www.ruangarsitektur.com
Pohon Kita, Rumah Kita © Galih Widjil Pangarsa, Maret 2010
Gambar sampul: Montase Kebun Raya Purwodadi; foto: Galih W. Pangarsa, 2006 Desain grafis: Galih Widjil Pangarsa ISBN [e‐book] dalam proses. Penerbit: www.ruangarsitektur.com. Engine pada http://arsiteknusantara.blogspot.com ©You Publish
1. theory on architecture 2. sustainable architectre 3. philosophy in architecture 3. green architecture
Foto-foto ilustrasi yang tidak dicantumkan sumbernya berasal dari sumber bebas (open source). Jika tidak, sedang dalam proses pengizinan dari yang pihak-pihak yang mengklaim memiliki hak atasnya (yang terkadang, tak lagi memakai/merawat website mereka). Jika mereka tidak berhasil dikontak, kami mohon dengan hormat untuk memahami bahwa para fotografer yang karyanya terpakai di dalam buku ini pun memfoto objek-objek arsitektur tanpa memberikan imbalan apapun kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan objek foto mereka. Kami berterimakasih kepada mereka, semoga amalnya bagi penerbitan e-book untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia ini, mendapat ganjaran yang lebih baik dan melimpah dari Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah.
Pohon Kita, Rumah Kita
Galih Widjil Pangarsa, Universitas Brawijaya
E-book ini disertai dengan video yg dapat diunduh melalui www.ruangarsitektur.com
“Gunungan� wayang kulit Bali: pelajaran tentang pohon, yang tak lain, terutama bagi daerah tropikal dua musim, hakekatnya adalah rumah bagi manusia [Sumber: Wagner, 1961,
Indonesia, Albin Michel, Paris].
Sekapur sirih
Salam, rahayu, semoga para pembaca yang budiman senantiasa selamat dan sejahtera. Buku ini sebetulnya berangkat dari pembuatan video lecturing untuk keperluan mengajar Mata Kuliah Arsitektur Nusantara di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Namun akhirnya ide berkembang untuk menjadikannya sebagai sebuah e-book. Atas kerjasama dan bantuan rekan-rekan dari www.ruangarsitektur.com, maka terwujudlah buku ini. Oleh sebab itu, isi setiap bab buku ini juga dapat diikuti dalam versi video, sebanyak lima video. Mohon kritik dan saran para pembaca. Semoga buku ini bermanfaat. Galih Widjil Pangarsa galih.wp@gmail.com
Daftar isi:
Sekapur sirih iv Indonesia Panen Bencana!
1
Menuju �Arsitektur Yang Berkelanjutan�?
4
Benua Bahari Nusantara 13 Individualisme: Sumber Bencana? 23 Upaya Menjagai Pepohonan dan Air 29 Bacaan 36
Lapindo: Dua Kali �La� Laknat ketika alam disakiti
hingga berlumpur-darah Tak lagi ia ramah terhadap si bengis-kejam-penjarah
Laknat ketika mesti menyelami lautan ampunan Allah Terhadap sesama, si dengki justru makin serakah
Indonesia Panen Bencana!
Salah satu korban gempa di Kabupaten Bantul 2006. Bocah yang masih lemah ini pun terdorong untuk melindungi yang lebih lemah: kcing kesayangannya.
Indonesia tak hanya menuai panen gempa atau banjir lumpur. Di Kalimantan Timur sedikitnya 6,8 juta hektar dari 17 juta hektar hutan dan lahan telah rusak [Antara News, Samarinda, 29 Januari 2008]. Rusaknya hutan dan pepohonan adalah bencana dahsyat, karena "pohon kita sesunguhnya adalah rumah kita". Di dalam buku Kawruh Kalang yang populer dalam kajian arsitektur Jawa, dikatakan bahwa: "[T]iyang sumusup ing griya punika saged kaum-pamekaken ngaub ing sakngandhaping kajeng ageng" "[O]rang yang menyusup dalam rumah itu dapat diumpamakan bernaung di bawah pohon besar (yang rindang)". Kesadaran akan pentingnya pohon bukan hanya berlangsung di Jawa. Tetapi hampir di setiap peradaban. Salah satu pemahamannya, tertuang misalnya dalam gambar klasik �Adam’s House� [hipotesa Viollet le Duc, 1875, lihat gambar
3 di tengah] yang banyak direpro oleh para penulis dan penerbit buku arsitektur. ”bagaimana sikap kaum arsitek ”Lalu, bagaimana sikap dunia ketika kaum arsitek ketika lingkungan bumi lingkungannyarusak?” rusak?”
Sebahagian besar dari masyarakat global arsitek menjawab bahwa mereka sedang mengupayakan ”suatu sustainable architecture” ! Benarkah demikian? Apa yang mereka maksud dengan ”menuju arsitektur yang berkelanjutan” itu? Marilah kita mengamati beberapa kasus di luar Indonesia, sebelum mengikuti pengalaman para arsitek Indonesia.
Gereja Clsea, Enrique Norten
Menuju �Arsitektur Yang Berkelanjutan�?
Pertanyaan pertama yang mesti dijawab tegas ialah: berkelanjutan menurut siapa? Tentu tidak mudah, karena ilmu mustahil terpisah dari kepentingan atau subjek yang mengkonsepkannya. Karena itu lebih baik kita melihat prakteknya. Kita amati yang pertama, meskipun bukan yang terpenting, yaitu dari proyek prestisius Ordos 100 di Inner Mongolia (kurator: Ai Weiwei, seniman Beijing bereputasi global, khususnya di Plot Nomor 26 [lihat gambar di samping]). Di antara beberapa kekhasan yang lainnya, di proyek ini, sekelompok arsitek dari Prancis (R&Sie[n], Roche dan rekanrekan) memakai konsep yang prinsipnya, membangun sebuah bangunan tiga lantai, yang kulitnya diurug oleh tanah dan
5 di atas permukaan tanah tersebut ditanam pohonpohon bambu yang semakin ke tepi semakin jarang, karena tanahnya semakin berpasir. Sedangkan pada bagian tengah ada satu halaman yang tembus tiga lantai dan berfungsi sebagai pengumpul air hujan. Demikian sehingga antara site dan sekelilingnya itu terjadi suatu transisi dan keberlanjutan yang harmonis.
Yang kedua, Serpentine Gallery Pavilion, London (konstruksi 2009, Arsitek: Sejima & Nishizawa atau SANNA, lihat foto di latar belakang), yang mengambil solusi eksperimental dengan memperluas bidang tanaman
di permukaan tanah “secara visual” dengan cara memakai “bidang pantul” yaitu sisi bawah plat atap. Selain itu ujung bagian atap dibuat semakin landai menurun sehingga dapat menjadi suatu playground yang cukup menarik bagi anak-anak. Kemudian ide memadukan bangunan dengan taman, pemenang lomba Residential Tower for the Cascade Park, di Belanda oleh Faro. Di sini tanaman disatukan kedalam struktur bangunan. Hal serupa dipakai juga oleh Heerim Architects & Planners untuk perluasan Incheon Stadium (arsitek Populous dan Heerim Architects and Planners) bagi persiapan Asian Games nanti pada 2014 di Seoul [lihat gambar di tengah]. Jika tidak sedang berfungsi sebagai tempat events,
.
7 maka kompleks Incheon Stadium yang terlihat sangat emperioritaskan ruang hijau dan memiliki skala yang cukup besar itu, tentu berfungsi sebagai taman kota (sumber foto: Off. Websites of the 16th AG, www.gz2010.cn/).
Selanjutnya, marilah menelisik karya pemenang sayembara The University of Northampton karya sekelompok arsitek yang sedang naik daun di Inggris , yaitu Alison Brooks Architects. Yang sangat khas dari proyek ini adalah satu bangunan pusat yang menjadi simbol dari menyatunya aktivitas di kampus tersebut. Pada bagian atas dari bangunan itu sang arsitek memakai kaca-kaca cembung untuk memasukan cahaya. Pada bagian dalamnya ada upaya menghadirkan pohon sehingga dapatlah ini dilihat sebagai suatu bukti bahwa "manusia tidak hendak untuk pisah dengan vegetasi" [lihat video].
Karya yang lainnya, kita dapat mencatat dari Kenneth Yeang. Ken, perancang Mesin Niaga di KL, adalah arsitek yang sangat tekun bereksperimen dengan design ekologis. Itu dapat kita lihat pada karyanya Solaris, di Singapore. Ken menempatkan vegetasi yang berbeda pada tiap lantai. Konsepnya adalah memadukan antara aktivitas di bangunan tersebut dengan jenis vegetasi ter-�install�. Untuk itu dia berkerja sama dengan beberapa ahli botani untuk menentukan tanaman apa yang mesti ditanam di tempat-tempat yang berbeda- beda itu. Konsep ini dapat kita lihat mengembangkan konsep Corbu, roof garden [lihat video]. Tapi apakah benar sustainable architecture sekedar
9
meliputi bangunan tunggal? Di halaman sebelum ini, adalah karya seorang starchitect, superstarnya arsitek, yaitu Jean Nouvel. Pada karyanya di California itu —dia menamakan sendiri karya bangunannya sebagai "The Green Blade"— Jean memasang vegetasi di bagian luar dari dinding bangunan sehinga muncul kesan transparan, ia memakai pula konsep menyatukan tanaman dengan bangunan di proyeknya yang lain di New York (100 11th Avenue Apartment Tower, lihat halaman sebelumnya, bagian kiri). Yang menjadi pertanyaan, benarkah sistem energi dari vegetasi tersebut tetap sama jika pohon-pohon itu ditanam di tanah? Jawabannya tentu tidak. Karena tanaman itu
memiliki jarak dari tanah yang cukup tinggi. Hal itu sangat berbeda dengan dedaunan tua yang jatuh di atas permukaan tanah. Energinya pasti satu sistem dengan lapisan tanah di bawahnya. Tampaknya pengalaman Jean Nouvel tadi diprolehnya ketika ia berkolaborasi dengan Patrick Blanc, seorang ahli botani Prancis dan dipandang pula sebagai artis. Ia mempunyai satu konsep khusus: memilih tanamantanaman liar yang biasa hidup di tebing-tebing pegunungan — yang ia patenkan— agar tanaman ”tebing” tersebut dapat tumbuh secara vertikal di mana saja [lhat foto latar-belakang]. Termasuk tumbuh di dindingdinding bangunan.
11 Berbicara tentang sustainable architecture kita tidak bisa lepas dari pandangan umum yang menilai bahwa keindahan bangunan sebetulnya tergantung dari keindahan di site-nya karena sesungguhnya,
Pernahkah arsitek menyadari bahwa keindahan desainnya ditentukan pula oleh lingkungannya?
antara bangunan dan pepohonan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal ini tampak pada karya van der Ryn, Dwelling atau Falling Water-nya Frank Llyod Wright [lihat gambar samping dan video]. Sustainable architecture juga mesti ditinjau dari segi visual dan tektonik, dan inilah yag kemudian dikonsepkan oleh Frank Llyod Wright (FLW) menjadi Organic Architecture. Yang pasti, jika alamnya indah maka arsitektur yang melatardepaninya juga indah. Ini diungkapkan oleh Frank Llyod Wright dalam ungkapan: "jika design anda jelek tanamlah satu pohon; jika masih jelek, dua pohon, tiga pohon, maka nanti design anda
akan bagus". Pernahkah arsitek menyadari bahwa keindahan desainnya ditentukan oleh lingkungannya? Jika lingkungan di site Anda buruk, sebagus apa pun desain Anda, itu akan tetap mencengkeram desain Anda. Kecuali, barangkali pada kertas gambar atau monitor si arsitek. Mengapa? Pada masa kini, para mahasiswa arsitektur nyaris tidak pernah dilatih matang untuk
menanggapi tapak dan dampak visual dan spasial desainnya terhadap lingkungan. Pemahaman picik dari abad vitruvian masih terbawa: melihat arsitektur hanya sebagai single building, bukan sebagai bagian dari lingkungan binaan bersama.
“Mengapa sustainable architecture hanya dikaitkan terhadap single building?� L:atar belakang: Rumah di Mexico City, Enrique Norten
13 Benua Bahari Nusantara
Selain berpulau-pulau, Nusantara adalah kawasan berpohon yang berdaun sepanjang tahun. Masihkah hal itu dapat bertahan? Di masa lalu, ya. Kawasan berpohon ini bahkan sampai pada Asia Tenggara daratan —bahkan sebenarnya daerah pantainya pun masih berkarakter lingkungan alam Nusantara. Tentu saja lingkungan hidup utama lainnya ialah air. Juga sebagian sangat kecil, bernaung dan menyelenggarakan ritus di dalam gua. Bagi yang tinggal di perairan, mereka hidup dari sungai, namun kenyataannya, Arsitektur hanya bagian sangat kecil dari lingkungan binaan�
Hakekatnya, alat pengangkutan perahu adalah rumah sementara mereka. Persis seperti di Danau Tempe, perahu adalah rumah [lihat gambar bawah dan video]. Namun ketika keadaan telah
mengizinkan, mereka hidup di darat. Di darat itulah aktivitas pertanian yang sangat lekat dengan pepohonan, berlangsung selama berabad-abad.
15 Ada pula yang masih mempertahankan ciri kehidupan pertanian yang masih sederhana. Meski tampak sederhana, sesungguhnya sering kali memuat satu sisitem yang sangat kompleks,
Dokmentasi Awang Diwngkara, 2000.
seperti contoh di Kampung Naga Jawa Barat: antara rumah, balong dan sawah serta alam keseluruhannya, adalah satu kesatuan ekologi yang rumit-terpadu [lihat gambar bawah dan video].
Hunian pohon
Bukti kedekat-akraban manusia dengan air dan pepohonan yang ditumbuhkannya: berbagai bentukan arsitektural yang terkait dengan pohon, baik sebagai bahan bangunan, tempat kedudukan maupun ide struktual.Dari atas kiri searah jarum jam: hipotesis Egenter tentang fse perkembangan tipe arsitektur;
“Rumah Adam� hipotesa Violet-le-Duc 1875; rekonstruksi hipotetik rumah megalitik di Thailand; rumah pohon di Papua; lumbung zaman Yayoi di Jepang Selatan; rumah kepala suku Batak Toba.(Sumber: Egenter,1992; le Duc, 1875; Izikowitz, 1982; Yudohusodo, 1991; Nishi & Hozumi, 1983; Gunawan, 2002).
17
Go'o Shrine, karya Hiroshi Sugimoto.
Hunian gua
Bukti kedekat-akraban manusia dengan tanah: berbagai bentukan arsitektural rumah dengan dinding dan dinding-atap dari tanah. Dari atas kiri searah jarum jam: lukisan bison pada dinding gua hunian manusia prasejarah di Altamira, Perancis Selatan, diperkirakan 15 ribu tahun yang lalu; rumah ceruk dari Henan; hipotesis Kien-tschou-huie-pao atas perkembangan
rumah setengah tertanam tanah dari masa prasejarah Cina; rekonstruksi rumah periode Yayoi, Jepang, abad 2 SM-2M; rumah ceruk di Gansu dan tapak permukiman troglodit (menggua) di Qinguabian; rumah zaman neolitik di Shanxi, Cina. (Sumber: Gombrich: 1982; Loubes: 1988; Nishi & Hozumi, 1983).
19
Rumah gua di Matmata, pedalaman Tunisia, yang didesain untuk setting film “Starwars�.
Adapun arsitektur perlindungan sub-tropik daratan prasejarah — sebagai contoh di Gua Lascoux, Prancis Selatan— keadaannya berbeda. Mereka tinggal di gua, dan di sini, mereka bertahan dalam musim-musim yang sangat keras: musim dingin [lihat video]. Begitu pula di Tunisia di daerah gurun [lihat halaman sebelum ini], ketika tanah dan kandungan airnya atas kepemurahan yang Maha Pemurah, Allah, tumbuh pepohonan, maka di oase-oase seperti ini akhirnya muncul pulalah peradaban. Pohon menjadi sangat penting; lebih banyak menghirup oksigen lebih baik dalam rangka memelihara permukaan otak; dedaunan menyediakan oksigen dan menjaga kelembaban atmosfir. Selain mengatasi efek negatif dari
karbondioksida, pohon juga merupakan sumber makanan yang sangat penting mulai dari kayu, kulit, sampai buahnya. Kita juga dapat melihat pada peradaban kuno, munculnya ide pohon bhodi misalnya. Hal yang patut kita renungkan bersama ialah bahwa pohon yang menghidupi berbagai jenis hewan dan manusia, bukanlah individu dari suatu lingkungan eksklusif atau tertutup, namun setiap pohon merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar. Pohon tidak tumbuh secara cepat, akan tetapi daun demi daun mempunyai peran
21 untuk melanjutkan kehidupan manusia. Dari padanya manusia membuat peradaban, membuat arsitekturnya, membuat hunian.
Maka, lingkungan hunian manusia pun sebenarnya terangkai, tersistem dengan unit lingkungan yang lain yang bisa kita sebut dengan satu sistem kebumian: "Earthship� [lihat video].
Yang kuat menindas yang lemah: (Kiri:) Romulos membunuh saudaranya Remus, agar dapat menguasai perbukitan yang kemudian menjadi Kota Roma (grafir dari abad XVIII, sumber: Ragon, Michel, 1985, Les hommes et les villes, Albain Michel, Paris)
23 Individualisme: Sumber Bencana?
Manusia bukan hanya mahkluk individudal saja akan tetapi mahluk sosial. Manusia hidup bersama dalam satu masyarakat secara komunal; kota adalah gambaran kehidupan individual dan kehidupan sosial sekaligus. Maka, ketika salah satunya — ekonomi misalnya— diprioritaskan pasti terjadi banyak ketimpangan. Benarkah individualisme menjadi sumber bencana? Di pantai Timur Surabaya, pada tahun 2007, ruang terbuka hijau semakin habis tergusur industri dan perumahan yang mengikutinya. Ruang terbuka hijau terdesak, hanya tersisa beberapa kilometer dari tepi pantai. Tidak adalagi pohon peneduh, yang ada ialah papan reklame, bahilo, spanduk
yang kian hari tumbuh subur. Di kota-kota besar, pada akhirnya — makhluk yang paling lemah — lautlah yang paling menderita oleh sampah manusia penghuninya. Di dalam kota sendiri pun, setiap hari entah berapa banyak karbondioksida dan timah buangan bahan bakar kendaraan bermotor yang kita hirup. Bagaimana keadaan jalannya, begitulah keadaan masyarakat kota. Jelas, pejalan kaki menepi dan terpinggirkan oleh derasnya lalulintas masinal yang tidak kenal kasihan.
Mahkluk lain yang lemah adalah air. Di kota-kota besar pinggir pantai, sungai menjadi saluran drainase besar dan saluran buangan sampah yang akan membawanya terus ke laut. Namun, ada saatnya sungai kota memperingatkan penduduknya dengan banjir seolah mempertanyakan, tidakkah ukuran kotakota kita terlalu besar sehinga terlalu sulit untuk dikelola? Tidakkah kita salah menangani �daerah belakang� (hinterland, yang bukan berarti daerah yang �dibelakangkan� kepentingannya demi kepentingan ekonomi industri kota)? Ada pula upaya mengembangkan pertanian perkotaan (urban farming), untuk ekonomi dan ekologi kota. Tapi bisakah dirawat dan dipelihara dengan air yang kotor?
25 Di daerah pantai, keadaannya bahkan lebih mengenaskan bagi penduduk miskin perkotaan. Hidup makin sulit. Persoalan apakah air bersih, udara bersih menjadi persoalan kedua. Jakarta, sebagai �kiblat� pengembangan kota di Indonesia, bukannya tidak memperdulikan sama sekali penghijauan — bahkan upaya upaya penghijauan dengan mengintergrasikan vegetasi dan bangunan mulai dilakukan. Tapi, bisakah menjagai air dan pepohonan secara individual? Meskipun ada promosi dan ada dorongan para arsitek menerapkan Green Design, juga ada Sertifikasi Bangunan Hijau (GBC, Green Building Certification), ada pula Leadership in Energy and Environment Design (LEED), tapi cukupkah itu, bila semuanya
tertuju hanya pada bangunan tunggal saja? Kota mempunyai sistem dan memiliki struktur yang sangat kompleks sekaligus sangat ketat. Tidak bisa menyelesaikan lingkungan hanya dengan menyelesaikan bangunan tunggal. Karena itu, orang mulai berfikir tentang social sustaninability in architecture yang terpadu dengan sustainable energy, sustainale building materials, water and waste management, building placement dan seterusnya, paradigma ini memperbaharui pandangan bahwa sustainable architecture dapat �dipaket� dan dapat diterapakan di mana saja. Tentu, tidak sesederhana itu. Tiap ruang mempunyai karakteristik lokal yang sangat individualistik. Lalu muncul para pemikir, seperti halnya Murray Bookchin. Ia menawarkan Social Ecology.
Sayangnya Social Ecology berhenti pada pertanyaan bagaimana membuat titik perimbangan antara kehidupan alam yang mesti dijaga oleh manusia yang memanfaatkannya. Ia belum menuntaskan jawaban, bagaimana penerapannya. Lalu, bagaimana menerapkan gagasan filosofi ini?
27 Sangat sulit mencapainya tanpa spiritualitas. Itu hanya bisa terjadi pada masyarakat yang berhasil memelihara kegotong-royongan berkehidupan bersama, yang berasas pada saling memberi atau memenuhi kewajiban, bukan mendahulukan saling meminta hak. Bangsa Indonesia yang secara natural atau secara fitrah mewarisi sifat berketuhanan dan berperikemanusiaan, sebetulnya sangat beruntung dan sangat berpotensi menerapkan hal di atas. Sayangnya, selama tiga dekade lebih di masa lalu, Pancasila yang bermuatan keruhanian, hanya menjadi kendaraan politik, bukan menjadi wahana peng-adil-makmur-an bangsa.
Poster Komunitas Taring Padi pada Biennale Seni Rupa, Jogjakarta, 2009
29 Upaya Menjagai Pepohonan dan Air
Kesulitan utama mengapresiasi karya arsitek Indonesia justru karena kekurangan dokumentasi. Namun dalam keterbatasan itu, akan kita coba untuk menimba pelajaran dari rekan-rekan kita. Yang pertama adalah karya Eko Prawoto, sebuah home stay milik Pak Abott [gambar samping]. Di sini ia bukan mengkonservasi sumur lama, akan tetapi mengkonservasi tradisi rakyat Jogjakarta membuat dan menempatkan sumur dalam sebuah rumah (bukan di ruang dalam, tetapi di pelatarannya). Dengan sumur itu, muncul nuansa hidup yang serba adem, dingin menentramkan. Pada karyanya yang ini, Eko mempersoleki sumur itu. Pesolekannya sangat khas Eko: Dokumentasi: Eko Prawoto
memakai bentuk ukel. Begitu pula, Eko memakai pecahan keramik. Tentu saja dari segi konstruksi solusi ini lebih mahal. Tetapi, biaya kontruksi lebih banyak terserap oleh tukang, tenaga kerja kaum lemah. Inilah sustainability secara ekonomi, teknologi, dan ketukangan. Yang kedua, masih karya Eko Prawoto, adalah Galeri Seni Cemeti Art House, Jogjakarta. Sumur di galeri seni ini merupakan sumur lama yang memang telah ada terlebih dahulu. Eko melestarikan sumur tersebut. Selain sumur, ada vegetasi yang perannya cukup besar dalam memberikan kesegaran udara. Selain menghantarkan pengunjung dengan nuansa kesegaran, sumur yang sering menjadi objek instalasi para seniman ini, seperti membekali para pengunjung
pameran dengan karakter lokalitas Jogjakarta.
Dokumentasi: Eko Prawoto
31 Pada karya Eko Prawoto yang lain yaitu Studio Kuaetnika, kita pun
melihat upaya menjagai pepohonan. Meski ini bukan upaya besar, namun ini keseriusan untuk menjagai pepohonan. Dapat kita lihat di sini penutup atap asbes sengaja diberi lubang agar tidak perlu menebang pohon. Hal serupa juga terjadi pada rumah tinggal Eko Prawoto sendiri. Ia sengaja melobangi atap rumahnya agar tak perlu menebang pohon. Di rumah tinggal rumah tinggal Djaduk Ferianto [gambar samping], ada kesinambungan visual antara sebuah blok bangunan dengan blok di seberangnya. Jendela, pintu dan selasar terbuka di lantai atas merupakan penghubung visual. Selanjutnya karya dari Mamo Studio dkk, Pemenang Kedua Sayembara Gotong Royong City (IAB Rotterdam). Pada karya ini, ide yang orisinal adalah
upaya menampung air hujan yang disalurkan ke bawah. Design instalasi penangkap air hujan ini, mengandalkan plat bulat di bagian atasnya yang sekaligus menjadi pendestrian di atas muka tanah.
33
.
Dokumentasi: Adi Purnomo/Mamo Studio
Karya Mas Mamo yang lain yang sangat menarik adalah Studi-O Cahaya [gambar samping] merupakan karya yang ikut dipamerkan di Barcelona akhir tahun 2009. Hijaunya pepohonan pada karya ini hadir tidak hanya dari fisiknya saja, tapi juga memberikan bayangan ke ruang dalam. Bayangan vegetasi itu menyertai cerlang-langit yang hadir secara bersamaan. Pada karyanya yang lain, di area taman, teknik ini pun dipakainya. Vegetasi membentuk bayangan sekaligus memantulkan cerlang matahari. Komposisi gelap-terang ini masih diperkayanya dengan penempatan bilah-bilah kayu di atasnya. Satu lagi karya yang terlihat bermisi ikut menjagai pepohonan, adalah karya dari arsitek Bambang Suprijadi, Semarang. Pada karyanya di
Museum Sangiran ia membiarkan tumbuh pohon yang berada tepat pada jalur sirkulasi meskipun pohon tersebut kecil. Kita dapat juga melihat karyakarya Arsitektur Nusantara, seperti rumah tinggal di Matoa, Sulawesi Selatan misalnya [gambar samping], sangat akrab dengan lingkungannya. Tampaknya dari hasil belajar selama ratusan tahun, Arsitektur Matoa, seperti halnya Arsitektur Nusantara dari daerah lain, dengan sangat bijak memakai material setempat. Teknologi yang digunakan juga masih dikuasai penuh oleh masyarakat di desa ini . Di bawah rumah pangung ini dapat kita lihat continous space, yang membangun terjadinya ruangruang perteduhan. Naungan pepohonan besar kecil
35 betul-betul merupakan rumah bagi manusia. Untuk menjagai pepohonan, yang diperlukan ialah membuktikan tumbuhnya rasa kemanusiaan. Pada profesi arsitek, diperlukan spiritualitas yang dapat mengika-satupadukan kebhinnekaan pada arah meluhur-muliakan manusia. Nilai itulah yang dimaksud dengan bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangruwa, berbeda-beda namun satu, tanpa arah tujuan perbuatan yang mendua. Satu dharma, satu upaya serempak agar sifat manusia memancar kembali, yaitu mengasih-sayangi sesama makhluk ciptaan Tuhan, Allah Yang Maha Berkepemurahan Kasih Sayang, di satu bumi hunian-pepohonan bersama.
Bagaimana praktiknya? Para arsitek (ksususnya yang muda — para pemilik masa depan) hanya dimohon untuk sekedar mau menghijrahkan pola pandang dan pola pikir dirinya yang individualistik. Setelah itu, baru menghijrahkan pandangan client-nya untuk paling tidak, tidak makin memperparah kerusakan lingkungan. Keberpihakan terhadap manusia dengan cara ikut menjaga kelestarian lingkungan hidupnya, adalah sebuah idealisme. Idealisme adalah sebuah perjuangan yang perlu konsistensi dan kesabaran.
Banyak arsitek muda yang kurang mencermati bahwa mereka yang ”bernama besar” atau ”yang perkataannya sudah didengar client”, adalah mereka yang telah berkarir cukup lama. Frank Gehry, Rem Koolhaas, Jean Nouvel, Peter Zumthor, dan banyak nama lain, baru ”menikmati” posisi itu setelah menginjak usia sekitar 60 tahun. Enrique Noter, arsitek asal Mexico yang akhir-akhir ini mulai ”bersinar” di Amerika, adalah “pemuda” berusia 48 tahun yang cukup cepat laju roket karirnya.
Bacaan: Otero-Pailos, 2002. Theorizing the Anti-avant-garde. Invocations of Phenomenology in Architectural Discourse, 1945-1989, MIT PhD in Arch, unpublished dissert. Pangarsa, Galih Widjil, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara, Penerbit Andi, Yogyakarta ________, 2008, Bahtera Kemanusiaan Nusantara Di Laut Karawitan Arsitektur, (keynote speech) Seminar Nasional Jelajah Nusantara, Jurusan Arsitektur ITS, 13-14 Nopember 2008, Surabaya ________, 2008, Arsitektur untuk Kemanusiaan Teropong Visual Culture. Teropong Visual Culture atas Karyakarya Eko Prawoto, Surabaya, Wastu Lanas Citra, [ISBN 978-602-8114-24-0]
Indonesia Panen Bencana!
bagaimana sikap kaum arsitek putera negeri ini ketika lingkungannya rusak? Apakah masih akan terus sibuk dengan perjuangan keras meraih prestise dan prestasi dirinya sendiri? Salah satu pulau di Riau Kepulauan, 2002.