Opini hewani
1
Opini hewani
Daftar Konten Delusi Kekompakan .......................................................................... 4 Beberapa Patah Kata untuk MG..................................................... 8 Absurditas Kedua Calon K3M ....................................................... 10 NAMUN MASIH TPB ..................................................................... 13 Sebuah Pesan Omong Kosong Pencari Kebenaran ..................... 17 Aku dan Waktu ................................................................................ 20 Minggu, 13 November 2016 ............................................................ 24 Menyoal Pendidikan, Pengalaman dan Budaya Anti Intelektual ........................................................................................ 25 Penyesalan itu Menyebalkan......................................................... 32 Kenangan .......................................................................................... 33 Refleksi akhir tahun 2016, Integral Kehidupan .......................... 35 Setitik Harapan dari Semarang..................................................... 38 Sebuah imaji kampus “ideal� ........................................................ 40 [LIVE REPORT] ............................................................................... 43 Apakah ITB Baik-Baik Saja? ........................................................ 44
2
Opini hewani
Bagiku opini tak sekadar imajinasi. Ia merupakan bukti manusia punya akal budi. Bahkan melibatkan hati serta emosi. Layaknya insting hewani, ia liar dan bebas menabrak semua batas yang ada.
3
Opini hewani
Delusi Kekompakan
Sebagai seseorang yang baru saja menikmati status sebagai mahasiswa, ada suatu tren budaya kampus yang menggelitik bagi saya, yaitu mengenai kekompakan. Mengadaptasi KBBI, definisi dari kompak adalah bersatu padu (dalam menanggapi dan menghadapi suatu perkara). Baru saja 3 minggu menjalani kuliah, telinga saya mulai familiar dengan istilah kompak. Bagi kebanyakan mahasiswa TPB, kekompakan seolah-olah mutlak diperlukan dan menjadi sebuah keharusan. Mungkin kalian sering dengar propaganda (re:bualan) yang intinya menyerukan bahwa “Fakultas A harus kompak karena kita itu keluarga�. Hal ini menjadi menarik ketika semua fakultas berbondongbondong mengejar suatu titik, yaitu kompak. Seolah-olah kompak dijadikan indikator keberhasilan kelompok, standar kerennya suatu kelompok, dan parameter eksistensi kelompok . Lucunya lagi, kekompakan dijadikan pembanding antara kelompok satu dengan yang lainnya. Pertarungan adu gengsi terjadi, klaim sana-sini mengenai kelompok terkompak pun tak dapat dihindari. Akhirnya muncul suatu kebanggaan bagi kelompok yang mengklaim dirinya terkompak, dan kadang bisa bereskalasi menjadi arogansi tanpa esensi. Hal itu diperparah ketika kompak dijadikan sebuah kewajiban yang dibalut dengan
embel-embel tradisi. Tanpa mau berpikir
panjang, banyak orang yang hanyut dalam arus delusi. Merekalah orang-orang yang tak pernah mau mengklarifikasi. Sebagai contoh, 4
Opini hewani
dalam suatu kelompok baru seringkali diberikan tugas untuk berkenalan. Setiap orang diwajibkan mengenal seluruh anggota kelompok tanpa terkecuali dengan batasan waktu tertentu. Ujungujungnya, agar kelompok itu makin kompak. Sungguh jenaka.... Bagi mahasiswa baru seperti saya, memang sih mengenal orang lain itu perlu, akan tetapi bila hal itu dijadikan sebuah keharusan dari orang lain dengan dibumbui batasan waktu apalagi dalam kelompok yang besar, rasanya hambar dan janggal. Bisa dianalogikan seperti saat kita dipaksa untuk buang air ketika sedang tidak kebelet. Sakit bukan? Hal yang saya khawatirkan dari kekompakan adalah apabila kekompakan dimaknai secara buta dengan semboyan “solidaritas tanpa batas�. Sering mendengarnya bukan? Pemaknaan mentah tersebut dapat berujung pada matinya kebebasan berpendapat setiap individu, khususnya bagi kalangan minoritas. Anggota kelompok cenderung ikut-ikutan, tanpa tau alasan dan tujuan. Efek lain yang dapat ditimbulkan yatu munculnya mentalitas bergerombol (mob mentality). Efek derivatifnya pun bisa beraneka ragam. Contoh sederhananya adalah aksi-aksi yang dilakukan supporter sepak bola di Indonesia, yang acap kali berakibat negatif. Loyalitas berlebihan tanpa kesadaran pun akhirnya menimbulkan kericuhan. Senggolan sedikit dari kelompok lain dapat menimbulkan keributan. Inikah negara yang katanya berkebhinekaan? Beberapa gambaran tersebut menimbulkan tanda tanya besar dalam benak saya. Rasa-rasanya hati kecil saya ingin berontak. Kompak seperti itukah yang diidam-idamkan? Bukankah paksaan 5
Opini hewani
menjadi kompak menimbulkan kekompakan yang fana? Memangnya apa sih manfaat kompak dengan merendahkan kelompok lain? Alihalih menjadi kompak, justru diri kita termakan oleh delusi kekompakan itu sendiri. Menurut hemat saya, kekompakan yang seperti itu sudah melenceng dari esensi awalnya. Saya tidak mengatakan bahwa kompak itu suatu hal yang buruk, yang saya kritisi adalah proses dan metodenya. Seolah-olah kekompakan dijadikan dogma bagi kalangan tertentu yang harus ditelan mentah-mentah tanpa menelaah kembali esensi utamanya. Dibandingkan menggunakan istilah kekompakan, saya lebih suka menganalogikan esensi utama dari kekompakan menjadi persahabatan/kesetiakawanan.
Alasannya
simpel,
istilah
persahabatan lebih manusiawi. Sahabat tidak membutuhkan intervensi dari orang lain. Sahabat bisa lebih mengerti perasaan kita. Apakah orang yang dipaksakan kompak dengan kita bisa melakukan hal itu? Saya meragukannya. Itu sekadar pendapat saya sih. Kalaupun akhirnya menggunakan kata kompak, toh juga tidak apa-apa. Tetapi yang saya harapkan, kekompakan dimaknai sebagai suatu proses natural tanpa ada paksaan apapun dari pihak manapun. Jadi ya, keinginan untuk bersatu itu harus datang dari lubuk hati terdalam masing-masing individu. Saat setiap individu terpanggil hatinya untuk bersatu, disitulah kebersamaan akan terwujud. Seiring berjalannya waktu, feel kekompakan akan tumbuh dengan sendirinya. Bukan karena orang lain, tapi karena kita yang ingin.
6
Opini hewani
Kekompakan ada bukan untuk dibanggakan, melainkan untuk dirasakan. Tak perlulah memaksakan, karena dengan sendirinya hal itu akan datang. Selamat bersenang-malang!
7
Opini hewani
Beberapa Patah Kata untuk MG
Tak terasa sudah hampir dua bulan aku menyandang status sebagai mahasiswa. Hari-hariku pun dipenuhi oleh masalah klasik mahasiswa pada umumnya. Untuk mengisi waktuku, kuputuskan ikut unit Majalah Ganesha. Awalnya ku berpikir ini adalah unit media cetak progresif sejenis boulevard dan persma. Namun tidak begitu ternyata. Kata majalah di depan ganesha tak berarti apa-apa, hanya untuk formalitas semata. Lucu memang, tapi inilah realitanya. Kata orang sih, unit ini aktif di media sosial menebar dusta dan wacana. Kritik sanasini dan jadi musuh semua massa, akun anonim selalu jadi andalannya. Bagaikan pecundang yang tak mau disalahkan, sok-sokan oposisi tanpa mau ikut beraksi. Kegiatannya kajian-kajian tak jelas sepi peminat. Terlalu banyak komentar internal, tanpa mau ikut campur permasalahan Bandung sekitar. Sekrenya pun tak jarang kosong layaknya kuburan. Tujuan ga jelas, proker tak punya, struktur organisasi tak jalan, bahkan AD/ART tak ada. Ini organisasi macam apa? Jumlah anggota juga sangat minim. “Bahkan pada saat aku tingkat dua, seangkatanku hanya ada tiga orang, dan satu orangnya pun hilang entah kemana. Tiga tahun angkatan diatasku tidak ada anggota MG sama sekali, yang ada hanya swasta tingkat lima, enam, bahkan tujuh yang akan lulus�, ucap Uruqul, Ketua MG-KSSEP 2011-2012. Mendengar hal itu akupun tersentak, separah itukah keadaan MG dulu? Parahnya lagi, setiap ganti ketua, nilai MG yang dibawa bisa saja berganti 180 derajat. Ketuanya sekarang terkenal bermasalah, dan sialnya terkadang nama 8
Opini hewani
MG tertutupi oleh warna Ofek yang sangat mencolok. Contohnya saja, ada temanku yang tidak tahu MG justru malah tahu Ofek. Kalau begitu, yang aku jalani sekarang ini kader unit MG atau kader Ofek ya? Hahaks. Oh iya, sampai lupa. Di sekre MG itu sirkulasi udaranya kurang baik. Tak ada jendela yang bisa dibuka-tutup dan ventilasinya juga sedikit. Atapnya bocor di dua tempat dan belum ditambal sampai sekarang. Inventarisnya kacau, unit ini punya papan tulis tapi tak jarang meminjam spidol, punya kasur tapi tak ada bantal tidur, kan lucu. Di dalam sekre juga banyak barang sampah yang ga jelas kegunaannya,
ada
amplifier
rusak,
kolor
penghuninya,
dll.
Pengarsipan karya tulisan anggotanya juga masih sangat buruk, banyak dokumen-dokumen yang hilang entah kemana. Seakan-akan tak menghargai tulisan itu sendiri.
9
Opini hewani
Absurditas Kedua Calon K3M
Kampus gajah sedang ramai-ramainya menjalankan pemira, namun prosesnya seringkali tak kentara. Kedua calon presidennya pun lucu-lucu, yang satu mengangkat tema pasar bebas, satunya lagi mengangkat tema Indonesia 2045. Bakalan cuma setahun njabat kok ya udah mikir kemana-mana to mas, sampeyan ini dalam setahun besok mau
ngapain
aja?
Haha,
coba
bayangkan
dalam
setahun
kepemimpinan mereka cita-cita itu bisa terlaksana, sungguh hebat dan super mereka berdua! Bisa menjadikan Kabinet KM ITB menarik massa sekampus saja sudah alhamdulillah, ini kok udah mikir Indonesia kedepannya. Memangnya dengan ikut kabinet sampeyan efeknya bisa sepanjang itu ya mas? Kalau memang beneran keren banget sih, tapi kok kayaknya cuma isapan jempol belaka ya? Sebenarnya kalian nyusun itu biar kepilih doang kan? Wahaha naif sekali. Absurditas ini tak hanya sampai disitu lho. Mas Adit dengan jargonnya KM ITB hebat ini ternyata begitu gelisah dengan keadaan saat ini. Dan katanya, ia ingin menyebarkan kegelisahannya! Iya betul, ia ingin menularkan virus kegelisahan kepada orang lain, tepatnya pada seluruh massa kampus. Aneh tapi nyata bukan? Menurut kbbi, definisi gelisah adalah tidak tenteram, selalu merasa khawatir. Jadi massa kampus, bersiaplah untuk merasakan kegelisahan ya. Hidup kalian bakal ga tenang bila ia terpilih. Kalian akan selalu khawatir menjalani perkuliahan, dan karena rasa khawatir kalian itu, kalian akan
menjadi
siap
menghadapi 10
Free
Trade
Agreement.
Loh
Opini hewani
hubungannya apaan? Entah, mungkin hanya rumput bergoyang yang tahu. Tapi Mas Adit ini begitu sederhana lho. Bagaimana tidak, kertas promosi yang ia bagikan kepada massa hearing sangat minimalis! Satu lembar saja ia beberkan 8 slide, sungguh cinta lingkungan calon kita satu ini, ia sadar betul bahwa setiap kertas yang kita gunakan berasal dari batang pohon tak bersalah di pelosok hutan. Bahkan tintanya juga menggunakan tinta hitam putih. Dari segi konten, pria ini sangat singkat menyusun bahan, entah karena tak ada inspirasi atau memang ingin to the point. Saat presentasi
pilihan
katanya pun begitu ia perhatikan, singkat padat dan membingungkan! Kebayang kan betapa hematnya dia bila menjadi presiden? Pasti pengeluaran kabinet akan ia potong empat kali lipat bahkan lebih! Beda halnya dengan calon nomor urut dua. Dari brosurnya saja sudah kelihatan kalau orangnya tak sesederhana Mas Adit. Tintanya berwarna-warni seperti anak kecil mewarnai, jumlah slidenya pun banyak dengan disertai tabel-tabel yang memusingkan kepala. Memangnya siapa sih yang mau membaca tabel-tabel yang mbulet itu? Bahkan untuk kampanye saja ia sampai mengadakan survey massa kampus, sungguh cinta statistik Mas Ardhi kita. Saat presentasi Mas Ardhi begitu pede dengan menggunakan kata-kata yang variatif dan imajinatif! Jadi kalian mau milih yang cinta lingkungan atau cinta statistik? Haha. Ada beberapa hal dari Mas Ardhi yang bagi saya sangat menarik. Dalam hearing unit, ia mengatakan bahwa ingin membentuk 11
Opini hewani
ITB Warrior, yang terdiri dari unit-unit bela diri. Tujuannya untuk bertarung melawan para begal yang belakangan ini meneror massa kampus. Entah ini serius atau bercanda, tapi dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa masa kecil Mas Ardhi pasti sangat bahagia. Pasti ia suka menonton power rangers, satria baja hitam, dan kawankawannya. Lalu dari situlah muncul ide untuk menjadikan realita ini seperti di dunia masa kecilnya. Hal ini menjadi menarik bagi saya karena dengan gamblangnya Mas Ardhi menawarkan solusi yang sangat absurd. Padahal kan, tidak sesimpel itu mas. Ia bilang bahwa dengan melawan begal, unit-unit bela diri menjadi punya tantangan, dan bisa meningkatkan skill anggota unit tersebut. Bila itu benar-benar dilakukan, apa Mas Ardhi sudah memikirkan bagaimana bila ITB Warrior ini justru yang kalah? Dunia ini nggak kayak di tv tv lho mas, yang baik selalu menang. Imajinasinya tolong lebih realistis dong, hehe.
12
Opini hewani
NAMUN MASIH TPB
Sistem di ITB memang lucu, kuakui hal itu. Mengapa? Statusku sekarang kan mahasiswa S1 nih, namun masih TPB. Aku juga anggota KM ITB, namun masih TPB. Bagiku, kata “masih TPB” sangat aneh dan mengganjal, hal ini seperti pernyataan “Aku adalah seorang manusia, namun tak dianggap sebagai manusia”. Status secara legal formal diakui, namun pada realita di lapangan tidak. Sehina itukah posisi TPB di mata sistem ini? Dari perasaan itulah aku berangkat untuk mulai mempertanyakan dimana posisiku sebenarnya, sambil berharap diakuinya kesetaraan hak TPB dengan yang lainnya. Yaps, aku merasa ada perbedaan hak dan kewajiban disini, karena realitanya memang berkata demikian. Anggapan-anggapan bahwa TPB masih bocah, TPB tidak tahu apa-apa, TPB mah belajar aja sangat sering kutemukan. Awalnya kukira mereka hanya bercanda mengatakan hal itu, tapi kok lama-kelamaan hal ini seolah-olah menjadi hal yang wajar? Dan sialnya, tak ada yang sadar, bukan?
Hearing TPB Pertama kali aku mendengar bahwa ada hearing untuk TPB, timbul rasa heran di benakku. Tumben mereka memperdulikan TPB? Ada motif apa dibalik ini semua? Kata rumor yang beredar sih, TPB itu di pemira hanya dianggap sebagai lumbung massa. Loh kenapa demikian? Alasannya yaitu karena stereotip mahasiswa TPB tidak tahu apa-apa. Sehingga dari ketidaktahuan TPB, mereka lebih mudah 13
Opini hewani
diarahkan dan dimobilisasi. Mana ada anak TPB yang berani melawan sistem ini? Namun ironisnya, besarnya tingkat partisipasi massa TPB di pemira tidak sebanding dengan feedback yang TPB dapatkan. Karena itulah, aku coba datang ke hearing K3M TPB yang dilaksanakan pada Kamis, 17 November 2016 pukul 19.30. Di hearing tersebut, aku harap semua kegelisahanku tentang posisi TPB terjawab, satu-persatu pertanyaan tentang TPB pun mulai dilontarkan. Setiap kata tentang TPB pun tak luput dari perhatianku dengan seksama. Bagi Kak Adit, TPB itu adalah sebuah potensi yang perlu dikembangkan dan diarahkan. Potensi tersebut bisa berupa karya, minat, semangat, dll. Diarahkan yang seperti apa? Aku pun tak mengerti, banyak sekali ketidakjelasan dalam pernyataan ini bagiku. Sedangkan bagi Kak Ardhi, TPB baginya adalah seperti adik yang perlu diberi contoh, sehingga hubungan antara massa himpunan dan TPB seperti kakak-adik. Suasana hearing selanjutnya makin seru saja setelah ada tanggapan yang mempertanyakan kesetaraan TPB. Kata mereka berdua, TPB itu setara. Karena di konsepsi subyeknya adalah semua mahasiswa S1, dalam artian tidak mengenal perbedaan tingkat. Namun dalam pernyataan Kak Ardhi, bukannya dengan menganggap kakak-adik justru malah membuat hubungannya tidak setara? Menteri TPB Aku sudah tidak sabar melempar pertanyaan, namun kesempatan itu pun tak kunjung datang. Padahal sejak awal aku sudah mengacungkan tangan, hey ada apa gerangan? Timbullah niat untuk mendobrak semua aturan, akhirnya aku pun menunjukkan wujud 14
Opini hewani
protes dengan mengangkat tangan secara terus menerus dengan spontan. Sang moderator menyuruhku menurunkan tangan, namun aku tak mau hingga aku diberi kesempatan. Akhirnya setelah diizinkan, kukeluarkan semua kegelisahan dan umpatan yang mengganjal. Aku protes terhadap ketidaksetaraan, aku tidak suka TPB diperlakukan seperti ini, hanya dipekerjakan layaknya buruh berupah dibawah UMR. Aku mempertanyakan keseriusan mereka berdua dalam pernyataan mereka “TPB itu setara�. Akhirnya keluarlah pertanyaan tantangan, “Apakah kalian berani mengangkat menteri dari TPB? Paling tidak untuk kementerian TPB�. Karena bagiku, kesetaraan itu harus diwujudkan dalam aksi yang nyata. Jangan sampai hanya dilidah saja. Aku pun terkejut saat mereka berdua menanggapi pertanyaanku dengan respon yang sama, yaitu bersedia asal kapabilitasnya ada. Wow! Aku terkejut, sekaligus khawatir. Apakah jawaban mereka
hanya
karena
reaksi spontan dari
pertanyaanku untuk menjaga image di depan massa TPB? Atau mereka benar-benar akan mempertimbangkan? Semoga saja yang kedua. Karena bagiku, yang penting TPB diberi kesempatan masuk ke dalam sistem, siapapun orangnya aku tak peduli. Paling tidak TPB disejajarkan hak dan kewajibannya. Tak berhenti sampai disitu, malam itu diakhiri dengan kesepakatan tantangan jumlah massa yang disanggupi
kedua
calon
dalam
hearing
sunken.
Kak
Adit
menyanggupi satu unit satu perwakilan ditambah 30 massa TPB, sedangkan Kak Ardhi menyanggupi 100 massa. Kupegang janji kalian ya, Kak!
15
Opini hewani
Malam itu jadi malam pembuktian bahwa TPB sebenarnya ada, dan berhak untuk bersuara. Bagi teman-teman TPB lainnya, jangan takut untuk mencoba. Hal yang salah harus dikatakan, hal yang benar harus tetap dikawal. Kalau kita ingin diakui ada, maka tunjukkanlah keberadaan kita. Gerbang kesetaraan sudah terbuka lebar, tinggal bagaimana kita sekarang mengisinya. Era kita baru saja dimulai, kawan. Salam Pembebasan.
16
Opini hewani
Sebuah Pesan Omong Kosong Pencari Kebenaran Teruntuk Adik-Adik OSIS/MPK di Semarang
“Halo, salam kenal�, mungkin basa-basi itulah yang kan kukatakan pertama kali pada kalian. Sebuah perkenalan bagiku adalah hal yang amat berharga, karena dengan itulah manusia dapat diakui eksistensinya. Tak usahlah naif, semua manusia butuh pengakuan dari orang lain, tak terkecuali diriku. Sebelumnya, aku minta maaf belum pernah menengok kalian. Sebagai gantinya, tulisan ini kusajikan dengan penuh kerinduan. Ketahuilah dik, aku rindu saat ada di posisimu. Memori itu begitu seru tuk diingat sampai-sampai diriku lupa bahwa hal itu hanya terjadi sekali seumur hidup. Dan bodohnya, diriku ingin kembali ke masa lalu memperbaiki kesalahan yang menghantuiku dan dosa yang pernah menyiksaku. Sialnya, itu mustahil bukan? Tak perlulah kalian mengenalku sekarang, anggap saja aku ini orang asing yang ingin bersembunyi layaknya pengecut ulung, yang sok-sokan ingin memberi petuah omong kosong. Hari ini kalian dilantik ya? Sekarang kuingin kalian merenungkan ini di benak kalian 17
Opini hewani
masing-masing. Bagi kalian, apa sih arti penting sebuah pelantikan? Memangnya pelantikan ini penting buat kalian? Kalau iya, buat apa? Apakah hanya untuk seremonial belaka? Apakah hanya untuk gengsi pertanda punya atribut semata? Kalau tidak itu, lantas apa? Pasti kalian bingung ya, kenapa sih kuminta kalian merenungkan hal itu? Buya Hamka pernah berkata yang bunyinya, “Kalau hidup sekadar hidup, babi hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja”. Kalau pelantikan artinya sekadar penyerahan estafet kepemimpinan, lalu untuk apa? Begitu sia-sia hidup manusia kalau semua hal yang ia lakukan tanpa proses perenungan esensi, makna, dan tujuan. Tiba-tiba aku jadi teringat akan suatu perkataan dari Rene Descartes yang berbunyi, “Cogito ergo sum”, atau yang bisa diterjemahkan menjadi “Aku berpikir maka aku ada”. Kalian ini ‘ada’ kan? Bisa bepikir kan? Sadar kalau kalian hidup kan? Jangan sampai aku meragukannya, ya. Pertanyaan selanjutnya yaitu, “Setelah dilantik, kalian mau apa?” Bagiku, tak penting sebenarnya jawaban kalian apa, tapi yang kuminta disini adalah proses perenungannya. Karena menurutku, proses perenungan adalah suatu jalan bagi manusia tuk mencari kebenaran. Kebenaran bagi siapa? Bagi diri kalian sendiri, dik. Karena kebenaran itu bukanlah hal yang absolut, maka definisikanlah kebenaran kalian sendiri. Terlebih lagi, akuilah kebenaran kalian memang seperti itu, dan jalanilah yang menurut kalian benar. Jangan jadi manusia yang bergerak atas dasar kebenaran orang lain. Kujamin kalian akan menyesal. Tak masalah kalian punya jawaban yang egois, 18
Opini hewani
oportunis, maupun idealis . Kalau menurut kalian hal itu benar, ya akuilah hal itu. Toh sifat manusia juga berbeda-beda, jangan sampai hidup kalian terbelenggu dalam delusi dunia fana, dik. Bebaskanlah pikiranmu, tataplah masa depanmu. Sudah saatnya kalian membuka topeng kepalsuan mentalmu, carilah jati dirimu bersama OSIS/MPK ini, kalian sudah bukan anak kecil lagi. Dan ketahuilah, dunia ini luas lho, banyak hal tak terduga yang pastinya akan kalian hadapi. Aku tak ingin saat ku menemui kalian, kalian masih terkungkung dalam ilusi ketidakpastian. Mungkin pesan dariku kan kucukupkan, salam.
19
Opini hewani
Aku dan Waktu
Dalam keintiman malam, sejenak ku berpikir mengenai hakikat kehidupan. Ya, kehidupan yang manusia alami tak akan pernah lepas oleh dua entitas yang hakiki, yaitu ruang yang mengisi jagat raya ini, dan waktu yang terus bergulir tanpa henti. Keduanya berakulturasi sedemikian rupa membentuk sintesa perpaduan wujud dunia secara harmoni sekaligus kacau dalam kalkulasi entropi. Apakah dunia ini abadi? Entah, mungkin nalar manusia sekarang belum bisa menjangkau seluk-beluk misteri ilahi. Namun yang pasti, manusia akan mati. Kematian manusia adalah hal yang nyata, berbeda dengan kehidupan dunia yang sifatnya maya. Kehidupan ini dipenuhi oleh bayang-bayang semu akan suatu ketidakpastian waktu. Sekarang pertanyaannya, siapakah waktu itu? 20
Opini hewani
Bagiku, waktu adalah sebuah ironi dari realitas yang tak bisa kita pahami, karena wujudnya begitu banal namun pengaruhnya sangat vital. Ia terus berjalan ke depan melahap semua yang ada dihadapannya tanpa pandang bulu, sekaligus merekam semua jejak yang ada di belakang sejak dari hulu. Banyak anggapan yang mengatakan bahwa waktu berjalan secara linear, karena ada pembabakan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Adapula yang mengatakan waktu itu sirkular karena kejadian di dunia ini akan terus berulang. Entah yang mana yang benar, aku tak peduli. Bagiku keduanya benar sekaligus salah. Waktu ya waktu, itu sudah cukup. Berusaha memahami sang waktu rasanya kurang lengkap bila tidak bercermin pada kehidupan sang pelaku, yaitu aku. Memahami aku pun akan sulit tanpa adanya kesadaran tentang waktu yang berjalan bersamaan dengan aku yang penasaran. Waktu berjalan, aku penasaran, lalu ada apa gerangan? Penasaran menjadi kata kunci disini, karena dengan penasaranlah, aku merangkul waktu. Dalam rangkulan itu, aku menjadi tahu bahwa aku punya waktu, dan waktu punya aku. Waktu
punya
aku,
mencoba
memahami
kalimat
ini
membawaku berfantasi ria mengarungi relung memori. Rasanya seperti merenungi apa yang sudah terjadi, mengingat-ingat apa yang telah kulalui, dan akhirnya hanya rasa sesal yang tersisa dalam diri. Andai saja dulu aku begini, bagaimana bila aku ambil jalan ini, dan pikiran semacamnya serentak terbayang dalam otakku. Aku malu 21
Opini hewani
akan
masa
laluku.
Aku
malu
karena
ketidakmampuanku
memanfaatkan sang waktu. Betapa banyak kesempatan yang telah kulewatkan hanya karena ego pribadi yang memakan kesadaran. Aku menyesal. Kata sial menjadi simbol penyesalan, yang setiap hari kuucapkan tanpa beban. Memang benar, menyesali tak akan merubah yang terjadi. Tapi paling tidak, mengucapkan hal itu akan sedikit meringankan rasa sesal, walaupun tak bisa mengobati sepenuhnya. Terlebih lagi, bila kita dapat memaknai sekaligus refleksi diri, apa yang telah terjadi akan menjadi sebuah ingatan yang layak kita terima. Hingga akhirnya, kita bisa berdamai dengan masa lalu. Aku punya waktu menjadi simbol suatu harapan akan masa depan, sekaligus ketakutan akan ketidakpastian. Membayangkan masa depan membuatku takut untuk melangkah. Aku tak ingin apa yang kulakukan sekarang kusesali di masa depan. Aku tak ingin mengulang kesalahan. Pikiran-pikiran semacam itulah yang terus membuatku terhenti di masa ini. Dan bodohnya, hal ini pasti kusesali juga karena menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berpikir. Namun bukankah setiap jalan yang kita pilih akan selalu terlahir penyesalan? Dan apakah setiap penyesalan yang terlahir harus kita takutkan? Ternyata kehidupan ini memang berjalan dengan aturan yang baru saja aku pahami. Waktu ada sebagai media manusia berkreasi. Dari situlah timbul pengalaman, kenangan, dan harapan. Menyesali apa yang terjadi memang perlu, namun yang terpenting bukanlah disitu. Menyesal lalu berhenti tak akan membawa kita kemana-mana 22
Opini hewani
kecuali penyesalan yang lain, lebih baik bila penyesalan itu dimaknai untuk memperbaiki diri. Terimakasih waktu, kau sudah mengajarkan hal itu. Bila waktuku telah tiba, dapatkah kita bersatu padu wahai sang waktu?
Aku punya waktu, Waktu punya aku, Aku.......waktu
23
Opini hewani
Minggu, 13 November 2016 Seharian ini aku memikirkan banyak hal, pertarungan pikiran dan perasaan pun tak dapat terelakkan. Batinku meronta-ronta meminta kepastian, namun jasmaniku tak kunjung menjawab pertanyaan. Aku lelah dengan semua sandiwara ini. Aku muak pada diriku sendiri, pada akhirnya semua ini tak berarti. Sebanyak apapun ku mencari, aku tetap sendiri. Semakin banyak ku berbagi, tak ada yang menanggapi. Tak usahlah memungkiri, toh kehidupan di dunia juga akan baik-baik saja tanpaku, bukan? Bahkan mungkin bisa lebih baik? Entah, aku tak mengerti. Memangnya siapa aku sih di dunia ini? Tak bermanfaat sama sekali, dan pada akhirnya, hidup adalah sebuah ironi.
24
Opini hewani
Menyoal Pendidikan, Pengalaman dan Budaya Anti Intelektual : Sebuah Opini Pendidikan merupakan salah satu topik yang selalu saja hangat dibahas dalam kehidupan. Betapa tidak, topik semacam ini dapat digunakan untuk obrolan sehari-hari oleh semua kalangan. Apalagi di era kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, semua orang bisa dengan mudah beropini dan mengomentari
apa
yang
terjadi.
Topik
pendidikan pun tak luput dari perhatian masyarakat untuk diserang. Fakta di lapangan, banyak orang masih mengeluhkan tentang sistem
pendidikan
nasional.
jatuh
isu
perhatian
pada
Beberapa pemerataan,
anggaran, liberalisasi pendidikan, kualitas pengajar, tingkat partisipasi & buta huruf, dan kawan-kawan.
Setidaknya
beberapa
permasalahan tersebut menandakan adanya proses dialektis antara realita dan ekspektasi masyarakat,
dan
kabar
baiknya
juga
masyarakat kita masih punya kepedulian untuk menanggapi permasalahan pendidikan di negara ini. Eh tapi, sepengamatan saya kok isu pendidikan hanya berputar di itu-itu saja sejak dulu ya? Ada yang aneh. 25
Opini hewani
Oh iya kelupaan, daritadi kita sudah membicarakan tentang permasalahan
pendidikan
Indonesia
namun
belum
mendefinisikannya. Mengutip dari KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Panjang amat yah hehe, mungkin bila diringkas bisa menjadi proses tranformasi karakter menjadi dewasa. Dari definisi tersebut, sekarang pertanyaannya adalah sesempit itukah ruang lingkup pendidikan? Jujur saya kurang setuju dengan definisi tersebut, mengapa? Karena bagi saya pendidikan tidak hanya soal itu saja dan saya juga kurang suka dengan kata ‘pengubahan’. Bila pendidikan dimaknai dengan verba pertama yang melekat padanya adalah mengubah, maka orang yang menjalani proses pendidikan akan kehilangan dirinya sendiri. Ia hanya akan diubah oleh sistem pendidikan menjadi dewasa, namun versi siapa? Bukankah dengan begitu ia akan kehilangan eksistensinya sebagai entitas yang merdeka? Saya lebih suka menggunakan definisi pendidikan dari John Dewey. Dalam bukunya Experience and Education, ia mendefinisikan �Education is development from within and that it is formation from without�. Saya tertarik dengan pengertian ini karena pendidikan dimaknai dari dua sisi, dari luar dan dalam diri. Terlebih lagi, yang saya garis bawahi pada pengertian ini adalah pengembangan dari dalam diri. Hal ini penting karena dengan itu, orang yang menjalani proses pendidikan tak akan kehilangan dirinya sendiri. Ia akan mengetahui potensi dan kelemahannya, dengan itu pula, ia akan mampu berkembang sesuai apa yang ia minati, dan yang paling penting ia akan menjadi dirinya 26
Opini hewani
sendiri. Mengenal diri sendiri itu penting karena apabila mengutip kata-kata Lao Tzu dalam kitabnya Dao De Jing, ia mengatakan “Dapat mengenal diri orang lain itu pandai, namun mampu mengenal diri sendiri itu pencerahan batin�. Kita sering mendengar pepatah yang mengatakan bahwa “pengalaman adalah guru terbaik�. Dalam bukunya, John Dewey juga menjelaskan keterkaitan antara pengalaman dan pendidikan dengan analogi yang cukup menarik. Pada suatu peristiwa yang dialami oleh beberapa orang, pengalaman yang ditangkap oleh masing-masing individu bisa saja berbeda sesuai sudut pandang masing-masing orang, ia bersifat dinamis dan tidak statis. Ia seperti air yang mengalir dalam sungai namun tetap berada pada aliran sungai tersebut. Begitu pula dengan pemaknaan pendidikan yang seharusnya. Pendidikan setiap individu merupakan proses yang unik, karena masing-masing orang menjalani pengalaman yang berbeda. Bahkan bilapun dengan materi/konten yang sama, penangkapan ilmu dan interpretasi masingmasing individu bisa berbeda-beda pula. Hal itu tidak masalah bagi John Dewey karena dari situlah, akan tercipta suatu interaksi antar individu secara kontinu sehingga ilmu pengetahuan akan terus berkembang. Menurut saya hal itulah yang telah hilang dari sistem pendidikan kita selama ini. Kita terus-terusan disuguhi materi oleh guru kita, tanpa adanya proses dialektis antara ilmu itu dengan diri kita sendiri. Kita diposisikan sebagai objek, bukan subjek. Alih-alih jadi menguasai ilmu itu, justru kita sendiri yang dikuasai dan diperbudak 27
Opini hewani
oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Selain itu, paradigma masyarakat tentang pendidikan sudah direduksi sedemikian rupa sehingga pendidikan dimaknai dalam arti yang sesempit itu. Padahal cakupan pendidikan sangat luas sekali, dan itu menjadi sebuah bagian yang tak pernah bisa dipisahkan dari hidup itu sendiri. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus, akan berujung pada dehumanisasi masyarakat secara masif dan kita menjadi budak pendidikan yang kehilangan sisi manusianya manusia.
Budaya Anti Intelektual Mengutip esai Zen RS yang berjudul Bahaya Laten Anti Intelektualisme, anti intelektualisme didefinisikan sebagai pandangan, sikap, dan tindakan yang merendahkan ide-ide, pemikiran, kajian, telaah, diskusi, hingga debat. Singkatnya adalah mencurigai teori dan dunia ide. Istilah anti intelektual baru pertama kali saya dengar ketika mengikuti diskusi “Politik dan Maraknya Anti Intelektualisme� di Coop Space, Universitas Parahyangan, Bandung pada 2 September 2016. Dalam diskusi tersebut, Zen RS mengungkapkan “kita sekarang hidup di lingkungan anti intelektualisme, dan ini menjadi alasan yang sangat kuat untuk waspada agar kita tak terjerumus kedalamnya�. Disini saya menggunakan terminologi yang sedikit berbeda dengan tambahan kata budaya. Karena bagi saya, tindakan anti intelektual sudah sangat mengakar di masyarakat kita, sudah membudaya, dan sialnya hal ini tak kentara sehingga diam-diam merusak sendi-sendi kesatuan bangsa. 28
Opini hewani
Praktik-praktik penerapan budaya anti intelektual ternyata sudah makin sulit diidentifikasi karena sudah menyatu di kehidupan kita sehari-hari. Batas-batas pembedanya pun makin abu-abu ketika kita hidup di era post truth dan polusi informasi seperti sekarang ini, semuanya sudah dianggap hal yang wajar. Beberapa contoh yang menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah terdogmakan dengan budaya ini adalah fenomena kritik harus disertai solusi. Sebenarnya itu kata siapa sih? Masyarakat kita sekarang ini sudah termakan dengan pola pikir seperti itu, padahal bila kita menelaah dan memikirkannya dengan sudut pandang holistik, justru dengan adanya dogma tersebut, kebebasan berpendapat kita justru dibatasi oleh solusi. Saya memang sepakat bahwa setiap permasalahan harus dicari solusinya, tetapi apakah solusi tersebut harus dibebankan kepada orang yang mengkritik? Belum tentu. Hal itu secara tidak langsung malah membuat orang yang mau mengkritik terbebani, dan akhirnya kritiknya tidak tersampaikan. Alhasil, permasalahan yang ada tidak bisa diidentifikasi karena keengganan untuk menyampaikan kritik atas suatu permasalahan. Sepengamatan saya, budaya anti intelektual juga telah merambah ke ranah pendidikan. Banyak sekali contoh yang mengindikasikan hal tersebut, salah satunya adalah pragmatisme mencari
nilai.
Hal ini
tak dapat dipungkiri
ketika
banyak
siswa/mahasiswa sekarang belajar di institusi pendidikan dengan tujuan lulus dengan baik dan mendapatkan nilai yang tinggi. Menurut saya hal itu tidak salah, hanya saja kurang tepat karena ada lompatan logika
disana.
Nilai
diciptakan 29
kan
untuk
mengukur
dan
Opini hewani
mengkuantisasi pemahaman individu terhadap suatu materi. Dari hakikat perumusan metode nilai saja sudah sangat jelas bahwa nilai tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga orang yang paham dengan materi akan mendapatkan nilai yang tinggi. Sederhananya adalah bila paham, maka nilainya akan baik. Bila menggunakan logika matematika, bisa diibaratkan pemahaman sebagai A, dan nilai baik sebagai B. Bila A maka B, apakah bila B tercapai mengindikasikan bahwa A tercapai? Belum tentu kan? Selain itu, fenomena lain yang menunjukkan adanya budaya anti intelektual di lingkungan institusi pendidikan kita adalah ketidakjujuran dalam praktikum. Hal ini saya alami betul dari SMA hingga sekarang, dan menurut saya ada kejanggalan yang dapat berakibat fatal bila hal ini terus-menerus dilakukan. Saya rasa, siswa/mahasiswa sekarang saat melakukan praktikum/eksperimen tidak jujur pada fakta dan data yang mereka amati sendiri. Mereka biasanya sebelum melakukan praktikum sudah mengetahui hasil yang seharusnya seperti apa, dan saat menjalankan praktikum data yang ada mereka manipulasi sedemikian hingga mendekati keadaan idealnya. Padahal, tujuan dari praktikum adalah mempelajari metode penemupenemu terdahulu sehingga dapat menciptakan rumus tertentu. Tentu bila kita tarik ini, dan coba kita bayangkan bila daridulu ilmuwan menggunakan logika seperti ini, pasti ilmu pengetahuan tidak akan berkembang sama sekali. Bila JJ Thomson menggunakan logika seperti ini, sudah pasti teori atom Dalton akan kita pakai sampai sekarang. Bahkan bila kita tarik ke sebelumnya, kita pasti hanya akan memahami atom sesuai pemahaman dari filsuf Yunani Demokritus. 30
Opini hewani
Ilmu
pengetahuan
yang
kita
pelajari
sekarang
ini
menggunakan kaidah-kaidah yang tidak boleh dilanggar, salah satunya adalah empiris dan obyektif. Seorang scientist harus melaporkan pengamatan eksperimen apa adanya, karena ilmu pengetahuan yang kita rancang hingga sekarang bertujuan agar kita sebagai manusia lebih bisa memahami cara kerja dunia ini. Bila kita sudah membatasi diri kita dengan dinding persepsi, tentu hasil yang kita peroleh untuk menjelaskan dunia ini tidak akan valid. Selain itu, dalam perkembangan ilmu pengetahuan, setahu saya teori-teori yang ada sebelumnya selalu dibantah dan disempurnakan dengan teori baru,
oleh karena itu salah satu sifat ilmu adalah dapat dijustifikasi
serta difalsifikasi. Terkadang kita yang dididik di lingkungan akademisi terus mencari pembenaran dari teori yang sudah ada hingga lupa bahwa ilmu dapat dibantah juga, dan justru karena itu ilmu pengetahuan akan berkembang.
31
Opini hewani
Penyesalan itu Menyebalkan
Aku benci dengan penyesalan. Bagiku ia seperti tamu tak diundang, datang tiba-tiba membawa kabar penuh kekecewaan. Semua angan-angan kandas begitu saja saat keberadaanya ia tampakkan. Hilanglah sudah harapan penuh kepercayaan, sekarang hanya tersisa keputusasaan dalam lautan ketiadaan. Yang mulanya ada, sekarang jadi hilang. Awalnya bahagia, namun akhirnya nelangsa. Sialan itu orang! Seenaknya saja meruntuhkan semangat yang berkobar. Sebenarnya apa sih maunya? Hey penyesalan, tahukah kau bahwa kelakuanmu merugikan banyak orang? Ah, percuma saja ku bicara padamu. Hatimu sudah membeku
di suhu nol absolut. Perasaanmu telah membatu dan
bagimu ku hanya segelintir debu. Mengapa kau datang sambil menusukku dengan problematika masa lalu? Padahal memori-memori kelam itu sudah ingin kuhapus dari kesadaranku, namun kenapa kau dengan teganya menghukum diriku atas kesalahan tempo dulu? Tak bisakah hidupku tenang sebentar saja?
32
Opini hewani
Kenangan
Kenangan, satu kata yang sarat akan makna. Mengingatnya saja bisa membuat kita ada pada dimensi yang berbeda. Iya, bahkan itulah yang membuat hidup kita berharga. Namun seberapa bernilai kah sebuah kenangan? Hal itu tergantung dengan siapa kenangan itu kita rasakan, serta percakapan apa yang diobrolkan. Pun tak lupa, kejadian yang berkesan. Ah, tapi kenapa sebuah kenangan baru kita sadari berharga saat hal itu sudah tak ada dalam genggaman kita? Sebuah ironi memang, menyedihkan. Kenangan setiap orang pasti berbeda-beda dan masing-masing punya ciri khasnya. Kenanganku tak mungkin sama denganmu, namun mungkin ada irisan yang menjadi pemersatu. Entah karena kejadian, masalah, ataupun keterlibatan yang sama, irisan tersebut dapat tercipta sehingga ada istilah kenangan bersama. Bersama siapa? Nah disitulah poin pentingnya. Bagiku, hidup ini tak akan berarti apaapa tanpa kenangan, dan kenangan yang telah kulewati takkan bermakna tanpa kehadiran kalian, kawan. Betul, hidupku kala itu menjadi berharga karena kulalui bersama kalian. Dan sialnya, baru 33
Opini hewani
sekarang aku sadar bahwa betapa mahalnya harga sebuah pertemanan, eh bahkan pertemuan sekalipun. Dulu, aku menganggap sebuah pertemuan tak lain halnya seperti rutinitas yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang, tak ada yang spesial. Bertemu dengan orang baru aku anggap hal yang wajar, bahkan melupakan orang yang dulu pernah kukenal pun aku anggap demikian. “People come and go�, ungkapan seperti itu mungkin jadi pembenaranku selama ini bahwa normal-normal saja melupakan yang sudah berlalu. Namun ternyata aku lupa satu hal, melupakan tak sesederhana itu. Karena saat melupakan, pasti ada yang dilupakan, dan dilupakan itu menyakitkan. Tentu semua orang tak ingin dilupakan, buktinya saja manusia menciptakan kuburan. Bahkan setelah mati pun, manusia ingin terus dikenang walaupun hanya lewat batu nisan. Apalagi yang masih hidup di dunia, bukan?
34
Opini hewani
Refleksi akhir tahun 2016, Integral Kehidupan
Di awal tahun, seketika terlintas suatu pemikiran yang lewat begitu saja. Apalah artinya satu tahun yang telah berlalu? Ucap bagian diriku yang dungu. Tak ada artinya bukan? Lihatlah manusia-manusia di sekelilingmu! Mereka melewati pusaran waktu dengan santainya. Lalu ketika penghujung tahun tiba, mereka merayakannya sebagai selebrasi atas usainya satu siklus ini. Mereka beramai-ramai menggunakan momen tahun baru untuk berefleksi dan menciptakan resolusi. Hingga kemudian datanglah tahun baru berikutnya dan mereka mengulangi kesalahan yang sama, terus saja begitu hingga akhirnya ajal mereka tiba. Bukankah kehidupan ini adalah kumpulan serpihan ketidakberartian yang berserakan? Begitu membayangkan hal ini, sontak aku langsung teringat pada suatu konsep kalkulus, yaitu limit dan integral. Mungkin terdengar sedikit aneh bagi kalian, namun begitulah yang kurasakan. Apa hubungannya kalkulus dengan kehidupan? Oke, mari kucoba sedikit jelaskan. Selama ini aku terlalu pesimis mengenai arti kehidupan, sampai akhirnya ku sampai pada suatu kesimpulan, kehidupanku akan berarti bila aku dapat memberi arti pada kehidupanku sendiri. Sejauh ku mencari arti ini, selalu saja terhambat suatu batasan yang tak dapat kuraba. Setelah aku memahami konsep limit dan integral, sepertinya hambatan ini mulai sedikit pudar.
35
Opini hewani
Ternyata, hambatan yang kutemui selama ini adalah tentang sudut pandang. Aku memandang hidup ini sebagai satu hal, kehidupan itu sendiri. Aku terlalu berkutat dengan sudut pandang makroskopis, hingga lupa ada pula hal mikroskopis yang tak kalah penting. Hal mikroskopis itu adalah bagian/partisi kehidupan. Keseluruhan kehidupanku merupakan jumlah dari setiap partisi kehidupanku yang lebih kecil. Seberapa kecil? Mendekati nol, dan jumlah partisi ini tak berhingga. Sama dengan integral bukan? Partisi, aproksimasi, lalu integrasi. Ketiga kunci yang aku camkan dalam memahami integral, ternyata bisa juga kuterapkan pada kehidupan. Integral kehidupan. Begitu juga dengan waktu, selama ini aku memandang waktu yang telah berlalu tak berarti sama sekali karena aku tak bisa memberi arti pada partisi waktu terkecilku. Hal itulah yang membuat aku lalai sebagai manusia. Kenapa satu tahun tak ada artinya? Karena aku tak memaknai satu tahun ini sebagai jumlah dari 12 bulan yang aku lalui. Kenapa satu bulanku tak berarti? Karena hariku tak kunikmati. Begitu seterusnya hingga ke bagian waktu terkecilku yang tak dapat kumaknai. Pantas saja selama ini pemaknaan waktuku selalu nihil, dasar bodoh! Hidup adalah kumpulan partisi, yang harus diselesaikan dengan aproksimasi, dan dimaknai dengan integrasi.
36
Opini hewani
37
Opini hewani
Setitik Harapan dari Semarang
Kata ayah saya, hal menarik dari Kota Semarang adalah kerukunan antar etnis dan agama masyarakatnya. Ketiga etnis Tionghoa, Arab Khoja, dan Pribumi Jawa dapat hidup berdampingan secara harmonis sejak zaman dulu. Bahkan, interaksi budaya ketiganya dapat bersatu dalam tradisi dugderan dan warag ngendhog yang diadakan untuk menyambut bulan puasa bagi umat muslim. Sebuah perpaduan yang sederhana namun istimewa bagi saya. Siang tadi, Semarang kembali menjadi saksi bisu bagaimana seharusnya kerukunan dimaknai oleh bangsa ini. Di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, sebuah acara "Doa Lintas Agama Solidaritas untuk Kendengâ€? oleh Romo Budi, Gus Nuril, dan Gus Ubaidillah seakan menjadi sebuah tamparan dan setitik harapan, bagi sakitnya Indonesia akan kerukunan. Acara seperti ini patut mendapatkan apresiasi tertinggi. Apalagi di tengah maraknya ujaran benci yang semakin liar, wacana perpecahan yang makin menyebar, mereka dapat melakukan hal kecil yang nyata dan konkrit. Tidak seperti generasiku yang hanya berani di ranah wacana. Doa lintas agama, bahkan dalam berdoa pun kita tak harus sama. Cepat sembuh ya Indonesia, salam hangat dari Semarang tercinta ď Š
38
Opini hewani
39
Opini hewani
Sebuah imaji kampus “ideal”
Perkenalkan, aku adalah seorang mahasiswa baru dari salah satu kampus idaman di Indonesia. Katanya sih, kampus ini merupakan Institut Terbaik Bangsa. Namun bodohnya, dulu aku percaya. Sampai suatu saat aku menyadari bahwa kata-kata itu tak lebih dari sebuah klaim semata. Kalaupun benar, memangnya kenapa? Sampai kapan mau terus-menerus jadi pengecut yang sembunyi di balik nama besar kampus kita? Ada sebuah kutipan kata-kata dari Pak Wiranto Arismunandar yang menarik bagiku yang berbunyi “Kampus adalah tempat untuk bertanya dan harus ada jawabnya”. Ini benar-benar membangkitkan gairah rasa penasaranku mengenai banyak hal, dan salah satu pertanyaan yang masih belum kutemukan jawabnya adalah “sudah idealkah kampusku?” Pertanyaan remeh yang mungkin pernah lewat di benak kalian
juga,
namun hanya
segelintir orang yang
memikirkannya. Padahal, bila pertanyaan ini dimaknai secara mendalam, akan banyak hasil kontemplasi yang bisa digali. Dan bukan tidak mungkin, dari pertanyaan remeh tersebut dapat tercipta perubahan yang besar. Mengutip dari kbbi, definisi ideal adalah sangat sesuai dengan yang dicita-citakan. Bila dihubungkan dengan kampus, maka makna kampus ideal adalah kampus yang sangat sesuai dengan yang dicitacitakan. Dari sini muncul pertanyaan baru, cita-cita siapa? Apakah citacita rektorat? Atau harapan fana mahasiswa? Apakah cita-cita para 40
Opini hewani
aktivis? Atau keinginan semata kaum borjuis? Apakah impian para orang tua wali? Atau permintaan kualitas lulusan dari industri? Kali ini aku akan membatasi pembahasan hanya dari sudut pandang pribadi, jadi mungkin akan sedikit banyak sisi subjektif yang akan menghiasi. Eh tapi tunggu sebentar, bahkan diriku pun belum punya bayangan kampus seperti apa yang ideal. Kalau ku berpikir secara realistis, maka jawaban yang dapat kusimpulkan sampai saat ini adalah nihil. Tidak ada kampus yang ideal. Karena makna kata ideal sendiri sangat rancu, dan kondisi dari setiap kampus berbeda-beda. Pengalamanku juga masih belum cukup untuk sebuah kesimpulan, jadi maaf untuk saat ini, spekulasi realistis yang dapat kuajukan masih nihil. Memangnya buat apa sih kita mencari ke idealan? Padahal ke idealan sendiri terus berubah seiring waktu berjalan dan kondisi sosial. Lalu apakah ada makna kampus ideal yang absolut? Bila dianalogikan menggunakan matematika, keidealan ini seperti fungsi yang hendak kita cari namun variabelnya begitu kompleks. Kita tidak bisa hanya berpikir secara linear mengenai hal ini, butuh suatu semacam diferensial khusus untuk menemukannya. Menurutku akan lebih baik bila kita tidak mematok definisi dari “ideal� itu sendiri, melainkan kita terus berusaha mencari yang lebih baik dari kondisi yang sekarang. Bila kita terjebak dalam dikotomi ideal-dan tidak ideal, maka bila kita sudah merasa bahwa kampus kita ideal, kita akan berhenti berkembang dan puas dengan keadaan saat itu. Padahal hal yang perlu diingat adalah keadaan terus berkembang seiring waktu, dan hal itu tak bisa dihindari. 41
Opini hewani
Namun, bila kuberpikir secara utopis kampus ideal adalah kampus yang berisi orang-orang yang haus akan rasa penasaran. Penasaran akan semua hal. Dari rasa penasaran itulah proses pembelajaran secara akademik serta nonakademik dilaksanakan. Jadi hanya mahasiswa yang penasaranlah yang masuk kelas. Bukan manusia tanpa gairah yang ikut-ikutan temannya. Begitupun juga dalam bidang nonakademik. Rasa penasaran ini amat penting karena bagiku, orang belajar tanpa rasa penasaran itu bagaikan orang yang raganya hidup, tapi jiwanya mati. Untuk apa belajar kalau tidak ingin? Buat apa melakukan sesuatu tanpa hasrat melakukannya? Bukankah hanya kehampaan yang dirasa? Selanjutnya, bagiku sebuah kampus layak dikatakan ideal apabila dapat menjadi rumah kedua bagi penghuninya, yang dapat memberikan kenyamanan “bagaikan di rumah sendiri�. Proses pembelajaran harus dinikmati tanpa ada tekanan apapun agar esensi utamanya dapat diserap. Yang terakhir dan yang terpenting, bagiku kampus ideal adalah kampus yang berisi wahana bagi mahasiswanya. Wahana untuk mengembangkan diri tanpa ada birokrasi yang berbelit-belit. Sebenarnya masih banyak angan-angan fana mengenai kampus ideal versiku, namun sepertinya hal itu tak masuk akal, dan aku lebih suka dengan hal yang realistis. Jadi akan lebih baik bila kuakhirkan. Sekian
42
Opini hewani
[LIVE REPORT] Senin (9/1), di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Gerakan Mahasiswa Pembela Kendeng (GMPK) melakukan aksi gabungan dengan massa yang terdiri dari beberapa universitas di Semarang. Dalam aksi ini, mahasiswa Semarang menuntut Gubernur Provinsi Jawa Tengah agar melaksanakan putusan Mahkamah Agung, dan mencabut izin lingkungan terkait dengan pembangunan Pabrik Semen Indonesia. Selain itu, aksi ini juga diwarnai dengan gerakan membangun tenda sebagai wujud solidaritas dukungan kepada ibu kendeng dan para petani. Mahasiswa Semarang mengancam akan melakukan aksi dengan massa yang lebih besar apabila Gubernur Jawa Tengah tidak segera mencabut Surat Keputusan Izin Pendirian Pabrik Semen Indonesia.
43
Opini hewani
Apakah ITB Baik-Baik Saja?
ITB merupakan salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia. Katanya sih, kampus ini merupakan Institut Terbaik Bangsa. Namun, sampai sekarang masih banyak masalah di ITB yang belum terselesaikan. Loh, memangnya ada apa dengan ITB sih? Sebagian mahasiswa mungkin menjawab “ga ada apa-apa kok” atau “kayaknya biasa aja deh”. Nah, justru masalah utamanya ada disitu! Sangat
sedikit
mahasiswa
yang
peka
dan
peduli
terhadap
lingkungannya. Perilaku apatis seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah dan egoisme individu lama-kelamaan makin parah. Nyatanya, setiap ada acara terpusat peminatnya sangat sedikit, bahkan hanya ituitu saja yang datang. Eh tapi tunggu sebentar, jangan-jangan memang acara di ITB yang kurang menarik? Salah satu responden wawancara kami mengungkapkan bahwa masalah utama kemahasiswaan di ITB terletak pada Kabinet KM ITB itu sendiri. Proker KM hanya terasa bagi sebagian golongan, tidak bisa mengakomodasi kepentingan golongan lain. Kata beliau, “Kegiatan KM jadi sepi itu ya karena memang nggak terlalu penting buat sebagian golongan”. Hal ini disebabkan oleh metode pengambilan kebijakan Kabinet KM ITB yang arahnya top down. Kalaupun bottom up, hanya sedikit aspirasi yang kabinet wakili. Bahkan responden kami menanyakan pada Kabinet KM, “Apakah Kabinet KM ITB sudah melakukan
studi
analisa
kebutuhan
mahasiswa
S1
secara
menyeluruh?” Selain masalah itu, ada juga yang berpendapat bahwa Kabinet KM ITB itu tidak konsisten, bukan hanya dalam pergantian 44
Opini hewani
kepengurusan antar periode, bahkan ketidakkonsistenan itu dalam satu kepengurusan. Salah satu contohnya adalah masalah parkir. Dulu Kabinet KM ITB sangat vokal menyuarakan protesnya kepada rektorat dengan embel-embel “tidak sekadar melihat nominal harga, tapi masalah transparansi pengambilan kebijakan�. Tapi sekarang mana kelanjutannya? Kalau seperti ini, kesannya seperti Kabinet KM ITB hanya menuntut penurunan harga saja bukan? Padahal seharusnya kan tidak seperti itu. Permasalahan lainnya adalah pada mahasiswanya. Kami mengutip tulisan dari bang Timmy di askfm dengan tautan berikut http://ask.fm/timmynapi/answers/129429116701.
Tuturnya,
kemampuan mahasiswa ITB menginterpretasikan kata-kata itu jauh dibawah kemampuan mengartikan gambar dan bentuk. Inilah mengapa kalau ada kritikan tertulis kepada anak ITB, biasanya nggak akan masuk kepala mereka. Permasalahan selanjutnya adalah kemampuan mahasiswa ITB mencitrakan ide dalam bentuk tulisan rendah, makanya jarang menang PKM. Lalu, anak ITB biasanya jarang menggali landasan historis dan mempertanyakan esensi sebenarnya dari suatu kegiatan yang sudah berjalan turun-temurun. Selain itu, anak ITB biasanya mudah ngejudge orang, kebiasaan labelling ini diperparah dengan memandang sebelah mata beberapa golongan lain. Selain itu ada masalah apa lagi sih? Dari tadi kan kita sudah membahas mengenai kemahasiswaannya, kali ini kami akan mengulik tentang kebijakan rektoratnya. Banyak yang mengatakan bahwa beberapa tahun belakangan ini, rektorat makin mengekang kebebasan 45
Opini hewani
mahasiswa. Hal ini dimulai dari penutupan gerbang belakang, dilanjutkan dengan pemberlakuan jam malam, lalu perizinan mading, pembatasan waktu osjur, dan yang terakhir kebijakan tarif parkir. Suka atau tidak suka, inilah fakta yang terjadi. Efeknya pun sangat kompleks, sekarang makin sedikit kegiatan di ITB pada malam hari, padahal dulu ITB terkenal dengan kampus yang tidak pernah mati/24 jam. Salah satu responden kami mengungkapkan bahwa sekarang birokrasi di ITB makin berbelit-belit. Sebagai contoh, permasalahan HMS dengan kaprodi Sipil. Kegiatan osjur HMS selalu mendapat pertentangan dari kaprodi karena menurut beliau, ada kegiatan perpeloncoan dalam osjur dan kegiatan osjur memakan waktu belajar mahasiswa. Selain osjur, kegiatan lain yang dipermasalahkan oleh kaprodi Sipil adalah malam wisuda HMS di ITB. Selain pada himpunan, masalah serupa juga terjadi pada paguyuban. Sampai sekarang, paguyuban belum diakui secara resmi oleh rektorat. Implikasinya adalah paguyuban akan sulit mengadakan kegiatan karena terbentur masalah perizinan. Hal lain yang dikeluhkan oleh paguyuban adalah tidak tersedianya ruangan sekretariat dan fasilitas yang dapat menunjang kegiatan mereka. Dan efek dominonya akan berujung pada tidak berkembangnya paguyuban tersebut. Permasalahan lain yang ada di ITB adalah fasilitas di kampus Ganesha yang kurang terawat. Contohnya yaitu sarana dan prasarana di gedung oktagon yang terbengkalai. Selain itu, banyak mushola kampus yang tidak terawat. Contohnya mushola di basement UPT Perpustakaan dan Comlabs. Karpet yang digunakan sebagai sejadah di mushola tersebut kotor, bau, dan lembab sehingga mengganggu 46
Opini hewani
ibadah. Kebersihan Sunken dan Tunnel juga kurang terjaga akibat kurangnya kepedulian mahasiswa. Beberapa toilet pun kurang terawat dan terlihat kotor. Selain dari segi kebersihan, beberapa toilet di kampus Ganesha juga tidak dibuka 24 jam. Contohnya adalah toilet di basement CC Barat yang dikunci setelah melewati jam 6 sore. Ketidakterawatan fasilitas juga sangat terasa di UPT Perpustakaan, salah satunya adalah lift yang sering rusak sehingga menyulitkan mahasiswa yang ingin membaca atau belajar di lantai paling atas. Beberapa stopkontak di gedung tersebut juga tidak dapat digunakan. Salah satu isu hangat yang sedang menyebar di kampus adalah isu ITB multikampus. Dari konsep multikampus ini, tentunya akan timbul berbagai masalah baru, seperti contoh masalah yang dialami teman-teman kita yang ada di Jatinangor. Di kampus Jatinangor, mereka mengeluhkan tentang fasilitas kampus yang tidak setara dengan fasilitas kampus di Ganesha. Contohnya adalah laboratorium untuk TPB yang belum bisa beroperasi sehingga mahasiswa TPB Cirebon tidak bisa melaksanakan praktikum semester ini. Selain itu, di ITB Jatinagor belum tersedia ATM Center, sehingga mahasiswa harus keluar ke sekitar Unpad untuk mencari ATM terdekat. Pengelolaan kantin di Jatinangor juga masih dimonopoli oleh kantin tertentu saat siang hari, dan hal itu dibiarkan begitu saja tanpa ada teguran dari pihak yang berwenang. Kantin di Jatinangor hanya beroperasi SeninJumat sehingga saat weekend mahasiswa harus keluar kampus untuk mencari makanan. Selain kantinnya, di Jatinangor juga masih banyak gedung dan ruangan kosong yang belum berfungsi.
47
Opini hewani
Selain permasalahan fasilitasnya, mahasiswa Jatinangor juga mengeluhkan kegiatan mahasiswa yang belum tersedia di kampus Jatinangor. Beberapa di antaranya adalah kegiatan unit, kegiatan belajar mengajar, pembayaran asrama, dan beberapa administrasi yang harus diurus di kampus Ganesha. Masalah yang sering dihadapi mahasiswa
ITB
Jatinangor
adalah
kehgiatan
belajar-mengajar.
Beberapa dosen sering tidak masuk karena beberapa faktor, salah satunya adalah jarak dari ITB Ganesha ke ITB Jatinangor yang cukup jauh, sehingga dosen yang sebelumnya mengajar di kampus Ganesha merasa kesulitan untuk pergi ke Jatinangor. Mahasiswa di kampus ITB juga sangat sedikit. Akibatnya, para mahasiswa merasa terisolir. Salah satu fasilitas yang dirasa baik adalah asrama di dalam kampus Jatinangor. Namun, masalah yang masih dihadapi adalah kegiatan pembayaran asrama. Mahasiswa ITB Jatinangor masih harus melakukan pembayaran asrama di kampus Ganesha. Selain itu, kegiatan yang masih harus dilakukan di kampus Ganesha adalah kegiatan mengurus administrasi. Mahasiswa yang ingin mengikuti kompetisi antar kampus, mengurus beasiswa, dan kegiatan suratmenyurat lainnya masih harus mengurusnya di kampus Ganesha pada hari weekdays.
48
Opini hewani
49
Opini hewani
Semakin usia menggerogoti manusia, dunia makin menampakkan kebiadabannya. Eh, apa manusianya ya?
50