The Planners #1 - Land Use Planning

Page 1

t e p anners Land Use Planning

#1

mei/2010


t e p anners

dari redaksi

Pelindung: Tizar M.K. Bijaksana

Tizar M.K. Bijaksana Ketua HMP Pangripta Loka ITB Periode 2010-2011

Alhamdulillahirabbil 'aalamiin, puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk sekali lagi berkarya untuk bangsa! Perkenankan HMP Pangripta Loka ITB untuk menginspirasi anda dengan karya-karya mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITB melalui electronic bulletin The Planners. Program ini merupakan program breakthrough pada kepengurusan HMP periode 2010/2011 yang bertujuan memfasilitasi dan menstimulasi mahasiswa PWK ITB untuk membuat atau mempublikasikan karya-karya ilmiah mahasiswa terkait keilmuan perencanaan wilayah dan kota. Kita tidak pernah menginginkan tugas-tugas dan penelitianpenilitian kita hanya sekedar menjadi formalitas mata kuliah. Melalui The Planners, mari kita berbagi pengetahuan dan wawasan yang kita peroleh. Semoga The Planners bisa menjadi bagian dari budaya mahasiswa untuk berkarya untuk masyarakat.

Penaggung Jawab Razak Radityo Ferdinand Patrick P. Rera Ayudiani

Pemimpin Redaksi: Ramanditya Wimbardana

Redaksi dan Editor: Ferdinand Patrick P., Rera Ayudiani, M Prabowo, Alin S.M. Fazad, Eneng S. Saidah, Timothy Alfredo

Desain: Ramanditya Wimbardana

The first Indonesian planner to change the world might start from The Planners! So let's start achieving!

Alhamdulillahirabbil 'aalamiin, puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan semangat dan kerja keras kepada tim redaksi dari majalah keprofesian HMP Pangriptaloka ITB yang pertama, The Planners. Majalah ini bertujuan untuk memfasilitasi karya-karya mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota ITB agar tidak tertumpuk pada kertas-kertas bekas dan tidak berdebu di perustakaan. Tema pada edisi perdana ini adalah Land Use Planning dimana perencanaan terhadap guna lahan sangatlah vital dalam perencanaan kota yang berkelanjutan dan berkesinambungan sehingga terciptanya pembangunan yang sinergis. Dengan adanya majalah ini, diharapkan mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota ITB memacu semangat belajar dan berkarya mahasiswa, serta dapat membuka wawasan dan inspirasi bagi masyarakat luas tentang keilmuan kami. Seluruh karya yang dimuat dalam setiap edisi tentunya sudah melalui proses penilaian staf dosen Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, sehingga kekurangan dan kesalahan yang ada merupakan proses pembelajaran. Kritik dan saran sangat kami terima dengan baik agar pada edisi selanjutnya lebih baik daripada edisi perdana ini. Terima kasih atas kepercayaan Kadiv Keprofesian HMP 20102011, Ferdinad Patrick, yang memberikan kepercayaan dan dukungan terbitnya edisi perdana ini, dan semua pihak yang telah membantu kami yang tak bisa kami sebutkan satu persatu. Gracias!

2

t e p anners Land Use Planning

Ramanditya Wimbardana Pemimpin Redaksi The Planners Periode 2010-2011

powered by: divisi keprofesian HMP Pangripta Loka ITB Labtek XA Gedung Perencanaan Wilayah dan Kota Jalan Ganesha No 10 Bandung Indonesia Email: majalahtheplanners@ymail.com Website: www. theplannersmagazine.co.cc

courtesy cover depan: skyscapercity.com/dhani_aja courtesy cover belakang: ariyanto.wordpress.com


daftar konten

2 3 4

kata kita

12

Pembongkaran Kolam Renang Cihampelas Berdasarkan Tinjauan UU Cagar Budaya

dari redaksi

daftar konten

maroon think

Permasalahan Pemanfaatan Guna Lahan Pembangunan PLTSa Gedebage

16 Perubahan Guna Lahan Jalan

Ir.H.Juanda & L.L.R.E.Martadinata

7

Profil Wilayah & Kota

Pengembangan Perumahan Pada Kawasan Coklat dan Hijau di Kota Bandung

21 Perubahan Guna Lahan Kawasan

Perkotaan Lembang dan Limpasan Air

26

Potret

3

t e p anners Land Use Planning


maroon think

Permasalahan Pemanfaatan Guna Lahan Pembangunan PLTSa Gedebage by: Natalina Banjarnahor (15407103) & Herry Candi Sianturi (15407043)

K

eberadaan sampah telah menjadi permasalahan yang cukup menarik banyak perhatian masyarakat saat ini. Lalu, apa sebenarnya pengertian dari sampah? Sampah merupakan bahan yang dibuang atau terbuang dari hasil aktivitas masyarakat maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Kebanyakan sampah berasal dari limbah rumah tangga dan pasar, dan seiring dengan pesatnya pertumbuhan manusia menyebabkan peningkatan pula pada jumlah konsumsi akan barang. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah sampah yang dihasilkan sebagai buangan dari aktivitas manusia. Pengolahan sampah tentunya harus dilakukan secara tepat agar tidak menimbulkan polusi dan penyakit yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Lalu, apa solusi dari permasalahan sampah? Permasalahan sampah ini ternyata mampu memberikan jawaban akan kebutuhan manusia yang lain, yaitu kebutuhan akan supply listrik yang terus meningkat. Tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan listrik menjadi pendorong ditemukannya solusi lain dalam penyediaan tenaga listrik yang ekonomis bagi masyarakat. Kosep PLTSa atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah mulai dilirik sebagai salah satu solusi yang mampu menjawab permasalahan penyediaan supply tenaga listrk sembari mengatasi permasalahan sampah. PLTSa merupakan suatu fasilitas pembangkit listrik yang menggunakan sampah sebagai bahan bakarnya. Direncanakan akan dibangun suatu PLTSa di Bandung Timur yakni PLTSa Gedebage yang pembangunannya bertujuan untuk mengatasi masalah persampahan di Kota Bandung. Dalam pelaksanaannya, rencana PLTSa Gedebage memunculkan berbagai respon negatif dari warga sekitar, khususnya warga Perumahan Griya Cempaka Arum Gedebage yang memang berlokasi tak jauh dari lokasi PLTSa Gedebage. Tidak hanya warga, beberapa ahli lingkungan juga memberikan respon negatif terhadap PLTSaGedebage karena PLTSa ini dianggap tidak bisa menuntaskan masalah persampahan

4

t e p anners Land Use Planning

sehebat-hebatnya hanya mengurangi sebagian besar sampah kota, sisanya mungkin saja menumpuk lagi dan bahkan besar kemungkinan kejadian-kejadian yang lebih buruk bisa terjadi. Teknologi Tepat Guna dan Letak Geografis Bandung Indonesia sangat minim pengalaman mengenai tekhnologi incenerasi (pembakaran), bahkan beberapa bahan berbahaya yang sementara ini harus diincenarasi saja tidak semua dijalani. Perlu pengkajian yang matang dan komprehensif untuk memastikan teknologi PLTSa yang akan diusung adalah teknologi yang ramah lingkungan karena AMDAL dalam hal ini tidak bisa secara optimal memberikan study kelayakan yang obyektif. Semua study bukan khayalan dan harus berdasarkan perhitungan real yang teruji karena penerapan teknologi tidak bisa cobacoba. Terakhir, prasyarat mengenai lokasi PLTSa mutlak harus jauh dari permukiman penduduk untuk menghindari besarnya kemungkinan dampak negative pada masyarakat. Permasalahan yang menjadi pemicu konflik, antara lain ketidaksetujuan masyarakat Griya Cempaka Arum tentang lokasi rencana PLTSa Gedebage yang berada di dekat perumahan mereka.Keduam, sosialisasi yang dilakukan pihak pemerintah dan swasta masih kurang menggambarkan rencana pembangunan. Ketiga, Berkurangnya debit air di kawasan perumahan cempaka Arum karena pengolahan sampah menjadi sumber energy membutuhkan air dalam jumlah yang sangat banyak. Dan yang terakhir, adanya rasa tidak percaya masyarakat terhadap keberjalan program tersebut yang ramah lingkungan. Pada idealnya, pembangunan PLTSa harus diiringi dengan penyediaan


jalur hijau yang akan berfungsi sebagai buffer. Buffer inilah yang selanjutnya akan memegang peranan penting dalam menyerap dampak yang ditimbulkan dari kerja PLTSa itu sendiri. Keberadaan jalur hijau secara tidak langsung akan menyerap polusi udara berupa bau ataupun gas berbahaya yang tidak dapat diolah lebih lanjut oleh PLTSa. Sehingga, gas berbahaya akan diubah menjadi udara segar yang telah “disaring� oleh vegetasi di sekitar PLTSa. Perbedaan pendapat diantara stakeholder yang terkait, yang telah dijelaskan di atas menjadi suatu pemicu terjadinya konflik pemanfaatan lahan di sekitar perumahan Griya Cempaka Arum, Gedebaga. Memang sulit dipungkiri, selalu saja ada konflik pemanfaatan lahan dalam suatu perencanaan pihak-pihak dimana pihak tertentu merasa dirugikan dengan pengalihan fungsi lahan tersebut. Dalam setiap pemanfaatan lahan, semua pihak diharapkan dapat bekerjasama antar pihak yang terkait termasuk didalamnya komunitas masyarakat. Dalam kasus ini, terdapat dua komunitas yang memiliki perbedaan penilaian terhadap rencana pembangunan PLTSa di

Gedebage. Komunitasperumahan Griya Cempaka Arum jelasjelas menolak adanya rencana pembangunan PLTSatersebut. Sedangkan komunitas lain yang bertempat tinggal di luar Gedebage merasa bahwa rencana pembangunan PLTSa tersebut akan mampu menjawab permasalahan sampah di Bandung dan sekaligus memberikan keuntungan terhadap penyediaan listrik di Bandung. Yang dimaksud dengan kerjasama adalah masing-masing komunitas akan mendapatkan dampak yang berbeda dengan rencana pemanfaatan lahan. Namun, semua pemanfaatan lahan ini akan memberikan solusi jangka panjang bagi semua kalangan masyarakat. Contohnya saja seperti masyarakat di Setiabudi. Lembang memiliki fungsi lahan sebagai kawasan wisata. Sebagai dampaknya, masyarakat yang bertempat tinggal di Setiabudi akan mendapat dampak berupa kemacetan, terutama di hari libur. Bentuk kerjasama yang ingin dicapai adalah bentuk hubungan mutualisme, apapun penggunaan lahan di berbagai lokasi pasti akan memberikan manfaat maupun dampak negatif bagi seluruh wilayah. (Alin)

coutesy:google.com

coutesy:shendiary.wordpress.com

5

t e p anners Land Use Planning


Pengembangan Perumahan Pada Kawasan Coklat dan Hijau di Kota Bandung oleh: Studio A Proses Perencanaan tahun 2008

cover courtesy: skyscapercity.com/dhani_aja


Profil Wilayah & Kota

K

ota Bandung sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi, bisa dibuktikan dengan dalam sepuluh tahun terakhir batas Kota Bandung terus meluas. Secara spasial, perkembangan kawasan perkotaan telah melebar dari Kota Bandung dan Cimahi ke arah Lembang di Bandung Utara, Padalarang di arah Barat, Ta n j u n g s a r i , R a n c a e ke k , d a n Cicalengka di arah Timur, serta Soreang, Banjaran, dan Majalaya di arah Selatan. Pertumbuhan tersebut juga diikuti dengan perkembangan kota di dalamnya dimana semakin banyak pembangunan perumahan maupun pembangunan fasilitasfasilitas lainnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, misalnya pertokoan, kantor, rumah sakit, dan lain-lain. Namun, perkembangan yang terjadi di Kota Bandung merupakan perkembangan yang acak (urban sprawl) dimana banyak aktivitas pembangunan yang tidak sesuai dengan peruntukan lahannya (Land use) yang sebelumnya peruntukannya fungsi lindung menjadi budidaya. Akibatnya berdampak pada semakin menurunnya daya dukung lingkungan, yang diindikasikan dengan kelangkaanair baku dan air bersih pada saat musim kemarau serta banjir rutin pada musim hujan. Semua dampak negatif tersebut mengarah kepada pembangunan yang tidak berkelanjutan dan dapat

menjadi suatu masalah yang bisa merugikan masyarakat. Oleh sebab itu penting untuk mengarahkan pengelolaan pertumbuhan kota besar dan metropolitan untuk memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan serta harus mengikuti pengembangan kawasan perkotaan yang bisa mengurangi urban sprawl yang semakin tidak terkendali. Salah satu rekomendasi solusi untuk mengatasi permasalahan urban sprawl ini adalah compact city atau kompaksi perkotaan. Kompaksi perkotaan adalah peningkatan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk perumahan, intensifikasi kegiatan ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, dan manipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur sistem permukiman dalam rangka mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan, sosial, dan global, yang diperoleh dari pemusatan fungsi-fungsi perkotaan (Jenk, 2000). Dalam implementasinya, kompaksi perkotaan dapat dilakukan pada kawasan dalam kota (inner city) , dalam bentuk infill development atau brown field development. Infill development adalah praktek pembangunan pada lahan kosong atau kapling yang belum terbangun di dalam bagian lama kawasan perkotaan. Brownfield development atau pengembangan kawasan coklat adalah praktek pemanfaatan kembali lahan di kawasan dalam kota (misalnya bekas lahan peruntukan industri) untuk pembangunan baru. Sedangkan greenfield development atau

7

t e p anners Land Use Planning


Sebelum

Sesudah

pengembangan kawasan hijau merupakan pembangunan pada kawasan yang sebelumnya belum terbangun (kawasan pertanian) yang biasanya berada di pinggiran kota. Konsep Kompaksi perkotaan ini sudah mulai diterapkan di Kota Bandung, baik itu berupa kawasan hijau maupun kawasan coklat. Kedua jenis pembangunan ini dapat mendukung terwujudnya pembangunan yang keberlanjutan. Namun ruang lingkup materi yang akan dibahas hanya pengembangan kawasan permukiman yang memanfaatkan kawasan hijau dan coklat. Untuk bisa mengidentifikasi persebaran kawasan hijau dan coklat di Kota Bandung, dengan melakukan overlay terhadap peta guna lahan jangka waktu 10 Tahun. Hal ini bertujuan untuk melihat perubahan guna lahan yang terjadi. Misalnya yang sebelumnya guna lahan Industri menjadi perumahan. Selain itu, untuk melihat persebaran kawasan permukiman di Kota Bandung. Melalui

peta tersebut, ditemukan bahwa kawasan perumahan banyak tersebar di bagian pusat Kota Bandung. Hal tersebut disebabkan adanya karakteristik dari kawasan pusat Kota Bandung yang memiliki fasilitas dan tingkat pergerakkan yang cukup tinggi. Selain itu, hampir seluruh pusat aktivitas penduduk Kota Bandung terjadi di pusat kota. Hal Jika dibagi menjadi tiga kawasan, Kota Bandung dapat dibagi menjadi tiga kawasan penting, yaitu kawasan pusat kota, kawasan transisi, dan kawasan pinggiran. Kawasan pusat merupakan kawasan yang memiliki fungsi sebagai pusat dari segala

8

t e p anners Land Use Planning

courtesy:www.pbase.com Contoh Brownfield Development di Amerika Serikat (Pabrik Slag Dump)

kegiatan perkotaan, dimana mayoritas pergerakan penduduk terjadi di kawasan ini. Kawasan pusat inilah yang menjadi pusat perdagangan. Kawasan transisi merupakan batas antara kawasan pusat dan kawasan pinggiran. Sedangkan kawasan pinggiran merupakan kawasan yang kebanyakan belum terbangun dan belum mengalami pengembangan kota, seperti perdesaan, perkebunan, persawahan, dan sebagainya Karena kawasan transisi terletak di antara kawasan pusat dan kawasan pinggiran, maka kawasan transisi memiliki sifat-sifat gabungan dari kawasan pusat dan kawasan pinggiran. Jadi, ke b e ra d a a n ka wa s a n h i j a u , kawasan cokelat, maupun kawasan terbangun dapat ditemui pada kawasan transisi. Dari setiap 3 kawasan tersebut, diambil beberapa sample perumahan untuk diteliti dimulai dari karakteristik fisik perumahan, karakteristik sosial-ekonomi dan karakteristik pergerakan penghuninya. Untuk perumahan yang termasuk pengembangan brownfield yaitu Braga City Walk,

F l at i n d u st r i d a l a m , I sta n a Regency. Untuk perumahan yang termasuk pengembangan greenfield adalah Mitra Dago Parahyangan, Kopo Kencana, Arcamanik endah, dan flat sarijadi. Hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan,yaitu : Persebaran Perumahan di Kota Bandung. Berdasarkan plotting yang dilakukan dengan bantuan data REI perkembangan perumahan untuk saat ini cenderung di daerah pinggiran. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pembangunan perumahan pada kawasan greenfield tergolong banyak. Perkembangan perumahan pada kawasan transisi kebanyakan dari brownfield dibandingkan dengan greenfield. K e m u d i a n , P e r ke m b a n g a n perumahan cenderung kearah Timur terutama kawasan pinggiran seperti WP Gedebage dan Ujung Berung. Pola perkembangan lokasi


Tabel Deliniasi Kawasan Pusat, Transisi, dan Pinggiran Kota Bandung

Area Perkotaan Pusat Kota

Kecamatan Astana Anyar, Regol, Lengkong, Sumur Bandung, Andir

Transisi

Andir, Cicendo, Sukajadi, Sukasari, Sumur Bandung, Bandung Wetan, Cibeunying Kidul, Cibeunying Kaler, Coblong, Cidadap, Regol, Lengkong, Bandung Kidul, Kiaracondong, Batununggal, Bojongloa Kaler, Astana Anyar

Pinggiran dalam Kota

Bandung Kulon, Babakan Ciparay, Bojongloa Kidul, Astana Anyar, Bandung Kidul, Rancasari, Cibiru, Ujung Berung, Arcamanik, Andir, Cibeunying Kaler, Cibeunying Kidul, Cicadas, Cicendo, Cidadap, Coblong, Margacinta, Sukajadi, Sukasari courtesy: observarsi,2008

courtesy: hasil analisis,2008

perumahan di wilayah Gedebage kota menunjukkan pola campuran, bahkan mendekati pola urban sprawl (semerawut) dimana pola perkembangan lokasi perumahan lebih cenderung mengikuti kalangan “swasta”. Perkembangan lokasi perumahan di wilayah Gedebage tidak terorganisir dengan baik. Lokasi perumahan yang tercipta hanyalah kantung-kantung perumahan yang terlepas satu sama lain, yang akan menyulitkan p e n a t a a n ke m b a l i k a w a s a n perumahan. Karakteristik Fisik dan SosialEkonomi. Dari beberapa perumahan kasus yang diambil, mengenai perekonomian penduduk dapat disimpulkan bahwa, kopo kencana, Mitra Dago Parahyangan d a n a rca m a n i k e n d a h ya n g merupakan perumahan yang berdiri di kawasan Greenfield daerah transisi dan pinggiran memiliki tingkat perekonomian menengah keatas. Kemudian perumahan seperti Aston BCW dan istana regensi,yang merupakan perumahan yang berdiri di kawasan brownfield di pusat kota memiliki

tingkat perekonomian yang cukup tinggi.

terjadi interaksi antar sesama penghuni

Hal ini tentu saja sudah dapat kita lihat dari karakteristik fisik bangunannya sendiri yang mewah Sedangkan Perumahan seperti flat sarijadi dan flat industry yang termasuk perumahan yang yang juga berdiri di kawasan brownfield dekat pusat kota, termasuk kedalam perumahan yang memiliki tingkat perekonomian rendah. Rendahnya tingkat perekonomian penduduk di perumahan ini dapat dilihat dari pekerjaan penghuninya yang rata – rata tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan banyak juga terdapat penghuni yang tidak memiliki perkerjaan, ditambah lagi kondisi fisik bangunannya yang sangat sederhana dan kadang tidak terurus.

Sedangkan penghuni yang tinggal di beberapa perumahan kasus yang tingkat perekonomiannya menengah kebawah, seperti di flat sarijadi dan flat industri dalam mereka cendrung tidak terlalu sibuk dalam hal pekerjaan, bahkan banyak juga yang penghuninya yang tidak bekerja/ pengangguran, sehingga mereka cendrung menghabiskan di rumah ataupun berintaraksi dan menghabiskan waktu bersama tetangga, ditambah lagi jarak antar rumah (kamar) yang sangat dekat yang membuat mereka lebih sering bertemu dan saling berinteraksi, dan biasanya di flat ini sering diadakan kegiatan – kegiatan sosial seperti rapat RT ataupun kegiatan gotong royong, yang semakin menambah keabraban masing – masing penghuni.

Jika dilihat dari segi interaksi sosial antar penghuni di beberapa perumahan kasus yang diambil, dapat disimpulkan bahwa interaksi social lebih sering terjadi di perumahan kasus yang tingkat perekonomiannya rendah, sedangkan di perumahan elite dimana tingkat ekonomi warga. Warga yang lebih tinggi, jarang

Pola pergerakan masyarakat. Pola pergerakan penduduk sangat

9

t e p anners Land Use Planning


courtesy: anisav

itri.files.wordpre

bervariasi, tujuannya ditentukan berdasarkan aktivitas-aktivitas yang dijalankan sesuai dengan profesi mereka. Beberapa alasan masyarakat untuk melakukan suatu pergerakan antara lain, bekerja, bersekolah, berbelanja, bersantai memanfaatkan waktu luang, pelayanan pribadi, kunjungan sosial, jalan-jalan (rekreasi), dan lain sebagainya. Terkait dengan fasilitas umum yang berada di kawasan lingkungan perumahan tersebut, sangat mempengaruhi pola pergerakan mereka. Semakin lengkap sarana, prasarana, dan utilitas (PSU) di kawasan suatu perumahan, semakin rendah pergerakan penduduk menuju kawasan lain.

10

t e p anners Land Use Planning

Pola pergerakan di kawasan greenfield pada umumnya sangat bervariasi hal ini diakibatkan karena aktivitas dari masing-masing penduduk yang beragam. Biasanya tingkat aksesibilitas penduduk sangat tinggi, hal ini dikarenakan lengkapnya PSU di sekitar kawasan perumahan. Sebagai contoh di kawasan perumahan flat Sarijadi, Arcamanik Endah, Kopo Kencana, dan perumahan kawasan greenfield lainnya. Kelengkapan PSU di w i l aya h t e rs e b u t m e m b u a t berbeda dengan kawasan pergerakan penduduk tidak jauh Greenfield. Kawasan brownfield yang sebelumnya merupakan kawasan

ss.com

industri dan memiliki kecenderungan ketersediaan PSU yang tidak lengkap, sehingga para penghuni perumahan harus melakukan pergerakan ke luar kawasan perumahan mereka u n t u k m e n u n j a n g keberlangsungan aktivitas seharihari. Lain halnya dengan perumahan brownfield di daerah pusat kota, karena perumahan mereka berada di pusat aktivitas menyebabkan aksesibilitas pola pergerakan mereka lebih tinggi. Dengan demikian bisa dilihat bahwa karakteristik perumahan yang dikembangkan secara brownfield dengan greenfield memiliki perbedaan dan untuk Kota Bandung sendiri lebih banyak perumahan yang dikembangkan secara greenfield. (Ferdi)


KUESIONER MENGGUNUNG? KAMI SIAP MEMBANTU

PELAYANAN SURVEI POWERED BY:

Fanni Harlanni (PL 08)

08562154887

DIVISI KEPROFESIAN HMP PANGRIPTA LOKA


kata kita Diambil dari tugas mata kuliah PL 3101 Hukum dan Pengendalian Perencanaan

Pembongkaran Kolam Renang Cihampelas Berdasarkan Tinjauan UU Cagar Budaya courtesy: pemandiancihampelas.blogspot.com/

oleh: Yoga A.P. (15407002) Nadya R.A. (15407010) Gesha K. (15407026) Siti Larissa (15407052) Akhira M. (15407090)

C

agar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi terhadap bendabenda alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Salah satu dari cagar budaya yang ada di Bandung adalah Kolam Renang Cihampelas atau yang memiliki nama asli “Pemandian Tjihampelas�. Kolam Renang Cihampelas sangat t e r k a i t d e n g a n perkembanganJalan Cihampelas. Jalan Cihampelas sendiri mendapatkan namanya dari pohon-pohon Hampelas (sejenis pohon berdaun kasar, biasa )

12

t e p anners Land Use Planning

digunakan untuk menggosok badan yang terdapat di sekitar kolam renang ini yang kemudian dipakai menjadi nama jalan. Selain terkait dengan nama kawasan, Pemandian Cihampelas juga ikut berpengaruh terhadap sejarah terbentuknya Persatuan Renang Seluruh Indonesia. N a m u n p a d a ke nyata a n nya , bangunan kolam renang yang telah berusia lebih dari satu abad ini dibongkar untuk dijadikan Pengalih fungsian bangunan bersejarah Kolam Renang Cihampelas melanggar ketentuan yang berlaku. Ketentuan ini terkait dengan Surat Edaran mengenai Rehabilitasi, Renovasi, dan Restorasi Bangunan Cagar Budaya 20 Maret 2009

Pemkot Bandung , yang m e nyata ka n b a h wa Ko l a m Renang Cihampelas termasuk kedalam 240 cagar budaya di Kota Bandung yang harus dilindungi. Hal ini tentunya menjadi permasalahan yang patut untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut karena terkait erat dengan peraturan perundangan yang berperan penting dalam pengendalian perencanaan. Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh kesadaran jati diri bangsa. Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta nomor 9 tahun 1999


bab IV, dijabarkan bahwa tolak ukur kriteria sebuah bangunan merupakan cagar budaya adalah: Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai kesejahteraan pada tingkat nasional. Tolok ukur umur dikaitkandengan usia sekurangkurangnya 50 tahun. Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan, baik sarana dan prasaran lingkungan maupun struktural, material, tapak bangunan, dan bangunan di dalamnya. Tolok ukur landmark dikaitkan dengan keberadaan sebuah bangunan tung gal monumen atau bentang alam yang dijadikan simbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda dari lingkungan tersebut. Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu

Dari kriteria dan tolok ukur di atas, lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut: Golongan I: lingkungan yang m e m e n u h i s e l u r u h k r i te r i a , termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh. Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi tiga kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian. Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi tiga kriteria, telah mengalami banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian. Bangunan cagar budaya sendiri dibagi dalam tiga golongan, yaitu Golongan A: bangunan yang memenuhi kriteria nilai sejarah dan keaslian. Golongan B: bangunan yang memenuhi kriteria keaslian, kelangkaan, landmark, arsitektur, dan umur. Golongan C: bangunan yang memenuhi kriteria umur dan

arsitektur. Berdasarkan peraturan tersebut, bangunan cagar budaya golongan A dilarang dibongkar dan atau diubah, tetapi apabila kondisi fisik b a n g u n a n b u r u k , ro b o h , terbakar, atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/sejenis atau memiliki karakter yang sama dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan utuh dengan bangunan utama.

courtesy:bandungheritage.org

13 tp eanners Land Use Planning


Khusus Golongan B, pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting. Sedangkan Golongan C, detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan di sekitarnya dalam keserasian lingkungan. Peraturan yang berlaku di DKI Jakarta tersebut menjadi rujukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kota Bandung mengenai pengelolaan bangunan bersejarah.Oleh karena itu, dari kelima tolok ukur yang telah disebutkan diatas, maka Kolam Renang Cihampelas dapat dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya Golongan A (Harastoeti Sudibyo, 2009). Merujuk pada ketentuan tersebut, bangunan Kolam Renang Cihampelas seharusnya tidak boleh dibongkar atau diubah.

Pemerintah Kota Bandung tidak bisa memberikan sanksi apa pun terkait pembongkaran bangunan tersebut. Hal tersebut disebabkanbelum adanya ketentuan yang jelas dalam peraturan perundangan yang ada, terutama pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya yang selama ini menjadi rujukan dalam pengelolaan bangunan bersejarah di Kota Bandung selama belum diterbitkannya Peraturan Daerah Kota Bandung terkait pengelolaan bangunan bersejarah. Hal tersebut

Hal tersebut disebabkanbelum adanya ketentuan yang jelas dalam peraturan perundangan yang ada, terutama pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya yang selama ini menjadi rujukan dalam pengelolaan bangunan bersejarah di Kota Bandung selama belum diterbitkannya Peraturan Daerah Kota Bandung terkait pengelolaan bangunan bersejarah. Hal tersebut menimbulkan tanda

courtesy:bandungheritage.org

Namun, kondisi tersebut tidak dapat diimplementasikan karena Perda tersebut berlaku khusus di wilayah DKI Jakarta dan hanya menjadi rujukan dalam penyusunan Perda Bangunan Cagar Budaya Kota Bandung. Fakta yang menunjukkan bahwa belum tersusunnya ketentuan secara teknis membuat pembongkaran bangunan b e rs e j a ra h Ko l a m Re n a n g Cihampelas menjadi suatu hal yang tidak terelakkan.

14 tp eanners Land Use Planning

menimbulkan tanda tanya terkait peraturan perundangan yang ada, yaitu mengenai implementasi undang-undang yang tidak sesuai.

terkait peraturan perundangan yang ada, yaitu mengenai implementasi undang-undang yang tidak sesuai.

secara teknis membuat pembongkaran bangunan bersejarah Kolam Renang Cihampelas menjadi suatu hal yang tidak terelakkan.

Dalam kaitannya dengan perencanaan, pembongkaran bangunan Kolam Renang Cihampelas menjadi suatu persoalan. Pengalihfungsian bangunan tersebut menjadi kawasan komersial dianggap akan membuat kawasan di sekitarnya menjadi tidak

Pemerintah Kota Bandung tidak bisa memberikan sanksi apa pun terkait pembongkaran bangunan tersebut.


tertata melihat kondisi kawasan tersebut dengan beban jalan yang tinggi. Dalam konteks perencanaan, keberadaan bangunan bersejarah dianggap dapat mengarahkan perkembangan suatu kawasan. Untuk itu, keberadaan bangunan bersejarah menjadi hal yang penting untuk dilestarikan. Dalam kasus yang sering terjadi pada bangunan bersejarah, pembongkaran dan pengalihfungsian bangunan sering terjadi karena tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai status bangunan b e rs e j a ra h s e ca ra te k n i s , termasuk dalam hal pemeliharaannya. Biaya pemeliharaan dan operasional b ers ej a ra h men j a d i s u at u hambatan bagi pemilik bangunan bersejarah. Apalagi biaya tersebut harus ditanggung s e p e n u h nya o l e h p e m i l i k bangunan. Ketidakjelasan aturan yangmenyangkut upaya pemeliharaan bangunan bersejarah membuat pemilik bangunan bersejarah tersebut tergiur untuk mengubah fungsi bangunan bersejarah dengan cara melakukan komersialisasi bangunan. Upaya pembongkaran bangunan Kolam Renang Cihampelas menjadi apartemen merupakan contoh bahwa komersialisasi bangunan lebih menguntungkan bagi pemilik

courtesy:ibukosgaul.files.wordpress.com/

bangunan. Oleh karena itu, tinjauan terhadap peraturan teknis menyangkut status kepemilikan dan pemeliharaan bangunan bersejarahmerupakan hal yang penting untuk menyelesaikan persoalan yang dilatarbelakangi oleh hal tersebut. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggar atau pemilik bangunan b e rs e j a ra h ya n g m e l a ku ka n pembongkaran bangunan bersejarah tersebut belum diatur secara jelas dan tegas. Hal inilah yang terjadi pada pemilik bangunan Kolam Renang Cihampelas yang merasa tidak akan terjerat dengan sanksi hukum pidana terkait pelanggaran yang telah dilakukannya.

Permasalahan peraturan perundangan mengenai cagar budaya ini seharusnya dapat diatasi untuk kedepannya yaitu dengan dilakukannya spesifikasi yang jelas terhadap bangunan bersejarah, yakni dirumuskannya kriteria yang jelas bagi bangunan yang dapat digolongkan sebagai cagar budaya. Selain itu juga diberikan kejelasan atas kepemilikan bangunan bersejarah ini karena faktor kepemilikan ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi bangunan bersejarah, serta perlunya pemberian reward ataupun insentif bagi pemilik bangunan cagar budaya. (Bowo)

15 tp eanners Land Use Planning


kata kita Diambil dari tugas mata kuliah PL 2103 Tata Guna Lahan

Perubahan Guna Lahan Jalan Ir.H.Juanda & L.L.R.E.Martadinata courtesy:flickr.com/Ikhlasul Amal

oleh: Fikri F. (15408035) Loulasela A. (15408017) Putri Sugih (15408049) Ully N. (15408067) Adam P.J. (15408

Seiring dengan berjalannya waktu, Kota Bandung semakin mengalami perubahan guna lahan. Pada umumnya guna lahan yang diperuntukkan perumahan berubah menjadi kegiatan komersil, seperti yang terjadi pada guna lahan di Ir.H.Juanda dan L.L.R.E.Martadinata yang telah diobservasi oleh mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota. Ir.H.Juanda atau yang saat ini dikenal juga dengan sebutan Dago berada di Kecamatan Coblong, di Wilayah Pengembangan (WP) Cibeunying. WP ini berada di kawasan Bandung sebelah utara, dimana dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung WP Cibeunying terbagi menjadi Kawasan Bandung Utara dan Kawasan Bandung Barat. Dago masuk ke dalam kawasan BandungUtara. Arahan pengembangan kawasan Bandung Utara sendiri adalah untuk m e m p e r ta h a n ka n ke b e ra d a a n kawasan lindung resapan air dan membatasi perkembangan kawasan terbangun pada kawasan tersebut.

16 tp eanners Land Use Planning

Seperti yang dapat terlihat di jalan Dago, banyak terdapat bangunan seperti restoran, toko, plaza, bank, apotek, klinik, hotel, kantor, dan pusat perbelanjaan. Jenis barang yang diperdagangkan di toko cukup variatif seperti buku, jasa fotokopi, barang dan jasa elektronik, pakaian dan aksesoris, serta kaset/CD dan sejenisnya. Plaza di ruas jalan ini adalah Dago Plaza yang menyediakan makanan, minuman, pakaian, klub malam, dan bar. Apotek dan klinik menyediakan alat dan bahan farmasi seperti obat-obatan dan jasa pelayanan dokter. Jasa umum yang disediakan oleh kantor yang ada di ruas jalan ini adalah jasa pembelian tiket

pesawat terbang. Observasi yang dilakukan di Jalan Dago membuktikan bahwa guna lahan pada kedua blok peruntukan di sekitar Jl. IR. H Djuanda telah telah didominasi oleh lahan komersial. Ruas jalan ini juga dipenuhi oleh bangunan-bangunan yang cukup tinggi dan menggunakan kapling lahan yang cukup besar. Sisanya digunakan sebagai lahan parkir pengunjung. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) pada ruas Jalan Ir. H. Djuanda berkisar antara 50% hingga 70%. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) pada ruas Jalan Sulanjana,


Jalan Rangga Malela, Jalan Maulana Yusuf, Jalan Sultan Tirtayasa berkisar antara 30% hingga 40%. Pola penggunaan lahan di kawasan sekitar Jalan Dago didominasi oleh kawasan terbangun. Berdasarkan Rencana Dasar Tata Ruang (RDTR) WP Cibeunying, kawasan di sekitar blok peruntukkan merupakan kawasan terbangun yang seharusnya untuk pengembangan permukiman. Permukiman di sekitar Jalan Dago merupakan pemukiman kepadatan sedang. Kompleks permukiman yang didirikan juga teratur. Dalam RDTR dijelaskan pula bangunan-bangunan yang di kawasan blok peruntukkan merupakan bangunan perumahan dengan arsitektur indah. Bahkan ada yang telah dijadikan sebagai bangunan cagar budaya dan memiliki nilai sejarah seperti rumah tinggal di Jalan Ir. H Djuanda 63 yang berubah menjadi Dago Plaza.

Kemudian, karena adanya perkembangan ekonomi Kota Bandung dari waktu ke waktu yang berdampak pada semakin banyaknya kegiatan komersial di beberapa kawasan yang salah satunya adalah kawasan Dago. Kapasitas jalan yang tersedia tidak dapat memenuhi arus mobilitas pengunjung yang sering mendatangi kawasan komersial di sekitar Jalan Dago, karena pada awalnya kawasan ini merupakan kawasan permukiman, jadi courtesy:aleut.wordpress.com jalan yang tersedia sengaja dirancang untuk jalan yang arus mobilitasnya rendah.

Dari gambar dapat dilihat bahwa guna lahan di sekitar Jalan Dago sebelum berubah adalah permukiman dan hal itu sesuai dengan RDTR yang telah dibuat. Namun, saat ini guna lahan tersebut berubah menjadi seperti gambar (sesudah) di atas. Dari gambar tersebut kita dapat melihat bahwa guna lahan yang terjadi lebih dari 50 %, karena warna merah untuk komersil lebihdari 50 %, karena warna merah untuk komersil lebih

Perubahan guna lahan di kawasan Dago

mendominasi dari warna kuning untuk permukiman.

dari perumahan menjadi komersial ini membuat munculnya infrastrukur penunjang yang dibangun untuk mendukung kegiatan di kawasan ini. Infrastruktur tersebut antara lain pembatas jalan, marka jalan, lampu lalu lintas, lampu jalan, dan halte

Sesudah

Sebelum

courtesy:Hasil Observarsi

Perubahan Guna Lahan di Jalan Dago

Mekanisme perizinan dan penggunaan guna lahan yang kurang berjalan dengan baik menjadi salah satu penyebab mengapa guna lahan d i D a g o b a nya k m e n ga l a m i perubahan. pengendalian guna lahan sukar untuk dilakukan karena lahan-lahan yang ada di sekitar blok peruntukkan merupakan lahan milik pribadi.

bus. Selain itu ada pula peningkatan kualitas fasilitas pedestrian dan jalan. permukiman menjadi kawasan komersial. Perubahan guna lahan tersebut dapat dilihat dari peta berikut, dimana warna kuning menunjukkan guna lahan permukiman dan merah menunjukkan guna lahan komersil.

Karakteristik kegiatan komersial di kawasan ini didominasi oleh perdagangan barang dan jasa dan lahan permukiman di kawasan ini semakin menghilang. Perubahan penggunaan lahan ini berdampak luas pada kawasan Dago. Selain hilangnya ruang terbuka hijau, banyak pula bangunan cagar budaya yang dibongkar untuk dialihfungsikan menjadi pertokoan atau perkantoran. Dengan adanya perbedaan antara kondisi eksisting kawasan Jalan Dago dengan RDTR WP Cibeunying, pemerintah sebaiknya lebih tegas dalam mengambil keputusan untuk memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Selain itu, pemerintah harus lebih ketat dalam mengontrol dan mengawasi penggunaan lahan di kawasan tersebut. Tindakan tersebut merupakan tindakan preventif yang dapat menghindari munculnya masalah-masalah baru seperti kepadatan arus lalu lintas. Bangunan cagar budaya seharusnya dilindungi dan tidak dialihfungsikan terutama menjadi bangunan

17 tp eanners Land Use Planning


komersial. Selain itu, dalam pengembangan kota, pemerintah harus mempertimbangkan konsep struktur kota dan pola penggunaan lahan di Kota Bandung. Jalan R.E.Martadinata yang dahulu merupakan kawasan permukiman penduduk berarsitekturBelanda kini berubah menjadi kawasan terbangun dengan berbagai macam karakteristik penggunaan, beberapa diantaranya merupakan kawasan komersial perdagangan dan jasa yang sangat diminati oleh masyarakat. Melihat fenomena t e rs e b u t , m a ka p e m e r i n t a h berencana menjadikan kawasan ini sebagai kawasan komersial dan jasa dengan skala pelayanan regional dan menjadi simpul perdagangan

wa l a u p u n h a r u s m e n g g u n a ka n bangunan cagar budaya yang ada di wilayah ini. Kegiatan komersial eksisting di wilayah R.E.Martadinata juga sebagian besar telah melakukan perkerasan muka lahan hampir 100% sehingga menyebabkan kurangnya lahan infiltrasi di kawasan ini, tertama disebabkan oleh pengadaan lahan parkir pengunjung. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan dan evaluasi courtesy:aleut.wordpress.com secara berkala oleh pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan penggunaan lahan di wilayah ini. Kawasan R.E .Martadinata terletak di Wilayah Pengembangan (WP) Cibeunying, Kecamatan Bandung Wetan, Kelurahan Citarum yang merupakan kawasan terbangun dengan

kepadatan penduduk rendah karena kegiatan penggunaan lahan di daerah tersebut didominasi oleh kegiatan komersial (perdagangan)dan jasa. Selain kegiatan perdagangan dan jasa, terdapat pula kegiatan penggunaan lahan lain, seperti fasilitas kesehatan, perumahan, pendidikan, dan beberapa bangunan militer. Kegiatan komersial dan jasa di kawasan ini memiliki jasa pelayanan skala regional yang menjadi simpul kegiatan perdagangan berkembang dengan pola aglomerasi di kawasan ini karena memiliki lokasi strategis dan pasar pelanggan yang luas. Pada awalnya masalah perizinan

courtesy:dhenz.files.wordpress.com

18 tp eanners Land Use Planning


penyelenggaraan dan penggunaan bangunan di wilayah ini menjadi kendala karena bangunan di daerah R . E . M a r t a d i n a t a m e r u p a ka n bangunan berarsitektur Belanda yang memiliki nilai estetik tinggi bahkan ada beberapa bangunan yang merupakan bangunan cagar budaya. Selain permasalahan perizinan bangunan, permasalahan penataan bangunan juga tampak jelas pada kawasan ini. Tidak jelasnya zona penggunaan lahan menjadikan lokasi ini tampak kurang tertata, misalnya terdapat bangunan rumah t i n g ga l d i a nta ra b a n g u n a n komersial besar. Selain itu, terdapat pula bangunan-bangunan yang memiliki kegiatan aksesoris sehingga menutupi guna lahan sebenarnya. Dalam Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Pengembangan Cibeunying Tahun 2005-2015, kawasan ruas jalan R.E.Martadinata direncanakan menjadi kawasan komersial, jasa, perumahan, dan beberapa kawasan militer. Kawasan perumahan dialokasikan di sepanjang ruas jalan Bahureksa, kawasan militer di sepanjang ruas blok yang berbatasan dengan Jalan Ternate, Halmahera, dan Ambon,sedangkan kawasan komersial dan jasa dialokasikan di sepanjang kawasan yang berbatasan langsung dengan ruas jalan R.E.Martadinata dengan melakukan beberapa alih fungsi bangunan dari bangunan nonkomersial menjadi bangunan dengan kegiatan komersial. Kegiatan nonkomersial yang akanberubah menjadi kegiatan komersial merupakan bangunan rumah tinggal, Bank, LSM, dan kegiatan pendidikan nonformal, seperti lembaga bimbingan belajar.

courtesy:aleut.wordpress.com courtesy: hasil observarsi

Peta Tata Guna Lahan Jalan Riau Ke g i a t a n ko m e rs i a l t e rs e b u t diperkirakan akan mengikuti jejak kegiatan komersial yang telah ada sebelumnya di ruas jalan tersebut, yaitu factory outlet dan restoran. Namun, terdapat fakta menarik seputar penggunaan dan perubahan bangunan tersebut, karena bangunan yang dialokasikan dalam rencana tata ruang sebagai bangunan komersial merupakan bangunan yang termasuk dalam daftar bangunan cagar budaya Kota Bandung. Untuk mengatasi permasalahan itu, pemerintah tetap mengizinkan pengadaan kegiatan komersil di bangunan tersebut selama masih mempertahankan bentuk asli bangunan atau tidak melakukan peruabahan pada bentuk asli bangunan secara keseluruhan. Dalam pelaksanaan penggunaan lahan di kawasan R.E.Martadinata, berkelanjutan agar pelaksanaan pengadaannya tidak melenceng dari rencana yang telah ditetapkan, terutama dalam pengadaan kegiatan komersil di bangunan cagar budaya. Jika tidak dilakukan pengawasan secara tegas dan berkelanjutan dikhawatirkan akan terjadi perubahan penggunaan lahan dan bentuk asli bangunan.

Selain itu, pengawasan terhadap kegiatan komersil juga perlu dilakukan karena seringkali kegiatan komersil yang berada di suatu kawasan berpotensi menimbulkan kemacetan akibat sirkulasi lalu lintas pengunjung dan lahan parkir yang tidak memadai. Perlu dilakukan evaluasi secara berkala dari pemerintah sehingga pengadaan kegiatan komersil di kawasan ruas jalan R.E.Martadinata ini tidak menimbulkan permasalahan baru, misalnya pengadaan lahan parkir atau gedung parkir bersama. (Eneng)

19 tp eanners Land Use Planning


Kajian ON AIR

Peduli Bandung di

Pukul 10.00 Setiap Hari Sabtu Setiap Dua Minggu Sekali

DIVISI KEPROFESIAN HMP PANGRIPTA LOKA


kata kita diambil dari Tugas Akhir karya: Resfaniarto Indraka (15403043) dengan judul: Kajian Pengaruh Pertumbuhan Fisik Guna Lahan Terhadap Perubahan Jumlah Air Limpasan di Kawasan Perkotaan Lembang

Perubahan Guna Lahan Kawasan Perkotaan Lembang dan Limpasan Air

courtesy:i165.photobucket.com/albums/u80/Trip2Java


S

eiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi terjadi pula p e n i n g kata n ke g i ata n e ko n o m i perkotaan. Pningkatan tejadi baik dari sisi meningkatnya jumlah penduduk perkotaan maupun meningkatnya kegiatan kebutuhan ruang perkotaan yang besar. Oleh karena kesediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan fungsi-fungsi perkotaan lain selalu akan mengambil ruang di daerah yang belum bercirikan perkotaan dan biasanya adalah pinggiran kota. Gejala pengambil alihan lahan non-urban oleh penggunaan lahan disebut “invasion� sedangkan proses perembetan fisik kekotaan ke arah luar disebut “urban sprawl�.

wilayah nasional dan regional serta adanya faktor kedekatan jarak dan aksesbililitas yang memadai sehingga interaksi keduanya berlangsung intensif. Letak geografis tersebut menjadikan beberapa desa di Kecamatan Lembang tersebut mengalami proses pertumbuhan menjadi areal kekotaan (urban sprawl). Menurut Raperda Kawasan Bandung Utara tahun 2006, Kecamatan Lembang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservarsi karena daerah ini memiliki potensi resapan aircourtesy:aleut.wordpress.com bagi daerah bawahnya, yaitu Kota Bandung dan sekitarnya. Namun saat ini terdapat berbagai lahan yang berfungsi sebagai kawasan resapan air di Kecamatan L e m b a n g b e ra l i h f u n g s i m e n j a d i peruntukkan lainnya. Sejak tahun 1982 pembangunan di Kawasan Bandung Utara mulai bermunculan dan tahun 1993, usaha properti mulai menggeliat di Kawasan Bandung Utara. Hal tersebut dikarenakan

perubahan terhadap jumlah air limpasan di Kawasan Perkotaan Kota Lembang. Sebagaimana yang telah kita telah ketahui bahwa pada saat terjadinya siklus hidrologi terjadi sebuah proses aliran air yang luas dan panjang yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi dan energi matahari yang bersikulasi di ata permukaan tanah atau dataran maupun lautan (Chow). Air di bumi yang meliputi air laut, air danau, dan air sungai akan mengalami penguapan yang disebabkan oleh pemanasan sinar matahari atau biasa disebut evaporasi. Uap air hasil evaporasi bergerak ke atmosfer dan setelah mengalami beberapa proses terjadi, uap air akan menjadi awan. Akibat proses angin yang berhembus, awan-awan akan dibawa ke puncak-puncak pegunungan, sebagian awan yang belum mencapai pegunungan akan diturunkan sebagai hujan dan sebagian lagi diturunkan di daerah pegunungan. Proses ini di dalam siklus hidrologi disebut proses prestisipasi. Khusus mengenai penelitian ini dititkberatkan pada pembahasan mengenai model aliran air tanah di daerah resapan air tanah. Proses penyusupan air permukaan dalam lubang pori atau celah pada tanah di daerah resapan air disebut inflitrasi. Proses penyusupan ini akan

courtesy:www.swrcb.ca.gov

Kecamatan Lembang merupakan salah s a t u w i l ay a h y a n g m e n ga l a m i pertumbuhan yang pesat disebabkan sebagian wilayah Kecamatan Lembang yang dilalui jalan koridorJakartaBandung via Subang yang memiliki intesitas pergerakan tinggi. Selain itu hal tersebut juga karena Kecamatan Lembang menjadi daya tarik wisata bagi para wisatawan maupun para investor di Provinsi Jawa Barat. Tingginya intesitas pergerakan tidak terlepas dari fungsi Jakarta dan Bandung sebagai pusat pertumbuhan

22 tp eanners Land Use Planning

pemandangan alam di Kawasan Bandung Utara sangat menawan dan udaranya sejuk mempunyai nilai jual tinggi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencatat 1996 hingga tahun 2004 ada pengeluaran izin adap perbaru untuk 12 pengembang dengan luas lahan 356,2 hektar.Inilah mengapa penyebab kejadian banjir dan longsor terjadi;karena perubahan alih fungsi hutan lindung yang seharusnya menjadi menyandang fungsi resapan air. Dalam hal ini peneliti, mengkaji bagaimana pengaruh perubahan fisik guna lahan mempengaruhi

berakumulasi pada satu titiktersebut

menemui suatu lapisan batuan yang kedap air. Kemudian dari titik akumulasi ini membentuk suatu zona jenuh air (saturated zone). Perbedaan fisik secara alami kana mengakibatkan air dalam zona ini akan bergerak mengalir baik decara gravitasi, perbedaan tekanan, kontrol struktur banguanan dan parameter lainnya. Kondisi inilah yang disebut aliran air tanah dan daerah aliran tanah disebut daerah aliran


courtesy:skyscrappercity/cyberprince

(flow zone). Kawasan Bandung utara yang termasuk didalamnya adalah kawasan perkotaan lembang merupakan kawasan resapan air yang termasuk dalam kategori kawasan lindung yang memindungi kawasan dibawahnya. Banyak fungsi dari jenis kawasan ini yaitu mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidroorologis tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan selalu dapat terjamin mengendalikan hidrologi wilayah. Kemudian berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta untuk melindungi ekosistem yang khas di kawasan bergambut; memberikan ruang yang cukup bagi resapan air hujan pada kawasan resapan air untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik u nt u k kawa s a n b awa h a n nya maupun kawasan yang bersangkutan. Kawasan resapan air merupakan

daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna sebagai sumber air. Jenis kawasan ini tidak hanya memiliki manfaat secara i n t e r n a l ya i t u b a g i ka w a s a n perkotaan lembang melainkan dalam lingkup yang lebih luas yaitu bagi cekungan bandung dan provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu pemanfaatan ruang harus mengutamakan fungsi lindung yang telah ditetapkan. Ketika fungsi sebagai resapan air tidakberjalan, itu artinya bahwa limpasanair (run-off) yang terjadi sangat tinggi. Terdapat empat jenis limpasan air mulai dari low runoff, moderate runoff, moderate to high runoff hingga high runoff. Run-off yang terjadi pada suatu lahan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu topografi dan kemiringan lahan, hidrogeologi, kondisi tanah dan klimatologi. Dalam penelitian digunakan metode SCS Run Off Curve Number, yaitu parameter empiris yang digunakan untuk memperkirakan jumlah air limpasan.

Metode ini dianggap efisien dan akurat karena mempertimbangkan jenis tanah, guna lahan, perlakuan dan kondisi hiodrologi. Hasilnya adalah terdapat kategori mengenai potensi terjadinya air limpasan dari rendah hingga tinggi. Selain itu, terdapat klasifikasi air limpasan yaitu mulai dari kelas rendah, kelas sedang, kelas tinggi hingga kelas ekstrim. Dapat dikatakan bahwa p e n g g u n a a n l a h a n d i s u at u perkotaan akan berpengaruh terhadap siklus hidrologi termasuk limpasan air. Terjadi trade-off antara kawasan resapan air yang berpengaruh terhadap aspek lingkungan dengan berbagai kegiatan budidaya di kawasan perkotaan lembang. Adanya kebutuhan akan berbagai kegiatan yang beralasan ekonomi m e m b u at b a nya k te r j a d i nya perubahan pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan lembang, hal tersebut bahkan mengambil lahan fungsi yang seharusnya lindung. Hal t e r s e b u t m e m b u a t l i n g k u n ga n terdegradasi, termasuk memicu terjadinya bencana alam. Padahal kawasan resapan air yang merupakan kawasan lindung memiliki fungsi yang sangat signifikan yaitu berfungsi untuk mencegah banjir dan longsor pada saat musim hujan dan menjaga cadangan air pada saat musim kemarau. Jika pertumbuhan tidak diarahkan dan dibatasi dikhawatirkan pembangunan akan semakin meluas. Pertumbuhan kota lembang yang diidentifikasi pada penelitian ini berdasarkan guna lahan tahun 1995 dan 2007. Dalam penelitian dilakukan pemisalan teradap kondisi tutupan lahan di Kota Lembang yang mengacu pada klasifikasi Soil Conservation Service Run Off Curve Number, yaitu

23 tp eanners Land Use Planning


;Peta Guna Lahan Kawasan Perkotaan Lembang Tahun 1995 dan 2007

1995 kondisi guna lahan diasumsikan memiliki karakteristik tutupan lahan yang homogen. Data sekunder yang telah diperoleh akan dipilah berdasarkan jenis guna lahannya untuk kemudian dimasukkan dalam klasifikasi description of land use lalu dilakukan pemisalan. Begitupun dengan guna lahan perumahan yang dibagi menjadi beberapa pemisalan yaitu RO-1 : perumahan memilikitutupan impervious sebesar 25% , RO-2 : perumahan memiliki tutupan impervious sebesar 38%, RO-3 : perumahan memiliki tutupan impervious sebesar 65%, RO-4 : perumahan memiliki tutupan impervious sebesar 72% dan RO-5 : perumahan memiliki tutupan impervious sebesar 89%. Dari pemisalan yang telah disebutkan sebelumnya, selanjutnya dilakukan i d e n t i f i ka s i u n t u k m e n g e t a h u i persebaran jenis tanah pada guna lahan yang bersangkutan dengan cara dioverlay. Hasilnya adalah diketahuinya guna lahan berikut luasnya serta persebaran jenis tanahnya. Data ini kemudian digunakan untuk menentukan nilai Curve Number (CN). Angka CN ini kemudian digunakan untuk menentukan jumlah air yang melimpas berdasarkan pada rumus : 2

(P 0.2 S ' ) ;x (Luas setiap RO = (P + 0 .8S ' ) guna lahan)

24 tp eanners Land Use Planning

2007 RO : Rainfall excess P : Rainfall volume S' : Storage at saturation, yang didapatkan dari rumus

1000 S ' =10 CN analisis perubahan fisik guna lahan tahun 1995-2007 dimaksudkan untuk mengetahui perubahan fisik guna lahan yang terjadi di Kota Lembang sejak tahun 1995 hingga tahun 2007 dan pengaruhnya terhadap fluktuasi volume air yang melimpas. Simulasi pertama yaitu kondsi fisik guna lahan Kota Lembang tahun 1995 yang berada pada kondisi sangat baik dibandingkan tahun tahun 2007 yang juga dimisalkan berada pada kondisi yang sangat baik. Akan tetap terjadi peningkatan nilai limpasan air sebesar 46.756 m3, selama rentang waktu tersebut terjadi peningkatan air yang melimpas sebesar 9,68%. Simulasi kedua jika kondisi 1995 paling baik-2007 paling buruk. Terdapat peningkatan volume air limpasan sebesar 302.812 m3, artinya sejak tahun 1995 hingga tahun 2007 terdapat peningkatan volume air yang melimpas sebesar 62,69%.

Simulasi ketiga jika kondisi 1995 paling buruk-2007 paling baik. Akan terjadi pengurangan jumlah air yang melimpas di Kota Lembang hingga sebesar 11,58%. Simulasi keempat jika kondisi 1995 paling buruk-2007 paling buruk. Maka maka faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah air yang melimpas adalah peningkatan dan penurunan luas setiap guna lahan di kawasan tersebut. Dari

courtesy: Resfaniarto Indraka

simulasi ini terjadi kenaikan air limpasan secara besar-besaran hingga 62,69%. Tiga dari empat simulasi mengindikasikan peningkatan nilai air limpasan, artinya selama rentang waktu tersebut terdapat potensi kenaikan air limpasan (run off) di Kota Lembang dengan volume sebesar 9,68% hingga 31,15%. Kenaikan air limpasan tersebut pasti akan terjadi apabila tidak ada perubahan pada kondisi guna lahan hutan dan perumahan. Secara garis besar, peningkatan/ penurunan nilai air yang melimpas ini disebabkan adanya perubahan pada tiga faktor yaitu : jenis guna lahan, karakteristik tutupan lahan dan luas guna lahan. Guna lahan yang paling optimal dalam menunjang fungsi resapan air adalah hutan. Terutama pada kondisi hutan yang baik, dalam artian tidak terdapat pembalakan ataupun kebakaran dan banyak semak maka akan menyebabkan pengurangan nilai air yang melimpas secara signifikan. Setiap konversi/perubahan fisik guna l a h a n d i Ko ta L e m b a n g a ka n mempengaruhi fluktuasi volume air limpasan. Setiap konversi lahan seluas 100 m2 dari guna lahan pohon menjadi guna lahan lain (non-hutan) pasti akan courtesy:dhenz.files.wordpress.com meningkatkan volume air limpasan .Penelitian atau perhitungan yang dilakukan di atas dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan perijinan perubahan guna lahan di


tidak diijinkan berubah fungsi menjadi guna lahan lainnya karena guna lahan ini mampu mengurangi jumlah air limpasan secara signifikan. Guna lahan sawah dan kebun sebaiknya tidak berubah fungsi menjadi guna lahan ladang ataupun perumahan. Namun sebaliknya, guna lahan ladang dianjurkan untuk berubah fungsi menjadi sawah dan kebun, namun sebaiknya tidak berubah fungsi menjadi guna lahan perumahan. Guna lahan perumahan harus mendapatkan perhatian khusus karena mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap penurunan/kenaikan jumlah air limpasan. Pertumbuhan perumahan di Kota Lembang harus tetap memperhatikan arahan Kota Lembang. Guna lahan hutan sebaiknya pemanfaatan ruang Kawasan Bandung Utara. Kebijakan yang harus dilakukan untuk bidang perumahan di Kota Lembang saat ini adalah membatasi penambahan guna lahan perumahan dan tidak mengeluarkan ijin baru untuk pembangunan perumahan.

Kelas limpasan di Kota Lembang pada tahun 1995 maupun 2007 termasuk dalam kelas limpasan sedang. Kondisi ini kurang sesuai apabila dikaitkan dengan fungsi Kota Lembang sebagai daerah resapan air. Seharusnya jumlah air limpasan air di Kota Lembang termasuk dalam kelas limpasan rendah (<25%) sebagai indikator bahwa fungsi resapan air di kawasan tersebut berjalan dengan baik. Meskipun terdapat potensi kenaikan air limpasan, namun masih terdapat pula kemungkinan penurunan air limpasan. Perumahan merupakan guna lahan yang harus mendapatkan perhatian khusus karena mampu memberikan dampak peningkatan volume air limpasan secara signifikan terutama apabila memiliki tutupan impervious yang sangat besar.

Terdapat rekomendasi yang diberikan penulis. Beberapa rekomendasi tersebut diantaranya: Terkait fungsi Kota Lembang sebagai kawasan perkotaan yang juga menyandang fungsi resapan air, maka harus

diperhatikan agar kedua fungsi tersebut dapat berjalan beriringan Agar dapat dicapai maka perlu peraturan dan kebijakan yang jelas dan dapat diterapkan secara praktis di lapangan. Pertumbuhan Kota Lembang jangan sampai mengganggu fungsi lindung yaitu tidak menimbulkan kenaikan air limpasan, bahkan bila memungkinkan dikurangi. Setiap konversi guna lahan di Kawasan Perkotaan Lembang tidak boleh m e n ga k i b at ka n p e n a m b a h a n jumlah air limpasan. Rekomendasi yang paling memungkinkan adalah tidak lagi memberikan ijin baru untuk pembangunan perumahan. Adapun upaya mengembalikan keoptimalan fungsi Kota Lembang sebagai kawasan lindung juga dapat penerapan/rekayasa teknologi, misalnya lubang resapan air (biopori). (Rera)

courtesy:skyscrappercity.com/v-sun

25 tp eanners Land Use Planning


Potret

courtesy:skyscrappercity.com/ozieloa/2009

Land Use In Bandung courtesy:skyscrappercity.com

courtesy:skyscrappercity.com/v-sun

26 tp eanners Land Use Planning

courtesy:skyscrappercity.com/trip2java


courtesy:skyscrappercity.com/dahni_aja

courtesy:skyscrappercity.com/trip2java

courtesy:skyscrappercity.com/WiWiWi

courtesy:skyscrappercity.com/v-sun courtesy:skyscrappercity.com/dochan

25 tp eanners Land Use Planning


t e p anners in August

coming soon


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.