Rong, Wacana Ruang Arsitektur Jawa (Rong, Discourse on Space in Javanese Architecture)

Page 1



“...sejatine sing ono kuwi dudu...� (sesungguhnya yang tersadari hanya oleh inderaragawimu itu, bukanlah yang hakiki) Ki Ageng Suryomentaram


Š Galih Widjil Pangarsa, Januari 2010 Gambar sampul luar dan dalam: Candi Borobudur (foto: open source) Desain grafis: Galih Widjil Pangarsa ISBN [e-book] dalam proses E-book engine pada arsiteknusantara.blogspot.com dan www.ruangarsitektur.com powered by ŠYou Publish 1. Teori arsitektur 2. Arsitektur Jawa 3. Arsitektur Nusantara 4. Ruang di dalam Arsitektur

F

oto-foto ilustrasi yang tidak dicantumkan sumbernya berasal dari sumber bebas (open source), atau foto dokumentasi Galih Widjil Pangarsa. Jika tidak, sedang dalam proses pengizinan dari yang pihak-pihak yang mengklaim memiliki hak atasnya (yang terkadang, tak lagi memakai/merawat website mereka). Jika mereka tidak berhasil dikontak, kami mohon dengan hormat untuk memahami bahwa para fotografer yang karyanya terpakai di dalam buku ini pun memfoto objek-objek arsitektur tanpa

ISI Sekapur Sirih: Memahami Ruang Dari Nusantara... iv Asal Kata Ruang... 1 Ruang Adalah Sebuah Kehadiran... 5 Menghadirkan Ruang: Menghadirkan Terang & Gelap... 9 Ruang Publik & Ruang Bersama... 10 Kesementaraan & Kesejenakan... 17 Longan... 19 Paradigma Masa Depan?... 27

memberikan imbalan apapun kepada pihak--pihak (umumnya rakyat kecil) yang berkaitan dengan objek foto mereka. Kami berterimakasih kepada mereka, semoga amalnya bagi penerbitan e-book untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia ini, mendapat ganjaran yang lebih baik dan melimpah dari Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah.


Rong: wacana Ruang arsitektur jawa Josef Prijotomo, jurusan arsitektur ITS Penulis naskah asli berjudul “Ruang Arsitektur di Arsitektur Nusantara: Rong dan Bukan-Rong”, dalam Prijotomo (et al), 2009, “Ruang di Arsitektur Jawa: Sebuah Wacana”, Wastu Lanas Grafika, Surabaya.

Galih widjil pangarsa, jurusan arsitektur UB Editor naskah dan esai fotografi versi e-book


Pengantar EDITOR Pembaca sekalian yang budiman, Naskah asli e-book ini adalah naskah yang dipersiapkan Prof. Josef Prijotomo untuk “Buku Peringatan 50 Tahun IAI” yang direncanakan terbit akhir 2009. Pada kesempatan Seminar Jelajah Arsitektur Nusantara di ITS, Surabaya, tahun 2009, naskah e-book ini diterbitkan oleh PT. Wastu Lanas Grafika di bawah judul buku Prijotomo (et al), “Ruang di Arsitektur Jawa: Sebuah Wacana”. Setelah melihat muatan keilmuannya, maka saya memandang perlu untuk menerbitkan

buku ini dengan sajan grafis yang lebih mudah dicerna khususnya kalangan arsitek muda. Juga supaya muatannya menyebar lebih luas. Saya tawarkan ide tersebut kepada Pak Josef dan pihak www.ruangarsitektur.com. Kedua pihak menerima baik ide tersebut. Maka, hadirlah e-book sederhana ini di hadapan Anda. Tentu saja tetap sangat penting melihat keterkaitan naskah ini dengan seluruh muatan buku itu. Yang di dalam e-book ini hanya sebagian isinya saja.

Atas segala kekurangannya, kami berharap kelapangan hati pembaca semua. Lebih jauh lagi, sudilah Anda memberikan saran dan kritik untuk perbaikan di kemudian hari. Malang, 25 Januari 2010 Galih W. Pangarsa galih.wp@gmail.com


iv sekapur sirih: Memahami Ruang dari Nusantara Ruang telah menjadi demikian menyatu dalam pemikiran dan perbuatan arsitek-arsitek Indonesia di era modern. Secara umum, 'ruang' dimengerti di Indonssia ini sebagai pengindonesiaan atas 'space'. Kalau kemudian dilakukan penelusuran ke 'space', maka dengan melalui disertasi Cornelis van de Ven yang diterbitkan menjadi buku berjudul ‘Space in Architecture’, maka tak kurang dari sepuluh pengertian dasar 'space' tadi. Pertanyaannya sekarang, pengertian manakah yang dipakai oleh para arsitek Indo-nesia dalam mengolah dan menggubah ruang di arsitektur mereka?

Kelihatannya masih belum ada pihak yang tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan tadi. Dengan demikian, dalam berhadapan dengan arsitek Indonesia dapat diduga akan sangat mungkin terjadi pengertian yang berbeda antara arsitek dengan lawan bicaranya. Kejadian yang dikemukakan di depan bukanlah gejala tunggal dalam perkembangan arsitektur di Indonesia. Di sekolahsekolah arsitektur kejadian dan keadaannya akan kurang lebih sama pula. Perbedaan ini tidak hanya di antara para dosen dan para asisten, tetapi juga antara dosen dan asisten dengan mahasiswanya. Di sini, lagilagi kita dihadapkan pada kurang berminatnya para peneliti di sekolah arsitektur untuk menjernihkan kekeruhan pengertian 'space', atau ruang.

Rumah Kindah Office, karya Budi Pradono (2005, sumber flickr.com).


Di tengah kekeruhan dan ketidakpastian itulah saya mencoba untuk di satu sisi mencoba untuk mengusulkan penjernihan, namun di sisi lain dapat dengan langsung memperkeruh ketidakpastian itu. Betapa tidak, saya akan mencoba untuk menjelajahi ihwal ruang dengan

menggunakan Indonesia dan Nusantara sebagai titik berangkat saya. Bahwa di sini lalu ada kesejalanan atau keserupaan dengan 'space' sebagaimana termuat dalam Cornelis van de Ven, hal itu sepenuhnya adalah sebuah kebetulan, bukan kesengajaan.

Surabaya, 25 Januari 2010 Josef Prijotomo

Tentara KNIL (paling kanan) dan penduduk salah satu desa Manggarai, Flores, sekitar tahun 1912 (httpwww.gdbeker.com)


1 Asal Kata Ruang Dari penelusuran awal ke kamus Etimologi Bahasa Indonesia oleh drs.Mohammad Ngajenan (Dahara Prize, Semarang, 1992), kita akan berjumpa dengan asal dan akar kata dari 'ruang' sebagai berikut ini. Ruang, rong; Jw: 1. liang, 2. lubang; 3. kamar. Dalam bahasa Jawa, 'rong' adalah sebuah lubang di tanah tempat jengkerik dan sejenisnya bertempat tinggal. Lubang ini lalu dapat dipadankan dengan gua, mengingat keduanya menunjuk pada ciri-ciri pertama, terisolasi, tersembunyi; kedua, tidak menunjuk

pada kebutuhan mendapatkan matahari dan sinar terangnya; ketiga, merupakan lubang yang telah tersedia di alam, tetapi juga bisa merupakan buatan (dibuat oleh jengkerik). Dari ketiga ciri itu, adalah ciri ketiga yang bisa menjadi pembeda antara gua dan rong. Rong pada dasarnya adalah lubang yang dibuat, sedang gua adalah lubang yang sudah tersedia di alam. Dengan demikian, kata rong menunjuk pada hasil pembuatan lubang yang ukurannya sesuai dengan ukuran kebutuhan jengkerik untuk bertempat tinggal. sampai di siini, lalu tidak dengan gampang dibuat pemadanan rong dengan gua, pemadanan antara tempat tinggal jengkerik dengan tempat tinggal manusia gua.


Rong sebagai hasil tindakan melubangi tanah tentu akan menunjuk pada konsekuensi tertentu bagi pengertian 'ruang' . Di sini, ruang bukan lagi sesuatu yang sudah ada, melainkan sesuatu yang diadakan. Bila demikian, sebelum diadakan masih belum ada yang namanya ruang. Ruang lalu harus dimengerti sebagai diadakan, bukan sudah ada. Pertanyaannya sekarang, sebelum ada ruang, apa yang ada? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita akan kembali ke dalam jagad rong yang adalah Jawa (dan karena itu masih belum bisa untuk dengan segera dirampatkan [generalize] menjadi Nusantara). Dalam jagad Jawa, tanah dengan bumi sudah ada, bukan diadakan; demikian pula halnya dengan awang-awang atau angkasa, juga sudah ada. Bila bumi dan tanah yang sudah ada dapat dikenali segenap isinya, tidak demikian

halnya dengan awangawang, angkasa (tetap bukan alam semesta). Awang-awang adalah “sebuah ada� yang kosong, yang lowong, yang sedang ditinggalkan oleh isi atau penghuninya. Karena itulah awang-awang itu juga mendapat sebutan sebagai awang-uwung, sebagai awang-awang yang suwung (suwung-lowong, sedang ditinggal pergi). Awang-awang bukan sebuah kekosongan yang berarti kehampaan, tidak ada apaapanya samasekali. Awangawang adalah sebuah presence yang sedang mengalami absence, itulah awang-uwung. Sekali lagi perlu diingatkan, awang-

Gua eksplorasi arkeologis di Liang Bua, Manggarai, Flores


3 awang masih bukan sebuah rong atau sebuah ruang. Awang-awang hanya akan menjadi rong atau ruang saat yang sedang tidak ada itu dipanggil untuk dihadirkan. Sebuah rong, atau sebuah ruang adalah sebuah penghadiran, sebuah kehadiran. Telah terjadi perubahan, bukan diadakan sebagaimana diterangkan sebelumnya, melainkan dihadirkan. Rong lalu menjadi lubang di dalam tanah yang dihadiri oleh jengkerik; ruang adalah awang-awang di permukaan bumi yang dihadiri oleh manusia (dan berbagai mahluk maupun benda alam lainnya).

Ruang bukan lagi sebuah kekosongan karena ada sesuatu di sana yang sedang tidak hadir; bukan pula diadakan karena menjadi ada karena ada yang hadir. Ruang adalah sebuah kehadiran.1 Ruang lalu juga tidak dibuat karena kata membuat adalah mengadakan sesuatu dari keadaan yang sebelumnya adalah belum ada, adalah tiada, tidak ada. Menghadirkan ruang adalah pekerjaan arsitek, bukan mengadakan ruang. tak kalah pentingnya, penghadiran ruang bukan sebuah tindakan mengubah kekosongan menjadi keisian, karena ruang memanglah bukan sebuah kekosongan.

1

Gua, lalu adalah sebuah lubang besar di penggal bumi yang lereng yang memiliki kehadiran; kalau tidak ada kehadiran, bukan gua melainkan sekadar lubang besar.


“Menghadirkan ruang adalah pekerjaan arsitek, bukan mengadakan ruang�.

Bocah-bocah hadir-bermain di Taman Sari, Jogjakarta.


5 Ruang adalah sebuah kehadiran

Siapa yang hadir di sana? dalam ciri kedua dari rong disebutkan bahwa rong meniadakan kehadiran terang dan sinar matahari. Kalau memang begitu adanya, bukankah rong itu justru tidak menghadirkan sesuatu? Tidak juga. Sinar dan terang matahari memang tidak dihadirkan, tetapi kegelapan yang dihadirkan. Bersama dengan sinar dan terang dari matahari, senyatanya dengan serentak dihadirkan pula kegelapan dan keterbayangan, bayang-bayang. Sebelum berjalan lebih lanjut, perlu di sini diingatkan bahwa penyertaan matahari dalam pembicaraan tentang ruang Nusantara wajib dilakukan mengingat akan ketropikan Nusantara. Haruslah disadari bahwa ketropikan Nusantara menjadikan matahari sebagai sebuah kehadiran yang serentak dan bersamaan dengan adanya alam Nusantara. Kelakuan matahari di daerah tropik

secara mendasar berbeda dari kelakuan di daerah subtropik. Jadi, penghadiran ruang adalah penghadiran bayangan yang menaungi, yang meneduhi. Matahari bukan ancaman, dan karena itu tak harus melakukan tindakan bersembunyi atau berlindung, bukan melakukan tindakan menghindari terik matahari, dan menempati naungan/teduhan yang adalah daerah bayang-bayang. Bayangbayang adalah kehadiran, adalah dihadirkan. Matahari yang dengan teriknya menerpa bumi dari Timur hingga di Barat setiap hari, dan setengah tahun di utara dan setengah tahun berikutnya di selatan, hanya akan menghadirkan bayang-bayang dan daerah naungan/teduhan bila sinarnya dihalangi oleh sesuatu. Oleh adanya sesuatu yang menghalangi sinar


matahari maka awang-awang menerima kehadiran bayangan. Ruang adalah daerah bayangan tersebut, ruang adalah hadirnya daerah bayangan. Dengan ini dapatlah kemudian dipahami mengapa Kawruh Kalang mengatakan:

"[T]iyang sumusup ing griya punika saged kaum-pamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng" ([O]rang yang menyusup ke dalam bangunan itu dapat diumpamakan dengan bernaung/berteduh di bawah pohon besar yang rindang).


Masalahnya sekarang, rong atau gua hanya menghadirkan gelap atau kegelapan, bukan bayang-bayang, dapatkah rong dijadikan ruang, dijadikan awang-awang yang menghadirkan bayang-bayang? Jikalau sesuatu yang menghalang/halangi matahari itu menghadirkan bayang-bayang, maka apabila sesuatu yang menghalangi itu berada di semua penjuru, penghalangan sinar matahari menjadi menyeluruh, dan itu berarti menghadirkan bayang-bayang yang berada pada titik ekstrimnya yakni gelap dan kegelapan. Bagi pemikiran Jawa, keadaan yang ekstrim bukan hal yang terpuji, dan dengan demikian sebaiknya dihindari. Bagaimana penghindaran itu dilakukan? Muncullah di sini sebutan rong-rongan atau rongan, yang maksudnya adalah seperti rong. Rong-rongan adalah sebutan bagi daerah yang dikelilingi oleh empat sakaguru, sehingga kalau ada enam sakaguru akan terdapat dua rongrongan.

Daerah ini diyakini sebagai seperti rong, bukan rong yang sesungguhnya. Mengapa demikian? Ini karena daerah ini tidak memiliki bayang-bayang yang gelap total, melainkan bayang-bayang yang hanya beratap semata, tidak berdinding. Bayang-bayang yang merupakan campuran antara gelap total dengan terang total lalu membuat ruang merupakan kehadiran dari terang dan gelap dalam perbandingan kombinasi yang bisa sangat beragam. Ruang adalah kombinasi dari terang dengan gelap? Kenapa tidak? Pernaungan: seorang ibu diSambori, Bima, berpayung lupe, ayaman daun lontar


Gelap dan terang, kalau yang terang adalah matahari dan adalah siang, maka yang gelap adalah rembulan serta bintang-bintang dan adalah yang malam. Sebuah bayang-bayang lalu menjadi sebuah kehadiran dari siang dan malam, adalah kehadiran dari matahari dan rembulan serta bintang. Sesampai di sini, ruang Jawa lalu dapat saja dikatakan sebagai metafora dari rong ataupun analogi dari rong. Bahkan dapat pula dipandang sebagai metafora ataupun analogi dari matahari-rembulan-bintang serta siang-malam.


Menghadirkan ruang: menghadirkan terang & gelap (bayang-bayang) Apakah penghadiran ini merupakan sebuah tindakan untuk melepas kerinduan akan terang dan gelap? Pertanyaan seperti itu dapat saja dilontarkan bila kita benar-benar membuat rong yang memiliki kegelapan yang total di satu sisi, sekaligus memiliki keterisolasian dari dunia di sekitarnya di pihak yang lain.2 Di sinilah Jawa tidak menghadirkan rong yang gelap total sekaligus terisolasi, melainkan rongrongan, yakni rong yang telah malih (transform) menjadi daerah bayang-bayang. Sekali lagi, pada intinya ruang di Jawa itu adalah sebuah kehadiran dan/atau penghadiran; bukannya ke-ada-an dan/atau peng-ada-an dari ke-tiada-an. Ruang adalah keadaan yang memiliki kehadiran, sebab kalau ada ke-tidak hadir-an dia bukan lagi ruang melainkan awang-awang yang awang-uwung, yang lowong (void) dan bukan yang kosong (vacuum, empty). Mengingatkan kita pada dasar bangunan subtropik/barat yang adalah perlindungan, sebuah bentukan yang dengan adanya lantai, dinding dan atap menjadi gelap total

2

“Studi-o Cahaya�, karya dan dokumentasi Adi Purnomo. Desain Mas Mamo (2009) ini memanfaatkan sekaligus cerlang dan bayang.


Ruang Publik dan Ruang Bersama Sebutan “ruang publik” lebih banyak didengar daripada “ruang bersama”. Pertanyaannya adalah: di Nusantara apakah kedua jenis ruang itu dikenal? Alun-alun misalnya, ruang publik ataukah ruang bersama? Tanean di Madura atau natar di Flores, demikian pula dengan natah di Bali apakah ruang publik ataukah ruang bersama? lebih ke masa kini, gang di kampung itu jalan, ruang publik ataukah ruang bersama? Apakah alun-alun di depan kraton Jawa dapat dikaitkan dengan tanean yang di Madura? Kiri: Salah satu sudut Kampung Klitren, Jogjakarta, 2008. Atas: Jalan Malioboro di depan Pasar Beringharjo


11 Gang di kampung-kampung di Jawa bukanlah jalur jalan, karena gang itu memang bukan tempat untuk melintas atau untuk berlalu (meskipun bisa dan boleh dijadikan tempat berlalu atau melintas). Ganggang di kampung merupakan malihan (transformation) dari tanean di Madura atau natar di Flores; dan oleh karena itu merupakan formasi arkaik Nusantara. Mengapa arkaik? Pola tatanan pukal (massa bangunan) dari sebagian terbesar arsitektur Nusantara adalah pola berjejer memanjang hingga melingkar. Berjejer memanjang (melonjong, melingkar) berhadap-hadapan dan dipisahkan oleh sebuah pelataran, memberikan kesempatan bagi pelataran untuk menjadi ruang bersama. Pelataran menjadi sebutan bagi yang Jawa, bagi yang Madura adalah tanean dan bagi yang Flores (utamanya Kampung Nage 3 ) adalah natar. Di situ kami menjadi pemiliknya, bukan aku, sebab yang mengitari pelataran itu adalah keluarga atau kerabat. Ke-kami-an inilah yang sering luput dari kajian dan pemahaman atas ‘ruang luar’ yang bernama pelataran maupun yang bernama gang. Varani Kosasih (2009): Kampung Nage; Wastu Lanas Grafika; Surabaya

3

Salah satu sudut Kampung Klitren, Jogjakarta, 2008.


“Pelataran adalah terang yang tak terhalangi sedang bangunan adalah terang yang terhalangi.�

Jalan di depan kompleks permukiman penduduk di hadapan gerbang utama Masjid Jami’ Kotagede


13 Pertama, ke-kami-an pelataran membawa pelataran tadi ke dalam kesatuan organik unit bangunan. Bangunan yang adalah naungan adalah daerah bayangbayang yang hanya disadari kehadirannya karena ada daerah matahari yang terang. Pelataran adalah terang yang tak terhalangi sedang bangunan adalah terang yang terhalangi. Pelataran lalu bukan sebuah luar bagi rumah dan bangunan (yang adalah dalam), melainkan sebuah rumah atau bangunan yang tanpa penghalang terang. Pelataran lalu juga merupakan salah satu bilik dari rumah atau bangunan yang ada di situ. Pelataran candi-candi Jawa maupun pelataran Pura Besakih di Bali dengan langsung dan jelas sekali memperlihatkan hal ini. Pelataran adalah bilik ke satu, sedang bangunan adalah bilik kedua, ketiga dan seterusnya. Bersamasama, bilik-bilik tadi mengkristal menjadi pukal bangunan. Bangunan adalah ke-kami-an bilik. Sesampai di sini, denah bangunan Toba Batak maupun Lamin

atau rumah panjang Kalimantan dapat merupakan konfigurasi yang pelatarannya beratap. Sebuah konsekuensi arsitektural yang berbasis manca muncul ke permukaan yakni: Manakah yang interior dan mana yang eksterior? Mana ruang luar dan ruang dalam di arsitektur Nusantara? Kedua, Pelataran di Jawa dibarengi pula oleh sederetan ruang terang matahari lainnya seperti pekarangan, kebon, oro-oro, alun-alun, jaratan, bulakan dan yang lainnya. Pekarangan dan kebon menjadi daerah dengan ke-aku-an yang menonjol; alun-alun dan gang adalah daerah yang menonjol ke-kami-annya. Jaratan dan bulakan adalah ke-mereka-an. Di semua ‘ruang terbuka’ itu, pagar tidak dikenal kecuali bila sudah menunjuk pada ke-aku-an (jadi, di pekarangan dan di kebon saja). 4 Alun-alun yang dipagari, seperti alun-alun Malang, lalu bukan lagi daerah ke-kami-an melainkan daerah ke-aku-an. Pertanyaannya, siapa pemiliknya, ‘aku’nya? 4


“Mana ruang luar dan ruang dalam di Arsitektur Nusantara?� Bagian depan Kampung Bena, Ngada, Flores


Sekarang menjadi jelas sekali bahwa gang sebagai jalan untuk melintas dan berlalu menjadi sangat berbeda dari gang sebagai ke-kami-an ruang ‘terbuka’ atau ruang ‘luar’. Meski rumah demi rumah di kampung bukan lagi dihuni oleh kerabat dan saudara sedarah, namun ke-kami-an di kampung mengkerabatkan dan menyaudarakan para penghuni tadi. Karena itu tidak mengherankan bila gang menjadi tempat bermain, tempat bercanda, tempat melangsungkan upacara dan ritual. Dari gang pula menonton tayangan teve dapat dilakukan dan menjemur pakaian adalah biasa saja adanya.


Ketiga, Galih Wijil Pangarsa melontarkan pandangan yang menarik mengenai pelataran sebagai ruang yang bersifat publik sebagai lawan dari rumah yang bersifat privat.5 Sifat ini dimungkinkan dengan menempatkan pelataran sebagai tempat yang terang, dan karena itu menjadi terlihat, sedangkan rumah atau bangunan adalah tempat yang gelap dan menjadi tak terlihat. Publik dan privat lalu ‘Cerlang-Bayang: Pencarian Arsitektur Adi Purnomo’ adalah judul video yang dibuat oleh Galih Widjil Pangarsa. Video ini sebenarnya berisi apresiasi Pangarsa atas karya Adi Purnomo alias Mamok, diproduksi sebagai bahan kuliah di Jurusan Arsitektur FTUB, September 2009. 5

dimengerti dari tingkat keterlihatan, bukan oleh perbuatan, kegiatan atau kegunaan. Adanya emperan yang berada di depan bangunan lalu menjadi ruang semipublik yakni setengah terlihat dan setengah takterlihat. Pandangan Pangarsa ini semakin mempertajam perbedaan konseptual antara publik dan privat dalam pandangan manca/barat dengan pandangan Nusantara. Juga, mempertajam beda konseptual antara square atau plein dengan alunalun, sehingga rusaklah segenap tenunan kenusantaraan kalau alunalun dibaca seperti sebuah square atau plein.


17 Kesementaraan & kesejenakan "Di mana tempat tinggalmu" atau "di manakah kediamannya" adalah pertanyaan yang mengharapkan jawaban kepastian tempat tinggal dan (tempat) kediaman. Dalam bahasa Inggris memang sering diletakkan dalam kawasan 'place', dan bukan semata pada 'space'. Namun kalau pertanyaan itu diinggriskan akan menjadi "where do you live" atau boleh jadi lebih tepat menjadi "where do you stay". 'Tinggal' dan 'diam' tidak secara langsung menjurus pada kehidupan (live, life) akan tetapi pada salah satu penggal dari kehidupan. Pergerakan dan perjalanan, kehidupan dimengerti dalam masyarakat Nusantara sebagai sebuah perjalanan. Ada saat-saat perjalanan itu memerlukan sejenak beristirahat, sejenak berhenti, sejenak diam. Bila perjalanan dilakukan bersama, bisa saja salah seorang berhenti sejenak dan ditinggal oleh

lainnya yang meneruskan perjalanan itu. Diam dan tinggal lalu adalah berhenti dalam sebuah perjalanan. Tempat tinggal dan kediaman lalu menjadi tempat berhenti sejenak. Orang jawa lalu sangat kenal dengan pengibaratan "urip kuwi mung mampir ngombe" -- hidup itu hanyalah sejenak mampir minum. Sebuah rumah lalu bukan sebuah tempat kediaman (where I live) tetapi tempat perhentian barang sejenak. Sejenak berhenti karena perjalanan harus diterpa oleh terik matahari yang menyengat, atau oleh curah yang lebat dari hujan yang mengguyur, rumah lalu adalah (bagaikan) naungan. Manakala terik matahari sudah menggelincir atau hujan telah reda, berlanjutlah pula perjalanan itu. Perjalanan yang berlanjut membuat orang Nusantara berkata "pindah rumah"; rumah ikut dibawa di dalam perjalanan yang berlanjut itu.


Kesementaraan dan kesejenakan dalam rangkaian perjalanan menjadikan tempat juga ikut mengalami kesementaraan dan kesejenakan. petak lahan atau penggal bumi tertentu memperoleh keberadaan nya sebagai sebuah tempat karena ada kehadiran yang barang sementara, yang barang sejenak itu. Sewaktu perjalanan berlangsung kembali, tempat menjadi kehilangan penghadir, lenyap pula tempat tadi.6 Sekali lagi, ihwal hadir menjadi kunci dalam pengenalan tempat, sebagaimana dia juga menjadi kunci bagi pengenalan ruang/rong. Penggal ini ditambahkan oleh Dr. Ir. Galih Widjil Pangarsa

6


19 Longan

Tempat tidur tua di Desa Kemiren, Banyuwangi.

Longan 7 dalam kamus Jawa Kuna Indonesia karya L.Mardiwarsito (1981) berarti kolong 8 . Dalam Javanese - English Dictionary dari Stuart Robson dan Singgih Wibisono (2002, Periplus, HongKong - h. 452) adalah space under a bed or other furniture. 9 Rongga yang terdapat di bawah tempat tidur atau perabotan, itulah longan. Dalam ukuran rumah, longan itu lalu dapat dipadankan dengan kolong rumah dari sebarang rumah panggung. Masalahnya kini, rumah Jawa bukanlah rumah panggung, dan karena itu, dapatkah longan dibawa ke dalam penjelajahan ruang di arsitektur Jawa dan Nusantara?

Dalam bahasa Jawa, imbuhan -an memiliki pengertian: sebagai, bagaikan, seperti. Dan di depan sudah muncul rongrongan yang berarti seperti atau bagaikan rong. Apakah longan berakar pada kata long dan mendapat imbuhan -an? Jawabnya adalah: tidak. Dalam halaman yang sama, Mardiwarsito mengatakan bahw long memiliki arti 7 8 9

Saya berterimakasih pada Dr. Ir. Galih Widjil Pangarsa yang mengingatkan adanya longan di arsitektur dan bahasa Jawa. L.Mardiwarsito (1981): Kamus Jawa Kuna - Indonesia karya; Nusa Indah, Ende; h.324 Stuart Robson dan Singgih Wibisono (2002): Javanese - English Dictionary; Periplus, HongKong; h.452 Jalan di depan kompleks permukiman penduduk di hadapan gerbang utama Masjid Jami’ Kotagede


berkurang, dikurangi. Bagaimana mungkin longan lalu berarti seakan-akan dikurangi, bagikan atau seperti dikurangi; dikurangi terhadap siapa? Sementara itu, longan juga merupakan sebuah entri mandiri yang tidak terkait pada long. Bila demikian halnya, dapat dipastikan bila longan bukanlah long dengan imbuhan -an. Bagaimanakah kalau longan merupakan gejala bahasa yang mengubah huruf rong 10 menjadi long? Lalu, ada leng, yang merupakan perubahan kata dari lyang yang berarti liang.11 Liang adalah lubang di tanah, adalah rong.

10 11

L.Mardiwarsito, h.479: rong = lubang L.Mardiwarsito h.314 dan 329


21 Jikalau kolong ditempatkan sebagai perkaitan yang erat dengan longan, kita akan berhadapan dengan perkaitan antara dua bahasa yakni bahasa Melayu dengan bahasa Jawa kuna. Baik dari kamus Mardiwarsito maupun dari Kamus Jawa Kuna Zoetmulder, tidak ada tanda-tanda bahwa kata longan berasal dari kata kolong, dan oleh karena itu untuk sementara saya masih belum bisa memberikan kejernihan akan hal ini.12 Kalau memang longan itu diberlakukan bagi arsitektur Jawa, maka tentunya adalah rong-rongan itu yang merupakan longan. Dan, kalau demikian adanya, tak ayal lagi sektor (saka)guru 13 dari rumah Jawa adalah rongrongan ini adalah kolong dari sebuah bangunan! Rongga atap yang ditopang oleh sakaguru menjadi bangunan pokok yang memiliki kolong berupa rongrongan, menjadi longan! Dengan konfigurasi seperti ini, lalu yakni, di kolong dapat diselenggarakan berbagai kegiatan kehidupan, sedang di rongga atap adalah untuk menyimpan padi (dan dengan perluasan kasus ke rumah Bima di desa Sambori, menjadi tempat

12 13

Saya belum berhasil memperoleh akses ke kamus Melayu yang tertua. Mengenai sector-sektor di rumah Jawa, silakan melihat Josef Prijotomo (2007): ReKonstruksi Arsitektur Jawa; Wastu Lanas Grafika; Surabaya.


“...sektor (saka)guru dari rumah Jawa tak banyak berselisih dengan...


...lumbung demi lumbung di berbagai arsitektur Nusantara...�


Lumbung di Desa Sada, Lombok (Sumber: Lisa W.; Prof. Koji Sato; http://www.sumai.org/)


25 penyimpanan benda berharga dan dikeramatkan, termasuk wanita yang memang memperoleh penghargaan yang tinggi). Dalam berbagai lumbung tadi, selempeng geladak dibentangkan di antara tiang-tiang penopang, dan di geladak itulah berbagai kegiatan diselenggarakan. Di rumah Jawa, geladak tadi telah mengalami pemalihan menjadi lantai bangunan yang tak lain adalah tanah yang ditinggikan (siti hinggil, siti = tanah; hingggil = tinggi). Sekarang, kalau ruang itu berasal dari kata rong, menjadi jelas bahwa pengenalan konsep rong di arsitektur Jawa (dan Nusantara) baru berlangsung saat rong dimunculkan di arsitektur, bukan di saat leng/lyang dipakai untuk menunjuk pada rongga/lubang di bawah tempat tidur (dalam bahasa Jawa disebut amben) atau perabot. Dengan penjelajahan atas longan, dua hal penting perlu digarisbawahi sebagai

pengetahuan kita mengenai arsitektur Nusantara. Yang pertama, dengan menggunakan kasus arsitektur Jawa menjadi tersaksikan bahwa pengkajian atas arsitektur Nusantara menunjukkan bahwa arsitektur anak-bangsa yang satu ternyata dapat menunjukkan pertalian atau perkaitan dengan arsitektur anakbangsa yang lain. Arsitektur sesuatu anak bangsa tidak lagi merupakan kemandirian yang terisolasi dari ketetanggaan dan perhubungannya dengan arsitektur anak-bangsa yang lain. Sektor guru dari Rumah Jawa merupakan sebuah malihan (transformation) dari selazimnya lumbung di Nusantara. Pertanda keterkaitan ini tentu saja menjadi penjelas lebih lanjut bagi tergambarnya bangunan Batak Karo di relief Borobudur; keserupaan sosok Joglo di Jaw dengan sosok di SumenepMadura dan yang di Sumba; juga keserupaan yang tinggi antara rumah


Sambori di pedalaman Bima dengan rumah-rumah di Sulawesi Tengah, di Filipina dan di Jepang. Yang kedua, rongga bangunan yang ditopang oleh tiang dan sekaligus berada di atas kolong adalah lebih memperoleh fungsi dan nilai sebagai penyimpanan, bukan hunian tempat bergiat. Sebagai tempat menyimpan menjadi sangat dapat dimaklumi bila lalu menjadi tanpa jendela atau anginan. Adalah perkembangan lebih lanjut dari arsitektur Nusantara yang kemudian menjadikan rongga atap ini sebagai tempat penyimpanan dan penyelenggaraan kegiatan seperti memasak dan tidur. Sebagai tempat

untuk tidur, pertama-tama adalah para perempuan yang menempati, karena dalam masyarakat Nusantara perempuan memang mendapat tempat yang terhormat di atas lai-laki. Lelaki tidak tidur di dalam rongga atap bangunan, melainkan di geladak yang terbentang di kolong bangunan. Dengan penggambaran arsitektur Nusantara seperti ini, kiranya perlu dilakukan peninjauan kembali pada pembacaan denah rongga bangunan yang pembacaaannya diperlakukan sepertinya rongga bangunan itu adalah unit rumah tinggal masa kini (atau, sebagaimana orang manca/barat membaca denah rumah tinggal yang terdiri dari sejumlah bilik).


27 paradigma masa depan? Catatan dari Dr. Ir. Galih Widjil Pangarsa berikut ini saya sajikan sebagai penutup tulisan pendek ini. Di sana-sini dilakukan modifikasi. 14 Cak, ruang —dalam pembacaan dari Jawa— sampeyan nyatakan sebagai gerak pula: “Kesementaraan dan kesejenakan dalam rangkaian perjalanan menjadikan tempat juga ikut mengalami kesementaraan dan kesejenakan. petak lahan atau penggal bumi tertentu memperoleh keberadaan nya sebagai sebuah tempat karena ada kehadiran yang barang sementara, yang barang sejenak itu. Sewaktu perjalanan berlangsung kembali, tempat menjadi kehilangan penghadir, lenyap pula tempat tadi”. Keterangan tambahan: selama penulisan naskah awal tulisan ini, Prof Josef Prijotomo dan saya beberapa terlibat diskusi per telepon atau per e-mail. Di bagian bawah ini adalah catatan saya atas naskah awal Pak Josef, yang kemudian dimuatnya sebagai bagian buku versi cetak. Karena itu, gaya bahasanya informal. Spontanitas itu saya maklumi saja, karena begitulah kita mengenal Pak Josef yang selalu penuh improvisasi -- Editor.

14

Berarti punya aspek waktu. Ini menarik sekali cak! Dan itu akan menjebol mengertian ruang yang sekarang membebek Barat; padahal Nusantara duwe konsep ilmu ruang sing luwih pas nggo menungsa lan alame! Kalo gitu, senthong tengah pada dalem dalam arsitektur Jawa itu apa bukan skema horizontal dari ‘rongga’ yang paling privat bagi keruangan atau ke-sementaraanruangnya? Buktinya, senthong kan tempat menyimpan harta (dunia/sementara) yang paling berharga? Lalu, apa ‘rongga’ paling privat bagi ke-tempatan-nya (lahan, atau bumi yang lebih dahulu ‘ada’) berskema vertikal? Karena, seringkali sajen paling berharga (endhas kebo biasane yo cak?) saat membangun rumah, biasanya ditanam tepat di tengah-tengah soko guru. Begitu pula, terkadang benda yang dipusakakan pun diletakkan di ‘rongga’ di atas soko guru.


Skema (vertikal) inilah menurut saya, yang menunjukkan esensi pernaungan: “...ya meneduhi secara lahir, ya ‘menaungi’ secara batin....” (Galih Widjil Pangarsa)

Rumah adat di Desa Waikabubak, Sumba


Sementara itu, pada Arsitektur Nusantara jenis panggung skemanya tunggal saja: vertikal. Jadi, tempat paling privat –bagi keruang-an maupun ke-tempat-annya— diejawantahkan lewat satu simbol. Menurut saya, yang panggung itu lebih arkaik (ingat riset Izikowitz; rumah prasejarah di Thailand). Nusantara/Asia Tenggara yo asline ngono. Persamaan antara Jawa berpanggung pendek (seperti di relief Borobodur, arsitektur Sunda kecuali lumbung-asli-nya) dan Nusantara jenis panggung adalah di skema fungsionalnya yang vertikal. Skema inilah menurut saya, yang menunjukkan esensi pernaungan: ya meneduhi secara lahir, ya ‘menaungi’ secara batin. Menurutku, yo iki wit/pohon sing wujude bangunan. Arsitektur Nusantara tumbuh dari pohon, sedangkan arsitektur Barat tumbuh dari gua (tak tulis nang buku Merah-Putih; nang video sing nggo Kupang tak singgung sithik). Jadi, opo ga perlu ditegasno pisan cak, nek ‘space’ yang diterjemahkan ke dalam Bahasa

Rumah panggung di salah satu desa Sulawesi Selatan


Indonesia, sebetulnya lebih cocok dinyatakan pengertiannya baru sebagai ‘rongga’, belum ruang dalam pengertian Jawa (dan Nusantara) —yang nanti akan muncul sebagai paradigma Keilmuan Ruang (Arsitektur) di masa depan. ‘Rongga’, adalah ‘awang-awang yang dihadirkan’ karena diberi batas-batas fisik/persepsional/konsepsual-konvensional. Atau, dengan kata lain ‘ruang’ yang dipelajari dari konsep Barat sebetulnya lebih dekat ke pengertian ‘teritori’ saja. Belum ruang yang sesungguhnya. Lha ruang yang sesungguhnya iku energi, menurutku. Ruang bayang dan cerlang yang saya maksud itu sebetulnya ‘ruang energi’. Se-ranah dengan ‘ruang bunyi’ dalam konsep ‘Semar ngentut’ yang sampeyan gelar. Energi bisa mewujud sebagai gerak, getar, gelombang, osilasi, radiasi, sing berwujud sinar atau bunyi, kan? Makanya dalam buku Merah Putih, saya mulai memperkenalkan bahwa hakekat ruang itu energi. (Aku pas nulis iku jane ragu-ragu, opo iso ditompo

publik – Pada waktu menulis saya sebenarnya ragu-ragu, apakah tulisan semacam itu dapat diterima oleh khalayak luas - Editor). Tapi ternyata ono wong edan teko ITS sing akhire menyambut gayung-pikir mau, huahaha... Alhamdulillah. Selanjutnya: ‘awang-awang’ berbicara masalah energi-empirik; sedangkan ‘awanguwung’ menyangkut energi transendental/meta-empirik! Menurut sing tak pahami, ruang sebagai energi iku tembus —merga wus dadi sawijining dumadi— karo wektu (karena telah menjadi satukesatuan yang mengada secara bersama dengan waktu - Editor). Mari merenungi:

“...sejatine sing ono kuwi dudu...” (sesungguhnya yang tersadari hanya oleh inderaragawimu itu, bukanlah yang hakiki) Ki Ageng Suryomentaram


Eurocentrism: Kebuntuan Keilmuan (Arsitektur), 52 halaman (24x24 cm), April 2009.

Starchitect and The Beauty of the Beast, 40 halaman (23x24 cm), Mei 2009.

Statistik: 73 ribu unique page view selama 8 bulan tayang di YouPublish.

Statistik: dalam tempo 7 bulan telah melampaui 100 ribu unique page view...

Fundamental untuk memahami fenomena “Globalisasi” dalam arsitektur, yang sesungguhnya adalah Eurocentrism belaka. Apa itu dan bagaimana asalusulnya?

Apa akibat buruk individualisme dalam arsitektur? Apa dan bagaimana seyogyanya peran sosial arsitek?

Materialisme pada Masjid Nusantara, 39 halaman (23x24 cm), Januari 2010.

Rong: Wacana Ruang Arsitektur Jawa , 40 halaman (23x27 cm), Januari 2010.

Benarkah pada masjid Nusantara berlangsung fenomena Arabocentrism? Lalu, bagaimana semestinya umat muslim Indonesia mengambil sikap budaya dan menyepakati simbol peradaban muslimnya?

Buku ini mempertanyakan dengan kritis konsepsi ruang pada arsitektur. Mengapa mempelajari ruang mesti dari kacamata Barat? Prof. Josef Prijotomo mengajak Anda untuk mempelajarinya dari Indonesia, dari Nusantara. Bagaimana itu? Apa konsepsi “rong”?

Sebagian isi juga disajikan di dalam video di YouTube: Mbah Surip, Rendra, dan Gus Dur: Pelajaran untuk Arsitektur

www.ruangarsitektur.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.