15 minute read

Kabar dari binaia

Sekelebat Cerita tentang Negeri Cantik di Kaki Gunung Binaia

Pemandangan indah di Desa Sowalihu, rumah dengan posisi ketinggian tertinggi di Negeri Piliana

Advertisement

Perjalanan menelusuri hutan untuk mencari keindahan Air Terjun Kohua di Negeri Piliana

Ya, orang timur yang ku jumpai di Makassar, Ambon, Masohi, Tehoru, hingga Piliana amatlah bersahabat. Bahkan di tanah mereka sendiri, mereka jarang sekali berbicara keras dan kasar apabila tidak diperlukan, layaknya penduduk-penduduk di Jogja tempat aku berdomisili. Aku, bersama Alam, Fahmi, Kresna, Evan, Alfira, Eni, Mike, Deswita, Sholeh, Toto, Sita, dan Nabila tergabung bersama dalam tim ekspedisi Mapagama, UGM Research Expedition II dengan tema “Binaia dalam Tradisi dan Modernisasi” yang berlokasi di Negeri Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.

“Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang!” Seru Bang William di Kantor Balai Taman Nasional Manusela. Bang William merupakan pengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi) di Taman Nasional Manusela yang merupakan salah satu orang yang menjadi narahubung kami dalam persiapan pralapangan sebelumnya. Awalnya kami mengira Bang William ini adalah orang yang sangat kaku dan tegas, namun saat berjumpa langsung, betapa hebatnya ia mencairkan suasana dengan keluwesannya.

“Dari mana saja kalian?” Tanya Bang William kepada kami. Kami pun menjelaskan bahwa perjalanan kami memakan waktu yang panjang, dimulai dari Bandara Adisutjipto Yogyakarta, kami mengalami delay penerbangan hampir 1 jam, lalu kami harus transit di Makassar selama 8 jam. Setelah itu, kami masih membutuhkan satu hari lagi untuk memenuhi kebutuhan logistik dan menunggu jadwal kapal cepat yang akan berangkat keesokan harinya. Belum lagi ternyata perjalanan kapal cepat dari Amahai hingga bersandar labuhnya di Masohi membutuhkan waktu sehingga hari sudah terlewat siang dan kami tiba sesudah jam kantor usai. Oleh sebab itu, kami semua terlambat dan beruntung Bang William sudah tahu bagaimana kondisi untuk mencapai Masohi.

Selagi Simaksi diurus, kami melakukan presentasi kepada jajaran pengurus Balai Taman Nasional Manusela mengenai kegiatan-kegiatan yang akan kami lakukan di Negeri Piliana dan kawasan Taman Nasional Manusela. Kegiatan yang kami rencanakan cukup banyak, di antaranya adalah penelitian, pendakian gunung, dan penelusuran gua. Ketika mempresentasikan topik yang akan kami bawa, ternyata jajaran pengurus Balai Taman Nasional sangat tertarik dengan kegiatan kami sehingga kami juga diajak membantu untuk melakukan penelitian mereka tentang keadaan di Negeri Piliana. Kami baru tahu, bahwa ternyata kelompok kami adalah yang pertama kali melakukan penelitian di sana. “Bang, ini ada yang salah namanya,” kata Evan saat memeriksa simaksi yang diberikan Bang William. Ternyata namaku yang seharusnya tercantum Rachmat Willy Adam ditulis menjadi Erwin Effendi, S.H., M.H. yang merupakan nama pegawai Disdukcasip Kota Bekasi yang tertera di surat keterangan pengganti KTP milikku. Ya, aku masih memakai surat keterangan pengganti KTP karena aku tidak sempat untuk mengurusnya. Beruntung Bang William menoleransi, sebab menurutnya kehilangan KTP bukan berarti kehilangan identitas. Bang William menjawab, “Ya sudah tidak apa, yang penting sudah izin to? Tidak apa-apa. Sampaikan saja nanti ke Bapa raja di sana. Oke?” Aku pun menerima saja karena itu bukan masalah besar bagiku. Setelah simaksi selesai dibuat, kami pun berfoto dan berpamitan untuk langsung bertolak ke Negeri Piliana menggunakan kendaraan yang sudah kami pesan sebelumnya. Di perjalanan, kami dititipkan untuk memberikan salinan simaksi ke kantor seksi dan kantor resor taman nasional, ditambah untuk puskesmas dan Polsek Tehoru. Kami yang memang berencana tidak terlalu terburu-buru akhirnya menyempatkan diri untuk berbelanja keperluan tim dan pribadi yang kurang untuk dibawa ke Negeri Piliana, namun kegiatan belanja ini memakan waktu cukup lama, sehingga waktu kami tiba di kantor seksi dan kantor resor sudah menjelang malam. Perjalanan pun menjadi terasa lebih sulit ditambah medan akses jalan menuju Negeri Piliana yang ternyata tidak cukup ramah terhadap mobil yang kami tumpangi. Aku yang sebenarnya tidak percaya jalur tersebut dapat dilewati mobil sejenis Avanza seperti mobil yang kami gunakan ini menyaksikan sendiri susah payahnya sopir yang mengendarai mobilnya itu menerjang rintangan. Dugaanku pun terbukti, trek tersebut memakan korban. Salah satu kendaraan yang kami tumpangi mengalami bengkok di rangka rodanya saat di perjalanan sehingga terpaksa kembali. Beruntung, kami yang terkendala dengan transportasi di perjalanan ini merasa tertolong karena dari pihak taman nasional datang membantu dengan kendaraan yang cukup mumpuni menerjang trek terjal tersebut.

Awalnya aku mengira Negeri Piliana adalah desa yang masih primitif serta kaya akan budaya dan adat istiadat. Namun setelah kulihat langsung, desa ini tidaklah tertinggal, desa ini sudah menerima modernisasi dan tetap memiliki adat istiadat, dilihat dari adanya upacara adat yang diselenggarakan saat sebelum pendakian Gunung Binaia oleh para pendaki yang datang. Aku pun merasa tema “Binaia dalam Tradisi dan Modernisasi” memang cocok di ekspedisi kali ini.

Negeri Piliana merupakan batasan penelitian kami dalam bidang abiotik, biotik, dan kultur. Hal pertama yang kami lakukan di sini adalah observasi untuk mengenal desa dan beramah-tamah dengan warga sembari sedikit mensosialisasikan tujuan kedatangan kami.

Kesan pertamaku terhadap masyarakat Piliana adalah “waw!” layaknya yang biasa dilontarkan oleh Bapa Samjar, salah satu warga yang sangat dekat dan akrab dengan kami. Ia juga yang menemani teman-teman tim gunung hutan mendaki Gunung Binaia. Masyarakat Piliana sangatlah ramah, sangat terbuka, dan sangat baik. Bagaimana tidak, di rumah tempat kami tinggal saja kami selalu dilayani dan banyak dibantu, disediakan makan, dan dianggap seperti anak sendiri. Kami pun sangat senang bermain dengan anak-anak dari Mama Melda yang bernama Wati, Apong, Eki, dan Engel. Mereka sangat jenaka, sedikit nakal, tetapi pintar. Hari-hari kami banyak dihabiskan dengan mereka, termasuk dalam kegiatan penelitian kami. Mereka banyak membantu kami menemani observasi, mencari rumah, mencari narasumber, dan tentunya sembari bermain-main. Kami begitu terbantu dengan kehadiran mereka dan mereka pun senang dengan kehadiran kami. Kebetulan juga, mereka sedang libur sekolah, oleh sebab itulah mereka selalu menemani kami ke sana ke mari.

Perjalanan panjang menuju titik mulut gua ditemani oleh anak-anak tangguh dan bapa adat Negeri Piliana.

Tim sedang berbincang sekaligus melakukan wawancara penelitian dengan penduduk setempat.

Kami melakukan penelitian selama 2 minggu lamanya dan yang tidak diduga adalah kegiatan kami berlangsung lebih cepat dari yang ditargetkan, yaitu selama 3 minggu. Aku mengakui semangatku di awal kegiatan masih cukup besar dan sempat mencapai jenuh di pertengahan dan kembali bersemangat ketika menyadari hanya tinggal sedikit tambahan data lagi.

Toto sedang melakukan pengukuran di Danau Ninivala untuk melengkapi data penelitian analisis geosite dan geomorphosite (kiri). Alam, Eni, dan Alfira sedang menunggu komunikasi dengan tim gunung yang sedang turun dari Gunung Binaiya (kanan)

24 TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020 Di kegiatan ekspedisi kali ini, aku berperan sebagai seksi konsumsi. Aku yang pertama kali menjadi seksi konsumsi sebenarnya masih merasa ragu dengan diriku sendiri akan tanggung jawab mengurusi segala keperluan makan dan minum tim, apalagi saat tahu pentingnya pemenuhan gizi tim. Aku harus menyesuaikan skenario yang telah dibuat dengan situasi dan kondisi di lapangan dan di permulaan kegiatan aku kebingungan serta sering kali terlupa mengurusi konsumsi. Aku baru menyadari secara penuh bagaimana tugas dan fungsi seksi konsumsi setelah beberapa minggu berjuang mencoba memahami sambil praktik langsung di kegiatan ini. Itu pun berkat hasil evaluasi dan rekomendasi harian yang isinya merupakan keluh kesah tim akan hasil kerja seksi konsumsi.

Di kegiatan ini juga, aku berperan sebagai koordinator penelitian kultur. Aku mengoordinisasi dua penelitian dengan topik berjudul Kerentanan Sosial Ekonomi Rumah Tangga Miskin Sekitar Hutan di Negeri Piliana serta Sistem Kepemimpinan dan Adat di Negeri Piliana. Topik yang kami angkat ini sebenarnya termasuk dalam golongan yang ringan, tetapi sedikit rumit dan tidak mudah dalam pengerjaannya. Terbukti di salah satu topik ini, kami masih harus konsultasi dengan dosen pembimbing di tengah-tengah kegiatan penelitian. Selain melakukan penelitian, kami juga belajar hal-hal baru yang tidak jauh dari kegiatan-kegiatan alam. Kami menjadi lebih dekat dengan warga sambil membantu kegiatan mereka, seperti memasak bersama sembari mengobrol, kemudian pergi ke kebun. Kami semakin memperkaya pengetahuan kami tentang bagaimana mengolah sagu secara langsung. Kendala dan hambatan selama kegiatan kami di Negeri Piliana tidaklah sedikit. Namun, hal itu merupakan tantangan yang harus kami nikmati di sana.

Kami yang merupakan peneliti muda amatir ini merasa banyak diajari oleh mereka, seperti halnya mereka seakan-akan mengerti kebutuhan kami dalam kegiatan penelitian. Kami yang terkendala dalam pertanyaan usia kepada responden sangat terbantu oleh Bapak Yoris yang baru saja mengurusi pemilihan umum kepala daerah dengan meminjamkan dokumen-dokumen yang ia punya. Masyarakat Negeri Piliana terbilang sulit mengingat atau bahkan lupa dengan tanggal kelahiran dan umur mereka sendiri, ada yang harus melihat KTP, ada pula yang masih belum memiliki KTP sehingga ia hanya menerka-nerka usianya. Lucunya, dari beberapa responden banyak yang salah memberikan informasi mengenai usia mereka setelah dicocokkan dengan data yang diberikan oleh Bapa Yoris.

Suka duka kami dalam penelitian sangatlah beragam. Tim penelitian lain harus pergi ke air terjun, tebing, dan sungai yang aksesnya sangat sulit, tidak terjangkau alat transporasi, dan ada beberapa yang seharusnya menggunakan pengaman. Di lain sisi, air terjun, tebing, dan sungai yang mereka datangi, menyimpan keindahan alam yang begitu mempesona. Air Terjun Kohua, memiliki air yang berwarna jernih kebiruan, dengan debitnya yang besar dan deras, serta suara gemuruhnya yang mendamaikan suasana. Suara air terjun ini sangat keras walaupun tidak terlalu tinggi. Kemudian Tebing Makariki, kondisinya hampir menyerupai Air Terjun Kohua di mana akses menuju lokasi terbilang cukup sulit dan tidak terjangkau transportasi. Tebing ini merupakan tebing dengan struktur batuan gamping yang terdapat di tepi Sungai Makariki yang terlihat sangat kokoh dan indah. Selanjutnya, tepat di tempat tebing itu berada terdapat Sungai Makariki juga termasuk dalam objek penelitian. Sungai ini sama halnya juga dengan Air Terjun Kohua, memiliki air yang berwarna jernih kebiruan dengan arus yang sedikit deras karena debit airnya yang tinggi.

Hal yang paling unik di Negeri Piliana adalah adalah Mata Air Ninifala. Mengapa kami menyebutnya unik? Dari awal kami datang, warga Piliana sudah langsung menyarankan kami untuk singgah di Kali Jodoh, sebutan lain untuk Mata Air Ninifala itu sendiri. Air di mata air tersebut berwarna jernih kebiruan, dengan debit air yang melimpah dan berasal dari aliran sungai bawah tanah yang meluap ke permukaan. Warna air yang putih kebiruan ini ditimbulkan oleh adanya zat asam karbonat atau H2CO3 yang berasal dari pelarutan kapur di sungai bawah tanah. Kami dengan

anak-anak Negeri Piliana sangat sering bermain bersama di Kali Jodoh ini. Asal-usul nama Kali Jodoh itu sendiri adalah karena adanya sepasang pohon yang tumbuh di tengah-tengah mata air selebar kurang lebih dua belas meter tersebut. Pohon tersebut dipercaya sebagai simbol jodoh atau pasangan, yang mana apabila ada seseorang yang mandi di sana dengan harapan mendapat jodoh, maka akan dikabulkan.

Kemudian judul penelitian kami yang lain adalah Struktur Konstruksi Rumah Adat dan Sistem Kepemimpinan dan Adat Negeri Piliana. Kendala yang kami alami sedikit menggelikan karena narasumber kami, Bapa Weynand Latumutuani yang menjabat sebagai ketua adat adalah orang yang pendengarannya sedikit terganggu, sehingga terkadang dalam suatu wawancara, kerap terjadi kesalahpahaman dan kita seperti harus berbicara langsung di telinga beliau. Walaupun terkesan tidak sopan, ia memang mempersilakan, bahkan memintanya langsung agar kami melakukannya. Hal yang unik dari penelitian yang berhubungan dengan adat ialah keharusan kami untuk mengunyah sirih pinang. Konon bila suatu adat dibicarakan, ada leluhur mereka yang ikut menghadiri perbincangan tersebut dan pendatang dari luar tidaklah diperbolehkan membicarakan adat Piliana yang dikenal dengan sebutan “Alifuru”. Oleh sebab itulah, kami diwajibkan mengunyah sirih pinang hingga mulut kami memerah sebagai pertanda kami adalah bagian dari masyarakat Piliana.

Setelah bergelut dengan kegiatan penelitian, kami masih melanjutkan dengan agenda pendakian gunung dan penelusuran gua. Aku tergabung dalam tim penelusuran gua sebagai koordinator lapangan dan seksi survei dan perizinan. Di agenda teknis ini, aku berperan menjadi time keeper teman-teman penelusuran gua dalam kegiatan teknis dan manajemen. Aku yang sebelum-sebelumnya pernah menjadi koordinator lapangan, merasa tugas ini tidak akan sulit. Namun, kendala tetap saja terjadi. Aku yang terbilang sebagai orang yang kurang tegas ini sedikit kesulitan dalam mengotrol tim penelusuran gua kali ini. Sebagai pengganti ketidaktegasanku, aku mencoba suatu alternatif dengan cara pengambilan keputusan dengan kesepakatan tim bersama. Jadi, skenario yang telah ku buat sebelumnya banyak mengalami intervensi kesepakatan tim dan penyesuaian situasi dan kondisi di lapangan.

Selama kegiatan penelusuran gua, aku banyak berekspektasi gua-gua yang besar dan dalam, sehingga persiapan kami pun menjadi cukup merepotkan karena harus membawa logistik yang berat dan banyak. Di gua yang pertama, perjalanan terasa berat di awal dan bertambah berat ketika pulang ke Piliana. Kami membutuhkan waktu yang lebih lama dari keberangkatan kami karena beban yang berat ditambah trek yang menanjak. Mungkin inilah konsekuensi untuk kami yang kurang dalam melakukan latihan fisik.

Di penelusuran gua yang berikutnya juga tidak kalah merepotkannya. Kami yang terbiasa dengan mengeksplorasi gua dengan membawa kendaraan, kali ini harus menembus hutan belantara dengan jalur yang menanjak. Kami seperti merasa kegiatan kami ini menyerupai kegiatan gunung hutan. Bedanya, kami mencari gua, sedangkan mereka mencari puncak. Pada kegiatan eksplorasi gua ini, kami memiliki target menemukan minimal tiga gua tambahan sebagai arsip Mapagama, lalu kami juga memiliki target dua gua untuk dieksplorasi, serta satu gua untuk dipetakan. Beruntungnya, kali ini kami berhasil menemukan lima titik gua baru dan satu titik hasil pembenaran plotting yang kami dapat sebelumnya melalui survei. Kami juga berhasil mengeksplorasi empat gua dan memetakan tiga gua.

Gua yang pertama kami eksplorasi adalah Gua Niyape. Gua ini memiliki kedalaman sekitar 30 meter dari permukaan tanah. Di gua ini, aku bersama tim penelusuran gua yang terdiri dari Alfira, Evan, Kresna, dan Eni mendokumentasikan endokarst dan memetakannya. Kami berlima turun dengan Fahmi menjadi tim darat di atas sebagai team rescue. Kami mengeksplorasi Gua Niyape sekitar kurang lebih tiga jam. Belum termasuk dengan waktu untuk rigging dan cleaning. Dalam lapangan teknis penelusuran gua ini, sempat terjadi waktu vakum sebanyak 2 hari. Hari pertama adalah karena miskoordinasi transportasi yang tidak kunjung datang. Akhirnya hari itu digunakan tim untuk mengolah data hasil pemetaan di Gua Niyape kemarin.

Esoknya, kami melanjukan kegiatan eksplorasi menuju Gua Rusa. Sebenarnya gua ini belum memiliki nama, namun kami menyebutnya demikian karena di dalamnya terdapat rusa yang telah menjadi rangka. Berdasarkan informasi Bapa Yoris, rusa tersebut merupakan hewan buruan yang saat diburu terjatuh ke dalam gua. Dinding gua yang tajam bisa jadi penyebab rusa itu mati karena terluka dan tidak bisa kembali ke permukaan. Di Gua Rusa ini, kami tidak sempat memetakannya karena kondisi gua yang sempit dan hanya bisa memuat satu orang, bahkan itu saja masih terasa sulit untuk melakukan rigging. Tim yang tidak semuanya sempat mengeksplorasi gua ini sedikit merasa kecewa karena lokasi gua yang jauh dan melewati hutan dengan perjalanan yang cukup panjang.

Di hari berikutnya, terjadi lagi vakum dalam tim penelusuran gua. Waktu tersebut dimanfaatkan tim untuk melakukan survei ke Gua Wana bersama Bapa Yoris. Tim survei ini terdiri dari aku dan Kresna. Kami bersama Bapa Yoris dan kedua putranya, Eki dan Engel menyusuri kebun miliknya mencari mulut Gua Wana. Beruntung kami menemukan empat mulut gua dan berhasil kami tandai dalam GPS. Ada dua gua yang berjarak cukup dekat dan merupakan target eksplorasi, lalu dua gua lain yang kami sisakan untuk kami cantumkan datanya saja.

Hari berikutnya, kami berhasil mengeksplorasi, memetakan, dan mendokumentasikan dua Gua Wana. Kami pulang lebih cepat dari yang direncanakan sebelumnya dan langsung membereskan logistik dan peralatan yang kami gunakan.

Sebelum kami pulang dari Piliana, kami melakukan sosialisasi hasil penelitian kami kepada warga. Di hari pelaksanan sosialisasi tersebut, awalnya kami agak ragu karena kehadiran warga yang sedikit. Namun setelah beberapa saat, akhirnya warga datang meramaikannya. Momen ini terasa berkesan sebab kami bisa turut memberikan manfaat kembali kepada masyarakat Pilian. Kami yang juga masih belajar dalam melakukan penelitian merasa tersanjung karena warga sangat terbuka dan menerima, bahkan berterima kasih atas hasil yang telah diberikan kepada mereka. Tidak terasa, hari itu juga merupakan hari terakhir kami berada di Negeri Piliana. Hal yang sangat berat untuk kami lakukan adalah berpamitan. Kami sudah merasa seperti di rumah sendiri, bersama orang yang sudah menganggap kami keluarga. Kami sebenarnya juga berat meninggalkan mereka, sudah terlalu banyak hal yang mereka lakukan untuk membantu dan memfasilitasi kami selama di Piliana ini. Saat itu, rasanya ingin tinggal menetap saja di sana bersama Mama Melda, Bapak Yoris, dan anak-anak mereka yang sudah seperti adik kami sendiri.

Hari itu, kami dilepas warga Piliana berangkat menuju Masohi menggunakan mobil. Perjalanan kami memakan waktu sekitar 4 jam sampai di SMAN 1 Masohi, tempat kami singgah sementara menunggu hari kami melakukan audiensi untuk menyampaiakan hasil kegiatan kepada Balai Taman Nasional Manusela. Sebelumnya, pihak taman nasional sempat memberikan kabar untuk melakukan audiensi di hari Sabtu, namun karena terjadi miscommunication, maka audiensi baru dilakukan di hari Selasa.

Karena waktu kami di Masohi cukup lama dan tidak ada agenda terkait kegiatan, maka di hari minggu, kami memutuskan untuk melakukan penyegaran pikiran dengan berlibur ke Pantai Ora di Sawai, Pulau Seram bagian utara. Di sana, kami menikmati indahnya lautan dan kenampakan alam berupa tebing yang indah. Pantai di sana memiliki pasir putih dan ombak yang tenang jika dibandingkan dengan pantai-pantai yang biasa kami jumpai di daerah Gunungkidul.

Tim tengah melakukan penelusuran gua yang terdapat di Negeri Piliana

Kami menghabiskan waktu cukup lama di sana, ada yang berenang, snorkeling, main pasir, dan ada yang hanya tidur santai menikmati pemandangan. Kebanyakan dari kami sibuk mengambil foto untuk dipamerkan dan memperkaya feed di Instagram.

Keesokan harinya, kami melakukan sosialisasi mengenai kampus UGM kepada siswa-siswi SMAN 1 Masohi. Agenda ini adalah balas budi kami kepada pihak sekolah yang telah memfasilitasi kami dengan memberi tempat tinggal sementara di Masohi.

Di hari berikutnya, barulah kami melakukan audiensi hasil dengan Balai Taman Nasional Manusela. Presentasi kami sudah cukup memuaskan untuk pihak taman nasional dan mereka pun berterima kasih atas kerja sama yang telah kami lakukan dalam bidang penelitian. Maklum, belum banyak penelitian yang dilakukan dan bekerja sama dengan Taman Nasional Manusela ini, dan hal tersebut sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Di hari yang sama setelah melakukan audiensi dan penyerahan tanda terima kasih berupa plakat kepada pihak taman nasional, kami pergi bertolak ke Ambon dan singgah di Universitas Pattimura. Di sana kami mengunjungi temanteman dari Mahupala (Fakultas Hukum) dan Mafispala (Fakultas Fisip). Kami banyak diakomodasi dan difasilitasi oleh mereka sembari menunggu tanggal kepulangan kami menggunakan pesawat yang tiketnya sudah dipesan untuk tanggal 26 Juli 2018. Kami menghabiskan waktu yang cukup lama dengan mereka, dari mulai mengobrol, berbagi pengalaman, bahkan sembari diajak berbelanja oleh-oleh.

Dari semua pengalaman di atas, hal utama yang kupelajari adalah tentang stereotip masayarakat terhadap orangorang timur Indonesia. Mereka tidaklah seperti yang kita duga selama ini. Bagiku, mereka adalah orang-orang yang sangat baik. Solidaritas mereka sangat tinggi, bahkan mereka menganggap semua orang adalah saudara; satu darah Indonesia, kata salah seorang dari mereka. Dan dengan pengalaman yang sudah kupunya inilah, awal dari keinginanku untuk kembali mengeksplorasi tanah timur ini kembali, dengan persiapan dan kondisi yang lebih baik, serta lebih matang dari sebelumnya.

This article is from: