1
KAPASITAS FORUM WARGA SEBAGAI RUANG TRANSAKSI SOSIAL DALAM PERENCANAAN Studi kasus Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung
Disusun oleh: Diding
INDONESIAN PARTNERSHIP ON LOCAL GOVERNANCE INITIATIVES (IPGI) JL. KEBON WARU UTARA NO. 7 Bandung TELP./FAX. ( 022 ) 7204112 http:\\www.ipgi.or.id e-mail: ipgisekr@bdg.centrin.net.id
2
ABSTRAKSI
Salah satu isu yang berkembang dalam arena perencanaan adalah pengembangan model Forum Warga. Sebagai model, Forum Warga lahir dari teori yang belum mapan. Ia lebih terbuka untuk interpretasi teoretis dan bentuk aplikasi. Forum Warga sebagai model baru dalam perencanaan partisipatif mempunyai harapan untuk berperan dalam kebijakan publik. Forum Warga juga mempunyai harapan untuk mempunyai karakter yang berbeda dengan pemeran kebijakan publik yang telah ada sebelumnya. Harapan-harapan tersebut dapat efektif terwujud jika Forum Warga mempunyai kapasitas yang cukup untuk itu. Harapan-harapan tentang peran Forum Warga juga terjadi dalam kasus Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FMMS), yang berdiri pada 21 Oktober 2000, di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Warga Majalaya mengharapkan agar FMMS dapat berperan dalam kebijakan publik dan menunjukkan karakter yang berbeda dengan pemeran kebijakan publik lama, dalam hal ini pemerintah. Penelitian ini kemudian mencoba mengidentifikasi apakah FMMS mempunyai kapasitas yang cukup untuk mewujudkan peran yang diharapkan tersebut. Penelitian ini memandang bahwa peran yang tepat untuk Forum Warga adalah sebagai tempat terjadinya proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah konsensus, sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Peran ini disebut sebagai ruang transaksi sosial dalam perencanaan. Berdasarkan perspektif ini, didefinisikan kapasitas yang perlu dimiliki Forum Warga agar dapat menjalankan peran tersebut. Kapasitas tersebut terdiri dari kemampuan untuk: membangun karakter; membangun relasi; dan meraih capaian. Untuk kasus FMMS, hasil penelitian menunjukkan bahwa FMMS mempunyai kapasitas yang cukup untuk tahap memobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide tentang suatu persoalan publik, tetapi masih rendah untuk tahap membangun konsensus dan untuk melakukan tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Ada beberapa faktor pendukung dan penghambat yang mengakibatkan kapasitas FMMS demikian. Faktor pendukungnya adalah: FMMS mempunyai karakter yang terbuka; mengutamakan dialog sebagai alat mencapai konsensus; adanya konsistensi aktivisnya untuk menjaga berlangsungnya pertemuan rutin FMMS; adanya fasilitator yang berperan dalam memberikan informasi, pengetahuan dan gagasan kepada partisipan FMMS; dan pernah adanya bukti konkrit penyelesaian persoalan yang difasilitasi FMMS. Adapun faktor penghambat pengembangan kapasitas FMMS adalah: adanya kerangka kerja FMMS yang instan; tidak adanya mekanisme informasi dan komunikasi antara FMMS dengan warga secara luas; tidak representatifnya komposisi partisipan FMMS terhadap warga Majalaya; dan masih rendahnya relasi FMMS dengan pemerintahan dan swasta.
3
UNGKAPAN TERIMA KASIH
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahirabbilalamiin.
Penelitian yang berjudul “Kapasitas Forum Warga sebagai Ruang Transaksi Sosial dalam Perencanaan” ini, adalah sebuah produk dari proses panjang yang melibatkan emosi, akal, tenaga, dana, dan doa. Didalam kelima dimensi tersebut, tercatat namanama individu dan lembaga yang berkontribusi dengan masing-masing bentuknya. Oleh karena itu, disini penulis mewajibkan diri sendiri untuk mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat tersebut.
1. Mbak Hetifah, Pak Tatang, Mas Thamrin, Pak Furqon, Sapei, Mas Dodo, dan Pak Endang yang mau repot berdiskusi dengan penulis. 2. Sapei dan Donny, teman diskusi dan seperjalanan Jum’at malam. Terima kasih atas berbagai informasi tentang profil pelaku FMMS. 3. Ari Nurman, Mas Imam, Jajang, Pak Farhan, Teh Deti, Mbak Yati, dan seluruh Staf IPGI yang menjadi teman kerja yang nyaman. Terutama Holy, teman curhat yang setia. 4. Studio Praksis, selaku rekan kerja yang kritis, terutama Donny, Agustiawan, Elvi, dan ‘grassrooters’ : Rahmat, Yana, Eri, dan Arseindy. 5. Para pengurus FMMS, diantaranya Pak Camat, Pak Saca, Kang Deden, Kang Hedi, Pak Lurah Zaki, Pak Iwan Boxer, Pak Endang, dan Pak Yuyun. “Semoga FMMS mampu menjaga idealismenya.” 6. Aki dan Nini, yang telah menerima penulis dan Ari Nurman untuk tinggal, sementara penulis kemalaman di perjalanan, sebelum akhirnya penulis tinggal di Rumah Aksi. 7. Adeu dan Indah, yang telah membantu penulis melakukan survey kepada para anggota BPD Majalaya. 8. Ari Nurman. Terima kasih untuk foto-fotonya dan analisis stakeholders kita yang ‘sedikit melahirkan’ FMMS. “Kamu berbakat jadi fotografer.” 9. Tulip 140: Sapei dan Icang yang menjadi teman diskusi terutama pada awal perumusan ide; dan Cici, pengelola perpustakaannya Mbak Hetifah, terima kasih atas kesediaannya mencatatkan buku-buku yang dipinjam penulis. 10. Nama-nama lain yang tak tersebutkan tetapi tetap indah dalam kenangan.
Bandung, November 2001 Penulis
4
KATA PENGANTAR
Belakangan ini forum warga tumbuh di berbagai tempat di Indonesia bagai jamur yang tumbuh di musim penghujan. Sudah barang tentu dengan tujuan yang juga sangat beragam sesuai dengan apa forum warga dimaknai oleh penggagasnya. Tidak jarang gagasan forum warga hanya selesai pada pemaknaan sebagai pembentukan organisasional semata. Dalam konteks seperti itu, forum warga yang ide awalnya lahir dari gagasan untuk menciptakan media untuk transformasi sosial hampir-hampir kehilangan maknanya. Fenomena forum warga di Indoensia ini mungkin menarik kalau coba diidentifikasi kecenderungannya melalui perangakat teori-teori gerakan sosial yang dikonsturksi dari perjalanan sejarah. Apakah fenomena ini merupakan jawaban atas munculnya masyarakat yang sakit?, sehingga arah gerakan sosial cenderung untuk menciptakan masyarakat sehat yaitu masyarakat yang memiliki kelas yang kuat dan solidaritas kelompok yang memainkan peran pengawasan terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh anggota masyarakatnya. Fenoma gerakan sosial seperti itu dilabeli dalam percaturan sejarah sebagai Collective Behaviour Theory dengan para pendukungnya seperti Ralph Turner, Lewis Killian, Talcot Parsons dan Neil Smelser. Ataukah fenomana ini berkecenderungan untuk menyiapkan sumber daya politik sebagai kelompok penekan dan munculnya embrio partai politik baru seperti yang digambarkan oleh Resources Mobilization Theory yang dikembangkan oleh Tilly, Zald, Ash dan Kistcschett?. Atau mungkin arahnya berkecenderungan seperti yang digambarkan oleh New-Social Movement Theory-nya Habermas, Offe, Catgrove dan Inglehart yang menitikberatkan pada proses reproduksi kultural dan integrasi sosial, bukan reprodusi material (partai atau organisasi baru)?. Atau mungkin sebenarnya fenoma gerakan forum warga merupakan perjuangan emansipasi sosial?. Yaitu sebuah gerakan untuk menghadirkan satu institusi yang kuat, norma pengetahuan dan penanaman semangat perjuangan, sehingga dapat bergerak tiba-tiba untuk menggantikan aturan kelas atau dominasi kelompok yang selama ini menjadi penentu norma sosial dan reproduksi sosial-ekonomi. Fenoma tersebut seperti yang digambarkan melalui The Action-Identity Theory. Untuk mendapatkan gambaran jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada satu inisiatif orisinil yang datang dari saudara Diding untuk mencoba meneliti fenomena forum warga. Satu inisiatif yang sangat berharga bagi proses refleksi untuk pihak-pihak yang bergerak dalam penguatan/penciptaan forum-forum warga tersebut. Dalam proses penelitiannya, saudara Diding selain sebagai pihak yang meneliti, juga terlibat sebagai bagian aktif dari
gerakan forum warga yang diamatinya itu sendiri. Sehingga selain
produk penelitiannya sendiri yang relatif baru, menarik juga untuk disimak bagaimana dia mencoba satu metodologi riset-aksi yang sangat subjektif dan tidak berjarak. Satu
5
percobaan yang cukup berani untuk melawan arus mainstream metodologi penelitian yang positivistik. Dalam penelitiannya yang mengambil kasus di Majalaya (kota kecil di Tenggara Kota Bandung), dia memfokuskan pada pengukuran kapasitas forum warga. Dari pengukuran kapasitas ini diharapkan dapat muncul satu gambaran karakteristik gerakan forum warga dan arah kecenderungannya. Selain itu, untuk kepentingan refleksi bagi para aktivis forum warga itu sendiri menjadi informasi yang penting untuk menentukan strategi-strategi gerakan yang harus dipilih. Dalam pengukuran kapasitas tersebut, coba diajukan 3 variabel pengukur sebagai kerangka analisisnya, yaitu
pengukuran pada
ability to be, ability to do dan ability to relate. Analisis terhadap ability to be adalah satu pengukuran terhadap kapasitas forum warga dalam hal kemampuannya untuk mengidentifikasi, menginisiasi dan memelihara suatu identitas, sistem nilai dan misi. Analisis terhadap ability to do adalah analisis kapasitas forum warga dalam melakukan sesuatu untuk memuaskan konstituennya. Sementara analisis terhadap ability to relate adalah analisis terhadap kemampuan forum warga dalam membangun relasi, memanage interaksi eksternal dengan tetap mempertahankan otonominya. Mudah-mudah hasil penelitan saudara Diding ini dapat memberikan inspirasi pada banyak pihak, khususnya yang konsen dalam gerakan forum warga. Sehingga maraknya inisiatif forum warga bukanlah seperti maraknya bunga plastik yang menawarkan pesona warna dan harum yang hanya ‘menjanjikan kepalsuan’, tetapi sebagai serakan bunga asli-segar yang menampilkan pesona warna dan harum yang sesungguhnya untuk mendorong terjadinya proses transformasi sosial di Bumi Pertiwi ini.
Bandung, November 2001
Sapei (Koordinator Program Aksi Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives)
6
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ............................................................................................................................
i
UNGKAPAN TERIMA KASIH ..................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................................
iii
DAFTAR ISI .............................................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................
ix
BAB I
1
PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1.1
Latar Belakang ..............................................................................................
1
1.2
Rumusan Persoalan ......................................................................................
2
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian ......................................................................
4
1.3.1 Maksud Penelitian ...............................................................................
4
1.3.2 Tujuan Penelitian .................................................................................
4
Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................
4
1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah Penelitian ......................................................
4
1.4.2 Ruang Lingkup Materi Penelitian ........................................................
4
1.5
Metodologi Penelitian ....................................................................................
5
1.6
Rencana Sistematika Pembahasan ..............................................................
6
1.4
BAB II
KAPASITAS FORUM WARGA SEBAGAI RUANG TRANSAKSI SOSIAL DALAM PERENCANAAN ...................................................................................... 2.1
8
Peran dan Karakter Forum Warga: Perspektif Perencanaan .......................
9
2.1.1 Tradisi Perencanaan ...........................................................................
10
2.1.2 Perbedaan Peran Masyarakat dalam Masing-Masing Tradisi Perencanaan ..................................................
11
2.1.3 Forum Warga sebagai Ruang Transaksi Sosial dalam Tradisi
2.2
Perencanaan sebagai Pembelajaran Sosial .......................................
12
Peran dan Karakter Forum Warga: Perspektif Civil Society .........................
13
2.2.1 Ruang Publik sebagai Prasyarat dalam Penguatan Civil Society .......
13
2.2.2 Forum Warga sebagai Ruang Publik dalam Civil Society ..................
17
2.3 Kemampuan yang Perlu Dimiliki Forum Warga: Perspektif Komunitas dan Organisasi non-Pemerintah (NGO) ....................
18
2.4
Konsep Dasar Kapasitas Forum Warga dan Asumsi yang Mendasarinya ...
19
2.5
Urgensi Identifikasi dan Kerangka Identifikasi Kapasitas Forum Warga ......
22
2.5.1 Urgensi Identifikasi Kapasitas Forum Warga ......................................
22
2.5.2 Kerangka Identifikasi Kapasitas Forum Warga ...................................
22
Metoda Pengumpulan Data, Penentuan Sampel, dan Metoda Analisis .......
24
2.6
7
2.6.1 Metoda Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel .........................
24
2.6.2 Metoda Analisis ...................................................................................
28
BAB III KONFLIK PEMBANGUNAN SEBAGAI PEMICU GERAKAN WARGA .....................
32
3.1
3.2
3.3
BAB IV
Gambaran Umum Kecamatan Majalaya .......................................................
32
3.1.1 Posisi Geografis dan Administratif ......................................................
32
3.1.2 Sejarah Singkat Majalaya ....................................................................
33
3.1.3 Persoalan Fisik dan Prasarana ...........................................................
35
Konflik Antar Stakeholders Pembangunan Majalaya .....................................
41
3.2.1 Konflik Pedagang Kakilima ..................................................................
41
3.2.2 Konflik Perebutan Rute Angkutan .......................................................
43
3.2.3 Konflik Penguasaan Aset Sosial: Alun-Alun Majalaya ........................
44
3.2.4 Konflik Perencanaan Tata Ruang Kota Majalaya ................................
46
Gerakan Warga untuk Mengatasi Konflik Pembangunan ..............................
47
3.3.1 Pendekatan Konfrontatif: Mobilisasi Massa ........................................
48
3.3.2 Pendekatan Kooperatif: Dialog Warga ................................................
49
KAPASITAS FORUM MASYARAKAT MAJALAYA SEJAHTERA (FMMS) SEBAGAI RUANG TRANSAKSI SOSIAL DALAM PERENCANAAN ..................... 4.1
4.2
54
Kemampuan FMMS untuk Membangun Karakter Forum Warga .................
58
4.1.1 Relasi non Hirarkis ..............................................................................
58
4.1.2 Komitmen Sosial Partisipan ................................................................
60
4.1.3 Pembelajaran Bersama .......................................................................
64
4.1.4 Keterbukaan ........................................................................................
67
4.1.5 Dialogis dan Membangun Konsensus ................................................
70
4.1.6 Independensi .......................................................................................
71
4.1.7 Pluralitas ..............................................................................................
72
Kemampuan FMMS untuk Membangun Relasi ............................................
73
4.2.1 Kemampuan FMMS untuk Membangun Relasi dengan Stakeholders Internal ...........................................................................
75
4.2.2 Kemampuan FMMS untuk Membangun Relasi dengan Stakeholders Eksternal ........................................................................ 4.3
78
Kemampuan FMMS untuk Meraih Capaian dalam Pembangunan Majalaya .....................................................................
81
4.3.1 Kemampuan FMMS untuk Mendampingi Warga dalam Pemecahan Masalah Pembangunan ..................................................
81
4.3.2 Kemampuan FMMS untuk Mendampingi Masyarakat dalam Memperjuangkan Hak-Haknya dalam Pembangunan ........................
83
8
4.3.3 Kemampuan FMMS untuk Melakukan Advokasi dan Mediasi Konflik Antara Warga dengan Pemerintah atau Antar Kelompok Warga ..................................................................................................
85
4.3.4 Kemampuan FMMS untuk Memfasilitasi Penggalangan
BAB V
Sumber Daya untuk Pembangunan Majalaya .....................................
88
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .....................................................................
90
5.1
Kesimpulan ....................................................................................................
90
5.1.1 Temuan Tiap Aspek Kemampuan Dasar ............................................
90
5.1.2 Kapasitas FMMS sebagai Ruang Transaksi Sosial
5.2
5.3
dalam Perencanaan .............................................................................
91
Rekomendasi ...............................................................................................
91
5.2.1 Peningkatan Kapasitas FMMS ............................................................
91
5.2.2 Penelitian Lanjutan ..............................................................................
92
Keterbatasan Penelitian .................................................................. ………
92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................
93
9
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Pandangan Tradisi Perencanaan Terhadap Peran Masyarakat dalam Perencanaan .............................................................
12
Tabel II.2 Argumentasi yang Relevan untuk Identifikasi Kapasitas Forum Warga ............
22
Tabel II.3 Kerangka Identifikasi Kapasitas Forum Warga ..................................................
23
Tabel III.1 Tahapan Dialog Warga Majalaya .......................................................................
50
Tabel IV.1 Daftar Nama Aktivis FMMS ...............................................................................
55
Tabel IV. 2 Daftar Nama Partisipan FMMS ..........................................................................
56
Tabel IV.3 Daftar Nama Aktivis Privilege di FMMS .............................................................
57
Tabel IV.4 Rangkuman Kasus yang Mengilustrasikan Pola Hubungan Antara Aktivis dengan Partisipan Bukan Aktivis ................................................
59
Tabel IV.5 Rangkuman Kasus yang Mengilustrasikan Pola Hubungan Antara Partisipan Privilege dengan Partisipan Biasa .........................................
60
Tabel IV.6 Persentase Kehadiran Aktivis Terhadap Total Pertemuan Rutin FMMS Sejak Keterlibatannya ........................................................................................
61
Tabel IV. 7 Kesepakatan FMMS yang Menjadi Tanggung Jawab Aktivis dan Proses Pelaksanaannya ............................................................................
62
Tabel IV.8 Kesepakatan FMMS yang Menjadi Tanggung Partisipan Bukan Aktivis dan Proses Pelaksanaannya .............................................................................
63
Tabel IV.9 Wacana Utama yang Dibahas dalam Kegiatan FMMS .....................................
65
Tabel IV.10 Ilustrasi Kasus Keterbukaan Antar Partisipan dalam Pertemuan FMMS .........
68
Tabel IV.11 Buletin Warga yang Pernah Diterbitkan FMMS ................................................
69
Tabel IV.12 Berita Kegiatan FMMS yang Diterbitkan oleh Harian Metro Bandung .............
69
Tabel IV.13 Dialog Penyusunan Kesepakatan Antar Stakeholders yang Dilaksanakan FMMS ................................................................................
71
Tabel IV.14 Latar Belakang Organisasi Aktivis FMMS ........................................................
73
Tabel IV.15 Stakeholders Yang Diprioritaskan untuk Diamati Dalam Kemampuan FMMS Membangun Relasi...............................................
74
Tabel IV.16 Matriks Proses dan Jenis Relasi FMMS Dengan Komunitas Sektoral .............................................................................
78
Tabel IV.17 Pengurangan Jumlah Pungutan Terhadap PKL Setelah Dilakukan Advokasi Oleh FMMS dan Fasilitator ................................................................
87
Tabel IV.18 Capaian FMMS dalam Memfasilitasi Penggalangan Sumber Daya untuk Pembangunan ..................................................................
89
10
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Kepadatan Permukiman Pusat Kota Majalaya ...............................................
33
Gambar 3.2 Penggunaan Terminal Bayangan oleh Angkot di Majalaya ............................
36
Gambar 3.3 Kondisi Drainase di Pusat Kota Majalaya .......................................................
36
Gambar 3.4 Sampah Berceceran di Sudut Kota .................................................................
37
Gambar 3.5 Penumpukan Sampah di Sungai Cikaro .........................................................
38
Gambar 3.6 Sedimentasi Sungai Cikaro Mendatangkan Banjir ke Kota Majalaya .............
38
Ganbar 3.7 Untuk Siapa Ruas Jalan Ini? ...........................................................................
41
Gambar 3.8 Pedagang Kakilima (PKL) di Pusat Kota Majalaya .........................................
42
Gambar 3.9 Perlukah Pembagian Rute Becak, Delman, dan Ojek? ..................................
44
Gambar 3.10 Alun-Alun Majalaya ........................................................................................
45
Gambar 3.11 Tanah Sengketa .............................................................................................
49
Gambar 4.1 Definisi Partisipan FMMS ...............................................................................
55
Gambar 4.2 Apresiasi Anggota BPD terhadap FMMS .......................................................
76
1
DAFTAR LAMPIRAN
11
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Salah satu teori yang dapat dikemukakan untuk memahami perencanaan publik (selanjutnya disebut perencanaan) adalah bahwa perencanaan bermula dari pemetaan relasi antara negara (state) dengan masyarakat (society). Relasi ini tercermin antara lain dari konsensus masyarakat (kemudian menjadi warga negara) berupa konstitusi, dan produk hukum negara tersebut. Konsisten dengan teori ini, berarti perencanaan akan dipengaruhi oleh perubahan dalam dua hal pokok. Pertama adalah perubahan dalam tataran konstitusi dan produk hukum negara. Misalnya perubahan bentuk negara, sistem politik dan pemerintahan. Kedua adalah perubahan dalam tataran tata nilai, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia, dari masyarakat atau warga negara tersebut. Contoh dari perubahan yang kedua ini adalah pandangan masyarakat terhadap urgensi lembaga sosial bahkan 1
urgensi negara sekalipun, sebagai media menuju kesejahteraan masyarakat . Salah satu penelusuran teoretis yang menjelaskan dengan komprehensif perubahan dalam perencanaan adalah Planning in Public Domain yang ditulis oleh John Friedmann. Upaya epistemologis Friedmann yang brilian, sampai pada kesimpulan bahwa saat ini perencanaan yang berperan sebagai panduan sosial (societal guidance) dan diproduksi oleh negara, telah gagal. Kemudian ia dengan tegas menempatkan diri sebagai advokat bagi perencanaan sebagai media transformasi sosial (social transformation) yang memberikan peran besar kepada masyarakat dalam mencapai tujuannya. Penelusuran Friedmann diakhiri dengan empat buah rekomendasi jalan keluar dari krisis perencanaan. Salah satu jalan keluar itu adalah pemusatan kekuatan politik pada civil society, dengan memobilisasi massa di bawah, dan pengumpulan energi politik komunitas yang dapat mengubah tatanan negara dan ekonomi dari dalam. Pemusatan kekuatan pada civil society, direkomendasikan Friedmann untuk dilakukan dalam kerangka pembelajaran sosial (social learning). Pembelajaran sosial sendiri, dapat dipahami dari sisi etis dan metodologis. Dari sisi etis, pembelajaran sosial menekankan perlunya komitmen dan dedikasi dari segenap pelaku untuk melakukan rekayasa sosial, menekankan adanya relasi setara atau non hirarkis, dan toleran terhadap perbedaaan. Sementara itu dari sisi metodologis, pembelajaran sosial harus dilakukan dalam bentuk penggabungan teori dan praktik (praksis) secara menerus, pencarian
pengetahuan lewat pengalaman dan penyempurnaannya lewat praktik (learning by doing), serta pendekatan dialogis antar pelaku dalam membangun kesepakatan bersama
1 Bahkan sebenarnya perubahan itu dapat bermula dari perubahan pandangan masyarakat terhadap apa yang dimaksud sebagai kesejahteraan itu sendiri.
12 2
(proses transaktif) . Pembelajaran sosial dengan ciri-ciri etis dan metodologis tersebut, dalam praktiknya dilakukan dalam sebuah ruang transaksi sosial atau ruang terjadinya proses transaktif antar pelaku. Manifestasi dari konsep ruang transaksi sosial ini, sangat dipengaruhi oleh konteks lokal. Oleh karenanya tidak mengherankan jika ruang transaksi sosial di Indonesia berbeda dengan konsep serupa di Philippina, misalnya. Singkat kata, ruang transaksi sosial dalam wacana pembelajaran sosial, adalah unik. Dalam praktik perencanaan di Indonesia, konsep ruang transaksi sosial diterapkan dalam kerangka perencanaan partisipatif. Ini pun baru gencar diterapkan pasca reformasi 3
1998. Adapun salah satu model yang dipilih adalah Forum Warga . Sebagai model baru dalam perencanaan partisipatif, maka Forum Warga sangat terbuka untuk lebih gagal ataupun lebih berhasil dalam menjalankan perannya sebagai ruang transaksi sosial. Kegagalan dan keberhasilan Forum Warga akan ditentukan oleh 4
kapasitas yang dimilikinya. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertinggi kemungkinan berhasilnya Forum Warga sebagai ruang transaksi sosial dalam perencanaan partisipatif, adalah dengan mengidentifikasi secara persis kapasitas yang dimilikinya. Selain itu, pengetahuan terhadap kapasitas Forum Warga juga bermanfaat untuk menjawab kekhawatiran tentang ketidaksiapan masyarakat untuk berperan lebih dalam dalam perencanaan partisipatif. Dengan kedua alasan tersebut, maka penelitian kapasitas Forum Warga ini dilakukan.
1.2
Rumusan Persoalan Sesuai dengan penjelasan dalam latar belakang, bahwa Forum Warga adalah model
baru dalam perencanaan partisipatif di Indonesia. Salah satu Forum Warga yang saat ini sedang dikembangkan adalah Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FMMS) di Majalaya, Kabupaten Bandung. FMMS berdiri di Majalaya pada 21 Oktober 2000, dengan difasilitasi oleh beberapa Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM) di kota Bandung.
2 Istilah proses transaktif pertama kali digunakan John Friedmann dalam edisi pertama ‘Retracking America’ tahun 1973 sebagai istilah yang mengacu pada gaya perencanaan yang tidak sekedar sebuah pembuatan rencana, tetapi lebih berarti sebagai proses ‘belajar bersama’, tidak memberi tekanan pada dokumen tetapi pada dialog dan hasilnya. Dalam buku yang sama, Friedmann pertama kali menggunakan istilah social learning yang dimaknai sebagai sebuah model dasar pelaksanaan proses transaktif. 3 Hal ini antara lain sejalan dengan pendapat Prof. Tommy Firman dalam Forum Masyarakat sebagai Basis Pembangunan Kota (Kompas, 03 Mei 2001), bahwa seiring dengan derap demokratisasi dalam berbagai sendi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik saat ini, proses pembangunan kota juga mulai menampakkan perubahan mendasar. Sifat yang semula top down dan merupakan urusan pemerintah semata, baik pusat maupun daerah, berangsur-angsur menjadi kegiatan masyarakat di akar rumput (grass roots), dengan motor penggerak elemen masyarakat tertentu khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM). 4 Secara leksikal (makna kamus), peran adalah seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat (KBBI, 1989: 667). Konsep peran terkait dengan konsep kapasitas, yang secara leksikal berarti kemampuan (kesanggupan, kecakapan) untuk berfungsi dan berproduksi (KBBI, 1989: 388). Kapasitas dalam arti lain adalah beberapa kemampuan inti, beserta alat dan cara untuk menunjukkan kemampuan tersebut (Fowler, 1996:179). Artinya kapasitas yang dimiliki suatu elemen kemasyarakatan akan sangat menentukan keefektifan peran yang ingin dimilikinya.
13
FMMS berdiri dalam konteks masyarakat yang sedang konflik. Konflik yang terjadi misalnya adalah dalam kasus perdagangan kakilima, yang melibatkan kelompok warga di pusat kota Majalaya, para pedagang kakilima (PKL), dan aparat Pemerintah Desa dan Kecamatan. Warga menganggap PKL sebagai sumber kesemrawutan kota Majalaya. PKL adalah penyerobot lahan publik (trotoar, badan jalan, dan alun-alun), penyebab kemacetan, serta sumber sampah kota. Sementara itu, PKL menganggap bahwa adalah hak mereka untuk mendapat keuntungan dari ruang publik yang tersedia, demi pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Disamping itu, mereka yakin bahwa PKL bukan penyerobot lahan publik sebab mereka membayar retribusi dan jenis pungutan lainnya kepada pemerintah. Padahal bagi warga, tindakan aparat memungut retribusi kepada para PKL dianggap sebagai pemberian izin kepada para penyebab terjadinya kesemrawutan kota. Aparat malah mengambil keuntungan dari kondisi ini, alih-alih menata kota dengan baik. Kebuntuan dalam penyelesaian masalah ini, mengakibatkan pernah dua kali dilakukan tindakan radikal dari warga dengan membakar lapak para PKL. Tentu saja tindakan radikal ini makin mempertajam konflik. Kasus lain yang melibatkan interes warga Majalaya dalam lingkaran yang lebih besar adalah ruilslag tanah kecamatan dengan PT Merlin. Tanah di alun-alun tempat berdirinya kantor kecamatan yang lama ini, diklaim oleh warga sebagai tanah warga yang dulu merupakan kebanggaannya. Pada tahun 1997, tanah itu diruilslag oleh Camat Majalaya dengan beberapa bidang tanah di luar kota Majalaya, milik PT Merlin. Pada tahun 1998, diketahui oleh warga bahwa ternyata terdapat selisih harga tanah sebesar 700 Juta Rupiah. Ruislagh tanah warga dengan selisih harga yang demikian besar inilah yang memicu gerakan warga untuk menuntut tindakan sepihak Camat Majalaya. Dimulailah gerakan warga dengan semangat konfrontasi terhadap pemerintah lokal. Demonstrasi dilakukan
dan
akhirnya
berbuah
pada
pemberhentian
Camat
Majalaya
serta
5
pengembalian tanah kecamatan kepada warga . Namun demikian, dalam kenyataanya, tindak korupsi dari oknum pemerintah ini, menimbulkan bekas berupa kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Di tengah situasi konflik inilah, FMMS dibentuk dan dikembangkan. FMMS dibentuk sebagai model perencanaan partisipatif dengan fasilitator beberapa LSM di Kota Bandung. Model baru ini, tidak urung memberikan harapan besar dari warga untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan baik fisik, sosial maupun ekonomi. Namun dibalik harapan tersebut, yang terpenting sebenarnya adalah upaya agar pendekatan ini tidak menimbulkan kekecewaan yang lebih besar bagi masyarakat yang sedang tidak puas dengan hasil pembangunan. Upaya yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan mengidentifikasi secara persis kapasitas FMMS. Pengetahuan ini akan
5 Akibat kasus tersebut, sempat terjadi kevakuman, dalam arti Kecamatan Majalaya tidak memiliki Camat selama hampir setahun.
14
bermanfaat dalam memberikan ekspektasi yang tepat terhadap keefektifan FMMS sebagai ruang transaksi sosial dalam perencanaan partisipatif di Majalaya. Dengan asumsi keunikan Forum Warga, dan kenyataan yang ada pada FMMS, mengakibatkan FMMS tepat untuk menjadi kasus dalam penelitian ini. Akhirnya berdasarkan uraian sebelumnya, dapat kita rumuskan persoalan dalam penelitian ini, yaitu: “Bagaimana kapasitas FMMS sebagai sebagai ruang transaksi sosial dalam perencanaan partisipatif di Kecamatan Majalaya?�
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1
Maksud Penelitian
Penelitian ini bermaksud memberikan kontribusi pada upaya pembangunan sistem perencanaan, dengan mengemukakan usulan mengenai kapasitas yang harus dimiliki oleh Forum Warga untuk dapat mewujudkan perannya sebagai ruang transaksi sosial dalam perencanaan partisipatif.
1.3.2
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan persoalan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kapasitas FMMS sebagai ruang transaksi sosial dalam perencanaan partisipatif di Kecamatan Majalaya.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian
1.4.1
Ruang Lingkup Wilayah Penelitian
Penelitian ini akan diselenggarakan di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Secara substantif, penelitian ini berfokus pada dinamika yang terjadi pada FMMS. Namun demikian dinamika FMMS tidak dapat dilepaskan dari konteks fisik, sosial, dan ekonomi Kecamatan Majalaya sebagai arena kerjanya. Terutama dalam hal ini adalah kawasan perkotaan Majalaya, yang menjadi pusat perhatian warga Majalaya dan arena terjadinya berbagai konflik sebelum lahirnya FMMS.
1.4.2
Ruang Lingkup Materi Penelitian
Secara garis besar penelitian ini membahas tiga aspek kemampuan dasar yang menentukan kapasitas Forum Warga sebagai ruang transaksi sosial dalam perencanaan. Ketiga aspek kemampuan dasar itu adalah: 1. Kemampuan untuk membangun karakter, yaitu kemampuan untuk menginisiasi dan memelihara identitas Forum Warga sebagai pemeran dalam kebijakan publik melalui proses pengembangan konsensus sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Adapun karakter yang harus dibangun adalah adalah: Relasi nonhirarkis; komitmen sosial; pembelajaran bersama; keterbukaan; dialogis dan membangun konsensus; independensi; dan pluralitas.
15
2. Kemampuan untuk membangun relasi dengan stakeholders. Maksudnya adalah kemampuan untuk melibatkan stakeholders dalam proses pengembangan konsensus sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Adapun relasi yang harus dibangun adalah: Relasi fungsional dan politis dengan stakeholders internal; dan relasi fungsional dan politis dengan stakeholders eksternal. 3. Kemampuan untuk meraih capaian. Maksudnya adalah kemampuan untuk melakukan tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Adapun capaian yang harus diraih adalah: Pendampingan masyarakat dalam memecahkan masalah pembangunan; pendampingan masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya dalam pembangunan; advokasi konflik antara masyarakat dengan pemerintah, dan mediasi konflik antar kelompok masyarakat; dan fasilitasi penggalangan sumber daya untuk kepentingan masyarakat.
1.5
Metodologi Penelitian Berdasarkan tujuannya, penelitian ini disebut penelitian terapan kualitatif (qualitative
applied research). Yaitu penelitian dalam arena persoalan masyarakat. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengkontribusikan pengetahuan yang dapat membantu masyarakat memahami persoalan sehingga masyarakat dapat mengontrol lingkungannya secara lebih efektif. Dalam penelitian terapan, sumber pertanyaan berada pada persoalan dan pengalaman yang dirasakan masyarakat, serta melalui penelitian terapan dapat dikembangkan solusi potensial (Patton; 1980: 154). Untuk mencapai tujuan penelitian, maka dilakukan tiga langkah utama penelitian (pendekatan). Langkah pertama adalah studi literatur. Studi literatur dilakukan untuk menghasilkan konsep dasar dan kerangka identifikasi kapasitas Forum Warga. Proses yang dilakukan adalah mensintesis teori tentang: ruang transaksi sosial; ruang publik; kapasitas komunitas; dan kapasitas organisasi non-pemerintah. Selanjutnya adalah langkah kedua, yaitu memasuki lapangan, melakukan penelitian lapangan kualitatif. Dalam penelitian lapangan kualitatif peneliti adalah instrumen penelitian. Instrumen tersebut diejawantahkan dalam kerangka identifikasi yang disusun dalam langkah pertama. Dalam penelitian ini, metoda pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan, wawancara tidak terstruktur, dan pengkajian dokumen. Setiap sumber data yang relevan dengan substansi informasi yang dibutuhkan, bermanfaat untuk penelitian ini. Penelitian lapangan dilakukan sejak Oktober 2000 sampai dengan Juli 2001. Fokus penelitiannya adalah proses dinamis FMMS. Output dan proses yang dilakukan adalah: 1. Data tentang latar belakang dan tujuan dikembangkannya FMMS. Proses yang dilakukan adalah pengamatan kondisi umum fisik dan sosial Majalaya, wawancara aktivis FMMS untuk memberikan gambaran tentang persoalan pembangunan Majalaya, dan pengamatan proses pembentukan FMMS.
16
2. Data tentang dinamika proses FMMS. Proses
yang dilakukan adalah
pengamatan rapat rutin FMMS dan rapat kepanitiaan FMMS, dan pengkajian dokumen yang berkaitan dengan poses dinamis FMMS.
Langkah ketiga adalah analisis. Metoda analisis yang digunakan adalah analisis ilustratif (The Illustrative Method). Metoda analisis ini menggunakan fakta-fakta empirik untuk mengilustrasikan konsep dasar yang telah disusun pada langkah pertama. Metoda ini pada dasarnya mengorganisasi data berdasarkan pada kerangka konseptual yang ada. Dengan metoda ini, peneliti mengidentifikasi apakah fakta-fakta yang ada sesuai dengan kerangka konseptual tersebut.
1.6 Rencana Sistematika Pembahasan Penelitian ini akan dilaporkan dalam sistematika sbb:
Bab 1 PENDAHULUAN Bagian ini akan berisi latar belakang persoalan, rumusan persoalan, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup penelitian, dan metodologi penelitian. Bagian ini berperan sebagai panduan dalam melakukan proses penelitian lapangan.
Bab 2 KAPASITAS FORUM WARGA SEBAGAI RUANG TRANSAKSI SOSIAL DALAM PERENCANAAN Bagian ini terdiri dari empat pokok bahasan. Pertama, pembahasan Forum Warga dalam perspektif perencanaan dan perspektif civil society. Kedua, pembahasan kemampuan yang perlu dimiliki Forum Warga menurut perspektif komunitas dan organisasi non-pemerintah. Ketiga, sintesis kapasitas Forum Warga dari pembahasan pertama dan kedua. Serta keempat, urgensi identifikasi, dan kerangka identifikasi kapasitas Forum Warga.
Bab 3 KONFLIK PEMBANGUNAN SEBAGAI PEMICU GERAKAN WARGA Bagian ini merupakan data dan informasi umum tentang kondisi fisik dan prasarana, serta konflik antar stakeholders Majalaya. Bagian ini berperan dalam menyajikan konteks kemunculan gerakan warga Majalaya, termasuk kemunculan FMMS sebagai bagian dari gerakan warga. Bagian ini merupakan hasil proses pengamatan yang disajikan secara kronologis untuk menunjukkan penyebab dan tujuan pembentukan Forum Warga di Majalaya.
17
Bab 4 KAPASITAS FORUM MASYARAKAT MAJALAYA SEJAHTERA (FMMS) SEBAGAI
RUANG
TRANSAKSI
SOSIAL
DALAM
PERENCANAAN
PARTISIPATIF DI MAJALAYA Bagian ini merupakan bagian analisis. Pada bagian ini, data diorganisir berdasarkan pada kerangka konseptual yang ada. Dengan demikian, kapasitas FMMS dapat teridentifikasi.
Bab 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bagian akhir ini akan disajikan temuan dan kesimpulan tiap aspek kemampuan dasar, kesimpulan kapasitas, rekomendasi peningkatan kapasitas FMMS, rekomendasi penelitian lanjutan, dan keterbatasan penelitian ini.
18
BAB 2 KAPASITAS FORUM WARGA SEBAGAI RUANG TRANSAKSI SOSIAL DALAM PERENCANAAN
Pada bab 2 akan diuraikan empat pokok bahasan. Pertama, pembahasan Forum Warga dalam perspektif perencanaan dan perspektif civil society. Kedua, pembahasan kemampuan yang perlu dimiliki Forum Warga menurut perspektif komunitas dan organisasi non-pemerintah. Ketiga, sintesis kapasitas Forum Warga dari pembahasan pertama dan kedua. Serta keempat, pembahasan urgensi identifikasi dan kerangka identifikasi kapasitas Forum Warga. Sebelum memasuki keempat pokok bahasan tersebut perlu terlebih dahulu dijelaskan perencanaan dan ruang transaksi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini. 1. PERENCANAAN SEBAGAI PROSES PENGEMBANGAN KONSENSUS DAN PERENCANAAN SEBAGAI PROSES TEKNOKRATIS Dalam dunia publik (public realm) sebagai wilayah tindak kolektif, kita pada dasarnya bersama-sama, bukan sebagai individu atau grup yang terpisah (Healey; 1997: 67). Individu dan kelompok mempunyai keterlekatan pada dunia publik sebagai wilayah tindak kolektif. Dengan keterlekatan ini berarti bahwa tindakan setiap individu atau kelompok mempunyai dampak terhadap individu atau kelompok lainnya (Healey; 1997: 31). Dalam
kenyataannya,
individu
terkelompokkan
dalam
kelompok-kelompok
kepentingan tertentu. Kepentingan ini tidak selalu identik bahkan sering bertentangan. Paradoks inilah yang mendasari adanya konflik dalam dunia publik. Konflik tersebut tidak hanya dalam dataran kepentingan material, seperti nilai lahan atau kemacetan lalu lintas, melainkan sampai pula pada dataran kekhawatiran terhadap cara hidup kita sekarang dan sistem pemahaman yang kita anut saat ini (Healey; 1997: 31). Dalam perspektif yang menyajikan adanya konflik dalam dunia publik ini, perencanaan dapat diartikan sebagai sebuah upaya untuk mengatasi konflik. Ada dua ide dasar yang dikembangkan dalam perencanaan untuk mengatasi konflik. Ide pertama menempatkan perencanaan sebagai proses interaktif yang dilakukan dalam sebuah konteks sosial tertentu (Healey; 1997: 65); dan ide kedua yang menempatkan perencanaan sebagai proses teknis murni, meliputi desain, analisis, dan manajemen (Healey; 1997: 65). Dalam perencanaan tata ruang, sebagai sebuah kasus dalam perencanaan publik, proses teknis murni dilakukan dalam bentuk penyusunan dokumen Rencana Tata Ruang Kota. Persoalannya kemudian adalah, banyak sekali perubahan sosial dan ekonomi yang dinegosiasikan dan melanggar kerangka kerja dan aturan dalam rencana tersebut (Healey; 1997: 32), sehingga konflik yang ingin diatasi malah makin tinggi.
19
Dengan kegagalan ini, maka dikembangkan proses perencanaan yang interaktif dalam konteks sosial tertentu. Proses ini disebut perencanaan pengembangan konsensus (Healey; 1997: 33). Proses pengembangan konsensus ini dilakukan dalam gaya dialogis yang terbuka, diawali oleh mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide, dalam suasana tanpa dominasi kultural. Dengan gaya ini maka proses saling menghormati dan membangun konsensus dapat dilakukan (Healey; 1997: 65). Menurut Healey (1997), proses pengembangan konsensus inilah yang menjadi ide baru dalam teori perencanaan. Penelitian ini di satu sisi dilatarbelakangi oleh adanya penerapan model baru perencanaan partisipatif melalui Forum Warga. Model baru ini sendiri mengarah pada perencanaan sebagai tindak kolektif yang berawal pada proses pengembangan konsensus. Disisi lain, konteks kasus yang diamati juga tidak terlepas dari konflik antar pelaku. Dimana konflik tersebut, muncul karena rendahnya proses transaktif antar pelaku. Oleh karena itu, maka perencanaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perencanaan sebagai proses pengembangan konsensus, sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik.
2. Ruang Transaksi Sosial Paradigma perencanaan sebagai proses pengembangan konsensus sebagai awal tindak kolektif yang diungkapkan Healey (1997) mempertegas ide Friedmann (1973) tentang perencanaan transaktif. Yaitu perencanaan yang tidak sekedar sebuah pembuatan rencana, tetapi lebih berarti sebagai proses belajar bersama. Perencanaan tidak memberikan tekanan pada dokumen (blue print) tetapi pada dialog dan hasilnya. Kemudian tentang ‘tempat terjadinya proses transaktif’, keduanya mempunyai pendapat yang juga saling menguatkan. Menurut Healey (1997), proses pembuatan kebijakan publik, termasuk didalamnya proses perencanaan lingkungan lokal, harus direkonseptualisasi sebagai proses komunikasi intersubjektif, dalam sebuah ruang publik. Didalamnya terjadi proses saling belajar yang dinamis. Adapun Friedmann (1987), menyebutnya sebagai ruang transaksi sosial. Jadi ruang transaksi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tempat terjadinya proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah konsensus, sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik.
2.1
PERAN DAN KARAKTER FORUM WARGA: PERSPEKTIF PERENCANAAN Untuk mengetahui peran dan karakter Forum Warga dalam perspektif perencanaan,
kita harus mengetahui peran masyarakat dalam tradisi perencanaan.
20
2.1.1
Tradisi Perencanaan
Jhon Friedmann membagi tradisi perencanaan dalam empat tradisi yaitu: perencanaan sebagai reformasi sosial; perencanaan sebagai analisis kebijakan; perencanaan sebagai pembelajaran sosial; dan perencanaan sebagai mobilisasi sosial. Keempatnya berbeda dalam memandang peran masyarakat dalam perencanaan.
1. Perencanaan sebagai Reformasi Sosial Tradisi ini merupakan yang terawal dan terbesar dalam sejarah perencanaan. Ia terutama berkembang pada paruh kedua abad IX. Berawal dari revolusi Prancis, tadisi ini kemudian berlanjut kepada karya beberapa ahli sosiologi dan ekonomi politik besar abad ini, seperti Max Weber, Karl Mannheim, Rexford G. Tugwell, dan lebih kontemporer adalah adalah, Charles Lindblom, Amitai Etzioni, dan Harvey S. Perloff. Mereka menulis dalam upaya mencari tempat yang tepat bagi perencanaan di tengah masyarakat, mengekplorasi bagian untuk menginstitusionalisasikan perencanaan, mengembangkan model rasionalitas sosial, dan mempelajari beragam kontrol sosial terhadap negara dalam hal penyimpangan rencana. Reformasi sosial menempatkan perencanaan dalam aparat negara. Perhatian utamanya adalah kepada upaya menemukan cara paling efektif bagi negara dalam membuat rencana. Disini, perencana adalah teknokrat yang mendengarkan pandangan masyarakat tetapi tidak harus memperhatikannya. Reformasi sosial mempunyai ide dasar bahwa masyarakat ilmiah akan dapat memandu dunia dalam jalur yang pasti menuju kemajuan sosial. Oleh karenanya ia diwarnai tradisi pemikiran positivistik daripada menekankan keterlibatan aktor sosial dalam setiap proses perencanaan. Tradisi ini mencoba memandu masyarakat dari atas, sebab masyarakat biasa tidak cukup tahu untuk terlibat dalam perencanaan.
2. Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan Analisis kebijakan merupakan tradisi yang lebih mutakhir. Muncul kurang lebih dalam masa antara Krisis Malaise 1930-an sampai pasca Perang Dunia Kedua. Ia muncul dan berkembang dari arena ilmu manajemen, administrasi publik, kebangkitan kembali ekonomi neoklasik, dan teknologi informasi yang disebut sibernetika. Para praktisinya meyakini bahwa solusi yang tepat akan muncul dari analisis data yang ilmiah. Pendekatan ini seringkali disebut juga sebagai analisis sistem. Ilmu ini berakar dari teori keputusannya Herbert Simon. Pengaruh lainnya datang dari Rand Corporation di Santa Monica California, yang klien utamanya waktu itu adalah United State Air Force (USAF). Tujuan utama analisis kebijakan adalah penyajian pilihan kebijakan kepada pembuat keputusan dan menjelaskan konsekuensi dari setiap pilihan. Para perencana adalah analis yang merupakan teknisi yang melayani pusat kekuasaan yang ada. Ia tidak
21
bertendensi untuk melakukan perubahan relasi kekuasaan. Serupa dengan tradisi pertama, dalam tradisi ini masyarakat adalah objek rekayasa oleh negara.
3. Perencanaan sebagai Pembelajaran Sosial Sama dengan tradisi kedua, pembelajaran sosial juga lahir lebih baru daripada tradisi reformasi sosial dan mobilisasi sosial. Tetapi dalam beberapa hal pembelajaran sosial berbeda dengan tradisi lainnya. Pembelajaran sosial lebih merupakan epsitemologi atau teori tentang ilmu pengetahuan. Ia berawal dari kritik terhadap hakikat ilmu pengetahuan. Bagi tradisi ini, pengetahuan bukan merupakan building block untuk rekontruksi sosial sebagaimana halnya diyakini oleh dua tradisi terdahulu. Bagi tradisi pembelajaran sosial, pengetahuan diperoleh lewat pengalaman dan disempurnakan lewat praktik. Retorikanya adalah learning by doing. Tokoh utamanya adalah John Dewey, advokat dalam hal learning by doing. Ia mengkonsepkan bahwa kebijakan sosial merupakan eksperimen semi ilmiah dan demokrasi merupakan bentuk politik ilmiah. Ide Dewey diterima dengan dua cara. Secara konservatif
diadaptasi
oleh
para
teoretisi
pengembangan
organisasi,
yang
mengaplikasikannya ke dalam pengendalian korporasi. Tokohnya adalah Kurt Lewin, Chrys Argyris, Donald Schon, dan Warren Bennis. Kedua, adalah secara revolusioner yang ditumbuhkan di China oleh Mao Tse Tung. Pengaruh Dewey dalam hal ini ada secara tidak langsung. Disini Mao menempatkan perspektif pembelajaran sosial sebagai perluasan dari tradisi mobilisasi sosial (tradisi keempat dalam perencanaan). Ide utama paradigma ini adalah ekstensifikasi nilai-nilai kelas elit. Dalam instrumennya tradisi ini menekankan adanya proses dialogis, relasi non hirarkis, komitmen untuk melakukan eksperimentasi sosial, toleransi terhadap perbedaan, dan mengutamakan transaksi sosial.
4. Perencanaan sebagai Mobilisasi Sosial Kontras terhadap reformasi sosial adalah mobilisasi sosial, sebuah tradisi perlawanan yang berkembang dari interaksi kaum utopian, anarkis, dan Marxis. Bermula dari kritik sosial terhadap tatanan kapitalisme industri. Keberatannya adalah masalah emansipasi sosial. Kalau kaum reformasi sosial berbicara atas nama kewenangan negara dan pencerahan bagi kaum elit, maka perencana radikal langsung berbicara kepada kaum buruh, wanita, dan kaum tertindas.
2.1.2
Perbedaan Peran Masyarakat dalam Masing-Masing Tradisi Perencanaan
Berdasarkan uraian diatas, nampak bahwa masing-masing tradisi memberikan peran yang berbeda kepada masyarakat dalam perencanaan. Secara singkat, perbedaan masing-masing tradisi tersebut disarikan dalam Tabel II.1.
22
TABEL II.1 PANDANGAN TRADISI PERENCANAAN TERHADAP PERAN MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN Tradisi Reformasi Sosial
-Planner sebagai teknokrat, yang mendengarkan pandangan masyarakat tetapi tidak berarti harus memperhatikannya -Reformasi sosial akan berpikir secara positivistik daripada menekankan proses keterlibatan aktor sosial dalam setiap proses -Masyarakat ilmiah akan memandu dunia dalam jalur pasti menuju kemajuan sosial -Perencanaan ada dalam aparat negara
Tradisi Analisis Kebijakan Masyarakat adalah objek kepada rekayasa oleh negara
Tradisi Pembelajaran Sosial
Tradisi Mobilisasi Sosial
-Nilai-nilai kelas elit diupayakan mengalami ekstensifikasi -Tradisi ini menekankan adanya proses dialogis, relasi non hirarkis, komitmen untuk bereksperimen, toleran thd perbedaaan, dan pencarian ruang transaksi sosial yang tepat
-Merupakan tradisi besar perlawanan -Mempertanyakan kedudukan bagi mereka yang tidak memiliki power dalam masyarakat untuk berteori dan praktik transformasi sosial -Mereka harus mencari cara untuk meningkatkan harkat masyarakat sehingga terjadi nilai-nilai emansipatoris
2.1.3 Forum Warga Sebagai Ruang Transaksi Sosial dalam Tradisi Perencanaan sebagai Pembelajaran Sosial Dari keempat tradisi diatas, nampak bahwa tradisi reformasi sosial dan analisis kebijakan menempatkan negara sebagai entitas dominan daripada masyarakat. Keduanya maujud dalam praksis pemanduan sosial (societal guidance) dari atas (dari negara ke masyarakat). Oleh karenanya Forum Warga kurang mendapat tempat dalam tradisi ini. Disisi lain, tradisi mobilisasi sosial lebih menekankan adanya semangat perlawanan terhadap posisi pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Oleh karena itu, maka dalam penelitian ini, Forum Warga lebih tepat ditempatkan dalam kerangka pembelajaran sosial. Lebih jelasnya, Forum Warga dipandang sebagai sebuah alternatif ruang transaksi sosial. Sebagai ruang transaksi sosial, maka karakter dasar Forum Warga dapat mengadaptasi karakter ruang transaksi sosial dalam pembelajaran sosial tersebut. Karakter tersebut adalah sebagaimana dijelaskan oleh Friedmann (1987): 1. Adanya relasi non hirarkis. 2. Adanya komitmen sosial yang tinggi dari partisipannya. 3. Adanya toleransi pada pluralitas. 4. Adanya keterbukaan. 5. Diutamakannya proses dialogis dan membangun konsensus.
23
2.2
Peran dan Karakter Forum Warga: Perspektif Civil Society Setelah kita menemukan peran dan karakter Forum Warga melalui perspektif
perencanaan, pada bagian ini akan dilakukan penelusuran melalui perspektif civil society.
2.2.1
Ruang Publik Sebagai Prasyarat dalam Penguatan Civil Society
Di dalam ilmu-ilmu sosial, tidak ada kesepakatan pemisahan teoretis dan empiris antara hubungan politik, ekonomi, dan sosial (Abercombie et.,1984, Billah, 2000). Civil society sebagai istilah dan konsep teoretik masih terus berkembang, dan paling tidak 6
istilah atau konsep itu dipergunakan dalam berbagai pengertian . Titik-titik penting pergeseran maknanya adalah sbb: 1.
Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) menempatkan civil society dalam wilayah ide, tepatnya dalam filsafat politiknya. Waktu itu ia menggunakan istilah societies civilis yang didefinisikan sebagai sebagai sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lainnya. Istilah ini menekankan pada konsep negara kota yang menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya sebagai suatu kesatuan yang terorganisir. Melihat dipertukarkannya istilah-istilah societies civilis, civil society dengan etat, state, nampaknya Cicero tidak masuk kepada pertentangan konsep antara negara dengan masyarakat. Dua pemikir dari generasi lebih kini yang menempatkan civil society di wilayah ide, diantaranya adalah: a. Michael Leifer (1995) yang mengatakan bahwa civil society adalah konsep yang hanya ada dalam tataran politik ideal. Baginya civil society bukanlah merupakan model politik praktis yang cocok dan berlaku di masyarakat manapun dan kapanpun. b. Adam Ferguson (1767) berpandangan bahwa civil society adalah ‘visi etis dalam kehidupan bermasyarakat’ untuk melihat perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan berkembangnya kapitalisme. Ekonomi pasar telah menggusur tanggung jawab sosial seraya mengejar pemuasan kepentingan pribadi. Oleh karenanya civil society mencoba mengembalikan semangat publik dan solidaritas sosial seraya menangkal munculnya kembali despotisme.
2.
Thomas Hobbes (1588-1679) dan Jhon Locke (1632-1704) menggunakan istilah itu sebagai suatu tahapan evolusioner dari masyarakat alamiah (natural society), dimana civil society dianggap sama dengan negara yang berfungsi sebagai pelindung kebebasan hak warga negara, karena manusia terlibat konflik terus menerus (homo homini lupus). Dalam tataran relasi antara negara dengan masyarakat, keduanya berbeda pandangan:
6 Menurut Billah, pergeseran makna dari konsep civil society menunjukkan perubahan sikap teoretis terhadap hubungan antara ekonomi, masyarakat, dan negara.
24
a. Bagi Hobbes negara harus mempunyai kekuatan mutlak untuk melakukan kontrol atas warga negara. b. Sedangkan Locke menolak pandangan itu, karena warga negara memiliki hak untuk menolak kekuasaan negara, jika negara tidak menjamin kebebasan dan tidak melindungi hak warga negara. 3.
Thomas Paine (1737-1805) mendefinisikan civil society sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai antitesis negara. Paine juga memandang civil society sebagai
ruang
dimana
warga
dapat
mengembangkan
kepribadian
dan
memberikan peluang pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. 4.
Alexis de Tocqueville (1805-1859) memandang civil society adalah kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara. Baginya civil society bukan sesuatu yang harus apriori subordinatif atau antitesis terhadap negara. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga memiliki kekuatan penyeimbang (balancing force) untuk menahan kecenderungan intrervensionis negara. Tidak hanya itu. Ia bahkan menjadi sumber legitimasi negara serta pada saat yang sama mampu melahirkan kritik reflektif untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat proses formasi sosial.
5.
G.W.F Hegel (1770-1881) dan Marx (1818-1883) memaknai civil society sebagai lokasi bagi pemenuhan kepentingan-kepentingan individu dan kelompok, terutama kepentingan ekonominya. Jelas, bagi keduanya bahwa civil society terbentuk dengan basis material. Namun demikian keduanya berbeda dalam memandang peran dan posisi negara: a. Bagi Hegel civil society adalah subordinat negara. Asumsinya adalah bahwa civil society tidak dapat dibiarkan tanpa kontrol. Negaralah yang merupakan representasi dari ide universal yang melindungi kepentingan politik warganya dan karenanya memiliki hak penuh melakukan intervensi terhadap civil 7
society . b. Marx, sekalipun tetap mempertahankan pandangannya bersama Hegel mengenai civil society (basis material), ia membalikkan pandangan Hegel tentang negara. Didalam The German Ideology (1845) Marx dan Engels berpendapat bahwa civil society adalah ‘sumber-sumber yang sebenarnya dan drama dari semua sejarah’, yaitu penjelasan mengenai peristiwa politik, perubahan legal dan perkembangan kebudayaan yang dilihat didalam perkembangan struktur dari civil society. Bagi Marx negara tidaklah diatas
7 Hal ini setara dengan ide Burke dalam “Reflection on the Revolution in France�, bahwa Negara adalah sebagai persekutuan dalam segala pengetahuan, persekutuan dalam segala kesenian hidup, persekutuan dalam segala kebajikan dan dalam segala kesempurnaan.
25
masyarakat, ia merupakan perwujudan dari struktur masyarakat, karena negara dianggap sebagai pelaksana dari kelas borjuis yang memerintah.
Sampai pada 5 titik penting pergeseran makna dari konsep civil society diatas, rupanya dapat disimpulkan bahwa sampai awal abad 20, civil society dimaknai dengan: !" Ide dasar civil society adalah segala upaya demi pencapaian harkat manusia dan masyarakat, yang dibahasakan berbeda oleh masing-masing pemakna, seperti: o
John Hall (1995): penegakan decency dan penentangan despotisme dalam masyarakat.
o
Vaclav Havel: penegakkan sistem sosial dan politik yang berlandas tumpu pada moral yang berakar pada nilai 8
transendental . !" Ide dasar tersebut diupayakan dengan tiga strategi pencapaiannya: o
penentangan terhadap dominasi negara (civil society vis-Ă -vis state).
o
penerimaan terhadap dominasi negara.
o
tidak apriori terhadap pertentangan antar keduanya, sepanjang ide utamanya terjaga.
Ide dasar civil society masih bertahan sampai sekarang. Adapun strategi pencapaiannya
lebih
konvergen
kepada
strategi
ketiga.
Hal
ini
terlihat
dari
perkembangan pemaknaan civil society pada tujuh bagian berikutnya: 6.
Han Sung-Joo dengan latar belakang kasus Korea Selatan, mendefinisikan civil society sebagai sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan, sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta akhirnya akan menghasilkan adanya kelompok inti. Konsep yang dikemukakannya menekankan adanya ruang publik, yang mengandung empat ciri dan prasyarat terbentuknya civil society, yaitu: a. Diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat dan mandiri dari negara.
8 Menarik untuk dikaji lebih jauh tentang landasan tumpu/basis pencapaian harkat dan martabat manusia tersebut. Maksudnya, ada juga yang meyakini bahwa basis pencapaian terbaik adalah ekonomi atau apa yang disebut dengan the realm of needs and necessity, seperti yang dianjurkan Hegel dan Marx. Disinilah terjadinya perbedaan dasar pemahaman tentang civil society antara Havel disatu pihak dengan Hegel, Marx, dan para pengikutnya di pihak lain.
26
b. Adanya ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapapun dalam mengartikulasikan isu-isu politik. c.
Terdapatnya gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasar pada nilainilai budaya tertentu.
d. Terdapat kelompok inti diantara kelompok pertengahan yang mengakar dalam
masyarakat
yang
menggerakan
masyarakat
dan
melakukan
modernisasi sosial ekonomi. 7.
Kim Sunhyuk, juga dengan latar belakang Korea Selatan-nya, mendefinisikan civil society sebagai satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik guna menyatakan kepedulian mereka menurut prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
8.
AS Hikam (1999) dengan konteks Indonesia menambahkan bahwa civil society secara transisional dapat diartikan sebagai pengelompokkan dari anggotaanggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai segala hal yang berkaitan
dengan
masalah
kemasyarakatan
pada
umumnya.
Termasuk
didalamnya adalah jaringan-jaringan, pengelompokkan-pengelompokkan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga, organisasi-organisasi sukarela (termasuk parpol), sampai dengan organisasi-organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh negara, tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara negara di satu pihak dan individu dan masyarakat di pihak lain. Namun demikian civil society harus dibedakan dengan suku, klan, atau jaringan\klientelisme, karena variabel yang utama
didalamnya adalah sifat
otonomi (kemandirian), public dan civic. Hal ini menyiratkan keharusan adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingankepentingan di depan umum. 9.
World Bank, civil society adalah arena tempat orang saling bertemu untuk memenuhi kepentingan bersama, yang mencakup segala organisasi dan perkumpulan yang berada diantara keluarga dan negara kecuali perusahaan.
10.
Joh A. Hall (1995), memaknai civil society adalah sebuah semangat untuk menentang despotisme, berupa ruang yang dapat menjamin kebebasan eksistensi dan gerak kelompok sosial. Civil society adalah juga keseimbangan kompleks antara konflik dan konsensus, yang berarti juga membutuhkan minimum konsensus untuk terbentuknya eksistensi masyarakat.
27
11.
Ernest Gellner (1995), civil society adalah kumpulan dari beragam institusi non pemerintah yang cukup mampu mengimbangi negara dan menjaga diri dari didominasi, tanpa mengganggu peran negara dalam menjaga kedamaian dan menengahi konflik.
12.
AS Hikam (1999): “Sebagai sebuah ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap dari dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Didalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat. Civil society menolak doktrin negara sebagai suatu telos politik tertinggi. Civil society termasuk ruang publik yang bebas, organisasi sosial sukarela, korporasi ekonomi, dan sistem peradilan yang kuat�.
Dengan ide dasar yang setara dengan ide dasar perencanan, yaitu pencapaian harkat dan martabat manusia, maka tak lagi diragukan bahwa inilah argumentasi bahwa civil society dapat dijadikan sebagai basis perencanaan. !" Civil society tidak apriori harus dipertentangkan dengan negara. !" Salah satu strategi utama dalam pencapaian ide dasar civil society adalah penciptaan ruang publik (public sphere) sebagai moda terjadinya transaksi 9
sosial . Hal ini dibahasakan berbeda oleh masing-masing pemakna, misalnya: o
Thomas
Paine
(1737-1805):
ruang
dimana
warga
dapat
mengembangkan kepribadian. o
G.W.F Hegel (1770-1881) dan Marx (1818-1883)
lokasi bagi
pemenuhan kepentingan-kepentingan individu dan kelompok. o
Han Sung-Joo: suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik.
o
World Bank: arena tempat orang saling bertemu untuk memenuhi kepentingan bersama.
o
Joh A. Hall (1995): ruang yang dapat menjamin kebebasan eksistensi dan gerak kelompok sosial.
2.2.2
Forum Warga sebagai Ruang Publik dalam Civil Society
Dari penelusuran diatas, nampak bahwa hanya terdapat perbedaan semantik saja antara perspektif sosial learning dan perspektif civil society. Dalam perspektif pertama, Forum Warga lebih cocok dipandang sebagai manifestasi ruang transaksi sosial,
9 Perlu dirujuk kembali tabel kesimpulan posisi masyarakat dalam tradisi perencanaan yaitu pada bagian pembelajaran sosial. Disitu disebutkan bahwa tradisi ini mencari sebuah ruang transaksi sosial yang tepat.
28
sementara dalam perspektif kedua dipandang sebagai ruang publik. Kita tidak perlu memperdebatkan perbedaan semantik ini. Kemudian dari penelusuran kedua ini, kita temukan beberapa karakter tambahan yang saling menguatkan dengan karakter pertama, yaitu: 1.
Adanya sifat independen atau otonom.
2.
Adanya inklusifitas ruang publik.
3.
Adanya kesempatan dan hak untuk mengartikulasikan isu-isu publik.
4.
Adanya ruang pengembangan kepribadian atau karakter.
Dalam uraian sebelumnya kita telah menemukan peran dan karakter yang menjadi patokan bagi Forum Warga. Dalam bagian berikutnya akan dibahas kemampuankemampuan yang perlu dimiliki Forum Warga.
2.3
Kemampuan yang Perlu Dimiliki Forum Warga: Perspektif Komunitas dan Organisasi non Pemerintah (NGO) Untuk menyusun konsep dasar kapasitas Forum Warga, terlebih dahulu perlu
ditentukan kemampuan-kemampuan yang dimiliki Forum Warga. Salah satu cara yang dapat
digunakan
untuk
menentukan
kemampuan-kemampuan
tersebut
adalah
menggunakan perspektif komunitas dan organisasi non pemerintah, dalam memandang Forum Warga. Alasan yang dapat dikemukakan sehingga konsep NGO dan komunitas 10
dapat dipilih sebagai perspektif adalah : 1. Secara normatif keduanya mempunyai tujuan yang sama dalam hal “…kendaraan menuju demokratisasi dan komponen esensial dalam membangun civil society” (Hulme, 1996: 2). 2. Posisi identik Forum Warga dengan NGO yaitu “…sebagai kendaraan yang tepat dalam meningkatkan partisipasi, perlindungan HAM, penguatan perencanaan lokal, dan agen demokratisasi” (Biggs dan Neame, 1996: 41). 3. NGO adalah organisasi non profit (Fowler, 1996: 169), sama dengan Forum Warga. 4. Organisasi lokal adalah representasi dari komunitas, mereka tidak sama tetapi dihubungkan oleh identitas dan kepentingan yang sama (Pratten).
Setelah syahnya perspektif komunitas dan NGO digunakan untuk menentukan kemampuan-kemampuan yang perlu dimiliki Forum Warga, maka berikut ini adalah beberapa kemampuan tersebut:
10 Ini lebih tepat dikatakan sebagai ‘penghampiran’ konsep kapasitas Forum Warga oleh konsep kapasitas NGO dan komunitas. Semangat penghampiran ini syah karena harapan yang sama pernah disematkan kepada NGO sebagaimana kepada Forum Warga saat ini. Tetapi juga tidak menutupi keterbatasannya bahwa NGO dan Forum Warga berbeda dalam hal Forum Warga bertendensi untuk berbasis komunitas, dan NGO seringkali disebut juga sebagai Private Voluntary Organization (PVO).
29
1. Kemampuan untuk bertindak kolektif menghadapi persoalannya (Coleman, 1995: 556). 2. Kemampuan untuk mengorganisir dirinya untuk memenuhi kebutuhan bersama dan mengatasi persoalan bersama (World Bank). 3. Kemampuan untuk menjaga independensi organisasi, kedekatan kepada masyarakat miskin, struktur yang representatif, dan kesediaan untuk meluangkan waktu dalam berdialog dan berkonsensus (Hulme). 4. Kemampuan
untuk
memobilisasi
dukungan
dan
legitimasi
dari
jangkauan
stakeholders secara luas (Von Pischke). 5. Kemampuan untuk melibatkan individu dengan pemahaman yang mendalam mengenai aliansi yang bisa dibuat dan konteks persoalan yang dihadapi (Biggs). 6. Kemampuan untuk memberikan kualitas pelayanan dalam arti mempersempit gap antara ekspektasi dan persepsi antar stakeholders (Fowler).
Adapun kemampuan lainnya adalah (Firman: 2001): 7. Kemampuan
untuk
mendampingi
masyarakat
dalam
memecahkan masalah
perkotaan. 8. Kemampuan mendampingi masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai masyarakat kota. 9. Kemampuan melakukan advokasi dan mediasi dalam konflik antara warga dan pemerintah daerah atau antar kelompok masyarakat. 10. Kemampuan
memfasilitasi
penggalangan
sumber
daya
untuk
kepentingan
masyarakat.
Setelah menentukan kemampuan-kemampuan yang perlu dimiliki Forum Warga, maka berikutnya adalah penyusunan konsep dasar kapasitas Forum Warga.
2.4.
Konsep Dasar Kapasitas Forum Warga dan Asumsi yang Mendasarinya Berdasarkan pada pembahasan Forum Warga melalui perspektif perencanaan dan
civil society, dapat diberikan kesimpulan teoretis tentang Forum Warga yaitu: 1. Forum Warga adalah organisasi yang berperan dalam kebijakan publik. 2. Forum Warga adalah organisasi yang berbeda dengan pemeran lainnya dalam kebijakan publik. Forum Warga berbeda dengan pemeran kebijakan publik yang berada dalam domain pemerintah maupun yang berasal dari masyarakat sendiri.
Perbedaan Forum Warga dengan pemeran kebijakan publik lainnya secara teoretis terletak pada karakter yang dimilikinya. Karakter-karakter yang dimaksud adalah karakter yang telah diuraikan dalam perspektif perencanaan dan civil society.
30
Sebagai organisasi pemeran kebijakan publik, Forum Warga akan efektif berperan bila ia memiliki legitimasi. Adapun legitimasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengakuan publik karena : Adanya basis legal yang mendasarinya (Pratten; Baldo; 1996: 138); dan adanya preseden peran dan kontribusi terhadap penyelesaian persoalan publik (Pratten; Baldo; 1996: 143). Lebih lanjut Baldo dan Pratten menjelaskan strategi peraihan legitimasi melalui: 1. Pembangunan basis legal 2. Pencapaian peran dan kontribusi terhadap penyelesaian persoalan publik: a. Secara internal: Mewujudkan konstituen secara efektif melalui kedekatan kepada
masyarakat
miskin
dan
peraihan
dukungan
populer;
dan
memperbanyak pelayanan kepada masyarakat. b. Secara eksternal: Membangun relasi dengan pemerintah; dan membangun relasi dengan swasta.
Kemudian dari sisi praktis, ada beberapa fakta awal tentang Forum Warga di Indonesia: 1.
Forum Warga tidak memiliki basis legal
2.
Forum Warga tidak mempunyai preseden peran dan kontribusi terhadap penyelesaian persoalan publik. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa Forum Warga adalah pendekatan baru dalam perencanaan.
Berdasarkan fakta awal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Forum Warga di Indonesia tidak legitimate. Kenyataan ini kontradiktif dengan teori tentang legitimasi yang harus dimiliki organisasi pemeran kebijakan publik. Kontradiksi ini menjadi kondisi awal penelitian tentang kapasitas Forum Warga. Kondisi awal ini mempunyai hubungan dengan konsep kapasitas yang harus dimiliki Forum Warga. Adapun hubungannya adalah bahwa kapasitas yang dimiliki oleh Forum Warga harus terdiri dari kemampuan dasar yang mengarahkannya pada peraihan legitimasi sebagai organisasi pemeran kebijakan publik; dan sekaligus menunjukkan ciriciri sebagai pemeran yang berbeda dengan pemeran lain yang telah ada. Hubungan ini menjadi dasar dalam memilih kerangka konseptual kapasitas untuk Forum Warga. Kerangka konseptual yang tepat untuk digunakan adalah kerangka konseptual 11
kapasitas yang dikemukakan Fowler (Fowler, 1992: 179) . Fowler mengusulkan konsep dasar kapasitas, sebagai gabungan dari tiga aspek kemampuan, yaitu: 1. Kemampuan untuk mengidentifikasi, menginisiasi dan memelihara suatu identitas, sistem nilai, dan misi.
11 Konsep dasar kapasitas dari Fowler ini dimaksudkan untuk NGO. Dengan argumentasi yang sama dengan pemilihan perspektif pada pembahasan sebelumnya, maka penggunaan konsep dasar ini kembali sahih.
31
2. Kemampuan untuk membangun relasi, me-manage interaksi eksternal dengan tetap mempertahankan otonominya. 3. Kemampuan untuk melakukan sesuatu untuk kepuasan stakeholders.
Dengan kerangka konseptual diatas dan pembahasan sebelumnya, konsep dasar kapasitas yang diajukan dalam penelitian ini adalah sbb: a. Kapasitas Forum Warga adalah kemampuan-kemampuan dasar yang harus dikembangkan oleh Forum Warga agar ia dapat secara efektif menjadi organisasi yang berperan dalam kebijakan publik melalui proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya konsensus, sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. b. Terdapat tiga aspek kemampuan dasar yang menentukan kapasitas Forum Warga, yaitu: 4. Kemampuan untuk membangun karakter, yaitu kemampuan untuk menginisiasi dan memelihara identitas Forum Warga sebagai pemeran dalam kebijakan publik melalui proses pengembangan konsensus sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Adapun karakter yang harus dibangun adalah adalah: a. Relasi non-hirarkis b. Komitmen sosial c.
Pembelajaran bersama
d. Keterbukaan e. Dialogis dan membangun konsensus f.
Independensi
g. Pluralitas 5. Kemampuan untuk membangun relasi dengan stakeholders. Maksudnya adalah kemampuan untuk melibatkan stakeholders dalam proses pengembangan konsensus sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Adapun relasi yang harus dibangun adalah: a. Relasi fungsional dan politis dengan stakeholders internal b. Relasi fungsional dan politis dengan stakeholders eksternal 6. Kemampuan untuk meraih capaian. Maksudnya adalah kemampuan untuk melakukan tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Adapun capaian dalam yang harus diraih adalah: a. Pendampingan masyarakat dalam memecahkan masalah pembangunan b. Pendampingan masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya dalam pembangunan c.
Advokasi konflik antara masyarakat dengan pemerintah, dan mediasi konflik antar kelompok masyarakat
d. Fasilitasi penggalangan sumber daya untuk kepentingan masyarakat
32
2.5
Urgensi Identifikasi dan Kerangka Identifikasi Kapasitas Forum Warga
2.5.1
Urgensi Identifikasi Kapasitas Forum Warga
Terdapat beberapa alasan untuk melakukan identifikasi kapasitas Forum Warga. Pada bab 1 telah disinggung bahwa harapan berlebihan terhadap peran Forum Warga akan menimbulkan kekecewaan yang lebih besar pada masyarakat. Persoalan ini akan terantisipasi jika kita memahami kapasitas yang dimiliki Forum Warga. Disisi lain, pengetahuan yang cukup tentang kapasitas Forum Warga dapat menjadi jawaban bagi kekhawatiran
tentang
ketidaksiapan
masyarakat
untuk
berpartisipasi
dalam
perencanaan. Kemudian beberapa pakar organisasi dan pakar perencanaan telah melakukan awareness raising tentang perlunya memperhatikan efisiensi dan keefektifan pendekatan ini. Tabel berikut ini merangkum argumentasi pakar tentang perlunya pemahaman terhadap kapasitas Forum Warga tersebut. TABEL II.2 ARGUMENTASI YANG RELEVAN UNTUK IDENTIFIKASI KAPASITAS FORUM WARGA Nama Pakar Edwards dan Hulme (1996) dalam Beyond the Magic Bullet: NGO Performance and Accountability in the Post Cold War World Tommy Firman (2001) dalam Forum Masyarakat sebagai Basis Pembangunan Kota Campbell, P. (1990) dalam Strengthening Organization: NGO Mangement
2.5.2
Konteks Tulisan Buku ini menyajikan berbagai kasus evaluasi terhadap kinerja NGO di negara-negara Utara dan Selatan. Diawali asumsi bahwa NGO mempunyai peranan semakin besar dalam era baru ini. Tulisan ini menjelaskan demokratisasi pembangunan kota yang manifes dalam (antara lain) Forum Warga.
Pendapatnya dikutip oleh Fowler untuk menjelaskan kesulitan dan dilema mengevaluasi NGO dan jalan keluar untuk itu.
Argumentasi yang Relevan -Menjadi tergantung kepada pemerintah. -Terkooptasi agenda NGO lain yang besar. -Mengalami erosi dalam independensi sosial. -Pragmatisme. -Representasi. -Sustainability. -Ketergantungan kepada komunitas eksternal. -Pengukurannya dilakukan karena kekhawatiran bahwa kapasitas organisasinya tidak mencukupi terhadap peranannya yang semakin meluas.
Kerangka Identifikasi Forum Warga
Kerangka identifikasi diturunkan dari konsep dasar kapasitas Forum Warga. Kerangka identifikasi adalah sebuah lingkar batas yang tidak kaku tetapi cukup tegas untuk membedakan antara ruang lingkup penelitian dengan hal lain diluar penelitian. Kerangka identifikasi disusun dalam struktur yang terdiri dari aspek kapasitas dan pertanyaan kunci untuk tiap aspek. Pertanyaan kunci adalah bahan untuk menentukan substansi informasi yang harus diperoleh di lapangan. Kerangka identifikasi kapasitas Forum Warga disajikan dalam Tabel II.3.
26
TABEL II.3 KERANGKA IDENTIFIKASI KAPASITAS FORUM WARGA
Kemampuan untuk membangun karakter ruang transaksi sosial
Kemampuan Dasar Relasi non-hirarkis Komitmen sosial Pembelajaran bersama Keterbukaan Dialogis dan membangun konsensus Independensi Pluralitas
Kemampuan untuk membangun relasi dengan stakeholders lain dalam perencanaan Kemampuan untuk meraih capaian dalam pembangunan
Relasi fungsional dan stakeholders internal
politis
dengan
Relasi fungsional dan stakeholders eksternal
politis
dengan
Pendampingan masyarakat dalam memecahkan masalah pembangunan
Pendampingan memperjuangkan pembangunan
masyarakat hak-haknya
dalam dalam
Advokasi konflik antara masyarakat dengan pemerintah, dan mediasi konflik antar kelompok masyarakat Faslitasi penggalangan sumber daya untuk kepentingan masyarakat
Pertanyaan Kunci “Bagaimana pola hubungan antar partisipan? Apakah kontribusi ditentukan berdasarkan struktur atau fungsi?” “Bagaimana konsistensi keterlibatan dan pelaksanaan kesepakatan?” “Bagaimana proses alih pengetahuan, gagasan, dan ketrampilan terjadi?” “Bagaimana arus informasi antar partisipan dan antara Forum Warga dengan masyarakat luas?” “Bagaimana informasi dan gagasan disampaikan, serta keputusan dibuat?” “Bagaimana peran pihak luar dalam : penggalian informasi dan gagasan, perolehan ketrampilan, perluasan jaringan, dan pengambilan keputusan?” “Bagaimana keragaman partisipan dan tingkat representasi Forum Warga terhadap stakeholders?” “Apakah stakeholders internal terlibat dalam proses perencanaan partisipatif?” “Apakah stakeholders internal mendukung perkembangan Forum Warga?” “Bagaimana keterlibatan dan dukungan ini dilakukan?” “Apakah stakeholders eksternal terlibat dalam proses perencanaan partisipatif?” “Apakah stakeholders eksternal mendukung perkembangan Forum Warga?” “Bagaimana keterlibatan dan dukungan ini dilakukan?” “Adakah tindak kolektif pemecahan masalah pembangunan yang diawali konsensus dalam Forum Warga?” “Mengapa dan bagaimana tindak kolektif itu terjadi?” “Apa progress yang dicapai dan persoalan yang ditimbulkan oleh tindak kolektif ini?” “Adakah tindak kolektif peraihan hak-hak masyarakat dalam pembangunan yang diawali konsensus dalam Forum Warga?” “Mengapa dan bagaimana tindak kolektif itu terjadi?” “Apa progress yang dicapai dan persoalan yang ditimbulkan oleh tindak kolektif ini?” “Adakah konsensus dan tindak kolektif sebagai upaya resolusi konflik?” “Mengapa dan bagaimana konsensus dan tindak kolektif ini terjadi?” “Apa progress yang dicapai dan persoalan yang ditimbulkan oleh tindak kolektif ini?” “Adakah penggalangan sumber daya yang difasilitasi Forum Warga?” “Mengapa dan bagaimana penggalangan ini terjadi?” “Apa progress yang dicapai dan persoalan yang ditimbulkan oleh penggalangan ini?”
27
2.6
Metoda Pengumpulan Data, Penentuan Sampel, dan Metoda Analisis
2.6.1
Metoda Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel
METODA PENGUMPULAN DATA TERKAIT DENGAN PENENTUAN SAMPEL. KEDUA HAL INI MEMPUNYAI PERBEDAAN JIKA DITERAPKAN DALAM PENELITIAN PENELITIAN
KUALITATIF
DAN
KUANTITATIF.
MENGINGAT
PENELITIAN
INI
DILAKUKAN SECARA KUALITATIF, MAKA PEMBAHASAN DALAM BAGIAN INI AKAN LEBIH MENITIKBERATKAN PADA METODA KUALITATIF.
2.6.1.1 Metoda pengumpulan data Dari segi cara perolehannya, data terbagi dalam dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak ketiga. Dalam pengumpulan data primer si peneliti berinteraksi langsung dengan sumber informasi sedangkan dalam pengumpulan data sekunder si peneliti tidak berinteraksi langsung. Metoda kualitatif terdiri dari 3 jenis pengumpulan data, dengan masing-masing jenis datanya adalah (Patton, 1990): 1. Wawancara:
datanya
terdiri
dari
kutipan
langsung
responden
tentang
pengalaman mereka, opini, perasaan, dan pengetahuannya. 2. Pengamatan: datanya terdiri dari deskripsi detail aktivitas responden, perilaku, tindakan, dan interaksi personal serta proses organisasi dalam arti seluasluasnya, yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat diamati. 3. Dokumen: datanya terdiri dari kutipan, nukilan buku, atau tulisan sepenuhnya dari rekaman organisasi, klinik, atau program, berupa memorandum dan koresponden, terbitan resmi dan laporan, catatan harian personal, dan jawaban terhadap survey dan kuesioner.
Data kualitatif biasanya dihasilkan dari kerja lapangan. Selama di lapangan si peneliti menghabiskan waktu dalam setting studinya, bisa berupa program, organisasi, komunitas, atau situasi apapun yang dibutuhkan. Si peneliti membuat pengamatan langsung terhadap aktivitas dan interaksi yang terjadi, bahkan kadangkala terlibat secara personal dalam aktivitas tersebut sebagai pengamat partisipan. Contohnya, si evaluator mungkin akan berpartisipasi dalam semua atau sebagian program yang distudinya, berpartisipasi sebagai peserta program reguler, client atau bahkan siswa. Si peneliti kualitatif akan bertanya kepada anggota program tentang pengalaman dan persepsinya. Disamping itu, wawancara yang formal mungkin beberapa kali akan dilakukan. Beberapa dokumen yang relevan akan dikaji. Catatan lapangan yang ekstensif akan disusun selama pengamatan, wawancara, dan review dokumen ini. Setumpuk data mentah mungkin akan diklasifikasi berdasarkan temanya, melalui proses analisis isi. Akhirnya
28
dengan sekian aktivitas penelitian kualitatif ini, akan dihasilkan buah penelitian berupa temuan, pemahaman, dan wawasan terhadap persoalan. Temuan kualitatif mungkin akan disajikan secara manunggal atau terkombinasi dengan data kuantitatif. Perkembangan mutakhir dari profesi evaluasi telah mengarah kepada penggunaan metoda berganda, termasuk didalamnya kombinasi dari data kualitatif dan kuantitatif. Kehandalan dan kelayakan sebuah data kualitatif tergantung kepada keluasan penguasan metodologi, kesensitifan, dan integritas si peneliti. Pengamatan yang sistematik dan setepat-tepatnya membutuhkan lebih dari sekedar hadir di lokasi dan mengamati sekeliling. Wawancara yang penuh skill tidak sekedar berupa menanyakan sederet pertanyaan. Dan analisis isi membutuhkan lebih dari sekedar membaca apa yang tercatat. Menghadirkan/menumbuhkan temuan kualitatif yang handal dan terpercaya, melalui pengamatan, wawancara, dan analisis isi, membutuhkan disiplin, pengetahuan, latihan, praktik, kreativitas, dan kerja keras.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan adalah terdiri dari kutipan, tulisan sepenuhnya dari rekaman program Forum Warga, terbitan resmi dan laporan, dan jawaban terhadap survey. Data sekunder ini diperoleh melalui pengumpulan dokumen tertulis. Data primer yang dikumpulkan adalah terdiri dari foto hasil observasi, rekaman aktivitas FMMS, perilaku, tindakan, dan interaksi serta proses FMMS dalam merencanakan dan mengimplementasikan tindakan resolusi terhadap persoalan perkotaan Majalaya. Data primer ini diperoleh melalui pengamatan langsung.
2.6.1.2 Metoda Penentuan Sampel Para peneliti kualitatif dan kuantitatif mengadakan pendekatan yang berbeda dalam melakukan sampling. Hampir semua diskusi mengenai sampling datang dari para peneliti yang menggunakan bentuk kuantitatif. Tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan sebuah sampel yang representatif, atau sekumpulan kecil kasus-kasus atau unit-unit dari kumpulan atau populasi yang lebih besar, dimana peneliti dapat menstudi kelompok yang lebih kecil dan menghasilkan generalisasi-generalisasi akurat mengenai kelompok yang lebih besar. Para peneliti fokus pada teknik-teknik spesifik yang akan memberikan tingkat representasi yang tinggi dari sampel-sampel. Para peneliti kuantitatif cenderung untuk menggunakan sebuah model sampling berdasarkan atas teori-teori probabilitas dari matematika, yang disebut probability sampling. Para peneliti kualitatif kurang fokus pada tingkat representasi dari sebuah sampel atau pada teknik-teknik detail untuk menggambarkan sebuah probabilitas sampel. Mereka fokus pada bagaimana sampel atau sekumpulan kecil dari kasus-kasus, unit-unit,
29
atau aktivitas-aktivitas menjelaskan kehidupan sosial. Tujuan utama dari sampling adalah untuk mengumpulkan kasus-kasus, kejadian-kejadian, atau tindakan-tindakan spesifik yang dapat menjelaskan dan memberikan pemahaman mendalam. Perhatian para peneliti kualitatif adalah menemukan kasus-kasus yang akan mempertinggi apa yang para peneliti lain pelajari mengenai proses-proses kehidupan sosial dalam sebuah konteks yang spesifik. Untuk alasan ini, para peneliti kualitatif cenderung untuk mengumpulkan sebuah model kedua dari sampling, yaitu nonprobability sampling.
Nonprobability Sampling Para peneliti kualitatif jarang menggambarkan sebuah sampel yang representatif dari sejumlah besar kasus-kasus untuk secara intensif menstudi kasus-kasus yang disampel dalam penelitian kuantitatif. Bagi para peneliti kualitatif, “relevansi dengan topik penelitian� lah yang menentukan orang-orang yang dipilih untuk distudi daripada tingkat representasi dari orang-orang tersebut� (Flick, 1998: 41). Para peneliti kualitatif cenderung untuk menggunakan sampel-sampel non probabilitas atau non random. Hal ini berarti
mereka
jarang
menentukan
ukuran
sample
sebelumnya
dan
memiliki
pengetahuan yang terbatas mengenai kelompok atau populasi yang lebih besar dimana sampel tersebut diambil. Variasi dari teknik-teknik sampling nonprobabilitas adalah sebagai berikut : a) Haphazard Sampling Ketika seorang peneliti secara serampangan memilih kasus-kasus yang sesuai, dia dapat dengan mudah mendapatkan sebuah sampel yang sungguh-sungguh tidak mewakili populasinya. Sampel seperti ini murah dan cepat; bagaimanapun, kesalahankesalahan sistematis yang dengan mudah terjadi, sampel ini tetap lebih baik daripada tidak ada sampel sama sekali. b) Quota Sampling Quota sampling adalah sebuah perbaikan terhadap haphazard sampling. Dalam quota sampling, seorang peneliti pertama kali mengidentifikasi kategori-kategori yang relevan dari masyarakat, kemudian memutuskan berapa banyak yang ingin diperoleh dalam setiap kategori, sehingga jumlah orang dalam berbagai kategori dari sampel tersebut dapat ditetapkan. c) Purposive or Judgmental Sampling Purposive sampling adalah bentuk sampling yang dapat diterima untuk situasi-situasi khusus. Metoda ini menggunakan penilaian dari seorang pakar dalam memilih kasuskasus atau metoda tersebut memilih kasus-kasus dengan sebuah tujuan spesifik dalam pikiran. Dengan purposive sampling, peneliti tidak pernah tahu apakah kasus-kasus yang dipilih merepresentasikan populasinya. Metoda ini digunakan dalam penelitian yang berhubungan dengan penyelidikan untuk suatu penemuan atau dalam penelitian lapangan.
30
Purposive sampling tepat digunakan dalam tiga situasi. Pertama, seorang peneliti menggunakannya untuk memilih kasus-kasus unik yang secara khusus bersifat informatif. Kedua, seorang peneliti dapat menggunakan purposive sampling untuk memilih anggota-anggota yang ‘sulit untuk dicapai’, sebuah populasi khusus. Ketiga, purposive sampling dapat digunakan ketika seorang peneliti ingin mengidentifikasi bentuk-bentuk khusus dari kasus-kasus untuk penelitian secara mendalam. Tujuannya untuk memperoleh pemahaman mendalam dari bentuk-bentuk tersebut, dan tidak terlalu bertujuan untuk mendapatkan generalisasi dari sebuah populasi yang lebih besar. d) Snowball Sampling Snowball sampling adalah sebuah metoda untuk mengidentifikasi dan memilih kasus-kasus dalam sebuah jaringan kerja. Metoda ini berdasarkan pada sebuah analogi terhadap sebuah bola salju, yang awalnya kecil tetapi menjadi semakin besar ketika digulirkan di atas salju basah dan mengambil salju tambahan. Snowball sampling adalah sebuah teknik dengan banyak tahapan. Metoda ini dimulai dengan satu atau beberapa orang atau kasus dan menyebar berdasarkan atas hubungan-hubungan yang dimiliki oleh kasus-kasus awal. e) Deviant Case Sampling Seorang peneliti menggunakan deviant case sampling ketika dia mencari kasuskasus yang berbeda dari pola dominan atau berbeda dari karakteristik yang awalnya dominan pada kasus-kasus lainnya. Sama dengan purposive sampling, seorang peneliti menggunakan berbagai teknik untuk menempatkan kasus-kasus dengan karakteristik yang spesifik. Deviant case sampling berbeda dari purposive sampling dalam tujuannya yang ingin menempatkan sekumpulan kasus-kasus yang tidak biasa, berbeda, atau ganjil yang bukan representasi dari keseluruhannya. Kasus-kasus menyimpang dipilih karena tidak biasa, dan seorang peneliti berharap untuk lebih mempelajari tentang kehidupan sosial dengan mempertimbangkan kasus-kasus yang jatuh diluar pola umum atau mencakup apa yang ada di luar alur utama dari kejadian-kejadian. f)
Sequential Sampling
Sequential sampling sama dengan purposive sampling dengan satu perbedaan. Dalam purposive sampling, peneliti mencoba untuk menemukan sebanyak mungkin kasus yang relevan, sampai waktu, sumber daya finansial, atau energinya habis. Prinsipnya adalah mendapatkan setiap kasus yang mungkin. Dalam sequential sampling, seorang peneliti terus mengumpulkan kasus-kasus sampai jumlah dari informasi baru atau keragaman kasus-kasus dapat dipenuhi. Prinsipnya adalah mengumpulkan kasuskasus sampai mencapai sebuah titik jenuh. Dalam metoda ini, seorang peneliti harus mengevaluasi secara kontinyu kasus-kasus yang telah dikumpulkan. g) Theoretical Sampling Dalam theoretical sampling, apa yang disampling oleh peneliti dipilih dengan hatihati,
sebagaimana
peneliti
mengembangkan
teori
mendasar.
Kepentingan
31
pengembangan teoritis mengarahkan pemilihan kasus-kasus sampel. Peneliti memilih kasus-kasus berdasarkan atas wawasan-wawasan baru yang dapat diberikannya. Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini, lebih tepat bila digunakan purposive sampling. Dengan metoda ini, penelitia memilih kasus-kasus dengan sebuah tujuan spesifik dalam pikiran. Dalam hal ini adalah agar kasus-kasus tersebut dapat menjelaskan berbagai aspek kapasitas yang telah ditentukan diawal. Dengan purposive sampling berarti penelitian ini tidak mempermasalahkan apakah kasus-kasus yang dipilih merepresentasikan populasinya. Adapun sampel yang menjadi sumber informasi penelitian ini adalah partisipan FMMS.
2.6.2
Metoda Analisis
2.6.2.1 Perbedaaan Analisis Kuantitatif dengan Kualitatif Terdapat perbedaan antara analisis kualitatif dengan analisis kuantitatif, yaitu: 1. Para peneliti kuantitatif memilih dari sekumpulan teknik analisis data yang memiliki spesialisasi dan standarisasi. Analisis kuantitatif dikembangkan dan dibangun terutama berdasarkan pada aplikasi matematis. Sebaliknya, analisis kualitatif kurang memiliki standarisasi. Berbagai kemungkinan pendekatan terhadap penelitian kualitatif terkait oleh banyaknya pendekatan terhadap analisis data. (Patton, 1990: 418). 2. Para
peneliti
kuantitatif
tidak
memulai
analisis
data
sampai
mereka
mengumpulkan semua data yang dibutuhkan dan menyederhanakannya ke dalam angka-angka. Mereka kemudian memanipulasi angka-angka tersebut untuk melihat pola-pola atau hubungan-hubungan. Para peneliti kualitatif dapat melihat pola-pola atau hubungan-hubungan, tetapi mereka memulai analisis sejak
awal
dalam
suatu
proyek
penelitian,
sementara
mereka
masih
mengumpulkan data. Hasil-hasil analisis data awal menjadi pedoman bagi pengumpulan data berikutnya. (Patton, 1990: 419). 3. Para peneliti kuantitatif memanipulasi angka-angka yang merepresentasikan fakta-fakta empirik untuk menguji sebuah hipotesis abstrak dengan konsepsikonsepsi variabel. Sebaliknya, para peneliti kualitatif menciptakan teori dan konsep-konsep baru dengan memadukan fakta empirik dan konsep-konsep abstrak secara bersama. Alih-alih menguji sebuah hipotesis, seorang analis kualitatif malah memberikan ilustrasi atau warna dalam fakta yang menunjukkan bahwa sebuah teori, generalisasi, atau interpretasi itu masuk akal. (Patton, 1990: 419).
Dalam semua analisis data, seorang peneliti menempatkan data mentah ke dalam kategori-kategori yang dia manipulasi untuk mengidentifikasi pola-pola dan sampai pada generalisasi-generalisasi. Dalam analisis kuantitatif, proses ini ditampilkan dalam bentuk
32
statistik, hipotesis, dan variabel-variabel. Para peneliti kuantitatif menggunakan bahasa simbolik
dari hubungan-hubungan statistik
antar
variabel untuk
mendiskusikan
hubungan-hubungan sebab akibat. Mereka menganggap bahwa kehidupan sosial dapat diukur dengan menggunakan angka-angka. Ketika mereka memanipulasi angka-angka berdasarkan hukum-hukum statistik, angka-angka yang muncul dapat menggambarkan kehidupan sosial. Sebaliknya, analisis kualitatif
tidak menggambarkan data mentah
dalam pengetahuan formal yang diperoleh dari matematika dan statistik. Data yang ada berbentuk kata-kata yang relatif tidak pasti, bersifat luas, berbasis konteks, dan dapat memiliki lebih dari satu makna. (Patton, 1990: 419).
2.6.2.2 Metoda Analisis Kualitatif Pada bagian ini, akan dibahas 8 (delapan) metoda terpilih dari semua metoda yang mungkin, yaitu: aproksimasi penaksiran berangkai (successive approximation), metoda ilustratif (the illustrative method), perbandingan analitik (analytic comparison), analisis domain (domain analysis), model-model ideal (ideal types), dan analisis struktur kejadian (event structure analysis). Pembahasan ini disarikan dari N. Lawrence Neumann (1999) dalam Social Research Methods : Qualitative and Quantitaitve Approaches. Secara umum, analisis data berarti suatu pencarian pola-pola dalam data, perilakuperilaku berulang, obyek-obyek, atau sebuah pokok pengetahuan. Begitu sebuah pola dapat diidentifikasi, pola tersebut diinterpretasi dalam konteks suatu teori sosial atau kondisi/latar belakang dimana pola tersebut terjadi. Peneliti kualitatif melangkah dari deskripsi historis suatu kondisi sosial atau kejadian menuju kepada interpretasi yang lebih umum dari makna-makna yang ada pada kondisi sosial atau kejadian tersebut. Analisis
data
melibatkan
pengujian,
penyortiran,
kategorisasi,
evaluasi,
perbandingan, mempersatukan, dan perenungan data yang tersimbolisasi sebagaimana memeriksa data mentah dan data hasil rekaman.
1. Penaksiran Berangkai (Successive Approximation) Metoda ini melibatkan iterasi berulang atau tahap-tahap bersiklus menuju kepada sebuah analisis akhir. Setelah melalui beberapa iterasi, seorang peneliti melangkah dari gagasan-gagasan samar dan detail-detail nyata dalam data menuju kepada suatu analisis komprehensif dengan generalisasi. 2. Metoda Ilustratif (The Illustrative Method) Metoda analsis ini menggunakan fakta-fakta empirik untuk mengilustrasikan atau menjaring sebuah teori. Dengan metoda ini, seorang peneliti mengaplikasikan teori kepada sebuah situasi historis atau kondisi sosial yang nyata, atau mengorganisasi data berdasarkan pada teori utama. Teori awal menyediakan ‘kotak kosong’. Peneliti mengamati apakah fakta-fakta dapat dikumpulkan untuk mengisi ‘kotak’ tersebut. Faktafakta
dalam
‘kotak’
mengkonfirmasi
atau
menolak
teori
itu,
dimana
peneliti
33
menggunakannya sebagai alat untuk menginterpretasikan dunia sosial. Teori tersebut dapat berbentuk sebuah model umum, sebuah analogi, atau serangkaian tahap yang berkelanjutan. 3. Perbandingan Analitik (Analytic Comparison) John Stuart Mill (1806-1873) – filosof dan pemikir sosial Inggris – mengembangkan metoda logis untuk melakukan perbandingan yang masih digunakan sampai hari ini. Perbedaannya dengan metoda ilustratif, seorang peneliti tidak memulai dengan keseluruhan model yang terdiri dari ‘kotak-kotak kosong’ untuk diisi dengan detail-detail. Alih-alih melakukan itu, seorang peneliti mengembangkan gagasan-gagasan mengenai keteraturan atau relasi-relasi berpola dari induksi atau teori-teori awal yang sudah ada. Peneliti kemudian fokus pada beberapa keteraturan dan membuat perbandinganperbandingan dengan penjelasan-penjelasan alternatif, kemudian mencari keteraturan yang tidak dibatasi oleh kondisi (setting) spesifik (waktu, tempat, kelompok, dan lain-lain). Peneliti tersebut tidak mencari hukum-hukum universal, hanya keteraturan-keteraturan dalam sebuah konteks sosial. 4. Metoda Kesepakatan (Method of Agreement) Metoda ini menfokuskan perhatian peneliti pada apa yang persamaan di antara kasus-kasus. Peneliti menetapkan bahwa kasus-kasus memiliki sebuah persamaan output, kemudian mencoba untuk menempatkan sebuah penyebab bersama, walaupun sisi-sisi lain dari kasus-kasus tersebut mungkin berbeda. Metoda ini dijalankan dengan suatu proses eliminasi. Peneliti mengeliminasi sisi-sisi/faktor-faktor dari kasus-kasus semungkinnya jika faktor-faktor tersebut tidak memiliki kesamaan di antara kasus-kasus yang memiliki sebuah output yang sama. 5. Metoda Perbedaan (Method of Difference) Para peneliti dapat menggunakan metoda perbedaan sendiri atau dalam hubungannya dengan metoda kesepakatan. Metoda perbedaan biasanya lebih kuat dan merupakan sebuah ‘aplikasi berganda’ dari metoda kesepakatan. Seorang peneliti pertama kali menempatkan kasus-kasus yang memiliki kesamaan dalam banyak hal tetapi berbeda dalam sedikit konteks yang kritis. Peneliti menunjukkan dengan tepat faktor-faktor dimana serangkaian kasus memiliki kesamaan dalam hal output dan penyebab faktor-faktor, dan serangkaian yang lain dimana kasus-kasus memiliki perbedaan pada output dan penyebab faktor-faktornya. Metoda perbedaan memperkuat informasi dari kasus-kasus positif (misalnya, kasus-kasus yang memiliki persamaan output dan penyebab faktor-faktor) dengan kasus-kasus negatif (misalnya, kasus-kasus yang kurang memiliki output dan penyebab faktor-faktor). 6. Analisis Domain (Domain Analysis) Metoda ini dikembangkan oleh seorang ethnograph bernama James Spradley (1979) sebagai pendekatan inovatif dan komprehensif untuk menganalisa data
34
kualitatif. Unit dasar dalam sebuah kondisi (setting) kultural dalam metoda ini didefinisikan sebagai sebuah domain, sebuah konsep atau gagasan yang terorganisasi. Domains kemudian digabungkan ke dalam sistem klasifikasi dan tema-tema yang lebih luas untuk memberikan interpretasi menyeluruh dari sebuah iklim kultural atau kondisi (setting) sosial. 7. Model-Model Ideal (Ideal Types) Ideal types yang diciptakan oleh Max Weber adalah model-model atau abstraksi mental dari proses atau relasi-relasi sosial. Sebuah model ideal digunakan sebagai alat untuk perbandingan, karena tak satu pun realitas yang layak sebagai model ideal. Para peneliti kualitatif menggunakan model-model ideal dalam dua cara, yaitu : untuk membandingkan dampak dari berbagai konteks dan sebagai analogi. 8. Analisis Struktur Kejadian (Event-Structure Analysis) Banyak peneliti kualitatif mengorganisasi data secara kronologis dalam sebuah bentuk narasi untuk mengungkapkan sebuah cerita. Analisis Struktur Kejadian adalah sebuah bentuk baru dari metoda analisis data untuk membantu para peneliti mengorganisasi
rentetan
kejadian-kejadian
dalam
cara-cara
yang
menfasilitasi pengamatan sebab-musabab dari relasi-relasi. Metoda ini pertama kali digunakan untuk data penelitian lapangan, tetapi dapat juga digunakan untuk data historis.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini lebih tepat digunakan metoda analisis
ilustratif.
Metoda
analisis
ini
menggunakan
fakta-fakta
empirik
untuk
mengilustrasikan atau menjaring sebuah teori. Dengan metoda ini, seorang peneliti mengaplikasikan teori kepada sebuah situasi historis atau kondisi sosial yang nyata, atau mengorganisasi data berdasarkan pada teori utama. Teori awal menyediakan ‘kotak kosong’. Peneliti mengamati apakah fakta-fakta dapat dikumpulkan untuk mengisi ‘kotak’ tersebut. Fakta-fakta dalam ‘kotak’ mengkonfirmasi atau menolak teori itu, dimana peneliti menggunakannya sebagai alat untuk menginterpretasikan dunia sosial. Teori tersebut dapat berbentuk sebuah model umum, sebuah analogi, atau serangkaian tahap yang berkelanjutan. Sementara itu, ‘kotak kosong’ dalam penelitian ini adalah Konsep Dasar Kapasitas Forum Warga yang dihasilkan dari proses sintesis tadi. Selain metoda ilustratif diatas, terdapat pula teknik analisis data melalui langkah reduksi data dan display data. Reduksi data dilakukan untuk menganalisis jawaban responden yang berbentuk angka-angka (kuantitatif). Misalnya jawaban responden tentang skala prioritas persoalan pembangunan Majalaya. Display data adalah teknik penyajian data dalam bentuk network, chart, atau grafik. Display data dilakukan untuk menguasai dan mengurangi kuantitas data tanpa mengurangi dan atau menghilangkan informasi yang diperlukan.
35
BAB 3 KONFLIK PEMBANGUNAN SEBAGAI PEMICU GERAKAN WARGA
Sebagaimana dikemukakan pada bab 1, bahwa ruang transaksi sosial adalah unik. Oleh karena itu, untuk memahami Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FMMS) perlu terbih dahulu ditelusuri latar belakang dan tujuan kemunculannya. Hasil penelusuran tersebut, dibahas dalam bab ini. Pembahasan secara umum terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, pembahasan persoalan
umum
pembangunan
Majalaya.
Kedua,
pembahasan
konflik
antar
stakeholders pembangunan Majalaya. Ketiga, proses kemunculan gerakan warga sebagai respon terhadap konflik tersebut.
3.1
GAMBARAN UMUM KECAMATAN MAJALAYA
3.1.1
POSISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRATIF
Secara geografis, Kecamatan Majalaya terletak di sebelah tenggara Kota Bandung, berjarak sekitar 30 km. Kecamatan Majalaya berbatasan langsung dengan 5 Kecamatan lain, yaitu Kecamatan Rancaekek, Solokan Jeruk, Paseh, Ibun, dan Ciparay. Dalam jalur transportasi darat, terdapat dua inlet utama menuju Majalaya, dari Kota Bandung. Inlet pertama adalah daerah Kecamatan Solokan Jeruk di sebelah utara Majalaya. Kemudian inlet kedua adalah daerah Kecamatan Ciparay di sebelah baratnya. Sampai saat ini, kedua inlet tersebut dapat dikatakan berkualitas rendah, dengan hampir di sepanjang jalan kita temui lobang dan kualitas aspal yang seadanya. Kualitas rendah ini termasuk di jalan lingkar utara Majalaya yang baru beberapa tahun ini selesai dibangun. Secara administratif, Kecamatan Majalaya berada di Wilayah IX Majalaya. Wilayah ini terdiri dari Kecamatan Majalaya, Perwakilan Kecamatan Solokan Jeruk (resmi menjadi Kecamatan per Mei 2001), Kecamatan Paseh, dan Kecamatan Ibun. Kecamatan Majalaya terdiri dari 11 desa, yaitu desa Majalaya, Biru, Bojong, Majakerta, Majasetra, Neglasari, Padamulya, Padaulun, Sukamaju, Sukamukti, dan Wangisagara. Adapun kota Majalaya merupakan ibukota Wilayah IX Majalaya. Kota ini termasuk kota menengah di Kabupaten Bandung. Secara fisik dan fungsional, Kota Majalaya meliputi beberapa desa di Kecamatan Majalaya, Paseh, dan Ibun. Pusat kotanya sendiri meliputi Desa Majalaya, Majasetra, dan Majakerta. Pusat kota ini sekarang dihuni oleh sekitar 31.531
12
12
2
jiwa dengan tingkat kepadatan penduduknya sebesar 9.140 jiwa/km .
Sumber: Basis Data Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung tahun 2000.
36
Gambar 3.1 KEPADATAN PERMUKIMAN PUSAT KOTA MAJALAYA
Gambar diatas mengilustrasikan kepadatan permukiman pusat
3.1.2
SEJARAH SINGKAT MAJALAYA
Sejarah kota Majalaya tidak terlepas dari kemunculan industri tekstilnya. Kota Majalaya tumbuh menjadi industri tekstil sejak tahun 1920. Dengan posisinya sebagai kota industri, maka tidak terlalu mengherankan jika penduduknya sekarang demikian padat. Berdasarkan penuturan, Ki Ageng, seorang tokoh Majalaya, tergambar sejarah perkembangan jumlah penduduk Kota Majalaya, sbb:
“…ketika hiruk pikuk para pengungsi dari Kota Bandung membanjiri daerah ini akibat adanya Bandung Lautan Api –menurut istilah dalam buku sejarahatau Bedah Bandung, menurut orang Majalaya, di penghujung tahun 40-an. Pada waktu itu Majalaya menjadi salah satu tujuan para pengungsi yang secara sengaja disingkirkan dengan adanya garis batas bagi para Inlander di Kota Bandung. Mulai saat itulah Majalaya untuk pertama kalinya mengalami ledakan jumlah penduduk … … datangnya gelombang revolusi berdarah DI/TII dan PKI pada tahun 65-an telah membuat kondisi ekonomi carut marut. Gelombang kedatangan pengungsi dari daerah pinggiran secara besar-besaran tidak terhindarkan lagi. Para pengungsi melakukan eksodus karena sudah tidak merasa aman lagi tinggal daerah-daerah pinggiran yang merupakan kantongnya DI/TII dan PKI. Sekali lagi, Majalaya menjadi daerah tujuan para pengungsi untuk menyelamatkan dirinya… …terlebih, sejak terjadi gelombang masinisasi perusahaan pertekstilan pada awal tahun 70-an, yang juga telah mengundang pendatang dalam jumlah yang tidak sedikit baik buruh maupun investor asing…” (Ikhtisar wawancara dengan Ki Ageng, tokoh Majalaya).
Industrialisasi tekstil di Majalaya membawa kebangkitan ekonomi, terutama pada era 50-an sampai awal 70-an. Kejayaan ekonomi Majalaya dilukiskan dengan julukan ‘Kota
37
Dollar’. Mengenai kondisi ini, berikut penuturan seorang Staf Kecamatan Majalaya, putra asli Majalaya.
“Pada era tersebut Majalaya begitu makmur dengan masyarakatnya yang sangat mandiri. Dalam kondisi ekonomi dan perpolitikan nasional yang carut marut, warga Majalaya dapat membangun daerahnya secara mandiri tanpa uluran tangan dari pihak pemerintah. Buktinya masih dapat disaksikan sampai saat ini, seperti jalan regional yang menghubungkan Dayeuh Kolot dan Majalaya, Rumah Sakit, Pasar Stasiun, Mesjid Agung, tanah kantor kecamatan, serta masih banyak lagi yang lainnya”. “Wah..harita mah bisa maju teh kulantaran aya tradisi anu disebut Tradisi Bahruteng tea (wah..dulu bisa maju dikarenakan ada tradisi yang disebut dengan 13 Tradisi Bahruteng )”, tandasnya, menutup penuturannya. (Penuturan Pak Dudu, staf Kecamatan Majalaya). Masa kejayaan ekonomi Majalaya berpengaruh kepada kemampuan warga untuk membangun secara mandiri. Melalui Tradisi Bahruteng, warga memobilisasi sumber daya yang ada di masyarakat. Dalam setiap Rapat Bahruteng, ditentukan jumlah pembiayaan pembangunan desa masing-masing. Setelah itu suatu kepanitiaan akan menghitung beban iuran yang harus ditanggung oleh warga. Besarnya iuran antara lain ditentukan berdasarkan jumlah kepemilikan alat tenun setiap rumah tangga. Kondisi seperti ini benar-benar telah membangun kemandirian masyarakat pada waktu itu. Seiring dengan industrialisasi yang telah berlangsung lama, corak kehidupan masyarakatnya berubah urbanized. Modernisasi industri tekstil menyebabkan pengusaha pribumi mulai tersisih digantikan oleh pengusaha keturunan Tionghoa. Penuturan salah seorang tokoh tua Majalaya, menggambarkan proses kekalahan masyarakat setempat oleh pengusaha asing dalam industri tekstil ini:
“Orang-orang Tionghoa pertama kali masuk ke Majalaya, dengan adanya sistem makloon. Yaitu mereka memasok benang ke rumah tangga pengrajin dan bagi hasil. Orang Tionghoa sangat menguasai pemasaran tekstil. Sementara rumah tangga pengrajin di Majalaya cukup puas dengan adanya permintaan hasil pemintalan yang terus menerus. Mereka tidak memikirkan tentang perlunya memperluas usaha. Sejak itulah mulai adanya penguasaan dari segi pemasaran. Modernisasi industri makin menguatkan posisi para Tionghoa yang memiliki modal besar. Setahu saya baru pada awal 80-an orang Majalaya merasa pentingnya sekolah untuk memperluas wawasan pemasaran.” (Penuturan tokoh Majalaya).
Dengan adanya persaingan antar pengusaha –disertai sentimen etnis ini-, serta terjadinya urbanisasi besar-besaran ke Kota Majalaya akibat gangguan keamanan oleh DI/TII di wilayah pedalaman, mengakibatkan kohesivitas masyarakat Majalaya cenderung
13 Tradisi Bahruteng adalah tradisi perencanaan pembangunan secara mandiri. Rapat Bahruteng pada waktu itu mirip dengan rapat RAPBDesa dan Musbangdes sekarang.
38
melemah. Implikasinya, mulai muncul konflik antar masyarakat. Demikian pula, kepedulian (prakarsa dan swadaya masyarakat) semakin berkurang. Penurunan kepedulian ini sangat berpengaruh terhadap dan tercermin dari kondisi fisik kota yang semakin kumuh dan semrawut. Kondisi ini mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 sampai sekarang. Sekarang setiap pendatang dapat dengan mudah menemukan symptom persoalan pembangunan Majalaya. Baik itu persoalan sosial, ekonomi, dan terutama fisik dan prasarana.
3.1.3
PERSOALAN FISIK DAN PRASARANA
Terdapat beberapa persoalan fisik dan prasarana perkotaan yang berdampak besar bagi perkembangan kota Majalaya. Beberapa diantaranya yang akan dibahas dalam bagian ini adalah prasarana yang tidak berfungsi, persoalan kebersihan kota dan banjir, persoalan rusaknya jalan, dan prioritas penggunaan jalan. 3.1.3.1
PRASARANA YANG TIDAK BERFUNGSI
Kota Majalaya memiliki beberapa prasarana yang tidak berfungsi (disfunctional infrastructure). Diantaranya adalah terminal dan drainase. Keduanya adalah prasarana vital. Ketidakberfungsiannya mengakibatkan persoalan kota Majalaya semakin runyam. Terminal Majalaya baru beberapa tahun dibangun. Awal pendiriannya dimaksudkan untuk menampung angkutan umum dan bus yang tidak terlayani lagi di terminal lama. Terminal lama sendiri adalah terminal yang sekarang berada di lokasi pasar baru, dan dulu didirikan oleh swadaya masyarakat. Maksud pendirian terminal baru tersebut ternyata tidak tercapai, karena angkutan umum lebih memilih untuk menurunkan dan menunggu penumpang di pinggir jalan. Dampaknya, saat ini kita menyaksikan deretan angkutan umum di pinggir jalan pusat kota Majalaya. Selain terminal, prasarana vital perkotaan lainnya yang tidak berfungsi adalah drainase. Drainase yang tidak berfungsi ini menimbulkan banjir pada musim hujan.
39
Gambar 3.2 PENGGUNAAN TERMINAL BAYANGAN OLEH ANGKOT DI MAJALAYA
Kedua gambar diatas menunjukkan contoh lokasi terminal bayangan angkot di Majayala. Angkot lebih memilih mengunakan terminal ini daripada terminal resmi yang dibangun baru beberapa tahun dan berloksi tidak lebih dari 100 m dari kedua tempat ini.
Gambar 3.3 KONDISI DRAINASE DI PUSAT KOTA MAJALAYA
Gambar diatas mengilustrasikan saluran drainase pusat kota yang tidak berfungsi. Di musim hujan, keadaan ini mengakibatkan banjir, ditambah derasnya aliran air dari sungai Cikaro, beberapa ratus meter dari lokasi ini.
40
3.1.3.2
PERSOALAN KEBERSIHAN KOTA DAN BANJIR
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan kebersihan kota. Saat ini, dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap persoalan pembangunan, perilaku pembuangan sampah sembarangan mudah kita temui di Majalaya. Lebih parahnya lagi, pembuangan sampah tersebut, bahkan dilakukan di tempattempat yang sangat penting untuk dijaga kebersihannya. Tempat yang dimaksud misalnya adalah taman Masjid Agung Majalaya dan Sungai Cikaro. Masjid Agung Majalaya yang terletak di jantung kota, yang seharusnya menjadi simbol keagungan dan keindahan kota. Kemudian Sungai Cikaro, sedimentasi yang terjadi padanya selalu membawa bencana banjir di musim hujan. Sedimentasi Sungai Cikaro sangat cepat terutama akibat tumpukan sampah masyarakat. Dengan diperparah oleh kondisi drainase yang tidak berfungsi, maka banjir di kota Majalaya hanyalah menunggu musim hujan saja. Persoalan banjir ini diperparah dengan pola jaringan jalan radial yang berpangkal di satu titik (pusat kota). Pola ini diikuti pula oleh drainasenya. Dengan tidak terawatnya drainase maka dapat dipastikan banjir akan terjadi setiap musim hujan tiba. Bahkan lebih parah lagi, kalaupun hujan di daerah pusat kota tidak besar, namun di daerah lebih ke hulu Sungai Cikaro hujannya lebih lebat, maka pusat kota tetap akan mengalami banjir. Hal ini seperti yang terjadi pada 2 hari di bulan April 2001 yang lalu, dan dialami langsung oleh penulis, juga kemudian diberitakan dalam dua edisi Harian Pikiran Rakyat.
Gambar 3.4 SAMPAH BERCECERAN DI SUDUT KOTA
Gambar diatas mengilustrasikan sembarangan di pusat kota.
perilaku
tidak
disiplin
dalam
membuang
sampah
41
Gambar 3.5 PENUMPUKAN SAMPAH DI SUNGAI CIKARO
Sungai Cikaro terletak hanya sekitar 100 m dari pusat kota. Dengan perumahan dan perdagangan kakilima yang begitu padat, sungai ini menjadi tempat pembuangan sampah sehari-hari.
Gambar 3.6 SEDIMENTASI SUNGAI CIKARO MENDATANGKAN BANJIR KE KOTA MAJALAYA
Sungai Cikaro ini pada musim hujan akan dipastikan meluap dan mendatangkan banjir. Sedimentasi menyebabkan aliran air terhambat.
3.1.3.3
PERSOALAN RUSAKNYA JALAN
Satu lagi persoalan fisik dan prasarana Majalaya adalah rusaknya badan jalan. Seperti disinggung di awal bahwa kedua inlet menuju Majalaya, mempunyai kualitas yang rendah. Padahal di satu sisi, pergerakan ke dan dari kota Majalaya sangat besar, mengingat perannya sebagai kota industri.
42
Dari sekian banyak titik kerusakan yang ada di badan jalan Majalaya, disini akan dibahas kerusakan jalan di ruas Cidawolong. Ruas jalan ini berperan penting sebagai salah satu inlet Majalaya, melalui Ciparay. Beberapa kutipan berikut ini menjelaskan kondisi jalan tersebut.
“…Kumaha teu kitu, logak-logak jalan anu galede pisan jeung batu-batu galede naronjol diditu-didieu sapanjang jalan anu panjangna hampir saratus meter (bagimana tidak begitu, lubang-lubang yang cukup besar dengan batu-batu berserakan disana-sini sepanjang hampir 100 meter)”, (Penuturan salah seorang anggota BPD di Majalaya). “Ruas jalan tersebut memang tidak pernah mencapai kondisi yang prima, karena posisinya yang lebih rendah dari permukaan air Sungai Citarum tidak pernah terlepas dari limpahan air sungai yang selalu meluap di musim penghujan”, (Penuturan Camat Majalaya periode 1999-). “Seringkali kami harus ke Bandung lewat arah utara, padahal kami merasa akan lebih dekat apabila lewat Ciparay. Kenyataannya, jalan Cidawolong tergenang air sampai lebih dari setengah meter dan kendaraan sulit lewat. Sengsara jadi orang Majalaya, tak punya jalan bagus!,” (Penuturan seorang pengusaha tekstil Majalaya). “…memang cuma mobil Lurah Zaki yang aman lewat Cidawolong. Lainnya mah goodbye!,” seru seorang pengurus AMS sambil menunjuk mobil Zeep Hardtop pak Lurah Padaulun. Menurut beberapa sumber, memang dari sekian titik kerusakan jalan di Majalaya, ruas jalan Cidawolong adalah yang paling parah. Ditambah lagi dengan posisi strategisnya tadi. Adapun status jalan ini, menurut Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda Kabupaten Bandung adalah jalan propinsi sehingga tanggung jawab pengelolaannya berada di propinsi. Oleh karena itu ketika ditanyakan perkara upaya perbaikannya, hanya didapat informasi bahwa saat ini telah dimasukkan dalam Rencana Anggaran Pembangunan Jawa Barat tahun 2001.
3.1.3.4
PERSOALAN PRIORITAS PEMANFAATAN JALAN
Dalam teori perencanaan transportasi, kita mengenal adanya klasifikasi jalan. Pengklasifikasian ini dilakukan untuk menentukan beban transportasi yang akan ditanggung
oleh
masing-masing
kelas
jalan.
Salah
satu
pendekatan
dalam
pengklasifikasian beban jalan adalah dengan menentukan prioritas penggunaan jalan tersebut untuk masing-masing moda tertentu. Dalam kasus pemanfaatan jalan di pusat kota Majalaya, teori tersebut tidak diterapkan. Berbagai moda dengan kelas yang berbeda dalam satu waktu berebut menggunakan ruas jalan yang sama. Akibatnya, efisiensi pergerakan orang dan barang
43
sangat rendah, dan badan jalan pun tidak pernah dalam kondisi optimal karena dibebani oleh moda yang diluar kapasitasnya. Bukan perebutan pemanfaatan jalan antar moda saja, bahkan pejalan kaki dan pedagang kakilima (PKL) pun ikut serta memanfaatkan ruas jalan di kota Majalaya. Ibaratnya, trotoar digunakan oleh PKL, dan sisanya diperebutkan oleh bus, angkot, sepeda, sepeda motor, becak, delman, dan pejalan. Fenomena ini akan sangat nyata kita temui di pusat kota Majalaya. Ruang pusat kota yang tidak begitu luas dan ruas jalan yang tidak begitu lebar tersebut dihuni oleh tidak kurang 1170 pedagang kaki lima dengan berbagai macam-macam jenis dagangan, seperti sayuran, daging, ikan, telur, buah-buahan, pakaian, kue, pertukangan dan suku 14
cadang kendaraan . Seorang Anggota Komisi B FMMS menggambarkan keadaan tersebut sbb :
“Komo lamun urang rada merhatikeun ka tengah jalan anu tinggal nyesa tilu sampai opat meter mah, nya jelema anu laleumpang, beca, andong, angkutan kota nepi ka beus-beus anu galede siling parebut make lolongkrang jalan anu nyesa anu pinuh ku lologak diditu-didieu (Apalagi kalau kita sedikit beranjak agak ke tengah jalan yang hanya tersisa 3-4 meter, terlihat mulai dari pejalan kaki, beca, andong, angkutan kota sampai ke angkutan bus besar antar kota, berebut jatah untuk saling mendahului memanfaatkan sisa badan jalan yang penuh dengan lubang-lubang disana-sini).” (Penuturan Anggota Komisi B FMMS). “Bahkan teu jarang jelema anu keur leumpang ka senggol ku angkutan-angkutan eta (Bahkan, tidak jarang juga orang-orang yang sedang berjalan tersenggol oleh angkutan-angkutan tersebut).” (Penuturan seorang staf kecamatan) “Makana Aing mah males ka Alun-Alun teh lamun teu perlu-perlu teuing mah (makanya saya malas ke alun-alun kalau memang tidak terlalu perlu).” (Penuturan seorang pemuda Majalaya). “Lain didinya wungkul, lamun urang rada kaluar ninggalkan karamean alun-alun, katingali kan ku urang sarerea mobil ngajajar ngantri bari jeung awakna ngarigel (Bukan hanya disitu, kalau Kita agak bergerak keluar meninggalkan kepengapan dan kesibukan kawasan alun-alun, ternyata masih terlihat barisan panjang kendaraan yang merayap sambil terlihat badannya bergoyang-goyang).” (Penuturan seorang anggota BPD di Majalaya).
14
Sumber: Komisi B FMMS yang menangani masalah perdagangan kakilima.
44
Gambar 3.7 UNTUK SIAPA RUAS JALAN INI?
Ruas jalan di pusat kota ini digunakan oleh pejalan, angkot, becak, delman, sepeda motor, kendaraan pribadi, bahkan truk. Siapa yang harus diprioritaskan menggunakan jalan ini?
3.2
KONFLIK ANTAR STAKEHOLDERS PEMBANGUNAN MAJALAYA Disamping persoalan fisik dan prasarana, Majalaya juga menghadapi persoalan lain
yang tidak kalah pentingnya, yaitu adanya konflik antar stakeholders pembangunan. Konflik tersebut menyangkut tiga kelompok secara umum yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dalam pembahasan ini akan disajikan 4 titik konflik yang melibatkan ketiga stakeholders tersebut.
3.2.1
KONFLIK PEDAGANG KAKILIMA (PKL)
Pedagang kakilima (PKL) di kawasan kota Majalaya merupakan pemandangan yang akan langsung dinikmati oleh siapa pun yang memasuki kota Majalaya. Tiga titik lokasi pembentuk kawasan kota Majalaya, yaitu Pasar Stasiun, Terminal, dan Pasar Baru, seolah-olah telah terhubung oleh lapak kakilima daripada oleh badan jalan. Kesan seperti ini, wajar saja jika kita mengamati langsung situasi lapangan. Tidak mengherankan jika saat ini warga Majalaya, terutama yang bertempat tinggal di sekitar pusat kota, merasa resah dengan keberadaan PKL yang terlihat berjejer memadati sepanjang trotoar di seputar alun-alun Majalaya. Bahkan di beberapa titik terlihat berjejer sampai tiga lapis merambah jauh ke tengah jalan.
45
Gambar 3.8 PEDAGANG KAKILIMA (PKL) DI PUSAT KOTA MAJALAYA
Perdagangan kakilima di Majalaya adalah sebuah dilema. Dibutuhkan karena kelengkapan komoditasnya, keringanan harganya, dan keberadaannya di seluruh pelosok kota. Tetapi di sisi lain ‘dimusuhi’ karena sampah dan kekumuhannya, serta kesemrawutan badan jalan yang ditempatinya. Upaya penertiban berulangkali dicoba dan menemui kegagalan, termasuk upaya sekelompok orang untuk membakar kios-kios tersebut. Siapa yang dapat menertibkannya?
Beberapa kecaman disampaikan warga terhadap persoalan ini. Antara lain mereka berpendapat bahwa biang kerok segala kekacauan kota Majalaya adalah para PKL. Mereka telah mengakibatkan kota menjadi kotor dan kumuh. Ada juga yang berpendapat bahwa PKL telah melewati batas dengan bukan cuma menggunakan trotoar, dan ruang kosong di sekitar alun-alun, tetapi telah pula sampai kepada ruang olahraga di lapangan alun-alun. Bahkan adapula komentar yang lebih keras lagi dari salah seorang aktivis Mesjid Agung Majalaya, bahwa penggunaan trotoar oleh PKL adalah haram menurut agama, dan karenanya mereka harus dimusnahkan. Kecaman keras seperti ini, di Majalaya tidak hanya sebatas di mulut. Melainkan pada awal tahun 1999, tepatnya menjelang hari raya Idul Fitri, kelompok pemuda dan aktivis warga sekitar alun-alun, mengadakan aksi pembakaran lapak-lapak PKL. Namun demikian aksi ini tidak berhasil menyelesaikan persoalan tersebut, melainkan terus berlanjut dan semakin besar. Antara lain berupa dendam antara kelompok tersebut dengan para pedagang sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara lapangan dengan parap PKL, ternyata justru mereka telah membeli lapak kepada oknum pemerintah desa (dalam hal ini Majalaya dan Majakerta), dan mereka juga selalu membayar pungutan harian dan
46
bulanan, yang jenisnya kurang lebih ada sembilan jenis. Jadi menurut mereka, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa PKL adalah pelanggaran apalagi haram. Problematika seperti ini akhirnya semakin memperkeruh suasana. Kelompok masyarakat sekitar, pemuda, dan aktivis Masjid Agung, tidak lagi mempercayai pemerintah, dan mereka menebarkan ancaman yang kedua kalinya bahwa mereka akan melakukan aksi pembakaran semua lapak PKL menjelang lebaran Desember 2000. Beruntung bahwa kejadian tersebut terlerai dengan adanya Dialog Warga pada Oktober 2000. Namun demikian persoalan PKL belum selesai, dan kemungkinan terjadinya penyelesaian dengan cara radikal masih terbuka. Mengingat karakteristik masyarakat Majalaya yang emosional. 3.2.2
KONFLIK PEREBUTAN RUTE ANGKUTAN
Gambar di bawah, sekilas menampakan bahwa aktivitas perangkutan penumpang oleh ojek, becak, dan delman dapat berjalan secara tertib. Namun demikian, di lapangan, kondisi ini ibarat api dalam sekam. Bentrokan antar ketiga pengoperasi ketiga moda tersebut, seringkali terjadi. Masing-masing sebenarnya menginginkan adanya pemisahan rute dan lokasi pengangkutan penumpang. Penarik becak antara lain menginginkan agar ojek dan delman berada di luar pusat kota. Baginya, delman menghasilkan sampah yang sangat merusak kenyamanan kota. Sedangkan ojek, dimanapun memang tidak pantas apabila ditempatkan di pusat kota. Ojek seharusnya melayani kebutuhan angkutan yang tidak dilayani oleh angkot, becak, dan delman. Adapun sampai saat ini, mereka bersedia berdampingan, selama penghasilan mereka memadai. Meskipun di sisi lain, mereka merasa heran bahwa pemerintah tidak menyadari dan tidak mampu mengatur pembagian rute dan lokasi perangkutan seperti ini. Kemudian dari pihak delman dan ojek, mereka sama sekali yakin bahwa mereka pun berhak untuk beroperasi dimana pun dan kapan pun. Sampai saat ini, memang kelompok delman dan ojek ini tidak pernah menuntut pemerintah, tetapi tidak pernah pula merasa takut bahwa mereka akan dilarang beroperasi di pusat kota. Hal ini berbeda dengan kelompok becak, yang beberapa kali mengadakan demonstrasi di kecamatan menuntut 15
agar delman dilarang beroperasi di pusat kota, atau minimal jumlahnya dibatasi . Dalam kasus ini sebenarnya perkara siapa yang salah dan siapa yang benar sudah sangat jelas. Namun demikian, menurut beberapa sumber, angkot preman mendapat dukungan informal (beking) dari oknum DLLAJ dan Polisi, sehingga mereka merasa leluasa beroperasi. Sehingga kemudian terjadilah persaingan tidak sehat antara angkot dan bus bertrayek dengan angkot preman. 15 Salah satu aksi demonstrasi yang disaksikan langsung oleh penulis adalah pada 26 Februari 2001. Pada saat itu sekitar 300 orang penarik becak menuntut pemerintah kecamatan agar delman tidak masuk kota atau jumlahnya dikurangi.
47
Gambar 3.9 PERLUKAH PEMBAGIAN RUTE BECAK, DELMAN, DAN OJEK?
Disamping konflik perebutan rute angkutan antara ketiga moda ini, masih ada perebutan rute antara moda perangkutan lain, yaitu antara angkot tanpa izin trayek (angkot preman) dengan angkot berizin trayek dan bus. Kedua kelompok ini memperebutkan hak untuk melayani angkutan Majalaya-Bandung.
Dalam transportasi kita mengenal adanya rute gemuk dan kurus. Di Majalaya, rute gemuk diperebutkan angkot, becak, dan delman. Semua merasa berhak mengambil rute tersebut. Persaingan tidak sehat yang dimaksud adalah bahwa angkot preman yang tidak harus mengeluarkan biaya izin trayek, mempunyai kelebihan untuk fleksibel dalam menentukan rute ke dan dari Majalaya. Kemudian mereka juga dapat dengan mudah menerapkan harga yang lebih bersaing, serta menurunkan dan menaikkan penumpang di lintasan yang lebih fleksibel daripada saingannya. Sementara disisi lain, angkot dan bus resmi, selain harus mengeluarkan biaya izin trayek, mereka juga harus memenuhi ketentuan trayek dan rute. Keadaan inilah yang mengakibatkan kejengkelan pengeoperasi bus dan angkot resmi terhadap angkot preman. Kemudian seperti biasa, mereka merasa tidak percaya terhadap kehendak baik dan kemampuan pemerintah dalam mengatasi masalah ini. Akhirnya mereka seringkali 16
mencoba menyelesaikan perkara dengan berdemonstrasi .
3.2.3
KONFLIK PENGUASAAN ASET SOSIAL : ALUN-ALUN MAJALAYA
Dalam konflik PKL dan distribusi rute di atas, terlihat bahwa masing-masing stakeholders merasa benar dengan posisinya. Gejala seperti ini dapat terjadi karena tidak adanya otoritas legitimate yang mereka percaya dapat memutuskan benar dan
16
Salah satu peristiwa pemogokan yang dialami langsung oleh penulis adalah pada Rabu 07 sampai Jum’at 09 Maret 2001. Mereka mengadakan pemogokan dan pencegatan angkot preman di inlet Majalaya yaitu di Ciparay dan Dayeuh Kolot. Bahkan pada saat itu, pengoperasi bus dan angkot mencegat dan memukuli beberapa pengoperasi angkot preman yang tetap beroperasi.
48
salah. Dalam hal ini aparat perencanaan dan hukum positif. Dalam kasus berikut ini akan lebih terlihat lagi bahwa di Majalaya, memang masalah hukum dan kewenangan memang sudah demikian tidak berdaya. Di Majalaya terdapat beberapa aset sosial yang keberadaanya diangap sebagai simbol kota. Aset sosial itu adalah alun-alun kota Majalaya dan tanah milik masyarakat, bekas kantor Kecamatan Majalaya, sebelum berpindah ke Desa Majasetra. Alun-alun Majalaya mempunyai nilai strategis karena fungsinya sebagai ruang berkumpul masyarakat. Baik untuk berolahraga, pertunjukan kesenian, pasar malam, dan lainnya. Sebagai aset sosial strategis seharusnya alun-alun Majalaya, mempunyai standar operasional pengelolaan yang baik. Jelas penanggung jawabnya dan jelas prosedur izin penggunaannya. Namun demikian, kenyataannya, pengelolaan alun-alun tersebut diperebutkan oleh berbagai pihak. Hasil investigasi menunjukkan bahwa minimal ada tiga kelompok mayarakat yang berebut untuk mengelolanya, yaitu kelompok Karang Taruna Majalaya, Generasi Muda Majalaya (GMM), dan Angkatan Muda Siliwangi (AMS). Pertikaian antar ketiganya bahkan seringkali berupa bentrokan fisik. Dari konflik ini kemudian antara lain muncul gejala premanisme. Yaitu bahwa barangsiapa yang lebih mempunyai kekuatan fisik itulah yang akan lebih berhak memanfaatkan fasilitas ini. Pemanfaatan fasilitas ini baik berupa pementasan kesenian maupun olahraga, memang menghasilkan keuntungan yang cukup besar bagi panitia penyelenggaranya.
Gambar 3.10 ALUN-ALUN MAJALAYA
Alun-alun Majalaya adalah salah satu aset publik strategis. Ditempat ini diadakan pasar malam, pasar murah, pertandingan olahraga, pagelaran musik, dll. Persoalannya adalah pengelolaannya. Alun-alun ini diperebutkan penguasaanya oleh Generasi Muda Majalaya (GMM), Angkatan Muda Siliwangi (AMS), dan Karang Taruna Majalaya. Dampaknya setiap kegiatan pasti mendatangkan keributan antar kelompok pemuda.
49
Menurut salah seorang tokoh masyarakat Majalaya, dulu sebenarnya Pemerintah Kecamatan mengelola alun-alun dengan baik. Tetapi memang diakui bahwa pada saat itu, AMS lebih sering mendapat jatah daripada kelompok lain. Lagipula, pada saat itu, masih jarang bahkan hampir tidak ada kelompok pemuda lain. Dengan adanya kelompok lain, maka Pemerintah Kecamatan cenderung pasif dan membiarkan persaingan yang terjadi di lapangan untuk memperebutkan hak penggunaannya. Sampai sekarang kondisi ini belum terselesaikan. Konflik penguasaan aset sosial yang paling menggegerkan masyarakat Majalaya sebenarnya adalah kasus tanah bekas Kantor Kecamatan Majalaya. Lokasinya berada di alun-alun Majalaya, dan secara administratif berada di Desa Majakerta sekarang. Kisah tindakan sepihak oknum pemerintah ini disingkat dalam uraian sebagai berikut, yang disarikan dari hasil wawancara dengan tokoh penggerak masyarakat dalam menuntut ganti rugi, Camat Majalaya periode 1999-‌, dan berbagai sumber pelengkap lainnya.
“Persoalannya adalah bahwa tanah tersebut sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu dianggap sebagai tanah milik warga Majalaya. Adapun penggunaannya sebagai kantor kecamatan, hanyalah karena masyarakat memang mengikhlaskan penggunaannya untuk kepentingan umum. Kepercayaan yang diberikan masyarakat Majalaya ternyata dinodai oleh tindakan oknum pemerintah yang merasa berkuasa atas aset tersebut. Akhirnya pada tahun 1997, Camat Majalaya secara sepihak mengadakan ruilslag dengan Merlin Departement Store. Ruilslag dilakukan dengan memberikan hak penuh kepada Merlin atas tanah bekas kantor kecamatan dan kecamatan mendapatkan tanah di pinggir kota, yang salah satu lokasinya digunakan sebagai kantor kecamatan sekarang. Tanah kecamatan dinilai sebesar Rp. 1,3 M, tetapi tanah tukar dari pihak Merlin hanya bernilai Rp. 700 Juta. Untuk melengkapi transaksi tersebut, Merlin membayar dalam bentuk tunai kepada Camat Majalaya sebesar Rp. 600 Juta. Kemudian masyarakat mengetahui bahwa ternyata Camat Majalaya pada saat itu, menikmati selisih uang tersebut, untuk kepentingan pribadi.� Kasus terakhir ini menimbulkan kemarahan luar biasa dari warga Majalaya. Selain itu, kasus ini telah mengantarkan pada konflik baru yang lebih tajam yaitu antara warga dengan pemerintah setempat. Pemerintah Kecamatan distereotipkan dengan oknum yang korup dan mengkhianati kepercayaan masyarakat.
3.2.4
KONFLIK PERENCANAAN TATA RUANG KOTA MAJALAYA
Dari ragam konflik yang telah dijelaskan sebelumnya, kita beralih pada konflik dengan ruang lingkup yang lebih besar lagi, yaitu konflik otoritas legitimate dalam perencanaan tata ruang kota Majalaya. Dahulu memang sepertinya konflik seperti ini tidak terbayangkan akan ada. Namun pasca reformasi ’98 dan dengan adanya
50
pengetahuan masyarakat tentang hak dan kewajibannya dalam pembangunan, tuntutan terhadap keikutsertaan dalam perencanaan tata ruang pun muncul. Untuk kasus Majalaya, konflik ini dihantarkan oleh kasus ruilslag yang dibahas sebelumnya. Tokoh masyarakat yang berlatar belakang pendidikan tinggi, cukup untuk mengetahui bahwa mereka berhak untuk terlibat dalam isu perencanaan kota. Adapun perbedaannya dengan konflik terdahulu adalah bahwa persoalan tata ruang bukan berada dalam otoritas Pemerintah Kecamatan, melainkan Pemerintah Kabupaten. Dalam konflik ini, stakeholders terdiri dari dua pihak yaitu Pemerintah Kabupaten Bandung dan masyarakat serta pemerintah Majalaya. Seperti kita ketahui bahwa sistem perencanaan yang ada memang menempatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas perencanaan. Kemudian untuk kasus perencanaan tingkat kota Kecamatan Majalaya, maka pemerintah yang berwenang dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten Bandung. Letak konflik di Majalaya adalah bahwa masyarakat dan Pemerintah Kecamatan Majalaya merasa bahwa proses penyusunan Rencana Tata Ruang Kota Majalaya tidak pernah
melibatkan
mereka.
Sehingga
wajar
saja
jika
data
dan
fakta
yang
melatarbelakangi penyusunan rencana tersebut, tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Akhirnya rencana yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat Majalaya. Persepsi semacam ini terlihat dalam Sarasehan Warga Majalaya pada 19 Februari 2000, yang bertema “Meneropong Wajah dan Permasalahan di sekitar Alun-alun dan Mesjid Agung Majalaya�. Pada acara yang dihadiri perwakilan dari Bappeda Kabupaten Bandung, Pemerintah Kecamatan, pengusaha Majalaya, dan berbagai tokoh masyarakat tersebut, muncul pemikiran kritis warga tentang masalah partisipasi dalam perencanaan. Bahkan mereka sangat keras mengkritik proses yang ada selama ini. Acara sarasehan tersebut nyaris berubah menjadi arena caci maki warga kepada pemerintah.
3.3
GERAKAN WARGA UNTUK MENGATASI KONFLIK PEMBANGUNAN Penjelasan sampai pada bagian ini, antara lain menegaskan bahwa di Majalaya saat
ini terdapat dua realitas persoalan. Pertama adalah adanya konflik antar pelaku pembangunan dalam sektor-sektor penting perkotaan. Konflik ini dicontohkan dalam pembahasan diatas dengan konflik dalam sektor PKL, transportasi, penguasaan aset sosial, dan perencanaan kota. Adapun persoalan yang kedua adalah menyangkut pembangunan fisik dan prasarana. Sektor ini adalah sektor yang mempunyai posisi vital bagi perkembangan kota Majalaya. Salah satu teori yang dapat menjelaskan persoalan ini adalah bahwa hal tersebut muncul karena tidak adanya otoritas legitimate dalam pembangunan. Pembangunan yang selama ini terlalu bertumpu kepada peran pemerintah, mengalami kegagalan dengan adanya tindakan korup dari oknum pemerintah. Teori ini dapat menjelaskan kasus Majalaya.
51
Dalam kasus penjualan aset warga secara sepihak oleh Camat Majalaya, maka posisi masyarakat tidak lain adalah korban. Tentu saja kita dapat menduga bahwa korban yang baik akan melakukan perlawanan untuk mendapatkan haknya. Dalam bagian akhir bab 3, akan dijelaskan bagaimana masyarakat Majalaya sebagai korban, melakukan perlawanan. Perlawanan yang dimaksud disebut sebagai gerakan warga Majalaya. Gerakan warga ini terbagi dalam dua babakan dan masing-masing memiliki tipe yang berbeda. Babakan pertama adalah babak inisiasi dengan tipe konfrontatif. Kemudian babakan kedua adalah babak lanjutan dengan tipe kooperatif.
3.3.1
PENDEKATAN KONFRONTATIF: MOBILISASI MASSA
Babakan pertama gerakan warga Majalaya sesungguhnya diinisiasi oleh faktor eksternal berupa korupnya pemerintah. Meskipun memang secara internal masyarakat sudah cukup merasa tidak puas dengan banyaknya konflik pembangunan yang telah dijelaskan di atas. Gerakan warga dimulai dari saat diketahuinya tindakan korupsi camat Majalaya. Pada saat diketahuinya tindakan korupsi tersebut, angin perpolitikan pada saat itu sedang mengarah pada perubahan atau reformasi. Di Majalaya, para tokoh pemuda segera melakukan gerilya ke pihak warga untuk memobilisasi perjuangan. Tuntutan warga antara lain tergambarkan dalam kutipan sebagai berikut.
“Pada saat kasus itu terjadi, hampir setiap hari ratusan warga turun ke jalanan untuk menuntut dihentikannya proses ruilslag. Ada dua tuntutan warga pada saat itu. Pertama hentikan dan batalkan proses ruilslag. Tuntutan kedua, apabila ruilslag telah terjadi, segera pertanggungjawabkan transaksi tersebut kepada warga Majalaya. Tuntutan tersebut menjadi untutan warga yang dipelopori oleh generasi pemuda yang bergabung dan menamakan diri Generasi Muda Majalaya (GMM).� (Keterangan dari tokoh pemuda Majakerta yang terlibat dalam gerakan warga). Gerakan konfrontasi warga terhadap pemerintah semakin gencar karena tuntutan tersebut tidak menemui jawaban yang memuaskan. Puncaknya dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut.
“Emosi warga semakin memuncak karena pemerintah tidak segera menyelesaikan kasus ini. Akhirnya dipilihlah tindakan anarkis dengan membakar gedung bekas kecamatan yang masih berdiri di tanah bersengketa tersebut. Rupanya tindakan ini berhasil meyakinkan pemerintah bahwa warga Majalaya telah benar-benar emosional. Akhirnya ruilslag dihentikan. Tetapi pertanggungjawabannya tidak jelas. Warga masih belum puas dan membentuk dua kelompok yang masing-masing bertanggung jawab untuk mendesak dan berdemo di kabupaten dan kelompok yang memburu Camat Majalaya yang telah melarikan diri.� (Keterangan tokoh Desa Sukamaju). Gerakan konfrontatif warga telah menimbulkan ketakutan pada Pemerintah Kecamatan sehingga dalam kurun waktu hampir satu tahun yaitu dari pertengahan tahun
52
1998 sampai pertengahan 1999, kecamatan Majalaya tidak mempunyai seorang camat. Baru pada tahun 1999 Camat baru dilantik. Kedatangan Camat baru ini pun masih mendapat tanggapan negatif dari warga. Akibatnya,
upacara
pelantikan diwarnai dengan
demonstrasi masyarakat
yang
menganggap bahwa pemerintah ini pun sama saja bersalah dan mereka menuntut pertanggungjawaban Camat baru ini.
“Pada saat pelantikan, kantor Kecamatan dikepung massa. Mereka menunggu sampai upacara selesai. Akhirnya dengan kasar salah seorang perwakilan bertanya apakah saya mengetahui tentang kasus itu. Saya katakan bahwa saya datang sebagai orang baru yang tidak ada kaitannya dengan kasus itu. “Jadi kalau tidak tahu menahu kasus itu, kenapa berani-beraninya menjadi Camat Majalaya?”, begitulah umpatan kekesalan warga yang pada saat itu, alhamdulillah, tidak berlanjut lebih buruk.” (Penuturan Camat Majalaya periode 1999-…).
Gambar 3.11 TANAH SENGKETA
Inilah bekas kantor kecamatan yang dibakar massa. Ruilslag secara sepihak dilakukan oleh Camat Majalaya. Padahal tanah ini adalah kebanggaan bagi masyarakat. Kalimat lengkap dari tulisan di dinding bekas kantor kecamatan ini adalah : “BATALKAN RUISLAG”. TANAH INI MILIK MASYARAKAT MAJALAYA. TURUNKAN CAMAT HERI.
3.3.2
PENDEKATAN KOOPERATIF : DIALOG WARGA
Pendekatan konfrontatif warga yang mengangkat isu ruislagh, disadari oleh elit gerakan tidak sepenuhnya berhasil. Terutama kalau dipandang dari kepentingan lebih
53
besar yaitu penyelesaian semua konflik lainnya yang ada di Majalaya. Kesadaran seperti ini bertambah besar, ketika di lapangan terdapat kelompok lain dari masyarakat yang 17
ingin mengarahkan gerakan pada penghancuran perdagangan kakilima . Hal ini disadari akan menimbulkan konflik tajam antar kelompok masyarakat. Menyadari hal tersebut, maka beberapa tokoh masyarakat berinisiatif menempuh cara lebih dialogis antara kelompok masyarakat dengan pemerintah. Inisiatif ini berjalan dengan baik mengingat pada saat tersebut (awal tahun 2000), Camat Majalaya sedikit banyaknya telah lebih memberikan keyakinan kepada warga bahwa beliau tidak terkait dengan kasus ruilslag. Babakan kedua yang bersifat dialogis dan merupakan kelanjutan dari gerakan warga sebelumnya, dapat dibagi menjadi tiga tahapan yang tergambar dalam tabel sebagai berikut. TABEL 3.1 TAHAPAN DIALOG WARGA MAJALAYA
1. Nama Kegiatan 2. Waktu Pelaksanaan 3. Latar Belakang
Sarasehan Warga Majalaya 19 Februari 2000
Dialog Visioning Warga 21 Oktober 2000
Dialog Refleksi Warga
Keresahan warga terhadap permasalahan kota Majalaya. Terutama pada kasus ruislagh dan pembakaran PKL.
4. Inisiator
Pemerintah Kecamatan, dengan Camat baru. !" Total sekitar 300 !" 35 dari Pemda dan tokoh Pendidikan dari !" 23 Pemerintahan Desa !" 28 dari Parpol dan Ormas !" 34 dari kalangan Pengusaha lokal !" dan 77 peserta dari kalangan tokoh masyarakat Majalaya !" sisanya tak mengisi daftar hadir
dari !" Belajar kegagalan Sarasehan Warga : Persoalan di Majalaya disadari tidak sekedar teknispragmatis, dengan ruang lingkup fisik kota. untuk !" Keinginan memulai dari konsensus bersama. Pemerintah Kecamatan dan fasilitator (AKATIGA, dll). !" Sekitar 40-50 ditentukan !" Peserta dari hasil analisis stakeholders yang dilakukan sekitar 2 bulan oleh Tim Fasilitator. antara lain !" Hadir perwakilan PKL, Pemuda, Pedagang Pasar, Pengusaha, Pem. Desa, Ulama, Aktivis Perempuan, Ormas, Muspika.
!" Banyaknya pertanyaan dan keraguan warga terhadap legitimasi tim inisiasi kasus PKL yang dibentuk oleh FMMS (komisi). adanya !" Belum komitmen yang kuat dari anggota Presidium. FMMS dan fasilitator (IPGI).
5. Peserta
17
8-9 Desember 2000
Peserta lebih kurang merupakan peserta yang sama dengan acara Dialog Visioning Warga.
Peristiwa pembakaran lapak PKL pada awal tahun 1999 adalah satu kasus yang terkait dengan upaya sekelompok masyarakat tersebut.
54
TABEL 3.1 (LANJUTAN)
6. Tema
7. Tujuan
8. Deskripsi Dialog
9. Hasil
Meneropong Wajah dan Permasalahan sekitar Alun-alun dan Mesjid Agung Majalaya. Mencari solusi permasalahan kota Majalaya.
Membangun visi.
Membangun konsensus Majalaya.
warga
!" Permasalahan kota Majalaya bagi warga bukan Cuma sebatas persoalan fisik kota. lebih !" Sarasehan berupa forum caci maki warga terhadap pemerintah. berhasil !" Tidak membangun fokus pembicaraan. !" Kasus ruislagh masih mendominasi.
!" Dialog fokus pada upaya membangun konsensus. lahir dari !" FMMS konsensus peserta dialog tentang kebutuhan sebuah wadah yang diterima masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan.
Tidak berhasil dirumuskan. Salah satu hasilnya malah dibentuknya Forum Putra Putri Majalaya, untuk meneruskan pembahasan.
!" Disepakati perlunya sebuah wadah untuk menyelesaikan permasalahan kota Majalaya. !" Untuk itu dibentuk Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FMMS). !" FMMS terdiri dari 8 orang Presidium dan 5 Komisi yang akan menginisiasi penyelesaian pembangunan sektoral di Majalaya.
Refleksi keberadaan FMMS.
atas
!" Merefleksi keberadaan FMMS sebagai sebuah wadah resolusi konflik. format !" Menentukan organisasi. rencana !" Menyusun kerja FMMS. !" Warga menekankan bahwa pada dasarnya mereka ingin mandiri dan fasilitator benarbenar jangan ada kepentingan tersembunyi. !" Hal diatas diklarifikasi melalui perdebatan serius dan menghasilkan dasar saling percaya antara fasilitator dan warga. paling !" Perdebatan serius mengenai format dasar FMMS. bahwa !" Disepakati FMMS adalah media atau arena komunikasi dan transaksi berbagai pihak dalam masyarakat Majalaya, untuk memecahkan permasalahan. harus !" FMMS berusaha mendapat legitimasi masyarakat melalui kerja nyata. !" FMMS adalah wadah terbuka bagi seluruh masyarakat Majalaya.
55
TABEL 3.1 (LANJUTAN)
10. Tindak Lanjut
!" Tidak ada tindak lanjut. !" Forum tidak dapat bekerja dan tidak mempunyai visi dan komitmen.
!" Masing-masing komisi mulai bekerja dengan cara melakukan pendekatan kepada masing-masing pelaku di sektor ybs. mendapat !" Komisi penolakan dari pelaku sektoral dengan alasan tidak adanya legitimasi hukum dan pengakuan dari masyarakat.
11. Keterangan
Tema dialog terlalu teknis-pragmatis padahal warga tidak beratensi untuk langsung membicarakan persoalan ini.
Komisi yang dibentuk adalah : Komisi A untuk perkara Banjir,Permukiman Kumuh, dan Kesehatan; B untuk Pasar, Penataan Kota, Perizinan, dan PKL; C untuk Terminal dan Transportasi; D untuk Agama; dan E untuk Pendidikan, SDM, Sosial Budaya, dan Hukum.
melanjutkan !" FMMS inisiasi PKL, perbaikan jalan Cidawolong, dan persoalan lain yang ada di Majalaya. !" Semua rencana kerja FMMS tercantum dalam rencana kerja Komisi. untuk !" Khusus masalah format FMMS dibentuk tim khusus yang akan menyelesaikan draft format dalam waktu 1 bulan terhitung dari tanggal 09 Desember. Dalam dialog refleksi ini, terlihat adanya semangat warga yang semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan adanya kejelasan tentang arah kerja FMMS.
Perbedaan gerakan warga yang bersifat kooperatif dengan konfrontatif ini adalah pada satu hal penting yaitu posisi warga terhadap pemerintah. Dalam gerakan yang konfrontatif, semangat gerakannya adalah perlawanan terhadap pemerintah. Sedangkan dalam gerakan kooperatif, semangatnya adalah kerjasama dengan pemerintah. Gerakan yang kedua ini dapat dilakukan tidak terlepas dari kenyataan bahwa Pemerintah Kecamatan Majalaya yang baru berbeda dengan yang terdahulu. Disamping itu, adanya kesadaran warga tadi, bahwa konfrontasi dengan pemerintah mudah menimbulkan kesalahan orientasi gerakan itu sendiri. Ketiga tahapan yang dilalui warga Majalaya diatas, merupakan proses inisiasi terbentuknya FMMS. Dapat disimpulkan dari perjalanan tersebut bahwa FMMS dibentuk karena tidak adanya wadah yang dipecaya untuk menyelesaikan semua konflik pembangunan yang terjadi di Majalaya. Dari sisi posisi para pelakunya, FMMS bercitacita untuk menempatkan semua pelaku yaitu pemerintah dan warga dalam posisi yang adil. Adapun dari sisi FMMS sebagai suatu entitas. FMMS mengambil jarak yang sama terhadap semua kelompok kepentingan yang ada. Suatu ungkapan yang mudah mengasosiasikan kita kepada peran FMMS itu sendiri adalah bahwa FMMS merupakan
56
ring tinju bagi berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Wasitnya adalah kepentingan pembangunan dan kesejahteraan kota Majalaya. Dengan demikian, pemenang dari pertarungan kepentingan tersebut adalah kepentingan yang terdekat dengan kesejahteraan warga Majalaya. Kepentingan yang terkalahkan harus sportif untuk mengakui dan mendukung kepentingan yang dimenangkan (prioritas). ‘FMMS sebagai ring tinju’, adalah ungkapan yang sering dikemukakan oleh salah seorang Presidium FMMS, kepada warga Majalaya yang baru bergabung dalam kegiatan FMMS.
57
BAB 4 KAPASITAS FORUM MASYARAKAT MAJALAYA SEJAHTERA (FMMS) SEBAGAI RUANG TRANSAKSI SOSIAL DALAM PERENCANAAN
Kapasitas FMMS adalah kemampuan-kemampuan dasar yang harus dikembangkan agar ia dapat secara efektif menjadi organisasi yang berperan dalam kebijakan publik melalui proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya konsensus, sebagai awal tindak kolektif. Terdapat tiga kemampuan dasar yang harus dimiliki FMMS yaitu kemampuan untuk membangun karakter, membangun relasi dengan stakeholders, dan meraih capaian. Ketiga kemampuan dasar tersebut akan dibahas dalam bab ini. Sebelum membahas lebih lanjut, perlu terlebih dahulu didefinisikan 3 hal yang terkait dengan FMMS dan seringkali muncul dalam tiap bagian pembahasan. Ketiga hal tersebut adalah ‘partisipan FMMS’, ‘fasilitator FMMS’, dan ‘kegiatan FMMS’.
1. Partisipan FMMS (partisipan) Partisipan FMMS atau selanjutnya disebut partisipan adalah semua peserta yang pernah terlibat dalam kegiatan FMMS. Partisipan dapat dikelompokkan berdasarkan posisi fungsionalnya dalam FMMS dan posisinya dalam struktur sosial kemasyarakatan. Berdasarkan posisi fungsionalnya dalam FMMS, partisipan terbagi dua yaitu: 1.
Aktivis: adalah 17 orang partisipan yang tergabung sejak awal dan kemudian mengisi salah satu posisi fungsional FMMS. Posisi tersebut adalah Presidium, Komisi, Sekretaris FMMS, dan Kepala Kesekretariatan.
2.
Partisipan bukan aktivis: adalah semua partisipan selain 17 orang aktivis.
Kemudian berdasarkan posisinya dalam struktur sosial kemasyarakatan, partisipan terbagi dua yaitu: 18
1. Partisipan-privilege: adalah partisipan yang memiliki privilege . 2. Partisipan biasa: adalah partisipan yang tidak memiliki privilege.
Definisi partisipan berdasarkan kedua kriteria diatas diilustrasikan dalam gambar sbb:
18
Privilege adalah right or advantage available only to a person, class, or rank; special favour (Oxford Learners Pocket Dictionary: 294). Dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hak dan keuntungan tertentu karena posisi struktural formal dalam isu publik. Dalam kasus FMMS, partisipan-privilege adalah partisipan yang berada dalam posisi Bupati, Ketua DPRD, Camat, Kapolsek, Danramil, Anggota BPD, dan Kades.
58
GAMBAR 4.1 DEFINISI PARTISIPAN FMMS
Ket : : Partisipan : Aktivis : Aktivis-privilege : partisipan-privilege
Adapun 17 aktivis FMMS dengan masing-masing posisi fungsionalnya adalah sebagai berikut:
TABEL IV.1 DAFTAR NAMA AKTIVIS FMMS
Aktivis FMMS 1. H. Satya Natapura SH 2. Hikmat Budiman 3. Drs. Syarief Hidayat 4. Rachmat Partasasmita SH 5. H. Otjo Sutisna
Pekerjaan Pengusaha tekstil Kades Padaulun Camat Majalaya Camat Soreang
Posisi Fungsional Presidium Presidium Presidium Presidium
Alamat (Desa) Padamulya Padaulun Desa Majakerta Desa Panyadap
Presidium
Desa Panyadap
Presidium Presidium
8. Drs. Asep Somantri 9. Dudung Supriatna 10. Mateta SH 11. Ir. Deden Suwega 12. Drs. Edi Tashyadi
Kades Panyadap & Praktik Klinik Masyarakat Ketua Asosiasi BPD Majalaya BPD Rancankasumba/Pendiri dan Guru Boxer BKKBN Kecamatan Ketua Koppas/BPD Panyadap Karyawan PT. KAI Ketua PPTM Guru/Manajer Pabrik Tekstil
13. Jujun Wachjudin 14. Dudu Kosasih 15. Yulius Sugiarto SH
BKKBN Kecamatan Karyawan Kecamatan Pengusaha tekstil
Presidium Presidium Presidium Presidium Presidium/Sekretaris Presidium Kepala Sekretariat Komisi Komisi
Desa Neglasari Desa Rancakasumba Desa Bojong Desa Panyadap Desa Majakerta Desa Padamulya Desa Majalaya
16. H. Tantan 17. Drs. Hedy Mulyadi
BPD Majalaya Guru/Wiraswasta
Komisi Komisi
6. H. Endang Komasudin 7. Iwan Setiawan
Desa Sukamaju Desa Sukamaju Desa Talun, Kec. Ibun Desa Majalaya Desa Majalaya
Sementara itu, partisipan bukan aktivis berkembang terus sesuai dengan kegiatan yang sedang dilakukan. Partisipan bukan aktivis berasal dari berbagai kalangan dan
59
terlibat dalam berbagai isu yang dibahas FMMS, sebagaimana dijelaskan dalam tabel dibawah ini.
TABEL IV.2 DAFTAR NAMA PARTISIPAN FMMS
Partisipan 1. Perwakilan BPD 2. Kades 3. Forum Masyarakat PKL (FMPKL) Majalaya 4. Forbes 5. LSM Majalaya Berdikari 4. Para Pedagang Kakilima (PKL) 5. Unit Pasar Majalaya 6. Para pengusaha tekstil 7. Dinas PU Bina Marga 8. Kapolsek Majalaya 9. Danramil Majalaya 10. P3A Mitra Cai Kecamatan Majalaya 11. Persatuan Pemuda Pelajar Majalaya 12. John Gaventa 13. Rose Marrie 14. Hans Antlov 15. Elyadi 16. Tatang R.W. 17. Endang Suhendar 18. Dodo Juliman 19. SBSI, SPTSK, FSBI, GOBSI, FPI.
Asal 11 desa di Majalaya, 7 desa di Solokan Jeruk, 3 desa di Ibun, 2 desa di Paseh Semua desa diatas Majalaya Majalaya Majalaya Majalaya Majalaya Majalaya Bandung Majalaya Majalaya Majalaya
Kegiatan yang pernah diikuti Pembahasan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Majalaya
Pembahasan penataan PKL
Pembahasan perbaikan jalan Cidawolong Pertemuan mingguan FMMS
Majalaya Ahli perencanaan partisipatif dari Inggris dan Philippina Direktur Program Ford Foundation Wakil Bupati Kab. Bandung Kabid. Fisik dan Prasarana Kab. Bandung AKATIGA Bandung Community Based Information Network Resource Institute Organisasi-Organisasi Buruh Cabang Majalaya
20. 22 pengusaha tekstil terbesar
Majalaya
21. Forum Jatinangor 22. Forum Sragen
Jatinangor Sragen
Kemudian aktivis-privilege adalah sbb:
Perkenalan keberadaan FMMS dan pembentukan komitmen untuk bekerjasama dalam mediasi konflik buruh-pengusaha Perkenalan keberadaan FMMS dan pembentukan komitmen untuk bekerjasama dalam mediasi konflik buruh-pengusaha dan persoalan pembangunan Majalaya pada umumnya Silaturahmi antar Forum Warga
60
TABEL IV.3 DAFTAR NAMA AKTIVIS-PRIVILEGE DI FMMS
Nama 1. Hikmat Budiman 2. Drs. Syarief Hidayat 3. Rachmat Partasasmita SH 4. H. Otjo Sutisna 5. H. Endang Komasudin 6. Iwan Setiawan 7. Dudung Supriatna 8. H. Tantan
Posisi dalam isu publik Kades Padaulun Camat Majalaya Camat Soreang
Alamat (desa) Desa Padaulun
Kades Panyadap & Praktik Klinik Masyarakat BPD Neglasari/Ketua Asosiasi BPD Majalaya BPD Rancankasumba/Pendiri dan Guru Boxer BPD Panyadap/Ketua Koppas BPD Majalaya
Desa Panyadap Desa Neglasari Desa Rancakasumba Desa Panyadap Desa Majalaya
Kec. Bojongsoang Desa Panyadap
Setelah partisipan terdefinisi dengan jelas, maka berikutnya adalah pendefinisian fasilitator FMMS.
2.
Fasilitator FMMS (fasilitator)
Fasilitator adalah pihak bukan warga Majalaya yang mendampingi setiap kegiatan FMMS, tetapi tidak memiliki posisi fungsional apapun dalam FMMS. Fasilitator adalah pihak yang akan sering disebut dalam pembahasan kapasitas FMMS. Sebagaimana dijelaskan dalam bab terdahulu bahwa ada berbagai pihak yang memfasilitasi kelahiran FMMS. Namun demikian, setelah FMMS berdiri dan paling tidak selama periode pengamatan untuk penelitian ini, fasilitator yang terlibat adalah Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives (IPGI) Bandung. Dengan demikian maka dalam pembahasan ini, setiap kata fasilitator mengacu kepada IPGI, kecuali mendapat penjelasan lebih lanjut.
3.
Kegiatan FMMS
Kegiatan FMMS adalah dialog tentang berbagai isu pembangunan Majalaya dan pelaksanaan berbagai kesepakatan yang dihasilkan dari dialog tersebut. Dalam dialog, dihadirkan
berbagai
pihak
yang
berkaitan
langsung
maupun
tidak
langsung
(stakeholders) dengan isu tersebut. Dalam pelaksanaannya seringkali dialog itu menghasilkan kesepakatan untuk melakukan tindak lanjut penanganan persoalan dalam isu tersebut. Namun demikian, lebih sering lagi dialog tersebut berupa pertukaran informasi dan pengartikulasian ide-ide partisipan atas persoalan yang ada. Berdasarkan definisi tentang kegiatan FMMS diatas, maka dalam pembahasan tentang kapasitas FMMS dalam bab ini, setiap kata kegiatan akan mengacu kepada definisi ini, kecuali mendapat penjelasan lebih lanjut. Setelah pendefinisian partisipan, fasilitator, dan kegiatan FMMS secara jelas, maka kita akan segera memasuki pembahasan kapasitas FMMS.
61
4.1
Kemampuan FMMS untuk Membangun Karakter Forum Warga Kemampuan membangun karakter, yaitu kemampuan FMMS untuk menginisiasi dan
memelihara identitas Forum Warga sebagai pemeran dalam kebijakan publik melalui proses pengembangan konsensus sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Pencitraan FMMS terjadi melalui proses dinamis yang dilalui FMMS sejak awal pembentukan sampai FMMS itu sendiri tidak ada lagi. Adapun pencitraan yang lain dapat dilakukan melalui pembentukan Anggaran Dasar FMMS. Cara yang kedua ini lebih mudah untuk dilakukan, namun kurang relevan untuk menjadi dasar pemahaman karakter FMMS sebenarnya, sebab proses penuangan identitas lewat teks Anggaran Dasar jauh lebih mudah daripada melalui pelaksanaannya. Oleh karena itu, untuk keperluan pengidentifikasian karakter FMMS, pengamatan proses dinamis FMMS lebih relevan daripada analisis isi Anggaran Dasar FMMS.
4.1.1
Relasi non-Hirarkis
Karater pertama yang harus dimiliki FMMS adalah adanya relasi non-hirarkis. Relasi non hirarkis adalah pola hubungan antar partisipan FMMS yang mengedepankan kesetaraan sehingga semua partisipan dapat berkontribusi terhadap segala urusan yang sedang ditangani sesuai dengan potensinya. Istilah ini sebenarnya identik dengan pola hubungan egaliter. Untuk mengetahui karakter ini, maka dilakukan pengamatan terhadap pola hubungan antara : 1. Aktivis dengan partisipan bukan aktivis. 2. Partisipan-privilege dengan partisipan biasa.
Pengamatan terhadap dua pola hubungan ini dilakukan mengingat dua pertanyaan sbb: 1. Apakah aktivis (sebagai partisipan yang memiliki posisi fungsional dalam FMMS) menunjukkan perilaku memonopoli dan mendominasi kontribusi terhadap segala urusan yang sedang ditangani, sehingga mengurangi kesempatan partisipan bukan aktivis untuk berkontribusi? 2. Apakah partisipan-privilege (sebagai partisipan yang menempati struktur sosial lebih tinggi) menunjukkan perilaku penggunaan privilege-nya untuk memonopoli dan mendominasi kontribusi terhadap segala urusan yang sedang ditangani, sehingga mengurangi kesempatan partisipan biasa untuk berkontribusi?
1. Pola hubungan aktivis dengan partisipan bukan aktivis Pola hubungan antara aktivis dengan partisipan bukan aktivis bermula dari kesadaran para aktivis tentang dimana sebenarnya posisi FMMS terhadap berbagai kepentingan dan kelompok masyarakat Majalaya. Kesadaran para aktivis FMMS terwakili
62
oleh perumpamaan tentang FMMS oleh salah seorang Presidiumnya yaitu H. Satya. Beliau memisalkan bahwa FMMS adalah ring tinju. Setiap kepentingan boleh untuk diperadukan dalam ring dengan wasit yang adil yaitu kepentingan masyarakat Majalaya. Pemenang dari adu kepentingan ini adalah kepentingan yang paling banyak menguntungkan dan paling sedikit merugikan masyarakat Majalaya. Sebagai ring tinju maka FMMS memerlukan penjaga. Aktivis itulah yang menjadi penjaga ring. Aktivis sama sekali bukan boss yang dilayani, mereka hanyalah penjaga agar di ring tinju ini selalu ada pertandingan. Berawal dari kesadaran filosofis ini maka aktivis FMMS terus melakukan upaya perluasan gerakan dengan mengajak berbagai lapisan masyarakat Majalaya menjadi partisipan. Kemudian hubungan antara dua kelompok partisipan ini pun sangat egaliter. Beberapa kasus yang menunjukkan kesabaran aktivis FMMS dalam upaya memperluas partisipan tercatat dalam tabel sbb:
TABEL IV.4 RANGKUMAN KASUS YANG MENGILUSTRASIKAN POLA HUBUNGAN ANTARA AKTIVIS DENGAN PARTISIPAN BUKAN AKTIVIS
Konteks terjadinya kasus Penjelasan status anggaran untuk perbaikan jalan Cidawolong oleh Dinas PU Kab. Bandung Permintaan saudara Uu dan Zainal (Warga Desa Biru) tentang FMMS
Penyampaian usul dari seorang warga Padamulya kepada Presidium FMMS dalam rapat rutin FMMS
Deskripsi kasus Dalam pertemuan ini aktivis FMMS mempersilakan utusan Dinas PU untuk menjelaskan apakah rencana perbaikan jalan Cidawolong sudah termasuk dalam anggaran tahun 2001. Sejak awal pertemuan Presidium FMMS menjelaskan bahwa mereka adalah warga yang ingin berkontribusi dalam pembangunan tetapi sampai saat ini belum mengetahui duduk perkara jalan ini secara tepat. Pertemuan ini adalah pertemuan rutin FMMS, yang antara lain dihadiri oleh 11 aktivis. Pada kesempatan itu, Uu dan Zainal menjelaskan bahwa mereka mendengar dari temannya bahwa sejak awal tahun 2001, setiap Jum’at malam diadakan pertemuan FMMS yang terbuka untuk warga. Mereka ingin terlibat kalau misi dan kegiatan FMMS sesuai dengannya, oleh karena itu meminta Presidium menjelaskan tentang apa itu FMMS. Dengan sabar, Presidium menjelaskan, meskipun diantara 20 orang hadirin hanya 2 orang ini yang baru bergabung. Seorang warga Padamulya yang terletak jauh dari sekretariat mendatangi FMMS dan menjelaskan bahwa ia berniat mengajukan usulan kegiatan kepada FMMS. Usulannya adalah agar FMMS mau memfasilitasi program persamaan pendidikan SLTA. Ia mempunyai relasi yang bersedia untuk menanamkan modalnya di Majalaya. Penawaran ini sempat dibahas meskipun kesimpulannya FMMS tidak mempunyai prioritas untuk menangani program ini sekarang.
2. Pola hubungan pemilik-privilege dengan partisipan biasa Terdapat beberapa kasus yang mengilustrasikan pola hubungan antara partisipanprivilege dengan partisipan biasa. Kejadian tersebut pada umumnya berlangsung dalam konteks kunjungan para pejabat pemilik privilege dalam pertemuan rutin FMMS.
63
TABEL IV.5 RANGKUMAN KASUS YANG MENGILUSTRASIKAN POLA HUBUNGAN ANTARA PARTISIPAN-PRIVILEGE DENGAN PARTISIPAN BIASA
Konteks terjadinya kasus Pembahasan Anggaran Dasar FMMS
Penjelasan pandangan Pemda Kab. Bandung terhadap persoalan PKL di Majalaya Studi Banding FMMS dan persiapan Panitia RDTRK
4.1.2
Deskripsi kasus Dalam pembahasan tentang struktur organisasi, partisipan biasa mempertanyakan posisi Drs. Syarief selaku Presidium FMMS yang sekaligus Camat Majalaya. Mereka menginginkan agar FMMS benar-benar merupakan gerakan warga, maka jangan sampai ada unsur Muspika (Camat, Danramil, dan Kapolsek) yang menjadi Presidium. Pak Camat sebagai partisipan-privilege menegaskan bahwa ia memahami kekhawatiran warga Majalaya terhadap birokrasi. Namun demikian ia menegaskan bahwa ia akan tetap bergabung di FMMS dalam kapasitasnya sebagai seorang ‘Syarief’ yang peduli terhadap Majalaya. Wakil Bupati (Elyadi) menghadiri pertemuan rutin FMMS untuk m enjelaskan sikap Pemda tentang upaya penanganan PKL. Dalam kesempatan ini hadir beberapa orang PKL yaitu Ujang, Uloh, Enjang, dan pengurus Forum PKL yaitu Hedi. Mereka berdialog dan menjelaskan harapannya agar Pemda tidak menerapkan pendekatan lama yaitu penertiban oleh Tibum. Dalam acara ini, terlihat sekali keakraban partisipan FMMS. Sejak pemberangkatan, pembagian kamar di lokasi, dan acara inti, partisipan berbaur dengan akrab. Dalam acara tersebut hadir antara lain Camat Majalaya, 24 orang BPD dari 18 Desa, dan 7 orang Kades.
Komitmen Sosial Partisipan
Komitmen sosial partisipan adalah konsistensi keterlibatan partisipan dalam kegiatan FMMS dan pelaksanaan kesepakatan FMMS yang menjadi tanggung jawabnya. Berdasarkan kategori partisipan dan jenis kegiatan FMMS, maka unit pengamatan untuk karakter yang kedua ini, lebih tepat adalah aktivis dan partisipan bukan aktivis. Aktivis perlu untuk diidentifikasi tersendiri mengingat posisi keterlibatan dan 19
tanggung jawab mereka sebagai penggerak FMMS . Adapun partisipan bukan aktivis berbeda dalam hal total pertemuan yang mereka ikuti lebih sedikit karena sifat keterlibatannya temporer kasuistis.
1. Komitmen sosial aktivis Untuk mengilustrasikan komitmen sosial aktivis dari sisi tingkat kehadirannya, maka dapat dilihat dari persentase kehadiran masing-masing aktivis tersebut terhadap total pertemuan rutin FMMS yang diselenggarakan sejak keterlibatannya dalam FMMS. Dari periode pengamatan Oktober 2000 sampai dengan Juli 2001, persentase kehadiran mereka terlihat dalam tabel sbb:
19 Dalam pertemuan pembentukan FMMS, 21 Oktober 2000, yang dihadiri oleh para tokoh terpilih sebagai stakeholders kunci Majalaya, oleh IPGi sebagai fasilitator, disepakati bahwa Presidium dan Komisi adalah penggerak FMMS.
64
TABEL IV.6 PERSENTASE KEHADIRAN AKTIVIS FMMS TERHADAP TOTAL PERTEMUAN RUTIN FMMS SEJAK KETERLIBATANNYA
Aktivis FMMS 1. Satya Natadipura 2. Hikmat Budiman 3. Syarief Hidayat 4. Rachmat Partasasmita 5. Otjo Sutisna 6. Endang Komasudin 7. Iwan Setiawan 8. Asep Somantri 9. Dudung Supriatna 10. Mateta 11. Deden Suwega 12. Edi Tashyadi 13. Jujun Wachjudin 14. Dudu Kosasih 15. Yulius Sugiarto 16. H. Tantan 17. Hedy Mulyadi
Total Pertemuan Rutin 22 22 24 24 24 24 24 24 24 24 13 12 22 24 24 24 24
Jumlah Kehadiran 13 19 19 14 6 16 21 19 15 9 12 8 18 20 11 3 13
Persentase kehadiran 59% 86% 79% 58% 25% 67% 87.5% 79% 62.5% 37.5% 92% 67% 82% 83% 46% 12.5% 54%
Dari data diatas nampak bahwa tingkat kehadiran aktivis FMMS cukup tinggi. Dari 17 aktivis hanya 4 orang yang tingkat kehadirannya di bawah 50%, yaitu H. Tantan, Otjo Sutisna, Mateta, dan Yulius Sugiarto. Fenomena ini dapat dijelaskan antara lain dari pekerjaan sehari-hari yang dilakukan keempat aktivis ini. Untuk H. Tantan, diketahui bahwa selain sebagai anggota BPD Majalaya, beliau juga adalah seorang pedagang di Pasar Majalaya. Kios yang dimilikinya buka dari jam 08.00 WIB sampai dengan 17.00 WIB. H. Otjo Sutisna sehari-hari membuka klinik perawatan kesehatan yang buka pada jam 07.00-11.00 WIB, dan pukul 16.00-18.00 WIB. Menurut beliau, keuntungan dari praktik ini rata-rata Rp. 500.000,- perhari. Kedua aktivis lainnya tidak jauh berbeda. Mateta adalah karyawan PT. KAI yang setiap hari harus pulang pergi Ciamis-Majalaya. Waktunya tersita dengan pekerjaan ini. Kemudian Yulius Sugiarto adalah seorang pengusaha. Kegiatan bisnisnya membutuhkan perhatian yang tinggi dirinya. Untuk mengidentifikasi komitmen sosial aktivis dari sisi pelaksanaan tanggung jawab yang pernah disepakati di FMMS, dapat diilustrasikan dari data tentang kesepakatan yang harus ditindaklanjuti dan realisasinya sbb:
65
TABEL IV.7 KESEPAKATAN FMMS YANG MENJADI TANGGUNG JAWAB AKTIVIS DAN PROSES PELAKSANAANNYA
Kesepakatan
Membentuk panitia Adhoc untuk menyelesaikan Anggaran Dasar (AD) FMMS.
Kesepakatan untuk segera menetapkan sekretariat FMMS. Harus sudah dapat digunakan pada pertemuan minggu depan (020201) Kesepakatan untuk memulai pendataan awal PKL Kesepakatan untuk membuat ‘Buku Sejarah Majalaya’. Program pemasangan lampu pada daerah publik yang gelap. Kesepakatan untuk mengadakan pertemuan FMMS dengan para pengusaha besar Majalaya. Kesepakatan untuk mengadakan anjang sono FMMS dengan BPD Kesepakatan untuk mengadakan pertemuan dengan Serikat-Serikat Buruh di Majalaya pada 19 Februari 2001 Penugasan Kepala Sekretariat (J. Wachjudin) untuk menyusun draft Tata Tertib Rapat FMMS. Harus selesai minggu depan (160301)
Pihak yang Bertanggung jawab Rahmat Partasasmita, dkk
Kepala Sekretariat FMMS
Dudung (Komisi B)
dkk
Pelaksanaan
Terlaksana. Panitia AdHoc menindaklanjuti kesepakatan ini. Pembahasan diantaranya dilakukan pada 12 Januari 2001 di rumah H. Satya N, dan beberapa pertemuan lainnya. Konsep AD terus berkembang dan akhirnya mengkerucut sebagai konsep AD yang akan dibawa ke dalam Dialog Warga yang harus diselenggarakan oleh Presidium FMMS. Penyelesaian konsep AD ini adalah pada 16 Maret 2001. Terlaksana. Dalam waktu seminggu, berhasil ditetapkan sekretariat FMMS, yaitu di desa Padamulya dekat Pabrik Sipatex, bekas Rumah Dinas Perusahaan Daerah Industri Jawa Barat.
Terlaksana. Pada 20 April 2001, Komisi B didampingi fasilitator selesai menjalankan pendataan awal.
Tidak jelas
Tidak terlaksana
Tidak jelas
Tidak terlaksana
Presidium
Terlaksana. Pertemuan ini bersifat perkenalan dan penggalangan komitmen moral untuk mediasi buruhpengusaha. Pertemuan berhasil diselenggarakan pada 27 Februari 2001.
Presidium
Tidak terlaksana. Seharusnya FMMS mengunjungi desa-desa di Majalaya, tetapi pelaksanaannya adalah pertemuan dilakukan di Sekretariat dengan perwakilan BPD. Terlaksana. Pertemuan ini bersifat perkenalan dan penggalangan komitmen moral untuk mediasi buruhpengusaha. Pertemuan berhasil diselenggarakan pada 19 Februari 2001.
Presidium
J. Wachjudin (Kepala Sekretariat)
Terlaksana. Draft berhasil disusun dan akhirnya disepakati dalam pertemuan FMMS minggu berikutnya.
66
Dalam tabel diatas terlihat jelas bahwa sebagian besar kesepakatan dapat direalisasikan. Ketiga kesepakatan yang tidak terlaksana adalah pembuatan buku sejarah Majalaya, pemasangan lampu, dan pertemuan anjang sono FMMS dengan BPD. Beberapa fakta yang berkaitan dengan fenomena ini sedikit banyak bermanfaat dalam mempertajam ilustrasi. Untuk pembuatan buku sejarah, suasana pertemuan waktu itu masih sangat diwarnai oleh semangat untuk melakukan segala hal, padahal FMMS pada saat tersebut belum mempunyai kerangka kerja yang jelas, yang akan menentukan apa yang akan digarap dan apa yang tidak diprioritaskan. Kemudian, pada saat komitmen itu dibuat, FMMS belum berhasil menunjuk siapa yang bertanggungjawab untuk melaksanakannya. Hal yang terakhir ini, sama dengan kesepakatan untuk memasang lampu di tempat umum, yang juga pada akhirnya tidak terlaksana. Ide acara anjang sono ke BPD, mirip dengan ide pertemuan dengan para pengusaha tekstil dan serikat buruh, yaitu ingin memperkenalkan diri. Hal ini sebenarnya telah dicoba ditindaklanjuti oleh Anggota Presidium yang sekaligus BPD di desa tertentu. Adapun kendalanya adalah ide tersebut kalah menarik dengan ide pertemuan dengan para pengusaha tekstil dan serikat buruh, dalam konteks kepentingan segera membangun komitmen moral untuk mediasi konflik buruh-pengusaha.
2. Komitmen sosial partisipan bukan aktivis FMMS Mengingat partisipan bukan aktivis terlibat dalam kegiatan yang lebih bersifat kasuistis, maka tidak relevan apabila komitmen sosialnya diidentifikasi dari sisi tingkat kehadirannya. Oleh karena itu komitmen sosial partisipan bukan aktivis lebih tepat diidentifikasi dari sisi pelaksanaan kesepakatan yang pernah dilakukan dalam pertemuan yang mereka hadiri. Hal tersebut tersajikan dalam tabel sbb: TABEL IV.8 KESEPAKATAN FMMS YANG MENJADI TANGGUNG JAWAB PARTISIPAN BUKAN AKTIVIS DAN PROSES PELAKSANAANNYA
Kesepakatan
1. Akan dilakukan pemindahan sementara PKL yang berada di lokasi paling menimbulkan kemacetan (pada waktu itu digambarkan) ke lokasi lain dan lokasi itu tidak boleh diisi lagi
Pihak yang Bertanggung Jawab Semua peserta yang hadir disana melalui koordinasi oleh Komisi B FMMS
Pelaksanaan
Tidak terlaksana. Dua minggu kemudian diketahui bahwa bakal lokasi baru untuk beberapa PKL terpindahkan, ternyata telah diisi oleh PKL baru. Setelah diusut belakangan diketahui bahwa ada oknum Pemerintah Desa yang menjual lapak kepada PKL baru ini.
67
TABEL IV.8 (LANJUTAN)
2. Pembentukan Tim Khusus yang akan menjadi motor penggerak perubahan RDTRK secara partisipatif
Satya N, Rahmat P, Wulan, Deden, Hedi
3. Akan dilakukan penertiban para oknum Pemerintah Desa yang mengambil keuntungan dari PKL dengan berbagai pungutan ilegal 4. Klarifikasi penggunaan dana perbaikan jalan Cidawolong kepada warga terutama warga desa Biru yang pernah membentuk kepanitiaan untuk maksud serupa 5. Pembentukan Panitia Pembahasan RDTRK yang akan mengawal proses partisipatif di desa
FMMS
Terlaksana. Kelima anggota Tim Khusus ini berhasil melaksanakan komitmennya untuk menjadi motor penggerak partisipasi warga dalam RDTRK. Kegiatan pertama yang diselenggarakan adalah Pelatihan Sistem Perencanaan Publik sebagai pembekalan kepada warga dalam pembahasan RDTRK. Dalam kegiatan ini, IPGI berperan besar dalam menentukan materi dan dan pematerinya. Terlaksana. Komitmen FMMS ini dilaksanakan dengan adanya gerakan warga yang disebut Forum Masyarakat Peduli (Desa) Majalaya, yang berhasil menurunkan Kades Majalaya yang sejak awal diduga berada dibalik penjualan lapak ke PKL.
Pansus Cidawolong (Hikmat Budimana dkk)
Terlaksana. Pada keesokan harinya juga, Hikmat Budiman selaku Ketua Pansus Cidawolong menjelaskan pendanaan kepada Aparat Pemerintahan Desa Biru. Diperkuat oleh penyebaran Berita Warga yang berisikan hal tersebut kepada BPD di desa lain.
1. perwakilan BPD dari 18 Desa @ 1 org 2. Perwakilan Kades 18 Desa: Ketua Forum Kades 3. Aktivis FMMS: 5 org 4. Perwakilan ormas lokal: 2 org
Terlaksana. Sampai akhir bulan Juli Panitia ini telah melalui tahap konsolidasi dan penyusunan rencana. Panitia telah mengadakan 4 pertemuan yang akan segera ditindaklanjuti oleh pelaksanaan di tiap desa.
Berdasarkan data di atas, nampak bahwa ada satu kesepakatan penting yang tidak dilaksanakan partisipan pertemuan pada 12 Januari tersebut. Kejadian ini menimbulkan kekecewaan besar di kalangan partisipan yang waktu itu terdiri dari aktivis FMMS, BPD dan Kades beberapa desa di Majalaya, unit Pasar Majalaya, serta Camat dan stafnya. Menurut temuan Komisi B, diketahui bahwa ada oknum yang mengetahui bahwa rencana relokasi tersebut diketahui olehnya dan akhirnya lapak dijual kepada PKL baru. Salah satu isu yang beredar kuat adalah oknum Kades yang diturunkan dari jabatannya pada 18 Mei 2001. Kejadian ini sempat membuat keraguan warga terhadap FMMS. Beruntung bahwa kesepakatan lainnya bisa dilaksanakan seperti kepanitiaan RDTRK dan Cidawolong.
4.1.3
Pembelajaran Bersama
Pembelajaran bersama adalah proses alih pengetahuan, gagasan, dan ketrampilan antar partisipan maupun partisipan dengan fasilitator dalam kegiatan FMMS. Proses alih
68
pengetahuan dan gagasan dapat diidentifikasi berdasarkan wacana yang pernah dibahas di FMMS. Sedangkan proses alih ketrampilan dapat diidentifikasi dari pelaksanaan suatu kesepakatan dan pelatihan ketrampilan yang khusus diadakan untuk itu. Berdasarkan pengamatan proses alih pengetahuan dan gagasan dalam FMMS terjadi cukup intensif. Hal ini terilustrasikan dalam data tentang wacana utama di tabel berikut ini.
TABEL IV.9 WACANA UTAMA YANG PERNAH DIBAHAS DALAM KEGIATAN FMMS
Wacana 1. Forum Warga dan Pembangunan Kota
Pihak yang Terlibat Fasilitator dan FMMS
2. Sejarah Kota Majalaya
Fasilitator FMMS
dan
3. Kebijakan pemerintah dalam isu jalan (sarana transportasi)
FMMS dan Dinas PU Bina Marga Kab. Bandung
4. Pertimbangan pengusaha dalam menentukan upah buruh 5. Prinsip Serikat Buruh dalam memperjuangk an hak buruh 6. Silaturahmi dengan Forum Warga lainnya
Asosiasi Pengusaha Indonesia Majalaya FMMS
dan
SBSI, SPTSK, FSBI, GOBSI, FPI, dan FMMS
Forum Warga Jatinangor dan Sragen
Materi dan Proses Pembahasan Dalam kesempatan ini dibahas tentang perlunya ada ruang kebebasan bagi warga untuk menyuarakan aspirasinya setelah sekian lama mereka tidak berhak melakukannya. Ruang aspirasi itu harus netral terhadap semua kepentingan kecuali kepentingan Majalaya keseluruhan. Dalam proses ini, fasilitator mempunyai peran besar dalam mentransfer wacana tentang demokratisasi pembangunan. Selain itu, terjadi pula proses transfer dari pihak aktivis yang kebetulan merupakan Camat di Majalaya dan Soreang bahwa pemerintah kecamatan mendukung paradigma baru tersebut Dalam kesempatan ini, fasilitator mendapat pengetahuan dari sumber tokoh Majalaya yang mengetahui sejarah Majalaya. Pengetahuan ini menjadi bekal berharga bagi pemahaman konteks sosial lokal PU menjelaskan kepada warga tentang adanya hirarki jalan dan berarti pula adanya hirarki tanggung jawab pengelolaan. Dijelaskan pula bahwa jalan Cidawolong termasuk jalan propinsi sehingga anggaran pengelolaannya ada di propinsi. Untuk tahun ini diketahui bahwa APBD Propinsi telah mengalokasikan 800 Juta Rupiah untuk perbaikan jalan Bale Endah – Cijapati, termasuk didalamnya adalah titik jalan Cidawolong Pertemuan ini diselenggarakan dalam rangka silaturahmi FMMS dengan para pengusaha. Meskipun mungkin sangat minimal, dalam pertemuan itu para pengusaha menjelaskan pertimbangan utama masing-masing dalam menentukan upah. Misalnya dari sisi hak normatif pekerja Pertemuan ini diselenggarakan dalam rangka silaturahmi FMMS dengan serikat buruh yang ada di Majalaya. Serikat buruh menjelaskan visi dan prinsip mereka dalam memperjuangkan hak buruh serta bentuk kerja sama antar masing-masing serikat buruh dengan perusahaan Dalam silaturahmi ini, FMMS dan Forum Warga Sragen dan Jatinangor saling bertukar pengalaman tentang kesulitan dan potensi yang dimiliki masing-masing dalam upaya menggalang partisipasi warga dalam pembangunan
69
TABEL IV.9 WACANA UTAMA YANG PERNAH DIBAHAS DALAM KEGIATAN FMMS Wacana 7. Sistem perencanaan publik
Pihak yang Terlibat Bappeda, fasilitator, pakar perencanaan, FMMS
8. Proses penataan PKL oleh warga dan Pem. Kecamatan dan Desa Pangandaran
Pem. Kec. Pangandaran, BPD dan Kades Pangandaran, BPD dan Kades Babakan, fasilitator dan FMMS
Materi dan Proses Pembahasan Wacana sistem perencanan publik mulai masuk dalam pembahasan FMMS sejak pembentukannya, sebab awal pembentukannya pun dimulai dari upaya mencari solusi atas persoalan kota Majalaya. Pembahasan makin intensif ketika memasuki kasus PKL dan RDTRK. Kemudian proses alih pengetahuan terjadi dengan baik di pelatihan RDTRK pada bulan Juni. Disini peran para pakar dan fasilitator yang lebih memahami wacana ini, cukup besar Penataan PKL adalah isu yang juga dihadapai oleh Pem. Pangandaran. Dalam pertemuan ini FMMS mendapat pelajaran berharga tentang proses pembangunan komitmen warga, pemerintah, dan PKL Pangandaran untuk menata PKL. Terutama tentang komitmen pemerintah setempat untuk tidak memungut iuran yang dapat melegitimasi PKL.
Dari delapan contoh kasus tersebut, tergambarkan betapa dalam setiap pertemuan yang diadakan, terjadi proses alih pengetahuan. Proses ini menjadi daya tarik tersendiri buat para partisipan baru untuk menambah pengetahuan dan wawasannya. Kemudian tidak dapat diabaikan pula bahwa peran fasilitator cukup besar dalam mengelola wacana di FMMS. Pada masa berikutnya diharapkan bahwa proses pembelajaran tidak sekedar pada sisi pengetahuan melainkan pada taraf ketrampilan yang berguna untuk pelaksanaan suatu gagasan. Kemudian dalam hal alih ketrampilan, proses ini masih berada dalam tahap permulaan. Alih ketrampilan yang terjadi dilakukan dalam bentuk pelatihan yang diadakan fasilitator atau pengiriman perwakilan aktivis FMMS oleh fasilitator terhadap suatu kegiatan tertentu. Beberapa contohnya adalah : 1. Pelatihan media komunitas (buletin komunitas dan radio komunitas) di Jakarta. Dalam pelatihan ini fasilitator mengirimkan 3 orang warga yaitu saudara Hedi, Enjang, Wawan, dan satu orang community organizer yaitu Rahmat. 2. Pelatihan community organizer yang diadakan IPGI, dengan mengikutkan 2 orang warga yaitu Wulan dan Ranti, dari Forum Pemuda Pelajar Majalaya.
Berdasarkan pengamatan, ketrampilan teknis pengorganisasian komunitas yang dimiliki oleh fasilitator
20
yang mendampingi komunitas belum teralihkan ke partisipan
FMMS. Hal ini terlihat dari upaya mobilisasi PKL yang masih dominan dilakukan oleh fasilitator bukan oleh, misalnya, Komisi B FMMS yang membidangi masalah tersebut. Hal
20 IPGI menempatkan 6 orang fasilitator yang khusus bekerja sebagai pengorganisir komunitas. Keenamnya tinggal langsung dilokasi.
70
ini antara lain dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa alih ketrampilan membutuhkan waktu yang lebih panjang dari alih pengetahuan dan gagasan.
4.1.4
Keterbukaan Keterbukaan
kepentingan
dan
adalah
sikap
terus
pandangannya
terang
terhadap
partisipan suatu
dalam
persoalan,
menyampaikan serta
adanya
penginformasian kegiatan FMMS kepada semua lapisan masyarakat. Keterbukaan ini teridentifikasi dengan adanya penyebarluasan semua kegiatan yang akan, sedang, dan pernah dilakukan FMMS kepada warga Majalaya, khususnya masalah pendanaan sebagai isu yang sensitif. Keterbukaan berperan besar dalam hal pembangunan persepsi positif FMMS di mata warga yang akan bermuara kepada pembentukan konstituen secara efektif, dan adanya mekanisme kontrol terhadap FMMS sendiri. Disamping penyebarluasan informasi ke luar FMMS, keterbukaan juga teridentifikasi oleh adanya kemauan dari masing-masing partisipan FMMS dalam menyampaikan kepentingannya tentang suatu perkara yang sedang dibahas. Penyampaian kepentingan secara transparan ini, akan bermuara kepada mudahnya mencapai suatu kesepakatan dialog dalam FMMS. Keterbukaan dalam hal ini, teridentifikasi dari adanya perdebatan dalam proses pengambilan keputusan. Untuk
lebih
detail
membahas
karakter
keterbukaan
FMMS,
dilakukan
pengidentifikasian pada dua unit analisis yaitu arus informasi di dalam FMMS dan arus informasi dari FMMS ke luar FMMS.
1. Arus informasi di dalam FMMS Keterbukaan antar partisipan didalam FMMS sesungguhnya relatif sulit diidentifikasi. Persoalannya adalah sulit untuk mengetahui apakah pernyataan dari tiap partisipan adalah pernyataan yang betul-betul menjelaskan sikap sesungguhnya dari yang bersangkutan atau bukan. Namun demikian salah satu cara yang akan digunakan disini adalah menyajikan ilustrasi kasus yang menunjukkan perdebatan yang terjadi antar partisipan karena adanya perbedaan sikap mereka. Keempat ilustrasi kasus dibawah ini mewakili sebagian besar kenyataan yang terjadi dalam FMMS. Karakter keterbukaan ini nampaknya memang menjadi sifat dasar warga Majalaya. Dalam tiap kesempatan mereka tidak ragu-ragu untuk menyampaikan sikapnya meskipun itu bertentangan dengan pihak pemerintah sekalipun.
71
TABEL IV.10 ILUSTRASI KASUS KETERBUKAAN ANTAR PARTISIPAN DALAM PERTEMUAN RUTIN FMMS
Isu perdebatan 1. Maksud kedatangan fasilitator
Pihak pertama Sebagian besar partisipan menganggap bahwa fasilitator mempunyai agenda tertentu dan menjadikan Majalaya sebagai kelinci percobaan. Tokoh yang menyampaikan opini a.l: Mateta, Rahmat Parta.
2. Posisi Muspika dalam FMMS
Mateta, Satya, dkk. berkeras bahwa FMMS jangan sampai dicampurbaurkan dengan birokrasi (dalam hal ini Muspika), kalau tidak, kejadiannya akan berakhir seperti halnya kasus rusilagh yang mengecewakan warga.
3. Penentuan lokasi GOR Majalaya
Aktivis FMMS menginginkan agar GOR dipindah ke lokasi di luar kota agar tidak berdampak pada kemacetan yang makin serius.
4. Penandatangan an surat Permohonan Revisi RDTRK Majalaya
11 orang lainnya memilih a.n FMMS sebab FMMS telah lebih dikenal oleh Bupati daripada kepanitiaan ini.
Pihak kedua Fasilitator a.l: Dodo Juliman, Endang, dan Sapei menjelaskan bahwa stereotipe warga Majalaya terhadap LSM tidak berlaku pada mereka. Fasilitator mengajak warga untuk saling membuktikan komitmen untuk pembangunan dengan menghargai berbagai pihak untuk terlibat. Danramil dan Kapolsek memilih untuk tidak terlibat dalam Presidium karena memang sebagai prajurit mereka sewaktuwaktu bisa dipindahkan tugas. Adapun Camat berkeras bahwa beliau akan terlibat karena beliau datang untuk peduli pada Majalaya. BPD Majakerta menginginkan agar lokasinya tetap di desa Majakerta sebagaimana telah dijanjikan oleh ketua DPRD dan Bupati terdahulu.
15 orang anggota Panitia RDTRK menghendaki agar surat dikirim a.n Panitia, sebab Panitia sudah meliputi FMMS juga.
Situasi perdebatan Perdebatan cukup sengit dan sempat diwarnai oleh walk-out beberapa partisipan. Perdebatan terjadi sejak mula acara perkenalan dan menghabiskan sebagian besar waktu pertemuan.
Perdebatan cukup sengit, tetapi pak Camat dapat menguasai keadaan dengan dasar permaklumannya terhadap kekecewaan warga yang masih membekas karena kasus ruislagh. Pihak yang terlibat akhirnya memutuskan untuk mencari jalan keluar dari otoritas Bupati dan DPRD Kabupaten sebab mereka lah yang berinisiatif membangun GOR. Perbedaan pendapat ini sebenarnya diawali oleh adanya keinginan para Anggota BPD untuk membedakan kapasitas mereka sebagai anggota BPD dan partisipan FMMS.
2. Arus informasi dari FMMS ke luar FMMS Arus informasi dari FMMS ke luar FMMS atau warga Majalaya dalam lingkaran yang lebih besar, mempunyai arti penting untuk membangun konstituen FMMS. Hal ini disadari oleh para partisipan FMMS terutama para aktivisnya. Untuk itu pernah dilontarkan ide pembuatan media warga. Ide ini disampaikan oleh Wulan seorang mahasiswa UPI Bandung yang tergabung dalam Forum Pemuda Pelajar Majalaya (FPPM). Ide ini disampaikan Wulan dan kawan-kawan pada 30 Maret 2001.
72
Ide ini mendapat sambutan dari aktivis FMMS dan beberapa aktivis bersedia memberikan sumbangan
untuk
edisi pertama buletin
warga tersebut.
Namun
disayangkan bahwa pada saat akan dilaksanakan, Wulan sebagai motor FPPM sakit. Oleh karena itu pelaksanaannya ditangani untuk sementara oleh fasilitator. Namun demikian, mekanisme pengalihan pengelolaan buletin ini telah disiapkan dengan adanya pelatihan media komunitas yang telah diikuti perwakilan partisipan FMMS. Berikut ini adalah beberapa buletin warga yang pernah diterbitkan dengan nama ‘Bewara : Berita Warga Kota Majalaya’:
TABEL IV.11 BULETIN WARGA YANG PERNAH DITERBITKAN FMMS
Waktu terbit
Berita utama
Minggu ke-4 Juni 2001 Minggu ke-1 Juli 2001 Minggu ke-3 Juli 2001
Transparansi Dana Perbaikan Jalan Cidawolong Berita Kursus Singkat Perencanaan dan Rencana Revisi RDTRK Majalaya Hasil Studi Banding FMMS ke Pangandaran
Pemrakarsa penerbitan Fasilitator Fasilitator Fasilitator
Disamping melalui Bewara, FMMS berhasil memulai upaya penginformasian keberadaannya melalui kerjasama dengan Harian Metro. Kerjasama ini diawali oleh upaya Presidium dan fasilitator. Beberapa hasil liputan Metro yang telah terbit adalah :
TABEL IV.12 BERITA KEGIATAN FMMS YANG DITERBITKAN OLEH HARIAN METRO BANDUNG
Waktu terbit Senin, 11 Juni 2001 Senin, 18 Juni 2001 Selasa, 19 Juni 2001 Jum’at 22 Juni 2001
Berita utama Desakan FMMS kepada Binamarga Jabar agar segera merampungkan penghotmix-an jalan Cidawolong. Juga diberitakan tentang rampungnya perbaikan dari pihak FMMS dalam bentuk peninggian badan jalan. Himbauan FMMS kepada warga Majalaya agar menjaga Majalaya dari kerusuhan buruh yang sedang merebak akhir-akhir ini. Hak warga Majalaya untuk terlibat dalam upaya penataan kotanya melaui penyusunan RDTRK. Persoalan yang dihadapi Majalaya jika ingin meningkatkan kualitas kotanya adalah dengan meningkatkan kepedulian warga. Hal ini dikutip dari dialog warga yang terjadi pada acara Kursus Singkat Perencanaan di Kewedanaan Majalaya.
Kemudian ada satu lagi upaya media keterbukaan FMMS yang sedang dipersiapkan bersama fasilitator. Yaitu pengembangan radio komunitas sebagai tindak lanjut dari pelatihan yang pernah diikuti salah seorang aktivis FMMS. Keterbukaan yang
73
berkembang di FMMS adalah suatu proses menuju terwujudnya mekanisme tanggung gugat (accountability) yang harus dimiliki oleh semua entitas yang berkecimpung dalam urusan publik.
4.1.5
Dialogis dan Membangun Konsensus Karakter dialogis dan membangun konsensus maksudnya adalah bahwa setiap
keputusan tindakan yang akan diambil oleh FMMS selalu dimulai oleh pembangunan kesepakatan antar partisipan. Untuk memahami karakter kelima dari Forum Warga ini, perlu terlebih dahulu didefinisikan arti dialog dan konsensus itu sendiri. Dialog, maksudnya adalah sebuah pendekatan pertukaran informasi, pencurahan gagasan, dan proses dialektika antar berbagai pandangan terhadap suatu persoalan, sehingga akhirnya didapatkan sebuah informasi yang terakurat, gagasan terbaik, dan pandangan paling tajam atas suatu persoalan tertentu. Konsensus, maksudnya adalah kesepakatan bersama partisipan yang diperoleh melalui proses dialog bukan pemaksaan dan ditentukan berdasarkan pertimbangan kepentingan warga Majalaya, sehingga dapat menjadi dasar untuk melakukan tindakan untuk pembangunan. Berdasarkan dua batasan ini, maka harus diidentifikasi apakah dalam FMMS terjadi dialog pertukaran informasi, pencurahan ide, sebelum dibuatnya keputusan? Berdasarkan pengamatan, dialog pertukaran informasi terjadi hampir di semua pertemuan rutin FMMS. Dalam dialog ini disampaikan informasi tentang keadaan sosial, ekonomi, dan politik Majalaya bahkan nasional. Dialog tersebut mengalir begitu saja sesuai dengan arus informasi tentang kehidupan warga yang dibawakan oleh partisipan. Kebanyakan dialog tidak mengarah pada suatu upaya penyusunan konsensus. Ini lebih bersifat eksplorasi. Ketika eksplorasi terjadi, ada kalanya ide-ide disampaikan untuk mengarah pada perlunya dibuat tindakan. Pada saat munculnya ide inilah, partisipan memutuskan perlu diadakannya dialog lanjutan dengan stakeholders utama dari isu tersebut. Dialog lanjutan ini diarahkan untuk membuat konsensus sebelum dilakukannya tindakan penanganan. Dari pengamatan, dialog sepertin ini baru 5 kali terselenggara. Hal ini menunjukkan bahwa kerangka tindakan FMMS lebih bersifat instan.
74
TABEL IV.13 DIALOG PENYUSUNAN KESEPAKATAN ANTAR STAKEHOLDERS YANG DILAKSANAKAN FMMS
Kesepakatan Akan dilakukan pemindahan sementara PKL yang berada di lokasi paling menimbulkan kemacetan (pada waktu itu digambarkan) ke lokasi lain dan lokasi itu tidak boleh diisi lagi. Para pengusaha akan mempelopori pengumpulan dana swadaya masyarakat untuk perbaikan jalan Cidawolong
Kesepakatan bahwa dana swadaya masyarakat akan digunakan untuk peninggian jalan dan dari pemerintah untuk peng-hotmix-an Akan dilakukan penertiban para oknum Pemerintah Desa yang mengambil keuntungan dari PKL dengan berbagai pungutan ilegal Pembentukan Panitia Pembahasan RDTRK yang akan mengawal proses partisipatif di desa
Pihak yang terlibat Aktivis FMMS, PKL, Unit Pasar Majalaya, Pem. Desa, BPD
22 Pengusaha tekstil terbesar di Majalaya, Aktivis FMMS
PU Bina Marga, Aktivis FMMS,
Aktivis FMMS, Wakil Bupati Bandung, Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda, Kapolsek, Danramil Aktivis FMMS, ormas lokal, BPD 18 Desa, Kades
Proses menuju tercapainya kesepakatan Awalnya beragam ide disampaikan dari mulai penindakan secara tegas, pembuatan perjanjian resmi bahwa PKL hanya akan berjualan sepanjang belum ada lokasi baru yang pasti, dan penertiban sementara. Kesepakatan diambil dengan pertimbangan bahwa PKL harus diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya.
Kesepakatan relatif cepat tercapai. Para pengusaha menyadari bahwa jalan Cidawolong sangat penting untuk memperlancar bisnis sehingga dari awal idenya adalah para pengusaha akan menjadi pelopor. Persoalan yang agak susah adalah pada saat menentukan proporsi kontribusi yang dikenakan kepada tiap pengusaha. Hal ini teratasi dengan mendasarkan kemampuan pengusaha kepada data yang ada di PPTM. Kesepakatan ini merupakan buah dari komitmen sebelumnya yaitu pada pertemuan tanggal 10 Februari (FMMS dengan PU Bina Marga), dan 17 Maret 2001 (FMMS dengan PU Bina Marga). Selain itu, dilakukan pendekatan kepada PU oleh perwakilan dari FMMS tentang arah kesepakatan tersebut. Kesepakatan ini lebih merupakan komitmen moral para aktivis FMMS disertai dukungan dari Wakil Bupati dan Bappeda. Hal ini dilakukan mengingat kuatnya keluhan dari masyarakat bahwa oknum pemerintah desa masih saja menerapkan pungutan dan menambah jumlah PKL. Kesepakatan ini terbentuk setelah sebelumnya Ketua Forum Kades dan Ketua Asosiasi BPD yang merupakan Presidium FMMS, menyebarluaskan ide ini. Kemudian diperkuat oleh hasil Kursus Singkat Sistem Perencanaan yang diadakan FMMS.
Kerangka tindak yang instan ini terlihat dari tidak berjalannya sebagian besar program-program Komisi FMMS.
4.1.6
Independensi Independensi adalah suatu posisi tidak tergantung kepada pihak luar dalam
membuat keputusan dan tindakan FMMS. Pihak luar yang relevan untuk diidentifikasi dalam hal ini adalah IPGI sebagai fasilitator FMMS. Berdasarkan pengamatan, peran fasilitator tidak pernah memasuki wilayah pengambilan keputusan di FMMS. Variasi
75
peran yang pernah dilakukan fasilitator adalah mencatat proses rapat (rapat sendiri dipimpin bergantian oleh Presidium), memberikan masukan jika partisipan mendapat kesulitan dalam merumuskan suatu persoalan, berkontribusi dalam sharing dana taktis FMMS bersama dengan partisipan lain, dan menjembatani hubungan dengan pihak yang dibutuhkan dalam suatu isu. Adapun secara total dari awal keterlibatannya, tindakan yang pernah dilakukan fasilitator, dan berkaitan dengan karakter independensi FMMS adalah: 1. Memfasilitasi dan urun gagasan dalam pertemuan FMMS: a. Menjadi moderator dalam Dialog Warga pertama pada 21 Oktober 2000 b. Menjadi partisipan dan notulen bersama Sekretaris FMMS dalam rapat rutin FMMS c.
Menyampaikan ide dan pengetahuannya tentang persoalan yang sedang dibahas
2. Berkontribusi dalam dana taktis FMMS: a. Pembelian ATK: kertas koran untuk rapat, Komputer, dll. b. Honor penjaga sekretariat FMMS selama 2 bulan pertama c.
50% biaya perjalanan studi banding FMMS ke Pangandaran
3. Menjembatani hubungan dengan pihak yang terkait dengan suatu isu: a. Menghubungi pembicara dalam acara kursus singkat perencanaan b. Menghubungi media massa: Koran Metro c.
Menghubungi Forum Warga lain untuk acara silaturahmi dan tukar pengalaman
d. Menghubungkan FMMS dengan pihak Bappeda Kabupaten Bandung.
Demikian adalah tiga jenis peran fasilitator yang telah dilakukan selama masa pengamatan. Dari ketiga peran tersebut yang paling dominan adalah peran dalam hal berkontribusi dalam memberikan masukan atas suatu persoalan. Hal ini memang diharapkan oleh warga sendiri. Namun demikian sama sekali tidak mempengaruhi independensi FMMS dalam membuat suatu keputusan mandiri. Sementara itu, dalam hal menjembatani hubungan dengan pihak yang terkait dengan suatu isu, FMMS sendiri mempunyai kemandirian dengan adanya beberapa orang aktivis-privilege-nya.
4.1.7
Pluralitas Pluralitas adalah suatu konsep keragaman partisipan FMMS sehingga terus
mengarah pada adanya representasi partisipan dari semua kelompok kepentingan di tingkat komunitas basis. Untuk memahami keadaan ini, maka perlu untuk mengetahui latar belakang berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan FMMS.
76
Pihak pertama yang diidentifikasi adalah aktivis FMMS. Aktivis FMMS berasal dari berbagai organisasi dan partai politik yang bermacam-macam. Data berikut ini menunjukan hal tersebut.
TABEL IV.14 LATAR BELAKANG ORGANISASI AKTIVIS FMMS
Nama aktivis 1. Satya Natadipura 2. Hikmat Budiman 3. Syarief Hidayat 4. Rachmat Partasasmita 5. Otjo Sutisna 6. Endang Komasudin 7. Iwan Setiawan 8. Asep Somantri 9. Dudung Supriatna 10. Mateta 11. Deden Suwega 12. Edi Tashyadi 13. Jujun Wachjudin 14. Dudu Kosasih 15. Yulius Sugiarto 16. Hedy Mulyadi 17. H. Tantan
Organisasi/partai politik Persatuan pengusaha Tekstil Majalaya (PPTM/pendiri)/PKB Angkatan Muda Siliwangi (AMS)/Golkar Camat Majalaya /Golkar Camat Soreang/Golkar PDIP Forum Bersama Umat Islam (Forbes)/MUI/Partai Amanat Nasional (PAN) Angkatan Muda Siliwangi (AMS)/Golkar AMS/Golkar Badan Perwakilan Desa (BPD)/Partai Syarikat Islam Indonesia 17 (PSII) Gerakan Majalaya Bersatu (GMB), Generasi Muda Majalaya (GMM) PPTM (Ketua) PPTM FKPPI/Golkar AMS/Golkar PPTM, SPSI/PDIP Forum Masyarakat Pedagang Kakilima Majalaya BPD
Dari data di atas terlihat bahwa aktivis FMMS berasal dari beragam partai politik dan organisasi masyarakat. Kemudian mengacu kepada tabel I.1, para aktivis ini pun berasal dari beragam profesi, dari mulai pejabat pemerintah sampai pedagang pasar. Namun demikian, keadaan ini belum sepenuhnya menunjukkan adanya representasi dari semua komunitas basis.
4.2
Kemampuan FMMS untuk Membangun Relasi Kemampuan untuk membangun relasi adalah kemampuan untuk melibatkan
stakeholders dalam proses pengembangan konsensus sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. terdapat dua jenis relasi yang dikembangkan yaitu relasi fungsional dan politis. Relasi fungsional adalah jenis relasi yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan untuk penanganan suatu persoalan. Relasi seperti ini lebih diarahkan kepada stakeholders dari suatu persoalan yang ditangani FMMS. Relasi ini sangat menentukan keefektifan suatu upaya pembuatan konsensus sebagai dasar untuk menyelesaikan suatu persoalan. Dengan relasi fungsional yang kuat, FMMS dapat berkontribusi pada pembangunan Majalaya.
77
Adapun relasi politis adalah relasi yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan untuk menjamin keberkembangan FMMS. Relasi seperti ini lebih diarahkan kepada individu pemilik privilege dan lembaga-lembaga yang berada di domain negara (pemerintahan). Relasi ini bermanfaat dalam dua term waktu. Jangka pendek adalah untuk menarik stakeholders suatu isu untuk terlibat dan membangun konsensus di FMMS sebagai awal tindakan penyelesaian persoalan. Sedangkan manfaat jangka panjangnya adalah untuk membangun persepsi tentang pentingnya FMMS. Dengan adanya persepsi ini, maka para pembuat kebijakan dapat berperan memperjuangkan disusunnya peraturan perundangan sebagai basis legal. Setelah mengetahui jenis relasi yang perlu dimiliki FMMS, kemudian adalah menentukan prioritas domain stakeholders yang perlu dijalin relasinya oleh FMMS. Untuk hal itu, penelitian ini lebih memilih domain inward-outward daripada domain statenonstate. Hal ini didasarkan kepada alasan bahwa FMMS lebih baik diarahkan kepada paradigma membangun kemandirian warga. Konsekuensinya kedua jenis relasi yang dibahas harus dioptimalkan di tingkat lokal. Akhirnya dengan pertimbangan tentang bentuk hubungan dan domain stakeholders tersebut, penelitian ini mengutamakan identifikasi kepada stakeholders sbb:
TABEL IV.15 STAKEHOLDERS YANG DIPRIORITASKAN UNTUK DIAMATI DALAM KEMAMPUAN FMMS MEMBANGUN RELASI
Stakeholders Internal 1. Pemerintah Desa 2. Badan Perwakilan Desa
3. Kecamatan
4. Organisasi masyarakat 5. Komunitas sektoral
Eksternal 1. Kecamatan lain 2. Pem. Kabupaten 3. DPRD
4. Organisasi non – pemerintah 5. Komunitas swasta
Alasan pemilihan Di tingkat lokal, desa mempunyai otonomi utuh, sehingga setiap upaya pengembangan kemandirian warga di tingkat lokal harus memperhitungkan kekuatan politik lokal Kades dan BPD. Dari sisi fungsional, BPD sebagai penampung aspirasi masyarakat desa perlu untuk selalu menjadi partner FMMS yang lebih menekankan fungsinya pada tingkat Kecamatan. Merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah Kabupaten. Meskipun sampai saat ini belum terdefinisi kewenangannya, Pemerintah Kecamatan mempunyai kedudukan penting. Termasuk didalamnya adalah Kapolsek, Danramil, Camat sebagai mantan Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika). Ormas lokal mencerminkan kemandirian warga dan memiliki potensi sebagai energi kemandirian oleh karena itu, setiap ormas lokal perlu untuk diperhatikan. Mereka adalah pelaku langsung dalam setiap isu pembangunan. Sehingga setiap isu yang dibahas harus berawal dari keterlibatan mereka. Komunitas sektoral mengacu juga pada faktor keterkaitan ekonomi lokal. Perencanaan pembangunan mengharuskan koordinasi antar wilayah. Konsep otonomi di Indonesia menempatkan peran besar pada Pemerintahan Kabupaten dan kota. Upaya kemandirian pada tingkat kecamatan akan sukar berjalan tanpa dukungan dari kedua pihak ini. Dari sisi fungsional FMMS perlu untuk selalu bekerjasama dengan dinas terkait di tingkat Kabupaten. Terutama adalah gerakan atau lembaga yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat dan dibutuhkan FMMS untuk menjadi partner dalam pengembangan kapasitasnya. Sama dengan komunitas sektoral lokal, plus adanya faktor keterkaitan ekonomi yang lintas wilayah.
78
4.2.1
Kemampuan FMMS untuk Membangun Relasi dengan Stakeholders Internal
Stakeholders internal Majalaya relatif lebih lama telah terlibat dalam kegiatan FMMS. Hal ini terlihat dari daftar nama aktivis dan partisipan FMMS dalam tabel I.1 dan I.2. Namun demikian, relasi FMMS dengan masing-masing stakeholders berbeda jenisnya.
1. Relasi FMMS dengan Kepala Desa Relasi FMMS dengan para Kades di Majalaya, lebih bersifat relasi politis, dalam hal ini Kades lebih sebagai seorang individu yang memiliki privilege di desa. Relasi ini terbangun sejak awal pembentukan FMMS, dimana pada dialog warga pertama yaitu 21 Oktober 2001, para Kades hadir dan mendorong kemunculan FMMS. Dengan proses keterlibatan seperti ini, memang kemudian tidak semua Kades menjadi partisipan yang konsisten terlibat dalam aktivitas FMMS. Dari sebelas desa yang ada di Majalaya, hanya 2 orang Kades yang terlibat secara konsisten, karena mereka adalah Presidium FMMS. Diantaranya adalah H. Otjo, Kades Panyadap, Hikmat Budiman, Kades Padaulun. Namun demikian, dalam setiap kesempatan yang bersifat pembahasan suatu hal penting, Kades lainnya terlibat dan memberikan dukungan. Kemudian ada satu faktor kuat yang mempengaruhi relasi para Kades dengan FMMS yaitu adanya Forum Kades, yang ketuanya adalah juga salah seorang Presidium FMMS, yaitu Hikmat Budiman. Dengan adanya Himat Budiman sebagai salah seorang aktivis yang konsisten mengikuti kegiatan FMMS (86% tingkat kehadirannya), maka arus informasi antara FMMS dan Forum Kades terjaga dengan baik. Relasi politis FMMS dengan para kades yang notabene tokoh desa ini, mempunyai dampak positif dalam membangun citra positif FMMS di masyarakat Majalaya. Hal ini antara lain diilustrasikan oleh persepsi positif para Anggota BPD terhadap FMMS. Dalam sebuah pertemuan rutin FMMS, ketua Asosiasi BPD Majalaya menyampaikan bahwa FMMS mendapat tempat di hati masyarakat, salah satunya adalah dengan adanya berbagai tokoh termasuk para Kadesnya.
2. Relasi FMMS dengan BPD Relasi FMMS dengan BPD, berbeda dengan relasi FMMS-Kades. Pada saat pembentukannya, BPD di Majalaya baru mulai pembentukan. Namun demikian, FMMS mendapat apresiasi positif dari BPD. Hal ini antara lain terlihat dari hasil survey IPGI terhadap 55 orang dari 143 orang (38%) anggota BPD di seluruh desa di Kecamatan Majalaya. Dalam survey tersebut, terlebih dahulu dijelaskan antara lain fungsi FMMS dan para aktivis yang saat ini menduduki posisi fungsional FMMS. Kemudian kepada responden ditanyakan pendapatnya tentang empat hal: 1. Apakah FMMS diperlukan masyarakat? 2. Apakah Anda setuju dengan dibentuknya FMMS?
79
3. Apakah Anda percaya FMMS dapat menjalankan fungsinya? 4. Apakah Anda bersedia mendukung FMMS mencapai tujuannya?
Dari hasil suvey diketahui bahwa jawaban responden untuk pertanyaan nomor 1 sampai dengan nomor 4 adalah:
Gambar 4.2 Apresiasi Anggota BPD terhadap FMMS
45 40 35 30 Jumlah 25 Responden 20
43
40
43 34
15 10
18
13
10
9
5 0 ya
tdk
Pertanyaan 1
ya
tdk
Pertanyaan 2
ya
tdk
Pertanyaan 3
ya
tdk
Pertanyaan 4
Dengan jumlah 43 orang responden (81%) anggota BPD yang bersedia memberi dukungan terhadap FMMS ini (jawaban terhadap pertanyaan 4), mencerminkan besarnya potensi relasi yang dapat dikembangkan antara BPD dengan FMMS. Potensi relasi ini dapat digunakan untuk menjalin relasi fungsional dalam setiap isu pembangunan Majalaya, yang diperkuat oleh kedudukan BPD sebagai perwakilan warga yang dipilih langsung. Salah satu fakta yang memperkuat ini adalah susunan Kepanitiaan Pembahasan RDTRK yang mayoritas terdiri dari perwakilan resmi anggota BPD, dimana inisiatif pembentukan kepanitiaan ini datang dari FMMS, melalui tim inti yang terdiri dari 5 orang. Relasi semacam ini tidak hanya terjadi dalam kasus RDTRK melainkan dalam kasus lain seperti Perencanaan Penataan PKL. Sifat relasi FMMS dengan BPD lebih merupakan relasi fungsional, yaitu relasi yang terjalin dalam bentuk perencanaan suatu pogram.
3. Relasi FMMS dengan Kecamatan Relasi FMMS dengan kecamatan lebih bersifat relasi politis. Relasi ini terjadi dengan Camat, Kapolsek, dan Danramil. Ketiga tokoh ini terlibat dalam kegiatan FMMS sejak
80
awal pembentukannya. Namun demikian dalam kelanjutannya, konsistensi ketiga pihak ini (Musyawarah Pimpinan Kecamatan/Muspika) berbeda. Pada awal pembagian fungsi FMMS, Camat Majalaya langsung terpilih menjadi Presidium FMMS. Kemudian sempat berkembang dua pendapat tentang posisi ketiga pimpinan kecamatan ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa ketiganya harus otomatis pula menjadi Presidium, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa Presidium FMMS tidak boleh dari unsur Muspika. Perdebatan ini kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa Kapolsek dan Danramil lebih baik menjadi partisipan tanpa menduduki posisi fungsional. Hal ini disetujui juga oleh Danramil dan Kapolsek. Sementara itu, Camat tetap menjadi Presidium mewakili unsur Muspika lainnya. Kedudukan Camat sebagai Presidium ini, memberikan kemudahan bagi FMMS dalam membangun relasi dengan pihak pemerintahan lainnya, termasuk di tingkat kabupaten.
4. Relasi FMMS dengan Ormas lokal Sampai pengamatan ini selesai dilakukan tidak diketahui berapa jumlah ormas lokal yang ada di Majalaya. Namun demikian, pengamatan menunjukkan bahwa hanya ada 1 ormas lokal yang pernah melibatkan diri dalam kegiatan FMMS, yaitu Majalaya Berdikari. Majalaya Berdikari adalah ormas yang bergerak di bidang kebersihan kota. Ia telah beberapa kali mengadakan operasi bersih bekerja sama dengan sekolah-sekolah dan warga di pusat kota. Selama masa pengamatan, Majalaya Berdikari melakukan kegiatan tersebut dua kali, yaitu pada bulan Maret dan Juli. Adapun kegiatan FMMS yang melibatkan Majalaya Berdikari adalah pembahasan RDTRK. Hal ini menunjukkan bahwa relasi keduanya bersifat fungsional.
5. Relasi FMMS dengan Komunitas sektoral lokal Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa komunitas sektoral diharapkan menjadi konstituen nyata FMMS. Oleh karena itu, relasi dengan komunitas sektoral lokal, perlu untuk dibangun sejak awal. Adapun relasinya lebih bersifat fungsional. Hal ini disadari oleh para aktivis FMMS. Dalam suatu pertemuannya pada 6-7 Desember, ada sebuah orientasi pengembangan FMMS yang mengarah pada terbentuknya konstituen dari berbagai komunitas sektoral yang ada di Majalaya, disamping komunitas teritorial yaitu desa. Dalam pertemuan tersebut partisipan melalui bantuan fasilitator merinci sembilan komunitas sektoral yang dianggap strategis untuk segera dibangun hubungannya dengan FMMS, yaitu: 1. Pedagang Kakilima 2. Sopir angkot/bus 3. Delman
81
4. Becak 5. Ojek 6. Buruh 7. Pengusaha pabrik 8. Petani/peternak 9. Pengusaha toko
Sembilan komunitas tersebut ditetapkan berdasarkan besaran skala ekonomi lokal yang mereka kuasai, dan besarnya kuantitas pelaku yang terlibat. Dari sembilan komunitas tersebut, hanya tiga komunitas yang mempunyai relasi dengan FMMS. Ilustrasi selengkapnya disajikan dalam tabel sbb: TABEL IV.16 MATRIKS PROSES DAN JENIS RELASI FMMS DENGAN KOMUNITAS SEKTORAL
Komunitas sektoral Pedagang Kakilima
Sopir angkot/bus Delman Becak Ojek Buruh
Pengusaha pabrik
Petani/peter nak
Pengusaha toko
4.2.2
Proses keterlibatan dan posisi ‌ dalam FMMS? Relasi keduanya dibangun melalui Forum Pedagang Kakilima Majalaya, yang kepengurusannya juga melibatkan Komisi B FMMS. Tidak terbangun relasi Tidak terbangun relasi Tidak terbangun relasi Tidak terbangun relasi Relasi keduanya dikembangkan melaluii serikat buruh.
Relasi keduanya dikembangkan melalui individu pengusaha, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya (PPTM). Tidak terbangun relasi. Tetapi beberapa pengurus P3A Mitra Cai Majalaya pernah mengikuti pertemuan rutin dan mengajak Komisi A untuk bermitra. Tidak terbangun relasi
Apa dan bagaimana jenis relasi yang dibangun? Relasi fungsional dalam kasus: Perencanaan Penataan PKL dan pembahasan RDTRK
Relasi fungsional dalam kasus: mediasi buruh-pengusaha dan penjagaan keamanan wilayah dari demonstrasi buruh. Relasi fungsional dalam kasus: mediasi buruh-pengusaha, perbaikan jalan Cidawolong, dan penjagaan keamanan wilayah dari demonstrasi buruh.
Kemampuan FMMS Membangun Relasi dengan Stakeholders Eksternal
Meskipun dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa relasi internal lebih diprioritaskan, namun tidak mengurangi pentingnya pengembangan relasi eksternal ini. Dari sisi fungsional, banyak persoalan pembangunan Majalaya yang tidak dapat diselesaikan dengan hanya mengandalkan kemandirian lokal. Sementara itu dari sisi politisnya, dukungan warga terhadap FMMS dipengaruhi oleh legitimasi yang dimilikinya.
82
Contoh sumber legitimasi adalah dukungan politik dari individu pemilik privilege dan legalitas hukum dari aparatur negara yang menempati posisi legislatif, dalam hal ini adalah DPRD Kabupaten Bandung.
1. Relasi FMMS dengan Kecamatan lain Sebagaimana dijelaskan dalam bab 3 bahwa secara administratif FMMS adalah ibukota Kewedanaan Majalaya dan pusat pengembangan wilayah IV yang terdiri dari Kecamatan Ibun, Paseh, Solokan Jeruk, dan Ciparay. Dengan kedudukan ini, maka secara fungsional dan administratif Majalaya memiliki keterkaitan erat dengan kecamatan lainnya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan relasi fungsional. Berdasarkan pengamatan, relasi FMMS dengan kecamatan lain masih sangat terbatas. Dari berbagai kegiatan yang pernah dilakukan, hanya ada satu inisiatif FMMS yang penah melibatkan kecamatan lain. Yaitu kegiatan pembahasan RDTRK. Dalam kegiatan ini terlibat perwakilan dari 11 desa di Kecamatan Solokan Jeruk, 2 desa di Ibun, 2 desa di Ciparay, dan 2 di Paseh.
2. Relasi FMMS dengan Pemerintah Kabupaten Relasi FMMS dengan pemerintah kabupaten dibedakan antara relasinya dengan individu pemilik privilege yang lebih bersifat politis, dan relasi dengan lembaga dinas yang lebih bersifat fungsional. Kedua relasi ini pernah dilakukan oleh FMMS. Relasi politis pernah dilakukan dengan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung. Pada 3 April 2001, Bupati Bandung disertai rombongan antara lain ketua DPRD Yadi Srimulyadi mengunjungi Majalaya. Acara tunggalnya adalah meresmikan sekolah dasar swakelola. Pengelolanya kebetulan adalah H. Satya yang merupakan Presidium FMMS. Kedatangan Bupati telah diantisipasi dengan rencana lobi FMMS tentang usulan pemindahan lokasi GOR Majalaya. Dalam acara makan siang di rumah H. Satya, usulan tersebut disampaikan dan mendapat dukungan agar FMMS mencari lokasi alternatif. Dukungan seperti ini menjadi dorongan kuat bagi FMMS untuk menindaklanjuti upaya pencarian lokasi alternatif tersebut. Pada 18 Mei 2001, FMMS berhasil mengundang Wakil Bupati Bandung dan dalam pertemuan tersebut kembali ditegaskan dukungan kepada upaya pencarian lokasi alternatif untuk GOR. Selain itu wakil Bupati juga memberikan dukungan upaya FMM untuk penertiban terhadap oknum aparat desa yang mengatur pemungutan ilegal terhadap PKL. Dukungan ini pun cukup efektif dengan adanya tindak lanjut dari partisipan FMMS. Dari sisi fungsional, relasi FMMS dengan dinas kabupaten dilakukan dengan PU Bina Marga dalam kasus perbaikan jalan Cidawolong. Relasi keduanya cukup intensif dilakukan dalam pertemuan pembahasan pada tanggal 10 Februari, 17 Maret, dan 30
83
Maret 2001. Dalam pertemuan itu dihasilkan kesepakatan pengalokasian dana swadaya masyarakat dan dana dari pemerintah. Setelah berhasil membangun relasi dengan PU Bina Marga, FMMS kemudian mencoba mengembangkan relasi fungsional dengan PU Cipta Karya dalam kasus pembahasan RDTRK. PU Cipta Karya adalah bohir untuk proyek pembuatan RDTRK Majalaya 2000-2010. Sampai penelitian ini selesai dilakukan, FMMS telah mengirimkan surat kepada Bupati dan DPRD untuk meminta dukungan pada upaya pembahasan RDTRK.
3. Relasi FMMS dengan DPRD Kabupaten Berdasarkan pengamatan, FMMS hanya pernah sekali membangun relasi dengan DPRD, dalam bentuk pengiriman surat permohonan agar warga Majalaya diberi kesempatan untuk membahasnya sebelum ada penetapan. Sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari surat tersebut. Disamping itu, FMMS pernah pula mengadakan relasi informal dengan ketua DPRD Kabupaten Bandung, Yadi Sri Mulyadi. Namun demikian, relasi ini lebih karena beliau merupakan orang asli Majalaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa relasi dengan DPRD belum ada.
4. Relasi FMMS dengan Organisasi Non-Pemerintah Relasi FMMS dengan organisasi non-pemerintah maksudnya adalah relasi fungsional FMMS dengan berbagai gerakan maupun lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan
masyarakat.
Relasi
seperti
ini
dibutuhkan
dalam
kerangka
pengembangan gerakan penguatan masyarakat sipil. Relasi fungsional yang dapat dibangun misalnya jaringan ke berbagai sumber daya yang dapat membantu FMMS menjalankan rencana kerjanya. Berdasarkan pengamatan, FMMS belum mempunyai relasi yang berfungsi dengan baik. Adapun beberapa relasi yang ada masih merupakan relasi dengan fasilitator. Beberapa pihak yang pernah berhubungan dalam sebuah kebutuhan atau fungsi tertentu adalah IPGI, Community Based Information Network Resource Institute, Praksis, dan AKATIGA. Relasi ini pun sangat temporer dan bersifat silaturahmi saja. Kemudian ada pula relasi FMMS dengan Forum Warga di tempat lain yaitu di Jatinangor dan Sragen. Relsai ini belum merupakan relasi fungsional yang baik.
5. Relasi FMMS dengan Komunitas Swasta Eksternal Relasi FMMS dengan komunitas sektoral penting untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan kemungkinan ekonomi bagi pelaksanaan suatu rencana pembangunan warga. Jadi dalam hal ini relasinya adalah relasi fungsional. Berdasarkan pengamatan, FMMS sama sekali belum membangun relasi dengan komunitas ini.
84
4.3
Kemampuan FMMS untuk Meraih Capaian dalam Pembangunan Majalaya Kemampuan FMMS untuk meraih capaian adalah kemampuan untuk melakukan
tindakan nyata berupa pelayanan terhadap masyarakat. Pelayanan FMMS dapat berupa pendampingan masyarakat untuk memecahkan persoalan, memperjuangkan hak masyarakat, mediasi dan advokasi konflik, dan tindakan memfasilitasi pengumpulan sumber daya. Jenis pelayanan yang dilakukan sangat tergantung kepada jenis persoalan yang dihadapi komunitas. Persoalan pembangunan Majalaya, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab 3, antara lain berupa persoalan fisik dan prasarana, serta konflik antar stakeholders. Persoalan fisik dan prasarana antara lain menyangkut tidak berfungsinya beberapa prasarana kota, persoalan kebersihan kota dan banjir, prioritas pemanfaatan jalan, dan rusaknya jalan. Kemudian dari sisi sosial, terjadi konflik antar stakeholders misalnya antara PKL dengan warga sekitar, antar operator moda transportasi kota, dan antara oknum pemerintah dengan warga. Bagian berikut ini akan mengilustrasikan kemampuan FMMS untuk mendampingi masyarakat dalam pembangunan kota.
4.3.1
Kemampuan FMMS untuk Mendampingi Warga dalam Pemecahan Masalah Pembangunan Pendampingan warga dalam pemecahan masalah pembangunan adalah tindak
kolektif pemecahan masalah pembangunan yang diawali konsensus dalam FMMS sehingga berhasil memecahkan suatu persoalan. Dalam masa pengamatan dilakukan, terdapat satu upaya pemecahan persoalan pembangunan yang dimediasi oleh FMMS. Upaya tersebut adalah perbaikan jalan Cidawolong, sebagai salah satu inlet menuju Majalaya. Nilai strategis ruas jalan tersebut telah dijelaskan dalam bab 3. Daerah banjir Cidawolong terletak pada ruas jalan propinsi Baleendah-Cijapati. Hampir setiap tahun pada saat musim hujan, daerah tersebut terkena banjir. Bahkan pernah suatu waktu tinggi air tersebut hampir mencapai 1 meter. Sudah barang tentu banjir yang kerap terjadi tersebut sangat menganggu aktivitas warga yang memang aktivitas sehari-harinya sangat bertumpu pada ruas jalan tersebut. Kalaupun musim penghujan sudah berganti dengan musim panas, ruas jalan tersebut juga sulit untuk dilalui karena kondisinya yang sangat rusak. Berdasarkan pengamatan, ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan ruas jalan tersebut selalu terbanjiri, yaitu: pertama, tidak lancarnya aliran air pada sistem drainase karena sumbatan sampah, hambatan pipa, jembatan yang kurang tinggi dan kecilnya diameter jembatan; kedua, tinggi jalan yang lebih rendah dibandingkan dengan
85
permukaan air sungai, sehingga kalau volume air bertambah, air akan melimpah ke badan jalan. Mencermati permasalahan tersebut, FMMS berinisiatif untuk melakukan advokasi ke Pemda Propinsi untuk meminta kepastian mengenai penanganan jalan tersebut. Akhirnya diketahui bahwa memang sudah dianggarkan pada APBD Propinsi Jawa Barat TA 2001. Tetapi pada anggaran tersebut hanya disebutkan sebagai proyek perbaikan yang berupa peng-hotmix-an jalan. Sementara itu menurut FMMS, jalan tersebut akan semakin rusak jika hanya diperbaiki tambal sulam tanpa meninggikan jalan dan perbaikan sistem drainasenya. Mengingat kesanggupan pihak Pemda Propinsi hanya untuk memperbaiki jalan yang rusak tanpa peninggian dan perbaikan sistem drainase, maka FMMS secara intensif mulai mendiskusikan permasalahan ini. Pada proses pembahasan tersebut, dicapai suatu kesepakatan untuk melakukan pengurugan jalan dan perbaikan sistem drainase melalui program swadaya masyarakat. Kesepakatan ini ditindaklanjuti dengan dibentuknya Panitia Khusus Peduli Banjir Cidawolong FMMS. Tugas utama dari Panitia Khusus ini adalah hanya untuk menginisiasi dan memfasilitasi proses swadaya masyarakat dalam menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu, Pansus tidak diposisikan sebagai pihak pelaksana dari pelaksanaan program ini. Prioritas utama dari program swadaya Peduli Cidawolong ini adalah kelompok masyarakat pengusaha yang ada di Majalaya. Sehingga langkah pertama yang dilakukan oleh Pansus adalah melakukan serangkaian pendekatan-pendekatan pada kelompok pengusaha. Setelah melakukan pendekatan-pendekatan, Pansus memfasilitasi dan memediasi pertemuan para pengusaha untuk mendiskusikan langkah-langkah yang akan diambil. Pada pertemuan tersebut tercapai suatu kesepakatan dan komitmen dari kelompok pengusaha untuk memberikan bantuan dalam bentuk pendanaan untuk mengatasi banjir Cidawolong tersebut. Pada pertemuan itu pula tergalang komitmen bantuan dana dari kelompok pengusaha sebesar 185 juta rupiah. Pada proses pelaksanaannya, kelompok pengusaha bersepakat untuk menentukan pelaksana proyek yang mereka pilih sendiri. Selain itu, kelompok pengusaha juga akan mengawasi prosesproses fasilitasi yang akan dilakukan oleh Pansus. Salah satu bentuk pengawasan tesebut adalah mengenai mekanisme pengelolaan keuangan, dimana dana dapat dikeluarkan jika ditanda tangani oleh 2 orang dari 3 orang yang ditentukan (2 orang pengusaha dan 1 orang dari Pansus). Sampai Juni 2001 (2 bulan sejak disepakati), dana yang berhasil digalang oleh Pansus dari kelompok pengusaha tersebut sudah mencapai 149.480.557 rupiah. Dana yang sudah terpakai 5.862.100 rupiah untuk keperluan administrasi, 50.000.000 rupiah untuk pembayaran tahap pertama buat pengurugan, 26.224.000 rupiah untuk pembayaran sisa pengurugan, 31.991.350 rupiah untuk pengkirmiran sisi sebelah utara. Sehingga dana yang tersisa (saldo) sampai saat ini sebesar 35.403.157 rupiah.
86
Akhirnya dengan dana tersebut, jalan Cidawolong diperbaiki. Sementara itu, lalu lintas ke Majalaya dari Ciparay dialihkan ke jalan lokal di Desa Biru. Masalah yang masih dihadapi dalam proses penyelesaian program ini adalah kurang cepatnya tindakan pihak Pemda untuk langsung melanjutkan proses pengurugan dengan proses peng-hotmix-an jalan. Padahal berdasarkan pertemuan dengan FMMS pada 10 Februari 2001, pihak Dinas PU Bina Marga Kabupaten Bandung (mewakili PU Propinsi) menyatakan bahwa pelaksanaan proyek peng-hotmix-an
adalah awal Mei
2001. Dengan keterlambatan ini, jalan yang sudah urug dan dipadatkan kembali mengalami kerusakan disana-sini. Selain itu, jembatan Kali Cidawolong belum berhasil ditinggikan, sehingga sewaktu-waktu aliran
yang
besar
dapat terhambat oleh
penyempitan jembatan tersebut. Proses normalisasi sistem drainase juga belum sepenuhnya dilakukan karena masih menunggu koordinasi dengan pihak Dinas PU Pengairan. Mengetahui hal ini, kemudian Pansus melakukan langkah-langkah advokasi untuk mendorong pihak PU Bina Marga Propinsi Jawa Barat untuk segera malakukan penghotmix-an jalan, komunikasi dengan PU Pengairan untuk normalisasi irigasi, dan menghimpun dana dari para pengusaha yang belum memenuhi komitmennya. Akhirnya pada akhir Juli 2001, pengemasan dilaksanakan, dan jalan Cidawolong telah kembali dioperasikan. Adapun dari sisi persoalan baru yang timbul mengikuti proses inisiatif FMMS adalah ketidakpuasan BPD Desa Biru. Ketidakpuasan ini adalah karena pada saat jalan Cidawolong diperbaiki, arus lalu lintas untuk sementara dialihkan ke jaln lokal di Desa Biru. Pengalihan sementara selama 2 minggu ini, kemudian berdampak pada rusaknya jalan lokal. Oleh karen aitulah, maka BPD
Biru menuntut kepada FMMS agar
bertanggung jawab danmengalokasikan sebagian dananya kepada perbaikan jalan lokal. Beruntung bahwa pada 22 Juni 2001, ketidakpuasan ini dapat diatasi dengan adanya penjelasan dari FMMS bahwa segala keputusan operasional ada di Propinsi sehingga FMMS tidak pernah menentukan bahwa arus sementara harus pindah ke Desa Biru. Namun demikian ada pelajaran berharga dari kasus ini bahwa FMMS harus lebih sensitif dan mengakomodasi aspirasi warga lokal dalam tiap kebijakannya.
4.3.2
Kemampuan
FMMS
untuk
Mendampingi
Masyarakat
dalam
Memperjuangkan Hak-Haknya dalam Pembangunan Pendampingan
masyarakat
untuk
memperjuangkan
hak-haknya
dalam
pembangunan adalah tindakan kolektif warga Majalaya untuk memperoleh haknya sebagai masyarakat dalam pembangunan yang diawali konsensus dalam FMMS. Hak warga dalam pembangunan antara lain adalah hak berpartisipasi dalam perencanaan
87
kota. Berdasarkan pengamatan, FMMS berhasil mengkoordinir upaya ini dalam kasus pembahasan RDTRK Majalaya 2000-2010. Pada
tahun
anggaran
2000,
Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Bandung,
merencanakan penyusunan RDTRK Kecamatan Majalaya untuk tahun 2000-2010. Menurut Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda Kabupaten Bandung, Tatang Wiraatmadja, RDTRK
tersebut
direncanakan
dengan
menggunakan
pendekatan
partisipatif.
Konsekuensinya adalah diperlukannya anggaran yang lebih besar daripada pendekatan teknokratis yang biasanya dilakukan. Perubahan anggaran itu adalah dari Rp. 150.000.000,- menjadi Rp. 300.000.000,-. Anggaran tersebut telah disetujui oleh DPRD dan tercantum dalam APBD tahun 2000. Pada pertengahan tahun 2001, diketahui bahwa pada praktiknya, RDTRK tersebut tidak disusun secara partisipatif. Faktanya adalah warga Majalaya tidak pernah dilibatkan sama sekali. Bahkan Camat Majalaya sekalipun, hanya pernah sekali saja diberitahu bahwa saat ini RDTRK Majalaya sedang disusun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa RDTRK Majalaya murni menggunakan pendekatan teknokratis yang tidak partisipatif. Dengan pendekatan tersebut, maka pada sekitar bulan April, Konsultan yang disewa oleh Pemda (dalam hal ini Bohirnya adalah Dinas Cipta Karya), telah berhasil menghasilkan draft RDTRK. Kenyataan bahwa draft RDTRK dihasilkan tanpa mengakomodir aspirasi warga padahal skema proyeknya mengharuskan pendekatan partisipatif, diketahui oleh para aktivis FMMS. Akhirnya diperkuat oleh keyakinan bahwa mereka berhak berperan serta dalam proses penyusunan RDTRK ini, FMMS mencoba menggalang kekuatan untuk memperjuangkan haknya tersebut. Langkah pertama yang dilakukan FMMS adalah menggalang komitmen dan mengukur kapasitas mereka untuk melakukan proses tersebut. Dalam suatu pertemuan FMMS pada tanggal 25 Mei 2001 di sekretariatnya, tergalanglah komitmen tersebut. Dalam pertemuan itu pula, FMMS menyadari bahwa mereka belum mempunyai pengetahuan yang dapat diandalkan untuk dapat memahami draft RDTRK yang dihasilkan Konsultan. Padahal mereka harus mengkritisi draft tersebut agar diketahui mana yang telah mengakomodir aspirasi warga dan mana yang belum. Dari kesadaran akan kapasitas inilah, maka FMMS memutuskan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengadakan pelatihan singkat tentang perencanaan tata ruang. Akhirnya pada tanggal 18-20 Juni 2001, diselenggarakanlah pelatihan tersebut dengan bantuan dari fasilitator. Dalam pelatihan tersebut dihadirkan pemateri dari Jurusan Teknik Planologi ITB. Adapun pesertanya adalah perwakilan BPD, Kades, ormas lokal dan aktivis FMMS sendiri. Dari pelatihan inilah kemudian terlahirkan suatu komitmen diantara peserta untuk membentuk kepanitiaan yang akan menjadi motor penggerak partisipasi warga secara lebih luas. Kepanitiaan ini tepatnya dibentuk pada 27 Juni 2001 di Kantor Kecamatan Majalaya.
88
Sampai akhir Juli 2001, kemajuan yang telah diperoleh Panitia ini adalah pembentukan tim pelaksana yang terdiri dari: 1. Tim kajian materi: beranggotakan 5 orang dan bertanggung jawab dalam hal mengkompilasi hasil temuan tim lapangan. 2. Tim advokasi: beranggotakan 5 orang dan bertanggung jawab melakukan proses komunikasi dengan pihak Pemerintah Kabupaten, DPRD, dan berkoordinasi dengan kecamatan terkait. 3. Tim lapangan: beranggotakan 18 anggota BPD dari 18 Desa dan bertanggung jawab dalam melakukan proses partisipatif di desa.
Tiap tim tersebut telah mulai bekerja. Tim kajian sedang dalam proses memahami RDTRK secara detail bersama fasilitator, dan tim advokasi telah mengirimkan surat kepada DPRD dan Pemda Kab. Bandung agar proses warga Majalaya diberi kesempatan untuk membahas RDTRK sebelum disyahkan.
4.3.3
Kemampuan FMMS untuk Melakukan Advokasi dan Mediasi antara Warga dengan Pemerintah atau Antar Kelompok Warga Mediasi dan advokasi konflik adalah resolusi atas konflik yang terjadi antara warga
dengan Pemerintah Desa atau Kecamatan, dan konflik yang terjadi antar kelompok warga, melalui wadah FMMS. Sebagaimana diuraikan dalam bab 3 bahwa terdapat berbagai jenis konflik antar stakeholders di Majalaya. Upaya mediasi konflik yang pernah dilakukan FMMS adalah mediasi konflik buruh-pengusaha dan advokasi konflik PKL dengan pemerintah kecamatan dan desa, serta warga setempat.
4.3.3.1 Mediasi konflik buruh – pengusaha Konflik antara buruh dengan pengusaha di Majalaya adalah konflik laten yang biasanya manifes tatkala ada perubahan dalam tataran kebijakan pengupahan. Dengan keadaan konflik seperti ini, maka mediasi yang pernah dilakukan FMMS, lebih merupakan pembentukan komitmen moral antar kelompok yang terlibat konflik. Meskipun demikian, ini bukan berarti tindakan mediasi tersebut tidak
penting, sebagai
bagaimanapun pembangunan mekanisme resolusi konflik di tingkat lokal sangat diperlukan. Inisiatif FMMS untuk memediasi konflik antara pengusaha dengan buruh di Majalaya, diawali oleh adanya kesadaran bahwa selama ini, hubungan antara kedua pihak ini sangat rawan konflik. Sebagai awal dari upaya tersebut, FMMS mencoba mengadakan pertemuan dengan para pengusaha yang terhimpun dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Majalaya. Pada pertemuan yang diselenggarakan 13 Februari 2001 ini, para pengusaha meminta FMMS untuk berperan. Adapun peran yang disepakati oleh partisipan pada
89
waktu itu adalah bahwa FMMS menjadi media pertemuan -bekerjasama dengan pemerintah kecamatan- antara dua pihak yang selama ini terlibat konflik yaitu pengusaha lokal, dan serikat buruh lokal. Setelah adanya komitmen moral ini, dilanjutkan dengan pertemuan pada 19 Februari 2001 dengan Serikat Buruh. Dalam pertemuan ini, serikat buruh juga menyampaikan harapan yang sama dengan pengusaha. Serikat buruh percaya bahwa FMMS dengan para tokoh masyarakat yang ada di dalamnya, mampu menjalankan peran tersebut. Dalam pertemuan ini disepakati agar serikat buruh menjaga keamanan dan ketertiban Majalaya dan lebih mengutamakan pendekatan dialog dalam hubungan buruh – pengusaha. Penggalangan komitmen ini, memang terbukti menjadi dasar tindakan dalam masa berikutnya. Pada sekitar Juni 2001, ketika kota Bandung marak dengan demo buruh yang menuntut kenaikan UMR, di Majalaya tidak terjadi gejolak. Di Majalaya berhasil diadakan Gerakan Majalaya Bersatu (GMB) yang dipromotori para partisipan yang terlibat dengan komitmen di atas. Pimpinan gerakan ini adalah Mateta SH, yang juga Presidium FMMS. Upaya ini terbukti berhasil sebagaimana diberitakan oleh Harian Metro pada 18 Juni 2001.
“Pada aksi buruh yang berlangsung beberapa waktu lalu, buruh dengan menggunakan truk dari Banjaran dan Pameungpeuk sudah berniat masuk Majalaya. Namun aparat keamanan bersama GMB berhasil menghalau mereka di Baleendah. Sedangkan buruh dari Rancaekek dan Cicalengka dihalau di Solokan Jeruk.� (Harian Metro, 18 Juni 2001). 4.3.3.2 Advokasi penataan PKL Sebagaimana dijelaskan di bab 3 bahwa persoalan PKL merupakan konflik yang melibatkan berbagai pihak. Ada pemerintah desa dan kecamatan yang dipersalahkan warga karena memungut retribusi, ada warga setempat yang terganggu sampah dan kemacetan tetapi juga diuntungkan dengan adanya barang dengan harga lebih murah, serta PKL sendiri yang dianggap biang kemacetan kota dan penyerobot lahan publik, tetapi merasa benar karena membayar retribusi dan adanya hak memenuhi kebutuhan hidup. Dengan semangat yang kuat, FMMS mencoba memasuki arena konflik PKL. Upaya pertama yang dilakukannya adalah mempertemukan berbagai pihak yang terlibat. Pertemuan pertama pada 26 Januari, adalah pertemuan antara aparat kecamatan, desa, PKL, Unit Pasar Majalaya, dan warga. Dalam kesempatan ini dibangun komitmen untuk menata sementara. Komitmen ini gagal terlaksana. Pada lokasi alternatif, dua minggu kemudian, telah terisi PKL baru. Sementara itu, PKL di lokasi lama masih ada. Kegagalan ini menimbulkan kekecewaan pada partisipan FMMS. Bahkan diantara mereka timbul saling
90
curiga bahwa ada partisipan pada saat pembentukan komitmen yang berkhianat dengan cara menjual lapak itu. Kekecewaan ini terakumulasi dan berubah menjadi gerakan warga. Berawal dari pertemuan 18 Mei 2001, dengan Wakil Bupati Bandung, partisipan dan aktivis FMMS membuat kesepakatan bahwa akan dilakukan penertiban terhadap oknum aparat desa yang memungut retribusi dari PKL. Gerakan yang menamakan diri Forum Masyarakat Peduli Desa Majalaya, akhirnya berhasil menurunkan Kades Majalaya yang diduga oleh mereka sebagi pihak yang mengatur penjualan lapak PKL. Disamping itu, Kegiatan Komisi B FMMS masih berlangsung dengan bantuan fasilitator mereka melakukan pendataan dan studi kelayakan untuk penataan dan relokasi. Disamping itu mereka mengadvokasi pemerintah desa dan pihak yang telibat untuk segera menghentikan berbagai jenis pungutan yang menjadi sumber legitimasi PKL. Berdasarkan catatan laporan fasilitator, advokasi tersebut telah menghasilkan berkurangnya pungutan kepada PKL dari 8 jenis pungutan menjadi tinggal 3 jenis pungutan.
TABEL IV.17 PENGURANGAN JUMLAH PUNGUTAN TERHADAP PKL SETELAH DILAKUKAN ADVOKASI OLEH FMMS DAN FASILITATOR
Jenis pungutan yang dikenakan pada PKL
1. Mengatasnamakan pasar stasiun 2. Dinas kebersihan pasar 3. Pemerintah desa 4. Kecamatan 5. Koramil 6. Polsek 7. Satpam 8. DLLAJ
Besarnya pungutan sebelum dilakukan advokasi Rp. 200,-
Besarnya pungutan setelah dilakukan advokasi Rp. 200,-
Rp. 200,Rp. 200,Rp. 200,Rp. 200,Rp. 200,Rp. 200,Rp. 200,-
Rp. 200,Rp. 200,-
Upaya advokasi ini tidak berakhir disitu. Setelah berkutat di lapangan, Komisi B dan fasilitator menyimpulkan bahwa upaya penyelesaian persoalan PKL tidak semata-mata melalui relokasi. Dibutuhkan penyelesaian dari akar persoalan yaitu persoalan regulasi. Dengan adanya temuan ini maka upaya penyelesaian PKL di Majalaya pun tidak sematamata diselesaikan lewat mekanisme resolusi konflik di tingkat lokal. Penemuan ini mengakibatkan beralihnya peran FMMS sebagai mediator dan advokator konflik lokal menjadi partisipan pada resolusi konflik yang dibangun IPGI di tingkat Kabupaten. IPGI menyelenggarakan sebuah upaya partisipatif untuk menyusun
91
Peraturan Daerah tentang PKL dengan sampelnya di Majalaya, Soreang, Banjaran, Padalarang, dan Ciparay. Dari upaya advokasi yang telah dilakukan dalam kasus PKL ini, ada satu poin penting yang perlu diperhatikan yaitu perlunya dihindari tindakan advokasi dengan menggunakan penggalangan massa seperti yang telah dilakukan dalam kasus penurunan Kades Majalaya. Karena hal tersebut akan mengarah kepada ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, alternatif advokasi dengan penyusunan peraturan daerah secara partisipatif, diharapkan menjadi jalan keluar dari kekhawatiran ini, dan perlu diutamakan. 4.3.4
Kemampuan FMMS untuk Memfasilitasi Penggalangan Sumber Daya untuk Pembangunan Majalaya Memfasilitasi
penggalangan
sumber
daya
untuk
pembangunan
Majalaya
maksudnya adalah pengumpulan sumber daya manusia, informasi, uang, dan lahan untuk suatu tindakan kolektif pembangunan Majalaya. Sumber daya yang dimaksud bisa berasal dari warga Majalaya maupun dari luar Majalaya. Penggalangan sumber daya manusia untuk pembangunan terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya rapat atau pertemuan pembahasan suatu agenda pembangunan, pembentukan kepanitiaan yang khusus menangani suatu isu, maupun pengerahan massa untuk melakukan tekanan massal atas kebijakan publik. Penggalangan informasi untuk pembangunan terjadi dalam bentuk pengumpulan data tentang suatu isu dan pengumpulan pendapat warga terhadap suatu persoalan. Pengumpulan data tentang suatu isu diperlukan sebagai input bagi upaya perumusan ide dan pemecahan suatu persoalan. Sedangkan pengumpulan pendapat warga dibutuhkan untuk menjadi pegangan FMMS dalam melakukan tindak kolektif untuk pembangunan. Penggalangan dana untuk pembangunan terjadi dalam bentuk pengumpulan dana sukarela masyarakat, pengajuan kepada APBD (dana pembangunan dari pemerintah), dan investasi dari komunitas sektoral tertentu. Penggalangan dana sukarela masyarakat dilakukan
sebagai
prioritas
menuju
kemandirian
komunitas.
Pengajuan
dana
pembangunan pemerintah adalah mekanisme pengusulan dana yang dilakukan melalui jalur formal. Sedangkan penarikan investasi adalah upaya menarik minat sektor tertentu untuk berinvestasi dalam suatu program yang dirancang FMMS. Penggalangan lahan untuk pembangunan terjadi dalam bentuk penyediaan lahan warga langsung untuk keperluan pembangunan fasilitas publik, maupun pengalokasian lahan dalam bentuk rencana penataan ruang. Berdasarkan pengamatan, kemampuan FMMS dalam memfasilitasi penggalangan sumber daya, diilustrasikan dalam tabel berikut ini.
92
TABEL IV.18 CAPAIAN FMMS DALAM MEMFASILITASI PENGGALANGAN SUMBER DAYA UNTUK PEMBANGUNAN MAJALAYA
Sumber Daya &Penggalangannya
Deskripsi Capaian
SDM
Penggalangan yang terjadi
Pertemuan warga Kepanitiaan
36 kali rapat rutin FMMS Penataan PKL Pemindahan GOR Perbaikan jalan Cidawolong Pembahasan RDTRK
Pengerahan massa
Penertiban aparat desa pemungut retribusi PKL ,oleh Forum Masyarakat Peduli Desa Majalaya (Mei 2001) Pencegahan demonstrasi buruh (Juni 2001), oleh Gerakan Majalaya Bersatu (GMB)
Progress yang dicapai Perkembangan jumlah dan asal kelompok partisipan Hanya sampai kepada pengumpulan data Gagal menyediakan alternatif lahan yang menjadi prasyarat pemindahan GOR Berhasil meninggikan jalan dan memperlebar drainase -Panitia merupakan perwakilan BPD, Kades, Ormas, dan aktivis FMMS sendiri. -Adanya target dan metoda kerja yang jelas Penurunan Kades Majalaya
Mencegah masuknya buruh demonstrans dari Banjaran, Pameung peuk, Rancaekek, dan Cicalengka.
Informasi Pengumpulan data Pengumpulan pendapat warga
Pendataan PKL -
Adanya basis data PKL di Komisi B FMMS -
Dana kesekretariatan FMMS
-Gedung sekretariat dari PD Industri Kabupaten Bandung (dipinjamkan) -Konsumsi pertemuan rutin ditanggung oleh H. Otjo -Kursi tamu: dari H. Satya -Gorden: Suganda -Uang listrik: Syarief H. -Konsumsi pertemuan mingguan: H. Otjo -ATK dan honor penunggu: IPGI Terkumpul dana sebesar Rp. 149.480.557
Dana Sumbangan sukarela warga
Dana perbaikan jalan Cidawolong Dana studi banding ke Pangandaran
Usulan dana pembangunan pemerintah Penarikan investasi swasta
Dana awal panitia RDTRK Dana pengemasan jalan Cidawolong
-Rp. 1 Juta dari H. Saca -Rp. 1 Juta dari pemerintah Kecamatan -Rp. 4 Juta dari IPGI -BPD, aktivis FMMS dan IPGI -Dana APBD sebesar Rp. 500 juta -Jalan Cidawolong telah beres diemaskan
-
-
Pengalokasian lahan dalam RDTRK
-
Lahan Alokasi dalam bentuk rencana tata guna lahan
93
BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1.
KESIMPULAN
5.1.1
Temuan Tiap Aspek Kemampuan Dasar
Dengan menggunakan definisi kapasitas Forum Warga yang bertumpu kepada tiga aspek kemampuan dasar dalam: Membangun karakter, membangun relasi, dan meraih capaian, maka temuan penelitian ini adalah: a. Untuk aspek kemampuan dasar membangun karakter, ditemukan: Partisipan FMMS lebih mengutamakan relasi fungsional daripada struktural, dan FMMS terbuka untuk keterlibatan berbagai pihak; aktivis FMMS konsisten untuk terus terlibat aktif menjaga fungsi FMMS dan partisipan melaksanakan konsensus yang telah dihasilkan; pembelajaran bersama intensif pada taraf alih pengetahuan dan gagasan tetapi masih bersifat inisiasi pada taraf alih ketrampilan; arus informasi FMMS dengan warga yang lebih luas belum terbangun dalam suatu mekanisme informasi; dialog sudah menjadi mekanisme utama FMMS tetap masih terbatas pada pertukaran informasi dan pencurahan ide daripada penyusunan konsensus. Penyusunan konsensus masih jarang karena kerangka kerja FMMS yang instan; FMMS mempunyai ketergantungan cukup besar pada ketrampilan, jaringan, dan gagasan fasilitator tetapi independen dalam pengambilan keputusan; dan partisipan FMMS plural tetapi belum cukup merepresentasikan kelompok kepentingan warga Majalaya. #"Berdasarkan temuan diatas, dapat disimpulkan bahwa FMMS adalah organisasi terbuka yang kegiatannya bertumpu pada dialog antar partisipannya. Karena kerangka kerjanya yang instan output dialog FMMS jarang menghasilkan konsensus tentang upaya penyelesaian suatu persoalan publik. b. Untuk aspek kemampuan dasar membangun relasi, ditemukan: FMMS mempunyai dukungan dari kekuatan politik lokal tetapi baru melibatkan sebagian kecil komunitas sektoral dalam kegiatannya; dan FMMS belum mempunyai relasi dengan stakeholders eksternal kecuali hubungan dengan fasilitator dan mulai ada hubungan informal dengan pejabat pemerintahan. #"Berdasarkan temuan diatas, dapat disimpulkan bahwa relasi FMMS berada pada tahap pencarian dukungan politik lokal. c.
Untuk aspek kemampuan dasar meraih capaian, ditemukan: FMMS telah mempunyai contoh pendampingan masyarakat untuk pemecahan persoalan, yang diawali oleh konsensus; FMMS sedang mencoba mendampingi masyarakat Majalaya untuk berpartisipasi dalam perencanaan kota melalui pembahasan RDTRK Majalaya; mediasi konflik yang dilakukan baru pada tahap penggalangan komitmen antar pelaku konflik, sementara itu, advokasi masih tergantung kepada fasilitator serta
94
masih adanya upaya pengerahan massa untuk advokasi; dan FMMS telah mampu menggalang sumber daya manusia, dana, dan informasi secara terbatas, tetapi masih dalam taraf mencoba dalam menggalang sumber daya lahan. #"Berdasarkan temuan diatas, dapat disimpulkan bahwa FMMS mempunyai pencapaian yang masih rendah.
5.1.2 Kapasitas FMMS sebagai Ruang Transaksi Sosial dalam Perencanaan Berdasarkan kajian teoretis pada bab 2 disimpulkan bahwa kapasitas Forum Warga sebagai ruang tansaksi sosial adalah kemampuan-kemampuan dasar yang harus dikembangkan agar ia dapat secara efektif menjadi organisasi yang berperan dalam kebijakan publik melalui proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya konsensus, sebagai awal tindak kolektif penyelesaian persoalan publik. Dengan mengacu pada teori kapasitas Froum Warga dan membandingkannya dengan temuan-temuan pada tiap aspek kemampuan dasar FMMS diatas, dapat disimpulkan bahwa FMMS mempunyai kapasitas yang cukup untuk tahap memobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide tentang suatu persoalan publik, tetapi masih rendah untuk membangun konsensus antar stakeholders dan untuk melakukan tindak kolektif penyelesaian persoalan publik.
5.2
Rekomendasi
5.2.1
Peningkatan Kapasitas FMMS
Dari pengetahuan tentang kapasitas tersebut, dapat dikembangkan rekomendasi peningkatan kapasitas FMMS, yaitu: 1. Untuk FMMS: Perlunya dibangun mekanisme informasi dengan warga yang lebih luas; perlunya disusun prioritas agenda FMMS sehingga kerangka kerja FMMS tidak instan; perlunya penetapan agenda setiap dialog rutin, sehingga jelas output yang dihasilkan. Apakah output itu berupa informasi, gagasan, atau rumusan alternatif penyelesaian
suatu
persoalan;
dan
perlunya
membangun
relasi
dengan
pemerintahan kabupaten untuk memperoleh dukungan keberkembangan FMMS. 2. Untuk fasilitator: Perlunya memberikan alih gagasan dan ketrampilan kepada warga, agar tidak timbul ketergantungan FMMS terhadap pihak luar; dan perlunya memfasilitasi hubungan FMMS dengan pemerintahan kabupaten sebagai langkah awal menuju terbentuknya legitimasi Forum Warga. 3. Untuk Pemerintahan Kabupaten Bandung: Perlunya memberikan dukungan informasi pembangunan yang terjadi di wilayahnya; dan perlunya menjalin relasi sehingga potensi peran FMMS dapat diketahui dan dikembangkan.
95
5.2.2
Penelitian Lanjutan Kemudian, dari penelitian ini dapat dikembangkan penelitian lanjutan dengan tema-
tema: #"Perumusan model kapasitas Forum Warga sebagai ruang transaksi sosial dalam perencanaan partisipatif; #"Evaluasi perkembangan (formatif) kapasitas Forum Warga; dan #"Skenario peraihan legitimasi Forum Warga dari aspek legal.
5.3 Keterbatasan Penelitian Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini: #"Banyaknya asumsi yang digunakan dalam membuat interpretasi teoretis dan menyusun konsep kapasitas Forum Warga; #"Terbatasnya perspektif yang digunakan untuk memberikan penjelasan teoretis terhadap Forum Warga, dan mengembangkan konsep kapasitas; dan #"Metoda
pengamatan
sangat
tergantung
kepada
integritas
peneliti;
metoda
wawancara yang tidak terstruktur memungkinkan pembicaraan keluar dari substansi informasi yang dibutuhkan; dan terbatasnya metoda ilustratif dalam mengidentifikasi kenyataan pada tiap aspek kapasitas.
96
Daftar Pustaka
A. Kelompok Buku 1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung (2000). Buku Data Aspek Sosial Budaya Tahun 2000. Bappeda Kabupaten Bandung, Bandung. 2. Biggs, Stephen D; Neame, Arthur D (1996). Negotiating Room to Maneuver: Reflection Concerning NGO Autonomy and Acountability within the New Policy Agenda. Edwards, Michael; Hulme, David, et. Kumarian Press. 3. Ferrer, Miriam Coronel etal (1997). Philippine Democracy Agenda Vol. 3 : Civil Society Making Civil Society. Quezon City, The Third World Studies Center. 4. Fakih, Mansour (1996). Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakata, Pustaka Pelajar. 5. Friedmann, John (1987). Planning in the Public Domain: From Knowledge to Action. New Jersey, Princeton University Press. 6. Fowler, Alan F (1996). Assessing NGO performance: Difficulties, Dilemmas, and a Way Ahead. Edwards, Michael; Hulme, David, et. Kumarian Press. 7. Hall, John A (1995). Civil Society: Theory, History, Comparison. Polity Press. 8. Healey, Patsy (1997). Collaborative Planning: Shaping Places in Fragmented Societies. Macmillan Press LTD, London. 9. Hikam, Muhammad AS (1999). Demokrasi dan Civil Society. Jakarta, LP3ES. 10. Local
Governance
Policy
Forum
(2000).
Local
Sectoral
Representation: Concept and Proposals. Sanggunian: The Philippine Local Government Journal, Volume 2 Number 5. 11. Neumann, N. Lawrence (1999). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Sage Publication, New York. 12. Proceedings of the Manila Social Forum (August 2000). Local Governments and National Poverty Alleviation Programs in the Philippines, The New Social Policy Agenda in Asia. 13. Patton, Michael Quinn (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods. California, Sage Publications. 14. Parry G; Vidyser G; Day N (1992). Political Participation and Democracy in Britain.
97
15. Pratten, David T; Baldo, Suliman Ali (1996). “Return to the Roots�: Process of Legitimacy in Sudanese Migrant Associations. Edwards, Michael; Hulme, David, et. Kumarian Press. 16. Rakhmat, Jalaluddin (1999). Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar. Bandung, Remaja Rosda Karya. 17. Rydine, Ivvone, ed (1997). Collaborative Planning: Shaping Places in Fragmented Societies. Newcastle, Patsy Healey. 18. Ridwan, M Deden, ed (1999). Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta, Lembaga Studi Agama dan Filsafat bekerja sama dengan The Asia Foundation. 19. Selener, Daniel (1997). Participatory Action Research and Social Change. 20. Uphoff, Norman (1996). Why NGOs Are Not a Third Sector: A Sectoral Analysis With Some Thougts on Accountability, and Evaluation. Edwards, Michael; Hulme, David, ed. Kumarian Press. 21. Usman, Husaini; Akbar, Purnomo Setiadi (1996). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta, Bumi Aksara. 22. Wui, Marlon, A, ed (1997). Philippine Democracy Agenda Vol 2: State Civil Society Relation in Policy Making. Quezon City, The Third World Studies Center. 23. Edwards, Michael; Hulme, David, ed (1996). Beyond the Magic Bullet: NGO Performance and Accountability in the Post Cold War World. Connecticut, Kumarian Press.
B. Kelompok Artikel 1. Bappenas/World Bank Research Project (1998). Strengthening Local Capacity and The Challenge of Accountable Development: Some Key Finding. Jakarta. 2. Billah M.M (2000). Perkembangan Ornop di Indonesia. Jakarta. 3. Firman,
Tommy
(2001).
Forum
Masyarakat
sebagai
Basis
Pembangunan Kota. Jakarta, Kompas. 4. Leifer, Michael (1995). The Challenge of Creating a Civil Society in Indonesia. Jakarta. 5. Sapei (2001). Penguatan Institusi Berbasis Warga sebagai Strategi Penguatan Keterlibatan Warga Pada Proses Penentuan Kebijakan Publik (Konteks Perencanaan Wilayah dan Kota). Bandung. 6. Syaifudian, Hetifah (2001). Peran Civil Society Organizations (CSOs) dalam Mendorong Perencanaan Partisipatif. Bandung.
98