MWATHIRIKA

Page 1


2

by Maria Tri Sulistyani & Iwan Effendi (Direktur Artistik/Art Directors of MWATHIRIKA)


Kenapa memilih tema ini? Bukannya tema “sejarah abu-abu” di Indonesia adalah hal yang “basi” untuk diceritakan lagi? Mungkin memang begitu bagi beberapa orang di Indonesia atau nampaknya lebih banyak yang tak ingin membicarakannya, dan memilih melupakannya karena takut. Tapi ternyata tidak demikian bagi kami. Meskipun sudah ratusan judul buku dan film diluncurkan dengan kontroversi mengenai “sejarah abuabu” ini, tapi berapa banyak nona dan sinyo muda di tanah air kita yang mengetahui, mendengar, menonton dan membacanya? Berapa banyak dari kita yang mau mengingat sejarah abu abu bangsa ini? Bagi kami, ini bukan tentang siapa yang membunuh siapa. Ini tentang adanya sejarah kehilangan (dan kehilangan sejarah) di dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang?

Why choose this theme? Isn’t the ‘dark chapter’ in Indonesia’s history ‘old news’, does it need to be told again? Perhaps this is so for some people in Indonesia or perhaps there are even more who don’t want to talk about it, and choose to forget it because they fear it. But that’s not the way it is for us. Although hundreds of books and films about this ‘dark chapter’ have been produced, under a cloud of controversy, how many of the young men and women of our archipelago have heard about, watched, or read them? How many of us want to remember this dark chapter of our history? For us, it is not about who killed who. This is about a lost history (and the loss of history) in our lives. Shouldn’t it be so, that if we know what has happened in the past, then we can understand why we stand here now, and where we want to go in the years to come? So, this is what actually happen while the daughter of a former Lieutenant Colonel of

3


Ternyata ini jadinya kalau seorang anak pensiunan Letnan Kolonel TNI AU, dan cucu seorang dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun macam kami ngobrol tentang sejarah abu-abu negara, yang juga menjadi bagian dari sejarah keluarga.

4

MWATHIRIKA adalah sebuah pertunjukan visual tanpa kata, mengenai sejarah abu-abu yang kami sampaikan dengan cara yang imajinatif seperti di negeri dongeng. Dalam pementasan ini, kami memilih bahasa Swahili untuk judul pementasan sekaligus nama-nama karakternya, dan memilih boneka jenis bunraku dan kuruma ningyo yang bersumber dari Jepang, untuk kami buat dan mainkan.

Indonesian Air Force, and the grandson of dalang (wayang puppet-master) who was a political prisoner for 13 years, -like us- could talk about the dark chapters of history, that are also a part of their family histories.

MWATHIRIKA is a visual performance without words, about that dark history which we tell in an imaginative way, like a fairy tale. In this performance we use Swahili words for the title and the character’s names, and have created bunraku and kuruma ningyo puppets, which originate from Japan, to perform the story. Yes, IT’S TRUE! We are celebrating the joy of choosing many things from many


Ya, BETUL SEKALI! Kami sedang merayakan asyiknya mengkonsumsi banyak hal dari banyak etalase. Kami sedang merayakan gegap gempita transliterasi sejarah (bahasanya Agung Kurniawan pendamping proses) ke dalam karya kami. Mungkin anda akan mengenali beberapa simbol yang ada, mungkin juga tidak. Jangan khawatir. Nikmati saja! Ini hanyalah salah satu bahasa ungkap yang kami gunakan untuk menceritakan sejarah yang membesarkan kami. ---

shelves. We are celebrating the cacaphony of transliterative history (the words of Agung Kurniawan – the process companion) in our work. Maybe you will know some of the symbols, maybe not. Don’t worry. Just enjoy it! This is just one of the languages which we can use to tell stories from our history, which enriches us. ---

5


6


Ketika para wakil rakyat berusaha “membela” kepentingan bangsanya, siapakah korbannya? Ketika para tentara berupaya menumpas kejahatan, siapakah korbannya? Dan ketika kita hanya akan mencari jalan aman, siapakah korbannya? Anak, kakak, adik, kekasih, orang tua, tetangga, sahabat... mereka, yang tak bersalah. Moyo dan Tupu adalah kakak beradik, yang dibesarkan oleh ayahnya, Baba, pria pekerja keras yang bertangan satu. Mereka adalah keluarga harmonis yang bertetangga dengan Haki yang memiliki seorang anak perempuan, Lacuna, yang selalu duduk di kursi roda. Mereka adalah tetangga baik yang tinggal “berseberangan”. Hidup bertetangga mereka yang baik-baik saja mendadak mengalami perubahan besar semenjak terjadi konflik besar di tataran penguasa, lapisan yang tak pernah mereka pahami. Dan perubahan itu terjadi hanya gara gara sebuah gambar segitiga di pintu rumah dan sebuah peluit kecil berwarna merah. ---

When a representative of the people tries to defend the interests of the nation, who are the victims? When the army attempts to fight off evil, who are the victims? And when we will only seek the safe path, who are the victims? Children, brothers, sisters, loved ones, parents, neighbours, friends.. they, who are not guilty. Moyo and Tupu are siblings, raised by their father, Baba, a hard working man with one hand. They are a happy family, neighbours with Haki who has a daughter, Lacuna, who is wheelchair-bound. They are good neighbours, who live “side by side.” Their peaceful neighbourhood suddenly undergoes a huge change, beginning with a enormous conflict between the powerful, a strata they have never understood. And that change starts only with a triangle drawn on their door, and a small red whistle. ---

7


8


Grantee of Empowering Women Artists 2010-2011


Papermoon Puppet Theatre didirikan pada 2006, oleh Maria Tri Sulistyani (seorang ilustrator dan penulis, mantan aktris teater realis), dan kini dibesarkan bersama dengan Iwan Effendi (seorang perupa yang suka bercerita). Diawali dengan membuat pementasan teater boneka untuk anak-anak di kampung pada awal kelahirannya, kini Papermoon telah

10

Papermoon Puppet Theatre was founded in 2006, by Maria Tri Sulistyani (an illustrator and writer, and former theatre actor) and now extends to Iwan Effendi (an artists who likes to tell stories). Beginning

with performing puppet-theatre for neighbourhood children, now Papermoon continues fulfills its artistic heart

menetapkan hati sebagai seniman yang melakukan eksperimen seni dengan menggunakan media teater boneka yang diperuntukkan bagi publik yang lebih luas. Tak hanya menggelar berbagai pementasan

with experimental art which uses the medium of puppet theatre to reach a wider audience. Not content with working in performance spaces, Papermoon chooses to expand itself into sitespecific performances in


di gedung pertunjukan, Papermoon memilik ketertarikan besar untuk membuat site specific-performance di pasar, kereta, rumah sakit, panti jompo dan tempat lain. Selain membuat pementasan, Papermoon juga kerap menggelar workshop teater boneka untuk segala usia dan juga kerap menjadi tuan rumah residensi bagi seniman mancanegara dan lokal. Tujuannya sejak awal hingga detik ini masih sama, yaitu menggunakan seni teater boneka

markets, trains, and hopefully next time in hospitals, nursing homes and other places. As well as performing, Papermoon also facilitates puppet-theatre workshops for all ages and hosts residencies for local and international artists. From its beginnings until now, Papermoons goals remain the same, that is to use the art of puppet-theatre to talk about many things, to even more people.

untuk bicara tentang banyak hal, kepada lebih banyak orang. Di luar Yogyakarta, Papermon Puppet Theatre juga sempat menggelar beberapa pementasan dan membuat workshop di Raja Ampat-Papua, Padang Panjang-Sumatera, Blora-Cilacap-SukoharjoMalang, New York, Baltimore, Philadelphia, Washington DC (USA), Korea Selatan, Malaysia, dan Singapore. ---

Outside Yogya, Papermoon Puppet Theatre has also had the opportunity to perform and facilitate workshops in Raja Ampat, Papua, Padang Pajang, Sumatera, Blora, Cilacap, Sukoharjo, Malang, and either New York, Baltimore, Philadelphia, Washington DC (USA), South Korea, Malaysia and Singapore. ---

11


Penata Musik/Music Director Yennu Ariendra

Produser/Producer Papermoon Puppet Theatre Konseptor/Conceptor Maria Tri Sulistyani, Iwan Effendi Pendamping Proses/Process Companion Agung Kurniawan

12

Direktur Artistik/Artistic Directors Maria Tri Sulistyani, Iwan Effendi Penata Laku/Act Director Maria Tri Sulistyani Desainer Artistik/Artistic Designer Iwan Effendi Asisten Desainer Artistik/Ass.Artistic Designer Octo Cornelius Pembuat Boneka dan Setting/Puppet and Setting Builder Anton ‘Grewo’ Fajri, Beni Sanjaya Pemain Boneka/Puppeteers Amanda Mita, Umiwa, Anton ‘Grewo’ Fajri, Beni Sanjaya, Octo Cornelius, Iwan Effendi, Maria Tri Sulistyani

Penata Lampu/Lighting Director Sugeng, Banjar Triandaru Video Artist Mamad Fesdi Anggoro Manajer Panggung/Stage Manager Novindra Dhiratara Penata Suara/Sound Director Eko ‘Tebleh’ Prabowo Pembuat kostum/Costume Maker Gemailla Gia Geriantiana Pimpinan Produksi/Production Manager Aniek Rusmawati Staf Produksi/Production Staff Suryo Hapsoro, Amanda Mita, Elga Ayudi Dokumentator/Documentator Indra Wicaksono, Hera Ariani, IVAA, Kosong Tiga Multimedia Services, Lusia Neti Cahyani Penerjemah/Translator Elly Kent Perancang Publikasi/Publication Designer Gamaliel W.Budiharga


Semua bagian dari set panggung, boneka dan karya dari pertunjukan MWATHIRIKA akan dipamerkan di Valentine Wille Fine Art Gallery, Tembi, Yogyakarta, pada tanggal 14 Desember 2010- 4 Januari 2011.

13

All of settings, puppets and artworks from MWATHIRIKA will be exhibited in Valentine Wille Fine Art Gallery, Tembi, Yogyakarta on December 14th, 2010 until January 4th, 2011.

Rumah Papermoon Jl. Langensuryo KT II/176 Yogyakarta 55131 INDONESIA papermoon_child@yahoo.com www.papermoon-puppet.blogspot.com

BOOKLET DIGITAL VERSION http://issuu.com/ gamaliel_wb/docs/ mwathirika

Director Maria Tri Sulistyani +62-812-270-8012

(c) 2010. papermoon puppet theatre.


14

Tuhan Yang Maha Ini dan Itu, kedua orang tua tercinta, kakak-adik dan kekasih. Yayasan KELOLA, Hivos Foundation, Ford Foundation. Iwan Effendi, Maria Tri Sulistyani, Octo Cornelius, Anton ‘Grewo’ Fajri, Amanda Mita, Beni Sanjaya, Umiwa, Aniek Rusmawati, Suryo Hapsoro, Mamad Fesdi Anggoro, Yennu Ariendra, Sugeng, Banjar Triandaru, Novindra Dhiratara, Eko ‘Tebleh’ Prabowo, Elga Ayudi, Nur Cahyati Wahyuni, Elly Kent, Gamaliel W.Budiharga, Indra Wicaksono, Hera Ariani, Kosong Tiga Multimedia Services, Lusia Neti Cahyani, Gemailla Gia Geriantiana, Alia Swastika, Brigitta Isabella. Pakde dan Bude Kus, dan keluarga kami yang menjadi narasumber MWATHIRIKA. Oom Agung Kurniawan, Mbak Amna W.Kusumo, Mbak Ratna

Riantiarno, Bu Yustina Neni, Mbak Linda, Mbak Muti dan Rekanrekan Yayasan KELOLA, Marie Le Sourd dan rekan-rekan LIP, Mbak Jeannie Park, Mas Besar Widodo, Oom Djaduk Ferianto, Oom Bambang, Tante Ita, Mas Ucil, Mas Heri dan rekan-rekan Yayasan Bagong Kussudiardjo. Mbak Mella Jaarsma, Mas Nindityo Adipurnomo dan teman-teman Cemeti Art House. Pitra, Duwe, Mbak Farah Wardani, dan rekan-rekan IVAA. Mr. Frank Werner dan rekan-rekan Goethe Haus, Jakarta, Mr. Paul Peters dari Erasmus Huis. Kedai Kebun Forum. Romo Gregorius Budi Subanar dan rekan-rekan Sanatha Dharma, Sandrine dan rekan-rekan ASB, teman-teman dari komunitas tunarungu. Pak Djoko Pekik dan Mas Loko. Mas Felix, Blass Studio, Sanggar Wayang Ukur, Bianglala. Joned

Suryatmoko, Yudi Ahmad Tajudin. Oom Valentine Willie, Mbak Ries, Elly Bonbon dari VWFA Gallery. Jasinta, Diggy Chicken, Pak Jepret, Diendha dan Radio Geronimo, Ardhia FM, Pro 2 FM, Penerbit Kanisius, Bu Dyan Anggraini, Pak Gun, Taman Budaya Yogyakarta, Scream, KOTASIS. Tetangga Langensuryo,Teman-teman yang sempat mengirim formulir audisi dan yang sempat ikutan audisi. Untuk semua pemantik inspirasi: Super Shaun Tan, Os Gemeos, Ahmad Tohari, Black and White di Tekkonkinkreet, Taiyo Matsumoto, Tom Lee dan temanteman Ko’olau, Luis dan Laurel Tentindo, Machinarium, The Boy in Striped Pyjamas dan semua sahabat yang bersedia bersabar untuk menemani dan menonton pementasan ini. ---




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.