Deutsche Saison

Page 1

Jerman Fest Deutsche Saison German Season

September – Desember 2015


Sebuah inisiatif dari Kementerian Luar Negeri Jerman Eine Initiative des Auswärtigen Amtes An initiative of the Federal Foreign Office of Germany

IMPRINT /  IMPRESSUM /  IMPRINT Manajemen Proyek /  Projektleitung /  Project Management Goethe-Institut Indonesien Kontak /  Kontakt /  Contact Tel.: (+62) 21 2355 0208 Fax: (+62) 21 2355 0201 info@jakarta.goethe.org Design Groupe Dejour, Berlin www.groupe-dejour.de Teks / Text / Text Dr. Manuel Gogos Agentur für Geistige Gastarbeit, Bonn Kredit foto/Bildnachweise / Photo credits Hak milik dan kredit foto telah diklarifikasi oleh Goethe-Institut Indonesien. Silakan hubungi kami untuk penjelasan terkait lainnya. Urheberschaft und Bildrechte sind durch das Goethe-Institut Indonesien geklärt. Kontaktieren Sie uns bitte bei Unklarheiten. The authorship and image copyrights have been clarified by the Goethe-Institut Indonesien. Do not hesitate to contact us with any possible questions. www.jermanfest.com


Jerman Fest Deutsche Saison German Season

September – Desember 2015


4


Daftar Isi Inhalt / Content 6

Kata Sambutan / Grußwort / Greetings

8

Fakta & Angka / Zahlen & Fakten / Facts & Figures

12

Film bisu klasik »Metropolis« bersama Orkestra Film Babelsberg Stummfilmklassiker »Metropolis« mit dem Filmorchester Babelsberg The silent film classic „Metropolis« and the Film Orechstra Babelsberg

18

Tivoli To Go / German Season Lounge

22

Mosaik aktual lanskap perfilman Jerman: »German Cinema« Aktuelles Mosaik der deutschen Kinolandschaft: »German Cinema« Current mosaic of the German cinema landscape: »German Cinema«

28

32

38

44

48

54

60

66

Perjalanan ke berbagai »Dunia Budaya« Eine Reise in verschiedene »Kulturwelten« A journey to different »Cultural Worlds« Belajar Bahasa Jerman bersama EINSHOCH6 Deutsch lernen mit EINSHOCH6 Learning German with EINSHOCH6 Sandiwara boneka: Koproduksi »Senlima« Puppentheater: Die Koproduktion »Senlima« Puppet theater: The co-production »Senlima« Pameran foto: »Stories Left Untold« Fotoausstellung: »Stories Left Untold« Photo exhibition: »Stories Left Untold« Pameran sains: »Fostering Ideas« Wissenschaftsausstellung: »Fostering Ideas« Science exhibition: »Fostering Ideas« Program residensi pengarang Jerman di Indonesia Autorenresidenzen mit deutschen SchriftstellerInnen Author residencies with German writers Berlin Radio Choir bernyanyi bersama paduan suara Indonesia Der Rundfunkchor Berlin singt mit indonesischen Chören Berlin Radio Choir sings with Indonesian choirs Pertukaran kreatif dalam »Choreographers‘ LAB« Kreativer Austausch im »Choreographers‘ LAB« Creative exchange in the »Choreographers‘ LAB«

72

Teater dokumenter: Koproduksi »100% Yogyakarta« Dokumentartheater: Die Koproduktion »100% Yogyakarta« Documentary theater: The co-production »100% Yogyakarta«

78

Konferensi: »Agama, Negara dan Masyarakat di Abad ke-21« Konferenz: »Religion, Staat und Gesellschaft im 21. Jahrhundert« Conference: »Religion, State and Society in the 21st Century«

82

Dialog di Kalangan Orang Kreatif: »Game Mixer« Dialog unter Kreativen: »Game Mixer« Dialogue amongst creative minds: »Game Mixer«

88

»Jerman, Negeri Penemuan – Penelitian Modular« »Erfinderland Deutschland – Baukasten Forschung« »Germany, Land of Inventions – Modular Research«

94

Seni di ruang publik: »Market Share« Kunst im öffentlichen Raum: »Market Share« Art in public space: »Market Share«

100 Belajar dan bergembira di Science Film Festival Bildung und Spass beim Science Film Festival Education and fun at the Science Film Festival 106 Kompetisi Online: »Demam Bola di Indonesia« Online-Wettbewerb: »Fußballfieber in Indonesien« Online competition: »Football Fever in Indonesia« 110 Konferensi: »Radikalisasi/ Deradikalisasi« Konferenz: »Radikalisierung/ Deradikalisierung« Conference: »Radicalization/ Deradicalization« 114 »volution / groove space« – irama sebuah kota »volution / groove space« – der Rhythmus einer Stadt »volution / groove space« – the rhythm of a cityGreen City 120 Kota di tengah perubahan: »Green City« Städte im Wandel: »Green City« Urban changes: »Green City« 126 »Ruang Suara« – Ensemle Modern berjumpa pemusik muda di Indonesia »Ruang Suara« – Ensemble Modern trifft junge Musiker in Indonesien »Ruang Suara« – Ensemble Modern meets young musicians in Indonesia 132 Presentasi buku: »Sang Petinju« oleh Reinhard Kleist Buchpräsentation: »Der Boxer« von Reinhard Kleist Book presentation: »The Boxer« by Reinhard Kleist 136 Pesta penutup Jerman Fest: »Berlin DJ Night« Die Abschlussfeier der Deutschen Saison: »Berlin DJ Night« The closing party of the German Season: »Berlin DJ Night« 141 Mitra utama, mitra proyek dan mitra media Offizielle Partner, Projektpartner und Medienpartner Official partners, project partners and media partners

DAFTAR ISI // INHALT // CONTENT

5


Jerman Fest – Sebuah Kilas Balik Die Deutsche Saison – ein Rückblick The German Season – in retrospect

D

ari September sampai Desember 2015 telah berlangsung Jerman Fest di Indonesia. Diprakarsai oleh Kementerian Luar Negeri Jerman dan diselenggarakan oleh Goethe-Institut Indonesien, Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, serta Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman (EKONID), Jerman Fest merupakan kegiatan kolaborasi Jerman-Indonesia terbesar selama ini dengan 25 proyek di bidang politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, pendidikan dan olahraga. Berkat antusiasme dan komitmen para seniman, berbagai organisasi dan perusahaan terkemuka dari Jerman dan Indonesia, Jerman Fest berhasil meraih sukses besar. Keberhasilan ini juga tercermin dalam tanggapan positif di media cetak, online, dan sosial serta di siaran televisi dan radio di kedua negara. Lebih dari 100.000 pengunjung di 23 kota di Indonesia mendatangi acara yang diadakan dalam rangka JermanFest – catatan angka yang melampaui prakiraan semula. Dengan demikian salah satu tujuan utama Jerman Fest pun tercapai: Menjangkau ke luar pulau Jawa untuk menyapa kelompok sasaran baru. Namun Jerman Fest lebih dari sekadar angka dan fakta. Satu hal yang menjadi ciri khusus pada sebagian besar proyek adalah semangat kooperatif: Seniman, pemusik, pengarang, ilmuwan, pekerja kreatif, dan intelektual dari Jerman dan Indonesia memperoleh kesempatan bertukar pikiran, menjalin kerja sama, dan mengembangkan kemitraan kokoh yang akan berlanjut sekalipun Jerman Fest telah berakhir. Tujuan lain Jerman Fest adalah memperkenalkan format kegiatan yang baru dan inovatif. Ini juga berhasil terlaksana – baik melalui proyek paduan suara interaktif dengan paduan suara dari Indonesia, perjumpaan pemusik Jerman dengan komponis Indonesia, maupun acara besar-besaran di bidang teater dokumenter yang melibatkan pemain awam secara aktif dalam proses berteater. Melalui rangkaian konferensi bertema politik seperti deradikalisasi atau dialog antaragama serta pameran dan lokakarya di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi kreatif, lingkungan, dan teknologi untuk perkotaan yang lebih hijau, konten Jerman Fest senantiasa aktual. Rangkaian kegiatan sebesar ini tak akan

6

KATA SAMBUTAN // GRUSSWORT // GREETINGS

mungkin terlaksana tanpa dukungan para mitra dan sponsor kami. Oleh karena itu kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu kami selama penyelenggaraan Jerman Fest. Buku foto ini mengajak Anda menengok kembali momen-momen terindah masing-masing acara – dengan demikian, kenangan akan Jerman Fest tidak akan memudar, melainkan terus hidup.

V

on September bis Dezember 2015 fand in Indonesien die Deutsche Saison statt. Initiiert vom Auswärtigen Amt und veranstaltet vom Goethe-Institut Indonesien, der Deutschen Botschaft Jakarta sowie der Deutsch-Indonesischen Industrie-und Handelskammer EKONID, war die Deutsche Saison mit 25 Projekten in den Bereichen Politik, Wirtschaft, Kultur, Wissenschaft, Bildung und Sport die bislang größte deutsch-indonesische Gemeinschaftsveranstaltung. Das Engagement und die erstklassige Arbeit bekannter Künstler, Organisationen und Unternehmen aus Deutschland und Indonesien machten die Deutsche Saison zu einem vollen Erfolg. Dieser spiegelte sich auch in der durchweg positiven Resonanz in den Print-, Online- und Sozialen Medien sowie im Fernsehen und Hörfunk beider Länder wider. Über 100.000 Besucher in 23 Städten Indonesiens haben Veranstaltungen im Rahmen der Deutschen Saison besucht – Zahlen, die alle Erwartungen übertroffen haben. Damit wurde ein primäres Ziel der Deutschen Saison erreicht: über die Grenzen Javas hinauszugehen und ein neues Zielpublikum zu erschließen. Die Deutsche Saison war jedoch mehr als nur das, was sich mit Zahlen und Fakten belegen lässt. Ein besonderes Merkmal der meisten Projekte war, dass sie im Zeichen der Kooperation standen: deutsche und indonesische Künstler, Musiker, Autoren, Wissenschaftler, Kreative und Intellektuelle hatten die Gelegenheit, sich auszutauschen, zusammenzuarbeiten und solide Partnerschaften zu entwickeln, die auch nach Beendigung der Deutschen Saison Bestand haben werden. Ein weiteres Ziel der Deutschen Saison war es, innovative und neue Veranstaltungsformate vorzustellen. Auch dies ist gelungen – sei es

durch ein interaktives Chorprojekt mit indonesischen Chören, einer Begegnung deutscher Musiker mit indonesischen Komponisten oder einer aufwändigen Produktion im Bereich Dokumentartheater, die Laienschauspieler aktiv in den Prozess des Theatermachens mit einband. Durch Konferenzen zu politischen Themen wie Deradikalisierung bzw. interreligiösem Dialog sowie Ausstellungen und Workshops im Bereich Wissenschaft, Kreativwirtschaft, Umwelt und Technologien für grünere Städte blieb die Deutsche Saison inhaltlich immer höchst aktuell. Eine Veranstaltungsreihe von diesem Format wäre nicht möglich gewesen ohne die Unterstützung unserer Partner und Sponsoren. Wir möchten uns deshalb herzlich bei allen bedanken, die uns während der Deutschen Saison tatkräftig zur Seite standen. Dieses Fotobuch lädt Sie dazu ein, die schönsten Momente der einzelnen Veranstaltungen noch einmal zu erleben – so wird die Erinnerung an die Deutsche Saison nicht verblassen, sondern lebendig bleiben. he German Season in Indonesia was in full swing from September to December 2015. Initiated by the Federal Foreign Office in Germany and organized by the Goethe-Institut Indonesien, the German Embassy Jakarta and EKONID (the German-Indonesian Chamber of Commerce and Industry), the German Season involved 25 projects in the fields of politics, economy, culture, science, education and sports and was the largest German-Indonesian joint event ever. The commitment and excellent work of wellknown artists, organizations and businesses from Germany and Indonesia made the German Season a complete success. This was reflected in the thoroughly positive resonance in the online, print and social media as well as in the television and radio broadcasts of both countries. Over 100,000 visitors in 23 Indonesian cities visited events in the framework of the German Season, surpassing all expectations. This met a primary goal of the German Season: to reach beyond Java and acquire a new target audience.

T

However, the German Season was more than merely numbers and facts. A special feature of the majority of the projects was that they highlighted the spirit of cooperation. German and Indonesian artists, musicians, writers, scientists, creative minds and intellectuals had the opportunity to share, interact with each other and develop lasting partnerships continuing beyond the German Season. Another objective the German Season achieved was the presentation of new and innovative event formats. Among other things, this included an interactive choir project with Indonesian choirs, German musicians collaborating with Indonesian composers, and an elaborate documentary theater production in which amateur actors were actively involved in the process of theater making. The German Season remained relevant and up-to-date through conferences addressing political subjects such as de-radicalization and inter-religious dialogue as well as staging exhibitions and workshops in the areas of science, creative economy, environment and technologies for greener cities. A series of events of this scope would not have been possible without the support of our partners and sponsors. We would therefore like to sincerely thank all of you who actively supported us during the German Season. This photo book invites you to experience some of the wonderful moments of the events once again. In this way the memory of the German Season will not fade but remain alive. Dr. Heinrich Blömeke Dr. Georg Witschel Jan Rönnfeld


»Sebuah festival untuk memperkaya pikiran dan jiwa.« »Ein Festival, das Geist und Seele bereichert.« »A festival to enrich your mind and soul.« NOW JAKARTA

»Ini adalah sebuah musim yang tidak akan mau Anda lewati.« »Dies ist eine Saison, die man nicht verpassen sollte.« »This is one season you won’t want to miss.« JAKARTA JAVA KINI

»Sebuah festival beraneka aspek yang menyoroti sisi terbaik dari kebudayaan Indonesia dan Jerman.« »Ein facettenreiches Festival, das das Beste aus der indonesischen und deutschen Kultur präsentiert.« »A multi-faceted festival highlighting the best of Indonesian and German culture.« JAKARTA GLOBE

KATA SAMBUTAN // GRUSSWORT // GREETINGS

7


Fakta & Angka

Zahlen & Fakten // Facts & Figures 10.647 MEDAN

BANDA ACEH

SAMARINDA

BALIKPAPAN

TANGERANG

29.569 11.538

JAKARTA SERANG

BANDUNG

8.958

SURABAYA SOLO

DEPOK

MATARAM

BOGOR

SIDOARJO YOGYAKARTA

MALANG DENPASAR

12.964

1.900 NGANJUK

8

FAKTA & ANGKA // ZAHLEN & FAKTEN // FACTS & FIGURES


> 100.000

pengunjung / Besucher / visitors

25

proyek / Projekte / projects

23

kota / Städte / cities

MANADO

AMBON MAKASSAR

5.261

SUMBAWA

WAINGAPU

FAKTA & ANGKA // ZAHLEN & FAKTEN // FACTS & FIGURES

9


41

film / Filme /  films

6

pameran /  Ausstellungen /  exhibitions

10

pertunjukan teater dan tare /  Theater & Tanzaufführungen /  theater & dance performances

80.000

pengunjung website  /  Website-Besucher /  website visits

Media Sosial / Soziale Netzwerke / Social Media

11

konser / Konzerte /  concerts

5

kompetisi /  Wettbewerbe /  competitions

13

konferensi & seminar / Konferenzen  & Seminare /  conferences & seminars

172.000 pengguna / Nutzer /  users

10

FAKTA & ANGKA // ZAHLEN & FAKTEN // FACTS & FIGURES


Indonesia / Indonesien / Indonesia

Jerman / Deutschland / Germany

Print Area, Clara Magazine, Garuda Inflight Magazine, Harian Nasional, High End Magazine, Investor Daily, Jakarta Globe, Jakarta Post, JogjaMag, Kompas, Kontan, Media Indonesia, Now!Jakarta, Sarasvati Magazine, Sorotan, Suara Pembaruan, Tempo Magazine, TribunJogja

Print Allgemeine Zeitung Mainz, Die Brücke, E + Z Magazin, Ensemble Modern Magazin, F.A.Z., Frankfurter Rundschau, IMG, Süddeutsche Zeitung, Tagesspiegel, taz, Die Welt, Die Zeit

Online Antaranews.com, Backstage.co.id, Beningpost.com, Berita77.com, Beritasatu.com, Beritasore.com, Bisnis.com, CNNIndonesia.com, Culture360.asef.org, Detik.com, Galamedianews.com, Goersapp.com, Harianjogja.com, Haripersbazaar.co.id, Isigood.com, Jakartaglobe. id, Jaringnews.com, Jax.co.id, Jjk.co.id, Jogjanews.com, Katariau.com, Konfrontasi.com, Koran-Jakarta.com, Koranyogya.com, Mediaprofesi. com, Metrotvnews.com, Okezone.com, Otoasia.com, Rajamobil.com, Republika.co.id, Rimanews.com, Sarasvati.co.id, Sindonews.com, Suaramerdeka.com, Tempo.co, Times­indonesia.co.id, Topskor.co.id, Tribunnews.com, Venuemagz.com, Viva.co.id, Wartaekonomi.co.id, Whiteboardjournal.com

Online Deutscher-Computerspielpreis.de, Deutschland.de, Deutschlandfunk. de, FAZ.net, Stiftung-Digitale-Spielekultur.de, Quantara.de, Sueddeutsche.de, taz.de, Zeit.de TV 3Sat, Deutsche Welle Radio ARD Radio, Bayrischer Rundfunk, Deutschlandradi

TV CNN, Fox Sports, Kompas TV, Metro TV, Tempo, QUBTV Radio Hardrock FM Bali, Hardrock FM Bandung, Hardrock FM Jakarta, Hardrock FM Surabaya, I-Radio Yogyakarta, Radio Pelita Kasih, Geronimo 106,1 FM, Radio Republik Indonesia, She Radio 99.6 FM, Suara Surabaya FM 100, Trax FM Jakarta, 101,4 Trax FM, Voice of Indonesia

> 450

Liputan media / Berichterstattungen /  reports and features

FAKTA & ANGKA // ZAHLEN & FAKTEN // FACTS & FIGURES

11


05.09. – 09.09.2015

Metropolis & Filmorchester Babelsberg



05.09.-09.09.2015

14

MUSIK // MUSIK // MUSIC


Film bisu klasik »Metropolis« bersama Orkestra Film Babelsberg Stummfilmklassiker »Metropolis« mit dem Filmorchester Babelsberg The silent film classic »Metropolis« and the Film Orchestra Babelsberg

J

erman Fest 2015 resmi dibuka dengan suatu acara yang sensasional: Jakarta menjadi tempat pemutaran perdana versi utuh film klasik »Metropolis«, sebuah film monumental karya sutradara Fritz Lang dari tahun 1927. Film spektakuler ini – induk semua film science fiction, yang mendapat banyak sanjungan untuk permainan cahaya dan bayangan serta koreografi massa – diputar pada malam tanggal 5 September di Teater Jakarta, dan disiarkan secara langsung di ruang publik di lapangan di depan gedung teater itu. Pertunjukan film ini berhasil memukau penonton berkat rangkaian gambar hitam-putih bergaya ekspresionis yang begitu mengesankan dan musik film gubahan Gottfried Huppertz yang begitu dramatis. Iringan menggugah yang dimainkan secara langsung oleh Deutsches Filmorchester Babelsberg yang khusus didatangkan semakin menyempurnakan penyatuan antara gambar dan musik – selaras dengan hakikat orkestra itu sendiri, yang sejak pendiriannya tidak dapat dipisahkan dari sejarah film Jerman. Pertunjukan pembukaan itu meninggalkan kesan mendalam dalam skena seni dan budaya serta masyarakat umum Indonesia. Liputan di media sangat positif, penonton pun antusias menyambut pemutaran karya klasik ini, dan fokus ke-

pada kehidupan di kota besar melahirkan kekuatan simbolis tersendiri dalam konteks kota metropolitan Jakarta. Menyusul pemutaran perdana di Jakarta, »Metropolis« berikut iringan orkestra juga dipertunjukkan di Surabaya dan Bandung. Secara keseluruhan ada 4.000 penonton yang berkesempatan menikmati acara yang unik ini.

E

s war eine aufsehenerregende Veranstaltung, mit der die Deutsche Saison 2015 offiziell eröffnet wurde: In der Hauptstadt Jakarta wurde der Filmklassiker »Metropolis« erstmals in ungekürzter Fassung aufgeführt, ein monumentaler Stummfilm des Regisseurs Fritz Lang aus dem Jahre 1927. Dieser spektakuläre Film – die Mutter aller »Science Fiction«-Filme, hoch gelobt für sein Spiel aus Licht und Schatten, die Choreographie der Massen – wurde am Abend des 5. Septembers im »Teater Jakarta« projiziert, verbunden mit einer Synchronübertragung in den öffentlichen Raum auf dem Vorplatz des Theaters. Neben der eindringlichen Wirkung der expressionistischen Schwarz-WeißBilder war es auch der dramatischen Filmmusik Gottfried Huppertz’ zu danken, wie sehr die Filmvorführung das Publikum in den Bann schlug. In der suggestiven Live-Begleitung des eigens angereisten Deutschen Filmorchesters

Babelsberg ging die enge Verzahnung von Bild und Musik vollkommen auf – ganz im Einklang mit dem Orchester selbst, das seit seiner Gründung untrennbar mit der deutschen Filmgeschichte verbunden ist. Die Eröffnungsveranstaltung hat in der indonesischen Kunst- und Kulturszene wie in der allgemeinen Öffentlichkeit großen Eindruck hinterlassen. Die Sichtbarkeit in den Medien war enorm und äußerst positiv, das Publikum zeigte sich begeistert von der Präsentation eines Klassikers, die im Kontext der Metropole Jakarta durch die Beschäftigung mit dem Leben in Großstädten besondere Symbolkraft entfaltete. Nach der Eröffnungsveranstaltung in Jakarta wurde »Metropolis« in Begleitung des Orchesters auch in Surabaya und Bandung gezeigt. Insgesamt konnten 4.000 Zuschauer die einmaligen Veranstaltungen erleben.

T

he official opening of the German Season 2015 was a spectacular event. The first public screening of the original full-length version of the film classic »Metropolis« – a monumental silent film by director Fritz Lang from 1927 – premiered in Indonesia’s capital.

the choreography of the masses – was shown on the evening of September 5 at »Teater Jakarta« and simultaneously at the public space in front of the theater. Besides the intense effect of the expressionistic black and white images, it was also the dramatic film music by Gottfried Huppertz that cast a spell on the audience. Inextricably connected to German film history since its founding, the Film Orchestra Babelsberg travelled to Indonesia especially for the purpose of providing the suggestive music for the film: Image and music harmonized perfectly. The opening event made a strong impression on the Indonesian art and culture scene as well as on the general public. The visibility in the local media was enormous and extremely positive. The audience, too, was enthusiastic about the screening of this iconic classic, especially in the context of the metropolis Jakarta and the issue of living in sprawling cities. ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; In ac dui quis mi.

This remarkable film – the mother of all science fiction films, highly praised for its play of light and shadow and

MUSIK // MUSIK // MUSIC

15


05.09.-09.09.2015

16

MUSIK // MUSIK // MUSIC


»Dengan adanya orkestra tersebut film bersejarah ini menjadi hidup di tiap scene-nya.« »Das Orchester konnte diesen historischen Film in jeder einzelnen Szene zum Leben erwecken.« »The orchestra brought this historical film alive in every single scene.« LUTHFIE ABDURRAHMAN PENGUNJUNG / BESUCHER / VISITOR

»Penonton dibuat kagum.« »Das Publikum staunte.« »The audience was amazed.« SURABAYA TRIBUN

MUSIK // MUSIK // MUSIC

17


09. – 12.2015

Tivoli To Go / German Season Lounge



09. – 12.2015

Tivoli To Go / German Season Lounge S

epanjang berlangsungnya Jerman Fest dengan berbagai acara dan intervensi di bidang seni dan budaya serta kota dan urbanisasi, Goethe-Institut Jakarta dan Cemeti Art House di Yogyakarta sendiri pun menjadi terminal ide dan energi kreatif. Seniman Sandra Havlicek, lulusan Sekolah Desain Offenbach dan murid dari Tobias Rehberger, memberi wajah baru kepada ruang foyer Goethe-Institut. Dengan sistem perancah warna-warni, karya instalasinya yang berjudul »Tivoli To Go« mencerminkan proses urbanisasi pesat yang tengah dialami oleh dunia di depan pintu Goethe-Institut di Jakarta. Pada saat yang sama »Tivoli To Go« menga-‘jak orang untuk singgah, menawarkan kesempatan untuk memulihkan diri serta ruangan yang mendukung percakapan dan pertukaran. Konsep perjumpaan yang meraih sukses serupa dapat ditemui di Yogyakarta di German Season Lounge. Di Cemeti Art House secara berkala diadakan temu seniman dan diskusi terkait dengan acara Jerman Fest. Format diskursif ini dimanfaatkan oleh para peminat seni dan budaya serta oleh media setempat untuk bertukar pandangan dan memperoleh informasi mengenai proyekproyek yang diselenggarakan di kotakota lain.

20

SENI // KUNST // ART

W

ährend der Deutschen Saison mit ihren zahlreichen Veranstaltungen und Interventionen in den Bereichen Kunst und Kultur, Stadt und Urbanisierung wurde das Goethe-Institut Jakarta selbst und das Cemeti Art House in Yogyakarta zu Umschlagplätzen für Ideen und kreative Energie. So gab die Künstlerin Sandra Havlicek, Absolventin der Designschule Offenbach und Meisterschülerin von Tobias Rehberger, dem Foyer des Goethe-Instituts ein neues Gesicht: Ihre Installation »Tivoli To Go« spiegelte mit seinen bunten Trägersystemen und Stützpfeilern den rasanten Urbanisierungsprozess wider, in dem sich die Welt vor der Tür des Goethe-Instituts in Jakarta befindet. Zugleich lud »Tivoli To go« zum Verweilen ein, bot eine Gelegenheit zur Regeneration sowie einen Raum, der zum Gespräch und Austausch anregte. Ein ähnlich erfolgreiches Konzept der Begegnung fand man in Yogyakarta in der German Season Lounge. Im Cemeti Art House fanden regelmäßig Künstlergespräche und Diskussionen zu den Veranstaltungen der Deutschen Saison statt. Dieses diskursive Format nutzten Kunst- und Kulturinteressierte sowie die ortsansässigen Medien um sich auszutauschen und einen Einblick in Projekte zu erhalten, die in anderen Städten zur Aufführung kamen.

D

uring the German Season with its many events and interventions in the areas of art and culture, city and urbanization, the Goethe-Institut Jakarta itself and the Cemeti Art House in Yogyakarta became central hubs for ideas and creative energy. The artist Sandra Havlicek, a graduate of the School of Design in Offenbach and master student of Tobias Rehberger, put a new face on the foyer of the Goethe-Institut’s. Her installation »Tivoli To Go« with its colourful scaffolds and pillars reflected the rapid urbanization process taking place in Jakarta, just in front of the doors of the Goethe-Institut. »Tivoli To Go« invited one to linger and relax, but also to engage in discussions and exchange. A similarly successful concept was the German Season Lounge in Yogyakarta, where artists regularly met and discussed German Season events at Cemeti Art House. The local media as well as those interested in art and culture used this open format to exchange views and gain insight into projects in other cities.


SENI // KUNST // ART

21


11.09. – 20.09.2015

German Cinema



11.09. – 20.09.2015

Mosaik aktual lanskap perfilman Jerman: »German Cinema« Aktuelles Mosaik der deutschen Kinolandschaft: »German Cinema« Current mosaic of the German cinema landscape: »German Cinema«

P

ada tahun 2015, tahun keempat keberadaannya, German Cinema Festival kembali membuktikan bahwa tokoh-tokoh muda perfilman Jerman mempunyai banyak karya hebat. Melalui pemutaran film di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, dan Medan, festival ini berhasil semakin banyak menarik perhatian di Indonesia untuk pembuat film muda Jerman dan karya mereka. Yang diputar adalah 17 film baru yang memperoleh pengakuan internasional dan telah meraih berbagai penghargaan, antara lain »Im Labyrinth des Schweigens« karya Guilio Ricciarelli, »Das Salz der Erde« karya Wim Wenders dan Juliano Ribeiro Salgado, serta film terbaru Andreas Dresen »Als wir träumten«. Seleksi beragam film Jerman ini mendapat sambutan hangat di seluruh negeri: Para penggemar film sampai mengantre di tempat penyelenggaraan guna memperoleh tiket untuk festival yang populer ini. Secara keseluruhan, German Cinema tahun 2015 berhasil menjangkau lebih dari 13.000 pengunjung.

24

FILM // FILM // FILM

D

ass der junge deutsche Film jede Menge großes Kino bereithält, bewies das German Cinema Festival auch 2015, dem vierten Jahr seiner Existenz. Mit seinen Filmvorstellungen in Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar und Medan gelang es dem Festival, in Indonesien noch mehr Aufmerksamkeit für junge deutsche Filmemacher und ihre Werke zu erregen. Gezeigt wurden 17 aktuelle, international anerkannte sowie preisgekrönte deutsche Filme, darunter »Im Labyrinth des Schweigens« von Giulio Ricciarelli, »Das Salz der Erde« von Wim Wenders und Juliano Ribeiro Salgado und der neueste Film von Andreas Dresen »Als wir träumten«. Die vielseitige Auswahl an deutschen Filmen stieß auf großes Interesse im ganzen Land: An den Veranstaltungsorten standen Filmbegeisterte Schlange, um Tickets für das begehrte Festival zu ergattern. Insgesamt erreichte German Cinema mehr als 13.000 Besucher.

T

he German Cinema Festival 2015, the fourth year of its existence, again proved what great cinema young German film has on offer. With its film screenings in Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar and Medan, the film festival generated even more attention in Indonesia for young German filmmakers and their works. Seventeen current, internationally recognised and award-winning German films showcased, including »Im Labyrinth des Schweigens« by Giulio Ricciarelli, »Das Salz der Erde« by Wim Wenders and Juliano Ribeiro Salgado, and the latest film by Andreas Dresen entitled »Als wir träumten«. The diverse selection of German films attracted great interest throughout the country as evidenced by the high demand for festival tickets. Overall, German Cinema recorded over 13,000 film fans during the festival.


T

FILM // FILM // FILM

25


11.09. – 20.09.2015

»Eine vielfältige Auswahl.« »Sebuah daftar tonton yang berwarna.« »A colorful selection.« JAKARTA POST

26

FILM // FILM // FILM


FILM // FILM // FILM

27


16.09. – 27.11.2015

Dunia Budaya Kulturwelten // Cultural Worlds



16.09. – 27.11.2015

»Dunia Budaya mengajak para pengunjung menjangkau negara-­ negara, kebudayaan dan era yang berbeda.« »Kulturwelten lädt Besucher dazu ein, in verschiedene Länder, Kulturen und Zeitepochen einzutauchen.« »Cultural Worlds invites visitors to plunge into different countries, cultures and eras.« JAKARTA GLOBE

30

MASYARAKAT & PENDIDIKAN // POLITIK & BILDUNG // SOCIETY & EDUCATION


Perjalanan ke berbagai »Dunia Budaya« Eine Reise in verschiedene »Kulturwelten« A journey to different »Cultural Worlds«

P

rogram pelestarian budaya Kementerian Luar Negeri Jerman diluncurkan pada tahun 1981 untuk melestarikan warisan budaya di seluruh dunia untuk generasi mendatang. Program itu bertujuan memperkuat kesadaran akan identitas nasional sendiri dan mendukung dialog antarbudaya yang bersifat kemitraan. Pameran »Dunia Budaya« menyajikan sejumlah proyek pilihan yang sangat mengesankan, antara lain pelestarian manuskrip tulis tangan antik dari Timbuktu, pemugaran pasar lama Erbil di Irak, paviliun Emir di Afghanistan, serta candi Borobudur di Indonesia. Pameran yang dibuka di Jakarta kemudian diboyong ke Surabaya dan candi Borobudur. Melalui »Dunia Budaya«, Jerman Fest mengundang pengunjung untuk menjelajahi negara, budaya, dan zaman yang berbeda-beda. Seluruhnya ada 3.000 pengunjung yang turut serta dalam perjalanan ini.

D

as Kulturerhalt-Programm des Auswärtigen Amtes wurde 1981 ins Leben gerufen, um weltweit kulturelles Erbe für nachfolgende Generationen zu erhalten. Es soll das Bewusstsein für die eigene nationale Identität stärken und einen partnerschaftlichen Kulturdialog fördern. Die Ausstellung »Kulturwelten« präsentierte eine Auswahl besonders eindrucksvoller Projekte, zu denen unter anderem der Erhalt antiker Handschriften aus Timbuktu, sowie die Restaurierungen des alten Bazars von Erbil im Irak, des Pavillons des Emirs in Afghanistan und des buddhistischen Tempels Borobudur auf Java in Indonesien zählen. Die Ausstellung, die zunächst in Jakarta eröffnet wurde, zog im Anschluss weiter nach Surabaya und an den BorobudurTempel selbst. Mit »Kulturwelten« lud die Deutsche Saison dazu ein, in verschiedene Länder, Kulturen und Zeitepochen einzutauchen. Insgesamt machten sich 3.000 Besucher auf die Reise.

T

he Cultural Preservation Program of the Federal Foreign Office in Germany was launched in 1981 to preserve cultural heritage worldwide for future generations. It aims to increase awareness of one’s own national identity and promote dialogue characterised by partnership. The exhibition »Cultural Worlds« featured a selection of particularly impressive projects, including the preservation of ancient manuscripts from Timbuktu, the restoration of the old bazaar of Erbil in Iraq, the pavilion of the emir in Afghanistan and the Buddhist temple Borobudur on Java in Indonesia. The exhibition first opened in Jakarta and then travelled to Surabaya and to Borobudur itself. With »Cultural Worlds«, the German Season invited visitors to become immersed in different countries, cultures and epochs. A total of 3,000 visitors took the trip.

MASYARAKAT & PENDIDIKAN // POLITIK & BILDUNG // SOCIETY & EDUCATION

31


02.10. – 06.10.2015

EINSHOCH6



02.10. – 06.10.2015

Belajar Bahasa Jerman bersama EINSHOCH6 Deutsch lernen mit EINSHOCH6 Learning German with EINSHOH6

K

elompok pemusik EINSHOCH6 asal München diundang ke Indonesia oleh Jerman Fest untuk sebuah proyek partisipatif yang mengaitkan musik dan pendidikan. Band itu menyapa kalangan yang luas dengan kombinasi tidak biasa antara hip hop dan musik klasik. Dalam lokakarya di Denpasar dan Yogyakarta, EINSHOCH6 bersama siswa jaringan PASCH (Sekolah: Mitra Menuju Masa Depan), termasuk dari daerah yang jauh, menulis lirik lagu dan menggubah musik pengiringnya. Dengan cara ini, siswa-siswi yang turut serta mendapat kesempatan menjumpai Jerman di negeri sendiri. Dalam lokakarya pendamping, para guru memperoleh informasi seputar tema »Belajar Bahasa Jerman Melalui Musik« berikut kiat serta petunjuk praktis mengenai implementasinya di ruang kelas. Pada akhir lokakarya, yang diselenggarakan bekerja sama dengan Deutsche Welle, konser penutup diadakan di masing-masing kota: di panggung musikal yang besar di Safari-Park Denpasar, serta di kampus universitas di Yogyakarta. Bagi para siswa – yang mula-mula sempat terserang demam panggung – penampilan bersama band EINSHOCH6 adalah acara puncak selama konser. Para penonton pun terlihat antusias: 1800 orang, sebagian besar dari sekolah-sekolah di dan sekitar Yogyakarta dan Denpasar, meramaikan kedua konser.

34

MUSIK // MUSIK // MUSIC

F

T

ür ein partizipatives Musik- und Bildungsprojekt lud die Deutsche Saison die Münchner Musiker-Formation EINSHOCH6 nach Indonesien ein. Die Band spricht mit ihrer außergewöhnlichen Kombination aus Hip Hop und Klassik ein breites Publikum an.

he German Season invited the Munich-based group EINSHOCH6 for a participatory music and education project to Indonesia. The band’s unusual combination of hip hop and classical music has gained the attention of a broad audience.

In Workshops in Denpasar und Yogyakarta erarbeiteten EINSHOCH6 mit Schülern aus dem landesweiten PASCH-Netzwerk (Schulen: Partner der Zukunft) auch aus weit entfernten Regionen Musiktexte und vertonten diese anschließend.

In workshops in Denpasar and Yogyakarta, EINHOCH6 worked with students from the country-wide PASCH network (Schools: Partners of the Future) and from far-flung regions of the country to develop texts and set them to music.

Den teilnehmenden Schülerinnen und Schülern wurde auf diese Weise in ihrem eigenen Land eine Begegnung mit Deutschland möglich gemacht. In ergänzenden Workshops erhielten Lehrer Informationen zum Thema »Deutschlernen mit Musik« und praktische Hilfen und Hinweise für die Umsetzung im Unterricht. Im Anschluss an die Workshops, die in Zusammenarbeit mit der Deutschen Welle veranstaltet wurden, fanden in den jeweiligen Städten Abschlusskonzerte statt: auf der großen Musical-Bühne im Safari-Park von Denpasar, sowie auf dem Unicampus in Yogyakarta. Für die Schülerinnen und Schüler war – trotz anfänglichen Lampenfiebers – der gemeinsame Auftritt mit der Band der unumstrittene Höhepunkt des Konzerts. Begeistert zeigte sich auch das Publikum: 1800 Besucher, der Großteil von ihnen aus den Schulen in und um Yogyakarta und Denpasar, kamen zu den Konzerten.

This was an opportunity for participating students to encounter Germany in their own country. In additional workshops, teachers were given information on the topic of »Learning German with music« and practical tips and advice for implementation in the classroom. At the end of the workshops, organised in cooperation with Deutsche Welle, final concerts took place in the respective cities: on the big musical stage in Denpasar’s Safari Park and on the university campus in Yogyakarta. Despite initial stage fright, the student’s appearance with the band was the undisputed high point of the concert for them. The audience also loved it: 1,800 concert visitors, the majority from schools in and around Yogyakarta and Denpasar, came to see the shows.


MUSIK // MUSIK // MUSIC

35


02.10. – 06.10.2015

»Workshop tersebut tidak akan hanya menjadi sebuah manfaat bagi mereka, tetapi juga untuk kami.« »Die Workshops sind nicht nur für die Schüler ein großartiger Input, sondern auch für uns.« »The workshops are not only a great input for the students but also for us.« AMADEUS HILLER BAND MANAGER EINSHOCH6

36

MUSIK // MUSIK // MUSIC


MUSIK // MUSIK // MUSIC

37


01.10. – 04.10.2015

Senlima



01.10. – 04.10.2015

40

TEATER // THEATER // THEATER


Sandiwara boneka: Koproduksi »Senlima« Puppentheater: Die Koproduktion »Senlima« Puppet theater: the co-production »Senlima«

»

Senlima« adalah kata dalam bahasa buatan universal Esperanto yang kurang lebih berarti »tanpa batas«. Senlima juga nama proyek kolaborasi antara Papermoon Puppet Theaters, teater boneka Indonesia yang paling dikenal dan berbasis di Yogyakarta, dan Retrofuturisten, sebuah ansambel teater boneka independen dari Berlin. Dalam rangka Jerman Fest, kedua kelompok tersohor di bawah pimpinan Maria Tri Sulistyani dan Roscha A. Saidow itu bergabung untuk bertukar pandangan mengenai budaya, politik, dan tradisi teater di negara masing-masing dalam serangkaian tahap kerja yang intensif di Indonesia dan Jerman, dan selanjutnya bersama-sama mengadakan berbagai pendekatan terhadap fenomena »batas« dari segi bahasa, geografi, agama dan ideologi. Apa gunanya menarik batas? Di pihak lain: Bukankah kemampuan »membatasi« diri itu penting, bukankah batas juga dapat memberi identitas? Melalui koproduksi »Senlima« kedua ansambel teater boneka menyajikan jawaban mereka dengan cara mengupas tema »batas« secara artistik dan puitis. Proyek ini diprakarsai oleh Jerman Fest dan Hochschule für Schauspielkunst Ernst Busch dan didukung oleh Salihara dan Universitas Gadjah Mada dari Indonesia. Pertunjukan diadakan di Yogyakarta dan Jakarta di hadapan 1.200 penonton, dan kemudian juga di Jerman dan di berbagai festival internasional.

»

Senlima« ist ein Wort aus der universellen Kunstsprache Esperanto und kann grob als »grenzenlos« übersetzt werden. Gleichzeitig ist es der Projektname einer Kooperation des Papermoon Puppet Theaters, Indonesiens bekanntestem Puppentheater mit Sitz in Yogyakarta, mit den Retrofuturisten, einem freien Puppenspielensemble aus Berlin. Im Rahmen der Deutschen Saison schlossen sich die beiden renommierten Gruppen um Maria Tri Sulistyani and Roscha A. Saidow zusammen, um sich in mehreren, intensiven Arbeitsphasen in Indonesien und Deutschland über Kultur, Politik und Theater-Traditionen ihrer Länder auszutauschen, und sich dann gemeinsam auf verschiedensten Wegen sprachlicher, geographischer, religiöser oder ideologischer Art dem Phänomen der »Grenze« anzunähern. Was macht es für einen Sinn, Grenzen zu ziehen? Andererseits: Ist es nicht auch wichtig, sich »abgrenzen« zu können, können Grenzen nicht auch identitätsstiftend sein? In der Koproduktion »Senlima« präsentierten die Puppenspielensembles ihre Antworten in einer künstlerischen, poetischen Auseinandersetzung mit dem Thema »Grenze«. Das Projekt wurde von der Deutschen Saison und der Hochschule für Schauspielkunst Ernst Busch initiiert und auf indonesischer Seite vom Salihara und der Universitas Gadjah Mada unterstützt. Aufführungen fanden sowohl in Yogyakarta und Jakarta vor 1.200 Besuchern als auch später in Deutschland und auf internationalen Festivals statt.

»

Senlima« roughly translates as »borderless« in the artificial language Esperanto. It is also the project name of a cooperation between Papermoon Puppet Theater, Indonesia’s most famous puppet theater based in Yogyakarta, and the Retrofuturisten, an independent puppet ensemble from Berlin. As part of the German Season, the two renowned groups spearheaded by Maria Tri Sulistyani and Roscha A. Saidow joined hands to collaborate intensively in Indonesia and Germany over a number of work phases. They discussed culture, politics and theater traditions to approach the topic »borders« as a cultural, linguistic, geographical, religious as well as ideological phenomenon. What is the sense of drawing borders? On the other hand, is it not also important to be able to »differentiate« oneself? Can boundaries also engender identity? In the co-production »Senlima«, the puppet theater ensembles presented its answers in an artistic, poetic treatment of the topic »borders«. The project was initiated by the German Season and the Ernst Busch University for Dramatic Arts and supported in Indonesia by Salihara and Universitas Gadjah Mada. Performances took place in Yogyakarta and Jakarta in front of 1,200 spectators and later in Germany and at international festivals.

TEATER // THEATER // THEATER

41


01.10. – 04.10.2015

42

TEATER // THEATER // THEATER


TEATER // THEATER // THEATER

43


02.10 – 28.10.2015

Stories Left Untold



02.10 – 28.10.2015

Pameran foto: »Stories Left Untold« Fotoausstellung: »Stories Left Untold« Photo exhibition: »Stories left untold«

I

46

dentitas tidak dapat dipisahkan dari asal usul. Dari manakah saya berasal, itu juga berarti: Ke manakah saya menuju?

I

dentität ist unauflöslich an die Herkunft gekoppelt. Wo komme ich her, das heißt auch: Wo gehe ich hin?

Kedua fotografer muda Nora Scheidler dan Rangga Purbaya mulai menelusuri sejarah keluarga masing-masing, membuka-buka dokumen dan album foto, mengadakan wawancara dan mengajukan pertanyaan, kemudian menemukan kenangan masa lampau yang tersembunyi dan disangka sudah terlupakan dalam sejarah Jerman dan Indonesia.

Die jungen Fotografen Nora Scheidler und Rangga Purbaya begannen, ihre eigenen Familiengeschichten zu durchforschen, Dokumente und Fotoalben zu sichten, Interviews zu führen und Fragen zu stellen, und stießen auf vergessen geglaubte und unterdrückte Erinnerungen vergangener Zeiten der deutschen und indonesischen Geschichte.

Pencarian kebenaran ini mempertemukan kedua seniman yang menjalin kontak erat karena dapat saling belajar bagaimana cara menghadapi masa silam.

Diese Suche nach der Wahrheit verband die beiden Künstler, die in engem Austausch miteinander standen, da sie voneinander lernen konnten, mit der Vergangenheit umzugehen.

Pameran foto »Stories Left Untold« lalu menyajikan hasil pergulatan mereka dengan riwayat masing-masing. Pameran itu berlangsung selama tiga minggu di iCan Galerie di Yogyakarta dan menarik 700 pengunjung.

Die Fotoausstellung »Stories Left Untold« präsentierte schließlich ihre Auseinandersetzung mit der eigenen Geschichte. Sie war drei Wochen lang in der iCan Galerie in Yogyakarta zu sehen und verzeichnete 700 Besucher.

Nora Scheidler menuturkan kisah ayahnya, yang dipenjarakan di Berlin Timur akibat membagikan pamflet antiperang sehubungan dengan Musim Semi Praha 1968. Rangga Purbaya menelusuri jejak kakeknya Boentardjo Amaroen Kartowinoto yang pascapengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto pada tahun 1965 tewas dalam pembantaian yang menyusul peristiwa itu – fakta yang selama itu dirahasiakan oleh pihak keluarga.

Nora Scheidler erzählte die Geschichte ihres Vaters, der für das Verteilen pazifistischer Flugblätter anlässlich des Prager Frühlings 1968 in Ostberlin ins Gefängnis kam. Rangga Purbaya folgte den Spuren seines Großvaters Boentardjo Amaroen Kartowinoto, der nach der Machtübernahme Suhartos im Jahre 1965 bei den nachfolgenden Massakern ums Leben kam – eine Tatsache, die seine Familie bislang verheimlicht hatte.

SENI // KUNST // ART

I

dentity is inextricably linked to origin. »Where do I come from?« also means »Where am I going?«

The young photographers Nora Scheidler and Rangga Purbaya researched their own family histories, trawled through documents and photo albums, interviewed and posed questions. And they unearthed forgotten and suppressed memories of past times in German and Indonesian history. This search for truth bound the two artists, who remained in close contact as they learned from one another how to deal with the past. The photo exhibition »Stories Left Untold« was the culmination of their confrontation with their own personal histories. It was shown for three weeks at the iCan gallery in Yogyakarta and attracted 700 visitors. Nora Scheidler told the story of her father, who was sent to prison for distributing pacifist leaflets in East Berlin on the occasion of the Prague Spring in 1968. Rangga Purbaya tracked the footsteps of his grandfather Boentardjo Amaroen Kartowinoto, who died during the massacres following Suharto’s takeover in 1965, a fact his family had kept secret.


SENI // KUNST // ART

47


05.10. – 03.11.2015

Fostering Ideas



05.10. – 03.11.2015

50

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE


Pameran sains: »Fostering Ideas« Wissenschaftsausstellung: »Fostering Ideas« Science exhibition: »Fostering Ideas«

D

alam kondisi seperti apakah ideide besar terbentuk? Seperti apakah faktor lokasi terkait teknologi laboratorium, klaster keunggulan, dan lingkungan riset yang diperlukan agar otak yang brilian dapat memunculkan ide-idenya?

Pameran sains dan teknologi JermanIndonesia »Fostering Ideas« terwujud dalam kerja sama dengan Kementerian Riset dan Teknologi RI dan berlangsung di Museum Nasional di Jakarta dan Institut Teknologi Bandung. Pameran itu memetakan lanskap sains dan riset Jerman, sekaligus memperlihatkan seperti apa interaksi bebas antara lembaga-lembaga riset utama dan perusahaan-perusahaan papan atas Jerman, yang semuanya juga berkiprah secara sukses di Indonesia.

lah potensial sehubungan dengan perbedaan pendekatan ilmiah dalam masyarakat ilmiah yang berlainan. »Fostering Ideas« memberi dorongan agar lanskap riset Jerman-Indonesia semakin diselaraskan.

U

nter welchen Bedingungen entstehen großartige Ideen? Welche labortechnischen Standortfaktoren, welche Exzellenzcluster, welches Forschungsumfeld sind nötig, damit ein brillanter Kopf auf seine Ideen verfällt?

Materi yang dipamerkan menyangkut hubungan Jerman-Indonesia di ranah sains, yang menonjol terutama di bidang riset bioteknologi dan keanekaragaman hayati, penelitian hutan hujan, hutan bakau, dan terumbu karang, serta penelitian geologis dalam kaitan dengan pemanfaatan energi panas bumi.

Die deutsch-indonesische Wissenschafts- und Technologieausstellung »Fostering Ideas« entstand in Zusammenarbeit mit dem indonesischen Ministerium für Forschung und Technologie und war in Jakarta im Nationalmuseum und am Institut Teknologi in Bandung zu sehen. Die Ausstellung kartographierte die deutsche Wissenschafts- und Forschungslandschaft und zeigte, wie das freie Zusammenspiel seiner bedeutendsten Forschungseinrichtungen und namhaftesten Spitzenunternehmen, die allesamt auch in Indonesien erfolgreich tätig sind, funktioniert.

Pameran yang mencatat 5.500 pengunjung ini juga membahas masa-

Ausstellungsgegenstand waren zudem die deutsch-indonesischen Wissen-

schaftsbeziehungen, die vor allem in den Forschungsbereichen Biotechnologie und Biodiversität, bei der Erforschung der Regenwälder, Mangroven und Korallenriffe, ebenso wie in der geologischen Forschung im Hinblick auf die Nutzung der Geothermie ausgeprägt sind.

at Institut Technologi Bandung. The exhibition mapped the German science and research landscape and demonstrated how free interplay works amongst key German research facilities and wellknown top companies, all of which are actively successful in Indonesia.

Die Ausstellung, die insgesamt 5.500 Besucher verzeichnen konnte, beschäftigte sich a ­ uch mit potentiellen Schwierigkeiten unterschiedlicher wissenschaftlicher Herangehensweisen in verschiedenen Wissensgemeinschaften. Vor allem aber inspirierte »Fostering Ideas« dazu, die deutsch-indonesische Forschungslandschaft noch besser aufeinander abzustimmen.

The subject of the exhibition was German-Indonesian scientific relations, especially in the research areas of biotechnology and biodiversity, exploration and research of the rain forests, mangroves and coral reefs, as well as in geological research focusing on the use of geothermal energy.

U

nder what conditions do great ideas come into being? What are the laboratory and location factors? Which clusters of excellence and which research environments are necessary to enable a brilliant mind to have ideas?

The exhibition, drawing in 5,500 visitors, was also concerned with potential difficulties arising from different scientific approaches in different knowledge communities. But above all, »Fostering Ideas« encouraged better harmonisation between the German and Indonesian research landscapes.

The German-Indonesian science and technology exhibition entitled »Fostering Ideas« was created in cooperation with the Indonesian Ministry of Research and Technology. It was shown at the National Museum in Jakarta and

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE

51


05.10. – 03.11.2015

52

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE


»Pameran memotivasikan generasi muda Indonesia agar bisa menciptakan teknologi baru.«

»Die Ausstellung motiviert Indonesiens junge Generation, neue Technologien zu entwickeln.«

»The exhibition motivates Indonesia’s young generation to create new technologies.«

ANTARA

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE

53


22.05. - 20.08.2015

Residensi penulis Autorenresidenzen // Author residencies



22.05. - 20.08.2015

56

LITERATUR // LITERATUR // LITERATURE


Program residensi penulis Jerman di Indonesia Autorenresidenzen mit deutschen SchriftstellerInnen Author residences with German writers

U

lla Lenze dan Antje Rávic Strubel, Leif Randt dan Andreas Stichmann – empat pengarang muda Jerman yang menjelajahi Indonesia. Mereka mengunjungi berbagai kota dan berpindah dari pulau ke pulau sambil mengamati negeri, tersesat di hutan di sekitar Bandung, menonton sandiwara boneka di Yogyakarta, dan singgah di Lombok serta Belitung. Mereka berjumpa dengan wartawan, mahasiswa, seniman, dan sesama pengarang, berpartisipasi dalam festival sastra, dan membacakan karya masing-masing di sejumlah universitas di Indonesia. Mereka diundang dalam rangka Jerman Fest untuk datang ke Indonesia, negara Asia Tenggara pertama yang menjadi tamu kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt, sebuah negara yang bagi banyak orang Jerman masih merupakan blank spot pada peta sastra. Liputan mereka – yang dimuat di harian terkemuka Jerman seperti Frankfurter Allgemeine Zeitung, taz, Frankfurter Rundschau, dan Tagesspiegel – mencerminkan kesan yang diperoleh para pengarang dan yang kemudian juga diceritakan oleh mereka di Pekan Raya Buku Frankfurt pada bulan Oktober 2015. Benang merah yang menyatukan keempat laporan perjalanan itu: Indonesia adalah negara penuh faset dengan keragaman budaya luar biasa yang mengundang untuk meningkatkan perjumpaan dan pertukaran di masa mendatang.

S

ie gingen in Indonesien auf Entdeckungsreise, die jungen Autorinnen und Autoren Ulla Lenze und Antje Rávic Strubel, Leif Randt und Andreas Stichmann. Per Städtereisen und Inselhopping drifteten sie offenen Auges in das Land hinein, verliefen sich in den Wäldern von Bandung, erlebten ein Puppentheater in Yogyakarta, oder machten auf Inseln wie Lombok oder Belitung einen Zwischenstopp. Sie trafen Journalisten, Studenten, Künstler und andere Schriftsteller, nahmen an Literaturfestivals teil oder lasen an indonesischen Universitäten aus ihren Werken. Die Deutsche Saison lud sie nach Indonesien ein, in das erste südostasiatische Gastland der Frankfurter Buchmesse, das für viele Deutsche noch immer ein weißer Fleck auf der literarischen Landkarte ist. Die entstandenen Reportagen – veröffentlicht in den großen deutschen Tageszeitungen Frankfurter Allgemeine Zeitung, taz, Frankfurter Rundschau und Tagesspiegel – spiegelten die individuellen Eindrücke der reisenden Schriftsteller wider, von denen sie auch bei der Frankfurter Buchmesse im Oktober berichteten. Der rote Faden, der die vier Berichte am Ende vereinte: Indonesien ist ein facettenreiches Land mit einer unglaublichen kulturellen Vielfalt, das Lust auf mehr Begegnungen und Austausch in der Zukunft macht.

T

he young authors Ulla Lenze, Antje Rávic Strubel, Leif Randt and Andreas Stichmann went on a journey of discovery in Indonesia. While city touring and island hopping, they cast an open eye upon this archipelago, walked the woods of Bandung, experienced a wayang puppet theater in Yogyakarta, and stopped over on islands such as Lombok and Belitung. Invited by the German Season, they met journalists, students, artists and other writers, took part in literature festivals and read from their works at Indonesian universities while gaining a deeper understanding of Indonesia, the first Southeast Asian country to become the Guest of Honour at the Frankfurt Book Fair and for many Germans still a blank spot on the literary map. Published in major German daily newspapers Frankfurter Allgemeine Zeitung, taz, Frankfurter Rundschau and Daily Mirror, the reports of the travelling writers reflected their individual impressions, which were also presented at the Frankfurt Book Fair in October 2015. The main thread that binds the four reports: Indonesia is a many-faceted country with incredible cultural diversity that whets one’s appetite for further encounters and exchanges in the future.

LITERATUR // LITERATUR // LITERATURE

57


22.05. - 20.08.2015

58

LITERATUR // LITERATUR // LITERATURE


»Sebuah petualangan yang tak akan terlupakan yang dapat menginspirasi karya-karya penulis.« »Ein unver­­gess­liches Abenteuer, das die litera­rischen Werke der Autoren inspirieren könnte.« »A memorable adventure that could inspire the authors’ literary works.« HIGH END MAGAZINE

LITERATUR // LITERATUR // LITERATURE

59


21.10. – 27.10.2015

Berlin Radio Choir Rundfunkchor Berlin // Berlin Radio Choir



21.10. – 27.10.2015

Berlin Radio Choir bernyanyi bersama paduan suara Indonesia Der Rundfunkchor Berlin singt mit indonesischen Chören Berlin Radio Choir sings with Indonesian choirs

I

ndonesia memiliki skena paduan suara yang beragam dan hidup. Jerman Fest mengundang Paduan Suara Radio Berlin dengan 25 penyanyi ke Indonesia untuk tampil di Jakarta, Medan, dan Bandung.

Dengan lebih dari 60 konser setahun, rekaman CD, dan penampilan tamu di festival internasional, Paduan Suara Radio Berlin termasuk paduan suara paling prestisius di dunia. Namun paduan suara ini terkenal bukan hanya karena kualitasnya yang tinggi dan repertoarnya yang luas, melainkan juga karena proyek-proyek interdisiplinernya.

62

apat kesempatan berperan aktif pada beberapa lagu. Untuk rangkaian konser yang dihadiri sekitar 4.000 penonton yang antusias, Simon Halsey – dirigen kepala Paduan Suara Berlin selama bertahun-tahun – ikut datang bersama ansambelnya.

I

ndonesien verfügt über eine vielfältige und lebhafte Chorszene. Die Deutsche Saison lud den Rundfunkchor Berlin mit 25 Sängerinnen und Sängern nach Indonesien ein, um in den Städten Jakarta, Medan und Bandung aufzutreten.

Keistimewaan rangkaian konser di Indonesia adalah bahwa di tiap-tiap kota Paduan Suara Radio Berlin tampil bersama paduan suara setempat – dengan Paduan Suara Mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, e Deum Voice di Medan, dan PSM Unpad di Bandung.

Der Rundfunkchor Berlin zählt mit mehr als 60 Konzerten jährlich, CD-Einspielungen und Gastauftritten bei internationalen Festivals zu den renommiertesten Chören der Welt. Doch der Chor ist nicht nur bekannt für seine hohe Qualität und ein breit gefächertes Repertoire, sondern auch für seine interdisziplinären Projekte.

Agar semua paduan suara dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin, dirigen Nicolas Fink sempat mengadakan sejumlah latihan dengan paduan suara Indonesia guna mempelajari repertoar menantang yang mencakup karyakarya Jerman dan Indonesia.

Eine Besonderheit der Konzerte in Indonesien war, dass der Rundfunkchor Berlin in jeder Stadt gemeinsam mit einem ortsansässigen Chor auftrat – mit dem Studentenchor der Universitas Indonesia in Jakarta, mit e Deum Voice in Medan, und mit PSM Unpad in Bandung.

Sebagai momen kejutan yang inovatif disisipkan elemen partisipatif pada setiap konser: Penonton tertentu yang diundang melalui media sosial mend-

Damit die Chöre gut vorbereitet waren, arbeitete der Dirigent Nicolas Fink bereits im Vorfeld mehrfach mit den indonesischen Chören, um das an-

MUSIK // MUSIK // MUSIC

spruchsvolle Repertoire, bestehend aus deutschen und indonesischen Werken, einzustudieren. Als innovatives Überraschungsmoment waren partizipative Elemente in die Konzerte eingebaut: Über soziale Medien eingeladene Mitglieder des Publikums erhielten die Gelegenheit, bei einigen Liedern aktiv mitzuwirken. Für die von etwa 4000 begeisterten Zuhörern besuchten Konzerte reiste Simon Halsey, der langjährige Chefdirigent des Rundfunkchors Berlin, mit dem Ensemble an.

I

ndonesia has a diverse and lively choir scene. The German Season invited the Rundfunkchor Berlin (Berlin Radio Choir) with 25 singers to Indonesia to perform in Jakarta, Medan and Bandung. With more than 60 concerts a year, CD recordings and guest appearances at international festivals, the Rundfunkchor Berlin is one of the most esteemed choirs in the world. It is known not only for its high quality and wide ranging repertoire but also for its interdisciplinary projects. A special feature of the concerts in Indonesia was that the Rundfunkchor Berlin performed in each city with a local choir: with the student choir of the Universitas Indonesia in Jakarta, with e Deum Voice in Medan, and with PSM Unpad in Bandung.

To ensure the choirs were well prepared, conductor Nicolas Fink worked in advance with the Indonesian choirs on several occasions to rehearse the challenging repertoire consisting of German and Indonesian works. As an innovative moment of surprise, participatory elements were also integrated into the concerts: via social media, invited members of the audience were given the opportunity to participate actively in some of the pieces. Simon Halsey, the long-standing chief conductor of the Rundfunkchor Berlin, travelled with the ensemble to Indonesia and mesmerized the 4,000 enthusiastic concert goers.


MUSIK // MUSIK // MUSIC

63


21.10. – 27.10.2015

»Bahasa musik itu memang universal.« »Die Sprache der Musik ist tatsächlich universell.« »The language of music is truly a universal one.« NICOLAS FINK BERLIN RADIO CHOIR

64

MUSIK // MUSIK // MUSIC


»Sebuah petualangan yang luar biasa bagi kedua pihak.«

»Ein großes Abenteuer für beide Seiten.«

»A great adventure for both sides.«

ARD HÖRFUNK

MUSIK // MUSIK // MUSIC

65


23.10. – 26.10.2015

Choreographers’ LAB



23.10. – 26.10.2015

68

TARI // TANZ // DANCE


Pertukaran kreatif dalam »Choreographers’ LAB« Kreativer Austausch im »Choreographers‘ LAB« Creative exchange in the »Choreographers’ LAB«

K

encan buta selalu diiringi perasaan gugup dan gelisah. Ketegangan serupa juga membayangi para seniman yang dipertemukan oleh Jerman Fest dalam rangka proyek pertukaran inovatif Choreographers’ Lab, melalui kerja sama dengan Künstlerhaus Mousonturm di Frankfurt, Salihara, dan Studio Plesungan di Solo. Fokus pertemuan itu adalah dialog antarbudaya tari. Ioannis Mandafounis dan Agus Margiyanto, Fitri Setyaningsih dan Nicola Mascia, serta Josh Elliott Johnson dan Elia Nurvista adalah ketiga pasangan seniman yang berjumpa dalam beberapa tahapan kerja di Jerman dan Indonesia. Pertukaran di antara mereka sengaja dibiarkan dalam format terbuka: Dengan demikian para penari dan koreografer yang terlibat bebas menggali kreativitas masing-masing. Pada bulan Oktober 2015, ketiga pasangan artis menyajikan hasil tahapan kerja bersama, pertama di Frankfurt menjelang Pekan Raya Buku dan kemudian di Jakarta dan Solo. Mereka mengembangkan bentuk-bentuk ekspresi yang mengesankan berkat kombinasi unsur performatif dari ranah Eropa dan non-Eropa. Mereka juga mendobrak kebiasaan konvensional dengan membawa gerakan ke ruang penonton atau bahkan sama sekali menghilangkan ruang tersebut. Publik Indonesia, yang sebagian besar berusia muda, menjadi bagian dari

koreografi. Situasi ini mula-mula terasa asing bagi sebagian orang, namun mereka pun mengikuti ajakan itu, sehingga pada akhirnya ketiga ratus penonton turut serta secara aktif membentuk pertunjukan.

E

s ist ein prickelndes Gefühl, das jedes «Blind Date« begleitet. Diese Aufregung empfanden auch die Künstler, die die Deutsche Saison in Zusammenarbeit mit dem Frankfurter Künstlerhaus Mousonturm, dem Salihara und dem Studio Plesungan in Solo zu dem innovativen Austauschprojekt Choreographers‘ zusammenbrachte. Im Vordergrund stand der Dialog zwischen den Tanzkulturen. Ioannis Mandafounis und Agus Margiyanto, Fitri Setyaningsih und Nicola Mascia, und Josh Eliott Johnson und Elia Nurvista waren die drei Künstlerpaare, die in mehreren Arbeitsphasen in Deutschland und Indonesien aufeinandertrafen. Dabei wurde der Austausch bewusst offen gehalten: Die beteiligten Tänzer und Choreographen konnten so ihrer Kreativität freien Lauf lassen. Im Oktober 2015 präsentierten die Künstlerpaare zunächst in Frankfurt im unmittelbaren Vorfeld der Buchmesse die Ergebnisse ihrer gemeinsamen Arbeitsphasen, im Anschluss daran auch in Jakarta und Solo. Sie entwickelten Ausdrucksformen, die in ihrer Kombination performativer Elemente aus dem europäischen und außereuropäischen

Raum beeindruckten; und sie brachen konventionelle Gewohnheiten auf, brachten Bewegung in den Zuschauerraum oder lösten ihn gar vollständig auf. Das indonesische, vorwiegend junge Publikum wurde Teil der Choreographie. Für einige zunächst eine befremdliche Situation, doch sie ließen sich auf das Spiel ein, und am Ende nahmen die 300 Zuschauer selbst aktiv und gestaltend an der Aufführung teil.

I

t’s a tingling sensation that accompanies any blind date. This was the kind of excitement experienced by the artists brought together by the German Season in cooperation with the artist house Mousonturm in Frankfurt, with Salihara, and with Studio Plesungan in Solo for this innovative exchange amongst choreographers. The focus of this project was to create a dialogue between the respective dance cultures.

They developed forms of expression that were impressive in their combination of European and non-European performative elements; and they broke conventional habits, brought movement to the audience, and even dissolved the audience space as such. The predominantly young Indonesian audience became part of the choreography, for some a strange situation at first, but then they became engaged in the performance. In the end the 300 members of the audience themselves took an active role in shaping the production.

Ioannis Mandafounis and Agus Margiyanto, Fitri Setyaningsih and Nicola Mascia, and Josh Eliott Johnson and Elijah Nurvista were the three artist pairs that came together in various working phases in Germany and Indonesia. The exchange was deliberately kept open, allowing the involved dancers and choreographers a free flow of creativity. In October 2015 the artist couples first presented the fruits of their work together in Frankfurt just prior to the Book Fair, and later on in Jakarta and Solo.

TARI // TANZ // DANCE

69


23.10. – 26.10.2015

»Sebuah kesempatan yang sangat menarik dengan output artistik yang luas.«

»Eine faszinierende Angelegenheit mit umfangreichem künstlerischem Output.« JAKARTA GLOBE

70

SENI // KUNST // ART

»A fascinating affair with an extensive artistic output.«


SENI // KUNST // ART

71


100% Yogyakarta


31.10. – 01.11.2015


Teater dokumenter: Koproduksi »100% Yogyakarta« Dokumentartheater: Die Koproduktion »100% Yogyakarta« Documentary theater: The co-production »100% Yogyakarta«

I

stato Hudayana berusia 38 tahun dan tinggal di Yogyakarta. Ia mengajak temannya Ade Ma’ruf Wirasenjaya ikut dalam sebuah pementasan teater. Ade lalu meneruskan ajakan itu kepada seorang rekannya, yang selanjutnya membawa putranya yang berusia 12 tahun. Reaksi berantai itu terus bergulir sampai terkumpul 100 warga Yogyakarta yang naik ke panggung dalam rangka lakon luar biasa »100% Yogyakarta«. Itulah situasi awal pementasan sandiwara »100% Yogyakarta«. Format inovatif ini dikembangkan oleh Rimini Protokoll, trio sutradara yang tersohor di dunia, dan telah direalisasikan dengan sukses di sejumlah kota lain. Untuk »100% Yogyakarta«, Rimini Protokoll – yang terkenal karena pementasan sandiwara pascadramatiknya – bekerja sama dengan kelompok seniman Teater Garasi dari Yogyakarta yang juga telah ternama. »100% Yogyakarta« memboyong 100 orang awam ke atas pentas dan melibatkan mereka secara aktif dalam proses berteater. Seluruh proses seleksi peserta dan latihan memakan waktu lima bulan. Pementasan ini menyajikan sudut pandang baru yang segar mengenai kota Yogyakarta melalui tanya-jawab yang menghibur, pernyataan yang berani, dan pengungkapan yang mengharukan. Ke-100 aktor awam masing-masing mewakili 36.000 orang lain, atau 1% jumlah penduduk keseluruhan Yogyakarta. Meskipun memiliki pendapat yang berbeda-beda dan kadang-kadang berseberangan, untuk satu malam ke-100 aktor awam itu tampil bersama di atas

74

TEATER // THEATER // THEATER

panggung untuk mewakili kota mereka. Pementasan ini juga meneruskan tradisi sejak zaman dahulu bahwa panggung menjadi tempat membahas urusan warga, antara lain dengan menanggapi pertanyaan penonton. 3.300 orang membanjiri Taman Budaya untuk memperoleh sudut pandang baru mengenai kota mereka dengan cara ini, dan semuanya bereaksi sama: Mereka senang dan gembira.

I

stato Hudayana ist 38 Jahre alt und lebt in Yogyakarta. Er schlägt seinem Freund Ade Ma’ruf Wirasenjaya vor, an einer Theaterproduktion teilzunehmen. Ade wiederum gibt diese Idee an seine Kollegin weiter, die ihren 12-jährigen Sohn mitbringt. Diese Kettenreaktion setzt sich fort, bis 100 Einwohner aus Yogyakarta gefunden worden sind, die für die außergewöhnliche Produktion »100% Yogyakarta« auf der Bühne stehen. Dies war die Ausgangssituation für die Theaterproduktion »100% Yogyakarta«. Das innovative Format wurde vom weltweit bekannten Regie-Trio Rimini Protokoll entwickelt und bereits erfolgreich in anderen Städten umgesetzt. Für »100% Yogyakarta« arbeitete Rimini Protokoll, bekannt für seine postdramatischen Theaterproduktionen, mit dem renommierten Künstlerkollektiv Teater Garasi aus Yogyakarta zusammen. »100% Yogyakarta« holte 100 Laienschauspieler auf die Bühne und band sie aktiv in den Prozess des Theatermachens ein. Insgesamt fünf Monate tüftelte man an der Teilnehmerauswahl und den Proben.

Die Produktion bot erfrischend neue Perspektiven auf die Stadt, offen gelegt durch unterhaltsame Frage-und-Antwort-Situationen, kühne Stellungnahmen und bewegende Offenbarungen. Jeder der 100 Laienschauspieler repräsentierte 36.000 andere Menschen, oder 1% von Yogyakartas Gesamtbevölkerung. Trotz ihrer teilweise auseinandergehenden, unterschiedlichen Meinungen waren die 100 Laienschauspieler für einen Abend auf der Bühne vereint, um ihre Stadt zu repräsentieren. Die Aufführungen erfüllten auch mit der Einbeziehung von Fragen aus dem Publikum den seit der Antike tradierten Anspruch, dass auf der Bühne die Angelegenheiten der Bürger verhandelt werden. 3.300 Menschen strömten ins Taman Budaya, um ihre Stadt auf diese Art und Weise neu zu entdecken, und ihre Reaktion war einstimmig: sie waren begeistert.

I

stato Hudayana is 38 years old and lives in Yogyakarta. He proposes to his friend Ade Ma’ruf Wirasenjaya to take part in a theater production. Ade in turn tells a colleague of his about the idea. The colleague brings his 12-year-old son along. This chain reaction continues until 100 inhabitants from Yogyakarta have been found for the extraordinary theater production titled »100% Yogyakarta«. This was the setup for »100% Yogyakarta«. This innovative format was developed by the world-acclaimed director trio Rimini Protokoll and has already been implemented success-

fully in other cities. Rimini Protokoll, known for its post-dramatic theater productions, collaborated on »100% Yogyakarta« with Indonesia’s renowned artist collective Teater Garasi from Yogyakarta. »100% Yogyakarta« brought 100 amateur actors onto the stage and actively incorporated them into the process of making theater. The casting process and rehearsals took five months in total. The production offered refreshingly new perspectives of the city, exposed by entertaining question-and-answer situations, bold opinions and moving revelations. Each of the 100 amateur actors represented 36,000 other Yogyakartans, or about 1% of Yogyakarta’s total population. Despite their sometimes divergent opinions, the 100 amateur actors were unified for one evening on stage to represent their city. The performances also fulfilled the classical antique tradition that on stage the affairs of the citizens were addressed by means of questions from the audience. 3,300 people flocked to Taman Budaya to rediscover their city in this way, and their reaction was unanimous: they were thrilled.


31.10. – 01.11.2015

TEATER // THEATER // THEATER

75


»Sebuah karya yang sangat menarik dari teater dokumenter.«

»Ein faszinierendes Stück aus dem Genre Dokumentar­theater.« JAKARTA POST

76

TEATER // THEATER // THEATER

»A fascinating piece of documentary theater.«


31.10. – 01.11.2015

TEATER // THEATER // THEATER

77


Agama, Negara dan Masyarakat Religion, Staat und Gesellschaft // Religion, State and Society


02.11.2015


80

MASYARAKAT & PENDIDIKAN // POLITIK & BILDUNG // SOCIETY & EDUCATION


02.11.2015

Konferensi: »Agama, Negara, dan Masyarakat di Abad ke-21« Konferenz: »Religion, Staat und Gesellschaft im 21. Jahrhundert« Conference: »Religion, State and Society in the 21st Century«

S

ebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, Indonesia merupakan mitra penting bagi Jerman dalam dialog seputar isu agama. Berkat demokrasinya yang bersifat pluralistik, Indonesia berpotensi menjadi panutan bagi negara-negara mayoritas Muslim lain. Universitas Göttingen dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta sudah beberapa tahun ini menjalin kerja sama intensif untuk membahas tematema terkait Islam. Bekerja sama dengan kedua universitas tersebut serta dengan Friedrich Naumann-Stiftung für die Freiheit, Jerman Fest menyelenggarakan konferensi dua hari »Agama, Negara, dan Masyarakat di Abad ke-21« di Jakarta. Pembahasan selama konferensi berfokus pada korelasi antara hukum dan agama, hak kebebasan berpendapat, tetapi juga perlindungan terhadap kelompok minoritas. Kedua ratus peserta konferensi bertukar pengalaman mengenai tantangan bersama dan mendiskusikan bentuk hubungan yang wajar antara negara dan agama.

A

ls Land mit der größten muslimischen Bevölkerung der Welt ist Indonesien ein wichtiger Partner Deutschlands für den Dialog über Religionsfragen. Aufgrund seiner pluralistischen Demokratie hat Indonesien das Potential, als Modell für andere mehrheitlich muslimische Länder zu wirken. Die Universität Göttingen und die Universität Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta) arbeiten bereits seit mehreren Jahren intensiv zu islamkundlichen Themen zusammen. In Zusammenarbeit mit diesen beiden Universitäten und der Friedrich Naumann-Stiftung für die Freiheit organisierte die Deutsche Saison in Jakarta die zweitägige Konferenz »Religion, Staat und Gesellschaft im 21. Jahrhundert«. Während der Konferenz standen besonders die Zusammenhänge von Gesetz und Religion, das Recht auf freie Meinungsäußerung, aber auch der Schutz religiöser Minderheiten im Vordergrund. Die 200 Konferenzteilnehmer widmeten sich dem Erfahrungsaustausch über gemeinsame Herausforderungen und beschäftigten sich mit der Frage nach einem angemessenen Verhältnis von Staat und Religion.

A

s the country with the largest Muslim population in the world, Indonesia is an important partner for Germany in a dialogue concerning religious issues. Because of its pluralist democracy, Indonesia has the potential to serve as a model for other Muslim-majority countries. The University of Göttingen and the Islam Negeri Sunan Kalijaga University in Yogyakarta have been working together intensively for several years on Islamrelated topics. In cooperation with these two universities and the Friedrich Naumann Foundation for Freedom, the German Season organized the two-day conference »Religion, State and Society in the 21st Century« in Jakarta. The conference focused in particular on the connection between law and religion and the right to freedom of opinion and expression, but it also dealt with the protection of religious minorities. The 200 conference participants devoted themselves to sharing their experience on common challenges and also discussed the topic of an appropriate relationship between state and religion.

MASYARAKAT & PENDIDIKAN // POLITIK & BILDUNG // SOCIETY & EDUCATION

81


Game Mixer


02.11. – 09.11.2015


Dialog di Kalangan Orang Kreatif: »Game Mixer« Dialog unter Kreativen: »Game Mixer« Dialogue amongst creative minds: »Game Mixer«

J

erman adalah pasar terbesar untuk game digital di Eropa, dan industri software dan game adalah segmen pasar paling dinamis dalam ekonomi kreatif Jerman. Indonesia sebaliknya termasuk pasar paling dinamis untuk game di Asia. Program inovasi »Game Mixer« untuk pertama kali mempertemukan sebelas perusahaan start-up Jerman dan sepuluh pengembang game Indonesia. Mereka saling bertukar informasi dan pengalaman mengenai seluk-beluk game seperti teknik bercerita, persyaratan untuk mengakses pasar internasional, serta menarik perhatian di kalangan ekonomi di skena game di negara masing-masing. Dengan demikian program ini sejalan dengan langkah pemerintah Indonesia, yang memiliki rencana besar untuk ekonomi kreatif digitalnya. Proyek ini telah menyiapkan program yang beragam: Setelah »Creative Camp« sebagai pembuka, peserta mengunjungi studio di Jakarta dan Bandung, acara presentasi dan talkshow di Universitas BINUS, dan »Industry Talk« yang antara lain menampilkan Triawan Munaf, kepala Badan Ekonomi Kreatif, sebagai pembicara. Sebagai acara puncak menjelang berakhirnya program diadakan »Game Jam« di Bandung – pengembang dari kedua negara membentuk beberapa tim campuran yang diberi waktu 48 jam untuk mengembangkan ide game baru dan merealisasikannya di tempat.

84

EKONOMI // WIRTSCHAFT // ECONOMY

Proyek »Game Mixer« dikonsepkan sebagai langkah awal pertukaran kreatif di antara pengembang game Jerman dan Indonesia. Ini merupakan proyek kerja sama Jerman Fest dengan Bundesverband Interaktive Unterhaltungssoftware, Stiftung Digitale Spielekultur, Quinke Networks, Asosiasi Game Indonesia, dan Agate Studio Bandung.

D

eutschland ist heute der größte Markt für digitale Spiele in Europa, die Software- und Games-Industrie ist der dynamischste Teilmarkt der deutschen Kreativwirtschaft. Indonesien wiederum zählt zu den dynamischsten Games-Märkten Asiens. In dem Innovationsprogramm »Game Mixer« trafen zum ersten Mal elf preisgekrönte deutsche Start-Ups auf zehn indonesische Spiele-Entwickler. Miteinander tauschten sie sich über Spielmechaniken wie Erzähltechniken, Zugangsbedingungen internationaler Märkte wie die Aufmerksamkeitsökonomie ihrer Gamer-Szene aus. Damit stand dieses Programm ganz im Einklang mit der indonesischen Regierung, die mit ihrer digitalen Kreativwirtschaft große Pläne hat. Das Projekt sah ein vielfältiges Programm vor: Nach dem »Creative Camp« zum Auftakt standen für die Teilnehmer Studiobesuche in Jakarta und Bandung auf dem Programm, sowie eine Veranstaltung an der BINUS Universität und ein »Industry Talk«, an dem auch Triawan Munaf, Leiter der dem Präsidenten

unterstellten Agentur für Kreativwirtschaft, teilnahm. Als Höhepunkt des Programms wurde am Ende in Bandung der »Game Jam« veranstaltet – Entwickler beider Länder hatten 48 Stunden Zeit, in gemischten Teams neue Spielideen zu entwickeln und vor Ort umzusetzen. Das Projekt »Game Mixer« war als Startschuss für einen kreativen Austausch deutscher und indonesischer Spieleentwickler konzipiert. Es war ein Kooperationsprojekt der Deutschen Saison in Zusammenarbeit mit dem Bundesverband Interaktive Unterhaltungssoftware, der Stiftung Digitale Spielekultur, Quinke Networks, Asosiasi Game Indonesia und Agate Studio Bandung.

W

hile Germany is the largest market for digital games in Europe today, the software and games industry is the most dynamic sub-market of the German creative economy. In turn, Indonesia counts as one of the most dynamic games markets in Asia. In the innovation program »Game Mixer«, eleven award-winning German start-ups met ten Indonesian games developers for the first time. They talked about and shared game mechanics such as narrative techniques, conditions for accessing international markets, and the attention economy of their gamer scene. The program was in full accordance with the aims of the Indo-

nesian government, which has in fact ambitious plans for its digital creative economy. The program was diverse. After a »creative camp« to kick off the project, the participants visited studios in Jakarta and Bandung. The program also included participating at an event at the BINUS University and an »industry talk« in which, among other notables, Triawan Munaf, head of the presidential commission for creative economy, took part. The program peaked with the »Game Jam« in Bandung: developers of both countries in mixed teams had 48 hours to develop new game ideas and implement them on site. The »Game Mixer« project was designed to be the starting point for a creative exchange between German and Indonesian game developers. The project was cooperation of the German Season with the Federal Association of Interactive Entertainment Software, the Digital Games Culture Foundation, Quinke Networks, Asosiasi Game Indonesia, and Agate Studio Bandung.


02.11. – 09.11.2015

EKONOMI // WIRTSCHAFT // ECONOMY

85


86

EKONOMI // WIRTSCHAFT // ECONOMY


02.11. – 09.11.2015

EKONOMI // WIRTSCHAFT // ECONOMY

87


Jerman, Negeri Penemuan Erfinderland Deutschland // Germany, Land of Inventions


06.11.2015  – 30.01.2016


90

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE


06.11.2015  – 30.01.2016

»Jerman, Negeri Penemuan – Penelitian Modular« »Erfinderland Deutschland – Baukasten Forschung« »Germany, Land of Inventions – Modular Research«

P

hilipp von Jolly sempat memberi saran kepada Max Planck muda, muridnya yang saat itu berusia 16 tahun, agar jangan mendalami fisika. Bidang tersebut sudah digarap tuntas, demikian pendapat guru fisika tua itu, dan segala sesuatu sudah ditemukan. Peristiwa itu terjadi tahun 1874, menjelang suatu fase ketika rangkaian penemuan yang membuka wawasan baru di bidang telekomunikasi, pengiriman informasi, dan transportasi menyebabkan dunia berubah secara menyeluruh. Pameran »Jerman, Negeri Penemuan – Penelitian Modular «, yang dikembangkan bekerja sama dengan Max-PlanckGesellschaft dan Fraunhofer-Gesellschaft, menunjukkan betapa berani jiwa penemu para pelopor. Dalam rangka Jerman Fest, pameran ini mula-mula digelar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, kemudian dibawa berkeliling Asia, Eropa, dan Amerika. Jumlah pengunjung di Indonesia saja mencapai angka 32.000 orang. »Jerman, Negeri Penemuan« mencakup penemuan bersejarah seperti mesin cetak sampai inovasi masa depan seperti cloud computing. Dengan lebih dari 30.000 paten setiap tahunnya, para insinyur Jerman sampai sekarang masih terus mengubah dunia, hari demi hari. Berkat perangkat interaktif, pameran berkonsep ilmiah-populer ini memungkinkan publik muda mengalami secara langsung konten yang diperagakan. Penyajian masa lalu dan masa kini riset

Jerman secara hidup itu juga bertujuan membangkitkan minat ilmuwan muda Indonesia di bidang matematika sampai kedokteran untuk memilih Jerman sebagai tempat belajar dan meneliti.

P

hilipp von Jolly riet seinem Schüler, dem 16-jährigen Max Planck, davon ab, Physik zu studieren. Das Feld sei abgegrast, meinte der alte Physiklehrer, und alles schon erfunden. Das war im Jahr 1874, also gerade zu Beginn einer Phase, in der bahnbrechende Erfindungen in den Bereichen Telekommunikation, Informationsvermittlung und Transportwesen zu einer vollständigen Verwandlung der Welt führten. Die Ausstellung »Erfinderland Deutschland – Baukasten Forschung«, die in einer Kooperation mit der Max-Planck-Gesellschaft und der Fraunhofer-Gesellschaft entwickelt wurde, zeigte, wie kühn oft der Erfindergeist der Pioniere war. Im Rahmen der Deutschen Saison wurde die Ausstellung erstmals in Jakarta, Bandung und Surabaya gezeigt, um danach in Asien, Europa und Amerika auf Tournee zu gehen. In Indonesien alleine erreichte die Ausstellung 32.000 Besucher. »Erfinderland Deutschland« spannte einen weiten Bogen von historischen Entdeckungen wie dem Buchdruck bis zu zukunftweisenden Innovationen wie dem Cloud Computing – denn mit über 30.000 Patenten jedes Jahr verwandelt deutsche Ingenieurskunst auch heute noch täglich die Welt.

Populär-wissenschaftlich angelegt, erlaubte die Ausstellung durch die interaktive Ausrichtung einem jungen Publikum mit den gezeigten Inhalten in Berührung zu kommen. Der anschauliche Einblick in die Geschichte und Gegenwart der deutschen Forschung diente auch dazu, indonesische Nachwuchswissenschaftler von der Mathematik bis zur Medizin für Studien- und Forschungsaufenthalte in Deutschland zu interessieren.

P

hilipp of Jolly advised his 16-year old student Max Planck not to study physics. The field had already been grazed bare, said the old physics teacher – everything had already been invented. That was in the year 1874, just when ground breaking inventions in the fields of telecommunication, information transfer and transport heralded the beginning of a complete transformation of the world.

such as cloud computing. With over 30,000 patents every year, German engineering is still transforming the world on a daily basis. Designed as a popular scientific exhibition, the exhibition’s interactiveness allowed a young audience to come into close contact with its contents. The exhibition provided insight into German research and brought both historical and present-day research to life while serving to interest young Indonesian scientists in studying and researching in Germany in fields such as mathematics and medicine.

The exhibition entitled »Germany, Land of Inventions – Modular Research«, developed in cooperation with the Max Planck Society and the Fraunhofer Society, showed just how daring the spirit of invention of the pioneers often was. The exhibition was shown for the first time in Jakarta, Bandung and Surabaya in the framework of the German Season before touring Asia, Europe and America. The number of visitors reached 32,000 in Indonesia alone. »Germany, Land of Inventions« covered a wide spectrum of historical discoveries, from book printing to pioneering innovations

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE

91


92

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE


06.11.2015  – 30.01.2016

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE

93


Market Share


10.11. – 10.12.2015


Seni di ruang publik: »Market Share« Kunst im öffentlichen Raum: »Market Share« Art in public space: »Market Share«

P

asar merupakan titik temu, tempat sirkulasi manusia dan barang, di tengah-tengah keseharian. Untuk proyek seni »Market Share«, sebuah pasar di Tebet Timur di kawasan Jakarta Selatan menjadi inspirasi bagi lima lulusan sekolah tinggi seni rupa Städelschule di Frankfurt dan lima seniman muda Indonesia untuk mengenal kondisi setempat – dan kemudian menciptakan karya-karya mereka sebagai seni di ruang publik. Mengubah tempat seramai pasar di Tebet Timur itu menjadi tempat pameran sekilas berkesan tidak lazim, tetapi menyimpan tidak terhitung banyaknya kemungkinan kreatif. Pada akhirnya justru sudut-sudut tersembunyi yang memberi tempat untuk mural dan gang-gang sempit yang menyediakan barang-barang terbuang yang kemudian didaur ulang sebagai objek desain yang fungsional. Pintu gulung lama pun dijadikan tempat berkarya – karya tersebut baru terlihat setelah toko ditutup. Pada proyek seni istimewa »Market Share« ini penjual menjadi ko-produsen dan ko-kurator, dan pada akhirnya juga pemilik karya seni. Dengan demikian karya seni pada bajaj, pintu gulung, atau dinding bisa berangsur-angsur memudar dan lebih sempurna lagi menyatu dengan lingkungan untuk selanjutnya, perlahan-lahan, lenyap. »Market Share« dikurasi oleh seniman Jerman Tobias Rehberger dan Ade

96

SENI // KUNST // ART

Darmawan dari kelompok seniman Indonesia, ruangrupa. Seniman yang berpartisipasi adalah Angga Cipta, Bertrand Flanet, Edi Winarni, Hanna-Maria Hammari, Julia Zabowska, Liesel Burisch, Maharani Mancanagara, Muhammad Fatchurofi, The Popo dan Putri Ayu Lestari.

M

ärkte sind Treffpunkte, Orte der Zirkulation von Menschen und Waren, im Herzen des Alltags. Für das Kunstprojekt »Market Share« diente ein Markt in Tebet Timur, im Süden Jakartas, als Inspiration für fünf Absolventen der Frankfurter Städelschule und fünf indonesische Künstler, sich mit den Begebenheiten vor Ort vertraut zu machen – und schließlich hier ihre Werke als Kunst im öffentlichen Raum zu kreieren. Einen so lebendigen Ort wie den Markt in Tebet Timur in einen Ausstellungsort zu verwandeln mag auf den ersten Blick ungewöhnlich erscheinen, hält aber zahllose kreative Möglichkeiten bereit. Am Ende waren es gerade die verborgenen Ecken, in denen Wandbilder einen Platz fanden, und es waren die engen Gässchen, in denen man Treibgut fand, den Müll, der recycelt wurde. Auch die alten Ladengatter dienten als Bildträger – die Werke kamen erst nach Ladenschluss zum Vorschein. In dem außergewöhnlichen Kunstprojekt »Market Share« wurden Verkäufer zu Ko-Produzenten und Ko-Kuratoren, und am Ende auch zu Kunstbesitzern. So darf

die Kunst auf Motor-Rikschas, Gattern oder Wänden nun allmählich verwittern, zu einem noch vollkommeneren Teil ihrer Umgebung werden und, ganz langsam, verschwinden. »Market Share« wurde von dem deutschen Künstler Tobias Rehberger und Ade Darmawan vom indonesischen Künstlerkollektiv ruangrupa kuratiert. Die teilnehmenden Künstler waren Angga Cipta, Bertrand Flanet, Edi Winarni, Hanna-Maria Hammari, Julia Zabowska, Liesel Burisch, Maharani Mancanagara, Muhammad Fatchurofi, The Popo und Putri Ayu Lestari.

M

arkets are meeting places where people and goods circulate in the heart of everyday life. For the art project »Market Share«, a market in Tebet Timur in South Jakarta served as the inspiration for five graduates of the Städelschule in Frankfurt and five young Indonesian artists to familiarize themselves with the specific conditions on site and then to create their works as art in public space. To transform such a vibrant place as the market in Tebet Timur into an exhibition venue may at first glance seem odd, but the creative possibilities were abundant. In the end it was the hidden corners of the market to house murals; it was the narrow lanes where you found the flotsam waste and garbage that would be recycled. Even the shutters of the shops became a canvas for art – the works appeared only after shops closed.

In the extraordinary art project »Market Share«, sellers became co-producers and co-curators, and in the end also art owners. Art on motorcycle rickshaws, gates or walls gradually weather and fade, become an even more complete part of their environment, and very slowly they disappear. »Market Share« was curated by the German artist Tobias Rehberger and Ade Darmawan of the Indonesian artist collective ruangrupa. The participating artists were Angga Cipta, Bertrand Flanet, Edi Winarni, Hanna-Maria Hammari, Julia Zabowska, Liesel Burisch, Maharani Mancanagara, Muhammad Fatchurofi, The Popo and Putri Ayu Lestari.


10.11. – 10.12.2015

SENI // KUNST // ART

97


»Para seniman menyogok kami dengan kue, dan obrolan-obrolan yang menyenangkan. Saya suka dengan kehadiran mereka.«

98

SENI // KUNST // ART


10.11. – 10.12.2015

»Die Künstler haben sich uns mit Kuchen, aber auch mit interessanten Gesprächen genähert. Ich finde es schön, dass sie hier waren.«

»The artists approached us with cake and pleasant conversations. I like the fact that they came here.«

HENDRI PEDAGANG / HÄNDLER / VENDOR

SENI // KUNST // ART

99


Science Film Festival Wissenschaftsfilmfestival  // Science Film Festival


12.11. – 26.11.2015


102

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE


12.11. – 26.11.2015

Belajar dan bergembira di Science Film Festival Bildung und Spass beim Wissenschaftsfilmfestival Education and fun at the Science Film Festival

A

pa peran cahaya dalam kehidupan kita? Ada apa di balik fenomena ini?

Bertepatan dengan »Tahun Cahaya« internasional yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk tahun 2015, Science Film Festival mengundang publik Indonesia untuk mencari tahu sendiri. Setelah dibuka pada tanggal 13 November 2015 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, festival ini berkembang menjadi magnet publik dengan lebih dari 50.000 penonton di seluruhnya 21 kota di seantero Nusantara, termasuk di daerah-daerah terpencil. Dengan kombinasi antara hiburan dan alih pengetahuan, Science Film Festival membuka jalan ke »Dunia Ajaib Teknologi« melalui film, sementara tiap-tiap film – misalnya saja mengenai bentuk energi baru berbasis tenaga surya – menyiratkan: Setiap keingintahuan ilmiah, setiap penelitian berawal dari ketakjuban. Popularitas festival ini, yang ditujukan terutama kepada anak-anak dan remaja, menunjukkan bahwa pendekatan kreatif kepada tema yang kompleks dapat berhasil dengan baik: Melalui film dan televisi, materi yang sulit sekali pun dapat disajikan dengan cara yang mudah dipahami sekaligus menghibur. Berbagai eksperimen interaktif, yang menjadi pelengkap pemutaran film, memperoleh sambutan hangat dari publik usia muda. Science Film Festival disponsori oleh Allianz dan diselenggarakan oleh Jerman

Fest bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Institut Français Indonesia, Universitas Paramadina, PT Kuark Internasional, PASCH, Wisma Jerman, Universitas Kristen Satya Wacana dan Pusat Peragaan PPIPTE.

W

elche Rolle spielt Licht in unserem Leben? Was hat es auf sich mit dieser Erscheinung, diesem Phänomen? Im Einklang mit dem internationalen »Jahr des Lichts«, das die Vereinten Nationen für 2015 ausgerufen hatten, lud das Wissenschaftsfilmfestival sein indonesisches Publikum dazu ein, sich selbst ein Bild zu machen. Nach der Eröffnung am 13. November 2015 durch den indonesischen Kultur- und Bildungsminister Anies Baswedan entwickelte sich das Festival in insgesamt 21 Städten auf dem ganzen Insel-Archipel mit über 50.000 Besuchern zu einem wahren Publikumsmagneten, auch in weit entlegenen Gebieten des Landes. In seiner Mischung aus Unterhaltung und Wissensvermittlung bot das Wissenschaftsfilmfestival zahlreiche filmische Zugänge zur »Wunderwelt der Technik«, wobei die Beiträge – z.B. über neue Energieformen aus Sonnenenergie – immer spüren ließen: Jede wissenschaftlichen Neugierde, jede Forschung beginnt mit einem Staunen. Die große Popularität des Festivals, das sich hauptsächlich an Kinder und Jugendliche richtet, zeigt, dass die kreative Herangehensweise an ein kom-

plexes Thema überaus erfolgreich ist: Über Film und Fernsehen werden auch schwierige Sachverhalte verständlich und zugleich unterhaltend präsentiert. Die interaktiven Experimente, die zusätzlich zu den Filmvorführungen durchgeführt wurden, fanden bei dem jungen Publikum großen Anklang. Das Wissenschaftsfilmfestival wurde von Allianz gesponsert und organisiert von der Deutschen Saison in Zusammenarbeit dem indonesischen Bildungsministerium, dem Institut Français Indonesia, Universitas Paramadina, PT Kuark Internasional, PASCH, Wisma Jerman, Universitas Kristen Satya Wacana und Pusat Peragaan PPIPTE.

W

hat is the role of light in our lives? How exactly can one explain this phenomenon?

In accordance with the »International Year of Light« proclaimed by the United Nations for 2015, the Science Film Festival invited its Indonesian audience to answer this question for themselves. After the opening on 13 November 2015 by the Indonesian Culture and Education Minister Anies Baswedan, the festival became a tremendous audience magnet in 21 cities across the entire archipelago and attracted over 50,000 visitors, even in remote areas of the country.

forms of energy from solar energy – always conveyed that every scientific inquiry, every research begins with astonishment. The great popularity of the festival, which primarily targeted children and teens, showed that a creative approach to a complex issue can be extremely successful: the use of film and television make difficult content understandable and entertaining at the same time. The interactive experiments carried out in addition to the film screenings were a big hit among the young audiences. The Science Film Festival was sponsored by Allianz and organized by the German Season in cooperation with the Indonesian Ministry of Education, Institut Français Indonesia, Universitas Paramadina, PT Kuark Internasional, PASCH, Wisma Jerman, Universitas Kristen Satya Wacana, and Pusat Peragaan PPIPTE.

With its mixture of entertainment and knowledge, the Science Film Festival offered numerous cinematic additions to the »Wonderful world of technology«. The contributions – e.g. about new

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE

103


104

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE


12.11. – 26.11.2015

»Saya membayangkan kelak akan mucul para ilmuwan negeri ini yang dengan bangga bisa mengatakan: Saya menjadi ilmuwan karena terinspirasi oleh Science Film Festival!« »Ich stelle mir vor, dass eines Tages ein Wissenschaftler aus diesem Land hervorgeht und stolz erzählt: Ich bin ein Wissen­ schaftler geworden, weil das Wissen­ schafts­filmfestival mich inspiriert hat!« »I imagine that one day a scientist from this country will emerge and proudly say: I became a scientist because I was inspired by the Science Film Festival!« ANIES BASWEDAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN  / MINISTER FÜR ERZIEHUNG UND KULTUR  / EDUCATION AND CULTURE MINISTER

SAINS // WISSENSCHAFT // SCIENCE

105


Demam Bola Fußballfieber // Football Fever


14.11. – 19.11.2015


Kompetisi Online: »Demam Bola di Indonesia« Online-Wettbewerb: »Fußballfieber in Indonesien« Online competition: »Football Fever in Indonesia«

I

ndonesia termasuk negara gila bola, dan tidak sedikit orang Indonesia mendukung kesebelasan nasional Jerman pada turnamen besar – dan bukan baru sejak Jerman menjadi juara dunia di Brasil 2014. Para penggemar sepak bola itulah yang dalam lomba video online »Demam Bola di Indonesia« diminta lewat media sosial untuk mengekspresikan antusiasme mereka untuk kesebelasan nasional Jerman melalui video singkat yang unik. Lomba ini berhasil menjangkau penggemar sepak bola di seluruh negeri. Dari lebih dari 100 video yang diterima, sebuah tim juri independen akhirnya memilih tiga video berdurasi 90 detik yang menonjol dari segi teknik dan konten. Impian ketiga pemenang Taufik Nur Shidiq, Agung Jatmiko Sardjono, dan Kukuh Rahardi menjadi kenyataan ketika mereka berangkat ke Berlin dan Hannover pada bulan November 2015. Acara puncak kunjungan mereka adalah tur Olympiastadion – belum pernah mereka sedekat ini dengan sepak bola Jerman.

108

SPORT // SPORT // SPORTS

I

ndonesien ist eine fußballbegeisterte Nation, und nicht wenige Indonesier drücken bei großen Turnieren der deutschen Mannschaft die Daumen – und das nicht erst, seitdem Deutschland 2014 in Brasilien Weltmeister wurde. Es waren genau diese Fußballfans, die in dem Online-Video-Wettbewerb »Fußballfieber in Indonesien« über die sozialen Medien dazu aufgerufen wurden, in kurzen und möglichst originellen Videos ihre Begeisterung für die deutsche Fußballnationalmannschaft darzustellen. Der Wettbewerb erreichte Fußballfans im ganzen Land. Aus über 100 Einsendungen wählte eine unabhängige Jury schließlich drei 90-Sekunden-Beiträge aus, die technisch und inhaltlich besonders herausragten. Für die Preisträger Taufik Nur Shidiq, Agung Jatmiko Sardjono und Kukuh Rahardi wurde ein Traum wahr, als sie im November 2015 zu einer Reise nach Berlin und Hannover aufbrachen. Der Höhepunkt war eine Tour durch das Olympiastadion – nie waren sie dem deutschen Fußball so nah wie hier.

I

ndonesia is a football-crazy nation. Interestingly enough, many Indonesians cross their fingers for the German team in major tournaments – and not just since Germany became world champion in 2014 in Brazil! Precisely these football fans were called upon to show their enthusiasm for the German national football team by submitting short original videos in the online competition »Football Fever in Indonesia« via social media. The competition reached footballs fans across the whole country. From more than 100 entries an independent jury selected three 90-second film clips that technically and content-wise stood out from the others. For the winners Taufik Nur Shidiq, Agung Jatmiko Sardjono and Kukuh Rahardi a dream came true when they flew off to Berlin and Hanover in November 2015. The high point of their trip was a tour of the Olympic Stadium – never before had they been so close to German football.


14.11. – 19.11.2015

SPORT // SPORT // SPORTS

109


Radikalisasi /  Deradikalisasi Radikalisierung / Deradikalisierung // Radicalization / Deradicalization


26.11.2015


112

MASYARAKAT & PENDIDIKAN // POLITIK & BILDUNG // SOCIETY & EDUCATION


26.11.2015

Konferensi: »Radikalisasi / Deradikalisasi« Konferenz: »Radikalisierung / Deradikalisierung« Conference: »Radicalization / De-radicalization«

D

engan politik luar negerinya yang berorientasi pada keseimbangan, penyelesaian konflik secara damai, dan multilateralisme, Indonesia sudah sewajarnya menjadi mitra dekat bagi Jerman maupun Uni Eropa dalam hal kebijakan keamanan. Melihat perkembangan dramatis di Suriah dan Irak, pemerintah Indonesia menunjukkan perhatian besar terhadap pertukaran pengalaman internasional menyangkut penanganan kaum muda yang telah mengalami radikalisasi, seperti mereka yang direkrut di seluruh dunia oleh organisasi teroris ISIS.

Acara konferensi dan lokakarya seputar tema »Radikalisasi/Deradikalisasi« dalam rangka Jerman Fest diikuti 100 peserta dari kalangan pemerintah, universitas, wadah pemikir, organisasi keagamaan, LSM, serta instansi keamanan dari Jerman dan Indonesia, yang bertemu untuk mendiskusikan pendekatan yang berbeda-beda dalam menangani fenomena ini. Fokus utama konferensi adalah situasi sosial yang memicu radikalisasi baik di Jerman maupun di Indonesia serta tindakan preventif yang mungkin diambil. Tema konferensi ini, yang diselenggarakan melalui kerja sama dengan Yayasan Paramadina dari Indonesia dan Konrad-Adenauer-Stiftung dari Jerman, berkaitan dengan dialog Islam Kementerian Luar Negeri Jerman yang tengah berlangsung.

M

it seiner an Ausgleich, friedlicher Konfliktlösung und Multilateralismus orientierten Außenpolitik empfiehlt sich Indonesien als enger sicherheitspolitischer Partner sowohl Deutschlands als auch der EU. Angesichts der dramatischen Entwicklungen in Syrien und im Irak zeigt sich die indonesische Regierung besonders interessiert am internationalen Erfahrungsaustausch im Umgang mit radikalisierten jungen Menschen, wie sie etwa von der Terrororganisation »Islamischer Staat“ weltweit rekrutiert werden. Bei einer Konferenz- und Werkstattveranstaltung zum Thema »Radikalisierung/ Deradikalisierung« im Rahmen der Deutschen Saison kamen 100 Vertreter von Regierungen, Universitäten und Denkfabriken, religiösen und anderen zivilgesellschaftlichen Nichtregierungsorganisationen und von Sicherheitsbehörden aus Deutschland und Indonesien zusammen, um über verschiedene Ansätze im Umgang mit dem Phänomen zu diskutieren. Dabei standen vor allem die gesellschaftlichen Rahmenbedingungen von Radikalisierung sowohl in Deutschland als auch in Indonesien und mögliche präventive Maßnahmen im Mittelpunkt. Die Konferenz, organisiert in Kooperation mit der indonesischen Paramadina-Stiftung und der Konrad-Adenauer-Stiftung, knüpfte thematisch an die bestehenden Islam-Dialoge des Auswärtigen Amtes an.

W

ith its foreign policy oriented toward maintaining balance, peaceful conflict resolution and multilateralism, Indonesia commends itself as a close partner in security policy both for Germany and the European Community. In view of the dramatic developments in Syria and Iraq, the Indonesian government is particularly interested in the international sharing of experience in dealing with young radicalized people who, for example, are susceptible to being recruited worldwide by the terrorist organisation »Islamic State«. At a conference and workshop on the topic of »Radicalization/ De-radicalization« in the framework of the German Season, 100 representatives of governments, universities and think tanks, religious and other civil society and non-governmental organizations, and from German and Indonesian security agencies came together to discuss different approaches in dealing with this phenomenon. The focus was on the social framework conditions of radicalization in both Germany and Indonesia and possible preventive measures. Organized in cooperation with the Indonesian Paramadina Foundation and the Konrad Adenauer Foundation, the conference was thematically linked to existing Islam dialogues of the Federal Foreign Office in Germany.

MASYARAKAT & PENDIDIKAN // POLITIK & BILDUNG // SOCIETY & EDUCATION

113


volution / groove space


26.11. – 28.11.2015


»volution / groove space« – irama sebuah kota »volution / groove space« – der Rhythmus einer Stadt »volution / groove space« – the rhythm of a city

B

agaimana irama dan tempo sebuah kota menjadi dari sebuah koreografi, dan apa ciri khas yang ada pada tiap-tiap kota? Koreografer Sebastian Matthias asal Berlin bersama ansambel tarinya berusaha menemukan jawaban terhadap pertanyaan tersebut melalui rangkaian penelitian dan performance »groove space«. Proyek kolaborasi ini, yang berawal di Berlin dan sejak itu sempat mampir di Zürich, Frankfurt, Düsseldorf, dan Tokyo, tiba di Jakarta dengan nama »volution / groove space« dalam rangka Jerman Fest dan menyerap irama urban kota metropolitan guna mengolah pengalaman di ruang publik Jakarta secara artistik. Setelah persiapan intensif selama berminggu-minggu, »volution / groove space« akhirnya tampil dalam pementasan perdana di hadapan publik yang penasaran dan berpartisipasi dengan antusias. Bukan Sebastian Matthias selaku koreografer maupun para penarinya saja yang mengendalikan pola gerak yang terjadi. Setiap penonton – seluruhnya berjumlah 400 orang – dapat ikut menata pertunjukan. Seluruh kelompok yang terdiri dari anggota publik, penari, dan seniman melewati lorong panjang, tangga, dan teras di atap untuk menuju ke Blackbox Theater di pusat seni dan budaya Salihara, tempat Iswanto Hartono telah membangun taman artifisial. Di sini mula-mula terdengar berbagai seruan, lalu musik dangdut khas Indonesia, sampai groove

116

DANCE // TANZ // DANCE

yang ada akhirnya menjangkau publik. Pemisahan klasik antara penonton dan panggung tidak ada lagi: Semua menjadi bagian sebuah tarian yang mengungkapkan sebagian realitas urban. »volution / groove space« terwujud melalui kerja sama dengan seniman Indonesia Irwan Ahmett dan Tita Salina, Iswanto Hartono, kelompok seniman Cut and Rescue, serta perancang mode Didiet Maulana.

W

ie schreiben sich Rhythmus und Tempo einer Stadt in eine Choreographie ein, und was ist das Spezifische einer jeden Stadt? Der Berliner Choreograph Sebastian Matthias versucht, gemeinsam mit seinem Tanzensemble, in der Forschungsund Performanceserie »groove space« Antworten auf diese Fragen zu finden. Das gemeinschaftliche Projekt, das in Berlin begann, und seither Station in Zürich, Frankfurt, Düsseldorf und Tokyo gemacht hat, kam im Rahmen der Deutschen Saison unter dem Titel »volution / groove space« nach Jakarta und setzte sich dem urbanen Rhythmus der Metropole aus, um die Erfahrungen im öffentlichen Raum Jakartas künstlerisch zu verarbeiten. Nach Wochen intensiver Vorbereitung wurde »volution / groove space« schließlich vor einem neugierigen und begeistert mitmachenden Publikum uraufgeführt. Nicht der Choreograph Sebastian Matthias noch seine Tänzer allein waren es, die

die Bewegungsmuster steuerten. Jeder Zuschauer – insgesamt waren es 400 – konnte die Aufführung mit gestalten. Durch lange Korridore, Treppenaufgänge und über Dachterrassen bewegte sich die Gruppe, bestehend aus Publikum, Tänzern und Künstlern, auf das Blackbox Theater im Kunstund Kulturzentrum Salihara zu, wo Iswanto Hartono einen künstlichen Garten aufgebaut hatte. Hier waren erst Rufe zu hören, dann indonesische dangdut-Musik, bis der Groove auf das Publikum übersprang. Eine klassische Trennung zwischen Zuschauern und Bühne existierte nicht: Alle wurden zum Teil eines Reigens, in dem sich ein Stück urbane Wirklichkeit offenbarte. »volution / groove space« entstand in Zusammenarbeit mit den indonesischen Künstlern Irwan Ahmett und Tita Salina, Iswanto Hartono, dem Künstlerkollektiv Cut and Rescue sowie Modedesigner Didiet Maulana.

H

ow are the rhythm and tempo of a city expressed in a choreography? And what is specific to each city? The Berlin choreographer Sebastian Matthias and his dance ensemble attempts to answer these questions in the research and performance series »groove space«. The joint project, which began in Berlin and has since travelled to Zurich, Frankfurt, Düsseldorf and Tokyo, came to Jakarta for the German Season under

the title »volution / groove space«. The project examined the urban rhythm of Jakarta as a metropolis in order to transform this experience into an artistic treatment of public spaces. After weeks of intensive preparation »volution / groove space« finally premiered in front of a curious and enthusiastically interactive audience. However, it was not the choreographer Sebastian Matthias or his dancers alone who controlled the patterns of movement: everyone in the audience, all 400, could contribute to the performance. Consisting of audience, dancers and artists, the group moved through long corridors, stairways and roof terraces towrads the Blackbox Theater at the Salihara art and cultural centre, where Iswanto Hartono had created an artificial garden. Here, calls could be heard at first, and then Indonesian dangdut music took over until the groove sparked the audience. There was no classic separation of audience and stage: all were part of this performance in which a piece of urban reality was revealed. »volution / groove space« was developed in cooperation with Indonesian artists Irwan Ahmett and Tita Salina, Iswanto Hartono, the artist collective Cut and Rescue, and fashion designer Didiet Maulana.


26.11. – 28.11.2015

»Sebastian Matthias menambahkan sebuah elemen baru pada dinamika Jakarta yang menakjubkan melalui tari« »Sebastian Matthias fügt der wundervollen Dynamik Jakartas ein neues Element durch Tanz hinzu« »Sebastian Matthias adds an extra element to Jakarta‘s wondrous dynamic through dance« QUB TV

DANCE // TANZ // DANCE

117


118

DANCE // TANZ // DANCE


26.11. – 28.11.2015

DANCE // TANZ // DANCE

119


Green City


23.11. – 05.12.2015


Kota di tengah perubahan: »Green City« Städte im Wandel: »Green City« Urban changes: »Green City«

I

ndonesia sedang melalui proses transformasi. Pameran dan rangkaian seminar »Green City« mendorong penduduk kota, terutama kaum muda, di Surabaya dan Jakarta agar lebih memperhatikan tantangan terkait urbanisasi yang semakin pesat. Kegiatan itu menghadirkan mitra ahli dan pencetus ide inovatif dari bidang teknologi, riset, dan sains dan merangsang alih pengetahuan antara peserta dari Jerman dan Indonesia melalui program seminar yang beragam. Kota Jakarta dan Surabaya dijadikan tempat pameran sekaligus materi peragaan oleh para pemrakarsa. Pameran ini menyajikan ikhtisar permasalahan dan skenario solusi perencanaan kota di Indonesia di masa mendatang. Menjelang rangkaian kegiatan »Green City«, Jerman Fest mengajak pelajar dan mahasiswa Indonesia untuk berpartisipasi dalam lomba »Solution for the Future«. Inovasi paling unik untuk perencanaan kota yang lebih berkelanjutan diberi hadiah dan diikutsertakan dalam pameran. »Green City« diselenggarakan oleh Jerman Fest bekerja sama dengan Universitas Atmajaya di Jakarta dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran di Surabaya.

122

EKONOMI // WIRTSCHAFT // ECONOMY

I

ndonesien durchläuft einen Transformationsprozess. Die Ausstellung und Seminarreihe »Green City« machte insbesondere die junge Stadtbevölkerung in Surabaya und Jakarta auf die Herausforderungen zunehmender Urbanisierung aufmerksam. Sie präsentierte fachkundige Partner und innovative Ideengeber aus den Bereichen Technologie, Forschung und Wissenschaft und regte in einem vielfältigen Seminarprogramm den Wissenstransfer zwischen deutschen und indonesischen Beteiligten an.

I

ndonesia is undergoing a process of transformation. The exhibition and seminar series »Green City« directed the attention of the young urban population in Surabaya and Jakarta in particular to the challenges of increasing urbanization. They featured knowledgeable partners and innovative idea generators from the fields of technology, science and research and stimulated the transfer of knowledge between German and Indonesian partners in a wide-ranging seminar program.

Bereits im Vorfeld der »Green City« rief die Deutsche Saison indonesische Schüler und Studenten zur Teilnahme am »Solution for the Future«-Wettbewerb auf. Die originellsten Erfindungen für nachhaltigere Stadtplanung wurden prämiert und in die Ausstellung integriert.

The cities of Jakarta and Surabaya served as exhibition venues for the initiators while at the same time providing illustrative material. The exhibition provided an overview of problematic situations and possible solution scenarios for future urban planning in Indonesia. Prior to »Green City«, the German Season called on Indonesian students to participate in the »Solution for the Future« competition. The most original innovations for greater sustainability in urban planning were rewarded and integrated into the exhibition.

»Green City« wurde von der Deutschen Saison in Zusammenarbeit mit der Atma Jaya Universität in Jakarta und Universitas Pembangunan Nasional Veteran in Surabaya ­organisiert.

»Green City« was organised by the German Season in cooperation with Atma Jaya University in Jakarta and Universitas Pembangunan Nasional Veteran in Surabaya.

Die Städte Jakarta und Surabaya dienten den Initiatoren als Ausstellungsorte, wie auch als Anschauungsmaterial. Die Ausstellung erlaubte einen Überblick über die Problemlagen und Lösungsszenarien zukünftiger Städteplanung in Indonesien.


23.11. – 05.12.2015

EKONOMI // WIRTSCHAFT // ECONOMY

123


124

EKONOMI // WIRTSCHAFT // ECONOMY


23.11. – 05.12.2015

»Inovasi tidak terbatas oleh »Innovation beschränkt sich usia atau profesi. Siswa juga nicht auf Alter oder Beruf. dapat merancang solusi Auch Studenten können plauyang memungkinkan untuk sible Lösungsansätze zur Ummasalah lingkungan.« weltproblematik entwerfen.«

»Innovation is not limited by age or profession. Even students can come up with feasible solutions for environmental problems.«

JAKARTA POST

EKONOMI // WIRTSCHAFT // ECONOMY

125


Ruang Suara


02.12. – 06.12.2015


128

MUSIK // MUSIK // MUSIC


02.12. – 06.12.2015

»Ruang Suara« – Ensemble Modern berjumpa pemusik muda di Indonesia »Ruang Suara« – Ensemble Modern trifft junge Musiker in Indonesien »Ruang Suara« – Ensemble Modern meets young musicians in Indonesia

A

pa yang terjadi jika metalofon – lempengan penghasil bunyi yang di Indonesia telah diproduksi selama lebih dari 1600 tahun – dengan karakteristik getaran yang tidak lazim menjumpai telinga Barat? Tradisi musik dunia inilah yang menjadi konteks bagi proyek musik »Ruang Suara« (soundscapes) yang ambisius: Delapan komponis dan musisi dari Indonesia yang sebelumnya dipilih oleh juri independen berjumpa dengan Ensemble Modern dari Frankfurt untuk bersama-sama berimprovisasi dengan alat musik Barat dan Indonesia dan menjelajahi sistem penalaan serta konsep bunyi yang berbeda-beda. Interaksi yang semula bebas digunakan oleh para komponis Indonesia – Joko Winarko, Dewa Ketut Alit, Ris Banbos, Taufik A. Adam, Gatot Danar Sulistiyanto, Gema Swaratyagita, M. Arham Aryadi dan Stevie Jonathan Sutanto – untuk mengembangkan berbagai pendekatan dan sintesis artistik dalam serangkaian lokakarya dan kunjungan kerja di Jakarta dan Frankfurt. Fokusnya selalu pada perjumpaan dan pertukaran. Proyek ini melibatkan pertukaran berjenjang dan semua komposisi final sebuah kaleidoskop akustik antara Timur dan Barat – disajikan dalam pentas perdana di Frankfurt LAB tepat menjelang Pekan Raya Buku Frankfurt dengan tamu kehormatan Indonesia. Pada bulan Desember 2015, serangkaian konsep penutup diselenggarakan dengan sukses

di hadapan seluruhnya 1.100 penonton di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. »Ruang Suara« merupakan proyek bersama Ensemble Modern, KfW Foundation dan Goethe Institut Indonesia dengan dukungan Kulturstiftung des Bundes. Proyek ini diselenggarakan dalam rangka Indonesia LAB, sebuah proyek kerja sama berbagai lembaga kebudayaan di Frankfurt dan Goethe-Institut Indonesia.

W

as geschieht, wenn Metallophone – Klangplatten, die in Indonesien seit über 1600 Jahren hergestellt werden – mit ihren ungewöhnlichen Schwingungsverhältnissen auf westliche Ohren treffen? Es ist diese weltmusikalische Tradition, in die sich das ambitionierte Musikprojekt »Ruang Suara« (»Klangräume«) stellte: Acht mit einer unabhängigen Jury ausgewählte junge Komponisten und Instrumentalvirtuosen aus Indonesien trafen auf das Frankfurter Ensemble Modern, um mit westlichen und indonesischen Instrumenten gemeinsam musikalisch zu improvisieren und über verschiedene Stimmungen und Klangvorstellungen zu assoziieren. Aus dem zunächst zwanglosen Zusammenspiel entwickelten die indonesischen Komponisten – Joko Winarko, Dewa Ketut Alit, Ris Banbos, Taufik A. Adam, Gatot Danar Sulistiyanto, Gema Swaratyagita, M. Arham Aryadi und Stevie Jonathan Sutanto – in diversen

Workshops und Arbeitsaufenthalten in Jakarta und Frankfurt verschiedenste künstlerische Ansätze und Synthesen. Der Fokus lag dabei immer auf Begegnung und Austausch.

an independent jury met Frankfurt’s Ensemble Modern to improvise with Western and Indonesian instruments and to associate different moods and sound ideas.

Das Projekt bestand aus einem mehrstufigen Austausch, dessen finale Kompositionen – ein akustisches Kaleidoskop zwischen Ost und West – unmittelbar vor der Frankfurter Buchmesse mit dem Ehrengast Indonesien im Frankfurt LAB uraufgeführt wurden. Im Dezember 2015 fanden in Jakarta, Yogyakarta und Bandung erfolgreiche Abschlusskonzerte vor insgesamt 1.100 Besuchern statt.

From the very first informal interaction, the Indonesian composers Joko Winarko, Dewa Ketut Alit, Ris Banbos, Taufik A. Adam, Gatot Danar Sulistiyanto, Gema Swaratyagita, M. Arham Aryadi and Stevie Jonathan Sutanto began developing a variety of artistic approaches and syntheses in various workshops and visits in Jakarta and Frankfurt. The focus was always on the encounter and exchange.

»Ruang Suara« war ein gemeinsames Projekt des Ensemble Modern, der KfW Stiftung und des Goethe-Instituts Indonesien mit Unterstützung der Kulturstiftung des Bundes. Es fand im Rahmen des Indonesia LAB statt, einem Kooperationsprojekt verschiedener Frankfurter Kultureinrichtungen mit dem Goethe-Institut Indonesien.

W

hat happens when metallophones – sound plates made in Indonesia for more than 1,600 years – and their unusual complex vibrations meet Western ears? It was this world music tradition that was the core of the ambitious music project »Ruang Suara« (»sound scapes«): Eight young Indonesian composers and instrumentalist virtuosos selected by

The project consisted of a multi-stage exchange, and the final compositions – an acoustic kaleidoscope of East and West – premiered in the Frankfurt LAB shortly before the Frankfurt Book Fair with Indonesia as the Guest of Honour. The concluding concerts in December 2015 were very well-received in Jakarta, Yogyakarta and Bandung in front of 1,100 listeners. »Ruang Suara« was a joint project of the Ensemble Modern, the KfW Foundation and Goethe-Institut Indonesien with the support of the German Cultural Foundation. It took place in the framework of Indonesia LAB, a cooperation project of various Frankfurt cultural institutions with Goethe-Institut Indonesien.

MUSIK // MUSIK // MUSIC

129


130

MUSIK // MUSIK // MUSIC


02.12. – 06.12.2015

»Setiap kali kami berjumpa, musisimusisi Ensemble Modern membuat saya percaya bahwa sesungguhnya ada cara untuk menyatukan dua kultur musik yang berbeda.«

»Bei jedem Treffen ließen mich die Musiker des Ensemble Modern glauben, dass es wirklich eine Art gibt, zwei verschiedene Musikkulturen zu vereinigen.«

»Each time we met, the musicians of Ensemble Modern made me believe that there actually is a way of merging two different cultures of music.«

DEWA KETUT ALI KOMPONIS  / KOMPONIST  / COMPOSER

MUSIK // MUSIK // MUSIC

131


Sang Petinju Der Boxer // The Boxer


17.12.2015


Presentasi buku: »Sang Petinju« oleh Reinhard Kleist Buchpräsentation: »Der Boxer« von Reinhard Kleist Book presentation: »The Boxer« by Reinhard Kleist

K

isah hidup menyentuh Hertzko Haft, petinju Yahudi yang bertarung demi nyawanya di kamp konsentrasi kaum Nazi, divisualisasikan oleh penggambar komik Reinhard Kleist dalam novel grafisnya »Der Boxer« (Sang Petinju). Reinhard Kleist termasuk penggambar komik Jerman yang paling sukses di tingkat internasional. »Der Boxer« telah meraih banyak hadiah sastra di Eropa dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Sejak Oktober 2015, »Der Boxer« juga tersedia dalam versi bahasa Indonesia. Dalam rangka inilah Jerman Fest bekerja sama dengan penerbit Gramedia Pustaka Utama mengadakan presentasi buku pada bulan Desember 2015. Acara ini diikuti pameran karya Reinhard Kleist serta diskusi mengenai caranya yang tidak lazim dalam membahas tema holocaust.

134

EKONOMI //  WIRTSCHAFT // ECONOMY

D

ie ergreifende Lebensgeschichte von Hertzko Haft, einem jüdischen Boxer, der in den Konzentrationslagern der Nazis um sein Überleben boxte, wurde von dem Comiczeichner Reinhard Kleist in seinem graphischen Roman »Der Boxer« visualisiert. Reinhard Kleist ist einer der international erfolgreichen deutschen Comiczeichner. »Der Boxer« hat in Europa bereits zahlreiche Literaturpreise erhalten und wurde in mehrere Sprachen übersetzt. Seit Oktober 2015 erscheint »Der Boxer« auch in einer indonesischen Version. Aus diesem Anlass lud die Deutsche Saison in Kooperation mit dem Verlag Gramedia Pustaka Utama im Dezember 2015 zu einer Buchpräsentation ein, bei der die Arbeit des Zeichners Reinhard Kleist in Indonesien präsentiert und seine eigenwillige Bearbeitung des Holocaust-Themas diskutiert wurde.

T

he moving life story of Hertzko Haft, a Jewish boxer who boxed to survive in the Nazi concentration camps, has been visualised by the cartoonist Reinhard Kleist in his graphic novel »The Boxer«. Reinhard Kleist is one of the most internationally successful German cartoonists. »Der Boxer« has already received numerous literary awards in Europe and has been translated into several languages. Since October 2015 »The Boxer« is also available in Indonesian. On this occasion, in cooperation with the publishing house Gramedia Pustaka Utama, the German Season hosted a book presentation in December 2015 which included a discussion of Kleist’s unconventional treatment of the Holocaust topic.


17.12.2015

EKONOMI //  WIRTSCHAFT // ECONOMY

135


Berlin DJ Night


10.12.2015


138

MUSIK // MUSIK // MUSIC


10.12.2015

Pesta penutup Jerman Fest: »Berlin DJ Night« Die Abschlussfeier der Deutschen Saison: »Berlin DJ Night« The closing party of the German Season: »Berlin DJ Night«

S

etelah menyelenggarakan seluruh rangkaian acara dengan sukses, Jerman Fest ditutup dengan »Berlin DJ Night« di Lucy in the Sky, bar udara terbuka yang populer di kawasan Jakarta Selatan.

M

it der »Berlin DJ Night« feierte die Deutsche Saison nach einer Serie von erfolgreichen Veranstaltungen ihren Abschluss in der beliebten Open-Air-Bar »Lucy in the Sky« im Süden Jakartas.

DJ Nils Ohrmann, DJ Who:BE dan Vjanelazyliu – semuanya dari ibu kota Jerman – menciptakan suasana yang seru dan meriah bagi para tamu.

Die DJs Nils Ohrmann und Who:Be sowie VJane lazyliu – alle aus der deutschen Hauptstadt – sorgten für gute und ausgelassene Stimmung bei den Partygästen.

DJ Who:Be sejak 1994 termasuk tokoh komunitas techno Berlin dan tahun 2002 mengambil alih Goldengate Club, yang dengan dance party maratonnya menjadi magnet bagi penggemar pesta dan hiburan malam dari seluruh dunia. DJ Nils Ohrmann telah mengukir nama sebagai dancefloor raconteur dan pada tahun 2011 mendirikan label Arms & Legs. Ia bekerja sebagai produser musik dan dipandang sebagai salah satu sosok terpenting di skena klub Eropa. Seniman konsep Dorotea Etzler, yang lebih dikenal sebagai Vjanelazyliu, menangani tata visual.

DJ Who:Be, seit 1994 ein Protagonist der Berliner Techno-Community, führt seit 2002 den Goldengate Club – mit seinen Marathon-Dance-Partys ein Magnet für Partygänger und Nachtschwärmer aus aller Welt. DJ Nils Ohrmann hat sich in der Szene als »dancefloor raconteur« einen Namen gemacht und 2011 das Label »Arms & Legs« gegründet. Er arbeitet als Musikproduzent und gilt als eine der bedeutendsten Persönlichkeiten in Europas Clubszene. Die Konzeptkünstlerin Dorotea Etzler, besser bekannt als VJane lazyliu, sorgte für die visuelle Gestaltung.

A

fter a series of successful events, the conclusion of the German Season was celebrated with »Berlin DJ Night« in the popular »Lucy in the Sky« open-air bar in South Jakarta. DJs Nils Ohrmann, Who:Be and VJane lazyliu – all from the German capital – ensured good vibes for all guests. DJ Who:Be, a prominent personality in the Berlin techno community since 1994, has run the Goldengate Club since 2002, its marathon dance parties attracting party goers and night revellers like a magnet from all over the world. DJ Nils Ohrmann has made a name for himself in the scene as a »dance floor raconteur«; he launched the label »Arms & Legs« in 2011, and as a music producer he is considered one of the most important personalities in Europe’s club scene. The concept artist Dorotea Etzler, better known as VJane lazyliu, provided the visual design.

MUSIK // MUSIK // MUSIC

139


140


Mitra utama // Offizielle Partner // Official partners

Mitra proyek // Projektpartner // Project partners

Mitra media // Medienpartner // Media partners

Kami berterima kasih pada seluruh pihak atas kontribusi dan dukungannya sehingga »Jerman Fest« dapat terwujud. We thank everyone who helped us to make the »German Season« possible. Wir danken allen, die uns dabei geholfen haben, die »Deutsche Saison« zu ermöglichen.

141


142



www.jermanfest.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.