Community Self Portrait of Gunung Lumut

Page 1


2


Daftar Isi

Table of contents Gunung Lumut dan Budaya Kaharingan Gunung Lumut, Kaharingan Culture and Belief Kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut Lampeong-Gunung Lumut Protected Forest Lingkungan Environment Hidup Keseharian Daily Life Ekonomi Economy Pendidikan Education Sanitasi dan Kesehatan Health and Sanitation Infrastruktur Infrastructure Penutup Closing

13 35 41 65 77 89 97

103

111

3


Š Bartiana/Photovoices Intl-WWF/HoB

4


Foreword

Kelompok Kerja Nasional Heart of Borneo Heart of Borneo National Working Group

H

eart of Borneo atau Jantung Borneo merupakan inisiati­f tiga Negara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia untuk mengelola kawasan hutan tropis dataran tinggi Borneo yang didasarkan pada prinsip konservasi dan pemba­ngunan berkelanjutan. Inisiatif ini dideklarasikan tahun 2007 dengan tujuan untuk mempertahankan dan memelihara keber­lanjutan manfaat salah satu hutan hujan terbaik yang masih tersisa di Borneo, demi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang. Penguatan masyarakat lokal di wilayah yang menjadi bagian dari Heart of Borneo sangat penting untuk keberhasilan program konservasi dan pembangunan yang berkelanjutan ini. Kegiatan pelatihan fotografi bagi masyarakat Desa Muara Mea dan Desa Berong yang berada di Hutan Lindung Lampeong Gunung Lumut Kabupaten Barito Utara – Kalimantan Tengah, merupakan salah satu sarana penguatan masyarakat yang sangat bermanfaat untuk menggali perspektif dari masyarakat lokal.

T

he Heart of Borneo is an initiative of three countries, Brunei Darussalam, Indonesia, and Malaysia to manage the tropical highland forests of Borneo based on the principles of conservation and sustainable development. This initiative was declared in 2007 to maintain and preserve one of the best rain forests remaining in Borneo, for the welfare of current and future generations. Empowering local communities in areas that are part of the Heart of Borneo is very important to the success of this conservation and development program. The process of Photovoices International is one community empowerment tool—training local people to take their own photograph and tell stories about the pictures is a very useful for the making know the perspectives of the local communities in Muara Mea and Berong Villages in the Lampeong–Gunung Lumut Protected Forest, Barito Utara District, Central Kalimantan.

Saya atas nama Kelompok Kerja Nasional Inisiatif Heart of Borneo sangat mengapresiasi kegiatan pelatihan fotografi kolaborasi WWF-Indonesia dan Photovoices International dengan dukungan Ford Foundation ini. Saya yakin kerjasama yang baik ini dapat menggali opini yang jujur dari masyarakat lokal me­ ngenai berbagai aspek kehidupan mereka yang tercermin dari karya-karya foto yang terangkum dalam buku ini. Perspektif utuh yang dapat membantu para pemangku kepentingan terkait dalam merumuskan kebijakan yang tepat. Apalagi Hutan Lin­ dung Lampeong - Gunung Lumut merupakan salah satu bagian penting di sekitar kawasan Heart of Borneo, dan telah diusulkan Pemerintah Kabupaten Barito Utara menjadi Taman Nasional.

On behalf of the Heart of Borneo National Working Group Initiative, I greatly appreciate the collaborative photographic training activities of WWF Indonesia and Photovoices International, with the support of the Ford Foundation. I am confident that this good partnership can uncover the honest viewpoints of local communities on various aspects of their lives, which are reflected in the photographic pieces presented in this book. This will provide a complete perspective that can assist stakeholders involved in the formulation of good policy.This information is especially important because, the Lampeong–Gunung Lumut Protected Forest is an important part of the Heart of Borneo area, and has been proposed as a National Park by the District Government of Barito Utara .

Pada akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bukan hanya bagi para pemangku kepentingan di Barito Utara dan Kalimantan Tengah, tapi juga menjadi media yang menyuarakan kehidupan di Gunung Lumut kepada masyarakat luas. Suara jernih yang diharapkan bisa menggugah kepedulian lebih besar bagi keles­ tarian alam di Hutan Borneo yang tak hanya bermanfaat bagi masyarakat lokal tapi juga untuk kepentingan global.

In the end, this book will be useful not only for the stakeholders in the Barito Utara District and Central Kalimantan, but also for the media that is the voice of Gunung Lumut to the wider world; and that the clear voice from the people that we hope can arouse a greater concern for the preservation of nature in the forests of Borneo, which are not only beneficial to the local community but also important people around the globe.

Dr. Andi Novianto Chairman, Heart of Borneo National Working Group

5


Foreword

Kepala Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah Head, Barito Utara District

P

emerintah Kabupaten Barito Utara bersama masyarakat adalah inisiator “Pengusulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut menjadi Taman Nasional”. Usulan ini atas dorongan dari masyarakat adat dan pemeluk agama Hindu Kaharingan, yang mensakralkan Kawasan Gunung Lumut sebagai hutan yang dikeramatkan, berdasarkan adat budaya sejak jaman nenek moyang dahulu. Disamping itu dengan semakin pentingnya isu lingkungan, kami berharap agar kawasan hutan yang diusulkan menjadi Taman Nasional tersebut, dapat memberi kontribusi jasa lingkungan serta penyeimbang ekosistem kawasan di daerah khususnya, dan Indonesia umumnya. Penguatan masyarakat lokal sekitar kawasan Gunung Lumut, khususnya di Desa Muara Mea dan Berong melalui kegiatan pelatihan fotografi sangat kami apresiasi. Program yang dilatih oleh Photovoices International dan WWF-Indonesia dengan dukungan Ford Foundation kepada fotografer desa ini sangat berguna bagi pengumpulan informasi menggunakan media foto. Kami harapkan hasilnya berkorelasi positif dan sinergis terhadap keinginan Pemerintah Kabupaten Barito Utara dan masyarakatnya, untuk mengusulkan perubahan fungsi kawasan Hutan Lin­ dung Lampeong-Gunung Lumut menjadi Taman Nasional. Pemerintah Kabupaten Barito Utara sangat mengapresiasi kegi­ atan para fotografer desa yang melakukan pemotretan selama tujuh bulan dalam bimbingan lapangan oleh Photovoices International kerjasama dengan WWF-Indonesia. Kami yakin bahwa informasi yang dikumpulkan melalui media foto memiliki nilai-nilai dan manfaat bagi para pihak pengambil kebijakan dan pelaksana program berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam serta pelestarian lingkungan hidup, perlindungan kearifan lokal, serta nilai religius dan budaya yang telah bertumbuh untuk mendukung pelestarian kawasan hutan lindung Lampeong-Gunung Lumut. Pada akhirnya kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Photovoices International dan WWF-Indonesia, atas kerjasama dan kerja keras yang telah diberikan untuk membantu daerah kami, dari kegiatan penguatan masyarakat sampai kepada pembuatan buku “ Potret Diri Masyarakat Gunung Lumut “. Semoga buku ini bermanfaat bagi Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Barito Utara di Propinsi Kalimantan Tengah, serta para pihak pelaksana pembangunan dan pemerhati lingkungan hidup, tidak hanya manfaat lokal bagi lokal tetapi juga bagi regional dan global.

IR. H. Achmad Yuliansyah, MM. Bupati Barito Utara 6

D

istrict Government of Barito Utara supported by the local community is the initiator of “Proposal function changes conservation Lampeong-Gunung Lumut forest area into a National Park”. This proposal encouraged by local indigenous peoples and the devotes of Hindus Kaharingan, who sanctify Gunung Lumut Region as a sacred forest, based on indigenous culture since the days of our ancestors. In addition to the increasing significant of environmental issues, we hope that the proposed forest area into the National Park, can contribute to environmental services and ecosystem balance in particular for the region and Indonesia in general. We appreciate the effort to strengthen local communities around Gunung Lumut area, particularly in the village of Muara Mea and Berong through training and photography. The program organized by Photovoices International and WWF-Indonesia with the support of the Ford Foundation to train village photographers are very useful for gathering information using media images. We expect the results to correlate positively and synergistically in line with the aspiration of the District Government of Barito Utara and its people, to propose changes in the function of Protected Forest area Lampeong-Gunung Lumut became a National Park. District Government of Barito Utara highly appreciated the activities of the village photographers who did the photo shoots for seven months under the guidance of Photovoices International in co-operation with WWF-Indonesia. We are confident that the information collected through media images have values and benefits to the parties’ policy makers and implementers of programs, related to natural resource use and environmental protection, protection of local knowledge, as well as religious and cultural values that have grown to support the preservation of LampeongGunung Lumut Protected Forest area. In the end, we convey our sincere thank you and appreciation to Photovoices International and WWF-Indonesia, for their cooperation and hard work that has been given to help our area, from the strengthening of society through the development of the book “Self Portrait Society of Gunung Lumut”. I hope this book can be useful for the Government and people of District Barito Utara in the Province of Central Kalimantan, government and environmentalists, not only locally for local benefit but also for regional and global levels.


Foreword

WWF-Indonesia

“A

picture speaks a thousand words”, begitulah kutipan terke­ nal yang menggambarkan bagaimana kekuatan sebuah foto yang sanggup bercerita ribuan kata. Berangkat dari kekuatan foto yang mampu berbicara lebih dari kata-kata inilah WWFIndonesia bersama Photovoices International, untuk kedua kalinya mengadakan pelatihan fotografi bagi masyarakat yang berada di wilayah kabupaten yang masuk dalam administrasi Inisiatif Heart of Borneo (HoB).

“A

picture speaks a thousand words” is a famous quote that describes the communicative power of photographs. Drawing on the strength of photos that can speak more than words are WWF-Indonesia and Photovoices International, for the second time holding photography training for communities in district areas that fall under the administration of the Heart of Borneo (HoB) initiative.

Kali ini kami mengajak masyarakat di Desa Muara Mea dan Desa Berong Kabupaten Barito Utara – Kalimantan Tengah yang menjadi bagian dari Hutan Lindung Gunung Lumut, untuk berbicara mengenai kondisi lingkungan, sosial ekonomi, budaya dan keseharian mereka melalui foto-foto hasil karya mereka sendiri.

On this occasion, we have invited the local communities of the Muara Mea and Berong Villages, Barito Utara district, Central Kalimantan, which are a part of the Gunung Lumut Protected Forest, to talk about their environmental conditions, social– economy, culture and daily lives through the production of their own photos.

Perspektif masyarakat tercermin dalam ribuan foto yang kaya warna dan makna, yang bisa menjadi acuan bagi pemerintah daerah dan pengambil keputusan lainnya, termasuk lembaga non-pemerintah seperti kami, WWF-Indonesia dalam merancang program penguatan masyarakat, yang menjadi pilar utama agenda konservasi dan pembangunan berkelanjutan Inisiatif HoB.

Community perspectives, reflected in thousands of photos rich in color and meaning, can serve as a reference for local governments and other decision makers, including non-governmental institutions such as ours, WWF-Indonesia, in the design of community empowerment programs, something which is a key pillar of the conservation and sustainable development agenda of the HoB initiative.

Heart of Borneo atau Jantung Borneo merupakan inisiatif tiga negara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia untuk melakukan upaya konservasi dan pembangunan yang berkelanjutan di wilayah Kalimantan/Borneo. Hutan Lindung Lampeong Gunung Lumut dimana Desa Muara Mea dan Desa Berong berada merupakan salah satu bagian penting yang menyokong kawasan Heart of Borneo. Saat ini kawasan masyarakat Kabupaten Barito Utara telah mengusulkan Hutan Lindung Gunung Lumut menjadi salah satu Taman Nasional. Upaya ini tidak ha­ nya didukung oleh Pemerintah Kabupaten Barito Utara, namun juga oleh masyarakat sekitar Gunung Lumut serta lembaga non pemerintah seperti WWF-Indonesia dan Yayasan Gunung Lumut.

The Heart of Borneo is an initiative of three countries, Brunei Darussalam, Indonesia and Malaysia, to conduct a conservation and sustainable development effort in the Kalimantan/ Borneo region. The Lampeong–Gunung Lumut Protected Forest, where the Villages of Muara Mea and Berong are situated, is one important part that contributes to the Heart of Borneo region. At the present time, the regional community of Barito Utara District has proposed that the Gunung Lumut Protected Forest become a National Park. This effort is not only supported by the District government but also by the local community of Gunung Lumut, as well as non-governmental institutions such as WWFIndonesia and the Gunung Lumut Foundation.

Bagi WWF-Indonesia, semoga buku ini menjadi media yang sa­ngat bermanfaat untuk memperkaya informasi bagi semua pihak dan memberdayakan masyarakat pada saat yang bersamaan. Upaya yang akan terus kami lakukan untuk keberhasilan misi besar Heart of Borneo, dimana Hutan Lindung Gunung Lumut menjadi salah satu bagian penting dari program ini.

On behalf of WWF-Indonesia, it is hoped that this book becomes a very useful media that serves to simultaneously enrich the information available to all parties and empower communities. This is an effort that we will continue to make for the success of the great Heart of Borneo mission, a program of which the Gunung Lumut Protected Forest is an important part.

Dr. Efransjah CEO, WWF-Indonesia

7


Foreword

Photovoices International

P

hotovoices International berterimakasih kepada The Ford Foundation atas dukungannya yang sangat tinggi kepada Photovoices Gunung Lumut - Kalimatan Tengah serta tempattempat lain di Indonesia. Kami juga berterimakasih kepada WWF-Indonesia atas kerjasama yang baik dan sukses selama Program di Gunung Lumut. Serta yang paling penting, ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada masyarakat Muara Mea dan Berong yang tinggal di kawasan Gunung Lumut, yang telah mengundang kita ke dalam dunia mereka melalui hasil fotografi dan cerita yang ada dalam buku ini. Photovoices International – memberdayakan masyarakat melalui fotografi – menyediakan kamera dan pelatihan fotografi kepada masyarakat di tempat-tempat yang sangat spesial di dunia. Untuk membawa suara mereka ke dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, lembaga konservasi dan pihak-pihak lainnya yang membuat perencanaan tentang pembangunan dan program-program konservasi yang akan dilaksanakan di wilayahnya dan berdampak terhadap masa depan mereka. Dengan memanfaatkan proses Photovoices – sebagai alat seni, sebagai alat dokumenter juga sebagai alat untuk bertutur tentang cerita di balik foto, yang dilakukan para fasilitator terlatih dengan fotografer desa setiap bulannya, menghasilkan informasi penting tentang hal-hal yang perlu diperbaiki dan dilindungi serta gagasan mereka sendiri tentang pengembangan ekonomi alternatif yang berkelanjutan. Semenjak di dirikan pada tahun 2001, Photovoices International dilandasi pada kepercayaan sederhana – bahwa strategi konservasi dan pembangunan akan jauh lebih efektif jika dapat menggabungkan pengetahuan lokal masyarakat, menghormati budaya tradisional, dan membangun kerjasama dengan masyarakat lokal yang berdasar pada pemahaman dan rasa saling menghormati dari kedua belah pihak. Melalui Photovoices, bekerja sama dengan WWF-Indonesia dan inisiatif HoB, masyarakat Gunung Lumut, Kalimantan Tengah—yang sebelumnya belum pernah menggunakan ka­mera dapat menghasilkan foto–foto dan informasi yang mengesankan dan penuh makna. Gunung Lumut merupakan salah satu daerah terpencil di jantung Borneo dengan keanekaragaman hayati yang tinggi serta memiliki sistem kebudayaan dan kepercayaan masyarakat yang masih kuat dan telah dipraktekkan selama generasi ke generasi.

8

P

hotovoices International is grateful to The Ford Foundation for its generous support for Photovoices in Gunung Lumut Central Kalimantan and for other sites in Indonesia. Photovoices also thanks WWF-Indonesia for the successful partnership in Gunung Lumut. Most important, Photovoices warmly thanks the people living in Maura Mea and Berong villages who invited us into their world through the photographs and stories that appear in this book. Photovoices International – Empowering People through Photography - provides cameras and photography training for people in the world’s special places to bring their voices into important decisions by government, conservationists and others making plans for the future. Photovoices –part art, part documentary, part storytelling--also trains facilitators who each month talk to the village photographers in their own local language about the stories behind the photographs. The pictures and stories provide villagers a way to reflect on their own lives and to talk together about what they want to protect, what they want to make better and to put forth their own ideas about compatible economic development. Since its creation in 2001, Photovoices International has rested on a simple belief—that conservation and development strategies are far more effective when they incorporate local knowledge, honor traditional practices, and build partnerships with local people based on mutual understanding and respect. Through Photovoices, in partnership with WWF-Indonesia and the Heart of Borneo Initiative, the people of Gunung Lumut, Central Kalimantan—who had never before used a camera— produced stunning photographs of this remote area of the world with renowned biodiversity and a traditional culture and belief system that has been practiced for untold generations. The people took pictures of their daily life, farming practices, the oldest woman in the community and a new born baby. The photographs and stories also documented rituals and indigenous knowledge, community values and the need for better schools and roads, improved health care and alternative livelihoods. Through the Photovoices process, the village photographers took expeditions into the primary forest to document the


Masyarakat lokal setempat mengambil gambar tentang keseharian mereka, tentang cara bertani mereka, tentang tokoh orang tua serta bayi yang baru dilahirkan. Foto-foto dan cerita yang dihasilkan juga mendokumentasikan tentang pengetahuan masyarakat akan adat istiadatnya, kebutuhan masyarakat untuk sekolah dan jalan yang lebih baik, peningkatan pelayanan kesehatan dan mata pencaharian alternatif. Dalam program Photovoices, para fotografer desa juga melaksanakan ekspedisi ke pedalaman hutan perawan yang mengelilingi Gunung Lumut dan mendokumentasikan hal-hal penting yang ada didalamnya. Dalam buku ini anda akan melihat gambar dari hutan–hutan lebat yang dihuni oleh binatang dan burung–burung dan beberapa diantaranya jarang ditemukan di tempat lain – serta aneka ragam flora dan fauna yang mengesankan bahkan bagi ahli botani berpengalaman. Gunung Lumut juga merupakan salah satu gunung yang pa­ ling dikeramatkan oleh masyarakat Kaharingan karena dalam kepercayaan ritualnya sangat terkait erat dengan gunung tersebut demikian juga lingkungan alam yang melingkupinya. Masyarakat Kaharingan telah memberikan penghormatan kepada kita dengan mendokumentasikan ritual–ritual mereka, termasuk ritual yang paling penting; tentang mengantarkan arwah seseorang yang telah meninggal untuk disemayamkan di Gunung Lumut. Melalui foto dan informasinya masyarakat juga memberitahukan kekhawatiran terbesar mereka akan kerusakan lingkungan yang akan terjadi. Dalam ritual Kaharingan arwah–arwah yang akan disemayamkan tersebut sebelum mencapai Gunung Lumut harus berhenti terlebih dahulu di tempat-tempat penting di lingkungan tersebut, termasuk pohon–pohon tertentu, batu–batu keramat dan sungai–sungai yang ada di kawasan Gunung Lumut. Jika lingkungan ini berubah dan rusak, maka jalan mereka ke kehidupan mereka selanjutnya juga akan hancur.

extraordinary biodiversity surrounding the sacred mountain of Gunung Lumut. In this book you will see their pictures of thick forests populated with animals and birds – some rarely found in other places --and plant diversity to impress even the most seasoned botanist. Gunung Lumut is also one of the most sacred mountains to the indigenous people of Borneo and especially to the Kaharingan whose spiritual beliefs and rituals are tightly bound with the mountain and the surrounding natural environment. The Kaharigan people have honored us by documenting their rituals, including the most important ritual: Sending the soul of a person who has died to the sacred mountain of Gunung Lumut. The people also told us their deepest fear. For the soul to reach Gunung Lumut it must first stop by important natural places in the environment, including special trees, sacred rocks and clean rivers. If the environment is destroyed, so is their path of the people to the next life. We hope that each of you who read this book will do everything you can to help the local people and to protect the Heart of Borneo and biological and cultural diversity in a rapidly changing world.

Kami berharap bahwa setiap pembaca buku ini akan melakukan apapun yang anda bisa untuk membantu masyarakat se­ tempat dan melindungi Jantung Kalimantan dengan keanekaragaman hayatinya serta budaya tradisional di tengah–tengah perkembangan dunia yang sangat pesat dan cepat.

Ann McBride Norton President, Photovoices International

9


Š Mantung /Photovoices Intl-WWF/HoB Proses kegiatan tim Photovoices Muara Mea dalam pengambilan photo dokumentasi di hutan Gunung Lumut. The Muara Mea Photovoices team in action, as they take documentary photos in the Gunung Lumut forest.

10


11


Š Barnadus /Photovoices Intl-WWF/HoB

12


Gunung Lumut dan Budaya Kaharingan

Gunung Lumut, Kaharingan Culture and Belief

Background pattern photo: Š Ladirman/Photovoices Intl-WWF/HoB

13


S

T

Di sepanjang aliran Sungai Mea menuju Gunung Lumut terdapat beberapa situs penting yang disakralkan oleh umat Kahari­ngan yakni:

All along the Mea River to Gunung Lumut, there are several important sites sacred to the Kaharingan people. These are:

ungai Mea atau Sungai Merah, bermuara di Sungai Teweh tepatnya di Desa Muara Mea yang bagian hulunya mengalir dari kawasan hutan sakral Gunung Lumut dan Gunung Peyuyan. Anak-anak hulu Su­ ngai Mea sebelah kiri mudik berakhir pada Iereng-lereng Gunung Lumut, dan anakanak hulu Sungai Mea sebelah kanan mudik berakhir di Iereng-lereng Gunung Peyuyan. Sungai Mea airnya berwama merah namun masih ada juga beberapa anak Sungai Mea yang airnya jernih. Sungai Mea adalah sungai yang disakralkan sejak permulaan hidup nenek moyang zaman dahulu. Dalam lantunan ayat Wara disebutkan danum mea diu daya artinya sungai mea airnya merah bagaikan tetesan darah manusia yang telah meninggal dunia. Sungai Mea oleh para Wara satu-satunya sebagai aliran lalu lintas mudik menghantarkan Liau/roh leluhur (arwah orang kaharingan) ke hutan sakral Gunung Lumut melalui Gunung Peyuyan dan Gunung Penyenteau.

1. Di Sungai Mea sebelah kiri mudik terdapat muara anak sungainya ke sebelas bernama Oleng Menaang sebagai tempat turunnya Liau/Roh orang meninggal yang dihantar dari daerah Kalimantan Timur, kemudian menelusuri mudik sungai Mea hingga peristirahatannya di Gunung Lumut.

14

he Mea River or Red River converges with the Teweh River at the exact location of the Village of Muara Mea, and flows from its source in the sacred forest of Gunung Lumut, or Mount Lumut, and Mount Peyuyan. The upper tributaries of the Mea River located on the left side end at the foothills of Gunung Lumut, and those on the right side at the foothills of Mount Peyuyan. The colour of the water in the Mea River is red but some of its tributaries are clear. It has been considered sacred since the time of the ancient ancestors. In the chants of the Wara religious verses of the local Kaharingan people, it is said danum mea diu daya, which means that the Mea River’s water is red like the drops of blood from a person who has died. The Mea River is the only river used by the Wara as the means to transport the Liau/the spirit (of a Kaharingan person) back to the sacred forest of Gunung Lumut via Mount Peyuyan and Mount Penyenteau.

1. On the left side of the Mea River lies the mouth of the 11th tributary called Oleng Menaang, known as the place where the Liau/ spirit of a dead person descends, carried from East Kalimantan, to then follow the Mea River to the resting place at Gunung Lumut.


2. Di Sungai Mea sebelah kanan mudik terdapat muara anak sungainya ke enam belas yang bemama Oleng Soyeu Apar Tana adalah tempat turunnya Liau/ Roh orang meninggal dari daerah pantai Barito yang naik melalui sungai “Jais” di hilir Desa Linon Besi I kemudian mudik sungai Mea menuju ke Gunung Lumut.

2. On the right side of the Mea River lies the mouth of the 16th tributary named Oleng Soyeu Apar Tana. This is where the Liau/ spirit of a dead person descends from the Barito Beach area, goes up the “Jais” River (located downstream of Linon Besi I Village) to finally follow the Mea River to Gunung Lumut.

3. Situs sakral Doyes Ruran Tenayan tempat penantian sementara Liau/roh orang meninggal dunia yang belum disucikan dengan upacara Gomek oleh ritual Wara, Liau berhenti disitu untuk memakan ubi talas dan berubah gaib menjadi batu yang membujur berbaris terlihat disaat sungai surut pada riam ke sembilan belas.

3. The sacred site named Doyes Ruran Tenayan is the temporary waiting place of the Liau/ spirit of a dead person who has not yet been purified via the Gomek ceremony in accordance with Wara ritual practice. The Liau stops there to eat sweet potato and magically transform into an elogated stone, which is visible when the river’s waters recede at the 19th rapids.

4. Situs sakral Doyes Koreng Oai di riam ketiga puluh tiga adalah tempat Riek Liau atau Roh orang meninggal dunia mengadakan permainan. Lalu disana Bunge Bayu (sebutan Liau dari orang yang baru meninggal dunia) mendengar suara orang banyak sangat ramai, lalu Bunge Bayu itu bertanya kepada Liau dari orang yang sudah lama meninggal dunia lalu dijawab bahwa disana tempat para Liau berbagi pakaian, Bunge Bayu pun diberi pakaian jika dia rajin bekerja pada masa hidupnya akan mendapatkan pakaian 7 kudi, tetapi Bunge Bayu yang masa hidupnya pemalas dan pencuri akan dibagikan pakaian yang terbuat dari kulit kayu oleh dunia roh di tempat itu.

4. The sacred site named Doyes Koreng Oai at the 33rd rapids is where the Riek Liau, or the spirits of dead people at a particular stage of their journey, play a game. In this place, a Bunge Bayu (the term for Liau who have only just recently died) will hear the lively voices of many people. When the Bunge Bayu asks the Liau, who have been dead for a long time, about this lively place, he is told that it is where the Liau distribute clothes. A Bunge Bayu will be given seven pieces of clothing by the spirits at this site if she worked diligently throughout her life, however if a Bunge Bayu was lazy and thievish, then she will be given clothes made only from bark. 15


Š Mamanto / Photovoices Intl-WWF/HoB Salah satu tahapan ritual Gomek di desa Muara Mea. Part of a Gomek ceremony at Muara Mea Village.

5. Situs sakral Doyes Saung Pinggen Riam ke tiga puluh tujuh disini tempat Riek Liau atau Roh bermain dengan berbagai macam permainan, setelah selesai bermain, Liau beristirahat lalu mereka dibagikan alat-alat dapur selengkapnya, maka bagi Bunge Bayu yang semasa hidupnya di dunia pemalas akan mendapatkan alat dapur dari tempurung kelapa dan dari kayu yang jelek-jelek.

5. The sacred site Doyes Saung Pinggen is located at the 37th rapids this is where the Riek Liau or spirits play various kinds of games. When they are finished, the Riek Liau rest and then complete kitchen utensils are distributed to them. A Bunge Bayu who was lazy during his life will only get kitchen utensils made from coconut shell or bad quality wood.

6. Situs sakral Doyes Penyaung Paing di riam ke tiga puluh delapan disini tempat Riek Liau permainan sabung kelelawar besar, lalu para Liau meneruskan perjalanan mudik sungai Mea menuju ke Gunung Lumut.

6. The sacred site Doyes Penyaung Paing is found at the 38th rapids. This is where the Riek Liau play a combat game with a large bat. Afterwards, they will continue their journey along the Mea River towards Gunung Lumut.

16


7. Situs sakral Oleng Ranang Jaun Muara anak Sungai Mea ke tiga puluh tujuh adalah tempat naiknya para Liau atau Roh Arwah ke Gunung Peyuyan tempat istirahat sejenak, Liau berlomba mendahului melompat batu Jura Empa (Situs ke delapan di Sungai Mea) konon keyakinan umat Kaharingan jika Bunge Bayu atau arwah orang yang baru meninggal dunia itu adalah perempuan maka warna batu Jura Empa berubah warna menjadi merah darah seperti ludah putri menginang sirih, Kapur dan Pinang. Dan jika yang baru meninggal adalah laki-laki maka batu Jura Empa menjadi warna putih. Ciri-ciri itu terbukti dan masih berlaku sampai sekarang jika ada orang Kaharingan yang meninggal dunia.

7. The sacred site Oleng Ranang Jaun, at the mouth of the 37th tributary of the Mea River, is the place where the Liau/ spirits rise to Mount Peyuyan; a momentary resting place. Here, the Liau run to jump over the Jura Empa stone (the eighth site on the Mea River). According to the beliefs of the Kaharingan people, if the Bunge Bayu or spirit of the recently deceased is female, then the color of the Jura Empa stone will turn blood-red, like the spit of a princess who chews betel nut. If the recently deceased is male then the Jura Empa stone will turn white. This phenomenon is proven and still occurs today when a Kaharingan person dies.

Š Jaya Pura / Photovoices Intl-WWF/HoB Situs Batu Jura Empa The Jura Empa Stone

17


Dalam ayat Wara bahwa para Liau/arwah istirahat sejenak bermasak untuk persiapan menuju puncak Gunung Peyuyan, tetapi sebelum mencapai puncak Gunung Peyuyan para Liau/arwah itu mampir dahulu ke Gunung Penyenteau (gunung menara) bahwa di sana diperlihatkan kepada Bunge Bayu atau arwah yang baru meninggal tentang Pimping Bolum yaitu kehidupan manusia di dunia maka di situlah Bunge Bayu (arwah) sadar bahwa ia telah meninggal, kehidupan manusia lalu ia pun menangis (disebutkan dalam ayat Wara). Ketika Bunge Bayu menangis bersedih maka datanglah roh suci Lolang Luing memberi nasihat kepada Bunge Bayu (arwah) bahwa kehidupan Tenangkai atau surga lebih sempurna serba ada dan tidak kurang sesuatu apapun, tidak ada penderitaan, damai sejahtera. Sehingga Bunge Bayu menjadi gembira dan mengirim pesan kepada Pimping Bolum/keluarga yang ditinggalkan di dunia agar hidup rukun dan damai, jangan ada perseteruan dalam keluarga dan juga dengan orang lain (tertuang dalam lantunan ayat-ayat Wara). Setelah itu para Liau ke puncak Gunung Peyuyan lalu turun lagi ke arah Sungai Mea menuju penyeberangan bernama Apar Batu Lubuk Gerunggung untuk melanjutkan perjalanan ke Gunung Lumut. Di Gunung Lumut inilah para arwah bersemayam akan tetapi Roh Suci yang bernama Kelelungan dinaikkan terangkat oleh Wara ke Tenangkai atau surga - dilantunkan dalam ayat ritual Wara. (Narasi ceritera oleh: Jaya Pura dan Dirman)

18

In the Wara verses, it is told that the Liau (spirit) takes a short break to cook in preparation for its journey to the top of Mount Peyuyan. However, before reaching the top, it stops at Mount Penyenteau (tower mountain). Here, Pimping Bolum (human life on earth) is shown to the Bunge Bayu (the spirit of the recently deceased). This is the moment when the Bunge Bayu realizes that she has died and departed the human realm, and she weeps sadly (as told in the Wara verses). As she cries, a holy spirit named Lolang Luing appears to tell her that life in Tenangkai (heaven) is more perfect than on earth; everything is there with nothing lacking, it is a place where there is no suffering and only peace and prosperity. As a result, the Bunge Bayu becomes excited and sends a message to the Pimping Bolum, or family left behind in the world, to live in harmony and peace, with no conflict in the family or with others (as contained in the chants of the Wara verses). Afterwards, the Liau goes to the top of Mount Peyuyan and then descends again down towards the Mea River, heading to the crossing Apar Batu Lubuk Gerunggung to continue the journey to Gunung Lumut. There are spirits that reside on the mountain, however the Liau now becomes a holy spirit named Kelelungan, and is raised to its final resting place by the Wara to Tenangkai (as told in the Wara ritual verses). Narrated by: Mr. Jayapura, Village Head (with help from Mr. Dirman)


Š Rahaman /Photovoices Intl-WWF/HoB Setelah kegiatan penusukan kerbau, dilakukan kegiatan ngerangkau kunan kerewau/tarian Liau, yang dilakukan melalui dari ekor menuju ke kepala terus nginjak selampit terus naik ke belontang/petugur. Ini merupakan ciri pekerjaan selesai atau tanggung jawab terhadap arwah yang di-gomek tersebut telah selesai. Bagi Wara baru dan pengading baru merupakan tempat pelantikan atau juga bisa disebut bereayak atau bereengket, dimana Wara baru atau pengading baru naik sampai ke atas dan menyentuh bagian teratas belontang. After the ritual stabbing of the buffalo, marking the death of a person, the Ngerangkau Kunan Kerewau, or the Liau Dance, is performed on the body of the animal, from the tail to the head, and then from the Nginjak Selamput (the buffalo sacrifice ground) up to the top of the Belontang or Petugur (a carved ritual pole). This is the signal that the ritual is finished, and that the responsibilities toward the deceased soul are now paid off. For new Wara (a religious practitioner) and Pengading (ritual assistant), this ritual is also an inauguration, called Bereayak or Bereengket, completed when the new Wara or Pengading climbs up and touches the very top of the Belontang.

19


Š Bartiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Pelaku Wara menuju tumpukan kayu yang disebut Juntu Kayu Beruang Tolang. Kayu itu didorong mereka seusai dari lokasi penusukan kerbau. Tumpukan kayu beruang ini berada di depan rumah milik orang yang mengadakan upacara gomek/Wara yang bertanda bahwa upacara ritual gomek/Wara sudah selesai. Kayu dirobohkan ke arah barat untuk orang yang sudah meninggal dunia, dan arah yang ke timur untuk orang yang masih hidup. Pelaksana orang yang melakukan ritual merobohkan kayu juga berlainan. The Wara ritual leader is heading towards two piles of wood that are called the Juntu Kayu Beruang Tolang, following the buffalo stabbing ritual. These are located in front of the house of the family of the recently deceased, those that are hosting the Gomek/Wara ceremony. The woodpiles will be toppled as a mark that the ritual is finished. One pile is pushed down to the west, for those who are already dead, and the other to the east for those who are still alive. Different people are assigned for each of these different ritual tasks.

20


Š Satine /Photovoices Intl-WWF/HoB Patung Tunao yang ada di sampan terbang adalah simbol pembela atau penjaga anggota Wara yang melakukan ritual dari gangguan roh jahat yang bisa menggagalkan ritual. The statue of Tunao in a flying boat is a defence or guardian symbol to protect Wara members from the interference of evil spirits that could ruin the ritual.

Š Yotam /Photovoices Intl-WWF/HoB Kepala Wara berada dalam Limar selei olo, yakni sampan yang digunakan Wara untuk mengambil dan mengantar Liau Kelelungan ke Gunung Lumut. The Wara head is in a Limar Selei Olo, a canoe, used by Wara to retrieve and deliver Liau Kelelungan to Gunung Lumut.

21


Š Mamanto /Photovoices Intl-WWF/HoB Nangai Boat Piak artinya membayar hutang keluarga yang masih hidup dengan mengadakan korban untuk membalas budi terhadap keluarga yang meninggal dunia. Semangat inilah yang mengilhami upacara Gomek atau Wara yang dilakukan oleh umat Hindu Kaharingan. Nangai Boat Piak means that the surviving family of the deceased pays its debts to this person, through the hosting of a religious offering. This is the spirit that inspires the Gomek or Wara ceremony performed by the Kaharingan people.

22


Š Jaya Pura /Photovoices Intl-WWF/HoB Pimpinan Wara memperkenalkan seorang murid Wara kepada Mulung Kuyang (leluhur) supaya muridnya bisa melaksanakan Wara secara mandiri (menjadi pemipin Wara). Barang-barang yang diserahkan ini sebagai nilai beli syarat kaji/berguru Wara. A Wara leader introduces a Wara student to the Mulung Kuyang (ancestor) so that the student can carry out the Wara rituals independently (and become a Wara leader). The goods that are given here are required as payment for the Wara tutelage received.

Š Sahayuni /Photovoices Intl-WWF/HoB Merungkau adalah sebuah tarian untuk mencabut roh yang datang ke dalam rumah pada saat acara Wara. Penarinya mulai dari anak-anak, orang muda, orang tua dari anggota keluarga yang punya acara ataupun tamu undangan bisa berpartisipasi dalam merungkau ini. Biasanya penarinya menggunakan ikat kepala dari rotan dan kain yang disebut balon biyayang yang sudah disiapkan oleh pemilik acara. The Merungkau is a dance to drive out any spirits that entered the house during the Wara ritual. Those who may participate in this Merungkau include children, young people, parents of the host family or invited guests. Usually the dancers wear a headband made from rattan and fabric called a Balon Biyayang that has been prepared by the host of the ritual.

23


Š Jaya Pura /Photovoices Intl-WWF/HoB Belian sedang menari mengisyaratkan perjalanan pulang dari Gunung Meratus. A Belian, or traditional Kaharingan healer, is dancing to symbolize his journey home from Mount Meratus (according to the Belian verses).

24


Š Mamanto /Photovoices Intl-WWF/HoB Ketang adalah gelang khusus yang terbuat dari besi khusus yang digunakan hanya oleh Belian bawo untuk penyembuhan orang sakit. Saat Belian bawo menari dalam ritual penyembuhan, gelang ini menimbulkan bunyi-bunyi yang sangat unik dan magis. A Ketang is a special bracelet made of iron that is used only by the Belian Bawo (a kind of Belian) to cure sick people. When a Belian Bawo dances in a healing ritual, this bracelet makes very unique and magical sounds.

25


© Harmidi /Photovoices Intl-WWF/HoB Membuat panta dari beras ketan pada saat akan memulai musim panen. Dalam gambar pulut/beras ketan muda yang sudah dibersihkan, disangrai dengan api kecil. Setelah cukup kematangannya ditumbuk, dibersihkan kulitnya dan dimakan bersama-sama. Kadang-kadang ada yang senang dicampur dengan gula merah dan kelapa. Membuat panta merupakan tradisi kami sebagai rangkaian kegiatan pesta panen. Namun sebelum kegiatan ini dilaksanakan, sebelumnya harus melakukan ritual pesiwah atau sesotik sebagai ucapan syukur kepada leluhur dan Tuhan dari hasil panen yang didapat. Making Panta from sticky rice in the lead up to the harvest season. In the image Pulut, or young sticky rice, that has been cleaned is roasted over a low heat. After it is cooked sufficiently, it is pounded, the skin is cleaned and it is eaten communally. Some like to mix it with brown sugar and coconut. Making Panta is our tradition and is a part of series of harvest festival activities. However, before this can take place, the Pesiwah or Sesotik ritual must first be completed to show our gratitude to the ancestors and God for the harvest that will be received.

© Jaya Pura /Photovoices Intl-WWF/HoB Nampak dalam gambar merupakan tengkorak leluhur kami, yang disimpan dan diabadikan, dimana pada saat-saat acara tertentu seperti Belian Krewayu dipalas dan dimandikan dipupur, dikasai dan diberi makan serta rokok dan penginangan, yang mana tujuannya adalah untuk penghormatan kepada leluhur dan meminta doa restu sehingga semua acara ritual diberkati oleh Alah Ta’Alah atau Tuhan Yang Maha Esa. Visible in this picture is our ancestral skull, stored and preserved which at certain times and events like the Belian Krewayu is cleaned, bathed, polished, dressed and fed, as well as given cigarettes and betel nut. The purpose of this is to honor the ancestors and request benefaction so that all rituals will be blessed by Alah Ta’Alah, the God of the Kaharingaan people.

26


© Ngina Ingkak /Photovoices Intl-WWF/HoB Setelah Belian Wara menjalankan ritual menunjuk tempat Bunge Bayu (bahasa Wara-nya) yaitu orang yang mati bahwa kuburan ini lah tempat mu, dan langsung menyerahkannya kepada penguasa tanah (itak ragagai tana kah ragagai tana). Dan yang meninggal oleh sanak keluarga diberikan alat bekal berupa peralatan masak, piring, mangkok, gelas dll sebagai bekal kubur. After the performance by the Belian Wara of the ritual of pointing to the Bunge Bayu place. This ritual is in order to say (in the Wara language) “dead person, that grave is yours”, so that he is directly given to the ruler of the earth (itak ragagai tana kah ragagai tana). The relatives of the dead person give him tools such as cooking utensils, plates, bowls, glasses and other items as provisions in the tomb.

© Rahaman /Photovoices Intl-WWF/HoB Tampak pada gambar seorang Belian sedang mengucapkan mantra dan doa untuk meminta restu kepada leluhur dan juga Tuhan-Alah Ta’Alah untuk diberi kekuatan dalam mengobati orang yang sakit agar sembuh dan terhindar dari segala gangguan roh jahat. This picture shows a Belian (the traditional healer) chanting an incantation and prayer to ask for the blessing of the ancestors and Alah Ta’Alah or God Almighty to be given strength and power in the healing of the sick so that they recover and are spared the interference of any evil spirits.

27


Š Rahaman /Photovoices Intl-WWF/HoB Tampak dalam gambar kegiatan upacara Belian untuk mengobati orang sakit yang tidak menyangkut penyakit medis. Sarananya dengan sesajen yang diberikan dan diserahkan kepada penghuni hutan. Pada gambar orang Belian dan pembantu penganding serta dengan alat musik. Pengobatan ini secara tradisional tidak menyangkut penyakit medis sehingga dilakukan dengan cara pengobatan tradisional. This is a ceremony to treat people who are in the throes of a serious spiritual illness. The ritual ingredients used are offered up to the forest spirits in order to appease them. In the image are shown a Belian, his helpers called Penganding as well as musical instruments. According to tradition, the treatment shown here is not related to a physical or medical illness, thus it is performed with the use of traditional medicine.

28


© Rahaman /Photovoices Intl-WWF/HoB Potret Belian Bawo. Yang berbeda dari Belian Bawo dengan Belian yang lain adalah di dalam pelaksanaan ritual pengobatannya menggunakan gelang atau “Ketang”. Ketang ini diset sedimikian rupa sesuai dengan tujuannya—suara yang ditimbulkan dari gelang ini pun akan berbeda-beda sesuai dengan paduan masing-masing gelangnya. A portrait of Belian Bawo. What makes a Belian Bawo different from other Belian (traditional healers) is his use of bracelets or Ketang in his ritual healing practice. This Ketang has been set according to its particular purpose, and the sounds it produces will be different according to the combination of bracelets worn.

29


30


Š Jaya Pura /Photovoices Intl-WWF/HoB Permainan tradisional kompes. Tujuan permainan ini adalah untuk menguji nyali pertarungan bela diri para lelaki. Sebelum pertandingan dilaksanakan, diawali dengan menari oleh wasit sekaligus memberikan peragaan dan aturan main. Bagi yang banyak terkena sabetan rotan dinyatakan kalah. Sementara yang banyak menyabet rotan ke tubuh lawan dinyatakan menang. Alat untuk menangkis sabetan rotan disebut seloko dan tamengnya disebut talawang. Tubuh pemain di bagian pinggang diikat dengan babat yang terbuat dari kain. Kompes - a traditional game. The goal of this game is to test the courage of the men in martial battle. Before the match begins, the referee performs a dance that gives a demonstration along with the rules of the match. Whoever inflicts the most blows to his opponent with the rattan whip is declared the winner. A tool to deflect the rattan whip is called a Seloko while the shield is called a Talawang. A bandage made of fabric is tied at the waists of the contestants.

31


Š Yotam /Photovoices Intl-WWF/HoB Alat Musik gong—alat musik ini digunakan untuk mengiringi setiap ritual Wara maupun belian yang dihelat oleh warga Kaharingan. Gongs - these musical instruments are used to accompany every Wara or Belian ritual held by the Kaharingan people.

Š Heri Gunawan /Photovoices Intl-WWF/HoB Tarian penyambutan desa Muara Mea. Tarian ini biasanya digelar untuk menyambut tamu yang datang ke desa Muara Mea. A Muara Mea Village welcoming dance. This dance is usually performed to welcome any guests who visit Muara Mea Village.

32


Š Kitisiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Acara Petik Pilah yaitu acara pemberkatan secara Kaharingan yang dilakukan oleh dua orang basir dengan membacakan mantra papak pamang, dimana pengantin dikibasi dengan ayam, maknanya supaya dijauhkan dari marabahaya. Kemudian di atas kepala kedua mempelai diletakkan sedikit beras untuk semangat/jiwa yang terhindar dari marabahaya oleh roh-roh jahat. Sepanjang kegiatan ritual ini diiringi dengan alunan musik gong tradisional Kaharingan. The event Petik Pilah (picking and selecting) is a Kaharingan blessing ceremony. It is performed by two people called Basir who chant the mantra of Papak Pamang and wave a chicken above the head of the bride in order to protect her from harm. Afterwards, a small amount of rice is placed on the heads of both the bride and the groom for the soul that was spared the danger of the evil spirits. This ritual is accompanied throughout by the strains of the traditional Kaharingan gong.

Š Wasti /Photovoices Intl-WWF/HoB Membuat panta dari beras ketan menjelang musim memulai panen padi. Umat kristiani di Desa Berong melakukan kegiatan pesta panen sebagai ucapan syukur kepada Tuhan dari hasil panen yang didapat. Making Panta from sticky rice before the start of the rice harvest season. The Christian people in Berong Village host a harvest festival to give thanks to the Lord for the harvest that will be received.

33


Š Sepano /Photovoices Intl-WWF/HoB

34


Kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut Lampeong-Gunung Lumut Protected Forest

Background pattern photo: Š Ladirman/Photovoices Intl-WWF/HoB

35


36


H

utan Lindung Lampeong-Gunung Lumut adalah satu kesatuan bentang alam yang terdiri dari Gunung Tanggur, Gunung Sowai, dan bentangan Gunung Lumut yakni hutan sakral tempat bersemayamnya para arwah atau roh leluhur nenek moyang umat Kaharingan.

L

ampeong-Gunung Lumut Protected Forest is a single landscape consisting of Mount Tanggur, Mount Sowai, and the expanse of Mount Lumut or Gunung Lumut, and is the sacred forest where the spirits or ancestral spirits of the Kaharingan people reside.

Bentangan Gunung Lumut diapit oleh 2 (dua) buah sungai yaitu Sungai Mea dan Sungai Luang-anak dari sungai Teweh, sebelah selatan Gunung Lumut adalah aliran sungai Mea (aimya berwama merah) yang hulunya berakhir di Gunung Lumut, sebelah Utara Gunung Lumut adalah aliran sungai Luang (airnya jemih) berakhir di gunung Tanggur. Sedangkan Gunung Peyuyan dan Gunung Penyenteau berada disebelah kanan mudik Sungai Mea persis berseberangan dengan Gunung Lumut.

The Gunung Lumut landscape is located between two rivers, namely the Mea River and the Luang River, the latter of which is a tributary of the Teweh River. To the south of Gunung Lumut flows the Mea River (with red colored water), whose upstream begins at Gunung Lumut. To the north lies the Luang River (with clear water), which ends at Mount Tanggur. Mount Peyuyan and Mount Penyenteau are located on the right side of the Mea River, exactly across from Gunung Lumut.

Separuh Gunung Lumut dari Bawo Biang ke selatan masuk wilayah desa Muara Mea, dan dari Bawo Biang ke Utara hingga Hutan Lindung Lampeong adalah berada di wilayah Desa Berong demikian juga Gunung Tanggur dan Gunung Sowai termasuk Gunung Lumut bagian Utara berada dalam wilayah administrasi Desa Berong. Di dalam kawasan Gunung Tanggur banyak mengan足 dung situs sejarah kehidupan nenek moyang yakni terdapat gua-gua tempat penyimpanan tulang belulang hingga sekarang masih

Half of the Gunung Lumut area, from Bawo Biang heading south, is part of Muara Mea Village, while from Bawo Biang to the north, until the Lampeong Protected Forest area, is part of Berong Village. Mount Tanggur and Mount Sowai, located on the northern side of Gunung Lumut, fall within the administration area of Berong Village. The Mount Tanggur area has many historical sites connected to the lives of the ancestors, such as caves where the bones of ancestors are kept even up until today. In this area, remnants of

37


tersimpan utuh. Di tempat ini juga masih dijumpai petugur bekas-bekas ritual Gomek yang pernah dilakukan pada masa itu. Pada Gunung Sowai diceritakan oleh orang tua, terdapat situs kesaktian tokoh Dayak bemama Mangkusari di sebuah Lubuk atau danau kecil yang berada di menjelang Puncak Gunung Sowai. Kawasan ini yang sangat menarik lagi karena terdapat kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa dan juga hutan pe­rawan yang lebat, banyak pohon-pohon besar sampai ketinggian 900 meter dpl, dibagian puncak pegunungan akan dijumpai tebing-tebing batu berdinding tinggi dan juga tanaman obat-obatan langka yang dimanfaatkan oleh masyarakat.

Š Timotius /Photovoices Intl-WWF/HoB

ancient traces of Petugur from Gomek ceremonies of times past can also still be seen. remaining of petugur traces as part of Gomek ceremony from the old time can also be seen. At Mount Sowai, there is a magical site related to a prominent Dayak figure named Mangkusari, located in a Lubuk or a small lake almost at the top of the mountain. This area is very interesting because of its extraordinarily rich biodiversity and dense virgin forest with many big trees growing at a height of 900 meters above sea level. At the top of the mountain, high stone-walled canyons and rare medicinal plants often used by the people can also be found. Š Timotius /Photovoices Intl-WWF/HoB

38


These conditions assist soils to absorb and retain water, and help protect the region from floods, landslides and droughts. In addition, the Luang River that lies in the protected forest area has clear water, and is a breeding habitat for the Sapan and Lummi fishes; highquality rare species which can only be found here. In the future, we see this area as having strong potential to be for developed as an ecotourism site. Photos by: Yotam, Timotius and Sepano Narration: Daniel Nyoking, Sepano, Yotam and Thomas Injeng.

Š Sepano /Photovoices Intl-WWF/HoB

Kondisi inilah yang membantu menangkap serapan air tanah dan menyangga kawasan ini dari bencana banjir, longsor dan kekeringan. Disamping itu Sungai Luang yang ada dikawasan hutan lin­ dung ini memiliki air yang jernih tempat berkembang biaknya ikan Sapan dan Ikan Lummi yaitu ikan langka berkualitas tinggi yang hanya bisa dijumpai dalam sungai Luang ini. Kedepan kami melihat wilayah ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata.

(Narasi diceritakan oleh: Daniel Nyoking, Sepano, Yotam dan Thomas Injeng)

Š Yotam /Photovoices Intl-WWF/HoB

39


Š Kus Edi /Photovoices Intl-WWF/HoB Pemandangan hutan di Desa Muara Mea. Di hutan ini banyak dijumpai jenis-jenis kayu yang dipergunakan oleh warga untuk kebutuhan membuat rumah dan badan perahu. Pada musim burung, di wilayah ini juga banyak dijumpai beberapa jenis burung seperti cucak hijau dan lainnya. A view of the community forest at Muara Mea Village. Many tree species are found in this forest and used by the community for building houses and boats. During the bird season, many types of bird species such as Greater Green Leafbird (Cucak Hijau) and others . can also be seen.

40


Lingkungan Environment

Background pattern photo: Š Ladirman/Photovoices Intl-WWF/HoB

41


42


Š Jaya Pura /Photovoices Intl-WWF/HoB Batu Jura Empa - Situs sakral Oleng Ranang Jaun (Muara anak Sungai Mea ke tiga puluh tujuh) adalah tempat naiknya para Liau atau Roh Arwah ke Gunung Peyuyan tempat istirahat sejenak, Liau berlomba mendahului melompat Batu Jura Empa (Situs ke delapan di Sungai Mea). Konon keyakinan umat Kaharingan jika Bunge Bayu atau arwah orang yang baru meninggal dunia itu adalah perempuan maka warna Batu Jura Empa berubah warna menjadi merah darah seperti ludah putri menginang sirih, dan jika yang meninggal adalah laki-laki maka Batu Jura Empa menjadi warna putih. Ciri-ciri itu terbukti dan masih berlaku sampai sekarang khususnya jika ada orang Kaharingan yang meninggal dunia. The Jura Empa Stone. The sacred site Oleng Ranang Jaun (at the mouth of the 37th tributary of the Mea River) is the place from where the Liau or the Holy Spirit rises to Mount Peyuyan for a short break, before running to jump over the Jura Empa stone (the 8th site on the Mea River). It is the belief of the Kaharingan people that if the Bunge Bayu, or spirit of the recently deceased, is female then the color of Jura Empa Stone will turn blood-red, like the spit of a princess who chews betel nut, and if the deceased is male then the Stone will become white. This phenomenon is proven and still occurs today when a Kaharingan person dies.

43


Š Thinson /Photovoices Intl-WWF/HoB Ketika kami mendaki Gunung Sowai sebagai bagian bentangan alam Hutan lindung Lampeong-Gunung Lumut, kami menjumpai hutan yang lebat dimana Pohon Agatis yang besarnya kira-kira enam pelukan tangan orang dewasa. Selain Pohon Agatis juga banyak dijumpai Kayu Putang, Kayu Belemayan, Kayu Putang Meremung, Kayu Putang Pekulen. Kami semakin yakin kayu-kayu inilah yang menyangga tanah dan lingkungan kami hingga kelak kami terhindarkan dari banjir, tanah longsor dan kekeringan. As we climb Mount Sowai, which is part of the Lampeong-Gunung Lumut Protected Forest, we come across dense forest where the Agatis tree can be found, whose size is so large that around six adults can join hands around its trunk. In addition to the Agatis tree, Putang, Belemayan, Putang Meremung, and Putang Pekulen trees can also be encountered. We are increasingly convinced that these trees are holding together our soil and environment so that in the future we are protected from floods, landslides and drought.

44


Š Sepano /Photovoices Intl-WWF/HoB Mencari burung di saat musim buah Keyuyung/beringin di hutan pinggiran desa. Terlihat dalam gambar orang sedang masang rengge di Pohon Unge yang sangat disenangi oleh burung Cucak Hijau “Diluâ€?. Kegiatan ini dilakukan setiap setahun sekali. Kami sangat menyadari kegiatan ini sangat berbahaya karena kalau terjatuh, nyawa taruhannya dan harga jual burungnya pun tidak seberapa. Looking for birds during the Keyuyung or Banyan Tree fruit season in the forest on the outskirts of the village. As shown in this image, people are putting up a Rengge (a net) in an Unge tree, which is a favourite of the Green Cucak birds, who are also known as Dilu. These activities are performed once a year. We are very aware of the danger involved, as our lives are at stake if we fall and the selling price of the birds is not very high.

45


Š Yotam /Photovoices Intl-WWF/HoB Ketika kami menyusuri Gunung Lumut, kami banyak menemukan aliran sungai kecil sumber mata air dari gunung. Air ini merembes dari pohon ke tanah kemudian ke sela-sela batu dan akhirnya bermuara ke Sungai Mea,Teweh dan akhirnya juga ke Sungai Barito. If we skirt around Gunung Lumut, we find many small springs that flow from the mountain. Water seeps from the trees to the ground, then between the stones and eventually empties into the Mea River, the Teweh River and then finally the Barito River.

46


Š Barlin /Photovoices Intl-WWF/HoB Pemandangan waktu sore hari dari Desa Muara Mea. View of the late afternoon from the Village of Muara Mea.

47


Š Timotius /Photovoices Intl-WWF/HoB Di Gua Batu Siapa wilayah Gunung Sowai terdapat tebing-tebing yang banyak sekali ditemui sarang lebah, namun karena lokasinya sulit dijangkau, warga desa tidak bisa memanennya. Pada jaman orang tua kami dulu sarangsarang lebah ini memberikan tanda kepada kami bahwa musim buah akan berhasil atau tidak. Apabila sarangnya banyak artinya musim buah akan berhasil. Sebaliknya, apabila lebahnya sedikit kemungkinan hasil panen buah akan turun. At the Batu Siapa cave, which is located in the Mount Sowai area, there are many cliffs rich in beehives, however due to their unreachable location the villagers cannot harvest them. For generations, the beehives have been believed to be a sign of whether the fruit season will succeed or not: if there are many beehives visible on the cliffs then the fruit season will be successful, and if not there is the chance the harvest may be poor.

48


Š Timotius /Photovoices Intl-WWF/HoB Suasana di Liang/gua Batu Siapa, di dalam ditemui ada banyak model batu yang tergantung didinding gua, suasananya dingin dan gelap, hanya sebagian kecil saja ada sinar yang bisa masuk seperti yang ada didalam gambar ini. The atmosphere in the Batu Siapa, or Siapa cave. There are many different kinds of stone formation throughout the cave. It is quite dark and cold inside, as there is only a small part where the sunlight can come in; as seen in this picture.

Š Timotius /Photovoices Intl-WWF/HoB Di Gua Batu Siapa terdapat Raung atau tempat penyimpanan tulang belulang orang suku Dayak Bawo yang meninggal dunia sejak sekitar tahun 1872. Turun temurun diceritakan kejadiannya akibat pada waktu itu banyak warga dari Dayak Bawo yang meninggal dunia akibat wabah penyakit kolera, sehingga mereka terpaksa pindah kembali ke Bawo Buli Kalimantan Selatan asal mereka. Di tempat ini juga ditemukan petugur bekas-bekas kegiatan ritual pada jaman itu. In the Batu Siapa cave, there is a Raung or place where lie the bones of the Dayak Bawo tribe who died around 1872. Passed down the generations, it has been told that many of them were killed by cholera, forcing them to move back to their native home at Bawo Buli, South Kalimantan. Traces of Petugur from ritual activities from this time can also be found here.

49


Š Etiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Salah satu jenis burung hantu, kami sering menyebutnya Pampulu tuwop. Burung ini terperangkap dalam pukat. A type of owl that we often call the Pampulu Tuwop. It is caught in a trap.

Š Barnadus /Photovoices Intl-WWF/HoB Hasil tangkapan burung ini biasanya kami pelihara dan juga dijual. Namun harganya tidak seberapa sehingga tidak jarang juga dimakan untuk lauk. Kami berharap ada pekerjaan lain yang lebih aman, yang bisa digarap karena merengge/menangkap burung disadari sangatlah berbahaya. Hasilnya juga sangat terbatas dan khawatir burung mulai habis. When we catch this kind of bird we usually either keep it as a pet or sell it, however the selling price is not high so sometimes the birds end up being eaten. We hope that we can find some different work that is safer, as catching the birds is very dangerous, with limited results, and we are also worried it will become extinct.

50


Š Karet /Photovoices Intl-WWF/HoB Kera merupakan hama yang sangat menyusahkan petani di desa kami di Berong. Kera-kera ini datang berkelompok dan merusak tanaman padi atau buah-buahan. Kami harus punya waktu lebih untuk menjaga ladang apabila tidak kami akan gagal panen dan tidak bisa makan apa-apa. Anak kera ini kami tangkap ketika tertinggal oleh induknya saat kami menghalaunya di ladang. Monkeys are a very troublesome pest for farmers in our village at Berong. They come in groups and destroy rice plants or fruit. We need more time to guard the fields, if not the harvest will fail and we will have nothing to eat. We caught this young monkey when its parents left it behind after we chased them from the fields.

Š Sepano /Photovoices Intl-WWF/HoB Sejenis burung hantu, burung ini bisa memutar lehernya dengan sempurna, burung ini sering dijumpai disekitar desa Berong disepanjang sungai Teweh. A type of owl, this bird can rotate its head perfectly. It is often found around Berong village along the Teweh River.

51


Š Denardi /Photovoices Intl-WWF/HoB Musang hutan, kami menyebutnya Muning. Binatang ini tinggal di hutan, biasanya makanannya sejenis unggas, ayam dan burung di hutan. Warna dasar kulit hitam dengan loreng-loreng putih. Musang ini bisa ditemukan pada siang hari atau malam hari. Mereka berkembang biak di dalam lubang kayu yang sudah mati/tunggul. A wood weasel that we call a Muning. These animals live in the woods and their staple diet is usually any kind of bird found in the forest. The weasel is black with white stripes. They can be seen both during the day and at night, and live in the holes of dead tree trunks or wood stumps.

Š Ladirman /Photovoices Intl-WWF/HoB Linsang. Gambar ini diambil pada waktu malam hari di hutan sekitar wilayah Desa Mea. Ukuran hewan ini lebih besar dari kucing dewasa dengan ciri khas warna putih, hitam, kuning dan mempunyai ekor yang panjang kira-kira 50 cm. Banded Linsang. This picture was taken at night in the forest around Mea Village. This animal is larger than an adult domestic cat. It is white, black, and yellow in color, and has a long tail of about 50 cm.

52


Š Dirman /Photovoices Intl-WWF/HoB Kulat ayan, kulat/jamur ini bisa dimakan dengan berbagai jenis sayuran, bisa direbus atau digoreng. Jamur ini banyak tumbuh dan berkembang di sekitar desa dan hutan biasanya tumbuh di kulit kayu yang lapuk. This Kulat Ayan (kulat: mushroom) can be eaten with various vegetables, either boiled or fried. They are found in the areas surrounding the villages and forests, usually growing in rotting bark.

53


Š Aprianus /Photovoices Intl-WWF/HoB Dalam bahasa lokal kami, semut ini dinamai Bentungar, jenis semut yang banyak dijumpai di hutan desa atau pun di kawasan hutan lindung. Orang tua kami dulu menggunakan dan memakan perutnya sebagai pengganti cabe karena rasanya yang sangat pedas seperti cabe. In our local language, this ant is called a Bentungar. These kinds of ants are often found in the village forest or protected forest areas. Our parents used to eat the ants’ stomachs as a chili substitute due to their very spicy taste.

54


55


Š Ladirman /Photovoices Intl-WWF/HoB Bekantan Hitam yang bertengger di atas pohon saat senja, lama sekali saya menunggunya turun untuk memotret agar wajahnya tampak jelas. Bekantan hitam banyak ditemui di sepanjang Sungai Mea. Mereka biasanya turun di sore hari dan menikmati pohon buahbuahan hutan yang ada di sepanjang Sungai Mea. A Black Bekantan (Proboscis monkey), perched on a tree at dusk. I waited a long time for him to come down to take his picture so that his face would appear more clearly. Black Bekantan can mostly be found along the Mea River in the afternoon, where they come to enjoy the fruit trees that grow there.

Š Mantung /Photovoices Intl-WWF/HoB Seperti namanya Gunung lumut, di tempat ini banyak sekali dijumpai berbagai jenis lumut seperti lumut kayu, lumut batu dan lumut tanah. Tampak pada gambar salah satu jenis lumut kayu. Lumut ini menempel di pohon kayu sehingga kayu itu kelihatan besar padahal kayu itu masih kecil dan terkadang dalam lumut ini hidup udang hijau yang rasanya sangat pahit sehingga tidak ada warga yang berani memakannya. As the name Gunung Lumut suggests (Gunung meaning mountain and Lumut meaning moss), various types of moss can be found in this area, such as wood moss, lichen and soil moss. Shown in this picture is one variety of wood moss. It is attached to a tree, making it look bigger than it really is. Sometimes green shrimp live in the moss, however they have such a bitter taste no villager dare eat them.

56


Š Thomas Injeng /Photovoices Intl-WWF/HoB Katak pohon, jenis katak ini banyak ditemui di Hutan Lindung LampeongGunung Lumut. Saat di photo, ia jatuh ke tanah. Masyarakat sekitar mempercayai dimana lendir dari katak ini apabila dioleskan ke anak kecil, nanti besarnya akan mahir dalam memanjat pohon karena tangan-tangannya akan kuat menempel pada pohon. A tree frog. This type of species can be seen in the Lampeong-Gunung Lumut Protected Forest. As it was being photographed it fell to the ground. The local community has the belief that when the mucus of this frog is applied to a young boy, he will grow up to be a good tree climber with hands that attach strongly to the tree.

Š Masiani /Photovoices Intl-WWF/HoB Jenis kucing hutan yang banyak dijumpai di hutan desa dalam bahasa kami menyebutnya Sangkaria. A type of forest cat that is often found in the village forest, which in our language is called a Sangkaria.

57


Š Yotam /Photovoices Intl-WWF/HoB Di kawasan hutan desa maupun di Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut banyak sekali dijumpai ber­ aneka jenis kupu-kupu. Di puncak Gunung Lumut di musim tertentu sekitar bulan Oktober ada banyak kupu-kupu dan hanya berterbangan di sekitar tempat tersebut, pemandangan yang sangat menakjubkan. In the village forest and LampeongGunung Lumut Protected Forest areas, diverse species of butterfly can be encountered. At certain times of the year, sometimes in October, at the top of Gunung Lumut many butterflies can be found flying only in this area: an incredible sight.

Š Yotam /Photovoices Intl-WWF/HoB Pohon Agatis Bemueng banyak tumbuh di Gunung Lumut, Sowai dan Lumbung Pantak. Kayu ini di samping penting untuk menyangga kawasan ini dari bahaya banjir, longsor juga sangat penting untuk ramuan Belian bagi umat Kaharingan, khususnya bagian dahan/ranting yang telah jatuh ke tanah. The Agatis Tree or Bemueng grows frequently on Gunung Lumut, Mount Sowai and in Lumbung Pantak. These trees are important to buffer the region from floods and landslides, and are also very important as a source of ingredients for the traditional ceremonies of the Kaharingan people, especially the branches or twigs that fall to the ground.

58


Š Yotam /Photovoices Intl-WWF/HoB Sumber mata air Hutan Lindung LampeongGunung Lumut yang menjadi sumber mata air dan menjadi sumber air yang mengairi Sungai Mea dan Teweh. This spring in the Lampeong-Gunung Lumut Protected Forest is a water resource for the community and the source of the water that irrigates the Mea and Teweh Rivers.

59


Š Barlin /Photovoices Intl-WWF/HoB Orang Mea menyebutnya bunga Wakai Hutan, namun di Berong dikenal dengan sebutan bunga Akar Kuning yang sering dimanfaatkan untuk obat gatal. The Muara Mea people call this the Wakai Hutan flower, but in Berong Village it is known as the Yellow Root flower and is often used to cure itchiness.

Š Barlin /Photovoices Intl-WWF/HoB Tanaman Sangkarung Silu atau orang luar menyebutnya kantong semar. Jenis ini ada beberapa macam, seperti warna merah, biru, hijau dan loreng hitam putih. Pada jaman dahulu kebiasaan orang Dayak yang ingin berpergian jauh, seperti berburu, mencari ikan, atau masuk hutan, mereka memanfaatkan untuk menanak nasi. Caranya kantong ini dibersihkan dan dimasukan beras kemudian bagian atas kantong dijahit/ditutup lalu direbus, seperti memasak ketupat. Kantong semar juga digunakan sebagai penampungan air sehingga bila haus bisa diambil airnya. Kantong semar banyak dijumpai di Hutan Gunung lumut. The Sangkarung Silu plant,is also known as Nepenthes to the outside world. It comes in a variety of colors, such as red, blue, green, as well as black and white striped. In the past, it was a practice of the Dayak people wishing to travel far for things like hunting, fishing or visiting the forests to use this plant to cook rice. They would clean the bag part of the plant, put in the rice, sew the top of the closed and then boil it like they were cooking Ketupat. This plant can also be used as a water container, that we can drink from whenever we feel thirsty. Sangkarung Silu are often found in the forests of Gunung Lumut.

60


Š Denardi /Photovoices Intl-WWF/HoB Remiran atau bunglon, banyak dijumpai di lingkungan desa atau sekitar hutan. Remiran yang sering dijumpai di kawasan ini ada tiga jenis yaitu: 1. 2. 3.

Remiran coklat, yang tidak bisa berubah warna, tinggal di tanah atau pohon kayu. Remiran hijau/tangkawaliw yang bisa berubah warna sesuai dengan lingkungannya. Remiran terbang/kungbingat, dengan ciri punya sayap di sisi kiri-kanan lengannya dan mempunyai benjolan kecil di bawah dagunya. Ia dapat terbang dari satu pohon ke pohon yang lain.

The Remiran or chameleon is often found in rural areas or around forests. In this region there are three types of Remiran that are commonly seen: 1. 2. 3.

Chocolate Remiran - it cannot change its color, and lives on the ground or in trees. Green Remiran/ Tangkawaliw - it can change its color according to its surroundings. Flying Remiran/ Kungbingat - with a wings made of skin on the left and right side of its arms, and a small lump under its chin, it can glide from one tree to another.

Š Denardi /Photovoices Intl-WWF/HoB Takayo atau rusa. Takayo ini di temukan di lingkungan Hutan Legong Putih, yakni kawasan hutan masyarakat Desa Muara Mea. Rusa ini terduduk akibat kena suruk/perangkap rusa. Daging rusa ini sebagian dijual dan sebagian lagi dimakan untuk keluarga. Takayo or deer. The Takayo is found in the Legong Putih Forest, which is also the forest of the Muara Mea villagers. The deer is sitting on the ground because it is stuck in a Suruk or deer trap. Part of the deer meat will be sold and the other part used for a family meal.

61


Š Dirman /Photovoices Intl-WWF/HoB Jenis bunga bangkai boyong yang tumbuh di ladang Pak Ngina. Bunga ini sering dijumpai di beberapa ladang warga setiap tahunnya. Usia kembangnya sekitar 10 harian dan menyebarkan bau busuk. A type of Amorphophallus flower, in local language named Boyong growing in Mr Ngina’s fields. This flower is often found in the fields of several villagers every year. It bloomsfor about ten days and spreads a terrible stench.

Š Denardi /Photovoices Intl-WWF/HoB Anak kukang yang tertinggal oleh induknya saat dihalau di lading. Hewan ini sangat pemalu. A young lemur is left behind by its mother when it was chased from the fields. It is very shy.

62


Š Lukman /Photovoices Intl-WWF/HoB Tumbuhan liar yang banyak dijumpai di jalan-jalan pingiran hutan, warna daunnya sangat menarik. A wild plant that is very common along the roads on the outskirts of the forest. The colors of the leaves are very attractive.

Š Mening /Photovoices Intl-WWF/HoB Burung Tialing atau betet banyak dijumpai di kawasan hutan Desa Muara Mea. The Tialing bird (a kind of parrot) is often found in the forest area of Muara Mea Village.

63


Š Heri Gunawan /Photovoices Intl-WWF/HoB Anjing mempunyai peranan penting bagi masyarakat Berong untuk membantu berburu, menjaga ladang dan juga teman di hutan. Dalam berburu, anjing hanya digunakan pada perburuan di siang hari namun pada malam hari berburu menggunakan lampu yang biasa dikenal dengan istilah suar. Dog plays an important role for the Berong people in helping to hunt, guarding the fields and also as a friend in the forest. When hunting, dogs are only used during the day, but for hunting at night lamps are used which are commonly known by the term Suar.

64


Hidup Keseharian Daily Life

Background pattern photo: Š Ladirman/Photovoices Intl-WWF/HoB

65


Š Mamanto /Photovoices Intl-WWF/HoB Potret orang tua di Desa Muara Mea. Untuk tetap bisa melibatkan orang tua dalam aktivitas sosial masyarakat, dari program pemerintah telah ada bantuan dana untuk program Lanjut Usia (lansia) seperti aktivitas pengecekan kesehatan, olah raga atau pertemuan bulanan di antara para lansia. Potrait of an elderly person in Muara Mea Village. To keep elderly people involved in community social activities, the government funds a senior’s program offering health checks, sporting activities and monthly meetings.

66


Š Heri Gunawan /Photovoices Intl-WWF/HoB Walaupun sudah uzur dan penglihatannya sudah berkurang nenek Tenani masih kuat mencari kayu bakar disekitar tepian sungai Desa Berong, potret orang tua di Desa Berong yang sangat bersahaja. A portrait showing one of the old people of Berong Village. Despite her very old age and diminished eyesight, grandmother Tenani is still strong enough to fetch firewood around the banks of the Berong Village river

67


© Barnadus /Photovoices Intl-WWF/HoB “Jendela Hati”. Berharap untuk kehidupan yang lebih baik. Anak-anak dan istri menjadi penyemangat saya untuk mencari nafkah. Semoga keluarga dan desa kami kedepan bisa lebih baik, maju dan anak-anak bisa sekolah tinggi dan lebih baik hidupnya daripada kami. “Window of Hope” - Hoping for a better life. My children and wife are my encouragement for making a living. May the future of our family and village be better and move forward, with our children able to study in higher education and have a better life than we did.

68


Š Wasti /Photovoices Intl-WWF/HoB Doi pakai lilitan di leher bayi yang sangat unik dan biasa digunakan oleh ibu-ibu di desa untuk menidurkan anak bayi dengan diayun-ayunkan. Doi is using a very unique binding on the baby’s neck, which is commonly used by mothers in the village to put their babies to sleep by swinging them back and forth.

69


Š Barlin /Photovoices Intl-WWF/HoB Menjala ikan. Terkadang ibu-ibu juga membantu untuk menjala ikan. Namun umumnya bapak-bapak yang mengerjakannya. Biasanya ibuibu menggunakan alat pancing dalam mencari ikan. Catching fish. Sometimes women help with catching fish, but generally it is the men who do it, using a dragnet. The women will more often use a fishing pole when in search of fish.

70


Š Bartiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Seusai panen padi di ladang ibu-ibu dan anak-anak langsung membersihkan diri di sungai. Sebagian besar warga belum memiliki kamar mandi dan WC sehingga semua aktivitas dilakukan di sungai. After the rice fields are harvested, mothers and children go directly to the river to wash themselves. Most residents do not have bathrooms and toilets, so all such activities are carried out at the river.

71


Š Mamanto /Photovoices Intl-WWF/HoB Mengambil kayu bakar untuk kegiatan pesta panen padi Belian Krewayu. Pesta panen padi dilaksanakan pada bulan maret 2011. Hasil panen padi tahun 2011 cukup bagus. Kayu bakar ini diambil untuk membuat panta, yakni biji padi ketan muda yang disangrai sebagai sarana ritual dalam Belian Krewayu. Collecting firewood for the Belian Krewayu rice harvest festival. The festival was held in March 2011, and the harvest for the year 2011 was quite good. This firewood was used to make Panta, which is made from roasted young sticky rice seeds and has a ritual role in the Belian Krewayu.

72


Š Mamanto /Photovoices Intl-WWF/HoB Kegiatan rutin di ladang untuk membersihkan gulma atau rumput yang mengganggu tanaman sayuran atau padi. Saat ini membersihkan gulma dengan menggunakan sprayer yang berisi obat DMA, POLYGAMI dan ROUNDAP. Sebelumnya secara manual menggunakan pisau atau lingga, prosesnya sangat lambat dan memerlukan waktu panjang untuk menyelesaikannya. Routine activities in the fields to clean up weeds or wild grass that impede the growth of vegetables or rice. These days, weed removal is done using sprayers containing chemicals such as DMA, POLYGAMI and ROUNDAP. Previously, it was performed manually using a knife or Lingga; a very slow process requiring a long time to complete.

73


Š Heri Gunawan /Photovoices Intl-WWF/HoB Warga masyarakat Muara Mea dalam memasak masih menggunakan tungku kayu bakar tradisional. Tungku terbuat dari batu bata dan tanah sehingga kepulan asap sebagai penanda penghuni rumah sedang memasak adalah suasana keseharian yang hangat di Desa Muara Mea. The Muara Mea community still uses traditional wood stoves for cooking. They are made of bricks and clay. The smoke seen coming from a house, a sign that the occupant is cooking, creates a warm, everyday atmosphere in Muara Mea Village.

74


Š Etiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Kegiatan gotong royong pembuatan rumah di ladang yang secara bersama-sama masyarakat di Desa Muara Mea, dimana tingkat sosial di masyarakat Desa Muara Mea masih tinggi. Kegiatan ini sama dengan menanam padi/ manugal padi di ladang. Para lelaki mendirikan rumah dan para wanita bekerja di dapur untuk menyiapkan makanan. Sedangkan untuk bahan makanan disediakan oleh pemilik rumah dan sebagian sumbangan dari keluarga dan masyarakat di Desa Muara Mea. The cooperative building of houses in the fields is performed by members of the Maura Mea Village, a place where the level social cohesion is still high. These activities are carried out in a similar way to the planting and cutting of rice in the paddies. The men build the house and the women work in the kitchen to prepare food, with ingredients provided by the home owners along with other donations from the families in the community of Muara Mea Village.

75


Š Timotius /Photovoices Intl-WWF/HoB Padi ladang adalah andalan hidup masyarakat Berong dan wajib ditanam oleh warga desa, karena sumber utama pemenuhan karbohidrat dan stok pangan setiap tahunnya. Hasil padi utamanya kami gunakan untuk makan dan kalaupun ada yang beli, itu adalah warga desa sendiri yang hasil padinya tidak bagus atau tidak berhasil. Padi Ladang (rice) is the mainstay of life in the Berong community and must be planted by the village members, as it is their primary annual source of carbohydrates and food. The yield is mostly used for consumption purposes. If people in the village buy rice at all, it is because the quality of their harvest was bad or their crop failed.

76


Ekonomi Economy

Background pattern photo: Š Ladirman/Photovoices Intl-WWF/HoB

77


Rotan & Impian Kami Rattan & Our Dream

D

i wilayah desa Muara Mea dan desa Berong yang lokasinya berada di wilayah kawasan hutan lindung LampeongGunung Lumut, terdapat banyak jenis rotan seperti rotan Kehayan yang merupakan jenis rotan untuk anyam-anyaman dan juga rotan Boyung yakni rotan jenis besar yang dapat digunakan untuk bahan furnitur se­ perti meja, kursi, mebel dan barang lainnya. Namun sampai saat ini desa Muara Mea maupun desa Berong baru dapat memanfaatkannya sebatas untuk anyaman dalam skala yang sangat kecil dan rotan dijual mentah atau kering kepada pengepul yang datang ke desa setempat. Harga rotan kering saat ini dihargai Rp. 400.000 per kwintal, harga ini masih jauh dari harapan petani karena tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Jenis rotan Kehayan banyak dijumpai di sepanjang tepian sungai dan hutan desa, jenis ini dapat dibudidayakan. Namun untuk jenis rotan Boyung harus mengambilnya di tengah hutan, dimana untuk mencapai lokasi ini membutuhkan waktu seharian dengan klotok. Rotan-rotan yang tumbuh dan berkembang di hutan khususnya jenis rotan Boyung ditanam oleh para pendahulu terdahulu dan diwariskan secara turun

78

I

n Muara Mea and Berong Villages, which are located within the Lampeong- Gunung Lumut Protected Forest, are found several species of rattan such the Kehayan variety that is good for woven crafts and the Boyung, which is a larger sized rattan that can be used as the raw material for furniture such as tables and chairs. However, up until now these villages have only been able to use the rattan to make woven crafts on a very small scale or sell the raw or dried rattan to collectors who come to the village. Dried rattan is currently priced at 400,000 IDR per quintal --approximately 100 kilograms. This price is still well below rattan farmers’ expectations when compared with the output of their costs and labor. Kehayan rattan is often found along riverbanks and in the community forest, and can be cultivated. However, Boyung rattan can only be harvested from the forest interior, the location of which requires a whole day to reach using a boat. Rattans that have evolved to grow in the forests were planted by villagers’ predecessors. They have been passed down from generation to generation, and are still used and well taken care of by the community today.


Š Aprianus /Photovoices Intl-WWF/HoB

menurun—sampai sekarang masih dimanfaatkan dan dipelihara dengan baik oleh warga desa. Proses memanen untuk sampai rotan siap dijual membutuhkan waktu kira-kira sepuluh harian. Memanen dan menariknya dari tengah hutan ke pinggiran sungai dan milir ke desa kurang lebih memerlukan waktu 4 sampai dengan 5 hari lalu membersihkan dan mengeringkannya dan siap jual kurang lebih juga memerlukan waktu 5 harian. Kadang-kadang warga desa ada yang memanen, mengeringkan lalu menjualnya tanpa melalui tahapan pembersihan namun harganya menjadi lebih murah.

The process whereby rattan is first harvested to when it is ready for sale takes around ten days. Harvesting and pulling the rattan from the center of the forest to the riverbank, and then bringing it downstream to the village takes about four to five days. Cleaning, drying, and preparing it for sale then also requires around five days. There are some community members who harvest, dry, and sell rattan without cleaning it first, but it attracts a lower price.

79


Š Kitisiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Mengangkut rotan dari lokasi hutan rotan di Sungai Lulut anak Sungai Teweh. Jarak lokasi rotan ke kampung kurang lebih ditempuh 1 jam mudik . Harga rotan basah tahun 2011 cukup bagus yakni Rp 120,000/pikul. Pada musim rotan, setiap hari minggu pembeli dari Desa Lampeong akan datang untuk membeli hasil panen rotan warga Desa Berong. Transporting rattan cane from the forest harvest sites on the tributaries of the Teweh River. The distance of the rattan location to the village is approximately one hour. Wet rattan prices in the year 2011 were quite good, at 120,000 IDR per bundle. In the rattan season, every Sunday, buyers from Lampeong Village will come to purchase the harvested rattan of the Berong villagers.

Untuk jenis rotan anyaman, setelah dikeringkan proses selanjutnya adalah membelah rotan menjadi bagian-bagian kecil sesuai ukuran anyaman kemudian diraut dan dihaluskan. Pewarna motif dalam anyaman masih mempertahankan pewarnaan secara alami yakni dengan menggunakan campuran beberapa daun-daunan. Pewarna hitam dalam motif digunakan campuran daun “tempilis tiong“ dimana rotan yang sudah dihaluskan direbus seharian dengan campuran daun-daunan tersebut selama satu hari, setelah itu diangkat dan direndam dalam lumpur selama tiga hari dibilas dan dibersihkan lalu dijemur baru setelah kering siap untuk dianyam. Motif anyaman pun sangat beragam dan dapat dipesan sesuai keinginan pembeli. Produk yang sudah mampu dihasilkan oleh warga masyarakat seperti Anjat jarang dan 80

Transporting rattan cane from the forest harvest sites on the tributaries of the Teweh River. The distance of the rattan location to the village is approximately one hour. Wet rattan prices in the year 2011 were quite good, at 120,000 IDR per bundle. In the rattan season, every Sunday, buyers from Lampeong Village will come to purchase the harvested rattan of the Berong villagers. Products that can already be produced by the community include Anjat Jarang and Anjat Rapat (different rattan weaves) bags, hats, mats, baskets (Bakul/Lanjung), fans, and belts. The community has a very great desire to seriously develop the potential of woven crafts. However, due to limited access to resources, capital, and marketing this potential cannot be well developed.


anjat rapat, tas, topi, tikar, bakul/lanjung, kipas, ikat pinggang dan keranjang. Keinginan masyarakat sangat tinggi untuk mengembangkan secara serius potensi anyaman rotan ini, namun karena keterbatasan sumber daya, permodalan dan juga pemasaran yang masih sangat terbatas menyebabkan potensi ini tidak berkembang dengan baik. Masyarakat berharap kepada pemerintah dan lembaga lainnya ke depan dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan potensi rotan ini, seperti; pengadaan mesin pembelah rotan, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan sehingga mampu menghasilkan produk-produk baru, pengolahan rotan Boyung untuk barang setengah jadi maupun barang jadi sehingga memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi serta yang lebih penting membantu untuk mencarikan akses pasar untuk memasarkan produk kerajinan.

The community hopes that the government or other institutions can help them to develop the potential of rattan in the future, such as through the provision of: machines for splicing rattan; training to improve skills so that new products can be made; the means to process Boyung rattan into intermediate or finished goods to increase its economic value; more importantly, assistance to access new markets for the crafts. Narasumber/source: Jaya Pura - Muara Mea & Wasti - Berong

Š Thinson /Photovoices Intl-WWF/HoB Pekerjaan membuat anjat atau tas rambat yang terbuat dari rotan adalah pekerjaan keseharian ibu-ibu di Desa Berong. Bahan rotan didapat dari kebun rotan milik sendiri. Proses membuat anjat yang seperti dalam gambar, untuk satu buah anjat dikerjakan dalam waktu dua hari. Motif anjat cukup beragam seperti sengkakau belang, sempulang anyak, bulau penengkaer dan masih banyak motif yang lain lagi. The work of making Anjat or bags made of rattan is the daily responsibility of the women in Berong Village. The rattan material is taken from their own rattan gardens. The process for making an Anjat is similar to that shown in the picture, and takes two days to make one. The motifs are quite diverse, and include such types as Sengkakau Belang, Sempulang Anyak, Bulau Penengkaer and many others.

81


82


Š Bartiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Anyaman rotan merupakan potensi ekonomi yang sangat potensial di desa kami. Bagi ibu-ibu di Desa Mea, menganyam adalah bagian dari rutinitas sehari-hari. Penjualan baru terbatas pasar lokal dan pengunjung yang datang ke desa. Sekali waktu, ada tawaran untuk pesanan yang sangat besar per bulannya, namun tidak bisa dipenuhi karena keterbatasan dalam membelah rotan. Kami berharap kedepan, desa kami bisa memiliki mesin pembelah rotan. Rattan weaving has a huge economic potential for our village. For the women in Muara Mea, weaving is part of their daily routine. Sales are currently limited to local markets and visitors to the village. Once, there was the offer of a very large order for each month, but we could not fulfill it because of limitations in splicing rattan. We are hoping that in the future our village can get a rattan-splicing machine.

83


Š Bartiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Gotong royong panen padi di ladang bapak kepala adat yang dilakukan pada bulan Maret. Aktivitas gotong royong ini dilakukan secara bergantian di ladang masing-masing warga ketika panen tiba. Working together to harvest the paddies in the fields of the customary chief in March. This mutual community activity is conducted alternately in the fields of each resident when the harvest time arrives.

Š Ladirman /Photovoices Intl-WWF/HoB Di musim kemarau menangkap ikan di Sungai Liawon sangat mudah karena airnya sangat dangkal sekali dan ikan bisa dengan jelas terlihat. Jenis ikan yang banyak dijumpai di sungai ini adalah jenis tenggara ekor merah, paik burei ekor merah, sitan ekor putih, litang ekor merah, ikan indosiar atau pangalaya, dll. Hasil tangkapan ikan tidak dijual, hanya dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga saja. In the dry season, fishing in the Liawon River is very easy because the water level is very shallow and the fish can be seen clearly. Types of fish that are often found in this river include the southeast red tail fish, red tail Paik Bure fish, white tail Sitan fish, red tail Litang fish, Indosiar fish or Pangalaya etc. The fish caught are not to sell, but for family consumption only.

84


Š Denardi /Photovoices Intl-WWF/HoB Babi hutan/bawui. Babi hutan ini sedang ter-gumpal di pohon kayu karena terkena jerat/sesuruk babi. Babi ini kena perangkap yang dipasang warga di kawasan hutan desa. Hasil tangkapan babi sebagian dijual dan sebagian lagi untuk kebutuhan lauk keluarga. Wild boar or Bawui. The wild boar is stuck at the tree because it is caught in a trap or Sesuruk set by the villagers. It will be sold partly as meat and partly used for family meals.

Š Kus Edi /Photovoices Intl-WWF/HoB Babi sangat penting peranannya untuk umat Kaharingan, yang utama adalah sebagai pelengkap sarana ritual dan juga untuk pemenuhan ekonomi. Harga jual babi sangat stabil. Desa Muara Mea mempunyai cara yang unik untuk menentukan harga babi yang dikenal dengan sebutan meng-ketem, yakni mengukur lingkar dada babi (di bawah ketiak) yang hendak dijual menggunakan tali, lalu tali tersebut dibagi dua dan diukur menggunakan kepalan tangan pemilik babi (di-ketem). Satu ketem-nya harganya Rp. 200,000. Ini merupakan cara yang adil buat kami. Pigs are very important to the Kaharingan people, mainly as a complement to rituals, but also for their economic services. The selling price of pigs is very stable. Muara Mea Village has a unique way of determining the price of a pig, usually called meng-ketem, which involves measuring the girth (under the armpit) of the pig using a rope. The rope is then split in half and measured using the fist of the pig’s owner (di-ketem). One Ketem is worth 200,000 IDR. This is a fair method for us.

85


Š Karet /Photovoices Intl-WWF/HoB Kayu puti tempat madu hutan. Kayu ini banyak dijumpai di hutan desa ataupun di kawasan hutan lindung. Masyarakat memanen madunya setiap musim madu setahun, sekali bahkan 2 tahun sekali tergantung musim buah. Hasil madu akan sangat bagus apabila musim buah berhasil. Puti tree - the place of wild honey. These can be seen in the village forest or in the protected forest area. The community will harvest the honey every honey season, once a year or even every two years depending on the fruit season. If the fruit season is successful, the yield will be very good.

Š Thomas Injeng /Photovoices Intl-WWF/HoB Karet merupakan potensi ekonomi lain yang ingin dikembangkan masyarakat Berong. Saat ini baru 5% dari warga masyarakat mencoba mengembangkan karet karena pengetahuan budidaya karet masih sangat kurang. Rubber is another economic potential that the Berong community would like to see developed. At the moment, only 5% of the villagers are trying to develop rubber cultivation because of a lack of knowledge about the methods for doing so.

86


Š Sahayuni /Photovoices Intl-WWF/HoB Kulit kayu batu untuk atap rumah yang diambil dari ladang. Kulit yang baru dikupas, dijemur kemudian sesudah kering baru bisa dipakai untuk atap rumah. Stone bark for house roofing, taken from the field. The new bark is peeled off and dried. When it is dry enough, it can be used as a rooftop.

87


Š Hermini /Photovoices Intl-WWF/HoB Desa Berong memiliki satu sekolah SD Negeri. Setiap tahunnya selalu ada murid yang mendaftar dan bersekolah di SD Berong. Rata-rata anak usia sekolah di SD Berong bersekolah dan menyelesaikan pendidikannya. Setelah tamat sekolah, SMP terdekat ada di kota kecamatan yakni di Desa Lampeong. Berong Village has one public elementary school, and there are always students applying to and studying at the school. On average, most of its students finish elementary school. After graduation, the nearest junior high school is located in the sub-district, at Lampeong Village.

88


Pendidikan Education

Background pattern photo: Š Ladirman/Photovoices Intl-WWF/HoB

89


Š Hermini /Photovoices Intl-WWF/HoB Kegiatan belajar mengajar di SD Negeri Berong. SDN Berong saat ini kondisinya masih kekurangan gedung. Untuk menyiasatinya, satu ruangan di sekat menjadi dua kelas. Namun permasalahannya dalam proses belajar mengajar sering terganggu dan murid tidak bisa berkonsentrasi dengan baik. Setiap tahun selalu ada murid baru yang mendaftar dan bersekolah di SDN Berong karenanya di Desa Berong tidak ada anak usia sekolah dasar yang tidak sekolah dan juga tidak ada murid yang berhenti sekolah. Untuk itu sangat penting sekali pengadaan tambahan ruangan kelas baru untuk SDN Berong sehingga kwalitas pendidikan bisa lebih ditingkatkan. Teaching and learning activities at the State Elementary School of Berong or SDN Berong. Currently, there is still a lack of buildings at the school. To work around this, a single room is divided between two classes. However, this results in the problem of disrupted teaching and learning activities, and students who cannot concentrate properly. Every year, there are always new students enrolling to attend school at SDN Berong, because in Berong Village there are no primary school age children who do not go to school, and no students who drop out either. Because of this, it is very important to provide additional classrooms, so that the quality of education can be improved.

90


© Mening /Photovoices Intl-WWF/HoB Pada saat jam istirahat belajar, anakanak mengisinya dengan berbagai permainan sederhana seperti main musang dan ayam. At study break, children fill in time with a variety of simple games such as the “weasel and chicken” game.

© Rahaman /Photovoices Intl-WWF/HoB Sekolah Minggu, Anak-anak di desa Berong setiap minggu ada kegiatan belajar dan bermain bersama, aktifitas ini dilakukan oleh pihak gereja. Sunday school. The children at Berong Village have study and play activities every Sunday, run by the Church.

© Rahaman /Photovoices Intl-WWF/HoB Sekolah minggu merupakan kegiatan untuk mengenalkan pengetahuan kerohanian kepada anak-anak melalui nyanyian dan permainan. Sunday school is an activity that introduces children to religious knowledge through songs and games.

91


Š Thinson /Photovoices Intl-WWF/HoB Kegiatan Upacara Bendera pada setiap hari senin merupakan kegiatan rutin yang tidak pernah ditinggalkan oleh SD Negeri Berong sebagai upaya menanamkan sikap patriotisme kepada anak didik. The flag ceremony, held every Monday, is a routine activity that is always maintained by the Berong Elementary School as a way to embed patriotism to the students.

92


Š Mening /Photovoices Intl-WWF/HoB Di Desa Muara Mea rutin setiap hari senin dalam seminggu melakukan aktifitas Upacara Bendera disamping untuk menumbuhkan sikap patriotisme juga mendidik anak-anak untuk berdisiplin dan sigap. In Muara Mea Village people conduct a flag ceremony once a week, on Mondays. The goal of this is to instill patriotism in the children, and to teach them to be disciplined and lively.

Š Mening /Photovoices Intl-WWF/HoB Kami sangat beruntung, sekolah SDN 1 Muara Mea mendapatkan bantuan 2 unit gedung sebagai fasilitas perpustakaan. Bantuan ini kami dapat dari pemerintah Kabupaten dan juga pemerintah provinsi. We have been very lucky, SDN 1 Muara Mea (Muara Mea Public Elementary School) has received assistance from the district and provincial governments, in the form of two buildings to be used as a library.

93


Š Mening /Photovoices Intl-WWF/HoB Kendalanya dua unit perpustakaan yang ada belum bisa diaktifkan karena belum memiliki fasilitas buku-buku bacaan, ke depan kami sangat berharap ada bantuan dari pemerintah dan pihak ketiga lainnya untuk dapat melengkapi sarana buku-buku bacaan dan lainnya sehingga anak-anak warga desa kami bisa menggunakan fasilitas perpustakaan ini dengan maksimal. A problem for us is that the library is not active, as it has not yet been furnished with reading books and other facilities. We really hope that in the future the government and other third parties will give the assistance required to get the library ready, so that the children and villagers can use it as much as possible.

94


Š Hermini /Photovoices Intl-WWF/HoB Perpustakan SDN 1 Berong walaupun bukunya sedikit sudah mulai bisa difungsikan, anak-anak sangat senang membaca di perpustakaan. Kedepan kami berharap untuk mendapatkan bantuan buku bacaan tambahan untuk menambah khasanah dan wawasan anak-anak peserta didik kami. The library at SDN 1 Berong. Even though there are only few books available, the library has been active and the children are very happy to read here. In the future, we hope that we can get additional donations of reading books to improve our students’ knowledge and assets.

Š Hermini /Photovoices Intl-WWF/HoB Kondisi perpustakaan SDN 1 desa Berong belum sempurna, di bagian jendela belum ada kacanya, saat ini agar perpustakaan bisa difungsikan kami menggunakan papan untuk menutupnya serta diberi celah-celah agar udara dan cahaya bisa masuk. Masalahnya, tanpa disadari ayam-ayam dari celah-celah papan menyelinap masuk dan mengotori buku perpustakaan. Kedepan ini akan menjadi prioritas pembangunan sekolah, untuk itu kami berharap bantuan untuk dapat menyempurnakan ruangan perpustakaan sekolah ini, sehingga anak-anak bisa nyaman berada dalam ruangan perpustakaan dan buku-buku terjamin keamanannya. The condition of SDN 1 Berong is far from perfect. There is no glass in the windows, so in order to keep the library active we use wooden boards to cover the windows, with slots to let the light and air get in. The problem is that chickens come in through these slots anytime they like, making the books and library dirty. This will be a construction priority for our school for the future. We really hope we can get help to finish the library, so that the children are comfortable to be in there and that the safety of the books is guaranteed.

95


Š Kitisiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Desa Berong, karena terbatasnya transportasi dan jalur sungai masih menjadi alternatif pertama transportasi yang menghubungkan desa Berong dengan desa yang lainnya. Lokasi desa yang paling ujung dan terisolir menyebabkan fasilitas kesehatan yang dimiliki seperti Puskesmas pembantu tidak bisa berfungsi dengan maksimal. Jarangnya tenaga medis berada di tempat dan juga biaya transportasi yang mahal memaksakan pilihan untuk tetap bertahan dan tidak berobat keluar desa. Kedepan berharap bantuan pemerintah untuk pengadaan tenaga medis perawat dan bidan yang mau tinggal dan memberikan pelayanan kesehatan di Desa Berong. In Berong Village, as there is limited transportation, river ways are still the best alternative for travel that links Berong Village with other villages. Since it is located at the very end of the river and is very isolated, the health facilities here cannot function optimally. The lack of health staff in the area and expensive transportation costs force communities to stay in the village rather than leaving for treatment. In the future, we hope there will be aid from the government to provide health workers, nurses, and midwives who will live in Berong Village in order to provide health services here.

96


Sanitasi dan Kesehatan Health and Sanitation

Background pattern photo: Š Ladirman/Photovoices Intl-WWF/HoB

97


Š Sepano /Photovoices Intl-WWF/HoB Desa Berong belum memiliki Bidan desa, sehingga untuk proses persalinan ibu-ibu di desa dibantu oleh bidan kampung. Kedepan kami sangat memerlukan bantuan untuk memiliki bidan desa karena lokasi desa kami sangat jauh dan terisolir. Jadi apabila ada bidan desa kalau terjadi masalah medis dengan ibu-ibu yang melahirkan akan dapat ditangani dengan segera. Berong Village has not had any professional midwives, therefore the process of childbirth for mothers in the village is still only attended by a traditional midwife. In the future, we really need the assistance of professional midwives in the village, as it is very remote and isolated. If they were available in the village, then any medical problem experienced by expectant mothers would be handled immediately.

98


© Jaya Pura /Photovoices Intl-WWF/HoB Posyandu Lansia, yang pembangunannya dapat bantuan dari pemerintah dan sudah difungsikan dengan baik oleh warga desa. Posyandu Lansia (community healthcare for senior citizens). We received funding to construct this healthcare center from the government, and it has been run well by the village residents.

© Rini /Photovoices Intl-WWF/HoB Kegiatan Posyandu di desa Muara Mea berjalan baik setiap bulannya untuk menimbang, pemberian imunisasi dan makanan tambahan untuk anak-anak balita di desa Muara Mea. Posyandu activities in Muara Mea Village that run very well. Every month, such activities as measuring children’s weight, administering immunizations and giving additional food to toddlers are conducted.

© Rini /Photovoices Intl-WWF/HoB Kegiatan pengecekan kesehatan para lansia desa Muara Mea oleh pihak Puskesmas. Health check-up activities for the senior villagers in Muara Mea Village, held by the Puskesmas (Community Healthcare Centers).

99


Š Heri Gunawan /Photovoices Intl-WWF/HoB Sebagian besar warga desa Muara Mea melakukan aktifitas mandi, cuci dan kakus di sungai. Kegiatan ini akan sangat sulit dilakukan di musim kemarau. Most of the Muara Mea Village residents carry out activities such as bathing, washing and going to the toilet in the river. These activities will be very difficult to do in the dry season.

Š Rahaman /Photovoices Intl-WWF/HoB Pada saat kemarau air sangat keruh, namun karena tidak ada pilihan kami tetap menggunakannya, tidak jarang kami gatal-gatal sehabis menggunakan air sungai ini. During the dry season the water is very muddy, but there are no other options besides using the river. Sometimes our skin is itchy after coming into contact with it.

100


Š Rini /Photovoices Intl-WWF/HoB Pengawasan makan pada anak sangat penting untuk tumbuh kembang anak. Food supervision for children is very important for their growth and development.

Š Hermini /Photovoices Intl-WWF/HoB Selain tanaman obat bisa didapat di hutan, untuk kebutuhan yang mendadak dan cepat bisa diambil di kebun TOGA/tanaman obat keluarga milik desa yang ditanam oleh ibu PKK desa Berong. Semua warga desa dapat memanfaatkan kebun obat ini. Besides medicinal herbs that can be obtained from the forest, for more immediate medical needs we can get herbs from the TOGA or village family herb garden which is taken care of by PKK members (the village women’s association) in Berong Village. All villagers are allowed to make use of this garden.

101


Š Timotius /Photovoices Intl-WWF/HoB Pada tahun 2009, jalan kampung di Desa Berong diperkeras. Masyarakat juga mendapat bantuan listrik tenaga surya di 70 buah rumah tahun 2007, bak penampungan air dibangun pada tahun 2010. Tetapi itu belum cukup, pemerintah perlu mempercepat pembangunan sarana dan prasarana transportasi seperti jalan, jembatan, air bersih. Transportasi yang lancar akan menambah kemungkinan munculnya berbagai komoditas hasil bumi di masyarakat yang laku dijual. In 2009, the roads in Berong Village were paved. The community also got solar electricity in 70 houses in 2007 and water storage tanks were built in 2010. However, this is not enough. The government needs to accelerate the development of transportation facilities like roads, bridges, and clean water. Smooth transportation will increase the likelihood that various types of crops will be able to be sold by the community.

102


Infrastruktur Infrastructure

Background pattern photo: Š Ladirman/Photovoices Intl-WWF/HoB

103


Š Heri Gunawan /Photovoices Intl-WWF/HoB Sungai merupakan jalur transportasi penting bagi masyarakat Muara Mea selain untuk pemenuhan kebutuhan air minum, cuci dan mandi. Hari-hari sangat sulit dirasakan pada musim kemarau karena air sangat surut menyulitkan perahu melintas dan juga air sangat keruh sehingga sulit untuk dikonsumsi. The river is an important means of transportation for the people in Muara Mea, in addition to the services it provides for drinking water, washing and bathing. The days feel very difficult in the dry season, as the water supply decreases significantly, to the point that it is hard for a boat to cross the river and the water is so muddy that it is difficult to drink.

104


Š Mamanto /Photovoices Intl-WWF/HoB Suasana pemandangan dekat kamp PT Indexim. Masyarakat Desa Mea sering menggunakan jembatan penyeberangan ini menuju perbatasan Desa Berong dan juga ke Ngorit. Di sekitar daerah ini banyak kebun kakau dan karet milik warga Desa Mea yang sudah mulai menghasilkan. The view near the camp of the company PT INDEXIM. Muara Mea villagers often use this pedestrian bridge to reach the Berong Village border and also to get to Ngorit. Around this area, a lot of cocoa and rubber plantations are owned by Muara Mea Village residents the plantations have started producing.

105


Š Harmidi /Photovoices Intl-WWF/HoB Jembatan darurat penyeberangan di Sungai Suket menuju Kota Muara Teweh. Jalan ini kondisinya sangat rusak dan saat ini sedang dalam perbaikan. Emergency bridge crossing at Suket River to the town of Muara Teweh. The condition of the road is very poor, and is currently under repair.

106


Š Yotam /Photovoices Intl-WWF/HoB Penerangan masih merupakan masalah yang sangat penting di desa Berong dan juga Muara Mea. Karena masalah bahan bakar yang sangat mahal kebutuhan listrik dari genset hanya bisa sewaktu-waktu saja. Jadi, anak-anak dalam mengerjakan tugas sekolah maupun aktifitas warga desa di malam hari menggunakan lampu seadanya. Lighting is still a crucial problem in Berong and Muara Mea Villages. Due to the high cost of fuel, the electricity from the generator can only be used once in a while. Therefore, when children want to complete their school tasks or any other village activities at night, they use whatever form of lighting they can get their hands on.

107


Š Rini /Photovoices Intl-WWF/HoB Mobil ambulans adalah salah satu sarana Puskesmas Gunung Purai. Lokasi yang sangat jauh dan terpencil dari Gunung Purai ke Rumah Sakit Umum di Muara Teweh ditambah beratnya kondisi jalan terkadang menyebabkan orang sakit yang harus dirujuk kondisinya memburuk bahkan meninggal dalam perjalanan. Fasilitas puskesmas pun masih sangat terbatas. An ambulance is the means of transportation for the Gunung Purai Clinic (or the locally called Puskesmas). The clinic facilities are still very limited. Many people suffering severe illnesses have to travel from this remote and distant location at Gunung Purai to the public hospital at Muara Teweh. The bad condition of the roads causes a lot of people to die on the way to the hospital.

108


Š Bartiana /Photovoices Intl-WWF/HoB Jalan menuju desa dari arah kamp PT INDEXIM, sepulang dari dokumentasi di Gunung Lumut kami melintasi jalan ini untuk kembali ke kampung Mea. The road to our village from PT INDEXIM’s camp. We crossed this road on our way back to Muara Mea village, after doing some documentation activities at Gunung Lumut primary forest.

Š Timotius /Photovoices Intl-WWF/HoB Melalui program PNPM, desa Berong mendapatkan bantuan bak penampungan air bersih. Bak ini sangat bermanfaat untuk warga desa, namun pada musim kemarau air sungai sangat keruh, ketika sudah ditampung dan diendapkan pun airnya tidak layak dikonsumsi. Berharap untuk pembangunan ke depan ada bantuan untuk pengadaan sumber air bersih alternatif seperti sumur bor, atau yang lainnya. Through the PNPM program, Berong Village received aid in the form of a clean water reservoir. This is very useful for the villagers, but during the dry season the water gets very muddy, and even after the water is collected in the reservoir it is not clean enough for consumption. We hope that in the future we can construct an alternative clean water source like a bore well or something of this kind.

109


Š Heri Gunawan /Photovoices Intl-WWF/HoB

110


Penutup Closing

Photovoices percaya bahwa para ilmuwan, pemimpin pemerintahan, dan para pe足 rencana konservasi harus banyak belajar dari masyarakat lokal langsung, yang telah tinggal di tempat spesial ini secara turun足 temurun dari generasi ke generasi untuk hidup dan bekerja sebagai petani, nelayan, membesarkan anak-anak mereka dan melakukan ritual-ritual upacara tradisional. Kebijakan-kebijakan konservasi akan menjadi jauh lebih efektif ketika digabungkan dengan pengetahuan adat/kearifan lokal masyarakat setempat, menghormati tempat-tempat suci/kawasan yang disakralkan, dan membangun kemitraan dengan orangorang, berdasarkan pada saling memahami dan menghargai.

Photovoices believes that scientists, government leaders, and conservation planners have a lot to learn from the local communities who have lived in this special place from generation to generation; living and working as farmers and fishermen, raising their children, and holding rituals and traditional ceremonies. Conservation and sustainable development policies will be far more effective if they draw on the wisdom of local communities, respect sacred sites, and if partnerships are built with people based on mutual understanding and respect.

111


Photographers Muara Mea & Berong

Antonius

Aprianus

Barnadus

Barlin

Bartiana

Denardi

Dirman

Etiana

Harmidi

Hermini

Jayapura

Karet

Kitisiana

Kus Edi

Ladirman

Lukman

Mamanto

Mantung

Masiani

Mening

Ngina Ingkak

Rahaman

Rini

Sahayuni

Satine

Sepano

Thinson

Thomas Injeng

Timotius

Wasti

Yotam

112


Fotografer Photovoices/ Photovoices Photographers - Gunung Lumut Desa Muara Mea/ Muara Mea Village Antonius, Barlin, Barnadus, Bartiana, Denardi, Dirman, Etiana, Harmidi, Jayapura, Kus Edi Hariyanto, Ladirman, Lukman, Mamanto, Mantung, Masiani, Mening, Ngina Ingkak, Rini, Sahayuni, Satine. Desa Berong/ Berong Village Aprianus, Hermini, S.Pd, Karet, Kitisiana, Pdt. Timotius. S.B., Pdt. Wasti R, Rahaman, Sepano, Thomas Injeng, Yotam, Thinson. Koordinator & Fasilitator/ Coordinators & Facilitators - Gunung Lumut Syahdan Sindrah, Daini, Heri Purnomo, Hery Gunawan Foto Sampul/ Front & Back Cover Photographs Bartiana & Hery Gunawan Dewan Redaksi / Editorial Team Ann McBride Norton, President, Photovoices International Ambang Wijaya, WWF-Indonesia Elisabeth B. Wetik, WWF-Indonesia S. Ayu Sri Saraswati, Photovoices Program Coordinator Wisnu Rusmantoro, WWF-Indonesia Photovoices International Jln. Bypass Ngurah Rai No. 121X Sanur - 802227 Bali. Indonesia Telp.: +62 361 285298, Fax.: +62 361 284178 www.photovoicesinternational.org WWF-Indonesia Gedung Graha Simatupang Tower 2 Unit C Lantai 10 Jln. Letjen TB Simatupang Kav 38 Jakarta Selatan 12540 www.wwf.or.id

Photovoices Gunung Lumut merupakan program bersama Photovoices International, WWF-Indonesia dan HoB Initiative bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Barito Utara dan Yayasan Gunung Lumut. Photovoices Gunung Lumut is a joint project of Photovoices International, WWF窶的ndonesia and HoB Innitiative in collaboration with the district government of Barito Utara and the Gunung Lumut Foundation. The Ford Foundation provided support for Photovoices Gunung Lumut.

113


114


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.