Dramakala #6

Page 1

drama kala media komunikasi dan informasi teater

2 WACANA 3 BERITA UTAMA 4 KHASANAH

Radikalisasi Diri untuk Teater Nanti

Panggung Teater Indonesia - Jilid 2

Realitas Teater Realis: Catatan Kecil untuk Teater Eksperimental

8 MATA KALA

Kolaborasi dalam Panggung Teater Indonesia, Sebuah Kemungkinan.

Edisi DESEMBE R

1 20

06

1 - JANUARI 2 0

12

Panggung Teater Indonesia

Kreatifitas Tak Kunjung Habis


2

Edisi 6 - Desember 2011 KALA MEMBACA

drama kala Dewan Eksekutif IDEAL Pembina Penasihat Direktur Internal Direktur Eksternal General Manager Koordinator

: Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR : Arswendo Atmowiloto : Chrisdina Wempi : Rafael Jolongbayan : Renata Tirta Kurniawan : Maulia Rori Rarasati

Dewan Redaksi Pimpinan Redaksi Wakil Pimpinan Redaksi Staf Redaksi Editor Layout

: Harris Priadie Bah : Andi Bersama : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Hery Saragih : Malhamang Zamzam : Aditya Nugroho Pratomo

Alamat Redaksi STIKOM The London School of Public Relations - Jakarta Komplek Perkantoran Sudirman Park Jl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35 Jakarta Pusat 10220 Cover “Zero” - Teater Tanah Air Foto Dok. Teater Tanah Air

Wacana teater modern Indoneia tidak akan pernah surut dari dinamika kehidupan, terutama bagi yang memang telah memutuskan untuk menjadikannya medan kreatifitas dalam seni pertunjukan yang berdampingan dengan seni-seni pertunjukan lainnya seperti seni musik, tari, dan lain sebagainya. Perjalanan teater yang memang belum cukup panjang di negeri ini sesungguhnya sudah berhasil menjadikan teater Indonesia dikenal publik dengan jangkauan yang cukup luas, bahkan sampai ke negeri-negeri yang jauh. Sepanjang sejarahnya, kita banyak mengenal nama-nama persona yang terbukti mencurahkan waktu, pikiran dan bahkan uangnya (yang tak seberapa itu) demi kemajuan serta keberhadiran seni teater di negeri yang katanya kaya sumber alamnya ini. Hormat bagi mereka, penyetia sejati. Dramakala edisi ke enam ini kembali menyuguhkan berita utama tentang panggung teater Indonesia sebagai kebersambungan dari edisi ke lima yang sebelumnya sudah kami turunkan. Ini kami lakukan sebagai bagian terkecil dari sebuah upaya agar bidang yang bersama kita cintai ini kian dikenal dan dicintai oleh penikmatnya. Untuk rubrik wacana kali ini kami turunkan tulisan dari Radhar Panca Dahana, seorang pribadi yang cukup gigih yang dikenal sebagai penyair, pelaku teater dan pengamat masalah sosial dan budaya. Sementara pada rubrik Khasanah, kami suguhkan kembali pemikiran Agus R. Sardjono yang tulisannya memang sengaja kami jadikan dua bagian mengingat cukup panjang untuk ruang yang kami sediakan itu. Sedangkan pelaku teater yang kami wawancarai untuk edisi ini adalah Cok Sawitri seorang pelaku teater perempuan dan penggiat soal-soal keperempuanan yang berasal dari Bali, Yani Mae - dosen seni peran Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, sekaligus aktor dan sutradara, Joko Bibit Santoso - pelaku teater dari Solo, serta Jose Rizal Manua - pembaca puisi dan sutradara Teater Tanah Air, sebuah kelompok teater anak yang cukup produktif dan sering melakukan pertunjukan ke luar negeri, Jose saat ini tercatat sebagai anggota komite teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Demikianlah pembaca yang kekasih, apa yang kami suguhkan ini kiranya dapat menjadi bacaan yang bermanfaat, semoga. Kita akan bertemu kembali dalam edisi berikutnya di bulan Februari, tahun mendatang. Selamat Hari Natal dan Selamat Tahun Baru.

Redaksi

WACANA Oleh :

S

Radhar Panca Dahana

Radikalisasi Diri untuk Teater Nanti

eorang sahabat dekat mengirim SMS: “Festival Teater Jakarta (FTJ) 2011 kembali digelar dengan Dewan Juri: Putu Wijaya, Nano R, Dindon WS, Afrizal M, Benny J. Lumayan PD! Mudah-mudahan memadai krn: tak ada melibatkan ahli (kompetensi) u/ bidang: Tata Busana (kostum), Seni Rupa (Set & Artistik), Musisi (Musik), Multimedia (Audio-Video), Tata Cahaya. Aduh, Teater!...Asyik memingit diri… dlm keremangan…yg nyaris gelap! Salam”. Sahabat yang perupa cukup ternama pemenang award dari Phillip Moris itu, betapapun cukup tajam kritik yang disampaikannya, sebenarnya memiliki pengamatan yang cermat dan historis.Artinya, ia beralasan. Perjalanan teater non-tradisional Indonesia dalam beberapa dekade belakangan memang menampilkan dirinya dalam situasi yang disebutnya “asyik memingit diri…dalam keremangan…(dan) yang nyaris gelap”. Bagaimana hal itu bisa terjadi dalam dunia kreatif dengan usia yang lebih tua dari republik ini, yang seharusnya sudah mencapai tingkat kematangan yang tinggi, berprestasi lebih, dan berkontribusi besar dalam perkembangan masyarakat, bangsa dan negara yang dimiliki dan memilikinya? Jawaban untuk itu tentu saja akan memancing kontroversi. Bukan saja dari angle dari mana masalah itu dilihat, kepentingan, teori, dan sebagainya. Tapi juga bahkan dari afirmasi terhadap pernyataan di atas, yang saya yakin, beberapa pihak akan tidak menyetujui. Apalagi jika kita memperhitungan faktor mental (psikologis) dari mereka yang siap merespon pernyataan --dan

pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan di dalamnya—di atas itu. Karena itu tulisan ini rasanya tidak dalam posisi untun memperkuat kontroversi itu, yang mungkin akan lebih produktif dibicarakan secara terbatas. Apa yang menurut penulis lebih mendesak (urgent) dan cukup kritis adalah mengamati realitas hari ini dan melihat bagaimana sejarahnya, bukan di waktu yang telah lalu, namun di ruang yang lebih lapang di depan. Bagaimana teater melihat dirinya sendiri, mengonstitusi diri dan lingkungannya, memandang ruang dan waktu di hadapannya, berhadapan, menjawab, dan mengisi peluangpeluang yang tertutup dan terbuka baginya. Dalam persoalan dan tuntutantuntutan semacam di atas, teater nontradisional (untuk penyebutan “teater” berikutnya dan untuk mengategorisir berbagai sub(-sub)-genres seperti teater “modern”, teater “kontemporer”, teater “eksperimental”, teater “mutakhir”, “absurd”, “abstrak”, dan banyak sebutan lainnya), dalam realitasnya jika tidak gagap, ia memang terasa kewalahan menghadapi perkembangan hidup (zaman) yang begitu laju di sekelilingnya. Perkembangan lingkungan multidimensi itu tidaklah berbanding lurus dengan progres yang telah dicapai oleh seni teater, baik secara kreatif-artisik-estetik, sosiologis, politis, dan seterusnya. Kenyataan ini tentu dapat dengan mudah dibuktikan diakui atau tidak itu persoalan lain saat misalnya kita melihat pencapaian keilmuan dan teknologi, misalnya. Dazztttri soal teori, misalnya, pemahaman umumnya para

teaterawan kita –bahkan para pengamat dan akademisinya—masih didominasi oleh teori-teori, wawasan, dasar filsafat atau kaitan interdisiplin dari apa yang kita miliki tiga bahkan empat dekade lalu. Tidak ada pencapaian intelektual cukup signifikan yang kita –para pemangku kepentingan seni teater negeri ini—telah hasilkan, apalagi jika harus dikomparasi dengan pencapaian bangsa atau negeri lain, bahkan dengan tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand atau Singapura. Katakanlah, minimal dalam jumlah karya ilmiah atau riset-riset akademik-teruji yang telah dihasilkan. Begitu pun dari sisi teknologis, capaian-capaian terakhir dari pertunjukan teater kita tidaklah memresentasikan kapasitas dan kualitas pencapaian teknologi mutakhir dunia yang kini sudah menyentuh bahkan memengaruhi hampir semua bidang kehidupan kita. Tak ada manusia, komunitas atau institusi apa pun di negeri ini yang tidak berusaha untuk memahami, menggunakan dan menguasai bahkan memroduksi kecanggihan baru dari teknologi yang dicapai dan dipenetrasi oleh globalisasi. Tapi dalam gerak besar itu, kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana baru satu-dua pertunjukan yang berusaha keras menjadi bagian dari arus “tak terelakkan” itu, walau dengan susah payah, gagap, kurang dana untuk hardware, dan sebagainya. Sementara sebagian besar lainnya masih tenggelam dalam perangkat, cara berpikir, bentuk atau dramaturgi “modern” yang sudah menjadi tradisional di zaman yang serba “pos(t)”

Penyair, Teaterawan, Pendiri dan Ketua Federasi Teater Indonesia (FTI)

ini.

Kita pun akan mendapatkan hasil yang sama jika kita meninjau dari ruangruang yang lain, bagi ruang ekonomis (finansial), politis (peran dan posisinya), kultural (kontribusi simbolik dan nilai yang dikandung di dalamnya), bahkan hingga pada persoalan ketahanan budaya, dan seterusnya. Semua yang tampaknya bukan hanya mengafirmasi konstatasi awal tulisan ini, tapi juga –sepatutnya—menjadi driver yang kuat untuk kita berusaha jauh lebih dahsyat dari tahun-tahun sebelumnya untuk mengejar semua ketinggalan itu. Dibutuhkan daya kreasi yang lebih mengejutkan, daya kerja (power dan stamina), keteguhan (determinasi dan konsistensi), kerjasama (koordinasi, jaringan, grouping dan rasa saling percaya) hingga soal keterbukaan (hati dan pikiran) untuk menyatukan energi dan sinergi yang mungkin kita ciptakan. Ada semacam radikalisasi –dalam arti perubahan diri—yang mesti terjadi di tiap individu kreatif atau para pelaku aktif (seniman, pengamat, manajemen, dll) untuk dapat melaksanakan hal di atas, antara lain dengan mulai mengatasi kelemahan-kelemahan internal, baik secara teknis maupun psikologis yang harus secara jujur dan jernih kita akui. Dengan modal dasar radikalisasi –sikap mental dan intelektual—itu, kita bisa bersama mengharapkan menemukan path kita menuju sebuah sejarah baru di hadapan “keremangan…yang nyaris gelap” ini. Ayo, bro! Memang cuma SBY yang bisa. Kita lebih.* (RDP)


BERITA UTAMA Edisi 6 - Desember 2011

3

Panggung Teater Indonesia - Jilid Dua “Kreatifitas Tak Kunjung Habis”

T

eater modern Indonesia modern itu memiliki semangat yang sungguh-sungguh beruntung. tinggi. Itu, katanya, warisan mereka. Memiliki pewaris yang tak kunjung habis. Kini pewaris-pewaris itu sedang Roedjito semakin marak pengucapannya dalam Sementara itu, Joko Bibit bentuk, konsep, idealisme, gagasan, (Pimpinan Teater Ruang-Solo) kemasan. Ia pun telah makin percaya menekankan pentingnya menyertakan diri untuk berhadap-hadapan dengan teater modern dari negeri lain. Di tengah kiprah skenografer panggung yang dinamika sosial dunia yang cenderung andal dalam percaturan menyeragam lewat kendaraan teater modern Indonesia, globalisasi yang menjadi boncengan, yaitu Roedjito. Tokoh justru ketika dinamika sosial ekonomi teater modern yang telah cenderung satu tipikal warna, teater wafat ini nyaris teramat disebut-sebut. modern justru menggeliat dengan jarang Lantaran menurut Joko nyaris tak terhitung keberagamannya. Sejak memang kemodernan Bibit kiprah dari pikiranJoko Bibit teater tidak meninggalkan tradisi, pikiran dan kekuatan kreativitas teater pun bersinergi. Saling artistik Roedjito tidak tampak. Sosoknya memberikan kekuatannya satu sama amat jarang tampil di permukaan lain, dan itu menciptakan kekayaannya panggung. Ia lebih banyak berada yang berikutnya. Di situ, tak ada di belakang pementasan yang tata benturan. Karena kemodernan dan artistiknya ia tanggungjawabi. Padahal tradisi satu sama lain saling membuka tak kurang-kurangnya Roejito. Ia diri untuk ikhlas bersama-sama memiliki kekuatan yang sama dengan para pesohor itu. Kekuatannya itu pula menyongsong masa depan. Kemodernan teater ada karena yang di antaranya bahkan sanggup kekuatan tradisi. Begitulah yang pada mempengaruhi pikiran-pikiran artistik dan bentuk-bentuk pengucapan gilirannya memungkinkan teater modern pada Rendra, Putu kini semarak bermunculan Wijaya, N.Riantiarno dan seniman festival-festival artpanggung lainnya. performance di pedalamanLagi pula menurut Joko yang pedalaman. Kita tahu itu ada pantas disebut teater (modernkarena para penggagasnya red) Indonesia adalah teater yang telah mengenal dengan Jose Rizal Manua mampu menentukan indentitasnya. secara seksama teater Dan itu ada pada Teater modern yang disumbangkan para Gapit dan pada sosok empu. Bambang Widoyo SP. Jose Rizal Manua kembali Sementara yang lain menegaskan, teater modern Indonesia, (teater yang disebutterkait erat dengan sejarah teater sebut sebagai teater Barat. Menemukan bentuknya masingmodern-red) hanya masing sesudah persentuhan dengan Yani Mae sekadar pewarisan mengeksplorasi seni budaya lokal. Jose menyontohkan Rendra budaya Barat di sini. “Mereka justru baru mencari yang melakukan penggalian tradisi indentitas untuk yang namanya Teater Jawa dan Bali. Suyatna Anirun dengan (modern) Indonesia”, tegas Bibit. lokal jenius Sunda. Dan Arifin C.Noer Lokal jenius adalah kekuatan yang dengan kecirebonan dan kebetawian. Yani Mae menuturkan, para sekarang seperti tinta tebal bagi bentukpesohor itu ujung tombak teater modern bentuk pengucapan teater modern. kita. Spirit dan konsistensi mereka Globalisasi dan situasi keterbukaan sekarang ikut menghembuskan berteater dengan segala masing-masing bentuk-bentuk kelebihan dan kekurangan, artistik teater yang tidak lagi tetap eksis dan survive melulu berada di pusat-pusat kota. sampai akhir hayat. “Suara-suara dari pedalaman” Lain halnya bagi Cok bahkan mampu menciptakan Sawitri. Cok menganggap, ruang pengucapannya sendiri. gaung nama para pesohor itu nyaris tak satu pun yang Gaungnya begitu rupa bahkan Cok Sawitri berpengaruh padanya. sampai manca negara ditandakan Katanya, ia mengenal kehebatan Teguh dengan kehendak-kehendak dari Karya, justru bukan pada teaternya. para penggerak kebudayaan di Melainkan filmnya yang diakuinya ia sana untuk melakukan silaturahmi tonton hanya beberapa di antaranya dan ritual kebudayaan. Festival dan saja. Tokoh-tokoh teater modern lainnya, ia kenal hanya melalui baca kolaborasi menjadi bagian keseharian di daerah. Penanda di koran dan mendengar kehebatan- aktivitas yang menguatkan keajegan para kehebatannya dari pemberitaan. penggagasnya. Teater-teater modern Termasuk Rendra. “Saya pernah melihat dia baca puisi. Itu tidak seperti yang di kota boleh jadi berdecak. Karena saya pikirkan…”, tukasnya. Dengan justru kekuatan identitas “kedaerahan” demikian, mahfum bila ia merasa tak itu. Bila di jamannya, Rendra sempat memiliki keterpengaruhan. Sekali pun mengucapkan kota telah meninggalkan Cok mengakui kiprah para empu teater desa. Kini tentu saja bahkan sebaliknya:

kota dan desa telah saling menguatkan. Bahkan dalam pencarian-pencarian, teater modern di pedalaman boleh jadi beberapa langkah berada di depan. Krisis Tentang proses kerja kreatif, masing-masing dari mereka memiliki cara kerjanya masing-masing. Jose Rizal Manua tidak berpaling dari kekuatan dan vitalitas hidup tradisi. Yani Mae lebih cenderung mengangkat pemanggungan yang minimalis, yang bersifat realis imajinatif. Setting kamar, misalkan, tidak menghadirkan secara komplit benda-benda di kamar itu. Tetapi lebih kepada minimalis tanpa menghilangkan esensi. Cok Sawitri mengungkapkan, untuk pemanggungan, ia menyiapkan dari naskah hingga tata busana. Dasar proses kerja kreatifnya adalah wiraga, wirama dan wirasa. Berproses dengan tidak semata-mata keliaran ide,

audio visual pementasan-pementasan yahud dari grup-grup teater modern para pesohor di jamannya yang sempat disaksikannya antara lain di Taman Ismail Marzuki (TIM). Kendala jenis yang satu ini pun tampaknya berlanjut di era sekarang. Birokrat-birokrat kebudayaan di negeri ini dari dulu hingga sekarang memiliki cara berpikir yang sama-sama keliru. Menganggap remeh dengan kegiatan ilmiah pendokumentasian. Orientasi berpikir mereka, pendokumentasian seni budaya termasuk pementasanpementasan teater modern yang memiliki kekuatan artistik dan keilmiahan, serta akan tidak terulang dengan cara reproduksi, selalu tidak terjangkau. Mereka beranggapan aktivitas demikian merupakan proyek yang tidak kalkulatif. Maka tidak heran pula bila seiring kenaikan anggarananggaran pendidikan dan kebudayaan, toh selalu masa bodo dengan pemberian bantuan dana untuk pementasan-pementasan yang eksploratif. Ini sangat dirasakan khususnya oleh Cok Sawitri yang menetap di Bali. Demikian pula Yani Mae, atas semua proses kreatif yang dikerjakan keduanya. “Dana. Sulit mendapatkan dana proses kreatif. Kalau pementasan mungkin masih ada yang mau memberi. Proses kreatif saya adalah laku dan riset”, ungkap Cok menyinggung soal kendala yang dihadapinya sebagai kreator. Yani membenarkan bahwa kendala pendanaan kerap menyergapnya.

“Mayur” - Teater Ruang, Solo - Sutradara Ery Aryani

tetapi kejujuran dalam proses dan pelaksanaannya. Sekat-sekat keberjarakan yang di jaman represif seperti sengaja dibangun demi menciptakan ketergantungan daerah pada pusat, kini telah tidak berlaku. Pada gilirannya silaturahmi antar disiplin ilmu menjadi hal yang lebih menguatkan para penggerak teater modern mereka. Joko Bibit, Cok Sawitri, Yani Mae dan Jose Rizal mengakui diri mereka merasakan penting melakukan kerjasama dan berdiskusi dengan lintas disiplin ilmu lain. Bahkan kolaborasi seni dengan manca negara, hampir selalu ada setiap harinya pada deretan jadwal pementasan seni dan budaya. Begitulah rutinitas penggerak teater modern sekarang. Setipe dengan para pesohor dulu di jamannya. Jose Rizal menangkap peluang ini. Ia mendokumentasikan dalam bentuk audio visual sejumlah pementasan teater modern yang memiliki kecakapan artistik, pengucapan serta ide. Langkahnya ini terpicu oleh kenyataan. Betapa ia kesulitan menemukan dalam bentuk rekaman

“Zero” - Teater Tanah Air, Jakarta - Foto Dok. Teater Tanah Air

Sponsor yang masih pas-pasan. “Barangkali harus ada strategi dalam pendanaan proses teater. Teaterawan harus membangun semacam networking,” ujar Yani menawarkan solusi. Kendala pada Joko Bibit lain lagi. Ia menyaksikan, seiring kolaborasi dengan seniman manca negara, banyak pemain teater sekarang di sini, mengalami krisis kemanusiaan. Banyak aktor yang tidak memanusiakan tubuhnya, tidak memanusiakan dirinya. Teater hari ini mengejar pencapaian artistik. Tetapi tidak melakukan penemuan dirinya, pememuan kemanusiannya.* (ab, olie, ddies, hrs, mlhmg, hpbh, dm.)


4

Edisi 6 - Desember 2011 KABAR

Timun Mas Teater Tanah Air Naskah : Remy Sylado Sutradara : Jose Rizal Manua Pemain : Renny Djajusman, Gandung Bondowoso, Dadang Badoet, Niken Flora Rinjani, Pepeng, David Karo-karo 17-18 Desember 2011 Pkl. 16.00 WIB & 19.30 WIB Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta HTM : Rp. 100.000,- Rp. 50.000,- Rp. 30.000,Pentas Monolog Pesan Ibu Lelaki Sejati oleh Putu Wijaya Sybil oleh Lisa Syahtiani Tumbal Dewi Cokek oleh Herlina Syarifudin 23 Desember 2011 Pkl. 20.00 WIB Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta HTM : Rp. 50.000,- Rp. 30.000,We The Happy Family STOCK TEATER Karya/Sutradara : Toto Sugiarto 7-8 Januari 2012 Pkl. 20.00 WIB Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM)

Opera 2 Komedi : Mendadak Kaya / Laki-Laki Sejati Musik : Ananda Sukarlan Libretto : Putu Wijaya Director : Chendra Panatan 8 Januari 2012 Pkl. 16.00 WIB Auditorium Bank Indonesia Jl. M. H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350 Info : Ananda Sukarlan Center (Hp. 0818891038) 13 Januari 2012 Pkl. 19.00 WIB Gd. Kesenian Cak Durasim Jl. Genteng Kali 85, Surabaya Info : :madeus:enterprise Telp. 031-71375599 15 Januari 2012 Pkl. 16.00 WIB Sasana Budaya Teater Tertutup Dago Tea House Jl. Bukit Dago Utara No. 53, Bandung Info : Bandung International Music Academy Telp. 022-4238962

surat pembaca|dramakala “Dengan adanya tabloid Dramakala, saya merasa lebih berkembang mengenai teater. Baik dari ilmu teaternya sampai acara pementasan teater itu sendiri. Saya berharap Dramakala lebih meluas lagi dalam penyampaian dunia teater dan selalu up to date.” LEMAN DE MALONE (Sanggar Mas, Jakarta Timur)

“Masukan saya, per wilayah teater dibuat kolom khusus agar tertata dan enak dibaca. Rubrik “Kamus” bagus untuk dilanjutkan terutama untuk kalangan pelajar, perihal hal-hal elementer dalam teater. Dan kalau bisa, halaman Dramakala ditambah.” SOFIE KURNIAWAN (Sandiwara Pisau Dapur, Jakarta Timur)

KHASANAH

Realitas Teater Realis

H

Catatan Kecil untuk Teater Eksperimental (Part 2)

al yang sama terjadi pada konsep teater yang diusung oleh Bengkel Teater Rendra. Pengaruh Rendra dalam perteateran Indonesia sangatlah besar dan luas, namun bersama makin jarangnya Bengkel Teater berpentas makin reduplah pengaruhnya pada dunia teater. Kitapun masih ingat bagaimana genre teater yang diusung Budi S. Otong –dan Afrizal Malna– lewat Teater SAE pernah demikian mewabah di berbagai pelosok Indonesia. Namun bersama perginya Budi S. Otong secara mendadak dari jagat teater Indonesia, perlahan tapi pasti wabah yang ditimbulkannya pun berlalu. Dalam teater, sebagaimana umumnya dalam kesenian, tak pernah ada genre atau kecenderungan yang mati semati-matinya. Semuanya bergantung pada sosok seniman pengusung panji-panji kecenderungan atau genre bersangkutan. Jika sang seniman pengusung suatu panji benar-benar berwibawa dan menghasilkan capaiancapaian yang meyakinkan dalam genre bersangkutan, maka genre tersebut masih akan hidup dan berpengaruh. Sementara itu, sehebat dan seheboh apapun kecenderungan atau genre yang dibawa, jika sang seniman pengusungnya tidak berwibawa dan tidak menghasilkan capaian-capaian estetik yang meyakinkan, maka genre dan kecenderungan itu tidak akan pernah bisa hidup. Raja-raja dan para bangsawan sudah sulit ditemukan di berbagai belahan dunia, tapi Peter Brook yang mengangkat kisah lama Mahabharata yang penuh sesak oleh raja dan bangsawan toh tetap bisa hadir memikat bahkan di wilayah yang tidak memiliki khasanah wayang dalam batinnya. Boleh dibilang teater realis di ka-

langan insan teater dianggap makin tidak populer dan mulai ditinggalkan. Ternyata, ketika perteateran Indonesia meninggalkan teater realis, diam-diam ia tengah meninggalkan penontonnya. Sudah barang tentu para penonton teater realis tersebut tidak dengan serta merta bersedia berpindah menjadi penonton teater kontemporer atau sebut saja teater eksperimental. Penonton (teater realis) yang ditinggalkan orangorang teater tanpa pamit itu, dapat membalas untuk meninggalkan panggung teater, tentu juga tanpa pamit. Inilah salah satu sebab yang membuat teater-teater eksperimental kerap kosong kehilangan penonton. Gelagat lain yang dapat dicatat adalah, menggarap teater realis yang telah kukuh sebagai teater konvensional itu, nampak mudah tapi sama sekali tidak mudah. Mempergelarkan teater realis adalah mempergelarkan sebuah pertunjukkan yang baik sutradara, pemain, kru, dan sekaligus penontonnya, sama-sama memiliki pegangan, acuan, dan ukuran akan keberhasilan dan kegagalannya. Meskipun ukuran akan “keberhasilan” dan “kegagalan” sebuah pertunjukkan teater realis bersifat relatif dan tidak merata di antara para penonton, namun “ukuran” itu jelaslah ada, yakni konvensi yang terbangun dalam cakrawala harapan penonton berdasar cakrawala pengalaman dan cakrawala pengetahuan mereka masing-masing. Dalam pada itu, bagi kalangan seniman tak banyak yang dapat dilakukan dengan sebuah genre seni yang telah menjadi konvensi. Apalagi bagi teater realis yang telah menjadi “konvensi” di masyarakat namun konsepnya sendiri masing asing bagi sebagian besar orang Indonesia, termasuk insan teater.

Oleh :

Agus R. Sarjono Penyair, Penulis Lakon, Dosen Teater STSI Bandung

“PUISI TUBUH YANG RUNTUH” - Teater Payung Hitam - Sutradara Rachman Sabur, foto oleh Agoes Rudianto, solopos.com

Meskipun raja-raja sudah lama menghilang dan sisanya tinggal simbol minus kekuasaan dan peran signifikan di masyarakat; meskipun hegemoni kaum feodal sudah lama sirna di masyarakat, namun feodalisme masih kuat berakar di batin masyarakat Indonesia sampai sekarang ini. Dan feodalisme itu hidup dan dipelihara –sadar atau tidak– bukan hanya oleh kaum feodal, melainkan justru oleh rakyat kebanyakan yang mengalami eskalasi sosial lewat jabatan birokrasi di pemerintahan, gelar-gelar akademik, senioritas, serta kekayaan materi. Kasus jual beli ijazah yang keren dan palsu itu tidak lain tidak bukan merupakan manifestasi dari sikap feodal yang mengendap di batin masyarakat. Alhasil, di Indonesia tidak pernah terjadi loncatan kebudayaan dari masyarakat feodal menuju masyarakat Industri, dari masyarakat lokal tradisional menuju

masyarakat modern, dari masyarakat paternalistik menuju masyarakat egaliter, dari masyarakat feodalistik menuju masyarakat demokratis. Maka realisme sebagai sebuah teknik dalam sebuah genre teater sudah lama hidup dan dipelajari resmi di Indonesia, namun realisme sebagai sebuah sikap dan “ideologi” berteater belum lagi mengejawantah dengan mantap. Hal lain lagi, “konvensi” teater realis yang tumbuh dan menjadi cakrawala harapan penonton teater dipupuk dan dibangun pula oleh pengalaman menonton film yang dengan berlimpah telah menyediakan tontonan bergenre realisme bahkan kerap dengan mutu yang patut. Menonton pertunjukkan teater realis bagi penonton adalah menikmati sebuah pertunjukkan yang dapat diukur dan diurus penilaiannya oleh mereka sendiri. Mereka dapat berdiskusi di antara mereka mengenai mutu


KHASANAH Edisi 6 - Desember 2011 dan apresiasi mereka terhadap sebuah pertunjukkan sepulang mereka menonton. Hal ini berbeda dengan jika mereka menonton teater eksperimental. Di hadapan teater eksperimental, kebanyakan penonton hanya memiliki dua kriteria: membosankan atau tidak. Mereka tidak begitu percaya diri untuk mendiskusikannya di kalangan mereka sendiri dan tidak terlalu yakin pula untuk membuat penilaian. Mereka merasa tidak berdaya memberikan apresiasi dan penilaian, lantas harus menunggu pendapat dan ulasan kritikus. Dan kritik teater, bisa dikatakan sudah tidak ada di Indonesia. Jangankan kritik teater, kritik sastra saja hampir tidak ada dan digantikan oleh pergunjingan sastra, di mana seseorang bisa menulis tentang sebuah event sastra tanpa hadir dalam event tersebut, atau menulis mengenai karya sastra tanpa membaca bukunya, semata hanya mengumbar sentimen, unek-unek, prasangka dan problem kegelisahan eksistensialnya sendiri. Kurangnya penonton teater eksperimental disebabkan tidak adanya pegangan pada penonton. Mereka tidak dapat memberikan apresiasi dan penilaian mereka sendiri, namun juga tidak bisa menunggu komentar kritikus yang memang tidak ada itu. Situasi ini, boleh jadi, yang membuat panggung pertunjukkan realis membludak dibanjiri penonton. Peran politik masyarakat yang makin membesar –misalnya dengan hak memilih presiden mereka sendiri– akan membuat masyarakat

tergoda untuk menonton pertunjukkan yang memungkinkan mereka untuk melakukan apresiasi dan penilaian sendiri pula. Kenyataan kongkret bahwa publik teater realis cukup besar dan bahkan antusias berhadapan dengan kenyataan terbatasnya lakon realis hasil karya pengarang Indonesia sendiri. Hal ini ditambah dengan masih terbatas pula drama realis yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, apalagi disadur. Maka penonton teater realis seringkali berhadapan dengan suguhan lakon yang itu-itu juga. Apakah semua ini menunjukkan bahwa teater eksperimental tidak diperlukan di Indonesia? Sama sekali tidak. Teater eksperimental bukan hanya dibutuhkan melainkan bahkan memiliki peluang untuk hidup dan diminati penonton. Masalahnya adalah, teater eksperimental tidak dapat hidup tanpa teater konvensional yang kuat dan mentradisi. Hanya teater konvensional yang telah mentradisi dan berkesinambungan agenda pementasannya lah yang memungkinkan lahir dan diterimanya teater eksperimental yang kuat dan memikat. Sukses besar Teater Minikata Rendra tidak bisa tidak disebabkan oleh sejarah Bengkel Teater yang secara meyakinkan telah mementaskan lakon-lakon konvensional dan bersama itu menyiapkan publiknya bagi pembaruan. Demikian pula Teater Mandiri Putu Wijaya mengalami sukses besar dalam pementasan-pementasan eksperimentalnya berkat reputasi Putu

Wijaya dalam pementasan lakon-lakon realisme konvensional. Ketika Putu Wijaya sudah jarang mementaskan lakon konvensional dan dunia teater Indonesia juga tidak menyajikan teater konvensional secara berkesinambungan, agak sulit bagi Teater Mandiri untuk mendapat publik sebagaimana dulu didapatkannya, padahal eksperimentasinya bergumul dengan layar sangat signifikan dan memikat. Teater SAE yang eksperimental mendapatkan reputasinya justru ketika Teater Koma, Bengkel Teater, Teater Kecil, STB dan banyak teater lain kerap mementaskan lakon yang realtif “konven¬sional”. Teater Payung Hitam mencapai pun¬cak teater eksperimentalnya pada pergelaran “Kaspar”, yakni ketika ia masih kerap memper¬gelarkan lakon konvensional. Bahkan bersamaan dengan Kaspar Teater Payung Hitam mempergelarkan lakon kome¬di “Para Penjudi” yang demikian memikat. Ketika Payung Hitam memfo¬kus¬kan diri pada garapan eksperimental sementara teater konven¬sional sedang lesu, maka perlahan tapi pasti publik Payung Hitam pun mengalami kelesuan. Kini, yang masih aktif mencari dan serius berteater adalah Teater Garasi dengan publik yang relatif masih terpelihara. Dengan makin lesunya dunia pertunjukkan teater, semoga mereka tidak cepat putus asa. Teater eksperimental telah melahirkan pencapai¬an yang memikat dan terus tumbuh di kalangan muda. Nama-nama seperti Dindon, Malha-

5

mang Zamzam, Haris Priadie Bah, Ram Prapanca, dan banyak lagi di berbagai kota, masih terus berproses dan menghasil¬kan pencapaian-pencapaian yang menarik. Namun, masa depan teater eksperimental tergan¬tung pada teater konvensional. Salah satu aliran kuat dan kokoh dalam teater konvensional adalah teater realis. Hanya dengan terbangunnya tradisi pertunjukkan konvensional –salah satu yang terpenting adalah teater realis– akan terbangun sebuah publik kokoh bagi teater eksperimental. Dalam pada itu, tradisi teater realis yang kuat di Indonesia hanya dimungkinkan oleh tersedianya naskah-naskah realis yang bermutu dari tangan penulis Indonesia. Sementara kehidupan teater –realis maupun eksperimental– akan lebih mantap manakala kritik teater hidup dan ditulis oleh kritikus-kritikus yang memiliki integritas. Selamat berjoang.** (ARS)

SEBELUM PERTUNJUKKAN

Timun Emas - Teater Tanah Air

P

enggemar pertunjukkan teater dari grup Teater Tanah Air garapan sutradara kondang Jose Rizal Manua bakal kembali disuguhi tontonan berbeda. Pentas kali ini, mengangkat cerita dongeng klasik Timun Emas di Graha Bhakti Budaya (GBB) Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta Pusat, 17-18 Desember 2011. Meski Timun Emas terkategori naskah klasik yaitu dongeng masyarakat Jawa Timur, tapi oleh seniman besar Remy Sylado kisah itu ditulis ulang dengan penyesuain pada situasi kekinian. Untuk keperluan kekinian, Remy Syaldo memunculkan tokoh Monyetmonyet. Tokoh ini dimaksudkan sebagai sindiran moral yang rendah. Terdapat pula tokoh Peri Bakan. Tokoh ini justru berjenis kelamin laki-laki. Bukan perempuan sebagaimana kelaziman. Maksud Remy Silado, adalah hati lakilaki yang sebenarnya menyimpan kelemah-lembutan. Selain kedua tokoh itu, terdapat pula tokoh Tukang Obat dan beberapa tokoh lain yang selama ini tidak ada di ingatan masyarakat pencinta dongeng Timun Emas. Timun Emas berkisah tentang

Tawarkan Kekinian dari Cerita Dongeng Jawa Timur seorang perempuan yang akrab disapa Mbok. Ia menginginkan seorang anak. Suatu ketika raksasa memberinya hadiah berupa timun emas yang berubah wujud menjadi anak perempuan. Raksasa mengajukan janji, jika anak perempuan itu sudah besar harus dikembalikan kepadanya untuk dimangsa sebagai persembahan. Justru sang anak menolak dengan menebarkan lima benda. Antara lain trasi dan jarum. Benda-benda itu ditebarkan saat kedatangan raksasa. Benda-benda itu berubah wujud menjadi duri dan lautan api. Dan raksasa tenggelam mati. Tokoh sentral Timun Emas sebenarnya hanya tiga. Namun Remy memunculkan beberapa tokoh lain. Tujuannya supaya secara visual dapat memaksimalkan kreativitas dan aspek hiburan. Menurut Jose, naskah versi Remy ini tidak berbenturan secara imaji dengan cerita dongeng aslinya. Kalau pun ada kritik atau protes dalam pemikiran penonton, ada argumentasi dari pertunjukkan itu tanpa harus dijelaskan oleh sutradara maupun penulisnya. Tanpa bermaksud menganggap remeh, sepanjang inti di dalam plot yang sudah jadi

kesepakatan orang Indonesia dalam cerita dongeng itu masih ditampilkan dengan tiga tokoh utamanya, maka diyakini pertunjukkannya aman nyaman. Semula ada tiga judul yang akan di-rewrite Remy yang secara khusus ditujukan untuk Teater Tanah Air. Tapi Jose memutuskan memilih Timun Emas. Ini mengait dengan momen hari ibu, 22 Desember 2011 ini. Bagi Jose ibu adalah hero alias pahlawan yang termanifestasi lewat tokoh Timun Emas dalam cerita ini. Garapan ini adalah upaya merayakan Hari Ibu. “Naskah Timun Emas versi Remy yang di-rewrite dalam bentuk kekinian, bermuatan persoalan sekarang menyangkut moral, sosial, budaya. Pesan yang disampaikan bahwa perempuan yang dianggap lemah, ternyata punya kekuatan tersembunyi,” ungkap sutradara yang telah menyabet penghargaan internasional, di toko buku miliknya komplek TIM, Minggu (19/11). Untuk pentas musikalnya, Jose menggandeng musisi Donny Irawan. Akan dipadupadankan dengan koreografi apik olahan Andi Usman. Dan kemasan artistik Hadiman Radjab. Jose akan menampilkan kehebatan

audio visual untuk kepentingan adegan yang sulit divisualisasi. * (HRS)


6

Edisi 6 - Desember 2011 DI LUAR PANGGUNG

Lembaga Teater Jakarta Gelar “Teater Reboan” Lembaga Teater Jakarta (LTJ) di bawah kepengurusan Asep S Martin, menggelar acara “Teater Reboan” 9 November 2011 di Sekretariat Yayasan Kampung Budaya – sebuah lembaga swadaya masyarakat yang dikelola Teater Kubur – di kampung Kober Kecil, di bilangan Rawa Bunga, Kampung Melayu Jakarta Timur.

Acara malam itu mengedepankan tema “Nasib Teater Kita”. Forum dialog dibuka oleh penyelenggara dengan mengetengahkan wacana “kemiskinan teater”. Dalam sambutannya, penyelenggara mengatakan gedung pertunjukan yang representatif seperti di Taman Ismail Marzuki (TIM), sudah dikuasai oleh teater-teater bermodal besar. Teater-teater yang masuk dalam kategori “miskin” atau yang seharusnya dibina Pemerintah Daerah harus tersingkirkan.

Imam Maarif, teaterawan dari Mentaya Estetika menanggapi wacana itu. Ia mengatakan teater kita yang berada dalam maraknya musikal mengarah pada sirnanya ideologi. Syaiful Amri, eks anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2006/2009 menyampaikan bahwa, DKJ saat ini tidak mampu mempunyai program-program yang bagus, sehingga tidak memiliki daya tawar ke Dinas Pariwisata & Kebudayaan DKI Jakarta. Sementara itu, Dindon WS,

pimpinan dan sutradara Teater Kubur mengatakan, kita harus kembali pada pondasi yang seharusnya kita kuatkan, yaitu kreatifitas. Tanpa kekuatan kreatif, perjuangan kita hanya akan terjebak pada hal-hal politis yang menyesatkan. “Teater Reboan” dimaksudkan sebagai forum informal teaterawan, untuk bertemu dan berdialog seputar persoalan teater. * (Ded)

Nalan (penulis naskah, dosen STSI Bandung) ketika menguraikan sejauh pengamatannya terhadap pertunjukanpertunjukan realis lokal. “Dan Juni sudah bermain secara membatin (inneraction), sementara banyak pemain kita masih cellebral,” lanjut Arthur. Lakon-lakon Ibsen merupakan salah satu dari realisme Barat. A Doll’s House menjadi karyanya yang banyak menuai kontroversi. Konon, naskahnaskahnya mengambil urutan nomor dua sebagai drama yang paling banyak dipentaskan di dunia, setelah lakonlakon Shakespeare. Direktur Institut Ungu, Faiza Mardzoeki menuturkan rangkaian kegiatan ini sesuai dengan mandat Institut Ungu untuk menggali potensi perenungan kembali isu-isu perempuan melalui seni dan sastra. “Dengan sadar, kami menggunakan seni untuk berpolitik,” jelas Faiza, yang bertindak pula sebagai produser Rumah Boneka. Meskipun

demikian, Institut Ungu berusaha tidak mengabaikan unsur estetik. Oleh karena itu, bekerjasama dengan seniman-seniman profesional seperti Wawan Sofwan (sutradara teater) dan para aktor semisal Teuku Rifnu Wikana dan Ayez Kassar, menjadi cara yang ditempuh. Acara ini diiringi pula dengan peluncuran buku naskah Rumah Boneka, adaptasi Faiza yang diberi kata pangantar oleh Iswadi. Sementara Marianne Dam Hang, perwakilan Kedutaan Besar Norwegia menuturkan betapa masih relevan Ibsen sekarang dalam transformasi sosial. Problem yang dibawa Ibsen adalah problem universal. Indonesia dan Norwegia sudah sering melakukan kerjasama di bidang kesetaraan gender. Ibsen melakukan refleksi dan refleksi itu menjadikan kita manusia. Membantu perjalanan kita sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan.* (DM)

SEBELUM PERTUNJUKAN

‘We The Happy Family’ Stock Teater Kritik Sosial Keluarga Dengan Bentuk Tak Biasa

Konflik internal dalam keluarga masih subur jadi pilihan bentuk pertunjukkan teater. Dalam produksi ke-17, Stock Teater pun ikut mengangkat tema keluarga dengan tajuk We The Happy Famili. Naskah karya Totos Rasity yang sekaligus disutradarainya ini, akan pentas di Graha Bhakti Budaya (GBB) Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, pada 7-8 Januari 2011, pukul 20.00 WIB. Meskipun tema naskah cenderung klasik dengan konflik keluarga, tapi menurut Fritz, ada bentuk yang istimewa jadi penawaran yang menarik bagi penonton. “Kalau selama ini yang jadi contoh bagi penonton adalah yang baik-baik, maka pertunjukkan kami justru sebaliknya mengangkat cerita yang menjadi contoh dari keluarga yang jelek atau salah. Kami menyampaikan kritik sosial dengan contoh yang tidak baik. Itu yang kami yakini jadi daya tarik,” papar Fritz yang di-

dampingi tiga asisten sutradra lain, Moch Sen, Firsty, dan Indra Acoy. Menurut Firsty, naskahnya memang tergolong realis. Tapi bentuk pertunjukkan akan surialis. Karena banyak adegan-adegan imajinasi berupa flashback dari kejadian integrasi. Ambil contoh, tokoh Rocky yang kerjanya nonton teve dan baca buku apa saja. Tapi tidak pernah mau sekolah. Sehingga dia diperlakukan oleh keluarganya dengan tidak baik. Dibilang bodoh, pemalas, dan sejenisnya. Untuk tidak sekadar menampilkan adegan riil, Stock akan menampilkan perwujudan dari imajinasinya si Rocky. Seperti tokoh Joker dalam film Batman Dark.* (HRS)

DI LUAR PANGGUNG Diskusi Publik dan Monoplay A Doll’s House Ibsen

Dan Kesetaraan Gender

Dengan hanya berkostum putih dan set panggung berupa sebuah sofa, Juni Dahr memainkan tokoh Nora dari adegan akhir lakon A Doll’s House karya Henrik Ibsen. Inilah bagian dimana Nora terbangun dari kondisi penjara domestik rumah tangga lalu menemukan diri sejajar dengan suaminya. Terlebih lagi Nora merasa mendapatkan kembali kemanusiaan yang utuh, kepribadiannya sebagai sesuatu yang ia harus eksis. “Baru sekarang aku duduk setara denganmu, sebagai manusia,”

kata Nora. Pertunjukan dari aktris film juga teater asal Norwegia itu menjadi pembuka acara diskusi publik dengan tajuk IBSEN : SASTRA, MASYARAKAT DAN PEREMPUAN dan Monoplay A Doll’s House. Diselenggarakan Institut Ungu, 27 November 2011 di Galeri Nasional, Jakarta, sebagai kegiatan menyambut pentas Rumah Boneka. Iswadi Pratama (penulis naskah, sutradara Teater Satu Lampung) menilai permainan akting Juni seperti pisau yang menghantam penonton. Rasa dari kata-kata yang diucapkan Juni begitu tajam, artikulatif, sehingga sampai ke batin penonton. “Aktor memang harus masuk ke lapisan dalam,” tutur Iswadi yang mencoba mendeskripsikan apa yang mesti dikerjakan pemain saat melakonkan naskah-naskah Ibsen. Drama-drama Ibsen menuntut intensitas keaktoran. “Belum ada yang mampu memainkan Nora,” ujar Arthur S.


DILUAR PANGGUNG Edisi 6 - Desember 2011

7

The Highlight of Evita

M

Seluruh hadirin kembali bertepuk tangan. Kemudian dilanjutkan dengan santap malam sebagai bentuk ungkapan syukur atas bertambahnya umur. Tampak Ibu Prita menghampiri dan menyalami tamu yang baru datang, mempersilahkan mereka untuk menikmati hidangan yang tersedia. Setelah makan usai, terdengar announcer menyampaikan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Beberapa panitia juga membantu mengarahkan jalan kepada para tamu, menuju ke lantai 3. Diruang Prof. DR. Djajusman Auditorium and Performance Hall, teatrikal konser “Highlights of Evita” akan segera dipergelarkan. Saat duduk di kursi yang telah tersedia, para tamu menerima bingkisan dari Ibu Prita yang diletakkan di atas jok kursi. Kotak berwarna merah dan emas dengan ucapan terima kasih seperti dipersembahkan dari hati. Auditorium digelapkan dan layar dibuka. Nyanyian paduan suara bercorak gospel membuka suasana. Tampak kerumunan orang-orang menyusun konfigurasi pengadeganan. Koor perempuan, koor lelaki, berdialog dengan nyanyian dalam bahasa Inggris. Gangguan teknis pada sound-system tak terhindarkan dalam pengadeganan. Namun potensi aktor maupun aktris drama musikal seperti ini cukup boleh diacungkan jempol. Mengingat, bukan merupakan hal yang mudah memiliki kemampuan akting sekaligus menari

dan menyanyi dalam keseimbangan yang prima. Bisa dirasakan upaya para dosen, asisten dosen dan mahasiswa/i STIKOM LSPR-Jakarta mempersembahkan yang terbaik buat Ibu Prita. “Previta” ujar Arswendo Atmowiloto, mengutip kata sambutan yang beliau sampaikan. Ada kandungan, Prita + Evita = Previta. Memilih teater sebagai media ungkap dari sesuatu yang mendalam dan serius yang kita miliki, adalah bukan hal yang umum dan biasa. Apalagi diera kecanggihan yang serba memudahkan/memanjakan orang seperti zaman sekarang ini. Hal ini memberi tambahan penjelasan tentang kekhasan pada kepribadian Ibu Prita. “Apakah benar Evita menyanyikan lagu Don’t Cry for Me Argentina dalam perjalanan hidupnya?” Lagu itu dinyanyikan Madonna dalam film “Evita”. Pada waktu itu Madonna rela tidak dibayar untuk bisa memerankan Evita Peron. Teater memberi tawaran realitas baru. Itulah kehebatan dari Teater” ujar Arswendo Atmowiloto.* (Ded)

Ibu Prita Ditemani Suami Lilin Ulang Tahun.

Evita dan Juan Peron dalam LSPR “Highlights of Evita

alam 25 November 2011, karpet merah membentang dibawah tenda pintu masuk kampus B STIKOM The London of School Public Relations-Jakarta (STIKOM LSPR-Jakarta) di Sudirman Park Office Complex. Tampak rangkaian bunga ucapan selamat ulang tahun terpampang menyambut tamu-tamu yang datang. Kehadiran Arswendo Atmowiloto, Maudy Kusnaedi, Ira Wibowo, dan Ratih Sanggarwati, dapat memberi gambaran tentang siapa yang berulang tahun. Dan Evita, perempuan fenomenal yang hidup pada tahun 1919-1952 di Argentina, menjadi profil pilihan yang diharapkan menjadi inspirasi peringatan ini. Ibu Prita memasuki ruangan dan dikejutkan oleh koor “Happy Birthday, Mrs. Prita!” Semuanya berdiri dan bertepuk tangan. Ibu Prita menyalami hadirin satu persatu, meniup lilin, yang sebelumnya diawali dengan berdoa, bersama sang suami tercinta ditengah kerumunan keluarga besar, relasi dan kolega STIKOM LSPR-Jakarta. “Toast !” “God bless Mrs. Prita!” Musik oleh Xtraordinari Band yang anggotanya adalah anak-anak penyandang autis mengisi suasana dengan sangat menggugah dan berhasil menyedot perhatian seluruh hadirin. Ibu Prita menghampiri mereka dengan senyuman dan menerima ucapan selamat dengan tingkah dan lagu-lagu khas mereka. “Congratulations, Mrs Prita !”

In Celebration of 50th Birthday of Mrs. Prita Kemal Gani

SESUDAH PERTUNJUKKAN

Teater Sastra UI “Baju Baru Sang Raja” Karikatural Pakaian

Pemain : Yoga Mohammad (Raja), Agrita Widiasari (Ratu), Rahadian Adetya (Wijaya), Mulyadi Iskandar (Perdana Menteri), Maftuh Ihsan (Menteri Pertahanan), Nosa Normanda (Bruce Wong), Tommy F. Awuy (Penasehat Kerajaan), dll. Karya/Sutradara : I. Yudhi Soenarto

Sang Raja disoraki beramai-ramai oleh rakyatnya. Raja sudah gila, teriak rakyat. Raja telanjang di depan umum. Padahal Raja memakai kostum rancangan desainer asal Amerika yang menjuarai lomba baju baru Sang Raja. Ah, Raja tertipu. Kostum itu sebenarnya tidak ada. Kostum itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang terdekat di sekitar Sang Raja: isterinya dan para menteri. Sementara rakyat yang sering dieksploitasi itu tidak bisa melihatnya, alias Sang Raja bugil di mata mereka. Raja pun digulingkan dari kekuasaan karena dianggap tidak waras. Sebuah kudeta dengan modus penipuan telah terjadi. Itulah penggalan adegan menjelang akhir dari pentas Teater Sastra UI “Baju Baru Sang Raja”, dengan sutradara I. Yudhi Soenarto, 25-27 November 2011, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pertunjukan berdurasi kurang lebih 4 jam dengan jeda istirahat selama 15 menit itu, pada akhirnya seperti mengedepankan “pakaian” sebagai

kepalsuan hidup manusia. Sesuatu yang berada “di luar”, bukan kedalaman, bukan esensi, tetapi diperlihatkan kemana-mana dengan begitu bangga, sehingga menjadi palsulah dia yang mengenakannya, kesemuan belaka. Diceritakan dalam pementasan ini, para aktivis yang sibuk merencanakan demonstrasi atas nama membela kepentingan rakyat itu ternyata juga boneka kekuasaan dari tokoh Menteri Pertahanan yang sudah lama mengincar kursi Sang Raja. Dan Sang Raja tak lebih dari sosok hedonis yang dikelilingi oleh pribadi-pribadi yang busuk pula. Hanya mengutamakan urusan diri masing-masing, dibalik retorika bekerja untuk rakyat. Permainan para aktor Teater Sastra UI yang mencoba untuk menghadirkan tubuh-tubuh karikatural memang masih bisa ditingkatkan lebih tajam lagi. Dialog-dialog yang diucapkan dengan ritme yang cenderung cepat oleh hampir semua tokoh, di beberapa bagian justru mengaburkan artikulasi kata. Pertunjukan ini memiliki latar be-

lakang panggung yang berubah-ubah, berupa potongan slide karikatural ruang dimana cerita berlangsung. Sayang sekali, kesan yang disugestikan oleh potongan slide itu tidak terasa menyatu dengan set panggung yang hanya disusun dari beberapa bidang level dengan kursi-meja yang tidak cukup membangun suasana komikal. Tata musik yang sebenarnya berpotensi besar untuk turut menciptakan atmosfir kartun, juga tidak muncul. Ending-pun terasa begitu mendadak. Susunan tangga dramatik tidak begitu tertata dengan baik. Sehingga keseluruhan pentas lebih dipadati oleh susunan dialog demi dialog tanpa perkembangan plot cerita yang sistematis. Pakaian memang bisa menjadi bagian karikatural manusia. Jika kita mengenakan pakaian raja, tetapi tingkah polah kita bertolak belakang dengan layaknya seorang raja yang agung nan bijak, maka tak ubahnya kita seperti tokoh film kartun semata.* (DM)


8

Edisi 6 - Desember 2011 MATA KALA

Kolaborasi dalam Panggung Teater Indonesia, Sebuah Kemungkinan.

D

alam sebuah kerja pemanggungan, kita memahami ada banyak elemen pendukung yang dibutuhkan untuk mendukung terwujudnya karya teater di atas panggung. Teks dramatik, tubuh-tubuh penafsir, kostum, perabot-perabot panggung, pencahayaan, musik dan penataan dekor adalah elemen penting yang bertanggung jawab memperkokoh bangunan kisah atau cerita dalam panggung teater. Bahwa ada kelompok atau grup teater yang dalam karya-karya panggungnya tidak memakai atau tidak membutuhkan satu atau dua atau lebih elemen tertuliskan di atas bagi kecenderungan bentuk pemanggungannya adalah satu hal yang lain, fakta ini boleh jadi terkondisikan oleh perkembangan yang bergerak seturut zamannya dalam varian bentukan artistik dan estetika yang diidealisasikan secara khas oleh masingmasing kelompok. Guna mengelaborasi sekian elemen itu dibutuhkan sentuhan tangan dari para persona yang memang memiliki talenta serta pengalaman secara khusus dalam bidang-bidang termaksudkan itu. Dari pengalaman pemanggungan kelompok teater para tokoh teater Indonesia yang sempat kita tonton atau baca dari banyak tulisan yang mengabarkan peristiwa pemanggungan tersebut, satu hal yang menarik dapat kita cermati adalah tentang kerja bersama (kolaborasi) sutradara dengan persona profesional lainnya yang menjalani laku kesenimanannya dalam bidang seni lainnya seperti musik, seni rupa, dan seni tari. Kerja bersama ini kelak menjadi catatan tersendiri bagi kemajuan

dan perkembangan seni pertunjukan di Indonesia. Jauh sebelum Rendra berpulang, Bengkel Teater Rendra kerap bekerja sama dengan Roedjito, empu skenografi Indonesia, yang keberadaannya senantiasa menghadirkan imaji tersendiri pada panggung teater yang disentuhnya. Selain panggung teater, kita juga tahu kalau mbah Jito, begitu beliau biasa disapa, juga banyak memperkuat penandaan sett bagi panggungp a n g g u n g kelompok teater “besar” lainnya bahkan sampai ke panggung tari dan seni pertunjukan yang lainnya. Keberpulangan mbah Jito pada beberapa tahun yang melewat, menyisakan kehilangan yang berarti bagi panggung seni pertunjukan di Indonesia. Danarto, yang dikenal sebagai sutradara teater, penulis dan sebagai perupa itu, juga sering membantu membangun setting panggung bagi kelompok-kelompok teater yang ada di Jakarta. Sama halnya dengan Teguh Ostentrik, Chandra Johan,

Tatang Ramadhan Bouqie, Diyanto, sedikit nama yang bisa disebut dari deretan perupa, juga tercatat beberapa kali ikut membantu kerja teater dari kelompok teater yang menghadir sekitaran tahun delapan puluhan sesampai tahun sembilan puluhan akhir dan dua ribuan awal. Sementara seniman dari bidang seni yang lain seperti musik dan tari tidak kurang seringnya dilibatkan dan melibatkan dirinya dalam panggungpanggung teater Indonesia. U n t u k m e n g i n g a t keindahan kerja bersama mereka adalah baik juga disebutkan di sini nama Boy G Sakti, seorang penata tari lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), putra dari seorang maestro tari, Gusmiati Suid, yang memiliki reputasi kaliber dunia, yang beberapa kali ikut menggerakan tubuh-tubuh pemain Satu Merah Panggung pimpinan dan sutradara Ratna Sarumpaet pada pemanggungan yang mereka buat. Juga Jecko Siompo dan Grace Susan, keduanya juga dari

Oleh : Harris Priadie Bah

IKJ, yang menata gerak dan tari pada dua nomer pemanggungan Kelompok Teater Kami. Begitu pula Slamet Abdul Syukur pada pemanggungan Teater Sae, Harry Roesli pada pemanggungan Teater Mandiri, Embi C.Noer pada pemanggungan Teater Kecil, I Gusti Kompyang Raka pada pemanggungan Teater Populer, yang kehadirannya memberikan vibrasi lain di telinga penonton lewat penataan musik mereka. Belum lagi catatan kolaborasi yang dilakukan seniman-seniman luar Jakarta, hanya bersebab keterbatasan waktu dan ruang yang penulis alami dalam mencermati karya dari para seniman lintas bidang di berbagai kota lain itulah maka pengalaman kolaborasi mereka tak tersebutkan di sini. Kerja bersama antar lintas bidang ini senyatanya memang telah menjadikan karya-karya teater dari kelompok teater Indonesia itu menjadi kian menarik. Apa yang tergambarkan dari kerja bersama ini tidak serta merta menjadikan panggung teater Indonesia pasti menarik, tentu saja, ada banyak faktor yang memungkinkan sebuah pemanggungan menjadi baik dan menarik: kesungguhan dan disiplin adalah dua kata yang mempersyaratkan tanpa ampun untuk capaian itu. Namun sebagai sebuah model kerja, barangkali kerja bersama lintas bidang ini bisa menjadi satu jalan dari banyak kemungkinan jalan yang bisa ditempuh oleh kelompok teater dalam mewujud-tampakan sebuah karya teater di atas panggung teater Indonesia yang bersama kita cintai. Barangkali begitu.*

PUSTAKA KITAB TEATER

Mengenang Wahyu Sihombing

Tidak Ada Tempat Bagi Orang Bodoh

Tanya Jawab Seputar Seni Pertunjukan

I. Yudhi Soenarto Penerbit Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Jakarta

N. Riantiarno GRASINDO Jakarta

Buku ini berisi tulisan-tulisan Wahyu Sihombing tentang teater, dan catatan kenangan atau pendapat berbagai pihak tentang tokoh yang akrab disapa Pak Hombing ini. Wahyu Sihombing menggagas Festival Teater Jakarta (dulu bernama Festival Teater Remaja) dengan niat untuk membina secara simultan kelompok-kelompok teater di Jakarta dengan dua aspek pokok, jangkauan kuantitatif dan kualitatif. Benang merah yang kelihatan dari berbagai kiprahnya di teater adalah misi pendidikan dan pembinaan.* (DM)

kamus Ada dua jenis panggung, yaitu panggung prosenium dan panggung arena. Panggung prosenium adalah panggung yang hanya dapat dilihat oleh penonton dari satu sisi, yaitu dari depan saja. Karakteristik panggung prosenium : 1) berbentuk kotak; 2) sisi kiri, kanan, dan belakang bisa dijadikan jalan keluar masuk pemain; 3) hal yang kurang menguntungkan dari panggung prosenium adalah jika di tengah diletakkan set/dekor maka bagian belakang set tidak akan tampak. Untuk itu, perlu diatur tinggi rendahnya area permainan. Panggung arena adalah panggung yang dikelilingi penonton sehingga setiap sudut bisa dilihat oleh penonton. Karakteristik panggung arena : 1) berbentuk bulat; 2) sekeliling pentas dapat dimanfaatkan untuk jalan keluar pemain dan pergantian set/dekor; 3) untuk kepentingan set/dekor karena sifatnya dapat dilihat dari berbagai sudut maka diperlukan kehati-hatian dari kru panggung saat meletakkan set/dekor. Selain set/dekor dapat mengganggu pandangan penonton, bagian belakang set/dekor tetap akan tampak oleh sebagian penonton.*(DM) (sumber : KITAB TEATER Tanya Jawab Seputar Seni Pertunjukan – N. Riantiarno – 2011)

Ada Lima Tahapan yang harus dilewati sehingga “Sebuah Peristiwa Teater” bisa terwujud. Pertama, adanya impian, gagasan atau ide, yang dikonsepkan menjadi sebuah rancangan tindakan. Kedua, adanya pengetahuan dan keahlian berteater, yang kemudian dikembangkan secara optimal sesuai kebutuhan. Ketiga, adanya proses kreatif. Keempat, adanya tindakan teatral dari orang, atau orang-orang yang berhasrat. Kelima, adanya kebersamaan dengan masyarakat dan saling berbagi. Orang teater wajib secara tekun dan terus-menerus melakukan serta mengembangkan Lima Tahapan tersebut. Untuk tujuan itulah buku ini ditulis. Agar, setidaknya, bisa menjadi panduan bagi Para Pelatih dan yang dilatih. Sehingga, semoga, teater bisa tetap hidup, berkembang, memiliki daya tarik, dihargai sepanjang masa, di mana pun, dan kapan pun. Buku ini mengurai sejarah teater, penulisan naskah, seni peran, penataan artistik (skenografi), manajemen produksi, manajemen panggung, dan penyutradaraan.*(DM)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.