Mundugasm
4. 6. 8. 10. 12. 14. 16.
19. 21. 23. 25. 27.
29. 31. 2
Di Suatu Rumah : di Mundu Maraude Sebuah Permintaan Tentang Kemarau Kasman Tiga Puluh Tujuh Mil ke Utara Catatan Se/engah Hari Kalam Repertoir Sepi Manifes Sajak Cumbu Sendari Kompleks Pekuburan Tentang Ajal Suspens Subuh Seusai Malam Terbius Hakikat Rakyat
Dicky Firmanzah
Anakanak Cikar Di Pucuk Pasar Mundu: Kaki Mundu: Perut Mundu: Kepala Banjir Membahagiakan Kaok Nyawa Merah Si Pesulap Pinus di Pagi Maret Giliran Di Lacuran Tugu Terserah Anda! Terserah Anda!! Bercerita Tentang Pemuda Bercerita Tentang Petua Ajal Doa Timpanogos Kau yang di Tepi Sorga
Indrakult
Di Suatu Rumah : di Mundu Ayah bekerja dan berjudi berangkat pagi pulang dini hari Ibu tiap malam sibuk melayani beberapa laki-laki Aku ditemukan membusuk setelah tiga hari terbungkus selimut di sela-sela onggokan pepakaian kisut di suatu sore yang kalut-marut
Maraude Ketika aku tiba di rumah, Kaki ibu sudah tidak di tempatnya Begitu juga dengan kepala ayah Serba berserakan seperti sampah Aku ambil kantong plastik, Kubungkus rapi lalu kubawa ke pasar Ternyata laku dua puluh ribu rupiah saja
3
Sebuah Permintaan Katakan, Mengapa aku harus berdamai dengan malapetaka Aku ringan dan terbuang Tapi tidak untuk malam ini Tidak saat foto-foto masa kecil berkelebatan Saat wajah ibu datang mencumbui Atau saat ayah menyuruh lari dengan gagah Katakan sekali lagi, Mengapa aku harus berdamai dengan malapetaka Aku ingin dengar dari mulutmu sendiri Tapi jangan malam ini, Aku ingin tubuhku utuh dan untukku sendiri Aku ingin semua bagian tubuhku kau lipat rapi dan letakkan di lemari Aku ingin mereka disana saat ku kembali Entah kapan Dan pesanku satu lagi, Jika aku datang kemari Tolong siapkan meja dengan lilin berdarah Lengkap dengan menu asu kesukaanku Aku suka yang begitu Aku rindu masa-masa itu Saat kita masih ingin saling membunuh
4
Tentang Kemarau Suatu subuh yang nostalgi Terkepul lah asap sampah membumbung tinggi Menyapa lonte-lonte impor Menelusup sela-sela payudara Mengendap di dentingan botol-botol arak dan legitnya lantai musim kemarau Pagi itu kau lewat Masih bau rel kereta api dan sampah-sampah pergumulan sisa tadi malam Di saku jinsmu menyembul bungkus obat kuat lokalan racikan unggulan Lalu, di siang yang jauh dari tenang di kemacetan gembong tebasan Aku menyulut sebatang sejuk mencoba mengusir terik dan kulihat kau lewat lagi kau bawa serta bau deodoran palsu bersamamu Kau mendekat menadah sangu Kurogoh saku-saku Kuberi kau rokok sisaku Kala itu rokok sebatang masih seribu
5
Kasman Kasman sore hari hanya muncul saat gerimis jejadian datang atau saat penjaja korek api batangan dan tembakau basah berkeliaran Naik turun seiring gemerlap lampu kotakota Berjibaku dengan kaserit Bermandikan pualam asal senang Melolong lepas di antara pohonpohon besi dan temaram kasiupan Memang Si Kasman, Begitu datang lalu pulang Menguncup di pangkuan manja perawan yang tak lagi serigala hutan Menelusup ke selasela kasur dan jendela Menunggu hujan untuk kemudian datang menghilang.
Tiga Puluh Tujuh Mil ke Utara Sebelas kala itu telah berlalu Satu untuk semua yang tak pernah utuh Satu menghilang yang lain datang Berbondong-bondong tanpa permisi Seperti himbauan penyakit paru-paru di televisi atau pedagang baju bekas di minggu pagi Berebutan, Antara riuh baju-baju lusuh, pesta di pondok bambu, lowongan pekerjaan di selokan, dan jalan selebar tak karuan Jika aku berita hangat sore hari Maka sekarang adalah lima menit yang lalu Begitu juga dengan kemarin dan hari ini Allegro-appassionato Seperti romansa monalisa dan romeo Tiga puluh tujuh mil ke utara Mungkin aku takkan kembali Dua ribu sembilan ratus dua puluh hari dan aku masih menunggu, Jembatan itu untuk tersambung kembali
7
Catatan Se/engah Hari Sepucat pualam yang tergenggam gamang, dalam selaputnya sore muram mencuri kenangan menggantikan binar-binar senja yang meringkuk menyembah berhala dengan obituari malang yang kian melintang di awang, di teluk, dan di telungkupnya sungai-sungai kota muram mencuri kenangan tentang bianglala yang tak mau diam, tentang kabut yang selalu temaram, tentang perempuan tentang tarian-tariannya yang begitu dalam
8
Kalam Kalam itu diam-diam menghentikan laju metropolitan yang sedang nikmat tergelak sosialita lampu jalan yang kadang muram, kadang terang. Bukan mabuk. Cuma seteguk, namun cukup untuk berpundi-pundi abad ke depan. Pundi-pundi yang takkan habis diratapi malam. Sekelompok pundi-pundi yang hanya akan hampa bila terisi gelak tawa sendiri Mereka asing terdiam mendapati pundi-pundi itu kosong. Mereka ikut kosong. Lalu menangis. Berjamaah. Dan pundi-pundi itu penuh kembali. Namun mereka terlanjur kosong, Tak terdengar lagi tangisnya yang lolong
9
Repertoir Sepi Sepi merangkak diam. Bertengger di derak bambu yang kupilin asal dan kurajut serupa kerpus Sepi tak bertahan lama memang, begitu juga halnya diam. Mereka membuncah dan berbuih. Membias samar. Sepi masih disana. Kini sedetik datang, sedetik ingin dirindukan. Sedetik lagi sebelum diam.
Manifes Saya suka seperti ini. Sedikit basah, mungkin dengan sedikit bercak yang dicetak dengan huruf-huruf bergaris miring. Satu demi satu berjejer, berurutan, berbaris manis berujung logika kultur yang mundur teratur. Kemudian di suatu pagi, di bangun tidur kita yang kesekian kali, saat stop kontak di tengkuk kita dicabut, di piring kita sudah tercetak nisan dengan nama-nama.
10
Sajak Cumbu Sajak cumbu :Untuk F.R.K Sekerjap saja kutinggal berlalu Kau sudah di bulan entah mengapa Bercinta rupanya Terlihat dari bayang-bayang bulan yang kadang timbul kadang tenggelam Pastilah itu siluetmu yang bercumbu mesra Dengan kekasihmu yang purnama sempurna, katamu
Sendari Kutunggu hari-harimu yang tak peluh yang tak lekang oleh waktu bersinggungan nadi dan serumpun kecapi menjelma satu dekapan terpatri Dan Sendari, meneguk buih-buih melarut manja sekali lagi; Nanti, nanti saja! kita belum selarik penyair tua (semoga) kita masih di lekuknya pemuda; sesenggukan di balik lesung pariwara Dan Sendari, terus menari di atas sana
Kompleks Pekuburan Dan tak terelakkan, Segala rupa rupa drama dan kematian yang menyertai. Bagai bertemu keranda yang senang legit kulit manusia Mereka terbakar gelora memburai mensyukuri Aku teriak terpaksa mengamini
12
Tentang Ajal Ada kurun waktu yang tak terengkuh Bahkan untuk jemari yang menjelma dedaunan semi dedaunan semu Sementara tubuh adalah belenggu Usia adalah penjara Bukan pasar Tiada gaduh tiada tawar-menawar Bila tiba di batas ya sudah, tuntas. Amin satu amin semua. Serangkaian hidup satu kali mati Tunai. Harus runut harus impas Tiada garansi, tiada uang kembali Biar iba beribu mangsi beribu bahasa Tak akan menepi yang terlanjur bermuara Hanya tertinggal saksi-saksi kosong melolong bermusafir Di sela-sela sepi kolong padang pasir
Suspens Subuh Ada yang jengah Saat tembok ramai palu godam Saat riuh membuncah dari mulut penyair sampah Saat itu subuh mendua karenanya Mengkhianati kantung kantung mata bertembaga Lidah menjelma belati di letupan debar dan degup Ledakan tak terelakkan Habis sudah rasa diberangus kata kata Lagi Peruntuhan waktu bukan pilihan Mengiba ampunan berujung ketidakpedulian Aku sendiri Merapal duka, mendera dada Sungguh bukan soal aura kedua Bukan juga metafora yang diada-ada Maafkan bila bila tajam yang mengguyur menghujam tanpa pamit tanpa permisi Maafkan rupa rupa api yang tak tahu diri tak tahu peran Aku tahu Ratapan hanya akan berbuah repetisi basi Doa doa apalagi Bertaruhku pada sunyi, yang mendekapmu Pada sepi, yang selalu temanku itu, semoga mendampingi
14
Seusai Malam Saat realita membungkus remang kebisuan, aku tersenyum getir mencoba menyelia bahagia Kamu yang kian berdiri angkuh menemani, menghisap penuh asap-asap pertaruhan yang membunuhmu Lelatu berguguran bak salju Aku sekarat dibawahnya Menungguimu menikmati Tiap-tiap percik yang memupus terik di dada Mungkin kau jelmaan buku-buku tua yang lembar lembarnya menguning tak terbaca Aku menduga relungmu mati Atau semacam tak berdenyut nadi Atau (lagi-lagi) hanya soal babak repetisi yang tak sungkan dan tak tahu diri
15
Terbius Bocah-bocah bersahutan Bersiul sikutan Rupanya sedang ada orkes dangdutan pinggirjalan Sedang usum memang Panggung malam-mingguan Untuk khalayak miskin hiburan Oleh tukang judi yang rebutan kursi Apalagi saat-saat begini Saat musim pilih-pilihan Di taman kota dekat lapangan bola Berjubel orang-orang tak keruan Wujud kolektif kesia-siaan
16
Hakikat Rakyat Kami di desa Kami di kota sering bermabuk tipu-daya Sejak era penguasa berpangkat raja lintah darah yang mensyukuri budaya korupsi adalah prestasi Sampai kini, kami masih mengembik tak berdaya Menuntut hak-hak semu kadaluwarsa Menuntut sama-rata Menuntut utopia Sementara, sebagian warga lagi manja sebagian yang kanak terjajah era informatika sebagian lagi marak bersosialita dan sebagian lainnya sedang rindu-rindunya jaman orba
17
Anakanak Cikar Ah, pagi gilang semarak! Lelarian bocah laki bersedarah Di atas aspal abu bagai Kumbang dengan kakikaki kecilnya, Mereka langgang menang Bernarilah pinggul gasing! Mendesing telanjang meniti kali Aku tua kini memutih berhati iri Menatap matamata cerah lazuardi Yang menatap Kumala di langit pucuk O, doalah maghrib tak mekar Biar pagi terus selusin masa!
Di Pucuk Pasar Suatu kali di balik mata Pernah laki ini melihat Tangis kering bocah bunian Yang kaki tangannya hitam; Pengabdi teguh, budak gergasi. Belia ini duduk memaku tanah, Sandar pada petipeti hitam liat Dalam mata setekun intan.
18
Mundu: Kaki Kakikaki kelabu bebocah pelayang Menyungging buntut benang Di lapang kars telanjang Sama kawan yang mendongak luang Memerihalkan perang layanglayang Disana mengawang: Merahputih persegi di selakang angkasa Berlenggang memunggung matahari Lalu, kakikaki yang bagai loncat tali itu... -Ah kalau saja tak bisa putus; Mereka, pasti, tampak kuasa, -Emak, aku menang ini hari. Sambil ngumbar senyum suluh Berkaleng benang Sumbar menang Meski tapaknya lecet tergerus.
Mundu: Perut Cintaan di Mundu soresore ini Yang berapi sapa dekat air mancur Yang baru lahir kerlapkerlipnya. Seperti Penemue menggairahkan tinta Ke lubanglubang hati mudamudi yang lindur, Dan menceriterakan berahi kenari. Ah betonbeton tegak Muram iri tak berlagak. Lalu lampulampu pada malu Lihat liat perutperut penuh tawa kaku Dan senyum bujang lagi merindu Membayang gemericik air yang merdu.
Mundu: Kepala “Sonokeling berlayu gelap membiru Di bawahnya aku mengangin --Juga di belakang lelah, Masaku lunas terbagi tak berbau. Jangan ragu soal aku dulu Aku memang begitu, Sekarang aku ingin terbaring dingin Melupakan kerjap langit cerah.� Sebarku klimaks; mengaji mimpi Di mudaku yang usai terpintal, Kini mengabu buyar berapi Dalam detik orgasme transendental.
Banjir Membahagiakan Mendung tunggang tindih bergilir lalu jalanan, kampung dan gang banjir saling riuh pikuk bapak emak khawatir kalau jabang bocah pada kintir tak tahunya mereka suraksurak ke hilir. di manamana tai debu muncul karam mengalir, Semua kena air.
Kaok Aku akan membau sibak matahari dari sebuah lubang beludru sangkar petangku dan manusia akan tahu seruakku ke langit putih dengan jelerit parau merah-biruku. 21
Si Pesulap Dibawa kaki ramping ia mendudu pelan Lalui tari kering rumput titian Di sekitar, mantra bersembur menghawa Berputar-bercitra; kabur tak kasat mata, Bersampingan lonjoran rel tua Jemarinya mengapas menggambar tuah; Tentang pesan pada saliraSeperti sajak penyair purwa. Pelagu lalulalang merindu petang, Dari ludah mereka ia menukil larik girang dan jemarinya sekali lagi menitahtitah Pada selembar layar yang bakal dipuja. Sepasang rel tua -- membawanya, Selajur tiangtiang besi kelabu; dilihat pula Pekuran bebangkuan tempat hati gundahSang kesayang pernah rebah-lelah. Merajah pada tongkatnya si Pesulap Mendengarkan rapal roda kereta yang saling kertap; Entah kebohongan pertunjukkan gemerlap Apalagi; tapi mantranya tak bersiap, Hangus sudah gaibnya Tinggal jemarinya bergeser menuah Ke kiri sampai ke kiri lagi untuk saliraSeperti lamun laki pecinta.
22
Dengusdengus bocah sigaret mengelap ingus Dari mereka ia curi khayal hewani tulus Tak bercelah; ia tiupkan lewat bisik halus Akan lembut gading sang kesayang di bangkubangku tirus Bagai ilmunya tergerusBayang badanlah akhirnya lekang berarus Dalam debu peluit laki berseragam kultus, Dan kereta kuat menderap, berterus. Kereta turun, mendorong derap bebunyianYang segera menghambur warna di tirus bangkuan, Layaran surat si Pesulap sirna; ditutup langkahan Manusia - melahirkan pusaran mantramantra pelan, Mantra yang selalu baru untuk salira dan Tidurlah jemarijemarinya, dalam dekap pilar baja seakan Carikcarik berterbangan memberi bentuk lagi nan Halus pula ajaib tentang kesayangan. Secarik-dua jatuh ke tanah Si Pesulap belum lelah menabur tuah, Berteman langkah saling palang Pelunta, Buruh, Tukang Lacur atau Pemukat Berkah. Digantinya baris-garis lanjutnyaBersoal wajah dan dada perempuan saat lusa Kemarin - ia juga lukiskan bekas gincu mereka. Rasanya tak bisa ia bersamar; pasrah.
23
Nyawa Merah Tak mungkin aku mati tua Aku mau cuma mati jaya Dihujani langit bungabunga Sama tebaran cinta mewah Aku melajang mimpimimpi indah Dituangi anggur dada perawan Cina Aku bermantra dan mencipta Mengukir dan menyanyi sajak cinta Tak mungkin-lah aku mati tua Bertungken dan mulai berpinta Melagu nyerah tunggui purnaguna O inilah Bapa, si nyawa merah! 24
Giliran Kau masih mabuk, aku Tahu dari getar lututmu, Kau kancingkan baju Keluar pintu -Sementara esok Akan datang lelaki Entah kau lagi Entah yang kini belok Ke arah minor sorot pagi Yang mulai damai-ramai. Entah pula kakasihmu Pulang kerja dengan kulit hangus, Pula kau yang berdengus Setani dalam seragammu Tak tau beda menindih Atau memaki... Dan masih sprei ini Jua bertempel di Kapuk usang putih Atau temaram lampu api Atau langitlangit spiral Bergelombang penuh hapal, Sesekali melempar debu Pada kilap punggungmu Sewaktu aku sesak plikatKaku akut bernikmat.
Di Lacuran Tugu Lihatlah, perempuan mencinta angkasa malam. ---Embunembun prematur yang menyetubuhi kabut Dan lindur subuh menempa terlalu awal. Simfoni dan mantramantra batal, Carutmarut langkah yang mati atau menyambut, Mengikis kerakkerak nikmat semalam. Pulanglah pecinta, angkasa tak lagi sama. ---Samarnya kian terang benderang dan lapang Mirip rumputan penggembala awanawan Berarak riang perak. Lalu biarkan kawanan Dombamu hilang di padang ilalang; Memacu langkah yang lupa arah. 26
Terserah Anda! Kau kawini laki yang salah seperti penggairah yang gila suka bernikmat lalu lupa cinta sampai lupa kau di rumah. Kau kawini laki yang salah hanya aku ajak bercanda kau pecahkan cermin di meja tapi aku cuna minum dan ketawa. Kau kawini laki yang salah yang jalang banyak tingkah; berhasrat muda merajalela; semisal Dorian bergula dunia.
Terserah Anda!! Kau kawini laki yang salah aku ini budak pendosa bujang dekil pengiba dan pasrah dan akan terus berparah. Kau kawini laki yang salah separohku ini sangat bermasalah laju nasibku tak tentu arah seperti pojok yang tak bercita. Kau kawini laki yang salah separohku lagi lebih bermasalah sebagai pengilaf brata aku si malas tiada bertapa. 27
Bercerita Tentang Pemuda Kau boleh menyambut kereta pagi, Akan kunanti di tungguan batang usia Pesanku: bawakan api lilin dari matari pagi Mungkin sisisisimu kelak penuh dinding bata, Tak seperti rangkuman semak pagar di rumah. Senanglah; peluh ibamu bakal di beri cita, Hanya saja kau perlu tegak tak lupa arah. Aku? Aku tua Purna; habis wibawa Pun asa.
Bercerita Tentang Petua Lajulah, sepatu tua Sisir, sisir retak kerontang Jalan lalumu sendirian, Tak ingatkah kau waktu muda? Tapaktapak tak terkenang Memang dibuang saja; padam. Gerusgerus sol-mu sebagai tanda saja Usang perang dan lalulang di tepian; Ketika raga masih prasasti. Kini arahmu tak berpasti-berhatihati Menunggu karam tuan tuamu melangkah pelan.
28
Ajal Dalam tembok kokoh, bersesak doa Lamun mudanya lama hilang. Kini hanya tipis nyawa telanjang, Tak indahkan lagi mata dunia Yang tinggal seonggok mimpi palsu Temaram; ikut bergoyang dengan retak langitlangit --Dan seperti deras angin tak berbibit Sesalnya meriuh akan harta tak berbasuh. Pernah dilongoknya lukisan cita di jendela: Matahari dan hujan, bebocah dan daun, Berat mendung hitam dan kelelawar turun. Biar lupalah perih pikirnya beriba Diri, tentang salak salah dan warna dosa. Baiklah kini di bukanya pintu ajal Yang menanti menempa; ‘tuk kembali ke asal. Bapak menelungkup bersirna pasrah, Ke lorong tempat puja dan resah.
Timpanogos
Doa Illah, Saya lupa janji; Sekarang lagi saya berhak mati Terhasut dalam dengki Kotor dan berdaki, Dekat mimpimimpi pagi. Pun saya tahu diri Tak punya angan untuk pagi; Saya telah kalah.
30
Ya, kau bisa meraba balik awan, Dekat sekali bagai mengambil topi Di cantolan kayu; ingatlah Bapak dulu, Pastinya kau bakal suka merindu Rumah dan perahuperahu tepi kali: Buat gantinya kau gelinding-kan Jiwamu membarengi gemuruh Bebatu dan remah putih salju Dalam setubuhan yang pilu Nan cepat dengan cecadas biru Sampai jadi nun di bawah sana, Namun kau tahu, aku tahu, kau sudah Berkawan dengan matamu lama, Dan bukan maya yang dilihatnya. Tak mungkin ini kau tukarkan Dengan selarik-lengkung pelangi Atau merah-hitam kakasihmu itu Yang mirip setan-bunian menipumu. Tak butuh-lah keduanya disini, Kerna kau mampir di bait Tuhan. Akan kupasang sayapku. Sebentar lagi tak akan kaku Kakikakimu itu.
Kau yang di Tepi Sorga I
II
Ku tahu rumahrumah Warna biru kuning merah Dengan gadisgadis Cina Berkulit pucat berbibir darah,
Turun dan sambangi aku, Kau oleh tanggalkan sayapmu. Minum! hangatkan dadamu.
Yah! Harum pinggul mereka Bahkan bisa kau rasa Dengan matamu di atas sana. Di kantong gerimismu di Awan, Kau bahkan dengar cerita Tentang aku dan mereka: Di sana enamtujuh orang Berucut acak bertabrakkan Gerimis oranye, seakan Samasama merindu pulang Lewati kelabu pagar Dengan raut samar Lalui jalan, perempatan, Yang malam itu senggang Dirasa oleh hatihati luang Yang berucut acak pelanpelan. Lalu itu tengkuktengkuk lebar Menghilang di jalan noir.
Lihatlah gadigadis Cina, Kau boleh cium dadadada Bergelantungan mereka. Aku akan selalu di sini, Aku tak pergi lagi. Sebaliknya biar aku mimpi: Sayapku yang warnawarni.
SAJAK KOLEKSI
Turut dalam Penyusunan Buku
Sindikasi
Dicky Firmanzah Indrakult
Hypemo.net IReadBooks.net
@Jelajahsenja KudaTerbang.net