KKN 86 tahun 2015 menjadi keresahan beberapa mahasiswa. Meskipun akhirnya pihak birokrasi kampus menetapkan dana dengan nominal Rp. 1.500.000. Namun, uang tersebut dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
“
Rencana peralihan sistem KKN masih terkendala Surat Keputusan (SK) yang belum keluar.
“
A
khir bulan Agustus 2015, mahasiswa yang mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) telah selesai. KKN merupakan bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat dengan pendekatan keilmuan dan laku praksis di tingkatan sektoral pada waktu dan daerah tertentu. Namun, banyak hal mengecewakan dan dikeluhkan mahasiswa pada pelaksanaan KKN 86 tahun 2015 lalu. Beberapa diantaranya, kurangnya pemahaman mahasiswa terhadap sistem KKN IntegrasiInterkoneksi tematik Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) berbasis masjid, juga perdebatan mengenai ketidakjelasan dana stimulan bagi mahasiswa KKN 86. Sistem KKN tematik Posdaya berbasis masjid mulai diterapkan sejak tahun 2011. Sistem KKN tersebut menempatkan masjid sebagai sentral kegiatan pemberdayaan dan peningkatan fungsi keluarga secara terpadu. Meski telah lama digunakan, tetapi beberapa mahasiswa belum paham mengenai sistem KKN tematik Posdaya. Salah satunya Ahmad Syahrul Fauzi mahasiswa KKN 86 yang ditempatkan di Dusun Hargorejo, Kabupaten Kulon Progo. Ia mengaku sama sekali belum memahami sistem KKN 86 tersebut. “Jujur sampai sekarang aku enggak paham Posdaya sesuai konsep yang ada di buku panduan,” tutur Fauzi (11/09). Selama mengikuti KKN 86, Fauzi mengaku hanya menjalankan program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Ia tidak memahami sistem
“Kita dikasih 1,5 juta itu kurang, kan buat beli air juga. Satu juta buat proker setengah jutanya buat hidup. Tapi laporannya tetap masuk proker semua,” tutur Tika Rahmawati, mahasiswi Fakultas Saintek semester tujuh. Terkait pendanaan KKN 86, Muafak Muslim H, mahasiswa Prodi Manajemen Dakwah memiliki pandangan tersendiri. Ia beranggapan, pihak penyelenggara tidak melakukan assessment yang tepat terkait kebutuhan mahasiswa di
masing-masing daerah. Seharusnya dana stimulan lebih disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa KKN. Misalnya, kebutuhan air pada sebagian daerah di Wonosari, Gunung Kidul. “Satu tangki air seratus tiga puluh ribu dan selama dua bulan membeli terus, sedangkan di luar daerah itu air tidak usah beli,” katanya. Menanggapi kekecewaan mahasiswa KKN, M. Rujaini Tanjung, mahasiswa Fakultas Syariah yang ditempatkan di Bantul tergerak untuk melakukan advokasi bersama beberapa mahasiswa KKN 86. Tim advokasi berulangkali menuntut transparansi dana dan mempertanyakan kinerja tim KKN UIN Sunan Kalijaga, dengan mengadakan audiensi kepada Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM). Posdaya bekerjasama dengan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri), tetapi tidak memberikan dana untuk KKN 86 2015. Kok bisa uang yang kita kumpulkan dibilang dana stimulan? seharusnya dana stimulan adalah yang diberikan oleh universitas atau pihak-pihak lain yang mengadakan kerjasama,” ujar Tanjung (18/09). Audiensi disepakati oleh pihak LPM, LPPM, dan pihak Rektorat. Tujuannya untuk menyamakan persepsi terkait dengan program KKN 86. Fatimah Husain, kepala LPPM, menghadirkan pihak rektorat saat audiensi, karena pihak LPPM tidak mampu memenuhi kesepakatan yang telah dibuat. Namun, audiensi tidak menghasilkan penjelasan yang konkret terkait transparansi dan
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
mekanisme sistem KKN 86. Fatimah Husein tidak mau berkomentar ketika dimintai keterangan mengenai hasil audiensi oleh ARENA. Wacana pergantian sistem KKN Posdaya menjadi KKN UIN Menanggapi permasalahan pada sistem KKN Posdaya berbasis masjid, Soehada menegaskan, pada KKN 86, sistem Posdaya tidak diwajibkan bagi mahasiswa KKN. Soehada berencana mengembalikan sistem KKN Posdaya berbasis masjid kepada sistem KKN UIN Sunan Kalijaga, yang seharusnya mulai diterapkan di KKN 2015. Menurutnya, alasan utama yang menjadi landasan peralihan sistem KKN adalah agar memperlancar pendanaan KKN dengan kerjasama yang lebih terbuka bersama pihak luar. “Kalau nanti kita masih memakai Posdaya, siapa yang mau bekerjasama dengan kita? Nanti kalau kita lepas dari Posdaya lembaga lain kan bisa masuk,” tutur Soehada. Rencana peralihan sistem KKN masih terkendala Surat Keputusan (SK) yang belum keluar. Sehingga, pelaksanaan KKN tahun 2015 masih menggunakan SK yang menerapkan sistem KKN Posdaya. Soehada mengakui, selain SK ada faktor lain yang menghambat berupa ketidaksiapan peralihan sistem KKN. Akibatnya, KKN Posdaya yang tidak diwajibkan tetap dijadikan panduan dalam KKN 86. “Jadi mau tidak mau ya harus tetap disampaikan,” jelas Soehada (22/9). Soehada memastikan, peralihan sistem KKN tematik Posdaya
berbasis masjid ke sistem KKN UIN Sunan Kalijaga akan terealisasi di KKN tahun 2016 mendatang. Sementara, ia sedang merancang pembuatan buku panduan KKN UIN Sunan Kalijaga. Hal tersebut dilakukan karena Posdaya dianggap sudah tidak mampu mengakomodir mahasiswa KKN, seperti pemberian dana stimulan pada pelaksanaan KKN tahun-tahun sebelumnya. Harapannya, pemberian dana stimulan, pelaksanaan sosialisasi, dan pembekalan KKN dapat maksimal. “Kecuali Posdaya dari yayasan Damandiri membiayai atau ngasih dana stimulan, baru dipertahankan. Tapi kan kita enggak dapat stimulan dan dana sepeser pun. jadi berat to? ini bukan maksud komersil,” terang Soehada. Menanggapi rencana peralihan sistem KKN, Maksuddin, mantan ketua LPM periode 2011-2013 yang pernah terlibat dalam pengadaan kerjasama UIN dan Posdaya menyayangkan hal tersebut. Menurutnya, sistem KKN Posdaya sudah sesuai diterapkan di UIN Sunan Kalijaga. Kecocokan visi-misi antara pihak Damandiri dengan UIN Sunan Kalijaga, membuat pihak birokrasi tertarik untuk bekerjasama dengan menerapkan sistem Posdaya. Selain itu, jangkauan Posdaya yang telah bekerjasama dengan pemerintah daerah di DIY mempermudah perizinan pelaksanaan KKN. “Masalah KKN-nya mau Posdaya atau bukan terserah lah. Cuma ketika kita komitmen pada integrasi interkoneksi, ya menurut saya Posdaya itu memiliki paradigma
yang sesuai,” kata Maksuddin kepada ARENA (15/10). Maksuddin mengakui, pada tahun-tahun sebelumnya pelaksanaan KKN mendapat dana stimulan, tidak seperti tahun 2015. Ia menjelaskan dana stimulan pasti diberikan, tergantung dari proposal program yang diajukan. “Ya kalau Pak Hada (red; Soehada) punya pemikiran lain dari Posdaya ya monggo saja, wong dia yang punya wewenang. Apapun sistemnya yang penting masyarakat bisa berkembang,” tambah Maksuddin. Sutrisno, Wakil Rektor (WR) 1 bidang Akademik menanggapi, pendanaan dan dana stimulan menurutnya bisa dipeta-petakan. Meskipun menerapkan sistem Posdaya, tidak menutup kemungkinan bagi UIN Sunan Kalijaga untuk tetap menjalin kerjasama dengan pihak luar. “Kalau masalahnya karena dana stimulan dan bantuan lain, itu kan bisa dibikin pemetaan dan pengelompokan. Misalnya mahasiswa yang KKN 3.500, berapa sih yang akan dibantu oleh Damandiri, berapa yang bisa dibantu dari perbankan, berapa yang dibantu dari CSR-CSR lain, itu bisa dipetakan,” kataya. Lebih lanjut Sutrisno menambahkan, Posdaya tidak seharusnya dilepas, karena kerjasama dengan Damandiri pada dasarnya bukan semata-mata dilandasi kebutuhan dana, namun lebih pada pertimbangan di tataran ideologis.[]
www.lpmarena.com
11
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Sistem Keamanan Minim, UIN Rawan Maling Sistem keamanan yang belum maksimal membuat mahasiswa merasa khawatir terhadap keamanan di lingkungan kampus. Kenyataannya, Selama ini banyak kasus kehilangan terjadi di UIN Sunan Kalijaga. Oleh Dewi Anggraini
K
asus kehilangan kerap terjadi di UIN Sunan
Kalijaga. Dalam satu minggu jumlah kasus kehilangan bisa mencapai dua kali di siang hari. Tempat yang paling rawan diantaranya, daerah sekitar masjid kampus, tempat parkir perpustakaan, panggung demokrasi, tempat parkir terpadu, tempat parkir Poliklinik dan tempat parkir Pusat Bahasa. Kasus kehilangan yang terjadi cukup beragam, mulai dari sandal dan sepatu, dompet, handphone, laptop, tas, sepeda onthel, dan sepeda motor. Barang yang sering hilang sejak dulu adalah sepeda onthel. Dari kasus-kasus tersebut telah dibuat beberapa kebijakan, diantaranya, menyediakan parkir khusus sepeda onthel dan himbauan untuk menguncinya. Selain sepeda onthel, barang lain yang sering hilang adalah helm. Helm-helm bermerek biasanya menjadi sasaran manis pelaku tindak kriminal di lingkungan kampus. Seperti kasus yang dialami Intan Pratiwi, mahasiswi Keuangan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Mahasiswa semester III itu kehilangan helm di tempat parkir perpustakaan. “Mau pulang ke kos helm sudah tidak ada. Hanya ada bekas potongan dari helm,� tutur Intan. Tidak hanya di tempat parkir, kasus kehilangan juga kerap terjadi di masjid kampus. Ahmad Sahl Mubarok, mahasiswa semester V Bahasa dan Sastra Arab menceritakan kepada Arena pernah kehilangan dompet pada 15 Oktober
12
2015 sekitar pukul 11.00 WIB di lantai satu. “Setelah terbangun dari tidur, saya langsung mencari dompet di saku jaket. Saya kaget dompet sudah tidak ada,� kisah Ahmad (24/10). Selama ini, kasus-kasus kehilangan dilaporkan kepada pihak keamanan kampus. Data-data tersebut ditulis pada buku mutasi di setiap pos keamanan. Dalam buku tersebut tercatat, nama-nama barang yang hilang, waktu, dan tempat di mana barang itu hilang. Pihak keamanan akan melaporkan kepada korban apabila menemukan barang yang sesuai dengan ciri-cirinya. Namun, laporan-laporan tersebut tidak direkap ulang oleh pihak keamanan, sehingga barang yang hilang sulit ditemukan atau tidak teridentifikasi. Padahal data itu sangat berguna untuk mengambil sebuah kebijakan atau keputusan. Selain itu, dapat menjadi bahan evaluasi dalam menjalankan kerjakerja pihak keamanan serta sebagai tolok ukur dari kerja keamanan kampus. Lingkungan kampus dijaga selama 24 jam non stop oleh pihak keamanan dengan jumlah satpam sebanyak 43 personel. Mekanisme kerja tim keamanan dibagi ke dalam empat regu dengan sistem kerja sift atau bergilir. Satu regu terdiri dari sembilan personel. Setiap hari sembilan personel di bagi di empat titik, antara lain, empat personel di pos induk selatan masjid, dua personel di Pusat Administrasi Umum (PAU), dua personel di perpustakaan, dan satu personel
ditempatkan di Student Center (SC). Wilayah parkir yang luas dan tempat parkir yang banyak, dengan personil tim yang masih minim, membuat banyak tempat parkir luput dari pengawasan. Sehingga sering dimanfaatkan oleh orang tak bertanggung jawab untuk melakukan tindak kriminal. Tim keamanan kampus bertugas memantau di pos penjagaan, mengadakan patroli, menertibkan parkir liar, dan mengadakan pengecekan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Namun, ketika sedang berlangsung acara atau seminar, misalnya di Convention Hall (CH) dan Multi Purpose (MP), tugas mereka pun bertambah. Pihak keamanan diminta terjun langsung ke lokasi untuk memantau dan mengamankan. Begitu juga apabila terjadi demonstrasi. Terkait tugas keamanan kampus, sebenarnya telah dibuat suatu panduan. Dalam panduan disebutkan bahwa petugas keamanan dilarang meninggalkan pos, misalnya pergi untuk makan. Pada jam kerja pegawai keamanan tidak dibenarkan menghidupkan TV dan kumpulkumpul lebih dari tiga orang, dan setiap jam para petugas keamanan harus melakukan patroli memantau setiap pos. Yusron, petugas keamanan parkir perpustakaan mengatakan, saat sedang ada acara di Convention Hall (CH) atau Multi Purpose (MP), salah satu petugas harus ditarik untuk mengamankan tempat acara. Sehingga petugas keamanan di parkir perpustakaan berkurang.
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Yusron juga menambahkan, saat pengecekan STNK dibutuhkan minimal enam personel karena jumlah kendaraan yang banyak. “Dalam pelaksanaannya hanya empat personel, satu bertugas menulis dan tiga lainnya melakukan pengecekan,” katanya (23/10) Selain satpam, pihak keamanan di lingkungan UIN Sunan Kalijaga juga menggunakan alat pemantau keamanan (baca: CCTV). CCTV dapat memantau kejadian selama 24 jam dengan data yang bisa disimpan dan direkam ulang. Di kampus UIN Sunan Kalijaga telah dipasang CCTV di berbagai titik untuk membantu kerja bagian keamanan. Tetapi, CCTV baru digunakan di dalam ruangan, sedangkan di luar ruangan belum tersedia. Perpustakaan merupakan tempat yang sering dikunjungi para civitas akademika UIN Sunan Kalijaga. Hampir setiap hari, lebih dari 200 orang pengunjung yang datang, baik mahasiswa UIN maupun pengunjung dari luar. CCTV menjadi prioritas utama untuk menjaga keamanan di dalam perpustakaan. Selain CCTV, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga juga mempunyai sistem keamanan berupa Dealkey, yakni loker tempat penitipan barang. Cara kerja sistem Dealkey adalah dengan men-scan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) di bagian petugas peminjaman kunci loker. Data yang di-input akan terlihat pada saat peminjaman, siapa yang meminjam dan nomor loker yang dipinjam. Sejauh ini, sistem Dealkey cukup efektif dan dapat meminimalisir tindak kejahatan. Menanggapi kehilangan yang sering terjadi di lingkuangan kampus, khususnya di tempat parkir
perpustakaan, Sri Rohyanti selaku Kepala Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga mengatakan, “Melihat sistem parkir dengan personil yang seperti itu, motor bebas keluar masuk tidak ada kontrol STNK, nyolong telu langsung iso,” ujarnya saat ditemui Arena (27/10). Terkait kasus kehilangan yang terjadi di loker, Sri Rohyanti menjelaskan, kehilangan yang dialami biasanya disebabkan keteledoran mahasiswa yang tidak mengunci loker. “Perlu disampaikan, setiap pengunjung wajib mentaati peraturan. Semua barang berharga tidak boleh ditinggal di loker.” Katanya. Zuwono, kepala bagian keamanan kampus, menjelaskan bahwa pihaknya pernah membuat form tersendiri untuk laporan kehilangan. Namun, usaha tersebut tidak mengalami perkembangan. Ia menambahkan, saat ini bagian rumah tangga sedang menggodok konsep keamanan berupa stiker dengan fungsi untuk menandai warga UIN Sunan Kalijaga. Mulai 2016 form khusus untuk mendata kasus kehilangan akan diberlakukan kembali. Zuwono juga mengaku pernah melakukan penangkapan pencuri helm yang dilakukan oleh orang dari luar kampus (bukan mahasiswa). Ia menduga sindikat yang melakukan tindak kriminal tersebut sangat banyak. “Yang sulit itu kasus helm, karena menghitung durasi sangat cepat,” tutur Zuwono (23/10). Sementara itu, keamanan di masjid UIN Sunan Kalijaga menjadi tanggung jawab pihak takmir. Selama ini takmir telah mengupayakan untuk membeli CCTV demi keamanan masjid dan
menyediakan loker untuk jamaah putra. Rifki selaku divisi prasarana masjid UIN Sunan Kalijaga mengungkapkan, pihak takmir telah mengupayakan menyediakan loker untuk jamaah, walaupun masih sangat terbatas. Jumlah loker sampai saat ini baru 70 buah. Adanya Loker diharapkan mampu meminimalisir terjadinya kehilangan. Azhari, penjaga loker Masjid UIN Sunan Kalijaga, seharihari juga bertugas menyisir selasar masjid, memantau alas kaki, dan membantu mengantar surat. Sedangkan untuk CCTV, takmir mengatakan, selama ini CCTV Masjid UIN Sunan Kalijaga belum maksimal. “Mungkin itu bisa untuk tahap selanjutnya karena yang di ruang utama kabelnya rusak. Kami juga sudah berusaha mengajukan proposal ke kampus untuk masjid, namun selama ini tidak direspon,” kata Rifki (28/10) Mengingat sistem keamanan digital cukup efektif, pihak kampus selaku bagian Rumah Tangga, Ali Shodiq, memberi keterangan terkait rencana untuk mengadakan penambahan CCTV. “Ya nek usulan itu ada namun problem anggaran kita tidak mencukupi,” ungkapnya. Ali Shodiq mencontohkan, pihaknya telah mengusulkan pengadaan CCTV dalam anggaran 2015. Terutama untuk tempat-tempat yang sering terjadi pencurian. Seperti perpustakaan, masjid, dan tempat parkir. “Namun dalam prakteknya nol,” tambahnya. Ditanya terkait anggaran untuk masjid, Ali Shodiq mengatakan, telah merancang anggaran 2016 untuk mengoptimalkan keamanan kampus. “Kami menguapayakan dana sebesar Rp.236.204.000 untuk 4 paket CCTV,” tegasnya.[]
www.lpmarena.com
13
LEBIH DEKAT
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Asa P3S Membangun Sekolah Rakyat Bantaran Sungai Oleh Try Kurnia Sari H* menjelaskan sejarah berdirinya P3S. Paguyuban tersebut dimulai dari diskusi para perintis dengan organisasi masyarakat Paku Bangsa. Ormas Paku Bangsa merupakan gabungan relawan pejuang bantaran sungai yang spesifiknya pada masalah sertifikasi tanah warga bantaran sungai. Diskusi tersebut membahas persoalan sosial yang tengah hangat di masyarakat, mulai dari kapitalisme sampai persoalan pendidikan. Bagi mereka, pendidikan nasional dirasa semakin timpang, kapitalistik, dan jauh dari cita-cita founding fathers. Sebab itu, kawan-kawan perintis P3S memiliki ketertarikan dan kemudian berlanjut pada keseriusan untuk ikut andil dalam dunia pendidikan. P3S dengan asas humaniskerakyatan mencoba mewujudkan misi pendidikan kerakyatan, pendidikan yang berkarakter ilmiah, patriotik, demokratis, dan gratis. P3S berkaca dari perkataan Ki Hajar Dewantara, "Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia menuju kearah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir." Sehingga, P3S mengangkat konsep budaya-kultural sebagai vondasi aktivitas sekolah rakyat mereka. Sebelumnya, konsep budaya-kultural telah digunakan oleh Ormas Paku Bangsa dan pada praktiknya berhasil membantu meredam konflik-konflik yang terjadi di bantaran sungai. Husain, selaku Ketua P3S memaparkan kepada ARENA (28/10) tentang keprihatinannya dengan warga bantaran sungai. Bantaran sungai menjadi salah satu sudut yang termarginalkan dan sering disebut kaum miskin kota. Pertama, pada realitanya warga bantaran sungai memiliki pendapatan di bawah angka standar. Hal ini dapat dinilai dari banyaknya warga yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau hanya berkerja serabutan. Kedua, keadaan permukiman yang “kurang sehat� dan jarak antara rumah-rumah penduduk yang sangat padat. Selain itu, di dalam satu rumah terdapat dua hingga lima kepala keluarga. Kurnia
Di ruang tamu seluas kurang lebih 4x5 meter milik salah satu warga, nampak suasana riuh dari bocah-bocah sekolah dasar yang tengah belajar bersama. Ketika ARENA berkunjung di Sekolah Rakyat Bantaran Sungai Code, aktivitas belajar telah dimulai setengah jam yang lalu. Malam itu, jumlah pengajar sekitar delapan orang dan ada 28 anak didik yang hadir. Seorang pengajar mengampu satu hingga tiga anak sekaligus.
28 anak didik P3S tengah asik belajar dengan delapan relawan
Paguyuban Pengajar Pinggir Sungai atau sering disebut P3S menjadi penggagas berdirinya Sekolah Rakyat Bantaran Sungai Code. P3S merupa-kan sebuah komite relawan (dan pelajar) yang terhimpun dari beberapa kampus dan terbentuk dari kegelisahan bersama, yaitu masalah pendidikan yang semakin jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa. Sebenarnya paguyuban ini sudah merintis aktivitas-aktivitas kecilnya sejak tahun 2013. Namun, P3S baru diresmikan pada 30 November 2014 dan dideklarasikan secara formal di Gedung Xaverious Universitas Sanata Dharma dengan pembacaan sikap manifesto P3S. Salah satu perintis P3S, Muhammad Husain Maulana,
14
LEBIH DEKAT
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Salah satu relawan membangunkan semangat anak-anak didik P3S untuk tidak menyerah.
Saat pertama kali melangsungkan aktivitas belajar, respon warga menunjukkan antusiasme yang tinggi. Sementara perkembangan anak-anak didik dan relawan pengajar terus bertambah dari waktu ke waktu. Saat ini P3S memiliki kurang lebih 50 tenaga relawan dan dua tempat belajar di bantaran sungai Code, yakni kampung Blunyahgede dan kampung Sendowo. P3S mengguna-kan salah satu rumah warga sebagai tempat belajar di kampung Blunyahgede. Sedangkan di Sendowo, P3S memanfaatkan pos kamling lingkungan tersebut. Proses belajar mengajar berlangsung tiga kali pertemuan dalam seminggu dan setiap relawan pengajar wajib hadir minimal satu kali dalam seminggu. Aktivitas yang dilakukan P3S pada awalnya hanya mendampingi anak didik belajar. Namun, kesadaran pengajar meningkat ketika melihat realita konkret yang dihadapi. "Sangat tidak variatif jika hanya pendamping-an belajar atau membantu mengerjakan PR, anak-anak akan jenuh, hingga akhirnya mendorong kawan-kawan pengajar berjuang lebih serius," jelas Husain. Para relawan pengajar berpikir ulang untuk menciptakan cara belajar yang lebih beragam dan kreatif namun tetap terkonsep dan sistematis. Apapun aktivitas yang akan dibentuk, tim pengajar tetap berpatokan pada nilai moral, yakni memberikan khazanah baru bagi anak-anak berupa pengetahuan yang tidak didapat pada bangku sekolah formal. Romo Mangunwijaya, pendahulu pembangun pendidikan alternatif bantaran sungai Code pernah berkata: kita mulai belajar, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang seharihari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiannya demi hidup Jika di sekolah formal anak-anak dikenalkan pada sosok pahlawan seperti Kartini, Pattimura, Imam Bonjol dan pahlawan-pahlawan lainnya, maka di sekolah rakyat P3S mengenalkan sosok pahlawan lebih nyata dan dekat dengan mereka, misalnya sosok seorang Ibu. Demi menunjang
pembelajaran yang menyenangkan, P3S membentuk kegiatan kolektif yakni hari berbahasa, hari bermain, dan hari membaca. Setiap minggunya ada tema bahasa yang diterapkan, yakni berbahasa Indonesia, berbahasa Jawa dan berbahasa Inggris. Anak-anak diajak untuk memakai bahasa sesuai tema untuk percakapan antar kawan, juga dalam tatap muka dengan pengajar. Pemberlakuan hukuman seperti membaca puisi membuat anak-anak tertib dan terhibur. “Kalau hari bermain tim pengajar berusaha untuk menghadirkan kembali permainan-permainan tradisional, yang berorientasi pada mengasah kreatifitas anak-anak,� tambah Husain. Alasannya, karena anak-anak saat ini merupakan korban dari generasi yang terpotong, sehingga mereka hampir tidak mengenal permainan-permainan tradisional. P3S menerima sumbangan buku-buku dari para donatur. Buku yang didapatkan dikelola oleh Dewan Rumah Baca sebagai perpustakaan mandiri yang berusaha untuk memanfaatkan buku-buku tersebut di hari membaca. Pada hari membaca, anak-anak membaca puisi, membaca cerpen, dan lain sebagainya. Selain kegiatan harian, P3S juga mengagendakan kegiatan bulanan “Minggu Ceria�, anak-anak diajak berjalan-jalan mengitari kampung mereka. "Aku jadi pintar sekali gara-gara mbaknya dan masnya," kata Ika Meidina salah satu siswi. Cita-cita P3S tidak sekadar membangun sekolah kerakyatan di bantaran Code. Tetapi ingin masuk pada setiap tempat yang membutuhkan. "Karena pendidikan bagi kami adalah salah satu jalan yang mengantarkan kami untuk menyentuh hati terdalam rakyat untuk berikutnya memberikan kesadaran yang lebih tercerahkan dalam usaha bersama memecahkan permasalah sosial, ekonomi, lingkungan dan politik," tutur Husain kepada ARENA.[]
*Mahasiswa semester V jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga
www.lpmarena.com
15
KANCAH
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Manusia Retak: Produk Gagal Reifikasi Saya ingin memulai tulisan ini dengan kebohongan yang tulus atau ketidakjujuran yang benar. Saya digelisahkan oleh gagasan si Georg Lukacs (FMS, 2003) yang mengatakan: hubungan antar manusia tidak lagi ditentukan oleh cita-cita pribadi, persahabatan, perhatian, intelektual, kesamaan minat, atau oleh minat untuk berkomunikasi, melainkan oleh hukum pasar. Bahkan mungkin cinta saya, pendidikan saya, relasi saya, tetek bengek saya dengan yang liyan hanya menjadi komoditi yang dinilai menurut permainan pasar, bukan atas hukum main saya sendiri. Kehidupan sekarang menuntut hal yang serba material. Orang segera menarik hal-hal yang sifatnya immaterial, absurd, untuk menunjukkan suatu bukti atau eksistensi yang nyata. Kalau kata kawan saya: sing cetho, sing materialis! Konsep Materialisme Dialektika Historisnya si Marx contohnya, menjadi metodologi dan acuan utama untuk mengecam hal-hal yang tidak rasional dan tidak konkret. Sesuatu yang tidak material itu tidak sah. Maka, sindir si Marxist, celakalah mereka yang tidak belajar Marxisme dan memang tak sedikit pemikir yang terinspirasi darinya dan berbondong-bondong membebekinya. Hal benda atau materi atau yang fisik ini ingin saya hubungkan dengan reifikasi, kata kunci yang digunakan Lukacs. Sekarang ini kita tengah berada dalam kondisi objektif pasar. Relasi antar manusia adalah relasi antar benda. Relasi antar yang material, bukan immaterial. Karena ia benda, ia dipahami sebagai bentuk komoditas yang dihargai menurut nilai jualnya. 16
Komoditas ini yang diperjualbelikan. Maka, ide dijadikan barang, cinta ditukar coklat, Tuhan dipatungkan, dan manusia yang sudah benda semakin dibendakan. Marx sendiri dalam Das Kapital-nya mengungkapkan jika kooditi merupakan fetis dari proses kehidupan mmanusia. Komoditi memiliki kekuasaan (boleh dibilang hegemoni) atas masyarakat. Hukum pertukaran komoditi menjadi hukum alami objektif. Jika saya tarik lebih jauh, komoditi membentuk identitas personal lalu ke sosial. Dari sini terlihat juga bagaimana awalnya kelas sosial terbentuk. Kondisi reifikasi dengan jelas dapat kita lihat (lagilagi) dalam kehidupan buruh industri. Semua yang dikerjakan buruh mereduksi kreatifitas dan minatnya. Untuk meningkatkan komoditas, si tuan mencabik-cabik buruh ke dalam pertajaman pembagian kerja. Tiap buruh ditempatkan dalam satu unsur yang diulangulang. Meski buruh memproduksi celana, dia tidak membuat celana. Ia hanya membuat sekrup kecilnya saja, misal kancingnya. Pekerjaan itu dilakukan dari pagi sampai malam tanpa makna hidup berarti. Seakan ia hanya menjadi atom-atom yang terisolasi. Mereka (meminjam bahasa Lukacs) menjadi subjek yang terfragmentasi, istilah kasarnya menjadi manusia yang retak. Kita bisa melihat, hubungan manusia seperti hubungan antar komoditi. Bermaksud ingin merayakan kepedihan, di kondisi lain, sekarang ini orang lebih senang berhutang uang daripada berhutang budi. Karena uang lebih material daripada budi, uang lebih mudah dikalkulasi daripada budi. Budi hanya milik Plato yang ideal atau Kant yang moral. Budi
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
KANCAH
susah dilacak wujudnya, budi hanya akan membawa kita pada relasi yang lebih kompleks dalam suatu konstelasi sosial. Lebih parah lagi, saat reifikasi menjangkiti dunia pendidikan. Pendidikan yang mestinya melahir-kan para intelektual organik, dicetak menjadi intelektual jongos yang ketika lulus diharapkan memenuhi kebutuhan pasar. Undang-undang pendidikan dibuat lebih transaksional agar sesuai dengan keinginan pasar. Dalam kepungan benda generasi muda menjadi disoriented young generation. Pendidikan yang seharusnya mendidik pemuda sebagai penggerak perubahan di masyarakat semakin lama menjadi generasi yang suka selfie, narsis, dan individualis. Akibatnya, yang dipamerkan tak lagi ilmunya, malah gadget-nya. Pun dalam asmara misalnya, katakanlah saya mencintai H, permainan pasar mengkondisikan saya menuntut nilai jual yang lebih dari H. Nilai ini bisa saya rasakan dengan nyata, secara materi realistis. Dalam pasar juga, lagu cinta bajakan di toko-toko membangkitkan memori cinta saya yang diulang-ulang seperti kotak Pandora kesepian. Ujung-ujungnya, saya hanya mencintai hal yang parsial saja dari H, seperti menyingkir-kan kekhasan, minat, kreatifitas, cita-cita, sampai hal nyeleneh si H yang tidak material. Dalam kasus cinta yang lebih luas dari ini misalnya, orang akan menilai wajah, kantong, dan model kendaraannya seperti apa? Seperti baju yang kita kenakan, sulit rasanya melepas lingkar reifikasi dari kehidupan. Melawan sesuatu yang sifatnya material dalam relasi immaterial. Selama ekonomi masih berjalan, pesanan dari kaum kapital akan terus menjadi bayang-bayang. Lukacs menggunakan pendekatan kontemplatif dimana meski hukum pasar sulit diubah, tetapi hukum pasar bisa dipelajari kemudian dimanfaatkan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana agar kita bebas dari efek hitam reifikasi? Kembali pada hukum pasar, rasanya tiap subjek juga perlu membuat hukum mainnya sendiri. So, don't make rules so wise! [] *Isma Swastiningrum, adalah manusia, bukan kucing atau piring. Sekarang sedang belajar Fisika semester V di UIN Suka. Lebih suka dibenci karena benar, daripada dipuji meski juga benar.
www.lpmarena.com
17
SASTRA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
CERPEN*
Tana Sangkol
1
Harum tanah dari gundukan makam Ki Nulam masih menyela hidung. Berpadu harum kembang yang ditabur di atas gundukan itu sekitar dua jam yang lalu setelah upacara pemakaman selesai. Angin lirih menerpa daunan. Matahari senja tampak jingga bergantung di balik ranting kemboja. Aku mengaji, dan setelahnya aku mengkaji, mengkaji tentang orang terhormat yang meninggal di desa sendiri dan juga dimakamkan di tanah miliknya sendiri. Jasad yang tertanam di tanah sendiri adalah lambang kemerdekaan dan aku tak perlu bertanya lagi kenapa para tetua menyuruh anak dan cucunya untuk mencintai tanah air ini, bahkan mereka berkata, “mencintai tanah air adalah sebagian dari iman.” Air mataku merembes ditatap batu kijing. Tangisku pecah antara sedih dan haru. Aku sedih karena Ki Nulam meninggal. Aku haru karena Ki Nulam meninggal memperjuangkan tanah kehormatan. Tiba-tiba aku ingin bercerita kepadamu tentang Ki Nulam dan sepetak tanah. Ingin kututurkan kepadamu tentang tanah Madura. Meski banyak orang menyebutnya tanah tandus, tapi ragam palawija dan bahan pangan tumbuh menggapai-gapai udara yang segar. Melengkapi solek pagi dan dingin senja hari sembari dilayang beburung dan kupu-kupu. Di sanalah kehidupan dipacu meniru sapi karapan yang berlari kencang. Para petani dan pekebun tak bosan bertandang menapak tanah miliknya. Bulir padi apit berangkulan, tongkol jagung, daun bawang, ranau daun tembakau, cabai, mentimun, tomat, kelapa, cabe jawa, semangka, singkong dan pohon siwalan teduh memandang langit di antara angin yang menyunggi harum garam. Kehidupan seakan semata tumbuh dari tanah itu. Tanah Madura atau tanah garam. Petak-petak tanah di Madura terdiri dari tanah pecaton milik pemerintah dan tanah warga.
18
Sedang tanah warga ada dua macam, ada tanah hasil pembelian dan ada tanah pusaka atau tanah turun-temurun warisan dari nenek moyang yang oleh masyarakat Madura disebut tana sangkol. Tana sangkol tidak boleh dijual kepada orang lain. Tanah itu oleh tetua Madura sejak zaman dulu diwariskan secara turun-temurun agar digunakan untuk membingkai kehidupan yang baik, mulai dari kehidupan ekonomi sampai pada kehidupan beragama. Sebab menurut tetua tanah adalah lahan pokok bagi orang yang merdeka. Ki Nulam adalah salah satu dari orang-orang yang teguh memegang nasihat tetua agar tak menjual tana sangkol kapan pun dan berapa pun harganya. Di pagi yang sedikit mendung, masih segar dalam ingatanku, ketika sekelompok orang bersepatu hitam datang ke balai desa. Pada saat itu kepala desa memang sengaja mengumpulkan tokoh masyarakat dan pemuda untuk membicarakan masalah tanah. Pada saat itulah orang-orang bersepatu hitam itu datang dan berbicara tentang tanah seakan mereka lebih tahu tentang masa depan desa. Salah satu pembicara dari sekelompok orangorang bersepatu hitam itu pada akhir bincangbincang dengan tegas mengatakan, “kami datang ke sini untuk membeli tanah kalian semua dengan harga lima kali lipat dari harga biasa, ini sebagai kepedulian kami agar warga desa ini semakin sejahtera dan sekaligus agar desa ini punya bangunan megah,” kilahnya disertai seruputan kopi sesaat sebelum ia mengisap rokok sambil membetulkan letak kacamata. “Benar apa yang dikatakan tuan tadi! keluarga bapak akan dibuat kaya oleh tuan-tuan ini. Maka, alangkah bodohnya jika bapak-bapak membuang 2 kesempatan emas ini. Saya sebagai klebun tak punya hak untuk menyuruh bapak menjual tanah, tapi saya punya hak menyarankan bapak untuk tidak menolak tawaran tuan-tuan ini jika bapak memang ingin kaya,” bujuk kepala desa kepada warga yang hadir dengan nada yang mempesona.
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Aku yang mewakili pemuda di pertemuan itu jadi curiga kepada kepala desa, jangan-jangan sudah disuap oleh sekelompok orang itu. “Maaf tuan! tanah itu selanjutnya akan dijadikan apa oleh tuan-tuan ini?” seorang warga tiba-tiba memecah keheningan. “Hehe, tentu di tanah itu kami akan membangun pabrik dan bangunan lain agar bapak-bapak dan keluarganya bisa bekerja,” salah seorang menjawab sembari tersenyum. “Maaf tuan, saya tidak akan menjual tanah yang saya miliki berapapun harganya dan apapun alasannya. Sebab tanah milik saya kebanyakan tana sangkol yang oleh nenek moyang memang dilarang dijual kepada siapapun apalagi orang asing,” tegas Ki Nulam sambil berdiri, sepasang matanya seperti mengobarkan lidah api. Kepala desa memandang Ki Nulam dengan mata yang tajam, demikian juga dengan orang-orang bersepatu itu. Balai desa kembali hening dan mencekam.
SASTRA
“Haha, Nulam. Bodoh sekali kamu, nenek moyangmu tahu apa. Mereka hanya mewariskan kemiskinan kepada anak dan cucunya. Ayolah terima tawaran tuan-tuan ini,” bujuk kepala desa dengan sedikit sinis. “Maaf, Pak Kades. Saya tidak akan menjual tanah saya.” Sejak saat itu Ki Nulam dan beberapa orang yang mengikuti keputusannya selalu mendapat ancaman dari orang tak dikenal. Mulai ancaman lewat telepon, sms, bahkan sampai ancaman langsung dari orang anonim yang menghadang di tengah jalan, tetapi Ki Nulam tak gentar dengan ancaman yang datang. Ia tetap teguh dalam keputusannya, bahkan ia menggalang kekuatan dengan beberapa organisasi.
Perlahan matahari beranjak seakan hendak menunggangi janur-janur yang basah. Langit pagi sangat bersih dengan sekawanan merpati yang terbang seperti titik semburat di cakrawala. Saat kulintasi jalanan kampung, di seberang tampak beberapa bangunan masih sedang dalam penyelesaian. Beton bugil dengan kawat-kawat menuding langit menempati tanah warga yang telah terjual. Aku berpikir spontan “Ki Nulam mungkin pesimis kalau tanah dijual maka warga akan kehilangan lahan pertaniannya,” gumamku dalam dada. Mataku terpaku pada tumpukan pasir hitam dan semen yang menumpuk di beberapa petak tanah. Aku melanjutkan langkah. Menuju rumah Ki Nulam. Di rumah Ki Nulam aku berbincang masalah tanah dengannya. Bincang kami diselingi kopi dan singkong rebus yang dipupur gula siwalan. Sebagai pemuda aku minta pandangan kepada yang tua. www.lpmarena.com
19
SASTRA
“Kalau tanah kita dibeli, bukan hanya persoalan kehilangan lahan pertanian, tapi Madura hanya akan dijadikan tempat limbah dan hasilnya diangkut keluar. Lebih dari itu, yang paling aku khawatirkan adalah terjajahnya budaya kita oleh budaya luar. Setelah budaya terjajah maka agama kita juga akan terjajah. Ini yang paling parah. Pokoknya ketika tanah sudah terjual, anak-cucu kita tidak akan menemukan lahan untuk menjalani kehidupan. Mereka tidak merdeka. Menjual tanah sama artinya dengan membuat penjajahan baru untuk anak-cucu kita,” Ki Nulam berapi-api. Aku tertunduk, mengangguk dan mengamini. Angin pagi bergelesar lirih. “Kalau hanya demi mencapai kesejahteraan dan bangunan fisik yang megah. Tujuh ribu tahun silam kaum Fir'aun, 'Ad, dan Tsamud sudah digdaya dengan kemegahan bangunannya, tapi mereka dilaknat oleh Allah karena tak bersendi nilai agama,” Tukas Ki Nulam lantang dengan mata yang binar. Aku mengangguk lagi. “Kita harus ingat pesan tetua kita, 'ajaga tana, 3 ajaga na'poto' ,” Suara Ki Nulam menurun dan sepasang matanya tiba-tiba menangis. Sepulang dari rumah Ki Nulam semangatku berkobar untuk menolak pembelian tanah oleh siapapun. Keesokan malamnya aku mengumpulkan para pemuda desa di rumah untuk membentuk tim advokasi anti-kapitalis. Di saat aku dan teman-teman pemuda sedang membahas gerakan perlawanan yang akan dilakukan, tiba-tiba jerit histeris terdengar dari arah tenggara rumahku. Riuh membelah malam.
Aku dan teman-teman pemuda segera bangkit dan bergabung dengan warga yang berbondong menuju suara itu. Lampu senter dan suluh seperti kunang-kunang ruah di jalanan. “Ki Nulam mati tertembak,” kata salah seorang warga.
Api semangatku semakin berkobar, tak sabar ingin segera menebus kematian Ki Nulam.
20
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Tubuh Ki Nulam yang telungkup bersimbah darah di atas tanah berumput menjadi puisi perjuangan yang tak terlupakan. Tanganku mengepal. Kaki kanan kuinjakkan ke tanah yang selalu diincar orang-orang bersepatu itu. Aku harus berjuang juga. Hari ini, di makam ini. Usai aku mengaji, aku mengkaji. Usai aku mengkaji, harum kembang dan gundukan tanah berbisik kepadaku bahwa bumi damai memeluk mesra jasad para pahlawan yang rela mati demi membela tanah airnya. Aku tertunduk. Senja beranjak patah berganti remang. Angin sungkawa lembut membelai. Menggugurkan bunga kemboja. Dik-kodik, 23.09.15 1. Tanah pusaka yang diwariskan turun temurun dan tidak boleh dijual. 2. Kepala desa 3. Menjaga tanah, menjaga generasi.
*A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media Nasional dan lokal antara lain: Horison, Republika, Seputar Indonesia, Indo Pos, Majalah FEMINA, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Sinar Harapan, Padang Ekspres, Riau Pos, Banjarmasin Post, Haluan Padang , Minggu Pagi, Suara NTB, Koran Merapi, Radar Surabaya, Majalah Sagang, Majalah Bong-ang, Radar Madura Jawa Pos Group, Buletin Jejak dan beberapa media on line. Juara II Lomba Cipta Puisi tingkat nasional FAM 2015. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit ”Hilal Berkabut” (Adab Press, 2013). Email: wr_rovi@yahoo.co.id.
SASTRA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
PUISI*
POTONGAN SAYAP 1/ tak ada perabuan pun liang jasad. hanya bersapasang sayap menumpuk senyap. di sudut ukiran kusen pintu, sayapsayap tanpa badan berkelindan seperti kenangan. “yang diam tanpa kepakkan, adalah repas sayap laron. mereka terlepas dari hewan kecil yang datang usai hujan. memburu nyala lampu.� betapa melankolia, menyaksikan mereka tersudut bersamasama. menanti diempas angin acapkali, dan berhamburan sesekali. berpisah satu sama lain. terombang-ambing, terpelanting menuju tempat tak dinyana; terkulai di atas lantai, rebah di tong sampah, atau lebur kembali ke tanah. tanpa berpikir bagaimana nasib si empunya, apakah ia telah tiada dimangsa binatang lain, atau jadi tawanan di tajam kail pancing, mati sebagai umpan ikan-ikan. 2/ sayap-sayap tanpa badan akan selalu berkelindan dalam penantian. hingga kemoceng tiba menyapu pintu. mereka tergusur pergi menemui kuburnya sendiri. Batang, 2015
NUJUM SEBATANG JARUM yang dipisah resah akan menyatu; potongan kain tersulap jadi baju, sapu tangan persegi memagut rompel bunga di tepi, kancing-kancing cantik beriring, kuping boneka lepas tersambung lekas, celana bolong merapat kembali usai kujelujuri jejak cakaran paku yang mengoyak tak tertebak. perkara jahitan apa lagi yang harus kuterka tatkala benang panjang mengisi lubang di kepala? bukankah telah kutelusuri segala yang terhampar di depan mata? menyambung yang terputus dan mengikat jalur serat. namun, jika kakiku menyimpang dari arah benang, menusuk kemungkinan terburuk, akan ada darah menggenang dari senoktah lubang. seketika terhenti menjelujuri. sembari menyesali betapa cerobohnya aku ini. Batang, 21 Desember 2014
www.lpmarena.com
21
SASTRA
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Memento Mori moga-moga masih napas menyesak di paru-paru usai tidur mengurai mimpi yang lekas “memento mori.” kataku tanpa berdoa selepas terbukanya mata sungsang waktu menyesak di kepalaku mungkin sebentar lagi atau suatu hari nanti sepucuk nama terpisah dari ranting usia “Memento mori.” kataku lagi memandangi jendela dan menerka segala cerita yang sengkarut di baliknya 2015
JALAN MANUNGGAL, 2 untuk sampai ke ujung jalan ini aku harus mencari letak sunyi. lelah selalu membawaku pulang dengan tergesa sembari menghitung deretan plang kos-kosan di antara himpitan becak, mobil, dan motor yang saling melempar kebisingan. lampu-lampu telah dinyalakan dengan pendar menghias malam. sebagaimana tabiat sebuah jalan, di sini, aku tak pernah merasa sendirian kendati semua yang melintas dan semua yang bersahut tak saling mengenal namun ingin mendahulukan di jalan manunggal aku melihat langkahku sendiri. terburu seperti menyongsong kuak pintu. Batang, 2014
*Kurnia Hidayati, lahir di Batang, Jawa Tengah, 1 Juni 1992. Buku puisi tunggalnya Senandika Pemantik Api (2015). Tulisannya pernah dimuat di berbagai media massa dan buku antologi bersama. Redaksi SLiLit ARENA mengundang semua kalangan untuk mengirimkan tulisan cerita pendek atau puisi. Silahkan kirim tulisan ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail di lpm_arena@yahoo.com. Judul berkas: Cerpen/Puisi_SLiLit ARENA dan sertakan biodata lengkap.
22
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
CATATAN KAKI
Ihwal Kantin Di bawah Masjid* Semoga saja UIN SuKa tidak terburu-buru mengklaim saya antek komunis. Apalagi sampai melapor kepada aparat keamanan, ketika gagasan Karl Marx kembali hadir sebagai pisau analisis yang saya gunakan. Gagasan Marx kali ini digunakan untuk mengkaji pengaruh struktur bangunan UIN SuKa, dilandaskan pada konsep ideologis IntegrasiInterkoneksi. Tulisan ini terinspirasi dari seorang kawan, ia bertanya, “Bagaimana membaca UIN SuKa dengan pisau analisis determinasi ekonominya si Karl Marx yang ortodok itu?” Ketika itu saya menjawab, “Barangkali kita bisa memulainya dari sebuah kantin di bawah masjid, atau lebih jelasnya begini kawan….,” kataku. Mari kita mulai dengan konsep ideologis IntegrasiInterkoneksi, yang katanya sesuai dengan implementasi dari nilai-nilai Qur'an dan Sunnah. Memahami IntegrasiInterkoneksi tidak hanya menganalisis bidang keilmuan saja. Tetapi bisa juga menganalisis dari pola struktur bangunan, karena bangunan kampus ini merupakan simbol dari implementasi Integrasi-Interkoneksi. Masjid, atau yang sering disebut sebagai Laboratorium Agama, merupakan gambaran dari pusat “jaring laba-laba”. Masjid menjadi tempat kegiatan mahasiswa, mulai dari kegiatan akademis sampai keagaman, seperti diskusi, beribadah dan lain sebagainya. Perlu diketahui sebelumnya, model kajian IntegrasiInterkoneksi pada tataran ideal meliputi tiga model, yaitu Informatif, Konfirmatif, dan Korektif (Baca; Sukses Belajar Di Perguruan Tinggi). Saya memiliki penafsiran tersendiri terkait
dengan konteks, jika kita melihat apa yang ada di balik struktur bangunan UIN SuKa terkait Integrasi-Interkoneksi. Pertama, Informatif suatu disiplin ilmu yang sebenarnya mengajarkan kita model marketing dan model pemasaran. Kedua, konfirmatif suatu disiplin ilmu “tertentu” untuk dapat membangun teori yang kokoh harus dengan penegasan dari disiplin ilmu lain. Kata “tertentu” bisa diartikan kalimat abstrak yang mempunyai nilai liberal (pasar bebas), di sini kompetensi individu diharapkan memang bersaing demi tujuan ekonomi. Sehingga, ketika orang masuk ke masjid ia tidak hanya terpaku pada satu tujuan yang sama (ibadah), tetapi juga dikondisikan untuk ke kantin. Ketiga, korektif suatu teori ilmu perlu dipertemukan dengan ilmu agama atau sebaliknya, sehingga dapat saling mengoreksi. Sebenarnya bicara fase perkembangan teori ekonomi yang bersifat evaluatif, mulai dari merkantilisme, liberalisme, dan neoliberalisme sebagai rujukan sejarah, hasilnya sungguh memukau. UIN SuKa mulanya dijadikan barometer kampus kerakyatan dengan pendidikan murah, menuju kampus yang menganut paham demokrasi liberal dengan sifat menindas secara stuktural. Contohnya, kantin dibawah masjid sebagai tanda, dan masjid sendiri sebagai penanda akan adanya relasi yang terikat dalam paradigma modern, yaitu kesadaran ekonomi liberal. Itu semua merupakan hasil dari kerja korektif, sebagaimana Habermas memandang kapitalisme lanjut yang setiap waktu selalu mempercantik diri. Masjid sebagai ruang beraktifitas dalam konsep IntegrasiInterkoneksi tersebut membuat manusia semakin terjerat dari eksistensi kemanusianya. Sebagaimana saya sebut di atas, bertambahnya fasilitas di lingkungan masjid semakin membuat nyaman mahasiswa. Sehingga mahasiswa lupa pada dimensi ketertindasan di luar sana dan termakan oleh kesadaran palsu. Disadari atau tidak, eksistensi berdirinya bangunan memang dikonsep seperti demikian. Konsep IntegrasiInterkoneksi bertujuan untuk persoalan ekonomi sebagai orientasi yang sebenarnya. Sebagaimana Karl Marx memandang dimensi kehidupan yang selalu dideterminasikan pada relasi kerja produksi. Adanya fenomena kantin di bawah masjid mencoba menekankan pada kita, bahwasanya kantin sebagai basis, difungsikan untuk kerja-kerja yang menguntungkan elit politik kampus. Marx memandang ini sebagai pencurian nilai lebih
www.lpmarena.com
23
CATATAN KAKI
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
dari konstruksi keagamaan. Konstruksi itu sediri sebagai kesadaran palsu sedangkan moralitas sebagai ajaran. Padahal, sebelum shalat, kuliah, dan berpolitik, hal paling urgen yang harus dipenuhi terlebih dahulu adalah persoalan ekonomi atau hasrat perutnya, kata Angel. Orang akan selalu berprasangka baik ketika ada seseorang yang berlama-lama di dalam masjid. Stigma yang akan terbangun, lulusan UIN SuKa sangat agamis dan tidak mungkin melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Padahal, stigma pengetahuan yang terbangun tidak demikian, yaitu paradigma pendidikan pasar. Hari ini kita harus curiga, tidak semua orang yang melangkahkan kaki menuju area masjid semuanya akan melakukan ibadah, bisa saja mereka hendak
TELAH WISUDA
Melani Jayanti Sekertaris Arena 2010/2012
Puji Hariyanto Bendahara Arena 2012/2013
24
makan ke kantin dibawah masjid. Penulis hanya ingin mengajak berpikir liar atas pemahaman konsep ideologis Integrasi-Interkoneksi yang hanya dipahami secara kasat mata. Bangunan kantin di bawah masjid itu sendiri merupakan tanda dan penanda dari perilaku kehidupan yang ada didalamnya. Menyoal kembali Integrasi-Interkoneksi dalam kajian pembangunan merupakan suatu hal yang wajar-bahkan kewajiban-demi cita-cita mulia pendidikan. Semoga saja analisis ini memberikan sedikit pemantik agar kita lebih liar dan kritis dalam berpikir. Amiin.[]
*M.Faksi Fahlevi
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
OPINI
Perlukah Program Bela Negara? Oleh Lailatus Sa'adah Negara merupakan suprastruktur kehidupan masyarakat. Eksistensi suatu individu tergantung pada keadaannya di masyarakat. Adanya negara membuat masyarakat menjadi objek yang dikendalikan dan diatur perilakunya agar sesuai dengan standar penilaian negara. Menurut Durkheim hal itu merupakan fakta sosial yang tidak dapat dihindari, bahwa masyarakat dalam suatu negara harus mengikuti kehendak negara. Alih-alih untuk melindungi negara dari berbagai ancaman, masyarakat dan para pemangku kebijakan dihadapkan pada program bela negara. Konsep bela negara telah disusun oleh pemerintah untuk mempertahankan eksistensi negara. Bagi individu pencapaian bela negara yakni menjadi good citizen. Akhir-akhir ini Indonesia diguncang dengan program baru yang diadakan Kementerian Pertahanan (Kemenham). Meski tidak memiliki payung hukum, Kemenham bersikeras mengadakan pelatihan bela negara. Program tersebut disandarkan pada UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib melaksanakan bela negara. Kemenham juga menyebut UU No.3 Tahun 2002 bahwa upaya bela negara adalah sikap dan perilaku setiap warga negara. Pada tanggal 22 Oktober 2015 lalu, pemerintah meresmikan kebijakan bela negara. Program bela negara dianggap sebagai wujud dari revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo. Kurikulum bela negara ini terdiri dari 70 persen materi di dalam kelas, meliputi pendidikan kewarganegaraan, budi pekerti, dan moral. Sedangkan 30% merupakan materi di luar kelas, meliputi latihan baris-berbaris, olahraga, dan latihan upacara bendera. Mengutip pendapat Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, bahwa bentuk bela negara telah disebutkan di dalam pasal 9 UU No.3 Tahun 2002. Di dalam pasal 9 ayat 2 disebutkan, pada
point (a) pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu bentuk bela negara. Begitupula dalam point (d) yang menyebutkan bahwa bentuk bela negara yakni pengabdian sesuai dengan profesi. Maka, semestinya masyarakat Indonesia ikut serta secara aktif melaksanakan bela negara sesuai kemampuan dan profesi masing-masing. Namun, tetap saja, namanya program pemerintah sekali diketuk maka harus dijalankan. Melihat kurikulum bela negara yang menjadi kebijakan Kemenham, sebenarnya bukan materi baru yang diterima masyarakat Indonesia. Sejak masyarakat berbaur dengan lingkungannya maka pendidikan moral dan budi pekerti menjadi tolak ukur yang utama dalam berkehidupan dan bersosialisasi. Dalam kurikulum pendidikan formal, pendidikan kewarganegaraan menjadi materi wajib di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Dari segi materinya, program bela negara tidak jauh berbeda dengan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Masyarakat diarahkan untuk menumbuhkan sikap patriotisme, nasionalisme, dan cinta terhadap tanah air. Penataran tersebut mempunyai tujuan yang mulia. Tetapi, pada masanya, hal itu digunakan sebagai alat setiran rezim orde baru untuk menghipnotis masyarakat. Telah menjadi fakta, bahwa masyarakat suatu negara merupakan bentukan para petinggi negara dengan segala bentuk peraturan dan kebijakan yang harus dipatuhi setiap individu dalam masyarakat untuk memperoleh predikat 'good citizen'. Pada program bela Negara, ada 45 kaputen/kota di seluruh Indonesia yang dijadikan sebagai basis pelatihan. Beberapa diantaranya harus menuai kegagalan di hari pertama karena ketidaksiapan pihak penyelenggara. Masyarakat akhirnya kembali ke daerahnya masing-masing dengan membawa kekecewaan, seperti kasus yang terjadi pada 95
www.lpmarena.com
25
OPINI
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan. “Pramoedya Ananta Toer�
26
peserta di Palu, Sulawesi Tengah. Hal itu menjadi cerminan buruknya kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan program bela negara. Kemenham perlu mengkaji ulang sistematika kebijakan bela negara. Sebab program bela negara ini menganggarkan dana yang besar. Bayangkan saja, jika negara harus mengeluarkan dana ratusan triliun untuk pengadaan program tersebut 10 tahun ke depan. Anggaran dana yang besar tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat. Ketidaksiapan Kemenham dalam pelaksanaan program bela negara mengakibatkan kemubaziran dana yang semestinya bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat yang lain. Sehingga, perlu dikaji ulang apakah program bela negara ini benar-benar urgen dilakukan sekarang ini? Sebelum menyentuh ranah sipil, alangkah baiknya Kemenham perlu introspeksi diri dengan segala kewajibannya. Sebagaimana keresahan masyarakat yang berada di wilayah perbatasan rawan konflik. Masyarakat lebih mengharapkan ketegasan TNI untuk menjaga keamanan di wilayah tersebut. Daerah rawan konflik juga tidak memiliki sarana dan prasarana yang mendukung terselanggaranya pendidikan dan kesehatan yang layak. Dana program bela negara yang besar ini semestinya mampu memaksimalkan tugas TNI di wilayah-wilayah yang rawan konflik dan membutuhkan perhatian lebih. Lagi pula materi-materi bela negara telah menjadi kurikulum wajib pendidikan Indonesia di sekolah-sekolah formal dan perguruan tinggi. Termasuk pula baris-berbaris yang telah terwadahi dengan program ekstrakurikuler pramuka. Beberapa tahun materi ini dipelajari di sekolahsekolah dan perguruan tinggi, toh tidak menjamin semua pesertanya berhasil menyerap nilai-nilai yang diajarkan. Bagaimana dengan program bela negara yang hanya dilaksankan selama tiga hari atau satu minggu bahkan satu bulan sekalipun. Kebijakan bela negara memang perlu dikaji ulang.[]
SLiLiT ARENA | MINGGU, 10 JANUARI 2016
ADVERTORIAL
HARGA BARU, Ngi'Klan di ARENA Ifa : 085747042096 E-mail :lpm_arena@yahoo.com Web :www.lpmarena.com
Spesifikasi Harga MURAH MURAH SAJA
Ukuran
SLiLit
1 Halaman isi
Rp. 500.000
Rp. 550.000
1/2 Halaman isi
Rp. 250.000
Rp. 275.000
1/4 Halaman isi
Rp. 130.000
Rp. 143.000
1/8 Halaman isi
Rp.
Rp.
70.000
SLiLit + Online
77.000
IKLAN LAYANAN INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LEMBAGA PERS ARENA