Cuplikan The Silkworm

Page 1



Š 2014 Robert Galbraith Limited

The Silkworm Robert Galbraith

(Cuplikan Dua Bab)



1 PERTANYAAN Apa gerangan yang engkau santap? JAWABAN Tidur yang tiada lelap. Thomas Dekker, The Noble Spanish Soldier “Awas saja,” kata suara serak di ujung sambungan telepon, “kalau ini bukan soal orang terkenal yang mati, Strike.” Pria bertubuh besar tak bercukur yang sedang mondar-mandir dalam kegelapan menjelang fajar itu menyeringai. “Kira-kira begitulah.” “Ini baru jam enam pagi, bangsat!” “Ini sudah setengah tujuh, tapi kalau kau mau mendapatkannya, kau harus datang untuk mengambilnya,” kata Cormoran Strike. “Aku tidak jauh dari tempatmu berada. Ada---” “Bagaimana kau tahu di mana aku tinggal?” suara itu menuntut. “Kau sendiri yang memberitahuku,” kata Strike sambil menahan kuap. “Kau bilang akan menjual flatmu.” “Oh,” ucap pria yang lain, lebih tenang. “Ingatanmu bagus.” “Ada kafe dua puluh empat ja---” “Persetan. Datang saja ke kantor nanti---” “Culpepper, aku punya klien lain pagi ini, dia membayar lebih banyak daripada kau, dan aku sudah melek sepanjang malam. Harus sekarang kalau kau memang berniat menggunakannya.” Suara erangan. Strike bisa mendengar gemeresik seprai. “Sebaiknya benar-benar hebat.” “Smithfield Café di Long Lane,” kata Strike, lalu memutuskan sambungan. Langkahnya yang tidak seimbang terlihat makin kentara ketika dia menyusuri jalan yang menurun ke arah Smithfield Market, kuil zaman Victoria yang persegi dan luas, bagaikan raksasa dalam kegelapan musim dingin. Selama


empat pagi dalam minggu kerja, hewan potong dikirim ke sana, seperti yang telah dilakukan selama berabad-abad, lalu dikemas dan dijual ke toko-toko daging serta restoran-restoran di seluruh London. Strike dapat mendengar suara-suara dari balik keremangan, meneriakkan perintah, serta derum dan bunyi “bip-bipâ€? lori-lori yang mundur dan menurunkan muatannya. Ketika memasuki Long Lane, dia hanyalah salah satu di antara pria-pria berpakaian tebal yang hilir mudik melakukan kegiatan mereka pada hari Senin pagi. Segerombol kurir mengenakan jaket berwarna manyala menggenggam cangkir teh masing-masing dengan tangan terbungkus sarung tangan di bawah patung griffin, hewan mitos berkepala elang dan bertubuh singa, yang berjaga di sudut bangunan pasar. Di seberang jalan, berpendar-pendar bagai perapian yang menganga di antara kekelaman sekitarnya, berdirilah Smithfield CafĂŠ yang buka dua puluh empat jam, sebuah ceruk persembunyian sempit yang menawarkan kehangatan dan makanan berminyak. Kafe itu tidak memiliki kamar kecil, hanya kesepakatan dengan toko lotere tak jauh dari situ. Ladbrokes baru buka tiga jam lagi, jadi Strike berbelok dulu ke gang kecil, dan di ambang pintu yang gelap melegakan kandung kemihnya yang penuh berisi kopi encer yang telah menemaninya bekerja sepanjang malam. Kelelahan dan kelaparan, dia akhirnya berbalik dengan kegembiraan yang hanya dapat dirasakan orang yang telah memaksakan diri melampaui batas fisiknya, masuk ke ruang atmosfer berbau lemak telur goreng dan bacon. Dua pria mengenakan wol tebal dan jaket tahan air baru saja berdiri meninggalkan meja. Strike menyusupkan tubuhnya yang tebal ke ruang sempit itu, mengenyakkan diri di kursi kayu dan baja sambil menggerung puas. Bahkan sebelum dia sempat memesan, orang Italia pemilik kafe itu sudah meletakkan cangkir putih tinggi berisi teh di depannya, yang disajikan bersama roti putih dipotong-potong segitiga yang sudah diolesi mentega. Dalam lima menit, hidangan sarapan ala Inggris lengkap sudah tersaji di hadapannya di dalam piring oval besar. Strike membaur dengan baik di antara pria-pria perkasa yang keluarmasuk kafe itu dengan berisik. Dia bertubuh besar, dengan rambut hitam yang pendek, tebal, dan ikal yang sudah sedikit menipis di kening yang tinggi dan


lebar, di atas hidung lebar ala petinju dan alis yang tebal dan berkerut. Dagunya ditumbuhi jenggot pendek dan bayang-bayang gelap bak memar melingkari matanya yang hitam. Dia makan sambil melamun memandang gedung pasar di seberang jalan. Pintu masuk melengkung yang paling dekat, pintu nomor dua, mulai menampakkan ciri-cirinya sementara kegelapan menyusut: wajah dari batu yang keras dan galak, kuno dan berjenggot, balas menatapnya dari atas ambang pintu. Apakah pernah ada dewa bangkai binatang? Dia baru mulai melahap sosisnya ketika Dominic Culpepper tiba. Wartawan itu hampir sama tingginya dengan Strike tapi kurus, tampangnya seperti anak paduan suara. Asimetri yang ganjil, seolah-olah ada orang yang memutar wajahnya berlawanan arah jarum jam, mencegahnya menjadi terlalu rupawan seperti anak perempuan. “Sebaiknyakau punya sesuatu yang bagus,” kata Culpepper sambil duduk, menarik lepas sarung tangannya dan melirik curiga ke sekeliling kafe. “Mau makan?” tanya Strike dengan mulut penuh sosis. “Tidak,” jawab Culpepper. “Mau menunggu sampai bisa menemukan croissant?” tanya Strike, menyeringai. “Babi kau, Strike.” Betapa gampangnya memancing emosi bekas murid sekolah negeri ini, yang memesan teh dengan sengit dan (Strike memperhatikan dengan geli) memanggil pelayan yang tak acuh dengan sebutan “mate”. “Jadi?” Culpepper mendesak, tangannya yang panjang dan pucat menggenggam cangkir panas. Strike merogoh saku mantelnya, mengeluarkan sepucuk amplop, lalu mendorongnya di atas meja. Culpepper menarik keluar isinya dan mulai membaca. “Edan,” ujarnya pelan, sesaat kemudian. Dia membolak-balik kertas dengan heboh, beberapa berisi tulisan tangan Strike. “Dari mana kau dapat ini?” Strike, dengan mulut penuh sosis, mengetukkan jari pada salah satu kertas itu, yang bertuliskan sebuah alamat kantor. “Asisten pribadinya yang sangat marah,” kata Strike, sesudah akhirnya menelan makanannya. “Bosnya meniduri dia, juga dua perempuan lain yang


sudah kauketahui. Asistennya itu baru saja menyadari dia tidak akan pernah menjadi Lady Parker.” “Bagaimana kau bisa tahu itu?” tanya Culpepper sambil menatap Strike dari atas kertas-kertas yang bergetar dalam genggamannya yang terlalu bersemangat. “Pekerjaan detektif,” kata Strike dengan suara teredam, seraya menggigit sosis lagi. “Bukankah orang-orang seperti kau dulu juga sering melakukannya, sebelum mulai menyewa jasa orang luar seperti aku? Tapi wanita itu harus memikirkan prospek karier masa depannya, Culpepper, jadi dia tidak ingin namanya muncul di berita, oke?” Culpepper mendengus. “Seharusnya dia memikirkan itu sebelum mencuri---” Dengan sigap, Strike merebut kertas-kertas itu dari tangan si wartawan. “Dia tidak mencurinya. Bosnya menyuruh dia mencetak semua ini untuk nanti sore. Satu-satunya kesalahannya adalah memperlihatkan ini kepadaku. Tapi kalau kau bermaksud mengumbar kehidupan pribadinya di koran-koran, Culpepper, aku akan mengambilnya kembali.” “Ah, persetanlah,” kata Culpepper, berusaha merebut kembali bukti penghindaran pajakitu dari tangan Strike yang berbulu. “Ya sudah, kami tidak akan menyebut-nyebut soal dia. Tapi bosnya pasti akan tahu dari mana kami mendapatkan ini. Dia kan tidak goblok-goblok amat.” “Memangnya orang itu mau apa, menyeretnya ke pengadilan supaya wanita itu bisa membocorkan hal-hal mencurigakan lain yang dia saksikan selama lima tahun terakhir?” “Yeah, baiklah,” kata Culpepper, mendesah setelah berpikir sejenak. “Kemarikan. Aku tidak akan membawa-bawa dia, tapi aku perlu bicara dengannya, bukan? Untuk menilai apakah dia bisa dipercaya.” “Bukti itu bisa dipercaya. Kau tidak perlu bicara dengan dia,” Strike berkata tegas. Wanita yang kasmaran, terguncang, dan dikhianati itu, wanita yang baru saja dia tinggalkan, tidak akan aman dibiarkan berdua saja dengan Culpepper. Dalam nafsunya membalas dendam pada laki-laki yang telah menjanjikan pernikahan dan anak-anak, dia dapat melakukan kerusakan yang tak dapat


diperbaiki lagi atas dirinya sendiri serta prospek masa depannya. Tidak perlu waktu lama bagi Strike untuk mendapatkan kepercayaannya. Wanita itu hampir 42 tahun, mengira akan melahirkan anak-anak Lord Parker, dan kini hasrat yang berbeda telah menguasainya. Strike duduk bersamanya selama berjam-jam, mendengarkan kisah asmaranya, melihatnya berjalan ke sana kemari di ruang duduknya sembari beruraian air mata, menimang dirinya sendiri di sofa, dengan kepalan tangan menjepit pelipis. Akhirnya wanita itu sepakat melakukan ini: tindak pengkhianatan yang melambangkan matinya seluruh harapannya. “Kau tidak akan memuat apa pun tentang dia,” kata Strike, menggenggam kertas-kertas itu dalam kepalannya yang nyaris dua kali lebih besar daripada tangan Culpepper. “Oke? Tanpa dia pun, berita ini tetap menggemparkan.” Setelah ragu-ragu sejenak dan meringis, Culpepper menyerah. “Oke, baiklah. Berikan padaku.” Wartawan itu menyurukkan bukti-bukti itu ke saku dalam dan meneguk tehnya, kejengkelan sesaatnya pada Strike sepertinya menyurut seiring semakin gemilangnya kesempatan untuk merontokkan reputasi seorang bangsawan. “Lord Parker of Pennywell,” desisnya gembira, “modar kau, bangsat.” “Kantormu yang akan membayar ini, kan?” tanya Strike ketika bon mendarat di meja mereka. “Ya, ya…” Culpepper menjatuhkan lembaran sepuluh pound di meja, dan kedua pria itu meninggalkan kafe bersama-sama. Strike langsung menyulut rokok begitu pintu terayun menutup di belakang mereka. “Bagaimana kau bisa membuat wanita itu bicara padamu?” tanya Culpepper sesudah mereka mulai berjalan dalam udara dingin, melewati sepedasepeda motor dan lori-lori yang masih datang ke dan pergi dari pasar. “Aku mendengarkan dia,” jawab Strike. Culpepper meliriknya tajam. “Detektif-detektif partikelir lain yang kusewa menghabiskan waktu dengan menyadap telepon.” “Ilegal,” timpal Strike, mengembuskan asap ke keremangan yang mulai pudar. “Jadi bagaimana---?”


“Kau melindungi sumber-sumbermu, aku juga begitu.” Mereka berjalan sejauh lima puluh meter dalam diam, ketimpangan Strike semakin tampak jelas seiring tiap langkah. “Ini akan bikin gempar. Gempar besar,” kata Culpepper girang. “Bandot tua munafik itu berkoar-koar tentang keserakahan korporasi, padahal dia sendiri menyembunyikan dua puluh juta di Cayman Islands…” “Senang bisa membuatmu begitu puas,” kata Strike. “Tagihannya akan kukirim lewat email.” Culpepper meliriknya lagi. “Kaulihat anak Tom Jones di koran minggu lalu?” tanya Culpepper. “Tom Jones?” “Penyanyi Welsh itu,” kata Culpepper. “Oh, dia,” Strike berkata datar. “Aku kenal orang bernama Tom Jones di angkatan.” “Baca beritanya?” “Tidak.” “Dia memberikan wawancara panjang yang bagus. Dia bilang, dia tidak pernah bertemu dengan bapaknya, tidak pernah bertukar sepatah kata pun dengannya. Aku yakin dia akan mendapat uang lebih banyak daripada tagihanmu nanti.” “Kau belum melihat tagihannya,” timpal Strike. “Aku cuma bilang. Satu wawancara saja, dan kau boleh libur beberapa hari dari mewawancarai sekretaris.” “Sebaiknya kau berhenti memberi saran ini,” ujar Strike, “atau aku akan berhenti bekerja untukmu, Culpepper.” “Tentunya,” kata Culpepper, “aku bisa saja menurunkan cerita itu. Putra seorang bintang rock yang menjadi pahlawan perang, tidak pernah mengenal ayahnya, bekerja sebagai detektif---” “Kudengar, menyuruh orang menyadap pembicaraan telepon juga tindakan yang melanggar hukum.” Di puncak Long Lane mereka memperlambat langkah dan berdiri berhadapan. Tawa Culpepper terdengar kecut. “Aku akan menunggu tagihan darimu.”


“Cocok, kalau begitu.” Mereka memencar ke arah yang berlawanan, Strike menuju stasiun kereta bawah tanah. “Strike!” Suara Culpepper menggema dalam keremangan di belakangnya. “Kau tidur dengannya?” “Tak sabar baca beritanya, Culpepper,” Strike balas berteriak dengan lelah, tanpa menoleh sedikit pun. Dia pun terpincang-pincang memasuki pintu stasiun yang berbayangbayang dan menghilang dari pandangan Culpepper.


2 Sampai kapan kita harus bertempur? karena aku tak bisa tinggal, Pun aku tak mau tinggal! Aku punya pekerjaan. Francis Beaumont dan Philip Massinger, The Little French Lawyer

Kereta Tube sudah mulai penuh. Wajah-wajah hari Senin pagi: murung, letih, kaku, pasrah. Strike menemukan bangku kosong di depan wanita muda berambut pirang dan bermata sembap yang kepalanya terus-menerus merosot ke samping karena kantuk. Berkali-kali dia menyentak paksa tubuhnya agar tegak kembali, dengan kalut mengamati rambu-rambu yang berkelebat, khawatir telah melewatkan stasiun perhentiannya. Kereta berderak dan berdetak, mengantar Strike menuju rumahnya yang berupa flat dua-setengah ruangan dengan atap yang tak diberi insulasi dengan baik. Dalam keletihan tiada tara, dikelilingi wajah-wajah hampa dan pasrah bagaikan domba, Strike mendapati dirinya merenungkan kebetulan-kebetulan yang telah menjadikan mereka semua ada. Tiap kelahiran, bila dipikirkan dengan saksama, hanyalah suatu kebetulan. Dengan ratusan juta sperma yang berenang dengan buta dalam kegelapan, sungguh amat kecil probabilitas seseorang bisa menjadi apa adanya kini. Dari semua yang berjejalan di kereta ini, berapa banyak yang memang direncanakan? dia bertanya-tanya, merasa melayang karena kecapekan. Dan berapa banyak, seperti dirinya, yang hanyalah kecelakaan? Ada seorang gadis kecil di sekolah dasarnya dulu yang memiliki tanda lahir sewarna anggur port melintang di wajahnya, dan Strike selalu merasakan semacam solidaritas terhadapnya, karena mereka sama-sama membawa tanda permanen yang berbeda sejak lahir, sesuatu yang bukan akibat kesalahan mereka. Mereka sendiri tidak dapat melihatnya, namun semua orang lain bisa, dan tak cukup punya sopan santun untuk tidak menyinggungnya. Pada usia lima tahun, dia menyangka kekaguman orang asing kepadanya disebabkan oleh


keunikan dirinya, namun pada akhirnya dia sadar bahwa mereka melihatnya tak lebih dari sekadar zygote seorang penyanyi terkenal, bukti tak sengaja dari laku tidak setia seorang selebritas. Strike baru dua kali bertemu dengan ayah kandungnya. Diperlukan tes DNA sehingga Jonny Rokeby mau mengakui bahwa dia memang ayah kandung Strike. Dominic Culpepper adalah contoh nyata bentuk ketertarikan dan asumsi yang belakangan ini sudah jarang ditemui Strike, bahwa orang menghubungkan mantan tentara bertampang murung ini dengan sang rock star yang sudah tua. Pikiran orang seketika melompat ke dana perwalian dan uang sakuberjumlah besar, ke pesawat pribadi dan lounge VIP, hingga sumber kekayaan yang tak ada habisnya. Tercengang melihat kesederhanaan hidup Strike dan jam-jam kerjanya yang panjang, mereka pun bertanya pada diri sendiri: apa yang telah dilakukan Strike sehingga mengucilkan ayahnya? Apakah dia pura-pura hidup menderita demi mengucurkan lebih banyak uang dari Rokeby? Apa yang telah dia lakukan dengan harta yang tentunya telah diperas ibu Strike dari kekasihnya yang kaya raya? Pada saat seperti itu, Strike sering kali merindukan kehidupan angkatan darat, suatu karier anonim di mana latar belakang dan garis darah nyaris tidak ada artinya dibandingkan kemampuan melakukan pekerjaan. Dulu di Cabang Investigasi Khusus, pertanyaan paling pribadi yang diajukan kepadanya saat perkenalan adalah permintaan untuk mengulang pasangan namanya yang sangat tidak jamak, nama yang telah dibebankan ibunya kepadanya. Lalu lintas sudah bergulir sibuk di sepanjang Charing Cross Road ketika Strike muncul dari stasiun bawah tanah. Fajar bulan November sudah merekah, kelabu dan setengah hati, meninggalkan banyak bayang-bayang. Dia berbelok ke Denmark Street dengan perasaan terkuras dan terluka, mengharapkan tidur singkat yang mungkin sempat dilakukannya sebelum klien berikut datang pada pukul setengah sepuluh. Seraya melambai pada gadis di toko gitar yang sering berbagi waktu rehat rokok dengannya, Strike masuk melalui pintu luar bercat hitam di sebelah 12 Bar CafĂŠ, lalu mulai mendaki tangga besi yang melingkari lift sangkar burung yang telah rusak. Melewati si desainer grafis di lantai satu, melewati kantornya sendiri dengan pintu kaca yang disablon, sampai ke puncak tangga lantai tiga yang paling sempit, tempat tinggalnya sekarang.


Penghuni sebelumnya, manajer bar di lantai dasar, sudah pindah ke area yang lebih makmur, dan Strike, yang selama beberapa bulan tidur di kantornya, langsung menyambar kesempatan menyewa tempat itu, bersyukur mendapat jalan keluar yang mudah atas kondisinya yang tunawisma. Berdasarkan standar apa pun, ruang di bawah atap itu sempit, terutama bagi pria yang tingginya 192 sentimeter. Dia hampir tak bisa berputar di bawah pancuran kamar mandi; dapurnya merangkap ruang duduk, dan hampir seluruh luas kamar tidurnya disesaki ranjang besar. Sebagian barang milik Strike masih tersimpan dalam kotak-kotak kardus di puncak tangga, meskipun pemilik gedung sudah menyatakan keberatan. Jendela-jendelanya yang kecil menghadap atap bangunan-bangunan lain, Denmark Street berada jauh di bawah. Dentum bas dari bar di lantai dasar cukup teredam, bahkan musik yang diputar Strike sering kali berhasil mengatasinya. Keteraturan Strike yang mendarah daging tampak jelas di seluruh flat itu: ranjangnya rapi, barang pecah belah bersih, segala sesuatu ada pada tempatnya. Dia perlu mandi dan bercukur, tapi itu bisa menunggu. Setelah menggantung mantel, dia menyetel alarm pukul 09.20, lalu merebahkan diri di ranjang tanpa berganti pakaian. Dia langsung terlelap dalam hitungan detik, dan beberapa detik kemudian---atau begitulah sepertinya---dia terjaga lagi. Ada orang yang mengetuk-ngetuk pintunya. “Maaf, Cormoran, aku benar-benar minta maaf---” Asistennya, wanita muda bertubuh tinggi dengan rambut pirang kemerahan, tampak tidak enak hati ketika dia membuka pintu, namun ekspresinya langsung berubah heran begitu dia melihat kondisi Strike. “Kau tidak apa-apa?” “Ketiduran. Melek semalaman---dua malam.” “Aduh, maaf,” ulang Robin, “tapi sekarang sudah pukul sembilan empat puluh dan William Baker sudah datang dan mulai---” “Sialan,” gumam Strike. “Tidak pernah beres nyetel alarm---kasih waktu lima men---”


“Bukan itu saja,” sela Robin. “Ada seorang wanita. Dia belum memiliki janji temu. Aku sudah memberitahu dia bahwa kau tidak punya waktu untuk klien lain, tapi dia tidak mau pergi.” Strike menguap, mengucak-ngucak matanya. “Lima menit. Suguhi teh dulu atau apa.” Enam menit kemudian, mengenakan kemeja bersih, berbau pasta gigi dan deodoran tapi belum bercukur, Strike memasuki ruang luar kantornya tempat Robin duduk di depan komputer. “Yah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” kata William Baker sambil menyunggingkan senyum kaku. “Untung saja sekretarismu cantik, kalau tidak aku pasti sudah pergi karena bosan.” Strike melihat Robin merona marah sambil memalingkan muka, purapura mengatur surat-surat yang masuk. Ada kesan merendahkan dalam cara Baker mengucapkan “sekretaris”. Direktur perusahaan yang berpakaian sempurna dalam jas bergaris-garis halus itu menyewa jasa Strike untuk menyelidiki dua anggota dewannya. “Pagi, William,” kata Strike. “Tidak ada permintaan maaf?” desis Baker, matanya memutar ke langitlangit. “Halo, apa kabar?” tanya Strike, mengabaikan Baker dan menyapa wanita kurus separuh baya yang mengenakan mantel cokelat usang, yang duduk di tepi sofa. “Leonora Quine,” jawab wanita itu, dengan aksen---menurut telinga Strike yang terlatih---berasal dari West Country. “Aku masih punya banyak kesibukan pagi ini, Strike,” kata Baker. Pria itu berjalan masuk ke ruang dalam tanpa diundang. Ketika Strike tidak mengikutinya, dia agak kehilangan kendali sikapnya yang sok elegan. “Di angkatan darat kau pasti sering dihukum karena tidak pandai menepati waktu, Mr. Strike. Cepat masuk.” Strike seperti tidak mendengar dia. “Apa yang Anda harapkan dari saya, Mrs. Quine?” tanya Strike pada wanita lusuh yang duduk di sofa. “Well, suami saya---”


“Mr. Strike, aku punya janji satu jam lagi,” William Baker berkata dengan suara lebih keras. “---sekretaris Anda bilang Anda ada pertemuan, tapi saya bilang saya akan menunggu.” “Strike!” bentak William Baker, memanggil anjingnya agar mengikuti dia. “Robin,” geram Strike yang lelah, akhirnya kehabisan kesabaran. “Siapkan tagihan Mr. Baker dan berikan arsipnya yang sudah diperbarui.” “Apa?” kata William Baker, terpana. Dia kembali ke ruang luar. “Dia memecat Anda,” kata Leonora Quine dengan puas. “Kau belum menyelesaikan pekerjaanmu,” kata Baker pada Strike. “Kaubilang masih ada---” “Orang lain bisa menyelesaikan pekerjaan itu. Orang yang tidak keberatan punya klien kurang ajar.” Atmosfer dalam kantor itu seolah-olah membeku. Dengan air muka datar, Robin mengambil arsip Baker dari lemari dan memberikannya pada Strike. “Berani-beraninya---” “Ada banyak bahan bagus dalam arsip itu yang dapat digunakan di pengadilan,” kata Strike, mengangsurkan arsip kepada direktur itu. “Sepadan dengan uangnya.” “Kau belum selesai---” “Dia sudah selesai denganmu,” sela Leonora Quine. “Tutup mulut, kau wanita bod---” William Baker mulai berkata, tapi tibatiba mundur ketika Strike mengambil setengah langkah ke arahnya. Tak seorang pun bersuara. Mendadak, tubuh sang mantan tentara seperti membesar dua kali lipat daripada sebelumnya. “Silakan duduk di dalam kantor saya, Mrs. Quine,” kata Strike dengan suara pelan. Wanita itu menurut. “Kaupikir dia sanggup membayarmu?”William Baker mencibir sambil melangkah mundur, tangannya sudah mendarat di pegangan pintu. “Bayaranku bisa dinegosiasikan,” kata Strike, “kalau aku menyukai kliennya.”


Dia mengikuti Leonora Quine masuk ke ruang dalam dan menutup pintu dengan bunyi berdebam.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.