EDISI MAGANG | JUNI 2014
SLiLiT
ARENA
www.lpmarena.com
Jelas & Mengganjal
DAFTAR ISI
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
UNIVERSITARIA 6
9
KUI Akan Pindah Setelah 2015
FEBI Terapkan Standar Tinggi
Kehadiran FEBI membuat Syariah harus melepaskan KUI. Karena terjadi tarik ulur tentang kepindahan tersebut. KUI baru akan pindah setelah masa akreditasi habis pada 2015
FEBI sebagai fakultas termuda di UIN Sunan Kalijaga dinilai memiliki standar pendidikkan yang tinggi, dengan menerapkan SKS berbobot besar dan nilai minimal B bagi mahasiswanya
11
13
Mahasiswa Perlu Mengenal Organisasi Intera Kampus
Matkul Tak sesuai Konsentrasi, Mahasiswa IBA Kecewa
Kegiatan organisasi intera kampus yang terkesan hanya melakukan acara-acara seminar membuat mahasiswa tak mengetahui fungsi utama organisasi tersebut.
Harapan untuk memperdalam ilmu bahasa Arab di jenjang S2, menjadi tak terpenuhi karena banyak mata kuliah yang tak sesuai dengan konsentrasi.
SLiLiT ARENA DITERBITKAN OLEH: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PENASEHAT Rektor UIN Sunan Kalijaga PEMBINA Abdur Rozaki, S.Ag, M.Si PEMIMPIN UMUM Ahmad Jamaludin WK. PEMIMPIN UMUM Dedik Dwi Prihatmoko SEKRETARIS UMUM Annisatul Ummah BENDAHARA Chusnul Chotimah DEWAN REDAKSI Januardi S Husin, Roby Kurniawan PEMIMPIN REDAKSI Lugas Subarkah REDAKTUR ONLINE Ulfatul Fikriyah REDAKTUR SLiLiT Usman Hadi REDAKTUR BAHASA S Ghidafian Hafidz REPORTER Faksi, Fa’i, Ekmil, Mutiara, Maya, Amri, Fauzi, Caksono, Yazid, Oli, Isma, Faisal, Ria, Najib, Anis, Surasuk, Riza, Mas’odi
CATATAN KAKI 4 Mimpi Malam di Kampus Putih
Wajah Sendu Ibu Pertiwi
EDITORIAL 5 Germa (Bukan) Organisasi Favorit?
SASTRA 18 Cerpen
FOTOGRAFER Abdul Majid
Puisi
KOORDINATOR PUSDA Andy Robandi KOORDINATOR JARKOM Rakhmat Efendi KOORDINATOR PSDM Arifki Budia Warman Kantor Redaksi/Tata Usaha Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adi Sucipto Yogyakarta 55281 Telp.: +62857 259 151 49 a/n Khusni E-mail: lpm_arena@yahoo.com Web: www.lpmarena.com
LEBIH DEKAT 16 Susilaningsih: Soal Gender, Masih Banyak yang Nyinyir
RANCANG SAMPUL & TATA LETAK Khaulah Pundi M
DIREKTUR PERUSAHAAN & PRODUKSI Khusni Hajar
OPINI 15
Alunan Blues di Masa Lalu
PUSTAKA 22 Lanskap Kebangkitan Buruh
Kau Pemuda dengan Sorot Mata Hitam
KANCAH 24
Awas! Bahaya Laten Apatisme Mahasiswa Oleh Rifai Asyhari
Sistem SKS, tugas numpuk, rayuan lulus cepat, stigma mahasiswa abadi dan ancaman drop out seakan mengharuskan mahasiswa benar-benar fokus pada kuliahnya saja. Bagaimana mahasiswa mau bergerak untuk peduli dengan persoalan bangsa kalau kondisi di kampus saja seakan mengancam sebegitu ganasnya? Kita patut curiga, jangan-jangan ada NKK/BKK gaya baru di kampus kita. Belum lagi rayuan hedonisme yang menggiurkan. Banyaknya kesenangan yang ditawarkan kepada mahasiswa ternyata sangat menggoda melucuti idealismenya. tidak punya gadget.
SURAT PEMBACA
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
Paket Wisata Intelektual* “Ada yang mau bertanya? Kalau tidak ada saya akhiri kuliah ini dan jangan lupa tugas dikerjakan!" Kira-kira seperti itu ucapan dosen lima menit sebelum kuliah berakhir. Padahal mungkin banyak sekali unek-unek mahasiswa yang ingin disampaikan dan didiskusikan bersama terkait mata kuliah tersebut. Setelah pulang mereka langsung dibebani tugas yang terkadang butuh berhari-hari untuk dapat selesai. Belum lagi dengan keadaan yang serba terbatas ini mahasiswa dituntut untuk selalu produktif dan harus menjadi ilmuwan namun apa daya, waktu kini mahal sekali harganya. Betapa tidak? Kuliah hanya tiga jam, absensi harus 75 persen, dan terlebih kita harus empat tahun dapat keluar kampus. Padahal butuh waktu bertahun-tahun untuk melakukan pengabdian. Ya, inilah mungkin yang membedakan mahasiswa terdahulu yang saat ini menjadi para ilmuwan yang
mempunyai segudang penemuan dengan mahasiswa sekarang yang hanya dapat bermimpi menjadi tukang.Tri dharma pendidikan sudah seperti paket wisata yang disediakan kampus, mau tidak mau mahasiswa harus ikut dan harus nurut kalau tak mau ditinggal bus atau bahkan bisa saja dikeluarkan dari bus pariwisata. Saya berharap agar mahasiswa menjadi penumpang yang tak tidur selama perjalanan ini berlangsung dan saya pun berharap agar bapak sopir dan kondektur membimbing kami untuk menjadi penumpang yang terjaga dan menjelaskan apa yang terjadi selama perjalanan secara jelas agar kami dapat membawa cerita dan pengalaman yang luar biasa untuk kami bagikan pada dunia, bukan hanya sekedar oleh-oleh pernakpernik dan foto saja tanpa tahu proses sebenarnya. *Burhanis Sulton Indrapratama, mahasiswa semester VI Jurusan Ilmu Perpustakaan (IP) Fakultas Adab dan Budaya.
Perbaharui Koleksi Buku Perpustakaan* Salam sejahtera untuk kita semua para insan Manusia, terkhusus masyarakat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sedikit kami akan menyampikan resah yang mengganjal di benak kami para mahasiswa, yaitu mengenai koleksi buku- buku di perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, kami merasa bahwa banyak buku yang sudah kadaluarsa, entah masa terbitnya atau bentuknya yang sudah tak wajar lagi. Warnanya yang sudah menguning, halaman yang sudah pada copot, atau sobeksobek. Sebenarnya hal ini menjadi PR besar bagi para petugas perpustakaan. Setidaknya harus ada upaya untuk penataan kembali koleksi buku- buku yang ada di perpustakaan. Entah buku-buku yang agak kadaluarsa dipisahkan atau bagaimana.
Karena kami sebagai mahasiswa selalu dituntut untuk mencari referensi atau rujukan terbaru. Seperti contohnya ketika kami membuat karya ilmiah dosen selalu menganjurkan bahwa rujukan harus terbitan 10 tahun terakhir. Hal inilah yang sedikit membuat kita kesulitan, karena koleksi buku- buku di perpustakaan banyak yang terbitan lama. Kami mengharapkan bahwa pihak perpustakaan memperhatikan hal ini untuk segera mensistematiskan bukubuku yang ada di perpustakaan. Terimakasih. *Bahri Ni'mah, mahasiswa angkatan 2012 Jurusan Ilmu AlQur'an an Tafsir FUSPI.
akses informasi dan berita kampus
baca! SLiLit ARENA www.lpmarena.com
3
CATATAN KAKI
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
Mimpi Malam Di Kampus Putih* Banyak hal yang terlintas di dalam benak setiap orang ketika bicara tentang suasana di malam hari. Tentunya kesan dan kedamaian yang tersirat dalam ruas pikiran yang paling dalam. Sehingga banyak asumsi-asumsi itu lahir dan hilir di setiap bibir. Malam itu adalah keheningan, ketentraman dan kebahagiaan yang mengiringi senyuman. Bahkan kata “luka” seringkali terobati oleh kata “malam”. Di suatu sisi malam juga bermakna humanis, tak ayal jika terlintas di bawah alam sadar bahwa esensi wanita yang hakiki juga bagian dari jelmaan malam. Angin ikut membelai daun dan ikut pula dalam membentuk sejarah di malam hari. Sejarah kehidupan di malam hari di kampus putih menjadi nilai nyali. Karena kehidupannya telah diambil alih oleh sejarah reproduksi sehingga ia kehilangan akal budi yang berujung dengan birahi. Apalagi melihat fasilitas di malam hari di kampus putih, semakin memberikan kebebasan hubungan antara kekasih. Karena lampu-lampu yang berbias putih hanya diisi untuk kaum birokrasi. Mengingat apa yang disampaikan seorang ayah sebelum penulis menapakkan kaki di sebuah kota yang bernama Yogyakarta. Beliau berkata “kebiasaan para pemuda khususnya mahasiswa, mereka selalu membawa buku dan membaca di malam hari untuk kehidupan di siang hari”. Inti perkataannya, bahwa bekal dari seorang intelektual berawal dari sifat yang selalu haus akan ilmu untuk kesejahteraan sosial masyarakat. Bukan justru apatis terhadap fungsi sosialnya. Tapi tidak dapat dipungkiri, kenyataan itu sulit dicari pada setiap malam hari di kehidupan kampus putih saat ini. Padahal, jauh sebelumnya kampus adalah harapan banyak orang. Dahulu, budaya pada malam hari membentuk jati diri dengan baca buku dan diskusi. Tapi sayang semuanya telah hilang dimakan zaman dan teknologi yang membelenggu pikiran. Entah apa yang terjadi. Kebiasaan dan keadaan itu terlihat suram dan kelam. Mungkin saja mereka telah terjebak pada ilusi kapitalisasi & modernitas yang menindas. Contoh konkrit di panggung demokrasi tidak lagi menjadi wadah diskusi di malam hari, tetapi hanya menjadi kumpulan orang yang sibuk dengan diri sendiri. Kata Pram mereka “ber-dialektika di ruang yang basabasi”. Penulis artikan dunia maya (Facebook, twitter,dll). Dengan menggunakan alat canggih dan gaya hidup, mereka semakin lupa diri dan semakin menghilangkan identitas
kebudayaan yang dimiliki. Misalnya lagi, pada pukul sepuluh malam, kampus barat terasa sepi seolah-olah menutup diri. Kemudian menyusul kampus timur karena lampu gedung Student Center yang terakhir dipadamkan sebelum seluruhnya. Kampus ibarat dengan makam tua yang hanya menyisahkan penghuni pos ronda. Serius, ini sebuah persoalan. “Apa arti sebuah malam jika hanya menyisakan bayangan,” begitulah kata pemuda saat ini. Imajinasi tidak lagi tinggi, malam yang ramai terasa sunyi karena mereka tidak lagi berdialektika antar sesama. Emosi kebudayaan dan berbangsa hanya dijadikan simbol dalam bernegara. Mungkin mahasiswa telah lupa untuk memulai membangun perubahan itu sendiri. Hal demikian yang harus direnungi di malam hari, bukan hanya menabur senyum pada benda mati (laptop). Jika ini berlarut, semboyan mahasiswa sebagai agent of change and agent of social control hanya menjadi orasi kebudayaan di siang bolong, karena siang telah disibukkan dengan absensi 75 persen. Entah jawaban apa yang akan bisa menumbuhkan sebuah kesadaran pemuda-pemudi bangsa. Segala realitas selalu dimaknai dengan kata-kata indah yang tidak mengandung arti apa-apa. Martin Heidegger, selalu menganjurkan membaca realitas dan peka pada kenyataan bukan memaknai harapan dengan pekerjaan yang dapat membumbuhi harapan kaum yang berkambing hitam (pemodal). Mungkin saja sejarah sebagai gerak awal atas pembacaan. Akan tetapi kita harus membangun konsepsi tersendiri layaknya pemuda. Dengan demikian mungkin saja harapan itu ada, asalkan optimis, tingkatkan mental, dan jiwa progresif yang kritis untuk perubahan yang kreatif. Hal demikian memang remeh-temeh yang terabaikan dalam sejarah kehidupan kampus. Bahwa pada hakikatnya seorang mahasiswa tahu bahwa di malam hari adalah keadaan berdialektika yang ideal. Bagi Louis Althusser, mahasiswa adalah kaum idealis yang humanis, yang selalu memangku kebijakan-kebijakan dan penghalang bagi mereka kaum kapitalis yang tidak humanis. Harapannya, idealis di malam hari dan praksis di siang hari. Kampus sebagai ruang berdialektika bukan tempat berdiaspora.[] *M. Faksi Fahlevi E-mail: faksi.fahlevi@yahoo.com
RALAT SliLit ARENA edisi April (30/04) Pada berita “Ujian Training ICT Sering Tak Lulus” halaman 11, terdapat kesalahan penamaan tabel. “Presentase Kelulusan Mahasiswa dalam Ujian ICT” seharusnya “Presentase Kelulusan Mahasiswa dalam Sertifikasi.” Pada penamaan karya lukisan sampul muka. Lukisan sampul muka karya Henggar Romadioni seharusnya Iskandar dengan judul “Mosem Majhang” 2013 dan merupakan sampul buku antologi puisi “Pembisik Musim” karya A'yat Khalili diterbitkan oleh Halaman Indonesia ISBN 978-602-70133-0-8.
4
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
EDITORIAL
Germa (Bukan) Organisasi Favorit? Pernahkah pembaca selama menjadi mahasiswa ditanyai; organisasi gerakan apa yang Anda ikuti? Lantas bagaimana akan menjawabnya jikalau Anda tidaklah bergabung dengan gerakan tertentu atau aktif dengan organisasi tertentu? Ya, tentu saja, dengan jujur Anda akan menjawab; Tidak Bergabung. Kemudian jika ketika itu juga Anda dituntut untuk menjelaskan lebih lanjut; Kenapa tak bergabung dengan gerakan mahasiswa, padahal Anda seorang mahasiswa. Nah, biasanya kebanyakan orang –tak menutup kemungkinan diantaranya adalah Anda- akan berpikir cepat sekian detik dan memberi jawaban yang sekiranya tidak akan mengundang pembicaraan lebih lanjut, apalagi akan berujung sebuah diskusi. Jawaban yang bermunculan—guna menghindari pembicaraan lebih lanjut tersebut—kadangkala bukanlah jawaban yang relevan dengan pertanyaan “kenapa tak bergabung” itu. Misalnya; “Pengen fokus kuliah” atau “gak suka sama gitu-gituan”, dan banyak macam jawaban lainnya. Kami katakan jawaban tersebut tak relevan karena tidaklah berkorelasi antara dirinya sebagai seorang yang tidak ikut bergabung (dan tak menutup kemungkinan juga “menolak” jika dihubungkan dengan gerakan mahasiswa) dengan gerakan mahasiswa sebagai sebuah institusi. Tak berkorelasi, yang berarti juga “tak nyambung”, karena keberadaan organisasi gerakan sebagai sebuah institusi, tentulah jawaban yang dikehendaki dari ketidak-sesuaian itu terletak antara ide, wilayah gerak, orientasi dan cita-cita. Yah, namanya juga jawaban yang tak ingin ditanya lebih lanjut. Tentu saja kita tak dapat mengomentari lebih jauh. Pembicaran akan berhenti disini. Dan jika tetap dipaksa dengan pertanyaan lagi dan lagi, tak menutup kemungkinan jawaban-jawaban yang bermunculan akan ikuti dengan gestur tubuh menolak keberadaan yang bertanya. Seolah-olah mengisyaratkan kepada si penanya untuk “Stop, berhenti disitu atau anda lebih baik pergi..!!”. Baiklah, tapi bagaimana kalau seandainya si penanya itu adalah Anda, seorang yang aktif dalam sebuah organisasi gerakan. Pertanyaan dari Anda, seorang mahasiswa yang “terlanjur” jatuh cinta dengan dunia gerakan dan bersedia mengorbankan sebagian besar waktu –termasuk juga kuliahdengan alih-alih menyukseskan program-program gerakan. Bagaimana Anda akan merespon jawaban “mengakhiri pembicaraan” dari mahasiswa yang Anda tanyai tersebut? Anda Jengkel? Mungkin saja. Anda Marah? Lumrah. Atau barangkali Anda tak masalah dengan jawaban tersebut? *** Gerakan mahasiswa (germa) dewasa ini benar-benar berada pada sebuah tanda tanya. Wacana-wacana terus bermunculan seiring dengan semangat membicarakan
gerakan mahasiswa, mulai dari pemantapan identitas sebagai agent of change, wacana reformulasi hingga reprogramisasi orientasi gerakan. Wacana-wacana tersebut mengisyaratkan keberadaan germa pada titik balik. Namun “balik” disini tak bisa pula diartikan negatif. Balik bisa berarti pulang. Dalam pulang, orang bisa membaca diri. Dan sepertinya, itulah yang paling dibutuhkan germa saat ini. Membaca diri sebagai sebuah institusi mahasiswa yang tak bisa dipisahkan dari gerak kondisi disekitarnya. Gerakan mahasiswa membaca gerakan disekitarnya. Dari paragraf-paragraf pembuka tulisan ini, meskipun tidak persis 100 persen sama dengan pengalaman, pembaca dapat mengambil pesan dan juga kesan keberadaan germa diantara para mahasiswa. Kita melihat germa sebagai sebuah institusi. Dan karena itu tidak akan lepas dari interaksi dengan kondisi sosialnya. Ketika kehidupan kampus saat ini –sebagai bagian dari interaksi sosial germa- dilingkupi oleh sikap pragmatis dan oportunistik, hal demikian bukanlah semata dari mahasiswa tersebut. Artinya, sikap pragmatis dan oportunis itu juga dikontributori oleh germa, baik secara langsung maupun tidak. Ketika germa tidak mampu beradaptasi ataupun tawar posisi dengan perkembangan zaman hasrat mahasiswapun untuk bergabung menjadi berkurang. Beradaptasi dan tawar posisi adalah stategi yang mau tak mau harus dipikirkan oleh setiap gerakan untuk “mempengaruhi” massa diluar gerakannya. Dalam hal teori atau ideologi germa mungkin tak bisa ditawar-tawar, kecuali bagi gerakan yang mau menawarnawarkan teori dan ideologi gerakannya seperti jajanan pasar. Ideologi, sebagaimana diketahui, adalah prinsip yang mesti tertanam dalam benak setiap mahasiswa gerakan. Namun bukan berarti ideologi mesti dijalankan dengan metode gerak yang melulu sama dari dekade ke dekade. Kita ambil contoh, sebuah gerakan misalnya berideologi kritis –terserah kritis disini mau diartikan dan dimaknai dengan mazhab apa- germa tersebut bisa memilih metode organisir antara akan memfokuskan institusinya untuk mendidik kader secara militan hingga menjadi kader-kader berperangai kritis, ataukah lebih memilih metodenya sebagai institusi dengan massa yang banyak, yang artinya kuantitas lebih penting. Dan upaya kritis akan dilakukan oleh kaderkader tertentu demi menjalankan program-program organisasi. Memang, tak ada pilihan yang tanpa kerugian. Dari pilihan pertama, kemungkinan gerakan akan menjadi kecil dari segi jumlah kader. Seorang kader akan menjalankan lebih dari satu tanggung jawab. Opini publik, jika tidak disiasati lebih lanjut, akan sulit terbentuk dengan motode pilihan pertama ini. Dipilihan kedua, kemungkinan negatifnya, institusi germa akan menghimpun massa mengambang. Dan ketika itu, tentu kita bersama mengetahui apa dampak bagi gerakan tersebut jika
www.lpmarena.com
5
UNIVERSITARIA
dipenuhi dengan massa cair tersebut-kan. Pemilihan medote gerakan ini tentulah menuntut sebuah kepemimpinan yang sigap dengan teori dan prakteknya. Kemungkinan besar dari pemilihan metode ini adalah perdebatan internal, yang jika tak disiasati dengan jitu akan mengundang perpecahan, baik terselubung maupun tidak. Perdebatan internal, bagi pemimpin yang sigap, akan diarahkan pada diskusi terbuka. Ini sangat baik. Setidaknya akan mengundang dinamika internal yang positif untuk pendewasaan para kader. Namun sebaliknya, kepemimpinan yang payah, akan mengakibatkan intrik-intrik internal. Dan kemudian akan berhamburan keluar institusi. Akibat lebih lanjutnya, massa diluar organisasinya akan lebih dahulu memandang buruk. Padahal massa tersebut belum tentu benar-benar memahami inti dari perdebatan internal tersebut. Persoalan kepemimpinan dan pengkaderan ini, semakin hari, semakin penting untuk disikapi setiap gerakan. Tak hanya penting bagi internal organisasi sebagai subjek yang akan menjalankan program, namun juga demi “pengaruh” gerakan. Bukan semata-mata persoalan citra. Terlebih lagi belakangan ini, banyak kritik yang dilontarkan kepada setiap gerakan, salah satunya adalah merosotnya moral kader-kader gerakan. Jika keengganan mahasiswa hari ini untuk ngomongin gerakan mahasiswa bisa dibaca sebagai sebuah kritik, ini barulah kritik pesimistik. Bukan kritik yang mendalam. Namun bukan berarti kritik pesimistik dan tak mendalam tersebut adalah kritik yang tak serius. Bagi pembaca yang memahami, sikap tak acuh atas gerakan tersebut sudah mengindikasikan lemahnya orientasi mahasiswa untuk membangun dirinya bersama dengan gerakan. Gerakan dewasa ini tinggal menjadi pilihan diantara banyak pilihan organisasi yang bisa dimasuki mahasiswa. Dan sayangnya, pilihan untuk memasuki germa ini bukanlah pilihan favorit, apalagi bagi mahasiswa yang berlogika untungrugi. Sudah sampai saatnya untuk setiap gerakan tak dapat lagi menutup mata dengan setiap kritik yang ditujukan kepadanya, apalagi krtik tersebut bersangkut-paut dengan eksistensi gerakan. Sudah saatnya setiap gerakan menerima kitik-kritik tersebut untuk tabayyun, untuk bahan analisis keorganisasiannya. Ya, bukankah dalam kondisi titik balik ini –jika istilah ini cocok digunakan- adalah kondisi yang tepat. Dimana “balik” yang juga berarti “pulang”, kita dapat berkemas-kemas diri dan menaksir sejauh mana kita berjalan dan bagaimana jalan yang telah ditempuh. [] Redaksi Redaksi SLiLiT ARENA menerima kritik dan saran terhadap editorial.Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Bentuk tulisan utuh 400-700 kata. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Saran/Kritik Editorial_SLiLiT ARENA
6
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
ah
ark
sub
UNIVERSITARIA
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
KUI Akan Pindah Setelah 2015 Kehadiran FEBI membuat Syariah harus melepaskan KUI. Karena terjadi tarik ulur tentang kepindahan tersebut, KUI baru akan pindah setelah masa akreditasi habis pada 2015. Oleh Mas'odi & Faisal Hidayat
J
urusan Keuangan Islam (KUI) merupakan salah satu jurusan yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum yang berdiri tahun 1999 dan mendapatkan akreditasi A, melalui surat keputusan yang dikeluarkan Kementrian Agama (Kemenag) pada tahun 2010 silam. Namun sekitar awal tahun 2012, jurusan tersebut mulai mengalami goncangan dengan adanya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Islam untuk memindahkan Jurusan KUI pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Kebijakan tersebut mengakibatkan kontroversi di kalangan mahasiswa yang mengambil jurusan tersebut, sebagaimana yang disampaikan Anshori, ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMA-F) Syariah. “Ada mahasiswa yang ingin tetap di sini, dan ada pula yang ikut saja dengan kebijakan tersebut, khususnya mereka yang tidak paham dan tidak mau tahu tentang hal itu,” ujar mahasiswa Jurusan Jinayah Siyasah tersebut. Menurutnya, yang menjadi permasalahan yang cukup bergejolak pada mahasiswa adalah tentang masalah identitas mereka, tentang nasib mereka kedepannya, persoalan infrastruktur dan juga kejelasan akreditasinya, sehingga mereka mendapat pengakuan dari luar. “Mereka tidak mau dihilangkan begitu saja dengan identitas yang tidak jelas,” terang Anshori pada tiga April lalu. Siti Habibah, mantan Dosen KUI juga mengungkapkan hal yang demikian, bahwa di kalangan
mahasiswa masih pro dan kontra perihal pemindahan tersebut, “Yang kontra karena akreditasi di KUI sekarang A, sedangkan di FEBI masih belum jelas nanti akhirnya seperti apa,” ungkapnya. Dia berpendapat bahwa secara pribadi dirinya akan mengikuti kebijakan dari atasan. Menurutnya kalau memang mau fokus keilmuan ekonomi, mau tidak mau mahasiswa KUI harus bergabung dengan FEBI. Memang yang menjadi pertimbangan besar oleh mahasiswa KUI adalah tentang akreditasi yang sekarang ini sudah didapatkan oleh Jurusan KUI selama ini. Dan mereka juga masih merasa ambigu ketika diminta pendapat apakah lebih baik pindah atau masih tetap di bawah naungan Fakultas Syariah. “Saya masih ambigu juga, soalnya masih belum jelas apa akreditasinya nanti kalau sudah pindah ke sana,” ujar Ghufron Hasan, salah satu mahasiswa semester akhir Jurusan KUI. Lebih lanjut Ghufron mengakui bahwa bukan dirinya saja yang mempermasalahkan tentang akreditasi, tetapi juga mahasiswa lainnya yang ada di jurusan tersebut. Ada sebagian yang menyatakan, bahwa permasalahannya tidak cukup pada akreditasi, akan tetapi juga harus ada yang berani bertanggung jawab dan menjamin ke mana akhirnya KUI nanti akan dibawa. “Jangan sampai nanti KUI sesudah diambil malah dilepas begitu saja. Atau masih tetap di Syariah, tetapi tidak diayomi,” ungkap Khotibul Umam, mahasiswa Jurusan KUI semester akhir. Khotibul mengungkapkan bahwa sekarang ini sudah ada yang mau bertanggung jawab setelah nanti KUI resmi dipindah ke FEBI. Hal itu
www.lpmarena.com
7
UNIVERSITARIA
Yang kontra karena akreditasi di KUI sekarang A, sedangkan di FEBI masih belum jelas.
8
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
diungkapkan oleh pihak rektorat dan jajarannya ketika audiensi. “Dari pihak rektorat ada WR I, yaitu Sekar Ayu Aryani yang siap untuk bertanggungjawab dan siap mengawal kalau misalnya KUI sudah resmi dipindah ke FEBI, karena hal tersebut sebagai tindak lanjut atas undangundang yang dikeluarkan oleh Dirjen,” tambahnya. Kontroversi yang ada di kalangan mahasiswa KUI bukan tanpa sebab. Khotibul Umam mengakui bahwa selama ini memang masih banyak hal di jurusan tersebut yang masih belum terbenahi. Salah satunya laboratorium Bank Mini yang masih kurang produktif, dan kurikulumnya yang masih belum jelas mau diarahkan ke mana. Hal ini dapat dilihat dari penerapan kurikulum yang sering berubah-ubah dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama hingga adanya konversi kurikulum baru-baru ini. “Selain itu kerja sama yang menyangkut studi dan pengembangan terkait dengan Jurusan KUI itu sangat jarang kita temukan. Kita sebagai anak KUI merasa termarginalkan karena kerjasama yang selama ini dilakukan kebanyakan hanya berkaitan dengan materi studi hukum saja,” ujar mahasiswa KUI semester akhir tersebut. Terkait dengan pengembangan KUI di masa depan, maka jurusan tersebut memang seharusnya ada di bawah rumpun keilmuannya, yaitu lembaga khusus yang menangani tentang prihal ekonomi. “Kita anak keuangan bukan anak hukum. Alangkah lebih baiknya kalau disatukan dibawah satu rumpun Fakultas, yaitu di Fakultas Ekonomi dan Bisnis saja,” ungkap Khotibul Umam Hal terkait juga seperti apa yang disampaikan oleh M. Yazid Afandi, Ketua Jurusan (Kajur) KUI. “Untuk mengkaji lebih mendalam tentang ilmu ekonomi, maka kita harus bergabung ke FEBI. Namun kalau mau tetap di Syari'ah maka kita harus mengubah fokus keilmuannya ke kajian Islam dan Muamalah,” ungkap M. Yazid Afandi,
menanggapi isu perpindahan KUI ke FEBI ketika ditemui ARENA di Kantornya pada 28 Maret lalu. Noorhaidi Hasan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum menjelaskan bahwa pihaknya akan menjalankan perintah Dirjen prihal perpindahan KUI ke FEBI. Namun pihaknya masih meminta penundaan untuk pemindahan tersebut. “Melalui keputusan rapat yang sudah dilakukan, pemindahan KUI ke FEBI itu tidak harus sekarang. Kami mengusulkan phasing out sampai masa berakhirnya masa akreditasi, yaitu akhir Desember 2015,” kata Noorhaidi. Ia mengatakan bahwa usulan tersebut dikabulkan oleh Dirjen sebagaimana terlampir dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh pihak Kemenag pada tanggal 31 Januari 2014 lalu. Dalam surat tersebut menyatakan, bahwa usulan phasing out bagi mahasiswa Program Studi Keuangan Islam (KUI) dapat dilakukan dengan ketentuan Fakultas Syariah dan Hukum tidak menerima mahasiswa baru pada program studi tersebut sejak tahun ajaran 2013/2014. Penerimaan mahasiswa baru untuk prodi dimaksud hanya boleh dibuka pada FEBI. Ditemui ARENA di kantornya, Noorhaidi menyatakan bahwa sekitar ada enam PerguruanTinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) se-Indonesia yang selama ini juga mempunyai Prodi KUI di Fakultas Syariah, tidak ada satu pun yang tidak mengikuti instruksi dari Dirjen untuk memindahkan Prodi KUI. Menurutnya, memang hanya tinggal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta saja yang masih belum melaksanakan instruksi dari Kemenag tersebut. Dalam rangka menyongsong perpindahan Jurusan KUI ke FEBI, Noorhaidi sudah ada rencana untuk melahirkan jurusan baru di Fakultas Syariah. “Kami sedang merencanakan jurusan baru, yaitu Hukum Keuangan Syariah. Itu cuma sebatas rencana dan masih belum diajukan ke Kemenag,” ungkapnya.[]
UNIVERSITARIA
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
FEBI Terapkan Standar Tinggi FEBI sebagai fakultas termuda di UIN Sunan Kalijjaga dinilai memiliki standar pendidikan yang tinggi, dengan menerapkan SKS berbobot besar dan nilai minimal B bagi mahasiswanya. Oleh Ahmad S Fauzi
D
ua tahun berlalu pasca peluncuran FEBI di UIN Sunan Kalijaga (28 April 2012), kini FEBI telah mendapatkan berbagai kelengkapannya, yang terbaru pada tanggal 8 April 2014 secara resmi telah dilantik dua orang wakil dekan untuk membantu kinerja Ibnu Qizam yang telah lebih dahulu dilantik sebagai dekan FEBI. Selama dua tahun berdiri FEBI bukan tanpa masalah, yang paling nyata tentu belum adanya kepastian gedung perkuliahan dan belum adanya wadah organisasi internal fakultas. Namun ada satu permasalahan lain yang tak kalah hangat diperbincangkan di kalangan mahasiswa, yaitu standar pendidikan yang dirasa terlampau tinggi oleh sebagian kalangan mahasiswa,
subarkah
dengan indikator banyaknya mata kuliah dengan bobot besar, dan adanya batasan minimal nilai B untuk mahasiswa FEBI. Rizky Ahmad Fauzi, mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah mengeluh hal tersebut “Cukup sulit kalu banyak mata kuliah yang berbobot besar apalagi mahasiswa FEBI juga dituntut untuk memperoleh nilai minimal B,” ungkap Rizky. FEBI dinilai cukup berani dalam menentukan standar tersebut, mengingat hingga saat ini FEBI belumlah memiliki dosen yang berstatus sebagai pengajar tetap di fakultas tersebut. Satuan Kredit Semester (SKS) ialah suatu sistem penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan satuan kredit untuk menyatakan beban studi mahasiswa, dengan tujuan untuk mengakomodasikan adanya perbedaan minat dan bakat antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lain. Sistem SKS di FEBI membagi berbagai macam mata kuliah dalam bobot yang berbeda-beda, namun yang menjadi masalah bagi mahasiswa FEBI ialah tak sedikit mata kuliah yang memiliki bobot SKS besar. Untuk Prodi Ekonomi Syariah, mahasiswa wajib menyelesaikan sembilan mata kuliah dengan bobot lebih dari enam SKS. Sementara untuk Prodi Perbankan Syariah mahasiswa wajib menyelesaikan enam mata kuliah dengan bobot lebih dari enam SKS, bahkan ada yang mencapai delapan SKS. Nada keberatan terhadap bobot SKS yang besar pun bermunculan, salah satunya dari M. Ridho Taufik mahasiswa semester empat dari Prodi Perbankan Syariah. “Cukup berat kalau
banyak SKS yang besar, apalagi ini delapan SKS yang artinya ini adalah sepertiga dari total seluruh SKS yang saya ambil,” ujar Taufik. Poin lain yang membuat mata kuliah ini terasa berat ialah bahwa mata kuliah berbobot delapan SKS ini adalah mata kuliah kuantitatif yaitu Akuntansi Keuangan. “Cukup berat, apalagi ini mata kuliahnya kuantitatif yaitu akutansi keuangan dan tidak semua mahasiswa FEBI memiliki basic accounting semasa di SMA karena ada sebagian mahasiswa yang bukan dari jurusan IPS,” ujar Shofi Mardhiatur Ridho, mahasiswa Perbankan Syariah semester empat. Lebih lanjut Taufik mengungkapkan, bahwa SKS berbobot besar ini kurang efektif, karena mahasiswa seakan dipaksa untuk menjalaninya dan terkadang dosen pun merasa kesulitan karena terlalu banyak materi yang harus disampaikan hingga pertemuan mencapai tiga kali dalam seminggu. Saat ditemui ARENA, Arsyadi Ridha selaku dosen mata kuliah Akuntansi Keuangan di FEBI menyatakan bahwa mengajar delapan SKS itu suatu hal yang cukup berat, apalagi ini merupakan pengalaman pertama baginya. “Cukup berat, apalagi ini merupakan pengalaman pertama mengajar delapan SKS bagi saya. Beratnya itu karena tiap pertemuan materi yang disajikan berbeda, jadi dosen beserta mahasiswa harus bekerja ekstra,” ujarnya ketika ditanya mengenai kesulitan dalam mengajar mata kuliah berbobot besar. Idealnya suatu mata kuliah berbobot besar haruslah dipersiapkan secara matang. Bahkan jika perlu dibentuk tim dosen, secara khusus hal yang terpenting ialah kesiapan fakultas dalam melaksanakan program tersebut. Hal tersebut juga diamini oleh Misnen Ardiansyah selaku mantan pejabat sementara wakil dekan FEBI, “Harusnya untuk SKS yang berbobot besar itu dibentuk teaching team, tapi
www.lpmarena.com
9
UNIVERSITARIA
Karikatur: Khauliyah Pundi M
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
berhubung mekanisme keuangan di UIN belum mendukung adanya team teaching, dan adanya aturan universitas yang menyatakan bahwa satu mata kuliah itu diampu oleh seorang dosen maka kita sulit untuk merealisasikannya,” kata Misnen Lebih lanjut Misnen menambahkan, bahwa alasan utama banyaknya SKS yang berbobot besar di FEBI ialah karena tuntutan dari sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi yang dianut oleh FEBI. “SKS yang besar itu bagian dari sistem KBK yang digunakan di FEBI, di mana sistem KBK sendiri menuntut mahasiswa untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan pada tiap mata kuliahnya. Tujuan utama banyaknya SKS yang besar yaitu untuk efektifitas mata kuliah itu sendiri, jadi diharapkan satu mata kuliah itu dapat dengan tuntas diselesaikan tanpa adanya pengulangan materi sehingga mahasiswa dapat mencapai kompetensi dari mata kuliah tersebut,” ujarnya ketika ditemui ARENA.
Standar Nilai Minimal B Nilai merupakan hasil dari pencapaian kompetensi mahasiswa selama mengikuti perkuliahan, nilai digunakan sebagai tolak ukur kompetensi mahasiswa terhadap materi yang diberikan, meskipun nilai bukanlah satu-satunya indikator dalam hipotesis tersebut. Pemberian nilai berdasarkan dua hal yaitu proses pembelajaran dan hasil pembelajaran, mahasiswa sebagai objek penilaian diharuskan untuk memperoleh nilai minimum yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pendidikan. Di FEBI sendiri terdapat suatu
10
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
aturan bahwa mahasiswa wajib memperoleh nilai B jika ingin dinyatakan lulus, hal ini dirasa tak sesuai dengan aturan universitas yang menyatakan bahwa mahasiswa diperbolehkan memiliki tiga nilai dengan bobot C- sebagai syarat kelulusan. Hal ini membuat beberapa mahasiswa yang mendapat nilai kurang dari B melakukan pengulangan mata kuliah, padahal secara aturan universitas mereka bisa saja telah memenuhi persyaratan kelulusan. Hal tersebut seperti yang dialami oleh Emmik Kanigara mahasiswa program studi Ekonomi Syariah, “Berhubung dari fakultasnya cuma nyediain paket 21 SKS, daripada mubadzir jatah SKS-nya jadi saya ambil mata kuliah yang sebelumnya dapet nilai kurang dari B. Tujuannya ya biar bisa lulus, standar nilai di FEBI kan B,” ucap mahasiswa asal Bumiayu tersebut. Pada dasarnya penentuan standar nilai minimal B haruslah dipertimbangkan secara matang, khususnya mengenai kesiapan mahasiswa dan tenaga pengajarnya sendiri. Untuk mencapai standar minimal tersebut bukan hanya diperlukan kerja ekstra dari mahasiswa melainkan juga dari pihak pengajar. “Untuk mencapai standar nilai di FEBI diperlukan kerja ekstra dari mahasiswanya, tapi yang jelas kualitas tenaga pengajar juga haruslah mendukung,” ucap Shofi yang juga mahasiswa Perbankan Syariah di FEBI. Ketika dikonfirmasi ARENA, Misnen Ardiansyah selaku orang yang terlibat dalam penyusunan kurikulum di FEBI membenarkan bahwa standar nilai
minimalnya adalah B. “Nilai B itu tuntutan dari KBK, KBK itu mengutamakan kompetensi yang dimiliki oleh mahasiswa dan salah satu indikatornya ialah nilai B sebagai standar kelulusan,” kata Misnen. Ia juga menambahakan bahwa pada akhirnya nanti tidak akan ada mahasiswa FEBI yang lulus dengan memiliki nilai di bawah B, meskipun menurut aturan universitas hal itu diperbolehkan namun yang berlaku di FEBI adalah standar nilai minimal ini sesuai dengan pedoman pelaksanaan KBK. “Kita akan paksa mahasiswa FEBI untuk mencapai standar nilai tersebut, kalau ada yang di bawah itu ya terpaksa mengulang. Meskipun ada aturan universitas yang memperbolehkan adanya beberapa nilai C, aturan tersebut tidak berlaku di FEBI karena standar minimal nilai di FEBI itu B dan itu telah sesuai dengan sistem KBK,” ujar Misnen, yang juga bertindak sebagai dosen di Jurusan Keuangan Islam tersebut. Misnen juga menyadari bahwa pelaksanaan KBK di FEBI belumlah maksimal, “Berhubung di UIN Sunan Kalijaga baru FEBI yang menggunakan sistem KBK sementara fakultas lain belum, jadi secara mekanisme keuangan FEBI masih kesulitan untuk menerapkan KBK secara utuh, contohnya tetap dilaksanakannya UTS dan UAS meskipun kedua hal tersebut dalam sistem KBK tidaklah harus dilaksanakan, hal tersebut dikarenakan secara mekanisme keuangan universitas FEBI harus tetap melaksanakan hal tersebut,” ujarnya. Meskipun memiliki standar nilai minimal B, FEBI tak lantas mempermudah mahasiswa untuk mencapai nilai B karena fakultas tetap memiliki standar penilaian tersendiri. “Jelas FEBI memiliki standar penilaian tersendiri yang diberikan kepada dosen yang mengajar di FEBI, adanya standar minimal B tersebut bukan berarti dosen harus memberikan nilai minimal B jadi tetap mahasiswa harus bekerja ekstra untuk dapat mencapai nilai tersebut. Kalaupun ada yang dibawah standar berarti mereka harus mengulang atau melakukan remidi,” Misnen menambahkan.[]
UNIVERSITARIA
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
Mahasiswa Perlu Mengenal Organisasi Intera Kampus Kegiatan organisasi intera kampus yang terkesan hanya melakukan acara-acara seminar membuat mahasiswa tak mengtahui fungsi utama organisasi tersebut. Oleh Isma Swastiningrum & Siti Umayah
B
adan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan suatu badan intra kampus yang multi fungsi, baik itu dalam lingkup internal kampus maupun di luar kampus. BEM merupakan organisasi di bawah naungan student goverment dan merupakan ruang pembelajaran yang dialektis dan demokratis sebagai sarana aktualisasi diri mahasiswa. Kampus ibarat minatur negara yang menjalankan fungsi legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Di UIN sendiri ada badan legislatif dipegang oleh Senat Mahasiswa Univerisitas dan Fakultas (Sema-U dan Sema-F), sementara badan eksekutif dipegang oleh Dewan Mahasiswa (Dema) yang meliputi Badan Ekseskutif Mahasiswa Fakultas (BEM-F) yang kini sudah berganti nama menjadi Dema-F, sesuai dengan pedoman peraturan mahasiswa tahun 2013, Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEM J) atau Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) yang berubah nama menjadi Hima-PS (Program Studi), dan badan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Konstitusi Mahasiswa (MKM). Dulu dalam kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK) sebenarnya sudah diterangkan apa itu HMJ, Sema, dan Dema. Syaefuddin Ahrom Al Ayyubi ketua Dema mengatakan, fungsi Dema adalah sebagai jembatan, penyampaian aspirasi, serta koordinasi dengan BEM-BEM fakultas berkaitan dengan internal kampus. Terkait dengan sosialisasi, pria yang kerap dipanggi Ucok ini mengatakan tidak ada yang disalahkan terkait sosialisasi. “Ketika Ospek telah disampaikan. Kalau mau disalahkan sama-sama salah. Ketika mengadakan agenda, dalam perjalanannya partisipasi mahasiswa juga tidak ada,” ujar Ucok kepada ARENA. Hal yang sama diungkapkan oleh
Fahmi Muhammad selaku ketua DemaF Dakwah dan Komunikasi. Sosialisasi mengenai apa itu Hima-PS atau Dema-F, Fahmi mengatakan dari Dema sendiri sudah mengadakan sosialisasi saat pertama menjadi mahasiswa baru, “Di OPAK itu kita mempunyai ruang untuk presentasi di sana mengenai Hima-PS kemudian Dema, Sema, dan BOM, bagi saya itu juga suatu proses sosialisi. Selain itu kita juga ada yang namanya website, kita juga ada diskusi rutin juga di Student Center biasanya setiap hari Selasa. Mahasiswa umum bisa mengikuti, cuma untuk sekarangsekarang ini kurang berjalan dengan baik hanya beberapa orang yang mengikuti. Itu kan secara formal, selain itu kita juga face to face seperti saat kita di kantin mengobrol dengan mahasiswa yang lain, mereka kadang spontan bertanya fungsi Dema itu apa sih, dan Dema itu seperti apa,” kata Fahmi. Tak jauh beda dengan Ucok dan Fahmi. Heri Agus Stianto, ketua DemaF Sains dan Teknologi mengungkapkan, “Dema fakultas sendiri tatarannya itu mencoba, mencangkup, dan mewadahi seluruh aspirasi mahasiswa di seluruh Saintek. Kalau mungkin Hima kan hanya masing-masing prodi, jadi disiplin ilmunya ini jarang yang bisa disambungkan. Jadi Dema fakultas itu mencobalah menjembatani serta mewadahi seluruh keinginan mahasiswa,” kata Heri. Sedangkan dari jurusan sendiri, khusunya Prodi Fisika, Anton Sujarwo selaku ketua Hima-PS Fisika mengatakan, “Fungsi dari Hima-PS Fisika adalah mewakili mahasiswa fisika secara umum,” kata Anto Sementara Murtono selaku Wakil Dekan III bidang kemahasiswaan Fakultas Saintek sendiri mengungkapkan jika fungsi dari BEM
h
rka
suba
adalah sebagai wakil mahasiswa, “Meski tidak dipungkiri membawa aspirasi kelompok-kelompoknya,” ujar Murtono saat ditemui ARENA. Namun, di UIN Sunan Kalijaga sendiri amat disayangkan karena banyak diantara mahasiswa yang tidak mengetahui apa itu BEM. Uniatul Jauhanah, mahasiswa Jurusan Perbandingan Madzab semester empat secara singkat, ia mengatakan bahwa fungsi BEM layaknya OSIS. “Saya kurang tahu kalau soal itu, yang saya tahu BEM itu bertanggung jawab layaknya OSIS. Saya hanya tahu jika BEM-F bertanggung jawab di Fakultas, BEM-J bertanggung jawab di jurusan, begitupun yang di atasnya, selain itu BEM bertanggung jawab mengadakan acara, seperti bekerja sama dengan kampus lain, dan melatih kemampuan skill mahasiswa,” kata Uniatul. Padahal fungsi BEM lebih dari itu, seperti
www.lpmarena.com
11
UNIVERSITARIA
wadah penyampai aspirasi mahasiswa serta jembatan bagi mahasiswa yang bermasalah untuk membantu menyelesaikan permasalahan mereka berkaitan dengan birokrat kampus. Tak jauh berbeda dengan Uniatul, Nani Maryani mahasiswa jurusan matematika semester dua. Ia bertutur dengan ragu, “Mengatur kegiatan mahasiswa mungkin. Tidak terlalu tahu tentang BEM juga, mungkin karena mahasiswa lebih mementingkan akademik,” kata Nani. Lebih lanjut ia menyarankan agar Dema bisa lebih mensosialisasikan diri, lebih membaur, karena Nani merasa hubungan antara Dema dan mahsiswa seperti terpisahpisah.
Agenda-Agenda Selain fungsi dan peran dari badan eksekutif sendiri, banyak mahasiswa yang tidak tahu tentang agenda-agenda yang dilaksanakan oleh BEM. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang mengkritik dan bertanya, kenapa BEM itu kegiatannya seminar-seminar saja. Pemahaman mahasiswa mengenai fungsi BEM yang hanya mengadakan acara saja. Fahmi pun menyadari hal itu, “Pemahaman itu memang saya sadari juga bahwa Dema itu artinya bahwa semua LKM fungsinya hanya mengadakan acara padahal ada yang lebih penting dari itu, mahasiswa kalau punya keluh kesah itu bisa lewat HMJ, Sema dan sebagainya lewat LKM lah, tergantung kalau jurusan bisa lewat HMJ,” ungkap Fahmi. Ucok mengatakan jika Dema mempunyai agenda tahunan masingmasing dan setiap fakultas punya program kerjanya sendiri. Ada agenda berbasis program dan ada yang insidental. Dijelaskan pula tentang kementrian-kementrian di Dema sendiri, dari kementerian dalam negeri, kementerian luar negeri, kementerian Sospolkam, kementerian Kominfo, kementerian pendidikan, kementerian keuangan, hingga kementerian pemberdayaan perempuan yang masingmasing kementerian mempunyai tugas dan agendanya sendiri. Di Fakultas Saintek sendiri juga disebutkan ada lima departemen: 1) Intelektual dan Pengembangan mahasiswa; 2) Departemen Minat dan Bakat. Di minat dan bakat sudah terbentuk komunitas, dari basket, futsal, dan komunitas seni tari; 3) Departemen
12
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa tugasnya menampung kunjungan dan apapun yang masuk; 4) Departemen Advokasi dan Jaringan, tugasnya membantu mahasiswa yang mengalami kendala dalam bidang akademik, bantuan rumah sakit (semisal lagi sakit di rumah sakit dan meminta bantuan lewat advokasi ke fakultas hingga mendapat bantuan kisaran 300400 ribu), sampai masalah Drop Out; 5) Entrepreneurship (seputar Kewirausahaan). Progam yang dilaksanakan, waktu semester baru membuat jas almamater untuk mahasiswa baru dengan harga yang terjangkau. “Nah jadi dari lima departemen itu tugas dari Dema sebagai lembaga eksekutif untuk mengerjakan kerja langsung lapangan. Jadi kita yang terjun ke lapangan, mengakomodir seluruh aspirasi mahasiswa, mencoba untuk mengakomodir,” ucap Heri. Sementara di Fakultas Dakwah memiliki tiga divisi, yaitu: Divisi Advokasi dan Komunikasi, Divisi Intelektual dan Keagamaan, dan Divisi Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PSDM). Sedang dari Jurusan Fisika sendiri, agenda yang dilaksanakan kembali ke tiap departemen. Ada lima departemen di HMJ Fisika: 1) Departemen Intelektual, yang program kerja yang telah dilakukan adalah lomba penulisan proposal, dan kemah fisika; 2) Departemen Bidang Minat, yaitu bertugas mensosialisasikan bidang minat yang ada di Jurusan Fisika kepada mahasiswa-mahasiswa baru dari konsentrasi geologi, instrumentasi, material, dan lain-lain; 3) Departemen Luar Negeri, yang mengurusi tentang Makrab, sarasehan, riset, dan kunjungan-kunjungan ke universitas, perusahaan, dan industri; 4) Entrepreneur, kegiatannya berupa diskusi tentang entrepreneur, membuat usaha yang fleksibel seperti berjualan pulsa, dan bazaar buku. 5) Departemen Sport and Art, program kerjanya ada futsal, badminton, buletin fisika, dan lain-lain. Terkait dengan seminar, lebih lanjut Anton mengatakan, “Kalau seminar, kita harus bisa pastikan outputnya seperti apa? Kalau hanya sebatas 'mengadakan' semua bisa,” kata Anton
Masalah Advokasi dan DO Di Fakultas Saintek, sejauh ini Heri
belum mendapatkan laporan tentang mahasiswa Saintek yang akan di Drop Out (DO). “Selama ini saya rasa gak ada anak Saintek DO. Saintek itu anaknya baik-baik, entah baik-baik atau malu, mereka sama sekali belum pernah laporan ke saya kecuali yang minta bantuan untuk rumah sakit tadi. Sebisa mungkin kita bantu. Seandainya juga ada mahasiswa yang urusan registrasi semesternya itu terkendala, dan malu untuk lapor ke fakultas. Bisa lewat saya, nanti kita obrolkan ke pihak fakultas. Mungkin bisa dibantu, ditanggulangi dulu, ditalangi uangnya dari pihak fakultas. Kalau tidak bisa begitu ya bagaimana caranya, jika benar-benar tidak mampu kita usahakan untuk gratis,” ucap mahasiswa Pendidikan Fisika ini. Sedangkan di Fakultas Dakwah dan Komunikasi terdapat 32 mahasiswa yang terancam DO. Hilful Fudhul Mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah mengatakan bahwa dia terancam DO karena daftar hadir kurang dari 75%, menanggapi hal ini sikap yang di lakukan BEM antara lain menasehati, akan tetapi ada dari sebagian anak BEM yang malah menyindir, “Ada sebagian dari anggota BEM yang menasihati untuk rajin kuliah walaupun dalam keadaan dosen yang tidak sesuai dengan pandangan saya sendiri, namun ada juga sebagian anggota BEM yang malah menyindir,” terang Hilful. Menurut Hilful, kepekaan BEM terhadap mahasiswa sangat diharapkan. Saat ini LKM dianggapnya tidak peka terjadap permasalahan yang terjadi ada mahasiswa. “Mereka tahunya saya diancam DO setelah nama saya terpampang di papan pengumuman, setelah itu mereka datang ke saya untuk menanyakan beberapa hal, dan jika mereka tahu tentang fungsi mereka, harusnya mereka itu lebih peka terhadap permasalahan-permasalahan mahasiswa. Harusnya lembaga-lembaga LKM lebih bisa unggul dari mahasiswa biasa, kalau hanya membuat kegiatan mahasiswa biasa juga bisa. Saya kira LKM harus lebih mensosialisasikan diri, khususnya ke mahasiswa semester bawah,” tambah Hilful Mengingat kurangnya partisipasi mahasiswa sendiri, Ucok berharap mahasiswa lebih aktif lagi, “Kesadaran melakukan perubahan. Tidak hanya kuliah-pulang. Lebih produktiflah,” ujar Ucok.[]
UNIVERSITARIA
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
FOTO: EKMIL/LPM ARENA
M
eningkatnya angka kebutuhan dan minat masyarakat pada konsentrasi bahasa Arab, membuat program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta segera mengambil langkah cepat untuk menindak lanjuti momentum tersebut. Konsentrasi Ilmu Bahasa Arab (IBA) yang dibentuk di bawah Program Studi Agama dan Filsafat (SAF) merupakan bentuk pengejawantahan dari pihak Universitas menanggapi kebutuhan masyarakat itu. Seiring dengan pembentukan konsentrasi IBA yang menyerap minat sebagian besar wisudawan dari program studi yang linier dengan IBA, seperti Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Budaya UIN Sunan Kalijaga, ternyata terdapat beberapa hal yang dikeluhkan oleh mahasiswa konsentrasi IBA itu sendiri. Keselarasan antara mata kuliah yang diajarkan di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dirasa kurang fokus dengan konsentrasi Ilmu Bahasa Arab. Ini menjadi sebuah problem manakala banyak diantara Mahasiswa yang mengeluhkan hal yang sama. Ketidaksesuaian antara apa yang selama ini mereka harapkan dari konsentrasi IBA dengan mata kuliah yang mereka
Ucapan “Selamat Datang di Kampus Perubahan” tertera di pintu masuk gedung Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Matkul Tak Sesuai Konsentrasi, Mahasiswa IBA Kecewa Harapan untuk memperdalam ilmu bahasa Arab di jenjang S2, menjadi tak terpenuhi karena banyak mata kuliah yang tak sesuai dengan konsentrasi Oleh Mutiara Nur S & Ekmil L Dina dapatkan selama menempuh dua semester terakhir. Dikatakan Balqis, mahasiswa Prodi Ilmu dan Filsafat yang mengambil konsentrasi IBA. Ia mengatakan, “Persentase kesesuaian antara mata kuliah dengan konsentrasi kejuruan yang telah diperoleh selama hampir dua semester ini, sekitar 55 persen saja yang sudah sesuai.” Itulah mengapa banyak dari mahasiswa yang sangat berantusias mengemukakan keluhannya saat ditemui ARENA. Mata kuliah yang seharusnya penting dan yang menjurus ke IBA dianggap minim oleh mahasiswa. Mahasiswa berharap bahwa pada
jenjang Srata 2 ini, mereka bisa mendapatkan materi-materi yang belum pernah mereka dapatkan pada jenjang sebelumnya, guna memperbanyak pengetahuan mereka dan lebih terfokus pada konsentrasi bahasa Arab. “Kebanyakan mata kuliah di IBA masih sangat umum dan itu sebenarnya cukup saja dengan dibaca, tidak perlu diperdalam lagi ketika kita telah melanjutkan S2,” ujar Balqis. ”Pengulangan mata kuliah tersebut sebaiknya diganti dengan mata kuliah yang benar-benar menjurus di IBA, misalnya dengan mengganti mata kuliah filsafat ilmu yang telah ada saat S1, diganti dengan mata kuliah yang berbau
linguistik, karena S2 waktunya singkat, sehingga kita bisa memaksimalkan waktu sebaik mungkin dengan langsung menjurus pada jurusan IBA,” tambah Nisa, mahasiswa semester dua pasca sarjana yang mengambil konsetrasi IBA. Menanggapi hal ini, sanggahan dituturkan oleh Mutiullah, selaku Sekretaris Prodi IBA. “Kurikulum yang dibuat sudah sesuai dengan kurikulum yang dibutuhkan oleh IBA, adapun adanya mata kuliah pada semester awal adalah yang merupakan mata kuliah wajib, baru di semester tiga nanti lebih menjurus,” jelas Mutiullah, yang baru saja tujuh bulan menjabat sebagai
www.lpmarena.com
13
UNIVERSITARIA
Kebanyakan mata kuliah di IBA masih sangat umum, dan itu cukup saja dengan dibaca.
sekretaris Prodi IBA. Selain itu ia juga menambahkan bahwasannya mahasiswa memiliki persepsi yang kurang tepat jika berpikir bahwa dijenjang S2 mereka akan mendapatkan mata kuliah yang belum mereka dapatkan pada jenjang sebelumnya. Pasalnya jenjang S2 ini merupakan jenjang untuk lebih memperdalam materi-materi yang sebelumnya telah dipelajari di S1. Sejarah berdirinya IBA sendiri merupakan hal yang sudah dipikirkan secara matang. Tidak ada unsur keterpaksaan jika IBA diletakkan dibawah Prodi Filsafat dan Agama. Mutiullah mengatakan, sejarah pembentukan prodi harus meminta izin terlebih dahulu ke Jakarta, sedangkan untuk membuat konsentrasi cukup mendapatkan SK dari pihak rektor universitas. Kurangnya sosialisasi tentang penjurusan disinyalir yang menyebabkan banyak mahasiswa belum benar-benar mengetahui tentang prodi apa yang mereka dalami nantinya. “Sebelumnya dari pihak pasca sarjana tidak mengadakan sosialisasi tentang kejelasan prodi, sosialisasi yang kami lakukan hanya dengan menyebarkan pamflet,” ujar Matiullah. Menurut Matiullah, kajian IBA membahas tentang asal muasal kata
14
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
yang diambil oleh al-Qur'an dan juga mempelajari mengapa Tuhan memilih bahasa-bahasa yang berbeda dalam alQur'an, hal seperti itulah yang merupakan kajian dalam konsentrasi IBA. Menindaklanjuti keluhan para mahasiswa terkait ketidakfokusan mata kuliah dengan konsentrasi bahasa Arab, Muttiullah menjelaskan, mungkin saja mata kuliah yang ditetapkan dapat diubah karena penetapan kurikulum merupakan sesuatu yang tidak paten. Kurikulum dalam perkuliahan secara berkala dilakukan revisi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Revisi yang dilakukan setiap empat tahun sekali ini selalu dilakukan secara demokratis dan transparan, karena melibatkan andil dari mahasiswanya meskipun hanya perwakilannya saja. Namun ketika ditanya tentang akankah kurikulum saat ini diubah, terkait dengan keluhan mahasiswa, ia menjelaskan bahwa kurikulum saat ini sudah tepat dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Wacana IBA Menjadi Prodi Mahasiswa yang banyak mempertanyakan perihal diajarkannya mata kuliah filsafat ilmu yang tidak sejalur dengan bahasa Arab pun dijawab secara mendalam oleh Mutiullah. Filsafat ilmu akan tetap diajarkan karena ini merupakan mata kuliah wajib, dan ini diberikan tidak semata karena IBA berada dibawah jurusan Agama dan Filsafat. Ia mengungkapkan, untuk kedepannya IBA akan dijadikan prodi tersendiri dan lepas dari naungan Prodi Agama dan Filsafat, dan mata kuliah wajib seperti filsafat umum pun akan tetap ada. Wacana up grading konsentrasi IBA sudah sejak lama diperbincangkan, namun belum kunjung terealisasikan. “Rencananya IBA akan berdiri sendiri dan tidak lagi menjadi bagian dari Agama dan Filsafat,” jelas Mutiullah ketika ditanya nasib IBA. Saat diverifikasi mengenai tindakan apa saja yang pernah dilakukan mahasiswa IBA dalam memperjuangkan harapannya terhadap konsentrasi yang mereka ambil, ia mengatakan bahwa belum pernah ada mahasiswa yang mendatangi ruang Kaprodi untuk membicarakan hal tersbut, dan di dalam kelas pun belum terdengar isu demikian.[]
Oleh Jumardi Putra*
M
eski telah memasuki usia 106 tahun kebangkitan nasional, 86 tahun sumpah pemuda dan 16 tahun reformasi, stabilitas “dapur” rakyat Indonesia terus dihantui ketidakpastian. Tak pelak, persoalan mendasar itu menyulut gugatan, mengapa kita terus saja miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain. Mengapa negeri yang dijuluki “erotic garden of the east” ini kehilangan pesonanya? Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF), Growth Competitiveness Index tahun 2007-2008, Indonesia berada pada peringkat ke-54 dari sekitar 131 negara yang disurvei. Bandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat 7), Malaysia (21), dan Thailand (28). Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Filipina (peringkat 71), Vietnam (68), dan Kamboja (110). Sementara dalam jurnal Nature Biotechnology (2004), disebutkan tujuh negara Dunia Ketiga telah menguasai bioteknologi-kesehatan (healthy biotechnology) setingkat dengan negaranegara maju adalah: Cina, India, Brazil, Mesir, Kuba, Korea Selatan dan Afrika Selatan. Dan pada tahun 2007-Iran masuk dalam jajaran ke-7 negara tersebut, terutama dalam keberhasilan riset system cell untuk leukemia. Dalam pada itu, sumber daya alam kita, yang oleh Koes Plus diabadikan ke dalam lirik lagu “Kolam Susu”, menampakkan potret sebaliknya. Greenpeace, organisasi lingkungan nonpemerintah yang concerned pada isu-isu pengelolaan sumber daya alam, mencatat, selama 5 tahun 2% per tahun hutan di Indonesia dirusak dan itu sama dengan 1,8 juta hektar setiap tahun, sama dengan 51 km persegi setiap hari, atau sama dengan luas 300 lapangan sepak bola setiap jam. Sementara kerusakan hutan di Brazil per tahun hanya 0,6% (Kompas, 20 Maret 2007). Tak heran, Guiness Book of Record (2008), yang diterbitkan September 2007, secara jelas menyebutkan: Indonesia is the world champion in deforestation. Ini
OPINI
Wajah Sendu Ibu Pertiwi artinya, industrialisasi yang hanya berorientasi pada keuntungan tanpa memperhatikan akibat negatif terhadap keberlangsungan ekosistem, menyebabkan semakin menipis dan merosotnya kualitas lingkungan hidup kita. Padahal seperti kata fisikawan Fritjof Capra, dalam bukunya, The Web of Life (1996): manusia tak bisa survive hidupnya kalau tidak mampu memelihara harmoni dan jejaring kehidupan, termasuk dengan lingkungan alamnya. Gambaran di atas bukan bermaksud menyederhanakan persoalan. Tentu ada hal-hal yang menggembirakan selama 69 tahun “kemerdekaan” republik ini, tetapi juga banyak hal yang membuat kita urut dada. Dalam pada itu, berbagai forum dialog, seminar dan penelitian disebutkan, sila kelima Pancasila adalah sila yang paling memilukan pasca reformasi: Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, pelbagai persoalan yang mendera ibu pertiwi saat ini menunjukkan bahwa kemerdekaan, itu, belum sepenuhnya kita rasakan. Justru dewasa kini, kita melihat negara sangat bergantung pada modal dan hutang dari negara-negara maju serta korporasi multinasional. Sementara itu, modal dan penyediaan fasilitas khusus terkonsentrasi pada kelompok-kelompok yang memiliki hubungan dengan penguasa, sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak merata. Bersamaan dengan melebarnya jurang sosial-ekonomi, muncul pula berbagai bentuk terburuk dari kemiskinan. Konflik horizontal merebak hampir di semua daerah. Lapangan kerja menyempit karena pengembangan industri lebih berkonsentrasi padat modal dari pada padat karya, sehingga tidak memberi kemungkinan bertambahnya kebutuhan tenaga kerja, sementara angkatan kerja terus bertambah sehingga mengakibatkan peningkatan pengangguran. Dalam keadaan demikian, relevan yang dikatakan James K. Galbraith, bahwa kesenjangan sosial ekonomi di jaman globalisasi adalah sebuah perfect crime atau kejahatan yang sempurna. (A Perfect Cronie: Inequality in the Age of Globalization, Daedalus, Winter 2002, hal. 22). Pun begitu menurut Noam Chomsky: “Globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak masyarakat sangat mungkin terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan oligopolitis. Karena globalisasi semacam itu didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggung jawab kepada publik”. (Free dan Fair Trade, Global Agenda, 2006, hal. 111).
Persemaian Jiwa Akutnya krisis yang melanda negeri ini memunculkan gugatan, siapa yang bertanggung jawab terhadap jalan buntu ini? Jelasnya, semua harus bertanggung jawab sebagai bagian dari dosa kolektif. Akan tetapi, yang lebih tepat bagi terwujudnya ide-ide progrowth, pro-poor dan pro-job adalah mereka yang duduk di pemerintahan, di samping mentalitas korup menggejala di sebagian diri kita. Mendasari hal itu, Yudi Latif (Menyemai Karakter Bangsa, 2009) berpandangan, krisis yang kita hadapi sesungguhnya
berakar kuat pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Karena itu, usaha penyadaran nasional perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai spiritual dan etis ke dalam wacana publik. Dengan ungkapan lain, kita memerlukan penguatan etika politik serta pertanggungjawaban moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara berkesinambungan, penyadaran dan penguatan tersebut pada gilirannya berlanjut pada proses persemaian jiwa melalui pendidikan sejak dini, baik secara formal, nonformal maupun informal, sehingga melahirkan manusia Indonesia dengan karakter yang kuat dan bermuara pada apa yang dikatakan pakar manajemen Peter F. Drucker: terciptanya Knowledge Based Society dan The Winning Society. Hal demikian telah terbukti di negara-negara kecil semacam Jepang, Korea, Malaysia, dan Singapura, bahwa intellectual and moral capital jauh lebih berharga dan mampu menyejahterakan rakyatnya ketimbang natural capital melimpah, tapi minus keduanya. Di samping itu, pelbagai persoalan Indonesia saat ini juga ditentukan oleh kualitas pemimpin, baik nasional maupun lokal. Negeri ini membutuhkan “a man of visionary, principle, and integrity” (orang yang memiliki visi, prinsip dan integritas) atau dalam kaidah Islam disebutkan: “Tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manuthun bil maslahah (Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpin hendaknya mengacu pada prinsip kemaslahatan). Sejurus hal itu, meski demokrasi tidak selalu melahirkan pemimpin ideal, rakyat tak henti-henti merindukan pemimpin yang tindakannya dipenuhi niat baik untuk kesejahteraan rakyat. Ketegasan dan keberpihakannya pada keadilan dan kerukunan antar umat beragama. Menjadi teladan, bersih dari korupsi, dan memiliki mata hati atas berbagai beban yang dipikul rakyat. Pendek kata, sebangun dengan yang disampaikan Noam Chomsky berikut ini: “Sekali seorang pemimpin sudah menghempaskan rasa takutnya, berbagai watak positif segera bermunculan”. Sebaliknya, bila seorang pemimpin dihinggapi rasa takut dan memasung keberaniannya, maka berbagai watak negatif justru akan berkumpul dalam dirinya. Akhirnya, sekalipun republik ini digempur pesimisme, tapi optimisme harus dibangkitkan untuk semangat kebersamaan membangun kembali negeri yang sudah lumayan berat kerusakannya. Karena itu, relevan kita menghayati buah pikiran Paulo Freire dalam bukunya, Pedagogy of the Harth (1997: 106), berbunyi: “Mari kita mempertahankan harapan kendati realitas yang kejam mengajak kita untuk tidak berharap. Dalam situasi demikian, perjuangan demi harapan berarti kesediaan untuk menanggalkan semua bentuk penistaan, rencana tak terpuji, dan ketidak pedulian”. Jambi, Maret 2014 *Alumni Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009). Kini Aktif sebagai penyunting Seloko: Jurnal Budaya Dewan Kesenian Jambi (2011-sekarang).
www.lpmarena.com
15
LEBIH DEKAT
Susilaningsih: Soal Gender, Masih Banyak yang Nyinyir PSW UIN Suka merupakan salah satu unit yang aktif memperjuangkan kesetaraan gender. Aktif melakukan advokasi dan penelitian di bidang tersebut. Siapa sosok di balik PSW? Oleh Khairul Amri
S
tudi tentang wanita dan kritik mereka atas praktik ketidaksetaraan gender di beberapa aspek kehidupan dari dulu sudah ada, salah satunya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ARENA, kali ini, mengajak pembaca menengok sosok dan pemikiran penggagas Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga, Dra. Hj. Susilaningsih, MA. Jebolan City University of New York, Amerika Serikat. Susilaningsih memimpin PSW selama dua periode, 1995-2002 dan 2010-2012. Sebelumnya, PSW adalah Kelompok Program Studi Wanita (KPSW) yang juga dipimpin oleh Susilaningsih dari 1990-1995 dan menjadi cikal bakal berdirinya PSW pada 1995. Latar belakang pendirian PSW berawal dari keinginannya untuk mengangkat martabat wanita, mengembangkan pemikiran-pemikiran bahwa sesungguhnya pria dan wanita itu setara, senada dengan visi dari PSW: “laki-laki dan perempuan adalah laksana anak sisir berdiri berjajar secara setara”. Motivasi lain yang ia kemukakan, Islam pada awalnya tidak memiliki kesenjangan gender. Di dalam al-Qur'an pun tidak ada kesenjangan gender, namun tafsiran terhadap al-Qur'an tersebut telah terpengaruh oleh kondisi sosialbudaya sehingga memunculkan kesenjangan gender, oleh karena itu sangat dibutuhkan interpretasi baru. Begitu juga dengan munculnya hadits-hadits misoginis (hadis yang membenci wanita). Menurutnya, hadits-hadits tersebut muncul karena ketidakseimbangan informasi ketika berbicara tentang wanita. “Sebetulnya dalam hadis-hadis lain ada yang berbicara tentang laki-laki. Misalnya bagaimana sikap istri di dalam rumah tangga, padahal ada juga hadis yang menjelaskan bagaimana semestinya suami bersikap dalam rumah tangga tapi hadis itu tidak dimunculkan,” kata Susilaningsih. Hadis seperti itu, menurutnya, harus dipertanyakan posisinya, misalnya melalui studi
takhriz al- hadis yang menjadi salah satu pekerjaan PSW. Susilaningsih mendefinisikan gender sebagai karakteristik pria dan wanita, laki-laki dan perempuan yang terbentuk melalui sosialbudaya, dan masing-masing sosial-budaya mempunyai karakter. Gender merupakan lawan dari jenis kelamin. Jenis kelamin adalah karakter atau ciri dari laki-laki dan perempuan secara biologis. Jenis kelamin merupakan kodrat dari Tuhan, tidak bisa diubah dan dipertukarkan, tapi gender bisa dipertukarkan. “kalau dulu dikatakan laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah, maka perempuan pun juga bisa mencari nafkah, tergantung bagaimana budaya membentuknya,” ujarnya.
Tantangan Mengubah paradigma berpikir masyarakat bukanlah hal sulit dalam pandangan Susilaningsih sepanjang itu dikerjakan bersama-sama, sejak awal program pemahaman kesetaraan gender merupakan program pemerintah, tapi tentunya harus didukung oleh banyak pihak dari perguruan tinggi salah satunya PSW. Pendirian PSW itu supaya ada kajian dari masyarakat dan kemudian pelan-pelan menjadi wacana dan menjadi sikap. Proses memberikan pemahaman gender sedikit-banyak menghadapi tantangan, “kalau ngomong masalah gender masih suka nyiyir,” katanya. Susilaningsih melihat dalam masyarakat, terutama di desa, laki-laki lebih merasa superior dibanding perempuan, memandang perempuan itu lemah yang berujung pada kekerasan pada perempuan. “Kalau dalam keluarga misalnya, ada masalah, suami tidak berpenghasilan, dan yang berpenghasilan adalah istri maka si suami merasa tersinggung, terjadilah kekerasan terhadap istri. walapun ada juga kekerasan terhadap suami,” kata perempuan berusia 66 tahun ini. Ia mengakui, kesadaran akan kesetaraan gender bukan hanya dituntut bagi perempuan
Lahir di Karanganyar pada 27 November 1947. Tercatat sebagai alumni Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan Kalijaga, kemudian melanjutkan studinya ke New York, Amerika pada bidang Psikologi di City University Of New York. Selain di PSW, juga pernah menduduki jabatan struktural di beberapa organisasi diantaranya ketua pimpinan pusat Aisyiyyah bagian DIKTI (2000-2005), Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga (2005-2011). Mengampu beberapa mata kuliah seperti Psikologi Pendidikan, Psikologi Agama, dan Psikologi Islam. Terdaftar Sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Yogyakarta, STIKES Aisyiyyah Yogyakarta, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga (pensiun Desember 2012). Kini, selain mengajar, ibu dua anak ini aktif memberikan pelatihan-pelatihan & sebagai Muballighah.
DOKUMEN ISTIMEWA
16
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
Laki-laki dan perempuan laksana sisir, berdiri berjajar secara setara.
tapi juga dari pihak laki-laki. Belum lagi pemahaman beberapa orang-kelompok yang masih sangat tekstualis, tidak menyesuaikan konteks. Ketidakadilan gender yang bersumber dari agama memerlukan adanya interpretasi baru. Selain interpretasi, ia mengusulkan sosialisasi kesetaraan gender melalui pelatihan-pelatihan serta lewat jalur pendidikan, tak tanggung-tanggung, bahan pelajaran di sekolah-sekolah yang bias gender itu memerlukan perbaikanperbaikan. “Misalnya buku teks sekolah ilmu sosial, maka disana ada gambar bapak minum kopi, anak main bola, ibu di dapur, dan anak perempuan bantu ibu.” Sejauh ini, menurutnya, sosialisasi tentang gender masih sangat kurang, itu pun ketika diadakan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan, peserta yang ikut kebanyakan dari pihak wanita dari pada pria.
Sosok Keibuan Sebagai seseorang yang fokus terhadap isu-isu wanita, ia sendiri mengagumi peran Nabi Muhammad SAW, sebagai tokoh sekaligus nabi yang memperjuangkan posisi kaum wanita secara revolutif, serta memberikan penghargaan kepada wanita-wanita pada saat itu. Mochamad sodik, sekretaris PSW saat ini, menilai Susilaningsih sebagai sosok yang sangat keibuan. “Beliau itu ngemong anggota-anggotanya biar lebih produktif lagi, belum lagi beliau itu tidak hanya aktif di PSW saja, tapi juga seorang aktivis wanita, sehingga ada titik temu,” katanya. Siti Ruhaini Dzuhayatin, direktur kedua PSW, periode 2000-2006, memandang Susilaningsih sebagai sosok yang moderat-progresif, pemikirannya mandiri, tidak berada dibawah bayang-bayang pemikiran suaminya, Prof. Kuntowijoyo (almarhum). “Tapi relasi pemikiran ibu Susi (sapaan Susilaningsih) dan suaminya lebih bersifat dialogis,” kata Siti.[]
www.lpmarena.com
17
KEEP CALM ON AND
I T I R C CARRY CON AL lpmarena.com BERITA KAMPUS UIN SUNAN KALIJAGA
SASTRA
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
E
mendahuluimu, sebelum kau datang ke masaku, aku ingin kau ntah bagaimana awalnya, aku seperti manusia yang bersih dari segala macam urusan masa lalumu.” dilahirkan di sebuah kota kuno tak berpenghuni. Pakaian “Bahkan aku tak suka lagu pop!” yang kukenakan pun aneh. Aku malah terlihat seperti Aku terhenyak mendengar jawabannya. Kemudian aku sherrif dengan celana jeans dan jaket kulit warna coklat lalu berdiri sambil jalan berputar disamping kanannya lalu tertawa pisau lipat terselip pada saku kecil sepatu bot ku. Aku juga lebar-lebar. Aku raih gelas kaca berisi air putih, lalu lupa bagaimana aku sampai datang pada seorang cenayang kuminumkan pelan-pelan kemulutnya. dan mengabarkan bahwa adalah hidup seorang pria dengan “Aku tahu kau suka blues.” sambil bergumam pelan di bulu halus di janggutnya dengan jidat lebar yang akan menjadi samping telinganya, aku menyungging senyum simpul lalu suamiku kelak. Namun ia juga mengabarkan bahwa calon kulangkahkan kakiku menjauh darinya. Dia meronta suami kelak, ruhnya masih dijerat oleh sumpah-sumpah masa lalunya. Sudah barang tentu, tugasku membantu pengampunan dosanya dan membersihkannya dari cerita-cerita masa lalu kelamnya. Seperti CERPEN tersihir oleh mantra-mantra jahat, aku lari kelabakan mencari dimana pria berjidat lebar itu. Hingga pada akhirnya aku bisa menemukannya. Sesuai dengan petunjuk cenayang, pria dengan bulu halus dan jidat lebar. Langsung seketika itu kuseret paksa dia ikut denganku sewaktu malam hujan. Kuikat kedua tangannya dan jadilah dia tawanan masa laluku. Lalu, apa bedanya masa lalu dan sekarang? Bukankah Oleh Elen Anggun Kusuma keduanya tak bisa menghidupkan jiwa manusia lagi? Aku datang hanya untuk membantunya mengingat, bahwa jiwa yang ada dalam dirinya sudah mati dan hancur oleh masa lalu. Dan aku tak ingin pria itu datang ke masa depan dengan susah payah memboyong sampah-sampah masa lalu itu. Beberapa memoar tentangnya, ku usik kembali. Aku menggali lagi cerita-cerita percintaan dia di masa lalu lewat beberapa sahabat karibnya. Aku bertanya perihal kehidupan di masa lalu, dengan utang-piutangnya di bar dan klub malam pinggiran kota bahkan aku sampai mendapatkan nota-nota dukun pijat aborsi yang dia lakukan dengan beberapa gadis. Ribuan kata melesat cepat dari bibir tipisnya tiap kali kutanyakan ini kepadanya. Bukan hanya mengelak, dia bahkan mengaku tak bisa mengingat itu semua. Tiap kata yang terucap, menyimpan banyak tanda tanya atas semua masa lalu yang merenggut semua jiwa dan ruh dalam dirinya. Bahkan sekarang dia malah seperti asap yang beterbangan tak tentu arah. Di depanku, dia terlihat seperti gembala yang tak memintaku melepas pernah mendapatkan pengampunan dalam bahtera Nuh, tali yang mengikat Yesuh dan Allah. Aku ingin mulutnya sendiri yang mengucap tangannya. Aku purasumpah menelan semua kebahagiaan masa depanku hanya pura saja tak mendengar untuk menebus kesalahan di masa lalunya. teriakkannya. Kuanggap saja Aku melihat dia terduduk lemas dengan kedua tangan hanya seperti suara cicit terikat. Kelopak mata yang layu serta alis tebal mencuri burung gereja yang sedang pandanganku. Keringat mengucur lewat garis-garis halus bulu sibuk membuat sarang, juga seperti suara anak babi menguikjanggut serta alisnya. Aku datang menghampiri, mengelap nguik minta makan. pelan butir-butir keringat yang jatuh dari ujung alisnya. Pria itu menjadi tawananku. Aku sudah tak acuh lagi “Apa yang kau kerjakan dimasa lalu?” aku mulai bertanya. dengan ocehan tetanggaku atas semua kelakuanku yang aneh. Kuhisap pelan sebatang rokok, tangan kiriku sibuk memainkan Aku suka membawanya keluar rumah duduk di taman masih kalung manik-manik yang menggantung di leher. dalam keadaan tangan terikat kuat, aku mengajaknya main “K—aaauuu siapaaa?” dengan pelan pria itu menjawab. halma kadang juga catur dengan papan catur yang kulukis “Kau pernah mendengar syair lagu pop yang sering kau sendiri. Ibu-ibu muda disamping rumahku sering mengintip dendangkan bersama kawanmu? Ini sedikit mirip dengan syair dari balik semak taman halaman rumahku, sambil mulutnya lagu pop semacam itu. Aku manusia masa depan. Aku datang bergumam, mereka sudah menganggapku gila. Aku malah
Alunan Blues
18
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
ILUS T
RAS I:
MA HM
UD
di Masa Lalu
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
tersenyum jika melihatnya tertangkap basah sedang mengintipku bermain halma dengan tawananku—maksudku calon suamiku. Aku bisa melihat separuh diriku dalam kedua bola matanya. Tak jarang aku memakinya habis-habisan. Mengapa dia tak mati saja dan ditelan oleh dosa-dosa di masa lalunya? Apa yang aku alami sekarang cuma ketakutan yang berlebihan. Aku tak sudi hidup di masa depan dengan orangorang licik seperti dia. Licik. Dia mengambil semua kebahagiaan orang lain. Berpikir secara arogan, menganggap dirinya adalah tonggak awal mula kehidupan masa depan yang bahagia. Sudah jelas tertulis pada Injil pada primbonprimbon kuno bahkan pada syiar-syair lagu blues kesukaannya itu bahwa takdir akan menjemput kita pada masa pada masa depan. Bukan saja dia, bahkan aku sudah berencana membunuh semua orang-orang seperti dia! *** “Tolong keluarkan aku,”ia berkata padaku dengan suara parau dan mata berkaca-kaca. Aku tak langsung menyahut. Hening beberapa saat. Hanya terdengar suara detak jam dinding kuno di tembok samping dengan suara jariku mengetuk-ketuk meja kayu dengan botol bir. “Aku butuh kau disini. Aku tak suka kau pergi sesukamu. Aku tak ingin manusia lain melihatmu dan mulai tertarik padamu” “Jelaskan kamu siapa?!” “Sudah berkali kukatakan. Aku manusia masa depan. Kau anggap aku gila heh? Aku cuma ingin kau ada di sini sampai masa pengampunanmu habis. Selanjutnya kau akan tahu sendiri bagaimana masa depanmu setelah melakukan pengampunan itu,” kataku sambil menyalakan pemantik. “Kau menawanku hanya untuk menunggu masa depanmu datang? Masa yang seperti apa?” Aku menggeser kursiku lebih dekat dengannya. “Masa di mana orang-orang seperti kau musnah. Agar aku bisa hidup tenang. Aku tak suka melihat manusia yang berkutat dengan masa lalu. Kau bagian dari masa depanku. Aku bisa melihat lewat matamu, kau berhutang banyak pada masa lalu. Kehidupanmu akan selalu bergantung pada apa yang telah kau lakukan semasa dulu” “Apa kesalahanku di masa lalu?” “Bahkan kau tak mengerti kesalahanmu sendiri” “Tolong demi Tuhan, jelaskan padaku” suaranya parau. Aku melihat matanya dalam gelap, samar-samar terlihat matanya berkaca-kaca. “Kau yang akan membantuku melawan takdir. Mungkin kau tak percaya jika aku jelaskan ini padamu. Suka atau tak suka, di masa depan kau adalah suamiku.” “S-uuuaaa-miii muu?” “Aku tak suka melihatmu masih berurusan dengan masa lalu, dengan gadis-gadismu dan juga lagu-lagu blues yang sering kali kau dengarkan, apalagi kau calon suamiku di masa depan. Aku hanya ingin membantumu sebelum aku membiarkanmu membusuk disini. Aku ingin kau menyesal
SASTRA
sebelum kau datang di masa depan, setelah kau menjalani pengampunan selanjutnya kau akan menjadi bersih, aku akan mendapatkanmu sebagai orang yang bebas dan tak pernah dijerat oleh masa lalu.” “Kau terlalu percaya takhayul. Masa laluku baik-baik saja. Aku hidup bahagia dengan kekasihku. Hidup kami berjalan indah dan tak separah yang kau bayangkan. Itu terjadi sebelum kau wanita sinting datang menawanku, parahnya kau mengaku sebagi manusia masa depan, mengaku sebagai calon istriku,” nadanya mulai meninggi. Aku geram mendengar ocehannya. Aku berdiri lalu dengan geram kucengkeram rahangnya sambil berkata “Dengar! Aku tak butuh ocehanmu. Aku hanya butuh kau bersih dalam pengampunan masa lalumu” Dia hanya diam, sambil matanya menatapku dalam penuh rasa benci. Aku keluar sambil bersungut-sungut. Sama sekali aku tak suka pria itu. cara berpakaiannya yang aneh, bahkan jidat lebarnya aku tak pernah menyukainya. Namun aku tahu dia adalah pria satu-satunya yang datang dari masa lalu yang memintaku untuk membantu pengampunannya—kata si cenayang tua tempo dulu. Bukannya kami akan hidup bahagia setelah ini? Kami akan membangun rumah kecil dengan taman bunga di depannya. Tak hanya itu, kami akan sering menghafal lirik-lirik lagu pop—bukan lagu blues. Aku juga berharap dia adalah satusatunya manusia yang menjadi budak masa lalu yang masih tersisa. Aku percaya dewa-dewa akan datang menghampirinya ketika kuikat tangannya di gudang samping rumah. Dewa itu akan mengabarkan berita baik atas masa depanku dengannya lalu menghapus ingatan akan masa lalunya. Tak hanya menghapus, Dewa satunya bahkan mencabut ingatannya sampai ke akarnya. Aku akan hidup bahagia di masa depan. “Lepaskan aku! Kau wanita jalang! Tak sudi aku menjadi suamimu di masa depan!” “Diam! Diam atau kubunuh kau sekarang!” teriakku sambil menodongkan pisau kearahnya. “Bunuh saja agar kau puas! Persetan dengan masa depan! Biarkan aku hidup di masa lalu. Tak butuh pengampunan dan tetek-bengeknya. Kau hanya mementingkan urusanmu di masa depan.” Dengan geram kutendang kursi kayu di depanku ke arahnya. Dia terguling jatuh masih dengan kedua tangan terikat. "Hey dengar! Aku butuh kau. Lakukan saja apa yang kuperintahkan” “Biarkan aku hidup dengan masa laluku!,” teriaknya kencang. Seperti kesetanan aku langsung melempar pisau kearahnya. Pisau itu menancap tepat di dada kirinya. Darah segar keluar, diiringi rintihan kesakitannya. Suara nafasnya tersengal-sengal kemudian dia jatuh terkulai lemas di atas lantai. Badanku bergetar, pelan-pelan aku mendekati tubuhnya lalu di seka pelan darah yang terciprat ke tangannya. Lalu tiba-tiba telingaku penuh dengan suara bising. Kemudian berganti suara berdengung sangat kencang. Makin lama dengungannya semakin kencang. Makin kencang.
www.lpmarena.com
19
SASTRA
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
Memekakan telinga. Aku merintih kesakitan, telingaku serasa pecah. Seketika suara berdengung itu hilang, berganti dengan suara alunan blues samar-samar terdengar. Mataku mengerjap-ngerjap. Honey welcome back home,i know she told you. Honey i know she told you that she loved me. Much more than i did, but all i know is that she left you. Suara melengking Janis Joplin lamat-lamat terdengar lewat kupingku. Mataku terus saja mengerjap-ngerjap. Pelan-pelan kubuka mata. Aku melihat banyak orang duduk di kursi-kursi kayu menghadap jendela. Pantulan sinar matahari sore terlihat masuk lewat celah-celah jendela diantara kepulan asap tembakau. Mereka duduk sambil memegang cangkircangkir kecil, yang lainnya terlihat membawa nampan berisi gelas-gelas berisi bir, lalu seorang pria berjidat lebar memakai ikat kepala sambil menenteng gelas berisi bir berteriak kearahku. “hey honey let's singing. Kau baru saja bangun rupanya,” katanya sambil tersenyum kepadaku. Aku masih linglung. Aku melihat sekeliling, tak ada pria yang menjadi tawananku di masa lalu. Aku meraba badanku, aku mengenakan kaos oblong dengan jaket bahan levis warna biru—bukan jaket kulit warna coklat. Ditanganku juga tak ada bercak darah. “Aku baru saja menawan manusia masa lalu,” kataku. Setelah mendengar aku berkata, pria dengan ikat kepala didepanku tertawa lantang sampai gelas berisi bir yang dipegangnya tumpah ruah kebawah mengenai sebagian dari celananya. “Kau mimpi honey. Haha. Kau tertidur lelap sekali sekitar satu jam yang lalu,” katanya. Aku bingung. Terdengar suara musik blues melantun pelan, hiruk pikuk di dalam kafe, suara gemerincing gelasgelas bir disusul gelak tawa seorang pria yang suaranya parau sambil terbatuk-batuk, dan Janis masih terus saja bernyanyi lewat piringan hitam yang terputar di sudut kafe.
PUISI
Kau Pemuda
Dengan Sorot Mata Hitam* Kau pemuda dengan sorot mata hitam lesu Berjalan berat memikul diri Di antara tinggi senyum ilalang. Retak di dahimu menjadi simbol terkutuk, Telah terlahir Kau pemuda dengan sorot mata hitam lesu Lelah menari di atas jarum-jarum yang merajut. Dengan mata yang berusaha tetap terhunus Tengadah tenggorokanmu mengancam langit. Langit menimpal dengan kosong.
Come on cry, cry baby, cry baby, cry baby. Oh honey welcome back home. Don't you know honey, ain't nobobody ever gonna love you, the way I try to do? Tulungagung, 29 Juli 2013, 02.13 AM
Teruslah berjalan hei kau pemuda dengan sorot mata hitam lesu Meski merangkak dan terhina Temuilah, di ujung sana Di batas hitam Lalu bunuhlah! Terbanglah terbang lepaskan kaki, tangan, mata dan pikiranmu.
*Mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta
*Harikimura Sanada, promotor untuk Musyafir Racing Team & kepala geng pada Aliansi Gengster Ramah Lingkungan di Gorong-gorong Serikat
Redaksi SLiLit ARENA mengundang semua kalangan masyarakt akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk mengirimkan tulisan cerita pendek atau puisi. Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail di lpm_arena@yahoo.com. Judul berkas: Cerpen/Puisi_SLiLit ARENA dan sertakan biodata lengkap.
20
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
PUSTAKA
Lanskap Kebangkitan Buruh Oleh A Faruqi Munif*
P
Judul
KANI KOSEN: SEBUAH REVOLUSI Penulis
KOBAYASHI TAKIJI Penerjemah
ANDY BANGKIT SETIAWAN Penerbit
JALASUTRA, YOGYAKARTA Tahun
CETAKAN I, 2013 Tebal
X + 184 HALAMAN
22
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
ergerakan buruh tidak bisa dipandang sebelah mata dalam konstelasi politik negeri ini. Dalam sejarahnya, kaum buruh menjadi bidak-bidak kecil dan menempati garda terdepan gerakan revolusi sejak masa kolonial hingga runtuhnya Orde Baru. Dalam kacamata investor, buruh juga dipandang sebagai kekuatan penting dan isu besar dalam industrialisasi. Dengan tenaga buruh, kaum pemodal yang bekerja sama dengan pemerintah, bisa mewujudkan cita-cita investasinya. Tak pelak jika kaum buruh selalu berada pada wilayah margin, yang kebesarannya dimanfaatkan sebagai pemanis investasi dan sumber tenaga murah saja. Karenanya, kaum buruh kerap kali melakukan pemogokan kerja. Saat itulah kebesaran kaum buruh dapat menghentikan roda perusahaan dan mengancam para penanam modal dan pemerintah. Kebesaran itulah yang dimanfaatkan para intelektual, untuk menancapkan tonggak perubahan di zamannya. Pada tahun 1920-an, negara Jepang mengalami carutmarut politik yang menimbulkan ketimpangan dalam banyak sektor, khususnya ekonomi. Dampaknya, timbul ketegangan antara kelompok sosial miskin dengan kelompok sosial berada, kaum borjuis versus kaum pekerja, antara kelompok politik fasis-militeristik (fuazisumu) berhadapan dengan kelompok politik proletariat (musankaikyu) (hal.v). Sedangkan kaum buruh adalah simbol perlawanan pada masanya. Di tengah kekacauan politik itu, Kobayashi Takiji (19031933) seorang sastrawan berhaluan komunis menyatakan perlawanannya dengan karya sastra novelnya, salah satunya Kani Kosen: Sebuah Revolusi. Buku yang ditulis pada 1929 —pada saat Zaman Malaise (Great Depression)—ini dilarang oleh penguasa militer, karena dianggap bisa memicu perlawanan dari rakyat yang membacanya. Tiga tahun setelah menulis Kani Kosen, Takiji tewas disiksa oleh kepolisian Jepang diusianya yang ke-29. Kani Kosen sendiri mengisahkan perlawanan rakyat miskin terhadap kekuasan militer Jepang waktu itu.
Lanskap Kebangkitan Kani Kosen adalah kapal penangkap dan pengolahan kepiting yang beroperasi di laut Kamchatka, Jepang. Kapal ini berlayar di laut selama hampir lima bulan, untuk mengejar perolehan kepiting sebagai bahan baku pabrik. Sebagai kapal produksi, Kani Kosen membutuhkan ratusan tenaga buruh untuk “diperbudak” dan dipekerjakan sejalan dengan ambisi pabrik. Dengan iming-iming gaji besar, sebagian pelajar dan warga sipil Jepang tergiur untuk menjadi buruh di Kani Kosen.
EDISI MAGANG | RABU, 18 JUNI 2014
COMING
VERY SOON ON 2014 Para buruh itu terbagi menjadi nelayan, kuli angkut, kelasi dan awak kapal yang diperintah Mandor kejam bernama Asakawa. Sebenarnya dengan menjadi buruh kapal, mereka tak sadar telah memulai penderitaan panjang. Buruh kapal yang mayoritas berusia lima sampai enam belas itu, harus tinggal di tempat yang jorok dan pesing bak “pispot kotoran”. Makanan sehari-harinya tak lebih dari arak murahan, nasi keras dan sup basi. Mereka bekerja hingga 18 jam sehari, disertai makian dan pukulan mandor bila sesekali ngobrol atau tidak becus kerjanya. Lebih dari itu, mandor akan menyekap seorang buruh yang mangkal. Jika mereka mati, maka kuburannya adalah laut. Begitulah kehidupan para buruh di atas laut selama berbulan-bulan, ketidakpastian telah memaksa mereka untuk berdamai dengan siksa, derita bahkan kematian. Namun rupanya, para buruh tidak mau diam begitu saja di lambung penderitaan. Suatu ketika, setelah ombak mendamparkan kapal ke daratan, beberapa nelayan bertemu dengan orang Rusia dan membicarakan sepak terjang “pamflet komunis” yang sedang bergaung waktu itu. Dari situlah timbul keberanian dalam diri para nelayan untuk melawan kekejaman si mandor. Provokasi dan agitasi mulai dilancarkan oleh beberapa nelayan untuk menghasut para buruh agar melawan. Provokator itu adalah nelayan gagap, nelayan Shibaura, kadet, dan nelayan si sombong (hal.167). Secara cepat, cerita tentang “pamflet komunis” merambat. Para buruh tersulut cerita, dan merekapun tersadar untuk segera melawan. Lambat laun, kekuatan buruh terorganisir dan resistensi digelorakan. Kali ini secara terang-terangan, para buruh mulai berani mogok serentak. Puncaknya, setelah kembali ke perairan Hakodate karena musim berburu kepiting sudah berakhir, ternyata bukan kapal ini saja yang melakukan pemberontakan. Ada dua sampai tiga kapal lain yang mengeluarkan “pamflet komunis” serupa dari dalam kapal (hal.181). Pemberontakan buruh mencapai titik kulminasinya dan menjadi simbol perlawanan terhadap kapitalis pada masa kolonial. Buku ini menjadi best seller di Jepang pada tahun 2008, dan sudah diterjemahkan ke pelbagai bahasa. Namun sayang, dalam terjemahannya kurang mampu untuk menggambarkan kondisi ketika itu.[]
*Mahasiswa Ilmu Komunikasi dan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Yogyakarta, Pemred LPM FISH
www.lpmarena.com
23
ANGGOTA BARU LEMBAGA PERS MAHASISWA ARENA
KANCAH
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
Awas! Bahaya Laten Apatisme Mahasiswa Oleh Rifai Asyhari*
M
enyandang status sebagai mahasiswa nampaknya merupakan sebuah kemewahan tersendiri. Kehebatan mahasiswa yang kondang akan idealismenya sudah sangat tenar terdengar di seantero negeri ini. Cerita tentang kepahlawanan mahasiswa bahkan sudah terlalu sering untuk dikisahkan. Sejarah mencatat dari awal kemunculannya, bahwa mahasiswa mempunyai andil besar dalam merongrong segala macam penindasan dan ketidakadilan. Masa kolonialisasi, Orde Lama dan Orde Baru menjadi saksi bahwa kekuatan mahasiswa bukanlah hal yang dapat dipandang sebelah mata. Idealisme yang menjadi ruh penggeraknya telah menuliskan mereka dalam deretan lembar sejarah. Bangsa ini pun patut berbangga memiliki anak-anak muda yang mau bergerak dan tidak hanya diam mematung didalam kampus. Mereka turun ke jalan, mengadvokasi massa dan meneriakkan suara rakyat. Itu memang cerita lalu, cerita yang diingat bukan untuk kemudian menjebak kita dalam manis romantismenya. Namun menjadi memoar dan batu pijak bagaimana kita, mahasiswa, seharusnya. Cerita itu diingat karena merupakan bukti nyata atas pengabdian mereka kepada bangsa. Bangsa yang belum pantas dikatakan sejahtera. Penuh dengan kecurangan, kemiskinan dan penindasan. Maka pengabdian terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan adalah dengan merongrong kekuasaan dan membela rakyat sebagai kelas yang masih jauh dari kata sejahtera. Cerita itu juga dianggap sebagai aksi kepahlawanan karena yang dilakukan adalah tindakan atas nama rakyat, simbol kelas yang harus dibela dan diutamakan. Kalau saja mereka hanya duduk di kampus, meski itu berdiskusi membaca buku, selamanya cerita ini tak akan pernah ada. Kita pun dengan mudah tahu bahwa pahlawan adalah sebutan bagi orang yang mau berjuang untuk orang lain. Superman pun diangggap hero bukan karena kekuatannya, bajunya yang aneh maupun ketampanannya. Ia dianggap pahlawan karena mau melawan penjahat dan melindungi orang lain. Dan mahasiswa juga pernah diangggap seperti itu. Dulu. Kita, mahasiswa hari ini, penerus orang-orang terdahulu, mungkin masih menikmati cerita itu. Nyaman dalam keberhasilan masa lalu, terus mengisahkan sejarah bak dongeng lalu tertidur. Karena sampai hari ini, cerita itu belum kembali terulang. Jumlah mahasiswa yang semakin menggila ternyata belum mampu meneruskan perjuangan generasi terdahulu menyejahterakan bangsanya. Bahkan terkesan tidak peduli dan lebih nyaman menjadi apatis. Dalam keadaan penuh ketidakadilan, kita justru memilih untuk diam. Bersikap netral dianggap lebih baik, yang berarti membiarkan keadaan ini terus berlanjut dan berlarut-larut. Seakan mengkhianati intelektualitasnya, terhadap penindasanpun, mahasiswa yang dulunya dibanggakan, sekarang diam saja. Ada jutaan
24
SLiLiT
ARENA Jelas & Mengganjal
mahasiswa dan Indonesia tetap begini saja.
Apatisme Mahasiswa Saat ditanyakan kepada mahasiswa tentang tujuan kuliah, mayoritas dari mereka, dengan santai dan tegas akan menjawab untuk menyejahterakan dirinya bukan bangsanya. Paradigma ini nampak wajar dan telah menjadi kebenaran yang mendominasi, di mana mereka mengada untuk dirinya saja. Logika yang dibangun adalah pekerjaan mapan, kekayaan dan kesuksesan diri. Sedangkan saat disinggung mengenai eksistensinya untuk bangsa, hal itu akan dianggap konyol dan tidak realistis seperti halnya sebuah mitos usang. Ketidakpedulian ini mudah didapati. Mahasiswa tidak peduli mengenai persoalan bangsanya. Individualisme dan mabuk atas dirinya menjadi sebuah tontonan. Lihat saja obrolan mahasiswa hari ini, prospek pekerjaan dan kemungkinankemungkinan meraup kekayaan terdengar dari pojok-pojok kampus. Isu yang diambil tidak terlepas dari masa depan dan pekerjaan mapan. Hak pribadi menjadi dalih pembenaran sehingga menjadi apatispun bukan sebuah masalah. Entah apa yang merasuki pikiran mahasiswa sehingga wabah apatis benar- benar telah menjangkiti sebagian besar dari mereka. Mungkin karena logika masyarakat tentang kuliah dan pekerjaan mapan. Sehingga seringkali didapati pernyataan dengan nada miris “sarjana kok jualan Batagor�. Pernyataan yang seakan mengakui bahwa kampus tak ubahnya seperti tempat penyaluran jasa Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Melatih mahasiswa menjadi tenaga kerja siap pakai dan penghasil rupiah. Atau karena sistem kampus juga menghendaki mahasiswanya menjadi demikian? Sistem SKS, tugas numpuk, rayuan lulus cepat, stigma mahasiswa abadi dan ancaman drop out seakan mengharuskan mahasiswa benar-benar fokus pada kuliahnya saja. Bagaimana mahasiswa mau bergerak untuk peduli dengan persoalan bangsa kalau kondisi di kampus saja seakan mengancam sebegitu ganasnya? Kita patut curiga, janganjangan ada NKK/BKK gaya baru di kampus kita. Belum lagi rayuan hedonisme yang menggiurkan. Banyaknya kesenangan yang ditawarkan kepada mahasiswa ternyata sangat menggoda melucuti idealismenya. Potret pencitraan mahasiswa ideal bukan lagi tentang baca buku, diskusi dan aksi sebagai implementasi dari Tri dharma perguruan tinggi. Melainkan tampang fashionable, gadget dengan harga selangit dan gaya hidup konsumtif. Bukanlah mahasiswa ideal kalau motor butut dan tampang semrawut. Sehingga daripada melihat bangsa yang amburadul, mahasiswa akan jauh lebih frustasi kalau tidak punya gadget. Saat orientasi eksistensi mahasiswa berubah menuju kepada kebahagiaan individualis materialis, maka bangsa ini sebenarnya tengah terancam akan keberlangsungannya.
KANCAH
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
Mahasiswa sebagai subjek yang merepresentasikan orangorang terpelajar bangsa ini justru akan mengkhianati tanah airnya sendiri. Keberadaaan, gagasan dan kecerdasan mereka pada akhirnya hanya akan digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri dan memperlebar kesenjangan. Mereka yang tidak mampu kuliah dan menggantungkan nasibnya pada mahasiswa sebagai pembawa perubahan akan dikecewakan lalu kembali ditindas oleh para penindas baru. Berkaca pada kondisi kampus kita, yang katanya kampus rakyat, isu kegelisahan tentang rakyat sudah hampir punah. Upaya dari berbagai elemen untuk kembali membangkitkan tema kerakyatan yang selama ini diusung juga seringkali menemukan titik buntu. Dunia pergerakan yang acapkali dianggap sebagai kancah pembentukan kesadaran mahasiswa akan idealisme kerakyatan semakin tidak populer. Bahkan seringkali diejek sebagai gerombolan mahasiswa kurang kerjaan dan suka ikut campur urusan orang. Aksi turun ke jalan tidak lagi dipandang sebagai usaha penyaluran aspirasi rakyat melainkan sebuah upaya tanpa makna. Aksi yang dianggap sia-sia. Kalau kondisi ini terus berlanjut maka selamanya upaya mencerdaskan bangsa akan menemui kegagalannya. Bangsa ini hanya akan menghasilkan sarjana sebagai penindas baru yang menggunakan kecerdasannya untuk membodohi rakyat. Idealisme kerakyatan yang selama ini menjadi ruh penggerak mahasiswa telah dibunuh oleh apatisme. Maka ketika mahasiswa gagal membaca dirinya, ia akan gagal membaca kondisi realitas bangsanya. Sejenak mengenang romantisme sejarah, saat mengikuti Orientasi Pengenalan Akademik Kampus (OPAK) sebagai mahasiswa baru, orator-orator ulung diatas panggung demokrasi sebenarnya telah berupaya menyadarkan kita akan potret ideal mahasiswa. Kata revolusi, rakyat dan lagu Darah Juang yang selalu didengungkan sebenarnya menginginkan kita agar sadar dan melek realitas. Orasi lantang itu tidak hanya ingin mengusik kesadaran palsu menjadi mahasiswa, namun juga menyiratkan kegelisahan tentang kondisi mahasiswa saat ini yang cenderung apatis. Di tengah kepungan apatisme, perlu usaha keras untuk kembali menyadarkan mahasiswa. Mungkin kondisi pasca reformasi memang terlalu nyaman dan meninabobokkan. Ya, memang kita tidak harus melakukan aksi besar-besaran untuk dianggap mahasiswa sejati. Namun yang lebih penting adalah bagaimana mahasiswa menjaga semangat idealisme seperti dulu, saat mahasiswa dipuja sebagai pembawa perubahan. Kalaupun kampus dianggap belum mampu memberikan pembebasan kesadaran, maka tidak ada jalan lain kecuali berinisiatif untuk memulainya dari segelintir orang yang geram melihat kondisi ini. Propaganda melalui penyebarluasan kata seperti idealisme, penindasan, rakyat dan revolusi yang selama ini tidak pernah diajarkan dosen di kelas harus disebarkan dan ditanamkan dalam kesadaran seorang mahasiswa. Memang
hal remeh-temeh, namun pergerakan mahasiswa tidak akan pernah ada tanpa munculnya kesadaran akan realitas lewat kata sebagai proyeksinya. Pembacaan sejarah mengenai kemunculan mahasiswa harus kembali diceritakan, agar mahasiswa mampu kembali menemukan titik pijaknya. Penggambaran sosok ideal mahasiswa melalui citraan media telah mengaburkan gambaran ideal yang sesungguhnya. Sehingga hari ini krisis identitas benar-benar telah menjajaki dunia kampus. Sejarah mengungkapkan bahwa mahasiswa benar-benar dianggap berhasil menjadi bagian kampus tatkala ia melakukan serangkaian tindakan membela rakyat. Tidak pernah ada cerita kepahlawanan untuk mahasiswa yang hanya lulus cumlaude, IP tinggi dan suka mengurung diri dalam kamar. Dunia pergerakan yang mengusung semangat kerakyatan, apapun bentuknya, harus kembali dibangkitkan untuk memberikan penyadaran dan menumpas gerombolan mahasiswa apatis. Dalam karut marut bangsa, mahasiswa ada sebagai tunas harapan untuk menjadi generasi penerus yang akan merubah Indonesia. Sayangnya, apatisme melucuti idealismenya. Apatisme tentu bukan barang yang boleh disepelekan. Fenomena saat ini memperlihatkan, bahwa ketika segelintir mahasiswa tengah melakukan negosiasi dengan birokrasi kampus terkait kebijakannya, ternyata diluar sana masih banyak mahasiswa yang tengah tertawa dan dimabuk asmara. Kalau terkait dengan kampusnya yang kecil saja sudah begini, lalu bagaimana dengan bangsanya yang begitu besar. Apatisme memang seakan telah mendapatkan legitimasi keberadaannya di tengah mahasiswa, namun kebenaran tetap harus diungkapkan dan diperjuangkan. Kalaupun ini dipandang tidak realistis dan sok idealis, memanglah begitu adanya. Selamanya orang yang ingin merubah zaman akan dianggap asing oleh zamannya. Semua revolusioner baik itu Nabi Muhammad SAW, Soekarno ataupun Hugo Chavez tidak pernah hidup dalam keadaan realistis sepenuhnya. Mereka hidup dalam idealisme tinggi sehingga perubahan benar-benar terjadi. Kalau saja mereka terlalu realistis maka selamanya perubahan tidak akan pernah terjadi. Kita pun sudah sangat paham dengan celotehan motivator bahwa hidup berawal dari mimpi. Bagaimanapun alasan realistis sebagai dalih pembenaran apatisme mahasiswa, selamanya menjadi mahasiswa apatis tidak dapat dibenarkan. Mahasiswa mengada untuk bangsanya. Dengan mudahnya kita pun tahu, bahwa tidak pernah ditemukan dalam literatur manapun, bahwa mahasiswa adalah calon orang sukses dan kaya dengan pekerjaan mapan. Mahasiswa adalah sosok terpelajar pembawa perubahan. Maka, berantas apatisme tanamkan idealisme. *Mahasiswa semster IV Jurusan KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
www.lpmarena.com
25
ADVERTORIAL
EDISI MAGANG | KAMIS, 19 JUNI 2014
Mung
sèket èwu
kanggo ngiklan nèng SLiLit ARENA
Monggo...
Di Buka Pendaftran anggota baru Tapak Suci cabang latihan UIN Sunan Kalijaga waktu latihan (selasa dan kamis sore, jumat malam)) Waktu & Tempat Latihan tempat latihan(Parkiran MP sebelah timur) (Selasa & Kamis sore, Jumʼat malam) (Parkiran gedung Multi Purpose sebelah timur) Cp: Ketua, Atep (087838600148) Skretaris : Fitra (085729678286)
Kepada T A M A SEL A N E R A S U PENGUR /2015 4 1 0 2 e d io r e p terpilih MUM
NU PIMPINA
LUGAS SUBARKAH
AHMAD AHMAD IN D JAMALUDIN JAMALU
AKSI
N RED PIMPINA
fb : TS UIN Sunan Kalijaga yang dirahmati Allah Pin : 73E7A37C
Jamal
Lugas
LUGAS H A SUBARK
Bonus iklan online di
SEGERA TERBIT
MAJALAH ARENA EDISI 40
WONG CILIK DI PUSARAN KONFLIK PEMASARAN DAN DISTRIBUSI INTAN PRATIWI +62818 027 390 55
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LEMBAGA PERS MAHASISWA ARENA