Analisis Struktur Ruang Politik Pemuda Penyandang Disabilitas Kota Bandung

Page 1

Laporan Kajian

Analisis Struktur Ruang Politik Pemuda Penyandang Disabilitas Kota Bandung Rizki Estrada


DAFTAR ISI I.PENDAHULUAN (1) Latar Belakang (1) Rumusan Masalah (2) Maksud dan Tujuan (5) Batasan Kajian (5) Metode Kajian (6) Metode Pengumpulan Data (6) Metode Analisis Data (6) II.TINJAUAN UMUM DAN PELUANG PENYANDANG DISABILITAS MENURUT PERUNDANGAN (7) Pengertian Pemuda (7) Pengertian Penyandang Disabilitas (9) Hak Politik Warga Negara Dan Penyandang Disabilitas (10) Pengertian Struktur Politik (14) Konsep Struktur Peluang Politik (15) Peluang Pemuda dengan Disabilitas dalam Struktur Formal (10) Peluang Pemuda dengan Disabilitas Dalam Struktur Informal (21) IV.PENDAPAT PUBLIK TENTANG PEMUDA DENGAN DISABILITAS DALAM JABATAN PUBLIK DAN STRUKTUR FORMAL PENYELENGGARA PEMILU (28) Karakteristik Responden (29) Pendapat Masyarakat tentang Pemuda dengan Disabilitas Dalam Jabatan Publik/Politik Tk. Daerah (30) Pendapat Masyarakat Pemuda dengan Disabilitas dalam Struktur Penyelenggara Pemilu (30) Penyandang Disabilitas Menjabat Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU)


Penyandang Disabilitas Menjabat Badan Pengawas Pemilu V.HASIL DAN PEMBAHASAN (40) Tantangan Pemuda dengan Disabilitas Dalam Peraturan Perundangan (45) Tantangan Pemuda dengan Disabilitas Dari Sudut Pandang Masyarakat (50) VI.KESIMPULAN DAN SARAN (53) Kesimpulan (54) Saran (56) VII. PENUTUP (57)


PENDAHULUAN LATAR BELAKANG RUMUSAN MASALAH

MAKSUD DAN TUJUAN

BATASAN KAJIAN METODE KAJIAN

1

METODE DAN ANALISA DATA


LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG MASALAH Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dalam tatanan Negara demokrasi. Di Negara penganut demokrasi seperti Indonesia, partisipasi politik bertolak dari pemahamam bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan melalui kegiatan bersama dalam menetapkan tujuan, serta masa depan rakyat untuk menentukan seseorang yang akan menduduki kursi pemimpin Negara. Oleh karenanya, partisipasi seluruh warga masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan arah kebijakan politik terhadap sistem pemerintahan. Salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berdasarakan falsafah Negara da Undang-undang dasar di Indonesaia adalah pemilihan umum. Oleh karenanya, partisipasi politik warga Negara dalam proses kegiatan pemilu adalah penting sebagai wujud legitimasi dan kesadaran dialam menggunakan hal politiknya. Hak politik sebagaimana diatur dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 25 konvenan politik, pasal 28 D ayat (3) dan pasal 28H ayat (2) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyimpulkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, berupa dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, maupun aksesibilitas untuk mendapatkan kesempatan. Artinya, partisipasi politik merupakan keikutsertaan warga Negara dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya maupun orang banyak. Dalam kontek Indonesia, Warga Negara Indonesia merupakan orang-orang Bangsa Indonesia asli dan atau bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga Negara. Dalam kontek pemuda dan penyandang disabilitas terkait dengan partisipa2


si politik, secara hukum memiliki hak politik yang sama. Akan tetapi, sejauhmana pemuda menggunakan hak politiknya dalam sarana pelaksanaan demokrasi? terkhusus bagi yang memiliki keterbatasan fisik, sensorik dan mental dalam menggunakan hak politiknya berikut hambatan yang dihadapinya merupakan hal yang penting untuk diketahui. Berdasarkan uraian di atas, maka kajian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang Pemuda dengan Disabilitas dalam menggunakan hak politiknya, khususnya merespon pada paska pemilihan umum 2019 disebagian besar wilayah Indonesia.

RUMUSAN MASALAH Tepatnya bulan Juni 2018, warga Provinsi Jawa Barat menentukan calon pemimpin baru, berbarengan dengan sebagian wilayah kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Salah satunya, Kota Bandung yang juga mendorong warga masyarakatnya memberikan hak politiknya untuk memilih calon pemimpin daerahnya dalam pemilihan kepala daerah serentak, yang juga merupakan pemilihan kepala daerah ketiga di Kota Bandung yang dilakukan secara langsung. Satu tahun kemudia, tepatnya April 2019. Sebagian besar wilayah di Indonesia menghadapi pemilihan umum serentak, untuk menentukan calon wakil rakyat dan pemimpin Negara untuk 5 tahun mendatang. Bagi Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung, peristiwa ini amat berdekatan, dan tentunya dalam tahun mendatang, peristiwa politik ini selalu akan dirasakan oleh sebagian besar warga Kota Bandung, dan warga Negara Indonesia secara umum. Dalam konteks Pemilihan Umum serentak tahun 2019 yang dilaksanakan di Kota Bandung. Peran serta atau keterlibatan seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali penyandang disabilitas dalam setiap tahapam Pemilu merupakan tanggung3


jawab bersama untuk mendorong suksesnya pemilu. Salah satu peran Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum ( KPU) Kota Bandung dalam hal ini antara lain memastikan aksesibilitas penyandang disabilitas pada sarana dan prasarana pemilu, dan tak terlepas dari itu adalah fasilitasi pendidikan politik. Pada ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, amat jelas telah mengakui hak politik penyandang disabilitas tidak semata-mata hanya terbatas pada hak sebagai pemilih ataupun memperoleh akses pada sarana dan prasarana penyelenggaraan Pemilu. Dalam Pemilu serentak tahun 2019, KPU Kota Bandung telah mencatat sekitar 2.173 penyandang disabilitas1, yang tercatat sebagai daftar pemilih tetap menurut jenis kelamin terdiri dari 1.172 laki-laki dan 1.023 perempuan, yang berasal 5 (lima) ragam disabilitasnya meliputi daksa, netra, rungu, grahita dan disabilitas lainnya. Dan yang luput dari informasi ini adalah tidak adanya karakteristik pemilih disabilitas berdasarkan usia, oleh karenanya pemilih pemula penyandang disabilitas, luput untuk dilihat sejauhmana tingkat partisipasinya didalam pemilu 2019. Dari sisi lain, penyelenggaraan Pemilu 2019 di Kota Bandung, tidaklah luput dari permasalahan yang dihadapi oleh penyelenggara dalam memberikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, didalam memberikan hak politiknya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bandung mencatat beberapa temuan, yang menjadikan dasar bahwa rendahnya partisipasi penyandang disabilitas, dalam pemilu 2019 antara lain adalah (a) Pemilihan TPS Yang Tidak Aksesibel; (b) KPPS Tidak Dilatih Untuk Melakukan Pemberian Suara Untuk Orang-orang Dengan Disabilitas; (c) Kesulitan Dalam Mendapatkan KTP ; (d) Pendidikan Pemilih Dan Informasi Tentang Visi/Misi Partai Politik/ Kandidat Tidak Didistribusi Dalam Format Yang Aksesibel, dan (d) Orang-orang Disabilitas Tidak Dilibatkan Sebagai Pemantau, 1 Sumber: Paparan Komisi Pemilihan Umum Kota Bandung, dalam Seminar Publik “ Peran Penyandang Disabilitas Muda dalam Pemilu 2019”, 20 Agustus 2019, Narapati HotelBandung. 4


Pengawas Atau Bahkan Penyelenggara Pemilu. 2 Berdasarkan dari uraian masalah praktis di atas, maka rumusan masalah dalam kajian ini diantaranya adalah; 1. Bagaimana Pemuda dengan Disabilitas memahami ruang-ruang partisipasinya dalam Pemilu, khususnya hak memilih, dipilih dan kedudukannya dalam struktur formal? 2. Bagaimana pendapat masyarakat tentang penyandang disabilitas dalam mengisi ruang-ruang partisipasi pemilu, khususnya pada struktur formal penyelenggara dan jabatan publik?

MAKSUD DAN TUJUAN Adapun maksud dari kegiatan kajian ini diperuntukkan untuk memberikan gambaran serta sebagai bahan pertimbangan didalam melalukan rekruitmen calon peserta Youth with Disability Leadership Program (YwLDP), yang digagas dan diselenggarakan oleh Perkumpulan Inisiatif – Bandung.Tujuan khususnya adalah (1) Untuk menemukenali kesempatan-kesempatan politik secara struktur yang mengakomodasi hak-hak politik penyandang disabilitas, khusunya kalangan muda.; (2) Untuk mengidentifikasi hambatan secara yuridis formal terkait persyaratan untuk mengisi kesempatan pada struktur penyelenggara PEMILU; (3) Mendapatkan gambaran tentang pendapat dan pandangan publik tentang penyandang disabilitas dalam menduduki jabatan publik dan atau politik.

BATASAN KAJIAN Batasan kajian ini terbagi kedalam 4 (empat) bagian, antara lain; a. Batasan Wilayah : Kota Bandung. 2 Paparan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bandung, dalam Seminar Publik “ Peran Penyandang Disabilitas dalam Pemilu 2019”, 20 Agustus 2019 – Narapati Hotel – Kota Bandung. 5


b. Batasan Materi : Materi yang dikaji meliputi Undang-undang 8 Tahung 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU Partai Politik, UU Kepemudaan, UU Pemilu dan turunan peraturan perundangan yang relevan dengan kepemiluan. c. Batasan Subjek : Warga Kota Bandung. d. Batasan Durasi Waktu : 60 hari kerja, terhitung sejak Juli – Agustus 2019

METODE KAJIAN Metode yang digunakan dalam kajian ini, terdiri dari dua metode dalam pengumpulan data dan informasi, serta analisis data informasi, yang diuraikan sebagai berikut; Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data sekunder diperoleh dengan cara akses dari ragam sumber peraturan perundangan yang relevan kaitannya dengan kepemudaan, pemilu dan penyandang disabilitas, pada portal-portal pemerintah, situs akademik dan hasil-hasil penelitian. Sedangkan, data primer dilakukan dengan cara survey melalui angket dan wawancara singkat yang ditujukan kepada masyarakat secara umum, dengan teknik purposive sampling, yang ditujukan kepada 100 orang warga Kota Bandung untuk menggali pendapat masyarakat terhadap peluang penyandang disabilitas untuk menduduki posisi jabatan publik/politik dan struktur formal penyelenggara pemilu.

METODE DAN ANALISA DATA Metodologi analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Untuk menjawab persepsi dan preferensi warga masyarakat terhadap peluang penyandang disabilitas dalam jabatan publik dan struktur formal penyelenggara pemilu, metode yang digunakan adalah kuantitatif. Sedangkan, Metode deskriptif kualitatif digunakan dalam menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis pada objek data sekunder. 6


TINJAUAN UMUM

PENGERTIAN PEMUDA PENGERTIAN PENYANDANG DISABILITAS

HAK POLITIK WARGA NEGARA DAN

PEN YANDANG DISABILITAS

PENGERTIAN STRUKTUR POLITIK

KONSEP STRUKTUR RUANG POLITIK

PELUANG PENYANDANG DISABILITAS MENURUT PERUNDANGAN

7


PENGERTIAN PEMUDA Tidak ada standar universal untuk mendefinisikan konsep pemuda, atau rentang usia yang berkaitan dengan pemuda. Namun demikian, pengertian umumnya bahwa pemuda mewakili waktu dalam kehidupan yang melibatkan transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa, dari keadaan ketergantungan hingga kemandirian sebagai tahapan kehidupan disertai secara spesifik transisi dari dimensi fisiologis, hukum, psikologis, sosial dan ekonomi.3 Secara fisiologis, pubertas menandakan awal transisi ke dewasa, akan tetapi timbulnya pubertas terjadi pada usia yang berbeda, juga untuk anak perempuan ataupun laki-laki. Terdapat juga berbagai peraturan yang memberi hak kepada pemuda dan hak mereka tanggungjawab yang tidak diberikan kepada anak-anak. Ini juga dapat digunakan untuk mendefinisikan akhir dari masa kanak-kanak. Tetapi, dalam kontek usia yang memenuhi syarat pemilihan umum, selalu dibuktikan dengan perbedaan usia kualifikasi untuk menyalurkan hak pilihnya, untuk menikah, mendapatkan pekerjaan ataupun untuk memiliki surat izin mengemudi. Dalam istilah psikos-sosial dan ekonomi, kedewasaan di banyak budaya sering kali menuntut kemandirian dari orang tua, serta kemampuan untuk mengendalikan kehidupannya sendiri. Banyaknya dimensi kedewasaan seringkali menghasilkan perdebatan tentang usia kronologis yang paling tepat, untuk mendefinisikan pemuda sebagai kebalikan dari masa kanak-kanak atau dewasa, dan perdebatan tersebut bervariasi antar bangsa dan budaya. Oleh karenanya, konsep pemuda tidak dapat dibatasi pada kelompok usia tetap dan berbeda tergantung pada konteksnya. Dalam konteks Indonesia, definisi pemuda adalah warga Negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan 3 8

UNFPA Monograh Seris 02. “ Youth in Indonesia” tahun 2014.


dan perkembangan yang berusia 16 sampai dengan 30 (tiga puluh) tahun, sebagaimana diatur dalam Undang-undang 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan. Sementara, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan pemuda bagi mereka yang berusia 15- 24 tahun, dan UNFPA justru membedakan antara remaja pada rentang usia 10-19 tahun, dan Pemuda di 15-24 tahun. Dalam kaitannya dengan hak politik pemuda, dalam undang-undang pemilihan umum di Indonesia, mensyaratkan pemilih pada usia genap 17 tahun.

PENGERTIAN PENYANDANG DISABILITAS Menurut definisi undang-undang, “ Penyandang Disabilitas “ adalah setiap orang yang “…mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan /atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak ( UU No.8/2016, pasal 1)”. Berbeda dengan pengertian sebelumnya menurut definisi Undang-undang No. 4/1997, menggunakan istilah “Penyandang Cacat” yang diartikan sebagai “…setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; (c) penyandang cacat fisik dan mental.” Istilah penyandang cacat yang terkandung lebih mewakili model medis dalam melihat dan memandang semua disabilitas bersumber dari kecacatan yang diakibatkan oleh suatu dari kecacatan yang diakibatkan oleh suatu kerusakan fisik atau penyakit. Sehingga ranah “upaya” pemerintah dalam kebijakannya terbatas pada kegiatan (1) rehabilitasi, (2) Bantuan Sosial, (3) Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Fokus dari tiga upaya ini 9


adalah mendudukan difabel sebagai objek, ibarat seorang dokter menangani pasiennya.4 Sementara pandangan sosial, menyangkal adanya masalah medis dalam disabilitas, tetapi melihat bahwa masalah yang lebih besar bagi para difabel terdapat di masyarakat. Semangat dari pandangan sosial lebih mendorong agar kesetaraan untuk difabel tercapai, dan terhindar dari upaya diskriminatif. Pengertian penyandang disabilitas digunakan dengan alasan lebih menumbuhkan semangat pemberdayaan, tidak mengandung unsur negatif , mudah diserap dan dimengerti oleh berbagai kalangan secara cepat, mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, serta menggambarkan kesamaan dan kesetaraan.5 Dengan kata lain, istilah “Penyandang Cacat” tidak sejalan dengan Prinsip Hak Asasi Manusia dan merendahkan harkat dan martabat manusia serta diskriminatif.6

HAK POLITIK WARGA NEGARA DAN PENYANDANG DISABILITAS Hak Politik Warga Negara merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki oleh warga negara dimana asas kenegaraannya menganut asas demokrasi. Lebih luas hak politik itu merupakan bagian dari hak turut serta dalam pemerintahan. Hak turut serta dalam pemerintahan dapat dikatakan sebagai bagian yang amat penting dari demokrasi. Hak ini bahkan dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari demokrasi, sehingga jika hak ini tidak ada dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak semestinya mengakui diri sebagai negara demokratis. Negara-negara yang menganut demokrasi, pada umumnya mengakomodir hak politik warga negaranya dalam suatu penyelenggaraan pemilihan umum, baik itu bersifat langsung maupun tidak langsung. 4

Arif Mafthudin, “Mengikat Makna Diskriminasi: Penyandang Cacat, Difabel dan Penyandang Disabilitas”, Jurnal of Disability Study, vol 3, no.2, Universitas Kalijaga Yogyakarta 2016.

5 6

Ibid.

Arief Purnomosidi, “Konsep Perlindungan Konstituional Penyandang Disabilitas di Indonesia”, Artikel Vol. 1, No.2, Fakultas Hukum Universitas Surakarta, 2017.

10


Dalam Konvenan Internasional Sipil dan Politik, ICCPR (International Convenan on Civil and Political Rights) disebutkan bahwa keberadaan hak-hak dan kebebasan dasar manusia diklasifikasikan menjadi dua jenis: pertama, kategori neo-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi, walaupun dalam keadaan darurat. Hak ini terdiri atas; (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (right to be free from slavery); (iii) hak bebas dari penahanan karena gagal dalam perjanjian (utang); (iv) hak bebas dari pemidanaan yang bersifat surut, hak sebagai subjek hukum, dan atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, agama.7 Jenis kedua yaitu kategori derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi/ dibatasi pemenuhannya oleh negara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini meliputi (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat/ berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memberi informasi dengan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan/ tulisan). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hak-hak politik masyarakat Indonesia yang dijamin oleh UUD, yaitu hak membentuk dan memasuki organisasi politik ataupun organisasi lain yang dalam waktu tertentu melibatkan diri ke dalam aktivitas politik; hak untuk berkumpul, berserikat, hak untuk menyampaikan pandangan atau pemikiran tentang politik, hak untuk menduduki jabatan politik dalam pemerintahan, dan hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Yang mana semuanya direalisasikan secara murni melalui partisipasi politik. Adapun keseluruhan penggunaan hak politik sipil dibedakan atas dua kelompok: 1. Hak politik yang dicerminkan oleh tigkah laku politik mas7 11

Sumber http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/2941-hak-politik-warga-negara-sebuah-perbandingan-konstitusi.html


yarakat. Biasanya penggunaannya berupa hak pilih dalam pemilihan umum, keterlibatan dalam organisasi politik dan kesertaan masyarakat dalam gerakan politik seperti demonstrasi dan huru-hara. 2. Hak politik yang dicerminkan dari tingkah laku politik elit. Dalam hal ini, tingkah laku elit dipahami melalui tata cara memperlakukan kekuasaan, penggunaan kekuasaan dan bentuk hubungan kekuasaan antar elit, dan dengan masyarakat. Dalam praktiknya, yang secara teknis menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Perwakilan rakyat tersebutlah yang bertindak untuk dan atas nama rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun pendek. Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Mekanismenya melalui pemilihan umum (general election). Dengan demikian, secara umum tujuan pemilihan umum itu adalah: 1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib. 2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. 3. Dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga Negara. Keikutsertaan warga dalam pemilihan umum (general elections) merupakan ekspresi dari ikhtiar melaksanakan kedaulatan rakyat serta dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga negara.[2] Pemilihan umum adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus 12


merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya. Hak tersebut adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara.[3] Dalam kaitannya dengan hak politik bagi penyandang disabilitas, UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengakui hak politiknya sebagaimana diatur pada pasal 13, butir (a-h), meliputi; a) Memilih dan dipilih dalam jabatan publik; b) Menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; c) Memilih partai politik dan atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum d) Membentuk, menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan / partai politik; e) Membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan atau mewakili penyandang disabilitas pada tingkat local, nasional maupun internasional. f) Berperan serta secara efektif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan atau bagian penyelenggaraannya g) Memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, gubernur, bupati/walikota dan pemilihan kepala desa atau nama lain, dan; h) Memperoleh pendidikan politik. Dengan demikian, Partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi. Demokratis tidaknya suatu sistem politik, ditentukan oleh ada-tidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya. Standar minimal demokrasi biasanya adalah 13


adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya rotasi pemegang kendali negara tanpa adanya penyingkiran terhadap suatu kelompok politik manapun, adanya partisipasi aktif dari warga negara dalam pemilu itu dan dalam proses penentuan kebijakan, terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia yang memberikan kebebasan bagi para warga negara untuk mengorganisasi diri dalam organisasi sipil yang bebas atau dalam partai politik, dan mengekspresikan pendapat dalam forum-forum publik maupun media massa.[6] Dalam pemilihan umum diakui adanya hak pilih secara universal (universal suffrage). Hak pilih ini merupakan salah satu prasyarat fundamental bagi negara yang menganut demokrasi konstitusional modern. Dalam kontek ini, pemuda maupun penyandang disabilitas memiliki hak pilih dan memilih sebagaimana telah diatur didalam konstitusi di Indonesia.

PENGERTIAN STRUKTUR POLITIK Struktur politik berasal dari dua kata, yaitu struktur dan politik. Struktur berarti badan atau organisasi, sedangkan politik berarti urusan Negara. Maka, secara etimologis, struktur politik berarti badan atau organisasi yang berkenaan dengan urusan Negara. Struktur politik adalah alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Kekuasaan berarti kapasitas dalam menggunakan wewenang, hak dan kekuatan fisik. Struktur politik meliputi struktur hubungan antarmanusia dan struktur hubungan antara manusia dan pemerintah. Selain itu, struktur politik dapat merupakan bangunan yang kongkret dan abstrak. Unit dasar struktur politik adalah peran individu. Peran merupakan pola-pola perilaku yang teratur, yang ditentukan oleh harapan dan tindakan sendiri dan orang lain. Struktur senantiasa melibatkan fungsi-fungsi politik maka pendekatan yang digunakan biasa, disebut sebagai struktural fungsional. 14


Dalam kehidupan politik demokratis, struktur politik dibedakan menjadi dua, yaitu bersifat formal dan informal. Struktur formal merupakan mesin politik yang dengan absah mengidentifikasi segala masalah, menentukan dan melaksanakan segala keputusan yang mempunyak kekuaran mengikat pada seluruh masyarakat, sedangkan struktur informal merupakan struktur yang mampu memengaruhi cara kerja masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan, menterjemahkan, mengonversikan tuntutan, dukungan dan masalah tertentu yang berhubungan dengan kepentingan umum. Termasuk dalam struktur informal adalah partai politik, kelompok kepentingan, media massa, opinion leaders dan sebagainya. Struktur politik selalu berkenaan dengan alokasi-alokasi nilai yang bersifat otoritatif yaitu dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Sedangkan, menurut Muhtar Afandi dalam Sahya Anggara (2013), kekuasaan adalah kapasitas, kapabilitas, atau kemampuan untuk mempengaruhi, meyakinkan, mengendalikan, menguasai, dan memerintah orang lain. Dan Kapasitas erat hubungannya dengan wewenang, hak, dan kekuatan.8

KONSEP STRUKTUR RUANG POLITIK Konsep struktur peluang politik, bergantung pada karakteristik sistem politik yang menjadi perhatian utama, namun tidak cukup untuk menjelaskan apa itu struktur peluang politik. Meskipun konsep struktur peluang politik telah diterapkan di berbagai dimensi yang berbeda, sebagian besar berfokus pada satu atau lebih dari empat aspek struktur peluang politik, meliputi (1) terbuka atau tertutupnya sistem politik yang dilembagakan; (2) stabil atau ketidakstabilan dari rangkaian elit yang luas dan umumnya mendasari suatu pemerintahan; (3) ada tidaknya sekutu elit; dan (4) kapasitas dan kecenderungan negara untuk represif 8 15

Dr. Sahya Anggara.,M.Si, “Sistem Politik Indonesia”, Pustaka Setia, Bandung- 2013.


( Mc Adam 1996:27) dalam Marco dan Miruna (2007).9 Kesempatan politik merupakan aspek-aspek tertentu dari sistem politik yang menentukan perkembangan aksi-aksi gerakan atau respon politik dari para aktor. Aspek tersebut tidak berlaku konstan, melainkan dinamis. Setiap aksi maupun respon politik menghadapi struktur peluang politik yang spesifik dan tidak mungkin digeneralisasikan. Struktur kesempatan politik terdiri dari (1) struktur kelembagaan formal; (2) prosedur informal dan strategi dominan; (3) konfigurasi kekuasaan, dan ketiga komponen tersebut melahirkan respon politik yaitu (a) strategi dari pihak berwenang, (2) fasilitasi atau represi; dan (3) pilihan strategis yang diambil oleh para penantang.10 Peluang Pemuda dengan Disabilitas dalam Struktur Formal Sebagaimana telah diuraikan di bab sebelumnya, bahwasannya struktur politik dalam kehidupan demokrasi di bagi kedalam dua, yakni struktur formal sebagai supra-struktur politik, dan struktur informal sebagai infrastruktur politik. Dalam lingkup proses pemilihan umum, kajian ini lebih menekankan pada penyelenggara pemilu dan peserta pemilu, yang memetakan kesempatan-kesempatan apa saja yang berpeluang untuk Pemuda dengan Disabilitas dalam menggunakan hak politiknya, berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Umum. Dalam melihat kesempatan/peluang Pemuda dengan Disabilitas untuk mengisi struktur formal dalam penyelenggaraan pemilihan umum sangat jelas yang menitik beratkan pada “prasyarat”, sebagaimana diatur dalam Pasal 5, UU Pemilih No. 17/2017 yang menyebutkan bahwa “…..yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon an9

Marco Giugni dan Miruna Morariu, “ The political Participation of Immigrants in European Cities”, University of Geneva, Pisa, 6-8 September 2007.

10 16

M.Rolip Saptamaji, https://www.academia.edu/3549710/Struktur_Peluang_Politik_Partai_Populis


ggota DPR, sebagai calon Anggota DPD, sebagai calon presiden/wakil presiden, sebagai calon angora DPRD dan Sebagai Penyelenggara Pemilu”. Kesempatan bagi Pemuda dengan Disabilitas dalam struktur formal sebagai penyelenggara pemilu, terdapat syarat yang perlu dipenuhi. Adapun syarat untuk mengisi kesempatan pada lembaga-lembaga penyelenggaraan pemilu diidentifikasi dari aspek yang paling mudah yang tertuang dalam ketentuan perundangan pemilu, yaitu dari segi usia, latar pendidikan dan kesehatan. Pada Komisi Pemilihan Umum ( KPU) tingkat kabupaten/kota mensyaratkan paling rendah di usia 30 tahun, dengan pendidikan paling rendah sekolah menengah atas atau sederajat, dan sehat secara jasmani dan rohani serta bebas dari penyalahgunaan narkotika. Serupa dengan syarat sebagai Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat Kabupaten/Kota, paling rendah berusia 25 tahun dengan latar pendidikan terakhir sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat, dan sehat secara jasmani dan rohani serta bebas dari penyalahgunaan narkotika. Syarat untuk mengisi kesempatan pada kedua lembaga tersebut memiliki kesamaan, meski letak perbedaannya terletak dari rentang usia yang disyaratkan. Sementara, perbedaan signifikan terdapat pada syarat untuk mengisi kesempatan pada lembaga penyelenggara di tingkatan provinsi yang mensyaratkan paling rendah di usia 35 tahun, dengan pendidikan Strata-1 (S-1), dan sehat secara jasmani dan rohani serta bebas dari penyalahgunaan narkotika. Pada Tabel-1 diuraikan mengenai prasyarat untuk mengisi kesempatan sebagai penyelengara pemilu yang telah diatur dari peraturan perundangan;

17


Tabel-1. Peluang Struktur Formal Sebagai Penyelenggara Pemilu ( KPU dan Panwaslu) Nama Lembaga/ Struktur

Syarat menurut Usia, Pendidikan, Kesehatan

Syarat Kemampuan/ Keahlian

Syarat menurut Wewenang dan Kewajiban

 Memiliki KTP

Memiliki pengetahuan, keahlian yang berkaitan dengan ;

 Bekerja Penuh Waktu

 Paling rendah usia 30 tahun/  Pendidikan paling rendah SMA/Sederajat,  Sehat secara jasmani dan rohani dan bebas narkotika.

 penyelenggaraan pemilu,  ketatanegraan dan  kepartaian.

 Melaksanakan Tahapan Pemilu tepat waktu  Melaporkan pertanggungjawaban anggaran; laporan periodik;  Mengelola, merawat, menginventarisasi arsip/ dokumen, inventaris barang  Fasilitasi rapat pleno; melaksanakan rekomendasi Bawaslu/panwaslu  Pemuktahiran dan pemeliharaan data pemilih

 Memiliki KTP  Paling rendah usia 25 tahun/  Pendidikan paling rendah SMA/Sederajat,  Sehat secara jasmani dan rohani dan bebas narkotika.

Memiliki pengetahuan, keahlian yang berkaitan dengan  penyelenggaraan pemilu,  ketatanegraan,  kepartaian dan  pengawasan pemilu.

 Pemuktahiran dan pemeliharaan data pemilih  Memeriksa dan mengkaji pelanggaran Pemilu  Menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu  Mengawasi pemutakhiran dan pemeliharaan data pemilih secara berkelanjutan yang dilakukan oleh KPU  Menyampaikan temuan dan laporan

Sumber: Analisis Ragam Peraturan Perundangan 2019 Kesempatan struktural lain adalah Panita Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat Kelurahan/ Desa, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang merupakan organ structural dari KPU. Syarat yang ditentukan 18


minimal 17 tahun dengan latar pendidikan paling rendah SMA atau sederajat, mampu secara jasmani dan rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika. Sedangkan organ structural dari Panitia Pengawas Pemilu ( Panwaslu) meliputi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat Kabupaten/Kota, Panwas tingkat Kecamatan, Kelurahan dan pengawas tempat pemungutan suara (TPS) yang mensyaratkan paling rendah usia 25 tahun/pendidikan SMA, mampu secara jasmani dan rohani dan bebas narkotika. Syarat lain untuk mengisi kesempatan pada struktur formal lembaga penyelenggara pemilu, tidak hanya terbatas dari aspek usia, pendidikan serta kesehatan yang ditunjang dengan bukti-bukti administrasi. Melainkan pengetahuan tentang penyelenggaraan pemilu, ketatanegaraan serta kepartaian merupakan prasyarat yang perlu dimiliki bagi setiap orang yang berupaya untuk mengisi kesempatan tersebut. Tidak hanya itu, dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya menyelenggarakan pemilu, kemampuan manajerial dan operasional merupakan keharusan yang juga dimiliki oleh orang yang akan mengisi kesempatan pada struktur kelembagaan tersebut. Tabel-2. Peluang Struktur Formal Sebagai Organ Penyelenggara Pemilu ( KPU dan Panwaslu) Nama Lembaga/Struktur

19

Prasyarat kunci menurut Usia, Pendidikan, Kesehatan

Prasyarat Kemampuan/ Keahlian

Prasyarat


PPK, PPS, KPPS

 Memiliki KTP  Paling rendah usia 17 tahun/  Pendidikan paling rendah SMA/sederajat,  Sehat secara jasmani dan rohani dan bebas narkotika

 Melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat kecamatan yang telah ditetapkan oleh KPU  Melakukan verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara  Mengumumkan hasil rekapitulasi

 Mengumpulkan hasil perhitungan suara dari seluruh TPS di wil kerjanya;  Menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran;  Melakukan bimtek kepada petugas pemuktahiran data pemilih;  Melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di wil kerjanya;  Melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan pemilu

Pantarlih

Terdiri dari Perangkat Desa/Keluaran, RW,RT, Warga Masyarakat yang diangkat oleh PPS

20

 Melakukan pendaftaran dan pemuktahiran data pemilih

 Memberikan kepada pemilih tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih untuk digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara (DPS)


Panwascam, Panwas kel/ desa, Pasnwas TPS.

 Memiliki KTP  Paling rendah usia 25 tahun/  Pendidikan paling rendah SMA/Sederajat;  Sehat secara jasmani dan rohani dan bebas narkotika.

Memiliki pengetahuan, keahlian yang berkaitan dengan  penyelenggaraan pemilu,  ketatanegraan,  kepartaian dan  pengawasan pemilu.

 Pemuktahiran dan pemeliharaan data pemilih  Memeriksa dan mengkaji pelanggaran Pemilu  Menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu  Mengawasi pemutakhiran dan pemeliharaan data pemilih secara berkelanjutan yang dilakukan oleh KPU  Menyampaikan temuan dan laporan

Sumber: Analisis Ragam Peraturan Perundangan 2019. Peluang Pemuda dengan Disabilitas Dalam Struktur Informal Seperti yang telah diuraikan pada tinjauan umum, bahwasannya struktur informal merupakan struktur yang mampu memengaruhi cara kerja masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan, menterjemahkan, mengonversikan tuntutan, dukungan dan masalah tertentu yang berhubungan dengan kepentingan umum. Struktur informal tercermin diantaranya pada partai politik, kelompok kepentingan, media massa, opinion leaders yang merupakan infrastruktur dari system politik. Kesempatan yang dapat diperoleh dengan cara menggunakan hak politik Pemuda dengan Disabilitas pada struktur informal adalah partai politik. Partai politik memiliki kewajiban untuk 21


merekrut anggota dan untuk menentukan bakal calon peserta pemilu. Dalam hal ini, memilih partai politik untuk menjadi peserta dalam pemilihan umum, dipilih dalam jabatan publik , menyalurkan aspirasi politik sekaligus memperoleh pendidikan politik merupakan kesempatan untuk menggunakan hak-hak politik Pemuda dengan Disabilitas yang telah diakomodir dan diakui oleh undang-undang. Kesempatan lain dalam menggunakan hak politik Pemuda dengan Disabilitas adalah membentuk, menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan / partai politik dan membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan atau mewakili penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Yang secara ketentuan perundangan telah diatur didalam UU 7/2013 tentang Organisasi Masyarakat. Dan kesempatan untuk berperan serta secara efektif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap maupun menjadi bagian penyelenggaraannya, terdapat pada tim seleksi, menjadi lembaga jajak pendapat atau lembaga survey, lembaga pemantau dan relawan demokrasi. Peran serta efektif Pemuda dengan Disabilitas untuk mengisi kesempatan pada struktur informal sebagai tim seleksi perlu memenuhi syarat usia minimal 30 tahun, dengan latar belakang pendidikan minimal strata-1 (S-1), dengan kemampuan tertentu didalam menata kelola proses seleksi calon lembaga-lembaga penyelenggara. Selain itu, dengan membentuk ataupun bergabungnya dengan organisasi. Pemuda dengan Disabilitas berkesempatan untuk mengambil peran efektif sebagai lembaga survey atau pemantau pemilu yang mewakili penyandang disabilitas ataupun kaum muda secara umum. Selanjutnya, struktur informal yang diformalkan oleh penyelenggara pemilu ,dalam rangka memberikan sosialisasi dan pendidikan pemilih kesempatannya dapat dijangkau melalui relawan demokrasi. 22


Tabel-3. Peluang Struktur Informal Dalam Pemilihan Umum Nama Lembaga/ Struktur

Prasyarat kunci

Prasyarat menurut Tujuan

Partai Politik

Partai politik melakukan rekruitmen terhadap warga Negara untuk menjadi;

 Diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan masyarakat;

(UU 2/2011)

 Anggota partai politik  Bakal calon anggota DPR dan DPRD;  Bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;  Bakal calon presiden dan wakil presiden. (pasal 29 UU Parpol)

 Pendidikan politik yang dimaksud adalah pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI  Pemahaman mengenai hak dan kewajiban WNI dalam membangun etika dan budaya politik;  Pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan – (ps. 34)

Organisasi Kemasyarakatan

 Setiap WNI berhak menjadi anggota Ormas

( Ormas)

 Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;

UU 7/2013. Ps.33

 Keanggotaan diatur dalam AD/ART organisasi

 Meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;  Melestarikan dan memelihara norma nilai,moral, etika dan budaya yang hidup dalam masyarakat;  Melestarikan SDA dan LH  Mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;  Menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa;  Mewujudkan tujuan Negara.

23


Tim Seleksi

 Memiliki KTP  Paling rendah usia 30 tahun/  Pendidikan paling rendah Strata-1 (S-1),  Sehat secara jasmani dan rohani dan bebas narkotika.

Lembaga Survey /Jajak Pendapat PKPU 10/2018

 Merupakan lembaga berbadan hukum di Indonesia dan sumberdananya tidak berasal dari pembiayaan luar negeri;  Memiliki akte pendirian lembaga; susunan kepengurusan;  Surat keterangan domisili dari desa/ kelurahan/ otoritas local  Telah bergabung dalam asosiasi lembaga survey atau jajak pendapat;  Memiliki metodologi yang digunakan, dan

 Mengumumkan pendaftaran bakal calon KPU/ Panwaslu  Menerima pendaftaran bakal calon anggota KPU/ Panwaslu  Melakukan Seleksi tertulis dengan materi utama…  Survei atau jajak pendapat pemilu adalah pengumpulan informasi/pendapat masyarakat tentang proses penyelenggaraan pemilu, peserta pemilu, perilaku pemilih atau hal lain terkait pemilu dengan menggunakan metodologi tertentu.  Penghitungan cepat hasil pemilu adalah kegiatan penghitungan suara secara cepat dengan menggunakan teknologi informasi, atau berdasarkan metodologi tertentu.

 Sumber dana Pemantau Pemilu

 Akta pendirian dan AD/ ART  Profil Organisasi/Lembaga

Peraturan Bawaslu No. 4/2018 tentang Pemantauan Pemilihan Umum.

 Surat terdaftar dari pemerintahan.  NPWP lembaga  Nama dan Jumlah Anggota Pemantau Pemilu  Surat Pernyataan Sumber Dana  Rencana dan Jadwal kegiatan pemantauan menurut daerah  Surat Pernyataan Independensi

24

 Pemantauan pemilu merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pemantau pemilu untuk memantau pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu;  Pemantau pemilu adalah LSM, Badan Hukum, Lembaga pemanatu dari luar negeri dan perwakilan Negara sahabat, serta perorangan yang mendaftar kepada bawaslu dan telah memperoleh akreditasi dari Bawaslu


Relawan Demokrasi

SK KPU No. 32/ PP.08-SD/06/ KPU/I/2019

 Berusia 17 tahun saat mendaftar, khusus relawan pemilih pemula maksimal berusia 25 tahun.  Pendidikan min. SLTA atau sederajat  Berdomisili di wilayah setempat;  Nor-Partisan sekurangnya 5 tahun terakhir tidak menjadi anggota partai politik;

 Meningkatkan kualitas proses pemilu  Meningkatkan partisipasi pemilih  Meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi  Membangkitkan kesukarelaan masyarakat sipil dalam agenda pemilu dan demokratisasi

 Terdaftar sebagai pemilih.  Bukan bagian dari penyelenggara pemilu;  Memiliki pengalaman dalam kegiatan penyuluhan atau aktif dalam organisasi kemasyarakatan/kemahasiswaan.

Sumber: Analisis Ragam Peraturan Perundangan 2019. Dari gambaran kesempatan Pemuda dengan Disabilitas dalam mengisi peluang pada struktur informal dalam pemilihan umum. Namun demikian unit dasar dari struktur politik itu sendiri adalah peran individu sebagai pemilih. Memilih dan dipilih dalam jabatan publik, merupakan hak politik dari Pemuda dengan Disabilitas yang telah diakui dan bergantung sejauhmana struktur-struktur informal digunakan untuk meraih kesempatan untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Adapun kesempatan Pemuda dengan Disabilitas untuk mengisi jabatan-jabatan publik paling memungkinkan menurus syarat yang perlu dipenuhi adalah sebagai Calon Legislatif baik didaerah maupun ditingkat nasional, calon legilatif perorangan, calon walikota/bupati dan wakilnya, serta kepala desa. Dengan dengan syarat yang perlu dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang diuraikan pada tabel-4.

25


Tabel-4. Peluang Dalam Mengisi Jabatan Publik

Peserta Pemilu/Kada

Syarat menurut Usia, Pendidikan, Kesehatan

Sumber rujukan

 Presiden/Wakil Presiden

 Berusia 40 tahun

 UU Pemilu psl.

 Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, kejuruan atau sederajat;

 PKPU 22/2018 psl.9

 Suami/istri calon adalah WNI;  Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban.  terdaftar sebagai pemilih  DPR & DPRD (legislative)

 Telah berumur 21 tahun atau lebih;

 PKPU 20/2018 psl.8

 Dapat berbicara;membaca; atau menulis dalam bahasa Indonesia;  Berpendidikan paling rendah SMA /sederajat;  Sehat jasmani, rohani dan bebas penyalahgunaan narkotika, psikotopika dan zat adiftif ’  Terdaftar sebagai pemilih;  Dicalonkan oleh 1 partai politik  Penyandang disabilitas tidak termasuk kategori gangguan kesehatan.  Calon perorangan DPD RI

 Usia paling rendah 21 tahun,

 UU Pemilu pasal 182

 pendidikan paling rendah SMA

 PKPU 14/2018

 dapat berbicara, membaca dan atau menulis dalam bahasa Indonesia;  terdaftar sebagai pemilih,

26


 Kepala Daerah/WakilKada Provinsi/ dan Kab/Kota

 Pendidikan paling rendah SMA

 UU Pilkada pasal 7 ayat (2)

(UU 10/2016 tentang Pilkada)

 Usia paling rendah 30 tahun utk Gubernur dan wakil gub, dan 25 tahun untuk walikota/ bupati dan wakilnya

 Perda Kab/Kota/ Provinsi

 Mampu secara jasmani, rohani, bebas narkoba  Kepala Desa

 Usia paling rendah 25 tahun saat mendaftar

 UU Desa pasal 33

 Pendidikan paling rendah tamat sekolah pertama atau menengah (SLTP/SMA)  Syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah

Sumber: Analisis Ragam Peraturan Perundangan 2019. Di luar dari gambaran diatas, kesempatan struktur informal pun dapat diciptakan secara individu maupun organisasi. Menyalurkan aspirasi atau menyampaikan pendapat, kritik dan saran terhadap proses penyelenggaraan pemilu atau hasil pemilu merupakan salah satu struktur informal yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan maupun menyampaikan saran yang konstruktif. Salah satu contohnya sejauhmana hak untuk memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, gubernur, bupati/walikota dan pemilihan kepala desa dalam praktiknya telah terpenuhi atau sebaliknya. Hak memperoleh aksesibilitas mendudukkan Pemuda dengan Disabilitas secara individu sebagai pemilih, yang dibuktikan dengan terdaftarnya pemilih tetap atau kartu kependudukan yang dimiliki. Sedangkan pengerian pemilih yang diatur adalah “…warga Negara Indonesia yang sudah genap 17 tahun atau lebih, sudah kawin atau pernah kawin…” yang dinyatakan didalam peraturan perundangan pemilu, setidaknya menjadi penghambat tersendiri dalam mendudukan Pemuda dengan Disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya didalam pemilihan umum. 27


PENDAPAT PUBLIKTENTANG PEMUDA DENGAN DISABIL ITAS DALAM JABATAN PUB LIK DAN STRUKTUR FORMAL PENYELENGGARA PEMILU

28

PENDAPAT MASYARAKAT TEN TANG PENYANDANG DISABILITAS


Karakteristik Responden Survey pendapat ini melibatkan 100 orang warga Kota Bandung, dengan karakteristik sebanyak 44 orang perempuan dan 56 orang laki-laki. Dari segi rentang usia, sebanyak 44 orang perempuan terdiri berusia dibawah 19 tahun sebanyak 15 orang, rentang usia 20-29 tahun sebanyak 18 orang dan rentang usia 30-44 tahun sebanyak 11 orang. Sedangkan, dari 56 orang laki-laki, secara rentang usia dibawah 19 tahun sebanyak 20 orang, rentang usia 20-29 tahun sebanyak 18 orang, pada usia 30-44 tahun sebanyak 14 orang, usia 45-64 tahun sebanyak 4 orang dan 1 orang diatas 65 tahun. Dari segi latar belakang pendidikan, dari 56 responden warga berjenis kelamin laki-laki, sebanyak 31 orang masih duduk atau berlatar pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA/Sederajat) , sebanyak 11 orang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Sederajat), diikuti sebanyak 4 orang ahli madya dan 5 orang berlatar pendidikan Strata 1 (S1), sedangkan sebanyak 3 orang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan satu orang tidak sekolah dan diatas strata-1 (S1). Sementara itu, dari 44 responden berjenis kelamin perempuan, sebanyak 30 orang berlatar pendidikan SMA/sederajat, diikuti sebanyak 6 orang SMP dan satu orang Sekolah Dasar (SD), selanjutnya sebanyak 5 orang berlatar pendidikan Ahli madya dan 2 orang berlatar Strata satu (S1).

Grafik-1. Responden Menurut Pendidikan

29

Grafik-2. Responden Menurut Rentang Usia


PENDAPAT MASYARAKAT TENTANG PENYANDANG DISABILITAS Pendapat atau Pendapat responden warga Kota Bandung terhadap Penyandang Disabilitas, dari total 100 responden laki-laki dan perempuan berikut dengan rentang usianya, sebanyak 56 orang memberikan Pendapat positif bahwa penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki hak yang sama dan setara, sedangkan 22 orang lain menilai penyandang disabilitas sebagai orang sakit dan tidak mandiri, tidak berdaya dan perlu perawatan medis dan rehabilitasi. Sementara, 22 orang lainnya memilih untuk tidak menjawab. Secara terperinci, sebanyak 32 responden laki-laki, dan 24 orang perempuan menilai penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki hak dan kedudukan yang sama dan setara dengan manusia lainnya, karena keterbatasannya bukanlah pilihan mereka. Dari segi usia, responden pada rentang usia dibawah 19 tahun memberikan Pendapat tertinggi, diikuti oleh responden pada rentang usia 20-29 tahun sebanyak 19 responden dan dan 7 responden di usia 30-44 tahun, sebagaimana di tunjukkan pada Grafik-4. berikut ini;

30


Grafik-3. Pendapat Responden Terhadap Pemuda dengan Disabilitas Menurut Jenis Kelamin dan Usia

Berikutnya, dari 17 responden selanjutnya. Sebanyak 8 responden laki-laki dan 9 perempuan menilai penyandang disabilitas sebagai orang yang tidak bisa mandiri, perlu pendamping, alat bantu, memiliki kemampuan dan pengetahuan yang belum memadai. Secara strukur usia, Pendapat tersebut berasal dari sejumlah 4 responden dibawah 19 tahun, sebanyak 8 responden di rentang usia 20-29 tahun dan 4 orang diusia 30-44 tahun, dan satu responden di usia 45-64 tahun. Sementara, dari 18 responden yang terdiri 13 laki-laki dan 5 perempuan, memberikan 31


Pendapat penyandang disabilitas sebagai orang-orang sakit, lemah, dan tidak berdaya. Dari kelompok umum, Pendapat tersebut berasal dari usia 30-44 tahun dan usia 20 tahun keatas. Selebihnya, sedikit responden yang masih memiliki Pendapat bahwa penyandang disabilitas dipandang sebagai sumber potensi masalah sosial, beban sosial dan perlu disantuni dan diasuh untuk kelangsungan hidupnya. Untuk selanjutnya, Pendapat responden menurut latar pendidikannya, sebanyak 34 responden menilai disabilitas sebagai orang yang memiliki hak dan kedudukan yang sama dan setara, 10 responden menilai sebagai orang yang tidak bisa mandiri dan memiliki pengetahuan terbelakang / belum memadai, serta 12 responden menilai sebagai orang sakit, lemah dan tidak berdaya, diikuti 4 orang responden menilain sebagai sumber potensi masalah sosial dan beban sosial. Dari segi latar pendidikan, Pendapat yang bervariasi sebagian besar berasal dari responden dengan latar pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA/Sederajat). Sama seperti pada latar pendidikan lain yang juga bervariasi, meski sebagian besar didominasi oleh responden berpendidikan SMA, yang secara khusus memiliki Pendapat positif tertinggi dari total responden, yang ditunjukkan pada Grafik-5 berikut ini;

32


Grafik-5. Pendapat Responden Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Latar Pendidikan.

Pendapat Masyarakat tentang Pemuda dengan Disabilitas Dalam Jabatan Publik/Politik Tk. Daerah Pada survey selanjutnya, bertujuan untuk melihat penerimaan masyarakat terhadap penyandang disabilitas yang memiliki peluang dalam menduduki jabatan publik/politik. Survey ini menggali Pendapat dari 100 responden, pada 2 (dua) posisi jabatan publik/politik yaitu (1) Kepala daerah khususnya Walikota dan Wakil serta (2) Wakil Rakyat Daerah, yaitu DPRD-Kota. Dengan cara menentukan Pendapat dengan menggunakan skala ukur 1-5, yang menyatakan setuju dan tidak setuju apabila penyandang disabilitas menduduki posisi jabatan publik dan atau jabatan politik. Dari hasil survey menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin Pendapat responden terhadap penyandang disabilitas dalam ja33


batan publik sebagai Walikota dan Wakil Walikota, sebanyak 51 responden menyatakan tidak setuju, yang terdiri dari 31 responden laki-laki dan 20 perempuan, dan diikuti sebanyak 13 orang sangat tidak setuju. Sedangkan, sebanyak 25 responden menyatakan setuju dan 3 responden amat setuju, bilamana penyandang disabilitas menduduki jabatan publik sebagai Walikota dan atau Wakil Walikota. Dari hasil yang ditunjukkan pada Grafik-6, menujukkan sebagian besar responden menyatakan ketidaksetujuannya, dibandingkan dengan sejumlah responden yang menyatakan setuju yang relatif rendah Grafik-6. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Walikota

34


Grafik 7 Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Walikota dan Wakil Walikota Menurut Rentang Usia

Sebaliknya dilihat dari segi latar pendidikan, sebanyak 38 responden yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju berasal dari latar pendidikan SMA/Sederajat, sama halnya dengan responden yang menyatakan setuju sebesar 17 responden. Secara detil, tergambar pada grafik-8 berikut ini. Grafik-8. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Walikota dan Wakil Walikota Menurut Latar Pendidikan.

35


Pendapat lain terkait hasil survey pendapat terhadap penyandang disabilitas dalam jabatan publik sebagai Wakil Rakyat Daerah atau DPRD-Kota/Kabupaten, menunjukkan bahwa sebanyak 39 responden menyatakan tidak setuju, dan 5 responden menyatakan sangat tidak setuju. Menurut jenis kelamin, pernyataan tersebut muncul dari 28 laki-laki dan 16 perempuan. Di sisi lain, sebanyak 45 responden menyatakan setuju dan 4 responden amat setuju. Sikap setuju dan amat setuju muncul dari 25 responden perempuan dan 27 responden laki-laki. Meski secara total, jumlah responden yang menyatakan setuju relatif lebih tinggi di banding dengan sejumlah responden yang menyatakan tidak setuju, sebagaimana digambarkan pada Grafik-9. Grafik-9. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung Menurut Jenis Kelamin

Hasil lain menunjukkan, menurut rentang usia responden, pernyataan tidak setuju dan sangat tidak setuju dinyatakan pada responden dengan rentang usia 20-29 tahun, sejumlah 14 responden, diikuti dengan sebanyak 13 responden berusia kurang dari 19 tahun. Sementara sikap setuju dan amat setuju mengemuka dari responden pada rentang usia 20-29 tahun sebanyak 20 responden dan 3 responden di rentang usia 30-40 tahun. 36


Grafik-10. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Wakil Walikota Menurut Rentang Usia

Sedangkan dari segi latar pendidikan, sikap tidak setuju dikontribusikan tertinggi dari responden dengan latar pendidikan SMA/Sederajat sebanyak 26 responden, sama halnya dengan sikap setuju yang juga tertinggi dikontribusikan pada latar belakang pendidikan SMA/Sederajat. Grafik-11. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Latar Pendidikan.

37


Pendapat Masyarakat Pemuda dengan Disabilitas dalam Struktur Penyelenggara Pemilu Berikutnya, penerimaan masyarakat terhadap penyandang disabilitas yang memiliki peluang dalam menduduki jabatan publik/politik menyasar pada struktur formal pada jabatan Penyelenggara Pemilihan Umum di tingkat daerah. Survey ini menggali Pendapat dari 100 responden, pada 2 (dua) posisi jabatan publik sebagai penyelenggara pemilu yaitu (1) Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU), dan (2) Badan Pengawas PEMILU ( Bawaslu). Dengan cara menentukan Pendapat dengan menggunakan skala ukur 1-5, yang menyatakan setuju dan tidak setuju apabila penyandang disabilitas menduduki posisi jabatan structural sebagai penyelenggara pemilihan umum ataupun pemilukada. Penyandang Disabilitas Menjabat Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) Dari hasil survey menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin Pendapat responden terhadap penyandang disabilitas dalam jabatan struktural sebagai KPU, sebanyak 44 responden menyatakan tidak setuju, yang terdiri dari 27 responden laki-laki dan 17 perempuan, dan diikuti sebanyak 5 orang sangat tidak setuju. Sedangkan, sebanyak 39 responden menyatakan setuju dan 3 responden amat setuju, jika penyandang disabilitas menduduki jabatan structural di KPU. Dari hasil yang ditunjukkan pada Grafik-12, menujukkan jumlah yang mendekati seimbang antara responden yang setuju dan tidak setuju.

38


Grafik-12. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Komisioner Pemilihan Umum (KPU) di Kota Bandung menurut Jenis Kelamin.

Selanjutnya, dari sisi rentang usia. sebanyak 42 responden menyatakan tidak setuju, pernyataan tertinggi terdapat pada rentang usia 20-29 tahun, diikuti oleh responden di rentang usia 30-44 tahun dan kurang dari 19 tahun. Sebaliknya, dari total responden yang menyatakan sikap setuju, responden di rentang usia kurang dari 19 tahun merupakan yang tertinggi, diikuti oleh responden di rentang usia 20-29 tahun dan pada usia 30-44 tahun sebanyak 8 responden, sebagaimana digambarkan pada Grafik-13.

39


Grafik-13. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Komisioner Pemilihan Umum (KPU) di Kota Bandung menurut Rentang Usia.

Sementara dari segi latar pendidikan, sebanyak 31 responden menyatakan tidak setuju, pernyataan tertinggi terdapat pada latar pendidikan SMA/Sederajat. Serupa dengan responden yang menyatakan sikap setuju, sebanyak 23 responden adalah berlatar pendidikan SMA/Sederajat , sebagaimana digambarkan pada Grafik-14. Grafik-14. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Komisioner Pemilihan Umum (KPU) di Kota Bandung menurut Latar Pendidikan.

40


Penyandang Disabilitas Menjabat Badan Pengawas Pemilu Dari hasil survey menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin Pendapat responden terhadap penyandang disabilitas dalam jabatan struktural di Badan Pengawas Pemilu tingkat Daerah Kota Bandung, sebanyak 44 responden menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju, yang terdiri dari 27 responden laki-laki dan 17 perempuan, Sedangkan, sebanyak 44 responden menyatakan setuju dan amat setuju, dengan perincian 23 laki-laki dan 21 perempuan. Dari hasil yang ditunjukkan pada Grafik-15, menujukkan jumlah yang mendekati seimbang antara responden yang setuju dan tidak setuju Grafik-15. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai BAWASLU Daerah diKota Bandung menurut Jenis Kelamin.

Selanjutnya, dari sisi rentang usia. sebanyak 46 responden menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju, dengan pernyataan tertinggi terdapat pada rentang usia 20-29 tahun, diikuti oleh responden di rentang usia 30-44 tahun dan kurang dari 19 tahun. Sedangkan, dari 42 responden yang menyatakan sikap 41


setuju da amat setuju , responden di rentang usia kurang dari 19 tahun merupakan yang tertinggi, diikuti oleh responden di rentang usia 20-29 tahun dan pada usia 30-44 tahun, sebagaimana digambarkan pada Grafik-16. Grafik-16. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Komisioner Pemilihan Umum (KPU) di Kota Bandung menurut Rentang Usia.

Sementara dari segi latar pendidikan, sebanyak 31 responden menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju, pernyataan tertinggi terdapat pada latar pendidikan SMA/Sederajat. Berbeda tipis dengan responden yang menyatakan sikap setuju da amat setuju, sebanyak 28 responden adalah berlatar pendidikan SMA/Sederajat , sebagaimana digambarkan pada Grafik-17.

42


Grafik-17. Pendapat Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Jabatan Publik Sebagai Komisioner Pemilihan Umum (KPU) di Kota Bandung menurut Rentang Usia.

43


HASIL DAN PEMBAHA SAN

44

TANTANGAN PEMUDA DENGAN DISABILI TAS DALAM PERATURAN PERUNDANG-UN DANGAN


TANTANGAN PEMUDA DENGAN DISABILITAS DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Dari kajian ini menemukan beberapa temuan kunci yang menjadi hambatan bagi pemuda dengan disabilitas di dalam mengisi kesempatan/peluang pada struktur penyelenggaran pemilu, maupun jabatan publik diantaranya; Terkait Syarat Terdaftar sebagai Pemilih. Secara regulasi, ketentuan pemilih adalah warga Negara Indonesia yang selain mengatur dari segi batasan usia, melainkan status perkawinan. Secara formal, status perkawinan menjadi hambatan struktural bagi pemuda dengan disabilitas yang belum menikah/lajang, untuk menggunakan hak memilih nya. Selain itu, terkait dengan hak dipilih, kesempatan pada posisi jabatan publik syarat terdaftar pun menjadi syarat mutlak, seperti DPR, DPD, DPRD, termasuk didalamnya pada struktur informal seperti Relawan Demokrasi, yang nota bene adalah sarana untuk berperan efektif dalam penyelenggaraan pemilu. Secara yuridis definisi pemuda adalah warga Negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai dengan 30 (tiga puluh) tahun sebagaimana ditetapkan dalam UU No.40 tahun 2009 tentang Kepemudaan. Sedangkan ketentuan yang diatur dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu, bahwa setiap warga Negara dapat menggunakan hak memilih harus terdaftar sebagai pemilih atau didaftarkan dalam daftar pemilih ke penyelenggara pemilu.11 Warga Negara yang dapat memilih adalah yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.12 Usia genap 17 tahun atau lebih pada hari pemungutan suara13 11 12 13 45

Pasal 199 dan Pasal 198 ayat (2) UU Pemilu 2017 Pasal 198 ayat (1) Pasal 7, PKPU 11/2018 tentang Penyandingan Data Pemilih


yang tercatat dalam Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu ( DP4), yang berisi informasi mengenai identitas, status perkawinan, dan jenis disabilitasnya.14 Pengertian pemilih menjadi suatu hambatan tersendiri bagi pemuda dengan disabilitas yang berstatus lajang. Artinya, mereka tidak dapat menggunakan hak memilihnya hanya karena status perkawinan, meski secara usia telah memenuhi syarat. Masalah selanjutnya adalah apakah Pemuda dengan Disabilitas tercatat dalam Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), yang dibuktikan dengan adanya kartu tanda penduduk atau tercatat dalam kartu keluarga, sehingga dapat tercatat menjadi daftar pemilih tetap (DPT). Rentang usia 16 – 30 tahun dalam undang-undang perkawinan, merupakan syarat perkawinan seseorang, dimana pria mencapai umur 19 tahun, dan wanita 16 tahun. 15Artinya asumsi dasar ini yang digunakan untuk menentukan definisi pemilih, dengan asumsi bahwa rentang usia 16 tahun telah menikah atau sudah pernah menikah. Akan tetapi, tidak dilihat faktualnya kecenderungan pemuda dengan disabilitas pada umumnya menikah pada tingkatan usia berapa tidak dijadikan dasar. Kondisi ini jelas menjadi hambatan secara formal bagi pemuda dengan disabilitas yang berstatus lajang pada rentang usia 16-30 tahun. Prasyarat “ Dapat Berbicara, Membaca dan Menulis” pada Calon Anggota Legislatif. Dalam salah satu syarat mengisi kesempatan pada jabatan publik seperti Calon Anggota DPR dan DPRD, serta calon perorangan sebagai Dewan Perwakiltan Daerah (DPD), terdapat syarat “ dapat berbicara, membaca dan menulis”, hal ini menjadi pembatas sekaligus hambatan formal bagi Pemuda dengan Disabilitas untuk meraih kesempatan mengisi jabatan publik, meskipun syarat sehat secara jasmani dan rohani serta persyaratan lainnya terpenuhi. 14 15 46

Pasal 6, PKPU 11/2018 tentang Data Penduduk Pasal 7, UU Perkawinan


Kesempatan pada struktur formal yang dapat diisi oleh Pemuda dengan Disabilitas sangat berpeluang untuk mengisi kesempatan padan struktur Panitia Pengawas Pemilu di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, kecamatan, kelurahan dan tempat pemungutan suara (TPS), dilihat dari syarat usia, latar pendidikan, kesehatan, dan tidak ada batasan terkait harus terdaftar sebagai pemilih ataupun tidak. Syarat tersebut memiliki kesempatan terbuka bagi organ struktural dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat kabupaten/kota ataupun provinsi. Seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), PPS, dan KPPS. Tetapi tidak untuk kesempatan pada struktur posisi KPU, mengingat secara syarat usia minimal adalah 30 tahun, yang artinya merupakan masa transisi pemuda menuju dewasa. Berikutnya terkait kesempatan dalam menduduki jabatan publik, Pemuda dengan Disabilitas berpeluang untuk mengisi untuk jabatan walikota dan wakil walikota maupun bupati dan wakil bupati serta kepala desa, dilihat dari syarat usia, pendidikan, kesehatan. Sementara untuk jabatan publik sebagai presiden dan wakil presiden secara syarat usia paling rendah 40 tahun, selebihnya harus terdaftar sebagai pemilih. Sedangkan, jabatan publik sebagai anggota perwakilan rakyat di tingkat nasional maupun daerah, serta anggota perwakilan daerah. Meski Pemuda dengan Disabilitas memiliki kesempatan untuk mengisi posisi tersebut secara usia, pendidikan maupun kesehatan. Akan tetapi terdapat persyaratan secara struktur yang menghalangi kesempatan tersebut, diantaranya adalah harus “terdaftar sebagai pemilih”, yang artinya tidak bisa dalam status lajang, dan selanjutnya adalah “ dapat berbicara, membaca dan atau menulis dalam bahasa Indonesia”. Syarat inilah yang secara tekstual formal menjadi hambatan besar bagi Pemuda dengan Disabilitas. Bagi Pemuda dengan Disabilitas sensorik seperti tuna wicara. Syarat “ dapat berbicara” menjadi hambatan secara formal, meskipun mereke memiliki kemampuan untuk membaca ataupun menulis. Syarat dapat “ 47


Membaca” merupakan hambatan bagi Pemuda dengan Disabilitas netra, yang tidak dapat melihat, meskipun mampu membaca dengan bahasa Indonesia sesuai dengan metode membacanya. Juga dengan disabilitas daksa yang memiliki gangguan motorik dan sensorik sehingga tidak dapat menulis, atau bahkan berbicara dan membaca. Meski secara umum, syarat sehat jasmani dan rohani terpenuhi, akan tetapi menjadi pembatas dan hambatan bagi Pemuda dengan Disabilitas untuk meraih kesempatan pada jabatan publik, khususnya DPR,DPD dan DPRD, ditambah juga dengan status kelajangan dari setiap Pemuda dengan Disabilitas yang menjadi penghambat didalam memperoleh hak memilihnya. Syarat kapasitas pengetahuan tentang kepemiluan, tatanegara, kepartaian dan pengawasan pemilu. Prasyarat kemampuan menjadi hambatan bagi Pemuda dengan Disabilitas, diluar dari prasyarat administratif apabila belum memiliki pengetahuan yang cukup terkait penyelenggaraan pemilu, ketatanegaraan, kepartaian serta pengawasan pemilu. Di sisi lain, belum adanya rujukan berkaitan dengan sejauhmana ketertarikan Pemuda dengan Disabilitas dalam berpolitik, dan bagaimana mendapatkan pendidikan politik, berikut aktualisasinya dari pengetahuan yang telah didapat dari proses pendidikan politiknya. Prasyarat lain yang juga menjadi hambatan, diluar dari prasyarat usia, pendidikan serta kesehatan ataupun keterbatasan fisik, mental dan intelektual. Pengetahuan tentang kepemiluan, kewarganegaraan dan kepartaian, serta syarat kemampuan manajerial didalam menjalankan tugas, wewenang serta fungsinya, merupakan hambatan bagi Pemuda dengan Disabilitas, berkenaan dengan kapasitas yang dimilikinya, dan sejauhmana kapasitas tersebut benar-benar diperoleh dan dipahami. Syarat kapasitas Manajerial dan Teknis Operasional Sesuai Wewenang , Tugas Struktur Formal dan Informal. 48


Prasyarat kemampuan manajerial dan keahlian dalam menangani aspek teknis operasional merupakan syarat untuk mengisi kesempatan structural formal berdasarkan wewenang, tugas pokok dan fungsinya. Mengingat, lingkup tugas dan wewenang lebih banyak pada kerja-kerja administratif, fasilitasi rapat, pengambilan keputusan serta komunikasi publik. Sehingga, kecakapan dalam hal keterampilan menata kelola data, dokumen dan informasi berkaitan penyelenggaran pemilu menjadi penting dalam pengambilan keputusan, serta mengkomunikasikan data dan informasi dalam bentuk sosialisasi maupun lainnya merupakan hambatan bagi Pemuda dengan Disabilitas yang belum memiliki kapasitas tersebut. Kesempatan Pemuda dengan Disabilitas pada struktur informal terdapat pada partai politik, sebagai sarana untuk mendapatkan pendidikan politik dan juga secara saluran untuk mengisi kesempatan sebagai jabatan publik, meski diantaranya jabatan publik seperti DPR-DPD dan DPRD masih mencantumkan prasyarat yang menghambat mereka. Kesempatan lain terdapat pada strukrur organisasai/kelompok kepentingan yang mampu mewakili suara Pemuda dengan Disabilitas untuk dapat berperan secara efektif dalam menyalurkan aspirasi maupun menyampaikan pendapat dan kritik, salah satunya sebagai lembaga pemantau atau lembaga survey dan jajak pendapat. Sementara, struktur informal yang dibentuk secara formal adalah relawan demokrasi. Meski kesempatan untuk mengisi tersedia, dan terpenuhi secara usia, pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi, persyaratan terdaftar sebagai pemilih merupakan satu penghambat untuk dapat berperan secara efektif, selebihnya adalah non-partisan partai politik sekurangnya 5 (lima) tahun terakhir, dan bukan bagian dari penyelenggara pemilu. Artinya, Pemuda dengan Disabilitas bila sudah menjadi bagian dari struktur formal lembaga penyelenggara tidak diperkenankan memainkan peran dan tugas yang sama.

49


Selain itu, Pemuda dengan Disabilitas yang telah memilih atau bergabung sebagai anggota partai politik pun tidak dapat terlibat, meskipun pengetahuan pemilu, ketatanegaraan dan kepartaian telah menguasai, yang telah diperoleh dari pendidikan politik dipartainya. Sedangkan secara individual, kesempatan Pemuda dengan Disabilitas amat terbuka untuk memandu opini publik terkait penyelenggaraan pemilu, yang dapat juga disalurkan melalui organisasinya. Meski kesempatan menjadi tim seleksi amat berpeluang, akan tetapi dari sisi syarat minimum usia tidak termasuk rentang usia pemuda, termasuk latar pendidikan dengan paling rendah Strata-1, belum tentu sebagian besar Pemuda dengan Disabilitas mendapatkan gelar dari jenjang pendidikan formal dan mendapatkan pengetahuan tentang pendidikan politik, kewarganegaraan ataupun kepartaian, ataupun pengetahuan manajerial terkait kepemiluan yang merupakan syarat mutlak yang perlu dipenuhi. Tantangan Pemuda dengan Disabilitas Dari Sudut Pandang Masyarakat Survey pendapat ini dilakukan untuk menemukenali pendapat warga Kota Bandung dalam memandang penyandang disabilitas, bilamana menduduki jabatan publik ataupun dalam struktur formal penyelenggara pemilu. Dari segi keterwakilan responden, hasil survey ini tidak mencerminkan pendapat sebagian besar warga Kota Bandung, namun demikian potret kecil dari hasil survey ini setidaknya dapat memberikan gambaran dasar terkait dengan sikap keberterimaan warga tentang penyandang disabilitas, atas hak nya yang telah diakui, dihormati dan dilindung oleh undang-undang. Adapun hasil survey pendapat termaksud, diuraikan sebagai berikut; Pandangan Publik tentang Penyandang Disabilitas. Dari hasil survey pendapat publik, dari 100 responden warga yang memberikan pendapatnya, sebanyak 56 orang berpendapat bawah penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki hak 50


dan kedudukan yang sama dan setara dengan manusia lainnya, sementara 22 responden lain berpendapat sebagai orang sakit dan tidak mandiri, tidak berdaya dan perlu perawatan medis dan rehabilitasi, dan selebihnya tidak memberikan pendapat yang signifikan. Dilihat dari proporsi jumlah, pengetahuan warga tentang disabilitas relative lebih moderat untuk menilainya dari segi pendekatan hak, sedangkan selebihnya masih memandang dari aspek kondisi kesehatan fisik dalam memandang orang dengan disabilitas. Jika dilihat lebih lanjut, bahwa pendapat tersebut muncul sebagian besar dari responden warga yang memiliki latar pendidikan Sekolah Menengah Atas/sederajat, pada rentang usia dibawah 19 tahun, dan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki.de Sama halnya, responden warga yang berpendapat bahwa orang dengan disabilitas merupakan orang sakit yang tidak bisa mandiri dan perlu perawatan medis, yang sebagia besar berasal dari kalangan SMA/sederajat, di rentang usia dibawah 19 tahun dan sebagian besar adalah laki-laki. Pandangan Publik Penyandang Disabilitas dalam Jabatan Publik. Pendapat dari 100 responden warga tentang penyandang disabilitas jika menduduki jabatan publik, dalam kontek Kota Bandung sebagai Walikota dan wakil walikota, berikut juga dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD). Hasil menunjukkan dari 100 responden, 64 responden menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju jika menduduki posisi jabatas sebagai Walikota atau wakil walikota. Pendapat tersebut sebagian besar diberikan dari responden laki-laki, direntang usia 20-29 tahun dengan latar belakang pendidikan SMA/Sederajat. Senada dengan pendapat 28 responden yang menyatakan setuju dan amat setuju, yang sebagian besar diberikan oleh jenis kelamin, usia dan latar pendidikan yang sama. Sebaliknya dengan pendapat dalam menduduki posisi wakil 51


rakyat sebagai anggota DPRD kabupaten/kota, hasil menunjukkan bahwa sebanyak 44 responden menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju, sementara sebanyak 49 responden menyatakan setuju dan amat setuju. Yang dinyatakan sebagian besar oleh responden berjenis kelamin laki-laki, pada rentang usia 20-29 tahun, dengan latar pendidikan SMA/Sederajat. Meski, secara proporsi jumlah tersebut memiliki perbedaan yang tipis antara yang setuju dan yang tidak setuju. Pandangan Publik Penyandang Disabilitas dalam Jabatan Struktural Penyelenggara Pemilu. Berikutnya adalah terkait pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas dalam menduduki posisi struktural formal dalam penyelenggara Pemilu, yakni KPU dan Bawaslu di tingkat daerah Kabupaten/Kota. Hasil menunjukkan sebanyak 49 responden menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju, dan 43 responden sebaliknya, menyatakan setuju dan amat setuju, meski selebihnya responden tidak memberikan pendapatnya. Sebanyak 27 responden laki-laki, dan 17 perempuan menyatakan pendapat kesetujuannya, sebagian besar berlatar pendidikan SMA/sederajat pada rentang usia 20-29 tahun. Sebaliknya dengan pendapat warga tentang posisi jabatan Bawaslu. Sebanyak 44 responden menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Senada dengan 44 responden lain yang menyatakan setuju dan amat setuju, semetara responden selebihnya tidak memberikan pendapatnya. Sebagian besar responden yang setuju berasal dari responden berjenis kelamin laki-laki, pada rentang usia 20-29 tahun dengan latar pendidikan SMA/ Sederajat, senada dengan responden warga yang menyatakan pendapat tidak setuju dan sangat tidak setuju. Sementara, sponden lainnya, pada rentang usia dan latar pendidikan yang berbeda, secara jumlah relatif kecil dalam menyatakan pendapatnya.

52


KESIMPULAN DAN SARAN

53


Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari kajian ini, berikut saran yang perlu dan dapat diambil untuk tindak lanjut kedepan, diantaranya adalah;

KESIMPULAN 1. Dalam peraturan perundang-undangan, telah memberikan banyak peluang bagi Pemuda dengan Disabilitas untuk dapat mengisi posisi dalam jabata publik/politik, sebagai wujud dari penghormatan dan perlindungan hak politik penyandang disabilitas, peluang tersebut secara prasyarat yang paling memadai antara lain sebagai kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat di daerah maupun pusat, maupun perwakilan perorangan. 2. Hambatan Pemuda dengan Disabilitas yang terkesan membatasi hak politiknya secara peraturan perundangan dalam menduduki peluang jabatan publik/ politik diantaranya persyaratan ; (1) harus terdaftar sebagai pemilih, dengan status kawin; (2) dapat berbicara, membaca dan menulis yang akan berpengaruh pada ragam disabilitas yang dialami oleh Pemuda dengan Disabilitas; (3) Pengetahuan tentang kepemiluan, tatanegara, kepartaian dan pengawasan pemilu. Hambatan lainnya adalah dalam undang-undang Pemilu, Undang-undang Partai Politik, dan Undang-undang anggota DPR-RI/DPRD belum mengatur secara spesifik tentang penentuan kuota khusus bagi penyandang disabilitas 3. Tantangan Pemuda dengan Disabilitas dalam mengisi jabatan publik/politik adalah stigma masyarakat, meski pendapat masyarakat tentang penyandang disabilitas secara kesadaran HAM sadar memiliki hak dan kedudukan yang sama, akan tetapi pendapat masyarakat yang menilai dari aspek kesehatan fisik dan status sosialnya masih relatif tinggi. 4. Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan kepemiluan, pemuda dengan disabilitas berpeluang mengisi posisi struk54


tural di KPU maupun Bawaslu tingkat Daerah provinsi maupun kabupaten/kota, berikut peluang pada struktur organ turunan dari kedua lembaga penyelenggara tersebut seperti PPK, PPS, dan KPPS. Juga Panitia Pengawas Pemilu ( Panwaslu) Tk. kecamatan sampai ke tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). 5. Tantangan pemuda dengan disabilitas dalam mengisi posisi pada struktur formal penyelenggara pemilu adalah (1) stigma masyarakat tentang penyandang disabilitas yang masih rendah memahami penyandang disabilitas secara kesadaran kritis tentang kesamaan dan kesetaraan hak; (2) kecakapan, keahlian dan keterampilan administrasi dan managerial didalam menjalankan tugas dan fungsi pada setiap posisi yang dijabatnya. 6. Pemuda dengan Disabilitas berpeluang memilih atau menjadi anggota dari partai politik, untuk mendapatkan pendidikan politik serta dalam berkontestasi untuk meraih jabatan publik. Disamping itu, kesempatan untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi/kelompok yang mewakili pemuda atau penyandang disabilitas, berkesempatan untuk berperan efektif sebagai lembaga jajak pendapat atau pemantauan pemilu. 7. Hambatan pemuda dengan disabilitas dalam memilih dan menjadi anggota Partai Politik, bergabung dan membentuk organisasi, ataupun tergabung dalam struktur relawan demokrasi adalah sikap dari orang tua/keluarga dalam mendorong peran dan kepercayaan diri pemuda dengan disabilitas, serta kemauan dari partai politik, organisasi disabilitas dalam membuka kesempatan, memberikan pendidikan politik, akses informasi untuk mengetahui keberadaan atau program-program bagi pemuda dengan disabilitas, serta kemudahan prasyarat untuk memasuki organisasi maupun program/kegiatan berkaitan dengan pendidikan politik. 55


SARAN Dari kesimpulan diatas, terdapat beberapa saran yang dapat diambil dari hasil kajian ini antara lain; Bagi Pemerintah Daerah 1. Memfasilitasi adanya pendidikan politik inklusif bagi warga masyarakat, untuk mendorong kesadaran dan keberterimaan masyarakat terhadap penyandang disabilitas, melalui saluran pusat pendidikan, kurikulum pendidikan, balai pelatihan dan iklan-iklan layanan masyarakat tentang keberadaan penyandang disabilitas. 2. Memfasilitasi pendidikan politik yang berkelanjutan yang terbuka bagi organisasi penyandang disabilitas, orang tua/ keluarga yang memiliki pemuda dengan disabilitas dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Bagi Partai Politik di Daerah 1. Memperluas jangkauan pendidikan politik bagi pemuda dengan disabilitas, sebagai sarana program kaderisasi di tingkat partai. 2. Mendorong adanya affirmative action dalam kebijakan peraturan perundangan untuk memberikan ruang maupun kuota bagi pemuda dengan disabilitas untuk dapat berkontestasi secara adil. Bagi Penyelenggara Pemilu Tk. Daerah 1. Mendorong adanya kesempatan bagi orang tua/keluarga dengan pemuda/anak dengan disabilitas untuk dapat terlibat didalam program/kegiatan literasi politik dan kepemiluan sejak dini. 2. Mendorong adanya kesempatan terbuka yang berkelanjutan, dalam memberikan peningkatan kapasitas bagi pemuda dengan disabilitas tentang kepemiluan, kecakapan ad56


ministrasi dan managerial terkait kepemiluan. 3. Memberikan kesempatan dan peluang bagi pemuda dengan penyandang disabilitas bekerja/pemagangan di lembaga penyelenggara dalam mengurusi kegiatan kepemiluan. 4. Melibatkan organisasi penyandang disabilitas dalam merumuskan program dan kegiatan, khususnya memformulasikan media-media informatif yang sesuai dengan kebutuhan pemuda dengan ragam disabilitasnya.

57


PENUTUP

58


Demikian laporan hasil kajian ini ditulis, untuk dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan kepedulian atas hak-hak penyandang disabilitas. Kami sadari bahwa kajian ini jauh daripada sempurna, oleh karenanya beragam masukan dan kritik amat terbuka untuk dapat memperkaya kajian-kajian selanjutnya yang dapat ditindaklanjuti, guna memotret perkembangan dan kemajuan pemenuhan hak pengakuan, penghormatan dan perlindungan bagi penyandang disabilitas, khususnya pemuda dengan disabilitas yang juga merupakan generasi bangsa yang berharga.

59


60


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.