drama kala media komunikasi dan informasi teater
2 4 5 8
Wacana
Festival Teater khasanah
Sejumlah Festival Sesudah Pertunjukan
Cermin yang Retak Masyarakat Kaum Perkotaan Matakala
Festival : Seperistiwa Pengalaman Estetik
FestivaL
“Kualitas dan segala permasalahannya�
2
edisi IV/Agustus 2011
KALA MEMBACA dramakala
drama kala
media komunikasi dan informasi teater
Dewan Eksekutif IDEAL Pembina Penasihat Direktur Internal Direktur Eksternal General Manager Koordinator
: Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR : Arswendo Atmowiloto : Chrisdina Wempi : Rafael Jolongbayan : Renata Tirta Kurniawan : Maulia Rori Rarasati
Dewan Redaksi Pimpinan Redaksi Wakil Pimpinan Redaksi Reporter Editor: Layout
: Harris Priadie Bah : Ahmad Olie Sopan : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Irwan Senjaya Evi Agustian : Malhamang Zamzam : Tim dramakala
Alamat redaksi: STIKOM The London School of Public Relations-Jakarta, Komplek Perkantoran Sudirman Park, Jl. K.H. Mas Mansyur Kav.35, Jakarta Pusat 10220. Sampul Depan Grup Fotografer
: “War Brides” & “Ghost” : Peserta LSPR Theater Festival 2011 : LSPR Fotografi
Sebuah festival, sejatinya menampakan suasana gembira, ramai dan penuh kejutan kreatif. Sebuah festival kerap dinantikan oleh para masyarakatnya, entah itu penikmatnya, peserta lakunya, pengamat serta para pendukung lainnya. Sebagai sebuah ruang bertemu, berdiskusi dan unjuk kemampuan, festival adalah sebuah wadah yang tepat dan (mestinya) menyenangkan. Festival di banyak negara telah menjadi agenda rutin bagi pertemuan lintas bangsa, suku, budaya dan agama. Bagi negara-negara yang memahami betul arti penting budaya bagi kehidupan, telah lama menjadikan festival sebagai agenda pariwisata bahkan politik. Pemahaman mereka akan arti penting budaya tersebut dibuktikan dengan memberikan kontribusi dalam hal fasilitas, dana, perizinan dan lain sebagainya yang mana memang merupakan bagian dari kebijakan dan tanggung jawab pemerintah. Kita tahu sebuah penghargaan bagi insan perfilman Hollywood yang bernama piala Oscar, semata bukanlah urusan artistik dan estetik saja, tetapi juga merupakan sarana dan media “politik” kebudayaan bagi Amerika. Semangat yang lebih kurang sama bisa kita cermati dalam festival lain sejenisnya, atau juga festival lain tak sejenis, semisal festival bunga di Pasadena, festival bir di Berlin, festival layang-layang antar negara, dan “Internasional Poetry Festival” (penyelenggaraannya bergantian antar negara, pada tahun 2006 diadakan di Indonesia, tepatnya Palembang) dlsb. Di Indonesia kita juga punya banyak agenda festival. “Festival Kesenian Jogjakarta”, “Festival Kesenian Bali”, “Festival Gamelan”, “Festival Film Indonesia”, dan “Festival Teater Jakarta” (FTJ) untuk menyebut beberapa event festival yang cukup bergengsi dan utamanya tetap rutin diberlangsungkan sesampai kini. Sepanjang Juli, di Jakarta ada banyak event festival teater diselenggarakan, tercatat ada “Festival Monolog di Ruang Publik” yang diadakan oleh Federasi Teater Indonesia, “Festival Teater SLTA” yang penyelenggaraannya dilakukan secara bergantian antar sekolah, Theatre Festival LSPR (London School of Public Relations) serta FTJ tingkat wilayah yang diadakan secara simultan oleh masing-masing ikatan teater yang ada di lima wilayah DKI Jakarta, untuk kelak bertemu dalam babak final tingkat provinsi. FTJ ini tercatat sebagai sebuah festival teater terlama di Indonesia (boleh jadi juga di dunia) yang terus diadakan setiap tahun, sejak tahun 1973 hingga kini. dramakala merasa bulan Juli menjadi semacam bulan festival teater, bersebab itu, liputan berita utama edisi keempat ini menurunkan tema “Festival Teater, Kualitas dan Permasalahannya”. Selain itu kami juga menurunkan tulisan Halim HD untuk rubrik Khasanah dan untuk Wacana kali ini ditulis oleh Putu Wijaya, salah seorang tokoh teater Indonesia yang masih ada dan tetap menghadir dengan karya-karya panggungnya yang meneror itu. Semoga apa yang kami persembahkan ini bisa turut meramaikan dunia teater yang kita cintai ini. Redaksi.
WACANA
dramakala
Festival Teater Kegiatan festival memang harus tetap ada sebagai puncak dari kegiatan tahunan. Dia menjadi upacara bersama semua grup dalam menyemarakkan kota atau wilayah dengan teater. Tetapi kehidupan yang sebenarnya, yang nyata adalah produksi-produksi rutin, ketika teater berjuang untuk tetap hidup segar sebagai komunitas serta memiliki penonton. Inilah bagian yang masih sangat sulit dalam perkembangan kelompok teater di Indonesia. Sebuah festival menjadi menarik, karena di situ ada kompetisi yang kemudian melahirkan pemenang. Dari kemenangan didapatkan hadiah, nama serta jalan menuju ke sasaran lanjut. Dalam lakon wayang, hikayat atau cerita-cerita rakyat, sayembara sudah lama dikenal sebagai daya tarik untuk mengumpulkan perhatian. Orang penasaran ingin tahu siapa nanti keluar sebagai jagonya? Dalam kehidupan teater di Indonesia, festival adalah semacam alasan pembenaran kehadiran teater. Teater yang semula dianggap sebagai hanya terkait dengan upacara, pada beberapa tradisi, atau hanya hiburan tok, pada satuan masyarakat lain, menjadi penting karena adanya aroma kompetisi yang terkait dengan gengsi. Ini sebuah strategi yang pintar untuk menghidupkan teater. Bahwa pertarungan itu kemudian berkiblat ke Jakarta, itu mesti diterima sebagai sebuah kenyataan. Jakartalah saat ini kota yang paling terkemuka, paling terbangun, meskipun juga boleh juga dikutuk yang termasuk paling semrawut dan paling kisruh. Dengan menumpuknya segala yang terbaik di pusat republik ini, Jakarta menjadi gudang. Wajar kalau untuk sementara menjadi tujuan. Para budayawan, seniman, teaterawan terkemuka, berkumpul di Jakarta. Almarhum WS Rendra yang semula bertahan di Yogya dengan citra daerah dan alamnya, kemudian membawa Bengkel Teaternya ke Jakarta. Gedung pertunjukan, fasilitas terbaik untuk teater (meskipun belum sempurna baik) ada di Jakarta. Dengan kemenangan di dalam festival jalan ke Jakarta seakan lebih mudah. Meski pun pikiran seperti itu tidak betul. Yang menarik di dalam setiap festival adalah adanya pengumpulan tenaga yang lebih intensif, lebih total dari proses produksi rutin yang non festival. Bagus saja tak cukup. Orang bersaing untuk menang. Berbagai siasat di tempuh. Ada usaha untuk pencarian dan penggalian kreativitas. Tak jarang muncul hal-hal baru di dalam festival, karena enerji yang mendorong festival memang seperti berlipatganda. Tetapi di samping keuntungannya, festival-festival juga membawa kerugian. Kadang kemenangan menjadi tu-
juan utama. Mental pendukung teater bisa berubah. Bukan teater yang dihidupkan tapi dirinya. Asal bisa menang, tak peduli bagus. Semangat berlipatganda karena mau menang, belum tentu bisa muncul bila ada produksi rutin . Kehidupan kelompok bisa cacat. Teater-teater yang hanya hidup waktu festival, tidak akan mampu hidup tanpa ada kompetisi. Kalau pun ada kompetisi, tapi kalau dia hanya kalah melulu, dia akan segera membubarkan diri dan membentuk sesuatu yang baru. Kegiatan festival memang harus tetap ada sebagai puncak dari kegiatan tahunan. Dia menjadi upacara bersama semua grup dalam menyemarakkan kota atau wilayah dengan teater. Tetapi kehidupan yang sebenarnya, yang nyata adalah produksi-produksi rutin, ketika teater berjuang untuk tetap hidup segar sebagai komunitas serta memiliki penonton. Inilah bagian yang masih sangat sulit dalam perkembangan kelompok teater di Indonesia. Sebab hampir di semua kelompok, anggotanya hanya mau main. Jarang ada yang masuk kelompok teater untuk menjadi khusus awak pentas atau menata menejemen. Kosongnya penulisan kritik teater, menyebabkan kehidupan teater di Indonesia agak sulit. Beberapa resensi yang ditulis di koran dan majalah tak menunjukkan benar-benar ada pengamatan yang cermat dari seorang kritikus yang memahami teater. Kritik tidak saja memberikan informasi, apresiasi, perenungan, analisa serta penilain pada pementasan juga menggambarkan peta teater yang sedang bergulir. Tanpa kritik orang teater tak akan punya sparring partner dalam berhadapan dengan masyarakat penonton. Sebagai akibatnya, orang teater sering terpaksa menulis tentang dirinya sendiri. Menulis untuk teman-temannya. Yang kemudian terjadi adalah saling puji-memuji atau cela-mencela. Tulisan teater yang ada di media massa sekarang, tak selamanya bisa dipercaya sebagai gambaran apa sebenarnya yang sedang berlangsung. Kegiatan teater yang didukung media, akan lantang suaranya, dikenal luas, kendati sebenarnya tak terlalu penting. Sebaliknya yang tak punya media, apalagi dimusuhi oleh yang punya media, akan
Oleh :
Putu Wijaya dikubur hidup-hidup, apa pun yang dilakukannya akan dipandang dengan mata tertutup. Belakangan ini seni pertunjukan mulai dibanjiri oleh pertunjukan multi media dengan biaya yang tinggi. Yang mencuat adalah teknologi, kemewahan yang membuat penonton tercengang dan kepincut. Esensi teater sebagai sebuah peristiwa spiritual yang memperkaya batin penonton, untuk sementara bergulir menjadi hiburan teknologi. Ini hal yang wajar, karena teknologi bukanlah musuh. Namun teknologi toh pada saatnya akan membawa kebosanan. Teater bukan hanya hiburan mata, tetapi juga tontonan makna yang membawa penonton pada pengembaraan jiwa yang membebaskannya dari pandangan-pandangan lama yang sudah kedaluwarsa, sesat. Pada waktunya seni akting, teater bertutur, realisme, akan kembali dicari di samping eksperimentasi, langkah-langkah besar dan eksplorasi teknologi. Masuknya teater ke dalam kurikulum sekolah adalah sebuah tindakan yang penting. Tetapi membawa konsekuensi berat. Teater tidak bisa lagi dibelajarkan dengan cara yang lama, sehingga tujuannya hanya sebagai seni pertunjukan yang menjadikan seseorang seniman panggung. Teater adalah sebuah laboratorium yang mengajak manusia menemukan dirinya, menegaskan karakternya serta membelajarkannya hidup di tengah masyarakat. Teater berguna buat setiap orang, apa pun profesinya. Pemimpin, dokter, guru, politikus, salesman, anggota masyarakat biasa, dlsb, memerlukan ketrampilan berhadapan dengan manusia lain di dalam masyarakat. Mereka dapat mempelajarinya dari teater. Teater membelajarkan bagaimana : menghormati, mendengar, menyimak orang lain di samping menahan emosi, mengekspresikan sesuatu dengan terkendali, sadar pada momentum dan tempo. Teater membebaskan manusia dari demam panggung dan beberapa tekanan jiwa, sehingga sering dipakai sebagai therapy bagi yang mentalnya terganggu.. Membuat festival teater, sebenarnya membuat sebuah upacara pembelajaran keseimbangan emosi masyarakat.***
edisi IV/Agustus 2011
BERITA UTAMA dramakala
Festival Teater
“Kualitas dan permasalahannya” Bulan festival Bulan Juli merupakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh para pekerja seni - teater khususnya - bersebab pada bulan inilah ada banyak festival teater diberlangsungkan baik dalam format acara maupun pada penamaan tajuknya. Dalam wawancara dengan dramakala, Jose Rizal Manua, anggota komite teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menerangkan bahwa pemilihan bulan Juli sebagai waktu penyelenggaraan festival bukanlah suatu yang kebetulan tetapi sengaja dipilih bersebab bulan Juli itu adalah waktu liburan sekolah, menurutnya hal ini penting untuk mengisi hari libur mereka dengan kegiatan positif, teater adalah salah satunya. Dia juga menjelaskan bahwa penyelenggaraan festival di bulan Juli bukan hanya dilakukan di Indonesia saja tapi juga di seluruh dunia. Tercatat oleh dramakala dalam bulan Juli ini ada beberapa peristiwa teater yang berlangsungkan dengan tajuk “Festival” diantaranya ada “Festival Monolog di Ruang Publik (ke 4)” yang diadakan oleh Federasi Teater Indonesia, “Festival Teater SLTA (ke 21)”, “Theatre Festival LSPR” (London School of Public Relations), dan “Festival Teater Jakarta (FTJ) TingZubier kat wilayah yang diselenggarakan oleh masing-masing ikatan teater yang ada di 5 wilayah DKI Jakarta, antara lain Asosiasi Teater Jakarta Pusat (Atap ) untuk FTJ tingkat wilayah kota administrasi Jakarta Pusat, Ikatan Teater Jakarta Timur (Ikatamur) untuk FTJ tingkat wilayah kota administrasi Jakarta Timur, Ikatan Drama Jakarta Barat (Indraja) untuk FTJ tingkat wilayah kota administrasi Jakarta Barat, Ikatan Teater Jakarta Utara (Itera) untuk FTJ tingkat wilayah kota administrasi Jakarta Utara. Berbeda dengan 4 wilayah lainnya, untuk penyelenggaraan FTJ tingkat wilayah kota administrasi JakartaSelatan dilakukan melalui mekanisme tender, namun pada pelaksanaannya tetap bekerjasama dengan Komunitas Teater Wilayah Jakarta Selatan.
Kualitas Festival dari tahun ke tahun Pada awalnya festival dibuat lebih hanya sebagai sebuah pesta kegembiraan bersama, tanpa semangat kompetisi, antar sesama peserta yang tampil dan publik penikmatnya, walaupun tentu saja semua peserta tetap berupaya tampil maksimal. Namun pada perkembangannya kemudian berubah menjadi bersifat kompetitif. Peserta yang tampil mulai dinilai kualitas penampilannya oleh
para juri yang dipilih oleh panitia untuk kemudian dinobatkan sebagai peserta terbaik yang berhak mendapatkan hadiah tertentu. Dari sudut pandang penyelenggaraannya, tahun ini para penyelenggara Festival Teater Jakarta tingkat wilayah, Festival Teater SLTA dan Festival Monolog di Ruang Publik menunjukan naik turunnya kualitas baik secara penyelenggaraan maupun kuantitas
Bagaimana dengan kualitas peserta Festival Teater SLTA ? Manahan Hutauruk selaku steering commite mengatakan “Capaian kualitas pertunjukan teater pada Festival Teater SLTA dapat dilihat dari keberanian mereka untuk ikut juga dalam FTJ. Bukti capaian itu ada pada grup FTJ yang berasal dari Festival Teater SLTA, seperti Studi Teater 24 (Eks Teater SLTA), Teater
dan kualitas dari peserta. Jose Rizal Manua dalam pandangannya sebagai anggota DKJ melihat kualitas peserta menurun disebabkan banyak peserta yang tidak melakukan apresiasi untuk meningkatkan kualitas pertunjukannya, memelajari hal-hal yang berkaitan dengan segala kualitas festival. Lebih lanjut Jose Rizal juga mengatakan “grup-grup sekarang tidak mengapresiasi grup-grup senior yang sudah ada. Kegigihan dan semangat belajar grup-grup teater dahulu sangat tinggi, sekarang rendah. Ada pergeseran zaman, fastfood, dan keseniaannya pun fastfood, instan, ingin cepat pentas, ingin cepat bisa” katanya dengan nada serius. Secara kualitas dalam penyelenggaraan FTJ tingkat wilayah Jakarta pusat, R. Mono Adhi Kurniawan Wangsa (ketua Atap) memaparkan “Kalau misalkan, ada satu ruang di mana para pekerja itu bisa mengasah kemampuannya, saya pikir fluktuaktifnya kualitas ini bisa berubah menjadi skala kemajuan yang pesat. Karena hampir di setiap tahun, ada saja satu-dua grup yang menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Pencapaian-pencapaian artistik yang luar biasa walaupun persoalan-persoalan elementer klasik yang lain masih juga membayangi. Kalau ini dicermati dan ditindaklanjuti pekerja teater itu, aku pikir kehidupan teater di Jakarta akan luar biasa”. Pada kesempatan lain ketika diwawancari oleh dramakala, perwakilan Ikatamur (Adhi, Choki dan Zubier) mengungkapkan bahwa fakta yang terjadi pada perkembangan Festival Teater Jakarta di Jakarta Timur adalah kecenderungan bertambahnya peserta pada tiap tahunnya, walaupun perkembangan secara kuantitas ini tidak selalu dibarengi oleh penambahan kualitas para peserta festival.
Rajut dari Jakarta Utara, Teater Enhakam dlsb. Jadi dapat disimpulkan : dimulai dari teater SLTA, lalu mereka merubah pola disiplin berteater seperti teater umum, maka mereka bisa bicara banyak secara kualitatif dalam khasanah pertunjukan teater di Jakarta. Melihat dari sudut pandang itu Bambang Prihadi (Direktur Ekskutif Federasi Teater Indonesia) memaparkan dalam bincang singkatnya dengan dramakala bahwa sebagai sebuah forum untuk menggairahkan semangat berteater, format pembinaan seperti kompetisi itu sahsah saja namun untuk kekayaan khasanah perteateran perlu dibuatnya forum-forum dengan formula dan format yang berbeda, seperti yang dilakukan oleh Federasi TeatChoki er Indonesia dalam program Festival Monolog di Ruang Pub-
lik dan Invitasi Teater (2009). Pada Festival Monolog di Ruang Publik formatnya berbeda di mana diterapkannya demokrasi pembacaan, di mana para peserta pada akhir penyel a n g g a r a a n Bambang Prihadi setiap harinya melakukan evaluasi atau pembacaan konsep penampil hari itu yang difasilitasi oleh juri, kemudian pada akhir penyelenggaraan para peserta memberikan nominasi nama kepada para juri untuk memilih pemenangnya, walau pada pelaksanaannya peserta belum siap untuk melakukan penilaian itu. “idealnya penilaian festival monolog ruang publik dengan terealisasinya demokrasi pembacaan itu, walau dalam penyelenggaraannya belum terlaksana” papar Bambang Prihadi.
Kendala dan permasalahan teater kita Dalam setiap penyelenggaraan sebuah acara memang tidak bisa dipungkiri pasti saja ada kendala dan masalah yang membuat pasang surutnya kualitas maupun kuantitas peserta dalam pelaksanaan acara tersebut. Dalam wawancara singkat dengan dramakala, Madin Tyasawan, anggota komite teater DKJ mengatakan “Kendala yang dihadapi adalah kendala klasik, soal finansial, keuangan, soal dana yang menjadi kendala utama. Kita butuh dana yang cukup besar untuk menyelenggarakan sebuah festival teater setingkat FTJ”. Hal yang sama diungkapkan juga oleh Rizal Nasti selaku ketua Indraja “Yang menjadi kendala setiap tahunnya adalah masalah pendanaan, uang”. Tidak jauh berbeda kendala utama dalam penyelengaraan FTJ wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara adalah masalah pendanaan. Menurut Choki, yang menjadi ketua pelaksana FTJ tingkat wilayah Jakarta Timur kendalanya seputar urusan birokrasi. “Komunitas belum sanggup membuat festival secara mandiri karena terbentur masalah dana. Kita harus mengikuti sistem
Madin Tyasawan
Foto : Teater Anam (FTJU)
3
4
edisi IV/Agustus 2011
BERITA UTAMA dramakala
yang ada di birokrasi pemerintah”. Sedang menurut M. Yusro “penyelenggara FTJ wilayah seperti sudin kebudayaan jakarta utara bertindak semaunya, karena tidak ada pedoman yang menjadi acuan. Sudin tidak tahu menahu tentang Pedoman baru FTJ. Pedoman itu berisi komunitas teater wilayah adalah pelaksana kegiatan dalam standar kompetensi”. Demikian Yusro menjelaskan kegalauannya. Sedangkan menurut R. Mono Wangsa permasalahan yang dihadapi salah satunya adalah semangat teman-teman yang turun ketika program DKJ ‘Membaca Aku, Membaca Laku’ dengan tematiknya ‘Merebut Kembali Apa yang Kita Punya’ itu tidak terealisasikan”. Satu pendapat yang harus lebih dicermati barangkali bersebab alasan yang unik dan tidak membiasa : satu masalah terjadi karena ada masalah lain yang menyebabkannya secara tak langsung. Berbeda dengan wilayahwilayah lainnya, dengan sistem tender masalah pendanaan sudah tidak menjadi persoalan di FTJ Jakarta selatan, namun menurut Manahan Hutauruk proses mekanisme tender lebih kompleks, yaitu menyiapkan proposal pengajuan, presentasi, sampai mencari kompetitor, karena keabsahan sistem ten-
der harus diikuti lebih dari satu perusahaan. Manahan juga mengatakan bahwa hal penganggaran dari pemda selain sistem tender adalah swakelola. Anggarannya lebih kecil, tapi penanganannya lebih mudah. Tidak sekompleks R. Mono Wangsa sistem tender. Penganggaran swakelola tidak memungkinkan bisa menanggulangi keadaan kalau gedung memiliki lampu dan sound system yang minimal. Melihat kendala dan segala permasalahannya, pelaku teater yang merasakan dianak-tirikan, seperti menaruh harapan yang besar pada pemerintah walaupun pada dasarnya segala elemen, baik seniman, pemerintah, masyarakat penonton maupun stakeholder lainnya harusnya melihat ini sebagai permasalahan bersama agar bisa mencari jalan keluarnya. Pemerintah DKI Jakarta dalam hal ini memang telah ikut membantu pendanaan di semua festival yang disebutkan di atas, walau dengan jumlah yang terbatas. Sedangkan posisi penonton lebih merdeka dan tentu
saja tidak dapat juga kita salahkan bila masih melihat dan menilainya dengan pandangan yang kurang apresiatif, mungkin para seniman memang harus memulai dengan tidak berlaku secara ekslusif, dan mulai mencoba menghampiri penontonnya lebih dekat seperti pada penyelenggaraan Festival Monolog di Ruang Publik, atau menurut Madin Tyasawan di jaman yang serba bisnis ini “Seharusnya orang-orang teater dapat bekerjasama dengan orang-orang marketing atau sejenis Event Organizer yang dapat membantu mempromosikan pertunjukkannya, dan yang tidak kalah penting adalah packaging sebuah pertunjukkan”. Kedepan, semoga kita dapat menemui ruang
silahturahmi teater, apapun itu namanya baik festival, parade, forum, panggung, temu atau lomba, yang menyediakan kehangatan, kegembiraan dan juga kualitas penampilan yang woke banget, ini harapan, bukan mustahil bukan ? (AOS/DED/DEN/ IS)***
M. Yusro
Manahan Hutahuruk
KHASANAH
dramakala
Sejumlah Festival, Lomba, Parade dan sejumlah beban untuk masa depan
Oleh :
Halim HD. Networker Kebudayaan
Mungkin teater, bagi sementara orang dianggap sejenis ‘kegilaan’ tersendiri : suatu kerja yang tanpa memperhitungkan sejauh manakah dampak kepada lingkungan, dan tak jarang seperti menepuk angin di tengah badai kehidupan kebudayaan yang serba konsumtif. Dan orang-orang teater terus mencanangkan apa yang ada di dalam pikirannya : kerja, kerja, dan berkarya. Dalam rentang waktu setahun terakhir ini, orang teater mungkin boleh berbangga dengan berbagai acara teater yang ter/di-selenggarakan untuk meneguhkan dirinya di dalam kehidupan kesenian. Dan sebagian orang mungkin akan geleng-geleng kepala, bagaimana suatu jenis kesenian (baca: teater) yang boleh dikatakan tak pernah bisa memenuhi – dari segi manajerial – pengembalian biaya produksi namun tetap selalu muncul di tengah-tengah masyarakat. Mungkin teater, bagi sementara orang dianggap sejenis ‘kegilaan’ tersendiri : suatu kerja yang tanpa memperhitungkan sejauh manakah dampak kepada lingkungan, dan tak jarang seperti menepuk angin di tengah badai kehidupan kebudayaan yang serba konsumtif. Dan orang-orang teater terus mencanangkan apa yang ada di dalam pikirannya : kerja, kerja, dan berkarya. Dalam konteks berkarya dan kerja teater itulah kita menemukan enerji yang meluap yang tak pernah putus sepanjang tahun. Di Makassar dengan lomba monolog yang dalam setahun terakhir ini dua kali diselenggarakan. Di Denpasar, dua-tiga kali peristiwa yang sama digelar, dan sementara itu di Semarang dan Yogyakarta mengiringinya, dan masih ditambah oleh forum teater. Sementara di Solo acara teater terus berlangsung setiap bulan, dengan dua-tiga kali pementasan, dan masih ditambah oleh Parade
Teater Kampus Kesenian. Kota-kota lain seperti Mojokerto, Jombang, Tasikmalaya. Dan dari seberang pulau seperti Mataram-NTB, Padang Panjang. Sayup-sayup kita dengar juga dari Palu, Kendari, Mandar-Sulbar, Samarinda, Tenggarong. Dan tentu saja Bandung dan Lampung terus mengobarkan api kehidupan teater melalui pencarian pengucapan dan pencarian tehnik, sebagai upaya untuk merentang sejarah teater dari dan dengan kapasitas yang dimilikinya : teater tak cukup hanya dengan sejumlah angka produksi yang akan masuk ke dalam deret hitung biodata dalam sebuah file. Di balik itu, ada proses panjang yang memeras keringat dan enerji, yang tak jarang membuat sebuah grup bubar jalan. Dengan kata lain, apa yang ingin saya tegaskan di sini, begitu banyak grup teater khususnya di lingkungan kampus dan bahkan di luar kampus sekalipun yang hanya memajang angka produksi, dan tanpa memberikan sejenis penemuan tehnik atau gagasan panggung yang menggoda dan menggetarkan sanubari. Dalam konteks itulah berbagai acara teater yang saya sebutkan di atas, tanpa berpretensi saya menyaksikan semuanya, dan dengan berusaha untuk mempertimbangkan diskusi dan informasi dari berbagai kalangan yang secara intensif ikut menyaksikannya, ada benang merah yang mencemaskan di dalam begitu banyaknya
acara yang diselenggarakan : teater menjadi sejenis untuk menyatakan diri tanpa memahami ‘siapakah diri’ itu, dan bagaimana diri menjadi diri di dalam panggung. Maka tak jarang kita saksikan sebuah monolog begitu encer, enteng dan bahkan banal. Pada sisi lainnya, teater nampaknya hanya dipahami hanya dengan sekedar ‘hafal teks’ dari sebuah lakon. Tak ada pencarian ruang kehadiran melalui tim kerja panggung yang melacak, adakah suatu teks yang diciptakan pada seabad yang lampau memiliki konteks, dan bagaimana konteks diciptakan bukan hanya oleh isu dan masalah tapi juga ruang peristiwa. Maka, misalnya untuk mengambil contoh, ‘Pesta Pencuri’ karya Jean Anoulih saduran Rahman Sabur yang digarap mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada Parade Teater Mahasiswa Kampus Seni, 6 Juli 2001 di kampus Institut Seni Indonesia (ISI Surakarta), menjadi begitu ironis dan tragis. Pementasan ini sungguh kocar kacir, dan cenderung ingin menjadi badut, yang nampaknya mereka dapatkan dari rekan-rekan sesama mahasiswa yang mungkin butuh hiburan dan ngakak tanpa membayar tiket! Adakah cuma dan hanya itu? Tak juga. Sebagian besar dari pementasan Parade Teater yang menabalkan kampus seni itu menjadi ajang kangen-kangenan. Well, mungkin kita perlu membuka ruang dada dan pikiran kita, dan memberikan permaklu-
man. Tapi, jenis permakluman apakah yang mesti kita sediakan, jika kita mencintai teater dan kampus seni ingin disebut sebagai induk dari tetasan kaum pekerja seni dan pencipta peristiwa di atas panggung? Atau kita mengikisnya demi kriteria agar ada sesuatu yang bisa kita pegang sebagai penggaris untuk menentukan bahwa sesuatu memang bermakna, dan lainnya memiliki makna namun masih membutuhkan jenis kerja lain. Untuk itu, saya kira, jika saja kaum pekerja dan pencinta teater mau belajar dari sejarah dan biografi – dan juga dokumentasi yang begitu banyak – yang sesungguhnya, rasanya kini masih bisa kita kenal dan kita lacak, sangat mungkin jalannya roda kehidupan teater akan bisa berubah dan perubahannya ke arah yang menggembirakan. Dan kegembiraan itu, bukan lantaran begitu banyak pementasan dan acara yang sering dengan semangat menggebugebu di antara keluh kesah kekurangan ini dan itu. Tapi juga dibarengi oleh disiplin kerja melalui disiplin berpikir dan komitmen yang mendorong terciptanya etos kerja berkesinambungan. Sebab, panggung yang kini terserak di mana-mana membutuhkan benar isi yang bermutu, agar ada rasa hormat dari publik pembayar pajak. ***
edisi IV/Agustus 2011
SESUDAH PERTUNJUKAN
dramakala
“Cermin Bercermin” Lab Teater Ciputat Cermin yang retak masyarakat kaum perkotaan Ada sususan pecahan cermin berbentuk kubus persegi panjang setinggi tubuh orang dewasa, ada pecahan cermincermin berbentuk empat tubuh orang tak berkaki saling membelakangi, bagai diwajib-
Fotografer : Aditya Ranggga/Ade Bajul
kan bercermin. Begitu kesan pertama ketika penonton hendak memasuki aula IAIN Syekh Nurjati Cirebon tempat berlangsungnya pertunjukan Lab Teater Ciputat (Syahid) dengan lakon “Cermin Bercermin”. Ide karya Abdulah Wong & Bambang Prihadi. Sutradara Bambang Prihadi. Di atas panggung tampak dipenuhi dengan susunan potongan cermin yang membentuk partisi-partisi, tepat di ujung belakang tengah panggung ada potongan cermin yang berbentuk tubuh orang, imajinasi penonton digiring oleh tata artistik yang dibuat oleh Riky ‘oet’Rahman. Kita seperti memasuki rumah kaca. Pilihan panggung prosenium pada pertunjukan Lab Teater Ciputat kali ini terasa cukup berjarak dengan penonton, dibandingkan dengan pertunjukan lab teater ciptutat sebelumnya dengan lakon
“Kubangan” yang mengusung panggung berbentuk catwalk. Menurut sang sutradara idealnya pertunjukan ini menggunakan konsep arena di mana penonton dan pemain dikurung oleh partisi-partisi cermin itu, namun karena besarnya ruang dan kurangnya propertI cermin, tata artistik melakukan penawaranpenawaran bentuk. “Pertunjukan selanjutnya di Bentara Budaya Jakarta oktober mendatang, akan kita buat tata artistik seideal mungkin”. Tutur Bambang Prihadi. Pertunjukan dihantar dengan lantunan musik tarling (musik khas pesisir pantura), ada orang-orang masuk panggung dengan membawa barang-barang baru lalu dibuang ke tengah panggung, lalu keluar mengambil lagi barang lain, lalu dibuang kembali ke tengah pangung, begitu terus menerus hingga membentuk bukit, seperti tidak mau ketinggalan dengan zamannya. Lalu semua orang sibuk dengan rutinitasnya sehari-hari dengan bekerja, clubbing, berpesta. Di sela-sela kesibukan itu para pemain masuk keruang penonton, mereka berinteraksi dengan penonton dengan sok akrab, “siapa yang dapat arisannya, minggu depan ngumpulnya di rumah eke ye, nanti eke masak nasi lengkong deh”. Ketika kembali ke panggung para pemain dikejutkan dengan tempat rutinitas mereka yang punah, mereka berteriak tidak rela, mereka merasa kehilanggan, mereka kalah, namun mereka tidak mau mengakuinya, mereka menutup-nutupi kekalahan itu dengan cara apa pun.
Inilah refleksi masyarakat urban kita, sebagaimana tema yang diusung Lab Teater Ciputat sebelumnya. Sepertinya dalam setiap karya mereka mencoba terus menggali kedalaman tradisinya yang urban di mana Lab Teater Ciputat tumbuh sebagai sebuah komunitas yang lahir dalam wilayah yang sangat urban. “Kolaborasi antar tradisi masing-masing kreator merupakan tantangan yang tidak dapat dipungkiri”, tutur Bambang Prihadi. Ada orang yang sibuk bersepeda, senam kebugaran. Zulfi Ramdani dalam suatu adegan dengan kostum yang cukup seksi & stylis mencoba berinteraksi dengan gayanya yang sok British, mengaku-aku dirinya mirip Justin Bieber sambil menunjuknunjuk kearah para penonton berkata “Hai, loe, elo,loe n loe yang di sana…jangan lupa yeh follow my twiter”. Aksi akrobatik yang ditutup dengan adegan keputusan memunculkan teks-teks dari para aktor (Zulfi, Olive dan Washadi), dengan dialog “Diam tapi bergerak, bergerak tetapi diam”, memberi kesan spiritual yang cukup dalam bagi penonton. Di akhir pertunjukan kembali terlihat bentuk rutinitas orang urban yang sama dengan adegan awal. Suasana yang dibangun oleh pencahayaan yang berkedap-kedip, bunyi-bunyian yang ramai (digarap oleh Sadewo), namun diimbangi dengan gerakan aktor yang melambat dan ekspresi-ekspresi yang lebih ceria, memberikan suasana kedamaian di antara kebisingan kehidupan masyarakat urban di perkotaan. Lab Teater Ciputat cukup berhasil menggambarkan keadaan masyarakat kita sekarang yang menjalani hidup yang tak hidup, hidup yang artificial. Kemajuan teknologi membuat masyarakat kita terjebak dalam hidup dengan rutinitas, bekerja untuk hidupnya sendiri, merasa tetap harus
eksis melalui jejaring sosial seperti facebook dan twiter, mengikuti trend zamannya dengan hadir dalam komunitas-komunitas, membuat arisan, komunitas sepeda, berpesta. Melihati kehidupan berbangsa dan bernegara, pertunjukan” Cermin Bercermin” cukup menjadi cermin bagaimana kotornya situasi politik kita, tercorengnya kehidupan beragama, dan betapa susahnya menjadi subyek. Kurang lebih 6 tahun pendiriannya Lab Teater Ciputat yang dimotori oleh Bambang Prihadi selaku direktur serta sutradara, dalam hal capaian artistiknya memang menghasilkan hasil yang signifikan. “Pasang surutnya pemain, tim artistik dan tim menejeman adalah tantangan bagi Lab Teater Ciputat” tutur Bambang Prihadi. Namun pilihan bentuk laboratorium dalam proses ekperimentasi yang panjang melalui diskusi, program parade monolog para aktor yang mereka buat dan kesiapan dalam penciptaan sebuah karya bisa menjadi barometer bagi khasanah peteateran di Jakarta, maupun di indonesia pada umumnya. *** (AOS)
Fotografer : Aditya Ranggga/Ade Bajul
DI LUAR PANGGUNG
dramakala
Teks Dramatik Gegerungan-Gegirangan Menambah Perbendaharaan Artefak Teater
“Membicarakan teks naskah teater Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang
“Harris Priadie Bah dan Kelompok Teater Kami membuat tesis-antitesis, lalu mem-
Teater Jakarta Pusat di Gedung Kesenian Miss Tjitjih pada 23 Juli 2011 mengatakan, bahwa,
stensilan saja misalnya kalau tidak ada penerbit yang mau. Sementara bagi R.Mono Wang-
Menafsirkan-Gegerungan Gegirangan karya Harris Priadie Bah yang diterbitkan Komodo
buat sintesa atas jelajah teks panggung teaternya. Setidaknya, mereka mencoba mendobrak
melalui buku teks dramatik Gegerungan-Gegirangan, Harris Priadie Bah berhasil menegaskan
sa, penghadir lain pada kesempatan itu juga mengatakan bahwa buku Harris ini merupakan
Books, 2011, tak bisa dilepaskan dengan latar belakang penulisnya sebagai sutradara sekaligus
tatanan atas teks penokohan sekaligus perwatakan yang mapan. Tokoh tak lagi berfokus
pengertian tentang artefak. Kalau modelnya adalah perasaan, maka, buku ini menawarkan
amal yang berguna bagi publik teater dan dia berharap ada naskah drama kelanjutannya
aktor teaternya, yaitu Kelompok Teater Kami, teater yang bersandar pada konsep dan wa-
pada karakter individual yang wajib diselami sebagaimana teks sastra atau pun teks naskah
gagasan tentang perasaan itu sendiri. Diyanto berbicara pada kesempatan itu dalam kapa-
yang dapat lebih membuka “rahasia” dari dua naskah drama yang sedang didiskusikan terse-
cana”, ujar Sihar Ramses Simatupang, penyair, wartawan sekaligus pengamat teater selaku
drama. Tokoh menjadi “Ungkapan Bersama” terhadap sebuah kondisi yang sama-sama dira-
sitasnya sebagai pembahas dari buku naskah drama HPBah tersebut. Dan N. Riantiarno
but.
pembahas dalam acara Diskusi Buku Naskah Drama (teks dramatik, istilah sang penulis, HPBah) tersebut di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin-Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 15 Juli 2011, yang dihadiri oleh pekerja seni dalam berbagai disiplin seni. Acara ini merupakan kerjasama dengan kelompok diskusi budaya dan seni, Meja Budaya. Dalam kerangka teater modern, sebuah teks di atas kertas atau pun dalam pemanggungan, berliput semangat eksplorasi teknis maupun tematis. Seperti semangat realisme di Rusia atau kebangkitan teater buruh di Amerika adalah siasat eksplorasi tema yang merupakan representasi dari ledakan komunal dan sosial dari peradaban dan habitatnya masing-masing.
sakan para aktornya. Tokoh yang tak setia pada narasi dan bangunan tokoh yang utuh. Yang lebih penting adalah persoalan kemanusiaan dalam diri aktornya. Seting waktu tidak dihadirkan dalam bentuk siang atau malam begitu saja, dalam bentuk jam atau lonceng weker saja. Melainkan dibiarkan melompat kesanakemari. Memancing pembacanya untuk merajut, menyulam dan mengira-ngira bagian mana awalan, akhiran, mana yang starting dan mana yang ending”. Demikian ujar Sihar menandaskan pengamatannya. Diyanto, salah satu dewan juri Festival Teater Jakarta Pusat 2011 yang berangkat dari disiplin akademis ilmu seni rupa, pada agenda diskusi buku ini, yang diselenggarakan Asosiasi
menuliskan dalam tanggapannya, yang diterakan pada sampul penutup buku, bahwa : “ ... Diperlukan kerja extra keras agar yang personal itu menjadi milik orang lain pula. ... Teater baru terasa kehadirannya, ketika ada orang lain yang kemudian merasa, bahwa permasalahan yang diungkap di pentas bukan permasalahan yang asing, melainkan milik mereka juga ... “. Bagi Laksmi Notokusumo - penari, penulis dan sutradara teater - yang hadir pada acara diskusi buku di gedung Miss Tjitjih tersebut, mengatakan bahwa buku naskah drama Harris ini dirasakannya memberikan dorongan dan inspirasi untuk juga mulai memikirkan penerbitan dari naskah-naskah dramanya yang cukup banyak, pun seandainya dalam bentuk
ini adalah merupakan agenda road show sang penulis kebeberapa tempat, sebelumnya tanggal 23 Juni di Bulungan dengan pembahas Andi Bersama, seorang aktor yang juga penulis, dan 28 Juni di Gelanggang Remaja Jakarta Barat yang menghadirkan Pedje, seorang pembahas lulusan Fakultas Sastra UI yang juga mulai merambah kerja penyutradaraan dengan kelompok teaternya yang bernama Teater Pohon. Selain bahasan buku, acara diskusi buku ini juga diperlengkapi dengan pembacaan dramatik dari salah satu adegan yang ada dalam naskah drama tersebut, juga pelantunan nyanyian pemanggungannya serta penayangan fragmentasi adegan pemanggungan. (Ded)***
Perlu diketahui acara Diskusi Buku
5
6
edisi IV/Agustus 2011
PUSTAKA dramakala
MENJADI AKTOR
Penerbit Studiklub Teater Bandung bekerjasama dengan Taman Budaya Jawa Barat, & PT Rekamedia Multiprakarsa Oktober 1998, 255hlm
Pengantar Kepada Seni Peran Untuk Pentas & Sinema Oleh : Suyatna Anirun
Zaman berubah dan perubahannya itu sekaligus membawa kebaikan dan keburukan. Kebaikan sebagai isi kemajuan harus dilestarikan dan dijadikan modal untuk perkembangan selanjutnya, sementara keburukan perlu diwaspadai dan dihindarkan, ucap Saini K.M. pada pembukaan buku Menjadi Aktor ini. Fenomena “instant generation” – meminjam istilah Saini, memang sudah ada sejak tahun 90-an, di mana piring yang terbuat dari styro-foam, atau plastik isi ballpen dibuat sekali pakai. Berbagai keperluan dapat dengan sangat mudah terpenuhi, dahulu orang harus menulis surat untuk berhubungan dengan kawan atau saudara yang berada di luar negeri, sekarang hanya tinggal mengangkat telepon dan kita dapat berkomunikasi langsung bahkan bertatap muka. Seperti didukung oleh media pandang-dengar, mereka juga membuat semacam wadah yang bersimbiosis mutualism. Para pembuat program ajang pencarian bakat televisi berlomba menampilkan orang-orang yang ingin “tenar” cepat dengan bakat yang mereka miliki, yang kemudian diramu menjadi sebuah tontonan yang menarik dan menghasilkan rating tv yang bersaing. Orang-orang yang ingin “tenar” cepat terkadang lupa bahwa mereka adalah seorang performer, yang bisa saja menjadi aktor apabila memahami proses. Suyatna Anirun mengantarkan pemahaman dan tahapan-tahapan kepada seni peran. Dalam bukunya ia juga tidak hanya berbicara seputar keaktoran, tapi sesekali menyentuh ruang artistik dan wilayah penyutradaraan yang juga terkoneksi pada seni peran. Konsep, latihan, pengertian-pengertian, bentuk, tahapan-tahapan, simulasi naskah, berkaitan dengan persiapan diri kita sebagai aktor dalam seni peran. Semuanya menghadapkan calon aktor kepada kesabaran menikmati perjalanan proses. Penting dimiliki bagi yang baru mengenal teater.(IS)
STANISLAVSKY, BRECHT, GROTOWSKI, BROOK Sistem Pelatihan Lakon Oleh : Shomit Mitter
Penerbit : Arti kerjasama dengan MSPI November 2002, 191 hal
Konsep, metode, sejarah, perjalanan tokoh teater, perkembangan zaman yang memengaruhi lingkungannya, adalah penggambaran isi dari buku sistem pelatihan lakon milik Mitter. Konsep-konsep dan metode pelatihan lakon dari tokoh teater yang dirangkum oleh orang kedua ini sekaligus membuat kita sebagai pembaca dapat melihat perbedaan serta karakter yang diterapkan oleh Stanislavsky, Brecht, Grotowski dan Brook. Melalui sejarahnya juga dapat diketahui bahwa Stanislavsky menitik-beratkan pada masalah tubuh dan pikiran aktor, body and mind, untuk mewadahi psikologis aktor dan karater naskah. Lalu Bertolt Brecht dengan teknik alienasinya, yang menekankan pada kondisi jarak penonton dan panggung. Jerzy Grotowski yang menyebut sistem pelatihan lakonnya dengan sistem via negativa di mana menurutnya mampu memerkaya transformasi fisik dan batin aktor. Dan Peter Brook yang membagi perkembangan dunia teater menjadi 4 janis, yaitu: The Deadly Theatre (Teater Mati), The Holy Theatre (Teater Keramat), The Rough Theatre (Teater Wadag), dan The Immediate Theatre (Teater Terlibat). Semacam fragmen itu dapat diulas lebih lengkap pada buku karya Mitter ini yang dihasilkan dari risetnya di Cambridge University dan workshop dengan Peter Brook, Richard Schecner, dan suku Dhurva di India Tengah. Ia juga mengajar drama selama setahun di University of Nottingham dan saat ini bekerja sebagai penulis lepas di London. (IS)
KAMUS
KABAR
Seseorang ya dramakala ng memiliki ara dengan cara pernafas baik, tetapi an yang buru seseorang ya akan sangg k, tak mung ng dapat m up pula me kin dapat be engatur dan ngatur gera fasan untuk rsumenguasai k dan mengu berbicara ad pernafasann asai suaranya alah: ya, . A d apun sirkula Tarik naf si pernaerusnya. as – langsung berbicar a – istirahat – tarik nafas – berbicara – istirahat, d Ada 3 macam an setpernafasan, yaitu: 1. Pernafas an dada
kala
drama
h (Tarjui)din u p e S ji 1. Parna : Yudi Ahmad Tao
naputri, Ina Viva ari w a o i, d t b a r r a a t r h u P S Su d st ny ser : To an Mohamma Dorotha Quin Avianti, Sri Le Kompo i, w ry t a u n n R e ia i, o n u G in r : Y Naskah loysia Neneng Retno Sulistyo ti, :A n i r a t a s n ia e P rn 1 s Pujiku tus 201 Ningtya tu, 12-13 Agus b a Jumat-S .00 WIB 20 : l u k u P s) Salihara terbata Teater 00.000 tempat ( 0 0 .0 1 0 or HTM Rp a/Pelajar Rp 5 g Kond n w is u s r a u h a B M
Ciri-cirinya ad alah, rongg a dada berk menarik naf embang (m as. Perhatik embusung) an dengan dengan jela pada waktu seksama di s bahwa ron kita depan cerm gga dada, b negang, dan in ah ! Akan nam u dan tengg alat suara ya pak orokan dalam ng terletak yang lain pu dalam tengg keadaaan m n menjadi ka e orokan dan ku p lontarkan ak alat penguca an terdengar ula. Karena ketegangan pan tadi, maka su tegang dan kaku pula (t ara yang kita 2. Pernafas ak dapat nya an perut ring).
an todonct d s a M . 2 je ida Pro
ra raida Ken Zu : Ken Zu a r a d a r Sut endra us 2011 : WS. R h a k s 5 Agust a -1 N 1 1 , u g ing Sabtu-M .00 WIB 0 2 : l u Puk aya TIM kti Bud a n h B a h Gra ombera
ga di C 3. BuSankata
in Ber t 4. Ceatrem r Ciputa
,
ugroho
Heri N i Setiani, etiawat Teater a S is a L y , T a : rn ra eike Vie Sutrada di Suisno E alibia, M : S h a a n k li s u Na Ma lain. : Ribka Pemain jumlah pemain 2011 r se Oktobe Ira dan mat, 6-7 u -J is m Ka IB 20.00 W Pukul : IM T Kecil Teater cermin
rihadi adi bang P ng Prih m a a Lab Te b B n m a a ra : B ong d Sutrada h : Abdulah W r 2011 a be k o s t a k Ide n -29 O mis, 28 a -K u b Ra IB 20.00 W Pukul : Jakarta a y a ) Bud erdana Bentara araan P d o a r e t u n y igo Pen uran & 5. AnKtoma no (Sad r ia t n r ia Teate gga R ra : Ran Sutrada vald Flisar 11 :E ober 20 -16 Okt Naskah 7 , u g g in Jumat-M .00 WIB 0 2 : ta l u k Pu n Jakar Kesenia g n u d Ge
Cirinya peru t yang berk embang pad akan menim a waktu kita bulkan keka menghirup kuan di seki nafas. Cara ta r tenggoroka ini tak 3. Pernafas n dan bahu. an diaphrag ma Pernafasan ini adalah ca ra paling efe rut. Terletak ktif d di antara ron gga dada dan ibandingkan pernafasan letakkan ke dua tangan rongga peru dada dan pe pada ujung t. Untuk mu terasa berke kanan dan ki dahnya, cob mbang apab ri rusuk. Bag alah ila kita men ian inilah ya arik nafas. C ng akan ara kerjanya Pada waktu sebagai beri menghirup kut: n afas, pusat dan ke bawah diaphragma . Gerakan te ak an rs rusuk berke ebut akan m bergerak ke mbang dan engakibatka arah depan mendorong n bagian baw cara ini ron ru ah dari tulan gga paru-par suk bagian g atas ke arah u akan penu kan nafas, p depan. Den h terisi udar usat diaphra gan a. Pada wak gma akan ke tambahan ke tu menghem mbali pada p kuatan dalam busosisi semula mengeluarka dan membe n Resonansi ad atau mengh ri kan embuskan n alah ikut berg afas. etarnya udar hasilkan reso a dalam suat nansi disebu u rongga. Ro t resonator. lontarkan d ngga yang d Karena reso engan nyari apat mengnator itulah ng. Mutu dan tuk rongga maka suara warna suara resonator. M ki ta d itentukan o dapat dianusia mem Rongga hid leh materi su punyai rong ung termas ara dan ben ga resonato uk rongga ke r ya pala, dan 3. Ronggga dad 1 itu: 1. Rongga Mulut, 2. a.
1 Suyatna Aniru n, Studiklub Te ater Bandung 1998, Menjadi Aktor. Peng an bekerjasama karsa dengan Taman tar Kepada Seni Peran U ntuk Pentas da Budaya Jawa n Sinema. Barat, dan PT . Rekamedia Multipra-
edisi IV/Agustus 2011
SEJARAH
dramakala
Festival Teater Jakarta Festival Teater Jakarta (FTJ) dapat dikategorikan sebagai festival teater tertua di dunia, karena telah berlangsung selama 39 tahun mulai dari tahun 1973 dan masih bertahan sampai hari ini. Di awal perjalanannya, ratusan grup ikut berlomba. FTJ sebelumnya bernama Festival Teater Remaja, diprakarsai oleh Wahyu Sihombing, didukung oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Guberfnur Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Festival Teater Jakarta dimaksudkan sebagai pencarian kelompok-kelompok teater yang dianggap layak mengisi acara kesenian di Taman Ismail Marzuki. Khususnya pada kelompok yang memengakan tiga kali berturut-turut dalam tiga tahun penyelengaraan Festival Teater Jakarta yang kemudian dinobatkan sebagai kelompok senior. kelompok senior inilah yang mendapatkan rekomendasi dan bantuan dana produksi dari Dewan Kesenian Jakarta untuk mengisi acara tahunan di Taman Ismail Marzuki, disamping harapan besarnya kelompok senior ini kelak menjadi kelompok profesional yang solid. Pada perjalanannya Festival Teater Jakarta mengalami pasang-surut, baik secara kuantitas maupun kualitas, untuk melanjutkan cita-cita besar Festival teater jakarta, perrubahan aturan main atau pedoman selalu dilakukan mengikuti perkembangan zaman. pada 2006, Pedoman festival teater jakarta dituliskan kembali dan dibenahi visi dan misinya. pada saat itu juga penyelenggaran festival teater jakarta di kembalikan ke Taman Ismail Marzuki setelah beberpa tahun dilakukan di gelanggang remaja wilayah, dikarenakan renovasi gedung-gedung pertunjukan di Taman ismail marzuki. Peserta FTJ adalah kelompok-kelompok teater dari 5 wilayah kota Provinsi DKI Jakarta. Ajang kompetisi para teaterawan Jakarta ini, sejak berdirinya hingga kini telah melahirkan 23 kelompok teater senior, yaitu (berdasarkan urutan abjad): 1.
Art Study Club
2.
Bandar Teater Jakarta
3.
Road Teater
4.
Teater Aquilla
5.
Teater Aristokrat
6.
Teater Bersama
7.
Teater Gelanggang Remaja Jakarta Timur
8.
Teater Gelut
9.
Teater Getapri
10. Teater Kail
13. Teater Luka 14. Teater Remaja Jakarta 15. Teater SAE 16. Teater Sendiri 17. Teater Siluet 18. Teater SIM 19. Teater Stasiun 20. Teater Syahid 21. Teater Teladan
11. Teater Kanvas
Pertunjukan : Bandar Teater Jakarta
12. Teater Kubur
Pertunjukan : Teater SAE
Pertunjukan : Teater Kubur
Pertunjukan : Teater Kail
SEBERKAS PENDAPAT
dramakala
FTJ Dulu dan Sekarang Zaenal Abidin Domba, aktor Teater Sae (grup peserta FTJ yang telah “senior”) FTJ dibenahi lagi… Sistem pembinaannya lebih diperjelas lagi. Sekarang sudah tidak ada pembinaan lagi. Juri harusnya bertanggung jawab juga terhadap grup yang dipilih. Harusnya juri mau juga untuk datang ke dapur latihan mereka. Harusnya bertanggung jawab juga terhadap kendala-kendala yang terdapat di dalam grup tersebut. Harusnya mereka datang langsung, bukan hanya datang kalau diundang. Perlu ada pembinaan kepada grup pemenang agar pertunjukkan yang ditampilkan (di TIM) bisa tetap baik dan tidak tiba-tiba berubah orangnya. Bukan hanya terhadap grup / orangnya yang dipilih, tetapi juga sebagai sutradara & anggota. Perbandingan FTJ dulu & sekarang: kalau sekarang justru seperti tidak mau berbagi dengan yang muda. Orang-orang yang terlibat dalam FTJ dahulu lebih perhatian dibandingakan dengan yang sekarang. Dewan Kesenian Jakarta juga yang dulu lebih perhatian. Sekarang kurang memberi perhatian kepada yang muda. Untuk fantasi OK tetapi pengetahuan kurang. Zak Sorga, sutradara Teater Kanvas (grup peserta FTJ yang telah “senior”) Puncak dari semua pendidikan adalah pembentukan karakter manusia, dan kegiatan teater termasuk FTJ adalah sarana yang sangat bagus untuk itu. Tapi sayang jarang yang menyadarinya termasuk peserta dan penyelenggaranya, sehingga FTJ hanya jadi rutinitas tahunan. Sutarno SK, sutradara Teater Kali (grup peserta FTJ yang telah “senior”) Menurut saya FTJ mempunyai dampak positif guna membina generasi muda pada umumnya. Untuk pengembangan grup teater sendiri bermanfaat sebagai ruang belajar yang sangat dibutuhkan oleh kota sebesar DKI. Kalau harus memperbandingkan FTJ dulu dengan sekarang bisa panjang, supaya tidak salah. Ada beberapa aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, dan harus serius menghadapinya sebab ini sudah masalah psikologi sosial dan dari FTJ pula kita bersama Jakarta memiliki grup teater yang handal dengan senimannya yang bisa bicara di manca Negara dengan keseniannya. FTJ juga bisa kita harapkan untuk pembinaan remaja mengarah berpikir positif, kreatif, inovatif, dan produktif secara profesional dan tanggung jawab yang profesional terhadap apa saja yang dikerjakannya. Meskipun kelak mereka memilih profesi lain (tidak menjadi seniman).
Edian Munaedi, sutradara Teater Stasiun (grup peserta FTJ yang telah “senior”) Perbedaannya hanya pada pihak penyelenggara, dari pihak TIM, Gelanggang, lalu kembali ke TIM. Belum ada perbedaanya, yang berbeda hanya besaran anggaran (hadiah) saja yang naik. Tapi pembinaan kepada grup yang menjadi pemenang (senior) seperti tidak ada pemantauan lebih lanjut, misalnya kepada grup yang menjadi pemenang tahun lalu pada tahun berikutnya mereka tetap keok untuk urusan pendanaan produksi, lalu misalnya Dewan Kesenian Jakarta memberikan semacam workshop kepada grup pemenang di Jakarta untuk mengetahui bagaimana caranya mengadakan petunjukan dan bekerjasama dengan penyandang dana atau kantong-kantong budaya. Pernah diusulkan hal semacam ini tapi belum ada perkembangan yang signifikan. Pada akhirnya beberapa grup teater senior seperti hilang dan terlupakan begitu saja. Dindon WS, sutradara Teater Kubur (grup peserta FTJ yang telah “senior”) Festival teater dulu terasa lebih sacral, seperti takbiran. Kerjasamanya juga lebih terasa. Kemudian banyak juga menggunakan naskah-naskah besar. Dulu kalau tiga kali menang maka akan menjadi senior, ini yang kurang bagus. Sedangkan sekarang totalitasnya, spiritnya beda. Sekarang hanya untuk pentas saja. Karena memang zamannya juga yang beda. Tetapi sekarang siapa saja bisa ikut festival. Dan tidak identik bahwa yang menang akan menjadi pakar. Karena festival adalah proses, bukan tujuan akhir. Bebaskan saja, jangan membunuih karya. Festival adalah tempat untuk berkarya/berkreasi. FTJ harus tetap ada dan tidak boleh berhenti! Diding Boneng, sutradara Teater Popcorn (grup peserta FTJ yang masih “berlaga”) Persoalan-persoalan elementer masih ditunjukkan oleh para peserta. Begitu pula pandangan juri di Jakarta Timur tahun ini. Sampai kapan persoalan elementer ini akan terus terjadi? Dulu, peserta yang kalah di FTJ, baik di babak penyisihan maupun tingkat final, dibuatkan sebuah workshop teater untuk mereka. Jadi mereka bisa bersiap-siap untuk tahun depan. Sekarang, workshop dilakukan menjelang festival, sehingga peserta tidak punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri.
7
8
edisi IV/Agustus 2011
MATA KALA dramakala
FESTIVAL : Seperistiwa Pengalaman Estetik. Oleh :
Harris Priadie Bah
Siang hari, pada sebuah kota yang namanya tak tercatat dalam peta, diselenggarakan sebuah perlombaan lintas bidang seni yang diadakan oleh sebuah lembaga kebudayaan yang memang (mestinya) mengurusi persoalan-persoalan kesenian secara khusus dan kebudayaan secara luas (bukannya justru lepas tangan dan tidak peduli dengan masalah yang sering dihadapi seniman dan seniwatinya), ini sesuai dengan namanya : Lembaga Kebudayaan. Nama acara perlombaan yang digagas guna merangsang munculnya potensi-potensi baru dalam bidang seni tersebut adalah “Festival Adu Bakat”. Festival ini diikuti oleh sejumlah bakater-bakater potensial dari seluruh pelosok kota. Festival ini menarik minat banyak orang bukan saja karena ajangnya yang prestisius, tetapi juga karena festival ini dirasakan penting sebagai sebuah ruang silahturahmi antar sesama masyarakat, sedangkan hadiahnya sendiri memang sangatlah kecil, bahkan disebandingkan dengan lomba memancing sekalipun. Ada pun festival itu sendiri baru pertamakali diberlangsungkan dan sepertinya memang tidak akan pernah diberlangsungkan lagi, setidaknya hingga saat ini belum terdengar lagi kiprahnya. Ini terjadi entah karena dananya yang tidak ada, atau karena festival kesenian semacam ini memang dianggap kurang menguntungkan disebandingkan misalnya dengan mengirim duta-duta kesenian keluar negeri yang mana memungkinkan bagi para panitia untuk ikut serta ke luar negeri dan seniman yang dikirim pun bisa dipilih dari kerabat dekatnya saja, entahlah. Atau barangkali karena panitia menganut paham : sekali berarti sudah itu mati, seperti yang dikatakan oleh sang penyair binatang jalang itu. Sejumlah kebermungkinan bisa terjadi, yang pasti memang hingga kini belum lagi ada kabar yang mengabarkan itu, baik kabar di telinga atau pun koran koran ibukota. PaRodi, adalah salah seorang peserta yang ikut ambil bagian dalam festival tersebut. Namanya memang Rodi, tetapi karena wajahnya menampak lebih tua dari usianya maka orang-orang memanggilnya pak, PaRodi, padahal usianya belum lagi empat puluh, mungkin baru tigapuluh sembilan tahun. Sejak jauh-jauh hari dia sudah memersiapkan dirinya agar kelak bisa tampil maksimal dalam festival yang prestisius itu. PaRodi adalah tipe orang yang sangat serius dan rasa percaya dirinya juga sangat besar, bahkan cenderung over convident, sehingga terkadang jadi terkesan anti kritik. Bayangkan, sebagai persona, PaRodi memang tidak memiliki bakat apa-apa, tetapi karena dia tergolong orang yang serius maka dia pun melatih dirinya dengan keras. Bangun pagi latihan, siang hari latihan, malam hari sebelum tidur latihan, pendek kata tiada hari tanpa latihan. Sebetulnya ada juga beberapa kawannya yang menasehati untuk tidak usah ikut-ikutan festival, hanya buang-buang waktu dan tenaga kata mereka, bersebab mereka memang tahu siapa diri PaRodi, selain karena tidak memiliki bakat dan kemampuan yang baik, PaRodi juga mengalami kelemahan tubuh sejak bayi, yakni buta. Tapi ya itulah bersebab terlalu percaya diri dia pun tetap ikut ke medan laga, adu bakat. Singkat cerita, tibalah hari yang dinanti-nantikan oleh seluruh peserta lomba, tidak terkecuali PaRodi, tentu saja. Semua tampak gembira walau pun wajah mereka kelihatan tegang juga. Satu persatu peserta dipanggil panitia untuk tampil di panggung.
Waktu yang diberikan oleh panitia hanya limabelas menit untuk masing-masing peserta menampilkan kemampuannya, memertontonkan bakatnya. Ajaibnya, mereka, para peserta itu benar-benar tampil dengan durasi limabelas menit seperti yang disediakan panitia, tidak kurang tidak lebih, pas, edan, ternyata mereka memiliki tingkat kedisiplinan yang mengagumkan. Sampailah kemudian giliran nama PaRodi yang dipanggil. Dengan langkah pasti, PaRodi naik kepanggung dibantu oleh panitia. Tanpa basa basi sepatah kata pun, tidak seperti para peserta lain yang lebih banyak kata pengantarnya daripada aksinya yang sedikit kurang, PaRodi langsung unjuk kebakatannya. Dia bernyanyi dengan suara keras sambil memetik gitar akustik yang dipinjamnya dari teman. Semua penghadir, baik peserta mau pun bukan peserta terkesima dibuatnya, tidak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya dari penampilan PaRodi. Semua berada dalam kecamuk pikiran dan perasaannya sendiri-sendiri. Limabelas menit pas ber-
embunyikan dari wajah-wajah peserta, hanya PaRodi yang tampak tenang dengan senyumnya yang khas : hidung kembang kempis dan bibir kiri agak dinaikan sedikit. Lalu ketua panitia pun naik kepanggung. Setelah sedikit petatah petitih, ketua panitia yang potongannya lebih mirip politisi itu, mengumumkan siapa pemenangnya. Dengan diiringi sorakan protes dan ketidak puasan dari peserta, nama PaRodi muncul sebagai pemenangnya. Sungguh sebuah keputusan yang mencengangkan. Mungkin karena diilhami dari kecenderungan unjuk rasa selama ini yang selalu berteriakteriak dan rusuh itu, bahkan untuk sebuah unjuk rasa yang mengatas namakan agama itu, para peserta pun terus meneriakan protes dan hujatan. Namun dengan ketenangan yang demikian tenang, ketua panitia yang lebih mirip politisi itu, memanggil ketua dewan juri (sssttt…yang ini lebih mirip pedagang sapi) naik ke panggung dan memersilahkannya untuk memberikan argumentasi atau alasannya : kenapa PaRodi - yang semua
samaan dengan bel tanda waktu bagi peserta berbunyi, PaRodi mengakhiri penampilannya dengan tersenyum dan penuh percaya diri. Dia yakin, terlalu hakulyakin kalau dialah yang akan keluar sebagai pemenangnya. Sungguh sebuah keyakinan diri yang luar biasa, yang bahkan orang normal pun tidak memilikinya. Setelah seluruh peserta sudah tampil semua, para juri kemudian berembuk. Tidak memakan waktu lama, selayaknya rapat para juri dalam ajang festival-festival sekaliber “Theatre Festival LSPR”, atau “Festival Teater Jakarta”, atau juga “Festival Monolog Ruang Publik”, bahkan mungkin “Festival Teater SLTA”, yang bisa memakan waktu berjam-jam dan tidak jarang bahkan menimbulkan kebersitegangan antar satu juri dengan juri lainnya bersebab tak sama penilaiannya, rapat juri “Festival Adu Bakat” ini ternyata cukup hanya berlangsung sepuluh menit saja, hasilnya pun sudah didapat. Hebat betul ! Ini barangkali patut pula dicontoh oleh setiap orang yang didapuk sebagai juri oleh para panitia penyelenggara acara. Rupa-rupanya para juri tersebut memang telah bersepakat bulat memutuskan siapa pemenangnya. Beberapa detik kemudian, panitia memersilahkan semua penghadir duduk kembali dan memohon kepada mereka untuk tenang. Ketegangan, sebagaimana biasanya ketika tiba acara pengumuman tak bisa dis-
orang tadi sudah melihat aksi penampilannya dan mendengar suaranya yang sungguh tidak lebih bagus dari lenguh kerbau serta petikan gitarnya yang lebih mirip suara sound system rusak itu - kok bisa-bisanya keluar sebagai pemenang. Ketidak puasan tergambar di wajah segenap peserta. Ternyata menurut para juri, PaRodi berhasil menampilkan sesuatu yang unik dan orisinil, sementara peserta lain sangat stereotype, artifisial dan canggung. Para juri juga memberikan catatan tambahan yang tidak kalah pentingnya bahwa PaRodi tampil dengan begitu serius dan percaya diri. Itulah sebabnya PaRodi telah tidak terbantahkan lagi keluar sebagai pemenang dan berhak mendapatkan award “Amazing Talent” karena bakatnya yang sungguh luar biasa mengagumkan itu, sebagai : PELAWAK. Mendengar penjelasan dan argumentasi ketua dewan juri yang begitu meyakinkan tersebut, yang reputasinya sebagai juri memang dikenal berkelas Internasional, dan juga diketahui memiliki insting serta indera ke enam itu, semua peserta pun pada akhirnya memahami keputusan juri. Namun tidak demikian dengan PaRodi, dia justru merasa bingung dan seratus prosen tak mengerti, bukan dengan keputusan juri yang memenangkannya sebagai juara, tetapi lebih karena alasan dan predikat kemenangannya itulah yang dia tidak mengerti dan bingung.
PaRodi, tidak tahu apakah dia harus gembira dengan keputusan juri yang mulia itu, atau justru harus bersedih. Dalam hati PaRodi, dia merasa dilecehkan, latihan menyanyi yang dilakukannya dengan sungguh-sungguh pagi siang dan malam itu seperti dirasakannnya tidak berarti. Bagaimana mungkin, dia bisa menerima penghargaan dari sesuatu yang tidak sesuai dengan bakat, minat, keinginan dan cita citanya sebagai penyanyi. Penghargaan ini dirasakan PaRodi justru sebagai pelecehan atas bakat, keseriusan, komitmen, intensitas dan kecintaannya pada dunia tarik suara tersebut. Setelah berpikir sejenak, PaRodi pun menyampai pada satu keputusan : menyerahkan kembali award “Amazing Talent” yang didapatnya itu, kepada panitia. Setelah menyerahkan award itu kembali kepada panitia, dengan langkah tenang di tengah-tengah peserta yang saling bersitatap dan ketidak mengertian semua orang yang ada di situ, dengan senyum khasnya : hidung kembang kempis dan bibir kiri agak dinaikan sedikit, PaRodi pulang ke rumahnya. Dalam hatinya telah muncul kesadaran baru yang sangat berharga, yang barangkali tidak pernah hadir dalam dirinya selama ini, yakni satu kesadaran : betapa pentingnya untuk selalu memeriksa diri sendiri, mengenali apa yang ada dalam diri, membiasakan diri untuk terus bertanya akan banyak hal (bukan hanya menjawab, seperti yang selalu diajarkan para orang tua) apa-apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan untuk kebaikan diri sendiri, diri orang lain dan lebih besar lagi bangsa dan Tuhan. Barangkali ini merupakan hadiah terbesar yang sesungguhnya bagi PaRodi yang selama ini terlalu berkelebihan memercayai kemampuannya tanpa ngeh dengan kenyataan dirinya. Ya, kita memang terlalu kerap melupa dan tidak jarang merasa bahwa diri kita selalu lebih baik dari pada orang lain yang kita nilai tidak lebih baik dari kita. Kita juga sering khilaf dalam banyak hal, sehingga boleh jadi terkadang orang yang ikhlas menghargai diri kita, bisa ditafsirkan melecehkan, atau sebaliknya orang yang memasang jerat bagi keberjatuhan kita, justru kita anggap memuliakan kita. Lewat “Festival Adu Bakat” tersebut, kini timbul cita-cita baru, harapan baru dalam diri PaRodi untuk mulai menjajagi bakatnya yang tersembunyi itu yang memang sungguh tak diketahuinya selama ini, yakni melatih bakatnya yang Amazing, sebagai : PELAWAK. (Dinarasikan pertama kali untuk para peserta Festival Teater Jakarta tingkat wilayah Jakarta Pusat, pada evaluasi juri tanggal 23 Juli 2011).
a
edisi IV/Agustus 2011
LEMBAR TAMBAHAN
dramakala
FTS XXI Sejabodetabek Bertabur pemain laki-laki dan wanita yang menjanjikan Oleh :
Andi Bersama (Juri) Festival Teater SLTA (FTS) XXI Sejabodetabek – 2011 berlangsung selama sebelas hari ( 17-27 Juji 2011) di GRJS Bulungan, Jakarta Selatan. Setiap hari pementasan dua grup. Gairah peserta selalu menyertai pesta teater yang bersifat lomba ini. Ini ditunjukkan pada semua pementasan mereka. Semua pementasan berusaha menampilkan hasil maksimalnya masing-masing. Terdapat sejumlah grup yang usahanya itu menghasilkan sebagaimana yang mereka harapkan. Tetapi di antara sisanya terdapat yang belum maksimal. Pada grup yang
kup tertata. Rapi menjaganya. Kesungguhan yang kuat. Hampir sebagian besar penyelenggaraan FTS digelar di Grup-grup di luar semua itu, yaitu Teater 26, Teattempat ini. Gairah berlomba di kalangan peserta, termasuk er Citra 47, Teater Kencana, Teater Teras On Time, Teater unsur yang signifikan menggelembungkan suasana suka Teman, perlu lebih bekerja keras. Karena selain masih cita pesta teater ini. Belakangan muncul melibatkan diri lemah di sejumlah lini dramatik, tampak pula hasil kerja lembaga Pemprov dan swasta menyokong pendanaan grup belum menjangkau kesungguhan dan habis-habisan. dan publikasi, murni dengan maksud membantu. SebelHasil kerja tahun ini, menempatkan grup ini berada di laumnya, FTS sepenuhnya didanai sendiri oleh peserta. pis 3. Panitia penyelenggara tahun ini adalah Teater Penyutradaraan pada grup Teater 26 yang mementaskan Saphire SMK Hutama Bekasi. Sebelum berlagsung final, dinaskah karya sendiri, tema yang dipilih perihal eksistensi dahului pentas kurasi yang dilangsungkan di Balai Latihan diri, yaitu kegelisahan diri sehubungan nama diri yang Kesenian (BLK) Jakarta Selatan di jalan Asem Baris, Tebet. menjadikan diri adalah suatu identitas, mengapa harus Bertindak sebagai juri Jose Rizal Manua, Andi Bersama orang lain dan bukan diri kita sendiri. dan Malhamang Zamzam dengan seorang pengamat Elemen dramatik yang dipilih sutradara, tak Merit Hindra. kurang menarik. Di tengah panggung diletakkan sebuah Seperti juga tahun sebelumnya, peserta yang tejam dinding yang besar. Jarum jam tidak bergerak maju, lah terdaftar lebih dulu harus lolos di babak kurasi untuk tapi malah mundur. Jam dinding itu diletakkan melekat dapat tampil di final. Yang dikurasi pada babak ini antara pada suatu steger besi warna oranye, sangat menyita perlain gagasan, performance, kesiapan untuk memproduksi hatian penonton. Vertikal, menjulang nun ke atas. Tokohpementasan yang berlangsung maksimum dua jam. Setokoh yang ada di dalamnya adalah tokoh-tokoh mentara pada babak kurasi, setiap peserta disediakan yang dapat dikenali. Mereka anak, orang tua, serta waktu oleh panitia paling panjang 20 menit. Kurasi dilakusejumlah sosok yang disebut dalam katalog sebagai kan selain pula untuk mengurangi jumlah peserta dari 30 bayang-bayang. Luar biasa menjanjikan pementasan grup menjadi hanya 22 grup.*** ini. Tapi hal itu tidak berlangsung karena penyutradaraan tidak berbekal peralatan yang baik. Teater Citra 47 termasuk yang ada dalam hal ini: Penyutradaraan belum memiliki bekal yang sungguh-sungguh siap. Situasi sosial kini, dan dampak psikhisnya pada individu-individu yang terimbas situasi itu dari naskah yang dibikinnya sendiri, tidak tertata secara Festival Teater SLTA ini diyakini adalah festival teater slta terlama bagus. Tampil menyertai gup ini adalah di Indonesia. Dengan keunikan penyelenggaraan yang dilakukan siswi-siswi yang cukup menguasai dance. bergiliran setiap tahunnya dari SMA ke SMA yang lain, sudah berTetapi sebagai suatu bahan dramatik, langsung untuk yang ke 21 selama kurang lebih 21 tahun. Adapun potensi ini belum tertangani penyutrakali ini peserta yang masuk grandfinal sebanyak 22 peserta/sekolah/teater. Setelah sebelumnya pada bulan mei 2011 diadakan daraan. babak seleksi/kurasi untuk memilih 22 peserta yang layak masuk ke Hal demikian juga terjadi pada Teatgrandfinal. Festival ini berlangsung sejak tahun 1989 sebagai sikap er Kencana, memilih naskah berjudul Demit. atas ketidakpedulian instansi pendidikan dan kebudayaan terhadap Teater Teman jatuh pilihan pada cerita film perkembangan teater slta dijabodetabek pada tahun 1989 itu. berjudul “Petualangan Sherina” yang beberapa bagiannya disesuaikan dan dengan ini judulJebolan-jebolan festival teater slta ini yang diantaranya sekarang ini berkiprah dibidang entertaint diantaranya adalah Sofia Latjuba, nya menjadi “Petualangan Shakila”. Banyak Novia Kolopaking, Krisdayanti, Peggy Melati Sukma, Sandy Tumiadegan dari naskah ini, belum tertangani denwa, Teuku Wisnu, Tania Putri (SMAN 3 Jakarta), Titi Kamal (SMAN gan baik. Padahal tahun lalu grup ini sanggup 48 Jakarta), Ratu Tria (SMAN 35 Jakarta), Bunga Citra Lestari menghibur penonton oleh kerja maksimalnya. (SMAN 70 Jakarta), dan banyak lagi. Teater Teras On Time naskah sendiri berjudul “Hantu”, merupakan potongan-potongan Dengan memakai format Malam Anugerah Pemenang seperti pada Academy Award, Festival ini akan memilih kreator-kreator seni peristiwa sosial. Tetapi transisi dan jahitan dari teater terbaik dibidangnya. Dari aktor terbaik, aktris terbaik, aktor antar potongan itu, belum dikerjakan secara pembantu terbaik, aktris pembantu terbaik, sutradara terbaik, maksimal. artistik terbaik, penata musik terbaik, penata busana, penata rias, Sutradara grup perlu betul-betul poster dan maket set terbaik yang kesemuanya akan dipilih dewan berbenah. Hasil kerja tahun ini yang masih juri. jauh dari harapan, dikhawatirkan akan makin Panitia kali ini adalah Teater Saphire SMK Hutama Bekasi. Didumelemahkan wibawa keberadaan grup di kung oleh Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan PemProv DKI Jakarta, tengah-tengah ekskul lain di masing-masing IDEAL, London School of Public Relations, Ruang Rupa. sekolahnya. Workshop penyutradaraan agaknya Manahan Hutauruk. perlu segera dikedepankan. Ia menjadi penting karena keputusan seluruh elemen dramatik berada di tangan sutradara. Silih berganti grup pemenang kerap terjadi. Begitulah antara lain dinamika wadah kreativitas pekerja teater SLTA yang digagas oleh R.Tono, Sony Mawardi, Ronny, Tebe, R.Mono Wangsa, Kin Hendri, CC Febriyono, dan Zak Sorga ini. Selain sekolah masing-masing, Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (Bulungan) ikut menyertai perjalanan FTS.
Sejarah Festival Teater - SLTA
Fotografer : Panitia FT-SLTA
tampil sebagaimana mereka harapkan, ditandai oleh kesungguhan. Pesta tahun ini ditandai pula oleh bertaburan pemain laki-laki dan wanita dengan potensi bakat yang baik. Lebih dari separuh jumlah grup peserta memiliki ini. Namun penyutradaraan kurang menggembirakan. Grup yang telah mempunyai aktor-aktris, harus bermain tidak maksimal karena tidak tertunjang penyutradaraan yang aduhai. Pada Teater Detik dari SMA 86 Bintaro, misalnya. Pemain-pemainnya yang potensial, memerankan tokoh-tokoh yang relatif tidak enteng. Pencapaiannya? Cukup berhasil. Tapi secara keseluruhan, pementasan tertatih-tatih. Karena tidak tertunjang pencapaian penyutradaraan. Editing yang lemah, menciptakan irama dan transisi yang belum terampil adalah di antaranya. Termasuk dalam deretan ini adalah grup Tabir 46, Teater Rajut, Teater Enhakam, Teater SBB, Teater Srts One In Art, Teater SSD 78, Teater Topeng, Teater Hangtuah, Teater Nadi, Teater 35 dan Teater Sembilu. Potensi pemain yang bertabur pada grup itu, tertunjang oleh masing-masing bakat yang mereka miliki. Rata-rata mereka tampil bermain rileks. Vokal, gestur tampak jadi satu kesatuan. Mereka juga rata-rata memiliki tingkat pemahaman yang baik. Memang bahkan tanpa disutradarai pun, naluri bermain mereka sudah berjalan dengan sendirinya. Tetapi penyutradaraan tetap penting hadir di situ. Pentingnya adalah karena potensi-potensi itu bahan baku yang bagus untuk secara bersama-sama dengan unsur-unsur dramatik lainnya menciptakan suatu organisasi bermain yang sanggup menggelindingkan cerita dengan tema dan pesan yang dapat sampai secara sugestif kepada penontonnya masing-masing. Maka oleh masih lemahnya penyutradaraan, potensi-potensi itu tidak tampak secara maksimal. Inilah grup-grup di lapis dua. Beruntung grup-grup di lapis satu, yang tahun ini muncul antara lain Teater Bias SMK Budi Asih, Teater Patlapiti SMA 48, Teater Atela SMA 3, Teater Teto SMAK IPEKA Tomang. Mereka adalah grup yang telah memiliki sutradara yang trampil menyutradarai. Tertunjang pula oleh potensi pemain yang rata-rata baik, manajerial yang baik, pada gilirannya pementasan mereka tidak tertatihtatih. Kuat struktur dramatiknya, organisasi bermain yang kompak, dan tunjang menunjang unsur-unsur dramatik pada gilirannya menghasilkan bangunan situasi yang cu-
Fotografer : Panitia FT-SLTA
b
edisi IV/Agustus 2011
LEMBAR TAMBAHAN
dramakala
Festival Monolog di Ruang Publik IV, Federasi Teater Indonesia Proses mengenali dan mengintimi ruang publik sebagai ruang pertemuan bersama peristiwa di atas adalah penampilan pembuka dalam perhelatan Festival Monolog di Ruang Publik (FMRP) yang diselengOleh : oleh Federasi Teater Indonesia. Ahmad Olie Sopan garakan Sebanyak 16 peserta mengikuti ajang ini yang berlangsung selama 7 hari. Peserta tidak hanya dari Jakarta tetapi juga dari Bandung dan Surabaya. Dalam penjurian, penyelenggara mendatangkan pengamat Orang-orang berkerumun antri teater Afrizal Malna (Yogyakarta), aktor semenunggu bis, ada orang bermain layangan, nior Budi Ros (Teater Koma) dan Yusef Muldiada pedagang asongan menjajakan jualan dayana (Bandung) lam terik matahari yang pasti cukup membuat Pada perhelatan yang sudah ke emnaik darah orang. Ada seorang pria berpakapat kalinya FMRP terus melakukan perguian ihram berkepala botak, mengaku “aktor liran wacana. Dalam pengantarnya di diskusi gagal” dia bercerita kepada khalayak kisahpembukaan FMRP dengan tema “aktor dan kisah drama (tidak lengkap)karya pengarang ruang publik”, Afrizal Malna mengemukanan besar. bahwa ruang publik yang harusnya terus ter Kejadian ini terjadi di kawasan Monlibat dalam proses kualitatif kehidupan pubumen Nasional (Monas), Jakarta. Aktor itu lik, namun pada kenyataanya kini ruang pubdiperankan juga oleh seorang aktor Galuh Tulik sepenuhnya sudah terambil sebagai ruang lus Utama dari Surabaya, dengan kostum itu transaksi dan transpotasi (komersialisasi dan galuh cukup menarik perhatian orang namun kapitalisasi ruang), ada politik identitas di dasimpati lebih yang diharapkan oleh “sang aklam ruang publik itu. Untuk itulah monolog ini tor gagal”, kurang menjadi respon khalayak dianggap sebagai media yang memungkinkan yang sedang dibakar matahari itu. terjadinya momen di ruang publik. Sang aktor bertanya, meminta belas Di ruang publik yang tidak kasihan, satu dua orang ada yang hanya memiliki satu titik mulai prihatin dengan memberi fokus menuntut kecerdasan uang kepada sang aktor ketika sang aktor dalam merespon berkisah, “saya ini aktor yang suruang, benda serta khalayak dah tidak laku, saya jauh dari yang ada, teks-teks organik Surabaya datang kesini”. Si ak(istilah Afrizal) yang ada di tor ikut ke bis ketika ada seorang ruang publik harusnya dapat laki-laki yang menaruh perhatian diambil dan dirangkai menmengajaknya ikut namun diminta jadi sebuah peristiwa estetik turun oleh petugas berpakaian oleh sang monologer. batik. Ibu tua penjajah asongan Dalam pentasnya di kali cilimenaruh simpati dengan kisah wung kecerdasan tubuh Ansang aktor, disisihkannya keunwari dalam mengolah teks, tungan untuk sang aktor, si ibu ruang dan benda di ruang tersentuh, sang aktor terharu. publik, seperti memainkan Festival Monolog di Rubangku plastik menjadi sepang Publik kembali digelar, dan erti penjara, mencari orang Fotografer : Aditya Ranggga/Ade Bajul
tuanya hingga ke puncak tiang listrik, hingga menceburkan diri ke kali ciliwung merupakan bentuk-bentuk agresi yang memiliki nilai estetik. Anwari memilih ciliwung sebagai tempat pentasnya dengan referensi peristiwa pembuangan bayi , penemuan mayat yang sering terjadi di kali ciliwung, bagi anwari seorang anak sejak lahir sudah memiliki hak sebagai manusia. Melalui gagasan itu ia bercerita tentang hidupnya yang kelam,yang lahir di bantaran kali ciliwung, ditinggal orang tuanya, disiksa sejak kecil. walau teks yang dihadirkan oleh Anwari masih diba- Fotografer : Aditya Ranggga/Ade Bajul wa dari luar ruang publik yang dipilihnya, namun mampu merespon benda-benda dan ruang publik. Sebagian besar publik masih melihat aksi-aksi yang dilakukan monologer seperti orang gila atau stress, publik ada yang merasa terganggu ada juga yang ingin mengetahui apa yang terjadi, bentuk-bentuk yang menjadikan penonton masih dibilang cukup menjadi pilihan favorit para monologer, walau ada beberapa aktor yang coba masuk dengan wajar namun besarnya fokus di ruang publik menenggelamkan sang aktor ketika teks yang dibawakan hanya sekedar klise tanpa adanya riset terlebih dahulu. Sebagai sebuah tontonan Dediesputra Siregar yang beraksi di lampu merah
Senen, Jakarta Pusat, terhitung cukup berhasil. Dengan kain putih yang diikatkan di pinggangnya ia memulai pertunjukan dengan mengitari tiang penyanggga flyover dan memainkan gitar dengan sarung tangan dan bernyanyi lagu Indonesia Raya. Kemudian seperti terkukungnya negeri ini, dengan kaus merah dan kain putihnya yang membentuk bendera negara kita dililit oleh Dedies dengan tali tambang. Dengan keadaan tubuh yang terikat Dedies memungut bantal bola dengan mulutnya, kemudian dengan langkah yang sulit itu Dedies menyebrangi jalan raya yang penuh dengan lalu lalang kendaraan. Dedies berhasil mencuri perhatian publik di kawasan itu, walau pada nampaknya monolog yang dilakukan oleh Dedies tidak jauh berbeda dengan semacam seni performing art. Untuk itu Monolog hadir sebagai salah satu kesenian yang masih sangat memungkinkan menemukan terobosan- terobosan baru dengan bertindak sebagai sebuah alat ekspresi dari lingkungan itu yang kemudian disampaikan oleh sang monologer dengan nilai-nilai estetik. Mengutip kalimat Afrizal “Seni di ruang publik lebih untuk menggoda berbagai proses transaksi sosial-ekonomi di sana. Seni dihadirkan untuk mendistraksi proses ini ke arah munculnya kepedulian, pertemuan sesama manusia. Semua yang terkait dengan terjadinya proses kualitatif kehidupan publik itu sendiri”(baca : tubuh ketiga dari agresi ruang publik).***
LSPR Theatre Festival ke 7 @14th Magnificent
Oleh : Evi Agustian Berbeda dengan pagelaran festival pada umumnya, peserta LSPR (London School of Public Relations) Theatre Festival adalah mahasiswa LSPR tahun pertama yang
Fotografer : LSPR Fhotografi
wajib mengikuti festival teater tersebut sebagai Final Examination pada mata kuliah Introduction to performing art communication. Ajang festival teater merupakan hal yang biasa ditunggu kalangan pekerja seni. Pasalnya dalam ajang inilah, kemampuan sebuah kelompok dapat dilihat dan diperhitungkan. Demikian halnya pada pe-
nyelenggaraan Theatre Festival LSPR, meski memiliki dasar penyelenggaraan festival yang sama, namun memiliki berbagai perbedaan . Dalam LSPR Theatre Festival, laiknya sebuah sekolah seni semacam IKJ(Institut Kesenian Jakarta), merupakan salah satu bentuk pengujian (katakanlah ujian akhir semester) mata kuliah Introduction to Performing Arts Communication yang diperuntukan mahasiswa LSPR di tahun pertama kuliah. Demikian dikatakan Dosen introduction to Performing Arts Communication (IPAC) LSPR, Rafael M. JolongBayan. Sementara itu, dalam festival pada umumnya, seperti Festival Teater SLTA atau Festival Teater Jakarta yang merupakan kelompok dan komunitas teater di SMA atau di Jakarta semata-mata untuk memberikan apresiasi dan ajang mempertunjukkan kepiawaian dalam berteater, apakah itu pemeranan, penataan musik ataupun artistiknya, bebas dan tidak memiliki keterikatan. Namun dalam LSPR Theatre Festival, peserta sudah ditentukan dan memiliki keterikatan atau merupakan kewajiban peserta, dengan kata lain mau tidak mau peserta harus mengikuti festival. Unik memang, di Indonesia, selain universitas kesenian yang memiliki jurusan ilmu teater, baru LSPR lah yang melakukan ujian pertunjukkan drama dalam salah satu ujian matakuliahnya. Menurut Renata Tirta Kurniawan dibentuknya matakuliah IPAC merupakan salah satu hal penting di mana
drama merupakan salah satu bentuk komunikasi massa. Karena itulah mahasiswa LSPR, yang memang memiliki dasar keilmuan komunikasi mesti mengenal ilmu teater. Mengingat pentingnya drama sebagai salah satu bentuk komunikasi massa, maka dibesutlah LSPR Theatre Festival. Dalam Festival yang ke 7 kali ini, digelar pada 20-27 juli 2011, bertempat di Prof. Djajusman Auditorium and Performance Hall STIKOM LSPR-Jakarta, LSPR menggelar 14 pertunjukkan. “Pertunjukkan kali ini akan dilakukan oleh mahasiswa semester 2 yang terdiri dari 14 kelas,sedangkan pada febuari kemarin telah tampil 13 pertunjukan oleh mahasiswa semester 1.”, ujar Renata kepada dramakala. Dalam Festival kali ini digelar 14 pertunjukkan dari 14 kelas, yakni “Devil in A God’s House (14-23A)”, “Cast Spell (14-12A)”, “Better Stories (14-22A)”, “Ebony Scrooge (14-8A)”, “The Ugly Chick (14-24A)”, “Ghost (14-11A)”, “Cinderella the Musical (14-20A)”, “Glee:Journey to Sectional (14-7A)”, “Facing Death (14-10A)”, “Nothing (14-27A)”, “The Negress (La Negra) (14-26A)”, “War Brides (14-9A)”, “Abortion (14-21A)”, “Home (1419A)” Keunikkan lainnya dalam LSPR Theatre Festival ini, adalah pemilihan naskah yang lebih mengikuti zaman (nge-pop,red) sehingga animo mahasiswa maupun publik sangat besar. “Itu dapat dilihat dari penjualan tiketnya, sold out, itu pun kalau itu bisa Renata Tirta
dikatakan sebagai animo publik pada festival ini”. Tambah Renata. Pada setiap pertunjukkan, ungkap Rafael “It Should be in English.” Jadi, jangan harap penonton akan melihat pertunjukkan dalam bahasa Indonesia. Dosen mataku- Rafael M. Jolongbayan liah IPAC asal Filipina ini menambahkan, penggunaan bahasa Inggris dalam pertunjukkan teater dimaksudkan untuk melatih mahasiswa berbicara dalam bahasa inggris. Sedangkan pemilihan naskah, semuanya diserahkan kepada kelas masingmasing. “Adakalanya juga mereka membuat naskah sendiri, ada juga yang mencari di internet”, ucap Rafael. Rafael menambahkan, lantaran waktunya yang kurang, sebab rata-rata persiapan pertunjukkan hanya berkisar dalam kurun waktu 3-4 bulan, ia tidak mengharuskan mahasiswa membuat naskah sendiri. Sebab untuk membuat naskah yang sempurna membutuhkan waktu yang relatif lama. Kebanyakan dari mereka mengadopsi naskah atau cerita dari internet. Meski begitu, ada juga yang membuat naskahnya sendiri. Dalam setiap penyelenggaraan LSPR Theatre Festival, kendala yang paling sulit adalah ketersediaan waktu mahasiswa. Lantaran masuk dalam mata kuliah yang hanya memiliki 3 SKS, maka waktu yang dimiliki mahasiswa untuk persiapan pertunjukkan pun terbatas. Terlebih lagi mahasiswa juga mesti mempersiapkan ujian untuk matakuliah lainnya. ***