32 minute read

Masa depan gambut indonesia

Next Article
Kabar dari binaia

Kabar dari binaia

M E N Y U S U R I K a l i m a n t a n

Keberangkatan tim menggunakan speedboat (sarana transportasi utama baik untuk warga maupun staff TN), foto diambil pada hari pertama tim menuju Hutan Kerinung. Akibat musim kemarau, kondisi TNDS menjadi kering sehingga akses speedboat yang seharusnya udah dibatasi anakan-anakan Sungai Tawang yang mengering. Foto: Demetria Alika

Advertisement

Ada dua periode waktu yang penuh misteri, dinanti-nanti, atau dibenci serta disuka secara sekaligus di kehidupan manusia. Waktu tersebut adalah waktu di mana kita dilahirkan dan di mana kita meninggalkan dunia. Tapi bagi kami, jumlah itu masih kurang, karena ada satu lagi periode di mana kami merasakan debar yang sangat hebat, saat di mana pusing kami terangkat dan diganti dengan pusing yang lain, periode yang membingungkan sekaligus melegakan. Periode yang kami sebut barusan adalah saat di mana kami akan berangkat menuju Danau Sentarum untuk menjadi bagian dari tim UGM Research Expedition IV.

Pagi masih belum benar-benar pagi ketika kami diantar menuju bandara. Pada waktu itu, jarum jam baru saja tergelincir menuju tanggal 2 September 2019. Di sepertiga malam ini jalanan Jogja masih sangat lengang, riuh serta sesak kota ini menepi dan memberi kami aspal yang sepi. Walaupun sepi, bukan berarti kami tidak melihat adanya manusia di kota ini. Di waktu yang mustajab dan biasa digunakan untuk bertahajud, Pasar Demangan sudah terang dan terlihat aktivitas jual beli di dalamnya. Kuli panggul sudah bersedia di depan pagar pasar, pedagang sudah menata dagangan, dan kaki lima sudah menyandarkan gerobaknya. Tak sedikit dari kami yang kagum dengan orang-orang ini karena mereka mampu menyempurnakan tahajudnya dengan mencari nafkah untuk keluarganya.

Saat kami tiba di bandara, ternyata ada penumpukan kendaraan karena bandara ditutup. Kami sempat berpikir hari itu bandara berhenti beroperasi. Setelah bertanya ke antrian kendaraan di depan, ternyata kami yang terlalu pagi tiba di bandara. Melihat kondisi seperti itu, mau tidak mau kami harus menunggu bandara ini untuk bangun dan melakukan rutinitasnya seperti biasa. Beruntung, tidak beberapa lama bandara dibuka dan kami langsung menuju ke terminal B. Sungguh, perjalanan yang diawali oleh banyak keberuntungan.

Semula, kami mengira akan berangkat hanya ditemani Mas Rizal dan Hanif saja, meskipun hari belum pagi betul ternyata teman-teman yang lain juga turut serta mengiring keberangkatan kami. Lorong bandara yang biasanya lega untuk tempat berlalu-lalang manusia dan troli serasa penuh oleh kawan-kawan dari Mapagama. Terus terang ini hal yang mengejutkan, meskipun kami sendiri sudah memprediksikannya. Dengan jumlah personil dari anggota Mapagama yang tidak mencapai separuh, praktis URE IV ini dibimbing dengan penuh dan disayang dengan utuh oleh Mapagama.

Kami berangkat dengan komposisi tim dari latar belakang ilmu yang berbeda. Sehingga jujur berat sekali untuk mengonsolidasikan kerja kami. Padahal, URE kali ini kami membawa topik penelitian tentang serangga dan tentang pengindraan jauh. Sudah jelas hal tersebut tidaklah menjadi penghalang bagi kami karena jauh-jauh hari sebelum berangkat, kami telah memperkuat kemampuan penelitian lewat rapat dan belajar bersama.

Tulisan oleh Kresna Muharram

Sekitar pukul sembilan pagi, kami sudah tiba di Bandara Pangsuma Putussibau. Kondisi suhu yang panas dan matahari yang terik adalah hal yang pertama kali menyambut kedatangan kami. Sulit menggambarkan kondisi suhu di sana kecuali kalian pernah mengunjungi daerah Kalimantan. Yang jelas, saat kalian menyebut kondisi suhu panas di daerah Jawa, maka percayalah itu sama dengan dingin di Putussibau. Setelah berlari kecil dari runaway menuju bandara demi menghindari panas yang menyengat, kami segera mengambil bagasi dalam antrian yang ada di konveyor. Tas-tas berat kami langsung kami angkut ke troli dan membawanya keluar sembari menunggu jemputan dari pihak taman nasional. Beruntung, ternyata kehadiran kami sudah ditunggu oleh salah satu pegawai Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS) bernama Bang Zul. Barang-barang pun langsung kami angkut ke dalam pickup strada merah yang dibawa Bang Zul waktu itu. Bang Zul adalah pegawai yang ramah dan sangat baik. Awal kehadiran kami di Putussibau, Bang Zul mengajak kami berkeliling Putussibau dan mengajak kami makan ke rumah makan enak yang berada di sana. Pada siang hari sekitar pukul dua, kami telah tiba di Balai Besar TNBKDS. Kami sangat terpukau dengan foto tumbuhan dan hewan yang ada di dalam gedung tersebut. Tidak beberapa lama lagi kami akan melihat hewan tersebut dengan mata kepala kami langsung. Pada presentasi itu juga diputuskan jika kami akan berangkat pada hari esok lusa atau tanggal 4 November 2019.

Kami berangkat sekitar pukul sebelas di siang hari. Kami berangkat dengan strada hitam satu kabin berwarna merah, persis seperti mobil pickup patroli kepolisian, hanya saja kursinya dipasang berhadap-hadapan dan tidak saling memunggungi. Karena hanya kendaraan tersebut yang akan mengantarkan kami, otomatis tubuh kamilah yang harus menyesuikan dengan kondisi kendaraan tersebut. Dengan ruang yang tidak seberapa besar, sudah jelas ada sebagian dari kami yang duduk dengan kaki mengangkat, ada yang duduk dengan mengganjal tas agar tidak rubuh, bahkan ada juga yang tidak mendapat tempat duduk hingga harus berdiri di pintu belakang pickup yang terbuka.

Perjalanan dari Putussibau menuju Semitau memakan waktu sekitar enam jam. Rasanya perjalanan ini seperti telah melewati berbagai kabupaten saja, padahal Semitau dan Putussibau masih berada di Kabupaten Kapuas Hulu. Perjalanan ini bisa menjadi panjang dan terasa lama karena kondisi lalu lintas yang kami lewati sangat bervariasi. Dengan posisi yang berhadap-hadapan dan bau tubuh yang menguar dari keringat karena kepanasan, sudah tentu mual dan rasa ingin muntah menjadi satu-satunya rasa yang bisa kami bagi. Di jam-jam awal perjalanan, kami masih bisa bercanda di dalam pickup ini. Namun, semua sirna setelah kelokan demi kelokan terlewati.

Tim nampak menikmati perjalan dari rumah dinas di Samitau menuju Suhaid untuk menaiki speedboat ke Resort Tekenang. Tim berdesakkan satu sama lain dengan barang-barang bawaan karena limitnya tempat. Fotografer terpaksa duduk di pintu bak karena tidak mencukupi, namun tim tetap menikmati perjalan sambil bersenda gurau. Foto: Demetria Alika

Perjalanan menuju Semitau ini melewati banyak sekali sungai. Sungai yang menghalang ini tidak terlalu besar karena kondisi saat itu masih kering, tetapi yang membuat kondisi tidak nyaman adalah saat melewati jembatan. Jembatan tersebut hanya untuk satu arah, terbuat dari kayu, dan ditopang juga dengan tiang kayu. Alhasil, ketika mobil tiba di pangkal jembatan, mobil perlu melambat sebentar karena ada transisi dari aspal ke batu bertanah. Transisi ini yang membuat guncangan cukup keras pada mobil serta kepala kami sehingga membuat perasaan ingin muntah seketika.

Akhirnya, seperti yang sudah dapat diduga, salah satu dari kami pun tumbang juga. Gracia mengambil plastik di dry bag P3k dan mengeluarkan semua isi yang ada di perutnya. Bau muntah pun menyebar dengan cepat, ditambah dengan kondisi angin yang berputar-putar di dalam kabin. Rasa mual semakin menyebar, beranak-pinak dan menemukan ruangnya di kepala kami yang juga berputar-putar karena perjalanan ini. Bertahan dengan kondisi seperti ini dengan perjalanan yang panjang tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Beruntung, pada akhirnya tidak ada lagi korban yang jatuh karena masing-masing dari kami berhasil membangun sugesti seperti “perjalanan ini tinggal lima menit lagi” atau “perjalanan ini tinggal sebentar”.

Sekitar pukul empat sore akhirnya kami tiba di Semitau. Semitau adalah salah satu kecamatan di daerah Kapuas Hulu dan letak ibukota kecamatannya bersebelahan dengan sungai Kapuas. Akses perjalanan di sini dibangun di atas aspal yang masih bagus dan tidak ada yang berlubang. Pemukiman di sini saling berhadap-hadapan linier mengikuti arah sungai Kapuas. Rumah demi rumah kami lewati hingga kemudian kami berhenti di depan SPTN VI (Seksi Pegelolaan Taman Nasional VI). Di sana kami dipersilakan untuk beristirahat sejenak dan disarankan untuk melakukan presentasi juga. Pada presentasi itu juga kami langsung diberi masukan untuk arah kegiatan yang lebih baik dan juga siapa yang akan membantu kami ketika di sana. Bahkan, nanti ketika keberangkatan menuju ke tengah danau, koordinasi juga ternyata diputuskan dari kantor ini.

Setelah melakukan presentasi, kami akan berangkat pada pukul sepuluh pagi. Tidak banyak yang kami lakukan di kantor tersebut selepas kami presentasi, karena selanjutnya kami langsung di antar ke rumah dinas untuk para pegawai. Kami sempat merasa sungkan karena menginap di rumah dinas pegawai dengan jumlah kami yang cukup banyak apalagi ditambah dengan tas besar-besar yang kami bawa. Beruntung, ternyata rumah dinas untuk pegawai ini ada dua dan letaknya berhadap-hadapan.

Malam hari di sini sangat tenang. Kondisi jalanan pada pukul tujuh malam sudah sangat lengang dan agak remang-remang. Namun, sepertinya kehadiran kami telah memecah keheningan Semitau. Kami yang baru saja selesai mandi, masih belum lekas memakai pakaian. Hal ini disebabkan karena suhu yang sangat panas dan gerah. Kami tidak sempat memeriksa suhu di termometer, tetapi berkat suhu seperti ini membuat kami berteriak-teriak dan mengutuki keadaan.

Terhitung sejak hari ini, kami telah berada di Kalimantan selama tiga hari dan kami akan berangkat untuk mencapai tempat tujuan kami hanya dalam enam jam lagi. Tujuan pada perjalanan kali ini adalah Resor Tekenang. Resor Tekenang adalah resor yang berada di tengah danau dan satu-satunya akses menuju ke sana adalah dengan menggunakan sepit (sebutan perahu untuk penduduk). Pukul sepuluh kami pun sudah siap diantarkan lagi oleh Bang Rudi menuju dermaga tempat sepit kami bersandar. Saat tiba di Dermaga Suhaid kami sudah ditunggu oleh Bapak Irawan dan pengemudi sepit kami Bang Zaenal. Dalam perjalanan ini kami disediakan dua sepit yang cukup untuk mengangkut logistik yang kami bawa serta personil sekitar 12 orang. Saat di sepit kami juga berkenalan dengan Mas Yofan yang bertugas sepagai PEH di Resor Tengkidap. Pada saat kaki kami menapak di sepit itulah terakhir kalinya kami melihat kendaraan motor dan jalanan aspal, yang lalu digantikan oleh raungan sepit serta aliran Sungai Tawang.

Untuk mencapai Resor Tekenang di kondisi kemarau, kami perlu waktu sekitar enam jam perjalanan dari Suhaid. Menurut penuturan dari Mas Yofan, apabila musim hujan maka perjalanan bisa berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan karena muka air danau yang meningkat apabila musim penghujan tiba. Memang, di saat musim sedang panas-panasnya seperti bulan September kemarin, kondisi air benar-benar hanya terkonsentrasi di kawasan Sungai Tawang. Bahkan karena hal tersebut, kami sempat mempertanyakan apakah kami sudah berada di kawasan Danau Sentarum atau belum, sebab kondisi benar-benar kering dan hanya menyisakan sungai dan padang kering.

Sesuai literatur, Danau Sentarum adalah kawasan yang sangat vital keberadaannya bagi kawasan yang berada dari sekitar hulu hingga hilir Sungai Kapuas. Hal ini disebabkan apabila musim kemarau, air di dalam danau akan terkuras untuk mengisi sungai-sungai yang berada di kawasan yang lebih rendah. Sementara itu, bila musim penghujan tiba, Danau Sentarum akan berfungsi sebagai wadah penampung agar tidak menimbulkan bencana air bah di daerah hilir.

Jika kemarin kami berpusing-pusing di dalam pick up, maka hari ini kami berama-ramai dirajam oleh ultraviolet matahari. Dengan panas seperti ini, rasanya matahari tepat berada sejengkal di atas kepala. Apalagi dengan kondisi sepit yang terbuka, teriknya sinar matahari bukan berasal langsung dari atas saja, tetapi kami juga dihajar panas dari bawah. Gelombang air serta permukaan sungai yang luas ini saling memantulkan sinar kembali ke atas termasuk juga ke arah kami. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk menghalau panas itu dari atas sepit. Satu-satunya pilihan yang bisa kami ambil adalah menunggu hingga sepit ini tiba di tujuan. Arah aliran Sungai Tawang tidak selalu memanjang lurus. Sungai Tawang memiliki kondisi yang elevasinya tidak terlalu tinggi dan banyak sekali kelokan. Dengan kondisi demikian selalu banyak kejutan yang bisa kami temui di tiap kelokannya. Di belokan tertentu kadang kami menemukan pohon kayu tinggi besar yang kami belum ketahui namanya. Kadang juga kami menemukan mamalia lucu seperti makaka atau burung yang jarang kami lihat seperti bangau. Kadang juga kami menemukan pemukiman penduduk.

Di kawasan pemukiman tepi sungai inilah kami sering salah menerka bahwa itu adalah Resor Tekenang. Hal ini dikarenakan saat kami melakukan survei sebelum berangkat, kami menemukan informasi bahwa kawasan pemukiman yang cukup padat penduduk hanya berada di Resor Tekenang. Padahal, di setiap tikungan besar dan di setiap aliran sungai melebar, maka pasti tempat itu akan ada kawasan penduduk di atasnya. Sejauh kami melakukan perjalanan menuju Resor Tekenang, kami menemukan kawasan pemukiman yang justru punya lebih banyak rumah daripada di Resor Tekenang sendiri. Di jalur Sungai Tawang sendiri bahkan ada pemukiman yang telah ada kawasan listriknya yaitu di Resor Tengkidap.

Sebenarnya kami tidak terlalu kaget dengan adanya pemukiman rumah karena di daerah asal kami di Yogyakarta sudah tentu ada puluhan ribu pemukiman penduduk. Yang membuat unik adalah pemukiman penduduk ini terdiri dari rumah-rumah yang pondasinya bukan tanah melainkan air. Ada juga rumah yang berpondasikan tanah tetapi ditopang oleh tiang tinggi-tinggi sehingga terlihat sangat mencolok dari permukaan sungai. Rumah yang mengapung di atas air ini disebut oleh penduduknya sebagai lanting. Rumah-rumah ini dikonstruksi dari kayu-kayu hutan yang sangat mudah untuk diambil.

Sebelum kami tiba di Resor Tekenang, ada salah satu kawasan yang terdiri dari pemukiman penduduk yang sangat besar bernama Pengembung. Tempat ini kelak akan sering kami kunjungi baik sebelum berangkat ke tempat penelitian dan saat pulang. Tempat ini ternyata juga sering dikunjungi oleh masyarakat di Resor Tekenang untuk melakukan sholat jumat dan memenuhi kebutuhan. Di daerah Pengembung ini juga dengan kemajemukan masyarakatnya, maka kita akan melihat banyak hal yang unik. Hal yang unik itu seperti pohon pisang yang ditanam di atas sungai, masjid di atas tiang kayu dan rumah-rumah yang bentuknya seperti perahu. Daerah Pengembung ini selain menjadi tempat memenuhi kebutuhan konsumsi kami juga sebagai penanda bahwa Resor Tekenang sudah dekat. Perlu sekitar 20 menit perjalanan dari Pengembung untuk menuju Resor Tekenang.

Kira-kira saat jam menunjukkan pukul tiga sore lah saat di mana kami tiba pertama kali di Resor Tekenang. Resor Tekenang adalah resor yang unik dan ikonik. Dari tepi sungai di Resor Tekenang, akan terlihat Bukit Tekenang yang menjulang tinggi. Selain itu, terlihat juga perahu wisata besar yang dikemudikan oleh salah satu tokoh di Resor Tekenang bernama Bapak Sam. Resor Tekenang juga menjadi istimewa karena menjadi satu-satunya tempat yang memiliki sumber mata air sendiri. Jadi, jika di pemukiman penduduk yang lain masyarakatnya minum dan mandi dengan

air Sungai Tawang, maka warga di sini bisa mandi dengan air langsung dari mata air yang dialirkan dengan pipa. Oleh sebab itu, tak jarang warga dari luar Resor Tekenang mengambil air minum di mata air ini, hanya saja karena biaya perjalanan menggunakan sepit yang mahal maka hal tersebut jarang terlihat.

Kami menyandarkan perahu kami di sebuah dermaga yang terbuat dari floating bridge berwarna oranye. Dari sini, kami tinggal mengambil langkah setapak yang sudah ada untuk bisa menuju kantor resor. Sama seperti rumah-rumah yang ada di kawasan Danau Sentarum, posisi kantor Resor Danau Tekenang juga berada tinggi menjauh dari tanah. Jadi, untuk bisa menuju ke kantor, kami harus menapaki tangga yang cukup tinggi dan membuat lelah. Hal yang paling menyebalkan juga, jumlah tas yang kami bawa tidak mampu untuk kami angkut sekali perjalanan saja. Jadi, saat kami sudah tiba di muka kantor, kami harus memutar untuk mengambil barang kami yang tersisa di atas sepit.

Kantor Resor Tekenang terhubung dengan dermaga dan jalur menuju puncak bukit dengan jalan yang terbuat dari kayu. Di dekat kantor terdapat bangunan homestay, floating house, dan pondok kecil untuk beristirahat. Jika terus meniti jalan, maka walking board ini memanjang jauh hampir mengelilingi sekujur Bukit Tekenang, hanya saja di awal tiba kami sudah sangat kelelahan dan ingin sekali istirahat. Kami masuk di kantor Resor Tekenang dan meletakkan

tas kami di ruang depan kantor. Di ruang ini tidak terlalu banyak perabotan kecuali kursi dan meja TV. Kami sempat heran juga bagaimana bisa ada TV padahal resor ini tidak seperti di Resor Tengkidap yang ada kabel listriknya. Belum hilang keheranan kami, ternyata TV tersebut bisa menyala dan bahkan ada DVD player juga. Ada juga kabel rol berderet banyak yang bisa menghubungkan banyak piranti elektronik. Kamar tidur di kantor ini cukup banyak terdiri dari tiga bilik dan ada juga tambahan satu dapur serta satu kamar mandi. Pemandangan depan, belakang, dan samping resor ini sama-sama menarik dan menakjubkan untuk disaksikan kapanpun. Hanya saja, pemandangan dari utara kantor resor yang paling menakjubkan, karena menampilkan pemandangan Sungai Tawang.

Usut punya usut, ternyata listrik yang mengalir di resor ini berasal dari sel surya. Jika mendongak ke atap kantor resor, maka akan terlihat beberapa lembar panel surya yang dipasang di sana. Namun kata Bang Zaenal, kemampuan panel surya tersebut hanya efektif ketika siang hari, jadi ketika hari sudah malam maka genset akan dinyalakan. Hal ini terbukti dengan sepanjang kami di sana, listrik di daerah Resor Tekenang ini memang tidak pernah padam. Kekhawatiran ponsel kami mati dan tidak bisa menghubungi orang tersayang pun surut sedikit demi sedikit.

Dengan adanya listrik, meskipun hari sudah beranjak malam Resor Tekenang masih terang benderang. Malam pertama kami di sini digunakan untuk memproyeksikan tentang rencana yang kami lakukan di hari esok. Bagaima-

Mobilisasi tim dari flying basecamp menuju titik koordinat yang sudah ditentukan untuk pengambilan data.Kabut asap yang nampak diyakini tim berasal dari kebakaran lokal yang bertempatan tidak jauh dari lokasi tim berada. (Saat itu tim tidak tahu bahwa sedang terjadi karhutla besar-besaran di Riau dan Kalimantan Timur). Selama penelitian yang berlangsung dua minggu lamanya tim selalu ditemani asap kabut. Foto: Fariz Ardianto

na tidak, kami sudah berada di tengah-tengah Danau Sentarum. Di tempat di mana kaki kami berpijak inilah tempat yang menjadi objek penelitian kami. Sudah sejak beberapa bulan lalu, Mapagama menggaungkan tempat ini sehingga pasti akan ada ribuan orang yang menunggu kabar baik terkait apapun yang kami lakukan di sini. Oleh karena itu, gagal bukanlah pilihan ketika kami sudah berada di sini. Untuk meminimalisasi kegagalan itu, akhirnya ditetapkan bahwa esok adalah waktu untuk melakukan survei lokasi terlebih dahulu. Survei ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kondisi sekitar tempat penelitian. Kami sudah merencanakan tempat penelitian jauh-jauh hari dan telah menemukan lokasi penelitian yang akan kami tuju bernama Hutan Kerinung. Dengan survei yang dilakukan, maka kami akan mendapat banyak wawasan yang diperlukan untuk keberangkatan pada esok lusa. Kami juga ingin mengetahui seberapa jauh jarak untuk menuju ke sana, logistik apa yang diperlukan selama di sana, mencari tempat bermalam, dan yang paling penting yaitu kami perlu memastikan apakah di sana ada gambut atau tidak.

Tidak seluruh anggota kami melakukan survei. Sisa anggota yang tetap berada di resor adalah Kresna, Kolet, Ilham dan Dimi. Karena bertepatan dengan hari jumat, tim yang tinggal di resor ini juga diajak oleh warga sekitar untuk melakukan ibadah sholat jumat bersama warga. Kondisi Resor Tekenang yang tidak memiliki masjid menjadikan kami bersama-sama berangkat dengan sepit yang dimiliki oleh TN. Kami melakukan ibadah jumat di masjid yang ada di Pengembung.

Sekitar pukul empat sore teman-teman yang melakukan survei telah kembali dari Hutan Tekenang. Dengan pulangnya mereka, maka pada malam harinya kami merencanakan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada keesokan harinya. Dari informasi yang bisa didapat di Hutan Tekenang, kami semua bersyukur karena terdapat gambut di Hutan Tekenang. Hanya saja akses untuk menuju ke sana perlu berjalan sangat jauh. Ditambah lagi tidak ada air bersih di sana. Sehingga, selain berjalan jauh, kami perlu berjalan dengan membawa air bergalon-galon.

Setelah mengetahui bahwa di sana ada gambut. Otomatis kami sudah bisa menentukan logistik apa yang akan dibawa nanti. Jika sebelumnya pada waktu observasi kami hanya membawa beberapa meter bor gambut, maka untuk besok di lapangan kami akan membawa keseluruhan bor gambut yang sepanjang dua puluh meter jika disambung semuanya. Untuk penelitian biotik, kami membawa semua alat yang terdiri dari sweep net, meter roll, vial, alkohol, dan lain-lain. Di esok harinya juga, kami akan berangkat dengan membawa semua personil kami untuk menuju ke sana. Tidak ada anggota tim yang tersisa di Resor Tekenang, kami harus melakukan ini bersama-sama dan serius.

Kondisi tim saat pertama kali menuju Resort Tekenang dari Suhaid. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 2-3 jam lamanya. Saat itu kondisi pada tengah hari sedang panas-panasnya sehingga selama perjalanan tim hanya dapat tertunduk menghindari teriknya matahari [Kiri]. Saat ini tim sudah menyelesaikan pengambilan data minggu pertama dan sedang menuju kembali ke Resort Tekenang. Logistik tim sudah terdapat di speedboat namun tim tetap harus berjalan kaki sampai ke muara anakan sungai akibat sungai terlalu dangkal untuk menampung bobot tim, apabila dipaksakan baling-baling mesin speedboat akan tersangkut pukat-pukat milik warga (pukat: jaring untuk menangkap ikan). Pada musim hujan area yang dipijak tim seharusnya terendam air semuanya [Kanan]. Foto oleh: Demetria Alika

Dari keputusan yang telah dirapatkan, untuk keberangkatan penelitian pada esok hari kami akan diberangkatkan dengan dua sepit persis seperti saat kami berangkat ke Tekenang. Kami juga akan berangkat menuju Hutan Kerinung dengan diantar oleh Bapak Sam dan Bang Zaenal. Lalu untuk logistik kami besok di sana, ternyata kami dipinjamkan dua galon air yang sudah diisi penuh oleh Bapak Sam dan sudah berada di atas sepit. Untuk hari esok juga, kami dijadwalkan untuk berangkat pada pukul delapan pagi. Oleh sebab itu, baik mandi, makan dan packing, semua dijadwalkan harus sudah selesai sebelum waktu itu.

Keesokan harinya, tepat pada tanggal 7 September 2019, kami bangun sekitar jam lima pagi untuk bersiap berangkat ke Hutan Kerinung. Di tanggal ini, sesuai jadwal koordinator lapangan, kami akan berangkat untuk melakukan penelitian. Logistik sudah tertata rapi, dan masing-masing dari kami tinggal mandi dan melakukan sarapan. Saat kami masih sarapan, ternyata Bapak Sam menawarkan untuk meminjamkan panel surya yang berada di perahunya untuk keperluan pencahayaan di sana. Bang Aswan juga meminjamkan gerobaknya untuk mengangkut logistik kami.

Tepat pukul delapan pagi kami berangkat menuju Hutan Kerinung. Sebelum berangkat, kami dibacakan doa oleh Bapak Sam demi keselamatan kami di sana. Target yang harus dicapai pada minggu pertama ini adalah kami harus mendapat 18 belas titik pengamatan dari 36 titik pengamatan. Jadi, perjalanan pagi hari ini tidak dilakukan dengan pulang pergi pada satu hari, tetapi menunggu sampai semua titik pengamatan tercapai.

Sekitar 15 menit perjalanan, kami telah sampai di Pengembung. Di Pengembung ini, kami singgah sejenak untuk mengambil gerobak dan membeli keperluan konsumsi. Untuk keperluan konsumsi, kios yang berada di Pengembung ini agak lebih besar dan lebih lengkap dari yang ada di Tekenang. Kios ini juga tidak terletak di lanting warga. Jadi, karena kios ini berada di rumah tapak, maka kami harus menaiki anak tangga terlebih dahulu. Tangga untuk menuju rumah-rumah yang ada di Pengembung ini lebih tinggi sedikit dari tangga menuju Kantor Resor Tekenang serta lebih curam, jadi kami agak sedikit kecapaian untuk menuju ke sana. Tidak ada juga pegangan untuk mengamankan pijakan di tangga tersebut, salah langkah atau hilang keseimbangan sedikit saja akan berarti fatal bagi kami semua.

Setelah puas berbelanja dan kebutuhan logistik tim telah terpenuhi, kami semua bersiap-siap untuk berangkat kembali. Tidak ada jalur memutar di hari ini, kami semua harus berangkat ke Hutan Kerinung dan menetap sampai target penelitian kami tercapai. Sepit berjalan dengan perlahan tapi pasti melewati pemukiman-pemukiman warga. Kadang sepit kami juga perlu melakukan manuver guna menghindari adanya pukat yang dipasang warga di sepanjang Sungai Tawang.

Dengan perlahan, akhirnya kami tiba juga di persimpangan untuk menuju Hutan Kerinung. Sepit masuk dengan sangat lambat di tempat ini. Sepit dilajukan dengan lambat untuk mengetahui pukat dan mampu menghindarinya. Putaran motor dapat merusak pukat bila motor melintasi pukat-pukat yang dipasang oleh warga. Karena memang, sepanjang sungai kecil ini, posisi pukat sangat banyak dan

ada di sepanjang sungai kecil ini. Bang Zaenal juga memaklumkan hal ini, karena memang saat surut inilah saat yang tepat untuk panen ikan. Dengan ikan yang terperangkap di sungai-sungai kecil maka akan memudahkan lokasi untuk pemasangan pukat.

Perjalanan terus kami lanjutkan dengan pukat. Setelah berkendara cukup jauh, ternyata sungai kian waktu kian menyempit. Setelah dipaksa untuk menghindari pukat, kini kesulitan yang kami temui adalah kami harus mengemudikan sepit di sungai yang cukup dalam. Sekali kami salah mengambil sisi sungai, maka sepit dapat menyangkut di daerah yang tidak dalam. Mengeluarkan sepit ini jika sudah menyangkut akan sangat sulit. Dengan lumpur yang menyelimuti dasar sungai, seperti lubang hitam, terperosok di sini akan membutuhkan banyak energi untuk menariknya kembali.

Ternyata, tidak sampai tepi Hutan Kerinung, perjalanan menggunakan sepit harus dihentikan. Sepit sudah tidak bisa melaju lebih jauh lagi. Jika memaksa, maka apabila dasar sepit sudah menyentuh dasar sungai, maka akan sangat sulit sekali untuk mengembalikan lagi ke sungai yang dalam. Karena memang perubahan kedalaman sungai di Danau Sentarum bisa sangat cepat apapun musimnya. Banyak terlihat lanting-lanting yang tersangkut di tanah karena sudah tidak ada air yang mampu menopangnya berdiri. Di sisi lain, di musim yang lain, kami pernah mendengar kabar bahwa pernah ada orang melakukan perjalanan menggunakan motor ketika danau sedang kering, lalu hujan mengguyur sebentar dan orang tersebut tidak bisa pulang karena danau sudah terbentuk.

Kami tertahan sekitar dua kilometer dari Hutan Kerinung. Kata teman-teman yang melakukan observasi, mereka menganggap kondisi sungai mengalami penyurutan lagi. Karena saat mereka melakukan observasi kemarin, mereka mampu menuju titik yang lebih jauh dari hari ini. Tidak ada pilihan lain selain melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki sembari membawa logistik kami. Pilihan lain untuk tetap menggunakan jalur air sudah tidak bisa dipakai lagi. Bahkan ide agar logistik tetap di sepit dan penumpangnya dipaksa berjalan pun sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan.

Akhirnya semua logistik pun kami angkat menuju tepian sungai. Matahari sungguh sangat terik pada waktu itu. Dengan kondisi demikian, kami masih harus mengangkut bolak-balik mengangkut barang kami untuk dipindahkan ke tepian. Belum juga sampai Hutan Kerinung, kami sudah sangat kehausan. Memindahkan barang-barang ini membuat peluh dan keringat kami berjatuhan. Satu persatu kami angkat barang kami, hingga tersisa galon air dan gerobak. Barang yang berat ini kami usung bersama-sama karena benda ini sungguh sangat berat.

Setelah semua barang berada di tepian, akhirnya kami pun kelelahan. Kondisi di tepian dan di permukaan sungai juga sama saja. Tidak ada pohon besar yang bisa menaungi tempat kami beristirahat. Pada waktu itu kami benar-benar dimandikan oleh sinar matahari yang memancar tanpa halangan. Bang Zaenal, Bang Aswan, atau Bapak Sam, mereka semua sama-sama dipancari oleh sinar matahari dan merasakan panasnya. Agar tidak sampai mendidih, kami harus segera melakukan perjalanan.

Selain panas, hal yang menganggu ketika berada di tengah danau yang kering ini adalah keheningan yang diciptakan. Berhektar-hektar lahan sejauh mata memandang hanyalah seperti kolom kosong yang fitri. Sepandangan mata, sungguh hanya kekosongan yang bisa dilihat. Baru ketika mata sedikit menyipit maka akan terlihat sisi pinggir danau yang dipenuhi tanaman. Kata Bang Zaenal, tempat di mana kami menepi sekarang jika musim penghujan tiba maka akan terbentuk sebuah danau. Jadi, secara teori kami sekarang berada di dasar dari danau yang kering. Dengan berada di tengah danau yang kering ini praktis tidak ada

Salah satu sampel serangga yang berhasil ditangkap oleh tim biotik. Serangga terdapat di dalam vial yang kemudian akan diidentifikasi jenisnya [Atas]. Grace selaku Ketua peneliti keanekaragaman serangga pada tingkat kematangan gambut yang berbeda-beda sedang mengamati sampel serangga yang berhasil didapatkan. Alat yang membantunya merupakan sweep net yang digunakan untuk menangkap serangga pada titik pengambilan data. Baju kuning yang dikenakannya juga disengajai dengan maksud untuk menangkap perhatian serangga karena warnanya yang cerah [Kiri]. Foto: Demetria Alika

seseorang pun yang mau kemari sehingga tempat ini menjadi sangat hening. Keheningan yang diciptakan karena tidak adanya makhluk hidup itu menjadikan tempat ini seperti kamar gema.

Di keheningan ini akan sangat menyakitkan di telinga jika tidak mendengar sedikit suara saja. Bahkan angin juga tidak ingin membuat sedikit keributan di tempat ini. Satu-satunya yang bisa mengisi ruang kesepian ini hanya suara bising dalam telinga yang membuat pusing. Oleh sebab itu, kami sering menggeserkan kaki hanya untuk membuat suara-suara. Kondisi sangat tidak nyaman ini yang membuat kami segera berkemas.

Di perjalanan pertama menuju Kerinung, banyak hal yang sebenarnya tidak sesuai standar jika dibandingkan dengan manusia biasa. Karena kami menjadwalkan untuk seminggu di sini, maka banyak sekali barang bawaan yang kami bawa menuju Kerinung. Saking banyaknya, masing-masing dari kami minimal harus membawa dua tas. Jumlah tersebut juga masih kurang, ada juga tambahan logistik yang menjadi tanggung jawab masing-masing orang seperti P3K kit, bor gambut, dan alat penelitian.

Saat punggung dan dada kami sudah penuh oleh tas, beruntung kami membawa gerobak kemari. Galon-galon berisi air memang tidak bisa kami angkut sendiri dengan tangan. Bang Zaenal lah yang membantu kami untuk mendorong gerobak berisi air itu. Perjalanan dua kilometer menuju ke tempat perkemahan kami sungguh sangat berat, tapi masih kalah berat dibandingkan Bang Zaenal karena masih harus mendorong gerobak sekaligus melewati selokan-selokan kecil.

Sekitar satu jam berjalan kaki, kami semua telah sampai di batas Hutan Kerinung. Kami mendirikan tenda dan bermalam di pinggir hutan. Kata Bang Aswan kami dipilihkan tempat di pinggir hutan guna menjaga diri dari hewan-hewan buas. Beruang madu adalah salah satu hewan buas yang berada di sana. Bila beruang itu mendekat menuju tempat kami bermalam maka kami tinggal berlari menuju ke tengah danau. Karena kami sampai di Hutan Kerinung pada sore hari, maka kami disarankan untuk tidak melanjutkan penelitian mengingat kondisi yang berbahaya apabila hari sudah gelap. Akhirnya kami baru bisa berangkat pada keesokan harinya pada tanggal 8 September 2019. Kami bermalam dengan mendirikan tenda dan memasang hammock di pohon-pohon yang ada di tepian. Karena kami kelelahan, kami pun tidur dengan sangat pulas, bersiap untuk keberangkatan besok ke titik pengamatan.

Tim mencapai titik terakhir pada tanggal 17 September 2019. Setelah itu tim beristirahat di Resor Tekenang hingga tanggal 19 September 2019. Sisa tanggal selanjutnya digunakan untuk perjalanan pulang dan mengurus keperluan SATS-DN di kantor BKSDA Kalimantan Barat yang terletak di Pontianak. Tim menyelesaikan ekspedisi pada tanggal 27 September 2019 dan sampai di Yogyakarta pada pukul 21.00 WIB.

Seluruh personil tim lapangan berfoto di Hutan Kerinung pada hari terakhir penelitian sebagai memento. Anggota terdiri dari (kiri-kanan) M. Khalid Arrasyid, Fariz Ardianto, Fahrudin Raharja, Mas Yoffan Ramadhan (PEH TNDS), Demetria Alika Putri, Bang Aswan (Tenaga Kontrak TNBKDS), Gracia Melsiana, Mas Endra Wresni (PEH TNBK), Faizal Mustofa, M Ismail Hamsyah, dan Kresna Muharram.

BIOTIK

Keanekaragaman Serangga Pada Tingkat Kematangan Gambut Berbeda.

Tujuan: Mengetahui sebaran tingkat kematangan gambut; dan mengetahui keanekaragaman serangga pada tingkat kematangan gambut berbeda.

Data utama yang diambil di lapangan adalah keanekaragaman serangga dan sebaran tingkat kematangan gambut. Tim berhasil mengidentifikasi hingga 11 ordo atau 85 famili dan juga telah menemukan 2043 individu. Selanjutnya tim akan mengidentifikasi hingga kelas spesies dengan bantuan dari laboratorium. Diambil juga data pendukung yaitu analisis vegetasi dan burung. Di analisis vegetasi, ditemukan 941 individu baik dari tingkat semai, tiang, pancang, dan pohon di titik plot pada masing-masing titik pengamatan. Hasil pengamatan burung juga telah menemukan 182 individu dengan rincian jenis burung teridentifikasi ada 35 individu dan sisanya belum diidentifikasi.

ABIOTIK

Pemetaan Distribusi Spasial Stok Karbon Lahan Gambut Tropis Menggunakan Machine Learning Berbasis Data Pengindraan Jauh Resolusi Menengah.

Tujuan: Mengkaji akurasi metode machine learning berbasis data penginderaan jauh dalam memetakan distribusi spasial stok karbon lahan gambut tropis; dan memetakan distribusi spasial stok karbon di lahan gambut tropis menggunakan model machine learning berbasis data penginderaan jauh dan data lapangan.

Dari hasil pengamatan di Hutan Kerinung, tim telah menemukan hasil sebagai berikut: 36 titik sampel dengan rentang kedalaman 0.2–9.29 m dan melakukan pengeboran sebanyak 236 kali, 3 tingkat kematangan (Fibrik, Hemik, & Saprik) ditemukan dari keseluruhan titik, dan pengambilan 12 sampel tanah untuk pengukuran nilai bulk density serta 8 sampel tanah untuk pengukuran nilai carbon content. Kedalaman gambut yang ditemukan berkisar dari 0 cm hingga 926 cm. Diambil juga data pendukung yaitu foto tajuk tanaman pada titiktitik pengamatan.

DILEMA PARIWISATA DI KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI

Oleh: Rachmat Willy Adam

Saat ini, pariwisata telah mendatangkan beberapa perubahan di berbagai daerah di berbagai macam penjuru Indonesia, dan satu hal yang pasti perubahan tersebut terdapat di Pulau Jawa. Pariwisata sudah seperti menjadi sesuatu yang dapat beradaptasi dalam berbagai situasi dan kondisi suatu daerah. Seluruh penjuru di Indonesia seakan-akan selalu memiliki potensi pariwisata. Hampir semua kegiatan manusia yang merupakan satu-satunya spesies yang melakukan perjalanan wisata seperti berekreasi digolongkan sebagai kegiatan pariwisata. Bagaimana tidak, pengertian pariwisata yang kini dipahami oleh mayoritas pelaku wisata yakni adalah segala macam aktivitas manusia di luar lingkungan tempat tinggalnya untuk melakukan suatu hal untuk bersenang-senang, keperluan pendidikan, bisnis, maupun kesehatan, yang dilakukan secara sukarela dan atas keinginan sendiri, dilakukan lebih dari 24 jam , dan kurang dari satu tahun(UNWTO). Dari pengertian tersebut, maka dapat dinyatakan segala aktivitas rekreasi tidak dapat dinyatakan sebagai pariwisata, dan pariwisata juga tidak hanya mencakup kegiatan rekreasi saja

1. Jeep Lava Tour Sebagai Primadona Wisata Jajahan Lahar Merapi. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki salah satu landmark alami yang cukup melegenda, yakni Gunung Merapi. Pada hampir satu dekade terakhir ini, terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan terkait kegiatan ekonomi yang berasal dari sektor pariwisata di lereng gunung berapi ini. Letusan Merapi yang disinyalir meniscayakan berkah terhadap lahan sekitarnya ternyata tidak hanya menyuburkan tanahnya, tetapi juga menyuburkan aktivitas pariwisata yang mendatangkan manfaat ekonomi. Terbukti dengan maraknya akomodasi dan atraksi wisata yang ditawarkan. Jeep Lava Tour salah satunya. Berawal dari keterbatasan aksesibilitas yang memadai, masyarakat merintis usaha ojek wisata menggunakan motor trail, namun seiring perkembangan waktu akhirnya mulai banyak yang beralih ke mobil jeep karena bisa membawa lebih banyak penumpang dan memiliki sensasi yang berbeda dan lebih menantang. Kegiatan pariwisata di lereng Gunung Merapi ini akhirnya dilirik dan didukung oleh pemerintah dan pengurusannya diserahkan langsung kepada warga untuk dimanfaatkan sebagai kegiatan ekonomi. 2. Dari sapi hibah presiden SBY di masa itu, sampai ratusan jip berkuasa. Hingga pada saat tulisan ini dibuat, pariwisata masih menjadi sektor andalan masyarakat penyintas bencara erupsi di tahun 2010 silam. Selain tingginya permintaan, sediaan mobil jip untuk kebutuhan wisata ekstrim ini juga dapat dikatakan besar. Terdata sebanyak 500 lebih jumlah mobil jip yang kini beroperasi di kawasan ini dengan dinaungi oleh 29 komunitas jeep yang terbagi di lereng selatan Merapi bagian Cangkringan

dan Kaliurang. Menurut Kotir alias Bambang, Ketua Asosiasi Jeep Wisata Lereng Merapi (AJWLM), pemilik jeep yang beroperasi di kawasan Merapi, seluruhnya merupakan milik masyarakat setempat tanpa kecuali. Hal itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat yang berdampak langsung ke perekonomian mereka. Untuk supir atau driver yang sekaligus merangkap sebagai pemandu, masih diperbolehkan berasal dari masyarakat luar. Awal mulanya, presiden SBY yang kala itu menjabat memberikan satu ekor sapi untuk satu kepala keluarga guna menggantikan ternak mereka yang mati karena erupsi. Seiring berjalannya waktu, warga mulai menjual sapi untuk membeli motor trail. Kemudian dari motor trail bertambah ojek motor karena adanya pembangunan jalan dengan swadaya masyarakat. Sampai pada saat mobil jip menjadi pemeran utamanya, motor trail dan ojek kian berkurang. Hal itu berbanding lurus dengan sepadannya penghasilan dari jip ketimbang modal yang dibutuhkan. 3. Nasib masyarakat atas campur tangan pemerintah. Tidak semua pelaku wisata di lereng merapi memiliki kapasitas dan kemampuan tenaga yang sama. Para wanita dan golongan tua yang masih butuh untuk mencari nafkah tentu saja tidak ingin tertinggal peradaban. Mereka kerap bergelut di bagian gerbang masuk dan warung-warung yang tersebar di beberapa titik. Pariwisata diharapkan dapat memberikan dampak yang adil kepada seluruh lapisan masyarakat. Bahkan terdapat komunitas fotografer yang beranggotakan pemuda-pemuda setempat. Akan tetapi, tidak semua hal dikatakan memiliki dampak yang seimbang terhadap tingkat pendapatan. Perlu diperhatikan bahwa retribusi yang wisatawan bayarkan di pintu masuk sepenuhnya

merupakan hak masyarakat yang merupakan hasil inisiatif atas pembangunan pariwisata di kawasan rawan bencana tersebut. Birokrasi tidaklah semudah yang dibayangkan. Hak masyarakat yang tidak seberapa itu masih dimanfaatkan oleh dinas pariwisata sebagai ladang uang. Dikatakan ladang karena pengelolaannya sangat tidak transparan, tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada dukuh dan desa, begitulah yang disampaikan Eko (34) sebagai salah satu pendiri komunitas jip GMTC. Pembagian 4:6 tersebut dikatakan sulit dalam penyampaian kesepakatannya. Pasalnya, masyarakat diharuskan untuk menyetor keseluruhannya terlebih dahulu, barulah setelah itu mereka mengembalikan 6/10 bagiannya. Belum lagi adanya keterlambatan pengembalian yang pernah mencapai 3 bulan lamanya yang membuat masyarakat sengsara. 4. Oknum Penyebar Berita Pungli.

Trisno (42) dari komunitas Jeep 86 MJTC menyatakan bahwa seluruh operasional kegiatan wisata dimulai pukul 07.00 pagi dan semuanya murni usaha milik warga selama hal tersebut berada di dalam kawasan yang dibatasi oleh pintu retribusi, baik jeep, motor trail, warung, homestay, dan ojek. Beberapa tahun belakangan terdapat oknum yang memberikan pernyataan bahwa di kawasan lereng Merapi terdapat pungli yang mengharuskan wisatawan membayarkan sejumlah uang kepada petugas sebanyak Rp30.000,00. Nyatanya, hal tersebut merupakan ojek wisata yang ditawarkan di batas kendaraan wisatawan. Wisatawan memang diharuskan memarkirkan kendaraannya di lokasi tertentu dan tidak diperkenankan untuk naik hingga Bunker Kaliadem, meskipun tidak ada aturan tertulisnya. Wisatawan dipersilakan untuk memarkirkan kendaraannya di batas tersebut dan memiliki opsi berupa jalan kaki, menggunakan ojek wisata, menyewa motor trail, dan jeep untuk sekaligus lava tour. Semuanya bertujuan sama, yakni kesejahteraan masyarakat. Banyak wisatawan tidak menyadari itu dan ngeyel sehingga terkadang tidak dibawa susah oleh pengelola. Mereka dipersilakan memilih salah satu opsi tersebut atau pulang. Alih-alih percaya, hal tersebut dikatakan pungli oleh oknum ngeyel dengan dalih bahwa mereka bukan petugas resmi dari pemerintah sehingga tidak pantas untuk dipercaya. Satu fakta yang menarik bahwa wisatawan dapat membawa kendaraannya masuk gratis dari mulai pintu retribusi hingga Bunker Kaliadem sebelum pukul 6 pagi. Pak Trisno menyampaikan bahwa mereka paham mahasiswa memiliki keterbatasan ekonomi dan masyarakat tentunya tidak bisa piket selama 24 jam. Oleh sebab itulah, pengelola memberi kelonggaran dengan membuat jam kerja. Ia menyatakan bahwa dalam kesempatan sebelum jam 6 pagi tersebut merupakan peluang bagi mahasiswa yang rajin bangun pagi untuk dapat menikmati matahari terbit di Kaliadem dengan cuma-cuma. Alangkah sangat tidak etis bila kalangan mahasiswa yang menjadi oknum penyebar berita pungli di kawasan ini. 5. Mimpi Bersama Seluruh Masyarakat. Banyak hal yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat penyintas bencana erupsi ini. Harapan itu antara lain ialah diturunkannya status Merapi yang tidak kunjung reda dalam hampir 2 tahun ini. Hal tersebut dirasa cukup membantu dalam meningkatkan minat wisatawan untuk berkunjung, terutama dari tingkat keamanan dan risiko yang ada. Kemudian pembangunan aksesibilitas di daerah tempat tinggal mereka. Masih terdapat jalan yang rusak dan tidak diperhatikan oleh pemerintah walaupun di luar kawasan rawan bencana yang memang diatur untuk tidak dibangun. Namun di luar batas tersebut? Tentunya harus tetap dibangun. Temuan lain di lapangan yakni adanya ketidakmerataan sebaran wisatawan dan ketimpangan jumlah kunjungan di lereng selatan bagian barat (Kaliurang) dan timur (Cangkringan). Kawasan timur cenderung lebih ramai karena atraksi utama lebih banyak dilakukan di daerah tersebut. Sebelum bencara erupsi melanda kawasan tersebut, kawasan barat cukup ramai akibat adanya objek wisata seperti Tlogo Putri dan Gua Jepang. Belum lagi ditambah villa-villa dan wisma yang tersebar di sepanjang jalan. Kini kawasan tersebut sepi dan tidak sebanding ramainya dengan kawasan timur. Maka dari itu strategi pemerataan sebaran wisatawan sangat diperlukan. Baik oleh pengelola maupun pemerintah, keduanya harus saling berusaha.

Dibutuhkan kesadaran dari berbagai pihak, baik pengelola, masyarakat, pemerintah, dan juga wisatawan. Semuanya adalah unsur penting, pengelola dan pemerintah haruslah bisa membuat pemerataan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kemudian masyarakat juga harus banyak belajar bahwa tanpa kemandirian dan mengikuti arus perubahan zaman mereka tidak dapat membuat dirinya sendiri sejahtera. Lalu yang terakhir adalah dari sisi wisatawan, perlu diingat bahwa terdapat pepatah yang menyatakan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Janganlah menjadi wisatawan yang mendatangkan kerugian bagi masyarakat setempat tanpa tahu permasalahannya. Jadilah wisatawan cerdas dan juga turut mengerti keadaan masyarakat yang ada.

TelusuR JIWA DALAM SETIAP PERJALANAN

MAHASISWA PENCINTA ALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA 2020

This article is from: