03 SERI BUKU
R O TA N
Mo dul Pe lat ih a n
PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN T R A I N I NG
F OR
T R A I N E R
Penulis: Arman Masudi | Noviar Safari | Yuli Irianto
Social Economic Development Institute
---- MODUL PELATIHAN ----
PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
MODUL PELATIHAN PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN Koordinator Penyusun: Pius Widiyatmoko Tim Penulis: Arman Masudi, Noviar Safari, Yuli Irianto Reviewer: Dadan Ramdan, Mokhamad Ikhsan, Budiarti Utami Putri Penyunting Bahasa: Betta A. Setiani, Budiarti Utami Putri Desain dan Tata Letak: Pieter P. Setra Perpustakaan Nasional: MODUL PELATIHANPENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN INISIATIF - Bandung, 2017, 25x20cm; 200 hal Hak Cipta dilindungi Undaang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi manual ini tanpa seizin penerbit
KATA PENGANTAR
D
alam rangka mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat, Perkumpulan Inisiatif bersama Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM), Serikat Perempuan Bonehau (SPB) dan Sande’ Institute membentuk sebuah wadah yang bernama Konsorsium Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Mamuju (PSDABM-M).
Melalui Konsorsium PSDABM-M ini, berbagai bentuk kerja sama dilakukan untuk menciptakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, terutama diwujudkan dalam bentuk pengelolaan rotan yang tumbuh di hutan sekitar lingkungan masyarakat Desa Hinua, Bonehau dan Tamalea di Kabupaten Mamuju serta pengolahan rotan Agar masyarakat mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam hal pengelolaan rotan dan hutan yang berkelanjutan serta pengolahan rotan menjadi bahan baku atau barang jadi, maka upaya peningkatan kapasitas merupakan hal penting untuk dilakukan. Pengetahuan dan keterampilan mengelola tanaman rotan dan cara memanen yang baik serta mengolah hasilnya akan menjadi kontribusi yang positif terhadap keberlanjutan rotan dan hutan tersebut. Dalam konteks demikian, paket buku panduan dan modul ini dikembangkan oleh Konsorsium PSDABM-M. Paket buku pelatihan ini diharapkan dapat menjadi navigasi bagi konsorsium sendiri dan masyarakat sekitar dalam upaya mewujudkan pengelolaan dan pengolahan rotan yang berkelanjutan. Buku panduan dan modul ini terbagi ke dalam 3 paket besar yaitu, pembibitan, budidaya dan panen, pabrik pengolahan rotan serta industri rumahan (home industry). Ketiganya merangkum proses penanaman rotan hingga pengolahan panennya menjadi bahan baku sampai barang jadi siap pakai. Penyusunan paket buku panduan dan modul ini telah dilaksanakan dengan proses dan tahapan yang penuh dengan kehati-hatian dan sungguh-sungguh. Di awal proses penyusunan digelar lokakarya mini untuk menyamakan
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
5
pemahaman dan persepsi mengenai pengelolaan rotan yang berkelanjutan antara penulis dengan pengelolaan program. Kedua, pasca lokakarya mini yang output-nya adalah kisi-kisi penulisan paket buku modul dan panduan, kegiatan dilanjutkan dengan penulisan draft paket panduan dan modul lalu di-review melalui lokakarya pembahasan draft paket. Ketiga, agar penyusunan paket buku modul dan panduan ini tepat sasaran selanjutnya dilaksanakan pelatihan uji coba dengan peserta utama dari komunitas masyarakat di 3 desa tempat pelaksanaan program, pemerintah Kabupaten Mamuju serta reviewer proses pelatihan. Pasca ujicoba berbagai masukan diolah untuk menyempurnakan materi. Dan akhirnya setelah melalui proses yang bertahap tadi, paket buku panduan dan modul ini berhasil diselesaikan dan siap menjadi bahan peningkatan kapasitas masyarakat di 3 desa dalam hal pengelolaan rotan yang berkelanjutan. Namun demikian, walaupun paket buku panduan dan modul ini telah dibuat dengan semaksimal mungkin, kekeliruan dalam beberapa hal masih mungkin terjadi. Berdasarkan hal itu, berbagai saran, kritikan dan masukan konstruktif untuk penyempurnaan akan selalu terbuka. Terakhir, sebagai sebuah dokumen yang disusun dengan melibatkan banyak pihak tentu saja ucapan terimakasih layak ditujukan kepada mereka yang telah bersedia untuk terlibat. Kepada para penulis, reviewer, penyunting bahasa, dan masyarakat di 3 desa serta perwakilan dari Pemerintahan Kabupaten Mamuju diucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Dan juga pihak MCA-Indonesia yang memberikan dukungan pendanaan konsorsium. Semoga kehadiran paket buku panduan dan modul ini mampu menjadi sumbangsih yang berarti untuk menciptakan pengelolaan dan pengolahan rotan yang berkelanjutan di Indonesia.
Bandung, Maret 2017 Konsorsium Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat - Mamuju (PSDABM-M) Perkumpulan Inisiatif, Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM), Sande’ Institut, Serikat Perempuan Bonehau (SPB)
6
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR _____________________________________________________________5 Kurikulum Pelatihan Pengembangan Industri Rotan Rumahan Rotan ___________________9 MODUL 1 Pengantar Pelatihan (60 Menit) _________________________________________17 MODUL 2 Rotan Dan Konsep Pengembangan Industri Rotan Rumahan (120 Menit) _______27 MODUL 3 Kelembagaan (120 Menit) _____________________________________________41 MODUL 4 Pengenalan Produk Industri Rotan Rumahan (120 Menit) ___________________96 MODUL 5 Proses Pengolahan Bahan Baku Rotan Menjadi Bahan Siap Pakai (90 Menit) ____106 MODUL 6 Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Anyaman Lasio (90 Menit) ____________122 MODUL 7 Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Rotan Core (90 Menit) _______________127 MODUL 8 Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Rotan Kubu (90 Menit) ______________133 MODUL 9 Pembuatan Rangka Kursi dan Meja Rotan (150 Menit) _____________________137 MODUL 10 Pembuatan Anyaman Kubu Pada Kursi (90 Menit) ________________________155 MODUL 11 Proses Finishing (90 Menit) __________________________________________160 MODUL 12 Pembuatan Anggaran Biaya Produksi (60 Menit) _________________________177 MODUL 13 Proses Pengepakan (60 Menit) _______________________________________183 MODUL 14 Evaluasi Dan Rencana Tindak Lanjut (45 Menit) __________________________190
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
7
Kisi-Kisi Modul Pengembangan Industri Rotan Rumahan Modul 1 – Pengantar Pelatihan Modul 2 – Rotan dan Konsep Industri Rotan Rumahan Modul 3 – Kelembagaan dan Regulasi Modul 4 – Pengenalan Produk Industri Rotan Rumahan Rotan Modul 5 – Proses Pengolahan Bahan Baku Rotan menjadi Bahan Siap Pakai Modul 6 – Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Anyaman Rotan Lasio Modul 7 – Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Rotan Core (Lombokan) Modul 8 – Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Anyaman Rotan Kubu Modul 9 – Pembuatan Rangka Kursi dan Meja Rotan Modul 10 – Pembuatan Anyaman Kubu pada Kursi dan Meja Modul 11 – Proses Finishing Modul 12 – Pembuatan Anggaran Biaya Produksi Modul 13 – Proses Pengepakan Modul 14 – Evaluasi dan RTL
8
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Kurikulum Pelatihan Pengembangan Industri Rotan Rumahan Rotan No. 1.
Modul/Topik Bahasan Pengantar Pelatihan
Subtopik • Persiapan menuju materi pelatihan • Perkenalan seluruh peserta, fasilitator, narasumber, dan panitia • Penyampaian harapan dan kekhawatiran peserta terkait kegiatan pelatihan • Penentuan kontrak pelatihan
Tujuan Belajar
Proses dan metode Belajar
• Membangun suasana • Permainan yang akrab, cair, perkenalan diri terbuka, dinamis, • Curah aktif, partisipatif dan Pendapat saling percaya satu • Diskusi sama lain sehingga memudahkan proses belajar selanjutnya • Mewujudkan situasi yang saling mengenal antara fasilitator, narasumber, panitia, dan peserta satu sama lain, baik dalam hal persamaan maupun perbedaan masingmasing • Mengidentifikasi masalah, memetakan harapan dan kekhawatiran peserta terkait kegiatan pelatihan, serta mencari jalan keluarnya • Mencapai satu kesepakatan bersama terkait tata tertib pelatihan
Materi/Media Belajar
Waktu
PIC
• Kertas plano • Spidol • Bahan Bacaan 1.1 Pengantar Pelatihan
60 Menit
Fasilitator
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
9
No.
10
Modul/Topik Bahasan
Subtopik
Tujuan Belajar
Proses dan metode Belajar
Materi/Media Belajar
Waktu
PIC Fasilitator
2.
Rotan dan Konsep Pengembangan Industri Rotan Rumahan
• Pemetaan proses pelaksanaan industri rotan rumahan
• Menggali informasi tentang berbagai kondisi di masyarakat calon kelompok industri rotan rumahan • Memberikan pemahaman tentang pentingnya pengelolaan dan pengolahan rotan
• Pemaparan/ ceramah • Curah Pendapat • Diskusi Kelompok
• Power point: Modul 2 Pengantar • Lembar post-test • Bahan Bacaan 2.1 Rotan dan konsep pengembangan industri rotan rumahan
120 Menit
3.
Kelembagaan
• Pemetaan sumber pendukung dalam melembagakan kegiatan industri rotan rumahan di lokasi peserta • Pemahaman tentang manajemen kelembagaan industri rotan rumahan
• Menggali pemahaman peserta tentang pengelolaan lembaga usaha • Memberikan pemahaman tentang arti pentingnya menjalankan manajemen / pengaturan sebuah usaha kecil
• Pengisian lembar isian post-test • Pemaparan/ ceramah • Diskusi kelompok
• Power point: Modul 3 Kelembagaan • Lembar post-test • Bahan Bacaan 3.1 Kelembagaan; Bahan Bacaan 3.2 UU No. 20 Tahun 2008 (UMKM); Bahan Bacaan 3.3 Permendag No. 89 Tahun 2015; Bahan Bacaan 3.4 PermenLHK No. 91 Tahun 2014
120 Menit
4.
Pengenalan Produk Industri Rotan Rumahan
• Reka bentuk bahan olahan rotan • Standar reka bentuk, daya guna pendorong daya saing pasar
• Mendorong tumbuhnya imajinasi dan kreativitas peserta untuk menciptakan bentuk olahan rotan
• Ceramah • Curah Pendapat • Diskusi
• Power point: Modul 4 Pengenalan Produk Industri Rumahan • Lembar post-test • Bahan Bacaan 4.1 Pengenalan Produk Industri Rotan Rumahan
120 Menit
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Fasilitator
Modul/Topik Bahasan
Subtopik
Proses Pengolahan Bahan Baku Rotan menjadi Bahan Siap Pakai
• Proses pengolahan dan hasil bahan baku • Produk dari bahan baku tertentu
6.
Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Anyaman Lasio
7.
8.
No. 5.
Proses dan metode Belajar
Tujuan Belajar
Materi/Media Belajar
Waktu
PIC
• Pemahaman tentang • Pemaparan istilah dan jenis rotan media yang ada • Curah • Pemahaman tentang pendapat beberapa proses pengo- • Pemaparan lahan dasar pada rotan contoh baserta alat-alat yang han baku rotan digunakan. setengah jadi • Pemahaman tentang (rotan batang, pemilihan bahan sesuai rotan core, kriteria rotan pitrit, rotan lasio)
•
Power point: Modul 5 - Pengolahan Bahan Baku Lembar post-test Bahan Bacaan 5.1 Klasifikasi Rotan dan Spesies Rotan; Bahan Bacaan 5.2 Jenis Rotan dan Kegunaannya
90 Menit
Fasilitator
• Proses Persiapan • Langkah-Langkah Pengerjaan • Praktik
• Pemahaman tentang langkah pembuatan keranjang laci serta alat-alat yang digunakan • Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai dengan kriteria
• Pemaparan Media • Curah Pendapat • Demonstrasi • Praktik
• Power point: Modul 6 Pembuatan Keranjang Berbasis Lasio • Video: Modul 6 Pembuatan Keranjang Berbasis Anyaman Lasio
90 Menit
Fasilitator dan Narasumber
Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Rotan Core
• Proses Persiapan • Langkah-Langkah Pengerjaan • Praktik
• Pemahaman tentang langkah pembuatan keranjang rotan core lombokan serta alatalat yang digunakan • Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai dengan kriteria
• Pemaparan Media • Curah Pendapat • Demonstrasi • Praktik
• Power point: Modul 7 Pembuatan Keranjang Berbasis Core • Video: Modul 7 Pembuatan Keranjang Berbasis Rotan Core
90 Menit
Fasilitator dan Narasumber
Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Rotan Kubu
• Proses Persiapan • Langkah-Langkah Pengerjaan • Praktik
• Pemahaman tentang langkah pembuatan keranjang kubu
• Pemaparan Media • Curah Pendapat • Demonstrasi • Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai • Praktik dengan kriteria
• Power point: Modul 8 Pembuatan Keranjang Berbasis Rotan Kubu • Video: Modul 8 Pembuatan Keranjang Berbasis Rotan Kubu
90 Menit
Fasilitator dan Narasumber
• •
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
11
No.
12
Modul/Topik Bahasan
Subtopik
Tujuan Belajar
Proses dan metode Belajar
Materi/Media Belajar
Waktu
PIC
9.
Pembuatan • Proses Persiapan Rangka Kursi dan • Tahapan Produksi Meja Rotan Kursi dan Meja • Langkah-langkah Pengerjaan • Praktik
• Pemahaman tentang tahapan-tahapan dalam produksi kursi dan meja • Pemahaman tentang jenis dan sistem konstruksi kursi dan meja • Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai dengan kriteria
• Pemaparan Media • Curah Pendapat • Demonstrasi • Praktik • Magang (seperlunya)
• Power point: Modul 9 Pembuatan Rangka Kursi dan Meja Rotan • Video: Modul 9 Pembuatan Rangka Kursi Rotan • Bahan Bacaan 9.1 Jenis dan Sistem Konstruksi Kursi; Bahan Bacaan 9.2 Jenis dan Sistem Konstruksi Meja
150 Menit
Fasilitator dan Narasumber
10.
Pembuatan Anyaman Kubu Pada Kursi
• Proses Persiapan • Langkah-langkah pengerjaan • Praktik
• Pemahaman tentang langkah pembuatan anyaman kursi • Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai dengan kriteria
• Pemaparan Media • Curah Pendapat • Demonstrasi • Praktik
• Power point: Modul 10 Pembuatan Anyaman Kursi Rotan • Video: Modul 10 Pembuatan Anyaman Kubu Pada Kursi
90 Menit
Fasilitator dan Narasumber
11.
Proses Finishing
• Proses Persiapan • Langkah-langkah Pengerjaan
• Pemahaman tentang alat dan bahan finishing • Pemahaman tentang tahapan-tahapan dalam finishing produk
• Pemaparan Media • Curah Pendapat • Demonstrasi • Magang (Seperlunya)
• Power point: Modul 11 Proses Finishing • Video: Modul 11 Proses Finishing • Bahan Bacaan 11.1 Finishing
90 Menit
Fasilitator dan Narasumber
12.
Pembuatan Anggaran Biaya Produksi
• Pengumpulan data kebutuhan produksi • Pembuatan table kebutuhan produksi • Cara menghitung dengan tabel
• Menghitung Harga Pokok Produksi produk kerajinan rotan • Menghitung Anggaran Biaya atau modal
• Pemaparan media • Demonstrasi menghitung HPP • Latihan menghitung HPP • Curah pendapat
• Power point: Modul 12 Lembar Latihan Perhitungan Produksi • Lembar post-test: Latihan menghitung HPP
60 Menit
Fasilitator
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
No. 13.
14
Modul/Topik Bahasan Proses Pengepakan
Evaluasi dan RTL
Subtopik
Tujuan Belajar
Proses dan metode Belajar
• Cara dan bahan untuk mengemas produk rotan hasil industri rumahan
• Mengetahui bahan-bahan pengepakan rotan • Mengetahui langkah pengepakan rotan yang tepat, efektif, dan menghemat ruang
• •
• Efektivitas Pelatihan • Tindak Lanjut • Tempat dan waktu pelaksanaan
• Menilai seberapa • Curah baik proses pelatihan Pendapat berjalan • Diskusi • Peserta memiliki kemampuan menyusun perencanaan tindakan dalam muemulai pengembangan industri rotan rumahan • Tersusunnya sebuah perencanaan tindakan dalam memulai pengembangan industri rotan rumahan.
•
Ceramah Curah pendapat Lembar pretest
Materi/Media Belajar
Waktu
PIC
•
Power point: Modul 13 – Proses Pengepakan Lembar pre-test Bahan Bacaan 13.1 Proses Pengepakan
60 Menit
Fasilitator
• Lembar evaluasi • Tabel perencanaan • Bahan Bacaan 14.1: Evaluasi Proses, Rencana Tindak Lanjut, dan Rekomendasi
45 Menit
Fasilitator
• •
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
13
MODUL
1
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
15
FOTO: NET
PENGANTAR PELATIHAN
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
MODUL 1. Pengantar Pelatihan (60 Menit) Pengantar Bagian ini merupakan awal di dalam pelaksanaan pelatihan pengembangan industri rotan rumahan. Materi ini akan digunakan sepenuhnya untuk menjelaskan tentang bagaimana memulai kegiatan pelatihan pengembangan industri rotan rumahan. Pertemuan ini dibagi menjadi 3 sesi, yaitu perkenalan fasilitator dan peserta, diskusi mengenai harapan dan kekhawatiran peserta terkait pelatihan serta bagaimana mengatasinya, dan perumusan kontrak pelatihan. Adapun tahapan untuk memulai sebuah kegiatan pelatihan pengembangan industri rotan rumahan adalah sebagai berikut.
Subpokok Bahasan: • • • •
Persiapan menuju materi pelatihan Perkenalan seluruh peserta, fasilitator, narasumber, dan panitia Penyampaian harapan dan kekhawatiran peserta terkait kegiatan pelatihan Penentuan kontrak pelatihan
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
17
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
Tujuan •
Membangun suasana yang akrab, cair, terbuka, dinamis, aktif, partisipatif dan saling percaya satu sama lain sehingga memudahkan proses belajar selanjutnya
•
Mewujudkan situasi yang saling mengenal antara fasilitator, narasumber, panitia, dan peserta satu sama lain, baik dalam hal persamaan maupun perbedaan masing-masing
•
Mengidentifikasi masalah, memetakan harapan dan kekhawatiran peserta terkait kegiatan pelatihan, serta mencari jalan keluarnya
•
Mencapai satu kesepakatan bersama terkait tata tertib pelatihan
Metode Belajar • • •
Permainan perkenalan diri Curah pendapat (brainstorming) Diskusi
Media Belajar • • •
18
Kertas plano Spidol Bahan Bacaan 1.1 Pengantar Pelatihan
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
Proses Belajar Sesi
No.
I
1.
Pembukaan kegiatan oleh panitia
2.
Fasilitator membuka sesi dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan agenda pelatihan, serta menjelaskan pentingnya perkenalan sebagai awal dari proses pelatihan
3.
Rincian Kegiatan
Durasi 5 menit
Fasilitator mengajak peserta berkenalan dengan cara: Peserta berdiri membentuk lingkaran berdasarkan urutan huruf depan nama peserta secara alfabet (A – Z). Setelah lingkaran terbentuk, setiap peserta meneriakkan namanya masing-masing. Peserta untuk membuat lingkaran baru seperti di atas. Namun kali ini berdasarkan urutan huruf asal kota atau tempat bekerja. Setelah lingkaran terbentuk, setiap peserta meneriakkan nama asal kotanya masing-masing. Fasilitator meminta kesediaan salah seorang peserta untuk masuk ke dalam lingkaran dan menunjuk nama setiap orang dalam lingkaran tersebut. Hal ini bertujuan agar para peserta dapat mengenal dan mengingat nama rekan-rekannya dengan baik. Selanjutnya, fasilitator dapat melakukan “ujian” mengingat nama ini kepada peserta yang berbeda selama beberapa kali. Fasilitator mempersilakan peserta duduk kembali. Fasilitator meminta peserta sekali lagi memperkenalkan diri secara lebih formal dengan menyebutkan nama, lembaga yang diwakili, dan aktivitas sehari-hari. Setiap peserta diberi waktu maksimal 2 menit untuk perkenalan. Fasilitator memberi catatan dan menyimpulkan hasil perkenalan
20 menit
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
19
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
20
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
II
4.
Fasilitator meminta peserta menyampaikan harapan dan kekhawatiran dalam mengikuti kegiatan pelatihan. Sesi ini dilakukan dengan cara: Fasilitator membagikan kertas metaplan dan spidol kepada seluruh peserta. Fasilitator meminta peserta untuk menuliskan satu kalimat pendek berisi harapan peserta mengikuti pelatihan ini pada kertas metaplan warna kuning. Kemudian peserta diminta menuliskan kekhawatiran mereka di kertas warna merah. Nama peserta boleh tidak ditulis. Kertas dikumpulkan, lalu dikelompokkan menurut warnanya. Fasilitator meminta peerta membantu menempelkan kertas metaplan pada selembar kertas plano menurut warna masing-masing. Fasilitator membacakan seluruh kalimat yang tertulis pada kertas metaplan, kemudian meminta pendapat peserta dengan mengajukan pertanyaan: (1) Apa upaya kita agar harapan yang sudah ditulis dapat terwujud? (2) Apa yang dapat dilakukan agar apa dikhawatirkan tidak terjadi atau dapat diatasi? Fasilitator menarik kesimpulan dari beberapa pendapat peserta.
20 menit
III
5.
Fasilitator mengajak peserta membuat kontrak pelatihan, dengan meminta pendapat peserta tentang aturan-aturan yang perlu dibuat agar proses pelatihan dapat berjalan dengan baik. Aturan-aturan tersebut terkait dengan: (1) jam masuk, (2) cara menyampaikan pendapat, (3) tidak mencela orang lain, (4) minta izin bila keluar ruangan, (5) adanya petugas pengingat agar peserta masuk ke ruangan, dsb. Pendapat peserta dituliskan pada kertas plano, kemudian didiskusikan dan disepakati bersama. Di akhir sisi, fasilitator memberi catatan terhadap seluruh sesi yang sudah berlangsung dan menjelaskan materi yang akan datang
15 menit
6.
Fasilitator menutup sesi dengan berdoa bersama.
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
BAHAN BACAAN 1.1 Pengantar Pelatihan Pendahuluan •
Latar Belakang. Modul ini disusun sebagai pedoman dalam pelaksanaan pelatihan pengembangan industri rotan rumahan.
•
Tujuan. Pelatihan ditujukan sebagai sarana belajar bersama untuk memahami pentingnya pengembangan industri rotan rumahan sebagai penunjang peningkatan taraf hidup masyarakat desa hutan. Adapun modul pelatihan ini disusun untuk mempermudah para trainer atau fasilitator yang akan memberikan pelatihan pengembangan industri rotan rumahan. Adanya modul ini diharapkan dapat memberikan panduan teknis yang membantu kelancaran proses pelatihan. Modul disertai dengan foto dan video untuk memperjelas materi yang disampaikan agar lebih mudah dipahami oleh peserta.
•
Konteks Ruang dan Waktu Pelatihan. Konteks ruang berarti bahwa pelatihan yang akan dilakukan terbatas pada ruang lingkup pengembangan industri rotan rumahan. Segala hal terkait peserta, materi, dan hal-hal lain dalam pelatihan ini akan fokus pada pengembangan industri rumahan.
Sementara itu konteks waktu berarti pengelolaan waktu pelatihan yang diatur sedemikian rupa agar kegiatan pelatihan pengembangan industri rotan rumahan dapat terselenggara dengan lancar dan terukur. Lancar dan terukur baik mengenai musim panen, waktu yang tersedia bagi para peserta pelatihan, kesiapan panitia, dan kesiapan narasumber.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
21
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
•
Kriteria Penyelenggara Pelatihan. Penyelenggara pelatihan haruslah benar-benar orang atau kelompok yang serius dan berdedikasi dalam aktivitas upaya pengembangan industri rotan rumahan, sehingga pprogram pelatihan ini dapat berkelanjutan.
•
Kriteria Fasilitator Pelatihan. Fasilitator pelatihan adalah tim fasilitator yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pengembangan manajemen industri rotan rumahan atau pun yang terampil dalam pengolahan bahan baku rotan. Di samping itu, fasilitator juga harus terampil dalam pembuatan produk rotan berupa anyaman, lombokan atau basket dan furnitur, baik dari individu profesi (ahli), organisasi profesi, atau dari instansi pemerintah yang relevan.
•
Kriteria Peserta Pelatihan. Mengingat kegiatan pelatihan ini ditujukan bagi calon trainer atau fasilitator dan warga yang terlibat dalam pengembangan industri rotan rumahan, maka diperlukan beberapa kriteria bagi mereka sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
•
Orang dewasa. Komposisi berimbang antara laki-laki dan perempuan. Memiliki minat dan perhatian pada pengembangan industri rotan rumahan. Energik, menyenangkan, dan mudah bergaul dengan peserta didik. Kreatif, rajin, dan mampu mengembangkan bahan-bahan yang diperlukan untuk alat peraga/ permainan atau simulasi
Pokok-Pokok Bahasan. Pokok-pokok bahasan dari modul pelatihan pengembangan industri rotan rumahan ini memuat materi sebagai berikut: 1. Tahapan dan teknik fasilitasi pelatihan pengembangan industri rotan rumahan rotan (cara penyampaian, mengelola suasana forum, dan mengatur ritme serta lama waktu yang digunakan, serta alat bantu apa yang digunakan).
22
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
2. Pokok-pokok masalah yang berkaitan dengan wawasan pengelolaan rotan. 3. Pengenalan jenis rotan yang berkesesuaian dengan kebutuhan bahan untuk dibuat barang/ produk dan teknik pengolahan bahan baku menjadi bahan siap pakai. 4. Pengenalan dan cara pembuatannya jenis-jenis produk industri rotan rumahan. 5. Penyusunan rencana tindak lanjut pascapelatihan. •
Alur dan Metode Pelatihan. 1. Alur. Alur dari modul ini adalah melalui serangkaian kegiatan pelatihan yang disusun berdasarkan tahapan sebagai berikut: • • • •
Pengenalan kepesertaan Pengenalan relasi kemasyarakatan dengan rotan Pengenalan sistem pengelolaan manajemen rotan Pengenalan teknik pengolahan rotan
2. Metode pelatihan. Metode pelatihan pengembangan industri rotan rumahan ini adalah menggunakan asas pendidikan orang dewasa (andragogy). Pelatihan ini disusun dengan pendekatan yang menempatkan peserta sebagai orang yang telah memiliki pengetahuan, pengalaman, keterampilan serta cenderung untuk menentukan prestasinya sendiri. Pengalaman dan potensi yang ada pada peserta adalah sumber yang perlu digali dalam proses pelatihan ini. Untuk itu fasilitator harus mampu menciptakan suasana belajar di antara sesama peserta, serta mempu memotivasi peserta agar berperan aktif dalam/selama proses belajar untuk meningkatkan pengalaman dan penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
23
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
Meski disajikan dengan pembahasan dan tahapan yang cukup panjang, modul ini tidak ditujukan sebagai manual untuk penataran yang monolog atau bersifat komunikasi satu arah. Modul ini dirancang untuk sebuah pelatihan yang partisipatif walaupun tidak sepenuhnya murni paritisipatif karena terdapat sejumlah sesi yang diisi dengan paparan dari narasumber. Fasilitator diharapkan sejak awal sudah menekankan bahwa pelatihan ini menuntut keterlibatan penuh dari seluruh peserta dalam semua prosesnya. Oleh karena itu, pada sesi-sesi awal fasilitator sudah dapat membuka batas-batas perbedaan yang dapat mencairkan suasana dan mampu membuat peserta nyaman dalam proses pelatihan. Di antaranya bersedia untuk berdialog, menyampaikan pendapat dan berargumentasi tanpa rasa takut atau malu. Itulah sebabnya sebelum masuk pada sesi pemberian materi, fasilitator harus mengondisikan sedemikian rupa sehingga peserta merasa sederajat satu sama lain. Dengan kesetaraan seperti itu, maka proses fasilitasi pelatihan yang partisipatif bisa dikembangkan dalam keseluruhan pelatihan. •
Lamanya Pelatihan. Lamanya pelatihan pengembangan industri rotan rumahan berdasarkan modul ini adalah 3 (tiga) hari efektif. Adapun rinciannya adalah jumlah waktu pembelajaran 34 jam pelajaran, termasuk acara pembukaan, penutupan, permainan, evaluasi dan penyusunan rencana tindak lanjut (RTL). Namun, pada pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi serta sumber daya yang tersedia.
•
Peralatan Pelatihan. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
24
Bahan/materi yang berhubungan dengan pokok bahasan Ruang kelas dan fasilitasnya Alat bantu pandang dengar Alat untuk bermain peran/simulasi Alat tulis menulis Flip chart/papan tulis Poster/gambar
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
8. Film/foto sesuai dengan tema pelatihan 9. Power point yang memuat materi sesuai dengan tema pelatihan 10. Bahan baku dan bahan hasil olahan 11. Peralatan kelengkapan pembuat anyaman, furnitur, lombokan dan kubuan 12. Contoh produk jadi 13. Alat dan bahan lain sesuai kebutuhan dan kondisi •
Tata Letak dan Ruang Pelatihan. Hal penting yang perlu dipersiapkan dengan baik di antaranya tata letak, peralatan, dan ruang pelatihan. Beberapa saran yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pelatihan dalam menata ruang belajar sebagai berikut: 1. Satu ruang belajar dapat menampung peserta antara 20-25 peserta dan leluasa untuk bergerak dan belajar dengan nyaman 2. Gunakan penataan kursi tanpa meja belajar model U-shape atau bentuk tapal kuda di dalam ruangan. Usahakan tidak ada tiang penyangga yang bisa mengganggu pemandangan ke tengah ruangan. Perhatikan aspek pencahayaan dalam ruangan, misalnya tidak silau oleh cahaya matahari, ada penerangan/cahaya yang dapat diatur gelap-terangnya untuk keperluan penayangan slide presentasi atau pemutaran film melalui LCD. Usahakan pula ruangan tidak bergema agar suara dapat terdengar dengan jelas. 3. Gunakan daftar periksa untuk memudahkan dalam mengontrol kebutuhan dan perlengkapan yang harus disediakan dalam satu ruang pelatihan. 4. Sediakan dua papan flipchart. Papan pertama berisi flipchart materi dan instruksi kerja, sedangkan papan flipchart lain diisi dengan kertas flipchart kosong untuk kegiatan diskusi dan kerja kelompok. 5. Penggunaan pengeras suara disarankan dapat terkontrol dengan baik sehingga kualitas suara yang dihasilkan tidak mengganggu proses. M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
25
MODUL
1
PENGANTAR PELATIHAN
Contoh Lay-out Ruang Pelatihan
Gambar 1. Denah letter U ruang pelatihan
26
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
MODUL 2. Rotan dan Konsep Pengembangan Industri Rotan Rumahan (120 Menit) Materi ini sepenuhnya akan dipergunakan untuk kegiatan pengisian lembar isian pre-test. Kegiatan tersebut meliputi pemetaan kondisi lokasi asal peserta dan sumber-sumber pendukung lainnya, ceramah seputar rotan dan hubungannya dengan masyarakat di sekitar sumber rotan dan diskusi pleno.
Subpokok bahasan Memetakan hal-hal yang bertalian dengan sumber-sumber pendukung pelaksanaan industri rotan rumahan
Tujuan • •
Menggali informasi tentang berbagai kondisi di masyarakat calon kelompok industri rotan rumahan Memberikan pemahaman tentang pentingnya pengelolaan dan pengolahan rotan
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
27
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Metode Belajar • • • •
Ceramah Curah pendapat Diskusi kelompok Lembar pre-test
Media Belajar • • •
Power point: Modul 2 – Pengantar seputar pengelolaan rotan dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat desa di sekitar sumber rotan Lembar pre-test Bahan Bacaan 2.1 Rotan dan Konsep Pengembangan Industri Rotan Rumahan
Proses Belajar
28
Sesi
No.
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
Rincian Kegiatan
5 menit
2.
Pengisian lembar pre-test. Fasilitator membagikan lembar pre-test kepada peserta, kemudian meminta para peserta mengisi lembar tersebut. Fasilitator menjelaskan maksud pengisian lembar isian pre-test tersebut, yaitu untuk memetakan pemahaman para peserta terhadap materi yang akan dibahas. Fasilitator meminta peserta mengumpulkan hasil isian pre-test tersebut.
15 menit
3.
Fasilitator memaparkan materi tentang rotan dan konsep pengembangan industri rotan rumahan menggunakan alat bantu PPT/Modul 2.
50 menit
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Durasi
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
4.
Fasilitator meminta peserta untuk membentuk tiga kelompok dengan cara berhitung 1 – 3. Peserta dengan nomor yang sama berkumpul dalam satu kelompok. Setiap kelompok mendiskusikan dan memberi tanggapan atas materi yang telah disampaikan, kemudian dituliskan dalam kertas plano. Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi. Kelompok lain menyimak dan memberikan tanggapan atas presentasi.
45 menit
5.
Fasilitator menyimpulkan lalu menutup sesi pelatihan.
5 menit
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
29
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
BAHAN BACAAN 2.1 Rotan dan Konsep Industri Rotan Rumahan Pengantar tentang Sumber Daya Alam (Rotan) dan Hubungannya dengan Kehidupan Masyarakat Desa Sekitar Sumber Rotan
I
ndonesia adalah negara kepulauan yang terletak di garis equator bumi dengan curah hujan dan penyinaran matahari yang berimbang sepanjang tahun. Hal itu menyebabkan hampir seluruh pulau menjadi wilayah yang subur untuk tumbuh kembang berbagai jenis flora. Ini menyebabkan jumlah populasinya berlimpah ruah. Salah satu jenis flora yang berlimpah hampir di setiap pulau terutama di pulau Kalimantan dan Sulawesi, adalah tanaman rotan dengan jenis lebih dari 100 (seratus) jenis rotan. Oleh karena itu, Indonesia menjadi Negara kedua terbesar penghasil rotan setelah Negara Vietnam. Namun kekayaan flora yang berlimpah tersebut belum dikelola dengan baik. Sehingga belum dapat memberikan manfaat bagi masyarakat terutama penduduk yang tinggal di wilayah sekitar hutan di mana rotan tersebut tumbuh. Jika ada pemanfaatan rotan oleh penduduk sekitar hutan hanya untuk dijual dalam bentuk bahan baku. Sehingga menjadikan nilai tukarnya rendah, sementara industri pengolahan rotan lebih banyak terkonsentrasi di wilayah kota di pulau Jawa.
30
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Konsep Pengembangan Industri Rotan Rumahan Yang dimaksud dengan industri rotan rumahan adalah kegiatan kerja-kerja produksi (pengolahan rotan) baik barang maupun jasa, yang dilakukan oleh rumah tangga yang terhubung dengan industri pengolahan rotan, baik dalam proses awal, tengah maupun akhir. Sementara itu, ada pula kegiatan usaha kerajinan pengolahan rotan (crafting), yaitu kegiatan produksi pengolahan rotan yang dilakukan oleh rumah tangga tetapi tidak terhubung dengan industri rotan. Dilihat dari skalanya, ada tiga jenis industri rotan, yakni industri skala kecil, sedang, dan besar. Ketiganya berperan penting sebagai penopang perekonomian negara. Namun, menyesuaikan dengan kondisi negara berkembang, maka yang dinilai paling tepat dikembangkan saat ini yakni industri yang memerlukan modal sedikit dan mampu menyerap tenaga kerja. Industri inilah yang sering disebut industri rumahan. Undangundang Negara Indonesia No. 20 Tahun 2008 pasal 1 secara spesifik mendefinisikan, “Industri rotan rumahan merupakan usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perseorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini� Dalam perkembangan ekonomi di Indonesia, industri rotan rumahan selalu digambarkan sebagai sektor yang memiliki peran penting untuk menyejahterakan keadaan ekonomi masyarakat. Hampir seluruh populasi usaha nasional adalah usaha berkategori industri rotan rumahan, dan masyarakat yang menjadi pengrajin rotan masih banyak yang termasuk dalam kelas menengah ke bawah. Maka dari itu, peran industri rotan rumahan tidak hanya terhadap output pendapatan nasional, tetapi juga pada penyerapan tenaga kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas pada masyarakat. Dengan kata lain, industri rotan rumahan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain dari sisi ekonomi, industri rotan rumahan juga tak terlepas dari aspek kultural masyarakat, misalnya dengan memperhatikan keterlibatan perempuan dalam aktivitas ekonomi rumah tangga. Ida Rochgiyanti (dalam Supardal, 2012) menyebutkan bahwa perempuan—khususnya di pedesaan—juga merupakan sumber
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
31
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
daya pembangunan dan ekonomi yang menyimpan potensi strategis yang sama pentingnya dengan lakilaki. Para perempuan tersebut biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan di kampung, serta turut serta pula mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam hutan. Dengan kata lain, para perempuan di pedesaan dapat terlibat aktif dalam industri rotan rumahan, mengingat sifat industri rumah tangga ini relatif tidak berbahaya serta fleksibel/luwes dari segi waktu. Berdasarkan beberapa alasan di atas, maka sangat beralasan apabila dalam sistem pengelolaan rotan dipilih model pengembangan industri rotan rumahan. Panduan ini akan menjelaskan secara detail bagaimana proses pengelolaan industri rotan rumahan, mulai dari bentuk komunitas, regulasi, produksi, hingga pengemasan barang jadi sebelum dipasarkan.
Faktor prasyarat pengembangan industri rumahan:
32
•
Adanya paradigma di masyarakat pemanfaat hasil hutan (rotan) bahwa rotan yang berlimpah yang mereka pungut adalah anugerah dari Tuhan semesta alam yang seharusnya memberikan nilai lebih bagi mereka, sehingga kehidupan mereka lebih baik
•
Adanya kemauan untuk berkembang dari masyarakat pemanfaat hasil hutan (rotan)
•
Adanya daya dukung alam sehingga suplai bahan baku yang baik dapat berkesinambungan (terus menerus)
•
Adanya kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) pengolahan bahan baku menjadi bahan olahan siap pakai
•
Adanya daya dukung pihak-pihak terkait dengan pengolahan rotan oleh rumah tangga (pemerintah, lembaga atau yayasan yang fokus, individu atau perusahaan yang mau bermitra, perbankan dan akademisi).
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Manfaat yang diharapkan dari pengembangan industri rumahan: • • • • •
Meningkatnya peluang kerja sehingga menambah serapan tenaga kerja di desa Meningkatnya kapasitas (pengetahuan, keterampilan) masyarakat pemanfaat rotan Bertambahnya nilai guna dan nilai tukar produk berbahan dasar rotan Meningkatnya pendapatan masyarakat pengelola hasil hutan (rotan) Meningkatnya devisa negara (melalui kegiatan ekspor produk berbahan dasar rotan)
Tahapan pengembangan industri rotan rumahan: • • • • • • • • • • •
Untuk dapat menjalankan industri rotan rumahan maka dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: Pembentukan kelompok (struktur organisasi kelompok dengan ketentuan 1 desa 1 kelompok). Pengurusan badan hukum koperasi untuk 3 desa dengan satu badan hukum koperasi (primer). Pembentukan unit-unit kerja koperasi: (a) Unit persiapan, (b) Unit pengolahan reka bentuk, (c) Unit pengumpul produk. Pelatihan pengolahan produk berbahan dasar rotan (di dalam kelas, di luar kelas/praktik/magang). Pelatihan pengelolaan manajemen industri rotan rumahan rotan (di dalam kelas, di luar kelas/praktik/ magang). Identifikasi potensi lokasi tempat tinggal rumah tangga sebagai dasar untuk mencari kecocokan bentuk olahan rotan. Identifikasi lokasi pergudangan. Identifikasi kecenderungan kelompok dalam memilih bentuk olahan rotan. Identifikasi kebutuhan sesuai pilihan fokus olahan reka bentuk rotan. Menyusun aturan kerja tentang relasi antarkelompok, kelompok dengan manajemen koperasi, kemitraan koperasi dengan industri rotan.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
33
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Slide 1
Slide 2
Pengantar MODUL 2 PENGANTAR SEPUTAR PENGELOLAAN ROTAN
DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA DI SEKITAR SUMBER ROTAN
Modul pengembangan industri rotan rumahan
Slide 3
Slide 4
Kemanfaatan
34
Indonesia dikenal memiliki kekayaan flora yang berlimpah khusususnya hasil hutan non kayu yaitu rotan Terdapat lebih dari 360 jenis rotan di negara kita Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor produk olahan rotan terbesar ke 2 di dunia setelah negara Vietnam.
Kemanfaatan belum terlalu berdampak terhadap peningkatan pendapatan di wilayah sumber – sumber bahan baku rotan. Produk rotan adalah salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara kita. Pengolahan rotan banyak menyerap tenaga kerja di sentra-sentra produksi rotan (industri, industri rotan rumahan, dan pengguna lainnya).
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Pelaku pengelolaan rotan
Pemungut Pengepul Distributor Pengolahan industri Pengolahan industry rotan rumahan Pengolahan kerajinan (crafting) Pengguna lainnya
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Slide 5
Slide 6
Skema alur distribusi rotan existing Pemungut
Pengertian industri rotan rumahan
Definisi industri rotan rumahan:
“Yang dimaksud dengan industri rotan rumahan adalah kegiatan kerja-kerja produksi (pengolahan rotan) baik barang maupun jasa, yang dilakukan oleh rumah tangga yang terhubung dengan industri pengolahan rotan, baik dalam proses awal , tengah maupun di akhir”. Berbeda dengan crafting:
pengepul
distributor
Industri
Industri rotan rumahan
Pengrajin
“Crafting atau kerajinan pengolahan rotan adalah kegiatan produksi pengolahan rotan yang dilakukan oleh rumah tangga namun tidak terhubung dengan industri rotan”.
Pengguna lainnya
Slide 7
Slide 8
Tahapan mengembangkan industri rotan rumahan 7.
1.
2.
3.
4.
5.
Pembentukan kelompok (struktur organisasi kelompok dengan ketentuan 1 desa 1 kelompok). Pengurusan badan hukum koperasi untuk 3 desa dengan satu badan hukum koperasi (primer). Pembentukan unit-unit kerja koperasi : a. Unit persiapan, b. Unit pengolahan reka bentuk, c. Unit pengumpul produk. Pelatihan pengolahan produk berbahan dasar rotan (di dalam kelas, diluar kelas/praktik/magang). Pelatihan pengelolaan manajemen industri rotan rumahan (di dalam kelas, diluar kelas/praktik/magang).
8. 9.
10.
11.
Identifikasi potensi lokasi tempat tinggal rumah tangga sebagai dasar untuk mencari kecocokan bentuk olahan rotan. Identifikasi lokasi pergudangan. Identifikasi kecenderungan kelompok dalam memilih bentuk olahan rotan. Identifikasi kebutuhan sesuai pilihan fokus olahan reka bentuk rotan. Menyusun aturan kerja tentang relasi antarkelompok, kelompok dengan manajemen koperasi, kemitraan koperasi dengan industri rotan.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
35
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Slide 10
Slide 11
Pengelolaan rotan berbasis rumah tangga 1.
2.
3.
36
Tahapan yang harus di lakukan: Identifikasi (kenali) saudara-saudara dari masingmasing desa kita yang siap terlibat, berapa orang. Identifikasi keterampilan apa yang paling cocok (spesialisasi) untuk saudara-saudara kita di masing-masing desa Tentukan metode penambahan kapasitas (pengelolaan dan keterampilan)
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Legalitas
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, MoU, SOP Perizinan badan hukum koperasi Standar mutu (berkelanjutan)
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
LEMBAR PRE-TEST Modul 2 Nama Lembaga
: ...................................................................................................................................... : ......................................................................................................................................
Isilah dengan jawaban paling tepat! Pemetaan sumber-sumber : 1. 2. 3. 4. 5.
Apakah rumah tinggal masyarakat berkoloni atau terpisah? Bila terpisah seberapa jauh antar-rumah tinggal? Berapa km jarak posisi sumber rotan dari tempat tinggal? Bagaimana kondisi sarana jalan dari rumah tinggal ke kota kecamatan? Apakah jaringan sumber energi listrik sudah sampai ke tempat tinggal di semua desa di sekitar sumber rotan?
Pemanfaatan rotan oleh masyarakat di sekitar sumber rotan 1. Daya guna apa dari rotan terhadap kehidupan keseharian masyarakat yang sudah biasa diambil manfaatnya? 2. Sesuaikah kemanfaatan yang diterima dengan usaha yang dilakukan untuk memperoleh rotan? 3. Berapa rumah tangga di tiap desa yang biasa memanfaatkan rotan?
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
37
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Pengelolaan rotan yang sudah dilakukan oleh masyarakat 1. 2. 3. 4. 5.
Apakah ada anggota masyarakat yang sudah biasa membuat produk yang berbahan baku rotan? Bentuk apa saja produk yang pernah dibuat? Apakah produk tersebut untuk dipakai sendiri atau dijual? Bagaimana sistem pengambilan rotan oleh masyarakat, apakah berkelompok atau individual? Bila berkelompok bagaimana pembagian kemanfaatan dari rotan?
Pengelolaan rotan berbasis rumah tangga 1. Siapa saja anggota masyarakat yang siap menjadi anggota kelompok? 2. Apa keterampilan yang yang paling cocok (spesialisasi) untuk saudara-saudara kita di masing-masing desa?
38
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Slide 1
Slide 2
Post Test
Pengembangan Industri Rotan Rumahan
Slide 3
Pemetaan sumber-sumber 1. Apakah rumah tinggal masyarakat berkoloni atau terpisah? 2. Bila terpisah seberapa jauh antar rumah tinggal? 3. Berapa KM jarak posisi sumber rotan dari tempat tinggal?
Slide 4
Pemanfaatan rotan oleh masyarakat
4. Bagaimana kondisi sarana jalan dari rumah tinggal ke kota kecamatan? 5. Apakah jaringan sumber energi listrik sudah sampai ke tempat tinggal di semua desa di sekitar sumber rotan?
1. Daya guna apa dari rotan terhadap kehidupan keseharian masyarakat yang sudah biasa di ambil manfaatnya? 2. Sesuaikah kemanfaatan yang diterima dengan usaha yang dilakukan untuk memperoleh rotan? 3. Berapa rumah tangga di tiap desa yang biasa memanfaatkan rotan ?
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
39
MODUL
2
ROTAN DAN KONSEP PENGEMBANGAN INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Slide 5
Slide 6
Pengelolaan rotan yang sudah dilakukan oleh masyarakat 1. Apakah ada anggota masyarakat yang sudah biasa membuat produk yang berbahan baku rotan? 2. Bentuk apa saja produk yang pernah dibuat? 3. Apakah produk tersebut untuk dipakai sendiri atau dijual?
Slide 7
Pengelolaan rotan berbasis rumah tangga Tahapan yang harus dilakukan: 1.Siapa saja anggota masyarakat yang siap menjadi anggota kelompok? 2.Apa keterampilan yang paling cocok (spesialisasi) untuk saudara-saudara kita di masing-masing desa.
40
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
4. Bagaimana sistem pengambilan rotan oleh masyarakat, apakah berkelompok atau individual? 5. Bila berkelompok bagaimana pembagian kemanfaatan dari rotan?
MODUL
3
KELEMBAGAAN
MODUL 3. Kelembagaan (120 Menit) Materi ini adalah pengantar yang akan mengajak peserta untuk membuka ruang berpikir, bagaimana hubungan dan keterkaitan antara sumber daya alam (rotan) dan keterkaitan masyarakat desa hutan terhadap kegiatan ekonomi mereka yang berbasis dari kegiatan memungut hasil hutan (rotan).
Subpokok bahasan •
Memetakan hal-hal yang bertalian dengan sumber-sumber pendukung dalam melembagakan kegiatan industri rotan rumahan di lokasi asal peserta.
•
Membangun pemahaman mendasar mengenai pola manajemen kelembagaan industri rotan rumahan di lokasi peserta pelatihan.
Tujuan •
Menggali informasi mengenai pemahaman peserta tentang pengelolaan lembaga usaha di masyarakat calon kelompok industri rotan rumahan.
•
Memberikan pemahaman tentang arti penting menjalankan manajemen/pengaturan sebuah usaha kecil.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
41
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Metode Belajar • • •
Pengisian lembar isian post-test Pemaparan media Diskusi kelompok
Media Belajar • • • • • •
Power point : Modul 3 : Kelembagaan Lembar post-test Bahan Bacaan 3.1 Materi Kelembagaan Bahan Bacaan 3.2 UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Bahan Bacaan 3.3 Permendag No. 89 Tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Bahan Bacaan 3.4 Permen-LHK No. 91 Tahun 2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang Berasal dari Hutan Negara
Proses Belajar
42
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
I
1.
Fasilitator membuka sesi pelatihan dan menjelaskan materi yang akan dibahas.
5 menit
2.
Fasilitator memaparkan materi kelembagaan industri rotan rumahan dengan menggunakan alat bantu PPT/Modul 3.
50 menit
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Durasi
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
3.
Pembentukan kelompok dan berdiskusi dengan mengisi lembar post-test.  Fasilitator meminta peserta untuk membentuk tiga kelompok dengan cara berhitung 1-3. Peserta dengan nomor yang sama berkumpul dalam satu kelompok.  Fasilitator membagikan lembar post-test dan meminta peserta mengisinya sembari berdiskusi di dalam kelompok. Fasilitator menjelaskan fungsi post-test, yakni untuk mengetahui pemahaman peserta mengenai materi yang telah disampaikan. Adapun diskusi bertujuan untuk semakin mendekatkan peserta dan membangun iklim komunikasi, partisipasi, dan kerja sama. Hasil diskusi dituliskan dalam kertas plano.  Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi. Kelompok lain menyimak dan memberikan tanggapan atas presentasi.
60 menit
4.
Fasilitator menyimpulkan lalu menutup sesi pelatihan.
5 menit
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
43
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAHAN BACAAN 3.1 Kelembagaan Pengertian
Y
ang dimaksud dengan kelembagaan di sini adalah “Bentuk satu-kesatuan atau badan yang mewadahi setiap rangkaian tindakan atau kegiatan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya di dalam menjalankan pengelolaan dan pengolahan rotan di dalam konsep industri rotan rumahan yang berkesusaian dengan peraturan dan perundangan yang berlaku”. Artinya di dalam kegiatan mengembangkan industri rotan rumahan perlu adanya upaya untuk membuat badan yang kemudian kita sebut sebagai wadah bagi masyarakat pengelola dan pengolah rotan. Kegiatan ini diharapkan agar masyarakat tersebut menjadi lebih solid dan terlindungi secara hukum, yang selanjutnya wadah itu kita sebut “lembaga usaha pengembangan Industri Rotan Rumahan”.
Prasyarat untuk dapat menjalankan lembaga usaha pengembangan industri rotan rumahan Untuk dapat membangun lembaga pengelolaan dan pengolahan rotan maka perlu diperhatikan hal-hal seperti berikut:
44
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
1. Adanya orang-orang yang siap dengan peran dan posisi masing-masing yang akan melakukan kegiatan pengembangan industri rotan rumahan. 2. Adanya pengetahuan tentang pengelolaan manajemen usaha kecil (mandiri dan kemitraan). 3. Adanya keterampilan pengolahan produk rotan. 4. Adanya pemahaman tentang pasar. 5. Adanya izin usaha atau legalitas. 6. Adanya daya dukung dari sumber-sumber bahan, daya dukung keberpihakan dari stake holder (pemerintah, akademisi, NGO, pelaku pasar).
Bentuk lembaga/badan usaha 1. Terdapat beberapa pilihan bentuk kelembagaan usaha yang telah ada dan berjalan di negara kita di antaranya: 2. PT (Perseroan Terbatas) 3. CV 4. Koperasi Lembaga yang paling berkesesuaian dengan corak usaha kecil dan menengah adalah bentuk “lembaga usaha koperasi primer (beranggotakan orang-orang)�, dengan alasan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sistem pengaturan atau manajemen yang sederhana atau tidak rumit. Sebagai program nasional koperasi mendapat dukungan penuh dari pemerintah (dengan 1 kementerian). Platform modal kecil Jangkauan kegiatan dapat melingkupi masyarakat di desa Orientasi koperasi badan yang mencari untung/profit. Jenis usaha sesuai dengan pilihan usaha pengembangan industri rotan rumahan (usaha perdagangan, usaha jasa, dll) M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
45
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Tahapan pelaksanaan Untuk dapat membangun sebuah lembaga usaha, perlu diperhatikan hal-hal berikut: 1. Identifikasi anggota kelompok yang siap untuk menjadi anggota dan pengurus koperasi minimal 20 orang (syarat dasar pendirian koperasi primer oleh 20 orang). 2. Identifikasi aturan yang perlu disusun dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, disesuaikan dengan kebutuhan. • • • • • • • • •
Keanggotaan Kedudukan Nama Kepengurusan Iuran Perjanjian-perjanjian kerjasama Kegiatan usaha Bagi hasil Keperluan lain yang dianggap perlu
3. Identifikasi unit kegiatan yang akan atau sedang dijalankan 4. Rapat pendirian (dibuktikan dengan berita acara) 5. Pengurusan dokumen-dokumen syarat pengajuan legalitas ke pemerintah • TDP • NPWP • Rekening Bank • Akta Notaris • Berita Acara
46
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Skema relasi antar unit dalam koperasi dan dengan industri
Cara kerja Yang menjadi prinsip dasar dalam menjalankan lembaga usaha koperasi industri rotan rumahan ini adalah : 1. Anggota kelompok yang ingin berhubungan dengan pihak luar, dilakukan melalui koperasi. 2. Pihak luar (industri mitra atau pihak lain) yang ingin berhubungan dengan anggota kelompok, dilakukan melalui koperasi.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
47
MODUL
3
KELEMBAGAAN
PENGENALAN REGULASI/KEBIJAKAN Pengertian Regulasi atau peraturan adalah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melindungi hal-hal terkait dengan ekologi : 1. Perlindungan atas sumber-sumber hutan negara 2. Perlindungan hutan atas pengelolaan hasil hutan non kayu Daya dukung atas ekonomi: 1. 2. 3. 4.
Perlindungan atas keberlanjutan usaha kecil Perlindungan atas persaingan usaha bagi pelaku usaha kecil Mendorong pertumbuhan Mendorong terbukanya akses kepada usaha kecil
Bentuk regulasi/kebijakan: 1. Undang-undang RI. UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) 2. Peraturan Menteri. Permendag Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri; PermenLHK Nomor 91 Tahun 2014 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang Berasal dari Hutan Negara; Permen-KUKM Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Kelembagaan Koperasi 3. Peraturan Daerah
48
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAHAN BACAAN 3.2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 UMKM ________________________________________________________________
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diwujudkan melalui pembangunan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi; b. bahwa sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/ MPR-RI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah perlu diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
49
MODUL
3
KELEMBAGAAN
c. bahwa pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal, dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluasluasnya, sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan; d. bahwa sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang semakin dinamis dan global, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang hanya mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia dapat memperoleh jaminan kepastian dan keadilan usaha; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
50
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
51
MODUL
3
KELEMBAGAAN
4. Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. 5. Dunia Usaha adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di Indonesia. 6. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 8. Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. 9. Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundangundangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluasluasnya. 10. Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pemberian fasilitas, bimbingan, pendampingan, dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
52
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
11. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 12. Penjaminan adalah pemberian jaminan pinjaman Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh lembaga penjamin kredit sebagai dukungan untuk memperbesar kesempatan memperoleh pinjaman dalam rangka memperkuat permodalannya. 13. Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. 14. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 15. Menteri Teknis adalah menteri yang secara teknis bertanggung jawab untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sektor kegiatannya.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
53
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berasaskan: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
kekeluargaan; demokrasi ekonomi; kebersamaan; efisiensi berkeadilan; berkelanjutan; berwawasan lingkungan; kemandirian; keseimbangan kemajuan; dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal 3
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan.
54
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAB III PRINSIP DAN TUJUAN PEMBERDAYAAN Bagian Kesatu Prinsip Pemberdayaan Pasal 4 Prinsip pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: a. penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri; b. perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan; c. pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; d. peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan e. penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
55
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Bagian Kedua Tujuan Pemberdayaan Pasal 5 Tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: a. mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan; b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan c. meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
BAB IV KRITERIA Pasal 6 1. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
56
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
2. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). 3. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). 4. Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan ayat (2) huruf a, huruf b, serta ayat (3) huruf a, huruf b nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
57
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAB V PENUMBUHAN IKLIM USAHA Pasal 7 1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan Iklim Usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek: a. b. c. d. e. f. g. h.
pendanaan; sarana dan prasarana; informasi usaha; kemitraan; perizinan usaha; kesempatan berusaha; promosi dagang; dan dukungan kelembagaan.
2. Dunia Usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif membantu menumbuhkan Iklim Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8 Aspek pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a ditujukan untuk: 1. memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;
58
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
2. memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya sehingga dapat diakses oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; 3. memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 4. membantu para pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh Pemerintah. Pasal 9 Aspek sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b ditujukan untuk: 1. mengadakan prasarana umum yang dapat mendorong dan mengembangkan pertumbuhan Usaha Mikro dan Kecil; dan 2. memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Pasal 10 Aspek informasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c ditujukan untuk: a. membentuk dan mempermudah pemanfaatan bank data dan jaringan informasi bisnis; b. mengadakan dan menyebarluaskan informasi mengenai pasar, sumber pembiayaan, komoditas, penjaminan, desain dan teknologi, dan mutu; dan c. memberikan jaminan transparansi dan akses yang sama bagi semua pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atas segala informasi usaha.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
59
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Pasal 11
Aspek kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d ditujukan untuk: 1. mewujudkan kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; 2. mewujudkan kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha Besar; 3. mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi usaha antarUsaha Mikro, Kecil, dan Menengah; 4. mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi usaha antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha Besar; 5. mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; 6. mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen; dan 7. mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal 12 1. Aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk: a. menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu; dan b. membebaskan biaya perizinan bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya perizinan bagi Usaha Kecil.
60
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 13 1. Aspek kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f ditujukan untuk: a. menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya; b. menetapkan alokasi waktu berusaha untuk Usaha Mikro dan Kecil di subsektor perdagangan retail; c. mencadangkan bidang dan jenis kegiatan usaha yang memiliki kekhususan proses, bersifat padat karya, serta mempunyai warisan budaya yang bersifat khusus dan turun-temurun; d. menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta bidang usaha yang terbuka untuk Usaha Besar dengan syarat harus bekerja sama dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; e. melindungi usaha tertentu yang strategis untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; f. mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan oleh Usaha Mikro dan Kecil melalui pengadaan secara langsung; g. memprioritaskan pengadaan barang atau jasa dan pemborongan kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan h. memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
61
MODUL
3
KELEMBAGAAN
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan dan pengendalian oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 14 1. Aspek promosi dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g, ditujukan untuk: a. meningkatkan promosi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di dalam dan di luar negeri; b. memperluas sumber pendanaan untuk promosi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di dalam dan di luar negeri; c. memberikan insentif dan tata cara pemberian insentif untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mampu menyediakan pendanaan secara mandiri dalam kegiatan promosi produk di dalam dan di luar negeri; dan d. memfasilitasi pemilikan hak atas kekayaan intelektual atas produk dan desain Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam kegiatan usaha dalam negeri dan ekspor. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan dan pengendalian oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 15 Aspek dukungan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi inkubator, lembaga layanan pengembangan usaha, konsultan keuangan mitra bank, dan lembaga profesi sejenis lainnya sebagai lembaga pendukung pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
62
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAB VI PENGEMBANGAN USAHA Pasal 16 1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang: a. b. c. d.
produksi dan pengolahan; pemasaran; sumber daya manusia; dan desain dan teknologi.
2. Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif melakukan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembangan, prioritas, intensitas, dan jangka waktu pengembangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17 Pengembangan dalam bidang produksi dan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara: a. meningkatkan teknik produksi dan pengolahan serta kemampuan manajemen bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; b. memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana, produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan bagi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
63
MODUL
3
KELEMBAGAAN
c. mendorong penerapan standarisasi dalam proses produksi dan pengolahan; dan d. meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan bagi Usaha Menengah. Pasal 18 Pengembangan dalam bidang pemasaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara: a. b. c. d.
melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran; menyebarluaskan informasi pasar; meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran; menyediakan sarana pemasaran yang meliputi penyelenggaraan uji coba pasar, lembaga pemasaran, penyediaan rumah dagang, dan promosi Usaha Mikro dan Kecil; e. memberikan dukungan promosi produk, jaringan pemasaran, dan distribusi; dan f. menyediakan tenaga konsultan profesional dalam bidang pemasaran. Pasal 19 Pengembangan dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara: a. memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan; b. meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial; dan c. membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan untuk melakukan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, motivasi dan kreativitas bisnis, dan penciptaan wirausaha baru.
64
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Pasal 20 Pengembangan dalam bidang desain dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d dilakukan dengan: a. meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu; b. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi; c. meningkatkan kemampuan Usaha Kecil dan Menengah di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru;1 d. memberikan insentif kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mengembangkan teknologi dan melestarikan lingkungan hidup; dan e. mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual. BAB VII PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN Bagian Kesatu Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Mikro dan Kecil Pasal 21 1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil. 2. Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
65
MODUL
3
KELEMBAGAAN
3. Usaha Besar nasional dan asing dapat menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. 4. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil. 5. Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pasal 22 Dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukan upaya: a. b. c. d.
pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank; pengembangan lembaga modal ventura; pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang; peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah; dan e. pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 1. Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pemerintah dan Pemerintah Daerah: a. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank;
66
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
b. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan c. memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan. 2. Dunia Usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap pinjaman atau kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara: a. meningkatkan kemampuan menyusun studi kelayakan usaha; b. meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pengajuan kredit atau pinjaman; dan c. meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknis serta manajerial usaha.
Bagian Kedua Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Menengah Pasal 24 Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan dengan: a. memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga pembiayaan lainnya; dan b. mengembangkan lembaga penjamin kredit, dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
67
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAB VIII KEMITRAAN Pasal 25 1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. 2. Kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. 3. Menteri dan Menteri Teknis mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Pasal 26 Kemitraan dilaksanakan dengan pola: a. inti-plasma; b. subkontrak; c. waralaba; d. perdagangan umum; e. distribusi dan keagenan; dan f. bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourching).
68
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Pasal 27 Pelaksanaan kemitraan dengan pola inti-plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, Usaha Besar sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang menjadi plasmanya dalam: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
penyediaan dan penyiapan lahan; penyediaan sarana produksi; pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha; perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan; pembiayaan; pemasaran; penjaminan; pemberian informasi; dan pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas dan wawasan usaha. Pasal 28
Pelaksanaan kemitraan usaha dengan pola subkontrak sebagaimana dimaksud Pasal 26 huruf b, untuk memproduksi barang dan/atau jasa, Usaha Besar memberikan dukungan berupa: a. kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan/atau komponennya; b. kesempatan memperoleh bahan baku yang diproduksi secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar; c. bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen; d. perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan; e. pembiayaan dan pengaturan sistem pembayaran yang tidak merugikan salah satu pihak; dan f. upaya untuk tidak melakukan pemutusan hubungan sepihak.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
69
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Pasal 29 1. Usaha Besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memiliki kemampuan. 2. Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba. 3. Pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan.
Pasal 30 1. Pelaksanaan kemitraan dengan pola perdagangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh Usaha Besar yang dilakukan secara terbuka. 2. Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh Usaha Besar dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Mikro sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang diperlukan. 3. Pengaturan sistem pembayaran dilakukan dengan tidak merugikan salah satu pihak.
70
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Pasal 31 Dalam pelaksanaan kemitraan dengan pola distribusi dan keagenan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e, Usaha Besar dan/atau Usaha Menengah memberikan hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil. Pasal 32 Dalam hal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyelenggarakan usaha dengan modal patungan dengan pihak asing, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 33 Pelaksanaan kemitraan usaha yang berhasil, antara Usaha Besar dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat ditindaklanjuti dengan kesempatan pemilikan saham Usaha Besar oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pasal 34 1. Perjanjian kemitraan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur kegiatan usaha, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan. 2. Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
71
MODUL
3
KELEMBAGAAN
3. Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar kemandirian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta tidak menciptakan ketergantungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah terhadap Usaha Besar. 4. Untuk memantau pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Menteri dapat membentuk lembaga koordinasi kemitraan usaha nasional dan daerah.
Pasal 35 1. Usaha Besar dilarang memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. 2. Usaha Menengah dilarang memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil mitra usahanya.
Pasal 36 1. Dalam melaksanakan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia. 2. Pelaksanaan kemitraan diawasi secara tertib dan teratur oleh lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi persaingan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
72
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAB IX KOORDINASI DAN PENGENDALIAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH Pasal 38 1. Menteri melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 2. Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara nasional dan daerah yang meliputi: penyusunan dan pengintegrasian kebijakan dan program, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, termasuk penyelenggaraan kemitraan usaha dan pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X SANKSI ADMINISTRATIF DAN KETENTUAN PIDANA Bagian Kesatu Sanksi Administratif Pasal 39 1. Usaha Besar yang melanggar ketentuan Pasal 35 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) oleh instansi yang berwenang.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
73
MODUL
3
KELEMBAGAAN
2. Usaha Menengah yang melanggar ketentuan Pasal 35 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) oleh instansi yang berwenang. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Ketentuan Pidana Pasal 40 Setiap orang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan mengaku atau memakai nama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mendapatkan kemudahan untuk memperoleh dana, tempat usaha, bidang dan kegiatan usaha, atau pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah yang diperuntukkan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 12 (dua belas) bulan atau 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
74
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Pasal 42 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 3611) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 43 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Usaha Kecil dan Menengah dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 44 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 Juli 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
75
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Juli 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 93 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,
Setio Sapto Nugroho
76
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAHAN BACAAN 3.3 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 89 Tahun 2015
1
2 M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
77
MODUL
3
KELEMBAGAAN
3
78
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
4
MODUL
3
KELEMBAGAAN
5
6
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
79
MODUL
3
KELEMBAGAAN
7
80
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
8
MODUL
3
KELEMBAGAAN
9
10
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
81
MODUL
3
KELEMBAGAAN
11
82
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
12
MODUL
3
KELEMBAGAAN
13
14
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
83
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAHAN BACAAN 3.4 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2014
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.91/Menhut-II/2014
Mengingat : 1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
3.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
5.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 76 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, ditetapkan bahwa pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu wajib melaksanakan penatausahaan hasil hutan bukan kayu; b. bahwa berdasarkan Pasal 117 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, ditetapkan bahwa dalam rangka melindungi hak negara atas hasil hutan dan kelestarian hutan, dilakukan pengendalian dan pemasaran hasil hutan melalui penatausahaan hasil hutan; c.
bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009 telah ditetapkan Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara;
d. bahwa untuk meningkatkan daya saing dan perbaikan tata kelola kehutanan dalam rangka mengurangi ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Tim Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka perlu dilakukan pengaturan kembali penatausahaan hasil hutan bukan kayu; e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, maka perlu tentang menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Negara;
1
84
Mengingat..
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
2
8. Peraturan..
MODUL
3
KELEMBAGAAN
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 124);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5506);
10. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2013; 11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 50/P Tahun 2014; 12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan, Dana Reboisasi, Penggantian Nilai Tegakan dan Ganti Rugi Tegakan; 13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu; 14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 27); 15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHBK-HA) Atau Dalam Hutan Tanaman (IUPHHBK-HT) Pada Hutan Produksi; 16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 14); 17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 49); 18. Peraturan..
3
18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.46/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Atau Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 216); 19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2012 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 779); 20. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2011 tentang Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 320); 21. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 775); 22. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 776); 23. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.54/Menhut-II/2014 tentang Kompetensi dan Sertifikasi Tenaga Teknis dan Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1227); MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Negara adalah kegiatan pencatatan, dokumentasi, dan pelaporan hasil hutan bukan kayu yang meliputi perencanaan produksi, pemanenan/pemungutan, pengukuran dan/atau pengujian, pengangkutan/peredaran dan pengumpulan, dan pengolahan. 2. Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan.
4
3. Hutan..
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
85
MODUL
3
KELEMBAGAAN
3. 4. 5.
6. 7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
14.
15.
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut industri primer adalah izin pengolahan hasil hutan berupa bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, menjadi satu jenis atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada pemegang izin oleh pejabat yang berwenang. Pemegang izin adalah pemegang Izin Pemanfaatan Hutan yang melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Pengelola Hutan adalah Perum Perhutani atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang wilayah areal kerjanya di luar Perum Perhutani termasuk di luar Pulau Jawa yang kegiatannya meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tempat Penampungan Terdaftar Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut TPT-HHBK adalah tempat pengumpulan hasil hutan bukan kayu dan/atau hasil hutan olahan bukan kayu yang berasal dari satu atau beberapa sumber, milik badan usaha atau perorangan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Izin Pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah izin yang diberikan kepada perorangan/badan usaha yang bergerak di bidang kehutanan yang melakukan pengumpulan HHBK yang berasal dari hutan negara yang dipungut oleh masyarakat sekitar hutan berdasarkan IPHHBK. Agroforestry atau Wanatani adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disebut PSDH adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut LPHHBK adalah dokumen yang memuat realisasi hasil pemanenan atau pemungutan atau pengumpulan hasil hutan bukan kayu berdasarkan izin sah. Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (GANISPHPL) adalah petugas perusahaan pemegang izin di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi lestari yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan produksi lestari sesuai dengan kualifikasinya yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal. Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (WASGANISPHPL) adalah Pegawai Kehutanan yang memiliki kompetensi di bidang pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan hutan produksi lestari sesuai dengan kualifikasinya yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal. Pembuat LP-HHBK adalah petugas perusahaan/perorangan pemegang izin atau pengelola hutan yang berkualifikasi sebagai GANIS-PHPL sesuai kompetensinya yang ditetapkan sebagai petugas pembuat Laporan Produksi HHBK.
5
86
16. Petugas..
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
16. Petugas Pengesah Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut P2LP-HHBK adalah pegawai kehutanan yang berkualifikasi sebagai WAS-GANISPHPL sesuai kompetensinya yang diangkat dan diberi tugas, tanggung jawab serta wewenang untuk melakukan pengesahan laporan produksi hasil hutan bukan kayu. 17. Penerbit Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut Penerbit FA-HHBK adalah karyawan perusahaan pemegang izin atau pengelola hutan yang bergerak di bidang kehutanan yang berkualifikasi sebagai GANISPHPL sesuai kompetensinya yang diangkat dan diberi wewenang untuk menerbitkan dokumen Faktur. 18. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut FAHHBK adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Penerbit FA-HHBK untuk menyertai pengangkutan HHBK yang berasal dari areal izin yang sah pada hutan negara. 19. Nota Angkutan HHBK adalah dokumen angkutan yang dipergunakan dalam pengangkutan langsiran HHBK dari pelabuhan umum ke tujuan FA-HHBK dan pengangkutan HHBK yang berasal dari hasil agroforestry/wanatani. 20. Laporan Mutasi Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut LMHHBK adalah dokumen yang menggambarkan penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan hasil hutan bukan kayu. 21. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. 22. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang bina usaha kehutanan. 23. Direktur adalah Direktur yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang iuran kehutanan dan peredaran hasil hutan. 24. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Provinsi. 25. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota. 26. Balai adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan yang diserahi tugas dan tanggung jawab dalam bidang pemantauan pemanfaatan hutan produksi. Bagian Kedua Maksud dan Tujuan Pasal 2 (1)
(2)
Penatausahaan hasil hutan bukan kayu dimaksudkan untuk menjamin hak negara atas semua hasil hutan bukan kayu yang berasal dari hutan negara yang dikelola atau dimanfaatkan atau dipungut berdasarkan izin yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penatausahaan hasil hutan bukan kayu bertujuan untuk menjamin legalitas hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh pemegang izin/pengelola hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. BAB II..
6
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Bagian Keempat Pengesahan LP-HHBK
BAB II PEMANENAN/PEMUNGUTAN
Pasal 6
Bagian Kesatu Pemanenan/Pemungutan HHBK
(1)
Pasal 3 Berdasarkan rencana kerja atau target pemanenan/pemungutan HHBK, pemegang izin atau pengelola hutan atau agroforestry/wanatani dapat melakukan pemanenan atau pemungutan atas hasil hutan bukan kayu. Bagian Kedua Pengukuran dan Pengujian
(2) (3) (4)
Pasal 4 (1) (2) (3)
Semua HHBK dilakukan penetapan jenis, pengukuran dan/atau pengujian, penetapan volume/berat, dan penghitungan jumlah. Tata cara penetapan jenis, pengukuran dan/atau pengujian, penetapan volume/berat, penghitungan jumlah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal jenis HHBK yang belum diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tata cara pengukuran dan/atau pengujiannya cukup dilakukan penetapan jenis, penetapan volume/berat dan penghitungan jumlah. Bagian Ketiga Pembuatan Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK)
(5)
Pasal 7 (1) (2) (3) (4)
Pasal 5 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Setelah melaksanakan pemanenan/pemungutan dan/atau pengumpulan HHBK, pemegang izin atau pengelola hutan wajib melakukan pengukuran berat/volume/ penghitungan jumlah. Hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam Buku Ukur dan dibuatkan Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK) dan Rekapitulasi LP-HHBK. LP-HHBK berikut rekapitulasinya dibuat sekurang-kurangnya 1 (satu) kali pada setiap akhir bulan oleh Pembuat LP-HHBK dan disampaikan kepada Petugas Pengesah LP-HHBK untuk disahkan. Dalam hal pemegang izin atau pengelola hutan tidak memiliki GANISPHPL, maka LP-HHBK dapat dibuat oleh WAS-GANISPHPL sesuai kompetensinya pada Dinas Kabupaten/Kota. Dalam hal Dinas Kabupaten/Kota tidak tersedia WAS-GANISPHPL sebagaimana dimaksud pada ayat (4), LP-HHBK dapat dibuat oleh WASGANISPHPL dengan kompetensi lain. Dalam hal tidak ada realisasi produksi HHBK, Pembuat LP-HHBK wajib membuat LP-HHBK Nihil dengan menyebutkan alasan-alasannya pada kolom keterangan. Pemegang Izin Pengumpulan HHBK, wajib membuat Laporan Produksi berdasarkan penerimaan/pengumpulan HHBK yang diperoleh dari masyarakat sekitar hutan yang memiliki IPHHBK.
Berdasarkan LP-HHBK yang disampaikan oleh Pembuat LP-HHBK, P2LPHHBK melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Hasil Hutan Bukan Kayu (DP-HHBK) dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan LP-HHBK. Apabila hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan benar, maka LP-HHBK disahkan. WAS-GANISPHPL yang ditugaskan sebagai Pembuat LP-HHBK tidak dapat merangkap sebagai Pengesah LP-HHBK pada pemegang izin atau pengelola hutan yang sama. Dalam hal di Dinas Kabupaten/Kota tidak tersedia WAS-GANISPHPL sesuai kompetensinya, LP-HHBK disahkan oleh WAS-GANISPHPL dengan kompetensi lain.
Dalam hal belum tersedia GANISPHPL/WAS-GANISPHPL sesuai kompetensi jenis HHBK, LP-HHBK dibuat oleh GANISPHPL/WAS-GANISPHPL dengan kompetensi lain. LP-HHBK yang telah disahkan disampaikan kepada Pejabat Penagih PSDH untuk diterbitkan SPP PSDH. Berdasarkan SPP PSDH, pemegang izin atau pengelola hutan wajib membayar PSDH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. LP-HHBK dapat disahkan apabila LP-HHBK sebelumnya telah dibayar lunas PSDH. BAB III PENGANGKUTAN HHBK Bagian Kesatu Jenis-jenis Dokumen Angkutan Pasal 8
(1) (2)
(3) (4)
Dokumen angkutan HHBK meliputi: a. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK); dan b. Nota Angkutan. Blanko FA-HHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diadakan oleh pemegang izin atau pengelola hutan dan dicetak di percetakan umum, setelah memperoleh penetapan Nomor Seri FA-HHBK dari Dinas Kabupaten/Kota. Nota Angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diadakan dan dicetak oleh pemegang izin atau pengelola hutan. Format blanko FA-HHBK dan Nota Angkutan mengikuti pedoman pelaksanaan penatausahaan hasil hutan bukan kayu. Bagian Kedua..
Bagian Keempat..
7
8
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
87
MODUL
3
KELEMBAGAAN
BAB V PELAPORAN
Bagian Kedua Penggunaan Dokumen Angkutan
Pasal 12
Pasal 9 (1) (2) (3)
(4)
Pengangkutan HHBK yang masih berupa bahan mentah/asalan dari pemegang izin, pengelola hutan atau izin pengumpulan ke semua tujuan serta pengangkutan lanjutannya, menggunakan FA-HHBK. Pengangkutan HHBK berupa rotan asalan yang telah mengalami proses pencucian/penggorengan (WS) menggunakan FA-HHBK. Pengangkutan produk olahan HHBK dalam bentuk setengah jadi maupun barang jadi berupa rotan (furniture, kerajinan tangan, keranjang, lampit, saborina, dan barang jadi lainnya), minyak atsiri, tepung sagu, serbuk cendana, dan produk olahan HHBK dalam bentuk barang jadi lainnya menggunakan Nota Perusahaan. Dalam pelaksanaan ekspor produk olahan HHBK melalui pelabuhan umum, pengangkutan menuju pelabuhan dilengkapi dengan Nota Perusahaan sebagai dasar pengisian Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
(3)
FA-HHBK atas HHBK asalan/mentah yang sampai di industri primer pengolahan HHBK dimatikan oleh penerima HHBK. Penerima HHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu karyawan industri primer yang berkualifikasi sebagai GANISPHPL sesuai kompetensinya. Dalam hal GANISPHPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia, penerimaan HHBK dapat dilakukan oleh pimpinan pemegang izin atau pengelola hutan.
Pasal 13
(3) (4)
(5)
Pasal 14
Pasal 11
(2) (3)
Dinas Provinsi melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan penatausahaan hasil hutan bukan kayu di wilayah kerjanya. Dinas Kabupaten/Kota melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan penatausahaan hasil hutan bukan kayu di wilayah kerjanya. Balai melaksanakan bimbingan teknis terhadap pelaksanaan penatausahaan hasil hutan bukan kayu di wilayah kerjanya. Pelaksanaan bimbingan, pengendalian, dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan oleh WASGANISPHPL sesuai kompetensinya, berdasarkan penugasan dari Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Kepala Balai. WAS-GANISPHPL melaporkan hasil pelaksanaan bimbingan, pengawasan, dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepada Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Kepala Balai. BAB VII SANKSI
BAB IV PEMBUATAN LAPORAN MUTASI HHBK (LM-HHBK)
(1)
Pemegang izin, pengelola hutan, dan pelaku usaha wajib menyampaikan rekapitulasi laporan bulanan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan bukan kayu kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Balai. Kepala Dinas Kabupaten/Kota wajib menyampaikan gabungan rekapitulasi laporan bulanan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan bukan kayu di wilayah kerjanya kepada Direktur Jenderal c.q. Direktur dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala Balai. BAB VI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
(2)
Pasal 10
(2)
(2)
(1)
Bagian Ketiga Perlakuan FA-HHBK di Tempat Tujuan
(1)
(1)
Pemegang izin/pengelola hutan yang memproduksi hasil hutan ikutan berupa HHBK, TPT-HHBK, pengelola hutan dan izin pengumpulan HHBK, setiap bulan wajib membuat Laporan Mutasi Hasil Hutan Bukan Kayu (LMHHBK). Pemegang izin industri primer hasil hutan bukan kayu, setiap bulan wajib membuat LM-HHBK dan LM-HHOBK. Tata cara pengisian LM-HHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti pedoman pelaksanaan penatausahaan hasil hutan bukan kayu. BAB V..
(1) (2)
Pemegang izin/pengelola hutan yang tidak melakukan kegiatan penatausahaan hasil hutan bukan kayu, dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan penatausahaan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. Pembuatan LP-HHBK berdasarkan hasil pengukuran dan/atau pengujian hasil hutan bukan kayu; b. Pembuatan LP-HHBK sesuai dengan fisik hasil hutan baik jenis, jumlah atau volume/berat; c. Membuat LP-HHBK atas hasil hutan bukan kayu yang sudah dipungut/dikumpulkan; d. Melaporkan LP-HHBK yang telah disahkan sesuai tata waktu; e. Memuat dan/atau membongkar hasil hutan bukan kayu di tempat yang sesuai dengan dokumen FA-HHBK; f. Melengkapi pengangkutan hasil hutan bukan kayu dengan FA-HHBK yang masih berlaku. Pasal 15..
9
88
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
10
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Pasal 15 Dalam hal P2LP-HHBK mengesahkan LP-HHBK sebelum LP-HHBK periode sebelumnya dibayar lunas PSDH, dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan kartu WAS-GANISPHPL. BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 16 Hasil hutan bukan kayu yang berasal dari Perum Perhutani, penatausahaan hasil hutan bukan kayunya diatur secara tersendiri oleh Direksi Perum Perhutani, dan khusus penatausahaan hasil hutan untuk hal-hal yang berkaitan dengan: a. pengesahan LP-HHBK dilaksanakan oleh WAS-GANISPHPL PKB yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Provinsi atas usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota; dan b. pengangkutan HHBK menggunakan dokumen angkutan FA-KB yang diterbitkan oleh petugas Perum Perhutani yang berkualifikasi sebagai GANISPHPL PKB, mengikuti ketentuan Peraturan Menteri ini.
BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009, khusus ketentuan yang mengatur penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari hutan negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 23 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 September 2014
Pasal 17 (1) (2) (3)
Izin pengumpulan HHBK diberikan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota. TPT-HHBK ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota berdasarkan permohonan dari perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan. Tata cara dan persyaratan untuk mendapatkan Izin Pengumpulan HHBK dan TPT-HHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Pasal 18
Kepada P2LP-HHBK diberikan insentif berupa penghargaan, tunjangan pejabat PUHH, peningkatan kapasitas, penyegaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 19 Penatausahaan HHBK yang berupa tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi serta yang termasuk dalam daftar Appendix CITES sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 20 Pedoman Pelaksanaan Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 11 ayat (3), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. ZULKIFLI HASAN Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1498 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI,
KRISNA RYA
Pasal 21 (1) (2)
Nomor seri blanko FA-HHBK yang ditetapkan berdasarkan Peraturan sebelumnya, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan habisnya blanko. Pengangkatan Penerbit FA-HHBK sebelum terbitnya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya pengangkatan dimaksud. BAB X..
11
12
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
89
MODUL
3
KELEMBAGAAN
3. 4. 5.
6. 7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
14.
15.
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut industri primer adalah izin pengolahan hasil hutan berupa bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, menjadi satu jenis atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada pemegang izin oleh pejabat yang berwenang. Pemegang izin adalah pemegang Izin Pemanfaatan Hutan yang melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Pengelola Hutan adalah Perum Perhutani atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang wilayah areal kerjanya di luar Perum Perhutani termasuk di luar Pulau Jawa yang kegiatannya meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tempat Penampungan Terdaftar Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut TPT-HHBK adalah tempat pengumpulan hasil hutan bukan kayu dan/atau hasil hutan olahan bukan kayu yang berasal dari satu atau beberapa sumber, milik badan usaha atau perorangan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Izin Pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah izin yang diberikan kepada perorangan/badan usaha yang bergerak di bidang kehutanan yang melakukan pengumpulan HHBK yang berasal dari hutan negara yang dipungut oleh masyarakat sekitar hutan berdasarkan IPHHBK. Agroforestry atau Wanatani adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disebut PSDH adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut LPHHBK adalah dokumen yang memuat realisasi hasil pemanenan atau pemungutan atau pengumpulan hasil hutan bukan kayu berdasarkan izin sah. Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (GANISPHPL) adalah petugas perusahaan pemegang izin di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi lestari yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan produksi lestari sesuai dengan kualifikasinya yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal. Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (WASGANISPHPL) adalah Pegawai Kehutanan yang memiliki kompetensi di bidang pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan hutan produksi lestari sesuai dengan kualifikasinya yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal. Pembuat LP-HHBK adalah petugas perusahaan/perorangan pemegang izin atau pengelola hutan yang berkualifikasi sebagai GANIS-PHPL sesuai kompetensinya yang ditetapkan sebagai petugas pembuat Laporan Produksi HHBK.
5
90
16. Petugas..
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
16. Petugas Pengesah Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut P2LP-HHBK adalah pegawai kehutanan yang berkualifikasi sebagai WAS-GANISPHPL sesuai kompetensinya yang diangkat dan diberi tugas, tanggung jawab serta wewenang untuk melakukan pengesahan laporan produksi hasil hutan bukan kayu. 17. Penerbit Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut Penerbit FA-HHBK adalah karyawan perusahaan pemegang izin atau pengelola hutan yang bergerak di bidang kehutanan yang berkualifikasi sebagai GANISPHPL sesuai kompetensinya yang diangkat dan diberi wewenang untuk menerbitkan dokumen Faktur. 18. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut FAHHBK adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Penerbit FA-HHBK untuk menyertai pengangkutan HHBK yang berasal dari areal izin yang sah pada hutan negara. 19. Nota Angkutan HHBK adalah dokumen angkutan yang dipergunakan dalam pengangkutan langsiran HHBK dari pelabuhan umum ke tujuan FA-HHBK dan pengangkutan HHBK yang berasal dari hasil agroforestry/wanatani. 20. Laporan Mutasi Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disebut LMHHBK adalah dokumen yang menggambarkan penerimaan, pengeluaran dan sisa persediaan hasil hutan bukan kayu. 21. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. 22. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang bina usaha kehutanan. 23. Direktur adalah Direktur yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang iuran kehutanan dan peredaran hasil hutan. 24. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Provinsi. 25. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota. 26. Balai adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan yang diserahi tugas dan tanggung jawab dalam bidang pemantauan pemanfaatan hutan produksi. Bagian Kedua Maksud dan Tujuan Pasal 2 (1)
(2)
Penatausahaan hasil hutan bukan kayu dimaksudkan untuk menjamin hak negara atas semua hasil hutan bukan kayu yang berasal dari hutan negara yang dikelola atau dimanfaatkan atau dipungut berdasarkan izin yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penatausahaan hasil hutan bukan kayu bertujuan untuk menjamin legalitas hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh pemegang izin/pengelola hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. BAB II..
6
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Bagian Keempat Pengesahan LP-HHBK
BAB II PEMANENAN/PEMUNGUTAN
Pasal 6
Bagian Kesatu Pemanenan/Pemungutan HHBK
(1)
Pasal 3 Berdasarkan rencana kerja atau target pemanenan/pemungutan HHBK, pemegang izin atau pengelola hutan atau agroforestry/wanatani dapat melakukan pemanenan atau pemungutan atas hasil hutan bukan kayu. Bagian Kedua Pengukuran dan Pengujian
(2) (3) (4)
Pasal 4 (1) (2) (3)
Semua HHBK dilakukan penetapan jenis, pengukuran dan/atau pengujian, penetapan volume/berat, dan penghitungan jumlah. Tata cara penetapan jenis, pengukuran dan/atau pengujian, penetapan volume/berat, penghitungan jumlah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal jenis HHBK yang belum diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tata cara pengukuran dan/atau pengujiannya cukup dilakukan penetapan jenis, penetapan volume/berat dan penghitungan jumlah. Bagian Ketiga Pembuatan Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK)
(5)
Pasal 7 (1) (2) (3) (4)
Pasal 5 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Setelah melaksanakan pemanenan/pemungutan dan/atau pengumpulan HHBK, pemegang izin atau pengelola hutan wajib melakukan pengukuran berat/volume/ penghitungan jumlah. Hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam Buku Ukur dan dibuatkan Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK) dan Rekapitulasi LP-HHBK. LP-HHBK berikut rekapitulasinya dibuat sekurang-kurangnya 1 (satu) kali pada setiap akhir bulan oleh Pembuat LP-HHBK dan disampaikan kepada Petugas Pengesah LP-HHBK untuk disahkan. Dalam hal pemegang izin atau pengelola hutan tidak memiliki GANISPHPL, maka LP-HHBK dapat dibuat oleh WAS-GANISPHPL sesuai kompetensinya pada Dinas Kabupaten/Kota. Dalam hal Dinas Kabupaten/Kota tidak tersedia WAS-GANISPHPL sebagaimana dimaksud pada ayat (4), LP-HHBK dapat dibuat oleh WASGANISPHPL dengan kompetensi lain. Dalam hal tidak ada realisasi produksi HHBK, Pembuat LP-HHBK wajib membuat LP-HHBK Nihil dengan menyebutkan alasan-alasannya pada kolom keterangan. Pemegang Izin Pengumpulan HHBK, wajib membuat Laporan Produksi berdasarkan penerimaan/pengumpulan HHBK yang diperoleh dari masyarakat sekitar hutan yang memiliki IPHHBK.
Berdasarkan LP-HHBK yang disampaikan oleh Pembuat LP-HHBK, P2LPHHBK melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimasukkan ke dalam Daftar Pemeriksaan Hasil Hutan Bukan Kayu (DP-HHBK) dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan LP-HHBK. Apabila hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan benar, maka LP-HHBK disahkan. WAS-GANISPHPL yang ditugaskan sebagai Pembuat LP-HHBK tidak dapat merangkap sebagai Pengesah LP-HHBK pada pemegang izin atau pengelola hutan yang sama. Dalam hal di Dinas Kabupaten/Kota tidak tersedia WAS-GANISPHPL sesuai kompetensinya, LP-HHBK disahkan oleh WAS-GANISPHPL dengan kompetensi lain.
Dalam hal belum tersedia GANISPHPL/WAS-GANISPHPL sesuai kompetensi jenis HHBK, LP-HHBK dibuat oleh GANISPHPL/WAS-GANISPHPL dengan kompetensi lain. LP-HHBK yang telah disahkan disampaikan kepada Pejabat Penagih PSDH untuk diterbitkan SPP PSDH. Berdasarkan SPP PSDH, pemegang izin atau pengelola hutan wajib membayar PSDH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. LP-HHBK dapat disahkan apabila LP-HHBK sebelumnya telah dibayar lunas PSDH. BAB III PENGANGKUTAN HHBK Bagian Kesatu Jenis-jenis Dokumen Angkutan Pasal 8
(1) (2)
(3) (4)
Dokumen angkutan HHBK meliputi: a. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK); dan b. Nota Angkutan. Blanko FA-HHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diadakan oleh pemegang izin atau pengelola hutan dan dicetak di percetakan umum, setelah memperoleh penetapan Nomor Seri FA-HHBK dari Dinas Kabupaten/Kota. Nota Angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diadakan dan dicetak oleh pemegang izin atau pengelola hutan. Format blanko FA-HHBK dan Nota Angkutan mengikuti pedoman pelaksanaan penatausahaan hasil hutan bukan kayu. Bagian Kedua..
Bagian Keempat..
7
8
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
91
MODUL
3
KELEMBAGAAN
LEMBAR POST-TEST Modul 3 Nama Lembaga
: ................................................................................................................. : .................................................................................................................
Isilah dengan jawaban paling tepat! 1. Apa yang Anda ketahui tentang kelembagaan? 2. Apa yang Anda ketahui tentang lembaga usaha? 3. Bentuk kelembagaan apa saja yang bertalian dengan usaha? 4. Apa yang Anda ketahui tentang koperasi? 5. Adakah lembaga usaha di tempat Anda? Sebutkan bentuknya! 6. Pernakah Anda ikut terlibat di dalam lembaga usaha? 7. Apa yang Anda ketahui tentang pengelolaan atau manajemen usaha? 8. Apa yang Anda ketahui tentang manajemen pengolahan rotan? 9. Apa yang menjadi prasyarat menjalankan lembaga usaha koperasi? 10. Adakah industri rotan di wilayah Anda?
92
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Slide 1
Slide 2
Yang dimaksud dengan kelembagaan disini adalah “Bentuk satu – kesatuan atau badan yang mewadahi setiap rangkaian tindakan atau kegiatan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya di dalam menjalankan pengelolaan dan pengolahan rotan di dalam konsep home industri rotan yang berkesusaian dengan peraturan dan perundangan yang berlaku”
MODUL PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMAHAN
Slide 3
Adanya Orang – orang yang siap dengan peran dan posisi masing – masing yang akan melakukan kegiatan pengembangan home industri rotan. Adanya Pengetahuan tentang pengelolaan manajemen usaha kecil (mandiri dan kemitraan). Adanya Keterampilan pengolahan produk rotan. Adanya Pemahaman tentang pasar. Adanya ijin usaha atau Legalitas. Adanya Daya dukung dari sumber – sumber bahan, daya dukung keberpihakan dari stake holder (pemerintah, Akademisi, NGO, pelaku pasar).
Slide 4
PT
(perseroan terbatas) CV (perseroan komanditer) Koperasi
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
93
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Slide 5
Slide 6
Koperasi primer
Slide 7
Sistem pengaturan atau manajemen yang sederhana atau tidak rumit Sebagai program nasional koperasi mendapat dukungan penuh dari pemerintah (dengan 1 kementerian) Platform modal kecil Jangkauan kegiatan dapat melingkupi masyarakat di desa Orientasi koperasi badan yang mencari untung / profit. Jenis usaha sesuai dengan pilihan usaha pengembangan home indsutri rotan (usaha perdagangan, usaha jasa, dll)
Identifikasi
orang aturan Identifikasi unit kerja Rapat pendirian Legalitas Identifikasi
Slide 8
1. 2. 3.
94
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Keluar lembaga Ke dalam lembaga Di dalam lembaga
MODUL
3
KELEMBAGAAN
Slide 9
Slide 10
Pengertian
Regulasi atau peraturan adalah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melindungi hal – hal terkait dengan ekologi : 1. Perlindungan atas sumber – sumber hutan negara 2. Perlindungan hutan atas pengelolaan hasil hutan non kayu
Daya dukung atas ekonomi: 1. 2. 3. 4.
Perlindungan atas keberlanjutan usaha kecil Perlindungan atas persaingan usaha bagi pelaku usaha kecil Mendorong pertumbuhan Mendorong terbukanya akses kepada usaha kecil
Undang
Undang RI UU NO 20 Tahun 2008 UMKM
Peraturan
Menteri Permendag Nomor 89 Tahun 2015 Permen-LHK Nomor 91 Tahun 2014 Permen-KUKM Nomor 19 Tahun 2014
Peraturan
daerah
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
95
MODUL
4
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
MODUL 4. Pengenalan Produk Industri Rotan Rumahan (120 Menit) Sesi ini akan dipergunakan untuk membahas pengenalan berbagai hasil produk reka bentuk dan olahan berbahan dasar rotan.
Subpokok bahasan • •
Reka bentuk bahan olahan rotan Standar reka bentuk, daya guna pendorong daya saing pasar
Tujuan Mendorong tumbuhnya imajinasi dalam kreativitas peserta dalam mencipta bentuk-bentuk olahan rotan
Metode • • •
96
Ceramah Curah pendapat Diskusi
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
4
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Media Belajar • • •
Power point: Modul 4 – Pengenalan Produk Industri Rotan Rumahan Bahan Bacaan 4.1 – Pengenalan Produk Industri Rotan Rumahan Lembar post-test
Proses Belajar Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
I
1.
Fasilitator membuka sesi pelatihan dan menjelaskan materi yang akan dibahas.
5 menit
2.
Fasilitator memaparkan materi tentang pengenalan produk industri rotan rumahan.
30 menit
3.
Diskusi kelompok sambil mengerjakan lembar post-test. Fasilitator meminta peserta membentuk kelompok berdasarkan asal tempat tinggal. Fasilitator membagikan lembar post-test kepada masing-masing kelompok dan meminta kelompok berdiskusi sambil mengisi lembar post-test tersebut.
45 menit
4.
Fasilitator mengundang setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi. Kelompok lain menyimak dan memberikan tanggapan atas presentasi.
35 menit
5.
Fasilitator menyimpulkan lalu menutup sesi pelatihan.
5 menit
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
97
MODUL
4
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
BAHAN BACAAN 4.1 Pengenalan Industri Rotan Rumahan Pengertian Produk industri rotan rumahan adalah produk yang dihasilkan oleh rumah tangga pengrajin rotan dalam bentuk barang dan jasa. •
Bentuk barang: artinya rumah tangga pengrajin memproduksi olahan rotan yang hasil akhirnya adalah nilai guna dari reka bentuk rotan.
•
Bentuk jasa: artinya rumah tangga pengrajin mengerjakan olahan rotan tanpa menciptakan bentuk baru dengan hasil akhir nilai kerja.
Reka Bentuk Adalah kegiatan mengolah rotan dengan menambah nilai guna terhadap rotan yang didasari oleh:
98
•
Kreativitas. Rumah tangga pengrajin harus aktif membuat bentuk baru dari bentuk sebelumnya yang telah ada meskipun nilai guna sama.
•
Imajinasi. Rumah tangga pengrajin harus aktif mencipta nilai guna dengan bentuk yang baru sehingga keperluan orang akan kebutuhan rotan olah bisa terpenuhi
•
Orientasi . Jelas bahwa dalam penciptaan produk baru harus memiliki nilai jual yang tinggi sehingga dapat masuk dalam persaingan pasar.
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
4
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
•
Keterampilan. Dasar dalam berkreasi adalah jelas rumah tangga pengrajin harus memiliki kecakapan dan keterampilan baik dalam mencipta maupun dalam membuat, dan hal ini dapat diperoleh melalui pelatihan dan belajar yang keras.
•
Estetika. Dalam setiap penciptaan dan pembuatan produk berbahan dasar rotan harus menyertakan nilai estetika atau nilai seni, sehingga dapat memenuhi kebutuhan nilai estetika.
Contoh Bentuk Produk Hasil Olahan Industri Rotan Rumahan Berikut adalah hasil karya produksi industri rotan rumahan yang telah diproduksi dan jual di pasaran terutama pemenuhan kebutuhan ekspor ke luar negeri.
:: Keranjang Anyaman Laci
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
99
MODUL
4
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
:: Keranjang Berbasis Kubu
100
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
4
Sumber foto: dokumentasi pribadi Arman Masudi
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Keranjang Lombokan #1
Keranjang Lombokan #2
Kursi Anyaman Rotan Kubu
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
101
MODUL
4
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Slide 1
Slide 2
Pengenalan Produk Hasil Industri Rotan Rumahan
Modul
Produk Rotan Kubu 1
Keranjang kubu natural
Keranjang kubu grey
Slide 3
Slide 4
Produk Rotan Kubu
Produk Rotan Kubu
1
Meja dengan anyaman rotan core Kursi dengan anyaman kubu grey
102
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
4
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Slide 5
Slide 6
Produk Rotan Lasio
Produk Rotan Kubu
1
Anyaman rotan lasio pada rangka kayu Lemari rotan anyaman dengan rangka kayu
Slide 7
Slide 8
Produk Rotan Core / Lombokan 1
Produk Rotan Core / Lombokan 1
Penyesuaian menggunakan rotan core - Keranjang Produk kerajinan rotan khas Lombok
Mangkok rotan
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
103
MODUL
4
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
Slide 9
Slide 10
Produk Rotan Core / Lombokan 1
Keranjang atau tray dengan anyaman Keranjang core tanpa anyaman lasio
104
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
4
PENGENALAN PRODUK INDUSTRI ROTAN RUMAHAN
LEMBAR POST-TEST Proses Pengenalan Produk Olahan Rotan Nama Lembaga
: ........................................................................................................ : ........................................................................................................
Isilah dengan jawaban paling tepat! 1. Apa yang Anda ketahui tentang pengolahan rotan? 2. Apakah di wilayah Anda ada kegiatan pengolahan berbahan baku rotan? 3. Bentuk produk berbahan baku rotan apa yang Anda ketahui? 4. Dimana Anda memperoleh baku rotan tersebut? 5. Adakah orang di wilayah Anda yang memasarkan produk olahan berbahan dasar rotan? 6. Bila ada, berapa harga yang ditawarkan? 7. Menurut Anda, apa manfaat yang mungkin bisa diperoleh dari olahan rotan? 8. Apakah Anda pernah melihat produk olahan di luar daerah Anda? 9. Bila pernah, bentuk apa saja? 10. Tahukah Anda siapa yang meproduksinya?
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
105
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
MODUL 5. Proses Pengolahan Bahan Baku Rotan Menjadi Bahan Siap Pakai (90 Menit) Sebelum digunakan untuk produksi keranjang atau kursi, rotan yang diambil dari hutan harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu sehingga rotan menjadi rotan setengah jadi. Dalam modul ini, peserta dapat mengenal beberapa (khususnya proses pembelahan rotan) proses pengolahan rotan yang dilakukan sebelum menjadi produk kerajinan.
Subpokok Bahasan • •
Proses pengolahan dan hasil bahan baku Produk dari bahan baku tertentu
Tujuan Belajar • • •
106
Pemahaman tentang istilah dan jenis rotan yang ada Pemahaman tentang beberapa proses pengolahan dasar pada rotan serta alat-alat yang digunakan. Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai kriteria
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
Metode Belajar • • •
Pemaparan media Curah pendapat Pemaparan contoh bahan baku rotan setengah jadi (rotan batang, rotan core, rotan pitrit, rotan lasio)
Media Belajar • • • •
Power point: Modul 5 - Pengolahan Bahan Baku Lembar post-test Bahan Bacaan 5.1 Klasifikasi Rotan dan Spesies Rotan Bahan Bacaan 5.2 Jenis Rotan dan Kegunaannya
Proses Belajar Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2.
Fasilitator menjelaskan proses pengolahan bahan baku rotan menjadi bahan rotan setengah jadi yang siap diolah, dibantu dengan paparan power point Modul 5.
30 menit
3.
Fasilitator meminta peserta untuk memberikan tanggapan atas materi yang disampaikan baik berupa pertanyaan, pendapat, maupun pengalaman.
10 menit
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
107
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
Sesi
108
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
4.
Pembentukan kelompok dan berdiskusi dengan mengisi lembar post-test.  Fasilitator meminta peserta untuk membentuk tiga kelompok dengan cara berhitung 1-3. Peserta dengan nomor yang sama berkumpul dalam satu kelompok.  Fasilitator membagikan lembar post-test dan meminta peserta mengisinya sembari berdiskusi di dalam kelompok. Fasilitator menjelaskan fungsi post-test, yakni untuk mengetahui pemahaman peserta mengenai materi yang telah disampaikan. Adapun diskusi bertujuan untuk semakin mendekatkan peserta dan membangun iklim komunikasi, partisipasi, dan kerja sama. Hasil diskusi dituliskan dalam kertas plano.  Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi. Kelompok lain menyimak dan memberikan tanggapan atas presentasi.
45 menit
5.
Fasilitator menyimpulkan lalu menutup sesi pelatihan.
5 menit
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
BAHAN BACAAN 5.1 Klasifikasi Rotan dan Spesies Rotan Indonesia Klasifikasi Rotan Berdasarkan tingkat pengolahannya, rotan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: 1. Rotan Mentah. Rotan yang diambil atau ditebang dari hutan, masih basah, dan mengandung air getah rotan. Warna hijau atau kekuning-kuningan (lapisan berklorofil), belum digoreng dan belum dikeringkan. 2. Rotan Asalan. Rotan yang telah mengalami proses penggorengan, penjemuran, dan pengeringan. Permukaan kulit berwarna cokelat kekuning-kuningan, masih kotor belum dicuci, bergetah kering, permukaan kulit berlapiskan silikat. 3. Rotan Natural Washed and Sulphured (W/S). Rotan bulat natural yang masih berkulit, sudah mengalami proses pencucian dengan belerang (sulfur), ruas/tulang sudah dicukur maupun tidak dicukur (trimmed, untrimmed), biasanya kedua ujungnya sudah diratakan, sudah melalui sortasi ukuran diameter maupun kualitas. 4. Rotan Poles. Rotan bulat yang telah dihilangkan permukaan kulit bersilikatnya dengan menggunakan mesin poles rotan, biasanya melalui 3 tahap amplas yang berbeda, yakni 1. amplas kasar (grit 30, 36, 40, 60) untuk menghilangkan permukaan kulit silikatnya, disebut sebagai poles kasar; 2. amplas sedang (grit 80 atau 100) untuk membersihkan permukaan rotan; dan 3. Amplas halus (grit 120, 150, 180, 240) untuk menghaluskan permukaan rotan, disebut sebagai poles halus.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
109
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
Tingkat rotan poles halus yang dibutuhkan oleh industri mebel dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yakni: 1. Rattan Sanded-Polished. Dilakukan pengamplasan tiga tahap seperti yang tersebut di atas. Rotan dipoles hanya denganmenghilangkan permukaan kulit bersilikat termasuk kulit di bawah ruas rotan. Bentuk rotan maupun lekukan-lekukan masih dipertahankan sesuai dengan ciri rotan, namun permukaan sudah tidak berkulit. 2. Rattan Full-Polished. Rotan dipoles dengan meratakan semua ruas-ruas sehingga tidak bergelombang di antara ruas dengan permukaan lainnya. 3. Rattan Autoround-Polished. Sebelum rotan dipoles, terlebih dahulu dikupas kulitnya untuk diratakan diameternya dengan menggunakan autoround rod machine (mesin serut), sehingga rotan tersebut mempunyai diameter yang sama dari ujung ke ujung lainnya, lalu dipoles sampai halus. Rotan ini menyerupai tongkat karena diameternya sama.
5. Hati Rotan (Rattan Core). Merupakan isi atau hati rotan tanpa berkulit dengan berbagai bentuk. Diproses dengan mempergunakan mesin pembelah atau mesin kupas rotan (rattan splitting machine). Bentuk hati rotan antara lain: • • • • • • •
110
Round Core, hati rotan berbentuk bulat dengan berbagai diameter Square-Core, hati rotan berbentuk segi empat Star Core, hati rotan berbentuk bintang Double Oval Core, hati rotan berbentuk lonjong Flat Oval Core, hati rotan berbentuk tali rotan Flat Flat Core, hati rotan berbentuk lempengan Half Round Core, hati rotan berbentuk setengah lingkaran
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
Selain yang telah disebutkan di atas, terdapat skin core yang merupakan hati rotan yang masih tersisa kulitnya untuk kegunaan tertentu dalam industri mebel/kerajinan rotan. Segala bentuk hati rotan dikemas dalam satu bentuk dan ukuran untuk pengepakan. 6. Kulit Rotan. Merupakan lembaran rotan yang diperoleh dari hasil pembelahan rotan bulat natural dan atau rotan bulat poles. Kulit rotan terdiri dari: •
Kulit Rotan Tebal. Yaitu kulit rotan (baik natural maupun sanded) yang belum ditipiskan, sehingga lebar dan ketebalan dari kulit rotan ini masih belum merata ukurannya.
•
Kulit Rotan Tipis. Yaitu kulit rotan (baik natural maupun sanded) yang sudah dicukur (trimmed) dengan menggunakan rattan peel trimming machinge (mesin penipis kulit rotan). Lebar dan ketebalan kulit rotan ini sudah merata.
7. Serbuk Rotan. Merupakan sisa (waste) dari proses poles rotan. Dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan obat nyamuk bakar maupun briket.
Jenis/Spesies Rotan Indonesia Indonesia merupakan negara dengan potensi rotan terbesar di dunia. Dari 600 spesies rotan yang ada di dunia, sekitar 350 spesies di antaranya terdapat di hutan Indonesia yang tersebar di hampir seluruh pulau. Rotan yang terdapat di setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sebagai contoh, rotan yang terdapat di Kalimantan adalah rotan budidaya yang berukuran kecil, sementara di Sulawesi dan Sumatera, rotan yang dihasilkan sebagian besar adalah rotan alam dengan ukuran yang relatif lebih besar. Dari banyak rotan yang ada di Indonesia, tidak seluruh rotan telah dimanfaatkan. Yayasan Rotan Indonesia (YRI) menyebutkan dari 350 spesies rotan yang ada di Indonesia, masih 53 spesies yang memiliki nilai komersial.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
111
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
Berikut data berbagai jenis rotan komersial Indonesia serta penggunaannya di dalam negeri.
Tabel Jenis Rotan Komersial dan penggunaanya di dalam negeri JENIS ROTAN
DIAMETER
PENGGUNAAN DI DALAM NEGERI
PULAU SULAWESI 1. Batang
16-48mm
- Hanya diameter 18-30mm dalam bentuk poles
2. Manuk Putih (Noko)
16-38mm
- Hanya diameter 18-30mm dalam bentuk poles
3. Lambang
10-24mm
- Hanya diameter 2,5-15mm dalam bentuk hati rotan
4. Tohiti
10-34mm
- Pemakaian di dalam negeri terbatas
5. Manuk Merah
14-36mm
- Pemakaian di dalam negeri terbatas
6. Umbulu
10-24mm
- Pemakaian di dalam negeri terbatas
7. Pato
28-50mm
- Tidak terpakai di dalam negeri
8. Paik
10-20mm
- Tidak terpakai di dalam negeri
9. Tarumpu
16-32mm
- Tidak terpakai di dalam negeri
10. Botol
14-38mm
- Tidak terpakai di dalam negeri
11. Ubang
14-38mm
- Tidak terpakai di dalam negeri
12. Barakcung
14-24mm
- Tidak terpakai di dalam negeri
13. Lebanga
112
- Tidak terpakai di dalam negeri
14. Moli
14-24mm
- Tidak terpakai di dalam negeri
15. Tanah (Ape)
10-20mm
- Tidak terpakai di dalam negeri
16. Jemasin (Ronti)
6-16mm
- Tidak terpakai (hanya bisa diproses menjadi rotan W/S)
17. Sabutang
8-16mm
- Tidak terpakai (hanya bisa diproses menjadi rotan W/S)
18. Anduru
6-16mm
- Tidak terpakai (hanya bisa diproses menjadi rotan W/S)
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
JENIS ROTAN
DIAMETER
PENGGUNAAN DI DALAM NEGERI
19. Putih (Paloe)
6-18mm
- Tidak terpakai (hanya bisa diproses menjadi rotan W/S)
20. Taimanuk
10-18mm
- Tidak terpakai (hanya bisa diproses menjadi rotan W/S)
21. Datu Merah
2-5mm
- Tidak terpakai (hanya bisa diproses menjadi rotan W/S)
22. Datu Putih
3-7mm
- Tidak terpakai (hanya bisa diproses menjadi rotan W/S)
23. Katak Merah
12-20mm
- Tidak terpakai (hanya bisa diproses menjadi rotan W/S)
24. Katak Putih
12-20mm
- Tidak terpakai (hanya bisa diproses menjadi rotan W/S)
1. Sega (Kooboo / Kubu)
6-16mm
- Pemakaian terbatas di dalam negeri
2. Pulut Merah
2-5mm
- Pemakaian terbatas (hanya dalam bentuk W/S)
PULAU KALIMANTAN
3. Sarang Buaya 4. Tunggal
- Pemakaian terbatas (hanya dalam bentuk W/S) 18-42mm
- Pemakaian terbatas di dalam negeri
5. Pulut Putih
3-6mm
- Tidak dipakai (hanya dalam bentuk W/S)
6. Semambu
18-34mm
- Tidak dipakai (hanya dalam bentuk W/S)
7. Jalayan
20-24mm
- Tidak dipakai di dalam negeri
8. Batu
10-24mm
- Tidak dipakai (hanya dalam bentuk W/S)
18-44mm
- Pemakaian terbatas di dalam negeri
PULAU SUMATERA 1. Manao 2. Sega Loonti
- Pemakaian terbatas di dalam negeri
3. CL
- Pemakaian terbatas di dalam negeri
4. Tab-tabu
18-36mm
- Tidak dipakai di dalam negeri
5. Mawi
16-28mm
- Tidak dipakai di dalam negeri
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
113
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
JENIS ROTAN 6. Giok-giok
DIAMETER 16-28mm
7. Lacak
PENGGUNAAN DI DALAM NEGERI - Tidak dipakai di dalam negeri - Tidak dipakai di dalam negeri
PULAU SUMBAWA 1. Pahit
15-30mm
- Tidak dipakai di dalam negeri
1. Suti
20-34mm
- Pemakaian terbatas di dalam negeri
2. Manis / Banyuwangi
18-34mm
- Pemakaian terbatas di dalam negeri
PULAU JAWA
Sumber: Asosiasi Petani Rotan Indonesia (APRI), 2010
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan rotan di dalam negeri hanya terbatas pada jenis/spesies rotan tertentu. Rotan yang umumnya digunakan oleh industri meubel dan kerajinan dalam negeri adalah jenis rotan Batang, Manuk Putih (Noko), dan Lambang. Penggunaan ketiga jenis rotan tersebut masih terbatas dalam ukuran tertentu. Untuk jenis rotan Tohiti, Manuk Merah, Sega, dll. (rotan dengan kode “pemakaian terbatas di dalam negeri�), permintaan dan penggunaannya di dalam negeri sangat terbatas pada ukuran/diameter tertentu, umumnya hanya bersifat insidentil, baik sebagai pengganti rotan batang, manuk putih, dan lambang, maupun sebagai bahan tambahan/pelengkap. Berdasarkan data APRI (2010), jenis-jenis rotan yang diolah oleh anggota APRI untuk kebutuhan industri meubel dalam negeri adalah sebagai berikut:
114
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
1. 2. 3. 4. 5.
Batang, diameter 18-30mm, asal Sulawesi Manuk / Noko, diameter 18-30mm, asal Sulawesi Lambang, diameter 2-15mm, asal Sulawesi Tohiti, diameter 12-24mm, asal Sulawesi Sega/Kooboo diameter 6-16mm, asal Kalimantan
Beberapa jenis rotan yang tidak dimanfaatkan di dalam negeri karena ukuran diameternya relatif kecil, tidak dapat diproses menjadi rotan setengah jadi (rotan poles, hati, dan kulit rotan) tetapi hanya dapat diproses menjadi rotan W/S. Selain itu, karena sifat dan kegunaannya, beberapa jenis rotan tertentu hanya dipergunakan dalam bentuk natural W/S. Umumnya jenis rotan tersebut akan kehilangan nilai komersial apabila diolah menjadi rotan setengah jadi.
Sumber: Yayasan Rotan Indonesia, 2010 Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, 2010
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
115
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
BAHAN BACAAN 5.2 Jenis Rotan dan Kegunaannya
Rotan batang dan semi poles
Rotan peel
116
Rangka kursi
Keranjang rotan peel
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Binding atau pengikat pada kursi
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
Keranjang rotan core
Rotan core pada kursi
Rotan core
Rotan kubu
Anyaman rotan kubu pada kursi
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
117
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
LEMBAR POST-TEST Proses Pengolahan Bahan Baku Rotan Nama
: ............................................................................................
Lembaga
: ............................................................................................
Cocokkan jawaban di dalam kotak dengan gambar!
2 .............................................
Dibelah
1 .............................................
3 .............................................
Dibelah Rotan Batang Rotan Core Rotan Pitrit
Rotan Kubu Rotan Peel/Kulit Rotan Lambang
4 .............................................
118
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
LEMBAR POST-TEST (JAWABAN) Proses Pengolahan Bahan Baku Rotan 1. 2. 3. 4.
Rotan Batang Rotan Peel / Kulit Rotan Core / Hati Rotan Pitrit
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
119
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
Slide 1
Modul
Slide 2
Pengolahan Bahan Baku Rotan (Kubu)
1
Rotan Kubu (Sega)
• Rotan Kubu ada yang langsung dianyam, ada yang dibelah, dan direndam dahulu
Rotan Asalan Kubu
Slide 3
Slide 4
Pembelahan: Rotan Kubu 1 (Sega)
Produk Anyaman: Rotan Kubu (Sega) 1
KULIT
ANYAMAN DENGAN KULIT ISI / HATI (CORE)
120
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
ANYAMAN ROTAN KUBU NATURAL
MODUL
5
PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKU ROTAN MENJADI BAHAN SIAP PAKAI
Slide 5
Slide 6
Hasil Perendaman: Rotan 1 Kubu (Sega)
Perendaman: Rotan Kubu (Sega) 1
Perendaman Rotan Kubu
Slide 7
Slide 8
Produk Anyaman: Rotan Kubu (Sega) 1
KURSI DENGAN ANYAMAN KUBU GREY
KERANJANG KUBU GREY
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
121
MODUL
6
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ANYAMAN LASIO
MODUL 6. Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Anyaman Lasio (90 Menit) Lasio merupakan jenis rotan peel yang dibelah dengan mesin. Lasio mempunyai lebar dan ketebalan yang merata. Anyaman dipadukan dengan rotan pitrit sebagai lungsen atau rangka anyam. Keranjang ini menggunakan rangka kayu lunak dan disebut keranjang laci (karena biasa difungsikan sebagai laci).
Subpokok Bahasan • • •
Proses Persiapan (pemilihan bahan, alat yang digunakan) Langkah-langkah pengerjaan Praktik
Tujuan Belajar • •
122
Pemahaman tentang langkah pembuatan keranjang laci serta alat-alat yang digunakan Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai kriteria
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
6
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ANYAMAN LASIO
Metode Belajar • • • •
Pemaparan media (power point, video) Curah pendapat Demonstrasi oleh pengrajin (diperlukan bahan baku: rotan lasio, rotan pitrit, dan rangka kayu) Praktik bersama pengrajin (diperlukan bahan baku: rotan lasio, rotan pitrit, dan rangka kayu)
Media Belajar • •
Power point: Modul 6 – Pembuatan Keranjang Berbasis Anyaman Lasio Video: Modul 6
Proses Belajar Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2.
Fasilitator menjelaskan tahap persiapan dan langkah-langkah pengerjaan dengan menggunakan power point Modul 6.
20 menit
3.
Fasilitator meminta peserta untuk memberikan tanggapan atas materi yang disampaikan, baik berupa pertanyaan, pendapat, maupun pengalaman.
5 menit
4.
Fasilitator memaparkan video proses penganyaman.
5 menit
5.
Fasilitator mempersilakan narasumber untuk memperlihatkan bahan baku rotan lasio dan pitrit serta alat yang akan digunakan.
10 menit
6.
Narasumber mendemonstrasikan proses menganyam.
10 menit
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
123
MODUL
6
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ANYAMAN LASIO
Sesi
124
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
7.
Fasilitator menyiapkan bahan baku untuk tiap peserta agar dapat mempraktikkan proses penganyaman.
25 menit
8.
Fasilitator meminta narasumber untuk memberi penilaian terhadap hasil kerja peserta.
10 menit
9.
Fasilitator meminta peserta untuk memberi tanggapan atas pengalaman menganyam.
5 menit
10.
Fasilitator menutup sesi pelatihan.
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
6
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ANYAMAN LASIO
Slide 1
Slide 2
Modul
Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Anyaman Lasio
Persiapan Material 1
• Bahan anyam yang digunakan: Rotan Lasio • Ember dan air untuk merendamkan lasio (sebentar saja)
• Rotan Pitrit (sudah dipotong seperlunya)
Slide 3
Slide 4
Alat-Alat
Langkah Kerja
1 • Benda tajam pipih -> untuk membantu memasukan lasio ke celah-celah anyaman. Dapat menggunakan paku yang diberi pegangan kayu (seperti pada gambar). • Gunting Pemotong –> untuk memotong lasio dan pitrit
1.
Siapkan rangka kayu yang akan digunakan
2. Anyamanlah mengelilingi rangka kayu tersebut
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
125
MODUL
6
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ANYAMAN LASIO
Slide 5
Slide 6
5. Teruskan memasang batang
baru dan dipaku setiap 5-8 cm. Pastikan semua titik paku benar-benar masuk.
3. Masukkan Pitrit ke dalam
rangka kayu. Pastikan batang pitrit tidak terlalu pendek agar dapat menempel.
Rangka anyam (Lungsen) Pitrit
4. Setelah lungsen pitrit dipasang,
Anyaman Lasio
mulailah menganyam selang seling dengan lasio. Pastikan kulit lasio menghadap keluar.
Keranjang Lasio Rangka Kayu
Pola Anyaman lasio
126
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
7
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN CORE
MODUL 7. Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Rotan Core (90 Menit) Rotan core atau rotan hati dihasilkan dari rotan batang yang telah dibelah. Di Cirebon, keranjang ini dikenal sebagai keranjang lombokan karena terinspirasi dari gaya kerajinan rotan khas Lombok. Bedanya, di Lombok menggunakan rotan berdiameter kecil yang masih berkulit. Tahapan kerja pembuatan keranjang dibagi menjadi dua yaitu: 1) tahapan pembuatan keranjang menggunakan bahan baku rotan core dan alat-alat seperti nailgun/staplergun, kompresor, dan mal; 2) tahapan anyaman lasio pada keranjang menggunakan bahan baku rotan lasio dan alat gunting. Proses yang relatif lebih rumit dari keranjang biasa membuat biaya produksi keranjang ini yang lebih mahal.
Subpokok Bahasan • • •
Proses persiapan (pemilihan bahan, alat yang digunakan) Langkah-langkah pengerjaan Praktik
Tujuan Belajar • •
Pemahaman tentang langkah pembuatan keranjang rotan core lombokan serta alat-alat yang digunakan Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai kriteria
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
127
MODUL
7
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN CORE
Metode Belajar • • • •
Pemaparan media (power point, video) Curah pendapat Demonstrasi oleh pengrajin (diperlukan bahan baku: rotan core, rotan lasio; dan alat: kompresor, pisau, tang pemotong, nailgun, isi nailgun, mal silinder berdiameter 30 cm, tinggi 30 cm) Praktik bersama pengrajin (diperlukan bahan baku)
Media Belajar • •
Power point: Modul 7 – Pembuatan Keranjang Berbasis Rotan Core Video: Modul 7
Proses Belajar
128
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2.
Fasilitator menjelaskan tahap persiapan dan langkah-langkah pengerjaan dengan menggunakan power point Modul 7.
15 menit
3.
Fasilitator meminta peserta untuk memberikan tanggapan atas materi yang disampaikan, baik berupa pertanyaan, pendapat, maupun pengalaman.
5 menit
4.
Fasilitator memaparkan video proses penganyaman.
5 menit
5.
Fasilitator mempersilakan narasumber untuk memperlihatkan bahan baku rotan core serta alat yang akan digunakan.
5 menit
6.
Narasumber mendemonstrasikan proses pembuatan keranjang kecil menggunakan kompresor dan nailgun.
10 menit
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Durasi
MODUL
7
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN CORE
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
7.
Narasumber mendemonstrasikan proses menganyam core pada keranjang.
15 menit
8.
Fasilitator meminta peserta satu persatu mencoba proses pembuatan keranjang, dipandu oleh narasumber.
15 menit
9.
Fasilitator meminta peserta mencoba proses menganyam.
10 menit
10.
Fasilitator meminta narasumber untuk memberi penilaian kepada hasil kerja peserta.
5 menit
11.
Fasilitator meminta peserta untuk memberi tanggapan atas pengalaman menganyam.
5 menit
12.
Fasilitator menutup sesi pelatihan.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
129
MODUL
7
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN CORE
Slide 1
Slide 2
Modul
Pembuatan produk keranjang berbasis rotan core (Lombokan)
Persiapan Material 1
Rotan Core • Jenis rotan core yang digunakan disarankan hasil belahan mesin karena lebih halus dan ukurannya sama. • Pilih batang core yang tidak ada blue stain (jamur berwarna hijau kebiruan), lumut, busuk, dsb. • Usahakan warna tidak terlalu berbeda.
Rotan Lasio Antik • Lasio digunakan untuk anyaman diantara batang core. Pastikan tidak berjamur atau bluestain. • Ukuran lebar lasio menggunakan ukuran paling kecil (antik) yaitu sekitar 3 mm
Slide 3
Slide 4
1
• Mal/cetakan digunakan untuk membuat keranjang jenis lombokan.
Alat-Alat 1
• Mal terbuat dari bahan seperti kayu kaso, plywood (multipleks), dan juga rotan.
Handle
Badan Keranjang & Anyaman
Mal yang digunakan untuk keranjang berbentuk silinder
Dasar Keranjang
Tang Pemotong
Komponen keranjang lombokan berbentuk silinder
Kompressor
Ragam jenis mal digunakan untuk mencapai bentuk yang berbeda
130
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Anyaman Lasio pada keranjang lombokan
Nailgun
MODUL
7
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN CORE
Slide 5
Slide 6
memasang batang 3. Teruskan baru dan dipaku setiap 5-8 cm.
Langkah Kerja
Pastikan semua titik paku benar-benar masuk.
1. Siapkan mal yang akan
Jika batang habis, sambungkan dengan memotong menyamping seperti di gambar. Kemudian lanjutkan memaku dengan nailgun.
digunakan
2. Masukkan batang core
dan buatlah sebuah lingkaran,. Buat sambungan seperti dalam gambar
Slide 7
Batang core baru1
Menyambung batang core
4. Teruskan memasang dan
memaku batang core hingga tinggi yang diinginkan.
Slide 8
5. Komponen badan selesai, lanjutkan ke komponen dasar/base.
7.
Menganyam keranjang dengan lasio 1.
2.
3.
Pola anyam lasio pada keranjang lombokan
6.
Dengan teknik yang sama, buatlah dasar keranjang Sambungkan dasar dan badan keranjang dengan nail gun. Dasar keranjang dibuat terpisah dan disambung dengan nailgun.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
131
MODUL
7
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN CORE
Slide 9
Slide 10
Terima Kasih
8. Setelah selesai dianyam,
keranjang melalui proses Quality Control (QC). Keranjang yang kualitasnya tidak memenuhi akan diservis & diperbaiki.
132
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
8
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN KUBU
MODUL 8. Pembuatan Produk Keranjang Berbasis Rotan Kubu (90 Menit) Rotan kubu atau sega berasal dari Pulau Kalimantan. Rotan kubu termasuk rotan berdiameter kecil. Rotan kubu dapat langsung dianyam atau dibelah menjadi core dan kulit. Rotan kubu juga dapat direndam di kolam selama sebulan untuk proses pewarnaan grey. Pembuatan keranjang ini tidak menggunakan banyak alat dan lebih mengandalkan keterampilan tangan pengrajin.
Subpokok Bahasan • • •
Proses persiapan (pemilihan bahan) Langkah-langkah pengerjaan Praktik
Tujuan Belajar • •
Pemahaman tentang langkah pembuatan keranjang rotan kubu Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai kriteria
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
133
MODUL
8
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN KUBU
Metode Belajar • • • •
Pemaparan media (power point, video) Curah pendapat Demonstrasi oleh pengrajin (diperlukan bahan baku: rotan kubu) Praktik bersama pengrajin
Media Belajar • •
Power point: Modul 8 – Pembuatan Keranjang Berbasis Rotan Kubu Video: Modul 8
Proses Belajar
134
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2.
Fasilitator menjelaskan tahap persiapan dan langkah-langkah pengerjaan dengan menggunakan power point Modul 8.
15 menit
3.
Fasilitator meminta peserta untuk memberikan tanggapan atas materi yang disampaikan, baik berupa pertanyaan, pendapat, maupun pengalaman.
5 menit
4.
Fasilitator memaparkan video proses penganyaman.
5 menit
5.
Narasumber mendemonstrasikan proses menganyam keranjang kecil menggunakan rotan kubu.
15 menit
6.
Fasilitator meminta peserta untuk ikut menganyam keranjang dengan dipandu oleh narasumber.
35 menit
7.
Fasilitator meminta narasumber untuk memberi penilaian kepada hasil kerja peserta.
10 menit
8.
Fasilitator meminta peserta untuk memberi tanggapan atas pengalaman menganyam.
5 menit
9.
Fasilitator menutup sesi pelatihan.
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Durasi
MODUL
8
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN KUBU
Slide 1
Slide 2
Modul
Persiapan Material
Pembuatan produk keranjang berbasis rotan kubu
1
• Pilih material yang tidak ada kecacatan (busuk, berjamur, dsb). Diutamakan batang dengan diameter yang relatif merata dari ujung ke ujung. • Kubu yang sudah direndam (kubu grey) dapat langsung dianyam karena sudah lembek dan mudah ditekuk. • Kubu natural perlu direndam air sebelum dianyam agar mudah ditekuk.
Informasi berat kering Dan tanggal perendaman
Hindari kubu yang sudah berwarna merah, karena bagian ini sudah lapuk. Ini akibat dari disimpan terlalu lama.
Slide 3
Slide 4 Anyaman keranjang kubu terdiri dari dua bagian: • Anyaman • Rangka Anyaman / Lungsen
Langkah Kerja 1.
Siapkan 12 Batang kubu dan jejerkan seperti gambar. Batang-batang ini akan menjadi lungsen keranjang
Anyaman Keranjang Kubu
12 Batang disusun menjadi bentuk (+)
Rangka Anyaman (Lungsen)
Anyaman
Anyaman dilakukan selang seling ke atas dan ke bawah lungsen Pola Anyaman Kubu
rangkaian 2. Ikat batang ini dengan batang anyaman (sedikit lebih kecil).
Ikat Rangkaian ini
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
135
MODUL
8
PEMBUATAN PRODUK KERANJANG BERBASIS ROTAN KUBU
Slide 5
Slide 6 lebar keranjang sudah dicapai. Buat 4. Jika anyaman ganda untuk memperkokoh
3. Sebar lungsen sehingga membentuk lingkaran seperti di
sudut keranjang
gambar. Lalu teruskan menganyam mengitari lungsen. (selang seling atas dan bawah) 1
1
5. Tekuk semua lungsen ke atas.
Mal (Jika mengerjakan 6. Masukkan keranjang tinggi). Mal berfungsi untuk menjaga bentuk anyaman keranjang tetap lurus.
Slide 7
Slide 8
lungsen tambahan untuk 7. Tambahkan setiap lungsen yang ada. Untuk menambahkan batang, terlebih dahulu potong batang menjadi runcing dan masukkan ke dalam anyaman.
1
10.
Potong sisa-sisa batang
1
8. Anyam hingga ketinggian yang diinginkan. selesai dan siap 11. Keranjang untuk dijemur
9. Anyam lungsen menjadi list.
136
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
MODUL 9. Pembuatan Rangka Kursi dan Meja Rotan (150 Menit) Kursi dan meja rotan merupakan produk yang cukup rumit serta memerlukan beberapa tahapan pengerjaan (pengolahan bahan baku; stim dan pembengkokan; pembuatan bagian kursi; perakitan; dan anyaman). Dalam skenario industri rotan rumahan, tahapan ini kemungkinan dilakukan di tempat atau workshop yang berbedabeda. Di pabrik furnitur, semua tahapan ini terintegrasi menjadi satu alur produksi dan dilakukan di satu gedung. Modul ini akan membahas beberapa tahapan yang dijalankan pada saat produksi kursi dan meja. Secara umum produksi meja hampir sama dengan kursi, tetapi dapat dikatakan lebih sederhana. Untuk lebih mendalami teknis masing-masing tahap pengerjaan, peserta disarankan untuk melakukan magang di industri furnitur terdekat.
Subpokok Bahasan • • • • •
Proses persiapan (pemilihan bahan) Tahapan produksi kursi Tahapan produksi meja Langkah-langkah pengerjaan Praktik
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
137
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
Tujuan Belajar • • •
Pemahaman tentang tahapan kerja dalam produksi kursi dan meja Pemahaman tentang jenis dan sistem konstruksi kursi dan meja Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai kriteria
Metode Belajar • • • • •
Pemaparan media (power point, video) Curah pendapat Demonstrasi oleh pengrajin (diperlukan: rotan batang, kompor, mal pembengkokan) Praktik bersama pengrajin Magang (seperlunya di luar pelatihan)
Media Belajar • • • •
138
Power point: Modul 9 – Pembuatan Rangka Kursi dan Meja Rotan Video: Modul 9 Bahan Bacaan 9.1 Jenis dan Sistem Konstruksi Kursi Bahan Bacaan 9.2 Jenis dan Sistem Konstruksi Meja
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
Proses Belajar Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2.
Fasilitator menjelaskan tahap persiapan dan langkah-langkah pengerjaan dengan menggunakan power point Modul 9.
15 menit
3,
Fasilitator meminta peserta untuk memberikan tanggapan atas materi yang disampaikan, baik berupa pertanyaan, pendapat, maupun pengalaman.
5 menit
4.
Fasilitator memaparkan video (pembuatan kursi).
5 menit
5.
Narasumber mendemonstrasikan proses pembengkokan batang rotan (sesuai komponen kursi/meja) dengan kompor.
15 menit
6.
Fasilitator meminta satu per satu peserta untuk mencoba membengkokkan batang rotan (komponen yang sama) dengan dipandu oleh narasumber.
35 menit
7.
Fasilitator meminta narasumber untuk memberi penilaian kepada hasil kerja peserta.
10 menit
8.
Fasilitator meminta peserta untuk memberi tanggapan atas pengalaman membengkokkan rotan menjadi kerangka kursi dan meja.
5 menit
9.
Fasilitator menutup sesi pelatihan.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
139
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
BAHAN BACAAN 9.1 Jenis dan Sistem Konstruksi Kursi 1
2
4
3
5
6
1) Sumber: http://www.artek.fi/ 2) Sumber: http://www.polyvore.com/ 3) Sumber: http://www.thonet.com/ 4) Sumber: http://www.ikea.com/ 5) Sumber: http://yamakawa-rattan.com/ 6) Sumber: http://yamakawa-rattan.com/
140
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
Jenis-Jenis Kursi Berikut beberapa jenis kursi sesuai fungsinya: 1. Stool. Kursi tanpa sandaran, memiliki tiga atau empat kaki. 2. Barstool. Seperti stool tapi kadang memiliki sandaran punggung, dipakai untuk duduk di meja bar. Tinggi dudukan biasanya menyesuaikan dengan tinggi meja bar. 3. Dining Chair. Dining chair adalah kursi untuk makan. Sesuai dengan fungsinya, sandarannya biasanya lebih tegak dan tidak memiliki senderan tangan. 4. Arm Chair. Kursi dengan senderan tangan dan punggung, biasanya diberi upholstery (dilapisi kain) atau cushion (bantalan) 5. Easy Chair. Kursi santai dengan posisi sandaran yang lebih mendekati tidur. Biasanya tinggi dudukan lebih rendah 6. Sofa. Kursi santai untuk dua orang atau lebih. Biasanya diberi upholstery.
Sistem Konstruksi Kursi 1. Built-In Furniture. Built-in Furniture adalah suatu sistem konstruksi furnitur yang memanfaatkan bangunan rumah atau gedung sebagai bidang penguat konstruksi. Konstruksi furnitur bersifat permanen dan menempel pada dinding yang khusus dibangun untuk penempatan furnitur. Sepintas akan tampak bahwa furnitur tersebut rata dengan dinding dari langit-langit sampai lantai. Umumnya dipakai untuk pembuatan lemari, rak, atau kitchen set. Keuntungan dari sistem konstruksi ini berada pada kemudahan perawatan dan kebersihan karena sedikit celah yang terbuka. Kelemahannya, mudah terserang lapuk bila dinding bangunan terlampau lembab dan berjamur.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
141
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
2. Knock-Up Furniture. Konstruksi furnitur ini menggunakan sistem sambungan konstruksi mati (fixed construction). Seluruh sambungan tergabung secara permanen oleh bahan lem, paku, dsb. Contohnya, kursi tamu, bangku belajar di sekolah, kursi panjang di ruang tunggu, dll. Teknik ini tidak memiliki peluang untuk membongkar kembali furnitur menjadi komponen-komponen lepas. Teknik ini lebih murah secara produksi tapi akan memakan banyak tempat dan biaya pada saat transportasi.
LARASATI Dining Chair menggunakan konstruksi knock-up dengan sambungan skrup yang ditutup dengan rotan. Dirancang oleh Arman Masudi. (Sumber: Dok. Penulis)
3. Knock-Down Furniture. Kita sering menemui problema ruang yang sempit dan terbatas. Keuntungan sistem ini adalah dapat dilepas pasang untuk memudahkan penyimpanan dan pengemasan. Komponenkomponen dasarnya dapat diuraikan menurut kesamaan bidang. Penyambungannya membutuhkan murbaut khusus yang dapat disetel. Dengan teknik ini, furnitur dibuat dalam unit terpisah-pisah yang dapat dengan mudah dirakit saat mencapai tujuan akhir. Perakitan biasanya dilakukan oleh tenaga kerja tidak
142
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
terampil dan seringnya dilakukan oleh pengecer atau kadang-kadang oleh konsumen sendiri. Dengan teknik ini, pemakaian ruang kontainer dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin pada saat pengangkutan.
BUNDEL Sofa Set dengan sistem knock-down. Dirancang oleh Abie Abdillah (Sumber: http://www.studiohiji.com/)
4. Folding Chair. Alternatif lain dalam penyelesaian problema ruang adalah pendekatan sistem lipat. Konstruksi yang dapat dilipat, selain ringkas juga dapat menghemat pemakaian ruang pada saat penyimpanan. Dalam mendesain folding chair ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: a. Prosedur operasional melipat dan membuka kursi dan b. Keamanan dalam melipat dan membuka kursi agar tidak terjadi resiko terjepitnya tangan atau kaki pemakai.
Oslo Folding Chair diproduksi oleh Bo Concept. (Sumber: https://www.boconcept.com)
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
143
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
5. Stacking Chair. Selain sistem lipat di atas, konstruksi kursi dapat didesain dengan pendekatan susun. Dalam sistem susun, bagian kaki kursi yang berada di atas akan masuk ke bagian bagan kursi yang berada di bawahnya. Desain konstruksi stacking menuntut perhitungan yang presisi pada saat dua atau lebih kursi disusun. Adapun kemungkinan penyusunan adalah: a. tumpukan mengarah ke atas (vertical arrangement), b. tumpukan mengarah miring (diagonal arrangement), dan c. tumpukan mengarah sejajar dengan lantai (horizontal arrangement).
Stool 60 oleh ARTEK, sebuah contoh stacking chair (stool). Dirancang oleh Alvar Aalto. (Sumber: http://www.artek.fi/products/chairs/128) Sumber: Pengantar Studi Perancangan Fasilitas Duduk, Andar Bagus
144
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
BAHAN BACAAN 9.2 Jenis dan Sistem Konstruksi Meja 1
2
4
3
5
Sumber: polyvore.com
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
145
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
Jenis-Jenis Meja Berikut beberapa jenis meja sesuai fungsinya: 1. Coffee table. Adalah meja yang biasa diletakkan di ruang tamu atau ruang keluarga, biasa dipadankan dengan sofa atau kursi rendah lainnya. 2. Dining table. Sesuai namanya dining table digunakan untuk meja makan. Kapasitas meja ini beragam, biasanya dimulai dari kapasitas dua orang. Bentuknya pun beraneka, bisa persegi, persegi panjang, oval, lingkaran, atau heksagon. 3. Endside table. Endside table, disebut juga meja samping, adalah meja yang biasanya diletakkan di samping sofa atau furnitur lainnya. 4. Desk. Meja kerja, biasanya dibuat dengan ukuran yang agak besar, dapat juga dilengkapi dengan laci. 5. Bedside table. Meja yang diletakkan di samping tempat tidur, biasa digunakan untuk menaruh lampu duduk, dan biasanya juga dilengkapi dengan laci.
Sistem Konstruksi Meja 1. Built-In Furniture. Adalah suatu sistem konstruksi furnitur yang memanfaatkan bangunan rumah atau gedung sebagai bidang penguat konstruksi. Konstruksi furnitur bersifat permanen dan menempel pada dinding yang khusus dibangun untuk penempatan furnitur. Sepintas akan tampak bahwa furnitur tersebut rata dengan dinding dari langit-langit sampai lantai. Umumnya dipakai untuk pembuatan lemari, rak, atau kitchen set. Keuntungan dari sistem konstruksi ini berada pada kemudahan perawatan dan kebersihan karena sedikit celah yang terbuka. Kelemahannya, mudah terserang lapuk bila dinding bangunan terlampau lembab dan berjamur.
146
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
2. Knock-Up Furniture. Konstruksi furnitur ini menggunakan sistem sambungan konstruksi mati (fixed construction). Seluruh sambungan tergabung secara permanen oleh bahan lem, paku, dsb. Contohnya, kursi tamu, bangku belajar di sekolah, kursi panjang di ruang tunggu, dll. Teknik ini tidak memiliki peluang untuk membongkar kembali furnitur menjadi komponen-komponen lepas. Teknik ini lebih murah secara produksi tapi akan memakan banyak tempat dan biaya pada saat transportasi. 3. Knock-Down Furniture. Kita sering menemui problema ruang yang sempit dan terbatas. Keuntungan sistem ini adalah dapat dilepas pasang untuk memudahkan penyimpanan dan pengemasan. Komponenkomponen dasarnya dapat diuraikan menurut kesamaan bidang. Penyambungannya membutuhkan mur-baut khusus yang dapat disetel. Dengan teknik ini, furnitur dibuat dalam unit terpisah-pisah yang dapat dengan mudah dirakit saat mencapai tujuan akhir. Perakitan biasanya dilakukan oleh tenaga kerja tidak terampil dan seringnya dilakukan oleh pengecer atau kadang-kadang oleh konsumen sendiri. Dengan teknik ini, pemakaian ruang kontainer dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin pada saat pengangkutan.
Campos Accent Table. Meja samping yang terbuat dari jalinan anyaman rotan. Sumber: polyvore.com
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
147
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
4. Folding Table. Alternatif lain dalam penyelesaian problema ruang adalah pendekatan sistem lipat. Konstruksi yang dapat dilipat, selain ringkas juga dapat menghemat pemakaian ruang pada saat penyimpanan. Dalam mendesain folding chair ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: a. Prosedur operasional melipat dan membuka meja b. Keamanan dalam melipat dan membuka meja agar tidak terjadi resiko terjepitnya tangan atau kaki pemakai.
Outdoor folding table&chairs (Sumber: https://picclick.com)
148
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
4. Stacking Tables. Selain sistem lipat di atas, konstruksi kursi dapat didesain dengan pendekatan susun. Dalam sistem susun, bagian kaki meja yang berada di atas, akan masuk ke bagian bagian meja yang berada di bawahnya. Desain konstruksi stacking menuntut perhitungan yang presisi pada saat dua atau lebih meja disusun. Adapun kemungkinan penyusunan adalah: • • •
tumpukan mengarah ke atas (vertical arrangement), tumpukan mengarah miring (diagonal arrangement), dan tumpukan mengarah sejajar dengan lantai (horizontal arrangement).
Stacking – nesting end tables (Sumber: http://www.allaboutwicker.com
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
149
9
MODUL
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
Slide 1
Slide 2
Persiapan Material
Pembuatan produk rangka kursi dan meja rotan
Modul
1
• Jenis rotan core yang digunakan disarankan hasil belahan mesin karena lebih halus dan ukurannya sama. • Batang yang digunakan adalah batang semi-poles (masih ada sisa kulit) dengan diameter 25 mm • Pilih batang core yang tidak ada blue stain (jamur berwarna hijau kebiruan), lumut, busuk, dsb. • Usahakan warna tidak terlalu berbeda.
Slide 3
Slide 4
Alat-Alat 1
1
Senderan
(Back rest) Kaki Belakang & Sandaran Senderan
Tangan
(Arm rest) Dudukan
Tang Pemotong
Kompor
Drill / Bor
Stretcher / Rangka Penguat Siku-siku
Kaki Depan Komponen Rangka Kursi Rotan
Kompressor
150
Kompor Stim
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Komponen Kursi
Punggung
Rangka Kursi terdiri dari beberapa komponen dengan fungsi berbeda. Diameter batang yang digunakan biasanya berbeda sesuai komponen. Contoh: Siku-siku biasanya menggunakan diameter 10-15 mm, Sedangkan Kaki menggunakan diameter 25-30 mm.
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
Slide 5
Slide 6
3. Setelah distim, batang rotan akan
Langkah Kerja 1.
menjadi lembek dan siap untuk proses penekukan atau bending. Bending dilakukan sesuai bagian kursi (dudukan, senderan, dsb)
Persiapkan rotan batang dan rendam dalam bak air. Perendaman dilakukan sebentar.
Gunakan alat bantu mal seperti pada gambar.
batang-batang rotan ke 2. Masukkan alat kompor stim. Batang rotan distim
ditekuk, ikat bagian-bagian 4. Setelah rotan dengan tali agar tekukan
30 menit hingga seharian.
menjadi permanen.
Slide 7
Slide 8
5. Produksi per bagian kursi.
6.
Lakukan pemotongan dan penyambungan.
Dengan bantuan mal dari kayu, lakukan perakitan kursi dari bagianbagian yang sudah disiapkan. Gunakan drill dan skrup untuk sambungan kursi. Pertemuan antarbagian harus dilakukan dengan hati-hati.
Bagian Kaki Kursi
Bagian Dudukan
Bagian Senderan Tangan
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
151
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
Slide 9
Slide 10
Meja
7. Kursi siap untuk proses berikutnya. Anyaman dan finishing.
Pembuatan meja rotan pada dasarnya menempuh tahapan yang hampir sama dengan kursi. 1. 2. 3. 4.
Slide11
Perendaman Steaming Pembengkokan Binding
Slide 12
Langkah Kerja
1.
Pembuatan mal jig (prototipe / contoh) Proses pembengkokan dapat dilakukan dengan cara pemanasan dengan api, lalu rotan dibengkokkan menggunakan rol besi.
2.
3.
4.
Pembuatan bagian atas meja bulat dengan mal jig
Pembuatan bagian bawah meja bulat dengan bantuan mal jig
Pembuatan bagian penyangga dengan mal jig
5. Pembuatan bagian penguat rangka atas dan bawah
152
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
Slide 13
Slide 14
Terima Kasih
6.
Rangka meja siap didekor dan finishing
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
153
MODUL
9
PEMBUATAN RANGKA KURSI DAN MEJA ROTAN
LEMBAR POST-TEST Bagian-bagian kursi rotan Nama Lembaga
: ............................................................................................... : ...............................................................................................
Isilah dengan jawaban paling tepat!
154
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
10
PEMBUATAN ANYAMAN KUBU PADA KURSI
MODUL 10. Pembuatan Anyaman Kubu Pada Kursi (90 Menit) Pada kursi, anyaman rotan berfungsi sebagai penutup bidang seperti sandaran punggung (backrest) atau dudukan (seat). Jenis rotan kubu, pitrit, dan lasio biasa digunakan untuk anyaman kursi. Anyaman lasio juga digunakan sebagai penutup sambungan rotan atau disebut juga binding. Pekerjaan anyaman dilakukan di workshop anyaman setelah rangka jadi.
Subpokok Bahasan • • •
Proses persiapan (pemilihan bahan) Langkah-langkah pengerjaan Praktik
Tujuan Belajar: • •
Pemahaman tentang langkah pembuatan anyaman rotan kubu Pemahaman tentang pemilihan bahan sesuai kriteria
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
155
MODUL
10
PEMBUATAN ANYAMAN KUBU PADA KURSI
Metode Belajar • • • •
Pemaparan media (power point, video) Curah pendapat Demonstrasi oleh pengrajin (diperlukan rangka kursi kayu, rotan kubu, kompressor, nailgun, dan isi nailgun) Praktik bersama pengrajin
Media Belajar • •
Power point: Modul 10 – Pembuatan Anyaman Kursi Berbasis Rotan Kubu Video: Modul 10
Proses Belajar
156
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2.
Fasilitator menjelaskan tahap persiapan dan langkah-langkah pengerjaan dengan menggunakan power point Modul 10.
15 menit
3.
Fasilitator meminta peserta untuk memberikan tanggapan atas materi yang disampaikan, baik berupa pertanyaan, pendapat, maupun pengalaman.
5 menit
4.
Fasilitator memaparkan video proses anyaman kubu pada rangka kursi.
5 menit
5.
Narasumber mendemonstrasikan proses menganyam kubu pada rangka kayu.
15 menit
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Durasi
MODUL
10
PEMBUATAN ANYAMAN KUBU PADA KURSI
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
6.
Fasilitator meminta satu per satu peserta untuk ikut menganyam kubu pada kursi.
40 menit
7.
Fasilitator meminta narasumber untuk memberi penilaian kepada hasil kerja peserta.
5 menit
8.
Fasilitator meminta peserta untuk memberi tanggapan atas pengalaman menganyam.
5 menit
9.
Fasilitator menutup sesi pelatihan.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
157
MODUL
10
PEMBUATAN ANYAMAN KUBU PADA KURSI
Slide 1
Slide 2
Modul
Persiapan Material
Pembuatan anyaman pada kursi rangka kayu
1 • Jenis Rotan yang digunakan adalah kulit kubu grey (sudah direndam) • Kulit kubu grey dibelah secara manual dan lebih tebal dari rotan lasio • Diperlukan juga stripping polyester
Slide 3
Slide 4
Langkah Kerja
Alat-Alat
1.
1
Pasang Stripping Polyester pada rangka kayu. Ikat stripping pada rangka dan paku dengan nailgun. Terus memasang stripping seperti pada gambar.
Tang Pemotong
Nailgun
Sarung Tangan Rangka Anyaman (Lungsen)
Anyaman
Pola Anyaman Kubu
Kompressor
158
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
10
PEMBUATAN ANYAMAN KUBU PADA KURSI
Slide 5
Slide 6
rotan yang akan menjadi lungsen 2. Jejerkan (sepasang) dan beri jarak sekitar 5cm.
4. Teruskan menganyam kepada sisi atas dudukan kursi.
Panjang lungsen harus cukup sampai ke ujung kursi.
Pastikan untuk melebihkan rotan anyaman di sisi kiri dan kanan.
Setelah posisi lungsen memuaskan, paku pasangan lungsen ke rangka dengan nailgun.
rotan baru dan mulai menganyam, 3. Ambil selang seling melalui atas dan ke bawah
5. Anyam hingga ke sisi depan kursi.
lungsen. Pastikan bagian kulit rotan menghadap ke luar. Sisakan rotan di sebelah kiri dan kanan, untuk menganyam sisi-sisi kursi yang lain. Anyam hingga satu sisi kursi selesai.
Slide 7
6. Lakukan pada sisi-sisi kursi yang lain
Slide 8
7. Anyam ganda untuk bagian lis untuk menutup bekas paku.
8. Kursi siap dijemur lalu difinishing.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
159
MODUL
11
PROSES FINISHING
MODUL 11. Proses Finishing (90 Menit) Finishing atau reka oles merupakan bagian terakhir dalam pembuatan produk perabot dan kerajinan. Umumnya, finishing berfungsi untuk meningkatkan keawetan dan ketahanan terhadap gesek. Finishing juga dapat meningkatkan nilai visual rotan dan nilai komersial. Proses finishing baiknya dilakukan di tempat tertutup dengan exhaust (kipas buangan) ke luar. Pastikan juga untuk menggunakan perlengkapan sarung tangan dan masker.
Subpokok Bahasan • • •
Proses persiapan (bahan dan alat) Langkah-langkah pengerjaan finishing Langkah keamanan dan konservasi energi
Tujuan Belajar • •
160
Pemahaman tentang tahapan finishing Pemahaman tentang alat dan bahan finishing
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
11
PROSES FINISHING
Metode Belajar • • • •
Pemaparan media (power point, video) Curah pendapat Demonstrasi oleh pengrajin (diperlukan alat: kompresor, spray gun, sarung tangan, masker, dan area penyemprotan) Magang (seperlunya di luar pelatihan)
Media Belajar • • •
Power point: Modul 11 – Proses Finishing Kursi Video: Modul 11 Bahan Bacaan 11.1 Finishing
Proses Belajar Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2.
Fasilitator menjelaskan tahap persiapan dan langkah-langkah pengerjaan dengan menggunakan power point Modul 11.
10 menit
3.
Fasilitator meminta peserta untuk memberikan tanggapan atas materi yang disampaikan, baik berupa pertanyaan, pendapat, maupun pengalaman.
5 menit
4.
Fasilitator memaparkan video proses finishing.
5 menit
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
161
MODUL
11
PROSES FINISHING
Sesi
162
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
5.
Narasumber mendemonstrasikan proses finishing (amplas, sanding sealer, amplas, staining, top coat) pada rotan batang, kursi, atau keranjang. Masing-masing peserta mempraktikkan dan mengikuti panduan narasumber.
55 menit
6.
Fasilitator meminta narasumber untuk memberi penilaian kepada hasil kerja peserta.
10 menit
7.
Fasilitator meminta peserta untuk memberi tanggapan atas pengalaman menganyam.
5 menit
8.
Fasilitator menutup sesi pelatihan.
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
11
PROSES FINISHING
BAHAN BACAAN 11.1 Finishing Catatan: Bahan bacaan ini mengacu kepada proses finishing pada kayu. Prinsipnya sama saja apabila diaplikasikan pada bahan rotan.
Melamine Natural Transparan
F
inishing melamine natural transparant atau melamine bening alami, disebut pula melamine clear, adalah salah satu jenis reka oles yang berbahan baku dua komponen. Lapisannya mempunyai ketebalan yang bagus, hingga dapat menutup serat kayu. Jarak antara serat kayu menjadi rata halus. Demikian pula, sesuai dengan sebutannya natural transparan, ia memiliki penampilan yang bening hingga warna kayu asli kelihatan alami bahkan makin cemerlang dan hidup. Kayu yang mempunyai tekstur halus dan sedang memerlukan proses yang berbeda dengan kayu kasar. Kayu dengan tekstur kasar dan berpori besar perlu diisi bubur filler supaya berkurang kemampuan daya serap, hingga permukaanya bisa terlapis kedap oleh film melamine, menjadi rata dan licin. Yang paling penting dalam pengisian pori-pori kayu adalah bubur filler harus sama warna dengan kayu alaminya.
Cara yang terbaik adalah mencapur bubur filler dengan pigmen. Dapat juga digunakan woodstain (warna bahan aniline yang tak punya endapan dan larut dalan thinner) sampai cocok dengan warna kayu. Kesalahan yang sering terjadi, setelah disemprot dengan melamine clear atau bening, warna kayu menjadi cerah karena perubahan atau pemuliaan warna pada permukaan kayu, sehingga dempul atau filler yang mengisi pori kayu tidak sesuai lagi warnanya, kadang-kadang menjadi lebih muda dan mengganggu penampilan serta memperburuk gambar pola serat.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
163
MODUL
11
PROSES FINISHING
Untuk mecegah hal tersebut, perlu melakukan pengontrolan warna dengan metode pembasahan. Aplikasikan bubur filler yang telah dianggap cocok warnanya pada permukaan sepotong kayu contoh. Setelah kering, amplas bersih dengan kertas amplas nomor 240, sehingga tinggal filler saja yang ada di dalam pori-pori kayu. Setelah itu, usapkan thinner yang lambat kering atau teak oil ke atas permukaan kayu yang diisi filler tadi, sehingga tampak basah seperti disemprot melamine. Maka itu, akan terjadi perbedaan warna, filler akan kelihatan muda. Dengan demikian, perlu diperbaiki warna filler dengan mengurang atau menambah pigmen dari woodstain.
Tahapan Melamine Natural Aplikasi natural transparan tidak jauh dari aplikasi NC natural transparant. Yang berbeda hanya jenis bahan finishing saja. Nitroselulose memakai resin satu komponen, melamine menggunakan resin dua komponen, dijual dalam 2 kemasan: satu sebagai resin amino serta lainnya hardener. Berikut tahapan aplikasi finishing melamine clear: 1. Tahap persiapan permukaan dan penanganan awal bahan kayu. Kayu menampilkan pola serat dan warna alami, maka persiapan permukaan diutamakan pada memilih dan memilah kayu yang berpola serat sama, berwarna sama sehingga berpenampilan seragam. Tahap persiapan yang pertama memilih ragam serat yang sama atau mencari pola serat yang mirip. Kayu dengan bidang berpola gunung atau tangensial disatukan dengan kayu yang berpola sama. Demikian pula kayu dengan serat lurus atau radial dikumpulkan. Sebenarnya, langkah ini bukan terjadi saat proses finishing, tetapi perlu diungkapkan di sini. 2. Tahap Pengisian pori-pori kayu. Seperti apa yang telah diuraikan pada awal pembahasan reka oles melamine natural transparan ini, tidak semua kayu perlu mendapat perlakuan pengisian pori-pori dengan bubur filler. Khusus kayu yang teksturnya kasar dan berpori besar saja yang memerlukan tahapan ini. Pengisian pori ini dilakukan dengan bubur filler yang sudah disesuaikan dengan warna kayunya. Jenis
164
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
11
PROSES FINISHING
bubur filter yang digunakan boleh yang berpelarut air maupun yang larut dalam thinner. Yang terpenting adalah waktu kering dan setelah penyemprotan warna melamine transparan sama dengan warna kayu alaminya. 3. Pelapisan antarmedia (sanding sealer). Tahap ketiga ini merupakan tahap pelapisan antarmedia, yaitu media kayu dan media film melamine yang akan disemprotkan pada tahap akhir. Pelapisan antarmedia ini disebut juga pelapisan sanding sealer, yang berarti penyekat atau pengunci yang dapat diamplas, membantu pula meratakan permukaan kayu. Sanding sealer dibuat dari bahan melamin, dengan penambahan sanding agent, umumnya sipernat atau tepung kaca, sehingga setelah menjadi film kering tak berwarna atau bening akan transparan seperti halnya kaca. Aplikasinya dengan pistol semprot biasa, bertabung atas atau bertabung bawah, baik konvensional mapun airless. Demikin juga dapat digunakan rol pelapis dan tirai air. Perbandingan campuran antara sanding sealer dan pengerasnya adalah 10:1. Setelah itu, campuran diencerkan dengan thinner sampai kekentalan yang ditetapkan. Pada suhu ruang, pengeringan akan berjalan sedang, sementara pada ruang dengan sistem pemanas (40°C - 80°C), pengeringan berjalan cepat, sekitar 1 s.d. 2 jam. Apabila ingin memudahkan pengamplasan, sebaiknya tunggu hingga 4 jam kering oleh angin. Dengan menunggu semalam, pengamplasan bisa renyah. Pengamplasan dilakukan dengan landasan kayu atau dengan menggunakan mesin amplas listrik. Mesing amplas pneumatik bisa digunakan asal dipilihkan jenis yang orbital atau amplas bergetar putar. Ukuran amplas yang paling baik adalah nomor 240-320. Problema yang paling sering dialami dalam proses sanding sealer ini adalah terjadinya gelembunggelembung udara yang muncul dipermukaan sanding. Munculnya gelembung-gelembung ini disebabkan oleh penyemprotan pada pagi hari. Pada waktu matahari mulai terbit dan memanasi udara, tekanan udara dalam kayu dengan udara di luar sangat berbeda. Udara dala, kayu mengalir keluar untuk menyamakan
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
165
MODUL
11
PROSES FINISHING
tekanannya dengan udara luar. Pada saat itu, kayu sedang disemprot sanding sealer yang lengket dan cepat kering. Udara yang keluar mendorong lapisan film sanding sealer yang hampir kering sehingga terbentuk gelembung udara. 4. Pelapisan Melamine Akhir (Top Coat). Pelapisan akhir dapat dilakukan dengan pistol semprot yang halus atomisasinya. Umumnya dipilih diameter lubang pancar (nozzle) 1,2 mm hingga 1,5mm. Usahakan keseimbangan antara kecepatan semprot dengan volume bahan melamine yang keluar, dan antara bahan dan tekanan angin. Buatlah jarak penyemprotan selalu bersudut konstan. Jarak berkisar antara 15-20 sentimeter. Penampilan finishing melamine natural transparan ditetapkan dalam tahapan akhir ini, apakah gilap (glossy), semi gilap, satin atau dof, tergantung pada pemilihan jenis melamine. Pelapisan akhir finishing melamine transparan ini harus dilakukan dengan cermat sekali. Hindarkan penyemprotan di ruang yang berdebu. Harus tersedia sirkulasi udara yang baik karena penguapan formalin pedas rasa dan baunya. Penyimpanan sementara benda kerja yang baru saja disemprot harus dilakukan di ruang tanpa banyak lalu lintas orang yang dapat menimbulkan penghamburan debu, bulu tekstil pakaian, maupun rambut. Sangat ideal apabila tersedia ruang yang tertutup dan dilengkapi dengan pemanas mencapai suhu ruang 40°C. Melamine mempunyai sifat mengeras apabila lingkungannya panas. Proses pengeringan dipercepat. Gunakan thinner melamine yang dianjurkan pabrik cat atau thinner yang sepadan asal hasil akhirnya tidak timbul lubang renik. Tidak boleh juga terjadi pengabutan ketikan thinner dicampurkan dengan melamine clear. Bila warna campuran memutih, berarti thinner tidak cocok, sehingga mengakibatkan hasil yang rapuh, mudah mengelupas, dan mudah pecah dan sebagainya.
166
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
11
PROSES FINISHING
Lama campuran sangat bergantung pada suhu lingkungan yang umumnya berkisar 12 jam. Selebihnya, campuran sudah tidak dapat dipakai. Supaya sisa campuran tidak mati atau mengental seperti agaragar (gel) sehingga tak mungkin dilarutkan lagi, tambahkan thinner yang baru sehingga memperlambat pengetalan. Keesokan harinya, kekentalan dapat diperbaiki sehingga siap untuk menyemprot kembali. Cara lain untuk memperpanjang umur campuran yaitu dengan menyimpan ke dalam kulkas.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
167
MODUL
11
PROSES FINISHING
Teknik Aplikasi A. Cara Mengukur Kekentalan. Mengukur kekentalan bahan sangat penting dalam aplikasi reka oles atau finishing, khususnya bagi metode penyemprotan dengan menggunakan pistol semprot. Kekentalan yang berbeda berarti ada perbadaan pada bahan padat yang dikandung cat atau bahan finishing. Jika dalam beberapa kali pencampuran kekentalannya tidak sama, terjadilah hasil penyemprotan yang berbeda kepadatan lapisan-lapisannya. Terjadilah penampilan yang tidak sama kegilapannya antara bidang yang satu dengan yang lain. A. Cara Menyemprot. Cara menyemprot sangat mempengaruhi hasil pelapisan. Pistol yang telah dipersiapkan dengan baik tidak akan berarti banyak apabila tidak disertai pengendalian pistol semprot dengan benar selama proses aplikasi.
Kelengkapan Pistol Semprot Konstruksi pistol semprot sangat menurut merk dan desainnya, kelas pistol sama. Pistol semprot mempunyai kelengkapan yang memiliki:
bervariasi walaupun dikatakan baik bila
1. Baut pengatur bentuk pancaran (Bentuk bulat, melebar).
(Sumber: The Aseas TImberlink, vol. 5, 4 April 1992, hlm. 8)
168
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
11
PROSES FINISHING
Cara mengatur bentuk bidang pancaran.
Cara Mengatur Bidang Pancar tegak dan mendatar
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
169
MODUL
11
PROSES FINISHING
2. Bagian pengatur volume dan tekanan angin (ventil angin) 3. Pengatur volume bahan yang keluar (pengendali cairan) Selain buat pengatur volume cairan finishing, masih ada dua hal yang juga mempengaruhi jumlah volume keluaran bahan cairan: a) Penyetelan panjang dan pendeknya jarum pancar. Semakin pendek jarum pancar, semakin banyak volume cairan; b) Pemilihan diameter lubang pancar pada nozle (alat percik). Semakin besar lubang diameternya, semakin besar pula keluaran.
Bagian pengatur volume dan tekanan angin (ventil angin)
Persiapan pistol sebelum menyemprot Persiapan yang harus dilakuikan pada perlengkapan pistol dalam penyemprotan meliputi: •
Pemeriksaan kebersihan pistol semprot, terutama alat percik, tudung udara, tabung cat, saluran cat (pipa) dan katup pengatur yang berasal dari teflon serta tudungnya;
•
Pemilihan alat percik yang tepat (diameter lubangnya); Pengatur volume bahan yang keluar (pengendali cairan)
170
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
11
PROSES FINISHING
• • • •
Pengaturan tekanan udara yang disesuaikan dengan cara menyemprot maupun volume bahan bakar yang keluar; Penyesuaian baut pengatur volume bahan yang akan disemprotkan; Pengaturan katup atur bentuk tekanan, pancaran kipas angin bulat/lebar, juga posisi pancar tegak atau mendatar; Pengencangan tiap baut dan pencegahan kebocoran pada saluran, agar tidak terjadi penyemprotan yang terputus-putus.
Pengendalian Pistol Semprot Pengendalian pistol semprot mencakup cara kita memegang, mengarahkan, dan mengatur beberapa hal berikut ini. •
Jenis Pancaran. Jenis pancaran harus sesuai dengan kedudukan dan bentuk benda kerja. Pancaran datar dan tegak dipakai untuk benda lebar serta kedudukannya vertikal dan mendatar, sedang untuk benda sempit (kecil) digunakan pancaran yang bundar atau vertikal, dengan gerakan penyemprotan yang cepat.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
171
MODUL
11
PROSES FINISHING
•
Jarak Semprot. Jarak semprot ialah jarak antara ujung pistol dengan permukaan benda kerja, umumnya 15-20cm. Bila jarak semprot terlalu kecil, serta volume keluaran tidak disesuaikan, akan timbul cat yang meleleh atau mengalir ke bawah. Bila jarak pistol terlalu jauh, intensitas kepadatan kabut semprot akan berkurang, sehingga akan didapat pelapisan permukaan yang kasar. Karena besarnya jarak, partikel cat menjadi kering sebelum menempel di permukaan kayu atau benda kerja. Akibatnya, sifat merata cairan (leveling) serta tingkat kegilapannya berkurang.
•
Sudut Semprot. Sudut semprot berpengaruh juga terhadap hasil pelapisan yang merata. Pistol semprot sedapat mungkin diarahkan tegak lurus pada benda kerja. Pistol semprot yang miring mengakibatkan penyemprotan cat tidak merata. Hanya gerakan pistol yang sejajar dan tegak lurus dengan bidang semprot menjamin hasil pelapisan yang merata. Gerakan melengkung seperti mengayun pada saat menyemprot menyebabkan bagian tengah benda kerja terlalu banyak mendapat cat. Pelapisan cat itu cenderung meleleh turun. Karena itu, perlu diperhatikan bahwa sudut semprot harus konstan dan paralel dengan bidang benda kerja, sekali-kali tidak boleh mengayun, sehingga gerakannya lurus tidak melengkung. Dengan demikian, dapat dipastikan pelapisannya memiliki intensitas ketebalan yang sama.
172
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
11
PROSES FINISHING
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
173
MODUL
11
PROSES FINISHING
•
Kecepatan Semprot. Pada kecepatan penyemprotan yang lambat, lapisan semprot menjadi tebal dan ada kemungkinan meleleh. Bila penyemprotan dilakukan dengan kecepatan tinggi atau terlalu cepat gerakannya, hasil pelapisannya akan kasar dan tipis. Oleh sebab itu, sangat perlu bagi para pemula yang sedang mendalami penyemprotan finishing untuk melatih diri dengan cermat secara berterusan.
Atur kecepatan semprot hingga menjadi satu dengan perasaan, seperti halnya orang menarik kuas cat. Untuk mendapatkan kecepatan yang baik, kami sarankan untuk menyemprot dengan kecepatan 20 meter per menit bagi finishing jenis melamine. Adapun untuk jeni yang lain, seperti nitroselulose, dapat lebih cepat lagi, misalnya dengan kecepatan gerak 35-40 meter per menit.
Sumber: Reka Oles Mebel Kayu, Agus Sunaryo
174
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
11
PROSES FINISHING
Slide 1
Slide 2
Modul
Alat-Alat
Proses Finishing
1
Spraygun
Masker
Sarung Tangan
Amplas
Kompressor
Slide 3
Slide 4
Langkah Kerja 1.
Pastikan kursi atau keranjang yang hendak di-finishing sudah di amplas. Debu dan kotoran dapat menghalangi daya lekat pelapisan finishing atau cat.
Langkah Kerja 2. Penyemprotan Sanding Sealer
Tahap ini berfungsi untuk menutup poripori rotan agar tidak berubah bentuk karena kelembapan udara.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
175
MODUL
11
PROSES FINISHING
Slide 5
Slide 6
Langkah Kerja pewarnaan atau staining dapat 4. Proses diaplikasikan.
Langkah Kerja
Pewarnaan staining bersifat transparan dan masih memperlihatkan urat rotan.
3. Setelah disemprot sanding
Tergantung jenisnya, pewarnaan dapat diaplikasikan dengan kuas atau disemprot dengan spray gun
sealer, kursi kembali diamplas agar lapisan rata dan halus
Jenis-jenis Warna Staining
Slide 7
Slide 8
Langkah Kerja 5. Aplikasi Top Coat. Top coat merupakan lapisan terakhir dan bersifat clear/bersih atau transparan. Pada tahap ini kita bisa membuat kesan glossy (licin & berkilau), semigloss, atau doff.
176
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
12
PEMBUATAN ANGGARAN BIAYA PRODUKSI
MODUL 12. Pembuatan Anggaran Biaya Produksi (60 Menit) Salah satu kelemahan pengrajin atau pengusaha kecil adalah tidak menghitung ongkos produksi dari produk mereka sendiri, ada kalanya pengrajin akan mengalami kerugian tanpa menyadarinya, apalagi bila ditekan oleh pengusaha besar. Dalam modul ini peserta diajak untuk menghitung Harga Pokok Produksi (HPP) sebuah produk kerajinan rotan berdasarkan material yang digunakan dan upah kerja. Dari HPP inilah kita dapat menentukan persentase keuntungan yang ingin dicapai.
Subpokok Bahasan • • •
Pengumpulan data kebutuhan produksi Pembuatan tabel kebutuhan produksi Cara menghitung dengan tabel
Tujuan Belajar • •
Pemahaman tentang menghitung Harga Pokok Produksi (HPP) Pemahaman tentang menghitung Anggaran Biaya
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
177
MODUL
12
PEMBUATAN ANGGARAN BIAYA PRODUKSI
Metode Belajar Pemaparan media (power point) Demonstrasi penghitungan HPP Curah pendapat Latihan
Media Belajar • •
Power point: Modul 12 – Menghitung Biaya Anggaran Lembar post-test
Proses Belajar
178
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2
Fasilitator menjelaskan tahap persiapan dan langkah-langkah pengerjaan dengan menggunakan power point Modul 12.
10 menit
.3.
Fasilitator meminta peserta untuk memberikan tanggapan atas materi yang disampaikan, baik berupa pertanyaan, pendapat, maupun pengalaman.
5 menit
4.
Fasilitator memaparkan video proses finishing.
5 menit
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Durasi
MODUL
12
PEMBUATAN ANGGARAN BIAYA PRODUKSI
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
5.
Narasumber mendemonstrasikan proses finishing (amplas, sanding sealer, amplas, staining, top coat) pada rotan batang, kursi, atau keranjang. Masing-masing peserta mempraktikkan dan mengikuti panduan narasumber.
55 menit
6.
Fasilitator meminta narasumber untuk memberi penilaian kepada hasil kerja peserta.
10 menit
7.
Fasilitator meminta peserta untuk memberi tanggapan atas pengalaman menganyam.
5 menit
8.
Fasilitator menutup sesi pelatihan.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
179
MODUL
12
PEMBUATAN ANGGARAN BIAYA PRODUKSI
LEMBAR POST-TEST MODUL 12 Latihan Penghitungan HPP dan Anggaran Nama Lembaga
: ................................................................................................... : ...................................................................................................
Isilah dengan jawaban paling tepat! Seorang pengusaha kerajinan rotan ingin memproduksi 100 buah keranjang seperti pada gambar. Keranjang ini memerlukan 200 gram rotan lasio, 150 gram rotan pitrit, dan 400 gram kayu albasia. Upah minimal pekerjaan adalah Rp60.000, 00 per hari (8 jam). Seorang pengrajin dapat mengerjakan satu keranjang dalam waktu 1 jam. Dengan menggunakan lembar tabel, hitunglah: 1. Modal yang dibutuhkan untuk memproduksi 100 buah keranjang. 2. Berapa harga jual tiap keranjang jika pengusaha menetapkan keuntungan 30%?
180
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
12
PEMBUATAN ANGGARAN BIAYA PRODUKSI
Isilah tabel perhitungan berikut! NO A 1 2 3 B 1 2 3 4 C 1 2
PEKERJAAN/MATERIAL Bahan Dasar Bahan Rotan Lasio Bahan Rotan Pitrit Bahan Rangka Kayu Albasia Bahan Finishing dan Pengepakan Sanding Sealer Melamic Thinner Kertas Pembungkus Upah Pekerjaan Upah Pekerjaan Anyam Upah Pekerjaan Finishing
VOLUME
SATUAN
HARGA SATUAN
SUB-JUMLAH
………… ………… …………
Kg Kg Kg
Rp ………...… Rp …………… Rp ……………
Rp …………… Rp …………… Rp ……………
0.1 0.1 0.1 3
Liter Liter Liter Lmbar
Rp 45,000.00 Rp 50,000.00 Rp 40,000.00 Rp 3,000.00
Rp Rp Rp Rp
1 1
Ls Ls
Rp …………… Rp 8,000.00 TOTAL
Rp …………… Rp 8,000.00 Rp ….…………
Harga Pokok Produksi (HPP) per Keranjang Keuntungan (30% dari HPP) Harga Jual per Keranjang (HPP + Keuntungan)
Rp
X
……………… Harga Pokok Produksi (HPP) ………………
100 Pcs =
4,500.00 5,000.00 4,000.00 9,000.00
Rp ……......……………. Rp …..……....…………. Rp .….………………….
Rp
……………… Modal yang dibutuhkan ………………
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
181
MODUL
12
PEMBUATAN ANGGARAN BIAYA PRODUKSI
LEMBAR POST-TEST MODUL 12 Jawaban VOLUME
SATUAN
HARGA SATUAN (Rp)
SUB-JUMLAH (Rp)
Bahan Rotan Lasio
0.2
Kg
20,000.00
4,000.00
2 Bahan Rotan Pitrit
0.15
Kg
18,000.00
2,700.00
3 Bahan Rangka Kayu Albasia
0.4
Kg
15,000.00
6,000.00
0.1
Liter
45,000.00
4,500.00
2 Melamic
0.1
Liter
50,000.00
5,000.00
3 Thinner
0.1
Liter
40,000.00
4,000.00
3
Lmbar
3,000.00
9,000.00
1
Ls
7,500.00
7,500.00
1
Ls
8,000.00
8,000.00
TOTAL
50,700.00
NO
PEKERJAAN/MATERIAL
A Bahan Dasar 1
B Bahan Finishing dan Pengepakan 1
Sanding Sealer
4 Kertas Pembungkus C Upah Pekerjaan 1
Upah Pekerjaan Anyam
2 Upah Pekerjaan Finishing
Harga Pokok Produksi (HPP) per Keranjang Keuntungan (30% dari HPP) Harga Jual per Keranjang (HPP + Keuntungan)
Rp 50.700,Harga Pokok Produksi (HPP)
182
X
100 Pcs
= Rp 5.070.000,Modal yang dibutuhkan
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Rp 50,700.00 Rp 15,210.00 Rp 65,910.00
MODUL
13
PROSES PENGEPAKAN
MODUL 13. Proses Pengepakan (60 Menit) Modul ini membahas cara-cara pengepakan produk rotan sebelum dipasarkan. Mengepak produk rotan hasil industri rumahan harus tepat agar menghemat ruang (ringkas) dan terhindar dari jamur atau kerusakan lainnya.
Subpokok bahasan Cara dan bahan untuk mengemas produk rotan hasil industri rumahan
Tujuan • •
Mengetahui bahan-bahan pengepakan rotan Mengetahui langkah pengepakan rotan yang tepat, efektif, dan menghemat ruang
Metode Belajar • • •
Ceramah Curah pendapat Lembar pre-test
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
183
MODUL
13
PROSES PENGEPAKAN
Media Belajar • • •
Power point: Modul 13 – Proses Pengepakan Lembar pre-test Bahan Bacaan 13.1 Proses Pengepakan
Proses Belajar
184
Sesi
No.
Rincian Kegiatan
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2.
Pengisian lembar pre-test. Fasilitator membagikan lembar pre-test kepada peserta, kemudian meminta para peserta mengisi lembar tersebut. Fasilitator meminta peserta mengumpulkan hasil isian pre-test tersebut.
15 menit
3.
Fasilitator menjelaskan materi tentang proses pengepakan produk hasil industri rotan rumahan dengan menggunakan power point Modul 13.
30 menit
4.
Fasilitator membahas jawaban-jawaban yang sudah ditulis peserta dalam lembar pre-test, sambil mengajak peserta untuk berdiskusi/tanya jawab.
15 menit
5.
Fasilitator menyimpulkan lalu menutup sesi pelatihan.
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Durasi
MODUL
13
PROSES PENGEPAKAN
BAHAN BACAAN 13.1 Proses Pengepakan
A
da beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pengepakan produk hasil industri rotan rumahan (keranjang, kursi, dan meja). Proses pengepakan penting demi mempertahankan kualitas rotan itu sendiri agar tidak rusak dalam proses pengangkutan, menghemat ruang, dan untuk estetika. Berikut ini pemaparan tentang bahan-bahan yang biasa digunakan untuk mengemas produk rotan dan langkah-langkah pengepakan yang dapat diterapkan.
1. Jenis-jenis Bahan Pengepakan a. Kertas Pembungkus. Kertas pembungkus berwarna coklat, dikenal juga sebagai kertas Cokelat Kraft atau Samson. Digunakan untuk membungkus keranjang rotan, tetapi bisa juga untuk kursi rotan. Kekurangannya adalah kertas mudah sobek apabila terkena air. Dapat diikat dengan tali atau selotip. b. Plastik Bubblewrap. Plastik gelembung udara ini biasa dipakai untuk melindungi barang dari guncangan dan banting. Biasa dipakai untuk melindungi barang yang mudah pecah pada saat transportasi. Dapat digunakan berlapis dengan kertas pembungkus agar produk rotan tidak lecet. Gunakan lakban atau selotip untuk mengikat plastic bubblewrap. c. Kardus (Cardboard atau Corrugated Paper). Kardus dibuat secara pabrikasi di pengolahan kertas. Kardus merupakan bahan yang ringan dan cukup kuat untuk pengepakan. Produsen dus dapat membuat kotak kardus sesuai ukuran kursi. Kardus juga memungkinkan untuk mencetak informasi
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
185
MODUL
13
PROSES PENGEPAKAN
seperti jenis kursi dan logo merk. Kardus dapat didaur ulang dan dapat dipakai kembali oleh pihak industri maupun konsumen. Kardus umumnya diikat dengan selotip pada bagian tengah dan sudutsudut. d. Pengikat Tali Rafia. Kuat, mudah didapati dan sangat ekonomis. Berfungsi sebagai pengikat pada bungkusan kertas maupun kardus. Ikatan tali rafia ini akan memudahkan mengangkat bungkusan keranjang rotan
(Dari kiri ke kanan) pembungkus, plastik bubblewrap, kardus, (DariKertas kiri ke kanan) Kertas pembungkus, plastik bubblewrap, kardus, dan talidan rafiatali rafia
2. Langkah-langkah Pengepakan Pengepakan dilakukan setelah produk keranjang benar-benar kering. Pengepakan tergantung kepada cuaca dan kelembapan, keranjang bisa mulai dibungkus paling cepat 24 jam setelah di-finishing. Langkah pengepakan untuk produk keranjang adalah sebagai berikut: a. Persiapan. Pastikan keranjang rotan benar-benar kering dan siapkan lembaran kertas pembungkus. Ukuran kertas berbeda-beda tiap pabrik, ambillah ukuran terbesar. Untuk menghemat kertas pembungkus, keranjang dibungkus secara set/kelompok. Contohnya, keranjang besar di bawah memuat dua keranjang yang lebih kecil.
186
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
13
PROSES PENGEPAKAN
b. Pembungkusan. Bungkus keranjang dari dasar keranjang dan lipatlah di bagian sudut. Agar sudutsudut keranjang terjaga dari gesekan, gunakan minimal dua lapis kertas pembungkus. Lipatan kertas ada di ujung seperti pada gambar. c. Pengikatan. Ikat kertas keranjang. pembungkus agar tidak terbuka. Ikat dari empat sisi. Pastikan simpul ikatan ada di bagian atas. d. Penumpukan. Jika sudah terikat tumpuk dan simpanlah keranjang di tempat yang kering.
Contoh proses pengepakan keranjang rotan dengan kertas pembungkus
Contoh proses pengepakan keranjang rotan dengan kertas pembungkus
3. Langkah-langkah Penghematan Ruang Produk hasil industri rotan rumahan (keranjang, kursi, meja) merupakan barang yang ringan tetapi memakan banyak tempat dalam kontainer. Maka dari itu perlu dilakukan langkah-langkah penyusunan tertentu demi menghemat ruang.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
187
MODUL
13
PROSES PENGEPAKAN
a. Stacking chair. Stacking chair merupakan kursi dengan konstruksi susun. Bagian kursi akan masuk ke bagian badan kursi yang berada di bawahnya. Teknik ini dapat menghemat banyak ruang pada saat transportasi. b. Basket set. Satu cara untuk menghemat pengiriman basket adalah membuat dalam tiga ukuran yang dapat masuk ke keranjang yang lebih besar. Cara ini juga dapat menghemat penggunakan bahan pembungkus. c. Knock-down. Knock-down adalah sistem furnitur bongkar-pasang. Kelebihan dari sistem ini adalah penghematan ruang pada saat transportasi, karena kursi dapat dibentuk menjadi flat-pack atau dus rata. Alih-alih dibungkus kotak dan masih banyak ruang kosong terbuang di dalam keranjang. Produsen furnitur besar seperti IKEA terkenal mengaplikasikan teknik ini agar memotong ongkos transportasi. Contoh di bawah adalah rancangan keranjang dengan rangka dan engsel yang dapat dilipat menjadi datar. Konsumen kemudian dapat merakit sendiri di rumah dengan mudah.
Stacking chair
Basket set
Knock-down
188
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
13
PROSES PENGEPAKAN
LEMBAR PRE-TEST MODUL 13 Proses Pengepakan Produk Hasil Industri Rotan Rumahan Nama Lembaga
: ............................................................................................. : .............................................................................................
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan tepat! 1. 2. 3. 4.
Apa yang Anda ketahui tentang proses pengepakan? Apa saja yang biasa digunakan sebagai bahan pengepakan? Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengepak produk hasil industri rotan? Dampak apa saja yang akan timbul jika pengepakan tidak tepat?
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
189
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
MODUL 14. Evaluasi Dan Rencana Tindak Lanjut (45 Menit) Sebagai bagian dari strategi pelatihan, peserta yang sudah selesai mengikuti pelatihan diharapkan melanjutkannya dengan mempraktikkan semua materi yang diperoleh selama pelatihan pengembangan industri rotan rumahan. Untuk dapat mencapai hal tersebut, dalam sesi penyusunan rencana tindak lanjut, peserta diajak untuk menyusun sebuah perencanan tentang kapan, dimana, dan bagaimana pengembangan industri rotan rumahan ini akan dimulai.
Subpokok Bahasan • • • •
Efektifitas pelatihan Tindakan apa saja yang akan dilakukan untuk memulai pengembangan Kapan waktu pelaksanaannya Dimana pengembangan industry rotan rumahan akan dilakukan
Tujuan Belajar • • •
190
Dapat menilai seberapa baik proses pelatihan yang telah berjalan Peserta memiliki kemampuan menyusun perencanaan tindakan dalam memulai pengembangan industri rotan rumahan Tersusunnya sebuah perencanaan tindakan dalam memulai pengembangan industri rotan rumahan
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
Metode Belajar • •
Diskusi Curah pendapat
Media Belajar Lembar evaluasi Tabel perencanaan tindak lanjut Bahan Bacaan 14.1: Evaluasi Proses, Rencana Tindak Lanjut, dan Rekomendasi
Proses Belajar Sesi
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
I
1.
Pembukaan sesi pelatihan oleh fasilitator.
2.
Fasilitator menjelaskan maksud dari materi penyusunan rencana tindak lanjut (RTL) dari pelatihan pengembangan industri rumahan, dengan menekankan arti pentingnya menyusun sebuah perencanaan tindakan yang akan dilakukan pasca-pelatihan sebagai perwujudan langkah nyata untuk memulai kegiatan industri rotan rumahan oleh peserta pelatihan.
5 menit
3.
Fasilitator membagikan kertas metaplan kepada masing-masing peserta. Fasilitator meminta masing-masing peserta untuk menuliskan tindakan apa yang harus dilakukan untuk memulai kegiatan industri rotan rumahan dalam kertas metaplan, kemudian dikumpulkan dan disusun dalam kertas plano. Fasilitator meminta salah seorang peserta membacakan rencana tindakan yang sudah dituliskan.
10 menit
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
191
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
Sesi
192
No.
Rincian Kegiatan
Durasi
4.
Fasilitator membantu mengelompokkan pendapat peserta yang hampir sama, kemudian membantu peserta untuk menyimpulkannya.
10 menit
5.
Fasilitator meminta peserta untuk berhitung 1 sampai 3, kemudian meminta peserta yang memiliki nomor yang sama berkumpul dalam masing-masing kelompok. Setiap kelompok diminta untuk memilih simpulan pendapat sebelumnya (lihat tabel yang menjadi media belajar).
10 menit
6.
Fasilitator mengundang setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi. Kelompok lain menyimak dan menanggapi.
10 menit
7.
Fasilitator menutup sesi pelatihan.
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
LEMBAR EVALUASI Modul 14 Nama Lembaga
: ................................................................................................ : ................................................................................................
Isilah pertanyaan berikut! 1. Menurut Anda bagaimana penyelengaraan pelatihan ini? _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________
2. Bagaimana pendapat Anda terhadap fasilitator? _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________ 3. Bagaimana pendapat Anda terhadap narasumber? _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
193
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
4. Bagaimana menurut Anda terhadap kepersertaan dalam pelatihan? _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________
5. Bagaimana pendapat Anda terhadap materi pelatihan? _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________
6. Bagaimana pendapat Anda terhadap lokasi dan fasilitas tempat pelatihan? _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________
7. Bagaimana pendapat Anda terkait metode pelatihan ? _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________
194
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
8. Bagaimana pendapat Anda terkait media pelatihan? _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________
9. Bagaimana pendapat Anda tentang konsumsi? _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________________________
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
195
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
Tabel Perencanaan Tindak Lanjut No. 1.
Kegiatan Capaian
Indikator
Waktu pelaksanaan : tahun ………………… Bulan
Pe ny i a pan bahan baku
2. 3.
196
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
Output Indikator
Penangung jawab
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
BAHAN BACAAN 14.1 Evaluasi Proses, RTL, dan Rekomendasi 1. Evaluasi Proses Pelatihan Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan sebuah pelatihan adalah bagaimana melakukan evaluasi atau penilaian dari seluruh rangkaian pelatihan, sebagai bentuk kritik otokritik demi untuk capaian bersama atas penyelenggaraan pelatihan pengembangan industri rotan rumahan.
Tujuan Tujuan utama dari evaluasi adalah agar seluruh pihak yang terlibat dalam proses pelatihan dapat menilai proses pelatihan pengembangan industry rotan rumahan ini apakah berjalan sesuai harapan yaitu materi dapat tersampaikan secara baik sehingga peserta dapat melakukan pelatihan terhadap kelompok calon pelaku industri rotan rumahan, serta dengan evaluasi akan terlihat kekurangan yang bisa diperbaiki di lain kesempatan.
Aspek penilaian Aspek yang dievaluasi/dinilai adalah hal-hal berikut: a. Penyelengara pelatihan b. Fasilitator c. Narasumber M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
197
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
d. e. f. g. h. i.
Kepersertaan Materi pelatihan Lokasi dan fasilitas tempat pelatihan Metoda pelatihan Media pelatihan Konsumsi
2. Rencana Tindak Lanjut (RTL) Setelah dilakukan evaluasi dan sebelum acara pelatihan pengembangan industri rotan rumahan diakhiri maka perlu kiranya peserta menyusun serangkaian rencana tindakan yang akan dilakukan setelah peserta kembali ke daerah asal peserta atau dengan istilah lain peserta menyusun rencana tindak lanjut (RTL) untuk menjadi patokan dalam upaya mempraktikkan menjalankan industri rotan rumahan. Adapun hal-hal yang diperhatikan didalam menyusun rencana tindak lanjut ini dirincikan sebagai berikut: a. b. c. d. e. f.
198
jenis tindakan/kegiatan yang perlu dilakukan; kapan waktu pelaksanaannya; siapa yang bertanggung jawab atas tindakan / kegiatan tersebut; daya dukung apa yang perlu dipersiapkan; capaian apa yang diharapkan; dan apa ukuran keberhasilan dari kegiatan tersbut.
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
Bila dibuat dalam bentuk matriks, rencana tindak lanjut dapat susun seperti contoh berikut: No.
Jenis kegiatan
Capaian
Terbentuk Kelompok
Waktu
1.
Pembentukan kelompok
2.
Penambahan Magang ke senketerampilan Pebruari tra Industri Rotan anggota 2017 Rumahan di Cirebon kelompok
Januari 2017
Penanggung jawab
Indikator capaian
Daya dukung
Sdri. …..
Berita acara, daptar anggota, susunan pengurus, dokumentasi (poto)
Materai, alat tulis, dll
Sdr. ………
Daptar nama peserta, tiket dan akomodasi, dokumentasi kegiatan
Kontak person di tujuan, logistik
Keterangan
3. 4. dst
3. Rekomendasi Rekomendasi adalah catatan penting yang perlu dilakukan baik oleh pihak kelompok atau oleh pihak lain yang dianggap akan membantu kelancaran pelaksanaan pengembangan industri rotan rumahan di daerah asal peserta.
M O D UL PE L AT IH A N PE NG E M BA NG A N I ND U ST RI ROTA N RU MA HA N
199
MODUL
14
EVALUASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT
Contoh bentuk rekomendasi adalah seperti berikut: “Untuk mendorong terlaksananya pengembangan industri rotan rumahan ternyata dibutuhkan peluang pasar domestik dan ekspor, untuk mendorong terciptanya peluang pasr domestik perlu adanya kampanye kepada masyarakat agar menggunakan produk olah rotan dari daerah sendiri�. Bentuk contoh rekomendasinya adalah : a. Usulan kepada pemerintah daerah untuk diterbitkan satu peraturan daerah yang menganjurkan kepada seluruh kantor pemerintahan atau hotel untuk menggunakan produk olahan rotan dari industri rotan rumahan. b. Seluruh anggota kelompok dianjurkan mengunakan produk olahan rotan sendiri menggunakan bahan sinstetis (plastik atau besi) untuk menunjang keperluan sehari-hari.
200
MODUL P ELAT I HAN P E NG E MBANG AN I ND U ST R I ROTA N R UM A H A N
daripada