Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Pembangunan : Masukan Bagi Penyempurnaan Sistem Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung Studi Kasus : Penyelenggaraan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan dan Penyusunan APBD Kabupaten Bandung Tahun 2003
Oleh : Adenantera Dwicaksono
KATA PENGANTAR
Hanya kalimat suci alhamdulillahi rabbil ‘alamin yang mampu terucap dari lubuk hati yang paling dalam atas anugerah yang diberikan oleh Sang Esa kepada hamba-Nya untuk merampungkan Tugas Akhir yang berjudul “Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Proses Perencanaan Pembangunan: Masukan bagi Penyempurnaan Sistem Perencanaan Pembangunan di Kabupaten Bandung”. Segala upaya, tenaga, pikiran, dan materi yang tercurah selama mengerjakan Tugas Akhir ini, tiada berarti apapun tanpa perkenan dan ridlaMu. “Ya Allah, sujud syukur hamba persembahkan atas kasih-Mu yang tak berbatas”. Tugas akhir ini merupakan akumulasi berbagai pengetahuan dan pengalaman Penulis selama berinteraksi dan mengamati dinamika perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Dengan dorongan keinginan kuat untuk membagi pengalaman berharga ini, maka disusunlah Tugas Akhir ini. Karya ini tidak akan berwujud apabila tanpa restu-Nya serta bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang mengiringi perjalanan Penulis selama mengerjakan Tugas Akhir ini. Guratan-guratan kata dan kalimat dalam karya ini mengandung semangat dari orang-orang yang berarti bagi penulis selama ini. Kepada merekalah Tugas Akhir ini Penulis dedikasikan. Untuk sedikit membalas budi baik mereka kepada penulis, perkenankan Penulis untuk menyampaikan ucapan tulus terima kasih kepada: 1.
Ir. Tubagus Furqon Sofhani, MA., sebagai dosen wali akademik selama Penulis menuntut ilmu di Departemen Planologi ini. Terima kasih atas kesabaran, dan siraman spiritual yang selalu menyejukkan jiwa dikala terasa kering. Terima kasih atas diskusi-diskusi dan kesempatan bekerja sama selama di IPGI Bandung, merupakan pengalaman berharga dapat bekerja sama dengan Bapak.
2.
Ir. Teti Armiati Argo, MES., Ph.D, sebagai dosen pembimbing bagi penulis selama mengerjakan Tugas Akhir ini. Terima kasih kebebasan yang diberikan untuk berekspresi dan kesabaran dalam membimbing Penulis selama mengerjakan Tugas Akhir ini. Terima kasih juga atas kesediaannya untuk mengusahakan agar Penulis dapat mengikuti Sidang Pembahasan dan Sidang Ujian, tanpa bantuan Anda saya mungkin belum lulus saat ini.
3.
DR. Ir. Widiarto, MCRP., selaku pembahas dan penguji yang telah memberikan apresiasi besar terhadap karya Penulis. Terima kasih tanggapanya atas pemikiran Penulis, suatu kesempatan yang berharga untuk merefleksikan apa yang telah Penulis lakukan selama ini.
iii
4.
Ir. Budi Permadi, MSP. dan Ir. Andi Oetomo, MPI., selaku pembahas dan penguji yang telah memberi masukan berharga bagi penyempurnaan Tugas Akhir ini.
5.
Ir. Ridwan Sutriadi, MSP., selaku PUSP yang bersedia membantu mengusahakan Penulis untuk dapat menikmati kelulusan ini.
6.
Staff Perpustakaan PL: Bu Leni, Kang Eje, Bu Esih, dan Pak Arman, serta para staff TU PL: Bu Nunung, Pak Toha, Bu Wati, Pak Sarwan, Pak No, Pak Juju, Pak Mumun yang telah membantu mengusahakan tanda bebas pinjam. Terima kasih atas bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada Penulis selama mengikuti perkuliahan di PL.
7.
Komunitas Sangkuy: Hary, Petruk, Heru, Radith, Alex, Ginting, Anwar, Solo, Cherol, Acong, Danang, Doug, atas kegilaannya.
8.
Pitra dan Alex, rekan sesama TA-er, “Ayo semangat terus pantang mundur, mestinya kita bikin kepanitiaan besar!”.
9.
Ery atas bantuannya wawancara di kelompok grassroot.
10. Teman-teman sesama Angkatan 97 atas pertemanan yang menyenangkan, terutama seluruh anggota Kelompok Perencanaan Tapak Perumahan Susun dan Kawasan Stasion Hall: Retno Astuti, Everilina, Gumala Asri, Raditya, Alex, Cut Myra, Nizhar Marizi, ingat semboyan kita: “Freight forwader, fight for Money!”. 11. Rekan-rekan di Bapeda Kabupaten Bandung: Pak Nanang, Pak Tatang RW, Pak Bambang, Pak Tatang B, Pak Yana, Bu Emma, Bu Tetty, dan seluruh staff Bapeda, yang dengan kesabarannya telah menerima kegilaan Penulis selama berinteraksi, bekerja sama, dan menggagas MPKT. Terima kasih atas jamuannya setiap kali kami datang ke Soreang. 12. Keluarga Bapak Wawan Hermawan dan Ibu Olis Suminar yang telah menerima dan mengijinkan Penulis untuk tinggal di kediamannya selama penelitian di Majalaya. 13. Bu Romlah, Pak Ayit, Pak Uyun, Pak Nasa, Pak Darya, Pak Zaki, Kang Deden, Pak Dudu Kosasih, dan seluruh informan penelitian ini. Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk menerima penulis selama melakukan penelitian. “Semoga budi baik dan ketulusan Bapak dan Ibu akan memperoleh balasan-Nya”. 14. Rekan-rekan keluarga besar FMMS di Majalaya: Kang Saca, Kang Deden, Pak Sugimin, Pak Lurah Zaki, Pak Dudu, Pak Uyun, Pak Ustadz Endang, Pak Asep Tatang, Wulan, dan rekan-rekan lainnya. Terima Kasih atas keramahan dan kesempatan untuk menggali berbagai pengalaman dan kearifan hidup. 15. Rekan-rekan HMP Pangripta Loka. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Untuk Pras, terima kasih file peta Majalaya-nya.
iv
16. Keluarga Besar Kacapiring: Widi, Feby, Krismara, Hanif, Ginting, Diding, Sapei atas kebersamaannya selama ini. 17. Keluarga Besar IPGI Bandung terutama Mbak Hetifah, Pak Tatang RW, Sapei, Donny, Diding, Reby, Djadjat, Tata, Attar, Holy, Ficce, dan Obur. Terima kasih atas kesempatan berkarya dan “diskusi-diskusi”-nya selama ini. 18. Noey,
sahabat
dan
kekasihku
yang
selalu
mendampingi
Penulis
selama
mengerjakan Tugas Akhir ini. Terima kasih atas perhatian dan kasih sayangnya yang diberikan, begitu tulus dan sederhana namun sungguh berarti bagi Penulis. “Kuharap atas restu-Nya, apa yang kita bangun saat ini, akan menuju ke arah yang baik” . 19. Keluarga besar Bapak Widjanarko, yang telah menerima Penulis dengan keramahannya. Terima kasih atas doa dan restu Bapak dan Ibu di Karanganyar, sehingga Penulis dapat menyelesaikan dan melewati ujian dengan baik. Mas Mumung dan Mbak Yanti atas keramahannya, serta si kecil Nanda dan Izzan atas keriangan dan kelucuannya yang selalu menghibur Penulis. 20. Mama, Papa, Mbak Shelly, dan Dik Handa, keluarga Penulis yang telah membentuk prinsip dan kepribadian Penulis selama ini. Terima kasih atas do’a yang tak pernah terputus dari Mama dan Papa, restu yang diberikan, dorongan, kasih sayang serta kepercayaan yang diberikan kepada Penulis untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Meskipun seringkali berbeda pendapat namun Mama dan Papa tetap merupakan tauladan terbaik yang banyak mempengaruhi prinsip hidup Penulis. “Kelulusan ini Adeu persembahkan untuk Mama dan Papa”. Akhir kata, Penulis secara pribadi ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada pihak-pihak yang turut membantu dan bejasa kepada penulis namun oleh karena berbagai keterbatasan tidak termuat dalam tulisan ini. Bukan berarti mengecilkan arti mereka bagi Penulis, karena segala bantuan yang diberikan selalu berarti bagi Penulis dan semoga Allah SWT membalas budi baik yang dicurahkan kepada Penulis selama ini. Semoga karya kecil ini bermanfaat dan dapat mendorong tumbuhnya karya-karya lain yang lebih besar. Amien.
Bandung, Juli 2003
Adenantera D
ABSTRAKSI
Diterapkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah telah membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan oleh karena UU ini sangat menekankan pentingnya partisipasi rakyat. Seiring dengan perubahan paradigma ini, Kabupaten Bandung mulai melakukan perubahan dalam sistem perencanaan pembangunan tahunan melalui pemberlakuan Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002 dan penerapan Kepmendagri no. 29 tahun 2002 yang mengatur penyusunan APBD berbasis kinerja. Penerapan kedua aturan tersebut memiliki semangat untuk semakin melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung. Meskipun Kabupaten Bandung telah mencoba membuka ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan, masyarakat belum mampu mempengaruhi kebijakan pembangunan. Penelitian ini ingin mengkaji partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Tujuan penelitan ini adalah untuk memperoleh gambaran partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dengan sasaran empat aspek kajian tentang partisipasi masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan publik yang meliputi: struktur keterwakilan, modus partisipasi, proses pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan dalam proses pengambilan keputusan. Konsep kajian partisipasi ini dikonstruksi dari konsep-konsep tentang pendekatan perencanaan, governance, teori pengambilan keputusan kelompok dan teori tentang kekuasan. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil sampel wilayah kajian di tiga desa di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi wawancara semi terstruktur untuk pengumpulan data primer, dan kajian dokumen untuk pengumpulan data sekunder. Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahapan penjaringan aspirasi masyarakat, masyarakat belum sepenuhnya terwakili karena masih banyak pihak yang belum terlibat terutama kelompok-kelompok marjinal. Pengambilan keputusan berkaitan dengan penentuan prioritas usulan masih didominasi oleh elit dan pemerintah. Bahkan pada tahapan penyusunan APBD, kepentingan masyarakat masih terpinggirkan oleh karena akses terhadap wakil maupun pada prosesnya sangat terbatas. Sehingga hanya pihak-pihak yang memiliki sumberdaya baik materi maupun akses kepada pengambil keputusan yang memiliki peluang untuk terakomodasi aspirasinya dalam APBD dibandingkan kelompok-kelompok lain. Perilaku contacting dan lobbying mendominasi pada proses ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem perencanaan pembangunan tahunan yang terdiri dari tahapan penjaringan aspirasi masyarakat melalui Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung dan tahapan Penyusunan APBD melalui proses penyusunan APBD berbasis kinerja sesuai Kepmendagri no. 29 Tahun 2002 belum memberikan ruang yang memadai bagi masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan pembangunan (alokasi APBD). Meskipun Pemerintah Kabupaten Bandung telah berupaya untuk melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, tampaknya belum dapat menghasikan suatu produk kebijakan yang memuaskan bagi seluruh pihak (masyarakat). Dari hasil kajian ini, rekomendasi penyempurnaan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat secara nyata dalam perencanaan dengan cara memberikan jaminan kepastian atas peluang terealisasinya usulan. Perubahan-perubahan yang direkomendasikan berkaitan dengan perbaikan aspek keterwakilan dalam mekanisme perencanaan, adanya kerangka legal yang mengatur semua pihak dalam mekanisme, penguatan kapasitas. Tahapan yang dapat dilakukan: penyiapan mekanisme, penguatan kapasitas, perubahan format politik melalui perubahan UU yang berkaitan.
i
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAKSI …………………………………………………………………………………...
i
KATA PENGANTAR ………………………………..………………………………………..
ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………..……………………….
v
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………..…………...….
viii
DAFTAR GAMBAR ……………..…………………………………………………………..
ix
DAFTAR ISTILAH …………………………………………………………………………….
x
BAB 1
PENDAHULUAN …………………………………………………………………. 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………… 1.2 Rumusan Persoalan ………………………………………………………… 1.3 Maksud dan Tujuan………………………………………………………….. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………………….. 1.5 Definisi Operasional ………………………………………………………… 1.6 Metodologi Penelitian ……………………………………………………….. 1.6.1 Pemilihan Kasus dan Wilayah Studi ……………………………….. 1.6.2 Data-data yang Dibutuhkan …………………………………………. 1.6.3 Metode Pengumpulan Data …………………………………………. 1.6.4 Penetapan Sample dan Informan …………………………………... 1.6.5 Analisis Data …………………………...…………………………...… 1.7 Sistematika Pembahasan ……………………………………………………
1 1 4 7 8 9 10 11 12 13 14 15 17
BAB 2
TINJAUAN ASPEK GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN …………… 2.1 Konsepsi Perencanaan …………………………………………………….. 2.2 Governance Dalam Perencanaan …………………………………………. 2.2.1 Keterwakilan Masyarakat dalam Perencanaan ………………….. 2.2.2 Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan …………………….. 2.2.3 Dimensi Kekuasaan Dalam Perencanaan ……………………….. 2.2.3.1 Definisi Kekuasaan (power)………………………………... 2.2.3.2 Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan Publik ……….. 2.2.3.3 Relasi Kekuasaan…………………………………………… 2.2.4 Proses Pengambilan Keputusan Kolektif ………………………… 2.2.4.1 Keputusan dan Perilaku Manusia ………………………… 2.2.4.2 Teori Pengambilan Keputusan …………………………… 2.2.4.3 Keputusan Kelompok dan Komunikasi …………………. 2.2.4.4 Proses Pencapaian Keputusan Dalam Kelompok……… 2.2.4.5 Pengaruh Individu Dalam Pengambilan Keputusan Kelompok …………………………………………………… 2.3 Konsep Dasar Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Pembangunan Tahunan ……………………………………
20 20 22 23 29 32 32 34 34 35 35 36 37 38
BAB 3
GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN TAHUNAN DI KABUPATEN BANDUNG ………………... 3.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Bandung ……………………. 3.1.1 Sekilas Tentang Kecamatan Majalaya ………………………. 3.1.1.1 Sejarah Singkat Kecamatan Majalaya ……………………
41 42
47 47 48 50
vi
3.1.1.2 Isu Pedagang Kaki Lima …………………………….. 3.1.1.3 Isu Transportasi Umum ……………………………... 3.1.1.4 Isu Usaha Tekstil Majalaya ………………………….. 3.1.1.5 Isu Buruh dan Ketenaga Kerjaan ………………………… 3.1.1.6 Isu Prasarana Fisik dan Lingkungan …………………….. 3.1.2 Kondisi Umum Desa-desa Sample ………………………….. 3.2 Sistem Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung.. 3.2.1 Tahapan Penjaringan Aspirasi Masyarakat………………………. 3.2.1.1 Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa/Kelurahan ……………………………………. 3.2.1.2 Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan ………………………………………… 3.2.1.3 Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah .. 3.2.2 Tahapan Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah …………………………………………………….. BAB 4
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM TAHAPAN PENJARINGAN ASPIRASI MASYARAKAT MELALUI MEKANISME PERENCANAAN PEMBANGUNAN TAHUNAN DI KABUPATEN BANDUNG ………………… 4.1 Struktur Keterwakilan dalam Masyarakat Majalaya melalui Organisasi dan Asosiasi Sosial di Majalaya …………………………………………… 4.1.1 Kecamatan ……………………………………………………….. 4.1.2 Desa…………………………………………………………. 4.1.2.1 Pemerintah Desa ……………………………………… 4.1.2.2 Badan Perwakilan Desa (BPD) ……………………… 4.1.2.3 Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan ………………. 4.1.3 Asosiasi Pengusaha-Pengusaha di Majalaya ………………... 4.1.4 Serikat Buruh dan Pekerja ……………………………………... 4.1.5 Kelompok-Kelompok Pedagang ……………………………….. 4.1.5.1 Kelompok-kelompok basis PKL ……………………... 4.1.5.2 Forum Masyarakat Pedagang Kaki Lima (FMPKL) .. 4.1.5.3 Koperasi PKL “Citra Wangi” …………………………. 4.1.6 Kelompok-Kelompok Transportasi Umum ……………………. 4.1.6.1 Kelompok Pengemudi Angkutan Kota ……………… 4.1.6.2 Kelompok Penarik Becak …………………………….. 4.1.6.3 Kelompok Ojeg ………………………………………... 4.1.6.4 Kelompok Delman (keretek)………………………….. 4.1.7 Forum Warga ……………………………………………………. 4.2 Modus Partisipasi Masyarakat Dalam Penyampaian Aspirasi di Majalaya ……………………………………………………………………… 4.2.1 Pola Penyampaian Aspirasi pada Kelompok Masyarakat yang Berbasis Wilayah Domisili ……………………………….. 4.2.2 Pola Penyampaian Aspirasi pada Kelompok Masyarakat yang Berbasis Isu ……………………………………………….. 4.3 Pelaksanaan Penjaringan Aspirasi Masyarakat melalui Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan …………………………………… 4.3.1 Penentuan Usulan Program/Kegiatan Desa …………………. 4.3.2 Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan (FPPT Kecamatan) ……………………………….. 4.3.3 Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah (FPPT Daerah) …………………………………………. 4.4 Keterwakilan, Proses Pengambilan Keputusan dan Distribusi Kekuasaan dalam Pengambilan Keputusan ………………………………
51 54 56 60 62 63 66 68 68 73 75 77
79 79 80 81 83 90 94 100 102 103 103 104 105 106 106 106 107 109 110 110 111 114 118 118 120 121 124
vii
4.4.1
4.4.2 4.4.3 4.4.4 BAB 5
BAB 6
Keterwakilan Masyarakat Partisipasi Dalam Penjaringan Aspirasi Melalui Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan………………………………………………………….. Modus Partisipasi Penyampaian Aspirasi dalam Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan……………………….. Proses Pengambilan Keputusan dalam Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan ….…………………… Distribusi Kekuasaan dalam Pengambilan Keputusan ……..
TAHAPAN PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DI KABUPATEN BANDUNG ………………………………………... 5.1 Mekanisme Penyusunan APBD Kabupaten Bandung Tahun 2003 ……. 5.1.1 Penyusunan Arah dan Kebijakan Umum dan Strategi dan Prioritas APBD …………………………………………………... 5.1.2 Penyusunan dan Penilaian Rencana Anggaran satuan Kerja 5.1.3 Pembahasan Rancangan APBD dan Penetapan APBD ……. 5.1.4 Pasca Penetapan APBD ……………………………………….. 5.2 Keterwakilan, Proses Pengambilan Keputusan dan Distribusi Kekuasaan dalam Pengambilan Keputusan ……………………………… 5.2.1 Keterwakilan Masyarakat dalam Tahapan Penyusunan APBD ………………………………….………………………….. 5.2.2 Modus Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan APBD……………………………………………………………… 5.2.3 Proses Pengambilan Keputusan dalam Penyusunan APBD……………………………………………………………… 5.2.4 Distribusi Kekuasaan dalam Pengambilan Keputusan ………
124 126 127 135
137 137 137 143 147 151 152 152 155 157 160
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………….. 6.1 Kesimpulan dan Rekomendasi Hasil Studi 6.1.1 Gambaran Sistem Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung Saat Ini: Potret Buram Bagi Harapan Partisipasi Rakyat …...…………………………….……………. 6.1.2 Menuju Sistem Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung yang Responsif terhadap Kebutuhan dan Aspirasi Rakyat ..…………………………………………… 6.2 Keterbatasan dan Rekomendasi Studi Lanjutan .…………………………. 6.2.1 Keterbatasan Studi ……………………………………………… 6.2.2 Rekomendasi Studi Lanjutan …………………………...………
171 171 171
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..
172
LAMPIRAN A. MATRIK STRUKTUR KETERWAKILAN MELALUI ORGANISASI DAN ASOSIASI SOSIAL DI MASYARAKAT ……………………………………………………………… B. DAFTAR PANDUAN PERTANYAAN WAWANCARA DAN PANDUAN MELAKUKAN WAWANCARA …………………………………………………………... C. PIHAK-PIHAK YANG DIWAWANCARA ……………………………………………….. D. RESUME HASIL WAWANCARA ………………………………………………………..
162 162 162
166
176 182 187 188
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1
Model Relasi Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa ……………………..
35
Tabel 4.1
Tahapan Pengambilan Keputusan dalam Penentuan Prioritas Usulan Program dan Proyek Pembangunan di Desa………………...
129
Tahapan Pengambilan Keputusan dalam Penentuan Prioritas Usulan Program dan Proyek Pembangunan Kecamatan……………
131
Pembagian Sub-Sub Bidang Perencanaan di Lingkungan Bapeda Kabupaten Bandung …………………………………………………….
132
Tahapan Pengambilan Keputusan dalam Penentuan Prioritas Usulan Program/Proyek Pembangunan Kabupaten………………….
134
Tabel 5.1
Rancangan Total Belanja APBD Kabupaten Bandung 2003 ………...
147
Tabel 5.2
Tahapan Pengambilan Keputusan dalam Penilaian dan Rasionalisasi RASK……………………………………………………….
160
Prosentase Alokasi Belanja dalam APBD Kabupaten Bandung 2003………………………………………………………………………...
162
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 6.1
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran Penelitian
17
Gambar 2.1
Model Umum Proses Pengambilan Keputusan Kelompok…………..
40
Gambar 3.1
Peta Lokasi Sample Penelitian …………………………………………
65
Gambar 3.2
Bagan Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa………………………………………………………………………..
70
Bagan Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kelurahan …………………………………………………………………
72
Bagan Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan ………………………………………………………………..
74
Bagan Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah …………………………………………………………………….
76
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
ix
DAFTAR ISTILAH
APBD AKU BPD DASK DIBALE DPRD FMMS FMPKL FPPT FPPT Des/Kel FPPTK FPPTD IPGI Keretek LKMD RW RT Panggar Perda Perdes PKK PKL PPTM RASK Renstra STRATAS TPA Tupoksi
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Arah dan Kebijakan Umum : Badan Perwakilan Desa : Dokumen Anggaran Satuan Kerja : Dinas, Badan dan Lembaga : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera : Forum Masyarakat Pedaganga Kaki Lima : Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan : Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa/Kelurahan : Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan : Forum Perencanaan pembangunan Tahunan Daerah (tingkat Kabupaten) : Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives : Andong, delman. : Lembaga Ketahananan Masyarakat Desa : Rukun Warga : Rukun Tetangga : Panitia Anggaran, alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dibentuk oleh DPRD pada permulaan masa keanggotaan DPRD. : Peraturan Daerah : Peraturan Desa : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga : Pedagang Kaki Lima : Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya : Rencana Anggaran Satuan Kerja : Rencana Strategis : Strategi dan Prioritas : Tim Penyusun Anggaran Eksekutif, Tim Penyusun, Perubahan dan Perhitungan APBD. : Tugas Pokok dan Fungsi.
x
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Paradigma perencanaan pembangunan di Indonesia, kini sedang mengalami perubahan seiring dengan bergulirnya proses reformasi politik yang menuntut partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan urusan publik. Gagasan perubahan tersebut didasarkan pada kritik terhadap peran pemerintah dan hubungannya dengan masyarakat dalam perencanaan. Kritik ini muncul sebagai reaksi atas krisis yang terjadi dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan pembangunan di Indonesia dewasa ini, yang ditunjukkan dengan kurang berhasilnya produk-produk perencanaan dalam mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat. Beberapa contoh kurang berhasilnya produk-produk perencanaan diindikasikan dengan maraknya kritik atau tuntutan
berbagai kelompok masyarakat sipil yang
mempertanyakan berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan publik. Salah satu forum warga di Kabupaten Boyolali, Forum Rakyat Boyolali (FORABI) gencar menuntut public hearing mempertanyakan kebijakan APBD yang dianggap tidak sensitif terhadap kepentingan rakyat dan cenderung hanya 1
mementingkan kepentingan elit . Forum Masyarakat Sragen melakukan berbagai upaya yang menyoal penyusunan APBD Kabupaten Sragen. Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) di kota Bandung secara gencar melakukan penelitian dan advokasi mendorong terciptanya transparansi dan keberpihakan anggaran. Salah satu hasil penelitian BIGS tentang penggunaan dana APBD Kota Bandung, terutama untuk belanja DPRD, menunjukkan bahwa DPRD sebagai institusi perwakilan rakyat tidak mampu mencerminkan 2
kepentingan masyarakat . Penggunaan dana APBD oleh DPRD Kota Bandung lebih dititikberatkan pada kesejahteraan anggota DPRD, bukan masyarakat. Diduga kurang berhasilnya
produk-produk
perencanaan
(semacam
APBD)
lebih
disebabkan
oleh
mekanisme perencanaan yang tidak sensitif terhadap aspirasi masyarakat yang disebabkan karena kurang memadainya ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan menentukan kebijakan dalam perencanaan.
1 Baca Proceeding Lokakarya – Forum Warga: Potensi dan Tantangan Demokratisasi di Tingkat Lokal, yang diselenggarakan oleh AKATIGA dan IPGI Bandung. 2 Baca Laporan Studi Anggaran Belanja DPRD Kota Bandung 1997-2002, “Belanja-Belanja Dewan�, yang diterbitkan oleh Bandung Institute of Governance Studies (BIGS)
2
Proses perencanaan pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pola interaksi antara pemerintah (negara) dengan masyarakat (warga negara) dalam penyelenggaraan urusan publik (governance). Perencanaan pembangunan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dalam mengatur sumber daya publik dalam memecahkan permasalahan publik. Dalam konsep governance, pemerintah bukan lagi pelaku dominan dalam perencanaan, melainkan hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor yang paling menentukan (Hetifah Sjaifudian, 2000: 1). Konsep governance menekankan adanya dimensi “rule of the game”
3
dalam penyelenggaraan
urusan-urusan publik, yang menuntut adanya kesepakatan dan komitmen masing-masing pelaku dalam menjalankan peran dan fungsinya masing-masing dalam penyelenggaraan urusan publik. Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan kebijakan secara normatif disalurkan melalui perwakilannya di legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya pemerintah bersama para wakil rakyat menetapkan berbagai kebijakan publik. Sebagai perwakilan rakyat, legislatif seharusnya mampu mencerminkan kepentingan dan kebutuhan
publik
dalam
menentukan
kebijakan
bersama
eksekutif.
Namun
pada
kenyataannya legislatif selama ini tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai perwakilan rakyat. Lebih lanjut rakyat pun tidak mampu melakukan kontrol terhadap legislatif secara langsung dikarenakan sistem yang tidak memungkinkan, dimana kepentingan partai politik dan elit dominan dalam legislatif bukan suara rakyat. Akibatnya adalah perencanaan dan produksi kebijakan publik hanya merupakan dominasi kepentingan elit eksekutif dan legislatif yang tidak tanggap terhadap kepentingan rakyat banyak. Inilah salah satu krisis perencanaan yang terjadi di Indonesia dalam tinjauan governance. Salah satu solusi untuk menjawab krisis tersebut adalah dengan mendorong terciptanya ruang bagi partisipasi publik secara langsung untuk ikut serta dan terlibat dalam perencanaan dan proses pengambilan kebijakan publik melalui sistem perencanaan pembangunan yang inklusif. Arnstein (dalam M. Hasan, dkk. , 2002: 6) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat harus masuk pada wilayah perumusan kebijakan pemerintah, tidak hanya sebatas tataran implementasi kebijakan. Pada tingkat ini partisipasi masyarakat memiliki kekuasaan yang nyata untuk ikut menentukan kebijakan pemerintah, yang oleh Arnstein disebut sebagai tingkat kontrol masyarakat, yaitu kekuasaan untuk ikut mengarahkan. Masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol secara aktif proses pengambilan 33
kebijakan
secara
langsung
sehingga
kebijakan
yang
diambil
dapat
diambil dari Artikel Opini yang berjudul “Meninjau Kembali “Good Governance”” tulisan Meuthia Ganie-Rochman.
3
mencerminkan kebutuhan masyarakat. Partisipasi langsung masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dianggap salah satu cara untuk memperbaiki kelemahan sistem keterwakilan masyarakat melalui DPRD. Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah, menjadi momentum penting dalam mendorong perubahan paradigma perencanaan. Setelah diberlakukannya otonomi daerah, daerah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan pembangunannya termasuk dalam menentukan prosedur perencanaan. Menurut Hatta (dalam M. Hasan, dkk., 2002: 5), otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintah dari, oleh dan untuk rakyat (Hatta dalam M. Hasan, dkk. 2002: 5). Momentum ini mendorong berbagai upaya inovasi di daerah untuk memperbaiki mekanisme perencanaan pembangunannya. Inovasi-inovasi ini didorong oleh semangat perubahan paradigma perencanaan pembangunan yang lebih aspiratif. Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten yang sedang berupaya melakukan inovasi perubahan untuk memperbaiki sistem perencanaan pembangunan melalui pembenahan dalam proses perencanaan anggaran daerahnya. Mekanisme perencanaan pembangunan tahunan merupakan salah satu mekanisme dalam sistem perencanaan pembangunan di daerah. Dalam perencanaan pembangunan didaerah dikenal tiga kategori, yaitu: (1) perencanaan jangka panjang, (2) perencanaan jangka menengah, 4
dan (3) perencanaan jangka pendek (satu tahunan) . Salah satu jenis perencanaan jangka pendek (perencanaan tahunan) adalah perencanaan penganggaran daerah dengan produknya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam penyusunan APBD tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Bandung telah mencoba menerapkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Proses Penyusunan APBD ini dikombinasikan dengan Keputusan Bupati Bandung Nomor 22 Tahun 2002 tentang Mekanisme Perencanaan Pembangunan tahunan Kabupaten Bandung sebagai mekanisme untuk menjaring aspirasi masyarakat. Kombinasi kedua proses perencanaan tersebut merupakan kesatuan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. 4
Lihat Lampiran VI Kepmendagri No. 29 Tahun 2002
4
Fenomena tentang bagaimana mekanisme perencanaan ini diselenggarakan merupakan salah satu contoh menarik dalam menggambarkan interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Kajian partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan anggaran menjadi sangat penting dalam melihat seberapa jauh masyarakat dapat mempengaruhi penentuan kebijakan pembangunan. Pemahaman tentang pengalaman penyelenggaraan proses perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kabupaten Bandung akan memberikan bahan bagi penyempurnaan sistem perencanaan pembangunan yang lebih partisipatif dan semakin mencerminkan kebutuhan masyarakat.
1.2
Rumusan Persoalan Sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung yang tak lain
merupakan proses perencanaan APBD yang mengacu pada Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 yang didukung dengan Keputusan Bupati No. 22 Tahun 2002 tentang Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan sebagai tahapan penjaringan aspirasi masyarakat. Penerapan kedua ketentuan tersebut merupakan salah satu bentuk upaya untuk menjadikan proses penyusunan kebijakan anggaran di Kabupaten Bandung yang lebih transparan, accountable, dan partisipatif. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 merupakan aturan yang mengatur sistem Penganggaran Daerah yang berbasis anggaran kinerja memberikan landasan
tentang
penyusunan
anggaran
daerah
secara
transparan
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Sedangkan Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002 yang mengatur mekanisme perencanaan pembangunan tahunan dapat dipandang sebagai media untuk menjaring aspirasi masyarakat dalam bentuk pengusulan berbagai program dan proyek pembangunan yang akan dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bandung. Meskipun demikian, proses perencanaan yang telah berjalan pada tahun 2002 tersebut, masih belum menjamin terakomodasinya partisipasi masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan. Mekanisme perencanaan pembangunan yang diterapkan pada tahun 2002 tersebut masih memerlukan banyak perubahan dan perbaikan. Kebutuhan akan perlunya penyempurnaan mekanisme perencanaan tersebut didasarkan oleh beberapa alasan. Pertama,
diterbitkannya SK Bupati Bandung no. 22/2002 merupakan respon
terhadap kekosongan aturan tentang mekanisme perencanaan pembangunan tahunan di daerah. Kedua, pada dasarnya mekanisme perencanaan pembangunan tahunan menurut SK Bupati 22/2002 masih banyak mengacu pada mekanisme P5D (Permendagri No. 9
5
Tahun 1982), yang saat ini banyak pihak sedang merumuskan berbagai rekomendasi 5
perubahan dan perbaikan terhadap mekanisme tersebut . Ketiga, mekanisme P5D menurut Permendagri No. 2 Tahun 1982 yang masih menjadi acuan dari SK Bupati tersebut, masih berlandaskan pada tatanan kepemerintahan yang lama (UU No. 5 tahun 1974), sedangkan kini UU tersebut telah digantikan oleh UU. No 22 Tahun 1999 yang memiliki semangat otonomi
daerah
dengan
penekanan
di
tingkat
Kabupaten
dan
Kota.
Keempat,
diberlakukannya Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 yang merupakan pedoman penyusunan APBD yang berbasis kinerja yang berbeda dengan penyusunan APBD terdahulu. Alasanalasan tersebut menunjukkan bahwa sangat diperlukan suatu penyempurnaan dan perubahan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung yang dapat menjamin terakomodasinya partisipasi masyarakat dan sesuai dengan kondisi terkini Kabupaten Bandung. Sesuai dengan semangat yang diamanatkan oleh UU no. 22 Tahun 1999, maka penyempurnaan dan perubahan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung perlu diarahkan kepada sistem perencanaan pembangunan yang mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat ikut menentukan produk perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat (Hatta dalam M. Hasan, dkk., 2002: 5). Bahkan menurut Arnstein (dalam M. Hasan, dkk, 2002: 6), partisipasi masyarakat harus masuk pada wilayah perumusan kebijakan pemerintah tidak hanya sebatas tataran implementasi kebijakan. Untuk dapat merumuskan rekomendasi penyempurnaan mekanisme perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung, maka terlebih dahulu perlu dipahami dinamika keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung selama ini. Pemahaman yang mendalam tentang dinamika keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung, akan menjadi dasar dalam menemukenali berbagai permasalahan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan tersebut. Pemahaman tentang penyelenggaran mekanisme perencanaan partisipatif yang spesifik pada konteks Kabupaten Bandung menjadi sangat penting dalam mendorong 5 GTZ-SfDM adalah salah satu proyek pendukung pemantapan penataan desentralisasi yang didanai oleh GTZ, salah satu kegiatannya adalah melakukan penyempurnaan mekanisme P5D; PRODA-NT, juga salah satu program bantuan GTZ di wilayah Nusa Tenggara berhasil membantu pemerintah Kabupaten Bima untuk merumuskan mekanisme perencanaan pembangunan partisipastif yang merupakan penyempurnaan dari mekanisme P5D yang ada.
6
perbaikan sistem perencanaan pembangunan di daerah. Partisipasi masyarakat dalam mekanisme perencanaan dapat menggambarkan posisi masyarakat dalam pengambilan kebijakan pembangunan di Kabupaten Bandung. Pemahaman ini akan bermanfaat dalam mengetahui pada titik-titik mana partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik terhambat, yang pada akhirnya posisi dalam pengambilan kebijakan pembangunan di Kabupaten Bandung menjadi tidak proporsional. Kelemahan yang berkaitan dengan derajat pelibatan masyarakat dalam mekanisme perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten 6
Bandung bukannya tidak disadari oleh pemerintah Kabupaten Bandung . Berdasarkan kesadaran tersebut, pemerintah Kabupaten Bandung memiliki komitmen untuk melakukan 7
penyempurnaan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung . Proses perencanaan pembangunan yang menjadi fokus penelitian ini adalah suatu proses perencanaan yang bertujuan untuk menentukan kebijakan alokasi sumber daya publik (dalam hal ini alokasi APBD) melalui berbagai program dan proyek pembangunan. Oleh karenanya perencanaan dalam konteks ini harus dipandang sebagai suatu upaya untuk mengatasi konflik (Healey, 1987) yang berkaitan dengan alokasi sumber daya. Oleh karena perencanaan dipandang sebagai upaya untuk mengatasi konflik alokasi sumber daya maka perencanaan sangat berkaitan dengan apa yang dinyatakan oleh Friedmann (1987) bahwa perencanaan adalah suatu mode pengambilan keputusan, karena perencanaan sebagai suatu tindakan diawali oleh suatu aktivitas pengambilan keputusan, sehingga perencanaan dapat dipandang sebagai proses pencapaian kesepakatan kolektif. Ketika perencanaan dipandang sebagai mode pengambilan keputusan maka tidak dilepaskan dari artikulasi kekuasaan seperti yang dinyatakan oleh Sheperd (dalam Abbot,1995: 112), bahwa proses pembuatan keputusan adalah contoh nyata dari penggunaan kekuasaan (power). 8
Dalam perspektif governance
maka perencanaan sebagai proses pengambilan
keputusan kolektif dalam pengalokasian sumberdaya mensyaratkan keterwakilan berbagai pihak yang berkaitan dan berkepentingan atas sumberdaya publik, keterwakilan yang meliputi keterwakilan etnokultural dan teritori (Siti Nurlela, 2001: 51). Isu keterwakilan sangat berkaitan erat dengan bagaimana aspirasi
konstituen dapat tersalurkan ke tingkat
pengambilan keputusan.
6 Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi informal antara penulis dengan Bpk. Tatang RW, Kepala Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana Bapeda Kabupaten Bandung jauh sebelum penelitian ini dilakukan, dan menjadi salah satu inspirasi bagi penulis untuk melakukan penelitian ini. 7 Ditunjukkan dengan disepakatinya kerjasama antara Kabupaten Bandung dengan IPGI Bandung untuk merumuskan penyempurnaan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kab. Bandung. 8 mekanisme, praktek, dan tata cara pemerintah dan masyarakat mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah publik (Hetifah Sjaifudian, 2000: 1)
7
Oleh karena itu dalam kajian tentang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung perlu difokuskan pada pengkajian terhadap aspek-aspek keterwakilan, modus partisipasi penyampaian aspirasi, proses pengambilan keputusan dan artikulasi kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Berkaitan dari kebutuhan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung, maka kajian lebih difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana struktur keterwakilan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung?
2.
Bagaimana
modus
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
perencanaan
pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung? 3.
Bagaimana proses pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung?
4.
Bagaimana distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan pada proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung?
Keempat pertanyaan tersebut dikembangkan pada kajian mendalam tentang aspekaspek yang berkaitan pada partisipasi masyarakat dalam perencanaan yang meliputi konsepsi perencanaan, konsep governance dalam penyelenggaraan urusan publik, teoriteori pengambilan keputusan kolektif, dan konsep kekuasaan.
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan
sistem perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung yang meliputi proses penjaringan aspirasi masyarakat dan proses penyusunan APBD. Adapun tujuan penelitian adalah untuk memperoleh gambaran dan pemahaman tentang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Sasaran dari penelitian ini adalah : 1.
Memperoleh gambaran tentang struktur keterwakilan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung.
2.
Memperoleh gambaran tentang modus-modus partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung.
3.
Memperoleh
gambaran
tentang
proses
pengambilan
perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung.
keputusan
dalam
8
4.
Memperoleh gambaran tentang distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan pada proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memfokuskan pada kajian terhadap sistem perencanaan pembangunan
tahunan di Kabupaten Bandung. Secara umum sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung terdiri dari dua tahapan besar yaitu tahapan penjaringan aspirasi masyarakat dan tahapan penyusunan APBD. Tahapan proses penjaringan aspirasi masyarakat menitikberakan pada kajian terhadap pelaksanaan Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung (sesuai dengan Keputusan Bupati No. 22 Tahun 2002). Mekanisme ini meliputi pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan di Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, dan Kabupaten yang hasilnya adalah Rencana Pembangunan Tahunan Daerah sebagai bahan untuk penyusunan APBD. Tahapan
penyusunan
APBD
merupakan
tahapan
penyusunan
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang dilakukan setelah dilaksanakannya Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah di Kabupaten Kabupaten yang prosesnya mengacu pada Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Proses penyusunan APBD diawali dengan perumusan Arah dan Kebijakan Umum APBD, dilanjutkan dengan penentuan Strategi dan Prioritas,
Penyusunan
Rencana
Dinas/Instansi/Badan/Lembaga
Anggaran
(DIBALE),
Satuan
penyusunan
Kerja
(RASK)
RAPBD,
oleh
masing
Pembahasan
dan
Penetapan APBD, dan Penyusunan Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung dan dilakukan selama periode bulan November 2002 – Februari 2003. Penelitian ini dilakukan pada kajian terhadap proses penjaringan aspirasi masyarakat dan penyusunan APBD. Untuk mengkaji partisipasi masyarakat dalam proses penjaringan aspirasi masyarakat di tingkat Kecamatan dan Desa, penelitian difokuskan di Kecamatan Majalaya dan beberapa desa di Wilayah Kecamatan Majalaya (Desa Majalaya, Desa Padaulun, dan Desa Wangisagara). Sedangkan untuk proses penyusunan APBD difokuskan pada kajian dinamika pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penyusanan APBD di Kabupaten Bandung (Pemerintah Kabupaten Bandung dan DPRD Kabupaten Bandung). Alasan dan pemilihan kasus akan dibahas pada bagian lain bab ini.
9
1.5
Definisi Operasional Beberapa definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Sedangkan kebudayaan berarti sistem norma dan nilai. 2. Partisipasi masyarakat adalah segala keterlibatan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh masyarakat dalam setiap kegiatan dan tahapan dalam perencanaan pembangunan tahunan. 3. Prosedur perencanaan adalah suatu tindakan yang disusun oleh tahapan-tahapan atau langkah-langkah secara sekuensial; seperangkat format atau metode baku untuk menyelenggarakan kegiatan perencanaan. 4. Sistem Perencanaan Pembangunan Tahunan adalah keseluruhan proses perencanaan pembangunan tahunan yang meliputi tahapan penjaringan aspirasi melalui Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan (SK Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002) hingga penetapan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). 5. Tahapan penjaringan aspirasi masyarakat adalah rangkaian kegiatan penyerapan aspirasi dalam sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung sebagai dasar perumusan, penyusunan dan penetapan APBD dengan output berupa daftar skala prioritas program/proyek/kegiatan dimana prosesnya mengacu pada Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002 6. Tahapan penyusunan APBD adalah rangkaian kegiatan penyusunan dan penetapan APBD dalam sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung mulai dari Perumusan Arah dan Kebijakan Umum, Strategi dan Prioritas Pembangunan; Penyusunan Rencana Anggaran Satuan Kerja; Penyusunan Rancangan APBD; Penetapan APBD; dan penyusunan Dokumen Anggaran Satuan Kerja (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Keseluruhan proses ini berdasarkan pada hasil penjaringan aspirasi masyarakat melalui Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung (Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002).
10
1.6 Metodologi Penelitian Menurut Usman dan Akbar (1996: 42), metodologi penelitian ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat dalam penelitian. Apabila ditinjau dari segi filsafat, metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian, yaitu yang menyangkut bagaimana kita mengadakan penelitian. Studi ini menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang bersifat interpretatif dengan tujuan untuk menggambarkan dan menerjemahkan fenomena-fenomena dalam dunia sosial (Maanen, 1979: 520 dalam Cassel dan Symon, 1994). Dalam literatur lainnya dinyatakan bahwa metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri (Usman dan Akbar, 1996: 81). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
9
studi kasus. Penelitian ini
bermaksud untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, interaksi sosial, individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat (Usman dan Akbar,1996: 5). Menurut Denscombe (1998: 32), penelitian studi kasus menitikberatkan pada suatu fenomena yang khusus dengan suatu pandangan untuk memberikan suatu pertimbangan mendalam terhadap suatu kejadian, relasi, pengalaman atau proses-proses yang terjadi dalam suatu kasus yang unik. Beberapa karakter pendekatan ini adalah: memotret hanya salah satu aspek saja, kajian yang mendalam, fokus pada hubungan dan proses, setting natural, multi sumber dan metode. Beberapa alasan yang dipakai peneliti untuk memilih pendekatan ini dalam penelitian ini sangat dipengaruhi karakteristik penelitian yaitu: -
penelitian ini ingin melihat aspek partisipasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan publik di Kabupaten Bandung melalui mekanisme perencanaan pembangunan tahunan.
-
kasus yang terjadi spesifik di Kabupaten Bandung karena yang diamati adalah Proses penyusunan APBD dan proses penjaringan aspirasi masyarakat melalui Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung (Keputusan Bupati No 22 tahun 2002)
-
penelitian lebih ditekankan pada pengkajian terhadap proses yang berjalan dalam mekanisme perencanaan ini.
9 Denscombe (1998) dalam “The Good Research Guide: for small-scale social research projects� menggunakan istilah strategi penelitian yang terdiri dari: penelitian berbasis survey, studi kasus, eksperimen, riset tindak, dan ethnografi.
11
Lebih lanjut akan
diuraikan tentang pemilihan kasus dan wilayah studi, metode
pengumpulan data, dan analisis data.
1.6.1
Pemilihan Kasus dan Wilayah Studi Pemilihan kasus dan wilayah studi merupakan tahapan yang penting dalam
penelitian studi kasus yang membedakan penelitian ini dengan jenis penelitian lain. Pemilihan kasus dan wilayah studi akan memberikan fokus terhadap penelitian ini.
a. Pemilihan kasus studi. Kepedulian utama peneliti adalah tentang tema-tema partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Tema ini cukup luas mengingat bahwa tema ini merupakan suatu wacana debat yang hangat dalam dunia perencanaan di Indonesia maupun di dunia. Hal ini disebabkan karena beragamnya pandangan terhadap sisi ideologis yang mewarnai model perencanaan dan hubungan antara masyarakat dan negara. Kajian tentang sistem perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung pun merupakan suatu tema kajian yang cukup luas. Kajian terhadap sistem perencanaan pembangunan meliputi kajian tentang perencanaan jangka panjang, menengah, dan tahunan, sistem penganggaran, analisis kelembagaan dan kewenangan. Dari sekian banyak tema-tema kajian yang memungkinkan, kajian tentang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung di pilih sebagai topik utama penelitian. Hal ini didasarkan karena perencanaan pembangunan tahunan merupakan mekanisme perencanaan yang rutin dilakukan setiap tahun dimana keterlibatan masyarakat secara nyata diakomodasi dalam proses perencanaan tahunan dan output proses perencanaan ini terlihat secara nyata dalam alokasi program dan proyek pembangunan dan dan alokasi APBD.
b. Pemilihan wilayah studi Dalam penelitian ini, dipilih Kabupaten Bandung sebagai wilayah kajian penelitian. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan antara lain:
Kabupaten Bandung sedang melakukan perubahan sistem perencanaan pembangunannya terutama dengan diterbitkannya Keputusan Bupati No. 22 Tahun 2002 tentang Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung dan dengan diterapkannya Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.
12
Alasan pragmatis peneliti terutama menyangkut keterbatasan sumberdaya dana, biaya dan tenaga untuk melakukan penelitian di wilayah lain.
Adapun untuk lokasi sample yang dipilih untuk menggambarkan proses penjaringan aspirasi masyarakat di tingkat desa dan Kecamatan adalah beberapa desa di wilayah Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan:
Kecamatan Majalaya memiliki dinamika sosial yang relatif lebih dinamis dibandingkan wilayah lain di Kabupaten Bandung. Kondisi sosial ekonomi yang beragam dari masyarakat pertanian hingga masyarakat industri-urban sangat menarik untuk dikaji. Hal ini menjadikan wilayah Kecamatan Majalaya berbeda dari wilayah lain. Walaupun tidak bisa dikatakan bahwa wilayah Kecamatan Majalaya dapat mewakili kondisi wilayah Kabupaten Bandung secara menyeluruh namun dengan keunikan yang dimiliki Kecamatan Majalaya dapat memberikan
sedikit
gambaran
tentang
dinamika
proses
perencanaan
pembangunan di Kabupaten Bandung.
Mekanisme
perencanaan
tahunan
di
Kabupaten
Bandung
didasarkan
Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002, yang dilakukan secara serentak dan diinisiasi serta difasilitasi oleh aparat pemerintah baik di tingkat Kecamatan maupun Kabupaten sehingga dinamika yang terjadi selama berjalannya proses pelaksanaan relatif sama di sebagian besar tempat.
Peneliti telah memiliki jaringan dan contact-person yang cukup luas di Majalaya sehingga dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian ini, dan memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan.
Keterbatasan sumberdaya waktu, dana, dan personil untuk melakukan penelitian dalam cakupan yang lebih luas.
1.6.2
Data-data yang dibutuhkan Penelitian ini memfokuskan untuk mengkaji partisipasi masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Untuk itu maka data-data yang dibutuhkan penelitian ini meliputi: 1. Data sekunder a. Peraturan dan perundangan yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung:
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.
13
Keputusan Bupati Bandung No. 22 tahun 2002
Peraturan-peraturan lain, yang berkaitan.
b. Dokumen-dokumen lain:
Berita-berita surat kabar
Hasil-hasil penelitian yang relevan
Artikel-artikel internet.
2. Data primer Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah meliputi data-data yang berkaitan
dengan
pengalaman,
persepsi,
dan
tanggapan
terhadap
proses
pelaksanaan perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung yang meliputi proses pelaksanaan di tingkat desa hingga tahap penetapan APBD. Oleh karena berhubungan dengan pengalaman, persepsi dan tanggapan individu maupun kelompok maka data-data yang diperoleh bersifat kualitatif yang dapat memberikan kekayaan informasi tentang suatu topik yang diteliti.
1.6.3
Metode Pengumpulan Data Denscombe (1998) mengelompokkan beberapa metode penelitian yang berkaitan
dengan cara perolehan datanya. Beberapa metode pengumpulan data yang digunakan secara luas dalam penelitian sosial adalah antara lain: kuesioner, wawancara, observasi, penelusuran dokumen. Penelitian ini menggunakan dua metode dalam melakukan pengumpulan data yaitu pengumpulan data sekunder dan data primer. Dalam melakukan pengumpulan data sekunder, dilakukan kajian literatur dan survey instansi. Sedangkan untuk pengumpulan data primer digunakan teknik wawancara semi terstruktur. Teknik ini digunakan untuk menggali informasi dan persepsi dari kacamata individu. Teknik ini sangat berguna untuk mengetahui pemikiran, opini, perasaan, tanggapan, seseorang terhadap suatu fenomena tertentu. Kajian literatur mencoba untuk memperkuat pengetahuan yang ada dalam area penelitian yang akan dilakukan, dan membangun pertanyaan penelitian yang akan membantu memperdalam pengembangan topik (Denscombe, 1998: 158). Berbeda dengan kajian literatur, ada cara lain tentang penggunaan sumber dokumenter dapat digunakan untuk riset, yaitu sebagai sumber data penelitian, lebih dari hanya sekedar pendahuluan penelitian. Dalam penelitian dokumen dikenal beberapa tipe data dokumenter antara lain: buku dan jurnal; situs web dan internet; surat kabar dan majalah; arsip-arsip; surat dan memo; diari/buku harian; dan penerbitan pemerintah dan statistik resmi (Denscombe, 1998:
14
158-165). Sedangkan survey instansi dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan ketentuan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Menurut Koentjaraningrat (1994) metode wawancara mencakup cara yang dipergunakan kalau seseorang, untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden. Hal ini berarti suatu percakapan meminta keterangan yang tidak untuk tujuan suatu tugas, tetapi untuk tujuan beramah tamah dan hanya sekedar ingin tahu tidak disebut sebagai kegiatan wawancara. Wawancara melibatkan seperangkat asumsi dan pemahaman tentang situasi yang tidak terasosiasi secara normal dengan pembicaraan biasa (Denscombe 1983; Silverman 1985). Wawancara semi terstruktur. Dalam wawancara semi terstruktur, pewawancara masih memiliki daftar isu yang jelas untuk ditanyakan. Dengan teknik wawancara ini, pewawancara dipersiapkan untuk
fleksibel terhadap tata urutan atas topik
yang
dibertimbangkan. Bahkan mungkin memberikan kesempatan kepada yang diwawancara (interviewee) mengembangkan gagasan dan menyuarakannya secara panjang lebar tentang isu yang dilontarkan oleh peneliti. Adapun langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri serangkaian kegiatan yang meliputi: 1. melakukan survey instansi dan kepustakaan untuk mengumpulkan data-data sekunder. 2. melakukan wawancara terhadap: a. masyarakat biasa dan elit, b. tokoh lembaga desa, c.
pemerintah Desa dan Kecamatan,
d. birokrat (Bapeda dan Dinas terkait),
1.6.4
Penetapan Sample dan Informan Data yang terutama digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitiatif. Dasar
pemilihan data kualitatif adalah dengan mempertimbangkan metode ini dapat menghasilkan informasi yang kaya dan detil tentang orang-orang dan kasus-kasus yang secara kuantitas lebih sedikit. Hal ini meningkatkan pemahaman tentang kasus-kasus dan situasi-situasi yang dipelajari tetapi mengurangi generalisasi (Patton, 1990: 391). Dalam penelitian kualitatif, jumlah informan yang dijadikan sebagai sumber informasi dan data tidak ditentukan pada awal penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah metode purposeful sampling. Dalam pengambilan sampel, peneliti memilih informan
15
yang dianggap mampu atau kompeten untuk memberikan jawaban-jawaban yang dibutuhkan (Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002: 11). Salah satu teknik purposeful sampling yang digunakan adalah teknik snowball sampling. Teknik ini membantu peneliti untuk mengidentifikasi kasus-kasus dari orang yang tahu orang lain yang tahu mengenai orang-orang atau kasus-kasus yang kaya dengan informasi, yaitu contoh yang baik untuk studi, atau orang yang bagus untuk diwawancara. Penghentian pencarian informan baru dihentikan ketika iterasi ataupun crosscheck informasi memperlihatkan validasi informasi maupun data yang telah diperoleh (Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002: 12).
1.6.5
Analisis Data Analisis data kualitatif yang diperoleh dilakukakan dengan melakukan interpretasi
terhadap data yang bersamaan waktunya dengan tahap pengumpulan data. Proses analisa data dalam pendekatan kualitatif terdiri atas tiga tahap kegiatan yang bersamaan, yaitu : reduksi data, display data, dan penulisan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data yang diperoleh dari lapangan. Reduksi data dilakukan dengan membaca transkrip wawancara, catatan pengamatan, atau dokumendokumen yang akan dianalisa, setelah itu disusun catatan atas data tersebut. Kegiatan reduksi data dilanjutkan dengan display data, yaitu penyusunan data menjadi kumpulan informasi yang terorganisasi. Kegiatan terakhir dari proses analisis data kualitatif adalah pembuatan kesimpulan yang disusun setelah tahap pengumpulan data berakhir (Nazir, 1995; Gunawan, B dan Abdoellah, O.S, 1998 : 20-22). Analisis dalam penelitian ini menggunakan kombinasi antara metode ilustratif (menggunakan fakta-fakta empirik untuk mengilustrasikan atau menjaring sebuah teori) dan perbandingan analitik (peneliti tidak mencari hukum-hukum universal, hanya keteraturanketeraturan dalam sebuah konteks sosial) (Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002: 14). Oleh karena itu, konsep yang digunakan tergolong dalam sensitizing concept, yaitu konsep yang dibawa oleh peneliti (Patton, 1990: 391). Analisis ini menggunakan konsep yang yang memiliki asal-usul dalam teori-teori ilmu sosial yang dibangun di awal penelitian. Sensitizing concepts memberikan para penganalisis suatu “kepekaan umum terhadap acuan� dan “menyediakan arah sepanjang apa yang diamati� (Blumer, 1969 dalam Patton, 1990: 391). Analisis data dilakukan pada dua tahap yaitu analisis data pada tahapan penjaringan aspirasi masyarakat dan analisis data pada tahapan penyusunan APBD. Dalam tahapan penjaringan aspirasi masyarakat, pertama kali dilakukan identifikasi kelompok atau
16
organisasi sosial yang ada di tingkat Kecamatan dan Desa. Pemilihan kelompok dan organisasi sosial ini dilakukan dengan memilih organisasi dan kelompok sosial yang ada di Majalaya yang berkaitan dengan isu-isu dan permasalahan yang ada di Majalaya. Setelah teridentifikasi beberapa organisasi dan kelompok sosial yang dianggap penting dan dapat dianggap mewakili masyarakat maka tahap selanjutnya adalah mencoba mencari pola-pola yang dapat menggambarkan struktur keterwakilan masyarakat melalui kelompok dan organisasi sosial tersebut. Gambaran tentang struktur keterwakilan masyarakat melalui kelompok dan organisasi sosial dibangun dari pemahaman tentang pihak-pihak yang dipercaya sebagai agen wakil, mekanisme pemilihan wakil, mekanisme pertanggungjawaban dan sistem kontrol terhadap wakil, cara menyampaikan aspirasi, serta kesamaan identitas. Setelah diperoleh gambaran tentang struktur keterwakilan masyarakat melalui organisasi dan asosiasi sosial, tahap selanjutnya adalah melakukan identifikasi tentang bagaimana modus partisipasi dari anggota masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya. Kedua pembahasan ini menggambarkan struktur keterwakilan dan modus partispasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi yang aktual terjadi di masyarakat. Setelah diperoleh gambaran aktual tentang struktur keterwakilan dan modus partisipasi masyarakat dalam penyampaian aspirasi masyarakat, kemudian dibandingkan dengan pelaksanaan mekanisme perencanaan di tingkat Desa (FPPT Desa), Kecamatan (FPPT Kecamatan) dan Kabupaten (FPPT Daerah). Berdasarkan deskripsi tentang proses pelaksanaan FPPT, lebih lanjut dilakukan pembahasan tentang struktur keterwakilan dan modus partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi masyarakat pada mekanisme perencanaan dengan membandingkan antara gambaran aktual yang terjadi di masyarakat dengan apa yang terjadi pada penyelenggaraan mekanisme perencanaan. Pembahasan pun dilanjutkan dengan pembahasan tentang proses pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan
dalam
proses
pengambilan
keputusan
pada
mekanisme
perencanaan
pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Pada tahapan penyusunan APBD, kajian lebih dititikberatkan pada proses penyusunan APBD di Kabupaten Bandung. Dari kajian tersebut kemudian selanjutnya difokuskan pada pembahasan yang mencoba menemukenali pola-pola khusus yang berkaitan dengan aspek struktur keterwakilan masyarakat, modus partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, proses pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan berdasarkan gambaran tentang proses penyusunan APBD secara keseluruhan.
17
Konsepsi Perencanaan
Konsep Governance
Konsep Dasar Pengkajian Partisipasi Masyarakat dalam Proses Perencanaan Pembangunan
Teori Pengambilan Keputusan Kelompok
Penjaringan Aspirasi Masyarakat melalui Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung (SK Bupati Bandung no. 22/2002
Penyusunan APBD (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002)
Teori Kekuasaan APBD Kabupaten Bandung 2003
1. struktur keterwakilan dalam perencanaan 2. modus partisipasi dalam perencanaan 3. proses pengambilan keputusan dalam perencanaan 4. distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan
“Gambaran Partisipasi Masyarakat dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung�
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
1.7 Sistematika Pembahasan Berdasarkan uraian sebelumnya tentang latar belakang dan rumusan persoalan serta pendekatan penelitian yang akan digunakan maka pembahasan selanjutnya akan disajikan dalam sistematika sebagai berikut:
BAB 2
TINJAUAN ASPEK GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN
Pada bagian ini diulas tentang tinjauan teoretis aspek governance dalam perencanaan yang menjadi dasar konsep tentang partisipasi masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan publik. Pada bagian pertama dibahas mengenai konsepsi perencanaan yang menjelaskan
18
berbagai tradisi perncanaan yang berkembang di dunia dan prinsip perencanaan sebagai sebuah bentuk modus pengambilan kebijakan publik yang melibatkan interaksi antar stakeholder. Pada bagian kedua dibahas mengenai wacana governance dalam perencanaan yang membahas lebih detil tentang stakeholder dan keterwakilan, dimensi kekuasaan dalam perencanaan, dan proses pengambilan keputusan publik. Pada bagian ketiga merupakan elaborasi seluruh konsep yang diuraikan sebelumnya menjadi konsep dasar kajian partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.
BAB 3
GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN TAHUNAN DI KABUPATEN BANDUNG
Pada bab ini akan dijelaskan tentang gambaran umum wilayah dan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Bab ini akan memberikan konteks bagi kasus yang diteliti. Pada bagian gambaran umum wilayah akan dijelaskan tentang kondisi umum Kabupaten Bandung, kemudian dibahas secara lebih detil tentang Kecamatan Majalaya dan Desa-Desa sample. Pada bagian berikutnya akan dibahas tentang sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung, yang terdiri dari tahapan penjaringan aspirasi masyarakat dan tahapan penyusunan APBD.
BAB 4
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM TAHAPAN PENJARINGAN ASPIRASI MASYARAKAT MELALUI MEKANISME PERENCANAAN PEMBANGUNAN TAHUNAN DI KABUPATEN BANDUNG Pada bab ini akan dijelaskan tentang partisipasi masyarakat dalam tahapan
penjaringan aspirasi masyarakat melalui mekanisme perencanaan pembangunan tahunan. Pada bagian pertama akan dijelaskan struktur keterwakilan aktual masyarakat di Majalaya dan modus partisipasi masyarakat dalam penyampaian aspirasi. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang proses penyelenggaraan penjaringan aspirasi masyarakat melalui mekanisme perencanaan pembangunan tahunan. Pembahasan kemudian diakhiri dengan kajian terhadap proses penjaringan aspirasi masyarakat yang meliputi aspek-aspek keterwakilan, modus partisipasi masyarakat, proses pengambilan keputusan dan distribusi pengambilan keputusan.
19
BAB 5
TAHAPAN
PENYUSUNAN
ANGGARAN
PENDAPATAN
DAN
BELANJA
DAERAH DI KABUPATEN BANDUNG Bab ini akan menjelaskan tentang tahapan dan dinamika penyusunan APBD tahun 2003 di Kabupaten Bandung. Pembahasan dibagi menjadi dua bagian: pertama, akan dibahas terlebih dahulu tentang tahapan-tahapan penyusunan APBD dari penyusunan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) dan Strategi dan Prioritas (STRATAS) APBD, penyusunan dan penilaian Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK), pembahasan dan penetapan APBD dan pasca APBD. Dalam masing-masing tahapan tersebut akan digambarkan ilustrasi proses pelaksanaanya dan pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya. Kedua, akan dibahas tentang aspek keterwakilan, modus partisipasi, proses pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan dalam tahapan penyusunan APBD.
BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bagian akhir ini akan disajikan kesimpulan studi yang berkaitan aspek-aspek
partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang rekomendasi penyempurnaan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Bab ini diakhiri dengan pembahasan keterbatasan studi dan rekomendasi studi lanjutan.
BAB 2 TINJAUAN ASPEK GOVERNANCE DALAM PERENCANAAN
2.1
Konsepsi Perencanaan Pada dasarnya perencanaan merupakan suatu usaha untuk menghubungkan antara
pengetahuan ilmiah dan teknis dengan tindakan dalam domain publik (Friedman, 1987: 38). Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan tidak hanya sepenuhnya berhubungan dangan usaha untuk memahami maupun bertindak, tetapi lebih tepatnya berperan sebagai penghubung, yang memiliki fungsi utama untuk menjadikan pengetahuan ilmiah dan teknis yang didapat dapat berguna bagi pelaku-pelaku spesifik yang berwenang dalam domain publik dalam melakukan suatu intervensi terhadap fenomena sosial tertentu. Epistemologi Friedmann dalam bukunya Planning in The Public Domain (1987), menjelaskan bahwa perencanaan pada dasarnya muncul berangkat dari ide awal pentingnya negara berperan dalam mendorong perubahan yang memberikan legitimasi dominasi negara sebagai pelaku perubahan. Menurut Friedmann (1987: 76) , perencanaan memiliki dua fungsi aspek formal societal guidance dan societal transformation. Kedua aspek tersebut menggambarkan evolusi pemikiran peran negara dalam konteks hubungannya dengan masyarakat dalam perencanaan. Pada societal guidance, perencanaan diartikulasikan oleh pemerintah dengan menekankan pada perubahan-perubahan sistematis, yang berarti menempatkan pemerintah dan elit pengambil keputusan sebagai aktor yang paling tahu apa yang terbaik bagi masyarakat. Berbeda dengan societal guidance, societal transformation menginginkan terciptanya suatu masyarakat yang menentukan nasib mereka sendiri, memberi keputusan sendiri dan segala sesuatu diarahkan dari bawah.
Societal
transformation menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam perencanaan dan menolak dominasi negara terhadap masyarakat dalam perencanaan. Menuntut adanya transformasi dalam struktur kekuasaan, untuk menghasilkan suatu sistem yang lebih seimbang dalam distribusi kekuasaan dengan menekankan nilai-nilai persamaan. Dalam pandangan perencanaan sebagai societal guidance terdapat dua tradisi perencanaan: social reform dan policy analysis. Kedua tradisi ini tetap menempatkan negara sebagai pelaku utama dalam perencanaan namun berbeda dalam bagaimana mencapai keputusan publik. Social reform mengandalkan perencanaan yang terinstitusi dan hegemoni negara dalam mencapai keputusan publik. Policy analysis mendasarkan rasionalitas dalam pembuatan keputusannya (peran besar para teknokrat).
21
Dua tradisi dalam perencanaan sebagai proses social transformation adalah social learning dan social mobilization. Kedua tradisi ini menempatkan kekuatan civil society sebagai pelaku utama dalam perencanaan. Kedua tradisi ini berorientasi pada perubahan yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Melakukan rekonstruksi relasi negara – warga. Social learning menekankan proses belajar bersama antar berbagai elemen dalam suasana dialogis. Social mobilization merupakan pengembangan lebih lanjut dari tradisi social learning dengan mengupayakan pergerakan masif dari masyarakat untuk mencapai perubahan dalam kondisi yang lebih baik. Sebagian besar kalangan dan praktisi perencanaan menganggap perencanaan didefinisikan sebagai suatu seni membuat keputusan sosial secara rasional (Robinson 1972; Faludi 1973 dalam Friedman, 1987). Rasionalitas didefinisikan sebagai suatu perangkat untuk membuat keputusan yang meliputi identifikasi tujuan, mempertimbangkan seluruh alternatif yang relevan dan terpenting, menelusuri konsekwensi dari setiap tindakan, dan sebagainya. Definisi ini menunjukkan bahwa perencanaan merupakan suatu rangkaian tindakan logis yang rasional dalam menghasilkan keputusan-keputusan dalam memecahkan permasalahan yang ada. Permasalahan yang muncul kemudian adalah, dalam domain publik ini, rasionalitas siapa yang dapat dijadikan landasan bagi seorang perencana untuk berkiprah. Meminjam pemikiran D. Goulet (dalam Abbot, 1996: 159) tentang rasionalitas dalam pengambilan keputusan pembangunan, terdapat tiga jenis rasionalitas berdasarkan nilai-nilai pelakunya yaitu rasionalitas ilmiah, politik (kekuasaan), dan rasionalitas etis (kemanusiaan). Menurut Goulet (dalam, Abbot, 1996: 159), apabila ketiga rasionalitas tersebut bertemu dalam arena pengambilan keputusan, ketiganya saling bersinggungan satu sama lain, seringkali tidak dalam modus yang saling menguntungkan melainkan saling bersilangan. Setiap pemikiran tersebut saling mendekati dalam gaya saling mengalahkan dan meniadakan, dan mengarah kepada konflik. Dalam dunia publik (public realm) sebagai wilayah tindak kolektif, kita pada dasarnya bersama-sama bukan sebagai individu atau kelompok yang terpisah (Healey, 1997: 67). Individu dan kelompok mempunyai keterlekatan pada dunia publik sebagai wilayah tindak kolektif. Dengan keterlekatan ini berarti tindakan setiap individu atau kelompok mempunyai dampak terhadap individu atau kelompok lain yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik ketika terjadi singgungan kepentingan yang berbeda (Healey, 1997: 31). Dalam perspektif yang menyajikan adanya konflik dalam dunia publik, perencanaan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengatasi konflik. Salah satu gagasannya adalah
22
dengan menempatkan perencanaan sebagai proses interaktif yang dilakukan dalam sebuah konteks sosial tertentu (Healey; 1997: 65). Disini berarti bahwa perencanaan merupakan suatu proses transaktif untuk mencapai suatu kesepakatan. Dalam Retracking America (dalam Korten dan Sjahrir, 1988: 251), Friedmann menulis bahwa perencanaan tidak sekedar sebuah pembuatan rencana tetapi lebih berarti sebagai proses “belajar bersama�, tidak memberi tekanan pada dokumen tetapi pada dialog, dan hasilnya lebih tergantung pada hubungan timbal balik pribadi-pribadi menurut latar belakang khususnya dan bukan pada lembaga-lembaga yang abstrak. Gaya perencanaan ini sebagai transaktif, dan model yang mendasarinya sebagai social learning (pembelajaran sosial). Dalam pandangan perencanaan ini, dibutuhkan suatu ruang yang memungkinkan terjadinya transaksi antar stakeholder dalam mencapai kesepakatan. Ruang transaksi sosial dapat dimaknai sebagai ruang imajiner (bukan fisik) yang memungkinkan terciptanya interaksi antar pelaku dalam mencapai kesepakatan tertentu. Menurut Healey (1997), ruang ini merupakan suatu ruang yang memungkinkan terjadinya mobilisasi gagasan, ide, pengetahuan, dan sumber daya diantara pelakunya. Salah satu manifestasi ruang transaksi dalam konteks perencanaan adalah prosedur atau mekanisme perencanaan yang partisipatif dan inklusif untuk membuat kebijakan publik. Mekanisme perencanaan yang partisipatif dan inklusif adalah mekanisme yang dapat menarik partisipasi stakeholder dan terbuka untuk berbagai stakeholder. Oleh karena itu dalam memahami perencanaan maka akan lebih baik apabila perencanaan dipahami sebagai sebagai suatu upaya untuk membuat pengetahuan teknis dalam perencanaan secara efektif dapat mendorong tindakan publik (Friedman, 1987: 36). Perencanaan tidak hanya berurusan dengan substansi perencanaan semata (kesehatan, ekonomi regional, dan sebagainya), melainkan yang lebih penting adalah mampu menjembatani konflik yang terjadi dengan pengetahuan yang dimiliki dan menterjemahkan dan mengkomunikasikannya secara efektif kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
2.2
Governance Dalam Perencanaan Wacana governance semakin mengemuka dalam wacana pembangunan di
Indonesia didorong oleh adanya dinamika yang menuntut perubahan di pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah diharapkan agar semakin demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publik, efektif menjalankan fungsi pelayanan umum dan semakin tanggap serta responsif dalam membuat berbagai kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Di
23
sisi lain masyarakat (warga negara) diharapkan semakin sadar akan hak dan kewajibannya memiliki solidaritas terhadap sesama, bersedia berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan urusan publik, memiliki kemampuan untuk berurusan dengan pemerintah dan institusi publik lainnya, dan tidak apatis secara politis. Perubahan dari kedua sisi tersebut pada akhirnya ingin mencapai rekonstruksi dan reposisi pola hubungan serta distribusi kekuasaan (power) antara pemerintah dan masyarakat terutama dalam penyelenggaraan urusan publik. Governance dapat diartikan sebagai mekanisme, praktek, dan tata cara pemerintah dan masyarakat mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah publik (Hetifah Sjaifudian, 2000: 1). Konsep governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi. Lebih lanjut governance juga menunjukkan inklusifitas dan meleburkan perbedaan antara “pemerintah� dan �yang diperintah�, karena kita semua adalah bagian dari proses governance. Ini berarti masyarakat (warga negara) memiliki hak dan posisi yang menentukan dalam penyelenggaraan urusan publik. Perencanaan dalam domain publik tidak dapat dilepaskan dari konsep governance. Perencanaan dapat dipandang sebagai suatu proses pencapaian kesepakatan kolektif, yang artinya melibatkan pemerintah dan juga masyarakat di dalam prosesnya. Menurut Friedman (1987), perencanaan dapat dipandang sebagai mode pengambilan keputusan, karena perencanaan sebagai suatu tindakan diawali oleh suatu aktivitas pengambilan keputusan. Governance merupakan konsep pengembangan demokrasi yang selama ini dipakai di banyak negara. Suatu usaha untuk memperbaiki kegagalan yang terjadi dalam praktek demokrasi di banyak negara. Dalam konsep good governance dibutuhkan hubungan yang lebih lengkap diantara para pelaku keputusan publik. Hal ini dilakukan dengan melibatkan seluruh pelaku dalam proses pengambilan keputusan publik. Konsep ini menghendaki suatu keterwakilan yang berdasarkan ethnokultural dan teritori, adanya mekanisme untuk meresolusi konflik dan adanya pengawasan terhadap pemerintah dan masyarakat sipil (Siti Nurlela, 2001: 51).
2.2.1
Keterwakilan Masyarakat dalam Perencanaan Isu tentang keterwakilan telah menjadi isu penting dalam perencanaan. Ketika
perencanaan dipandang sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan kolektif, kesepakatan yang terjalin antar stakeholder yang memiliki kepentingan atau memperoleh pengaruh dari suatu urusan tertentu (terutama urusan publik) maka pertanyaan tentang siapa yang terlibat dan memutuskan menjadi penting disini.
24
Dalam memahami governance dalam perencanaan tidak dapat dilepaskan dari konsep partisipasi dan kekuasaan. Dalam beberapa kajian tentang partisipasi masyarakat, terdapat kecenderungan dalam melihat bahwa partisipasi masyarakat sebagai merupakan suatu upaya untuk mencapai redistribusi kekuasaan, dengan dasar bahwa dengan pengurangan dalam perbedaaan kekuasaan antar level di masyarakat atau dalam organisasi atau kelompok akan menjadi kondisi yang kondusif bagi penciptaan pelaksanan demokrasi. Strauss (dalam Fagence, 1977: 7) berpendapat tentang partisipasi bahwa bagaimanapun partisipasi didefinisikan, merupakan efek dari tujuan untuk mengurangi perbedaan kekuasaan dan hal itu berkontribusi dalam pemerataan kekuasaan. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan merupakan bentuk partisipasi politik atau perilaku politis, oleh karena motivasi partisipasi dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan yang akan atau telah diambil. Sebagaian besar partisipasi politik selalu melibatkan tindakan kolektif (Widdi Aswindi, 2002: 25). Oleh karena itu, sebelum mengkaji lebih jauh tentang struktur keterwakilan maka perlu diketahui pola-pola pengelompokan sosial yang berlaku di masyarakat. Dalam memahami konsep kelompok, para ahli sosiologi mengajukan beberapa pengetian tentang kelompok. Horton dan Hunt (1996: 214) mengajukan beberapa pengertian tentang kelompok sosial berdasarkan penyimpulan dari berbagai pengetian yang diajukan oleh banyak ahli sosiologi. Beberapa pengertian kelompok sosial menurut Horton dan Hunt antara lain: 1. Setiap kumpulan manusia secara fisik (misalnya, sekelompok orang yang sedang menunggu). Dalam penggunaan ini, kelompok itu tidak memiliki ikatan kebersamaan apa-apa, kecuali jarak fisik yang dekat. Banyak ahli sosiologi menyebut kumpulan manusia semacam itu sebagai agregasi, atau kolektifitas. 2. Sejumlah orang yang memiliki persamaan ciri-ciri tertentu. Contoh: kaum pria, orang tua, para jutawan, para pekerja yang pulang pergi setiap hari untuk bekerja, dan para perokok. Istilah ini seringkali dipadankan dengan istilah kategori. 3. Sejumlah orang yang memiliki pola interaksi yang terorganisasi dan terjadi secara berulang-ulang. Batasan ini tidak mencakup segenap pertemuan yang terjadi secara kebetulan dan bersifat sementara, misalnya barisan antri di depan loket penjualan karcis. Definisi ini meliputi keluarga, klik, persahabatan, organisasi – seperti klub atau organisasi gereja. Pendek kata, setiap bentuk hubungan kolektif antar beberapa orang yang berinteraksi berulang-ulang menurut pola-pola kegiatan dan jaringan hubungan tertentu.
25
4. Setiap kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Dari
pengertian
tersebut
dapat
ditarik
benang
merah
bahwa
terminologi
pengelompokan sosial bisa dipandang dalam tingkatan yaitu pengelompokan sosial pada tingkatan dasar dan pengelompokan sosial pada tingkatan lanjut. Pengelompokan sosial pada tingkatan dasar hanya didasarkan pada jarak fisik yang relatif dekat (kolektifitas) dan adanya kesamaan identitas (kategorisasi). Pada pengelompokan sosial pada tingkatan lanjut telah melibatkan pola interaksi terorganisasi tertentu dan kesadaran akan keanggotaan dan keterikatan. Oleh karena itu maka pada terminologi ini mulai dikenal adanya asosiasi-asosiasi sosial yang mewujud dengan adanya berbagai organisasi-organisasi tertentu di masyarakat. Untuk mengetahui pola pengelompokan sosial di masyarakat maka terlebih dahulu perlu dikenali tipologi pengelompokan pada tingkatan dasar. Pada kajian ini pola pengelompokan masyarakat akan dilihat dari dua sudut yaitu pengelompokan berdasarkan teritori/wilayah tempat tinggalnya dan pengelompokan sosial berdasarkan isu masalah, minat/kepedulian, atau identitas tertentu. Pengenalan pola pengelompokan sosial pada tingkatan dasar akan sangat membantu identifikasi lebih jauh tentang organisasi dan 1
asosiasi sosial yang ada di masyarakat. Organisasi dan asosiasi sosial inilah menjadi landasan untuk memahami lebih jauh struktur keterwakilan masyarakat dalam perencanaan. Dalam kajian partisipasi dalam perencanaan, isu keterwakilan menjadi salah satu isu sentral dalam memandang bagaimana suara masyarakat tersalurkan dalam proses perencanaan. Keterwakilan merupakan salah satu subjek wacana dalam demokrasi partisipatoris. Salah satu konsep tentang keterwakilan diajukan oleh Grifiths (dalam Fagence, 1975: 55) adalah berkaitan dengan derajat seseorang dapat mewakili orang lain. Setiap orang tidak akan memiliki kemampuan dalam mewakili secara akurat kepentingan orang lain atau yang dimiliki, karena setiap orang hanya mengetahui secara akurat kepentingannya sendiri. Oleh karena itu makna dari keterwakilan adalah hanya dalam kondisi seperti apa seseorang dapat diwakili. Grifith (dalam Fagence, 1977: 55) mengajukan pertanyaan tentang kondisi seperti apa yang memungkinkan seseorang dapat diwakili secara tepat. Grifith (dalam Fagence, 1977: 55) mengidentifikasi empat pengertian tentang keterwakilan yaitu: keterwakilan deskriptif, keterwakilan simbolik, keterwakilan askriptif, dan keterwakilan kepentingan. 1 Organisasi sosial didefinisikan sebagai (Horton dan Hunt, 1996: 213): (1) cara membagi para anggota masyarakat ke dalam kelompok-kelompok beserta tata cara tetap yang mereka ciptakan; (2) suatu proses pembentukan kelompok-kelompok dan pengembangan pola-pola asosiasi dan perilaku tetap, yang kita sebut lembaga sosial.
26
Keterwakilan deskriptif adalah suatu bentuk keterwakilan dimana seseorang mewakili orang lain dengan cara menjadi secara manifest seperti orang yang diwakilinya, dengan cara menjadi contoh identik dari kelompok dan memastikan kepentingannya terartikulasi
dan
terjaga. Berbeda dengan keterwakilan deskriptif, keterwakilan simbolik dicirikan dengan asumsi bahwa individu (wakil) memiliki sikap spesifik dan ungkapan yang diasosiasikan dengan kepentingan yang bisa diidentifikasikan
dan dalam tindak tanduknya menjadi
semangat (spirit) dari kepentingan yang diwakilinya. Dalam bentuk ini, wakil dinominasikan dari dalam kelompok oleh karena kemampuannya untuk mempertunjukkan semangat, jiwa, konvensi dan selera politik kelompok dimana ia berada. Bentuk ketiga adalah bahwa keterwakilan dapat diidenfikasikan sebagai bentuk yang memungkinkan agen yang diakui (accredited agent) mengasumsikan atau bahkan secara langsung diberi mandat untuk mengambil keputusan, didasari oleh keterampilan spesial dan pengetahuannya. Keterwakilan askriptif ini dapat banyak dijumpai dalam model pengambilan keputusan yang didasari oleh keputusan elit. Disini setiap ’klien’ (yang diwakili) terikat oleh keputusan yang dibuat untuknya. Bentuk keterwakilan yang terakhir adalah perwakilan kepentingan, yang dalam pelaksanaannya
biasanya
dijumpai
dalam
situasi
pengambilan
keputusan
yang
terinstitusionalisasi dimana wakil berusaha mencapai kepentingan. Keterwakilan disini berjalan dalam dua level yaitu level umum dengan kewajiban kelompok, dan level lainnya mungkin berkaitan dengan area kepentingan personal, atau diturunkan dari kepentingan kelompok yang mensponsori wakil. Konsepsi lain tentang keterwakilan diajukan oleh De Grazia dan Gosnell (dalam M. Hasan, dkk., 2002: 8) mendefinisikan representasi sebagai berikut: Representation of an individual in a society is a condition which exists when the characteristics and acts of a person in a position of power in the society are in accord with the desires, expressed and unexpressed, of the individual. Representation is a condition that the exist when the characteristics and acts of one vested with public functions are in accord with the desires of one or more person to whom the functions have objective or subjective importance. Dalam pandangan mereka, apa yang disebut dengan keterwakilan pada dasarnya adalah ketika ada kesesuaian antara keinginan dan ekspresi dari yang diwakili dengan yang mewakili. Sementara itu, dalam International Encyclopedia of The Social Science (David L. Sills, dalam M. Hasan, dkk., 2002: 8) representasi didefinisikan sebagai: â€œâ€Śa relation between two persons, the representative and the represented or constituent, with the representative holding the authority to perform various actions that incorporate the agreement of the represented. The relation is by no
27
means simple, since practically every type of human communication and perception can be shown to be intrinsic to representation. The relation is sociopsychological. Essentially subjective, it may, of however, be affected by numerous objective conditions and events. Representation is a concept social interest largely in the context of power relations among leaders (representatives) and followers (constituent) – whether in government, church, school business, or the family.� Pada dasarnya definisi tersebut menggariskan bahwa keterwakilan di satu sisi dapat dipandang sebagai suatu hubungan yang bersifat sosiopsikologis diantara dua pihak, yaitu diantara yang mewakili dan yang diwakili, sehingga secara esensial sebetulnya bersifat subjektif. Sementara pada sisi yang lain, keterwakilan pun dapat dilihat sebagai sebuah hubungan kekuasaan atau kepentingan sosial
yang lebih luas diantara para pemimpin
dengan pengikutnya dalam konteks sosial yang ada, sehingga dapat dilihat baik secara sosiologis maupun politik. Dalam konteks ini batasan keterwakilan dilihat dalam tataran sebuah sistem. Sills (dalam M. Hasan, dkk., 2002: 8-9) menunjukkan beberapa indikator dari sistem representasi tersebut yaitu: 1. Masyarakat secara bebas dan secara periodik memilih para wakilnya. Dalam konteks ini sistem yang representatif akan ada apabila di dalam masyarakat tersebut secara rutin diselenggarakan pemilihan yang bebas untuk memilih wakilnya 2. Pemerintahan yang ada memberikan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada masyarakat atau rakyatnya. Dalam konteks ini suatu sistem dianggap sebagai
representatif
ketika
ada
suatu
proses
dimana
di
situ
ada
pertanggungjawaban publik dari pemerintah. Dengan kata lain adanya sistem keterwakilan, terlepas seperti apa dan bagaimana pertanggungjawaban itu sendiri diterima atau ditolak oleh masyarakat. 3. Pemerintah adalah agen yang mengemban mandat dari rakyatnya atau para pemilihnya. Dalam konteks ini representasi dipandang dalam konteks otoritas, sehingga dalam melihat ada tidaknya sistem yang representatif bertitik tolak dari adanya institusi yang memiliki otoritas untuk melaksanakan mandat dari para pemilihnya. 4. Masyarakat merasakan adanya kesamaan antara apa yang diinginkan dengan kenyataanya. Ini artinya, masyarakat merasa bahwa aspirasinya selama ini dilaksanakan oleh para pemimpinnya.
28
5. Adanya kepedulian yang nyata dari masyarakat terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dari sudut ini kepedulian tersebut disimbolkan sebagai wujud adanya pengakuan dari masyarakat bahwa pemimpinnya tersebut memang mewakili kepentingannya. 6. Ada keterlibatan secara penuh dari masyarakat dalam proses penentuan atau pembuatan kebijakan. Keterlibatan aktif masyarakat di sini disimbolkan sebagai pengakuan dari masyarakat bahwa pemimpinnya tersebut merupakan wakil dari mereka. 7. Pemerintahan yang eksis merupakan penjelmaan dari para pemilihnya. Dalam konteks ini pemerintahan dibentuk berdasarkan pemilihan yang representatif, sehingga pemerintahan yang ada tersebut merupakan penjelmaan dari kehendak rakyat. 2
Smith (1973: 103-104) dalam penelitiannya tentang Kelompok Penasehat (Advisory Groups) dalam Citizen Advice and Participation, berpendapat ada perbedaan antara keterwakilan (representation) dan diferensiasi (differentiation). Representasi menyiratkan bahwa tiap anggota dapat bersuara atas nama konstituennya. Diferensiasi, di satu sisi, hanya memerlukan bahwa setiap anggota berafiliasi dengan elemen lingkungan masingmasing dan merefleksikan pandangan dunianya. Setiap anggota dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri, bukan untuk konstituennya. Differensiasi adalah bentuk yang paling lemah dari representasi, cocok untuk tujuan organisasi tetapi dipertanyakan dari sisi pengikut diluar organiasi. Pengertian diatas dibedakan pada penekanan aspek akuntabilitas. Dari uraian-uraian tentang beberapa pengetian keterwakilan diatas, untuk melihat sistem representasi/keterwakilan yang menggambarkan struktur keterwakilan di masyarakat maka digunakan indikator-indikator sebagai berikut: 1. adanya agen atau pihak yang memiliki kewenangan dan legitimasi untuk mewakili 2. mekanisme pemilihan perwakilan 3. adanya mekanisme pertanggungjawaban dan sistem kontrol konstituen terhadap perwakilan. 4. cara menyampaikan aspirasi dari konstituen kepada wakilnya atau cara mengartikulasikan kepentingan/aspirasi bersama. 5. kesamaan identitas antara perwakilan dan konstituen.
2
Konsep keterwakilan ini diambil dari proposal desertasi Hetifah Sjaifudian pada Flinders University.
29
Selain diperoleh gambaran tentang struktur keterwakilan yang tergambarkan dengan indikator-indikator tersebut, lebih jauh sifat keterwakilan masyarakat dapat terlihat dari dua jenis keterwakilan menurut Smith yaitu: 1. Representasi, suatu sifat keterwakilan yang menyiratkan adanya hubungan dan keterkaitan yang erat antara konstituen dengan wakilnya, dimana wakil dapat bersuara dan mengambil keputusan atas nama konstituennya. Suara wakil relatif sama dengan suara konstituen. 2. Differensiasi, merupakan bentuk keterwakilan yang paling rendah yang hanya memerlukan bahwa setiap anggota berafiliasi dengan elemen lingkungan masingmasing dan merefleksikan pandangan tentang dunia asalnya, dan setiap anggota dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri, bukan untuk konstituennya.
2.2.2
Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Seperti yang diuraikan sebelumya bahwa perencanaan merupakan suatu upaya untuk
mengatasi konflik khususnya konflik alokasi sumberdaya. Pandangan ini memberikan penekanan bahwa perencanaan memiliki dimensi politis. Oleh karenanya, partisipasi masyarakat, apapun bentuknya , dalam mekanisme perencanaan merupakan bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik adalah cara atau tindakan untuk yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk mempengaruhi proses atau prosedur perencanaan (Hutington dan Nelson dalam Widdi Aswindi, 2002: 26). Partisipasi politik atau perilaku politis merupakan semua tindakan warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi keputusan yang diambil atau yang telah diambil oleh pemerintah (Widdi Aswindi, 2002: 26). Oleh karena itu, partisipasi politik dalam perencanaan tak lain adalah partisipasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya demi mempengaruhi keputusan dan kebijakan yang diambil. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya dalam 3
mekanisme perencanaan dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk diantaranya: 1.
Penyampaian suara dan aspirasi pada mekanisme formal. Bentuk partisipasi ini mencakup pemberian suara dalam pemilihan umum atau partisipasi dalam dengar pendapat pada upaya-upaya transparansi perencanaan pembangunan maupun kegiatan-kegiatan perencanaan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
2.
Lobbying. Bentuk partisipasi ini merupakan berbagai upaya baik perorangan maupun kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-
3 Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan ini merupakan hasil modifikasi dari skema klasifikasi bentuk partisipasi politik pada Studi Perilaku Politis dalam Pemanfaatan Ruang Publik, Tugas Akhir karya Widdi Aswindi.
30
pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut banyak orang. 3.
Kegiatan organisasi. Bentuk partisipasi ini ditunjukkan dengan partisipasi seseorang sebagai anggota atau pejabat dalam satu organisasi yang tujuan utamanya mempengaruhi kebijakan pemerintah. Organisasi-organisasi yang demikian dapat memusatkan usaha-usahanya kepada kepentingan-kepentingan yang khusus atau dapat mengarahkan perhatiannya pada masalah-masalah yang umum.
4.
Mencari koneksi (contacting), merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap para pengambil keputusan yang biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang.
5.
Tindakan kekerasan dan penunjukkan kekuatan. Bentuk partisipasi ini ditunjukkan dengan penunjukkan kekuatan dari seseorang atau sekelompok orang dalam rangka mempengaruhi kebijakan atau keputusan yang akan diambil.
Lebih lanjut, bentuk-bentuk partisipasi belum menunjukkan tingkat partisipasi berkaitan dengan kekuasaan untuk menentukan kebijakan atau hasil keputusan. Pada tahun 1969, 4
Sherry Arnstein menulis tentang keterlibatan warga pada proses perencanaan di Amerika, yang didiskripsikan sebagai tangga partisipasi yang terdiri dari delapan langkah (Willcox, 1994). Model asli dari tangga partisipasi Arnstein adalah sebagai berikut: 1. manipulasi dan terapi (manipulation and therapy). Keduanya tidak termasuk dalam kategori partisipatif. Tujuan dari langkah ini adalah untuk mengobati atau mendidik partisipan. Rencana yang diajukan pada tingkatan ini adalah yang terbaik dan kegiatan partisipasi adalah untuk mencapai dukungan publik melalui hubungan publik. 2. Penginformasian (informing). Langkah ini merupakan langkah pertama yang penting untuk partisipasi yang diakui. Namun demikian seringkali lebih bersifat aliran informasi satu arah. Tiada ruang untuk umpan balik. 3. Konsultasi (consultation). Merupakan langkah partisipasi yang lebih diakui, terdiri dari suvey perilaku, pertemuan warga, dan penyelidikan publik. Namun demikian Arnstein beranggapan tahapan ini hanya sekedar ritual belaka. 4. Penentraman (placation). Langkah ini memberikan kesempatan bagi warga untuk memberikan saran atau rencana dengan tak terbatas, namun tetap memberikan
31
peran yang dominan bagi pemegang kekuasaan untuk menilai legitimasi atau kemungkinan dari saran yang diterima. 5. Kemitraan (partnership). Kekuasaan secara nyata di distribusikan kembali melalui negosiasi antara warga dengan pemegang kekuasaan. Tanggung jawab perencanaan dan pembuatan kebijakan di tanggung secara bersama-sama melalui komite bersama. 6. Delegasi kekuasaan (delegated power). Warga memegang kursi/suara mayoritas secara jelas dalam komite dengan kekuasaan yang diberikan untuk membuat keputusan.
Publik
kini
memiliki
kekuasaan
untuk
memastikan
pertanggungjawaban program kepada warga. 7. Pengawasan warga (citizen control). Warga memegang kendali atas seluruh kegiatan perencanaan, pembuatan kebijakan dan pengelolaan suatu program, seperti kerjasama lingkungan (neighbourhood corporation) dengan tidak ada pihak penghubung diantara mereka dan sumber dana. Dari delapan anak tangga partisipasi Arnstein tersebut, Wilcox memodifikasi menjadi lima tingkatan partisipasi. Pada model tangga partisipasi Arnstein, mengindikasikan bahwa beberapa tingkatan adalah lebih baik dari tingkatan yang lain. Berbeda dengan model Arnstein, model yang diajukan oleh Wilcox lebih menekankan pada tingkatan-tingkatan partisipasi tertentu cocok untuk kondisi-kondisi tertentu pula. Model partisipasi Wilcox menawarkan peningkatan derajat kontrol terhadap pihak lain yang dilibatkan. Adapun model partisipasi Wilcox adalah sebagai berikut (Wilcox, 1994): 1. Informasi
(information).
Pada
dasarnya
tahapan
penyampaian
informasi
merupakan pendekatan yang memberikan kesempatan bagi partisipan untuk hanya dapat menerima saja (pendekatan “take it or leave it�). Para partisipan mungkin tidak menerima bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sesuatu. 2. Konsultasi (consultation). Tahapan ini berarti memberikan orang-orang suatu pilihan dan peran terbatas pada solusi. Pada tahapan ini dimungkinkan untuk mendiskusikan
permasalahan,
menawarkan
beberapa
pilihan,
memberikan
kesempatan untuk komentar, membuat catatan dan kemudian pelaksanaan. Partisipan tidak diharapkan atas bantuan lebih lanjut. 3. Memutuskan bersama (deciding together). Tahapan ini dapat diartikan memberikan kebebasan dan kekuasaan untuk memilih tanpa disertai pembagian tanggung 4
Diambil dari buku “The Guide to Effective Participation�, karya David Wilcox yang ditulis pada tahun 1994. Buku ini
32
jawab yang penuh untuk melaksanakan keputusan lebih lanjut. Pada tahapan ini, setiap gagasan yang muncul dari partisipan diperhatikan, dan kemudian memilih pilihan yang telah dibangun secara bersama-sama. 4. Bertindak bersama (acting together). Tahapan ini berarti melibatkan memutuskan bersama yang dilanjutkan dengan bertindak bersama. Pada tahapan ini seluruh pihak memiliki bahasa yang umum, visi bersama atas apa yang diinginkan dan cara untuk mewujudkannya. 5. Mendukung insiatif lokal (supporting local initiatives). Tahapan ini berarti membantu warga untuk membangun dan menjalankan rencana yang mereka susun sendiri. Pemilik sumber daya yang mendorong dan menginisiasi proses ini menetapkan batasan terhadap apa yang akan mereka dukung. Tahapan ini menyediakan kesempatan untuk melakukan apa yang mereka lakukan untuk mereka sendiri.
2.2.3
Dimensi Kekuasaan Dalam Perencanaan Pada bagian ini akan diuraikan tentang dimensi kekuasaan dalam perencanaan.
Pembahasan akan difokuskan pada definisi kekuasaan, dimensi kekuasaan dalam pengambilan keputusan dan relasi kekuasaan. Pentingnya kajian tentang kekuasaan dalam perencanaan didasarkan bahwa perencanaan merupakan suatu mode pengambilan keputusan yang berkaitan dengan alokasi sumberdaya publik sehingga perencanaan tidak dapat dilepaskan dari dimensi relasi kekuasaan.
2.2.3.1 Definisi Kekuasaan (power) Dalam memahami distribusi power dalam perencanaan, maka perlu dipahami konsep power dalam konteks governance dan perencanaan. Secara leksikal kekuasaan dapat dimaknai sebagai kesanggupan, kemampuan; kuasa untuk menentukan, mangatur; dan kemampuan orang/golongan untuk mempengaruhi orang/golongan lain berdasarkan 5
kewibawaan, wewenang, atau kekuatan fisik . Kekuasaan dan pengaruh merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan relasi dan aktivitas yang merupakan bagian dari politik. Kekuasaan politik seringkali lebih berguna jika dipahami sebagai relasi antar manusia, daripada dipahami sebagai komoditas atau atribut yang melekat pada seseorang. Secara luas, kekuasaan politik mengacu pada kemampuan a untuk membuat b mengerjakan sesuatu yang dikehendaki a, tanpa peduli si b mau mengerjakan itu atau tidak. dipublikasikan secara online dalam website http://www.partnerships.org.uk . 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 1989).
33
Cara dan alat yang digunakan oleh a untuk mengerjakan hal tersebut mengindikasikan jenis hubungan a dan b. Menurut Welsh (dalam Diding dan Ari Nurman, 2002: 14), apabila digunakan alat berupa ancaman dan sanksi maka jenis hubungannya adalah kekuasaan, namun apabila tidak menggunakan alat tersebut, maka jenis hubungannya adalah pengaruh. Dahl (dalam Diding dan Ari Nurman, 2002: 15) menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi seseorang untuk mengerjakan sesuatu, yang bilamana tanpa itu maka ia takkan mengerjakannya. Mirip dengan Dahl, Wrong (dalam Diding dan Ari Nurman, 2002: 15) berpendapat bahwa kekuasaan adalah kapasitas seseorang untuk menghasilkan efek yang terkehendaki dan nyata terhadap orang lain. Menurut Culver dan Syer (dalam Diding dan Ari Nurman, 2002: 15) kekuasaan bisa dibagi menjadi dua, kekuasaan individu dan kelompok. Dalam kekuasaan individu ada beberapa faktor yang penting untuk diperhatikan yaitu: sumber daya yang dimiliki oleh seseorang, keinginan untuk menggunakan sumber daya tersebut, dan kemampuan (skill) untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya. Kepemilikan sumber daya dalam kajian ini bermakna luas. Secara umum ada tiga jenis kepemilikan sumber daya yang mempengaruhi kekuasaan seseorang yaitu: 1.
Kepemilikan faktor riil yang meliputi informasi, ekonomi (aset pribadi, kendali terhadap pegawai pengaruh terhadap lokasi usaha, dan kemampuan untuk mengembangkan atau mengurangi kredit), dan lain-lain.
2.
Atribut yang melekat pada kepribadian seseorang seperti: dinamis, kharisma, cerdas, ketersediaan waktu, dan lain-lain.
3.
Kemampuan tambahan seperti kesempatan, kecerdasan, keanggotaan pada kelompok tertentu, kemampuan mengakses informasi dan teknologi, kekuatan fisik, dan sebagainya.
Keinginan untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki akan terlihat pada bagian mana dia ingin menggunakan sumber daya yang dimilikinya tersebut dalam bidang-bidang tertentu saja apakah semua bidang. Sumber daya yang dimiliki sebagai potensi kekuasaan tidak akan menjadi sumber kekuasaan individu yang berarti tanpa adanya keinginan dan motivasi pemiliknya. Beberapa orang dengan potensi kekuasaan yang sama (apabila ditinjau dari sumber daya yang dimiliki), belum tentu mempunyai kekuasaan yang sama. Hal ini sangat tergantung pada tingkat ketrampilan dan kemampuan yang dimilikinya dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk kekuasaan yang diinginkan.
34
Agak berbeda dengan kekuasaan individu, pada kekuasaan kelompok sumber daya diperoleh dari keanggotaan, karena pada awalnya kelompok tidak memiliki sumber daya apapun. Untuk dapat lebih efektif secara politis, orang-orang mungkin mengumpulkan sumber daya individu dan membentuk kelompok. Dengan keanggotaan sekumpulan orangorang maka sumber daya yang terlekat pada masing-masing individu terakumulasi menjadi sumber daya kelompok yang potensial sebagai sumber kekuasaan kelompok. Dalam kajian kekuasaan kelompok, selain memiliki komponen faktor yang mirip dengan kekuasaan individu, perlu ditambahkan beberapa komponen lain yang penting yaitu: ukuran kelompok, fungsi, peran, dan posisi signifikan kelompok/organisasi dalam masyarakat, manifestasi fungsi dan solidaritas organisasi, serta aturan main organisasi.
2.2.3.2 Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan Publik Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Beberapa definisi menunjukkan hubungan yang erat antara kekuasaan dengan proses pengambilan keputusan. Lasswell (dalam Diding dan Ari Nurman, 2002: 15) berpendapat bahwa kekuasaan adalah partisipasi dalam membuat keputusan
yang penting. Pengertian ini
kurang memberikan penekankan pada keputusan dalam domain urusan publik. Menurut Sheperd (dalam Abbot,1995: 112), proses pembuatan keputusan adalah contoh nyata dari penggunaan kekuasaan (power). Oleh karena itu partisipasi dalam keputusan dapat diperluas atau dibuat secara efektif representatif, ini artinya power sedang didistribusikan dan kelompok-kelompok yang awalnya tidak terakomodasi dalam dinamika penggunaan power kini dilibatkan. Ini artinya bahwa kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari proses pembuatan keputusan yang melibatkan hubungan antar individu dan kelompok kepentingan dengan negara.
2.2.3.3 Relasi Kekuasaan Dalam memahami model relasi kekuasaan sangat baik untuk mengadopsi epistemologi kekuasaan dari John Gaventa (dalam Clegg, 1998: 103-115) yang menerangkan model hubungan tiga dimensi antara kekuasaan, kepentingan, dan hegemoni. Secara sederhana bentuk relasi kekuasaan berdasarkan perspektifnya dibagi menjadi tiga yaitu: monodimensional, bidimensional, dan tridimensional. Penjelasan ringkas terdapat pada Tabel 2.1.
35
Tabel 2.1 Model Relasi Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa Relasi A/B
Kekuasaan A terhadap B
Dimensi-1 Kecenderungan untuk mendominasi B oleh A melalui kepemilikan dan superioritas kontrol A terhadap sumber daya
A mengalahkan B karena ketiadaan sumber daya pada B Ketidakberdaya an B terhadap A
Konflik terbuka antara A dan B, dimana masing-masing Pemberontakan memiliki sumber daya yang dikompetisikan, B terhadap A konflik terjadi dalam isu yang jelas. Sumber: Frameworks of Power tahun 1989.
2.2.4
Dimensi-2 A membangun kendala agar B tidak dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan melalui setting dan pembiasan arti partisipasi B tidak berpartisipasi dalam agenda politik karena kendala yang riil dan yang dipersepsi oleh B bahwa partisipasi hanya akan merugikan dan kekalahan baginya. Mobilisasi dalam isu tersebut dan aksi menentang kendala
Dimensi-3 A mempengaruhi dan membentuk kesadaran B tentang eksistensi ketidaksetaraan dalam proses produksi, kontrol informasi, dan ideologi. Penerimaan tentang mitos-mitos, pelegitimasian ideologi, kesadaran ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan berpikir kritis B karena pengaruh A Formulasi isu dan strategi oleh B
Proses Pengambilan Keputusan Kolektif Dalam kajian perencanaan sebagai proses transaktif, maka perencanaan dapat
dipandang sebagai upaya pengambilan keputusan publik. Proses pengambilan keputusan publik merupakan suatu proses iteratif yang melibatkan interaksi antar personal untuk untuk mencapai keputusan. Proses pengambilan keputusan publik tidak dapat dilepaskan dari dimensi prilaku dan pengambilan keputusan individu, serta pengambilan keputusan kelompok.
2.2.4.1 Keputusan dan Perilaku Manusia Dalam sebuah sistem sosial masyarakat, perilaku individu dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing individu anggota sistem tersebut akan memberikan pengaruh terbesar dalam iklim pembuatan keputusan publik yang pada akhirnya otomatis akan mempengaruhi iklim pembangunan (Greed dalam Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002: 38). Perencanaan merupakan sebuah pergerakan yang dimotivasi oleh prinsip ideologi para
36
aktornya. Motivasi tersebut berbeda-beda, mulai dari keinginan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, sampai pada keinginan untuk melanggengkan kekuasaaan dan kendali untuk mendorong keteraturan dan realitas tertentu dalam masyarakat (Greed, 1994 dalam Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002: 39) Dalam pengamatan tentang perilaku manusia dalam tingkatan individu, perilaku seseorang dalam menghadapi suatu persoalan, termasuk juga
dalam pengambilan
keputusan, dilandasi oleh beberapa faktor yaitu: persepsi, proses belajar yang pernah dilaluinya, kemudian pemecahan persoalan yang dihadapi (Indrawijaya,1983 dalam Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002: 39). Persepsi dan informasi mengenai persoalan yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi alternatif konsekwensi tindakan yang kemudian dipilihnya. Persepsi adalah cara pandang seseorang melihat dirinya sendiri, orang lain, hubungan-hubungannya, dan situasi-situasi yang dia hadapi. Persepsi mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku manusia. Jika seseorang mensikapi sesuatu dengan cara tertentu, walaupun itu tidak benar, dalam pikirannya cara pandang itulah yang ada dan mendasari perilakunya. (Weeks, 1992: 89). Hammer dan Ogan mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dengannya seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami, dan mengolah pertanda atau segala sesuatu yang terjadi dilingkungannya.
2.2.4.2 Teori Pengambilan Keputusan Setiap individu setiap saat akan selalu dihadapkan atas pilihan-pilihan tindakan yang mungkin dilakukan olehnya. Pada saat itu setiap individu dituntut untuk membuat suatu keputusan atas beberapa pilihan tindakan yang mungkin dilakukannya. Secara umum ada dua teori yang berusaha untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan yaitu pengambilan keputusan yang bersifat normatif (preskriptif) dan teori pengambilan keputusan yang bersifat perilaku (deskriptif) Perbedaan kedua teori tersebut terletak pada asumsi yang digunakan (Diding dan Ari Nurman, 2002: 8-9). Teori normatif berasumsi bahwa setiap manusia akan memaksimasi keuntungan dalam mengambil keputusan. Pengambil keputusan diasumsikan memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai persoalan, alternatif tindakan yang mungkin diambil dan konsekwensi dari setiap pilihan tersebut. Dalam teori normatif, proses pengambilan keputusan dilakukan melalui prosedur dan ketentuan khusus (Indrawijaya, 1983 dalam Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002).
37
Berbeda dengan teori normatif, teori deskriptif berasumsi bahwa manusia selalu bertindak rasional. Dalam pengambilan keputusan selalu diutamakan perolehan kepuasan dibandingkan dengan keuntungan yang mungkin diperoleh (Indrawijaya, 1983 dalam Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002).
2.2.4.3 Keputusan Kelompok dan Komunikasi Dalam dunia publik, individu dalam menentukan keputusannya tidak bisa terlepas dari dampak-dampak yang mungkin disebabkan oleh keputusan yang dilakukan oleh individu lain terutama keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dalam dunia publik sebagai wilayah tindak kolektif, individu dan kelompok memiliki keterlekatan. Dengan keterlekatan ini berarti tindakan setiap individu atau kelompok mempunyai dampak terhadap individu atau kelompok lainnya. Dalam kenyataannya, individu terpisahkan dalam kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Kepentingan ini tidak selalu identik bahkan sering bertentangan (Healey, 1997: 31). Ada perbedaan yang sangat besar antara pengambilan keputusan individual dengan pengambilan keputusan kelompok. Dalam
interaksi kelompok
setiap orang harus
menyampaikan tawaran, menciptakan gema dari gagasannya, menyampaikan sintesa dari sudut pandangnya tersebut. Komunikasi menjadi katalis dari proses ini dan ia disebut sebagai kekuatan kunci untuk pengambilan keputusan kelompok. Komunikasi adalah kunci dari koordinasi dan aktifitas pengendalian kelompok, sosialisasi keanggotaan integrasi kelompok, manajemen konflik, dan sebagainya. Menurut Poole dan Hirokawa (1986: 20-21), ada dua perspektif tentang komunikasi dalam pembuatan keputusan kelompok. Perspektif pertama menempatkan komunikasi sebagai medium untuk pembuatan keputusan. Perspektif ini melihat komunikasi sebagai medium terdapatnya faktor-faktor yang menentukan keputusan itu sendiri. Ada dua kelompok faktor yang dimaksud yaitu: 1.
Faktor yang menjelaskan input dan konteks terjadinya keputusan itu sendiri: ukuran kelompok, komposisi kelompok, preferensi anggota sebelum diskusi terjadi, dan tipe tugas.
2.
Faktor yang menentukan sifat dari proses interaksi dari kelompok: polarisasi kelompok dan gaya kepemimpinan.
Perspektif ini melihat bahwa proses pengambilan keputusan dan hasilnya merupakan variabel yang tergantung kepada kedua faktor tersebut. Sebagai contoh, ukuran kelompok berkorelasi negatif dengan rata-rata masukan dari anggota. Demikian juga dengan jumlah
38
diskusi kritis yang terjadi dan kualitas dari keputusan yang dihasilkan. Contoh lain adalah, pengetahuan anggota menentukan jumlah dan jenis gagasan yang disampkaikan. Sebagai medium perlu diperhatikan juga bahwa komunikasi dapat menimbulkan bias. Perspektif kedua melihat komunikasi sebagai alat untuk membentuk realitas sosial dimana
keputusan
dibuat.
Komunikasi
membentuk
keputusan
dalam
arti
melalui
komunikasilah bentuk dan isi keputusan dibuat. Perencanaan dapat dipandang sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang paling optimal atas pilihan-pilihan yang paling memungkinkan. Menurut Friedmann perencanaan tidak sekedar sebuah pembuatan rencana, tetapi lebih berarti sebagai proses ‘belajar bersama’, tidak memberi tekanan pada dokumen tetapi pada dialog dan hasilnya lebih tergantung pada hubungan timbal balik pribadi-pribadi menurut latar belakang khususnya dan bukan pada lembaga-lembaga yang abstrak. Gaya perencanaan ini dinamakannya sebagai transaktif dan model yang mendasarinya sebagai social learning (Friedmann, 1981 dalam Korten dan Sjahrir, 1988: 251 & 257).
2.2.4.4 Proses Pencapaian Keputusan Dalam Kelompok Dalam memahami bagaimana kelompok dapat mencapai keputusan, tidak dapat dipandang sebagai proses linier semata. Poole dan Doelger (dalam Hirokawa dan Poole, 1986: 64) mengungkapkan tidak ada dua kelompok yang mungkin mencapai keputusan dengan cara dan jalan yang benar-benar sama. Walaupun demikian sebagian besar penelitian memiliki kesepakatan bahwa sebagian besar kelompok dapat mencapai suatu keputusan dengan pertimbangan umum yang sama. Menurut Hirokawa dan Scheerhorn (1986: 64), keputusan kelompok adalah hasil akhir dari serangkaian kesimpulan yang disepakati bersama yang dicapai oleh kelompok dalam mempertimbangkan tiga isu umum: (1) apa sifat dari situasi problematik yang dihadapi?, (2) apa tujuan dan/atau nilai spesifik yang perlu diakomodir oleh pilihan?, dan (3) apa konsekuensi positif dan negatif dari setiap pilihan?
penilaian terhadap situasi problematik Para peneliti komunikasi telah menemukan bahwa keputusan kelompok secara langsung berkaitan dengan persepsi atau pemahaman yang dimiliki dari situasi pembuatan pilihan (Jason,1972; Volkema, 1983 dalam Poole dan Hirokawa, 1986: 64). Dalam kajian lebih lanjut, Hirokawa dan Pace (1983) menemukan bahwa keputusan kelompok tampak berasal dari penilaian terhadap permasalahan. Dalam studinya, anggota kelompok diamati untuk pembenaran preferensi keputusan mereka
39
dengan
memperhatikan
bagaimana
serangkaian
tindakan
tertentu
akan
menghilangkan atau menetralkan bahaya yang ditunjukkan oleh permasalahan yang ada, atau memperbaiki sebab-sebab yang mendasari situasi permasalahan. Singkatnya, tampaknya suatu alasan yang baik untuk mempercayai bahwa keputusan kelompok terikat dengan bagaimana kelompok merasakan situasi pembuatan pilihan.
tujuan yang ingin dicapai dengan pilihan Banyak studi telah menemukan bahwa keputusan kelompok cenderung berdasarkan pada pertimbangan dari tujuan atau capaian penting dari pengambil keputusan yang ingin dicapai melalui pilihannya (Davis, 1973; Hirokawa, 1984 dalam Poole dan Hirokawa, 1986: 65). Tampaknya kecil keraguan bahwa suatu kelompok akan sering mendasarkan keputusannya pada pertimbangan dari kondisi akhir penting yang dicapai sebagai suatu hasil dari pilihannya.
konsekuensi positif dan negatif dari alternatif yang tersedia Pertimbangan ketiga yang mengarahkan keputusan dari banyak kelompok adalah penilaian mereka terhadap konsekuensi positif atau negatif dari alternatif tertentu. Secara spesifik, banyak peneliti telah menemukan bahwa kelompok tanpa kecuali akan mendasarkan keputusan final pada pertimbangan dari akibat yang diinginkan atau tidak yang dihasilkan oleh pemilihan serangkaian tindakan alternatif. Diakui, sebagian besar evaluasi ini, cenderung untuk memfokuskan pada kualitas positif dari pilihan alternatif, dengan kurang memperhatikan aspek negatifnya. (Janis dan Mann, 1977 dalam Poole dan Hirokawa, 1986: 65). Meskipun demikian, tampaknya sebagian besar kelompok akan melakukan paling tidak penilaian parsial dari aspek positif dan negatif atas pilihan alternatif sebelum mencapai keputusan akhir.
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut Hirokawa dan Scheerhorn (1986: 65-68) berhasil membangun model deskriptif proses pengambilan keputusan kelompok. Model ini didasarkan pada ketiga pertimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya.
40
Basis Informasi
Identifikasi alternatif Masukan
Penilaian konsekwensi Postif/ negatif
Penilaian Situasi
Pilihan
Identifikasi tujuan
Gambar 2.1 Model Umum Proses Pengambilan Keputusan Kelompok Sumber: Communication and Group Decision-Making tahun 1986. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tahap pertama dari proses pembuatan keputusan kelompok diawali dengan penilaian terhadap situasi problematik yang sedang dihadapi kelompok. Penilaian ini biasanya berusaha untuk mengklarifikasi dan mengetahui tentang permasalahan serta situasi pembuatan pilihan. Dalam upayanya untuk menilai situasi problematik dan pembuatan pilihan maka diperlukan basis informasi yang berisi berbagai data yang diungkapkan kepada kelompok oleh sumber-sumber luar atau dari dalam kelompok itu sendiri. Informasi yang akan digunakan adalah informasi yang diterima oleh kelompok karena tidak semua informasi akan digunakan sebagai bahan pertimbangan didasarkan pada tingkat kesahihannya. Ketika kelompok cukup puas dengan pemahaman situasi problematik maka kemudian akan dilanjutkan pada salah satu dari dua jalur yang mungkin dilakukan oleh kelompok yang ditentukan dari preferensi umum dan kebutuhan yang disadari oleh kelompok. Alternatif pertama, kelompok mungkin akan melakukan identifikasi alternatif rangkaian
tindakan
yang
tersedia.
Alternatif
kedua,
kelompok
akan
mencoba
mengidentifikasi tujuan penting yang ingin dicapai melalui pembuatan pilihan. Disini, kelompok akan berusaha untuk mencapai kesepakatan umum tentang kondisi akhir spesifik yang diinginkan sebagai hasil dari pembuatan pilihan. Tahap selanjutnya dalam proses pengambilan keputusan kelompok, akan sangat ditentukan oleh sifat dari tahapan sebelumnya. Secara spesifik apabila pada tahapan
41
sebelumnya kelompok terlibat dalam pembahasan tentang alternatif yang tersedia maka pada pada tahap berikutnya adalah pembahasan tujuan yang ingin dicapai. Demikian pula apabila sebelumnya kelompok membahas tujuan-tujuan yang ingin dicapai maka pada tahap berikutnya kelompok akan membahas kemungkinan alternatif. Dari sifat tahap ketiga proses pengambilan keputusan kelompok maka pada tahap keempat, kelompok akan menilai dampak positif dan negatif dari pilihan-pilihan yang tersedia. Biasanya penilaian dampak akan meliputi dua proses. Pertama, kelompok akan melakukan identifikasi dampak-dampak negatif maupun positif yang mungkin dari setiap pilihan. Kedua, kelompok kemudian melakukan perbandingan dampak antar kombinasi alternatif untuk memberikan gambaran konsekuensi dari setiap pilihan yang diinginkan atau tidak. Pada tahap ini juga mendasarkan pada basis informasi sebagai dasar untuk melakukan penilaian konsekuensi positif atau negatif dari setiap pilihan. Diikuti pada tahapan selanjutnya, pada tahap keempat, kelompok akhirnya tiba pada keputusan. Pada sebagian besar kasus, keputusan atas satu pilihan didasarkan pada penilaian kombinasi yang diterima dari konsekuensi positif dan negatif dari pilihan-pilihan. Model ini pun mengindikasikan bahwa setelah tahap ini kelompok mungkin akan kembali pada tahapan sebelumnya apabila tidak diperoleh keputusan yang memuaskan. Kelompok mungkin akan kembali untuk mengidentifikasi alternatif tambahan karena disebabkan pilihan yang tersedia tidak ada yang dapat memberikan kombinasi konsekuensi yang dapat diterima. Demikian pula, kelompok dapat kembali untuk mempertimbangkan kembali tujuan atau membuat prioritas dan hierarki dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
2.2.4.5 Pengaruh Individu Dalam Pengambilan Keputusan Kelompok Kelompok mungkin akan mencapai keputusan yang salah. Beberapa faktor yang mempengaruhi kelompok dapat memilih keputusan yang salah antara lain:
penilaian yang tidak tepat atas situasi pembuatan pilihan
pembuatan tujuan dan capaian yang tidak tepat
penilaian yang salah terhadap terhadap kulitas negatif atau positif dari alternatif.
basis informasi yang salah
pemahaman yang salah dari basis informasi kelompok
Individu dalam kelompok dapat mempengaruhi kelompok dalam mendorong terciptanya keputusan yang salah atau mencegah terciptanya keputusan yang salah yang mungkin diambil oleh kelompok. Individu dapat memfasilitasi sumber dari kesalahan
42
pengambilan keputusan dapat terjadi apabila paling tidak seseorang dari kelompok mampu secara efektif mempengaruhi keyakinan dan persepsi yang dipegang oleh anggota lain. Hal ini bisa terjadi dalam dua cara. Pertama, seorang anggota kelompok secara langsung dapat meyakinkan anggota lain untuk menerima keyakinan, persepsi dan kesimpulan yang salah. Kedua, sumber potensial kesalahan pengambilan keputusan dapat difasilitasi melalui pengaruh sosial dalam cara tidak langsung. Di lain pihak, seseorang pun dapat mencegah berkembangnya sumber kesalahan pengambilan keputusan kelompok. Kesalahan dapat dicegah apabila seseorang dapat meyakinkan anggota lain untuk menolak keyakinan atau persepsi yang salah atau juga bahkan meyakinkan seluruh anggota untuk menerima keyakinan, nilai dan persepsi yang benar. Peran individu dalam mempengaruhi pengambilan keputusan kelompok sangatlah penting dalam kajian ini. Kemampuan komunikasi seseorang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Pengaruh seseorang dalam proses pengambilan keputusan kelompok merupakan bentuk penterjemahan kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam interaksi dan komunikasi kelompok.
2.3
Konsep Dasar Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Tahunan
Proses pengambilan kebijakan merupakan suatu upaya untuk membuat kebijakan yang mencerminkan kepentingan publik. Dalam pandangan relasi masyarakat dengan negara, untuk mencapai kebijakan yang mencerminkan kepentingan publik secara umum terdapat dua pendekatan, yaitu: 1.
Pendekatan
proses
pembuatan
kebijakan
yang
didasari
oleh
partisipasi
stakeholder. Dengan proses pembuatan kebijakan yang semakin terbuka terhadap partisipasi stakeholder maka kebijakan yang dihasilkan semakin mencerminkan kepentingan publik. Kepentingan publik disini dianggap sebagai hasil dari kontestasi kepentingan dan kekuasaan antar stakeholder. 2.
Pendekatan yang mendasarkan pada kapasitas pemerintah (sebagai pihak yang diberi mandat
untuk
mengurusi urusan publik) dalam
mengartikulasikan
kepentingan publik. Pemerintah dianggap sangat mampu untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan kepentingan publik. Partisipasi masyarakat dianggap tidak atau kurang relevan dalam pengambilan kebijakan publik.
43
Penelitian ini menganggap bahwa proses pengambilan kebijakan yang partisipatif adalah pendekatan yang terbaik pada saat ini untuk menjawab berbagai kebutuhan dan kepentingan publik. Pendekatan yang kedua diasumsikan tidak akan berjalan dengan alasan kompleksitas isu dan permasalahan sosial yang ada di dunia nyata saat ini. Partisipasi masyarakat melalui mekanisme perencanaan pembangunan tahunan dalam mempengaruhi kebijakan pembangunan merupakan suatu bentuk fenomena interaksi kekuasaan antara pemerintah dengan masyarakat. Seperti yang diuraikan sebelumnya, pengaruh (atau mempengaruhi) merupakan suatu bentuk hubungan atau aktifitas bagaimana kekuasaan digunakan terhadap pihak lain. Oleh karena itu kajian partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung, dititikberatkan pada pengkajian terhadap aspek-aspek sebagai berikut.
a. Struktur keterwakilan masyarakat dalam mekanisme perencanaan Dalam perspektif ruang publik dalam wacana penguatan civil society, mekanisme perencanaan merupakan suatu manifestasi ruang publik/ruang transaksi untuk pencapaian kesepakatan kolektif yang secara legal dibuat atau disediakan oleh pemerintah. Prosedur dan mekanisme perencanaan kebijakan pembangunan yang terbuka untuk setiap stakeholder merupakan salah satu syarat untuk terciptanya kesempatan bagi masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan. Dalam konteks perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung, mekanisme perencanaan pembangunan tahunan yang didasarkan pada Keputusan Bupati Bandung No. 22 tahun 2002 dapat dipandang sebagai ruang untuk berpartisipasi bagi masyarakat dalam menentukan kebijakan pembangunan yang akan dituangkan dalam alokasi APBD Kabupaten Bandung. Asumsi dasar dari pandangan ini semakin kelompok-kelompok kepentingan terwakili dalam proses perencanaan maka kesepakatan kolektif yang berkaitan dengan proses perencanaan semakin mencerminkan kepentingan kolektif. Mekanisme perencanaan yang partisipatif dan inklusif adalah mekanisme perencanaan yang dapat mewadahi partisipasi berbagai stakeholder sesuai dengan konteks sosial yang ada. Pada penelitian ini, keterwakilan stakeholder dalam perencanaan pembangunan tahunan ini haruslah terwakili secara teritorial maupun isu. Untuk mengetahui sejauhmana mekanisme perencanaan pembangunan inklusif terhadap berbagai kelompok masyarakat terutama dalam konteks keterwakilan maka perlu
44
diketahui struktur keterwakilan terjadi di masyarakat dibandingkan dengan keterwakilan dalam mekanisme perencanaan pembangunan tersebut. Untuk melihat gambaran tentang struktur keterwakilan masyarakat melalui organisasi dan asosiasi sosial maka perlu dikaji beberapa indikasi-indikasi yang menunjukkan sistem keterwakilan diantaranya: -
adanya agen atau pihak yang memiliki kewenangan dan legitimasi untuk mewakili
-
mekanisme pemilihan perwakilan
-
adanya mekanisme pertanggungjawaban dan sistem kontrol konstituen terhadap perwakilan.
-
cara menyampaikan aspirasi dari konstituen kepada wakilnya atau cara mengartikulasikan kepentingan/aspirasi bersama.
-
kesamaan identitas antara perwakilan dan konstituen.
Selanjutnya bagaimana sifat keterwakilan masyarkat dalam proses perencanaan pembangunan di Kabupaten maka perlu diketahui sifat partisipasi wakil-wakil yang terlibat dalam mekanisme perencanaan tersebut apakah bersifat representasi atau differensiasi. Perbedaan sifat keterwakilan tersebut adalah: -
Representasi, suatu sifat keterwakilan yang menyiratkan adanya hubungan dan keterkaitan yang erat antara konstituen dengan wakilnya, dimana wakil dapat bersuara dan mengambil keputusan atas nama konstituennya. Suara wakil relatif sama dengan suara konstituen.
-
Differensiasi, merupakan bentuk keterwakilan yang paling rendah yang hanya memerlukan bahwa setiap anggota berafiliasi dengan elemen lingkungan masingmasing dan merefleksikan pandangan tentang dunia asalnya, dan setiap anggota dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri, bukan untuk konstituennya.
Sifat keterwakilan ini dapat terlihat dari bagaimana pihak-pihak yang terlibat mendefinisikan aspirasi/suaranya masing-masing dan ketika berinteraksi dengan pihak lain.
b. modus partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya. Bagaimana masyarakat dapat mempengaruhi kebijakan pembangunan melalui mekanisme perencanaan sangat ditentukan oleh kualitas partisipasi dalam proses perencanaan. Kualitas perencanaan sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya dan bagaimana sistem perencanaan yang ada terbuka terhadap cara partisipasi masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya.
45
Untuk memperoleh gambaran tentang modus partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembanguna tahunan di Kabupaten Bandung maka perlu dikaji: Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya untuk
-
mempengaruhi kebijakan dan keputusan yang akan diambil. Tingkatan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan
-
tahunan.
c.
proses pengambilan keputusan dalam perencanaan. Perencanaan yang mengedepankan pencapaian kesepakatan kolektif menekankan
gaya dialogis dan transaksi antar stakeholder sebagai bagian dari proses pembelajaran bersama dalam perencanaan. Dalam mekanisme perencanaan tahunan pembangunan di Kabupaten Bandung, proses perencanaan yang dimulai dari tingkat desa mengedepankan musyawarah (dialog) dalam menentukan berbagai usulan yang akan diproses lebih lanjut. Modus ini dapat dikatakan salah satu bentuk transaksi antar stakeholder dalam menentukan kesepakatan tentang prioritas program/proyek yang diusulkan (Daftar Skala Prioritas). Untuk
mengkaji
bagaimana
proses
pengambilan
keputusan
dalam
proses
perencanaan pembangunan maka perlu diamati dinamika-dinamika yang berkaitan dengan 6
proses pengambilan keputusan yang meliputi: -
input dan basis informasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan
-
pendefinisian tujuan dan alternatif dari proses pengambilan keputusan
-
pertimbangan dan dasar penilaian atas pilihan yang ada untuk mengambil keputusan. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
-
d.
Distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan kolektif dalam perencanaan. Perencanaan tidak dapat semata-mata terlepas dari dimensi politik dan kekuasaan.
Bahkan
di
banyak
kasus
politik
sangat
mempengaruhi
perencanaan
kebijakan
pembangunan. Hal ini menyangkut bagaimana distribusi sumber daya yang terbatas dapat terdistribusi secara adil. Disinilah kekuasaan yang dimiliki masing-masing stakeholder berinteraksi untuk mencapai suatu titik optimal bagimana sumber daya tersebut didistribusikan. Ada dua aspek yang penting dikaji dalam distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan kolektif antar stakeholder yaitu: 6
pihak-pihak yang menentukan dalam pengambilan keputusan.
Lihat model rasional pengambilan keputusan kelompok (Poole dan Hirokawa).
46
-
sumber-sumber kekuasaan
-
dan perilaku stakeholder dalam menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dalam pengambilan keputusan.
BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN TAHUNAN DI KABUPATEN BANDUNG
Bab ini akan memberikan konteks pada kasus studi –penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung– yang diangkat dalam penelitian ini, terutama konteks wilayah dan sosial dimana kasus itu terjadi. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan membahas kondisi makro dari wilayah Kabupaten Bandung dan wilayah sample (Kecamatan Majalaya). Pada bagian selanjutnya akan diuraikan tentang gambaran sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung yang meliputi pelaksanaan Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan (tahapan penjaringan aspirasi masyarakat) dan proses penyusunan APBD.
3.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Bandung 2
Kabupaten Bandung memiliki luas wilayah 2.852,09 km terdiri dari Kabupaten Bandung terdiri dari 43 wilayah Kecamatan, 436 desa dan 7 kelurahan. Dihuni oleh sekitar 3.716.534 jiwa, yang artinya Kabupaten Bandung memiliki tingkat kepadatan sekitar 1.288,52 jiwa per km2. Rasio penduduk laki-laki dan perempuan sekitar 99,511. Jumlah penduduk tersebut kemungkinan akan terus bertambah mengingat dalam tiga tahun terakhir Kabupaten Bandung memiliki rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,71% per tahun. Mayoritas penduduk Kabupaten Bandung masih memilih sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utamanya. Namun demikian mata pencaharian sektor non pertanian semakin meningkat secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari proporsi penduduk berdasarkan mata pencahariannya, yaitu 51,26% bermata pencaharian di sektor pertanian, 22,43% di sektor industri, 9,62% di sektor perdagangan, 7,88% di sektor jasa dan sisanya di sektor-sektor lainnya. Secara geografis, Kabupaten Bandung berbatasan dengan banyak daerah. Kota Bandung yang berada di tengah-tengah. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang; sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut; dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang.
1 Laporan Penelitian Indonesian Rapid Decentralization Appraisal I di Kabupaten Bandung yang dilakukan oleh IPGI Bandung berdasarkan data tahun 2000.
48
Karakteristik topografi wilayah Kabupaten Bandung secara umum merupakan cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan. Hampir di segala penjuru Kabupaten Bandung dibatasi oleh puncak-puncak gunung. Dengan karakteristik topografi seperti ini, Kabupaten Bandung memiliki potensi di sektor pertanian, perkebunan dan pariwisata alam yang cukup besar. Dari sisi potensi ekonomi, sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bandung adalah sektor industri pengolahan (non-migas). Sektor ini memberikan kontribusi terhadap PDRB lebih dari 50% dari total PDRB. Sektor yang memberikan kontribusi terbesar kedua adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sekitar 10,84%. Sementara itu, sektor pertanian dengan luas lahan pertanian produktif seluas 136.620 ha dan sektor perkebunan dengan luas areal perkebunan sebesar 21.690 ha hanya memberikan kontribusi sebesar 10,53% dari total PDRB. Untuk kondisi sosial, khususnya dalam aspek sumber daya manusia, angka melek huruf di Kabupaten Bandung mencapai 96,63% pada tahun 1998 dan mengalami penurunan pada tahun 1999 menjadi 94,70%. Penurunan ini sangat erat kaitannya dengan penurunan kemampuan ekonomi akibat krisis, di saat masyarakat banyak yang terpaksa tidak menyekolahkan anaknya sehingga meningkatkan angka putus sekolah dan menurunkan angka tingkat partisipasi sekolah. Prosentase ini terlihat dari NER (Net Enrollment Rate) 1998-1999 yang mengalami penurunan sebesar 9,64% untuk SD dan sederajat, 12,95% untuk SLTP dan sederajat. Sedangkan untuk SLTA dan sederajat justru mengalami kenaikan walaupun dengan angka yang cukup kecil yaitu sebesar 0,85%.
3.1.1
Sekilas Tentang Kecamatan Majalaya2 Majalaya merupakan sebuah Kota Kecamatan yang terletak di tenggara Kota
Bandung. Sebuah wilayah yang telah lama berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 200 ribu jiwa dan kepadatan penduduk di kawasan pusat kotanya lebih dari 10.000 jiwa/km2. Angka yang cukup fantastis untuk ukuran sebuah kota kecil. Secara geografis Majalaya terletak di antara 42’10” BT – 48’35” BT dan 59’10” LS – 65’30” LS. Secara geografis dan administratif, Kota Majalaya didefinisikan sebagai wilayah Kecamatan Majalaya yang terdiri dari 11 desa yang dibatasi secara administratif:
2
-
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rancaekek
-
sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Ciparay
-
sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Ibun
-
sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pacet.
Data diperoleh dari Rancangan RDTRK Majalaya tahun 2002.
49
Kondisi iklim rata-rata Majalaya adalah memiliki suhu rata-rata harian berkisar antara 23-320 C, dengan curah hujan rata-rata 15-20 mm/hari atau 3200-3500 mm/tahun. Kondisi topografi Majalaya berada pada ketinggian 650 – 1500 meter dpl dengan kontur yang relatif datar. Penyebaran jenis tanah di wilayah majalaya terdapat beberapa jenis tanah, yaitu asosiasi aluvial kekelabuan dan aluvial coklat kekelabuan, planosol coklat kekelabuan, kompleks latosol merah dan latosol coklat kemerahan, dan latosol coklat. Kedalaman air tanah bebas berdasarkan data yang diperoleh di Wilayah Majalaya pada tahun 1995 berkisar antara 0,4 samapai 4 meter. Sedangkan di Bagian selatan wilayah kaki pegunungan kedalamannnya antara 4 – 10 meter. Kondisi air tanah dalam berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan terdahulu menyimpulkan bahwa untuk wilayah Majalaya dan sekitarnya terdapat 3 lapisan pembawa air (aquifer), yaitu: -
Lapisan aquifer I, terdapat pada kedalaman bervariasi antara 20 – 80 meter.
-
Lapisan aquifer II, terdapat pada kedalaman antara 100 –150 meter.
-
Lapisan aquifer II dengan kedalaman lebih dari 160 meter
Air yang berasal dari lapisan aquifer I umumnya memiliki kualitas yang kurang baik dan tidak memnuhi persyaratan untuk air minum, karena mengandung unsur Fe dan Mn dengan kadar yang cukup tinggi. Debit air yang terdapat di lapisan aquifer I dan II umumnya kurang dari 10 liter/detik sedangkan dari lapisan Aquifer II umumnya lebih dari 10 liter/detik. Pola penggunaan lahan tercampur untuk permukiman, perdagangan dan jasa, dan pemerintahan, pasar dan terminal, serta lahan pertanian dan industri. Konsentrasi kepadatan pola guna lahan terkonsentrasi di pusat kota. Pola berbentuk linier dengan mengikuti pola kondisi lahan dan jaringan jalan yang ada. Topografi yang datar dan relatif rendah dibandingkan wilayah sekitarnya serta dialirinya Majalaya oleh beberapa sungai besar menyebabkan beberapa tempat merupakan wilayah genangan banjir ketika musim penghujan. Sebaran daerah banjir antara lain meliputi Desa Majalaya, Majasetra, Sukamaju, Bojong, Panyadap, Tangulun, Cipaku, Sukamanh, Majakerta, Biru, Padaulun, Bojongemas, Lampegan. Ketinggian air genangan di daerah banjir pada umumnya berkisar antara 0,3 sampai 1,5 meter. Majalaya telah menjadi sentra industri tekstil sejak tahun 50-an (sehingga dikenal sebagai kota Dollar) telah menciptakan sebuah masyarakat yang sangat dinamis. Sebuah masyarakat yang telah memiliki tradisi lama dalam hal kemapanan ekonomi dan politik. Begitu beragamnya latar belakang budaya pada warganya bukan merupakan fenomena baru di Majalaya. Begitu juga rentetan ketegangan-ketegangan antar kelompok warga, baik yang sifatnya laten maupun kasuistik, pun sangat kerap mewarnai kehidupan warga Majalaya. Selain itu, kemacetan lalu lintas, kesemrawutan pedagang
50
kaki lima, permasalahan limbah, dan banjir merupakan pemandangan yang senantiasa disuguhkan oleh wajah Majalaya. Menurut Rancangan RDTRK Majalaya (2002), kegiatan-kegiatan yang menonjol di Kecamatan Majalaya meliputi kegiatan-kegiatan: perindustrian, perdagangan, pertanian dan permukiman. Perindustrian merupakan kegiatan utama sedangkan kegiatan perdagangan, permukiman dan pertanian merupakan pendukung dari kegiatan perindustrian tersebut. Secara kualitatif, kegiatan perdagangan telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini diindikasikan dengan adanya perkembangan fisik bangunanbangunan pertokoan serta perdagangan dengan skala pelayanan kota pada pusat kawasan. Kegiatan perdagangan di Kota Majalaya terutama adalah perdagangan informal (kaki lima) yang berkembang di sepanjang jalan-jalan di sekitar pusat kota. Kegiatan industri yang berkembang di Kota Majalaya lebih berorientasi pada industri tekstil. Pada umunya, input-input yang digunakan untuk tekstil tersebut berasal dari luar Majalaya, dan hampir tidak ada produk-produk pertanian maupun industri kecil yang bersifat lokal memiliki keterkaitan langsung dengan industri tekstil yang berkembang di Majalaya. Industri tekstil Majalaya memiliki sejarah panjang seiring dengan sejarah perkembangan tekstil Majalaya. Industri tekstil Majalaya yang digerakkan oleh pengusaha pribumi Majalaya pernah mengantarkan Majalaya pada jaman keemasannya hingga pernah dikenal sebagai Kota Dollar di era tahun 60-an. Namun kini kondisinya berbalik, industri tekstil Majalaya kini didominasi oleh pengusaha-pengusaha pendatang. Kini Majalaya adalah sebuah Kota Kecamatan yang dibebani dengan setumpuk masalah perkotaan. Beberapa masalah perkotaan utama yang dihadapi oleh warga Majalaya adalah: masalah pedagang kaki lima, permasalahan transportasi, usaha tekstil Majalaya, buruh dan ketenagakerjaan, pertanian, prasarana fisik dan lingkungan.
3.1.1.1 Sejarah Singkat Kecamatan Majalaya Majalaya merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah yang cukup dinamis secara ekonomi, sosial dan politik. Majalaya dikenal sebagai salah satu wilayah pergerakan dimana dahulu pernah menjadi salah satu basis Serikat Islam yang cukup penting di Indonesia pada awal era kebangkitan Indonesia. Secara ekonomi, Majalaya sempat mencapai suatu kondisi kemandirian ekonomi yang mapan di tengah kondisi perekonomian bangsa yang sedang terpuruk dengan bersandarkan pada sektor industri tekstil. Era industrialisasi tekstil pada rentang tahun 50-an sampai 70-an di Majalaya telah membawa Majalaya mencapai kejayaannya. Kejayaan ekonomi Majalaya dilukiskan dengan julukan “Kota Dollar� (Diding, 2001: 34).
51
“Pada era tersebut Majalaya begitu makmur dengan masyarakatnya yang sangat mandiri. Dalam kondisi ekonomi dan perpolitikan nasional yang carut marut, warga Majalaya dapat membangun daerahnya secara mandiri tanpa uluran tangan dari pihak pemerintah. Buktinya masih dapat disaksikan sampai saat ini, seperti jalan regional yang menghubungkan Dayeuhkolot dan Majalaya, Rumah Sakit, Pasar Stasiun, Mesjid Agung, tanah kantor kecamatan, serta banyak lagi yang lainnya. Wah harita mah bisa maju teh ku lantaran aya tradisi anu disebut Tradisi Bahruteng tea(wah‌dulu bisa maju dikarenakan ada tradisi yang disebut dengan tradisi Bahruteng). (Penuturan Dudu Kosasih, Staff Kecamatan Majalaya dalam Diding, 2001: 34) Semangat kolektif pada masa itu sedemikian kuatnya tercermin dari tradisi Bahruteng. Suatu tradisi musyawarah dalam rangka memobilisasi sumber daya masyarakat Majalaya untuk menyelesaikan berbagai kebutuhan dan permasalahan kolektif. Rapat Bahruteng membicarakan kebutuhan sumber daya yang diperlukan secara musyawarah. Kemudian panitia akan menentukan besarnya beban iuran yang harus ditanggung oleh warga. Besarnya iuran ditentukan oleh banyaknya kepemilikan alat tenun setiap rumah tangga. Kondisi ini didukung oleh kemandirian ekonomi yang bergantung pada kesuksesan para pengusaha tekstil di Majalaya. Semangat kolektif yang dimiliki oleh masyarakat Majalaya sedikit demi sedikit mulai menghilang seiring dengan berkembangnya industrialisasi usaha tekstil di Majalaya.
Kehidupan
masyarakat
semakin
menunjukkan
ciri
kehidupan
urban.
Diperparah dengan semakin terpuruknya para pengusaha pribumi Majalaya yang kalah bersaing dengan pengusaha keturunan Tionghoa di Majalaya. Dengan terpuruknya para pengusaha pribumi dan semakin merebaknya sikap individualisme dan materialisme di kalangan masyarakat menyebabkan menurunnya semangat kolektif dan kepedulian sosial. Dampak dari penurunan kepedulian ini sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik kota yang semakin kumuh dan ketidakteraturan (Diding, 2001: 35). Kekumuhan dan kesemrawutan dapat dengan mudah ditemui di berbagai sudut kota, tanpa ada usaha maksimal untuk membenahinya. Sebagian besar masyarakat tetap menggantungkan penyelesaian berbagai masalah sosial tersebut kepada pemerintah. Kemacetan, pedagang kaki lima, tumpukan sampah, dan kekumuhan merupakan gambaran seharihari Majalaya.
3.1.1.2 Isu Pedagang Kaki Lima Perdagangan merupakan salah satu sektor usaha terpenting di Majalaya setelah industri tekstil. Majalaya merupakan salah satu sentra perdagangan yang cukup penting di Bandung Selatan. Kecamatan Majalaya, menurut RTRW Kabupaten Bandung, ditetapkan sebagai PKL-1 (Pusat Kegiatan Lingkungan Pertama). PKL-1 merupakan
52
pusat
kegiatan yang mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan bagi bagian wilayah
kabupaten, dengan kegiatan spesifik yang jangkauan pelayanannya luas, serta memberikan kontribusi yang cukup besar pada pembentukan struktur kegiatan di Kabupaten Bandung. Kriteria penentuan PKL-1 adalah sarana pendukung minimum seperti: rumah sakit tipe C, terminal tipe B, perdagangan grosir dan hotel melati (RTRW Kabupaten Bandung 2000, IV – 10). Lebih Lanjut, fungsi yang dikembangkan khusus Kecamatan Majalaya adalah perdagangan dan jasa, industri, permukiman perkotaan. (RTRW Kabupaten Bandung 2000, IV – 13). Sektor perdagangan di Majalaya tidak hanya melayani lokal Kecamatan Majalaya, tapi bahkan juga mencakup wilayah-wilayah lain di sekitarnya, seperti Kecamatan Ibun, Paseh, dan Solokan Jeruk. Bahkan Majalaya telah menarik minat pendatang dari luar Jawa untuk ikut berdagang di Majalaya. Secara umum, orang-orang yang terlibat di sektor usaha perdagangan dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok. Pertama, kelompok pedagang yang memililiki atau menyewa toko (pedagang toko). Karakteristik pedagang ini adalah mereka berjualan di bangunan-bangunan toko yang berdiri di wilayah pusat kota. Kedua, kelompok pedagang pasar, yaitu pedagang-pedagang yang memiliki atau menyewa kios yang disediakan di pasar. Ketiga, pedagang kaki lima, yaitu pedagang yang tidak memiliki dan menempati kios yang tetap. Pedagang Kaki Lima (PKL) dapat didefinisikan berdasarkan fakta di lapangan adalah para pedagang eceran berskala kecil yang menggunakan lahan publik untuk melakukan kegiatan usahanya tanpa memiliki ijin resmi (Widdi Aswindi, 2002: 46). Mereka biasanya menempati ruang-ruang terbuka umum yang ada di pusat kota. Biasanya mereka menggunakan trotoar atau badan jalan untuk berdagang, dengan mendirikan/membuat lapak-lapak berukuran tertentu di sepanjang trotoar atau ruang terbuka yang ada. PKL di Majalaya dapat dikategorikan bedasarkan waktu berjualan, lokasi berdagang, komoditi yang dijual. Berdasarkan daftar yang dibuat oleh Dinas Pasar Bingung/Stasiun, terdapat kategori PKL Tetap dan Tidak Tetap. PKL Tetap adalah para PKL yang bukan musiman, sedangkan yang tidak tetap adalah PKL musiman seperti menjelang lebaran dan tahun baru (Widdi Aswindi, 2002: 46). PKL yang berjualan di pusat kota Majalaya dapat dibedakan berdasarkan waktu berjualan dan loksi berjualan. Kelompok PKL berdasarkan waktu berjualan dicirikan dengan waktu mulai dan menghentikan kegiatan berdagangnya serta lamanya waktu berjualan. Kategori waktu ini juga menunjukkan perbedaan komoditas yang dijualnya. Berdasarkan waktu berjualannya, pedagang kaki lima yang berjualan di pusat kota Kecamatan Majalaya dapat dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu:
53
1. PKL sore/malam. Kelompok pedagang kaki lima ini memiliki waktu berjualan sekitar pukul 16.00 – 22.00. Pedagang kaki lima kelompok ini umumnya berjualan makanan siap saji dan makanan ringan seperti martabak dan gorengan. Mereka kebanyakan berjualan disekitar jalan Laswi, pelataran Masjid Agung, pelataran selatan Alun-Alun dan jalan sebelah barat Alun-Alun. 2. PKL pagi. Kelompok pedagang kaki lima ini memiliki waktu berjualan dari dini hari (subuh) hingga sekitar pukul 07.00 – 08.00. Kebanyakan komoditas yang diperjualbelikan adalah bahan-bahan pokok seperti sayur, bumbu-bumbu, daging-dagingan,
buah-buahan,
lauk-pauk
dan
sebagainya.
Kelompok
pedagang ini berjualan hampir merata di sekitar pasar hingga melebar ke tempat-tempat lain. 3. PKL siang. Kelompok pedagang kaki lima ini biasanya memiliki waktu berjualan sekitar pukul 08.00 – 18.00. Berdasarkan pengamatan, kelompok PKL ini dapat dibedakan berdasarkan lokasi dan komoditas yang dijualnya. Komoditas yang dijual PKL ini adalah meliputi: aksesoris dan pakaian, makanan sajian, sembako, hiburan, sayuran dan daging. Bedasarkan lokasi berjualannya pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan pusat kota dapat dibedakan pengelompokan (cluster) berjualan, yang penamaannya disesuaikan dengan lokasi tempat mereka berjualan. Pengelompokan lokasi jualan PKL Majalaya antara lain: 1. Cluster Depan Pasar Bingung. Sebagian besar komoditas yang dijual adalah barang dagangan pasaar, sayur, sembako, keringan, daging-dagingan/ikan, ayam, sapi, telur. 2. Cluster Terminal. Sebagian besar komoditas yang dijual adalah barang dagangan
pasar,
sayur
sembako/keringan,
daging-dagingan/ikan
air
tawar/laut, ayam, sapi telur. 3. Cluster
Jalan
Separako
Stasiun.
Sebagian
besar
komoditas
yang
diperjualbelikan meliputi kain, baju, kelontongan, keringan, buah-buahan, peralatan tukang, VCD, jasa perbaikan jam, dan makanan kering. 4. Cluster Alun-Alun Utara Cikaro, Cikaro-Jembatan Cokaro. Komoditaskomoditas yang diperjualbelikan diantaranya: barang dagangan pasar, sayur, sembako, keringan, daging-dagingan, ikan, ayam, sapi, telor. 5. Cluster Jalan Tengah 6. Cluster
Jalan
Alun-Alun
Barat,
sebagian
diperjualbelikan adalah makanan siap saji.
besar
komoditas
yang
54
7. Cluster Jalan Alun-Alun Timur. Komoditas yang diperjualbelikan sebagian besar meliputi: pakaian, hiburan, asesoris, makanan siap saji, keringan, tas, dan rokok. 8. Cluster Jalan Laswi – Alun-Alun dengan komoditas dominan adalah makanan siap saji. Karakteristik pedagang kaki lima yang selalu menempati lahan-lahan publik seperti trotoar, badan jalan, area parkir, terminal telah menjadi potensi konflik antara PKL dengan pelaku-pelaku lain seperti pemilik toko, angkot, pejalan kaki dan sebagainya. Penyerobotan ruang publik oleh PKL ini terutama disebabkan terbatasnya areal yang diperuntukkan khusus untuk perdagangan bagi pedagang-pedagang eceran berskala kecil dan dengan kemampuan modal terbatas. Keberadaan PKL di Majalaya adalah merupakan suatu dilema, karena di satu sisi keberadaannya dianggap sebagai penyebab utama kesemrawutan Majalaya, namun di sisi lain keberadaannya dibutuhkan karena merupakan salah satu sektor penggerak ekonomi rakyat di Majalaya, dengan banyaknya pihak yang menggantungkan hidupnya pada sektor perdagangan ini. Keberadaan PKL di Majalaya sangat rentan. Secara legal keberadaanya tidak diakui sehingga sewaktu-waktu dapat terkena operasi penertiban yang dilakukan oleh aparat ketertiban. Belum lagi PKL telah lama menjadi objek pemerasan di lapangan yang ditunjukkan dengan banyaknya pungutan liar yang dikenakannya baik yang dilakukan oleh pihak-pihak preman, maupun oknum-oknum pemerintah. Atas dasar inilah maka komunitas PKL merasa perlu untuk melakukan pengorganisasian internal komunitas PKL untuk memperkuat posisi tawarnya terhadap pihak lain. Komunitas PKL terdiri dari kelompok-kelompok PKL yang dipimpin oleh seorang Ketua Kelompok. Organisasi PKL yang pernah dibentuk dalam komunitas PKL ini antara lain Forum Masyarakat Pedagang Kaki Lima (FMPKL) dan Koperasi Pedagang Kaki Lima.
3.1.1.3 Isu Transportasi Umum Sebagai salah satu sentra perekonomian di Kabupaten Bandung, mengakibatkan Majalaya menjadi salah satu wilayah tujuan berbagai pihak untuk beraktifitas di Majalaya. Tingginya aktifitas ekonomi di pusat kota Majalaya, menyebabkan banyaknya moda angkutan yang beroperasi di wilayah Kecamatan Majalaya. Moda-moda angkutan yang dapat ditemui di Majalaya sangatlah beragam dari yang tidak bermotor (sepeda roda dua, gerobak, delman, dan becak) hingga kendaraan bermotor (sepeda motor, mobil (pribadi maupun umum), bus, mobil bak, truck berukuran sedang hingga besar, dan sebagainya).
55
Secara umum moda angkutan yang ada di wilayah Majalaya dapat dibedakan menjadi dua yaitu moda angkutan pribadi dan moda angkutan umum. Moda angkutan umum yang banyak dijumpai di Majalaya diantaranya: angkot, bus, elf, delman, becak, ojeg. Pembahasan lebih lanjut dititik beratkan pada pelaku moda transportasi umum. Hal ini didasarkan karena para pengendara atau operator tersebut telah menajadi suatu komunitas tersendiri yang berdasarkan kesamaan identitasnya sebagai operator kendaraan. Angkot atau Angkutan Kota, adalah kendaraan bermotor umum roda empat. Rute pelayanan angkot diatur oleh trayek-trayek tertentu yang telah ditentukan oleh pemerintah melalui pengaturan Trayek angkutan. Sebagian besar kendaraan Angkot di Majalaya adalah keluaran tahun 80-an dan 90-an. Merek-merek angkot yang umum dijumpai disana adalah Suzuki, Daihatsu dan Toyota Kijang. Angkot-angkot tersebut dibedakan dengan warnanya yang menunjukkan jalur trayek yang dilaluinya. Trayek-trayek angkutan kota yang melayani jalur-jalur yang melalui maupun di sekitar Majalaya antara lain: Majalaya-Cileunyi, Majalaya-Gedebage, Majalaya-Ciparay, Majalaya-Sapan, Majalaya-Lembur Awi, Majalaya-Cicalengka dan Majalaya-Ibun. Selain angkot resmi ada juga angkutan sejenis angkot namun tak resmi. Mereka juga memiliki jalur trayek tersendiri yang bukan ditetapkan secara resmi. Angkutan-angkutan tersebut antara lain: Majalaya – Lembur Awi, dan Majalaya-Kamojang. Angkutan Kota tidak ada yang melayani jalur langsung dari Majalaya ke Bandung. jalur ini hanya dilayani oleh dua moda yaitu bus dan elf. Rata-rata bus yang melayani jalur Bandung – Majalaya PP, berusia cukup tua. Rute trayek ini berangkat dari Bandung lewat Dayeuhkolot langsung menuju Majalaya, sedangkan elf biasanya melalui jalan tol Mohammad Toha-Buah Batu, lewat Bojongsoang langsung ke Majalaya. Tarif yang dikenakan pada angkutan elf relatif lebih mahal dibandingkan angkutan Bus, namun waktu tempuhnya relatif lebih singkat dibandingkan bus. Trayek lain yang dilayani oleh angkutan bus adalah trayek Majalaya-Cicaheum. Moda angkutan delman merupakan salah satu angkutan lokal yang cukup penting di Majalaya. Jumlah angkutan tersebut cukup sangat banyak. Menurut penuturan salah seorang aktifis PKK dan LKMD di desa Majalaya. Delman di Majalaya mengalami booming ketika pemilu tahun 1999. Pada masa itu sebagai salah satu strategi pemenangan Golkar, camat Majalaya saat itu melegitimasi keberadaan delman, dengan syarat apabila komunitas delman bersedia untuk memilih Golkar pada saat pemilu. Pangkalan delman di majalaya terdiri dari beberapa titik, yaitu: Separako; ujung Jalan Saparako – Stasiun, jalan Cikaro, Pasar Baru, dan Jalan Pajagalan menuju Jalan Sukamanah ke arah Cicalengka. Ada juga yang mangkal di alun-alun dekat Masjid
56
Agung ke arah Ciparay (Widdi Aswindi; 2002: 50). Masing-masing pangkalan memiliki jalur atau trayek tertentu. Selain delman, moda non-motorik yang cukup penting adalah becak. Becak biasanya memiliki pangkalannya sendiri dengan wilayah garapan yang tertentu. Tukang becak relatif telah terorganisasi dengan adanya kelompok-kelompok tukang becak. Kelompok itu sendiri berdiri bukan berdasarkan ayoman Ketua, melainkan berdasarkan wilayah garapan, seperti wilayah Pasar Baru, Pasar Station, Alun-alun, dan Jalan Tengah. Ojeg juga merupakan salah satu moda yang cukup penting. Banyak di temui di desa-desa yang berada di pinggiran Majalaya. Moda angkutan ojeg ini biasanya melayani rute-rute dari jalan utama menuju pelosok desa. Antara becak dan ojek relatif tidak ada konflik karena pangsa pasar becak dan ojeg berbeda. Becak hanya relatif beroperasi di pusat kota yang kondisi lahannya relatif dasar, sedangkan ojeg beroperasi di pinggir kota yang memiliki medan berbukit-bukit dengan kondisi jalan yang berat. Karakteristik ojeg hampir sama dengan becak yaitu relatif terorganisasi. Biasanya mereka memiliki kelompok
yang
berdasarkan pangkalan/wilayah garapan. Keanggotaan
kelompok ini sangat menentukan apakah dia dapat beroperasi di wilayah bersangkutan atau tidak. Bercampurnya dan terkonsentrasinya moda-moda angkutan di pusat kota mengakibatkan Majalaya tidak pernah lepas dari permasalahan kemacetan. Belum lagi ditambah kapasitas daya dukung prasarana jalan terhadap volume kendaraan angkutan yang sedemikian besar semakin memperparah permasalahan ini. Kapasitas jalan yang terbatas
tersebut
diperparah
dengan
melubernya
pedagang
kaki
lima hingga
menggunakan badan jalan. Jaringan jalan yang berorientasi menuju pusat kota pun memberikan andil terhadap kemacetan. Maka tak heran usia prasarana jalan di Majalaya tak pernah berumur panjang akibat beban/tonase kendaraan yang melewatinya jauh di atas ambang batas serta buruknya jaringan drainase perkotaan.
3.1.1.4 Isu Usaha Tekstil Majalaya Secara umum pengusaha dalam bidang pertekstilan atau yang termasuk bidang tenun-menenun dapat digolongkan menjadi tiga golongan. Menurut salah seorang pengusaha tekstil majalaya yang merupakan salah satu pengurus PPTM (Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya), industri tekstil Majalaya dapat digolongkan menjadi tiga yaitu industri dengan skala besar dan modern, industri berskala kecil dan menengah dan kelompok usaha kerajinan. Industri berskala besar dan modern, memiliki ciri-ciri bahwa tiap pengusaha memiliki gedung pabrik yang luas, menperkerjakan karyawan dengan jumlah yang besar
57
dan dengan kualitas SDM yang baik (minimal lulusan SLTA), menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi, dan kebanyakan diusahakan oleh orang-orang Tionghoa. Oleh karena karateristik usaha tersebut, sehingga membutuhkan modal yang sangat besar. Industri berskala kecil menengah, memiliki ciri-ciri: usaha milik keluarga, hanya memiliki mesin tenun yang terbatas baik secara jumlah maupun teknologinya. Usaha ini banyak dijalankan oleh kalangan pribumi. Sebagian besar mesin-mesinya sudah berumur 20-30 tahun. Karyawan yang diperkerjakan kebanyakan memiliki ikatan kekerabatan atau pertetanggaan yang memiliki kualitas SDM yang kurang memadai (tidak jarang mereka memperkerjakan pekerja-pekerja lulusan SD atau SMP atau yang sudah lanjut usia). Usaha tekstil jenis ini biasanya belum memiliki sistem manajemen yang baik. Usaha
kerajinan
merupakan
jenis
usaha
industri
rumahan
yang
tidak
menggunakan mesin berteknologi tinggi, dan hanya mampu menghasilkan barangbarang sederhana seperti perban, pel, sumbu kompor dan sebaginya. Jumlah pengrajin ini tidak begitu banyak karena sebagian besar usaha terkonsentasi pada pabrik-pabrik tekstil. Perbedaan penguasaan teknologi mesin tenun yang tajam, pada akhirnya mempengaruhi daya saing produksi antara pengusaha tekstil kelas menengah bawah dengan pengusaha tekstil kelas mengah atas. Hal ini dapat terlihat dari ilustrasi beberapa berita dalam harian Kompas, yang mengulas tentang kesuraman industri tekstil Majalaya. "Yang membedakan pengusaha tekstil kelas menengah ke bawah dengan pengusaha kelas menengah ke atas adalah alat-alat produksinya. Pengusaha menengah ke bawah mempergunakan mesin tahun 1980 ke bawah, sedangkan pengusaha menengah ke atas menggunakan mesin tahun 1980 ke atas," jelas Satya Natapura, Penasihat Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya (PPTM). ((Kompas, Kamis, 27 Februari 2003) â€œâ€Śkebanyakan mesin yang dimiliki para pengusaha kecil merupakan mesin-mesin tua keluaran sebelum tahun 1980. Bahkan, H Emen Mustopa masih mempunyai mesin buatan tahun 1956 dan tahun 1964‌â€? (Kompas, Kamis, 27 Februari 2003) Dunia tekstil Majalaya kini dihantui berbagai permasalahan dari kelesuan penyerapan produk komoditi tekstil yang dihasilkan, meningkatnya ongkos produksi, dan kelangkaan input/bahan baku. Permasalahan ini tidak hanya dihadapi oleh pengusaha besar saja tapi juga dirasakan oleh para pengusaha kecil dan menengah. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi Indonesia yang memang mengalami kelesuan akhir-akhir ini. "Enggak tahu deh, saya enggak punya konsep. Bingung!" kata Satya Natapura sambil menggeleng-gelengkan kepala. Satya mengaku tidak tahu lagi mesti berbuat apa untuk mengatasi bertambahnya beban akibat meningkatnya biaya produksi yang disebabkan naiknya harga bahan bakar
58
minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), dan tarif telepon. (Kompas, Minggu, 19 Januari 2003) "Setelah Hari Raya dan Tahun Baru tahun lalu, banyak pengusaha yang masih memiliki sisa produksi. Rata-rata, sekitar 40 persen dari jumlah seluruh produksi masih tersimpan di gudang mereka. Dengan turunnya daya beli masyarakat pada tahun ini, industri tekstil dipastikan akan semakin terpuruk," ujar Ade dengan nada pesimis. (Kompas, Minggu, 19 Januari 2003) Begitu menerima ketentuan TDL baru dari PLN, Satya langsung membuat perhitungan kenaikan ongkos produksi dan harga produksi. Hasilnya, ongkos jasa pencelupan akan naik sekitar 10 persen dari Rp 6.500 per kilogram (kg) kain menjadi Rp 7.150 per kg. Dengan jumlah ongkos tersebut, harga jual produk sarung tenun yang semula Rp 160.000 per kodi (20 buah atau setara dengan 6 kg) sebelum Lebaran, naik menjadi Rp 217.800 per kodi. Harga tersebut diperoleh dengan menjumlahkan ongkos pencelupan kain sarung Rp 42.900 (6 kg x Rp 7.150), pencelupan benang Rp 65.100 (6,2 kg x Rp 10.500), cost production Rp 60.000, pengepakan dan proses akhir Rp 30.000. Dengan ditambah keuntungan sebesar 10 persen, maka diperoleh harga jual sarung Rp 217.800 per kodi. (Kompas, Minggu, 19 Januari 2003) Satya Natapura menyebutkan industri tekstil di kecamatan ini sedang mati suri. Ini dimulai dengan kenaikan tarif listrik tahun 1999, berlanjut dengan benang yang naik mulai Maret ini. Manajer Produksi Carik Jaya, Yayan Sumaryana, menyebutkan harga benang poliester 150 D naik dari Rp 11.000 menjadi Rp 14.000 per kilogram. (Kompas, Minggu, 16 Maret 2003) Kondisi ini diperburuk dengan diterapkannya UMK yang berlaku untuk semua jenis industri. Banyak pabrik tekstil kecil menengah di Majalaya yang tidak mampu memberikan upah sesuai dengan UMK yang ditetapkan. Apabila pengusaha tersebut dipaksa untuk memenuhinya maka mereka dipastikan tidak dapat menghindari untuk menutup usahanya. Menurut dewan penasehat PPTM, H Satja Natapura, UMK Bandung sebesar Rp 470.500 dinilai masih terlalu tinggi untuk perusahaan tekstil yang hanya memiliki dua mesin produksi. UMK itu, katanya, hanya pantas diterapkan pada perusahaan yang memiliki 20 mesin produksi. (NakertransNet, 15 Januari 2002) Karena itu, ujar Satja, pihaknya berharap agar DPRD dan Bupati Bandung agar membuat solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebab, lanjutnya, bila UMK 2002 tetap diberlakukan pada pengusaha kecilmenengah tekstil Majalaya, maka perusahaan-perusahaan tersebut diyakini akan gulung tikar. (NakertransNet, 15 Januari 2002) Apabila Kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka kehancuran industri tekstil Majalaya
tak
bisa
dihindari.
Kehancuran
industri
ini
akan
berimplikasi
pada
pemberhentian hubungan kerja ribuan warga Majalaya yang menggantungkan hidupnya
59
pada industri tekstil Majalaya. Lebih lanjut bahkan akan mempengaruhi ekonomi lokal Majalaya. Data yang dimiliki Asosiasi Pertekstilan Indonesia Daerah Jawa Barat menunjukkan, sekitar 30 persen dari 200-an pabrik yang ada di Majalaya tutup pintu. Beberapa hari sebelum harga BBM dan TDL dinaikkan, tercatat 5 pengusaha menutup pabriknya karena tidak mampu membayar tunggakan listrik. Jumlah perusahaan sebanyak itu pun hanya tercatat di satu wilayah, yaitu di Jalan Rancajigang. (Kompas, Minggu, 19 Januari 2003) ‌Diperkirakan, sedikitnya 30 persen dari 15.000-an karyawan akan terkena PHK. Bila ini terjadi‌ (Kompas, Minggu, 19 Januari 2003) Akibatnya, sekitar 300 pengusaha tekstil kecil dan menengah terancam gulung tikar. Selain itu, sekitar 30.000 buruh yang bekerja di pabrik-pabrik tekstil tersebut terancam diputus hubungan kerja mereka (PHK) dalam tiga bulan mendatang apabila kondisi tidak juga membaik. (Kompas, Selasa, 25 Februari 2003) Dengan 270 pabrik menengah dan kecil dan 70 pabrik besar, maka lebih dari 31.000 orang akan kehilangan pekerjaan. "Jika permintaan akan tekstil tidak membaik, maka mau tidak mau tiga bulan mendatang pengusaha terpaksa merumahkan karyawannya," kata Satya yang juga Penasehat Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya. (Kompas, Selasa, 25 Februari 2003) Rumitnya permasalahan dunia tekstil di Majalaya tidak hanya dirasakan akhir-akhir ini saja. Kondisi industri tekstil Majalaya sejak dahulu selalu mengalami pasang surutnya. Majalaya pernah dikenal dengan sebutan “Kota Dollarâ€? di era tahun 1960-an karena industri tekstil yang dahulu digerakkan oleh para pengusaha pribumi asli Majalaya mampu menggerakkan denyut nadi perekonomian Majalaya. Bahkan begitu makmurnya para pengusaha Majalaya, pernah seorang tokoh tekstil Majalaya menggambarkan betapa royalnya pengusaha Majalaya dalam membelanjakan uangnya pada masa itu. Konon, pada tahun 1960-an ketika di kota-kota besar orang-orang yang memiliki mobil pribadi masih sangat jarang, di Majalaya mobil sedan pribadi sangat mudah ditemui. Kondisi terpuruknya usaha tekstil Makalaya ini kemudian mendorong kesadaran masyarakat industri tekstil untuk berhimpun dalam suatu organisasi. Organisasi sebagai kendaraan untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasinya. Salah satu organisasi yang mewadahi pengusaha tekstil Majalaya adalah PPTM (Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya).
60
3.1.1.5 Isu Buruh dan Ketenaga Kerjaan Kecamatan Majalaya sejak dahulu terkenal sebagai sentra industri tekstil. Bahkan pada tahun 1960 Majalaya berada dalam masa keemasannya dan dikenal dengan sebutan ”Kota Dollar”. Sejarah Majalaya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan industri tekstil, dapat dikatakan tekstil adalah denyut nadi kehidupan Kota Majalaya. Sebagian besar masyarakat Majalaya menggantungkan hidupnya dari dunia tekstil. Mereka rata-rata bekerja pada industri tekstil atau bidang-bidang yang memperoleh cipratan atau yang mendukung industri tekstil. Namun sebagian besar bekerja di pabrik tekstil sebagai buruh atau karyawan pabrik. Saat ini tercatat sekitar 70 buah pabrik besar dan 270 buah pabrik kecil dan menengah yang beroperasi di wilayah Majalaya. Pabrik kecil rata-rata memperkerjakan 50 orang sedangkan untuk pabrik menengah dan besar rata-rata memperkerjakan lebih dari 250 orang (Kompas, 25 Februari 2003). Sehingga diperkirakan ada sekitar 31.000 orang yang menggantungkan hidupnya pada industri tekstil. Dari sekian banyak pekerja atau buruh pabrik di Majalaya sebagian besar adalah perempuan (Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2001: 79). Para pekerja tersebut tidak semata-mata berasal asli dari Majalaya, tetapi juga berasal dari luar Majalaya, bahkan ada suatu wilayah yang dikenal sebagai “Kampung Jawa”
karena dihuni oleh para
pendatang dari Jawa (sebutan untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang bekerja sebagai pekerja pabrik. Proporsi pendatang yang bekerja di pabrik tesktil diperkirakan mencapai sepertiga dari total pekerja pabrik tekstil yang ada di Majalaya. Setidaknya sekitar 30 persen karyawan yang bekerja di pabrik-pabrik tekstil Majalaya adalah orang-orang yang berasal dari luar daerah itu dan tinggal di tempat-tempat kos di sekitar pabrik. …wah banyak orang-orang Jawa yang tinggal di Majalaya. Semuanya pada ngontrak di rumah-rumah kontrakan daerah rancajigang. Sampesampe ada tuh penyiar lokal yang orang Jawa suka bawain acara basa jawa, wah banyak fansnya orang jawa semua…rame kalo pada nelpon ke radio…. Perkembangan industri tekstil Majalaya selalu mengalami pasang surut, namun kondisi
pekerja
tidak
mengalami
peningkatan
secara
signifikan.
Peningkatan
kesejahteraan buruh pabrik menjadi perhatian berbagai gerakan buruh di Majalaya. Permasalahan upah buruh, kemerdekaan berserikat dan hak-hak pekerja lainnya menjadi perhatian utamanya. Upah di perusahaan-perusahaan swasta pada era orde baru menggunakan model upah minimum yang ditetapkan melalui intervensi pemerintah. Penetapan upah minimum dilakukan melalui penyeimbangan masukan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Dewan
Penelitian
Pengupahan
Nasional
bersama
masukan
Dewan
Penelitian
61
Pengupahan Daerah. Hasil penelitian tersebut kemudian diajukan kepada Menteri Tenaga Kerja atas dasar rekomendasi dri Gubernur. Dari masukan tersebut, kemudian ditetapkan Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan setiap dua tahun sekali. Pada masa itu peran dari serikat pekerja dalam penetapan upah minimum tidak terwakili dalam keanggotaan DPPN dan DPPD. Dari 18 anggota, 16 anggota mewakili pemerintah maupun perguruan tinggi, sedangkan kursi sisanya diperuntukkan bagi pengusaha dan organisasi serikat pekerja. Pada umumnya perwakilan dari pekerja dan pengusaha ditunjuk dan diberhentikan oleh Presiden atas dasar rekomendasi Menteri Tenaga Kerja. Faktor-faktor yang digunakan untuk menetapkan upah minimum pada saat itu jauh dari kepentingan pekerja. Adapun faktor-faktor pertimbangan yang digunakan adalah: Kebutuhan fisik minimum, pertimbangan regional, dan kondisi pembangunan regional dan nasional3. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan bisnis menjadi prioritas diatas kepentingan pekerja. Dalam praktiknya, tidak ada informasi yang pasti tentang faktor mana yang paling menentukan dari upah. Kondisi ini mengakibatkan upah yang diterima pekerja jauh daripada cukup. Pada masa pemerintahan orde baru, banyak dijumpai praktik-praktik kesewenangan beberapa pengusaha dalam menetapkan upahnya bagi karyawannya. Banyak pengusaha yang menetapkan upah dibawah upah minimum yang ditentukan pemerintah. Sebelum tahun 1996, 500 orang pekerja pabrik tekstil PT Tribakti memperoleh upah kurang dari upah minimum, untuh 12 jam kerja per shift tanpa istirahat (Craine, 1998). Namun, tidak semua pengusaha bertindak demikian dengan disengaja. Beberapa bahkan banyak pengusaha yang tidak mampu memberikan upah sesuai dengan upah miminum. Kebanyakan mereka adalah para pengusaha kecil dan menengah. Hal ini disebabkan karena kondisi usaha mereka yang seringkali tidak dapat bersaing dengan pengusaha besar baik dari segi skala produksi, penguasaan teknologi, kualitas produksi, yang pada akhirnya menjadikan marjin keuntungan yang mereka peroleh tidak memadai. Sebagian besar isu buruh yang sering mengemuka adalah isu-isu yang berkaitan dengan hak-hak pekerja. Isu-isu perburuhan yang sering muncul sebagai tuntutan mereka biasanya meliputi masalah perbaikan upah kerja, shift/waktu kerja, lembur, tunjangan kehamilan dan pemberlakukan dan pembayaraan cuti haid, serta tidak lepas juga dengan masalah kesehatan dan transportasi (Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2001: 79). Kondisi ini mendorong berbagai usaha yang dilakukan oleh para buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Sebelum era reformasi, buruh tidak memiliki posisi tawar yang memadai terhadap pengusaha dan pemerintah. Dengan adanya politik masa 3
pada saat itu masih mengacu pada Keputusan Menteri tenaga Kerja No. 057 tahun 1989.
62
mengambang yang diterapkan oleh pemerintahan Soeharto mengakibatkan para buruh menjadi tak terorganisasi. Satu-satunya Organisasi buruh pada masa itu yang diakui pemerintah adalah SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang dibentuk oleh pemerintah dan sangat rawan terkooptasi oleh kepentingan pengusaha dan pemerintah. Setelah era reformasi bergulir, kesempatan untuk berorganisasi bagi buruh pabrik semakin besar, Sejumlah besar serikat pekerja/buruh dibentuk. Para pekerja bebas memilih organisasi mana yang sesuai dengan kepentingannya dan dipercaya sebagai kendaraan yang tepat untuk memperjuangkan hak-hak dan aspirasinya.
3.1.1.6 Isu Prasarana Fisik dan Lingkungan Kecamatan Majalaya memiliki berbagai permasalahan prasarana fisik dan lingkungan. Beberapa permasalahan prasarana fisik dan lingkungan diantaranya: terminal yang tidak berfungsi, jaringan drainase yang tak berfungsi, masalah kebersihan kota, banjir, rusaknya jalan-jalan kota, dan prioritas pemanfaatan jalan. Terminal angkutan yang dibangun di pusat kota dimaksudkan untuk menampung angkutan umum dan bus yang tidak dapat lagi tertampung di terminal lama. Namun pada perkembangannya, terminal ini tidak digunakan secara optimal. Bus trayek Bandung – Majalaya tidak pernah menggunakan terminal tersebut untuk memuat penumpang. Mereka lebih senang menunggu di badan jalan yang berada di depan terminal. Hal ini dapat dipahami karena terbatasnya ruang manuver bagi bus agar dapat memasuki terminal, karena badan jalan yang ada berkurang kapasitasnya akibat digunakan oleh pedagang kaki lima sebagai tempat berjualan. Sebagian besar angkot pun lebih menyukai menunggu penumpang di luar terminal maupun di berbagai “terminal bayangan� yang ada disekitar terminal. Hal ini mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang parah. Masing-masing trayek memiliki terminal bayangannya sendiri-sendiri. Belum lagi becak dan delman juga memiliki pangkalannya masing-masing yang juga menggunakan badan jalan. Kondisi ini diperparah dengan buruknya kondisi jalan dan jaringan drainase di Majalaya. Jalan-jalan di pusat kota biasanya tidak pernah berumur panjang karena seringkali tergenang cukup lama ketika musim penghujan akibat buruknya prasarana jaringan drainase. Sebagian besar jaringan drainase tidak dapat bekerja karena tersumbat oleh sampah dan lumpur yang datang bersamaan dengan meluapnya sungai Citarum ketika musim penghujan. Pusat kota Majalaya tidak pernah lepas dari ancaman banjir dengan meluapnya beberapa sungai yang melewati Majalaya, salah satunya adalah sungai Citarum. Sungai Citarum telah mengalami sedimentasi yang hebat yang diakibatkan oleh kondisi kritis di wilayah hulunya, menyebabkan pendangkalan hebat di badan Sungai Citarum. Kualitas
63
air sungai Citarum pun disinyalir sudah sangat buruk akibat banyaknya pabrik yang membuang limbahnya langsung ke Sungai Citarum. Sungai lain yang memiliki andil terhadap banjir di Majalaya adalah sungai Cikaro. Sungai Cikaro sebenarnya merupakan saluran irigasi dari Bendungan Radug yang berada di Desa Wangisagara. Akibat sedimentasi yang hebat serta perilaku masyarakat dalam membuang sampah yang tidak mempedulikan kelestarian sungai mengakibatkan terjadinya pendangkalan Sungai Cikaro terutama yang berada di pusat kota. Masalah lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat Majalaya adalah semakin menipisnya cadangan air tanah di Majalaya. Hal ini diakibatkan banyak pabrik yang mengeksploitasi air tanah dengan sangat berlebihan untuk kebutuhan pabriknya. Akibatnya air tanah semakin dalam dan sumur-sumur pada musim kemarau kering, sesuatu yang dahulu tidak pernah terjadi. Hal ini pun semakin diperparah dengan rusaknya vegetasi di daerah hulu sehingga daya serap air hujan tidak memadai lagi.
3.1.2
Kondisi Umum Desa-desa Sample Desa-desa sample yang menjadi fokus kajian penelitian ini adalah meliputi Desa
Majalaya, Desa Padaulun dan Desa Wangisagara. Ketiga desa tersebut dipilih karena karakteristiknya yang unik yang dianggap dapat mewakili gambaran wilayah kecamatan Majalaya. Beberapa karakteristik yang diangkat dalam penelitian ini meliputi kondisi geografis wilayah, kondisi sosial ekonomi ketiga desa tersebut, dan kehidupan politik lokal masyarakatnya di masing-masing desa. Sebelumnya perlu diketahui bahwa ketiga wilayah yang telah disebutkan tersebut statusnya adalah desa. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, desa adalah adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Hal ini artinya bahwa desa memiliki otonomi dalam mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan kewenangan yang melekat didalamnya. Sejarah otonomi yang dimiliki desa ini memberikan sejarah politik lokal di desa, berbeda dengan kelurahan yang merupakan wilayah administratif dibawah kewenangan Pemerintah Kabupaten. Secara geografis, ketiga desa tersebut memiliki perbedaan. Desa Majalaya merupakan satu desa di Kecamatan Majalaya yang berada di pusat Kota Majalaya. Secara historis desa ini dikatakan sebagai “desa buhun� yang artinya termasuk desa tertua di Kecamatan Majalaya yang menjadi cikal bakal Kota Kecamatan Majalaya. Desa ini merupakan Ibukota Kecamatan Majalaya. Secara geografis, Desa Majalaya berada pada wilayah yang memiliki kelerengan yang relatif datar bahkan cenderung pada titik terendah. Wilayah Desa Majalaya dilewati oleh badan sungai Citarum, maka tak heran
64
apabila pada musim penghujan seringkali terancam banjir akibat meluapnya Sungai Citarum. Berbeda dengan Desa Majalaya, Desa Padaulun dan Desa Wangisagara termasuk desa-desa perbatasan. Wilayah Desa Wangisagara dan Padaulun berbukit-bukit. Lahan pertanian pun masih banyak ditemui di kedua desa tersebut. Guna lahan industri banyak ditemui di sepanjang jalan utama, sedangkan lebih jauh ke dalam desa masih berupa lahan pertanian. Berbeda dengan Desa Majalaya yang guna lahannya didominasi oleh guna lahan kegiatan perkotaan. Desa Majalaya merupakan pusat kota dan pusat aktifitas dari Kecamatan Majalaya, sehingga di Desa Majalaya-lah lokasi bertumpuknya masalah di Kecamatan Majalaya, mulai dari permasalahan fisik hingga konflik-konflik dalam penggunaan ruang. Desa Padaulun berada di daerah pinggiran Kecamatan Majalaya dan dilewati oleh jalan propinsi yang menghubungkan Bandung – Majalaya. Permasalahan yang dihadapi oleh Desa Padaulun tidak seberat yang dihadapi oleh desa Majalaya. Demikian pula dengan Desa Wangisagara, namun berbeda dengan Desa Padaulun, desa ini tidak dilewati oleh Jalan utama antar wilayah yang ramai seperti halnya Desa Padaulun.
66
3.2
Sistem Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung Sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung tak lain
merupakan keseluruhan proses perencanaan Anggaran Daerah dari proses penjaringan aspirasi masyarakat melalui Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan dan hingga penyusunan APBD. Menurut Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Lampiran IV menyebutkan bahwa perencanaan daerah dapat diklasifikasikan menjadi tiga Kategori, yaitu (1) perencanaan jangka panjang, (2) perencanaan jangka menengah, dan (3) perencanaan jangka pendek (satu tahunan) Penganggaran Daerah termasuk
kategori
perencanaan
jangka
pendek
yang
merupakan
bagian
dari
perencanaan jangka menengah dan perencanaan jangka panjang. Penganggaran Daerah terdiri atas: formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation) dan perencanaan operasional anggaran (budget operational planning). Proses perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten dapat dipandang sebagai proses perencanaan anggaran karena output dari proses perencanaan ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang meliputi kegiatan dan program pembangunan yang akan dilakukan selama satu tahun anggaran yang dituangkan dalam alokasi dana dalam anggaran. Dari uraian singkat terhadap proses penyusunan APBD menurut Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, tidak tampak penekanan dan perhatian atas ruang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan APBD. Kepmendagri ini kurang memberikan arahan atau petunjuk tentang partisipasi masyarakat. Bahkan sekilas Kepmendagri ini seolah-olah jauh dari semangat partisipasi yang kini semakin gencar didengungkan. Namun dibalik itu, Kepmendagri ini memberikan ruang bagi terciptanya akuntabilitas publik dalam pengelolaan anggaran. Gambaran ini ini sesuai dengan opini yang disampaikan oleh salah seorang pejabat di lingkungan Bapeda Kabupaten Bandung: “Prinsipnya, soal akuntabilitas dengan sistem ini bagus, terbuka ieu teh keur naon, kunaon duitna sakieu, mengapa itu sudah terjawab semua. Dulu itu wilayah eksekutif, sekarang jadi wilayah bersama. Teu aya deui batasna eksekutif dan legislatif semua ngebahas itu.� Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002 tentang Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung, merupakan perangkat aturan yang dimaksudkan untuk mengisi kekurangan petunjuk penjaringan aspirasi masyarakat.
67
Keputusan Bupati ini merupakan bentuk penafsiran yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung terhadap proses penjaringan aspirasi masyarakat. Proses penjaringan aspirasi masyarakat ditafsirkan melalui dua jalur yaitu penjaringan aspirasi melalui jalur DPRD dengan penjaringan aspirasi masyarakat melalui proses-proses penyelenggaraan forum-forum perencanaan pembangunan baik yang diselenggarakan di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Rangkaian proses tersebut diatur dalam Keputusan Bupati Bandung Nomor 22 Tahun 2002 tentang Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung. Menurut Keputusan Bupati ini, mekanisme perencanaan pembangunan tahunan ini berfungsi sebagai pedoman yang mengatur proses perencanaan pembangunan di daerah. Mekanisme ini bertujuan untuk memadukan perencanaan pembangunan di daerah (Bab II, Pasal 2 ayat 1 dan 2). Mekanisme ini merupakan salah satu bentuk modifikasi pendekatan bottom-up planning yang selama ini digunakan mengacu pada Permendagri Nomor 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah. Penyusunan
APBD
di
Kabupaten
Bandung
diawali dengan
pelaksanaan
Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah. Adapun tahapan-tahapan pelaksanaan mekanisme ini (Bab III, Pasal 3, ayat 1) meliputi tahapan-tahapan: 1.
Tahapan pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa di tingkat desa dan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kelurahan di tingkat
Kelurahan
yang
menghasilkan
Daftar
Skala
Prioritas
usulan
program/proyek desa/kelurahan. 2.
Tahapan
pelaksanaan
Kecamatan
di
tingkat
Forum
Perencanaan
Kecamatan
yang
Pembangunan
menghasilkan
DSP
Tahunan usulan
program/proyek kecamatan untuk dibahas di tingkat Kabupaten. 3.
Tahapan pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah di tingkat Kabupaten. Dalam tahapan ini dibahas usulan dari Pemerintah Kabupaten yang merupakan hasil penggabungan dan penyelarasan antara DSP Program/proyek kecamatan dan usulan dinas/instansi, bersama PokokPokok Pikiran DPRD yang merupakan hasil perumusan dan penjaringan aspirasi oleh DPRD. Hasil pembahasan bersama tersebut menjadi bahan bagi pembahasan dan penyepakatan Arah dan Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bandung.
4.
Tahapan penyusunan APBD. Tahapan ini terdiri dari rangkaian kegiatan dalam penyusunan APBD sesuai dengan yang diatur oleh Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.
68
Dari uraian diatas mengenai sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung maka kegiatan perencanaan tahunan tersebut dapat dibagi menjadi dua tahapan/bagian besar yaitu: 1.
Tahapan pelaksanaan Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di kabupaten Bandung (Keputusan Bupati Bandung No. 22 tahun 2002), yang selanjutnya disebut sebagai Tahapan Penjaringan Aspirasi Masyarakat; dan
2.
Tahapan penyusunan APBD sesuai dengan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 yang meliputi penyusunan Arah dan Kebijakan Umum APBD, Strategi dan Prioritas APBD, Rencana Anggaran Satuan Kerja, Rancangan dan Penetapan APBD dan Dokumen Anggaran Satuan Kerja. Keseluruhan proses ini selanjutnya disebut sebagai Tahapan Penyusunan APBD.
3.2.1
Tahapan Penjaringan Aspirasi Masyarakat Berikut ini akan dijelaskan lebih mendalam tentang Tahapan Penjaringan
Aspirasi Masyarakat yang merupakan keseluruhan tahapan pelaksanaan Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung. Tahapan-tahapan tersebut meliputi: FPPT Desa/Kelurahan, FPPT Kecamatan dan FPPT Kabupaten.
3.2.1.1 Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa/Kelurahan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa/Kelurahan adalah mekanisme pengusulan program/proyek di tingkat desa atau kelurahan. Tahapan ini merupakan tahapan yang paling awal dari mekanisme perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung. Forum ini biasanya dilaksanakan pada bulan Maret sampai April. Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa/Kelurahan diawali dengan proses penjaringan aspirasi masyarakat melalui RT/RW dan komponen lain. Aspirasi yang disampaikan mengacu atau berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD) walaupun tidak menutup kemungkinan muncul aspirasi yang tidak tertuang dalam RPJMD. Bahkan banyak desa tidak memiliki RPJMD. Berdasarkan aspirasi masyarakat itu, BPD dan LKMD atau lembaga sejenis menyampaikan usulan program/proyek yang kemudian direkapitulasi terlebih dahulu oleh pemerintah desa. Hasil rekapitulasi ini kemudian menjadi bahan pembahasan dalam Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa. Output dari tahap ini adalah rekapitulasi asprasi masyarakat. Tahap
selanjutnya
adalah
menyelenggarakan
Forum
Perencanaan
Pembangunan Tahunan Desa/Kelurahan (FPPTD/K) untuk membahas prioritas aspirasi masyarakat yang masuk untuk diusulkan ke pembahsan tingkat kecamatan. Adapun output dari FPPTD/K adalah Daftar Skala Prioritas usulan Program/proyek untuk dibiayai
69
oleh pemerintahan yang lebih tinggi dan rancangan Rencana Pembangunan Tahunan Desa (RPTD). FPPTD/K difasilitasi oleh LKMD atau sebutan lain dihadiri oleh Pemerintah Desa, BPD, LKMD, RT/RW dan komponen Masyarakat serta undangan lainnya. Daftar Skala Prioritas (DSP) disampaikan kepada Camat sebagai bahan pembahasan dalam Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan (FPPTK), selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan FPPTK. Sedangkan rancangan Rencana Pembangunan Tahunan Desa (RPTD) diserahkan kepada Pemerintahan Desa untuk dibahas lebih lanjut dalam rapat BPD dalam merancang Anggaran Belanja dan Pembangunan Desa (RAPB Desa).
70
Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan
DSP Usulan Program/Proyek Pembangunan Desa
Peserta: Pemerintah Desa, BPD, LKMD atau sebutan lain, RT/RW, Komponen Masyarakat lainnya
Rancangan Rencana Pembangunan Tahunan Desa
Rapat BPD dan Pemerintah Desa
Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa dengan di fasilitasi LKMD
Tim Perumus hasil Musyawarah
Rekapitulasi Usulan Program/ Proyek Pembangunan Desa
Acuan/ dasar
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa)
PEMERINTAH DESA
Usulan Program/ Proyek Pembangunan Desa
LKMD
BPD
ASPIRASI MASYARAKAT
RT / RW, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Komponen Masyarakat lainnya Gambar. 3.2 Bagan Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa Sumber: Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002
71
Dalam mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan Kelurahan, terdapat beberapa perbedaan dengan mekanisme FPPT Desa. Pertama, saluran aspirasi masyarakat pada saat penjaringan aspirasi hanya melalui LKMD, berbeda dengan di Desa yang menggunakan dua saluran LKMD dan BPD. Kedua, output dari pelaksanaan FPPT Kelurahan hanya DSP Usulan Program/ Proyek Pembangunan Kelurahan, sedangkan untuk desa menghasilkan DSP Usulan Program/Proyek Pembangunan Desa dan Rancangan Rencana Pembangunan Tahunan Desa (RPTD) yang akan menjadi bahan dalam rapat antara Pemerintah Desa dan BPD dalam membahas Rencana Anggaran Belanja dan Pembangunan Desa (RAPB Desa).
72
Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan
DSP Usulan Program/Proyek Pembangunan Kelurahan
Peserta: Pemerintah Kelurahan, Camat atau pejabat yang ditunjuk, LKMD atau sebutan lain, RT/RW, Komponen Masyarakat lainnya
Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kelurahan dengan di fasilitasi LKMD
Tim Perumus hasil Musyawarah
Rekapitulasi Usulan Program/ Proyek Pembangunan Kelurahan
Acuan/ dasar
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kecamatan (RPJMK)
PEMERINTAH KELURAHAN
Usulan Program/ Proyek Pembangunan Kelurahan
LKMD
ASPIRASI MASYARAKAT
RT / RW, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Komponen Masyarakat lainnya
Gambar 3.3 Bagan Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kelurahan Sumber: Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002
73
3.2.1.2 Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan (FPPT Kecamatan) adalah mekanisme pengusulan program/proyek pembangunan di tingkat Kecamatan. Output dari pelaksanaan FPPT Kecamatan adalah Daftar Skala Prioritas Usulan Program/Proyek Pembangunan Kecamatan. FPPT Kecamatan diselenggarakan selama bulan Mei sampai dengan Juni. Pelaksanaan FPPT Kecamatan dipimpin oleh Camat dengan narasumber
dari
BAPEDA Kabupaten Bandung dan Instansi terkait lainnya. Pihak-pihak yang terlibat dalam forum ini adalah Camat, Lurah, Kepala Desa, Ketua LKMD atau sebutan lain, Ketua BPD, LSM, Kepala Cabang Dinas Tingkat Kecamatan, dan komponen masyarakat lainnya. Mekanisme penyelenggaran FPPT Kecamatan diawali dengan pengumpulan DSP Usulan Program/Proyek Pembangunan Desa/Kelurahan dari seluruh desa/kelurahan di wilayah Kecamatan yang bersangkutan oleh pemerintah kecamatan. Dari DSP Usulan Program/Proyek yang tekumpul, kemudian direkapitulasi oleh pemerintah kecamatan. Hasil rekapitulasi tersebut kemudian dibahas dalam Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan hingga menghasilkan Daftar Skala Prioritas Usulan Program/Proyek Pembangunan Kecamatan dengan mengacu/berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kecamatan (RPJMK) dan Rencana Pembangunan Tahunan Kecamatan (RPTK). DSP Usulan program/proyek pembangunan kecamatan kemudian dituangkan dalam berita acara yang ditandatangai oleh Camat dan Tim Perumus. DSP tersebut bersama lampiran berita acara kemudian disampaikan kepada Bupati untuk dibahas dalam Forum Perencanaan Pembangunan Daerah selambat-lambatnya 5 (lima) hari setelah pelaksanaan FPPT Kecamatan.
74
Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah
Rencana Pembangunan Tahunan Kecamatan (RPTK)
Acuan / Dasar
Peserta: Camat, Lurah, Kepala Desa, Ketua LKMD atau sebutan lain, Ketua BPD, LSM, Instansi Cabang Dinas tingkat Kecamatan, Komponen Masyarakat Lainnya
DSP Usulan Program / Proyek Pembangunan Kecamatan
Acuan / Dasar
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kecamatan (RPJMK)
BAPEDA KABUPATEN Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan
Tim Perumus Hasil Musyawarah
Narasumber DINAS/ INSTANSI TERKAIT
Rekapitulasi Usulan Program / Proyek Pembangunan Kecamatan
Cabang Dinas/ Instansi
Masukan
PEMERINTAH KECAMATAN
DSP Usulan Program / Proyek Pembangunan Kelurahan / Desa
Gambar 3.4 Bagan Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan Sumber: Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002
75
3.2.1.3 Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah (FPPT Daerah) adalah mekanisme pengusulan program/proyek di tingkat Kabupaten. Dilaksanakan pada bulan Juli
–
Agustus.
FPPT
Daerah dilaksanakan
untuk
mengkoordinasikan usulan
program/proyek yang berasal dari Kecamatan dan Dinas/Satuan Organisasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung dengan mengacu/berdasarkan pada Rencana Strategis Daerah Kabupaten Bandung dan memperhatikan kebijakan dari Pemerintah Propinsi/Pusat. Pelaksanaan FPPT Daerah dipimpin oleh Bupati dengan narasumber dari Bakorwil Priangan dan BAPEDA Propinsi Jawa Barat. Pihak-pihak yang terlibat dalam FPPT
Daerah
adalah
meliputi:
Pemerintah
Kabupaten/Kota
yang
berbatasan,
Dinas/Instansi/Satuan Organisasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung, DPRD, Camat, IKDL Kabupaten, Asosiasi BPD Kabupaten, Perguruan Tinggi, LSM, dan Organisasi-organisasi Profesi. FPPT Daerah akan menghasilkan Daftar Skala Prioritas Usulan Program/Proyek yang akan dibiayai dari APBD Kabupaten, APBD Propinsi, APBN, dan Bantuan Luar Negeri/ Pinjaman Luar Negeri. DSP usulan program/proyek yang termasuk urusan yang harus ditangani oleh pemerintahan yang lebih tinggi akan diusulkan untuk dibiayai dari APBD Propinsi, APBN, dan Bantuan/Pinjaman Luar Negeri, akan dibahas dalam forum Rakorbang Propinsi.
76
RAKORBANG PROPINSI
APBD PROPINSI/APBN/BLN/PLN
Rencana Strategis Daerah Kab. Bandung
Acuan / Dasar
Peserta: Pemerintah Kab/Kota yang berbatasan, DPRD, Dinas/Instansi/ Satuan Organisasi, Camat, IKDL Kabupaten, Asosiasi BPD, Perguruan Tinggi, LSM, dan Organisasi Profesi
RAPBD
DSP Usulan Program / Proyek Kabupaten
Acuan / Dasar
Kebijakan Pemerintah Propinsi dan Pusat
BAKORWIL PRIANGAN FORUM PERENCANAAN PEMBANGUNAN TAHUNAN DAERAH
Narasumber BAPEDA PROPINSI JABAR
Draft DSP Usulan Program / Proyek Kabupaten
PEMERINTAH KABUPATEN
Usulan Program / Proyek Dinas / Instansi
DSP Usulan Program / Proyek Kecamatan
Gambar 3.5 Bagan Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah Sumber: Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002
77
3.2.2
Tahapan Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dapat dikatakan sebagai muara dari
proses perencanaan dimana berbagai kebijakan pembangunan yang telah disepakati, dituangkan ke dalam alokasi program/proyek beserta besaran biayanya. Daftar Skala Prioritas (DSP) usulan program/proyek yang akan dibiayai dari APBD Kabupaten selanjutnya
diolah
sebagai
bahan
penyusunan
rancangan
Rencana
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Proses penyusunan dan penetapan APBD dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang terbaru diatur oleh Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Amanat terpenting dari Kepmendagri ini adalah diberlakukannya anggaran berbasis kinerja yang sangat berbeda dengan sistem penganggaran yang selama ini berlaku yaitu sistem line-item budgeting. Anggaran berbasis kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Pengertian ini mengandung konsekuensi bahwa setiap alokasi dana harus dapat diukur capaian output/outcome yang hendak dicapai dari input yang ditetapkan (Hakim, 2002: 11). Dengan penerapan anggaran berbasis kinerja ini berarti tolak ukur keberhasilan tidak lagi hanya diukur dari tingkat capaian disbursement (penyerapan) tetapi ditentukan dari target kinerja yang terukur. Esensi utama dari anggaran kinerja yang diamanatkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 adalah dengan dimasukkannya elemen indikator kinerja dalam proses penyusunan APBD. Dengan demikian seluruh program/kegiatan harus mempunyai tujuan/sasaran yang terukur mulai dari masukan, aktifitas, keluaran hasil (outcomes) dan dampak (impact). Perencanaan anggaran tidak terlepas dari penentuan arah kebijakan umum, strategi dan prioritas, program dan kegiatan yang hendak dicapai. Unsur-unsur tersebut diintegrasikan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah secara keseluruhan dalam suatu Program Pembangunan Daerah (Propeda), yang merupakan dokumen strategis jangka menengah lima tahunan. Dokumen ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Strategis Daerah (Renstrada) yang memuat rencana strategi dan prioritas pembangunan jangka menengah disertai dengan sasaran tahunannya serta indikator kinerja yang ditargetkan. Kedua dokumen tersebut dijadikan landasan utama penerapan anggaran berbasis kinerja. Dalam penyusunan APBD Kabupaten Bandung tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Bandung telah mencoba menerapkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2003. Bagian yang mengatur tentang proses penyusunan APBD, dijelaskan pada Bab III
78
tentang Penyusunan APBD. Secara umum tahapan-tahapan penyusunan APBD adalah sebagai berikut: 1. Perumusan Arah dan Kebijakan Umum, Strategi dan Prioritas APBD (pasal 17 dan 18). Tahapan ini merupakan tahapan formulasi kebijakan anggaran. 2. Perumusan Usulan Program, Kegiatan, dan Anggaran (Pasal 19 dan 20) yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Satuan Kerja, yaitu merupakan dokumen yang memuat rancangan anggaran Unit Kerja sebagai dasar penyusunan rancangan APBD 3. Penyusunan dokumen Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Pasal 21), yang merupakan bahan untuk pembahasanan bersama antara eksekutif dan legislatif. 4. Penetapan APBD yang merupakan tahapan pembahasan RAPBD secara bersama-sama antara eksekutif dan legislatif serta dengan masukanmasukan dari masyarakat (Pasal 22) . Setelah RAPBD ditetapkan menjadi APBD dalam bentuk Peraturan Daerah (Pasal 23), kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD (Pasal 24) dan menetapkan Rencana Anggaran Satuan Kerja menjadi Dokumen Anggaran Satuan Kerja (Pasal 25).
BAB 4 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM TAHAPAN PENJARINGAN ASPIRASI MASYARAKAT MELALUI MEKANISME PERENCANAAN PEMBANGUNAN TAHUNAN DI KABUPATEN BANDUNG
Pada bab ini akan dijelaskan tentang partisipasi masyarakat dalam tahapan penjaringan aspirasi masyarakat melalui mekanisme perencanaan pembangunan tahunan. Pada bagian pertama akan diuraikan struktur keterwakilan pada organisasi dan asosiasi sosial yang ada. Untuk memperoleh gambaran struktur keterwakilan tersebut maka dipilih beberapa organisasi dan asosiasi sosial yang dianggap berkaitan dengan isu-isu pemasalahan di Majalaya. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan bagaimana perilaku atau modus partisipasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang bagaimana pelaksanaan forum perencanaan pembangunan tahunan yang merupakan bentuk pelaksanaan mekanisme perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung. Pembahasan meliputi bagaimana kegiatan tersebut diselenggarakan, siapa yang menyelenggarakan, siapa yang terlibat, apa substansi pembahasannya, dan keluaran dari masing-masing kegiatan. Pada bagian akhir, diuraikan hasil pengkajian berdasarkan aspek-aspek keterwakilan, modus partisipasi, proses pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan.
4.1 Struktur Keterwakilan dalam Masyarakat Majalaya melalui Organisasi dan Asosiasi Sosial di Majalaya Pada bagian ini akan dijelaskan tentang struktur keterwakilan masyarakat melalui organisasi dan asosiasi sosial yang ada di Majalaya. Pada bagian ini diuraikan sejumlah organisasi dan asosiasi sosial yang dianggap berkaitan dengan perencanaan pembangunan di Majalaya. Masing-masing organisasi dan asosiasi sosial akan dibahas lebih mendalam meliputi aspek: tujuan, fungsi dan tugas organisasi, konstituen basis, agen/wakil yang dipercaya menjadi wakil, mekanisme pemilihan, sistem kontrol dan pertanggungjawabannya, serta sedikit ilustrasi tentang dinamika organisasi dan asosiasi sosial yang bersangkutan di lapangan. Kajian disini difokuskan pada dua jenis pengelompokkan dasar masyarakat yaitu masyarakat berbasis wilayah (domisili) dan masyarakat berbasis isu/kepentingan spesifik. Pada masyarakat berbasis wilayah, masyarakat terwakili melalui banyak pilihan organisasi yaitu seperti: Pemerintah Desa, Badan Perwakilan Desa, LKMD, RW dan RT. Organisasi-organisasi ini telah memiliki sejarah panjang dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan sehingga menjadikan organisasi-organisasi tersebut berpotensi untuk
80
menjadi media bagi pendelegasian aspirasi masyarakat kepada para pengambil keputusan (pemerintah). Namun demikian tidak dipungkiri di tingkat lokal terjadi dinamika dan konflik diantara lembaga-lembaga yang ada sebagai contoh Kepala Desa dengan BPD, RW dengan BPD, dan sebagainya. Hal ini bukan berarti bahwa suatu lembaga lebih mewakili kepentingan masyarakat daripada lembaga lain, namun lebih kepada bahwa lembagalembaga yang ada merupakan pilihan potensial bagi masyarakat untuk memilih lembaga mana yang dianggap paling dapat mewakili suaranya disesuaikan dengan situasi dan kondisi di masing-masing daerah. Berbeda dengan masyarakat yang berbasis wilayah, kelompok masyarakat berbasis isu hanya memiliki pilihan yang terbatas. Biasanya organisasi pada kelompok masyarakat ini memiliki tujuan dan warna yang sangat spesifik. Sebagai contoh pada komunitas PKL Majalaya. Satu-satunya pilihan organisasi yang dapat mewakili kepentingan PKL adalah kelompok-kelompok basis PKL itu sendiri. Demikian juga pada kelompok pengusaha tekstil Majalaya. Kondisi pengorganisasiannyapun berbeda-beda. Ada yang sangat terorganisir dan solid seperti pada serikat buruh dan PPTM, adapula yang tidak terorganisir seperti kelompok pengemudi angkutan kota. Ada organisasi yang memiliki akses kepada pengambil kebijakan, ada juga yang sama sekali tidak memiliki akses. Kondisi-kondisi ini selanjutnya mendorong masing-masing kelompok membangun mekanisme atau upayaupaya tersendiri untuk berhubungan dengan para pengambil kebijakan. Selanjutnya akan diuraikan secara lebih detil dinamika masing-masing organisasi sosial yang ada di Majalaya yang sedikitnya dapat menggambarkan struktur keterwakilan masyarakat melalui organisasi dan asosiasi sosial yang ada di masyarakat. Hasil pengkajian ini dituangkan dalam Lampiran Matrik Struktur Keterwakilan Melalui Organisasi dan Asosiasi Sosial di Masyarakat.
4.1.1
Kecamatan Majalaya merupakan sebuah kota kecamatan. Secara kelembagaan sesuai
dengan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan yang disebut Camat. Kecamatan dapat dipandang sebagai wilayah sesuai dengan Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Kecamatan adalah wilayah kerja Camat. Artinya Kecamatan adalah merupakan salah satu struktur lembaga pemerintahan formal yang berada di wilayah Kecamatan yang memiliki kewenangan untuk mengurusi urusan-urusan publik di wilayah yang menjadi kewenangannya.
81
Menurut Pasal 66, Camat diangkat oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Sekretaris Daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat. Camat bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Hal ini menunjukkan bahwa camat adalah perpanjangan tangan dari Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan urusan pelayanan publik di wilayah kecamatan. Menindaklanjuti Pasal 66 ayat 4 UU No. 22 Tahun 1999, Pemerintah Kabupaten Bandung menerbitkan Keputusan Bupati Bandung No. 21 tahun 2001 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati Kepada Camat. Keputusan Bupati ini memberikan sebagian Kewenanangan kepada Camat untuk mengurusi sebagian urusan/kewenangan
Pemerintah
Kabupaten
di
wilayah
Kecamatan.
Adapun
kewenangan-kewenangan yang dilimpahkan (Pasal 2): 1. Pelaksanaan pengelolaan ketatausahaan; 2. Pelaksanaan sebagian kewenangan di bidang pemerintahan; 3. Pelaksanaan sebagian kewenangan di bidang pengendalian ketentraman dan ketertiban; 4. Pelaksanaan sebagian kewenangan di bidang perencanaan; 5. Pelaksanaan sebagian kewenangan di bidang pengembangan otonomi desa; 6. Pelaksanaan sebagian kewenangan di bidang pemeliharaan sarana umum; 7. Pelaksanaan sebagian kewenangan di bidang pemberdayaan masyarakat; 8. Pelaksanaan sebagian kewenangan di bidang kehumasan; 9. Penggalian potensi daerah dalam rangka pengembangan pendapatan daerah. Secara legal, Camat bertanggungjawab kepada Bupati sehingga kontrol dan pengawasan kinerja Camat menjadi tanggungjawab Bupati. Namun demikian bukan berarti masyarakat tidak dapat melakukan kontrol terhadap kinerja Camat. Masyarakat dapat melakukan kontrol dan pengawasan apabila figur yang bersangkutan menyimpang dari tugas pokok dan fungsinya.
4.1.2
Desa Desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah adalah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten (Pasal 1). Desa merupakan salah satu struktur pemerintahan dalam wilayah kecamatan. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki kewenangan sendiri dalam mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri (otonomi desa).
82
Aturan-aturan tentang pedoman pengaturan tentang Desa dituangkan dalam Kepmendagri No. 63 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Penyesuaian Peristilahan
dalam
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Desa
dan
Kelurahan
dan
Kepmendagri No. 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. UU No. 22 Tahun 1999 dan kedua Kepmendagri tersebut menjadi dasar diterbitkannya Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penghapusan dan Penggabungan Desa Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 tentang Tatacara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa; serta Perda No. 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5. Menurut Perda Kabupaten Bandung No. 3 Tahun 2000 pasal 3, Desa mempunyai organisasi pemerintahan yang diakui dalam Sistem Pemerintahan Nasional yang memenuhi hak, wewenang, dan kewajiban sebagai berikut: a. Hak: -
Menyelenggarakan rumah tangganya sendiri
-
Melaksanakan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
b. Wewenang: -
Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;
-
Kewenangan yang oleh Peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah
-
Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan atau Pemerintah Daerah.
c.
Kewajiban: -
Menjalankan
pemerintahan,
pembangunan
dan
pembinaan
masyarakat di Desa yang bersangkutan; -
Menyelenggarakan administrasi desa
-
Melakukan tugaas-tugas dari pemerintah dan Pemerintah Daerah
-
Menjamin
dan
mengusahakan
keamanan,
ketentraman
dan
kesejahteraan warga Desanya; -
Memelihara tanah Kas Desa, usaha dan kekayaan Desa lainnya yang menjadi milik Desa untuk tetap berdaya guna dan berhasil guna.
Pemerintahan
Desa
merupakan
lembaga
yang
berwenang
dalam
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan desa. Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (Pasal 94 UU No. 22 Tahun 1999). Selain pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, terdapat lembaga kemasyarakatan lain yang dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat (Pasal 106 UU No. 22 Tahun 1999).
83
4.1.2.1 Pemerintah Desa Menurut Perda Kabupaten Bandung No. 8 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Pemerintah Desa, Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Pemerintah Desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa dalam melaksanakan tugas kewajibannya bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan Laporan mengenai pelaksanaannya kepada Bupati dengan tembusan Camat (Pasal 2). Pemerintah desa mempunyai tugas membina kehidupan masyarakat Desa, membina perekonomian Desa, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa, mendamaikan perselisihan di Desa dan mengajukan rancangan peraturan Desa dan menetapkannya sebagai Peraturan Desa bersama dengan BPD. Organisasi Pemerintah Desa terdiri dari:
Pimpinan adalah Kepala Desa
Unsur Pembantu Pimpinan adalah Perangkat desa yang terdiri dari: -
Unsur staf atau pelayanan yaitu Sekretaris Desa sebagai pimpinan Sekretariat Desa.
-
Kepala-Kepala Urusan, yang memberikan pelayanan staf atau ketatausahaan yang juga merupakan unsur pelaksana teknis lapangan yang meliputi kegiatan-kegiatan: pemerintahan, umum, keuangan,
pembangunan,
ketentraman
dan
ketertiban,
perekonomian, dan kesejahteraan rakyat. -
Kepala-kepala dusun yaitu unsur pembantu Kepala Desa di wilayah kerjanya.
Tugas dan Kewajiban Kepala Desa adalah meliputi (Pasal 101 UU No. 22 Tahun 1999) antara lain:
Memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa;
Membina kehidupan masyarakat desa;
Membina perekonomian desa;
Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa;
Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa; dan
Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya.
Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat. Adapun mekanisme pemilihan Kepala Desa diatur dalam Perda Kabupaten Bandung No. 2 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa yang diperbarui dengan Perda Kabupaten Bandung No. 2
84
Tahun 2002 tentang perubahan atas Perda No. 5 Tahun 2000. Adapun tahapan pemilihan Kepala Desa adalah sebagai berikut:
Pembentukan Panitia Pemilihan oleh BPD. Panitia Pemilihan terdiri dari unsur BPD, Perangkat Desa dan Tokoh Masyarakat. Ketua Panitia dipilih oleh anggota BPD; sekretaris, bendaharawan dan anggota dipilih dari unsur-unsur BPD, Perangkat desa dan tokoh masyarakat.
Melakukan pendaftaran pemilih. Persyaratan pemilih adalah: terdaftar sebagai penduduk desa yang bersangkutan secara sah dan telah tinggal sekurangkurangnya enam bulan; telah mencapai usia 17 tahun atau telah/pernah kawin pada saat pemilihan yang dibuktikan dengan KTP/KK; dan sehat jasmani dan rohani serta tidak dicabut hak pilihnya.
Tahapan Penjaringan dan Penyaringan Bakal Calon. Adapun syarat-syarat yang dapat dipilih menjadi Kepala Desa adalah: -
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
-
setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
-
tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan yang mengkhianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, G-30 S/PKI dan/atau kegiatan organisasi terlarang lainnya;
-
berpendidikan
sekurang-kurangnya
Sekolah
Lanjutan
Tingkat
Pertama dan/atau berpengetahuan yang sederajat; -
berumur sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun dan setinggitingginya 60 (enam puluh) tahun;
-
sehat jasmani dan rohani;
-
nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;
-
berkelakuan baik, jujur dan adil;
-
tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana; atau sedang menjalankan pidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena tindak pidana yang dilakukan ancaman pidana;
-
tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan Keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
-
terdaftar sebagai penduduk desa yang bersangkutan secara sah dan bertempat tinggal di Desa yang bersangkutan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terakhir pada saat pendaftaran Bakal Calon dengan tidak terputus-putus, kecuali Putra Desa yang berada di luar Desa bersangkutan;
-
bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa, dan
85
-
memenuhi syarat-syarat lain yang sesuai dengan adat istiadat yang diatur dalam Peraturan Desa.
Tahap Penetapan Calon. Penetapan Calon dilakukan melalui rapat pemilihan calon yang berhak dipilih yang dilakukan oleh panitia pemilihan setelah memperoleh persetujuan tentang calon-calon yang berhak dipilih oleh BPD.
Pelaksanaan Pemilihan yang meliputi: -
Kampanye yang pengaturannya diatur oleh BPD;
-
Pelaksanaan pemungutan suara
-
Pelaksanaan perhitungan suara
-
Penetapan hasil penghitungan suara
Pengesahan, pengangkatan dan Pelantikan Kepala Desa. Hasil pemilihan Kepala Desa ditetapkan dengan Keputusan BPD berdasarkan laporan dan Berita Acara Pemilihan dari Panitia dan disahkan oleh Bupati. Calon terpilih diangkat sebagai Kepala Desa dengan pengesahan melalui Surat keputusan Bupati.
Kepala Desa hanya dapat diberhentikan oleh Bupati berdasarkan usulan dari BPD dengan alasan-alasan: meninggal dunia; atas permintaan sendiri; berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Kepala Desa baru atau Penjabat Kepala Desa; tidak lagi memnuhi salah satu syarat yang telah ditentukan; melanggar sumpah/janji; tindakantindakan yang menghilangkan kepercayaan penduduk desa terhadap kepemimpinannya sebagai Kepala Desa; dan sebab-sebab lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan atau norma-norma kehidupan masyarakat desa yang bersangkutan. Berbeda dengan pemilihan Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh penduduk desa, Perangkat Desa tidak dipilih secara langsung (Perda Kabupaten Bandung No. 6 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan dan atau Pengangkatan Perangkat Desa). Calon Perangkat Desa yang akan dipilih memiliki persyaratan yang sama
dengan
persyaratan
Kepala
Desa.
Adapun
mekanisme
pemilihan
atau
pengangkatan Calon Perangkat Desa secara umum:
Calon Perangkat Desa diajukan oleh Kepala Desa untuk mendapat persetujuan dari Pimpinan BPD.
Setelah mendapat persetujuan dari BPD, calon Perangkat Desa yang telah dipilih dan atau diangkat tanpa pemilihan, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Apabila Calon Perangkat Desa lebih dari 1 (satu) orang maka dapat diadakan seleksi melalui ujian penyaringan oleh Kepala Desa.
86
Kepala Desa di banyak wilayah perdesaan di Kabupaten Bandung masih dianggap suatu jabatan/posisi yang terhormat di masyarakat desa khususnya di desa yang bersangkutan. Seseorang yang menjabat Kepala Desa dianggap memiliki status sosial yang tinggi di masyarakatnya meskipun status tersebut tidak memberikan kontribusi materi yang memadai. Banyak orang yang berambisi untuk menjadi Kepala Desa sehingga banyak yang bersedia berkorban materi yang cukup besar dalam proses pemilihan kepala desa. Hal ini sesuai dengan yang dituturkan oleh salah seorang Kepala Desa: “Calon lain mah nggeus modal ngajual dua-tilu balong, saya mah ngan genep puluh rebu rupiah, keur syarat pendaftaran di Kabupaten, nya kumaha deui teu boga modal. Ngan modal jaket AMS wungkul lancar (calon yang lain sudah mengeluarkan modal dengan menjual dua sampai tiga kolam, sedangkan saya hanya bermodalkan enam puluh ribu rupiah untuk syarat pendaftaran di Kabupaten, ya bagaimana lagi tidak punya modal. Hanya dengan modal jaket AMS semuanya lancar)� (Penuturan Kepala Desa Padaulun) Sebagian Kepala Desa yang menjabat saat ini dipilih berdasarkan mekanisme sebelum diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999. Pada saat itu Pemerintah Kabupaten sangat berperan dalam pemilihan Kepala Desa. Calon-calon yang berhak atau dapat dipilih oleh penduduk desa ditentukan oleh proses seleksi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten. Setelah lolos seleksi baru diadakan pemilihan di tingkat desa. Pada saat itu masa jabatan Kepala Desa adalah selama 8 (delapan) tahun. Desa Majalaya saat ini hanya dipimpin oleh Penjabat Sementara (Pjs) Kepala Desa. Penjabat Kepala Desa ini diangkat untuk mengisi kekosongan posisi Kepala Desa Majalaya yang mengundurkan diri. Pengunduran diri Kepala Desa Majalaya pada saat itu karena terkait kasus penjualan beras miskin di Desa Majalaya yang dilakukan oleh oknum Perangkat Desa Majalaya. Pada saat itu BPD mengadakan sidang untuk meminta pertanggungjawaban Kepala Desa atas keterlibatannya pada kasus tersebut. Dalam persidangan tersebut, Kepala Desa menyatakan tidak tahu menahu tentang apa yang diperbuat oleh perangkat desa, sehingga ia merasa tidak terlibat dalam kasus tersebut. Pernyataan ini tidak memuaskan BPD dan dianggap sebagai bentuk ketidakbecusan dalam memimpin Desa dan anak buahnya. Akhir dari kasus ini akhirnya Kepala Desa diminta oleh BPD untuk mengundurkan diri dengan menandatangani surat pengunduran diri bersegel yang telah disiapkan oleh BPD untuk kemudian diajukan kepada Bupati. Setelah pengunduran Kepala Desa tersebut kemudian diangkat Penjabat Sementara Kepala Desa yang bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas Kepala Desa selama Kepala Desa secara definitif belum terpilih. Penjabat yang diangkat berasal dari Sekretaris Desa yang bersangkutan atau Perangkat Desa lainnya atas usul BPD (Pasal 42 Perda No. 5 Tahun 2000 dan Perda No. 2 Tahun 2002). Penjabat Kepala Desa
87
Majalaya diangkat atas dasar kesepakatan antara Perangkat Desa dan BPD. Penjabat Kepala Desa Majalaya sebelumnya merupakan Kepala Dusun Ati Rompe Desa Majalaya. Kasus ini pada kemudian hari ternyata menimbulkan masalah. Sampai saat ini Desa Majalaya masih dipimpin oleh Penjabat Kepala Desa. Pemilihan Kepala Desa yang difasilitasi oleh BPD ternyata gagal. Kegagalan Pemilihan Kepala Desa Majalaya dikarenakan dari tiga calon Kepala Desa yang mencalonkan diri dua orang mengundurkan diri karena ketidakpuasan proses seleksi yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Salah seorang calon Kepala Desa yang tidak memenuhi persyaratan Kepala Desa menurut peraturan yang ada ternyata diloloskan oleh Panitia untuk mengikuti proses pemilihan Kepala Desa. Menurut penuturan W, (seorang aktifis FMMS) calon Kepala Desa yang bersangkutan tidak memenuhi syarat Kepala Desa karena dari segi umur sudah tidak memenui persyaratan umur yang ditentukan. Calon yang bersangkutan sangat berambisi untuk menjadi Kepala Desa. Meskipun telah diperingatkan dan dinasehati oleh keluarganya,
beliau
tetap
tak
bergeming.
Entah
bagaimana
prosesnya
Calon
bersangkutan bisa lolos menjadi calon yang berhak dipilih dalam Pemilihan Kepala Desa. Kondisi ini pada akhirnya melemahkan organisasi Pemerintah Desa terhadap lembaga lain seperti BPD. Pemerintah desa dan BPD tidak lagi menjadi mitra sejajar. Penjabat Kepala Desa dianggap tidak memiliki legitimasi karena bukan hasil pemilihan melainkan hanya sekedar pengangkatan hasil persetujuan antara Perangkat Desa dengan BPD. Berbeda dengan BPD yang merupakan hasil pemilihan. Kepala Desa tidak dapat menjalankan berbagai tugas dan kebijakan Pemerintah Desa tanpa ada intervensi dari BPD yang dapat ditunjukkan oleh beberapa kasus. Beberapa waktu yang lalu Desa Majalaya mengadakan Pasar Murah selama bulan Ramadhan tahun 2001. Kasus ini sempat menjadi isu yang hangat di Kecamatan Majalaya sehingga tak urung Muspika pun turun tangan untuk memecahkan permasalahan ini. Isu pelaksanaan Pasar Ramadhan yang dilaksanakan oleh Desa Majalaya sebenarnya mendapat tentangan dari berbagai unsur masyarakat karena dikhawatirkan akan mendatangkan PKL baru dari luar Kecamatan Majalaya dan akan memperparah kemacetan selama lebaran. Berbeda dengan Desa Majalaya, kepala Desa Padaulun merupakan figur Kepala Desa yang kuat sehiangga ia mampu mengelola hubungan antar lembaga dengan baik. Kondisi ini ditunjukkan dengan ilustrusi proses persiapan pemilihan kepala desa yang sebentar lagi akan dilaksanakan di Desa Padaulun. Pada Bulan Juni ini Desa Padaulun akan mengadakan pemilihan Kepala Desa. Menurut informasi dari perangkat desa Padaulun, biasanya menjelang beberapa bulan sebelum pemilihan Kepala Desa, figurfigur yang akan mencalonkan diri sudah mulai tampak, dilihat dari berbagai aktifitas untuk
88
menggalang dukungan. Namun hingga saat ini belum ada figur atau kandidat yang berkeinginan untuk mencalonkan diri. Hal ini diperkuat dengan cerita dari Kepala Desa itu sendiri. Pada suatu pengajian yang diadakan di Desa Padaulun, kesempatan tersebut digunakan oleh Kades yang bersangkutan untuk mensosialisasikan rencana pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa sesuai dengan kapasitasnya sebagai Kepala Desa untuk mensosialisasikan kegiatan penting tersebut. Pada kesempatan tersebut beliau sama sekali tidak menyampaikan keinginanannya untuk mencalonkan kembali, hanya sekedar sosialisasi rencana pelaksanaan saja. Namun yang mengejutkan adalah reaksi dari seluruh peserta pengajian tersebut yang sepakat untuk menyatakan dukungannya dan menyatakan bahwa tidak perlu dilaksanakan pemilihan tetapi dikukuhkan kembali menjadi kepala Desa oleh seluruh masyarakat Desa. “Pada suatu pengajian saya menyampaikan bahwa masa jabatan saya selaku kepala desa sudah mau habis sehingga akan diadakan pemilihan kades dengan prosedur gini..gini…gini. Gitu aja hanya sosialisasi rencana pilkades… hanya gitu. Tidak sama sekali saya utarakan untuk menyatakan akan mencalonkan diri menjadi Kepala Desa lagi. Eh orang-orang pengajian pada ngomong…Nggeus teu kudu pemilihan Kades wae, pengukuhan wae jadi Kades Deui… (sudah.. tidak perlu penilihan Kades, pengukuhan menjadi Kades saja) sampe gitu …”(Kepala Desa Padaulun) 1
Kesuksesannya dalam memimpin tampaknya dipengaruhi oleh beberapa hal . Pertama, Kades Padaulun dalam menjalankan tugasnya sebagai Kepala Desa selalu mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Kedua, ia memiliki tradisi kepemimpinan desa dalam keluarganya. Dirinya merupakan adik dari Kepala Desa Padaulun terdahulu. Kakak yang lainnya juga merupakan salah satu perangkat Desa Padaulun. Ketiga, memiliki pengalaman organisasinya yang cukup matang karena ia tergabung menjadi anggota aktif AMS (Angkatan Muda Siliwangi) Kabupaten Bandung sejak sebelum menjabat sebagai Kepala Desa. Kakaknya merupakan salah satu pendiri AMS Kabupaten Bandung. Keempat, dirinya merupakan salah satu bekas preman di Desa Padaulun dan Kecamatan Majalaya. Selama kepemimpinannya, Desa Padaulun dikenal sebagai salah satu desa berprestasi. Desa Padaulun selalu berhasil memenuhi target PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)2. Di Kecamatan Majalaya hanya desa Padaulun dan Desa Wangisagara yang selalu dapat memenuhi target perolehan PBB sehingga kedua desa tersebut selalu bersaing. Atas keberhasilannya kedua desa tersebut selama beberapa tahun terakhir memperoleh penghargaan berupa sepeda motor dan mesin tik. Desa Padaulun juga merupakan desa yang pertama berhasil membentuk BPD ketika pertama kali Perda 1
Hasil wawancara dengan Kades bersangkutan tentang perjalanan hidupnya selama ini dari sebelum menjadi Kades hingga terpilih menjadi Kades.
89
3
tentang pembentukan BPD diterbitkan . Kepala Desa Padaulun juga berhasil mengelola distribusi Beras Miskin dengan baik sehingga tidak seperti dengan desa-desa lain yang 4
selalu bermasalah dalam hal pendistribusian Bantuan Raskin . Kepala Desa Wangisagara dikenal cukup piawai dalam mengelola kepentingankepentingan politik lokal5. Dalam rangka mengharmoniskan hubungan antar lembaga di Desa Wangisagara, Kades yang bersangkutan merangkul lawan-lawan politiknya ke dalam struktur organisasi pemerintah. Salah satu lawan politik dalam pemilihan Kepala Desa direkrut menjadi Sekretaris Desa. Salah seorang anggota BPD Wangisagara dikenal sebagai figur yang kritis terhadap berbagai kebijakan Kepala Desa. Keberadaan figur tersebut di dalam tubuh BPD dianggap sebagai ganjalan hubungan harmonis bagi kepala desa karena kevokalannya. Untuk mengatasi hal tersebut, Kepala Desa melakukan pendekatan kepada Ketua BPD dan figur yang bersangkutan. Figur yang bersangkutan ditawari untuk menduduki salah satu posisi perangkat desa. Setelah melalui berbagai pendekatan figur tersebut bersedia untuk menduduki posisi Kaur (Kepala Urusan) Umum yang ditawarkan. Semenjak itu hubungan antara Kepala Desa dan BPD menjadi lebih kooperatif. “…ada salah seorang anggota BPD Wangisagara yang selalu vokal dan kritis, selalu mengkritisi kebijakan saya, kebetulan memang dia adalah merupakan lawan politik saya di desa. Saya kemudian melakukan pendekatan kepada ketua BPD dan memang mereka memikirkan…eeuu bagaimana ya supaya bisa mengurangi kevokalannya gimana pak kades kalo dia jadi perangkat desa… meureun…ya sudah saya tawarin jabatan kaur umum dan saya sudah konsutasikan kepada ketua BPD, ternyata dianya mau. Nah kan sekarang dibawah saya…. Sekarang sudah nggak vokal lagi tuh, katanya… oooo begini kalo jadi perangkat pemerintah desa susah. Dia jadi ngerti permasalahan-permasalahan yang dihadapi kepala desa… (penuturan Kepala Desa Wangisagara). Kepala Desa adalah posisi dalam struktur masyarakat Desa yang memiliki kewenangan dan dipercaya oleh masyarakatnya untuk mewakili Desanya dalam berinteraksi dengan pihak-pihak lain yang ada di luar desa. Posisi Kades sebagai wakil Desa juga diakui secara legal sesuai dengan yang tercantum dalam UU No. 22 Tahun 1999.
2
Hasil wawancara dengan Kades Wangisagara. Sesuai penuturan dengan Kades Padaulun 4 Seperti yang disampaikan dengan Ibu Hj. Atikah yang menyebutkan bahwa selama ini Kades Padaulun tidak pernah turut campur dalam pendistribusian Bantuan Beras Miskin. Beliau mempercayakan sepenuhnya kepada Ibu Hj. Atikah. Keterlibatan Kades hanya ketika mengontrol apakah bantuan beras sudah datang dan apakah telah dibagikan ke masing-masing RW. 5 Politik lokal berkaitan dengan persaingan antar calon Kepala Desa pada saat pencalonan dan pasca pencalonan. 3
90
4.1.2.2 Badan Perwakilan Desa (BPD) Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat,serta
melakukan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan Desa (Pasal 104 UU No. 22 Tahun 1999). Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota. Badan perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Peraturan yang mengatur tentang BPD di lingkungan Kabupaten Bandung adalah Perda Kabupaten Bandung No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Perwakilan Desa. BPD sebagai Badan Perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Desa (Pasal 2). BPD mempunyai tugas dan wewenang mengayomi, legislasi, mengawasi
dan
menampung
aspirasi
Masyarakat
Desa
(Pasal
3).
Untuk
menyelenggarakan tugas dan kewenangan tersebut, BPD mempunyai fungsi (Pasal 4):
pengayoman yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di Desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan;
penyelenggaraan legislasi yaitu merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama Pemerintah Desa;
Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja desa serta Keputusan Kepala Desa.
Penyelenggaraan penampungan aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada Pejabat atau Instansi yang berwenang.
Dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, Badan Perwakilan Desa mempunyai hak (Pasal 5):
Hak anggaran;
Hak mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota;
Hak meminta keterangan kepada Kepala Desa;
Hak mengadakan perubahan rancangan Peraturan Desa;
Hak mengajukan pernyataan pendapat;
Hak prakarsa mengenai rancangan Peraturan Desa; dan
Hak penyelidikan.
BPD dipimpin oleh Pimpinan BPD yang terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua yang jumlahnya sebanyak-banyaknya 2 (dua) orang sesuai dengan jumlah anggota BPD
91
(Pasal 6). Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus yang pada kali pertamanya dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda. Dalam pelaksanaannya Pimpinan BPD dibantu oleh Sekretariat BPD yang dipimpin oleh Sekretaris BPD dibantu oleh Staf sesuai dengan kebutuhan yang diangkat oleh Pemerintah Desa atas persetujuan BPD. Adapun jumlah anggota Badan Perwakilan Desa di setiap desa berbeda-beda disesuaikan dengan kondisi dan jumlah penduduk desa. Adapun aturan tentang jumlah anggota BPD adalah bahwa jumlah anggota Badan Perwakilan Desa ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan, dengan ketentuan (Pasal 8): -
jumlah penduduk sampai dengan 2500 jiwa, 9 orang anggota;
-
2501 sampai dengan 3000 jiwa, 11 orang anggota;
-
lebih dari 3000 jiwa, 13 orang anggota.
Anggota BPD dipilih dari calon-calon yang diajukan oleh kalangan Adat, agama, organisasi sosial politik, gologan profesi dan unsur pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi persyaratan (Pasal 8). Adapun persyaratan orang-orang yang berhak dipilih menjadi anggota BPD adalah sama dengan persyaratan yang dikenakan bagi Kepala Desa (Pasal 7). Meskipun tahapan pemilihan anggota BPD di tiap desa sama, namun yang membedakannya adalah dinamika pemilihan anggota BPD. Di Desa Wangisagara, masyarakat antusias6 untuk terlibat dalam proses pemilihan anggota BPD. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya calon yang mengajukan diri menjadi calon BPD. Tercatat 27 orang yang mencalonkan diri menjadi anggota BPD. Dari ke-27 calon anggota tersebut hanya dipilih 13 orang sesuai dengan aturan jumlah keanggotaan BPD. Mekanisme kontrol dan akuntabilitas BPD terhadap konstituennya tidak diatur secara jelas. Berdasarkan ketentuan, masing-masing BPD bertanggungjawab kepada masyarakat. Namun dalam praktiknya hal ini tidak sepenuhnya terjadi, karena mekanisme pertanggungjawaban BPD tidak diatur dengan jelas. Secara legal, BPD merupakan lembaga perwakilan masyarakat desa yang artinya secara kelembagaan, lembaga ini mewakili kepentingan dan aspirasi masyarakat desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Oleh karena itu BPD seharusnya bertanggung jawab kepada masyarakat. Namun ironisnya, dalam peraturan yang ada (UU 22 tahun 1999, Kepmendagri No. 64 Tahun 1999, dan Perda No 9 tahun 2000) tidak menjelaskan secara jelas kepada siapa BPD harus bertanggung jawab, dan siapa yang berhak mengontrol BPD. Secara kelembagaan yang bisa memberhentikan Anggota BPD adalah Bupati karena yang mengesahkan Keanggotaan BPD adalah Bupati melalui
6 Wawancara dengan salah seorang perangkat Desa Wangisagara, yang kebetulan pernah menjabat sebagai BPD.
92
Keputusan Bupati (Pasal 12 ayat 4 Perda Kabupaten Bandung No. 9 Tahun 2000). Bupati dapat memberhentikan anggota BPD atas dasar usulan dari masyarakat yang bersangkutan. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan ketidakjelasan dalam hal bagaimana mekanisme pertanggungjawaban BPD kepada masyarakat. Kontrol sosial dan mekanisme akuntabilitas akhirnya tergantung pada masyarakat desanya itu sendiri. Salah satu strategi yang dilakukan oleh masyarakat desa untuk melakukan kontrol terhadap BPD adalah dengan membentuk suatu kelompok oposisi tandingan terhadap BPD. Di Desa Majalaya paling tidak ada dua kelompok pressure/oposan yaitu Forum Peduli Desa Majalaya dan Forum RW. Forum Peduli Desa Majalaya adalah sebuah kelompok yang terdiri dari pemuda-pemuda Desa Majalaya yang kritis terhadap kinerja Pemerintahan Desa (Pemerintah Desa dan BPD). Forum ini mempertanyakan kinerja Pemerintah Desa yang dianggapnya tidak dapat bekerja sesuai dengan fungsi dan perannya. “…Forum Peduli Desa Majalaya dalam berbagai kesempatan sering mempertanyakan kerja BPD… mereka menganggap BPD tidak ada kerja sama sekali…” (penuturan seorang anggota BPD Majalaya, wawancara tanggal 25 April 2003) Forum RW merupakan forum kumpulan seluruh tokoh RW (Ketua RW) di wilayah Desa Majalaya. Forum RW dibentuk dengan maksud untuk menyuarakan suara masyarakat bawah. Forum RW muncul karena menganggap BPD sudah tidak mewakili masyarakat lagi. Forum RW mengklaim bahwa mereka berdiri atas dasar legitimasi masyarakat sedangkan BPD hanya mengandalkan SK Bupati. “BPD sudah tidak tepat guna lagi, tidak representatif, mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi semata. Forum RW dibentuk untuk menuntut mereka semua mundur…. Pernah semua dikumpulkan BPD dan masyarakat, ada Pak Camat, Danramil disana. Kemudian seorang anggota BPD yang katanya tokoh karena purnawirawan ABRI bilang, “Kami (BPD) ini sah ada SK Bupatinya, anda-anda (Forum RW) semua dasarnya apa? Anda-anda bisa dituntut ke pengadilan karena menggugat kami!”… dan setelah dengar gitu banyak teman-teman RW yang jadi menciut nyalinya, malah ketua Forumnya juga begitu…” (penuturan Ketua RW O6 Desa Majalaya, wawancara Hari Jum’at tanggal 10 Januari 2003). Forum Ketua RW menyoroti berbagai tindakan BPD yang dianggap sangat mengecewakan yang ditunjukkan dari beberapa kasus yang menyangkut kinerja BPD. Kasus pertama adalah kegagalan proses pemilihan Kepala Dusun di Desa Majalaya. Kepala Dusun pada dasarnya merupakan salah satu perangkat dari Pemerintah Desa yang bertanggung jawab kepada Kepala Desa. BPD berinisiatif untuk melakukan pemilihan Kepala Dusun. Namun pada pelaksanaanya ternyata tidak ada seorangpun yang mencalonkan diri7. 7
Informasi dari Ibu Romlah, seorang Ketua LKMD dan Ketua RW di Desa Majalaya.
93
Kasus kedua adalah adanya pemungutan urunan desa oleh Anggota BPD. Anggota BPD pada prinsipnya tidak memiliki kewenangan dalam melakukan tugas-tugas eksekutif/Pemerintah desa seperti pemungutan urunan desa. Dengan dalih untuk menyelamatkan aset desa, BPD melalui seorang anggotanya melakukan pemungutan urunan desa dan disimpan dalam rekening pribadinya. Kasus ini menimbulkan reaksi yang keras dari para Ketua RW yang tergabung dalam Forum RW dengan mengadakan sidang untuk meminta pertanggungjawaban dari BPD. Kasus ini terbuka setelah ada salah seorang Ketua RW yang melakukan penelusuran terhadap penarikan uang Urunan Desa (Urdes). Kasus berikutnya adalah kasus penjualan jongko-jongko bagi pedagang kaki lima dan penguasaan aset desa. Penjualan jangko-jongko tersebut telah menjadi rahasia umum di kalangan pedagang kaki lima di Desa Majalaya. Kasus terakhir adalah kegagalan pemilihan Kepala Desa Majalaya. Desa Majalaya hampir lebih dari satu setengah tahun hanya dipimpin oleh Pejabat Sementara Kepala Desa. Menurut peraturan Pejabat Sementara hanya bertugas selama 6 bulan. Oleh karena itu BPD berkewajiban untuk segera menyelenggarakan pemilihan Kepala Desa. Kegagalan ini dikarenakan calon Kepala Desa terpilih digugurkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung diakibatkan yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan yang tentukan
berdasarkan
Perda.
BPD
(panitia
pemilihan
kepala
desa)
dianggap
bertanggungjawab karena meloloskan calon kepala desa yang dari awal sudah tidak sesuai dengan ketentuan. Kejadian di desa ini tidak ditemui di Desa Padaulun dan Desa Wangisagara. Di Desa Wangisagara tampaknya BPD dapat bekerja sesusai dengan yang diharapkan. Antara Kepala desa dengan BPD dapat bekerjasama dengan baik. Hal ini tampak dai penuturan beberapa perangkat Desa Wangisagara: “BPD sering mendatangi berbagai pengajian-pengajian yang diselenggarakan. Dalam kesemptan itu selalu ditanyakan tentang apa permasalahan yang dihadapi, apa kebutuhannya. Selain itu juga kalau ada keperluan sosialisasi program pemerintahâ€? “BPD punya pembagian jadwal untuk menghadiri acara pengajian‌â€? Namun ada fenomena menarik seperti diuraikan sebelumnya tentang bagaimana Kepala Desa dapat mempengaruhi salah seorang anggota BPD yang vokal untuk duduk dalam organisasi pemerintah Desa. Tindakan ini di satu sisi bisa dianggap sebagai upaya untuk meredam potensi konflik namun disisi lain bisa dianggap sebuah bentuk kooptasi Kepala Desa terhadap BPD. Di Desa Padaulun pun tidak ditemui fenomena seperti yang terjadi di Desa Majalaya. BPD Desa Padaulun tampaknya belum mampu bekerja dengan optimal sebagai mitra Kepala Desa. Namun demikian tidak ada reaksi kontrol masyarakat seperti
94
di Desa Majalaya. Masyarakat tidak terlalu memperhatikan kinerja BPD, namun lebih mengutamakan bagaimana aspirasinya bisa disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang melalui media-media selain BPD yang ada di desa seperti RT/RW, LKMD, atau bahkan langsung menyampaikan aspirasinya ke Kepala Desa. “BPD tuh ngga ada kerjanya makan duit aja. Mana ada inisiatif perdesperdes atau program dari BPD? Semua dari saya semua yang mengajukan…” (Penuturan Kepala Desa Padaulun) “Masyarakat sini mah biasanya lapor ke saya kalo ada apa-apa bukan ke BPD padahal ada anggota BPD di daerah sini…” (penuturan Ketua RW/Ketua LKMD desa Padaulun) “ Kebiasan orang sini mah ngga berani langsung ngomong ke Desa misalnya, biasanya lewat tokoh dulu baru dari tokoh atau RT ke saya atau langsung. Yang tokoh juga biasanya ke saya, tapi ada juga yang langsung juga…” (Ketua RW… desa Padaulun).
4.1.2.3 Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan Menurut Perda Kabupaten Bandung No. 11 Tahun 2000, di Desa dapat dibentuk Lembaga-Lembaga kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan yang diarahkan untuk memeberdayakan masyarakat. Lembaga Kemasyarakatan adalah Lembaga-lembaga yang dibentuk atas prakarsa masyarakat Desa yang merupakan mitra pemerintah Desa dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Peraturan Daerah ini merupakan aturan lebih lanjut dari Kepmendagri No. 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Menganai Desa yang diterbitkan sebagai tindak lanjut Pasal 111 UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Kedudukan
dan
tugas
lembaga
kemasyarakatan
yang
dimaksud
adalah
merupakan mitra kerja Pemerintah Desa di bidang perencanaan pembangunan, menggerakkan partisipasi masyarakat secara aktif dan positif untuk melaksanakan dan mengendalikan pembangunan secara terpadu baik berasal dari berbagai kegiatan Pemerintah maupun swadaya gotong-royong masyarakat dan menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat (Pasal 7). Adapun hak, wewenang dan kewajiban Lembaga kemasyarakatan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Desa (Pasal 8). Hal ini berarti bahwa Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan yang dibentuk di desa ditentukan oleh desa masing-masing. Lembaga-lembaga Kemasyarakatan yang dimaksud dalam Perda ini adalah Lembaga-lembaga yang terkait dengan urusan-urusan perencanaan pembangunan dan pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan. Beberapa lembaga kemasyarakatan yang dimaksud antara lain LKMD atau dengan sebutan lain, PKK, RT, dan RW. Penataan
95
Lembaga-Lembaga kemasyarakatan khususnya LKMD, RW dan RT tertuang dalam Keppres No. 49 Tahun 2001 Tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Sebutan Lain.
a. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Pedoman umum tentang organisasi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa tertuang dalam Keppres No. 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Sebutan Lain. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa selanjutnya disingkat LKMD atau sebutan lain adalah wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra Pemerintah Desa dan Pemerintah Kelurahan dalam menampung
dan
mewujudkan
aspirasi
dan
kebutuhan
masyarakat
di
bidang
pembangunan. Keppres ini merupakan arahan mengenai bentuk keorganisasian secara umum tentang LKMD. Di Kabupaten Bandung landasan legal pembentukan organisasi LKMD adalah Perda Kabupaten Bandung No. 11 Tahun 2000 tentang Lembaga Kemasyarakatan di Desa. LKMD termasuk dalam salah satu lembaga kemasyarakatan di desa. Pengaturan lebih lanjut di tingkat desa diatur dalam Peraturan Desa Beberapa Pemerintahan Desa menindaklanjuti Peraturan Daerah ini dengan menerbitkan Peraturan Desa yang mengatur tentang Lembaga Kemasyarakatan di Desa. Pemerintahan Desa Wangisagara menerbitkan Perdes Wangisagara No. 4 Tahun 2001 tentang Lembaga Kemasyarakatan di Desa dengan Sebutan LKMD. Peraturan Desa ini mengatur tentang Nama dan Kedudukan; hak; tugas dan wewenang; susunan organisasi dan tata kerja; syarat-syarat pengurus LKMD. LKMD di Desa Wangisagara adalah lembaga yang membantu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan pembangunan (Pasal 2, ayat 2). LKMD berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah dan dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab kepada Kepala Desa (Pasal 2 ayat 3). Hak, tugas, dan wewenang LKMD Desa Wangisagara diatur dalam pasal 3 dan 4. Hak-hak LKMD Desa Wangisagara adalah mengajukan usul dan pendapat kepada pemerintah dalam hal melaksanakan dan perencanaan pembangunan dan mendapat kesejahteraan insidentil yang diatur melalui kebijakan pemerintah desa (Pasal 3 ayat 1 dan 2). Tugas dan wewenang LKMD desa Wangisagara meliputi: -
merencanakan, melaksanakan dan memelihara Pembangunan;
-
pembangunan yang meliputi pembangunan fisik dan non-fisik;
-
pembangunan
non-fisik
diarahkan
kepada
menumbuh
kembangkan
kesadaran masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. Adapun susunan pengurus LKMD adalah meliputi: Ketua sebagai pimpinan dan penanggungjawab; Sekretaris sebagai pembantu pimpinan dalam penyelenggaraan
96
administrasi;
bendahara
sebagai
pembantu
pimpinan
dalam
penyelenggaraan
administrasi keuangan; dan seksi-seksi sebagai pembantu dalam pelaksanaan (Pasal 5). Seksi-seksi yang dibentuk terdiri dari seksi Pemuda, Olah Raga dan Keamanan; Seksi Kesejahteraan Rakyat, Agama, dan Lingkungan Hidup; Seksi Pemberdayaan Peranan Wanita dn KB/Kesehatan; Seksi Ekonomi Pembangunan dan Koperasi; Seksi Pendidikan, Kesenian; dan Hubungan Masyarakat (Pasal 6). Masing-masing seksi bertanggungjawab kepada Ketua. Mekanisme pemilihan Pengurus LKMD di Desa Wangisagara melalui beberapa tahap. Tahapan pertama adalah prosesi pengajuan bakal calon anggota LKMD. Bakal calon anggota LKMD berasal dari hasil musyawarah warga di tingkat RW. Musyawarah warga menentukan orang-orang yang dianggap berkompeten dan dapat mewakili aspirasi masyarakat untuk bergabung di LKMD. Biasanya orang-orang yang dipilih adalah orang-orang yang dianggap memiliki komitmen dan aktif di berbagai kegiatan kemasyarakatan di lingkungannya. Setelah masing-masing RW berhasil menghasilkan nama-nama bakal calon pengurus LKMD, tahap berikutnya adalah tahapan musyawarah desa. Orang-orang yang diundang dalam musayawarah desa antara lain meliputi BPD, perangkat desa, perwakilan RW (Ketua-Ketua RW), orang-orang yang ditokohkan oleh kebanyakan orang. Pada musyawarah tersebut hanya dipilih orang-orang untuk mengisi Posisi Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Dari hasil tersebut kemudian orang-orang terpilih diajukan kepada Pemerintah Desa dan BPD untuk memperoleh persetujuan, dan kemudian menentukan orang-orang untuk mengisi posisi-posisi lain (seksi). Biasanya orang-orang yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki kesamaan ide, gagasan dan dapat bekerja sama dengan pihak desa dan Ketua LKMD. â€œâ€Śyang dipilih dalam musyawarah itu hanya Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Ketiga orang tersebut kemudian bersama kepala desa dan BPD menentukan anggota-anggota LKMD yang lain dari orang-orang yang dianggap dapat bekerja sama dengan Ketua LKMD supaya dapat bekerja samalah‌â€? (penuturan seorang perangkat Desa Wangisagara) Dengan mekanisme pemilihan ini kinerja LKMD dianggap menjadi lebih baik daripada kondisi pada masa lalu. Secara prinsip, sejak dahulu LKMD adalah mitra pemerintah desa namun akibat struktur kepengurusan LKMD dahulu yang diketuai oleh Kepala Desa dan Wakil Ketua LKMD adalah istri Kepala Desa, mengakibatkan LKMD tidak dapat bekerja secara optimal karena dengan struktur kepengurusan seperti itu mengakibatkan posisi Kepala Desa sedemikian kuat sehingga keputusan LKMD adalah Keputusan Kepala Desa juga demikian juga sebaliknya. Serupa dengan apa yang terjadi di Desa Padaulun, Pemerintahan Desa Padaulun juga menerbitkan Peraturan Desa tentang LKMD yang isinya mengatur kedudukan, hak,
97
tugas, dan wewenang, struktur kepengurusan, dan tata cara pemilihan. Adapun mekanisme pemilihan pengurus LKMD adalah melalui musyawarah desa yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan agama, ketua-ketua RW dan RT, dan unsur atau komponen masyarakat lainnya. Pengurus dipilih oleh orang-orang yang hadir pada saat itu. Oleh karena itu kebanyakan pengurus LKMD biasanya juga menjabat pengurus atau ketua RW. Mekanisme pemilihan Pengurus LKMD Desa Majalaya pada dasarnya sama dengan yang dilakukan di desa-desa lain. Pengurus LKMD dipilih berdasarkan musyawarah yang diikui oleh tokoh-tokoh masyarakat, Ketua/Pengurus RW, dan Perangkat Desa. Yang membedakan proses pemilihan Pengurus LKMD di Desa Majalaya adalah pada proses penjaringan calon pengurus. Nama-nama calon pengurus berasal dari hasil pembahasan/musyawarah di tingkat RW. Musyawarah di tingkat RW biasanya hanya dihadiri oleh para ketua-ketua RT yang berada di wilayah RW yang bersangkutan. Masing-masing RW kemudian menentukan siapa-siapa saja yang dianggap memiliki kompetensi dan dipercaya oleh masing-masing RW layak untuk duduk di kepengurusan LKMD mewakili RW-nya.
b. Rukun Warga dan Rukun Tetangga Mengacu kepada Perda Kabupaten Bandung no. 11 Tentang Lembaga Kemasyarakatan di Desa, Rukun Warga termasuk salah satu lembaga kemasyarakatan di tingkat desa. Rukun Warga merupakan salah satu asosiasi sosial yang cukup memiliki sejarah panjang dalam kehidupan sosial di Indonesia. Dahulu Rukun Warga termasuk kedalam struktur pemerintahan yang menempatkan asosiasi ini menjadi alat kontrol pemerintah dan perpanjangan tangan pemerintah dalam mengurusi berbagai urusan kemasyarakatan di daerah. Organisasi RW secara historis merupakan peninggalan rejim Pemerintahan Penjajahan Jepang yang dimaksudkan untuk menjadi perpanjangan tangan Penjajah Jepang dalam melakukan kontrol terhadap rakyat. Struktur seperti ini kemudian diteruskan oleh rejim-rejim berikutnya8. Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 telah merubah tatanan kelembagaan di desa.
Menurut
Perda
Kabupaten
Bandung
No.
11
Tahun
2000,
Lembaga
Kemasyarakatan di Desa memiliki kedudukan sebagai mitra kerja Pemerintah Desa di bidang perencanaan pembangunan, menggerakkan partisipasi masyarakat secara aktif dan positif untuk melaksanakan dan mengendalikan pembangunan secara terpadu. Meskipun secara jelas lembaga Kemasyarakatan merupakan mitra kerja pemerintah di desa, pertanggungjawaban RW tidak diatur secara jelas dalam Perda ini. Pengaturan lebih lanjut tentang RW dituangkan dalam Peraturan Desa. 8
Dalam salah satu catatan kaki dalam buku “Oposisi Berserak� karya Andres Uhlin.
98
Peraturan Desa Wangisagara No. 2 Tahun 2001 tentang pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) merupakan landasan legal pembentukan RW dan RT di desa Wangisagara. Perdes ini mengatur Kedudukan, Tugas dan Wewenang, Hak dan Kewajiban tentang RT dan RW. Rukun warga adalah lembaga Masyarakat di Desa yang diakui dan dibina oleh Pemerintah desa yang merupakan mitra kerja Pemerintah (Pasal 2). Rukun Warga bertanggungjawab kepada masyarakat dilingkungannya dan melaporkan kebijakannya kepada Pemerintah (Pasal 3). Kedua pasal ini menyiratkan bahwa disatu sisi Pemerintah memiliki pengaruh yang kuat terhadap RW maupun RT, namun disisi lain, secara kelembagaan RW maupun RT bertanggung jawab kepada masyarakat di lingkungannya. Kondisi ini menempatkan Lembaga RW dan RT sangat rentan untuk dapat terkooptasi oleh kepentingan Kepala Desa. Tugas dan wewenang RW dan RT (Pasal 4) adalah meliputi: pertama, membantu terwujudnya masyarakat yang relijius/agamis dan berbudi pekerti luhur, membantu Pemerintah dalam pelayanan terhadap masyarakat serta membantu penyebaran dan pengamanan program-program Pemerintah. Kedua, menggerakkan warga masyarakat agar sadar dalam membangun dan menciptakan ketertiban dan keamanan serta kebersihan melalui kerjasama dan kegotongroyongan. Ketiga, berperan aktif dalam menciptakan dan menggali potensi warga masyarakat dalam Pembangunan. Keempat, menampung aspirasi warga sehingga tercipta situasi kondusif. Mekanisme pemilihan Ketua RW dan RT di desa Wangisagara dilaksanakan secara langsung. Ketua RT dan RW dipilih langsung
oleh Penduduk setempat atau
dengan Kepala Keluarga secara Demokrasi dan Jurdil (Pasal 10 ayat a). Apabila hanya terdapat calon tunggal, maka Kepala Desa langsung mengukuhkannya atas persetujuan BPD (Pasal 10 ayat b). Dalam pelaksanaanya hanya pemilihan Ketua RW yang seluruhnya dilaksanakan secara langsung. Dalam pemilihan Ketua RT, mekanisme pemilihannya sangat tergantung kondisi setempat. Ada beberapa desa yang melakukan pemilihannya secara langsung, namun ada juga yang melaksanakannya melalui musyawarah kepala keluarga di tingkat RT9. Untuk pemilihan Ketua RW, seluruh RW di desa Wangisagara melaksanakannya secara langsung. Mekanismenya hampir sama dengan proses pemilihan Anggota BPD. Pada tahap pertama dilaksanakan pendaftaran bakal calon yang ingin mengajukan diri sebagai Ketua RW. Setelah melalui tahapan pendaftaran dan pengecekan kelengkapan administrasi
kemudian
dilaksanakan
pemilihan
Ketua
RW
dengan
mekanisme
pemungutan suara. Pemilih adalah para kepala keluarga di dalam lingkungan RW yang bersangkutan.
9
Wawancara dengan Ibu Romlah.
99
Hal serupa terjadi juga di Desa Padaulun dalam hal pemilihan Ketua RW dan RT. Ketua RW sebagian besar dipilih secara langsung, namun ada beberapa RW yang melaksanakan pemilihan RW hanya melalui musyawarah warga. Demikian pula pemilihan Ketua RT dilaksanakan melalui musyawarah RT yang dihadiri oleh KepalaKepala Keluarga, dan tokoh mayarakat. Berbeda dengan proses pemilihan Ketua RW dan RT di Desa Majalaya. Mekanisme Pemilihan Ketua RW dan RT cukup dilakukan melalui musyawarah RW dan RT. Ketua RW dipilih melalui Musyawarah RW yang dihadiri para Ketua-Ketua RT dan orang-orang yang dianggap tokoh seperti tokoh DKM, purnawirawan, pensiunan PNS, dsb. Sedangkan Ketua RT biasanya dipilih melalui musyawarah RT yang dihadiri oleh para kepala keluarga di lingkungan RT yang bersangkutan. Ketua RT dan RW biasanya dipilih atas dasar penunjukkan oleh para peserta musyawarah. Orang yang ditunjuk biasanya orang yang dipercaya dapat melaksanakan tugas RW dan RT. Sangat jarang ada orang yang bersedia untuk mecalonkan diri secara sukarela. Hal ini membedakan antara Desa Majalaya dengan Desa Wangisagara dan Padaulun. Fungsi Ketua RW atau pengurus RW dan RT di Desa Wangisagara dan Padaulun adalah sebagai salah satu saluran bagi warga untuk menyampaikan aspirasinya. Selain itu, Ketua RW memiliki peran dalam menjalankan fungsi-fungsi adminitratif seperti pengurusan KTP, Kartu Keluarga, Surat Keterangan, dan sebagainya. Potensi RW sebagai suatu kekuatan politik di tingkat desa tidak terlalu menonjol di kedua desa ini. Berbeda dari desa-desa lain, selain menjalankan fungsi-fungsi administratifnya, Ketua RW memiliki fungsi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa Majalaya. Seluruh Ketua RW yang bergabung membentuk suatu aliansi bernama Forum RW. Forum RW kini sangat berperan dalam mengawasi dan mengontrol berbagai kebijakan yang dilakukan baik yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan BPD. Kontrol Forum RW sangat tampak semenjak institusi BPD dianggap tidak mampu menjalankan perannya sebagai perwakilan warga yang seharusnya mencerminkan kepentingan dan aspirasi warga.
c.
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) PKK pada dasarnya merupakan konsep pembagian peran perempuan dalam ruang
perencanaan pembangunan pada era pemerintahan Orde baru. PKK di satu sisi merupakan suatu program pembangunan yang diinisiasi pada sejak Repelita Kedua, namun di sisi lain juga merupakan suatu bentuk pergerakan perempuan Indonesia yang diinisiasi oleh pemerintah dengan menggunakan nama yang sama, PKK (Sullivan, 1999:1).
100
Pada tahun 1973, Menteri dalam Negeri melancarkan Program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), sebagai salah satu bentuk pendekatan baru dalam pembangunan nasional yang diinspirasi oleh Deklarasi PBB tentang Perempuan pada tahun 1970-an (Sullivan, 1999). Program ini menjelaskan dengan rinci tentang peran yang tepat perempuan dalam pembangunan dan untuk membangun kerangka kerja institusional dimana peran tersebut dapat dikembangkan. Lebih lanjut, aturan tentang partisipasi perempuan dalam pembangunan nasional menjadi Undang-Undang pada tahun 1974, bersamaan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974. Undang-Undang Ini menetapkan dengan rinci hubungan antara PKK dan negara dalam seluruh level unit administrasi, dan menginstitusionalisasi PKK kedalam Desa/Kelurahan hingga RT/RW, sebagai salah satu elemen dalam Lembaga Sosial Desa (Kelompok Pelaksana PKK, 1977:1 dalam Sullivan, 1999) . PKK adalah program pemberdayaan keluarga yang bersifat top-down dari pemerintah pusat. Hal ini tampak pada model pengorganisasian yang dilakukannya. (Effendi, 2001 dalam Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002: 71). Hubungan kerja antara tim penggerak PKK pusat dengan Tim Penggerak PKK (TP-PKK) di daerah bersifat konsultatif dan koordinatif, dengan tetap memperhatikan hubungan hierarkis (Retno Astuti dan Putri Mirmasari, 2002: 71). Lebih lanjut program yang harus dilaksanakan untuk semua daerah adalah sama dan sudah tercantum pada buku pedoman PKK. PKK beranggotakan ibu-ibu rumahtangga yang ada di desa yang memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan aktivitas dan kegiatan sosial yang berkaitan dengan urusan kesejahteraan dan kesehatan ibu dan keluarga. Kepengurusan PKK dipimpin oleh seorang Ketua PKK. Dahulu Ketua PKK Desa adalah Istri Kepala Desa, dan tingkat RW dipimpin Ketua Istri Ketua RW. Namun saat ini Ketua PKK terbuka tidak harus dari istri dari pejabat struktural kepemerintahan10.
4.1.3
Asosiasi Pengusaha-Pengusaha di Majalaya Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, industri tekstil Majalaya paling
tidak dapat digolongkan menjadi tiga kategori11 yaitu industri besar, industri kecil dan menengah dan kerajinan rumahan yang berhubungan dengan tekstil. Pengusaha tekstil kecil dan menengah merupakan kelompok industri yang mendominasi pengusaha tekstil di Majalaya. Untuk meningkatkan posisi tawar pengusaha kecil dan menengah maka para pengusaha tekstil kecil dan menengah menghimpun diri dalam PPTM (Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya). Pengusaha tekstil kecil menengah di Majalaya diperkirakan sebanyak 270 pengusaha. Sebagian besar diantaranya tergabung dalam PPTM. 10
Istri Kepala Desa, Istri Ketua RW, dst. Berdasarkan Wawancara dengan Deden Suwega (Pengusaha Tekstil), ia menggologkan industri teksil majalaya berdasarkan pengamatannya sehari-hari yang bergerak di bidang usaha tekstil. 11
101
Dibentuknya PPTM ini didasarkan karena kebutuhan akan adanya wadah bersama bagi pengusaha tekstil Majalaya untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasinya. Kesadaran ini muncul karena kesamaan nasib para pengusaha kecil dan menengah tekstil yang merupakan penduduk asli Majalaya, selama ini merasa terpinggirkan oleh berbagai kebijakan yang kurang menguntungkan mereka. Selama ini para pengusaha kecil menengah sangat sulit untuk mendapatkan akses terhadap fasilitas kredit dari perbankan. Sebagian besar bank lebih suka memberikan kredit kepada pengusaha-pengusaha besar. Para pengusaha kecil dan menengah selama ini merasa terjepit dalam melakukan usahanya. Sebagian besar pasar bahan produksi seperti benang dikuasai oleh etnis tionghoa. Jalur distribusi pemasaran pun dikuasai oleh oleh etnis tionghoa juga. Hal ini membuat mereka merasa tidak dapat bergerak dengan bebas dalam berusaha, karena disinyalir kedekatan dan kesamaan identitas antara pemasok
barang produksi, pengusaha dan distributor
sangat
mempengaruhi pada berbagai kemudahan yang dapat diperoleh. Berikut kutipan wawancara seorang pengurus PPTM. “… ada seorang tionghoa, anaknya itu nakal. Si bapaknya tuh punya hubungan baik sama orang majalaya, sama juga pengusaha tekstil. Si tionghoa juga usaha tekstil. Cuma karena tidak berkenan si bapaknya, si anak cina itu deket. Tau sahabat bapaknya orang majalaya, ama orangnya bilang…”disini aja bareng usaha.” Dia ngga diberi peluang sama bapaknya. Sedikit-sedikit dilatih ama orang majalaya sampe maju bisalah gitu. Sampe saat dia membutuhkan modal, dua-duanya sama mengajukan kredit. Orang majalaya sama anak cina itu. Pada saat cair, jauh beda…kalo ini mah Cuma dikasih 10 juta, si anak cina ini bisa dapat 100 juta. Padahal kapasitas sama . Jadi seperti itu…. Kalo urusan jaminan ya lebih gede orang Majalaya, dia punya sawah, dia punya pabrik… Bener ini kejadian! “…pasar juga kan dikuasai oleh tionghoa…ada pembauran tapi pada dasarnya mereka sendiri tetep. Bedalah ama orang pribumi. Broker-broker kan kebanyakan dari mereka sendiri… jangan jauh-jauh lah di pasar baru aja toko-toko tekstill ngga ada pribumi, paling disisipi india beberapa orang….” Pendirian PPTM dipicu karena terjadi krisis benang di Majalaya sekitar tahun 1997-an. Para pengusaha kecil menengah mengalami kesulitan untuk memperoleh pasokan benang. Di tengah-tengah kesulitan tersebut, tidak ada kebijakan yang berarti dari Pemerintah Kabupaten untuk memperhatikan nasib usaha tekstil Majalaya. Oleh karena itu para pengusaha tekstil pribumi Majalaya, menghimpun diri dalam suatu wadah yang dimaksudkan agar aspirasi para pengusaha tekstil Majalaya dapat padu. Setelah menghimpun diri dalam PPTM kini mulai pengusaha tekstil Majalaya mulai diperhatikan
102
baik oleh pemerintah Kabupaten Bandung, Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan bahkan Pemerintah Pusat12.
4.1.4
Serikat Buruh dan Pekerja Buruh atau pekerja pabrik di Majalaya merupakan salah satu kelompok masyarakat
yang relatif terorganisasi dibandingkan kelompok-kelompok masyarakat lainnya di Majalaya. Pengorganisasian para buruh dan pekerja pabrik di Majalaya dilakukan oleh organisasi-organisasi serikat buruh yang ada di Majalaya. Saat ini di Majalaya terdapat beberapa serikat pekerja yang aktif diantaranya: GOBSI, SPTSK, FSBI, SPBI, dan SBSI13. Organisasi-organisasi buruh ini bertindak sebagai lembaga advokasi yang berusaha meningkatkan posisi tawar buruh dihadapan pengusaha. Meskipun ada beragam organisasi buruh, namun demikian semua organisasi memiliki landasan gerak yang sama yaitu pada dasarnya meningkatkan kesejahteraan buruh. Salah satu contohnya adalah SPBI (Serikat Penyangga Buruh Indonesia) pada dasarnya memiliki landasan gerak yang sama dengan SPSI, serikat pekerja yang dulu merupakan satusatunya serikat pekerja yang diakui oleh pemerintah, yang pada dasarnya berusaha memperjuangkan kesejahteraan buruh (Astuti dan Mirmasari, 2002:79). SPSI selama ini dianggap tidak independen dan telah terkooptasi oleh kepentingan pemerintah maupun pengusaha. Isu-isu yang dibahas lebih banyak menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban serta kesejahteraan pekerja. Masalah-masalah yang ditangani sebagian besar berkaitan dengan UMR, pemberlakuan dan pembayaran cuti haid, kesehatan buruh, dan angkutan bagi pekerja (Astuti dan Mirmasari, 2002:79). Semua masalah tersebut selalu merujuk pada Peraturan Pemerintah mengenai ketenagakerjaan. Isu-isu yang ditangani oleh organisasi ini belum menyentuh masalah-masalah perkotaan yang terkait dengan kebutuhan buruh masih terbatas pada isu-isu ketenagakerjaan (Astuti dan Mirmasari, 2002: 80). Struktur organisasi biasanya dibagi menjadi dua tingkatan yaitu pengurus dan anggota. Sifat keanggotaan sangat terbuka dan tanpa melalui mekanisme yang khusus. Apabila seorang buruh mendaftarkan diri menjadi salah satu anggota serikat pekerja, maka ia harus melepaskan keanggotaannya sebagai anggota di organisasi buruh lainnya. Cara-cara
menyampaikan
aspirasi
buruh
biasanya
difasilitasi
oleh
organisasi/serikat buruh yang ada dimasing-masing pabrik. Apabila permasalahan 12 Menperindag Rini Suwandi bersama beberapa Anggota DPRD pernah mengunjungi PPTM untuk membicarakan masalah pertekstilan di Majalaya dan Indonesia. 13 Laporan Tahun Pertama IPGI Bandung
103
dianggap dapat diselesaikan di tingkat pabrik maka penyampaian aspirasi dilakukan dengan cara menghubungi pihak manajemen pabrik yang bersangkutan dan melakuka negosiasi antara perwakilan buruh dengan pihak manajemen pabrik. Namun apabila usaha negosiasi dianggap gagal, cara penyampaian aspirasi dilakukan dengan memobilisasi buruh untuk melakukan demonstrasi menyampaikan aspirasinya. Serikat pekerja merupakan tempat bagi buruh untuk menyampaikan berbagai permasalahannya. Bagi para buruh, organisasi ini merupakan harapan bagi penyelesaian masalah-masalah yang sedang dihadapinya yang berkaitan dengan hak-haknya sebagai pekerja. Pengurus biasanya biasanya dipercaya sebagai wakil untuk menyampaikan aspirasi para buruh yang menjadi anggota serikat buruh yang bersangkutan. Sifat keanggotaan dalam serikat pekerja biasanya egaliter sesuai dengan semangat yang dibawa dalam berbagai gerakan buruh. Di SPBI, mereka yang terdaftar sebagai anggota perkumpulan ini memiliki kedudukan yang sama satu sama lainnya. Kepengurusannyapun berbentuk presidium, sehingga tidak ada penghalang struktural bagi masing-masing anggota untuk berinteraksi dan bertukar pikiran dalam organisasi ini. Keputusan yang terkait denganorganisasi ini dimabil melalui rapat internal pengurus dan hasilnya ditetapkan melalui mekanisme rapat tersebut (Astuti dan Mirmasari, 2002: 118).
4.1.5
Kelompok-Kelompok Pedagang Perdagangan adalah merupakan salah satu sektor usaha yang relatif dominan di
Kecamatan Majalaya khususnya di pusat kota. Secara umum orang-orang yang berusaha pada sektor perdagangan di Majalaya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: kelompok pedagang yang memiliki atau menyewa bangunan toko (pedagang toko), kelompok pedagang pasar yang berjualan dengan menggunakan fasilitas pasar, dan pedagang kaki lima yang merupakan pedagang eceran yang berjualan dengan menggunakan ruang-ruang publik. Kelompok pedagang kaki lima merupakan kelompok pedagang dengan jumlah yang dominan di Kecamatan Majalaya. Keberadaannya dapat dilihat secara nyata sepanjang hari di berbagai sudut kawasan pusat kota.
4.1.5.1 Kelompok-kelompok basis PKL Sejak awal, keberadaan PKL di Majalaya selalu menjadi objek eksploitasi bagi oknum-oknum tertentu. Para PKL selalu dibebani oleh beragam pungutan yang dikenakan oleh para oknum pemerintah lokal baik yang legal maupun ilegal ataupun pungutan-pungutan yang dikenakan oleh para preman dengan dalih keamanan. Hal ini diakibatkan oleh posisi tawar PKL yang relatif rendah dihadapan pihak-pihak lain yang memiliki kekuasaan. Rendahnya posisi tawar PKL dikarenakan keberadaan PKL yang dianggap menyalahi aturan karena menggunakan ruang publik yang tidak sesuai dengan
104
peruntukan sebagai tempat berjualannya seperti di trotoar, terminal, maupun di badan jalan. Oleh karena itu, para PKL akan sangat bergantung kepada pihak-pihak yang dapat menjamin keberadaanya untuk tetap berdagang. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk dieksploitasi melalui berbagai pengutanpungutan. Dalam rangka menghadapi kondisi ini, para pedagang kaki lima dengan sekelompok aktifis pengorganisasian masyarakat akar rumput, kemudian mulai melakukan inisiatif untuk melakukan pengorganisasian PKL. Kelompok-kelompok ini dibentuk berdasarkan wilayah atau lokasi berjualan. Berdasarkan wilayah berjualannya, PKL Majalaya dikelompokkan menjadi 10 kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh Ketua Kelompok. Struktur organisasi kelompok-kelompok PKL terdiri dari Ketua Kelompok yang memimpin anggota-anggota kelompok. Masing-masing kelompok terdiri sekitar 20 – 24 meja/lapak tempat berjualan PKL. Masing-masing PKL ini mempunyai kewajiban untuk menjaga kerapihan dan kebersihan stan, jongko, atau lapak. Pembentukan kelompok-kelompok bertujuan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti pungutan liar yang ditarik oleh berbagai oknum dan mempersiapkan diri dalam berinteraksi dengan pihak-pihak lain. Ketua kelompok dipercaya untuk bernegosiasi dan menghadapi pihak lain. Ketua Kelompok dipilih atas dasar kesepakatan dan pengakuan dari para anggota kelompok. Figur ketua kelompok biasanya dipilih dari orang-orang yang pengaruhnya diakui
oleh
anggota,
dipercaya,
dan
dianggap
memiliki
keberanian
dalam
memperjuangkan kepentingan kelompok PKL, orang yang dituakan dan harus orang Majalaya asli. Pemilihan Ketua Kelompok tidak memiliki rentang waktu yang jelas dan mekanisme pemilihan yang baku. Ketua Kelompok memiliki beberapa fungsi dan wewenang terutama menyangkut keamanan dan pengaturan internal kelompok. Kelompok-kelompok inilah kemudian menjadi dasar pembentukan FMPKL (Forum Masyarakat Pedagang Kaki Lima).
4.1.5.2 Forum Masyarakat Pedagang Kaki Lima (FMPKL) Pada perkembangan berikutnya, kelompok-kelompok PKL mulai menyadari perlunya suatu wadah yang mewadahi seluruh pedagang kaki lima untuk dapat menyuarakan aspirasinya pada tingkatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu kemudian dideklarasikanlah Forum Masyarakat Pedagang Kaki Lima. Ide dasarnya FMPKL adalah sebagai kendaraan bagi para pedagang kaki lima untuk dapat berperan serta dan mampu berinteraksi dengan pihak-pihak lain. Kepengurusan dibentuk secara demokratis pada saat itu. Beberapa posisi kepengurusan dipercayakan kepada beberapa figur-figur
yang bukan berasal dari
105
kalangan pedagang kaki lima, namun memiliki akses yang baik dengan organisasiorganisasi lain dan pemerintahan lokal. Dasar pemilihan tersebut dimaksdukan agar mempermudah hubungan antara FMPKL yang baru berdiri dengan organisasi-organisasi lain yang sudah mapan. Ketua FMPKL yang dipilih pada saat itu merupakan PKL dan salah seorang aktifis FMMS. Namun pada pelaksanaannya FMPKL tidak mampu menjalankan fungsinya seperti yang diharapkan sebelumnya. Beberapa permasalahan mulai muncul sehubungan dengan kepengurusan FMPKL. Pengurus FMPKL ternyata tidak bisa memerankan fungsinya sebagai wakil dari pedagang kaki lima Majalaya, bahkan beberapa tindakannya dianggap telah merugikan pedagang kaki lima. Ketidakpercayaan PKL muncul ketika para pengurus seringkali mengambil keputusan secara sepihak tanpa melibatkan PKL, dan dalam beberapa hal tidak transparan. Akibatnya, para pengurus FMPKL tidak diakui lagi oleh para PKL sebagai perwakilan komunitas PKL Majalaya. Saat ini FMPKL sudah tidak aktif lagi. Meskipun FMPKL dianggap sudah tidak aktif lagi oleh para PKL Majalaya, namun keberadaan Ketua-ketua kelompok masih diakui sebagai wakil dari komunitas PKL. Meskipun secara keorganisasian sudah tidak ada lagi organisasi yang menaungi para pedagang kaki lima namun keterikatan antara PKL dengan ketua kelompok masih cukup kuat. Ketua-ketua kelompok masih dianggap sebagai figur yang dapat membantu, melindungi, memimpin dan mewakili para PKL Majalaya. Namun meskipun status FMPKL ini bagi para pedagang kaki lima sudah dibubarkan namun para bekas pengurus FMPKL masih tetap menggunakan posisinya sebagai pengurus FMPKL dan mengklaim sebagai wakil pedagang kaki lima.
4.1.5.3 Koperasi PKL “Citra Wangi� Selain organisasi FMPKL yang dulu pernah dibentuk, organisasi lain adalah Koperasi PKL Citra Wangi. Koperasi ini didirikan dengan tujuan untuk mendorong peningkatan kapasitas ekonomi PKL, sehingga diharapkan dikemudian hari para PKL yang merupakan anggota koperasi ini dapat meningkat ke jenjang ekonomi yang lebih tinggi. Koperasi ini didirikan atas inisiasi beberapa PKL yang resah karena merasa sangat terjepit oleh rentenir yang merupakan sumber modal satu-satunya yang bisa diakses oleh PKL . Pada perkembangannya, Koperasi ini mengalami kesulitan dalam berkembang. Hal ini disebabkan karena terjadinya ketimpangan antara simpanan dan pinjaman yang mengakibatkan koperasi ini selalu mengalami defisit hiangga akhirnya koperasi ini kehabisan modal dan tidak beroperasi lagi.
106
4.1.6
Kelompok-Kelompok Transportasi Umum Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa moda angkutan umum di
Majalaya sangat beragam dari yang sifatnya regional hingga lokal, bermotor atau tidak bermotor, angkutan umum resmi atau pun tidak. Setiap pengemudi kendaran angkutan umum tersebut membentuk komunitasnya masing-masing dan memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa kelompok pengemudi angkutan umum diantaranya: kelompok pengemudi angkot, kelompok pengemudi bus, kelompok pengemudi elf, kelompok penarik becak, kelompok ojeg, kelompok keretek.
4.1.6.1 Kelompok Pengemudi Angkutan Kota Secara formal memiliki wadah organisasi bagi para pengemudi angkutan kota yaitu ORGANDA. Isu utama yang menjadi kepedulian ORGANDA adalah masalah pengaturan trayek dan tarif angkot. Selain ORGANDA, pada beberapa trayek terdapat organisasi yang mewadahi pengusaha dan pengemudi. Kebanyakan organisasi tersebut berbentuk Koperasi yang pada awalnya didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, salah satunya adalah KP3A (Koperasi Paguyuban Pengusaha dan Pengemudi Angkutan) yang merupakan koperasi yang mewadahi pengemudi dan pengusaha angkutan kota trayek Cileunyi – Majalaya. Mengenai manfaat KP3A yang dirasakan oleh sopir angkot, mereka menjawab tidak begitu jelas mengenai manfat dari KP3A yang dapat dirasakan walaupun sebenarnya sopir itu pada dasarnya menabung di KP3A. Namun meskipun para anggota selalu menyetorkan sejumlah uang, tidak pernah ada laporan mengenai jumlah nominal yang sudah mereka tabungkan karena setiap ditanyakan selalu tidak ada. Kebanyakan 14
pengurusnya merupakan mantan perman .
4.1.6.2 Kelompok Penarik Becak Para
penarik
becak
tidak
memiliki
organisasi
formal
yang
menaungi
keberadaannya. Namun para penarik becak tersebut memiliki kelompok-kelompok berdasarkan wilayah garapannya. Kelompok-kelompok penarik becak di pusat kota Majalaya antara lain terdiri dari kelompok-kelompok tukang becak wilayah Pasar Baru, Pasar Stasion, Alun-Alun dan Jalan Tengah. Tidak ada jabatan khusus ketua kelompok seperti halnya kelompok PKL pada kelompok tukang becak karena kelompok ini bukan suatu kelompok yang formal. Kelompok tukang becak ini biasanya dipimpin oleh seseorang yang disegani dan dituakan oleh para anggotanya yang berusaha di wilayah bersangkutan. Kelompokkelompok ini dibentuk untuk menjawab kebutuhan akan masalah pengaturan. Aturan 14
Laporan lapangan IPGI Bandung tahun 2001
107
main kelompok lebih ditekankan pada mekanisme pengaturan tentang urutan untuk mengangkut penumpang, sistem antri, dan mekanisme penambahan atau pengurangan anggota kelompok. Seseorang yang ingin menarik becak di wilayah yang bersangkutan harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari ketua dan seluruh anggota kelompok. Ketua kelompok mempunyai kewenangan untuk melakukan penertiban dan pengaturan anggotanya apabila dianggap merugikan kelompoknya. Ketua kelompok selalu diminta pertolongan oleh anggota-anggotanya yang terkena masalah untuk membantu menyelesaikan permasalahan. Ketua kelompok itulah yang selalu mewakili kepentingan anggota-anggota kelompoknya ketika berhadapan dengan pihak-pihak lain. Pembentukan kelompok-kelompok ini diinisiasi oleh pihak kepolisian. Tiap kelompok mangkal di wajibkan untuk menyetorkan sejumlah uang kepada kepolisian (pungutan). Seperti yang disampaikan oleh salah seorang anggota tim pengorganisasian kelompok grassroot, Y dalam laporan bulanan15nya: “Dalam perjalanan saya mencoba mengorek informasi dari tukang becak. Tukang becak waktu itu menyebutkan bahwa ada pungutan yang dilakukan oleh pihak polisi, terutama untuk tukang becak di kawasan alun-alun sebesar Rp 500,-. Namun demikian pada kenyataannya polisi tidak mau bertanggungjawab terhadap semua masalah yang dihadapi tukang becak tersebut, terutama yang menyangkut jalur trayek karena ternyata polisi juga melakukan “perlindungan� serupa terhadap ojeg dan delman�. 4.1.6.3 Kelompok Ojeg Pola pengorganisasian di komunitas ojeg pada umumnya berbasis pada tempat mangkal ojeg. Seperti halnya dengan komunitas beca dan delman, ojeg tidak memiliki organisasi yang formal. Namun di masing-masing tempat mangkal para tukang ojeg memiliki aturan main di antara masing-masing anggotanya. Pengorganisasian komunitas ojeg ini sebenarnya berangkat dari inisiatif yang dilakukan oleh Kapolsek sejak terjadinya booming jumlah tukang ojeg di Majalaya. Menurut informasi dari salah seorang tukang ojeg, Kapolsek pernah mengumpulkan perwakilan tukang ojeg di seluruh Majalaya. Kemudian pada pertemuan tersebut para tukang ojeg diberi pengarahan oleh kapolsek untuk membuat kelompok-kelompok. Pada perkembangannya kelompok-kelompok ini difungsikan sebagai alat pengontrolan dan ketertiban kepolisian terhadap para tukang ojeg. Tiap kelompok tukang ojeg melakukan pemungutan iuran yang biasanya dikumpulkan di akhir minggu sebesar Rp. 1000,- yang dikumpulkan oleh ketua kelompok. Hasil iuran ini kemudian sebagian diberikan kepada pihak kepolisian. Menurut ketua kelompok iuran kepada kepolisian ini merupakan kompensasi atas ijin beroperasi tukang ojeg di wilayah masing-masing. Sebagian besar tukang ojeg tidak memiliki kelengkapan
15
Laporan Bulanan Tim Aksi IPGI Bandung
108
kendaraan yang memadai seperti lampu-lampu motor (lampu malam dan lampu sein), kaca spion, bahkan kelengkapan surat-surat. Iuran tersebut merupakan kompensasi terhadap pelanggaran-pelanggaran aturan kelengkapan kendaran tukang ojeg. Kelompok pun digunakan sebagai alat kontrol ketertiban. Ketua kelompok ojeg di Desa Padaulun, bercerita ketika sekitar sebulan menjelang lebaran, untuk menjaga keamanan, kepolisian memberikan nama-nama yang dicurigai di desa setempat. Kepolisian meminta kelompok untuk mengawasi orang yang bersangutan. Oleh kelompok ojeg inilah kemudian orang yang dicurigai dapat diamankan dan dicegah sebelum melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan. Kelompok ini juga memiliki fungsi untuk pengaturan internal. Kelompok yang dipimpin oleh ketua kelompok membuat aturan main tentang sistem pengangkutan penumpang dengan sistem antrian, sehingga tidak ada anggota yang berebut penumpang. Kelompok juga sangat menentukan apakah seseorang yang ingin menjadi tukang ojeg diwilayah yang bersangkutan diperbolehkan untuk beroperasi atau tidak. Salah satu syarat agar dapat beroperasi di wilayah yang bersangkutan adalah harus menjadi anggota kelompok dan mendapat ijin dari kelompok. Biasanya seorang tukang ojek yang hendak beroperasi menyampaikan keinginannya kepada ketua kelompok. Ketua kelompok kemudian membuat berbagai pertimbangan seperti apakah penduduk asli desa atau bukan, apakah sangat memerlukan pekerjaan ini atau tidak dan sebagainya. Kemudian dirundingkan kepada anggota kelompok, apabila mendapat persetujuan dari seluruh anggota maka orang tersebut diijinkan untuk beroperasi. Kelompok ojeg juga dibentuk untuk peningkatan kesejahteraan anggota. Salah satu kelompok ojeg di Desa Padaulun berinisiatif untuk membentuk koperasi simpan pinjam. Koperasi ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi anggota yang sedang tertimpa kesulitan. Selain itu, apabila salah seorang anggota kelompok mengalami musibah, seluruh anggota kelompok berinisiatif untuk mengumpulkan uang ala kadarnya untuk menyantuni anggota yang tertimpa musibah tersebut. Namun karena lemahnya keterampilan pengelolaan koperasi akhirnya koperasi yang dibentuk saat ini tidak dapat beroperasi lagi karena kehabisan modal. Ketua kelompok dipilih berdasarkan kesepakatan anggota-anggota kelompok melalui suatu musayawarah. Ketua kelompok dipilih atas dasar usia yang relatif paling tua diantara seluruh anggota, figur yang dianggap dapat mengayomi seluruh anggota, dan penduduk asli desa yang bersangkutan. Ketua kelompok inilah yang mewakili seluruh tukang ojeg di pangkalan ojeg yang bersangkutan. Kedekatan antara ketua dan wakil tampak sangat terlihat, hal ini dapat dipahami karena antara ketua dan anggota sehari-harinya selalu berinteraksi oleh karena itu semua informasi, maupun keputusan selalu dapat dikomunikasikan dengan baik antara anggota dan ketua kelompok.
109
4.1.6.4 Kelompok Delman (keretek) Secara umum tukang delman di Majalaya tidak terorganisasi dengan baik. Sebagian besar delman yang beroperasi di Majalaya berasal dari luar kecamatan Majalaya. Diseluruh Majalaya terdapat beberapa pangkalan keretek, meskipun mereka berkelompok bukan berarti mereka memiliki aturan seperti halnya sebuah kelompok atau organisasi. Namun demikian komunitas delman di Majalaya pernah terorganisasi dengan baik. “Menurut ceritanya Pak Enjang, dulu keretek majalaya itu terorganisir, mungkin karena jumlahnya yang masih sedikit ngga seperti sekarang. Dulu kepemilikan keretek tidak seperti sekarang, ada seorang punya satu atau dua, kalau dulu keretek hanya dimiliki beberapa orang, bisa puluhan per orang, nah disitulah mereka mengembangkan aturan main sendiri bahkan untuk trayeknya dimusyawarahkan antar sesama pemilik keretek. Sekarang sudah tidak lagi terorganisir karena jumlahnya semakin banyak, dan terus banyak tukang keretek yang dari luar majalaya, jadi semakin tidak terorganisir.� (penuturan Koordinator Program IPGI Bandung) Menurut salah seorang aktifis pengorganisasian di Majalaya, delman memiliki sejarah panjang di Majalaya sebagai salah satu moda angkutan umum tertua di Majalaya. Dahulu, delman Majalaya relatif terorganisasi. Pola pengorganisasiannya berdasarkan kepemilikan delman. Seorang pemilik delman (juragan) memiliki beberapa puluh delman. Dibawah kepemimpinan juragan delman tersebut, dibuat aturan main di antara tukang delman yang bekerja padanya. Masalah trayek delman pun dibicarakan bersama antara para juragan delman tersebut secara musyawarah. Seiring dengan bertumbuhnya jumlah delman di Majalaya dan kepemilikan delman yang tidak lagi didominasi oleh beberapa orang, menjadikan komunitas delman tidak lagi terorganisasi dengan baik. Keadaan ini diperparah dengan semakin banyaknya delman yang berasal dari luar Majalaya yang juga beroperasi di Majalaya. Kini, komunitas tukang delman dikelompok-kelompokkan berdasarkan tempat mangkal. Pengorganisasian tukang delman ini berasal dari kepolisian setempat. Tujuan pengorganisasian ini bagi kepolisian adalah untuk mempermudah pengontrolan dan ketertiban di masing-masing pangkalan delman. Setiap kelompok delman ini kemudian diminta untuk menyetorkan sejumlah uang setiap minggunya kepada kepolisian. Di tiap pangkalan diangkat seorang figur yang dituakan oleh tukang delman di pangkalan yang bersangkutan. Salah satu tugasnya adalah bertanggungjawab untuk mengumpulkan iuran yang kemudian akan disampaikan kepada kepolisian. Meskipun tidak ada struktur pemimpin namun, para komunitas Delman memgakui ada sesorang yang dianggap tokoh atau yang dituakan (kokolot). Biasanya seseorang yang dianggap tokoh oleh para tukang delman adalah orang-orang yang pernah menjadi
110
menjadi juragan delman dahulu. Figur-figur inilah yang seringkali menjadi pihak yang dipercaya untuk menyelesaikan masalah apabila ada tukang delman yang terlibat masalah atau konflik dengan pihak lain seperti pihak kecamatan dan pihak polisi.
4.1.7
Forum Warga Pada awal pendiriannya, FMMS tidak diperuntukkan bagi satu individu atau
kelompok atau golongan tertentu dalam masyarakat Majalaya. FMMS adalah diharapkan menjadi milik semua masyarakat Majalaya. Seperti tersirat dari Pembukaan Anggaran Dasar nya, FMMS diharap bisa menjadi sebuah wahana aktivitas warga sebagai ruang/wadah interaksi antar berbagai komponen di dalam Masyarakat Majalaya, untuk membangkitkan semangat kepedulian setiap komponen masyarakat Majalaya, terhadap pembangunan Majalaya khususnya. Kondisi Majalaya pada waktu itu banyak menghadapi masalah di tingkat komunitas. Bisa kita sebutkan masalah yang terjadi, mulai dari sengketa tanah bekas kantor kecamatan yang menyebabkan di�lengser�kannya Camat Heri (catatan: sampai saat ini masih ada pihak yang menganggap sengketa ini belum selesai), kondisi industri tekstil yang kolaps, semrawutnya pusat kota yang dianggap disebabkan oleh banyaknya PKL, rusaknya jalan, sampai masalah banjir. Sedemikian kompleksnya masalah yang ada di Majalaya merupakan kombinasi dari masalah sosial, politik, agama, ekonomi, sampai
masalah
lingkungan.
Inilah
yang
kemudian
dianggap
menjadi
alasan
dibutuhkannya sebuah forum warga yang bernama FMMS. Menurut rencana Anggaran Dasarnya, keanggotaan FMMS, seperti idealnya sebuah forum warga, bersifat terbuka bagi seluruh anggota masyarakat sepanjang memiliki visi, misi dan komitmen yang sama yaitu terhadap penguatan dan pemberdayaan
masyarakat
menuju
kemandirian
dan
partisipatif.
Mekanisme
keanggotaan FMMS adalah kesediaan personal secara sukarela untuk menjadi anggota FMMS beserta segala konsekuensinya dan disetujui dalam dialog warga. Pada perkembangannya, FMMS berkembang menjadi suatu concern group yang beranggotakan orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap Majalaya. Tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang aktif di FMMS merupakan perwakilan suatu kelompok masyarakat tertentu atau kepentingan di Majalaya. Meskipun hanya merupakan concern group, moralitas dan semangat memperjuangkan kepentingan Masyarakat Majalaya tetap menjadi landasan perjuangannya.
4.2 Modus Partisipasi Masyarakat Dalam Penyampaian Aspirasi di Majalaya Pada bagian sebelumnya telah dibahas tentang berbagai organisasi dan asosiasi sosial di Majalaya dan mekanisme keterwakilan melalui organisasi dan asosiasi sosial
111
tersebut. Selanjutnya akan dibahas bagaimana masyarakat berpartisipasi (modus partisipasi) dalam menyampaikan aspirasinya.
4.2.1
Pola Penyampaian Aspirasi pada Kelompok Masyarakat yang Berbasis Wilayah Domisili Berdasarkan wilayah domisilinya, masyarakat terkelompokkan berdasarkan
struktur pemerintahan yaitui yang berdasarkan wilayah Kecamatan, yang terdiri dari beberapa desa. Masing-masing desa terdiri dari wilayah-wilayah RW. Masing-masing RW dibagi menjadi beberapa RT yang merupakan kumpulan dari beberapa rumah tangga yang berdekatan. Masing-masing tingkatan tersebut memiliki batas wilayah masingmasing yang pasti. Seperti yang diuraikan sebelumnya, desa memiliki beragam organisasi dan asosiasi sosial dengan fungsi dan tujuannya masing-masing. Pemerintahan Desa yang terdiri dari pemerintah desa dan BPD merupakan lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi sebagai lembaga yang berwenang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. BPD adalah lembaga yang memiliki fungsi sebagai perwakilan masyarakat yang menjaring dan menyalurkan aspirasi. Disamping pemerintah desa dan BPD, terdapat lembagalembaga kemasyarakatan lain diantaranya LKMD yang bertugas membantu pemerintah desa dalam bidang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Desa; PKK yang menjadi wadah kegiatan yang berhubungan dangan kesejahteraan keluarga, RW dan RT sebagai
organisasi
masyarakat
yang
memiliki
fungsi
mendukung
fungsi-fungsi
pemerintahan desa. Dalam menyampaikan aspirasinya, masyarakat di desa menyampaikannya kepada pihak-pihak yang paling dipercaya dapat membantu menyampaikannya baik secara personal maupun kelembagaan. Secara personal, warga desa mempercayakan kepada orang-orang yang dianggap tokoh untuk menyampaikan aspirasinya. Figur-figur yang dianggap tokoh biasanya memiliki latar belakang yang menonjol dibandingkan orang kebanyakan di lingkungannya. Seseorang dianggap tokoh biasanya memiliki kriteria cukup berumur, memiliki latar belakang pendidikan yang relatif tinggi (perguruan tinggi), pernah bekerja di bidang pemerintahan (PNS) maupun militer (ABRI/Polri), dianggap memiliki pengetahuan agama yang luas, maupun dari segi keturunan. Namun tidak semua orang yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut dapat dianggap tokoh. Seseorang dianggap tokoh apabila disamping semua latar belakang kehidupan, status, maupun materi yang terpenting adalah karyanya terhadap masyarakat. Karyakarya
terhadap
lingkungannya
yang
ditunjukkan
kedermawanan, empati, dan kesediaan untuk membantu.
dengan
kepedulian
sosial,
112
Orang-orang yang dianggap tokoh memiliki fungsi yang berbeda-beda. Beberapa tipologi tokoh masyarakat yang dapat dikenali adalah tokoh masyarakat yang memiliki peranan sebagai pemimpin acara-acara seremonial; tokoh masyarakat yang menjadi panutan dan sumber kebijakan (penasehat) dan tokoh masyarakat yang berperan untuk penyambung aspirasi masyarakat. Tokoh-tokoh seremonial biasanya sering ditemukan pada tokoh-tokoh dari kalangan agamawan yang sering memimpin upacara-upacara pernikahan, sunatan, syukuran dan sebagainya. “Kakek saya disini dianggap tokoh, jadi kalo ada undangan-undangan sunatan, kawinan, akikahan sering diundang atau diminta mimpin acara keagamaan, gitu aja kalo peran-peran buat kegiatan kemasyarakatan kayanya ngga” (penuturan seorang aktifis pemudi FMMS). Tokoh-tokoh panutan atau sumber kebijakan biasanya merupakan figur-figur yang dianggap bijak dan dapat memberikan arahan atau pendangan terhadap suatu urusan. Tokoh jenis ini banyak ditemukan dari kalangan agamawan atas pengetahuan keagamaan yang dimilikinya maupun kalangan sipil biasanya para pensiunan PNS maupun ABRI. Karena faktor usianya, kontribusi tokoh jenis ini adalah dalam bentuk pandangan-pandangan
terhadap
suatu
permasalahan
bukan
figur
yang
akan
menindaklanjuti lebih jauh. “Yang disebut tokoh itu adalah biasanya mantan pemerintahan terus kembali ke desa dan aktif di masyarakat. Biasanya orang disebut tokoh suka memberikan bantuan atau arahan dalam menyelesaikan suatu masalah” (penuturan seorang ketua RT di Desa Majalaya). Tokoh yang berperan sebagai penyambung aspirasi masyarakat adalah figur-figur yang dipercaya dapat menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pihak-pihak yang berwenang. Figur-figur ini bisa termasuk dalam struktur pemerintahan di desa maupun kelembagaan didesa maupun tidak. Sebagian besar tokoh jenis ini masih memiliki jaringan dan pengaruh terhadap pihak lain. Biasanya figur-figur tersebut masih aktif dalam suatu institusi pemerintahan atau organisasi kemasyarakatan. Memiliki komitmen untuk membantu menindaklanjuti aspirasi yang diamanatkan kepadanya. ”Tokoh itu orang yang mempunyai keberanian, dipercaya, kepercayaan warga, dan berwibawa. Tokoh teh jalmi nu tiasa nyampaikeun naon nu jadi aspirasi sareng kebutuhan warga ka pemerentah, jalmi nu gaduh pengaruh, tiasa masihan saran. Tokoh mah istilahna nu dikolotkeun (tokoh adalah orang yang bisa menyampaikan apa yang menjadi aspirasi dan kebutuhan warga ke pemerintah, orang yang memiliki pengaruh, bisa memberikan saran. Tokoh adalah yang diistilahkan yang dituakan)”, (penuturan seorang ketua RW di Desa Padaulun). “Masyarakat biasa mah sering ngga berani ngomong langsung misalkan ke Desa, jadi biasanya ngaharewos heula atau minta bantuan ke orang-orang yang dianggap tokoh. Nah setelah itu para tokoh itu kemudian
113
menyampaikan ke saya atau langsung ke desa�, (Penuturan ketua RW di Desa Padaulun). Masyarakat umum juga menyampaikan aspirasinya melalui lembaga-lembaga yang ada di desa. Lembaga-lembaga yang dipercaya untuk menyampaikan aspirasi masyarakat oleh masyarakat setempat adalah Rukun Tetangga, Rukun Warga, LKMD, dan BPD. Lembaga-lembaga tersebut kemudian menyampaikannya kepada pemerintah Desa, sebagai pihak yang dianggap memiliki kewenangan untuk mengurusi uruan-urusan kemasyarakatan yang ada di desa. Meskipun BPD, sebagai salah satu struktur formal yang memiliki fungsi untuk menyampaikan aspirasi, telah dibentuk di setiap desa, namun masyarakat lebih mempercayakan untuk menyampaikan aspirasinya kepada RT dan RW. Oleh karena itu maka tak heran di beberapa desa, BPD dianggap tidak mewakili masyarakat RT
dan
RW
merupakan
organisasi
masyarakat
yang
dipercaya
untuk
menyampaikan aspirasinya. Hal ini dikarenakan kedekatan kedua organisasi tersebut dengan masyarakat. RW dan RT biasanya memiliki kegiatan-kegiatan bersama yang mempertemukan orang-orang dalam lingkungan RT dan RW melalui rapat RT dan RW maupun pengajian rutin. Figur yang dipercaya untuk menyampaikan aspirasinya adalah Ketua RT dan ketua RW. Ketua RT biasanya memperoleh pengaduan atau keluhankeluhan langsung dari masyarakat atau dari figur-figur tokoh yang ada di lingkungan RT yang bersangkutan. Dipercayanya figur ketua RT adalah dikarenakan beberapa alasan: (1) Ketua RT dipilih langsung oleh masyarakat (para Kepala Keluarga); (2) memiliki kewenangan
sebagian
urusan
administrasi
kependudukan
seperti
laporan
kependudukan, pengurusan PBB, surat pengantar pengurusan KTP, (3) kedekatan dengan anggota masyarakatnya. Berbeda dengan kaum bapak yang dapat dengan mudah untuk membicarakan atau menyampaikan aspirasinya kepada pihak-pihak yang berwenang, Ibu-ibu atau perempuan memiliki kebiasaan tertentu dalam menyampaikan aspirasinya. Apabila Ibuibu menghadapi masalah-masalah tertentu terutama yang berkaitan dengan urusan lingkungan atau rumah tangga, biasanya hanya dibicarakan secara informal antar sesama ibu-ibu. Sedikit upaya untuk menyampaikan ke pada pihak-pihak yang dianggap dapat menyelesaikan masalah. Biasanya para ibu selalu mempercayakan suaminya sebagai pihak yang dapat menyampaikan aspirasinya kepada pihak-pihak lain. “Jarang-jarang, ibu-ibu mah jarang. Masalah pembangunnan tuh masalah bapak-bapak. Jadi jarang kegiatan seperti itu soalnya bapak-bapak. Kalo ibu-ibu ngga pernah. Ngga pernah, kalo ngga’ pernah ya ngga pernah, ngga’ perlu ditutup-tutupi�, (penuturan seorang anggota aktif PKK di Desa Majalaya).
114
Lembaga-lembaga pemerintahan dan kemasyarakatan yang ada di desa biasanya dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan perencanaan. Di tingkat desa misalkan pada saat penyusunan APB Desa, biasanya perwakilan masyarakat yang diundang adalah para ketua RW, BPD, LKMD, PKK, para tokoh masyarakat dan agama, dan komponen lainnya. Pada penyusunan usulan proyek dan kegiatan desa, Kepala Desa
biasanya
melibatkan
LKMD
dan
BPD.
Di
tingkat
Kecamatan,
pada
penyelenggaraan FPPT Kecamatan, perwakilan desa yang diundang antara lain adalah Kepala Desa, BPD dan LKMD. Dari uraian tentang pola penyampaian aspirasi masyarakat berbasis wilayah (domisili) maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, antara lain: 1. penyampaian aspirasi melalui figur tokoh atau yang ditokohkan. Tokoh masyarakat
memiliki
peranan
penting
dalam
menyampaikan
aspirasi
masyarakat biasa kepada pihak-pihak yang berwenang. 2. penyampaian aspirasi melalui lembaga-lembaga yang ada (RW,RT, LKMD, BPD, Pemerintah Desa, dan sebagainya). 3. Partisipasi dalam berbagai kegiatan formal yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan maupun rencana baik di tingkat lokal, desa dan Kecamatan. Kesempatan ini merupakan kesempatan yang baik untuk menyampaikan aspirasinya ke pihak pengambil kebijakan. 4. Umumnya semua aspirasi yang disampaikan pada akhirnya bermuara kepada Kepala
Desa
disampaikan
untuk pada
menindaklanjuti pihak-pihak
yang
aspirasi
tersebut
berkompeten
apakah
akan
(lobbying)
atau
ditindaklanjuti sendiri (berkaitan dengan isu yang disampaikan apakah bersifat lokal atau sifatnya diluar kapasitas desa untuk menanganinya). 5. Aspirasi perempuan seringkali terhambat, karena terhambatnya saluran penyampaian aspirasinya ke para pengambil keputusan (yang didominasi oleh laki-laki), serta perilaku perempuan dalam penyampaian aspirasi.
4.2.2
Pola Penyampaian Aspirasi pada Kelompok Masyarakat yang Berbasis Isu Berbeda dengan masyarakat di tingkat desa yang merupakan masyarakat
berdasarkan wilayah domisilinya, kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis isu tertentu memiliki mekanisme
penyampaian aspirasi yang berbeda.
Mekanisme
penyampaian aspirasinya pun berbeda tergantung dengan kondisi pengorganisasian di masing-masing kelompok masyarakat tersebut. Pada dasarnya, kelompok-kelompok masyarakat berbasis isu pada awalnya tidak terorganisasi dengan baik seperti halnya kelompok masyarakat berbasis wilayah yang
115
telah memiliki sejarah panjang pengorganisasian sejak dahulu. Kelompok masyarakat berbasis isu sebagian besar merupakan kelompok-kelompok yang termarjinalkan oleh kebijakan selama ini. Sebagai contoh kelompok pengusaha kecil menengah tekstil yang selama ini tersisihkan oleh pesatnya industri padat modal dan tidak pernah memperoleh perhatian yang memadai dari pemerintah. Untuk meningkatkan posisi tawarnya, kelompok pengusaha ini menghimpun diri dalam Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya (PPTM). Contoh lain pedagang kaki lima di Majalaya merupakan kelompok masyarakat yang juga termarjinalkan. Di satu sisi pedagang kaki lima dianggap sebagai sumber kesemrawutan kota, namun disisi lain keberadaannya sangat dibutuhkan bagi perekonomian lokal. PPTM dibentuk sebagai upaya untuk meningkatkan poisisi tawar pengusaha tekstil menengah
dan
kecil
dihadapan
pembuat
kebijakan.
Dengan
melakukan
pengorganisasian diharapkan dapat �mencuri� perhatian para pembuatan kebijakan dan media massa tentang permasalahan yang kini tengah dihadapi oleh pengusaha tekstil di Majalaya. Karena pada dasarnya PPTM beranggotakan pengusaha-pengusaha yang memiliki keterbatasan sumberdaya, untuk mendukung tujuannya, PPTM mengangkat seorang pengusaha pribumi yang memiliki jaringan yang luas dengan pengusaha lain maupun para pembuat kebijakan. Figur ini diangkat menjadi Penasehat PPTM. Selain itu beberapa pengurus PPTM memiliki kedekatan dengan Ketua DPRD Kabupaten. Dengan mengumpulkan figur-figur yang memiliki akses terhadap pengambil kebijakan menjadikan aspirasi PPTM dapat didengar tidak hanya di tingkat Kabupaten melainkan tingkat Pusat dan Propinsi. Dengan memanfaatkan akses-akses yang dimiliki oleh figur-figur tersebut, maka tujuan organisasi ini mulai membuahkan hasil. PPTM telah beberapa kali dikunjungi oleh pejabat pusat dan DPR pusat. Menperindag Rini Soewandi bersama beberapa anggota DPR berkunjung ke Majalaya untuk meninjau kondisi usaha tekstil Majalaya. Program BDSP yang diusulkan oleh PPTM mendapat respon positif
16
dari pemerintah Kabupaten Bandung.
Masyarakat Pedagang Kaki Lima merupakan masyarakat yang relatif terorganisasi dengan adanya kelompok-kelompok basis di masing-masing lokasi jualannya. Apabila memiliki masalah atau aspirasi yang perlu disampaikan, anggota bersangkutan akan menyampaikannya kepada Ketua kelompok masing-masing. Ketua Kelompok yang bersangkutan yang kemudian akan menindaklanjutinya dengan menyampaikannya kepada pihak-pihak yang dianggap memiliki kewenangan untuk menyelesaikan atau menanggapi aspirasi yang disampaikan. Namun tetap saja keberadaan ketua kelompok ini tidak dapat menjamin bahwa suara dari komunitas pedagang kaki lima akan didengarkan oleh para pengambil 16
karena menurut informasi terakhir batuan untuk program BDSP akhirnya berhasil dialokasikan.
116
kebijakan. Bahkan terdapat indikasi adanya upaya sistematis untuk menghambat penyampaian aspirasi dari pedagang kaki lima oleh beberapa pihak. Salah satu contoh kasusnya adalah musyawarah pengumpulan dana untuk acara Agustusan maupun THR bagi perangkat Desa Majalaya. Pihak yang diundang bukan merupakan tokoh PKL. “Undangan itu justru dibagikan kepada orang-orang yang tak tahu apa-apa tentang PKL… terus terang aja supaya bisa dibodohi, sama saya mah waktu rapat itu beberapa kali belum pernah diundang bukan saya merasa pintar mungkin ini menurut orang-orang di desa itu bahwa saya yang menjadi hambatan bagi kepentingan orang-orang desa… ketika mau agustusan tahun kemarin, desa butuh dana. Disana saya ngga bisa ngomong karena saya ngga diundang. Saya datang …”mau apa?” kata desa, kepada kang Enjang kan ngga diundang sedangkan kata saya, saya adalah perwakilan PKL”, (Penuturan Kang Enjang seorang Ketua Kelompok PKL Majalaya) Agar suara pedagang kaki lima dapat didengar oleh para pengambil kebijakan maka para pedagang kaki lima menghimpun diri dalam Forum Masyarakat Pedagang Kaki Lima (FMPKL), dan menunjuk figur-figur yang dianggap memiliki akses atau jaringan yang luas dengan pihak lain seperti dengan FMMS untuk duduk menjadi pengurus FMPKL, meskipun bukan berasal dari kalangan pedagang kaki lima. Pada awal pendiriannya, FMPKL dapat menarik perhatian dari pejabat Muspika Kecamatan Majalaya untuk lebih mendengarkan aspirasi dari masyarakat pedagang kaki lima. Deklarasi FMPKL dilakukan pada tanggal 27 Juni 2001 bersamaan dengan pernyataan sikap masyarakat pedagang kaki lima tentang keberadaan mereka. Pada saat deklarasi dihadiri oleh Camat Majalaya saat itu. Hal ini pun ditindaklanjuti dengan sosialisasi Forum Pedagang Kaki Lima yang juga dihadiri oleh Camat Majalaya, perwakilan Danramil, BPD Majalaya, dan anggota Komisi B FMMS. Pada kesempatan itu 17
semua pihak memberikan dukungannya kepada FMPKL . Lain halnya dengan kelompok-kelompok non PKL, seperti delman, becak, dan ojeg. Kelompok kelompok ini relatif tidak memiliki akses terhadap pembuat kebijakan dalam artian pembuat kebijakan yang berpihak kepada mereka. Kontak-kontak yang mereka miliki adalah kontak-kontak oknum birokrat yang kepentingannya adalah untuk mengambil keuntungan (pungutan) kepada mereka. Kontak-kontak yang ada tidak dapat digunakan sebagai jalan untuk menyampaikan aspirasinya. Cara menyampaikan aspirasinya dilakukan adalah dengan pengerahan masa (demonstrasi). Pada bulan maret 2001, sekitar 300 tukang becak berdemonstrasi ke kantor Camat dengan tuntutan: mengurangi jumlah delman yang dianggap telah terlalu banyak dan menimbulkan kekotoran di Majalaya; larangan bagi delman untuk masuk ke sekitar kawasan pasar dan masjid Agung; dan menuntut agar angkot Ciparay untuk masuk ke dalam terminal. Demonstrasi ini dilanjutkan dengan demonstrasi pada tanggal 1 Juni 2001 yang
117
menuntut agar angkot tidak menunggu penumpang (mengetem) di luar terminal (Widdi Aswindi, 2002: 62). Buruh dalam menyampaikan aspirasi dilakukan dengan dua bentuk. Pertama apabila menyangkut permasalahan internal di pabrik maka aspirasi disampaikan dengan cara menyampaikan langsung dengan pihak manjemen. Pihak yang menyampaikan adalah para perwakilan buruh yang juga merupakan aktifis serikat buruh yang ada di pabrik bersangkutan. Apabila cara ini belum mebuahkan hasil maka cara yang akan ditempuh adalah dengan memobilisasi buruh untuk melakukan demonstrasi terhadap pihak manajemen atau ke pemerintah kabupaten maupun DPRD. Isu-isu yang disampaikan biasanya menyangkut hak-hak normatif buruh sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Dari uraian diatas tentang beberapa bentuk partisipasi dalam menyampaikan aspirasi oleh beberapa kelompok berbasis isu, maka dapat disimpulkan: 1. Dengan membentuk organisasi dan menempatkan atau mengangkat figurfigur yang di anggap memiliki jaringan luas terhadap sumber daya atau pembuat kebijakan untuk duduk sebagai pengurus pada organisasi yang berangkutan (Contoh: PPTM dan FMPKL). 2. Aspirasi disampaikan melalui jaringan atau akses ke para pembuat kebijakan yang dimiliki oleh seorang figur. Menempatkan figur tersebut pada kedudukan tertentu dalam kepengurusan organisasi yang bersangkutan (contoh PPTM dan FMPKL). 3. Melakukan negosiasi antara dua pihak atau lebih untuk mencari solusi yang terbaik seperti yang dilakukan oleh para organisasi buruh. 4. Aspirasi yang disampaikan dengan cara penunjukkan kekuatan yang dilakukan dengan demonstrasi yang memobilisasi masa dengan tujuan agar dapat menarik perhatian pihak-pihak lain seperti yang dilakukan oleh organisasi buruh maupun kelompok-kelompok ojeg, delman, dan sebagainya. 5. Isu-isu yang diangkat sebagaian besar berkaiatan dengan isu-isu yang menyangkut kelangsungan hidup kelompok yang bersangkutan (isu-isu survival) seperti PKL yang tetap memuntut agar berjualan meskipun dianggap menggangu ketertiban, Becak yang menuntut agar ada pengaturan jumlah delman dan lokasi mangkal, PPTM menuntut perhatian pemerintah agar dapat mencegah kehancuran Industri tekstil dengan skema-skema bantuan. Selain isu survival, isu yang diangkat juga menyangkut hak-hak komunitas yang bersangkutan.
17
Laporan pengamatan lapangan IPGI Bandung
118
4.3 Pelaksanaan Penjaringan Aspirasi Masyarakat melalui Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Pada bagian ini akan dibahas tentang pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan di tingkat Desa, Kecamatan, dan Kabupaten sebagai mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat. Pembahasan difokuskan pada pola pelaksanaan, pihak-pihak yang terlibat, proses untuk mencapai hasil dan keluaran dari masing-masing tahapan.
4.3.1 Penentuan Usulan Program/Kegiatan Desa Penjaringan aspirasi masyarakat di tingkat desa menurut Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002, dilakukan melalui Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa. Mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat di desa diawali dengan tahapan penjaringan aspirasi di tingkat RW dan RT melalui musyawarah-musyawarah RW. Hasil penjaringan aspirasi tingkat RW kemudian diteruskan ke pemerintah desa melalui LKMD dan BPD sebagai lembaga perwakilan masyarakat di tingkat desa. Aspirasi-aspirasi yang masuk kemudian direkapitulasi oleh pemerintah desa untuk kemudian dibahas lebih lanjut pada Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Desa yang dihadiri oleh: Pemerintah Desa, BPD, LKMD atau sebutan lain, RT/RW, Komponen Masyarakat lainnya. Pada pelaksanaannya proses penjaringan aspirasi masyarakat di tingkat desa berbeda dengan aturan yang telah digariskan. Meskipun ada peraturan baru tentang mekanisme perencanaan pembangunan tahunan namun tidak serta merta merubah pelaksanaan proses perencanaan di setiap tingkatan pemerintahan. Di Desa Majalaya, proses perumusan usulan (DSP) ke tingkat Kecamatan hanya dilakukan oleh Kepala Desa saja tanpa melalui suatu mekanisme musyawarah yang melibatkan banyak pihak sesuai ketentuan. Kepala Desa Majalaya hanya mengisi format DSP yang disampaikan oleh Kecamatan. Pada tahun 2002, Desa Majalaya mengajukan dua usulan yaitu rehabilitasi 2 SD dan perbaikan gorong-gorong. Meskipun demikian dasar perumusan usulan ini dengan memperhatikan keluhan-keluhan yang disampaikan oleh masyarakat maupun ketua RW yang kerap mendatangi Kantor Desa. Kepala Desa tidak mengadakan musyawarah untuk membahas usulan karena menganggap cukup berdasarkan pertimbangan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki Kepala Desa tentang kondisi permasalahan di Desa Majalaya. â€œâ€Śkarena masyarakat sudah banyak yang datang kesini, Pak RW-RW yah, ngontrol-ngontrol gini tapi kalau prosesnya, semacam rapat gitu, paling-paling melalui rapat-rapat RW dengan para ketua RW, lalu RW mengusulkan supaya ini agar diusulkan ke Kabupaten memang perlu‌â€?
119
“…gimana ya karena ini sudah jelas, dan masyarakat sudah pada tahu bahwa ini yang paling perlu sekarang, jadi… yah kami ajukan aja karena sudah sangat jelas sangat diperlukan sekali…” Namun demikian keputusan Kepala Desa Majalaya dalam menentukan Daftar Skala Prioritas bukannya tanpa pengaruh pihak lain. Keputusan ini juga ternyata masih dapat dipengaruhi oleh arahan dari Kecamatan. Hal ini dapat diindikasikan dari penuturan Kepala Desa Majalaya sebagai berikut. “…kalau dari masyarakat kan masyarakat mengusulkan supaya jalan lagi dan ternyata kemarin kami mengusulkan, untuk 2003 ini mau jalan juga, tapi berdasarkan arahan Pak Camat bahwa majalaya tahun 2002 sudah punya gitu proyek jalan yaitu jalan tengah, alun-alun dan atirompe, jadi kami diprioritaskan untuk tahun ini adalah pendidikan itu dibahasnya nomer satu, nomer 2 kami usulkan mengenai gorong-gorong dan drainase…” “… untuk tahun 2003 kami juga mau mengusulkan jalan, karena masih banyak, tapi pada kenyataannya, berdasarkan arahan Pak Camat, supaya yang belum kebagian jalan bisa dapat jalan, karena kebetulan Majalaya sudah 2002, jadi dialihkan untuk desa lain…” Sama halnya dengan Desa Majalaya, Desa Wangisagara tidak menyelenggarakan kegiatan FPPT Desa secara khusus yang melibatkan banyak orang. Proses penentuan prioritas kegiatan yang diusulkan ke tingkat kecamatan hanya dibahas oleh Kepala Desa dengan LKMD. Proses penentuan prioritas usulan desa diawali dengan aspirasi-aspirasi yang disampaikan dari masing-masing RW. Input aspirasi tidak terbatas usulan-usulan dari RW saja, namun juga tidak menutup kemungkinan masukan-masukan yang disampaikan secara langsung oleh warga masyarakat kepada Kepala Desa maupun melewati LKMD dan BPD. Setelah
memperoleh
masukan-masukan
dari
warga,
perangkat
desa
menindaklanjuti dengan melakukan peninjauan ke lokasi-lokasi masalah yang diusulkan oleh warga untuk menjadi prioritas ditangani. Para perangkat desa kemudian menilai apakah permasalahan-permasalahan yang disampaikan layak untuk untuk diusulkan atau cukup ditangani secara swadaya oleh masyarakat. Pada saat melakukan peninjauan, biasanya perangkat desa yang bertugas didampingi oleh LKMD. Dari hasil peninjauan dan penilaian kemudian dilanjutkan untuk dibahas antara Kepala Desa bersama LKMD. Proses perumusan usulan desa dilakukan oleh Kepala Desa saja. Namun demikian perumusan tersebut bukan berarti tanpa mempertimbangkan pihak-pihak lain maupun melibatkan pihak lain. Usulan desa disusun dengan pertimbangan-pertimbangan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat. Media penyampaian aspirasi biasanya melalui rapatrapat rutin desa yang mengundang Ketua-ketua RW, warga yang langsung datang ke Kepala Desa, pengajian rutin bulanan aula desa, dan rapat penyusunan APB Desa.
120
4.3.2
Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan (FPPT Kecamatan) Berbeda dengan di desa, di tingkat kecamatan diselenggarakan Forum
Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan yang akan membahas Daftar Skala Prioritas usulan Program/Proyek Kecamatan. Aspirasi dijaring melalui usulan-usulan yang disampaikan dari masing-masing seluruh desa yang berada di wilayah kecamatan yang bersangkutan. DSP Usulan Program/Proyek Desa dikumpulkan di Kecamatan dan direkapitulasi oleh Kasi Perencanaan untuk dibahas dalam Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan. Peserta FPPT Kecamatan adalah terdiri dari: Camat, Lurah, Kepala Desa, Ketua LKMD atau sebutan lain, Ketua BPD, LSM, Instansi Cabang Dinas tingkat Kecamatan, Komponen Masyarakat Lainnya. Namun demikian, dengan diterbitkannya Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002, tidak berarti merubah pola pelaksanaan proses perencanaan usulan program dan proyek yang akan dibiayai oleh APBD. Pada pelaksanaannya pola pelaksanaannya tetap tidak berubah dari pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, seperti yang dituturkan oleh seorang Kasi Perencanaan Kecamatan Majalaya. “…sama dengan yang dulu, cuma namanya yang dirobah, kalau dulu namanya diskusi UDKP sekarang mah Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Kecamatan itu, itu aja intinya mah kan sistem singkatan aja…” Komposisi peserta yang hadirpun tidak ada perubahan yang berarti meskipun dalam aturan yang baru membuka peluang untuk melibatkan komponen masyarakat yang lebih luas. Peserta dalam FPPT Kecamatan yang diundang antara lain dari unsur desa hanya Kepala Desa, dan Ketua LKMD atau Ketua BPD; sedangkan dari unsur pemerintah antara lain: Kapolsek, Danramil, Cabang-Cabang Dinas; serta narasumber dari Pemerintah Kabupaten (Bapeda). Keterwakilan Masyarakat diasumsikan cukup diwakili oleh Kepala Desa. “…biasanya kepala desa aja yang diundang, dan mungkin sekarang akan mengikutsertakan ketua LKMD dan Ketua BPD.” “…dinas instansi itu, KUA kan KUA sama dengan Kecamatan, Kapolsek, Danramil, Dinas Pendidikan yang ada di kecamatan, terus dinas peternakan, pertanian apa yang yang akan diusulkan oleh mereka itu instansi kecamatan kan mengusulkan proyek apa yang akan dibangun oleh dia gitu…” “…dia kan bisa memahami, kepala desa kan in kan …apa yang telah ia rumuskan di desa dapat dipertanggungjawabkan oleh dia, di kecamatan kita tanya yang paling penting di desa apa? Yang didahulukan untuk masyarakat…”
121
Alur acara pelaksanaan FPPT secara tegas memang tidak diatur dalam Keputusan Bupati tersebut. Oleh karena itu karena tidak ada panduan yang jelas maka pelaksanaan FPPT Kecamatan tetap menggunakan alur acara yang sama dengan model-model terdahulu. Meskipun FPPT Kecamatan pada dasarnya merupakan media pembahasan untuk menentukan Daftar Skala Prioritas Usulan Program/Proyek Kecamatan namun pada pelaksanaan FPPT Kecamatan, tidak memungkinkan untuk dilakukannya pembahasan secara matang. Alur acara FPPT Kecamatan yang dilaksanakan di Kecamatan Majalaya adalah: pembukaan yang dilanjutkan dengan sambutan Camat dan arahan dari Tim Kabupaten dan dilanjutkan dengan acara tanya jawab. Pada acara tanya jawab inilah dibahas prioritas usulan Kecamatan. “Kita biasanya pembukaan yah, terus sambutan dari Pak Camat, ngga ada panitia lagi disini, langsung sambutan Pak Camat kalau memang ada tim dari Kabupaten mungkin memberikan pengarahan baru diskusi dan tanya jawab�, (penuturan Kasie Perencanaan Kecamatan Majalaya). Sebelum melaksanakan FPPT Kecamatan, para Kepala Seksi di lingkungan Kecamatan melakukan rekapitulasi atas usulan-usulan yang diajukan dari desa dan perangkat dinas-dinas yang ada di kecamatan. Baik desa maupun dinas-dinas tingkat kecamatan (Cabang Dinas) mengisi format Daftar Skala Prioritas yang diberikan oleh Kecamatan. Hasil rekapitulasi ini kemudian menjadi bahan pembahasan untuk ditentukan skala prioritasnya pada FPPT Kecamatan. Partisipasi masyarakat dalam menyampaikan usulan-usulan program dan proyek yang dibiayai oleh APBD hanya dapat dilakukan melalui mekanisme ini. Aspirasi masyarakat yang masuk ke pembahasan di tingkat Kecamatan adalah usulan-usulan yang berasal dari desa dan yang diajukan kepada dinas instansi tingkat kecamatan. Kehadiran masyarakat biasa sangat terbatas dalam FPPT Kecamatan, mengingat pihakpihak yang diundang adalah posisi-posisi struktural yang ada di lingkungan Kecamatan yaitu: Kepala Desa yang mewakili Desa, Kapolsek dan Danramil, dan instansi pemerintah di tingkat kecamatan.
4.3.3
Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah (FPPT Daerah) Setelah dilaksanakan pejaringan aspirasi di tingkat Kecamatan dan di tingkat
Dinas/Instansi dan Lembaga maka tahapan berikutnya adalah pelaksanaan Forum Perencanaan
Pembangunan
dilaksanakan
FPPT
Daerah
Tahunan
Daerah
dilaksanakan
(FPPT untuk
Daerah).
FPPT
Daerah
mengkoordinasikan
usulan
program/proyek yang berasal dari Kecamatan dan Dinas/Satuan Organisasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung dengan mengacu/berdasarkan pada
122
Rencana Strategis Daerah Kabupaten Bandung dan memperhatikan kebijakan dari Pemerintah Propinsi/Pusat. FPPT Daerah diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung melalui suatu kepanitiaan yang ditetapkan dengan SK Bupati Bandung Tentang Pembantukan Panitia Penyelenggara
Forum
Perencanaan
Pembangunan
Tahunan
Daerah
(FPPTD)
Kabupaten Bandung Tahun 2002. Seluruh Kepanitiaan tersebut berasal dari staf Bapeda Kabupaten Bandung, sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung. Tujuan dari diselenggakannya FPPT Daerah adalah untuk meningkatkan keterpaduan perencanaan pembangunan melalui penyamaan persepsi, pembulatan komitmen, perumusan strategi dan membangun kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Bandung dengan para pelaku (stakeholder) pembangunan, sesuai dengan Pola Dasar, Program Pembangunan Daerah, dan Rencana Strategis Daerah Kabupaten bandung tahun 2001-2005. Sasaran pelaksanaan FPPT Daerah adalah untuk: (1) terwujudnya kesamaan pemahaman mengenai arah dan kebijakan umum, serta strategi dan prioritas APBD tahun anggaran 2003; (2) terbentuknya komitmen bersama untuk melaksanakan program progra/kegiatan-kegiatan prioritas tahun anggaran 2003. Keluaran dari FPPT Daerah ini adalah kesepakatan bersama mengenai arah dan kebijakan umum, serta strategi dan prioritas APBD Tahun Anggaran 2003; dan usulan Program/Kegiatan Pelayanan Publik Tahun Anggaran 2003. Tindak lanjut dari pelaksanaan FPPTD adalah bahwa hasil FPPT Daerah tahun 2002 selanjutnya akan dibahas bersama antara eksekutif dan legislatif untuk dijadikan Nota Kesepakatan Bersama, sebagai payung dalam perumusan penyusunan dan pembahasan Rencana APBD Kabupten Bandung Tahun Anggaran 2003. FPPT Daerah diselenggarakan dalam rangka memadukan dan mengkoordinasikan program-program dan kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan di Kabupaten Bandung tahun 2003. Substansi pembahasan dalam FPPT Daerah antara lain meliputi:
Kebijakan Pembangunan Tahun Anggaran 2003;
Penyepakatan Arah dan kebijakan Umum APBD;
Ancar-Ancar Pendapatan dan Alokasi Anggaran;
Ancar-ancar Alokasi Belanja Pelayanan Publik per Bidang Pemerintahan Tahun Anggaran 2003;
Penyepakatan Prioritas Kegiatan Pelayanan Publik tahun Anggaran 2003.
FPPT Daerah diselenggarakan selama dua hari. Pada penyelenggaraan FPPT Daerah hari pertama lebih banyak pembahasan dilakukan secara pleno. Materi-materi yang dibahas meliputi: (1) paparan kebijakan pembangunan Propinsi Jabar; (2) Pokokpokok pikiran DPRD; dan (3) konsep arah dan kebijakan umum APBD 2003. Pada hari
123
pertama juga dibahas tentang penyepakatan konsep Arah dan Kebijakan Umum APBD yang ditawarkan oleh pemerintah; pembahasan dan penyepakatan ancar-ancar pendapatan dan alokasi anggaran 2003; dan pembahasan dan penyepakatan ancarancar alokasi belanja pelayanan publik per bidang pemerintahan. Cara pembahasan materi-materi tersebut adalah dengan pemaparan materi yang disampaikan oleh para narasumber dan dilanjutkan dengan tanya jawab. Pada kesempatan ini partisipasi masyarakat dilakuakan dalam bentuk tanya-jawab antara peserta dengan narasumber. Namun hasil tanya jawab tidak menjamin akan dipertimbangan dalam pembahasan lebih lanjut. Pada hari kedua pembahasan lebih ditekankan pada pembahasan diskusi kelompok yang terdiri dari tiga kelompok: Kelompok Fisik dan Prasarana, kelompok Sosial dan Ekonomi. Pembahasan kelompok dimaksudkan untuk membuat prioritas kegiatan pembangunan yang akan dibiayai oleh APBD. Namun dalam pelaksanaannya pembuatan prioritas kegiatan tidak dapat tercapai dikarenakan jumlah usulan yang dibahas sangatlah banyak sehingga tidak mungkin untuk dilakukan perumusan prioritas kegiatan pada kesempatan itu. Pembahasan di kelompok Ekonomi dan Sosial lebih banyak pada penyampaian usulan-usulan dan permasalahan-permasalahan dari masingmasing peserta diskusi kelompok. Berbeda dengan kedua kelompok tersebut, diskusi kelompok Fisik selain membicarakan usulan dan masalah-masalah dari para peserta, pembahasan diarahkan untuk membuat kriteria dalam menyusun prioritas kegiatan dan menentukan beberapa perwakilan yang diberi mandat untuk menentukan prioritas kegiatan berdasarkan kriteria. Partisipasi masyarakat dilakukan melalui diskusi tanya jawab. Namun demikian hasil diskusi tersebut tidak menjamin akan dipertimbangkan dalam pembahasan lebih lanjut juga. Dalam menentukan prioritas program/proyek lebih lanjut akan dibahas oleh Bapeda bersama dengan tim perumus yang terdiri dari Bapeda, Dibale terkait dan unsurunsur masyarakat yang berasal dari Perguruan Tinggi dan LSM Lokal. Tim perumus ini diharapkan dapat bekerja untuk membuat prioritas usulan kegiatan hasil penjaringan aspirasi masyarakat melalui FPPT. Pada pelaksanaannya penyusunan Daftar Skala Prioritas kabupaten dipercayakan kepada Bapeda. “Pembahasan DSP sebenarnya dilakukan oleh tim perumus yang terdiri dari Bapeda, Dibale terkait, dan unsur-unsur lain seperti perguruan tinggi dan LSM. Tim perumus ini diberi waktu satu bulan untuk membuat DSP namun akhirnya urang-urang keneh deui (merujuk kepada Bapeda)�, (penuturan seorang Kepala Bidang di lingkungan Bapeda).
124
4.4 Keterwakilan,
Modus
Partisipasi,
Proses
Pengambilan
Keputusan
dan
Distribusi Kekuasaan dalam Pengambilan Keputusan Bagian ini merupakan kesimpulan temuan studi pada tahapan penjaringan aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan empat aspek kajian yaitu meliputi aspek keterwakilan, modus partisipasi, proses pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan.
4.4.1
Keterwakilan Masyarakat Dalam Penjaringan Aspirasi Melalui Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Di tingkat desa, masyarakat diwakili oleh Kepala Desa, LKMD, dan BPD.
Keterlibatan lembaga-lembaga ini bisa dikatakan telah mewakili kepentingan masyarakat desa apabila merujuk pada pola penyampaian aspirasi masyarakat di desa. Oleh karena lingkupnya yang kecil, kepentingan wilayah relatif tidak jauh berbeda dengan kepentingan yang sifatnya sektoral, namun hal ini akan berbeda pada pembahasan di tingkat Kecamatan. Namun meskipun terwakili, tidak berarti masyarakat berada pada posisi yang seimbang dengan pihak lain dalam proses pengambilan keputusannya. Di Desa Wangisagara, dalam merumuskan usulan desa, kepala desa meminta pertimbangan dari perangkat desa, beberapa anggota LKMD, dan beberapa anggota BPD. Keterlibatan dari lembaga-lembaga tersebut hanya terbatas pada figur-figur yang dapat dipercaya oleh kepala desa. Tidak dilibatkannya masyarakat secara masif dalam proses perumusan usulan desa dikarenakan sifat ketidakpastian dari proses pengusulan kegiatan desa. Usulan-usulan yang disampaikan ke tingkat kecamatan belum ada kepastian akan diterima di tingkat kecamatan sebagai prioritas usulan kecamatan karena akan berkompetisi dengan usulan-usulan dari desa lain. Bahkan, apabila diterima sebagai salah satu prioritas usulan kecamatan, belum ada kepastian akan diterima sebagai usulan kegiatan yang dibiayai oleh APBD. Oleh karena sifat ketidakpastian yang besar inilah menyebabkan pelaksanaan proses perumusan usulan desa tidak melibatkan masyarakat secara langsung, karena dikemudian hari Kepala Desa yang akan selalu dipertanyakan mengenai usulan-usulan desa yang disepakati. “…yang kita sampaikan itu adalah hanya sekedar usulan saja sehingga apabila tidak terealisir, kami tidak terlalu kecewa…” “ Alasan kenapa masyarakat tidak dilibatkan dalam proses perumusan, karena kalau masyarakat terlibat, terus ada aspirasi yang terealisasi dari yang telah diajukan, akan ditanya terus oleh masyarakat, akhirnya kan yang kena kepala desa juga. Biasanya keterlibatan dilakukan setelah ada kepastian usulan tersebut direalisasikan, baru disosialisasikan.” (Penuturan Kepala Desa Wangisagara). Fenomena ini tidak hanya ditemui di desa Wangisagara, namun disinyalir berlaku disebagian besar desa. Perumusan usulan program dan kegiatan desa dilakukan oleh
125
para elit-elit di tingkat desa. Pada prakteknya perumusan usulan program dan kegiatan memang dilakukan oleh kalangan terbatas yaitu Kepala Desa, Perangkat Desa, LKMD, dan BPD. Usulan yang dirumuskan memang tetap dalam kerangka untuk kepentingan desa, namun apakah usulan yang dirumuskan telah sesuai dengan preferensi masyarakat desa, masih belum dijamin. Meskipun pihak-pihak yang terlibat secara normatif merupakan perwakilan warga desa, namun apa yang mereka putuskan belum mencerminkan bentuk keterwakilan sepenuhnya. Bentuk keterwakilan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga desa dalam proses perumusan usulan desa lebih bersifat differrensiasi, bentuk terendah dari representasi, suatu hubungan antara wakil dengan yang diwakili yang hanya menyatakan hubungan afiliasi antara wakil dengan elemen lingkungan (kondisi desa) dan merefleksikan pandangan dan pengetahuan tentang dunia asalnya (berkaitan dengan permasalahan di desanya). Sifat keterwakilan ini memberikan kesempatan bagi “wakil� untuk memutuskan sesuatu bagi dirinya bukan mengatasnamakan konstituen. Sifat keterwakilan ini pun terlihat dalam proses penyelenggaraan FPPT Kecamatan. Pada penyelenggaraan FPPT Kecamatan, peserta yang diundang adalah: KepalaKepala Cabang Dinas di lingkungan Kecamatan, Kepala Desa, BPD dan LKMD. Disini, kepentingan wilayah dapat terwakili dengan hadiranya stakeholder berbasis wilayah seperti Kepala Desa, LKMD, dan BPD. Namun untuk kepentingan yang sifat sektoral belum tampak adanya keterlibatan yang aktif. Kalaupun ada hanya diwakili oleh perwakilan dari Cabang Dinas yang tidak mewakili konstituen basis di masyarakat. Di Majalaya, isu pedagang kaki lima, transporatsi umum, ketenagakerjaan, dan usaha tekstil belum terwakili dalam FPPT Kecamatan. Tidak terlibatnya stakeholder dalam FPPT Kecamatan bisa disebabkan oleh beberapa sebab: 1. isu-isu yang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat sektoral belum ada keterkaitan langsung dengan apa yang dirumuskan dalam proses perencanaan melalui FPPT Kecamatan. Contohnya: isu-isu yang diperjuangkan kelompok-kelompok buruh masih berkisar pada perbaikan kesejahteraan dan hak-hak buruh sehingga tidak ada keterkaitan langsung pada apa yang bisa disampaikan melalui mekanisme perencanaan. 2. Isu-isu yang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat sektoral di luar lingkup Kecamatan seperti isu usaha tekstil yang berkaitan langsung dengan kebijakan di tingkat kabupaten dan nasional. 3. Banyak kelompok masyarakat sektoral bersifat informal, artinya secara faktual kelompok
tersebut
ada
dan
memiliki
basis
keberadaannya tidak memiliki landasan hukum.
namun
secara
de
yure
126
Kesimpulan yang dapat ditarik berkaitan dengan keterwakilan masyarakat dalam tahapan penjaringan aspirasi masyarakat (penyelenggaraan FPPT) adalah: 1. Keterwakilan wilayah lebih dominan dibandingkan keterwakilan isu. Hal ini ditunjukkan dengan fakta bahwa dalam penyelenggaraan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan, keterlibatan organisasi-organisasi berbasis wilayah sangat dominan dibandingkan dengan organisasi berbasis isu/sektoral. 2. Meskipun masyarakat berbasis wilayah telah terwakili oleh BPD, LKMD, Kepala Desa, namun sifat keterwakilannya adalah hanya sekedar differensiasi. Dimana masyarakat umum tidak dapat ikut menentukan suara/aspirasi yang akan disampaikan oleh wakil. 3. Partisipasi masyarakat hanya diwakili oleh organisasi-organisasi masyarakat tertentu terutama yang berkaitan dengan fungsi pemerintahan. Tidak adanya keinginan
untuk
melibatkan
masyarakat
secara
masif
dalam
proses
perencanaan lebih disebabkan karena tidak ada jaminan realisasi atas usulan yang telah direncanakan.
4.4.2
Modus Partisipasi Penyampaian Aspirasi dalam Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Dari uraian tentang proses penyelenggaraan Forum Perencanaan Pembangunan
Tahunan maka beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan modus partisipasi masyarakat dalam penyampaian aspirasi dalam Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan adalah: 1.
bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan masyarakat adalah penyampaian aspirasi baik melalui wakil-wakilnya (organisasi-organisasi sosial) maupun langsung melalui mekanisme yang ada. Contohnya: menyampaikan peremasalahan yang sedang dihadapi kepeda RW, RT, BPD, LKMD, dan sebagainya, atau terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan mekanisme perencanaan seperti FPPT. Namun hal ini sangat ditentukan oleh keinginan dan kebersediaan penyelenggara untuk berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan.
2.
sifat partisipasi masyarakat dalam mekanisme perencanaan (FPPT) adalah pada taraf konsultatif
atau konsultasi. Masyarakat berpartisipasi untuk
memberikan tanggapan terhadap tawaran, atau pilihan yang diberikan oleh pemerintah dengan sedikit kemungkinan untuk membangun gagasannya sendiri. 3.
Oleh karena kelompok-kelompok berbasis isu
sebagain besar
tidak
termasuk/terlibat dalam mekanisme formal ini, mereka mengembangkan
127
strategi dan upaya partisipasi untuk menyampaikan aspirasinya diluar jalur formal diantaranya dengan menggunakan kontak (contacting) seperti kasus PPTM, lobbying, bahkan demonstrasi (Unjuk rasa Beca tahun 2001)
4.4.3
Proses Pengambilan Keputusan dalam Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Dalam setting pengambilan keputusan yang berbeda-beda, memiliki mekanisme
pengambilan keputusan yang berbeda. Mekanisme pengambilan keputusan sangat tergantung pada para pelaku pengambil keputusan tersebut artinya sangat tergantung pada siapa yang memiliki kewenangan untuk menyelanggarakan proses perencanaan ini. Dari ketiga desa yang diamati, tampak bahwa mekanisme penentuan prioritas usulan memiliki kesamaan. Kepala desa memiliki peranan yang besar dalam menentukan hasil rumusan prioritas usulan. Keterlibatan masyarakat secara langsung untuk turut menentukan prioritas usulan desa tidak terjadi pada proses penentuan usulan desa. Dalam menentukan prioritas usulan desa, meskipun pengambil keputusan adalah kepala desa namun tetap meminta pertimbangan dan saran dari LKMD maupun BPD. Proses pengambilan keputusan tentang prioritas usulan-usulan desa ditentukan oleh kepala desa. Untuk menentukannya, kepala desa mendasarkan pada input-input dan basis informasi yang dimiliki tentang permasalahan desa. Sumber-sumber informasi yang digunakan adalah: pertama, aspirasi yang disampaikan oleh warga masyarakat baik yang melalui tokoh-tokoh masyarakat maupun lembaga-lembaga yang ada di desa seperti BPD, LKMD, RW dan RT, yang disampaikan melalui berbagai media pertemuan atau kesempatan. Kedua, pengetahuan pribadi tentang kondisi permasalahan yang ada di desa. Dari dasar informasi tersebut kemudian, kepala desa mulai memikirkan kegiatankegiatan atau proyek-proyek apa yang sekiranya dapat menjawab permasalahan desa saat ini. Inisiatif tentang usulan-usulan atau proyek muncul dari kepala desa. Kepala Desa mulai memilah-milah aspirasi yang masuk dan mulai memikirkan permasalahan apa yang perlu ditangani dengan segera. Kebanyakan usulan berangkat dari inisiatif kepala desa karena aspirasi warga yang masuk sebagaian besar sifatnya sangat lokal dan bersifat reaktif. “aspirasi dari masyarakat biasanya sifatnya sangat lokal dan yang paling medesak sebagai contoh kaya perbaikan mushola, kan itu sangat lokal hanya menyangkut RW. Atau ketika ada masalah pembagian air untuk pengairan sawah. Kan ada jadwal pembagian air. Desa wangisagara biasanya dapat jadwal hari senin eh tiba-tiba ada yang membelokkan di tengah jalan, nah gini biasanya masyarakat pada datang‌ rombongan.. ngabring ka desaâ€? (penuturan Kepala Desa Wangisagara)
128
Kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan peninjauan ke lapangan yang dilakukan oleh Ketua Urusan Ekonomi dan Pembangunan (Kaur Ekbang) dan LKMD. Peninjauan lapangan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mendetil tentang permasalahan yang akan ditangani dan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan usulan kegiatan atau proyek. Peninjauan lapangan terkadang tidak dilakukan apabila pengetahuan tentang masalah dianggap sudah cukup atau sebelumnya pernah dilakukan peninjauan lapangan. Kemudian kepala desa bersama perangkat desa, LKMD, dan BPD mulai merumuskan proyek-proyek apa saja yang akan diusulkan pada tahun bersangkutan. Pembahasan dilakukan pada rapat internal yang dipimpin oleh Kepala Desa, dihadiri oleh perangkat desa, beberapa anggota LKMD, dan BPD. Rapat internal ini dimasuksudkan untuk meminta pertimbangan dan masukan saja atas usulan-usulan desa yang akan diajukan tingkat Kecamatan. Usulan ini kemudian di format usulan desa (Daftar Usulan Proyek/Kegiatan). usulan desa tidak terlalu menggambarkan prioritas, karena desa biasanya membuat usulan kegiatan/proyek sebanyak-banyaknya. “Kita buat usulan sebanyak-banyaknya, karena ini hanya sekedar usulan tidak semua pioritas, dan biasanya aspirasi masyarakat bukan ini, kalau bukan dari kades mungkin ngga diusulkan.� (penuturan Kepala Desa Wangisagara). Dari uraian diatas proses pengambilan keputusan secara sederhana dapat digambarkan dalam empat tahapan. Pertama, tahapan penyerapan pengumpulan basis informasi yang didasarkan pada aspirasi warga desa dan pengetahuan dan pengalaman subjektif kepala desa beserta perangkat desa. Kedua, pemilihan masalah yang diprioritaskan untuk ditangani, sebagian besar berasal dari inisiatif dan kebijakan kepala desa. Ketika, pengecekan lapangan terhadap permasalahan yang akan ditangani melalui usulan proyek atau kegiatan. Keempat, membuat usulan proyek/kegiatan yang dilakukan oleh kepala desa dengan pertimbangan perangkat desa bersama lembaga-lembaga lain. Tahapan pengambilan keputusan dalam penentuan usulan desa dapat dilihat pada Tabel 4.1.
129
Tabel 4.1 Tahapan Pengambilan Keputusan dalam Penentuan Prioritas Usulan Program dan Proyek Pembangunan di Desa Fase
Tahapan
Aspek Substansi Proses
I
II
III
IV
Pengumpulan Basis Informasi
Perumusan Alternatif Rancangan Prioritas Masalah yang Hendak ditangani
Penilaian Alternatif
Penentuan pilihan
verifikasi /pengecekan ulang terhadap rancangan prioritas - penilaian berdasarkan pengalaman dan pengetahuan
Usulan Program dan Proyek Pembangunan di Desa
Perangkat Desa bersama LKMD melakukan verifikasi terhadap permasalahan yang akan ditangani melalui pengusulan program
- Kepala Desa menentukan usulan mana yang akan diajukan - Lembaga lain hanya memberikan pertimbangan
- Aspirasi permasalahan dari warga - Pengalaman dan pengetahuan tentang permasalahan desa
- warga memberi masukan - kepala desa memilih pihak yang dapat diminta pertimbangan Pihak yang terlibat dan peran yang dilakukan
- Penentuan prioritas awal tentang permasalahan yang perlu diusulkan untuk ditangani. - Dasar pertimbangan: pengetahuan dan pengalaman subjektif tentang kondisi wilayah - Kepala desa mengadakan rapat atau musyawarah terbatas untuk menentukan usulan desa. - Kades menentukan siapa saja yang diundang. - Inisiatif usulan banyak berasal dari Kepala Desa dan didukung pertimbanganpertimbangan dari pihak lain yang dilibatkan
-
Sumber: Hasil analisis.
Proses
pengambilan
keputusan
dalam
menentukan
prioritas
usulan
proyek/kegiatan Kecamatan (DSP Kecamatan) dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah dengan pengumpulan masukan-masukan dan informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah di wilayah kecamatan. Sumber masukan dan informasi antara lain: usulan-usulan desa yang masuk kemudian direkapitulasi, kebijakankebijakan kecamatan dan cabang-cabang dinas. Usulan desa direkapitulasi oleh KepalaKepala Seksi di lingkungan Kecamatan, terutama oleh Kepala Seksi Perencanaan. Kebijakan kecamatan biasanya berasal dari Camat atas pertimbangan perangkat-
130
perangkat kecamatan yang ada dilingkungan Kecamatan. Kegiatan ini merupakan tahapan persiapan FPPT Kecamatan Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan FPPT Kecamatan untuk menentukan prioritas usulan kecamatan (DSP Kecamatan). FPPT Kecamatan dihadiri oleh Kepala Desa, BPD, LKMD dan, Cabang-Cabang Dinas di tingkat Kecamatan. Dasar utama penentuan prioritas usulan kecamatan adalah kriteria pemerataan. Artinya, dalam menentukan prioritas usulan kecamatan penentuan lebih diutamakan bagaimana masingmasing desa dapat memperoleh proyek. “Waktu kita meminta SD di Wangisagara untuk diprioritaskan, dari Camat “ betul ini layak dibangun, betul proyek ini mendesak untuk dilaksanakan, tapi ada desa-desa yang belum dapat, maka desa ini untuk usulan ini didahulukan, kalo desa wangisagara diprioritaskan untuk proyek lain, mungkin tahun depan desa Wangisagara bisa proyek ini lagi…jadi kriterianya pemerataan.” (penuturan Kepala Desa Wangisagara). “Untuk tahun 2003, kami juga mau mengusulkan jalan, karena masih banyak, tapi pada kenyataannya, berdasarkan arahan Pak Camat, supaya yang belum kebagian jalan bisa dapat, karena Majalaya 2002 sudah, jadi dialihkan nah skala prioritasnya untuk pendidikan” (penuturan Kepala Desa Majalaya). “eh ulah salah, pas diskusi UDKP…wah rame, popolototan…nya si lurahlurah!…”Pan kamari desa ieu pan nggeus kabagean… desa urang nu acan…(eh jangan salah, ketika diskusi UDKP… wah ramai, saling memolototi” (ilustrasi untuk situasi yang tegang) … ya para Kepala Desa… tahun kemarin kan desa ini sudah kebagian (proyek)… desa sya yang belum) (penuturan Kasi Informasi Kecamatan Majalaya). Selain kriteria pemerataan, kriteria kemendesakan dan tingkat kepentingan dari suatu usulan terhadap usulan lain merupakan dasar yang digunakan untuk menentukan prioritas usulan. Namun karena kriteria ini sangat abstrak dan tidak terukur sehingga dalam menentukan usulan mana yang lebih penting dari usulan yang lain sangat dipengaruhi kapasitas seseorang untuk meyakinkan orang-orang bahwa usulan yang satu lebih penting dari usulan lain. Camat memiliki peranan penting dalam menilai tingkat kemendesakan dan kepentingan dari suatu usulan. Dari hasil pembahasan dapat FPPT Kecamatan, kemudian usulan-usulan Desa direkapitulasi ulang dengan memperhatikan urutan usulan-usulan. Pada dasarnya tidak ada usulan yang coret atau tidak diusulkan, semua usulan desa ditambah dari kecamatan diusulkan selurunya ke tingkat Kabupaten. Hasil rekapitulasi ulang ini pun kemudian yang dijadikan Daftar Skala Prioritas Usulan Proyek Kecamatan.
131
Tabel 4.2 Tahapan Pengambilan Keputusan dalam Penentuan Prioritas Usulan Program dan Proyek Pembangunan Kecamatan Fase
Tahapan
Aspek Substansi Proses
Pihak yang terlibat dan peran yang dilakukan
I
II
III
Pengumpulan Basis Informasi dan masukan
Rekapitulasi
Penilaian Usulan
Input masukan: - DSP Desa (Durep/Durek) - DSP Cabang Dinas dan Instansi
- Rekapitulasi Usulan proyek/kegiatan
- Aparat Kecamatan (Kasie. Perencanaan) mengumpulkan DSP Program/ Proyek Desa, dan dari Cabang dinas/instansi - Kepala Desa dan Kepala Cabang Dinas menyampaikan DSP
- Aparat Kecamatan (Kasie Perencanaan) merekapitulasi DSP usulan yang masuk. - Perangkat Kecamatan menentukan peserta FPPT Kecamatan dan mengundang calon peserta
- Menilai tingkat kepentingan dan kemendesakan usulan proyek dan kegiatan yang satu dengan yang lainnya - Kriteria yang digunakan: pemerataan - Kecamatan mengadakan FPPT Kecamatan. - Kapasitas Camat untuk memberi pengarahan dan memediasi konflik - perwakilan desa/undangan memberi pertimbangan dan argumentasi.
IV
Penentuan Urutan Usulan Menentukan prioritas Usulan Program dan proyek
- Camat memfasilitasi untuk mencapai kesepakatan. - Kasie Perencanaan melakukan finalisasi DSP hasil Kesepakatan FPPT Kecamatan
Sumber: Hasil Analisis.
Dari uraian diatas maka, proses pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas usulan proyek/kegiatan kecamatan dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, pengumpulan masukan dan informasi yang dilakukan oleh perangkat kecamatan serta melakukan rekapitulasi usulan. Kedua, penilaian usulan-usulan desa untuk membuat pemeringkatan usulan. Penilaian dilakukan dengan kriteria-kriteria utama: pemerataan, kemendasakan dan tingkat kepentingan usulan. Ketiga, tahapan finalisasi usulan yang merupakan rekapitulasi ulang usulan-usulan desa berdasarkan urutan usulan yang telah disepakati. Proses pengambilan keputusan dalam penentuan Daftar Skala Prioritas Usulan Program dan Proyek Kabupaten dilakukan pada pelaksanaan FPPT Daerah. Tahapan
132
pertama adalah dengan melakukan rekapitulasi usulan-usulan Kecamatan dan DIBALE (Dinas, Badan, dan Lembaga) terkait. Rekapitulasi usulan Kecamatan dan Dibale terkait dilakukan sepenuhya oleh Bapeda, oleh masing-masing Bidang Perencanaan yaitu bidang Fisik dan Prasarana, Bidang Sosial dan Budaya, dan Bidang Ekonomi. Tabel 4.3 Pembagian Sub-Sub Bidang Perencanaan di Lingkungan Bapeda Kabupaten Bandung Bidang Perencanaan Ekonomi Pertanian
Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana Tata Ruang
Bidang Perencanaan Sosial Keagamaan dan Kesejahteraan Sosial
Lingkungan Hidup
Industri, Pertambangan dan Energi
Pendidikan, Pemuda dan Olahraga
Permukiman
Perdagangan, Pariwisata, Koperasi dan UKM.
Pemerintahan
Transportasi
Investasi dan Pembiayaan Publik
Kependudukan dan Tenaga Kerja
Pengelolaan Sumber Daya Air
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 10 Tahun 2002
Selain mempersiapkan Rancangan Usulan Program/Kegiatan Tahun 2003 untuk dibahas pada FPPT Daerah. Bapeda menyusun Rancangan Arah dan Kebijakan Umum APBD dan Ancar-Ancar Pendapatan dan Alokasi Anggaran. Mengenai Rancangan Arah dan Kebijakan Umum APBD akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab berikutnya. Pada bab ini lebih difokuskan pada pembahasan tentang peroses pengambilan keputusan mengenai Prioritas Usulan Program dan Kegiatan tahun 2003. Pada pelaksanaan FPPT Daerah, sangat sulit untuk dapat merumuskan peringkat/prioritas usulan sehingga pada kesempatan itu lebih dititikberatkan pada penyepakatan kriteria untuk menyusun skala prioritas program/kegiatan. Namun demikian pada pelaksanaannya, peserta lebih cenderung untuk mengajukan usulan-usulan baru18. Sehingga pada kesempatan inipun tidak mampu diperoleh kesepakatan tentang kriteria maupun prioritas usulan. Namun untuk usulan prasarana jalan dan jembatan, usulanusulan kecamatan dan dinas telah diperingkatkan dengan kriteria-kriteria yang telah disusun oleh Bapeda yang meliputi:
18
Status fungsi jalan: -
Kolektor Primer 2/Arteri Sekunder/Kolektor Sekunder 1 (Nilai 3)
-
Lokal Primer 1/Kolektor Sekunder 2/ Kolektor Sekunder 3 (Nilai 2)
-
Lokal Primer 2/Lokal Sekunder 1/Lokal Sekunder 2 (Nilai 2)
Kebijakan Pemda
Laporan Hasil Diskusi Kelompok III FPPT Daerah Kabupaten Bandung 2002
133
-
Sektoral (Renstrada/Renstra Dinas/Instansi Teknis) (nilai 2)
-
Kewilayahan (Indikasi Program RTRW, RUTR, RDTRK) (nilai 1)
Program lanjutan (lanjutan/sisa program tahun sebelumnya) (nilai 2)
Aspirasi (Hasil FPPTK, FPPTD, Usulan Wakil Rakyat, dll) (nilai 2)
Oleh karena semua bidang perencanaan belum menyepakati kriteria-kriteria penilaian maka pembahasan tentang kriteria dan prioritas usulan per bidang perencanaan dilanjutkan setelah pelaksanaan FPPT Daerah. Sebagai tindak lanjut dari FPPT daerah ini, kemudian Bapeda mengundang kembali beberapa pihak untuk turut serta membuat kriteria penilaian usulan dan menyusun prioritas usulan kegiatan/program tahun 2003. Masing-masing bidang perencanaan
memfasilitasi
pembahasan
tersebut.
Pihak-pihak
yang
diundang
diantaranya: DIBALE terkait, perwakilan BPD, Kecamatan, organisasi masyarakat, dan LSM. Namun demikian pembahasan tersebut tidaklah sepenuhnya tuntas karena pada akhirnya para peserta pun kemudian menyerahkan kembali kepada Bapeda untuk menyusun prioritas program dan kegiatannya. Sehingga akhirnya penyusunan prioritas dilakukan oleh Bapeda bersama DIBALE terkait. Akhirnya untuk menentukan usulan sangat tergantung pada kebijakan pihak-pihak yang melakukan penilaian, “Pembahasan kriteria dan prioritas itu dilakukan setelah Rakorbang (FPPT Daerah) sebelum RAPBD. Waktu itu kita melibatkan stakeholder dan cukup lengkap ada LSM-nya, ada BPD, ada organisasi seperti kalo pendidikan itu PGRI, cukup lengkap. Waktu itu saya tantang, sudah jam tiga, ayo kumaha ieu acan anggeus…terus! Mereka sudah lelah terus mereka kemudian mereka bilang yah kita mah nyerahin ke Bapeda saja…. Ya akhirnya kita lagi kita lagi, Bapeda sama dibale terkait. Ya paling tidak kita sudah membuka kesempatan bagi mereka juga.” (penuturan Kepala Bidang Perencanaan Sosial Bapeda). “…sehingga ketika membuat prioritas mungkin tidak akurat, hal ini sangat disadari…” Pembahasan kriteria penilaian bukanlah hal yang mudah. Beberapa bidang yang sifatnya nonfisik cukup sulit untuk dibuat kriterianya. Sebagai contoh adalah Bidang Perencanaan Sosial, telah mencoba untuk membuat kriteria yang dapat menyaring usulan-usulan. Salah satunya kriteria yang sempat menjadi perdebatan keras adalah kriteria manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Kriteria ini sempat diusulkan oleh Bapeda namun kemudian diputuskan tidak digunakan karena apabila menggunakan kriteria ini banyak usulan yang tidak menjadi prioritas. “Dulu saya dan bersama Bidang Monev bikin kriteria untuk membuat prioritas pada bidang sosial,… salah satunya adalah kriteria manfaat langsung dirasakan oleh masyarakat, wah waktu kriteria ini diusulkan rame tuh debat antara TRW dengan J dari setda, karena kalau kriteria ini digunakan banyak proyek mereka yang dibabat”, (penuturan salah seorang staff Bidang Perencanaan Sosial).
134
Dari hasil penyusunan prioritas program/kegiatan tahun 2003, kemudian akan dijadikan sebagai bahan penyusunan APBD, terutama penyusunan RASK sebagai salah satu tahapan sebelum menyusun RAPBD. Penyusunan APBD akan dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.
Tabel 4.4 Tahapan Pengambilan Keputusan dalam Penentuan Prioritas Usulan Program/Proyek Pembangunan Kabupaten Fase
I
Pengumpulan Basis Informasi dan masukan
Tahapan
Aspek Substansi Proses
Pihak yang terlibat dan peran yang dilakukan
II
III
IV
V
Rekapitulasi
konsultasi publik Hasil rekap dan rancangan kebijakan
Konsultasi Perumusan Kriteria Penilaian
Penilaian Usulan dan Penetapan Prioritas Usulan
- DSP Kecamatan. - DSP DIBALE - Dokumen Strategis Daerah
- Rekapitulasi Usulan proyek/ kegiatan Kecamatan dan DIBALE. - Rancangan kebijakan pembangunan
- Kecamatan dan DIBALE menyampai kan DSP/ prioritas usulannya - Bapeda mengumpulkan DSP dan Prioritas Usulan serta dokumen strategis daerah.
- MasingMasing Bidang Perencanaan Bapeda merekapitulasi usulan per bidang perencanaan - Bidang Monitoring dan Evaluasi menyusun rancangan kebijakan pembangunan
- Menyampai kan hasil rekap usulan dan rancangan dalam FPPT Daerah. - Memnita masukan dan tanggapan publik - Bapeda penyelengga ra FPPT Daerah. - Bapeda mempersiap kan materimateri - Undangan (DIBALE maupun masyarakat) memberikan tanggapan dan masukan
- Perumusan Kriteria untuk menilai Usulan dan membuat urutan prioritas usulan.
Penyusunan Prioritas Program/ Kegiatan Pembangunan Tahun 2003
- Masingmasing Bidang Perencanaan Bapeda membuat tawaran kriteria. - Masyarakat yang diundang memberikan tanggapan dan masukan - DIBALE memberikan tanggapan dan masukan
- Bapeda memimpin dan memfasilita si proses penyusunan Prioritas Usulan - DIBALE terkait terlibat dalam proses penilaian.
Sumber: Hasil analisis.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tahapan pengambilan keputusan dalam penentuan prioritas usulan program/kegiatan tahun 2003 di tingkat kabupaten melalui beberapa tahapan. Pertama, pengumpulan aspirasi dan rekapitulasi usulan baik
135
dari Kecamatan maupun Dibale Kabupaten. Kedua, sosialisasi publik untuk meminta tanggapan dan masukan dari publik terhadap rancangan usulan program dan kegiatan. Ketiga, perumusan kriteria penilaian yang dilakukan bersama berbagai pihak yang dipimpin oleh Bapeda. Kelima, penilaian dan penentuan prioritas usulan yang melibatkan DIBALE terkait dan dipimpin oleh Bapeda.
4.4.4
Distribusi Kekuasaan dalam Pengambilan Keputusan Dari uraian-uraian sebelumnya, pihak-pihak yang memiliki peranan penting dan
sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bapeda memiliki peranan penting dalam menentukan aspirasi mana yang dapat dibahas lebih lanjut atau tidak. Hal ini disebabkan karena semua usulan yang masuk baik yang berasal dari penjaringan aspirasi oleh Kecamatan maupun oleh Dinas, akan direkapitulasi oleh Bapeda. Dalam penyusunan prioritas usulan program/kegiatan, meskipun Bapeda melibatkan DIBALE lain dan masyarakat namun tetap Bapeda yang memainkan peranan yang penting dalam proses penentuan prioritasnya. 2. Dalam proses penyampaian aspirasi di tingkat Kecamatan, Kepala Desa tetap memerankan peranan penting.
Inisiatif-inisitif tentang program atau proyek
yang diusulkan sebagian besar berasal dari inisiatif Kepala Desa. Kepala Desa pun bisa menentukan siapa saja yang akan dilibatkan dalam proses perumusan usulannya. Hal ini diperkuat oleh statusnya sebagai pemimpin di tingkat desa dan memiliki dasar hukum yang mengakui statusnya. Lain halnya dengan kelompok-kelompok yang bersifat sektoral (isu) sebagian besar basisnya adalah kelompok-kelompok non formal yang menjadikannya kendala untuk mengikutsertakan mereka dalam perencanaan tahunan. Oleh karena itu dalam
mekanisme
perencanaan
pembangunan
tahunan
keterwakilan
kepentingan wilayah secara relatif lebih terwakili dibandingkan kepentingan sektoral/lintas wilayah. 3. Camat, secara personal oleh karena poisisinya sebagai pemimpin di tingkat kecamatan memiliki pengaruh dalam memediasi konflik yang terjadi dalam proses penentuan prioritas usulan Kecamatan. Namun secara kelembagaan, kecamatan memiliki posisi yang lemah karena di satu sisi Kecamatan sebagai pihak yang memiliki tugas dalam melakukan perencanaan (penjaringan aspirasi) namun tidak memiliki kewenangan dalam hal merealisasikan usulan, sehingga seringkali Kecamatan berada dalam posisi yang terjepit, di satu sisi masyarakat selalu meminta pertanggungjawaban atas realisasi usulan yang diajukan, namun di lain pihak, Kecamatan tidak memiliki kewenangan yang
136
dapat menjamin terealisasinya usulan tersebut. Kewenangan Kecamatan adalah menjalankan fungsi administratif pemerintahan sehingga peran vitalnya dalam mekanisme perencanaan ini adalah melakukan pengkoordinasian usulan di tingkat Kecamatan.
BAB 5 TAHAPAN PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DI KABUPATEN BANDUNG
Bab ini akan menjelaskan tentang tahapan dan dinamika penyusunan APBD tahun 2003 di Kabupaten Bandung. Pembahasan dibagi menjadi dua bagian: pertama, akan dibahas terlebih dahulu tentang proses yang terjadi dalam setiap tahapan-tahapan penyusunan APBD dari penyusunan AKU dan STRATAS APBD, penyusunan dan penilaian RASK, pembahasan dan penetapan APBD dan pasca APBD. Dalam masingmasing tahapan tersebut akan digambarkan ilustrasi proses pelaksanaanya dan pelakupelaku yang terlibat di dalamnya. Kedua, akan dibahas tentang aspek keterwakilan, modus partisipasi, proses pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Bagian ini merupakan kesimpulan atas kajian yang dilakukan terhadap proses penyusunan APBD berdasarkan empat aspek diatas.
5.1 Mekanisme Penyusunan APBD Kabupaten Bandung Tahun 2003 Pembahasan pada bagian mekanisme penyusunan APBD Kabupaten Bandung Tahun 2003 akan dijelaskan dalam empat bagian. Pada bagian pertama akan dijelaskan tentang penyusunan Arah dan Kebijakan Umum dan Strategi dan Prioritas APBD. Bagian kedua dilanjutkan dengan pembahasan tentang proses penyusunan RASK dan penilaian RASK dalam rangka menyusun Rancangan APBD yang akan disampaikan kepada DPRD. Pada bagian ketiga akan dijelaskan mengenai proses pembahasan RAPBD dan Penetapan APBD yang akan ditutup dengan penjelasan mengenai proses yang terjadi pasca penetapan APBD.
5.1.1
Penyusunan Arah dan Kebijakan Umum dan Strategi dan Prioritas APBD Penyusunan arah dan kebijakan umum APBD termasuk kategori formulasi
kebijakan anggaran yang menjadi anggaran berkaitan dengan analisa fiskal. Arah dan Kebijakan Umum APBD memuat petunjuk dan ketentuan-ketentuan umum yang disepakati sebagai pedoman dalam penyusunan APBD. Kebijakan anggaran yang dimuat dalam Arah dan Kebijakan Umum APBD menjadi dasar penilaian kinerja keuangan Daerah selama satu tahun anggaran. AKU APBD disusun secara bersama-sama oleh Pemerintah Daerah dan APBD. Hasil Kesepakatan mengenai Arah dan Kebijakan Umum APBD selanjutnya dituangkan dalam suatu Nota Kesepakatan yang ditandatangani bersama antara Pemerintah Daerah dan APBD. Strategi dapat dipandang sebagai suatu pendekatan, metoda atau teknik pemanfaatan sumberdaya manusia, dana, dan atau teknologi untuk mencapai suatu
138
target kinerja melalui hubungan efektif antara sumberdaya manusia, teknologi dan lingkungannya. Strategi berkaitan dengan suatu tujuan, kebijakan, program, kegiatan dan alokasi sumber daya yang menyatakan sesuatu yang akan dikerjakan dan mengapa hal tersebut harus dikerjakan. Prioritas merupakan suatu upaya mendahulukan atau mengutamakan sesuatu daripada yang lain. Prioritas adalah suatu proses dinamis dalam pembuatan keputusan atau tindakan yang pada saat tertentu dinilai paling penting dengan dukungan komitmen untuk melaksanakan keputusan tersebut. Strategi dan Prioritas APBD dalam penganggaran daerah merupakan termasuk kategori perumusan kebijakan anggaran yang disusun berdasarkan Arah dan Kebijakan Umum APBD. Perumusan Strategi dan Prioritas APBD umumnya dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah dalam pencapaian Arah dan Kebijakan Umum APBD. Proses penyusunan APBD tahun 2003 merupakan tahap transisi dari proses penyusunan gaya lama menuju penyusunan anggaran yang berbasis kinerja. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya masih banyak kendala-kendala yang dirasakan. Dalam penyusunan Arah dan Kebijakan Umum APBD sebagai awal dari penyusunan APBD yang berbasis anggaran kinerja, proses perumusannya pun dilakukan melalui beberapa tahapan hingga mencapai hasil yang disepakati oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. Permasalahan-permsalahan tersebut lebih disebabkan karena belum adanya preseden penyusunan Arah dan Kebijakan Umum APBD selama ini. Rancangan Arah dan Kebijakan Umum APBD pertama kali disusun oleh tim Bapeda yang perumusannya dilakukan sebelum pelaksanaan FPPT Daerah. Rancangan Arah dan Kebijakan Umum tersebut kemudian akan disampaikan pada pelaksanaan FPPT Daerah untuk meminta tanggapan dan masukan dari peserta FPPT Daerah dan akan dijadikan bahan pembahasan lebih lanjut bersama dengan DPRD. Dalam kesempatan tersebut kesepakatan formal tentang AKU dan Strategi dan Prioritas APBD tidak dapat dicapai, melainkan lebih ditekankan pada penyepakatan aspirasi yang akan menjadi dasar lebih lanjut pada pembahasan-pembahasan berikutnya. “Jadi rakorbang teh ketika menyepakati AKU bukan menyepakati formal, melainakan menyepakati aspirasi. Jadi aspirasi untuk AKU dan STRATAS‌ setuju ngga dengan kebijakan ini? Ka masyarakat. Masyarakat kan teu bisa merumuskan kebijakan itu, jadi BAPEDA yang ngelontarin‌.nu ceuk saya karosong tea (merujuk pada format yang dibagikan kepada peserta untuk mengetahui besaran alokasi per bidang). Padahal disitu kan menyepakati alokasi anggaranâ€?, (penuturan Kabid Fisik dan Prasarana Bapeda Kabupaten Bandung). Rancangan pertama disusun dari penurunan Renstra Kabupaten Bandung. Dari hasil penurunan kebijakan-kebijakan pembangunan Renstra Kabupaten Bandung, Kegiatan-kegiatan yang ada di Renstra didaftar dan kemudian dari masing-masing
139
penurunan kegiatan tersebut dibobotkan untuk memperoleh prioritas dari kegiatankegiatan tersebut. Kriteria yang digunakan pada saat pembobotan kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya adalah murni barang publik dan merupakan kewenangan Kabupaten.
Rancangan
pertama
ini
disampaikan
dalam
Forum
Perencanaan
Pembangunan Tahunan Daerah (FPPT Daerah). Pada kesempatan itu juga, Bapeda menyampaikan ancar-ancar alokasi anggaran per Bidang untuk ditanggapi oleh peserta. Penyepakatan ancar-ancar alokasi per bidang merupakan bagian dalam penyusunan AKU dan STRATAS lebih lanjut. Kesepakatan tentang ancar-ancar alokasi dana per bidang akan menentukan prioritas bidang. Dalam rangka menyusun Arah dan Kebijakan Umum APBD, eksekutif meminta DPRD untuk menyampaikan Pokok-Pokok Pikiran DPRD dengan surat Bupati Nomor: 903/2343/Bapeda tertanggal 15 Oktober 2002. Menanggapai surat Bupati ini, DPRD kemudian menyampaikan Pokok-Pokok Pikiran DPRD Kabupaten Bandung tentang RAPBD tahun 2003, tertanggal 30 Oktober 2002. Pokok-pokok Pikiran DPRD terdiri dari 15 pokok pikiran, yang kemudian menjadi bahan bagi eksekutif untuk merumuskan Rancangan Arah dan Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bandung Tahun 2003. Setelah memperoleh pokok-pokok pikiran DPRD, kembali eksekutif mengolah rancangan Arah dan Kebijakan umum APBD 2003 dengan memadukan bahan-bahan yang dimiliki oleh eksekutif bersama dengan Pokok-pokok pikiran DPRD. Rancangan kedua ini kemudian diajukan kepada DPRD untuk dibahas dan disepakati sebagai Arah dan Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bandung. Ketika rancangan ini disampaikan untuk dibahas, reaksi anggota DPRD adalah menganggap pembahasan kebijakan adalah tidak perlu melainkan langsung ke pembahasan per sektor dan per program (aspek detil). “ketika kita mengajukan rancangan AKU APBD ke DPRD, dari Dewan…ya udahlah itu mah gampang, langsung masuk ke pembahasan DPRD aja. Dewan menginginkan langsung ke pembahasan DPRD, kita juga sempat hampir keikut, tapi kita tetap memaksa bahwa kita harus mengikuti aturan… akhirnya mereka bersedia untuk membahas AKU juga.” (Penuturan staff Bidang Monitorang dan Evaluasi Bapeda Kabupaten Bandung) Sebelum diajukan kepada DPRD, Tim Penyusun Anggaran Eksekutif melakukan beberapa persiapan. Bapeda sebagai pihak yang berkontribusi atas berbagai masukan kebijakan mengajukan rancangan AKU dan STRATAS. Dalam rangka melakukan persiapan-persiapan penyusunan APBD, pada tanggal 21 Nopember 2002 dilaksanakan rapat Tim Penyusun Anggaran yang difasilitasi oleh Bapeda dan diselenggarakan di 1
Ruang Rapat Bapeda Kabupaten Bandung . Pada rapat tersebut, acara diagendakan
1
Surat Undangan Nomor 005/2724/Bapeda
140
untuk membahas pembagian tugas TPA, penyamaan persepsi AKU, Persiapan Penilaian RASK DIBALE, dan pembahasan jadwal. 2
Pada rapat Tim Penyusun Anggaran tersebut diperoleh empat kesepakatan . Pertama, pembagian tugas tim yang berkaitan dengan penyusunan APBD. Kedua, rancangan AKU akan disampaikan oleh BAKD kepada DPRD Kabupaten Bandung yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 Nopember 2002. Adapun koreksi terhadap materi AKU masih dimungkinkan disampaikan kepada Bapeda paling lambat pada tanggal 22 Nopember 2002. Pada penyampaian rancangan AKU tersebut akan dilampirkan juga rancangan Strategi dan Prioritas APBD 2003 dan Daftar Skala Prioritas. Ketiga, dalam rangka memberikan wawasan kepada seluruh tim akan disampaikan penjelasan mengenai proses penyusunan RASK oleh BAKD sebagai antisipasi pelaksanaan penilaian RASK DIBALE yang akan dilakukan oleh TPA. Keempat, rancangan jadwal kegiatan. Setelah disampaikan kepada DPRD oleh Tim Penyusun Anggaran Eksekutif, Rancangan Nota Kesepakatan tentang AKU di tingkat DPRD dibahas dalam Rapat 3
Panitia Musyawarah . Rapat Panmus dilaksanakan setelah adanya surat dari Bupati tentang pembahasan Rancangan Arah dan Kebijakan Umum APBD.
Selama
melaksanakan Rapat Panmus, Panmus melibatkan Tim Penyusun Anggaran Eksekutif untuk meminta penjelasan dan klarifikasi serta menyampaikan tanggapan-tanggapannya. Setelah melalui beberapa pembahasan dan perbaikan akhirnya tercapailah kesepakatan tentang Arah dan Kebijakan Umum
APBD yang
dituangkan
dalam
Nota Kesepakatan Antara DPRD Kabupaten Bandung dengan Pemerintah Kabupaten 130 842-UM
Bandung Nomor : 201/04-HUK/2002 tentang Arah dan Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2003 yang ditandatangani secara bersama antara Ketua DPRD dengan Bupati Bandung pada tanggal 16 Desember 2003. Setelah disepakatinya Arah dan Kebijakan Umum APBD, Bupati Bandung menindaklanjutinya dengan menyusun Strategi dan Prioritas APBD dengan ditetapkan melalui Keputusan Bupati Tentang Strategi dan Prioritas APBD yang disahkan pada tanggal 17 Desember 2003. Arah dan Kebijakan APBD dan Strategi dan Prioritas APBD menjadi landasan dalam penyusunan RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja). Strategi
2
Lampiran Nota Dinas Nomor 400/919/Bapeda dari Kepala Bapeda Kabupaten Bandung kepada Sekretaris Daerah Kabupaten Bandung tanggal 21 Nopember 2002. Panitia Musyawarah (Panmus) DPRD adalah alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap, dibentuk oleh DPRD pada permulaan masa keanggotaan DPRD. Tugas dari Panmus adalah (1) untuk memberi pertimbangan atau saran kepada pimpinan DPRD tentang penetapan rencana kerja DPRD dalam acara rapat serta pelaksanaanya; (2) menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD; (3) memutuskan pilihan mengenai risalah rapat apabila timbul perbedaan pendapat; (4) memberi saran dan pendapat kepada pimpinan DPRD untuk memperlancar segala pembicaraan atas dasar musyawarah untuk mufakat; (5) Bermusyawarah dengan Bupati mengenai hal yang berkenaan dengan penetapan acara serta pelaksanaannya apabila dianggap perlu oleh DPRD; dan (6) merumuskan materi untuk bahan penyusunan keputusan pimpinan DPRD. Rapat Panmus adalah rapat anggota panitia musyawarah dan dipimpin oleh Pimpinan Panitia Musyawarah. 3
141
dan Prioritas adalah penerjemahan lebih lanjut dari AKU APBD. Penyusunan Strategi dan Prioritas dilakukan oleh Tim Penyusun Anggaran Eksekutif. Penyusunan Anggaran Kinerja Berbasis Kinerja menekankan adanya konsistensi dalam setiap tahapan pelaksanaanya, artinya satu tahapan mengikuti tahapan sebelumnya dan demikian seterusnya. Namun dalam proses penyusunan APBD Kabupaten
Bandung
Tahun
2003,
ditemui
beberapa
ketidakkonsistenan
dari
penyelenggaraan prosesnya. Pada tahap penyusunan AKU dan STRATAS APBD, rancangan yang disampaikan pada FPPT Daerah berbeda dengan yang menjadi Kesepakatan antara Pemerintah Daerah dan DPRD. “justru inkonsistensinya keliatan…. Ada yang disepakati di AKU… jadi AKU dan Stratas di Rakorbang (FPPT Daerah) dengan yang disepakati dewan beda, komo deui kadituna, tapi dari AKU dan STRATAS yang disepakati Dewan, terus ke RASK sampai APBD sudah mulai menunjukkan konsistensi, hanya di rakorbang yang acan,… karena intervensi dewan banyak disini...”, (Penuturan Kabid Fisik dan Prasarana Bapeda Kabupaten Bandung). Selama berinteraksi dengan DPRD dalam merumuskan Arah dan Kebijakan Umum APBD, di sisi eksekutif telah dibentuk tim yang disebut sebagai Tim Penyusun Perubahan dan Perhitungan APBD Kabupaten Bandung tahun 2002, selanjutnya tim ini disebut sebagai Tim Penyusun Anggaran Eksekutif. Tim ini dibentuk dan disahkan dengan Keputusan Bupati Bandung Nomor 941/Kep. 601A – BAKD/2002. Anggota kepanitian dipilih atas dasar posisi jabatannya pada DIBALE terkait. Adapun Struktur Kepanitiaan Anggaran Eksekutif, terdiri dari:
Penanggung jawab : Bupati.
Wakil Penanggung Jawab: Wakil Bupati.
Tim Pengarah yang terdiri dari: -
Ketua
: Sekretaris Daerah
-
Wakil Ketua I
: Kepala Bapeda
-
Wakil Ketua II
: Kepala Dinas Pendapatan Daerah
-
Sekretaris
: Kepala Badan Administrasi Keuangan Daerah
-
Wakil Sekretaris
: Sekretaris DPRD
-
Anggota
:
a. Asisten Tatapraja b. Asisten Ekonomi Pembangunan c. Asisten Administrasi
Tim Pelaksana : -
Ketua
: Sekretaris Bapeda
-
Wakil Ketua
: Sekretaris BAKD
-
Sekretaris
: Kepala Bidang Anggaran pada BAKD
142
-
Wakil Sekretaris
: Kepala Bidang Monitoring dan Evaluasi pada BAKD
-
Anggota
:
a. Kepala Bagian Pembangunan b. Kepala Bagian Organisasi c. Kepala Bagian Hukum d. Kepala Bidang Akuntansi pada BAKD e. Kepala Bidang Verifikasi pada BAKD f. Kepala
Bagian
Perbendaharaan
pada
BAKD g. Kepala Bidang Pengelolaan Aset Daerah pada BAKD h. Kepala
Bidang
Penelitian
dan
Pengembangan pada Bapeda i. Kepala Bidang
Perencanaan Ekonomi
pada Bapeda j. Kepala Bidang Perencanaan Sosial pada Bapeda k. Kepala Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana pada Bapeda l. Kepala
Subdin
Perencanaan
dan
Pengendalian Operasional pada Dipenda. Apabila Tim Penyusun Anggaran Eksekutif baru terbentuk dengan Surat Keputusan Bupati, Panitia Anggaran DPRD telah terbentuk sebelumnya. Menurut Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten Bandung berdasarkan Keputusan DPRD Kabupaten Bandung Nomor 12 Tahun 1999, Panitia Anggaran adalah alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada permulaan masa keanggotaan DPRD. Panitia Anggaran terdiri dari pimpinan DPRD, wakil dari setiap fraksi yang duduk dalam komisi-komis. Adapun komposisi jumlah anggota Panitia Anggaran dari fraksifraksi memperhatikan perimbangan jumlah kursi dari masing-masing fraksi. Susunan keanggotaan Panitia Anggaran ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD. Meskipun Tim Penyusun Anggaran Eksekutif terdiri dari beberapa DIBALE yang terkait dengan penyusunan anggaran namun Bapeda tetap memegang peranan penting dalam setiap prosesnya. Dominannya peranan Bapeda dalam proses penyusunan Bapeda karena sesuai dengan Perda No. 10 Tahun 20024, Bapeda memiliki tugas pokok untuk membantu Bupati dalam merumuskan dan menentukan kebijaksanaan teknis di bidang perencanaan daerah yang meliputi perencanaan ekonomi, perencanaan sosial, 4
Peraturan Daerah Tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bandung
143
perencanaan fisik, penelitian dan pengembangan, monitoring dan evaluasi serta melaksanakan ketatausahaan Badan. Dengan latar belakang tugas pokok ini, maka perwakilan Bapeda pada Tim Penyusun Anggaran memainkan peranan penting dalam perumusan dan pembahasan yang bersifat substansial dan menyangkut kebijakan pembangunan. “ Bapeda… Tim Penyusunan Anggaran… leading sektor disini…sampai disini (menunjuk gambar penyusunan AKU dan Stratas) adalah Bapeda, kalo udah bicara ini, TPA khusunya timnya banyak, tapi leading sektornya dua… Bapeda jeung BAKD… ini juga TPA tapi hampir sembilan puluh persen Bapeda”. “ Kalo BAKD kan administrasi keuangan , ya kalo teori dasarnya sekali Bapeda kabeh, artinya bidang anggaran di BAKD di Bapeda kuduna dipindahkeun ke Bapeda, tapi walau secara teoritis kudu di Bapeda, tapi kabayang betapa beratnya, bukan hal yang mudah”, (Penuturan Kabid Fisik dan Prasarana Bapeda). Oleh karena Tim Penyusun Anggaran Eksekutif (TPA) baru terbentuk pada tanggal 22 Oktober 2002, maka sebelum terbentuknya TPA secara definitif, Bapeda yang memainkan peranan yang dominan. Pembahasan hasil FPPT Daerah (penyusunan DSP), rancangan AKU dan STRATAS APBD sepenuhnya menjadi tanggung jawab BAPEDA. Namun demikian walaupun peranan Bapeda cukup dominan pada tahapan ini, dalam beberapa pembahasannya tetap melibatkan DIBALE terkait. Setelah disepakati, Arah dan Kebijakan Umum dan Strategi dan Prioritas APBD, kemudian disosialisasikan kepada seluruh DIBALE di lingkungan Kabupaten Bandung. Berdasarkan acuan tersebut kemudian masing-masing DIBALE menyusun Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK). Penyusunan RASK merupakan tahapan sebelum dilakukan pembahasan RAPBD antara eksekutif dan legislatif.
5.1.2
Penyusunan dan Penilaian Rencana Anggaran satuan Kerja Rencana Anggaran Satuan Kerja merupakan dokumen yang memuat rancangan
anggaran Unit Kerja sebagai dasar penyusunan rancangan APBD. Berdasarkan Rencana Anggaran Satuan Kerja yang disampaikan oleh setiap Unit Kerja, Tim Anggaran Eksekutif mengevaluasi dan menganalisis: (1) kesesuaian antara rancangan anggaran unit kerja dengan program dan kegiatan yang direncanakan unit kerja, (2) kesesuaian program dan kegiatan berdasarkan tugas pokok dan fungsi unit kerja, (3) kewajaran antara anggaran dengan target kinerja berdasarkan Standar Analisa Belanja (SAB) yang telah diperhitungkan. Tahap penyusunan RASK oleh DIBALE merupakan tahapan yang cukup berliku. Penyusunannya pun berulang-ulang dan sangat memakan waktu. Hal ini disebabkan karena pada saat penerapan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 pada penyusunan APBD
144
di Kabupaten Bandung belum didukung oleh beberapa alat pendukung. Alat-alat pendukung yang harus dipenuhi adalah meliputi: adanya standar harga, manual keuangan daerah dan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Karena ketiadaan alat pendukung ini, pada akhirnya menimbulkan berbagai kerancuan dan ketidaksamaan persepsi antar DIBALE dalam menyusun RASK. “Ketika penyusunan RASK itu sangat melelahkan, kita sampai menghabiskan berapa rim kertas. Nggeus jadi….rubah deui… terus gitu, sampe kita ngga bisa pulang”, (penuturan Kabid Perencanaan Ekonomi Bapeda). “Kerancuan dalam penyusunan APBD kita adalah karena belum adanya beberapa kelengkapan pendukung. Idealnya penyusunan APBD ini telah dilengkapi dengan standar harga, manual keuangan daerah dan menkanisme pengadaan barang dan jasa”, (penuturan Kabid Litbang Bapeda). Kerancuan juga terjadi pada pendefinisian antara belanja aparatur dengan belanja pelayanan publik. Salah satu contohnya adalah gaji guru apakah termasuk dalam belanja aparatur atau belanja publik. Di satu pihak ada yang memasukkan kedalam belanja aparatur, di lain pihak ada yang memasukkan ke dalam belanja publik. Gaji guru dimasukkan kedalam belanja aparatur karena masih menggunakan pola pendekatan lama yang membagi pengeluaran menjadi belanja rutin dan belanja pembangunan, gaji guru termasuk kedalam belanja rutin. Namun apabila berdasarkan anggaran kinerja, gaji guru termasuk kedalam belanja pelayanan publik karena seorang guru langsung memberikan pelayanan kepada murid berupa pengajaran, oleh karena itu dimasukkan pada belanja pelayanan publik. Kerancuan dalam penyusunan RASK akan terlihat pada hasil RAPBD ketika semua anggaran belanja untuk Dinas Kesehatan seluruhnya termasuk ke dalam Belanja Publik. Hal ini dapat dipahami apabila logika yang digunakan adalah bahwa orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat seperti dokter dan perawat sehingga sangatlah wajar apabila dialokasikan dalam Belanja Publik. Namun untuk operasional Kantor Dinas Kesehatan seharusnya masuk ke dalam alokasi Belanja Aparatur karena Kantor Dinas Kesehatan menjalankan fungsi birokratis yang mendukung pelayanan kesehatan. Dengan pemikiran ini maka menjadi kontroversi apabila seluruh anggaran belanja Dinas Kesehatan dimasukkan dalam kelompok Belanja Publik. Dalam menyusun RASK, terdapat beberapa dasar pertimbangan yang digunakan oleh masing-masing DIBALE. AKU dan STRATAS
APBD yang ditetapkan menjadi
landasan pertama dalam penyusunan APBD. Selain AKU dan Strategi Prioritas APBD, Renstra DIBALE dan hasil penjaringan aspirasi aspirasi baik yang dilakukan oleh DIBALE yang bersangkutan maupun hasil pemeringkatan aspirasi setelah pelaksanaan FPPT
145
Daerah. Masing-masing DIBALE dalam menyusun RASK harus mengacu pada visi dan misi, tupoksi (tugas pokok dan fungsi) serta tujuan dan sasaran DIBALE. Dari dasar tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam program dan kegiatan serta rancangan anggarannya. Program dan kegiatan disusun selain mengacu pada visi, misi dan tupoksi, dasar pertimbangan lain adalah hasil perumusan DSP Kabupaten yang dilaksanakan selama penyelenggaraan FPPT Daerah. Namun meskipun telah disusun prioritas usulan program dan kegitan, kebijakan tentang usulan-usulan mana yang dimasukkan dalam RASK sangat tergantung pada kebijakan DIBALE masing-masing. Biasanya hal ini banyak ditemui dalam DIBALE yang membidangi urusan-urusan non-fisik. Usulan-usulan fisik seperti jalan dan jembatan relatif terkontrol karena mendapat kontrol yang ketat dari Kecamatan. Indikasi adanya program dan kegiatan dalam RASK terlihat dari penuturan seorang anggota Tim Penyusun Anggaran yang terlibat dalam penilaian RASK DIBALE. Pada saat pemeriksaan dan penilaian masih banyak usulan-usulan program dan kegiatan yang tidak masuk prioritas sebelumnya, masuk kedalam RASK DIBALE. “Ketika pemeriksaan RASK DIBALE wah usulanya luar biasa sehingga perlu rasionalisasi, ya udah dicoretan wae, kalo ada yang diklarifikasikan kita tanya ke dinas yang bersangkutan, kalo tidak meyakinkan penjelasannya langsung dicoret… “susuganan wae bu bisa ditarima…” kan gitu mah ngagawekeun…”, (penuturan anggota Tim Penyusun Anggaran). “mungkin untuk usulan-usulan yang sifatnya non-fisik ya… kalo yang fisik seperti jalan dan jembatan mah agak susah karena dikontrol ketat oleh Kecamatan”, (Penuturan Kabid Litbang Bapeda Kabupaten Bandung). Selanjutnya, RASK dari seluruh DIBALE dikumpulkan untuk diperiksa dan dievaluasi oleh Tim Penyusun Anggaran. Pemeriksaan dan penilaian RASK ini dimaksudkan agar program dan kegiatan yang diajukan tetap memenuhi prinsip-prinsip anggaran kinerja dan disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya yang ada. Pada awalnya total anggaran program dan kegiatan yang diusulkan melalui RASK DIBALE mencapai jumlah yang sangat besar jauh diluar kemampuan APBD. Oleh karena itu perlu dilakukan rasionalisasi melalui penilaian RASK. Tahap pertama adalah penilaian RASK oleh TPA. Seluruh usulan program dan kegiatan diperiksa oleh TPA. Pada tahapan ini dilakukan pencoretan usulan-usulan yang diajukan oleh DIBALE yang dianggap tidak prioritas. Dasar pencoretan adalah dari pemahaman dari pihak yang menilai tentang usulan-usulan yang tidak layak untuk dibiayai oleh APBD. Apabila ada suatu usulan yang meragukan maka Tim akan meminta klarifikasi kepada DIBALE yang bersangkutan. “Kita mencoret usulan-usulan yang tidak perlu…seperti… masa ada dinas yang mengusulkan lomba balita, lomba lansia… lah coret wae usulan yang seperti ini… moal aya balita nu nepi ka maot lamun teu aya proyek ieu. Dari namanya bisa kita coret kecuali bila ada proyek yang tidak kita
146
ketahui tingkat kepentingannya maka kita minta klarifikasi ke dinas yang bersangkutan”, (wawancara dengan Kabid Perencanaan Ekonomi). Apabila dari hasil pencoretan usulan ternyata program dan kegiatan yang diusulkan masih terlalu besar maka penilaiannnya dilakukan dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu yang disepakati oleh Tim Panitia Anggaran. Namun apabila masih belum berhasil juga mencapai hasil yang maksimal maka keputusan lebih lanjut diserahkan kepada kebijakan Bupati. “pertama kita tapis dengan melihat usulan-usulan dalam RASK, kita dapat segini, terus kita tapis lagi dengan menggunakan kriteria, dapat lagi segini kalau kita sudah mentok kita serahkan ke Bupati. Bupati menetapkan …dinas ieu sakieu!… udah besoknya kita berikan ke dinas-dinas hasil tersebut biar dinas yang ngerubahnya sendiri”, (wawancara dengan Kabid Perencanaan Ekonomi). Dalam menentukan alokasi per DIBALE, sangat tergantung pada kebijakan dan keputusan dari Bupati. Dasar penentuan alokasinya pada dasarnya dari pengalaman alokasi anggaran pada tahun sebelumnya dengan ditambah pertimbangan-pertimbangan dari tim panitia anggaran maupun DIBALE yang bersangkutan. DIBALE yang dapat meyakinkan bahwa bahwa apa yang diusulkan adalah sangat mendesak akan menjadi pertimbangan lain dari Bupati. “penetapan kebijakan berdasarkan historisnya,…”oh kemarin dinas A sabaraha? Wah gede teuing…kurangan sakieu juta! Dinas ieu sabaraha? Tambah…!”, (penuturan Kabid Litbang Bapeda) “Alokasi anggaran ditetapkan dengan pengalaman historis kan lucu itu…”, (Staff Bidang Perencanaan Ekonomi Bapeda kabupaten Bandung). Walaupun kebijakan tentang alokasi per DIBALE sangat dipengaruhi oleh keputusan subjektif dari Bupati,
namun hal ini dapat dipahami dikarenakan adanya
kebutuhan untuk merasionalisasikan usulan yang masuk dengan kemampuan sumber daya keuangan daerah yang terbatas. Pengambilan keputusan yang lebih menekankan pada kebijakan dan keputusan subjektif lebih disebabkan karena mekanisme yang ada belum mampu bekerja secara optimal untuk menyaring usulan-usulan secara rasional dan terukur. Dari hasil penilaian RASK dan kebijakan alokasi anggaran maka disusunlah Rancangan APBD yang akan disampaikan oleh Bupati kepada DPRD untuk dibahas lebih lanjut. Bupati akan menyampaikan Nota Keungan Eksekutif yang dilampiri Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, dan Rancangan APBD. Nota Keuangan terdiri dari Kondisi dan Kebijakan Anggaran Pendapatan Daerah, Kondisi dan Kebijakan Anggaran Belanja Daerah, dan Kondisi dan Kebijakan Anggaran Pembiayaan, serta Program dan Kegiatan.
147
Tabel 5.1 Rancangan Total Belanja APBD Kabupaten Bandung 2003 Bidang Administrasi Umum Pemerintahan
Belanja Aparatur
Belanja Publik
Total Belanja
136.726.765.000
46.218.593.229
182.945.358.229
Pertanian
13.189.874.000
4.736.935.000
17.926.809.000
Perindustrian dan Perdagangan
10.139.878.000
3.058.800.000
13.198.678.000
2.391.667.000
802.000.000
3.193.667.000
864.445.000
-
864.445.000
7.055.555.000
1.645.883.000
8.701.438.000
-
59.595.700.000
59.595.700.000
434.875.000
491.262.993.000
491.697.868.000
2.431.838.000
2.150.000.000
4.581.838.000
Pemukiman
12.860.205.000
6.294.205.000
19.154.410.000
Pekerjaan Umum
11.532.645.000
59.466.268.000
70.998.913.000
Perhubungan
6.412.056.300
1.422.551.700
7.834.608.000
Lingkungan Hidup
6.190.914.000
7.060.041.800
13.250.955.800
Kependudukan
3.726.808.000
1.000.000.000
4.726.808.000
Kepariwisataan
1.283.677.000
1.294.000.000
2.577.677.000
Perkoperasian Penanaman Modal Ketenagakerjaan Kesehatan Pendidikan dan kebudayaan Sosial
Sumber: Bapeda Kabupaten Bandung 2003
5.1.3
Pembahasan Rancangan APBD dan Penetapan APBD Proses Pembahasan Rancangan APBD antara eksekutif dan legislatif diawali
dengan penyampaian Nota Keuangan Eksekutif kepada DPRD. Sebelum Nota Keuangan 5
disampaikan oleh Bupati kepada DPRD, DPRD menetapkan Keputusan DPRD tentang Anggaran Belanja DPRD dan Anggaran Sekretariat DPRD yang kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dimasukkan dalam RAPBD sebelum disampaikan dalam Nota 6
Keuangan Bupati . Setelah memperoleh masukan tetang Keputusan DPRD tentang Anggaran Belanja DPRD dan Anggaran Sekretariat DPRD, Tim Penyusun Anggaran Eksekutif memasukannya dalam Rancangan APBD yang akan disampaikan kepada DPRD bersama Nota Keuangan.
5 6
Pasal 118 ayat 1 Keputusan DPRD Kabupaten Bandung No. 12 Tahun 1999 Pasal 118 ayat 2 Keputusan DPRD Kabupaten Bandung No. 12 Tahun 1999
148
Keputusan tentang Anggaran Belanja DPRD ditetapkan melalui Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Bandung yang dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 20037 yang dipimpin oleh Ketua DPRD, H. Yadi Srimulyadi. Pembahasan tentang anggaran DPRD dilaksanakan selama dua hari yaitu selama tanggal 16 sampai 17 Desember 2003. Rapat Paripurna tersebut menggagendakan untuk mendengarkan laporan Panitia Anggaran mengenai pengajuan alokasi anggaran untuk DPRD Kabupaten Bandung. Anggaran yang diajukan adalah sebesar Rp 21, 59 miliar. Usulan ini terdiri dari Anggaran Belanja DPRD sebesar Rp. 15.112.680.000,00 dan kebutuhan untuk Sekretariat DPRD sebesar Rp. 6.477.588.000,00. Usulan Anggaran Belanja DPRD sebesar itu masuk dalam Belanja Publik yang perinciannya Rp. 6,07 miliar untuk kebutuhan belanja pegawai, Rp. 2,3 miliar untuk belanja perjalanan dinas, Rp. 4,53 Miliar untuk belanja operasi dan operasional, Rp. 918,05 juta untuk belanja barang jasa serta belanja modal Rp. 550 juta. Bupati kemudian menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dengan lampiran RAPBD yang telah dilengkapi dengan Anggaran Belanja DPRD dan Anggaran Sekretariat DPRD kepada Pimpinan DPRD Setelah Pimpinan DPRD menerima penyampaian Nota Keuangan Bupati, Pimpinan DPRD kemudian menyerahkan Nota Keuangan dan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD beserta lampirannya kepada Panitia Anggaran untuk memperoleh pendapatnya. 8
Pembahasan RAPBD dilakukan melalui empat tahapan pembicaraan . Sebelum dilaksanakan pembicaraan lebih lanjut, DPRD mengadakan rapat Fraksi, Rapat Komisi dan Rapat Panitia Anggaran dalam rangka menanggapi Nota Keuangan yang disampaikan oleh Bupati. Pembicaraan Tahap I adalah penjelasan Kepala Daerah (Bupati) dalam rapat Paripurna untuk Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang disampaikan oleh Bupati. Bupati dengan didampingi oleh TPA menyampaikan penjelasan-penjelasan materi-materi yang terdapat dalam Nota Keuangan yang disampaikan meliputi: Kondisi dan kebijakan anggaran pendapatan daerah, kondisi dan kebijakan anggaran belanja daerah, kondisi dan kebijakan pembiayaan, serta program dan kegiatan yang diusulkan. Pembicaraan Tahap II adalah pemandangan umum dalam rapat paripurna yang disampaikan oleh masing-masing fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang diusulkan oleh Bupati. Masing-masing fraksi diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapan dan perhatiannya terhadap usulan Rancangan Perda tentang APBD. Tanggapan umum fraksi-fraksi tersebut merupakan hasil keputusan rapat fraksi mengenai Rancangan Perda APBD yang dilaksanakan sebelum dilakukannya tahapan-
7 8
Harian Pikiran Rakyat, Kamis 19 Desember 2002. Pasal 110 ayat 1 Keputusan DPRD Kabupaten Bandung No. 12 Tahun 1999
149
tahapan
pembicaraan.
Setelah
penyampaian
pemandangan
umum,
Bupati
menyampaikan jawaban atas tanggapan dan pemandangan dari masing-masing fraksi. 9
Pembicaraan Tahap III adalah pembahasan dalam Rapat Panitia Khusus APBD (Pansus Anggaran) yang dibentuk oleh DPRD yang dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk oleh Bupati. Apabila tidak ada kesepakatan terhadap materi yang dibahas, maka akan disampaikan kepada pimpinan DPRD untuk diputuskan, setelah mendengar pertimbangan Panitia Musyawarah. Laporan hasil pembicaraan III disusun dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah dan lampiran penjelasannya yang disertai laporan singkat pelaksanaan rapat dan pembahasannya serta proses pengambilan keputusannya. Laporan hasil pembicaraan III dilaporkan kepada pimpinan DPRD dalam rapat Panitia Musyawarah sebelum disampaikan dalam rapat paripurna. Setelah dilaksanakan pembicaraan tahap III, dilakukan pembicaraan tahap IV dilakukan melalui Rapat Paripurna yang merupakan tahap penetapan. Agenda-agenda Rapat Paripurna terdiri dari laporan Panitia Khusus Anggaran, penyampaian kata-kata akhir fraksi-fraksi, dan penetapan dan persetujuan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah. Sebelum
dilaksanakannya
Rapat
Pansus,
DPRD
menyampaikan
jadwal
pembahasan Pansus dengan seluruh DIBALE di lingkungan kabupaten untuk membahas usulan anggaran yang diajukan oleh masing-masing DIBALE. Pembahasan dilakukan secara maraton dan pada saat itu dilakukan di Hotel pada waktu itu diselenggarakan di dua hotel yaitu Hotel Sindangreret untuk pembahasan putaran pertama dan Hotel Permata Bandung untuk pembahasan putaran kedua. Pada putaran pertama lebih ditekankan pada pembahasan dari sisi pendapatan daerah, yang kemudian dilanjutkan pada pembahasan dari sisi belanja dengan membahas usulan-usulan anggaran belanja dari masing-masing DIBALE. Pada kesempatan tersebut, masing-masing DIBALE yang didampingi oleh TPA memaparkan dan menjelaskan usulan-usulannya kepada Pansus Anggaran. Pansus Anggaran akan mempertanyakan, dan menguji usulan-usulan anggaran yang diajukan oleh masing-masing DIBALE. Pada kesempatan inilah mulai muncul berbagai perubahan atas masukan-masukan DPRD untuk perubahan RAPBD. Karena masukan atau aspirasi DPRD baru dibahas pada saat pembahasan pada rapat Pansus mengakibatkan beberapa masalah terutama masalah ketidakkonsistenan. “Aspirasi dewan bukan muncul waktu pembahasan APBD, tapi mulai dari rakorbang, dewan tuh harus sudah aktif gitu lho, tidak diharamkeun aya 9 Panitia Khusus adalah alat kelengkapan DPRD yang bersifat sementara, dan dibentuk oleh pimpinan DPRD setelah mendengar pertimbangan Panitia Musyawarah yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPRD. Panitia Khusus bertugas: (1) menanganai permasalahan dan persoalan yang memerlukan penelitian dan penyelesaian secara khusus; (2) menyelesaikan berbagai masalah antara lain menyusun PERDA dan rancangan Keputusan DPRD yang perlu segera mendapatkan penyelesaian; (3) tindak lanjut hasil Panitia Khusus dilaporkan kepada pimpinan DPRD dan atau rapat paripurna DPRD. Rapat Pansus adalah rapat Panitia Khusus yang dipimpin oleh pimpinan Panitia Khusus.
150
aspirasi dewan da memang mereka menyuarakan aspirasi. Cuman yang suka dikeluhkan eksekutif teh suka jadi pergesekan, aspirasi itu munculnya di akhir…ngarusak program jadina. Kalo di awal kan sudah diprogramkan, kita kaji bersama, nilai bersama. Kalo gini kan jadi pemaksaan kehendak. Urang didieu sudah cukup demokratis sudah mulai transparan, didieu tibatiba kudu dijeujeulkeun, kudu asup, jadi rusak! “kaya kamari aspirasi wae aya… total dengan jalan kabupaten lima puluh enam. Tiga puluh enam jalan desa, dua puluh jalan kabupaten. Jalan kabupaten memang kewajiban kita, dari dua puluh yang bisa masuk hanya 14, tapi yang jalan desa mestinya yang 36 kan teu bisa dibiayaan ku kabupaten karena bisa ngarusak ka sistem, nah dari 36 jalan desa ini ternyata yang ngusulin hanya segelintir orang ada satu anggota usulnya 11 jalan desa di satu kecamatan artinya kabeh desa di kecamatan tersebut kabeh meunang… usulanna kudu meunang we! Usulanna ge gede-gede ayanu 810 juta, aya nu 40 juta, sementara rata-rata di tiap desa meunang 33,3 juta… kan ironis! Fair ngga? Mencerminkan suara dewan ngga? Ngga juga kan loba oge anggota dewan yang ngga ngusulkeun jalan!”, (penuturan Kabid Fisik dan Prasarana Bapeda Kabupaten Bandung). “Seperti Dinas Pendidikan, pada awalnya sudah ditetapkan oleh bupati untuk dipotong usulannya sekian… eh setelah dibahas dengan Dewan bisa naek lagi… Bupati sampe bengong tuh..” (penuturan Kabid Perencanaan Ekonomi Kabupaten Bandung” Apabila anggaran belanja yang diajukan oleh eksekutif dibahas secara bersamasama, namun tidak demikian dengan Anggaran Belanja DPRD dan Anggaran Sekretariat DPRD. Usulan anggaran yang diajukan tidak dibahas sama sekali bersama eksekutif, sehingga besaran yang diajukan pada saat pembahasan RAPB tidak berubah pada saat penetapan APBD. “Anggaran yang diusulkan oleh Dewan dan Setwan mah ngga pernah dibahas, langsung diterima aja.” (Staff Bidang Perencanaan Ekonomi Bapeda Kabupaten Bandung). Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dilaksanakan pada tanggal 7 Januari 2003 melalui Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Bandung. Rapat tersebut dihadiri oleh Seluruh anggota DPRD Kabupaten Bandung, Bupati dan Wakil Bupati Bandung, Kapolres Bandung dan unsur Muspida lainnya, serta termasuk Kepala-Kepala DIBALE di lingkungan Kabupaten Bandung. Rapat Paripurna tersebut menetapkan APBD dengan total belanja sebesar Rp. 1,01 Triliun, dengan defisit sebesar Rp. 39,01 miliar yang ditutupi dari cadangan dana tak tersangka. Rapat-rapat dan sidang pembahasan RAPBD pada prinsipnya terbuka untuk umum artinya siapapun dapat menghadiri rapat dan sidang yang diselenggarakan. Menurut pasal 80 Keputusan DPRD Kabupaten Bandung No. 12 Tahun 1999, rapat-rapat DPRD pada dasarnya bersifat terbuka untuk umum kecuali atas permintaan sekurangkurangnya 1/5 jumlah anggota DPRD atau apabila dipandang perlu oleh pimpinan DPRD untuk dinyatakan sebagai rapat tertutup. Namun demikian meskipun sifatnya terbuka,
151
kehadiran masyarakat tidak dapat berkontribusi lebih jauh untuk mempengaruhi kesepakatan atau keputusan rapat. Kehadiran masyarakat dalam rapat dan sidang DPRD hanya dimungkinkan dalam dua bentuk: 1. Undangan, merupakan bukan anggota DPRD yang hadir dalam rapat atas undangan pimpinan DPRD maupun anggota DPRD yang hadir dalam rapat alat kelengkapan
DPRD,
yang
bukan
anggota
kelengkapan
DPRD
yang
bersangkutan. Undangan dapat berbicara dalam rapat atas permintaan dan persetujuan pimpinan rapat, tetapi tidak mempunyai hak suara. 2. Peninjau, merupakan hadirin dalam rapat paripurna DPRD tanpa undangan pimpinan DPRD. Peninjau tidak mempunyai hak suara, dan tidak boleh menyatakan sesuatu, baik dengan perkataan maupun dengan cara lain. Selain kehadiran dalam rapat dan sidang, masyarakat dimungkinkan untuk menyampaikan aspirasinya kepada DPRD pada saat masa reses10. Pada saat selesainya satu rangkaian rapat dan kegiatan DPRD dari suatu masa persidangan, pimpinan DPRD menetapkan dan mengumumkan tanggal permulaan dan berakhirnya masa reses DPRD dalam rapat paripurna. Selama masa reses berlangsung, tidak dilakukan rapat oleh alat kelengkapan DPRD, kecuali jika ada hal-hal mendesak yang memerlukan diadakan rapat. Dalam masa reses, anggota DPRD dapat mempergunakan waktu untuk melakukan kegiatan, baik bagi kepentingan organisasi yang diwakilinya maupun terhadap kepentingan masyarakat pada umumnya dengan bantuan fasilitas dari DPRD. Meskipun kesempatan untuk menyampaikan aspirasi melalui reses terbuka namun tetap tidak dapat digunakan secara optimal. Hal ini disebabkan karena jadwal-jadwal sidang maupun reses yang telah ditetapkan tidak diberitahukan secara terbuka kepada publik. Pada saat rapat-rapat pembahasan, jadwal rapat hanya disampaikan kepada eksekutif namun tidak ada inisiatif untuk menyampaikan kepada masyarakat luas secara aktif, demikian halnya dengan masa reses.
5.1.4
Pasca Penetapan APBD Menurut Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, setelah ditetapkannya Peraturan
Daerah tentang APBD, maka Bupati menindaklanjutinya dengan membuat Keputusan Bupati tentang penjabaran APBD11, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) menjadi Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK)12. Pada pelaksanaanya belum dapat sepenuhnya mengikuti apa yang diatur dalam ketetuan tersebut.
10 11 12
Pasal 142 Keputusan DPRD Kabupaten Bandung No. 12 Tahun 1999. Pasal 24 Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Pasal 25 Kepmendagri No. 29 tahun 2002.
152
Setelah pengesahan Perda tentang APBD tahun 2003 masing-masing DIBALE tidak bisa langsung menyusun DASK, karena masih ada perbedaan-perbedaan antara hasil penetapan APBD dengan RASK yang dahulu telah disusun. Oleh karena itu masing-masing DIBALE memperbaiki dan mengolah kembali RASK-nya masing-masing untuk disesuaikan dengan besaran alokasi untuk masing-masing DIBALE yang telah ditetapkan dalam APBD. Pada kesempatan ini masih sangat memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan kegiatan atau program untuk masing-masing DIBALE karena 13
format APBD pada format anggaran kinerja tidak mencantumkan program secara detil . Setelah RASK selesai direvisi sesuai dengan alokasi APBD, barulah DASK masing-masing DIBALE disusun dengan mengacu pada RASK DIBALE hasil revisi. Setelah DASK selesai disusun oleh seluruh DIBALE, baru Keputusan Bupati tentang Penjabaran APBD baru disusun dan disahkan.
5.2 Keterwakilan,
Modus
Partisipasi,
Proses
Pengambilan
Keputusan
dan
Distribusi Kekuasaan dalam Pengambilan Keputusan Bagian ini merupakan temuan-temuan hasil studi pada tahapan penyusunan APBD yang berkaitan dengan aspek keterwakilan, modus partisipasi, proses pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan.
5.2.1
Keterwakilan Masyarakat dalam Tahapan Penyusunan APBD Proses penyusunan APBD Kabupaten Bandung tahun 2003 didominasi oleh
eksekutif (Pemerintah Kabupaten Bandung) dan legislatif (DPRD Kabupaten Bandung). Partisipasi masyarakat dilakukan melalui penyampaian aspirasi lewat penyelenggaraan FPPT Daerah maupun langsung melalui dinas-dinas ataupun melalui DPRD. Keterlibatan masyarakat secara formal dalam proses dalam penyampaian aspirasi adalah sampai pada pelaksanaan FPPT Daerah (Rakorbang) saja. FPPT Daerah melibatkan peserta dari berbagai kalangan baik pemerintah, dunia usaha, kelompok-kelompok masyarakat, dan sebagainya. Pada kesempatan tersebut masih dimungkinkan untuk mengajukan usulan-usulan baru. Secara
normatif,
kepentingan
atau
aspirasi
masyarakat
dalam
tahapan
penyusunan APBD diwakili oleh insitusi DPRD. Konsep keterwakilan masyarakat menyiratkan hubungan yang erat antara konstituen dengan pihak wakil. Hubungan yang tercipta
tidak
hanya
terbatas
pada
bagaimana
konstituen
memberikan
atau
menyampaikan aspirasinya kepada wakil-wakilnya namun lebih jauh, konstituen dapat
13 Format APBD berbasis anggaran kinerja hanya memuat kode rekening untuk setiap komponen pendapatan dan belanja beserta item besarannya, belum memuat program maupun kegiatan seperti pada format APBD yang lama, yang telah mencantumkan program dan kegiatannya. Penjabaran lebih detil dari APBD dituangkan melalui Keputusan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD.
153
mengakses dan mengontrol untuk memastikan bahwa suaranya terwakili oleh wakilnya. DPRD sebagai suatu institusi, dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi perwakilan rakyat tidak dapat hanya berafiliasi pada suatu kelompok atau kepentingan tertentu, tetapi
seharusnya
mengedepankan
prinsip
keadilan
dalam
membawakan
kepentingan/aspirasi masyarakat. Kesempatan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya kepada DPRD pada dasarnya dapat dilakukan dalam beberapa cara: 1.
Melalui partai politik. Oleh karena seluruh anggota DPRD berasal dari partai politik, maka partai politik adalah ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Namun demikian, akses untuk dapat menyampaikan aspirasi melalui partai politik relatif terbatas, disebabkan oleh karena panjangnya birokrasi partai.
2.
Melakukan audiensi dengan DPRD. Masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya kepada DPRD dengan cara beraudiensi dengan anggota DPRD. Pertama, pihak-pihak yang hendak menyampaikan surat permohonan untuk melakukan audiensi kepada DPRD melalui Sekretariat Dewan. Surat permohonan tersebut kemudian dilanjutkan ke Komisi yang berkaitan dengan isu yang hendak dibahas. Di tingkat komisi kemudian dibahas untuk menentukan penyikapan komisi atas permohonan audiensi tersebut, dan apabila diterima, kemudian komisi menetapkan jadwal waktu audiensinya.
3.
Kunjungan kerja dan kehadiran dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Komisikomisi dapat melakukan kunjungan kerja. Pada kesempatan melakukan kunjungan kerja ini, masyarakat memiliki kesempatan untuk berdialog menyampaikan keluhannya kepada DPRD. Dalam beberapa kasus, beberapa anggota DPRD bersedia mengikuti/terlibat dalam penyelenggaraan FPPT terutama pada pelaksanaan FPPT Daerah. Pada kesempatan-kesempatan itulah masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya.
4.
Selain cara prosedural tersebut, bagi pihak-pihak atau orang-orang tertentu yang memiliki hubungan (koneksi) langsung, biasanya memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menyampaikan aspirasinya.
Berbeda dengan eksekutif yang menyelenggarakan mekanisme khusus untuk menjaring aspirasi masyarakat berkaitan dengan pengusulan program dan proyek pembangunan, DPRD tidak secara khusus mengadakan mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat. Masyarakat harus bersifat pro-aktif untuk menyampaikan aspirasinya kepada DPRD. Oleh karena DPRD tidak pernah atau jarang terlibat dalam proses penjaringan aspirasi masyarakat yang difasilitasi oleh eksekutif, sehingga aspirasiaspirasi DPRD biasanya baru muncul ketika mulai mendekati proses penetapan APBD.
154
Oleh karena model penjaringan aspirasi masyarakat yang berbeda baik di tingkat eksekutif dan DPRD, seringkali terjadi perbedaan dalam menentukan perhatian terhadap permasalahan-permasalahan yang disampaikan masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya kepada DPRD, namun demikian masyarakat tidak dapat mengontrol atau memastikan apakah aspirasinya benar-benar terwakili selama pembahasan APBD. Secara formal tidak ada mekanisme yang dapat mengikat DPRD untuk benar-benar membawakan aspirasi yang disampaikannya. Pada jalur-jalur non formal-lah yang memungkinkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengawal dan memastikan bahwa aspirasinya telah terwakili. Keberadaan kontak-kontak khusus di DPRD yang memungkinkan bagi pihak-pihak tertentu untuk sealu memastikan dan mengontrol apakah aspirasinya terwakili atau tidak. Sebagai contoh adalah berkaitan dengan usulan bantuan bagi pengusaha tekstil Majalaya yang diusulkan PPTM, dapat lolos secara mulus karena sebelumnya beberapa anggota pengurus PPTM yang memiliki kontak atau hubungan khusus dengan Ketua DPRD Kabupaten Bandung telah meminta komitmen agar usulannya dapat diperhatikan secara seksama selama proses pembahasan DPRD. Pada akhirnya proyek bantuan tersebut memang dialokasikan dalam APBD. Kontak-kontak khusus tersebut, oleh karena kedekatan-kedekatan tertentu, dapat dihubungi kapan saja dan dimana saja untuk selalu dimintai informasi perkembangan tanpa terhambat oleh masalah-masalah birokratis-protokoler. Selain itu, DPRD akan memprioritaskan aspirasi-aspirasi yang dipandang dapat menguntungkan secara politis bagi eksistensinya dalam percaturan politik (rasionalitas politik). Contohnya adalah, bagaimana seorang anggota DPRD memaksa eksekutif untuk membiayai pengaspalan jalan-jalan desa di suatu Kecamatan yang merupakan Kecamatan asal anggota DPRD yang bersangkutan14, hingga dikenal sebagai aspirasi “lembur kuring�.
Keuntungan politik yang diperolehnya adalah berupa meningkatnya
dukungan masyarakat di wilayah bersangkutan terhadap partai politiknya. Aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui eksekutif (pada pelaksanaan FPPT) sebagian besar merupakan aspirasi berbasis wilayah (aspirasi berasal dari penjaringan aspirasi masyarakat di tingkat desa dan Kecamatan). Masyarakat dapat selalu mengikuti perkembangan dari aspirasi-aspirasi yang disampaikan melalui FPPT hingga pada pelaksanaan FPPT Daerah. Pada pelaksanaan FPPT Daerah, masyarakat dapat mengetahui apakah usulannya telah masuk dalam Daftar Usulan Program dan Proyek Pembangunan atau belum. Apabila ada aspirasi yang belum terakomodasi, pada kesempatan itulah masyarakat masih dapat menyampaikan aspirasi susulan.
14
Wawancara dengan Tatang RW (Kabid Perencanaan Fisik dan Prasarana).
155
Setelah pelaksanaan FPPT Daerah, masyarakat praktis tidak mengetahui apakah aspirasi yang dulu telah disampaikan dalam FPPT, menjadi prioritas untuk dibiayai dalam APBD atau tidak. Lebih jauh lagi, masyarakat tidak mengetahui apakah usulanusulannnya akan diusulkan oleh dinas-dinas yang bersangkutan atau tidak. Tidak ada jaminan bahwa prioritas usulan yang telah disusun akan menjadi prioritas usulan dinas dalam penyusunan APBD, mengingat usulan-usulan apa saja yang akan disampaikan oleh dinas-dinas terkait bersifat sektoral sedangkan usulan melalui FPPT lebih bersifat wilayah, sehingga sangat tergantung pada kebijakan masing-masing dinas. Hal ini terlihat pada ilustrasi tentang proses penilaian RASK yang dilakukan oleh TPA. Pada RASK yang disulkan oleh seluruh DIBALE ternyata masih banyak muncul program dan proyek yang tingkat kepentingannya terhadap masyarakat rendah. Artinya kepentingan sektoral lebih dominan dibandingkan aspirasi wilayah. Seharusnya ada keterpaduan antara aspirasi wilayah dengan aspirasi/kepentingan sektoral. Dari uraian diatas maka kesimpulan yang dapat ditarik berkaitan dengan keterwakilan dan modus partisipasi masyarakat yang memungkinkan dalam tahapan penyusunan APBD antara lain: 1.
Dalam proses penyusunan APBD, tidak ada jaminan bahwa usulan-usulan prioritas yang diusulkan melalui mekanisme FPPT akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan APBD. Hal ini disebabkan karena usulan program-dan proyek dilakukan oleh DIBALE terkait sedangkan prioritas usulan yang telah disusun hanya berfungsi sebagai dasar pertimbangan bagi DIBALE terkait untuk menyusun rencana anggaran (RASK). Sehingga pada tahap ini kepentingan DIBALE-lah (sektoral) yang menonjol.
2.
secara normatif, selama proses penyusunan APBD, kepentingan dan aspirasi masyarakat diwakili oleh institusi DPRD. Namun keberadaan institusi ini tidak menjamin suara masyarakat benar-benar terwakili oleh institusi DPRD. Hal ini disebabkan oleh: pertama, ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi sangat terbatas; kedua, ruang bagi masyarakat untuk mengawasi dan mengawal keterwakilan aspirasinya oleh anggota DPRD; ketiga, aspirasi yang menjadi
prioritas
bagi
DPRD
adalah
aspirasi-aspirasi
yang
akan
menguntungkan secara politik bagi anggota DPRD. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan hanya pihak-pihak tertentu yang memiliki akses langsung (contact) dengan anggota DPRD memiliki peluang untuk terwakili.
5.2.2
Modus Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan APBD Forum
Perencanaan
Pembangunan
Tahunan
Daerah
(FPPTD)
yang
diselenggarakan pada tanggal 30 – 31 Oktober 2002 merupakan kegiatan perencanaan
156
terakhir yang dapat diikuti oleh masyarakat secara bebas. Pada kesempatan tersebut masyarakat masih memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya. Setelah pelaksanaan FPPTD, yaitu memasuki tahap penyusunan APBD, kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasinya sangat terbatas. Pada tahapan penyusunan APBD, pihak yang terlibat aktif dalam keseluruhannya adalah Pemerintah (Eksekutif) dan DPRD (legislatif). Kesempatan formal bagi masyarakat untuk terlibat atau bahkan hanya sekedar mengetahui jalannya proses penyusunan APBD sangat terbatas. Semenjak pasca penyusunan Prioritas Program dan Kegiatan Pembangunan, praktis keseluruhan prosesnya menjadi dominasi pemerintah dan DPRD (Penyusunan AKU, dan STRATAS, Penyusunan dan Penilaian RASK, serta penyusunan RAPBD dan Penetapan APBD serta Pasca Penetapan APBD). Pada kegiatan-kegiatan pembahasan yang melibatkan DPRD (Pembahasan AKU APBD, dan Pembahasan RAPBD), pada kesempatan itulah masyarakat memiliki kesempatan untuk terlibat secara terbatas. Sidang dan rapat yang diselenggarakan oleh DPRD, khususnya sidang yang membahas APBD, bersifat terbuka yang artinya dapat dihadiri oleh umum kecuali ada permintaan untuk menetapkan bahwa sidang yang berlangsung bersifat rahasia. Meskipun sidang-sidang pembahasan APBD bersifat terbuka, keterlibatan masyarakat pada sidang tersebut bersifat sangat terbatas. Kehadiran masyarakat pada sidang-sidang dan rapat DPRD hanya dimungkinkan dalam dua status yaitu sebagai Undangan dan sebagai Peninjau. Undangan adalah orangorang atau kelompok tertentu yang sengaja diundang oleh Pimpinan DPRD atau Anggota DPRD. Para Undangan memiliki hak bicara apabila diminta dan diijinkan tetapi tidak memiliki hak suara. Peninjau merupakan orang-orang atau kelompok yang bukan merupakan anggota DPRD, yang hadir dalam rapat paripurna tanpa undangan. Peninjau tidak mempunyai hak suara, dan tidak boleh menyatakan sesuatu, baik dengan perkataan maupun dengan cara lain. Kehadiran masyarakat dalam persidangan DPRD tidak memungkinkan untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung. Kesempatan lain yang dapat dipergunakan untuk menyampaikan aspirasi adalah ketika pada masa reses persidangan. Pada kesempatan ini sangat dimungkinkan untuk berdialog dengan anggota DPRD untuk menyampaikan aspirasinya. Dalam masa reses, anggota DPRD dapat mempergunakan waktu untuk melakukan kegiatan, baik bagi kepentingan organisasi yang diwakilinya maupun terhadap kepentingan masyarakat pada umumnya dengan bantuan fasilitas dari DPRD. Oleh karena ruang partisipasi masyarakat dalam tahapan penyusunan APBD secara
formal
sangat
terbatas
maka,
untuk
menyampaikan
aspirasinya
perlu
menggunakan strategi atau cara lain. Bentuk-bentuk perilaku politik yang banyak
157
dilakukan oleh orang-orang maupun kelompok untuk dapat mempengaruhi kebijakan anggaran adalah dengan cara melobi (lobbying) dan dengan mencari koneksi (contacting). Cara-cara ini pada kenyataannya lebih memberikan jaminan bahwa aspirasi yang disampaikan akan terakomodasi dalam output kebijakan dibandingkan aspirasi yang disampaikan melalui mekanisme formal (melalui FPPT). Selama pembahasan APBD antara eksekutif dan legislatif meskipun ada peluang bagi masyarakat untuk mengikuti proses pembahasan namun kesempatan tersebut belum dapat menjamin masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif terutama dalam mempengaruhi
keputusan.
Ruang-ruang
tersedia
belum
mampu
memberikan
kesempatan karena: 1. Informasi tentang kesempatan tidak dipublikasikan secara meluas, misalkan jadwal rapat dan sidang pembahasan maupun masa reses DPRD. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat yang ingin terlibat untuk dapat mengikuti persidangan. 2. Tata tertib persidangan yang membatasi masyarakat untuk, seperti tentang ketentuan tentang kehadiran masyarakat sebagai undangan dan peninjau yang tidak memiliki hak suara, dan bahkan untuk peninjau tidak memiliki hak bicara. 3. Oleh karena mekanisme formal bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam tahapan
penyusunan
APBD,
maka
perilaku-perilaku
seperti
lobbying,
contacting (menjalin koneksi), dalam penyusunan APBD sangat mendominasi prosesnya. Pihak-pihak yang memiliki kemampuan untuk melobi dan memiliki akses atau hubungan dengan anggota DPRD yang memiliki kesempatan ini.
5.2.3
Proses Pengambilan Keputusan dalam Penyusunan APBD Dalam penyusunan APBD, terdapat beberapa tahapan pengambilan keputusan
yang cukup penting untuk dikaji. Pertama, keputusan tentang Arah dan Kebijakan Umum dan Strategi dan Prioritas APBD. Kedua, pengambilan keputusan tentang penyusunan prioritas usulan program/kegiatan. Ketiga, keputusan tentang alokasi anggaran untuk masing-masing DIBALE. Keempat, penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pengambilan keputusan dan pencapaian kesepakatan tentang Arah dan Kebijakan Umum APBD melibatkan eksekutif dan legislatif. Penyepakatan Arah dan Kebijakan Umum tidak mendapat ganjalan yang berarti dalam pencapaian kesepakatannya. Hal ini disebabkan karena untuk substansi dalam AKU APBD sangat bersifat kebijakan dalam belum menunjukkan pada bagaimana distribusi sumberdaya yang sesungguhnya (besaran alokasi anggaran). Cenderung kedua belah pihak memperlakukan AKU sebagai
158
prasyarat formalitas dalam menyelenggarakan penyusunan APBD sesuai yang diamanatkan oleh Kepmendagri No. 29 tahun 2002. Hal ini ditunjukkan pada ungkapan sebagaian anggota DPRD yang menghendaki agar langsung membahas ke program dan kegiatan. AKU APBD belum mampu menjadi landasan komitmen bersama antara eksekutif dan legislatif dalam menyusun APBD. Demikian pula pada saat penyusunan Strategi dan Prioritas (STRATAS). Penyusunan
STRATAS
APBD
sepenuhnya
tanggungjawab
eksekutif
dengan
berkonsultasi dengan DPRD. Dalam menyusun STRATAS APBD, pihak yang bertanggung jawab dalam penyusunannya adalah Tim Panitia Anggaran dimana perwakilan Bapeda menjadi motor dalam penyusunan APBD. Dasar perumusan (basis informasi) adalah Dokumen-dokumen Perencanaan yang ada (Poldas, Renstra, RTRW). Basis informasi ini kemudian diolah lebih lanjut oleh Bapeda dengan memperhatikan aspirasi DIBALE lain serta kebijakan Bupati. Selanjutnya akan ditetapkan dalam Keputusan Bupati tentang Srategi dan Prioritas APBD. Dalam penyusunan Rancangan APBD, TPA melakukan rasionalisasi usulan DIBALE melalui beberapa tahapan. Pertama, basis informasi dalam penyusunan Rancangan APBD adalah seluruh RASK yang disampaikan oleh masing-masing DIBALE. Kedua, adalah melakukan penilaian dan penyaringan RASK DIBALE. Pihak yang melakukan proses ini adalah TPA, namun demikian Bapeda masih memainkan peranan yang penting dalam proses penyaringan usulan karena Bapeda-lah yang paling menguasai substansi15 yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan. Penyaringan dan rasionalisasi usulan didasarkan pada pengetahuan subjektif dari pemeriksa dan pengalaman penyelenggaraan perencanaan pada tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, penetapan kebijakan alokasi anggaran per DIBALE yang sepenuhnya bergantung pada kebijakan Bupati. Dasar pertimbangannya adalah pengetahuan tentang pengalaman dan data alokasi anggaram per DIBALE pada tahun-tahun sebelumnya ditambah dengan beberapa pertimbangan/masukan dari DIBALE yang bersangkutan. Pada tahap ini terjadi proses negosiasi antara DIBALE dengan Bupati untuk mencapai titik yang dapat disepakati. Namun, tetap Bupati yang paling menentukan. Dasar utama pengambilan keputusan di tingkat ini adalah yang paling utama adalah pertimbangan ketersediaan sumberdaya dan pemerataan, yang artinya bahwa keputusan diambil berdasarkan sumberdaya dana yang ada dan pemerataan yang artinya bahwa tidak ada satupun DIBALE yang tidak memperoleh anggaran yang memadai. Setiap DIBALE pasti memperoleh “jatah� proyek. Keempat, hasil evaluasi RASK yang telah dilakukan oleh TPA dan kebijakan aloksi dana per DIBALE dikembalikan kepada DIBALE yang 15 Mengacu pada tugas pokok Bapeda yaitu: membantu Bupati dalam merumuskan dan menentukan kebijaksanaan teknis di bidang perencanaan daerah yang meliputi perencanaan ekonomi, perencanaan sosial, perencanaan fisik, penelitian dan pengembangan, monitoring dan evaluasi.
159
bersangkutan
untuk
dilakukan
penyesuaian-penyesuaian.
Penyesuaian
lebih
dititikberatkan pada penyesuaian volume dan besaran belanja. APBD ditetapkan setelah memperoleh persetujuan dari DPRD. Persetujuan DPRD dapat tercapai apabila hasil yang dicapai telah memuaskan kepentingan politik DPRD. Kepentingan politik DPRD adalah apabila aspirasi yang dimasukkan dalam anggaran APBD dapat menguntungkan secara politik anggota DPRD yang bersangkutan. Sebagai contoh salah satu kasus tentang bagaimana anggota DPRD tetap bersikukuh meminta agar Pemerintah Kabupaten Bandung menganggarkan pengaspalan jalan-jalan desa dan terkonsentrasi di salah satu Kecamatan di Kabupaten Bandung. Rupanya anggota DPRD yang mengajukan usulan tersebut merupakan perwakilan yang berasal dari Kecamatan 16
tersebut . Berdasarkan ilustrasi tersebut maka dasar pertimbangan yang utama bagi DPRD dalam melakukan pembahasan APBD ini adalah bagaimana keputusan yang diambil dapat menguntungkan secara politis bagi dirinya maupun partainya. Dasar pertimbangan rasionalitas politis yang pada dasarnya adalah menjaga kepentingan-kepentingan politik 17
dan mengusahakan pencapaian tujuan-tujuan politik . Hal ini pada dasarnya merupakan hal yang lumrah dalam praktek demokrasi. Aspirasi politis seharusnya sedapat mungkin bisa sejalan dengan aspirasi masyarakat yang dijaring melalui mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat. Sinergi diantara kedua saluran aspirasi tersebut dapat terjadi apabila dari awal proses penjaringan aspirasi masyarakat eksekutif dan legislatif telah membangun kerjasama dan komunikasi serta terlibata dalam aktif dalam proses penjaringan aspirasi msyarakat sehingga dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan alokasi anggaran didasarkan pada informasi dan input yang sama. Input atau masukan seharusnya berangkat dari sumber yang sama, namun perhatian atas suatu permasalahan atau isu dapat saja berbeda. Dengan mengkomunikasikan secara bersama-sama sejak awal maka proses negosiasi untuk mencapai titik kesepakatan yang optimal dapat tercapai.
16
Lihat hasil wawancara dengan Kabid Perencanaan Fisik dan Perencanaan Bapeda Kabupaten Bandung. Lihat tiga rasionalitas menurut Goulet yang terdiri dari rasionalitas teknologi, rasionalitas politik, dan rasionalitas etik (kemanusiaan). 17
160
Tabel 5.2 Tahapan Pengambilan Keputusan dalam Penilaian dan Rasionalisasi RASK
Fase
Tahapan
Substansi Proses
Pihak yang terlibat dan peran yang dilakukan
I
II
III
IV
Pengumpulan Basis Informasi dan masukan
Penilaian dan RASK
Penetapan Alokasi Anggaran Per Dibale
Penyesuaian Kembali RASK
- Rencana Anggaran Satuan Kerja DIBALE - AKU dan STRATAS sebagai dasar penilaian. - Prioritas program/proyek pembangunan.
- Kesesuaian dengan dengan AKU, STRATAS. - Kewajaran rencana anggaran
- masing-masing DIBALE mengumpulkan RASK-nya masingmasing kepada TPA. - TPA mempersiapkan bahan-bahan untuk melakukan penilaian RASK.
- TPA melakukan penilaian RASK - Perwakilan DIBALE memberikan klarifikasi dan argumentasi atas RASK yang diajukannya apabila diminta.
- Kebijakan Alokasi Anggaran bagi masing-masing DIBALE. - Negosiasi antara Bupati dan DIBALE tentang alokasi optimal - Dasar pertimbangan: pemerataan dan ketersediaan sumberdaya - Bupati menentukan kebijakan alokasi anggaran. - TPA mendampingi Bupati untuk memberikan pertimbanganpertimbangan apabila diminta. - Perwakilan DIBALE melakukan klarifikasi dan argumentasi apabila diminta oleh Bupati.
-
Penyesuaian kembali RASK setelah dilakukan penilaian dan ketetapan alokasi anggaran per DIBALE.
- Masing-masing DIBALE memperbaiki dan menyesuaikan kembali RASKnya sebelum dituangkan dalam RAPBD..
Sumber: Hasil analisis.
5.2.4
Distribusi Kekuasaan dalam Pengambilan Keputusan Dari uraian tentang proses penyusunan APBD, secara kelembagaan dapat
diidentikasi pihak-pihak yang berpengaruh dan menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Pihak-pihak tersebut antara lain: 1. Dalam hal pengusulan asprasi dan usulan-usulan, Dinas-Dinas Teknis memiliki peranan yang lebih menentukan dibandingkan Kecamatan meskipun DinasDinas Teknis memiliki tingkatan yang sama dengan Kecamatan pada struktur SOTK Kabupaten. Namun karena Dinas-Dinas Teknis-lah yang memiliki kewenangan dalam mengurusi urusan-urusan yang berkaitan dengan usulanusulan yang diajukan oleh masyarakat, maka Dinas-Dinas Teknis yang bersangkutan-lah yang sangat menentukan dalam mengajukan usulan-usulan yang akan dibahas lebih lanjut. Contoh: usulan mengenai pembangunan
161
maupun
perbaikan
bangunan
sekolah
banyak
muncul
dalam
proses
penjaringan aspirasi melalui FPPT di tingkat Kecamatan, namun Kecamatan tidak
memiliki
kewenangan
dalam
hal
pembangunan
dan
perbaikan
infrastruktur sekolah melainkan Dinas Pendidikan, sehingga sekolah-sekolah mana yang diusulkan untuk dibangun dan diperbaiki tergantung pada kebijakan Dinas Pendidikan. 2. Dalam hal penilaian dan penyaringan/penapisan usulan-usulan dari DIBALE melalui penyampaian RASK, Bapeda memegang peranan penting meskipun telah dibentuk Tim Panitia Anggaran. Hal ini disebabkan karena berkaitan dengan tupoksi Bapeda sebagai badan perencana di Daerah. 3. Dalam menentukan besaran alokasi per DIBALE dan kebijakan Kabupaten, Bupati sangat menentukan dalam menentukan alokasi anggaran per DIBALE dalam tahapan penyusunan Rancangan APBD. Bupati-lah yang menetapkan toleransi defisit dalam penyusunan Rancangan APBD, dan menentukan kebijakan alokasi anggaran dan prioritas kebijakan. 4. Pada keseluruhan proses penyusunan APBD, DPRD memegang peranan yang sangat dominan. Hal ini ditunjukkan dengan indikasi-indikasi: pertama, aspirasi yang disampaikan oleh DPRD meskipun melanggar sistem yang telah dibangun hampir dapat dipastikan disetujui sedangkan aspirasi dari eksekutif dapat dirubah; kedua, anggaran DPRD tidak pernah dibahas dan pasti diterima sedangkan anggaran dari pihak eksekutif dapat dipengaruhi oleh DPRD.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan dan Rekomendasi Hasil Studi 6.1.1
Gambaran Sistem Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung Saat Ini: Potret Buram Bagi Harapan Partisipasi Rakyat Sistem perencanaan pembangunan tahunan yang terdiri dari tahapan penjaringan
aspirasi masyarakat melalui Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan di Kabupaten Bandung dan tahapan Penyusunan APBD melalui proses penyusunan APBD berbasis kinerja sesuai Kepmendagri no. 29 Tahun 2002 belum memberikan ruang yang memadai bagi masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan pembangunan (alokasi APBD). Meskipun Pemerintah Kabupaten Bandung telah berupaya untuk melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, tampaknya belum dapat menghasikan suatu produk kebijakan yang memuaskan bagi seluruh pihak (masyarakat). Kurang berhasilnya produk kebijakan yang dihasilkan melalui proses perencanaan ini secara sekilas ditunjukan dari persentase alokasi belanja APBD 2003.
Tabel 6.1 Prosentase Alokasi Belanja dalam APBD Kabupaten Bandung 2003 Bidang
Belanja Aparatur (%)
Belanja Publik (%)
Administrasi Umum Pemerintahan
74,74
25,26
Pertanian
73,58
26,42
Perindustrian dan Perdagangan
76,82
23,18
Perkoperasian
74,89
25,11
Penanaman Modal Ketenagakerjaan
100,00 81,08
0,00 18,92
Kesehatan
0,00
100,00
Pendidikan dan kebudayaan
0,09
99,91
Sosial Pemukiman
53,08 67,14
46,92 32,86
Pekerjaan Umum
16,24
83,76
Perhubungan
81,84
18,16
Lingkungan Hidup Kependudukan
46,72 78,84
53,28 21,16
Kepariwisataan
49,80
50,20
Sumber: Hasil analisis
Secara sekilas tabel 6.1 menunjukkan bahwa sebagian besar belanja APBD Kabupaten Bandung dialokasikan pada Belanja Aparatur. Beberapa bidang menunjukkan
163
prosentase terbesar pada alokasi belanja publik seperti bidang kesehatan dan pendidikan dan kebudayaan. Walaupun persentase alokasi belanja publik pada kedua bidang tersebut relatif besar, namun sebagian besar disinyalir dialokasikan pada gaji guru dan untuk pelayanan kesehatan (dokter, perawat, dan sebagainya). Fakta ini menunjukkan bahwa proporsi alokasi APBD sebagian besar tidak menyentuh kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat yang disampaikan melalui mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sebenarnya. Hal ini terlihat pada temuan studi pada tahapan penjaringan aspirasi masyarakat. Pertama, aspirasi masyarakat yang bersifat wilayah lebih mendominasi dibandingkan aspirasi masyarakat yang sifatnya sektoral (isu). Hal ini ditunjukkan dengan kehadiran organisasi-organisasi yang berbasis wilayah yang mendominasi FPPT Kecamatan. Kedua, keterwakilan masyarakat dalam merumuskan usulan-usulan belum menunjukkan keterwakilan sepenuhnya, melainkan hanya sekedar bersifat differensiasi. Sifat differensiasi menunjukkan sifat keterwakilan yang rendah, yaitu menunjukkan sifat hubungan antara wakil dan konstituennya bahwa wakil memiliki afiliasi dengan konstituennya (karena kesamaan identitas, asal, dan pengetahuan tentang lingkungannya) namun tidak bisa dikatakan bahwa apa yang diputuskan adalah benar-benar untuk mengatasnamakan masyarakat. Masyarakat tidak memiliki akses untuk mengawasi wakil dalam memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan konstituen. Ketiga, keterlibatan masyarakat secara masif (popular participation) tidak terjadi, hanya diwakili oleh organisasi masyarakat yang berkaitan dengan fungsi-fungsi kepemerintahan. Tidak dilibatkannya masyarakat secara masif disebabkan karena tidak ada jaminan tentang realisasi dari usulan yang direncanakan. Dengan demikian, banyak pihak yang berwenang untuk melaksanakan dan memfasilitasi proses perencanaan pembangunan menganggap bahwa tidak perlu melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan karena ditakutkan hanya akan memberi janji kosong kepada rakyat. Masih banyak kelompok-kelompok masyarakat yang belum terlibat dalam mekanisme perencanaan, terutama kelompok-kelompok marjinal. Oleh karena pihakpihak yang terlibat dalam mekanisme perencanaan sebagian besar merupakan kelompok-kelompok yang berbasis wilayah, maka banyak kelompok yang tidak dapat terlibat, terutama kelompok-kelompok yang berbasis isu. Kelompok-kelompok yang tidak dilibatkan dalam proses perencanaan mengembangkan cara-caranya sendiri untuk menyampaikan aspirasinya. Untuk kelompok yang memiliki sumber daya dan akses kepada pengambil kebijakan masih memungkinkan untuk dapat menyampaikan
164
aspirasinya melalui jaringan koneksi-nya. Namun, kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses dan sumberdaya tetap tidak dapat menyampaikan aspirasinya. Bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan selama berpartisipasi dalam mekanisme perencanaan pembangunan tahunan sangat terbatas. Pertama, bentuk partisipasi yang bisa dilakukan oleh masyarakat akar rumput adalah hanya sekedar penyampaian aspirasi. Kedua, dalam kegiatan perencaan (FPPT Kecamatan, dan FPPT Daerah) tingkatan partisipasi adalah tingkatan konsultatif. Dalam pelaksanaan FPPT Daerah, Bapeda menginformasikan hasil rekapitulasi usulan-usulan Kecamatan dan Dinas. Pada kesempatan tersebut, Bapeda memberikan tawaran tentang Rancangan AKU dan STRATAS, Rancangan Ancar-ancar Alokasi Belanja Publik dan Aparatur, serta kriteria penilaian usulan untuk merumuskan Prioritas Program dan Kegiatan Kabupaten. Tidak adanya jaminan atas realisasi usulan yang telah disampaikan melalui mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat berkaitan dengan proses atau mekanisme pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Pertama, proses pengambilan keputusan yang sangat panjang tanpa menjanjikan kepastian tentang apakah prioritas usulan yang disampaikan akan diproses pada proses selanjutnya. Prioritas usulan dari desa dibahas di tingkat kecamatan untuk didiskusikan bersama dengan usulan dari desa lain dan cabang dinas/instansi menjadi urutan prioritas usulan kecamatan. Setelah pembahasan di tingkat kecamatan, selanjutnya dibahas di tingkat Kabupaten untuk didiskusikan bersama usulan dari kecamatan-kecamatan lain serta aspirasi DIBALE untuk menentukan urutan prioritas program dan proyek Kabupaten. Pada tahap ini pun masih belum ada jaminan tentang apakah yang telah masuk ke dalam daftar prioritas akan dibahas dalam pembahasan APBD. Kedua, dasar pertimbangan atau kriteria penilaian prioritas belum memiliki standar yang tegas dan terukur, sehingga sangat memungkinkan apabila penilaian dapat didasarkan pada alasan-alasan politis yang hanya memberikan keuntunga bagi sebagian pihak. Dari sisi distribusi kekuasaan pun tampak bahwa kekuasaan dalam membuat keputusan adalah didominasi oleh elit masyarakat dan pemerintah. Masyarakat hanya berperan dalam memberikan masukan-masukan berkaitan dengan pengambilan keputusan. Sedangkan untuk pengambilan-pengambilan keputusan berkaitan dengan prioritas program dan kegiatan masih berada di pemerintah. Di tingkat desa, Kepala Desa sangat berperan dalam menentukan usulan desa yang terlihat dari inisiatif usulan, penentuan pihak-pihak yang diundang, dan penilaian usulan. Di tingkat Kecamatan, Camat memerankan fungsi moderator dan mediator untuk memadukan usulan sehingga mencapai kesepakatan tentang urutan prioritas usulan program dan proyek. Di tingkat Kabupaten, Bapeda sangat berperan dalam pembuatan urutan prioritas usulan, yang terlihat dari perumusan kriteria penilian, penentuan pihak-pihak yang diundang dalam
165
FPPT Daerah dan pembahasan kriteria dan prioritas kegiatan. Keterlibatan masyarakat dan DIBALE terkait sebatas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan saja. Pada Tahapan Penyusunan APBD, keterwakilan masyarakat semakin tidak terlihat. Pertama, kepentingan sektoral (bidang) lebih dominan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bahkan seluruh usulan masyarakat kelak apabila tereralisasi akan ditindaklanjuti oleh DIBALE yang bersangkutan. Oleh karena itu DIBALE terkaitlah yang memiliki wewenang untuk mengusulkan program dan proyek untuk dibiayai oleh APBD. Usulan mana saja yang diusulkan tergantung pada kebijakan DIBALE. Kedua, keberadaan DPRD sebagai institusi formal perwakilan rakyat belum benar-benar mencerminkan
keterwakilan
kepentingan
masyarakat,
disebabkan:
terbatasnya
mekanisme resmi bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi kepada DPRD; tidak adanya mekanisme bagi masyarakat untuk mengawal atau memastikan bahwa suaranya telah terwakili; aspirasi yang menjadi perhatian utama DPRD adalah aspirasi yang dapat menguntungkan secara politis bagi diri dan partainya. Ketiga, aspirasi-aspirasi hasil penjaringan aspirasi masyarakat melalui rangkaian FPPT belum menjadi acuan utama bagi pembahasan lebih lanjut. Akibatnya, tidak terlihat kekonsistenan antara hasil penjaringan aspirasi dengan penyusunan APBD. Terbatasnya karena ruang bagi partisipasi masyarakat baik untuk menyampaikan aspirasi, mengawal dan mengamati proses menyebabkan masyarakat tidak dapat mengontrol proses yang sedang berjalan. Mekanisme formal yang tersedia bagi masyarakat untuk terlibat pada proses penyusunan APBD, membatasi ruang gerak masyarakat dimana partisipasi masyarakat dalam mekanisme formal (kehadiran masyarakat dalam sidang-sidang pembahasan APBD) terbatas hanya sekedar sebagai peninjau maupun undangan saja. Oleh karena itu maka modus-modus diluar jalur formal akhirnya sangat berkembang dalam modus-modus mempergunakan koneksi-koneksi (contacting), maupun dengan modus melakukan lobi-lobi. Modus-modus ini hanya dapat mungkin dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki sumber daya dan jaringan kontak dengan anggota DPRD. Dengan modus-modus seperti ini ternyata lebih memberikan jaminan kepastian akan terealisasikannya aspirasi yang disampaikan dibandingkan aspirasi yang disampaikan melalui mekanisme formal. Sehingga aspek keadilan menjadi pertanyaan yang besar pada sistem ini, yaitu hanya orang-orang atau pihak-pihak yang memiliki sumberdaya saja yang aspirasi atau kepentingannya
memiliki
kemungkinan
untuk
diakomodasi.
Lobi-lobi
dan
penggunaan jalur koneksi ini akan selalu memberikan hasil yang lebih menjanjikan daripada melalui mekanisme formal. Hal ini disebabkan karena jalur-jalur non formal memberikan akses langsung kepada pihak yang berkuasa dalam pengambilan keputusan, misalkan DPRD.
166
Proses penetapan APBD hanya merupakan dominasi dari elit kekuasaan dan sangat tergantung pada kebijakan dan kepentingan elit tersebut. Pertama, ketiadaan kriteria-kriteria yang baku dan terukur untuk menentukan prioritas dan penyaringan usulan sehingga memberikan ruang bagi pengambilan keputusan yang bersifat subjektif, terutama dari pihak-pihak pemegang kekuasaan. Hal ini dapat menyebabkan keputusan yang diambil tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Kedua, pengambilan keputusan menjadi dominasi elit-elit eksekutif dan legislatif. Di sisi eksekutif, kebijakan tentang usulan yang akan diajukan dalam pembahasan APBD, sangat tergantung pada kebijakan DIBALE yang bersangkutan. Kebijakan tentang alokasi per DIBALE tergantung kebijakan Bupati. Pada pembahasan RAPBD, DPRD dapat melakukan intervensi berdasarkan kepentingan DPRD. Modus pengambilan keputusan dan distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang seperti ini menjadikan proses penetapan
APBD
yang
sedang
berjalan,
hanya
memberikan
peluang
terakomodasinya kepentingan bagi pihak-pihak yang memiliki sumberdaya dan akses kepada pengambil kebijakan, namun tampaknya kurang berpihak bagi kepentingan masyarakat umum, khususnya masyarakat marjinal.
6.1.2
Menuju
Sistem Perencanaan
Pembangunan
Tahunan
di Kabupaten
Bandung yang Responsif terhadap Kebutuhan dan Aspirasi Rakyat Dalam rangka merumuskan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung, maka terlebih dahulu perlu dipikirkan bentuk atau gambaran sistem perencanaan pembangunan tahunan seperti apa yang kelak perlu dituju. Sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung yang perlu diwujudkan adalah sistem perencanaan pembangunan tahunan yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat. Artinya adalah sistem perencanaan pembangunan ini mampu menjaring aspirasi dari masyarakat dan memiliki keberpihakan kepada kelompokkelompok masyarakat marjinal yang memberikan jaminan bahwa output kebijakan yang diperoleh dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dalam rangka menghasilkan output kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat maka pilihan untuk mencapainya adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat secara nyata dalam proses perencanaannya. Menurut Arnstein (dalam M. Hasan, dkk., 2002: 6), partisipasi masyarakat harus masuk pada wilayah perumusan kebijakan pemerintah, tidak hanya sebatas tataran implementasi kebijakan. Untuk itu maka tingkatan partisipasi masyarakat adalah dalam tingkatan memutuskan bersama (deciding together). Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa: (1) sumber daya publik yang akan dialokasikan bukan berada di masyarakat, namun berada di pemerintah; (2) dalam menentukan alokasi sumber daya publik ini terlibat
167
beberapa pihak yaitu: pemerintah, masyarakat dan DPRD; (3) pihak yang berkewajiban untuk menindaklanjuti keputusan (kesepakatan tentang alokasi APBD) dalam bentuk realisasi program dan proyek adalah pemerintah. Secara umum untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung maka perlu adanya perubahan dan perbaikan yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang muncul: 1.
untuk dapat memperbaiki aspek keterwakilan kepentingan masyarakat baik yang bersifat wilayah dan isu (sektoral), maka hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: a. memperluas partisipan yang meliputi berbagai kalangan (baik isu dan wilayah) dalam setiap tahapan kegiatan perencanaan (Desa, Kelurahan, Kecamatan, dan Kabupaten), yang teridentifikasi dari kajian analisis stakeholder yang dilakukan sebelumnya. b. Untuk dapat mendorong kepedulian masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan pembangunan, maka perlu diberikan jaminan/peluang bahwa usulan yang diusulkan memiliki kemungkinan atau peluang yang besar (mengurangi sifat ketidakpastian). Artinya usulan yang diusulkan ke tingkat yang lebih tinggi harus benar-benar layak dan sesuai dengan kewenangannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain: Menetapkan kriteria yang tajam dan terukur dalam penyaringan usulan. Kriteria dapat terdiri dari kriteria umum dan kriteria khusus yang mempertimbangkan kondisi dan situasi masing-masing bidang. Perlu adanya kejelasan pembagian kewenangan antar daerah otonom, seperti antara Kabupaten dan Desa yang disertai dengan perimbangan keuangannya untuk membiayai kewenangan yang bersangkutan.
Seperti
pembagian
kewenangan
Pemerintah
Kabupaten dan Desa. Mekanisme komunikasi dan penyampaian informasi yang baik antara
masing-masing
tingkatan.
Rancangan
kebijakan
pembangunan perlu disusun dan terinformasikan dengan baik keseluruh pihak sebelum proses perencanaan dilaksanakan. Rancangan kebijakan ini menjadi dasar bagi Desa dan Kecamatan untuk merumuskan usulannya, sehingga dari awal telah didorong terjadinya keterpaduan antara kebijakan dan aspirasi. Rancangan kebijakan yang harus diinformasikan: kebijakan umum dan khusus per bidang, bidang-bidang prioritas, prioritas wilayah berdasarkan
168
bidang, ancar-ancar alokasi anggaran per bidang, ancar-ancar alokasi dana pembangunan per wilayah. Selain itu, informasi balik ke masyarakat atas status (diakomodasi atau tidak) dari usulannya menjadi sangat penting, agar masyarakat dapat mengetahui apa yang terjadi atas usulannya. Informasi harus terdiri dari: status usulan (diakomodasi, ditunda, ditolak) dan alasan/argumentasinya. Setiap proses perencanaan tersebut harus sangat terbuka kepada publik, sehingga masyarakat dapat memantau dan memonitor proses
yang
kepedulian
sedang
masyarakat
berjalan, dalam
dan
dapat
proses
membangkitkan
penganggaran
ini.
Sosialisasi publik dilakukan melalui media massa, materi yang harus dipublikasikan termasuk jadwal kegiatan, peserta kegiatan, substansi yang dibahas, dan hasil-hasil kesepakatan pada setiap proses. c.
Output kebijakan dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, minimal yang berkaitan dengan alokasi belanja publik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: Adanya kepastian bahwa prioritas usulan (REPETA) harus menjadi dasar utama dalam penyusunan APBD. DPRD harus melakukan proses penjaringan aspirasi masyarakat yang
terintegrasi
dengan
mekanisme
penjaringan
aspirasi
masyarakat yang dilakukan eksekutif. Sehingga dari awal telah terjadi keterpaduan antara eksekutif dengan legislatif. DIBALE terkait harus aktif dalam penjaringan aspirasi masyarakat. Tidak semata-mata hanya Kecamatan yang melakukan proses tersebut, namun seluruh DIBALE di lingkungan Kabupaten Bandung.
Masing-masing DIBALE atau Bidang, sejak awal
melakukan rangkaian diskusi penjaringan aspirasi masyarakat, dengan melibatkan komponen masyarakat yang representatif. Bapeda lebih difungsikan kembali menjadi “house of planning� yang berperan memfasilitasi dan koordinasi dalam penterpaduan aspirasi dan kebijakan. 2.
Prasyarat tersebut harus tertuang dalam suatu Mekanisme Perencanaan Pembangunan Tahunan yang mengatur semua pihak yang berkepentingan dengan proses perencanaan. Aturan ini mengatur: mekanisme keseluruhan proses perencanaannya, apa yang harus dan dapat dilakukan oleh legislatif, eksekutif, dan masyarakat, jaminan akuntabilitas dan transparansi, dan aspek-
169
aspek lainnya yang memberi ruang bagi masyarakat untuk dapat terlibat, mengawasi, berperan dalam pengambilan keputusan, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat, terutama masyarakat marjinal. Oleh karena aturan ini akan mengatur semua pihak di Kabupaten Bandung, maka harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah. 3.
Penguatan kapasitas pelaku-pelaku perencanaan, yaitu antara lain: a. Peningkatan kapasitas aparat pemerintah dalam memfasilitasi proses perencanaan. Perubahan paradigma aparat pemerintah daerah dari yang terbiasa bergaya birokrat menjadi fasilitator yang dapat memotivasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Penguasaan teknik analisis stakeholder yang dapat menjaring komponen-komponen yang representatif serta didukung penguasaan teknik-teknik fasilitasi kelompok. b. Peningkatan kualitas pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat untuk dapat terlibat dalam perencanaan.
Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya menuju pada sistem penganggaran partisipatif (participatory budgeting), yang memandang partisipasi aktif masyarakat adalah sebagai cara untuk mencapai produk kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Penganggaran partisipatif1 berkaitan dengan pelibatan dan konsultasi bersama masyarakat dalam siklus penyusunan anggaran berdasarkan kepentingan dari berbagai stakeholder yang ada di daerah, yang meliputi didalamnya partisipasi stakeholder dalam proses dimana tujuan rencana dikuantifikasikan dan dioperasionalisasikan secara fiskal, yang meliputi: penetapan visi, pendefinisian sasaran, pertimbangan prioritas, pengembangan program yang telah direncanakan untuk mencapai sasaran yang ditentukan, pemobilisasian dan pembangkitan pemasukan untuk membiayai proyek dan program prioritas, proses pengesahan anggaran, implementasi anggaran dan evaluasi. Penganggaran partisipatif adalah suatu proses yang melibatkan perdebatan dari berbagai stakeholder dalam menganalisis, memprioritaskan, dan memonitor keputusan yang berkenaan dengan pendapatan dan belanja untuk urusanurusan publik, sehingga keterlibatan masyarakat/stakeholder secara luas merupakan suatu keniscayaan. Namun demikian untuk mewujudkan perubahan-perubahan tersebut, diperlukan suatu komitmen bersama dan political will dari para pengambil kebijakan untuk berusaha mewujudkannya. Institusi eksekutif dan legislatif merupakan agen yang sangat menentukan dalam terwujudnya sistem perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung yang responsif terhadap aspirasi rakyat. Komitmen ini sangat
1 Dalam makalah: “Participatory Budgeting: Opening Decision Making to Society� yang disampaikan oleh J. Cofie-Agama dalam African Local Government Action Forum Session 8, pada bulan April 2001.
170
membutuhkan adanya perubahan pada institusi dan perilaku eksekutif dan legislatif. Format politik yang ada saat ini tidak memberikan iklim yang kondusif bagi terciptanya sistem perencanaan ini. Selama legislatif masih mementingkan kepentingan partai dan golongannya dibandingkan kepentingan masyarakat luas akibat konfigurasi sistem politik perwakilan kita saat ini, maka perubahan yang berarti dalam sistem perencanaan pembangunan tidak dapat terwujud. Demikian halnya dengan eksekutif yang masih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan aparaturnya maka perubahan yang berarti belum dapat diharapkan. Namun demikian, peliknya kondisi dan situasi baik di pemerintah dan di masyarakat yang ada saat ini kurang memberikan harapan yang memadai, suatu strategi besar perlu dirumuskan terlebih dahulu. Strategi umum ini menjadi suatu koridor dan panduan perubahan sistem yang lebih luas. Tahapan-tahapan umum yang mungkin dapat dilakukan antara lain: 1.
Perbaikan dan penyempurnaan prosedur. Perlu dibuat suatu prosedur atau mekanisme perencanaan yang mengatur semua pihak berkaitan dengan suatu konsep ideal mekanisme perencanaan di daerah. Mekanisme atau prosedur ini sebagai aturan main yang mengatur segenap aspek yang telah disebutkan sebelumnya perlu ditetapkan dalam suatu ketetapan hukum. Pada tahap awal dapat didorong dengan penerbitan Surat Keputusan Bupati yang mengatur di wilayah eksekutif saja. Tahap berikutnya didorong penerbitan suatu Peraturan Daerah yang mengatur segenap pelaku perencanaan. Mekanisme ini menjadi “ruang bermain� para pelaku perencanaan agar dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan secara fair.
2.
Penguatan kapasitas dari setiap pelaku-pelaku perencanaan. Aparat didorong untuk dapat mendorong partisipasi masyarakat. Masyarakat semakin terorganisir dan memiliki kapasitas yang memadai untuk berpartisipasi. Legislatif memiliki kapsitas dalam menjaring aspirasi masyarakat dan berinteraksi dengan berbagai kalangan. Disini diperlukan suatu pembagian peran tentang siapa yang melakaukan proses-proses penguatan kapasitas.
3.
Perubahan format politik yang ada saat ini berkaitan dengan distribusi kekuasaan antara legislatif dan eksekutif, mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil rakyat yang representatif. Perubahan format politik ini akan sangat mempengaruhi dinamika partisipasi masyarakat dan perilaku legislatif dan eksekutif dalam perencanaan kebijakan dan pembangunan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perubahan terhadap UU yang ada berkaitan dengan format politik di daerah dan pusat, khususnya UU Politik.
171
Secara sederhana, tahapan-tahapan tersebut dapat dianalogikan sebagai berikut. Pertama, siapkan ruang atau wadahnya (mekanisme) yang ideal untuk dapat menampung dinamika partsipasi masyarakat. Kedua, persiapkan apa saja yang akan mengisinya baik prasarana pendukung maupun manusianya, namun yang terutama adalah manusianya. Ketiga, dorong perubahan yang telah dilakukan untuk memperoleh dukungan yang lebih luas baik di tingkat daerah maupun nasional.
6.2 Keterbatasan dan Rekomendasi Studi Lanjutan 6.2.1
Keterbatasan Studi 1.
Penelitian ini hanya menggunakan sample yang relatif kecil dibandingkan luasnya wilayah Kabupaten Bandung. Sehingga masih sangat terbuka kemungkinan bahwa hasil penelitian ini belum dapat menggambarkan kondisi yang menyeluruh pelaksanaan perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung.
2.
Pengumpulan data yang mengandalkan pada wawancara semi-terstruktur yang pada saat pengumpulan datanya, perekaman dilakukan pada tiga kondisi: informan bersedia untuk direkam pembicaraannya; informan tidak bersedia untuk direkam sehingga sangat mengandalkan peneliti dalam proses pencatatan informasi; kondisi yang tidak memungkinkan untuk merekam maupun mencatat karena dipandang dapat menghambat secara psikologis bagi informan untuk menyampaikan pendapatnya.
3.
terbatasnya kesempatan bagi peneliti untuk terlibat langsung dalam setiap kegiatan, sehingga pengetahunan tentang bagaimana interaksi antar personal dan dinamika pembahasan tidak dapat dirasakan secara langsung, hanya mengandalkan pada pengalaman orang lain. Kondisi ini sangatlah memungkinkan terjadinya bias informasi.
4.
Aspek keterwakilan kepentingan wilayah dan isu hanya diasumsikan dengan
kehadiran
atau
keterlibatan
dari
masing-masing
kelompok
masyarakat.
6.2.2
Rekomendasi Studi Lanjutan Studi-studi lanjutan yang perlu dilakukan untuk menindaklanjuti kajian ini adalah: 1. Kajian tentang desentralisasi kewenangan dan fiskal dari Kabupaten ke Desa. 2. Kajian hubungan kelembagaan dalam perencanaan 3. Kajian Modal Sosial dalam Perencanaan di tingkat komunitas. 4. Kajian Strategi Pengorganisasian Masyarakat Marjinal untuk Terlibat dalam Perencanaan Pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Kelompok Buku Abbot, John. 1996. Sharing The City: Community Participation in Urban Management. London: Earthscan Publications Limited. Clegg, Steward R. 1989. Framework of Power. London: Sage Publications. Dedi Haryadi dan Riyan Sumindar. 2002. Belanja-Belanja Dewan: Studi Dokumen Anggaran Belanja DPRD Kota Bandung 1997-2002. Bandung: Bandung Institute of Governance Studies (BIGS). Denscombe, Martyn. 1998. The Good Research Guide: for small-scale social research projects. Buckingham: Open University Press. Fagence, Michael. 1977. Citizen Participation in Planning. Oxford: Pergamon Press. Friedmann, John. 1987. Planning in Public Domain: From Knowledge to Action. Princeton: Princeton University Press. Healey, Patsy.1997.Collaborative Planning: Shaping Places in Fragmented Societies. London: Macmillian Press. Hetifah Sjaifudian. 2002. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Bandung: Ford Foundation, akan diterbitkan. Hirokawa, Randy Y., and Marshall Scott Poole, eds. 1986. Communication and Group Decision-Making. Newbury Park: Sage Publication. Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1999. Sosiologi. Tjm. Oleh Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga. Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar.2000. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Korten, David C. dan Sjahrir, ed. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pierre, Jon ,and B Guy Peters. 2000. Governance, Politics and the State. London: Macmillian Press. Patton Q., Michael. 1990. Qulitative Evaluation and Research Methods. Newbury Park: Sage Publications, Inc.
173
Richardson, R. Jack and Lorne Tepperman, eds. 1987. An Introduction To The Social World. [Toronto]: McGraw-Hill Ryerson Limited. Schoorl, J. W.. 1991, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang. Tjm. oleh R.G Soekadijo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Turner, Mark and David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development: Making the State Work. West Hartford: Kumarian Press. Uhlin, Andres. 1998. Oposisi Berserak: Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Tjm. oleh Rofik Suhud. Bandung: Penerbit Mizan.
Kelompok Terbitan Jurnal M. Hasan, Zuliansyah PZ, Alex Silas dan Respatianto. 2002. Pengembangan Sistem Partisipasi dan Representasi dalam Pelaksanaan Musyawarah Pembangunan di Kota Depok. Jurnal Forum Inovasi: Repetada 2003 Menjalin Potensi Daerah: 5-15. Lukman Hakim. 2002. Anggaran Berbasis Kinerja: Sebuah Reformasi Sistem Anggaran Daerah. Jurnal Forum Inovasi: Kinerja Lima-E Keuangan Publik: 5-13. Arien Pakpahan. 2002. Upaya Pencapaian Good Governance dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Jurnal Forum Inovasi: Kinerja Lima-E Keuangan Publik: 92-101.
Kelompok Tugas Akhir dan Penelitian Diding. 2001. Kapasitas Forum Warga Sebagai Ruang Transaksi Sosial Dalam Perencanaan, Studi Kasus Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Tugas Akhir, Departemen Teknik Planologi, Bandung. Retno Astuti dan Putri Mirmasari. 2002. Kajian Perilaku Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan Publik: Masukan Bagi Penyusunan RDTRK Majalaya, Kabupaten Bandung. Tugas Akhir, Departemen Teknik Planologi, Bandung. Siti Nurlela. 2001. Perbandingan Good Governance dan Model Madinah: Eksplorasi Sistem Nilai Dalam Perencanaan Melalui Metode Delphi. Tugas Akhir, Departemen Teknik Planologi, Bandung. Widdi Aswindi. 2002. Studi Perilaku Politis Dalam Pemanfaatan Ruang Publik (Studi Kasus: Perilaku Pedagang Kaki Lima di Pusat Kota Majalaya). Tugas Akhir, Departemen Teknik Planologi, Bandung.
174
Diding dan Ari Nurman. 2002. Mekanisme Pengambilan Keputusan dan Representasi Komunitas dalam Konteks Relasi Kekuasaan, Studi Kasus: Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera. Penelitian, IPGI Bandung.
Kelompok Aturan dan Ketentuan Pemerintah Indonesia. 2002. Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kabupaten Bandung. 2002. Peraturan Daerah nomor 2 tentang perubahan atas Peraturan Daerah nomor 5 tentang tata cara pencalonan, pemilihan, pelantikan dan pemberhentian Kepala Desa. Kabupaten Bandung. 2002. Peraturan Daerah nomor 10 tentang pembentukan organisasi lembaga teknis Daerah Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung. 2002. Keputusan Bupati Bandung nomor 21 tentang pelimpahan sebagian kewenangan Bupati kepada Camat. Kabupaten Bandung. 2002. Keputusan Bupati Bandung nomor 22 tentang mekanisme perencanaan pembangunan tahunan Kabupatan Bandung. Kabupaten Bandung. 2002. Keputusan Bupati Bandung nomor ___ tentang pembentukan Panitia Penyelenggara Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah (FPPTD) Kabupaten Bandung Tahun 2002. Kabupaten Bandung. 2002. Keputusan Bupati Bandung nomor 941/Kep. 601ABAKD/2002 tentang pembentukan Tim Penyusunan, Perubahan dan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2002. Kabupaten Bandung. 2002. Keputusan Bupati Bandung nomor ___ tentang Strategi dan Prioritas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bandung tahun Anggaran 2003. Kabupaten Bandung. 2002. Nota Daerah
Kabupaten
nomor
130 842-UM 201/04-HUK/2002
Tahun Anggaran 2003.
Kesepakatan
Bandung
dengan
Antara
Dewan
Pemerintah
Perwakilan
Kabupaten
Rayat Bandung
tentang Arah dan Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bandung
175
Kabupaten Bandung. 2000. Peraturan Daerah nomor 3 tentang pembentukan, pemecahan, penghapusan dan penggabungan Desa. Kabupaten Bandung. 2000. Peraturan Daerah nomor 5 tentang tatacara pencalonan, pemilihan, pelantikan, dan pemberhentian Kepala Desa. Kabupaten Bandung. 2000. Peraturan Daerah nomor 6 tentang tatacara pemilihan dan atau pengangkatan Perangkat Desa. Kabupaten Bandung. 2000. Peraturan Daerah nomor 8 tentang pedoman organisasi Pemerintah Desa. Kabupaten Bandung. 2000. Peraturan Daerah nomor 9 tentang pedoman pembentukan Badan Perwakilan Desa. Kabupaten
Bandung.
2000.
Peraturan
Daerah
nomor
11
tentang
lembaga
kemasyarakatan di Desa. Kabupaten Bandung. 1999. Keputusan DPRD No. 12 tentang peraturan tata tertib DPRD Kabupaten Bandung. Desa Wangisagara. 2002. Peraturan Desa nomor 5 tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa. Desa Wangisagara. 2001. Peraturan Desa nomor 4 tentang lembaga kemasyarakatan di Desa dengan sebutan LKMD Desa Wangisagara. 2001. Peraturan Desa nomor 2 tentang pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).
LAMPIRAN A. MATRIK STRUKTUR KETERWAKILAN MELALUI ORGANISASI DAN ASOSIASI SOSIAL DI MASYARAKAT Agen/ pihak wakil
No.
Asosiasi Sosial
Konstituen Basis
1
Kecamatan
- Wakil Pemerintah Daerah (Bupati) di wilayah Kecamatan - Wakil wilayah Kecamatan apabila berinteraksi dengan pihak lain, berkaitan dengan tugastugas pemerintahan.
Melaksanakan sebagian kewenangan Bupati dalam melaksanakan, mengkoordinasikan, merumuskan tujuan dan sasaran penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Wilayah Kecamatan
Camat
Masyarakat di Wilayah Desa bersangkutan.
- membina kehidupan masyarakat desa, - membina perekonomian desa, - membina ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, - mendamaikan perselisihan, mengajukan Rancangan Perdes dan menetapkannya
- Kepala Desa - Perangkatperangkat Desa
2
Pemerintah Desa
Tugas/Fungsi/Isu
Ada/ tidaknya kesamaan identitas dengan Wakil Camat tidak selalu berasal dari wilayah kecamatan yang bersangkutan, karena Camat diangkat oleh Bupati, sangat tergantung kebijakan Bupati.
Harus berasal dari masyarakat desa yang bersangkutan.
Cara penyampaian aspirasi
Mekanisme Pemilihan Camat diangkat oleh Bupati atas usulan Sekretaris Daerah
Pemilihan secara Langsung yang difasilitasi oleh Panitia Pemilihan yang dibentuk oleh BPD
Mekanisme kontrol dan akuntabilitas
penyampaian langsung secara informal. Penyampaian melalui kegiatan/ rapat/ pertemuan formal
- pengawasan struktural dari tingkat Kabupaten. - Bertanggung jawab kepada Bupati. - Gerakan massa
- penyampaian aspirasi secara langsung; - melalui lembaga lembaga desa: BPD, LKMD, - melalui tokohtokoh masyarakat dan agama
Bertanggung jawab kepada masyarakat melalui BPD
-
-
176
Konstituen Basis
3
Badan Perwakilan Desa
Masyarakat Desa yang memilihnya di wilayahnya
-
4
LKMD
Masyarakat di wilayah Desa yang bersangkutan
- merencanakan, melaksanakan, dan memelihara pembangunan, - pembangunan yang bersifat fisik dan nonfisik - menumbuhkan kesadaran berpartisipasi
Ketua LKMD
5
Rukun Warga
Masyarakat RW yang bersangkutan
- membantu pemerintah dalam pelayanan terhadap masyarakat serta penyebaran dan pengamanan program, - memotivasi masyarakat dalam pembangunan, - inisiatif menggali potensi masyarakat, - menampung aspirasi masyarakat
Ketua RW
No.
Tugas/Fungsi/Isu mengayomi, legislasi mengawasi menampung aspirasi masyarakat desa
- Secara kelembagaan diwakili oleh Ketua BPD. - Setiap anggota BPD mengemban fungsi perwakilan masyarakat di desa
Ada/ tidaknya kesamaan identitas dengan Wakil Harus berasal dari penduduk asli desa yang bersangkutan
Cara penyampaian aspirasi
Mekanisme kontrol dan akuntabilitas
Pemilihan secara langsung, disahkan oleh Surat Keputusan Bupati
- penyampaian aspirasi secara langsung; - melalui lembaga lembaga desa: RW, RT, dsb, - melalui tokohtokoh masyarakat dan agama
- Bertanggung jawab kepada masyarakat - Mekanisme kontrol dan pertanggung jawaban tidak jelas
Harus berasal dari penduduk asli desa yang bersangkutan
Dipilih melalui musyawarah desa. Caloncalon berasal dari pembahasan di tingkat masyarakat (RW)
- penyampaian aspirasi secara langsung; - melalui lembaga lembaga desa: RW, RT, dsb, - melalui tokohtokoh masyarakat dan agama
Karena dipilih masyarakat, secara moral memiliki tanggung jawab kepada masyarakat desa, secara kelembagaan bertanggung jawab kepada Kepala Desa.
Harus berasal dari penduduk asli desa yang bersangkutan
- pemilihan langsung melalui pemungutan suara - melalui musyawarah desa.
- penyampaian langsung baik secara formal (melalui kegiatankegiatan RW) maupun informal. - Melalui perantara
- bertanggung jawab kepada masyarakat di wilayah RW nya. - Mekanisme pertanggungjaw aban dan kontrol tidak jelas
Mekanisme Pemilihan
177
Agen/ pihak wakil
Asosiasi Sosial
No.
Asosiasi Sosial
Konstituen Basis
Tugas/Fungsi/Isu
Agen/ pihak wakil
Ada/ tidaknya kesamaan identitas dengan Wakil Harus berasal dari penduduk asli desa yang bersangkutan
Mekanisme Pemilihan Melalui musyawarah kepala keluarga di tingkat RT
Rukun Tetangga
Masyarakat di wilayah RT yang bersangkutan
Sama dengan RW
Ketua RT
6
PKK
Perempuan/Ibu rumah tungga di wilayah Desa/RW yang bersangkutan terutama yang aktif dalam kegiatan PKK
- memfasilitasi pelaksanaan berbagai aktifitas dan kegiatan sosial yang berkaitan dengan urusan kesejahteraan dan kesehatan ibu dan anak - sifat organisasi topdown.
Pengurus/tim penggerak PKK
Harus berasal dari penduduk asli desa yang bersangkutan
Internal di kalangan anggota PKK sendiri.
8
Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya
Pengusahapengusaha kecil menengah pribumi di Majalaya
- memperjuangkan kepentingan usaha tekstil Majalaya (khususnya pengusaha pribumi). - Menyampaikan aspirasi pengusaha Majalaya.
- Pengurus PPTM, - Penasehat PPTM
Berasal dari kalangan pengusaha tekstil Majalaya
Internal di kalangan anggota PPTM sendiri.
Cara penyampaian aspirasi
Mekanisme kontrol dan akuntabilitas
- penyampaian langsung baik secara formal (melalui kegiatankegiatan RW) maupun informal. - Melalui perantara - Melalui kesempatankesempatan pertemuan. - Penyampaian langsung - Melalui mediamedia interkasi seperti Posyandu, arisan, pengajian penyampaian secara langsung di berbagai kesempatan.
- bertanggung jawab kepada masyarakat di wilayah RW nya. - Mekanisme pertanggungjaw aban dan kontrol tidak jelas - tidak jelas
Kontrol internal.
178
Konstituen Basis
Tugas/Fungsi/Isu
Agen/ pihak wakil
di
Mempertahankan dan menjaga kepentingan PKL.
Ketua Kelompok
Kaki
Wadah organisasi dan wadah perjuangan pedagangan Kaki lima untuk mempertahankan eksistensinya
Pengurus FMPKL
PKL yang tergabung dalam Koperasi
Membantu perekonomian dan membantu mensejahterakan anggota.
Pengurus
9
KelompokKelompok basis PKL
PKL berdasarkan lokasi jualan
10
Forum Masyarakat Pedagang Kaki Lima
Pedagang Lima.
Ii
Koperasi PKL “Citra Wangi�
Ada/ tidaknya kesamaan identitas dengan Wakil Berasal dari kalangan Pedagang Kaki Lima. Ketua harus asli Majalaya.
Pengurus sebagain besar bukan berasal dari komunitas PKL, melainkan pihak-pihak yang dianggap dekat dengan PKL dan dianggap memiliki sumberdaya (jaringan dan kontak) Harus berasal dari komunitas PKL.
Cara penyampaian aspirasi
Mekanisme kontrol dan akuntabilitas
Musyawarah diantara pedagang kaki lima di masingmasing kelompoknya.
Penyampaian secara langsung di berbagai kesempatan.
Penujukkan/ pengangkatan melalui musyawarah.
Secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagai kesempatan
Kontrol dan mekanisme pertanggungjawab an tidak jelas karena Ketua selain diakui sebagai wakil komunitas, di sisi lain figurnya diakui sebagai tempat menggantungkan nasibnya. Telah diatur dalam AD/ART namun tidak dijalankan secara maksimal.
Melalui Rapat Anggota Koperasi.
Secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagai kesempatan
Mekanisme Pemilihan
Pertanggung jawaban kepada anggota melalui rapat anggota.
179
No.
Asosiasi Sosial
Agen/ pihak wakil
Asosiasi Sosial
Konstituen Basis
12
KP3A (Koperasi Paguyuban Pengusaha dan Pengemudi Angkutan)
Pengemudi dan pengusaha Angkot, terutama trayek Cileunyi – Majalaya.
Membantu perekonomian dan membantu mensejahterakan anggota.
Pengurus
13
Kelompok Tukang Becak
Tukang Becak di masing-masing pangkalan.
Diorganisasi oleh Kepolisian dengan maksud untuk ketertiban dan keamanan serta fungsi kontrol. Tiap kelompok tukang becak diminta memberikan iuran sejumlah uang oleh kepolisian
Ketua kelompok
14.
Kelompok tukang ojeg.
Para tukang ojeg di masingmasing pangkalan yang bersangkutan.
Sama becak
Ketua kelompok
No.
Tugas/Fungsi/Isu
dengan
tukang
Ada/ tidaknya kesamaan identitas dengan Wakil Para pengurus kebanyakan merupakan bekas preman, tidak ada pengemudi aktif yang menjadi pengurus Berasal dari satu komunitas tukang becak
Berasal dari satu komunitas tukang becak
Mekanisme Pemilihan
Cara penyampaian aspirasi
Mekanisme kontrol dan akuntabilitas
Tidak jelas
Tidak pernah
Tidak jelas
musyawarah
Langsung maupun tidak langsung dalam berbagai kesempatan.
musyawarah
Langsung maupun tidak langsung dalam berbagai kesempatan.
Tidak jelas. Fungsi ketua kelompok lebih sebagai penghubng antara tukang becak dengan kepolisian, walaupun untuk kepentingan lain, dirinya dipercaya untuk mewakili tukang becak. Tidak jelas.
180
Konstituen Basis
Tugas/Fungsi/Isu
15
Kelompok tukang delman
Tidak jelas (kurang terorganisasi)
Tidak terorganisasi seperti kelompok lain,
16
Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera
Masyarakat Majalaya besar
Sebagai media interaksi antar berbagai komponen masyarakat baik secara kelompok maupun individu untuk membahas dan memikirkan solusi berbagai masalah Majalaya.
Agen/ pihak wakil Tidak ada strutur ketua kelompok. Namun mengakui adanya tokoh delman yang menjadi patron bagi tukang delman apabila terkena masalah. Presidium FMMS
Ada/ tidaknya kesamaan identitas dengan Wakil Tidak jelas
Terbuka untuk semua komponen masyarakat.
Mekanisme Pemilihan
Cara penyampaian aspirasi
Mekanisme kontrol dan akuntabilitas
-
Langsung maupun tidak langsung dalam berbagai kesempatan.
-
Musyawarah untuk menentukan presidium dan ketua presidium.
Langsung maupun tidak langsung dalam berbagai kesempatan.
Pertanggungjawa ban internal, dan masing-masing anggota aktif mendapat kewajiban untuk menyampaikan ke khalayak.
181
No.
Asosiasi Sosial
LAMPIRAN B: PANDUAN PERTANYAAN WAWANCARA DAN PANDUAN WAWANCARA
Paduan Wawancara Pengumpulan Data Pada Tahapan Penjaringan Aspirasi Masyarakat Target Wawancara: Masyarakat Biasa Berbasis Wilayah Tempat Tinggal 1. Umum - Persepsi tentang gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat di lingkungan. - Pola pengelompokkan di lingkungan sekitar - Dimensi historis lingkungan - Permasalahan/isu yang paling dirasakan 2. Struktur Keterwakilan - Peran dan fungsi lembaga di desa (RT,RW, BPD, LKMD, Pemerintah Desa, PKK, Karang Taruna, Dsb) - Definisi, peran, dan fungsi tokoh masyarakat dalam menyuarakan atau menyelesaikan masalah/aspirasi. - Pengetahuan tentang bagaimana perangkat lembaga tsb. Dipilih? Bagaimana prosesnya? Apa dasar pemilihan personal yang bersangkutan? - Pihak-pihak yang dipercaya dapat menyuarakan atau menyampaikan masalah? Apa dasarnya?Isu-isu apa yang biasanya disampaikan? - Pihak-pihak yang dipercaya dapat membantu menyelesaikan masalah? Apa dasarnya? Apa kontribusinya? 3. Modus partisipasi - Bagaimana Cara Menyampaikan Aspirasi? - Proses penyelenggaraan rapat/rembug, siapa inisiator dan pengundangnya? Frekwensi rembug? Isu yang dibahas? Siapa yang diundang? - Media-media interaksi yang berpotensi sebagai media pembahasan masalah (pengajian, ronda, posyandu, dsb), siapa yang hadir? Apa isu yang dibahas? - Hubungan media-media diluar media formal dengan saluransaluran penyampaian aspirasi. 4. Proses Pengambilan keputusan - Isu-isu apa yang dibahas dalam rapat/pertemuan formal - Siapa yang hadir - Siapa sumber informasi? - Peran tokoh dan elit dalam mempengaruhi suasana dan keputusan? - Siapa figur yang vokal atau aktif? Bagaimana persepsi tentang kevokalan figur tersebut. - Bagaimana pola pengambilan keputusan? - Suara siapa yang paling diperhatikan? 5. Distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan - Siapa yang dominan dalam memutusakan keputusan? Apa motifnya? Latar belakngnya?persepsi terhadap figur tersebut? - Peran tokoh, elit, perangkat dalam pengambilan keputusan? - Peran masyarakat biasa.
183
Target Wawancara: Masyarakat Biasa Berbasis Isu 1. Umum - Persepsi tentang gambaran kondisi sosial ekonomi dalam kelompok/komunitas tsb. - Hubungan antar anggota kelompok - Terorganisir/tidak terorganisir (ada/tidaknya organisasi yang mewadahi/menyatukan anggota) - Dasar/pola pengelompokkan di lingkungan sekitar - Tujuan dan kepentingan organisasi - Permasalahan/isu yang paling dirasakan 2. Struktur Keterwakilan - Struktur kelompok/organisasi - Peran, fungsi, kewenangan elit dalam struktur kelompok/organisasi - Bagaimana elit dipilih atau diakui? Atas dasar apa? - Pihak-pihak yang dipercaya dapat menyuarakan atau menyampaikan masalah? Apa dasarnya?Isu-isu apa yang biasanya disampaikan? - Pihak-pihak yang dipercaya dapat membantu menyelesaikan masalah? Apa dasarnya? Apa kontribusinya? - Bagaimana hubungan dengan pihak eksternal 3. Modus partisipasi - Proses penyelenggaraan rapat/rembug, siapa inisiator dan pengundangnya? Frekwensi rembug? Isu yang dibahas? Siapa yang diundang? - Media-media interaksi yang berpotensi sebagai media pembahasan Hubungan media-media diluar media formal dengan saluran-saluran penyampaian aspirasi. 4. Proses Pengambilan keputusan - Isu-isu apa yang dibahas dalam rapat/pertemuan formal - Siapa yang hadir - Siapa sumber informasi? - Peran tokoh dan elit dalam mempengaruhi suasana dan keputusan? - Siapa figur yang vokal atau aktif? Bagaimana persepsi tentang kevokalan figur tersebut. - Bagaimana pola pengambilan keputusan? - Suara siapa yang paling diperhatikan? 5. Distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan - Siapa yang dominan dalam memutusakan keputusan? Apa motifnya? Latar belakngnya?persepsi terhadap figur tersebut? - Peran tokoh, elit, perangkat dalam pengambilan keputusan? - Peran masyarakat biasa.
184
Target Wawancara: Elit (Tokoh Masyarakat, Elit Kelompok) dan Lembaga Desa 1. Umum - Persepsi tentang gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat di lingkungan/kelompok yang bersangkutan - Hubungan antara anggota/masyarakat dengan elit/tokoh/lembaga desa. - Pola pengelompokkan di lingkungan sekitar - Dimensi historis lingkungan/pengorganisasian - Permasalahan/isu yang paling dirasakan - Gambaran Proses Penyelenggaran FPPT (tambahan untuk Perangkat Kecamatan) 2. Struktur Keterwakilan - Struktur kelompok/organisasi - peran, fungsi, dan wewenang elit atau perangkat lembaga desaberkaitan dengan menyuarakan atau menyelesaikan masalah/aspirasi. - Pengetahuan tentang bagaimana perangkat lembaga tsb. Dipilih? Bagaimana prosesnya? Apa dasar pemilihan personal yang bersangkutan? - Apa dasarnya mencalonkan atau berinisiatif untuk menduduki posisi elit (perangkat lembaga – Ketua RT,RW,PKK,LKMD, Desa, BPD, Ketua Kelompok/Organisasi dsb>) 3. Modus partisipasi - Proses penyelenggaraan rapat/rembug, siapa inisiator dan pengundangnya? Frekwensi rembug? Isu yang dibahas? Siapa yang diundang? Apa dasarnya? - Media-media interaksi yang berpotensi sebagai media pembahasan masalah (pengajian, ronda, posyandu, dsb), siapa yang hadir? Apa isu yang dibahas? - Hubungan media-media diluar media formal dengan saluran-saluran penyampaian aspirasi. - Bagaimana masyarakat menyampaikan aspirasi 4. Proses Pengambilan keputusan - Isu-isu apa yang dibahas dalam rapat/pertemuan formal - Siapa yang hadir - Siapa sumber informasi? - Peran tokoh dan elit dalam mempengaruhi suasana dan keputusan? - Siapa figur yang vokal atau aktif? Bagaimana persepsi tentang kevokalan figur tersebut. - Bagaimana pola pengambilan keputusan? - Suara siapa yang paling diperhatikan? 5. Distribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan - Siapa yang dominan dalam memutusakan keputusan? Apa motifnya? Latar belakngnya?persepsi terhadap figur tersebut? - Peran tokoh, elit, perangkat dalam pengambilan keputusan? - Peran masyarakat biasa.
185
Paduan Wawancara Pengumpulan Data Pada Tahapan Proses Penyusunan APBD
Target Wawancara: Birokrat dan Anggota DPRD 1. Bagaimanakah Proses Penyusunan APBD tahun anggaran 2003 yang informan tahu? 2. Bagaimanakah Proses Penyusunan AKU dan STRATAS APBD i. Bagaimana proses penyusunannya? ii. Pihak-pihak yang terlibat? iii. Apa bentuk keterlibatannya? Apa kontribusinya? iv. Dasar penyususunan? Informasi yang digunakan? v. Proses penetapan/pengambilan keputusan? vi. Ilustrasi proses pelaksanaan? 3. Bagaimana Proses Penyusunan RASK i. Bagaimana proses penyusunannya? ii. Pihak-pihak yang terlibat? iii. Apa bentuk keterlibatannya? Apa kontribusinya? iv. Dasar penyususunan? Informasi yang digunakan? v. Proses penetapan/pengambilan keputusan? vi. Ilustrasi proses pelaksanaan? 4. Bagaimana Proses penilaian RASK dan Penyusunan Rancangan APBD i. Bagaimana proses penyusunannya? ii. Pihak-pihak yang terlibat? iii. Apa bentuk keterlibatannya? Apa kontribusinya? iv. Dasar penyususunan? Informasi yang digunakan? v. Proses penetapan/pengambilan keputusan? vi. Ilustrasi proses pelaksanaan? 5. Bagaiaman Proses penetapan APBD i. Bagaimana proses penyusunannya? ii. Pihak-pihak yang terlibat? iii. Apa bentuk keterlibatannya? Apa kontribusinya? iv. Dasar penyususunan? Informasi yang digunakan? v. Proses penetapan/pengambilan keputusan? vi. Ilustrasi proses pelaksanaan? 6. Bagaimana proses pasca APBD i. Bagaimana proses penyusunannya? ii. Pihak-pihak yang terlibat? iii. Apa bentuk keterlibatannya? Apa kontribusinya? iv. Dasar penyususunan? Informasi yang digunakan? v. Proses penetapan/pengambilan keputusan? vi. Ilustrasi proses pelaksanaan?
186
Panduan Melakukan Wawancara 1.
2.
3.
4.
5.
pertanyaan-pertanyaan diatas meruapakan panduan saja dalam menggali informasi dari informan, tidak dipertanyakan dalam suatu alur yang kaku. Hal ini dimaksudakan agar memberikan kebebsan bagi informan untuk menyampaikan informasi. setiap informan diminta kesediannya untuk diwawancara dan diminta kesediannya apakah bersedia direkam, atau tidak. Apabila tidak berkenan direkam, semua informasi penting dicatat dalam buku catatan dan apabila perkataan-perkataan atau ucapan informan dianggap penting, diusahakan untuk mecatat semua ucapannnya. Seluruh hasil wawancara dari informan yang bersedia untuk direkam, dibuat transkrip wawancara yang memuat semua informasi dan ucapan yang disampaikan oleh informan hasil wawancara dari informan yang tidak beredia untuk direkam di buat risalah/resume waawncara yang berisi informasi-informasi dari informan dan catatan tenang ungkapan/ekspresi/perkataan yang kritis dan penting sehubungan dengan substansi wawancara. dalam kondisi tertentu, pada pengumpulan data di tingkat akar rumput (ojeg, PKL, keretek, dsb.) agar wawancara dapat mengalir tanpa merasa canggung dan bebas, maka wawancara dilakukan dengan santai, dan interviewer tidak melakukan pencatatan. Hasil wawancara dituliskan sesegera mungkin setelah dilakukannya wawacara dengan mengandalkan ingatan interviwer.
LAMPIRAN C. PIHAK-PIHAK YANG DIWAWANCARA Kelompok Masyarakat Berbasis Wilayah Tempat Tinggal Bpk. Ayit Rochman (Pj. Kepala Desa Majalaya), wawancara tanggal 10 Januari 2003. Bpk. Endang Jaja (Ketua RW 10B Desa Majalaya), wawancar tanggal 17 Januari 2003. Ibu Romlah (Ketua RW 06, Ketua LKMD, Ketua Penggerak PKK Desa Majalaya), wawancara tanggal 10 januari 2003. tanggal 15 Januari 2003, tanggal 25 April 2003. Wulan (Lulusan UPI, aktifis FMMS), wawancara tanggal 10 Januari 2003. Ibu Edi (Ibu Rumah Tangga, anggota pengurus Penggerak PKK RW 10 B), wawancara tanggal 10 Januari 2003. Bpk Marna (Ketua RT 03), Wawancara tanggal 10 Januari 2003 M. Ohan Burhanudin (Anggota BPD Desa Padaulun, bekas Kades), wawancara tanggal 15 Januari 2003. Bpk. Sukandar (Anggota LKMD Desa Padaulun, aktif di gerakan buruh), wawancara tanggal 15 Januari 2003. Ibu Neni (Ibu Rumah Tangga, Ketua RW 06 Desa Padaulun), wawancara tanggal 29 Januari 2003. Bpk. Damik (Kepala Dusun di Desa Padaulun), wawancara tanggal 29 Januari 2003. Mamah dan anaknya Tatang (Warga biasa, masuk Keluarga pra Sejahtera), wawancara tanggal 29 Januari 2003. Bpk. Darya (Kepala Desa Wangisagara), 25 April 2003, 4 Juni 2003. Bpk. Hikmat Budiman (Kepala Desa Padaulun), wawancara tanggal 15 Januari 2003, 25 April 2003. Iman Hilman (Sekdes), Dedy (Kaur Umum), Wawan (Kaur Ekbang) Desa Wangisagara, wawancara tanggal 24 April 2003. Ny. Hj. Ai Atikah (aktifis PKK dan kesejahteraan keluarga) wawancara tanggal 25 April 2003. Ibu Tri (Kasie Perencanaan Kecamatan Majalaya), wawancara tanggal 10 Januari 2003. Dudu Kosasih (Kasie Informasi), wawancara tanggal 4 Juni 2003. Kelompok Masyarakat Berbasis Isu/Kepentingan/Minat Bpk. Sadeli (Anggota BPD desa Majalaya, Penasehat DPC Kecamatan Majalaya PDI-P), wawancara tanggal 10 Januari 2003. Bpk. Deden Suwega (Pengusaha, pengurus PPTM), wawancara 29 Januari 2003. Bpk. Ateng dan Bpk Agus (Tukang Ojeg, ketua dan wakil Kelompok Ojeg wilayah Kebon Tiwu Desa Majalaya), wawancara tanggal 29 Januari 2003. Bpk, Enjang Ruchiyat (Pedagang Kaki Lima di Majalaya, ketua kelompok basis) BPK. Abbas (PKL Majalaya), wawancara tanggal 16 April 2003. Ery (Bekas pendamping penguatan kapasitas lokal IPGI Bandung), wawancara tanggal 18 Januari 2003. Bpk. Ace Hidayat (Sopir dan wakil Pengemudi Bis Kobutri), wawancara tanggal 17 April 2003. Bpk Empud (tukang ojeg di wilayah pangakalan di pusat kota), wawancara tanggal 20 April 2003. Bpk. Nono (Humas SPSI Kecamatan Majalaya), wawancara tanggal 23 April 2003. Aparatur Pemerintah Tingkat Kabupaten Bpk. Tatang Rustandar W (Kepala Bidang Perencanaan Fisik dan Prasaran Bapeda Kabupaten Bandung), wawancara tanggal 8 Januari 2003 Ny. Anita Emmayanti (Kepala Sub. Bidang pada Bidang Monitoring dan Evaluasi), wawancara tanggal 22 Mei 2003. Ny. Tetty (Kabid Perencanaan Ekonomi), wawancara tanggal 5 Juni 2003. Bpk. Bambang Subagyo (Kepala Bidang Litbang Bapeda Kabupatan Bandung), wawancara tanggal 5 Juni 2003. Bpk. Yana (staff Bidang Perencanaa Ekonomi), wawancara tanggal 5 Juni 2003
187
LAMPIRAN D HASIL WAWANCARA
Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
T
I T I
: Tatang Rustandar W : PNS/Kepala Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana Bapeda Kab. Bandung : Riung Bandung : 8 Januari 2003/14.00 – 15.00 : Kantor IPGI Bandung
Isi paparan Garis besar belanja daerah kan dibagi menjadi dua belanja apartur dan belanja pelayanan publik. Baeula mah, rutin kan ada belanja pegawai..ada perjalan dinas, atk, bahan kantor lah, pemeliharaan, operasi, dsb. Di rutin baheula mah belanja pegawai sam perjalanan dinas dan Atk dan pemeliharaan oge, Pembangunan mah segala rupa. Jaman baheula, ternyata kalau dikaitkan dengan sekarang misalkan pembanunan gedung, pemerintah. Itu kan baheula kan pembangunan sekarang tuh masuk pada belanja aparatur tapi di modal. Jadi belanja apartur tuh belanja adalah belanja tidak langsung. Tak langsung melayani masyarakat. Kalau belanja publik langsung dirasakan oleh rakyat. Nyieun jalan, langsung dirasakan oleh masyarakat. Kalo nyieun gedung kantor melayani apartur, aparatur melayani rakyat. Beli kendaraan dinas, itukan memudahkan perjalanan apartur. Tapi meuli truk sampah mah pelayanan. Itu dibedakan. Gaji guru, guru langsung ngadidik, itu belanja publik. Gaji dokter di publik. Tapi saya mah perencana gaji birokrat itu masuk aparatur. Jadi nu baheula di pembangunan teh banyak juga yang lari kadieu ta (rutin ) kitu. Pemeliharaan nu baheula aya di rutin, bisa tetep di rutin bisa di pemeliharaan didieu, kumaha sifatna tadi. Bangunan SD di pemeliharaan tapi bangunan kator ma di.. Tapi dalam praktekna rada lieur…intrepretasi kita tentang permendagri no 29 masih beda. Contohna we kita di perencana di penyusunan anggaran leading sektorna pan aya dua Bapeda jeung BAKD. Di internal bapeda we encan sama. Di internal bakd encan sama, apalagi bapeda dengan bakd. Makanya silang pendapat masih sangat banyak. apalagi waktu sangat terbatas, mepet kan, jadinya siapa yang lebih dahulu dan yang memikirkan dahulu. Nah gitu, untuk tahun ini encan bener dan can konsisten can bener. Untuk saat ini pake sistem yang mana Udah ini Tapi belum Udah tapi sekarang anggarannya per dinas, namanya anggaran kinerja. Di apbd, dinas ini belanja aparaturnya berapa. Jadi lebih transparan Dulu kan pembicaraan dengan dewan kan hanya besaran anggaran per pasal. Dikerjakeun ke dinas naon ge teu jelas. Keur naon wae, naha ieu keur fisik ieu keur non fisik teu pati jelas. Ayeun ma jelas. Dulu ma ada yang wilayah eksekutif dan wilayah legislatif. Sekarang tidak wilayahwilayah lagi. Makanya kemajuan besar dari anggaran lama ke anggaran kinerja. Bahwa ada kelemahan, permendagri 29 masih anyar, waktu mepet, untuk memahamina ge can tuntas, komo ieu nggeus langsung kudu dilaksanakan. Diajar kudu geus nyieun, dari dewan juga di eksekutif. In konsistensi ada diakui itu, tapi semua orang memuji keberanian ada kemauan politis yang kut untuk berubah. Sebagai contoh kita masih pabeulit apakah…dulu ada sk bupati tentang 5 hal yang disentralisir tidak di dinas: pembelian kendaraan dinas, pembelian tanah, pembelian alat berat, surat kuasi,… walaupun kebutuhan dinas ditarik ke setda. Dengan anggaran kinerja ngga bisa lagi nih, harus sesuai dengan yang dibutuhkan, yang
189
butuh dinas kenapa oleh setda? Yang dimintai pertanggungjawabkan kan dinas, bisa lepas tangan dinasnih. Ini teh belum ada kesepahaman. Kita dengan BAKD, dan setda belum sepakat. Jadi inkonsisten ada yang sudah dinas ada yang masih dinas. Terus menginterpretasikan OP dan Modal. Perbaikan jalan itu Modal / OP…pemeliharaan. Tujuan OP adalah meningkatkan modal. Lebih parah lagi BAKD perang dengan Bapeda teh tapi ya maklum definisinya nanti di dalam sistem akuntasi di keuangan daerah.. kalau itu alokasinya anggaran modal dicatat di akuntasni ada penambahan aset pemerintah. Tapi kalo op hanya menambah nilai dan umur modal aja tapi tidak menambah aset.
A T
A T
A T
BAKD kan karek mulai, inventarisasi aset pemda encan lengkap berapa sih tanah yang dimiliki kabupaten bandung encan aya data, berapa sih panjang jalan yang kelola kab bandung encan lengkap pisan, di bapeda nggeus aya tapi tercatat di bakd. Maka bagi BAKD peningkatan jalan yang belum tercatat di bakd jadi modal, can tercatat. Di bapeda lain modal nggeus kacatat inkonsisten ngacaukeun Encan deui sifat barang modal. Ngadidik manusia itu kan modal oge, ilmu pengetahuan kan modal, yapi intangibel. Nah ini difinisi modal ngga? Sementara ini dibatasi yang bisa diduitkeun he..he..he nu bisa diukur ku duit. Kudu fisik gitu. Itu beberapa belum ada kesepakatan…kemudian masuk ke manajemen pengelolaan kegiatan. Beheula pan aya pimpro setiap kegiatan pasti ada pimpro. Kalo sekarang ngga ada. Setiap unit kerja itu satu penanggung jawab. Yaitu kepala dinas unit kerjanya dan satu bendaharawan satu pemegang kas. PU ada sekian kegiatan satu penanggung jawab satu pemegang kas, satu bendaharawan, nggeus euweuh keproyekan ayeuna. Betulkah tidak ada? Pertanyaannya apa akan langsung ditangani kepala dinas? Tah kesiapan itu teh can aya. Kumaha…how to organize…anggaran itu can dibahas karena udah gitu bukan hal mudah karena ada kegiatan yang sifatnya fisik paket-paket mudahnya… atau sifatnya non fisik di dinas pendidikan …kumaha sih memanaje nya itu tuh can siap.dengan instrumen-instrumenna…lieur matakna… Nah kumaha proses sekarang. Ada penyusunan AKU, udah pernah ya ini, terus stratas, terus rask lalu rapbd, dask. AKU itu arah dan kebijakan umum, APBD dasarnya ini. Adalah kesepakatan eksekutif dan legislatif, bentuknya sekarang ini sementara ini MOU. AKU dibangun dari penjaringan aspirasi, baik oleh DPRD atau oleh eksekutuf. Wujudnya kita terjemahkan ini ebagai rakorbang Kalo ini kan DPRD pokok-pokok pikiran dewan, eksekutif itu dari repetada Tapi kan Repetada dari penjaringan publik juga, makanya saya, ini nu ceuk saya ti januari penjaringan aspirasi eksekutif, nah supaya mulus DPRD ge harus dilibatkan harus ada kerjasama antar komisi dengan….untuk selalu melakukan serangkaian seminar, kegiatan penjaringan dan diskusi-diskusi yang mengerucut di rakorbang tapi tinggal , udah diaguskan gitu. Penjaringan aspirasi aya 2, penjaringan teritorial dan seltoral (sekarang baru teritorial) Kuduna mah kedua-duana dihadiri ku dewan. Dewan mengikuti teritorial dari utusan daerah, kalo sektoral komisi di dewan. Misalkeun komisi pembangunan naon wae..selalu diskusi. Sehingga dari sini mengerucut apa programprogramnya usulan-usulannya. Ini melalui eksekutif tapi karena dihadiri dewan ada proses politik laon masuk ke dprd ini juga jadi aspirasi, mungkin teu sarua tapi bahanbahannya kan sama lalu rakorbang dikonsolidasi disini. Rakorbang engke produkna ke AKU engke dibahas jadi mou. Dari rakorbang juga dengan AKU ini nyusun strategi dan prioritas APBD. Ini penerjemahan AKU lebih kongkrit. Ini yang menerjemahkan siapa? Bapeda, TPA, tim penyusun anggaran. Leading sektor disini nah sampai sini bapeda (stratas). Kalo udah bicara ini udah TPA khususnya timnya banyak, tapi leading sektornya 2 bapeda jeung BAKD, ini juga tpa tapi hampir 90% bapeda. Stratas kan penjabaran AKU, trus bentuknya strategi dan prioritasnya Ya mana yang jadi prioritas, kegiatan-kegiatan apa yang jadi prioritas kaya nyusun dsp lah tapi ada besaran duitnya. Nah dari sini DSp/stratas disepakati oeh tpa dengan Panggar Dewan. Stratas setelah disepakati masuk nyusun RASK (rencana anggaran
190
A T
A
Satuan Kerja). Jadi diinformasikan ke dinas biar dinas yang menjabarkan menjadi anggaran. Setiap dinas sakitu…kegiatanna…ieu…ieu…ieu.. itu ada di startas. Dinas ngajabarkeun kegiatan teh aya komponena biaya penunjang keur biaya fisik, pengawasan, naon kitu terus kali satuan harga kali volume jadi berbentuk RASK . Jadi ini mah gelondongan kegiatan (DSP lah)? RASK mah DUPDA baheula ada inputnya apa, outpunya apa, benefitnya apa, impactnya apa. Dari RASK direkap jadi APBD sampaikan ke dewan dibahas jadi apbd. Setelah net jadi apbd, dinas… ieu kan berubah dari RAPBD jadi APBD ada perubahan, nah net na teh sebenarna mirip RASK tapi ina mah nu net sesuai dengan APBD yang disepakatai. Dinas anu dipotong anggaran sakieu, pan berubah didieu ..Daftar. Nah sekarang dewan ngebahas RAPBD nggeus maca RASK jadi pan kaciri, baheula mah ngan maen angka global, kegiatan ieu sakieueun… Ayeuna nggeus teh sakitu deui kegiatan ieu teh naon wae komponen duitna. Biaya apa aja untuk komponen kegiatan teh. Satuan hargana…di taliti… teoritis! Tapi akhirna mah politis juga, Waktuna pan mepet kan, dinas yang disukai DPRD ah nggeus lah setuju…praktekna. Karena waktu mepet teu mungkin mariksa satusatu secara detil. Artinya dengan sistem ini memungkinkan meneliti secara detil jadi akuntabilitas naek. Prinsipnya, soal akuntabilitas dengan sistem ini bagus, terbuka ieu teh keur naon, kunaon duitna sakieu, mengapa itu sudah terjawab semua. Dulu itu wilayah eksekutif, sekarang jadi wilayah bersama. Teu aya deui batasna eksekutif dan legislatif semua ngebahas itu. Kalo tadi ada aspirasi dewan dan eksekutif itu gimana? Nah itu persoalannya, kelemahannya diawal di penjaringan jadi dsp yang dibentuk dari penjaringan rakorbang. Aspirasi dewan belum masuk atau aspirasi individual belum masuk. Persoalannya lebih banyak mekanisme di DPRD, apa yang disebut aspirasi, aspirasi individual atau aspirasi lembaga dewan. Kan begitu yang terjadikan aspirasi individual bergerilya setiap dinas nitip ieu salembar-salembar kitu pan. Setiap saat jleng we didieu (pembahasan APBD), jadi inkonsistensi. Kenapa tidak di sampaikan pada penjaringan aspirasi disini kan, …. Teh disini nih penyusunan anggaran nah ini mekanisme yang harus dibangun bersama dimana aspirasi-aspirasi itu bukan muncul di pembahasan APBD tapi mulai dari rakorbang dewan tuh harus sudah aktif gitu lho. Tidak diharamkeun aya aspirasi dewan da memang mereka menyuarakan aspirasi, cuman yang suka dikeluhkan eksekutif teh suka jadi pergesekan, aspirasi itu munculnya di akhir. Ngaruksak program jadina. Kalau diawal kan sudah diprogramkan kita kaji, nilai bersama. Kalo gini jadi pemaksaan kehendak, urang didieu sudah cukup demokratis, sudah mulai transparan, didieu tiba-tiba dijeujeulkeun kudu asup , jadi rusak.nah kita ingin narik aspirasi itu harus masuk disini, digodok bersama. Jadi kesini tuh makin konvergen karena teu mikiran program, nu kararitu pan tinggal mengevaluasi makin sini makin tajam. Ini yang nampaknya prosesnya yang harus dibangun . sistem udah bener tapi praktek dan kultur jadi gini kan ada struktur, kultur dan perilaku, tu encan tah kitu tah. Jadi pr berikutnya selain memantapkan struktur sama capacity building, terus kultur. Tantangan bagaimana sistem penjaringan aspirasi tidak hanya ti rakyat we ti dewan oge. Dewan teh ulah hayang ngabeubeuskeun didieu kudu mau ikut diskusi disini, aspirasi dewan diuji dipublik juga dan sekaligus dewan menyerap aspirasi dari publik juga. Jadi banyaknya mereka disini ya? Ya. Banyaknya disini…ya, jadi masalah. Jadi disini jadi politis kan padahal padahal yang dibangun kan bagaimana kebutuhan publik terlayani dari sini, transparansi terjaga, kan transparansi, akuntabilitas, partisipasi kalo disini kan jadi tidak aspiratif, transparan akuntabel kudu-kuduna. Iya kan merasa berkuasa, kurang pengetahuan sistem baru, kuasakarena ,memiliki hak budget itu, jadi bisa menjejalkan kehendak dia nah makanya akuntabilitas dewan di mata konstituen dipertanyakan. Aspirasi dewan tuh aspirasi konstituen atau pribadi. Tapi kan persoalannya anggota dewan kansekian partai, dari sekian wilayah, masuk ke dewan, jangan sampai aspirasi didominasioleh partai/wilayah tertentu. Kaya kamri aspirasi jalan we aya, total dengan jalan kabupaten aya 50, 36 jalan desa, 20 jalan kabupaten. Jalan kabupaten memang kewajiban kita, dari 20 yang bisa masuk hanya 14,tapi yang jalan desa 36 kan teu bisa dibiayaan ku kabupaten karena
191
bisa ngarusak ka sistem, nah dari 36 jalan desa ini ternyata yang ngusulkeun hanya segelintir orang ada satu orang anggota dewanyang usulannya 11 di satu kecmatan. Artinya kabeh desa di kecamatan kabeh meunang. … usulanna kudu meunang weh!. Usulanna ge gede-gede aya nu 810 juta, aya nu 40 juta, sementara rata-rata di tiap desa meunang 36,3 juta kan ironis jadi dari 36 hanya 10 orang yang usul.fair ngga? Ngga juga kan mencerminkan representasi suara dewan ngga? Ngga juga kan loba juga anggota dewan yang ngga ngusulkeun jalan. Kuduna aspirasi ini teh kalo ngga melalui mekanisme ini disaringnya yang muncul adalah kesepakatan DPRD, ini kan individu gerilya, jadi ini yang harus di benahi, tapi itu tantangan ya. Kita menerapkan struktur saja sudah langkah maju tinggal gmana capacity building setelah kultur… Ketika nyusun STRATAS ada kriterinya ngga? Nah ini disepakati sebelum Aku di rakorbang. Jadi di rakorbabg teh menyepakati AKU lain menyepakati formal, menyepakati aspirasi, jadi aspirasi untuk AKU dan STRATAS, setuju ngga kebijakan ini? Ka masyarakat. Masyarakat kan teu bisa jadi bapeda yang ngelontarin … nu ceuk saya karosong tea.. padahal disitu kan menyepakati alokasi anggaran kan. Nah setiap alokasi disusun stratasnya Kalo disini kan leading sektornya bapeda, terus disini bapeda dan bakd, alasannya? Kalo bakd kan administrasi keuangan, ya kalo teori dasarnya sekali bapeda kabeh, artinya bidang anggaran di bakd kuduna dipindahkeun ke bapeda, tapi kabayang betapa beratnya bukan hal yang mudah Kelihatan ngga inkonsistensinya? Keliatan… ada yang disepakati AKU… jadi AKU dan STRATAS di rakorbang dengan yang disepakati dewn beda komo didieu… tapi dari AKU dan STRATAS yang disepakati dewan, RASK APBD sudah mulai menunjukkan konsistensi, hanya ke rakorbang encan, karena intervensi dewan banyak disini. Jadi setelah rakorbang ini yang disepakati dewan> Ya! Informasi lebih lanjut: - pembahasan AKU dan STRATAS terpisah - rakorbang menentukan kriteri untuk STRATAS - proses rakorabang : pleno kelompok tim perumusa (nyusun dsp) sidang - tim perumus untuk menyusun dsp terdiri dari DIBALE dan masyarakat (lsm, pt) tapi pada pembahasannya diserahkan kembali ke bapeda.
Nama Pekerjaan/Jabatan Tempat Tinggal Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Wulandari : Aktifis FMMS dan lulusan UPI : Jl. Kondang, RW 10B, RT 4 : 10 Januari 2003/ 08.00 – 09.30 : di ruang Tamu rumah Wulandari.
Isu dan Media Pembahasan Masalah-Masalah di tingkat RT (Komunitas) Biasanya isu yang menyangkut masalah keseharian lebih sering dibahas secara informal antar sesama tetangga atau anggota RT yang berdekatan. Beberapa media informal yang digunakan untuk membahas permasalahan keseharian diantaranya: - Ronda. Ronda biasanya dihadiri oleh bapak-bapak. Pak RT (Ketua RT) selalu terlibat dalam acara ronda yang secara rutin dilakkan setiap hari. Ketika bapak-bapak berkumpul pada saat ronda, pada saat itulah secara tidak sadar membiacarakn berbagai permasalahan lingkungan yang dihadapi sehari-hari. Isu-isu yang paling sering dibacarakan antara lain: permasalahan lingkungan RT (konflik antar warga, kenakalan remaja – minum-minum/mabuk-
192
-
-
-
mabukkan, pergaulan remaja - , masalah situasi rumah tangga, ekonomi, dsb.) mengobrol secara informal Biasanya dilakukan secara tidak terrencana, yaitu ketika bertemu di jalan, bertamu, melakukan aktifitas bersama Banyak dilakukan oleh ibu-ibu ketika mencuci bersama, berbelanja. Isu yang dibahas biasanya berhubungan dengan aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalkan ketika mencuci bersama, mengeluhkan susahnya mendapatkan air bersih, kualitas air yang buruk, dsb; ketika berbelanja mengeluhkan masalah tingginya bahan pokok seperti beras, daging, sayur, sedangkan kondisi ekonomi keluarga yang mengkawatirkan; ketika ada kegiatan posyandu membicarakan masalah kesehatan, balita, pendidikan anak dsb. acara-acara rutin Seperti Pengajian, arisan, rapat rt rapat rt biasanya diadakan ketika sedang menghadapi suatu even tertentu mislakan di RT 4, ketika akan mengadakan penyelenggaraan Hari Raya Kurban, membicarakan kepanitiaannya, dan bagaimana distribusinya, ketika ada pengumuman dari kecamatan atau rw.
Isu dan Media Pembahasan Permasalahan yang berkaitan perempuan Biasanya media untuk membicarakan permasalahan adalah pada kesempatan berkumpul secara informa, melakukan kegiatan bersama (mencuci dan berbelanja), kegiatan yang mayoritas dihadiri perempuan. Sifat isu yang lebih sering dibicarakan adalah isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga seperti: harga barang pokok yang semkin sulit, masalah air, pendidikan anak, kesehatan keluarga, dsb. Sifat pembahasannya adalah hanya dibicarakan di kalangan perempuan dan paling banter disampaikan kepada suami maing-masing. Dalam beberapa kasus disampaikan kepada Pak RT. Cara menyampiakannnya bukan dengan sengaja mendatangi Pak RT tetapi ketika ada kesempatan bertemu dengan Pak RT seperti bertemu di jalan, dsb. Mekanisme Penyelesaian Masalah di Tingkat RT Ketika di tingkat rt terjadi masalah (terutama permasalahan lingkungan fisik) yang menjadi inisiator adalah Pak RT. Informasi diperoleh dari aduan masyarakat yang diterima oleh Pak RT melalui laporan-laporan atau media-media lain serta ditambah dorongan-dorongan masyarakat. Pak RT menindaklanjutinya dengan cara: 1. apabila masalah dipandang masih dapat diselesaikan di tingkat RT maka Pak RT mengajak rekan atau tetangga dekatnya untuk membicarakan cara menyelesaikannya. Kemudian dia mengundang beberapa orang terdekatnya atau mengajak seluruh warga untuk menyelesaikan masalahnya dengan meminta bantuan tenaga (kerja bakti) atau sumbangan. Orang-orang yang dianggap mampu sering dimintai bantuan berupa uang. 2. apabila permasalahan yang kira-kira tidak bisa dilakukan biasanya dilaporkan ke RW atau desa. Paling sering ke RW. Konsepsi tentang Tokoh Seseorang ditokohkan di lingkungan atas dasar: 1. sudah berumur 2. pengalaman atau pengetahuan keagaamaan Peran tokoh disini: 1. sebatas untuk menghadiri acara-acara serimonial (Wulan mengacu kakeknya yang dituakan oleh masyarakat sekitar untuk memimpin acara keagamaan
193
seperti acara akikahan, ceramah/pidato acara siraman pada prosesi pernikahan. Kakek wulan aktif di aktifitas masjid, penggerak pengajian). 2. memberikan saran atau pandangan tentang keagamaan (advisory role). Seseorang ditokohkan karena alasan-alasan: 1. toleran 2. karyanya pada lingkungn 3. kepeduliannya terhadap masyarakat 4. profesinya 5. sudah berumur
Nama Domisili Posisi Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
A
E a E
A
W E
A E
W E A E
: Ibu Edi : RW 10A/RT4, Desa Majalaya : Penggerak PKK Tingkat RW 10 : Jum’at, 10 Januari 2003 / 13.00 – 13.30 : Rumah ibu Edi
Isi Perkenalkan, nama saya adenantera dwicaksono, mahasiswa ITB jurursan teknik planologi. Kebetulan saya sedang menyusun tugas akhir. Berhubungan dengan itu saya ingin mewawancarai ibu, kalau tidak keberatan Ooo, ngga papa Sebenarnya saya pengen melihat tentan organisasi pkk di tingkat desa, kebetulan ibu kan penggerak pkk, jadi mungkin bisa cerita tentang kegiatannya seperti apa Ini penggerak Pkk tingkat desa apa tingkat rw, kalau tingkat desa dengan ibu romlah. Kalo Ibu kan penggerak tingkat rw, jadi pengetahuannya hanya tingkat rw. Kalo pengen tahu keadaan pkk desa ke bu romlah, kalo bu lurahnya masih baru kan Saya beberapa hari ini sudah mensurveidari tingkat rt, rw, sampai dengan desa, dan kebetulan ibu di rw mungkin ibu bisa cerita di tingkat rw Kalo kegiatan di tingkat rw sih ibu di posyandu tiap bulan ada penimbangan…apa lagi ya? Kalo dulu ada kegiatan senam tapi sekarng mah ngga ada. Ibu-ibi disini, Cuma meliputi kegiatan pengajian, posyandu di rw, ngga ada lagi, karena diatasnya penggerakpenggerak pkknya, jadi ibu kepala desanya sekarang , sekarang neng wulan juga tau, jadi kegiatan kegiatan pkk itu agak minim, ngga seperti dulu kalo dulu mah ada banyak kegiatan, ada keseniannya, apa ya… ada olahraga, kalo sekarang… kalo di desa ada seminggu dua kali kalo ngga’ rabu –kamis. Kalo di daerah sekitar sini Cuma iut di posyandu sama BKB, terus.. Ibu, BKB teh naon? Bina Keluarga balita, itu juga digabung sama posyandu kegiatannya, terus sama pengajian aja,… di Al barokah udah segitu aja, ngga ada kegiatan lagi, apa lagi?… Kalo dulu suka ada kalo sekarang agak minim kegiatan, karena dari atas juga agak minim juga, jadi ngga seperti dulu karena situasi di desanya, wulan kan juga tau.. Ada pertemuan-pertemuan rutin ngga? Cuma di posyandu aja, sebulan sekali setiap tanggal 4 suka ada, jadi Cuma meliputi posyandu aja sama ibu-ibu balita, ngga ada kegiatannya lainnya. Paling juga ada dari puskesmas Cuma meninjau keadaan posyandu. Kalau KB ku PKK oge bu? Iya, kalo KB bagiannya bu Ikoh dari rt I. Kb aktif juga Kalo lagi ngumpul gitu bu, sering membicarakan masalah keluarga ngga bu seperti masalah air… Ya kadang-kadang lah, jadi ibu-ibu gimana ya? Kalo datang ke posyandu udah nimbang di kasih pengarahan, ini balita harus gini-gini-gini, udah pulang ngga ada apa… ngga ada kegiatan lainnya, abis kegiatan kalo disuruh nunggu dulu…”tunggu bentar, ah nanti
194
W E
W E
A E
W E
W E W E
A E
kesini lagi” (menirukan perkataan ibu2 posyandu) gitu aja… Cuma sebentar, kao pengarahannya, ini anaknya harus gini..gini.gini jadi gimana ya neng wulan, susuah gitu… Sok nyarioskeun upami di pangaosan atanapi posyandu kitu teh masalah-masalah pembangunan seperti jalan reksak, gorong-gorong reksak Jarang-jarang, ibu-ibu mah jarang. Masalah pembangunnan tuh masalah bapak-bapak. Jadi jarang kegiatan seperti itu soalnya bapak-bapak. Kalo ibu-ibu ngga pernah. Ngga pernah, kalo ngga’ pernah ya ngga pernah, ngga’ perlu ditutup-tutupi. Paling-paling juga…Disana yang punya got kecil, disuruh ditutup tuh, ngga mau dia, “biarin aja!” jadi susah ibu –ibunya Biasanya kan ibu-ibu sok ngadumel ningali alan… Ih jalanna buruk ibu, iraha di omean Muhun, o sok. Nu ti payun jalan didieu, ti payun kenging nembok..muhun. Aya bantosan teh kadieu mun sakedik lamun ka palih ditu sae, RT 5 RT 6, pan sarae. RT 4 mah riewuh neng wulan. Semenna mah sakedik weh. Lamun sanesna mah kandel-kandel sakieusakieu. Dak eta ta tingalkeun payunan ibu nah, jalan teu aya, di semenan kenyataanna sakedik. Upami…kalo gini kalo semen itu ditembok ujan langsung abis. Untung aja di tembok ngga ujan. Agak padat mungkin. Sakedik disini mah. Ngga rata gitu. Kalo di rt 5 rt 6 bagus tembokkannya kalo rt 4 banyak yang e… bu edi katanya disini mau… biarin! Ngga tau ibu mah itu mah bagian bapak-bapak yang ngebangun… Misalnya ada keluhan-keluhan gitu, ya seputar rumah tangga gitu disampaikannya kepada siapa kepada bapak-bapak atau..? Biasanya ke pak rt, suka ngomong kalo ada keluhan masalah apa … jalan gitu? Disini kan ada penampungan air dari sini dari belakang, ini teh pengen dipindahin karena suka mampet, jadinya di ibu langsung masuk ke air sumur. Ibu juga sudah beberapa kali inta saran dari pak rt, udah dirapatin, ibu udah bikin surat dari bapak, coba buatin surat dari ibu-ibu yang punya saluran air. Eh udah rapat, udah katanya segini seewang, tapi kenyataannya sampai sekarang? Aya cai didieu? Cai mah seeur teu sesah. Cuman saluran air sebelas rumah disini teh langsung ke sana ke susukan solokan… nah itu teh suka macet, nah ibu teh pengen dipindahkan itu teh keluhan dari ibu-ibu semua, tapi kenyataannya sampai sekarang belum itu… katanya ada bantuan dari desa katanya, taunya teh Cuma jalan aja, disini teh ibu-ibu sudah pada kesel, ini saluran air suka macet, jadi seminggu sekali 2 minggu sekali suka dialirin… Janteun meuneup ya bu Jadi saluran air teh ada sebelas rumah kesana. Naha sih teu lancar gitu? Sampah? Janteun tos lami, tos 20 taon tuh belum ada renovasi. Tadinya mah cuman5 rumah terus nyambung-nyambung sampai 11 rumah ke sana, sekarang sudah 11 rumah gitu. Bagiannya kan ibu paling belakang disini, jadi kalo macet, “eh macet, airnya udah keluar lagi! Jadi akhirnya pada ngga’ mau. Pokoknya mah Cuma ibu sama yang deket-deket 3 ruamah yang suka ngarojok gitu. Udah ngomong sama pak rt “Pak RT, ini gimana dipindahin, dipindahin itu juga swadaya masyarakat, udah sepakat mau dipindahin, tapi giman diam aja ….gitu. Jadi kan kalo ibu udah aja,… kan udah ada pengurusnya. Disisni kan tiap taun ada bantuan dari desa gitu, Ngga tau tuh ibu ada bantuan-bantuan, ibu PKK gitu kalo ada bantuan-bantuan, ibu pkk tidak pernah dilibatkan, tidak pernah tau ngga’ ada. Kan seharusnya pkk itu kan masih…biasanya dilingkungan di rw. Tapi ibu ngga’ pernah tau masalah bantuan. Kalo denger sih suka, kalo rapat di desa juga… “gini …ada bantuan buat pisik, sekian juta atau sekian ribu, tapi ibu mah ngga tau. Ibu mah pokoknya sepengetahuan ibu sekitar posyandu sama pkk aja. Kalo masalah-masalah bantuan ngga pernah tau, ngga’ tau sekian….meskipun ibu tangan kanannya ibu rw, tapi ibu ngga pernah tau, memang kenyataannya ngga’ tau meskipun tu ada apa-apa istilahnya ya pinjaman iuran ibu ngga tau ada bantuan. Sekitar bapak-bapak aja yang tau, ibu ngga tau. Jadi masalahnya kalo ada apa-apa bantuan. Ada bantuan tapi apa katanyaitu di tivi. Ngga tau ibu masalah bantuan. Seharunya kan PKK sama hansip kan sama RT, RW, PKK. Sedangkan kerjaan
195
A
E
W E
A E
A E A e
W E W E A E A E A
ujung tombaknya di PKK. Segala laporan penduduk, balita, PKK yang megang, seharunya dari dasa wisma yang megang kan, terus ke RT, RW, PKK juga. Tapi kalo laporan, PKK yang laporan. Laporan taunan penduduk, tapi masalah-masalah lainnya ngga’ tau. Waktu itu ada laporan buat R1 KS tiap taun sekali itu belum dikerjakan sama ibu ikoh berdua kita. Kalau sama pak rt rw sering salah jadi di pegang sama ibu berdua. Emang semua pekerjaan laporan ujung tombaknya ya ibu pkk.. ha..ha…ha. gitu. Kalo lainnya ibu ngga tau, bukannya menjelek-jelekkan tapi ini kan kenyataan, jadi emang kalo di desa ini, ibu ngga tau bantuan apa-apa gitu. Kalo misalkan ini penggunaan dana apa itu, di desa majalaya kan sistemnya … di desa majalaya dapat 50 juta, kalo ngga salah kebijakan di desa majalaya di bagi per rw, dari per rw dibagi per rt. Nah penggunaannya dana itu ibu-ibu pkk dilibatkan? Nah kalo kemaren, 50 juta itu satu rw tuh dikasih 40 ribu untuk pkk. Kalo disini kan yang aktif Cuma ibu, ibu ikoh, bu yuyung sama bu rw, 4 orang yang aktif disini. Nah ibu dikasih itu 10 ribu, baru itu ibu nerima 10 ribu. Buat posyandu kalo ngga salah. 7500 taun kemren, kalo sekarang 10 ribu per rw seorang. Satu rw ya bu untuk pkk aja? Itu waktunya bulan kemaren-kemaren. Ibu dikasih 10 ribu…”ini katanya dari desa dari bantuan 50 juta itu ada 10 ribu. Ibu nerima itu. Nah Ngga tau tuh separonya kemana. Katanya buat pendaftaran ini, di kecamatan dipotong ini..ni..ni.ni. Ibu mah ngga ambil pusing, sebodo amat. Ngga mau mikirin . Ibu mah ikut pkk karena di rumah daripada ngga ada kerjaan. Kalo ngga salah ada bantuan pembangunan fisiknya gitu untuk ke rt. Di rw dapat juga ngga? Ngga tau ibu mah masalah keuangan, ngga tau. Kalo masalah pekerjaan untuk laporan ibu tau. Karena ibu yang tau. Ibu mah negbaktikeun ka pkk mah peudah teu aya dameul, daripada ngga ada kerjaan. Anak udah pada gede, dak udah aja biarin, da pkk ma sukarela. Ibu kan masuk rt 4 ya, kalo rt 4 bikin jalan ya bu, kok sampe dipilih jalan ngga goronggorong atau apa gitu, knapa? Ngga tau! Langsung jalan semua Ngga dirapatin dulu? Ngga tau! Jadi gini bu edi tenang aja sekrangkan ada bantuan kita mah minta jangan jalan, udah aja minta ini buat air saluran air. Ibu udah seneng gitu ngedengernya eh ngga taunya jalan gitu. Padahal kalo itu bantuan dikasihkeun sama pak rt udah aja buat saluran air mungkin rumah-rumah yang mengikut kesini ikut air pada nyumbang juga, jadi ibu juga tidak tinggal diam karena itu kan buat kesehatan semua. Ibu juga kekurangan pasti di bantu. Tapi karena dipake jalan, katanya udah dari desa sekian diminta juga disini pada ngga mau ngasih kan minta buat nambah…jangan! Kan udah ada dari sananya. Makanya RT 5 dan 6 neng wulan tembokanna sararae. RT 4 mah Cuma nambal-nambal gitu. RT 5 dan 6 seueur nu nyumbang kumaha? Duka ta… Jadi prioritas naha jalan heula… Teu dirapatkeun heula, terang-terang ti luhur we kitu. Rt 5 udah dibangun Kalo hubungannya dengan PKK desa gimana? Yah pertemuannya satu bulan sekali ada kalo ada rapat-rapat kalo sekarang udah 2 bulan ngga ada pertemuan. Anu sering dibahas teh biasana naon dina pertemuan PKK Desa Ah paling-paling laporan perkembangan balita, kb staus gizina. Gitu aja Ada ngga dibahas masalah-masalah lain? Ngga tuh, ya hanya masalah-masalah itu aja. Kaset rusak….. Beberapa Informasi tentang bagaimana model pendataan kondisi keluarga pra KS: - sifatnya volunteer (3 orang) - sistemnya pembagian wilayah
196
-
Kumpulin kartu keluarga Menilai kondisi berdasarkan ingatan dan pengalaman pendata
Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
DS AD DS
AD DS DS
AD DS AD DS AD DS AD DS
AD D
AD DS AD DS
: Deden Suwega : Pengusaha/Sekretaris PPTM : Kp. Rancajigang : 29 Januari 2003 : Sekretariat PPTM
Di jasa… Ini banyak yang pribumi ya? Macam pa saca menengah tapi jasa, ini dominir oleh pribumi yang jasa gitu. Dia punya kegiatan Cuma tenun aja, celup saja. Nah ini menengah tapi sudah menggunakan ATM, alat tenun mesin gitu ya tapi kebanyakan tekonologinya udah ketinggalan juga ya Ya teknologinya lebih bawah dari ini (nunjuk ke catatan industri besar) Nah yang ketiga ini pengrajin disitu ada yang bikin perban, lap pel, ada yang biin sumbu kompor, ada yang bikin tali kasur. Nah ini cenderung home industri. Jadi yang ngerjain suaminya, istrinya. Alatnya juga sederhana. Kalo pake pun pake alat teknologi kuno, ada juga yang sumbu kompor..sederhana juga lokal,… Kalo dari tiga ini ada perbedaan? Beda Bisa cerita ngga? Beda lahanlahan ya, beda segmennya juga tertentu. Kalo yang kelompok kedua yang mayoritas PPTM, masalahnya? Banyak, hampir semua sektor…unsur-unsur manajemen kurang, sumber daya manusianya. Bisa kasih contoh ngga? Dia backgroundnya bukan memang dicetak jadi industriawan, background pendidikan itu jauh, ini secara umum ya rata-rata. Sehingga dalam menjalankan aktivitas usahanya itu ya hanya karena lingkungan mencetak disitu mesti menenun ya terpaksa menenun lingkungan yang menjadi contoh…alam… bukan alam karena budaya terus jadi tradisi, macam tenun. Ada yang backgroundnya tadinya petani kebetulan dapat rizki tanahnya dibeli oleh pabrik gede jadi punya kesempatan. Terus bikinlah dia karena sebelahnya punya 10 unit mesin. Atau dia punya lahan lahan ada sodaranya yang agak maju, sok kamu bikin pabri lah disini nanti mesinnya dari saya, nanti saya kasih order. Atau dari kakanya , kakanya udah punya , ini adiknya perlu dibantu gitu, prosesnya gitu alamiah memang tidak dicetak khusus menjadi seorang industri. Biasanya pada sa kondisi booming, ada pemain-pemain baru mencoba muncul. Itu bukan ditenun aja. Dagang spare part, jualan benang, seperti itu sumber daya manusianya. Itu kan masalah SDM, ada yang selain SDM masalahnya? Yang jelas ya permodalan. Itu sih bisa dikatakan nomor satu juga ngga tapi terasa pada saat kondisi tertentu. Dimana kesempatan ada, tapi dia ngga punya kapital untuk membiayai itu, jadi aja … Akses ke bank ini sulit ya, secara umum nih anggota PPTM. Alasannya apa? Alasannya bisa intern di pengusaha, bisa juga ekstern. Pihak Bank ngga terlalu percaya diri. Ini udah rahasia umum memang sulit Padahal sekarang bantuan buat usaha kecil kan dibuka, kredit usaha kecil kan gencar? Di koran gitu kan. Tapi kenyataannya ngga ada, ngga semudah itu. Bisa kejadian gini deu… ini mah contoh salah satu anggota PPTM. ada seorang tionghoa, anaknya itu nakal. Si baapkanya tuh punya hubungan baik sama orang majalaya, sama juga pengusaha tekstil. Si tionghoa juga usaha tekstil. Cuma karena tidak berkenan si
197
AD DS
AD DS
AD DS
bapaknya, si anak cina itu deket. Tau sahabat bapaknya orang majalaya, ama orangnya bilang…”disini aja bareng usaha.” Dia ngga diberi peluang sama bapaknya. Sedikitsedikit dilatih ama orang majalaya sampe maju bisalah gitu. Sampe saat dia membutuhkan modal, dua-duanya sama mengajukan kredit. Orang majalaya sama anak cina itu. Pada saat cair, jauh beda…kalo ini mah Cuma dikasih 10 juta, si anak cina ini bisa dapat 100 juta. Padahal kapasitas sama . Jadi seperti itu. Ini diskriminasi ada. Apakah itu karena emang orang majalaya itu kurang berani negluarin biaya entertain? Kalo biaya KKN kan terlalu ekstrem. Tapi si cina lebih berani, ngga tau tuh… kalo urusan jaminan kan lebih gede si orang majalaya dia punya sawah, dia punya pabrik…. Ini kejadian ya? Iya ini kejadian. Dan ini bisa diliat siapa sih yang dapat kreditnya gede, lho kok orang baru usaha udah investasi, jaminannya bisa tanah yang dia beli, awalnya kan bank yang menilai itu kemudian bank yang membiayainya yang mencicilnya yang menempati itu. Kalo kita kan ngga bisa misalkan kita mau program perluasan pabrik, asetnyakan terbatas. Saya cuma punya program nembangin gini,bikin proposal, saya tentuin nih lokasinya disini. Disini saya mo beli beli dari sana. Belum tentu saya dapat tanahnya kalo cina kan bisa. Ini kan ada tanah sebelah saya sekian hektar. Bank yang membiayai bisa seperti itu… kan banyak tapi kenapa jaminannya jadi lebih kecil? Ya karena itu, di mark up, kalo misalkan tanahnya sejuta jadi 2 juta, mesinnya 100 ribu dia masukin 300 ribu, kalo saya punya jaminan misalkan menurut penilaian dia 10 juta, saya ngga mungkin minta kredit sebesar 15 juta, paling 70 persennya dari aset saya. Kerasa sekarang dong, hanya sekarang munculnya PPTM diantaranya itu Asetnya kan ngga bisa dijualin juga? Iya, kaya kemaren yang dapat release n discharge, bayar 20 % dari total utang dia dapat jaminan ngga bakal diapa-apain, ua inpresnya udah turun . Yang mestinya yang diapaapain secara otomatis kalo udah 100% utang, asal ada release n discharge, udah ketarik lagi ama negara. Coba ada ngga orang indonesia, paling Aburizal bakrie, nah itu. Ketiganya, masalah pasar deu… Dulu kan ada PP no. 10 ya dimana mereka tidak diperkenankan memiliki usaha di kota kecamatan. Konon dulu mah siang disini malam di bandung. Dari situ otomatis mereka ruang geraknya kan dipersempit jadi pegawai negeri susah, mo kuliah susah jadi mereka larinya dari sisi perdagangan. Dari basic dagang setelah jamannya pak harto, ini udah mulai dicabut, mereka dulu mah eksodus ke kota sekarang mah balik lagi ke Majalaya dan emang sudah dibuka. Karena basiknya udah kuat dari dagang ke industrinya jadi mudah. Kemudian pasar juga kan dikuasai oleh tionghoa… ada pembauran pada dasarnya mereka sendiri tetep. Bedalah ama orang pribumi. Broker-broker kan kebanyakan dari mereka janganjauh-jauh lah di pasar baru aja toko-toko tekstil ngga ada pribumi paling disisipi india beberapa orang. Kalo … ada ngga permasalahan-permasalahan tekstil yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah Kabupaten Bandung Ada macam tenaga kerja, kan di peraturan kan tidak ada pembedaan ini perusahaan padat karya atau modal. Bahwa UMK ini diterapkan pada semua perusahaan yang mempunyai tenaga krja ada limitnya berapa lah apa 10 atau 25, itu udah wajib. Jadi saya beritahu saya punya karyawan 5 orang udah wajib menetapkan UMK. Ini rasanya berat. Pertama sistem Majalaya ini mapan sekali sistem borongan dari dulu … ya pengupahannya. Dengan adanya peraturan seperti ini kan jadi susah, kenapa yang menjadi alasan pertama ee.. teknologinya mesinya yang muarah…sehingga tidak bisa standar tiap mesin a, mesin b,mesin c ini produktifitasnya sama…beda? Penanganannya dari tiap operator ini ngga bisa banyak, itu yang paling menonjok, UMK. Mempengaruhi ongkos produksi ya? Kalau diterapkan itu bisa gulung tikar, satu orang operator kan jaga 2, kalau sarung ini ya, kalo putihan jaga 4 dengan rpm mesin 100, 140 lah, rata-rata 120 an, jadi produktifitasnya 1 orang tuh dengan jam kerja 2 shift 9 jam perhari kalo sarung paling 20 potong kalo 2 msein. Kalau 20 potong itu 40 m, sarung kan 1 sarung 2 m10, 2 m 5, kalo dengan mesin modern, kelompok yang ini (padat modal) 1 orang bisa jaga 20 mesin tenun dengan rpm diatas 400, brarti produktifitas 1 orang, 1 shift per 7 jam kerja dia bisa
198
rata-rata 1000 m, kalo umrnya 15000 jatuhnya paling 15 rupiah kalo kita jatuhnya per meter 400 rupiah eh bukan 400, 40 meter bagi 15000 brapa, 750 ya… Jauh sekali ya! Jauh, tapi itu yang terjadi, kedua juga kalo kita merekrut karyawan tanpa ada satu prosedur yang ketat, ya kriterianya ngga ketat, ngga bisa baca aja bisa, usia aja ngga pernah dibatasi, mo anak kecil, udah aki-aki,karena kalo punya potensi mana mau ke kita dong, masuk aja ke pabrik yang udah gede, sementara dia menuntut haknya harus UMK. Dasrnya mereka juga umk, kan minimal mereka kan pakenya minimalnya, ngga ada patokannya minimal 15000 perhari dia bayar 40000, minimal ini yang jadi patokannya. Nah kita mo ngambil minimalnya aja juga kan sama, ya ngga mungkin.
Nama Informan Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Ibu Romlah : Ketua RW 06, Ketua LKMD : RW 06 : 25 April 2003/14.00-17.00 : Rumah Ibu Romlah
Keterangan: Wawancara lanjutan tentang situasi terkini Desa Majalaya. Point-point Wawancara: Perkembangan Lebih Lanjut Dinamika Di Desa Majalaya BPD Majalaya hendak melakukan sosialisasi Perdes Tentang Pemilihan Kepala Desa. Dalam rangka pelaksanaan pemilihan Kepala Desa di Majalaya. Forum RW menolak sosialisasi Perdes Pilkades, beberapa pernyataan Ibu Romlah: o “Menurut Forum RW, BPD saat ini telah terjadi gap dengan situasi yang seharusnya…, karena banyak pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakaukan oleh BPD. Kunjungan ke RW-RW hanya akan memecah belah opini di tingkat RW.” o BPD pengennya di out…, tapinya kalo drastis ngga mungkin, kita kasih kartu kuning dengan maksud untuk memberikan kesempatan untuk memperbaiki etika, perilaku, dan moral, tapi ternyata mereka semakin ke atas (arogan) bukan ke bawah Pernah mengadakan investigasu tentang kesejahteraan perangkat. Ibu romlah menanyakan berapa gaji yang diterima oleh tiap-tiap perangkat ternyata masingmasing menerima seratus ribu rupiah, dan sekdes menerima 250 ribu rupiah, Beliau menanyakan berapa yang diterima oleh BPD. Ternyata sekian… Invsetigasi masalah urunan desa. Awalnya menyakan kepada perangkat desa tentang urunan desa. Dari perangkat desa menyebutkan bahwa urunan desa diambil oleh bpd. Kemdian ibu minta bukti-bukti tentang urunan desa kemudian difotokopi dan disebarkan kepada setiap ketua rw. Mendapat laporan tresebut para ketua rw bereaksi keras dengan mengadakan sidang/pertemuan dengan para anggota rw. Sebelunya ibu romalah bernah berbicara dengan anggota BPD yang bersangkutan dan memancingnya dengan beberapa pertanyaan dan ternyata anggota BPD tersebut terpancing dan semua informasi tersebut keluar, Informasi tentang Pemberhantian Kepala Desa Awalnya dari pendistribusian beras miskin di desa majalaya. Ibu romlah selaku pos KB telah melakukan pendataan keluarga miskin. Karena pada saat itu adalah puncak-puncaknya krisis maka jumlah yang diajukan dilebihkan dengan pemikiran kalau yang disampaikan adalah jumlahsebenarnya ditakutkan jumlahnya akan terkurangi. Ternyata beras yang dikirim sejumlah yang diajukan sehingga pada
199
pendistribusinnya berlebih. Kelebihan ini disimpan di kantor desa dan menjadi tanggung jawab Desa. Keterangan tambahan mutu beras jelek warnanya kuning bahkan ada yang kehijau-hijauan. Beras dari dolog seribu dijual 1000 Pendistribusian ke RW-RW lancar dan dalam 3 hari pembayaran beras untuk sejumlah beras yang dibagikan tuntas, tinggal yang di Desa. Sisa beras tidak dibagikan ke RW karena sudah berlebih di RW-RW. Dolog tidak mau menerima pengembalian sisa kelebihan raskin karena prosedurnya rumit. Perangkat desa berinisiatif menjualnya. Menurut aturannya kelebihan raskin bisa dijual namun di desa yang berangkutan. Menjadi masalah ketika perangkat desa (sekdes) bekerja sama dengan seorang bandar beras di kecamatan Paseh dan menjualnya kepada bandar tersebut dengan harga 1300, sehingga sisa kewajiban ke dolog selesai, dan bahkan ada keuntungan yang mencapai 20 juta. Keuntungan ini kemudian dibagikan pada masing-masing perangkat desa. Ada seorang calon kades yang kalah oleh kades terpilih saat pilkades melakukan investigasi/survey dan kemudaian melakukan provokasi terhadap BPD, Kasus ini menjadi rame karena sempat terjadi sidang yang dihadiri danramil, kapolsek, kecaatan diminta pertanggungjawabannya tentang raskin tersebut. Kades menolak bertanggung jawab dengan berdalih tidak tahu menahu tentang penjualan raskin oleh staffnya. Dan bahkan menyalahkan pos kb yang tahu proses penjualan. Ibu romlah bereaksi dan mengatakan bahwa,� Terima kasih karena pengabdian saya ternyata dibalas dengan menyakitkan. anda ini pemimpin yang buruk sampai tik tahu apa-apa yang dilakukan oleh bawahannya. Kalau bawahannya salah dimana-mana komandanlah yang bertanggung jawab karena itu tugas pemimpin membina dan mengawasi anggotanya�. Pernyataan ini disambut applaus oleh Pak Danramil. Dari situ kades menyadari kekilafannya dan meminta maaf kepada ibu romlah. Lebih lanjut kemudian BPD memaksa Kades untuk menandatangani surat pengunduran dirinya. Sekarang dijabat oleh Pjs Kades yang dipilih oleh perangkat + BPD saja.
Proses pemilihan BPD: Prosesnya sudah diatur dalam Perda Kriteria pemilihannya lemah sehingga sosialisasi di tingkat desa menjadi lebih lemah lagi. Mendaftar pada saat itu 25 orang Semua bakal calon adalah mendaftarkan sendiri bukan berasal dari penyaringan atau pembahasan terlebih dahulu di tingkat komunitas (RW) jadi berangkat dari inisiatif sendiri, hanya sekedar pemberitahuan kepada ketua RW. Pencoblosan di masing-masing RW dan perhitungan di Desa. Permberhentian BPD adalah dengan petisi seluruh masyarakat kepada Bupati. LKMD Karena institusi BPD dianggap tidak representatif dan RW yang dianggap lebih representatif maka pemilihan LKMD berbeda dengan pemilihan Kades. Berangkat dari pematangan nama-nama calon di masing-masing RW kemudian dimusyawarahkan di tingkat desa untuk memilih pengurus LKMD. Pertemuan rutin tidak ada hanya ketika dibutuhkan saja. Penyebab Kegagalan Pilkadus BPD membuat kriteria dan tata cara tersendiri, ketika pemilihan tidak ada yang hadir dalam pemilihan tersebut. Informasi seputar kelembagaan RW dan RT Pemilihan RT diserahkan ke masing-masing rt, dilakukan dengan cara rapat RT yang dihadiri oleh para kepala keluarga, pada musyawarah itulah kemudian memilih atau menunjuk kepala RT
200
Kepengurusan RW: Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Pengajian: Ada pengajian per RW Diinisiasi oleh guru agama/ustadz di masing-masing lingkungan
Nama Informan Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Iman Hilman (Sekdes), Dedy (Kaur Umum), Wawan (Kaur Ekbang) : 24 April 2003/10.00 – 11.00 : Kantor Desa Wangisagara
Kondisi Umum Desa Wangisgara Secara geografis, penggunaan lahan di Desa Wangisagara sebagian besar lahan pertanian. Lahan pertanian ini dialiri oleh dua buah DI (Daerah Irigasi) yaitu: DI Ancol (mengairi sekitar 6 ha), dan DI Wandir (1 ha). Messkipun lahan pertanian relatif mendominasi namun sebagian besar lahan yang ada tidak dimiliki oleh orang-orang asli Wangisagara. Sebagian besar lahan pertanian dimilki oleh orang-orang luar Desa. Namun demikian ada beberapa orang warga Wangisagara yang memiliki lahan yang cukup luas. Oleh karena itu sebagian besar warga desa Wangisagara bekerja pada sektor pertanian sebagai burh tani dan di sektor industri sebagai buruh. Buruh pabrik memiliki populasi yang cukup besar di desa Wangisagara dibanding orang-orang yang bekerja di sektor pertanian. Pabrik-pabrik yang berada di Desa Wangisagara: PT Multistar (cukup besar), PT Bintang Mas, Pabriknya H. Tantan, dan PT Manggung Jaya. Isu permasalahan yang paling dirasakan dan banyak dikeluhkan oleh warga desa: Pengairan dan Ketenaga Kerjaan. o Pengairan menyangkut pengairan oleh kedua daerah irigasi ke lahanlahan yang ada di desa Wangisagara. DI ancol mengairi sekitar 6 ha lahan pertanian, ketika musim kemarau debit air sangat kecil, sedangkan ketika penghujan terancam longsor karena alirannya berada dibawah tebing. o ‘Ketenaga kerjaan, penduduk desa wangisagara merasa kesulitan untuk diterima bekerja di pabrik yang berada di desa Wangisagara. Sebagian besar yang diterima bekerja adalah perempuan. Saat ini kondisi ketenagakerjaan sangat lesu, mulai banyak buruh yang di PHK atau pengurangan waktu kerja. Desa Wangisagara dibagi menjadi 2 wilayah dusun: dusun 1 dan Dusun 2. Dusun 1 mencakup RW: 1, 2, 3, 4, 12, dan 13. dusun 2 terdiri dari RW: 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11. Lembaga-Lembaga yang ada antara lain: BPD, LKMD, PKK, Karang Taruna, RW dan RT. MUI, dam BKM Masalah Pengairan: o Pemakaian untuk pertanian di Desa Wangisagara ada 2 jalur: Ancol mengairi 6 ha Wanir 1 ha o Permasalahan-permasalahan: Ancol Debit air kecil ketika musim kemarau, rawan longsor ketika musim penghujan berada di bawah tebing. Wanir kemarau sulit, dan digunakan di luar desa juga. Pengelolaan pengairan oleh mitra Cai terdiri dari 3 orang ditunjuk oleh kades o Tugas mitra Cai adalah terutama mengatur jadwal.
201
Mekanisme Pemilihan Kepala Desa di Desa Wangisagara. Kepala desa Wangisagara yang masih menjabat saat ini masih dipilih dengan mekanisme yang lama sesuai dengan UU no. 5 tahun 1979. Kepala Desa dipilih secara langsung oleh rakyat. Calon kepala desa harus sesuai dengan penilaian pemerintah kabupaten. Gambaran tahapan pemilihan kepala desa: o Pendaftara calon. Calon-calon yang berminat mencalonkan diri kepada panitia pemilihan kepala desa. o Calon-calon sah yang masuk kemdian mengikuti tes dan uji kelengkapan di Kabupaten (dilakukan oleh pemerintah Kabupaten). Hanya calon-calon yang lolos tes lah yang akan dipilih oleh mayarakat o Pemilihan kepala desa. Perangkat desa diangkat berdasarkan hak prerogatif Kades. o Pertama-tama pengumuman akan adanya lowongan perangkat desa. Yang berminat dapat mengajukan diri. Tapi biasanya Kepala desa memilih orangorang yang dikehendakinya dan dapat bekerja dengannya o Calon perangkat desa kemudian diajukan kepada BPD apabila disetujui maka calon tersebutlah yang diangkat. Pengangkatan perangkat desa menurut UU 5 Tahun 1979: Ada kekosongan lowongan di tes di kawedanaan/kecamatan diangkat. Struktur pemerintah desa:
Kades
Sekdes
Kaur Pemerintahan Kadus Kaur Keuangan Kaur Ekbang Kaur Kesra Kaur Umum Mekanisme Pemilihan BPD BPD dipilih melalui pemilihan langsung yang diatur dalam Perda kabupaten Bandung Tahapan pemilihan BPD: o Tahap pencalonan harus sesuai dengan prasyarat yang ditetapkan oleh perda o Tahap Kampanye o Pemilihan langsung oleh warga o Dari 27 calon terpilih 13 anggota BPD dengan perolehan suara yang sangat kompetitif/selisih suara relatif kecil. o Warga sangat antusias.
202
Mekanisme Pemilihan LKMD LKMD dipilih secara langsung pula Diadakan rapat warga yang melibatkan tokoh dan masyarakat, yang pada saat itu dihadiri oleh 100 orang: mantan kades, tokoh tani, guru bekas PNS Rapat hanya memilih Ketua, Bendahara, dan Sekretaris Pengurus terpilih kemudian berkonsultasi dengan kepala desa dan BPD untuk menentukan orang-orang yang mengisi seksi-seksi tertentu. Ilustrasi dinamika pertemuan: “Wah pertemuan waktu itu rame. Sampe 100 orang yang hadir, para tokoh semua. Waktu pemilihan sampe di voting! Rame pokoknya…” Mekanisme Pemilihan Ketua RW. Telah disusun peraturan desa tentang pemilihan ketua RW. Mekanisme pemilihan secara langsung Masing-masing rw sangat antusias dalam menyelenggarakan pemilihan ketua RW. Inisiatif warga untuk mencalonkan diri sebagai ketua rw sangat tinggi. Media-media Partisipasi: Rapat rembug desa digunakan sebagai media penyampaian program dan penyelesaian permasalahan. Usulan-Usulan: RW didorong untuk membuat proposal tentang proyek-proyek yang akan dibangun di masing-masing RW. Pembuatan Usulan untuk Kecamatan: Berangkat dari aspirasi kebutuhan masyarakat. Masyarakat menyampaikan aspirasi melalui RW dan BPD baru kemudian diteruskan ke Pemerintah Desa + LKMD konsultasi bersama BPD kemudian disampaikan ke tingkat Kecamatan. Media – media penjaringan aspirasi: Pengajian-pengajian. BPD memiliki jadwaljadwal untuk mengunjungi pengajian-pengajian. Dalam menentukan prioritas usulan: Pemerintah Desa dengan LKMD.
Nama Informan Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Anita Emmayanti : PNS/ Kasubid di Bidang Monitorng dan Evaluasi Bapeda Kab. Bandung. : Gading Tutuka, soreang : 22 Mei 2003 : Kantor Bapeda Kabupaten Bandung
Proses Penyusunan APBD Mekanisme penyusunan APBD atau perencanaan pembangunan tahunan daerah dahulu mengacu pada mekanisme P5D, yang terdiri dari: musbangdes di tingkat desa, dan diskusi UDKP di tingkat kecamatan dan rakorbang di tingkat Kabupaten. Dikeluarkan Keputusan Bupati Bandung No. 22 Tahun 2002 tentang mekanisme perencanaan pembangunan tahunan di Kabupaten Bandung yang terdiri dari Forum Perencanaan Pembangunan tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten. Isi dari Keputusan Bupati mirip dengan mekanisme P5D tetapi agak berbeda pada peserta acara yang dulu hanya terbatas sekarang lebih luas lagi yang telibat meliputi LSM dan komponen masyarakat lainnya.
203
“Ketika menjadi narasumber di FPPT Kecamatan ada camat yang mengatakan “Wah kalo melibatkan LSM malah ripuh…,, jadi wae teu diulem…” Di beberapa desa ada yang menyelenggarakan FPPT Des dan ada juga yang ngga. Pada pertengahan perjalanan muncul KepMendagri No 29 Tahun 2002. Hal ini akhirnya agak menyulitkan karena harus menggabungkan antara hasil penjaringan aspirasi masyarakat melalui FPPT dengan proses penyusunan APBD menurut Kepmendagri No. 29 tahun 2002. Prosesnya: DSP-DSP hasil perumusan di tingkat kecamatan bersama dengan usulan DIBALE kemudian direkap oleh bapeda menjadi daftar usulan. Seharusnya sudah diprioritaskan tetapi belum diprioritaskan dengan alasan: Takut implikasi apabila yang satu ngga masuk prioritas aspirasi yang lain tidak masuk, apalagi kalau ada aspirasi dewan. Belum memiliki kriteria yang jelas dalam melakukan penilaian, biasanya hanya bidang-bidang fisik yang memiliki kriteria yang cukup memadai. Sedang bidang-bidang lain seperi bidang sosial dan ekonomi. Hasil rekapan Bapeda dibawa kepada Rakorbang. Bareng dengan merekap usulan kecamatan dan DIBALE, Bapeda juga mulai memilah-milah atau menurunkan kegiatan-kegiatan berdasarkan renstrada. Hasil penurunan kegiatan tersebut dicoba untuk dibuat prioritasnya berdasarkan oleh beberapa kriteria diantaranya:….. . Yang menentukan prioritas tersebut adalah tim dari bapeda yang terdiri dari Bidang-Bidang. Pada saat melakukan rekapitulasi sebelum dibahas dalam Rakorbang, Bupati selalu menanyakan: Apakah proyrk-proyek usulan dewan sudah masuk, coba dicek lagi, Kebijakan-kebijakan bupati? Ketika menyusun prioritas program berdasarkan renstra, timbul ide bagaimana kalau yang sedang disusun dijadikan saja AKU. Hasil rekapan usulan kegiatan dan AKU itu kemudian disampaikan dalam Rakorbang. Pada rakorbang tersebut dibahas: Presentasi AKU Kabupaten DSP Pada pelaksanaannya Aku tidak terbahas secara kritis Setelah rakorbang kemudian per bidang mengundang stakeholderstakeholder yang lain untuk membicarakan kriteri-kriterianya untuk menyusun DSP untuk per bidang. Kemudian dilanjutkan dengan penyepakatan AKU sesuai dengan Kepmendagri 39 tahun 2002, kronoloisnya: Sebelumnya, DPRD diminta untuk menyampaikan Pokok-Pokok Pikiran DPRD Dari Pokok-pokok pikiran DPRD ditambah rumusan bapeda kemudian diolah menjadi rancangan AKU Rancangan AKU diajukan kepada DPRD, komentar DPRD: “Ah yang ini mah cingcai… sepele, Dewan pengennya loncat langsung membahas DSP, kita hampir saja ngikut tapi berhasil dikembalikan untuk melaksanakan sesuai prosedur. Akhirnya DPR mau dan bersedia membahas satu per satu AKU. Namun karena AKU yang dibuat sifatnya masih sangat makro sehingga tidak ada kesulitan yang berarti dalam penyepaatan AKU. Tanggapan dewan lebih pada penajaman AKU menjadi elbih spesifik seperti lokasi dan targaet. Bapeda kemudian membuat target Makronya dalam AKU tersebut.
204
Setelah itu kemudian disepakati AKU APBD. Penjabaran dari AKU Stratas dilakukan oleh Tim Bapeda, dan disahkan dengan Keputusan Bupati tentang penjabaran AKU. Tahap berikutnya adalah penyusunan RASK Masing-masing Dibale menyusun RASK. Pada saat penyusunan RASK tersebut terjadi penggelembungan yang sangat besar dari proyek-proyek yang diusulkan. Bapeda mengumpulkan RASK dari seluruh Dibale yang kemudia akan tuangkan dalam penyusunan Rancangan APBD Pada saat proses penyusunan APBD, mulai dilakukan rasionalisasi, cara rasionalisasi: Menentukan kebijakan alokasi dana per bidang Kebijakan Alokasi dana per Dibale ditentuka oleh Bupati berdasarkan pengalaman/historis: Dinas ini kemarin dapat berapa? Ini kelebihan…coret! Jadi segini. Jadi kebijakan sangat bergantung pada kebijakan personal bupati dengan dasar pertimbangan pengalaman alokasi APBD sebelumnya. Setelah ditentukan alokasi per Dibale, kemudian Bapeda merasionalisasi kegiatan-kegiatan yang diusulkan oleh masing-masing Dibale. Dengan menilai kegiatan-kegiatan yang diusulakan apakah layak atau tidak dengan mempertimbangkan suara Dibale. Masing-masing dibale diajak berunding untuk merasionalisasi usulannya. Setelah dilakukan berbagai penyesuaian kemudian dirancang untuk Rancangan APBD untuk dibahas bersama dengan DPRD Pembahasan bersama DPRD: Berlokasi di hotel …. Presentasi masing-masing dibale Biasanya DPRD hanya menanyakan proyek-proyek yang menjadi perhatian/kepentingannya Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Waktu Wawancara Lokasi Wawancara A E
A
E
: Ery : eks pendamping PKL : Babakan Tarogong : 18 Januari 2003/ 13.30 – 14.15 : Kantor IPGI Bandung
Bisa Cerita tentang pola pengelompokan PKL Pola pengelompokan PKL? Yang diawali dari individualnya, individual dari masyarakat PKL itu sendiri. Misinya untuk dibawa ke level elit, FM2S. Sebelum dibawa ke FM2S, PKLnya sendiri mengumpulkan data data PKL, sekelompok-sekelompok itu kan contohnya dia mengambil tanda tangan atau data -data yang disebutnya data-data PKLnya itu sendiri terus dikumpulkan…. Itu kan keseluruhan PKL yang ada di Majalaya, nah sesudah itu terus dibahas dalam Forum PKL yang dibuat oleh anak-anak itu. Sesudah itu terus digojlog, sudah digojlog tapi tidak bisa langsung dibawa ke tingkatan level itu, karena banyak orang yang berkepentingan lain seperti hedi, uloh kan itu memanfaatkan organisasi itu sendiri kan. Sesudah itu terus mengembalikan….kepercayaan PKL terhadap PKLnya sebelum dibawa ke FM2S… Terus lamun ieu…. Kamari pan katempona aya perbedaan karakteristik PKL malam, siang…Ada perbedaannya ngga? Maksudnya siapa yang berjualan di situ itu bisa dikategorikan, kaya kan ada pedagang pagi, siang, malam bisa digolongkan ngga kalo pagi dari Majalaya atau gimana komposisinya? PKL Majalaya itu terbagi 4 ya 4 sift, dari jam 7 pagi sampai jam 4, dari jam 4 ada lagi, yang pakai roda itu untuk sampai jam 11 malam, di jam 11 malam disambung lagi oleh yang mau dagang pagi. Kalau pagi hampir 80% orang Majalaya asli, yang malam kebanyakan kalau dari luar kota, kalau dari jam 4-11 orang asli Majalya.
205
A E A E
A E A E
A E A E A E A E A E
A E
A E A E A E
A E A E A E
Kalau pertama datang ke Majalaya bisa dikatakan belum terorganisir ngga? Belum Sama sekali? Katanya sih waktu sebelum anak-anak datang ke Majalaya itu pernah ada yang mengorganisir, katanya dari LSM, ngga tau dari LSM mana? Terus sama mahasiswa yang memanfaatkan kepentingannya sendiri contohnya buat penelitian TA, itu pernah…jelek lah diomongkeun Ada seorang ketua kelompok PKL itu pernah mengatakan bahwa PKL Majalaya tidak bisa diorganisir, karena dia sudah tidak percaya lagi terhadap pihak pihak yang diluar dia ketahui lah. Jadi resistensi terhadap orang luar masih besar ya? Ya! Kalau misalnya pola pengorganisasian maksudnya secara fenomenal di Majalaya teh seperti apa? PKL pengelompokannya itu berdasarkan suku atau apa? Pengelompokan sih tidak berdasarkan suku ya bahkan waktu kemarin ada pengelompokan oleh PKLnya sendiri, waktu membuat organisasi PKL itu pertama si ketua -ketua kelompok itu diundang untuk disatukan dalam forum itu, nah sesudah…kalau ngga salah sih…delapan kelompok dari pasar baru sampai cikaro dengan berbagai- bagai….naon sih dimasing masing kelompok tuh kumaha sih…lamun…kekuasaan wilayah. Munculnya kelompok itu secara sendirian atau apa/inisiatif sendiri Sendiri, oleh inisiatif PKL sendiri Jadi sebelum masuk sudah ada pengelompokan ya? Tapi ngga lebih aktif lah kelompok itu Dasar pengelompokan itu apa? Katanya sih buat jaga-jaga birokrasi kan kalau banyak pungutan liar kaya gitu, dia kan antisipasinya itu oknum-oknum pemerintah, premanisme itu Tapi bisa ketahuan ngga perbedaan kelompok yang satu dengan yang lainnya ada perbedaan karakter ngga? Ngga, karakter- karakter PKL itu sama, dia maksudnya apa Tapi apa bisa membedakan kelompok ini bukan kelompok itu? Oh ngga, dari aturan mana yang pasti aturan PKLnya sendiri tiap-tiap kelompok itu diperkirakan 20 meja lah, sameja, sabaris 24 meja, 1 kelompok bahkan ada yang lebih juga, hanya kang Enjang itu kan ketua kelompok saproko, dia menguasai berapalah lebih dari 24 Fungsinya ketua itu apa? Dia dipercaya,bahkan kalau ada suatu masalah atau keluhan, dengan luar kelompoknya dia bisa digunakan, terus tentang harga barang kalau emang disini engga sama, disini harganya segini, disana harganya segitu, itu kan ngga sama, dia bisa berdialog sama ketua kelompoknya sendiri saling berdialog Pernah sih itu dibagian pasar baru, sama PKL alun-alun kan emang hampir sama kan, jualannya. Tapi banyak keluhannya dia karena harga yang dijualnya beda sangat beda lebih dari 25% dibanding dengan PKL alun-alun Ada persaingan antar kelompok ngga? Emang kalau disebut sih ada, tapi ngga terlalu tajam atau kuat Jadi masalah warga nya? Ya! Gimana kelompok memiliki ketua kelompok waktu itu? Dia orang yang dipercaya sih, terus tokohnya PKL itu orang-orang dominan di PKL itu diambil gitu, kan contohnya sector 1, siapa yang tertua di kelompok itu, tapi orang Majalaya asli, tidak boleh dari orang luar Tapi emang benar gitu, maksudnya anggota kelompok itu menentukan ketuanya? Itu pemilihannya secara demokratis Kalau dari teman teman aksi dulu, karakter ketua kelompok itu gimana? Emang karakter karakter ketua kelompok itu paling menonjol dari semua PKL tapi dari 1 kelompok itu dan Dari sisi apa? Dari sisi pendidikannya, wawasannya
206
A E A E
A E
A E A
E
A E
A
E
A
E A
Keberaniannya? Bisa kaya kang Enjang kan tegas, premanisme itu kan pokoknya asalkan dipercaya, tidak melalui ini siapa-siapa asal tunjuk aja, tapi anggotanya semua setuju Kalau misalkan ketua bilang A, anggotanya pasti ikut A ngga? Ngga juga, kalau ketuanya menyimpulkan A, tapi si anggotanya tidak langsung menyimpulkan A, dia mengadakan diskusi informal sesama anggota sesudah itu dipertimbangkan lagi kalau sudah klop Nurut Eti, bener ngga suaranya anggota itu sama suaranya ketua kelompok? Kadang-kadang ngga juga sih, sebenarnya sih ketua kelompok PKL itu, sebenarnya ngga bisa dipegang teguhlah secara individualnya, dia asal-asalan aja. Asalkan dia berdagang hasil duit, bisa makan, ok Mereka bentuk ketua kelompok untuk berinteraksi dengan orang luar? Iya, dengan orang luar aja, kaya kalo ada undangan dari kapolsek atau darimana, diambil aja ketua kelompok Misalkan gini, diundang dari kapolsek dan ramil ya mungkin dalam menentukan kebijakan tentang PKL. Otomatis dia kan harus memberikan suaranya, ketua-ketua kelompok/wakilwakil itu harus memberikan suaranya tentang kebijakan itu makanya diundang, apakah mereka benar-benar membawa kepentingan PKL/suara PKL atau gimana Emang benar juga sih, bisa mereka disebut membawa suara PKL ke level yang lebih tinggi, dia bisa juga sih, tapi mungkin gimana karakteristik orang majalaya, pertama kan didasari tentang kekerasan gitu, orang-orang Majalaya itu, PKLnya kalau diluar serba ok-ok aja sih, tidak memikirkan lain-lainnya, kepentingannya cuma 1, asal bisa makan, kalau dapat duit terus aman lah, itu aja yang mendasarinya. Misalnya suaranya yang disuarakan oleh ketua kelompok itu beda dengan kelompoknya beda gitu, gimana reaksi dari anggotannya ? Ya masing masing aja, masing masing kelompok aja, ini A ya terus itu kelompok B, ga mereka masing-masing aja. Tapi itu sebelum FMPKL lahir gitu. Tapi ketika FMPKL lahir dia tidak bisa sekelompok-sekelompok gitu, dalam forum itu, siga kelompok B, Kelompok A suaranya A, dia ngga bisa gitu, kalau emang keluhan-keluhan masalah-masalahnya apa, mereka dibawa ke FMPKL gitu. Nah dirembugin disana. Gimana-gimana kalau emang sudah ada jalan keluarnya gitu, ya diambil itu atas kesepakatan keseluruhan. Tapi, sebelum ke FMPKL dek, terus gimana PKL. Mereka kan berada di suatu wilayah, di teritorial tertentu seperti dari desa Majalaya, Majakerta, walaupun mereka dari Majalaya asli tapi kan tersebar di berbagai wilayah. Nah ini kalau menyangkut permasalahan PKL gitu, berhubungan dengan siapa, apakah dengan pemerintah di tingkat desa, misalkan pemerintah desa, Rwnya atau ada jalan lain. Sebenarnya sih fleksibel juga sih, ngga bisa disebut dengan birokrasinya, ngga bisa disebut dengan RT, Rw, atau apanya dia asal‌‌eh contohnya aja sih perebutan untuk lahan berjualan itu. Di setiap lahan berjualan itu mereka ada oknum-oknumnya itu tapi diluar dari pemerintahan setempat Majalaya lah, banyak yang menjual secara rolling lah. Itu sih yang sebenarnya. Terus pemanfaatan lahan yang lain emang disebelah lahan berdagang apa terus kosong, dia bisa diperjualbelikan itu oleh oknum, itu ada juga dari oknum kecamatan, desa dan premanisme itu. Jadikan permasalahannya kan informalitas itu, banyak hal-hal yang bersumber dari ketidak jelasan itu perjanjian di bawah tangan, akhirnya penyelesaian masalah yang terjadi melalui jalur-jalur yang tidak resmi itu ya? Ya, misalkan gini ya udah gini aja bayar sekian juta. Minimal 1 lahan untuk berjualan itu 250,000 yang ukuran 0,5 x 1 m Yang suka bermain di PKL itu siapa aja? PKL kan dapat dilihat dari 2 sisi kan permasalahan dan asset yang bagi kepentingan mereka
207
E
A E
A E A E A E
A
E
A E A E
A E A E A E
A
Itu sih desa biasanya, terus premanisme sama organisasi-organisasi yang ada di Majalaya, GMB, GMM. Mereka sebenarnya juga minta pungutan juga tapi tidak secara langsung, contohnya kemarin GMM. Waktu dia mengadakan ulang tahun GMM di alun-alun dia kan minta pungutan juga dari PKL juga. Terus kalau dari desa, desa menjual lahan-lahan dijual oleh oknum desa sampai sekian juta. Itu sih sebenarnya ngga bisa dipastiin siapa sebenarnya gitu. Untuk kepentingan mereka ya, kaya premanisme itu terus apa yang dilakukan? Sebenarnya premanisme ini sebagai andalannya PKL juga sih kalau emang ada macammacam asumsinya, kalau ada macam-macam dia tinggal bilang aja. Bahkan premanisme ini berani berontak terhadap pihak desa, asal ada pengaduan dari PKL. Premanisme ini bisa 2 sisi juga, bisa merugikan bisa menguntungkan juga ya? Tapi tidak separah dari desa. Kalau desa kan pungutan biaya retribusinya banyak sekali sampai 3 lah Dinas dinas juga? Ada sih keseluruhan retribusi itu buat PKL Majalaya nyampe 6, satu hari, ada 6 retribusi Isu-isu yang sering berkembang di PKL itu apa aja?permasalahan yang sering dikeluhkan Kalau isu-isu , contohnya kemarin pemindahan PKL untuk dipindahkan ke pasar yang dibangun. Itu isunya pertama, perbaikan jalan. Nah itu yang sangat rame di PKL Majalaya tentang peralihan PKL terus perbaikan jalan, nah realisasi perbaikan jalan itu pada tahun 2002 Agustus kalau ngga salah. Agustus itu kan sebagian PKL itu dipindahkan ke tempat tanah eks kecamatan itu sampe menampung 250 meja di sana. Tapi banyak juga sih yang komplain terhadap panitia, panitia yang melokalisir PKL, karena tidak sesuai dengan ukuran-ukuran meja yang asalnya lebih kecil Masyarakat PKL mempunyai kesamaan, menyangkut jati diri dia, isu yang berkembang itu perpindahan, dan perbaikan jalan mereka kalau menyampaikan aspirasi ke siapa ke ketua kelompok dulu atau gimana? Waktu tim aksi Majalaya kan pembagian draft angket keluhan-keluhan itu ditulis dalam draft angket itu, mereka sangat mengeluh dipindahkan karena dia merasa lebih enak daripada nanti dipindahkan pasar karena keluhannya pasar kan harus dibeli itu, terus apa apa aja harus dibeli dan juga harga- harganya tidak terjangkau oleh PKL, itu aspirasi PKL Itu kebijakan siapa? kecamatan? Itu kebijakan konsultan yang membuat pasar itu, bukan konsultan kontraktor itu Itu kan ada keberatan kan, dia menyampaikan kepada siapa, prosedurnya? Caranya untuk merubah Untuk menyampaikan itu, karena tim aksi itu dipercaya oleh PKL, dia mengaspirasikan terhadap tim aksi karena tim aksi didasari oleh mahasiswa nah sesudah itu dia berkumpul dengan FMPKL berkumpul gitu, didiskusikan harus gimana kata PKL, sesudah itu ada keputusan, eh.. ide dari tim aksi untuk di bawa ke kabupaten, ke kabupaten itu tidak langsung diterima di kabupaten itu, karena organisasinya tidak kuat lah, minimal kan harus 2 organisasi, katanya seorang PKL, kemudian bikinlah koperasi PKL sesudah itu pada tanggal 12 Juni 2000, sesudah itu di bawa ke kabupaten nah kemudian baru ada respon dari kabupaten Tapi yang mengajukannya bukan dari PKL? Ada dari sebagian PKL Siapa yang menandatangani? Itu kan ketua-ketua yang awal yang sudah dipilih anggotanya itu untuk dibawa ke tingkat atas kabupaten nah itu aja sih. Terus di barengi oleh tim aksi Sekarang FMPKL, gimana fungsi awal dari FMPKL, proses pembentukannya? Pertama itu pendekatan ke PKL, ngobrol-ngobrol lah. Suatu hari di citra rasa masih dalam pembentukan PRA FMPKL, nah sesudah itu seluruh anggota FMPKL, untuk mengikuti pertemuan di tingkatan grassroot,kumpul hampir 50%nya PKL itu kumpul, dibuatlah pembentukan-pembentukan apa. Nah pas pertemuan ke 2 kita membentuk suatu struktur untuk forum, nah terjadilah pembentukan FMPKL yang dipilih ketuanya dari PKL sendiri Pak Uloh itu kan. Pak Uloh itu ditunjuk oleh anggota PKL untuk menjadi ketua FMPKL Dasarnya apa waktu itu?
208
E A E A E A E
A E
A E A E
A E A E
A
E
A E A E
Karena didasari oleh karakteristik individual, Pak Uloh itu kan orangnya arogan, dia berani bicara, sangat beranilah, itu sih yang membuat anggota PKL itu Itu dari keberaniannya, track relordnya di mata PKL itu sendiri gimana, apakah jadi catatan penting atau gimana? Nah itu sih, pada awalnya dia bagus, bisa disebut ok lah oleh PKL, inilah sebagai ketua Forum kita, itu sih sebenarnya Tapi apakah dari awal itu sudah terpetakan Pak Uloh itu? Ngga juga, kita sebagai tim aksi secara demokrasi untuk memilih ketua itu tidak tulis punggung gitu dan ditunjuk oleh semua PKL Tapi berdasarkan pengamatan tim aksi itu, memang Pak Uloh itu sudah terpetakan ngga? Emang juga, emang dia juga aktif di desa terus karang taruna, dan berbagai organisasi. Makanya dari tim aksi itu kenapa ngga ok-ok aja, karena keputusan dari PKLnya sendiri, tim aksi ngga berhak istilahnya Terus kan kesini-sini kan jadi agak aneh kan? Yang membuat kepercayaan PKL merosot terhadap ketua itu diawali dengan kesalahan Pak Ulohnya sendiri yang didampingi oleh orang yang memiliki kepentingan terhadap PKL. Nah itu sebenarnya waktu pertama kan ada seorang, diri mantan komisi E FMMS, Hedi dia kan punya kepentingan lain, dia dekat dengan Pak Hedi terus jadi gimana tim aksi yang tidak tau setelah FMPKL ini terbentuk sekitar ½ bulan dia membuat kartu ada kesepakatan untuk membuat kartu anggota PKL. Tapi belum pasti untuk membuat foto. Kesalahan PKL membuat foto tanpa diketahui semua anggota, itu aja. Dia kan membawa seorang tukang foto, Pak Ayi. Asal-asalan foto aja. Harganya tidak sama dengan foto-foto lainnya. Kan kesepakatan anggota itu kalau bisa jangan di fotolah, tapi bawa aja foto karena tidak untuk mengambil biaya lagi dari PKL sendiri, hanya dari itu aja. Sesudah itu Pak Uloh itu renggang sama tim aksi, dia menjauhi tim aksi, dia menjauhi anggota-anggotanya. Setiap ada undangan ngga pernah datang, kemerosotan Pak Uloh itu, tapi dia berjiwa tinggi aja, maksudnya dia seorang ketua, kalau B ya harus ikut B keukeuh peteukeuh Terus gimana masalah itu, apakah bikin tandingan? Sebenarnya sih anggapan dari PKL, Pak Uloh itu dipecat sudah dilengserkan karena Pak Uloh itu PD dia mempunyai bisa diambil pangkatnya gitu, gue sebagai ketua ok-ok aja. Ada lagi ngga penggantinya secara legitimate? Emang ada waktu itu, waktu membuat struktur FMPKL itu, ketuanya Pak Uloh, sekretarisnya Hedi itu sama-sama goblog, yang mengompori Uloh itu Hedi karena Hedi mempunyai kepentingan lain, itu aja sih yang menjelaskan Buat ketua baru ngga? Ngga, sampe sekarang bubar Kalau dilihat dari luar kan FMPKL katanya sudah membubarkan diri tapi Pak Uloh di luar masih tetap menyatakan FMPKL masih ada Susah juga sih, waktu terakhir ketemu Pak Uloh masih berpegang seorang ketua PKL tapi gue pas survey ke anggota-anggotanya bahkan PKL itu sudah basi dari ceritanya. Nah Pak Uloh aja. Kalau dulu‌. Ok lah FMPKL dulu pernah menjadi wadah walau hanya seumur jagung dan sempet memberikan harapan bagaimana suara mereka dapat disuarakan. Nah kalau sekarang apakah kembali seperti dulu atau gimana atau semakin tidak terorganisir? Mungkin sekarang itu diorganisir oleh ketua-ketua kelompoknya yang dari awal tidak percaya terhadap orang lain contohnya diluar PKL, karena merasa dipermainkan ya sayangnya yang sudah terbentuk itu FMPKL, sayang juga sih itu aja sih Komunitas PKL itu mempunyai jalur-jalur atau chanel-chanel yang dipertahankan untuk menjaga existensi dia? Sebenarnya sih ada juga tapi ya‌ Gua buat analoginya gini PPTM pengusaha kan‌ Ngga, PKL karena munculnya sendiri ya sendiri
209
A
E
A A E
A E A E
A E
A E
A E A E
Kaya gini PPTM kan pengusaha terus mereka ngusahakan diri terus dia ada program/ide, nah bagaimana dia bisa unggulkan ide itu, pertama punya koneksi dengan Pak Yadi ketua DPRD, mereka kan dianggap mampu memiliki sumber daya. Nah sekarang PKL katakanlah berangkat dari sendiri terus mengorganisasikan diri, ada ngga sumberdaya chanel atau gimana yang dapat mempengaruhi kebijakan? Ngga ada sih, Cuma itu mengambil dari tokoh masyarakat yang sangat dipercaya oleh PKL kaya Pak Sawali ketua DKM Mesjid Agung sebelumnya kan ada niat baik gitu, tapi tidak seluruh PKL, kaya Pak Nia merencanakan bagaimana untuk menertibkan, gitu sih sebenarnya tapi ngga ada chanel-chanel yang lain Jadi bisa dikatakan saluran untuk menyampaikan cukup terbatas ya? Jadi akhirnya hubungan dengan birokrat lebih bagaimana dia bisa lebih survive dan sangat politis dan transaksinya di bawah tangan samua Karena dia sih membayar, dia merasa berhak karena membayar retribusi keamanan itu omzetnya polsek aja ketika tim aksi turun ke lapangan sekali memungut 2 juta dari keseluruhan PKL Terus kalau pedagang malam‌. Kan dari luar Majalaya Yang mana nih yang roda atau gimana? Yang non Majalayalah , yang subuh kalau gua ngamatin apakah komunitas PKL non Majalaya sedinamis PKL Majalaya Sebenarnya sih kebanyakan terlahir dari PKL pedagang subuh itu kan sangat banyak 3x lipat, 2x lipat pedagang pagi. Juga banyak tuduhan tentang retribusi itu kan dari pedagang subuh, sampe ada sih premanisme yang diangkat oleh yang dimanfaatkan oleh pihak desa untuk menggantikan retribusi itu, terutama si Asep itulah, dia dimanfaatin oleh desa untuk memungut retribusi gitu, ngga ngga tau itu permainan dari desa atau gimana, tim aksi sih sudah ngelihat sampe sana antara premanisme dengan aparat desa ini kerjasama, itu sih sebenarnya. Sekarang sih kira-kira kepala kelompok yang masih bertahan Ketua kelompok PKL yang bertahan itu ya, masih ada sih, sekarang juga masih ada, masih bisa diminta perkembangan PKL sekarang bagaimana. Itu kan PKL dulu kan tahun 20002001, tapi sekarang kan banyak input-input yang lain juga yang lebih horizontal lah itu aja, sekarang pasti beda lah, bahkan waktu terakhir kesana transport kan sudah dilokalisir, si andong itu, terus beca sudah dilokalisir, terus PKL sudah dilokalisir. Mau dipindakan, kalau sekarang sih belum ada input yang masuk. Kalau keretek gimana polanya pengorganisasiannya, pola pengorganisasian internalnya seperti apa? Sebenarnya sih andong itu di ketuai oleh Pak Enjang emang lebih bagus dari PKL lah, tetapi banyak keluhan juga si pengguna jalan, sipejalan kaki, itu kan kotorannya sih, kalau rute pengelompokan keretek itu yang saya lihat itu tiga kelompok gitu, pasar baru, pasar terminal, jalan tengah itu, dia menggunakan keretek itu kedaerah-daerah yang tidak dijangkau oleh angkot Dia cukup diakui ngga? Dia cukup berperan, cukup dominan di mata keretek ok lah, Kalau ada masalah di seringnya mengadukan kemana? Jika ada masalah grassrootnya keretek itu, dia kan langsung ngomong ke Pak Enjang. Pak enjang itu langsung kontak lagi ke desa ke kecamatan karena dia aktif di desa dan kecamatan walaupun dalam even-even apa aja dia selalu aktif contohnya di FM2S dia aktif juga kan gitu sih sebenarnya.
Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Ibu Tri : Staff Kecamatan/Kasie Perencanaan : Margahayu : 10 Januari 2003/ 09.30 – 10.00 : Kantor Kecamatan Majalaya
210
A T
A T
A T A T A T
A T
A
Mungkin Ibu bisa cerita prosesnya seperti apa? Prosesnya Ya? Dulu ya sebelum ini, sekarang maH diganti jadi FPPT‌K ya Forum Perencanaan Pembangunan Kecamatan ya, sebelumnya diskusi UDKP di tingkat kecamatan ya, tapi gini awalnya maH dari tingkat desa dulu. Desa mungkin mengadakan musyawarah dulu tentang yang perlu dibangun untuk tahun ini misalnya tahun 2002 musyawarah dulu jadi semacam musyawarah di desa. Di angkat ke tingkat kecamatan dinamakan dengan diskusi UDKP, dari masyarakat yang ada di desa dia membuat ada format-formatnya akan diajukan ke tingkat kecamatan desa itu apa yang akan dibangun untuk tahun 2000 misalnya untuk membangun jembatan sudah diisi semacam ini apa proyeknya, apa kegiatannya, lokasinya dimana, nah volumenya berapa?, sasarannya apa, tingkat persiapannya apa, diperkirakan waktunya dan biayanya. Format ini dibawa ke tingkat kecamatan, kecamatan yang dulu namanya diskusi UDKP sekarang sudah diganti dengan Forum Perencanaan Pembangunan Tahunan. Kecamatan nah disitu di kecamatan semacam rapat, mengadakan rapat lagi diundang desa-desanya. Terus dengan dinas terkait dari kecamatan. Semacam PU dulu mah ada sekarang sudah hilang, ada PU pengairan, PU binamarga semacam itu, dinas penduduk, KUA juga, mengadakan rapat apa yang dia usulkan, apa aja usulan usulan mereka itu, nah nanti dirapatkan terus dengan kita dirapatkan dengan desa dan dinas instansi teh. Nanti diprioritaskan apa yang lebih dulu kecamatan teh apa yang lebih penting untuk pembangunan yang paling penting untuk masyarakat misalnya desa mana bikin irigasi yang rusak. Itu yang akan didahulukan, didahulukan tuh dalam kegiatan proyeknya akan didahulukan, tapi tingkat itunya kan tergantung tingkat kabupaten kan nanti hasil ini, tapi kita utamakan factor utamanya mana? Misalnya SD, SD rusak yang mana yang didahulukan, irigasi di desa mana yang diusulkan, di usulkan ada skala prioritasnya. Ini diusulkan ke kabupaten semacam ini. Nanti di kabupaten akan diadakan rapat rakorbang, itu semua camat-camat diundang bersama bupati dinas instansi, DPRD semuanya ya, ini diusulkan kita diajukan lagi tapi disananya diseleksi lagi, diprioritaskan lagi kecamatan mana yang diprioritaskan, terus didahulukan misalkan Majalaya sekian banyak berapa point gitu ya, tapi hanya beberapakan yang diberi bantuan karena dananya tidak cukup/salah satunya mungkin oleh kabupaten oge dilihat yang lebih diprioritaskan tingkat kabupaten memang usulan kita segini banyak, tapi belum tentu diterima, misalkan kita SD mengusulkan berapa point, tapi paling direalisasinya 5..2 gitu, karena dananya bukan untuk kecamatan Majalaya aja, kecamatan lain Kemarin pertamanya siapa aja yang diundang? Desa terutama kita disini ada 11 desa, desa ‌ terus dinas instansi terkait misalkan PU dulu mah masih ‌, PU pengairan/bina marga. Terus KUA, dinas pendidikan dinas dinas yang ada di kecamatan itu, nah itu yang mengajukan usulan apa Kalau desa komponennya apa yang diundang? Yang diusulkannya? Banyak tergantung kebutuhannya Komponen yang diundang Di desa? Kepala desa, biasanya kepala desa aja dik yang diundang. Mungkin kita sekarang juga mengikutsertakan ketua LKMD, ketua BPD, ketua kepala desa Pemilihan ini apakah ada petunjuk dari kabupaten? Yang harus datang?ngga! dia kan bisa memahami , kepala desa kan ini kan apa yang telah ia rumuskan di desa dapat dipertanggung jawabkan oleh dia, di kecamatan kita Tanya yang paling penting di desa apa? Yang harus didahulukan untuk masyarakat‌. Kalau desa kan menyampaikan ada Forum sendiri? Kalau dinas dinas di kecamatan? Ya sama sama semuanya kita kan sebelum mengadakan rapat forum perencanaan pembangunannya kita menyebarkan ini dulu, dari kabupaten sudah ada disebarkan ke kecamatan harus diisi oleh desa, desa dimusyawarahkan dulu rapat, dan hasilnya apa di masyarakat desa mungkin dalam rapat desa mungkin tidak sama satu dengan yang lain kita kasih jangka waktu seminggu mengadakan musyawarah dulu dan hasil ini formatnya dari kita, jadi seragam juga dinas instansi Kegiatan sehari harinya?
211
T A T
A T
A T
A T
A T
A T A T A T
A T
A T
A T A
Biasanya sehari dik, sehari aja juga cukup kok ini mah memang seharusnya dua hari tapi dipercepat Bagaimana menentukan prioritasnya, kriterianya apa? Yang paling dibutuhkan sekali oleh masyarakat apa. Yang mendesak dilakukan hari ini apa. Misalkan jembatan putus misalnya itu kan tidak bisa digunakan sarana perhubungan nah itu mungkin didahulukan atau ambruknya sekolahannya nah itu yang harus diprioritaskan. Salah satunya itu, kita lihat yang dibutuhkan langsung lah Nah misalkan ini kan banyak desa, nah kan ada kemungkinan terjadi permasalahan nah ada satu desa gimana dengan desa yang lain? Memang semua menang mengajukan dan merasa penting tapi kita lihat dulu yang penting pisan mana gitu ya, kita memang mengajukan semua ini ke kabupaten, tapi kan diseleksi saja disana dalam rakorbang itu, nah nantinya yang diberikan kabupaten kita ngga tau. Seperti ini berapa aja sih jalan, ada berapa desa, tidak semua usulan desa pokoknya dianggap penting oleh kecamatan itu yang akan didahulukan, mungkin dalam rapat, ini pa yang lebih penting, mungkin itu yang akan diajukan ke kabupaten tapi ngga akan semua kadang-kadang gitu, kalau semua mungkin dananya darimana sedangkan ini berapa proyek kalo kita mengikuti kemauan desa, berapa bidang berapa proyek gitu, banyaknya dan lebih dari 50 gitu. Jadi semua ini yang diajukan dari desa sudah direkap semua Yah, engga dari mereka semua gitu, sama kita direkap lagi dia hanya memberikan usulan terus dalam rapat forum perencanaan pembangunan itu, itu mana yang lebih penting, kita catat lagi nanti sama kita direkap lagi. Selain lampiran yang dibawa gitu Jadi ada pengurangan/penambahan? Iya pasti yang pentingnya mana, tapi iya kita masukin kekabupaten lah tapi diprioritaskan yang penting, usulan dia mah kita masukin semuanya dik gitu, yang penting masukin mana gitu yang lebih penting mamar atas Kalau misalkan proyek ini lebih penting dari proyek lainnya apakah dari teman teman kepala desa, atau dari yang lain gimana? Itu mah ngga jadi masalah dik, soalnya saling kita kan disini musyawarah untuk mufakat, jadi saling ngerti gitu ngga jadi masalah jadi dia menyadari memang ini penting tapi kalau ngga diberi dana dari kabupaten mah kan realisasinya juga kabupaten gitu prosesnya Tadi kan dinas dan desa ada yang diundang nggak kan ada organisasi ditingkat kecamatan Selama ini belum ya Cuma gitu aja, semacam LSM gitu ngga, hanya yang terkait dengan ini saja Kan kaya di desa Majalaya kan ada permasalahan yang terkait dengan PKL seperti itu Oh yang semacam itu kan oh itu baru kan pasti nanti diundang Ada bedanya ngga dengan diskusi UDKP yang dahulu? Sama dik, Cuma namanya aja yang dirobak Cuma namanya aja, kalau dulu namanya diskusi UDKP sekarang mah Forum Perencanaan Pembangunan Kecamatan itu, itu aja intinya nah kan sistemnya kan system singkatan singkatan saja Kalau dari kecamatan yang hadir, siapa saja selain cabang dinas Iya, dinas instansi itu, KUA kan KUA semua dengan kecamatan, kapolsek, dan ramil, dinas pendidikan yang ada di kecamatan, terus dinas peternakan, pertanian apa yang akan diusulkan oleh mereka itu instansi kecamatan kan mengusulkan proyek apa yang akan dibangun oleh dia gitu Kalau di kecamatan sendiri ada tim perumusnya ngga Ada, tim perumus kecamatan, sekaligus hari itu juga lah kasi mana yang bersangkutan dengan ini gitu. Nanti kita panggil desa satu satu gitu memusyawarahkan apa yang diperlukan selain yang ada didaftar ini. Oh ini yang harus didahulukan nanti kita rekap lagi Siapa anggota tim perumus Pak camat, kasi, sekwilmat, 7 kasi dan sekwilmat Kalau kemarin pengalaman yang kemaren, apakah setiap desa mengajukan atau ada yang kececer
212
T
A T
A T A T
A T
A T
A T
Ngga, kita sebelum kita bikin rapat ini kita kan bikin format dan memberikan terlebih dulu mereka tuh harus siap sebelum kita sudah rapat dulu di desa, jadi ngga ada masalah lagi lah itu Ada ngga mekanisme lain menyampaikan usulan selain melalui format lain Ngga ada, mereka mengusulkan kita rekap disini, aman usulan dari mereka kita tampung disini terus kita rekap seperti disini ada beberapa desa, misalkan sekolahan ada desa ngga setia, Majalaya, Sukamaju, wangisegara yang perlu ditangani atau direhab sudah aja gini aja ngga ada lagi Kalau dalam rapat gitu ada ngga tiba tiba ada usulan baru Ada, pasti ada, mungkin belum terpikirkan pada rapat di desa gitu, ada usulan baru, kalau dinyatakan penting dan perlu di dahulukan, diutamakan lagi Penyelenggaraan FPPT acaranya seperti apa bu? Kita biasanya pembukaan yah, terus sambutan dari pa camat ngga ada panitia lagi disini mah langsung sambutan pa camat kalau memang ada tim dari kabupaten mungkin memberikan pengarahan baru diskusi dan Tanya jawab Kalau diskusi biasanya seperti apa bu? Tanya jawab aja, mengusulkan apa gitu? Ini kan setelah direkap camat kita minta lagi, yang pengtingnya mana, Tanya jawab aja dik lah diskusinya da mereka sudah tau apa yang harus mereka laksanakan apa ;yang harus mereka bangun, mereka juga tahu ini ngga mungkin terealisasi semua menyadari Proyek proyek ini kan dapat dikelompokan swadaya atau dibiayai Ini otomatis kebanyakan dik ngga mungkin dibiayai dari pemerintah semua, tidak mungkin mencukupi semua dengan swadaya misalkan dia membutuhkan dana seperti ini seperti jalan hanya diberikan beberapa juta dari pemerintah, sedangkan biayanya hanya 10 Jut, sedangkan biayanya harus 20 juta, harus ada swadaya, tapi dengan jalan perangsang maka pemerintah hanya memberikan rangsangan pada desa, semangat dan swadaya dari masyarakat tinggi asal ada rangsangan aja dik Kalau kasi perencanaan bidang perencanaan bidang kerjanya apa? Ini aja dik, tugas kasi perencanaan Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
A
AR
A
A
: Ayit Rochman : Kepala Desa Majalaya : Dsn. Atirompe, Majalaya : 10 Januari 2003/10.00 – 11.00 : Kantor Desa Majalaya.
Saya berangkat dari: tiap tahun kan ada mekanisme pengusulan program dari desa terus ke kecamatan, dengan adanya mekanisme musbangdes, diskusi UDKP, dan rakorbang ditingkat kabupaten. Nah sekarang kan kalau ngga salah tahun 2002 ini kan sudah menjadi FPPT. Mungkin bapak bisa cerita prosesnya di desa Majalaya ini Kalau di desa Majalaya memang sebetulnya kemarin itu di bahasnya waktu di itu di rapat di kecamatan, jadi sudah diusulkan kesana Cuma prosesnya disini kami melihat skala prioritasnya aja jadi mana mana aja yang diusulkan, kalau dari masyarakat kan, masyarakat sudah mengusulkan supaya ini dan ternyata kemarin kami mengusulkan untuk 2003 kebetulan ini mau jalan berdasarkan arah dari camat bahwa Majalaya sudah 2002 sudah ada jalan sudah punya gitu proyek jalan yaitu jalan tengah, alun alun dan atirompe, jadi kami diprioritaskan untuk tahun ini adalah pendidikan itu dibahasnya no 1, no 2 kami usulkan Mengenai gorong-gorong dan drainase, sebab menurut pendapat lain, pengamatan lah bahkan pengalaman lah, jadi seandainya jalan itu diperbaiki sementara gorong-gorongnya tidak diperbaiki saya kira ngga ada artinyalah, liat lah seperti di MT, tapi kan kalo goronggorongnya ngga ada pemeliharaan gitulah kalau gorong-gorong kan sudah ada bahkan kami sudah bertanya apakah ada dana pemeliharaan, akhirnya dijawab ada Cuma ngga besar, jadi akhirnya ngga tercapai gitu Kalau proses pengajuan dari masyarakat itu gimana? Apakah ada rapat rapat di desa atau gimana?
213
AR
A AR A AR A AR
A AR
A AR
A
AR A A AR A AR
A AR A AR
Ya saya rasa demikian, tapi karena masyarakat sudah banyak yang datang kesini, Pak RW RW yah, ngontrol-ngontrol gini tapi kalau proses apa itu, semacam rapat gitu, paling paling melalui rapat rapat RW dengan para ketua RW, lalu RW mengusulkan supaya ini agar diusulkan ke kabupaten mengingat memang perlu, terutama kemarin kan 2002 kami mengusulkan jalan, itu alhamdulillah sudah, tahun 2003 kami juga mau mengusulkan jalan, karena masih banyak, tapi pada kenyataannya, berdasarkan arahan Pak camat, supaya yang belum kebagian jalan bisa dapat jalan bisa diperbaiki, karena kebetulan Majalaya sudah 2002, jadi dialihkan, nah skala prioritasnya untuk pendidikan Kalau rapatnya di desa sendiri ada, jadi rapat yang mengumpulkan warganya Paling paling dengan ketua RW Kalau saja mungkin rapat yang khusus untuk membahas usulan Oh kalo secara khusus ngga gitu aja Cuman ya kalo desa‌ selalu dilontarkan Kalo bisa cerita ngga dasarnya pemilihan garong garong pendidikan Ya berdasarkan pengalaman itu, jadi apalah artinya jalan diperbaiki kalo sementara gorong gorongnlya ngga berfungsi liat saja seperti jalan tengah kurang berfungsi kalo hujan itu tergenang, jadi bukan‌. Manfaatnya tetap hanya kekuatannya tidak akan lam tapi kalau sementara, gorong gorong berfungsi insya Allah kan kalo tidak tergenang air jalannya bisa kuat bisa tahan lama, makanya kami mengusulkan itu Disini ada peran LKMD ngga dalam mengajukan usulan Kebetulan LKMD itu baru kemarin di bentuk lagi, bahkan sekarang sedang diajukan persetujuannya ke BPD, jelas disini keterlibatan LKMD sangat penting sekali dalam pembangunan, mitra kerja kami lah dalam bidang pembangunan Kalau dalam hal ini ada koordinasi dengan BPD ngga Iya jelas, kami juga berkoordinasi dengan BPD, dengan LKMD, bahkan kami merencanakan dengan LKMD itu mau secara swadaya gitu mau memperbaiki goronggorong di depan toko padasuka , sekarang kan lagi sudah mampet, pagi pagi tapi sampe saat ini belum, baru direncanakan dari swadaya, kami juga diajukan juga kesan kalau memang swadaya masyarakat tidak bisa berjalan kami juga sudah diajukan. Untuk gorong gorong terutama yang di dalam kotanya, ada tujuh kalau ngga salah, waktu itu, Cuma kata pak camat sudah gorong-gorong aja gitu Saya kan kalo ngga salah membaca keputusan bupati, nomor 22 tahun 2002 tentang forum perencanaan pembangunan gitu jadi di tingkat desa gitu harus dibikin FPPT tingkat desa, kecamatan apa.. Kemarin juga ada gitu sama dengan IPGI apa, ya udah‌.udah terbentuk yang kemarin, ketua Pak Endang juga Oh pokja Saya ingin mendapat penjelasan kok tidak ada rapat khusus, apa karena waktu mepet, atau masalah tehnik Ya memang kami belum ya, ya kebutuhan kami hanya menampung hasil rapat rapat ketua RW, maka kami ajukan waktu rapat tahunan di kecamatan Tidak dibuat secara khusus itu aja karena tidak ada masalah teknis apa gimana? Sebenarnya gini, gimana ya karena ini sudah jelas, dan masyarakat sudah pada tahu bahwa ini yang paling perlu sekarang, jadi. Ah kami ajukan aja, karena sudah jelas sangat diperlukan sekali, kalau misalkan gorong-gorong jalan, sudah jelas mengingat tidak ada artinya maksud tidak berarti tidak bermanfaat, Cuma kalau gorong-gorong dibiarkam demikian yah, kekuatannya ngga akan lama, lihat aja seperti jalan tengah itu, tiap banjir itu pasti tergenang sementara kendaraan yang melalui jalan itu kan padat, sementara ya dimana-mana kalao jalan sudah tergenang air jadi kekuatannya itu‌nah maka kami usulkan gitu, jadi sudah nampak jelas lah kebutuhan itu Jadi yang diajukan itu berapa proyek? Untuk sekarang itu, pendidikan dan gorong-gorong Pendidikan itu dimana? Ya seluruh, 2 SD di usulkan mudah-mudahan tahun 2003 ada pelaksanaannya ada yang ditingkatkan
214
A
AR
A AR
A
AR
A AR A AR A AR
A AR
Desa Majalaya kan termasuk desa yang sangat padat gitu, sangat heterogen. Ada ngga usulan-usulan dari tokoh agama misalkan untuk bikin perbaikan masjid, atau PKL untuk bikin pasar Itu mah betul sangat bahkan kami juga sangat mengharapkan gitu ya lokasi pasar jangan di sana, karena kami juga, ya mau melangkah itu tidak bisa dalam mengambil langkahlangkah gitu. Cuma bisa memberikan saran-saran, jangan menganggu, kalau mau dipindahkan ya kemana gitu tapi insya Allah kalau relokasinya sudah ada sebab mereka juga sudah menyadari kalau sudah ada mereka juga siap dipindahkan hanya dengan syarat tidak ada yang ketinggalan, kalau mau pindah ya pindah Apakah waktu relokasi pasar gitu, itu apa usulannya itu tidak melalui ini atau langsung Kalau relokasi pasar itu sudah ditentukan itu, dari sana tidak melalui kami merumuskan, tidak itu sudah ada dari atas, lokasi relokasi pasar itu di sebelah utara tepatnya di desa Majasetra Tapi memang sudah ditentukan dari kabupaten. Ya sudah ditentukan bahkan kemarin itu sudah diurus kalau ngga salah. Cuman itu lama sekali, sejak jaman kapan gitu, saya juga sudah lihat besteknya bagus gitu. Pasarnya ditengah tengah dikelilingi jalan, jadi tidak akan ceuk basa sundana mah moal aya nu nyingkur karena semua dilalui oleh jalan, dulu gitu, tapi sampai sekarang ngga lihat lagi. Baru kemarin kemarin ada urusan urusan Ya sudah kami pun melalui kecamatan mengingat yah kalo dikatakan semrawut ya apa adanya Majalaya. Cuman kalau memang penempatan PKL tidak ditempatkan segera jadinya akan begini. Jadi lain sering mengajukan Kemarin waktu merumuskan ini apa pa ayit sendiri atau dengan Kebetulan waktu itu dengan ketua BPD juga, dengan anggota LKMD juga, dengan siapa yang di bidang pembangunan lah. Pak Deni waktu di kecamatan itu dengan LKMD Ketua BPD siapa Asep Andiana Sering kesini pa? Sering, apalagi sekarang ini kami membahas tentang menyusun APBDES, alhamdulilah baru hari ini kebetulan berkoordinasi dulu dengan bagian Otda, tadi berangkat sama sekdes yah dari pemerintahan dari BPD hampir semua berangkat mengingat ada kekosongan antar ‌‌.kan seharusnya 13 ada yang mundur sementara yang antar waktu ada yang masuk mundur lagi Besok keliatannya ada ngga? BPD? Mungkin ada rencana hari ini juga mau rapat rencananya, tapi dibatalkan karena mau koordinasi dengan pihak Otda dulu kan dengan BPOD sekarang sudah ngga ada lagi, cuman 1 tahun lalu
Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara A
R
: Ibu Romlah : Penggerak PKK Desa Majalaya, Ketua RW 06, Ketua LKMD Majalaya : RW O6 Desa majalaya : 10 Januari 2003 / 16.00 – 18.00 : Ruang Tamu Rumah Ibu Romlah.
Kan sekarang ada penganggaran APBD gitu mulai dari tingkat bawah, desa ke kabupaten melalui mekanisme perencanaan pembangunan gitu, mungkin ibu bisa cerita ngga bagaimana proses aspirasi dari tingkat desa Bagaimana aspirasinya dan sosialisasinya mengenai APBD itu mungkin ya, BPPD itu ya dulu kan ada bantuan dari bupati, mungkin itu yah untuk ke desa maksudnya adalah untuk membawahi desa masing-masing gitu baik dari masalah pembangunan fisik gitu kemudian dari desa juga peduli terhadap lingkungan memang pada RW,RT juga pada masyarakat banyak pada umumnya dengan sanitasi itu terutama tentang kesehatan/lingkungan diutamakan untuk transportasi juga untuk mempermudah kemudian sehubungan dengan itu yang dianggarkan oleh kepala desa ke tiap RW diberikan gitu ya,
215
jadi otomatis di RW pun, bantuan tersebut kepicikan juga untuk merenopasi gang-gang atau gorong gorong dan sebagainya. Jadi sekarang kondisi ibu, menurut penglihatan ibu gitu, alhamdulilah untuk desa Majalaya, adanya bantuan tersebut baik dari bupati terus ke desa kemudian disalurkan ke RW dan ke RT lah, banyak sekali manfaatnya juga masyarakatpun merasa berterima kasih atas bantuan tersebut, dikarenakan sekarang sudah keadaan yang begitu banyak yang kondisinya banjir, agak bisa ditanggulangi gitu, jalan jalan yang rusak kena air sudah bisa direnovasi, sekalipun biaya tersebut kurang memadai sebagai stimulant saja. Jadi sebenarnya dikarenakan 16 RW gitu otomatis biaya tersebut sekian, alhamdulillah menjadi stimulan untuk di daerah masing masing bahwa masyarakat itu banyak kepeduliannya masalah lingkungan, ya terutama pembangunan gitu, gang-gang misalnya bisa diperbaiki, gorong-gorong yang biasanya mempet sekarang sudah lancar jadi masyarakat itu tidak mengandalkan hanya itu saja yang dari desa tapi juga ikut berpartisipasi untuk membantu secara bergotong royong tapi yang merupakan pokok adalah dari sana gitu. Jadi kekurangannya bisa diitukan bisa ditambah atas partisipasi rakyat masyarakat Alhamdulillah sekarang pembangunan di Majalaya tapi secara per RW gitu, memang pembangunannya sudah bagus tapi dilihat protokol gitu ya jalan kabupaten seperti jalan besar memang itu agak prihatin juga karena kan antara jalan propinsi dengan kabupaten kan beda jalur kalau jalan propinsi mah sudah bagus kelihatannya memang sudah dirasakan bagus tapi kalau jalan kabupaten yang mana jalan kesini gitu ya, mengenai gorong gorong pemeliharaan gorong gorong dan sekaligus jalan rayanya yah kurang pemeliharaan, dikarenakan bukan karena tidak peduli pada masyarakat tapi dikarenakan mungkin itu biayanya terlalu besar mungkin tidak terjangkau lainnya oleh pengasah, ada alasannya gini misalnya‌ kenapa.. kan saya diambil payah jadi sekarang kenapa mesti dilimpahkan lagi kemasyarakat, sedikit besarnya masyarakat pengen jangan sampai limpahkan lagi lagi kan kondisinya begini sulit ekonomi, sedangkan itu adalah jalan kabupaten itu, tolonglah di usulkan ke atas, ke bupati, dimana mana supaya jalan tersebut bisa ke PUK supaya bisa diperbaiki,memang ibupun peduli tentang itu dulu pernah bikin proposal untuk jadi sebulan tapi‌ ibu antisipasi dulu disini di daerah ke PUK ibu di daerah dulu. Jadi secara sebelum kita menginjak ke atas ketingkat provinsi eh kabupaten. Jadi ibu untuk penanggulangan ke daerah dulu, mampu atau tidak tapi akhirnya memang saya yang bisa ibu laksanakan, itu juga tidak menyeluruh jadi kan drainase sepanjang 350 m, bisa ibu atasi, tapi kalau seribu meter, ibu angkat tangan gitu, mening ibupun kembali,memang itu luar jangkauan kemampuan desa atau RW gitu daerah setempat, jadi seharusnya mungkin ada dana khusus dari sana misalnya dari PUK drainase tersebut, itu kan menyangkut satu paket dengan jalannya kalau drainase dengan gorong gorong dengan badan jalan dan bahu jalan kan mungkin menurut itu itu mungkin ada, mungkin bisa dianggarkan oleh PUK untuk merenovasi gorong gorong tersebut. Jadi bilamana diatasi 100% oleh masyarakat tidak mungkin gitu, karena diluar kemampuan, karena besarnya biaya kan 1000 meter jaraknya ke kondang kurang lebih 1000 m, jadi di drainase tersebut sering mampet dan banjir, juga kan bolongnya sudah bersih-bersih jadi setiap bak kontrolnya yang sudah dipatenkan bak kontrolnya 2 untuk disini, untuk disana sekarang bukan bak control lagi semuanya control saking banyak bolongnya tanah itu, jadi ibupun prihatin juga yang mau ibu itu, melangkah biar gimana untuk dilimpahkan kemasyarakat ngga mungkin, mau mengajukan kesana, disininya anggarannya ibu sudah disusun, memang proposal sudah ibu susun tinggal ibu melayangkan ke sana ke PUK, nah itu tentang drainase masalah sanitasi masalah pembangunan di desa. Memang kalo orang yang awam, kalau mau sholat jumat kembalinya ke desa suka marah gitu, wah desa mah teu baleg ceunah. Jalan nepi ka siga balong gitu kan bilangnya mana mau sembahyang, itu bukan tidak ada usaha desa sebenarnya, iya, sudah ada itu apa namanya penanggulangan sementara jadi supaya jangan terlalu parah jadi supaya jangan seperti kolam di jalan raya, sudah ‌.jadi marah marahnya ke desa kemudian oleh desapun ditanggapi, bu Romlah gimana, kekuatan LKMD larinya, ya pa Ayit kalau kita memperbaiki 100% ngga mungkin tapi kita perbaikilah untuk penanggulangan sebatas jangan terlalu parah gitu, ya akhirnya diusahan oleh ekbang juga diperbaiki tapi cuman dananya diambil dari situ situ juga
216
A
R
masyarakat yang deket tapi cuman kekuatannya 10 hari 2 minggu, taruhlah 3 minggu, mungkin dana tersebut kan harus ngambil lagi, minta lagi kalau dikerjakan oleh kita seseorang harus tenaga ahli juga itu, tukang itu, harus upah juga. Sudah 3 minggu ya minta lagi ke desa nunggu akan betul kerjaan ini sekalipun kita penanggulangan untuk sementara, sudahlah buat proposal buat ke PUK supaya di survey oleh beliau beliau itu ke daerah, supaya desa Majalaya ini dapat caci maki dari masyarakat, gimana ini mau jumatan, wah desa ini mah teu baleg jadi pembangunan yang disalurkan dari desa melalui BKPD memang lancer lancar bagus banyak perubahan kalo masalah jalan yang ditangani langsung yang termasuk wilayah cakupannya kabupaten belum bisa ditanggulangi Berkaitan dengan permasalahan yang diluar kemampuan desa untuk menanggulanginya kan ada beberapa mekanisme untuk mengajukan ke atas, kaya kata ibu dinas PUK, atau ada mekanisme forum forum perencanaan di tingkat desa terus kecamatan –lap pernah ngga dibicarakan melalui mekanisme perencanaan itu Nah baru, karena ini masalahnya baru, baru jadi belum lama ibu kan sudah menyusun proposalnya untuk ke kecamatan supaya di ketahui kecamatan untuk dilangsungkan ke kabupaten baru menyusun ibu di LKMD itu, tapi untuk proposal untuk merenovasi sementara yang sekaligus ada peduli dari kabupaten PUK tersebut, karena ini masalahnya harus segera gitu ditanggulangi, ibu sudah mengajukan proposal ke pengusaha toko ini supaya diperbaiki secara tetap karena kita kita juga yang memakainya jangan sampai alhamdulillah, kalau memang peduli dari PUK atau kabupaten ada bantuan untuk merenovasi itu kewajiban itu memang kewajiban beliau, tapi ibu itu memang tidak berhasil, belum ya belum berhasil. Jadi pengusaha pengusaha itu sebatas mengetahui proposal jadi belum ditindak lanjuti untuk selanjutnya ah ibu kenapa sih kemasyarakat lagi lagi gitu sedangkan katanya saya ini kena payah, kan payahnya ka pamerentah ceunah sedangkan merenovasi ini bagian pamarentah bu seharusnya mah jalan mah sanes bagian urang ya ini jaga memang bagian pemerintah yang berkewajiban, tapi tidak ada salahnya bilamana dana tersebut sudah ada mungkin harus diamsusikan di SPJkan dulu, ya diusulkan dulu mungkin diambil ke rapat mengenai anggaran tersebut baru anggaran tersebut cair tidak sekaligus kita bikin proposal jreng uang langsung, ngga mungkin nah ibu tuh untuk penanggulangan secara insidentil secepatnya, mendadak gitu, ya jadi ya keputusan ke toko toko gitu bikin proposal supaya mengetahui komposisinya seperti begini begini , kan bapak sendiri pengusaha toko yang merasa rugi karena bilamana gorong gorong mampet misalnya, nah keluar itu bocoran besar di jalan raya otomatis toko pun akan kena marah ini darimana sumbernya ini dari toko toko lewat ini masalah, kenapa bu tidak diajukan aja ketoko omean! Ceunah atuh jalan teh kitu, tong saling menyalahkan kata ibu, kita tempuh jalur yang benar ya akhirnya toko toko itu mau.
Nama Pekerjaan Tempat Tinggal Waktu Wawancara Lokasi
: Enjang Ruhiat : Pedagang Kaki Lima : Desa Bojong : 16 April 2003 / 14.00 – 16.00 : Rumah Enjang di Desa Bojong.
Nama saya Enjang ruhiat pekerjaan sebagai pedagang kaki lima,eu.. akhir sekolah SMU dan sekarang menjadi penganggur akibat pembenahan kota majalaya. Hampir 6 bulan saya juga merasakan sebelum saya eu.. berhenti saya itu sudah merasakan gencatan / tekanan ekonomi karena perusahaan banyak yang bangkrut terus masalah-masalah eu.. belanja kurang karena kurang eu.. mengimbang-ngimbangkan kebutuhan rumah untuk membeli,akhirnya kurang dan akhirnya ini suatu gencatan ekonomi terhadap masyarakat orang-orang PKL karena hubungan sebagai PKL sendiri bahkan saya jadi pelopor PKL Majalaya tahun 1986 dan sekarang kenapa baru merasakan pahit di bidang PKL / di bidang pedagang kaki lima sendiri karena apa..? ini situasi ekonomi eu..baik dari golongan sipil maupun golongan lainya merasakan karena
217
saya tanya baik seorang pengemudi,becak,mobil sama transport yang lainya kendaraan semakin bertambah dan konsumen semakin kurang katanya gitu! Kalau sekarang enggak ada kelompok PKL kalau dulu pernah pada tahun 2000 s/d akhir 2001 dan PKL juga pernah terorganisir dan itu pun bukan berawal dari aparat / muspika tetapi oleh PKL nya sendiri dan di bantu oleh maahasiswa. Menyatukanya anggota terasa sampai sekarang tahun 2000 s/d akhir 2001 terasanya itu ada bantuan-bantuan dari mahasiswa di Bandung nah..setelah terbina bagitu mungkin dari pihak mahasiswa punya kegiatan lain yang akhirnya PKL itu mempunyai seorang ayah kalau di bandingkan sekarang seolah-olah di tinggal seorang ayah yang akhirnya semberawut kembali Dasar pengelompokan di PKL pertama,misalkan begini PKL di bagi dalam beberapa kelompok dan di sini ada 10 kelompok PKL yang berada di wilaya pusat kota Majalaya anggota dari satu ketua kelompok meaktifkan 1 kerapihan dan 2 kebersihan stan,jongko,atau lapak Tujuan pengelompokan organisasi itu justru untuk mencegah hal-hal yang tidak di inginkan seperti pungutan liar sekarang sudah banyak kembali pungutan liar/ilegal gitu eu..conohnya aja dari golongan-golongan terseut mungkin eu‌enggak tahulah saya juga enggak bisa mengatakan padahal sekarang ini pingin gitu menghancurkan Isu yang sangat tersa sekali oleh PKL pertama tekanannya itu banyak pungutanpungutan sekarang yang tadinya berjualan modal 100 ribu kadang kadang ada lebihnya dan sekarang kalau modal 200 ribu malahan jadi tombokan Struktur keterwakilan itu justru dulu itu ada tapi sekarang berhubungan ketuanya mengambil jalan sendiri dan akhirnya anggotanya juga mengambil jalan sendiri-sendiri dan akhirnya semberawut kembali jadi tidak merasa terbina tidak ada perlindungan merasa tidak punya bapaklah..jadi setiap eu..kan sudah terbentuk organisasi forum pedagang kaki lima FMPKL dari kelompok yang tadinya itu aspirasi-aspirasi di ruang lingkup PKL itu ada perwakilan dari kelompok untuk mengadukan permasalahanpermasalahan ke ketua forum dan akhirnya bisa terpecahkan tapi kalau sekarang kan gimana harus kepada siapa mengadukan permasalahan-permasalahan yang ada di PKL contohnya aja‌saya menjadi korban pertama emang ada surat tapi suratnya lain di ajukan pada orang-orangnya apa yang terbawa itu kan gini pertamanya PKL yang menjorok ke badan jalan yang membelakang PKL lain, tapi kenapa saya yang lain ,yang tidak menjorok ke jalan tergusur itukan harus adil.mungkin ini ada unsur-unsur lain yang menjadi penghambat ke Desa/Kecamatan Mungkin disini pungsi perananya ‌itu merasa ada bimbingannya pertama..setiap ada pungutan-pungutan cpontohnya juga ada sumbangan yang memberikan /mengajukan proposal pada terhadap pedagang kaki lima (PKL) itu,enggak langsung ,enaknya itu.jadi enggak lansung minta gitu,dan minta aja kepada ketua forum dan nanti ketua forum mengambil keputusan tadinya itukan ketua forum terjunlangsung keketua lapangan terus kepada ke ketua kelompok dan langsung juga ke anggotanya Pemilihan ketua emang secara demokratisbahkan ada AD/ARTnya wajib di pilih satu tahun sekali.dan sekarang sudah mencapai 2 tahun tidak ada kabar harus di bagaimanakan apalagi pembentukan kepengurusan yang baru atas dasrnya adalah banyak kasus contohnya waktu mau perbaikan gorong-gorong di depan toko pada suka nah setelah perbaikan selesai pungutan pun terus berjalan nah..sebaigian itu saya terus tanyakan dan dia jawab yah,,,mungkin ada kegiatan yang lain untuk seperti bilamana ada pedagang yang sakit atau meninggal ada dana bantuan dari forum atau dari FMPKL tapi saya juga tidak tahu menahu wadahnya dimana di si ketua atau di sipemungut. Pihak-pihak yang di percaya yang dapat menyuarakan adalah saya bukan bangga kerena yang selalu menyuarakan keluhan PKL terhadap pemerintahan setempat adalah saya saya ambisi untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang berada di PKL dan peduli terhadap orang-orang bawah samapai menengah yang contohnya PKLgitu..?yang di samapikan tentang contohnya jalan dan PKL akan di pindahkan,terus perbaikan jembatan PKL harus pindah nah oleh Desa/Kecamtan PKL tetap membanggkang dan akhirnya saya turun langsung ke lapangan mengambil jalan secara bermusyawarah
218
dengan PKLnya sendiri dan akhirnya dia juga sadar nah..perbaikan jalan itu bukan sekedar kepentingan pribadi melainkanuntuk kepentingan umum perbaikan jalan dan jembatan dia bertanya‌saya bisa berjualan/enggak dan saya jawab berjualan sih boleh cuman kita musyawarahkan apakah kita layak berjualan di atas jembatan gitu apa kita bisa berjualan di bahu jalan /enggak saya tidak bisa menyimpulkan‌saya bisa karena masalah jalan inikan istilahnya ada pengatiur seperti kepolisian dan Sabara dari kecamatan dari PU binamarga jembatan dan jalan gitu. Untuk sementara tidak ada pihak-pihak untuk memnyapaikan aspirasi ke pemerintahan kalau dulu itu pernah FMMS kontribusinya eu‌istilah orang tuanya mencegah PKL/ berdagang saya tidak bisa menyuruh berdagang saya tidak bisa yangbisa cuman FMMS orang-rang kecamatan dan kapolsek/koramil itu tolonglah kata orang-orangPKL jangan sampai kehmata pencaharian tapi sedemikian rupa jangan seperti kota kumuh itu orangorang FMMS Biasanya mengadakan rapat itu di desa tapi tujuanya itu cuman ada permasalahan kalau ada permasalahan menghadapi ada kegiatan missal untukkegiatan agustusan lalu rapat jadi itu jadi ada kepentingan kelompok-kelompok Proses penyelenggaraan itu merupakan undangan-dan undangan itu justru di bagikan kepada orang-orang bodoh terusterang aja jadi supaya bisa di bodohi, sama saya mah waktu rapat itu beberapa kali belum pernah di undang bukan saya merasa orang pintar mungkin ini menurut orang-orang di desa itubahwa saya yang menjadi hambatan bagi kepentingan orang-orang desa. Isu yang dibahas seperti kemarin aja waktu mau THR,mau agustusan waktu tahun kemarin desa buth dana, terperinci disana saya enggak bisa ngomong saya yang enggak di undang saya yang dating mau apa kata desa,,? Kepada kang enjang kan tak di undang dan sedangkan saya kata Enjang perwakilan dari PKL. Muspika,kamu harus mengeluarkan uang misalkan saya butuh cat atau apa-apa lagi pasti nurut gitu,nah,kalau saya kepentinganya apa gituh,samapai minta sumbangan / samapai kepada PKL . Ada sih waktu perbaikan jalan cuman dari apasih yah itu masalah jembatan saya tidak masukan masalah PKl dan saya juga masukan masalah PKLtapi dia nah dia juga merasakan bertanya kenapa saya juga PKLnya enggak ada ‌.karena tadi sudah dikatakan kalau yang diundang orangnya mengerti ,berhubungan saya ada kepentingan yang lebih pokok di kalangan lingkungan keluargga jadi enggak mungkin ada yang berani masukan kasus/permasalahan di majalaya ke media karena mungkin takaut. Belum ada rapat terjadi pembenahan PKL waktu,temapat saya tergusur oleh pembenahan itu saya langsung dating ke desa hamper 3x tanggapan di desa enggak tahu menahu kareana sekarang mah KAPOLSEK baru dan saya bertanya lagi kepada desa kenapa sampai mengadakan tindakan begitu tidak mencari solusi dulu saya itu butuh perlindungan itu masyarakat kecil butuh segala butuh lah butuh untuk mencukupi hidup butuh untuk yah..contonya saya bawakan arsif dari rumah sakit data istri saya kedesa untuk bukti. Sebelum terjadi pembenahan justru yang hadir dari segala unsur seperti tokoh-tokoh masyarakat,DLL. Sumber informasi tersebut dari saya yang dikasihkan dari Wulan atas nama forum jadi jangan samapi antara PKL dan Transport/preman terlingkup dalam arus lalulintas. Tidak ada pengaruh karena dianggap bodoh olek ketua karena tidak ngerti maksudmaksud tertentu ,jadi ketua setiap kali presentasi di depan anggota dan rapat-rapat yang formal spt lokakarya, seresehan jadi perselimpangan gitu jadi jauh dari kenyataan akhirnya turun drastic kepercayaan terhadap ketua apalagi sekarang ketua lagi ada kasus itu enggak usah di bahas itu aib bagi semua. Kalau dulu itu saya sendiri orang kecamatan dekat dengan saya bukan dekat dari‌ tapi intim dalam kepentingan itu ada unsur kepentingan masalah PKL contohnya PKL ada masalah misalkan saya ada undangan saya yang langsung ke FMMS,kecamatandan desa itu saya.
219
Yang mengambil keputusan dulu itu FMMS dan kalau sekarang nol besar desa juga enggak bias mengambil keputusan ,FMMS sama itu tokoh masyarakat jadi tokoh masyarakat itu seolah-olah berperan sepert pak Sawali,Hkosasih,H syaca ,pertama H Syaca tokoh masyarakat dan juga ketua umum FMMS sekarang. Yang paling dominant untuk mengambil keputusan FMMS motifnya itu kan kita lagi lagi membicarakan tentang PKL nah motifnya itu bahwa PKL jangan ditidak adakan bukan saya menyuruh PKL yang tadi kan menyuruh semua orang berjualan di kaki lima dan ini juga saya jagan di tidak adakan latar belakang nya adalah social dan ekonomi karena mungkin kita sendiri yang merasakan eu…satu,korban PHK pabrik dia punya modal kalau di pakai makan kan bakal habis nah dia memanfaatkan uangnya untuk di jadikan modal nah akhirnya dia menjadi PKL. Kalau untuk mengambil keputusan Forum Pedagang Kaki Lima akhirnya saya terjun sendiri pertama itu saya hubungi sekertarisnya FMMS wulan setiap ada permasalahan pedagang kaki lima saya dating ke wulan nah terus wulan membawa berbagai masalah yang dibawa masalah ama saya dan akhirnya terus terjun langsung itu sering nah.. sekarang enggak ada sama sekali. Peran masyarakat biasa eu.. apa mengadakan pendekatan sama masyarakat biasa pertama pejalan apa enak gitu misalkan pergi/pulang kerja kita lewat alun-alun secara pribadi saya bertanya? enak heuntu upami uih damel teras balanja di PKL ?emang raos cuman nuju ruruhmah sok enjing-enjing sok macet asa sempit pisan karena seueur anu ngalangkung dak kunaon atus jalana meuni sempit kahalangan ku jongko/lapak PKL! Nah terus ama saya di Tanya lagi bu..? kalau PKL di pindahkan ibu mau keliling dulu jika mau belanja kePKL ke manirancan lebih enak jika di manirancan kita the orang majalaya asli jadi haruslah menjaga kotanya sendiri nah itulah satu poin dari pejalan kaki . Legitimasi kekuatan urang the jangan sampai gareude teuing lapak PKL the ka mana ngajukeunana? Ka desa/kecamatan lamun teu bias ka forum aya FMMS ari FMMS the naon ? forum masyarakat majalaya sejahtera kitu ! jadi lain khusus ka pedagang wae tapi khusus anu aya di lingkungan majalaya bias ngjukeun aspirasi urang unek-unek masalah urang ayeua kumaha tah masalah urang ayeuna . Struktur kelompok ada dulu ini terjadi tahun 2003 , belumlah mencapai 2003. Dulu itu ada FMPKL struktur FMPKL.
220
Ketua umum Uloh abduloh Sekertaris Hedi
Bendahara Cucu
Koord lapangan II Wawan
Kood lapangan I Ate
KLP 1 ENJANG
KLP 2 AMUD
KLP 3 CUCU
KLP 8 JAJANG
KLP 4 AGUS
KLP 9 ASEP
KLP 5 SAMBAS
KLP ENTIS
KLP 10 DEDE
Dalam pemilihan struktur tersebut menurut saya adalah salah kan saya punya bapak tadinya itu tadi yang saya bicarakan saya mengundang FMMS untuk mendiskusikan musyawarah untuk terbentuknya forum,kan BPD Majalaya untuk menyaksikan terbentuknya forum kenapa..? nah,musyawarah ini menurut saya tidak lazim/tidak syah karena yang tadinya musyawarah sebelum mengadakan dari pihak BPD,pihak komisi B,FMMS akan terbentuk dari ketua samapai anggota itu PKL sendiri kenapa dari BPD,kenapa dari FMMS,akan terbentuk dari ketua samapai anggota itu PKL sendiri,kenapa dari BPD kenapa dari FMMS menjadi terlibat dari pengurusan. Di akui tidaknya saya tidak mengerti atas dasar apa saya juga bertanya,saya juga ada unek-unek gitu,kenapa dia sampai bias terpilih gambaranya yah,,mungkin untuk bias di bilang pepatah mengatakan manis di mulut pahit di hati yang tadinya menurut musyawarah itu ingin membentuk PKL yang akhirnya ada kepentingan-kepentingan tertentu contohnya aja kemerin terjadi hal-hal yang tak di inginkan Untuk membantu menyelesaikan masalah ialah yang terasa itu dari FMMS dan di Bantu oleh sebelum terbentuknya FMMS itu di Bantu oleh anak-anak mahasiswa itu mengadakan lokakarya dari anak-anak mahasiswa contohnya dari IKIP,ITB,tadinya saya enggak tahu dari IPGI nah..yang membantu masalah dananya. Justru forum pedagang kaki lima itu ialah diperkirakan 3x pertemuan fmms masih ingat gitu..saya terus waktu dengan di KABUPATEN cuman ke pak Tatang justru minta dana saya enggak ngerti bukan minta bantuan eu.. aspirasinya gitu.. saya heran,..
Sejarah Berdirinya PKL di pusat kota Majalaya Sejarah berdirinya pedagang kaki lima di Majalaya itu pertamanya saya sebagai pelopor pertama PKL Majalaya /wilayah alun-alaun yang menjorok ke jalan di trotoar dan jalan pertama saya itu punya kewajiban untuk kehidupan karena saya enggak punya kerja alasanya enggak ada kerjalah.. gitu..perusahaan di prusahaan textile yang enggak di terima karena saya berhubungnya orang Bojong,orang bojong itu di anggap negative oleh perusahaan-perusahaan apakah saya sebagai laki-laki akhirnya saya terjun menjadi
KLP 7 DADANG
221
PKL di wilayah cikaro sekitar alun-alun nah sampai sekarang saya menjadi PKL eu.. merasa cemburu terhadap PKL yang baru kenapa..? saya menjadi cemburu social emang kenapa? Saya yang menjadi pelopor PKL harus tersingkirkan yang tadinya saya membina masalah dengan kecamatan kan ada PKL yang berjualan saya yang menghadapai eu..terus ada polisi pamong praja yang mengambil kiloan saya yang mengambilnya ke sana karena saya terangkan terhadap enggak mengambil itu saja saya juga enggak mau karena saya juga menjadi oknum apa merasa jadi oknum karena saya berjualan di lain tempat cuman hubungan tekanan ekonomi untuk kebutuhan hidup untuk sehari-hari seperti saya sudah punya anak dua berarti berapa perharinya untuk makan dan hubungan hidup pertama itu dan ke dua eu,,, saya mungkin orang..? yang aparat muspika mengertilah terhadap PKL karena PKL itu enggak mungkin dagang kalau punya pekerjaan contohnya tadi saya katakana dan pedagang itu sebatas mana pendidikanya enggak mungkin pendidikanya harus ‌yang paling tinggi PKL itu pendidikanya SMA itu saya sudah mengadakan pendekatan ke semua yang terdaftar sama saya 854 dan sekarang 1000 lebih PKL akaibat korban PHK yang mungkin semuanya mengerti jadi akibat korban PHK itu sedikit modal tapi kalau di pake makan terus akan abis juga terus gimana lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup nah..itu slah satunya eu,, terus dulunya itu kan Cuma dagangnya itu subuh aja tapi kalau sekarang sudah menjadi 3 termin subuh dari jam 2 pagi s/d 7 pagi ,jam 7 s/d 6 sore,dan jam 6 s/d 2 pagi.nah itu yg dan yang meramaikan PKL di majalaya sebenarnya bukan orang majalaya asli tetapi orang pendatang pusat PKL majalaya itu berada di wilayah cikaro,awalnya itu saya jualan peute nah akhirnya menjamur dan saya juga mengerti kebutuhan Desa/kebutuhan lain cuman apa sih kepedulian Desa terhadap pedagang sampai sekarang saya cuman di pinta dsan dipinta terus terang aja dilihat ada masalah enggak bias di selesaikan itu yah saya ini seperti korban pembenahan padahal saya yang menata kan waktu pertemuan dengan FMMS waktu baru terbentuknya FMMS kita terbentuknya sekitar 2 mingguan saya langsung nebgatur PKL yang menjorok ke jalan cikaro itu melewati jalan saparako itu 4m sekarang cuman 1m yang menjoroknya bahkan saya yang tengah membatasi PKL lain,sekarang saya yang tidak ada gitu .bahkan saya sudah ada ke Desa tidak ada tanggapan nah itulah sejarah PKL di Majalaya samapai sekarang.
Nama Pekerjaan/Jabatan Tempat Tinggal Waktu Wawancara Lokasi
: Ace Hidayat : Koordinator Sopir Bis (Kobutri) : Kampung Tangsi Mekar 1 RT02/08, Desa Tangsi Mekar, Kecamatan Paseh : 17 April 2003/ 15.00 – 16.00 Wib : Tempat mangkal Bis, Jalan Tengah, Desa Majalaya
Nama saya Ace hidayat alamat Kp pangsi 1Rt 02/08 desa pangsi mekar kecamatan paseh. Dijalan ini sebagai wakil pengurus bis Kobutri jurusan Majalaya-Cicaheum Situasi ekonomi yang berada di basis komonitas bis kobutri telah menurun pendapatan saya bahkan supir supir banyak keluhan satu hal lagi ya tapi sekarang ini sudah hamper 2minggu ada yang gitu lah minta minta atau pungli (pungutan liar). Kalau khusus kobutri tida terbentuk kelompok kelompok mungkin ini dianggap terminal lah karena bis itu tidak punya terminal tetapi yang ada terminal bayangan dan terminal yang ada dipakai banyak PKL tetapi yang disebut PKL ga lucu lah gitu kaki lima itu biasanya di trotoar tetapi kenapa kaki lima itu berada di dalam terminal atau di tempat bis. Itukan khususnya buat mobil kenyataannya lah banyak yang saya lihat dagang seperti sayuran bahkan itu di tempat mobil nah terpaksakan mestinya mobil masuk terminal berhubung di terminal penuh PKL mungkin itu enggak tahu yah,,mungkin saya harus begini. Bis kobutri ada coordinator /terorganisir Pengurusan ada contoh jika ada uang kecelakaan Tujuanya jika kalau ada keluhan
222
Struktur hanya begini saja ketua Didi supendi dan wakilnya Ace hidayatn cuman gitu aja. Peran berpungsi untuk mengamankan Dipilihnya adalah karenadi percaya oleh para supir-supir kobutri aja dan lainya dasarnya adalah untuk mengatasi jika ada hal yang tidak di inginkan. Pihak yang di percaya adalah kepada ketua saja dan wakil pengurusnya saja Hubunganya adalah dengan transport lain sangan baik jika kejelianya sebagai bahkan sudah di atur jurusan rutenya gitu/trayek bahkan supir-supirnyaterus itumah di bahas untuk memusyawarakan bahkan juga sering lapor ke polisi tapi hanya kretek yang paling di atur transport Mungkin dalam di ikut sertakan dalam rapat formal itu belum pernah di Majalaya tetapi kalau di Cicaheum mah pernah Kalau ada keluhan mungkin di laporkan saja langsung ke polisi Belum terlibat ke masalah/di mediasikan atau di omong-omong Pernah ada rapat sektoral itu mungkin hanya supir bis aja Orang-orang yang paling dominanya adalah coordinator bis yang bagian pagi aja itui namanya Mamat bonsai Keputusan di ambil dari usulan yang terbanyak dan ketua Peran masyarakat biasanya adalah sangat baik dan mendukung keberadaan bis kobutri Majalaya contohnya waktu jembatan di bongkar bis kobutri tidak bias masuk ke wilayah ini bahkan pernah ngetem/mengkal di Pajagalan kan itu Pajagalan bukan tempat pengeteman bis itu mah hak masyarakat baik sekali samapai masyarakat dan Rtnya juga pemerintah setempat ikut ngurusin Pandangan dari public paling mengerti/hubunganya baik sekali seperti pedagang pagi saja saling pengertian saja Itu yang saya rasakan /keluhan yang di rasakan adalah pungli-pungli bahkan saya sebagai pengurus di sini merasakan di pinta sama orang-orang yang suka mabuk itu,mobil kobutri di pinta satu persatu nah itu keluhan semua supir itu,tapi kalau bias di atasi yah saya atasi tapi kalau bisa di atasi mungkin saya langsung lapor polisi aja dan polisinya langsung bertindak Pungutan liar itu perhari bisa sampai 5000 rupiah yah mungkin udah 2minggu tidak ada .
Nama Pekerjaan/Jabatan Tempat Tinggal Waktu Wawancara Lokasi
: Bpk. Empud : Tukang Ojeg wilayah Pangkalan Cikaro : Daerah Cikaro, Desa Majakerta : 20 April 2003/ 17.00 – 18.30 : Tempat Mangkal di pangkalan Cikaro.
Secara Sosial ekonomi dari komunitas ojeg ini mungkin lagi turun karena alasanya mungkin ojeg secara individualnya ini makin banyak Ojeg tidak terorganisir tetapi kumpulan secara sektoral ini mungkin banyak ‌ wilayah pemangkalan Permasalahan tidak ada mungkin permasalahanya Cuma ada di dalam komunitas ojeg saja Ketua tidak ada dan mungkin juga ganti-ganti Sering mengadakan seperti kartu anggota tetapi mungkin untuk mengadakan suatu rapat itu ada pungutan dari ketua di setiap ketuanya Pengelompokan ojeg di sini tidak ada mungkin disini hanya ada pengelompokan berbagai tempat pengeteman/pangkalan-pangkalan ojeg,pangkalan ojeg yang ada di Majalaya itu sangat banyak itu isu-isu permasalahan yang berada di ojeg itu yang berada di sector ojeg itu mungkin sepi untuk mencari penumpangnya saja pembentukan coordinator-coordinator ojeg itu ada kalau terbentuk ketua,ketua yang berada di lokasi ini adalah tidak tentu tetapi kalau di lokasi-lokasi lain itu mungkin ada gitu‌jadi di sini kurang berpungsi jika‌
223
mengadakan rapat-rapat yang ada di ojeg itu sering..? pembahasanya adalah biasa weh, masukan uang seperti kartu anggota masalah-masalah pemasukan /uang untuk organiasi/keamanan pungutan tidak tentu pungutan itu perminggu dan mungkin itu hanya untuk keperluan KAPOLSEK atau aparat itu untuk mengadakan rapat itu di adakan langsung oleh KAPOLSEK /wakilnya sama dengan Kecamatan dan BABINSA ..? pengarahannya itu mungkin langsung di polisi aja sih gituh..? atas dasar keluha-keluhan pemasukan perhari /perminggu cuman itu aja ‌? Yang di undang itu udah tiap orang yang ada di Majalaya belum pernah di mediakan keputusan permasalahan jarang di penuhi oleh si ojeg itu. Nama Pekerjaan/Jabatran Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Abas : Pedagang Kaki Lima di sekitar Toserba Griya : Majalaya : 16 April 2003/ 10.00 – 11.00 : Tempat Jualannya di sekitar Toserba Griya.
Mungkin PKL secara pribadi ganjalan dalam social ekonomi paling minim ayeunakan pendapatan enggak mengurang keduanya ganjalan di PKL eta yang saya rasakan untuk pendapatan PKL sekarang menurun namanya ekonomi yang sebagaimana susah umpamanyakan di daerah Majalaya ini banyak pabrik-pabrik bangkrut otomatis ke PKL menurun pendapatan kalau hubungan antar kelompok di PKl baik-baik saja kalau sekarang PKL tidak merasa terorganisir kalau dulu memeng ada tapi kalau sekarang enggak ada paling yang dibutuhkan pemerintah itu pungutan karcis keamananya itu point-point dari PKL mungkin cara pengelompokan sekarang jarang untuk menyelesaikan masalah tujuan misalkn sekarang jarang karena tidak terorganisir kalau dulu PKL misalnya misalnya merasa di organisir / merasa kalau dalam bahasa sundanya mah,,di aping /di dampingi tujuan PKL yah,,mungkin diperhatikan pemerintah itukan /oleh organisasi yang lain / merasa di perhatikan oleh PKL merasa enak juga karena merasa di perhatikan contohnya ada pembenahan PKL seperti karcis-karcis itukan kalau misalkan liar mungkin PKL itu enggak enak permasalahan di PKL itu pernah seperti kemarin PKL du panggil ke Desa untuk membenahkan lapaknya di pinggir jalan /trotoar itu rencananya akan di geser kesebelah trotoar rencananya akan di ganti dengan auning tapi itu juga belum tentu kapan pelaksanaanya pemasalahan yang lainya yaitu jalur /jalan yang ada di PKL terlalu sempit nah itu yang di rasakan oleh PKl seperti kemarin mau di geser kedepan gitu.. struktur keterwakilan dari dulu itu ada tapi yang saya rasakan dulu bias-bisa PKL mungkin kejelekan-kejelekan dari pengurusnya lagi maka pengurus harus dikasih seperti pelatihan,bertanggung jawab dan penyadaran dan yang saya rasakan sebagai PKL sekarang itu yah waktu kemarin eu.. waktu ada forum ada kejanggalan-kejanggalan dari PKL misalakan kepercayaan nah sakarang sudah mengurangnkeadaanya forum sudah mengurang sedangkan yang mengurusnya orang yang tidak benar dan bukan dari PKL sendiri peran sebagai ketua saya piker seorang PKL itu kewenangannya oleh anggota cara memilih ketua forum dia dipilih secara menonjolkan diri dia malahanmah sekertaris juga bukan dari PKL nah..itu langsung di pilih oleh ketua secara tunjuk punggung pihak-pihak yang dipercara mungkin Kurnia,Amud,Cucu dan lainya yang sangat berhubungan dengan tokoh PKL ,yang membantu PKl yang say rasakan adalah Gerakan Majalaya Berasatu(GMB) yang sangat membantu terhadap PKL. Hubunganya sangat baik begitu juga PKLnya sendiri
224
Seperti kemarin mau Idhul fitri dia membantu merencanakan / melancarkan permasalahan tahunan di basis PKL Kalau sekarang saya rasakan rapat enggak bener/dulu rencana mau pindahkan PKL tetapi rencana memperkecil jongko nah itu dulu yang saya rasakan Cara untuk mengambil keputusan yang saya piker dan lihat secara birokrasi kalau misalnya dari PKL untuk memutuskan masalah mungkin kita riungan dulu bagaimana jalan terbaiknya nah baru disampaikan kepada ketua PKL yang di percaya Yang paling di perhatikan oleh PKL pak Amud di percaya oleh Koramil,seperti sumbangan-sumbangan yang lain dan membahas PKl dan dia selalu di panggil Orang-orang yang di percaya di PKl Amud,Kurnia,Cucu,Aper memang sih ‌yang namun yang paling barpengaruh, ketua PKL yang berpengaruh di sini ada 8 orang yang apling berpengaruh di antara orang-orang ini yaitu Amud Orang yang berpengaruh itu untuk ketua yaiyu /sebagai keamanan untuk mempermasalahkan PKl jika ada masalah-masalah lain kalau yang saya tahumah itu pak Amud itulah yang suka di panggil untuk permasalahan PKl di Majalaya karena sudah di percaya oleh PKl dan pemerintahan setempat ,latar belakangnya itu dulu bias di bilanglah sesepuh PKL/tokoh masyarakat PKl Kalau figunya ya..itu tadi kalau punya wawsanyamah lah ..tidak terlalu tinggi tapi dia sangat berpengaruh di PKL Mengambil keputudsan,? Saya pribadi sebagi PKl yah,,untuk atau saya piker kita riungan dulu bersama PKL majalaya nah kalau kita sudah setuju dengan ide langsung di sampaikan langsung kepada ketua PKL lapangan dan kalau sudah di sepakati semua langsung menuju ke pemerintah setempa. Peran masyarakat biasa yang saya tahu biasa-biasa aja hubunganya baik. Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Yadi Budiman : Pedagang Pasar Stasion : Ciwalengke : 20 April 2003/ 14.00 – 15.00 : Pasar Stasion
Nama saya Yadi budiman asal ciwalengke deketlah dari sini cuman 500atau300 m ke lokasi pasar saya disini dagang perabotan /kelontongan saya jualan di sini cuman baru 1 ½ tahun Kondisi social ekonomi yang ada di pasar ini stabil namun sekarang –sekarangmah agak menurun karena saking banyaknya pedagang diluar (PKL) eu..konsumen/pembeli juga dari buruh pabrik sekarang kurang ..?makanya ada..? jadi omsetnya berkurang tidak ada kelompok itu masing-masing pedagang pasar dari dulu belum pernah terorganisir mungkin kami perlu juga sih..membagi kelompok yah..sih..kalau saingan sedikit adasih yang manaya dagang terus yang namaya PKl kan tadinya ..kenapa yang sudah di sediakan.ini yah sangat berpengaruh juga ke pedagang pasar apalagi kalau harganya lebih murah yang di PKl nah..itu sainganya. Pandangan dari masyarakat biasa bahkan yang berada di daerah sapan kebanyakan di bandingkan di sana di pasar baru itu dan mungkin dakam transfortasi ke sini cepat Pengambilan retribusi itu ada mungkin sehari untuk satu local itu ada 2 karcis 250 sama 750 satu kios Pedagang pasar belum pernah di ikut sertakan rapat secara formal samapai dengan sekarng tapi kalau ada itu pasti di wakili oleh senior Orang orang yang dominant itu adalah Contohnya pak Nana bagian daging dan pak haji mungkin tokoh pedagang pasar Peran pengambilan keputusan secara musyawarah di satukan denga kepala pasar tapi selama ini permasalahan yang ada di para pedagang pasar ini bias di atasi dan juga belum ada permasalan yang sangat serius paling saling individual aja
225
Nama Pekerjaan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Agus Sulaeman : Pedagang Kaki Lima : Desa Majalaya : 16 April 2003 / 13.00 – 14.00 : Alun-alun
Nama saya Agus sulaeman saya sejak berjualan sebagai PKl 1997 waktu dulu saya masih dagang sayuran da sekarang beralih propesi sebagai penjual kaset VCD di trotor yang saya ingin kan tentang PKL Mjalaya yaitu tentang ingin penertiban yang pertama penertibandan yang ke dua keluhan yang saya rasakan sekarang ini di samping itu juga saya dulu pernah di jabat sebagai ketua kelompok waktu dulu tahun 2001atau 2000 lah dulu pernah punya problem sebagai ketua PKL yaitu tentang keanggotaan dan kartu anggota yang saya harapkan itu eu..PKL itu ingin di jadikan lagi seperti dulu waktu du ada ketua PKL pak uloh abduloh dan sekertarisnya hedi yang di Bantu oleh Wawan namun di situ juga ada problem yang sangat horizontal tentang kartu yang di pegang oleh PKL Problem itu juga PKL merasa di rugikan yaitu di rugikanya tentang KTA ( Kartu Tanda Anggota ) yang semestinya harus di pegangoleh pedagang langsung ternyata banyak keluhanya eu..sebagian ada yang belum memegang kartu tersebut tetapi uang sudah di masukan kepada ketua Uloh nah di samping itu juga PKL juga eu,,ingin seperti dulu lagi kaya gimanayah..yang paling di sukai oleh PKL yaitu tentang tempat kadangkadang dari kepemerintahan setempat kadang ada penertiban bangku harus di potong segini meter kadang-kandang juga terpal jualan itu kadang jangan di pasang seperti tepal lainya nah yang jadi permasalahan pedagang eu..itu kalau seandainya yah..tentang tempat itu jadi tempat /bangku yang tadinya 2m menjadi 1m dan yang 1m itu kadang ada juga yang amlas hamper semua yah..sekarang terjadinya pasar-pasar ini karena banyak nya pekerja pabrik tadinya kerja sekarang di PHK nah..di samping itu juga eu..tadinya pegawai pabrik sekarang berdagang menjadi PKL karena itu terhambat oleh PHK an, Sekarang pedagang yang baru itu disebut barulah kadang bila ingin tempat itu harus membeli atau enggak ngasih uang kepada preman di samping itu juga sekarang PKL itu tadinya 100% sekarang menjadi 250% jadi naiknya itu 150% karena itu kebanyakan orang sekarang menganggur ,nah disamping itu juga kadang-kadang eu..pedagang itu punya dan punya keinginan yaitu tentang dana.pertama itu dana dan yang ke dua kurang strategisnya tempat jualan di pinggir jalan karena terganggu oleh transfort terutama pejalan kaki yang paling di resahkan . Dulu itu pernah bentrokan pedagang dengan aparata setempat dulu waktu mau eu,, idhul fitri dulu juga ada problem tentang lahan yang mengawali kerusuhanya itu adalah dia di yang menjabat ktua ,sekertaris dan pembantunya itu pertamanya itu pak Wawan pembantunya itu ketua,sekertaris FMPKL nah pernah bentrok sama. Malahan yang punya Problem pertam itu tadinya dia sebagai ketua PKL yaitu yang pertama punya problem itu adalah pak Wawan sekertaris PKl itu nah dulu juga pernah punya masalah dengan masyarakat dengan PKL karena apa? Bentrok karena dulu pendatang baru yang semestinya nunggu dulu pribumi lantas duluan membikin kios di alun-alun nah di belakang itu si pendatang itu ternyata beli tempat di alun-alun kalau saya denger di jualnya dengan harga 41 juta itu juga di beli dulu oleh seorang saya kurang tahu namanya tapi tahu tempatnya yaitu orang sukamanah lalu di orang tersebut di jual lagi kepada si pendatang itu secara eu..perorang satu lokasi ini total-totalnya itu saya enggak tahu saya denger 1m itu kalau enggak salah adalah Rp 300 ribu rupiah kesetiap pembeli dan dalam jangka 10 hari nah disana eu..ada keluhan-keluhan PKL siang itu tentang tempat itu tadinya tempat alun-alun itu enggak boleh di pake ajang perbisnisan dan pasar malam karena pasar malam itu khususnya di troroar jalan alunalun kalau dulumah pada tahun 1989 itu masih bias di pake di dalam alun-alun.nah akhirnya itu eu..PKl tetang bentrok itu yah..akhirnya si penjual itu di ambil dulu oleh aparat saya kurang tahu di sidangnya dimana ..?dan dia di sidangnya saya kurang tahu tapi yang aku dener itu si pendatang itu minta ganti ruginya tadinya beli 41 juta dan kalau enggak salah minta ganti ruginya itu sekitar 2x lipatnya dari harga awal beli dan saya
226
kurang tahu mungkin itu rahasiah aparat seberapa jelasnya .yang punya keluhan para pendatang itu emosi karena sudah jauh-jauh untuk dagang ke sini dan ketika dia pasang jongko/lapak (stan) pokoknya di sudah uang segitu ratus atau seberapa lah yang tadinya si pendatang tadinya di izinkan,malahan mau di bakar tempat yang sudah di beli oleh sipendatang. Saya pernah mendengar keluhan PKL sekarang yaitu keluhan Ekonomi sekarang yang lagi menyuat di kalangan PKL ,kalau sekarang jualan sangat merosot di karenakan si pembeli itu sekarang pegawai pabrik itu biasa kalau gajian itu biasanya ramai-ramai belanja tapi sekarang di lihat sangat pisan menurun di karenakan apa di karenakan pedagang eu..pegawai itu pinjem transportasi di agen sepertikreditan motor dan justru itu. Pedagang juga pingin itu suatu koperasi koperasi apalah dilihat-lihat seperti sekarang belum ada malahan pedagang juga makin banyak keluhan terutama dari factor ekonomi tadi yang sangat merosot.Dulu itu ada kopersi pasar,yah kalau tidak keliling dan kalau bisamah dari pemerintah memberi suatau /suntikan dana untuk membikin suatu koperasi di Majalaya dan kalau ada penampungnya itu nah si penampung itu mengedarkan uang kepada PKL kecil kalau saya harapkan pedagang kecil dulu yang pertama di perhatikan dan yang cukup/besar itmah bias di bilang belakanganlah dan yang paling di duluin seperti tukang becak itu kan partai kecil,PKL yang biasa di pinggir jalan dan kalau took-toko itumah bias pinjam ke Bank tapi kalau PKL yang kecil ini susah paling ke lintah darat,lintah darat yang berada di Majalaya banyak sekali malahan dia sangat mengigit gitu..gini menggigitnya seperti pinjam 100 ribu bayar 130 ribu kadang juga ada yang 150 ribu gitu jadi masyarakat PKL teh kadang-kadang merasa di rugikan oleh si lintah darat tadi tu,lintah darat yang berada di wilayah Majalaya itu kebanyakan orang batak. Masalah yang lagi netren di kapasitas PKl itu adalah tentang merosotnya ekonomi yang sedang berjalan ini untuk si pedangang jika berdagang dari pagi samapi sore itu kadangkadang pendapatan sangat minim tidak seperti dulu mungkin ini di karenakan para pegawai pabrik yang banyak terkena PHK pembeli biasanya banyak juga belanja ke PKL tapi kalau sekarang yang saya lihat mungkin kebanyakan ke took seperti ke took pakaian dan di PKL sekarang sangat menurun pisan tadinya 100% kalau sekarangmah mungkin 30%. Yah itu keluhan dari masyarakat PKl yang berada di wilayah Majalaya yah dari saya sebagai ketua kelompok mewakili keluhan yang berada di kapasitas PKL yang saya harapkan dari pemerinyah setempat kalau bias keinginan PKL itu kalau bias di penuhi gitu tentang dananya tentang renopasitempatnya kalau renopasi tempatnya bagus mungkin si PKL juga merasa bangga gitu yah..itu yang saya harapkan dari pemerintah setempat mohon batuanya pada PKL yang sekarang sangat pahit sekali gitu eu..saya juga merasakan gitu pahitnya ekonomi sekarang cumn itu saja dari saya mohon perhatianya dari pemerinyah setempat terimakasih. Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Bpk. Nono : Humas SPSI : Cikaro : 23 April 2003 / 19.00 – 19.30 : Kediaman Bpk. Nono
Kalau sekarang buruh yang ada di majalaya menurun karena sekarang lagi apayah kebanyakan pabrik kurang berjalan lancer/majulah gitu jadi kebanyakan produksi itu banyak di simpan di tempat di keluarkan jarang gitu sekarang menurut seperti jam kerja 5 hari,dan kadang-kadang 1minggu 1x libur dan adapula seperti 1minggu libur dan berggiliran ada pula yang terkena PHK.kalau yang di PHK mungkin tidak samapai 50% pekerja di pabrik itu di PHK tapi kebanyakan ganti jam kerja ada 5,4dan 3 hari kerja dan itu mungkin strategi pabrik untuk mengantisipasi adanya pengangguran pengalaman ini mungkin hanya sekarang yang terjadi pada saat ini tahun 2003 dan baru kali ini mengalami polusi kerja begini.
227
Mungkin dalam hubungan antrar kelompok perusahaan itu ada sih ..mungkin tiap prusahaan itu ada antar kelompok sering melakukan shering tentang pemasaran produksi yang produknya Pernah ada organisasi lain cntonya SPSI dan lainyanya lah yang melakukan pengorganisasian di Buruh Pola pengelompokanya pembagian sector bagian ,pola pembagian prosesing,daying,prentyng,dan lainya Tujuanya untuk menyatukan hasil yang di proses. Kalau permasalahn ada sih tapi sangat tidak horizontal mungkin ini permasalahanya bias di atasi di tempat.masih bias dikatakan normalah tidak seperti daerah Rancaekek Perubahan kerja itu ada contohnya itu pabrik Sipatek itu udah melakukan perubahan jam kerja contohnya itu ada yang kerja samapi 5 hari. Struktur keterwakilan adalah kalau di tiap bagian itu ada yaitu contoh bagian printing ketuanya Anton wakil Wahidin dan sekertarisnya sumi itu yang berlaku sekarang,dan kepala regu terus berakar kebawah Fungsi kestrukturan ialah misalkan bagian kepala inibuat mengatur jalan kerjanya perusahaan atau bagan eu..misalkan kerjaan bagaimana..?terus di wakilkan lagi ke kepala bagian lapangan Terpilihnya ketua itu langsung di pilih oleh birokrat perusahaanya seandri misalkan keluaran dari ITT,ITB dan lain sebagainya Pihak-pihak yang di percaya oleh perusahaan tersebut itu langsung dari presiden perusahaan,danpengalamanya saja Hubungan ekternalnya yaitu hubunganya sangat baik semua walaupun dari pihak manapun juga, Kalau untuk menyampaikan aspirasi itu secara langsung aja contohnya setiap bagian itu paling ke ketuanya dan dari ketua itu langsung ke pihak yang di atasnya Isu dalam rapat mungkin yang paling sering di bahas adalah masalah pekerjaan saja di sini juga proyek mungkin belum ada yang mengadakan rapat dengan perusahaan lain dan jikapun ada itu hanya pembahasan partner saja Peran tokoh elit pandangan saya sendiri itu hanya sajalah baik kebawahanya. Aspiarsi yang di perhatikan itu kepala seksi karena dia langsung /penampung aspirasi bawah. Yang berfungsi adalah langsung dari staffnya dan lainya juga.nah itu harus bersatu dan menginduk. Cara mengambil keputusan orang-orang dominant itu ide-ide yang realistis yang di anggap masuk akal saja. Pandangan masyarakat pada buruh itu sangat baik karena mengekruk orang-orang yang banyak pengangguran Hubungan SPSI pada perusahaan sangat membantu yang khususnya pada karyawankaryawan pabrik.contohnya ada suatu demo buruh mungkin Spsi membantu keluhankeluhan karyawan.cuman itu aja Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Bpk. Didi dan Bpk. Aji : Bpk. Didi Pegawai DLLAJ sekaligus pengurus keretek, Bpk. Aji wakil, aparat Desa : sekitar RS Ebah, Kecamatan Paseh. : 17 April 2003 / 11.00 – 13.00 : Pangkalan Keretek Jalan Tengah.
Cuma saya hanya bertanggung jawab kepada pihak kretek yang pangkalan bojongpanyadap eu..cijagra juga. Situasi ekonomi yang berada di sector kretek pendapatan setiap hari sekarang pendapatan enggak stabil lagi minimal tahun-tahun ini enggak stabil sekarang lagi kacaulah kretek itu seperti yang dulu pendapatan sedikit Yang saya pegang cuman 2 klp antara bojong-panyadapdan pangkalan Sambillalu
228
Kretek pernah di organisir satu persatu kalau saya tapi skarangmah sudah pemasukan ke Kabupaten,polisi Desa cuman sedikit-sedikit itu ada panda[atan setiap hari paling 15 s/d 20 ribuan perhari. Permasalahan lain di kretek dan itu juga kadang-kadang suka ada seperti pungli/pungutan liar tapi kalu hari sabtu itu tidak bias di cegah itu tidak bias karena tidak ada polisi tapi kalau di sarankan sama petugas Desa pun tidak mempan gitu Struktur keterwakilan Cuma ini petugas dari Desa namanya pak Ishak,dan Adi ada perwakilan dari Desa Struktur keanggotaan di sector kretek enggak ada tapi kalau pengurusnya itu ada keterwakilan kalau itulah eu,, kokolot itu ada namanya pak Tarda dari Bojong yang di pegang secara keseluruhan pangkalan Sambillalu fungsinya dia cuman pengurus aja gitu,ada misalnya dari kretek yang disini cuman di wakili dari sector saya gitu..cuman yang bwerangkat ke kabupaten yang berangkat ke kecamatan cuman dia saja pak Tarda. Ketua biasa di pilih atas dasar kepercayaan/tokoh yang di kokolot lah gitu Pihak yang bersangkutpautanya itu kalau kreteki yang jalur panyadap,bojong,cijagra dan isunya sekarang akan ada angkot/kretek akan di ganti oleh angkot tapi itu tidak di izinkan oleh pihak Desa dan tidak tahu pelaksanaanya kapan itu dan udah ada reaksi ke semua kretek gitu dan juga oleh pihak kretek tidak juga di izinkan. Pihak yang dipercaya oleh kretek itu enggak ada tapi kalau sekarang ada kepentingan suka di panggil dan juga kalau tidak ada yah,,tidak juga. Hubungan ekternal antar kretek baik sekali sekarang sesudah di urus olehama kapolsek yang baru itu dan juga jalannya tertib pengurusnya juga baik lahgitu Pernah sih mengadakan rapat kalau tahun ini sering sudah 3x rapat yaitu permasalan yang dikatakan pada mau ada mobil yang akan mengganti kretek gitu itu dirapatkan dan tidak mengijikan ojeg dan kretek gitu Yang mengundangnya itu cuman Desa langsung lurahnya jadi setiap kelompok Pada mukti dll situasi sedang rapat terib dan baik gitu isu yang di bahas cuman pemberitahuan aja ini mau dating mobil yang akan mengganti kretek tapi itu tidak diizinkan Pernah sih di masukan ke media Koran contohnya ada kemarin ada wartawan yang ingin tahu tetang kretek Rapat yang formal di adakan di Kecamatan itu belum tapi kalau di Desa itu sering yang hadir itu hamper semua tukang kretek,informasinya itu langsung dari lurah mengatakan katanya bagaimana semua kretek kalau di ganti oleh angkot dan itu tadi kretek tidak mengizinkan kretek harus di ganti oleh angkot Peran ketua itu cuman dulu masuk ke sector ini untuk mengatur ketertiban kretek aja baik yang dulu sebelah kanan (bojong) kiri (panyadap) tapi sekarang harus disatukan gitu Dia sudah dipercaya karena sudah di anggap kokolot / tokoh kretek senua kretek disini sudah menganggapanya beliau sebagai sesepuh kretek Yang paling di perhatikan yaitu lurah dan ketua kretek juga. Orang-orang yang dominant di kretek adalah ada 4 orang itu juga pengurus kretek aja gitu‌latar belakangnya itu hanya figure yang bagus Untuk mengabil keputusanya itu sama ketua kretek aja karena ada pengecekan langsung dari kapolsek Pandangan masyarakat kepada kretek itu dulumah kacaukalau sekarang bagus pandanganya. Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Bpk. Entis : Pengemudi Angkot : Ciparay : 18 April 2003/ 15.00 –17.30 : Terminal Bayangan Jln. Laswi Majalaya.
Gambaran ekonomi yang berada di angkot menrut saya yang rasakan yah di samping punya sendiri kendaraanya dan mengemudi juga /bawa sendiri jadi setahun terakhir ini mungkin jauh merosot sekali gitu,dulukan pendapatan istilahnyamah bias di bawa
229
kerumah tapi kalau sekarang saya dari pagi samapai sekarang di target setor 40,000 enggak bias nyampai itu kadang-kadang 25 s/d 30 ribuanlah Unsur dari perusahaan-perusahaan Majalaya khususnya tektil karyawanya sekarang banyak yang di PHK eu..terus ada yang berjalan dan juga ada kendaraan jemputan tambah lagi sekarang peremajaan kendaraan yang baru eu..bagus-bagus jadi yang lama enggak tersisi udah penumpang menurun kendaraan bertambah volume penumpang dan sedangkan di bandingkan kedaraan yang baru,menurut pengurus organda itu 180 yang resmi itu yang punya surat-surat belum yang sudah mencapai jam 4 sore angkot bodong itu pada keluar yang ngak ada surat-suratnya Jurusa/trayek yang ada di Majalaya ,Majalaya –Ciparay ,Majalay-cileunyi,Majalayacicalengka,Majalaya-sapan, dan yang lainya jugalah Pengorganisasian terhadap angkot belum ada cuman di tiap jalur itu ada KKSU (kepala kalompok sub unit) yang di bawahi oleh KKSU pak Dyat Permasalahannya Ekonomi karena dari pihak unsur Organda tidak ada penjelasan yang tuntas dasarnya yang punya trayek jalan sebagaimana mestinyadan yang tidak punya trayek itu jalan,nah itu kesulitan para pengemudi itu di sini Ditransport tidak ada pengelompokan masalahnya secara spontan aja masalah anakanak /supir yang lainya eu..kemarin mobil baru itu datangdan surat-suratnya belum beres /keluar dan udah beroprasi keluaran SPARTA itu,itu pernah turun kejalan ,tapi kok bias jalan terus gitu surat-suratnya juga belum turun kok bias gitu itu udah lama beberapa bulan Orang yang dominant disini mungkinorang yang sudah lama di angkot ini untuk mendapatkan kepercayaan contohnya itu saya karena sudah lama sekali,orang yang dipercaya itu langsung dari organda yang langsung mengelolanya Terpilihnya sebagai keterwakilan di angkot mungkin saya bias mengembalikan lagi kepada supir-supir toh kenapa saya di percaya gitu aja. Pihak-pihak yang di percaya mungkin dari DLLAJ yang disini kepala terminal Majalaya gitu Isu yang dibahaseu..dulu pernah supir-supir berangkat ke DPC kabupaten pembuatan jumlah armada sebelumnya cuman 160 unit,supir-supir sudah di sepakati,dulu dan terus menambahin ,yang pertama eu.. jalurnya pendek gitu hanya 7 Km,tahu-tahu sekarang sudah mencapai 180 Hubungan antara supir menurut saya mungkin kita kan istilahnyakota kecamatan jadi sudah sng akrabjadi kalau punya masalah belum pernahlah perselisihan dan kita saling memahami itu apa yang bersalah. Angkot sering di ikut sertakan dalam rapat formal dari dulu itu waktu camat Heri berapakali tuh itu kretek,supir dll Masalah yang di bahas contohnya aja lalulintas /kemacetan dan mengajukan premanpreman itu minta di tertibkan sekarang preman sudah agak menghilang yang apa namanya bukan umum itu tapi jangan preman kuning itu menyurupai angkot kita enggak bisa ,sedikitnya kita sudah ada kesepakatan atau saling kebijaksanaan dari kita punya izin tapi waktunya yang disepakati Yang hadir rapat intern itu sering di adakan di Organda /pokja organda gitu yang hadir itu kepala supir,pengusaha,DLLAJ,terus dari DPC Informasi langsung dari ketua pokja sk,KKSU di pusat Pigur seorang ketuasaling debat itu pernah yah ada masalah yang suka sedikit tidak tahu sama supi-supir berurusan langsung sama organda kaya trayek yang ganda jalur Ciparay-Majalaya ini udah ada yang pakai sama mobil eu..SS ,di protes dan datang lagi dipakai oleh Zebra no trayeknya itu-itu juga akhirnya sacral juga Untuk mengambil keputusan itu secra poting/di ambil secara suara terbanyak Suara yang paling di perhatikan itu dari supir Orang-orang yang dominant itu kebanyakan dari pribumi dan ada juga dari supir Apih,Yusup,Agus,Anwar dan lainya ada 10 lahorang yang tercantum sebagai di tuakan /perwakilan supir semua jadi kalau ada yang kaya kemarin mobil baru SPARTA masih jalan /tidaknya ngasih tahu pada kita
230
Latar belakang yah kita suka langsung menghadap keberwenang ke organda/DPC langsung ke kabupaten kita dulu sering mengajukan supaya trayek Majalaya-Ciparay di tertibkan jangan sampai preman masih terus bebas beroprasi di jalan dan jumlahnya di batasi Dalam pengambilan keputusan itu selalu yang menjabat itu kalau enggak salah habis masa jabatanya sebenarnya enggak dipilih sama supir-supir yang dulu itu cuman dulu aktif di kepengurusan Hubungan atara transport seperti yang dikatakan tadi udah saling kenal gitu,terus lihat situasi ekonomi sekarang mau apasih istilahnya cari-cari jalan usaha orang lain,kaya kretek mungkin usahanya dari sana ,dulu waktu rapat ama camat siapa tahu yang punya kretek itu kakek kamu, walaupun kretek suka bikin macet Pandangan masyarakat biasa terhadap transport itu udah tentu pastilah pandangan dari masyarakat baik,contohnya angkot tiap menit lewat terus anak sekolah dll itu penting gitukalau enggak ada angkot itu pernah samapai kalau banjir itu daerah Cidawolong sampai enggak bias operasi dan itu juga pada jalan kaki nah di situ kita saling memerlukan Pernah dulu sih waktu itu saya pernah berangkat ke JASAMARGA pengelola jalan itu pernah waktu itu jala rusak beberapa bulan itu sampai mobil pada rusak. Disini bukan demo tetapi Cuma mau menyampaikan aspirasi yang tidak dimengerti kemarin kenapa SPARTA ini belum surat-suratnya keluar udah jalan ‌?setahu saya dulu tidak boleh beroprasi jika surat-srautnya belum keluar Pihak dari kepolisian itu kemarin yah gimana..?malahan saya juga menanyakan eu..pak‌berapa lamasih kendaraan yang baru ini keluar surat-suratnya samapi bias keluar‌! Jawabnya itu tergantung keuangan ,tapi pak setahu saya pernah punya mobil baru jika plat nomotnya masih STUJ tidak boleh beroprasi..nah itulah contoh yang tidak tertib di sector angkot/transport. Nama Pekerjaan/Jabatan Alamat Rumah Waktu Wawancara Lokasi Wawancara
: Yanti : Karyawan Pabrik : Cikaro Dalam : 20 April 2003/ 19.00 – 21.00 : Rumah informan.
Gambaran terhadap ekonomi yang berada di kapasitas buruh baikdan stabil Pengelompokan sih ada /bagian Pernah sih terorganisir tapi itu dulu kalau sekarang mah tidak lagi Struktur keterwakilan tidak/enggak ada ,sering miting/rapat tapi kalau masalah lain sedikit/masalak ekternal Yang mengadakan rapat itu langsung oleh manager /kepala bagian masalahnya yang contohnya masalah operator itu olangsung di mitingkan gitu Prekuensi dalam rapat itu sih biasa-biasa aja /baik-baik saja mungkin ada pertimbangan masalah Isu yang di bahas paling masalah order masalah kain /lainya Proses untuk mengambil keputusan baik-baik aja contohnya paling kebanyakan rapat itu masalah order barang aja gitu dan masalah libur itu suka di rapatkan Keterlibatan dengan lembaga kepemerintahan itu belum ada /tidak pernah Orang-orang yang dominant itu manager antara lain Marwoto,kepala bagian kepala sip paling itu aja operator juga suka dan koordinaor bagian karyawan Cara mengambil keputusan itu di ambil dari berbagai macam pendapat/ide Suara yang paling di perhatikan tergantung orangnya Sesuai dengan masalah aja orang-orang dominant bias mengambil keputusan manager ,latar belakangnya supaya kita tidak terjadi lagi kecelakaan/permasalahn Pandangan dari para masyarakat sangat bagus sekali bahkan respon-respon masyarakat baik gitu.