1
media komunikasi & informasi teater
2
dramakala edisi II/April 2011
Dewan Eksekutif IDEAL Pembina : Prita Kemal Gani MBA, MCIPR, APR Penasihat : Arswendo Atmowiloto Direktur Internal : Chrisdina Wempi Direktur Eksternal : Rafael Jolongbayan General Manager : Renata Tirta Kurniawan Koordinator : Maulia Rori Rarasati Dewan Redaksi Pimpinan Redaksi : Harris Priadie Bah Wakil Pimpinan Redaksi : Ahmad Olie Sopan Redaktur Tamu : Noviami Madin Tyasawan Koordinator Reporter & Fotografer : Malhamang Zamzam : Repoter : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Roy Hakim Erwin Senjaya Dini Handayani (Forum Penulisan Pertunjukan) Layout : Anang Wicahyono Alamat Redaksi : STIKOM The London School of Public RelationsJakarta, Komplek Perkantoran Sudirman Park, Jl. K.H.Mas Manyur Kav.35, Jakarta Pusat 10220. Sampul Depan Penampil Foto
dramakala
: Pentas “Sie Jien Kwie” : Teater Koma : Dok. Teater Koma
P
Pembaca yang budiman, beberapa tahun kebelakang sesampai tahun ini, dunia pertunjukan di Indonesia riuh dengan karya-karya yang menyebut dirinya dengan drama musikal. Kita bahkan bisa menyebut beberapa karya yang masih akan datang yang mengambil bentuk pertunjukan semacam itu, salah satunya adalah “Drama Musikal Diva” yang kami sajikan dalam rubrik preview. Dan yang baru saja selesai dipertunjukan adalah “Drama Musikal Ali Topan”, yang naskahnya diambil dari sebuah novel karya Teguh Esha dan yang juga pernah diangkat kelayar film pada tahun delapan puluhan dengan judul “Ali Topan Anak Jalanan”. Sebagai sebuah perbincangan, tentulah menarik membahas gejala tersebut. Bersebab itu, Dramakala edisi kedua ini mengangkat drama musikal sebagai tema berita utamanya. Dari sini, kita akan mencoba untuk menelusuri segala sesuatu tentang drama musikal ini. Termasuk untuk mengurai dan mencari tahu apakah gejala ini hanyalah merupakan trend sesaat yang lebih diniatkan sebagai strategi untuk mengejar pasar ?. Ada beberapa wawancara yang redaksi lakukan kepada para praktisi drama musikal itu, seperti Riri Riza - yang lebih dikenal sebagai sutradara film - yang membuat pemanggungan “Musikal Laskar Pelangi”, Agus Noor, penulis beberapa karya drama yang dipakai untuk pemanggungan musikal, dan Tony Prabowo yang mengerjakan beberapa proyek opera (King’s Witch dan Tan Malaka) serta dramawan Nano Riantiarno yang baru saja menggarap pertunjukan “Sie Jien Kwie” (walaupun dirinya lebih suka menyebut pertunjukannya sebagai teater rakyat). Guna menambah wawasan dan cakrawala pemikiran tentang drama musikal tersebut kami turunkan juga tulisan dari Remy Sylado, seorang budayawan dan dramawan yang pernah mengerjakan drama musikal “Jesus Christ Super Star” pada era tahun tujuh puluhan. Dramakala edisi kedua ini kami persembahkan kepada masyarakat pembaca umum dan khususnya para praktisi teater, juga kami dedikasikan untuk Ags Arya Dipayana, yang telah menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa pada bulan Februari lalu. Beliau adalah seorang pekerja teater yang menjalani kerja kreatifnya tanpa banyak bicara, beliau jugalah yang mengawali ide dan penerbitan Dramakala edisi pertama. Untuk anda semua, para pembaca budiman selamat membaca dan untuk sahabat kami Ags Arya Dipayana, yang terlebih dahulu mendahulu kami, kami sampaikan selamat jalan. Redaksi.
WACANA
PRAYOJANA KONTEMPORER: TEATER REPRESENTASIONAL
Ketika artikel ini ditulis, pas di TIM sedang dilangsungkan pertunjukkan teater musikal “Ali Topan”. Akhir-akhir ini orang banyak menghubung-hubungkan model pertunjukkan teater musikal atau drama musik atau musik drama atau drama musikal atau pop opera atau rock opera atau apapun namanya, dengan nama Broadway atau Off-Broadway. Setidaknya dalam lima tahun terakhir ini terlihat prayojana memindahkan repertoar- repertoar yang popular di Broadway atau Off Broadway ke Indonesia. Sebutlah misalnya sebuah sekolah berbahasa pengantar Inggris, Morning Star Academy, tiga tahun lalu mementaskan musikal “West Side Story” di gedung teater khusus miliknya di kawasan Rasuna Said. Setelah itu sebuah sekolah Katolik di Tangerang mementaskan “Joseph and the Amazing Technicolor Dreamcoat” di GKJ. Tapi, jangan lupa pada 30 tahun lampau, melalui gagasan Asmara Nababan, Dewan Gereja-Gereja di Indonesia mementaskan rock opera “Jesus Christ Superstar” di Balai Sidang, Senayan.
Agaknya prayojana teater mutakhir Indonesia sedang ke arah sini : drama dan nyanyi. Yang sertamerta tampak menonjol pada bentuk pertunjukkan ini adalah keahlian musik sebagai nilai tambah atas pengetahuan dasar dramaturgi. Bentuk teater dengan dua ladang keahlian ini memang dirasa lebih komunikatif bagi khalayak awam ketimbang model teater realisme yang pernah menjadi semacam kualifikasi utama teater modern Indonesia khas ATNI (yang berlanjut ke LPKJ dan IKJ). Dalam kenyataan yang kurang menyukacitakan hati, haruslah dikatakan bahwa bentuk teater realisme yang diperkenalkan melalui ATNI dengan perangkat metode yang dianggap baku dari catatan-catatan Stanilslavsky melalui beberapa bukunya (“My Life in Art”, “An Actor Prepares”, “Building a Character”, ”Stanislavsky Reahearse Othello”) cenderung dikatakan terasing dari budaya yang dikenal masyarakat awam. Adapun model teater hiburan Indonesia sebelum berdirinya perkum–pulan Maja
yang digagas oleh Usmar Ismail pada 1942., bentuknya setakar dengan drama musikal yang sekarang ini sedang menjadi prayojana baru kalangan muda. Kalau hendak diistilahkan dengan deskripsi yang betul, jenis pertunjukkan seperti ini sebutannya adalah “pementasan representasional”. Ini berbeda dengan jenis pertunjukan teater yang berpegang pada metode realisme dalam mana kualifikasi perdana yang harus dilaksanakan aktor dalam seni perannya adalah suatu “total immerse” dengan memanfaatkan alat-alat tubuhnya mencakup roh dan jiwa, atau katakanlah melalui elemen internal dan elemen eksternal yang bekerja harmonis. Maka, jika hendak dibedakan dengan jenis pertunjukan yang sebelumnya, pertunjukkan yang dilangsungkan secara “total im merse”ini, sebutannya adalah “pementasan presentasional.
‘
Yang sertamerta tampak menonjol pada bentuk pertunjukkan ini adalah keahlian musik sebagai nilai tambah atas pengetahuan dasar dramaturgi
‘
Bentuk “pementasan presentasional” ini memang sudah menjadi cap khusus “teater modern” Indonesia. Istilah “modern” di sini, tidaklah sama dengan istilah “modern di Barat. Di Indonesia kata modern dalam drama semata-mata adalah teater yang berorientasi pada sastra, yaitu teater yang dilangsungkan
di atas panggung melalui adanya nakah drama yang ditulis sebagai karya sastra; dan di situ baik sutradara maupun aktor sepakat mengejawantahkan alat-alat tubuhnya melalui akting dengan terlebih dahulu sepakat pula menafsir naskah drama tersebut secara menyeluruh antara tinjauan historis, psikologis, sosiologis dan antropologis atas peran masing-masing. Sedangkan “modern” di peta teater Barat dimaksudkan sebagai antara lain wawasan kritis terhadap kebudayaannya yang boleh dikata sepenuhnya dipengaruhi oleh peradaban yang disumbangkan gereja melalui pemikiran- pemikiran filsafat Tomas Aquinas dan Agustinus Hippo. Dan jika hendak dicari sumbu “modern” dalam makna ini pada teater Barat tersebut, hal itu harus dilihat melalui karya-karya drama Henrik Ibsen dan August Strinberg. Suyatna Anirun mementaskan “Ghosts” karya Ibsen, dan kurang berhasil menangkap acuan “modern” yang tersirat di dalamnya. Sementara Josef Ginting mementaskan “Miss Julie” karya Strindberg, dan bagus benar, bisa menangkap makna “modern” yang melatari pemikiran pengarangnya. Ketika prayojana teater kontemporer Indonesia saat ini mengarah kembali ke bentuk “representasional”, maka ini boleh dikatakan bangkitnya kenangan teater Indonesia masa lampau antara “opera bangsawan” atau “kemidi stambul” ke tuntutan mutakhir abad ke-21. Untuk menunjuk cempiang yang paling berhasil melakukan ini sejak 1980-an, tiada nama lain selain Nano Riantiarno. Siapapun mesti belajar padanya dan pada istrinya untuk masuk ke prayojana ini.
edisi II/April 2011
BERITA UTAMA
dramakala
3
Drama Musikal
Strategi Menuju Pasar? Beberapa bulan terakhir gedung-gedung pertunjukan selalu dipadati penonton, maraknya pertunjukan drama musikal yang menghabiskan dana produksi milyaran rupiah “bahkan berkisar hingga 8 sampai dengan 9 miliyar rupiah” tutur Toni Prabowo (komposer pertunjukan Opera Tan Malaka), yang menyebabkan munculnya wajah-wajah baru penonton di pusat-pusat kesenian seperti Taman Ismail Marzuki menjadi tampak hidup. Dalam satu tahun terakhir dapat kita saksikan ada sekitar 10 pertunjukan musikal diantaranya Trilogi Opera Jawa, Diana, Onrop, Laskar pelangi, dan lainnya. Kemunculan drama musikal yang sepertinya menjadi trend dalam dunia pertunjukan sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia, “sebenarnya sejak abad 19 pertunjukan-pertunjukan musikal seperti itu sudah ada di Indonesia melalui pertunjukan-petunjukan Miss Ribut Orion dan Teater Dadanela. Bahkan kemunculan dan perkembangannya juga bersamaan dengan perkembangan yang terjadi di broadway pada masa itu.” Tegas Mas Nano R.(sutradara Teater Koma). Dan menurutnya pertunjukan drama musikal yang bermunculan belakangan (tidak termasuk teater koma) ini hanyalah sekedar “kitch” yang bersifat komersil, dengan melihat harga tiketnya yang relatif mahal.
Onrop! Musikal - Joko Anwar itu drama musikal sudah pasti mempunyai daya jual yang lebih menarik, dimana di dalamnya terdapat bintang juga dengan musik pop yang disuguhkan.
Sebagai contoh masih belum terlalu lama kita disuguhkan pertunjukan Laskar Dagelan yang diproduseri oleh Butet Kartaredjasa, dikatakan oleh sang penulis cerita Agus Noor bahwa tidak dapat terelakan lagi jika pertunjukan Laskar Dagelan ini juga dilatar belakangi oleh maraknya drama musikal, entah ada kaitannya atau tidak dengan judul Laskar Dagelan yang merupakan ‘pelesetan’ dari Laskar Pelangi, yang pasti perpaduan unsur musik hip-hop dan jawa dapat mewakili pertunjukan ini sebagai sebuah musikal. Pilihan pertunjukan seperti ini sudah pasti menjadi strategi mengejar pasar yang tepat, dimana tiket pertunjukan yang berlangsung selama 2 (dua) hari itu selalu habis terjual.
Dikesempatan lain Riri Riza yang belum lama ini menyutradari Drama Musikal Laskar Pelanggi ketika diwawancarai mengatakan “Laskar Pelangi adalah drama musikal yang saya gagas bersama teman-teman dalam membaca psikologis masyarakat kita yang sekedar membutuhkan hiburan”. Bagi Riri drama musikal dengan drama pada umumnya¸ atau opera adalah hal yang sangat berbeda, drama musikal hanya sekedar menyampaikan pesan yang ringan dibanding dengan opera yang pesannya cukup kental atau bahkan dengan teater yang menggambarkan sisi gelap kehidupan. Maka
Lain lagi dengan Teater Koma yang hampir sebagian besar pertunjukannya adalah musikal. Dalam menanggapi maraknya pertunjukan musikal Mas Nano menjelaskan bahwa “masyarakat kita adalah masyarakat yang bernyanyi dan menari, hal itu sudah ada sejak lama bahkan dalam pertunjukan-pertunjukan teater tradisional di Indonesia”, maka Teater Koma mengunakan konsep opera rakyat hampir di setiap pertunjukannya. “Sedang pengistilahan drama musical hanya sebuah strategi dagang saja.” paparnya. Toni Prabowo dalam penggarapan Opera Tan Malaka yang akan datang adalah Opera bukan drama musikal yang hanya sekedar hiburan semata, namun dengan positif dia menangapi maraknya drama musikal belakangan ini, baginya pencapaian penonton yang selalu memadati setiap pertunjukan drama musikal adalah hal yang baik. Drama musikal mungkin memang hanya sebuah ‘kitch’, yang mampu mengejar pasarnya, dimana secara
psikologis masyrakat kita memang senang hiburan. Namun seperti boomerang bagi dunia teater yang sudah berusia lebih dari seabad yang keadaannya seperti mati suri, dalam wawancara dengan drama kala Nano R. mengungkapkan “harus dipersiapkan sekolah drama yang baik untuk menghasilkan dramawan yang professional”, sedang Riri Riza mengungkapkan bahwa dalam dunia yang penuh sensasi ini dibutuhkan pemikiran tentang bagaimana pertunjukan teater dapat menjadi headline koran-koran nasional dan mampu mengejar pasarnya. *(AOS/DM/DED/RH)
Tubuh Ketiga - Teater Garasi
4
dramakala
SEBELUM PERTUNJUKAN edisi II/April 2011
Drama Musikal DIVA:
Antara Pesan & Hiburan
Photo: Dok. D’ArtBeat
Alkisah, tersebutlah Yasmin, gadis belia anak tunggal dalam asuhan ibunya, seorang pengusaha yang sangat berhasil, dan telah merencanakan masa depan Yasmin sebagai penerusnya untuk menjalankan usaha pabrik gula. Sebaliknya Yasmin yang lebih menyukai dunia pentas dan bermimpi suatu saat bisa menjadi seorang artis akhirnya melarikan diri dari rumah, datang ke kelompok sandiwara Bintang Kejora yang sedang mengadakan audisi. Bintang Kejora mencari pemain pengganti karena Dahlia, pemain utamanya mengalami kecelakaan saat berlatih. Setelah melalui audisi yang cukup ketat akhirnya Yasmin diterima untuk menggantikan Dahlia. Posisi pemain utama ini ternyata juga menjadi incaran Roos, pemain senior yang dengan segala cara berusaha mendapatkan peran itu, termasuk pendekatan langsung ke sutradara. Juga secara diam-diam tanpa diketahui Anjas dan Tio, dua sahabat dekatnya, Dahlia dalam segala kesakitannya terus berlatih karena tetap berharap dia akan berhasil mencapai impian hidupnya selama ini, menjadi primadona. Apakah Yasmin, Roos dan Dahlia berhasil mewujudkan mimpinya? Pertanyaan ini dapat ditemukan jawabannya dalam Drama Musikal DIVA, arahan sutradara Varian Adiguna, produksi D’ArtBeat, yang akan berlangsung di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, 29-30 April 2011. Pentas teater musikal di Jakarta sedang semarak belakangan ini. Meskipun mematok harga tiket relatif mahal, pentas-pentas itu umumnya dibanjiri penonton. Varian Adiguna mencermati adanya kejenuhan terhadap
tontonan teater yang menyuguhkan ‘pikiran-pikiran berat’. Tapi juga tidak bersepakat dengan pertunjukanpertunjukan yang hanya menghibur tanpa sebuah hikmah untuk dibawa pulang oleh penonton.
‘
Diva sesungguhnya memiliki kesanggupan menaklukkan ego lalu memberikan yang terbaik untuk sekitar
‘
D’ArtBeat berusaha menyampaikan pesan moral disamping hiburan. Kelompok berlatar belakang paduan suara gereja ini, menyukai gaya Teater Koma yang menampilkan unsur drama, nyanyian dan komedi. Adiguna meyakini tontonan seperti itu sebenarnya sudah dibutuhkan sejak lama: pentas yang menyenangkan dengan kelugasan pesan. Sutradara yang telah menelurkan beberapa karya pertunjukan seperti Pulang, Stasiun, dan Inspektur Jenderal ini, memilih istilah ‘drama musikal’ daripada ‘opera’ karena drama musikal relatif lebih mudah diterima oleh masyarakat. “Teater tradisi kita seperti lenong juga banyak memadukan unsur-unsur seperti tari, silat, nyanyian, tawa dan sedih. Seperti itulah kurang lebih apa yang dimaksud dengan teater musikal itu,” kata Adiguna. Melanjutkan pengamatannya, Adiguna melihat bentukbentuk demikian sering ditampilkan oleh Teater Koma. Pemain-pemain dalam pertunjukan DIVA bukanlah
profesional. Mereka ‘hanya’ orang-orang yang menyukai teater, berasal dari beragam usia dan kalangan, kemudian bergabung dengan kelompok D’ArtBeat. Adiguna, selaku sutradara, akhirnya bertindak pula sebagai ‘pelatih’: menggarap para pemain mulai dari tahap-tahap dasar, juga memberikan berbagai instruksi. “Dan ini bukanlah hal yang gampang, “ kata sutradara lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini. Diva melibatkan pengarang lagu serta pemusik. Tak kurang 17 lagu akan menghiasi alur cerita. Latihan gabungan digelar setiap hari Sabtu dan Minggu. Banyak pihak ingin menjadi diva, tapi seperti apakah diva yang sebenarnya? Kita harus memperhatikan lingkungan dan mampu mengalah. Diva sesungguhnya memiliki kesanggupan menaklukkan ego lalu memberikan yang terbaik untuk sekitar. Begitulah pesan dari drama musikal ini. “Apalagi dalam chaos-nya kondisi sosial-politik Indonesia sekarang,” tutur Adiguna, “semua orang ingin menjadi nomer satu, padahal yang dibutuhkan adalah the real diva, individu yang bisa meraih kekuasaan atau kedudukan tapi dengan lapang dada dia memberikannya kepada orang lain.” D’ArtBeat berharap akan terus berkarya dalam dunia teater di Indonesia karena teater merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Teater ikut menentukan kemajuan kebudayaan sebuah bangsa. Ada satu sisi di hati manusia yang merupakan milik kesenian. Tanpa kesenian, hidup manusia menjadi timpang. Untuk kebutuhan ini, diperlukan ketangguhan para pelaku seni, khususnya teaterawan untuk terus bergeliat dari pentas ke pentas. Dengan cara seperti ini, teater diharapkan mampu bersaing dengan industri hiburan pada umumnya.* (Dendi Madiya)
Potensi TEATER KAMPUS Oleh:
Bambang Prihadi Sutradara Lab Teater (Syahid)
Perkembangan teater Indonesia tak lepas dari modal dasarnya; daya tahan dan mutu karya generasi penerusnya. Kampus dan teater kampus dalam sejarah panjangnya menjadi kontributor utama bagi perkembangan regenerasi teater di Indonesia. Mayoritas teaterawan modern Indonesia paling tidak pernah mencicipi
bangku kuliah walaupun tidak terlibat aktif membangun komunitas teater di kampusnya, antara lain Rendra, arifin C.Noer, Putu Wijaya, Akhudiat, Dindon, Ags Dipayana, Niniek L.karim, Radhar Panca Dahana, dll. Adapun sejumlah teaterawan yang masih konsisten sejak mula berteater di bangku kuliah dan
terlibat aktif di teater kampusnya, antara lain; Nandang Aradea, Gusjur, Wawan Sofwan (IKIP Bandung), Iswadi Pratama (UNILA), Yudhi Tajuddin,Gunawan maryanto (UGM), Hamdi Salad (UIN Yogya), Yusril katil (UNAND), Sir Ilham (UIN Jakarta), Abdi (UNHAS), dll. Dari mereka, pelaku teater kampus dapat mengambil pelajaran dari cara menyikapi persoalan yang mereka hadapi selama bergulat di dalam kampus. Sejak mula berteater di kampus, mereka telah membuka pergaulan yang baik dan kreatif dengan masyarakat kampus, juga menjadikan sparing partner seniman senior di luar kampus. Hingga pada masanya dimana kampus tidak dapat lagi mengakomodir kehadirannya, mereka telah eksis dan pede sebagai seniman teater. Apakah dengan cara membawa grup kampusnya keluar bersama dirinya
seperti yang dilakukan yudi tajudin cs dengan teater Garasi, atau sebagai individu yang mendirikan grup baru seperti yang dilakukan Wawan Sofwan. Lingkungan kampus yang membangun daya pikir obyektif dan kritis menjadi tanah subur bagi para pelaku untuk melangsungkan proses kreatifnya. Sejalan dengan semangat perguruan tinggi sebagai agen perubahan, dunia kesenian (teater) pun mensyaratkan upaya setiap pelakunya untuk menjadi diri yang mandiri yang penuh gagasan kreatif dan inovatif, segar dalam menyikapi dinamika diri dan keadaan sosial, melalui latihan dasar berupa olah imajinasi, olah rasa/ sukma, olah ruang, olah pikir dan olah tubuh. Karya pertunjukan sebagai salah satu produk kebudayaan intelektual bukan menjadi akhir dari proses, tapi lebih dari itu menjadi bagian dari proses
edisi II/April 2011
KHASANAH
dramakala
Teater Kampus: KEMBALI KE ILMU! Harapan Munculnya Pembaruan Teater Oleh:
Dewi Noviami Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta
Sering saya bertanya-tanya sendiri, sekarang ini, apa sebenarnya yang saya ingin lihat dari pertunjukan-pertunjukan teater kampus? Untuk menjadi teater komersial atau profesional tentu tak bisa, karena menuntut kerja profesional yang sangat menyita waktu belajar, begitu juga kalau mau menjadi teater yang bekerja dengan masyarakat (teater pem– berdayaan) juga tak mungkin di– harapkan. Spesialisasi dan cakupan kerja bidang-bidang tersebut sudah terlalu besar dan terlalu serius untuk dijalankan sebagai “hobby” di waktu luang saja.
dan kelompok yang bekerja dengan berbagai media itu menampilkan beberapa hal yang sangat menarik, di antaranya adalah bagaimana karyakarya dipamerkan itu merupakan sebuah
‘
Perbincangan mengenai pertemuan antara ilmu, teknologi dan seni bukanlah hal baru dan sulit untuk dipisah-pisahkan
‘
kritik dan inovasi di bidang seni, sains, dan teknologi terkini”, “ada 4 ‘key word’ buat HONF beserta seluruh kegiatan dan program program di dalamnya, yaitu, “art, technology, science, dan society”. Aktivitas yang dibuat HONF ini membuahkan penghargaan internasional, baru-baru ini mereka diganjar penghargaan Transmediale, sebuah festival new media arts di Berlin. Mengenai HONF dapat disimak lebih jauh di http://www.natural-fiber. com/ . HONF yang saya ambil sebagai contoh yang berhasil “mengada” dalam dunia seni tentunya bukan karena penghargaan yang didapatnya, juga bukan sekedar karya-karyanya yang terlihat di pameran-pameran, tetapi yang lebih penting adalah mengamati cara kerja mereka, semangat dan kepercayaan yang mereka usung dan terutama pembacaan mereka atas kondisi yang ada dan mencari jalan mereka yang tepat dan sesuai dengan jaman. Hal yang tidak mudah dan membutuhkan kerja bertahuntahun, tetapi hasilnya sudah kita lihat sendiri.
Kejadian lain yang semakin membulatkan harapan saya tersebut adalah sebuah pameran pada awal tahun 2011 yang diselenggarakan oleh komunitas ruangrupa yang dikuratori oleh Hendro Wiyono. Dalam pameran yang mengundang berbagai individu
pergulatan yang sangat kreatif antara ilmu dan seni. Misalnya kelompok asal Yogyakarta bernama House of Natural Fiber (HONF) yang menampilkan keasyikan bereksperimen dengan bakteri. Bakteri yang diberi cairan tertentu ini ternyata menimbulkan suara yang kemudian diberi pengeras suara. Dari tombol-tombol yang disediakan, saya dapat membayangkan bahwa seorang DJ dapat membuat bunyibunyian beritme dari gerak para bakteri ini… sebuah konser para bakteri! HONF bukan kelompok teater kampus, ya, tetapi mereka adalah mahasiswa (juga mantan mahasiswa) yang tertarik untuk (saya kutip dari facebook mereka): “berkonsentrasi pada prinsip-prinsip
Perbincangan mengenai pertemuan antara ilmu, teknologi dan seni bukanlah hal baru dan sulit untuk dipisahpisahkan. “Kesadaran purba” orang teater sebetulnya selalu seperti itu. Kesadaran kita saja yang mungkin harus terus dibongkar. Pertunjukan Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih pada Festival Teater Jakarta 2010 menegaskan soal kesadaran ini. Kelompok berbahasa Sunda ini berhasil menyadarkan banyak orang, bagaimana pengetahuan mengenai teknologi sederhana untuk keperluan panggung dapat membuat sebuah pertunjukan sandiwara horor yang sudah berpuluh tahun dipentaskan tetap memberi kejutan kepada penontonnya “hanya” dengan ledakan
itu sendiri untuk menjadi manusia yang bahagia, bermanfaat bagi masyarakat, sejatinya.
“kawah candra dimuka” yang baik. Selain akan memproduksi teaterawanteaterawan yang tangguh yang akan
kegiatan seni mahasiswa yang dapat mewarnai gerakan kultural di lingkungan kampus. Menggagas forum-forum bernuansa seni yang kontemplatif, juga dapat masuk dan terlibat dalam eventevent dan forum-forum di lingkungan kampus, untuk merekatkan hubungan silaturrahmi gan kerja antara civitas akademika.
Pertanyaan mengenai “apa yang ingin saya lihat” dari panggungpanggung teater kampus ini, untuk saya pribadi pelan-pelan terjawab ketika tahun 2009 melihat sebuah pertunjukan di Festival Teater Berlin yang dalam pertunjukannya menampilkan sepotong monolog mengenai proses fotosintesa… saya agak tercengang, kok bisa ya istilahisilah Biologi masuk ke atas panggung?
Teater kampus memiliki modal awal yang baik sebagaimana yang tergambar di atas. Wajar, bila harapan akan masa depan teater indonesia bertumpu padanya. Sebagai kelompok yang dinaungi lingkungan kampus yang heterogen, dia tumbuh dengan fasilitas yang ada, dinamika perbedaan pendapat dan keragaman latar belakang anggota masyarakatnya. Membuatnya terlatih untuk membuka diri dan menyesuaikan diri di lingkungan sekitarnya. Ditambah bila para pelakunya memiliki semangat belajar dari teaterawan senior, tentunya asupan ilmu dan pengalamannya akan segera mematangkan diri nya dalam proses kreatif di kampus. Modal lingkungan yang baik dan semangat belajar kepada seniman senior yang visioner, membuat teater kampus akan tumbuh berkembang sebagai
‘
Lingkungan kampus yang membangun daya pikir obyektif dan kritis menjadi tanah subur bagi para pelaku untuk melangsungkan proses kreatifnya
‘
mengisi putaran regenerasi teater Indonesia, sebagai grup, teater kampus akan tetap bertahan dalam habitatnya yang tersegarkan oleh hubungan sinergis antara pelaku nya dan seniman di luar lingkungan kampus. Seperti dua mata uang, teater kampus pada satu sisi dapat hadir sebagai satu entitas
Di sisi lain, melalui hubungan kerjasama yang baik dan mampu melibatkan secara aktif seluruh pihak; dosen, karyawan dan jajaran rektorat dalam proses kerja kreatifnya, ditambah keterlibatan seniman senior sebagai mitra kerja, tidak menutup kemungkinan kesinambungan kualitas artistik dapat terjaga sebagaimana yang terjadi di sejumlah teater kampus mancanegara. Walaupun mereka masih terbilang amatiran, tapi produk yang dihasilkan memiliki daya tawar artistik yang segar dan dapat disejajarkan dengan produk teater profesional.
(bukan bunyi ledakan saja) di atas panggung, atau teknik menarik dengan tali yang melintang di atas kepala penonton yang dapat menarik selembar kain sehingga penonton “melihat” hantu yang melayang di atas kepala mereka. Kemampuan mengolah teknologi sederhana ke atas panggung akhirnya menjadi kemampuan mengolah emosi penonton, hal yang sangat penting dalam sebuah pertunjukan. Dari beberapa pengalaman di atas tepat rasanya bila teater kampus sebaiknya membuat pembedahan (siapa tahu dapat menjadi platform bersama) mengenai ilmu dan teater, karena ini adalah potensi dari kampus yang paling utama. Pergulatan dengan ilmu yang dapat terbaca di atas panggung, baik itu dalam bentuk teks maupun perangkat pemanggungan lainnya, akan memberi suasana dan tawaran baru bagi dunia teater di luar kampus. Siapa tahu kita suatu saat dapat melihat sebuah panggung yang dapat berputar hasil kerjasama satu kelompok teater kampus dengan kawan-kawan mahasiswa teknik mesin dan arsitektur, atau permainan cahaya hasil karya bersama mahasiswa teknik kimia atau fisika, teks-teks pintar hasil riset mahasiswa ilmu sejarah dan sosiologi, atau kisah-kisah yang tak pernah kita dengar mengenai proses pembusukan tubuh tapi dari “kacamata” seekor belatung, dan seterusnya. Dengan demikian, keasyikan mahasiswa untuk mencoba ilmu yang didapatnya di kampus dapat memberi kegembiraan juga bagi penonton pada umumnya yang dapat melihat hal-hal yang diluar kesehariannya, juga eksperimeneksperimen mahasiswa yang bebas dapat memberi sumbangan berarti bagi kehidupan teater di luar kampus. (Tulisan lengkap dapat diunduh di situs: www.dewankesenianjakarta.or.id)
Sebagaimana menurut Putu Wijaya; Teater kampus mancanegara ditonton dengan penuh penghormatan dari masyarakat, bahkan sering memberikan langkah besar dan inovasi. Untuk itu, Tidak alasan bagi teater kampus untuk menutup diri atasnama independensi yang salah kaprah. Menutup diri dari pihak-pihak yang memiliki harapan sama akan perkembangan seni dan kebudayaan umumnya. Dalam konteks kualitas karya seni, sesungguhnya tidak ada alasan bagi teater kampus untuk membuat yang tidak bagus. Semua kelompok teater dari manapun asal nya, memiliki persoalan yang sama pada prinsipnya, walaupun masing-masing berbeda bentuknya. Tetapi sesungguhnya, berpulang kembali pada para pelakunya, sejauhmana mereka dapat menyikapi keterbatasan dan keterjepitan yang mereka hadapi di lingkungannya masing-masing.
5
6
dramakala
KABAR edisi II/April 2011
Jadwal Pertunjukan > Festamasio V
Palembang 18-24 April 2011 Universitas Sriwijaya Palembang
> Opera Tan Malaka
Libretto/Sutradara: Gunawan Muhamad Komponis: Tony Prabowo Graha Bakti Budaya 23-24 April 2011 Pukul: 20.00 - 21.00 WIB
Workshop & Pementasan > Teater Tanah Karya: Iman Soleh Sanggar Baru 28-29 April 2011 Pukul: 10.00 - 22.00 WIB
dramakala
Pentas TEATER KAMI > “GEGIRANGAN”
Bantara Budaya Jakarta 28 & 29 April 2011 pukul 20.00 wib Sutradara: Harris Priadie Bah pemain: Ribka Maulina Salibia, Harris Priadie Bah, Piala Dewi Lolita, dan Roy Julian Sutradara: Harris Priadie Bah
> “SAVITRI”
Karya : Retno Maruti Gedung Kesenian Jakarta 30 April s/d 1 Mei 2011 Pukul: 20.00 WIB s/d selesai
Perempuan Pilihan > Dewa UKM Teater UI Graha Bakti Budaya 7-8 Mei 2011 Pukul: 19.00 WIB
Sastra Welang > Monologue Awards
Balai Bahasa Provinsi Bali 28-30 Mei 2011 Pukul: 10.00 WIB
RESENSI
Buku Ensiklopedis (Perjalanan Teater Kedua Antologi Tubuh dan Kata- Afrizal Malna) Buku yang diterbitkan oleh iCAN (Indonesia Contemporary Art Network) Yogyakarta ini, bukan hanya menjadi sebuah Antologi dari seorang Afrizal Malna. Tapi mengisi ruang kosong kita tentang reportase pertunjukkan teater yang belum pernah ditonton sebelumnya dan membuat pembaca merasa pernah menontonnya lewat permainan kata yang dipaparkan. Afrizal membicarakan teater secara serius lewat resensi pertunjukkan yang digarap secara teliti dan sederhana walau kadang ada banyak frase yang sulit dipahami, namun kita perlu menganggap hal ini sebagai bentuk memasyarakatkan frase bahasa Indonesia agar lebih akrab dengan keseharian kita.
Resensi pertunjukan yang dibuat dari mulai pentas outdoor sampai indoor, dari mulai monolog di ruang publik sampai pertunjukan group teater profesional di gedung yang representatif. Hasil pertunjukan yang diresensi bernarasi dengan sabar, menyajikan imaji-imaji di atas pentas ke dalam diksi penulis, menangkap ide dan gagasan pementasan. Antologi ini merangkum beberapa pementasan dengan kausalistik kejadian di dunia pentas dan kenyataan yang sedang terjadi atau di buat menjadi berbaur dalam sebuah cerita. Buku ini memiliki 428 halaman dengan prolog dan dua penutup.(IS)
Mengenal Teater lebih Asyik (Buku Panduan Belajar Teater Untuk SMA Teater Asyik Asyik Teater- Teater Satu) Teater yang dapat diartikan sebagai Mother of Art ternyata dapat kita kenal dengan ringan, mulai dari pemahaman teater itu sendiri, bagaimana belajar menjadi sutradara dan pemain (aktor/aktris), mengenal panggung, musik untuk teater sampai tahapan membuat sebuah produksi teater. Buku ini juga dilengkapi dengan metode latihan dan contoh-contoh visual artistik yang berwarna sehingga dapat memudahkan kita mengenal lebih dekat sekaligus melakukan praktek. Segmentasi penerbit membuat orang awam yang ingin mengenal teater jadi lebih
mudah, sehingga kalangan mahasiswa yang perlu mempelajari pengetahuan dasar teater dapat lebih mencerna buku pengetahuan ini. Kajian-kajian ilmunya cukup memandu kita untuk belajar karena menggunakan bahasa keseharian. Walau pilihan bahasa yang dipakai mix (Inggris dan Indonesia) tetap saja esensi dari kulit pengetahuan tentang teater dapat dipahami. Buku ini juga dapat menjadi kurikulum sekolah karena para penulis merupakan orang-orang yang peduli dengan dunia pendidikan serta disusun dengan kajian-kajian ilmiah.(IS)
Kumpulan Naskah Teater Indonesia (Antologi Drama Indonesia-Amanah Lontar) Buku Antologi Drama Indonesia ini dibagi kedalam empat periode (18951930, 1931-1945, 1946-1968, dan 1969-2000) dengan darama dari setiap periode diterbitkan dalam jilid berbeda. Buku ini bertujuan untuk memperkenalkan Indonesia pada dunia melalui terjemahan karya sastra Indonesia. Memuat sekitar tigapuluh sandiwara yang dapat digunakan dalam pengajaran sastra dan kebudayaan Indonesia di universitas dan lembaga pendidikan lain di luar negeri.
Setiap buku minimal berisi 250 halaman bahkan lebih, ada juga yang sampai hampir 600 halaman. Namun harga dari 4 jilid buku ini dirasa masih terlalu sulit untuk dimiliki individu, tapi bagi kalangan pendidik hal ini tentu tidak menjadi hal yang besar karena Antologi Drama Indonesia ini mengupas perjalanan naskah teater yang dapat kita kaji sejarahnya dari tiap periode. (IS)
edisi II/April 2011
A
BERBAGI PENGALAMAN
dramakala
7
ARTISTIK
Artistik adalah salah-satu bagian penting dalam pertunjukan teater. Penata artistic bias terdiri dari piñata seni rupa dan seni panggung. Penata seni rupa berkewajiban untuk menampung dan menafsirkan pikiran sutradara yang berhubungan dengan pertunjukan. Tafsiran tersebut diterjemahkan dalam rancangan segi seni rupa dalam pertunjukan. Penata seni rupa dibantu oleh penata panggung, terutama dalam membuat dekorasi panggung dan pengaturan tata panggung. Photo: Dok. Teater Koma
Kelompok teater yang dinilai unggul dalam tata artistik adalah Teater Koma. Hampir seluruh pertunjukan Teater Koma dukung oleh tata panggung yang megah dan sesuai dengan kebutuhan cerita.
MUSIK Sebuah pertunjukan akan terasa semakin lengkap bila didukung oleh unsur-unsur pertunjukan, salah satunya adalah tata musik. Tata musik dalam sebuah pertunjukan, berfungsi sebagai ilustrasi yang mendukung jalannya adegan.Penata musik harus menciptakan musik, nada, maupun lagu yang sesuai dengan kebutuhan naskah.Penata musik wajib mendapatkan persetujuan sang sutradara dalam setiap karya-karyanya. Selain itu, menurut Rendra dalam bukunya “Seni Drama untuk Remaja” tata musik berguna untuk memberi tekanan pada suatu permainan dan menghias perkembangan langkah cerita. Penekanan tersebut harus sesuai takarannya dengan kebutuhan naskah, jangan berlebih-lebihan. Karena musik pada dasarnya bukanlah bagian utama dari pertunjukan teater. Namun pada perkembanganya teater modern saat ini yang tidak memilik fokus pada teks (naskah) tidak hanya menjadikan musik sebagai ilustrasi namun peran tata musik dapat di sejajarkan dengan elemen-elemen lainya disebuah pertunjukan. Photo: Dok. Teater Kubur
dramakala
KENANGAN
Sang “penetas” itu telah pergi… Kira-kira pukul sebelas malam melewat lima detik, kabar berpulangnya mas Aji kuterima dari Malhamang Zamzam, seorang sahabat yang juga sahabat dekat almarhum, lewat telepon tangan yang bergetar terus di atas kepala tempat tidurku. Ada sepuluh kali, mungkin lebih, Malhamang menggetarkan telepon tanganku tersebut - deringnya memang selalu kumatikan bila waktu memalam, bersebab tak hendak terganggu saat nyenyakku - dan Malhamang memang sudah maklum kalau aku pasti telah tidur saat itu walaupun menurutnya hari “masih sore”, belum lagi pukul sebelas. Ketika akhirnya aku terbangunkan juga oleh suara getar telepon tangan itu, maka antara percaya dan tidak, kabar berpulangnya mas Aji - sapaan akrab bagi Ags Arya Dipayana - karena serangan jantung mendadak ketika sedang mengerjakan bengkel pelatihan wayang di Purwakarta tanggal 2 Maret 2011 pukul 10 malam, adalah seperti mimpi yang tidak menyenangkan bagi tidur malamku yang terjaga. Bagaimanapun, kabar keberpulangan seseorang, apalagi seseorang yang kepadanya kita merasa akrab, tidak jarang, terlalu sering bahkan, membuat kita ragu akan kebenarannya, walaupun keraguan itu tak akan berlangsung lama seiring dengan kenyataan yang bersegera kita sadarinya. Terbangun
dari tidur yang belum lagi nyenyak dan menerima kabar duka malam-malam, mampu membuat tubuhku lemas. Ada tiga jam aku dan istriku membicarakan mas Aji, kami sulit tidur kembali dan entah kenapa perutku tiba-tiba sakit. Sedih dan kehilangan adalah dua kata yang mewakili perasaan kami saat itu. Bukan semata-mata hanya karena kematiaannya benar yang membuat kami sedih, tetapi keberpulangannya yang mendadaknya itu juga yang membuat kami kaget dan kehilangan. Ya, mas Aji adalah seorang sahabat yang baik. Pertemanannya dengan banyak orang dari berbagai cabang seni, telah membuktikan kebaikannya itu. Di bawah matahari yang terik, di areal peristirahatan orangorang yang telah berpulang, kami semua hadir mengantarkan keberangkatannya untuk tak kembali dan menetap di rumah abadinya. Mas, kami kehilangan tentu saja, namun kami masih memiliki kebahagiaan akanmu : ketenanganmu, guyonanmu, sesekali suaramu ketika ada kesempatan bermain gitar dan bernyanyi, serta karya-karya teatermu bersama kawan-kawan Teater Tetas yang kamu pimpin dan sutradarai, rasanya boleh menjadi ingatan yang membahagiakan itu. Selamat berpulang mas Aji, kamu telah menetas menjadi kenangan. Bahagialah menjadi milikmu, abadi. (Harris Priadie Bah).
Photo: Dok. Teater Kubur
Photo: Dok. Teater Casanova
GALERI edisi II/April 2011
Sademarat - Teater Casanova
Tubuh Ketiga - Teater Garasi
Photo: Naomi Srikandi
Photo: Dok. Teater Garasi
Rumah Bolong - Teater Kubur
Photo: Dok. Teater Satu
MedeaMedia-Naomi Srikandi
Photo: Dok. D’ArtBeat
Kisah yang Mengingatkan - Teater Satu Lampung
Latihan DIVA - D’ArtBeat
Photo: Dok. Teater Koma
dramakala
Photo: Dok. Teater Kubur
8
Sie Jien Kwie - Teater Koma
Sie Jien Kwie - Teater Koma