Slilit arena november 2014

Page 1

SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

EDISI NOVEMBER 2014

www.lpmarena.com


DAFTAR ISI

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

FOTO SAMPUL ABDUL MADJID

UNIVERSITARIA kuliah lima tahun telah 6 Pembatasan diatur dalam Permendikbud, permen ini

KULIAH LIMA TAHUN, dianggap mengekang kebebasan mahasiswa MEMBUNUH KREATIFITAS dan saratmenelurkan sarjana prematur UIN Sunan Kalijaga yang terlaksana 8 Pilrek 9 Oktober lalu mundur dari jadwal semula,

PILREK ITU TERSANDRA STATUTA

kemunduran ini terindikasi karena statuta baru yang tak kunjung rampung.

SI sarjana pendidikan nantinya bakal 10 Lulusan berjuang ekstra untuk menjadi guru profesional,

PPG, MEMBERATKAN selain harus mengikuti PPG, mereka diharuskan SARJANA PENDIDIKAN bersaing dengan lulusan SI keilmuan murni. mahasiswa merasa penggolongan 12 Beberapa UKT belum sesuai kemampuannya, dan justru

LAGI-LAGI UKT BER-MASALAH

ada beberapa mahasiswa dari keluarga mampu malah mendapat biaya UKT rendah.

DITERBITKAN OLEH: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PELINDUNG Rektor UIN Sunan Kalijaga PEMBINA Abdur Rozaki, S.Ag, M.Si PEMIMPIN UMUM Ahmad Jamaludin WK. PEMIMPIN UMUM Dedik Dwi Prihatmoko SEKRETARIS UMUM Anisatul Umah BENDAHARA Chusnul Chotimah DEWAN REDAKSI Januardi S Husin, Roby Kurniawan

SASTRA 19

PEMIMPIN REDAKSI Lugas Subarkah

yang Tertinggal PUISI|Sajak-Sajak Diyanto

REDAKTUR ONLINE Ulfatul Fikriyah

CERPEN|Cerita-cerita

KANCAH 16 Tentang Pengorganisiran Masyarakat Mahasiswa: Agen Perubahan

OPINI 27 Manusia, Kompetisi dan Perubahan Sosial Implementasi Pendidikan “Hadap-Masalah”

LEBIH DEKAT 14 ADC, Berkreasi Lewat Tari

PUSTAKA 22 Kronik Fungi dan Ingatan Alam Menemukan Makna di balik Fragmen Sejarah

CATATAN KAKI 4 Kampus Dunia Itu, Hanya Mimpi di Siang Bolong

EDITORIAL 5 Mari Belajar Lagi SLiLiT ARENA menundang semua kalangan masyarakat akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan maupun artikel ke alamat redaksi LPM ARENA. Pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan, bisa menuliskan hak jawabnya, atau datang langsung ke kantor redaksi guna berdiskusi lebih lanjut WARTAWAN SLiLiT ARENA DIBEKALI TANDA PENGENAL DALAM SETIAP PELIPUTAN DAN TIDAK MENERIPA AMPLOP DALAM BENTUK APAPUN

REDAKTUR SLiLiT Usman Hadi REDAKTUR BAHASA S Ghidafian Hafidz STAF REDAKSI Faksi, Iim, Tika, Mas’odi, Lilik, Novi, Fa’i, Ekmil, Mutiara, Maya, Amri, Fauzi, Shoim, Cakson, Oli, Isma, Uul, Faisal, Ria, Khusna, Najib, Hasbul, Anis, Irsal, Surasuk, Riza, Elmi, Mugiarjo ARTISTIK Khaulah Pundi M, Yazid Maulana, Sabiq FOTOGRAFER Abdul Majid DIREKTUR PERUSAHAAN & PRODUKSI Khusni Hajar KOORDINATOR PUSDA Andy Robandi KOORDINATOR JARKOM Rakhmat Efendi KOORDINATOR PSDM Arifki Budia Warman Kantor Redaksi/Tata Usaha Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta 55281 Telp.: +62857 259 151 49 a/n Khusni E-mail: lpm_arena@yahoo.com Website: www.lpmarena.com


SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

SURAT PEMBACA

Tinggalkan Budaya Militerisme dan Tingkatkan Sosialisasi DO Pendapat saya mengenai situasi kampus di UIN Sunan Kalijaga sudah sangat ketinggalan zaman. Negara-negara lain yang sudah mulai menghilangkan budaya militerisme dalam penerimaan mahasiswa baru, justru di UIN Sunan Kalijaga saya masih melihat cara-cara militerisme itu, dengan alasan intervensi untuk mendidik. Mereka-mereka orang yang menolak militerisme (panitia OPAK) seolah menjilat ludahnya sendiri, dan menerapkan secara terang-terangan praktik militerisme dalam pelaksanaan OPAK. Pada suatu kesempatan saya melihat pelaksanaan OPAK di salah satu fakultas di UIN Sunan Kalijaga, dan ada orang tua mahasiswa yang melihat anaknya secara langsung dikatain bodoh dan goblok di depan umum. Dan yang saya lihat hanya Fakultas Sosial dan Humaniora saja yang tidak memakai cara-cara militerisme dalam pelaksanaan pendidikan mahasiswa barunya, selebihnya sama saja! Dan juga saya ingin menanggapi persoalan kasus Drop Out (DO) massal yang sedang terjadi, dan aksi demo yang mengakibatkan kerusakan insfratruktur di kampus. Saya bukan tidak pro terhadap teman-teman mahasiswa, akan tetapi jika alasannya itu adalah persoalaan akademik yang menyangkut nilai,saya sangat setuju dengan diadakan DO tersebut agar sistem pendidikan di UIN Sunan Kalijaga dapat bersaing dengan kampus IAIN dan UIN yang lain, bahkan jika perlu UGM sekalipun. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya di sini ialah tidak meratanya keputusan DO tersebut. Menurut teman saya yang terkena DO, ada teman sekelasnya yang nilai IPK-nya lebih buruk dibanding dia dan tidak di-DO,sedangkan ia malah yang diDO. Dan juga menurutnya sosialisasi di kampus ini juga tak jelas, dan tak ada sosialisasi tentang DO itu sendiri. *Fadel M Aslam, mahasiswa semester III Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Surat untuk redaksi hendaknya dilengkapi biodata lengkap, fotokopi KTP/KTM yang masih berlaku, beserta nomor ponsel yang dapat dihubungi. Redaksi tidak mengembalikan surat-surat yang diterima. Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Judul file: Surat Pembaca_SLiLiT ARENA

www.lpmarena.com

3


CATATAN KAKI

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Kampus Dunia Itu, Hanya Mimpi di Siang Bolong “Wah, sekarang kampus ribet. Ini itu pake' online, tapi gak ada yang beres,” keluh seorang kawan saat memperbincangkan sistem di UIN Sunan Kalijaga (Suka) yang menurutnya semakin semrawut ini. Bagaimana tidak semrawut, administrasi yang sebenarnya coba dirapikan oleh pihak kampus –dengan menggunakan sistem online, ternyata praktik di lapangannya amburadul. Pengisian Data Pribadi Mahasiswa (DPM) misalnya. Data yang seharusnya diisi oleh angkatan 2013-2014 dan 20142015 malah dibebankan kepada seluruh mahasiswa. Konyol? Bisa dikatakan demikian. Angkatan “semester tua” yang notabene tak termasuk penggolongan UKT turut diancam oleh pihak kampus bila tak mengisi DPM. Padahal, syarat untuk mengisi DPM bagi mahasiswa semester atas sebenarnya tak berkewajiban untuk mengisi data itu. Tak hanya soal DPM, sistem penginputan Kartu Rencana Studi (KRS) tiap tahunnya-pun tak pernah beres. Jangankan perbaikan, perubahan yang dirasakan mahasiswapun tak pernah dirasakan. Lucu memang, kita (mahasiswa) hanya diberikan waktu beberapa hari untuk megisi KRS, namun sistemnya tak pernah beres. Tiap tahunpun bisa ditebak bagaimana tingkah mahasiswa saat pengisian KRS tiba. Kegaduhan di mana-mana, di jejaring sosial media ramai memperbincangkan ketidakbecusan kampus ini. Belum lagi kasus konversi yang sampai sekarang ini belum beres. Di fakultas Adab dan Ilmu Budaya misalnya –tepatnya di jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI). Konversi yang berlangsung tahun lalu (2013), sampai sekarang masih menjadi polemik di kalangan mahasiswa. “Wong aturan dari jurusan dan di SIA saja berbeda,” keluh seorang kawan. Ya, aturan konversi yang diterapkan di Jurusan SKI dengan aturan di Sistem Informasi Akademik (SIA) berbeda. Aturan di jurusan berbunyi, “jika ada dua matakuliah yang dikonversikan menjadi satu, dan jika mahasiswa yang bersangkutan baru mengambil satu matakulaih sebelum konversi, maka dia wajib mengambil matakuliah hasil konversi.” Akan tetapi di SIA aturanya berbeda. Di SIA, bila mahasiswa telah mengambil salah satu dari dua matakuliah yang dikonversikan menjadi satu, dan matakuliah sebelum konversi itu telah mencukupi nilai, maka mahasiswa tersebut tidak berkewajiban mengambil matakuliah hasil konversi. “Maaf ya saudara fulan, nilai terbaik anda pada matakuliah agama (misalnya) adalah A (4), dan tidak berada di-ratting 0 - 2,75,” tulis SIA di lamannya. *** Kamis itu (11/09), tampak berbeda suasana di Pusat Administrasi Umum (PAU) UIN Suka. Banyak kalangan masyarakat kampus –jajaran birokrat kampus, berkumpul di SLiLiT

4

ARENA Jelas & Mengganjal

PAU. Ya kumpulan itu bertema tasyakuran “katanya”, tasyakuran atas prestasi akreditsi A yang di dapat UIN Suka. Sontak rektor “lama” kita berbangga, "kami berharap cita-cita UIN Sunan Kalijaga menjadi kampus kelas dunia (world class university) dapat semakin cepat terwujud, dengan perbaikan sarana dan kualitas pendidikan di kampus ini,” harap Musa. Memang akhir-akhir ini pihak kampus sedang gentolgentolnya menggemborkan bahwa UIN akan menjadi kampus world class university. Dan sebagai langkah awal, semua sistem keadministrasian di UIN “dipaksakan” serba online. Dipaksakan karena memang secara realitas Sumber Daya Manusia (SDM) birokrasi kampus masih banyak yang belum paham dengan sistem tersebut –atau bisa dikatakan masih gaptek (gagap teknologi). Jika menilik berbagai kasus yang ada dilapangan –seperti yang telah dipaparkan di muka, kampus ini memang belum siap menggunakan sistem online. Seharusnya kampus malu. Malu karena apa? Mimpi yang telah digembar-gemborkan ke publik, yakni UIN Suka bakal menuju world class university, masih jauh dari harapan. Bak mimpi disiang bolong –jika tak kunjung ada pembenahan.

Kami Butuh Pendidikan Murah Menurut data yang dilansir Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud, pada tahun 2010 terdapat 90.263 ribu siswa SMA sederajat yang putus sekolah. Pada tahun yang sama, lulusan SMP sederajat sebanyak 4,2 juta siswa, 1,2 juta diantaranya tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Angka itu lebih besar lagi jika menilik pernyataan mantan anggota komisi X DPR RI (2009-2014) Raihan Iskandar. Ia mengungkapkan masih terdapat 10,268 juta siswa yang tidak menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun (SD dan SMP). Dan masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang SMA. Akhir-akhir ini biaya pendidikan semakin melambung tinggi, seiring diberlakukannya sistem UKT –dengan sistem pengawasan yang sangat sukar– sehingga mudah bagi kalangan birokrasi seenaknya melambungkan biaya kuliah. Lantas di mana keberpihakan perguruan tinggi seperti UIN Suka ini kepada kaum miskin? Sekarang ini yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah pendidikan murah, bukan pendidikan dengan embel-embel world class university. Bukan serta merta kualitas internasional yang disimbolkan (sertifikasi ISO), tapi pemerataan dan pendidikan murah yang diperlukan. @Diqromo Jama'at Arena


SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

EDITORIAL

Mari Belajar Lagi Istilah buruh mulai dikenal di Nusantara pada masa pemerintah kolonial Belanda. Para penduduk pribumi yang tanahnya dirampas oleh para penguasa —baik penguasa kolonial maupun pribumi (priyai), dipaksa menjadi buruh di korporasi pemerintah maupun milik swasta asing. Seiring politik liberal mulai diberlakukan di tanah kolonial Hindia Belanda, maka mulailah bercongkol —menjamurnya korporasi swasta asing. Dan kemudian pemerintah kolonial merasa butuh terhadap pekerja kelas rendahan yang diperuntukan untuk dijadikan buruh di pabrik-pabrik korporasi itu. Maka dari itu, pemerintah kolonial mulai mendirikan sekolah-sekolah untuk pribumi (meski dalam penerapannya sangat diskriminasi). Yang mana kalangan Indo keturunan dianakemaskan, sedangkan pribumi dianaktirikan. Dan hal itu diperparah dengan pengkotak-kotakan pribumi, dimana hanya segelintir saja dari kalangan priyai yang dapat mengakses pendidikan itu. Meski demikian, bukan berarti kesadaran kalangan terpelajar bumiputera itu sirna—hangus—dan tak pernah ada. Ada segelintir dari kaum cendikia pada masa itu yang memiliki kesadaran kelas, kesadaran sosial bahwa bangsanya dibelengu oleh penjajah, dan hak-haknya telah diberengus. Muncul nama-nama seperti Tirto Adhi Soerjo, Semaoen, Darsono, Mas Marco, HOS. Cokrominoto, Siti Soedari, dan lainnya. Mereka itu bisa dikatakan sebagai “pelajar” mulamula di Hindia Belanda yang memiliki kesadaran kelas yang memperjuangkan nasib bangsanya. *** Dibagian masa yang berbeda, disaat penjajahan fisik tak lagi ditemui. Pola-pola imprealisme dan penjajahan bermetamorfosis sehingga tak terlihat (kasat mata). Kalangan kolonial-imprealis tak lagi mengekploitasi secara langsung, tapi lewat gagasan dan wacana-wacana yang diproduksi, yang sifatnya hegemonik guna menguntungkan kalangan kapitalis itu—mempermudah jalan korporasi mereka dalam mengeruk kentungan dan nilai lebih. Pendidikan yang sehaharusnya menjadi alat penyadaran kelas, kemudian karena campur tangan kalangan korporasi itu yang berupaya mengikis fungsi pendidikan, pendidikan hanya diarahkan untuk memproduksi pekerja-pekerja kelas rendahan (kelas teri) yang dibutuhkan oleh korporasi –dan pasar. *** Akhir-akhir ini pemerintah telah mengelurkan permendikbud nomor 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi. Pada pasal 17 ayat 3 disebutkan

bahwa masa studi mahasiswa tingkat strata I dan diploma 4 adalah maksimal lima tahun. Alasan dikeluarkannya aturan itu karena aturan itu dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi pelajar-pelajar yang banyak “mengantri” untuk masuk ke perguruan tinggi. Sementara bangku yang tersedia terbatas, dilain sisi masih banyak ditemui mahasiswa semester tua yang betah di kampus. Jika kita melihat lebih jauh, pada dasarnya kebijakan kuliah maksimal lima tahun itu sangatlah beterkaitan dengan kebutuhan koorporasi, yang menghendaki output pendidikan—sarjana pendidikan yang patuh terhadap perusahaan, yang menguntungkan kelas-kelas pemodal. Mahasiswa yang notabene lekat dengan idealisme coba dikikis oleh kalangan koorporasi lewat instansi pemerintah (instansi pendidikan formal). Ruang gerak mahasiswa dibatasi dan hanya disibukkan dengan urusan-urusan akademik saja. Mereka (mahasiswa) itu, coba digiring oleh kalangan penguasa, untuk hanya berkutat pada persoalan tugas akademik yang menumpuk, dan dijauhkan pada persoalan organisasi kemahasiswaan—organisasi pergerakan. Sebagai seorang yang menyandang gelar “agen of change” tentu mahasiswa juga dituntut untuk bisa memecahkan persoalan masyarakat—atau paling tidak bisa berguna untuk kampung halamannya! Lalu, bagaimana output mahasiswa bisa menjadi garda terdepan untuk memecahkan persoalan masyarakat tapi kehidupan mahasiswa hanya dikurung di lingkungan kampus (akademik) saja. Akademik itu penting, tapi mahasiswa juga diharuskan untuk peka, peka terhadap problem masyarakatnya. Pendidikan itu tidak hanya berkutat dalam persoalan ajar mengajar antar siswa dan guru –antara mahasiswa dengan dosen. Pendidikan beterkaitan dengan upaya penyadaran kelas –sebagai alat pembebasan. Jika kemudian pemerintah hanya mengarahkan outout pendidikan untuk dijadikan “buruh” tanpa diiringi kesadaran kelasnya, lantas untuk apa pendidikan –pengajaran di kampus itu? Lantas, apa bedanya pendidikan sekarang ini dengan pendidikan yang diterapkan pada masa kolonial dahulu itu –jika pendidikan hanya dijadikan sarana atau akses untuk memproduksi kelas buruh rendahan yang tak memiliki kesadaran kelas? So, mari belajar lagi, tolak pembatasan kuliah lima tahun itu! Tuntut keleluasaan dalam berkreasi! Redaksi

Redaksi SLiLiT ARENA menerima kritik dan saran terhadap editorial. Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Bentuk tulisan utuh 400-700 kata. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Saran/Kritik Editorial_SLiLiT ARENA

www.lpmarena.com

5


UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Kuliah Lima Tahun, Membunuh Kreatifitas Pembatasan kuliah lima tahun telah diatur dalam Permendikbud, permen ini dianggap mengekang kebebasan mahasiswa dan sarat menelurkan sarjana prematur Oleh Isma Swastiningrum

K

eluarnya Permendikbud No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi sedikit banyak meresahkan sejumlah kalangan, mengingat peraturan menteri (permen) itu turut membatasi masa kuliah mahasiswa Strata I (SI) maksimal hanya lima tahun. Pembatasan masa kuliah dalam permen itu terdapat pada pasal 17 ayat 3 poin D, yang menerangkan bahwa masa pendidikan mahasiswa untuk program diploma dan sarjana dibatasi dari empat sampai lima tahun masa studi. Meski permen yang membatasi masa pendidikan mahasiswa strata satu itu telah keluar, tetapi permen itu belumlah diterapkan, dan kemungkinan bakal diterapkan tahun 2016 mendatang. “Yang jelas, semua perguruan tinggi masih memahami dan mempelajarinya. Tahun ini masih tetap (seperti tahun kemarin), belum ada perubahan,” kata Sekar Ayu Aryani, Wakil Rektor III bidang akademik dan kemahasiswaan UIN Suka. Peraturan yang baru muncul itu banyak mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, Hilful Fuhdul misalnya, ia berpendapat kebijakan kuliah lima tahun membatasi ruang gerak mahasiswa. “Terkait lima tahun kuliah, saya

SUBAKUN

SLiLiT

6

ARENA Jelas & Mengganjal

kira pertama itu menutup ruang kebebasan mahasiswa. Kedua, kebijakan seperti ini berbau-bau mematikan gerakan mahasiswa. Setahu saya pendidikan itu membebaskan, bukan membutakan orang,” ujar Hilful yang juga tercatat sebagai ketua Rayon Pondok Syahadat Komisariat Fakultas Dakwah PMII. Tak jauh berbeda dengan Hilful, Habiburrahman salah satu anggota Teater Eska berujar bahwa pembatasan kuliah itu tak seharusnya diterapkan, “kalau ditarik efeknya dari kualitas, itu sangat dilematis sekali. Masak kuliah seolah-olah seperti kursus, cepet banget. Upaya untuk trial and error lebih dibuka, tidak disempitkan dalam ruang kelas aja,” pungkasnya. Lebih jauh Habib bertutur bahwa kondisi mahasiswa di UIN Suka akhir-akhir ini mulai kehilangan semangat kritisnya. Padahal masih ada benih-benih mahasiswa yang ingin lebih membangun kembali semangat intelektualnya, bukan semata sekedar menjadi pelayan kekuasaan. “Sekarang kan jadi ini, arah pendidikan kita orientasinya menjadi pelayan. Kalau kata Gramsci kita bukan lagi intelektual organik tapi malah jadi pelayan kekuasaan,” ujar mahasiswa yang juga duduk di jurusan Filsafat Agama semester III ini. Namun, ada juga sejumlah kalangan yang menyetujui peraturan yang baru menjadi wacana itu, tetapi tentunya dengan beberapa cacatan


UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

yang menyertainya. “Kalau aku membacanya, pemerintah itu melakukan efisiensi. Cuma untuk melakukan efisiensi ke sana, tetap harus diimbangi dengan output-nya. Prosenya harus lebih bermutu,” jelas Cecep Jaenudin, koordinator Komisariat Bidang Internal HMI MPO UIN Suka. Lebih jauh Cecep menambahkan bahwa lulusan yang keluar nantinya juga harus diimbangi dengan ketersediaanya lapangan kerja. “Ketika lulus kuliah, mereka mau masuk ke mana? Harusnya penertiban jadi lima tahun ini lapangan kerja harus siap menerima mereka. Jika lapangan kerja masih minim, angkatan kerja yang semakin banyak. Itu akan menjadi kesenjangan sosial,” tutur Cecep yang juga duduk di jurusan Pendidikan Bahasa Arab semester tujuh ini. Pandangan Cecep turut diamini Hilful, menurutnya memang tidak ada jaminan semua lulusan UIN Suka (bahkan lulusan mahasiswa kampus se-Indonesia) akan mendapat pekerjaan semua, dan mampu menjadi alternatif dan solusi setidaknya untuk kampungnya masing-masing.

Membatasi Dalam pepatah Arab ada istilah thuulul zamani (menuntut ilmu itu panjang), istilah ini tertera dalam kitab Al Mu'allim. Namun, pemerintah malah berupaya membatasi masa kuliah yang ada.

“Kuliah di pesantren saja minimal delapan tahun hingga sembilan tahun. Malah ada yang 12 tahun tidak dianggap santri. Masak kampus kalah sama pesantren?” Sindir M. Toyu Aradana, mahasiswa jurusan Sosiologi Semester V. Tolak ukur mahasiswa guna mendapat gelar sarjana juga mulai dipertanyakan, apakah mahasiswa cukup mampu menerima seluruh transformasi pengetahuan dengan waktu studi yang amat singkat? “Saya su'udzon-nya, di kampus UIN ini jangan-jangan seluruh mahasiswa UIN yang diwisuda, sarat dia lulus bukan karena semua materi yang diambil selama ini sudah dia pahami. Tapi administrasi yang sudah disyaratkan oleh UIN itu sudah dipenuhi,” kata Hilful mengkritisi. Menanggapi berbagai penolakan ini, Sekar berpendapat bahwa seharusnya mahasiswa tidak egois, dan memberi kesempatan kepada siswa-siswa di luar yang belum dapat masuk di perguruan tinggi. “Emangnya punya dia perguruan tinggi itu? Apalagi negeri (PTN) dibiayai pemerintah, uangnya dari rakyat,” tegas Sekar. Berdasarkan data yang dikutip dari situs e-sbmptn.com, memang disebutkan bahwa jumlah pendaftar SBMPTN berjumlah 664.509 orang, tetapi yang diterima hanya 104.862 orang saja (hanya“15 persen” dari total pendaftar SBMPTN).

Tantangan

Wacana pembatasan ini tentu menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat kampus. Salah satu indicator sederhana untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan pemerintah adalah APK (Angka Partisipasi Kasar). APK menunjukkan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan dengan jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya. Sebagai contoh, usia di atas 12 tahun masih SD, atau juga banyak mahasiswa berusia di atas 25 tahun tetapi belum lulus S1. Dalam programnya, pemerintah berusaha meningkatkan nilai APK. Namun kenyataannya, usaha peningkatan APK tidak diimbangi dengan sarana prasarana yang memadai. “Pemerintah hanya bisa mensyaratkan peningkatan APK. Sementara sarana prasarana tidak ditingkatkan. Ya, sama aja bohong. Dosennya juga tidak ditambah,” tutur Sekar. Sementara jika peraturan pembatasan masa kuliah itu benarbenar diterapkan, maka mahasiswa harus tak sekedar punya komitmen yang tepat terhadap waktu studinya, sekaligus bagaimana ia memanfaatkan waktunya sebagai ruang kreasi. Bagaimana mahasiswa mengembangkan keadaan dan memajukan dirinya. “Memaknai itu (pembatasan kuliah lima tahun) sebagai ruang terbatas yang semakin asyik. Mahasiswa menciptakan suasana proses dalam proses,” kata Toyu.[]

www.lpmarena.com

7


UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Pilrek Itu Tersandra Statuta Pilrek UIN Sunan Kalijaga yang terlaksana 9 Oktober lalu mundur dari jadwal semula, kemunduran ini terindikasi karena statuta baru yang tak kunjung rampung. Oleh Anisatul Ummah

P

emilihan Rektor (Pilrek) menjadi agenda empat tahunan UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka). Pilrek kali ini digelar 9 Oktober lalu, dengan empat calon rektor yakni Khoiruddin, Akh. Minhaji, Nizar, dan Machasin. Hari pemilihan itu jauh dari jadwal semula, mengingat jadwal awal Pilrek dilaksanakan pada 28 Agustus dan menurut rencana bakal diumumkan pada 1 September 2014. Menurut Budi Ruhiatudin ketua panitia Pilrek, mundurnya Pilrek disebabkan karena adanya beberapa perubahan dalam statuta. Dalam statuta lama anggota senat diambil dari unsur jurusan, namun kini keterwakilan senat diambil dari unsur fakultas. “Pemilihan rektor ditunda sampai statuta UIN yang baru disahkan,” ungkapnya. Menurut Abd. Munir Mulkhan ketua senat universitas, statuta UIN dibuat oleh senat sebagai kampus yang otonom kemudian di sahkan oleh Kementrian Agama (Kemenag). “Setiap perguruan tinggi memiliki otoritas kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Pengaturan dirinya sendiri itu yang dinamakan statute,” terangnya. Dalam statuta UIN bagian ketiga senat universitas, pada pasal 33 disebutkan bahwa keanggotaan senat universitas terdiri dari guru besar setiap fakultas, guru besar yang sedang mendapatkan tugas jabatan struktural maupun non-struktural, wakil dosen bukan guru besar dari setiap fakultas, dan rektor, wakil rektor, dan direktur pascasarjana sebagai anggota ex-officio. Lalu rincian dari keanggotaan senat dari unsur dosen yakni setiap SLiLiT

8

ARENA Jelas & Mengganjal

36 dosen diwakili satu senat, apabila jumlah dosen 37 orang maka fakultas diwakili dua senat begitu kelipatan selanjutnya. Namun keterwakilan senat dari unsure dosen tiap fakultas dibatasi maksimal hanya lima wakil senat. Seleksi anggota senat menurut Abd. Munir Mulkhan dilakukan di fakultas. Sehingga anggota senat sudah ditentukan dari fakultas dan hanya tinggal pengesahannya. “Senat kemudian diajukan ke rektor untuk di-sah-kan saja, lalu terbentuklah senat universitas,” ungkap Munir. Sedangkan di bagian fakultas sendiri tata cara pemilhan senat sebelum di ajukan ke universitas adalah mula-mula dekan mengadakan rapat dosen fakultas untuk memilih wakil dosen sebagai anggota senat. Kemudian dekan mengusulkan nama-nama yang memenuhi syarat lalu setiap dosen fakultas memilih satu orang dari nama-nama calon yang diajukan. Dan pada akhirnya wakil dosen yang mendapat suara tertinggi diajukan oleh dekan ke rektor untuk menjadi anggota senat. “Anggota senat semuanya 58 yang hadir 52 yang izin 6. Jadi tidak ada suara abstain,” tutur Budi,


UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Pemilihan itu bahwa Khorudin mendapatkan 2 (dua) suara, Akh. Minhaji 29 suara, Nizar 21 suara, dan Machasin 0 suara.

saat menerangkan jumlah anggota senat yang hadir dalam pemelihan 9 Oktober lalu. Dalam hal ini Maizer Said Nahdi selaku sekretaris senat menambahkan bahwa rapat senat kali ini hanya berlangsung dua kali, rapat pertama pada 1 Oktober 2014 di ruang Sidang Senat, gedung PAU lantai 2, membicarakan aturan dan tata cara pemilihan rektor dan rapat kedua ketika pemilihan rektor pada tanggal 9 Oktober 2014 di Hotel UIN Suka. Setelah digelar pemilihan rektor pada tanggal 9 Oktober 2014 didapatkan hasil pemilihan itu bahwa Khorudin mendapatkan 2 (dua) suara, Akh. Minhaji 29 suara, Nizar 21 suara, dan Machasin 0 suara. Setelah pemilihan itu, panitia seleksi menyetorkan tiga besar nama calon rektor ke Kemenag untuk kemudian ditetapkan siapa yang terpilih menjadi rektor. Namun sewajarnya yang terpilih adalah calon rektor dengan suara terbanyak. Seperti yang diturutkan Budi . “Yang jelas pemilihan kemarin bukan pemilhan rektor, tapi pemilihan calon rektor,” turutnya. Paling tidak posisi Minhaji menjadi posisi nomor satu untuk menjadi Rektor UIN Sunan Kalijaga periode 2015-2019, yang melantik nanti mentri agama langsung dari Jakarta,” jelasnya. Mengenai siapa yang terpilih Munir Mulkhan menambahi bahwa hal itu tergantung pihak Kemenag yang menentukan. “Pelantikan setelah pemilihan oleh senat diserahkan ke rektor untuk diteruskan ke Kemenag, setelah itu akan diajukan tiga calon (ke Kemenag) sesuai nomor urut lalu lazimnya yang ditetapkan yang suara terbanyak,

kecuali kalau ada hal-hal yang saya tidak tahu,” tambah Munir. Mengenai pelantikan calon rektor sendiri nantinya menunggu Surat Keputusan (SK) terlebih dahulu. “Habisnya jabatan (rektor periode 2010-2015) tanggal 6 Januari 2015, sangat mungkin SK-nya sebelum 6 Januari tetapi serah-terimanya itu pada 6 Januari sehingga tidak terjadi kekosongan,”tutur Budi. “Pelantikannya tergantung kapan SK penetapan Rektor turun. Kalau habisnya kan tanggal 6 Januari mestinya SK itu normalnya turun sebelum tanggal enam, sehingga paling lambat dilantik tanggal 6 Januari 2015,” Munir menambahkan. Akh. Minhaji sebagai calon rektor dengan suara tertinggi juga mengamini hal ini. “Pelantikannya paling lambat adalah tanggal 6 Januari 2015. Kemenag menterinya kan dilantik tanggal 20 Oktober 2014. Tergantung siapa menterinya, sekarang menteri ketika transisi tidak boleh mengamil kebijakan strategis,” jelas Minhaji saat ditemui ARENA. Setelah itu pelantikan Wakil Rektor (WR) akan mengikuti jabatan rektor.WR dalam statuta paragraf 7 tentang Pengangkatan Pejabat Antar Waktu disebutkan bahwa pengangkatan WR paling lambat dua bulan setelah pejabat sebelumnya berhalangan tetap. Mengenai mekanisme pemilihan WR nantinya akan dibentuk panitia pemilihan WR. WR dipilih Pansel “Panitianya di bentuk rektor baru. Pengangkatan WR oleh rektor terpilih paling lambat dua bulan setelahnya,” pungkas Maizer.[]

www.lpmarena.com

9


UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

PPG, Memberatkan Sarjana Pendidikan Lulusan SI sarjana pendidikan nantinya bakal berjuang ekstra untuk menjadi guru profesional, selain harus mengikuti PPG, mereka diharuskan bersaing dengan lulusan SI keilmuan murni. Oleh Dedik Dwi Prihatmoko

M

enjadi tenaga pendidik yang berkualitas tentu banyak kualifikasi yang harus di tempuh dan dijalankan. Mulai tahun 2007 pemerintah telah mencanangkan program peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi profesi. Seperti termuat dalam Permendikbud No. 62 Tahun 2013 tentang sertifikasi guru dalam jabatan dalam penataan dan pemerataan guru, menyebuktan bahwa kualifikasi guru untuk mendapatkan sertifikasi dapat di peroleh melalui; 1) Penilaian Portofolio; 2) pemberian sertifikat pendidik secara langsung; 3) Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG); dan 4) Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun terkait permen diatas, diperkirakan mulai tahun 2015 pemberian sertifikasi akan dipangkas, hanya dikeluarkan melelui program PPG. ”Untuk pemberian sertifikat melalui jalur PLPG di tahun ini rencanannya akan berakhir sehingga jalur PPG-lah yang bisa memberikan sertifikat guru,” ungkap Suno Sudarsono, kepala seksi (kasi) bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam (Paki) Kemenag Yogyakarta kepada ARENA.

SLiLiT

10

ARENA Jelas & Mengganjal

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode 2009-2014, M Nuh menjelaskan bahwa gelar “S. Pd.” adalah gelar akademik bukan gelar profesi. Sehingga lulusan bergelar “S. Pd.” baru bisa disebut guru setelaah menyelesaikan program PPG, papar Nuh, dilansir dari laman Kemendikbud, Rabu (12/2/2014). Terkait program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di tahun 2015, Suno belum bisa memberi penjelasan lebih jauh terkait program PPG lantaran selama ini pihaknnya belum pernah melakukan koordinasi dengan kementrian pusat. ”Masalah PPG saya sendiri belum pernah melakukan koordinasi dengan pusat sehingga belum bisa berkomentar banyak terkait hal ini, yang jelas untuk tahun 2014 program PLPG sudah berakhir, sehingga kemungkinan besar program PPG akan segera terealisasikan,” ungkapnnya. Menurut Permendikbud No. 87 Tahun 2013, tentang Program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan, menjelaskan bahwa program PPG guru pra-jabatan yang selanjutnnya disebut program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan SI kependidikan dan SI/DIV nonkependidikan, yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai standar nasional


UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

pendidikan sehingga nantinya dapat memperoleh sertifikat pendidikan profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Terkait peraturan menteri di atas, ketua program PPG UIN Suka, Sukiman, menjelaskan bahwa peserta PPG untuk jurusan nonkependidikan memang dapat menjadi guru dengan catatan harus menyelesaikan matrikulasi akademik terlebih dahulu. Matrikulasi adalah sejumlah matakuliah yang wajib diikuti oleh peserta program PPG yang sudah dinyatakan lulus seleksi untuk memenuhi kompetensi akademik bidang studi atau kompetensi akademik kependidikan sebelum mengikuti program PPG. “Ilmu murni (non-kependidikan) juga dapat menjadi guru, dengan catatan nantinya akan dilakukan treatment tersendiri, misal yang dari keguruan mereka porsinnya lebih banyak kepada peningkatan kompetensi keprofesionalannya, kemudian dari ilmu murni mereka akan diperkuat dalam kompetensi pedagogisnya (penguasaan pengajaran) sebelum ke tahap profesional diri,” paparnya. Terkait dengan keefektifan dan segala kegiatan yang ada di dalam program PPG, Sukiman menjelaskan, bahwa dengan program PPG nantinnya kompetensi guru akan semakin ditingkatkan kualitasnya dengan diimbangi sebuah evaluasi. ”PPG memang perlu evaluasi, yang jelas mereka dididik selama satu tahun disitu dilatih berbagai keterampilan mengajar mulai dari strategi pembelajaran, evaluasi, PTK, dan lain-lain. Intinnya mereka kita latih, kita bekali agar nantinya dapat menjadi guru profesional yang melekat dalam dirinnya. dan akan jauh berbeda hasilnya antara lulusan PPG dengan lulusan program PLPG yang hanya ditempuh sepuluh hari tersebut,” ungkapnnya.

Pengekangan Pemerintah Menurut peraturan pemerintah, menjadi guru profesional perlu menempuh pendidikan lanjutan. Sarjana SI pendidikan menurut pemerintah ternyata belum cukup mengantarkan mahasiswa menjadi guru profesional. Lulusan SI memang dapat menjadi guru namun belum dapat menjadi guru yang diakui pemerintah sebelum memiliki sertifikat profesi. “Mengajar dalam arti apa, Kalau mengajar formal yang diakui pemerintah jelas tidak bisa, karena sekarang aturannya sesuai dengan UU guru dikatakan profesional di samping Strata I atau Diploma IV mereka harus mendapatkan sertifikat yang diperoleh lewat pendidikan profesi guru (PPG), tapi kalau mengajar dalam arti tidak formal mengajar di Madrasah Diniyah ndak ada masalah, hanya saja guru tersebut tidak bisa dikatakan guru professional,” terang Sukiman. Dalam permen No. 87 Tahun 2013 pasal 7 (No. 1 dan 2), disebutkan bahwa sistem seleksi peserta PPG dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), kemudian hasil seleksi dilaporkan kepada direktorat jendral pendidikan tinggi. ”Penyeleksian peserta PPG lumayan ketat dengan berdasar pada sistem kuota yang diberikan pemerintah artinya mempertimbangkan aspek suplai dan domain, permintaan pasar seperti apa sehingga tidak dibuka lebar karena ketika terbuka lebar kualitas kadang terkendala lantaran kontrolnya tidak bisa maksimal. Jadi PPG nantinnya adalah sebuah program pendidikan profesi yang sifatnnya tertutup, tertutup dalam arti dibatasi kuota oleh pemerintah,” imbuh Sukiman. Terkait kebijakan PPG yang direncanakan akan diterapkan tahun 2016 di kampus UIN Suka, berbagai tanggapan dan kritik santer datang dari mahasiswa. Yosep Muhammad misalnya, alumni jurusan Ilmu al-Qur'an dan

Tafsir memandang bahwa untuk menjadi pengajar sebenarnya bukan berpangkal dari strata pendidikannya. “Kalau soal mengajar bukan persoalan cukup ngak cukupnnya, ilmu itu akan selalu cukup karena semua itu kembali ke orangnya. Walaupun SI kalau otak-otak doktor kan bisa saja,” serunya. Meski demikian Yosep memandang bahwa program PPG ini perlu didukung selama program tersebut berguna untuk mencerdaskan bangsa. “Selagi program itu dapat mencerdaskam anak bangsa dan bangsanya program tersebut harus kita dukung terus begitupun halnya program PPG yang direncanakan akan dilaksanakan oleh UIN,” tandasnya. Menanggapi isu bakal diterapaknnya PPG ini muncul banyak penolakan dikalangan mahasiswa SI pendidikan. Seperti yang dikatakan oleh Muhammd Nurkholis, mahasiswa semester VII jurusan Pendidikan Agama Islam. Ia sangat menyayangkan program tersebut karena akan semakin menyulitkan lulusan sarjana pendidikan, selain karena masa studi yang bertambah (tentu dengan biaya yang bertambah pula), mereka juga harus bersaing dengan lulusan sarjana non-pendidikan. Penolakan serupa juga datang dari Uswatun Hasanah, mahasiswa semester VII jurusan Pendidikan Agama Islam.”Saya beranggapan bahwa ilmu dari kependidikan yang saya peroleh selama empat tahun akan sia-sia karena harus bersaing dengan limu murni yang kita ketahui keilmuannya terfokus pada studi bidang keilmuan, berbeda dengan jurusan kependidikan yang harus menyelesaikan beberapa bidang keilmuan. Sehingga saya berasumsi lebih baik kita semua menempuh limu murni saja, setelah mendapatkan teorinya, nanti tinggal kita cari ijazah untuk pendidikannya,” celetuknya dengan nada sedikit cemas.[]

www.lpmarena.com

11


UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Lagi-lagi UKT ber-Masalah Beberapa mahasiswa merasa penggolongan UKT belum sesuai kemampuannya, dan justru ada beberapa mahasiswa dari keluarga mampu malah mendapat biaya UKT rendah. Oleh Imra'atus Saadah Penggolongan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun ini mengalami masalah. Menurut keterangan yang diperoleh ARENA dari Senat Mahasiswa Universitas (SEMA-U), ada 160 mahasiswa yang melapor ke SEMA-U tentang penggolongan UKT-nya yang tidak sesuai dengan kemampuan. 130 mahasiswa tersebut melapor setelah mereka melakukan registrasi. Sedangkan 30 mahasiswa yang lainnya melaporkan sebelum melakukan registrasi sehingga mereka dapat membayar biaya UKT sesuai dengan kemampuan mereka. Beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya mahasiswa yang baru melapor setelah melakukan registrasi antara lain karena takut terjadi masalah jika mereka tidak langsung membayar, dan sebagian dari mereka tidak paham tentang sistem UKT, serta baru mengetahui bahwa uang yang dibayarkan tersebut bukanlah uang pangkal. Seperti yang dituturkan Rika Istiqomah misalnya, mahasiswa jurusan Biologi semester satu ini mengaku tidak tahu-menahu perihal UKT. “Tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu, kami saja tahu UKT dari hasil ngobrol dengan temanteman,” terang Rika. “Kami mengira bahwa uang sebesar itu hanyalah uang pangkalnya saja,” tambah Nisa Ulmah Mudah yang juga tercatat sebagai mahasiswa jurusan Biologi semester satu. Ketua Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA-F) Sains dan Teknologi, Sholihul Anwarudin juga menambahkan bahwa memang kebanyakan mahasiswa baru menganggap biaya UKT tersebut SLiLiT

12

ARENA Jelas & Mengganjal

merupakan uang pangkal saja. “Karena tidak ada pemberitahuan di web, jadi banyak mahasiswa yang tidak tahu tentang UKT,” jelasnya. Namun, Nizar Ali, Wakil Rektor III ini mengatakan bahwa informasi tentang UKT sudah diberitahukan oleh pihak universitas. “Soal ada mahasiswa yang tidak tahu tentang UKT, saya rasa mahasiswa itu kurang komunikasi,” ungkapnya. *** Nisa adalah mahasiswa baru yang dikenai UKT golongan tiga sebesar 3,7 juta rupiah per semester. Padahal Nisa merupakan anak seorang kuli bangunan yang gajinya hanya delapan ratus ribu rupiah per bulan. “Padahal saya ngisi datanya itu hatihati banget. Tapi kenapa kok saya malah dapat golongan tiga,” protesnya. Nisa pun menerangkan kronologi dia mulai dari saat mengisi data pribadi mahasiswa sampai dia divonis masuk golongan tiga. “Pada tanggal 25-5 Agustus adalah waktunya pengisian Data Pribadi Mahasiswa (DPM). Setelah mengisi data tersebut, pada tanggal 7 Agustus, saya membayar. Kemudian setelah tahu tentang UKT, saya protes ke PAU pada tanggal 11 Agustus karena penggolongan UKT saya tidak sesuai dengan kemampuan saya. Namun, tidak ada perubahan. Malah saya disuruh ke PTIPD dan di PTIPD pun juga tak ada kepastian. Akhirnya saya mengadu ke SEMA-F pada tanggal 14 Agustus,” terangnya dengan bersemangat. Penggolongan UKT pada dasarnya berdasarkan pada Upah

Minimum Regional (UMR) Sleman yaitu sebesar 1,127 juta rupiah, dan masing-masing jurusan besarannya berbeda-beda. Golongan satu; golongan biaya termurah, dikenakan jika pendapatan orang tua mahasiswa setara atau kurang dari UMR Sleman. Jika pendapatannya empat kali lipat UMR Sleman, maka digolongkan pada golongan dua. Sedangkan jika pendapatannya lebih dari empat kali lipat UMR Sleman, maka digolongkan pada golongan tiga. Penggolongan UKT dimaksudkan untuk menetapkan biaya kuliah sesuai dengan kemampuan mahasiswa. Namun pada kenyataannya saat ini masih ada beberapa mahasiswa yang digolongkan pada golongan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Seperti halnya yang dialami oleh Muhammad Najib, mahasiswa jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah ini mendapat UKT golongan dua (1,7 juta rupiah). “Gaji ayah saya sebesar 1,5 juta dan ibu sebesar enam ratus ribu. Tanggungan anak pun masih tujuh,” terang mahasiswa semester satu ini. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab banyaknya mahasiswa yang menerima penggolongan UKT tidak sesuai dengan kemampuannya. Nizar Ali, pihak rektorat yang mengurusi perihal UKT ini mengatakan bahwa semua itu terjadi mungkin karena kesalahan system. “Ada kolom penghasilan yang harus diisi dengan angka tapi malah diisi dengan huruf. Nah, sistem kan tidak bisa baca. Makanya langsung dikenakan golongan tiga.” Prediksinya.


SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Nizar juga memprediksi ketidaksesuaian golongan UKT itu karena mahasiswa kurang teliti Tidak ada pemberitahuan dalam mengisi. “Mungkin mengisi lima ratus ribu tapi yang ditulis lima terlebih dahulu, ketambahan nol satu,” kami saja tahu UKT dari juta, terangnya. hasil ngobrol dengan Sedikit berbeda dengan Nizar, teman-teman ketua Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD), Agung memprediksi bahwa ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab terjadi ketidaktepatan penggolongan UKT, yaitu mahasiswa salah mengisi dan adanya replikasi pengisian. “Ada tiga kolom penghasilan, yaitu ayah, ibu, dan wali. Kemungkinan mahasiswa yang sumber dananya diperoleh dari ayah saja, malah mengisi ketiga-tiganya. Nah, secara otomatis penghasilan tersebut akan dijumlahkan,” jelasnya. Pemisahan kolom tersebut bertujuan untuk mengetahui sumber biaya kuliah mahasiswa karena sumber biaya mahasiswa berbeda. “Saya rasa penyebabnya lebih kepada replikasi pengisian,” tambah Agung. Ternyata ketidakesuaian UKT ini tidak hanya menimpa mahasiswa yang berpenghasilan rendah, tetapi menimpa mahasiswa yang berpenghasilan tinggi pula. Seperti yang dialami oleh salah satu mahasiswa FUSPI yang tak mau disebutkan namannya. Mahasiswa ini mengisi penghasilan orang tuanya sekitar 5-6 juta dan dia mendapat UKT golongan dua (1,2 juta). “Saya rasa golongan yang saya terima itu setimpal dengan gaji orang tua saya karena anak yang ditanggung ada enam anak dan itu pun masih pada sekolah semua. Jadi butuh banyak

UNIVERSITARIA

biaya,” ujarnya. Persoalan tentang tanggungan anak, Nizar mengatakan bahwa tanggungan anak tidak begitu mempengaruhi penggolongan UKT. “Penggolongan UKT sesuai dengan penghasilan yang ditulis di DPM. Kalau soal tanggungan saya kira jika penghasilannya 1 juta kemudian kedua anaknya kuliah di UIN itu sudah cukup mampu,” paparnya. Sufyan Bariki, anggota SEMA-U ini menyayangkan pendapat Nizar. Menurut Sufyan, tanggungan anak dalam keluarga itu perlu diperhatikan. “Kalau seumpama dengan penghasilan segitu, satu anaknya di UIN dan satu anaknya di UGM, itu bagaimana?” tanya Sufyan. Sampai saat ini pihak rektorat masih memproses ketidaksesuaian penggolongan UKT. “Sudah banyak berkas yang terkumpul. Kemudian kita akan memberikan berkas itu kepada PTIPD. Hasilnya akan dapat dilihat waktu regristrasi semester dua,” jelas Nizar. Pihak PTIPD pun masih menunggu intruksi dari pihak rektorat untuk mengubah penggolongan UKT. “Kami hanya mengelola. Kabijakan ada di pimpinan dan saat ini masih belum ada perintah dari pimpinan,” tutur Agung. Sedangkan pihak SEMA baik SEMA-U maupun SEMA-F juga akan terus mengadvokasi dan mendampingi mahasiswa yang penggolongan UKT-nya belum tepat. “Kami berharap sebelum UAS (Ujian Akhir Semester) sudah ada kepastian dari pihak rektorat maupun PTIPD,” harap Romel Masykuri, ketua SEMA-U.[]

www.lpmarena.com

13


LEBIH DEKAT

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

ADC, Berkreasi Lewat Tari Oleh Ulfatul fikriyah Tarian itu berjudul Mataya Retna (Matoyo Retno), tarian itu merupakan satu diantara tiga tarian yang disuguhkan Adab Dance Community (ADC) dalam peringatan hajatan ulang tahun Sanggar Nuun yang ke 22, bertempat di Gerbang Budaya UIN Sunan Kalijaga (22/10). Pada waktu itu, tarian Mataya Retna dimulai dengan setting panggung yang apik, lampu panggung dimatikan dan seketika kembali dihidupkan. Lantas, pandangan penonton-pun langung tertuju pada seorang penari yang masuk dari sisi kiri panggung. Penari itu mengenakan pakaian tradisional Jawa dengan berselendang merah terang, lengkap dengan keris di pinggangnya. Bunga berwarna merah muda menghiasi kepalanya. Rambutnya diselimuti kerudung hitam dibentuk seperti konde, seolah ingin menipu penonton bahwa itu rambut yang terbuat dari kerudung. Bunga berwarna merah muda turut menghiasi kepalanya. Penari itu berjalan pelan menaiki tiga anak tangga. Berlutut menuju tengah panggung diikuti tepuk tangan dan sorak-sorai penonton. “Prok prok prok . . . ,� keheningan malam pun pecah, digantikan kegaduhan dan sambutan hangat dari para penonton. Seketika di panggung sang penari mulai menari. Tangannya melambai, berayun pelan seirama dengan musik. Ditariknya selendang yang sedari awal dipakainya. Menari, memutar badan, dan sesekali bergoyang pinggul. Beberapa saat kemudian, ia mengambil keris di pinggangnya. Ujung keris ia tusuktusukkan ke udara. Diayun-ayunkan keris itu ke kiri, ke kanan, ke depan, dan berputar ke belakang. Tanpa suara ia tetap melanjutkan menari, namun dengan irama yang lebih cepat. Di sisi penonton, nampak beberapa orang terlihat manggut-manggut menikmati tarian. Seorang penonton di baris depan sibuk mengabadikan gambar. Ada pula yang duduk tenang tak mengubah pandangnya yang tertuju ke panggung. Di baris belakang beberapa penonton berdiri. Rupanya alas tempat duduk tidak mencukupi jumlah penonton yang hadir. Rinai hujan mulai turun, sang penari tatap khusuk di atas panggung. Sementara beberapa penonton membubarkan diri dari tempat duduknya. Berteduh di pinggir area tempat duduk penonton. Namun lebih DOKUMEN PRIBADI ADC SLiLiT

14

ARENA Jelas & Mengganjal


SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

banyak penonton yang tetap duduk di tempatnya masingmasing. Setelah 15 menit menari, pertunjukkan tarian ini pun selesai. Tepuk tangan penonton kembali menyeruak. Lampu panggung kembali padam. Beberapa detik kemudian lampu kembali menyala. Pukul sembilan lebih lima belas menit, tarian kedua dimulai. Tarian yang berjudul Gambang Suling ini diperagakan oleh tiga orang penari berlari-lari kecil menuju depan panggung. Di hadapan penonton mereka menari diiringi lagu gambang suling. Tari ini adalah tari kreasi ADC, diberi nama tari “Gambang Suling”. Tiga penari itu mengenakan kebaya modern dengan paduan warna coklat dan hijau. Baju bagian atas coklat polos. Sementara rok yang coklat terbuka di bagian depan. Di bagian ini dilapisi kain hijau tipis. Mereka mengenakan celana legging. Rok coklat itu bermotif bunga-bunga kecil berwarna putih. Kerudung coklat dengan hiasan rangkaian bunga putih melingkar di kepala masing-masing, seperti bando. Mereka menari tanpa melepas senyum di wajah. Menggoyangkan pinggul, kepala dan mengayunkan tangan ke kanan dan ke kiri sesuai irama. Kurang lebih lima menit lamanya. Hingga tiga penari berikutnya muncul dari samping kiri panggung dengan pakaian yang mencolok. Penari satu memakai kebaya tradisional merah, yang lainnya kuning dan hijau. Ketiganya memasuki halaman panggung sambil membawa tampah dan tudung —terbuat dari anyaman bambu. Munculnya tiga penari baru itu pertanda rampunya tarian gambang suling dan digantikan tarian yang ketiga, tari kretek namanya. Tarian ketiga ini diawali dengan diletakkan tudung dan tampah di lantai. Ketiga penari menari sambil bercerita. Diperagakan oleh ketiganya adegan membuat ramuan jamu. Tangan kiri mengepal, menjadi gelas dan tangan kanan menyerupa botol yang akan dituang. Setelah tarian selesai, ketiga penari meninggalkan panggung dengan membawa kembali tampah dan tudung dipakai di kepala. Tarian ketiga ini menjadi akhir dari penampilan ADC malam itu. ***

LEBIH DEKAT

ADC adalah salah satu divisi yang lahir pada kepengurusan baru BEM Fakultas Adab dan Ilmu Budaya (FAIB) UIN Sunan Kalijaga. Munculnya ADC sendiri sudah hampir dua tahun. “Sebelum ketua terpilih itu, ya kita sering ngobrol di warung kopi. Akhirnya setelah terpilih, ternyata memang perlu ya dari pembacaan yang dulu. Kita perlu mengangkat pembacaan ini akhirnya kita seriusi beberapa pertemuan. tiga kali pertemuan lah, di warung kopi. Hanya aku dan beberapa orang saja. Akhirnya ya udah kita deal, untuk adakan divisi seni tari di BEM-F,” cerita Halimah selaku kordinator ADC kepada ARENA. Banyak hal yang diobrolkan pada pembacaan itu, tentang UIN Sunan Kalijaga, tentang agama Islam, hingga sampai berbicara tentang kesenian. “Akhirnya dari kegelisahan temen-temen kita pengen deh fakultas Adab dan Ilmu Budaya ini jadi. Bagaimana pun kan musti jadi budayanya UIN Sunan Kalijaga, maka kita harus mulai,” tutur Halimah. UIN tidak lepas dari sosok Sunan Kalijaga yang mempunyai semangat kebangsaan. Sebagai bangsa Indonesia, label Islam pada UIN tidak menghalangi ADC untuk ikut melestarikan kesenian milik Indonesia. “Jilbab ataupun label (Islam) yang ada di kampus ini tidak bisa menghalangi semangat kita untuk ikut serta melestarikan seni budaya yang ada di nusantara di Indonesia,” Halimah menambahi. Lebih jauh ia bercerita tentang keberadaan komunitas tari yang banyak bermunculan setelah ADC lahir. “Saat ADC menggeliat, kog saya di UIN ini melihat banyak komunitas-komunitas tari kayak gitu. Saya sebenernya senang, senang sekali, tapi yang saya takutkan itu hanya euforia belaka. Rame-rame karena lagi rame habis itu nanti mati. Saya harap ADC tidak seperti itu, saya harap ADC itu tetap membawa nafas seni tarinya sampai selesai. Karena proses itu ya tidak akan selesai, dia (ADC) akan terus berpsoses,” harapnya. Sampai saat ini, ADC memiliki 25 penari, dan satu di antaranya laki-laki. Mereka terdiri dari mahasiswa berbagai jurusan FAIB. Fokus tarian yang dibawakan ADC ada dua, yaitu tari tradisional dan tari kreasi. Tari tradisional meliputi tari Golek, Jaipong, Tanjidor, Klono, Kretek dan tarian Madura, Ngapote. Sedangkan tari kreasi ADC ada tiga, Arabic Dance, Ingsun dan Gambang Suling.[]

www.lpmarena.com

15


KANCAH

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Tentang Pengorganisiran Masyarakat Dalam gerakan sosial, pengorganisiran masyarakat menjadi topik sentral dari perjuangannya. Perjuangan tanpa pengorganisiran hanya akan mengaburkan tujuan gerakan. Bahwa tujuan hanya dapat diraih melalui pengorganisiran yang baik lagi tepat. Secara istilah, pengorganisiran jelas melahirkan beragam maksud yang berbeda-beda. Apa itu pengorganisiran? Bagaimana ia dijalankan? Mengapa ia harus ditempuh? Pertanyaan-pertanyaan mendasar semacam ini mesti kita tuntaskan setuntas-tuntasnya. Tak bisa dipungkiri, sebuah pengorganisiran kerap dianggap sebagai kerja-kerja organisatoris, membuat sebuah organisasi yang tadinya tidak baik dan tidak berjalan menjadi baik dan bisa berjalan secara disiplin. Ada juga yang melihat bahwa pengorganisiran adalah memberi kursus-kursus politik kepada rakyat, dan setelah itu pergi meninggalkannya, sebagaimana yang dilakukan LSM-LSM. Sebagian yang lain juga menganggap bahwa pengorganisiran adalah bagaimana mengajak rakyat untuk turun ke jalan-jalan, melakukan aksi demonstrasi guna menuntut keadilan sosial. Di Indonesia, sejak kemunculannya pertama kali di akhir tahun '70-an, pengorganisiran masyarakat (massa rakyat) muncul sebagai sikap atas kondisi ekonomi, sosial, politik serta budaya yang “ademayem”. Sebelumnya, massa rakyat tak punya kesadaran kritis atas situasi dan kondisi yang melilitnya. Tahunya mereka hanya mengikut pada “kemapanan sistem” yang ada. Atas kondisi inilah, muncul sebuah gerakan yang berusaha mendobrak hal tersebut. Mereka terus mencari jawaban dengan mengabdikan diri pada korban-korban kebijakan sistem yang ada. Mereka terinspirasi dari gerakangerakan yang dibangun para organisator sebelumnya, Gandhi, Marx, Freire, dan lain sebagainya. Mereka memberontak hingga melahirkan beragam metodologi dalam pengorganisiran masyarakat. Mula-mula, pengorganisiran dapat dipahami sebagai kerja-kerja politik. Ini dibutuhkan guna memberi kesadaran politik kepada massa rakyat terkait persoalan apa yang mereka hadapi dalam realitas kehidupannya. Ketika hal ini tercapai, menyadari apa yang yang mereka hadapi di lingkungannya, maka pengorganisiran berlanjut pada pemberian kesadaran terkait penyebab utama SLiLiT

16

ARENA Jelas & Mengganjal

sehingga persoalan itu ada dan mereka hadapi. Sebut misalnya persoalan kemiskinan. Persoalan semacam ini masih jamak dipandang sebagai persoalan yang disebabkan oleh takdir tuhan, atau nasib. Padahal sebenarnya lebih kepada tata kelola sumber-sumber penghidupan massa rakyat itu sendiri, yang kita tahu pengelolaannya berada pada sistem kerja kapitalis yang ditopang oleh kekuasaan (negara). Melalui pemaknaan sederhana di atas, dapat disebutkan bahwa kerja-kerja pengorganisiran tidak lebih sebagai kerja-kerja penyadaran. Bahwa massa rakyat hari ini dibuat “tak sadar” atas keadaannya. Dan tugas seorang “organisator”-lah yang berkewajiban membuat mereka menjadi ingat kembali dan sadar akan keadaan-keadaan yang melilitnya.

Bagaimana Harus Melakukan? Dalam melakukan kerja-kerja pengorganisiran, setidaknya ada enam tahap yang harus dilalui seorang organisator. Pertama, integrasi (penyatuan). Langkah ini adalah yang utama. Seorang organisator perlu menyatu (melebur) dengan massa rakyat yang mengalami persoalan sosial. Ini perlu guna mengetahui realitas kehidupan massa rakyat, seperti budaya, ekonomi, pemimpin, sejarah, irama, dan gaya kehidupan di dalamnya. Seorang organisator mesti benar-benar mengetahui kehidupan masyarakat dari beragam aspek. Hal ini memberi jaminan bahwa keprihatinan seseorang untuk mengubah tatanan masyarakat sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan diingini oleh masyarakat itu sendiri. Tidak boleh menurut contohcontoh teoritis atau ideologi, apalagi agama. Jika seorang organisator tidak demikian, omong-kosong bicara tentang perubahan. Kedua, penyelidikan sosial. Tahap ini proses yang sistematis dalam mencari masalah-masalah masyarakat yang diorganisir. Seorang organisator mesti mencari pangkal persoalan masyarakat, tentang apa yang dirasakannya, untuk dikembangkan sehingga mereka mau bertindak. Persoalanpersoalan itupun harus konkrit, menyangkut masalah yang objektif (yang tak pelak lagi untuk masyarakat setempat maupun pendatang), misalnya soal air dan kakus. Ketiga, landasan kerja. Tahap ini tahap stimulus,


SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

MASSA RAKYAT HARI INI DIBUAT

“TAK SADAR�

KANCAH

biasanya menggunakan selebaran yang berisi tentang propaganda, kerap disebut sebagai agitasi. Tahap ini berusaha memberi penjelasan tentang akar permasalahan yang dihadapi, sekaligus berisi ajakan untuk terlibat dalam penyelesaiannya. Perlu dipahami bahwa dalam tahap agitasi ini, mesti menggunakan pokok-pokok yang akrab dengan budaya dan kepercayaan masyarakat setempat. Meski demikian, seorang organisator tidak boleh juga menggunakan budaya dan kepercayaan yang mereka sendiri tidak yakini. Hematnya, perlu ada kesesuaian antara apa yang diyakini seorang organisator dengan masyarakat yang diorganisir. Keempat, rapat dan diskusi. Pada tahap ini terjadi sebuah pengesahan secara bersama tentang apa yang sudah diputuskan sendiri secara perseorangan. Bahwa pertemuan memberi rasa kekuataan dan kepercayaan bersama-sama. Ini menunjukkan bahwa mereka (masyarakat) tidak berjuang sendirian. Kelima, bermain peran. Tahap ini lebih kepada simulasi aksi. Melatih masyarakat untuk bersiap-siap menghadapi apa yang bakal terjadi. Hematnya, bermain peran memungkinkan terciptanya suasana perlawanan yang rakyat harus biasakan dan rasakan. Keenam, laporan dan catatan harian. Yang paling penting dari kerja-kerja pengorganisiran adalah membuat laporan dan catatan harian. Laporan dimaksudkan untuk memudahkan seorang organisator dalam melihat situasi secara keseluruhan, tentu untuk merumuskan strategi-taktik berikutnya. Adapun catatan harian diperuntukkan guna membaca perkembangan masyarakat. Kedua hal ini sangat penting, meski kerap disepelekan. *** Gerakan yang kuat adalah gerakan yang di dalamnya bernaung kader-kader militan serta memiliki kesadaran kritis atas kondisi sosial di sekelilingnya. Mereka senantiasa harus menciptakan inovasi-inovasi yang tidak hanya baru, organisator yang kreatif, tetapi juga mampu melahirkan kondisi yang benar-benar layak. Tanpa itu semua, sebuah gerakan mustahil dapat bertahan serta menjawab persoalan-persoalan ada pada zamannya. Belajar dan berjuang, ini yang harus jadi agenda utamanya. Maman Suratman, mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri Yogyakarta

www.lpmarena.com

17


KANCAH

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Mahasiswa: Agen Perubahan Seandainya ada lembaga yang memberikan reward atas setiap gerakan perubahan sosial yang terjadi di bumi Indonesia ini, pastilah reward tersebut jatuh atas nama “mahasiswa.” Karena elemen sosial yang satu ini selalu tampil heroik di setiap ajang pengawalan rezim pemerintah, jika ada yang meragukan, kita coba buka catatan sejarah yang sudah lama terlupakan. Kita mulai pada tahun 1965-1966 sebagai awal kebangkitan gerakan mahasiswa bertaraf nasional, sebelumnya gerakan mahasiswa lebih dominan bersifat kedaerahan. Gerakan mahasiswa tahun itu lebih dikenal dengan angkatan '66, gerakan inilah yang secara nyata menumbangkan rezim bung Karno dan menancapkan orde baru. Dengan mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten negara, gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk menentang komunisme yang menjadi paham Partai Komunis Indonesia (PKI). Walau sangat disayangkan, pasca Orde Lama tumbang, aktivis angkatan '66 ini banyak yang duduk di kursi dewan dan menjadi kabinet bagian dari tubuh Orde Baru. Tahun 1970 mahasiswa banyak yang kurang puas dengan laju pemerintahan Orde Baru, mahasiswa banyak yang mengkritik dan mengoreksi mulai dari isu kenaikan harga BBM dan pendirian Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang banyak menggusur pemukiman rakyat, serta mulai merebaknya isu yang menjengkelkan yaitu korupsi, maka lahirlah sebuah jargon “Mahasiswa Menggugat” sebagai aksi protes mahasiswa terhadap kerja pemerintah. Tanggal 15 Januari 1974 meletus juga peristiwa malari, mahasiswa berdemonstrasi besar-besaran memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia. Di sini pemerintah mulai menyadari bahwa mahasiswa merupakan elemen yang sangat berpengaruh membahayakan posisi rezim, maka pada tahun 1978 mulai diberlakukanya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) oleh pemerintah secara paksa. Kebijakan ini menggiring mahasiswa untuk duduk manis patuh pada kegiatan akademik semata. Setelah melalui proses yang panjang, awal tahun 1990-an (NKK) dihapuskan di bawah Mendikbud, Fuad Hasan. Setelah itu mahasiswa seakan menemukan taringnya kembali, tahun1997-1998 mahasiswa kembali turun ke jalan menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (Korupsi, Kolusi dan SLiLiT

18

ARENA Jelas & Mengganjal

Nepotisme) lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, yang akhirnya berhasil menumbangkan rezim kekuasaan Soeharto.

Idealisme Mahasiswa Tahun 1998 rezim Orde Baru tumbang, seakan awan kelabu telah bergeser dari bumi pertiwi ini, kini rezim telah berganti, tetapi tidak lantas peran mahasiswa pudar dan berganti haluan, mahasiswa kehadiranya akan selalu ditunggu untuk menyuarakan kebenaran, meskipun harus terbata-bata dicekik tangan penguasa, karena dalam suasana politik yang terus memanas, suara kebenaran akan selalu dinanti sekaligus di benci. Ini sudah menjadi kodrat yang tak terpisahkan. Begitu juga dalam dunia pergerakan, setiap mahasiswa punya kesempatan memilih perannya, bebas memilih jalan perjuangan yang akan membawa pada tujuan yang mulia.Tetapi dalam setiap jalan yang ditempuh akan ada rintangan dan beban yang menjadi tantangan. Di sinilah keteguhan jiwa mahasiswa di pertaruhkan demi terlibat dalam perubahan yang selalu digelisahkan. Apalagi dalam era saat ini yaitu masyarakat transisi yang sedang berjuang menegakkan tiang demokrasi, tugas mahasiswa adalah mengawalnya sampai benar-benar berdiri kokoh menancap di bumi pertiwi, aman dari sistem abal-abal, bukan memperkeruh dengan pembodohan dan arogansi kepentingan yang ngawur. Demokrasi yang sebenar-benarnya tidak akan pernah terwujud jika jual beli suara masih dianggap wajar, koalisi dan bagi bagi kursi masih menjadi lumrah. Sebagai agent of change yang merindu akan perubahan apakah lantas harus diam saja? Di sini mahasiswa harus barani ambil peran menyuarakan kepentingan umum, setia pada hati nurani, akal sehat dan berani mengambil resiko demi sampainya sebuah kebenaran, bukan menjadi kaki tangan yang dikendalikan sang penguasa, karena mahasiswa bukanlah mereka yang menghamba pada penguasa.Tetapi mahasiswa menghamba atas dasar keyakinan, kebenaran, kebebasan, kesetaraan dan kejujuran. _Mari keluar dari zona nyaman. Ahmad Syarifudin, mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga


SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

SASTRA

CERPEN

CERITA-CERITA yang TERTINGGAL

SUBAKUN

Pada tahun 1970, ketika Bapaknya berusia dua tahun, dia belum lahir. Tapi, pagi ini setelah lepas dari malam yang gerah dan tanggung, tiba-tiba dia berada pada tahun itu, dan tidak bisa ke manamana. Bangun tidur, ia langsung melihat Bapaknya yang masih kecil bermain tanah di dekat kandang ayam. Di belakang kandang yang terbuat dari bambu itu, rumah-rumah sederhana dan pakaian seadanya di gantungan penjemuran, bediri mirip pagar yang tak beraturan. Lalu beberapa orang tua yang hendak berangkat kerja, serta ternak yang siap gembala. Ini bukan tahunku, gumamnya. Dia membuka jendela untuk memastikan anak kecil yang tengah menggambar di tanah itu. Kepalanya condong ke luar, dan dihembus angin yang terbanting dari dahan pohon mangga. Perasaan aneh pun berkibar. Baginya, dulu dan kini tiba-tiba kehilangan batas-batas yang tegas. “Dunia telah mengapung.” Ia berkata dengan nada sakit. “Apakah ini pertanda kalau aku telah terlambat?” Ah “Bapak…,” teriaknya. Anak kecil itu bukan menoleh, malah berlari. Dia menutup mulutnya dengan tangan tergeragap. Tapi dia tidak salah. Anak kecil tadi adalah bapaknya. Tahi lalat di ujung hidung, dan mata sebelah kanan yang sedikit sipit. “Kalau begini, aku akan sulit untuk melihat dunia secara utuh.” Pikirannya melayang-layang, menghuni perbatasan yang tidak bisa dibedakan. Anak kecil itu pun mengabu. Ditelan rumahrumah dan langit yang mulai menghitam. Nadia bangun kemudian memeluknya dari belakang. “Aku barusan melihat Bapakku saat berusia dua tahun, dia di sana, bertelanjang dada, menggambar di tanah,” katanya kepada Nadia. Dia menuding ke tanah yang bergaris-garis di matanya. “Kamu harus membuang kebiasaanmu bermimpi buruk, Sayang.” “Tidak. ini bukan mimpi buruk, Nadia.” “Kemarin aku sudah belajar psikoanalisis di kampus, kamu mungkin perlu ketemu dosenku.” Dia menarik napas, merenggangkan pelukan kekasihnya. “Barangkali bapak sedang merindukanku, atau ada yang ingin dia bicarakan secara khusus denganku.” Nadia menggeleng dan meletakkan telunjuk di bibir kekasihnya. “Mungkin, tapi kamu perlu konsultasi,” kata Nadia. Dari itu dia membatin, kenapa Nadia tidak berpikir sepertinya, justru menyuruhnya menemui dosen atau semacam psikiater. Ia pun ingat waktu pertama kali kenalan. Aku juga dari kampung, ujar Nadia tersenyum. Nadia dilahirkan dua tahun setelahnya, di salah satu desa kecil Kulon Progo www.lpmarena.com

19


SASTRA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Yogyakarta. Dia membelai rambut Nadia. Mendalami kehalusan helai demi helai mahkota perempuan yang hidup bersamanya sejak dua tahun lalu. “Kamu dulu bilang, kita sama-sama dari kampung, tapi kenapa ada beberapa hal di antara kesadaran kita yang berbeda?” Nadia hanya menjawab tidak tahu. Ia mengakui kalau dirinya tidak puas dengan jawaban Nadia, ia pun memejam, melebarkan ruang di dadanya yang berhimpitan. Tentu jawaban Nadia menghimpitnya. Nadia kembali terlelap di bahu kanannya. Dia meletakkan kepala kekasihnya di bantal, mengecupnya sekali di kening. “Siapa yang sebenarnya meletakkan kesadaran kita, Nadia? Pikiran-pikiranmu, pikiran-pikiranku?” Ah, pandangannya membusur ke cakrawala. Dia menyaksikan, jauh di luar jendela, langit dan awan berjatuhan. Ambruk menimpa rumah-rumah, jalan berbatu, dan bukit kapur. Bintang-bintang tumbang, semesta runtuh seketika. Di sekelilingnya dunia memutih seperti rambut beruban. Bayangan tubuhnya sendiri melompat melampaui jendela. Lalu, anak kecil itu berlari dari balik kabut, bertelanjang, berkejaran dengan teman-teman lainnya. Ia mengenal anak-anak itu. Bapaknya, bi Halimah, Masduki, dan mang Samin. Ini jelas bukan tahunku, ia menggeleng lemah. Matanya berkerjap-kerjap. Kita tahu, ini bukan tahun tokoh kita. Tahun 1970, tokoh kita masih disembunyikan takdir. Dan ia tidak tahu kalau dirinya terjebak pada tahun 1970 tepat di daerah kelahirannya, pedalaman Sumenep. Didorong rasa penasaran ia berjalan mengikuti anak-anak yang berkejaran tadi sembari bertanya dirinya sedang berada di mana. Ini pedalaman yang mengerikan, katanya. Tiba-tiba ia teringat Borneo, Asmat, dan pedalaman Nusa Tenggara. Mungkinkah aku di sana? “Bukannya ini rumah kakek?” Tubuhnya gemetaran tidak percaya tatkala ucapan refleks itu terbit. Anak-anak tadi berhenti di sumur. Mandi bersama seorang lelaki tua, memakai sabun dari lumpur dan sampo dari abu bekas pembakaran di tungku. Perlahan-lahan kepalanya meruang. Satu-persatu dia mulai meletakkan rumah-rumah berdinding di samping sumur itu. Masjid megah juga tidak jauh dari sana. Sebuah toko milik bi Saidah berjejer dengan bangunan sekolah dasar yang di belah jalan beraspal sejauh empat kilometer dari utara ke selatan, pembatas kampungnya. Dia ingat, dan hapal di mana seharusnya bangunan-bangunan tadi ditaruh. “Ini tahun 70-an?” suaranya pahit. Tangan kanannya terkepal dalam getaran ketidakpercayaan. Ia kembali teringat Borneo, Nusa Tenggara, dan Suku Asmat. SLiLiT

20

ARENA Jelas & Mengganjal

“Mungkinkah semakin ke timur, semakin ...” Dia kesal. Tinjunya menampar udara. Setahun kemudian dia berkenalan dengan Christian, keturunan Denmark yang pernah berpacaran dengan Nadia sewaktu SMA di Jakarta. Christian tercengang ketika mendengar pernyataannya. “Kami adalah korban kekerasan, Christian.” Sebenarnya tidak hanya Christian, Nadia juga tercengang. “Kekerasan? Apa yang kamu maksud dengan kekerasan? Bukankah kalian hidup dalam kedamaian?” kata Christian dalam bahasa Inggris. Nadia juga berkata seperti itu. mereka berdua pernah berkunjung ke rumahnya pada liburan semester genap. “Selama ini kami memang hidup dalam kedamaian, tetapi kedamaian negatif.” Dia menerawang. Sayang, dia tidak kuasa untuk melanjutkan percakapan yang berlangsung di sebuah kafe kecil di kota Yogyakarta itu. Ada yang terlampau berdegup kencang di balik saku bajunya. Ia hanya meminta maaf kepada Christian, dan mengajak Nadia pulang. Kedamaian negatif terbawa ke dalam tidur Nadia. Ketika Nadia kembali terbangun, perempuan berdarah campuran Jawa-Melayu itu bertanya tentang kedamaian negatif. “Kedamaian negatif, ia, hanya bisa dirasakan oleh orang-orang sepertiku. Mungkin aku akan ditertawakan oleh mereka yang lebih berpengalaman jika mendengar perkataanku ini. Dan mungkin kamu hanya bisa terheranheran, Nadia.” Sejauh itu Nadia tidak paham apa-apa. Namun diam-diam Nadia belajar selama berada di sampingnya. Kembali ke tahun itu, tokoh kita kesal karena tinjunya hanya mengenai udara. Seharusnya ada yang lebih besar, dan yang lebih besar itu runtuh dihantam kepalan tangan orang-orang pedalaman yang merawat dendam seperti dirinya. “Bapak, kenapa kamu mau dipermainkan?” Ia menatap Bapaknya yang tertawa riang bersama teman-temannya di bibir sumur. Sebelumnya kalian perlu tahu, tokoh kita anak sulung dari dua bersaudara. Dulu dia bercita-cita punya banyak saudara. Namun takdir memberi peta lain. Selain hanya mempunyai satu saudara, setelah adiknya berusia lima belas tahun, adiknya meninggal dunia, dan ia pun kembali sendirian. Semenjak itulah, andaian-andaian memenuhi daya hidupnya. Seringkali ketika dia berkencan dengan Nadia, ia bilang kalau dirinya ingin punya banyak anak. Dia akan mengumpulkan mereka. Jika anaknya empat, tiga di antaranya akan disuruh bekerja mencari uang. Kemudian


SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

SASTRA

penghasilan mereka digunakan untuk membiayai saudara mereka yang secara khusus akan dididik sebagai

www.lpmarena.com

21


PUSTAKA

SASTRA PUISI

Sajak-Sajak Diyanto Terminal Di sini aku mencari arah ke mana harus pergi Di antara Bis yang datang dan hilang bagai bayang-bayang Tiba-tiba engkau mengukur jarak yang tak bisa dijengkal Dan peta di telapak tanganmu serupa alamat yang tak dikenal Legung, 2014

Buat Edu

SUBAKUN

Di bawah langit mendung dan paras wajahmu Menerka hari-hari berlalu bersama waktu Kenangan memahat sejarah pada pohon tua Pohon yang kau siram sejak kecil Tumbuh pucat di luar jendela Setelah engkau mencoret-coret kertas Di atas meja kayu yang lapuk Di sampingmu kopi tinggal sisa terakhir pada cangkir Dunia adalah waktu yang melahirkan kemungkinan lain Seperti saat itu engkau memainkan asap nikotin Yang melekat di bibirmu Asap yang menyerupai putaran waktu yang tak mampu kau buru Krapyak, 2014

Cemara Udang Di pantai ini, seorang nelayan duduk sambil bercakap Setelah perahunya ditambatkan Dan jejak pada pasir terhapus ombak dan angin Yang berkejaran Tapi, di malam itu, seorang nelayan mencari arah pulang Setelah ia merasa ditinggalkan. Mungkin pada sebuah pelabuhan Legung atau Bintaro Di mana ombak tidak lagi melipat harapan Kegelisahan seperti layar yang tak mampu menangkal segala musim Seumpama suara angin yang bernyanyi di sela rambutku Legung 2014 Diyanto, penyair asal Sumenep Madura. Sekarang belajar di UIN Sunan Kalijaga Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, aktif di Sanggar Nuun Yogyakarta dan bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). E-mail: diyantoahmad@gmail.com Silahkan kirim tulisan cerita pendek atau puisi ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail di lpm_arena@yahoo.com. Judul berkas: Cerpen/Puisi_SLiLit ARENA dan sertakan biodata lengkap. SLiLiT

22

ARENA Jelas & Mengganjal

JUDUL

SUPERNOVA: PARTIKEL PENULIS

DEWI LESTARI (DEE) PENERBIT

BENTANG PUSTAKA TAHUN

CETAKAN I, 2012 TEBAL

VII + 500 HALAMAN ISBN

9786028811743


SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Kronik Fungi dan Ingatan Alam Novel yang bertema fiksi-ilmiah dikhususkan untuk membawa pembaca melihat pengaruh sains dan teknologi yang diimajinasikan di dalam masyarakat dan kehidupan individual. Partikel merupakan serial heksalogi karya Dewi Lestari yang keempat. Serial pertama yaitu Putri, Ksatria, dan Bintang Jatuh; Akar; dan Petir. Melalui berbagai penelitian ilmiah dan proses kreatif penulis selama delapan tahun, akhirnya sekuel keempat ini lahir dengan tokoh utama bernama Zarah Amala yang mempunyai arti “partikel cinta”. Di dalam novel ini dikisahkan perjalanan seorang Zarah yang mencari kebenaran ayahnya. Di pinggir kota Bogor, kampung Batu Luhur, seorang anak bernama Zarah dan adiknya Hara dibesarkan secara tidak konvensional oleh ayahnya, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus ahli mitologi bernama Firas. Cara Firas mendidik anaknya menimbulkan pertentangan dari keluargannya sendiri. Hal ini menimbulkan dua ideologi yang berbeda antara Zarah, Firas dan Ibu Hara. Dibalik itu terselip cerita misteri antara hubungan sebuah tempat angker yang ditakuti oleh warga bernama Bukit Jambul. Tidak hanya itu, keterkaitan alam didalam keseimbangan kehidupan menjadi ciri dari cerita ini. Fungi/jamur serta binatang menjadi objek di dalam novel ini. Hubungan antara tuhan, alam dan manusia merupakan sebuah hubungan (dalam nalar penulis) tidak dapat dipisahkan. Ketiga entitas tersebut mempunyai kewajiban saling melengkapi dan menjalin hubungan batin sampai akhir. Penyajian konflik kekinian mengenai masalah ini, merupakan sebuah pengingatan manusia kembali pada kodratnya. “Manusia sudah berevolusi terlalu jauh meninggalkan alam, membentengi dirinya sejak bayi dalam tembok —tembok semen dan lantai buatan. Kulit manusia terbiasa dibungkus rapat hingga alergi debu dan rentan pusing kalau kehujanan. Semua terlalu licin dan steril. Tidak heran kulit kami lubang —lubang di sini. Manusia telah berevolusi manjadi patung lilin,” (halaman 6). “Jangan pisahkan dirimu dengan binatang,” pesannya. Kamu lebih dekat dengan mereka dari pada yang kamu bayangkan,” (halaman 20). “ Dengan tegas Ayah menegaskan, “umat manusia selamanya berutang budi kepada kerajaan

fungi. Kita bisa ada hari ini karena fungi melahirkan kehidupan buat kita.” Bagi Ayah, fungi adalah orang tua alam ini, (halaman 21). Tragedi demi tragedi menimpa keluarganya yang akhirnya membawa pelarian panjang. Kejadian pertama, Zarah meninggalkan Ibunya ke Kalimantan dan tinggal bertahun-tahun di sana. Ia divonis sebagai Firas kedua dikeluargannya. Kejadian kedua, dikonservasi orangutan, ia menemukan keluarga baru dan kedekatannya dengan alam. Zarah menjadi seorang Ibu dari Sarah, bayi orangutan. Hingga pada akhirnya waktu, keputusan, dan kesempatan membuat mereka berpisah. Perkenalannya dengan seorang fotografer Wildlife mengantarkannya ke dunia yang lebih luas lagi. Dengan bakat fotografinya, Zarah melanjutkan perjalanan ke London. Ia bekerja untuk sebuah kelompok riset bumi. Hal yang misterius terjadi ketika Zarah mendapatkan kiriman kamera Nikon dari seseorang. Cerita cinta seperti serial FTV disajikan penulis dalam novel ini namun dengan kemasan yang berbeda karena terdapat benang —benang pengetahuan, berbagai pengamatan, dan pengalaman. Hingga pada akhir cerita ini pertemuan antara “Elektra” dalam sekuel Petir bertemu dengan “Bodhhi” dalam sekuel Akar. Nilai lebih yang ditawarkan novel ini adalah keseriusan penulis dalam berkarya serta proses kreatif dalam pengemasan setiap alur cerita. Selain itu, pembaca dibuat penulis berpetualang dalam imajinasi dan mendapat informasi sains yang mengejutkan. Komposisi buku ini dirasa pas karena bumbu-bumbu sastra, fiksi, diksi yang tidak monoton, dan saintis. Sehingga buku ini akan tepat jika dikonsumsi generasi sekarang. Sayangnya, novel ini merupakan buku berseri sehingga pembaca yang membaca partikel akan lebih seru jika membaca dari sekuel awal terlebih dahulu. Jadi buku ini tidak dapat dinikmati hanya satu seri saja. Ini tak lepas dari penulis yang membuat pembaca penasaran sampai menemukan jawaban diseri terakhir. Partikel ini tidak dapat dinikmati oleh remaja karena bahasa yang digunakan terlalu tinggi jadi tidak untuk dikonsumsi berbagai usia.

Indria Rukmana, mahasiswa semester lima jurusan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

www.lpmarena.com

23


PUSTAKA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Menemukan Makna di balik Fragmen Sejarah

SUBAKUN

Suatu hari, di suatu sekolah terpampang tulisan “jangan berharap jadi besar jika hal yang

JUDUL

ENGINEERS OF HAPPY LAND:

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN NASIONALISME DI SEBUAH KOLONI PENULIS

RUDOLF MRAZEK PENERJEMAH

HERMOJO PENERBIT

YAYASAN OBOR TAHUN

2006 TEBAL

XIX+442 HALAMAN ISBN

9794615944

SLiLiT

24

ARENA Jelas & Mengganjal

kecil kau abaikan�. Setidaknya kata-kata itu bisa mewakili apa yang sudah dilakukan oleh Rudolf Mrazek. Buku dengan judul asli Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Hermojo ini tidak berbicara tentang teori-teori besar masa kini. Ia justru menyajikan hal-hal yang kelihatannya kecil, tampak sepele, tetapi jika dicermati lebih lanjut, akan didapati bahwa dugaan awal ternyata keliru. Karya Mrazek ini merupakan kumpulan fragmen-fragmen sejarah yang disusun secara sistematis dan mengarahkan kita pada satu informasi akurat bahwa penjajah itu tidak hanya menjajah rakyat Indonesia secara fisik saja, tetapi mereka juga berusaha menjajah kita secara kultural. Dan justru penjajahan secara kultural itu lebih berbahaya dari pada penjajahan secara fisik. Demikian kata seorang pemikir. Ketika membaca buku ini, saya teringat dengan buku Edward Said, Orientalism. Ada kesamaan tujuan antara Happy Land-nya Mrazek dan Orientalisme-nya Said, yaitu sama-sama ingin menunjukkan bagaimana cara kerja bangsa kolonial itu untuk mengarahkan cara berpikir, cara berpakaian, berusaha mengarahkan bagaimana seharusnya bangsa terjajah beraktifitas. Bangsa penjajah cenderung tidak mengakui hal-hal yang berasal dari luar dirinya. Subjek (pribumi) tidak diberikan kebebasan untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Malah identitas itu diberikan oleh orang lain. Kebenaran itu memang bisa datang dari mana saja, dari arah yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Hanya saja, kebenaran yang datang dari orang lain, meskipun secara akali benar, sangat sulit untuk diakui jika sikap ego terlampau tinggi. Secara khusus, Mrazek menelusuri sejarah modern Indonesia, yaitu pada masa akhir kolonial Belanda di Indonesia. Mrazeklahir di Republik Ceko. Ada kabar mengatakan bahwa ia merupakan murid dari Zorica Dubovska, sarjana yang memperkenalkan Indonesia bahkan mengarang buku-buku tentang Indonesia di Praha, Ceko dan tempat lainnya. Selain buku Engineers of Happy Land, Mrazek juga mengarang buku Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru, Syahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Bali, dll.


PUSTAKA

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Buku Engineers of Happy Land banyak menggunakan data-data sejarah yang jarang ditemui dalam literature lain. Tak tanggung-tanggung, Mrazek mengelilingi perpustakaan-perpustakaan (Jakarta, Bogor, Bandung, Medan, Leiden, Den Hag, dan Amsterdam) untuk berburu data-data yang diperlukan. Namun ada catatan bagi calon pembaca, karena buku ini disusun dari fragmen-fragmen sejarah, isi buku ini tidak tersusun secara kronologis, penuturan sejarahnya tidak runtut dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, kendati seluruh data yang digunakan saling berkaitan. Pembaca mungkin harus berusaha mencari benang merah dari setiap fragmen sejarah yang disuguhkan. Buku ini menuturkan setting peristiwa di penghujung tahun 1800-an sampai awal 1900-an. Terdapat perbedaan sikap masyarakat dalam pada itu. Periode pertama, di penghujung tahun 1800-an, teknologi, kereta api misalnya, mulai dibangun. Setelah kereta api, pembangunan berlanjut ke berbagai sektor. Ironisnya, perkembangan teknologi tidak berdampak baik bagi penduduk pribumi. Hadirnya teknologi justru menjadi beban tambahan bagi mereka. Siapa yang bakal membuat jalan kereta api kalau bukan penduduk pribumi yang disuruh? Tepatnya dipaksa. Jelas, Londo-londo itu ndak mungkin mau! Takut baju putih mereka itu kotor, kena lumpur. Pribumi kadang juga dapat kesempatan menikmati teknologi itu, tulis Mrazek, tapi teknologi kelas yang paling bawah, bagian “kelas kambing.” Pada permulaan tahun 1900-an, perlawanan sedikit demi sedikit muncul, meski agak samar. Barangkali karena rasa jengkel yang memuncak oleh pribumi. Pribumi melakukan perusakan fasilitasfasilitas pemerintah kolonial Belanda. Mrazek juga mencium bau perlawanan dan kritik sosial lewat media sastra. Perlawanan itu semakin lengkap berkat hadirnya pribumi yang sadar dan terdidik; Soekarno, Sutan Syahrir —untuk sekedar menyebutkan beberapa di antara mereka. Pada bagian akhir buku, Mrazek menelusuri kembali jejak langkah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang mengkritik penjajah dalam karya novel-novelnya. Tak luput, bangsa sendiri pun dikritiknya. Sayang, dedikasi besar Pram tidak berbanding lurus dengan perlakuan pantas pemerintah pada waktu itu, sebagian hidupnya habis di dalam penjara.

Nasionalisme Tidak pada Tempatnya Rasa cinta tanah air atau nasionalisme, bukan hanya milik Indonesia, Negara lain pun punya, tak terkecuali Belanda. Di Arab, ada ungkapan hubbul wathan minal iman, cinta tanah air merupakan sebagian dari pada iman. Dalam sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad diusir dari Mekah oleh kaum Quraish, saat akan meninggalkan kota, ia menghadap ke kota Mekah dan berkata “seandainya bukan penduduk yang mengusirku, aku tak akan meninggalkanmu,” itu bukti nasionalisme nabi. Di tempat lain, dikenal istilah love the mother land. Jika pembaca hobi nonton film-film perang, akan sering dijumpai kata “melayani negara.” Seorang tentara akan merasa bangga dan mati di medan pertempuran bukanlah mati sia-sia, berperang adalah bentuk nyata dari cinta tanah air. Kaitannya dengan nasionalisme, Mrazek mendapati orang Belanda di Indonesia (dulu Hindia Belanda) berusaha sebisa mungkin membuat diri mereka nyaman seolah-olah mereka sedang berada di kampung halamannya. Mereka senang terhadap hal-hal yang berbau Belanda, berbau Eropa. Akan tetapi realisasi kesenangan tersebut sangat merugikan penduduk pribumi. Nasionalisme mereka ditempatkan di tempat yang salah. Bahkan dalam sejarah kolonial, Belanda pernah menyelenggarakan peringatan ulang tahun seratus tahun kemerdekaan Belanda dan membebani pribumi berupa kewajiban menyerahkan sumbangan demi kesuksesan perhelatan itu. Cara berbusana, bentuk rumah, sampai kepada hal-hal besar, semua harus dengan cara Belanda. Kultur pribumi tidak mereka sukai. Serupa dengan analisis Said pada wacana Orientalisme, mereka (Belanda) berusaha melakukan pemagaran, antara “kita” (pribumi) dan “mereka” (Belanda). Masalahnya adalah hubungan itu tidak berlangsung imbang, yang satu superior (penjajah) yang satunya lagi inferior (terjajah). Tindak-tanduk pribumi cenderung dilihat sebagai sesuatu yang salah —tanpa bermaksud menyamaratakan semua Belanda, ada juga Belanda yang obyektif melihat realitas. Seandainya sikap saling memahami terbangun, bahwa setiap kelompok pasti memiliki konsep tersendiri terkait cara hidup yang baik dan membuat mereka nyaman, perbedaan tidak akan menimbulkan konflik. Benar kata seorang sarjana bahwa setiap konsep memiliki sistem kebenaran sendiri, mengambil satu konsep untuk

www.lpmarena.com

25


PUSTAKA

menilai konsep lain pada akhirnya akan menghasilkan konflik, kecuali langkah sintesis ditempuh, dan itu bukanlah hal yang mudah. Di buku Engineers of Happy Land ini tergambar aksi turut campur tangan Belanda yang terlalu jauh, sampai-sampai persoalan tinja pun diurusi. Rasa nasionalisme ternyata harus diatur agar tidak mengganggu dan merugikan orang lain.

Sejarah: Cermin Masa Depan Berdirinya bangunan-bangunan, berupa benteng yang bertebaran di seluruh penjuru Indonesia, juga merupakan proyek besar nasionalisme Belanda. Mrazek menduga, dibangunnya benteng-benteng di Hindia Belanda sebagai tanda bahwa di tempat ini, Belanda pernah berkuasa. Suatu capaian prestisius tentunya di mata dunia, mampu menjajah daerah seluas Indonesia. Ada sudut lain yang bisa dijadikan pelajaran, keberadaan benteng-benteng Belanda setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa dulu Indonesia pernah dijajah. Banyak kisah memilukan yang dialami rakyat Indonesia, namun harus dicamkan bahwa luka itu tidak boleh terulang kembali. Dalam diskursus ilmu sosial memang meyakini tidak ada peristiwa yang terulang dua kali. Tapi setidaknya seseorang bisa membanyangkan bagaimana sakitnya orang yang terjajah kebebasannya. Mempelajari kembali peristiwa sejarah diharapkan melahirkan efek jera bagi rakyat Indonesia saat ini. Pemain (manusia) Indonesia kini, berhutang kepada para aktor sejarah. Bentuk terima kasih kepada mereka adalah mempertahankan apa yang mereka perjuangkan, yakni KEMERDEKAAN. Di tengah kerasnya kontestasi global, Indonesia masih belum kuat menghadapi segala kemungkinan buruk, ditambah lagi peperangan di berbagai negara, bukan tidak mungkin, situasi saat ini menjadi cikal bakal lahirnya Perang Dunia ke-III. Seorang ekonom dan kolumnis dunia, Anantole Kaletsky, mengatakan, kondisi saat ini sebetulnya serupa dengan kondisi menjelang pecahnya perang dunia Pertama. Keberlangsungan kemerdekaan ini tergantung ditangan kita semua. Ke mana kemerdekaan itu diarahkan? Jawabannya ada pada pembaca.[]

UN SUBAK

Khairul Amri, mahasiswa semester lima jurusan al-Ahwal ashSyakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

lpmarena.com SLiLiT

26

ARENA Jelas & Mengganjal


OPINI

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Manusia, Kompetisi dan Perubahan Sosial “Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana mendapatkan dirinya terbelenggu� Jean-Jacques Rousseau Konon kata pakde Jean-Jacques Rousseau pada mulanya manusia adalah makhluk yang baik dalam praktik sosialnya. Ia adalah individu yang bebas namun soliter. Ia hanya bertindak untuk memenuhi kebutuhannya dari alam sekitarnya. Belum ada hasrat kompetisi dan kehendak untuk berkuasa. Pada masa ini manusia tidak ingin menaklukkan manusia lainnya. Setelah sadar akan kehendak bebas yang dimiliki, manusia memiliki hasrat untuk mengembangkan diri. Jika misalnya sebelumnya ia hanya makan dengan memetik makanan yang tersedia di sekitarnya, ia mulai bencoba hal baru yang lebih memacu kreatifitas. Mulai lah ia belajar membuat senjata untuk berburu dan membuat peralatan-peralatan lain untuk bertani. Sadar atas keberadaan makhluk-makhluk sesamanya, manusia mulai belajar hidup dalam komunitas. Dengan hidup dalam komunitas manusia bisa mengoptimalkan hasil buruan maupun pertanian karena adanya pembagian kerja. Pembagian kerja mempermudah manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya. Dengan pembagian kerja pula manusia memiliki leisure time yang lebih banyak karena pekerjaan dipermudah dan lebih efektif. Seiring berjalannya waktu hidup berkomunitas, benih-benih kompetisi muncul dalam benak tiap individu. Masing-masing individu mulai dihinggapi perasaan egois, ada yang sombong karena merasa berkontribusi lebih banyak dalam komunitas, ada yang minder karena merasa kurang kontributif pada komunitas hingga kemudian lahir rasa saling cemburu. Perasaan-perasaan tersebut kemudian melahirkan kompetisi satu sama lain. Egoisme dan perasaan saling cemburu kemudian melahirkan “penyakit� yang sulit diatasi yaitu nalar kepemilikan akan suatu barang atau materi. Dari nalar saling klaim kepemilikan pribadi inilah lahir kelas-kelas sosial. Manusia hidup dalam persaingan merebut kepemilikan pribadi atau akumulasi modal terbanyak. Hal tersebut dilakukan untuk merebut posisi kelas sosial yang dominan di masyarakat. Akibatnya manusia terseret untuk saling menguasai. Manusia mulai berhasrat menguasai manusia lain bahkan mengeksploitasinya demi kepentingan pribadi.

Kompetisi Sosial Bagaimana mekanisme kompetisi sosial dalam praktik kehidupan sosial manusia? Pierre Bourdieu mencoba menjawabnya dengan rumus (Habitus X Kapital) + Arena = Praktik. Praktik sosial ditentukan oleh akumulasi Habitus dengan Kapital atau Modal yang kemudian ditempatkan dalam suatu konteks yang tepat dalam Arena. Habitus merupakan nilai-nilai yang diinternalisasikan dalam diri manusia melalui proses sosialisasi yang lama hingga membentuk sistem berpikir dan perilaku manusia tersebut. Ia adalah serangkaian kecenderungan subjek dalam merespon stimulus yang diberikan padanya dengan cara-cara tertentu. Dengan demikian Habitus mengendalikan dan menentukan pikiran dan tindakan individu. Konkritnya, Habitus terealisasi dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan khas yang seolah-olah alami yang dimiliki subjek. Misalnya Usman adalah anak seorang pemilik sebuah toko. Sejak kecil Usman sering membantu menjual dagangan bapaknya. Ia juga sering diminta berbelanja dagangan dan membuat faktur barang-barang yang diperdagangkan. Akibatnya Usman tidak asing lagi dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada di dalam dunia enterpreneurship. Dari sudut pandang teori habitus Bourdieu, Usman sudah memiliki habitus yang tepat untuk menjadi seorang pengusaha yaitu sering melakukan kegiatan yang berkaitan dengan dunia wirausaha. Adapun kapital merupakan segala daya atau aset yang dimiliki subjek untuk menentukan posisi atau kelas sosial subjek pada arena sosial tertentu. Setidaknya Bourdieu membagi modal ke dalam empat bagian. Pertama, modal ekonomi yaitu aset yang berupa benda fisik atau materi. Contohnya rumah, mobil, pabrik, perhiasan, uang, emas, dll. Kedua, modal sosial yaitu aset yang berupa relasi sosial yang bermakana atau signifikan. Misalnya, kedekatan perusahaan dengan calon investor, hubungan keluarga seseorang dengan pejabat pemerintahan, dll. Ketiga, modal kultural yaitu aset yang berupa pengetahuan atau pendidikan yang berlaku di masyarakat. Contohnya, sopan santun, skill atau ketrampilan di bidang tertentu, kecakapan berkomunikasi, dll. Terakhir, modal simbolis yaitu aset yang berupa nilai kehormatan atau prestise seseorang. Contohnya seperti jabatan,

www.lpmarena.com

27


OPINI

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

kebangsawanan, gelar kemasyarakatan seperti tokoh adat, tokoh agama, dan lain-lain. Adapun field atau arena adalah ruang yang merupakan potongan atau bagian dari dunia sosial yang memiliki otonomi untuk bekerja berdasarkan hukum-hukumnya sendiri. Ada beberapa macam arena seperti arena ekonomi, pendidikan, militer, dan lain-lain. Arena merupakan tempat bagi pelaku atau subjek untuk berkompetisi meraih posisi kelas sosial yang dominan. Caranya dengan meraih akumulasi modal terbesar dalam arena tersebut. Ia juga tempat di mana modal atau kapital digunakan dan terdistribusikan. Distribusi modal nantinya akan menentukan struktur objektif kelas sosial. Semakin banyak akumulasi modal yang dimiliki subjek akan semakin memperkokoh dominasi kelas sosialnya. Sebaliknya, semakin sedikit modal yang dimiliki, posisi subjek semakin marjinal. Jadi, dalam menjalani kompetisi ini subjek harus memiliki habbit dan modal yang dikondisikan secara tepat di dalam arena yang dipilih. Pada tahap kompetisi selanjutnya pihak kelas social atas akan melakukan tindakan membedakan diri untuk menunjukkan kelas sosialnya. Hal ini dikenal dengan istilah distinction. Tujuanya agar kelas yang di atas mendapat pengakuan dari pihak kelas bawah. Misalnya pak Budi karena merasa kaya harta dan berstatus social tinggi memilih belanja di supermarket yang mewah daripada pasar tradisional. Tujuannya untuk membedakan dirinya dari orang berstatus sosial rendah yang hanya mampu belanja di pasar tradisional. Pak Budi mengarapkan pengakuan atas status sosialnya dari pihak-pihak yang berstatus sosial di bawahnya. Pihak kelas sosial yang di bawah bisa mengcounter distinction tersebut dengan melakukan resistance. Hal itu merupakan upaya pembedaan sebagai bentuk perlawanan terhadap kepongahan kelas atas. Biasanya dilakukan dengan cara melakukan kebiasaan-kebiasaan yang anti mainstream dan anti kemapanan. Misalnya dengan menyukai musik-musik tradisioal yang notabene bukan musik popular. Tahap selanjutnya setelah distinction adalah dominasi atau kekerasan simbolik. Ia merupakan bentuk “penindasan� oleh pihak yang berkuasa melalui media yang berupa simbol-simbol. Penindasan ini erat kaitannya dengan modal simbolik. Karena kekerasan simbolik hanya bisa dilakukan oleh pihak yang memiliki modal simbolik. Penindasan ini tidak akan dirasakan sebagai suatu penindasan oleh

SLiLiT

28

ARENA Jelas & Mengganjal

pihak tertindas. Alasanya karena pihak tertindas termanipulasi kesadaranya sehingga ia menyetujui penindasan tersebut. Dengan kata lain bagi pihak tertindas penindasan tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan lumrah. Ia sudah dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya terjadi. Puncak dari dominasi simbolik adalah doxa yaitu suatu kondisi di mana pandangan pihak berkuasa dianggap pandangan umum atau pandangan masyarakat. Ia menjadi kepercayaan dan nilai-nilai dasar yang dipegang secara kuat sebagai sesuatu yang universal dan terbukti dangen sendirinya. Doxa merampas nalar kritis masyarakat sehingga menguntungkan bagi pihak dominan atau penguasa.

Menuju Perubahan Sosial Bagi Bourdieu jika ingin melakukan perubahan sosial subjek harus mampu mengkontekstualisasikan habitus dan modal yang dimiliki ke dalam arena secara tepat. Artinya, subjek perlu strategi yang jitu untuk memaksimalkan habbit dan modal yang dimiliki dalam menghadapi kompetisi pada arena yang dipilih. Di sinilih urgensi modal intelektual diperlukan. Selain itu, subjek juga jangan sampai terhegemoni —meminjam istilahnya Antonio Gramsci— sistem sosial di sekitarnya. Dengan hanya menjadi peserta sistem sosial sekitarnya, subjek hanya akan turut mereproduksi sistem sosial yang sudah mapan. Artinya ia turut melanggengkan kekuasaan yang menindas dan tidak berkeadilan. Ia harus memiliki kesadaran akan kebebasan untuk berkreatifitas dan berimprovisasi terhadap sistem sosial yang ada. Karena jika tidak ada kebebasan, perubahan sosial akan sangat sulit terjadi. Dengan demikian subjek adalah pelaku perubahan yang harus mampu menganalisis ketidakadilan sosial pada realitas sekitarnya. Sehingga ia bukan hanya menjadi abdi dalem yang mengabdi pada sistem kekuasaan yang menindas, tetapi pelaku penentu perubahan. Hemat penulis untuk menuju ke langkah itu diperlukan kesadaran yang kritis atas realitas sosial sekitar yang ada. Di sinilah peran penting filsafat, ilmu-ilmu sosial dan para intelektual dalam bekerja demi kemanusiaan diperlukan. Sehingga tidak terjebak pada kutukan sekedar memaknai realitas semata, tetapi turut andil membuat perubahan. M Arif Setiawan, mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


OPINI

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

Implementasi Pendidikan “Hadap-Masalah” “Bangkitnya kesadaran kritis membuka jalan ke arah pengungkapan ketidakpuasan sosial secara tepat, karena ketidakpuasan itu adalah unsur-unsur yang nyata dari sebuah situasi yang menindas.” Paulo Freire Pendidikan merupakan suatu cara pengendalian diri yang di dalamnya dapat mempengaruhi kepribadian yang berkesadaran kritis, dapat mengatahui realitas yang terjadi untuk memahami dirinya dalam membangun karakter masing-masing individu maupun lingkungan di sekitar kita. Pendidikan juga menjadi trans central untuk semua sektor dalam membangun karakter suatu bangsa. Dari pendidikanlah sektor ekonomi, budaya, maupun politik akan menjadi lebih baik. Karena sifat dari pendidikan itu sendiri adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika meraba ke sektor pendidikan yang ada di Indonesia, memang tingkat pendidikan di Indonesia masih rendah. Kenapa? Karena sistem yang dipakai di Indonesia sendiri saya kira belum masif meskipun sudah sistematis dan terstruktur. Artinya belum sampai pada hakikat pendidikan dan yang dinyatakan Paulo Freire, yaitu pendidikan sebagai praktek pembebasan. Hakikat pendidikan itu sendiri dapat dikategorisasikan dalam dua sudut pandang, mungkin lebih. Tapi saya menyertakan dua saja sebagai prioritasnya, yaitu ontologi dan epistemologi. Pendidikan dalam sudut pandang epistemologi, merupakan kerangka mencari ilmu, mempunyai objek sebagai dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan ke semua lini kehidupan. Sedangkan dari sudut pandang ontologi atau metafisis, pendidikan sebagai suatu proses yang intern dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat dimanusiakan malalui proses pendidikan. Di dalam bukunya”Pendidikan Kaum Tertindas,” Paulo Freire mengemukakan konsep pendidikan hadap-masalah sebagai alat pembebasan yang menjadi penyelesaian dari pendidikan yang menindas saya, semoga untuk sementara ini saja. Di mana konsep pendidikan “hadap-masalah” ini sebagai alat pembebasan dari kontradiksi pendidikan “gaya bank” yang dijadikan sebagai alat penindasan. Dan ini yang menjadi persoalan dari pembahasan yang saat ini anda baca. Pendidikan hadap-masalah dalam konteks perkuliahan itu berupa dosen belajar dari

murid dan murid belajar dari dosen. Dosen menjadi rekan mahasiswa yang ikut terlibat dan merangsang daya pemikiran kritis para mahasiswa. Dengan demikian, kedua belah pihak bersamasama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis pada persoalan-persoalan yang ada pada bangsa ini dan dunia tempat mereka berada. Ketika terjadi seperti itu mereka akan melihat bahwa pendidikan bukan merupakan realitas yang tak bisa dirubah, melainkan suatu proses gerak perubahan “menjadi” manusia yang belum selesai pada kodratnya. Pendidikan hadap-masalah ini senantiasa membuka rahasia realitas yang menjadi tantangan para mahasiswa masa kini, yang kemudian menuntut jawaban terhadap tantangan itu. Di mana jawaban terhadap tantangan itu akan membawa manusia kepada dedikasinya yang utuh. Terkadang mahasiswa merasa rendah diri terhadap dosen atau pengampu mata kuliahnya karena dosen agaknya yang lebih tau dan mampu menguasai materi saat perkuliahan berjalan dikelas. Mereka menyebut dirinya masih bodoh dan berkata “ pak Prof, pak Dr, pak Drs” kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kepada siapa mereka harus mendengarkan, juga kepada siapa mereka menjalani tugas yang harus dikerjakan. Padahal pengetahuan yang diajarkan kepada mereka adalah yang konvensional (berdasarkan kesepakatan umum). “Mengapa Anda tidak menerangkan lebih dahulu tentang materi itu atau gambaran itu?, kata mahasiswa dalam sebuah diskusi kelompok belajar,” yang dengan cara itu akan menghemat waktu dan tidak membuat kami pusing,” lanjutnya. Hampir tidak mereka sadari, bahwa mereka (mahasiswa) sebenarnya juga mengetahui sesuatu yang mereka pelajari dalam pergaulan mereka di organisasi, kantin, warung kopi, masjid dan di manapun juga. Dengan adanya lingkungan yang telah membentuk sifat dualitas mereka, di kampus dan di luar, maka wajarlah bila mereka kurang percaya pada ideologi mereka sendiri. Bukan tidak sering para mahasiswa dalam membuka diskusinya mengenai suatu tema yang mungkin menarik atau terpaksa mengikutinya, cuma sebab alasan “sebenernya males, tapi saya tidak enak dengan bapak pengajar itu, jika tidak ikut diskusi ini-e,” kata mahasiswa yang mengaku kawannya. Kemudian berhenti mendadak dan

www.lpmarena.com

29


OPINI

SLiLiT ARENA | SELASA, 25 NOVEMBER 2014

PERBEDAAN ITU............ DILEBIHKAN UNTUK....... BINATANG..

SUBAKUN

MEREKA..... (BINATANG) LEBIH......... BEBAS........ DARI........... PADA.......... KAMI.......... SLiLiT

30

ARENA Jelas & Mengganjal

mengatakan pada pengajarnya, “maafkan kami, Anda adalah orang yang mempunyai pengetahuan lebih, sedang kami kurang tau tentang pengetahuan itu, bahkan mungkin tak tau apa-apa”. Mereka sering kali bersikeras mengatakan bahwa mereka tidak berbeda dengan binatang —jika mereka mengakui adanya perbedaan, maka perbedaan itu dilebihkan untuk binatang. Mereka (binatang) lebih bebas dari pada kami. Dari kisah itu, bagaimanapun juga, itu merupakan sesuatu yang mengesankan untuk mengamati sikap tidak menghargai dirinya sendiri itu berubah bersamaan dengan perubahan-perubahan awal dari situasi penindasan. Dalam seluruh tahap pembebasan mereka, kaum tertindas harus melihat diri mereka sendiri sebagai manusia yang berjuang atas dasar fitrah ontologis. Dalam pendidikan hadap-masalah, manusia mengembangkan kemampuanya untuk memahami secara kritis. Dengan cara mereka eksis, akan mampu menemukan dirinya sendiri —mereka akan memandang dunia bukan sebagai realitas yang statis, tetapi sebagai realitas yang berada dalam proses. Meskipun hubungan dialektis antara manusia dan dunia berlangsung tanpa berkaitan dengan masalah bagaimana hubungan itu dapat dipahami? Namun, benar juga bahwa tindakan yang dipilih manusia adalah fungsi dari bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri di dalam dunia. Dari sinilah mereka berefleksi secara serentak tentang diri mereka sendiri. Pendidikan hadap-masalah menegaskan kembali sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi (becoming), sebagai sesuatu yang tak pernah selesai. Sifat belum selesai dari manusia dan realitas yang terus berubah mengharuskan pendidikan untuk menjadi kegiatan yang terus-menerus berlangsung. Oleh karena itu, pendidikan selalu diperbaharui dalam praksis. Pendidikan hadap-masalah tidak mau menerima masa kini yang “baik-baik saja” maupun masa depan yang telah ditakdirkan —mendasarkan diri pada kekinian yang dinamis dan karenanya revolusiner.

Yazid Maulana, mahasiswa semester III jurusan Filsafat AgamaUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


ADVERTORIAL

HARGA HEBOH, DISKON BESAR-BESARAN DI AKHIR TAHUN Bulan Desember Ngi'Klan di ARENA Diskon 20% Ada penawaran Spesial dari ARENA bagi kamu-kamu yang punya usaha dan ingin mempromosikan usaha kamu. Buletin SLiLit ARENA adalah salah satu media yang efektif untuk mempromosikan segala usaha bagi mahasiswa /masyarakat umum. Khusus untuk bulan Desember nanti, ARENA memberi diskon 20% bagi kamu yang ingin memasang iklan di ARENA.

Mengapa Iklan di ARENA? 1. Buletin SLiLit ARENA merupakan sebuah media informasi cetak yang mengupayakan target pasar yang luas bagi perusahaan. 2. Buletin SLiLit ARENA merupakan media promosi yang efektif untuk mencapai target pasar yang dituju. 3. Buletin SLiLit ARENA tampil dengan visual yang baik, memuat konten informatif dan menarik untuk dibaca. 4. Buletin SLiLit ARENA terbit sejak tahun 1993 dengan oplah 1000 eksemplar setiap satu bulan sekali dan memiliki pelanggan tetap.

Ke mana Distribusi Buletin SLiLit ARENA? Buletin SLiLit ARENA sudah mempunyai pos-pos tetap di berbagai tempat strategis di UIN Sunan Kalijaga. Selain distribusi ke mahasiswa, buletin SLiLit ARENA juga didistribusikan ke Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) se-DIY, dosen, birokrat, aktivis, penulis, peneliti dan ke berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Spesifikasi Harga Berikut spesifikasi harga dan ukuran sebelum dan sesudah adanya diskon. Khusus di buletin SLiLit ARENA Iklan berwarna HITAM PUTIH.

Apa keuntungan-keuntungan yang didapat? Selain dipublikasikan di buletin SLiLit ARENA, iklan juga dipublikasikan di website LPM ARENA, www.lpmarena.com. Maka keuntungankeuntungan yang kamu dapatkan akan sangat banyak. Dengan banyaknya pelanggan tetap dan pasar ARENA yang sudah sangat luas serta publikasi yang tak henti-hentinya kami gencarkan. Maka Usaha kamu bakal dikenal dan produk kamu akan digandrungi oleh banyak orang sehingga bakalan laris manis. Dijamin gak akan nyeseeeeeeeel….. Tertarik? Ada yang masih diragukan? Jika kamu tertarik tetapi masih bingung, bisa hubungi : (Tika) +62857 897 951 89 | (Ekmil) +62857 124 616 68 | (e)lpm_arena@yahoo.com | (w)www.lpmarena.com

segera pesan sepatu dengan motif etnik hanya di

Unique Shop 65K/pcs diskon sampai 30%

& bebas ongkos kirim *terms & conditions apply

FOR MORE INFORMATION twitter @EtniQuee | facebook “Unique Shop” | SMS 085725915149 | WA 085729728499


ain ’t lo vei

n’t

A

NI

Y

TR

R KU

SH

K A S I R

IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LEMBAGA PERS MAHASISWA ARENA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.