KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN (KAI)
Jaminan Kesehatan Semesta: Kewajiban Ditunaikan Hak Terabaikan
1. Melaksanakan jaminan kesehatan semesta (universal coverage) per 1 Januari 2014 sesuai perundangan yang berlaku, mencakup semua jenis penyakit, menanggung iuran warga miskin dan kurang mampu;
H
2. Mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN di luar gaji pegawai dan 10% dari APBD di luar gaji pegawai guna peningkatan aksesibilitas dan kualitas kesehatan warga negara;
idup sehat adalah hak setiap warga negara. Sesuai konstitusi, tiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan jaminan kesehatan. Sejumlah beleid yang mengamanatkan negara memberikan jaminan kesehatan, diantaranya UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Jaminan kesehatan merupakan bagian dari perlindungan sosial. Jaminan kesehatan semesta untuk semua warga negara (universal coverage) sejalan dengan norma hak asasi manusia, dan secara empirik tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi suatu negara (Lindert, 2009). Dengan alasan terbatasnya anggaran, negara seolah lepas tangan terkait jaminan kesehatan yang sudah dimandatkan undang-undang. Ketidakseriusan pemerintah bisa dilihat dari kecilnya alokasi anggaran. APBN hanya alokasikan berkisar 2% untuk fungsi kesehatan. Padahal UU Kesehatan mengamanatkan, negara wajib mengalokasikan dana minimal 5% dari APBN, di luar belanja pegawai, untuk kesehatan. Laporan WHO (2010) mencatat, 22 negara berpendapatan rendah (negara yang lebih miskin dari Indonesia) telah mengalokasikan 11% anggarannya untuk kesehatan. Tiga negara miskin di Afrika (Liberia, Rwanda dan Tanzania) misalnya, bahkan telah mengalokasikan 15% anggarannya untuk sektor kesehatan. Sedangkan Chili, negara yang sebaya dengan Indonesia, telah menaikkan anggarannya dari 11% (1996) menjadi 16% (2000-an). Keberadaan UU BPJS sejauh ini belum melecut pemerintah untuk bergegas menuju jaminan kesehatan semesta pada 1 Januari 2014. Angka Rp 1- 2 triliun yang disediakan untuk persiapan BPJS Kesehatan adalah indikasi rendahnya keseriusan pemerintah dalam implementasikan jaminan kesehatan semesta. Padahal,
INFORIAL
3. Melakukan reformasi perpajakan yang mendasar dan berkeadilan dengan: (i)
banyak agenda persiapan dari nasional sampai daerah yang harus segera dikerjakan. Dengan besarnya pembiayaan jaminan kesehatan semesta (sekitar Rp 23 - 60 triliun tiap tahunnya), tidak menutup kemungkinan pemerintah enggan mengalokasikannya dengan alasan sempitnya fiscal space. Padahal sejatinya pemerintah bisa memenuhinya. Salah satu cara agar fiscal space longgar adalah memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak. Sebab, hingga saat ini pajak menjadi penopang utama pendapatan negara. Tiap tahun, rata-rata 75% penerimaan negara diperoleh dari pajak. Kontribusi pajak dalam struktur penerimaan negara memberi dampak terhadap belanja negara. Semakin besar yang berhasil dikumpulkan dari pajak, maka peluang pembiayaan pembangunan (termasuk kesehatan) makin besar. Pun sebaliknya. Sayangnya, penerimaan pajak Indonesia masih tergolong sangat rendah, bila dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Pada 2011 misalnya, rasio pajak (tax ratio) Indonesia hanya 12,6%. Sementara Malaysia dan Thailand di atas 16%. Jauh di bawah Korea Selatan 24%
dan negara-negara Amerika Latin yang mencapai 23%. Apalagi dibandingkan dengan negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang sudah mencapai 34%. Bahkan negara-negara miskin ratarata sudah mencapai 14,3%. Rendahnya tax ratio menjadi salah satu indikator belum optimalnya kinerja pemerintah dalam memungut pajak. Alih-alih memperluas basis pemajakan (tax base), pemerintah justru belum mampu memungut pajak secara optimal dari basis pemajakan yang sudah ada. Padahal kenaikan tax ratio secara signifikan sangat penting bagi pembiayaan berbagai program jaminan sosial, infrastruktur dan penyediaan layanan publik yang berkualitas. Rendahnya tax ratio juga dapat dibaca sebagai minimnya tingkat kesadaran dan partisipasi publik yang diakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap petugas pajak dan penggunaan uang pajaknya. Berangkat dari kondisi tersebut, kami, kelompok masyarakat sipil Indonesia dengan ini menuntut kepada pemerintah dan DPR agar melaksanakan beberapa rekomendasi berikut:
menciptakan sistem perpajakan yang baik, akuntabel dan bebas korupsi dengan membangun aparatur perpajakan yang berintegritas-
profesional dan sistem administrasi perpajakan yang mudah dan sederhana;
menerapkan pajak 35% bagi mereka yang berpendapatan di atas Rp 5 miliar / bulan;
(ii) menerapkan perhitungan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang berpihak kepada perempuan kepala rumah tangga (woman headed household), pekerja usia nonproduktif dan kaum difable;
(v) penerapan insentif dan disinsentif pajak secara transparan dan akuntabel;
(iii) menerapkan sistem earmarking untuk jenis pajak tertentu (sin taxes dan extractive industries), baik di pusat maupun di daerah, yang diperuntukkan untuk sektor pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan tunjangan tunai; (iv) menambah lapisan struktur tarif PPh (tax bracket) dengan
(vi) revisi Pasal 35 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) tentang batasan kerahasiaan data wajib pajak, khususnya bagi data yang menjadi hak publik; (vii) meningkatkan rasio pajak (tax ratio) sekurang-kurangnya 1% tiap tahun fiskal hingga setara dengan rasio pajak negara berpendapatan menengah (19%-26%). Jakarta, 22 Oktober 2012
Penandatangan Petisi Komisi Anggaran Independen (KAI): Victoria Fanggidae & J. Prastowo (Prakarsa), Sugeng Bahagijo & Nikmah (INFID), Iranda Yudhatama & Widyaningtyas (Swara Nusa - Jogjakarta), Asram Jaya & Burhan (FIK Ornop - Makassar), Saeful Muluk (Inisiatif - Bandung), Diki Agus Rizki & Ferdiand Rahmadya (HIMPIKS – FISIP UI), Mouna Wasef & Siti Juliantari (ICW), Azis Paturungi (YASMIB - Makassar), Kristian Redison (SMI - Medan), Lambert Leftungun (PP PMKRI), Yetti Herawati (KOWANI), Sigit & Renggo Darsono (TanggapNews), Charisal Manu (PIAR - NTT), Henny Ridhowati (Maarif Institute), Roikhatul (Lakpesdam NU), Joko Sustanto (ADEKSI), Ahmad Ikrom & Tita Rhadiatan (P3M), Indra Munaswar (KAJS), Dian Anggreini (APEKSI), Salbiyah (FITRA), Mustakim & Idris (AJI), Alhafiz (NU Online), Satriono & Indra (LPM Didaktika UNJ), Muhammad Akbar (Sekber HMI),Yusuf Tallamma (YPSHK - Sultra), Binny Buchori (KAI), Zumrotin K Susilo (KAI), Abdul Waild (KAI), Ah Maftuchan (KAI), Dadang Trisasongko (KAI),Yuna Farhan (KAI), Setyo Budiantoro (KAI), Ridaya La Ode Ngkowe (KAI), Masruchah (KAI). Komisi Anggaran Independen (KAI) merupakan komisi non-pemerintah yang dibentuk dan beranggotakan unsur individu dan kelompok masyarakat sipil untuk memperjuangkan amanat konstitusi, khususnya Pasal 23 Ayat 1 dan Pasal 28 H UUD 1945. Inisiasi Komisi Anggaran Independen (KAI) berpijak dari beberapa hal: 1. APBN masih dikelola dengan buruk. Peningkatan besaran anggaran tidak membawa perubahan yang signifikan dalam belanja sosial bagi peningkatan kesejahteraan warga, sedangkan belanja pegawai dan pejabat publik justru meningkat pesat. 2. Ada kebutuhan nyata untuk lebih mengoptimalkan peran kelompok masyarakat sipil guna mendorong tata kelola anggaran yang lebih baik dan menyejahterakan warga dengan literasi dan critical engagement serta sinergi dengan semua kelompok pemangku kepentingan. Komisioner: Abdul Ghofur, Ah Maftuchan, Binny Buchori, Dadang Trisasongko, Danang Widoyoko, Ibrahim Fahmy Badoh, KH Masdar F Masudi, Masruchah, Sugeng Bahagijo, Teten Masduki, Yanuar Rizky, Yuna Farhan, Zumrotin K. Susilo. Badan Pengawas : Fitri Sunarto, Ridaya La Ode Ngkowe, Setyo Budiantoro Sekretaris Jenderal: Abdul Waidl Didukung oleh: Yayasan TIFA Sekretariat : Perkumpulan Prakarsa, Jln. Rawa Bambu I Blok A No. 8-E RT 010 RW 06 Kel./Kec. Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Telp. 021-7811-798 | Fax: 021-7811-897 | e-mail : independen.kai@gmail.com
INFORIAL