Integrated Sustainable Peatland Management

Page 1

INTEGRATED

SUSTAINABLE PEATLAND MANAGEMENT LAPORAN SINTESIS DIALOG KEBIJAKAN, JAKARTA 25-26 JUNI 2014


INTEGRATED

SUSTAINABLE PEATLAND MANAGEMENT LAPORAN SINTESIS DIALOG KEBIJAKAN, JAKARTA 25-26 JUNI 2014

2

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Saran Penulisan Referensi: ICCC. 2014. Laporan Sintesis Dialog Kebijakan: Integrated Sustainable Peatland Management. Indonesia Climate Change Center. Jakarta, Indonesia.

Integrated Sustainable Peatland Management

3


Daftar Isi

Pengantar..................................................................................................................................................4 Ringkasan Eksekutif...............................................................................................................................6 Tujuan........................................................................................................................................................7 Output yang Diharapkan.......................................................................................................................8 Agenda......................................................................................................................................................9 Hari Pertama (25 Juni 2014)........................................................................................................9 Hari Kedua (26 Juni 2014)............................................................................................................9 Pengantar Dialog dan Pembukaan....................................................................................................10 Intisari Penelitian ICCC......................................................................................................................13 Pengantar......................................................................................................................................13 Analisis Kesenjangan..................................................................................................................13 Pendekatan Strategis ICCC........................................................................................................13 Temuan Penelitian di Katingan dan Pelalawan.......................................................................14 Integrated Sustainable Peatland Management (ISPM)............................................................16 Rekomendasi ICCC.....................................................................................................................17 Rangkuman Masukan (Stock Taking)................................................................................................20 Policy Update..........................................................................................................................................23 Policy Update tentang Pencegahan Kebakaran........................................................................23 Sintesis Hasil Diskusi...........................................................................................................................25 Prinsip...........................................................................................................................................25 Kebijakan......................................................................................................................................25 Enabling Conditions.....................................................................................................................26 Future Work bagi ICCC..............................................................................................................27 Pencapaian Output Kegiatan...............................................................................................................28 Kesimpulan.............................................................................................................................................29 Referensi.................................................................................................................................................30

4

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Pengantar

Indonesia Climate Change Center (ICCC) atau Pusat Perubahan Iklim Indonesia merupakan kerjasama kemitraan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat, yang ditandatangani oleh kedua kepala negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Barack Obama. Tujuannya adalah untuk menyediakan landasan (platform) serta mekanisme agar informasi saintifik terkini bisa dikomunikasikan secara efektif dan sampai kepada para pengambil kebijakan (policy maker) di Indonesia. Lebih lanjut diharapkan agar kebijakan-kebijakan untuk mendorong aksi terkait isu perubahan iklim bisa dihasilkan dengan berdasarkan pada hasil penelitian yang handal. Dalam rangka mendorong upaya-upaya dari sains menuju kebijakan (science to policy), ICCC memiliki empat fokus area, yang diwakili oleh empat cluster atau empat kelompok kegiatan, yakni Lahan Gambut dan Pemetaan Lahan Gambut (Peatlands and Peatland Mapping); Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (Measurement, Reporting, and Verification) atau MRV; Strategi-strategi Pembangunan Rendah Emisi (Low Emission Development Strategies); serta Ketahanan Iklim (Climate Resilience). Sebagai salah satu cluster yang ada di ICCC, serangkaian kegiatan telah dilakukan oleh Peatlands and Peatland Mapping cluster. Salah satunya adalah dialog kebijakan atau policy dialogue mengenai Integrated Sustainable Peatland Management (ISPM) atau Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan yang Terintegrasi.

4

Sebagai informasi, dialog kebijakan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan studi tentang lahan gambut yang sebelumnya dilakukan oleh ICCC di dua lokasi, yakni di Kabupaten Katingan (Kalimantan Tengah) dan Kabupaten Pelalawan (Riau). Sejalan dengan semangat ICCC untuk mendorong science to policy, hasil dan temuan dari studi tersebut dikomunikasikan kepada para pihak untuk mendapatkan masukan yang bisa memperkaya studi tersebut, serta untuk memperoleh bahan rekomendasi untuk policy maker. Dalam hal ini, salah satu cara yang dilakukan adalah melalui dialog kebijakan tentang Integrated Sustainable Peatland Management (ISPM). Lebih lanjut, hasil dan temuan studi yang telah diperkaya tadi diharapkan bisa menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi pengambilan kebijakan terkait pengelolaan lahan gambut di Indonesia. Dialog kebijakan ini sendiri dihadiri oleh peserta berasal dari berbagai unsur seperti dari peneliti, instansi pemerintah terkait, praktisi bisnis dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka yang hadir memiliki keahlian serta perhatian terhadap isu lahan gambut dan berbagai aspek yang terkait, seperti soal peta, penanggulangan bencana kebakaran dan peran serta masyarakat yang hidup di kawasan lahan gambut. Dengan demikian, dialog kebijakan ini berjalan cukup dinamis dan berkualitas. Dari dialog kebijakan ini diperoleh kesimpulan bahwa penting untuk mendorong

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


pengelolaan lahan gambut berkelanjutan yang terintegrasi di Indonesia atau Integrated Sustainable Peatland Management (ISPM). Pada gilirannya, pengelolaan lahan gambut yang baik, berkelanjutan dan terintegrasi tidak hanya berfungsi untuk pencegahan kerusakan, upaya rehabilitasi serta konservasi, tapi juga memberikan keuntungan yang lebih baik dari segi lingkungan, sosial dan ekonomi.

Integrated Sustainable Peatland Management

5


Ringkasan Eksekutif

Lahan gambut merupakan ekosistem yang tidak terpisahkan dari lahan dan hutan di Indonesia. Lahan gambut sendiri merupakan salah satu bentuk lahan basah yang ditandai oleh akumulasi sisa bahan organik yang berasal dari hutan di atasnya, yang telah tersimpan di bawah genangan permanen sejak periode Holosen (kira-kira 3,000-7,000 tahun yang lalu). Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan aktivitas manusia, lahan gambut telah dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, misalnya kehutanan, pertanian dan perkebunan. Namun ternyata, pemanfaatan dan pengelolaan tersebut selain memberikan manfaat ekonomi, juga memberikan dampak kerusakan karena terganggunya ekosistem lahan gambut tadi. Terdapat bukti bahwa pengelolaan lahan gambut terutama praktik konversi dari hutan dan tindakan drainase memiliki dampak terhadap lingkungan. Tindakan tersebut mengakibatkan tingkat kesuburan lahan gambut menurun, resiko kebakaran meningkat serta emisi gas rumah kaca bertambah. Karenanya, bagaimana menjaga kelestarian lahan gambut sebagai aset sumberdaya merupakan tantangan bagi Indonesia. Untuk menjawab tantangan tersebut, Indonesia kini serius mencari cara untuk mengelola lahan gambut secara berkelanjutan berdasarkan kajian yang berbasis bukti atau evidens dengan mempertimbangkan posisi penting lahan gambut sebagai penghasil komoditas di sektor kehutanan, pertanian dan perkebunan. Terkait hal ini, ICCC merespons dengan mendukung penelitian

6

tentang lahan gambut di dua kabupaten yakni di Kabupaten Katingan (Kalimantan Tengah) dan Kabupaten Pelalawan (Riau). Hasil studi inilah yang dibahas dalam dialog kebijakan pada tanggal 25 dan 26 Juni tersebut. Dari dialog kebijakan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa sangatlah penting untuk mendorong pengelolaan lahan gambut berkelanjutan yang terintegrasi (Integrated Sustainable Peatland Management atau ISPM) dengan melibatkan peran berbagai pihak. Adapun hal-hal penting yang harus ada dalam ISPM adalah sebagai berikut: perlindungan terhadap hutan gambut yang masih utuh, pemulihan lahan gambut yang rusak dan kering, pencegahan kebakaran hutan gambut, pembatasan pembukaan/pengembangan ijin baru di lahan gambut, pengurangan emisi dari kegiatan-kegiatan di atas lahan gambut yang sudah dilakukan, serta peningkatan kesadaran tentang pentingnya lahan gambut serta pengembangan kemampuan penelitian mengenai lahan gambut. Penting untuk digarisbawahi bahwa dalam rangka mendorong dan mengembangkan ISPM di Indonesia ada beberapa prinsip yang harus selalu dipegang teguh, yakni dilakukan berdasarkan landscape management, melakukan pelibatan para pihak serta memberikan manfaat bagi lingkungan, masyarakat serta para pihak yang berkepentingan.

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Tujuan

Tujuan dari dialog kebijakan ini adalah untuk mengangkat hasil dan temuan penelitian yang dilakukan oleh ICCC ke tingkat kebijakan, yang selanjutnya diharapkan bisa berpengaruh pada aksi. Untuk itu, salah satu hal yang dilakukan adalah dengan melakukan dialog kebijakan (policy dialogue), termasuk mengenai peatland, untuk mendapatkan masukan tentang penelitian yang sudah dilakukan oleh ICCC. Selain itu, dialog kebijakan ini merupakan salah satu cara untuk mengomunikasikan hasil dan temuan penelitian tadi kepada para pihak.

Integrated Sustainable Peatland Management

7


Output yang Diharapkan

Dialog kebijakan tentang Integrated Sustainable Peatland Management ini dilaksanakan untuk mendapatkan dua output, yakni: • Temuan penelitian dan kerangka Integrated Sustainable Peatland Management (ISPM) terkaji dan terkonfirmasi. • Adanya rekomendasi kebijakan dan penataan institusi bagi ISPM.

8

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Agenda

Hari Pertama (25 Juni 2014) Time 09:00 - 09:30 09:30 - 10:15 10:45 - 12:45

12:45 - 13:45 13:45 - 15:45 15:45 - 16:00

Agenda Registration, breakfast, networking Introduction to dialogue: Farhan Helmy (ICCC) Stock taking on challenges to establish integrated sustainable peatland management ICCC: Reserach findings and assessment on Integrated Sustainable Peatland Management by Dr. Eli Nur Nirmala Sari, Peatland and Peatland Mapping Cluster Coordinator Invited comments Break, lunch, networking In depth discussion Synthesis Day 1 Briefing for Day 2

Hari Kedua (26 Juni 2014) Time 08:45 - 09:15 09:15 - 09:30 09:30 - 13:00

13:00 - 13:30

Agenda Breakfast and networking Overview: CIRCLE Policy Update Question and answer Discussion Wrap-up Closing remarks

Integrated Sustainable Peatland Management

9


Pengantar Dialog dan Pembukaan

Dalam lingkup Climate Change Policy Framework atau Kerangka Kebijakan Perubahan Iklim adalah penting untuk menghubungkan dan mengembangkan tiga hal penting (yakni: aksi, tata kelola dan mekanisme market & nonmarket) dalam rangka mencapai target nasional penurunan emisi gas rumah kaca yang telah ditetapkan pemerintah (Gambar 1). Terkait hal tersebut, pemerintah dalam hal ini Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), memiliki target untuk mencapai tujuan sebagai berikut, 1) Mendukung ilmu pengetahuan (science) yang handal dan kredibel sebagai landasan terbentuknya berbagai skenario yang

tepat terkait perubahan iklim, dan 2) Mendorong terwujudnya berbagai kebijakan (policy) yang mampu menciptakan situasi bagi timbulnya berbagai dialog yang kondusif serta lahirnya kondisi-kondisi yang mendukung (enabling conditions). Selanjutnya, dengan adanya sains dan kebijakan tersebut, DNPI menginginkan muncul dan berkembangnya berbagai bentuk investasi rendah emisi yang berkelanjutan. Terkait dengan pengembangan kebijakan, ICCC mengambil peran pada upaya untuk mendorong science to policy, yakni dengan menyediakan penelitian-penelitian handal yang menyumbang pada pembentukan dan pengembangan

Sumber: Farhan Helmy (DNPI, 2013)

Gambar 1. Kerangka kebijakan perubahan iklim

10

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


kebijakan. Jadi, kebijakan yang diharapkan lahir merupakan kebijakan yang memiliki landasan penelitian yang kuat, yang pada gilirannya akan mendorong investasi-investasi rendah emisi (green investment). Dalm rangka mendorong science to policy, salah satu penelitian yang didukung ICCC adalah mengenai lahan gambut. Mengapa lahan gambut begitu penting untuk terus diteliti? Sebagai informasi, lahan gambut beserta beberapa sektor lain tercatat sebagai penyumbang emisi yang besar di Indonesia. Emisi karbon Indonesia diperkirakan meningkat dari 2.1 Gigaton pada tahun 2005 menjadi 3.3 Gigaton

CO2 pada tahun 2030. Jika sampai tahun 2020 lahan gambut dan LULUCF masih merupakan penyumbang terbesar emisi karbon, maka pada tahun 2030, lahan gambut dan energilah yang menjadi penyumbang terbesar. Jadi untuk masa mendatang, lahan gambut tetap menjadi salah satu penyumbang emisi yang sangat besar di Indonesia. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada Gambar 2. Di samping proyeksi meningkatnya emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor, termasuk lahan gambut, Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sampai dengan 2.3 Gigaton pada tahun 2030.

Abatement Cost Curve 2010

Sumber: Indonesia GHG Abatement Cost Curve, DNPI, 2010.

Gambar 2. Profil emisi gas rumah kaca Indonesia 2005 - 2030

Integrated Sustainable Peatland Management

6

11


Kesempatan untuk pengurangan emisi tersebut ditemui dari berbagai sektor termasuk sektor kehutanan, lahan gambut, pertanian, energi, dan transportasi. Karenanya me njadi penting untuk melakukan berbagai upaya yang bisa mendorong pada aksi-aksi pengurangan emisi dari berbagai pihak, termasuk dari ICCC. Terkait lahan gambut, selain melakukan studi bekerja sama dengan lembaga penelitian, ICCC juga telah membuat portal yang berisi berbagai informasi terkait yang bisa diakses publik. ICCC juga telah membantu pemasangan water logger yang bisa berfungsi sebagai alat monitoring tingginya genangan air gambut dalam rangka pencegahan kebakaran di lahan gambut. Selain itu, ICCC juga telah bekerjasama dengan University of Tokyo untuk melakukan modelling pemantauan ground water level di kawasan lahan gambut.

12

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Intisari Penelitian ICCC Pengantar Aktivitas yang merusak lahan gambut telah menyumbang pada emisi yang sangat besar di Indonesia. Idealnya, lahan gambut tidak dirusak, karena kemampuannya menyimpan karbon yang sangat besar. Jika terganggu atau rusak, maka karbon akan dilepas dan menghasilkan emisi yang besar. Namun kenyataannya, lahan gambut di Indonesia telah banyak mengalami kerusakan. Karena itu, sangatlah penting untuk memperhatikan bagaimana pengelolaan lahan gambut yang seharusnya dilakukan.

Analisis Kesenjangan Penelitian ICCC menunjukkan, banyak hal yang harus menjadi perhatian atau perlu dibenahi terkait penanganan lahan gambut di Indonesia. Jika hal-hal tersebut ditangani, maka pengelolaan lahan gambut bisa menjadi lebih baik. Adapun beberapa kesenjangan tersebut adalah: • Perbedaan pengertian (definisi) dan persepsi yang beragam tentang lahan gambut ditemui di antara para pihak yang berkepentingan, misalnya petani, perusahaan, pemerintah dan masyarakat luas. Perbedaan tersebut mencakup empat hal, yakni lingkungan, sosial, ekonomi dan kelembagaan. • Ketidakakuratan data mengenai lahan gambut. • Masyarakat yang mengelola lahan gambut untuk pertanian subsisten dan perkebunan skala kecil, umumnya menghasilkan produk yang berlimpah, melebihi kebutuhan lokal, namun untuk memproduksinya membutuhkan biaya produksi yang tinggi, sehingga menjadikannya tidak efektif dan efisien.

Integrated Sustainable Peatland Management

• Informasi-informasi teknis terkait pengelolaan dan peruntukan/penggunaan lahan gambut semestinya harus mudah dipahami dan bisa digunakan oleh para pengambil keputusan dan pihak berwenang lainnya. • Kegiatan-kegiatan ekonomi di lahan gambut seharusnya mempertimbangkan hal-hal yang menguntungkan maupun merugikan bagi lahan gambut tersebut. Kegiatan yang terbukti menguntungkan perlu diberikan rewards, sementara yang merugikan perlu diberikan sanksi. • Belum ada kejelasan institusi mana di Indonesia yang seharusnya memiliki tanggung jawab menangani persoalan pengelolaan lahan gambut di tingkat lokal dan nasional.

Pendekatan Strategis ICCC Menyadari tentang pentingnya persoalan lahan gambut yang dihadapi Indonesia, maka ICCC melakukan pendekatan-pendekatan strategis sebagai berikut: • Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan: pertemuan para pakar (expert meeting) dan diskusi terfokus yang dilakukan dalam kelompok (focus group discussion). • Bekerja sama dengan lembaga penelitian untuk melakukan penelitian. • Menyelenggarakan temu wicara (conversation): yakni International Indonesia Peatland Conversation (IIPC). • Menjalin dan mempererat komunikasi denga kementerian-kementerian terkait serta stakeholder kunci dalam rangka memperkuat pengertian dan integrasi antara keduanya.

13


Temuan Penelitian di Katingan dan Pelalawan Untuk kegiatan penelitian tentang lahan gambut, ICCC telah melakukan penelitian di dua lokasi, yakni di Kabupaten Katingan (Kalimantan Tengah) dan Kabupaten Pelalawan (Riau). Dua lokasi ini dipilih karena luasnya lahan gambut yang ada di dua kabupaten tersebut. Katingan memiliki luasan lahan gambut sekitar 38% dari total wilayahnya, sementara Pelalawan sekitar 40%. Dalam waktu dekat, direncanakan akan ada penambahan tiga lokasi baru, sehingga total nantinya akan ada 5 wilayah yang menjadi lokasi kerja penelitian lahan gambut ICCC. Beberapa temuan terkait penelitian yang telah dilakukan di Katingan dan Pelalawan adalah

a) Perbedaan antara peta lahan gambut Pelalawan baru dengan peta lahan gambut WI

berkenaan dengan peta. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk lokasi yang sama, kedalamankedalaman lahan gambut yang ditemukan berbeda dengan kedalaman gambut yang ditunjukkan dalam peta lahan gambut Wetlands International (WI peatland maps). Temuan menarik lainnya adalah saat peta WI dibandingkan dengan peta Kementerian Pertanian. Untuk Kabupaten Pelalawan, wilayah lahan gambut di peta WI lebih luas sebesar 2,693 ha dibandingkan yang ada di peta Kementerian Pertanian (Gambar 3). Namun, untuk Kabupaten Katingan, area lahan gambut di peta Kementerian Pertanian lebih luas sebesar 24,696 ha dibandingkan yang ada di peta WI (Gambar 4).

b) Perbedaan antara peta lahan gambut Pelalawan baru dengan peta lahan gambut Kementerian Pertanian

Gambar 3. Perbedaan antara peta lahan gambut Pelalawan hasil kegiatan ICCC dengan peta lahan gambut Pelalawan oleh WI (a) dan Kementerian Pertanian (b)

14

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


a) Perbedaan antara peta lahan gambut Katingan baru dengan peta lahan gambut WI

b) Perbedaan antara peta lahan gambut Katingan baru dengan peta lahan gambut Kementerian Pertanian

Gambar 4. Perbedaan antara peta lahan gambut Katingan hasil kegiatan ICCC dengan peta lahan gambut Katingan oleh WI (a) dan Kementerian Pertanian (b)

Mengapa peta yang satu berbeda dengan yang lainnya? Perbedaan ini bisa saja terjadi karena proses pengolahan data yang berbeda di kedua lembaga tersebut. Metodologi yang berbeda juga bisa menghasilkan peta yang berbeda-beda. Karena itu diharapkan ada standarisasi peta yang bisa menjadi acuan bagi semua stakeholder. Temuan menarik lainnya dari penelitian ICCC di Pelalawan dan Katingan adalah terkait dengan kegiatan pertanian masyarakat. Umumnya, petani lebih menyukai aktivitas pertanian di tanah mineral atau gambut dangkal. Ini disebabkan

Integrated Sustainable Peatland Management

karena kedua jenis lahan tersebut lebih subur dan mudah dikelola. Sementara untuk gambut dalam diperlukan lebih banyak irigasi dan pengelolaan yang lebih rumit. Dengan kata lain, bertani di tanah mineral dan gambut dangkal akan lebih murah secara biaya dan juga tidak melelahkan secara fisik. Namun, semakin lama ditemui, batas wilayah pertanian masyarakat (agricultural frontiers) semakin merambah maju memasuki wilayah-wilayah gambut dalam. Ini disebabkan semakin berkurangnya tanah mineral dan lahan gambut dangkal yang tersedia untuk pertanian di dua kabupaten tersebut.

15


Hal menarik lainnya yang ditemukan adalah terkait dengan perubahan penggunaan lahan di lahan gambut. Disebabkan makin mendesaknya kebutuhan masyarakat untuk perkebunan skala kecil (small holder), hutan-hutan rawa gambut (peat swap forests) banyak yang dibuka dengan luasan yang cukup signifikan menjadi kebunkebun karet dan sawit. Akibatnya, kanal-kanal barupun dibangun. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan degradasi dan menurunnya tinggi permukaan air di lahan gambut (subsidensi) (Gambar 5).

a) Kabupaten Pelalawan

melakukan pengelolaan lahan gambut yang baik. Bagaimanakah yang disebut baik itu? Jawabannya adalah lahan gambut harus dikelola secara berkelanjutan dan terintegrasi. Inilah yang disebut sebagai Integrated Sustainable Peatland Management (ISPM). Adapun halhal penting yang harus ada dalam ISPM adalah sebagai berikut: • Perlindungan terhadap hutan gambut yang masih utuh. • Pemulihan lahan gambut yang rusak dan

b) Kabupaten Katingan

Gambar 5. LULCC pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan berdasarkan hasil penginderaan jauh

Integrated Sustainable Peatland Management (ISPM) Dari penelitian ICCC di Kabupaten Katingan dan Pelalawan bisa disimpulkan bahwa berbagai aktivitas di lahan gambut telah membuat lahan tersebut rusak/terdegradasi. Karena itu penting untuk mendorong para pihak

16

kering. • Pencegahan kebakaran hutan gambut. • Pembatasan pembukaan/pengembangan ijin baru di lahan gambut. • Pengurangan emisi dari berbagai kegiatan di atas lahan gambut yang sudah dilakukan. • Peningkatan kesadaran tentang pentingnya

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


lahan gambut serta pengembangan kemampuan penelitian mengenai lahan gambut.

Rekomendasi ICCC Adapun rekomendasi yang diberikan ICCC untuk mendorong pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan terintegrasi adalah sebagai berikut: Pengadaan satu peta (one map) lahan gambut yang akurat dan perencanaan spasial yang baik: • Adalah penting untuk menyediakan satu peta

lahan gambut yang terintegrasi, transparan, konsisten, yang mencakup seluruh wilayah gambut Indonesia. Peta tersebut haruslah dihasilkan secara kolaboratif oleh para pihak terkait. Dalam kaitannya dengan hal ini, pengadaan peta lahan gambut yang akurat (1:50.000) sebaiknya dilakukan. Peta lahan gambut juga perlu dilengkapi dengan berbagai informasi penting seperti kematangan gambut, kondisi lahan gambut apakah sudah terdegrasi atau masih utuh dan sebagainya. Sebagai informasi, terkait klasifikasi, ICCC merekomendasikan 10 klasifikasi tutupan lahan gambut yang terangkum pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi tutupan lahan gambut Land cover Primary Peat Swamp Forest

Settlement

Description Intact peat swamp forest which occurs on peatland with no traces of logging tracks, drainage network or the history of forest ďŹ res. It is a tall forest with uneven canopy, and consists of mixed plant species. Logged-over peat swamp forest which occurs on peatland with a history of logging tracks and/or drainage network and trenches. It is a disturbed forest with mixed plant species, and few trees reach DBH 50 cm in this forest type. An open area with low woody vegetation and herbaceous plants which occurs on peatland with a history of drainage network, trenches and/or forest ďŹ res. This type of peatland is typically occupied with ferns, kelakai grasses and shrubs. Monoculture timber and/or pulpwood (acacia) plantations with the existence of tracks and drainage network. This type of forest is typically managed by concessions Monoculture oil palm plantations managed by concessions and/or smallholders with the existence of tracks and drainage network. Mixed tree crop agroforest and monoculture croplands occupied with permanent crops, not under a rotation system. This type of cropland is typically managed by smallholders with or without small-scale drainage network. Agricultural cropland area with or without small-scale drainage systems. This type of land includes rice paddies, vegetables and other food crops. Natural and non-built-up land surface with little or no vegetation cover including burned areas, bare soils and abandoned agricultural lands. House, building and other types of infrastructure

Water Body

River, stream, canal, lake, etc.

Secondary Peat Swamp Forest Peat swamp shrub and grassland Plantation forest Oil palm plantation Crop plantation

Agriculture Bare land

Integrated Sustainable Peatland Management

17


• Perencanaan spasial juga harus diperbaiki dalam rangka melindungi lahan gambut yang masih utuh sehingga kawasan yang bisa dikembangkan hanyalah di atas lahan yang sudah terdegradasi. • Drainase lahan gambut juga harus diatur secara baik dan transparan. • Adalah penting untuk memperbaharui pendekatan pemetaan lahan gambut sehingga peta yang dihasilkan bisa menghasilkan informasi untuk pengelolaan air berdasarkan hidrotopografi-nya. • Pengembangan sistem informasi spasial penting untuk dilakukan dalam rangka mendorong pencapaian ISPM yang baik. Selain itu sistem yang baik akan membantu untuk mempromosikan ISPM serta memberikan pelaporan mengenai emisi gas rumah kaca yang dihasilkan lahan gambut. Perlindungan lahan gambut yang masih utuh: • Dalam rangka mengurangi tekanan ekologis dan meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat konversi lahan gambut, pemerintah perlu melindungi lahan gambut yang masih utuh melalui penerbitan kebijakan yang efektif serta pelibatan multipihak. • Mengkaji kembali kebijakan moratorium. Pengembangan praktek-praktek pengelolaan lahan gambut yang baik yang bisa dijadikan contoh (best practices): • Best practices haruslah berlandaskan sains, diterima secara sosial budaya, sesuai dengan kondisi lingkungan, layak secara finansial

18

• • • • •

dan diambil dari pengalaman-pengalaman di lapangan yang telah dilakukan oleh para ahli dan masyarakat lokal. Perlu dilakukan kontrol terhadap tinggi permukaan air di lahan gambut supaya dasar gambut bisa selalu basah (moist). Lahan gambut juga harus dijaga kondisi permukaannya sehingga bisa mengendalikan temperatur udara dan kelembaban. Batasi penggunaan pupuk dan sejenisnya untuk mengurangi tingkat dekomposisi lahan gambut. Gangguan terhadap lahan gambut sedapat mungkin diminimalisir. Mengubah mindset perlu dilakukan, dari praktek-praktek yang melibatkan tindakan drainase lahan gambut secara besar-besaran ke bentuk-bentuk pengembangan inovasi mata pencaharian yang tidak lagi tergantung pada tindakan-tindakan drainase.

Pencegahan kebakaran lahan gambut: • Pada musim kemarau hampir selalu terjadi kebakaran pada lahan gambut yang terdegradasi dan tidak berhutan. Penyebabnya seringkali karena kegiatan pembersihan lahan (land clearing) untuk tujuan pertanian. Terkadang api disebabkan juga oleh ketidaksengajaan seperti puntung rokok yang dibuang di lahan gambut kering. Karena itu, perlu ditekankan pentingnya pencegahan kebakaran untuk menjamin pengelolaan yang berkelanjutan dan mitigasi emisi gas rumah kaca. • Penggunaan teknologi remote sensing, pemetaan digital dan komunikasi yang cepat

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


akan sangat membantu untuk tindakan prediksi, deteksi dan respon terhadap potensi api dan pencegahan kebakaran. Restorasi ekosistem lahan gambut: • Adalah penting untuk merestorasi lahan gambut yang sudah terdegradasi dalam rangka mengubah trend deforestasi dan hilangnya ekosistem lahan gambut. • Kegiatan-kegiatan restorasi seringkali berdampak secara sosial ekonomi terhadap masyarakat yang hidup di wilayah tersebut. Karenanya restorasi haruslah dilakukan secara terencana dan diimplementasikan melalui pendekatan-pendekatan partisipatif. • Kubah gambut (peat dome) harus selalu dijaga dari segala gangguan karena memiliki fungsi penting untuk menyimpan air di dalamnya. • Membangun buffer area sekurangkurangnyanya 2 km dari kanal terdekat. • Hidrologi lahan gambut perlu direhabilitasi sehingga gambutnya tetap basah sepanjang tahun. Gambut yang basah tidak akan terbakar atau membusuk. Memperkuat koordinasi antar kementerian untuk pengelolaan lahan gambut: • Dalam rangkat mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan berbagai hal terkait haruslah diperkuat. Kebijakan yang mengatur harus ada dan jelas. Koordinasi yang kuat antar intansi harus diwujudkan baik dalam tingkat perencanaan, implementasi dan

Integrated Sustainable Peatland Management

monitoring. Pelibatan stakeholder juga harus dilakukan. Memanfaatkan masukan-masukan ilmiah dalam rangka mengembangkan kebijakan pengelolaan lahan gambut yang baik: • Regulasi haruslah dihasilkan dengan dasar pengetahuan ilmiah. Implementasi dari regulasi inipun haruslah dimonitor. Berbagai bentuk aktivitas ekonomi melalui pertanian tradisional yang dilakukan tanpa drainase haruslah mendapatkan insentif: • Dukungan pemerintah terhadap praktek pertanian tanpa drainase tersebut di atas haruslah diperkuat. Para petani yang terbukti berhasil harus diberikan insentif. Insentif ini bisa dikembangkan juga bagi kegiatan-kegiatan ekonomi non–pertanian dalam rangka mengurangi tekanan terhadap lahan gambut. • ICCC merekomendasikan agar dimulai program restorasi hidrologi dari area kubah gambut. Juga rekomendasi agar sistem pertanian yang mengutamakan komoditi yang tahan pada berbagai kondisi bisa diperkenalkan pada petani sehingga perambahan ke wilayah lahan gambut yang masih utuh bisa dihindarkan.

19


Rangkuman Masukan (Stock Taking)

Masukan penting yang diperoleh dari proses stock taking secara garis besar dapat dikelompokkan dan dirangkum berikut ini: Degradasi lahan gambut: • Konversi lahan gambut secara luas menyumbang pada degradasi lahan gambut. • Selain itu faktor alam juga bisa menjadi pemicu, misalnya kebakaran yang terjadi secara alami akibat musim kemarau. Sistem pengelolaan lahan gambut: • Sistem pengelolaan lahan gambut haruslah terpadu, tidak bisa dilakukan terpisah-pisah. Satu unit hidrologi harus dikelola oleh satu unit management. Untuk ini diperlukan apa yang disebut sebagai one hydrological unit management. • Kesatuan hidrologis tidak hanya mencakup lahan gambut semata, tapi juga harus dipadukan dengan tanah mineral dalam satu bentangan. Pengelolaannya harus terpadu dan tidak bisa dilakukan terpisah. Untuk itu landscape managemet dipandang perlu untuk didorong dan harus melibatkan para pihak yang berkepentingan. Dengan adanya landscape management diharapkan sustainable management bisa terwujud. • Landscape management yang baik haruslah benar secara keilmuan (scientifically correct), diterima secara sosial (socially accepted) dan menghasilkan perubahan yang positif (positive changes).

20

• Semua kegiatan di lahan gambut haruslah berbasis landscape, dan semuanya harus menghasilkan delta plus, yakni emisi yang dikeluarkan harus lebih kecil dari emisi yang diserap dan disimpan. • Sustainability memerlukan tiga pilar, yakni low emission, resources benefit, social inclusive. Ketiganya perlu diintegrasikan dalam pengelolaan lahan gambut yang baik. • Haruslah didorong agar best management practices dalam pengelolaan lahan gambut bisa muncul dan diperbanyak, serta bisa menjadi contoh bagi yang lain. • ISPM merupakan ide yang menarik dan perlu didukung serta dilanjutkan sehingga menjadi best practices di berbagai tempat. • Sustainable plantation forest management perlu diterapkan tidak hanya pada hutan biasa, tapi juga pada lahan gambut. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan tidak bisa dielakkan, karena jika lahan tidak lestari, maka bisnis juga tentunya tidak terjamin. Jadi sustainable plantation forest management akan menjamin business sustainability (keberlangsungan bisnis). • Pengelolaan lahan gambut yang baik haruslah melibatkan masyarakat dan para pihak terkait lainnya. Ke depan perlu didukung bentuk-bentuk kerjasama kolaboratif para pihak di tingkat landscape. Stakeholder harus duduk bersama untuk mendefinisikan apa itu landscape dan membangun kesepahaman bersama.

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Koordinasi dan kelembagaan: • Kurangnya koordinasi telah menimbulkan kesulitan untuk memadukan kerja dan upaya dalam merehabilitasi dan mengelola lahan gambut yang baik. • Untuk itu, perlu segera dilakukan integrasi dan koordinasi antar lembaga dengan mendasarkan diri pada goal yang sama dalam rangka pengelolaan lahan gambut yang baik. • Diharapkan ada instansi khusus yang menjadi koordinator dalam isu pengelolaan lahan gambut ini yang bisa mengkoordinir semua sektor terkait. • Koordinasi juga perlu menegaskan peran dan fungsi masing-masing. • Koordinasi juga harus melibatkan pusat dan daerah. Proses Pembuatan Kebijakan lahan gambut: • Untuk pembenahan kebijakan, perlu didahului oleh regulatory audit, sehingga bisa diketahui regulasi mana yang tumpang tindih, yang harus disempurnakan atau yang harus diadakan karena belum ada. • Proses pembuatan kebijakan yang dilakukan di atas kertas, tanpa pelibatan para pihak, tidak bisa lagi dilakukan sekarang. • Ruang bagi stakeholder harus ada dalam merumuskan kebijakan yang tepat guna. • Penentuan kebijakan lahan gambut, harus melibatkan sektor-sektor terkait, termasuk perusahaan. Pelaku bisnis yang

Integrated Sustainable Peatland Management

• •

• •

terkena dampak kebijakan mengenai lahan gambut, selayaknya diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan. Penentuan kebijakan lahan gambut juga harus memperhatikan unsur masyarakat/ sosial. Peran akademisi sangatlah penting dalam melakukan penelitian-penelitian yang nantinya akan menyumbang pada pertimbangan kebijakan, juga berpengaruh pada praktik-praktik pengelolaan lahan gambut di lapangan. Pengalaman di lapangan penting diperhatikan sebagai masukan dalam proses pembuatan kebijakan. Kebijakan yang dihasilkan haruslah berbasis sains.

Unsur masyarakat: • Definisi kearifan lokal perlu diperjelas oleh ICCC. Selain itu peran serta masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut haruslah ditelaah lebih lanjut. • Pendekatan berbasis manusia harus dilakukan. Karena itu sangatlah penting untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut. • Adat bisa menjadi dasar bagi pengelolaan lahan gambut. • Pengelolaan lahan gambut yang baik harus tidak melupakan livelihood dari masyarakat yang hidup di sekitar kawasan lahan gambut tersebut. • Untuk mengembangkan pengelolaan lahan

21


gambut yang berkelanjutan, livelihood yang sesuai dengan masyarakat setempat dan yang mendukung upaya pemulihan dan kelestarian lahan gambut haruslah didorong dan diperkuat. Insentif: • Insentif untuk mereka yang bisa menjaga dan mengelola lahan gambut dengan baik haruslah diberikan. • Namun, jika satu pihak yang telah dibebani kewajiban dan ia berhasil menunaikannya, tidak perlu diberi insentif karena itu dalam rangka memenuhi kewajiban. Tapi jika satu pihak melakukan sesuatu di luar kewajibannya atau melebihi kewajiban yang telah diharuskan, maka kepada pihak tersebut layak diberikan insentif. • Selain insentif, juga harus ada disinsentif untuk mereka yang melanggar. Peta: • Menanggapi urgensi satu peta atau one map, BIG menjelaskan telah ada instruksi presiden bahwa di Indonesia perlu ada satu peta, baik untuk peta dasar maupun tematik. Ini juga berlaku untuk lahan gambut. • Peta juga perlu mendapat masukan dari masyarakat dalam rangka perbaikan dan penyempurnaannya. • Sedang ada rencana untuk memfasilitasi pemetaan partisipatif agar masyarakat bisa memberikan masukan tentang peta kepada BIG. Dengan demikian diharapkan agar peta yang dihasilkan merupakan peta kolaboratif.

22

• Bagi pihak-pihak yang ingin belajar tentang teknis peta dan pemetaan, bisa mendapatkan pelatihan baik dari BIG mapun beberapa institusi yang menyediakan pelatihan terkait. Sistem informasi: • Pengembangan portal ICCC agar dibuat sinkron dengan BIG. • Jika nanti portal ICCC sudah siap diharapkan agar portal tersebut bisa dihubungkan dengan BIG. • Publik harus bisa mengakses data yang ada pada portal tersebut. • Perlu adanya protokol dan mekanisme untuk sharing data. Kebakaran: • Perlu adanya early warning system untuk pencegahan kebakaran. • Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) khusus fokus pada penanganan kebakaran hutan, sementara untuk pencegahan ada pada instansi lain, yakni Kemenkokesra.

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Policy Update

Policy Update tentang Pencegahan Kebakaran Intisari: Policy update tentang pencegahan kebakaran adalah sebagai berikut: • Presiden memberikan mandat kepada Menkokesra untuk menyusun SOP untuk mencegah kebakaran hutan. Atas dasar mandat tersebut dibentuklah Posnas, yaitu prosedur operasional standar nasional. Posnas ini dijadikan sebagai pedoman nasional untuk memberikan arahan bagi stakeholder dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan. • Framework dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan melingkup pencegahan, keadaaan darurat dan pemulihan. Dalam konteks pencegahan, tindakan-tindakan preventif haruslah dilakukan secara efektif, efisien serta terpadu. • Posnas melibatkan beberapa instansi terkait seperti Kemenhut dan BNPB. Di dalam posnas tersebut ada peran dan kewenangan masing-masing stakeholder. • Adapun penyebab dari kebakaran adalah faktor manusia (yang mengelola) dan faktor iklim (pemicu kebakaran). • Ada tantangan yang ditemui terkait pencegahan kebakaran. Masyarakat kita masih tidak terbiasa dengan pencegahan. Saat kebakaran terjadi, barulah tindakan dilakukan. Padahal sebenarnya harus

Integrated Sustainable Peatland Management

dilakukan upaya-upaya preventif untuk pencegahan. • Regulasi tentang kebakaran hutan juga berbeda-beda. Misalnya ada aturan yang membolehkan masyarakat tradisional untuk membuka lahan dengan cara membakar, tapi ada juga yang ketat melarang pembakaran. Hal seperti ini seringkali membingungkan dalam konteks pencegahan kebakaran dan penegakan hukum. Selain itu, “peluang” tersebut seringkali disalahgunakan oleh mereka, di luar masyarakat tradisional, yang memang bermaksud membuka lahan dengan cara membakar karena dinilai lebih murah dan cepat. Karena itu, regulasi tentang kebakaran juga harus dibenahi dan padu. • Selain itu, penanganan kebakaran, jika sudah terjadi, juga dilakukan berdasarkan pada wilayah administratif, bukan pada wilayah ekologis. Padahal landscape lahan gambut tidak bisa dipisahkan secara administratif. Karena itulah koordinasi harus dibenahi dan diperkuat.

23


Hasil Diskusi: • Kebakaran lahan gambut yang terjadi di Indonesia telah menyumbang emisi karbon yang sangat tinggi. • Kebakaran, selain disebabkan oleh alam, juga disebabkan karena ulah manusia (antrophogenic disaster). Karena itulah unsur manusia menjadi hal yang sangat penting dalam melakuan tindakan preventif pencegahan kebakaran lahan gambut. Kesadaran harus ditingkatkan dan pelibatan masyarakat dalam pencegahan harus diperkuat. • Kapasitas untuk penanggulangan kebakaran masih lemah. First responder di lapangan masih perlu mendapat peningkatan kapasitas. • Kapasitas kelembagaan juga harus dibangun. • Apa yang sudah dibentuk oleh pemerintah, misalnya melalui PORNAS, tidak berhasil dengan baik jika tidak didukung dan dilaksanakan para pihak. Karena itu, pelibatan dan peranserta para pihak sangatlah penting untuk dibangun dan diperkuat. • Penegakan hukum harus dilakukan untuk mereka yang melakukan pembakaran.

24

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Sintesis Hasil Diskusi

Dari paparan hasil penelitian ICCC yang dilanjutkan dengan proses stock-taking serta masukan-masukan penting lainnya, diperoleh kesimpulan bahwa lahan gambut memiliki peran penting karena ekosistemnya yang berbeda. Selain itu, lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon yang tinggi. Namun, berbagai aktivitas manusia, seperti kehutanan, pertanian dan perkebunan, selain memberikan keuntungan ekonomi, juga telah menyebabkan degradasi lahan gambut. Pada gilirannya, emisi karbon yang sangat tinggi terjadi karena pelepasan karbon yang besar oleh gambut yang sudah diintervensi manusia. Karenanya perlu segera didorong upaya-upaya untuk mewujudkan dan mengembangkan pengelolaan lahan gambut berkelanjutan yang terintegrasi. Untuk itu, dilakukan diskusi mendalam di antara para peserta baik pada hari pertama maupun pada hari kedua. Diskusi pendalaman ini didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan panduan sebagai berikut: • Kebijakan yang bagaimana yang harus ada untuk memastikan implementasi ISPM? • Enabling conditions apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan ISPM? Adapun hasil dari diskusi dirangkum berikut ini:

tersebut

Integrated Sustainable Peatland Management

bisa

Prinsip Dalam rangka mendorong dan mengembangkan ISPM ada beberapa prinsip yang harus selalu dipegang teguh, yakni: • Dilakukan berdasarkan landscape management. • Melakukan pelibatan para pihak. • Memberikan manfaat bagi lingkungan, masyarakat serta para pihak yang berkepentingan. Sementara itu, untuk mendorong dan mengembangkan ISPM haruslah didukung oleh hal-hal berikut ini, yakni: kebijakan dan enabling conditions.

Kebijakan Pertanyaan: Kebijakan yang bagaimana yang harus ada untuk memastikan implementasi ISPM? Kebijakan yang harus ada untuk memastikan implementasi ISPM yang baik adalah: • Kebijakan yang harus didukung oleh sains (scientifically correct) dan secara sosial diterima (socially accepted). Untuk dikatakan

25


• •

26

sebagai kebijakan yang sudah scientifically correct, perlu didukung oleh alat, teknologi serta metodologi yang handal. Sementara untuk kebijakan yang secara sosial diterima, haruslah mampu menciptakan manfaat untuk masyarakat dan para pihak. Misalnya, tidak meminggirkan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Terkait hal ini, perlu didorong pengembangan livelihood dari masyarakat yang tinggal di kawasan lahan gambut. Kebijakan yang baik hendaklah yang bersifat inklusif, yang menekankan pelibatan para pihak dalam berbagai aspek dan tingkatan. Kebijakan yang baik haruslah bersumber dari best practices yang ada di masyarakat. Kebijakan itu juga nantinya harus mampu mendorong pengembangan best practices yang lebih luas lagi. Kebijakan tersebut haruslah berdasarkan pada pendekatan landscape management, dengan tetap melihat dan memperhatikan kondisi lokal. Misalkan untuk lokasi yang masih utuh haruslah diperlakukan berbeda dengan lokasi yang banyak memiliki gambut yang sudah terdegradasi; Perlakuan terhadap lahan gambut yang termasuk daerah inti (core) juga harus dibedakan dengan gambut yang bukan di daerah inti. Tahapan perencanaan, implementasi dan monitoring kebijakan haruslah berbasis lokasi, karena kondisi lokasi yang satu dengan yang lainya berbeda.

• Kebijakan yang dihasilkan haruslah tegas, jelas, terpadu, tidak saling tumpang tindih. Untuk itu sebelumnya diperlukan regulatory audit yang baik dan tepat. • Kebijakan yang dilahirkan haruslah dikomunikasikan dengan baik dan jelas kepada para pihak, dari level atas sampai ke bawah. • Kebijakan tersebut juga harus didukung oleh koordinasi yang baik antara nasional, provinsi dan kabupaten. • Jika ada pelanggaran, harus ada penegakan hukum yang jelas dan tegas.

Enabling Conditions Pertanyaan: Enabling conditions apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan ISPM? Enabling conditions tersebut adalah: • Diperlukan leadership yang baik, disertai visi yang jelas, serta dilengkapi kesadaran dan kemauan (awareness and willingness), dan komitmen untuk mewujudkan visi tersebut. • Keterlibatan dan dukungan stakeholder dibutuhkan, misalnya dari unsur akademisi, praktisi bisnis, masyarakat, pemerintah, serta lembaga swadaya masyarakat. Peran dan fungsi para pihak yang terlibat haruslah jelas. Kontribusi masing-masing juga harus ada. • Kelembagaan yang baik haruslah ada, yang

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


• •

dilengkapi oleh organisasi dan manajemen yang baik pula. Kelembagaan ini harus bisa mengatur para pihak yang terlibat beserta peran dan fungsi masing-masing. Sumber daya yang handal perlu dimiliki untuk mewujudkan ISPM yang baik. Regulasi yang mendukung harus ada, yang sebelumnya harus didasarkan pada regulatory audit yang baik. Regulasi yang ada haruslah dikomunikasikan dengan baik dan jelas kepada para pihak dalam berbagai level. Regulasi ini juga harus mencakup penegakan hukum yang jelas dan tegas bagi mereka yang melanggar. ISPM yang baik memerlukan pendanaan dalam rangka mendukung pengembangannya. Pendanaan ini misalnya untuk kebutuhan penelitian, koordinasi, komunikasi, peningkatan kapasitas dan sebagainya. Perlu disediakan skema dan mekanisme insentif dan disinsentif bagi mereka yang dinilai berhasil atau melanggar ISPM. Dukungan dalam berbagai bentuk untuk menunjang keberhasilan ISPM juga diperlukan, misalnya untuk peningkatan kapasitas masyarakat yang tinggal di kawasan gambut dalam pengelolaan lahan gambut yang baik.

Integrated Sustainable Peatland Management

Future Work bagi ICCC Diskusi pendalaman ini juga memberikan beberapa rekomendasi kepada ICCC tentang isu-isu yang harus digali lebih lanjut. Isu-isu tersebut adalah: • Diperlukan minimum requirement sehingga satu pihak bisa dikatakan telah memenuhi ISPM. Karena itu ICCC perlu menentukan minimum requirement tersebut. • ISPM harus dengan baik mempertimbangkan faktor-faktor alam maupun manusia. • ISPM juga harus memiliki target untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

27


Pencapaian Output Kegiatan

Dialog kebijakan tentang Integrated Sustainable Peatland Management ini dilaksanakan untuk mendapatkan dua output, yakni: 1. Temuan penelitian dan kerangka Integrated Sustainable Peatland Management (ISPM) tereview dan terkonfirmasi. 2. Adanya rekomendasi kebijakan dan penataan institusi bagi ISPM. Untuk output 1 hasil-hasil penelitian ICCC dan konsep ISPM telah dipaparkan oleh ICCC pada saat dialog. Dari proses stock taking dan diskusi telah ada masukan-masukan yang bermanfaat, baik yang sifatnya mendukung, mengkonfirmasi maupun memperbaiki. Sementara untuk output 2 telah dihasilkan rekomendasi terkait kebijakan. Untuk penataan institusi juga telah disinggung pada stock taking mengenai koordinasi dan kelembagaan, serta pada enabling conditions. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa output yang ingin dihasilkan melalui dialog kebijakan ini tercapai.

28

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Kesimpulan

Dari dialog kebijakan yang bertemakan “Integrated Sustainable Peatland Management� ini diperoleh kesimpulan bahwa lahan gambut memiliki peran penting karena ekosistemnya yang berbeda. Selain itu, lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon yang tinggi. Namun, berbagai aktivitas manusia, seperti kehutanan, pertanian dan perkebunan, selain memberikan keuntungan ekonomi, juga telah menyumbang pada degradasi lahan gambut. Pada gilirannya, emisi karbon yang tinggi dihasilkan karena terjadi pelepasan karbon yang besar oleh gambut yang sudah diintervensi manusia. Karenanya perlu segera didorong upaya-upaya untuk mewujudkan dan mengembangkan pengelolaan lahan gambut berkelanjutan yang terintegrasi. Dalam rangka pengelolaan lahan gambut yang baik, ICCC mengusulkan perlunya pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan terintegrasi. Berkelanjutan berarti menjamin kelestarian, menekan emisi karbon dan juga tidak melupakan manfaat pengelolaan lahan gambut yang bisa diperoleh manusia. Terintegrasi berarti direncanakan dan dilakukan secara terpadu dan tidak secara sektoral, baik mengenai koordinasi antar instansi yang terlibat, regulasi yang padu dan tidak tumpang tindih, serta keterlibatan para pihak termasuk masyarakat. Integrasi juga harus dilakukan sampai kepada hal-hal penunjang lainnya seperti peta dan proses pemetaan

Integrated Sustainable Peatland Management

yang terpadu (one map), sistem informasi dan komunikasi, sampai kepada upaya-upaya di lapangan baik untuk pencegahan maupun penanganan kebakaran lahan gambut. Untuk itu, ICCC mengusulkan apa yang disebut sebagai Integrated Sustainable Peatland Management. Adapun hal-hal penting yang harus ada dalam ISPM adalah sebagai berikut: perlindungan terhadap hutan gambut yang masih utuh, pemulihan lahan gambut yang rusak dan kering, pencegahan kebakaran hutan gambut, pembatasan pembukaan/pengembangan ijin baru di lahan gambut, pengurangan emisi dari kegiatan-kegiatan di atas lahan gambut yang sudah dilakukan, serta peningkatan kesadaran tentang pentingnya lahan gambut serta pengembangan kemampuan penelitian mengenai lahan gambut. Selain itu, penting untuk disadari bahwa dalam rangka mendorong dan mengembangkan ISPM di Indonesia ada beberapa prinsip yang harus selalu dipegang teguh, yakni dilakukan berdasarkan landscape management, melakukan pelibatan para pihak serta memberikan manfaat bagi lingkungan, masyarakat serta para pihak yang berkepentingan.

29


Referensi DNPI. 2010. Indonesia GHG Abatement Cost Curve. Dewan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta, Indonesia. DNPI. 2013. Integrated Framework of National Appropriate Mitigation Actions (NAMAs). Dewan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta, Indonesia.

30

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan


Indonesia Climate Change Center Gd. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi I 16th. Fl. Jl. M.H. Thamrin 8, Jakarta 10340, Indonesia Tel. +62 21 3190 4635

www.iccc-network.net

Integrated Sustainable Peatland Management

31


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.