4 minute read
SASTRA CERPEN
SASTRA
HIDUPLAH SEKALIPUN KAU SEBATANG KARA Oleh : Citra Lindiyani
Advertisement
Apa kabar fana? Teruslah hidup atas mau-mu sendiri Kau bukan hamba proletar Yang dimana harus makan dari petisan pecut borjuilla
Bangunlah! Kau bukan kerbau yang dicocok hidungnya Tak perlu merebah amat pada kapital
Hiduplah! Kau tidak boleh mati sebagai subyek liberalis Ragamu demokratis, jiwa mu pancasilais
Bertahanlah! Dimana eksistensimu sebagai idealis? Jika bahkan idemu kau bungkam karena utopis Jika bahkan silat lidahmu kau kerah demi adorasi yang apatis
Berjuanglah! Lakukan kewajibanmu, ambil hakmu Tuhan tidak menciptakan mahkluk secara sia-sia Tajdid nalarmu Ijtihad gerakanmu
SASTRA
ANARKI JENAKA MANUSIA Oleh : Apriyady
Sejenak coba ku gores balada tentang manusia Dimana kini terubah sudah pandang hidupnya Dari yang awalnya menuhani Sang Illahi Robbi Taala Namun berubah menjadi kaum penyembah penghasil lembar kertas dan segumpalan besi saja Hampir tak dapat ku jumpa manusia yang benar manusia Yang ada tingal hanya manusia yang menggadaikan raga menjadi logam mulia Tali kasih telah di ganti jadi tali jaringan bernama media Dan manusia terpedaya sembari tertawa Namun sebenarnya mereka juga sadarnya telah di perbudak sang sumber fana Hilang sudah ragaraga yang bergerak ikhlas demi nilai ibadahnya Hilang sudah nilai derma yang niatnya tanpa niat apaapa Semua terganti dengan gerak raga pengejar dunia Bahkan simpati yang ada hanya sekadar alat penggalang kepentingan semata Dari kepentingan agar tersebut bagai manusia mulia Hingga kepentingan pemuas dehaga akan material harta Sajak ini tertulis untuk setiap diri insani yang merasa Bagi diri dari tuan sang jiwa yang terketuk pintu hatinya Termasuk jadi kaca untuk sang pujangga Mari kembali membenah diri membenah jiwa Agar berfastabiqul khairot bukan hanya kata dalam orasi penentang anarki semata
(Tim Jurnalis Dekombat, 2020)
CERPEN
POST TRUTH
Saat itu pukul 12 siang di abad ke-21 era Reformasi-millenium, peradaban konsumtif yang dipelopori IT sporadis. Lea, seorang jurnalis veteran yang kini memandu secangkir lopi panas kedalam sesapan senyap yang diasapi kepulan sepinggan makan siang yang bersumpit. Aneh memang paduan itu, namun tentu saja tak seaneh label sebagai oknum 'The Government Lies' yang saat ini digandrungi para stakeholdersdi jajaran eksekutif dan legislatif. Sembari menikmati sesaji, Lea menarik keluar smartphone dari balik soket mini milik nya, 'Alangkah indah nya kepragmatisan ini jika dinikmati dengan cara yang tepat,'batinnya. Contack seorang teman lama tiba-tiba muncul dalam netra kelam milik nya. Sona. Sang pemilik nama ini telah lama masif dalam suatu gerakan aktivis yang menentang proaktitas pemerintah yang populis. Sobat lama yang trampil meng-agitasi massa dengan kemolekan diksi yang dilontarkan nya dengan lantang perwira. Hari ini Lea mengontak Sona dengan dalih memperoleh sarat kabar dari sang sobat sembari bertolak kata dengan platform masa lalu. Padahal Lea tahu sendiri, terkandung keinginan semiotik yang dimaksudkan nya demi melampiaskan hasrat keingintahuan nya terhadap Politik Pasca Kebenaran yang terlabeli sebagai “Post Truth.” Setengah jalan menuju akhir hidangan, Sona pun muncul. Cukup eksibel bagi penduduk +62. Pada kebiasaan nya, Sona seringkali melangkahi jadwal yang telah ditentukan. Dan kini, ia kembali melakukan nya, seperti sebuah siklus.
CERPEN
“Sudah lama menunggu?” Tanya Sona seraya menduduki kursi di depan Lea. “Ingin jawaban baru?” Rungut Lea. “Kupikir sebaiknya kunyatakan, maaf kesekian kalinya atas gangguan ini.” Sona menuturkan dengan irama bariton nya yang khas dibarengi riang yang terselip. “Hahaha.. Seperti biasa, berusaha mencari pembenaran daripada kebenaran” Ujar Lea. “Sepertinya aku menangkap sesuatu. Lantas akankah ini menuju Post Truth?” Dengan mengulik buku menu dihadapan nya, Sona sesekali melirik menunggu lawan bicaranya membalas. “Baik, aktivis yang bermata tajam, seperti biasa. Bagaimana kabarmu? Kudengar ada Pergeseran social-politik di ibukota X. Ingin berbagi cerita?” Tanya Lea. Sona usai menyortir menu dan memanggil waitress yang berlalu-lalang melayani pelanggan di jam makan siang yang padat. “Kusimpulkan kau ingin membincangkan dua topik. Lantas, mari lekas berbincang.” Pukul 3 sore menjelang. Perbincangan Lea dan Sona pun berakhir. Seperti periode siang yang dilunturi radar senjahari. Sona meminta diri pamit sebab suatu urusan yang harus diselesaikan nya. Sedangkan Lea menjadi satu-satunya yang tertinggal dengan antisipasi yang masih membekas. Dengan secarik kertas dan pena pualam di genggaman nya, Lea menuangkan residu bincang nya dengan tenang.
“Aku bukanlah pakar, namun aku tahu kepakaran bukanlah suatu kelakar. Aku bukanlah pakar, namun bukan berarti aku tidak bernalar. Aku bukanlah pakar, namun aku adalah pelajar yang tahu bahwa kepakaran telah mati dalam sadar yang teringkar.”
THE ENG