drama kala media komunikasi dan informasi teater
2 WACANA
Teater Indonesia Kini: Teater Hampa di Padang Gurun (Bagian 2)
3 BERITA UTAMA 4 KHASANAH
Patriotisme dalam Panggung Indonesia
Patriotisme dan Panggung Teater
8 MATA KALA
Ekspresi Patriotik dalam Masyarakat
Edisi AGUSTU
10 S
-S
E PT
EMBER 201 2
Patriotisme dalam Panggung Teater Indonesia
2
Edisi 10 - Agustus - September 2012 KALA MEMBACA
drama kala Dewan Eksekutif IDEAL Pembina Penasihat Internal Direktur Direktur Eksternal General Manager General Manager Koordinator Koordinator
: Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR : Arswendo Atmowiloto : Chrisdina Wempi Rafael Jolongbayan : Renata Tirta Kurniawan RenataRori TirtaRarasati Kurniawan : Maulia : Maulia Rori Rarasati
Dewan Redaksi Dewan Redaksi Pimpinan Redaksi : Harris Priadie Bah Pimpinan Redaksi HarrisBersama Priadie Bah Wakil Pimpinan Redaksi :: Andi WakilRedaksi Pimpinan Redaksi Bersama Staf :: Andi Dediesputra Siregar Staf Redaksi : Dendi Dediesputra MadiyaSiregar DendiSaragih Madiya Hery Hery Saragih Layout : Aditya Nugroho Pratomo Editor : Malhamang Zamzam Layout : Aditya Nugroho Pratomo Alamat Redaksi STIKOM The London School of Public Relations - Jakarta Komplek Perkantoran Sudirman Park Alamat Redaksi Jl. K.H. Mas Kav. 35of Public Relations - Jakarta STIKOM TheMansyur London School Jakarta 10220 Sudirman Park KomplekPusat Perkantoran
Pembaca dramakala yang mulia, bukan semata untuk merayakan hari kemerdekaan bangsa kita, maka edisi kali ini menyoal tema “Patriotisme dalam Panggung Teater Indonesia”, tetapi juga bersebab didasari oleh kenyataan minimnya tema-tema teks dramatik atau pemanggungan yang menguarkan semangat termaksud itu, padahal bukankah teater sesungguhnya berhadapan muka pula dengan persoalan-persoalan aktual bangsa dan negara ? dramakalais yang terkasih (izinkan kami menggunakan istilah ini untuk menyebut anda semua sebagai bentuk penghargaan kami atas kesetiaan anda membaca koran dramakala ini) bila kita berjalan keliling pelosok-pelosok daerah dan kampung pada bulan Agustus ini, maka ada banyak kita jumpai panggung-panggung didirikan untuk menjadi media penyampai ekspresi seni budaya dan apresiasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam konteks merayakan hari kemerdekaan RI. Menjadi menarik ketika kemudian kita mengetahui bahwa ternyata ada banyak kelompok teater dan persona aktor yang kita kenal sekarang ini mengawali perjalanan teaternya dari panggung-panggung teater tujuh belasan ini, paling tidak mereka memang pernah bersentuhan daripadanya. Lewat beberapa nara sumber yang kami wawancarai baik melalui telepon atau langsung bersitatap muka, kami coba mendiskusikan tema ini. Ada banyak hal menarik yang terbicarakan, dan harapannya tentu saja melalui topik bahasan kali ini akan dapat merangsang para pewujud teks dramatik atau pewujud pemanggungan bisa mendekati tema-tema yang lebih dekat dengan kehidupan lingkungan dan masyarakatnya, tidak melulu persoalan “dewa-dewa” atau persoalan-persoalan yang “absurd’ yang justru menjauhkan teater dari publiknya.
Jl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35 Jakarta Pusat 10220 Cover Teater Biru 42 “BLONG”
Redaksi
WACANA
TEATER INDONESIA KINI: TERIAKAN HAMPA DI PADANG GURUN (Bagian 2)
K
etiadaan model kritisisme baru, berikut sang kritikusnya, telah menyebabkan diskoneksi yang parah dan menjatuhkan fenomena beragam peristiwa teater ke dalam kubangan. Tidak ada hal yang gayung bersambut antara pencapaian estetika dan paradigma teater masa kini, pada satu sisi, dengan perspektif kritis yang memperdebatkannya, pada sisi yang lain. Yang satu masa kini, yang satu jadul. Kondisi ini makin merana dengan absennya itikad-itikad kajian dan penelitian seni yang berbobot dan cerdas, khususnya teater, yang makin jauh panggang dari api. Ironis sungguh, pada saat dunia (seni) teater kita semakin banyak melahirkan sarjana-sarjana seni, bahkan doktor-doktor teater mulai berbaris, namun kenyataannya peristiwa-peristiwa teater yang bahkan amat signifikan pencapaian estetiknya luput pula dari terjangan pena dan alam pikir ’kaum intelektual’ itu. Fenomena teater kita yang kaya nyaris berjalan sendiri tanpa dukungan wacana-wacana yang mumpuni. Yang kebanyakan ada cuma kajian-kajian atau riset-riset yang melulu bersifat ’ngelaba’, bukan sungguh-sungguh mempertaruhkan kualitas kepakaran. Lalu apa saja yang mereka kerjakan dengan kedoktorannya? Semata-mata menjadikannya sebagai alat untuk memetik jabatan dan kedudukan formal akademik? Entahlah.Tapi kalau itu benar, matilah kebudayaan teater kita, seperti tercermin dalam kematian forum-forum diskusi atau seminar teater, yang memang semakin langka, yang hampir selalu dihuni oleh pengamat-pengamat
dan seniman-seniman masa lalu yang sudah ahistoris dan lelah. Hal lain yang membuat pilu teater kita tentu saja kemiskinan. Kemiskinan yang sistematik dan terstruktur. Muncul dari kemiskinan infra-struktur dan supra-struktur. Inilah wajah teater compang-camping yang tampil tanpa sarana-prasarana, tanpa dana, tanpa pembelaan dan dukungan kebijakan pemerintah sebagai ’orang tua’ kebudayaan, tanpa kualitas festival-festival bergengsi dan berjenjang dari akar rumput hingga menuju ke keindonesiaan, tanpa art space yang memadai, tanpa dukungan politik media, tanpa penghar-
teater’ (harap dibedakan dari teater politik), kongkalikong dengan kepentingan basis-basis kekuatan tertentu (sosial, politik, media, dll), lumrahnya akan gampang mendapat dukungan kokoh untuk mengumumkan klaim-klaim serba ’terbaik’ tersebut. Bagi mereka yang tidak demikian, dan tetap lebih memilih menjaga spirit ’kemurnian’ teater, tentu harus legowo untuk tidak mendapat pengakuan apa pun. Bahkan tanpa rejeki dan hanya bisa gigit jari. Kemiskinan teater juga berarti tiadanya pemangku-pemangku kepentingan (stake holder) yang bisa turut merawat dan menumbuhkan.
Setelah berakhirnya era dominasi para pelopor dan soko guru (seperti Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, WS. Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dll), Teater Indonesia masa kini tak ubahnya padang pasir yang tak bertuan. gaan-penghargaan atas kreativitas dan kesetiaan, tanpa proyek-proyek pelatihan dan workshop-workshop yang rinci dan efektif, yang ada malah matinya kritik dan pupusnya praktik-praktik pewacanaan yang menganga lebar. Teater Indonesia adalah bola liar dalam ranah tak bertuan. Yang ada hanyalah kebebasan tanpa ukuran, tanpa parameter, tanpa standar-standar kualitas obyektif yang telah semestinya dijaga oleh keluhuran dan kearifan institusi-institusi teater yang disepakati bersama. Alhasil, orang boleh semau-maunya mengklaim diri sebagai kelompok teater terbaik, kelompok teater paling kontemporer, aktor paling keren, sutradara paling produktif, dan lain-lain. Bagi mereka yang gemar melakukan ’politik
Dunia teater kita hanya didiami oleh orang-orang teater itu sendiri, ditonton hanya oleh orang-orang teater sendiri (pengecualian hanya untuk segelintirdua gelintir kelompok), justru pada saat kita amat membutuhkan manajermanajer handal, kurator dan kritikus keren, peneliti dan pengkaji yang jeli, ahli-ahli ilmu, ahli-ahli filsafat, ahli-ahli komunikasi, bahkan ’politisi’ seni, selain keterlibatan empatik dari lapis-lapis struktur sosial yang lebih luas. Teater kita haya dihuni oleh seniman-seniman teater itu sendiri; sutradara, aktor, dan para desainer pentas, yang seluruh energinya telah habis ditumpahkan untuk penciptaan estetika dan tidak pernah mengerti bagaimana cara bergaul untuk menciptakan jejaring dan sokon-
Oleh : Fathul A. Husein Sutradara NEO Theatre. Dosen Jurusan Teater STSI Bandung, Fakultas Filsafat dan Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahyangan.
gan finansial. Energi kreatif yang papa, terus terkuras, dan tak tergantikan oleh sekedar dukungan vitamin dan seonggok nasi bungkus. Kemiskinan macam itu pula yang menyebabkan media merasa tidak berkepentingan untuk menjalankan politik pemberitaan dengan apik dan bernas. Karena tidak ada pesona ’kemewahan’, kesegaran yang wangi, nilai-jual, kecuali kepercayaan diri dan kesetiaan penggemarnya yang tidak banyak, yang bisa ditawarkan sehingga orang bisa merasa terpikat dan berkepentingan dengan teater, justru setelah teater gigih menggali realitasrealitas pelik yang tersembunyi dalam kehidupan dan memunculkannya ke permukaan untuk menonjok kesadaran manusia yang kerap beku, baik individu maupun sosial. Kini tinggal tentukan sendiri; memilih tetap mengimani teater sebagai kekuatan spiritual yang asketis namun sanggup menggempur kesadaran dan mata batin manusia, atau sebaliknya berkelojotan dalam kubangan pragmatis untuk menggondol popularitas dan setumpuk rejeki. Orang teater bebas memilih, namun eksistensi dan makna kesejatian hanyalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui seorang diri, dalam diam yang bergemuruh, dalam hasrat-hasrat yang telanjang dan papa. Teater Indonesia tidak pernah mati dalam kondisi terburuk sekalipun, karena manusia-manusia yang berada di dalamnya mengerti keniscayaan dari ’jalan setapak itu’. Moga!***
BERITA UTAMA Edisi 10 - Agustus - September 2012
3
Patriotisme dalam Panggung Teater Indonesia Seiring kiprah kemerdekaan, teater Indonesia telah menebarkan patriotisme dan perlawanan terhadap penjajahan dengan caranya sendiri. Itu ditunjukkan dengan bermunculannya naskah-naskah drama perjuangan. Teks-teks dramatik itu sekaligus menghadirkan struktur dan konsep pemanggungannya.
D
an di setiap acara 17 Agustusan di kampung-kampung dan pelosok, drama bertemakan perjuangan selalu yang paling ditunggu-tunggu seluruh penonton. Panggung teater Indonesia telah diramaikan oleh patriotisme dan penggalangan nasionalisme demi melengkapkan arti dan makna kemerdekaan di jiwa rakyat Indonesia. Selalu saja penjajah sebagai pihak antagonis harus terkalahkan oleh pejuang-pejuang republiken sebagai protagonis. Konflik pada tengah pertunjukan sering pula digunakan dalam teks dramatik, tentu bertujuan untuk lebih melibatkan emosi penonton dan menguatkan struktur. Ruang-ruang itu kemudian diisi dengan pertarungan protagonis dan antagonis. Dengan demikian tentara-tentara penjajah harus kalah. Pejuang-pejuang kemerdekaan dan rakyat harus menang. Happy ending. Modus seperti ini hampir semuanya terjadi pada naskahnaskah drama perjuangan tempo itu. Misalnya “Fajar Sadiq” (karya Emill Sanossa), atau “Bebasari” (Roestam Effendi), juga “Domba-domba Revolusi” (B. Soelarto). Di era pembangunan, patriotisme “bergeser”, mewujudkan bentuknya tidak lagi sebagai penjajah dari negeri sono. Tetapi justru muncul dalam rupa-rupa bentuk dari perut negerinya sendiri. Maka tema-tema penindasan hak asasi oleh penguasa terhadap rakyat kebanyakan, perlawanan rakyat terhadap kesewenang-wenangan, menciutnya jiwa nasionalisme, menjadi pilihan tema pada sejumlah penulis naskah teater. Misalnya, untuk menyatakan kemuakannya pada situasi absolut kekuasaan orde baru, Putu Wijaya menulis naskah berjudul “Bom”, sementara dengan makin menghilangnya jiwa nasionalisme, pengarang yang sangat produktif ini pun menuliskan naskah berjudul “Blong”. Sedangkan penulis sekaligus sutradara, Ratna Sarumpaet, tampil dengan gugatan-gugatan sosialnya, di antaranya “Marsinah Menggugat”, “Alia, Luka Serambi Mekah” atau yang paling mutakhir “Jamila dan Sang Presiden”. Tampak di tangan kedua penulis yang sekaligus sutradara panggung dan film ini, tema yang dekat keseharian menjadi makanan yang menyehatkan untuk keduanya menuliskan dan memanggungkan “patriotisme” “nasionalisme” dalam tafsirnya yang kekinian. Rupanya kreatifitas dituntut betul untuk “mengkinikan” tema lama patriotisme. Tantangan Kreatif Tetapi mengapa tema-tema dalam teks dramatik itu kini nyaris tak disentuh oleh grup teater sekarang?
Dianggap kurang berbobotkah tema itu dimunculkan dalam situasi kekinian? Dan bagaimana pula caranya agar konteks kekinian terasa kuat dari tema (lama) yang dianggap kurang berbobot itu? Grup teater sekarang cenderung menjauh dari tema patriotisme, kata Wawan Sofwan, aktor dan juga sutradara Main Teater Bandung, itu lebih pada sisi kontektualisasi atau adaptasi terhadap tema. “Jadi memang perlu peninjauan lagi naskah perjuangan itu” usul aktor yang pernah memonologkan sosok Bung Karno. Wawan mengatakan, kalau penulis dulu menuliskan naskah dalam bentuk penjajahan kolonial Belanda dan imperialisme, sekarang penjajahannya adalah liberalisme dari sisi ekonomi. Lawan kita sekarang secara fisikal dari dalam negeri sendiri berupa korupsi. Nah, bagaimana rasa patriot kita melawan korupsi, Agus Nuramal ini dapat dipentaskan. Atau soal kelangkaan kedelai seperti yang tengah terjadi saat ini, dari sisi perjuangan perajin dan pertanian yang bahan bakunya malah impor dari Amerika, padahal kita bisa swasembada. Ini menarik bila dibangkitkan, dan bentuknya dapat dengan pendekaHelvy Tiana Rossa tan seperti naskah-naskah perjuangan juga. Naskah-naskah lama, menurut Agus Noor, penulis naskah untuk Teater GandrikYogyakarta, ditulis tidak sekadar penegakkan kemerdekaan pada masa lalu, tapi dari masa itu Agus Noor ada relevansinya pada hari ini. “Seperti naskah DombaDomba Revolusi, dicari sekarang apa yang menjadi kontek hari ini. Bagi saya adalah sisi ketidakjujuran. Ini bisa diaktualisasi pada hari ini. Atau soal relevansi, soal tidak punya kepemimpinan hari ini dibanding pada masa naskah itu ditulis” ujarnya kepada dramakala, melalui ponsel. Pentas naskah perjuangan bukan soal cerita naskahnya, lanjut dia, asal mampu menemukan rumusan pada naskah itu sendiri. ”Saya akan pentaskan naskah Amuk, misalnya, ini naskah karya kontemporer, tapi bisa dipentaskan juga di panggung 17an. Panggung adalah peristiwa sosial interaksi yang membentuk relasi ruang
komunikasi tersendiri,” pungkasnya. Bagi Wawan, naskah-naskah lama, masih menarik diproduksi dengan konteksnya pada situasi sekarang. Ia mengingatkan, naskah-naskah lama semacam “Bebasari”, tidak boleh kita lupakan. Biar bagaimana pun mereka punya sejarah dalam konstalasi Indonesia. Agus Nuramal atau lebih dikenal dengan sebutan Agus PM Toh, aktor yang banyak melakukan aksinya lewat penceritaannya yang imajinatif dengan memakai alat-alat apa saja yang ada itu, menambahkan bahwa sejarah dan patriotik tetap penting untuk situasi kekinian. Pada momen-momen seperti 17 Agustus atau 10 November, itu adalah momen-momen yang mendidik masyarakat tentang sejarah. Pentingnya di situ, bagaimana masyarakat mengetahui tentang sejarah. Proklamasi, misalnya, bukan hanya persoalan angkat senjata. Tapi dapat pula ditafsirkan dalam konteks kekinian di mana di dalamnya terdapat perjuangan-perjuangan diplomatis. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan dibutuhkan pengetahuan dan idiom-idiom baru untuk menafsirkan atau melakukan adaptasi. Helvy Tiana Rossa, seorang penulis yang cukup produktif dan ketua dari Forum Lingkar Pena, menyayangkan generasi teater sekarang cenderung menjauhi tema tersebut. Jika dianggap “baheula” ia mengatakan justru di situlah tantangan kreatif perlu di kedepankan. Tantangan bagi para seniman, juga tantangan bagi para pendidik, yaitu bagaimana caranya kita mengemas pertunjukan yang bisa fun buat mereka tapi juga “dalam” maknanya. “Saya kira ini tantangan juga buat sanggar-sanggar supaya bisa lebih dekat dengan masyarakat, dengan anak-anak muda sekitar. Kalau dulu, waktu saya kecil sering ada sanggar-sanggar, semacam karang taruna yang juga banyak anak-anak teater yang gabung di situ. Jadi tidak cuma dengan kelomWawan Sofyan pok teaternya saja tapi ikut urun rembug juga ketika ada 17-an di masyarakat” ujar Helvy. Melibatkan Sementara itu, naskah-naskah drama yang lahir dari penulis seperti Ratna Sarumpaet, Putu Wijaya misalnya, tampak kentara gegap gempita nasionalisme dan patriotik dalam situasi jamannya. Membela hak kaum papa yang tertindas oleh keserakahan kekuasaan, perjuangan keadilan, perang melawan penindasan dan keangkuhan suatu rejim, persis semodel dengan pembelaan para republiken
terhadap rakyat yang dijarah nasib dan hak asasinya oleh penjajah dulu. Tematema dari naskah-naskah “patriotisme” dan “nasionalisme”, ini sungguh-sungguh menarik bila dijadikan bahan untuk explorasi/penggalian bagi karya kreatif teater. Ia terjadi di kedalaman bumi negeri sendiri dan teramat dekat dalam keseharian. Masih faktual antara tema dengan situasi kekiniannya. Tema bolehlah “baheula” tapi idiom pengucapan dan ketangkasan dramatik connect dengan situasi kekinian. Tema yang berangkat dari lingkungan paling
Ratna Sarumpaet
dekat, membuka ruang untuk keterlibatan emosi penonton. Putu Wijaya
Agaknya itu yang membuat Helvy salut pada Iman Soleh dari Celah Celah Langit (CCL) Bandung, sebuah komunitas kesIman Soleh enian yang sangat aktif memberdayakan masyarakat sekitarnya lewat jalan kesenian. Sebab kalau bikin pertunjukan, Pak RT ikut main, tukang cendol main, orang terminal dekat rumahnya bisa main, bisa diajak untuk pertunjukan, bahkan itu bisa dibawa ke luar negeri, yang main ya orang-orang kampung di sekitar komunitas itu. Baik sekali bagaimana dia dan teaternya memberdayakan masyarakatnya. Pada akhirnya orang-orang kampung di lingkaran CCL itu benar-benar menjadi komunitas yang solid dalam bermasyarakat dan berkesenian. Saya kira itu contoh yang bagus. Jadi bagaimana teater adalah masyarakat, dan masyarakat adalah teater itu sendiri. Mungkin dalam momen kemerdekaan ini, kita bisa jadikan kesempatan tersebut untuk merayakan arti kemerdekaan dengan semangat berkreatifitas tanpa lelah dalam menggali kembali kekuatan dan sumber yang begitu kaya dari bumi tercinta Indonesia.*** (ab, her, den, hpb)
4
Edisi 10 - Agustus - September 2012 KHASANAH
PATRIOTISME DAN PANGGUNG TEATER Pengantar Secara sederhana patriotisme adalah cinta tanah air atau cinta bangsa dan negara dengan kerelaan menyisihkan kepentingan diri sendiri. Seperti halnya cinta dalam bidang apa pun adalah berupa perbuatan, bukan hanya realitas pikiran dan hasrat. Justru kadang tindakan patriotis melampaui pikiran atau akal sehat, yang berarti patriotism lebih berpangkal pada hasrat membela tanah air yang sudah tertanam dalam bawah sadar seseorang. Itulah sebabnya patriotism sering dihubungkan dengan nilai keberanian. Keberanian tidak dapat dipelajari dari buku-buku, atau keberanian tidak dapat dibentuk dengan pengetahuan yang bersifat pikiran. Anda boleh membaca tentang arti keberanian atau cinta tanah air dari sekian banyak buku, namun kecil kemungknan Anda akan berani berbuat patriotik. Patriotisme berhubungan dengan naluri dan rasa yang langsung diwujudkan dalam perbuatan nyata. Patriotism tidak dipelajari tetapi bias ditularkan melalui getar perasaan. Dan perasaan muncul dari bawah sadar akibat mengalami suatu kenyataan. Interaksi pengalaman yang membuat suatu tindakan petriotik dapat tertanam pada sanubari seseorang. Dalam hal ini kejadian artifisial teater yang menyuguhkan kegiatan pa-
triotik dapat saja menularkan naluri keberanian berkorban demi negara dan bangsa, seperti halnya menonton film patriotik atau membaca novel patriotik. Teater adalah tontonan yang harus dialami bersama sehingga terjadi interaksi perasaan dan naluri antara kejadian di panggung dengan penontonnya, di samping adanya interaksi verbal berupa kata-kata atau buah piiran. Teater pada prinsipnya adalah komunikasi perasaan dan naluri yang diwujudkan dalam kejadian yang dapat dialami penontonnya. Komunikasi pikiran bukan merupakan bagian utamanya, tetapi hanya melengkapi pengalaman rasa di panggung. Kalau teater adalah komunikasi pikiran, apa bedanya dengan membaca telaah patriotism dalam buku-buku ilmiah? Dengan demikian mengamati nilai patriotisme dalam panggung teater Indonesia berarti mengamati nilai-nilai kejadian di panggung teater yang dapat membangkitkan naluri patriotisme bagi penontonnya. Tetapi teater adalah pengalaman seni yang bersifat sesaat akibat adanya komunikasi rasa dan naluri antar kejadian panggung dengan penontonnya yang hadir pada saat itu. Apa yang tersisa dalam pengamatan ini adalah hanya naskah-naskah tertulis, yang berarti pikiran, yang masih harus diterjemahkan dalam peristiwa pengalaman panggung. Dan
dokumentasi pengalaman itu tidak pernah ada. Dengan demikian tulisan ini hanya mampu melacak “bahan mentah” teater yang mempermasalahkan kecintaan tanah air, Negara dan bangsa, dengan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri. Naskah teater hanya kemungkinan potensi yang dapat diwujudkan dalam peristiwa panggung. Bahkan tanpa naskah pun sebuah panggung dapat membangkitkan naluri patriotisme dalam pertunjukan teater. Teater rakyat Indonesia yang hidup dalam budaya lisan mampu membangkitkan berbagai pengalaman rasa, entah horror, romantisme, patriotisme, kepada para penontonnya. Sebalilknyasebuah naskah yang penuh pemikiran patriotisme kadang justru tak membangkitkan rasa patriotik karena absennya kejadian patriotik di panggung. Patriotisme Dalam Teater Indonesia Kalau disimak sejarah munculnya seni teater modern dalam masayarakat Indonesia, justru digerakkan oleh semangat patrotisme para pelaku teater. Apa yang saya maksud dengan “modern” di sini menghindari dekat filosofis yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan dalam wacana modern-post modern. Modern di sini saya pertentangkan dengan teater yang tumbuh sejak lama di Indonesia, yang berkembang dalam
Oleh : Jakob Soemardjo budaya lisan, campuran lakon, musik, tari, dan sastra (bahkan juga bau kemenyan) dengan teater baru yang kita jiplak dari tradisi Eropa yang berdasarkan naskah tertulis yang berisi lakon dan kemudian diterjemahkan dalam peristiwa di panggung. Para penulis naskah teater Indonesia pada mulanya adalah kaum terpelajaryang aktif bergerak dalam pergerakan nasional. Penulis awalnya adalah Rustam Effendi yang pada tahun 1926 menulils dan mementaskan naskah Bebasari. Penulis ini adalah guru yang kemudian aktif dalam pergerakan nasional menentang kolonial. Naskah ini dipentaskan pertama kali di sebuah sekolah di Sumatra Barat oleh Rustam Effendi dan murid-murid serta rekanrekan guru , namun kemudian dilarang oleh kepala sekolahnya yang Belanda. Kepala sekolah Belanda ini tidak buta teater akibat sistem pendidikan Belanda di negaranya, dan mengetahui makna di balik naskah Rustam Effendi yang alegoris ini. Bebasari adalah putri jelita symbol pertiwi Indonesia yang ditawan oleh Rawana symbol Belanda. Puteri ini merindukan pemuda tampan Bujangga untuk membebaskannya dari cengkeraman si angkara murka. Setelah berbagai konflik batin antar kepentingan diri dan kepentingan umum, maka Bujangga dapat membebaskan putrid dari Rawana... (bersambung)
SEBELUM PERTUNJUKAN
Pentas Seperempat Abad Teater Syahid D
alam rangka memeringati hari lahirnya yang telah memasuki usia seperempat abad, Teater Syahid UIN Jakarta akan memersembahkan sebuah pementasan dengan judul ”Jalesveva Jayamahe”. Ini merupakan naskah karya Eddie Klenk Pablo (alm), salah seorang anggota Teater Syahid yang sangat produktif dan konsisten berkarya. Pementasan disutradarai oleh Aries Budiono, dengan pimpinan produksi Sir Ilham Jambak. Pementasan akan dilaksanakan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), tanggal 11-12 Oktober 2012. Naskah ”Jalesveva Jayamahe” tiga tahun lalu pernah dipentaskan di ruang terbuka (teater halaman) UIN Jakarta dua malam. Bertindak sebagai sutradara sang penulis naskah sendiri yang telah wafat dua tahun lalu karena serangan penyakit. Pentas kali itu menarik, ditunjukan dengan jumlah penonton yang cukup banyak. Tapi sekarang dipentaskan kembali dengan konsep yang berbeda serta keterlibatan pemain yang berbeda pula. Pementasan kembali dalam rangka seperempat abad Teater Syahid ini,
Baru beberapa bulan lalu menggelar pentas Sjech Siti Jenar karya Saini KM di Teater Kecil TIM, sutradara Arie F. Batubara, Teater Syahid kembali manggung. Kali ini mengangkat naskah karya ”orang dalam”, sutradara pun demikian, pemain, kru artistik, dan musik pun idemdito. Tidak seorang pun melibatkan orang luar. 100 persen Teater Syahid sehubungan merayakan seperempat abad usia. sekaligus sebagai salah satu bentuk apresiasi keluarga besar Teater Syahid terhadap almarhum Eddie Klenk Pablo atas dedikasi dan karya-karyanya selama hidup bersama Teater Syahid. Pemilihan terhadap tim artistik dan tim produksi diputuskan melalui diskusi bersama dengan memertimbangkan kompetensi, pengembangan anggota atau kaderisasi, dan konteks kepentingan proyek saat garapan berlangsung. Pentas ini dipersiapkan selama 3 bulan (efektif),
di mana satu bulannya berlangsung di saat puasa ramadan. Hingga saat ini, menjelang libur lebaran, tahapan latihan sudah memasuki blocking kasar dan pemantapan pemeranan. Seluruh pemain dan pendukung yang terlibat dalam pementasan ini adalah keluarga besar Teater Syahid, baik anggota aktif maupun alumni. Karena itu dapat dikatakan bahwa pementasan kali ini adalah 100 persen Teater Syahid, karena tidak melibatkan atau berkolaborasi dengan pihak lain.
Latihan Teater Syahid
Isu Nelayan Dibanding dengan pementasan pertama 3 tahun lalu, penggarapan ”Jalesveva Jayamahe” kali ini sudah dilakukan adaptasi dan pengembangan cerita yang disesuaikan dengan kebutuhan pentas dan situasi kekinian. Misalnya akan ada penambahan tokoh dan penajaman konflik. Konsep pertunjukannya akan realis, dengan penataan panggung yang simbolik-imajiner. ”Jalesveva Jayamahe” hemat kami, sangat menarik. Mengangkat tema tentang pergulatan rakyat kecil yang terpinggirkan dan tak berdaya. Berkisah tentang sekelompok masyarakat kampung nelayan, yang kampungnya akan tergusur kepentingan industri pariwisata. Sementara mereka sebagai nelayan tak lagi mampu membeli bensin untuk melaut, hutang yang makin menumpuk, tangkapan ikan minim karena bersaing dengan kapalkapal penangkap ikan canggih berbendera asing. Cerita dikemas dengan isuisu aktual.*** (ab)
SETELAH PERTUNJUKKAN Edisi 10 - Agustus - September 2012
5
DONGENG 1001 MALAM` HARI ANAK NASIONAL 2012
Dialog Play-back, Tari, Nyanyi dan Multimedia Animasi Merepresentasikan Kegembiraan Anak-anak
“Ini sebuah gagasan acara untuk menyelamatkan program memeriahkan Hari Anak Nasional 2012 di Taman Ismail Marzuki (TIM), karena sekian organizer yang berkeberatan pada penyelenggaraan di bulan Ramadhan ini. Produksi ini disiapkan dalam waktu kurang lebih selama dua sampai tiga bulan” Demikian pengakuan Anto Suhartono sebagai sutradara dari Senyum Manis Production seusai kegiatan yang digelar pada 20 - 22 Juli 2012 di Teater Kecil TIM - Jakarta. “Saya yang merajut rangkaian karya tari dan nyanyi yang diciptakan Sally Chacken M dan Tanty Saragih” Anto menambahkan. Selain pertunjukan teater, acara lain yang ikut memberi kemeriahan dalam program tersebut di antaranya adalah; marawis, mendongeng, fashion show ibu dan anak, melukis dan mewarnai di Lobi Gedung Teater Kecil. Hal itu yang diterakan pada kalender acara TIM untuk bulan Juli 2012. Manajemen Produksi
dipimpin oleh Dra. Siane M. Tandusan. Dongeng 1001 Malam adalah kisah Aladin dan Lampu Wasiatnya, yang dalam formulasi gagasan kreatif kali ini mencipta beberapa koreografi, nyanyian dan multimedia animasi. Pada pertunjukannya, anak-anak menampakkan laku yang kurang tertib, tapi penuh kesan tanpa beban dan penuh kegembiraan. Saat dialog disampaikan dalam bentuk play-back dengan karakter vokal stereo dan karikatural, menghasilkan tingkah laku yang berjarak dan tidak berkesesuaian. Tidak jarang kata-kata dari dialog itu kehilangan tokoh yang menyampaikannya. Pertunjukan selama kurang lebih dua jam itu, berlangsung dengan semangat riang gembira pelaku pertunjukan dan penontonnya. Drama yang nyaris tanpa kesedihan sama sekali, atau hanya pura-pura, menjadi sebuah pesta anak-anak yang saling menghibur di antara mereka. Dan tentu saja dalam
kesibukan antusiasme orang tua yang mendampinginya. “Dari sekelompok anak yang kurang mampu, dibantu sekelompok anak lainnya yang cukup mampu untuk pembiayaan proses kreatif dan manajemen masyarakatnya, kami melakukan semacam subsidi silang” Anto menyampaikan salah satu metode manajemennya. Pertunjukan ini melibatkan ratusan pemain anak-anak yang terbagi dalam beberapa grade pengelompokan usia dan kemampuan untuk 3 hari pertunjukan. “Konsep manajemen pendidikan kesenian dalam kelompok kami ini merupakan penerapan teori-teori dari Prancis” menurut Anto Suhartono menegaskan. Raden Saleh adalah profil yang diketengahkan Anto Suhartono sebagai figur untuk dunia anak-anak di Indonesia. Hal tersebut diyakini berdasarkan penelitian terhadap sejarah pelukis besar itu, yang mewakafkan tanahnya
yang kelak menjadi Taman Ismail Marzuki. “Doa selalu kami kirimkan buat Bapak Raden Saleh, sejalan dengan setiap karya seni yang kami hasilkan. Kami bersyukur, dalam persiapan yang ringkas dalam produksi kali ini, kami dibantu oleh beberapa kolega dan relasi yang mampu mendapatkan sponsor yang bisa mencukupi kebutuhan produksi” kata Anto. Anto Suhartono juga menawarkan kerjasama kepada dramakala untuk bersama menciptakan gagasangagasan program kerja di masa yang akan datang. Hal itu disampaikannya dengan kesadaran bahwa dibutuhkan kolaborasi penuh kerjasama antar produk-produk kesenian seperti teater anak ini dengan media massa secara lebih jauh dan mendalam. Semoga mendapat dukungan dan dapat segera terwujud. Amin.*** (Ded)
SETELAH PERTUNJUKKAN
“Menjemput Impian, An Epic Journey” Sebuah drama musikal yang mencoba merajut impian anak muda keturunan Tioghoa ..
Saat gong tiga kali berbunyi, pertunjukan dimulai dengan tidak mematikan lampu auditorium terlebih dahulu, seperti umumnya pergelaran teater. Hal itu terjadi di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 3 Agustus 2012 jam 19.50 WIB. A Musical Drama Inspired by True Events yang berjudul “Menjemput Impian, an epic journey” yang dipersembahkan oleh True Spirit Performing Arts, sebuah lembaga yang bergerak di bidang seni tari tradisional Tiongkok, Indonesia, Asia. Lembaga ini bertujuan mengembangkan kreatifitas anak muda melalui kegiatan yang positif dan memerkenalkan budaya tradisional sebagai akar
dan identitas bangsa. Produksi ini diorganized by Langgeng Pariwara International. Kisah dalam pertunjukan terinspirasi dari peristiwa nyata di tahun 1900-an, saat negara China menghadapi banyak masalah akibat lemahnya pemerintahan, masuknya kekuasaan Eropa dan Jepang, serta timbulnya perang saudara. Rakyat China sangat menderita dan memutuskan untuk merantau ke berbagai negara untuk mewujudkan impian mereka. Hal itu tertulis dalam buku acara yang dibagikan kepada seluruh pengunjung pertunjukan. Kisah yang ingin disampaikan seorang kakek yang muncul memulai pertunjukan, dengan terlebih dahulu menyampaikan pesan yang diambilnya dari gedung teater seperti;...mematikan alat komunikasi dan seterusnya. Kakek itu menempati posisinya di depan speaker out, bagian kanan depan di luar panggung, saat layar masih tutup. Kemudian kakek itu memanggil cucunya, yang sibuk keasyikan bermain gadget. Cucu itu datang dari barisan kursi penonton, menghampiri sang kakek. Kakek pun menceritakan tentang perjuangan hidup bersama saudara
dan keluarganya saat tinggal di sebuah desa di China. Lampu auditorium fade out bersama layar panggung dibuka, memulai semacam flash-back. Menampakkan pemandangan alam pegunungan on the screen, melatar-belakangi sebuah rumah panggung yang kecil, di belakang aktifitas memasak seorang ibu dengan menggunakan tehnik pembesaran suara on sound-system pada irama penggorengan. Di kiri tengah panggung ada meja besar dikelilingi kursi-kursi. Satu persatu keluar dari dalam rumah panggung kecil itu. Jumlahnya cukup memberikan gambaran, bahwa mereka berdesakan berada di dalam rumah seperti itu. Pada sebuah suasana pagi hari, saat bangun, mandi dan melaksanakan aktifitas biasa, seperti perempuan menyapu halaman, memersiapkan dan mengatur makanan, para lelaki harus menunggu saat tiba pada waktunya. Mereka pun makan bersama. Dan, selalu ada dalam setiap keluarga, seorang anak berbeda dengan lainnya, yaitu ada yang masih tidur. Hal itu seperti bermanfaat bagi kondisi mereka yang selalu kekurangan makanan.
Namun, saat anak itu bangun dan tidak mendapat bagian makanan, ia masuk kembali ke dalam rumah. Ternyata anak itu punya simpanan makanan. Semua kecele, bukan kekurangan, tapi bikin cemburu yang lainnya. Anak itu pun dikejar-kejar. Datanglah seorang Da Ge (kakak tertua) yang sangat dihormati oleh anggota keluarga yang lain. Dia yang mengatur dan menjamin semua kehidupan adik-adiknya. Selanjutnya adegan tarian puppet, simbol kesumpekan dan kenyataan yang terkekang seperti boneka. Pertunjukan diganjal stop-motion animation, yang menggambarkan dunia impian dan harapan. Menurut cerita kakek, untuk menggapai masa depan yang lebih baik, mereka memberanikan diri pergi berlayar dengan menantang angin, ombak, bahkan badai. Hingga ada tawaran kerja ke Indonesia, akhirnya mereka tiba di negara tujuan itu.*** (ded)
6
Edisi 10 - Agustus - September 2012 PUSTAKA
Pelakonan Hidup Teaterawan
Penulis Harris Priadie Bah Penerbit Bianglala
Piala: Kamu yang sakit (sambil memukul Yanto dengan kain cuciannya lalu pergi ke ember cuciannya). Istri tangannya sampe bersepir nyuci baju orang. Kamu malah asyik-asyik ngapalin naskah. Proses, proses, proses apaan, bu Aji tuh minta uang kontrakannya, udah lewat seminggu, tujuh hari dia bolak-balik ke sini, kalo nggak kita disuruh ke luar. Itulah sepenggal dialog dari teks dramatik (naskah drama) yang berjudul ‘gegerungan’ karya Harris Priadie Bah. Bersama dua lakon lain ‘gegirangan’ dan ‘gegeroan’, maka terwujudlah satu buah buku yang diberi tajuk Bah Trilogi, Pergaulan dalam Tiga Pemeristiwaan Teater. Barangkali tidak banyak naskah teater dari penulis-penulis dalam negeri yang mengetengahkan kehidupan keseharian teaterawan. ‘gegerungan’ mencoba mengisi kekosongan itu. Idealisme teaterawan dengan persoalan tanggung jawab terhadap keluarga atau penghidupan secara ekonomis, ternyata masih menjadi dua kutub yang bersitegang, tarik-menarik yang mengisi dinamika nafas kehidupan orangorang teater. “Bisa-bisanya Kamu me-
mertentangkan kesenianku dengan perut,” ucap karakter Harris, seorang sutradara teater ketika karakter Ribka, sang isteri, menggugat keasyikannya menulis naskah sementara masalah perut tidak bisa tertangani oleh kesenian. Begitulah, persoalan-persoalan proses berteater (idealisme) masih harus berhadapan dengan masalah pragmatis seperti uang kontrakan rumah yang tidak kunjung dapat dilunasi. Meskipun problema tersebut masih dicoba untuk diselesaikan secara spiritual, semisal pada bagian penghujung lakon ‘gegerungan’: Lampu temaram menggambarkan sosok Harris yang berdiri di sudut kanan panggung membelakangi penonton. Kedua tangannya terangkat seperti dalam posisi berdoa. Lamat-lamat terdengar nyanyian yang menghantarkan kekudusan pada malam. Dari arah kiri masuk Ribka melintasi panggung dengan arah diagonal menuju Harris lalu berdiri di samping Harris dan memegang lembut tangan Harris. Perlahan-lahan, dengan sangat perlahan-lahan lampu fade out. Dalam kegelapan, cahaya menemukan terangnya.
Sedangkan ‘gegirangan’ lahir ketika kehidupan nyata Harris mengalami semacam pencerahan, baik dari segi ekonomi, dinamika keluarga, maupun keimanan keTuhanan. Hal ini diakui oleh Harris sendiri dalam semacam kata pengantar dalam buku ini: ‘Jadi sangat bisa dipastikan teks dramatik ‘gegirangan’ ini tidak akan pernah ada bila kehidupan nyata kami kemudian tidak mengalami kondisi kegirangan tersebut, jangan-jangan justru ‘gegerungan’ serial kedua yang akan tertuliskan bila kondisi dan kehidupan kami menetap tak berubah seperti sebelumsebelumnya.’ ‘gegirangan’ di sini tidak hanya melulu diisi dengan canda tawa ‘keluarga’ Kelompok Teater Kami, di mana Harris menjalankan proses kreatifnya, tetapi juga dibaca sebagai perjumpaan manusia dengan Tuhan secara lebih intim, sebagaimana teradegankan menjelang akhir lakon: Roy berdiri menggigil di ujung sajadah memandangi cermin yang telah retak itu, tampak dirinya yang setengah telanjang di dalam cermin. Dengan lirih, dia menyanyikan sebuah madah suci yang purba, sebuah upaya penyerahan diri yang ikhlas dan
hening. Inilah aku Tuhan/Jamahlah aku Tuhan/Selidiki hatiku dan jiwaku/ Mataku tertuju padamu. Seperti yang diuraikan dalam Manifesto Kami, Kelompok Teater Kami memang cenderung membongkar teks-teks agar dapat membangun kenyataan terkini dari teks-teks tersebut. “Kami tidak mencari tokoh. Kami adalah tokoh itu sendiri. Kami tidak berpura-pura masuk ke dalam karakter peran. Peran itu adalah kami. Kami yang menafsirkan teks-teks itu, maka kamilah itu. Sang penafsir. Bukan pemain. Kami tak memainkan peran apa pun.” Apa yang dituliskan Harris dalam lakon-lakonnya ini merupakan usaha pembacaan Harris terhadap nasib aktor-aktor Kelompok Teater Kami, seperti Ribka Maulina, Roy Hakim, Piala Lolita, dan Jean Marais, serta diri Harris sendiri tentunya. Kemudian juga meluas menjadi perhatian Harris ke seputar lingkungan pergaulannya di mana banyak rekan-rekan teaternya yang mengalami keretakan keluarga atau perceraian suami-isteri seperti terlakonkan dalam ‘gegeroan’.**(dm)
PANGGUNG LUAR JAKARTA
Workshop Artistik Bambu F
ederasi Teater Indonesia (FTI) bekerja sama dengan Federasi Teater Indonesia Korda Banten dan Teater Studio Indonesia menyelenggarakan kegiatan yang bertajuk “Bengkel FTI”. Menghadirkan pemateri Herry Dim (penata artistik teater) dan Abah Djatnika (master bambu) untuk memberikan workshop ‘artistik teater yang ekologis dan organik’ selama dua hari tanggal 23-24 Juni di Ruang Ajar Dalung Nursery (Laboratory Teater Studio Indonesia) Serang Banten. Kegiatan workshop tersebut melibatkan berbagai komunitas teater di Banten. Pada workshop bambu, Abah Djatnika menuturkan tradisi dan budaya bambu merupakan warisan paling tua yang sudah berlangsung sejak jaman megalitikum. Abah lebih menggali spirit dan esensi tentang bambu, spirit yang bisa digunakan dalam teater. Menelusuri kebudayaan pemanfaatan bambu yang cukup panjang bagi kehidupan masyarakat Nusantara, khususnya Sunda, terutama dalam arsitektur atau pembuatan rumah dapat diidentifikasi melalui istilah-istilah dalam bahasa Sunda yang berkem-
bang seperti berbagai nama konstruksi seperti tagog anjing, balandongan, saeran gunting, sontog sapotong, ranggon, panglong, leuit, tajug, buaya mangap, badak heuay, sirit teuweul. Beberapa strategi pemanfaatan bambu menurut tuturan Abah Jatnika adalah berikut ini: • Bambu yang digunakan dipilih dari jenis bambu yang berusia tua, sebelum dipakai diawetkan terlebih dahulu agar tahan lama. • Para ahli bambu tradisional sangat mempercayai bahwa bambu jangan ditebang pada hari Selasa dan waktu tebangnya di atas jam 12.00 sampai menjelang senja karena diyakini tak akan terserang bubuk. Pada hari tersebut bambu kembali muda, demikian siklusnya. • Penebangan tidak diambil dari
•
•
rumpun yang sedang mengeluarkan banyak tunas. Tidak ditebang di musim hujan dan saat bulan purnama untuk menghindari kadar air yang tinggi dan kadar gula yang menarik hama. • Untuk melestarikan kualitas tanaman bambu, biasanya dalam satu rumpun diambil 3-5 batang per-tahun. • Kekuatan bambu sangat tergantung pada jenis bambu dan memerhatikan sistem konstruksi penyambungan yang benar. • Tiga jenis bambu yang direkomendasikan yang memiliki kekuatan adalah bambu betung, bambu gombong dan bambu tali. Jenis bambu yang lainnya adalah bambu hitam, bambu trutul, dan bambu kuning. Untuk ikatan konstruksi bambu satu dengan bambu lainnya dilakukan dengan memertimbangkan karak-
Oleh : Nandang Aradea
ter dan dua sifat bambu yakni liat/ ulet tidak seperti kayu. • Bambu juga dapat diliubangi separuh (dolos), atau sampai tembus (purus), kemudian diperkuat bisa dengan paku, pasak, baji, ancuh, simeut meuting, ampil dan solobong. Selain dengan cara seperti itu bisa juga diperkuat dengan tali berbahan ijuk. • Bambu sebagai material organik yang banyak digunakan untuk material arsitektur, banyak pula dijadikan alat-alat musik atau kesenian, seperti angklung, suling, toleot, karinding, celempung, calung, dogdog lojor, calung renteng, saluang, sasando dan sebagainya. Bagi Teater Studio Indonesia, kali ini pemanfaatan bambu bukan hanya sebatas organik material stage, melainkan sebagai narasi metafora dan struktur dramaturgi dalam mengkonstruksi teks pertunjukan “Bionarasi Tubuh Terbelah [emergency]” yang akan ditampilkan dalam event internasional pada Festival Tokyo Emerging Arists Program tanggal 9-11 Nopember 2012 di Ikebukure Tokyo.
FTJ WILAYAH Edisi 10 - Agustus - September 2012
FTJ 2012
Mencari Juara Sejati
Pentas Teater Ganta “Jakarta Karikatur”
FTJ (Festival Teater Jakarta) 2012 tingkat final direncanakan bakal digelar November-Desember 2012. Tahun ini mengusung tema Membaca Aku, Membaca Laku, sub tema Membaca Tradisi. Sejumlah calon juri sudah dipersiapkan. Tentu Pentas Teater Tamu Istimewa dan Parlemen WC bakal seru. Sebab grup 1-5 Juli 2012. Pemenang perpeserta adalah para juara di wilayah. Siapa pemenangnya berhak tama, Kantong Teater, mementaskan Parlemen WC, karya Ribut Achmandi, menyandang gelar “juara sejati”. Tapi di masing-masing wilayah, sutradara Maulana Firdaus. Pemenang penyelenggaraan FTJ tidak serentak. kedua Teater UI, mementaskan Bung Jakarta Selatan adalah yang lebih dulu Besar karya Misbach Yusa Biran, menggelar. Berlangsung pada 11-18 sutradara Alfian Siagian. Pemenang Juni 2012 di Auditorium GRJS. Juri ketiga Teater Indonesia, naskah Ukoro, FTJ Selatan adalah Andi Bersama, karya/sutradara Budi Kecil. Para juri Ohan Adiputra dan Rik A Sakri, ber- adalah Aldisar Syafar (Jakarta), Iswadi hasil menetapkan tiga grup juara yang Pratama (Lampung) dan Koes Yuliadi berhak unjuk berkreatifitas di final. Yai- (Yogyakarta). tu pemenang pertama, Teater Ghanta, kedua Teater El Nama dan ketiga Teat- Iedul Fitri FT Jakarta Barat termasuk er Pandu. Teater Ghanta terpilih juara satu wilayah karena mengantongi tropi juga yang sudah menggelar pesta terbanyak. Meliputi grup terbaik perta- teater yang rutin digelar setiap tahun. ma, penyutradaraan, musik, pemeran Pemenang pertama FT Jakarta Barat, pendukung wanita dan artistik. Grup ini Study Teater 24, mementaskan naskah disutradarai Yustiansyah mementas- Tamu Istimewa, sutradara Rizal Naskan naskah karya sendiri, Jakarta Kari- ty. Pemenang kedua, Teater Cermin, katur. Teater El Nama dengan sutrada- mementaskan naskah Antorium karya ra Echo Chotib, naskah Perjalanan Ayak MH, sutradara Anto Ristargi. Hang Juro. Teater Pandu disutradarai Pemenang ketiga Teater Satu. Bertinoleh Gultom Tewe sekaligus bertindak dak sebagai juri Malhamang Zamzam, Amien Kamil, keduanya asal Jakarta, penulis naskah Rumah Bengkok. FT Jakarta Pusat berlangsung dan Semmy Ikra Anggara (Bandung).
Sementara itu, FT Jakarta Timur dan Utara bakal digelar usai Iedul Fitri. Peserta grup di Jakarta Timur adalah Kalamtara, Komunitas 7, Komunitas Ranggon Sastra, Komunitas Teater Gunung, Sandiwara Pisau Dapur, Sanggar Teater Jerit, Teater Alkautsar, Teater Camuss, Teater Castramardika, Teater Cinta Lakon, Teater Lawang Temu, Teater Nurika, Teater Omponk, Teater Sajadah, Teater Pangkeng, Teater Piranti, Teater Trompah, Teater Tukang, Teater Tutur, dan Topeng Arena. FT Jakarta Timur akan digelar pada tanggal 3-14 Oktober 2012 di Balai Latihan Kesenian (BLK) Jakarta Timur, Jl. H. Naman 17 Pondok Kelapa. Dewan juri, Autar Abdillah (Dosen Sendratasik Unesa Surabaya), Diding B. Zeta (Sutradara dan Penulis Naskah Teater Popcorn, Jakarta), dan Yusef Muldiyana (Sutradara dan Penulis Naskah
7
Laskar Panggung Bandung). Festival Teater Jakarta Utara (FTJU) 2012 direncanakan dapat menjadi tonggak kebangkitan berteater di Jakarta Utara. Sampai tulisan ini diturunkan, sudah 15 grup teater memberi konfirmasi keikutsertaannya dalam FTJU 2012, yang akan terselenggara pada September-Oktober 2012. Bedanya penyelenggaraan FTJ di Jakarta Utara dengan wilayah yang lain adalah tidak adanya anggaran tahunan dari suku dinas kebudayaan Jakarta utara. Maka, kebijakan yang diambil adalah pengajuan permohonan anggarannya pada ABT (anggaran belanja tambahan), hingga waktu pelaksanaannya pun dimundurkan. Hal tersebut menyangkut kebijakan pemerintah daerah yang bekerjasama dengan Ikatan Teater Jakarta Utara (Itera), dibantu Dewan Kesenian Jakarta.***
Model Undian Mewarnai Ketidakpuasan FT J di Jakarta Barat sempat diwarnai ketidakpuasan atas hasil dewan juri. Hal ini dipicu oleh keputusan juri yang menggunakan model undian untuk memutuskan juara ketiga, yaitu grup Teater Satu STT PLN. Model ini dipilih karena ketiga juri terbentur ketidaksepakatan atas tiga grup yang merupakan nomine juara ketiga. Ketiga nomine itu, Teater Kolom (Rumah yang Dikuburkan karya Sam Sheppard terjemahan Afrizal Malna, sutradara Hery Saragih SE), Biru 42 (Blong karya Putu Wijaya, sutradara Noer Ibu) dan Teater Satu STT PLN (Front karya Putu Wijaja, sutradara Adi Santoso). Nama grup yang keluar dari hasil pengocokan mirip arisan ini adalah Teater Satu STT PLN. Tapi hasil ini memicu keberatan semua peserta. Pada Minggu 29 Juli 2012 Indraja sebagai panitia penyelenggara yang menindaklanjuti keberatan semua peserta festival atas model undian, menggelar dialog juri dengan peserta. Namun demikian setelah melalui dialog yang panjang, keputusan juara ketiga, tidak berubah, yaitu Teater Satu STT PLN pemenangnya. Madin selaku pembina Indraja dan bertindak sebagai moderator dialog, mengatakan, di final yang diselenggarakan DKJ pun tidak jarang terjadi voting. Jadi bukan juri seenaknya. ”Saya tidak membenarkan sistem undian ini. Walau sebenarnya sama saja dengan sistem voting. Cuma beda mekanismenya saja. Mekanisme apa pun kita percaya saja. Saya sesalkan kebocorannya (model undian juri kepada peserta, red). Apalagi forum ini sebelumnya percaya sama juri,” bela Madin.
DI LUAR PANGGUNG
Workshop Stage Management Yayasan Kelola S
ebanyak 40 orang hasil seleksi dari 90 peserta dari seluruh Indonesia mengikuti Lokakarya Stage Management 2012 di Aula Pusat Kebudayaan Jepang, Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta, pada Kamis (2/8) lalu. Lokakarya setengah hari diselenggarakan Yayasan Kelola bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Jepang menampilkan pembicara para praktisi professional, yaitu Toto Arto dan Inet Leimena. Stage management bukan hanya berlaku untuk kalangan seniman, terutama teater, tapi banyak digunakan pada berbagai produk jasa event organizer (EO), pentas atau konser musik, berbagai jenis festival, komposer, desainer/koreagrafer dalam fashion dan pentas tari, serta banyak lagi jenisnya. Stage manajer, orang yang menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi stage management, posisinya cukup strategis dan vital, tapi kalau di dalam pertunjukkan teater nyaris tak terdengar namanya, atau kurang dianggap penting bagi pemain dan penonton,
kecuali bagi sutradara, akhir. Otaknya harus produser atau seluruh pintar, cekatan, punya kru sebuah pemendaya hapal tinggi, dan tasan. memiliki daya sabar Menurut Toto, yang tinggi juga” imstage manajer adalah buh Toto yang banyak orang yang menjalankmelintang dan terakhir an karya orang. Kalau di Salihara dengan stage manager tidak produksi “Opera Tan suasana workshop stage management baik atau benar menMalaka” jalankan, maka kasihan nama-nama besar sutradara, komposer, dan de- Dibohongi sainer atau koreografer, dan lainnya. Dengan kesadaran dan memoKemudian Toto mengambil contoh sisikan diri sebagai koordinator, lanjut yang paling familiar adalah soal cue dia, maka bukan berarti bekerja secara (baca kiu, red) pemain masuk arena “one man show”. “Jangan salah, bagi permainan. Kalau salah dalam menyu- saya one man show untuk tahap awal sun dalam “form cue sheet”, maka bisa malah bagus. Yang sederhana, ketika berantakan untuk selanjutnya. Maka, kita jadi naik menjadi stage managekalau “form cue sheet” dan komuni- ment yang benar, maka kita tidak bisa kasi lancar, dipastikan jalannya per- dibohongi karyawan atau bawahan tunjukkan akan benar. “Memang stage kita. manager tidak punya hak artistik dan Misalnya, harga nasi kotak, penyutradaraan, maka stage manage- kita bisa tahu ancar-ancar-nya berament bertanggungjawab dan bertugas pa? One man show itu pembelajaran. atas pertunjukkan dari awal sampai Positifnya tidak ada yang bisa ngibulan
sepanjang kita tahu semua apa yang dikerjakan. Jadi tidak menimbulkan miss communication atau pandangan negatif” pungkasnya. Untuk dapat menularkan ilmu atau materi stage managemet kepada semua orang yang dinilai bisa menjadi lahan profesi tersendiri, Yayasan Kelola pun berteka melanjutkan program sejenis secara berkelanjutan. Ini terbukti dari kuisioner yang dibagi, antara lain berbunyi meminta rekomendasi tiga orang untuk dimasukkan pada pogram selanjutnya. Bahkan Inet mengaku siap diminta jadi mentor bagi stage manager yang membutuhkan dirinya untuk bisa ikut menjelaskan pada karyawan si stage manager bersangkutan. ”Setidaknya saya ingin semua orang bisa membaca semua form yang berlaku pada stage management. Sehingga nanti bisa connect satu dengan orang lain di mana pun. Karena nanti seorang stage manager akan bisa bekerja di mana saja sebagai sebuah profesi” demikian Inet menjelaskan.*** (her)
8
Edisi 10 - Agustus - September 2012 MATA KALA
EKSPRESI PATRIOTIK MASYARAKAT
D
alam sebuah kerja pemanggungan, kita memahami ada banyak elemen pendukung yang dibutuhkan untuk Seorang kawan baik, AB, pernah bercerita suatu hari tentang kebermulaannya bersentuhan dengan panggung teater yakni ketika dia main di panggung tujuh belasan, sebuah istilah yang merujuk pada kegiatan ekspresi bersama rakyat yang kerap diadakan setiap bulan Agustus sebagai moment perayaan hari Kemerdekaan RI. Dia berkisah bahwa waktu itu dia memerankan salah satu sosok kompeni (yang jahat, tentu saja). Apa lacur yang terjadi kemudian ? selepas drama yang bertema tentang perjuangan dari para pejuang kemerdekaan melawan penjajah kemerdekaan itu (sebagaimana memang telah membiasanya tema tema drama tujuh belasan tersebut) selesai dipanggungkan, dia mengalami satu hal yang mengejutkan yang tidak pernah terpikirkan olehnya di mana dia sempat diejek dan dimaki-maki oleh ibuibu yang menonton pemanggungan itu dengan mengatakan kalau gara-gara dirinyalah rakyat Indonesia menderita dan sengsara. Dan dengan keeleganan layaknya seorang aktor besar, kawan saya itu pun ngeloyor cepat-cepat pergi. Dalam hatinya dia merasa telah berhasil dengan sukses memerankan peran jahatnya itu. Itulah barangkali yang menyebabkan kawan saya itu masih terus berteater sesampai kini. Bulan Agustus dan drama bertema perjuangan atau patriotisme
INFO dramakala dramakala mengundang Anda untuk mengirimkan kabar/berita yang berisi peristiwa pemanggungan atau di luar panggung (workshop, diskusi, seminar teater) untuk rubrik “Panggung Luar Jakarta” dan juga tulisan tentang pernyataan artistik, serta sikap estetik dari kelompok teater untuk rubruik Manifesto (nir-honor). Tulisan dikirimkan ke ideal. indonesia@yahoo.com. dramakala dapat diperoleh di Asosiasi Perteateran Wilayah di lima wilayah DKI Jakarta, Galeri Buku Bengkel Deklamasi Taman Ismail Marzuki, Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin dan kantong-kantong kebudayaan. Bagi pembaca luar Jakarta, dapat menghubungi 0815 1021 1119.
adalah memang merupakan dua hal yang saling berkehubungan satu sama lain. Lewat moment kemerdekaan tersebutlah tema patrioitsme menemukan kesejatiannya. Di pelosokpelosok kampung yang ada baik di kota sampai ke desa-desa, ada banyak panggung didirikan untuk menjadi sarana penyampaian semangat cinta bangsa dan negara bagi pemudapemudi dan sekaligus menjadi semacam medan kreatifitas dalam bidang kesenian, khususnya teater, teater yang bertema kepahlawanan. Tidak jarang dalam beberapa kesempatan, para ibu dan juga bapakbapak mendukung pemanggungan termaksud dengan memberikan peralatan rumah tangganya untuk properti atau handprop. P a d a masanya teater Indonesia sendiri memang pernah diramaikan oleh kehadiran karyakarya dari penulis dalam negeri yang bertema tentang patriotisme, baik itu dalam wujud pengadeganannya ataupun dalam bentuk yang l e b i h filosofis. Kata
patriotisme tentu saja bisa ditafsir secara bebas, tidak mesti identik dengan senjata atau peperangan. Kata patriotisme bisa ditafsirkan juga sebagai gerakan anti penindasan, perjuangan kesetaraan hak azazi manusia, pencarian panjang jati diri manusia yang hakiki, kecintaan terhadap bangsa dan negara, ataupun bentuk nasionalisme dan lain sebagainya. Namun begitu ada beberapa naskah lakon (istilah ini saya rasa lebih pas dibandingkan dengan istilah teks dramatik yang biasa saya gunakan, mengingat dalam konteks ini istilah naskah lakon berkesan lebih memerankan/melakonkan) yang mengandung u n s u r patriotisme secara tegas dan verbal yakni unsur cinta terhadap negara, bela negara, atau katakanlah nasionalisme, seperti misalnya pada naskah lakon Bebasari (Roestam Effendi), Blong (Putu Wijaya), DombaDomba Revolusi (B. Soelarto) atau Fajar S a d i q (Emill
Oleh : Harris Priadie Bah
Sanossa). Naskah-naskah lakon dari Ratna Sarumpaet pun sesungguhnya adalah naskah lakon yang bertema tentang patriotisme, bersebab isi dari karya-karyanya kerap menggugat ketidakadilan yang terjadi di bumi pertiwi, perjuangan perempuan membela haknya, sebutlah misalnya “Marsinah Menggugat”, “Alia, Luka Serambi Mekah” atau yang paling mutakhir “Jamila dan Sang Presiden”. Pertanyaannya adalah, seberapa pentingnyakah tema-tema semacam itu diwujud-tuliskan ? Bagaimana dengan seniman-seniman teater yang lebih muda sekarang ini, masih menarikkah tema-tema seperti ini bagi kerja kreatifitas mereka ? Sampai sejauh manakah karya pemanggungan teater hari ini mampu mewujud-tampakan kegelisahan seniman teater yang lebih muda dalam melihat problematika kehidupan sosial, budaya, hukum dan politik yang telah menjauh dari semangat patriotisme/nasionalisme tersebut ? Untuk konteks sekarang ini, boleh jadi jarangnya tema-tema patriotisme dengan tafsir yang luas - menyebabkan teater berjarak dengan penonton dan lingkungannya, benarkah ? Kalau mencermati kisah AB, kawan baik saya itu, maka boleh jadi penonton memang dengan mudah bisa memberikan simpati, empati dan “kebenciaannya” bahkan, sepanjang tema yang didramakan memanglah intim atau tak hendak “absurd” setidaknya.***