Penguatan Kapasitas Masyarakat Sipil dalam Program SPARK-Catatan Pengalaman Warga
Kata Pengantar “Singkat cerita, aku yang dulu terta h-ta h karena kehancuran rumah tanggaku di tahun 2006, menghidupi 4 anak seorang diri, di tahun 2014 aku sudah berubah menjadi perempuan yang lebih kuat, yang dak lagi cengeng menghadapi alur hidup”, tulis Surya dalam Tulisa yang berjudul “Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh”. Suryan adalah seorang Koordinator Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Kelurahan Tomang Banjir Kanal, Jakarta. Salah satu dari sebelas orang yang memberi kesaksian tentang bagaimana menghadapi himpitan dalam hidupnya dalam gerak organisasi rakyat yang iku nya sejak 8 tahun lalu. Buku ini berisi kisah-kisah yang dituturkan secara jujur oleh para penggiat dua organisasi yang anggotanya secara umum berada pada posisi marjinal dalam hubungan-hubungan social, ekonomi dan poli k. Kedua organisasi tersebut adalah Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) dan Kesatuan Nelayan Trandisional Indonesia (KNTI). Kedua organisasi ini bersama dengan Perkumpulan Inisia f dan FITRA atas dukungan dari Interna onal Budget Partnership (IBP) dua tahun terakhir ini bergerak bersama dalam upaya memperjuangkan hak-hak rakyat atas perlindungan social dari negara. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) fokus pada upaya memperjuangkan efek vitas berbagai program perlindungan social yang dijalankan pemerintah. Mereka berupaya keras untuk mamas kan bahwa program-program tersebut dikelola dengan benar dan tepat sasaran. Mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Lansia Jakarta (KLJ), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dan sebagainya. Hal ini bersumber dari berbagai pengaduan dan pengalaman mereka dalam mendampingi berbagai persoalan terkait dengan implementasi berbagai program tersebut di lapangan. Salah satu persoalan utamanya adalah dak tepatnya sasaran penerima dan berlikunya persyaratan yang harus ditempuh oleh mereka yang mes nya lebih berhak menerima. Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indoensia (KNTI) fokus pada upaya memperjuangkan kemudahan nelayan kecil untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Bagi nelayan, BBM adalah factor yang cukup vital untuk memas kan keberlangsungan mata pencaharian mereka. Seper halnya yang dihadapi oleh masyarakat yang didampingi oleh KNTI, situasi yang dihadapi nelayan pun setali ga uang: nelayan kecil pada umumnya dak mampu mengakses BBM bersubsidi. Mereka terpaksa harus membeli BBM non-subsidi sehingga beban biaya yang semakin menghimpit. Situasi tersebut sebagaimana yang dituliskan oleh Mustakim, seorang pengurus KNTI Semarang. Dalam tulisannya yang berjudul “Advokasi Pembuatan Surat Rekomendasi BBM Bersubsidi dan EPas Kecil Nelayan Tambak Lorok Semarang” dia tuturkan: “…nelayan yang untuk membei solar harus menempuh jarak puluhan kilometer dari Semarang hingg Demak. Banyak juga nelayan yang membeli solar di pengecer yang harganya mahal”.
Kata Pengantar Buku ini cukup pen ng dan menarik untuk dibaca oleh banyak kalangan. Bagi pemerintah, kesaksian-kesaksian yang orsinil seper ini menjadi bahan masukan pen ng untuk terus memperbaiki tata kelola program-program perlindungan sosial sehingga mencapai tujuan yang semes nya. Bagi kalangan pegiat sosial, akan mendapatkan nuansa lekuk liku kerja-kerja pengorganisasian yang dapat memberikan inspirasi bagi penyempurnaan strategi dan pendekatan-pendekatan yang mes dikembangkan kedepan. Dan bagi masyarakat umum, buku ini menyajikan informasi bagaimana langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk memperjuangkan hak sebagai warga negara. Terimakasih pada semua pihak yang telah menjadikan buku ini hadir dan sampai ditangan para pembaca.
Bandung, Maret 2022
Sapei Rusin Ketua Dewan Pimpinan Perkumpulan Inisia f
Daftar isi #01
Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh
#02
Penantian Panjang Tiada Akhir
#03
Advokasi Permbuatan Surat Rekomendasi BBM Bersubsidi dan Pembuatan E-Pas Kecil Nelayan Tambak Lorok Semarang
#04
Advokasi Bbm Bersubsidi
#05
Permasalahan yang Membuat Tersenyum
#06
Kerang Vs Gurita, Perang Dan Derita
#07
Ada Udang Di Balik Bbm Bersubsidi
#08
BBM Bersubsidi untuk Nelayan Nambangan-Cumpat
#09
Program BBM 150 Liter dan Kartu E-Kusuka untuk Nelayan Kecil di Jawa Tengah
#10
Mang Ajat
#11
Refleksi dari Perjalanan Singkat Pendampingan Organisasi SPRI Kota Tasikmalaya
#12
Sekilas Pengalaman Pendampingan terhadap SPRI Kabupaten Bogor dan Kota Bogor dalam Program SPARK (Audit Sosial)
#01 Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh Oleh: Suryati (koordinator Kelurahan Tomang Banjir Kanal)
Jakarta, 17 Desember 2021. Namaku Suryati, usia 54 tahun. Aku warga Tomang Banjir Kanal, ibu dari empat orang anak. Aku gagal menjaga keutuhan rumah tanggaku. Aku memilih pergi membawa anak-anakku untuk tinggal di rumah orang tuaku daripada menerima suamiku berpoligami. Bagai tersambar petir di siang hari, begitu aku mengetahui suamiku menikahi wanita lain secara siri, dan sungguh aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Aku merasa dunia tak adil terhadapku. Orang yang dulu aku percayai, berubah menjadi pengkhianat. Aku sangat terpukul oleh kejadian tersebut dan masih tidak percaya aku tertimpa masalah itu. Namun, aku menyadari hidup harus terus berjalan dan aku tidak boleh tenggelam dalam kepedihan terlalu lama karena ada empat anak yang masih membutuhkan aku. Itulah prinsipku untuk bangkit dari keterpurukan yang aku alami. Prinsip tersebutlah yang membuatku dapat melihat ke depan, bukan lagi melihat ke belakang. Dengan segenap tenaga yang aku punya, aku berusaha bangkit meski langkah ini tertatih-tatih. Beruntung, aku mempunyai keahlian membuat kue basah yang kutitipkan di warung-warung, seperti lontong, risoles, dan pastel. Aku harus terjaga dari tidurku setiap pukul satu malam agar kue-kueku bisa selesai di jam lima pagi. Alhamdulillah usaha tersebut bisa menjadi pemasukan bagiku. Melalui usaha tersebut aku bisa mandiri dan mendapatkan uang untuk kebutuhan keluargaku, meski tetap saja tidak mencukupi kebutuhan hidup kami. Aku pantang meminta pada mantan suamiku meskipun ada darah dagingnya yang membutuhkan biaya untuk sekolah. Aku memilih bekerja keras daripada harus mengemis kepada pria yang sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri. Selain membuat kue basah aku pun membuka jasa membantu warga yang ingin mengurus perlengkapan administrasi seperti membuat KK, KTP, dan BPJS. Terkadang warga yang sibuk bekerja dan tidak ada waktu untuk mengurusnya meminta aku yang membereskannya. Mereka memberiku imbalan jika semua sudah selesai, dan aku tidak
Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh
#01
pernah mematok harga untuk jasaku, aku menerima saja berapa pun pemberian mereka.
Terkadang aku menangis di tiap sujud salatku, karena memang biaya kehidupan kami berlima tidak seimbang dengan pemasukan yang aku dapat. Apalagi ketika anakanakku mendapatkan surat pemberitahuan dari sekolah agar aku melunasi tunggakan biaya sekolah mereka. Si sulung yang paling besar biaya pendidikannya, karena dia bersekolah di Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata dan sudah duduk di kelas tiga saat itu. Tetapi aku yakin aku tidak sendirian. Aku mempunyai Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sehingga aku yakin, Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar kemampuan. Pada suatu siang yang panas sangat menyengat, aku sedang di ruang tunggu Kelurahan untuk mengurus pembaharuan KK seorang warga. Di sanalah aku bertemu dengan Bu Surry, seorang pegawai Bank BRI. Kami berkenalan dan berbincangbincang cukup lama. Kemudian Bu Surry menawariku bekerja sama mencari nasabah untuk mengambil pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR). Aku sangat merespons baik tawaran itu, harapanku barangkali peluang ini dapat menambah pemasukanku yang memang sangat kurang. Esok harinya dengan muka berseri-seri aku mulai berkeliling ke warga yang mempunyai usaha. Layaknya sales profesional, aku dengan lancarnya menjelaskan secara detail tentang pinjaman KUR BRI itu. Tidak sia-sia pelatihan dadakanku bersama Bu Surry kemarin di Kelurahan, karena banyak warga yang datang ke rumahku untuk mengajukan pinjaman KUR. Alhamdulillah semua pengajuan mereka yang memenuhi persyaratan disetujui dan aku mendapatkan komisi seikhlasnya dari warga yang pengajuannya diloloskan. Seketika namaku langsung dikenal warga dan sering dicari warga untuk pengajuan pinjaman KUR BRI.
Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh
#01 Pada suatu hari, saat aku sedang berkunjung ke rumah Ibu Zubaedah warga di RW 013 Kelurahan Tomang yang ingin mengajukan pinjaman KUR BRI, dia mengenalkanku kepada temannya yang bernama Bu Rumsi. Bu Rumsi seorang aktivis warga yang berasal dari organisasi massa yang bergerak di perlindungan sosial, nama organisasinya adalah Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), yang kini berubah nama menjadi Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI). Mendengar paparan cerita kegiatannya, akhirnya aku tertarik untuk ikut bergabung di kegiatan tersebut. Singkat cerita, aku yang dulu tertatih-tatih karena kehancuran rumah tanggaku di tahun 2006, menghidupi empat anak seorang diri, di tahun 2014 aku sudah berubah menjadi perempuan yang lebih kuat, yang tidak lagi cengeng menghadapi alur hidup. Kini aku sudah bisa buka toko walaupun tidak besar, hasil dari kerja jasaku juga profesiku mencari nasabah di BRI. Sampai aku bisa menikahkan putri sulungku. Pencapaian tersebut merupakan kebanggaan tersendiri bagiku. Aku dapat bangkit secara perlahan namun pasti. Melalui perjalanan hidupku, aku mendapat pelajaran yang sangat penting, bahwa manusia jangan mudah menyerah. Tahun 2017 aku menikahkan anakku yang nomor dua. Aku masih tetap aktif dengan segala aktivitasku dan organisasi yang aku geluti. Dengan aktif di SPRI, pemahamanku semakin bertambah luas dan pergerakanku di warga pun semakin intens, karena semua saling berkaitan dari administrasi warga sampai ke program Pemda tentang kartu manfaat perlindungan sosial. Aku benar-benar bangga bisa ada di SPRI karena gerakannya begitu nyata bermanfaat bagi warga. Aku bahagia dapat memberi manfaat kepada orang lain beserta lingkungan sekitar rumahku. Terlebih saat masa pandemi di awal dua tahun kemarin, di mana semua warga terpuruk perekonomiannya, tapi aku bersama SPRI berhasil membantu warga dengan bantuan sosialnya.
Tapi perjuangan ini tidaklah mudah. Aku bersama kawan-kawan SPRI membantu warga mewujudkan kesejahteraan sosial, dengan berbagai aksi di intansi terkait demi terwujudnya kartu manfaat perlindungan sosial. Seperti pelajaran yang aku dapati melalui perjalanan hidup, memang banyak rintangan yang akan dihadapi SPRI, namun aku dan SPRI tidak akan mudah menyerah untuk memperjuangkan hal yang benar demi untuk kebaikan warga agar dapat merasakan kemerdekaan yang seutuhnya. Di SPRI aku merasa menjadi perempuan yang cerdas, karena memang banyak pelatihan yang aku dapatkan. Aku juga banyak mengenal kawan koalisi dari IBP, FITRA, INISIATIF, KNTI dan yang lainnya di mana mereka semua adalah kawan-kawan progresif yang mendukung kesejahteraan rakyat miskin. Ilmu yang aku dapatkan dari SPRI semata-mata untuk kebaikan warga. Banyak
Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh
#01
warga yang aku advokasi permasalahannya. Salah satunya bersama Ibu Fatma dari Dinas Sosial, kami berkolaborasi dalam pengajuan kursi roda untuk lansia dan penyandang cacat. Alhamdulillah agenda itu berjalan dengan lancar.
Aku pun bangga terhadap diri sendiri, karena walau hidupku sempat terpuruk, ternyata aku mampu membesarkan anak-anakku hingga mereka menjadi manusia yang mandiri. Bukan hanya keluargaku yang merasakan manfaatnya tapi juga orang lain. Itu harta yang tak ternilai, menurutku. Semoga cerita hidupku ini bisa menginspirasi perempuan-perempuan lainnya yang berstatus orang tua tunggal, dan perempun tertindas di kota maupun desa. Jangan pernah takut berjalan sendirian, jangan pernah putus asa dengan keadaan, jangan putus doa karena kita tidak sendirian. Masih ada Allah yang membuka jalan untuk kita bertahan hidup, dan jangan berhenti berbuat baik karena kita akan menemukan kawan-kawan yang baik, dan hal-hal yang baik pula. Merupakan kewajiban utama kita untuk bersolidaritas dan menolong sesama manusia demi kebaikan bersama. ***
Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh Ilustrator Ilham
#02 Penantian Panjang Tiada Akhir Oleh : Naimah
Jakarta, December 15, 2021 Bergabung di Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) membuat saya tersadar dan mengubah pola pikir saya menjadi orang yang mulai belajar melihat lingkungan terdekat. 13 Maret 2020, pada acara pelatihan Audit Sosial yang diselenggarakan SPRI bertempat di Gedung ENCOIT, Tebet, Jakarta Selatan, di situlah awal saya bergabung bersama kawan-kawan seperjuangan. Berbagai pelatihan diadakan SPRI, di antaranya pelatihan jurnalisme warga yang menghadirkan para mentor berpengalaman dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan pelatihan anggaran dasar. Pelatihan ini dilaksanakan via zoom maupun tatap muka. Untuk menindaklanjuti program pelatihan Audit Sosial, SPRI membentuk posko di tiap-tiap kampung yang beranggotakan 5 auditor kampung. Saya dan kawan-kawan mulai melakukan pendataan terkait Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Lansia Jakarta (KLJ), dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Banyak kisah dan suka duka saya lalui bersama kawan-kawan auditor SPRI Kelurahan Dukuh. Mulai dari perangkat RT dan RW yang tidak memandang saya sebagai auditor SPRI, warga yang mengeluarkan curahan isi hatinya karena tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah padahal mereka berhak mendapatkannya, sampai dengan laporan adanya oknum yang meminta uang sebesar Rp30.000,00/kepala keluarga yang diiming-imingi akan didaftarkan PKH/KLJ dan dijanjikan segera cair.
Walau terkadang semangat sering naik dan turun, langkah terkadang ingin maju dan mundur, tapi saya berusaha untuk tetap berada di dalam barisan SPRI. Rintangan dan halangan juga sering datang bukan hanya dari luar kelompok, tapi juga bisa dari dalam kelompok kami sendiri, tidak mudah memang menyatukan isi kepala yang berbeda tapi di situlah sebuah usaha, kekompakan, dan perjuangan akan terlihat dan diuji. Penantian Panjang Tiada Akhir
#02 Untuk pendataan KLJ saya bersama auditor Kelurahan Dukuh mulai mendata warga sejak 14 September 2020 sampai 20 September 2020. Sekitar 70 warga yang berhasil kami data khusus untuk pengajuan KLJ. Salah satunya, Samta (65 tahun), warga RT 006 RW 01 Kelurahan Dukuh Kramat Jati Jakarta Timur. Dia saya data untuk pengajuan KLJ. Samta tinggal bersama istri, anak perempuan yang sudah menjanda, dan dua cucu di sebuah rumah sederhana di permukiman padat di dalam gang sempit. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia berjualan minuman ringan dan gorengan dibantu istri tercintanya. Besar harapan Samta agar bisa terdaftar sebagai penerima KLJ.
"Tolong dibantu ya, Bu, supaya saya bisa dapat Kartu Lansia," ucap Samta kala saya mendata di rumahnya.
Miris melihatnya, di usia senja yang seharusnya bisa menikmati hari tua bersama keluarga dan cucu tersayang, tapi masih harus bersusah payah dan dengan tangan-tangan rentanya harus mengais rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk keperluan perutnya sekeluarga. Tapi takdir harus berkata lain, tepat tanggal 15 Januari 2021, Samta mengembuskan napas terakhir. Beliau pergi beristirahat ke pangkuan yang Maha Kuasa karena tidak mampu melawan ganasnya virus COVID-19. Sedih dan sesak dada ini saat mendengar berita duka dari keluarganya. Perjuangan kami belum usai, tapi beliau sudah tiada. Maafkan kami, Pak Samta, sampai tutup usia, Bapak belum bisa melihat dan merasakan hasil dari kerja serta perjuangan saya dan kawan-kawan SPRI. Sampai beliau meninggal, pengajuan KLJ melalui SPRI masih belum ada kejelasan dari pihak terkait. Masih ada PR saya saat ini, untuk membantu agar keluarga almarhum bisa terdaftar di DTKS, karena sampai dengan saat ini istri almarhum pun belum terdaftar di DTKS.
Penantian Panjang Tiada Akhir
#02
Kini hanya doa yang bisa saya panjatkan, semoga Bapak tenang di sisi Allah SWT. Dan semoga tidak ada lagi kata terlambat bagi pemerintah untuk memberikan bantuan sosial kepada keluarga yang berhak menerima. *** Naimah (41 tahun), Auditor SPRI Kelurahan Dukuh Kramat Jati Jakarta Timur.
Penantian Panjang Tiada Akhir Ilustrator Agnes Indah Permatasari
#03 Advokasi Permbuatan Surat Rekomendasi BBM Bersubsidi dan Pembuatan E-Pas Kecil Nelayan Tambak Lorok Semarang Oleh: Mustakim (KNTI Semarang)
Bahan bakar solar bersubsidi di Tambak Lorok tidak pernah ada. Saya sejak kecil melaut belum pernah memakai solar bersubsidi. Untung saja Tambak Lorok dekat dengan pelabuhan, jadi bisa mengandalkan solar dari “kencing” BBM kapal.
Kami tahu itu solar ilegal, tapi harus bagaimana lagi? Hanya dengan cara itu kami mendapatkan solar untuk bahan bakar melaut. Jadi kalau ada operasi dari pihak berwajib, solar makin sulit didapat karena tidak ada kapal yang “kencing”. Andai pun ada, harganya lebih mahal. Karena semakin sulit mendapatkan BBM, para nelayan mulai membicarakan bagaimana mencari jalan keluarnya. Pembicaraan bermula dari nelayan-nelayan yang berkumpul di posko KNTI menanyakan kejelasan pembuatan SPBUN untuk nelayan di Tambak Lorok. Dalam obrolan itu muncul banyak persoalan, misalnya ada nelayan yang untuk membeli solar harus menempuh jarak puluhan kilometer dari Semarang hingga Demak. Banyak juga nelayan yang membeli solar di pengecer yang harganya sangat mahal. Obrolan itu memicu pembicaraan untuk pengurusan surat rekomendasi BBM Bersubsidi, agar nelayan bisa membeli BBM dengan harga normal dan dekat dari rumah. Bagaimana mengurus surat rekomendasi?
Yang pertama harus dilakukan adalah silaturahmi atau bahasa kerennya melobi dinas-dinas terkait, seperti Dinas Perikanan kota, Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi, Pertamina, dan pihak kepolisian. Kita jelaskan apa itu KNTI, maksud dan tujuan KNTI. Setelah kenal dan akrab dan jadi teman baik baru kita bicarakan persoalan-persoalan KNTI. Yang kedua pembuatan surat rekomendasi. Surat rekomendasi dibuat oleh Dinas Perikanan, lalu kami bawa ke kepolisian. Kalau sudah sudah ada surat tembusan dari
Advokasi Permbuatan Surat Rekomendasi BBM Bersubsidi dan Pembuatan E-Pas Kecil Nelayan Tambak Lorok Semarang
#03
kepolisian, pengurusan berikutnya ke RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, dan bahkan Pertamina, menjadi lebih mudah.
Setelah mengurus surat rekomendasi, KNTI mendampingi nelayan dalam pengurusan pembuatan E-Pas Kecil, yang adalah surat kepemilikan perahu. Sebenarnya ada keanehan tentang peraturan pemerintah yang menyebutkan semua penerima bantuan harus mempunyai E-Pas Kecil. Untuk mendapatkan E-Pas Kecil itu nelayan harus mempunyai perahu, padahal tidak semua nelayan punya perahu. Lebih anehnya lagi, untuk mengurus E-Pas Kecil di KUB, nelayan harus membayar Rp100 ribu. Karena kondisi itu, banyak nelayan yang meragukan kerja KNTI Semarang untuk membantu mereka mengurus E-Pas Kecil secara gratis. “Tidak akan mungkin jadi membuat E-Pas Kecil di KNTI! Pembuatan E-Pas kok gratis?” Keraguan mereka justru menjadi motivasi bagi KNTI untuk membantu nelayan dalam membuat E-Pas Kecil secara gratis. Kami bantu mereka mulai dari mengisi formulir yang meliputi surat permohonan Pas, surat tukang, dan surat pernyataan. Kami mengurus pembuatan E-Pas Kecil untuk 30 nelayan, yang terbagi atas 28 pembuatan E-Pas baru dan 2 E-Pas perpanjangan. Setelah dicek kembali, ternyata ada 10 nelayan yang tidak bisa dibuatkan E-Pas karena mereka tidak memiliki perahu. Yang lebih membuat greget, ada aturan baru dalam pengisian formulir: yang awalnya boleh tulisan tangan, tiba-tiba harus ditik dan itu mustahil dilakukan oleh nelayan sendiri. Juga banyak kesalahan sepele yang mengganggu pengurusan, seperti kesalahan dalam format pengetikan, kesalahan dalam melampirkan foto KTP yang harus berwarna, materai yang hanya Rp6.000 harus diganti materai yang Rp10.000. Kesalahan-kesalahan itu tidak dimaklumi pemerintah. Begitulah pengalaman dalam pengurusan pembuatan surat rekomendasi BBM Bersubsidi dan juga pembuatan E-Pas kecil. Saya harap pengalaman tersebut bisa menjadi menjadi contoh bagi KNTI-KNTI di seluruh Indonesia. ***
Advokasi Permbuatan Surat Rekomendasi BBM Bersubsidi dan Pembuatan E-Pas Kecil Nelayan Tambak Lorok Semarang Ilustrator Agnes Indah Permatasari
#04 Oleh : Aidil Fahri (DPD KNTI Lombok Timur)
ADVOKASI BBM BERSUBSIDI Sulitnya mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) premium menjadi kendala besar bagi nelayan kecil di Lombok Timur. Banyak nelayan yang tidak mendapatkan informasi tentang penghapusan BBM Premium. Karena itu, saya dan Taufik, teman di KNTI, terjun langsung mencari informasi apa kendala langkanya BBM tersebut. Kami mendatangi salah SPBU untuk bertemu pemimpinnya, tapi tak mendapat jawaban. Kami pun melanjutkan mencari informasi ke Dinas Kelautan dan Perikanan yang berada di kompleks pemerintahan kabupaten, dan bertemu dengan kepala dinasnya. “Ada keluhan apa, Pak?” tanya sang Kepala Dinas. “Begini, Pak,” kata saya, “barusan kami pergi ke SPBU menanyakan kendala kelangkaan bensin premium.”
Advokasi Bbm Bersubsidi
#04 “Oh iya, Pak, untuk sekarang BBM khususnya bensin premium sudah dihapuskan oleh pemerintah,” ujar Kepala Dinas. “Kenapa informasi ini tidak disampaikan langsung kepada nelayan, Pak Kadis?” kata Taufik. Kepala Dinas menjawab dengan terbata-bata, dan kami tidak mendapatkan jawaban yang jelas. Dari Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan, kami langsung menuju kantor KNTI untuk menyampaikan informasi tersebut. Kami juga membahas bagaimana kelangkaan premium membuat banyak nelayan tidak bisa melaut. Ada sebagian nelayan yang melaut karena mereka memaksakan diri membeli BBM di pengecer (penjual BBM botolan). Bagi yang tidak bisa melaut, beban hidup sangat berat, karena mereka mengandalkan laut sebagai sumber ekonomi. Para nelayan tidak tahu tentang adanya BBM bersubsidi dan cara mengaksesnya, karena tidak ada yang menginformasikan hal itu kepada mereka. Untuk mengakses BBM bersubsidi, nelayan harus memiliki kartu E-Kusuka. Tetapi untuk mendapatkan kartu itu, nelayan pun tidak tahu caranya. Akhirnya saya dan teman-teman KNTI mengumpulkan data-data nelayan untuk pembuatan kartu E-Kusuka. Kami pun berupaya mengumpulkan sebanyak-banyaknya Kartu Keluarga dan KTP sebagai syarat membuat kartu E-Kusuka. KNTI juga melakukan dengar pendapat dengan DPRD Provinsi untuk meminta penambahan kuota BBM. Selain itu, Ketua KNTI Lombok Timur juga mengusulkan penetapan wilayah tangkap nelayan. DPRD Provinsi dengan senang hati menerima saran Ketua KNTI Lombok Timur. Saya dan teman-teman KNTI juga berkesempatan melakukan sosialisasi tentang adanya BBM bersubsidi dan pembuatan E-Kusuka untuk bisa mengakses BBM bersubsidi tersebut. Padahal, sosialisasi tentang kelangkaan BBM dan terhapusnya BBM premium itu semestinya dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan, bukan KNTI yang hanya organisasi masyarakat biasa. ***
Advokasi Bbm Bersubsidi Ilustrator Agnes Indah Permatasari
#05 Permasalahan yang Membuat Tersenyum Oleh: Desyari Susanti (SPRI )
Pernah ada permasalahan rumit yang kami hadapi sebagai tim auditor Kelurahan Lubang Buaya Jakarta Timur, yang bekerja di bawah naungan Lembaga Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI). Saat itu 14 Desember 2021, kami melakukan pendataan warga miskin yang akan diajukan untuk mendapatkan hak hidup layak di negara sendiri, yaitu meliputi program pemerintah seperti Program Keluarga Harapan ( PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kartu Lansia Jakarta ( KLJ), dan lain sebagainya. Tetapi, upaya kami banyak mengalami penolakan, dengan alasan agama, perlindungan data, juga warga yang takut kepada RT dan RW. Kami tim auditor SPRI Lubang Buaya Desi, Iis, Eci, Wiwin, dan Nurhasanah. Sebelum kami melakukan pendataan tak lupa untuk meminta izin kepada ketua RW untuk dapat memperlancar jalannya pendataan kami. Ternyata untuk mendapatkan data tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Kami ditolak mentah-mentah. “Memangnya lembaga ini legal? Diakui negara? Saya tidak bisa membiarkan warga saya memberikan datanya kepada suatu lembaga yang belum jelas asal-usulnya,” ucap Pak RW. Karena adanya penolakan tersebut kami tidak mendapatkan satu data pun. Tapi kami tidak hilang akal. Kami mencoba mendata warga dekat rumah tempat tinggal kami. Saat kami mendata, tiba-tiba Pak RT 04 datang dan berkata, “Tolong hentikan pendataan ini karena saya dapat perintah dari Pak RW untuk tidak memperbolehkan siapapun mendata warga di sini kecuali petugas kelurahan.”
Kami hampir hilang akal dan merasa sudah tidak ada lagi cara untuk melanjutkan pendataan itu. Bahkan salah satu auditor kami, Nurhasanah, juga meragukan lembaga ini dan memilih keluar dari SPRI. Alasan lainnya, Pak RT 04 ini bukan lain adalah kakak iparnya sendiri. Tersisalah kami empat petugas yang tetap menjalankan tugas ini walau harus memutar jalan untuk mendata warga. Kami harus jalan mengendap-endap agar tidak diketahui Pak RW. Di salah satu rumah warga yang kami data, hadir seorang warga bernama Selvi, dan dia tertarik dengan apa yang sedang kami kerjakan. Masuklah Selvi ke dalam tim kami. Dia sangat membantu kami dalam mendapatkan kelengkapan
Permasalahan yang Membuat Tersenyum
#05
data. Dia dapat menyelinap ke beberapa warga dan memberitahukan bahwa kami memiliki posko pengaduan warga tentang program yang diberikan pemerintah.
Seiring berjalannya waktu, kami pun mendapatkan data tanpa diketahui Ketua RT dan RW. Data yang kami kumpulkan ternyata membuahkan hasil. Nama-nama yang kami input di program pemerintah pun akhirnya mendapatkan manfaatnya. Dengan adanya hasil tersebut, Ketua RW, RT, dan warga pun sadar bahwa pendataan yang kami lakukan memang benar adanya untuk program bantuan pemerintah.
Capaian yang kami dapat tidak berhenti di situ, karena kami pun akhirnya diakui pihak Kelurahan. Kami jadi lebih mudah mendapatkan data. Sekarang kami tak perlu lagi harus memutar jalan atau mengendap-ngendap untuk mencari data. Saat ini wargalah yang datang menyerahkan datanya sendiri ke posko kami. Setiap masalah yang kita hadapi pasti bisa dilewati selagi kita tekun dan sabar untuk melangkah maju. ***
Permasalahan yang Membuat Tersenyum Ilustrator Agnes Indah Permatasari
#06 Kerang VS Gurita,
Perang dan Derita Oleh FIRDAUS SAMBAS
Hari yang cerah saat itu. Saya dan Imam Azhari, Ketua DPD KNTI TanjungbalaiAsahan, sedang merapikan data-data yang diperoleh Tim Advokasi dan Monitoring BBM Bersubsidi untuk nelayan Tradisional KNTI Tanjungbalai-Asahan. Pekerjaan itu dilakukan selama kurang-lebih satu bulan pada Mei 2021. Belum sempat beristirahat, Imam mendapat telepon dari Bagus, seorang nelayan Tojok Kerang. Bagus mendapatkan nomornya dari sebuah spanduk Posko Tim Advokasi dan Monitorim BBM Bersubsidi KNTI di Pulau Simardan Tanjungbalai yang memuat nomor telepon Imam sebagai narahubung. “Bang, besok bantu kami ya,” kata Bagus. “Siapa ini? Dan ada apa?” tanya Imam. “Ini saya Bagus, Bang, nelayan Tojok Kerang,“ jawabnya. “Iya, ada apa, Gus?” “Bang, katanya ada tim advokasi nelayan tradisional ya? Saya mau gabung KNTI, Bang.” “Iya betul, datang sajalah ke Posko Induk sekarang, di Jalan DI Panjaitan ya.“ Tiga puluh menit kemudian, Bagus datang ke Posko Induk dan menceritakan segala keluh kesah para nelayan yang ada di kelompoknya. Saya dan Imam mendengarkan dengan saksama. “Bang, saya dan kawan-kawan nelayan Tojok Kerang Pulau Simardan saat ini tidak bisa melaut,” keluh Bagus. “Kenapa, Gus? Ada masalah apa?“ tanya Imam. Bagus bercerita, kelompok nelayannya beranggotakan sekitar 50 nelayan kapal tradisional Tojok Kerang yang melaut di daerah Tambun Tulang, Kabupaten Batubara. Sebulan terakhir ini mereka tidak melaut karena takut pada ancaman nelayan jaring gurita di Tambun Tulang. “Kami takut, Bang, biasanya mereka membawa aparat,” ucap Bagus. “Sebabnya, salah satu kapal nelayan kami diduga menabrak jaring tangkap gurita mereka yang mengakibatkan robeknya jaring tersebut.” Itulah yang menyebabkan nelayan Tojok Kerang tidak diizinkan melaut di daerah Tambun Tulang. Nelayan Tojok Kerang memang melakukan aktivitas lautnya di daerah Tambun Tulang Kabupaten Batu Bara. Walau jaraknya cukup jauh dari Kota Tanjungbalai—sekitar 4 jam perjalanan laut, namun di sanalah habitat kerang berada Kerang Vs Gurita, Perang Dan Derita
#06 yang bersinggungan dengan habitat gurita. “Jadi saya meminta bantuan KNTI untuk melakukan negosiasi dengan nelayan gurita, Bang” kata Bagus. Dengan penjelasan tersebut, Imam pun mengajak saya untuk membantu mengadvokasi nelayan kerang agar ditemukan inti dan solusi permasalahan tersebut.
Kerang Vs Gurita, Perang Dan Derita
#06 “Jadwalkan saja kapan kita bisa bertemu nelayan jaring gurita,” kata Imam. Bagus pun pulang, saat matahari mulai terbenam. Esok paginya kami berangkat dengan kapal motor tanpa atap. Saat matahari tepat di atas kepala, kami tiba di Tambun Tulang. Rasanya kulit ini terbakar karena tidak ada atap untuk berlindung dari sengatan matahari. Tapi apa daya, memang kapal tersebut dirancang demikian karena untuk menojok kerang diperlukan kecepatan dan tekanan kapal.
Sebentar saja kulit kami sudah memerah. Lalu, datanglah nelayan jaring gurita. Kami memulai percakapan dengan mereka, yang berujung pada perdebatan antara nelayan tojok kerang dan nelayan jaring gurita. Namun karena kami menengahi, tidak terjadi perkelahian antarnelayan. Biasanya, jika terjadi pertengkaran di tengah laut, akan berujung saling serang dan bahkan kadang saling bakar kapal hingga salah satu kelompok pulang. Dari pembicaraan antarnelayan itu, terungkap memang ada kapal nelayan tojok kerang yang menabrak jaring gurita. Akhirnya disepakati, pihak nelayan tojok kerang bersedia mengganti kerusakan nelayan jaring gurita. Nelayan jaring gurita juga bersedia untuk berunding terkait regulasi, waktu, dan zonasi penangkapan. Perundingan itu ditutup dengan haru, karena memang nelayan tradisonal tojok kerang dan jaring gurita sebenarnya merasa satu nasib dan penderitaan. Kami pun pulang dengan lega, membawa oleh-oleh wajah yang memerah terbakar matahari, karena lupa pakai sun block. ***
Kerang Vs Gurita, Perang Dan Derita Ilustrator Thurfatun Nadifah
#07 ADA UDANG DI BALIK BBM BERSUBSIDI Oleh: Sumiati (KNTI Lombok Timur)
Laut merupakan sumber kehidupan bagi para nelayan, dan BBM adalah jantungnya. Di salah satu daerah di NTB, tepatnya Pulau Maringkik, Kabupaten Lombok Timur, BBM Bersubsidi merupakan sesuatu yang istimewa karena begitu langka. Pulau Maringkik merupakan pulau kecil. Mayoritas penduduknya nelayan. Penduduk menggunakan sampan sebagai satu-satunya alat transportasi yang bisa digunakan untuk keluar pulau. Misalnya saja ketika ingin membeli BBM, mereka harus melakukan penyeberangan menggunakan sampan sekitar 15-20 menit dari tempat tinggal mereka. Kemudian lanjut lagi menggunakan mobil bak terbuka ke SPBN Labuhan Haji yang jaraknya sekitar 20,6 km. Selain menguras tenaga, pastinya juga sangat menguras kantong nelayan. Kelangkaan dan jarak yang jauh seringkali memaksa nelayan memilih untuk membeli di para pengecer dengan harga yang lebih tinggi yakni Rp10.000/liter. Sedangkan di SPBN harganya Rp6.850/liter. Kebutuhan BBM untuk sekali melaut itu kurang lebih 20-25 liter. Sebenarnya nelayan punya kesempatan untuk mendapat BBM bersubsidi. Namun, proses pembuatan surat rekomendasi pembelian BBM bersubsidi yang dimulai dengan syarat fotokopi E-Kusuka dan KTP sangatlah lama dan membuat nelayan sungkan untuk menjalani prosesnya. Selain itu, nelayan harus membeli BBM sehari atau beberapa jam sebelum keberangkatan. Namun di satu sisi, jika tidak memiliki akses ke BBM Bersubsidi, nelayan tidak bisa melaut. Selain SPBN yang jauh, stok yang disediakan SPBN juga sangat terbatas. Dengan stok yang terbatas, maka persaingan antar nelayan untuk mendapatkan BBM juga tinggi. Alhasil, tak jarang para nelayan harus pulang dengan tangan kosong dan bahkan rela menginap untuk bisa mendapat bagian yang seharusnya sudah menjadi hak mereka.
Ada Udang Di Balik Bbm Bersubsidi
#07 Pembuatan surat rekomendasi pembelian BBM Bersubsidi yang awalnya langsung dilakukan ke Dinas Perikanan, malah dialihkan ke SPBN. Proses pembuatan surat di SPBN sangat lama, bisa mencapai 7 hari. Akibatnya, nelayan harus memberhentikan aktivitas melaut, karena tidak ada BBM yang bisa digunakan.
Melihat hal-hal yang dialami para nelayan, KNTI mengambil peran penting untuk membantu. KNTI melakukan survei langsung ke nelayan, unntuk mendapatkan informasi yang lebih valid.
Pada Desember 2021, KNTI melakukan dengar pendapat ke DPRD Provisi untuk menyuarakan keluhan nelayan. Salah satu hal yang disampaikan adalah sulitnya akses BBM Bersubsidi sehingga perlu adanya SPBN yang dekat dengan permukiman nelayan. Namun hingga saat ini belum ada respons yang baik terhadap apa yang KNTI sampaikan. ***
Ada Udang Di Balik Bbm Bersubsidi Ilustrator Alvin Satria Firdaus
#08 BBM Bersubsidi untuk Nelayan Nambangan-Cumpat Oleh: Jihan Nafisah (KNTI Surabaya)
Saat pertama kali bergabung menjadi bagian tim survei KNTI dalam program BBM Bersubsidi pada 7 April 2021 lalu, saya pikir ini tidak akan terlalu sulit dilakukan. Mengingat survei itu hanya melibatkan para nelayan tradisional di wilayah kampung pesisir Surabaya, yakni Desa Nambangan dan Desa Cumpat. Namun, perasaan itu sangat berbanding terbalik saat saya dan beberapa teman penyurvei terjun langsung melakukan survei ke nelayan. Selama 10 hari pertama, respons mereka bermacam-macam, mulai dari yang mempersilakan kami masuk layaknya tamu kehormatan yang dijamu dengan sangat baik, sampai yang menolak kedatangan kami dengan berpura-pura tidak ada di rumah atau sembunyi sebelum mendengarkan tujuan kami. Ada pula saat bertemu di jalan dengan para penyurvei, nelayan tersebut malah berbalik arah. Itu semua terjadi bukan tanpa alasan. Para nelayan ini merasa bingung dan serbasalah untuk memosisikan diri. Mereka menganggap KNTI bukan bagian dari KUB (Kelompok Usaha Bersama), yaitu kelompok nelayan bentukan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Surabaya. Kami pun berupaya agar didata, dengan mendekat
BBM Bersubsidi untuk Nelayan Nambangan-Cumpat
para nelayan mau c a r a
#08 i mereka dan menjelaskan tujuan kami dengan KNTI. Tentu saja tidak mudah menjelaskan dan memberi pengertian kepada para nelayan tentang apa itu KNTI dan kenapa mereka harus mengakses BBM Bersubsidi. Sedangkan mereka tidak keberatan membeli BBM dengan harga yang sudah ditentukan pengecer selama ini. Setelah berusaha dengan berbagai cara, para nelayan itu mulai tidak sungkan untuk membagikan informasi kepada KNTI maupun sekadar mampir untuk menongkrong di posko pengaduan dengan nelayan lainnya. Namun, juga tidak semua nelayan mudah diyakinkan. Sebagian nelayan memilih bersikap tidak acuh dan menjaga jarak dengan keberadaan kami. Rupanya hal tersebut bukan tanpa alasan. Para nelayan ini bersikap demikian karena terpapar opini buruk tentang KNTI oleh pihak KUB yang tidak suka dengan keberadaan KNTI di Desa Nambangan dan Desa Cumpat. KNTI seolah menjadi pesaing dan ancaman bagi pihak KUB. Mereka juga tidak hanya menyebarkan opini sepihak mengenai KNTI kepada nelayan, tapi juga kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Surabaya. Dampak yang terasa adalah, saat kami mendatangi Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Surabaya pada 21 Juni 2021 untuk memberikan surat permohonan audiensi kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Surabaya, petugas hanya menerima undangan tersebut tanpa memberi kepastian dan respons tentang permohonan audiensi kami. Karena upaya kami tidak mendapat respons, kami pun melakukan pelaporan dengan mendatangi Kantor Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Jawa Timur pada 5 Agustus 2021. Kami melaporkan hasil temuan data nelayan yang kami survei terkait BBM Bersubsidi dan kartu E-Kusuka, serta dinas terkait yang tidak menggubris permohonan kami untuk audiensi. Kami juga menjelaskan, untuk mengakses BBM Bersubsidi, nelayan perlu mendapatkan surat rekomendasi yang dikeluarkan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Surabaya yang sampai saat ini belum kami dapatkan. Kami yang saat itu mendatangi Kantor Ombudsman ditemani FITRA Jawa Timur, yaitu Mas Habib. Beliau yang memaparkan bahwa pemerintah kota yang paling sulit ditemui dan dihubungi adalah Pemerintah Kota Surabaya jika dibandingkan dengan kota-kota dan kabupatenkabupaten lainnya di Jawa Timur. Pasca pengaduan ke Ombudsman, kebetulan Menteri BUMN Erick Thohir
BBM Bersubsidi untuk Nelayan Nambangan-Cumpat
#08 melakukan sidak kelangkaan oksigen ke Surabaya pada 15 Agustus 2021 lalu. Kami manfaatkan momen tersebut untuk menyampaikan tujuan kami di program BBM Bersubsidi untuk nelayan kecil tradisional serta rencana pembangunan SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan) agar dibangun di dekat perkampungan nelayan. Erick Thohir saat itu mengapresiasi dan merespons dengan baik upaya kami. Seketika itu juga dia menelepon Ibu Nike selaku direktur PT Pertamina untuk segera menindaklanjuti permintaan KNTI. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 2021, pihak perwakilan PT Pertamina datang untuk melakukan konfirmasi dan survei kelanjutan pembangunan SPBN di Desa Nambangan dan Desa Cumpat. Namun, lahan yang dibutuhkan belum ada yang strategis, sehingga menawarkan untuk pembangunan Pertashop. Harapan kami, program-program yang belum terselesaikan dan tercapai di tahun lalu bisa tercapai di tahun ini. Yook... Semangat yok! ***
BBM Bersubsidi untuk Nelayan Nambangan-Cumpat Ilustrator Alvin Satria Firdaus
#09 Program BBM 150 Liter dan Kartu E-Kusuka untuk Nelayan Kecil di Jawa Tengah Oleh: Syafii (KNTI Demak)
Tahun 2021 Pemerintah Jawa Tengah memberikan bantuan BBM 150 liter untuk setiap nelayan kecil. Bantuan itu bertambah menjadi 200 liter pada tahun 2022. Pemerintah pusat juga menerbitkan Kartu Kusuka, yang disebut-sebut sebagai kartu sakti dalam programnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tapi sayangnya, program tersebut kurang tepat sasaran dan kurangnya sosialisasi dari dinas terkait. Suatu ketika kucoba mencari kebenaran, menggali lebih dalam, langsung dari nelayan kecil (nelayan buruh), yaitu kelompok nelayan yang katanya selalu jadi korban dalam program bantuan pemerintah di sektor kelautan dan perikanan. Setelah kokok ayam membangunkan tidurku, aku bergegas bangun dari kasur empukku, berlari ke kamar mandi. Kubasuh wajah, kubersihkan badan, kutunaikan kewajibanku menjalankan salat subuh, setelah itu kumandi dan tak lupa sarapan pagi dan meminum secangkir kopi.
Program BBM 150 Liter dan Kartu E-Kusuka untuk Nelayan Kecil di Jawa Tengah
#09 “Dek.... Mas berangkat dulu ya!” aku pamit ke istriku. Pukul sembilan pagi, sampailah aku di tempat para nelayan mengaso sepulang dari melaut. Aku menghampiri seorang nelayan kenalanku, dan inilah percakapan kami. “Hai, bro!” sapaku. “Hai juga, ngapain ke sini? Tumben,” jawabnya sedikit ketus. “Nggak enak banget jawabanmu, sih,” balasku. “Santai, bro,” jawabnya. “Gimana? Ada apa?” “Katanya orang sini banyak yang dapat bantuan BBM, ya?” tanyaku “Ora lah... yang dapat bantuan ya orang-orang itu saja, yang punya perahu dan mempunyai kelompok, ditambah deket sama orang DKP.” “Lah... Emang bantuan BBM khususnya hanya untuk yang punya perahu,” kataku. “Katanya bantuan untuk nelayan kecil?” tanyanya agak sedikit keras. “Sekarang aku mau tanya, kira-kira yang punya perahu sama yang tidak punya perahu alias buruh nelayan, itu yang lebih pantas disebut nelayan kecil yang mana?”
“Yang tidak punya perahu lah,” jawabku. “Lah, itu kamu tau! Terus kira-kira yang perlu dibantu dalam program pemerintah yang mana?” “Mana gue tau?” jawabku pura-pura nggak tahu. “Lagi-lagi yang dirugikan itu nelayan kecil alias nelayan buruh.” “Kan program pemerintah terutama dari kementerian KKP banyak, bukan bantuan BBM saja. Contohnya: Kartu Kusuka, yang nanti terintegrasi dengan asuransi permodalan dan pelatihan,” jawabku. “Yang namanya bantuan permodalan dan pelatihan nelayan, itu hanya mimpi! Emang ada bank yang ngasih modal tanpa jaminan?” “Alasan bank menolak apa?” tanyaku. “Karena profesi sebagai nelayan.” “Serius nggak pernah dapat bantuan dari pemerintah sama sekali?”
“Tidak pernah sama sekali! Lagian yang selalu dapat bantuan itu biasanya orang yang deket sama DKP.” “Masa begitu?”
Program BBM 150 Liter dan Kartu E-Kusuka untuk Nelayan Kecil di Jawa Tengah
#09 “Kamu tidak tahu? Tetanggaku yang punya perahu sudah menahun saja tidak pernah dapat bantuan sama sekali, padahal perahunya di bawah 5 GT.” “Lah... masalahnya apa?” “Pertama, dia tidak punya kelompok. Kedua, tidak punya E-Pas Kecil. Ketiga, tidak punya kartu nelayan.” “Lah.... kenapa tidak mengurusnya?” “Tanya saja sama orangnya. Itu rumahnya di samping rumahku.” Aku temui tetangga temanku. Lalu kutanya, kenapa dia tidak mengurus dokumendokumennya. “Halah, Mas! Buat apa ngurus dokumen-dokumen? Toh tidak pernah dapat bantuan,” jawabnya. “Buatlah, Pak,” kataku. “Dokumen-dokumen itu penting, karena banyak program yang nantinya membutuhkan dokumen-dokumen sebagai persyaratannya. Karena Kementerian KKP sendiri sudah menerbitkan Kartu Kusuka, yang di mana kartu tersebut digadang-gadang sebagai kartu sakti dari Kementerian KKP.” “Kartu apa lagi itu? Emang mau dapat bantuan apa?” tanya bapak itu. “Ini kan ada program pemerintah tentang Kartu Kusuka, pernah dengar?
“Tidak pernah,” jawab bapak itu. “Emang apa sih manfaat Kartu Kusuka?” “Setahuku, pertama sebagai satu data yang terintegrasi. Kedua, asuransi. Ketiga, permodalan. Pokoknya banyak manfaatnya. Kalau boleh saran, ikutilah setiap program pemerintah, pasti manfaatnya besar.” “Males!” dengus bapak itu. “Paling yang dapat orang-orang itu saja.” Dari percakapan itu, aku jadi berpikir, sungguh ironis nasib nelayan buruh dalam program pemerintah. Hilangnya kepercayaan nelayan terhadap program dan kebijakan pemerintah benar-benar sebuah tamparan. Masihkah pemerintah menutup mata? Mengingat pentingnya program Kementerian KKP tentang Kartu Kusuka dan manfaatnya yang sangat besar, harus dilakukan sosialisasi sampai ke desa-desa, kalau perlu sampai tingkat RT. Berikanlah bantuan tepat sasaran, kepada mereka yang betulbetul nelayan kecil. ***
Program BBM 150 Liter dan Kartu E-Kusuka untuk Nelayan Kecil di Jawa Tengah Iliustrator Alvin Satria Firdaus
#10 MANG
AJAT Oleh: Rully Fanggidae (SPRI Kota Bandar Lampung)
Ada sebuah gubuk kecil, di belakangnya sungai kecil mengalir. Lantai beralas tanah dan tanpa listrik. Gubuk itu kosong karena penghuninya sedang mengais rezeki. Gubuk itu berdiri ilegal di tanah Pemerintah Kota Bandar Lampung. Pemilik gubuk itu seorang lelaki paruh baya, namanya Mang Ajat, usianya 58 tahun. Mang Ajat berprofesi sebagai juru parkir di sebuah restoran ternama di Kota Bandar Lampung. Dia duda dengan dua anak yang masing-masing telah berkeluarga. Gubuk kayunya yang mulai rapuh termakan rayap. Biliknya juga sudah rusak, tanpa kompor gas, tanpa penerangan, dan, mirisnya, tanpa fasilitas MCK. Mang Ajat mengandalkan sungai kecil untuk kebutuhan MCK. Mang Ajat adalah satu dari banyaknya warga yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia. Dengan tingkat pendidikan rendah dan minim keahlian, Mang Ajat ibarat dipaksa berperang tanpa senjata. Mang Ajat menghabiskan harinya selama 14 jam dengan menjadi juru parkir. Sebagai warga miskin, Mang Ajat tidak pernah terdata dalam program bantuan pemerintah. Saya jadi punya banyak pertanyaan, ke mana pemerintah? Di mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Apakah bantuan pemerintah itu tepat pada sasaran? Lalu kenapa, seorang Mang Ajat luput dari sasaran? Yang saya ingat hari itu, saya pulang dengan ribuan pertanyaan. Saya pulang dengan tekad untuk berjuang demi Mang Ajat dan ratusan orang miskin lainnya yang sudah saya data. Berharap tidak ada yang sia-sia dengan perjalanan i n i . Berharap Tuhan mengabulkan setiap doa ikhlas saya. ***
Mang Ajat Ilustrator Thurfatun Nadifah
Refleksi dari Perjalanan Singkat Pendampingan Organisasi SPRI Kota Tasikmalaya
#11
Oleh: Yayan
Maret – Desember 2021 Langkah cepat pengorganisasian yang dilakukan SPRI di Kota Tasikmalaya dengan rekrutmen para kader kelurahan (yang terdiri atas kader posyandu dan atau para pegiat sosial di tingkat kelurahan) tepat dalam menyikapi kondisi sosial yang berkembang saat itu. Hal itu sebagai strategi mewujudkan misi organisasi SPRI: agar rakyat miskin memahami DTKS, mengerti dan memahami siapa saja yang berhak dan layak menerima Program Perlindungan Sosial (Bansos). Pemahaman itu akan menjadi jawaban bagi rakyat miskin, yang nama dan identitasnya tidak ada di DTKS, tidak akan terdaftar sebagai penerima Bansos. Sebab, DTKS adalah acuan/rujukan dasar bagi pemerintah untuk menyalurkan bansos baik yang bersumber dari APBN (PKH dan BPNT) maupun bersumber dari APBD. Berdasarkan uraian di atas, perjalanan pendampingan, penguatan organisasi SPRI di Kota Tasikmalaya dimulai dengan pertemuan pertama di Sanggar Pasundan (Sekretariat SPP Tasikmalaya). Di sana, kami berkenalan dan saling bertukar informasi tentang aktivitas keseharian, juga membahas rencana kerja organisasi yang menjadi agenda bersama antara SPRI dan Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial (KRPS). Pertemuan pertama dengan SPRI Kota Tasikmalaya adalah proses awal dari kerja pendampingan pengorganisasian yang akan dilakukan sampai beberapa bulan berikutnya. Hal itu dilakukan sebagai dukungan Perkumpulan Inisiatif dalam mengkoordinasikan dan membantu pelaksanaan kegiatan-kegiatan SPARK di lokasi. Langkah itu juga awal dari upaya sinkronisasi program kerja organisasi, untuk mendapatkan gambaran umum dalam menjalankan misi pendampingan dan penguatan organisasi, menemukan model pengorganisasian yang cocok dan sesuai untuk kerja-kerja pengorganisiran SPRI. Dengan demikian, SPRI memiliki sistem kepemimpinan dan manajemen organisasi yang baik, bertambahnya keanggotaan, meningkatkan kapasitas anggota untuk memonitor dan memperjuangkan kepentingannya untuk mendapat perlindungan sosial dari negara. Kader SPRI didominasi kaum perempuan aktif dengan beragam aktivitasnya; mulai dari mulai ibu rumah tangga, kader kelurahan, kader kesehatan, sampai yang memiliki jejaring sosial yang cukup luas. Keragaman itu memberikan tantangan
Refleksi dari Perjalanan Singkat Pendampingan Organisasi SPRI Kota Tasikmalaya
#11
tersendiri dalam menemukan model pendekatan pengorganisasian yang tepat. Seorang organisator dalam menjalankan misi harus mampu melepaskan segala atributnya yang melekat supaya bisa berbaur dengan warga dampingan dan menghindari perbedaan kelas. Dengan kata lain seorang organisator harus mampu menyesuaikan posisi dan perannya dengan prinsip memfasilitasi organisasi/warga dampingan untuk mencapai cita-cita perjuangannya. Hal itu dilakukan untuk mempermudah pengorganisasian agar bisa diterima warga dampingan dan dapat menjalankan misi dengan lancar, dan membantu para kader organisasi untuk mampu melakukan kerja-kerja pengorganisasian. Dengan
Refleksi dari Perjalanan Singkat Pendampingan Organisasi SPRI Kota Tasikmalaya
#11
demikian, seorang organisator setidaknya harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup, serta jejaring sosial dan politik, untuk membangun kredibilitasnya dalam merespon berbagai persoalan yang ada. Namun, bukan berarti dia harus selalu mengikuti permintaan warga dampingannya. Tugas utamanya adalah menganalisa dan memberikan respon dengan cepat dan bijak, dan senantiasa mampu mengontrol dirinya dari syahwat kekuasaan atau jebakan sosial demi popularitas, atau godaan lainnya. Mengidentifikasi persoalan organisasi secara teliti, memetakan potensi kekuatan para pelaku/kader organisasi menjadi hidangan rutin di setiap pertemuan. Terkadang kita dihadapkan dan dipaksa untuk menentukan pilihan dari suatu persoalan organisasi yang dilematis atau memilih untuk diam atau lari dari kenyataan dengan tidak mengambil pilihan apa pun, tanpa disadari hal itu pun sebenarnya pilihan buruk dari yang terburuk. Pengorganisasian rakyat merupakan suatu proses panjang dengan berbagai aktivitas dan menuntut loyalitas diri secara total sebagai bentuk pengabdian diri kepada nilai kebenaran yang diyakini. Diperlukan dedikasi yang tinggi dalam membagi waktu antara keluarga dengan tanggung jawab pengorganisasian untuk mewujudkan perubahan sosial yang lebih besar. Muara dari pengorganisasian rakyat ini sesungguhnya ketika para kader organisasi mampu melakukan kerja-kerja pengorganisasian secara mandiri tanpa harus tergantung kepada pihak lain. Kepengurusan organisasi SPRI Kota Tasikmalaya baru dilakukan restrukturisasi dari kepengurusan sebelumnya (SPRI Tasik Raya) yang berpusat di Kabupaten Tasikmalaya. Dengan munculnya kepemimpinan dari kalangan perempuan hebat ini telah membuktikan bahwa geliat perjuangan SPRI di Kota Tasikmalaya cukup bisa diperhitungkan dan terbukti memberikan angin segar bagi keberlanjutan perjuangan SPRI ke depannya. Anggota SPRI pun bertambah hampir di setiap kecamatan di Kota Tasikmalaya. Jejaring para kader rekrutmen di tingkat kelurahan dan daerah menjadi potensi dan aset organisasi yang harus dikelola dan dikembangkan oleh para penggerak SPRI. Hal itu memberikan harapan baru dalam menjalankan kerja-kerja organisasi di lapangan, khususnya pelaksanaan program pendataan/audit sosial bagi warga miskin yang belum terdata di DTKS. Disamping itu, kondisi ini menjadi tantangan lain bagi seorang organisator. Karena di saat yang sama, proses pendampingan pelaksanaan program kerja berbarengan dengan rekrutmen anggota organisasi SPRI yang akan menjadi pelaku utama dalam menjalankan program SPARK. Sehingga diperlukan upaya tambahan dalam pengenalan identitas organisasi kepada para surveyor yang akan menjalankan
Refleksi dari Perjalanan Singkat Pendampingan Organisasi SPRI Kota Tasikmalaya
program pendataan di lapangan.
#11
Proses pembelajaran dari model pendekatan dan pemetaan masalah adalah langkah awal kerja pendampingan dan penguatan organisasi. Hal itu jadi jurus utama dalam menjalankan kerja-kerja pengorganisasian. Dengan menemu-kenali para kader penggiat dan pengurus inti dari organisasi, dan membangun komunikasi yang sesuai dan nyaman, merupakan tugas penting yang harus dilakukan untuk membangun dan menemukan potensi untuk pengembangan organisasi. Kader SPRI Kota Tasikmalaya juga adalah kader Posyandu dan kader kelurahan yang terbiasa dengan pengurusan administrasi kependudukan warga dampingan. Hal itu modal utama untuk menjalankan program kerja SPRI dan pada prosesnya mereka terbukti mampu merespon dengan baik dan cepat berbagai kondisi dari proses pendataan warganya yang belum terdaftar di DTKS sampai pada pelaksanaan Audit Sosial program PKH-BPNT di tingkat kota. Pengetahuan dasar dalam pendampingan warga di daerahnya menjadi modal para kader SPRI dan menjadi pendorong untuk tetap melakukan pendampingan, pengembangan dalam pemahaman internalisasi keorganisasian SPRI. Sebelumnya, keterlibatan para kader dalam kerja-kerja organisasi SPRI masih dibilang masih dangkal. Hal itu menjadi perhatian khusus, agar keterlibatan mereka tidak hanya sebatas pendekatan/rekrutmen programatik semata. Asumsi tersebut terjawab langsung oleh para kader hasil rekrutmen. Dari beberapa pernyataan dan pengalaman menjalankan program pendataan dan audit sosial bersama SPRI, mereka terlihat telah banyak memberikan pembelajaran dan manfaat baik bagi para kader atau warga dampingan. Beberapa stigma negatif terhadap para kader sebelum bergabung SPRI, (mereka sering “membantu” warga mengurusi administrasi kependudukan seperti pembuatan KTP dan KK, atau mendampingi warga untuk mendapatkan BPJS Kesehatan saat di rumah sakit) berubah jadi positif ketika menjalankan misi organisasi. Begitu juga dengan para kader yang bergerak di tingkat daerah/kota, mereka menjadi lebih dihargai posisinya dalam menjalankan aktivitas kesehariannya dibandingkan sebelum bergabung SPRI. Dinamika pengorganisasian kelompok penggerak/kader organisasi saat ini, berbeda dengan saat awal. Keterlibatan banyak pihak kadangkala justru menimbulkan kerancuan dalam penyusunan strategi. Munculnya ego, eksistensi diri/kelembagaan bahkan kepentingan, saling berbenturan. Untuk itu, komunikasi dan saling terbuka antar pihak jadi sangat penting untuk tetap menjaga langkah pengorganisasian tetap dalam jalur yang sesuai kesepahaman bersama. Dalam kondisi dan situasi semacam ini, keberadaan dan posisi pemimpin organisasi tingkat daerah sebagai pelaku utama di lapangan, akan sangat menentukan
Refleksi dari Perjalanan Singkat Pendampingan Organisasi SPRI Kota Tasikmalaya
#11
soliditas dan loyalitas anggotanya dalam menjalankan kerja organisasi. Dari hal itu secara otomatis menjadi kekuatan organisasi yang sangat besar untuk terus mampu memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya. Keterikatan hubungan emosional di antara para kader SPRI ini telah membuahkan hasil yang cukup signifikan, terutama dalam hal menjaga kekompakan dalam menjalankan agenda, baik yang bersifat agenda khusus organisasi secara (menjalankan program SPARK), maupun yang bersifat pertemuan rutin mingguan yang diinisiasi oleh para kader itu sendiri. Seiring dengan perkembangan relasi jejaring organisasi para kader dengan para aktor gerakan sosial lainnya, muncul pengakuan terhadap kerja organisasi SPRI oleh pemerintah Kota Tasikmalaya. Hal itu memunculkan kesadaran berorganisasi bagi kelompok ibu-ibu ini, serta memicu mereka untuk semakin mengenal dan memahami gerbong yang selama ini telah mengangkat martabat mereka, dan memperkuat posisi tawar mereka sebagai penggerak dan pendamping masyarakat, baik di tingkat kelurahan sampai di tingkat kota.
Perkembangan itu juga memunculkan muncul pertanyaan dari sebagian kader perempuan terkait keberlangsungan organisasi ke depan setelah program pendataan dan audit social selesai dilaksanakan di daerahnya. Pengorganisasian dalam konteks perubahan sosial seharusnya menjadi titik strategis dan mendapatkan perhatian khusus. Keberhasilan dalam mencapai titik perubahan akan sangat dipengaruhi oleh kerja-kerja pengorganisasian itu sendiri. Kerja seharusnya dilakukan secara sistematis dan masif, apabila tujuannya adalah untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat. Oleh sebab itu, dalam melaksanakan pengorganisasian masyarakat organisasi harus mampu memunculkan kader-kader dari masyarakat. Karena merekalah yang akan terus mengembangkan pengorganisasian yang sedang berjalan, sehingga mendorong keberlanjutan dari perjuangan organisasi. Jadi, pengorganisasian masyarakat bukan hanya sekadar melakukan penggiringan atau memanfaatkan, dan merebut akses bantuan dari pemerintah saja. Pengorganisasian masyarakat sejatinya harus ditumpukan pada potensi yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga penggalian potensi yang dimiliki, keswadayaan dan pemberdayaan masyarakat mutlak diperlukan. Dengan demikian, apabila ada faktor luar yang terlibat, lebih merupakan bentuk dukungan, stimulan yang akan mempercepat proses perubahan yang dikehendaki. Apabila kemandirian tidak bisa diwujudkan dan tidak menjadi fokus dari pengorganisasian, maka ketergantungan terhadap faktor luar menjadi signifikan.
Refleksi dari Perjalanan Singkat Pendampingan Organisasi SPRI Kota Tasikmalaya
#11
Kemandirian organisasi menjadi sangat penting karena perubahan dalam masyarakat hanya bisa terjadi dari masyarakat itu sendiri.
Refleksi dari Perjalanan Singkat Pendampingan Organisasi SPRI Kota Tasikmalaya Ilustrator Thurfatun Nadifah
Sekilas Pengalaman Pendampingan terhadap SPRI Kabupaten Bogor dan Kota Bogor dalam Program SPARK (Audit Sosial)
#12
Maret – Desember 2021 Kegiatan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat pedesaan khususnya kepada petani, adalah ruang berkarya saya sehari-hari. Mandat dari Perkumpulan Inisatif untuk menjadi pendamping dalam kegiatan pendampingan untuk SPRI dalam program SPARK di wilayah Bogor Raya (Kabupaten Bogor dan Kota Bogor) adalah pengalaman pertama saya dalam konteks perlindungan sosial, terutama untuk program Bantuan Sosial (Bansos) bagi keluarga prasejahtera khususnya program PKH dan BPNT. Pengalaman itu sangat berharga, karena selain memahami lebih dalam tentang program Bansos itu sendiri, saya juga berkesempatan melihat mekanisme yang terjadi dilapangan baik tentang tata laksana pola distribusi Bansos maupun mekanisme pemadanan data DTKS. Yang tidak kalah penting, pendamping dapat memahami bagaimana proses pengorganisasian kader SPRI untuk menjadi aktor utama dalam program SPARK ini. Ada perbedaan yang prinsipil soal bagaimana pola pengorganisasian warga miskin kota yang dilakukan oleh SPRI dibandingkan dengan pola pengorganisasian petani di pedesaan, terutama pada pendekatan keanggotaan organisasi itu sendiri. Di wilayah pertanian, pengorganisasian berbasis massa petani yang menjadi anggota, kemudian menentukan kader untuk pemimpin/koordinator. Sedangkan pola pengorganisasian di wilayah kota, dengan pola merekrut kader desa/kelurahan untuk menjadi kader SPRI, yang kemudian menjadi basis pengakuan/klaim sebagai anggota SPRI. Sementara klaim dari para kader itu sendiri, mereka masih memposisikan diri sebagai relawan yang ada kaitannya dengan program audit sosial. Berangkat dari hal inilah pendamping mencoba untuk dapat mengintegrasikan diri dengan kelompok relawan yang sudah berhasil direkrut oleh SPRI, termasuk dengan pengurus SPRI yang bertugas di Bogor Raya (Kabupaten Bogor dan Kota Bogor). Hal yang menarik dan menjadi tantangan adalah saat pendamping bersama kader SPRI di wilayah Bogor Raya melakukan kajian bersama dan pendalaman tentang bagaimana mekanisme program perlindungan sosial khususnya Bansos untuk warga miskin terutama PKH dan BPNT. Aktivitas itu membuat terbangunnya hubungan solid antara kader SPRI dengan pendamping, sehingga memudahkan untuk melakukan kerja-kerja asistensi untuk hal-hal teknis, termasuk kegiatan menambah jumlah relawan yang terlibat untuk desa/kelurahan yang masih belum ada struktur kader SPRI. Kendala yang dihadapi oleh pendamping lebih banyak tentang pembagian Sekilas Pengalaman Pendampingan terhadap SPRI Kabupaten Bogor dan Kota Bogor dalam Program SPARK (Audit Sosial)
#12
waktu untuk melakukan asistensi kepada para kader pengurus SPRI di desa/kelurahan yang tersebar dan berjauhan di dua wilayah administrasi kabupaten/kota. Namun kami cukup puas karena target capaian program SPARK sendiri dapat tercapai dengan baik. Kegiatan untuk memperkuat keorganisasian SPRI juga dapat dilakukan dengan baik. Sebenarnya para kader (sebagian besarnya ibu-ibu) yang menjadi struktur dalam kerja tim ini adalah juga kader desa/kelurahan yang biasa melakukan hal yang berkaitan dengan Bansos PKH dan BPNT. Namun, mereka tidak terlalu paham tentang bagaimana mekanisme yang sesuai dengan ketentuan. Dengan adanya program SPARK ini, kader mendapat peluang untuk dapat memahami secara utuh bagaimana program Bansos ini di jalankan. Dari pengamatan pendamping dapat disimpulkan, sebagian kader SPRI yang berhasil direkrut juga bagian dari kelompok warga miskin/keluarga prasejahtera. Sehingga, selain bagian dari tim kerja SPRI, mereka juga memperjuangkan nasibnya sendiri untuk mendapat hak Bansos dari pemerintah. Hal lain yang berpengaruh besar dari program SPARK ini adalah kader mampu
Sekilas Pengalaman Pendampingan terhadap SPRI Kabupaten Bogor dan Kota Bogor dalam Program SPARK (Audit Sosial)
#12
bekerja secara tim, baik di level desa/kelurahan maupun di level kabupaten/kota, dan lebih terstruktur (secara organisasi SPRI). Tadinya mereka biasa bekerja sendiri-sendiri saja.
Dari semua proses yang ada di dalam program SPARK diakui kerja-kerja asistensi oleh pendamping lebih mudah, terarah dan terukur, Pendamping merasakan, dengan adanya pola kerja SPARK, dengan skema pendampingan, sangat membantu dalam proses pengawalan kelompok kader di desa/kelurahan dalam meningkatkan kapasitas kader, Pada proses selanjutnya pendamping hanya menemani proses kerja para kader, baik dalam kegiatan memahami instrumen survey dari Insiatif, kegiatan survey warga miskin, pemadanan data di desa/ kelurahan, dan seterusnya. Hanya sesekali saja para kader berkosnultasi dengan pendamping, itu pun kalau memang masalah dihadapi benar-benar menemui jalan buntu. Adanya rangkaian kegiatan kader SPRI ini, membuat kader lebih dikenal oleh warga di desa/kelurahan, dan pendamping menjadi saksi bagaimana warga yang merasa ada masalah dengan hak bantuan sosialnya meminta bantuan kepada para kader untuk diadvokasi, atau juga hanya sekedar berkonsultasi. Dampak dari program SPARK ini juga menyentuh penyelengara program bansos, dimana para pemangku kepentingan jadi lebih terbuka soal proses penyelenggaraan Bansos, terutama kepada para kader SPRI. Hal itu memudahkan kerja advokasi warga miskin atau menyelesaikan masalah yang timbul selama program Bansos berjalan. Sayangnya, kondisi itu hanya terjadi di desa/kelurahan yang ada dalam jangkauan program SPARK yang dilakukan oleh SPRI, belum menyeluruh seluruh wilayah Bogor Raya. Berdasarkan catatan pendamping, manfaat dari program SPARK, selain dirasakan SPRI (dengan bertambahnya anggota kader dan bertambah luasnya wilayah keanggotaan) dan penyelenggraa program Bansos, yang paling besar mendapat manfaat dari program ini adalah warga miskin yang selama ini terabaikan oleh sistem penyelenggaraan Bansos yang sudah lama berjalan. Sekarang mereka dapat bersuara dan didengar oleh penyelenggara Bansos. Poin penting yang digaris bawahi oleh pendamping adalah bagaimana program SPARK ini telah mendorong kelompok marginal untuk dapat berkolaborasi, baik dengan lembaga sipil (CSO) maupun dengan lembaga resmi negara (pemerintah desa, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat), khususnya pada isu perlindungan sosial. Menurut hemat pendamping (karena merasakan terlibat langsung dalam program SPARK) konsep penguatan organisiasi rakyat dengan pendekatan kader lokal yang dipadu dengan pola pendampingan, adalah program yang sangat baik. Program ini layak dikembangkan lebih luas, dan seharusnya kegiatan ini didorong menjadi agenda pemerintah.
Sekilas Pengalaman Pendampingan terhadap SPRI Kabupaten Bogor dan Kota Bogor dalam Program SPARK (Audit Sosial)
#12 Demikian sekilas pengalaman pendampingan SPRI dalam program SPARK di wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor.
Sekilas Pengalaman Pendampingan terhadap SPRI Kabupaten Bogor dan Kota Bogor dalam Program SPARK (Audit Sosial) Ilustrator Thurfatun Nadifah
Strengthening the CSO Partners Evidence Based Advocacy in SPARK Program
Preface
"Long story short, in 2006 I was limping because of the breakup of my household, raising 4 children alone, in 2014 I have turned into a stronger woman, I'm no longer mushy to facing the bi er way of life," wrote Surya in an en tled ar cle "I am Forced to be Strong by Circumstances Although I was Fragile". Suryan is a Coordinator of Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) at Tomang Banjir Kanal, Jakarta. One of eleven writers has been 8 years a er who gave tes mony about how to deal with the crushes in their life in the movement of the people's organiza on. This book contains the honest stories from ac vist of 2 organiza ons who generally live in a marginal posi on in social, economic and poli cal rela ons. They are Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) and Kesatuan Nelayan Trandisional Indonesia (KNTI). These two organiza ons with Perkumpulan Inisia f and FITRA form the support of Interna onal Budget Partnership (IBP) in the last two years have worked together in an effort to fight for the grassroot rights from the state in social protec on. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) was focuses on efforts to fight for various social protec on effec veness from government programs. They worked hard to ensure that the programs were managed properly and on target. Star ng from Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Lansia Jakarta (KLJ), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), etc. This stems from various complaints and their experience in assis ng various issues related to the implementa on of these various programs in the field. One of the main problems is the inaccurate recipients and the complicated requirements that must be met by those who should be more en tled. Meanwhile, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) focuses on efforts to make subsidized fuel easier for small fishermen. For them, fuel is a vital factor to ensure the sustainability of their livehoods. As faced by the community who are assisted by KNTI, the situa on fishermen faced was similar: generally small fishermen were unable to access subsidized fuel. They are forced to buy non-subsidized fuel so that the burden cost was ge ng ghter. The situa on is as wri en by Mustakim, a member of KNTI Semarang. In his ar cle en tled “Advocacy for the Making of Subsidized Fuel Recommenda on Le ers and Small E-Pass for Tambak Lorok Fishermen in Semarang” he said: “…fishers who buy diesel have to travel tens of kilometers from Semarang to Demak. There are also many fishermen who buy diesel at retailers, and it is more expensive.”
Preface This book is important and interes ng to read by many people. For the government, original tes monies like this are important inputs to con nuously improve their social protec on programs so that they achieve their proper goals. For social ac vists, they will get nuances of the twists and turns of organiza onal work that can provide inspira on for improving strategies and approaches that must be developed in the future. And for the general public, this book provides informa on on how to take steps to fight for their rights as ci zens. Thank you to all those who have made this book present and reach our hands.
Bandung, March 2022
Sapei Rusin Chairman Perkumpulan INISIATIF
Preface #01
Forced to be Strong by Situation Even though Fragile.
#02
Never Ending Waiting.
#03
Subsidized Fuel Recommendation Letters and Small E-Pass Advocacy for Fishermen at Tambak Lorok Semarang.
#04
Subsidized Fuel Advocacy
#05
Problems That Makes Smile Us Smile.
#06
Shellfish VS Octopus, War and Suffering
#07
The Shrimp Behind Subsidized Fuel.
#08
Subsidized Fuel for the Fishermen of Nambangun-Cumpat.
#09
150 Liter BBM Program and E-Kusuka Card for Small-Scale Fishermen in Central Java.
#10
Mang Ajat .
#11
A Reflection from my Short Journey in Mentoring SPRI Tasikmalaya.
#12
Overview of my Mentoring Experiences with SPRI through the SPARK Program in Bogor Regency and Bogor City (Social Audit)
#01 Forced to be Strong by Situation Even though Fragile
Jakarta, December 17, 2021. My name is Suryati, I am 54 years old. I am a resident of Tomang Banjir Kanal, and a mother of four. I failed to keep my household whole and chose take my children and live at my parents' home rather than accept my husband's polygamy. It felt as if I was struck by lightning, finding out that my husband had secretly married another woman in an unregistered marriage. I couldn't accept that, and felt as if the world was unfair. The person I trusted most, turned against me. However, I realized life had to go on and I couldn't linger too long in my sorrow as my four children still needed me. That's what I held on to as I tried to move on from my sorrow. That's what kept me going as I strived to look to the future, not the past. Though limping, I powered on with all the energy I had. Luckily, I had the cooking skills to make cakes such as lontong, risoles, and pastels, which I left and sold at local village stalls. I woke up at 1 AM to make sure that I would be finished at 5 AM. I thank god that this business was able to become my source of income. Through this business, I was able to be independent and earn money for my family, even if it still wasn't sufficient for all of our living needs. I didn't ask my ex-husband for money even though he had children that required money for school. I chose to work hard rather than beg a man who had abandoned his own children. In addition to baking cakes, I also opened up a service to help people take care of their civil registry such as making Family Card, ID, and BPJS (government provided health insurance). This service was useful for those who were busy and were short on time. I never set a price for my services and was grateful for any amount given to me.
I would sometimes cry as I prayed, as the economic burden of supporting a family
Forced to be Strong by Situation Even though Fragile
#01
of five was difficult with the income I received. It was especially difficult when my children would receive notification letters from their school asking me to pay off their unpaid school tuition. My eldest, who was in the third grade at that time, attended a Tourism Science High School and therefore had the highest tuition fees. But I was always sure that I was not alone. I had God, most gracious and most merciful, there at my side. I believed that Allah would not test his servants beyond their capabilities.
On one very hot afternoon, I was at the village office waiting for the renewal of a resident's family card. It was there I met Mrs. Surry, an employee of Bank BRI. We got acquainted with each other and had a long conversation. Mrs. Surry would later offer me a job to find customers for the KUR (People's Business Loan) loan program. I was very happy with the offer as it would increase my then insufficient income.
The next day, with my face glowing, I began to approach several local business owners. Not unlike a sales professional, I confidently explained BRI's KUR loan in detail. My previous impromptu training with Mrs. Surry was not in vain, as my home was showered with visitors eagerly applying for a loan. Alhamdulillah, all eligible submissions were approved and I received a humble commission from applicants whose loans were approved of. Immediately, my name became well known to people who were interested in applying for BRI's KUR loan.
One day, as I was visiting Mrs. RW (hamlet) 013, Tomang
Zubaedah's house, a resident of Village who wanted to apply for a
Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh
#01
BRI KUR loan introduced me to her friend, Mrs. Rumsi. Mrs. Rumsi was an activist from a civil society organization engaged in social welfare protection, named Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), now known as Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI). After hearing of her activities, I was eventually interested in joining her cause.
Long story short, as a struggling woman scarred with the separation of her household and raising her four kids alone in 2006, by 2014 I turned into a strong woman, who was no longer vulnerable to life's hurdles. Although small, I had now opened my own shop thanks to my service and working for BRI. The target was until I was able to support my eldest daughter's marriage.
My achievements were a matter of personal pride. It showed that I could rise from adversity, slowly but surely. Through my life's journey, I learned a very important lesson, it was that humans should not give up so easily.
In 2017, I was able to support my second child's marriage. I was still active with all my activities and within the organization that I was involved in. As an active member of SPRI, I've widened my knowledge and my involvement within the community has increased. Everything is interrelated from citizen administration to the social protection benefit cards from the local government's programs. I'm really proud to be involved in SPRI because of its meaningful impact on society. I am happy to be able to help other people and my neighborhood. As a consequence of the pandemic, these past two years have been hard on our community as their economic situations have suffered. With that said, SPRI and I have been able to help the community through social welfare programs. But it has not been an easy road. SPRI along with myself are continuing to fight for social welfare. We have taken various actions through related agencies for the realization of a social protection benefit card. Like the lessons I have learned throughout my life, there are indeed many problems we will face, but SPRI and I will not give up to fight for the right cause and for the sake of our people so we can fully realize the real meaning of independence.
Through SPR, I have been rigorously trained and am empowered to be an intelligent woman. I have gotten to know many coalition partners from IBP, FITRA, INITIATIF, and KNTI, who are progressives and fight for the welfare of the poor.
The knowledge I have received from SPRI has solely been for the good of people. I shed light on and advocate many people's problems. One is with Mrs. Fatma from the
Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh
#01
social services office, we collaborated in proposing wheelchairs for the elderly and disable. I am also proud of my journey, although my life was at one point torn apart, I was able to raise my children until they became independent. Not only has my family benefitted from my work, but also the community around me. That, for me, is priceless.
I hope my story inspires other single mothers and oppressed women in other cities and villages. Never be afraid to walk alone, never give up on your situation, don't stop to pray because we are not alone. God will open the way for us to survive, and don't stop doing good because through it we will find other good people, and good things too. It is our responsibility to work as one and help fellow human beings for the common good. ***
Aku Dipaksa Kuat oleh Keadaan Meskipun Sebenarnya Rapuh Illustrator by Ilham
#02 Never Ending Waiting by: Naimah
Jakarta, December 15, 2021 When I joined Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), I realized that my perspective had to change, I needed to start looking into my nearest surrounding community. On March 13, 2020, during the social audit training held by SPRI at the ENCOIT Building, Tebet, South Jakarta, I first met people who shared my struggles, aims, and experiences. Various training sessions were held by SPRI, either face to face or online, from citizen journalism training by experienced mentors from the Alliance of Independent Journalists (AJI) to basic budget management training.
To follow up the Social Audit training program, SPRI established a post in several villages, each stationed by 5 auditors. It is here that my friends and I started collecting data on several programs such as Keluarga Harapan (PKH), Kartu Lansia Jakarta (KLJ), and Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Along with my fellow auditors, we experienced many hardships during our time in Dukuh Village. It got off to a bad start as we were not recognized as SPRI auditors by the local village and neighborhood. We heard stories of families being denied social welfare aid even if it was plainly obvious that they were deserving of it. Others told stories of individuals assuring families that they would be registered for programs like PKH and receive its benefits if they were willing to pay a fee of Rp 30.000/ per person. Our spirit often wavered and there were times that we weren't sure if we could move forward. Obstacles didn't just come from the outside, our solidarity and spirit within the audit team was often tested as it was not easy to unite different people with different ideas. In the end we struggled on and made an effort to stay loyal to SPRI and its objectives.
Never Ending Waiting
#02 Our data collection on local residents for the KLJ program started from September 14, 2020 and went on until September 20, 2020. We managed to collect KLJ submissions from 70 families in the village. One applicant we registered was Samta (65 years old), a resident of RT 006 RW 01 Dukuh Kramat Jati Village, East Jakarta. Samta lived with his wife, a widowed daughter, and two grandchildren in a simple house in an alley within a densely populated neighborhood. To fulfill their daily needs, he along with his beloved wife sold soft drinks and fried foods. Samta was very hopeful to be accepted for the KLJ program.
"Please help, ma'am, how do I get a Kartu Lansia," Samta asked when I came to collect data on his family.
I was sad when I saw his condition. At that age, he should have been able to enjoy his retirement with his family and beloved grandchildren. In reality he still had to struggle to fulfill their daily needs and fill his family's stomach.
Sadly, fate had other plans, on January 15, 2021, Samta took his last breath. He returned to the lap of The Almighty as he was unable to fight the ferocity of the COVID-19 virus.
Never Ending Waiting
#02
I was devastated when I heard the news from his family. Our fight was not over, but he was gone. We're sorry, Mr. Samta. You weren't able to see and savor the fruits of our hard work.
Until the day of his death, his KLJ submission through SPRI had no clear responses from the respective offices. There's work left to be done as we need to register his family into DTKS (Integrated Social Welfare Data). Until now, their data has yet to be registered into DTKS. At the moment, all I can do is pray that you rest in peace with Allah SWT. Hopefully it is never too late for the government to provide social assistance for deserving families. ***
Never Ending Waiting Illustrator by Agnes Indah Permatasari
#03 Subsidized Fuel Recommendation Letters and Small E-Pass Advocacy for Fishermen at Tambak Lorok Semarang By: Mustakim (KNTI Semarang)
Subsidized diesel fuel in Tambak Lorok has never existed. Since I was a child, we have never used subsidized diesel for going to sea. Fortunately, Tambak Lorok is close to the harbor, so fishermen heavily relied on diesel from the illegal practice of fuel transfer between ships, also known as ship “urination”. We know the practice is illegal, but what can we do? It is the only way we can obtain fuel for going to the sea. During government operations against ship “urination”, fuel is much harder to obtain and that scarcity increases the price of any available fuel.
As fuel became harder to obtain, the fishermen began to discuss new solutions. The conversation started with fishermen who gathered at the KNTI post and inquired about plans concerning the development of a SPBUN (gas station for fishermen). There were many issues raised during the discussion, such as the difficult access fishermen had to fuel, having to travel long distances from Semarang to Demak for fuel, and fishermen who had to buy fuel at higher prices at retailers. The conversation sparked discussions to seek out a letter of recommendation for subsidized fuel, so that fishermen could buy fuel at normal prices closer to their homes. So how do you attain a letter of recommendation?
The first step is to have a cordial relationship or have the abbility to lobby relevant agencies, such as the city's fisheries office, the provincial fisheries and marine office, Pertamina, and the police. We introduced KNTI and its aims and objectives and as the relationship growed, issues that were important to KNTI were eventually discussed. The second step is making the letter of recommendation. The letter of recommendation is made by the local maritime affairs and fisheries office, and then taken to the police for approval. Having a police-approved copy of the letter makes the subsequent arrangements to the RT, RW, Kelurahan, Subdistrict, and Pertamina easier.
Subsidized Fuel Recommendation Letters and Small E-Pass Advocacy for Fishermen at Tambak Lorok Semarang
#03
After taking care of the recommendation letter, KNTI continued to accompany the fishermen in creating an E-Pas Kecil, or a boat ownership certificate. Frankly, it is odd that government regulation requires all beneficiaries to have an E-Pas Kecil. Ironically, to receive an E-Pas Kecil, a fisherman must have a boat, even though it is not common among local fishermen. Even more strangely, to make an E-Pas Kecil at KUB, fishermen must pay a fee od Rp. 100.000,. Because of this, many fishermen doubted KNTI Semarang's ability to help them obtain an E-Pas Kecil for free. “It's not possible to get an E-Pas Kecil with the help of KNTI! Surely E-Pas can't be obtained for free?”
Their doubts were the motivation for KNTI to help these fishermen obtain an EPas Kecil. We started from filling out forms which included a passport application letter, a handyman letter, and a statement letter. We took care of making the E-Pas Kecil for 30 fishermen, of which 28 were new and two were renewals.
After further checks, it turned out that 10 applications were rejected for an E-Pas Kecil because these fishermen did not own a boat. What was more frustrating is a new rule for filling out forms: forms originally allowed to be handwritten, suddenly had to be typed, thus making it impossible for fishermen to do so themselves. There were also many trivial and administrative mistakes that slowed down the process. Such as errors in typing formats, errors in attaching a color ID photo, and the wrong use of duty stamps.
That was our experience assisting fishermen in the creation of letters of recommendation for subsidized fuel and E-Pas Kecil certificates. I hope this experience can serve as an example for KNTI throughout Indonesia. ***
Subsidized Fuel Recommendation Letters and Small E-Pass Advocacy for Fishermen at Tambak Lorok Semarang Illustrator by Agnes Indah Permatasari
#04 By : Aidil Fahri (DPD KNTI Lombok Timur)
SUBSIDIZED FUEL ADVOCACY
Obtaining premium fuel (BBM) is a big problem for small fishermen in East Lombok. Many fishermen were not informed of the revocation of premium fuel. Taufik and I, a friend at KNTI, looked into the issues concerning fuel scarcity. We went to one of the gas stations to meet its management, but received no answers. We continued to look for information, and headed to the Maritime Affairs and Fisheries Office in the local district government, and met with the office head. "What complaints do you have, sir?" asked the office head. "Look, sir," I said, "we just went to the gas station and inquired about the scarcity of
Subsidized Fuel Advocacy
#04 premium gas." "Sir, fuel availability, specifically premium gasoline, has been revoked by the government", said the agency head. "Why has this information not been conveyed directly to the local fishermen, Mr. Kadis?" Taufik said. The agency head stammered an explanation, but could not give a clear answer. From the Marine and Fisheries Office, we continued to the KNTI office to continue our inquiry. We discussed how the scarcity of premium fuel prevented many fishermen from going to sea. The several fishermen who went to sea were forced to buy fuel (bottled fuel) at individual retailers. The many others that were not able to go to sea were therefore severely burdened as they relied on the sea as their main source of income.
The majority of fishermen had no knowledge of subsidized fuel and how to access it, because no one had informed them about it. To receive subsidized fuel, fishermen must have an E-Kusuka card. But information on how to receive this card had not been conveyed to the fishermen.
As a result, I teamed up with several of my friends from KNTI to collect the required data, Family Card and personal ID, to make E-Kusuka cards for as many fishermen as we could.
In addition, KNTI also set up a hearing with the provincial members of legislature to request an increase in the quota for premium fuel. The provincial members of legislature were also happy to accept the Chair of East Lombok KNTI's proposal to establish fishing areas in the province. My KNTI friends and I also had the opportunity to socialize the availability of subsidized fuel and the creation of E-Kusuka to the fishermen. Ironically, this socialization pertaining to the revocation of premium fuel and its subsidies should have been carried out by the Maritime Affairs and Fisheries Office, not KNTI, a civil society organization. ***
Subsidized Fuel Advocacy Illustrator by Agnes Indah Permatasari
#05 Problems That Makes Smile Us Smile By : Desyari Susanti (SPRI )
We once came upon a complicated problem working as an audit team in the Lubang Buaya Village, East Jakarta, under Lembaga Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI). At that time, December 14, 2021, we were tasked with collecting data on poor residents who were to be eligible to receive their decent life benefits, which included government programs such as Program Keluarga Harapan ( PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kartu Lansia Jakarta ( KLJ), etc. However, much of our efforts were rejected as residents cited religious reasons, data protection, and fear of their local neighborhood representatives.
Our audit team for SPRI Lubang Buaya, was represented by Desi, Iis, Eci, Wiwin, and Nurhasanah. Before our data collection, we requested permission from the local neighborhood representative to conduct the data collection. It turned out that obtaining the data was not as easy as previously imagined. We were flatly rejected. “Is this a legal institution? Has it been recognized by the government ? I can't allow my citizens to give out their data to an unclearly licensed institution,” said the village representative. Consequently, we were not able to collect any data. But we were determined to seek alternative solutions. We first attempted to collect data on several residents living close to where we were staying. During our data collection, we were suddenly approached by the 04 neighborhood head, "Please stop this data collection, I have orders from the hamlet head not to allow data collection on our residents other than those conducted by village officers." We were almost out of ideas and felt that there was no way to continue. One of our auditors, Nurhasanah, even doubted the validity of the institution and chose to leave SPRI. Another reason being that the neighborhood head was her brother in law. The remaining four officers continued to carry out this task even though we had to take alternative routes to collect data. We had to sneak around to avoid being noticed by the hamlet head. At one house, we were approached by one of the residents, Selvi, as she was interested in what we were doing. We invited Selvi into our team, and she was vital in our ability to fully conduct data collection. She was able to quietly inform residents
Problems That Makes Smile Us Smile
#05
that we had set up a post to accommodate concerns pertaining to government-backed programs.
As time went on, we were able to continue data collection without being noticed by the neighborhood and hamlet heads. The collected data also turned out to be insightful. The families we registered were finally able to receive their government benefits. With these results, residents, along with the hamlet and neighborhood heads, realized that our data collection was solely for the purpose of assisting residents in gaining access to government aid. Our results did not end there as we were finally recognized by the village office which made it much easier to collect data. We no longer had to sneak around in order to collect data. Even more, residents were now proactively coming to our post to report their data themselves.
Any problem we face can be endured as long as we are determined and have the patience to move forward. ***
Problems That Makes Smile Us Smile Illustrator by Agnes Indah Permatasari
#06 Shells VS Octopus, War and Suffer By FIRDAUS SAMBAS
It was a sunny day. Me and Imam Azhari, Chairperson of KNTI's regional representatives of the Tanjung Balai-Asahan area, were organizing the previously obtained data from the subsidized fuel advocacy and monitoring team. Data collection had been carried out on traditional fishermen in the Tanjung Balai and Asahan areas for approximately one month in May 2021. Before he had time to rest, Imam received a call from Bagus, a shellfish fisherman. Bagus had obtained his number from a banner informing of KNTI's subsidized fuel advocacy and monitoring command post on Simardan Tanjungbalai Island.
"Bro, we need your help tomorrow," said Bagus. "Who's this? What's going on?” Imam asked. "This is me, Bagus, the shellfish fisherman," he replied. "Yes, what's wrong, Gus?" "Bro, you said that there was an advocacy team for traditional fishermen, right? I need your help" "That's right, come to our main command post, on Jalan DI Panjaitan, okay?"
Thirty minutes later, Bagus arrived at the central command post and Imam and I listened carefully as he conveyed concerns he and his group had. "Bang, me and my fellow shellfish fishermen at Simardan Island are currently unable to go to sea," said Bagus. "Why, Gus? What's the problem?" asked the Imam. Bagus then told us that his fishing group consisted of about 50 traditional scallop fishermen who went to sea in the Tambun Tulang, Batubara regency. For the past month they were not able to go to sea because they were afraid of the threats made by the octopus net fishermen in Tambun Bone. "We are afraid, Bro, they are usually backed by local apparatus," said Bagus. "They've claimed that one of our boats had hit and consequently damaged their fishing net”
Thus was his explanation on why shellfish fishermen were not allowed in the Tambun Tulang area. The shellfish fishermen admitted that they had indeed conducted
Shellfish VS Octopus, War and Suffering
#06 fishing activities in the area. Although quite far from Tanjung Balai City, about 4 hours by sea, this natural habitat for shellfish also intersects with the habitat of octopus.
"I'm here to ask KNTI for help in negotiating with the octopus fishermen, Bro," said Bagus. Consequently, Imam asked me to help advocate for the shellfish fishermen and
Shellfish VS Octopus, War and Suffering
#06 investigate the root cause and solution to the issue. "Please arrange a schedule for us to meet the octopus net fishermen," said Imam.
The next morning we set out on a roof-less motor boat. As the sun rose directly over our heads, we arrived at Tambun Bone. The lack of protection from the lack of a roof on the ships allowed the searing sunlight to burn our skins. However, this was to be expected as we were on a ship designed to catch shellfish, made with power in mind, not comfort. It didn't take long for our skins to turn red. Not long after, the octopus net fishermen arrived. We started our dialogue, which culminated in an argument between the scallop fisherman and the octopus net fisherman. However, with our intervention, we managed to keep the peace. These conflicts were known to cause fights between the opposing sides, often culminating in the burning of opposing boats.
The conversation between the fishermen revealed that there was indeed a shellfish fishing boat that crashed into an octopus net. Eventually, it was agreed that the scallop fisherman would take responsibility for the damage. The octopus net fishermen, on the other hand, were also willing to negotiate terms regarding regulations, timing and fishing zonation in the area. The negotiations turned emotional at the end as the two sides felt a sense of mutual fortune and hardship.
We went home with relief, bringing back faces burned by the sun from forgetting to apply sun block. ***
Shellfish VS Octopus, War and Suffering Illustrator by Thurfatun Nadifah
#07 THERE WAS A SHRIMP BEHIND THE SUBSIDIZED FUEL
By: Sumiati (KNTI Lombok Timur)
The ocean is a fisherman's source of life, and fuel is its heart. On the island of Maringkik, East Lombok Regency, West Nusa Tenggara, the rarity of subsidized fuel has made it a very special commodity.
Maringkik is a small island where the majority of the population are fishermen. They use small boats also known as sampan as their only mode of transportation and use it on journeys outside the island. When they want to buy fuel, they make a 15 to 20 minute journey from their home across the sea to the main island. They then continue on land by truck to the Labuhan Haji SPBN (fuel station for fishermen) which is another 20.6 km away. This journey just to buy fuel is draining, on their bodies and on their pockets.
Scarcity and difficult access of fuel often forces these fishermen to buy fuel from individual retailers at a higher price of IDR 10,000/liter. Whereas, the price of fuel at SPBN is Rp. 6,850/liter. The fuel needed for one fishing trip is approximately 20 to 25 liters.
In reality, these fishermen have access to subsidized fuel. But, the process of making the recommendation letter to purchase the subsidized fuel, which requires a photocopy of the E-Kusuka card and personal ID, is very time consuming and many fishermen are therefore reluctant to go through the process. In addition, fishermen must buy fuel the day before or several hours before they set sail. But on the one hand, if they do not have access to subsidized fuel, they cannot go to the sea. Besides the long distance to the nearest SPBN, fuel availability is also very limited. This creates a competition among fishermen to obtain fuel. As a result, it is not rare for the fishermen to go home empty-handed and several are even willing to stay overnight just to get their fair share.
The Shrimp Behind Subsidized Fuel
#07 The process of making a recommendation letter for the purchase of subsidized fuel, which was initially taken care of directly by the Fisheries Offices, was instead transferred to the SPBN. The process of making a letter at these SPBN is very time consuming, with processes taking up to 7 days. In consequence, this long process often forces the fishermen to temporarily stop fishing activities until they have access to subsidized fuel. After hearing of and witnessing the hardships these fishermen went through, KNTI initiated several activities to assist these fishermen in obtaining affordable fuel. KNTI began with surveys on the fishermen to obtain credible data. In December 2021, KNTI held a focus group discussion with provincial legislature representatives to present the fishermen's complaints. They conveyed the difficulties in accessing subsidized fuel and suggested the development of a new SPBN closer to the island of Maringkik. However, these suggestions have yet to be properly responded to. ***
The Shrimp Behind Subsidized Fuel Illustrator by Alvin Satria Firdaus
#08 Subsidized Fuel for the Fishermen of Nambangun-Cumpat Villages By : Jihan Nafisah (KNTI Surabaya)
When I first joined KNTI's (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) survey team for the government's fuel subsidization program on April 7, 2021, I thought that it would be an easy task. After all, the survey only involved traditional small-scale fishermen from the villages of Nambangan and Cumpat in Surabaya. However, that feeling quickly changed when other members of the survey team and I met directly with the fishermen. The first ten days of our survey were met with various responses, ranging from those who invited us into their homes like guests of honor and entertained us well, to those who denied our approaches by pretending not to be home or hid from us before giving us any chance to convey our intentions. There were also times when we would meet fishermen on the streets, but only for them to turn around and avoid us. This all happened not without reason. These fishermen were confused and awry with how they should position themselves. They did not consider KNTI as part of the KUB (Kesatuan Usaha Bersama), a fishing group formed by the city of Surabaya's Maritime Affairs and Fisheries Office. We persuaded them to have by approaching
Subsidized Fuel for the Fishermen of Nambangun-Cumpat
their data recorded them and
#08 explaining our objectives with KNTI. Understandably, it was not easy explaining what KNTI was and why it was important to have access to subsidized fuel. Furthermore, the fishermen argued that they were fine with buying fuel at prices regulated by individual retailers.
After several approaches, several fishermen began to open up to us and were more comfortable with sharing information or even stopping by to hang out at the post with other fishermen. However, not all fishermen were as easily convinced. Several fishermen were still apathetic and kept their distance. As it turned out, they had their reasons. They were previously exposed to negative views on KNTI spread by the KUB who did not like the existence of KNTI in Nambangan Village and Cumpat Village. KUB thought of KNTI as competitors and a threat. Their negative and one-sided opinions didn't just spread among fishermen, but also to the local marine and fisheries office.
In consequence, during a visit to the city of Surabaya's Marine and Fisheries Office on June 21, 2021 to provide a letter of request for an audience with its head, the officers we met were apathetic to our request. They failed to provide certainty and follow through with our request.
After failing to receive any response from the agency, we made a report to the Office of East Java Province's Ombudsman Representative on August 5, 2021. We reported our data concerning subsidized fuel and E-Kusuka cards for fishermen, as well as the lack of response from relevant agencies that did not heed our request for an audience. We explained that in order to access subsidized fuel, local fishermen are required to obtain a recommendation letter issued by the city of Surabaya's Maritime Affairs and Fisheries Office, which was not yet received. Our visit to the Ombudsman Office was accompanied by a representative of FITRA East Java, Mas Habib. From his previous experiences, Mas Habib explained that compared to other cities in East Java, Surabaya
Subsidized Fuel for the Fishermen of Nambangun-Cumpat
#08 was the hardest city government to contact . Shortly after our complaint to the Ombudsman office had been filed, the Minister of the Ministry of State-Owned Enterprises, Erick Thohir, conducted an inspection on the scarcity of oxygen supplies in Surabaya on August 15, 2021. We took advantage of this moment to convey our goals for the subsidized fuel program for traditional small scale fishermen and the plan to build a SPBN (gasoline station for fishermen) to be built near fishing villages.
Mr. Erick Thohir appreciated our concerns and our efforts and immediately contacted Mrs. Nike, director of PT Pertamina, to immediately follow up on KNTI's request.
The following day, August 18, 2021, PT Pertamina's representative came to confirm and ensure that the SPBN development in Nambangan Village and Cumpat Village was still on - going. However, there were issues in locating a strategic location, and therefore alternately planned for the development of a Pertashop.
We hope that all the programs that have not been completed and achieved last year can be achieved this year. Yook... Keep it up! ***
Subsidized Fuel for the Fishermen of Nambangun-Cumpat Illustrator by Alvin Satria Firdaus
150 Liter BBM Program and E-Kusuka Card for Small-Scale Fishermen in Central Java
#09
By: Syafii (KNTI Demak)
In 2021, 150 liters of fuel was provided for every small-scale fisherman by the Central Java government. The aid was increased to 200 liters in 2022. The central government also issued the Kusuka Card, which is considered as the “do-it-all” card by the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries's (KKP) program. Unfortunately, the program did not have clear targets and lacked necessary socialization from the relevant agencies. I decided to look deeper into this program. I went directly to small-scale fishermen, a group who always seem to receive the short end of the stick in government assistance programs in the marine and fishery sector.
After being woken up by the crowing of a nearby rooster, I quickly got up from my soft bed, and ran to the bathroom. I washed my face and cleaned my body, I fulfilled my
150 Liter BBM Program and E-Kusuka Card for Small-Scale Fishermen in Central Java
#09 duty to perform morning prayer, and after that I washed my hands and had breakfast with a cup of coffee. "Dek.... I'll be off, okay?" as I said goodbye to my wife. At nine o'clock in the morning, I arrived at the fishermen's resting place after returning from a day of fishing. I then approached a fisherman I've gotten to know. "Hey bro!" I greeted. "Hey, what are you up to? I'm surprised to see you here," he answered curtly. "I don't like how you said that," I replied. "Relax, bro," he replied. "How's it going?" "A lot of people here get fuel assistance, right?" I asked "Nope... the only people who get help are those who have boats and belong to groups, and people who are close with the maritime affairs and fisheries office."
"Well... fuel assistance is for those who have boats," I said. "Isn't it assistance for small fishermen?" he asked as his voice rose. "Now let me ask this, between those who have boats and those who don't have boats, aka fishing workers, which is more appropriate to be called small-scale fisherman?” "Those who don't have boats," I answered. "See! You get it! Then who deserves government assistance?” "How would I know?" I answered, pretending I didn't know. "Again, it's the small fishermen who suffer the most, us fishing workers.” "There are many government programs, especially from the Ministry of Marine Affairs and Fisheries, not just fuel assistance. For example: Kusuka Card, which will be integrated with capital assurance and training,” I answered. “Capital assurance and training, it's just a dream! What bank provides capital without collateral?”
"Why would the bank reject a proposal?" I asked. "Because we are fishermen." "Seriously, you've never received help from the government?” "Never! After all, those who always get help are usually people who are close to the
150 Liter BBM Program and E-Kusuka Card for Small-Scale Fishermen in Central Java
#09 maritime affairs and fisheries office.” "Really?" "You don't know this? My neighbor who's owned a boat for a long time has never received any assistance, even though his boat is under 5 GT.” "Well... what's the problem?" “First, he doesn't belong to a group. Second, he doesn't have an E-Pas Kecil certificate. Third, he doesn't have a fisherman's card.” "Well.... can't he take care of it?" “ Ask him. That's his house next to mine." I then met with my friend's neighbor. I asked why he didn't take care of the documents. "Why should I make the documents? After all, I would never get any assistance," he replied. "Please make it, sir," I said. “Those documents are important, the eligibility of many programs require those documents. The KKP (Ministry of Maritime Affairs and Fisheries) itself issued the Kusuka Card, which is planned to be the “do-it-all” card from the KKP.”
“What card is that again? What kind of help does it provide?" he asked. “There was a government program introducing the Kusuka Card, have you heard of it? "Never," he replied. "What are the benefits of the Kusuka Card?" “As far as I know, first is the integration of data. Second, insurance. Third, capital. Anyway, many benefits. If I may suggest, follow these government programs, the benefits are great.”
"I'm too lazy!" he snorted. "It will only go to the same guys who always get it." That conversation made me think of how ironic the fate of labor fishermen in government programs. The loss of the fishermen's trust in government programs and policies is a real blow to its efficacy. Is the government still turning a blind eye?
The importance of KKP's Kusuka Card and its enormous benefits must be socialized even to the village level, if necessary, to the neighborhood level. Assistance must be correctly targeted to those who really are small fishermen .***
150 Liter BBM Program and E-Kusuka Card for Small-Scale Fishermen in Central Java Illustrator by Alvis Satria Firdaus
#10 MANG
AJAT By: Rully Fanggidae (SPRI Bandar Lampung City)
There stood a small hut, with a small river flowing behind it. It had dirt floors and lacked electricity. The hut stood empty as its occupant was out making a living. The hut stands illegally on the land of the Bandar Lampung City government. It belongs to a middle-aged man by the name of Mang Ajat, a 58 year old. Mang Ajat works as a parking attendant at a well-known restaurant in Bandar Lampung City. He is a widower with two married children.
The wooden hut has started to crumble and is infested by termites. The crumbly cubicle was without a gas stove, lighting, and, sadly, without sanitary facilities. Mang Ajat relies on the small river for his needs. Mang Ajat is one of the many people living under the poverty line in Indonesia. With a low level of education and a lack of skills, Mang Ajat fights to survive without any useful weapons. To support his needs, Mang Ajat spends 14 hours a day as a parking attendant.
As a poor citizen, Mang Ajat has never been registered into the government aid program. My question is, where is the government in this? Where is social justice for all Indonesians? Are government aids properly targeted at the right causes and
Mang Ajat | Subsidized Fuel for the Fishermen of Nambangun-Cumpat
Mang Ajat
#10 people? If so, how could Mang Ajat be missed?
I remember coming home with thousands of questions. I returned home determined to fight for Mang Ajat's sake and for hundreds of other poor people I had listed. I hope nothing is wasted through this struggle. I hope God will answer all my sincere prayers. ***
Mang Ajat Illustrator by Thurfatun Nadifah
#11 A Reflection from my Short Journey in Mentoring SPRI Tasikmalaya By: Yayan
March – December 2021 The swift actions taken by SPRI in Tasikmalaya to organize and recruit village cadres, consisting of posyandu (integrated health posts) cadres and/or social activists, was necessary to respond to the developing social conditions at the time. This was part of the strategy to realize SPRI's mission: help poor communities understand DTKS (Integrated Social Welfare Data) and who were deserving of social welfare programs.
Their understanding of DTKS is crucial to resolve issues such as unregistered residents who are otherwise eligible for social benefits. DTKS is the main reference for the government to distribute social assistance sourced from the APBN (state budget: PKH and BPNT) or APBD (provincial budgets).
The mentoring process and the strengthening of SPRI in Tasikmalaya began with the first meeting at the Sanggar Pasundan (SPP Tasikmalaya Secretariat). There, we were acquainted with their cadres and discussed organizational work plans for a joint agenda between SPRI and Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial (KRPS).
This first meeting with SPRI Tasikmalaya was our initial step in our mentorship program that would be carried out for the next few months. This was Perkumpulan Inisiatif's work to coordinate and assist the implementation of the SPARK program.
This step was also made to begin efforts to synchronize the organization's work programs, to get an overview of the processes planned to mentor and strengthen the organization, and to find an organizational model suitable for SPRI.
In effect, SPRI would have an improved leadership and organizational management system, an increase in membership and the members' capacity to monitor and fight for their interests on government social protection.
A Reflection from my Short Journey in Mentoring SPRI Tasikmalaya
#11 SPRI cadres were dominated by women from varying backgrounds; from housewives, village cadres, health cadres, to those having a fairly wide social network. This diversity presented its own challenges in finding the right organizational model. A cadre must be able to remove himself of his/her inherent social attributes in order to blend in with local residents and avoid any perceived differences in social class. In other words, a cadre must be able to adjust his position and role with the goal of facilitating organizations/citizens in achieving their own goals.
A Reflection from my Short Journey in Mentoring SPRI Tasikmalaya
#11 This is to ease the assimilation of cadres into their new communities and ensure their missions are carried out smoothly. Thus, a cadre must at least have sufficient knowledge and skills as well as build social and political networks to establish credibility in responding to various problems.
However, this is not to say a cadre must always heed to all requests made by their assisted residents. Their main task is to analyze and respond quickly and wisely to any situation, and be able to control themselves from any temptations of power and popularity.
Carefully identifying organizational problems and mapping potential strengths of actors/organizational cadres became a routine agenda at every meeting. We were often forced to make difficult choices on dilemmatic organizational issues. There were also times when we chose to remain silent and abstain from making a choice, not realizing it was the worst decision we could make.
The organization of communities requires long processes containing many various activities. This process demands total loyalty in devotion to one's mission and truths. It takes dedication to be able to divide time between one's family and their organizational responsibilities to bring about meaningful social change. The end result of this exercise is to have the cadres carry out organizational duties independently without having to depend on others. The organizational management of SPRI Tasikmalaya was recently restructured from its previous management (SPRI Tasik Raya) based in Tasikmalaya Regency. The emergence of leadership from prominent women proved that SPRI's struggle in Tasikmalaya was fruitful and provided fresh air for its future sustainability. The number of SPRI members has also increased in almost every district in Tasikmalaya.
The network of cadres at the village and regional levels is a potential organizational asset which must be well managed and developed by SPRI members. They bring hope to the organization's mission, specifically to conduct social data collection /audits on families who have not been recorded in DTKS.
A Reflection from my Short Journey in Mentoring SPRI Tasikmalaya
#11
Even so, this condition creates other challenges for SPRI. The implementation of mentorship for SPRI's current agendas coincided with SPRI's recruitment of new members planned to be the main actors in running the SPARK program. Therefore, additional efforts were needed to introduce the organizational identity of SPRI to new recruits.
The process of constructing the approach and problem mapping model was the first step to mentor and strengthen the organization. These methods were used as the main tools in carrying out organizational programs. Acquainting ourselves with cadres and the core management group of the organization and establishing effective and open communication was crucial to building and finding potential room for growth.
The SPRI cadres in Tasikmalaya were posyandu and village cadres who were used to managing the civil registry of local residents. This experience was their main tool in implementing SPRI's programs. Their competence was proven by their ability to respond quickly to various conditions during data collection of unregistered families in the DTKS database and during audits of the PKH-BPNT program at the city level.
Basic knowledge in assisting residents also became an asset for SPRI cadres and helped in internalizing organizational values. Previously, it could be said that cadres were not deeply involved in SPRI's organizational programs. This is of particular concern as their involvement was limited to registering residents into existing programs.
Newly recruited cadres worked hard to challenge that assumption. Their implementation of several social data collection and audit programs with SPRI showed they could provide many lessons and benefits for cadres and residents. Some of the negative stigmas against cadres before joining SPRI, (they often "helped" residents with civil registry data such as making ID and family cards, or accompanying residents to get BPJS while in hospital) turned into positives as they implemented SPRI's mission.
Likewise with cadres who worked at the regional/city level, they gained respect through their daily activities in comparison to their days before joining SPRI.
The organizational dynamics of cadres has drastically changed from its original state. The involvement of many parties often created confusion in developing organizational strategies. Egos arise, and self interests often clash. Therefore,
A Reflection from my Short Journey in Mentoring SPRI Tasikmalaya
#11
communication and mutual openness between individuals is vital for mutual understanding and in keeping the organization on its right path.
In these situations, the existence and position of regional organizational leaders as main actors, determines the solidarity and loyalty of their members in carrying out their programs. It inherently determines the organization's ability to influence its surrounding environment.
The emotional connection between SPRI cadres has yielded significant results, especially in maintaining solidarity to carry out an agenda, whether it is a specific organizational agenda (implementing the SPARK program), or in the form of participating in regular weekly meetings initiated by the cadres.
Along with the growth of the network between cadres and other social actors, an acknowledgment and respect for SPRI's work in Tasikmalaya was recognized by the local government. This helped raise awareness for activism among women groups, triggered their curiosity in understanding their roles in raising their self worth, and strengthened their bargaining position as movers and mentors to the community, at the district level and up to the city level.
This development also raised questions from several women cadres regarding the sustainability of the organization in the future after social data collection and audit programs are fully conducted.
Organizing communities in the context of social change should be a strategic issue and receive special attention. Success in reaching the targeted outcomes of change will be dependent on the work of the organization itself. Its efforts should be carried out systematically, especially if its aim is to improve the bargaining position of the community.
Therefore, in carrying out community organization, organizations must be able to bring up cadres from said community. Because they are the ones who will continue to develop the organization, thus encouraging the sustainability of the organization's aims.
With that said, community organizing is not solely about herding communities,
A Reflection from my Short Journey in Mentoring SPRI Tasikmalaya
#11
and seizing access to assistance from the government. Community organizing should enable the potential that exists within the community itself. Thus enabling the exploration of their potential, self-help and community empowerment.
Thus, if external factors and parties are involved, it should be as a form of support, a stimulant to accelerate the process of desired change. If independence within a community is not realized and is not the focus of organizing, then dependence on external factors is unavoidable. Organizational independence is very important as changes in society can only occur if the community itself takes part in it.
A Reflection from my Short Journey in Mentoring SPRI Tasikmalaya Illustrator by Thurfatun Nadifah
#12 Overview of my Mentoring Experiences with SPRI through the SPARK Program in Bogor Regency and Bogor City (Social Audit)
March – December 2021 Mentoring and organizing rural communities, specifically farmers, can be said as my daily work environment. Perkumpulan Inisiatif's mandate for me to be a mentor for SPRI through the SPARK program in the Bogor area (Bogor Regency and Bogor City) was my first experience in social protection, specifically with social aid programs (Bansos) for underprivileged families such as the PKH and BPNT programs.
This was a very valuable experience because in addition to receiving a deep understanding of social aid programs, I also had the opportunity to see its implementation in the field, such as social assistance distribution patterns and the mechanism to verify and match DTKS (integrated social welfare data) data. On top of that, mentors were able to understand the process of organizing SPRI cadres who were to be the main actors of the SPARK program.
There is a principal difference in SPRI's organization of poor communities in urban areas compared to those in rural areas, specifically its approach to its own members. In agricultural areas, cadres are largely represented by farmers and from there are later determined to be leaders/coordinators. Meanwhile, the recruitment of SPRI cadres in urban areas is conducted on existing village or district cadres.
These cadres identified themselves as volunteers for audits on social welfare. These were the cadres in which we were tasked with assimilating ourselves to, including SPRI members in Bogor Raya (Bogor Regency and Bogor City).
My discussions with SPRI cadres in Bogor Raya concerning the mechanisms of social protection programs, specifically social aid programs such as the PKH and BPNT programs were quite interesting and challenging. Through this activity, a solid relationship was built between SPRI cadres and their mentors, thus enabling effective mentorship on technical matters including activities to increase the number of volunteers for villages/districts without an existing SPRI cadre structure.
Overview of my Mentoring Experiences with SPRI through the SPARK Program in Bogor Regency and Bogor City (Social Audit)
#12 The challenges faced by mentors had more to do with splitting time to mentor SPRI cadres in villages/districts that were scattered and far apart. However, we were quite satisfied as our targets within the SPARK program were well achieved and activities to strengthen the organizational aspects of SPRI were carried out well.
These cadres (mostly women) were also village/district cadres who were experienced with the PKH and BPNT social assistance programs. However, they did not fully understand its proper implementation based on the determined provisions.
Through the SPARK program, cadres had the opportunity to fully understand how the social assistance program was meant to be implemented. Through our observations, we concluded that some of the SPRI cadres successfully recruited also came from poor/underprivileged families. So, through their work at SPRI, these cadres were also fighting for their own right to receive government assistance.
Overview of my Mentoring Experiences with SPRI through the SPARK Program in Bogor Regency and Bogor City (Social Audit)
#12 Another impact of the SPARK program was the increased ability of cadres to work in teams, both at the village/district level and at the regency/city level, and an improvement of organizational structure within SPRI.
Of all the processes in the SPARK program, mentorship was easiest, most direct, and measurable. Mentors felt that SPARK's mentorship scheme was very helpful in developing the capacity of cadre groups in villages and districts.
During consequent processes, mentors only accompanied the work process of cadres, both in understanding the survey tools from Perkumpulan Inisiatif, surveying the poor, and matching data in villages/districts, etc. The cadres would occasionally consult their mentors, even then, it was only if they were at a dead end.
This series of activities helped acquaint residents in the village/district with SPRI's cadres. Mentors also witnessed how residents were able to convey their concerns and ask for assistance regarding social assistance to SPRI's cadres. The SPARK program also had an impact on the implementation of social assistance programs as stakeholders were more open on the process of implementing social assistance, especially to SPRI cadres. This made it easier to advocate for the poor and or solve problems that arose during the implementation of a social assistance program.
Unfortunately, this only occurred in villages/districts within the scope of the SPARK program carried out by SPRI, and not the entire Bogor Raya area.
Based on the mentor's notes, the benefits of the SPARK program were not only felt by SPRI (by increasing cadre members and expanding the membership area) and social assistance program organizers, rather, those most benefiting from this program were the poor families that were passed by previous implementations of social assistance programs. They were now able to speak to and be heard by the organizers of social assistance programs. An important point which needs to be underlined is how the SPARK program has encouraged marginalized groups to collaborate, both with civil institutions (CSOs) and with official state institutions (village governments, local governments, and central government), specifically on issues concerning social welfare protection. According to mentors (through their own involvement in the SPARK program), the concept of strengthening civil society organizations using the local cadre approach and accompanied with mentorship is a great program. This program deserves to be further
Overview of my Mentoring Experiences with SPRI through the SPARK Program in Bogor Regency and Bogor City (Social Audit)
developed, and needs to be pushed into the government's agenda.
#12
This is a glimpse into my SPRI mentoring experience through the SPARK program in the Bogor Regency and Bogor City areas.
Overview of my Mentoring Experiences with SPRI through the SPARK Program in Bogor Regency and Bogor City (Social Audit) Illustrator by Thurfatun Nadifah