IAP Newsletter 1

Page 1

IKATAN AHLI PERENCANAAN INDONESIA

IAP

newsletter IAP

BULETIN IKATAN AHLI PERENCANAAN INDONESIA

EDISI 01 / AGUSTUS 2014

06 Menyambut Kebangkitan Kota Menengah Indonesia

12 Inovasi Kesepakatan dengan Warga di Kota Makassar

20 Kolom: Indonesia Most Livable City Index 2014


DAFTAR ISI 04

Profesi Perencana dan AEC 2015: Suatu Pengantar

06

Menyambut Kebangkitan Kota Menengah Indonesia

12

Inovasi Kesepakatan dengan Warga di Kota Makassar

16

Mengelola Jumlah Penduduk dengan Ruang

17

Poros Maritim Dunia & Tol Laut – Doktrin Politik Joko Widodo yang Erat Kaitannya dengan Ketahanan Ekonomi

18

IFHP Singapore Conference: Inovasi Good Urban Governance

20

Kolom: Most Livable City Index 2014

21

Jadwal & Agenda

PENASIHAT Bernardus Djonoputro Vera Revina Sari PEMIMPIN REDAKSI Adriadi Dimastanto REDAKSI Raja Malem Tarigan Reka Masa Yogie Syahbandar Dea Desita DESAIN Swastomo, DA

DITERBITKAN OLEH

IAP

IKATAN AHLI PERENCANAAN INDONESIA

Gedung IAP Lantai 2 Jl Tambak No 21 Pegangsaan – Jakarta Pusat Tel +62 21 3905067 Fax +62 21 31903240 Web www.iap.or.id Dilarang mengcopy/memperbanyak sebagian ataupun seluruh isi newsletter ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari IAP. Untuk mengunduh newsletter ini, kunjungi website www.iap.or.id

Pertama-tama, saya ingin ucapkan selamat dan penghargaan saya, atas semangat para pengurus dan editor atas terbitnya edisi perdana newsletter kita.

Kalau kita menilik berbagai tantangan yang ada di depan kita, kita bukan hanya dihadapkan pada permasalahan tata ruang semata, namun secara kesuluruhan argumen tentang urbanitas Indonesia, dengan berbagai masalah-masalah penting dan genting yang akan kita harus hadapi sebagai planners. Pembangunan kota sporadis, salah satunya. Sebagai contoh Jakarta. Dalam RTRW Provinsi DKI Jakarta 2030, jelas diamanatkan pertumbuhan kota mengarah ke pusat-pusat pertumbuhan timur dan barat. Namun, tilik laporan yang dikeluarkan oleh Perusahaan-perusahaan Konsultan Property internasional, yang secara gamblang menekankan pertumbuhan sektor komersial dan perkantoran ke arah selatan. Leluasanya konsultan property meng “endorse” pertumbuhan, merupakan potensi konflik lapangan dengan pemerintah dan akan mempengaruhi kewibawaan produk perencanaan. Ini adalah sebuah pertarungan klasik antara rencana dan kapital. Lalu dimana kita bisa berperan? Bagaimana sikap kita? Indonesia akan memasuki puncak era urbanisasi sekaligus pada masa tinggi nya produktivitas. Peluang tercipta nya kemakmuran datang bersamaan dengan risiko tidak terpenuhinya kebutuhan warga. Lebih dari 30 kota-kota kita akan tumbuh diatas 1 juta penduduk, sebuah fenomena yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Bagaimana kita mengusung “sustainability” dalam konteks kekinian Indonesia? Bagaimana kita mengatasi Konflik, yang begitu gamblang ada di depan kita? Potensi konflik ruang menjadi perhatian kita bersama, untuk segera melangkah maju, dan tidak status quo. Langkah-langkah BKPRN perlu mendapatkan masukan dan para perencana harus bahu membahu memberikan jalan keluar inovatif. Potensi konflik karena berkepanjangannya status “holding zone” sangat rentan terhadap penyelewengan. Dalam rangka persiapan pekerjaan besar penyusunan 6.000 lebih RDTR dan aturan zoning diseluruh Indonesia, tentu merupakan tantangan sendiri bagi para perencana. Mulai hari ini, sepanjang sejarah peradaban baru Indonesia, kita memasuki era baru. Walaupun masih cukup banyak propinsi dan kota/kabupaten yang masih berjuang untuk menyusun perda RTRW nya, namun boleh di bilang pekerjaan policy kita sudah tuntas. Kini saat nya kita memasuki era perencanaan detail, zoning regulations. Apakah 3,000 planners kita sudah siap? Bagaimana dengan suplly tenaga urban designers dan planners dalam 5 tahun ke depan? Apakah akan mencukupi kebutuhan kita untuk bertransformasi menuju tahap perencanaan selanjut nya?


Selain menempatkan Sertifikasi IAP sebagai tema utama perjuangan kita ke depan, perencana akan perlu untuk lebih kompetitif di pasar pekerjaan yang semakin kompleks. Seperti kita ketahui bersama, sebentar lagi kita akan menyambut era baru keterbukaan pasar, yang bernama Asean Free Trade. Perencana sebagai salah satu profesi penting akan harus segera bersiap untuk menghadapinya. Nah, apakah kita akan diam saja, dan seluruh sebelas pemain kita akan menjadi penjaga gawang? Saya berprinsip, kita harus jemput bola. Take the lead! Salah satu posisi diplomasi dan negosiasi yang harus kita ambil adalah dengan membawa pusat gravitasi pembahasan dan negosiasi, ada disini, di Indonesia. Dan IAP akan menjadi leading sector nya. Saya berharap teman-teman semua sama optimis nya dengan saya. Perlu saya laporkan bahwa saat ini beberapa draft tentang Mutual Recognition Agreements untuk profesi Perencana sudah beredar di Negara-negara ASEAN. Kami telah mengambil langkah proaktif, dan akan mengumpulkan pra pemimpin Ikatan Ahli Perencanaan di Negara-negara Asean untuk bertemu di Indonesia dalam waktu dekat. Sekali lagi selamat, dan mari bahu membahu membangun IAP. Salam IAP Jaya Bernardus Djonoputro Ketua Umum IAP


INTERNATIONAL NETWORK

PROFESI PERENCANA DAN AEC 2015: SUATU PENGANTAR Andy Simarmata Ketua IAP Bidang Kerjasama Internasional dan Isu Global

4

NEWSLETTER IAP


Tahun 2015 merupakan periode waktu dimana negaranegara anggota ASEAN akan memasuki masa liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja yang dinamakan ASEAN Economy Community (AEC). Salah satu mekanisme untuk memfasilitasi proses tersebut adalah dengan melaksanakan Mutual Recognition Agreements (MRA), khususnya dalam hal mobilisasi layanan profesional. 'MRA merupakan kesepakatan antara negara-negara ASEAN untuk mengakui dan menerima secara bersama-sama beberapa atau semua aspek dari hasil penilaian terhadap para tenaga profesional' (Husaini, 2013). Tenaga ahli profesional yang telah memenuhi persyaratan yang disepakati dalam MRA, selanjutnya akan dapat bekerja dan berpraktek di negara manapun di ASEAN. Dalam bidang jasa konstruksi, terdapat dua jenis profesi yang sudah menyepakati MRA, yaitu Arsitek dan Engineer. Bagaimana dengan profesi perencana kota sendiri? Menurut Nurzamiati, Kabid Kompetensi Konstruksi Bapekon Kementerian PU, tahun 2012 Malaysia penah mengusulkan pembentukan MRA, namun dipandang belum perlu karena tidak semua negara meregulasi bidang ini (Nurzamiati, 2014:11). Walaupun demikian, bidang perencanaan kota sendiri dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) memiliki kode MRA yang telah disiapkan atau central product classification (CPC), yaitu CPC-86741. Sehingga sekarang pertanyaannya, apakah kebutuhan untuk melaksanakan MRA-urban planning services masih belum diperlukan? Setidaknya ada dua isu utama yang perlu dicermati apabila MRA akan dilaksanakan, yaitu (1) mobilitas perencana kota yang telah mendapatkan pengakuan dan penerimaan bersama dari hasil penilaian yang dilakukan diantara negara anggota ASEAN, dan (2) pertukaran pengetahuan dan informasi mengenai keahlian, standar kompetensi dan kualifikasi perencanaan kota. Dalam hal mobilitas perencana kota, setidaknya ada beberapa hal yang kemudian perlu untuk dikaji secara mendalam, yaitu antara lain: a) rasio supply vs demand perencana kota, b) jenjang kualifikasi perencana yang akan disepakati, c) pasar tenaga profesional di perencanaan kota, d) kelembagaan chartered professional planner dan e) kesenjangan billing rate antar negara. Sementara dalam hal pertukaran pengetahuan, hal-hal yang perlu dikaji antara lain a) ruang lingkup pekerjaan perencanaan kota, b) standar kompetensi yang digunakan bersama, dan c) mekanisme penilaian chartered professional planner secara bersama.

Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan pelbagai catatan diatas tadi, IAP seharusnya dapat menata langkahnya secara tepat dalam menyambut AEC 2015 ini. Dengan jumlah tenaga perencana kota terbesar, sekaligus pasar terbesar di ASEAN, IAP tentunya memiliki peran sangat strategis dalam menentukan arah dan bentuk liberalisasi jasa perencanaan kota ini sebagaimana yang telah diamanatkan dalam AFAS melalui mekanisme MRA. Sikap IAP akan sangat ditentukan dari kesiapan dan kecepatan anggotanya dalam meningkatkan daya saing personalnya di tingkat ASEAN. Pelajaran dari MRAArsitektur, dimana pada awalnya hanya 6 orang Arsitek Indonesia yang direkognisi, sementara Arsitek Singapore berjumlah 100-an orang (Suhono, 2011), seharusnya menjadi peringatan dini kepada IAP untuk dapat mempersiapkan peta jalan yang lebih baik. Bagaimana IAP akan menyiapkan peta jalannya? Kirimkan saran/pendapat teman-teman anggota IAP untuk dapat membantu persiapan IAP yang lebih matang melalui email ke hendricus.andy@gmail.com dengan subject: [MRAIAP]... Terima kasih.

NEWSLETTER IAP

5


PERKOTAAN

Menyambut Kebangkitan Kota Menengah Indonesia Dhani M Muttaqin Ketua IAP Bidang Kerjasama Kelembagaan

3 6

NEWSLETTER IAP


Dalam konteks global, dewasa ini terjadi 2 fenomena pergeseran yang sedang terjadi dengan sangat cepat; saking cepatnya banyak sekali pengambil kebijakan yang tidak menyadari pergeseran ini sehingga tidak ada antisipasi yang disiapkan untuk itu. Kedua fenomena pergeseran tersebut yaitu: 1) Global shifting to the east atau lebih lebih populer dengan Kebangkitan Asia. 2) Global shifting to the cities atau lebih kita kenal dengan Urbanisasi

GLOBAL SHIFTING TO THE EAST Asia adalah pusat peradaban dunia sejak zaman peradaban kuno di lembah sungai eufrat-tigris dan kejayaan kekaisaran Persia sejak sekitar tahun 1000 SM sebelum akhirnya sejarah mencatat terjadinya pergeseran pusat peradaban ke dunia barat pasca revolusi industri abad ke 17-18 M. Inggris dan Eropa Barat kemudian menjadi penguasa perekonomian global sampai abad ke 19 sebelum selanjutnya Amerika mengambil alih “kekuasaan� pasca perang dunia ke-2. Kini di abad 21 nampaknya gravitasi ekonomi dan global akan kembali bergeser ke Asia. Pergeseran dari barat ke timur, dari Eropa & Amerika ke Asia merupakan suatu realita geo-ekonomi yang sedang terjadi dan akan berlangsung dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, diproyeksikan sebelum 2050 Asia akan menjadi kekuatan utama ekonomi global, seperti yang dielaborasi secara mendalam oleh Prof. Kishore Mahbubani (The New Asian Hemisphere, 2008), bahwa pergeseran kekuatan global dari barat ke timur adalah suatu hal yang tidak terelakkan.

Dalam proses pergeseran global ini, Indonesia memegang peranan yang sangat strategis, dengan populasi penduduk dan potensi market yang besar (250 juta penduduk), serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Indonesia akan menjadi bagian dari kekuatan utama ekonomi Asia bersama dengan China dan India, setelah sebelumnya Jepang dan Korea Selatan sejak 40 tahun yang lalu telah merubah peta ekonomi global. Terlebih dengan adanya ASEAN Economic Community 2015 dengan total market mencapai 600 juta penduduk. Kondisi ini merupakan sebuah potensi dan peluang untuk leading dalam perkembangan kemajuan regional dan global. Selain peranan yang strategis, Indonesia juga akan mengalami dampak yang sangat besar, termasuk dalam perkembangan kota-kota. Kedekatan dan interaksi ekonomi, teknologi, sosial – budaya yang semakin intensif dengan kota-kota di Asia dan ASEAN akan membawa pengaruh pada perkembangan kota.

NEWSLETTER IAP

4 7


GLOBAL SHIFTING TO CITIES

KONDISI KOTA KITA

Urbanisasi adalah sebuah transformasi dari desa menjadi hidup dengan cara industry (Firman, 2007). Proses urbanisasi secara global tidak hanya terjadi dari aspek jumlah penduduk yang hidup diwilayah perkotaan, tetapi juga dari sisi dominasi ekonomi perkotaan terhadap perekonomian global. Penelitian McKinsey Global Institue (Urban World Report, June, 2012) menunjukan suatu gambaran proyeksi kondisi perkotaan yang cukup mencengangkan pada tahun 2025: • GDP dari 600 kota di dunia akan mencapai US$ 30 T atau mencapai 65% dari total GDP dunia • Dibutuhkan penambahan 85% luas lantai dari bangunan yang ada sekarang • Dibutuhkan penambahan 80 milyar kubik air bersih di kawasan perkotaan • Dibutuhkan US$ 10 T untuk investasi infrastruktur perkotaan

Dua pergeseran global diatas merupakan sebuah kondisi eksternal yang harus kita fahami sebelum kita masuk pada skala internal Indonesia, khususnya dalam konteks menyadari positioning kekinian kondisi kota kita, dimana kita berada dan kemana kita akan menuju.

Proses urbanisasi tentu saja memberikan berbagai kesempatan pada warga untuk memiliki akses terhadap berbagai layanan urban yang memanjakan dan akses terhadap berbagai kesempatan ekonomi, bisnis dan politik yang tidak bisa didapatkan di pedesaan, tetapi disisi lain kegagalan dan keterlambatan memahami pergeseran ini akan berdampak pada timbulnya eksternalitas negatif yang tidak terantisipasi (munculnya permukiman kumuh dan tumbuhnya ekonomi informal, etc) yang telah terjadi di semua kota besar di negara berkembang.

8

NEWSLETTER IAP

Kondisi kota kita berada pada kondisi yang kurang menggembirakan, setidaknya itu yang bisa kita simpulkan secara singkat dari hasil survey Indonesia Most Livable City Index (MLCI) yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) pada tahun 2011. Hampir semua kota besar nasional dipersepsikan oleh warganya berada pada kondisi yang tidak nyaman, terutama untuk aspek fisik, tata kota, lingkungan dan keamanan. INDEX PERSEPSI WARGA TERHADAP KOTANYA

Aspect Physical/Urban design Environment Security & Safety Economy Social & Cultural Transportation Public utilities Public Health Education Facilities

Perception Index (%) 28.63 34.32 37.09 41.84 48.91 49.56 68.18 71.03 72.63

Sumber: Indonesia Most Livable City Index, IAP, 2011


Sementara itu, urbanisasi juga terjadi di Indonesia dalam percepatan yang cukup fantastis. Proporsi penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan saat ini sudah mencapai 53% dan diperkirakan akan mencapai 67.5% pada tahun 2025. GDP kawasan perkotaan diperkirakan akan mencapai 86% pada tahun 2030. (World Bank: Indonesia, The Rise of Metropolitan Region, 2012). Kecepatan urbanisasi mengindikasikan bahwa ukuran kota akan semakin membesar, desa akan mengkota, kota kecil akan menjadi kota menengah, kota menengah akan menjadi kota besar dan kota besar akan menjadi megacity, kota-kota baru akan terbentuk, tersebar di seluruh nusantara. Fokus perkembangan kota akan lebih menyebar tidak hanya terbatas pada kota besar yang ada sekarang saja. Seiring dengan desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah, inisiatif dan kerjasama pembangunan dimungkinkan lebih banyak dilakukan di tingkat daerah (Kota/kabupaten), dan kota kecil – menengah justru akan mengambil peran strategis – vital di masa mendatang. Indikasi ini tercerminkan pada proyeksi pertumbuhan GDP kota yang dilakukan oleh McKinsey Global Institue (The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential, 2012). Dalam laporan itu diproyeksikan bahwa GDP kota kecil dan kota menengah tahun 2010 – 2030 akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan GDP Kota Jakarta.

Pertumbuhan GDP kawasan perkotaan diproyeksikan sebagai berikut: • Large Middlewieghts City (Kota menengah dengan jumlah penduduk 5-10 juta jiwa) akan tumbuh sebesar 9,1%, • Mid-Sized Middleweights City (Kota menengah dengan jumlah penduduk 2-5 juta jiwa) akan tumbuh sebesar 6,9%, • Small Middleweights City (Kota menengah dengan jumlah penduduk 150.000 – 2 juta jiwa) akan tumbuh sebesar 6,3% • sedangkan Kota Jakarta sendiri diproyeksikan akan tumbuh sebesar 5,1%. Yang menarik adalah bahwa share kumulatif GDP terbesar justru akan disumbangkan oleh kota menengah (150 rb – 2 jt penduduk) yaitu sebesar 37% dari GDP nasional jauh diatas share GDP yang diberikan oleh Jakarta (19%). Kondisi ini merupakan sebuah jawaban kontra terhadap mitos yang menyatakan bahwa pusat pertumbuhan Indonesia adalah hanya di Jakarta. Meskipun secara besaran perkapita mungkin tidak terbantahkan bahwa Jakarta adalah pusat dari pertumbuhan dan perputaran ekonomi nasional tapi data diatas memberikan sebuah sudut pandang lain bahwa titik-titik pertumbuhan itu tersebar juga di kota-kota lain dengan besaran yang cukup signifikan secara agregat nasional.

NEWSLETTER IAP

9


90% kota-kota dengan pertumbuhan GDP yang tinggi (>7%) banyak tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kota-kota seperti Batam, Medan, Pekanbaru, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, Ambon dan Sorong merupakan kota-kota dengan tingkat pertumbuhan yang menjanjikan.

MENYAMBUT KEBANGKITAN KOTA MENENGAH INDONESIA Kota kita saat ini adalah sebuah karya dari antisipasi yang terlambat terhadap fenomena urbanisasi yang terjadi dengan cepat, pertumbuhan penduduk kota yang pesat tidak diiringi oleh kecepatan penyediaan infrastruktur dasar dan fasilitas perkotaan lainnya. Seolah masalah selalu selangkah didepan solusi, tidak pernah bisa terselesaikan dengan tuntas. Berkaca pada kondisi tersebut, untuk menyambut pesatnya perkembangan kota kecil-menengah yang sudah didepan mata harus dapat mengambil pelajaran dari perkembangan kota besar, tidak mengulang kesalahan yang sudah terjadi dan selayaknya memperhatikan beberapa hal berikut: 1. 2. 3. 4.

Rencana Kota Sebagai Panglima Mewujudkan Livable City Peranan Strategis Pemimpin Kota Kerjasama Lokal dan Global

10

NEWSLETTER IAP

Rencana Kota Sebagai Panglima Pemahaman terhadap proses urbanisasi sejak tahapan awal perkembangan kota di kota kecil dan menengah merupakan sebuah insight awal bagi para pemimpin kota bahwa rencana pembangunan kota harus disiapkan untuk mengantisipasi pertumbuhan yang terjadi dengan cepat. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus menjadi acuan pembangunan kota pada berbagai sektor pembangunan. RTRW tersebut harus diimplementasikan dan upaya pengendalian rencana kota harus dilaksanakan secara tegas. Pembangunan infrastruktur, fasilitas dan berbagai kebijakan lainnya harus mengantisipasi kebutuhan dalam jangka menengah dan jangka panjang.


Mewujudkan Livable City

PENUTUP

Target untuk menciptakan Livable City difokuskan pada prinsip-prinsip livable city sebagai berikut: 1. Ketersediaan infrastruktur kebutuhan dasar (permukiman, air bersih, listrik) 2. Ketersediaan fasilias umum dan fasilitas sosial (transportasi publik, taman kota, fasilitas kesehatan, fasilitas ibadah) 3. Ketersediaan ruang public untuk berinteraksi 4. Keamanan 5. Mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya 6. Kebersihan dan kesehatan lingkungan

Permasalahan perkembangan kota kecil dan menengah tidak kalah kompleks dibandingkan kota besar, malah pada beberapa kota keadaannya lebih parah yang disebabkan banyaknya pelanggaran dan belum adanya kepastian hukum. Meskipun demikian perkembangan kota kecil dan menengah menyimpan harapan dan optimisme untuk terwujudnya masa depan kawasan perkotaan Indonesia‌ Kota - Kota Indonesia yang livable‌

Peranan Strategis Pemimpin Kota Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah merupakan sebuah berkah dan kesempatan untuk mengoptimalkan inisiatif kepemimpinan lokal terutama dalam kaitannya dengan cepatnya pertumbuhan kota kecil dan menengah yang akan berlangsung. Pemimpin lokal, walikota dan bupati, akan memegang peranan penting dan tidak kalah penting daripada menteri dan presiden. Pemimpin kota tidak dituntut untuk menjadi ideolog pada faham tertentu, tetapi dituntut sangat teknis untuk dapat menyelesaikan permasalahan kota dan berorientasi pada aksi - program nyata. Selama aksi nyatanya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas, selama jalanan bersih, lingkungan asri, bebas macet dan bebas banjir, tidak peduli apa pun ideologi politiknya, dia adalah walikota yang baik.

Bibliography Barber, Benjamin, If Mayors Ruled the World: Dysfunctional Nations, Rising Cities, 2013 Indonesia Association of Planners (IAP), Indonesia Most Livable City Index, 2011 Katherina, Luh Kitty, Fenomena Urbanisasi pada Kota Menengah di Indonesia, 2014 Mahbubani, Kishore, The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East, 2008. McKinsey Global Institute, The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential, 2012 McKinsey Global Institute, Urban World: Cities and The Rise of the Consuming Class, 2012 Muttaqin, Dhani, Jakarta: Diplomatic Capital City, 2012 World Bank, Indonesia, The Rise of Metropolitan Region, 2012

Kerjasama Lokal & Global Dalam lingkup lokal, kolaborasi antar berbagai elemen kota, pemerintah-warga-swasta merupakan keharusan dalam menciptakan keselarasan pembangunan kota yang diinginkan. Pada tingkatan kota prinsip-prinsip demokrasi (bottom up, participatory, good governance, etc) lebih dimungkinkan untuk diterapkan dibandingkan pada tataran pemerintahan yang lebih luas. Kota juga sangat dimungkinkan untuk menjalin kerjasama secara global dengan kota lain ataupun dengan pihak private dalam koridor yang saling menguntungkan. Kolaborasi antar kota ini baik secara formal maupun kultural akan dapat mengakselerasi kemajuan kota dalam hal knowledge sharing, technology & problem solving experiences.

NEWSLETTER IAP

11


PERKOTAAN

Inovasi Kesepakatan dengan Warga di Kota Makassar Bernardus Djonoputro Praktisi Perkotaan dan Ketua Umum IAP

12

NEWSLETTER IAP


Banyak kota di Indonesia senantiasa menyinarkan pesona kekhasan nya, namun pada saat yang bersamaan selalu penuh dengan kontroversi akan menurun nya kualitas hidup dan kenyamanan. Kota-kota seperti Bandung, Medan, Bogor, Jakarta, Surabaya, Makassar berkembang tak ubahnya hanyalah aglomerasi penduduk, sekelompok manusia yang secara bersama mendiami sebidang tanah, membangun tempat tinggal sesuai dengan kebutuhan, selera dan kemampuannya sendiri; dengan sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal, yang pada dasarnya merupakan spillover (limpahan) dari sektor formal. Tidak ada nafas kota yang mencirikan ‘inilah kota tempat tinggal terbaik di Indonesia’ (Most Livable City) dengan segala kenyamanan yang seharusnya dimiliki kota.

Kota dan warga Makassar sedang mengalami suatu proses transisi menuju perubahan-perubahan secara cepat termasuk di bidang ekonomi, pembangunan ruang kota dan wilayah. Pemerintah, perencana, manajemen korporasi dan masyarakat membutuhkan pendekatan baru yang berkaitan dengan paradigma baru dan metode penyelesaian masalah dalam menghadapi dan mengantisipasi perubahanperubahan yang sedang dan akan terjadi serta untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul menyertai. Untuk itu Walikota Makassar Danny Pomanto, mengawali masa tugas nya dengan inovasi berupa penandatangan Citizen Charter, yang ditanda tangani oleh semua dinas dan SKPD terkait di Kota Makassar. Acara resmi dilakukan dihadapan ribuan stakeholder yang berkumpul di Makassar baru-baru ini.

Tantangan utama Makassar adalah kenyataan bahwa perkembangan kota yang “nyaris tanpa rencana” yang berakibat banjir, kriminalitas tinggi, kemacetan, polusi, sampah, kekumuhan, kemiskinan, adalah akibat tidak sinkronnya konsep kemakmuran masyarakat dan penegakan hukum dalam tahapan implentasi produk rencana kota. Penegakan hukum dalam pelaksanaan produk rencana kota melalui instrument Perda RTRW Kota yang seharusnya merupakan koridor dari aktivitas warga masyarakat masih sulit untuk dilaksanakan dengan baik akibat ketidakberdayaan institusi, sistem politik kota yang sangat belum kondusif dan minim kompetensi manajemen kota.

PERENCANAAN KOTA MAKASSAR MENYELURUH Dua school of thoughts yang penting adalah perencanaan berdasarkan substansi dan proses dan perencanaan berlandaskan moral dan tujuan (goals). Pada kedua paham tersebut setiap perencana niscaya harus mempertajam pengertian akan permasalahan atau existing conditions, dan mengangkat ‘public issues’ untuk di pecahkan dalam produk-produk rencana. Jadi para perencana sebenarnya sangat paham bahwa ‘fakta dan analisa permasalahan’ adalah titik awalnya.

NEWSLETTER IAP

13


Selain dua paham pemikiran tersebut ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, bahwa penyelenggara kota perlu memiliki kapasitas perencana serta harus peka terhadap faktor nonteknis yang justru bisa menjadi penentu berjalan atau tidaknya produk rencana. Demikian juga berkembangnya“open society“ akibat perkembangan sistem kapitalis global, menyebabkan nasib suatu negara (sovereign state) tergantung pada arus permodalan dan kebijakan pinjaman dunia. Walikota dan Perencana perlu menyadari bahwa arus pengaruh global sangat menentukan, sehingga sensitivitas dan penguasaan isu-isu seperti ini perlu dibangun.

Langkah yang harus dilakukan adalah melakukan perumusan citizen-citizen charter dalam setiap sisi rencana kota.. Bagaimana hal ini dapat dilakukan ? Para warga hendaknya membangun sebuah kesepakatan dengan penyelenggara kota mengenai visi dan misi kota. Kesepakatan yang dibangun mencakup bagaimana kota dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan kesejahteraan, kualitas hidup, kenyamanan, keamanan dan kepastian hukum serta lingkungan yang terjaga. Citizen Charter adalah pedoman bagi penyelenggaraan kota, yang akan menjadi kompas dalam navigasi arah perkembangan kota dan peleyanan publik.

Yang kedua, adalah pentingnya menata keseimbangan peran pemerintah dan publik. Bagaimana sebaiknya pemerintah daerah berperan dalam menghasilkan produk rencana yang berbasis komunitas dan berorientasi tujuan? Seperti juga dalam sistem perekenomian, pemerintah kota harusnya berperan sebagai fasilitator dan faktor penyeimbang bagi publik. Keseimbangan fungsi kontrol dan perencanaan akan membuahkan sebuah mekanisme pengembangan ruang publik yang pro-publik. Pemerintah dengan sistem politik dan ekonominya, perlu mencari porsi equiribilium (keseimbangan) perannya.

Dibangunnya kesepakatan dengan warga ini pada gilirannya akan menciptakan penyelenggara kota dan perencana yang transparan dan menganut prinsip-prinsip good governance. Kesepakatan warga akan secara otomatis mengikutkan warga dalam semua aspek kehidupan kota. Dalam hal penyusunan rencana kota, keterlibatan warga bukan saja berkenaan dengan sekedar mengetahui, tetapi juga terlibat secara aktif didalam mengawasi pelaksanaannya. Kesepakatan publik dalam perencanaan kota tidak dapat hanya dijamin dengan representasi perwakilan di DPRD, melainkan perlu secara universal mengakomodasi semua lapisan warga di kota tersebut.

KESEPAKATAN DENGAN WARGA Peran pemerintah kota harus berpatokan pada pemenuhan tuntutan publik dan warga kota akan kenyamanan dan kesejahteraan dengan melibatkan masyarakat dalam penataan pemerintah. Pemerintah kota sebagai institusi publik harus mengidentifikasi tujuan, peran dan arah pelayanan publik yang dijabarkan di dalam rencana. Hal ini akan menyebabkan perubahan kearah akuntabilitas institusi publik dari ‘accountability to elected officials to accountability to customers’, dimana pemerintah kota bertanggung jawab kepada warganya. Mekanisme pengawasan masyarakat yang melekat mengarahkan perubahan kekuasan dari ‘top and center’ to ‘the Moment of Truth”, yaitu interaksi antara pemerintah dan warga negara. Pengawasan berjalan pada saat pelayanan publik diberikan kepada masyarakat, sehingga indikator “pengalaman” dan “nilai tambah” yang diterima masyarakat menjadi faktor terpenting dalam mengukur efektifitas, efisiensi dan akuntabilitas pelayanan publik.

14

NEWSLETTER IAP

CITIZEN CHARTER

DAMPAK LINGKUNGAN

SOSIALISASI KE MASYARAKAT

PELAYANAN PUBLIK

PRODUK RENCANA TATA RUANG PERKOTAAN

DESAIN TEKNIS ENGINEERING

DAMPAK SOSIAL


Layaknya perumusan visi dan misi sebuah organisasi atau perusahaan, Kesepakatan Warga atau Citizen Charter adalah panduan dasar untuk semua kebijakan dan strategi pelayanan publik. Dalam praktek nya, Citizen Charter merupakan implementasi dari Standar Pelayanan Minimum. Setiap dinas pelayanan, akan memiliki Standar Pelayanan Minimum, yang dikomunikasi kan secara terbuka baik melalui website atau jalur informasi terbuka lainnya seperti media massa dan media elektronik. Nah, disini, setiap warga kota memilki hak untuk mendapatkan pelayan dan terutama sadar tentang “hak� nya. Citizen charter dibangun secara kolektif bersama warga, pemerintah, perwakilan rakyat dan kalangan LSM, dan harus mampu mengekspresikan filosi kehidupan kota tersebut, sosial-budaya, lingkungan dan ekonomis. Semua kesepakan akan menjadi binding contract antara warga dan pemerintah atau pemberi pelayan publik, dengan tujuan akhir penyelenggaraan pelayanan publik yang transparan dengan tingkat akuntabilitas tinggi. Banyak contoh citizen charter berhasil yang sudah dibagun dibanyak pemerintah kota dunia. Inggris merupakan salah satu negara pelopor yang berhasil. Demikian juga sudah semua negara bagian di India menciptakan Citizen Charter, dan secara terbuka mensosialisasikannya kepada publik.

Tidak ada kata terlambat untuk mulai suatu pembaharuan. Kita tengok beberapa kota kompleks seperti Shanghai, Mumbay, St. Petersburgh, yang secara riil mampu mengekspresikan ciri khasnya sekaligus mencoba untuk memenuhi kebutuhan warganya. Di Inggris dan India, pemerintah daerah membuat citizen charter sebagai pedoman kebijaksanaan dan transparansi tata pamong (governance), dan mempublikasikannya ke publik melalui media-media komunikasi kota, pengumuman negara dan website. Para perencana mampu membangun kota yang penuh refleksi hati nurani perencana dan administratur kotanya, serta merupakan fungsi optimasi dari potensi kota itu sendiri. Inilah kesempatan kita untuk mulai. Nah, peran planner, pendidik, negara, para pengambil keputusan, maupun masyarakat pada gilirannya adalah penentu kualitas kehidupan kota, dan kita perlu sepakat sekarang agar tidak lagi berkutat dalam kemelut ketidak menentuan dan mencegah semakin menurunnya kualitas hidup kita. “Physical development is not a rehearsal with an opportunity to do it correctly at a later time without incurring cost of duplication, new infrastructure and loss of local resources�.

NEWSLETTER IAP

15


PENGEMBANGAN WILAYAH

Mengelola Jumlah Penduduk dengan Ruang Agung MH Dorodjatoen Bidang Advokasi Isu Pengembangan Wilayah PN IAP

Dalam banyak kesempatan, tingginya jumlah penduduk sering dikaitkan dengan beragam masalah yang ada, seperti degradasi lingkungan, kekurangan pangan dan tingginya angka kriminalitas. Jumlah penduduk yang tinggi membutuhkan pangan dalam jumlah yang tinggi pula1. Upaya pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui penambahan lahan pangan baru maupun penggunaan teknologi untuk meningkatkan produksi pangan. Upaya pemenuhan tersebut seringkali tidak mengindahkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga merusak alam2. Tidak hanya urusan pemenuhan pangan, dalam upaya memenuhi kebutuhan lainnya, hal serupa juga seringkali terjadi. Selain itu, tingginya jumlah penduduk juga dianggap memicu kompetisi yang sangat ketat dalam mengakses beragam sumber daya. Salahs satu dampak negatif dari hal tersebut adalah meningkatnya angka kriminalitas. Bagi Negara dengan jumlah populasi terbesar keempat di Dunia3, Indonesia juga dikatakan memiliki berbagai masalah akibat tingginya jumlah penduduk. Pemerintah sendiri tengah mengupayakan sebuah kebijakan terpadu bernama Grand Desain Pembangunan Kependudukan (GPDK) guna menanggulangi permasalahan kelangkaan sumber daya akibat tingginya jumlah penduduk4. Pada tingkat Pemerintah Daerah, dilakukan upaya peningkatan komitmen untuk melakukan revitalisasi program Keluarga Berencana (KB), yang kini dianggap jalan di tempat dengan tidak berubahnya tingkat kelahiran di Indonesia dalam kurun waktu 12 tahun, yaitu sebesar 2,65. Anggaran Negara untuk mendukung program KB pun secara kontinu juga mengalami kenaikan, dari 700 Miliar Rupiah pada tahun 2006 hingga 2,8 Triliun Rupiah di tahun 20146. Dalam hiruk-pikuk kekhawatiran akan tingginya jumlah penduduk, ada hal yang perlu secara proporsional dipertimbangkan. Jumlah penduduk yang tinggi menjadi masalah karena dua sebab: distribusi penduduk yang tidak merata dan akses kepada sumber daya yang tidak seimbang. Kedua hal tersebut, dalam konteks penataan ruang dan wilayah, berkaitan erat dengan lokasi pusat pertumbuhan. Migrasi penduduk dari desa ke kota, dengan segala sebab dan akibatnya, adalah dampak dari tidak meratanya akses kepada sumber daya. 16 3

NEWSLETTER IAP

Sumber daya dipusatkan, atau diambil untuk diolah, di pusat pertumbuhan. Akibatnya, banyak penduduk yang berpindah ke pusat pertumbuhan tersebut. Hasilnya, banyak wilayah yang ditinggalkan penduduknya guna mendapatkan akses sumber daya yang lebih baik di pusat pertumbuhan. Wilayah-wilayah jarang penduduk tentu tidak memiliki nilai keekonomisan bagi penyediaan fasilitas dasar, seperti listrik dan air. Pemerintah harus turun tangan untuk mensubsidi wilayah tersebut agar fasilitas dasar dapat dinikmati oleh penduduk di wilayah yang bukan merupakan pusat pertumbuhan. Kelangkaan sumber daya, jika ditelaah, juga tidak selalu berkorelasi positif dengan tingginya jumlah penduduk. Permintaan penduduk terhadap satu jenis sumber daya sangat bervariatif. Sebagai contoh, penduduk Negara ekonomi maju mengkonsumsi sumber daya alam 10 kali lipat dibandingkan penduduk Negara ekonomi berkembang7&8. Padahal sebagaimana diketahui bersama, bahwa jumlah penduduk di Negara ekonomi berkembang lebih banyak daripada penduduk di Negara ekonomi maju. Ada kecenderungan bahwa semakin maju sebuah komunitas, semakin beragam dan tinggi kebutuhan akan sumber daya, baik alam maupun buatan. Alokasi sumber daya adalah salah satu variabel kunci dalam penataan ruang. Lokasi dengan potensi sumber daya tinggi perlu dijamin aksesnya bagi semua dengan perencanaan dan pemanfaatan ruang yang memadai. Alihalih menjadikan jumlah penduduk sebagai sebab tunggal bagi sekian banyak masalah kependudukan dan lingkungan, kita perlu menjawab tuntas terlebih dahulu persoalan ketimpangan akses terhadap sumber daya dan ketidakmerataan distribusi penduduk. Kedua hal tersebut dapat berkaitan satu sama lain, ataupun berdiri sendirisendiri. Menata ruang adalah kerja untuk mengupayakan akses yang memadai bagi siapapun untuk setiap sumber daya yang tersedia. Ini dilakukan dengan menyebar pusat pertumbuhan dan memastikan masing-masing pusat mendapatkan perhatian yang seimbang dari pemerintah. Akibat dari kegiatan terencana ini adalah pemerataan sumber daya bagi penduduk dan mencegah terjadinya ketimpangan distribusi penduduk.


PENGEMBANGAN WILAYAH

Poros Maritim Dunia & Tol Laut – Doktrin Politik Joko Widodo yang Erat Kaitannya dengan Ketahanan Ekonomi Emil Dardak Wakil Sekjen PN IAP Bidang Governance, Financing & Knowledge Management

Poros Maritim Dunia menjadi doktrin politik luar negeri Capres terpilih Joko Widodo yang turut diprakarsai oleh cendekiawan ilmu strategis muda, Andi Widjajanto, dengan tujuan menjadikan Indonesia pemenang di era pergeseran center of gravity dunia dari Eropa Barat ke Samudera Pasifik. Bahkan untuk mengukuhkan hal ini, Capres terpilih memberikan pidato kemenangannya di atas kapal Phinisi. Sebenarnya di era Presiden SBY, upaya untuk menguatkan kemaritiman Indonesia telah dicoba dengan salah satunya asas cabotage, yang merupakan suatu upaya memberikan prioritas kepada industri perkapalan nasional dalam melayani arus perdagangan domestik. Hal ini turut diperkuat dengan konsep Pendulum Nusantara, atau oleh Pak Joko Widodo disebut sebagai Tol Laut, dimana pelabuhan-pelabuhan besar akan memiliki shuttle service diantara mereka yang memungkinkan economies of scale dan menurunkan biaya transportasi. Saya sendiri melihat Indonesia sebenarnya sangat unik, hampir tidak ada negara di dunia yang mendekati. Setiap pulau besar seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Jawa dan Papua, memiliki ukuran yang setara dengan sebuah negara, sehingga perlu ada suatu strategi untuk masing-masing pulau tersebut. Namun disisi lain, secara strategis dalam perspektif ketahanan nasional, perlu ada unsur perekat dari masing-masing pulau tersebut agar sinergis dalam satu kesatuan. Oleh karena itu, pendekatan tol laut/pendulum nusantara ini harus menjadi perhatian utama pemerintahan mendatang, dimana dengan menggunakan Gravity Model, berkurangnya hambatan konektivitas antara pelabuhan-pelabuhan utama di masing-masing pulau besar akan meningkatkan bangkitan kegiatan ekonomi. Presiden SBY mencanangkan Bitung dan Kuala Tanjung sebagai poros utama atau hub, dan ini logis karena Kuala Tanjung terletak strategis sekali di pintu masuk selat Malaka, sedangkan Bitung adalah salah satu titik paling strategis yang menghadap ke Samudera Pasifik. Namun hingga saat ini, pelabuhan-pelabuhan utama ini bahkan belum terhubung ke kota besar terdekat yaitu Medan dan Manado. Tentunya kita harus memahami bahwa pendekatan yang digunakan adalah trade follow the ship, bukan ship follow the trade, sehingga keberpihakan pemerintah dari segi anggaran menjadi utama dan tidak bisa serta merta mengharapkan swasta dapat mengambil peran leader dalam inisiatif ini.

Tol yang menghubungkan Medan ke Kuala Tanjung, serta Manado ke Bitung, haruslah tersedia, dan harus ada upaya mendorong urbanisasi yang massive dan berdaya saing tinggi ke kota Medan dan Manado untuk mendorong daya saing pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung. Saat ini Medan masih mengandalkan Belawan, namun dari segi kapasitas kota, sudah memiliki potensi kekuatan dengan pendekatan metropolitan Mebidangro (Medan-Binjai-Deli SerdangKaro), namun untuk Manado, justru masih kalah signifikan dibandingkan Makassar dengan pola metropolitan Maminasata (Makasar, Maros, Sungguminasa dan Takalar), selain juga memang secara tradisi berdagang sangat kental mengakar di masyarakat Bugis. Lalu apakah pendekatan ini akan mengkanibalisasi MP3EI? Sejatinya tidak, karena MP3EI justru mendorong perkembangan pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung, dimana mereka menjadi main gateway dari koridor ekonomi di Sumatera dan Sulawesi. Namun demikian, Bitung akan cukup terkendala karena kapasitas secara ekonomi masih jauh lebih rendah dibandingkan Sulawesi bagian selatan. Ini yang masih perlu menjadi kajian, karena preferensi terhadap Bitung jangan sampai menghambat potensi ekonomi yang sudah sangat berkembang di Sulawesi bagian selatan. Ini menjadi pekerjaan rumah tim Presiden terpilih berikutnya untuk mencari suatu pola transisi yang sinergis dan konsisten dalam menjembatani potensi ekonomi di bagian selatan Sulawesi dengan pengembangan Bitung. Bitung mungkin dapat disinergikan dengan perekonomian di pesisir timur Kalimantan, Maluku, dan Papua. Walaupun pendekatannya Maritim, jika konektivitas darat tidak tercapai, maka pelabuhan akan menjadi macan ompong. Kita berpotensi jadi poros maritim jika perekonomian kita sendiri kuat dalam memberikan baseline traffic untuk mencapai economies of scale dalam perkapalan nasional. Oleh karena itu, strategi harus sinergis dan jangka panjang, dengan program terencana 10-20 tahun yang tidak boleh terombang-ambing preferensi politis jangka pendek. Kebijakan ini juga harus bisa diikuti konsisten oleh pemerintah daerah, dan mengakar bahkan di kalangan pengusaha.

NEWSLETTER IAP

17 4


REPORTASE KEGIATAN

IFHP SINGAPORE CONFERENCE: INOVASI GOOD URBAN GOVERNANCE Jumat 30 Mei 2014, International Federation for Housing and Planning (IFHP) menghelat konferensi kedua mereka tahun ini di Singapura dengan tema ‘Good Urban Governance in Integrated Planning: The Key to Success?. Bukan tanpa alasan organisasi internasional tersebut memilih Singapura sebagai tempat dilangsungkannya konferensi ini. Singapura dianggap sebagai salah satu negara yang telah berhasil mengimplementasikan Integrated Planning dengan struktur tata kelola yang yang baik dalam mendukung proses perencanaannya. Tentu saja tidak hanya Singapura yang boleh berbangga dengan keberhasilan pembangunan yang telah dicapainya, berbagai pengalaman pembangunan dan project skala internasional dari berbagai negara dibagi dan didiskusikan dalam konferensi ini dengan harapan bisa memberi inspirasi kalangan praktisi perencanaan yang hadir dalam mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan terkait tata kelola dalam perencanaan tata ruang. Tiga perwakilan Perencana Muda Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) berkesempatan hadir dalam konferensi tersebut. Diawali dengan keynote speech dari CEO of Housing and Development Board Singapura, Cheong Koon Hean, diceritakan bagaimana tata kelola yang baik telah berhasil membuat arah pembangunan Singapura menjadi berkelanjutan. Diawali dengan dibuatnya masterplan dengan jangka waktu perencanaan 50 tahun, Singapura merencanakan pondasi arah pembangunan jangka panjang mereka. Sejalan dengan perencanaan tersebut, berbagai inovasi telah dilakukan Singapura dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan ditengah perkembangan negara tersebut, semisal reklamasi untuk mengatasi kebutuhan lahan, implementasi Electronic Road Pricing (ERP) di beberapa ruas jalan utama, pembangunan deep tunnel untuk keperluan daur ulang air, dan fasilitas pembakaran sampah untuk mengatasi masalah persampahan.

18 3

NEWSLETTER IAP

Herbert Dreiseitl (Director of the Liveable Cities Lab / Rambøll Founder) mengemukakan pentingnya mengintegrasikan Blue-Green Infrastructure bersama dengan Social Infrastructure. Herbert menekankan pentingnya analisis terintegrasi dalam manajemen kota yang mencakup sudut pandang fisik, sosial dan tata kelola. Prinsip dalam mengintegrasikan berbagai sudut pandang tersebut adalah pembangunan skala kecil namun memberikan dampak besar serta melibatkan aspek-aspek multifungsi. Lebih lanjut, beberapa ruang publik multifungsi dicontohkan sebagai bentuk implementasi analisis terintegrasi. Diantara contoh-contoh tersebut adalah bagaimana Bishan Park di Singapura yang memiliki banyak fungsi di dalamnya terbentuk dari Sungai Kalang yang sebelum 2010 memiliki fungsi utama sebagai sungai. Dengan sentuhan bioengineering sungai tersebut tidak lagi sekedar sungai, kini Bishan Park memiliki fungsi lain sebagai tempat bersosialisasi, rekreasi selain juga memiliki fungsi lingkungan. Rekayasa tersebut merupakan inovasi yang dilakukan Singapura demi meningkatkan liveability dari tempattempat publik yang mereka miliki. Sonia Kirby dari Griffith University membagi pengalamannya sebagai planner dalam memberdayakan komunitas. Menurut Sonia keterlibatan komunitas dalam menghidupkan sebuah kawasan amatlah penting, di Brisbane hal tersebut meningkatkan kinerja tata kelola kawasan yang erat kaitannya dengan komunitas. Contoh mudah yang ia kemukakan adalah bagaimana membuat lebih banyak orang datang dan beraktivitas di kawasan CBD ataupun kawasan-kawasan lainnya. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa planner bisa mengambil peranan dalam memberdayakan komunitas, sehingga nilai ruang bertambah. Prinsip kerja planner yang menurutnya penting dalam memberdayakan komunitas antara lain Prohibit, Adapt, Embrace dan Promote.


Bernardus Djonoputro, Ketua IAP Indonesia menyampaikan temuannya tentang Gap dalam perencanaan dan pengembangan kota di Indonesia. Berbagai tantangan terkait capaian penyediaan infrastruktur dan kondisi Indonesia yang rentan terhadap bencana dan perubahan iklim dikemukakan lengkap dengan kebutuhan capaian ideal sesuai kondisi Indonesia saat ini. Gap yang ditemukan sebisa mungkin diatasi dengan melibatkan semua pelaku pembangunan. Beberapa pelajaran yang dalam mengatasi Gap tersebut antara lain pelibatan komunitas dengan lebih intensif, mempererat hubungan kota dan wilayah satu dengan lainnya, kebijakan yang memberi dukungan dan insentif swasta untuk berperan serta dalam pembiayaan infrastruktur, desentralisasi penyediaan infrastruktur untuk memudahkan kontrol dan pembiayaan, model risk-sharing untuk sektor swasta yang lebih realistis dalam penyediaan infrasturktur, perlunya dukungan institusi dalam mendukung public-private partnership.

Alfonso Martinez Cearra dari Bilbao Metropoli-30 memaparkan Revitalisasi Metropolitan Bilbao. Bilbao merupakan kota yang terkenal sebagai kota pelabuhan pada tahun 1980-an, lalu perlahan bertransformasi menjadi kota yang lebih maju dan bahkan mendapatkan penghargaan Lee Kuan Yew World City Prize pada tahun 2010. Dalam proses revitalisasinya Kota Bilbao amat mengandalkan pembiayaan pembangunan dengan skema public-private partnership. Revitalisasi Kota Bilbao menekankan pentingnya pembangunan meeting point, bersifat netral, inovatif dan berorientasi jangka panjang. Beberapa keberhasilan pembangunan dengan skema public-private partnership dalam upaya revitalisasi kota meliputi perluasan pelabuhan, penyediaan transportasi tram, pembangunan museum dan perluasan jaringan kereta metro. Hal yang menarik bagi anggota Metropoli30 adalah munculnya nilai-nilai baru pada kawasan yang dikembangkan berkat adanya inovasi, profesionalisme, penciptaan identitas, peran komunitas dan keterbukaan. Berkat keberhasilan dalam merevitalisasi kawasan tersebut, Bilbao kini kian mantap dengan identitas “The City Where Dreams Come True!�

Jan Gehl dari Gehl Architects menutup konferensi dengan paparan yang konklusif. Paparan dengan judul Cities for People mengemukakan bagaimana tuntutan zaman mengubah paradigma perencanaan mulai dari pandangan modernisme pada 1960 menjadi perencanaan dengan paradigma liveable city, sustainable city dan healthy city. Paradigma modernisme dicirikan dengan bangunanbangunan yang besar, ruang publik yang luas namun hanya sedikit orang yang menikmati ruang publik tersebut. Gehl banyak memberikan sentuhan-sentuhannya pada ruang-ruang publik agar lebih dinikmati oleh masyarakat. Untuk mengubah ruang publik lebih humanis maka Gehl merumuskan 3 faktor utama dalam mendesain tempattempat publik, Protection, Comfort dan Enjoyment. Beberapa karya Gehl dalam mengubah ruang-ruang publik diantaranya adalah di Moscow, Rusia dan Melbourne, Australia Akhirnya dengan inovasi-inovasi dan praktek perencanaan dalam konferensi ini diharapkan dapat membangkitkan dan menularkan semangat para perencana di Indonesia bahwa banyak cara untuk mencapai pembangunan yang lebih baik. Adanya tantangan, tuntutan dan perubahan paradigma sebisa mungkin sudah mulai diadaptasi oleh para perencana wilayah dan kota di Indonesia, sehingga masyarakat dapat hidup dengan nyaman. Hal ini tentu dapat dicapai apabila pemerintah mendukung inovasiinovasi dan meningkatkan kinerja tata kelola pembangunan. (Muhamad Yusuf, Maulita Dwasti, Meyriana Kesuma | Perencana Muda IAP Indonesia)

NEWSLETTER IAP

19 4


KOLOM: MLCI

INDONESIA MOST LIVABLE CITY INDEX 2014 Memasuki dekade kedua abad 21, kota-kota di indonesia mengalami berbagai persoalan yang berujung pada menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Permasalahan lingkungan, sosial, kependudukan, infrastruktur, lapangan kerja, merupakan isu perkotaan yang seringkali bermunculan di ruang publik, baik dalam bentuk media ataupun diseminasi publik. Selain persoalan yang bersifat fisik, kota-kota indonesia juga menghadapai persoalan tata kelola manajemen perkotaan yang tidak efisien. Banyak kota mengalami permasalahan tidak memadainya kualitas tata kelola kawasan perkotaan yang disebabkan oleh minimnya kapasitas kelembagaan dan SDM pengelola kota di indonesia. Dalam rangka turut mewujudkan kondisi kawasan perkotaan yang nyaman, IAP sebagai organisasi profesi di bidang perencanaan wilayah dan kota melaksanakan survey Most Livable City Index (MLCI) yang telah diselenggarakan pada tahun 2009, 2011 dan 2014.

Indeks ini merupakan “Snapshot” yang simpel dan aktual mengenai persepsi warga kota yang menunjukan tingkat kenyamanan sebuah kota berdasarkan persepsi warga yang hidup sehari-hari di kota tersebut. Data diperoleh melalui survey primer yang dilakukan kepada masing-masing warga kota. Index ini menunjukkan persepsi warga kota terhadap kondisi dan layanan perkotaan di masing-masing wilayah. Keberadaan index tidak dimaksudkan untuk melakukan pemeringkatan “kota yang lebih baik”. Index dimaksudkan mengukur kualitas kehidupan warga kota. MLCI dimaksudkan untuk melakukan identifikasi awal faktor-faktor kritis pembangunan pada masing-masing kota (identifying the Hot Spot) berdasarkan persepsi dan impresi warganya.

INDEX LIVABILITY KOTA-KOTA DI INDONESIA TAHUN 2014 (rata-rata: 63,62%)

80.0 69.38

70.0

64.4 60.5

60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0

20 3

NEWSLETTER IAP

63.37

69.3 61.7

71.12 67.39 61.64 61.58 61.67

65.48

64.79 59.53

58.96

62.14 58.55


AGENDA What can be learnt from this process? Beberapa poin temuan pada survey MLCI 2014 ini adalah sebagai berikut: 1. Warga kota menempatkan ekonomi sebagai faktor paling penting untuk kelayakhunian kota bersama dengan kebersihan dan keberadaan fasilitas kesehatan. 2. Terdapat 7 kota yang memiliki nilai indeks kelayak hunian diatas rata-rata nasional; Balikpapan, Solo, Malang, Yogyakarta, Palembang, Makassar dan Bandung 3. Terdapat 4 Kota Metropolitan yang nilai indeksnya dibawah rata-rata nasional yaitu; DKI Jakarta, Semarang, Medan dan Surabaya PEMERINTAH Pemerintah Perlu memberikan perhatian lebih tidak hanya pada aspek hard infrastructure tetapi juga kepada pembangunan quality of life yang ditentukan juga oleh “suasana” kota yang bersifat sosial. MLCI juga dapat dijadikan early warning system terhadap proses pembangunan yang dilaksanakan SEKTOR SWASTA MLCI dapat dijadikan pedoman bagi sektor swasta dalam melakukan Investasi terutama pada kota-kota yang tidak lagi menjadikan aspek kebutuhan dasar sebagai penentu kelayakhunian

Seminar Nasional ASPI. Sustainable and Resilience Cities and Regions. Pekanbaru, 17-18 Oktober 2014. Aula Pasca Sarjana Universitas Islam Riau. Call for Papers. (0812-6610-3935) & (0852-3164-4667) www.uir.ac.id ; seminar_aspi_riau@yahoo.com International Symposium on Landscape and Urban Horticulture . 17 – 22 August 2014. Brisbane, Australia. http://www.ihc2014.org/symposium_28.html 5th International Disaster and Risk Conference IDRC Davos 2014 . 24 – 28 August 2014 . Switzerland . http://www.idrc.info/ Cities of Europe, Cities of the World. 12th International Conference on Urban History. 3 – 6 September 2014. Lisbon, Portugal http://www.eauh2014.fcsh.unl.pt Sustainable City 2014. 23 – 24 September 2014. Siena, Italy. http://www.wessex.ac.uk/city2014 World Class Sustainable Cities Conference (WCSC 6). 23 September 2014. Kuala Lumpur, Malaysia. www.wcsckl.com

PARA PERENCANA KOTA Perencana kota secara aktif memberikan saran kepada pemerintah kota mengenai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup kota. Saran tidak bersifat keteknisan semata tetapi upaya inovatif dan berbagai alternatif berdasarkan “hot spot” yang diidentifikasi dalam MLCI

NEWSLETTER IAP

21 4


3.0

61.5

71.3

71.0

67.3

65.9 59.1

60.5

59.8

55.4

TRANSPORTASI UMUM 90.0

Ketersediaan Angkutan (Rata-rata 66,55 %) Kualitas Angkutan (Rata-rata 59,77 %)

81.9

80.0

75.0

74.8 68.3 67.0

70.0 60.0

58.4

62.3 62.3 57.8

64.4

67.5 63.8

56.6

73.0

58.0

71.0

71.3

67.3

65.9

63.0

61.4

55.7

75.0

61.5

60.3 57.3 57.3 50.0

59.1

59.8

60.5 55.4

54.1 50.7

50.0 40.0

Ketersediaan Angkutan

Kota Balikpapan, Kota Samarinda dan Kota Solo bersama dengan Kota Malang, Kota Palangkaraya, Kota Palembang dan Kota Yogyakarta merupakan kota yang dinilai memiliki aspek penataan kota di atas rata-rata nasional. Kota Palembang merupakan satu-satunya kota metropolitan yang penilaiannya di atas rata-rata nasional. Sementara, aspek penataan kota memerlukan perhatian serius bagi Kota Makassar yang dipersepsikan rendah oleh warganya.

Kualitas Angkutan

30.0

20.0 10.0 0.0

KEAMANAN (rata-rata: 58,58 %) 80.0

75

70.0

60.0

68.3

65.3

68 64.82

61.3

58.7

61.25

58.17 58.75

55.8

54.4

54.25 50

52.50 48.67

50.0

40.88 40.0

30.0

10.0

0.0

KETERSEDIAAN LAPANGAN KERJA (rata-rata: 57,68 %) 80.0

75

70.0 63.3

62.8

61.75

59.5 55.4

56.7

56.9

56.61

56.75

56.25

57.75 53.75 46.62

40.0

30.0

59.00 52.58

50 50.0

Sementara itu, warga Kota Jakarta dan Kota Bogor memandang kemacetan sebagai masalah yang amat serius, yang ditandai dengan rendahnya indeks persepsi terkait kemacetan. Isu ini memerlukan perhatian khusus dari Kepala Daerah di kedua kota ini. Kota Bogor dan Kota Balikpapan yang dinilai memiliki ketersediaan angkutan umum sangat baik (jauh di atas rata-rata nasional), justru dinilai memiliki kualitas pelayanan yang kurang baik (jauh di bawah rata-rata nasional). Kota Samarinda di sisi lain dinilai tidak memiliki ketersediaan angkutan umum yang baik, akan tetapi memiliki kualitas pelayanan yang sangat baik.

20.0

60.0

Data-data ini menunjukan index persepsi masyarakat terhadap kotanya pada berbagai variabel peniaian. Beberapa variabel tersebut adalah kualitas penataan kota, kemacetan, ketersediaan dan kualitas pelayanan transportasi umum, keamanan, dan ketersediaan lapangan kerja.

Sementara Kota Pelembang, Kota Medan, Kota Balikpapan, Kota Jayapura dan Kota Jakarta harus memberi perhatian pada persoalan kriminalitas. Warga mempersepsikan kota-kota tersebut memiliki tingkat kriminalitas yang lebih tinggi dibanding kota-kota lain. Sementara itu terkait kesempatan kerja, Kota Balikpapan, Kota Malang, Kota Solo dan Kota Palangkaraya merupakan kota yang dipersepsikan memiliki ketersediaan lapangan kerja yang tinggi (berada signifikan di atas rata-rata nasional).

20.0

10.0

0.0

22 3

NEWSLETTER IAP


HIGHLIGHT: MOST LIVABLE CITY INDEX 2014 PENATAAN KOTA (rata-rata: 60,68 %) 80.0

75.0

75.0

70.0 70.0

60.0

66.0

54.5

56.0

57.8

66.5

66.0 61.6

60.5

57.3

56.3

53.7

53.0

50.0

56.5

46.0

40.0 30.0 20.0 10.0 0.0

KEMACETAN (rata-rata: 55,90 %) 90.0 78.3

80.0 71.3 70.0 60.5 60.0 52.1 50.0

56.8

55.5 52.8

58.6

57.9

56.8

54.5 50.0

50.3

52.0

53.3

47.3 42.8

40.0

30.0

20.0

10.0

0.0

NEWSLETTER IAP

23 4


Photo Courtesy: Cover: www.luxuryestate.com Back Cover: vl3e.deviantart.com h.6:www.panoramio.com h.12: www.makassarkota.go.id h.13: www.panoramio.com h.19: www.ifhp.org 1 Republika (http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/07/08/n8d oqq2-pertumbuhan-penduduk-dan-ketersedian-pangan-soalserius), diakses 6 Agustus 2014 2 Kompas, (http://sains.kompas.com/read/2013/10/17/1329560/Kendali kan.Penduduk.atau.Korban.Iklim.Akan.Meningkat), diakses 6 Agustus 2014 3 The World Bank, (http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?order=wb api_data_value_2013+wbapi_data_value+wbapi_data_valu e-last&sort=desc), diakses 6 Agustus 2014

4 Kompas (http://nasional.kompas.com/read/2014/01/29/1656015/Pert ambahan.Jumlah.Penduduk.Jadi.Beban.Pemerintah), diakses 6 Agustus 2014 5 Kompas (http://health.kompas.com/read/2014/06/12/1520380/Progra m.KB.Jalan.di.Tempat), diakses 6 Agustus 2014 6 Detik (http://finance.detik.com/read/2014/06/18/144837/2611780/ 4/demi-program-kb-pemerintah-anggarkan-rp-28-triliun), diakses 6 Agustus 2014 7 Overconsumption? Our use of the world’s natural resources, 2009 (http://www.foe.co.uk/sites/default/files/downloads/overconsu mption.pdf), diakses 6 Agustus 2014 8 The Independent (http://www.independent.co.uk/environment/global-resourceconsumption-to-triple-by-2050-un-2284007.html), diakses 6 Agustus 2014

IAP

IKATAN AHLI PERENCANAAN INDONESIA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.