Dramakala 9

Page 1

drama kala media komunikasi dan informasi teater

2 3 4 8

WACANA Teater Indonesia Kini : Terikan Hampa di Padang Gurun

BERITA UTAMA

Politik Pemberitaan Teater terus Bergerak

KHASANAH

dramakala Fest : Menghidupkan roh Berteater

MATAKALA

Menyempitnya Ruang Pemberitaan Teater

09

Politik Pemberitaan Teater terus Bergerak


2

Edisi 9 - Juni 2012

KALA MEMBACA

drama kala Dewan Eksekutif IDEAL Pembina Penasihat Direktur General Manager Koordinator

: Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR : Arswendo Atmowiloto : Chrisdina Wempi : Renata Tirta Kurniawan : Maulia Rori Rarasati

Dewan Redaksi Pimpinan Redaksi Wakil Pimpinan Redaksi Staf Redaksi Editor Layout

: Harris Priade Bah : Andi Bersama : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Hery Saragih : Malhamang Zamzam : Samudra Utama

Alamat Redaksi STIKOM The London School of Public Relation - Jakarta Komplek Perkantoran Sudirman Park Jl. K.H. Mas Mansyur Kav.35 Jakarta Pusat 10220 Cover Nabi Kembar – Teater Amoeba – Dok. Teater Amoeba

Pembaca dramakala yang mulia, terima kasih masih setia membaca koran teater kita tercinta ini. Pada edisi kali ini, kami menurunkan tema “Politik Pemberitaan� yang menyoal tentang keberadaan ruang-ruang pemberitaan teater di media massa sebagai ulasan berita utamanya. Kita tahu, salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh dunia teater adalah minimnya media yang bisa menjembatani komunikasi antar pengkarya, pengamat dan penyaksi karya. Ada banyak koran, tabloid, ataupun majalah yang beredar di masyarakat, namun tidak banyak dari media itu yang mau menyediakan ruangnya untuk memberitakan tentang teater secara kontinyu, bilapun ada itu sungguh kecil dan tidak berimbang karena yang terberitakan daripadanya biasanya adalah pentas-pentas atau persona-persona yang menokoh dan memomuler saja. Hal ini tentu saja dirasakan sebagai satu masalah dan bersebab itu harus dicarikan kemungkinan pemecahannya agar teater (karya dan senimannya) bisa lebih dikenal luas. Koran teater dramakala, yang telah memasuki tahun kedua dalam keberadaannya di tengah-tengah sidang pembaca, akan terus hadir untuk menjadi, bukan saja jembatan tetapi rumah bagi masyarakat teater. Semoga apa yang kami turun-tuliskan pada edisi ke sembilan ini bisa menjadi bermanfaat untuk kehidupan teater yang bersama kita lakoni (redaksi).

WACANA TEATER INDONESIA KINI: TERIAKAN HAMPA DI PADANG GURUN Oleh: Fathul A. Husein

s

etelah berakhirnya era dominasi para pelopor dan soko guru (seperti Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, WS. Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dll), Teater Indonesia masa kini tak ubahnya padang pasir yang tak bertuan. Tak jelas siapa sesungguhnya pemilik yang sah dari keindonesiaannya. Bahkan fenomenanya kini yang semakin hingar-bingar dan terus menunjukkan pertumbuhan yang keren dan beragam, tak lebih dari teriakan hampa di padang gurun. Wabah teater merebak dari kota-kota besar hingga ke pelosok-pelosok, menunjukkan semangat baru yang bersifat plasmatik (membelah diri dan berkembang-biak terus-menerus) dengan menyertakan seabrek model estetika yang makin kaya dan berwarna, namun nyatanya seperti tersedot ke dalam lubang besar kekosongan, serentak mengalami ontological void, eksistensi ontologisnya pupus. Ada, tapi sesungguhnya tak ada. Inilah fakta paling mengerikan dari situasi mutakhir Teater Indonesia. Musabab utama dari kenyataan getir macam itu jelas berasal dari absennya politik pemberitaan media. Dalam teori jurnalisme paling mendasar, tidak pernah ada peristiwa tumbangnya sebuah pohon besar tanpa media yang mau memberitakannya. Jika tumbangnya pohon besar saja tidak

ada yang memberitakan, apa lacur dengan hal-ihwal yang terjadi pada pohon-pohon kecil? Media sebagai fourth estate, pilar keempat, setelah kuasa trias-politika (eksekutif, legislatif, judikatif), semakin jauh panggang dari api untuk menggulirkan itikad lapang-dada dalam mengusung pemberitaan seni, terutama teater. Terlampau amat sedikit ruang-ruang pemberitaan untuk peristiwa teater masa kini yang begitu tumpah-ruah. Dan yang sedikit itu kerap sonder pembobotan berita. Amat langka berita-berita (di dalamnya termasuk review dan kritik) yang bermutu tentang teater. Kecuali sekedar ulasan-ulasan dan-

lic-figure, menjadi acuan sesung- Avant-Garde (Garda Depan) dari guhnya dari target pemberitaan. peradaban dan kebudayaan Teater Indonesia dengan cara-cara yang Ya, bisnis memang bisnis, benar, mendasar, dan berprestasi, tapi media akan berubah menjadi dan justru dalam keragamannya keranjang sampah tatkala nilai- telah memberi kemudahan jalan nilai kebudayaan terpinggirkan. bagi generasi penerusnya. Lalu, laiPerkara lain, langsung atau tidak ma- knya protoplasma (induk sel), dari sih terkait dengan peran media, gejolak mereka lahir pecahan-pecahan dan pertumbuhan ragam teater mutakhir fraktalitas baru yang amat berwarna yang sangat luar-biasa ini amat rapuh dan beragam, dengan tanpa pernah lantaran politik pewacanaan (diskur- melupakan induk selnya yang kokoh sus) kritisisme yang masih senantiasa dan telah menjadi pilar peradaban tertuju kepada wacana-wacana lama. teater atau mutu dari fondasi kebuPerbincangan tentang Teater Indone- dayaan teater kita. Apa yang dulu sia masih didominasi oleh paradigma- belum ada, kini tersedia. Apa yang paradigma besar yang bersemayam dulu belum mungkin, kini sudah lazim. Apa yang dulu belum terbaca, kini telah menjadi tumpang-tindih dari sengkarut pengetahuan dan pendi balik sejarah estetika dan bong- guasaan teori-teori. Penting untuk kahan kredo pemikiran para pelopor ditandaskan di sini, bahwa lahirnya dan soko guru seperti disebutkan lapis-lapis generasi Teater Indonedi atas. Aneh tapi fakta, bagaimana sia bukanlah melalui pertengkaran mungkin pencapaian teater masa sengit atau bahkan kudeta sangar kini, dengan perkembangan kon- yang saling memutus mata-rantai, sep-konsep estetika dan wacana- namun melalui pembelahan plasmawacana terbarunya, masih harus tik yang smart dan smooth. Generaditelusur dan ditelisik menggunakan si teater masa kini adalah generasi parameter-parameter lama? Kriti- kreatif yang beretika tinggi dan tahu sisme lama? Estetika lama? Masa lalu? diri. Santun. Masalahnya, mengapa Satu hal yang harus menjadi tabik tolok-ukur lama masih amat domibersama, bahwa generasi pelopor nan dalam melihat kekinian mereka? dan soko guru teater (modern) Indo- (Bersambung ke edisi 10) nesia jelas telah membuka gerbang

Ada, tapi sesungguhnya tak ada. gkal dan kering. Media tak lebih dari jenis kekuasaan lainnya yang asyik-mahsyuk bermain mata dengan pragmatisme dan orientasi dagang. Apa pun dan siapa pun yang mustahil bisa dijadikan komoditas, tidak populis (kesohor), tidak ada pentingnya untuk diberitakan. Sementara hal-hal yang amat mengundang selera publik, selera pasar, sekedar popularitas dan ketokohan, kendati subyeknya amat sepele semisal kawin-cerai atau perselingkuhan seorang pub-

Fathul A. Husein Sutradara NEO Theatre. Dosen Jurusan Teater STSI Bandung, Fakultas Filsafat dan Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahyangan.


3

Edisi 9 - Juni 2012

BERITA UTAMA

Politik Pemberitaan Teater terus Bergerak Politik pemberitaan teater media massa dulu porsinya membanggakan. Sekarang hanya cuilan saja. Mengapa media massa pilih kasih pula?

k

eramaian teater di media massa kini telah tinggal kenangan. Menemukan kembali politik pemberitaan teater sebagaimana pernah terjadi di era 80-90-an, yang ditandai betapa ramainya ulasan dan pemberitaan pementasan-pementasan teater, sekarang betapa sulitnya. Pemberitaan Festival Teater Jakarta, misalnya, ketika itu selalu mendapat porsi yang cukup menyenangkan. Di mana hampir semua

ta (LTJ) bekerjasama dengan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki yang digelar di Sanggar Baru TIM, 9 Mei 2012. Kerisauan soal pemberitaan teater yang makin mengecil juga dirasakan Bambang Prihadi, pimpinan dan sutradara Lab Teater Ciputat. Menurutnya, para jurnalis sekarang menjadi sangat terbatas dalam melakukan reportase teater. Mereka dibatasi oleh

tasan teater terus bermunculan. Namun yang terjadi ke permukaan publik selalu saja pemberitaan teater yang cenderung pilih kasih. Reportase teater secara cukup luas justru bermunculan dari kantongkantong kesenian yang dikelola oleh kedekatannya dengan pemilik media massa. Keberimbangan reportase teater disepelekan. Bahkan cenderung media massa memberikan porsi yang luas

Betapa pemberitaan teater kini telah dimarjinalisasi. Bahkan seringkali juga dianggap tidak terlalu menjadi prioritas. media massa melakukan reportasenya. Tetapi sekarang, justru di keramaian pemberitaan kebudayaan, ulasan teater cukup sekadar terselip saja. Orientasi dan perubahan jaman, rupanya telah membawa media massa sekarang lebih memberikan tempat yang cukup luas pada isu-isu di mana pembaca tergerak dengan cepat untuk segera membacanya. Kini ruang-ruang yang tersedia itu yang semula diramaikan pemberitaan teater, oleh Afrizal Malna, pengamat teater, dikatakan telah direbut para pemilik kapital. Pemilik kapital melakukan begitu karena memang kondisi media massa sekarang, telah kapitalistik yang dicirikan ketergantungan kuatnya pada para pemasang iklan yang tak lain mereka adalah pemilik modal. Benny Johanes, praktisi yang juga sekaligus pengamat teater, menegaskan betapa pemberitaan teater kini telah dimarjinalisasi. Bahkan seringkali juga dianggap tidak terlalu menjadi prioritas. Karena ada lebih banyak sumbersumber berita yang lebih sensasional. Dan orang sekarang tidak mengejar aspek-aspek yang bersifat inspiratif tetapi berita-berita yang berbasis pada isu. Padahal teater dan wacana penulisan teater, diperlukan tak hanya memuaskan kebutuhan aktual para jurnalis, namun kontemplasi atas wacana yang bergulir di dunia. Di tengah hiruk-pikuk peradaban dunia, diperlukan penggalian kembali kemanusiaan, penggalian kembali perenungan, yang tak hanya melulu membahas persoalan eksistensi manusia, tapi juga spiritualitas. Demikian kutipan makalah Sihar Ramses Simatupang dalam diskusi bulanan (tiap tanggal 9) di Ruang Apresiasi Terbuka Lembaga Teater Jakar-

jumlah karakter tulisan yang sedikit. Belum lagi persoalan deadline. Memang, merupakan kebijakan media agar berita diturunkan segera demi memperhitungkan ke-aktual-an berita. Sehingga, praktis jurnalis hanya memiliki waktu satu sampai dua hari untuk merampungkan tulisannya. Jurnalis tidak memiliki banyak waktu untuk melihat proses di balik sebuah pertunjukan teater. Akibatnya, jurnalis hanya mampu menuliskan konteks pertunjukan teater dengan kekinian, sebatas permukaan saja, bahwa sebuah pertunjukan teater telah digelar. Sulit sekali bagi jurnalis untuk melakukan peliputan yang komprehensif, dari sudut estetika, misalkan.

pada pementasan teater yang digelar di kantong-kantong kesenian yang dekat dengannya. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka kondisi dunia teater akan kebagian getah, hanya grup teater yang dekat dengan kantong-kantong kesenian itu saja pada gilirannya yang akan selalu ditulis dan dibesar-besarkan “jeroannya”. Pementasan teater dari grup yang kurang memiliki akses ke kantong kesenian dimaksud, harus gigit jari. Bagi Rizal Nasty, pemimpin umum buletin Sombox, grup yang harus gigit jari tak perlu kecil hati. “Masyarakat teater jangan gelisah soal tidak diberitakannya pertunjukan teater di media besar”, ujarnya.

Menurutnya, idealnya pemilik dan redaktur media memberikan ruang yang lebih. Tidak hanya sebatas hari Minggu saja. Juga memberikan ruang yang lebih lagi bagi penulis-penulis yang berlatar belakang teater. Jadi, tidak sebatas hanya jurnalisnya saja yang menuliskan reportase teater.

Rizal yang juga ketua Indraja (Ikatan Drama Jakarta Barat) itu mengatakan, media besar meletakkan politik pemberitaan demikian terhadap teater, karena mempunyai kepentingan jualan korannya dan mempertimbangkan iklan. Ia menegaskan, jika pertunjukkan teater mau disadari punya kekuatan sebagai alat propaganda, sebenarnya media besar dan kecil tidak perlu ada pertimbangan. Kecuali pertimbangan untuk kepentingan komunitasnya. “Kita tahu, sekarang ada komunitas kantong seni yang menjadi basis kelompok teater tersendiri. Namun sebagai teater yang di luar basis itu, kita perlu mempertahankan kualitas dan eksistensi.

Benny Johanes mengatakan pemberitaan teater itu harus proporsional. Artinya bahwa media massa harus punya aspirasi yang kritis terhadap keadaan, dan cara memandang hal-hal yang inspiratif itu tidak hanya berbasis isu. Tetapi berbasis kepada hal-hal yang lebih kontemplatif. Ini juga berkait dengan kecerdasan wartawan-wartawannya, juga dengan selera kesenian wartawan-wartawan sekarang yang tidak memiliki visi. Tetapi seiring dengan terus menurunnya jumlah pementasan teater dengan kualitas yang baik di sejumlah gedung kesenian, tak surut-surutnya berbagai event-event keberlangsungan teater. Baik yang rutin teragendakan seperti halnya di TIM, di sejumlah wilayah pun pementasan-pemen-

Persoalan berat bagi teater-teater yang tidak dikenal media, tapi punya basis masyarakat yang besar adalah eksistensi. Kalau mau besar berbuatlah untuk menjadi besar sehingga menyentuh media besar itu,” pungkasnya. Redaktur pelaksana bidang Seni Budaya harian umum Jurnal Nasional (Jurnas) Arie MP Tamba, menolak anggapan me-

dianya melakukan politik pemberitaan demikian. ”Jurnas bersikap adil saja. Artinya, mau di BBJ, Salihara, TIM, GKJ, kami coba mengapresiasi untuk mengcover. Memang tak lepas pertimbangannya ada hubungan pertemanan, disukai pembaca, yang akibatnya membatasi pembaca lain. Maka itu, semua kantong seni mendapat prioritas bagi Jurnas. Kecuali kalau ada pertunjukan dalam waktu bersamaan, pertimbangannya yang tadi, pertemanan dan dibatasi oleh pembaca,” papar Arie yang juga sastrawan. Wartawan Kompas Putu Fajar Arcana, menilai di tengah peristiwa kebudayaan setiap hari terjadi dan berserakan sampai ke daerah dan pada saat bersamaan ada peristiwa pentas teater, maka perhitungan yang diambil adalah keterbacaan koran. Artinya, media publik berbasis umum akhirnya berpijak pada dua kaki. Pertama, untuk publik dan kedua untuk perkembangan kebudayaan. Namun dalam praktiknya, kadang satu pihak harus dikorbankan. Karena itu, barangkali diperlukan media atau jurnal teater, seperti dramakala, koran satu satunya yang berisi liputan dan berita tentang teater, misalnya. Titik pijak sebagai media umum, kebijakan beritanya bersifat apresiasi. Putu menandaskan grup teater tak perlu cengeng dengan mengklaim bahwa setiap kantong kesenian memiliki grup teater yang dekat dengannya. Seperti halnya BBJ (Bentara Budaya Jakarta), ia mengatakan tidak semua pentas teater di situ serta merta akan ditulis Kompas. Sebab ada pertimbangan-pertimbangan redaksi di internal media. Ia menyarankan agar kelompok teater tak sungkan mendatangi media publik untuk merebut media massa. Afrizal mengingatkan yang paling hilang dari teater adalah catatan teman-teman. Dalam kondisi Indonesia yang kayak gini pembicara teater harus lahir dari dalam, bukan dari luar. Dengan demikian wacana berkembang sehingga ada kebutuhan menulis. Dari kebutuhan menulis itu ada dokumentasi dan dari dokumentasi itu, isu bisa dikelola. Setiap grup hendaknya mempunyai blog dan aktor-aktor bikin catatan, sutradara bikin catatan, semua tim bikin catatan sehingga ada dokumentasi yang bisa dikelola menjadi isu. (*).

Narasumber

Afrizal Malna

Arie MP. Tamba

Bambang Prihadi

Benny Yohanes

Putu fajar arcana

Rizal Nasti

Sihar Ramses Simatupang


4

Edisi 9 - Juni 2012

KHASANAH

dramak ala Fest Menghidupkan Roh Berteater

Arswendo Atmowiloto

(sambungan dari Edisi 8)

penulis dan budayawan

Ini bukan sesuatu yang ganjil. Kehidu-

tetap diperlukan.Dan bahkan negara pun tu-

lenyap dan senyap.Masih ada atau beberapa

pun naskah-naskah baru. Bukan sesuatu yang

pan berteater di seluruh dunia, menempatkan

run tangan secara langsung.Sebagai contoh

orang yang ternyata idealis untuk mencintai dan

mudah, mengingat godaan menulis naskah untuk

peran Maecenas, pelindung—sekaligus spon-

lakon Mousestrap karya Agatha Christie yang

merawat teater.

sinetron lebih menghasilkan duit secara kontan.

sor, yang dulunya dipenuhi para raja atau bang-

dipentaskan setiap hari di London sejak tahun

Kedua, menyambung dan menghidupkan kem-

Namun agaknya harus mulai dirintis.

sawan, pengusaha besar. Sampai sekarang

1948—kecuali saat musim dingin—masih bisa

bali apa yang terputus selama ini, yaitu suasana

Ketiga, dinamika berteater akan menemukan

negara-negara seperti Amerika Serikat, mewak-

bertahan sampai hari ini.Pentas setiap hari.Se-

kehangatan berteater. Serta memberikan evalu-

bentuknya dari apa yang selama ini berlangsung.

ili teater modern, dan Inggris—mewakili bentuk klasik, masih memberi subsidi untuk grup-grupgrup teater. Bukan karena apa, melainkankan

Segera kita menemukan sulitnya naskah, sama

Berteater adalah berproses bukan loncatan instan

untuk menghasilkan satu pementasan satu judul

sulitnya menemukan gedung pementasan yang representatif, penggiat teater yang konsisten, serta dialog dan dasar-dasar berteater. IDEAL

saja, diperlukan persiapan paling tidak tiga atau

bagai contoh berdirinya panggung “komersial”

asi. Dalam contoh festival, kita menjadi sadar

pernah menghadirkan Butet Kertarajasa, Slamet

empat bulan. Artinya diperlukan biaya besar,

seperti

Broadway

kembali bahwa sesungguhnya kita amat sangat

Rahardjo, Ratna Riantiarno—the best yang ter-

kerja sama terukur, dan kesetiaan yang besar.

yang memakai konsep berbeda, atau juga Off-Off

kekurangan naskah yang berkualitas. Untuk dra-

sisa saat ini, bersama pekerja teater yang ada

Proses panjang dari keberadaan naskah, pemili-

Broadway, yang lebih berbeda lagi, tak lepas dari

ma pendek—dengan durasi 30 menit misalnya--

dalam komunitas sekolah lanjutan atas serta

han, latihan semua disiplin yang ada, pengorgan-

subsidi atau bantuan dari komunitas nonteater.

yang tersedia naskah-naskah lama yang “itu-itu”

grup teater yang ada. Semoga program ini akan

isasian yang matang, sampai dengan puncaknya

Syukurlah berteater masih dipercayai seba-

juga. Dalam festival monolog – dengan durasi

selalu berkelanjutan.

: pentas. Bandingkan dengan memproduksi

gai

20 menit, misalnya—lebih terasakan lagi betapa

Keempat, atau kelima atau keberapa, bisa di-

sinetron—apa lagi yang kejar tayang—pemain

gai roh riuh rendah

dunia hiburan, sebagai

miskinnya bank naskah yang ada. Akibatnya

rumuskan

pertama kali membaca naskah di lokasi syuting.

pembinaan atletik sebagai dasar sportivitas.

segera terasa, karena para pemain yang ung-

peristiwa berteater tersambungkan. Ini menjadi

gul sebagai pemain, agak kedodoran dalam me-

penting karena setiap generasi baru tidak ha-

Broadway—kemudian

Off

pendidikan yang baik dan benar, seba-

bersama.

Sehingga

keterputusan

Berteater adalah berproses, bukan loncatan

Dinamika Roh Berteater

nyiapkan naskah. Kemampuan dan bakat yang

rus mengulang pencapaian generasi sebelum-

instan. Ibarat memasak,

peristiwa berteater

Dalam konteks inilah DramakalaFest menjadi ba-

dibutuhkan menjadi pemain, memiliki disiplin

nya. Dan dengan begitu, kita menemukan se-

adalah mengenali cabe, garam, cara mengulek

gian yang menarik, mendidik dan pantas dilirik.

lain untuk menjadi penulis. Kekecualian ini han-

jarah berteater yang tidak melangkah di tempat.

sambal, memasak dengan kayu atau arang atau

Ada beberapa hal pokok yang pantas ditilik.

ya berlaku untuk Rendra yang memang piawai

Pada akhirnya, inilah awal yang menjanjikan di

gas, sementara cara instan adalah mengecrot-

Pertama, meneguhkan kembali bahwa teater,

dua-duanya.Dengan demikian yang sangat di-

mana proses juga merupakan pilihan yang sehat,

kan sambal dari botol. Namun sesungguhnyalah,

atau saya lebih suka memakai istilah berteater

perlukan adalah tersedianya naskah drama, baik

bermanfaat, dan kuat dalam ingatan untuk dilakoni.

dengan berproses kemampuan dan kematangan

sebagai kata kerja dinamis, masih mendapat

untuk yang pendek, biasa, panjang atau jenis

Hidup, dan salam teater.

dan kedewasaan terjadi.Dan ini yang sangat

tempat, masih diakui manfaat dan kekuatan-

monolog. Baik naskah-naskah dari luar negeri

diperlukan.Itulah sebabnya peristiwa berteater

nya.Bahwa roh pentas masih tak sepenuhnya

untuk diaktualisasi dalam ke-Indonesiaan, mau-

SETELAH PERTUNJUKAN J a k a rta A nni v e r s a r y F e s t i va l X - 2 0 1 2

Teater Aquila JOMPLANG T R A G E D I YA N G M E N G A M B A N G

Ireng Sutarno, seorang aktor yang

tik transparan bergoyang-goyang di Gedung

undakan kedua. Barisan anak bahu membahu keluar panggung, serta tarikan di leher Jom-

pernah stroke saat pentas, mengolah koran

Kesenian Jakarta. Musik seperti mendekati

seolah menyeberang sekaligus menyusun plang Atas untuk membunuhnya yang mem-

bekas menjadi kostum. Kru perempuan ber-

untuk mengajak menjelajah waktu dan jauh

jembatannya, sampai terkulai tak mampu me- buat tubuh besar Bobby hampir terjerembab.

kreasi dengan kantongan plastik menjelma

ke semesta melalui gerak pusaran galaxy

nyelesaikan kerja. Mereka bergelimpangan Pertunjukan ditutup dengan gerakan diangkat-

bunga-bunga, dan kantongan plastik hitam

digital dengan multimedia di dinding backdrop

dilantai panggung. Lalu muncul monster-mon- nya potongan kain hitam menutup back-drop

merangkai tubuh-tubuh monster.

kanan-atas-belakang. Trap level panjang dari

ster gundukan-buntalan plastik hitam bersuara panggung yang tidak selesai. Maka, tidak ber-

“Hidup kita dikelilingi oleh monster-monster

wing kiri ke kanan, menyusun undakan ke

serupa mantra menggerayangi ruang. Pilar-pi- hasil membuat latar belakang menjadi hitam

plastik,” ujar Rik A. Sakri, sutradara Teater

belakang menjadi 3 (tiga) dengan lantai pang-

lar belantara pohon plastik bertumbangan satu semua.

Aquila

ketika

dramakala

berkesempatan

menengok proses latihan JOMPLANG di bagian belakang Gedung Olahraga, Gelanggang

Hidup kita dikelilingi oleh monster-monster plastik

Rik mengakui bahwa dia tidak memusingkan diri tentang kecenderungan dari pementasan JOMPLANG. “Saya tidak peduli, apakah

Remaja Jakarta Selatan pada pertengahan

gung. Gundukan bersiku-siku tajam tersebar

persatu dan menghilang. Suara air mengalir pertunjukan ini realis atau non-realis. Saya

Juni 2012.

di undakan pertama dan kedua. Dinding plas-

seperti bah, seperti banjir, seperti sungai.

“Ketika kita tidak punya rasa cinta, jomplang-

tik di belakang pada undakan tertinggi dibelah

Adegan selanjutnya seolah antri memecah- Maka, tidaklah mengherankan jika terdapat

lah kita. Kondisi jomplang terjadi saat perbe-

membuka ruang ditengahnya. Alas, motif dan

belah ruang mengikuti alur dari banyak sekali tokoh keseharian yang campur baur dengan

daan ada, seperti peran pada pentas ini, Tyas

latar belakang didominasi bungkusan serba

adegan dan ruang, serta banyak sekali keg- sosok imajinatif seperti Harmoni, Jomplang

(Meyke Vierna) dan Satya (UQ Daeng Nyo-

putih dan lapisan plastik.

elisahan, seperti berjejalan. Pengadeganan Atas dan Jomplang Bawah. Dialog lenongan

nyo), yang saling mencintai tapi tidak pernah

Introduction tersebut seperti terpisah dengan

visual art, drama verbal dengan ikatan karak- ditampilkan sebagai sebuah konsep yang su-

harmonis. Tyas mempunyai rasa kemanu-

bagian selanjutnya. Musik irama pentatonis

ter penokohan cerita menjadi sesak dan men- dah ditertibkan oleh dua pemeran Jomplang

siaan yang tinggi, tapi Satya adalah sosok in-

reflektif budaya Jawa dari piano di keyboard

gambang selama lebih dari 2 (dua) jam pertun- Bawah cukup memberikan hiburan lucu, yang

dividualis. Cinta disini berada dalam arti tidak

membuka ruang, dan lebih kasat mata dengan

jukan. Tragedi Jomplang Atas (Bobby Kardi) tidak jarang kehilangan artikulasi.

hanya cinta antara dua sejoli pria-wanita.

cahaya. Tempo musik meningkat dipicu perku-

dan Jomplang Bawah (Manto Baher & Mukri) Pada tahun 1993, Rik. A. Sakri, sutradara

Ini sebuah cerita dengan bahasa yang mer-

si seperti hentakan pada meja, kaleng, seperti

kehilangan sugesti dramatis, yang mengantar kelahiran Cirebon ini tercatat sebagai peserta

akyat,” lanjut Rik. Naskah dibuat oleh Dhan-

cambukan. Dan nada-nada repetitif menghela

Harmoni (Andi Bersama) pada relatifitas nilai seminar dan workshop dramaturgi dari drama-

nisa Nurfira, seorang penulis muda penggiat

langkah harus berlari, dan tertahan, berlanjut

yang subyektif.

Teater Enhakam dari SMAN 06 Jakarta yang

bunyi lembaran seng yang menggeletar.

Hal teknis di beberapa bagian memberi gang- uila pernah menjuarai Festival Teater Jakarta

bekerja di bidang periklanan.

“Ayo ! Ketukkan terus ! … ,” Satya menghela

guan ritme pertunjukan, seperti tempo gerakan tahun 1989 dan 1993. Pada pertunjukan kali

Jumat, 22 Juni 2012, pk. 20.00 WIB layar dibu-

dan bunyi pukulan pipa besi berulang mem-

perubahan set yang terlambat, adegan salah ini, Teater Aquila didukung oleh Teater Sang

ka menyajikan visual belantara pilar-pilar plas-

bahana. Orang seliweran dari kanan-kiri di

masuk yang membuat pemainnya mundur lagi Abul dan Kelompok Pojok. (DM, ded)

mengesampingkan pengkotak-kotakkan itu.”

turg Jerman ; Manfred Bachmeyer. Teater Aq-


5

HUKLA, Gempita

SETELAH PERTUNJUKAN

Edisi 9 - Juni 2012

T E AT E R K O N T E M P O R E R YA N G M E M B A N G U N K E I N T I M A N S E N I L I N TA S D I S I P L I N

Indonesia mempersembah-

bos ruang dan waktu. Jadi itu kesadaran artis- simultan dalam dentaman-dentaman lonceng

kan HUKLA, sebuah teater dari puisi karya

tiknya”, ujar Aidil.

Leon Agusta pada 8 – 9 Mei 2012 Jam 20.00

Ada semacam jalan yang lengkung dan me- badai angin, menjadi semacam denyut jan-

WIB di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail

layang, tapi diputus diatas. Bangunan itu tam- tung. Mereka mengulang kata-kata terakhir

Marzuki Jakarta (GBB-TIM). Dramaturgi per-

pak di bagian kiri belakang panggung. Disebe- laki-laki tadi beberapa kali. Mereka seperti di-

tunjukan diformulasi oleh Afrizal Malna dan

lahnya lebih kemuka ada semacam puncak cambuk bunyi. Kemudian mereka menyanyi

kerja penyutradaraan ditangani oleh Aidil Us-

dari sebuah bangunan trapesium besar, mars dengan beberapa bagian berpola canon.

man.

mencipta jalan-jalan menanjak di semua sisi. “Ada choir dari PSM. Mereka diberi metode

“Bagaimana sebuah puisi Leon Agusta itu dibangun dalam konteks dramaturgi ?” Demikian pertanyaan Aidil, yang mendasari kerja kreatif ini dapat diwujudkan. Ia melibatkan penari, orang teater, pemusik, paduan suara mahasiswa, deklamator, dan “NobodyNothing”, kelompok yang merupakan temantemannya, yang berlatih drama bersamanya dilingkungan Taman Ismail Marzuki. Mereka adalah seniman, mahasiswa, pedagang, dan lain-lain yang sehari-harinya selalu berada dilingkungan Pusat Kesenian Jakarta itu. “Di Jakarta gedung-gedung pun menjelma … jadi pohon raksasa … megapolitan hanyalah nama lain … untuk keangkuhan disini … anakanak muda … anak-anak remaja … anak-anak tua … anak-anak tua bangka … anak-anak jompo … mabuk … kunang-kunang … tersiur … lampu-lampu siang … dan lampu-lampu malam …”

Demikian cuplikan bagian dalam bait-bait puisi yang disampaikan pada bagian awal pertunjukan. Bagian ini berirama seperti senandung oleh seorang perempuan berambut pendek dengan kostum menyerupai laki-laki. Perempuan mengenakan celana panjang ketat, berbaju kaos lengan pendek dengan tingkah laku koreografis ; duduk diatas kursi yang dimainkan, seperti termenung, tertunduk, duduk terkulai, menyampaikan kabar kekalutannya dengan sikap yang puitik.

semacam tenggelam dalam gulungan ombak,

Keheningan ditutup derap langkah segerom- latihan bagaimana mereka mengenal gerak, bolan berjas hujan warna-warni dan kupluk di mengenal koreografi. Disini memang sebuah kepala memenuhi panggung. Kemudian bunyi proses asimilasif. Bagaimana menyatukan tembakan berkali-kali memekakkan telinga.

orang tari, orang teater, orang musik dalam

Muncul seorang pria berambut gondrong sebuah panggung dalam konteks dramaturgi” terurai melangkah tenang memasuki jantung Ujar Aidil menceritakan bagian proses kreatpertunjukan sambil membawa kepala kerbau ifnya. masih bertanduk.

“Sebagai suatu design, nggak sempat terjadi

“Lamat … lonceng-lonceng berbunyi … kita

sebuah pembicaraan design ditingkat tim.

angka-angka menghilang dalam gemanya … Design terjadi dari masing-masing pemeran“, ujar laki-laki itu.

pemeran itu. Jadi tidak dimulai dari satu pertemuan yang membicarakan design pertunju-

Kata-kata dalam bagian seperti tersebut diatas

kan ini, walau pun dinaskah sudah ada. Lalu

juga diulang di adegan lain menjadi semacam

terjadi seperti kolaborasi. Ketika dilapangan

kata-kata kunci yang melandasi, atau melaku-

aku lebih banyak bekerja sebagai skenografi,

kan penjagaan terhadap tema-tema yang lain.

mengenai kaitan ruang dari adegan-adegan

Atau keadaan yang selalu datang melingkungi

yang dibikin Aidil”, kata Afrizal Malna, untuk

tema-tema lainnya.

pertunjukan yang mendedikasikan persemba-

“Ini sebuah panggung kontemporer. Sebuah

han ini kepada Chairil Anwar dan Asrul Sani, 2

pertaruhan ide-ide untuk dikembangkan, karena konteks kontemporer itu kan pertaruhan ide-ide. Coba menerobos, mungkin menero-

(dua) tokoh sastra Indonesia terkemuka dari Kemudian segerombolan orang seliweran Angkatan “45. Selamat ! muncul membentuk konfigurasi-konfigurasi

SETELAH PERTUNJUKAN Teater Amoeba gelar

“Nabi Kembar” di Salihara

TEATER POLITIK TIDAK SEMATA JARGON DAN KHOTBAH

Keater Amoeba sebagai Grup Terbaik

coba menafsir kembali kekacauan politik di

sakan pagar istana yang harganya miliaran ru-

penonton untuk mengerti maksud dan tujuan

Pertama Festival Teater Jakarta 2011mengge-

Polandia saat diduduki Rusia yang dibayang-

piah itu. Eksplorasi bunyi-bunyian komedi ber-

semiotiknya. Memang suatu kesulitan besar

lar pertunjukan “Nabi Kembar” karya Slawomir

bayangi oleh sosok Ratu Adil. Kekerasan

nuansa blues dihadirkan sebagai penguat ide

bagi grup maupun sutradara untuk membuat

Mrozek yang diterjemahkan oleh Jum’an,

politik berbanding lurus dengan tipu muslihat

artistik secara keseluruhan. Termasuk dalam

penonton sabar duduk menonton pertunju-

dan disutradarai Joind Bayuwinanda pada

penguasa dan pembunuhan mereka yang di-

menampilkan

yang

kan serius dengan durasi di atas satu jam.

8-9 Juni 2012 di Salihara – Pejaten – Jakarta

anggap menghalangi sang penguasa. Jika

semula keji menjadi penuh humor dan parodi.

Slapstick artinya kekonyolan, seperti orang

Selatan. Nabi Kembar mengisahkan cerita

Mrozek menghadirkan publik yang marah den-

Dengan gaya seperti ini, Teater Amoeba men-

yang jatuh karena menginjak kulit pisang di

seorang Wali yang menghadapi masalah

gan simbol suara-suara dari luar istana, Teater

coba menempuh siasat untuk menampilkan

lantai atau jalanan. Dibutuhkan keterampilan

berat. Di Istananya muncul sepasang Nabi

Amoeba menghadirkannya di atas pentas se-

teater politik tidak semata-mata sebagai teater

sutradara maupun penulis naskah untuk bisa

adegan

pembunuhan

Kembar, sama rupa dan sama pintarnya yang

membuat penonton tertawa, untuk menyegar-

mengkhotbahkan

jalan keselamatan. Untuk

kan otak dan perasaan di atas bobot keseriu-

mengatasi kesulitan ini, Wali memanggil tiga

san pertunjukan, seperti komedia situasi film-

profesor dan memintanya untuk memastikan

film karya Nyak Abba Acub (Inem Pelayan

Nabi mana yang benar-benar asli dan layak di-

Seksi) atau film karya Chairul Umam, Kejarlah

percaya. Sementara rakyat sudah berkumpul

Daku Kau Kutangkap, dan yang paling fenom-

di depan istana, menunggu kepastian. Akan

enal adalah film Nagabonar karya Asrul Sani.

tetapi, tiga profesor itu tidak bisa memutuskan.

Teater Amoeba berdiri sejak 26 Nopember

Akhirnya profesor mengambil jalannya sendiri

1996, adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)

menyuruh Juru Sita untuk membunuh salah

bagai kelompok demonstran di gedung istana

yang penuh jargon dan khotbah, dengan to-

Universitas Mercu Buana, atas inisiasi Tarmidi

satu Nabi. Setelah membunuh Nabi, Juru Sita

dengan gerak dan bunyi-bunyian

sebagai

koh-tokoh besar. Tapi menghadirkan sisi lain

Komeng, salah satu aktifis teater wilayah Ja-

malah ketagihan dan membunuh satu Nabi

simbol kemarahan. Dengan slide pendudukan

yang tak kalah menariknya. Seperti tokoh kecil

karta Barat. Lakon-lakon yang pernah mereka

lainnya. Keadaan jadi kacau dan Wali harus

gedung DPR/MPR Senayan oleh mahasiswa

dan ironi tentang siapa yang selamat dan bi-

pentaskan adalah: Sssst dan Topeng karya

mempertanggung-jawabkan keadaan ini ke-

pada 1998, panggung dipenuhi oleh para

nasa dalam sebuah pengadilan rakyat.

Ikranegara, Ken Arok karya Saini KM, Wot,

pada rakyat yang terus menunggu. Akhirnya

demonstran yang membuat riuh dengan cara

Pertunjukan Nabi Kembar oleh Teater Amoe-

Malam Jahanam, Romeo and Julliet, Mach-

rakyat murka dan menerobos istana. Anarki

memukuli kerangka scaffolding.

ba, memilih bentuk slapstick untuk mendapat-

bet, Grafito, Tikus dan Manusia, dll. Teruslah

terjadi dan korbannya adalah para profesor

Selain itu, ada juga tentara, peran yang ber-

kan kelucuan yang diciptakan sutradara,

Berkarya, Sobat ! Good luck ! (ded, her)

dan Wali. Hanya Juru Sita yang selamat.

tugas mengabarkan kejadian di luar istana,

untuk mengimbangi persentase keseriusan

Lewat Nabi Kembar, Teater Amoeba men-

termasuk penembakan demonstran dan peru-

yang telah memeras otak, agar memudahkan


6

Edisi 9 - Juni 2012

DILUAR PANGGUNG

Workshop Membaca Tradisi Tradisi Itu Bermakna Luas

workshop

tema

peserta berani melakukan yang bukan lin-

dari tubrukan butiran-butiran gula pasir.

lima

ear, terutama dalam menghadapi tradisi.

Di Jakarta Timur, workshop ini meng-

wilayah Jakarta dilakukan atas kerja

“Upacara hari ulang tahun sudah men-

hasilkan

sama Komite Teater DKJ dengan asosiasi

jadi tradisi kita, bukan? Karena dilak-

unik tentang teater yang disampaikan

teater masing-masing wilayah. Workshop

sanakan

merayakannya

langsung oleh seluruh peserta work-

merupakan

setiap tahun. Ini kan linear. Coba laku-

shop. “Setelah mengikuti workshop ini,

tema utama Festival Teater Jakarta tahun

kan reaksi yang

tidak linear menjadi

saya memetik pelajaran bahwa teater itu

2012 yaitu Membaca Aku Membaca Laku.

tradisi yang baru lagi,” pinta Afrizal.

eksak,” ujar Zubir Mustaqim, salah se-

“Membaca

teater

Tradisi”,

dengan

bergulir

langkah

di

sub-tematik

dari

Pemateri workshop adalah Afrizal Malna. Di Jakarta Selatan, workshop bergulir hangat. Menurut Dediesputra dari dramakala, antara lain mencatat, Afrizal Malna selaku nara sumber workshop menawarkan penekanan lebih kuat pada teks Membaca. Sementara teks Tradisi bisa kita maknai secara beraneka, meliputi : budaya daerah, budaya berteater dan budaya kekinian atau masa lalu dari diri sendiri, orang lain dan komunitas. Mengingat kembali kapan, apa dan bagaimana pertama kali berteater untuk menggaris-bawahi

Aku Teater adalah

mengingat momen berteater ; dimana aku berhadapan dengan aku-ku sebagai salah satu tahapan dalam workshop. Membaca

kembali

latihan-latihan

teater

dilakukan

untuk

yang

ma-sama

menelaah,

bersa-

share,

sampai

menonton video yang berakhir dengan kesepakatan, bahwa “Membaca Tradisi”, bukan menjadi tradisi, tapi menemukan

dan

menyusunnya

kembali.

Workshop di Jakarta Utara, Dediesputra dari dramakala menyebutkan, materi “Membaca” dengan memilah komposisi dalam bagian-bagian (dinding-dinding) yaitu teks (dinding 1), konteks (dinding 2) menjadi motivasi interogasi tubuh dan referen (dinding 3) menjadi motivasi interogasi ruang. Pengelolaan ke 3 (tiga) dinding tersebut terkomposisi menjadi dinding ke 4 (empat), yaitu keutuhan karya itu menyangkut konsep dan penyutradaraan. Materi “Membaca Aku Tradisi”, adalah mengumpulkan dari

seluruh

seluruh peserta

pemaknaan

workshop

ten-

tang tradisi. Kemudian memilah data makna itu, untuk menyeleksinya dari mengenali bagian apa yang melekat di tubuh, seperti gesture dan dialek. Materi

review

dari

menonton

video

“Budha Collapse, Hudoq Dayak Bahau, Tujuh Lelaki mengenakan Tujuh Lapis Baju Bodo, dan Enstein On The Beach”. Review menggunakan pemi-

orang

yang

Kemudian memberi penguatan pada kebaikan membaca daripada menafsirkan yang cenderung akan menyesatkan. Materi juga berkembang pada pembacaan Tradisi Puitik yang kita miliki sebagai bangsa dari kebudayaan sebelum abad ke 13. Materi workshop juga mengingatkan untuk melakukan banyak koreksi pada tr disi latihan teater yang dilakukan, seperti reading. Reading hanya menciptakan tubuh general pada aktor, yang akan mengubur tradisi yang melekat pada tubuh itu. Setiap bentuk latihan harus langsung bertemu konteksnya, seperti menangis. Jangan memerankan tangisan, tapi menangis adalah akibat dari kesedihan. Agar teater tidak terjebak pada “rumah gila”, yang membuat teater jadi menakutkan dan dijauhi atau tidak mudah diterima.

Selain itu, Afrizal mengingatkan tentang

“Sebelum ini, saya memandang teater

salah satu adegan pertunjukkan teater Ru-

serba abstrak dan tidak pasti.” Semen-

mah yang Dikuburkan karya Sam Shepa-

tara beberapa peserta lain mengaku bin-

rd, terjemahan Akhudiat dan disadur oleh

gung mengenai bagaimana mempraktek-

Afrizal sendiri. Saat dipentaskan Teater

kan hasil workshop ini dalam kelompok

SAE , ada tokohnya yang muncul sambil sikat gigi (diperankan oleh Andi Bersama) seperti kehidupan sehari-hari. “Ini menjadi tidak linear karena ditampilkan dalam pertunjukkan teater. Sepengetahuan saya, belum pernah ada atau belum berani orang menampilkan adegan keseharian seperti yang sehari-hari itu. Itu yang Afrizal yang malam 7 Juni 2012 itu berte-

teater mereka. “Workshop ini membuat

patan dengan HUT –nya yang ke-55.

saya keluar-masuk di antara hal-hal yang

Di Jakarta Pusat, Afrizal, sebagaimana

saya pahami dengan yang tidak saya pa-

yang dilaporkan oleh Dendi dari dramaka-

hami,” seru Reza dari Teater Trompah.

la,

sedangkan Bambang Hidayat, sutra-

menggunakan media-media seperti

cangkir, toples gula dan kopi, juga kursi.

yang menyerupai suatu pergerakan itu, terlihat misalnya, ketika Afrizal meminta tiga orang peserta untuk melakukan aksi atas benda kursi dengan kue ulang tahun di atasnya berdasarkan pertanyaan yang diajukan Afrizal, yaitu; “Apakah itu Apakah?” Ketika peserta ada yang memakannya, kemudian yang lain menghidupkan seluruh properti itu sebagai bentuk upacara hari ulang tahun, ternyata menurut Afrizal semua itu linear. Jadi Afrizal ingin

shop

ini

bahwa

dari

teater

work-

seharusnya

memang

berusaha

mengajak

yang pengamatannya juga dilakukan

Yaitu tentang tradisi yang bukan melihat-

Upaya Afrizal menularkan pengetahuan

penangkapannya

lam teater. Workshop di Jakarta Timur

mendapatkan ilmu pengetahuan baru.

disi Hudoq Dayak, Kalimantan Selatan.

kan

menandas-

bali rutinitas yang mereka jalani da-

Semua peserta mengakui, mereka telah

video tentang kesenian tradisi seperti tra-

Al-Kautsar

peserta untuk mempertanyakan kem-

laporkan Herry, lebih bersifat kuliah umum.

rian materi workshopnya, Afrizal memutar

Teater

Afrizal

sung di Jakarta Barat sebagaimana di-

atau komunitas. Meskipun dalam pembe-

dara

melahirkan pembaca, bukan penonton.

Sementara itu, workshop yang berlang-

belakang kebudayaan suatu masyarakat

Peserta Workshop di Jakarta Utara

membuatnya jadi tidak linear,” pungkas

Linear

nya ke belakang. Artinya, tradisi bukan latar

yang

orang penggiat teater di Jakarta Timur.

Workshop di Jakarta Utara

lahan dinding seperti tersebut di atas.

kesimpulan-kesimpulan

oleh Dendi, tampaknya hal tersebut

Workshop di Jakarta Timur

sedikit menemui hambatan-hambatan.

Sebuah teko ditaruh di atas kursi. Lalu Afrizal meminta kepada peserta untuk

Para peserta masih cenderung melakukan

melakukan aksi terhadap benda-benda itu.

penafsiran daripada pembacaan. Para

Salah seorang peserta maju lalu menu-

peserta juga masih menggunakan istilah-

angkan kopi ke dalam gelas. Afrizal me-

istilah seperti penghayatan, olah sukma,

lihat aksi tersebut sebagai hal yang tidak

olah tubuh, olah vokal tanpa mempunyai

memberikan narasi lain terhadap benda-

kemampuan untuk menguraikan istilah-

benda itu. “Karena dalam keseharian, kita

istilah itu lebih jauh. Afrizal mengajak pe-

sudah mengetahui bahwa gelas itu alat

serta untuk mendekati semua itu secara

untuk minum,” jelas Afrizal. Kemudian

konkrit dengan melakukan penguraian.

Afrizal membuka toples dan mengam-

Bahkan Afrizal menawarkan kepada pe-

bil sesendok butiran gula pasir. Afrizal

serta untuk banyak melakukan pembata-

mengangkat sendok itu lalu mengambil

lan dalam latihan dasar teater yang men-

jarak agak jauh dengan toples. Butiran-

jebak tubuh pada tub uh rutin dan general.

butiran gula berhamburan ketika Afrizal

Semoga bermanfaat ! (ab, ded, DM, her)

menumpahkannya

ke

dalam

toples.

Ada suara-suara halus yang dihasilkan dari aksi Afrizal ini yang berasal


7

Edisi 9 - Juni 2012

TEATER ANAK

P e n t a s U l a n g P e m e n a n g F TA 2 0 1 1 KUALITAS MEROSOT KUANTITAS MEMUASKAN

L embaga Teater Jakarta (LTJ) berkerjasa-

akhirnya diselenggarakan lagi secara rutin setiap ta-

dunia fantasi anak-anak, seperti adanya raksasa. Ada

kan tak kurang 50 anak. Crick Ceria merupakan grup

ma dengan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail

hun sampai saat ini. Dulu ada Lembaga Teater Anak

kerajaan di Betawi? Dan uniknya ada kebakaran, un-

dari lingkungan suatu sekolah dasar di daerah Kam-

Marzuki (PKJ-TIM) menggelar pentas ulang peme-

di Jakarta (LETAKI) yang menjadi patner Pemprov

tuk mengejutkan si Badul agar bangun dari tidurnya.

pung Rawa, Jakarta Pusat. Kalau saja semua sekolah

nang Festival Teater Anak (FTA) 2011 pada 15 – 17

DKI Jakarta dalam penyelenggaraan FTA. Saat ini

Tapi kebakaran dan Betawi saat ini bukanlah fantasi.

dasar memiliki kualitas sanggar drama anak seperti

Mei 2012 di Teater Studio (Kecil) TIM. Gagasan pen-

LETAKI telah berubah menjadi Lembaga Teater Ja-

Demikianlah nilai-nilai dibebaskan ikatan dimensional

grup ini, maka makin sehatlah jiwa raga anak-anak

tas ulang pemenang diharapkan dapat memicu pen-

karta (LTJ).

antropologinya atas nama dunia fantasi anak-anak.

didik sekolah dasar di ibukota.

ingkatan kualitas teater anak. Harapan dicanangkan

Dinamika organisatoris penyelenggaraan FTA terse-

Pertunjukan ini penting untuk diteliti pakar pendidikan

Menurut Asep S Martin, selama penyelenggaraan

mengait dengan opini Jose Rizal, salah seorang juri

but diharapkan dapat menjawab persoalan pembi-

agar mendapatkan kesimpulan, apakah hal tersebut

pentas ulang, rata-rata jumlah penonton menggembi-

FTA 2011. Menurut sutradara teater anak yang telah

naan teater anak, untuk mampu meningkatkan pen-

dapat dikategorikan mendidik yang baik untuk anak-

rakan. “Kecuali Sang Abul yang dihadiri kurang dari

mengharumkan nama bangsa Indonesia di pentas

capaian kualitatif pementasan-pementasan teater

anak.

50 penonton, jumlah penonton grup lain banyak. Se-

dunia, kualitas FTA mengalami kemunduran jauh

anak Indonesia.

dibandingkan dengan pencapaian kualitatif pemen-

muanya penuh”, ujar ketua LTJ ini. Tentang sedikitTeater Lorong Junior, pemenang pertama FTA 2011,

nya jumlah penonton, menurut Asep, itu persoalan

Penonton Memuaskan

menggelar

“Sang Juara” karya-sutradara Djael-

manajemen grup yang bersangkutan. Sebab pada

Dulu ketika FTA

Pentas ulang menampilkan sejumlah grup pemenang.

ani Manock. Cerita mengisahkan anak-anak yang

grup lainnya ternyata memuaskan. Ia mengatakan,

ditangani Dewan

Di antaranya, Sanggar Anak Bulungan (Sang Abul),

menjadi panitia, juri dan peserta lomba baca puisi

penyelenggaraan FTA tahun ini akan digelar sekitar

Kesenian

Ja-

pemenang keempat. Menggelar pementasan berjudul

di lingkungan tempat mereka tinggal. Kisah ini ber-

September 2012. Sosialisasi hal ini akan segera dit-

karta (DKJ), pro-

“Monster dan Kunang” (sekuel kedua dari “Ban Motor

muatan semacam satir untuk remaja dan dewasa di

indaklanjuti. (Ded).

gresnya

Menabrak Enggrang”) karya sutradara Andi Bersama.

perkampungan itu. Mereka menjadi anak-anak yang

Ide kreatif revitalisasi permainan tradisional yaitu eng-

mengelola persoalan remaja dan dewasa tanpa me-

grang, perlu mendapatkan apresiasi. Sementara ber-

lepaskan dimensi kekanak-kanakan yang dimiliki.

Misalnya, seiring

main-main dengan tumpukan ban motor bekas, tam-

Hal itu dilakukan tanpa kehilangan pesan filosofis

diselenggarakan

pak masih memiliki kesenjangan dimensional, saat

yang dikandungnya. Susah mencari dana, perteng-

festival, DKJ juga menyelenggarakan lomba penu-

benda itu digunakan menjadi sesuatu yang merepre-

karan sesama panitia, pesan menabung yang terus

lisan naskah anak-anak. Jadi peserta bisa memi-

sentasikan imajinasi anak-anak di dalam permainan

menerus diulang, menjadi semacam memukul palu

lih naskah-naskah baru yang belum dikenal sama

mereka. Kesan “belum akrab” pada benda tersebut

untuk semakin tertanam.

er Tanah Air) dapat tertularkan kepada grup teater anak yag lain.

sekali. Nah, itu memacu kreatifitas. Tidak hanya bagi

masih tampak. Apalagi di saat anak-anak bermain

Crick Ceria, sanggar anak pemenang ketiga memen-

Dengan demikian kualitas festival teater anak pada tahun yang

anak-anak sendiri, tapi juga bagi kreator-kreator lain-

tiduran di atas tumpukan ban-ban, tampak kera-

taskan “Kura-kura yang Sombong”, karya Jimmy dan

nya, sutradara-sutradaranya. Persaingannya sangat

guan, jadi kekakuan karena takut jatuh. Pertunjukan

sutradara Jaka Suyudi. Struktur dramatik dan suasa-

dapat membawa keharuman bangsa di luar negeri. Tentang ma-

ketat.

ini membuka cakrawala kreatif, yaitu mengakrabkan

na anak-anak tampak kuat. Dua hal ini yang memung-

teri workshop dan grup-grup mana saja yang menjadi peserta,

Era 1980-an FTA diselenggarakan Dewan Kesenian

budi-daya barang bekas pada anak-anak.

kinkan grup ini terpilih sebagai pemenang ketiga.

Jakarta (DKJ). Kemudian diselenggarakan Dinas

Kelompok Sanggar Poros Junior, pemenang ke-2,

Kelemahan pementasan tampak pada belum kompak

Pendidikan dan Kebudayaan. Pernah juga FTA men-

menggelar “Si Badul dan Ondel-ondel” karya Arthur S.

antara suatu susunan dramatik dengan susunan dra-

galami kevakuman selama beberapa tahun sebelum

Nalan, sutradara Asep S. Martin. Setting kerajaan dan

matik lainnya. Mahfum, karena pementasan melibat-

tasan teater anak pada FTA di era 80-an.

bagus

sekali.

Jose Rizal Manua, Juri FTA 2011

Drs Bambang Subekti, MM - Kepala BP PKJ TIM Workshop untuk Kualitas Mengait dengan menurunnya kualitas grup teater anak, PKJ TIM akan mengadakan workshop teater anak. Workshop bertujuan meningkatkan kualitas grup teater anak. Sehingga kualitas yang telah dicapai oleh grup teater pimpinan Jose Rizal Manua (Teat-

akan datang akan jauh lebih baik lagi. Maka bila nanti ada festival teater anak di luar negeri, dan grup yang dikirim ke festival itu

segala sesuatunya dipesilakan kepada LTJ untuk memilihnya. Kami percaya penyelenggaraan workshop akan benar-benar bermanfaat bagi perkembangan kualitas grup teater anak sebagaimana yang pernah terjadi di tahun sebelumnya. (ded)

MANIFESTO

Manifesto KamiKami Manifesto Manifesto Kami

oleh : Kelompok Teater Kami

Kami tidak mengenal engkau, dan ses-

Karena itu, kami senantiasa lakukan pengujian

Tak ada tempat bagi kemalasan, kecengen- tubuh, itu adalah manusia, bukan screen yang

ungguhnya kami tidak tertarik untuk mengenal

atas teks-teks. Kami bongkar teks-teks itu agar

gan, dan masalah-masalah pribadi dalam mendedahkan

engkau. Diri kami adalah lebih dari cukup. Diri

kami dapat membangun kenyataan terkini dari

proses kerja teater kami. Kami buka topeng atau tumpukan perabot-perabot panggung,

kami adalah apa yang kami kenal : badan,

teks-teks tersebut. Kami tidak mencari tokoh.

dan baju keseharian kami yang normatif untuk kostum, rias, setting atau pencahayaan yang

keringat, otot-otot, tulang, rasa sakit, jeritan,

Kami adalah tokoh itu sendiri. Kami tidak

menemui biografi tubuh kami yang telanjang. spectacle. Karenanya kami patut bersepakat

penderitaan adalah organisme yang paling

berpura-pura masuk kedalam karakter peran.

Tidak mudah memang, tetapi cukup sulit bagi dengan si Polandia “miskin” itu yang menyebut

berharga yang masih kami miliki, di samping

Peran itu adalah kami.

kami untuk menyerah. Kami tidak perduli den- kaum penganut paham kawin seni blasteran

kegembiraan karena kami masih bisa terus

gambar-gambar

rekayasa,

gan apa yang dirayakan oleh sebagian orang itu sebagai kleptomania artistik. Seberapapun

mengkonfrontasi diri kami sendiri lewat proyek

Kami yang menafsirkan teks-teks itu, maka ka-

teater dengan gelap mata itu, apa yang den- jauhnya teater ber’evolusi dia tetap tidak bisa

kerja teater kami. Bersamanya kami bergerak

milah itu. Sang penafsir. Bukan pemain.Kami

gan bangga mereka sebut sebagai seni media mengkhianati dirinya yang asali, yakni badan,

menyusun tanda-tanda, menguji kata-kata,

baru, atau seni visual atau multi media. Kami keringat dan bau.

menelaah dan mempertanyakan kembali tubuh

bukan penganut budaya kawin silang itu. Kami

dan pikiran kami sendiri. Bukan untuk menjadi

telah mengasingkan diri kami dan memutus- Media TV, Film boleh mengambil apa saja

dirimu. Bukan untuk menjadi semacam dirimu.

kan hubungan (yang memang tak pernah kami yang di punyai teater, tetapi satu hal yang tidak jalin itu) dengan mahkluk yang bernama asing akan pernah bisa mereka ambil adalah bau

Kami bekerja mengunjungi teks-teks tentang

tersebut. Segala sesuatu yang bukan inti dari dan keringat tubuh-tubuh sang penafsir, dialah

manusia yang mungkin saja belum lagi terkenali oleh diri kami. Tetapi teks-teks itu tidak

teater, kami minimalisir, kalau tidak bisa kami aktor. Teater menyediakan keintiman dengan K e l o m p o k Te a t e r K a m i - G E G I R A N G A N

hapuskan sama sekali, ke titik terendah dalam publiknya, ini mengandaikan ketakberjarakan

pernah berhasil memaksa kami untuk meng-

tak memainkan peran apa pun. Lewat badan

kerja kreatif kami.

antara aktor dan penontonnya, itulah roh yang

hidupkan tokoh-tokoh yang telah dinasibkan

kami, pikiran kami, tulang dan otot-otot kami,

tidak akan dapat dibeli dengan berapapun

oleh pengarang yang tak mengenal kami itu,

pengalaman kami, penderitaan kami, rasa

Bukan tanpa resiko keputusan ini kami ambil, harga. Dan teater harus tahu diri akan hal itu.

dan kami memang tidak pernah bernapsu

senang kami, kami ciptakan sebuah dunia,

mereka bisa dengan mudah memasukan kami Kalau tidak mau mengingkari dirinya sendiri.

untuk membiarkan diri kami diseret-seret ke

sebuah dunia dengan realita nyata yang kami

kedalam tuduhan: kuno dan ketinggalan za-

dalam kerumitan-kerumitan yang disediakan

bangun dengan imajinasi kami. Bukan sebuah

man. Kami tidak perduli. Kami adalah funda-

oleh maksud tersebut dalam upaya me’reka-

dunia baru yang kami cipta, tetapi dunia palsu

mentalis yang kalian kenal itu.

reka kedirianmu.

yang kami tanggalkan.

Teater, bagi kami adalah aktor, dan itu adalah


8

Edisi 9 - Juni 2012

MATAKALA

Menyempitnya Ruang P e m b e r i t a a n T e a t e r

Bisakah dunia perteateran di Indone-

Harris Priadie Bah

bisa lebih dikenal publiknya.

kan satu kemungkinan lain untuk memberita-

pemanggungan profesional, maka tidak akan

sia hidup dan maju tanpa kehadiran media

Sedari dahulu sesampai kini kita tahu bahwa

kan kegiatan berteater tersebut.

ditulis. Padahal seharusnya, lanjut sinyalemen

yang memberitakannya, jawabannya boleh

koran - sebagai salah satu bentuk media pem-

Sementara pada sisi yang lain kita juga ada

itu lagi, koran-koran itu harusnya berpihak

pasti, bisa. Namun bisakah karya dan nama

beritaan yang ada itu - memang menyediakan

dengar bagaimana sulitnya kelompok-kel-

pada capaian mutu karyanya. Bagaimanapun

kelompok teater yang bergiat itu dikenal dan

ruang

ompok teater “kecil”

kita paham, bahwa setiap media memiliki ke-

terkenal luas tanpa peran media pemberitaan,

pada tiap edisi minggu-

untuk

mendapat-

bijaksanaannya sendiri dalam memberitakan

jawabannya boleh abu abu, bisa tetapi su-

nya. Namun rubrik yang

kan

keberuntungan

kabar-kabar yang ada bagi halaman koran-

lit. Kita tahu kebesaran nama nama seniman

tersedia itu, yang biasan-

ditulis

teater baik yang telah berpulang maupun yang

ya hanya terdiri dari satu

pengamat atau war-

masih hadir dengan karya-karyanya sesampai

atau dua halaman itu, kita

tawan,

kini, sedikit banyak, banyak dibesarkan oleh

tahu harus berbagi den-

menariknya

media pemberitaan yang ada, baik itu media

gan

mereka itu.

cetak surat kabar atau media elektronik. Para

dari cabang seni lainnya

pembesar teater tersebut tentu saja besar

yang ada, semisal film,

Beberapa sinyalemen

kan perlu dan mendesak. Sebuah media pem-

karena karya-karyanya namun kehadiran me-

tari, seni rupa, musik dan

mengatakan

bahwa

beritaan yang merelakan dirinya dengan ikhlas

dia pemberitaan juga tidak bisa dihilangkan

teater, alhasil tidak setiap

koran-koran tersebut

dan sadar untuk menjadi ruang pertemuan

peranannya dalam membesarkan nama para

minggu ada berita tentang

memang

dirasakan

bagi sejumlah ide, pemikiran, serta komunika-

pembesar teater tersebut.

teater (pun begitu cabang

lebih

berorientasi

si. Tatkala dunia disesaki oleh produk-produk

seni yang lain), padahal

pada ketokohan dan

tehnologi komunikasi, tatkala ruang-ruang ba-

kepopuleran,

khusus

topik

budaya

pemberitaan

oleh

kritikus,

nya, ada semacam “politik pemberitaan” yang coba digaris-standarkannya di situ.

seberapapun karya

Kehadiran media-media pemberitaan yang secara khusus dan spesifik mengulas tema atau bidang tertentu, saat ini memang kian dirasa-

Pengetahuan dan pemahaman saya - yang

kita juga tahu kalau pe-

tidak

daniah dan bathiniah disentuh-jamah oleh ko-

bergiat dan bergumul belakangan dengan

manggungan teater hampir selalu ada pada

perduli baik buruknya karya pemanggungan

smetika rasa yang semu dan tanpa rasa malu,

dunia teater - tentang karya dan kebesaran

setiap minggunya, tentu dengan ruang-ruang

orang yang ditokohkan itu maka pasti akan

saat itulah dibutuhkan sesuatu yang lain, ses-

nama para tokoh teater tersebut pun lebih

pemanggungan yang berbagai, baik outdoor

tetap diberitakan besar-besar, sedangkan se-

uatu yang boleh menyadarkan keorangan kita

banyak saya dapatkan dari media pemberitaan

ataupun indoor, dengan kelompok-kelompok

baik apapun karya pemanggungan itu asalkan

selama ini bahwasanya kita butuh introspeksi,

umum yang saya baca. Kehadiran media pem-

teaternya yang menyebar di banyak wilayah di

dipanggungkan oleh kelompok teater yang

butuh refleksi, butuh melihat diri sendiri. Mela-

beritaan jelas tanpa bisa diragukan lagi ada-

Jakarta.

belum dikenal apalagi ruang pewujudan pe-

lui karya serta orang-orang yang terjumpai

lah perlu dan penting, bersebab perannyalah

Menyadari kian menyempitnya ruang seni dan

manggungannya juga di belahan wilayah ter-

di panggung-panggung teater, kebutuhan itu

karya teater dan persona para senimannya

budaya di media cetak saat ini maka dibutuh-

tentu yang kurang representatif untuk ukuran

menjelma niscaya di situ.(HPBah)

PELUNCURAN BUKU

Kawan Tidur Hanna Impikan Patung Naga di Singkawang Nama

Hanna

diberi tajuk “Malam Sastra Hanna Fransisca”

terakhir ‘’Malam Gaib”. Tampak hadir sejumlah kedai kopi. Naskah ini sudah pernah dipen-

Fransisca ter-

menyerupai pertunjukkan teater. Seperti set

sastrawan, terutama yang memberikan sup- taskan dalam format Dramatik Reading oleh

bilang baru di

yang menghadirkan dewa dapur dengan dere-

port pada karya-karyanya, seperti Abdul Hadi sejumlah grup besar di Jogjakarta, seperti Sat-

kancah sastra

tan cabai merah besar di dinding, serta banner

WM, Leon Agusta, Damhuri Muhammad, dan urday Acting Club dari Jogja, Mainteater dari

Indonesia. Dia

besar berisi tajuk acara Malam Sastra Hanna

banyak lagi.

baru

menge-

Bandung, dan Teater Tetas dari Jakarta, yang

Fransisca.

Yang menarik dari acara peluncuran sekali- penyelenggaraannya dalam event Indonesia

dua

Acara pada malam itu yang penuh disesaki

gus tiga buku karya Hanna Fransisca tersebut Dramatic Reading Festival. Secara garis be-

buku puisi ber-

oleh para penghadir menampilkan musikalisa-

adalah performance pembacaan puisi seorang sar, naskah ini bercerita tentang upaya warga

judul

Konde

si puisi oleh Arus Langit, pembacaan cerpen

Hanna Fransisca yang dikemas berbeda satu Tionghoa untuk membangun patung Naga di

darkan

Penyair

Han

oleh Joni Ariadinata, pidato atas karya-karya

sama lain dari tiga pembacaannya itu. Tampak Singkawang, tapi mendapat pertentangan satu

dan

Benih

Hanna Fransisca oleh Sapardi Djoko Damono,

sekali latihan yang lama dan persiapan yang komunitas tertentu. Namun akhirnya berdiri

Kayu

Dewa

pemanggungan naskah lakon ‘Kawan Tidur”

cukup bisa dirasakan dari penampilannya juga. Rekaman peristiwa itu yang ditulis Han-

Dapur yang di-

oleh Teater Garasi, permainan musik kecapi

pada malam itu, tak henti-henti Hanna dihadia- na menjadi lakon realis. Kawan Tidur adalah

luncurkan bersama dua buku genre lainnya, di

China, Guzheng oleh Angeline Juliana dan

hi applause penonton setiap usai satu puisinya sebuah naskah yang cerdas dan mengalir di-

Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Ciki-

ditutup oleh sang penyair itu sendiri, Hanna

dibacakan. Sedangkan pertunjukan Teater Ga- namis. Menyimpan keindangan dalam dialog-

ni, Jakarta Pusat, Kamis (30/5) kemarin. Gelar-

Fransisca yang membacakan puisinya yang

rasi dengan lakon “Kawan Tidur” menjadi per- dialognya. Kekurangannya mungkin kalimat

an ketiga buku yang terdiri dari kumpulan cer-

berjudul “Kesalahan Pohon Pepaya’, dan dis-

tunjukan tersendiri. Mereka membangun set yang diromantisir, terkesan penulisnya kurang

pen bertajuk Sulaiman Pergi ke Tanjung China,

ambung dengan pembacaan puisi “Lagu Tion-

pemanggungan sendiri secara masif dan tidak memberikan kesempatan tokohnya bicara den-

naskah lakon/drama yang diberi judul Kawan

ghoa” dengan diiringi permainan musik khas

menggunakan set utama dari acara “Malam gan keberadaan mereka yang sesungguhnya.

Tidur, dan puisi Benih Kayu Dewa Dapur tadi,

Tiongkok Guzheng oleh Angeline Juliana, dan

Sastra Hanna Fransisca” tadi, set menyerupai Sehingga terasa berjarak. (her)

Dramakala mengundang anda untuk mengirimkan kabar/berita yang berisi peristiwa pemanggungan atau diluar panggung (workshop, diskusi, seminar) untuk rubrik “Panggung Luar Jakarta” dan juga tulisan tentang pernyataan artistik, serta sikap estetik dari kelompok teater untuk rubric Manifesto.(nir-honor) Tulisan dikirimkan ke ideal.indonesia@yahoo.com Dramakala dapat diperoleh di Asosiasi Perteateran Wilayah di 5 (lima) wilayah DKI Jakarta, Galeri Buku Bengkel Deklamasi Taman Ismail Marzuki, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dan Kantong-kantong Kebudayaan. Bagi pembaca luar Jakarta dapat menghubungi 0815 1021 1119


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.