Di Mana Uang Kami?
Advokasi Anggaran di Indonesia
Kumpulan Kisah Advokasi Anggaran
diterbitkan atas kerja sama
Di Mana Uang Kami? Advokasi Anggaran di Indonesia Penulis Ari Nurman A Siswanto Darsono Delima Silalahi Fahriza Fitria Muslih MS. Wa’i Mimin Rukmini
Nandang Suherman Nurul Sa’adah Andriani Saeful Muluk Setyo Dwi Herwanto Wasingatu Zakiyah Yemmestri Enita Yuna Farhan
Editor Wahyu W. Basjir (Bahasa Indonesia) dan Debbie Budlender (Bahasa Inggris) Penerjemah Ida Nurwidya, Rahmi Yunita, Theresia Wuryantari Penyelaras akhir Valentina Sri Wijiyati dan Wasingatu Zakiyah Penata Letak F. Ulya Himawan
Perancang Sampul Agus Eko Purwanto
Cetakan Pertama, Mei 2011
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Di Mana Uang Kami? Advokasi Anggaran di Indonesia/Ari Nurman, dkk./Yogyakarta: IDEA, Mei 2011 xiv + 156 halaman 16 x 24 cm
ISBN: 978-602-99372-0-6
1. Uang Kami 2. Advokasi Anggaran 3. Kumpulan Kisah I JUDUL
IDEA – INISIATIF – LAKPESDAM NU PATTIRO – Seknas FITRA International Budget Partnership
Perkumpulan IDEA Jl. Kaliurang KM 5 Gg Tejomoyo III / 3 Yogyakarta 55281 idea@ideajogja.or.id www.ideajogja.or.id
Kata Pengantar Perjalanan advokasi anggaran di Indonesia berawal dari maraknya gerakan anti korupsi, tepatnya sejak dimulainya era otonomi daerah pada tahun 2000. Korupsi yang awalnya sentralistik pun ikut bergeser ke provinsi dan kabupaten/kota. Lembaga eksekutif dan parlemen daerah menjadi sarang korupsi. Perlawanan terhadap korupsi inilah yang menjadi agenda awal para pegiat advokasi anggaran, seiring dengan pemberlakuan desentralisasi fiskal. Selanjutnya advokasi anggaran bergeser untuk menakar alokasi anggaran dalam pemenuhan hak dasar sekaligus mendorong proses penganggaran yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Buku yang sedang Anda baca ini berusaha mendokumentasikan pengalaman para pegiat advokasi anggaran ketika berurusan dengan berbagai kasus korupsi dan pengelolaan anggaran daerah yang buruk. Cakupan pengalaman yang direkam dalam naskah ini cukup luas. Laporan Seknas Fitra, Tiada Kata Cukup? misalnya, menunjukkan advokasi anggaran tidak lepas dari aspek peraturan dan perundang-undangan.
Pada bagian yang lain, PATTIRO Malang membagi pengalaman mereka mendorong pembentukan dan implementasi anggaran daerah yang berorientasi pemenuhan hak dasar warga negara, khususnya pendidikan. Pengalaman advokasi mereka dapat disimak pada artikel Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA.
Kata Pengantar
Pemenuhan hak atas kesehatan juga menjadi sasaran gerakan advokasi anggaran. Kemendesakan isu ini menyedot banyak sumber daya organisasiorganisasi masyarakat sipil, salah satunya adalah Perkumpulan Inisiatif, Bandung. Upaya mereka menyusun landasan kebijakan anggaran yang menjamin akses kepada layanan kesehatan yang murah tertuang dalam Sehat Itu Murah dan Mudah. Peraturan Daerah tentang jaminan kesehatan itu diharapkan menjadi starting point agar layanan kesehatan bagi warga miskin murah dan mudah dijangkau.
Dari sekian banyak permasalahan kesehatan di Indonesia, kesehatan reproduksi perempuan dan anak menjadi bagian yang cukup menonjol. Angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, berbagai kasus anak kurang gizi (bayi lahir dengan berat badan rendah) melatarbelakangi gerakan advokasi anggaran kesehatan yang dilakukan oleh kelompok perempuan. Keterlibatan perempuan dalam pos pelayanan terpadu atau lebih dikenal dengan Posyandu menjadi inspirasi bagi PATTIRO Surakarta untuk menjawab tantangan advokasi di sektor itu. Laporan mereka ada dalam artikel Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD Di Posyandu.
Mendorong peran kelompok marginal dalam melakukan advokasi anggaran dalam pemenuhan hak dasarnya juga dilakukan oleh kelompok difabel (different ability). Upaya SAPDA dalam Mendorong Kebangkitan Difabel untuk Memperjuangkan Hak mulai terwujud dari proses advokasinya yang dilakukan di Yogyakarta. Hal serupa dilakukan oleh kelompok petani yang diorganisasi oleh KSPPM di Kabupaten Tapanuli Utara. Di Indonesia yang adalah negara agraris dengan penduduk yang rata-rata bertani, sudah selayaknya petani lebih sejahtera dan mendapat alokasi anggaran yang memadai untuk meningkatkan hasil pertanian. Tulisan yang bertajuk Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan menceritakan upaya petani dalam advokasi anggaran pertanian.
iv | Di Mana Uang Kami?
Kata Pengantar
Pemenuhan hak ekonomi sosial budaya sebagai hak dasar warga negara melalui anggaran tersebut dilengkapi oleh advokasi proses penganggaran untuk pemenuhan hak sipil dan politik. Dalam siklus penganggaran yang diawali dengan perencanaan, posisi tawar masyarakat sipil serta kelompok marjinal akan sangat mempengaruhi arah kebijakan anggaran. Dengan kata kunci partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, perbaikan proses penganggaran dilakukan oleh elemen masyarakat sipil.
Upaya mendorong Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah dilakukan oleh P3ML di Kabupaten Sumedang. Melalui Perda Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah, gagasan tentang pagu indikatif kewilayahan dan Forum Delegasi Musrenbang ditetapkan dalam Perda. Perda ini menjadi rujukan bagi advokasi di banyak daerah di Indonesia. Selain pelembagaan proses penganggaran dalam sebuah peraturan perundangan, penguatan proses penganggaran dilakukan pula dengan mengkonsolidasikan seluruh elemen masyarakat sipil di daerah. Jejaring masyarakat sipil menjadi kekuatan untuk mempengaruhi anggaran daerah. Pengalaman yang relevan mengenai hal itu ditulis oleh FITRA Riau dalam artikel Realokasi Anggaran Menuju Efektivitas dan Efisiensi.
Mendorong kelompok penekan (pressure group) dalam memperjuangkan alokasi anggaran yang berpihak pada rakyat, sangat efektif dan menggerakkan. Salah satunya adalah pengalaman Lakpesdam NU yang dicatat dalam Ketika Rakyat bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran. Melalui Batsul Masail sebagai metode pengambilan keputusan para ulama, permasalahan anggaran dibahas dan diselesaikan. Pengalaman di Kabupaten Cilacap ini bisa menjadi model yang efektif bagi daerah lain untuk memperkuat advokasi.
Advokasi Anggran di Indonesia
| v
Kata Pengantar
Selain mendorong kelompok keagamaan untuk terlibat dalam proses penganggaran, beberapa lembaga yang peduli pada anggaran responsif gender mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran. Mereka tidak hanya mengejar kuota minimum perempuan 30 % dalam partisipasi politik tetapi membuat prosedur sendiri untuk menggabungkan perempuan dalam satu suara melalui Musrenbang perempuan. Pengalaman IDEA dalam Tiada Maknanya Partisipasi Tanpa Alokasi diharapkan menjadi model partisipasi dengan alokasi yang jelas.
Beragam catatan proses advokasi anggaran inilah yang dipaparkan dalam buku yang berjudul Di Mana Uang Kami? Advokasi Anggaran di Indonesia. Buku yang dicetak dalam dua bahasa ini diharapkan bisa memberikan gambaran catatan pelaku advokasi anggaran secara langsung. Kami berharap cerita-cerita keberhasilan, kegagalan, dan perubahan-perubahan yang ada dalam naskah ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca dalam memahami advokasi anggaran di Indonesia.
Proses merangkum kisah ini merupakan salah satu tindak lanjut pertemuan lima lembaga advokasi anggaran (IDEA –Inisiatif – Lakpesdam NU – PATTIRO – Seknas FITRA). Kelima lembaga ini berproses atas dukungan Partnership Initative of the International Budget Partnership untuk memberikan gambaran perubahan paling signifikan dalam advokasi anggaran yang dilakukan di Indonesia. Harus diakui bahwa pegiat advokasi anggaran yang bersemangat dalam proses melakukan advokasi seringkali compang-camping dalam melakukan penulisan pengalamannya. Namun upaya keras para penulis untuk menghadirkan dan merangkum kembali catatan dan ingatannya patut mendapat apresiasi.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada tim inti kolaborasi 5 lembaga, para penulis, penyunting, dan penerjemah yang telah berproses menghadirkan buku ini. Ucapan terima kasih secara istimewa kami
vi | Di Mana Uang Kami?
Kata Pengantar
sampaikan kepada Debbie Budlender –merupakan bagian dukungan Partnership Initiative --yang sangat telaten memberikan saran dan memandu dengan pertanyaan-pertanyaan tajam selama penyusunan buku ini. Selain itu, tim International Budget Partnership yang telah mendukung proses penulisan ini berhak atas ucapan terima kasih yang dalam dari kami. Kami berharap buku ini dapat menjadi sumbangsih yang bernilai bagi advokasi anggaran di Indonesia dan menjadi inspirasi bagi negara lain.
Yogyakarta, 20 Mei 2011
IDEA - Inisiatif - Lakpesdam NU PATTIRO – Seknas FITRA
Advokasi Anggran di Indonesia
| vii
Daftar Isi Halaman Judul ~ i
Kata Pengantar ~ iii Daftar Isi ~ vii
Daftar Tabel ~ x Daftar Boks ~ xi
Daftar Bagan ~ xii Tiada Kata Cukup?: Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD ~ 1
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA: Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan Di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur ~ 19
Sehat Itu Murah dan Mudah: Pengalaman Advokasi Penyediaan Jaminan Akses Kesehatan Bagi Rakyat Miskin Di Kabupaten Bandung ~ 37 Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD Di Posyandu: Pengalaman Kelompok Perempuan Mengadvokasi Anggaran Di Kota Surakarta ~ 51
Kebangkitan Difabel untuk Memperjuangkan Hak: Upaya Mengorganisasi Kelompok Difabel untuk Memperoleh Jaminan Kesehatan Di ProvinsiDIY ~ 65
viii | Di Mana Uang Kami?
Daftar Isi
Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan: Pengalaman Mengorganisasi Petani Melakukan Advokasi Anggaran Di Kabupaten Tapanuli Utara ~ 77
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah: Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang ~ 93 Realokasi Anggaran Menuju Efektivitas dan Efisiensi: Upaya Masyarakat Sipil Menolak RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 ~ 113
Ketika Rakyat bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran: Pengalaman Penolakan atas Program Simpemdes di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah ~ 125 Tiada Maknanya Partisipasi Tanpa Alokasi: Musrenbang Perempuan, Bukan Partisipasi Tanpa Alokasi ~ 139 Para Penulis ~ 150
Advokasi Anggran di Indonesia
| ix
Daftar Tabel Tabel 1.1. Perkiraan Take Home Pay DPRD Provinsi Menurut PP No. 37 Tahun 2005 dan PP No. 37 Tahun 2006 (dalam Rupiah) ~ 5 Tabel 1.2. Penghasilan Tambahan Anggota DPRD menurut PP No. 37 Tahun 2006 (dalam Rupiah) ~ 6
Tabel 1.3. Persentase Penyerapan Gaji Tambahan (GT) DPRD terhadap Alokasi Belanja Langsung Pelayanan Dasar APBD Tahun 2006 di 6 Kabupaten/kota ~ 8 Tabel 1.4. PP No. 37 Tahun 2006 vs PP No. 21 Tahun 2007 ~ 14
Tabel 2.1. Penghitungan BOSDA Kota Malang (dalam Rupiah) ~ 22
Tabel 4.1. Perkiraan Kebutuhan Anggaran Pengelolaan Posyandu untuk 1 Tahun (dalam rupiah) ~ 54 Tabel 4.2. Alokasi Anggaran PMT Balita di Posyandu dalam APBD/APBD Perubahan Kota Surakarta 2004-2008 ~ 61 Tabel 7.1. Rekap Usulan Kegiatan Hasil Musrenbang Kecamatan Ujungjaya Tahun 2006 ~ 96
Tabel 7.2. Usulan Warga Yang Diakomodasi Pada APBD Kabupaten Sumedang Tahun 2009 ~ 108
Tabel 10.1. Perubahan alokasi APBD Kabupaten Bantul terkait usulan melalui Musrenbang Perempuan ~ 147
x | Di Mana Uang Kami?
Daftar Boks Boks 3.1. Desain advokasi kesehatan gratis di Kabupaten Bandung ~ 40 Boks 3.2. Analisis potensi penghematan anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung (dalam Rupiah) ~ 43
Boks 3.3. Kalkulasi pembiayaan jaminan layanan kesehatan menurut model ~ 45
Advokasi Anggran di Indonesia
| xi
Daftar Bagan
Bagan 10.1. Langkah pengorganisasian komunitas perempuan ~ 144 Bagan 10.2. Kanalisasi hasil Musrenbang Perempuan ke Musrenbang Kabupaten ~ 146
xii | Di Mana Uang Kami?
Advokasi Anggran di Indonesia
| xiii
Tiada Kata Cukup?
Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD oleh: Yuna Farhan
RINGKASAN Kasus-kasus korupsi tunjangan pensiun yang menjerat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 1999-2004 yang tidak ada habisnya tampaknya akan terulang lagi. Pada periode 2004-2009, Rp 1,4 triliun anggaran daerah justru akan mengucur ke kantong anggota DPRD, yang seharusnya memperjuangkan alokasi anggaran untuk rakyat. Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2006 yang memberikan tambahan penghasilan bagi anggota DPRD, yang berlaku surut mulai Januari 2006, telah membangkitkan amarah publik. Koalisi Nasional, yang terdiri dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, melakukan penolakan terhadap PP ini. Akhirnya, Presiden merevisi PP ini dan mengharuskan DPRD mengembalikan tunjangan yang terlanjur mereka terima.
Tiada Kata Cukup?
PROFIL LEMBAGA Bergulirnya reformasi diikuti menguatnya tuntutan terhadap tata kelola pemerintahan yang baik dan anggaran negara yang lebih mensejahterakan rakyat. Di awal masa reformasi, anggaran masih dianggap sebagai rahasia
negara dan merupakan ranah birokrasi. Negara menganggap rakyat tidak perlu tahu penganggaran sehingga hak-hak rakyat atas kedaulatan terhadap anggaran negara masih diabaikan. Latar ini melahirkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) sebagai perintis gerakan advokasi anggaran pada Bulan September 1999.
Dengan visi mewujudkan kedaulatan rakyat atas anggaran, FITRA mengemban misi mendorong transparasi dan melakukan pengawasan penganggaran negara serta memastikan anggaran negara disusun berdasarkan dan berorientasi pada kebutuhan rakyat. Keanggotaan FITRA yang semula ada di 7 (tujuh) daerah, saat ini telah meluas menjadi 13 daerah. FITRA juga telah mengembangkan jaringan gerakan advokasi anggaran di 45 daerah. Berkembangnya jaringan gerakan advokasi anggaran telah menjadikan FITRA sebagai rujukan dalam isu-isu anggaran. Berbagai advokasi FITRA mendapatkan apresiasi liputan media massa secara luas. Setelah Pertemuan Nasional pada tahun yang sama, FITRA makin jelas melihat bahwa anggaran belum menjadi gerakan sosial yang menjadi instrumen advokasi dalam berbagai isu. Untuk menjawab tantangan itu, FITRA ditugasi untuk menjadikan anggaran sebagai gerakan sosial dengan melahirkan pusat sumber daya anggaran. Pusat sumber daya ini diharapkan bisa menjadi pusat analisis, data informasi, advokasi, dan penguatan kapasitas terkait anggaran.
2 | Di Mana Uang Kami?
Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD
ANALISIS SITUASI Sejak pemberlakuan otonomi daerah, pengaturan hak keuangan DPRD yang pertama kali dikeluarkan adalah PP No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Pada akhir masa jabatan, banyak anggota
DPRD terjerat kasus korupsi karena melanggar PP ini. Kasus ini terutama berkaitan dengan pemberian uang pensiun yang tidak dibenarkan oleh PP ini. PP ini pun mendapat perlawanan dari sejumlah anggota DPRD, yang berujung pada uji materi terhadap PP tersebut karena dianggap bertentangan dengan UU yang lebih tinggi. Mahkamah Agung (MA) mengabulkan tuntutan uji materi dan menyatakan PP ini tidak belaku.
Setelah PP No. 110 Tahun 2000 tidak lagi berlaku, Pemerintah hampir setiap tahun menerbitkan regulasi yang mengatur penghasilan DPRD. Berturut-turut, mulai tahun 2004, Pemerintah menetapkan PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang kemudian diubah pertama kali dengan PP No. 37 Tahun 2005 dan kedua kali melalui PP No. 37 Tahun 2006. Terakhir, perubahan ketiga dikeluarkan melalui PP No. 24 Tahun 2007 setelah PP sebelumnya mendapat perlawanan advokasi masyarakat sipil yang akan menjadi inti cerita tulisan ini. Apa sebenarnya yang menyebabkan kerap bergantinya PP keuangan DPRD? Pada PP No. 110 Tahun 2000, uang akhir masa jabatan atau purna bakti dan tunjangan perumahan tidak diperbolehkan, sementara PP No. 24 Tahun 2004 mengatur adanya pemberian uang purnabakti. Tunjangan perumahan pada PP No. 24 Tahun 2004 akhirnya menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena adanya keharusan untuk memberikan bukti fisik rumah yang disewa oleh DPRD. Akhirnya Pemerintah menyikapi hal ini dengan melakukan perubahan pertama melalui PP No. 37 Tahun 2005. PP ini menyatakan tunjangan perumahan dapat diberikan sebagai penghasilan tanpa harus ada bukti rumah yang disewa. Hal ini memperjelas bahwa perubahan PP ini masih bersifat tambal-sulam berdasarkan kasus dan tuntutan DPRD.
Advokasi Anggaran di Indonesia
|3
Tiada Kata Cukup?
Pada tahun 2006, publik dicengangkan oleh perubahan ketiga Peraturan Keuangan DPRD. Pasalnya, tanpa diduga-duga PP No. 37 Tahun 2006 menambah jenis penghasilan anggota DPRD di seluruh Indonesia. Jenis penghasilan tersebut adalah tunjangan komunikasi intensif (TKI) yang besarnya tiga kali uang representasi dan Biaya Penunjang Operasional Pimpinan (BPOP) yang besarnya enam kali uang representasi. Permasalahan lain dari PP ini adalah berlaku surutnya PP ini mulai Januari 2006. Padahal, PP ini baru ditetapkan pada tanggal 14 November 2006 atau satu bulan sebelum tahun anggaran 2006 berakhir. Berdasarkan analisis FITRA, PP ini akan membebani keuangan daerah dan melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Masalah ini menjadi pemicu lahirnya gerakan penolakan terhadap PP yang terdiri dari berbagai LSM di seluruh Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak PP No. 37 Tahun 2006.
METODOLOGI Mempersiapkan Amunisi Melalui Analisis Komprehensif Sekretariat Nasional (Seknas) FITRA meyakini keberhasilan advokasi ditentukan oleh analisis masalah dan validitas data. Oleh karena itu, Seknas FITRA melakukan analisis awal sebagai bahan advokasi yang akan digunakan secara komprehensif. Berikut adalah ringkasan analisis dari tiga sudut pandang; implikasi kebijakan, kepatuhan, dan konflik perundang-undangan. Analisis Implikasi Pemberlakuan PP terhadap Keuangan Daerah
Seknas FITRA melakukan analisis simulasi pemberlakuan PP ini terhadap beban keuangan yang harus dikeluarkan oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seluruh daerah. Dengan rata-rata 35 (tiga puluh lima) orang anggota DPRD per daerah, total 434 (empat ratus tiga puluh empat) kabupaten/kota di seluruh Indonesia membutuhkan anggaran TKI dan biaya operasional Rp 1,4 triliun per tahun di luar biaya Sekretariat
4 | Di Mana Uang Kami?
Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD
DPRD. Di awal 2007, anggota DPRD akan mendapatkan rapel TKI tahun 2006 sebesar Rp 75,6 juta/orang untuk anggota DPRD kabupaten/ kota dan Rp 108 juta/orang untuk anggota DPRD provinsi. Sementara itu, Ketua dan Wakil Ketua DPRD mendapatkan tambahan tunjangan operasional Rp 226 juta/orang untuk ketua DPRD kabupaten/kota dan Rp 156,24 juta/orang untuk Wakil Ketua. Demikian halnya dengan DPRD provinsi, masing-masing memperoleh rapelan sebesar Rp 324 juta/orang untuk Ketua dan Rp 223,2 juta/orang untuk Wakil Ketua. Tabel 1.1. Perkiraan Take Home Pay DPRD Provinsi Menurut PP No. 37 Tahun 2005 dan PP No. 37 Tahun 2006 (dalam Rupiah) Jenis Penghasilan Uang Representasi Uang Paket
Tunjangan Beras
Tunjangan Isteri/Suami Tunjangan Anak Tunjangan Anggota Komisi Tunjangan Anggota Panitia Musyawarah Honorarium Panitia Anggaran (Panggar) Honorarium Badan Kehormatan (BK) Tunjangan Jabatan
Tunjangan Komunikasi
Dana Operasional
Menurut PP No. 37 Tahun 2005 Wakil Ketua Anggota ketua
Menurut PP No. 37 Tahun 2006 Wakil Ketua Anggota Ketua
3.000.000
2.400.000
2.250.000
3.000.000
2.400.000
2.250.000
95.200
95.200
95.200
95.200
95.200
95.200
300.000
240.000
225.000
300.000
240.000
225.000
300.000
240.000
225.000
300.000
240.000
225.000
-
-
130.500
-
-
130.500
326.250
217.500
130.500
326.250
217.500
130.500
326.250
217.500
130.500
326.250
217.500
130.500
-
-
130.500
-
-
130.500
4.350.000
3.480.000
3.262.500
4.350.000
3.480.000
3.262.500
-
-
-
18.000.000
9.600.000
-
120.000
-
96.000
-
Advokasi Anggaran di Indonesia
45.000
-
|5
120.000
9.000.000
96.000
9.000.000
45.000
9.000.000
Tiada Kata Cukup?
Jumlah
8.817.700
6.986.200
Jumlah Kenaikan
6.624.700
Persentase Kenaikan
35.817.700
25.586.200
15.624.700
306
266
136
27.000.000
18.600.000
9.000.000
Sumber : Seknas FITRA,2007 * Asumsi : Setiap anggota DPRD Provinsi sebagai anggota Komisi, Panitia Musyawarah, Panggar, dan BK.
Tabel 1.2. Penghasilan Tambahan Anggota DPRD menurut PP No. 37 Tahun 2006 (dalam Rupiah) Penghasilan Tambahan Ketua A. Untuk DPRD di 434 kabupaten / kota Tunjangan Komunikasi 6.300.000
Dana Operasional 12.600.000 Total per bulan 18.900.000 Total Rapelan 2006 226.800.000 (Jan-Des) Total Rapelan per kabupaten/ kota Total Rapelan 2006 untuk Ketua,Wakil Ketua, dan Anggota pada 434 98.431.200.000 kabupaten/ kota Total Keseluruhan Rapelan 2006 untuk 434 kabupaten/ kota B. Untuk DPRD di 33 Provinsi Tunjangan Komunikasi 9.000.000 Dana Operasional Total per bulan Rapelan 2006 (Jan-Des) Total Rapelan Untuk 33 Provinsi Total penyerapan rapelan 2006 untuk Ketua,Wakil Ketua, dan Anggota Total Keseluruhan Rapelan 2006 untuk 33 Provinsi TOTAL A + B
Wakil Ketua
6.300.000
6.720.000 13.020.000
156.240.000
135.616.320.000
Anggota
6.300.000 0 6.300.000
75.600.000
2.958.480.000 1.049.932.800.000 1.283.980.320.000
9.000.000
9.000.000
18.000.000 27.000.000 324.000.000
9.600.000 18.600.000 223.200.000
0 9.000.000 108.000.000
10.692.000.000
22.096.800.000
146.124.000.000 178.912.800.000
1.462.893.120.000 (satu triliun empat ratus enam puluh dua miliar delapan ratus sembilan puluh tiga juta seratus dua puluh ribu Rupiah)
Sumber : Seknas FITRA,2007
6 | Di Mana Uang Kami?
Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD
Analisis Implikasi PP terhadap Alokasi Belanja Pelayanan Publik Seknas FITRA juga menganalisis pemberlakuan PP pada daerah-daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) kecil dan kemampuan fiskal terbatas, serta implikasinya dengan alokasi belanja pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Penambahan penghasilan DPRD berupa tunjangan komunikasi intensif sebanyak 3 kali uang representasi dan dana operasional sebesar 6 kali uang representasi yang dibayarkan mulai Januari 2006, akan semakin membebani APBD. Daerahdaerah dengan PAD kecil akan dipaksa mengalokasikan anggaran untuk penghasilan DPRD dan menepikan pemenuhan pelayanan bagi warganya.
Di Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara, misalnya, PAD sebesar Rp 6 miliar habis dialokasikan untuk belanja DPRD-nya sebesar Rp 6 miliar, di luar belanja Sekretariat DPRD. PAD daerah-daerah miskin seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kemungkinan besar tidak akan cukup untuk memikul belanja itu. Akibatnya, belanja pemenuhan hak-hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan akan diabaikan atau mendapatkan prioritas yang lebih rendah. Di lima kabupaten lain yang dianalisis, belanja itu menghabiskan 30% PAD.
Advokasi Anggaran di Indonesia
|7
Tiada Kata Cukup?
Tabel 1.3. Persentase Penyerapan Gaji Tambahan (GT) DPRD terhadap Alokasi Belanja Langsung Pelayanan Dasar APBD Tahun 2006 di 6 Kabupaten/kota
No
1 2 3 4 5 6
Daerah
Kab. Malang Kab. Gresik Kab. Lamongan Kab. Bima Kab. Sumbawa Kab. Polmas
PAD (dalam Rupiah)
GT DPRD (PP No. 37 Tahun 2006) dalam Rupiah
51.650.690.000
2.958.480.000
85.069.890.031
2.958.480.000
32.744.377.250
2.958.480.000
19.467.971.714
2.958.480.000
21.056.994.000
2.958.480.000
9.824.194.400
Sumber : Seknas FITRA
2.958.480.000
% GT DPRD terhadap PAD
% GT DPRD Terhadap Belanja Langsung Pelayanan Dasar Belanja Langsung Pendidikan (BLP) dalam Rupiah
% GT DPRD terhadap BLP
6
19.080.196.000
16
9
20.911.312.500
14
23.798.351.069
4
21.211.643.100
15
19.544.763.190
30
17.138.371.500
Belanja Langsung Kesehatan (BLK) dalam Rupiah
16.712.533.000
14
25.333.460.140
15
16.156.882.825
17
26.830.702.210
14
15.072.217.500
12
18.405.529.114
% GT DPRD terhadap BLK 18 12 20 18 16 11
Analisis Pertentangan Peraturan Perundang-undangan. Isi PP ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di berbagai daerah tentang pengelolaan anggaran. Tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional per Januari 2006 tidak dapat dibenarkan untuk dibayarkan melalui APBD Perubahan 2006 karena tidak sesuai dengan amanat Pasal 183 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 80 Ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Pasal-pasal itu menyatakan perubahan APBD ditetapkan paling lambat 3 bulan sebelum tahun anggaran berakhir atau paling lambat 31 September. Padahal PP ini baru ditetapkan pada tanggal 14 November 2006. Selain itu, APBD 2007 juga tidak bisa mengalokasikan tunjangan ini untuk dibayarkan mulai Januari 2006 karena bertentangan
8 | Di Mana Uang Kami?
Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD
dengan Pasal 4 UU No. 17 Tahun 2003; Pasal 179 UU No. 32 Tahun 2004; Pasal 68 UU No. 33 Tahun 2004; Pasal 11 UU No. 1 Tahun 2004. Tahun anggaran dalam APBD adalah 1 tahun anggaran mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Ini berarti APBD 2007 tidak bisa mengalokasikan pembayaran tunjangan komunikasi dan dana operasional tahun 2006.
Menyusul terbitnya PP ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melalui Surat Edaran (SE) No. 188.31/1121/BAKD tanggal 20 November 2006 tentang Penyampaian Salinan PP No. 37 Tahun 2006 secara terbuka menganjurkan terjadinya pelanggaran UU. SE tersebut menyatakan bahwa daerah yang telah melakukan perubahan APBD namun belum mengalokasikan tunjangan komunikasi insentif dan dana operasional dapat membayarkan dana itu kepada anggota DPRD, sepanjang dananya tersedia dalam kas daerah. Padahal, Pasal 192 Ayat (3) dan (4) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan; Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja daerah jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD. dan Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, pimpinan DPRD, dan pejabat daerah lainnya, dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.
Dan Pasal 3 Ayat (2) dan (3) UU No. 1 Tahun 2004 menyatakan: Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah dan Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
Advokasi Anggaran di Indonesia
|9
Tiada Kata Cukup?
Menggalang Koalisi Berdasarkan hasil analisis, FITRA mengundang LSM lain yang peduli isu anggaran dan anti korupsi untuk membahas persoalan PP No. 37 Tahun 2006. Dalam pertemuan ini, Koalisi Nasional Tolak PP No. 37 Tahun 2006 sepakat untuk segera melakukan konferensi pers bersama dan menggalang Koalisi LSM yang lebih luas. Koalisi menyepakati Seknas FITRA sebagai sekretariat untuk mengorganisasikan advokasi. Seknas FITRA menyebarluaskan hasil analisis dan tawaran untuk bergabung dalam koalisi melalui mailing list. Selain dari anggota FITRA di berbagai daerah, dukungan datang dari sejumlah LSM yang bidang kerjanya tidak secara langsung berhubungan dengan isu ini. Beberapa di antara LSM itu bergerak di wilayah isu lingkungan hidup dan hak-hak perempuan. Secara keseluruhan, tidak kurang dari 45 lembaga melakukan aksi bersama. Aksi Bersama
Tekanan yang dilakukan bersama Koalisi Nasional untuk menolak pemberlakuan PP No. 37 Tahun 2006 ini dilakukan di tingkat nasional dan daerah. Aksi-aksi yang dilakukan mendapat respons positif dari media. Konferensi Pers
Untuk menggalang opini dan dukungan publik, konferensi pers dilakukan bukan hanya pada awal advokasi. Langkah ini juga diulang ketika Koalisi Nasional merespons sikap pengambil kebijakan terutama Presiden dan Departemen Dalam Negeri serta Asosiasi DPRD. Setiap kali aksi demonstrasi maupun aksi simpatik dilakukan, konferensi pers juga diselenggarakan. Media massa cetak dan elektronik memberikan respons yang luas terhadap konferensi pers yang dilakukan Koalisi Nasional. Anggota Koalisi Nasional, termasuk Seknas FITRA, kerap dimintai komentar oleh media massa dan diundang untuk tampil dalam unjuk wicara di televisi membahas persoalan ini.
10 | Di Mana Uang Kami?
Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD
Penulisan Artikel Penulisan artikel dilakukan untuk menyebarkan opini secara utuh mengenai sikap Koalisi Nasional. Di media nasional, artikel anggota Koalisi Nasional yang dimuat di antaranya di Harian Kompas dengan judul Menggali Kuburan Parlemen Daerah dan di Harian Seputar Indonesia dengan judul Menanti Ke(Tidak)tegasan SBY. Penggalangan Dukungan Tokoh Lintas Agama
Untuk menguatkan upaya advokasi, Koalisi Nasional menggalang dukungan dari tokoh keagamaan. Tokoh-tokoh yang dihubungi antara lain Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H Ahmad Bagja, sebagai representasi organisasi massa Islam dan Romo Benny Susetyo dari kalangan Katolik. Pertemuan Koalisi Nasional dengan tokoh agama ini juga disertai jumpa pers dan mendapatkan liputan media. Aksi Simpatik Penggalangan Tanda Tangan
Guna mendapat dukungan secara luas dari publik atas advokasi ini, Koalisi Nasional melakukan penggalangan tanda tangan dari masyarakat secara luas. Penggalangan tanda tangan dilakukan di tempat-tempat publik pada hari-hari libur, terutama hari Minggu, di Kawasan Senayan. Tanda tangan bukti dukungan terhadap upaya Koalisi Nasional ini dibubuhkan pada kain spanduk sepanjang 50 meter yang kemudian digunakan pada saat demonstrasi. Aksi Demonstrasi
Aksi demonstrasi tidak hanya dilakukan di Jakarta sebagai Ibu Kota namun juga di berbagai daerah dengan tuntutan yang sama, yakni menolak pemberlakuan PP No. 37 Tahun 2006. Di Jakarta, aksi dilakukan ke Istana Negara, Departemen Dalam Negeri, dan Mahkamah Agung. Aksi diikuti oleh elemen Koalisi Nasional dan beberapa simpatisan dari elemen mahasiswa.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 11
Tiada Kata Cukup?
Somasi Kepada Presiden Sebagai pihak yang menandatangani PP No. 37 Tahun 2006, Presiden menjadi target advokasi. Pada tanggal 12 Januari 2007 Koalisi Nasional melayangkan Somasi kepada Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan atau mencabut PP No. 37 Tahun 2006. Sebelum menandatangani PP, Presiden seharusnya melihat implikasi pemberlakuan PP ini. Aksi-aksi dan somasi yang dilakukan Koalisi Nasional mendapatkan respons dari Presiden. Presiden segera menggelar rapat Kabinet terbatas yang melibatkan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan serta membentuk Tim untuk melakukan kajian terhadap PP ini.
Uji Materi
Uji materi menjadi langkah terakhir yang ditempuh oleh Koalisi Nasional. Dari awal, Koalisi Nasional menempuh jalur advokasi non-litigasi dan menghindari litigasi. Advokasi litigasi memakan proses yang panjang dan tertutup pada tahap uji materi ke Mahkamah Agung. Pendaftaran uji materi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap PP pengganti PP No. 37 Tahun 2006 yakni PP No. 21 Tahun 2007 sebagai perubahan keempat dilakukan pada 18 Juni 2007. Pendaftaran berkas itu dicatat dengan nomor register perkara 11 P/HUM/2007 tanggal 4 Juli 2007. Advokasi litigasi ini sebenarnya merupakan langkah untuk memperkuat tekanan advokasi non-litigasi agar DPRD mau mengembalikan Tunjangan Komunikasi yang terlanjur dikucurkan oleh daerah. Untuk mendaftarkan perkara, masingmasing anggota Koalisi Nasional memberikan kontribusi dana.
CAPAIAN Lahirnya gerakan yang dipelopori Koalisi Nasional Tolak PP No. 37 Tahun 2006 turut membangun kesadaran publik terhadap penggunaan anggaran yang bertanggung jawab. Untuk internal koalisi, Koalisi Nasional berhasil menyatukan berbagai gerakan dan bahkan memberikan kontribusi dana
12 | Di Mana Uang Kami?
Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD
dan sumber daya untuk melakukan advokasi bersama tanpa dibiayai oleh lembaga penyandang dana.
PP No. 37 Tahun 2006 pada akhirnya direvisi menjadi PP No. 21 Tahun 2007 yang merupakan perubahan keempat mengenai Kedudukan Keuangan dan Protokoler DPRD. Somasi dan aksi-aksi yang dilakukan Koalisi Nasional direspons Presiden dengan menggelar Rapat Kabinet terbatas yang melibatkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Keuangan. Semula rapat ini hanya menghasilkan himbauan kepada DPRD untuk tidak mengambil tambahan penghasilan. Namun, akhirnya Presiden membentuk tim untuk melakukan kajian terhadap PP ini.
Pada tanggal 16 Maret tahun 2007, Presiden menandatangani perubahan keempat PP Kedudukan Keuangan dan Protokoler DPRD. PP perubahan ini menganulir pemberian tunjangan komunikasi dan dana operasional yang berlaku surut serta menetapkan pengkategorian pemberian tunjangan berdasarkan kemampuan keuangan daerah. Lebih dari itu, anggota DPRD juga diwajibkan mengembalikan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional yang sudah diterima. Pengembalian itu dilakukan melalui pemotongan gaji bulanan atau dengan cara mengangsur sampai dengan satu bulan sebelum berakhirnya masa jabatan DPRD. Gerakan ini akhirnya mampu menyelamatkan uang negara sekitar Rp 1,4 triliun dari kemungkinan pemborosan yang disebabkan oleh PP No. 37 Tahun 2006. Selain itu, terjadi pergantian pejabat di lingkungan Departemen Dalam Negeri, yakni Dirjen Bina Adminsitrasi Keuangan Daerah dan Direktur Keuangan Daerah yang bertanggung jawab atas pengaturan pengelolaan keuangan daerah dan lahirnya PP No. 37 Tahun 2006.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 13
Tiada Kata Cukup?
Tabel 1.4. PP No. 37 Tahun 2006 vs PP No. 21 Tahun 2007 PP No. 37 Tahun 2006 Besaran Tunjangan Komunikasi 3 kali Uang Representasi
Besaran Penunjang Operasional Pimpinan 6 kali Uang Representasi Berlaku surut mulai Januari 2006
PP No. 21 Tahun 2007 Tunjangan Komunikasi disesuaikan Kemampuan Keuangan Daerah (KKD): KKD Tinggi : 3 kali Representasi KKD Sedang : 2 kali Representasi KKD Rendah : 1 kali Representasi
Disesuaikan kemampuan keuangan daerah; Tinggi, Sedang dan Rendah Tidak berlaku surut, dan anggota DPRD harus mengembalikan tunjangan yang terlanjur diterima paling lambat sebelum berakhir masa jabatan.
TANTANGAN Selain mendapat dukungan, gerakan Koalisi Nasional Tolak PP No. 37 Tahun 2006 juga mendapat tantangan dari beberapa pihak. Departemen Dalam Negeri dan Asosiasi DPRD adalah pihak yang paling resisten. Asosiasi DPRD bahkan mendatangkan para anggota DPRD dari seluruh Indonesia untuk melakukan aksi ke DPR untuk melakukan dengar pendapat dengan Ketua DPR. Aksi ini tidak direspons secara memadai oleh DPR. Pimpinan DPR dan partai-partai politik tampaknya tidak berani menentang gelombang protes masyarakat.
14 | Di Mana Uang Kami?
Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD
Di tataran internal, Koalisi Nasional juga menghadapi sikap anggota yang selalu ingin tampil di publik melalui media. Namun koalisi membangun kesepakatan internal untuk tidak menunjuk koordinator dan juru bicara koalisi. Setiap anggota Koalisi Nasional dipersilakan untuk berbicara di media sepanjang sesuai dengan garis advokasi yang dilakukan oleh Koalisi Nasional. Advokasi yang dilakukan oleh Koalisi Nasional bisa dikatakan belum sepenuhnya berhasil. Faktanya, PP No. 37 Tahun 2006 tidak dicabut dan hanya diubah pasal-pasalnya. Pemerintah mengambil jalan tengah dengan melakukan perubahan keempat terhadap PP yang mengatur keuangan DPRD ini. Tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional pimpinan pada akhirnya tetap diberikan sebagai tambahan penghasilan DPRD. Hanya saja besaran komunikasi intensif dan dana operasional pimpinan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan tidak lagi berlaku surut. PP hasil perubahan ini juga tidak tegas mengharuskan anggota DPRD mengembalikan tunjangan yang telah diterimanya sesegera mungkin dengan batas waktu sampai dengan berakhirnya masa jabatan mereka. Padahal, jika alokasi tunjangan yang diberikan segera dikembalikan, dana tersebut dapat dipergunakan untuk belanja yang lebih bermanfaat bagi publik.
Oleh karena itu, Koalisi Nasional mengakhiri aksinya dengan tetap mendaftarkan uji materi terhadap PP No. 21 Tahun 2007 ke Mahkamah Agung yang berakhir dengan penolakan MA pada Bulan Februari 2010. Berdasarkan analisis Seknas FITRA terhadap laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2008, masih terdapat 158 daerah dengan total Rp 213 miliar yang belum mengembalikan tunjangan yang terlanjur diberikan ini.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 15
Tiada Kata Cukup?
PELAJARAN Munculnya kasus PP No. 37 Tahun 2006 merupakan ekses dari penerapan otonomi daerah khususnya pengaturan keuangan DPRD yang belum memiliki desain komprehensif. Perubahan terus-menerus terhadap
Peraturan Pemerintah yang mengatur Keuangan DPRD menunjukan tidak adanya desain peraturan yang komprehensif. Pemerintah juga harus belajar bahwa menyamaratakan peraturan dan perlakuan atas 434 Kabupaten/Kota yang memiliki keragaman dan kesenjangan adalah tidak mungkin. Dari dalam Koalisi Nasional dipetik pelajaran bahwa dalam membangun koalisi yang solid penting untuk mencegah dominasi peran dalam koalisi. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembagian peran dan tidak mengklaim hasil yang diraih sebagai hasil satu anggota koalisi. Tanpa koordinator, Koalisi Nasional dapat berjalan dan menggalang dukungan besar dari anggotanya.
Advokasi juga memerlukan pengaturan stamina dan ritme pembentukan opini serta penentuan saat yang tepat untuk melakukan aksi. Lahirnya gerakan Koalisi Nasional Tolak PP No. 37 Tahun 2006 tidak terlepas dari isu yang sangat jelas dan menyangkut kepentingan orang banyak. Isu lain seputar anggaran seperti kebijakan alokasi pendidikan dan kesehatan saat ini belum mampu meraih dukungan yang luas.
16 | Di Mana Uang Kami?
Catatan Advokasi Perubahan PP tentang Tambahan Penghasilan Anggota DPRD
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 17
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur oleh: Fitria Muslih dan Asiswanto Darsono
RINGKASAN Setidaknya hingga tahun 2009, kebutuhan biaya operasional sekolah di Kota Malang hanya mengandalkan alokasi dari pemerintah pusat. Anggaran Kota Malang, dengan alasan keterbatasan, belum mengalokasikan anggaran untuk Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Melihat
kondisi tersebut, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Malang dan Aliansi BOSDA berhasil mendorong adanya BOSDA di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang Tahun 2010 sebesar Rp 9.944.700.000,00 untuk SD dan SMP. Selain BOSDA, PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA juga berhasil mendorong peningkatan belanja publik pada Dinas Pendidikan di APBD Kota Malang Tahun 2010 hingga mendekati angka 10% total APBD (sesuai Perda Kota Malang No. 13 Tahun 2009). Anggaran belanja publik Dinas Pendidikan yang direncanakan hanya sebesar Rp 51 miliar berubah menjadi Rp 79 miliar. Selain itu, mulai tahun anggaran 2010 Dinas Pendidikan Kota Malang mengalokasian anggaran untuk pembinaan komite sekolah dan pengembangan Dewan Pendidikan Kota Malang (DPKM). Dua elemen penting dalam penyelenggaraan pendidikan itu masing-masing mendapatkan Rp 100 juta.
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA
PROFIL LEMBAGA Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Malang didirikan pada tahun 2000 dengan dukungan PATTIRO Jakarta melalui program penelitian dan advokasi pemberdayaan partisipasi masyarakat. PATTIRO Malang hadir sebagai lembaga independen yang mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik melalui penciptaan masyarakat kritis dan penguatan partisipasi warga.
PATTIRO Malang memiliki visi mewujudkan masyarakat yang menyadari hak dan kewajiban bernegara menuju tatanan yang berkeadilan. Dengan visi itu, PATTIRO Malang mengemban misi: 1) Melakukan pendidikan kritis, penguatan dan pendampingan kepada masyarakat warga; 2) Menyediakan berbagai perangkat lunak dan informasi untuk penguatan masyarakat warga; 3) Melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebijakan publik dan pelayanan dasar bagi masyarakat di Kota Malang; 4) Melakukan kajian dan pengembangan model-model tata pemerintahan Kota Malang yang partisipatif dan akuntabel; 5) Mendorong munculnya kebijakan nasional yang memberikan iklim bagi pelibatan aktif masyarakat dalam tata pemerintahan Kota Malang.
Dengan dukungan PATTIRO Jakarta dan lembaga lainnya, PATTIRO Malang berhasil melaksanakan berbagai program, yaitu: 1) Penguatan partisipasi masyarakat warga dalam proses-proses pembuatan kebijakan publik daerah; 2) Peningkatan partisipasi perempuan Kota Malang dalam kebijakan publik berperspektif gender; 3) Penelitian tentang inisiasi mekanisme komplain yang berperspektif gender; 4) Penelitian tentang model legislasi daerah yang partisipatif; 5) Menakar keberpihakan kandidat Bupati Blitar yang memihak kepada rakyat; 6) Program penguatan inisiatif penyusunan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) dalam peningkatan kualitas pelayanan dasar pendidikan bagi warga miskin; 7) Lokakarya penyusunan draft Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pelayanan Publik Kota Malang;
20 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
8) Pengembangan mekanisme komplain terhadap pelayanan publik berbasis partisipasi publik di daerah; 9) Program advokasi APBD sektor ekonomi lokal di Kabupaten Malang; 10) Program Dewan Anggaran Kota/ Daerah di Kota Blitar; serta 11) Program asistensi pembentukan Lembaga Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
ANALISIS SITUASI Seperti daerah-daerah lain, Pemerintah Kota Malang memberi prioritas yang tinggi pada pembangunan fisik dan hiburan, seperti mal, gedung olah raga, dan stadion sepak bola. Peningkatan kualitas pendidikan tidak mendapatkan perlakuan anggaran sebagaimana pembangunan fisik dan hiburan itu. Belanja publik dalam APBD Kota Malang Tahun 2010 belum sesuai Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2009 yang menyatakan besaran belanja publik pendidikan sekurang-kurangnya 10% total APBD.
Isu ini meluas setelah Tim PATTIRO Malang melakukan pengkajian kebutuhan ke sekolah-sekolah (terutama SMP) yang dimulai pada Februari 2009. Semua sekolah yang dikunjungi mengatakan bahwa BOS dari Pemerintah Pusat sangat kurang untuk bisa memenuhi biaya operasional sekolah standar, sementara di sisi lain, Pemerintah gencar mengkampanyekan pendidikan gratis. Kurangnya dana operasional dapat menghambat terwujudnya pengelolaan sekolah yang akuntabel, transparan, partisipatif, dan pro rakyat miskin. Oleh karena itu, berdasarkan hasil pengkajian kebutuhan dan beberapa kali diskusi terfokus dengan para pemangku kepentingan (Kepala Sekolah, Komite Sekolah, orang tua siswa, Dinas Pendidikan, LSM, dan akademisi), muncul tuntutan adanya alokasi anggaran dari APBD Kota Malang untuk membantu biaya operasional pendidikan. Biaya operasional tersebut kemudian disebut dengan BOSDA, dengan tujuan untuk menutup kekurangan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Pemerintah Pusat.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 21
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA
Jumlah dana BOS dari pemerintah pusat ditetapkan berdasarkan jumlah siswa di masing-masing kabupaten/kota yang berdasarkan data dari masing-masing sekolah tingkat SD dan SMP. Jumlah dana BOS per siswa SD/ MI sekitar Rp 33.300,00 per bulan, dan BOS per siswa SMP Rp 47.900,00 per bulan. Perhitungan Tim Aliansi BOSDA yang dibantu beberapa pakar dari DBE USAID menghasilkan angka kebutuhan ideal dengan metode perhitungan Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2.1. Penghitungan BOSDA Kota Malang (dalam Rupiah) Jenjang sekolah SD/MI SMP/ MTs
Jumlah Siswa (orang) 85.638 39.547
BOSP
BOS Pusat
Kekurangan biaya operasional sekolah
52.548,96
33.333,33
19.215,63
136.197,97
47.916,67
TOTAL DANA
Sumber : Hasil kajian Aliansi BOSDA
88.281,30
Kebutuhan BOSDA/ bulan
Kebutuhan BOSDA/ tahun
1.645.588.121,94
19.747.057.463,28
3.491.260.571,10
41.895.126.853,20
5.136.848.693,04
61.642.184.316,48
Tabel tersebut menunjukkan bahwa besaran kebutuhan BOSP per siswa SD/MI mencapai Rp 52.500,00 per bulan dan kebutuhan BOSP per siswa SMP/MTs mencapai Rp 136.200,00 per bulan. Dengan demikian, jika mengacu pada anggaran BOS yang disediakan Pemerintah Pusat yang hanya Rp 33.300,00 per siswa SD/MI per bulan dan Rp 47.900,00 per siswa SMP/MTs per bulan, maka anggaran BOSP mengalami defisit Rp 19.200,00 untuk siswa SD/MI dan Rp 88.300,00 untuk siswa SMP/MTs. Jika dikalikan dengan total jumlah siswa SD/MI di Kota Malang yang mencapai 85.638 orang dan total jumlah siswa SMP/MTs yang mencapai 39.547 orang, maka defisit BOSP yang akan dibebankan pada APBD mencapai Rp 61.642.184.316,00 per tahun.
Advokasi BOSDA Ketika Tim PATTIRO Malang melakukan kajian kebutuhan ke sekolahsekolah (SMP) yang dimulai sejak Bulan Februari 2009, semula tim
22 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
hanya berbagi gagasan dan menggali informasi tentang praktik-praktik akuntabilitas di sekolah. Akan tetapi, hal ini berkembang pada ekslorasi masalah pendanaan sekolah di mana hampir semua sekolah yang dikunjungi mengatakan bahwa BOS dari Pemerintah Pusat sangat kurang untuk bisa memenuhi biaya operasional sekolah standar, sedangkan di sisi lain, pemerintah gencar mengkampanyekan pendidikan gratis. Kurangnya dana operasional (standar) berpotensi menghambat terwujudnya pengelolaan sekolah yang akuntabel, transparan, partisipatif, dan propoor. Tuntutan perlunya BOSDA menguat dalam setiap kegiatan diskusi (FGD) yang diselenggarakan PATTIRO. Diskusi mencakup beberapa tahap meliputi FGD I yang melibatkan para Komite Sekolah, FGD II yang melibatkan para Kepala Sekolah, dan FGD III yang melibatkan perwakilan orang tua siswa. Proses ini dilanjutkan dengan FGD IV, sekitar Bulan Mei 2009, yang melibatkan multipihak (Kepala Sekolah, Komite Sekolah, orang tua siswa, Dinas Pendidikan, LSM, dan akademisi) dan menambah kebulatan tekad untuk bersama-sama mendorong BOSDA. Pasca FGD multipihak, Tim PATTIRO Malang mulai menjalin komunikasi media, sehingga isu BOSDA menggelinding bak bola salju. Selain itu, tim melakukan pendekatan-pendekatan pada semua elemen pendidikan, antara lain Dinas Pendidikan Kota Malang, Dewan Pendidikan Kota Malang (DPKM), Forum Komunikasi Komite Sekolah (FKKS), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), tokoh pendidikan, dan LSM. Kemudian Tim PATTIRO Malang melanjutkan roadshow ke elemen pendidikan lain, DPKM, para komite sekolah maupun FKKS, para kepala sekolah maupun MKKS serta beberapa tokoh pendidikan dan LSM. Salah satu tokoh pendidikan yang didekati Tim PATTIRO Malang adalah Bapak Kamilun Muhtadin, mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, yang masih cukup mendapatkan respek dari segenap elemen pendidikan di Malang Raya (Kota Batu, Kota Malang, Kabupaten Malang). Dengan para pemangku kepentingan ini, PATTIRO Malang sudah menemukan
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 23
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA
kesamaan persepsi bahwa BOSDA merupakan kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah. Namun demikian, melihat kondisi yang ada, beberapa pihak merasa pesimis pemerintah daerah dapat mewujudkan harapan tersebut. Pesimisme ini akhirnya mendorong Tim PATTIRO Malang mengambil jalan
alternatif untuk bergerak di luar eksekutif. Hal inilah yang menimbulkan semangat baru untuk terus mendorong terwujudnya BOSDA Kota Malang. Setelah melalui kajian sederhana, dihasilkan kesimpulan bahwa peluang untuk mendorong BOSDA masih terbuka lebar yaitu melalui legislatif yang separuh lebih anggotanya merupakan anggota baru, dengan harapan idealisme mereka dapat diaplikasikan pada semangat untuk mendorong dan memperjuangkan program-program yang pro rakyat. Dalam rentang Bulan Mei sampai dengan Oktober 2009, PATTIRO Malang secara terus-menerus menjaga liputan isu BOSDA di media. Di waktu yang relatif bersamaan, PATTIRO Malang melakukan pendekatan ke anggota DPRD potensial yang terpilih pada periode 2009-2014 secara personal, baik di rumah maupun di kantor, terutama kepada mereka yang diprediksi menduduki jabatan pimpinan DPRD (antara lain Ahmadi dari Fraksi PKS, Arif Darmawan dari Fraksi Demokrat, H. Abdurrahman dari PKB, dan Priyatmoko dari PDIP). Setelah anggota DPRD dilantik tapi struktur kelengkapan DPRD belum terbentuk, PATTIRO Malang melakukan pendekatan ke semua fraksi DPRD Kota Malang.
Di samping itu, PATTIRO Malang berupaya memfasilitasi pembentukan jaringan organisasi pengusung BOSDA dari berbagai kalangan yang ada di Kota Malang, seperti Dewan Pendidikan Kota Malang (DPKM), Forum Komunikasi Komite Sekolah (FKKS), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), LSM, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, Majelis Dikdasmen Muhammadiyah, akademisi, dan tokoh masyarakat. Jaringan ini kemudian mendeklarasikan diri dengan nama Aliansi BOSDA.
24 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
Upaya lain yang dilakukan, PATTIRO Malang menjalin komunikasi dengan media yang diharapkan mempunyai pengaruh sangat signifikan untuk menjadikan isu BOSDA sebagai bahan “diskusi terbuka�. Elemen Aliansi BOSDA secara bergantian berkomentar (saling menanggapi) di media tentang pentingnya BOSDA. Selain dalam bentuk berita, beberapa artikel tentang BOSDA ditulis untuk memperkuat opini publik. Hingga
pertengahan perjalanan, pihak eksekutif belum menunjukkan itikad dan komitmen atas pentingnya BOSDA. Hal ini membuat Tim PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA harus bekerja lebih keras dan mengambil langkah strategis untuk menguatkan advokasi BOSDA. Lobi-lobi dengan pengambil kebijakan di eksekutif dan dengar pendapat dengan anggota legislatif diupayakan lebih kencang. Respon positif mulai muncul dari anggota legislatif; di beberapa forum formal dan informal mereka mulai menyuarakan pentingnya BOSDA. Seiring berjalannya waktu, melalui proses panjang dan berliku, akhirnya upaya advokasi berhasil mendorong adanya anggaran Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) pada APBD Kota Malang Tahun 2010 sebesar Rp 9.944.700.000,00. Anggaran ini dialokasikan bagi seluruh SD dan SMP yang ada di Kota Malang. Selain BOSDA, PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA juga berhasil mendorong adanya peningkatan belanja publik pada Dinas Pendidikan Kota Malang hingga mendekati angka 10% total APBD. Dengan adanya perubahan kebijakan tersebut, total anggaran belanja publik Dinas Pendidikan Kota Malang yang pada awalnya direncanakan hanya sebesar Rp 51 miliar berubah menjadi Rp 79 miliar. Selain itu, mulai tahun anggaran 2010 Dinas Pendidikan Kota Malang mengalokasian anggaran untuk pembinaan komite sekolah dan pengembangan Dewan Pendidikan Kota Malang (DPKM). Dua elemen penting dalam penyelenggaraan pendidikan itu masing-masing mendapatkan Rp 100 juta.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 25
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA
Hasil tersebut tentu saja belum sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA. Namun demikian PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA menganggap apresiasi eksekutif dan legislatif terhadap isu BOSDA tersebut merupakan langkah awal yang baik bagi terciptanya pendidikan yang berkualitas dan terjangkau masyarakat, serta demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.
METODOLOGI Satu hal yang penting dari proses advokasi yang efektif adalah adanya target yang teridentifikasi secara tepat dan strategi yang digunakan untuk menjawab setiap permasalahan.Prioritas kampanye advokasi ditetapkan dengan mengidentifikasi target/sasaran dalam urutan yang tepat. Setiap aksi yang berkelanjutan harus dibangun berdasarkan pencapaian yang sudah diraih atau hal yang telah dikuasai. Dalam melakukan advokasi anggaran BOSDA ini, PATTIRO Malang melakukan beberapa tahapan dan strategi advokasi, yaitu:
a. Identifikasi Isu Identifikasi isu merupakan langkah awal dalam proses advokasi, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menggali isu-isu yang berkembang dan mencari isu yang paling strategis serta menyentuh kebutuhan utama masyarakat. Identifikasi isu dilakukan dengan pengumpulan data, melakukan kajian terhadap data-data yang terkumpul, melakukan wawancara terhadap pihak-pihak terkait, FGD, dan diseminasi. Setelah melewati proses panjang, akhirnya para pihak menyepakati bahwa isu yang paling aktual dalam bidang pendidikan yaitu terkait dengan pembiayaan operasional sekolah, terutama terkait dengan bantuan operasional sekolah yang dialokasikan oleh pemerintah daerah (BOSDA).
26 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
Namun demikian, proses identifikasi isu tidak selamanya tanpa hambatan. Hambatan yang terutama adalah sulitnya akses data di Dinas Pendidikan Kota Malang maupun ketidaksiapan pengambil kebijakan dalam memberikan informasi. b. Pengorganisasian masyarakat
Pengorganisasian masyarakat merupakan bagian awal yang penting dalam setiap proses advokasi. Hal ini terutama karena isu yang diangkat merupakan permasalahan yang dirasakan bersama. Oleh karenanya kebersamaan merupakan salah satu item yang harus terus diperkuat. Pengorganisasian ini bertujuan untuk menguatkan ikatan jaringan, juga dalam rangka memperjelas pembagian kerja advokasi secara lebih terarah dan efektif. Untuk memperkuat ikatan dan komitmen, pengorganisasian masyarakat dilakukan secara paralel dengan kegiatan identifikasi isu. Hasilnya, tentu saja dirasakan sangat efektif; kesadaran kritis antar elemen terbangun bersamaan dengan kristalisasi isu bersama. Namun demikian, dalam setiap proses selalu saja ada sisi lemah. Salah satu kelemahan proses ini adalah perbedaan pengalaman antar elemen gerakan yang berpengaruh pada persepsi yang dibangun. Walau sering menjadi kendala, perbedaan persepsi dapat diatasi dengan jalinan komunikasi yang intensif dan mengembalikan setiap perbedaan pada substansi utama, yaitu isu bersama.
c. Pengembangan kapasitas jaringan Dalam rangka memperkuat kapasitas jaringan, PATTIRO Malang memfasilitasi proses peningkatan kemampuan membaca dan menganalisis anggaran pendidikan bagi anggota jaringan. Kegiatan membaca dan menganalisis anggaran dilakukan dengan paparan, penjelasan, diskusi, dan simulasi yang dipandu oleh beberapa anggota Tim PATTIRO Malang yang menguasai tentang anggaran pemerintah daerah. Hal ini dilakukan dalam rangka
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 27
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA
memperkuat kapasitas anggota Aliansi BOSDA dalam memahami proses penyusunan anggaran, alur anggaran, keragaan dan teknis anggaran, serta kebijakan anggaran dalam pembangunan. Agar pembahasan anggaran ini lebih fokus, PATTIRO Malang berinisiatif untuk melakukan penghitungan BOSP Kota Malang untuk tingkat SD/MI dan SMP/MTs secara serial dengan melibatkan perwakilan
Kepala Sekolah dan Komite Sekolah. Penghitungan BOSP tersebut dilaksanakan secara berpindah-pindah tempat baik di Kantor PATTIRO Malang, sekretariat bersama DPKM-FKKS-MKKS, di sekolah maupun di tempat lainnya sesuai kesepakatan. Dengan latar belakang anggota jaringan yang beragam dan tidak terbiasa mengkaji anggaran daerah, maka tak jarang dibutuhkan waktu yang panjang dalam setiap sesi pengkajiannya. Namun demikian, secara umum proses pengembangan kapasitas jaringan terutama terkait pendalaman materi anggaran relatif berjalan baik.
d. Menganalisis anggaran BOSP Analisis anggaran dilakukan secara khusus dimaksudkan untuk memperkuat argumentasi dan memperluas pilihan-pilihan solusi dalam proses advokasi. Yang menjadi objek analisis anggaran adalah penghitungan mengenai kebutuhan operasional sekolah atau Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP). Agar penghitungan BOSP Kota Malang untuk tingkat SD/MI dan SMP/MTs memiliki validitas yang baik, maka perwakilan Kepala Sekolah dan Komite Sekolah dilibatkan secara aktif dalam kegiatan ini. e. Lobi dan dengar pendapat Melakukan lobi-lobi dan dengar pendapat dengan pengambil kebijakan merupakan bagian strategi penting advokasi, karena pada kesempatan inilah tim advokasi dapat mendiskusikan secara langsung gagasan-gagasan tentang pentingnya BOSDA. Lobi
28 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
dilakukan dengan pendekatan personal dan kelembagaan baik dalam bentuk formal maupun informal. Selain dilakukan langsung secara personal dan kelembagaan, lobi juga memanfaatkan momen strategis, seperti forum-forum diskusi dan lokakarya. f. Diskusi Publik/Lokakarya
Untuk mendapatkan dukungan yang luas dan dalam rangka membentuk dan memperkuat opini publik, PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA menggelar lokakarya. Lokakarya ini merupakan tindak lanjut proses kajian penghitungan BOSP SD/MI-SMP/MTs Kota Malang. Para pihak yang hadir pada lokakarya yaitu, 1 orang pimpinan dan 12 anggota DPRD Kota Malang dari semua fraksi (dari total 45 anggota), Dewan Pendidikan Kota Malang (DPKM), Dinas Pendidikan Kota Malang, kepala sekolah, komite sekolah, LSM, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, Majelis Dikdasmen Muhammadiyah, dan tokoh pendidikan.
Sesi pengantar lokakarya diisi oleh Mulyono, Manajer BOS/ Kabid Dikdas Dinas Pendidikan Kota Malang, dan Nur Hidayat yang menjabat sebagai anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Dengan posisi jabatan dan kemampuan narasumber dalam menjelaskan materi BOS, hal ini secara langsung berkontribusi dalam membangun kerangka pikir dan komitmen anggota DPRD serta audiens lain yang berpartisipasi dalam acara tersebut.
g. Kampanye Media Massa Banyak pihak mengatakan, barangsiapa ingin merubah dunia, maka kuasailah komunikasi. Teori ini disadari betul oleh Tim PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA , bahwa untuk mendorong suksesnya advokasi kebijakan, maka wajib hukumnya melibatkan media massa. Media massa dilibatkan baik sebagai mitra dalam membahas substansi dan strategi advokasi maupun sebagai “amunisi� dalam mensosialisasikan dan sekaligus mengkampanyekan pentingnya BOSDA dalam pendidikan di Kota Malang. Advokasi Anggaran di Indonesia
| 29
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA
Pasca FGD multipihak, Tim PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA mulai menjalin komunikasi media. Karena upaya ini, isu BOSDA menggelinding bak bola salju, baik dalam bentuk berita maupun opini. Tim PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA sadar betul, untuk mendukung kerja-kerja ini, komunikasi dan kerja sama yang efektif dengan media massa mempunyai pengaruh
sangat signifikan untuk menjadikan isu BOSDA sebagai bahan “diskusi terbuka�. Elemen gerakan tersebut secara bergantian berkomentar (saling menanggapi) di media tentang pentingnya BOSDA. Hal ini tentu saja menunjukkan kepada para pihak, bahwa BOSDA merupakan isu strategis yang sekaligus merupakan kebutuhan yang mendesak untuk direalisasikan di Kota Malang. Kesulitan yang dihadapi dalam kampanye media massa adalah kontrol terkait pemberitaan tidak bisa dilakukan. Padahal tak selamanya pemberitaan dan opini cocok dengan strategi yang sedang dijalankan. Namun demikian, kondisi tersebut tidak sampai merusak proses advokasi secara signifikan. h. Pemantauan dan evaluasi Pemantauan dan evaluasi dilakukan sepanjang proses advokasi, mulai dari kondisi internal PATTIRO Malang, tim advokasi (Aliansi BOSDA), media massa, hingga peta kondisi yang ada di pihak eksekutif dan legislatif. Selain pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi aktor, juga menyangkut substansi advokasi, baik ketika proses advokasi maupun kebijakan apa yang terjadi pasca advokasi. Hasil pemantauan dan evaluasi mengenai aktor dan substansi ketika advokasi berlangsung menjadi bahan yang sangat berguna dalam menunjang keberhasilan advokasi. Sedangkan pemantauan dan evaluasi pasca advokasi menjadi bahan untuk penyusunan kebijakan berikutnya, terutama terkait dengan alokasi dan implementasi APBD tahun berikutnya.
30 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
KENDALA ADVOKASI Secara umum, kendala yang dihadapi dalam advokasi anggaran BOSDAKota Malang adalah: a. Kendala SDM
Anggota Tim PATTIRO Malang maupun dalam Tim Aliansi BOSDA memiliki kapasitas pemahaman yang tidak merata baik dalam substansi maupun dalam teknis advokasi. Kondisi ini membutuhkan pendalaman memadai untuk menyamakan pemahaman terkait isu yang diusung dan teknik-teknik memperjuangkan isu tersebut. Isu pendidikan merupakan wacana umum yang selalu hangat dalam setiap perbincangan dan sangat dekat dengan masyarakat. Namun ketika menyangkut hal yang spesifik menyangkut biaya operasional sekolah, pemahaman orang berbeda-beda. Begitu pula mengenai cara menyuarakan dan memperjuangkan perubahan sebuah isu, setiap anggota tim memiliki persepsi yang berbeda-beda.
b. Kendala Metodologi Dalam proses advokasi, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi ialah metodologi. Metodologi yang akan digunakan biasanya tergantung pelaksana, isu yang diangkat, kondisi sosial politik yang berkembang, serta pihak-pihak yang dihadapi. Dalam advokasi BOSDA, sejak awal Tim PATTIRO Malang telah membahas dan mendiskusikan dengan Aliansi BOSDA tentang rencana, tahapan, serta metodologi yang akan digunakan. Sementara dalam isu-isu lainnya mulai ada titik temu, ketika menyangkut metodologi, pendapat tim mulai terpecah. Pada titik inilah terjadi perdebatan dan perbedaan persepsi antar anggota tim mengenai metode yang harus digunakan dalam setiap proses yang diukur dari isu, sumber daya, kemudahan implementasi, dan peluang keberhasilannya.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 31
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA
c. Kendala Kelembagaan Disepakatinya pembentukan Aliansi BOSDA merupakan solusi demi lancarnya proses advokasi. Namun demikian, proses ini bukan tanpa hambatan. Bergabungnya berbagai organisasi dan individu dalam sebuah wadah aliansi membawa beberapa persoalan lain, di antaranya: 1) benturan waktu antara aktivitas organisasi dengan kerja-kerja aliansi; 2) kurangnya komitmen sebagian anggota aliansi dalam melaksanakan tugas-tugas yang disepakati; dan 3) proses advokasi yang memakan waktu panjang menimbulkan kelelahan bagi sebagian anggota aliansi.
SOLUSI ATAS KENDALA Untuk menjawab kendala-kendala di atas, ada beberapa hal yang dilakukan oleh Tim PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA, yaitu: a. Diskusi dan kajian Dalam menghadapi kendala lemahnya sebagian SDM anggota aliansi dan kendala metodologi, PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA berupaya menyelenggarakan serangkaian diskusi dan kajian baik yang menyangkut teknis advokasi maupun substansi anggaran pendidikan. Proses diskusi dan kajian dilakukan dengan pendekatan partisipatif baik dari sisi waktu, tempat, materi, maupun penanggungjawabnya. Karenanya, diskusi dan kajian berjalan dengan baik dan menghasilkan pemahaman dan kesepahaman yang diinginkan. b. Koordinasi dan konsolidasi Untuk menjaga kekompakan dan mengeliminasi hambatanhambatan terkait kelembagaan, PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA bersepakat untuk melakukan koordinasi secara rutin. Koordinasi dilakukan baik dalam bentuk pertemuan dan rapat yang diagendakan, maupun koordinasi secara informal.
32 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
CAPAIAN Kegiatan advokasi peningkatan anggaran BOSDA oleh PATTIRO Malang berhasil mendorong perubahan berikut:
Adanya Kebijakan Anggaran. PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA berhasil mendorong munculnya anggaran untuk BOSDA pada APBD Kota Malang Tahun 2010. Total alokasi BOSDA Kota Malang tahun anggaran 2010 sejumlah Rp 9.944.700.000,00, dengan pembagian untuk SD/MI sebesar Rp 5.140.980,00 dan untuk SMP/MTs sebesar Rp 4.803.720.000,00 yang langsung diberikan melalui transfer ke rekening sekolah. Sebenarnya angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan angka usulan PATTIRO Malang dan Aliansi BOSDA yang besarnya mencapai Rp 21 miliar. Namun demikian, jika dibandingkan dengan APBD sebelumnya yang (sama sekali) tidak mengalokasikan dana BOSDA, juga sebagai langkah awal kebijakan BOSDA Pemerintah Kota Malang, angka tersebut tetap layak diapresiasi. Terbangun aliansi lintas organisasi dan komunitas. Aliansi BOSDA merupakan gabungan individu dan organisasi masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Aliansi ini menjadi forum cair dan fleksibel untuk memperjuangkan BOSDA dalam APBD Kota Malang.Tak sebatas mengusung, aliansi ini juga akan mengawal BOSDA pada tataran implementasi di lapangan. Selain mendorong lahirnya kebijakan BOSDA, Aliansi BOSDA juga telah berhasil meningkatkan kapasitas anggotanya, terutama terkait dengan isu pendidikan khususnya BOSDA.
Partisipasi pemangku kepentingan pendidikan. Komunitas pendidikan mulai ikut terlibat dalam proses perencanaan, ikut ambil bagian mengawasi proses pencairan dana BOSDA yang diberikan (ditransfer) ke rekening masing-masing sekolah. Tidak hanya sampai di situ, pemangku kepentingan pendidikan berkomitmen untuk mengawal anggaran BOSDA sampai pada tahap impelemntasi di sekolah-sekolah.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 33
Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA
Kepedulian anggota legislatif. Alokasi dana BOSDA dalam APBD Kota Malang Tahun 2010 tak terlepas dari nurani anggota DPRD Kota Malang yang mau mendengar aspirasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan.
Perubahan kebijakan eksekutif. Proses advokasi yang intensif, terusmenerus, dan melibatkan banyak pihak berhasil meyakinkan Pemerintah Kota Malang bahwa alokasi dana BOSDA sangat diperlukan oleh masyarakat.
PELAJARAN Berikut beberapa pelajaran yang bisa dipetik selama melakukan advokasi anggaran BOSDA dalam APBD Kota Malang: Koalisi. Untuk mencapai advokasi yang sukses diperlukan pengorganisasian yang baik. Sebenarnya, ada berbagai ragam pengorganisasian dalam advokasi. Pilihan ragam advokasi tergantung tingkat kerumitan kasus yang akan diadvokasi. Anggota jaringan yang dapat bergabung dalam tim advokasi harus memiliki pandangan dan orientasi yang sama terhadap agenda advokasi.
Pengembangan kapasitas. Dalam advokasi, peningkatan kapasitas anggota jaringan merupakan sebuah kebutuhan yang harus dilakukan. Untuk menjawab kebutuhan ini, maka PATTIRO Malang berinisiatif untuk melakukan pelatihan teknis, terutama terkait penghitungan BOSDA maupun analisis anggaran APBD secara umum. Sementara itu, peningkatan kapasitas teknis advokasi dilakukan secara “learning by doing� ketika proses-proses advokasi berlangsung. Pelibatan penerima manfaat. Pelibatan penerima manfaat langsung sebuah kebijakan anggaran yang diadvokasi sangat penting. Masyarakat penerima manfaat langsunglah yang selama ini merasakan kondisi baik dan buruknya ketika kebijakan
34 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Anggaran Pendidikan di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
anggaran pendidikan tidak berpihak kepada mereka. Usulan solusi agar kebijakan anggaran bisa berpihak kepada rakyat harus dirumuskan oleh pihak-pihak yang selama ini terkena dampak langsung. Proses ini bisa dibantu/didampingi oleh pihak lain yang berkompeten. Selain mengembalikan posisi masyarakat sebagai subyek kebijakan, pelibatan penerima manfaat langsung juga berpengaruh terhadap percepatan keberhasilan advokasi. Hal ini disebabkan oleh terbangunnya komunikasi antar pemangku kepentingan secara efektif, yaitu antara penerima manfaat, tim advokasi/pendamping, dan pihak-pihak pengambil kebijakan. Adanya komunikasi yang efektif antar pihak memudahkan upaya membangun kesepahaman tentang muatan advokasi BOSDA.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 35
Sehat Itu Murah dan Mudah Pengalaman Advokasi Penyediaan Jaminan Akses Kesehatan Bagi Rakyat Miskin di Kabupaten Bandung oleh: Ari Nurman
RINGKASAN Pemenuhan hak dasar kesehatan tidak mudah untuk dilakukan. Proses advokasi jaminan pelayanan di Kabupaten Bandung dimulai dengan kerjakerja intelektual, seperti riset, analisis anggaran, dan penyusunan naskah akademik. Kemudian tahap berikutnya adalah penggalangan dukungan yang masif. Di sini diperlukan kerja-kerja politik. Meramu ini semua dalam sebuah desain besar advokasi tidaklah mudah. Ia memerlukan ketekukan dan kesungguhan. Tahapan advokasi di Kabupaten Bandung dimulai ketika naskah akademik dan agenda besar perwujudan jaminan pelayanan kesehatan diserahkan pada pemerintah daerah. Tantangan langsung muncul dari pihak pemda dan penyedia layanan. Dan di sinilah diperlukan dukungan pengetahuan dan kemampuan memainkan tarikmenarik kekuatan. Setelah berkutat dengan berbagai kegiatan riset, lobi dan menggalang dukungan, akhirnya tujuan pertama advokasi tercapai. Retribusi pelayanan
Sehat Itu Murah dan Mudah
kesehatan di Puskesmas dihilangkan sehingga rakyat miskin tidak lagi menghadapi hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Hampir setahun kemudian tujuan tahap kedua advokasi terwujud: adanya peraturan daerah tentang jaminan pelayanan kesehatan di Kabupaten Bandung.
PROFIL LEMBAGA Perkumpulan Inisiatif secara formal didirikan pada tanggal 19 Juni 2005. Secara aktual, kegiatannya telah dimulai sejak Juli 2000. Perkumpulan Inisiatif didirikan untuk mempromosikan perbaikan tata pemerintahan lokal dengan lebih memfokuskan pada peningkatan derajat kehidupan kelompok marjinal, sekaligus mewadahi lebih banyak individu-individu yang peduli dan yang memiliki kesamaan visi. Obsesi Perkumpulan Inisiatif adalah menjadi lembaga yang dapat meningkatkan derajat kehidupan kelompok marjinal khususnya melalui partisipasi dalam tata pemerintahan lokal. Dan untuk mewujudkan obsesi tersebut, Perkumpulan Inisiatif selalu berusaha untuk (1) Mendorong reformasi kebijakan publik yang dapat meningkatkan derajat kehidupan kelompok marjinal, (2) Mendorong penguatan kelompok marjinal agar dapat memperjuangkan upaya peningkatan derajat kehidupannya, dan (3) Mensinergikan prosesproses reformasi kebijakan dengan penguatan kelompok marjinal.
ANALISIS SITUASI Dari analisis dan survey yang dilakukan Inisiatif pada tahun 2007, diperoleh gambaran mengenai kondisi sisi permintaan layanan kesehatan dan juga kondisi sediaannya. Dari sisi permintaan, beberapa informasi penting mengenai karakter konsumen kita peroleh dari kedua studi tersebut. Kemudian dari sisi sediaan, kita juga memperoleh informasi
38 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Penyediaan Jaminan Akses Kesehatan Bagi Rakyat Miskin di Kabupaten Bandung
antara lain infrastruktur, tenaga medis dan non medis dalam hal jumlah, sebaran, kondisi infrastruktur, dan kecukupan. Hal yang penting dalam memperkuat argumen kita dalam melakukan advokasi adalah proyeksi kondisi sediaan dan permintaan di masa depan bila tidak dilakukan intervensi. Sedangkan hasil survey Inisiatif dan Universitas Komputer Indonesia tahun 2007 menunjukkan sebagian besar masyarakat Kabupaten Bandung rentan untuk jatuh miskin, mudah terkena penyakit, dengan akses kepada layanan kesehatan pemerintah sering terhambat oleh biaya dan keterbatasan ekonomi.
Kronologi Advokasi Titik awal proses advokasi ini dimulai akhir 2006, dengan presentasi Inisiatif tentang kebijakan daerah pro rakyat miskin di depan Bappeda Kabupaten Bandung. Diskusi diisi dengan membahas tantangan terbesar pengurangan kemiskinan di Kabupaten Bandung. Di akhir acara diskusi, Perkumpulan Inisiatif “menantang” Pemerintah Kabupaten Bandung untuk “menggratiskan” layanan kesehatan agar masyarakat yang rentan bisa mendapatkan perlindungan untuk tidak jatuh miskin karena sakit. Dengan kata lain, Pemerintah Kabupaten Bandung menyediakan jaminan pelayanan kesehatan secara universal. Dan tantangan ini dijawab dengan “tantangan balik” dari Bapeda dengan meminta konsepnya melalui pengajuan naskah akademik. Jawaban atas tantangan balik bapeda tersebut muncul dengan disampaikannya konsep yang dituangkan dalam sebuah naskah akademik. Naskah akademik ini disampaikan pada Bupati Bandung, Bappeda Kabupaten Bandung, Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, dan DPRD Kabupaten Bandung pada Bulan Juli Tahun 2007. Dan sejak saat itu roda advokasi pun berjalan.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 39
Sehat Itu Murah dan Mudah
Boks 3.1. Desain advokasi kesehatan gratis di Kabupaten Bandung Desain Advokasi Kesehatan Gratis di Kabupaten Bandung
• Persiapan rencana kerja advokasi kesehatan gratis • Penyusunan kerangka acuan konsep kesehatan gratis • Pengumpulan argumen kesehatan gratis Proses ini dilakukan oleh Perkumpulan Inisiatif bekerja sama dengan universitas. Kegiatan yang dilakukan adalah studi dokumen, analisis kebijakan dan anggaran kesehatan, dan survey pengguna layanan yang dilakukan di Puskesmas di 30 kecamatan dan 2 rumah sakit daerah yang ada di Kabupaten Bandung. Survey bertujuan untuk mengukur tingkat kepuasan pengguna layanan Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah. • Perumusan konsep kesehatan gratis Tahapan yang dilakukan dalam perumusan konsep kesehatan gratis ini adalah penghitungan prevalensi tiap penyakit/layanan, penghitungan nilai moneternya (monetize), penghitungan risiko dan sorting besarannya, analisis anggaran dan skema alternatif (kebutuhan dan kapasitas), penentuan pemangku kepentingan yang membiayai kesehatan, dan pemilihan skema dan anggaran alternatif). Tahapan ini adalah tahapan awal sebelum memasuki advokasi. Tahapan ini dikhususkan pada kajian untuk menyusun Naskah Akademik Kesehatan Gratis. • Konsolidasi dukungan masyarakat terhadap kesehatan gratis Konsolidasi dukungan ini dilakukan dengan bekerja sama dengan elemen kelompok masyarakat. Salah satu bentuk konkret dukungan adalah pengumpulan tanda tangan dan salinan KTP penduduk Kabupaten Bandung. Sementara kegiatan lainnya yaitu seminar tentang advokasi jaminan pelayanan kesehatan gratis, publikasi media massa (sewa kolom di media massa untuk membangun opini publik), penyebaran buku saku, pembuatan spanduk, untuk mensosialisasikan advokasi jaminan pelayanan kesehatan gratis kepada seluruh penduduk Kabupaten Bandung. • Advokasi kesehatan gratis ke Pemerintah Kabupaten Bandung Tahapan ini terdiri atas 2 kegiatan, yaitu: o Penyiapan materi dan rencana kerja advokasi: di sini Inisiatif membuat rencana audiensi dengan Pemda Kabupaten Bandung dan DPRD Kabupaten Bandung, pemetaan pemangku kepentingan yang mendukung gagasan kesehatan gratis, dan dinamika advokasi itu sendiri. o Penyerahan naskah akademik kepada Pemda Kabupaten Bandung dan DPRD Kabupaten Bandung: Penyusunan naskah akademik dilaksanakan selama Bulan Juli 2007. Setelah naskah akademik selesai disusun, substansi dan penyempurnaan naskah akademik tersebut dilakukan. Naskah akademik kemudian diserahkan kepada Pemda Kabupaten Bandung dan DPRD Kabupaten Bandung. • Pengawalan legislasi kesehatan gratis o Audiensi dengan DPRD Kabupaten Bandung dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung: Penyerahan naskah akademik dilanjutkan dengan audiensi dengan DPRD Kabupaten Bandung dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung. Audiensi bertujuan untuk mensosialisasikan konsep dan menggalang dukungan dari Pemda dan DPRD, menuntut hak inisiatif DPRD untuk mengusung konsep pelayanan kesehatan gratis ini dalam bentuk Peraturan Daerah, dan menuntut pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. o Pengawalan legislasi di DPRD Kabupaten Bandung dan pengawalan proses penganggaran (anggaran alternatif): Kedua proses ini berlangsung ketika konsep Jaminan Pelayanan Kesehatan Gratis ini masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda). Pengawalan ini dimaksudkan agar tidak ada perubahan substansi dalam usulan kebijakan penggratisan kesehatan ini. Proses ini bertujuan agar Jaminan Pelayanan Kesehatan Gratis ini diakomodasi dalam Peraturan Daerah.
40 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Penyediaan Jaminan Akses Kesehatan Bagi Rakyat Miskin di Kabupaten Bandung
• Kampanye kesehatan gratis Kampanye ini ditujukan untuk mensosialisasikan Perda tentang Jaminan Pelayanan Kesehatan Gratis kepada masyarakat sebagai penerima manfaat dan pemangku kepentingan lain. o Penyiapan materi publikasi (radio komunitas, poster, dan koran) o Publikasi dan promosi kesehatan gratis. Kegiatan ini ditempuh dengan penayangan iklan layanan masyarakat melalui radio-radio komunitas dan sewa kolom di koran.
Penyusunan naskah akademik. Naskah akademik disusun melalui tahapan-tahapan sebagai berikut; • Analisis masalah. Pada bagian ini dicari tahu cakupan, jenis, ketersediaan, dan kemungkinan jenis layanan yang bisa disediakan secara gratis. Berbekal hasil survey, dikenali karakteristik penduduk Kabupaten Bandung yang rentan dan mudah terkena penyakit. Temuan ini didukung data Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung yang menyatakan bahwa hanya 8% penduduk yang melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Data itu menyebutkan juga bahwa selama tahun 2006 ada sekitar 120 jenis penyakit, berat maupun ringan, serta layanan kesehatan yang ditangani di tempat pelayanan kesehatan publik (Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah). Selanjutnya Tim Advokasi mendalami kasus-kasus kesakitan yang terjadi di Kabupaten Bandung. Kajian dilakukan antara lain terhadap angka kejadian atau jumlah penderita per tahun, pelayanan kesehatan yang diperlukan penderita agar sembuh, dan waktu yang diperlukan untuk sembuh.
Tahapan analisis berikutnya berupa penghitungan nilai moneter biaya yang timbul akibat penyakit-penyakit tadi. Dari perhitungan itu dapat dilihat; (1) dampak penyakit terhadap kondisi ekonomi penderita dan keluarganya; (2) dampak penyakit terhadap beban pemerintah dalam pembiayaan jaminan kesehatan.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 41
Sehat Itu Murah dan Mudah
Setelah kalkulasi itu dilakukan akan terlihat bahwa yang paling rentan menerima dampak penyakit adalah kelompok masyarakat miskin, pekerja risiko tinggi berpendapatan rendah, orang lanjut usia, pengangguran, dan anak-anak. Dengan mengkaji data demografis, kita bisa mengetahui jumlah orang yang berada dalam posisi rentan terkena risiko penyakit. Dari hasil kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa risiko kejadian penyakit sangat signifikan. Baik dari sisi jumlah penderita, juga dari sisi nilai uang kerugian langsung. Kerugian lainnya akibat kehilangan produktivitas, belum dihitung, dan jumlahnya pasti cukup besar juga. Akhirnya, nilai total kerugian bisa dipastikan jauh lebih besar lagi.
•
Langkah selanjutnya adalah melihat tingkat kerentanan ekonomi penduduk terhadap serangan penyakit tersebut. Dari analisis terhadap data yang tersedia, terlihat penduduk Kabupaten Bandung yang miskin dan rentan terdiri dari keluarga pra sejahtera sebanyak 102 ribu keluarga (360 ribu jiwa) dan keluarga sejahtera I sebanyak 192 ribu keluarga (687 ribu jiwa). Jumlah ini mencapai 40,45% total jumlah keluarga di Kabupaten Bandung. Identifikasi kapasitas. Kapasitas keuangan Pemda Kabupaten Bandung dihitung berdasar kemampuan anggaran daerah. Dari analisis anggaran, dapat diperkirakan besaran kontribusi pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, kajian ini dilakukan untuk menentukan sumber pembiayaan yang bisa digunakan. Kalkulasi ini dilandasi asumsi jika alokasi anggaran memadai, mestinya kualitas layanan kesehatan untuk masyarakat akan baik. Karenanya, jika pelayanan kesehatan kualitasnya masih rendah, berarti ada dua kemungkinan: (1) anggaran dibelanjakan secara tidak efisien atau (2) anggaran yang ada memang terlalu kecil. Untuk itu, seharusnya bisa dilakukan efisiensi anggaran.
42 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Penyediaan Jaminan Akses Kesehatan Bagi Rakyat Miskin di Kabupaten Bandung
Boks 3.2. Analisis potensi penghematan anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung (dalam Rupiah) Analisis Potensi Penghematan Anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Dengan melihat potensi penghematan yang ada maka dapat diperkirakan jumlah anggaran yang tersedia untuk merealisasikan advokasi pelayanan kesehatan gratis. Dari hasil penghitungan, dapat disimpulkan potensi penghematan anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung pada Tahun 2007 berdasarkan modus mencapai Rp 37,6 miliar. NO
1
ITEM MODUS Accress melebihi standar
Belanja dan kuantitas terlalu tinggi
2 3
Harga terlalu tinggi
4
Item tidak jelas
6
Jumlah pembelian terlalu banyak
5
7
9 10
•
NO
820.508.262
11
9.900.000
12
1.781.500
13
6.305.160.500
14
Item tidak sesuai program
13.053.793.500
Kegiatan pengulangan
1.050.000
16
14.636.948.185
17
Kegiatan tidak jelas
8
JUMLAH
Kegiatan tidak sesuai program
Ketinggalan zaman
15
168.000.000
18
354.009.990
19
226.200
ITEM MODUS
Pemborosan
Pemborosan item buku
JUMLAH
953.980.000 1.040.000
Rincian anggaran dan sasaran kegiatan tidak jelas
10.000.000
Uraian tidak jelas
14.100.000
Tidak perlu
51.400.000
Volume dan harga terlalu tinggi
12.313.300
Volume dan harga tidak jelas
931.970.000
Waktu pelaksanaan tidak jelas
246.015.000
Volume terlalu tinggi
Total Potensi Penghematan
43.741.100
37.615.937.537
Menyusun strategi dan rencana tindak. Tahapan ini dimulai dengan kajian penyediaan layanan kesehatan dan penentuan financiers penting sebagai perpektif awal untuk melakukan advokasi. Pada tahap ini dikaji berbagai model pembiayaan layanan kesehatan dengan melihat unsur-unsur sebagai berikut: (1) komitmen pemerintah daerah; (2) Kepercayaan sesama pemangku kepentingan dalam penyediaan layanan kesehatan;
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 43
Sehat Itu Murah dan Mudah
(3) Ketersediaan biaya; (4) Kesiapan institusi penyedia layanan kesehatan; (5) Ketersediaan infrastruktur dan sumberdaya manusia; dan (6) Tingkat kerentanan masyarakat.
Analisis atas enam aspek menunjukkan urgensi dan kemampuan untuk memilih pendekatan universal. Untuk itu Inisiatif melakukan: (1) mengembangkan beberapa alternatif skema pembiayaan (beserta konsekuensi biayanya) untuk penyediaan jaminan layanan kesehatan secara universal; (2) Melakukan advokasi untuk realokasi inefisiensi yang terjadi untuk pembiayaan alternatif skema terpilih; (3) Melakukan negosiasi dan mencari dukungan dari DPRD. Selain itu mencari dukungan tertulis berupa pengumpulan tanda tangan masyarakat; (4) Membuat beberapa tulisan di media massa yang ‘menyentil’ pelayanan kesehatan masyarakat dan mendorong pemberitaan media massa atas kasus-kasus pendukung; (5) Mengawal proses perencanaan dan penganggaran di tahun berikutnya, dengan fokus pada anggaran sektor kesehatan, terutama terkait dengan penyediaan sarana, prasarana, sumber daya manusia, dan obatobatan; (6) Mengembangkan wacana untuk mengurangi peran dinas kesehatan dan menyerahkan pengelolaan Puskesmas secara mandiri. Pilihan ini diambil karena intervensi Dinas Kesehatan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan. Setelah upaya-upaya itu dilakukan, Inisiatif mengembangkan berbagai model alternatif untuk pembiayaan jaminan layanan kesehatan. Berikut ini adalah kalkulasi pembiayaan menurut berbagai model itu.
44 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Penyediaan Jaminan Akses Kesehatan Bagi Rakyat Miskin di Kabupaten Bandung
Boks 3.3. Kalkulasi pembiayaan jaminan layanan kesehatan menurut model
Alternatif
Anggaran
MODEL 1A
Rp 4,43 triliun
MODEL 1B
MODEL 2A
Rp 1,8 triliun
Rp 431 miliar
MODEL 2B
Rp 176 miliar
MODEL 3A
Rp 22 miliar (2007)
MODEL 3B
Kurang dari Rp 9 miliar (2007)
Keterangan
Untuk 44 penyakit, seluruh kasus di Puskesmas Bandung Induk dan Puskesmas Bandung Barat selama setahun (2006). Untuk 44 penyakit, seluruh kasus di Puskesma Bandung Induk dan Puskesmas Bandung Barat selama setahun, dengan angka penduduk miskin 40,65% (2006).
Dengan jumlah penduduk 2.879.231 jiwa dan premi asuransi yg ditanggung Rp12.500,00/bulan seperti di Kabupaten Jembrana. Dengan jumlah peserta lebih banyak, angka premi ini bisa jauh lebih kecil lagi. Dengan penduduk miskin 40% dan premi asuransi yg ditanggung Rp 12.500,00/bulan seperti di Kabupaten Jembrana. Dengan jumlah peserta lebih banyak, angka premi ini bisa jauh lebih kecil lagi. Angka ini diambil dari besaran potensi retribusi pelayanan kesehatan yang dihilangkan.
Besar potensi retribusi pelayanan kesehatan yang dihilangkan dari pasien yang tidak dirujuk.
Dari keenam alternatif tersebut, alternatif yang dianggap paling rasional untuk konteks Kabupaten Bandung (juga merupakan alternatif yang paling direkomendasikan oleh para pelaku advokasi) adalah alternatif kelima (model 3A) dan keenam (model 3B). Pilihan skema yang akan diperjuangkan dan dikembangkan, diserahkan sepenuhnya pada hasil negosiasi pelaku advokasi dengan DPRD Kabupaten Bandung dan Pemda Kabupaten Bandung.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 45
Sehat Itu Murah dan Mudah
•
Pelembagaan dan pendampingan proses. Puncak advokasi dalam mereformasi pelayanan adalah pelembagaan dan pendampingan proses. Sangat disadari, advokasi sendiri merupakan sebuah proses persuasif, di mana pada saat pembuat kebijakan berusaha mencari solusi dan inovasi, pelaku advokasi berusaha mempengaruhi pembuat kebijakan untuk membuat alternatif dan keputusan terbaik.
CAPAIAN Ada beberapa catatan penting yang bisa dianggap sebagai ‘kemenangan kecil.’ Terlepas dari model jaminan pelayanan kesehatan yang akan dirumuskan oleh tim di pemangku kebijakan, proses kajian itu sendiri menandai masuknya sebuah agenda baru dalam rencana kerja pemerintah yang sebelumnya tidak ada. Pada akhirnya, kegiatan kajian tersebut masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2008. Masuknya kegiatan tersebut dalam Rencana Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung menandai proses advokasi kebijakan telah memasuki ruang formal perumusan kebijakan. Sebuah usulan kebijakan yang telah diwacanakan di ruang publik pada akhirnya harus dirumuskan di ruang formal dengan menjadi agenda pemerintah untuk bisa dijalankan. Terbitnya Keputusan Bupati tentang Pembentukan Tim Pengkaji Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Kabupaten Bandung menandai dimulainya perumusan kebijakan secara formal.
Kemenangan kecil lainnya adalah diperolehnya dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, seperti DPRD, media massa lokal (radio dan harian cetak) dan nasional (Kompas), dan berbagai LSM lokal. Dukungandukungan tersebut semakin memompa semangat Inisiatif dan Forum Diskusi Anggaran untuk semakin giat melakukan riset kecil, lobi, dan
46 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Penyediaan Jaminan Akses Kesehatan Bagi Rakyat Miskin di Kabupaten Bandung
berbagai kegiatan penggalangan dukungan lainnya. Di sisi lain, tekanan politik yang diterima oleh Bupati Bandung saat itu, Obar Sobarna, SIP., juga semakin kuat. Dan ini berdampak positif pada semakin seriusnya kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung untuk menyusun raperda dan desain JPKM.
Kemenangan berikutnya, yang tidak kecil, adalah dianggarkannya sejumlah dana pada APBD Kabupaten Bandung Tahun 2009, untuk membebaskan retribusi pelayanan kesehatan dari seluruh Puskesmas di Kabupaten bandung. Ini berarti, mulai tahun 2009, penduduk Kabupaten Bandung dapat mengakses pelayanan kesehatan di Puskesmas secara gratis. Bagi Inisiatif, ini sebuah kemenangan besar pertama; mulai tahun 2009 tidak ada lagi hambatan untuk mengakses pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat miskin. Kemenangan berikutnya, yang juga sangat berarti, adalah disahkannya Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 10 Tahun 2009 tentang Jaminan Kesehatan Di Kabupaten Bandung. Perda ini disahkan pada tanggal 9 Juli 2009. Ini kemenangan yang besar, tapi belum yang terbesar. Setidaknya, dengan munculnya perda ini, sistem jaminan pelayanan kesehatan di Kabupaten Bandung sudah mendapat fondasi yang cukup kuat. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah menerapkan perda tersebut. Bagaimanapun, ini hanyalah awalan bagi pekerjaan selanjutnya.
TANTANGAN Tantangan pertama kali muncul dari pihak Pemda Kabupaten Bandung, terutama Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, dan dari penyedia layanan. Pihak Pemda berkeberatan atas dihilangkannya retribusi kesehatan. Ini berarti mereka kehilangan sebagian sumber pendanaan, tanpa ada jaminan bahwa kehilangan tersebut akan mendapatkan kompensasi berupa kenaikan alokasi anggaran dari ABPD. Namun kehawatiran ini
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 47
Sehat Itu Murah dan Mudah
tidak terbukti, karena DPRD Kabupaten Bandung menyetujui tambahan alokasi anggaran untuk Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung sebagai pengganti retribusi yang dihilangkan. Yang paling sulit dihadapi adalah tantangan untuk mengubah cara berpikir Pemda Kabupaten Bandung dan penyedia layanan yang berpendapat
pelayanan kesehatan tidak boleh digratiskan. Beberapa alasan yang tidak berdasar di antaranya: (1) biaya untuk mendapatkan pendidikan kedokteran sangat mahal, (2) APBD tidak akan cukup, (3) tidak adil bila orang kaya menikmati layanan kesehatan gratis, dan (4) orang miskin akan menyalahgunakan penggratisan dengan semakin sembarangan hidupnya, tidak menjaga kesehatan mereka, karena ada jaminan bahwa kalau sakit akan dapat pelayanan kesehatan gratis.
Tantangan lain yang biasa ditemukan dalam bekerja sama dalam tim yang beranggotakan pegawai negeri sipil: semua hal terkait legitimasi, ranking/ eselon jabatan, honor, dan tidak adanya hasil kerja yang nyata. Dan, terkait dengan eselon, jangan berharap akan ada kesepakatan atau komitmen apapun dari PNS, ketika yang kita hadapi adalah staf. Di lingkungan pegawai negeri sipil, pejabat eselon tiga atau empat tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan. Tantangan besar lainnya adalah masalah kapasitas internal pelaku advokasi. Pengetahuan yang sifatnya konseptual dan teknis tentang subjek yang diadvokasikan memegang peranan penting. Kapasitas ini terutama terkait penyusunan argumen. Selain itu, pengetahuan akan sangat berguna untuk menghadapi lawan advokasi yang mempunyai pengetahuan yang tinggi. Hal ini sangat berpengaruh bagi keberlanjutan agenda advokasi dan pencapaiannya. Orang pintar tidak selalu ada, dan kalaupun ada tidak selalu berpihak pada agenda advokasi.
48 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Penyediaan Jaminan Akses Kesehatan Bagi Rakyat Miskin di Kabupaten Bandung
PELAJARAN Pelajaran paling penting yang diperoleh: advokasi harus didukung oleh kapasitas pengetahuan yang memadai, dukungan politik yang masif dari berbagai pemangku kepentingan, dan kemampuan memanfaatkan
berbagai momen. Tanpa itu semua, advokasi akan sangat berat dan sangat mungkin gagal. Bahkan untuk yang sudah memiliki semua kelebihan tersebut, seperti kemewahan yang dimiliki Inisiatif, proses advokasi membutuhkan waktu bertahun-tahun. Di sini daya tahan dan konsistensi perjuangan terus dituntut. Terakhir, disadari bahwa advokasi merupakan sebuah dinamika tarikmenarik kekuatan; pemenang tidak akan mendapatkan segala-galanya. Sampai tulisan ini disusun, baru capaian membebaskan rakyat dari retribusi layanan kesehatan di Puskesmas yang berhasil diwujudkan. Babak pertama telah usai, namun babak berikutnya baru dimulai. Masih dibutuhkan upaya yang besar sebelum Perda JPKM diterapkan.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 49
Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD Di Posyandu Pengalaman Kelompok Perempuan Mengadvokasi Anggaran Di Kota Surakarta oleh: Mimin Rukmini dan Setyo Dwi Herwanto
RINGKASAN Meskipun memainkan peran strategis, sampai tahun 2003 pembiayaan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Kota Surakarta mengandalkan iuran warga dan kontribusi dari persediaan kas Rukun Tetangga (RT). Pada tahun 2004, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Surakarta dan Forum Perempuan Peduli Anggaran Kota Surakarta (FPPAKS) berhasil mendorong adanya realokasi anggaran kegiatan organisasi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di APBD Perubahan Kota Surakarta pada tahun berjalan. Anggaran yang direncanakan untuk kunjungan PKK ke Bali dialihkan ke kegiatan pemberian makanan tambahan (PMT) Balita di Posyandu senilai Rp 100 juta. Sejak itu, Posyandu mendapat bantuan pembiayaan dari APBD Kota Surakarta sebesar Rp 400 ribu per Posyandu. PATTIRO Surakarta sampai saat ini terus mendampingi pemberdayaan Posyandu, termasuk memfasilitasi pembentukan Forum Komunikasi Kader Posyandu (FKKP) pada 2008. Dana APBD Tahun 2010 untuk setiap Posyandu di Kota Surakarta saat ini adalah Rp 1.800.000,00 dan jumlah keseluruhan Posyandu Balita adalah 578.
Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD di Posyandu
PROFIL LEMBAGA Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Surakarta dirintis tahun 2000 sebagai ungkapan kepedulian mahasiswa/santri Pondok Pesantren Al-Muayyad, Windan. Di dalamnya bergabung aktivis mahasiswa, jurnalis, peneliti sosial, dan pemerhati sosial untuk yang tergerak menyelenggarakan pendidikan kewargaan bagi masyarakat. Waktu itu, para aktivis Surakarta difasilitasi PATTIRO Jakarta yang berdiri setahun sebelumnya, untuk melakukan penelitian dan advokasi pemberdayaan partisipasi warga masyarakat. Jadi tidak mengherankan, jika kemudian para aktivis Surakarta pun mendirikan LSM lokal bernama PATTIRO Surakarta untuk menjalankan misi pendidikan kewargaan.
PATTIRO Surakarta memiliki visi mewujudkan masyarakat menyadari hak dan kewajiban bernegara menuju tatanan yang berkeadilan. Dengan visi itu, PATTIRO Surakarta mengemban misi: 1) Melakukan penelitian terhadap kebijakan publik dan dampaknya terhadap kehidupan sosial; 2) Melakukan pendidikan kewargaan untuk membangun kesadaran atas hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan kebijakan publik; 3) Memfasilitasi terciptanya kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat rentan; 4) Mendorong upaya inovasi kebijakan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik; 5) Melakukan pengawasan kinerja yang kritis dan konstruktif terhadap penyelenggaraan pemerintahan (negara dan swasta); 6) Mendorong penyebarluasan informasi publik yang dilakukan oleh pemerintah; 7) Melakukan upaya-upaya mengembangkan jaringan komunikasi antar kelompok masyarakat dan pemangku kepentingan; 8) Mendorong integrasi perspektif gender dalam kebijakan publik dan, (9) Menguatkan sistem pengelolaan lembaga secara mandiri dan berkelanjutan.
Bekerja sama dengan PATTIRO Jakarta, PATTIRO Surakarta mengusulkan Peraturan Daerah Becak/Lalu Lintas pada periode 2001-2003. Program lainnya yang telah dikerjakan dalam kerja sama itu adalah: 1) Partisipasi Perempuan dalam Kebijakan Publik (2002-sekarang),
52 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Kelompok Perempuan Mengadvokasi Anggaran
2) Penguatan Partisipasi Masyarakat untuk Pengawasan Anggaran Publik (2003-sekarang), 3) Advokasi Anggaran Responsif Gender (2003-sekarang), 4) Penguatan Kelompok Masyarakat Rentan untuk Pemantauan Kinerja Eksekutif dan Legislatif (2005), 5) Riset Kebijakan, Pelatihan Advokasi Kebijakan Publik Daerah, dan Penerbitan Media untuk Mempengaruhi Kebijakan Yang Berpihak Kepada Masyarakat (2007-sekarang).
ANALISIS SITUASI Posyandu di Kota Surakarta telah menjadi bagian strategis upaya kesehatan berbasis sumber daya masyarakat. Salah satu peran Posyandu yang penting adalah memantau langsung kondisi kesehatan dan berat badan anak berusia di bawah lima tahun (Balita) secara rutin per bulan. Hasil pemantauan ini dicatat Kader Posyandu di buku Kartu Menuju Sehat (KMS) yang dipegang masing-masing orang tua Balita. Setelah proses penimbangan berat badan, Posyandu kemudian melaksanakan kegiatan pemberian makanan tambahan (PMT) Balita sebagai upaya perbaikan gizi Balita. Jenis makanan tambahan yang diberikan kepada Balita, antara lain susu, bubur kacang hijau, dan biskuit. Posyandu di Kota Surakarta dibentuk di tingkat Rukun Warga (RW). Pengelola Posyandu direkrut dari perempuan warga di lingkungan RW. Mereka disebut kader. Para kader ini bekerja secara sukarela mengelola Posyandu. Masing-masing Posyandu melayani 23 Balita. Di Kota Surakarta terdapat 578 Posyandu Balita saat ini. Sebelum tahun 2004, Posyandu mendapatkan sumber dana dari iuran masyarakat dan bantuan kas Rukun Tetangga (RT) untuk menjalankan kegiatannya. Dengan anggaran yang cenderung seadanya, para kader Posyandu melaksanakan berbagai kegiatan yang menjadi program mereka. Pada 2004, PATTIRO Surakarta mendampingi Posyandu untuk belajar membaca anggaran. Dokumen yang dipelajari adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta Tahun 2004. Dari proses membaca anggaran ini,
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 53
Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD di Posyandu
ditemukan alokasi anggaran yang mereka nilai kurang bermanfaat, yakni anggaran untuk kegiatan organisasi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Surakarta pada usulan APBD Perubahan Tahun 2004. Anggaran ini bernilai Rp 100 juta untuk mendanai kunjungan kerja PKK Kota Surakarta ke Bali.
PATTIRO Surakarta kemudian berkolaborasi dengan anggota Forum Perempuan Peduli Anggaran Kota Surakarta (FPPAKS) yang terdiri dari organisasi-organisasi perempuan di Kota Surakarta, mengadvokasi realokasi anggaran untuk kunjungan PKK ke Bali. Kegiatan baru yang diusulkan sebagai penggantinya adalah kegiatan pemberian makanan tambahan Balita di Posyandu. Upaya ini berhasil meyakinkan pemerintah dan DPRD Kota Surakarta untuk merealokasi dana kunjungan PKK ke Bali menjadi dana PMT Balita. Dengan demikian, Posyandu mulai mendapatkan dukungan dana dari anggaran pemerintah melalui APBD Perubahan Tahun 2004. Setiap Posyandu mendapatkan alokasi sebesar Rp 400 ribu per tahun. Dari diskusi terfokus bersama aktifis Posyandu dan PKK, PATTIRO Surakarta dan FPPAKS menemukan masalah kurangnya anggaran untuk kegiatan PMT Balita di Posyandu. Berdasar kalkulasi yang dilakukan bersama, anggaran untuk Balita dinilai cukup pada angka Rp 3.000,00 per bulan atau Rp 36.000,00 per tahun. Jika setiap Posyandu melayani sekurang-kurangnya 20 anak, maka kebutuhan dana PMT di Posyandu setiap tahun sekurang-kurangnya adalah Rp 720.000,00.
Berikut kegiatan dan perkiraan anggaran Posyandu Balita per tahun yang berhasil dirumuskan dalam diskusi terfokus: Tabel 4.1. Perkiraan Kebutuhan Anggaran Pengelolaan Posyandu untuk 1 Tahun (dalam rupiah) No. 1 2
Kegiatan Posyandu Selama 1 Tahun
PMT Pemberantasan Sarang Nyamuk
Perkiraan Anggaran 720.000 240.000
54 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Kelompok Perempuan Mengadvokasi Anggaran
3 4 5 6
Transportasi Koordinasi Kader Posyandu Alat Tulis dan Kantor APE Pembelian Sarana-prasarana Jumlah
Sumber: PATTIRO Surakarta
480.000
100.000 300.000 500.000 2.340.000
Berbekal hasil penghitungan kebutuhan dana untuk PMT Balita dari tahun 2004, PATTIRO Surakarta bersama para pemangku kepentingan lainnya di Kota Surakarta berhasil melakukan advokasi peningkatan anggaran untuk PMT Balita di Posyandu setiap tahunnya. Keberhasilan advokasi ditandai dengan adanya peningkatan anggaran pada PMT Balita setiap tahun (lihat tabel 4.2.) melalui upaya-upaya yang telah dijalankan, seperti pelatihan membaca anggaran, diskusi pemetaan masalah dan solusi, audiensi serta pemantauan. Bahkan PATTIRO Surakarta pada 2008 memfasilitasi pembentukan Forum Komunikasi Kader Posyandu (FKKP) sebagai wadah berjaringan para kader Posyandu di Kota Surakarta. Forum ini bertujuan menyatukan kekuatan dan semangat para kader Posyandu untuk senantiasa menjalankan misi Posyandu dalam ikut serta memperbaiki gizi Balita di Kota Surakarta. Misi ini termasuk terus mengelola secara bertanggung jawab anggaran PMT Balita dan terus mengadvokasi kepentingan Posyandu dalam memperoleh anggaran dari APBD.
METODOLOGI Dalam melakukan advokasi anggaran melalui pemberdayaan Posyandu ini, PATTIRO Surakarta melakukan beberapa tahapan advokasi, seperti:
Pengorganisasian komunitas. Dengan cara ini, PATTIRO Surakarta memfasilitasi pembentukan jaringan organisasi perempuan dari berbagai kalangan yang ada di Kota Surakarta, seperti ormas perempuan, organisasi perempuan yang dikoordinasi oleh pemerintah (PKK, GOW, Dharma Wanita), LSM yang fokus pada isu perempuan dan akademisi. Selain itu,
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 55
Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD di Posyandu
PATTIRO Surakarta memfasilitasi pembentukan jaringan kader Posyandu di Kota Surakarta pada tahun 2008, yang dinamakan Forum Komunikasi Kader Posyandu (FKKP). Penguatan kapasitas jaringan. Melengkapi upaya pengorganisasian komunitas, melalui serangkaian pelatihan, PATTIRO Surakarta membekali
para aktifis dari organisasi anggota jaringan advokasi dengan kemampuan membaca dan menganalisis anggaran menggunakan dokumen APBD Kota Surakarta. Semenjak FPPAKS terbentuk, PATTIRO Surakarta sudah melakukan 12 pelatihan membaca dan menganalisis anggaran untuk anggota jaringan. Partisipan yang hadir per pelatihan berkisar 15-20 orang. Partisipan berasal dari berbagai ormas Islam perempuan yang ada di Kota Surakarta, Posyandu, akademisi, pers, dan DPRD. Pemetaan masalah dan solusi. Untuk memelihara ikatan dalam jaringan dan kepemilikan terhadap seluruh upaya dalam advokasi, permasalahan dan solusi dipetakan melalui proses kolektif. Diskusidiskusi tentang seluruh aspek kebijakan dan upaya advokasinya dilakukan dengan melibatkan anggota jaringan yang telah terbangun di FPPAKS Diskusi dilaksanakan untuk menindaklanjuti pelatihan membaca dan menganalisis anggaran yang sudah dilakukan anggota jaringan. Masingmasing anggota jaringan secara bergiliran menjadi tuan rumah diskusi dan PATTIRO Surakarta dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator diskusi. Permasalahan yang akan diadvokasi muncul dari proses diskusi ini. Masalah kesehatan ibu dan anak dan gizi anak dikaitkan dengan belum optimalnya peran Posyandu dalam penanganan masalah ini karena kurangnya anggaran untuk Posyandu. Menganalisis anggaran. Analisis dengan melibatkann anggota jaringan dilakukan terhadap dokumen APBD, RAPBD Perubahan, dan RAPBD pada tahun berikutnya. Hasil analisis ini menjadi landasan bangunan argumentasi dan pilihan-pilihan solusi anggaran yang diperlukan dalam advokasi. Langkah-langkah proses menganalisis anggaran yang dilakukan adalah: 1) Melakukan pemetaan masalah Posyandu, 2) Menyepakati
56 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Kelompok Perempuan Mengadvokasi Anggaran
permasalahan yang akan diadvokasi, yakni dana PMT Balita, 3) Menelusuri di dokumen anggaran untuk melihat ketersediaan anggaran dan penggunaannya, 4) Menyusun daftar kebutuhan dan anggarannya per Posyandu untuk setiap bulan, 5) Berdasarkan daftar itu, dipetakan persentase anggaran yang bersumber dari partisipasi masyarakat untuk Posyandu selama ini dan berapa persen idealnya menurut masyarakat?
Dari kalkulasi ini, berapa persen anggaran yang telah disediakan APBD dan berapa persen lagi yang masih harus ditambah dari APBD. Lobi dan dengar pendapat dengan pusat-pusat kekuasaan. Berbekal peta persoalan, argumentasi, dan alternatifnya, PATTIRO Surakarta dan anggota jaringan advokasi berbicara dengan DPRD, Kepala Daerah/ Wali Kota, dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Lobi dilakukan melalui audiensi oleh anggota jaringan selama proses penganggaran APBD/APBD-P. Pihak-pihak yang didatangi adalah Dinas Kesehatan dan fraksi partai politik yang ada di DPRD serta Komisi IV DPRD yang membidangi Sosial Budaya. Sebelum melakukan audiensi, PATTIRO Surakarta mengirimkan surat permohonan audiensi. Kegiatan ini dilakukan untuk memastikan para pembuat kebijakan dan pemegang kekuasaan formal memahami secara tepat kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, kepentingan masyarakat terhadap peningkatan anggaran untuk perbaikan gizi Balita di Kota Surakarta melalui pemberian makanan tambahan kepada Balita di Posyandu.
Diskusi publik. Untuk mendapatkan dukungan yang luas dan membentuk opini publik, PATTIRO Surakarta dan jaringan advokasi ini menggelar diskusi terbuka. Dalam diskusi itu, hasil analisis anggaran dari dokumen APBD, RAPBD Perubahan, dan RAPBD didiseminasikan. PATTIRO Surakarta dalam diskusi publik ini, mengundang partisipan dari DPRD, SKPD, media, masyarakat sipil, dan akademisi; hampir semua undangan hadir. Kampanye media massa. PATTIRO Surakarta melakukan pengorganisasian media untuk melakukan kampanye media untuk
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 57
Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD di Posyandu
mendukung advokasi kenaikan anggaran PMT Balita di Posyandu. Upaya ini mencakup penyebarluasan hasil analisis anggaran dari dokumen RAPBD. Pengorganisasian media yang dilakukan adalah dengan mengundang jurnalis/media lokal cetak dan elektronik untuk meliput diskusi yang dilakukan. Selain itu, PATTIRO Surakarta juga melibatkan jurnalis/media secara aktif membaca dan menganalisis anggaran sekaligus berdiskusi dengan mereka mengenai isu-isu anggaran. Ada sekitar lima orang jurnalis lokal yang aktif.
Pemantauan. Pemantauan dan evaluasi dilakukan sepanjang proses advokasi, mulai dari usulan kebijakan anggaran hingga pelaksaan program yang dilakukan Posyandu. Pemantauan dilakukan dengan memantau usulan peningkatan anggaran PMT Balita di RAPBD yang sedah dibahas, memantau secara informal dengan melobi DPRD dan SKPD untuk memperoleh informasi perkembangan pembahasan anggarannya, dan memantau hasil akhirnya berupa berapa besar anggaran yang telah ditetapkan, mekanisme pencairan dan proses pembagiannya oleh pemda kepada Posyandu.
KENDALA Kendala advokasi peningkatan anggaran PMT Balita Posyandu, yakni: 1) Terbatasnya anggaran yang disediakan untuk sektor kesehatan (1-4% dari total APBD per tahun) yang dikuatkan dengan pemahaman SKPD bahwa keberadaan Posyandu murni partisipasi masyarakat, sehingga anggaran Posyandu sebagian besar harus ditanggung masyarakat, 2) Rendahnya kemampuan kader Posyandu untuk menyusun proposal dan LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) pemakaian anggaran PMT Balita, 3) Tidak optimalnya pengkaderan/regenerasi Posyandu karena tidak jelasnya payung hukum yang menaungi Posyandu mengurangi minat perempuan/masyarakat untuk aktif di Posyandu. Hal ini terkait dengan pekerjaan kader Posyandu yang dipandang sebagai relawan.
58 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Kelompok Perempuan Mengadvokasi Anggaran
Secara umum kendala yang masih dihadapi dalam advokasi anggaran PMT Balita di Posyandu Kota Surakarta adalah: Hirarki struktural. Posyandu secara struktural masih berada dalam organisasi PKK, sehingga sering kali mengalami kendala ketika harus mengambil keputusan karena harus melalui mekanisme rapat organisasi PKK. Pertemuan antar Posyandu di wilayah kecamatan maupun kota sering kali diwakili oleh ketua PKK kelurahan atau kecamatan masingmasing. Hal ini mengakibatkan permasalahan Posyandu yang sampai ke organisasi PKK tingkat kota seringkali tidak sesuai dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Kaderisasi. Kesulitan mencari kader Posyandu yang tangguh dan bertahan lama. Padahal hal ini sangat penting untuk menjaga keberadaan Posyandu terutama dalam misi melakukan perbaikan gizi Balita. Kesulitan ini sering kali disebabkan adanya kader yang tidak punya waktu lagi dan semangat masyarakat yang semakin menurun untuk terus menjalankan Posyandu. Pandangan birokratis. Perhatian SKPD selain Dinas Kesehatan masih minim untuk melibatkan Posyandu dalam program-program pemerintah Kota Surakarta. Hal ini memberi kesan bahwa Posyandu merupakan kepanjangan tangan Dinas Kesehatan Kota Surakarta.
Kapasitas kader. Kemampuan administrasi dan kualitas pendidikan kader Posyandu tidak merata karena perbedaan latar belakang pendidikan dan tingkat usia.
Partisipasi laki-laki. Semakin berkurangnya perhatian masyarakat terutama laki-laki dalam melihat peran penting Posyandu dalam masyarakat. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai keputusan wilayah kelurahan yang partisipan forumnya didominasi laki-laki, di mana kepentingan Posyandu sering dianggap sepele atau dikesampingkan.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 59
Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD di Posyandu
Keterampilan administrasi. Pelatihan keterampilan administrasi kader Posyandu yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) masih kurang. Hal ini sering kali menjadi hambatan bagi Posyandu dalam membuat laporan penggunaan anggaran yang dikelola yang bersumber dari APBD Kota Surakarta. Kordinasi multipihak. Belum ada koordinasi antara Posyandu dengan tenaga-tenaga medis di tingkat wilayah masing-masing, seperti dengan bidan praktek, dokter praktek, dan rumah sakit swasta. Salah satu penyebabnya adalah adanya peraturan larangan bagi dokter praktek untuk mengobati pasien di luar ruang praktek mereka.
Alokasi anggaran. Belum ada penjatahan jumlah anggaran PMT Balita di Posyandu yang disesuaikan dengan jumlah Balita yang dikelola. Selama ini, jatah anggaran yang diberikan jumlahnya sama per Posyandu Balita, tanpa melihat jumlah riil berapa Balita yang saat itu dilayani Posyandu. Jadi ada Posyandu yang kelebihan anggaran karena jumlah Balitanya kurang dari kuota. Di sisi lain ada Posyandu yang kekurangan anggaran karena jumlah Balitanya melebihi kuota yang ada di anggaran.
CAPAIAN Kegiatan advokasi peningkatan anggaran PMT Balita di Posyandu oleh PATTIRO Surakarta telah berhasil dilakukan dalam dua level: Level Komunitas. Terbentuknya Forum Komunikasi Kader Posyandu (FKKP) menjadi jembatan bagi pertemuan langsung antar kader Posyandu. FKKP menjadi forum yang fleksibel untuk saling berbagi informasi dan masalah pengelolaan Posyandu, di luar struktur pengambilan keputusan yang kaku.
60 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Kelompok Perempuan Mengadvokasi Anggaran
Di sisi lain, peningkatan kemampuan dalam membaca dan menganalisis anggaran bagi pemangku kepentingan lain, seperti pers, ormas, akademisi, mahasiswa, dan lainnya akan menjadi daya dorong yang sangat membantu untuk memperjuangkan advokasi anggaran yang dilakukan. Pelatihan membaca dan menganalisis anggaran untuk pers, ormas, dan akademisi dalam konteks advokasi yang dilakukan sebenarnya merupakan hasil tambahan. Sebagai contoh, semula pers berperan untuk meliput isu yang diadvokasi, namun ternyata aktor pers/jurnalis memerlukan kapasitas membaca dan menganalisis anggaran agar bisa menuliskan berita tentang isu yang diadvokasi ini dengan lebih kuat dan jelas.
Level Kebijakan Anggaran. Pada tahun 2004 PATTIRO Surakarta berhasil mendorong munculnya anggaran untuk PMT Balita di Posyandu Kota Surakarta dalam APBD Perubahan,. Hasilnya, sebanyak 569 Posyandu mendapatkan alokasi anggaran untuk PMT masing-masing Rp 400.000,00. Alokasi itu terus bertambah setiap tahun sebagaimana Tabel 4.2. Tabel 4.2. Alokasi Anggaran PMT Balita di Posyandu dalam APBD/APBD Perubahan Kota Surakarta 2004-2008
Jumlah Anggaran di APBD/APBD Perubahan (dalam Rupiah) 2004 400.000 2005 600.000 2006 900.000 2007 1.200.000 2008 1.200.000 (APBD) ditambah 600.000 (APBD P) 2009 1.800.000 2010 1.800.000 Sumber: PATTIRO Surakarta Tahun
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 61
Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD di Posyandu
PELAJARAN Berikut beberapa pembelajaran yang bisa dipetik selama melakukan advokasi peningkatan anggaran PMT Balita di Posyandu dalam APBD/ APBD Perubahan Kota Surakarta:
Koalisi. Dalam melakukan advokasi, sangat penting untuk berkoalisi dan atau berbagi isu yang sedang diadvokasi dengan para pemangku kepentingan yang ada, seperti jaringan masyarakat sipil, LSM, pers dan akademisi untuk memperkuat daya tawar masyarakat. Menggalang koalisi akan memberi dukungan kekuatan untuk advokasi dengan perspektif pemangku kepentingan yang lebih komprehensif. Namun begitu, PATTIRO Surakarta dan FKKP sebenarnya sudah melakukan advokasi tanpa koalisi untuk peningkatan anggaran PMT Balita juga pada 2009. Meskipun tanpa koalisi, advokasi yang dilakukan tetap menghimpun dukungan dari berbagai pihak, seperti akademisi dan pers.
Pengembangan kapasitas. Pelibatan para pemangku kepentingan dalam gerakan advokasi anggaran harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas mereka dalam membaca dan menganalisis anggaran. Dengan demikian mereka paham substansi advokasi dan sekaligus seluk-beluk anggarannya. Kapasitas membaca dan menganalisis anggaran harus dimiliki para pemangku kepentingan karena mereka diharapkan menjadi kekuatan yang mendukung advokasi anggaran untuk peningkatan anggaran PMT Balita Posyandu. Dengan memiliki keterampilan membaca dan menganalisis anggaran ini, para pemangku kepentingan bisa langsung tahu selukbeluk anggaran yang akan diadvokasi, jenis-jenis dokumen anggaran yang diperlukan, dan pihak-pihak yang punya wewenang membuat kebijakan anggaran itu. Dengan mengenali pihak yang berwenang, para pemangku kepentingan advokasi bisa melobi mereka.
62 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Kelompok Perempuan Mengadvokasi Anggaran
Pelibatan penerima manfaat. Pelibatan penerima manfaat langsung sebuah kebijakan anggaran yang diadvokasi sangat penting dilakukan. Pilihan ini juga memberi peluang kepada warga secara langsung berhadapan dengan para pemimpin (Pemerintah Kota) dan wakilnya (DPRD).
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 63
Kebangkitan Difabel untuk Memperjuangkan Hak Upaya Mengorganisasi Kelompok Difabel untuk Memperoleh Jaminan Kesehatan di Provinsi DIY oleh: Nurul Sa’adah Andriani dan Wasingatu Zakiyah
RINGKASAN Tidak mudah bagi para difabel di Indonesia untuk hidup dengan selayaknya. Mereka seringkali diperlakukan secara diskriminatif dan tidak wajar, terutama ketika mengakses fasilitas publik. Jaminan atas layanan kesehatan masih sulit diakses oleh para difabel di Indonesia. Penyebabnya antara lain adalah keberadaan mereka yang tidak terdata secara akurat, skema jaminan kesehatan untuk orang miskin yang mengecualikan kaum difabel, dan ketiadaan aturan teknis mengenai pelaksanaan jaminan kesehatan di daerah. Melalui pengorganisasian dan penguatan kapasitas, SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak) berhasil mendorong para difabel untuk membentuk organisasi mereka sendiri dan mengakses dana publik daerah. Naskah ini merekam upaya dan strategi SAPDA sejak tahun 2005.
Kebangkitan Difabel untuk Memperjuangkan Hak
PROFIL LEMBAGA SAPDA berdiri pada tahun 2005 dengan visi menciptakan inklusivitas dalam keseluruhan aspek kehidupan sosial yang menjadi hak dasar perempuan difabel dan anak di bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan berbasis hak asasi manusia.
SAPDA mengorganisasi dan melakukan penguatan komunitas untuk melakukan advokasi pemenuhan hak dasar warga negara. Salah satunya adalah hak atas jaminan kesehatan yang terdiri dari pembiayaan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Pada bulan Desember 2006, SAPDA dipercaya untuk menjadi pengampu bagi 1.200 orang difabel dari lima kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk mengadministrasikan jaminan kesehatan dari Pemerintah Provinsi DIY.
Pengantar Menurut data Departeman Sosial (2008), ada sekurang-kurangnya 40.290 orang difabel di Provinsi DIY. Data tersebut belum mencakup keseluruhan difabel karena sebagian dari mereka, teurtama di daerah-daerah terpencil, biasanya disembunyikan oleh keluarga masing-masing sehingga tidak terdata dengan baik. Pada saat yang sama, mereka juga tidak dinaungi oleh organisasi yang secara khusus bekerja untuk kepentingan kaum difabel. Keberadaan mereka yang di luar data statistik dan pangkalan data pemerintah kerapkali membawa masalah dalam penyediaan dan akses layanan hak dasar seperti jaminan kesehatan bagi warga negara. Situasi ini makin menyulitkan karena pemerintah masih menganggap kaum difabel sebagai “penyandang masalah sosial�. Pemerintah belum menerima kaum difabel sebagai warga negara dengan kebutuhan khusus yang memiliki hak atas layanan dasar tanpa dipengaruhi oleh kondisinya yang berbeda dari kebanyakan warga negara.
66 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Mengorganisasi Kelompok Difabel untuk Memperoleh Jaminan Kesehatan di ProvinsiDIY
Dalam kondisinya yang terbatas, para difabel lebih rentan sakit atau terluka daripada warga nondifabel. Misalnya, difabel karena polio yang memakai kruk akan sangat mudah terpeleset yang bisa berdampak patah tulang, memar, bahkan cedera kepala, dan kelumpuhan total. Difabel grahita/mental retardasi lebih rentan terhadap kecelakaan dalam rumah ataupun di luar rumah dalam aktivitas kesehariannya. Difabel netra (buta total/ low vision) punya kerentanan tinggi atas kecelakaan di jalan dan di rumah. Hal tersebut terjadi juga pada difabel berat misalkan paraplegia (patah tulang belakang yang menyebabkan kelumpuhan total bagian pinggang ke bawah) akan mudah sakit karena bagian tubuh tertentu yang tidak berfungsi.
Secara social ekonomi para difabel banyak yang berada dalam kategori miskin atau akan mudah jatuh miskin. Sebagian besar mereka tidak memiliki pendapatan yang memadai karena pendidikan yang rendah. Mereka yang ada dalam keluarga cukup mapan biasanya tidak memiliki pekerjaan sendiri sementara mereka yang punya penghasilan sendiri biasanya bekerja secara tidak tetap dan tidak dilindungi oleh asuransi. Seluruh keadaan itu menyebabkan mereka mudah jatuh ke dalam kesulitan ketika terjadi situasi ekstrem seperti jatuh sakit atau kehilangan pekerjaan. Dalam konteks itu, jaminan kesehatan untuk difabel menjadi kebutuhan utama sebagaimana digariskan oleh Konvensi Hak Penyandang Cacat tahun 2007 Pasal 25 tentang Kesehatan dan Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) Pasal 12 tentang Hak atas Kesehatan Fisik dan Mental. Kovenan Ekosob menegaskan bahwa Negara harus memenuhi hak atas kesehatan para penyandang cacat beserta pemenuhan kebutuhan khusus atas kesehatannya. Jaminan kesehatan itu harus mencakup komponen kebutuhan khusus yang terjangkau dengan aksesibilitas yang baik. Keterjangkauan pembiayaan kesehatan meliputi pembiayaan yang murah, adanya formula (obat) dan tindakan yang diperlukan secara khusus karena kecacatan ditanggung dalam jaminan itu. Sayangnya
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 67
Kebangkitan Difabel untuk Memperjuangkan Hak
komponen layanan kebutuhan khusus seperti vitamin A dosis tinggi, alat bantu seperti korset/alat bantu dengar serta terapi rutin paraplegia dan kelumpuhan otak (celebral palsy) biasanya tidak masuk dalam skema jaminan kesehatan. Sedangkan aksesibilitas layanan kesehatan meliputi keadaan fisik
bangunan gedung dengan sarana-prasarananya dan keterjangkauan pelayanan petugas medis (pemberi layanan kesehatan baik petugas penerima pendaftaran, perawat, dokter dan petugas lain yang ada dalam ruang lingkup pemberi layanan kesehatan). Misalnya, fasilitas jalan masuk, petunjuk/ informasi , loket, ruang tunggu, toilet yang dapat dipergunakan oleh difabel (dari beragam kecacatan) dengan mudah. Contoh yang lain adalah petugas medis yang mampu mendampingi dan berkomunikasi dengan difabel serta mengetahui kebutuhan khusus difabel karena kecacatannya.
Sayangnya, meski fakta-fakta layanan medis untuk difabel belum memadai, pemerintah belum memiliki regulasi yang menjadi dasar pelaksanaan jaminan kesehatan untuk mereka. Sebagian besar pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar (Puskesmas), klinik dokter dan pusat pelayanan kesehatan tingkat lanjut (Rumah Sakit) di Indonesia secara fisik maupun layanannya tidak memberikan akses yang memadai bagi difabel. Sedangkan skema pembiayaan kesehatan pemerintah pusat maupun daerah masih mengecualikan mereka. Jaminan kesehatan pemerintah gagal menjangkau kaum difabel karena skema tersebut hanya melayani masyarakat miskin tanpa memasukkan kaum difabel ke dalam kategori itu.
68 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Mengorganisasi Kelompok Difabel untuk Memperoleh Jaminan Kesehatan di ProvinsiDIY
METODOLOGI Mengorganisir penyandang cacat Langkah awal proses advokasi hak atas jaminan kesehatan adalah mengorganisasi difabel. Penguatan organisasi difabel di daerah dilakukan
untuk meningkatkan kualitas manajemen dan kapasitas mereka. Selain itu keterampilan advokasi kebijakan publik dikembangkan agar mereka bisa melakukan negosiasi dengan pemerintah dalam rangka pemenuhan hak dasar.
Peningkatan kapasitas komunitas difabel dan penguatan organisasi difabel di tingkat lokal (kabupaten) antara lain di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah dilakukan secara masif pada tahun 2005-2010. Dari proses ini terbentuk Paguyuban Penyandang Cacat Sleman, dan Persatuan Penyandang Cacat Kulonprogo (PPCKP). Pada tahun 2006 dan 2007 dua organisasi itu (PPCKP dan PPCS) dapat mengakses APBD kabupaten untuk penguatan organisasi dan pemberdayaan penyandang cacat. Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah berdiri Himpunan Difabel Klaten (HDK) pada tahun 2006 yang berubah menjadi oleh PPPCK (Persatuan Penyandang Cacat Klaten) untuk menyatukan organisasi kecacatan di Klaten (difabel daksa, netra, rungu wicara) dalam advokasi dan pemberdayaan. Pemetaan masalah penyandang cacat Rendahnya upaya para difabel untuk meningkatkan kemampuan mereka mengakses layanan kesehatan antara lain disebabkan oleh kurangnya pengenalan mereka terhadap masalah-masalah publik yang terkait dengan hak-hak mereka. Untuk itu, upaya besar advokasi hak atas layanan kesehatan para difabel diawali dengan membantu mereka melihat persoalan secara teliti. Untuk itu SAPDA memfasilitasi proses pengenalan masalah dan identifikasi isu-isu kuncinya.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 69
Kebangkitan Difabel untuk Memperjuangkan Hak
Dari pemetaan itu, secara umum organisasi difabel menemukan tiga persoalan kunci yang mendesak untuk diselesaikan: 1) pendapatan para difabel yang rendah berhubungan dengan hak mereka atas pekerjaan; 2) tingkat pendidikan para difabel yang rata-rata lebih rendah daripada tingkat pendidikan warga negara pada umumnya; 3) status dan situasi layanan kesehatan untuk difabel yang buruk.
Pemetaan tersebut juga menemukan bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah belum memberikan prioritas yang kuat untuk melayani hak-hak difabel melalui alokasi dana publik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Peningkatan Kapasitas Terdapat dua strategi peningkatan kapasitas para difabel yang dilakukan oleh SAPDA. Pertama, peningkatan kapasitas teknis yaitu memampukan para difabel untuk mandiri. Kedua, peningkatan kapasitas strategis yaitu meningkatkan kemampuan para difabel untuk melakukan advokasi pemenuhan hak dasarnya kepada negara.
Untuk peningkatan kapasitas dalam melakukan advokasi pemenuhan hak dasar, SAPDA bekerjasama dengan IDEA melakukan pelatihan anggaran untuk pemenuhan hak dasar difabel bagi komunitas difabel Kabupaten Klaten, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta pada akhir tahun 2005. Pasca pelatihan anggaran, SAPDA bersama dengan komunitas/organisasi difabel di tingkat kabupaten/kota bergerak melakukan advokasi terhadap pemenuhan hak berupa jaminan kesehatan, dan alokasi anggaran bagi difabel dalam APBD kabupaten/ kota dan Provinsi DIY.
Melakukan engagement dengan Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan Pengembangan jejaring strategis dilakukan agar advokasi berhasil. Jejaring ini diharapkan dapat memberikan dukungan yang memadai untuk pemenuhan hak para difabel. Pemerintah, DPRD dan pihak-pihak
70 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Mengorganisasi Kelompok Difabel untuk Memperoleh Jaminan Kesehatan di ProvinsiDIY
yang terkait dengan jaminan kesehatan terus-menerus didekati untuk lebih memahami kebutuhan difabel. Kebutuhan difabel juga mencakup kebutuhan terhadap jaminan kesehatan yaitu pembiayaan dan pelayanan kesehatan.
Pendekatan dilakukan terhadap Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan
(Bapeljamkesos) Provinsi DIY, sebagai badan pelaksana dari Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Sejak tahun 2006, Provinsi DIY melalui Bapeljamkesos memberikan jaminan pembiayaan kepada kelompokkelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) termasuk di dalamnya adalah anak jalanan, PSK, dan difabel yang berada di dalam panti sosial.
Selama ini kebutuhan khusus dari difabel tidak tercover dalam daftar jaminan pembiayaan. Sampai tahun 2010, advokasi upaya pemberian formularium khusus ini tetap dilaksanakan dengan pendampingan kasus per kasus pembiayaan dan pelayanan kesehatan terhadap difabel. Langkah berikutnya adalah meyakinkan Bapeljamkesos dan pemberi layanan kesehatan (rumah sakit) bahwa ada kebutuhan khusus difabel atas kesehatan yang harus dipenuhi oleh negara, berupa tindakan medis dan formularium/obat-obatan. Selain itu pendekatan juga dilakukan kepada Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang mempunyai Unit Pelayanan Terpadu Pembiayaan Jaminan Kesehatan Daerah (UPTPJKD) untuk advokasi pembiayaan kesehatan untuk penduduk difabel.
Advokasi jaminan pembiayaan kesehatan dilakukan pada tahun 2008 di Provinsi Jawa Tengah. Proses diawali dengan mempertemukan para pemangku kepentingan terkait advokasi hak difabel dari 6 wilayah yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Semarang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Semarang dengan SKPD di tingkat Provinsi dan kabupaten/kota. SKPD yang ditemuai adalah Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Proses tersebut difasilitasi oleh Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Tengah dan mendapat dukungan
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 71
Kebangkitan Difabel untuk Memperjuangkan Hak
informal dari Wakil Gubernur Provinsi Jawa Tengah. Advokasi di tingkat kabupaten dilakukan dengan pertemuan pemangku kepentingan di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purbalingga. Advokasi di Kabupaten Purbalingga diperdalam dengan penelitian pada tahun 2007-2008 didukung oleh Handicap Internasional.
Memfasilitasi penyandang cacat secara berkelompok untuk mendapatkan porsi jaminan kesehatan Terkait dengan jaminan kesehatan bagi difabel di Provinsi DIY, SAPDA dipercaya mengampu kelompok difabel yang berada di luar panti sosial. Dalam proses ini, SAPDA harus melakukan pembiayaan tersendiri atas aktivitas-aktivitas sosialisasi, pendampingan, pelatihan, dan biaya untuk mendukung komunitas difabel mendapat pelayanan kesehatan. Berbagai upaya dilakukan SAPDA untuk melakukan sosialisasi terhadap komunitas difabel di Provinsi DIY dengan dukungan PPCKP, Paguyuban Penyandang Cacat Sleman, komunitas/organisasi difabel Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta. Sosialisasi tersebut bertujuan untuk memaksimalkan pemahaman tentang keberadaan dan fasilitas jaminan kesehatan bagi difabel di Provinsi DIY. Pasca sosialisasi, pengumpulan data dan pendampingan kasus menjadi strategi agar difabel mendapat jaminan kesehatan. Dengan dukungan relawan maka pangkalan data dan pendampingan kasus bisa dilakukan untuk memperkuat advokasi pemenuhan jaminan kesehatan bagi difabel.
Relawan juga mendampingi pasien difabel yang mendapat kesulitan ataupun masalah dalam mengakses pembiayaan atau pelayanan kesehatan. Dengan jumlah anggota kelompok yang mencapai 1.573 difabel dari 5 kabupaten/kota dengan berbagai kasus, maka para relawan ini menjadi garda depan. Walaupun sudah berusaha melibatkan keluarga difabel untuk keberlanjutan proses ke depan, peran relawan menjadi sangat penting dalam proses awal menjangkau jaminan kesehatan yang tersedia.
72 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Mengorganisasi Kelompok Difabel untuk Memperoleh Jaminan Kesehatan di ProvinsiDIY
CAPAIAN •
•
•
•
•
•
Per Desember 2010, SAPDA berhasil mengorganisasi lebih dari lebih dari 1.573 difabel untuk mendapatkan alokasi jaminan kesehatan dari Pemerintah Provinsi DIY. Pengorganisasian ini meningkatkan
posisi tawar para difabel yang sebelumnya tidak memperoleh jaminan kesehatan yang memadai. Terjadi peningkatan alokasi anggaran pemerintah untuk jaminan kesehatan sehingga akan lebih banyak difabel yang terlayani. Pada tahun 2007 Pemerintah Provinsi DIY mengalokasikan Rp 16 miliar. Angka itu meningkat menjadi Rp 25 miliar pada tahun 2009 dan Rp 30 miliar pada tahun 2010. Sedangkan di Kabupaten Sleman alokasi anggaran pemberdayaan difabel dari Rp 25 juta pada tahun 2006 naik menjadi Rp 500 juta pada tahun 2009. Pada tahun 2010 DPRD Kabupaten Sleman mengalokasikan Rp 3 miliar untuk pembiayaan kesehatan dan pendidikan bagi difabel. Termasuk di dalamnya adalah untuk alat bantu mobilitas, komunikasi, dan kesehatan bagi difabel. SAPDA berhasil meyakinkan Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan Sosial sebagai pihak yang memiliki otoritas mengelola jaminan kesehatan di Provinsi DIY. SAPDA berhasil memasukkan kebutuhan khusus difabel atas kesehatan berupa tindakan medis dan formula atau obat-obatan yang tidak ada dalam daftar skema jaminan kesehatan. SAPDA berhasil mendesak masuknya kebutuhan khusus difabel ke dalam rancangan Peraturan Daerah Jaminan Kesehatan Semesta Kota Yogyakarta yang saat ini sedang diolah di DPRD Provinsi DIY. Pada 3 Desember 2006, sebagai penghormatan Pemerintah Provinsi DIY terhadap Hari Penyandang Cacat Internasional, SAPDA mendapatkan pengakuan sebagai kelompok difabel yang masuk dalam skema pembiayaan. Atas nama SAPDA, setiap warga difabel yang diampu bisa mendapat jaminan kesehatan di DIY.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 73
Kebangkitan Difabel untuk Memperjuangkan Hak
PELAJARAN •
•
•
• •
Advokasi hak para difabel harus dimulai dengan membangun basis kemandirian dan kekritisan mereka untuk bisa merasa setara dengan warga negara lain.
Pada titik tertentu, kebutuhan difabel tidak dipahami oleh kelompok nondifabel. Pendekatan, diskusi, dan kontestasi gagasan terkait dengan kebutuhan itu perlu dilakukan kepada lebih banyak pihak terutama pembuat kebijakan. Kebutuhan obat-obatan khusus untuk kondisi kecatatan tertentu seringkali tidak dijamin oleh skema pembiayaan pemerintah. Karena itu, perlu dipastikan agar skema pembiayaan kesehatan juga menanggung kebutuhan itu. Keberhasilan advokasi ditentukan oleh dukungan dan partisipasi aktif komunitas difabel. Advokasi membutuhkan dukungan pemangku kepentingan lain baik dalam skema gerakan advokasi anggaran ataupun pembuat dan pelaku kebijakan yang progesif dan berpihak kepada penyandang cacat.
74 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Mengorganisasi Kelompok Difabel untuk Memperoleh Jaminan Kesehatan di ProvinsiDIY
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 75
Memahami Anggaran, Memanen Kesejahteraan Pengalaman Mengorganisasi Petani Melakukan Advokasi Anggaran di Kabupaten Tapanuli Utara oleh: Delima Silalahi dan MS. Wa’i RINGKASAN Kabupaten Tapanuli Utara memiliki daerah pertanian yang subur, luas, dan memberikan sumbangan yang besar terhadap perekonomian daerah. Namun potensi itu tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah setempat. Alokasi anggaran untuk sektor pertanian dari tahun ke tahun terhitung kecil.
Sejak 1983 sekelompok masyarakat yang peduli kepada pembangunan pertanian mendirikan Kelompok Studi Penyadaran Hukum (KSPH). Belakangan, kelompok ini berubah menjadi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Sejak tahun 2001 organisasi ini berupaya mendorong petani untuk memperbaiki kesejahteraan mereka melalui advokasi anggaran. Setelah sepuluh tahun, kelompok-kelompok mitra KSPPM telah mampu melihat persoalan pembangunan secara kritis dan merumuskan alternatif-alternatifnya untuk disodorkan kepada pemerintah. Kondisi
Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan
kehidupan mereka juga meningkat. Pada saat yang sama, mereka mampu mempengaruhi alokasi anggaran dan formulasi program pembangunan pertanian seperti pengadaan alat-alat pertanian, pelatihan untuk petani, dan pinjaman bergulir untuk kelompok-kelompok tani. Meskipun demikian, masih banyak tantangan yang harus dihadapi di masa depan.
PROFIL LEMBAGA KSPPM adalah organisasi non pemerintah yang bergerak dalam bidang advokasi, studi, kajian dan pengembangan prakarsa masyarakat. Wilayah kerjanya meliputi seluruh Provinsi Sumatera Utara. Secara intensif, organisasi ini mendampingi kelompok petani dan masyarakat di enam kabupaten: Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, dan Dairi. KSPPM berdiri pada 23 Februari 1983 dengan nama KSPH. Organisasi ini lahir menyusul masuknya Kabupaten Tapanuli Selatan dalam peta kemiskinan di Indonesia. Penggagas organisasi ini datang dari berbagai latar belakang: rohaniwan, akademisi, aktifis, dan petani.
Pada awalnya, organisasi ini bekerja untuk isu penyadaran hukum dan hak-hak masyarakat adat dan akses masyarakat miskin terhadap sumber daya alam yang terancam oleh ekspansi modal. Di samping itu, KSPH juga berupaya memberikan respons yang kritis terhadap masalah deforestasi, penanaman pohon kayu eukaliptus yang mengganggu daerah aliran sungai, sistem irigasi, dan polusi oleh limbah industri.
Belakangan KSPH menyadari bahwa kesadaran hukum bukanlah satusatunya persoalan dasar yang menghambat pertumbuhan kesejahteraan petani. Kemampuan mereka untuk mandiri dan berdaulat serta memiliki prakarsa terhadap persoalannya menjadi kebutuhan nyata. Dengan alasan itu, pada tahun 1985 KSPH berganti nama menjadi KSPPM yang memiliki fokus pada advokasi, studi kritis, pengorganisasian petani, dan
78 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Mengorganisasi Petani Melakukan Advokasi Anggaran di Kabupaten Tapanuli Utara
pengembangan ekonomi rakyat. Kelompok sasaran KSPPM adalah petani yang termarjinalkan dan kelompok masyarakat adat yang menghadapi kasus-kasus dengan kebijakan pemerintah. Hingga hari ini, KSPPM masih terus bergerak bersama kelompok masyarakat marjinal, khususnya petani untuk melakukan advokasi kebijakan, termasuk kebijakan pemerintah dalam penganggaran (APBD).
ANALISIS SITUASI Kabupaten Tapanuli Utara ada di Provinsi Sumatera Utara dengan lahan pertanian seluas 79.159 hektar atau 21% wilayah kabupaten yang mencapai 379.371 hektar. Selama lima tahun terakhir, sektor pertanian memberi sumbangan lebih dari 50% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Tapanuli Utara. Berdasar fakta itu, pemerintah setempat memilih strategi pembangunan berbasis sektor pertanian. Akan tetapi, visi strategis itu hanya diikuti oleh alokasi anggaran pemerintah yang kecil untuk sektor pertanian. Anggaran daerah tahun 2010 tercatat hanya memberi alokasi kepada sektor pertanian sebesar Rp 23 miliar atau sekitar 5% total belanja pemerintah yang mencapai Rp 499 miliar. Setelah dikurangi gaji pegawai sebesar Rp 11 miliar, anggaran untuk sektor pertanian tinggal Rp 12 miliar. Pada periode sebelumnya, alokasi anggaran bagi sektor pertanian tidak berselisih jauh dari angka itu. Di samping alokasi anggaran untuk sektor pertanian yang hanya berkisar pada angka 2%, pemerintah juga tidak mendukung para petani yang terancam oleh ekspansi industri. Ketika sebuah pabrik pulp yang beroperasi di Kabupaten Tapanuli Utara mengambil-alih tanah petani secara paksa, membuka hutan yang mempercepat deforestasi, menanam eukaliptus secara massal yang membahayakan sungai-sungai dan irigasi, serta menciptakan limbah industri, pemerintah tidak bereaksi membela petani. Advokasi Anggaran di Indonesia
| 79
Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan
Tidak mengherankan, kondisi itu menyulitkan petani Kabupaten Tapanuli Utara keluar dari jeratan kemiskinan dan ketergantungan terhadap kredit berbiaya tinggi dari pelepas uang (rentenir). Kesejahteraan petani cenderung rendah dari tahun ke tahun. Kalaupun ada peningkatan, geraknya sangatlah lamban. Ini dapat dilihat, misalnya, dari data nilai tukar petapi (NTP) dalam beberapa tahun belakangann, setidaknya tahun 2005 hingga tahun 2008.
Dalam tiga tahun berturut-turut, NTP Kabupaten Tapanuli Utara ada di bawah angka 100%, meskipun ada kecenderungan meningkat. NTP Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2005 mencapai 93,3%, tahun 2006 mencapai 97,97%, dan tahun 2007 mencapai 98,55%. Ini menunjukkan pendapatan petani di bawah biaya yang harus mereka bayar untuk kebutuhan keluarga. Baru pada tahun 2008, nilai tukar petani sedikit di atas 100%, yaitu 101,94% (data tahun 2009 dan 2010, belum kami temukan dalam publikasi BPS Kabupaten Tapanuli Utara). Fakta kemiskinan petani itulah yang mendorong para rohaniwan, akademisi, aktifis, dan kalangan petani dalam KSPPM bekerja untuk menjawab tantangan pembangunan pertanian melalui advokasi anggaran.
Advokasi Anggaran Pertanian Kajian APBD seringkali menunjukkan anggaran yang tidak proporsional dan tidak menunjukkan kepekaan kepada kelompok miskin. Pada tahun 2007, misalnya, APBD Kabupaten Tapanuli Utara untuk sektor pertanian hanya menyediakan 3% volume total lebih dari Rp 424 miliar. Hal ini juga sama sekali bertolak belakang dengan visi Kabupaten Tapanuli Utara yang berbunyi, “Mewujudkan Kemakmuran Masyarakat Berbasis Pertanian.“ Temuan lain, misalnya, adanya pengalihan program. Pelaksanaan APBD seringkali tidak sesuai dengan usulan petani. Bahkan program yang diusulkan dialihkan ke program lain. Fungsi pengawasan kembali dilakukan forum petani dengan mempertanyakan penyimpangan yang
80 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Mengorganisasi Petani Melakukan Advokasi Anggaran di Kabupaten Tapanuli Utara
terjadi kepada eksekutif. Sampai pada tahap ini, biasanya pemerintah memiliki banyak alasan yang sulit diterima forum petani. Penyimpangan lain juga sering ditemukan petani, misalnya penurunan kualitas alat-alat pertanian. Sebut saja pembelian mesin kompos tahun 2008 yang dianggarkan Rp 36 juta/unit. Ketika barang tiba, kualifikasinya tidak sesuai karena harga alat tersebut hanya berkisar Rp 25 juta.
Penyimpangan lainnya adalah penempatan yang tidak sesuai dengan yang direncanakan. Penempatannya juga tidak berdasarkan prinsip keadilan dan pemerataan. Di Kabupaten Tapanuli Utara misalnya, implementasi anggaran diprioritaskan ke desa-desa tertentu yang memiliki kedekatan dengan Kepala Daerah atau anggota DPRD di daerah tersebut. Nuansa nepotisme lebih dominan dalam implementasi anggaran.
Advokasi yang dilakukan oleh KSPPM biasanya dimulai dengan kajian yang secara rutin dilakukan setiap tahun. Kajian dan advokasi dikerjakan bersama dengan serikat tani di Kabupaten Tapanuli Utara. Kajian melihat hal-hal yang bisa dijadikan peluang dalam upaya pemenuhan hak-hak ekonomi sosial budaya (EKOSOB) mereka. Misalnya, pada tahun 2008, setelah kajian dilakukan, salah satu hal yang paling diperlukan oleh petani di Desa Sigumbang adalah irigasi. Sebetulnya hal ini sudah diusulkan sejak tahun 2005. Namun usulan itu tidak pernah ditanggapi, apalagi diwujudkan dalam program dan anggaran. Kajian yang dilakukan pada September 2008 menyimpulkan bahwa persoalan ini harus diperjuangkan lebih keras lagi. Karena itu pengurus segera melakukan dialog langsung dengan Dinas Pertanian Kabupaten Tapanuli Utara untuk mendesakkan alokasi anggaran bagi pembangunan irigasi di Desa Sigumbang. Pada akhirnya upaya yang dilakukan ini membuahkan hasil dengan diakomodasinya program pembangunan irigasi di Desa Sigumbang. Hasil yang patut diapresiasi meskipun hal itu baru diwujudkan pada anggaran tahun 2009.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 81
Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan
METODOLOGI Sejak awal berdirinya, KSPPM telah melakukan berbagai perjuangan hak bersama petani. Upaya ini utamanya dalam meningkatkan kesadaran dan kemandirian petani, serta terlibat dalam penyelesaian persoalan petani
secara langsung. Sejak tahun 2001 upaya advokasi yang dilakukan masuk pada ranah penganggaran, namun masih sangat terbatas. Advokasi dalam soal-soal anggaran ini menjadi sangat intensif sejak tahun 2005. Secara rutin, sepanjang lebih dari sepuluh tahun, berbagai advokasi dikerjakan KSPPM bersama kelompok-kelompok petani di Tapanuli. Secara ringkas berikut ini strategi dan metode yang terus-menerus diterapkan dan diperbaiki kualitasnya.
Pengorganisasian petani Pengorganisasian dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran kritis petani mengenai hak-haknya sebagai warga negara dengan membentuk kelompok-kelompok petani di desa. Proses pendidikan kritis dilakukan melalui diskusi-diskusi hukum, politik, dan pengembangan ekonomi rakyat. Topik-topik tentang pertanian secara khusus juga dibahas, termasuk kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian. Informasi tentang anggaran juga disampaikan dalam forum-forum tersebut. Informasi ini mencakup misalnya, rendahnya alokasi anggaran untuk petani, meskipun mereka merupakan mayoritas. Kesadaran bahwa APBD bersumber dari rakyat juga terus dibangun. Demikian pula hak rakyat termasuk petani untuk terlibat dan mengawasi pengelolaan APBD. Pelan-pelan kesadaran akan hak kewargaan mulai tumbuh di antara petani. Selain pertemuan yang rutin digelar, para aktifis KSPPM juga secara periodik melakukan kunjungan ke lapangan. Mereka bertemu dengan kelompok-kelompok petani di desa-desa dan mengembangkan pertanian organik.
82 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Mengorganisasi Petani Melakukan Advokasi Anggaran di Kabupaten Tapanuli Utara
Pelibatan langsung dalam Musrenbang Akses dan keterlibatan petani dalam Musrenbang sangat minim. Forum itu sulit diakses karena warga tidak pernah mendapatkan undangan maupun informasi mengenai tahapan perencanaan itu. Warga yang bisa terlibat dalam Musrenbang biasanya berasal dari kalangan elit atau orang-orang yang dekat dengan kepala desa atau pejabat.
KSPPM mendorong petani untuk aktif terlibat dalam Musrenbang desa dan kecamatan. Upaya ini dilakukan dengan memberikan informasi waktu dan tempat penyelenggaraan Musrenbang, serta mendiskusikan usulan yang akan dibawa petani. KSPPM juga memberikan penjelasan mengenai hakhak masyarakat untuk terlibat dalam forum Musrenbang, serta membekali pengurus dan anggota kelompok agar mampu memberikan usulan-usulan dalam forum tersebut. Meski masih terbatas, namun saat ini di beberapa daerah telah ada petani yang berpartisipasi dalam Musrenbangdes. Mendorong Kader Duduk dalam Pemerintahan Menjadikan petani sebagai kepala desa memberikan peluang besar untuk memasukkan agenda petani dalam rencana pembangunan di lingkup desa. Upaya ini sekaligus memberi kesempatan kelompok petani untuk berpartisipasi lebih aktif dalam pembangunan.
Ketika kesempatan itu tiba, KSPPM segera mendorong kader dari kelompok petani untuk maju dalam pemilihan kepala desa. Pada pemilihan kepala desa tahun 2009 di Desa Siabal-abal 4 Kecamatan Sipahutar, salah seorang anggota kelompok tani didukung untuk maju sebagai salah satu kandidat. Dengan kerja keras dan dukungan seluruh anggota kelompok tani akhirnya calon ini terpilih sebagai kepala desa. Di desa lain, karena tidak ada calon dari kelompok tani yang siap, maka kelompok tani mengikat kontrak politik dengan salah satu kandidat kepala desa. Isinya komitmen sang kandidat untuk mengutamakan kepentingan petani jika ia terpilih. Kandidat ini juga akhirnya terpilih berkat dukungan kelompok tani.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 83
Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan
Penempatan kader dari anggota kelompok tani meskipun masih terbatas namun mampu memberikan pengaruh pada perjuangan petani. Setidaknya yang dapat dilihat dari pengalaman di desa-desa di atas adalah terbukanya informasi dan proses-proses pembangunan di desa. Kajian dan analisis anggaran
Kajian dan analisis anggaran dilakukan untuk mengetahui besaran alokasi yang ditentukan pemerintah untuk sektor tertentu, misalnya pertanian. Hal itu juga dilakukan agar advokasi yang dilakukan benarbenar didasarkan pada kondisi yang nyata dan bukti yang kuat. Dengan demikian, akan didapat rekomendasi yang relevan dan realistik.
KSPPM bersama kelompok tani secara rutin mengkaji dan melakukan analisis APBD Kabupaten Tapanuli Utara setiap tahun. Kajian dan analisis terhadap dokumen APBD dilakukan oleh staf KSPPM dan hasilnya didiskusikan dengan Serikat Petani di Kabupaten Tapanuli Utara. Karena menyangkut kehidupan petani, maka kajiannya lebih pada pemenuhan hak-hak EKOSOB petani. Dari kajian ini, serikat petani mempelajari hal-hal yang perlu dikritisi juga dapat dilihat hal-hal mana yang menjadi peluang dalam pemenuhan hak-hak EKOSOB mereka. Dari sini keputusan apakah tindakan untuk mempengaruhi, mengkritisi sekaligus mengawasi jalannya kebijakan tersebut diperlukan atau tidak. Tindakan yang dilakukan bisa berupa aksi bersama, dialog, dan lobi. Setelah usulan maupun kritikan disampaikan kepada eksekutif, pengurus Serikat Tani Tapanuli Utara melakukan pemantauan pelaksanaan yang disepakati pada saat audiensi atau lobi tersebut. Berhubungan langsung dengan pengambil kebijakan Untuk mempengaruhi kebijakan di daerah, KSPPM dan kelompok petani mencoba berhubungan langsung dengan pejabat pemerintah tingkat kabupaten. Komunikasi dilakukan dengan bupati, DPRD, dan dinas-dinas terkait melalui audiensi, dengar pendapat, bahkan aksi massa. Usulan petani disampaikan langsung kepada pemerintah oleh aktifis KSPPM bersama dengan kelompok-kelompok petani.
84 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Mengorganisasi Petani Melakukan Advokasi Anggaran di Kabupaten Tapanuli Utara
Cara-cara komunikasi itu tidak selalu dipakai secara bersamaan, dan kadang-kadang saling menggantikan. Jika dialog dan audiensi sampai di jalan buntu dan tidak efektif, KSPPM dan kelompok-kelompok petani mitra akan mencoba aksi massa. Belakangan, hubungan komunikasi dengan pemerintah mulai membaik, khususnya dengan jajaran eksekutif.
Kepercayaan mereka meningkat kepada KSPPM maupun kelompok petani. Dialog-dialog mulai sering terjadi dan pemerintah juga mulai membuka diri terhadap masukan-masukan dan bahkan kritik. Hal yang semacam itu tidak terjadi pada partai politik. Penyebaran informasi dan pembentukan opini publik Telah menjadi pengetahuan umum bahwa media massa memiliki posisi dan peran yang strategis untuk mempengaruhi kebijakan. Karena itu peran media massa juga tidak diabaikan dalam upaya advokasi yang dilakukan oleh kelompok petani bersama KSPPM. Hubungan baik dan komunikasi pun dibangun dengan media massa.
Dalam pengalaman advokasi di Kabupaten Tapanuli Utara, media-media tingkat lokal belum menjadi mitra yang sungguh-sungguh membantu. Ini terjadi karena posisi tawar mereka terhadap pemerintah sangat lemah. Akibatnya, berita-berita dan opini yang sering terekspose berasal dari sudut pandang pemerintah. Namun demikian, media-media yang lebih luas jangkauannya seperti media regional ataupun nasional kadang-kadang justru bisa menyuarakan aspirasi di luar pemerintah. Hanya saja hal ini terbatas pada isu-isu yang cukup besar seperti persoalan HAM. Di luar media publik yang dikelola secara komersial, KSPPM dan kelompok petani juga membuat media komunitas berupa buletin �Prakarsa� yang terbit setiap dua bulanan. Hingga saat ini media ini cukup efektif menyebarkan informasi kepada kelompok-kelompok petani mitra dan pemerintah daerah mengenai isu-isu yang sedang diusung kelompok petani. Persebarannya tentu tidak seluas media komersial yang ditopang modal besar. Advokasi Anggaran di Indonesia
| 85
Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan
CAPAIAN Setelah lebih sepuluh tahun bergumul bersama petani melakukan advokasi anggaran tentu ada capaian-capaian yang telah diraih oleh KSPPM. Meskipun capaian-capaian itu dirasa masih sangat kecil dibandingkan persoalan yang harus diselesaikan, capaian-capaian itu harus diapresiasi.
Pada tingkat petani, kesadaran akan hak-hak kewargaannya sudah mulai tumbuh. Hal ini ditandai dengan intensitas mereka terlibat dalam proses-proses advokasi memperjuangkan hak-hak mereka. Petani juga lebih berani mengambil inisiatif, termasuk mengusung kader dalam memperebutkan jabatan publik dimulai dari tingkat kepala desa. Petani juga mencalonkan kader untuk posisi legislatif, meskipun gagal.
Kelompok petani juga menjadi berani berhadapan dengan para pengambil kebijakan, baik dalam konteks menyampaikan usulan, keluhan atau bahkan dalam mengkritisi terjadinya berbagai ketimpangan dan penyimpangan. Keberanian ini merupakan capaian yang penting, mengingat sebelumnya apapun keputusan dan kebijakan yang datang dari pemerintah akan diterima begitu saja. Terkait aspek peningkatan ketrampilan, ada dua hal yang menonjol. Ketrampilan dan kapasitas advokasi petani, pada satu sisi, mengalami kemajuan. Ini menyangkut kemampuan untuk melakukan analisis anggaran, mengorganisasi diri, mengartikulasikan gagasan serta menyampaikan usulan. Semua hal ini sebelumnya merupakan hal asing bagi mereka. Pada sisi yang lain, pengorganisasian dan penguatan petani juga membawa peningkatan pada ketrampilan bertani mereka. Hal ini mencakup meningkatnya pertanian yang menghargai keselarasan dengan alam, termasuk meminimalisasi penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi serta menjaga kelestarian lingkungan dan juga kesadaran lingkungan sehat. Dalam hal anggaran, capaian yang dapat dicatat adalah adanya alokasi anggaran yang bisa diakses oleh kelompok-kelompok petani. Sejak tahun
86 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Mengorganisasi Petani Melakukan Advokasi Anggaran di Kabupaten Tapanuli Utara
2006, kelompok-kelompok petani yang didampingi KSPPM sudah dapat mengakses alokasi anggaran pertanian. Ini mencakup pengadaan alatalat pertanian, irigasi, jalan desa, dana bergulir, serta pelatihan pertanian dari pemerintah. Demikian juga dari APBD tahun 2007. Sebelum ada kelompok-kelompok ini, penyaluran alat-alat pertanian hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu dan tidak dapat dijangkau petani secara luas.
Aktifitas KSPPM ini juga mempengaruhi naiknya tingkat ekonomi kaum petani. Ini terjadi karena kelompok-kelompok petani bisa mendapat kucuran dana kredit bergulir. Program ini merupakan program yang didesain dalam APBD tahun 2008. Hingga saat ini dana bergulir tersebut telah dapat dinikmati juga oleh kelompok-kelompok petani yang berbeda. Meskipun demikian KSPPM belum menganggap capaian ini sebagai bentuk keberhasilan akhir, sebab yang dituntut bukan hanya peningkatan anggaran pertanian setiap tahun, tetapi pemenuhan prinsip keadilan yang berkelanjutan dan pemerataan dalam implementasi APBD. Pengawasan yang dilakukan juga belum sampai pada tahap audit sosial.
TANTANGAN Advokasi yang dilakukan KSPPM berangkat dari keprihatinan terhadap nasib petani yang terbelit kemiskinan dan selalu dipinggirkan dalam kebijakan pemerintah. Kondisi yang memerlukan upaya advokasi termasuk ketika petani harus berhadapan dengan kekuatan besar pemodal. Namun upaya ini kerap menemui kendala yang menghambat capaian advokasi. Salah satu problem utama menyangkut kesadaran petani atas persoalan yang mereka hadapi. Pada umumnya mereka tidak memahami makna dan pengaruh anggaran pemerintah terhadap persoalan kemiskinan petani. Mereka juga tidak faham bahwa pajak dan retribusi yang mereka bayar adalah salah satu sumber penerimaan anggaran pemerintah. Lebih jauh
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 87
Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan
lagi, mereka tidak mengerti bahwa belanja pemerintah harus bermuara pada perbaikan kesejahteraan petani dan masyarakat secara luas. Mereka menganggap belanja pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat bukanlah hak mereka, melainkan derma dan kemurahan hati penguasa kepada warga negara.
Keawaman masyarakat ini dimanfaatkan pemerintah dengan terus membatasi akses publik terhadap informasi anggaran dan segenap proses penyusunan dan implementasinya. Masalah ini menjadi serius ketika kesadaran hak petani mulai tumbuh diikuti munculnya tuntutan terhadap akses informasi dan partisipasi dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pejabat pemerintah biasa menyembunyikan informasi anggaran dengan dalih keterbatasan bahan publikasi, data, dokumen, dan proses kebijakan yang terus bergulir hingga penolakan terhadap hak masyarakat terhadap informasi publik.
Kesulitan mengakses dokumen berimplikasi terbatasnya informasi yang bisa sampai pada para petani yang hendak melakukan advokasi. Tanpa dokumen perencanaan dan penganggaran, analisis anggaran tak bisa dilakukan. Lebih parah lagi, petani tidak bisa tahu besaran uang yang dialokasikan untuk sektor pertanian. Pengawasan pelaksanaan anggaran itu di lapangan juga tidak bisa dilaksanakan tanpa dokumen APBD ada di tangan dengan analisisnya. Namun demikian, kesulitan macam ini bukan tak bisa diatasi. Kerapkali aktifis advokasi anggaran menggunakan jalan belakang, pendekatan personal kepada pejabat pemerintah maupun anggota legislatif, atau bahkan jika terpaksa harus “mencuri� dokumen dari mereka. Masalah akses dokumen anggaran ini sangat erat kaitannya dengan masalah lain yaitu proses perencanaan dan penyusunan APBD yang tidak partisipatif. Penyusunan APBD selalu didahului tahapan perencanaan yang dilaksanakan melalui forum musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Dari tingkat yang paling rendah di Musrenbangdes hingga tingkat kabupaten dengan Musrenbang kabupaten.
88 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Mengorganisasi Petani Melakukan Advokasi Anggaran di Kabupaten Tapanuli Utara
Mestinya, ada keterlibatan masyarakat pada setiap tingkatan Musrenbang. Namun faktanya, pelibatan masyarakat, lebih-lebih petani, dalam Musrenbang sangat minim. Hampir setiap tahun Musrenbang desa dilaksanaan tanpa sepengetahuan warga desa. Musrenbang hanya melibatkan kepala desa, perangkat desa dan lembaga-lembaga perwakilan desa. Warga desa yang kebetulan hadir biasanya adalah tokoh elit desa dan orang-orang dekat kepala desa. Hasilnya tentu bisa diduga tidak cukup mewakili kepentingan kelompok marjinal termasuk petani.
Tantangan tak kalah pelik dalam advokasi ini adalah kapasitas petani dan ketersediaan sumber daya dalam waktu yang panjang. Kerja-kerja advokasi anggaran bukanlah pekerjaan sesaat yang dapat dikerjakan lalu ditinggalkan begitu saja. Keseluruhan tahapan anggaran dari perencanaan hingga pertanggungjawaban mencakup rentang waktu tiga tahun. Panjangnya waktu ini menyebabkan pengawalannya memerlukan energi yang besar dan kapasitas sumber daya manusia yang memadai.
Pengalaman di Kabupaten Tapanuli Utara, dari 67 kelompok petani yang menjadi mitra KSPPM, hanya sedikit petani yang memiliki kapasitas dalam melakukan pengawasan implementasi anggaran. Itu pun belum sampai pada pemantauan terhadap hasil audit anggaran. Kemampuan petani masih sebatas pada pengajuan usulan-usulan kelompok supaya ditampung dalam APBD. Namun pengawasan menyeluruh terhadap proses implementasi anggaran belum bisa dilakukan; baik karena rentang waktunya yang panjang maupun karena keterbatasan ketrampilan teknis.
Faktor lain yang layak menjadi perhatian tersendiri dalam advokasi adalah dukungan elemen lain di masyarakat. Dalam hal ini sebenarnya media memiliki posisi yang sangat strategis untuk menyuarakan kepentingan petani lebih lantang di ruang publik. Namun untuk daerah setingkat kabupaten dengan lingkup yang kecil dan jarak relasi sosial yang pendek tentu tidak mudah menjaga independensi media dihadapan pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap media menjadi cukup kuat, minimal secara psikologis. Akibatnya, media lokal lebih mudah menjadi corong
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 89
Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan
kepentingan pemerintah. Kondisi ini tentu saja kurang menguntungkan dalam langkah-langkah advokasi. Peluang dukungan dari media tentu saja ada untuk menyuarakan kepentingan petani, terutama jika mereka merasa cukup terlindungi keamanannya dalam arti luas.
Pelbagai strategi advokasi diupayakan dan dikembangkan sebagaimana tergambar di atas. Strategi ini juga mencakup upaya mendorong wakilwakil petani untuk masuk dalam lingkaran pengambil kebijakan. Sayangnya upaya menempatkan wakil petani sebagai anggota DPRD belum dapat diwujudkan.
Pada tahun 2007, atau dua tahun sebelum pemilihan anggota DPRD, Serikat Tani Toba Samosir memilih Sunggul Sitorus untuk maju mewakili mereka pada pemilu legislatif 2009. Berbagai persiapan untuk mengangkat kader yang dipilih tersebut terus dilakukan melalui pelbagai pendidikan. Hal ini selalu didiskusikan dalam kelompok. Sunggul diusung melalui salah satu partai politik dan berhasil duduk sebagai calon legislatif dengan nomor urut 2. Seiring dengan itu KSPPM bersama dengan pengurus Serikat Tani melakukan sosialisasi kepada anggota-anggota Serikat Tani lainnya. Pengurus Serikat Tani pun mengawal sampai tiba waktunya pemilihan.
Namun seluruh upaya ini pada akhirnya kandas. Kekuatan politik uang dan juga ikatan primordial kekeluargaan membuat Sunggul kehilangan banyak suara. Harapan para petani untuk menempatkan wakilnya di kursi legislatif pun pupus. Hasil evaluasi yang dilakukan setelah kegagalan itu menyimpulkan perlunya pendidikan politik yang lebih intensif kepada warga, lebih khusus kepada kalangan petani. Hal-hal yang dilakukan selama ini dianggap masih jauh dari memadai untuk menciptakan perubahan, bahkan untuk sekedar menempatkan wakilnya di DPRD sekalipun.
90 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Mengorganisasi Petani Melakukan Advokasi Anggaran di Kabupaten Tapanuli Utara
PELAJARAN Berbagai catatan pengalaman sepanjang advokasi yang dilakukan sejak KSPPM didirikan lebih dari sepuluh tahun yang lalu, memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi usaha yang sama ke depan atapun di
tempat-tempat yang lain. Beberapa hal di bawah ini hanyalah sebagian di antaranya. 1. Kesadaran akan pentingnya melakukan advokasi anggaran dan mengawasi pengelolaannya sudah seharusnya dimiliki oleh seluruh rakyat, termasuk petani, karena dana APBD bersumber dari uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan pemerintah kepada rakyat. 2. Dokumen APBD cenderung diperlakukan sebagai dokumen rahasia yang dijauhkan dari jangkauan publik. Hal ini masih sering terjadi meskipun sesungguhnya hak publik untuk mendapatkan informasi tersebut dijamin oleh undang-undang. 3. Proses-proses penyusunan APBD juga cenderung dibatasi untuk masyarakat, antara lain dengan tidak menyebarkan undangan, informasi atau hanya mengundang orang-orang yang dekat dengan pejabat pemerintah saja. Di sebagian daerah Musrenbang malah hanya dilaksanakan sebagai formalitas belaka. 3. Penganggaran, disadari atau tidak, menjadi instrumen politik bagi eksekutif dan khususnya legislatif untuk semata-mata memelihara basis pendukung (konstituen). Hal ini membuat penganggaran cenderung mengabaikan asas-asas kepentingan umum, keadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan mengutamakan yang paling membutuhkan.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 91
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang oleh: Saeful Muluk dan Nandang Suherman
RINGKASAN Tulisan berikut memaparkan pengalaman Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Lokal (P3ML) dari tahun 2001 hingga 2009 dalam mendorong partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas perencanaan dan penganggaran daerah. Kunci dalam upaya ini adalah inovasi Pagu Indikatif Kewilayahan (PIK) dan Forum Delegasi Musrenbang (FDM) yang dibingkai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007 tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah.
Dalam upaya itu P3ML mengambil langkah dari (1) penyusunan naskah akademik, (2) diskusi dengan pimpinan Bappeda, DPRD, dan masyarakat, (3) penyepakatan kerjasama penyusunan peraturan daerah dengan DPRD, (4) studi banding, (5) penyusunan rancangan perda, (6) pembahasan rancangan perda, serta (7) penetapan dan pengawalan implementasi Perda. Sejak 2007, inovasi kebijakan ini telah mengubah
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah
proses perencanaan dan penganggaran daerah menjadi lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel. Masyarakat yang semula skeptis menjadi lebih optimis dan antusias terhadap proses perencanaan (Musrenbang); masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pembahasan anggaran bersama pemerintah dan DPRD, suatu kondisi yang belum pernah terjadi selama ini di daerah manapun di Indonesia.
PROFIL ORGANISASI P3ML didirikan tahun 2001 untuk mewadahi orang-orang yang tergabung dalam Pokja Forum Jatinangor (Forjat) dalam sebuah badan hukum. Forjat sendiri berdiri pada tahun 2000 dan merupakan sebuah lembaga yang melakukan penanganan partisipasi publik dalam penataan kota Jatinangor yang difasilitasi oleh Departemen Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada awalnya, P3ML mengambil fokus masalah lokalitas mengingat begitu banyak permasalahan lokal yang timbul yang membutuhkan penguatan, terutama berkaitan dengan masalah anggaran. Pada 8 Oktober 2007, P3ML sepakat untuk mengubah status P3ML menjadi Perkumpulan. Visinya adalah Maju untuk Perubahan Kesejahteraan. Beberapa ikhtiar yang dilakukan untuk mencapai visi tersebut di antaranya adalah : •
•
Menyiapkan kader-kader pembangunan yang memiliki wawasan jauh ke depan, kreatif, inovatif, dan berjiwa patriotik dengan berlandaskan akhlaqul karimah. Menciptakan iklim lingkungan yang kondusif bagi terselenggaranya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
94 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang
ANALISIS SITUASI Perencanaan dan penganggaran di daerah diawali dengan tahapan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) mengacu kepada Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Teknis pelaksanaan Musrenbang sejauh ini diatur dengan Surat Edaran Bersama (SEB) Menneg PPN/Kepala Bappenas dan Mendagri. Sebelum terbitnya SEB tersebut, Pemda Sumedang menyelenggarakan Musrenbang berdasar Surat Edaran Bupati yang secara substansi mengadopsi Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D). Dalam praktek, pelaksanaan kegiatan ini dilakukan secara hirarkis mulai dari tingkat yang paling rendah di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, forum SKPD hingga Musrenbang tingkat kabupaten/kota. Adapun waktu pelaksanaannya dimulai Bulan Januari hingga April. Aktor yang terlibat adalah warga (delegasi masyarakat), aparat pemerintah dan anggota DPRD berdasarkan daerah pemilihan dan komisi. Keluaran rangkaian Musrenbang adalah Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dokumen ini menjadi rujukan untuk perumusan Kebijakan Umum Anggaran (KUA).
Tahapan pasca Musrenbang adalah tahapan penganggaran. Hasil Musrenbang yang dikompilasi Bappeda dan BPKD dalam RKPD menjadi dasar perumusan draft KUA yang akan dibahas oleh DPRD dengan Pemda. Pembahasan KUA di DPRD merupakan tahap awal proses penganggaran daerah. Proses pembahasan anggaran dilakukan antara Tim Anggaran Pemerintahan Daerah (TAPD) dengan Tim anggaran (Panitia Khusus atau Panitia Anggaran)
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 95
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah
DPRD. Kesepahaman dituangkan dalam Nota Kesepahaman antara DPRD dengan Eksekutif, untuk dilanjutkan dalam pembahasan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Dari sisi teknis penyelenggaraan, pelaksanaan Musrenbang di
Kabupaten Sumedang sebelum ditetapkannya Perda Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007 hingga pada tahun pertama pasca penerbitan Perda tersebut dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Indikasi ini terlihat dari praktik penyelenggaraan yang serba minimalis baik dalam aspek tempat, partisipan, narasumber, bahan, informasi ketersediaan anggaran, maupun ketiaadaan fasilitator. Penyelenggaraan yang serba terbatas ini mempengaruhi kualitas hasil Musrenbang. Jumlah kegiatan yang disepakati sangat banyak dengan nominal yang tidak rasional. Sementara itu, orientasi usulan didominasi oleh usulan pembangunan infrastruktur. Hal ini terjadi karena penggalian usulan yang disepakati sebagai prioritas program tidak berdasarkan analisis masalah berbasis data. Hasil yang dicapai pada Musrenbang lebih berupa akomodasi daftar keinginan. Sebagai contoh, anggaran yang diusulkan di Kecamatan Ujungjaya mencapai angka Rp 14.699.000.000,00. Sebesar 87% anggaran tersebut dialokasikan untuk infrastruktur, sedangkan sisanya dibagi untuk tiga bidang yaitu ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikuti ini. Tabel 7.1. Rekap Usulan Kegiatan Hasil Musrenbang Kecamatan Ujungjaya Tahun 2006
Bidang/Urusan
Ekonomi Kesehatan Pendidikan Pekerjaan Umum/ Infrastruktur Total
25 15 13
Anggaran (Rp) 1.110.500.000 238.000.000 599.000.000
116
14.699.000.000
Jumlah Program/Kegiatan
63
12.751.500.000
96 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang
Potret Partisipasi Warga Keterlibatan warga sebagai partisipan Musrenbang di tingkat desa dan kecamatan masih relatif terbatas. Selama itu, Musrenbang didominasi aparatur desa dan BPD, sementara keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat marjinal lainnya tidak tampak sama sekali. Komposisi partisipan Musrenbang kabupaten lebih beragam, namun tetap belum mengakomodasi keterlibatan kelompokkelompok marjinal. Musrenbang di Kabupaten Sumedang pada saat itu belum mencerminkan semangat musyawarah yang bersifat partisipatif, dialogis, dan bersahabat bagi warga masyarakat, terutama kelompok miskin dan perempuan. Tahap penganggaran yang bersifat politis, hampir tidak terjamah oleh partisipasi warga. Hampir dipastikan bahwa seluruh tahapan pembahasan anggaran di DPRD steril dari keterlibatan masyarakat. Walaupun demikian, ada dengar pendapat APBD sebagai ruang warga untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran. Namun proses ini seringkali hanya bersifat seremonial dan tidak membuka ruang diskusi substantif. Proses dengar pendapat ini juga bersifat elitis karena yang diundang hanya tokoh dan kalangan tertentu yang dikenal DPRD. Keberadaan partisipasi warga dalam perencanaan dan penganggaran sangat penting untuk memastikan hasil Musrenbang diakomodasi dalam KUA-PPAS. Terbatasnya ruang partisipasi pada proses penganggaran dapat menghilangkan kesempatan warga untuk mengawal usulannya. Hal ini berakibat pada sedikitnya usulan warga yang diakomodasi dalam APBD. Ada satu contoh pengalaman di Kecamatan Ujungjaya. Pada tahun perencanaan 2007, hanya 7 (tujuh) kegiatan atau hanya sekitar 6% total 116 usulan kegiatan yang diakomodasi dan direalisasikan. Dilihat dari nominalnya, hanya sekitar Rp 100 juta dari total Rp 14 miliar yang diakomodasi dan direalisasikan. Ini adalah kondisi pada saat Perda Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007 baru saja ditetapkan sebagai sebuah payung hukum perencanaan
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 97
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah
dan penganggaran daerah. Kondisi ini memperlihatkan masih lemahnya daya akomodasi APBD terhadap usulan warga. Pada tahun tersebut, harus diakui bahwa implementasi Perda tersebut belum maksimal karena Perda ini belum dipahami secara utuh terutama oleh pihak eksekutif. Keadaan ini pada akhirnya berdampak pada tumbuhnya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap Musrenbang sebagi sebuah mekanisme yang dapat mengidentifikasi kebutuhannya untuk kemudian diakomodasi dalam anggaran daerah. Bagi warga, Musrenbang adalah proses yang kurang bermanfaat karena dinilai tidak menghasilkan program yang mengakomodasi usulannya. Sepertinya forum ini dilaksanakan pemerintah daerah hanya untuk sekadar memenuhi perintah undang-undang semata. Kekecewaan warga terhadap hasil Musrenbang terungkap misanya dalam kutipan: “Ah taun hareupmah, musrenbang teh teu kudu aya, da geuning ti taun kataun euweuh hasilna ker masyarakat. Siganamah Musrenbang dilaksanakeun teh ngan saukur puraga tanpa kadenda�. (Tahun depan Musrenbang tidak harus dilaksanakan, karena dari tahun ke tahun Musrenbang tidak menghasilkan apa-apa. Sepertinya Musrenbang dilaksanakan hanya sebatas memenuhi kewajiban saja supaya tidak mendapat sanksi).
Kondisi Transparansi
Transparansi yang cukup baik pada aspek publikasi anggaran menjadi salah hal positif penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Sumedang pada saat itu. Sejak tahun 2005 DPRD Kabupaten Sumedang membuka ruang publikasi anggaran. Upaya ini dilakukan dengan membuat media informasi anggaran berupa poster APBD yang dapat diakses semua warga. Informasi anggaran yang ditampilkan pada media ini masih bersifat umum. Hal-hal detail pengalokasian sumberdaya keuangan daerah seperti informasi keuangan yang tertuang dalam dokumen RKA atau DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) masih tertutup rapat bagi warga. Hanya kalangan warga tertentu saja (LSM dan pribadi) yang bisa
98 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang
mendapatkan RKA atau DPA.
Terbitnya poster APBD dilatarbelakangi keinginan kalangan DPRD untuk memperbaiki citra lembaga. Pada saat itu banyak kritik yang dialamatkan kepada DPRD terkait dengan kinerja dan moralitas anggota legislatif. Untuk menutupinya maka pimpinan DPRD meminta pendapat kalangan
LSM khususnya P3ML tentang langkah yang harus dilakukan untuk memperbaiki citra. Pada saat itu P3ML memberikan dua pilihan. Pilihan pertama, penerbitan poster yang ditujukan untuk memperlihatkan kinerja anggota DPRD dalam melakukan pembahasan kebijakan anggaran. Pilihan kedua, anjuran untuk melaksanakan kegiatan saba desa yang bertujuan untuk mendekatkan para legislator dan konstituennya. Kedua pilihan ini sampai tahun 2010 masih dilakukan.
METODOLOGI Dari pengalaman melakukan advokasi perencanaan dan penganggaran daerah, dikenali tiga masalah yang menyebabkan perencanaan tidak terhubung dengan penganggaran. Pertama, tidak adanya kepastian alokasi dana yang bisa dipegang pada awal tahun perencanaan. Kedua, tidak ada jaminan keterlibatan masyarakat dalam seluruh tahapan perencanaan dan penganggaran. Ketiga, tidak adanya jaminan prioritas kegiatan hasil Musrenbang menjadi prioritas dalam penganggaran. Untuk mengatasi hal tersebut, maka upaya yang dilakukan adalah mendorong dibuatkannya sebuah payung hukum berupa Peraturan Daerah yang menjawab masalah tersebut. Lahirlah Perda Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007 tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah. Dalam perda ini, tiga masalah tersebut coba diatasi. Pertama, adanya Pagu Indikatif Kewilayahan (PIK) yang dibagikan ke kecamatan sebagai plafon sementara bagi perencanaan di tingkat kecamatan. Dengan PIK, Musrenbang Kecamatan diharapkan menghasilkan prioritas kegiatan yang disesuaikan dengan alokasi dana yang tersedia. Kedua, diakomodasinya partisipasi warga dalam proses penetapan anggaran melalui suatu forum
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 99
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah
yang dinamakan Forum Delegasi Musrenbang. Dan ketiga, adanya jaminan prioritas kegiatan hasil Musrenbang diakomodasi dalam penganggaran.
Proses Lahirnya Perda Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007 Proses lahirnya Perda Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007 cukup berliku dan melelahkan. P3ML mengawali proses dengan melakukan diskusi-diskusi informal di antara sesama organisasi masyarakat sipil (civil
society organization/CSO)yang peduli perencanaan dan penganggaran. Upaya ini dilanjutkan dengan diskusi dan berjejaring dengan CSO dari luar Kabupaten Sumedang sebagai mitra diskusi dengan DPRD dan Pemda. P3ML juga melakukan diskusi informal dengan beberapa anggota DPRD. Diskusi informal ini terfokus pada pentingnya jaminan diakomodasinya usulan warga hasil Musrenbang, pentingnya pengawalan hasil Musrenbang dengan melibatkan warga dalam proses penganggaran, serta perlunya penghitungan sumber daya pada awal tahun perencanaan. Tiga isu ini menjadi fokus upaya mengatasi titik kritis perencanaan dan penganggaran. Sesudah advokasi yang terus-menerus dilakukan, Pimpinan DPRD Kabupaten Sumedang merespons dengan memasukkan pembahasan Raperda Perencaan dan Penganggaran Daerah dalam Agenda Persidangan DPRD. Dengan masuknya pembahasan Raperda tersebut dalam agenda persidangan DPRD, P3ML melakukan kajian dan sekaligus menyusun draft naskah akademik dan rancangan Perdanya. Kegiatan tersebut dilakukan dalam kerjasama dengan Perkumpulan Inisiatif, Bandung. Proses pembahasan Perda ini berlangsung hampir satu tahun dengan berbagai dinamikanya. Yang paling melelahkan adalah upaya meyakinkan DPRD Kabupaten Sumedang tentang pentingnya pelibatan warga dalam
proses pembahasan anggaran di DPRD. Pelibatan warga pada proses pembahasan anggaran di DPRD dimaksudkan untuk meminimalisasi tudingan yang dialamatkan ke DPRD sebagai tukang coret hasil
100 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang
Musrenbang. Selain itu, warga juga bisa menjadi mitra DPRD untuk membantu memastikan bahwa rencana kegiatan yg diusulkan oleh SKPD tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan warga. Semua itu akan membawa insentif politik bagi DPRD, rakyat akan melihat DPRD melakukan kerja-kerja politik anggaran yg berpihak kepada rakyat.
Tidak mudah mengubah cara berpikir anggota DPRD tentang pelibatan warga dalam proses penganggaran. Dengan membuka ruang partisipasi warga dalam proses penganggaran, DPRD memberikan sebagian kewenangannya kepada warga. Banyak anggota DPRD Kabupaten Sumedang masih keberatan karena menganggap hak politik DPRD dalam penganggaran adalah bagian kewenangan melekat anggota DPRD. Lobi dan diskusi yang dilakukan secara terus-menerus dengan beberapa tokoh kunci di DPRD Kabupaten Sumedang, dengan dibantu oleh jaringan LSM nasional dan perguruan tinggi, tidak sia-sia. P3ML berhasil meyakinkan dan mengubah cara berpikir anggota DPRD Kabupaten Sumedang tentang pentingnya mengakomodasi partisipasi publik dalam proses penganggaran. Proses ini menyita waktu hamper satu tahun disertai tarikulur yang sangat alot. Tarik-ulur terjadi terutama menyangkut proses pelibatan, pihak-pihak yang terlibat, tingkat keterlibatan, hak dalam proses pengambilan keputusan, dan pembiayaan. Kesepemahaman yang akhirnya dicapai ditindaklanjuti dengan kesepakatan di internal DPRD Kabupaten Sumedang untuk membentuk tim pengusul Raperda. Keanggotaan tim pengusul raperda bersifat pribadi dan berasal dari berbagai fraksi. Hal ini untuk menghindari anggapan bahwa usulan raperda ini datang dari fraksi tertentu saja.
Tim pengusul raperda di DPRD Kabupaten Sumedang berhasil meyakinkan anggota DPRD lainnya tentang pentingnya Perda Perencanaan Penganggaran Daerah. Unsur CSO melakukan pengawalan terus-menerus atas pembahasan Raperda di DPRD Kabupaten Sumedang. Untuk memastikan bahwa Raperda ‘tidak menyimpang’ dari prinsip partisipasi dan transparansi, maka CSO dilibatkan sebagai tim asistensi Pansus DPRD Kabupaten Sumedang.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 101
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah
Ditetapkannya Perda Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007 ini membawa proses perencanaan dan penganggaran Kabupaten Sumedang memasuki babak baru. Hal ini terkait dengan 3 (tiga) capaian: (1) masyarakat diakui dan secara resmi bisa terlibat dalam proses penganggaran daerah di DPRD, (2) ditetapkannya PIK dan pagu indikatif sektoral, serta (3) jaminan usulan warga yang disepakati dalam Musrenbang menjadi rujukan utama penyusunan dokumen penganggaran daerah.
Perubahan mencolok nampak setelah terbitnya Perda Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007; seleksi usulan anggaran yang semula dilakukan oleh Bappeda dan DPRD mulai dilakukan di tingkat kecamatan dan dilakukan oleh warga. Proses di Forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten akhirnya didominasi oleh proses klarifikasi saja karena usulan dari tingkat kecamatan sudah hampir matang.
Implementasi Perda
Memperhatikan Perda Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007 tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah, maka dapat disimpulkan bahwa ada dua hal penting yang harus dilakukan. Pertama, menyusun PIK. Kedua, membentuk Forum Delegasi Musrenbang (FDM). Pagu Indikatif Kewilayahan (PIK) Pagu indikatif ini merupakan upaya untuk memperbaiki perencanaan dan memberikan kepastian pendanaan kegiatan prioritas di tingkat kecamatan. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007, Pagu Indikatif Kewilayahan adalah: “Sejumlah patokan batas maksimal anggaran belanja (APBD) untuk masing-masing wilayah kecamatan di Kabupaten Sumedang, yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan dengan berdasarkan kepada prioritas program yang diusulkan tiap desa di kecamatan tersebut.� Pagu Indikatif Kewilayahan ini memberikan
kepastian kepada partisipan Musrenbang bahwa prioritas kegiatan hasil Musrenbang Kecamatan bisa diakomodasi dalam proses penganggaran dan tidak bisa diintervensi oleh kepentingan politik di DPRD.
102 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang
Manfaat PIK adalah : 1. Belanja APBD tidak didefinisikan sepihak oleh Pemda dan DPRD, tetapi dalam porsi terbatas turut ditentukan juga oleh masyarakat; 2. Ada kepastian bahwa setiap usulan kecamatan akan didanai jika tidak melebihi pagu indikatif.
Pagu Indikatif Kewilayahan (PIK) berbasis kecamatan yang merupakan satuan geografis dan administratif yang berada di dalam suatu kabupaten dan terdiri dari sejumlah desa. Penyebutan menggunakan kata ‘wilayah’ untuk menekankan bahwa yang dibicarakan di sini bukan pemerintah kecamatan, tetapi seluruh komponen di dalam satu kecamatan. Besaran PIK bervariasi untuk setiap kecamatan. Untuk Musrenbang tahun 2007, PIK berkisar antara Rp 700 juta hingga lebih dari Rp 1 miliar. Ada 12 (dua belas) variabel yang digunakan untuk menghitung besaran PIK satu kecamatan. Variabel tersebut di antaranya adalah tingkat kemiskinan, angka kematian ibu dan bayi, angka putus sekolah, jumlah Pajak Bumi dan Bangunan, dan kondisi sarana publik. Penentuan penghitungan PIK ditentukan dalam Peraturan Bupati.
Selain PIK dikenal juga istilah Pagu Indikatif SKPD (PI-SKPD). Yang dimaksud dengan PI-SKPD adalah pagu anggaran belanja (APBD) untuk masing-masing SKPD. Alokasi belanja PI-SKPD ditentukan oleh mekanisme teknokratis SKPD dan Forum SKPD partisipatif berdasarkan prioritas program dalam Rencana Strategis (Renstra) SKPD. Usulan belanja desa dan wilayah kecamatan yang telah sesuai dengan pagu indikatifnya akan diakomodasi dalam Rencana Kerja dan Anggaran SKPD. Hal ini akan disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki masing-masing SKPD untuk setiap urusan pembangunan yang diusulkan kecamatan. Gabungan antara PIK dan PI-SKPD akan disusun menjadi Rencana Kerja (Renja) SKPD. Dengan demikian, yang diajukan ke forum Musrenbang Kabupaten adalah Renja SKPD yang nantinya akan digabung dengan Renja SKPD lainnya membentuk RKPD.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 103
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah
Pada tahun pertama implementasi PIK, anggaran yang disediakan untuk membiayai usulan program dari masyarakat melalui Musrenbang tidak terserap secara optimal. Dari anggaran sekitar Rp 25 miliar, yang terserap hanya 20% saja (Rp 5 miliar). Hal ini terjadi karena angka yang diajukan masyarakat tidak sesuai angka standar pembiayaan program/ kegiatan yang dilakukan oleh SKPD. Angka yang diusulkan warga lebih
mendekati standar teknis pembiayaan kegiatan yang biasa dilakukan warga karena diasumsikan bahwa skema pembiayaan PIK akan dikelola oleh warga. Pemahaman warga ini berbeda dengan pemerintah daerah yang mengharuskan pengelolaan PIK dilakukan oleh SKPD di tingkat kabupaten. Karena dilaksanakan oleh SKPD kabupaten maka rencana anggaran biaya kegiatan harus pula memasukan item untuk belanja pegawai dan harus pula memperhatikan keuntungan pihak ketiga untuk kegiatan yang dilelang. Dalam perencanaan tahun 2008 dan 2009, implementasi PIK relatif lebih baik. Alokasi PIK pada tahun 2009 mencapai sekitar Rp 25 miliar dipastikan dapat diserap oleh usulan yang berasal dari warga. Meningkatnya pemahaman warga terhadap konsep PIK dan pengetahuan perencanaan dan penganggaran merupakan hal yang mendukung terimplementasikannya PIK secara lebih baik.
Forum Delegasi Musrenbang (FDM) FDM merupakan pelembagaan pelibatan masyarakat dalam proses penganggaran daerah. Selama ini, pelibatan masyarakat dalam penganggaran hanya sebatas �diajak� pada saat dengar pendapat di DPRD. Kegiatan dengar pendapat ini hanya sebatas pengungkapan komentar terhadap RAPBD dan sering hanya menjadi arena �lomba pidato� oleh partisipan dengar pendapat. Di sini DPRD hanya menjadi penampung usulan dan sekaligus menjadi pendengar serta sekali-kali memberikan klarifikasi. Dengan pelembagaan partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran daerah melalui FDM, keterlibatan warga tidak hanya sebatas pada saat dengar pendapat saja. Warga lebih jauh lagi terlibat dalam setiap pembahasan anggaran di DPRD.
104 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang
Anggota FDM dipilih dari utusan delegasi Musrenbang Kecamatan dan utusan sektoral (SKPD). Proses pemilihannya dilakukan secara demokratis di Forum Musrenbang Kabupaten. Setiap Kecamatan diwakili oleh satu orang partisipan dengan masa kerja 1 tahun dan bisa dipilih satu kali lagi untuk 1 tahun periode berikutnya. Perwakilan partisipan Musrenbang dari kecamatan dan sektoral yang diberi mandat untuk menjadi anggota FDM
kabupaten kemudian menggelar rapat koordinasi yang difasilitasi oleh Bappeda. Rapat koordinasi ini bertujuan untuk membentuk perangkat organisasi dan menyusun rencana kerja kegiatan. Pengaturan terperinci atas FDM dituangkan dalam Peraturan Bupati. FDM menjadi arena bagi warga untuk �berlatih dan mengasah diri� di arena pembentukan kebijakan daerah. Dalam Forum ini, warga bisa melakukan praktik negosiasi, lobi, advokasi, dan sekaligus membangun jaringan dengan berbagai pihak. Proses ini akan menjadi modal sosial bagi aktivis warga yang akan berkarir di politik lokal. Dengan adanya FDM, kegairahan warga untuk terlibat secara intens dalam proses perencanaan dan penganggaran muncul kembali.
Sebagai lembaga baru dalam proses penganggaran, FDM perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak, terutama dalam hal peningkatan kapasitas dan jaminan pendanaan untuk aktivitasnya. Kapasitas anggota forum harus mendapat prioritas pengembangan utama. Hal ini penting karena di tangan para delegasi inilah hasil Musrenbang dikawal untuk didesakkan kepada pemerintah daerah agar dapat diterima sebagai program atau kegiatan dalam APBD. Dukungan dana yang memadai merupakan salah satu penopang berjalan optimalnya sebuah organisasi. Hingga akhir tahun 2007 FDM belum dapat terlibat secara utuh dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Namun setelah tahun 2008, FDM dinilai relatif lebih mampu memberikan warna pada proses-proses tersebut.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 105
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah
CAPAIAN Dengan advokasi yang tidak kenal lelah dan dengan pendekatan yang tepat, akhirnya perjuangan advokasi ini membawa hasil. Beberapa perubahan positif yang telah dicapai di antaranya adalah :
Relasi Kuasa antara Masyarakat dengan Pemerintah Daerah dan DPRD Lemahnya partisipasi warga dalam tahapan penganggaran daerah merupakan permasalahan terbesar yang dihadapi saat itu. Tahapan ini merupakan fase yang paling menentukan diakomodasi atau tidaknya usulan warga yang dijaring melalui Musrenbang. Kenyataan menunjukan bahwa absennya warga pada tahapan ini menyebabkan tersisihnya usulan warga dari prioritas pada APBD. Dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007, warga mendapat jaminan keterlibatannya pada proses penganggaran daerah yang terwujud pada kelembagaan FDM. Pandangan yang menempatan warga sebagai pihak yang dipandang tidak perlu terlibat dalam proses politik penganggaran di daerah kini mulai pudar. Warga sebagai pemilik kedaulatan saat ini ditempatkan sebagai pihak yang berhak terlibat secara aktif untuk melakukan pengawalan hasil Musrenbang, memberikan masukan dan koreksi pada setiap tahapan perencanaan dan penganggaran, bahkan pada tahapan implementasi APBD. Diakui dan dilembagakannya partisipasi warga secara formal pada proses perencanaan dan penganggaran daerah dapat dilihat sebagai perubahan relasi kekuasaan antara masyarakat, lembaga legislatif, dan pemerintah daerah.
Perubahan relasi kuasa ini merupakan peluang yang harus dimanfaatkan secara optimal. Komunikasi yang dijalin antara warga, DPRD, dan pemerintah daerah harus dibangun secara konstruktif dalam arti bahwa komunikasi baik yang berbentuk koreksi dan masukan dari pihak-pihak yang berkepentingan harus didukung argumentasi berdasarkan analisis
106 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang
yang akurat dan faktual. Menjawab kebutuhan tersebut, masyarakat harus mampu embekali diri dan meningkatkan kapasitas dengan mempelajari pengetahuan yang bermanfaat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Perubahan Alokasi Anggaran Untuk Mengakomodasi Usulan Warga. Pada tiga tahun (2007-2009) penyelenggaraan Musrenbang di Kabupaten Sumedang terdapat satu menu baru berupa pagu indikatif yang ditetapkan oleh Bappeda pada di awal tahun perencanaan. Menu baru ini dinilai mampu menggairahkan proses perencanaan. Pagu Indikatif Kewilayahan ini menunjukan adanya jaminan alokasi anggaran dari pemerintah daerah untuk mendanai usulan warga. Secara harfiah, pagu adalah patokan tertinggi dana yang disediakan untuk membiayai sejumlah kegiatan. Sementara indikatif mencerminkan sifat sesuatu yang disusun secara sistematis, namun masih bersifat rancangan atau kemungkinan awal.
Alokasi anggaran bagi pembiayaan usulan warga pada tahun 2008 (tahun perencanaan 2007) ditetapkan senilai kurang lebih Rp 25 miliar, namun yang terserap hanya sekitar Rp 5 miliar. Dana yang tersisa senilai Rp 20 miliar tidak bisa terserap dikarenakan beberapa alasan teknis. Salah satu alasan teknis itu adalah tidak rasionalnya nominal anggaran yang diajukan warga untuk membiayai kegiatan yang diusulkan (tidak sesuai dengan standar harga kegiatan yang biasa dilakukan dinas). Pada tahun 2009, alokasi PIK dapat terserap semua. Dalam tiap, alokasi APBD untuk PIK terus mengalami peningkatan mengikuti perubahan data variabel penghitungan pagu. Namun apabila dibandingkan dengan total APBD Kabupaten Sumedang dan belanja tidak langsungnya, angka PIK masih terhitung kecil. Hal lain yang menjadi indikasi perubahan proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Sumedang adalah terakomodasinya hampir 100% usulan warga dalam APBD Kabupaten Sumedang. Di Kecamatan Buahdua, seluruh 14 (empat belas) usulan kegiatan dapat diakomodasi dan direalisasikan dalam APBD tahun 2009. Advokasi Anggaran di Indonesia
| 107
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah
Tabel 7.2. Usulan Warga Yang Diakomodasi Pada APBD Kabupaten Sumedang Tahun 2009 Kegiatan
Rehabilitasi / pemeliharaan Jalan Ciawitali-Sanca Rehabilitasi prasarana dan saluran pembawa Rehabilitasi prasarana dan saluran pembawa Rehabilitasi prasarana dan saluran pembawa Pengadaan pipa untuk air bersih Pembangunan dan penataan PKL Pasar Buahdua Pembibitan ternak domba Garut bagi KK miskin Pembibitan ternak lele dumbo bagi KK Miskin Pembibitan ternak domba lokal bagi KK Miskin Pembibitan sapi bagi KK Miskin Pemberian makanan tambahan untuk pasien gizi buruk Revitalisasi Posyandu Pembentukan dan pengembangan Desa Siaga Pelatihan Kader Jumantik
Nama/jumlah Desa
Ciawitali
Cilangkap
Sekarwangi Ciawitali 2 desa
Buahdua 7 Desa
Karangbungur 2 Desa 4 Desa
14 Desa
47Posyandu 10 Desa 14 Desa
Kecamatan Buahdua Buahdua Buahdua Buahdua
Alokasi Anggaran (Rp)
149.811.000 50.000.000 50.000.000 50.000.000
Buahdua
165.000.000
Buahdua
175.000.000
Buahdua Buahdua Buahdua Buahdua Buahdua Buahdua Buahdua Buahdua
150.000.000 20.000.000 35.000.000 95.000.000 25.000.000 5.000.000
85.000.000 5.000.000
Meningkatnya Tingkat Partisipasi Warga Pasca terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007, khususnya setelah tahun 2008, tingkat partisipasi warga pada kegiatan perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Sumedang dapat dikatakan meningkat. Dari segi kuantitas, tingkat kehadiran masyarakat dalam Musrenbang berubah cukup besar dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Musrenbang kini sudah menjadi arena yang hidup dan penuh dinamika. Masyarakat terlihat bersemangat untuk mengidentifikasi masalah pembangunan di daerahnya, untuk kemudian bersama-sama
108 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang
merumuskan program yang dapat menjawab permasalahan yang ada. Meningkatnya tingkat partisipasi warga ini disebabkan oleh jaminan kepastian alokasi anggaran daerah untuk membiayai usulan warga.
Partisipasi warga juga nampak secara massif dalam pembahasan anggaran di DPRD. Utusan warga yang diwakili oleh FDM beberapa kali melakukan
audiensi dengan panitia anggaran untuk memberikan masukan, koreksi bahkan penolakan terhadap proses-proses dan materi pembahasan yang dinilai merugikan warga. Pembahasan anggaran di ranah eksekutif yang selama ini tidak pernah melibatkan warga, kini sudah mulai melibatkan warga. Di beberapa SKPD, warga secara aktif terlibat pada proses penyusunan rencana kerja dan anggaran, survei lokasi kegiatan, serta pemeriksaan barang dan jasa pada kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh SKPD.
TANTANGAN Upaya advokasi dalam rangka memperbaiki proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Sumedang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hal ini terjadi karena proses advokasi ini berkaitan dengan upaya perubahan paradigma perencanaan dan penganggaran, teknis penyelenggaraan, dan keberpihakan kebijakan anggaran daerah, yang selama ini dibangun tanpa pilar partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi. Karena cakupan advokasi berkaitan dengan aspek-aspek sensitif proses perencanaan dan penganggaran di daerah, advokasi yang dilakukan menemui beberapa tantangan yang hampir menjadi batu sandungan.
Setidaknya ada 2 tantangan yang cukup signifikan dalam advokasi ini. Pertama, munculnya penolakan DPRD Kabupaten Sumedang dan Pemerintah Kabupaten Sumedang terhadap beberapa materi Perda. Materi yang dimaksud adalah pembukaan ruang bagi warga untuk mengikuti pembahasan anggaran di DPRD. Beberapa kalangan beranggapan bahwa
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 109
Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah
pembukaan ruang tersebut dapat merongrong hak politik penganggaran anggota DPRD yang dilindungi undang-undang. Keterlibatan warga membuat para anggota DPRD merasa kebebasannya untuk menentukan usulan kegiatan sebagai respon terhadap konstituennya akan tereduksi. Anggapan ini semakin berkembang tatkala partisipasi warga ini akan dilembagakan. Secara kritis mereka mempertanyakan nama wadah
partisipasi warga, mekanisme pelibatan warga, kategorisasi masyarakat yang terlibat, tingkat kewenangannya, dan pembiayaannya. Tantangan ini disikapi dengan peningkatan intensitas lobi dan diskusi dengan kalangan DPRD dan pemerintah daerah. Upaya ini dilakukan dengan mendatangkan para ahli perencanaan dan penganggaran dari perguruan tinggi.
Kedua, munculnya pemahaman yang keliru tentang konsep PIK. PIK dimaknai warga sebagai hak anggaran kecamatan yang berbentuk block grant, di mana pengelolaannya menjadi hak warga kecamatan. Padahal hak warga, sebagaimana dikehendaki Perda Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007, hanya pada wilayah perumusan program, pengawalan pembahasan usulan program di DPRD serta pengawasan pelaksanaan kegiatan. Pelaksanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban program atau kegiatan tetap dilaksanakan oleh SKPD di tingkat Kabupaten. Adanya kepastian alokasi anggaran melalui skema PIK sesungguhnya menimbulkan semangat baru bagi warga, namun pengelolaan yang masih dilakukan oleh SKPD di tingkat kabupaten menimbulkan reaksi kekecewaan masyarakat. Pengelolaan kegiatan berbiaya PIK oleh SKPD menunjukan ketidakpercayaan pemerintah terhadap kemampuan warga kecamatan dalam mengelola kegiatan. Warga berpendapat bahwa jika PIK dikelola warga maka pelaksanaannya akan lebih baik dengan keluaran yang maksimal. Hal ini dimungkinkan karena seluruh dana akan terserap untuk kegiatan tanpa dipotong biaya administrasi. Bahkan, kebutuhan sumber daya akan dibantu juga dengan swadaya masyarakat. Namun akhirnya, melalui proses diseminasi oleh pemerintah daerah dan kalangan CSO melaui unjuk wicara di radio swasta dan pertemuan rutin FDM, kekeliruan ini dapat diluruskan.
110 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Advokasi Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang
PELAJARAN Dari narasi tentang pengalaman advokasi mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas perencanaan dan penganggaran melalui pendekatan partisipatif, terdapat beberapa hal penting yang dapat dipelajari. Hal-hal penting itu antara lain: Peningkatan kapasitas. Untuk memanfaatkan peluang keterlibatan di dalam perencanaan dan penganggaran daerah, warga harus membekali diri dan meningkatkan kapasitasnya dengan pengetahuan yang dapat bermanfaat dalam proses-proses pembahasan anggaran di DPRD. Hal ini dimaksudkan agar interaksi yang terjadi antara warga, eksekutif, dan legislatif, dapat terjadi secara seimbang dan dapat membuahkan manfaat yang optimal.
Kolaborasi konstruktif. Perubahan hanya terjadi bila ada kolaborasi yang konstruktif di antara para aktor yang terlibat. Aktor yang sangat penting dalam perubahan adalah pemerintah daerah dan anggota DPRD. Karena itu upaya-upaya untuk mendorong kelembagaan partisipasi dalam anggaran publik tidak bisa melepaskan peran mereka. Harus diakui bahwa tindakan kolektif dalam konteks kelembagaan publik hanya dapat terbentuk jika kedua aktor tersebut terlibat di dalamnya. Kemampuan dalam melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah dan anggota DPRD untuk mengubah pola pikir mereka merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh pelaku advokasi. Level perubahan. Perubahan dapat terjadi secara nyata bila dilakukan langsung pada dua level yaitu level kerangka hukum dan level aktor. Pada level kerangka hukum perlu dikembangkan kerangka hukum yang menjamin keterbukaan informasi publik, menjamin akses warga untuk berpartisipasi dalam tingkat awal, pengambilan keputusan, implementasi dan pemantauan, mengakui organisasi warga, dan mekanisme untuk turut memantau pengambilan keputusan di lembaga-lembaga formal. Sedangkan di level aktor, adanya organisasi warga yang aktif baik berbasis komunitas maupun berbasis fungsi dan adanya gerakan sosial merupakan prasyarat bagi terjadinya dialog yang konstruktif dalam wahana publik.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 111
Realokasi Anggaran Menuju Efektivitas dan Efisiensi Upaya Masyarakat Sipil Menolak RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 oleh: Fahriza
RINGKASAN Provinsi Riau adalah salah satu provinsi di Indonesia yang ada di Pulau Sumatera. Mendapatkan banyak keuntungan dari penerapan otonomi daerah, Provinsi Riau memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 3 triliun sampai Rp 4 triliun per tahun. Sebagian besar anggaran tahunan Provinsi Riau digunakan untuk membayar gaji pegawai dan proyek-proyek konstruksi, serta beberapa belanja lain yang tidak terlalu penting.
Pada tahun 2007, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Riau memicu protes dan penolakan masyarakat. Rencana anggaran tersebut dianggap tidak relevan terhadap angka kemiskinan Provinsi Riau yang tercatat 11,2% (sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau tahun 2007). Dalam dokumen itu, Pemerintah Provinsi Riau menganggarkan belanja Dana Bantuan Ormas, belanja Penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI), dan Perjuangan Otonomi Khusus (Otsus).
Realokasi Anggaran Menuju Efektivitas dan Efisiensi
Rencana anggaran itu dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak akan memberikan hasil, dan bahkan bertentangan dengan konstitusi.
Pada saat yang sama, rencana anggaran belanja bagi sektor pendidikan masih kurang dari 20% APBD, belanja kesehatan di bawah 10% APBD, dan belanja Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kurang dari 15% dari total APBD yang mencapai Rp 3,7 triliun. Padahal ketiga item belanja tersebut merupakan belanja kepentingan dasar masyarakat dan merupakan urusan wajib pemerintah.
Protes masyarakat berubah menjadi gelombang penolakan terhadap RAPBD yang akan disahkan menjadi APBD Provinsi Riau Tahun 2007. Walaupun anggaran tahun itu tetap disahkan, beberapa mata anggaran berhasil direalokasi dan dialihkan ke anggaran pendidikan.
PROFIL LEMBAGA Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Riau (FITRA Riau) merupakan salah satu dari lima simpul jaringan yang pertama kali didirikan pada tahun 1999 bersamaan dengan dibentuknya Sekretariat Nasional (Seknas) FITRA. Dengan demikian, tujuan dan misi yang diemban oleh FITRA Riau sama dengan Seknas FITRA, yaitu: mewujudkan kedaulatan rakyat atas anggaran, mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan dan kontrol terhadap anggaran negara (pemerintah daerah); serta memperjuangkan anggaran negara (pemerintah daerah) yang berbasis dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan menjadi barometer bagi gerakan advokasi anggaran di Indonesia.
Kegiatan advokasi FITRA Riau antara lain : a. Melakukan analisis belanja kemiskinan, kebodohan, dan infrastruktur (K2I) yang tertuang dalam dokumen belanja Provinsi Riau tahun 20052007;
114 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Masyarakat Sipil Menolak RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007
b. Melakukan analisis dan pelaporan indikasi korupsi belanja daerah di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang dikenal dengan Bengkalis Gate di tahun 2005; c. Melakukan analisis potensi korupsi belanja daerah Kabupaten Bengkalis dalam pengadaan pembangkit listrik (genset) di tahun 2008. Dugaan korupsi berdasar temuan Badan Pengawas Daerah (Bawasda)
d.
e. f. g.
h.
ini dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 58 miliar ini berlanjut ke Pengadilan Tinggi Bengkalis setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan kasus tersebut; Analisis indikasi korupsi terhadap sembilan paket proyek pembangunan jalan dan jembatan yang menghabiskan biaya Rp 1,7 triliun dari belanja Provinsi Riau dari tahun anggaran 2005-2009. Analisis dilanjutkan menjadi laporan ke KPK pada tahun 2008 dan 2009; Melakukan analisis indikasi korupsi dalam pembelian mess Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang terletak di Jakarta dengan anggaran Rp 4 miliar dari anggaran belanja Kabupaten Bengkalis tahun 2005; Melakukan pemantauan dan riset pengadaan logistik PEMILU tahun 2009 untuk wilayah Provinsi Riau yang didanai oleh Democratic Reform Support Program (DRSP) Indonesia; Analisis indikasi korupsi di sektor kehutanan, bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (JIKALAHARI), dalam penerbitan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2009 dan telah diproses oleh KPK; Advokasi terhadap penyalahgunaan belanja daerah secara berjamaah di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau dengan anggaran Rp 116 miliar di tahun 2010.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 115
Realokasi Anggaran Menuju Efektivitas dan Efisiensi
ANALISIS SITUASI Pengelolaan keuangan daerah yang transparan, efisien dan efektif, serta akuntabel dan partisipatif merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan dalam
kerangka tata kelola pemerintahan yang baik. Pengelolaan keuangan yang berciri seperti itu akan menjamin pasokan atau distribusi anggaran tepat sasaran sehingga kesejahteraan dapat teruwujud, kemiskinan dapat dikurangi, kesehatan dapat diakses oleh setiap orang, dan pendidikan terjangkau semua lapisan masyarakat.
Transparansi diartikan sebagai pemberian informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat secara menyeluruh atas pengelolaan sumber daya yang dipercayakan serta terwujudnya ketaatan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan akuntabilitas diartikan sebagai pertanggungjawaban pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada pemerintah (Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005).
Efektivitas anggaran merupakan perbandingan antara hasil program dengan target yang telah ditetapkan. Sedangkan efisiensi merujuk pada keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Sedangkan partisipasi diartikan sebagai pelibatan masyarakat dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan agar anggaran tepat guna dan tepat sasaran (Permendagri No. 13 Tahun 2006).
Aksi Penolakan RAPBD Riau Tahun 2007
Masyarakat menolak RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 karena prosesnya dianggap tidak transparan dan akuntabel, efektivitas dan efisiensinya yang rendah, serta keterlibatan masyarakat yang sangat kurang. Dalam aksi penolakan itu, FITRA Riau bergabung dengan sejumlah elemen masyarakat menjadi Koalisi Rakyat Menuntut (KARAM), suatu koalisi yang terdiri dari masyarakat sipil dan mahasiswa.
116 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Masyarakat Sipil Menolak RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007
Dalam menolak RAPBD Provinsi Riau 2007, KARAM memilih dua langkah untuk menghasilkan perubahan kebijakan; demonstrasi dan mobilisasi dukungan kalangan luas. Aksi demontrasi dilakukan secara terpisah maupun secara bersama-sama. Dalam demonstrasi yang terpisah, para anggota koalisi mengangkat isu-isu sektoral sesuai bidang kerja masingmasing. Isu-isu sektoral itu mencakup masalah perempuan, lingkungan
hidup, penanggulangan bencana, kepatuhan hukum, dan sebagainya. Puncaknya, pada tanggal 1 Februari 2007, ketika sidang paripurna pengesahan APBD Provinsi Riau 2007 berlangsung, demonstrasi besarbesaran dilakukan. Beriringan dengan aksi-aksi demontrasi itu, KARAM menghubungi beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Partai Golkar (individu), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (individu), Partai Bintang Reformasi (individu), dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Untuk menghindari kepentingan politik, KARAM mengundang para anggota DPRD untuk berdiskusi secara terbuka. Diskusi lebih banyak membahas fakta proses perencanaan anggaran yang dilakukan di internal DPRD, aturan-aturannya, dan pihak-pihak yang banyak berperan dalam penyusunan rancangan anggaran. Hasil diskusidiskusi ini yang kemudian menjadi landasan penolakan RAPBD Provinsi Riau 2007. Untuk mendukung dua langkah itu, KARAM mengembangkan analisis yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu : • Anggaran pendidikan, kesehatan, dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang tidak memenuhi amanat undang-undang; • Pos anggaran yang tidak efektif dan efisien, seperti anggaran FFI, Otonomi Khusus, dan Organisasi Kemasyarakatan; • Ketepatan waktu serta kesesuaian dengan aturan penyusunan.
Ketiga hal tersebut dianalisis menggunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 Tahun 2006 tentang Penyusunan APBD Tahun 2007, Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 117
Realokasi Anggaran Menuju Efektivitas dan Efisiensi
Pendidikan Nasional, UU No. 23 tahun 1992 tentang Sistem Kesehatan Nasional (ditambah dengan kesepakatan Menkes dengan Kepala Daerah tentang alokasi anggaran kesehatan sebesar 10 % APBD), dan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi. Hasil analisis tersebut kemudian menjadi bahan tuntutan yang disuarakan dalam aksi demonstrasi penolakan anggaran daerah. Beberapa pengembangan hasil diskusi tersebut menghasilkan sejumlah item penting :
• RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 tidak didahului pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah bersama Panitia Anggaran. KUA dan PPAS adalah dasar penyusunan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKASKPD) yang diakumulasikan menjadi RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007.
• RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 sebesar Rp 4,2 triliun terlalu ambisius karena didasarkan kepada perkiraan penerimaan daerah yang realistis. Pada RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007, Pemerintah Provinsi Riau memperkirakan penerimaan dana perimbangan minyak dan gas sebesar Rp 2,6 triliun. Dengan harga minyak dunia yang cenderung menurun hingga mencapai 55-58 dolar AS per barel, akan sangat sulit meningkatkan dana perimbangan migas hingga mencapai Rp 2,6 triliun. Di sisi penerimaan lainnya, perkiraan Pendapatan Asli daerah (PAD) tahun 2007 tidak beranjak jumlahnya dari tahun sebelumya. Dari sektor investasi daerah, jumlah pendapatan masih relatif kecil sebesar Rp 1.214.293.000,00. Jumlah itu tidak sebanding dengan dana APBD yang sudah diinvestasikan untuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mencapai Rp 307.568.147.646,00. Berdasarkan Permendagri No. 26 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007, pagu dana perimbangan
118 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Masyarakat Sipil Menolak RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007
tahun anggaran 2007 seharusnya menggunakan pagu definitif dana perimbangan pagu anggaran 2006. Sedangkan penyesuaian pagu definitif dana perimbangan tahun anggaran 2007 ditampung dalam perubahan APBD 2007. Oleh karena itu perlu adanya rasionalisasi pada pos belanja yang disesuaikan dengan perkiraan penerimaan daerah yang realistis.
• Alokasi anggaran harus diredistribusi dengan lebih baik sesuai prioritas pembangunan daerah. Dalam RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007, urusan pemerintahan umum mendapat alokasi sebesar 31% total anggaran. Angka itu melampaui alokasi untuk sektor pendidikan yang hanya 16%, alokasi anggaran urusan kesehatan 6%, serta alokasi anggaran untuk Koperasi dan UKM yang kurang dari 1 %. • Dokumen RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 belum sepenuhnya menggambarkan kegiatan yang sebenarnya. Penyajian dokumen ini berlawanan dengan keterbukaan yang ditunjukkan APBD tahun sebelumnya yang lebih mudah difahami. Pemerintah menggunakan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan RAPBD 2007 untuk berdalih soal format penyajian RAPBD tahun 2007. Alasan ini berlebihan karena provinsi lain memiliki dokumen yang lebih mudah difahami, meskipun menggunakan pedoman penyusunan yang sama.
• Beberapa pos belanja berjumlah besar dimasukkan pada akhir pembahasan tim anggaran DPRD dan Pemerintah. Belanja-belanja besar yang kontroversial itu antara lain bantuan sosial (Rp 15 miliar), FFI (Rp 10,5 miliar), biaya operasional Rice Processing Complex dan Biodiesel (Rp 15 miliar) dan pembangunan teater tertutup (Rp 58 miliar), pembangunan gelanggang remaja (Rp 45 miliar), bantuan untuk Universitas Riau dan Unversitas Islam Negeri (masing-masing Rp 24 miliar dan Rp 27,5 miliar), bantuan beras untuk kaum miskin (Rp 10 miliar) dan kenaikan gaji pegawai (Rp 30 miliar). Kontroversi berkisar pada volume dan proses yang melahirkan angka-angka alokasi itu. Advokasi Anggaran di Indonesia
| 119
Realokasi Anggaran Menuju Efektivitas dan Efisiensi
• Kantor-kantor dinas kesulitan dalam memetakan prioritas kegiatan yang baik karena adanya kebijakan pembentukan dana cadangan untuk tahun-tahun berikutnya. Dari total RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 sebesar Rp 4,2 triliun, sebesar Rp 795,8 miliar tidak bisa dimanfaatkan karena dicadangkan untuk kegiatan tahun jamak. Dana cadangan untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun 2012 sebesar Rp 250 miliar tidak didukung dengan Peraturan Daerah.
• Pembayaran pokok hutang sebesar Rp 39,2 miliar tidak didukung informasi yang jelas mengenai pihak kreditor dan tujuan pencairan utang itu. Di sisi lain, ada pos penyertaan modal sebesar Rp 52,45 miliar tanpa diketahui BUMD yang akan menerima suntikan dana itu.
• Terjadi duplikasi anggaran pada komponen biaya belanja pegawai, yang jumlahnya melampaui Rp 1 triliun atau 24% RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007. Angka sebesar itu antara lain disebabkan adanya pembayaran kepada pegawai atas keterlibatannya dalam setiap proyek atau kegiatan. Padahal, berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, ditegaskan bahwa honor-honor hanya dapat dibayarkan sebanyak-banyaknya untuk dua kegiatan.
Item-item diskusi itu kemudian disampaikan kepada publik melalui konferensi pers bersama dan dengan aksi demonstrasi yang dilakukan bergiliran oleh anggota KARAM. Koalisi sempat menduduki Studio Radio Republik Indonesia (RRI) dan memblokir pintu DPRD Riau. Setelah aksiaksi itu, dua fraksi DPRD (Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bintang Reformasi) menolak pengesahan RAPBD Provinsi Riau 2007. Sisanya, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyatakan abstain, sedangkan Fraksi Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) menyetujui pengesahan RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 menjadi APBD Provinsi Riau 2007. Dengan demikian, APBD Provinsi Riau Tahun 2007 sah.
120 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Masyarakat Sipil Menolak RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007
Namun, penolakan tidak berhenti setelah APBD Provinsi Riau Tahun 2007 disahkan. KARAM mengirimkan surat kepada Mendagri, meminta penghapusan beberapa mata anggaran yang dinilai boros. Selain itu, KARAM juga berunjuk-rasa di Kementerian Dalam Negeri di Jakarta dan di Pekanbaru. Pada 24 Februari 2007, APBD yang sudah dievaluasi Mendagri dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi Riau untuk direvisi dan disahkan menjadi Peraturan Daerah. Beberapa item kegiatan direalokasi. Anggaran kegiatan Otsus sebesar Rp 10,5 miliar dialihkan ke Dinas Pendidikan. Pada saat yang sama, pembangunan perpustakaan yang dianggarkan oleh Dinas Pendidikan dikembalikan kepada Dinas Kimpraswil. Meskipun volume totalnya tidak berubah, struktur yang baru terlihat lebih efisien dan efektif.
METODE KARAM menempuh dua pendekatan dalam advokasi; represif dan non represif. Pendekatan represif melahirkan aksi-aksi terbuka seperti demonstrasi yang melibatkan banyak fihak, konferensi pers dan mengirim surat terbuka kepada Mendagri. Aksi-aksi terbuka dilakukan secara terpisah untuk menanamkan kesan kepada publik bahwa semua aksi didorong oleh kesadaran, bukan karena hasutan dan kepentingan pihak lain.
Advokasi non-represif dilakukan KARAM dalam bentuk lobi atau sosialisasi hasil-hasil analisis RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 kepada anggota DPRD Provinsi Riau baik secara individu maupun secara kelembagaan (fraksi). Lobi dilakukan untuk memperluas isu penolakan dan mendapatkan dukungan dari pembuat kebijakan. Tidak semua fraksi DPRD, yang dikenali menolak RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007, mau berdiskusi dengan koalisi. Fraksi PPP, menolak kedatangan koalisi sedangkan Fraksi PAN dan PKS bersedia dan mendukung penolakan rancangan anggaran tersebut.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 121
Realokasi Anggaran Menuju Efektivitas dan Efisiensi
Kedua pendekatan itu didukung hasil analisis terhadap dokumen rancangan anggaran yang dilakukan koalisi berdasar ukuran-ukuran standar dan legal, terutama Permendagri No. 13 Tahun 2006. Hasil analisis itu melengkapi kajian Tim Anggaran DPRD dan dilengkapi dengan datadata kemiskian yang diambil dari Badan Pusat Statistik serta dokumen kebijakan anggaran dan rencana pembangunan lima tahunan daerah.
PELAJARAN Upaya mengubah kebijakan dalam kasus ini memberikan setidaknya tiga catatan penting. Pertama, advokasi ini menuntut kemampuan yang tinggi dalam analisis dan melacak dokumen anggaran. Analisis yang baik dan tajam menjadi landasan yang baik untuk mengembangkan argumen advokasi. Pada saat yang sama, kemampuan melacak dokumen dan mendapatkannya menjadi relevan karena aksesibilitas informasi publik yang rendah.
Kedua, advokasi anggaran menuntut kreativitas merancang aksi dan strategi untuk intervensi kebijakan. Keragaman aksi dalam advokasi kasus RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 terbukti cukup efektif memberikan tekanan kepada pembuat kebijakan. Didukung dengan kemampuan persuasi, dukungan dari pembuat kebijakan strategis memperbesar peluang perubahan kebijakan. Ketiga, advokasi anggaran menuntut fokus yang tinggi pada isu pokoknya agar tidak mudah beralih. Fokus pada efisiensi dan efektivitas RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007 membantu KARAM menjaga isu anggaran sebagai isu yang aktual dan mendapatkan perhatian publik. Sekalipun banyak masalah berkait, seperti gender, lingkungan hidup dan kemiskinan, isu efisiensi dan efektivitas anggaran tidak pernah hilang dari perhatian publik. Konsistensi dalam menjaga isu ini berujung pada realokasi beberapa anggaran yang semula dianggap boros dan tidak efektif.
122 | Di Mana Uang Kami?
Upaya Masyarakat Sipil Menolak RAPBD Provinsi Riau Tahun 2007
Catatan KARAM terdiri dari FITRA Riau, Yayasan Riau Mandiri, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Pekanbaru, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (JIKALAHARI), Kantor Bantuan Hukum (KBH) Pekanbaru, Kelompok Diskusi Perempuan (KUDAPAN), Yayasan Bunga Bangsa, Transparency Internasional Indonesia (TII) Riau, Satelit Gempur, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau (BEM UNRI), Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Negeri (BEM UIN) Riau, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pekanbaru, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Riau, Persatuan Mahasiswa Katholik Indonesia (PMKRI) Riau, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Riau, dan Sentra Gerakan Rakyat (SEGERA).
Referensi Kurniawan, Teguh (2009), “Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam upaya Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan”, makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Administrasi Negara, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UNAIR, Surabaya. Klitgaard, Robert, et al., (2002), Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah”, Jakarta, Yayasan Obor.
__________, (..), Inovasi Demokratisasi Penganggaran Daerah, Refleksi Gerakan Advokasi Anggaran Mewujudkan Kedaulatan Rakyat atas Anggaran, Jakarta, Seknas FITRA, Yayasan Tifa, The Asia Foundation.
__________, (2006), Membangun Gerakan Pro-poor Budget, Jakarta, Seknas FITRA, DFID, The Asia Foundation. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua
PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintahan
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Penyusunan Keuangan Daerah
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 123
Ketika Rakyat Bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran Pengalaman Penolakan atas Program Simpemdes di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah oleh: MS. Wa’i
RINGKASAN Pada tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Cilacap meluncurkan program Sistem Informasi Pemerintahan Desa (Simpemdes). Program ini digulirkan untuk mengintegrasikan informasi dan data pemerintahan seluruh desa di Kabupaten Cilacap melalui jaringan internet. Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kabupaten Cilacap menilai program tersebut tidak sesuai dengan prioritas pembangunan Kabupaten Cilacap. Lebih dari itu, pembiayaan program itu justru bersumber dari alokasi dana desa (ADD) yang seharusnya ditransfer dari rekening Pemerintah Kabupaten ke setiap desa di wilayahnya. Upaya advokasi yang dilakukan Lakpesdam NU Cilacap berkait dengan masalah itu mendapat respons beragam. Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), khususnya Komisi A, dan sejumlah kepala desa mendukung posisi Lakpesdam NU, yakni menolak Simpemdes. Sebaliknya, hampir semua pejabat Pemerintah Kabupaten Cilacap cenderung bersikap sebaliknya.
Ketika Rakyat bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran
Advokasi memang gagal karena Simpemdes tetap dilaksanakan pada tahun 2008. Namun, gerakan yang didorong oleh Lakpesdam NU Cilacap mampu membangkitkan kesadaran warga untuk memperjuangkan kepentingannya di hadapan pemerintah. Pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tahun 2009, warga lebih terlibat dalam menentukan arah pembangunan sesuai kepentingan dan hak-hak mereka.
PROFIL LEMBAGA Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) berada di bawah payung organisasi Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia dengan pengikut tak kurang dari 40 juta orang. Sebagaimana organisasi NU, Lakpesdam juga berkembang di pelbagai provinsi dan kabupaten/kota, salah satunya di Kabupaten Cilacap. Sejak tahun 2000-an, Lakpesdam NU Cilacap telah bekerja di masyarakat untuk isu-isu demokratisasi lokal, melalui pengorganisasian masyarakat sipil dan pendidikan kritis. Lalu terbentuklah forum-forum warga yang aktif terlibat dalam proses perencanaan pembangunan di tingkat lokal. Sejak tahun 2006, Lakpesdam NU Cilacap terlibat dalam Program CSIAP (Civil Society Initiative against Poverty) yang didukung oleh The Asia Foundation. Melalui program ini, Lakpesdam NU Cilacap mendukung forum warga untuk menginisiasi berbagai perubahan melalui advokasi anggaran. Dukungan Lakpesdam NU Cilacap antara lalin berupa pengembangan kemampuan analisis anggaran bagi warga dan tokoh agama (kyai), peningkatan ekonomi rakyat, dan advokasi kebijakan perencanaan dan penganggaran. Di bidang perencanaan pembangunan, Lakpesdam NU Cilacap mendorong warga untuk terlibat aktif dalan forum-forum Musrenbang desa, Musrenbang kecamatan, hingga Musrenbang kabupaten. Upaya ini juga
126 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Penolakan atas Program Simpemdes di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
dibarengi dengan pertemuan-pertemuan warga secara reguler untuk terus meningkatkan kualitas dan kapasitas partisipasinya. Ketika kasus Simpemdes muncul, forum warga-forum warga Lakpesdam NU Cilacap telah mulai aktif dalam advokasi anggaran.
ANALISIS SITUASI Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan jaminan hukum bagi pemenuhan hak masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan peraturan melalui mekanisme lisan maupun tertulis. Jaminan yang sama juga diberikan secara khusus dalam bidang perencanaan pembangunan oleh Undangundang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Meskipun demikian, adanya landasan hukum tidak serta-merta membuat partisipasi mudah diwujudkan. Sosialisasi yang rendah, apatisme dan ketidaktahuan masyarakat, sikap abai aparatur pemerintah, ditambah rendahnya dampak kebijakan pada kesejahteraan masyarakat membuat dorongan partisipasi tidak cukup kuat. Kualitas maupun intensitas partisipasi tetap menjadi persoalan, meskipun dua undang-undang tersebut di atas sudah diterapkan.
Pada satu sisi kapasitas masyarakat diperlukan lebih dari sekadar kehadiran dalam forum-forum perencanaan. Lebih dari itu adalah kemampuan mereka untuk mempengaruhi kebijakan. Pada sisi yang lain masyarakat harus meyakini keterlibatan yang berkualitas akan membawa dampak positif bagi kehidupan mereka. Nyatanya, menumbuhkan inisiatif masyarakat untuk terlibat tidaklah mudah, meskipun ruang pembuatan kebijakan yang selama bertahun-tahun tertutup bagi mereka akhirnya terbuka.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 127
Ketika Rakyat bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran
Pada tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Cilacap secara tiba-tiba memerintahkan kepala-kepala desa untuk mengadakan seperangkat komputer. Perintah yang disampaikan secara lisan melalui Kepala Bagian Pemerintahan ini muncul beberapa waktu setelah desa-desa selesai menggelar Musrenbang desa.
Instruksi ini terkait dengan rencana Pemerintah Kabupaten Cilacap membangun Sistem Informasi Pemerintahan Desa (Simpemdes). Gagasan pokok program itu adalah memudahkan akses dan aliran informasi antar desa melalui jaringan internet. Sesuai instruksi lisan itu, pembiayaan pengadaan perangkat komputer itu berasal dari alokasi dana desa (ADD). Pada tahun itu, desa-desa di Kabupaten Cilacap mendapatkan ADD rata-rata Rp 100 juta rupiah dari Pemerintah Kabupaten. Dari sinilah kontroversi bermula. Instruksi itu mengharuskan setiap pemerintah desa membelanjakan Rp 48 juta untuk pengadaan komputer. Penggunaan dana ADD untuk mendukung program Simpemdes jelas mengurangi kemampuan desa membiayai pembangunan. Karenanya, instruksi dari Pemerintah Kabupaten itu bertentangan dengan prinsip otonomi desa yang digariskan oleh Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Munculnya Simpemdes kemudian memicu penolakan dari berbagai kalangan. Lakpesdam NU Cilacap dan forum warga yang didampingi menolak program yang dipaksakan oleh Pemerintah Kabupaten itu. Penolakan ini juga memicu reaksi serupa dari berbagai kalangan, anggota DPRD dan jaringan kepala-kepala desa. Secara ringkas munculnya program Simpemdes ini memuat beberapa persoalan mendasar menyangkut setidaknya tata kelola pemerintahan, penganggaran, dan partisipasi. Persoalan tersebut antara lain; •
Program ini muncul dari Pemerintah Kabupaten Cilacap, di luar usulan masyarakat desa yang dituangkan dalam Musrenbang desa. Ini tidak sesuai alur dan mekanisme perencanaan pembangunan dan penganggaran yang semestinya.
128 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Penolakan atas Program Simpemdes di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
• • • •
Pengadaan komputer akan menghabiskan hampir 50% ADD masing-masing desa untuk tahun 2008, sehingga akan sangat mengurangi alokasi dana pembangunan desa. Penggunaan ADD untuk pengadaan komputer bisa memicu konflik, karena program-program yang telah disepakati dalam Musrenbang akan diturunkan prioritasnya dan dipinggirkan. Pemerintah Kabupaten melalui program Simpemdes ini juga dinilai telah mencederai otonomi dan kemandirian desa. Proyek pengadaan komputer yang dipaksakan ini seolah mengindikasikan adanya pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan dari proyek ini.
METODOLOGI Mengumpulkan Informasi Munculnya informasi mengenai program Simpemdes menjadi pembicaraan di masyarakat maupun media. Merespons isu ini, forum warga Lakpesdam NU Cilacap melakukan klarifikasi dan mencari informasi dari pihakpihak terkait. Mereka menemui Bagian Pemerintahan untuk berdiskusi. Sedangkan Lakpesdam NU Cilacap menemui para kepala desa mitra jejaring untuk menjajaki respons mereka. Dari upaya klarifikasi dan penjajakan itu diketahui bahwa para kepala desa dan warga desa, cenderung menolak program ini dan menanggapinya secara negatif. Mereka menilai program yang didesakkan setelah Musrenbang desa selesai dilakukan ini kurang tepat dan belum menjadi prioritas bagi masyarakat Cilacap untuk saat itu. Diketahui pula bahwa pengadaan komputer dan kelengkapannya akan dikordinasikan oleh camat-camat. Untuk menyukseskan program ini, setiap kepala desa mendapatkan imbalan sebesar Rp 2 juta.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 129
Ketika Rakyat bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran
Konsolidasi warga Konsisten dengan metodologi yang digunakan bertahun-tahun, Lakpesdam NU Cilacap merancang langkah-langkah advokasinya bersama warga. Konsolidasi warga dilakukan melalui berbagai pertemuan yang melibatkan aktivis Lakpesdam NU, warga, kepala desa, tokoh agama dan anggota DPRD Kabupaten Cilacap. Pertemuan dilaksanakan di berbagai tempat; kantor Lakpesdam NU Cilacap, rumah warga maupun kantor kepala desa. Konsolidasi warga juga dilakukan melalui pendekatan lain seperti kunjungan langsung kepada tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat yang diharapkan akan mendukung advokasi ini. Para aktivis Lakpesdam NU Cilacap mengunjungi rumah-rumah mereka untuk membicarakan kasus Simpemdes dan rencana advokasinya.
Kalangan jurnalis lokal dari media massa, koran ataupun radio, juga digandeng untuk ikut menyuarakan persoalan ini di medianya masingmasing. Atau setidaknya mereka diharap mampu memahami apa yang menjadi pandangan dan aspirasi warga dalam kasus ini. Dengan demikian para jurnalis akan lebih selektif dalam memunculkan informasi dan berita, utamanya yang merugikan kepentingan warga. Kerjasama dengan media ini terbukti sangat efektif dalam membantu dalam penyebaran informasi dan pembentukan opini publik. Kajian dan Analisis Kasus
Untuk memberi dasar dan menguatkan advokasi, Lakpesdam NU Cilacap melakukan kajian dan analisis kasus Simpemdes. Kajian dilakukan bersama-sama dengan anggota Komite Anggaran Kabupaten Cilacap (KAKC). KAKC sendiri merupakan wadah yang dibentuk Lakpesdam NU Cilacap bersama warga yang fokus pada advokasi anggaran daerah. Anggotanya terdiri dari individu dengan berbagai macam latar belakang agama maupun profesi.
130 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Penolakan atas Program Simpemdes di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
Kajian ini juga dilakukan dengan mengundang orang-orang yang mengerti lebih banyak persoalan ini. Misalnya beberapa kepala desa juga sempat diundang hadir dalam kajian. Beberapa aspek dari persoalan Simpemdes menjadi topik kajian; sisi prosedur penetapan program, dari urgensinya bagi warga, maupun dari segi penggunaan anggaran serta implikasinya terhadap warga.
Sebagai program yang dilaksanakan di desa serta menggunakan dana desa, program Simpemdes ini dianggap tidak taat prosedur dan bersifat topdown. Semestinya program-program yang menggunakan anggaran milik desa direncanakan dan ditetapkan dalam Musrenbang desa. Musrenbang desa adalah forum resmi untuk yang diselenggarakan pemerintah desa setiap tahun. Ini adalah forum yang menetapkan rencana pembangunan desa dan anggarannya selama satu tahun. Selain dihadiri kepala desa, perangkat desa dan tokoh masyarakat, forum ini juga secara partisipatif melibatkan warga desa.
Kajian juga menyimpulkan bahwa program Simpemdes direncanakan secara ceroboh dan tidak menjadi prioritas bagi Kabupaten Cilacap. Faktanya, banyak desa di Kabupaten Cilacap yang belum mendapat aliran listrik, perangkat desa yang belum pernah menyentuh komputer, apalagi terhubung dengan internet. Temuan-temuan itu membuat warga marah, karena usulan mereka yang telah dibahas dan ditetapkan sebagai keputusan dalam sebuah forum resmi, tidak dihargai oleh para pejabat. Warga juga kemudian menjadi pesimis dan menilai forum Musrenbang yang diharapkan menjadi saluran langsung aspirasi warga ke dalam proses-proses pengambilan kebijakan kehilangan kekuatannya. Warga dihadapkan pada ketidakpastian kebijakan, meskipun telah menjadi keputusan.
Dari hasil kajian juga ditemukan adanya indikasi mark up. Harga seperangkat komputer yang direncanakan dalam program Simpemdes berkisar antara Rp 25 juta hingga Rp 30 juta. Bandingkan dengan harga
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 131
Ketika Rakyat bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran
yang dianggarkan sebesar Rp 48 juta. Di samping itu, ada tanda-tanda penyimpangan berupa pembagian imbalan (fee) sebesar Rp 2 juta untuk para kepala desa agar mereka mendukung program ini. Dalam pelaksanaan program ini juga terjadi tekanan dari camat-camat sebagai koordinator pengadaan kepada kepala desa. Informasi, kajian, dan analisis ini semua semakin menguatkan dorongan kepada warga untuk bergerak melakukan advokasi.
Bahtsul Masail Bahtsul masail adalah suatu forum para ulama untuk membahas, mendiskusikan serta menguraikan-menyelesaikan suatu persoalan. Forum ini juga biasanya menetapkan status hukum dalam perspektif agama Islam. Di Indonesia, forum bahtsul masail menjadi kegiatan rutin serta mekanisme standar pengambilan keputusan hukum Islam (fiqh) di lingkungan organisasi NU. Lakpesdam NU Cilacap bersama dengan pengurus organisasi NU Cilacap menginisiasi penyelenggaraan bahtsul masail dalam menyikapi persoalan Simpemdes. Pada satu sisi, forum ini dimaksudkan untuk melihat persoalan Simpemdes ini dari perspektif lain, yakni pandangan hukum agama, dari segi keadilan bagi kelompok marginal. Terutama adalah karena adanya indikasi penggunaan dana ADD untuk pembelanjaan di luar yang direncanakan. Dan pada sisi yang lain, menggalang dukungan dari para ulama terhadap langkah advokasi yang sedang dilakukan.
Meskipun keputusannya tidak mengikat, forum bahtsul masail berhasil merumuskan pandangan para ulama Cilacap terhadap kasus Simpemdes. Forum menilai penggunaan dana dana ADD untuk keperluan lain, termasuk pengadaan perangkat komputer Simpemdes tanpa persetujuan warga sebagai pihak yang berhak menerima, berimplikasi pada penggunaan hak orang lain secara tidak benar (zalim). Setelah keputusan forum bahtsul masail itu disebarluaskan melalui forumforum pengajian, penolakan terhadap Simpemdes berkembang makin
132 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Penolakan atas Program Simpemdes di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
luas. Para ulama juga turut mendorong para kepala desa untuk menolak pelaksanaan Simpemdes. Hubungan dengan pembuat kebijakan
Berhubungan langsung dengan pembuat kebijakan menjadi salah satu bagian terpenting dalam advokasi Simpemdes. Hubungan semacam itu sudah terjadi sejak awal ketika Lakpesdam NU Cilacap meminta Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Cilacap memberikan klarifikasi mengenai Program Simpemdes. Hubungan dengan pembuat kebijakan juga dilakukan Lakpesdam NU Cilacap melalui forum diskusi dengan Komisi A DPRD Kabupaten Cilacap maupun Sekretariat Daerah Kabupaten Cilacap.
Metodologi ini tidak selalu memberikan hasil sesuai harapan. Dari diskusi dengan Kepala Bagian Pemerintahan maupun Sekretariat Daerah Kabupaten Cilacap, misalnya, tidak didapat penjelasan versi pemerintah yang rinci dan kuat mengenai Program Simpemdes dan penetapan wilayah program itu. Pimpinan DPRD Kabupaten Cilacap juga tidak menunjukkan sikap mereka secara jelas terhadap masalah Simpemdes. Namun, hasil positif didapat dari hubungan dengan Komisi A DPRD Kabupaten Cilacap yang mendukung posisi Lakpesdam terhadap program yang mereka anggap belum cukup relevan pada saat itu. Dukungan dan opini publik
Dukungan dari kalangan yang lebih luas sangat diperlukan dalam menguatkan kerja-kerja advokasi. Untuk kasus Simpemdes, dukungan publik digalang melalui penyebaran informasi. Perkembangan kasus, hasil kajian dan sikap Lakpesdam NU Cilacap serta warga dipublikasikan secara luas melalui berbagai media. Secara aktif Lakpesdam NU Cilacap juga mengeluarkan edaran pers merespons perkembangan kasus sekaligus untuk memastikan kasus ini tetap hadir di ruang perhatian dan ingatan publik.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 133
Ketika Rakyat bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran
Penyebaran informasi juga dilakukan melalui media elektronik dalam acara unjuk wicara radio. Penyebaran informasi melalui media radio cukup mendapat tanggapan warga dan menjangkau publik pendengar lebih luas, namun tidak dapat sering dilakukan karena memakan biaya lebih besar. Media lain yang juga dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi dalam kasus Simpemdes adalah forum-forum pertemuan warga. Baik yang diselenggarakan oleh Forum Warga Lakpesdam maupun oleh kelompok warga lain. Bahkan ketika para ulama mulai terlibat dalam isu ini, mereka juga menyampaikan informasi seputar Simpemdes dalam forum-forum pengajian agama yang biasa dilaksanakan.
Ada juga media online yang dimanfaatkan, namun karena tingkat penggunanya tidak terlalu tinggi di Kabupaten Cilacap, media ini tidak cukup efektif, apalagi dalam kalangan warga miskin ataupun petani. Selain itu, pemasangan spanduk untuk menyatakan sikap juga beberapa kali dilakukan oleh Lakpesdam NU Cilacap. Semuanya dilakukan untuk menyebarkan informasi dan menggalang dukungan publik dalam advokasi Simpemdes.
CAPAIAN Advokasi tidak selalu memberikan hasil sesuai harapan. Advokasi kasus Simpemdes ini, misalnya, dapat disebut gagal mencapai target karena program yang direncanakan secara buruk itu tetap berjalan. Berbagai langkah sudah ditempuh, tetapi pemerintah bergeming dan tetap melaksanakan program Simpemdes. Seluruh desa tidak mampu menghindar dari paksaan untuk mengalokasikan dana ADD sebesar Rp 48 juta untuk pengadaan komputer. Pemerintah Kabupaten Cilacap memotong langsung alokasi itu dari dana yang akan ditransfer ke rekening masing-masing desa. Sekalipun ADD yang dicairkan ke desa-desa rata-
134 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Penolakan atas Program Simpemdes di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
rata hanya sekitar Rp 52 juta rupiah, setiap kepala desa harus melaporkan penerimaan dana sebesar Rp 100 juta.
Dari pengelola proyek, masing-masing kepala desa menerima imbalan sebesar Rp 2 juta. Belakangan mereka mengembalikan imbalan itu setelah terungkap tanda-tanda penyimpangan dalam proyek. Penyelidikan oleh
polisi akhirnya berhasil mengungkap penyimpangan ini, yang membawa Sekretaris Daerah Kabupaten Cilacap ke penjara. Saat tulisan ini disusun, Kepala Bagian Pemerintahan Kabuaten Cilacap telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Ujung kasus Simpemdes ini memang tidak menggembirakan, apalagi kemudian proyek ini hanya menghasilkan seperangkat komputer, printer, dan perangkat lunak berisi template data yang tidak dapat dioperasikan karena jaringan online internetnya tidak ada. Namun ada beberapa capaian yang perlu dicatat. Yang bisa dianggap sebagai capaian dari advokasi ini, meskipun bukan sebagai target utama, adalah menguatnya konsolidasi warga, khususnya dalam memanfaatkan ruang-ruang partispasi yang tersedia. Pada tahun 2009, kasus Simpemdes menjadi contoh kasus dan dasar argumentasi warga dalam memastikan ditaatinya prosedur perencanaan dan dihormatinya keputusan-keputusan warga dalam Musrenbang.
Kasus ini juga membuat warga menuntut penguatan posisi tawar kepala desa untuk menjadikan desa lebih otonom dan tidak mudah diintervensi oleh Pemerintah Kabupaten. Dari segi anggaran, setelah kasus itu terjadi dan masyarakat banyak menuntut anggaran yang lebih besar untuk desa, dana ADD pada tahun 2009 naik menjadi rata-rata Rp 150 juta tiap desa. Dari sudut kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap proses perencanaan pembangunan serta kebijakan anggaran, advokasi ini memberikan dampak yang cukup besar dalam meningkatkan keterlibatan
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 135
Ketika Rakyat bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran
warga. Setidaknya warga yang aktif terlibat dalam pertemuan-pertemuan konsolidasi Lakpesdam NU Cilacap menjadi faham mengenai kebijakan penganggaran, bahkan sebagian dari mereka mampu membuat analisis anggaran.
TANTANGAN Mengacu pada kasus Simpemdes, tantangan yang dihadapi dalam advokasi kebijakan dan penganggaran ada di dua ranah, internal (tim advokasi dan warga) serta eksternal (pembuat kebijakan).
Tantangan internal yang terbesar adalah mengonsolidasikan tim kerja advokasi, yang terdiri dari para aktivis dan warga desa. Masalahnya, pembatalan yang diupayakan dalam advokasi program Simpemdes tidak menjanjikan manfaat langsung yang terlihat nyata dalam waktu segera. Seperti halnya advokasi anggaran pada umumnya, advokasi Simpemdes tidak pernah semudah advokasi kasus penggusuran atau korban banjir. Advokasi Simpemdes lebih mudah dilihat sebagai masalah kepemerintahan desa yang ada di luar perhatian warga, sehingga tidak cukup kuat sebagai pemicu keterlibatan warga.
Tantangan dan kendala internal lainnya ada pada kapasitas advokasi; merumuskan persoalan, membuat perencanaan, mengambil tindakan serta mengelola komunikasi dengan berbagai pihak. Meskipun kemampuankemampuan itu dapat berkembang sambil berjalan (learning by doing), besarnya energi yang diperlukan dan rentang waktu yang panjang dalam advokasi dan dinamika keseharian warga kerap mengganggu proses pembelajaran itu. Di sisi lain, tantangan advokasi Simpemdes menyangkut perilaku pemerintah dalam merespon aspirasi masyarakat. Dalam kasus ini, ada sikap yang berbeda-beda dari elit pemerintahan. Jajaran eksekutif, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan program Simpemdes, agak
136 | Di Mana Uang Kami?
Pengalaman Penolakan atas Program Simpemdes di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
sulit menerima pandangan bahwa program itu tidak perlu dilaksanakan, apalagi dengan cara yang dipaksakan. Pada umumnya, kepala desa-kepala desa tidak memiliki keberanian untuk menolak program ini. Di jajaran legislatif, Pimpinan DPRD dengan anggota DPRD berbeda sikap. Tanpa dukungan Pimpinan DPRD, Komisi A DPRD Kabupaten Cilacap yang
menolak program ini tidak mampu membatalkan program Simpemdes. Pemerintah Kabupaten Cilacap tetap melaksanakan program itu.
PELAJARAN Advokasi Simpemdes menujukkan bahwa perubahan tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Meskipun rezim yang berkuasa sudah berganti, perilaku penguasa tak jauh beranjak dari jaman sebelumnya. Program Simpemdes mencerminkan betapa aturan dan mekanisme perencanaan yang telah ditetapkan dapat diacak-acak oleh pejabat pemerintahan. Partisipasi masyarakat yang dijamin dalam undang-undang pun tidak serta merta menjadi perkara yang mudah dilaksanakan di lapangan. Ada jarak yang nyata antara aturan dan praktik pelaksanaannya. Aturan-aturan dalam berbagai dokumen hanya memiliki dampak jika para pelaksananya memiliki kemauan politik untuk menjalankannya dan mengemban amanah sebagai penguasa. Sebab senyatanya, relasi antara pemerintah dengan warga adalah tari-menarik kekuatan kepentingan satu sama lain. Dengan pemahaman tersebut, advokasi sesungguhnya juga bukan sematamata jalan untuk menyelesaikan satu atau dua kasus saja, melainkan untuk mengubah posisi tawar masyarakat warga di hadapan pemerintah. Advokasi yang berhasil akan membawa relasi antara pemerintah dan warga negara yang yang seimbang. Dalam kondisi ini, keputusankeputusan publik yang keluar dari pemerintah merupakan cermin dari kepentingan warganya.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 137
Tiada Maknanya Partisipasi Tanpa Alokasi Musrenbang Perempuan, Bukan Partisipasi Tanpa Alokasi oleh: Wasingatu Zakiyah dan Yemmestri Enita
RINGKASAN Perempuan Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul berhasil mendorong peningkatan alokasi anggaran daerah untuk melayani kepentingan perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia (lansia). Capaian itu tidak lepas keberhasilan mereka sebelumnya dalam membuka ruang partisipasi bagi perempuan dalam forum-forum perencanaan pembangunan di tingkat desa. IDEA yang bekerja bersama kelompok itu sejak 2007 menggunakan strategi penyadaran mengenai hak-hak warga negara yang juga pembayar pajak. Strategi itu berhasil menumbuhkan sikap kritis kelompok perempuan yang secara tegas menuntut hak mereka atas dana publik untuk melayani kepentingan perempuan. Namun, keberhasilan itu belum terjamin keberlanjutannya karena pelibatan perempuan dalam forum perencanaan di tingkat desa belum terlembaga.
Tiada Maknanya Partisipasi Tanpa Alokasi
Musrenbang perempuan adalah salah satu cara pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan. Forum ini diikuti oleh antara lain kelompok-kelompok perempuan petani, pengusaha kecil, dan kader Posyandu.
PROFIL LEMBAGA Perkumpulan IDEA adalah organisasi yang bekerja dalam advokasi hak-hak ekonomi sosial budaya (Ekosob) melalui upaya mendorong melek anggaran (budget literacy) di kalangan warga terutama kelompok perempuan dan marjinal. Berdiri sebagai yayasan pada tahun 1999, badan hukum IDEA berubah menjadi perkumpulan pada akhir 2003.
IDEA bekerja untuk mewujudkan kedaulatan rakyat di ranah publik yang ditandai oleh pemenuhan hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak Ekosob. Untuk itu, IDEA mendorong proses-proses politik yang demokratis untuk pemenuhan hak-hak ekosob melalui perubahan kebijakan, penguatan organisasi masyarakat dan peningkatan kesadaran public.
Dalam bekerja, IDEA memilih sejumlah haluan strategi yang mencakup (1) Mendorong kelompok marjinal dan minoritas untuk berpartisipasi aktif dalam perencanaan, penganggaran, dan pengawasan pembangunan (audit sosial); (2) Reformasi anggaran pemerintah untuk pemenuhan hak Ekosob menuju ke arah pelayanan publik yang lebih baik; (3) Pengarusutamaan pengurangan risiko dan mitigasi bencana dalam perencanaan dan penganggaran, dan; (4) Pengembangan IDEA sebagai pusat informasi dan data anggaran daerah.
Forum Komunikasi Kader Posyandu (FKKP) Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berdiri 5 Juli 2007. FKKP terdiri dari kader Posyandu 8 (delapan) dusun se-Desa Wonolelo. Tujuan FKKP adalah (1) menjadi jejaring komunikasi untuk mengatasi masalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi
140 | Di Mana Uang Kami?
Musrenbang Perempuan, Bukan Partisipasi Tanpa Alokasi
masyarakat, (2) meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan kader Posyandu, (3) mempengaruhi kebijakan publik terutama anggaran daerah sehingga berpihak kepada pemenuhan hak kelompok perempuan, anak, dan lansia.
ANALISIS SITUASI Partisipasi perempuan dalam Musrenbang; jauh panggang dari api. Perencanaan partisipatif yang terwadahi dalam Musrenbang sejak tahun 1999 tidak pernah menghitung perempuan dan kelompok marjinal lain. Bahkan setelah 10 tahun lebih praktik ini dilakukan di seluruh desa di Indonesia, tidak ada perbaikan yang berarti untuk mendorong kelompok perempuan terlibat aktif di dalamnya. Tahun 2007 muncul program baru dalam penanggulangan kemiskinan yang mendorong adanya keterwakilan perempuan 50% dalam perencanaan untuk penanggulangan kemiskinan yang dilakukan di desa. Model ini menjadi salah satu inspirasi adanya Musrenbang perempuan.
Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri No. 1181/M. PPN/02/2006.050/244/SJ tentang petunjuk teknis pelaksanaan Musrenbang menegaskan bahwa kelompok perempuan ada dalam komposisi partisipan Musrenbang bersama komponen masyarakat lain. Posisi kelompok perempuan dalam Peraturan Menteri itu setara dengan Ketua RT/RW, kepala dusun, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), ketua adat, kelompok pemuda, organisasi masyarakat, pengusaha, kelompok tani/nelayan, komite sekolah dan lain-lain. Selain itu perwakilan perempuan juga disebutkan secara jelas agar terlibat sebagai delegasi/ perwakilan yang dikirim ke forum musyawarah di tingkat yang lebih tinggi. Sayangnya, meskipun petunjuk teknisnya sudah jelas, praktik Musrenbang jauh dari ideal. Pemerintah Daerah tidak terlihat bersunggung-sungguh membuka ruang partisipasi perempuan.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 141
Tiada Maknanya Partisipasi Tanpa Alokasi
Di Kabupaten Bantul maupun kabupaten lain di Indonesia, Musrenbang menjadi ajang pesta demokrasi lokal. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, Musrenbang menjadi wadah yang diharapkan dapat menyalurkan aspirasi dan persoalan yang selama ini dekat dengan warga. Proses ini kalah oleh proses teknokratis dan birokratis, namun keberadaannya menjadi ajang apresiasi warga untuk mengartikulasikan kebutuhannya.
Kondisi ini tidak menyurutkan langkah FKKP sebagai kelompok perempuan di Desa Wonolelo, di Kabupaten Bantul untuk meningkatkan akses, partisipasi, kontrol serta kemanfaatan yang diperoleh perempuan dalam Musrenbang. FKKP dan beberapa kelompok perempuan di Bantul sadar bahwa proses perencanaan mulai dari desa sampai kabupaten didominasi oleh laki-laki. Pada tahun 2007, Musrenbang Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul hanya dihadiri 4 (empat) orang perempuan di antara 50 (lima puluh) partisipan yang hadir. Di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul hadir 3 (tiga) orang perempaun di antara 35 (tiga puluh lima) partisipan yang hadir. Desa yang lain tidak jauh berbeda dari fakta itu.
Minimnya partisipasi perempuan dalam Musrenbang antara lain karena pertemuan yang biasanya dilakukan malam hari. Menurut anggota FKKP, malam hari adalah waktu yang tabu bagi perempuan untuk keluar rumah. Dengan tabu semacam itu, niscaya Musrenbang memang menjadi forum kaum laki-laki. Namun, masih ada penyebab lain berupa hambatan psikologis pada perempuan untuk berbicara bebas dalam forum lakilaki. Penyebab lainnya lagi adalah adanya gambaran yang minim tentang pemenuhan hak perempuan menjadikan kebutuhan perempuan tidak banyak dibahas dalam forum itu. Akibatnya kebutuhan atau hak-hak perempuan tidak banyak dibahas dalam Musrenbang. Apabila dibuat prioritas maka selalu saja usulan pembangunan infrastruktur fisik yang berada pada urutan tertinggi. Hal ini berdampak pada program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten di desa. Atas dasar menampung usulan warga maka prioritas kebutuhan infrastruktur fisik tak bisa dielakkan.
142 | Di Mana Uang Kami?
Musrenbang Perempuan, Bukan Partisipasi Tanpa Alokasi
METODOLOGI Mendorong perempuan untuk melek anggaran tidak semudah mendorong kelompok laki-laki untuk tujuan yang sama. Banyaknya perempuan yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar bahkan buta huruf menyebabkan pemahaman atas bacaan terbatas. Kondisi ini diperparah oleh minimnya informasi dan ruang publik perempuan atas kondisi sosial, ekonomi, dan politik pemerintahan.
Pendidikan anggaran. Melalui diskusi, pelatihan, dan pengorganisasian FKKP, upaya IDEA untuk membangun kesadaran perempuan dilakukan. Dimulai dengan memetakan masalah praktis dan strategis perempuan, mengenal aktor yang terlibat dalam upaya penyelesaian masalah, mengidentifikasi pajak dan pungutan yang dibayarkan warga dan perempuan kepada negara, membaca APBD (pendapatan dan belanja), serta membangun argumentasi warga miskin dan minoritas
Jaringan dan aliansi. Membangun jejaring dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan juga dilakukan sebagai strategi menyuarakan permasalahan yang dihadapi perempuan dan kelompok rentan kepada publik. Alhasil, persoalan tersebut menjadi pembahasan dalam proses perencanaan di setiap desa. Selain itu, membangun aliansi strategis tingkat kecamatan, kabupaten serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi satu target untuk menjadikan permasalahn perempuan mendapat prioritas untuk diselesaikan.
Pengorganisasian. Untuk meningkatkan dinamika dalam kelompok mitra, IDEA mendorong mereka merevitalisasi pertemuan rutin dan menetapkan capaian tiap tahun dengan berbagai kegiatan yang terencana. Setiap pertemuan membahas permasalahan yang sudah dipetakan oleh kelompok dan cara menyelesaikan permasalahan itu. Dialog dengan pengambil kebijakan (misal dinas pendidikan dan dinas kesehatan) juga dilakukan sebagai upaya penyelesaian masalah kelompok.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 143
Tiada Maknanya Partisipasi Tanpa Alokasi
Secara lebih rinci, berikut langkah-langkah pengorganisasian komunitas perempuan untuk menjadikan kelompok ini melek anggaran dan bisa terlibat dalam perencanan pembangunan serta mengetahui esensi perencanaan daerah: Bagan 10.1. Langkah pengorganisasian komunitas perempuan
Sumber: Dimodifikasi dari Laporan Tahunan IDEA 2004-2007
144 | Di Mana Uang Kami?
Musrenbang Perempuan, Bukan Partisipasi Tanpa Alokasi
Musrenbang Perempuan. Strategi ini dimulai ketika FKKP Wonolelo mengundang seluruh komponen kelompok perempuan se-Kecamatan Pleret. Kelompok yang diundang mencakup kelompok Posyandu, perempuan usaha kecil-pedagang rongsokan, penjahit, PKK, kelompok tani perempuan, ormas Perempuan Bangun Pleret, dan LSM yang bekerja di Kecamatan Pleret. Undangan juga diberikan kepada aparat Kecamatan Pleret dan Pemerintah Kabupaten Bantul serta KPP Provinsi DIY.
Pada forum itu, Pemerintah Provinsi DIY dan Kabupaten Bantul memaparkan kebijakan pembangunan bukan hanya menyangkut permasalahan perempuan tetapi masalah pembangunan pada umumnya untuk melihat gambaran perencanaan teknokratik. Setelah seluruh perwakilan kelompok perempuan memaparkan peta masalah desa masing-masing, forum kemudian mendiskusikan prioritas-prioritasnya berdasar peta itu. Setelah susunan prioritas dalam perencanaan itu diselesaikan, forum memilih delegasi untuk mengikutiMusrenbang Kabupaten.
Kanalisasi hasil Musrenbang perempuan kecamatan. Satu pertanyaan yang menjadi pembicaraan mengenai Musrenbang Perempuan adalah, �Ke mana saluran hasil-hasil Musrenbang?� Apakah hasil Musrenbang dibiarkan begitu saja tanpa alokasi ataukah disalurkan ke Musrenbang yang reguler dilakukan? Kanalisasi menjadi satu bagian penting untuk memberikan jalan akomodasi bagi hasil Musrenbang Perempuan. Upaya untuk menggolkan usulan-usulan dalam Musrenbang Perempuan untuk menjadi pembahasan dalam Musrenbang Kabupaten perlu dipastikan. Memadukan hasil Musrenbang Perempuan dengan hasil Musrenbang Kecamatan, dan menyebarkan hasil ke Forum SKPD adalah strategi yang dilakukan.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 145
Tiada Maknanya Partisipasi Tanpa Alokasi
Bagan 10.2. Kanalisasi hasil Musrenbang Perempuan ke Musrenbang Kabupaten
CAPAIAN Akses perempuan dalam Musrenbang Desa meningkat karena waktu pelaksanaannya digeser dari malam hari menjadi siang hari. Siang hari dianggap waktu yang ramah terhadap perempuan.
Partisipasi perempuan dalam Musrenbang Desa dan Kecamatan meningkat drastis. Semua komponen perempuan di kecamatan terlibat dalam proses. Musrenbang Kecamatan Pleret Tahun 2008 bahkan mencatat sebanyak 50% partisipan adalah perempuan. Kontrol perempuan dalam Musrenbang kabupaten meningkat dalam rangka mengawal usulan kecamatan.
Manfaat yang didapat oleh pemangku hak meningkat karena dari seluruh 23 usulan yang ada hanya 1 usulan yang tidak masuk dalam implementasi kegiatan tahun 2008. Penerima manfaat tidak hanya kelompok perempuan pengusul tetapi juga kelompok lain yaitu anak-anak, dan warga desa/ kecamatan terutama warga miskin. Hal ini nampak misal dengan adanya alokasi pembangunan MCK untuk warga miskin. FKKP berhasil mendorong Anggaran Daerah Kabupaten Bantul untuk lebih berpihak kepada kelompok miskin dan perempuan. Salah satunya
146 | Di Mana Uang Kami?
Musrenbang Perempuan, Bukan Partisipasi Tanpa Alokasi
adalah upaya mendorong anggaran untuk kesehatan lingkungan (water sanitation) untuk 80 KK di Desa Wonolelo. Hasil lain, kenaikan dana operasional Posyandu. Sebelumnya dana Posyandu hanya untuk balita. Dalam Musrenbang 2008 diusulkan dana Posyandu untuk lansia sehingga di tahun 2009 Posyandu lansia sudah mendapat alokasi anggaran dari APBD Kabupaten Bantul. Pasca Musrenbang Perempuan yang dilaksanakan di Desa Wonolelo tahun 2008, alokasi anggaran untuk Posyandu berubah drastis. Tabel 10.1. Perubahan alokasi APBD Kabupaten Bantul terkait usulan melalui Musrenbang Perempuan Sebelum 2008
• Posyandu Balita Rp 600.000,00 • Posyandu lansia: • Alokasi Dana Desa untuk Posyandu dan kader: Rp 600.000,00
Setelah 2008
• Posyandu Balita Rp 2.400.000,00 • Posyandu lansia: Rp 600.000,00 • Alokasi Dana Desa untuk Posyandu dan kader: Rp 1.200.000,00
TANTANGAN Banyaknya perempuan miskin desa yang buta huruf, membutuhkan metode khusus untuk memberikan pemahaman hakikat dan nalar
anggaran publik kepada perempuan. Karena produk APBD berupa dokumen tertulis maka membaca dan menganalisis dokumen bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, membantu membaca APBD dalam bentuk gambar yang mudah dipahami menjadi salah satu metode untuk menjadikan kelompok perempuan mampu membaca anggaran publik.
Di awal mula gagasan Musrenbang perempuan muncul, terjadi resistensi dari pihak aparat kecamatan. Aparat merasa sudah maksimal melakukan Musrenbang tetapi menurut kelompok perempuan, Musrenbang yang dilakukan belum maksimal. Surat Edaran Bersama tentang Musrenbang sudah memandatkan pelibatan perempuan dan pemastian perempuan
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 147
Tiada Maknanya Partisipasi Tanpa Alokasi
menjadi delegasi dalam Musrenbang di tingkat yang lebih tinggi. Namun dalam implementasi di lapangan nampaknya mandate ini sulit dilaksanakan. Ketiadaan partisipasi perempuan diperparah oleh ketidakmampuan fasilitator Musrenbang untuk menggali permasalahan pemenuhan hak
perempuan. Metode ceramah dan bebas berpendapat menjadikan gagasan serta permasalahan perempuan tidak menjadi usulan yang harus dikawal pada Musrenbang tahap berikutnya. Sampai saat ini keberadaan Musrenbang Perempuan belum ditempatkan dalam regulasi yang memadai. Akibatnya keberlangsungan proses ini belum bisa dijamin. Meski kuota perempuan sebagai pengambil kebijakan baik di DPR maupun di Pemerintahan memadai, hal itu tidak menjamin kebutuhan perempuan terutama perempuan miskin di desa terfasilitasi. Kebijakan anggaran untuk kelompok perempuan seringkali luput meski pengambil kebijakan adalah perempuan. Oleh karenna itu memberikan kesadaran perempuan pengambil kebijakan perlu dilakukan untuk mengawal kebijakan anggaran yang lebih berpihak pada perempuan.
PELAJARAN •
•
Perempuan yang lebih banyak terkungkung dalam urusan domestik perlu terus-menerus diajak diskusi terkait dengan urusan publik dan urusan strategis sehingga gagasan Musrenbang Perempuan mendapat sambutan yang memadai dari perempuan. Regulasi akan menjamin keberlanjutan suatu gagasan. Tanpa adanya regulasi maka gagasan yang ada hanya akan menjadi kegiatan/aktivisme. Musrenbang perempuan di Kabupaten Bantul belum memiliki payung regulasi yang memastikan bahwa setiap tahun agenda ini dilakukan oleh pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten.
148 | Di Mana Uang Kami?
Musrenbang Perempuan, Bukan Partisipasi Tanpa Alokasi
•
•
Gagasan Musrenbang Perempuan mudah direplikasi di wilayah lain dengan menghitung kekuatan kelompok perempuan basis. Kelompok perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan masyarakat adat, kelompok perempuan usaha kecil, dan kelompok perempuan lainnya perlu ditingkatkan kapasitasnya sehingga mengetahui esensi Musrenbang yang sebenarnya. Hasil Musrenbang Perempuan perlu dikawal oleh perempuan itu sendiri untuk memastikan seluruh usulannya masuk dan menjadi program yang dilaksankan oleh pemerintah pada tahun berikutnya.
Advokasi Anggaran di Indonesia
| 149
Para Penulis Ari Nurman Lahir di Kota Bandung pada 23 Januari 1978. Saat ini ia aktif di Perkumpulan Inisiatif. Ia menyelesaikan pendidikan master di Technische Universiteit Delft (2004). Menekuni isu kebijakan publik, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan, Ari memperoleh gelar diploma di Institute of Social Studies (ISS) Den Haag dengan penelitian ‘Universalising SocioEconomic Security for the Poor’ (2007). Buku dan publikasinya tentang jaminan kesehatan telah diterbitkan oleh Inisiatif (2008) dan Jurnal Akatiga (2009). Selain itu, Manual Advokasi Masyarakat Sipil Dalam Siklus Anggaran Daerah diterbitkan oleh NDI dan FPPM (2008). Korespondensi dengan Ari bisa dilakukan melalui arinurman@gmail.com
Asiswanto Darsono
Lahir di Pamekasan, 19 Desember 1980 dan menyelesaikan studi di Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Malang. Sempat mengikuti kursus singkat di Maastricht Graduate School of Governance University of Maastricht, the Netherlands. Saat ini Asis aktif sebagai Koordinator Advokasi Kebijakan Daerah di PATTIRO Malang. Korespondensi lebih lanjut dengan Asis bisa dilakukan lewat alamat cong_asis@yahoo.co.id.
150 | Di Mana Uang Kami?
Para Penulis Delima Silalahi Lahir di Taut, 12 Juli 1976, Delima menggeluti isu kebijakan pembangunan dan hak asasi manusia -- secara khusus hak-hak petani. Sejak tahun 2000 ia bergabung dengan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Sebagian kontestasi gagasannya dituangkan dalam beberapa artikel di Sinar Harapan dan Suara Pembaruan. Anda bisa berbagi gagasan dengan Delima melalui dyan_eunique@yahoo.com.
Fahriza.
Lahir di Riau, 10 April 1980. Lulusan Master Sosiologi Universitas Gadjah Mada ini sejak tahun 2007 menjadi Koordinator FITRA Riau. Saat ini juga menjadi Badan Pengarah Koalisi Publish What You Pay Indonesia dan JIKALAHARI (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau). Komunikasi lebih lanjut dengan Fahriza bisa dilakukan melalui fahrizariza63@yahoo.com.
Fitria Muslih
Lahir di Tangerang, 5 Mei. Sejak tahun 2002 bergabung dengan PATTIRO dan tertarik menggeluti isu anggaran responsif gender. Jejak Warga Memperjuangkan Komitmen Negara atas Anggaran Publik, Panduan Menyusun Program Responsif Gender, dan Membedah Ketimpangan Anggaran adalah publikasinya yang pernah diterbitkan oleh PATTIRO. Komunikasi bisa dilakukan melalui fitria.pattiro@gmail.com.
Advokasi Anggran di Indonesia
| 151
Para Penulis
Mimin Rukmini Lahir di Tasikmalaya, 16 Mei 1971. Sejak tahun 2005 bergabung di PATTIRO setelah sebelumnya aktif di PIRAC (2003) dan majalah UMMAT
(1997 – 1999). Aktif menggeluti isu hak atas kesehatan, anggaran responsif gender, dan layanan publik. Publikasi yang turut ditulis dan disuntingnya antara lain Modul Pelatihan Edukasi dan Adaptasi Hak Ekosob dalam Kebijakan Daerah (sebagai penulis), Laporan Hasil Penelitian: Aliran dan Perhitungan DBH Minyak Blok Cepu, Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender (penulis dan editor), Jejak Warga Memperjuangkan Komitmen Negara atas Anggaran Publik, Modul Pelatihan Memahami Pentingnya Akuntabilitas Sekolah, Pegangan Ringkas Pemenuhan HAM Pendidikan dan Kesehatan di Daerah, Pengantar Memahami Hak Ekosob, serta Merancang Program Bantuan untuk Kaum Miskin. Kontak lebih lanjut di mrukmini05@yahoo.com.
Mohammad Syariful Wa’i
Lebih dikenal sebagai MS Wa’i. Lahir di Jepara, 30 Juni 1970, sejak tahun 2004 MS W’I bergabung di PP Lakpesdam NU setelah sebelumnya bergiat di PC LAKPESDAM NU Jepara. Tertarik pada isu demokrasi, partisipasi, dan anggaran pro-rakyat miskin. Publikasi yang pernah diterbitkan antara lain Metode Refleksi Forum Warga untuk Kelompok Marginal dan Ulama Mengadvokasi Anggaran. Lebih lanjut MS Wa’i bisa dihubungi melalui masauf@yahoo.com.
152 | Di Mana Uang Kami?
Para Penulis
Nandang Suherman Lahir di Tasikmalaya, 17 Desember 1962, Kang Nandang aktif di isu perencanaan dan penganggaran daerah sejak tahun 2001 di Forum Jatinangor. Kang Nandang juga menjadi penyiar Radio Citra Sumedang untuk acara Opini yang khusus membahas kebijakan publik tahun 20042009. Aktif di P3ML Sumedang sebagai Ketua, dan juga menjadi anggota Perkumpulan Inisiatif dan SC-FPPM. Kang Nandang dipercaya sebagai Tim Penulis Panduan Musrenbang yang diterbitkan kerjasama FPPM-The Asia Foundation-Bangda Depdagri (2008). Korespondensi dengan Kang Nandang bisa dilakukan di nsu62@yahoo.com.
Nurul Sa’adah Andriani
Lahir di Magelang, 25 November 1977, lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2000 ini sejak tahun 2006 menjadi Direktur SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak). Aktif menggeluti isu perempuan dan difabilitas. Gagasan tentang isu ini dituangkan dalam buku Menguak Tabir Kekerasan terhadap Perempuan Difabel. Kontak bisa dibangun melalui info_sapda@yahoo.com.
Saeful Muluk
Lahir di Tasikmalaya, 30 Nopember 1976 dan menggeluti isu perencanaan dan penganggaran daerah, jaminan kesehatan daerah, serta kesehatan ibu dan anak. Saiful bergabung di Perkumpulan Inisiatif sejak tahun 2005. Korespondensi bisa dilakukan di ipung0404@yahoo.com.
Advokasi Anggran di Indonesia
| 153
Para Penulis
Setyo Dwi Herwanto Lahir 27 Oktober 1975 dan saat ini menjabat sebagai Koordinator Program Ekosob PATTIRO Surakarta.
Wasingatu Zakiyah
Lahir di Blitar, 18 Februari 1976 dan bergabung di Perkumpulan IDEA sejak 2004. Sebelumnya aktif di Indonesia Corruption Watch (2000 – 2003 akhir). Lulusan Fakultas Hukum UGM yang menggeluti isu antikorupsi, gender, dan kebencanaan ini sempat menuliskan gagasannya dalam Menyingkap Tabir Mafia Peradilan dan Eksaminasi Publik (ICW). Selain itu juga Sehat tak Tergapai, Sekolah Tak Terbeli dan Meredam Risiko Bencana : Integrasi Pengurangan Risiko Bencana Dalam Perencanaan dan Penganggaran yang diterbitkan oleh Perkumpulan IDEA. Untuk diskusi lebih jauh, silakan menghubunginya di wzakiyah@gmail.com
Yemmestri Enita
Lahir di Nagari Sijunjung,Sumatera Barat, 15 Januari 1982. Semenjak kuliah di UIN Sunan Kalijaga aktif mengembangkan gerakan rakyat. Pertengahan 2007 terlibat dalam kerja-kerja pengorganisasian komunitas perempuan dan masyarakat miskin. Selama ini perempuan yang biasa dipanggil Nita ini mengembangkan gagasan terkait isu gender. Nita dapat dihubungi melalui yemmestrie@gmail.com
154 | Di Mana Uang Kami?
Para Penulis
Yuna Farhan Lahir di Jakarta, 18 Juni 1976, menyelesaikan pendidikan terakhirnya
S2 pada bidang Manajemen Pembangunan Sosial di FISIP Universitas Indonesia. Sejak tahun 2002 bergabung dengan FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), saat ini menjabat sebagai Sekjen FITRA. Yuna juga aktif sebagai SC FPPM (Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat) dan anggota Badan Pekerja Komite Anggaran Independen. Beberapa buku yang turut ditulisnya antara lain Merajut Pemilu Bersih, Modul Advokasi Anggaran Ormas Islam, Refleksi Advokasi Anggaran Ormas Islam, Politik dan Birokrasi Anggaran, Modul Pelatihan Participatory Budgeting, Penelusuran Anggaran MDGs, dan Panduan Budget Resource Centre. Selama menjabat sebagai Sekjen FITRA, Yuna menginisiasi program Local Budget Index (Sub National Transparency Index), Keterbukaan Informasi melalui advokasi anggaran, pengawasan anggaran Pemilu, budget resource centre, MDGs Budget, HIV AIDS Budget, penelusuran kebijakan anggaran Calon Presiden dan budget brief untuk penguatan Parlemen. Diskusi lebih jauh bisa dilakukan di yuna.farhan@ gmail.com.
Advokasi Anggran di Indonesia
| 155
Tahun depan Musrenbang tidak harus dilaksanakan, karena dari tahun ke tahun Musrenbang tidak menghasilkan apa-apa. Sepertinya Musrenbang dilaksanakan hanya sebatas memenuhi kewajiban saja supaya tidak mendapat sanksi.
“Ah taun hareupmah, musrenbang teh teu kudu aya, da geuning ti taun kataun euweuh hasilna ker masyarakat. Siganamah Musrenbang dilaksanakeun teh ngan saukur puraga tanpa kadenda.�
Pengalaman sebagaimana diungkap di atas inilah yang direspos dengan kerja-kerja advokasi anggaran. Sedikit dari beragam catatan proses advokasi anggaran ini dipaparkan dalam buku Di Mana Uang Kami? Advokasi Anggaran di Indonesia. Buku yang dicetak dalam dua bahasa ini diharapkan bisa memberikan gambaran catatan pelaku advokasi anggaran secara langsung. Kami berharap cerita-cerita keberhasilan, kegagalan, dan perubahan-perubahan yang ada dalam naskah ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca dalam memahami advokasi anggaran di Indonesia.