EDISI JANUARI 2014
SLiLiT
ARENA
www.lpmarena.com
Jelas & Mengganjal
INDEKS
Sabtu, 11 Januari 2014
UNIVERSITARIA SLiLiT ARENA
6|
8|
Nasib UKT Masih Menggantung
Ribut-ribut Mahasiswa Tanggapi UKT
Penerapan UKT membutuhkan legalitas, aturan dan sosialisasi kepada mahasiswa. Namun hingga kini UIN Suka belum memilikinya.
Aksi-aksi digulirkan beberapa gerakan mahasiswa guna merespon kebijakan UKT. Sistem pembayaran tunggal ini mendapat gugatan karena tak ada
Pemimpin Umum Taufiqurrohman
10|
12|
Wk. Pemimpin Umum Ahmad Jamaludin
“Dapur” Organisasi Mahasiswa
Overload, Listrik UIN Padam
Organisasi mahasiswa punya bermacam cara untuk merekrut anggota. Layaknya sebuah “Resep,” ia turut menentukan
Beban daya listrik UIN Suka Overload. Hal ini telah berjalan sejak tiga tahun silam.
Diterbitkan Oleh: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Pelindung Allah SWT Penasehat Rektor UIN Sunan Kalijaga Pembina Abdur Rozaki, S.Ag, M.Si
Sekretaris Umum Ayu Usada Rengkaning Tyas Bendahara Puji Hariyanto Dewan Redaksi Anik Malussolekhah Pemimpin Redaksi Robi Kurniawan Redaktur Online Folly Akbar Redaktur SLiLiT Jamaludin Ahmad Redaktur Bahasa Indah Fajar Rosalina Koordinator Liputan Anisatul Ummah Staf Redaksi Uul, Tika, Elmi, Fendi, Lilik, Uniq, Chusna, Lugas, Mugi, Ulfa, Aat, Dedik, Arifki, Ichus, Soim, Irsal, Usman , Andy, Iim, Novi, Bayu, Arif, Januardi Husin S Rancang Sampul & Tata Letak S Ghidafian Hafidz Lukisan Sampul Muka A.N Afandi, judul “Berebut Kepala” Fotografer Abdul Majid Direktur Perusahaan & Produksi Intan Pratiwi Koordinator Pusda Hasbullah Syarif Koordinator Jarkom Hartanto Ardi Saputra
SASTRA
EDITORIAL
15|
5| Uang Kuliah Saja
Sepotong Cerita Cinta Terakhir
PUSTAKA
17| Sejarah Dalam Lukisan Berdarah
CATATAN KAKI
Telah datang satu lagi 'fase' dalam sejarah pendidikan nasional kita; Uang kuliah Tunggal (UKT). Kedatangannya, sebenarnya telah diributkan sejak setahun belakangan. Namun kini, dua bulan belakangan dan kemungkinan beberapa bulan kedepan, akan diributkan oleh kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga.
4| Malèna
OPINI
Malena seolah menggambarkan bagaimana Italia memandang ketegaran dan keanggunan Fascio, faham yang lebih dikenal sebagai Fasisme. “Sistem pemerintahan otoriter yang dikepalai seorang pria zalim dan cukup enerjik mengadakan pembersihan”, begitu Mussollini mendefinisikan. Mengambil semangat disiplin dan simbol otoritas yang diwariskan kerajaan Romawi Kuno, fasisme adalah pemerintahan yang antiliberal sekaligus antisosial.
Wajah Buruk Pendidikan
19| KANCAH
21| Mahasiswa; Agent Without Change
Koordinator PSDM Ahmad Taufiq Kantor Redaksi/Tata Usaha Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adi Sucipto Yogyakarta 55281 Telp. +62818 027 390 55 (Intan Pratiwi) http//: www.lpmarena.com
SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan maupun artikel ke alamat redaksi LPM ARENA. Dan bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan SLiLiT ARENA, bisa menuliskan hak jawabnya, atau datang langsung ke kantor redaksi LPM ARENA guna berdiskusi lebih lanjut.
No Rekening 0216 2175 90 BNI Unit UGM atas nama Taufiqurrohman
Wartawan SLiLiT ARENA dibekali tanda pengenal dalam setiap peliputan dan tidak menerima amplop dalam bentuk apapun
SURAT PEMBACA
Sabtu, 11 Januari 2014
Cermin Perilaku Dosen* Sampai sekarang saya masih menemui dosen yang berperilaku tidak mencerminkan keilmuannya. Hal ini saya temui di Jurusan Psikologi ketika saya dan teman satu kelas tidak mengerjakan tugas yang diberikan. Pada saat pembelajaran dikelas berlangsung, dosen tersebut menanyakan tentang tugas yang diberikan Minggu lalu. tapi tidak satu pun dari kami mengerjakan tugas tersebut. Akhirnya, dosen tersebut meninggalkan kelas tanpa pamit, dan menyuruh kami mengerjakan tugas tersebut. Ketika tiba waktu pulang dosen tak kunjung datang. Kami menemui dosen tersebut di kantornya, ternyata dosen tersebut sudah pulang satu menit yang lalu, kata dosen yang lain. Menurut saya hal tersebut sangat tidak wajar dilakukan seorang dosen yang seharusnya mencerminkan keilmuan dalam perilakunya. Seolah kami
‘th
hanya dicekoki ilmu-ilmu tanpa asas moral yang tinggi. Sebagai mahasiswa, apalagi kami akan melakukan akreditasi, mahasiswa boleh salah tapi dosen tidak boleh marah-marah. Hal ini tidak mencerminkan kedewasaan seorang pengajar. Saya berharap kejadian ini tidak berulang lagi. Apakah pantas bila dosen meninggalkan mahasiswa karena kami tidak mengerjakan tugas? Dosen minta dihargai, tapi tidak menghargai kami yang telah rela hujan-hujan untuk datang ke kelas. Tapi pada akhirnya dosen meninggalkan kami dengan sikap emosional. Saya tidak ingin dicekoki beragam ilmu-ilmu yang tinggi dari seorang dosen tapi tidak ada perilaku moral. Dosen bukan Tuhan yang dapat memhukum kami dengan amarah, tapi merupakan orang tua yang membimbing kami ketika salah.[] *Surya ar-Rahman, mahasiswa Prodi Psikologi angkatan 2011, Fakultas Sosial dan Humaniora
NANTIKAN
T i L i SL
edisi khusus ulang tahun
tak mati, kau tak hilang
hidup di generasi kan kembali ke generasi www.lpmarena.com
3
CATATAN KAKI
Sabtu, 11 Januari 2014
Malèna* Sesosok wanita melenggang di antara derai pasir putih pesisir italia, Malèna Scordia. Wanita berparas ayu, dengan jenjang 176 sentimeter serta rambut hitam menggelombang khas Eropa menerobos gempita Italia yang tengah menyongsong Perang Dunia II. Demam jelitanya sedang menjangkit seantero kota waktu itu, beriring pidato Il Duce Bènito Mussollini yang menggema. Corong speaker radio dan televisi menjajahkannya ke setiap telinga penduduk Italia. Kala Malèna membelah jantung kota, tak satu bola mata enggan lepas memandangnya. Sorot mata sendu ditopang hidung mancung, wajah putih oval dengan dua rahang yang simetris menyiratkan keteguhan di balik pesona kecantikannya. Italia waktu itu laiknya Renato Amoroso, remaja berusia 12 tahun yang tak jenuh memuja Malèna. Suasana ini adalah penggalan awal film yang menjadikan tokoh utama sebagai judul; Malèna. Diperankan oleh artis kenamaan Italia, Monica Bèlucci. Malèna ditampilkan sebagai sosok mempesona yang tetap tegak di tengah kecamuk perang yang melanda kota Castelcuto, Sisilia-daratan di ujung semenanjung Italia. Malèna seolah menggambarkan bagaimana Italia memandang ketegaran dan keanggunan Fascio, faham yang lebih dikenal sebagai Fasisme. “Sistem pemerintahan otoriter yang dikepalai seorang pria zalim dan cukup enerjik mengadakan pembersihan”, begitu Mussollini mendefinisikan. Mengambil semangat disiplin dan simbol otoritas yang diwariskan kerajaan Romawi Kuno, fasisme adalah pemerintahan yang antiliberal sekaligus antisosial. Di Jerman Fascio mewujud dalam Nazi- kepanjangan dari Nasionalisme Sosial, dalam bahasa Jerman; Nationalsozialismus. Orang sekarang sering bercerita, mereka lah wajah mudanya Eropa. Eropa muda yang kesadaran eksistensinya menjulang tinggi. Kesadaran untuk bebas dari kekang pemikiran orang-orang tua yang kolot dan lamban. Orang tua itu adalah Middle Age, zaman kegelapan Eropa. Bapak yang senantiasa memakai topeng agama untuk menumpas logika, harapan dan kebebasan ekspresi muda Eropa. Eropa sedang membara, pertempuran berkecamuk di penjuru benua. Pagi 1 September 1939, genderang Perang Dunia II ditabuh Nazi dengan agresinya ke tanah Polandia, awal Perang Dunia II. Kemudian Norwegia, Perancis, Belanda dan Belgia. Nazi berada dibawah komando führer Adolf Hitler (Führer sebagaimana Il Duce adalah gelar pemimpin dalam sistem totaliter), ia diklaim sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa Holocaust-pembantaian ras Yahudi oleh serdadu Nazi semasa Perang Dunia II berlangsung. Pertengahan tahun 1941, bergelora sebuah orasi, “Seluruh St. Petersburg harus lenyap dari muka bumi. Moskow juga. Kemudian penduduk Rusia akan diasingkan ke Siberia” raung Hitler di depan barisan ribuan serdadunya. Dan dimulailah ekspansi penaklukan Uni Soviet itu. Serbuan yang menghantar
4
SLiLiT ARENA
menuju kiamat pemerintahan ras Arya yang hendak menaklukkan daratan Eropa. Bila memandang dari posisi zaman ini, rasanya sulit untuk merasionalkan kondisi waktu itu. Fasisme dalam konteks saat ini mirip seperti doktrin nasionalisme atau patriotisme yang cenderung menjurus ekstrim. Bisa juga doktrin dalam wujud yang lain, mungkin sensitivitas ras seperti dipakai Nazi, Antisemit. Ia merupakan suatu konsep yang ideal. Konsepsi yang ingin mengenggam dan menaklukkan kenyataan. Konsepsi yang cenderung mereduksi dan hanya mengambil bagian yang diinginkan dari kenyataan. Dalam pandangan individu ia seperti ideologi, konsepsi kebenaran yang mengacu pada sebuah tujuan. Konsepsi ini akan digenggam erat oleh si ideologis. Karena konsepsi kebenaran yang mutlak itulah realitas jadi terbelah, terpotong dan parsial. Tidak heran, mereka yang ideologis akan rela melakukan apa saja untuknya. Seperti pemuja Malèna, prajurit Italia dan serdadu Nazi yang tak segan membunuh sekaligus menghibahkan nyawanya sendiri dalam Perang Dunia II. Ideologi mengkonstruksi individu menjadi subjek. Menurut Louis Althusser, seorang intelektual Marxisstrukturalis dari Perancis, ideologi bekerja dengan sistem Interpelasi. Yaitu memanggil seorang individu untuk menjadi subjek yang mau bergerak searah ideologi. Prosesnya sama seperti ketika serdadu Jerman atau orang yang tergolong dalam ras Arya mendengar seruan Hitler. Mereka serasa dipanggil, di mana terjadi pengenalan atau penyematan atas diri mereka sebagai subyek tertentu. Kemudian mereka sadar betul bahwa panggilan itu mengarah padanya. Seperti juga tatkala kita mendengar seruan “NKRI harga mati!”. Meski kita tak tahu siapa yang menyerukan, di sini kita merasa 'seolah' sadar begitu saja bahwa seruan itu ditujukan untuk kita. Menyuruh kita untuk menggenggam dan melaksanakan kehendak seruannya. Konsepsi ideologi Nazi bisa kita lihat dalam sebuah buku berjudul “Mein Kampf” karya Hitler yang ditulis ketika ia dalam penjara tahun 1923. Dan ketika ia berkuasa, buku itu menjadi pegangan wajib tiap anak sekolah dan sebagai kado bagi pengantin baru di Jerman. Dengan buku itu lah konsep ideal Nazi ditanam ke dalam benak penduduk Jerman, menkonstruksi pemikiran, pandangan dan tujuannya searah ideologi. Lebih jauh, ia akan menjadi pedoman dan tolok ukur sebuah kebenaran. Setiap konsepsi mutlak berpotensi menjadi ideologi. Ia akan memanggil individu untuk menjalankan konsepsinya. Karena konsepsi itu mempesona sekaligus membuta, seperti pesona Malèna. Pesona itu menarik dan menghanyutkan. Selanjutnya kita didorong untuk berkata, “ya, dia-lah konsepsi kecantikan sempurna.” Selain konsepsi itu berarti tuna, jelek dan cacat. Berarti salah, harus dikalahkan dan dimusnahkan. [] *@jamaludin_ahmd@yahoo.com
Sabtu, 11 Januari 2014
EDITORIAL
Uang Kuliah Saja Telah datang satu lagi 'fase' dalam sejarah pendidikan nasional kita; Uang kuliah Tunggal (UKT). Kedatangannya, sebenarnya telah diributkan sejak setahun belakangan. Namun kini, dua bulan belakangan dan kemungkinan beberapa bulan ke depan, akan diributkan oleh kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga. Hal ini terjadi –lebih tepat- akibat dari simpangsiurnya informasi yang diterima oleh mahasiswa, dosen dan –juga mungkin- orang tua. Kebanyakan di antaranya menyamadengankan UKT dengan kenaikan uang kuliah. Karena itu, kebanyakan mahasiswa yang notabene kesulitan soal membayar uang kuliah akan frustasi, marah dan makin sinis dengan dunia pendidikan. Kemungkinan salah memahami informasi perihal UKT sangat besar karena kebanyakan mahasiswa tidak memperoleh bahan yang cukup untuk memperhitungkannya. Sejauh ini pihak rektorat belum, dan cendrung pasif, dalam mengenalkan baik-buruknya sistem pembayaran UKT. Langkah rektorat baru sebatas rencana dan ancang-ancang. Sungguh bodoh sekali. Padahal surat edaran dari Dirjen Pendis telah diterima setengah tahun yang lalu. Akibatnya, sekolompok mahasiswa –dengan perhitungan setengah matang pula- mencuri start. Melakukan propaganda yang makin menjauhkan pemahaman mahasiswa kebanyakan perihal UKT. Propaganda kenaikan uang kuliah itu ditambahi tuntutan-tuntutan beragam soal sarana-prasarana dengan bumbu-bumbu anarkis. Akibatnya; perihal UKT makin tidak dimengerti. Namun setidaknya, ada nilai positif dari curian start tadi; menyentakkan fikiran kita bahwa dalam waktu dekat akan terjadi perubahan pendidikan, terlebih untuk mahasiswa yang selalu cemas tak menentu dan untuk elemen mahasiswa yang suka menanti dan malas bergerak. Syukurlah. Selama ini kebanyakan kita membayar uang kuliah Rp 600 ribu dan kemudian tidak tahu lagi untuk apa uang itu digunakan dan kemana saja uang itu bermuara. Kebanyakan kita hanya sampai pada pemahaman; 'jika saya bayar SPP, saya boleh kuliah.' Kita tidak tahu berapa banyak subsidi Negara untuk membantu –lebih tepatnya bukan membantu, tapi; membiayai kuliah- kita. Akibatnya kita 'banyak dibodohi', tidak boleh menghendaki apa-apa karena biaya kuliah lebih murah dibandingkan kampus lain. Dan kebanyakan kita –dengan pemahaman yang ringkas tadi- hanya sampai pada pertanyaan; Penerapan UKT besok, uang kuliah naik atau turun ya? Birokratpun mencoba membodohi lagi; Besok ada yang bayar kuliah nya lebih murah dari biasanya kok. UKT adalah soal manajemen keuangan. Soal manajemen berarti soal pengaturan langkah untuk mencapai target semaksimum-maksimumnya. Soal langkah berarti soal membaca dan mengerti apa yang ada dan apa yang belum ada –dan akan diadakan. Sebagaimana kita tahu, penerapan sistem UKT ini adalah 'titah' dari Kementrian Pendidikan. Dalam arti kata ini adalah langkah nasional dalam mensiasati manajemen keuangan internal Negara agar mencapai target efektifitas pendidikan Negara.
Sejauh ini, Kementrian Pendidikan adalah institusi Negara yang tak sepi dari sorotan dan kritik para pengamat, praktisi pendidikan dan masyarakat. Banyak kebijakan yang tak bersambut dengan kondisi arus bawah masyarakat, sehingga respon dari perubahan-perubahan tersebut merongrong wibawa dan frame Kementrian Pendidikan yang selalu berkaitan dengan trah pencerdasan kehidupan bangsa. Bukan respon dari pengamat dan masyarakat yang menjadi persoalan kita. Yang 'menghantam' kepala kita belakangan ini persis pada kebijakan-kebijakan yang ditelurkannya. Termasuk perihal UKT ini, kita menemukan ada yang 'mengakibat', baik langsung maupun tak langsung pada jalannya kehidupan kampus; pada kegiatan kemahasiswaan dan kultur pendidikan kampus sebagai ruang ekspresi dan ruang kreatif. Temuilah tanda-tanda itu pada pengelompokkan mahasiswa berdasarkan kekayaan, sistem 'subsidi silang', dan 'logika delapan'. Belum lagi pada persiapan dan langkah penerapannya di kampus kita, sistem dan manajemen masih mengundang tanda tanya besar. Pengelompokan yang tidak tepat, sistem yang centang-perenang, birokrasi yang saling lempar muka dan tanggung jawab akan menjadi letupan soal yang memusingkan kemudian hari. Saat ini, mahasiswa belum tahu kapan –dengan pasti- sistem uang kuliah 'baru' ini akan diterapkan, apakah mahasiswa baru tahun ini ataukah akan diterapkan untuk tahun ajaran depan. Nan terang hari ini, mahasiswa baru tahun ini (BP:2013) harus mempersiapkan diri –idealism dan praksis pendidikan- nya bahwa 'akan ada kultur baru' dalam waktu relatif singkat ke depan. Sebenarnya ini bukan semata-mata kausalitas langsung dari kebijakan UKT. Kita bisa mengidentifikasinya dalam beberapa tahun belakangan. Salah satunya –seperti yang kita sebut; Pragmatisme pendidikan. Besar kemungkinan setelah kebijakan UKT diterapkan istilah terakhir tadi menemukan ruangnya. Kenapa kita menyebutkannya demikian? Karena saat ini hanya mahasiswa yang masih diasai. Rektorat dan jajarannya hingga fakultas adalah para birokrat. Ketika disebutkan kata 'birokrat dan birokrasi', kita akan memahami bahwa orangorang ini jauh dari perubahan. Mereka adalah pelaksanapelaksana yang telah 'dicucuk hidungnya'. Mungkin tidak kesemuanya demikian, namun yang satu-dua itu tak leluasa berekspresi. Mereka 'gaek' dengan posisi dan di hadapan atasannya. Biarlah mereka 'dibenamkan' dalam kursi empuk mereka. Dan tak ada golongan lain selain mahasiswa yang gelisah. Pada mahasiswa yang tak semata mabuk dengan AC dan pengharum ruangan. Pada estate yang diberkahi 'peluang' kebebasan berekspresi ini, mengkritisinya –dengan tidak manut-manut wae- adalah langkah mahasiswa. Kita bisa melihat; apakah setelah disebutkan tadi -masalah UKT adalah persoalan manajemen keuangan- ratusan mahasiswa manajemen dan keuangan akan berkontribusi pada langkah kritis itu. Jika tidak, tidak-lah mengapa. Berarti ada benar perkataan birokrat; “Mahasiswa itu masih belajar-belajar. Belum Serius”. [] Redaksi
Redaksi SLiLiT ARENA menerima kritik dan saran terhadap editorial.Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Bentuk tulisan utuh 400-700 kata. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Saran/Kritik Editorial_SLiLiT ARENA
www.lpmarena.com
5
UNIVERSITARIA
Sabtu, 11 Januari 2014
Tukang sedang mengecat gerbang kampus barat. Pengecatan ulang gedung UIN Suka tengah berlangsung selama satu bulan terakhir.
Nasib UKT Masih Menggantung Penerapan UKT membutuhkan legalitas, aturan dan sosialisasi kepada mahasiswa. Namun hingga kini UIN Suka belum memilikinya. Oleh Annisatul Ummah
H
ingga akhir Desember 2013 kemarin, belum ada kepastian waktu penerapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka). Kemetrian Agama (Kemenag) masih menggodok konsep penerapan UKT untuk Perguruan Tinggi Agama Islam Negri (PTAIN) di Indonesia. Setelah Kemenag mengeluarkan aturan yang melegalkan penerapan sistem UKT, UIN Suka baru akan menerapkan UKT. Sistem UKT sendiri hanya berlaku untuk mahasiswa yang tidak masuk dalam sistem pembayaran kuliah yang lama, sehingga mahasiswa UIN Suka angkatan 2013 ke atas tidak
6
SLiLiT ARENA
menggunakan sistem UKT. Kepastian ini disampaikan oleh Wakil Rektor (WR II) bagian Administrasi dan Keuangan, Nizar Ali. Persiapan UIN Suka dalam menerapkan UKT sejauh ini belum mencapai ke tahap sosialisasi kepada segenap civitas akademika di UIN Suka. Hal tersebut disampaikan oleh Saefudin A. Syafii, Biro Administrasi, Akademik dan Keuangan (Biro AAK) UIN Suka. Ia hanya menjelaskan bahwa sebelum sosialisasi terlebih dahulu akan diadakan workshop tentang UKT pada bulan Januari 2014. Dengan mengundang segenap civitas akademika, mulai dari Organisasi Mahasiswa (Ormawa), Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan perwakilan mahasiswa. “Januari mau workshop, tapi tanggalnya belum (pasti). Awal (pemberlakuan UKT, red) nantinya juga sosialisasi, karena harus bersentuhan langsung dengan mahasiswa, UKM, dan Ormawa. Kemungkinan itu janjinya Direktorat Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) awal tahun, jadi nanti sudah ada materinya,� ujar Saefudin. Persiapan lain dilakukan oleh Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD) UIN Suka. Persiapan dilakukan melihat dari perguruan tinggi yang berada di bawah Kemendikbud yang sudah menerapkan sistem UKT. Dari
UNIVERSITARIA
Sabtu, 11 Januari 2014
Kalau Kementrian Agama (Kemenag) wacananya empat tapi itu kan belum selesai. Mau dibagi empat karena kalau dua (selisih biaya, red) itu nanti terlalu ketinggian. Dasar penggolongan UKT tersebut menjadi kebijakan dari Kemenag
s ana P TIPD mencari gambaran penerapan UKT. PTIPD awalnya memperkirakan pemberlakuan UKT pada tahun 2013, karena wacananya sudah terdengar sejak awal tahun 2013. “Wacana yang sudah dari awal tahun, kita mencari model dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ternyata sampai sekarang kita masih menunggu kepastian,” ujar Agung Fatwanto kepala PTIPD. Dalam penerapan UKT di UIN Suka PTIPD berperan sebagai disposisi dengan berbabagai ketentuan yang dicanangkan oleh pihak universitas, di bagian ini PTIPD sebagai pelaksana, “Saya dapet disposisi, kita (PTIPD) ibarat prajurit yang menagihkan sesuai data yang dikasi,” ungkap Agung. UIN Suka sejauh ini masih bergelut dalam tataran persiapan dalam penggolangan. Penggolongan ini untuk menentukan besaran yang dibayar tiap mahasiswa selama mereka kuliah. Namun jumlah golongan dalam UKT sampai sekarang masih belum pasti, Nizar Ali menyampaikan akan ada empat g o l o n g a n d a l a m U K T. ” K a l a u Kementrian Agama (Kemenag) wacananya empat tapi itu kan belum selesai. Mau dibagi empat karena kalau dua (selisih biaya, red) itu nanti terlalu ketinggian. Dasar penggolongan UKT tersebut menjadi kebijakan dari Kemenag,” tandasnya. Sebelumnya, Waryono selaku Pelaksana Harian (PLH) WR II, menyampaikan hal yang berbeda dengan
Nizar. Menurut Waryono ada dua golongan yaitu miskin dan normal (baca SLiLit edisi November 2013: UIN Genjot Penerapan UKT), Namun ketika ARENA mengkonfirmasi, Waryono tidak bersedia memberi tanggapan tentang penggolongan UKT. Penggolongan akan ditentukan oleh sistem yang disediakan PTIPD saat input data mahasiswa baru. Mahasiswa akan mengisi data terkait background keluarga dan demografi jumlah dan susunan dalam keluarga. Segala hal di atas akan dituangkan dalam sebuah instrumen pengisian data yang dibuat PTIPD. Sedang isi instrumen tersebut akan ditentukan oleh pihak universitas. Sedang untuk mensiasati penggolongan UKT agar tepat sasaran, nantinnya akan ada verifikasi dengan surat keterangan tidak mampu. ”Buat mengantisipasi salah sasaran, verifikasi dari RT dan RW,” ujar Nizar. Meski begitu UIN Suka tidak menyediakan tim khusus untuk verifikasi langsung ke lapangan untuk mengecek kebenarannya. Selain di tataran mahasiswa, penggolongan juga ada pada tataran Program Studi (Prodi). Penggolongan pada tiap Prodi akan menggunakan acuan satuan biaya, yaitu total biaya yang dikeluarkan Prodi untuk menggaji staff pengajar, biaya praktikum dan kebutuhan adminstratif selama satu tahun. Sehingga jumlah biaya tiap Prodi berbeda, karena kebutuhannya juga berbeda. Seperti disampaikan Agung Fatwanto, “Mengacu pada biaya kuliah yang di hitung dari satuan biaya, tiap Prodi kemungkinan besar akan berbeda. Misalnya dalam Prodi ini untuk satu tahun habis berapa, untuk dosen berapa, praktikum berapa, nanti dibagi per mahasiswa,” ungkapnya. Biaya seluruh kebutuhan suatu Prodi dalam satu tahun dibagi jumlah seluruh mahasiswa Prodi terkait, disebut unit cost. Besaran unit cost tergantung kebutuhan tiap Prodi, sehingga unit cost Prodi agama akan berbeda dengan Prodi sains atau pendidikan. Seperti yang dikatakan Nizar, “Kriteria unit cost dari bawah, misal dari orang kimia. ya saya nggak tau saya kan orang agama.” Namun nominal biaya yang dibutuhkan dalam pengelolaan suatu Prodi juga dipengaruhi oleh standar operasional Prodi secara nasional. Seperti dilontarkan Khamidinal, Wakil Dekan bagian Adminidtrasi dan Keuangan (WD II) Fakultas Saintek,
bahwa perhitungan kebutuhan Prodi juga ditentukan oleh standar nasional Perguruan Tinggi di Indonesia. “Pemerintah sudah mempunyai standar. Jadi tidak bisa memang kalau dari Prodi itu sendiri mengajukan,” ujarnya. Senada dengan Khamidinal, Minhaji selaku Dekan Fakultas Saintek yang mengatakan bahwa tentang kebutuhan standar nasional, UIN Suka sudah punya standar dalam pengelolaan Prodi, seperti standar praktikum dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Selain unit cost hal lain yang menjadi “pekerjaan rumah” UIN Suka dalam penerapan UKT adalah tentang nominal pembayaran UKT. Melihat Surat Edaran (SE) dari Direktur Jendral Pendidikan Ti n g g i ( D i r j e n D i k t i ) N o m o r 272/E1.1/KU/2013 tentang UKT, pasal dua disebutkan kelompok yang paling rendah (Kelompok 1) rentangnya yang bisa dijangkau oleh masyarakat tidak mampu Rp 0 s/d 500 ribu. Mengklarifikasi SE Dirjen Dikti di atas, Nizar menjelaskan bahwa kemungkinan gratis ada, jika terdapat mahasiswa yang betul-betul tidak mampu. Keterangan lain disampaikan oleh Syaifan Nur, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam mengatakan bahwa untuk Fakultas Ushuluddin nominal unit cost sekitar Rp 900 ribu. Ia tidak menjelaskan lebih rinci bagaimana nominal ini diperolah. ”Itu dari pusat langsung, mereka yang nawarin ini saya pilih yang itu. Kami nggak tahu alasnnya” ujarnya. Syaifan juga tidak menyebutkan pihak pusat mana yang menawarinya nominal tersebut. Lebih jauh, penerapan UKT akan menggunakan logika delapan dalam penghitungannya, yaitu pembayaran total selama kuliah dibagi delapan semester. Dari sana diperoleh nominal biaya yang dibebankan pada tiap mahasiswa. Bagi mahasiswa yang lulus lebih dari delapan semester akan tetap menanggunng nominal yang sama sampai lulus. Seperti diungkapkan Saefudin kepala bagian Biro AAK, “Tentunya, sudah UKT ya sudah, sistem yang terapakai sampai (Mahasiswa, red) lulus kan dengan satu sistem.” Sistem ini sama seperti sistem yang telah diterapkan Kemendikbud di bebrapa PTN yang telah menerapkan UKT. Mereka tetap menggunakan satu sistem sampai mahasiswa lulus, seperti dilontarkan Agung,“Kemendikbud sebagian besar tetap pake UKT setelah semester delapan.” []
www.lpmarena.com
7
UNIVERSITARIA
Sabtu, 11 Januari 2014
Protes mahasiswa diungkapkan dengan beragam cara. Salah satunya coretan yang terdapat di tembok samping Wall Climbing.
Ribut-ribut Mahasiswa Tanggapi UKT Aksi-aksi digulirkan beberapa gerakan mahasiswa guna merespon kebijakan UKT. Sistem pembayaran tunggal ini mendapat gugatan karena tak ada kejelasan Oleh Ulfatul Fikriyah
T
anggal 6 November 2013, puluhan mahasiswa yang mengatasnamakan Keluarga Besar Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (KBMU) melakukan aksi. Aksi dilakukan di depan gedung Pusat Administrasi Umum (PAU) atau Rektorat tersebut sempat diwarnai kericuhan. Kejadian ini bermula ketika massa aksi yang sedang berorasi di depan gedung rektorat tidak mendapat respon dari pihak birokrasi UIN Suka. Alhasil, mereka masuk ke dalam gedung untuk melanjutkan orasi di dalam. Puncak kericuhan terjadi setelah salah seorang massa aksi membakar ban bekas di dalam gedung rektorat. Melihat kondisi ini satpam yang sejak awal telah siaga segera mengambil tindakan. Api yang baru menyala di permukaan ban langsung dipadamkan dengan menggunakan Alat Pemadam Api Ringan (APAR). Tindakan ini ternyata memicu kemarahan massa aksi yang semuanya berbasis mahasiswa gerakan. Akibat pembakaran itu, gedung rektorat menjadi gelap penuh asap, dan bau carbon dioxyde dari tabung APAR kian menyesakkan. Dalam suasana gelap dan pengap itu tiba-tiba terdengar suara kaca pecah. Salah seorang massa aksi diduga melempar megaphone ke lemari
8
SLiLiT ARENA
kaca yang berada di samping pintu masuk rektorat. Petugas keamanan langsung memburu mahasiswa yang diduga pelaku. Bentrok kian menjurus brutal disertai pecahnya beberapa kaca lemari. Disusul pintu rektorat juga pecah. Beberapa petugas keamanan mencoba menghalau mahasiswa dengan menyemprotkan tabung APAR. Asap semakin pekat, bau gas semakin menyengat, mahasiswa beranjak keluar gedung. Waryono yang pada saat itu menjadi Pelaksana Harian (PLH) Wakil Rektor bagian Administrasi dan Keuangan (WR II) menggantikan Nizar Ali, turun ke halaman rektorat menemui massa aksi yang masih berkerumun. Dialog dan tanya jawab dengan mahasiswa untuk meredam aksi dilakukan. Di hadapan massa aksi, Waryono membenarkan bahwa UIN Suka belum menerapkan UKT dan telah menerima Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dari Kemenag sebesar Rp 26 milyar. Menurut penuturannya, sebagian uang BOPTN tersebut telah dipakai untuk penelitian. Lebih lanjut Waryono mengatakan, pihak rektorat hanya melaksanakan perintah dari Kemenag. Rektorat sendiri juga mempertanyakan mengapa status
UIN Suka yang belum menerapkan UKT sudah diberi BOPTN. Setelah dialog cukup panjang, massa aksi mulai meninggalkan gedung rektorat, sekitar pukul 14.30 WIB. Achmad Fadhil F, salah seorang massa aksi menjelaskan, aksi ini digalang sebagai bentuk penolakan terhadap penerapan UKT di UIN Suka. “Soalnya sistem UKT ini dianggap oleh sahabat atau beberapa temen organ (organisasi) masih amburadul dan kurang relevan bila diterapkan kepada mahasiswa untuk saat ini,� ungkap mahasiswa semester V Jurusan Filsafat Agama tersebut (18/12). Hari berikutnya, 7 November 2013 p u l u h a n m a h a s i s w a P e rg e r a k a n Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam (FUSPI) menggelar aksi bertepatan dengan deklarasi korp baru mereka. Dalam aksi tersebut banyak tuntutan yang mereka lontarkan, termasuk penolakan pemberlakuan UKT di UIN Suka. Mereka berorasi dari fakultas ke fakultas dengan menjunjung tinggi spanduk dan poster bertuliskan berbagai tuntutan. Massa aksi yang berjumlah sekitar 20 orang mahasiswa tersebut berjalan sembari menyanyikan lagu pergerakan, diantaranya; Darah Juang
UNIVERSITARIA
Sabtu, 11 Januari 2014
dan Buruh Tani. Aksi diakhiri dengan tertib di depan gedung rektorat. Aksi penolakan UKT tidak berhenti sampai di sini. KBMU kembali melakukan aksi pada hari Rabu, 11 Desember 2013. Kali ini KBMU membawa massa aksi lebih banyak daripada aksi sebelumnya. “Aksi ini diikuti sekitar 60 orang. Termasuk PMII, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), FAM-J (Front Aksi Mahasiswa Jogja), dan lain-lain. Waktu aksi (organisasi lain, red) sudah pada diundang, tetapi yang ikut kebanyakan dari PMII dan FAM-J,” tutur Achmad Fadhil F. Mereka kembali mendatangi gedung rektorat, tapi kali ini tidak terjadi kericuhan seperti aksi KBMU sebelumnya. Aksi yang digelar di depan gedung rektorat tersebut kemudian berakhir dengan tertib sekitar pukul 15.00 WIB. Sebelum aksi tersebut, FAMJ, GMNI, PMII, dan organisasi lain telah melakukan diskusi pembacaan terkait isu UKT pada hari senin, 9 Desember 2013. Di pekan yang sama, Minggu tanggal 15 Desember 2013, sekelompok mahasiswa berjumlah sekitar 10 orang juga menggelar aksi penolakan UKT. Aksi ini bertepatan dengan penyelenggaraan hari ke dua wisuda UIN Suka periode pertama tahun ajaran 2013/2014 di gedung Multi Purpose (MP). Meski waktu itu hujan turun cukup deras, kelompok mahasiswa tersebut tetap melanjutkan aksi. Dengan membawa spanduk bertuliskan “Tolak BKT dan UKT di UIN Suka” mereka berjalan dari gedung Student Center (SC) sampai gedung MP. Selepas aksi mereka mengaitkan spanduk tersebut di pagar depan MP. Selama satu minggu spanduk tersebut terpasang di pagar sebelah utara jalan masuk kampus timur itu. Baru Senin tanggal 23 Desember 2013 spanduk dilepas. Sampai berita ini diturunkan, belum jelas atas nama siapa kelompok mahasiswa tersebut melakukan aksi. Terhadap wacana penerapan UKT di UIN Suka, sebagian mahasiswa pergerakan banyak melakukan aksi penolakan. Mereka berpandangan bahwa UKT tidak akan memberikan dampak positif bagi mahasiswa UIN Suka. Hal ini dilontarkan Prastya Darma, mahasiswa semester V Jurusan Jinayah Siyasah dalam aksi pertama KBMU di rektorat. Dia juga mempertanyakan terkait lima penggolongan UKT dan subsidi silang diangggap tidak memiliki aturan yang jelas.
Banyaknya aksi penolakan dari mahasiswa ditambah ketidakjelasan sistem dan teknis penerapan UKT, Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Mahasiswa (DEMA) sebagai wakil mahasiswa turut merespon. Mereka menggunakan jalur struktural untuk berkomunikasi dengan pihak birokrasi UIN Suka terkait UKT. Selasa 17 Desember 2013, SEMA dan DEMA menghadiri undangan dari rektorat. Rapat dihadiri Rektor UIN Suka Musa Asy'ari bersama Sekar Ayu Aryani (WR I), Nizar Ali (WR II) dan Maksudin (WR III). Bertempat di ruang pertemuan rektorat lantai 1, SEMA dan DEMA kembali menanyakan kejelasan UKT. UIN Suka yang notabene di bawah naungan Kemenag apakah sama aturannya dengan universitas lain yang di bawah Kemendikbud. Selain menanyakan hal itu, mereka juga menagih regulasi dan aturan UKT. Kemudian ketentuan UKT untuk mahasiswa yang lulus lebih dari delapan semester. Syaifuddin Ahrom, ketua DEMA, menambahkan bahwa saat ini UIN Suka masih menunggu aturan tentang UKT dari Kemenag. Sehingga teknis pasti penerapan UKT serta tindakan untuk mahasiswa yang belum lulus di semester delapan belum ditetapkan. Persiapan UKT di UIN Suka sendiri masih pada tahap perhitungan di masing-masing jurusan, dan belum sampai rekapitulasi tingkat universitas. Sementara ketika SEMA dan DEMA dikonfirmasi terkait penggunaan dana BOPTN sejumlah Rp 26 miliar yang telah dialokasikan ke penelitian, pihaknya kurang mengetahui secara jelas. Belum jelasnya sitem UKT yang akan diterapkan UIN Suka juga tergambar dari pemahaman di tataran bawah, baik mahasiswa sipil atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). “Sebagai mahasiswa, kita tuh nggak tahu. Selama ini kan mahasiswa tahu dari membaca situasi, dari analisis sosial yang ada di kampus. Kalau rektorat mencanangkan seperti itu (penerapan UKT) kok nggak ada perhatian terhadap mahasiswa gitu loh. Kok mahasiswa malah tahu dari bocornya kabar itu sendiri,” ungkap Richa Fitria Shofyana, mahasiswi semester satu Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Lebih lanjut ia berkomentar bahwa UIN yang terkenal dengan kualitas yang bagus dan biaya yang murah dengan jargon “Kampus Rakyat” hendaknya
tidak berubah karena penerapanUKT. Pemahaman lain juga diutarakan oleh Fauziyah, mahasiswi semester lima Fakultas Sains dan Teknologi. “Kalau menurutku UKT itu kayak Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT itu kan yang kaya juga bisa dapet. Yang miskin padahal yang menjadi prioritas. Sasarannya bisa kurang tepat. Menurutku UKT nanti juga bakal seperti itu. Kalo pertama denger, kayaknya bagus. Tapi nggak tahu sistem yang sebenarnya besok seperti apa,” ungkapnya. Pengakuan kurangnya pemahaman atas UKT juga disampaikan M. Ali Yafi, ketua UKM Studi Pengembangan Bahasa Asing (SPBA). “Saya sendiri belum paham. UKT saya itu baru tahu sebagian kecil saja. Uang kuliah tunggal. Untuk lebih luasnya saya belum tau maknanya itu apa.” Mendukung pernyataan Fauziyah, Yafi menginginkan agar rektorat melakukan sosialisasi tentang UKT supaya tidak terjadi kesalah-pahaman antara mahasiswa dengan rektorat. Lebih lanjut ia menginginkan adanya keterbukaan (transparansi) di jajaran birokrasi dengan mahasiswa. Menanggapi persoalan ini, SEMA dan DEMA menjanjikan akan mengadakan workshop sebagai media sosialisasi UKT kepada mahasiswa. Pihaknya akan bekerjasama dengan WR II Nizar Ali. Untuk waktu workshop sendiri, mereka belum bisa memastikan karena menunggu konfirmasi dari Nizar. Respon lain disampaikan oleh Haryono, ketua Badan Eksekutif Jurusan (BEM-J) KPI, ia mengatakan belum paham tentang UKT. “Kalau terkait UKT, saya pribadi belum begitu paham. Apalagi UIN Suka sendiri belum juga jelas terkait teknis penerapannya.” Menanggapi tentang banyaknya mahasiswa yang sampai saat ini belum tahu dan paham UKT. Ucok, sapaan akrab Syaifuddin Ahrom, mengatakan pihaknya telah berupaya menyebar pamflet tentang UKT. “Kami itu bekerja sama dengan kawan-kawan lintas organ. Tapi memang tidak menyeluruh (penyebaran pamflet, red).” Ia menghimbau kepada segenap mahasiswa untuk lebih memahami secara lebih dalam terkait UKT.“Keinginan mereka itu lho. Aku juga sering update di twitter kayak gitu. Nah kalo mereka tidak punya keinginan untuk tahu. gimana kita mau ngasih tahu,” tukas Ucok mengakhiri (15/12). []
www.lpmarena.com
9
UNIVERSITARIA
Sabtu, 11 Januari 2014
“Dapur” Organisasi Mahasiswa Organisasi mahasiswa punya bermacam cara untuk merekrut anggota. Layaknya sebuah “Resep,” ia turut menentukan nasib organisasi Oleh Khusni Hajar
K
eberadaan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di setiap kampus adalah penunjang dialektika intelektual di perguruan tinggi. Ormawa tidak hanya jadi wahana belajar mahasiswa, juga sebagai lahan praksis. Dalam Student Government (Pemerintahan Mahasiswa), Ormawa memiliki andil besar atas kebijakan birokrasi yang berpengaruh pada mahasiswa. Keberadaan Ormawa juga mampu mempengaruhi kondisi sosial mahasiswa dan masyarakat. Karena posisi strategis ini, keberadaan Ormawa menjadi penting bagi sebuah perguruan tinggi, tak terkecuali UIN Sunan Kalijaga. Di UIN Suka Ormawa merupakan basis utama gerakan mahasiswa. Bila melihat lebih dekat Ormawa sebagai gerakan mahasiswa, ada beberapa hal yang mempengaruhi gerak dan kiprahnya, yaitu kuantitas anggota dan sistem kaderisasi. Anggota atau kader merupakan unsur penting bagi tiap Ormawa. Selain untuk regenerasi, kader juga berperan sebagai agen transformasi pengetahuan dalam suatu Ormawa. Aziz, pengurus koordinator komisariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) UIN Suka mengungkapkan,“Dalam setiap pergerakan ada yang disuarakan, jika massanya besar, pasti suaranya akan lebih didengar. Selain itu dalam pergerakan ada transformasi pengetahuan dan transformasi nilai karena fungsi pengkaderan ada disitu,” ujarnya. Dari tahun ke tahun, kader tiap Ormawa di UIN Suka punya kuantitas yang berbeda. Ada Ormawa yang bisa merekrut banyak kader, ada pula yang stagnan bahkan mengalami penurunan. Hal tersebut dipengaruhi berbagai hal. Pengaruh yang mendasar adalah sistem perekrutan kader/anggota dari tiap Ormawa. Perbedaan kuantitas kader Ormawa tak lepas dari kepiawaian anggota
10
SLiLiT ARENA
Ormawa merekrut mahasiswa-mahasiwa baru. Dalam perekrutan, setiap Ormawa mempunyai strategi atau cara yang berbeda. Sehingga dimungkinkan cara yang dilakukan satu Ormawa, tidak dilakukan Ormawa lain. Strategi yang umum dilakukan di antaranya; penyebaran pamflet dan sosialisasi. Dalam penyebaran, pamflet biasanya ditempel di papan pengumuman atau disebar begitu saja. “Kalau kami tidak ditempel seperti temen-temen, tetapi kita disebar aja, model brosur” Ungkap Eljazuly, pengurus Komisariat HMI Fakultas Ushuluddin. Resar, Ketua Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UIN Suka melihat perbedaan kuantitas kader Ormawa dipengaruhi banyak faktor. Seperti faktor keturunan dan ideologi yang diusung tiap Ormawa. “Mungkin kakaknya PMII, maka dia ikut PMII. Dan orang-orang UIN itu kan kebanyakan alumni pesantren, NU (Nahdlatul Ulama) ya, dan PMII sejalan dengan mereka.” PMII dalam melakukan perekrutan lebih menekankan pendekatan secara persuasif. “Diajak ngobrol di luar, kemudian ya PMII tuh kayak gini kayak gini, jadi mereka kan akan tertarik, dan mereka pasti akan mengajak teman yang lain untuk ikut, nggak mungkin sendirian” jelas Resar. Cara lain adalah dengan membuka stan pendaftaran anggota di setiap fakultas. Bahkan tak hanya satu stan di setiap fakultas, ada sekitar dua hingga empat stand yang buka di tempat-tempat strategis dalam setiap perekrutan anggota baru. PMII yang notabene mempunyai kader cukup banyak di UIN Suka, juga menyiasati perekrutan anggota dengan mengerahkan kelebihan kuantitas tersebut. “Kalau PMII kan dari dulunya banyak, maka untuk perekrutan anggota selanjutnya juga bisa jadi lebih banyak, karena setiap anggota diamanahi untuk merekrut dua sampai tiga orang. Kalau anggotanya ada 50, setiap anak merekerut dua orang maka sudah dapat
banyak,” ungkap Aziz, Ketua Rayon PMII Fakultas Ushuludin. Ia menambahkan anggota yang bisa merekrut 'anak baru' juga diberi bonus, tapi ia tak merinci lebih detail bonus yang dimaksud. Tahun 2013 kemarin PMII komisariat UIN Suka mampu merekrut sekitar 900 mahasiswa. Bukan hanya itu, selain dari internal PMII ada juga pengaruh dari luar. Pengaruh itu bisa berupa anjuran yang diterima mahasiswa sejak sebelum masuk perguruan tinggi. Seperti fatwa dari Kyai Pondok Pesantren Nurul Jadid, P r o b o l i n g g o - J a w a Ti m u r, y a n g menekankan kepada santrinya untuk masuk organisasi yang berlandaskan Ahlussnunnah wal Jamaah. Sehingga santri yang masuk ke perguruan tinggi mengikuti organisasi yang Kyai maksud. Hal serupa dialami Ahmad Faksi Fahlevi, mahasiswa Aqidah Filsafat (AF) semester tiga. Ia mengungkapkan, “kalau alumni di pesantrenku harus ikut pergerakan yang ber-madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah, kalau tidak itu berarti dia menyimpang,” ungkap alumni Pondok Pesantren Annuqoyah-Madura tersebut. Hal itu tak hanya terjadi di PMII, Kesatuan Aksi Mahaiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pun demikian. Setiap anggota KAMMI diharap mampu merekrut satu kader. Sistem perekrutan anggota di KAMMI dengan cara menetapkan target jumlah anggota baru dalam setahun. Sehingga apabila perekrutan pertama belum mencapai target, maka akan dilakukan perekrutan kembali hingga mencapai jumlah yang ditargetkan. Seperti tahun 2012 lalu KAMMI membuka tiga kali perekrutan anggota baru dalam setahun. Cara berbeda diterapkan HMI, selain sosialisasi dan menyebar pamflet, kader HMI diarahkan untuk lebih aktif dalam kelas. Dengan asumsi jika kader HMI aktif di kelas, maka dosen atau temannya akan melihat background mahasiswa tersebut. “Kami juga melakukan diskusi-
UNIVERSITARIA
Sabtu, 11 Januari 2014
Bukan cuma membawa nilai Islam, tapi kita juga menerapkan. Contoh kecilnya rapat, kalau di KAMMI memaksimalkan waktu, kalau jam 6 pagi memungkinkan untuk rapat ya rapat, pokoknya sebelum jam 6 sore kita harus selesai, kita tidak pernah rapat lewat dari maghrib diskusi di fakultas, tetapi tidak mengatasnamakan HMI, kami berkamuflase gitu. Itu terbuka untuk umum, namun yang mengisi itu anakanak HMI. Itu salah satu faktor merekrut anak baru,” papar El Jazuly. Setiap tahun HMI juga mengadakan Bimbingan Masuk Perguruan Tinggi (Bimtes) untuk mahasiswa baru yang mendaftar di UIN Suka. Dalam Bimtes akan diselipi beberapa hal tentang HMI. Untuk setiap kader HMI juga ada jadwal memakai baju organisasi ketika kuliah. Sebagai bentuk sosialisasi HMI kepada teman-teman mahasiswa. Saat ini HMI mampu merekrut kader sekitar 600 mahasiswa dalam setahun. Jumlah tersebut diperoleh HMI dengan dua kali perekrutan anggota dalam setahun. Ini demi mengantisipasi jika ada mahasiswa yang belum ter-cover di perekrutan pertama. “Selain itu HMI juga melakukan gerakan bawah tanah” ungkap Aziz, tanpa mau merinci lebih jauh karena hal tersebut bersifat rahasia. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam perekrutan anggota tak jauh beda dengan Ormawa lain, seperti mengajak secara personal dan menyebar brosur. Menurut Habibi, ketua IMM cabang Sleman, dalam perekrutan anggota ia sadar bahwa mayoritas mahasiswa UIN Suka alumni pesantren. “Di UIN kita tahu kalau UIN masyarakatnya rata-rata teman-teman Nahdhatul Ulama (NU).” Meski begitu ia menegaskan bahwa IMM akan tetap bergerak secara massif dan sopan. IMM Cabang Sleman, terdiri dari kampus UIN Suka dan Universitas Islam Indonesia (UII), kini dapat merekrut sekitar 600 mahasiswa tiap tahun. Kemudian, tak kalah penting pengkaderaan anggota dalam setiap organisasi. Hal ini juga menjadi perhatian utama IMM. Tradisi membaca dan
diskusi terus digalakkan. Kader IMM dibekali pendidikan politik, di mana setiap komisariat terdapat sekolah pendidikan politik. Bukan hanya politik, IMM membekali kadernya dengan pendidikan lain seperti pengadaan sekolah filsafat, wirausaha, hukum, peradaban dan sebagainya. IMM mengusung slogan; Unggul dalam intelektual, anggun dalam moral dan radikal dalam gerakan. Habibi menjelaskan, maksud radikal dalam gerakan jangan dibayangkan secara ekstrim. Radikal dalam gerakan di sini adalah manisfestasi dari moral dan intelektual. Bagaimana kita mengadvokasi, menyuarakan kekritisan demi hajat orang banyak. Dibarengi aksi sosial dan tak berhenti dalam tataran mahasiswa. “Contohnya kita punya daerah binaan, rumah singgah Ahmad Dahlan belakang SGM, itu kita membina anak-anak jalanan.” Sedikit berbeda dengan pengkaderan yang diterapkan PMII. Setiap anggota yang masuk PMII harus melewati Pendidikan Kader Dasar (PKD). “Kalau untuk PKD 2 atau PKD 3 itu tergantung situasi dan kondisi dari setiap fakultas. Itu karena banyak permintaan dari mahasiswa baru yang ingin masuk PMII. Nanti waktu PKD ada kayak semacam brosur yang menanyakan kamu minatnya apa,” jelas Ahmad Riyadi, pengurus PMII Fakultas Sosial dan Humaniora (Fishum). Kalau di Fishum karena banyak yang suka desain maka dibentuk Satuan Desain Mahasiswa (Sadewa) yang menampung itu. Sehingga PMII juga menyediakan wadah untuk menampung bakat dan minat anggota. Lebih jelas Aan pengurus komisariat PMII UIN Suka memaparkan, di PMII ada empat teori yang menjadi pegangan anggota, yakni membaca, diskusi, aksi dan evaluasi. Setiap kader PMII juga dikontrol seniornya, “dari segi kognitif, mentalnya, kemudian analisisnya, sudah sejauh mana kamu memahami materi kayak gitu, artinya kalau yang 2013 kan ada kakaknya 2012, ya yang mengontrol itu” tambahnya. Dalam HMI pun demikian, setiap kader ditekankan untuk terus membaca dan menulis. “Buku yang perlu dibaca seperti Revolusi HMI, HMI 1963-1966 menegakkan pancasila, kalau di Ushuluddin bacaanya Nurcholis Madjid dan Ahmad Wahib” jelas eL-Jazuly. Pada dasarnya referensi bacaan tergantung komisariat di mana anggota tergabung.
Karena referensi bacaan disesuaikan dengan jurusan dari anggota. Dalam pengkaderan HMI ada tiga tahap yang dilalui anggota. Yakni Latihan Kader (LK) 1, 2 dan 3. Proses awalnya anggota baru diwajibkan mengikuti Masa Perkenalan Calon Anggota (Maperca). Baru kemudian LK 1 sekaligus pelantikan menjadi anggota biasa. LK 2 untuk menambah wawasan anggota, selain sebagai syarat menjadi pengurus cabang. “Untuk LK 3 biasanya sudah setara dengan dosen-dosen, dan dalam setiap LK itu ada sertifikatnya” ungkap el-Jazuly. Berbeda dengan Ormawa lain, pengkaderan KAMMI lebih menekankan pada nilai-nilai Islam pada kadernya. Inas, aktivis KAMMI menjelaskan “Bukan cuma membawa nilai Islam saja, tapi kita juga menerapkan nilai Islam itu di gerakan kita. Contoh kecilnya kita untuk rapat, kalau di KAMMI memang memaksimalkan waktu rapat, kalau jam 6 pagi memungkinkan untuk rapat ya rapat, pokonya sebelum jam 6 sore kita harus selesai, kita tidak pernah rapat lewat dari maghrib”jelasnya. Contoh pengkaderan KAMMI adalah Malam Bina dan Taqwa (Mabit). “Kalau Mabit cowok dan cewek dipisah, ada qiyaamullayl (sholat malam), pencapaian bacaan al-Qur’an sampai dimana, ada forum share and care, sehingga kita juga sesama kader KAMMI seperti sebuah keluarga.” KAMMI membina kadernya untuk dekat dengan Tuhan, lingkungan dan menjaga adab antara putra-putri. Inas menambahkan bahwa ada penjagaan komunikasi antara putra dengan putri disetiap rapat. Selain Ormawa yang beridentitas Islam, di UIN Suka juga terdapat Ormawa di luar identitas Islam. Seperti Forum Studi Mahasiswa Demokrasi (FORSMAD), Forum Sekolah Bersama (Sekber), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gema Pembebasan dan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD). Mereka mendasarkan organisasinya dengan identitas serta ideologi yang berbeda satu dengan lainnya. Beragamnya Ormawa turut punya konstibusi besar bagi UIN Suka. Dalam tataran dilektika intelektual mahasiswa, Ormawa bisa saling mengisi karena perbedaan tersebut. Lebih jauh, Ormawa punya kekuatan besar untuk mempengaruhi kondisi sosial. []
www.lpmarena.com
11
UNIVERSITARIA
Sabtu, 11 Januari 2014
Overload, Listrik UIN Padam Beban daya listrik UIN Suka Overload. Hal ini telah berjalan sejak tiga tahun silam.
Oleh Faridatul Chusna
J
umat siang, 25 Oktober 2013, listrik UIN Sunan Kalijaga secara mengejutkan padam. Listrik padam berlangsung selama lima hari. Listrik baru menyala kembali pada Selasa, 29 Oktober, . Penyebab listrik padam adalah penggunaan daya listrik UIN Suka yang melampaui batas (Overload). Overload menyebabkan Transformator (Trafo) UIN Suka yang berada di sebelah barat Multi Purpose (MP) rusak. Kerusakan Trafo disebabkan korsleting pada instalasi penyaluran daya yang menjadi fungsi utama Trafo. Korslet terletak pada jalut output Trafo. Karena kerusakan Trafo tersebut saluran listrik di fakultas Dakwah lost, kabelnya terbakar, listrik kampus timur padam total. Menurut Ali Sodiq, Kepala Bagian Rumah Tangga (Kabag RT) UIN Suka, kejadian tersebut karena daya listrik UIN Suka sudah tidak dapat menopang penggunaan daya yang berlebihan. UIN Suka hanya berlangganan pada Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar 865 Kilo Volt Ampere (KVA), sedang daya yang digunakan mencapai 1700 KVA. Dari kejadian tersebut pihak Rumah Tangga memutuskan untuk memasang Trafo sewa dengan berkapasitas 630 KVA. Jumat malam teknisi langsung bekerja untuk memasang Trafo sewa tersebut. Setelah lembur selama tiga hari, pemasangan baru selesai Minggu 28 Oktober.
12
SLiLiT ARENA
Sementara Trafo UIN Suka diperbaiki, Trafo sewa diharap bisa menopang sementara daya listrik kampus timur. Kebijakan tersebut disertai dengan menurunkan surat himbauan kepada setiap fakultas untuk menghemat daya dengan tidak menyalakan Air Conditioning (AC). Naas, himbauan tersebut tidak dihiraukan oleh sebagian fakultas. Akibatnya listrik kembali padam pada hari Minggu 1 Desember 2013. Hal ini berlangsung selama tiga hari, Rabu 3 Desember, listrik baru kembali menyala. Usut punya usut, ternyata padam kedua sengaja dilakukan. Ichsan, bagian pelaksana di R u m a h Ta n g g a r e k t o r a t menjelaskan, “pemadaman yang tiga hari belakangan itu untuk pengembalian Trafo itu ternyata gagal. Akhirnya kita sewa Trafo kembali. Harapan kita, AC itu untuk sabar jangan dinyalakan dulu. Kita dari rektorat sudah menghimbau ke fakultas, dan kita nggak akan menghimbau selamanya. Kita udah menghimbau sekali-dua kali tapi kalau dilanggar ya gimana?,” terang Ichsan. Kronologi penggunaan daya UIN Suka yang Overload telah berlangsung sejak tahun 2011. Awal kenaikan daya terjadi ketika Pusat Teknologi dan Informasi Pangkalan Data (PTIPD) melakukan perbaikan server untuk fasilitas akademik dan birokrasi. “Dalam rangka
memenuhi SIA itu, maka PKSI (sekarang PTIPD, red) mensyaratkan harus membangun sistem seperti ini. Ternyata ketika dipenuhi menambahkan beban listrik 200 KVA. Kalau tidak ada itu mungkin belum ada problem. Puncaknya itu gitu lho (overload),” jelas Ali Sodiq. Persoalan ini sebenarnya tengah coba diatasi oleh pihak Rumah Tangga. Pada tanggal 24 Sepetember 2013 lalu, UIN Suka mengajukan penambahan daya ke P L N s e b e s a r 1 7 0 0 K VA . Penambahan daya ditargetkan selasai pada bulan Desember 2013. Tapi persoalan lain muncul. Pihak UIN Suka ternyata tidak bisa membayar biaya pada PLN, karena uang untuk membayar penambahan daya harus masuk Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga (RKAKL) terlebih dulu. Lonjakan penggunaan daya berbanding lurus dengan nominal biaya yang dibayarkan UIN Suka ke PLN. Dulu sebelum tahun 2011 tanggungan UIN Suka sekitar Rp 150 juta/bulan. Namun pada 2012, biaya ini melonjak jadi sekitar Rp 250 juta/bulan. Dan nominal terakhir berada pada kisaran Rp 300 juta/bulan. Dari angka terlihat kenaikan konsumsi daya yang berlipat, sedangkan daya Trafo UIN Suka belum bertambah sejak 2011. Menurut Ali Shodiq, pengaruh pertambahan daya paling besar terletak pada penggunaan AC yang tanpa izin. “Dulu itu
UNIVERSITARIA
Sabtu, 11 Januari 2014
konsepnya ruang kelas ndak boleh pakai AC, sekarang lantai 4 hampir semua pakai AC, besar sekali pengaruhnya.” Daya yang dihabiskan satu AC hidup adalah 700 Watt. Bisa dibayangkan beban daya yang dihabiskan AC yang terdapat di hampir seluruh ruangan lantai 4 kampus UIN Suka. S e l a i n Tr a f o , p e n o p a n g penggunaan daya UIN Suka juga menggunakan Generator Set (Genset). Genset digunakan ketika instalasi listrik dari PLN mati. Meski begitu, Genset UIN Suka tak lepas dari masalah dalam penggunaan dan perawatannya. Saat ini UIN Suka memiliki delapan Genset yang tersebar di kampus sebelah Barat dan Timur, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) dan Hotel University. Di kampus Barat, Genset terletak di depan PTIPD dengan daya 650 KVA. Genset lain di Fakultas Syariah dan Hukum (350 KVA), Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (10 KVA) dan rektorat (20 KVA). Dua Genset berada di Barat MP, masingmasing 200 KVA, FEBI 350 KVA dan Hotel UIN 200 KVA. Total daya Genset yang ada di UIN Suka sekitar 1630 KVA. Tapi di lapangan statistik tersebut tak bisa dipenuhi, sebab kemampuan Genset biasanya hanya 80%. Terlebih semua Genset bekerja secara manual, karena jika Genset diprogram otomatis akan menambah konsumsi solar. Penyediaan solar untuk konsumsi Genset tak luput dari masalah. Persoalan terletak pada p e m b e l i a n s o l a r. H a l i n i menyalahi undang-undang bila membeli solar dengan jerigen di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). “Kasus awalnya kan kita beli di pom bensin Sagan
pakai jeligen, kita di kuntit polisi, kita masuk kesini (kampus). “A n d a men y alah i u n d an g undang.” Pom bensin dihukum nggak boleh jualan solar selama 2 bulan, UIN nggak boleh beli,” kenang Ali Shodiq. Hukuman tersebut disiasati pihak Rumah Tangga dengan menggunakan bus untuk membeli solar, tangki bahan bakar diisi penuh. Hal ini ternyata belum bisa menyelesaikan masalah, karena kebutuhan solar untuk Genset cukup besar. Konsumsi Genset PTIPD misalnya, dalam satu jam ia bisa menyedot solar sampai 100 liter. Sedang yang di MP sekitar 70 liter/jam. Karena itu, Genset dioperasikan secara manual untuk menghemat solar. Kebutuhan Genset selain solar juga pada perawatan. Sejauh ini perawatan Genset UIN Suka berjalan baik. Persoalan muncul justru dalam perawatan Trafo yang terlampau mahal, hingga kisaran Rp 150 juta. Untukl itu Rumah Tangga rektorat menargetkan, “Tahun ini harus ada perawatan. Biaya merawat itu mahal. Trafo itu kalo dirawat nggak akan jeblok” jelas Ali Sodiq. Ichsan mengatakan bahwa kejadian beberapa pekan lalu disebabkan oleh overload pada penggunaan daya listrik sehingga Trafo mengalami masalah. “Kemampuan alat itu ada toleransinya. Mati yang sampek lama itu seperti itu, jadi Trafo kita terutama yang di timur jalan sampek batas titik lumernya pas hari naas itu. Jadi sebenarnya sudah Overload, cuma pas hari itu sudah tidak tertolong lagi,” jelasnya. Pengembalian sistem sedang digarap bagian Rumah Tangga, kira-kira pertengahan Januari
akan selesai. “Saya lagi bekerja mengembalikan sistem, intine UIN mau pakek Trafo sendiri, syukur-syukur nambah daya kita sudah di setujui” paparya saat di temui ARENA di PAU. Akibat kejadian itu kegiatan perkuliahan dan kegiatan mahasiswa terganggu. Seperti kegiatan Pekan Olahraga Kampus (POK) yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahaiswa (UKM) Olah Raga. Di GOR UIN Suka pada November-Desember lalu. Final futsal yang harus dihelat pada 1 Desember terpaksa gagal karena listrik mati. Nasihuddin, ketua UKM Olahraga menceritakan, “Minggu jam 2 siang listrik mati. Kita tunggu sampek malam Senin ternyata listrik nggak nyala-nyala. Hari Senin listrik masih mati, tapi teman-teman pinjem Genset, cuma nyalanya di dua pertandingan itu. Jadi waktu yg seharusnya tanggal 1 udah selesai, akhirnya tanggal 2 baru selesai”. Kendala juga dirasakan mahasiswa yang ingin mengakses perpustakaan UIN Suka. Diceritakan Maulida mahasiswi Psikologi semester tiga, ia kesulitan mencari buku di perpustakaan tanpa Online Public Access (OPAC). Bahkan tidak dapat meminjam buku karena listrik mati. “OPAC nggak ada, mau pinjem buku nggak boleh, foto kopi gak boleh,” ungkapnya. Ia juga mengeluhkan perkuliahan yang tanpa AC dan LCD. Menurutnya itu bukan suatu keadaan yang kondusif untuk kuliah. Ada juga penundaan ujian. Ujian Information and Comunication Technology (ICT) yang seharusnya diselenggarakan pada tanggal 3 Desember diundur menjadi tanggal 10.[]
www.lpmarena.com
13
ARENA jepret
CORETAN DINDING
SASTRA
Sabtu, 11 Januari 2014
Sebuah Cerpen
Sepotong Cerita Cinta Terakhir Oleh Zainuddin Muza*
U
ntukmu Ayya, akan kukirimkan sepotong cerita cinta kita—dengan
seluk-beluk kisah yang berupa rindu, sendu, atau air mata kecil, sebab kadang salah paham. Dengan ini, aku akan memberikan sepotong senja padamu, yang ku saksikan dengan desir angin, debur ombak, dan cahaya keemasan. Ayya tercinta, Karena aku seorang penjaja cerita cinta, maka akan selalu ada kisah yang ingin ku katakan padamu. Cerita tentangmu, tentangku, dan tentang kita. Pada cerita pertama ini, akan ku ceritakan jalan cinta kita yang pelik. Kamu harus tahu, cerita hidup kita memang beda. Beda, karena kita selalu mencari masalah dalam perbedaan. Bosan tahu! Sampai kapan kita harus bertahan dan mengklaim diri lebih sempurna. Itu egois! Perbedaan kita hanya latar belakang keluarga. Keluarga itu lah yang menjadikan kita harus menjalani perbedaan. Maaf, aku mengakui diri ini sangat bodoh, yang selalu ikut perkataan orang tua. Mungkin saja manusia seperti kita ini memang dibesarkan seperti budak. Selalu terkekang, dan sebenarnya kita tak mau dikekang. Muak aku dengan sikap orang tua! Kenapa sih, kita harus mengikuti perkataan mereka? Siapa sih, mereka? Manusia seperti kita ini kan cuma titipan Tuhan. Kamu harus tahu, bahwa titipan itu bukan dimiliki, tetapi dijaga. Namun, mereka menuntut agar kita menjadi penerusnya, yang jelas-jelas belum tahu benar salahnya. Maaf, sampai saat ini aku juga belum tahu apa itu kebenaran. Aku hanya mengatakan benar, tapi bukan kebenaran itu sendiri. Maka, tak mungkin aku menyalahkanmu. Karena kamu adalah bagian dari orang tuamu dan selalu saja memakan setiap ucapan layaknya sebuah emas. Kalau aku punya pendapat sendiri, yang bertujuan menengahi perbedaan cerita hidup kita, salahkah, Ayya? Dosakah aku? Bagaimana nasibku? Apakah aku tidak akan pernah memilikimu? Cinta ini benar-benar pelik! Sungguh! Ya, karena orang tua kita yang tak pernah memberi kebebasan untuk memilih. Kamu harus tahu, bahwa orang tua kita itu memang egois! Mungkin sama pula dengan orang tua di luar sana. Mereka telah merampas hak kita sebagai manusia. Satu contoh saja, dalam ibadah. Kamu yang selalu berkata ritual keagamaanku kuno. Ketinggalan zaman. Percaya mistik: arwah penunggu pohon keramat, roh orang mati yang bergentayangan, sampai selamatan pun kamu kritiki. Muak aku mendengarnya, Ayya! “Maumu apa sih?” sempat aku berpikir. Bid'ah, menurutmu. Terlalu kotor ritual keagamaanku,
karena berbau mistik. Terlalu, sok pribumi. Tentang ibadah keseharianku, selalu saja kamu kritiki. Ya, aku hanya tersenyum. Tersenyum karena aku tidak tahu arti kebenaran itu sendiri. Aku buta kebenaran. Kebenaran yang seperti apa? Sempat aku pun demikian. Tapi sudahlah, aku tak mau menyebut siapa yang benar di antara ritual kita itu. Sia-sia saja, Ayya! Ayya yang cantik, bibirmu yang seperti dilukis, mata yang memancarkan cahaya cinta. Kali ini, aku akan bercerita tentang posisi kita yang terpisah. Sambil duduk di atas kursi, yang bahannya dari anyaman rotan ini, aku akan mengulang cerita nyataku. Aku akan kembali memposisikan sebagai seorang penjaja cerita cintamu—cinta kita, yang begitu melelahkan. Memang hanya laut. Hanya kekosongan di hadapanku. Ketika bibirku mencoba menyentuh cintamu, ah! Terasa asin! Anganku mulai hambar, tentangmu. Aku seperti tidak dapat apa-apa darimu yang jauh di seberang sana. Bahkan, aku tak tahu rasa cinta ini seperti apa. Manis atau pahit, aku tak menangkap rasa apapun. Apa mungkin cinta kita sudah berkarat? Bagaimana mungkin hanya terlalu angkuh mempertahankan perbedaan dan sebuah jarak akan membuat cinta kita berkarat? Ketahuilah, aku masih gundah di tengah hamparan pasir yang luas ini. Suasana semakin menggelap. Cahaya senja pun mulai terlihat jingga. Daun cemara yang dihembus angin di atasku, seakan sedang menyapa di antara kesunyian ini. Aku benar-benar merasakan pahitnya sepotong sunyi ini, tanpamu. Aku rindu kamu. Kita masih bisa bersama kan? Akan tetapi, aku mengatakan semua ini semacam takdir. Karena kita memang tak pernah merasa terpisah. 'Jauh di mata, dekat di hati' mungkin tepat sekali bagi keadaan kita ini. Kalau pun aku mengatakan semua ini takdir, sejujurnya tidak berani. Aku hanya mengatakan semacam takdir, bukan takdir itu sendiri, karena betapa rumit menemukan jawaban pasti mengenai takdir. Jika pada hasilnya memang takdir, tapi aku tidak menjamin cinta kita akan abadi. Tapi Ayya, sempat aku berpikir dengan tersenyum. Aku menerka-nerka pertemuan kita seperti permainan. Kita layaknya seperti manusia biasa yang saling bertemu dan dipertemukan. Akan tetapi, di antara setiap pertemuan itu, hanya kamu yang aku temukan beda. Tiba-tiba saja kita saling jatuh cinta sepenuh hati, pada pandangan pertama. Lalu, cinta kita mengalir dengan menebar pesona, selalu membara, dan saling menyayangi. Aku ingat dan takkan lupa, mengenai kita yang selalu menimbulkan pertanyaan unik. Mungkin kamu juga sepertiku, menanyakan hal demikian meski sampai saat ini. “Cintakah kamu padaku?” “Apakah kamu tetap mencintaiku?”
www.lpmarena.com
15
SASTRA
Sabtu, 11 Januari 2014
Sebuah Cerpen
SASTRA
Sebuah Puisi
Sebagai seorang penjaja cerita cinta yang tahu banyak jalan hidup, demikian aku selalu berpikir tentang kamu, Ayya. Sepertinya cinta kita masih diuji. Ujian itu datang sekedar mengetahui kekuatan cinta yang kita bangun. Cinta yang telah banyak menghabiskan materi, tenaga, sampai emosi meluap-luap, membuat kita masih mampu bertahan. Namun benarkah usaha kita masih mampu menyatu kembali, jika suatu saat akan berpisah? Sejujurnya kepalaku tertunduk malu pada senja—dengan cahaya keemasan yang mulai redup. Anganku melayang dengan seribu pertanyaan tentang aku, kamu, dan keberadaan kita. Posisi kita yang telah berbeda. Aku tetap menjadi aku yang dulu. Kamu selamanya akan menjadi kamu yang takkan berubah. Apa mungkin perpisahan yang sebentar ini akan mampu mengubur perbedaan kita? Mungkinkah kekuatan besar cinta akan menjadi penengah perbedaan itu, Ayya? Aku diam. Aku tidak tahu kalau cinta kita ini, hanya cinta yang biasa-biasa saja. Sederhana. Cinta yang bukan bermata harta kekayaan. Cinta yang bukanlah bisa berupa kursi kekuasaan. Cinta yang bukan pula berbentuk nafsu birahi, karena egois masing-masing kita. Maka, terimalah sepotong cerita cinta terakhir ini, khusus buatmu Ayya, dari seseorang yang tak lama lagi akan menemuimu. Dengan demikian, aku kirimkan sepotong cerita cinta terakhir ini sebagai bukti kerinduanku padamu, Ayya. Aku akan berhenti menjadi seorang penjaja cerita cintamu dari tempat yang sunyi ini. Tempat yang hanya ada hamparan pasir, desir angin, debur ombak, dan langit yang mulai menggelap. Kemudian terganti oleh sinar bintang—yang
sebentar lagi, seperti itulah cerita cinta kita. Yogyakarta, 06 Januari 2014 *pegiat sastra di Garawiksa Institute, mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sajak-Sajak Lu'li Baihaqi*
namaku darah namaku darah dulu saat kau masih ada aku tak pernah berhenti bermain mengelilingi organ tubuhmu sekarang aku tak bisa bermain lagi karna jantungku kau bawa pergi.. Sarkem, 23 desember 2013
entah alasan apa entah alasan apa orang-orang menyebutku penjahat sebelum dipenggal aku ingin mencium wajahku yang bonyok dan berlumur darah sebelum dibakar aku ingin memeluk tubuhku yang renyuh dan penuh luka aku mencintai tubuhku seperti aku mencintai jiwaku Sarkem, 5 desember 2013
puisi kekasihku puisi kekasihku adalah roh semesta tempat segala memohon makna puisi kekasihku adalah altar suci, berajut sutra tempat biru langit dan laut bercumbu puisi kekasihku adalah jarak kosong adara adaku dan adamu Sarkem, 11 desember 2013 *Penulis ditemukan mengapung saat bayi di pantai pulau kecil, timur Madura. Ia terkejut melihat cita-citanya sendiri: Pemahat Matahari. Sajaksajaknya takut diterbitkan sehingga harus dicuri. Aktif di dunianya sendiri bersama kekasihnya, N. Tapi, diam-diam ia kuliah di FA, Ushuludin.
16
SLiLiT ARENA
Sabtu, 11 Januari 2014
PUSTAKA
Sejarah Dalam Lukisan Berdarah Oleh Chusnul Chotimah*
B
agi kalangan mahasiswa, siapa yang tak pernah pernah menjabat sebagai pimpinan redaksi sebuah mendengar tragedi '98? Bahkan sekedar majalah kerohanian di kampus. menyebutkan saja hati bergidik ngeri dibuatnya. Mereka bertemu di sebuah universitas negeri di Jawa Sebuah sejarah sekaligus tragedi di negeri ini -dengan Timur. Perjumpaan pertama terjadi pada saat Ospek, anyir darah para pahlawan yang terlupakan dan kemudian berlanjut menjadi hubungan asmara. Bentar dilupakan. juga berkecimpung dalam dunia politik kampus. Kondisi Barangkali penulis novel ini, Sihar Ramses Simatupang pada masa itu aktivis kampus bukan hanya hendak mengingatkan betapa kita pernah memiliki para berkecimpung dalam lingkungan kampus, namun lebih pejuang yang dengan “kepolosannya� rela luas mereka berbaur langsung dengan masyarakat sipil. mengorbankan jiwa dan raga. Darah juang yang kini Bentar menjadi sosok pejuang pergerakan yang hanya sebatas nyanyian, sebuah romantisme perjuangan. bertugas mengakomodir massa dari kalangan “Rupanya negeri kita memang tak mengharapkan masyarakat dalam perjuangan menggulingkan rezim perubahan, ibu. Pemerintah, pejabat parlemen, dan Orde Baru. Ia tak pernah membayangkan jika kemudian pejabat pengadilan di negeri kita terlalu rakus dan keterlibatannya tersebut menjadi jalan menuju bebal,� kesah Bentar. kematiannya sendiri. Percakapan Bentar Armadia dengan ibunya Segmen kedua kehidupan Nabila berawal di atas rasanya perlu kita dari agenda liburannya di pulau seribu dengar dan garis bawahi. bersama komunitas pelukis yang Di sana tersirat kondisi beranggotakan ibu rumah tangga. Dari yang memicu tragedi dan sana ia mulai mengalami hal-hal sekaligus membangun janggal, tentang pertemuannya tugu sejarah itu. Negeri dengan Bentar, mantan kekasih yang yang waktu itu telah mati. Pertemuan yang digenggam para baginya nyata, meski sebenarnya penguasa yang rakus hanya mimpi. dan bebal akan sejarah Berkali-kali pertemuan itu catatan sejarah. Mereka terjadi dan menghantui. yang tak ubahnya tikus-tikus Pertemuan yang baginya yang menggerogoti simpanan menyenangkan padi di lumbung para petani. sekaligus menyakitkan. Kondisi yang kian tak menentu Semua mimpi-mimpi itu lah pemicu tragedi '98. Di tengah Nabila itu seolah tragedi tersebut muncul tokoh yang membentuk serangkaian ada dalam novel ini. Ia menceritakan kronologi penculikan dan tentang sepasang kekasih yang terpisah penyiksaan. Bentar beserta kawan-kawan karena tragedi 98, Bentar Armadia sesama aktivis yang memperoleh siksaan dengan Nabila Pasha. Kisah ini hanya satu Misteri Lukisan Nabila dan pada akhirnya meregang nyawa. dari sekian tumpuk kisah yang menjadi Semua kisah itu nampak jelas dan runtut tumbal runtuhnya rezim Orde Baru. Penulis dalam mimpi Nabila. Sihar Ramses Simatupang Nabila Pasha, adalah sosok wanita Mimpinya seolah merekam kronologi Penerbit yang memiliki ketertarikan di dunia lukis. penculikan kekasihnya dahulu. Dari mimpi Nuansa Cendikia Sedang Bentar Armadia, kekasih Nabila, itu Nabila mencari bukti-bukti. Pada Cetakan adalah seorang aktivis gerakan awalnya ia ragu, namun semakin ia tak 2012, November mahasiswa. Ia tak hanya pandai berorasi, Tebal percaya mimpi itu semakin menghantui 188 halaman namun juga kritis dalam tulisan. dan memaksanya untuk terus mencari Sebelumnya ia seorang jurnalis dan jawaban. Keterlibatan suaminya dalam
www.lpmarena.com
| 17
PUSTAKA mimpi juga semakin memupuk kebimbangannya. Pelan tapi pasti, akhirnya Nabila berhasil membongkar kedok Feri Arman, lelaki yang selama lima tahun menjadi teman seranjang, suami yang memberinya segala fasilitas kehidupan nyaman. Juga adalah lelaki yang ikut terlibat dalam pembantaian para pejuang, suaminya adalah pembunuh kekasihnya. Setelah itu, Nabila tiba-tiba beralih gaya lukisannya menjadi Surealis. Hal ini mengganggu bagi Feri, ketenangannya terusik karena baginya lukisan-lukisan itu menyeramkan. Dalam lukisan tersebut, Nabila seolah menghadirkan kembali sosok Bentar sebagai salah satu dari sekian korban pembantaian yang Feri lakukan di masa lalu. Takut dan trauma selalu menghantuinya. Dan dalam puncak ketakutan dan teror traumatik itulah terjadi peristiwa yang seolah memutar ulang waktu dan kejadian. Meski tipis novel ini terkandung sebuah keberanian. Keberanian untuk kembali menatap kesuraman dan memori masa lalu. Kita diajak kembali untuk merenungkan peristiwa sejarah yang juga kronologi tragedi. Menatap secara tegar dan sadar kepada suatu titik masa dimana nyawa tak lagi berharga. Patut disayangkan, penulis kurang berani dalam memframing cerita. Penulis menempatkan tokoh utama sebagai korban, hal ini sangat mudah ditebak, begitu juga endingnya. Berbeda jika penokohan diambil dari sudut pandang pinggiran, sebagai mahasiswa biasa yang kebetulan tidak sengaja terlibat sebagai saksi sejarah misalnya. Sah-sah saja penulis menempatkan tokoh dalam titik central, sebagaimana titik central tragedi '98 adalah jatuhnya para korban. Hanya saja baju yang digunakan penulis untuk membalut tokoh terlampau tipis-untuk tidak mengatakan telanjang. Begitu pun dengan tema cinta yang dipilih penulis. Dalam menggambarkan aktivis '98 sekaligus wartawan, background novel yang mengambil setting waktu tragedi terlampau besar untuk membingkai cerita dalam 188 halaman. Sebenarnya masih banyak hal yang seharusnya bisa di eksplor untuk menghadirkan kisah yang lebih kaya dan total, sehingga novel ini tidak setengah-setengah dalam pembingkaian. Sebagaimana sifat pengarang pada umumnya –yang menjadikan novel ini mudah ditebak- Sihar Ramses Simatupang juga mencoba memancing simpati dari pembaca dengan berlindung dibalik tokoh yang diberi perlindungan illahi, semacam keajaiban. Meski dalam konsep menampilkan tragedi, mempertemukan kedua tokoh di alam yang berbeda bukannya simpati diperoleh dari pembaca, alih-alih terkesan seperti dongeng kanak-kanak. [] *Penulis adalah mahasiswa Perbandingan Agama (PA) angkatan 2011, Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam
18
SLiLiT ARENA
Sabtu, 11 Januari 2014
OPINI
Sabtu, 11 Januari 2014
Wajah Buruk Pendidikan Oleh Achmad Mi'yarul Ilmi*
S
istem Ujian Nasional (UN) sebagai bahan evaluasi pendidikan dan tolak ukur pembelajaran di Indonesia yang di selenggarakan oleh kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) selama beberapa tahun tidak menggambarkan tujuan yang diharapkan. Tahun lalu, penundaan pelaksanaan ujian sebanyak dua kali di tujuh belas provinsi tampak sebagai bentuk representasi nyata wajah buruk pendidikan di Indonesia. Keterlambatan percetakan dalam mencetak lembar soal dan jawaban ujian adalah salah satu indikasi. Akibatnya, penundaan pelaksanaan Ujian Nasional di tujuh belas provinsi. Keterlambatan distribusi naskah membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh sampai harus meminta maaf kepada publik dan berucap bahwa dirinya lah orang yang salah atas kacau-balaunya pelaksanaan UN tingkat SMA tahun lalu. Kesalahan soal juga terjadi di berbagai daerah pada UN tahun lalu. Salah satunya, soal ujian yang seharusnya matematika tertukar dengan soal ujian bahasa indonesia. Hal ini juga menunjukkan petanda wajah buruk pendidikan Indonesia karena ketidaksiapan dalam melaksanakan UN. Beberapa daerah akhirnya mengambil kebijakan sendiri. Di Poso dan Sulawesi Tengah, diputuskan untuk menfotokopi kekurangan distribusi dengan naskah yang ada. Banyak sejumlah tokoh dan Organisasi Masyarakat (Ormas) di Indonesia berpendapat bahwa UN sudah tidak layak dipraktikkan sebagai barometer pendidikan di Indonesia. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan bahwa hasil dan dampak UN jauh dari citacita dan juga banyak menyedot anggaran dalam pelaksanaannya. Rakyat juga memandang UN tidak berfungsi sebagai hasil belajar siswa yang sesungguhnya. UN hanya dapat mengukur hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran, tidak dapat mengukur input dan proses pendidikan. Dilihat dari sudut pandang psikologi pendidikan, evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh Kemendikbud hanya melambangkan tiga fungsi evaluasi belajar murid. Pertama, fungsi psikologis, yaitu agar siswa memperoleh kepastian tentang status di dalam kelas. Di samping itu, bagi guru merupakan suatu pertanggungjawaban sampai seberapa jauh usaha mengajarnya dikuasai oleh siswasiswanya.
Kedua, fungsi didaktis, bagi peserta didik, keberhasilan maupun kegagalan belajar akan berpengaruh besar pada usaha-usaha berikutnya. Sedang bagi pendidik, penilaian hasil belajar dapat menunjukkan keberhasilan atau kegagalan mengajarnya termasuk di dalamnya juga metode mengajar yang digunakan. Ketiga, fungsi administratif, dengan adanya penilaian bentuk rapor akan dapat dipenuhi sebagai fungsi administratif. Laporan kepada orang tua siswa, juga merupakan sebagai data kenaikan kelas maupun melamar pekerjaan. Dari data tersebut kemudian dapat berfungsi sebagai status siswa dalam kelasnya dan juga sebagai acuan hasil usaha yang dilakukan oleh lembaga pendidikan. UN hanya mampu mengukur aspek kognitif, tidak dapat mengukur sikap/afeksi dan psikomotorik. UN juga hanya digelar sekali dalam setahun pada kalender akademik dengan tes tulis. Banyak juga fenomena yang terjadi saat UN berlangsung. Mulai dari guru yang memberikan jawaban kepada muridnya dan perilaku mencontek yang dilakukan siswa tanpa adanya teguran dari pengawas yang datang dari sekolah lain. Perilaku pendidikan seperti yang digambarkan negeri ini menyebabkan keganjalan dalam hasil dan prosesnya. Banyak siswa yang rajin, tapi dalam mengerjakan soal UN hasilnya kurang memuaskan karena sebab temporal. Adapun siswa yang pemalas, ketika UN mendapatkan hasil yang memuaskan karena sebab temporal juga. Hal tersebut juga disebabkan problem penting lainnya, yakni peningkatan standar kelulusan yang disamakan sebagai peningkatan kualitas pendidikan. Standar kelulusan yang semula 3,1 (2003) menjadi 4,01 (2004), 4,25 (2005), 4,51 (2006), 5,00 (2007), 5,5 (2008) dan seterusnya. Bisa jadi itu menimbulkan ketidaklulusan yang tinggi. Kurikulum nasional yang berlaku saat ini yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK begitu dekat kaitannya dengan program pendidikan UNICEF dan UNESCO serta Departeman Pendidikan Nasinal (Depdiknas) tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Di dalamnya juga terdapat pelaksanaan evaluasi. Hak guru melalui mekanisme sistem organisasi sekolah juga mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menentukan kelulusan siswa dalam kaidah MBS. Menteri Pendidikan Nasional, Abdul Malik Fajar dalam harian Kompas edisi 14 April 2004 mengatakan bahwa
www.lpmarena.com
19
OPINI UN yang dahulu bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) akan dihapus jika sekolah mampu dan bisa dipercaya sesuai kaidah MBS. Sangat terasa UN belum bisa menjadi instrumen pendidikan dalam perjalanannya. UN di Indonesia saat ini hanya menjadi tradisi lama yang harus dijalankan tanpa mempertimbangkan sinkronisasi dengan teori pendidikan konstruktivistik yang dianut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Harus kita sadari, kurikulum 2013 yang akan dijalankan Kemendikbud pun beraliran konstruktivistik. Kita tunggu saja praktik KBK 2013 apakah dapat merealisasikan model ujian yang memenuhi kaidah humanistik. Jika tidak, UN akan terus menjadi sebuah tradisi tahunan dalam pendidikan dan terus menjadi kontroversi yang berkelanjutan. Tanggung jawab utama Kemendibub adalah untuk mencerdaskan bangsa. Tapi jika terjadi kemunafikan dalam perjalanan standarisasi kelulusan siswa, lebih baik kembalikan saja penentuan
Sabtu, 11 Januari 2014
kelulusan siswa kepada otonomi dewan guru di sekolah masing-masing. Pada awalnya, UN sebagai mobilitas dicita-citakan untukmelahirkan bangsa yang berprestasi. Tetapi cita-cita itu harus surut dalam praksisnya. UN hanya menjadi wadah perlombaan merebut kemenangan. Kecurangan bukanlah perilaku yang tabu dalam UN untuk menjadi “Pemenang� dan menjaga nama baik sekolah. Mewujudkan mutu pendidikan yang dikendalikan oleh pemerintah dapat dijalankan dengan cara yang lain. Bukan dengan UN yang selalu memunculkan problem yang tak kunjung terselesaikan. Jika tidak, pada akhirnya evaluasi pembelajaran berupa UN yang masih dipertahankan oleh Kemendikbud hanya akan menjadi rahim yang melahirkan karut-marut dunia pendidikan di negri ini. Dan terbukti bahwa UN hanya menjadi etalase kepentingan.[] *Penulis adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEM-J) Psikologi. Mahasiswa angkatan 2011 Fakultas Sosial dan Humaniora.
grongg
www.lpmarena.com
20
SLiLiT ARENA
KANCAH
Sabtu, 11 Januari 2014
Mahasiswa; Agent Without Change Oleh Ahmad Taufiq*
D
i Indonesia, sudah terlalu banyak literatur yang mengklaim mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Berjubel fakta disodorkan untuk dijadikan pembenar atas klaim itu. Seperti pergerakan-pergerakan di zaman Hindia-Belanda, penggulingan Orde Lama, hingga reformasi 1998 dengan jatuhnya Soeharto. Disebutkan bahwa mahasiswa-lah yang jadi peran sentralnya. Lantas istilah mahasiswa sebagai agent of change tadi membuat kepala mahasiswa gembung. Bangga bahwa dirinya diasosiasikan dengan sesuatu yang heroik. Juga kemudian istilah itu jadi patokan ideal bahwa mahasiswa harus begitu. Saya, dalam batas-batas tertentu tidak menolak klaim-klaim diatas. Namun, jika yang dimaksud perubahan adalah suatu revolusi yang berujung pada semakin sejahteranya rakyat, meratanya distribusi kekayaan dan keadilan, saya mendapati fakta bahwa sesungguhnya mahasiswa tidak punya banyak peran—untuk tidak mengatakan tidak punya peran sama sekali. Mereka hanya sebatas melakukan aktivisme politik, sehingga hanya mendorong terjadinya suksesi kepemimpinan belaka tanpa diiringi perbaikan kualitas masyarakat atau kesejahteraan secara umum. Dalam sejarah Indonesia, perubahan sosial-politik, selalu saja terjadi sebab faktor ekonomi. Lantas protes masyarakat merebak seiring kebutuhan mencekik. Dan akhir-akhirnya rezim dijatuhkan. Suksesi kepemimpinan terjadi. Tapi setelahnya, rakyat kembali jatuh dalam genggaman penguasa baru yang sering tidak berbeda dari sebelumnya. Kita bisa menengok sebentar ke belakang, penghujung Orde Baru Indonesia dihantam krisis ekonomi, lalu aksi protes dimana-mana—dan mahasiswa adalah memang elemen utama—hingga Reformasi 1998 bergulir. Tapi kini, enam belas tahun setelahnya, harapanharapan Reformasi melayang entah kemana. Kita bisa lihat kesenjangan kaya-miskin kian lebar. Sumber Daya Alam makin banyak yang dikuasai asing. Gempuran pasar global tak mampu kita hadapi. Kesehatan dan pendidikan masih mahal, dan seterusnya.
Sebaran Peran Mahasiswa Secara kasar, ada dua jalur perjuangan mahasiswa, yaitu parlementer dan ekstra parlementer. Jalur
parlementer lazimnya dilalui dengan masuk ranah politik praktis dengan aktif dalam partai politik. Sementara jalur ekstra parlementer lebih menekankan pada perjuangan lewat demonstrasi di jalanan, terjun langsung di tengah masyarakat dengan melakukan advokasi, pendampingan, dan seterusnya. Keduanya seringkali tumpang tindih dalam berperan sebagai political force, atau moral force. Namun, apakah mahasiswa harus mengikuti politik praktis atau tidak, bukan itu yang terpenting. Jalur ekstra parlementer tidak punya pengaruh yang signifikan jika hanya sebatas teriak-teriak di jalanan, atau membikin selebaran kritikan atau himbauan kepadan pemerintah. Toh yang memutuskan juga mereka yang duduk di pemerintahan. Lalu, dalam suasana damai seperti saat ini, jalur parlementer lebih menjanjikan perubahan. Apalagi kebijakan-kebijakan yang ada selalu saja diatur lewat perundang-undangan, dan itu tentu partai politik lah yang punya banyak andil. Sehingga, mahasiswa yang membaca peluang ini tentu akan lebih suka memasuki celah parlementer dengan harapan mempu menjadi agen perubahan dengan jalur damai, atau konstitusional. Tapi dua jalur di atas sama-sama sia-sia jika negara tetap tunduk pada kemauan pasar bebas yang digawangi oleh WTO, IMF, World Bank. Kesepakatan-kesepakatan internasional yang mengabdi pada kapital dengan pasar bebasnya itulah yang dijadikan patokan dalam menyusun perundang-undangan. Makanya, apapun bentuk undang-undangnya, hasilnya bakal sama saja. Misalnya, bukankah perundang-undangan yang disusun setelah reformasi ini tak lebih dari penerapan dari Letter of Intent (LoI) atau kesepakatan-kesepakahan internasional yang diratifikasi?
What is to be done? Melihat kenyataan di atas, sesungguhnya mahasiswa masih punya harapan untuk mengambil peran yang tidak sia-sia. Ada beberapa hal yang sangat penting dilakukan mahasiswa jika masih ingin menjadi pelopor perubahan. Pertama, mereka harus menyadari bahwa dasar dari segala perubahan itu faktor ekonomi. Selama sistem perekonomian kita masih sama dengan sebelumnya, perubahan apapun tidak punya arti selain menambah variasi dari sekian rentetan sejarah penindasan. Artinya, revolusi memang harus menyentuh dan merombak
www.lpmarena.com
21
KANCAH
sektor ini. Misalnya, faktor penyebab atau pendukung lebarnya kesenjangan sosial adalah uang, maka ide menghapus peredaran uang dari muka bumi bisa saja kita terapkan. Kedua, mahasiswa harus sadar bahwa dirinya juga merupakan bagian dari lingkaran sistem pendidikan yang saat ini mengabdi pada kemauan pasar. Dengan begitu, perjuangan yang mula-mula dilakukan dengan melakukan konsolidasi antar sesama untuk saling sadarmenyadarkan bahwa menjadi mahasiswa tidak bisa lepas dari masyarakat pasar. Sehingga mau tidak mau, mahasiswa harus terjun bersama. Bukan sebagai intelektual yang tinggal di atas menara gading, yang hanya sewaktu-waktu saja turun ke bumi ketika buminya sedang becek berlumur darah. Ketiga, perjuangan itu tidak bisa dilakukan secara parsial, lokal, atau nasional belaka. Tapi mau tak mau harus bersifat internasional. Tak mengapa saya kira jika di sini nasionalisme sedikit kita kesampingkan. Sebab sistem pasar bebas berkait-erat dengan globalisasi yang menerobos batas-batas kenegaraan dan bergerak dengan mensubordinasi sistem pemerintahan negaranegara. Maksudnya, negara seperti Indonesia sudah tidak lagi memiliki kedaulatan untuk menentukan jalannya sendiri seperti tertera dalam pembukaan UUD 45, dimana ia didirikan untuk melawan penjajahan dunia, tapi kini negara malah dijalankan oleh sistem ekonomi global untuk menjajah rakyatnya sendiri. Keempat, tidak apa-apa jika kemudian mahasiswa harus menggalang massa untuk membentuk negara
Sabtu, 11 Januari 2014
tersendiri jika memang negara Indonesia sudah tak lagi bisa diharapkan. NKRI harga mati itu bullshit. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Bukankah dulu kerajaan-kerajaan juga bertumbangan, dengan memunculkan kerajaankerajaan baru, lalu terbentuk republik seperti saat ini? Maksud saya, mahasiswa harus mampu keluar dari kungkukan paham-paham lama yang sudah usang. Kelima, mahasiswa harus tahu, bahwa bukan pada dirinya belaka lah agen perubahan. Harus ada pihakpihak lain jika perubahan itu ingin dilakukan. Terutama rakyat pekerja tentu saja. Sebab di tangan mereka lah alam dan manusia ini membentuk dirinya sepanjang sejarah. Maka, dalam melakukan perubahan, mahasiswa harus menggandeng golongan ini. Mahasiswa bersama rakyat pekerja harus saling belajar dan bekerja sama untuk melawan sistem yang bertumpu pada kapital yang menindas. Boikot, sebagai perlawanan kaum lemah, harus digalakkan. Atau bisa juga dengan menggalakkan koperasi dimana-mana. Terakhir, pemberontakan memang harus segera dilakukan, baik secara diam-diam (silent revolution), atau terang-terangan, bahkan dengan kekerasan bila diperlukan. Tapi bukan sebatas perlawanan sporadis belaka, yang tak punya konsep apa-apa setelah berhasil menggulingkan kekuasaan. Dengan hal di atas, kita tidak hanya melakukan pengulang-ulangan perjuangan yang sia-sia. Revolusi harus kita mulai![] *Penulis adalah mahasiswa Perbandingan Agama (PA), Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam. Kepala Suku Republik Gondes.
TELAH TERBIT
“Potret Suram Kemandirian Petani� Distribusi dan Pemasaran Anik Susiyani +62857 437 952 92
22
SLiLiT ARENA
Pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 ini ada sejumlah 1.825 mahasiswa mengambil cuti akademik. Dari jumlah itu ada sebagian yang tanpa keterangan, karena sistem yang baru secara langsung memberikan status cuti bagi mereka yang tidak melakukan registrasi. Kepala Sub Bagian Informasi Akademik Sunan Kalijaga Suparti menjelaskan, “Sistem sekarang, untuk mahasiswa cuti maupun yang tanpa keterangan untuk tahun ajaran 2013/2014 ini sudah langsung termasukkan data cuti akademik baik yang ada izin maupun yang belum membayar biaya akademik,” tuturnya. Adapun jatah untuk mahasiswa melakukan cuti akademik adalah dua semester. Setelah itu mahasiswa akan diberikan surat teguran dengan status drop out bila tidak melakukan registrasi. Bagi mahasiswa cuti legal maupun yang tanpa keterangan tidak diwajibkan membayar SPP semasa cuti berlangsung. Mereka dapat langsung membayar biaya pendidikan pada semester berikutnya. Dari data yang telah dihimpun Biro Administrasi Akademik Mahasiswa dan Kerjasama (AAKK) diperoleh uraian jumlah mahasiswa cuti sebagai berikut; Fakultas Tarbiyah dan Keguruan sebanyak 683 mahasiswa, Adab dan Ilmu Budaya; 300 , Syariah dan Hukum; 265 , Sains dan Teknologi; 230, Dakwah dan Ilmu Komunikasi; 154, Ilmu Sosial dan Humaniora; 87 dan fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam sebanyak 6 mahasiswa.[]
------------------------------------------------------------------------------Pentas Akhir Tahun Eska
------------------------------------------------------------------------------Basic Camping XXVII Mapalaska Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mahasiswa Pencinta Alam UIN Sunan Kalijaga (Mapalaska) menerima anggota baru. Saat stand pendaftaran anggota ditutup pada 3 januari kemarin telah ada 40 mahasiswa yang mendaftar dan mengikuti serangkaian tes. Yaitu tes wawancara, fisik, dan kesehatan yang bertempat di Gelanggang Mahasiswa UIN Suka pada Sabtu, 4 Januari 2014. “Setelah melewati tes wawancara,fisik, dan kesehatan kami telah menerima 36 mahasiswa yang lolos dari 40 mahasiswa yang mendaftar,” ujar Rian ketua UKM Mapalaska. Setelah seleksi, selanjutnya bagi calon anggota akan mengikuti materi selama 3 hari. Pemberian materi akan diselenggarakan pada 23 Januari, bertempat di kampus UIN Suka. Kemudian dilanjutkan materi lapangan selama lima hari, bertempat di luar kampus UIN Suka. Setelah lulus tes teori dan lapangan, baru mereka akan dilantik menjadi anggota muda. Anggota muda adalah tingkatan sebelum menjadi anggota penuh dan berhak atas kartu tanda anggota Mapalaska. [] Reporter KALEIDOSKOP oleh Hasbullah Syarif
kanggo ngiklan nèng SLiLit. Monggo...
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Eska menyelenggarakan pementasan teater pada 31 Desember 2013. Pentas yang bertepatan dengan malam tahun baru 2014 tersebut mengusung tema “Melawan Dominasi Kapitalisme”. Menampilkan tiga judul drama dengan sutradara berbeda yaitu; Yang Tuhan, Pengantar Ilmu Ekonomi dan “0”. Masing-masing di sutradarai Hilman Fn Sikumbang, Shohifur Ridho Ilahi dan Waris Lakek. Bertempat di Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. “Tema yang diangkat merupakan sindiran terhadap masyarakat yang sudah tak mengenal dirinya sendiri, akibat dominasi material terhadap kesadarannya”, ungkap Zadin Lurah UKM Teater Eska. “Pementasan ini mengambil aliran seni surealis agar dapat menyentuh makna di balik sebuah benda dan diharapkan dapat tersampaikan dengan baik. Berbeda dengan aliran seni realis yang lebih melihat fungsi benda tanpa pengandaian makna yang lebih luas”, jelasnya. Pentas ini merupakan ajang pemanasan bagi Eska sebelum menyelenggarakan produksi inti tahun depan. Acara tersebut dihadiri oleh beragam komunitas yang ada di UIN Suka dan sekitar Yogyakarta. []
sèket èwu
1.825 Mahasiswa Cuti
Mung
KALEIDOSKOP
2012 SELAMAT TAHUN BARU! SEMOGA TAHUN INI KITA SEMUA BERTAMBAH SUKSES
2013
2014
SELAMAT TAHUN BARU! SEMOGA TAHUN INI KITA LANCAR DALAM SEGALA PEKERJAAN
SELAMAT TAHUN BARU! SEMOGA TAHUN INI KITA TETAP DALAM LINDUNGAN-NYA
@LSubarkah
TAHUN BOLEH BARU. MENTAL MASIH LAMA, KEBIASAAN TETAP SAMA, HARAPAN SAJA YANG BEDA... Iklan Layanan Masyarakat ini dipersembahkan oleh LPM Arena