Buletin PATRA Energy Insight

Page 1

PATRA ENERGY INSIGHT DIVISI KAJIAN ENERGI TAKTIS

HMTM “PATRA” ITB 2019/2020 DEPARTEMEN KAJIAN ENERGI


“Bakti Kami untukMu: Tuhan, Bangsa, dan Almamater�

Publikasi ini dilakukan sebagai dedikasi dan apresiasi terhadap tugas magangers Divisi Kajian Energi Taktis 2019/2020

Oleh: Adryan Samuel Hutagalung (12218009), Artahsasta Adi Wicaksana (12218017), Dian Asfriany Nurfalah (12218027), Muhammad Fajril Afkaar Ali Muchtar (12218050), Rafidian Naufal Ramadhan (12218084), Wahyu Setiawan (12216062/Kepala Divisi Kajian Energi Taktis)


BAGIAN I HULU MIGAS


Minyak dan Gas Bumi Sebelum mempelajari bisnis hulu migas secara komprehensif, ada baiknya bila kita berkenalan dengan migas itu sendiri. Berdasarkan teori pembentukan minyak dan gas bumi secara garis besar terbagi menjadi teori organik dan teori anorganik. Pada teori anorganik dipercaya bahwa migas terbentuk melalui proses alam biasa dan dipercaya sudah ada dialam sejak awal. Sedangkan pada teori organik Minyak dan gas bumi merupakan hasil dari proses pengendapan komponen organik makhluk hidup purbakala yang mengalami perubahan tekanan bersuhu tinggi dan melalui proses secara perlahan dalam jangka yang sangat panjang. Ilmuwan dari Universitas Utas, Jeffry S. Dukes (2003), memperkirakan bahwa 1 galon minyak bumi membutuhkan 90 ton tumbuhan purbakala sebagai bahan material. Dengan kata lain untuk memperoleh 1 liter minyak dibutuhkan 23.5 ton tumbuhan purbakala. namun dalam praktiknya saat ini, teori anorganik jarang digunakan dalam proses pencarian migas. Proses awal terbentuknya migas diawali dengan matinya organisme tumbuhan dan hewan yang tertimbun oleh pasir mapun lumpur yang pada akhirnya membentuk lapisan zat organik. Dari proses berulang selama jutaan tahun ini akan terbentuk batuan sedimen (sedimentary rock), dimana organisme tersebut akan mengalami proses pemasakan hingga terbentuklah hidrokarbon. Pembentukan migas sangat bergantung pada temperatur di dalam tanah dengan kisaran antara 650C hingga 2600C. Bila kurang dari 650C hidrokarbon tidak akan terbentuk, namun bila lebih dari 2600C hidrokarbon akan terurai. Pada umumnya, hidrokrabon ditemukan pada temperatur 1070C sampai 1770C.

Gambar 1. Jebakan Minyak Bumi (Sumber: A. Rinto, 2012)


Terdapat setidaknya tiga faktor yang memungkinkan fosil yang mengalami tekanan yang besar dan terkena suhu yang tinggi akan berubah menjadi migas (Gambar 1), yaitu sebagai berikut. 1. Faktor “batuan asal” (source rock). 2. Terjadi perpindahan atau migrasi hidrokarbon dari batuan asal menuju ke “batuan reservoir” (resercoir rock), umumnya sandstone atau limestone yang berpori-pori (porous) dan ukurannya cukup untuk menampung hidrokarbon. 3. Terjadi jebakan (entrapment) geologis sebagai akibat dari pergerakan dari dalam bumi bisa berupa gempa bumi atau erupsi gunung api. Berdasarkan umur dan letak kedalamannya, minyak bumi digolongkan menjadi empat golongan, yaitu sebagai berikut. 1. Minyak bumi young-shallow, biasanya bersifat masam (sour), mengandung banyak bahan aromatik, sangat kental dan kandungan sulfurnya tinggi. 2. Minyal bumi old-shallow, relatif tidak terlalu kental dengan titik didih yang telatif rendah, dan rantai paraffin-nya agak pendek. 3. Minyak bumi young-deep, relatif kental dan pekat. Biasanya dalam proses penyulingan membutuhkan beberapa tahapan pengerjaan. Oleh karena itu jenis minyak bumi ini realatif tidak terlalu disukai. 4. Minyak bumi old-deep, minyak bumi yang paling baik untuk menghasilkan bahan bakar minyak seperti bensin (gasoline). Disebut juga “sweet oil”.


1.1 POLA BISNIS HULU MIGAS Secara umum dalam pengaturan secara fiskal untuk sumber daya alam migas dalam sektor hulu pola bisnis hulu migas terbagi menjadi dua yaitu sistem konsesi dan sistem kontrak. A. Sistem Konsesi Pada sistem ini berpangkal pada paham private property, dimana pemerintah tidak ikut campur dalam kegiatan operasi perusahaan. Pemerintah juga tidak berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam seperti bagaimana memproduksi, jumlah yang akan diproduksi tahun ini, dsb. Pada sistem ini, yang paling penting bagi pemerintah adalah royalty. Kelemahan dari sistem ini adalah kontrol atas pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah sangat lemah. Pemerintah tidak dapat melakukan pengendalian terhadap pengurasan sumber daya alam oleh perusahaan. B. Sistem Kontrak Manajemen pengelolaan sumber daya alam migas dengan menggunakan pola atau sistem kontrak berarti bagaimana sumber daya alam tersebut diupayakan dan dikembangkan akan diatur dan dimuat dalam kontrak. Kontrak kerja sama dibagi 2 yaitu kontrak bagi produksi ( Product Sharing Contract) dan kontrak jasa ( Service Contract) . Sementara kontrak jasa dibagi 2 yaitu kontrak jasa mumi dan kontrak jasa beresiko. Dalam sistem kontrak bagi produksi, kontraktor dan pemilik usaha mendapatkan hasil produksi dari usaha yang dalam hal ini adalah migas. Sementara dalam kontrak jasa, kontraktor mendapatkan uang dan pemilik usaha mendapatkan seluruh hasil produksi. Di Indonesia sendiri Sistem yang digunakan adalah sistem kontrak bagi produksi atau biasa disebut PSC (Production Sharing Contract). Hal ini dipilih dengan mempertimbangakan risiko, modal, amanat undang-undang, dan SDM.


Secara kegiatan operasi dalam hulu migas rantai bisnis migas terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu bisnis hulu migas (upstream), bisnis tengah migas (midstream), dan bisnis hilir migas (downstream). Bisnis hulu migas berbicara soal eksplorasi (kegiatan mencari dan membuktikan keberadaan minyak bumi maupun gas alam pada suatu wilayah tertentu) dan eksploitasi (kegiatan yang bertujuan untuk mengambil minyak bumi maupun gas alam dari bawah ke atas permukaan). Bisnis tengah migas bertujuan menjembatani kegiatan bisnis hulu migas dengan bisnis hilir migas yang berkaitan erat dengan kegiatan transportasi dalam pengertian luas. Sedangkan bisnis hilir migas mencangkup empat kegiatan, yaitu kegiatan refinery atau penyulingan, kegiatan penyimpanan, perdagangan migas, dan pendistribusian, termasuk pemasaran produk migas. Bisnis hulu migas mencangkup lima tahapan, yaitu sebagai berikut: 1. Mendapatkan wilayah kerja migas. 2. Mengeksplorasi dan melakukan studi. 3. Mengembangkan atau membangun. 4. Mengekstraksi dan memelihara. 5. Menutup lapangan. Bisnis hulu migas diawali dengan penawaran kerja pertambangan migas oleh pemerintah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Migas Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Penawaran kerja pertambangan migas akan menghasilkan wilayah kerja migas (WK migas) bagi investor. Oleh karenanya, investor perlu mempelajari peraturan atau dasar hukum di negara yang bersangkutan. Hukum yang mengatur kegiatan hulu migas di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 35 Tahun 2008 yang mengatur tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi (sering disebut dengan wilayah kerja migas konvensional) dan Peraturan Menteri ESDM No. 15 Tahun 2012 yang mengatur tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Nonkonvensional. Kedua hukum ini menjelaskan mengenai penetapan wilayah kerja minyak dan gas bumi, penawaran wilayah kerja, jaminan penawaran dan jaminan pelaksanaan, kriteria penilaian lelang reguler wilayah kerja dan penawaran langsung wilayah kerja, dan penetapan pelaksana kegiatan eksplorasi dan ekploitasi pada wilayah kerja migas. selain itu peraturan lainnya mengenai hulu migas juga tertuang dalam Undang-undang, Perpres, dan Peraturan pemerintah.


Selain peraturan yang berlaku, investor juga harus memperhatikan model yang digunakan dalam pengelolaan sumber daya alam migas secara komersial. Apakah menggunakan model royalti, model kerja sama, model campuran, ataukah model yang lain. Permodelan ini dipengaruhi oleh beberapa aspek, salah satunya yaitu paham kepemilikan negara dalam mengelola sumber daya alam migas. Menurut Gibb dan Bromly (1995), paham kepemilikan negara dalam mengelola sumber daya alam migas dibagi menjadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut. 1. Paham state property, yaitu sumber daya alam migas dimiliki negara. 2. Paham private property, yaitu sumber daya alam migas dimiliki pribadi 3. Paham communal property, yaitu sumber daya alam migas dimiliki masyarakat 4. Paham no property, yaitu sumber daya alam migas dimiliki semua orang. Dalam bisnis hulu migas, tidak hanya peraturan yang harus diperhatikan, namun juga harus mempertimbangkan risiko bisnis. Hal ini didasarkan pada data penelitian awal oleh investor berdasarkan informasi WK migas yang ditawarkan oleh pemerintah. Risiko ini diukur dengan cara menetapkan rasio keberhasilan ekplorasi, yang didapat dengan membandingkan keberhasilan eksplorasi dengan total eksplorasi selama satu tahun. Bagi investor, risiko bisnis penting karena menentukan interest yang berujung pada keikut sertaan dalam tender. Sementara bagi pemerintah, risiko ini akan menentukan bentuk, model, dan metode penawaran WK migas. Tahapan dalam bisnis hulu migas setelah memperoleh WK migas dan kesepakatan isi kontrak atau klausul izin yaitu kegiatan eksplorasi. Eksplorasi sendiri merupakan kegiatan studi dan pembuktian keberadaan migas. Kegiatan ini berupa studi geologi, studi geofisika, dan pembuktian keberadaan migas dengan melakukan drilling eksplorasi. Pada tahapan ini, memiliki risiko bisnis paling tinggi, karena ketika eksplorasi gagal maka perusahaan akan mengalami kerugian secara langsung (uang yang dialokasikan pada kegiatan eksplorasi akan hilang seluruhnya). Kegagalan tersebut bisa diakibatkan oleh dua hal. Pertama, kesalahan teknis dimana cadangan migas sebenarnya atau namun alat atau metode yang digunakan tidak efektif, sehingga menunjukan bila tidak terbukti adanya cadangan migas. Kedua, WK migas yang ditawarkan memang tidak mengandung migas. Lalu mengapa pemerintah masih melakukan penawaran pada WK migas tersebut? Mungkin saja survey yang dilakukan diawal tidak memberikan informasi yang detail dan pada WK migas tersebut terindikasi adanya migas. Dalam hal ini, kita akan selalu berjumpa dengan uncertainity (ketidak pastian). Maka dari itu terkadang pemerintah memerlukan investor untuk melakukan pembuktian lebih lanjut.


Bila investor telah berhasil melakukan eksplorasi, tahapan berikutnya yaitu melakukan pengembangan dan pembangunan lapangan. Dalam tahap ini mencangkup tiga kegiatan utama, yaitu Pre-FEED (Front End Engineering Design), FEED, dan konstruksi. Selain itu, juga perlu diperhatikan berbagai macam aspek, seperti studi analisis dampak lingkungan, studi sosial, studi gempa, studi arus laut dan ombak, serta studi lain yang relevan. Dalam evaluasi Pre-FEED dan FEED wajib memperhatikan dua unsur sekaligus, yaitu unsur teknis dan keekonomian, atau dengan kata lain unsur teknoekonomi. Hasil dari studistudi tersebut akan dituangkan dalam POD (Plan of Development). Dalam konteks bagi produksi atau PSC (Production Sharing Contract), seperti di Indonesia, kegiatan pengembangan dilakukan oleh investor dan pemerintah secara bersama-sama sehingga keputusan investasi bergantung pada POD yang disiapkan oleh investor yang nantinya akan disetujui oleh pemerintah. Bila POD sudah disetujui, maka akan dilakukan tahapan berikutnya, yaitu pelaksanaan POD. Inti dari kegiatan ini yaitu pembangunan peralatan ekstraksi dan perawatan (treatment) atau sering dikenal dengan pembangunan fasilitas produksi (mengangkat migas ke permukaan dan mengelolanya). Hal ini meliputi pembangunan platform, pemboran sumur, pemasangan pipa, pembangunan alat penyimpanan, pembangunan fasilitas pendukung, dan sebagainya. Suatu lapangan migas yang diproduksikan terus menerus pada suatu saat akan mengalami peak (puncak) yang selanjutnya akan mengalami penurunan produksi. Pada kondisi ini, lapangan dikatakan mature field. Bila proses ini terus berlanjut, maka lapangan tersebut akan sampai pada suatu titik dimana kandungan hidrokarbon tidak lagi ekonomis untuk diproduksikan. Maka dari itu, tahapan berikutnya yaitu rehabilitasi. Program ini bertujuan untuk mengembalikan area operasi ke keadaan semula atau kurang lebih sama seperti keadaan semula. Namun dalam pelaksanaannya, mungkin saja peralatan tidak dapat dicabut dengan alasan teknis maupun ekonomis. Dalam hal ini perusahaan harus memastikan peralatan tersebut ditinggalkan dalam kondisi aman. Kegiatan akhir operasi disebut dengan Abandonment and Site Restoration (ASR). Setelah semua tahapan telah selesai, maka kegiatan hulu migas dapat diakhiri dengan ditandai penutupan secara resmi dan pengembalikan WK migas pada pemerintah.


1.2 PRODUCTION SHARING CONTRACT (PSC) Seperti yang kita ketahui, kegiatan bisnis hulu migas di Indonesia didasarkan pada UUD 1945 pasal 33, dimana sumber daya alam yang dimiliki negara dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, kegiatan hulu migas di Indonesia harus memenuhi syarat sebagai berikut (Rinto, 2013). 1. Penguasaan sumber daya alam migas tetap berada di Pemerintah. 2. Pemerintah tidak akan menganggung risiko atas tidak ditemukannya cadangan migas. 3. Pemerintah tidak menghadapi kesulitan dana, dana selalu tersedia kapan saja dan dalam jumlah yang tidak terbatas karena operasi perminyakan menghadapi banyak ketidakpastian. Berdasarkan syarat diatas, pola bisnis Production Sharing Contract (PSC) akan cocok digunakan, dengan cara menemukan investor yang tepat. Pertama, investor yang memiliki ketrampilan, keahlian dan teknologi yang cukup untuk melakukan pencarian cadangan migas. Kedua, investor yang memiliki dana yang memadai untuk kebutuhan operasional. Ketiga, cari investor yang biasa menghadapi risiko tinggi. Secara singkat, PSC dapat didefinisikan sebagai bisnis yang didasarkan pada pola kerjasama (Rinto, 2013). Dimana pemiliki sumber daya alam mempekerjakan kontraktor yang mengupayakan dan mengoperasikan WK migas. Dana yang dikeluarkan oleh kontraktor akan ditanggung terlebih dahulu oleh kontraktor dan kebutuhan dana harus tercukupi. Apabila proyek yang dikerjakan gagal, tidak menghasilkan apa-apa, maka kontraktorlah yang menanggung seluruh risikonya. Akan tetapi, bila proyek yang dikerjakan berhasil, maka dana yang tadi dipinjamkan akan dikembalikan dan hasil yang lebih akan dibagi dua dengan persentase terbesar dipegang oleh pemilik sumber daya alam. Perkembangan PSC PSC digagas oleh Ibnu Sutowo, yang menentang sistem Kontrak Karya karena tidak yakin bahwa sistem ini akan membawa perubahan dibanding sistem konsesi sebelumnya. Pada awal dikenalkannya PSC, perdebatan mengenai legalitas muncul mengingat UU No. 44 Tahun 1960 tidak mengenal PSC melainkan Perjanjian Karya. Hal ini membuat investor mempertanyakan keabsahan PSC. Baru pada tahun 1971 dengan UU No. 8 Tahun 1971, tentang Pertamina, terdapat dasar hukum PSC yang dimuat dalam pasal 12, yang berbunyi sebagai berikut.


Ayat (1) : “Perusahaan, dalam hal ini Pertamina, dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Producion Sharing.� Ayat (2) : “syarat-syarat kerjasama sebagaimana termaktub dalam ayat (1) pasal ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).� Namun, dalam kenyataannya PP yang dimaksud baru keluar setelah 23 tahun, dengan keluarnya PP No. 35 Tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. Dalam perkembangannya, sejarah PSC di Indonesia terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu sebagai berikut. PSC Generasi Pertama (1966-1975) Prinsip dari PSC Generasi Pertama, yaitu : 1. Perusahaan migas berkedudukan sebagai Kontraktor Pertamina. 2. Manajemen dari seluruh kegiatan Kontraktor berada di tangan Pertamina. 3. Cost Recovery dibatasi sebesar 40% dari total pendapatan per tahun. 4. Selisih antara Pendapatan Bruto per tahun dengan Cost Recovery (60%) dibagi antara Pertamina dan Kontraktor sebesar 65% : 35% (dimana 65% merupakan bagian Pemerintah yang sudah termasuk pajak Kontraktor). Bagian pemerintah meningkat menjadi 67.5% untuk laju produksi tertentu yang lebih besar (tergantung besarnya laju produksi yang tercantum di dalam kontrak masing-masing, umumnya diatas 50,000 barel per hari). 5. Kontraktor diwajibkan memasok 25% dari bagian produksinya untuk keperluan domestik (Domestic Market Obligation) dengan harga 0.20 $/barel. Ketentuan dan persyaratan PSC Generasi Pertama ini relatif sederhana, dimana pemerintah selalu dijamin memperoleh minimal 39% dari produksi bruto setiap tahun. Namun, pada generasi ini aspek perpajakan belum jelas pengaturannya (poin 4). Otoritas pajak Amerika Serikat (IRS / Internal Revenue Service) menolak mengakui pajak yang dibayar oleh Kontraktor melalui Pertamina sebagai pengurang pajak (tax deductable), sehingga Kontraktor migas dari Amerika Serikat terancam pembayaran pajak ganda. Pada saat terjadi krisis minyak tahun 1973-1974 akibat perang Timur Tengah yang mengakibatkan melonjaknya harga minyak. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah melakukan perundingan ulang dengan Kontraktor yang melahirkan PSC Generasi Kedua.


PSC Generasi Kedua (1976-1988) Perubahan dari PSC Generasi Pertama ke PSC Generasi Kedua, bertujuan untuk mengatasi masalah perpajakan akibat tidak diakuinya pajak pengahasilan Kontraktor di Indonesia oleh kontraktor pajak negara asal. Sehingga, ketentuan dari PSC dimodifikasi sedemikian rupa agar ridak merugikan Kontraktor dari sisi perpajakan internasional. Perubahan yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Cost Recovery tidak lagi dibatasi dan didasarkan pada Generally Accepted Accounting Principle (GAAP). 2. Selisih antara pendapatan bruto dengan Cost Recovery kemudian dibagi antara Pertamina dan Kontraktor masing-masing sebesar 65.91% : 34.09% untuk minyak dan 31.82% : 68.18% untuk gas. 3. Bagian Kontraktor akan dikenakan tarif pajak sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak penghasilan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah dikenakan pajak adalah 85% : 15% untuk minyak dan 70% : 30% untuk gas. 4. Dengan adanya undang-undang pajak tahun 1984 dimana tarif pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian diatas, pembagian produksi sebelum pajak diubah menjadi 71.15% : 28.85% untuk minyak dan 42.31% : 57.69% untuk gas. 5. Untuk lapangan baru, Kontraktor diberi kredit investasi sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi. 6. Pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan metode Double Declining Balance (DDB). Perubahan penting yang terjadi pada PSC Generas Kedua ini adalah dihilangkannya Cost Recovery Ceiling dan ditingkatkannya proporsi bagi hasil minyak yang sebelumnya 65% : 35% menjadi 85% : 15%. Pada tahun 1980-an merupakan masa-masa kelam dunia migas dimana terjadi resesi ekonomi dunia, yang berakibat pada penurunan harga minyak mentah. Puncak dari peristiwa ini terjadi pada tahun 1986, dimana harga minyak mentah menyentuh angka 10$/barel. Pasar minyak mentah berubah dari “seller market� menjadi “buyer market� dan investor menurunkan aktivitas ekplorasi minyak selama periode tersebut. Situasi ini diperburuk dengan adanya inflasi yang meningkatkan biaya produksi dan kenyataan bahwa lapangan minyak yang berproduksi sudah mulai tua dan produksinya mulai menurun sehingga perlu perawatan yang lebih intensif.


Pada masa ini, Pemerintah maupun Kontraktor mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi, antara lain sebagai berikut. 1. Kriteria komersialitas yang ditetapkan Pemerintah untuk pengembangan lapangan baru dimana bagian yang diterima Pemerintah tidak kurang dari 49% pendapatan (termasuk kewajiban pajak Kontraktor). Hal ini menimbulkan masalah untuk pengembangan lapangan marjinal. 2. Anjloknya harga minyak menjadi masalah bagi pemerintah mengingat kontribusi minyak besar bagi APBN. Dengan tidak dibatasinya Cost Recovery, membuat minyak yang akan dibagi menjadi sedikit atau malah sudah tidak ada lagi. Hal ini tentunya bertentangan dengan semangat berbagi produksi (production sharing) itu sendiri. 3. Banyak kontrak PSC akan berakhir dalam jangka waktu 10 tahun kedepan dan para Kontraktor mengajukan perpanjangan kontrak selama 20 tahun untuk jaminan kepastian pengembalian investasi dan keuntungan dari kegiatan eksplorasi maupun dari proyek secondary recovery. Hal ini membuat pemerintah mempertimbangkan untuk melahirkan ketentuan dan persyaratan PSC yang baru, yaitu PSC Generasi Ketiga. PSC Generasi Ketiga (1988-sekarang) Masalah yang timbul pada PSC Generasi Kedua adalah tidak ada jaminan pendapatan bagi pemerintah yang diakibatkan tidak adanya cost recovery ceiling. Perlunya jaminan pendapatan bagi pemerintah ini melandasi lahirnya PSC Generasi Ketiga. Pada generasi ini diperkenalkan First Tranche Petroleum (FTP) yang besarnya 20%. Dengan demikian, 20% dari produksi bruto ini akan dibagi terlebih dahulu masing-masing buat Pemerintah dan Kontraktor (sebelum dikurangi cost recovery).


Tabel 1 Ringkasan Generasi PSC

FTP Cost Recovery Ceiling

1st PSC

2nd PSC

3rd PSC

Generation

Generation

Generation

(1965-1976)

(1976-1988)

(Since 1988)

None

None

20%

40%

100% (no ceiling) 20%

Investment Credit DMO was Domestic Market

defined as 25%

Obligation (DMO)

of equity oil at 0.2 $/barel

Government : Equity to be Split

Contractor Oil : Gas

65% : 35%

25% of equity oil, full price for the first 60 months and 0.2 $/barel there after

80% (due to FTP) 17% to 20% 25% of equity oil, full price for the first 60 months and 10% of export price there after

85% : 15%

85% : 15%

70% : 30%

70% : 30%

or

or

65% : 35%

65% : 35%

N/A

1.3 PRINSIP-PRINSIP POKOK PSC 1

Ring fencing Konsep ring fencing adalah konsep yang menyatakan bahwa satu WK (WK) migas

'dipagari'. Oleh karena itu, hanya pendapatan dan biaya yang terkait dengan WK yang bersangkutan yang diperhitungkan dalam bagi produksi dan laporan keuangan KKKS. Dampak dari konsep ini adalah jika suatu perusahaan bekerja pada 2 atau lebih WK, maka perusahaan tersebut wajib membuat badan usaha yang berbeda untuk tiap-tiap WK. Misalnya, BU/ BUT Petroleum adalah kontraktor yang menjadi operator pada dua WK migas di Indonesia, yaitu WK migas 'Kemenangan' dan WK Migas 'Andalan'. Maka kedua WK tersebut dapat diberi nama Petroleum (Kemenangan) dan Petroleum (Andalan).


2

Firm Commitment Adalah komitmen kontraktor untuk melakukan pekerjaan dan membelanjakan sejumlah

uang sesuai yang telah disepakati di dalam kontrak. Apabila kontraktor tidak dapat memenuhi komitmennya maka akan dipenalti yaitu membayarkan sejumlah uang sebesar dana uang tidak atau belum dibelanjakan. Konsep ini dibuat untuk menghindari terjadinya contract shopping yaitu perusahaan yang membeli WK migas bukan untuk dikelola dan diupayakan mendapatkan cadangan migas, namun WK dimaksud tersebut dibiarkan terbengkalai bertahun-tahun, sembari menawarkan dan menjual WK tersebut kepada pihak lain. 3

First Tranche Petroleum (FTP) FTP merupakan pengambilan pertama segera setelah produksi terjadi. Hal ini ditujukan

untuk menjamin adanya pemasukan bagi negara mengingat di awal produksi revenue yang diperoleh belum terlalu besar dan belum mampu menutup keseluruhan biaya eksplorasi. Besar FTP untuk pemerintah dan kontraktor masing-masing: 20% x Split x Total Lifting

4

Domestic Market Obligation (DMO ) DMO adalah kewajiban kontraktor untuk menyerahkan sejumlah migas dari bagian

mereka kepada Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Harga migas yang diserahkan kepada Pemerintah beragam, biasanya ditetapkan di dalam kontrak. Namun di awal proyek mulai berproduksi biasanya Pemerintah “membeliâ€? minyak bagian DMO ini full-price untuk menjamin proyek tetap ekonomis bagi KKKS. Pada kontrak­ kontrak baru sejak tahun 2006, DMO diberlakukan juga untuk gas bumi. Besamya DMO adalah: 25% x Split X Total Lifting


1.4 PSC VS GROSS SPLIT Dengan skema ini, sistem PSC menjadi lebih simpel. Misalkan bagi hasil antara negara dan kontraktor 50:50, maka bagian kontraktor adalah 50% dari hasil produksi tanpa ada tambahan dari cost recovery. Negara tidak menanggung biaya operasi yang dikeluarkan untuk memproduksi migas, seluruhnya menjadi tanggungan kontraktor. Jadi bagian yang diterima negara bersih 50%, tidak dipotong cost recovery. Dalam Peraturan Menteri no 52 tahun 2017 tentang revisi skema Bagi Hasil Gross Split, telah ditetapkan besaran bagi hasil awal (base split) dengan rincian, untuk minyak bumi 57 % bagian negara dan 43 % bagian kontraktor, untuk gas 52 % bagian negara dan 48 % bagian kontraktor. Lalu bagaimana perhitungan nya? Dalam skema gross split, ada base split, variable split, dan progressive split. Base split adalah pembagian dasar. Sedangkan variable split dan progressive split adalah faktor-faktor penambah atau pengurang base split. Sebagai contoh, misalkan pemerintah menetapkan base split 70% produksi minyak untuk negara dan 30% bagian kontraktor. Bagian negara sebesar 70% dan bagian kontraktor 30% ini akan ditambah atau dikurangi oleh variable split dan progressive split. Berikut adalah skema PSC gross split.


Pembahasan tentang perhitungan Gross Split bisa Anda dapatkan di link berikut: bit.ly/GrossSplitPATRA

1.5 BAGI HASIL DAERAH Apa yang dimaksud dengan Dana Bagi Hasil? Dana Bagi hasil merupakan salah satu dari dana perimbangan yang menjadi sumber pendapatan daerah. Apa saja sumber Dana Bagi Hasil? Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dasar pemerintah dalam membagi persentase dana bagi hasil migas adalah Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Sedangkan sumber DBH dari sumber daya alam berasal dari Kehutanan, Pertambangan, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi dan Pertambangan Panas Bumi Bagaimana Perhitungan Dana Bagi Hasil untuk Pertambangan Minyak dan Gas Bumi? Sebelum dilakukan pembagian penghitungan bagi hasil, hal pertama yang harus diketahui adalah definisi daerah penghasil. Hal ini penting karena akan mempengaruhi persentase perhitungan bagi hasil. Apabila suatu lokasi pertambangan berada di darat (onshore), mudah bagi kita untuk menentukan lokasi wilayah dari pertambangan tersebut. Namun yang menjadi masalah, bagaimana menentukan kriteria daerah penghasil bagi lokasi yang terletak di laut (offshore)? Daerah penghasil untuk wilayah offshore ditentukan sebagai berikut: •

Jika wilayah pertambangan tersebut berada > 12 mil maka lokasi pertambangan tersebut dianggap masuk wilayah pemerintah pusat

•

Jika wilayah pertambangan tersebut berada antara 4 - 12 mil maka lokasi pertambangan tersebut dianggap masuk wilayah pemerintah provinsi dimana lokasi tersebut berada

•

Jika wilayah pertambangan tersebut berada kurang dari 4 mil maka lokasi pertambangan tersebut dianggap masuk wilayah pemerintah kabupaten/kota dimana lokasi tersebut berada

Baik, kalau begitu bagaimana dengan persentase bagi hasilnya? Dana Bagi Hasil untuk minyak dan gas berbeda dalam persentase. Untuk minyak bumi, pemerintah pusat mendapatkan 85% sedangkan 15% nya dibagi ke daerah penghasil. Untuk gas bumi,


pemerintah pusat mendapatkan 70% sedangkan 30% nya dibagi ke daerah penghasil. Persentase tersebut sama dengan persentase bagi hasil yang diatur dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC). Namun Pemerintah Pusat menambah 0,5% dari bagian bagi hasilnya kepada daerah untuk dana pendidikan. Sehingga share pemerintah berkurang 0.5% sedangkan daerah bertambah 0.5% Persentase tersebut merupakan persentase yang akan dikalikan dengan bagian yang menjadi hak pemerintah sesuai dengan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Lalu, berapa persen yang didapat pemerintah provinsi/kabupaten/kota? Bagian yang diterima oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota tergantung dari definisi daerah penghasil. •

Jika daerah penghasil merupakan pemerintah pusat (> 12 mil), maka hasil dari lapangan migas tersebut 100% menjadi milik pemerintah pusat

•

Jika daerah penghasil termasuk wilayah provinsi (4-12 mil), maka dari 15% share daerah, 5% merupakan bagian pemerintah provinsi sedangkan 10% sisanya menjadi hak seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut (dibagi rata).

•

Jika daerah penghasil termasuk wilayah kabupaten/kota (<4 mil), maka dari 15% share daerah, pemerintah provinsi mendapatkan 3%, 6% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6% untuk kabupaten/kota lain dalam provinsi yang bersangkutan.

Pembagian diatas kan untuk minyak bumi. Bagaimana dengan gas bumi? Secara umum, Dana Bagi Hasil Minyak Bumi memiliki persentase dua kali lipat dari gas bumi. •

Jika daerah penghasil termasuk wilayah provinsi (4-12 mil), maka dari 30% share daerah, 10% merupakan bagian pemerintah provinsi sedangkan 20% sisanya menjadi hak seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut (dibagi rata).

•

Jika daerah penghasil termasuk wilayah kabupaten/kota (<4 mil), maka dari 30% share daerah, pemerintah provinsi mendapatkan 6%, 12 persen untuk kabupaten/kota penghasil; dan 12 persen untuk kabupaten/kota lain dalam provinsi yang bersangkutan.

Bagaimana dengan 0.5% yang akan dialokasikan sebagai dana pendidikan? Jika lokasi masuk pemerintahan provinsi, maka dari 0.5% tersebut, 0.17% nya masuk ke provinsi sedangkan sisanya (0.33%) dibagi rata ke seluruh kabupaten/kota Jika lokasi masuk pemerintah kabupaten/kota, maka dari 0.5% tersebut, 0.1% masuk ke provinsi yang bersangkutan, 0.2% ke kabupaten/kota penghasil sedangkan sisanya (0.2%) dibagi rata ke seluruh kabupaten kota.


1.6 MEKANISME PENGAJUAN DAN PERPANJANGAN KONTRAK WK 1. Persiapan Kegiatan hulu migas diawali dengan penawaran WK pertambangan migas oleh Pemerintah yang dilakukan oleh Dirjen Migas Kementerian ESDM. WK pertambangan migas yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia tidak selalu terbukti mengandung cadangan migas. WK migas yang ditawarkan sesungguhnya merupakan wilayah yang berdasarkan perkiraan dan data studi awal diindikasikan kuat mengandung hydrocarbon (cadangan migas), artinya berpotensi mengandung migas. Tentu saja, perusahaan minyak sebelum memutuskan untuk menerima tawaran tersebut akan mempelajari berdasarkan dokumen atau hasil survei sebelumnya. Penelitian awal oleh calon pembeli berdasarkan informasi dari Pemerintah Indonesia dan informasi-informasi lainnya yang mereka miliki sendiri. Keputusan untuk mengikuti tender, dan mendapatkan interest pada suatu WK pertambangan migas tersebut amat sangat bergantung dari hasil evaluasi tersebut. Dalam Permen ESDM no 35 tahun 2008, Direktur Jenderal menyiapkan dan menerbitkan Dokumen Lelang (Bid Document) untuk setiap WK yang akan ditawarkan. Dokumen Lelang (Bid Document) paling sedikit memuat: a. tata cara lelang; b. informasi geologi dan potensi minyak dan gas bumi (geological synopsis); c. cadangan dan perkiraan produksi minyak dan gas bunii; dan d. konsep Kontrak Kerja Sama.


2. Bid Document (Dokumen Lelang) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang telah membeli Dokumen Lelang (Bid Document) dicatat oleh Direktorat Jenderal sebagai calon Peserta Lelang WK atau Peserta lelang Penawaran Langsung WK. 3. Participating Document Apabila calon peserta lelang ingin melanjutkan keikutsertaaannya menjadi peserta lelang, calon peserta wajib menyerahkan participating document yang terdiri dari: a. formulir aplikasi yang telah diisi secara lengkap dan benar dan ditandatangani oleh Direksi atau yang diberikan kuasa oleh Direksi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; b. rencana kerja dan anggaran untuk 6 (enam) tahun masa Eksplorasi, yang meliputi komitmen 3 (tiga) tahun pertama masa Eksplorasi (firm commitment) dan komitmen 3 (tiga) tahun kedua masa Eksplorasi; c. komitmen survei seismik, yang meliputi jenis, rencana lintasan kuantitas survei seismik danlatau rencana lokasi pengeboran sumur taruhan (wildcat well) berdasarkan hasil evaluasi geologi dan geofisika dan justifikasi teknis (engineering) yang diaplikasikan dalam suatu laporan teknis dan montage yang meliputi sekurang-kurangnya aspek petroleum system dan potensi sumberdaya dan/atau cadangan hidrokarbon yang dilakukan dengan kaidah keteknikan yang baik berdasarkan data yang sesuai dan mendukung dengan menyebutkan sumber dan melampirkan bukti perolehannya; d. kemampuan keuangan untuk membiayai rencana kerja komitmen 3 (tiga) tahun pertama masa Eksplorasi (firm commitment) dan kewajiban keuangan lainnya berdasarkan Kontrak Kerja Sama yang ditunjukkan dengan: 1. laporan keuangan tahunan (annual financial statements) untuk 3 (tiga) tahun terakhir Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan yang telah diaudit oleh akuntan publik; 2. laporan keuangan perusahaan induknya yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap yang berlaku sebagai anak perusahaan; atau 3. surat keterangan dari bank utama (prime bank) yang berkedudukan di Jakarta, yang menerangkan bahwa calon peserta Lelang WK atau peserta


lelang Penawaran Langsung WK memiliki kemampuan pendanaan untuk membiayai rencana kerja komitmen pasti (firm commitment) 3 (tiga) tahun pertama masa Eksplorasi dan kewajiban keuangan lainnya berdasarkan Kontrak Kerja Sama; e. surat pemyataan kesanggupan calon peserta Lelang WK atau peserta lelang Penawaran Langsung Wilayah Kerja membayar bonus-bonus secara langsung yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya operasi (operation cost) Kontrak Kerja Sama di Indonesia; f. surat pemyataan adanya kesepakatan atau perjanjian pembentukan konsorsium dan penunjukan operator yang bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan sampai dengan Kontrak Kerja Sama ditandatangani apabila dinyatakan sebagai pemenang untuk calon peserta Lelang WK atau peserta lelang Penawaran Langsung WK yang membentuk konsorsium; g. surat pemyataan yang menyatakan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap calon peserta Lelang WK atau peserta lelang Penawaran Langsung WK menerima dan sanggup menandatangani dan melaksanakan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Dokumen Lelang (Bid Document), apabila dinyatakan sebagai pemenang; h. salinan bukti pembelian Dokumen Lelang (Bid Document); i. saiinan akte pendirian Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap calon peserta Lelang WK atau peserta lelang Penawaran Langsung WK baik yang bertindak sendiri atau konsorsium yang disahkan oleh Notaris/Pejabat yang berwenang; j. surat dukungan dari perusahaan induk yang menyatakan bahwa perusahaan induk mendukung atas pelaksanaan komitmen; k. asli surat Jaminan Penawaran; l. surat pemyataan dari calon peserta Lelang WK atau peserta lelang Penawaran Langsung WK untuk tunduk pada hasil Lelang yang diumumkan Pemerintah; m. kelengkapan persyaratan lainnya sebagaimana ditetapkan dalam Dokumen Lelang (Bid Document). Calon peserta lelang yang telah mengembalikan participating document dicatat sebagai peserta lelang WK.


4. Proses Lelang Pelaksanaan penilaian akhir didasarkan atas kriteria penilaian teknis terhadap komitmen 3 (tiga) tahun pertama masa Eksplorasi (firm commitment), penilaian keuangan dan penilaian kinerja Peserta Lelang WK. 5. Proposal Pengajuan proposal dalam bentuk program kerja dan anggaran untuk dievaluasi dan disetujui. 6. WK Lama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 Tahun 2018, tentang Pengelolaan WK (WK) Minyak dan Gas Bumi atau Blok Migas yang akan berakhir masa kontraknya. Menteri ESDM menetapkan pengelolaan Blok migas yang berakhir kontrak kerja samanya dalam bentuk perpanjangan oleh kontraktor yang beroperasi sebelum kontrak habis (eksisting), pengelolaan oleh Pertamina, pengelolaan bersama antara kontraktor eksisting dan Pertamina, atau dilelang. Jadi pertamina dan kontraktor eksisting memiliki kesempatan yang sama untuk mengelola WK yang akan habis kontrak nya. Bagi pemerintah, yang penting adalah mana yang lebih menguntungkan bagi negara.


Proses pengajuan baik oleh PT Pertamina maupun K3S lain adalah sebagai berikut: 1. Pengajuan oleh PT Pertamina (Persero) •

Pengajuan permohonan pengelolaan kepada menteri paling cepat 10 tahun dan paling lambat 2 tahun sebelum kontrak kerja sama berakhir

•

Permohonan pengelolaan harus memenuhi persyaratan berikut: a. Program Kerja


Paling sedikit meliputi rencana eksploitasi serta metodologi yang digunakan, rencana keselamatan dan kesehatan kerja serta rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemulihan pasca operasi b. Usulan mengenai bentuk Kontrak Kerja Sama c. Kemampuan teknis dan manajerial d. Kemampuan keuangan untuk pengembangan wilayah e. Kepemilikan saham 100% dimiliki oleh negara f. Usulan besaran bonus tanda tangan paling sedikit 1 juta Dollar Amerika g. Komitmen pengutamaan pemenuhan kebutuhan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dalam negeri h. Pernyataaan kesanggupan untuk mengakomodasi keikutsertaan badan usaha milik daerah paling banyak 10% dalam participating interest setelah penandatanganan Kontrak Kerja Sama i. Rencana alih operasi termasuk pengguna tenaga kerja yang telah ada pada kontraktor 2. Pengajuan oleh Kontraktor •

Pengajuan perpanjagan kontrak kerja sama kepada SKK Migas paling lama 20 tahun dan paling cepat 2 tahun sebelum kontrak kerja sama berakhir kecuali untuk kontraktor yang telah terikat dengan kesepakatan jual bei gas bumi

•

Perpanjangan kontrak kerja sama paling lama 20 tahun untuk setiap kali perpanjangan

•

Kontraktor harus memenuhi persyaratan berikut a. Permohonan perpanjangan kontrak kerja sama dengan dilengkapi data pendukung. b. Laporan pelaksanaan kontrak kerja sama


BAGIAN II HILIR MIGAS


1. Penentuan Harga BBM 1.1.Keekonomian Harga BBM 1.1.1. Dasar Aturan yang Mendasari Aturan yang mendasari penentuan harga BBM adalah: •

“PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191

TAHUN

2014

TENTANG

PENYEDIAAN,

PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK” dengan perubahan pada beberapa pasal di tahun 2018 dalam: •

“PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN

NOMOR

191

TAHUN

2014

TENTANG

PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK” 1.1.2. Jenis BBM dalam Penentuan Keekonomian Ada 3 jenis BBM yang diatur dalam Perpres Nomor 191 Tahun 2014, yakni: a. Jenis BBM Tertentu Jenis BBM Tertentu terdiri atas Minyak Tanah (Kerosene) dan Minyak Solar (Gas Oil). Jenis BBM Tertentu diberikan subsidi. b. Jenis BBM Khusus Penugasan Jenis BBM Khusus Penugasan merupakan BBM jenis Bensin (Gasoline) RON minimum 88 untuk didistribusikan di wilayah penugasan dan tidak diberikan subsidi. Adapun wilayah penugasan adalah seluruh Wilayah NKRI kecuali provinsi berikut: DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali. c. Jenis BBM Umum Jenis BBM Umum terdiri atas seluruh jenis BBM di luar jenis BBM Tertentu dan jenis BBM Khusus Penugasan. Jenis BBM Umum tidak diberikan subsidi.


1.1.3. Harga Indeks Pasar Harga Indeks Pasar (HIP) didefinisikan sebagai harga rata-rata terbobot dari suatu komoditas barang maupun jasa pada waktu tertentu dan wilayah tertentu. Menurut Perpres Nomor 191 Tahun 2014, HIP ditetapkan oleh Menteri ESDM. 1.1.4. Biaya Alpha Alpha pengadaan merupakan bagian biaya perolehan atas penyediaan Bahan Bakar Minyak dari produksi kilang dalam negeri dan/atau impor sampai dengan Terminal/Depot Bahan Bakar Minyak, yang mencerminkan biaya pengadaan di luar harga produk termasuk biaya transportasi pengadaan, asuransi dan biaya lainnya yang terkait kegiatan pengadaan. 1.1.5. Pajak Sama halnya seperti pajak bisnis, bahan bakar kendaraan bermotor juga ternyata memiliki kewajiban pajak tertentu. Pajaknya disebut dengan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor atau PBBKB. Pembahasan mengenai PBBKB sendiri mungkin tidak semasif pembahasan pajak lain seperti pajak penghasilan atau pajak dari transaksi barang kena pajak dan jasa kena pajak. Hal ini dikarenakan pengenaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor diterapkan dalam lingkup daerah. Artinya, setiap daerah bisa membuat kebijakan terkait pajak ini secara mandiri, dan nantinya akan masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah atau PAD daerah tersebut. Karena pajak ini dikenakan pada bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan bermotor, maka subjek dari pajak ini sendiri adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor. Baik konsumen merupakan wajib pajak atau bukan, ketika ia membeli dan menggunakan bahan bakar untuk kendaraan bermotornya, maka secara langsung ia telah membayarkan pajak untuk bahan bakar yang ia gunakan. Dilihat dari jenis wajib pajak, yang menjadi subjeknya adalah wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang membeli bahan bakar tersebut. Karena sudah dimasukkan dalam perhitungan harga penjualan, maka semua orang yang menggunakan bahan bakar telah berpartisipasi dalam pembayaran pajak bahan bakar ini.


Yang menjadi objek pajak dari pajak ini adalah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor. Termasuk di dalamnya adalah bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan yang beroperasi di atas air seperti kapal atau perahu atau sebagainya. Bahan bakar yang masuk dalam objek pajak ini diantaranya adalah bensin, solar dan bahan bakar gas, premium, premix, bensin biru serta super TT. Setiap bahan bakar tersebut merupakan bahan bakar yang dikonsumsi oleh masyarakat secara luas dan pembeliannya memiliki kewajiban pajak yang sudah masuk dalam harga jual. Untuk perhitungannya, dasar pengenaan tarif PBBKB ini sendiri adalah nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor. Nilai jual ini dihitung sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Jika pada satu kondisi harga jual bahan bakar kendaraan bermotor tidak termasuk PPN namun sudah termasuk PBBKB dengan tarif 5%, maka nilai jual dihitung dengan perkalian 100/105 dari harga jual total. Namun demikian pada kondisi lain dimana harga jual bahan bakar yang dimaksud sudah dihitung dengan memasukkan tarif PPN sebesar 10% maka besaran nilai jual bahan bakar tersebut dihitung dengan perkalian 100/115 dengan harga jual. Artinya ditambahkan dengan pajak bahan bakar yang ada sebesar 5%. 1.1.6. Mekanisme Penghitungan Harga (BBM Khusus dan Penugasan) harga dasar jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus penugasan ditetapkan berdasarkan biaya perolehan yang dihitung secara bulanan pada periode tanggal 25 sampai dengan tanggal 24 bulan sebelumnya, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin. 1.2.Perhitungan Harga Jual BBM 1.2.1. Perhitungan Harga Jual BBM Tertentu Keputusan Menteri ESDM Nomor 62 K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan menyatakan sebagai berikut: Formula harga dasar untuk jenis BBM tertentu ditetapkan:


a. Minyak Tanah (Kerosene) dengan formula 102,49% Harga Indeks Pasar (HIP) Minyak Tanah (Kerosene) + Rp 263,00/liter. b. Minyak Solar (Gas Oil) dengan formula 95% HIP Minyak Solar (Gas Oil) + Rp 802,00/liter. 1.2.2. Perhitungan Harga Jual BBM Khusus Penugasan Keputusan Menteri ESDM Nomor 62 K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan menyatakan sebagai berikut: Formula harga dasar untuk jenis BBM khusus penugasan jenis Bensin (Gasoline) RON minimum 88 ditetapkan dengan formula 96,46% HIP Bensin RON minimum 88 + Rp 821,00/liter. 1.2.3. Perhitungan Harga Jual BBM Umum Keputusan Menteri ESDM Nomor 19 K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan menyatakan sebagai berikut: Formula harga dasar dalam perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum jenis Bensin dan Minyak Solar yang disalurkan melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan ditetapkan berdasarkan biaya perolehan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi, serta margin sebagai berikut: A. Untuk jenis Bensin dibawah RON 95 dan jenis Minyak Solar CN 48 dengan rumus sebagai berikut: 1. Batas bawah: Mean of Platts Singapore (MOPS) + Rp 952/liter + Margin (5% dari harga dasar) 2. Batas atas: MOPS + Rp 2.542/liter + Margin (10% dari harga dasar) B. Untuk jenis Bensin RON 95, jenis Bensin RON 98, serta jenis Minyak Solar CN 51 dan keatas ditetapkan dengan rumus sebagai berikut: 1. batas bawah: MOPS + Rp 1.190/liter + Margin (5% dari harga dasar) 2. Batas atas: MOPS + Rp 3.178/liter + Margin (10% dari harga dasar) dengan ketentuan: a. MOPS merupakan bagian biaya perolehan atas penyediaan Bahan Bakar Minyak jenis Bensin dan Minyak Solar dari produksi kilang dalam


negeri dan/atau impor sampai dengan Terminal/Depot Bahan Bakar Minyak, yang mencerminkan harga produk, dengan ketentuan: 1. Dihitung dengan formula menggunakan rata-rata harga publikasi MOPS dengan satuan USD/barel periode tanggal 25 pada 2 bulan sebelumnya sampai dengan tanggal 24, 1 bulan sebelumnya untuk penetapan bulan berjalan. 2. MOPS sebagaimana dimaksud dalam formula harga dasar ditetapkan dengan ketentuan: a) Jenis Bensin RON 89, didasarkan pada harga publikasi MOPS jenis Mogas 92 dengan formula 98,42% dikalikan MOPS Mogas 92. b) Jenis Bensin RON 90, didasarkan pada harga publikasi MOPS jenis Mogas 92 dengan formula 99,21% dikalikan MOPS Mogas 92. c) Jenis Bensin RON 92, didasarkan pada harga publikasi MOPS jenis Mogas 92 dengan formula 100% dikalikan MOPS Mogas 92. d) Jenis Bensin RON 95, didasarkan pada harga publikasi MOPS jenis Mogas 95 dengan formula 100% dikalikan MOPS Mogas 95. e) Jenis Bensin RON 98, didasarkan pada harga publikasi MOPS jenis Mogas 97 dengan formula 101% dikalikan MOPS Mogas 97. f) Jenis Minyak Solar CN 48 didasarkan pada harga publikasi MOPS jenis Gas Oil 0,25% Sulfur dengan formula 100% dikalikan MOPS jenis Gas Oil 0,25% Sulfur. g) Jenis Minyak Solar CN 51 dan keatas didasarkan pada harga publikasi MOPS jenis Gas Oil 0,05% Sulfur dengan formula 100% dikalikan MOPS jenis Gas Oil 0,05% Sulfur. 3. Perhitungan konversi MOPS satuan USD/barel menjadi rupiah/liter adalah sebagai berikut: a) Menggunakan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dengan kurs tengah Bank Indonesia periode


tanggal 25 pada 2 bulan sebelumnya sampai dengan tanggal 24, 1 bulan sebelumnya untuk penetapan bulan berjalan b) Satuan barel ke satuan liter adalah sebesar 1 barel sama dengan 159 liter. b. Konstanta rupiah per liter merupakan penjumlahan alpha pengadaan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi, dengan ketentuan: 1. Alpha pengadaan merupakan bagian biaya perolehan atas penyediaan Bahan Bakar Minyak dari produksi kilang dalam negeri dan/atau impor sampai dengan Terminal/Depot Bahan Bakar Minyak, yang mencerminkan biaya pengadaan di luar harga produk termasuk biaya transportasi pengadaan, asuransi dan biaya lainnya yang terkait kegiatan pengadaan. 2. Biaya penyimpanan merupakan biaya untuk menyimpan Bahan Bakar Minyak termasuk sewa fasilitas penyimpanan, depresiasi dan biaya operasi fasilitas penyimpanan, dan biaya lainnya yang terkait kegiatan penyimpanan. 3. Biaya distribusi merupakan biaya untuk mendistribusikan Bahan Bakar Minyak sampai ke konsumen termasuk sewa fasilitas transportasi, depresiasi dan biaya operasi untuk fasilitas transportasi, overhead, biaya perkantoran, sewa lahan untuk fasilitas penyalur, depresiasi dan biaya operasi untuk fasilitas penyalur, margin atau fee penyalur, iuran Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi yang besarannya

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-

undangan, Pajak Penghasilan Pasal 22, dan biaya lainnya yang terkait kegiatan distribusi. c. Margin merupakan keuntungan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Minyak dan Gas Bumi dalam melaksanakan kegiatan penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. untuk jenis Bensin di bawah RON 95 dan jenis Minyak Solar ON 48 ditetapkan dengan rumus:


a) batas bawah: (5/95) X (MOPS + Rp 952/liter) b) batas atas: (10/90) X (MOPS + Rp2.542/liter). 2. untuk jenis Bensin RON 95, jenis Bensin RON 98, serta jenis Minyak Solar CN 51 dan ke atas ditetapkan dengan rumus: a) batas bawah: (5/95) X (MOPS + Rp 1.190/liter) b) batas atas: (10/90) X (MOPS + Rp 3.178/liter).


2. Penentuan Harga LPG 2.1. Apasih LPG itu? Kita tentunya sering mendengar istilah LPG dalam kehidupan sehari-hari kita, terutama bagi ibu-ibu rumah tangga pastilah tidak asing lagi buat mereka, karena LPG ini akan digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak. Namun apakah LPG tersebut? LPG adalah singkatan dari liquefied petroleum gas yang berarti gas minyak bumi yang dicairkan. LPG merupakan campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari minyak mentah dan natural gas serta komponen utamanya adalah propana (C3H8) dan butana (C4H10). Pada industri natural gas memiliki banyak masalah dengan senyawa yang terkandung dalam gas. Propana dan butana yang terkandung di dalam gas tersebut mempunyai sifat yang tidak stabil, mudah menguap dan menciptakan tekanan uap yang lebih tinggi ketika penyimpanan dan pengangkutan natural gas. Pada tahun 2010, seorang penemu dan ilmuwan yang bernama Dr Walter Snelling dan bekerja di US Geological Survey, mulai bereksperimen dengan “material condensed� tersebut. Pada tahun 1911, ia menghasilkan sampel propana dan butana dan juga telah membayangkan sistem penyimpanan dan pendistribusian untuk bahan bakar tersebut. Sehingga ia diberikan paten untuk metodenya dalam memproduksi LPG. 2.2. Pengguna LPG Pada Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2000, pengguna LPG terdiri dari Pengguna LPG Tertentu dan Pengguna LPG Umum. Pengguna LPG Tertentu merupakan konsumen rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan LPG dalam kemasan tabung LPG 3 Kg dengan harga diatur dan ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan Pengguna LPG Umum merupakan konsumen yang menggunakan LPG dalam kemasan tabung 12 Kg, 50 Kg danatau dalam bentuk kemasan lainnya atau dalam bentuk curah (bulk) serta konsumen LPG sebagai bahan pendingin.


2.3. Peraturan LPG Tertentu (LPG 3KG) Dalam rangka penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg, menteri menetapkan harga patokan dan harga jual eceran LPG Tabung 3 kg untuk rumah tangga dan usaha mikro. Harga patokan LPG Tertentu adalah harga yang didasarkan pada harga indeks pasar LPG yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah biaya distribusi (termasuk handling) dan margin usaha yang wajar dan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan. Sedangkan Harga jual eceran LPG Tertentu adalah harga jual eceran termasuk PPN pada titik serah Penyalur LPG Tertentu yang ditetapkan oleh Menteri didasarkan pada hasil kesepakatan instansi tarkait yang dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian. Dengan memperhatikan kondisi daerah, daya beli masyarakat, dan marjin yang wajar serta Sarana dan Fasilitas penyediaan dan pendistribusian LPG, Pemerintah Daerah Provinsi bersama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat menetapkan harga eceran tertinggi (HET) LPG Tertentu untuk Pengguna LPG Tertentu pada titik serah di sub Penyalur LPG Tertentu. Karena adanya pertimbangan dalam rangka menjamin penyediaan, pengadaan, dan mengurangi subsidi BBM di dalam negeri untuk meringankan beban keuangan negara, perlu dilakukan perpindahan dari penggunaan Minyak Tanah ke Liquefied Petroleum Gas. Selain itu, juga harus adanya pertimbangan keperluan untuk menetapkan Peraturan Presiden tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram. Maka dibuatlah Peraturan Presiden No 104 Tahun 2007. Didalam peraturan presiden tersebut, terdapat 17 pasal dan ditetapkan di Jakarta pada 28 November 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono. Ada beberapa pasal yang terkait tentang harga LPG, yaitu pasal 1 dan 7. Pada pasal 1 membahas mengenai harga patokan, Harga patokan adalah harga yang didasarkan pada harga indeks pasar LPG yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah biaya distribusi (termasuk handling) dan margin usaha yang wajar. Sedangkan pasal 7 membahas penetapan harga patokan.


Penetapan harga patokan LPG 3 kg tahun anggaran 2019 diputuskan oleh Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 61 K/12/Mem/2019. Isinya sebagai berikut: 1. Harga Patokan LPG Tabung 3 kg Tahun Anggaran 2019 yang selanjutnya disebut Harga Patokan LPG Tabung 3 Kg ditetapkan berdasarkan Harga Indeks Pasar Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 kg (HIP LPG Tabung 3 kg) yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah biaya distribusi (termasuk penanganan) dan margin. 2. Harga Patokan LPG Tabung 3 kg sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU ditetapkan 103,85% (seratus tiga koma delapan puluh lima persen) HIP LPG Tabung 3 Kg +US$ 50,11/MT (lima puluh koma sebelas dollar Amerika Serikat per metrik ton) + Rpl.879,00/kg (seribu delapan ratus tujuh puluh sembilan rupiah per kilogram) 3. Harga Patokan LPG Tabung 3 kg sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA digunakan sebagai dasar perhitungan harga patokan untuk setiap kilogram Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 kg (LPG Tabung 3 kg) 4. Harga Patokan LPG Tabung 3 kg sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA diberlakukan untuk volume kebutuhan LPG Tabung 3 Kg Tahun Anggaran 2019 sebanyak 6.978.000 MT (enam juta sembilan ratus tujuhpuluh delapan ribu metrik ton) 5. Dalam hal Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 2019 menetapkan besaran subsidi menggunakan volume yang berbeda maka volume sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPAT akan disesuaikan. 6. Harga Patokan LPG Tabung 3 kg sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA apabila diperlukan dapat dilakukan evaluasi sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan realisasi faktor yang mempengaruhi penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 kg 7. Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2019.


2.4. Peraturan LPG Umum Harga jual LPG untuk Pengguna LPG Umum ditetapkan oleh Badan Usaha dengan berpedoman pada harga patokan LPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Lalu penetapan harga jual LPG ini wajib dilaporkan kepada Menteri


3. Perjanjian Jual Beli Gas 3.1.Jenis Kontrak Gas Madjedi Hasan, seorang praktisi migas, dalam bukunya yang berjudul Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum yang diterbitkan pada 2009, di halaman 52 buku tersebut menulis, saat ini kontrak migas dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yakni konsesi modern (license), kontrak bagi hasil (PSC), service contract (kontrak jasa). 1. Konsesi Modern (Lisence) Sistem konsesi banyak dipilih oleh negara-negara maju, antara lain Austalia, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Angola, Brazil, Rusia. Konsesi sesuai terminologinya, pemerintah melimpahkan kepada investor hak untuk mengeksplorasi, memproduksikan dan menjual minyak dan mengelola operasi. Sebagai imbalannya, pemerintah menerima royalty dan pajak pendapatan. Pemerintah tidak berpartisipasi atau mengontrol proyek, sehingga kontraktor menyukai model ini. Sistem konsesi juga memiliki kontrak lebih sedikit dan kurang fleksibel dibandingkan bentuk-bentuk lainnya. Kebanyakan hak dan kewajiban investor dinyatakan dalam legislasi umum. a. Hak pengelolaan migas ada di tangan pemegang konsesi. b. Pemegang konsesi mempunyai kewajiban.membayar royalty, pajak, pendapatan dan pajak lainnya. c. Pemerintah tidak campur tangan dalam pengelolaan bahan tambang. d. Audit pemerintah dilakukan sesudah pekerjaan dilaksanakan (post audit). 2. Kontrak Bagi Hasil (PSC) Negara-negara yang menggunakan sistem PSC lebih banyak didominasi oleh negara berkembang seperti Indonesia, Aljazair, China, Kongo, Khazaktan, Malaysia, Peru dan Qatar. Pada kontrak bagi hasil, hasil yang didapat dibagi antara pemerintah dan kontraktor, di samping terdapat beberapa macam bentuk government take lainnya. Bentuk ini paling fleksibel karena kebanyakan hak dan kewajiban dinyatakan dalam peraturan kontrak yang dinegosiasikan. a. Hak

pengelolaan migas ada

di tangan

pengusahaannya ada di tangan kontraktor.

pemerintah,

walaupun


b. Dalam mengelola lapangannya

kontraktor harus membuat dan

mengajukan POD (Plan of Development) agar diperoleh AFE (Authorization for Expenditure) berupa persetujuan mengeluarkan dana kepada pemerintah. c. Audit pemerintah dilakukan sebelum, pada saat dan sesudah pekerjaan dilaksanakan (pre, current and post audit). 3. Service Contract (Kontrak Jasa) Pada kontrak jasa, operator mendapatkan balas jasa atas besarnya investasi, berupa persentase dari investasi yang telah dikeluarkannya. • Kontrak Jasa Murni (Pure Service Contract) Kontraktor/Operator, mengelola sumber daya agar dapat dikomersialisasi untuk mendapatkan revenue dan atas jasa pengelolaan sumber daya, operator mendapatkan fee sesuai kontrak kerja ($/Bbl). • Kontrak Jasa Beresiko ( Risk Servise Contract) Kontrak jasa yang diikuti dengan kewajiban untuk ikut menanggung seluruh/sebagian resiko bisnis termasuk resiko sumber daya. Dalam kontrak jasa, investor beroperasi lebih sebagai sub kontraktor atas nama pemerintah setempat. Biasanya bekerja untuk perusahaan nasional. Sebagai gantinya, investor dibayar dengan fee, biasanya per barel minyak yang dihasilkan. Salah satu bentuk kontrak jasa adalah risk service contract, dimana perusahaan asing menanggung resiko kegagalan dan sebaliknya mendapat keuntungan jika proyeknya berhasil. Akibatnya, risk services contract mirip dengan sistem bagi hasil. Bedanya, kontraktor dibayar dalam bentuk cash bukan dalam bentuk migas. Perbandingan negara-negara yang menggunakan sistem konsesi, PSC dan risk service dalam pengusahaan sektor migas, menunjukkan bahwa sebagian besar negara menggunakan sistem konsesi, disusul PSC. Hanya sedikit negara yang menggunakan sistem risk service yaitu terutama negara-negara Amerika Latin.


4. Kontrak JOB (Joint Operating Body) • Bentuk kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) yang diberlakukan pada daerah yang telah dieksplorasi dimana Pertamina memegang maksimum 50% participating interest. •

Pada participating interest dari kontraktor diberlakukan PSC.

• Kontraktor menanggung biaya dan dikembalikan dengan 50% uplift oleh Pertamina. KontrakTAC (Technical Assistance Contract) • Kontrak TAC adalah sistem perhitungan bagi hasil yang dilakukan antara Pertamina dengan Kontraktor di lapangan yang sebelumnya dikelola oleh Pertamina. • Disini dilakukan pemisahan antara non shareable oil yaitu produksi (kesepakatan) apabila tidak terdapat investasi dan shareable oil (yang dibagi) yaitu produksi akibat investasi kontraktor.

5. TAC Technical assistance contract adalah kontrak kerjasama dalam bentuk bantuan teknik antara PT Pertamina EP dengan mitra usaha dalam bentuk bantuan teknis yang meliputi kegiatan eksplorasi, pengembangan dan operasi yang berada di dalam wilayah kerja pertambangan PT Pertamina EP. TAC ini biasanya untuk rehabilitasi maupun pengembangan sumur-sumur produksi yang ada. Di dalam pelaksanaan operasinya, salah satu pihak akan menjadi operator (TAC contractor). Istilah TAC hanya muncul di era sebelum adanya BP Migas dan UU migas No. 22 tahun 2001 Kerja Sama Operasi (KSO). 3.2.Istilah/Ketentuan dalam Kontrak Jual Beli Gas •

fixed cost

(mg) interest cost recovery

biaya tetap

biaya yang terkait dengan investasi

bunga pengganti biaya produksi

peralatan, pajak bangunan; semua

insentif yang diberikan kepada

biaya yang termasuk dalam biaya

KKKS

atas

pengembangan

jasa yang tidak terpengaruh oleh

lapangan

migas

yang

fluktuasi produksi miga

ekonomis; besarnya diperhitungkan

kurang


berdasarkan

bunga

pinjaman

wilayah kerja

dengan metode tertentu •

penandatanganan kontrak atas suatu (mg)

posted price

Head of Agreement (HoA)

harga patok minyak

harga resmi minyak mentah yang

perjanjian awal jual-beli gas

dipublikasikan pemerintah (mg)

perjanjian

pendahuluan

dalam

rangka jual-beli gas pada suatu

spot price

harga spot/harga sesaat

wilayah kerja KKKS atau institusi

harga jual minyak yang ditetapkan

lain antara penjual dan calon

pada saat transaksi berlangsung,

pembeli, memuat pokok- pokok isi

biasanya transaksi per telepon

perjanjian yang akan dituangkan ke

(mg, mb)

dalam kontrak jual beli gas

(mg)

well head price

cooperation contract contractor

harga di sumur

harga jual minyak yang diterima

Kontraktor Kontrak Kerja Sama

produsen di sumur (mg)

(KKKS)

badan usaha atau bentuk usaha tetap

Contract of Work (CoW)

Kontrak Karya (KK)

yang diberikan kewenangan dalam

perjanjian antara Pemerintah RI

melaksanakan kegiatan eksplorasi

dengan

berbadan

dan eksploitasi pada suatu wilayah

hukum Indonesia dalam rangka

kerja migas berdasarkan kontrak

penanaman modal asing untuk

kerja sama dengan pemerintah

melaksanakan usaha pertambangan

(mg)

bahan

perusahaan

galian

mineral,

tidak

cost recovery

termasuk minyak bumi, gas alam,

pengganti biaya produksi

panas bumi, radioaktif dan batubara

biaya untuk mengganti belanja

(mb)

eksplorasi,

pengembangan

signature bonus

lapangan dan operasi yang telah

bonus penandatanganan

dikeluarkan oleh kontraktor bagi

dana yang diserahkan kontraktor

hasil

kepada

(mg)

pemerintah

sebelum


4. Toll Fee Pengangkutan Gas 4.1. Pengetian dan Dasar Aturan Kegiatan usaha gas bumi merupakan jenis kegiatan prasarana umum (public utilities), yang didalamnya mengandung kegiatan yang tepat untuk dilaksanakan secara monopoli dan kegiatan kegiatan yang potensial untuk dikompetisikan. Oleh sebab itu dalam pelaksanaannya membutuhkan penerapan 2 paham ekonomi secara bersamaan, yaitu ekonomi regulasi (economic regulation) dan ekonomi liberal (economic liberalism), dengan tujuan untuk mengefisiensikan kegiatan usaha tersebut dan melindungi kepentingan masyarakat. Kegiatan usaha penyediaan infrastruktur jaringan pipa gas atau kegiatan usaha pengangkutan gas melalui pipa merupakan kegiatan usaha yang bersifat monopoli alamiah (natural monopoly). Sedangkan kegiatan pemasokan dan perniagaan gas bumi merupakan kegiatan yang potensial untuk dikompetisikan. Singkatnya kegiatan usaha infrastruktur harus diatur atau di-regulasi, sedangkan kegiatan usaha komoditas dapat dikompetisikan atau di-deregulasi sepanjang masyarakat telah memiliki kukuatan menawar terhadap komoditas tersebut. Dasar aturan penetapan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa ialah pada Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Nomor 8 Tahun 2013. Tujuan dibentuknya peraturan ini ialah meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi dalam negeri, optimalisasi pemanfaatan infrastruktur jaringan Pipa Transmisi dan Pipa Distribusi Gas Bumi, dan meningkatkan investasi di bidang infrastruktur Pengangkutan GasBumi Melalui Pipa. 4.2. Istilah Dasar 1. Gas Bumi = hasil proses alami

menyalurkan

Gas

Bumi

yang

melalui pipa meliputi kegiatan

dalam kondisi tekanan dan

transmisi, dan/atau transmisi

temperatur atmosfer berupa

dan distribusi melalui pipa

fasa gas yang diperoleh dari

penyalur dan peralatan yang

proses penambangan Minyak

dioperasikan

dan Gas Bumi.

diusahakan

sebagai

suatu

kesatuan

sistem

yang

berupa

hidrokarbon

2. Pengangkutan Melalui

Pipa

Gas =

Bumi kegiatan

terintegrasi.

dan/atau


3. Pipa Transmisi = pipa untuk mengangkut Gas Bumi dari sumber pasokan Gas Bumi

Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. 8. Hak Khusus = hak yang

atau lapangan Gas Bumi ke

diberikan

satu atau lebih pusat distribusi

kepada Badan Usaha untuk

dan/atau ke satu atau lebih

mengoperasikan

konsumen Gas Bumi atau yang

Pengangkutan

Gas

Bumi

menghubungkan

Melalui

pada

Ruas

dan/atau

pada

sumber-

sumber pasokan Gas Bumi. 4. Ruas Transmisi = ruas tertentu

Badan

Pipa

Transmisi

Pengatur

Wilayah Jaringan Distribusi

dari jaringan transmisi Gas

Gas Bumi berdasarkan lelang.

Bumi yang merupakan bagian

9. Tarif Pengangkutan Gas Bumi

dari Rencana Induk Jaringan

Melalui Pipa, yang selanjutnya

Transmisi dan Distribusi Gas

disebut Tarif = biaya yang

Bumi Nasional.

dipungut

Transporter

dari

Shipper

atas

jasa

5. Jaringan Pipa Transmisi = gabungan dari beberapa Pipa

Pengangkutan

Transmisi

saling

Melalui Pipa dengan satuan

terkoneksi, diusahakan atau

USD (Dollar Amerika Serikat)

dioperasikan

satu

per satu MSCF (ribu standar

dan/atau beberapa Transporter.

kaki kubik) Gas Bumi yang

yang oleh

6. Pipa Distribusi = pipa yang mengangkut Gas Bumi dari

Gas

Bumi

diangkut Transporter. 10. Kontrak = Gas Transportation

suatu Pipa Transmisi atau dari

Agreement

Pipa Distribusi ke konsumen

perjanjian Pengangkutan Gas

Gas

Pipa

Bumi Melalui Pipa antara

yang

Transporter dan Shipper.

Bumi

Distribusi

atau

ke

lainnya

(GTA)

atau

11. Internal Rate of Return(IRR) =

berbentuk jaringan. 7. Wilayah Jaringan Distribusi =

tingkat diskonto di mana nilai

wilayah tertentu dari jaringan

sekarang bersih dari biaya

distribusi Gas Bumi yang

(arus kas negatif) investasi

merupakan

dari

sama dengan nilai sekarang

Jaringan

bersih dari (arus kas positif)

Rencana

bagian Induk

keuntungan investasi.


12. Weighted Average Cost of

Pengangkutan

Gas

Bumi

Capital (WACC) = rata-rata

Melalui Pipa dan memiliki

tertimbang biaya modal sendiri

Hak Khusus.

(equity) dan modal pinjaman (debt)

yang

diinvestasikan

13. Cost of Service = jumlah pendapatan yang merupakan Transporter

diperoleh

dari

yang

Tarif

yang

dibayarkan oleh Shipperagar pendapatan

tersebut

dapat

mengembalikan semua biaya yang

dikeluarkan

oleh

Transporter

dalam

menjalankan

kegiatan

Pengangkutan

Gas

Bumi

Melalui Pipa, serta keuntungan yang

wajar

Fasilitas

dari

investasi

yang

telah

dikeluarkan. 14. Salvage Value = estimasi nilai sisa aset Fasilitas pada akhir masa manfaatnya. 15. Titik

Terima

=

memanfaatkan

Fasilitas

Transporter untuk mengangkut

pada suatu kegiatan usaha.

hak

18. Shipper = Badan Usaha yang

titik

penyerahan Gas Bumi pada Fasilitas dari Shipper kepada Transporter. 16. Titik Serah = titik penyerahan Gas Bumi pada Fasilitas dari Transporter kepada Shipper dan/atau Offtaker. 17. Transporter = Badan Usaha yang memiliki Izin Usaha

Gas Bumi yang dimilikinya.


4.3. Pengusulan Dan Penetapan Tarif Pengusulan tarif tertulis diajukan oleh transporter kepada badan pengatur dengan melampirkan rincian perhitungan dan data pendukung (data harus memiliki pernyataan

tertulis

atas

kebenarannya).

Setelah

itu,

tranporter

wajib

mempresentasikan usulan tarif tersebut. Selanjutnya badan pengatur meverifikasi dan evaluasi usulan tersebut. Penetapan tarif dilakukan melalui siding komite, sebelum ditetapkan Badan Pengatur mengadakan dengar pendapat dengan Transporter dan Shipper serta stakeholder terkait bila diperlukan.

Pada pipa transmisi, tarif dihitung dengan menggunakan sistem perangko (postage stamp system), sistem jarak (distance system), dan sistem masuk-keluar (entry-exit system). sistem perangko adalah penerapan Tarif yang sama dari setiap Titik Terima sampai ke Titik Serah pada satu Ruas dan/atau Jaringan Pipa Transmisi. Sistem jarak adalah penerapan Tarif yang berbeda tergantung jarak antara Titik Terima ke Titik Serah. Sistem masuk-keluar dibagi menjadi 2, yaitu entry tariff dan exit tariff. Entry tariff adalah Tarif yang dikenakan kepada Shipper untuk mengangkut Gas Bumi dari suatu sumber Gas Bumi tertentu baik melalui pipa dan/atau melalui sarana pengangkutan lainnya menuju suatu titik masuk (entry point) tertentu pada suatu sistem jaringan pipa Gas Bumi. Exit tariff adalah Tarif yang dikenakan kepada Shipper untuk mengangkut Gas Bumi dari sembarang titik masuk (entry point) menuju sembarang titik keluar (exit point) di dalam suatu jaringan pipa Gas Bumi pada suatu zona atau wilayah administrasi, yang besarnya tidak tergantung dari lokasi titik masuk (entry point) maupun titik keluar (exit point) dari sistem jaringan pipa Gas Bumi.


4.4. Metode Perhitungan Tarif Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa harus ditentukan secara akuntabel, transparan, adil dan wajar, dengan mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara Transporter dan para Shipper. Untuk menetapkan Tarif, Badan Pengatur menggunakan metode perhitungan Tarif berdasarkan Cost of Service dibagi volume Gas Bumi yang dialirkan, yang dirumuskan dengan persamaan berikut: ���������� =

đ??śđ??śđ??śđ??śđ??śđ??śđ??śđ??ś đ?‘œđ?‘œđ?‘œđ?‘œ đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘†đ?‘† đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰đ?‘‰ đ??şđ??şđ??şđ??şđ??şđ??ş đ??ľđ??ľđ??ľđ??ľđ??ľđ??ľđ??ľđ??ľ đ?‘Śđ?‘Śđ?‘Śđ?‘Śđ?‘Śđ?‘Śđ?‘Śđ?‘Ś đ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇ

Cost of service tediri dari semua biaya (biaya operasi dan pemeliharaan termasuk biaya administrasi dan umum, biaya depresiasi, biaya asuransi, biaya mitigasi resiko, pajak pendapatan dan pajak lainnya) yang dikeluarkan oleh Transporter dalam menjalankan kegiatan pengangkutan gas bumi melalui pipa dan juga keuntungan yang wajar dari investasi fasilitas yang telah dikeluarkan. Maksud dari keuntungan yang wajar adalah target IRR dari nilai basis aset atas fasilitas yang besarnya ditetapkan sebagai berikut: 1. fasilitas lama (persamaannya IRR = WACC) WACC adalah biaya rata-rata tertimbang dari seluruh komponen modal dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut: đ?‘Šđ?‘Šđ?‘Šđ?‘Šđ?‘Šđ?‘Šđ?‘Šđ?‘Š = đ??śđ??śđ??śđ??śđ??śđ??ś

đ??¸đ??¸ đ??ˇđ??ˇ + đ??śđ??śđ??śđ??śđ??śđ??ś đ??ˇđ??ˇ + đ??¸đ??¸ (đ??ˇđ??ˇ + đ??¸đ??¸)

D (debt) = pendanaan modal yang berasal dari pinjaman E (equity) = pendanaan modal yang berasal dari ekuitas CoD (Cost of Debt/bunga modal pinjaman) = i x (1-T)


i = suku bunga pinjaman T = tarif pajak pendapatan perusahaan yang besarnya mengacu kepada ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia CoE (Cost of Equity/biaya atas modal sendiri (ekuitas)) = Rf + β (BPMEM + ICRP) Rf = tingkat pengembalian investasi bebas resiko, yaitu tingkat pengembalian surat utang yang dikeluarkan oleh negara Amerika Serikat (US Treasury Bond) β = ukuran fluktuasi portfolio investasi atau individual instrument investasi dibandingkan dengan pasar (stock market). Pasar yang dimaksud disini adalah Bursa Efek Indonesia, sedangkan portofolio yang dimaksud disini adalah portofolio perusahaan yang bergerak dibidang pengangkutan dan/atau niaga Gas Bumi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia BPMEM = base premium for mature equity market ICRP = Indonesia country risk premium 2. fasilitas baru (persamaannya IRR = WACC+insentif IRR) Insentif IRR = nilai minimal 1% (satu per seratus) dan maksimal 3% (tiga per seratus) tergantung dari komposisi modal yang dirumuskan sebagai đ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??ź đ??źđ??źđ??źđ??źđ??źđ??ź = 1%đ??ˇđ??ˇ + 2% ∗ %đ??ˇđ??ˇ

Nilai basis aset adalah nilai awal investasi fasilitas dikurangi akumulasi depresiasi dan amortisasi, ditambah dengan perubahan modal kerja dan pengeluaran modal investasi baru.


5. LPG vs Jaringan Gas (Jargas) 5.1. Jargas 5.1.1. •

Keuntungan:

Harganya lebih murah dibandingkan LPG Produk

Unit

BTU/Unit Gross

Rp/unit

Gas Bumi

m3

35.336

2.226

Minyak Tanah

Liter

36.191

2.500

LPG

Kg

46.825

4.250

Tabel di atas menunjukkan perbandingan nilai kalori (BTU) minyak tanah, LPG, dan gas bumi. Terlihat bahwa rupiah yang dikeluarkan oleh konsumen rumah tangga per mmbtu- nya dengan program konversi minyak tanah ke LPG naik menjadi 30%, sedangkan seandainya beralih dari minyak tanah ke gas bumi menjadi turun hampir sekitar 10% dengan asumsi harga gas bumi untuk rumah tangga adalah US$7 per mmbtu (kurs 1 dollar US$ sama dengan Rp9.000). Apabila beralihnya dari elpiji ke gas bumi, maka biaya yang dikeluarkan per mmbtu-nya akan turun menjadi 30%. Dengan demikian, dari sisi konsumen atau pemakai akan lebih menguntungkan menggunakan gas bumi dibandingkan LPG atau minyak tanah walaupun keduanya masih disubsidi. Apalagi, seandainya konversi minyak tanah ke LPG dicabut subsidinya, maka jelas gas bumi akan sangat kompetitif alias jauh lebih murah. Manfaat murahnya menggunakan gas untuk rumah tangga terdiri atas dua macam, yaitu manfaat nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible). Ilustrasinya bisa dilihat seperti di bawah ini: a. Penghematan beralih ke gas bumi dari bahan bakar semula (minyak tanah atau LPG) ke gas bumi dihitung sebagai berikut: untuk 1 m3 gas bumi= harga mitan ekuivalen – harga gas bumi = Rp 10.625 – Rp 2.615 =Rp 8.010 Untuk 1 m3 gas bumi = harga LPG ekuivalen – harga gas bumi = Rp3.3,75 – Rp2.615 = Rp760


Untuk perhitungan benefit dari penghematan biaya, digunakan harga ratarata dari kedua jenis bahan bakar di atas, yaitu sebesar Rp4.385/m3 gas bumi. b. Peningkatan penjualan gas bumi untuk rumah tangga sebagai bagian dari program diversifikasi dan konservasi energi sehingga tercapai fuel security of supply melalui energy mix yang proporsional secara bertahap. Dalam rapat dengar pendapat antara Pertamina dan Komisi VII DPR RI, terkuak Pertamina harus menanggung biaya produksi LPG per kilogram sebesar Rp8.275. Sementara itu, Pertamina harus menjual LPG ke pasaran dengan harga Rp4.912/kg. Artinya, Pertamina harus menanggung kerugian sebesar Rp3.363/kg sehingga peningkatan penjualan gas bumi mengurangi beban Pertamina sebesar Rp2.523 untuk penggunaan 1 m3 gas bumi. b. Penghapusan uang jasa untuk membayar kurir yang membaca tabung isi ulang atau dirigen minyak tanah dari rumah konsumen ke distributor/agen/ pangkalan LPG/minyak tanah. Hal ini diasumsikan penghematan sebesar Rp250 untuk setiap penggunaan 1m3 gas bumi. c. Pengurangan subsidi dari minyak tanah ke gas bumi adalah Rp3.068/ liter dan pengurangan subsidi dari gas bumi ke LPG adalah Rp3.235/ kg (blue print program pengalihan minyak tanah ke LPG). Perhitungan pengurangan subsidi rata-rata adalah (1.25 * Rp3.068 + 0.75 * Rp3.235) / 2 = Rp3.131. d. Peningkatan kesejahteraan rakyat (kesra) adalah uang yang dapat dihemat jika beralih ke energi gas bumi, dihitung berdasarkan statistik rata-rata pengeluaran energi dikurangi dengan besarnya biaya jika menggunakan gas bumi atau selisih antara biaya rata-rata semula dikurangi dengan biaya rata-rata pemakaian energi. Nilai rata-rata statistik yang digunakan adalah Rp11.500/bulan, yaitu selisih besarnya biaya energi per bulan dengan tarif energi gas bumi per bulan sebesar Rp40.000 (data hasil survei pembangunan jaringan gas di rumah susun Jabodetabek).


Peniadaan biaya simpan (efisien tata niaga), biaya distribusi (termasuk handling) dan margin badan usaha (beta) untuk LPG tabung ukurang 3 kg di 2010 akan menjadi Rp1.797,30 per kg. Biaya sebesar Rp1.797,30/kg ini terdiri atas komponen biaya simpan Rp497,73/ kg, sarana prasarana distribusi (tabung) Rp103,51/kg, biaya distirbusi Rp905,06/kg, dan margin badan usaha Rp292/kg Salah satu komponan biaya yang tidak diperlukan dalam gas pipa adalah tempat penyimpanan. Untuk penggunaan 1 m3 gas bumi, akan menghemat biaya penyimpanan sebesar 0,75 x Rp497,73 = Rp373. Dalam analisis, nilai benefit yang diperhitungkan adalah nilai pengurangan subsidi, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan peniadaan biaya simpan. Pertimbangannya–dari sisi Pemerintah, nilai investasi, dan biaya simpan–harus sebanding dengan manfaat yang akan diperoleh. Dari sudut padang konsumen, beralih ke gas bumi akan dapat menghemat sejumlah uang yang merupakan selisih anggaran belanja energi karena beralih ke gas bumi. Berdasarkan identifikasi dan analisis di atas, maka besaran benefit yang akan digunakan dalan perhitungan adalah pengurangan subsidi sebesar Rp3.131 untuk setiap pemakaian 1 m3 gas bumi. Benefit kesra dihitung sebesar Rp11.500 untuk 1 rumah tangga per bulan. Lalu, besarnya biaya simpan adalah Rp373 untuk setiap pemakaian 1 m3 gas bumi. •

Tidak perlu melakukan pemindahan dan pengangkatan secara berkala karena gas terus mengalir

Lebih aman karena kemungkinan mengalami kerusakan atau kebocoran sangat kecil

Model pembayaran yang praktis karena dilakukan setelah pemakaian dan bisa dilakukan melalui ATM, Bank, dan minimarket tertentu

Ramah Lingkungan. Pemanfaatan gas bumi untuk rumah tangga juga ramah lingkungan. Terlebih, jaringan gas untuk rumah tangga bisa menjadi pendukung terhadap program-program lingkungan yang dijalankan oleh Pemerintah. Gas bumi yang bersifat ramah lingkungan bisa dilihat dari, misalnya, pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) hasil pembakaran. Pengurangan emisi CO2 dari minyak tanah ke gas bumi adalah 1,139 kg untuk penggunaan 1 m3 gas bumi atau 56%. Pengurangan emisi CO2 dari LPG ke gas bumi adalah 0,218 kg untuk penggunaan 1 m3 gas bumi atau 11%. Jika kebijakan konversi dari minyak tanah ke gas diterapkan, maka emisi CO2


akan berkurang sebesar 0,15 %. Selain itu, gas bumi sebagai bahan bakar lebih bersih karena tidak mengeluarkan banyak asap dan tidak meninggalkan jelaga. 5.1.2. •

Kelemahan: Pembangunan yang tidak mudah untuk mendistribusikan jargas kepada masyarakat. Sebagai contoh, di Bandar Lampung, PGN membangun jaringan gas bumi sepanjang 190 kilometer (km). Jaringan tersebut kemudian disalurkan ke 10.321 rumah tangga di sana. Tak mudah menyambung jaringan-jaringan tersebut. Berbagai tantangan perlu dilalui PGN dalam melakukan penyambungan gas untuk rumah-rumah penduduk.

Menimbulkan kekhawatiran warga setempat dalam pembangunannya. Sebagian besar masyarakat masih khawatir dengan penggabungan pipa-pipa gas yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Bahkan, ada juga masyarakat yang terganggu dengan pekerjaan PGN yang menggali di pinggir jalan.

Tidak adanya jaringan atau infrastruktur gas bumi uang terdekat, misalkan jaringan transmisi gas bumi, jaringan distribusi gas bumi, ataupun LNG Liquefaction.

Jauhnya pasar gas bumi terhadap sumber gas bumi, misalkan pabrik pupuk, pabrik pembuatan besi/ baja, pabrik manufaktur, pabrik petrokimia dan lain sebagainya.

Tidak adanya jaringan transmisi listrik yang dekat dengan sumber gas bumi tersebut sehingga tidak memungkinkan untuk membangun pembangkit listrik berbahan bakar gas.

Subsidi bahan bakar minyak yang dapat disubtitusikan dengan gas bumi sehingga harga gas bumi kurang kompetitif.

Ketakutan pihak investor untuk berinvestasi akibat kurang jelasnya landasan hukum di negara ini.

Biaya pengembangan jaringan distirbusinya yang sangat mahal per kepala keluarga atau per titik. Hal ini disebabkan volume konsumsi bahan bakar gas bumi rumah tangga rata-rata per harinya dalam setahun sangat kecil atau rendah. Kendala ini hampir tidak ditemui pada negara-negara dengan empat musim. Gas bumi akan mengalami peak demand/ supply pada saat musim dingin tiba karena digunakan untuk memanaskan suhu ruangan sepanjang hari sehingga secara rata-rata dalam satu tahun akan lebih tinggi konsumsi gasnya dibandingkan negara-negara yang menganut dua musim seperti Indonesia. Inilah yang menjadi tantangan atau hambatan utama terkait lambatnya laju pemanfaatan gas bumi di sektor rumah tangga. Perusahaan Gas Negara (PGN) atau perusahaan distribusi gas bumi lainnya menyadari akan hal ini. Bagi mereka yang berorientasi profit, hal ini tidak menarik karena waktu pengembalian modalnya akan sangat lama. Hal inilah yang


menghalangi atau mengurangi minat investor, baik lokal maupun internasional, untuk menanamkan investasinya. 5.2. LPG 5.2.1.

Keuntungan:

-

Lebih mudah untuk didapatkan di tokot-toko distributor di sekitar

-

Dapat dipindahkan (portable) dan digunakan di tempat lain, sedangkan jargas hanya dapat digunakan di tempat yang telah ditentukan karena pendistribusiannya ditentukan

-

Dapat menjadi lapangan pekerjaan baru, contohnya dengan menjadi distributor, pesan antar lpg dan jasa pemasangan lpg

5.2.2. -

Kelemahan:

Lebih mahal dibandingkan jargas Penghitungan di sebelumnya

-

Keamanannya masih cukup rendah karena sering terjadi kasus kebocoran. Dibandingkan dengan jargas, Terkait keamanannya yang paling mendasar adalah perbedaan berat jenis LPG dan gas Alam, untuk gas alam lebih ringan dari pada udara. Sehingga ketika terjadi kebocoran akan terbawa dengan udara ke atas, Sementara ini berbeda dengan LPG yang berat jenisnya lebih berat dari udara. Sehingga ketika terjadi kebocoran akan menumpuk di bawah, yang menjadi berisiko terjadinya pengendapan gas pada lantai dan terjadi ledakan jika ada pemicunya. Dan perbedaan lainnya yang membuat aman ketika di dalam rumah adalah gas LPG dikemas di dalam tabung bertekanan tinggi, sedangkan gas alam bertekanan rendah.


6. Solusi dalam Mengurangi Impor BBM

Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman menjelaskan, Pertamina telah berusaha menekan impor migas dengan cara membeli minyak mentah domestik. Hingga Juni 2019, Pertamina telah menyerap minyak mentah sebanyak 116.9 ribu barel per hari (BOPD) dari 37 kontraktor migas Indonesia. Jumlah tersebut delapan kali lipat lebih besar dari pembelian 2018 sebesar 12,8 ribu BOPD. Dengan cara tersebut, volume impor minyak mentah Pertamina berhasil ditekan. Dalam kurun waktu 2016 hingga 2018, impor minyak mentah Pertamina turun dari sebesar 149 juta barel menjadi sekitar 113 juta barel. Dalam Rancangan Keuangan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2019, Pertamina memproyeksi impor minyak mentah hanya sebesar 190 ribu BOPD, lebih rendah dari tahun lalu sebesar 339 ribu BOPD. Biarpun begitu, impor produk BBM Pertamina tetap tinggi. Pada 2016 lalu, impor produk BBM sebesar 117 juta barel dan terus naik menjadi 145 juta barel di tahun lalu. Fajriyah mengatakan, impor produk BBM memang sulit untuk ditekan, karena permintaan dan kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat. "Padahal kilang Pertamina terbatas," ujar Fajriyah kepada Katadata.co.id, Selasa (9/7). Di sisi lain, Direktur Eksekutif Energy Wacth Mamit Setiawan mengatakan, impor migas cukup tinggi karena konsumsi migas terus naik. Sedangkan lifting dan penemuan cadangan migas belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Biarpun begitu, program pemerintah untuk menekan impor migas sebenarnya sudah berjalan. Seperti kebijakan penyerapan minyak mentah domestik yang membantu Pertamina


mengurangi impor minyak mentah dan produk. Selain itu, kebijakan menggunakan FAME sebesar 30% juga membantu mengurangi impor migas. Senior Vice President (SVP) Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina Hasto Wibowo mengatakan tahun 2019 Pertamina telah mengimpor minyak mentah dari AS sebanyak dua kali. Masing-masing kargo berjumlah 650.000 barel. Adapun total impor crude Pertamina mencapai 6,5 juta-7 juta barel per bulan. Hasto menjelaskan pembelian minyak mentah dari AS memang meningkat dari tahun lalu akibat adanya pemeliharaan kilang (turn around). Dari data Kementerian ESDM, total impor minyak mentah, produk, dan LPG periode Januari hingga Mei 2019 (Year on Year) turun 24% dibandingkan 2018 sebesar US$ 9,6 Miliar menjadi US$ 7,3 Miliar. "Dengan penurunan ini saya melihat program yang digulirkan oleh pemerintah cukup berhasil. Bahkan saat ini Pertamina tidak lagi harus impor solar," kata Mamit kepada Katadata.co.id, Rabu (10/7). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang periode Januari-Mei 2019 memang mengalami defisit sebesar US$ 2,14 miliar. Tapi angka tersebut lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu senilai US$ 8,7 miliar dolar. Impor JanuariMei 2019 juga turun 9,23% menjadi US$ 70,60 miliar dibanding tahun lalu. Ekspor periode Januari-Mei 2019 justru turun 8,61% dari periode sebelumnya menjadi US$ 68,46 miliar. 6.1. Upaya Penekanan Impor BBM Oleh Pemerintah Ada empat cara menekan laju impor BBM, yaitu kendaraan listrik, menggunakan transportasi umum, pengenaan pajak yang tinggi untuk kendaraan CC besar, menggunakan renewable energy. Pada kendaraan listrik, pemerintah Indonesia sudah menawarkan peluang investasi kepada Jepang dan Tiongkok. Jepang rencananya akan membuka pabrik kendaraan listrik/hybrid. Sedangkan Tiongkok, akan menjajaki bisnis baterai listrik. Rencana ini sangat menarik karena Indonesia memiliki bahan utama baterai yang melimpah, yaitu nikel. Selain itu, pada tahun 2020 beberapa perusahaan (PT Len Industri, Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Pertamina) tengah bersiap untuk mengerjakan proyek pembangunan 180 stasiun pengisi daya kendaraan listrik atau charging station. Nilai investasi untuk satu unit stasiun pengisi daya kendaraan listrik sekitar Rp 500 juta.


Pada transportasi umum, di Jakarta telah ada angkot full AC, dinamakan angkot Jak Lingko. Angkot ini bertujuan untuk mengurangi kemacetan di ibu kota. Terminal angkot ini terpisah dengan angkot lain dikarenakan mekanismenya yang berbeda. Seperti tidak ngetem, hanya berhenti di halte bus, berangkat tiap 3 menit, harus memiliki kartu Jak Lingko jika ingin menaikinya. Di tahun 2030 pun pemerintah pusat dan pemprov DKI Jakarta menargetkan penumpang transportasi umum di Jabodetabek melebihi pengguna kendaraan pribadi, Perbandingannya ialah 60:40. Untuk merealisasikannya PT KAI dan PT MRT membentuk "perusahaan patungan" bernama PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek. Perusahaan ini akan mengintegrasikan transportasi di Jabodetabek. 6.2. Pengembangan EBT Pemerintah terus berupaya melaksanakan percepatan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) agar dapat mencapai target 23% energi baru terbarukan (EBT) pada bauran energi nasional tahun 2025 sebagaimana amanat Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Beberapa strategi percepatan pengembangan EBT untuk mencapai target ambisius pada tahun 2025. Pertama, mendorong peningkatan kapasitas unit-unit PLT EBT yang sudah ada dan proyek EBTKE yang sedang berjalan sesuai RUPTL. Kedua, upaya penciptaan pasar EBT. Untuk pengembangan panas bumi, diupayakan pengembangan Flores Geothermal Island, sinergi BUMN untuk percepatan pengembangan panas bumi di Wilayah Kerja BUMN, dan pengembangan klaster ekonomi berbasis sumber daya setempat dengan

pembangkit

listrik.

Untuk

pengembangan

PLTA,

diupayakan

pengembangan proyek PLTA/M/MH utuk klaster industri mineral dan pengembangan PLTMH melalui pemanfaatan berbagai bendungan. Sementara itu, untuk pengembangan PLTS dilakukan sinergi BUMN dan pembangunan daerah, pengembangan klaster PLTS/PLT Hybrid untuk ekonomi berbasis sumber daya setempat, pengembangan green dan smart commercial building, pengembangan


PLTS di lahan-lahan pertanian dan perikanan, serta pengembangan ecotourism. Untuk pengembangan BBN, dilaksanakan Mandatori B20 dan B30 serta pengembangan Green Biofuel baik Pertamina maupun non Pertamina. Untuk pengembangan bioenergi, berbagai upaya penciptaan pasar yang dilaksanakan Pemerintah, antaralain: a. Melakukan konversi PLTD eksisting menjadi PLTBn CPO; b. Mendorong pembangkit Captive Power untuk menjual kelebihan listrik pada PT. PLN (persero) dengan skema Excess Power; c. Melakukan Co-firing dengan pelet Biomassa pada exsisting PLTU; d. Pengembangan PLT Biomassa skala kecil untuk Wilayah Indonesia Timur secara masif; e. Pengembangan hutan tanaman energi dan pemanfaatan lahan-lahan sub optimal untuk biomassa melalui kerjasama dengan KLHK, K/L terkait dan Pemda; dan f. Mendorong penggunaan limbah agro industri untuk pembangkit listrik; g. Mendorong pengembangan PLTSa. Tak hanya mendorong peningkatan kapasitas dan penciptaan pasar, Pemerintah juga berupaya meningkatkan akses energi kepada masyarakat langsung melalui pendanaan APBN (LTSHE, PJU TS, Biogas Komunal, dan PLTS Atap) dan memudahkan akses kepada pendanaan yang kompetitif. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pendukung memperbaiki tata kelola dalam rangka upaya percepatan proyek EBTKE. Hal ini diwujudkan antara lain berupa kemudahan perizinan, penerapan sistem perizinan online di KESDM, perbaikan data dan informasi, pelaksanaan monev dan fasilitasi problem solving untuk proyek-proyek panas Bumi, dan perbaikan standar dan sertifikasi SDM.


BAGIAN III PANAS BUMI


Panas Bumi Panas Bumi merupakan energi panas yang berasal dari suatu reservoir air panas atau uap panas yang berada pada kedalaman tertentu yang masih ekonomis. Panas bumi pada awal mulanya digunakan untuk memasak dan pemanas, namun pada tahun 1913 di Larderello panas bumi mulai dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik pertama didunia dengan kapasitas terpasang sebesar 250MW. Seiring dengan berjalannya waktu beberapa negara mulai memanfaatkan energi geotermal sebagai pembangkit listrik dan keperluan lainnya. Indonesia sebagai negara yang dilalui oleh jalur pegunungan berapi memiliki potensi panas bumi yang meripah ruah. Potensi panas bumi yang sangat besar tersebut sangat potensial untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik. Tercatat sebanyak 252 lokasi panas bumi yang tersebar di Indonesia mengikuti jalur pembentukan gunung api dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Maluku Dengan total potensi sekitar 27 GWe. Namun dengan potensi yang ada tersebut pengembangan mengenai panas bumi hanya 1948 MWe yang diproduksikan. Mengingat potensi akan panas bumi yang belum dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya maka pada bagian ini akan dibahas lebih mendalam mengenai Skema bisnis panas bumi, proses pengajuan pengembangan lapangan, harga jual uap di Indonesia, iklim investasi panas bumi di Indonesia, tantangan dan hambatan dalam pengembangan panas bumi, dan potensi pengembangan Green energy lainnya.

3.1 SKEMA BISNIS PANAS BUMI Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai skema bisnis pengusahaan panas bumi di Indonesia yang meliputi landasan hukum pengusahaan panas bumi, dan penjelasana alur pengusahaan panas bumi menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2017. 3.1.1 LANDASAN HUKUM PENGEMBANGAN PANAS BUMI Untuk mendorong pengembangan potensi panas bumi di indonesia, berbagai aturan sebagai paying hokum dalam pelaksanaan pengusahaan panas bumi telah dibuat oleh pemerintah mulai dari Peraturan Menteri ESDM, Peraturan Pemerintah, hingga UU No. 21 Tahun 2014 mengenai Panas Bumi. Berikut merupakan penjelasan singkat dari aturan yang berlaku dalam pengusahaan panas bumi:


Peraturan Menteri ESDM Nomor 33 tahun 2018 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Data dan Informasi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Peraturan Menteri ESDM 33/2018 merupakan amanat Pasal 25, 33 dan 112 PP 7/2017 Peraturan Menteri ESDM 37/2018 Mengatur tata cara dan mekanisme penawaran WKP dengan cara lelang, pemberian IPB, dan penugasan pengusahaan panas bumi kepada BLU/BUMN serta kriteria WKP yang dapat diberikan penugasan. Merupakan amanat Pasal 67 dan 68 PP 7/2017 yang merupakan usaha Pemerintah untuk memberikan pedoman dan landasan hukum yang jelas kepada para stakeholders. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2014. Mengatur pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung untuk menghasilkan listrik, wilayah kerja, penawaran wilayah kerja, kegiatan pengusahaan panas bumi, hak dan kewajiban pemegang IPB, usaha penunjang panas bumi, dan harga energi panas bumi. 3.1.2 MEKANISME PENGUSAHAAN PANAS BUMI MENURUT PP No. 7/2017 Mekanisme kegiatan pengusahaan panas bumi serta pemanfaatan panas bumi tidak langsung, berdasarkan PP No. 17 Tahun 2017 dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme sebagai berikut Tahap Awal Terdapat 2 Pilihan dalam melakukan bisnis pengembangan di bidang panas bumi untuk perusahaan swasta (non-BUMN): •

•

Sebagai perusahaan pengembang, dapat dilakukan melalui: o

Mengikuti kegiatan lelang

o

Mengikuti kegiatanPSPE

o

Melakukan Kerjasama dengan BUMN/BLU

Sebagai perusahaan penunjang


o

Bidang usaha jasa konstruksi panas bumi

o

Bidang usaha jasa non-konstruksi panas bumi

o

Bidang usaha jasa industri material panas bumi

o

Bidang usaha jasa industri peralatan panas bumi

Alur Bisnis Panas Bumi di Indonesia Menurut Undang-Undang 21 Tahun 2014 (UU 21/2014) tentang Panas Bumi, dan Peraturan Pemerintah No 7 tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, alur kegiatan panas bumi akan di mulai dari kegiatan survei pendahuluan (SP), penawaran Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), kegiatan eksplorasi (didalamnya termasuk kegiatan studi kelayakan), kegiatan eksploitasi dan pemanfaatan. Pemanfaatan panas bumi berdasarkan UU 21/2014 tersebut dibagi menjadi pemanfaatan langsung (direct use) dan pemanfaatan tidak langsung (indirect use). Pada bagian ini, alur bisnis kegiatan usaha panas bumi (termasuk cara memulai bisnis panas bumi di Indonesia) dimaksud akan difokuskan kepada proses bisnis pemanfaatan tidak langsung untuk mengenerasi listrik. Menurut regulasi Pemanfaatan Tidak Langsung Panas bumi adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik. Awal dari alur kegiatan usaha bisnis panas bumi di Indonesia dimulai identifikasi sumber daya panas bumi (potensi panas bumi). Namun, pada umumnya, identifikasi awal ini berupa perkiraan adanya energi panas berupa adanya manifestasi permukaan panas bumi seperti air panas, kolam lumpur panas, tanah panas dll. Survei Pendahuluan Panas Bumi Dari identifikasi awal tersebut, perlu dilakukan suatu aktivitas yang dinamakan Survei Pendahuluan. Kegiatan ini terdiri dari kegiatan yang disebut Survei 3G yaitu Geologi, Geokimia dan Geofisika. Berdasarkan regulasi definisi Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia, serta survei landaian suhu apabila diperlukan, untuk memperkirakan letak serta ada atau tidak adanya sumber daya Panas Bumi.


Survei pendahuluan ini merupakan tugas utama dari pemerintah yang dilakukan oleh Kementerian ESDM c.q. Badan Geologi. Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah baik tingkat kota/kabupaten dan provinsi dapat juga melakukan kegiatan survei pendahuluan ini. Selain oleh pemerintah, lembaga penelitian dan universitas dapat juga melakukan kegiatan Survei Pendahuluan ini dengan mengajukan penugasan dari pemerintah. Lembaga penelitian dan universitas melakukan survei pendahuluan dengan menggunakan dana sendiri. Dikarenakan bertujuan penelitian dan non komersil, lembaga penelitian atau universitas ini tidak mendapatkan hak bisnis atau hak komersil pada lokasi ini. Hasil dari kegiatan survei pendahuluan ini akan di evaluasi, apabila memenuhi persyaratan sesuai regulasi dapat ditetapkan menjadi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Kategori Sumber Daya Panas Bumi Kategori sumber daya panas bumi hasil akhir dari survei pendahuluan ini adalah kandidat untuk menjadi WKP. Kategori sumber daya panas bumi ini sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2017 tentang Wilayah Kerja Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung adalah adalah Cadangan Mungkin (possible reserves). Tahun 2017, SNI 18-6009-1999 tentang Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia telah direvisi dengan SNI 6009:2017 tentang Klasifikasi Sumber Daya dan Cadangan Energi Panas Bumi Indonesia. Berdasarkan SNI baru tersebut, Cadangan Mungkin didefinisikan sebagai kelas cadangan yang potensi energinya dihitung berdasarkan hasil penyelidikan geologi, geokimia, geofisika dan/atau sumur landaian suhu sehingga dapat menggambarkan konseptual model panas bumi dan mengestimasikan dimensi serta karakteristik fluida dan batuan reservoir. Sampai saat ini telah ditetapkan sebanyak 65 WKP. Setiap tahun, pemerintah paling sedikit menetapkan 3 WKP baru. Seperti tahun 2017 kemarin, telah ditetapkan 3 WKP yaitu WKP Sumani (Sumatra Barat), WKP Wapsalit (Maluku) dan WKP Sirung (Nusa Tenggara Timur).


Eksplorasi Panas Bumi Eksplorasi panas bumi adalah kegiatan setelah kegiatan survei pendahuluan. Kegiatan ini berupa kegiatan 3G tingkat lanjut dan pemboran sumur ekplorasi sebagai pembeda. Akhir dari kegiatan ini adalah studi kelayakan suatu lokasi prospek panas bumi. Menurut regulasi, eksplorasi didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan Panas Bumi. Eksplorasi ini dapat dilakukan oleh Pemerintah dan Badan Usaha. Pemerintah yang dimaksud disini hanya untuk pemerintah pusat. Secara tugas fungsi, pemerintah dimaksud adalah Kementerian ESDM c.q. Badan Geologi, namun dikarenakan keterbatasan dana, Kementerian ESDM dapat bekerja sama dengan Kementerian/Instansi lain. Seperti dalam program government drilling, Kementerian ESDM bekerjasama dengan Kementerian Keuangan. Badan usaha sendiri dalam regulasi didefinisikan sebagai badan hukum yang berusaha di bidang Panas Bumi yang berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau perseroan terbatas dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia serta berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan usaha dapat melakukan kegiatan eksplorasi hanya setelah mendapatkan Izin Panas Bumi (IPB) atau mendapatkan Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE). IPB diberikan kepada badan usaha pemenang lelang WK panas bumi. Sedangkan PSPE diberikan kepada Badan Usaha setelah melalui proses kontes pemilihan Wilayah PSPE. Eksploitasi Berdasarkan regulasi, eksploitasi didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan pada Wilayah Kerja tertentu meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan penunjangnya, serta operasi panas bumi. Secara formal, tahap eksploitasi ini dimulai pada saat dokumen studi kelayakan di setujui oleh menteri.


Pemanfaatan Energi Panas Bumi Seperti telah dijelaskan diatas, dalam menjalankan bisnis panas bumi di Indonesia ada 2 pilihan pemanfaatan energi. Energi panas bumi dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung. Di Indonesia pemanfaatan langsung panas bumi masih berupa pemanfaatan sebagai tempat wisata seperti pemandian air panas. Pemanfaatan energi panas bumi selain untuk wisata, bisa dilihat di Lapangan Panas Bumi Lahendong, Sulawesi Utara. Di lapangan tersebut, energi panas bumi dimanfaatkan langsung dalam industri gula aren. Jangka Waktu Jangka waktu izin panas bumi (IPB) yang diberikan kepada badan usaha adalah 35 tahun. Dengan rincian 5 tahun untuk eksplorasi dan 30 tahun untuk tahap eksploitasi dan pemanfaatan. Lima tahun jangka waktu eksplorasi dapat diperpanjang 2 kali selama setahun apabila diperlukan. Jadi total pengusahaan panas bumi adalah 37 tahun. Sedangkan Untuk PSPE, badan usaha diberi waktu selama 3 tahun dengan perpanjangan 2 kali selama setahun. Jadi total jangka waktu PSPE adalah 5 tahun.


3.2 PROSES PENGAJUAN PENGEMBANGAN WILAYAH KERJA PANAS BUMI Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, telah diatur proses pengusahaan panas bumi yang dapat dilihat pada skema berikut:

Gambar 1. Skema Proses Pengusahaan Panas Bumi (Sumber: ebtke.esdm.go.id) Kegiatan pengusahaan pengembangan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung dilaksanakan pada suatu Wilayah Kerja yang ditetapkan berdasarkan Data dan Informasi Panas Bumi hasil Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi maupun berdasarkan evaluasi kegiatan pengusahaan Panas Bumi dari Wilayah Kerja yang dikembalikan kepada Pemerintah. Dalam menetapkan Wilayah Kerja, Menteri melakukan perencanaan Wilayah Kerja dengan pertimbangan kebijakan energi nasional dan rencana umum ketenagalistrikan nasional. Selanjutnya akan dilakukan penyiapan Wilayah Kerja dengan Menteri melakukan Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi pada Wilayah Terbuka Panas Bumi untuk menentukan cadangan Panas Bumi, luas, dan batas-batas koordinat Wilayah Kerja berkoordinasi dengan instansi terkait, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Menteri dapat menugasi Pihak Lain untuk melakukan Penugasan Survei Pendahuluan (PSP) diberikan kepada perguruan tinggi yang bersifat permohonan penugasan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) diberikan kepada Badan Usaha yang bersifat diundang/diusulkan. Pihak lain yang berminat dapat mengajukan permohonan kepada Menteri. Apabila pada suatu Wilayah Penugasan terdapat lebih dari satu peminat maka akan dilakukan mekanisme kontes. PSP diberikan jangka waktu 1 tahun dan diperpanjang 6 bulan sedangkan PSPE


diberikan jangka waktu 3 tahun dan diperpanjang paling banyak 2 kali masing-masing selama 1 tahun. PSP harus dapat memberikan Data dan Informasi Panas Bumi dan Badan Usaha yang diberikan PSPE harus memberikan Data dan Informasi Panas Bumi serta wajib melakukan paling sedikit 1 pengeboran sumur eksplorasi. Berikut ini adalah Mekanisme PSPE:

Gambar 2. Mekanisme PSPE Sumber: ebtke.esdm.go.id Setelah didapatkan Data Informasi Panas Bumi hasil PSP atau PSPE, Menteri melakukan penetapan Wilayah Kerja. Wilayah Kerja tersebut ditawarkan dengan cara lelang Dalam hal Wilayah Kerja yang akan ditawarkan merupakan Wilayah Kerja yang ditetapkan berdasarkan Data dan Informasi Panas Bumi hasil PSPE, Panitia Lelang melakukan Pelelangan dengan cara penawaran terbatas dengan mengundang: a. Badan Usaha yang melaksanakan PSPE pada Wilayah Penugasannya yang sudah ditetapkan menjadi Wilayah Kerja; dan b. BUMN yang berusaha di bidang Panas Bumi, untuk mengikuti Pelelangan. Badan Usaha yang ingin membeli lelang WKP harus mengikuti prosedur pelaksanaan pelelangan meliputi: a. pengumuman Pelelangan;


b. pendaftaran; c. penetapan Peserta Lelang; d. pengambilan Dokumen Lelang tahap kesatu; e. penjelasan Dokumen Lelang tahap kesatu; f. penyampaian Dokumen Penawaran tahap kesatu; g. pembukaan Dokumen Penawaran tahap kesatu; h. evaluasi Dokumen Penawaran tahap kesatu; i. penetapan Peserta Lelang yang lolos Pelelangan tahap kesatu; j. pengumuman Peserta Lelang yang lolos Pelelangan tahap kesatu; k. pengambilan Dokumen Lelang tahap kedua; l. penjelasan Dokumen Lelang tahap kedua; m. penyampaian Dokumen Penawaran tahap kedua; n. pembukaan Dokumen Penawaran tahap kedua sampul 1 (satu); o. evaluasi Dokumen Penawaran tahap kedua sampul 1 (satu); p. pengumuman hasil evaluasi Dokumen Penawaran tahap kedua sampul 1 (satu); q. masa sanggah; r. penjelasan sanggahan; s. pembukaan Dokumen Penawaran tahap kedua sampul 2 (dua); t. evaluasi Dokumen Penawaran tahap kedua sampul 2 (dua); u. penentuan peringkat calon pemenang lelang oleh Panitia Lelang; v. penyampaian peringkat calon pemenang lelang dan laporan pelaksanaan Pelelangan kepada Menteri; w. penetapan pemenang lelang oleh Menteri; dan x. pengumuman pemenang lelang. Adapun dokumen lelang dibagi menjadi dua tahap, dokumen lelang tahap satu memuat: a. persyaratan administratif; b. kualifikasi aspek teknis dan keuangan; c. Data dan Informasi Panas Bumi pada Wilayah Kerja yang akan dilelang; d. prosedur pelaksanaan kualifikasi; e. pedoman pen5rusunan Dokumen Penawaran tahap kesatu; f. tata cara penyampaian Dokumen Penawaran tahap kesatu; g. metode evaluasi dan penilaian; dan h. penetapan hasil kualifikasi.


Sedangkan dokumen lelang tahap dua paling sedikit memuat: a. prosedur pelaksanaan Pelelangan tahap kedua; b. pedoman penJrusunan Dokumen Penawaran tahap kedua; c. tata cara penyampaian Dokumen Penawaran tahap kedua; d. metode evaluasi dan penilaian; e. tata cara penetapan hasil Pelelangan tahap kedua; dan f. tata cara sanggahan. Adapun Badan Usaha harus memuat dokumen penawaran tahap satu terdiri dari dokumen persyaratan administratif, dokumen teknis, dan dokumen keuangan yang disusun menjadi 1 (satu) sampul. Sedangkan dokumen penawaran tahap dua terdiri dari sampul 1 (satu) yang berisi proposal pengembangan proyek; dan sampul 2 (dua) yang berisi penawaran Komitmen Eksplorasi. Dalam proposal pengembangan proyek harus meliputi: a. kajian terhadap Data dan Informasi Panas Bumi untuk memperkirakan kelayakan Wilayah Kerja untuk dilakukan pengusahaan Panas Bumi; b. strategi pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi, target penyelesaian, serta rencana anggaran biaya; dan c. komitmen waktu beroperasi secara komersial (commercial operation date) Penawaran Komitmen Eksplorasi meliputi: a. surat pernyataan yang berisi komitmen Peserta Lelang untuk melakukan pengeboran sejumlah sumur eksplorasi; dan b. surat pernyataan kesanggupan menempatkan Komitmen Eksplorasi dalam bentuk rekening bersama (escrout account) pada bank yang berstatus BUMN sebagai jaminan pelaksanaan pengeboran sejumlah sumur eksplorasi Menteri menetapkan pemenang lelang berdasarkan hasil Pelelangan yang disampaikan oleh Panitia Lelang. Pemenang lelang yang berupa konsorsium wajib membentuk Badan Usaha baru

yang secara khusus diperuntukkan untuk mengelola Wilayah Kerja yang

dimenangkannya. Badan Usaha baru atau Badan Usaha mengajukan permohonan IPB kepada Menteri dengan melampirkan bukti pemenuhan kewajiban.


3.3 Harga Jual Uap/Listrik Panas Bumi di Indonesia 3.3.1 Harga Jual Uap Panas Bumi a. Harga Jual Uap Panas Bumi Pada Tahun 2016 Delapan kontrak jual beli uap dan listrik dari energi panas bumi dibahas mendalam saat acara Bali Clean Energy Forum (BCEF) di Nusa Dua Bali Convention Centre (NDBC), Kamis, 11 Februari 2016. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM) Sudirman Said. Para pihak penandatangan kontrak panas bumi tersebut adalah Dirut PT Pertamina Geothermal Energy Irfan Zainuddin, Dirut PT PLN (Persero) Sofyan Basir, Direktur Utama PT Indonesia Power Antonius Resep Tyas, Dirut PT Supreme Energy Muara Laboh Supramu Santosa, dan Dirut Star Energy Geothermal Wayang Windu Ltd Rudy Suparman. Kesepakatan jual beli yang ditandatangani mencakup amendemen kontrak harga uap panas bumi untuk PLTP Kamojang Unit 1, 2, dan 3 di Jabar sebesar US$6 sen dolar per kWh. Penandatanganan amandemen harga listrik untuk PLTP Kamojang Unit 4 berkapasitas 60 MW dan Kamojang 5 berkapasitas 35 MW sebesar US$9,4 sen per kWh. Lalu, amendemen harga uap panas bumi untuk PLTP Lahendong Unit 1, 2, 3, dan 4 di Sulut masing-masing berkapasitas 20 MW sebesar US$6 sen per kWh. Selanjutnya, penandatanganan kesepakatan penyesuaian harga listrik untuk proyek PLTP Muara Laboh berkapasitas 220 MW di Sumbar dan penandatanganan kesepakatan penyesuaian harga listrik panas untuk PLTP Wayang Windu Unit 1 berkepasitas 110 MW dan Unit 2 117 MW di Jabar. Selain kontrak panas bumi itu, turut pula ditandatangani nota kesepahaman PT Pertamina (Persero) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tentang pengkajian dan penerapan teknologi dalam rangka mendukung pemanfaatan energi panas bumi. Pihak penandatangan adalah Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam dan Kepala BPPT Unggul Priyanto.


Dirut PGE Irfan Zainuddin mengatakan, harga jual uap sebesar enam sen dolar per kWh dan listrik sebesar US$9,4 sen per kWh tersebut sudah cukup baik. Irfan menambahkan, dengan harga tersebut, kami optimistis pemanfaatan energi panas bumi akan makin berkembang dengan pesat, sehingga membantu mengurangi emisi karbon secara berkelanjutan�. PGE menargetkan pengoperasian panas bumi mencapai 922 MW pada 2019, 2.300 MW pada 2025, dan 2.700 MW pada 2030. b. Harga Jual Uap Panas Bumi Tahun 2017 Harga jual listrik Panas Bumi adalah sebesar harga biaya pokok produksi pembangkit nasional. Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga pembelian tenaga listrik dari PLTP, paling tinggi sebesar BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat. Di sisi lain, BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali atau sistem ketenagalistrikan setempat lainnya sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga pembelian tenaga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak. Dalam penerapan yang terakhir, PT PLN (Persero) memerlukan kebijakan dari Kementerian Teknis. Beberapa informasi tentang pengelolaan dan harga listrik dewasa ini: PLTP Rantau Dedap yang dikerjakan oleh IPP untuk proyek 80MW merupakan Amendment Power Purchase Agreement (PPA) dengan PT PLN (Persero) pada tanggal 6 November 2017 yang semula US$8,86 sen/ kWh dapat berubah menjadi sebesar US$11,76 sen/ kWh; Pertamina Geothermal Energi (PGE) menjual uap panas bumi sebesar US$7 sen/kWh dan harga komponen pembangkit listrik oleh PLN sekitar US$4 sen/kWh sehingga total harga menjadi US$11 sen/kWh. PT Pertamina Geothermal Energi yang sebelumnya PERTAMINA sudah sejak tahun 1970 mengembangkan Energi Terbarukan Panas Bumi kalah cepat membangun PLTP (+ 600MW) dibandingkan pihak Swasta IPP (+ 1,000MW) karena Pertamina organisasi yang besar, birokrasi dan banyak jenis usahanya (tidak fokus untuk Panas Bumi saja). PLTU Batubara baru di pulau Jawa untuk 1000 MW adalah 5,8 cent (seperti PLTU Batang dan PLTU Cirebon) dimana harga komponen instalasi di bawah US$3


sen perkWh. Harga listrik Pembangkit Energi Terbarukan (PLTP) Baru dibawah 100MW, tidak akan bisa ada sekitar ± US$6-7 sen/kWh apabila tidak menerima subsidi energi terbarukan. PT PLN (Persero) sebaiknya tidak mengambil risiko pengeboran dan eksplorasi. c. Harga Jual Uap Panas Bumi Tahun 2018 Harga jual listrik dan uap dari panas bumi harus diperbaiki untuk mempercepat pengembangan geothermal. Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan regulasi yang menetapkan harga jual listrik dan uap dari panas bumi 9.7 sen dollar AS per kWh. Namun, untuk sejumlah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang beroperasi sebelum UU No. 22 Tahun 2001 terbit, harganya masih 6 sen dollar AS per kWh. Percepatan pengembangan geothermal terkendala keterbatasan kemampuan teknis seperti pengadaan turbin yang harus diimpor dari Jepang, Afrika, Eropa. 3.3.2

Aturan yang Melandasi Penetaan Harga Uap Panas Bumi

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi •

Pasal 14: “Harga energi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diatur oleh Pemerintah”

Pasal 22 (1): “Harga energi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung ditetapkan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan harga keekonomian”

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung •

Bab II Pasal 3 (2) point f: “Perumusan dan penetapan harga energi Panas Bumi”

Bab VIII Pasal 106 (1) & (2):


(1) Harga energi Panas Bumi untuk pemanfaatan Tidak Langsung ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan harga keekonomian panas Bumi dan manfaat bagi kepentingan nasional. (2) Harga energi Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa harga uap dan harga listrik c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (pengganti PP No 59 Tahun 2007) •

Pasal 12 (1): “Menteri menetapkan besaran harga dasar data pada Wilayah Kerjahasil Survei Pendahuluan dan/atau Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) yang dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota”

Pasal 18: “Ketentuan mengenai penetapan dan pengaturan harga patokan pembelian uap dan/atau tenaga listrik Panas Bumi diatur dengan Peraturan Menteri”

d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi e. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Sumber Ennrgi Terbrukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik 3.3.3

Acuan dalam Penetapan Harga Uap Panas Bumi Pedoman atau acuan dalam penetapan harga uap panas bumi, dibahas dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 Bab IV Pasal 7 (4), (5) dan (6) yang tertulis sebagai berikut: (4)

Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga patokan pembelian tenaga listrik dari Tenaga Airsebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling tinggi


sebesar 85% (delapan puluh lima persen) dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat. (5)

Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga patokan pembelian tenaga listrik dari Tenaga Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar sama dengan BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

(6)

BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat dan rata-rata BPP Pembangkitan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) merupakan BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat dan ratarata BPP Pembangkitan nasional pada tahun sebelumnya yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan PT PLN (Persero) Berkas mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) baru mengenai

kegiatan usaha panas bumi telah diterima Sekretaris Negara. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menyatakan, dalam waktu dekat RPP tersebut akan ditandatangani oleh Presiden RI, Joko Widodo. Rida mengatakan, regulasi pengganti PP 59 tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi tersebut akan memberikan kepastian bagi para investor, pengembang panas bumi, serta pemberi pinjaman. PP ini akan diturunkan menjadi peraturan turunan yang mengatur harga jual tetap (fixed price) dari suatu pembangkitan atau PLTP. Dengan adanya penerbitan RPP pemanfaatan tidak langsungnya keluar, akan diatur fixed price, karena cantolannya di situ. Dengan regulasi harga tetap itu, maka pihak off taker atau dalam hal ini PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sudah memiliki patokan dalam menyelesaikan proses negosiasi Purchase Power Agreement (PPA). Sebagai informasi, dalam PP yang lama, yaitu di Pasal 18 disebutkan, pedoman penetapan harga uap panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik diatur dalam Peraturan Menteri. Selain memberikan kepastian harga, regulasi baru ini juga memungkinkan pemerintah memberikan penugasan kepada PLN untuk membeli listrik dari PLTP tertentu untuk percepatan proyek kelistrikan 35.000 megawatt (MW). Dalam regulasi yang lama, penugasan itu juga sudah diatur dalam Pasal 19 yang berbunyi, untuk menjamin ketersediaan listrik bagi kepentingan umum, pemerintah dapat menugaskan Pemegang Kuasa Usaha


Ketenagalistrikan untuk membeli uap atau listrik yang berasal dari panas bumi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI) Abadi Purnomo menilai, regulasi harga tetap merupakan ide yang cukup bagus. Hal ini memberikan kepastian pada masa eksplorasi, sehingga tidak ada perubahan harga imbas risiko di lapangan. Fabby Tumiwa, Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi terobosan pemerintah mengeluarkan regulasi harga tetap untuk pembelian uap panas bumi.

3.4 Iklim Investasi dalam Industri Panas Bumi Nasional Pengembangan Industri Panas Bumi didasari pada komitmen Indonesia dalam Paris Agreement untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan, salah satunya panas bumi. Potensi panas bumi Indonesia yang sangat besar yaitu 40% dari potensi dunia harus dimanfaatkan untuk tercapainya keinginan energi Indonesia yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hal utama yang diperlukan dalam pengembangan industri panas bumi ini adalah investasi. Iklim investasi di Indonesia dari dahulu hingga sekarang sudah banyak berubah. Aspek-aspek yang mempengaruhi iklim investasi dalam proses pengembangan Industri Panas Bumi yaitu hukum, dana, pasar, teknologi dan bantuan dari berbagai instansi. 3.4.1 Hukum, perizinan dan birokrasi Dahulu aktivitas industri panas bumi didefinisikan sebagai aktivitas pertambangan sesuai dengan Undang-Undang No. 27/2003 yang mengimplikasikan bahwa hal ini dilarang untuk dilaksanakan di wilayah hutan lindung dan area konservasi (Undang-Undang No. 41/1999). Pada tahun 2014, DPR Indonesia mengesahkan Undang-Undang Geothermal No. 21/2014 pengganti Undang-Undang No. 27/2003 yang memisahkan panas bumi dari aktivitasaktivitas pertambangan yang lain dan karena itu membuka jalan untuk eksplorasi panas bumi di wilayah hutan lindung dan area konservasi. Setelah itu, diterbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 14 Tahun 2015 (implementasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2012) tentang tata cara pengenaan, pemungutan dan penyetoran penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari kegiatan panas bumi. Jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal


dari ekgiatan panas bumi terdiri dari: 1. Iuran tetap eksplorasi panas bumi dan iuran tetap operasi produksi panas bumi, 2. Iuran produksi, 3. Jasa pelayanan pencetakan peta informasi wilayah panas bumi, 4. Harga data Wilayah Kerja Panas Bumi. Masih terdapat beberapa draft regulasi yaitu mengenai bonus produksi panas bumi, pemanfaatan panas bumi secara langsung dan tidak langsung. Untuk meningkatkan pengembangan kegiatan panas bumi di Indonesia, Pemerintah telah menerbitkan peraturan baru bidang panas bumi yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 33 Tahun 2018. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 37 Tahun 2018 tentang Penawaran Wilayah Kerja Panas Bumi, Pemberian Izin Panas Bumi, dan Penugasan Pengusahaan Panas Bumi yang mengatur hal-hal yang terkait dengan tata cara dan mekanisme penawaran Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan cara lelang, tata cara dan mekanisme pemberian Izin Panas Bumi (IPB), dan tata cara dan mekanisme penugasan pengusahaan panas bumi kepada BLU/BUMN serta kriteria WKP yang dapat diberikan penugasan.. PP Nomor 7 Tahun 2017 pasal 67,68 yang mendasari kebijakan Permen ESDM ini dengan tujuan untuk memberikan kepastian terhadap kriteria WKP yang dapat ditugaskan serta menjaga iklim investasi pihak swasta dalam pengembangan panas bumi di Indonesia dan menjaga kemampuan BLU/BUMN dalam mengembangkan energi panas bumi di Indonesia. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Data dan Informasi Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung diterbitkan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 112 PP Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagai turunan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi yang menyatakan bahwa semua data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan Panas Bumi merupakan milik Negara yang pemanfaatan dan pengelolaannya atas izin Pemerintah yang memberikan kemudahan dan kepastian kepada stakeholder dalam memanfaatkan data dan informasi panas bumi secara transparan. Pemerintah juga telah menerapan sistem perizinan online di KESDM walaupun masih terdapat prosedur perizinan yang panjang melalui pemerintah kabupaten, provinsi. Dalam membangun iklim investasi yang mampu menarik investor, diperlukan kemudahan dalam pengurusan perizinan dan kepastian hukum. Hukum yang mengatur pengembangan kegiatan


panas bumi di Indonesia sudah mengalami banyak peningkatan kepada kemudahan yang mampu menarik investor untuk berinvestasi di sektor panas bumi Indonesia. Masih perlu diadakan perbaikan dan penyesuaian agar berinvestasi di panas bumi Indonesia semakin aman dengan adanya kemudahan dan kepastian hukum. 3.4.2 Investasi awal yang mahal dan risiko eksplorasi panas bumi yang tinggi Proses awal dari kegiatan pemanfaatan panas bumi secara tidak langsung yaitu kegiatan eksplorasi. Potensi panas bumi yang ada di Indonesia berada di daerah pegunungan kawasan hutan konservasi. Pada fase eksplorasi dibutuhkan data survei yang mampu menurunkan risiko kegagalan sumur eksplorasi. Karena tingkat kegagalan dalam fase eksplorasi yang tinggi maka investasi awal yang dibutuhkan pun tinggi. Pemerintah melakukan pemberian intensif (fiskal dan non-fiskal) berupa reimburse atas biaya-biaya yang seharusnya tidak ditanggung pengembang pembangkit panas bumi. Insentif pencegahan risiko ekonomi, insentif lingkungan dengan total sekitar 9 cent per kWh yang ditambah harga BPP PLN sebagai harga keekonomian proyek. Intersif fiskal lainnya yang diberikan yaitu Pajak, BPN, BPP untuk eksplorasi. Pemerintah Indonesia juga telah menyusun proyek Indonesia Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM) bersama berbagai intansi seperti World Bank’s Energy Sector Management Assistance Program (ESMAP), Geothermal Fund Facility (GFF) dan lain-lain untuk membantu publik atau privat pengembang sektor panas bumi untuk memfasilitasi mitigasi risiko-risiko eksplorasi sumber panas bumi dan pemboran sumur produksi awal, menyediakan informasi mengenai biaya pengembangan awal geothermal yang relatif tinggi dan bantuan ini juga mencakup biaya kasus eksplorasi yang gagal. Proyek ini juga memberikan bantuan keuangan teknis, pengembangan kapasitas dari stakeholder di sektor panas bumi. Tujuan dari dukungan instansi tersebut adalah mendukung peningkatan energy baru terbarukan dari enery mix Indonesia yang akan menurunkan tingkat gas rumah kaca dunia. Infrastruktur yang buruk menuju lokasi eksplorasi juga menjadi tambahan tanggungan pengembang. Pengembang menanggung biasa pembangunan infrastruktur panas bumi tergolong mahal yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal lain yang patut diperhatikan adalah risiko penolakan sosial disekitar wilayah kerja seperti perlawanan masyarakat lokal pada proyek-proyek panas bumi serta birokrasi yang buruk yaitu prosedur perizinan yang panjang dan mahal yang melibatkan pemerintah pusat provinsi, dan kabupaten.


3.4.3 Harga jual dan pasar Biaya investasi industri panas bumi yang besar menyebabkan harga jual dari listrik PLTP ini masih cukup mahal dibandingkan dengan harga listrik dari PLTU dengan pembakaran batubara. Investor dalam menginvestasikan dana disuatu bisnis pastinya melihat peluang keuntungan yang bisa didapatkan, hal yang membuat investor sering enggan untuk menginvestasikan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia adalah karena pasar yang belum jelas dan ketidakpastian PLN dalam membeli listrik PLTP. Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki monopoli distribusi listrik di Indonesia dan karena itu energi listrik dari produsen-produsen independen harus dijual kepada PLN. Harga listrik PLTP yang mahal menyebabkan PLN enggan untuk membelinya, maka dari itu Pemerintah Indonesia akan mendiskusikan antara PLN dan pihak pengembang PLTP mengenai harga listrik PLTP agar menjadi lebih menarik melalui kebijakan Feed-in Tariff (FiT) yang baru. Penetapan feed in tariff (FiT) harga EBT panas bumi hanya selama 10 tahun karena potensi kerugian negara tinggi atas kontrak dengan FiT selama 30 tahun dengan satu harga. Alasan lain karena rata-rata pengembalian pinjaman pengembangan panas bumi ke bank. Setelah 10 tahun harus mengikuti persaingan sesuai biaya pokok penyediaan (BPP) listrik oleh PLN di lokasi pengembangan EBT panas bumi. Semua pihak menyepakati usulan range atau batas atas-bawah harga EBT proyek baru yang lebih berkeadilan dan disesuaikan dengan insentif sebagai fair price selama 10 tahun. 3.4.4 Bantuan kerjasama dari berbagai Instansi Selain bantuan dari World Bank’s Energy Sector Management Assistance Program (ESMAP) dan Geothermal Fund Facility (GFF) dalam mitigasi risiko eksplorasi, terdapat juga instansi lain yang membantu pengembangan panas bumi Indonesia seperti Global Environment Facility (GEF) yang memberikan bantuan dalam kunci reformasi peningkatan iklim investasi untuk pengembangan panas bumi, World Bank juga memberikan dana sebesar $55.25 juta dalam mendukung Geothermal Energy Upstream Development Project di Indonesia untuk memfasilitasi power generation panas bumi, Clean Technology Fund (CTF) membantu dalam pengembangan infrastruktur dan pemboran eksplorasi, Green Climate Fund dan Global Infrastructure Facility. Dalam meningkatkan investasi panas bumi dibutuhkan solusi keteknikan untuk menurunkan biaya dan selisih keuangan yang dihadapi pengembang panas bumi.


3.4.5 Bagaimana dengan pengembangan panas bumi di negara lain? Dalam membangun iklim investasi yang nyaman untuk investor di sektor panas bumi, berbagai negara sudah melakukan cara-cara meningkatkan ketertarikan investor untuk berinvestasi. Jerman, Perancis dan Mexico membuat geothermal resource insurance policy dan insentif fiskal untuk industry panas bumi ini. Negara-negara tersebut menawarkan 100% tax deduction untuk investasi energi baru dan terbarukan. Pemerintah Islandia telah menciptakan pajak yang kompetitif, insentif yang efesien untuk investasi (termasuk 15% corporate tax rate ceiling), tenaga kerja muda dan terdidik disiapkan untuk bekerja di sektor ini. IFC bekerja sama dengan Munic Re untuk mengembangkan Exploration Risk Insurance (ERI) di Turkey sejak tahun 2013. Di Oregon telah di demonstrasikan Enhanced Geothermal System dengan teknologi hydraulic fracturing untuk menemukan batu beku panas lalu menginjeksikan air dingin untuk menjadi uap panas bumi. Di Latin America dan Caribbean telah mengembangkan pengadaan pengembang yang berpengalaman seperti financial experts dan technical skills yang mampu mengerjakan eksplorasi dalam kondisi kritis atau sulit dan yang mampu menurunkan biaya pengeluaran.

3.5 Tantangan dan Hambatan dalam Pengembangan Panas Bumi Pengembangan Industri Panas Bumi di Indonesia mengalami dinamika perkembangan, salah satu yang mempengaruhi tersebut adalah hambatan dan tantangan. Hambatan dan tantangan dapat dipengaruhi oleh faktor internal seperti hukum, birokrasi, sosial dan geologi Indonesia atau faktor eksternal seperti ketertarikan atau tidaknya investor berinvestasi di Indonesia yang pastinya berhubungan dengan faktor internal. 3.5.1 Hambatan dalam pengembangan Panas Bumi a) Hukum pengembangan panas bumi Kepastian hukum dalam mengembangkan suatu bisnis sangat diperlukan. Dinamika hukum pengembangan panas bumi telah berkembang menyesuaikan dengan keadaan iklim investasi saat ini. Dahulu, aktivitas pengembangan panas bumi di wilayah hutan lindung dan area konservasi dilarang oleh Undang-Undang No. 27/2003, ketertutupan data dan informasi panas bumi, birokrasi perizinan wilayah kerja yang rumit dan lain sebagainya telah digantikan dengan Undang-undang yang lebih ramah bagi investor. Diantaranya adalah Undang-Undang Geothermal No. 21/2014 yang memisahkan panas bumi dari aktivitas-


aktivitas pertambangan yang lain sehingga membuka jalur eksplorasi panas bumi di wilayah hutan lindung dan area konservasi. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 37 Tahun 2018 tentang Penawaran Wilayah Kerja Panas Bumi, Pemberian Izin Panas Bumi, dan Penugasan Pengusahaan Panas Bumi, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Data dan Informasi Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Perkembangan hukum untuk bisnis panas bumi juga dapat menjadi tantangan yaitu perubahan hukum yang mengatur panas bumi kearah yang kurang menguntungkan bagi investor karena adanya perubahan kepemerintahan. Sehingga perlu kepastian hukum yang selalu berkembang kearah iklim investasi yang ramah. b) Social barrier di sekitar wilayah kerja panas bumi Penolakan dari masyarakat disekitar masih menjadi hambatan pengembangan panas bumi di Indonesia. Masyarakat yang menganggap panas bumi merusak lingkungan, apalagi wilayah kerja panas bumi yang kebanyakan di daerah hutan konservasi. Selain itu juga, masyarakat yang kurang menyadari akan pentingnya energi baru dan terbarukan dalam menyokong energi nasional yang berkelanjutan. c) Pasar dan Keekonomian harga jual listrik PLTP Di Indonesia, pasar penjualan listrik panas bumi hanyalah satu (single buyer) yaitu PLN. Listrik hasil dari pembangkit listrik panas bumi dan pembangkit energi lainnya harus dijual kepada PLN sesuai Permen ESDM No. 17 tahun 2014. Perbedaan harga listrik dari PLTP dibandingkan pembangkit energi fosil sangatlah jauh. Harga yang kurang kompetitif disebabkan harga produksi listrik panas bumi yang sangat mahal. Tidak ada titik temu harga antara pengembang dengan PLN. Oleh karena itu, dibutuhkannya model feed in tariff dengan rancangan skema fixed prices yang akan diatur dalam Permen ESDM. d) Mekanisme pengelolaan Wilayah Kerja Panas Bumi Pemilik wilayah kerja panas bumi dilarang untuk melakukan kontrak operasi bersama pemilik modal, karena dari kontrak tersebut menimbulkan permasalahan sehingga wilayah kerja tersebut tidak dapat berjalan dan menyia-nyiakan potensi panas bumi di wilayah kerja tersebut. Permen ESDM harus dibentuk agar tidak diperbolehkan pengalihan operasi kerja untuk tiap Wilayah Kerja Panas Bumi.


3.5.2 Tantangan dalam pengembangan Panas Bumi a) Kondisi geologi dan eksplorasi Lokasi potensial panas bumi kebanyakan di daerah pegunungan, hutan lindung dan are konservasi. Lokasi yang sulit menjadi tantangan mulai dari persiapan infrastruktur, mobilisasi peralatan teknologi dan pembangunan surface facilities. Pada fase eksplorasi dibutuhkan data dan informasi survei yang mampu menurunkan risiko kegagalan sumur eksplorasi oleh karena itu tingkat kegagalan dalam fase eksplorasi tidak terlalu menjadi sangat tinggi. Selain itu, para investor lebih tertarik jika Pemerintah telah melakukan eksplorasi hingga menemukan wilayah kerja yang dapat diproduksi yang disebut dengan government drilling. b) Teknologi yang mahal dan penguasaan SDM terhadap teknologi. Kegiatan eksplorasi awal yang mahal disebabkan kondisi geologi panas bumi yang sulit dan memerlukan teknologi yang canggih. Teknologi yang belum ada diproduksi di Indonesia menyebabkan setiap teknologi harus di impor dari luar negeri. Teknologi untuk pembangunan dan pengelolaan pengembangan panas bumi belum dikuasai tenaga ahli Indonesia sehingga memerlukan tenaga kerja asing yang berpengalaman di bidang teknologi. Untuk itu, pemerintah harus meningkatkan kualitas SDM dan peningkatan teknologi di Indonesia agar biaya teknologi dan SDM operasional dapat dipangkas. c) Penelitian dan data cadangan sumber daya panas bumi. Pemerintah harus dapat bekerja sama dengan Universitas, Badan Penelitian, Konsultan ahli dan Asosiasi untuk membentuk badan pusat riset yang bertugas untuk melakukan studi kelayakan teknis, kajian regulasi dan ekonomi. Dari riset tersebut diharapkan dapat memberikan data-data yang dibutuhkan oleh pengembang panas bumi agar biaya yang dikeluarkan berkurang.


3.6 POTENSI PENGEMBANGAN GREEN ENERGI DI INDONESIA 3.6.1

Potensi Green Energi Di Indonesia Indonesia menjadi negeri seribu pulau dengan kekayaan yang berlimpah di dalamnya.

Alam Indonesia dengan berjuta sumber daya alam baik yang sudah dikembangkan maupun yang masih tersingkap dan menanti untuk dieksplorasi, dengan keunikan serta kreativitas insan cendekia dalam mempelopori pengembangan energi di Indonesia. Sumber daya alam yang menjadi cikal bakal energi dalam kehidupan, kian menipis dan tidak menutup kemungkinan akan semakin sulit didapat. Pola konsumsi energi Indonesia pun perlu bergeser dari energi fosil ke energi baru-terbarukan. Sebab, di tengah tingkat produksi yang kian menurun, konsumsi energi nasional masih didominasi oleh energi tak terbarukan alias energi fosil, yaitu mencapai 94 persen. Ini terdiri dari 47 persen minyak bumi, 21 persen gas, dan 26 persen batubara. Berikut potensi energi terbarukan di Indonesia : 1. Panas Bumi (Geotermal) Industri panas bumi di lingkup global tumbuh signifikan, dengan pertumbuhan mencapai 4-5 persen. Pada 2013, perkembangannya bahkan sangat signifikan, seiring dengan beroperasinya pembangkit-pembangkit baru di Amerika Serikat, Filipina dan Eropa. Negara-negara di Afrika Timur, seperti Kenya dan Ethiopia, juga tengah memacu penyelesaian proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).


Potensi panas bumi di seluruh wilayah dapat menghasilkan listrik sebesar 30 ribu megawatt atau setara dengan 40 persen dari potensi seluruh dunia. Listrik sebesar itu cukup untuk menerangi enam kota seukuran Jakarta. Sayangnya, potensi besar ini belum termanfaatkan. Baru 1.300 MW atau kurang dari lima persen yang dimanfaatkan. Produksi panas bumi di Indonesia dikebangkan di wilayah Kecamatan Tellu Limpoe. 2. Shale Gas Shale gas adalah gas alam yang mayoritas berupa metana dan terbentuk di lapisan batuan shale yang kaya hidrokarbon. Energi alternatif ini kini menjadi primadona baru, setelah adanya penemuan besar di AS. Diperkirakan, kenaikan produksi total gas alam dunia sebesar 56 persen pada 2012-2040, terutama disebabkan oleh meningkatnya pengembangan shale gas. Proporsi shale gas terhadap produksi total gas alam AS pun meningkat dari 40 persen pada 2012 menjadi 53 persen pada 2040. Potensi shale gas di Indonesia terbilang besar. Letaknya tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Di belahan barat Indonesia, shale gas terpendam di di lapisan batuan berumur 20-30 juta tahun. Sedangkan di Indonesia timur tersimpan di bebatuan berumur 200 juta tahun. Berdasarkan data American Association of Petroleum Geologists dan Badan Informasi Energi AS, potensi shale gas di Indonesia mencapai 574 triliun kaki kubik (TCF). Meski kalah dari AS (1.100 TCF), Cina (1.400 TCF), dan Rusia (1.700 TCF), jumlah itu setara dengan lima kali cadangan gas Indonesia saat ini. Di peringkat global, Indonesia menempati urutan delapan besar, setelah Rusia, Cina, AS, Iran, Qatar, Argentina, dan Meksiko. Sebagai gambaran, satu TCF shale gas bisa menghasilkan 100 miliar kWh listrik dan menghidupkan 12 juta unit kendaraan berbahan bakar gas setahun. 3. Biofuel Produksi biofuel global telah mencapai 120 miliar liter pada 2013 dan memasok 3,5 persen dari kebutuhan bahan bakar transportasi dunia. Di seluruh dunia, kini sudah lebih dari 50 negara yang telah menerapkan mandatori bahan bakar nabati ini. Meski begitu, setelah mengalami periode pertumbuhan pesat, produksi dan konsumsi biofuel di AS, Uni Eropa dan Brasil mulai menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Produksi bioefuel global, menurut proyeksi IEA, akan mencapai 139 miliar liter pada 2020. 9


Selama ini, pengembangan biofuel di Indonesia sulit berkembang karena terkendala oleh masih murahnya harga BBM. Namun, sejak adanya pemangkasan subsidi BBM, yang membuat harganya menjadi relatif lebih mahal, maka peluang pengembangan biofuel semakin terbuka. Salah satu yang kini sedang coba diupayakan pengembangannya oleh pemerintah, yaitu biofuel berbahan dasar sawit. Ini dikarenakan, Indonesia kini merupakan salah satu produsen sawit terbesar di dunia. Untuk itu, pemerintah telah menetapkan pemberian subsidi harga sebesar Rp 2.600 per liter untuk produk biodiesel. Pemberian subsidi ini dilakukan berbarengan dengan kewajiban penggunaan campuran biodiesel sebesar 15 persen pada solar, yang mulai berlaku pada pertengahan Agustus lalu. 4. Coal Bed-Methane (CBM) Industri CBM bermula di AS pada 1970-an, yang kemudian dikembangkan secara intensif di Australia pada awal 1990-an. Kini sejumlah negara di Asia, khususnya Cina, Indonesia dan India, yang diperkirakan secara bersama-sama memiliki CBM sekitar 1.750 triliun kaki kubik (TCF), aktif mengembangkan energi alternatif ini. Pengembangannya memang terbilang lambat. Hingga pertengahan 2008, hanya sekitar 15 TCF CBM yang diproduksi di seluruh dunia. Indonesia memiliki sumberdaya CBM yang potensial, diperkirakan mencapai 450 TCF. Nilai ini setara dengan dua kali lipat cadangan terbukti (proven) maupun terduga (probable) gas alam. Sejauh ini, belum ada proyek CBM di Indonesia yang beroperasi. Pada 2008, sebanyak empat kontrak bagi hasil (PSC) CBM pertama ditandatangani. Produksi komersial CBM pertama berhasil dilakukan oleh PSC Vico Sanga-sanga pada 2011. Mulai 2014, beberapa pilot project akan dikembangkan menjadi produksi skala besar. Diharapkan akan menarik peminat perusahaan migas Asia dan dunia.

5. Hidro Sebagai

negara

maritim,

Indonesia

memiliki

potensi

besar

dalam

pengembangan energi hidro. Diperkirakan potensinya mencapai 75 ribu megawatt. Di Papua saja, setidaknya ada 52 sungat yang diprediksi bisa menghasilkan listrik sebesar 22 ribu MW. Sayangnya, baru sekitar lima persen dari potensi itu yang telah dimanfaatkan. 11 Energi tenaga air ini belakangan cukup berkembang dalam


pengembangan pembangkit listrik mini hidro. Salah satu pelopornya adalah Tri Mumpuni. Melalui Institus Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, ia merancang pembangkit berkapasitas 2,8 MW dengan memanfaatkan aliran Sungai Cilamaya. Listrik yang dihasilkan, dialirkan untuk kebutuhan PLN. Bisnis pembangkit bertenaga hidro ini mendapat dukungan pemerintah, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2009 tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah.

3.6.2

Biaya investasi Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) FX Sutijastoto menyampaikan, biaya investasi yang cukup tinggi membuat pengembangan proyek panas bumi berjalan lambat. Biaya investasi proyek panas bumi tinggi karena menggunakan teknologi terbaru. Di sisi lain, PT Perusahan Listrik Negara (PLN) pun tak mampu membeli listrik dari panas bumi karena memperhatikan daya beli masyarakat yang rendah. Masyarakat Indonesia sudah terlalu nyaman membeli energi murah karena selalu disubisidi oleh pemerintah. Sehingga, terlalu sulit untuk beralih menggunakan ke energi baru terbarukan. Pelaku usaha panas bumi mengakui pengembangan listrik berbasis geothermal di Indonesia terhitung lambat, karena skema tarif pembelian listrik yang masih menjadi tarik-ulur sehingga potensi 59 PLTP (pembangkit listrik panas bumi) belum bisa diberdayakan. Pada dasarnya energi hijau berbasis PLTP memberikan manfaat ekonomi dan ekologi yang besar dalam jangka panjang. Studi Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menyebutkan PLTP memerlukan investasi Rp 507,35 triliun (2020-2030), tetapi menghemat devisa negara Rp 39,2 triliun dan menambah penerimaan

negara

Rp

42,32

triliun

per

tahun

ke

depannya.


3.6.3 Peluang dan hambatan 1) Peluang Pengembangan Energi Panas Bumi a. Potensi Yang Tersedia Cukup Besar Penyebaran manisfestasi panas bumi terdapat hampir diseluruh kepulauan Indonesia. Telah diketahui bahwa 70 dari 251 lokasi merupakan lapangan yang mempunyai reservoir berentalphi tinggi (temperatur dan tekanan tinggi) dengan potensi sekitar 20 ribu MW. Sedangkan sisanya 7 ribu MW merupakan lapangan yang mempunyai reservoir berentalphi sedang dan rendah. b. Energi Bersih Lingkungan Setelah Indonesia meretifikasi Kyoto Protokol, keunggulan lingkungan energi panas bumi yang selama ini belum secara ekonomi diapresiasi kini memiliki kesempatan untuk meningkatkan nilai keekonomiannya. Misalnya dengan memanfaatkan Clean Development Mechanism (CDM) produk Kyoto Protokol. Mekanisme ini menetapkan bahwa negara maju harus mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 5,2% terhadap emisi tahun 1990, dapat melalui pembelian energi bersih dari negara berkembang yang proyeknya dibangun setelah tahun 2000. Energi bersih tersebut termasuk panas bumi. c. Regulasi Telah tesedia perangkat perundang-undangan sektor energi seperti UU 15/2005 tentang ketenaga listrikan, UU 27/2003 tentang panas bumi, Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2003-2020. Dalam waktu dekat, pemerintah akan menetapkan kebijakan Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025. Semua regulasi tersebut telah membuka perhatian terhadap isu lingkungan dan pengembangan

yang

berkelanjutan. Khusus dibidang panas bumi telah disusun Blue Print dan Road-map pengembangannya. d. Kebutuhan Energi Listrik Kebutuhan pembangkit tenaga listrik masih akan tumbuh dengan cepat sejalan dengan kebutuhan untuk menaikan rasio elektrifikasi dari 50% menjadi 90% pada tahun 2020 (KEN). Pengembangan panas bumi cocok karena dapat dikembangkan secara bertahap sesuai keekonomiannya.


e. Keunggulan Komparatif Sebagai energi terbarukan, panas bumi dapat diandalkan sebagai pasokan jangka panjang. Bebrapa PLTP di Itali masih berproduksi setelah 100 tahun, sedangkan di Selandia Baru dan Amerika Utara masih beroperasi setelah 50 tahun. Kamojang sampai saat ini sudah berproduksi selama 22 tahun. Dalam pengoperasiannya, penggunaan lahan PLTP relatif kecil dan tidak tergantung musim. Disamping pembangkit tenaga listrik, energi ini dapat dimanfaatkan untuk pengeringan hasil pertanian, pengawetan hasil perikanan dan parawisata. 2) Tantangan Pengembangan a. Kebijakan Fiskal Pengusahaan panas bumi untuk existing contract berlandaskan UU MIGAS 8/1991 dan Kepmen KEU 776/KMK.04/1992, dimana “barang operasi yang diimpor oleh pengusaha untuk keperluan pengusahaan sumber daya panas bumi tidak dipungut bea masuk, PPN, pajak penjualan atas barang mewah dan pajak penghasilan�. Perlakuan khusus terhadap panas bumi menjadikan tahun 90-an sebagai era investasi di bidang panas bumi. Sedangkan kebijakan perpajakan saat ini tidak lagi memberlakukan incentive diatas. Pembayaran bagian pemerintah sebesar 34% setelah memenuhi Net Operating Income (NOI) sangat menarik bagi pengembang panas bumi. Kebijakan baru dari beberapa PEMDA berupa pajak daerah dan pungutan-pungutan restribusi daerah merupakan biaya tambahan bagi pengembang. Kebijakan tentang pemegang IUP panas bumi yang baru untuk membayar iyuran tetap, iyuran produksi dan royalti mengakibatkan berkurangnya bagian untuk pengembang. Hasil simulasi yang dilakukan oleh pengembang menunjukan besaran pembayaran bagian pemerintah dan pemerintah daerah berkisar 42% sampai 44%. b. Investasi Awal Besar Pengembangan panas bumi sangat padat modal terutama pada tahap awal yaitu tahapan eksplorasi yang berdampak kepada aspek pembiayaan dan nilai dari keseluruhan proyek serta penentuan harga steam yang diperoleh. Seperti semua eksplorasi sumberdaya alam, eksplorasi panas bumi juga beresiko tinggi. Keterdapatan reservoar panas bumi dibentuk oleh tatanan dan


kondisi geologi yang komplek.Tidak ada garansi bahwa pemboran eksplorasi atau pemboran produksi akan mendapatkan fluida panas yang ditargetkan. Pengembang harus siap baik mental maupun finansial menerima eksplorasi sebagai kegiatan yang mengandung resiko. Berbeda dengan energi fosil, untuk pembangkit listrik bahan bakarnya telah tersedia, kegiatan hanya terfokus pada tahapan pembangkitan tenaga listrik. Namun dalam waktu jangka panjang biaya pengembangan panas bumi akan lebih kecil karena pasokan energi terus berlangsung, tidak demikian halnya dengan jenis energi lain yang harus didatangkan dari tempat lain. c. Harga Jual Uap dan Listrik Harga jual listrik atau uap dari pembangkit listrik tenaga panas bumi saat ini secara keekonomian belum begitu menarik bagi investor. Harga jual uap berkisar antara 3,7 cents US$/kWh sampai dengan 3,8 cents US$/kWh. Sedangkan harga jual listrik berkisar antara 4,20 cents US$/kWh sampai 4,44 cents US$/kWh dengan eskalasi 1,5% per tahun. Subsidi yang diberlakukan oleh pemerintah terhadap bahan bakar minyak dan energi juga berdampak negatif pada pengembangan panas bumi di Indonesia. Kebijakan subsidi ini mengakibatkan energi panas bumi kalah bersaing.


DAFTAR PUSTAKA Pudyantoro, A. Rinto. 2013. A to Z Bisnis Hulu MIGAS. Jakarta : Petromindo. Pudyantoro, A. Rinto. 2019. Bisnis Hulu Migas. Jakarta : PT. Gramedia. (halaman 3-8) Sukandarrumidi, Herry Zadrak Kotta, Djoko Wintolo. 2018. Energi Terbarukan : Konsep Dasar Menuju Kemandirian Energi (Hal 153) . Yogyakarta : Gajah Mada University Press Qayris Cipta Kreasindo and team. 2019. Investment Opportunities in Indonesia 7th Edition. Jakarta : Pidii Publishing https://www.cnbcindonesia.com diakses tanggal 22/02/2020 pukul 07.41 WIB https://klikpajak.id/blog/pajak-bisnis/penjelasan-pbbkb-yang-berlaku-untuk-daerah/ https://migas.esdm.go.id/post/read/kepmen-esdm-tentang-formula-harga-dasar-bbm-umumbensin-dan-solar-yang-disalurkan-melalui-spbu-dan-spbn https://migas.esdm.go.id/post/read/kepmen-esdm-tentang-formula-harga-dasar-bbm-tertentudan-khusus-penugasan PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK https://katadata.co.id diakses tanggal 22/02/2020 pukul 07.35 WIB http://psdg.bgl.esdm.go.id diakses pada 22/02/2020 pukul 07.33 WIB https://www.insinyoer.com/apa-itu-lpg/ http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2007/104TAHUN2007PERPRES.HTM https://jdih.esdm.go.id/peraturan/Permen%20ESDM%2026%202009.pdf https://jdih.esdm.go.id/peraturan/Kepmen-esdm-61-Thn%202019.pdf https://www.kompasiana.com/spurwanto63/54f6fb6ca33311560f8b45c3/teori-dasarmenentukan-tarif-pengangkutan-gas-bumi-melalui-pipa-toll-fee-pada-jaringan-pipa-gasbumi-yang-dioperasikan-secara-open-access?page=all# https://jdih.esdm.go.id/storage/document/PerBPH%20MIGAS-8-2013.pdf https://katadata.co.id/berita/2019/07/10/pertamina-mampu-tekan-impor-minyak-mentahimpor-bbm-masih-tinggi


https://ekonomi.bisnis.com/read/20191126/44/1174613/pertamina-tambah-volume-imporminyak-dari-amerika-serikat https://katadata.co.id/berita/2019/11/25/jepang-dan-tiongkok-jajaki-investasi-kendaraanlistrik-di-indonesia https://katadata.co.id/berita/2019/12/03/bumn-bersiap-bangun-180-stasiun-pengisi-dayakendaraan-listrik-di-2020 https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/10/16495051/penumpang-transportasi-umumditargetkan-lebihi-pengguna-kendaraan-pribadi http://ebtke.esdm.go.id/post/2019/10/17/2369/berikut.strategi.pemerintah.dalam.pengembang an.ebt.menuju.kemandirian.energi.nasional


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.