Ajuan Konsepsi Mentor Ideal

Page 1

Konsepsi Mentor Ideal : Sebuah Ajuan Oleh : Tim Pemimpi yang Berjuang, Procerus Abisatya

Mentor hidup dalam masa kini yang kalut, tak ada jeda untuk merenungkan masa lalu, tak ada nafas untuk membayangkan masa depan. Tak ada yang kita pegang, semua terulang dan dimensinya kian melebar1

Latar Belakang

Apa itu mentor? Siapa itu mentor? Bila Anda bisa menjawab kedua pertanyaan tersebut, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana Anda bisa yakin bahwa jawaban Anda sudah tepat? Landasan apa yang Anda gunakan untuk menjustifikasi jawaban Anda? Kebanyakan dari kita (mahasiswa ITB pada umumnya), menerima secara a priori2 suatu pengertian dari kata yang sudah umum digunakan, tak terkecuali kata “mentor” itu sendiri. Berbicara tentang mentor di ITB tentu tak dapat dipisahkan dari suatu ajang kaderisasi akbar, OSKM ITB3. Mentor pun akan mudah diasosiasikan secara common sense dengan pengertian “panitia lapangan yang santai”, “penyampai materi”, “yel-yel”, dan banyak hal lain yang kita tak tahu asal-usulnya dari mana, dan sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Memangnya, dari pengertian-pengertian yang berkembang, mana yang benar dan mana yang bisa disisihkan? Perdebatan tentang “identitas mentor” hingga sekarang belum usai, dan implikasinya kita tak memiliki suatu landasan yang kuat untuk bergerak secara berkesinambungan. Dampak yang paling berbahaya adalah mentor tak bisa mencintai, menghargai, dan menjunjung tinggi dirinya sendiri sebagai seorang mentor. Bagaimana kita bisa yakin bahwa “definisi” mentor tahun 2014 masih sama dengan “definisi” mentor pada tahun 2030? Memangnya “definisi” mentor di tahun berapakah yang paling tepat? Bahkan kita sekarang pun tahu betul, bahwa dulu bukan mentor namanya, tapi taplok. Nilai-nilai yang diturunkan pun hanya kita tahu dari cerita Kalimat ini merupakan saduran dari tulisan Subcomandante Marcos dalam buku “Atas dan Bawah : Topeng dan Keheningan” hal 45, yang diubah sedikit dengan mengganti subjek mentor 2 a priori artinya meyakini sesuatu sudah ada “dari sananya”, sehingga tidak perlu diperdebatkan 3 OSKM ITB merupakan kependekan dari Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa ITB. 1

1


mulut ke mulut, kemurnian arti yang diturunkan pasti bias. Kita hanya tahu dulu taplok itu lebih “tegas”, metode penyampaian materinya juga tidak se”ramah” mentor yang sekarang. Namun, apakah itu sudah cukup untuk bisa memahami secara utuh pertanyaan “bagaimana mentor yang seharusnya bila asal-muasal sebelum mentor adalah taplok”? Harus kita akui, tak ada yang bisa menjamin keberlanjutan dari “penurunan nilai” dari suatu entitas “mentor” itu sendiri dalam KM ITB, dan hal itu berbahaya jika diteruskan secara jangka panjang. Apakah peran mentor KP44 akan terus bertahan hingga seterusnya kalau kita tak mempunyai landasan yang kuat sebenarnya KP4 itu turun dari mana? Hal yang sama juga berlaku pada hal-hal lain tentang mentor, tidak hanya KP4 yang digunakan sebagai contoh untuk memudahkan pemahaman.

Konsepsi Mentor Ideal

“Kampus ini adalah tempat bertanya, dan harus ada jawabnya”5

Latar belakang tersebut melandasi kami untuk mempertanyakan lebih jauh lagi mengenai hakikat mentor yang sebenarnya. Kami paham, bahwa usaha ini masih jauh dari kata cukup untuk mendefinisikan bagaimana mentor yang seharusnya. Namun, kami juga sadar bahwa setiap tujuan mulia butuh pengorbanan, dan setiap hal besar selalu diawali oleh derap langkah yang kecil. Ajuan ini merupakan suatu langkah awal, sebagai sumbangsih bagi mentor untuk bisa menemukan jati dirinya, yang harapannya bisa disempurnakan oleh generasigenerasi berikutnya. Perlu ditekankan bahwa, usaha yang dilakukan dalam penyusunan ajuan konsepsi ini bukan dalam kerangka untuk “mengubah secara total” definisi mentor yang sudah ada, melainkan ke usaha-usaha yang sifatnya “mencari” landasan dari suatu yang kita yakini dan kita rasakan selama ini. Sebagai contoh, kita sangat ditekankan bahwa mentor itu harus paham materi, agar bisa menyampaikannya ke mahasiswa baru. Hal itu kami yakini benar, namun mengapa salah satu esensi fundamental dari seorang mentor adalah harus “paham”? Argumen “agar bisa menyampaikan materi ke mahasiswa baru” menurut hemat kami belum 4

KP4 adalah peran mentor yang diciptakan oleh Lascaya Andamarsa (Mentor OSKM ITB 2015) saat Integrasi ITB 2016. KP4 terdiri dari : 1) Kakak yang berempati; 2) Penjamin materi yang berwawasan; 3) Pribadi yang senantiasa berkembang; 4) Panitia lapangan yang disiplin; 5) Penebar manfaat 5 Adagium ini merupakan salah satu poin yang termaktub dalam Plaza Widya Nusantara, dan diucapkan oleh Prof. Wiranto Arismunandar

2


cukup kuat, karena di balik itu masih banyak misteri yang perlu diungkap dalam rangka mengokohkan salah satu nilai mendasar. Selain itu, yang perlu dicatat dalam tulisan ini adalah, kami bermain dalam ranah “gagasan”, “ide”, dan hal-hal yang sifatnya mendasar. Kami mengamini buah pemikiran Plato bahwa dunia ide dan dunia realitas itu terpisah, dan akan sangat berbahaya jika dunia realita dicampuradukkan ketika kita berbicara mengenai “mimpi ideal yang murni” yang ada pada dunia ide. Karena tujuan akhir dari ajuan ini sifatnya jangka panjang, kami tidak ingin kendala-kendala di dunia realita pada tahun penyusunan ajuan ini membatasi “keidealan” mentor yang harus kita jaga dari masa ke masa. Karena bermain dalam dunia ide, metode yang kami gunakan di dalam penyusunan konsepsi ini adalah studi literatur, diskusi dan kajian, serta wawancara angkatan-angkatan atas untuk menggali sejarah mentor di ITB. Buah pemikiran tokoh-tokoh terkait pendidikan dan ke-ITB-an juga perlu kami gali dalam rangka mencari tahu koridor yang harus kami patuhi untuk mencari hakikat mentor OSKM ITB dari masa ke masa.

Berawal dari Etimologi

“Existence precedes essences6”

Nampaknya masuk akal ungkapan yang dilontarkan oleh Jean Paul Sartre, bahwa eksistensi mendahului esensi. Salah satu faktanya, hingga sekarang “eksistensi” mentor masih ada, walaupun “esensi” mentor dari tahun ke tahun bisa saja berubah-ubah. Pertanyaan yang perlu diajukan sekarang adalah, mengapa memilih kata “mentor”? Mengapa tidak memilih kata lain yang kita ciptakan sendiri misalnya “sage”? Kita ketahui bahwa kata “mentor” sudah umum digunakan di dunia dan memiliki artinya tersendiri secara umum. Hal ini berarti kita (mahasiswa ITB dulu) memilih dengan sadar untuk menggunakan arti kata mentor “secara umum” dari dunia luar, sebelum menyesuaikan arti mentor dengan kondisi kampus untuk keperluan OSKM ITB. Memangnya bagaimana arti kata mentor secara umum? Beberapa pendekatan yang biasa digunakan untuk mendefinisikan sesuatu adalah etimologi/akar kata.

6

Suatu ungkapan yang ditulis oleh Jean Paul Sartre, seorang filsuf beraliran eksistensialisme

3


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mentor merupakan nomina atau kata benda yang memiliki arti pembimbing atau pengasuh (biasanya untuk mahasiswa). Berdasarkan etimologi, kata mentor dapat berhubungan dengan beberapa akar kata. Kata ini disebut berhubungan dengan kata benda mentos yang berarti “niat, tujuan, semangat, dan passion”. Sedangkan, kata mentor dapat pula ditilik dari bahasa sansekerta man-tar- yang berarti “yang berpikir”, dan dari bahasa latin mon-i-tor yang berarti “seseorang yang mengawasi”7. Konsep dari mentor itu sendiri dapat dilacak dari mitologi Yunani, salah satunya dari puisi epik Odyssey karya Homer. Dalam Odyssey, Mentor merupakan salah satu teman dari Odysseus. Saat Odysseus memimpin angkatan perang Yunani pada perang Troya, Mentor dipercaya oleh Odysseus untuk menjaga putranya, Telemachus8. Mentor disebut sebagai senior yang ramah dan bijaksana, pengganti orang tua, penasehat terpercaya, seorang pendidik dan seorang pemandu. Perannya dideskripsikan secara luas sebagai peran pengasuhan, dukungan, perlindungan, role modeling, serta pemilikan pandangan visioner tentang potensi sejati anak didiknya9. Selain itu, mentor juga dideskripsikan dapat mengadvokasi serta mengembangkan kepercayaan diri dan harga diri dari Telemachus10. Berdasarkan pendeskripisan mentor sebelumnya, peran mentor membutuhkan integritas, investasi pribadi dan pengembangan hubungan dengan Telemachus muda yang bedasarkan rasa saling menyayangi dan respect11.

Selain itu, mentor juga merupakan pembimbing

Telemachus dalam mengaktualisasikan diri saat jauh dari ayahnya sendiri. Mentor juga memegang peran penting dalam perkembangan Telemachus sehingga ia dapat merebut kembali tahta dari para perebut tahta. Menurut Sambas, Mentor tidak saja menjadi seorang guru (asah), pengganti ayah (asuh), tetapi juga menjadi sahabat tempat curhat (asih)12. Seiring berjalannya waktu, akhirnya kata Mentor berevolusi menjadi penasehat terpercaya, teman, guru, dan orang yang bijak 13. Kini, nama Mentor telah diadaptasi di bahasa inggris sebagai istilah yang memiliki arti seseorang yang menanamkan kebajikan, menyebarkan ilmu pengetauhuan dengan kolega yang dianggap

Online Etymology Dictionary, “Mentor”, ttps://www.etymonline.com/word/mentor. Sambas, Vivid D. “Asal Kata Mentor”, http://www.vividsambas.com/item/6-asal-kata-mentor. 9 Colley, Helen, Exploring Myths of Mentor: A Rough Guide to the History of Mentoring from a Marxist feminist perspective. http://www.leeds.ac.uk/educol/documents/00001500. 10 Shea, Gordon F. Mentoring (Rev. Ed.). (CA: Crisp Publication, 1997). 11 Ibid. 12 Sambas, Vivid D. loc. cit. 13 Shea, Gordon F. loc. cit. 7 8

4


lebih tidak berpengalaman14. Bersamaan dengan itu, mentoring adalah bentuk mendasar dari penginvestasian waktu, energi dan personal know-how dalam mendampingi perkembangan dan kemampuan orang lain15. Seiring berjalannya waktu, banyak yang mendefinisikan peran maupun fungsi dari mentor sendiri. Salah satunya adalah nine function of mentor yang dituturkan oleh Alleman (1986).

Fungsi yang diidentifikasi oleh Alleman adalah, 1) Memberikan informasi, 2)

menyediakan informasi politik, 3) tugas yang menantang, 4) konseling, 5) membantu keberjalanan karir, 6) mengembangkan kepercayaan, 7) menampilkan prestasi anak didiknya, 8) melindungi, dan 9) mengembangkan hubungan personal atau pertemanan16.

Mentor dan Paradigma Pendidikan

“...there is only one subject matter for education, and that is life in all its manifestation.�17

Berbicara tentang mentor tentu tak bisa dipisahkan dari hal-hal yang berkaitan erat dengan wacana pendidikan. Bagaimana tidak, secara hakikatnya seorang mentor pasti akan menjalani suatu proses pendidikan bersama orang lain. Bahkan setiap manusia sebenarnya pasti akan menjalani proses pendidikan, sebagai konsekuensi logis dari kebebasan substansial18 yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Sebagai subjek dari pendidikan bersama subjek lain (mentee), seorang mentor harus paham betul mengenai hakikat pendidikan. Tentu hal ini masuk akal agar proses mentoring yang berjalan tidak mencederai semangat asli dari pendidikan itu sendiri. Lantas, bagaimana paradigma pendidikan yang harus dipahami seorang mentor?

14

Roberts, Andy. The Origins of the Term Mentor, (History of Education Society Buletin, No. 64, 1999, p. 313329.) 15 Shea, Gordon F. loc. cit. 16 Alleman, E. Measuring mentoring – frequency, quality, impact, dalam Carr, Marsha L., dkk, Learning to Lead: Higher education faculty explore self-mentoring. (International Journal of Evidence Based Coaching and Mentoring, Vol. 13, No. 2, 2015). 17 Whitehead, Alfred North, The Aims of Education. The New American Library, New York, 1929 18 Kebebasan substansial yang dimaksud di sini mengacu pada RUK KM ITB profil tingkat 1, yaitu kebebasan yang bertanggung jawab

5


Selama ini, bila kita membicarakan tentang pendidikan pasti yang terbenam hangat dalam ingatan kita semua adalah seputar sekolah, ujian, SPP, dan kejaran-kejaran lulusan universitas kenamaan. Hal itu menjadi masuk akal karena selama 12 tahun kita dipaparkan realita pendidikan dari SD-SMA yang seperti itu adanya. Namun apakah yang kita rasakan selama ini merupakan esensi dari pendidikan yang seharusnya? Ingat, tulisan ini berusaha membedah dalam tataran “gagasan” dan hal-hal yang mendasar, mengejar suatu hal abstrak yang ideal. Maka dari itu, kita harus bisa memahami pendidikan dari tinjauan yang lebih “dalam” lagi, sehingga diperlukan sandaran konsep pendidikan yang ideal versi pemikir/tokoh tertentu. Konsep pendidikan yang sengaja kami pilih untuk memberikan gambaran yang utuh kepada seorang mentor adalah pendidikan yang mengangkat harkat dan martabat seorang manusia dan pendidikan yang tidak tercerabut dari kebudayaan. Buah pemikiran ini kami dapatkan dari beberapa literatur bacaan yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara dan Driyarkara19. Menurut Driyarkara, manusia tidak dengan sendirinya bersifat manusiawi sesudah kelahirannya20. Manusia harus mengangkat dirinya untuk hidup dan berada sesuai dengan kodratnya21. Lain halnya dengan kucing. Kucing sudah ‘mengkucing’ sejak kelahiranya, sudah kodratnya sebagai kucing tanpa harus mengangkat dirinya menjadi kucing. Jadi, manusia harus memanusiakan dirinya.22 Di sinilah letak pendidikan, untuk mentransformasikan manusia menjadi “sadar”. Untuk mencapai “kesadaran” tersebut, Driyarkara menambahkan bahwa pendidikan yang baik adalah perbuatan yang diberi arti.23 Proses pemberian arti ini masuk ke dalam level pemaknaan suatu subjek sadar akan apa yang ia lakukan, dan itu akan terus terakumulasi sehingga membentuk kepribadiannya. Pendidikan merupakan proses perubahan ganda, pertama perubahan dalam diri manusia sendiri, untuk kemudian berjalan selaras dengan perubahan yang ada di luar dirinya agar bisa menyatu dengan budaya masyarakat24. Dengan kata lain, pendidikan berfungsi sebagai proses pembentukan manusia yang berbudaya25. Hal ini senada dengan buah pemikiran Bapak 19

Driyarkara(1913-1967) adalah salah seorang tokoh pemikir dari Indonesia, namanya sekarang diabadikan dalam Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Yogyakarta 20 Driyarkara, dkk. (ed), Karya Lengkap Driyarkara; Esai-Esai Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: Gramedia, 2006), 264. 21 Ibid., 367 22 Aziz, Asep Rifqi Abdul. 2016. Konsep Hominisasi dan Humanisasi menurut Driyarkara. Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat AL-A’RAF. Hal 133 23 Driyarkara, dkk. Opcit., 357 24 Ibid., 269 25 Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Perspectives on Education, (New Jesey: Prentice Hall, 1988), hlm 4.

6


Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Saat pidato pada rapat besar PUTERA, September 1943 Ki Hadjar dengan berapi-api mengatakan bahwa pendidikan Eropa itu baik adanya namun “Sangat mengabaikan kecerdasan budi-pekerti sehingga menimbulkan penyakit intelektualisme yang mendewakan angan-angan, semangat ini menimbulkan kemurkaan-diri atau individualisme dan kemurkaan-benda atau materialisme, itulah yang menyebabkan hancurnya ketentraman dan kedamaian di dalam hidup masyarakat!26� Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa model pendidikan Indonesia sangat berkaitan erat dengan kebudayaan, bahkan tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pendidikan harus berasal dari masyarakat itu sendiri, berkembang bersama masyarakat, dan ujung-ujungnya digunakan untuk memajukan masyarakat yang hidup dalam ruang budaya tersebut. Ki Hadjar Dewantara memaknai pendidikan sebagai daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak. Ketiganya tidak boleh dipisahkan agar memajukan kesempurnaan hidup.27 Dalam sistem ini maka pengajaran berarti mendidik anak yang menjadi manusia yang merdeka batinnnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi, tapi mendidik si murid agar dapat mencari sendiri pengetahuannya dan memakainya guna amal keperluan umum 28. Konsep trikon ini sangat menekankan bahwa pendidikan yang baik harus berpusat pada murid, dan menghargai kodrat yang berbeda-beda dari setiap murid. Tugas guru hanya memberi tuntunan bukan paksaan, contohnya seperti petani hanya bisa memperbaiki tanah, memelihara tanaman, dan memusnahkan ulat-ulat tapi tidak mungkin membuat padi tumbuh seperti jagung. Paradigma pendidikan semacam ini mungkin terdengar sepele, tapi bila tidak dipahami dengan betul oleh seorang mentor efek dominonya bisa sangat panjang.

26

Bondan Kresna W.2018. Kritik Ki Hajar Terhadap Sistem Pendidikan Barat. Diakses dari https://edukasi.kompas.com/read/2018/04/09/08000081/kritik-ki-hajar-dewantara-terhadap-sistem-pendidikanbarat 27 Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, hal 15 28 Ibid., 48

7


Kontekstualisasi Mentor ke dalam OSKM ITB

Dalam alam yang merdeka ini mahasiswa menemui suasana yang baik untuk membentuk karakter akademiknya, yaitu kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan. Alam merdeka seperti inilah yang menjadi karakteristik perguruan tinggi29

OSKM ITB merupakan gerbang awal seorang mahasiswa mengenal lingkungan barunya, ITB dan KM ITB. Dalam OSKM, mentor digadang-gadang sebagai ujung tombak kaderisasi, singkat cerita karena hanya mentorlah yang berinteraksi secara langsung dengan mahasiswa baru (maba) untuk menyampaikan materi. Dari sini muncul banyak tanggung jawab yang disematkan kepada mentor secara tidak langsung, yaitu menjadi contoh, panutan, dan teladan bagi maba. Kita sudah mengetahui arti kata mentor secara umum, dan paradigma pendidikan yang harus dipahami betul oleh seorang mentor. Pertanyaan berikutnya yang patut kita ajukan bersama adalah, itu semua untuk apa? Sudah cukupkah pengertian mentor secara umum untuk digunakan di KM ITB, OSKM ITB? Perlukah disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada di ITB dan KM ITB? Memangnya kalau mentor dituntut menjadi seorang contoh dan teladan, teladan yang bagaimana? Siapa sosok yang bisa diteladani mentor agar mentor bisa jadi teladan bagi mahasiswa baru? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan berusaha kita jawab dalam bagian ini, dengan harapan kita bisa tahu versi ideal mentor OSKM ITB itu seperti apa. Sebelum kita spesifik mengarah kepada mentor, alangkah baiknya kita melihat gambaran besarnya terlebih dahulu. Setiap orang pasti memiliki berbagai macam identitas yang melekat padanya, saya manusia, saya warga negara Indonesia, saya anak dari orang tua saya, dan masih banyak identitas lain yang ada pada diri saya. Identitas-identitas ini harus kita pahami dalam rangka mencari gambaran utuh dari suatu individu/kelompok, sama halnya dengan mentor. Bila menggunakan teori himpunan, mentor OSKM ITB merupakan suatu himpunan bagian dari sesuatu yang lebih besar lagi. Bisa dipastikan setiap mentor OSKM ITB merupakan mahasiswa ITB, sekaligus anggota biasa KM ITB. Sehingga untuk menemukan “mentor ideal” kita harus berpijak pada suatu sandaran dan batasan dari “mahasiswa ITB ideal” dan “anggota biasa KM ITB ideal”. Agar bisa menuju ke sana, diperlukan upaya untuk menggali nilai-nilai mendasar dari ITB dan KM ITB secara holistik dan komprehensif.

29

Konsepsi KM ITB Amandemen 2015 halaman 3

8


Nilai-nilai Ke-ITB-an Bila Anda ditanya “ITB itu apa?� sepertinya kita semua sepakat bahwa ITB merupakan salah satu perguruan tinggi negeri unggulan di Indonesia. Namun, apakah jawaban itu sudah cukup untuk mengantarkan kita kepada nilai-nilai luhur khas ITB? Pertanyaan yang sepatutnya kita ajukan bersama adalah, memangnya apa bedanya ITB dengan kampus-kampus lain? Apa yang membuat ITB menjadi ITB? Mengapa masyarakat Indonesia punya semacam “cap� tertentu bagi mahasiswa/lulusan ITB? Menggali nilai-nilai ITB yang ideal kami akui memang susah. Perlu suatu usaha untuk dapat menafsirkan dokumen-dokumen terkait, dan bisa saja penafsiran kami salah. Namun susah bukan berarti tidak mungkin, dan berat tak boleh dijadikan alasan untuk menggapai suatu tujuan. Untuk mengetahui ITB, alangkah baiknya kita mulai proses pencarian ini dari hal-hal yang mendasar terlebih dahulu, yaitu visi dan misi ITB.

Visi

: Menjadi Perguruan Tinggi yang unggul, bermartabat, mandiri, dan diakui dunia serta memandu perubahan yang mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia dan dunia.

Misi

: Menciptakan, berbagi dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan kemanusiaan serta menghasilkan sumber daya insani yang unggul untuk menjadikan Indonesia dan dunia lebih baik. (Sumber: 09/SK/I1-SA/OT/2011) 30

Selain itu, rujukan lain yang bisa kita ambil adalah landasan secara legal-formal. Berdasarkan Statuta ITB, tujuan ITB adalah memajukan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, ilmu sosial, dan ilmu humaniora untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sejalan dengan dinamika masyarakat Indonesia serta masyarakat dunia, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sosial, dan lingkungan melalui kegiatan Tridharma. 31

30 31

Visi dan misi ITB kami dapatkan dari laman resmi itb dengan alamat https://www.itb.ac.id/visi-dan-misi Statuta Institut Teknologi Bandung (PP RI No.65 Tahun 2013) Pasal 3 ayat (3)

9


32

Pertanyaan berikutnya adalah, memangnya ITB mengharapkan lulusannya seperti apa? Kalau kita menggunakan argumen lulusan ITB diharapkan mampu berkontribusi untuk kemajuan bangsa, sepertinya semua kampus juga memiliki cita-cita yang sama bagi lulusannya. Maka, kita perlu mencari jawaban yang lebih spesifik terkait pertanyaan ini. Salah satu jawabannya bisa kita telisik dari Rencana Induk Pengembangan (RENIP) ITB. Dalam RENIP, dijelaskan bahwa “Dengan demikian, tanggung jawab ITB khususnya dalam pendidikan bukan hanya menghasilkan lulusan yang cerdas, namun hingga menyentuh kontribusi lulusannya pada pembangunan kultur dan budaya bangsa Indonesia yang lebih luas untuk terwujudnya daya saing serta martabat bangsa Indonesia pada dunia Internasional. Sosok lulusan ITB yang menjadi sasaran adalah dicirikan oleh values ITB sebagai perguruan tinggi science, technology, dan arts yang menjunjung sangat tinggi nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, yaitu keunggulan, kepeloporan, kejuangan, dan pengabdian, yang secara utuh menjadi wujud kontribusinya yang bermanfaat sangat tinggi bagi lingkungannya.33 Semua nilai-nilai yang telah dipaparkan di atas nampaknya tercermin dalam suatu entitas yang sering kita lupakan, yaitu Ganesha, logo ITB. Ganesha adalah perlambangan akal budi yang tinggi. Ia adalah sosok yang memiliki ilmu yang sangat tinggi (mandraguna), gagah berani dengan kemampuan intelektual dan fisikal yang sulit ditandingi. Melalui kecerdasan dan kepekaan, disertai sifat jujur dan adil, ia rela berkorban untuk membasmi kebatilan. Kemampuan merealisasikan keunggulannya yang

32

Tjokronegoro, Harijono A (Ketua Majelis Guru Besar ITB). 2010. Perspektif Menuju ITB 2025 : Creating The Excellent Culture and Tradition Institut Teknologi Bandung dalam buku “Menuju Seabad Institut Teknologi Bandung� Kumpulan Makalah Sarasehan ITB 2020 hlm 78. 33 Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Bandung. (2007). Rencana Induk Pengembangan (RENIP) ITB Ringkasan, SK MWA ITB No.015/SK/K01-MWA/2007 hal 3

10


berdaya kerja tinggi dan ditopang oleh sikap peduli lingkungan, ia menyebarkan kesejahteraan untuk orang lain. Ganesha pun disimbolkan sebagai pelindung kebudayaan yang memiliki kearifan dan kebijaksanaan. Penitipan pesan dalam bentuk perlambangan ini, adalah cara ungkap, dasar filsafati yang bertujuan mencari makna di balik tekstualnya. Semacam bentuk pembelajaran dan pengasahan akal budi, etika dan estetika, yaitu pesan moral yang tersirat dan tersurat sebagai bentuk pemahaman terhadap kebenaran. Dalam konteks luas, peradaban dan kebudayaan adalah kunci perkembangan manusia, yang berperan sebagai landasan untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Secara filosofis, konsep perlambangan logo Ganesha “Institut Teknologi Bandung” ini, merupakan manifestasi dari akal dan budi yang luhur, menggambarkan tujuan pendidikan dan prinsip pengembangan ilmu pengetahuan, berdasarkan kesadaran etika, moral dan estetika. Keuniversal-an adalah bagian peneguhan sikap kearifan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Ganesha sebagai logo “Institut Teknologi Bandung”, sarat dengan kandungan filosofis, mempunyai arti sbb : a.

Gading yang dipatahkan di tangan kanan depan, sebagai tanda

pengorbanan diri untuk memecahkan semua persoalan atau masalah yang merintangi kemajuan ilmu pengetahuan. Pengorbanan dan perjuangan yang harus dilalui oleh tiap ilmuwan. b.

Cawan air amerta (kehidupan yang berkelanjutan) di tangan kiri

depan, menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah habis ditimba atau sebagai sumber ilmu yang tak habis-habisnya yang dihimpun ke dalam diri Ganesha (personifikasi ilmuwan) c. Tasbih di tangan kanan belakang, sebagai tanda kebijaksanaan, kearifan. d. Kapak di tangan kiri belakang, sebagai perlambangan keluhuran, tanda kekesatriaan e. Selendang terselempang di dada, menggambarkan kewajiban suci, sifat religius, dan keimanan. f. Buku tempat duduknya, menggambarkan ilmu pengetahuan yang terus dikejar atau sebagai tanda keilmuan34 Nampaknya kita semua sepakat bahwa nilai yang diperjuangkan oleh ITB adalah perlambangan Ganesha itu sendiri, dan kita, mahasiswa ITB diharapkan menjadi Ganesha yang

Diambil dari tulisan Srihadi Soeharsono (Pencipta logo ITB) berjudul “Universalitas Ganesha dalam Pendidikan” dalam buku Aura Biru (2009) hal 29-30 34

11


arif demi kemajuan bangsa. Jadi, sekarang kita bisa menjawab dengan lantang dan gagah bahwa nilai luhur ITB termanifestasi dalam Ganesha, dan sekarang, Ganesha itu adalah kita, yang telah mengucapkan salam Ganesha.

Nilai-Nilai KM ITB dan Intelektualitas Mahasiswa

Apa yang membuat KM ITB spesial? Oh, bahkan pertanyaan yang lebih tepat dilemparkan adalah, apa yang membuat kemahasiswaan ITB sejak zaman dahulu spesial? Kita bisa menggali nilai-nilai kemahasiswaan kita dari berbagai acuan, salah satunya adalah Konsepsi KM ITB dan beberapa arsip sejarah yang masih bisa dikumpulkan. Sejarah telah mencatat, kemahasiswaan ITB pada zaman dahulu memiliki taring yang sangat tajam dan bisa berdampak pada kepemimpinan nasional. Sebutan “The Opinion Leader” dan “The Last Stronghold” nampaknya bukan isapan jempol belaka pada zaman keemasannya.35 DEMA ITB pada zamannya berhasil mempertahankan independensi mahasiswa dari kepentingan eksternal saat itu. Di saat yang bersamaan, kritik keras kepada pemerintahan Soekarno yang mulai menjelma menuju otoriter juga masih hangat dikumandangkan DEMA ITB melalui berbagai kegiatan yang kreatif.36 Pasca runtuhnya orde lama, kemahasiswaan ITB kembali membuat terobosan dengan Gerakan Anti Kebodohan (GAK) pada masa Orde Baru. Puncaknya adalah ketika DEMA ITB mengeluarkan mosi tidak percaya kepada pemerintahan Soeharto lagi dengan mengeluarkan “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa37”, sehingga militer turun tangan menduduki kampus ITB dan keluarlah kebijakan NKK/BKK.38 Apakah nafas perjuangan tersebut sudah berhenti? Tentu saja tidak, pengalaman menyejarah perjalanan kemahasiswaan tersebut telah mengantarkan kita kepada suatu konsep KM ITB. Dalam Konsepsi KM ITB, tujuan perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis.39 Insan akademis yang diharapkan yaitu insan yang memiliki peran untuk selalu mengembangkan diri sehingga menjadi generasi yang tanggap dan mampu menghadapi tantangan masa depan serta mengemban peran untuk selalu mengkritisi kondisi kehidupan 35

Ginting, M. Kurniawan. 2000. Analisis Historis Kemahasiswaan ITB, Komunitas G-10, hlm 11 Ibid., hlm 3 37 Buku Putih Perjuangan Mahasiswa berjudul “Indonesia di bawah Sepatu Lars” yang berisi kritik terhadapn pemerintah Orde Baru beserta untuk apa dan siapa mahasiswa berjuang 38 Ibid., hlm 5-7 39 Konsepsi KM ITB Amandemen 2015, Op.Cit hlm 4 36

12


masyarakatnya di masa kini dan selalu berupaya membentuk tatanan masyarakat masa depan yang benar dengan dasar kebenaran ilmiah. Berdasarkan tujuan harapan untuk membentuk insan akademis, maka sejatinya seluruh proses yang berlangsung di perguruan tinggi merupakan proses pendidikan dalam rangka membentuk karakter yang dimana mahasiswa juga harus ikut serta mendidik dirinya sendiri dengan tetap berpedoman pada nilai kebenaran ilmiah. Proses dan upaya mendidik diri sendiri ini tidak akan berjalan efektif apabila dilakukan sendiri-sendiri dan tidak sistematis. Oleh karena itu organisasi kemahasiswaan muncul karena adanya kebutuhan dari mahasiswa sendiri untuk menjamin efektivitas dan efisiensi upaya-upayanya dalam mendidik dirisendiri.40 Sama halnya dengan proses pendidikan, organisasi kemahasiswaan harus dapat menjadi alat ampuh bagi mahasiswa untuk membentuk visi masa depan serta menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Adapun visi insan akademis yang dimaksud adalah suatu pola pandang tentang bentuk atau tatanan seluruh aspek kehidupan masa depan yang baik dan benar menurut kaidah ilmiah, sementara iu tantangan adalah tatanan kehidupan yang riil berkembang sekarang dan nanti yang harus ditanggapi.41 Proses pendidikan dan output dari organisasi kemahasiswaan harus mampu menghasilkan manusia yang tangguh menghadapi tantangan masa depan dan mampu mengupayakan terwujudnya visi masa depannya. Organisasi mahasiswa yang mampu menghasilkan manusia yang memiliki visi masa depan dan mampu menjawab tantangan zaman adalah organisasi yang memiliki karakter seperti halnya karakter masyarakat madani. Karakter itu yaitu mandiri, kekeluargaan, demokratis, aspiratif, partisipatif, representatif, efektif, efisien serta terbuka dan adaptif. Artinya, organisasi kemahasiswaan harus mampu menyesuaikan diri dengan segala perubahan budaya yang sering terjadi dalam masyarakatnya.42 Dari uraian-uraian tersebut nampaknya kita bisa menyimpulkan bahwa anggota biasa KM ITB diharapkan menjadi insan akademis, dan hal ini ternyata analog dengan output yang diharapkan oleh ITB namun dengan istilah lain yaitu “intelektual�. Hal ini dapat diintisarikan dari Statuta ITB bahwa “ITB mendidik intelektual untuk membangun kearifan dan kekuatan

40

Ibid,. 5 Ibid,. 42 Ibid,. 6 41

13


moral dalam mencari dan menemukan kebenaran serta mampu memimpin bangsa dan berpartisipasi aktif dalam pergaulan dunia.” 43 Memangnya apa itu intelektual? Setiap studi praktis mengetengahkan pengertian yang berbeda tentang "intelektual”. Bagian yang dominan dari asumsi dasar ini biasanya berupa suatu situasi historis, setiap zaman dan setiap tempat menampilkan tokoh intelektualnya sendiri yang unik.44 Gambaran mengenai definisi intelektual masih mengacu kepada gejala-gejala perubahan dari sebuah status quo. Seorang intelektual bukan hanya menjadi tokoh yang melahirkan pemikiran tertentu, namun lebih jauh lagi, memiliki gagasan yang menyentuh aspek sosio-budaya dalam masyarakat serta bersifat universal. Intelektual publik merupakan individu yang memiliki gagasan dan mampu mengaplikasikannya secara luas hingga dapat bermanfaat bagi masyarakat. Intelektual publik dapat berupa siapa saja. Palmquist menjelaskan bahwa dalam pemikiran Kant, peran intelektual publik dalam ranah masyarakat dibagi menjadi empat.45 Tingkatan pertama adalah general public sebagai anggota publik dalam kehidupan bermasyarakat dan ditempati oleh masyarakat umum. Tingkat kedua, public servants, diduduki oleh pegawai negeri dan berhubungan langsung dengan khalayak dan memberikan layanan sosial. Tingkat ketiga, higher faculties, diisi oleh komunitas akademik untuk melatih calon profesional. Yang terakhir, philosophy faculty, diduduki oleh fakultas filsafat dan mengurusi konflik kreatif antar komunitas akademik Mahasiswa tentu memiliki keterkaitan dengan keintelektualan. Mahasiswa sering berpretensi sebagai nurani masyarakat serta intelektual muda yang masih "bersih", dan dengan pretensi ini tidak jarang melancarkan gerakan-gerakan massal yang spektakuler. Namun, kemampuan mahasiswa ternyata baru sebatas mendobrak "masa lalu" tetapi tidak untuk membentuk "masa depan" yang mereka cita-citakan. Kelemahan mahasiswa pada umumnya adalah tidak menyadari bahwa sosok intelektual sebagai keseluruhan terbagi dalam tiga jenis. Yang pertama adalah intelektual produktif, yakni sosok yang sudah “jadi”, telah menghasilkan karya-karya intelektual yang bersifat ilmiah, artistik, religius, dan praktis. Kedua, intelektual reproduktif, adalah sosok yang baru berada di taraf interpretasi dan transmisi dari karya-karya intelektual produktif. Yang ketiga adalah intelektual konsumen, yaitu sosok yang baru berada di taraf belajar, belajar untuk bisa menjadi "reproduktif” sebelum meningkat menjadi "produktif” penuh.46 Mahasiswa pada umumnya tergolong pada intelektual konsumen ini. 43

Ibid, pasal 5 ayat (2) Daoed Joesoef. Intelektual dan Kerja Intelektual, 166 45 Lihat lebih lanjut dalam Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”, p. 232-242. 46 Daoed Joesoef, op.cit. hlm 178-179 44

14


Berkaitan dengan pergerakan, mahasiswa yang berpretensi menjadi nurani masyarakat (dan karena itu berpretensi menjadi pelopor politik), seharusnya jauh lebih dulu berusaha menjadi intelektual produktif dalam arti yang sebenarnya.

OSKM, Kaderisasi, dan Mentor

Setelah kita tahu wajah kemahasiswaan kita, serta nilai-nilai luhur dari kampus kita, di manakah posisi mentor dalam kompleksitas struktur di KM ITB? Apakah peran mentor hanya berhenti di OSKM ITB? Bagaimanakah kaitan antara kaderisasi pasif di KM ITB dengan mentor OSKM ITB? Memangnya bagaimana sejarah mentor OSKM ITB hingga sekarang? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sepertinya kita perlu menimbang-nimbang dari berbagai macam sudut pandang, salah satunya adalah aspek sosio-historis “mentor” itu sendiri. Sebenarnya, kami masih kekurangan data valid untuk bisa sampai menjelaskan secara utuh bagaimana sejarah mentor di ITB. Namun, berdasarkan beberapa narasumber yang kami wawancarai, mentor dan metode mentoring mulai populer digunakan di kampus-kampus ketika era orde baru. Pasca diberlakukannya NKK/BKK, kehidupan kemahasiswaan sangat dikekang bahkan muncul larangan-larangan spesifik bagi mahasiswa untuk tidak boleh melakukan kegiatan tertentu. Salah satu larangan yang melatarbelakangi metode mentoring adalah larangan mengumpulkan massa dalam jumlah yang besar, karena pemerintah dan militer khawatir massa tersebut akan dimobilisasi untuk melakukan aksi demonstrasi. Hal ini masuk akal, karena bila melihat keadaan zaman tersebut, mahasiswa sangat kuat pengaruhnya dalam mengkritisi pemerintah yang berjalan. Mahasiswa mengambil sikap sebagai oposisi pemerintah dan bisa berperan sebagai pressure group yang kuat. Maka dari itu, metode mentoring muncul sebagai alternatif untuk memecah kuantitas massa. Kegiatan mentoring dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai “perjuangan mahasiswa” saat itu, doktrin-doktrin yang diturunkan oleh mentor pun tak akan jauh dari kritik terhadap pemerintah. Pernahkah Anda penasaran mengapa OSKM ITB dirancang sebegitu “megah”nya? Bahkan sampai ada barikade-barikade oleh medik dan keamanan dengan impresi masingmasing. Bila kita sedikit menilik sejarah ke belakang, jawaban dari pertanyaan trivial semacam itu tak akan sulit ditemukan. Karena rezim orde baru yang otoriter, mahasiswa ITB sengaja mendesain OSKM sebagai simulasi aksi demonstrasi. OSKM dulu dimanfaatkan mahasiswa 15


ITB sebagai ajang untuk “melatih” panitianya untuk menjalankan suatu aksi, sekaligus memaparkan kepada mahasiswa baru nilai-nilai perjuangan. Lebih jauh lagi, hari terakhir OSKM dulu (sekitar tahun 1990-an) memang sengaja disusun untuk melakukan “aksi”. Hal inilah yang membuat “divisi lapangan” di KM ITB sangat dihargai, bahkan dikejar oleh banyak orang, karena mengandung suatu nilai sejarah yang panjang. Di OSKM dulu, barikade sengaja dirancang untuk melindungi peserta aksi dari “serangan” ABRI, dan divisi keamanan benar-benar menjalankan tugasnya sebagai “tameng” peserta aksi lainnya. Divisi medik tentu akan mengobati peserta aksi yang terkena baku hantam dari aparat. Lalu, apa peran mentor dalam suatu aksi demonstrasi? Mentor berperan sebagai “pembakar semangat” dan “penanam nilai” perjuangan yang paling efektif. Mentor saat itu mempunyai basis massa yang kuat untuk bisa menggerakkan orang-orang melakukan suatu aksi. Dalam keberjalanannya, mentor sempat mengalami perubahan nama menjadi tata tertib kelompok (taplok). Selain menjalankan fungsi “mentoring”, taplok juga didesain untuk mempercepat mobilisasi kelompok tersebut. Hal ini menjadi masuk akal karena sangat mungkin kegiatan mentoring tiba-tiba “digrebek” oleh petugas, sehingga taplok juga harus memiliki impresi yang “tegas”. Namun, pergeseran nilai “taplok” yang tegas mulai terjadi ketika OSKM ITB tahun 2007 digelar kembali setelah sebelumnya dibekukan dan berjalan secara “illegal”. Saat OSKM ITB 2007, taplok mulai bergeser impresinya menjadi taplok yang ramah dan bersahabat, hal ini ditandai dengan mulai diberlakukannya “yel-yel” taplok. Setelah itu, impresi taplok yang “ceria” digunakan terus dari tahun ke tahun bahkan hingga namanya berganti menjadi mentor saat OSKM ITB 2014. Bagaimana OSKM ITB yang ideal bila dikontekskan ke zaman sekarang? Agaknya, kita harus bisa memahami bahwa OSKM ITB merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang diperjuangkan di ITB dan KM ITB. Maka, kemurnian nilai-nilai tersebut harus diperjuangkan lintas generasi. Apakah hari ini nilai-nilai mendasar tersebut sudah tidak relevan lagi? Menurut kami, nilai-nilai luhur itu sampai kapanpun akan tetap relevan, yang mungkin berbeda adalah metode dan cara membawa nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Peran mentor pun akan tetap sama sampai kapanpun, sebagai kakak pertama bagi mahasiswa baru. Yang patut dicatat adalah, mahasiswa baru yang masuk ke ITB harus dihargai dan dipandang sebagai suatu potensi yang besar bagi bangsa Indonesia. Mahasiswa baru adalah cikal bakal Ganesha, seekor ganesha-ganesha kecil yang bisa mengguncang dunia, dan mentor adalah kakak pertama bagi mereka. Proses pendidikan dan pengembangan diri “ganesha” ini akan berjalan sempurna

16


ketika ganesha-ganesha ini bisa menemukan wadah yang tepat untuk berkembang di ITB dan KM ITB. Kembali ke pertanyaan awal bagian ini, bagaimana peran mentor dalam struktur KM ITB? Apakah peran mentor berhenti saat hari terakhir OSKM? Kalau kita dengan tegas menyatakan bahwa jawaban pertanyaan ini adalah tidak, memang seharusnya bagaimana?

Epilog : Lantas Bagaimana?

Dan mentari kan tetap menyala, Di sini, di dalam hatiku47

Sebelum menjawab pertanyaan akhir ini, alangkah baiknya kita mengingat-ingat tujuan awal dibentuknya tulisan ini. Sekali lagi kami tekankan bahwa tujuan yang hendak kami capai dari ajuan konsepsi ini adalah untuk mencari dan menggali nilai-nilai mentor yang sudah ada, bukan berfokus pada mengganti dengan nilai yang baru. Sampai sini nampaknya kita sudah mempunyai bekal yang cukup untuk bisa mengelaborasikan semua nilai-nilai pendidikan, ITB, dan KM ITB untuk dihubungkan dengan identitas mentor OSKM ITB. ITB sebagai perguruan tinggi ingin mencetak intelektual untuk membentuk kearifan dan kekuatan moral. Hal ini senada dengan yang tertuang dalam Konsepsi KM ITB, bahwa tujuan perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis. Intelektual/insan akademis yang seperti apa yang diidam-idamkan ITB? Wujud ideal mahasiswa ITB yang diharapkan adalah mahasiswa yang meneladani sifat-sifat ganesha. Untuk menuju ke sana, diperlukan suatu upaya untuk membentuk “kesadaran�, oleh karena itu diperlukan suatu wadah kolektif untuk tempat belajar si ganesha-ganesha ini, dan tempat itu bernama ITB dan KM ITB. Mentor adalah kakak pertama bagi bayi ganesha, ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya, wajah pertama yang disaksikan bayi tersebut pasti sangat terbenam dalam alam pikiran bawah sadar si bayi. Seperti itulah peran mentor, wajah pertama, kakak pertama, orang tua pertama bagi si bayi ganesha, seseorang yang ketika dewasa bisa mengguncang dunia.

47

Salah satu petikan lagu mentari karya Iwan Abdurrahman

17


Bila ditafsirkan lebih jauh lagi, untuk bisa mendidik bayi ganesha, tentu mentor juga perlu menjadi ganesha terlebih dahulu. Paling tidak, ada itikad baik dari mentor untuk berusaha mencapai keluhuran seorang ganesha. Hal ini menjadi penting karena pendidikan terbaik bagi orang dewasa adalah melalui keteladanan. Karena mentor dituntut menjadi teladan, maka proses meneladani ganesha jadi tak terelakkan, dan proses ini tentu harus diusahakan salah satunya di sekolah mentor. Yang perlu dipahami adalah proses meneladani ganesha tidak bisa dilakukan dalam waktu sebentar, perlu suatu usaha terus-menerus secara keberlanjutan (continuous improvement). Poin ini sesuai dengan salah satu peran mentor yaitu “pribadi yang senantiasa berkembang”. Selain itu, yang tak boleh kita lupakan dari meneladani Ganesha adalah meneladani sifat “membumi”nya. Ganesha tidak egois, ia berusaha mengamalkan kearifan dan wawasan yang ia punya untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, seorang mentor juga perlu memahami hakikat pendidikan, dan meneladani sifat “membumi”nya ganesha menjadi sifat bersahabat agar mentee bisa “sejahtera” dan merasa nyaman memiliki mentor yang seperti itu. Selayaknya Ganesha yang menyebarkan ilmunya, seorang mentor juga perlu memiliki tanggung jawab moral atas ilmu yang dia miliki. Ilmu itu harus disebarkan guna kepentingan masyarakat, selaras dengan salah satu tujuan Indonesia : mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekarang, kita kembali ke pertanyaan awal, lantas bagaimana? Pendidikan yang didapatkan di sekolah mentor seharusnya bisa mengantarkan mentor menjadi sesuatu yang lebih besar daripada sekadar panitia lapangan di OSKM. Karena output akhir dari pendidikan adalah orang/subjek, maka ketika mentor dibentuk untuk meneladani sifat-sifat ganesha, setidaknya ada pelita-pelita harapan di KM ITB untuk bisa menjalankan tujuan Indonesia dengan sedikit perubahan : mencerdaskan kehidupan massa kampus. Sehingga, peran dinamisasi yang kental dengan adu gagasan, wacana, dan ide seharusnya ramai diperbincangkan di ITB, bila cita-cita masyarakat berpengetahuan versi Konsepsi KM ITB terwujud. Di alam yang merdeka dan menjunjung tinggi kebebasan akademis ini, mentor bisa mengambil peran sebagai salah satu elemen yang menghiasi keanekaragaman kemahasiswaan ITB. Pada akhirnya, pengertian mentor dan gagasan yang tertuang di tulisan ini hanya sebagai langkah awal bagi generasi selanjutnya melanjutkan perjuangan kami. Ajuan konsepsi ini hanya merupakan secuil usaha dari kami untuk meneladani sifat ganesha itu sendiri, menjadi insan akademis yang bisa menyelesaikan masalah di sekitar. Masalah terbesar mentor selama

18


ini yang kami rasakan adalah krisis identitas, dan identitas perlu dicari dari hal-hal yang mendasar sebelum dibudayakan. Besar harapan kami, datang masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan mimpi besar yang kami bawa. Ini semua kami lakukan untuk kebaikan bersama mentor, dan KM ITB.

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater Salam “Ganesha�!

Tim Penyusun : 1. Hanafi Kusumayudha

(Teknik Fisika 2016)

2. Nada Zharfania Zuhaira

(Teknik Lingkungan 2016)

3. Ardhy Nur Ekasari

(Fisika 2016)

4. Haura Zidna Fikri

(Perencanaan Wilayah dan Kota 2016)

5. Prayla Putri Annani Barli

(Teknik Kelautan 2016)

6. Muhammad Dzaky Farhan

(Teknik Tenaga Listrik 2016)

7. Tecta Annafi Patragama

(Teknik Mesin 2016)

8. Arya Syaefullah Farsya

(Teknik Fisika 2016)

9. Dewa Gede Pradnyanata

(Teknik Kelautan 2016)

10. Mohammad Qori Aziz Hakiki

(Teknik Elektro 2016)

11. Kamilia Hanani

(Mikrobiologi 2016)

12. Ilham Muzakki

(Teknik Industri-Cirebon 2016)

13. Canggih Hawari W. K. U.

(Teknik Kelautan 2016)

19


“Membumi bersama mimpi dan idealisme, untuk kemudian melangit bersama sebanyak mungkin orang. Karena kau harus tahu : bahwa melangit sendirian itu menyakitkan� - PHX

20


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.