X
X
B E R Z I N E is supposed biweekly/monthly personal whatever eight page-ish zine project courtesy of h.id with supposedly nice visual enhancement. Also, it’s free unlike practical human condition under late capitalism (I know, I see the irony). psst. e-mail me at hamzahibnudedi@gmail.com
MENGURAS KURASI Istilah ‘curate’ –beserta serapannya, kurasi (v) dan kurator (n) tidak begitu dikenal di medan seni rupa Indonesia hingga 1930an. Fungsi-fungsi kurator sendiri sudah dikenal, namun penyebutan kurator baru hadir belakangan. Ada pun fungsi kurator bermacam-macam:
penulis,
pemerhati,
kritikus, kolektor, pengarah seni, dan lain-lain. Dalam medan seni rupa, kurator dituntut untuk mempunyai pengetahuan terkait setidaknya filsafat, sejarah, dan wacana formal maupun material seni rupa. Dalam dapur jurnalistik, istilah kurasi tidak begitu dikenal. Keputusan artistik terletak pada meja editorial dan redaksi. Komik strip dan karikatur yang hadir merupakan keputusan redaksional; dengan pertimbangan-pertimbangan subjektif mengenai ‘keberpihakan’ dan ‘common sense’. Kehadiran narasi komik strip dan karikatur
yang bersandar pada laporan-laporan sendiri punya perdebatannya sendiri mengenai ‘subjektivitas’. Namun, perlu dipahami, bukan tugas media untuk bersikap ‘netral’; yang sejak dalam istilah sudah rusak dan merusak. Maka, untuk memudahkan para penggarap artistik, framing diperlukan. Sehingga istilah yang sahih untuk pekerja artistik di media adalah redaktur artistik. Namun sekali lagi, siapa yang mau dikekang oleh rezim kebahasaan jika suatu istilah telah mencapai serta menjelaskan apa yang dimaksud? Kegiatan artistik dalam jurnalisme sendiri mempunyai fungsi-fungsi yang bekerja simultan dengan kerja jurnalistik: menyokong keterbacaan, wacana
mendorong
artistik,
intertekstualitas
menyimpulkan
framing
laporan, rangkuman sikap editorial, dan lain-
MENGURAS KURASI lain. Sementara, kegiatan produksi sendiri bergelut dengan bentuk medium –baik estetika dan atau material serta oplah. Cara kerja artistik tiap media berbedabeda, tergantung struktur kepengurusan media terkait. Akan repot jika membongkar satu per satu, baiknya menggunakan contoh dengan meletakkannya pada konteks pembagian divisonal dalam BPPM Balairung sendiri. Fotografi dalam dunia jurnalisme barangkali adalah kerja-kerja paling ikonik. Ingat karya Steve McCurry yang bertajuk Afghan Girl? Di luar hal-hal teknis, fotografi yang menjadi kulit muka NatGeo ini cukup menyita perhatian. Gambar ini melahirkan produksi-produksi fotografi serupa dalam fotografi potret. Mengenai apakah foto ini mendukung laporan di dalamnya, adalah
Sharbat Gula (Afghan Girl) Steve McCurry, 1984 fotografi ikonik ini digunakan untuk kulit muka National Geographic
MENGURAS KURASI perkara yang baiknya dibaca sendiri. Yang perlu digaris bawahi, bagaimana kita melihat forografer bekerja dalam media? Media menggunakan berbagai macam metode untuk mendapatkan karya fotografi untuk mendukung laporannya. Metode ini secara garis besar dibagi menjadi dua: in-house dan outsourcing. Media yang menggunakan fotografer
in-house
biasanya
mempunyai
sumber daya besar; fotografer juga diletakkan dengan sistem post/desk untuk mempermudah komunikasi dengan reporter. Kelemahannya, fotografer in-house kurang bisa diandalkan untuk mengejar aktualitas; utamanya di daerah yang jauh dari kantor media bersangkutan. Maka, digunakanlah fotografer outsourcing, yang dibedakan berdasarkan kontrak: kontributor, freelance, dan stock. Kontributor biasanya merupakan fotografer yang dikontrak berkala
untuk memasok gambar dari daerah yang jauh dari kantor media. Freelance, seperti yang sudah diungkapkan namanya adalah fotografer lepas yang mempunyai portofolio cukup untuk dihubungi media, atau berinisiatif menawarkan gambar kepada media. Stock, adalah gambar milik kolektif/fotografer yang dilisensikan kepada media yang menginginkan. Pembagian
berdasarkan
in-house
dan outsourcing sendiri juga berlaku untuk penggarap ilustrasi dan atau desain grafis. Cara kerjanya sendiri cukup mirip, namun ada beberapa pengecualian. Misal, kerja-kerja ilustrasi sendiri bergantung kepada teks yang ingin diilustrasikan. Seperti apa yang dialami oleh para komikus KOMPAS; Dwi Koendoro, GM Sudarta, Ismail Sukribo, Benny dan Mice. Mereka biasanya dihubungi oleh KOMPAS untuk mengisi rubrik strip untuk KOMPAS,
MENGURAS KURASI dan melalui seleksi redaksi baru diputuskan untuk turut diterbitkan atau tidak. Semuanya pernah mengalami penolakan oleh redaksi dengan alasan-alasan seperti terlalu subversif dan tidak mewakili pandangan editorial. Artinya, secara umum kebanyakan proses kreatif dilangusngkan oleh seniman/desainer/ fotografer/ilustratornya
sendiri
dengan
tugas akhir pada jajaran redaksional untuk menerbitkannya, atau tidak. Bagaimana dengan BPPM Balairung? Perlu
dipahami
adanya
beberapa
perbedaan mendasar –atau, falsafah dasar yang membentuk cara kerja kuasi-ideal awak BPPM Balairung. Pertama, Balairung bukanlah media arus utama dan komersil, yang mana berpengaruh pada poin kedua, profesionalisme
tidak
begitu
dituntut.
Tuntutan yang sebenarnya dari bergabungnya awak Balairung adalah tanggung jawab untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai dan belajar dari padanya. Karakteristik kerja artistik Balairung sendiri, ideal dan faktualnya cukup cair. Tapi setiap benda cair butuh wadah, dan wadah itu disebut rubrikasi, produk, dan tenggat pengerjaan. Baiknya perlu kita ajukan pertanyaan: untuk apa kurasi ada? Bukankah lebih efisien jika pengerjaan artistik dibiarkan langsung terbit sekelarnya begitu saja? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan, “untuk apa beraktivitas di Balairung?� Tentu, jika yang kita cari adalah efisiensi, sekelarnya dan langsung terbit akan menghemat waktu. Namun, mari kita lihat kembali kondisi riilnya: sebanyak apa waktu yang bisa dihemat, sih? Maka, perlu kembali ke nosi awal: untuk apa? Argumen yang bisa
MENGURAS KURASI saya ajukan berdasarkan pengalaman, kurasi hadir pertama untuk kontrol kualitas dan kontrol verifikasi. Kontrol kualitas di sini bukan berarti kurator lebih pintar dan atau lebih baik dari yang dikurasi; kualitas di sini bisa mencakup kesepadanan simbolik teks laporan dan teks visual, dan bisa berbentuk material seperti peningkatan kemampuan. Kontrol verifikasi hadir agar ilustrasi tidak terlampau tendensius; pun boleh-boleh saja asal punya basis justifikasi yang mumpuni. Ada skema yang bisa diperiksa untuk mengetahui proses kurasi yang ideal. Ada empat aktor yang perlu terlibat dengan peran yang proporsionalnya sendiri: editor, penulis, awak PdA, dan kurator. Perlu ditekankan, relasi yang terjalin bukan relasi patron sebagaimana kurator dalam medan seni rupa. Relasi yang dibangun adalah setara dan terbuka; yang
mana memberi ruang kepada diskusi dan belajar untuk mencapai kualitas visual yang diinginkan. Kurasi adalah ajang pertukaran modal kultural –sebagaimana seharusnya penulis dan editor, bukan pertaruhan salah benar estetika.
editor
penulis
kurator
awak PdA
MENGURAS KURASI Untuk
menikmati
hasil
kurasi,
setidaknya ada lima tahap yang harus dilalui oleh dapur editorial BPPM Balairung: 1. Framing: merupakan hasil diskusi penulis dan editor untuk menentukan batasan dan sudut pandang; mudahnya, apa saja yang akan dituliskan dan mengapa. Awak PdA boleh terlibat, untuk memastikan unsur Visual dari SUKA KoVi terpenuhi. 2. Penulisan hingga Edit Bahasa: proses ini masih melibatkan penulis dan editor. Bukan tanggung jawab Produksi dan Artistik sepenuhnya. 3. Diskusi (Artistik): dilakukan oleh penulis dan awak PdA, untuk menentukan ilustrasi atau foto apa
yang representatif bagi tulisan. Lebih baik dilakukan saat akan memasuki proses edit bahasa demi efisensi penggarapan. 4. Eksekusi: awak PdA mulai menggambar/turun lapangan untuk mencari foto/gambar yang representatif. Pastikan bermula dengan diskusi dengan kurator. Dapat berjalan simultan dengan tahap ketiga dan kelima. 5. Kurasi: proses yang melibatkan awak PdA dengan kuratornya. Kurasi sendiri dapat dipecah menjadi menjadi setidaknya tiga proses: konsepsi, seleksi, dan kurasi. Konsepsi, adalah perumusan konsep, untuk ilustrator berupa gambaran kasar,
MENGURAS KURASI dan fotografer dapat berupa framing. Seleksi melibatkan proses revisi dan pemilihan kira-kira visual mana yang paling representatif. Kurasi adalah tahap akhir berupa persetujuan kurator untuk menaikkan gambar dan dengan konsekuensi akhirnya, dapat dipertanggungjawabkan.
Mengenai obyek-visual yang dikurasi,
ada setidaknya dua hal yang diperiksa: bentuk dan substansi. Pemeriksaan terhadap bentuk sendiri
melibatkan
obyek-visual
sebagai
penyampai pesan; ibarat surat, jenis kertas, tinta, dan keterbacaan adalah yang diperiksa. Maka, bentuk sendiri memeriksa konstanta dan teknis. Ada pun yang dimaksud konstanta, adalah berupa karakteristik produk yang sudah disepakati i.e jumlah karakter di majalah, penggunaan halaman berwarna, atau typeface
yang digunakan di Balairungpress[dot]com. Sementara untuk teknis, sepertinya cukup menjelaskan diri sendiri; artinya, tiap awak dituntut untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang divisi yang ia terlibat di dalamnya. Lalu,
substansi
melibatkan
pemeriksaan terhadap isi serta esensi obyekvisual yang dikurasi. Analogi surat tadi, maka yang diperiksa adalah isi surat; pemeriksaan ini melibatkan setidaknya dua hal, yaitu variabel dan
konten.
Variabel
mengisyaratkan
kesesuaian framing dan sistem relasi tanda yang dipahami oleh baik awam maupun awak. Konten, untuk tidak dirancukan dengan isi/ esensi di sini, adalah pesan atau tema besar yang ingin diangkat; sehingga tidak hanya merangkum dan menggambarkan isi teks lain, namun berdiri sebagai teks sendiri. Baik bentuk maupun substansi, membutuhkan kerangka
MENGURAS KURASI referensi dasar; karena tidak ada yang baru di bawah matahari –dan juga, seniman buruk menyalin, seniman besar mencuri :)
referensi
konstanta teknis variabel
konten
Mengenai kriteria, ada setidaknya
lima kriteria yang harus dipenuhi: teknis, ikonisitas, intertekstualitas, retensi, dan subversi. Kriteria-kriteria ini dipenuhi agar memenuhi dua tujuan dari diadakannya visual dalam produk jurnalistik: representasi dan informasi. Pertama, kriteria teknis yang melibatkan setidaknya pengetahuan teoritis dan praktis dari bidang visual yang digeluti e.g
perspektif dalam ilustrasi, depth of field dalam fotografi, mise en scene dalam tata letak, desain grafis, dan komik. Kriteria teknis ini bersifat eksponensial; artinya, setelah proses kurasi, pengetahuan penggarap diharapkan untuk bertambah. Kedua, kriteria ikonisitas yang menggeluti relasi tanda dan sistem kebahasaan visual. Persoalan sintagmatik yang dihadirkan dalam kriteria ini membutuhkan referensi mengenai mitologi dan terbahaskan dalam bab literasi visual. Bagaimana ikonisitas bekerja, seperti misalnya, matahari yang dilambangkan dalam berbagai mitologi menggambarkan pencerahan dan transendensi, et cetera. Ketiga,
kriteria
intertekstualitas;
artinya
keberadaan teks visual yang digarap sepadan sekaligus berhadapan dengan teks lain. Dalam konteks kerja artistik Balairung, teks lain yang dimaksud bisa berupa framing yang telah
MENGURAS KURASI
Home Alone (1991) disutradarai oleh Chris Colombus (atas) Skrik (The Scream) Edvard Munch, 1893 (bawah) menunjukkan bagaimana ikonisitas bekerja
Meisje met de parel (Girl with a Pearl Earring) Johannes Vermeer, 1665
kedua karya ini menunjukkan bagaimana intertekstualitas dan ikonisitas bekerja
To Know, To See Derya Kılıç, 2012
MENGURAS KURASI HOPE Shepard Fairey, 2008 perhatikan dampak gaya desain poster berikut yang cukup berpengaruh. itulah yang dimaksud dengan retensi.
Janji Tinggal Janji Kendra Paramita, 2019 perhatikan bagaimana manifestasi kekuasaan semacam presiden diolokolok. itulah yang disebut subversi.
didiskusikan, dan relasi referensial dengan teks di luar produk Balairung; yang mana bergantung pada referensi serta akumulasi pengetahuan
sang
penggarap.
Keempat,
kriteria retensi, yang mudahnya adalah seberapa gampang dikenali dan diidentifikasi oleh pembaca, syukur-syukur diingat. Kelima dan terakhir, kriteria subversi; barangkali ini yang paling opsional, karena siapa yang ingin bikin gusar para elit :) Sudah, ya, ternyata capek bikin beginian.
MENGURAS KURASI referensi lebih lanjut yang dapat dibaca: Agung Hujatnikajennong. 2013. Kurasi dan Kuasa. Marjin Kiri: Jakarta Arsip Balairung. Artsy[dot]net Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Jalasutra: Yogyakarta. Fandy Hutari. 17 Februari 2017. Memonitor Dunia Kurator. Jurnal Ruang (http:// jurnalruang.com/read/1486023073memonitor-dunia-kurator) diakses ulang pada 19 September 2017, pukul 14:30 WIB. Seno Gumira Ajidarma. 2013. Antara Tawa dan Bahaya. KPG: Jakarta Sularto, St. 2007. KOMPAS: Menulis dari Dalam. Penerbit KOMPAS: Jakarta Tim TEMPO. 2011. Cerita di Balik Dapur TEMPO. KPG: Jakarta
YER BRAINZ OUT