3 minute read

Zona Penumbra

EYES / EYES / EYES / EYES

Country of production Spain, Catalonia Language Subtitles English 37 min, stereo, digital, color B/W, 2019

Advertisement

Secara ironis, filem ini menyejajarkan intepretasi teks akademis tentang cerpen Prometheus, karya Franz Kafka, dengan operasi kamera yang mengamati kerjakerja arkeologis dalam mengarsipkan mimpi-mimpi revolusi pada artefak-artefak keruntuhan suatu rezim. Yakni tentang bagaimana sebuah sistem, kekuasaan, pengetahuan, dan hukuman saling terkait dalam sebuah siklus ganjil di dalam bingkaian sinema. This film juxtaposes a textual academic interpretation of Franz Kafka’s short story, Prometheus, and the operation of a camera that observes archaeological work in archiving dreams of revolution in the artifacts of a collapsed regime. It is about how a system, power, knowledge, and punishment are interrelated in an odd cycle in the cinema frame.

Albert García-Alzórriz (Spain, Catalonia)

Dhanurendra Pandji

Albert García-Alzórriz Guardiola (1992) adalah seniman audiovisual dan arsitek dari Barcelona, Spanyol. Karya-karyanya telah dipamerkan antara lain di 58. Biennale di Venezia 2019, di IVAM 2018 dan di La Puntual 2018. Pada tahun 2017, ia menjadi finalis Penghargaan Internasional Inovasi Budaya CCCB (Barcelona, Spanyol, 2017). Albert García-Alzórriz Guardiola (1992) is an audiovisual artist and architect from Barcelona, Spain. His works have been exhibited, among others, at the 58. Biennale di Venezia 2019, at IVAM 2018 and at La Puntual 2018. In 2017, he was a finalist for the CCCB’s Cultural Innovation International Prize (Barcelona, SP, 2017).

KOMPETISI INTERNASIONAL 05

Zona Penumbra

Anggraeni Widhiasih

Pada zona-zona yang terletak paling jauh dari pusat sistem kekuasaan, kontrol cenderung lebih sulit dilakukan. Ada sudut-sudut kecil yang biasanya tak mudah dimasuki oleh sistem besar. Di sana, sistem-sistem lain yang lebih kecil biasanya akan bermunculan dan memiliki peluang yang lebih besar untuk hidup membaur bersama keseharian orang-orang sehingga bisa terus ada.

Zona-zona yang menjadi lokasi bertemunya satu sistem dengan sistem lainnya adalah zona yang serba-samar. Ketika sistem besar berhadapan dengan sistem kecil dan bertujuan untuk menimpanya, sistem kecil dapat tidak hilang sepenuhnya saat ia berada pada zona penumbra; zona yang sulit terjangkau sepenuhnya oleh otoritas sistem besar. Pada zona ini, ragam perspektif bisa dengan lebih mudah bermunculan sebab kontrol berada dalam situasi terlemahnya. Perspektif dari sistem-sistem kecil cenderung lebih mudah mendapatkan momentum untuk mengomunikasikan dirinya. Saat perspektif itu tidak selaras dengan perspektif

sistem kekuasaan besar, ia bisa dimaknai sebagai gangguan. Perspektif utama yang hendak dikomunikasikan dapat terjegal, terdistorsi dan bahkan hilang sama sekali. Dengan demikian, pesan pun tidak sampai.

Di sisi lain, permasalahan yang berkenaan dengan tidak sampainya pesan dalam sebuah proses komunikasi pun berkaitan dengan kelancaran dan keamanan jalur komunikasi itu sendiri. Lancarnya transportasi barang dan pesan yang melewati jalur ini seringkali menentukan efektivitas kontrol sistem. Dalam militer, istilah ‘jalur komunikasi’ pun digunakan untuk merujuk pada jalur yang berfungsi sebagai rute penyampaian komando serta rute transportasi bagi persediaan dan bantuan militer pada suatu operasi. Di jalur inilah para pengantar pesan atau despatch rider bekerja mengantarkan logistik serta pesan-pesan penting. Pada masa-masa perang, kecepatan memecahkan sandi maupun menyampaikan informasi dan logistik memainkan peran yang krusial untuk menentukan kemenangan. Tak heran bahwa kemudian perang-perang di era modern pun telah mendorong revolusi teknologi jaringan informasi dan komunikasi dunia.

Dalam teknologi komunikasi tersebut, komunikasi visual semakin menemukan momentum kejayaannya pula. Darinya, produksi visual seakan terakselerasikan dan mencapai zenitnya, terutama saat semua orang jadi bisa memproduksi dan menikmati visual di saat yang bersamaan. Hal ini dimungkinkan oleh revolusi teknologi kamera sebagai teknologi produksi gambar yang semakin mudah diakses publik luas. Kerja kamera yang berlangsung dengan menangkap cahaya hingga membentuk gambar pun tak terlepas dari kerja yang memproduksi perspektif. Baik sebagai fenomena optik maupun sebagai fenomena sosial, perspektif selalu memiliki potensi ganda; sebagai distorsi atau sebagai kejernihan. Persoalan-persoalan yang terkesan remeh pun dapat hadir dengan atau/dalam suatu perspektif tertentu saat kamera berevolusi hingga menjadi bentuk tersederhana yang bisa masuk ke ruang-ruang terkecil dalam kehidupan. Intensitas suatu persoalan dapat kian ditegaskan atau justru disamarkan saat ia dibingkai oleh kamera dan dimontasekan menjadi satu kesatuan karya. Perspektif yang dibangun oleh bingkaian dan kedalaman hasil bidikan kamera juga kerap menimbulkan ilusi. Jean Rouch lewat karyanya yang berjudul Chronicle of A Summer (1961) menawarkan bahasa sinema yang memperlihatkan partisipasi dan interupsinya terhadap konstruksi realitas dalam filem. Ia melakukan hal itu dengan menghadirkan dirinya dan kamera dalam filem itu sendiri. Aksi ini memungkinkan filem mengungkapkan posisi bahwa realitas dalam filem bukan semata realitas murni yang tak terpiuh. Alih-alih, bahasa ini justru mengingatkan kembali tentang posisi kuasa di balik kamera yang bisa mengontrol alur gerak suatu persoalan.

Hubungan kamera dan kuasa memang kemudian tidak bisa berjauhan dengan persoalan sistem kontrol. Canggihnya kamera adalah keniscayaan bagi sistem kontrol otoritas yang semakin bisa mengawasi lanskap kekuasaannya.

This article is from: