5 minute read

A Visit By A Foreign Guest

mewakili bagaimana cara tamu asing menyusup ke tubuh lokasi. Sang tamu asing menyusuri lanskap melalui kisah-kisah yang mengantarnya untuk masuk lebih jauh. Sebagai tamu, ia menyorot lokasi terus-menerus, membidik sang tuan rumah agar menunjukan kisahnya yang paling benar, sambil menjunjung tinggi kaidahnya. Sampai akhirnya kehadiran sang tamu dipertanyakan oleh lokasi: jika kehadiran sang tamu asing, atau kamera, dapat memberi jarak pada lokasi, maka sejauh mana filem dapat merepresentasikan kenyataan lokasi yang sesungguhnya?

Kemudian sang tamu melanjutkan penjelajahannya. Kali ini sang tamu memilih untuk berbaur dan menyerahkan dirinya kepada sang tuan rumah, menjadikan dirinya sebagai sebuah permainan yang tidak menakutkan sambil terus membidik. Demi menemukan kenyataan, sang tamu asing harus digunakan bukan dengan cara sebenarnya, cara yang menjunjung tinggi keagungan kaidahnya. Atau dengan kata lain, ia harus dipakai dengan cara yang kultural ketimbang dengan logika teknisnya. Akhirnya, sang tuan rumah memperlakukan tamu asing dengan tidak tunduk pada kaidah teknologisnya, melainkan dengan cara yang horizontal dan desentral yang dimiliki sang lokasi. Hal ini dapat mengantarkan kita untuk berspekulasi bahwa lokasi, secara egaliter, sedang menyorot balik sang tamu asing yang sudah tak berjarak lagi dan menjelma menjadi pengetahuan lokasi.

Advertisement

Filem-filem yang ada pada kuratorial ini menawarkan beberapa gambaran mengenai metode filem dokumenter dalam menguak kenyataan dengan menunjukkan bagaimana kamera memperlakukan dirinya pada sebuah lanskap sosial, serta bagaimana sang lokasi merespon kedatangan sang tamu asing yang menyorot dirinya. Kita dapat melihat berbagai perlakuan lokasi terhadap kamera yang berjuang untuk menguak realitas dan kamera yang menyerahkan dirinya pada lanskap sosial. Lokasi, dengan kelengkapan pengetahuannya, justru menyoroti balik keusangan kaidah teknologis yang selalu berlaku agung.

Berangkat dari kedua filem tersebut, saya menemukan bahasan menarik bahwa kamera tidak akan pernah bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kaidah-kaidah teknologis. Namun ia dapat membiarkan dirinya untuk dipakai sesuai dengan pengetahuan lokasi yang telah mapan pada tubuh-tubuh lokal. Saat kamera, yang mempertahankan kaidahnya, keras kepala menembus masuk ruang-ruang lokasi yang paling dalam, demi menyorot kenyataan yang sebenar-benarnya, ia menjadi penyelundup dan akan memilih untuk berhenti saat dibenturkan dengan persoalan etis. Lain halnya saat ia menyerahkan dirinya untuk digunakan oleh tangantangan egaliter, kepada lokasi yang menjadikan kamera sebagai permainan hingga sampai pada titik pertemuan dengan harta karun pengetahuan. Kita dapat berspekulasi bahwa kamera menjadi tidak gagah di hadapan sebuah lokasi yang memiliki kemampuan untuk menyorot balik. Sang tamu asing harus mempercayai bahwa lokasi memiliki caranya sendiri untuk menguak kenyataannya, yang diungkapkan oleh tangan-tangan horizontal yang setara dan desentral.

INTERNATIONAL COMPETITION 06

A Visit by A Foreign Guest

Pingkan Polla

It has been said that a camera can reveal the actual truth within reality. A camera, with its technological principles, has the power to highlight and represent reality. This principle is widely upheld in documentary films — that a camera must be able to redisplay the reality of life. But the presence of camera can also make the reality of its location become distant. The supposedly raw reality of the location now become the reality that has been interfered, since everyone are aware that the camera produces representation.

I imagine a camera in a location as a vulnerable foreign guest. Indeed, we have arrived in the era when cameras can be slipped into our pockets. However, we cannot rule out the fact that a camera struggles to get into a location and to record actual realities. The work of camera represents how a foreign guest infiltrates a location. The guest explores the landscape through the stories that has been leading it to enter further. As it stays true to its so-called principles, it constantly

shoots the location in the hope that the host will eventually reveal a truest story. This is up to a point where the location itself questions the presence of the foreign guest: if the presence of the guest, or the camera, can create a distance, then to what extent can film represent the truth of the location?

Then the guest continues the journey. This time, the guest chooses to mingle and surrender to the host, posing as a harmless player in a game while continuing to shoot. To discover the reality, the foreign guest must not be used in the same way that follows its grand principles. In other words, it must be used in a cultural way, as opposed to its technical logic. At last, the host treats the foreign guest not according to its technological norms, but in a horizontal, decentralized way according to the location. This can lead us to speculate that the location, in an egalitarian manner, is gazing back at the foreign guest who is no longer distant and has now transformed into a local knowledge.

The films in this curatorial offer a glance to the various methods of documentary film in revealing the truth by demonstrating how a camera acts in a social landscape and how the locations in these films respond to the arrival of the foreign guest who puts them in a spotlight. We can see the different ways the locations treat a camera who struggles to reveal the truth and surrenders itself to the social landscape. The location with all the knowledge inscribed in it unveils the obsolescence of the grand technological principles.

Departing from these two films in this curatorial, I found an interesting point: a camera can never completely break away from its technological principles, but it can allow itself to be used according to the local knowledge inscribed in local bodies. When a camera that stubbornly maintains its principles and penetrates the deepest space to highlight the true nature of reality, it turns into a smuggler; and once confronted with ethical issues, it will choose to stop its actions. It is different when a camera surrenders to egalitarian hands, to a location that turns this encounter into a game, up to a point where the camera discovers the treasure trove of knowledge. We can speculate that the camera turns modest when it faces a location capable of gazing back. The foreign guest must believe that the location has its own way of uncovering the truth, which is expressed by the equal and decentralized horizontal hands.

فلوكس (FLOX)

Country of production Egypt Language Arabic Subtitles English 45 min, stereo, digital, color, 2019

Tamu asing yang mendengar bisingnya kerumunan. Foreign guest who hear the noises of the crowd.

Hady Mahmoud (Egypt)

Pingkan Polla

Hady Mahmoud (1988, Mesir) lulus dari Fakultas Sejarah Sastra pada tahun 2010. Setelah itu, ia mulai belajar penyutradaraan filem di institut sinema Kairo pada tahun 2011. Sejak tahun 2014, Hady bekerja sebagai Asisten Sutradara. Dia terinspirasi oleh cinéma verité dan Flox adalah filem debutnya. Hady Mahmoud (1988, Egypt) graduated from the Faculty of Literature History Department in 2010. After that, he started studying film directing in the high cinema institute of Cairo in 2011. Since 2014, Hady worked as Assistant Director. He was inspired by cinéma verité and Flox is his debut film.

This article is from: