Dramakala 11

Page 1

drama kala media komunikasi dan informasi teater

2 WACANA

Ketika Teater Rendra di Protes Penonton dan Dilarang Penguasa

3 BERITA UTAMA

Ekspresi Kebebasan dalam Panggung Seni (Teater) Indonesia

4 KHASANAH 8 MATA KALA

Patriotisme dan Panggung Teater

Kebebasan Berekspresi, Sebuah Kode di Atas Panggung

Edisi OKTOBE R EMBER 201 OV 2 -N

11

Ekspresi Kebebasan dalam Panggung Seni (Teater) Indonesia


2

Edisi 11 - Oktober - November 2012 KALA MEMBACA

drama kala Dewan Eksekutif IDEAL Pembina Penasihat Internal Direktur Direktur Eksternal General Manager General Manager Koordinator Koordinator

: Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR : Arswendo Atmowiloto : Chrisdina Wempi Rafael Jolongbayan : Renata Tirta Kurniawan RenataRori TirtaRarasati Kurniawan : Maulia : Maulia Rori Rarasati

Dewan Redaksi Dewan Redaksi Pimpinan Redaksi : Harris Priadie Bah Pimpinan Redaksi HarrisBersama Priadie Bah Wakil Pimpinan Redaksi :: Andi WakilRedaksi Pimpinan Redaksi Staf :: Andi DendiBersama Madiya Staf Redaksi : Hery Dediesputra SaragihSiregar Dendi Madiya Layout : Aditya Nugroho Pratomo Hery Saragih Editor : Malhamang Zamzam Alamat Redaksi Layout : Aditya Nugroho Pratomo STIKOM The London School of Public Relations - Jakarta Komplek Perkantoran Sudirman Park Jl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35 Alamat Redaksi Jakarta Pusat 10220 STIKOM The London School of Public Relations - Jakarta Komplek Perkantoran Sudirman Park Jl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35 Cover Jakarta Selamatan Pusat 10220 Pentas Anak Cucu Sulaiman di New York, 1987. Dok: burungmerakpress

Berbicara tentang kehidupan bersama dalam masyarakat dengan segala aspeknya, maka kita akan bersegera menyadari betapa pentingnya peranan seni dan budaya dalam membangun moral bangsa. Jika kaum agamawan mengajarkan tentang nilai-nilai baik, akhlak dan moral berdasarkan kitab suci, maka seniman bertugas melengkapi dan memerkayanya dengan nilai-nilai estetik yang bersumber dari tradisi dan kebudayaan manusia itu sendiri. Melalui karya-karyanya seniman melakukan gerakan pemanusiaan (humanisasi), keselarasan (harmonisasi) serta pencerahan. Seniman mengingatkan bahwa nilai-nilai kebenaran, estetika, kejujuran, kesetiaan dan keikhlasan yang ada di dalam diri manusia jauh lebih berharga dari kebendaan. Lalu bagaimana kalau nilai-nilai yang dimaksudkan tersebut tidak melekat dalam diri dan karya sang seniman tersebut ? Bahkan justru karyanya itu menyebabkan kebermasalahan di tengah masyarakat. Bila itu yang terjadi, barangkali kinilah saatnya kita sebagai pekerja seni melihat kembali apa yang sudah, sedang dan akan kita lakukan lewat kesenian yang kita kerjakan. “Ekspresi Kebebasan dalam Panggung Seni (teater) di Indonesia” adalah tema Berita Utama yang kami turun-tuliskan sebagai respon dan sekaligus peringatan kepada kita agar lebih dapat berhatihati dalam mengekpresikan dan mengartikan makna kebebasan ekspresi itu sendiri. Sesungguhnya tidak ada satupun di dunia ini yang bebas nilai, tugas kita bersamalah menjaga posisi dan tanggung jawab masing-masing sebagai bagian dari masyarakat agar kehidupan berbudaya yang sehat dan dewasa menemukan keniscayaannya di situ.

Redaksi

WACANA Oleh: Edi Haryono

KETIKA TEATER RENDRA DIPROTES PENONTON DAN DILARANG PENGUASA Sikap Rendra pada tradisi: Tradisi adalah kebiasaan yang berguna menggulirkan kehidupan masyarakat. Bagi Rendra, tradisi seumpama sebuah wadah bagi kegiatan kreatif dirinya. Bila ternyata geliat kegiatan kreatifnya lebih besar dan tak tertampung lagi oleh wadah ini, maka Rendra akan memperbesar wadah agar tradisi ikut mengalami kemajuan.

B

engkel Teater di Yogya mulai terbentuk Oktober 1967. Rendra dan kawan-kawan kala itu berlatih sendiri dengan cara menggali untuk menemukan jenis pentas teater yang sesuai dengan naluri bangsa dan isinya mampu mengajak maju masyarakat (Rendra membedakan teater tradisional dengan teater modern yang saat itu dianggap baru. Menurut Rendra masyarakat memerlukan teater modern untuk mendiskusikan dan mencerna persoalan-persoalan baru di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, misal: parlemen, yang tidak dibicarakan dalam teater tradisional). Latihan yang suntuk tak mengenal waktu menghasilkan penggalian yang detail dan mendasar. Isi kepala Rendra yang dipenuhi kesenian Jawa dan Bali berbaur dengan pengalaman berteater selama 3,5 tahun di Amerika tersirat dalam karya Bengkel Teater itu yang untuk sementara waktu disebut: eksperimen. Dan untuk menguji eksperimen ini digelarlah pertunjukan di halaman rumah dengan penonton para tetangga di kampung serta beberapa seniman dan sastrawan Yogya yang khusus diundang untuk menonton dan

mereview. Meski demikian dalam pergelaran berikutnya di Pendopo Sonobudoyo, dengan nomor eksperimen yang lain lagi, beberapa penonton protes. Bahkan ada batu yang melayang ke arah panggung. Terjadi kegaduhan, namun pertunjukan selamat hingga selesai. Beberapa anggota grup sempat mengejar si pelempar batu namun tak tertangkap. Menurut Amak Baljun (alm) yang waktu itu ikut main dalam pentas itu, penonton marah karena di panggung Rendra benar-benar mencium pasangan mainnya. Protes berikutnya lebih beringas. Rendra menuturkan, saat pentas salah satu nomor mini kata di Gedung PPBI Yogya, seusai pertunjukan sejumlah mahasiswa menerobos sampai ke kamar rias dan menodongkan pisau mengancam Rendra. Para mahasiswa itu bersedia mundur ketika Sunarti, istri Rendra, membalas tantangan itu dengan berduel satu lawan satu. Berdiskusi dengan Pemrotes Masalah di atas diselesaikan oleh Rendra dengan mendatangi pihak Kepolisian. Rendra meminta bantuan agar diijinkan menyelenggarakan diskusi dengan para penonton yang memrotes bertempat di kantor polisi Ngupasan. Publikasi acara diskusi itu dilakukan dengan memasang posterposter di tembok-tembok strategis di pusat kota. Poster berisi tulisan “Diskusi 13 Menantang Kota”. 13 adalah jumlah Anggota Bengkel Teater. Diskusi berlangsung seru. Menurut penuturan Rendra, seorang ibu maju ke depan dengan wajah merah

Rendra ketika Baca Puisi

padam. Sambil menuding ke arah muka Rendra ibu ini menyoal peran Tuhan (dalam pentas mini kata “Piiip”) yang tidak sesuai dengan gambaran Tuhan yang diimaninya. R e n d r a meredakan ibu yang penuh p e r h a t i a n ini dengan menerangkan: “Ibu tidak usah khawatir, masalah imaji kita tentang Tuhan bisa berbeda, Tuhan bermahkota duri, tetangga ibu isi kepalanya Tuhan bermahkota daun, padahal sama-sama seiman. Apakah perlu disoal?” Alhasil, sejak terjadi diskusi tersebut pertunjukan karya-karya

Pentas Oidipus Berpulang

Bengkel Teater selalu diminati banyak penonton. Menurut Rendra, kenyataan itu membuktikan penonton amat tertarik pada suguhan kesenian yang menawarkan kemajuan kehidupan. (Bersambung…)


BERITA UTAMA Edisi 11 - Oktober - November 2012

3

Ekspresi Kebebasan dalam Panggung Seni (Teater) Indonesia

Bebas yang tidak kebablasan, karya yang kreatif, ide yang jelas pijakannya adalah buah dari situasi kebebasan yang sedang berjalan kini.

D

unia ekspresi di sini pernah menghadapi suatu rejim dimana rejim itu seperti parno terhadap kebebasan berekspresi dari kalangan seniman. Beberapa catatan yang masih kuat melintas dalam pikiran kita adalah pelarangan pentas “Sam Pek Engtay” Teater Koma di beberapa tempat di luar Jakarta. Masih banyak kasus lain yang memiliki kesamaan sikap dari penguasa. Jaman tunggal nada seperti Orde Baru waktu itu memang alergi dengan kritik karena ingin pelanggengan kekuasannya tidak ingin diobok-obok. Di era reformasi sekarang, pelarangan sebagaimana pernah terjadi di jaman sebelumnya, amat dimungkinkan tak lagi ada. Karena kontrol hukum adalah panglima dalam kehidupan yang sehat dan bukan represi sebagaimana di era yang lalu. Dengan kata lain, kebebasan berekspresi di era sekarang sedang dalam puncaknya. Pemerintah tak akan melarang seniman berekspresi, tentu sepanjang karyanya tidak menyinggung dan melecehkan perasaan khalayak, melecehkan agama atau keyakinan umat lain, dan tetap dalam koridor etika dan kesopanan publik. Arti kebebasan yang sebelum sekarang dimaknai antara lain sebagai perlawanan terhadap kezaliman penguasa, saat kini sudah tak lagi kontekstual. Maka karya-karya seni sekarang yang diciptakan tak lagi berurusan dengan bagaimana bermuatan kritis terhadap sikap penguasa yang arogan. Kini karya-karya seni diciptakan dengan tidak menyinggung perasaan orang lain, etis, kreatif, dengan dasar pikiran yang jelas. Maka karyanya tidak akan mendapatkan sorotan buruk dari khalayak. Kasus film “Innocence of Moslems” yang menuai kritik dari segala lapisan masyarakat dan internasional, membuktikan bahwa seni yang tidak berpijak pada dasar pikiran yang jelas, mencemooh pihak lain, akan tergelincir pada sikap berkarya arogan. Tentang film itu sendiri, Ratna Sarumpaet menilai sebagai karya kreatif. “Tapi hasil atau produk film itu bukan kreatif tapi jahat,” kecam dramawan kondang itu melalui ponselnya. “Itu bukan ekspresi kebebasan, melainkan sutradara film itu penjahat”, tudingnya lagi. Padahal seniman menurut Ratna, tidak pernah jahat dengan melakukan penghinaan lewat karya-karyanya atau bentuk ekspresinya terhadap keyakinan orang lain. Sutradaran film dan teater itu, mengingatkan seniman teater agar tidak terjebak mengartikan kebebasan kreatifitas. Kebebasan seniman, terutama seni teater ada batas dan limite-nya. Artinya kebebasan dalam membela kezoliman orang. Nah,

sekarang, kata Ratna, Indonesia sudah reformasi. Sudah tidak ada lagi larangan dari pemerintah maupun pihak lain terhadap bentuk pertunjukkan teater. Berkarya saja sesuai kebebasan kreatifitas yang dimiliki masing-masing. “Asal tidak menghina atau menyinggung perasaan pihak lain”, ungkap sutradara teater dari Grup Satu Merah Panggung itu. Seniman lanjut dia, seperti seorang filsuf. Dasar kebebasan seniman memerangi kejahatan. “Jadi jangan salah menafsirkan kebebasan kreatif. Jangan mengatasnamakan kebebasan seniman itu menjadi jahat,” sindirnya.

Ratna Sarumpaet

Syaiful Amri

Zak Sorga

Budi Sobar

Etis Estetis Etis dan estetis adalah hal lain yang penting dikedepankan dalam melahirkan karya kreatif di era kebebasan seperti sekarang. Sebagai makhluk kreatif seniman memiliki keleluasaan dan kepekaan yang pada gilirannya mampu menciptakan karya yang spektakuler. Dalam perspektif demikian, bisa saja ia melampaui batas normatif. Buru-buru Budi Sobar mengingatkan. Ia menilai seniman itu memang kreator, pencipta. Untuk itulah ia penting menjunjung yang namanya etika dan estetika. Artinya seniman harus paham betul bahwa membuat karya berdasarkan kaidah-kaidah. Tahu sendiri kan kalau di Indonesia kita bicara tentang agama atau SARA itu sangat kontroversi...pro dan kontra... Seniman mesti menempatkan diri pada hal yang jangan sampai berpihak pada isu agama atau SARA. Itu...berbahaya”, tukasnya. Ekspresi telanjang yang dilakukan oleh seniman juga mesti melihat kaidah estetik. Misalnya,

bagaimana menggunakan unsur cahaya lampu untuk menyinari tubuh telanjang itu agar tidak terkesan vulgar, tetapi indah. Karya cipta yang mengandung unsur kesantunan diperlukan di era sekarang. Syaiful Amri, sutradara teater, mantan anggota Komite Teater DKJ, menekankan kebebasan yang berlebihan selalu mengundang kontroversi. Berekspresi boleh-boleh saja, tapi di dunia ini punya aturan-aturan. Kita boleh berkarya sebebas apa pun tetapi harus ada sisi-sisi kesopanan. Jangan sampai kita berkarya tapi karya itu menyinggung orang. Menyinggung agama. Nah, ini kan harus dijaga. Pada dasarnya seniman itu mengerti hal-hal tentang kesopanan, tentang artistik, tentang estetika. Kalau dia berkarya seenaknya, dia bukan seniman, tapi orang yang tak punya aturan. Justru seniman itu kan mengerti sopan santun, tata krama, keindahan, kerukunan. “Seorang seniman itu sama dengan kafilah, dia menjadi suri tauladan orang yang menontonnya. Kita bebas berekspresi tetapi jangan sampai membawa kepada kehancuran. Kebebasan berekspresi itu justru bagaimana membawa orang-orang ke jalan yang lurus. Bagaimana kita bisa membuat pemaknaan dalam sebuah karya sehingga bermamfaat buat orang lain”, tegasnya. Batas Berbatas Zak Sorga, sutradara teater dan sinetron, penulis skenario, mengingatkan pula tentang kondisi kekinian yang telah memberi pijakan bagi pengkarya. Menurutnya, sebetulnya kebebasan ekspresi di Indonesia atau kita sebagai orang timur, batasannya sudah jelas. Artinya, jangan sampai menyinggung normanorma susila, norma-norma agama yang berlaku di masyarakat. Kalau di Islam sendiri, kita tidak boleh mencela kehormatan orang lain. Orang-orang yang dihormati meskipun di luar Islam pun tidak boleh dicela. Karena kalau dicela, mereka pun mencela orangorang yang kita hormati. “Selama figurnya orang yang dihormati, tiba-tiba ada yang menghina dengan tanpa landasan, saya kira masyarakat berhak melakukan protes. Tentunya, tak boleh melakukan kekerasan, saya kira. Tapi soal protes, soal demonstrasi, saya kira itu hak asasi”, ujarnya. Kebebasan tanpa batas diingatkan lagi oleh Rizal Nasti. Ketua umum Indraja (ikatan Drama Jakarta Barat) ini mengatakan agar di era kebebasan seperti sekarang, pekerja teater tidak mengartikannya sebagai

Teater Koma - Sampek Engtay

kebebasan tanpa batas. Seni apa pun memiliki batas. Ia dibatasi oleh normanorma yang berlaku dalam masyarakat. Kebebasan tunduk pada norma yang berlaku dalam masyarakat. Pentas teater tidak akan sampai seperti yang terjadi pada film yang kontroversial itu. Kalau ada pelarangan seperti yang terjadi pada Teater Koma Rizal Nasti dengan “Sampek Engtay” atau Bengkel Teater yang akhirnya dilarang pentas oleh penguasa (rejim militer, red) waktu itu, itu perkara politis. Sesungguhnya pementasan tersebut tidak menyimpang dari koridor norma masyarakat. Justru memperjuangkan kepentingan rakyat lemah, tapi penguasa waktu itu yang tampaknya merasa tidak nyaman dengan sikap kritis masyarakat seni, melihatnya lain. Sekarang, lanjut dia, aparat pun masih mau diajak dialog secara komprehensif. Kalau pun terjadi teguran maupun surat peringatan dari pemerintah atau polisi, jangan dianggap itu sebagai larangan. “Ke depankan saja pikiran sehat dan perasaan baik. Seniman harus instrospeksi dan harus intelektual karena seniman itu intelek yang kualitasnya di atas rata-rata orang lain. Koridor kebebasan yang berbatas tampak sudah. Di era sekarang dimana penguasa dan karya seni tidak lagi sedang saling menantang, memungkingkan ekspresi berkesenian mampu melahirkan karya yang baik. Seperti apa karya yang baik, ini terpulang kepada para pengkarya. Kreativitas, santun, bertumpu pada ide yang jelas dasar pikirannya, tidak mengandung SARA dan toleran terhadap keyakinan orang lain, adalah beberapa tips yang memungkinkan karya seni di era reformatif akan menuai apresiasi yang sehat dari masyarakat luas.* (Tim Redaksi)


4

Edisi 11 - Oktober - November 2012 KHASANAH

PATRIOTISME DAN PANGGUNG TEATER (Bag. 2) Kita hanya dapat membayangkan bagaimana pementasan anak sekolah ini dapat menggerakkan naluri kebangsaan pada para penontonnya dan sebaliknya menggerakkan rasa muak dan sebal kepala sekolah Belanda akibat dirinya digambarkan sebagai Rawana. Pementasan ini dinilai berbahaya bagi fihak penjajah, dan itulah sebabnya dilarang. Tetapi dalam catatan tulis tangan pada naskah ini, oleh H.B. Jassin, Bebasari kemudian dimainkan berulang kali di masa kolonial. Keberhasilan bentuk simbolisme dalam teater ini kemudian dilanjutkan oleh para sastrawan yang digolongkan Pujangga Baru (1930-1940-an) seperti Muhammad Yamin dan Sanusi Pane serta Armijn Pane yang juga banyak terlibat dalam kegiatan kebangsaan. Itulah sebabnya sastrawan Pujangga Baru banyak menulis drama dengan latar sejarah kuno Indonesia justru untuk diproyeksikan bagi masa depan bangsa. Strategi ini, disamping akibat kesuksesan Bebasari, juga akibat situasi zamannya. Tahun 1930-an pemerintah

Hindia Belanda berada dalam tangan Gubernur Jendral B.C. de Jonge yang bersikap amat keras terhadap setiap usaha gerakan nasional radikal. Sikap keras ini akibat dari berbagai gerakan radikal pemberontakan PKI tahun 1926 yang disusul oleh kobaran nasionalisme PNI Bung Karno. Juga adanya Pemberontakan Kapal Tujuh dari para awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal perang Belanda. Jalan paling aman untuk membangkitkan patriotisme dalam teater adalah mencari celah-celah masa kini dalam cerita sejarah masa lampau, dan mau tak mau harus bekerja secara tersirat. Muhammad Yamin menulis Ken Dedes dan Ken Arok, Sanusi Pane Sandhyakalaning Majapahit, dan Armijn Pane menulis Lenggang Kencana. Naskah-naskah ini dipentaskan dalam lingkungan kaum muda gerakan nasional, baik dalam konggres-konggres maupun peristiwa-peristiwaterhimpunnya kaum pergerakan. Inti dari naskahnaskah tersebut adalah mengorbankan kepentingan diri sendiri, rata-rata mengorbankan kepentingan cinta

asmara sepasang kekasih, demi kepentingan yang lebih agung, yaitu bangsa dan negara agar tidak terpecah belah tetapi tetap bersatu padu. Terdapat satu kesatuan pengalaman dan pikiran yang dapat membangkitkan hasrat para penontonnya utnuk berkorban demi utuhnya kesatuan bangsa dan negara. Sendhyakalaning Majapahit mengisahkan pahlawan Damarwulan yang dihukum mati oleh penguasa Majapahit, akibatnya Majapahit runtuh. Yang membunuh pembela rakyat akan menghadapi keruntuhan. Analoginya yang menangkapi kaum pergerakan akan melawan rakyat dan akan menghadapi kepastian keruntuhannya. Begitu pula Lenggang Kencana puteri Pajajaran yang harus rela berpisah dengan kekasihnya, pahlawan P{ajajaran dari kalangan rakyat, demi lestarinya kerajaan. Bagaimana lakon-lakon semacam itu dapat mengobarkan patriotism bagi kaum pemuda pergerakan, dapat diproyeksikan pada pentas-pentas teater komersial Indonesia semacam Dardanella atau

Oleh : Jakob Soemardjo Miss Dja yang banyak menghadirkan pengalaman keharuan sentimental dalam lakon-lakon mereka, pada zaman yang sama. Pengalaman panggung mampu menggerakkan emosi dan pengalaman tertentu yang dapat berpengaruh pada sikap penontonnya terhadap suatu masalah. 3. Patriotisme Zaman Jepang Tahun 1942 sampai 1945 Indonesia di bawah kekuasaan militer Jepang. Jepang sangat anti colonial Belandadan kubu demokrasi pada umumnya, sehingga amat dekat dengan sikap rakyat Indonesia. Bagian propaganda Jepang (yang terlatih dan berpendidikanpropaganda di Amerika Serikat) menggunakan kesempatan ini untuk mengobarkan patriotism rakyat untuk Negara, yakni pemerintahan pendudukan Jepang, dan bukan demi bangsa Indonesia sendiri. (bersambung)

PANGGUNG LUAR JAKARTA

Sarasehan Teater STSI Bandung

“Jurnalisme dalam Teater” Menempati ruang lobby gedung teater Sunan Ambu STSI, sarasehan teater yang mengambil tajuk “Jurnalisme dalam Teater” itu diberlangsungkan 13 September 2012 sedari pagi sampai pukul 13.00 WIB. Tidak banyak jumlah peserta hadir tetapi perbincangannya sendiri terbilang cukup menarik dan penting. Sarasehan yang mengundang-hadirkan pembicara Wawan Sofwan - aktor dan sutradara mainteater, Soni Farid Maulana - penyair dan wartawan, dan penulis sendiri, sesungguhnya merupakan rangkaian acara yang diselenggarakan sekehubungan dengan pemanggungan Kelompok Teater Kami di STSI Bandung tersebut, termasuk juga acara Road Show 3 buku Hanna Fransisca yang bermaterikan acara pembacaan puisi, cerpen, teks dramatik, pidato dan diskusi. Wawan Sofwan berpandangan, wartawan media cetak masih belum mampu menuliskan ulasan yang baik dan mendalam. Tulisan mereka masih sekadar menurunkan laporan berita dan tidak jarang pula isi tulisannya hanya mengutip-ulang sinopsis yang

dibuat oleh sang sutradara dalam buku acara. Ia mengilustrasikan pengalamannya membaca media cetak luar negeri dengan menyebut sebuah majalah teater Jerman yang bernama “Theater Heute” sebagai

Persoalan jurnalisme teater rupanya masih terus menyisakan persoalan yang cukup serius dalam dunia teater Indonesia. Sama seriusnya dengan persoalan pendokumentasian karya-karya seni yang sesampai hari ini kita tahu masih belum melayak keberadaannya.

sebagai wartawan surat kabar “Pikiran Rakyat” lebih menjelaskan problematika yang dihadapi media surat kabarnya itu. Dari mulai persoalan mahalnya kertas bagi materi cetak korannya, sempitnya

Suasana berlangsungnya sarasehan teater “Jurnalisme dalam Teater”

contoh baik dari keberadaan sebuah media khusus teater yang mana dalam setiap penerbitannya menurunkan berita-berita aktual bagi publik teater secara luas dan bahkan juga menyertakan teks dramatik dalam setiap edisinya. Katanya, surat kabar di Australia menyantumkan tanda bintang pada artikel kesenian yang dituruntuliskannya sebagai semacam rujukan bagi para pembaca dalam menentukan pilihanya untuk menonton. Sedangkan Soni Farid Maulana dalam kapasitasnya

ruang yang disediakan untuk menulis ulasan kesenian sampai asumsi kematian beberapa media khusus budaya dan seni yang dikatakannya karena tak adanya kesetiaan dari pekerja seni itu sendiri yang tak mau membeli media seni budaya termaksud. Pada kesempatan sebelumnya, dengan memberikan penekanan pada semangat untuk tidak melulu bergantung pada media besar yang ada itu, penulis yang hadir sebagai pekerja seni dan sekaligus pemimpin redaksi dari koran teater “dramakala” mencoba

menularkan sedikit pengalaman penulis dalam menapaki jalan seni tersebut dengan tidak pernah mau jemu mengelola kemungkinankemungkinan yang paling mungkin bagi kerja kesenian penulis, termasuk dalam merespon persoalan jurnalisme teater yang tertemakan pada sarasehan ini - yang mana kemudian pada ujungnya mematri penulis dengan komitmen terpelihara untuk berkarya di koran teater dramakala tersebut. Penekanan pesannya jelas: jangan pernah selalu berharap dan bergantung pada satu lembaga tertentu tetapi cobalah buka kemungkinan lain yang paling mungkin bisa diwujudkan. Dengan segala keterbatasan pada dirinya, kehadiran koran teater dramakala yang boleh diklaim sebagai satu-satunya koran teater di Indonesia ini (mungkin di dunia ?) tampaknya memang dirasakan dapat menjawab sekian kerinduan dan kebutuhan dari publik teater akan media seni, khususnya teater. Ini terpahami dari komentar para peserta sarasehan dengan moderator Tatang Abdulah, dosen STSI Bandung.* (HPBah)


PANGGUNG LUAR JAKARTA Edisi 11 - Oktober - November 2012

Workshop Butoh: Tubuh Kata Tubuh

5

Tony Broer

Tubuh Butoh hadir bergerayangan di gedung SCC kampus - ITS Surabaya, 16 September 2012 jam 19.00Wib. Pada malam yang hening itu, teaterawan kota Buaya itu tampak susah payah menciptakan tubuh-tubuh “mati” yang diam tapi terasa berenergi itu. Tubuh-tubuh Butoh itu memang asing bagi peserta workshop Butoh yang bertema “Tubuh Kata Tubuh”. Pemateri workshop eksplorasi tubuh Butoh tak lain Tony Broer, suka cita menyaksikan tubuh-tubuh aktor-aktor muda teater. Tubuh Butoh merayap ke dalam energi peserta workshop. Selama sehari penuh, peserta workshop diperkenalkan pada teknikteknik Butoh. Penyiapan tubuh untuk pemeranan. Untuk akting teater. Galuh Tulus Utama, salah seorang peserta workshop mengatakan, tubuh-tubuh aktor teater dari Surabaya,Madura, Lamongan itu, merasakan energy baru. Ya, energy dari teknik-teknik eksplorasi Butoh yang diperkenalkan Tony Broer. “Latihan tubuh yang seperti militer bahkan mungkin lebih kejam membuat kaki dan tangan para peserta workshop kelelahan dan di balik kelelahan itulah peserta workshop menyadari kesadaran tubuh, menyadari tubuhnya sendiri”, ujar pemenang

lomba monolog FTI itu. Toh, anak-anak tak surut semangatnya. Meski latihan teknik Butoh ketat, liat bak latihan militer, peserta workshop tak kehabisan semangat. Bahkan Workshop Tubuh Tony Broer yang terselenggara berkat kerjasama Teater Tobong, Teater Tiang Alit dan Manusia Teater Surabaya, justru melahirkan pentas tubuh berjudl “Teror Tubuh”, di ujung workshop. Tepuk tangan membahana usai pentas. Mereka menyadari arti penting tubuh sebagai medium penciptaan dimana penyertaan teks dan property diluar tubuh saling menguatkan struktur dramatik. Pada kesempatan itu, Tony Broer memperkenalkan para aktor dan aktris Butoh berikut teknik-tekniknya, dimana Tony Broer berguru selama setahun di Jepang. Kepada peserta workshop Tony memperkenalkan metode Butoh sebagai proses rangsangan berlatih, maka proses latihan yang dilakukan adalah eksplorasi tubuh sampai semaksimal mungkin. Eksplorasi itu meliputi dasar tubuh actor. Dalam hal ini, peserta harus melakukan latihan kekuatan (power) tubuh. Yaitu melatih secara rutin dengan melakukan lari dengan

hitungan jam dengan kecepatan yang sama, diakhiri dengan pelenturan tubuh. Latihan keseimbangan (balance) tubuh. Yakni, melatih secara rutin dengan mencoba kekuatan dari kaki dengan tangan, dengan cara menahan berat badan kita. Dan latihan pernafasan,yaitu melatih secara rutin 3 cara pernafasan (Perut, Dada dan Diaframa), lalu melakukan latihan kombinasi nafas dada dengan gerakan sebagai penutup latihan pernafasan. Materi lain meliputi menciptakan objek di luar tubuh aktor. Caranya dengan mengolah objek-objek yang diciptakan aktor di luar tubuhnya. Dilanjutkan dengan latihan mata melihat focus di dalam tubuh. Latihan terakahir adalah penggabungan kedua latihan ini. (Galuh Tulus Utama/ab)

Sketsa Tubuh Butoh

Pementasan di Workshop Butoh

PANGGUNG LUAR JAKARTA

Kegagapan dalam Pencarian Warna Lokal

P

ekerja teater di Padang mencoba kembali mengangkat tema warna lokal dan menghadirkan sepuluh grup teater, 5-9 Oktober 2012 di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat dalam Parade Teater 2012. Namun, tema hanya tinggal tema, dan tak sepenuhnya bisa dipenuhi. Minimal misalnya dalam bentuk tajuk, seperti yang disajikan Teater Katarsis disutradarai Tatang ‘Macan’ Rusmana, dosen Jurusan Teater ISI Padang Panjang yang mengusung lakon adaptasi ‘Wek Wek’ karya Djadug Djajakusumah yang suasananya dibangun oleh iringan musikal yang berwarna tradisi Sunda, Beluk, dengan pola panggung simplifikasi ruang Ubrug. Simplifikasi inilah yang banyak kita saksikan, khususnya berkaitan dengan tata ruang pertunjukan: tujuh di antara sepuluh grup ‘terperangkap’ ke dalam tata panggung prosenium yang bersifat centring. Dan tak mampu melepaskan diri dari pola grouping yang mekanistik: Hanya bergerak dari kiri ke kanan, atau sebaliknya. Akibatnya, pengolahan ruang teater terasa datar, flat. Ditimpali lagi oleh – ungkapan pernyataan beberapa penonton – kenapa pola vokal selalu berteriak dan hampir semuanya seragam. Betapa sulitnya mengidentifikasi sosok orang perorang

dari pelaku? Dan kenapa pula jika memang mengusung spirit lokal, tak ada dendang sebagai pola dialog di dalam tradisi Minang? Bahkan grup teater Sakata dengan sutradara Enrico Alamno, dosen Jurusan Teater ISI Padang Panjang, dengan lakon ‘Demokrasi’ karya Putu Wijaya yang sesungguhnya untuk monolog, membesut lakon itu ke dalam pola panggung teater rakyat yang meriah sepanjang 60 menit dan lumayan

sejumlah pertanyaan tentang spirit Minang yang kian menjauh di selingkungan pekerja teater yang tak menguasai khasanah tradisi secara praktikal. Dan dalam konteks itu pula

Pementasan Warisan, 2012

Pementasan Tanah Ibu KSST NOKTAH, 2012

menghibur publik dengan sindiran dan banyolan, namun terasa suasana bukan di Minang tapi di Jawa. Hal itu, kita rasakan pada pola vokal yang nJawani. Inilah salah satu di antara tiga grup yang lumayan dalam garapannya. Spirit Menjauh Saya punya kesan, nampaknya dendang hanya diserahkan kepada musik, dan hal ini mengukuhkan

tradisi yang hanya menjadi kembang lidah tak lagi mampu disajikan ke dalam panggung. Dan kita tak lagi bisa berharap sesuatu yang bersifat metaforis dan simbolik yang menjadi kekuatan tradisi: semuanya ingin disampaikan dengan logika pernyataan yang paling langsung, seperti para protester di pinggir jalan. Sangat mungkin kondisi ini berkaitan dengan kaum pekerja teater yang rata-rata muda belia dan limaenam ratus publik muda yang menjadi mayoritas penonton. Hanya satudua pemain lama – walau rata-rata sutradaranya telah memiliki jam terbang yang lumayan. Dipengaruhi oleh dan menyaingi pola dan sistem komunikasi

di wilayah perkotaan yang telah dijejali oleh berbagai jenis kegemuruhan: tak ada lagi keheningan. Dan upaya untuk mencapai keheningan metaforis itulah yang dicoba disajikan oleh Teater Kamus, KSST Noktah dan Teater Imaji. Muslim Noer (65 tahun), aktor kawakan yang sehari-hari bekerja sebagai pembersih gedung menyutradari Teater Kamus dan sebagai aktor mengusung karya almarhum Chairul Harun, ‘Warisan’. Muhammad Ibrahim Ilyas menyutradarai karyanya sendiri, ‘Dendang Waktu’ yang terasa seperti penggalan-penggalan puisi. Dan KSST Noktah disutradarai Syuhendri mengangkat salah satu episode ‘Tanah Asal’ lakon yang ditulisnya yang didasarkan kepada risetnya tentang cikal bakal lingkungan tradisi dalam konteks budaya agraris Minang dalam perubahan tatanan nilai. Dan saya kira, inilah grup yang paling matang dalam garapan, dengan dukungan musik dan dendang yang piawai serta kesadaran visual panggung menyajikan kritik simbolik secara radikal: garis matrilineal Minang hanya menjadi manekin di tangan kaum laki-laki.* (Halim HD. - Networker Kebudayaan).


6

Edisi 11 - Oktober - November 2012 Fest SLTA 2012

Kuat Pemain Perempuan

Lemah Struktur Dramatik

F

estival Teater SLTA yang rutin diselenggarakan secara swadaya oleh para penggiat teater di komunitas teater SLTA di Jadebotabek, tahun ini diselenggarakan sejak 17-28 Oktober 2012 di gedung pertunjukan – Bulungan - Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, berakhir sebagaimana direncanakan. Bertindak selaku penyelenggara festival tahun ini adalah Teater Gong dari SMA 29 Jakarta Selatan. Tahun ini setidaknya terdapat dua penanda festival. Tetap bertaburannya pemain perempuan yang menonjol potensinya dan masih lemahnya sejumlah grup dalam menyusun struktur dramatik. Festival tahun ini setidaknya terdapat lima grup yang jumlah penontonnya melebihi kapasitas tempat duduk gedung yang berkisar 350 kursi. Tahun ini grup yang terbanyak penontonnya yaitu hampir 500 penonton berasal dari Teater Detik SMA 86 Jakarta Selatan. Grup ini mendapatkan penghargaan sebagai grup terfavorit. Yang hampir sejajar dengan ini adalah teater Nadi. Grup terbaik tahun ini jatuh kepada Teater Hang Tuah berasal dari SMA Hang Tuah Jakarta Selatan, mementaskan “.EXE” sutradara Iqbal. Pementasan grup ini menonjol dibandingkan grup lain dalam kekompakkan gruping, kecekatan penyutradaraan, lihai menyusun

dramatik. Tertunjang oleh akting pemeran pembantu utama wanita yang berhasil mendapatkan predikat Pemeran Pembantu Utama Wanita Terbaik, tata musik juga mendapatkan penghargaan serupa, pencahayaan dan tata artistik pun demikian. Kelemahan yang menonjol yaitu di bagian artikulasi vokal pemain gruping. Tahun depan, panitia penyelenggara festival terlimpahkan kepada Teater Terpal dari SMA Pangudi Luhur dari Bekasi Jawa Barat yang mementaskan naskah berjudul “Generasi Terakhir” karya Manahan. Empat grup lain yang menyusul menjadi pemenang adalah Teater Topeng dari SMA 87 sebagai grup terbaik kedua dari Jakarta Selatan, juara ketiga dikuasai Teater Sembilu dari SMA 90, keempat Teater Atela juga dari Jakarta Selatan dan juara kelima Teater Teto dari SMAK Tomang, Jakarta Barat. Aktris terbaik direbut oleh Teater Teto, aktor terbaik diraih Teater Atela, aktor pembantu utama laki oleh Teater Topeng. Bertindak sebagai juri adalah Dindon WS, Embi C Noer, Andi Bersama. Dan seorang pengamat yaitu Ohan Adiputra dari Teater Koma yang memberi masukan dan mengoreksi dari hasil pengamatannya pada semua grup.* (ab)

Teater Nadi dalam Ketegangan Semu Teater Nadi dari SMA Muhamadiyah 3 Jakarta Selatan, tampil sanggup menyedot perhatian. Irama pementasan yang mengangkat naskah sendiri “Jelangkung” karya/sutradara Angga, memilih irama cepat dengan ketegangan dramatik yang mumpuni. Dua hal ini sungguh pilihan yang tepat. Durasi pementasan yang cukup panjang, disdari betul oleh sutradara, dan untuk ini ia memilih irama bak kereta ekspres. Namun sayang sekali, power sebagian besar pemain kurang menunjang. Pada gilirannya, ketegangan yang mumPementasan Jelangkung dari Teater Nadi SMA puni tergerogoti sedikit demi Muhammadiyah 3 Jakarta. Dok Teater Nadi sedikit menjadi semu. Siasat sebetulnya dapat dilakukan. Yaitu mengurangi durasi pementasan,menjadi cukup satu jam. Seiring ini, pemahaman para pemain terhadap material teks diperkuat. Yang terjadi di pentas, pemahaman itu masih “sektoral”, tidak menyeluruh dan ini pada gilirannya, mengganggu bangunan susunan dramatik, yang ketika pentas tempo hari itu, tersusun tersendat-sendat. Memang bukan pekerjaan yang mudah bagi para pemain untuk memahami material teks secara menyeluruh. “Ruang kosong” dimana pemahaman yang sektoral itu berlangsung, mau tidak mau terisi oleh gegap gempita ekspresi emosional, demi semata menjaga kontnyuitas ketegangan. Manakala ekspresi emosional tidak diimbangi penguasaan nalar teks, yang kerap terjadi adalah ketegangan yang semu tersebut.

Festival Teater Anak 2012

Bermunculan Grup Baru dan Jadi Juara

Festival Teater Anak 2012 Sejabodetabek berhasil menelorkan pemain anak dan grup baru. Suasana festival yang diadakan di Teater Kecil TIM 4-8 Oktober 2012 tampak jauh lebih meriah dibandingkan tahun lalu. Ini terjadi lantaran persiapan festival tahun ini jauh lebih siap. Beberapa muka baru grup tampak pula. Bahkan di antaranya ada yang menjadi pemenang. Pemenang lain adalah munculnya pemain anak cukup berbakat. Jumlah grup mencapai 26 grup sanggar. Bertindak sebagai juri adalah Edi Haryono, Dindon WS dan Jose Rizal Manua. Sebetulnya festival anak memiliki potensi diselenggarakan lebih meriah, lebih marak dan dapat pula aneka ragam acara digelar seiring festival berjalan. Seperti juga tahuntahun sebelumnya, beberapa mata acara yang telah dirancang pada tahun ini terpaksa belum lagi terselenggara lantaran ketelikung dana. Beberapa langkah telah diupayakan, antara lain mengajak beberapa perusahaan untuk terlibat menjadi sponsor. Namun apalah daya, usaha tinggalah usaha, sebab perusahaan yang diharapkan tak

kunjung bersedia. Institusi pemerintah akhirnya harus “menanggung” kurang dari keseluruhan biaya festival. Beberapa mata acara yang akhirnya belum terselenggara adalah diskusi interaktif menyoal intelektual anak setelah bersentuhan dengan pelatihan teater. Tak kurang pentingnya pula adalah benda-benda yang berhasil dicipta oleh masingmasing grup/sanggar anak. Pameran ini terasa penting karena benda-benda kreativitas tersebut dapat merangsang pikiran yang pada gilirannya dapat memicu kreativitas berikutnya. Dengan dana yang relatif terbatas, festival tetap berlangsung. Antusiasme grup peserta tak surut. Lebih lagi kemunculan grup baru yang ternyata berhasil menjadi salah satu pemenang. Dari sepuluh grup pendatang baru yang berhasil jadi juara adalah sanggar anak 45, Lab School. Gairah orang tua, guru yang menjadi pelatih atau pendamping grup miliknya, anak-anak yang menjadi peserta, pemain, dan penggembira ikut menguatkan suasana festival cukup kondusif. Lomba fashion batik, lomba dongeng anak, lomba baca puisi,

pameran poster pementasan, maket panggung dari masing-masing grup, melengkapi festival jadi ramai. Menurut Asep Martin, ketua Lembaga Teater Jakarta, selaku penyelenggara festival, menyebutkan, peserta festival tahun ini lebih banyak. Peserta baru datang dari sanggarsanggar sekolah. Strategi publikasi, katanya, yang diarahkan ke sekolahsekolah dasar dan SMP, ternyata membuahkan hasil. Sepuluh grup baru adalah sanggar yang sengaja dibangun untuk menghidupkan apresiasi seni di sekolah dan sekaligus menyertakan diri ikut festival. Penyelenggara festival membantu dengan bentuk pendampingan. “Kelanjutan dari festival, Lembaga Teater Jakarta akan bermkasud mengadakan workshop untuk membantu mengembangkan wawasan grup baru dan grup lainnya. Kami sedang mencari dana untuk workshop itu”, ujar Asep. Grup yang berhasil menjadi pemenang sebagai berikut. Grup terbaik pertama Teater Lorong, berhasil membawa piala beberapa kategori. Yaitu, sutradara terbaik 1,

penata musik terbaik, aktor utama terbaik, aktor pembantu terbaik. Grup terbaik dua, Sanggar Sajadah yang meraih pula peran pembantu wanita, grup terbaik tiga, menyabet pula piala untuk katergori aktris utama wanita. Gup terbaik empat Sanggar Krik Ceria yang menyabet piala artistik terbaik. Grup terbaik lima, Teater 45 dan juara Favorit sanggar Lab School Jakarta. Teater Sakura memenangkan naskah terbaik.*

Terbaik Pertama, Grup Teater Lorong

Terbaik Kedua, Sanggar Sajadah


SETELAH PERTUNJUKAN Edisi 11 - Oktober - November 2012

Pentas Teater “Tuan Ma”

7

Larantuka, Flores Timur

Pentas Teater “Tuan Ma” terdiri lima bagian. Pertama, ritus purba sebelum hadirnya kekristenan. Kekuatannya ada pada gerak tari dan gelegak tubuh yang dikuatkan dengan vokalisasi, doa/ mantra yang biasa didaraskan oleh tetua adat. Bagian kedua adalah kedatangan Tuan Ma dan komunikasi non-verbal antara Tuan Ma dan pemuda Resiona. Tuan Ma datang dari laut bermantel biru. Pakaiannya warna tingginya langit dan dalamnya laut. Kreasi citra visual yang diimbuhi rekaman suara alam. Kehadiran perempuan asing yang memesona sekaligus menggentarkan. Manusia adi-manusia. Memiliki daya-daya yang melampaui kodrati manusia. Yang kemudian menjadi patung. Patung yang bukan-patung karena menegasikan hakekat kebendaannya. Bagian ketiga adalah kedatangan misionaris, dialog dan pembaptisan raja. Tonu Wujo digambarkan dengan begitu indah. Tonu Wujo mengorbankan diri untuk kehidupan. Ia yang memberi nama pada setiap tempat, memberi tahu tetanaman obat, mengajarkan cara berladang, memintal benang, menata motif dan menenun. Ia begitu dekat di hati. Pada waktu benih di tanam di ladang, seluruh negeri pada malam hari tidak bo-

leh ribut atau berbuat menyingkap apa yang gaduh. Karena Tonu ada di balik kata. Ge Wujo turun ke dunia tar rasa, resonansi babawah. Ia mati samtin, kedambaan jiwa pai datangnya musim yang melampaui sepanen di mana semua gala perbedaan bunyi bersukaria karena ibu dan bahasa. kehidupan telah kemBagian kelima bali dengan membawa adalah liturgi bersama mujizat besar dalam lewat musik dan lagu. bentuk bulir-bulir Tuan Ma diusung dan padi yang memenuhi diarak lengkap dengan ladang, pondok dan panji dan bendera kerlumbung. ajaan Larantuka serta B a simbol-simbol kekatogian keempat adalah likan yang lain. Peraypertentangan yang aan bersama yang salmerupakan ujian iman ing meneguhkan dan Adegan Tuan Ma diarak dan dimuliakan foto by Jeby Lamuri yang dikenal dengan mempersatukan. nama misi solor. Perang adalah ujian kehidupan. Membuat Ruang Bersama manusia lebih sigap dan waspada. Pementasan Teater “Tuan Ma” Bertahan dan berjuang di bawah per- adalah ruang bersama. Ruang perlindungan Tuan Ma. Simbol dari segala gaulan lintas tradisi dan lintas budaya. keindahan, kelembutan hati dan kasih Pertemuan antara tradisi Katolik Porsayang. Bagian ini lebih merupakan tugis dan tradisi budaya Lamaholot permainan kata dan bunyi. Nyany- Flores Timur, antara konsep pengurian berbahasa Portugis dan Lamaho- banan Katolik dan ritus korban dalam lot, doa Latin dan bahasa Indonesia agama asli Lamaholot, antara Bunda dibaurkan. Perbedaan dan keasingan Maria yang dipunyai orang Katolik dan bunyi menciptakan warna dan kenik- Tonu Wujo-nya orang Lamaholot, anmatan tertentu. Tamasya kata demi tara tradisi masa lalu dan realitas keki-

nian hari ini. Pementasan berlangsung di Aula Universitas Flores Kamis, 11 Oktober 2012 yang dihadiri oleh lebih dari 2 ribu penonton. Bertindak sebagai sutradara adalah Silvester Petara Hurit. Dibantu antara lain Hiro Miten Bao sebagai penata tari , A. Ras Riberu penata artistik, P. Pedo Riberu, Domi Ras Dalima dan Erna Tapun, penata musik dan vokal. Yohanes R Lamury (penata multimedia), Ampi (penata cahaya), Gill Martin (penata panggung), Clara R. Dapasada (Tuan Ma), Sam Hurit Hajon (Raja), Sally Dea (Permaisuri), Stanislaus Da Silva (Resiona), Sipri Lamury, Petrus Fernandez, Yan Leba (Misionaris), Petu Koten, Rofinus Nara (tetua adat), Fitri Pesolima, Yosef Odjan dkk (Penari), Valens Fernandez, Mikel Mukin, Hans Riberu, Ega Kelen, Galang Dea dkk (pemusik), Elis Kehi, Olga dkk (koor) serta Andreas Ratu Kedang, Rm. Lorens Riberu, Yosep Nama, Tati Ninu dkk (Panitia).

DI LUAR PANGGUNG

Penonton Teater di Jakarta Sangat Potensial A

da yang mengejutkan pada hasil penelitian ilmiah terhadap penonton teater di Jakarta yang dilakukan Sri Bramantoro Abdinagoro dalam menyusun desertasi untuk meraih gelar doktor di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Depok. Tujuan penelitian Bram, begitu panggilan pendek Sri Bramantoro Abdinagoro yang juga dosen di FE UI ini, untuk mempelajari faktor-faktor spesifik pada seni pertunjukan teater yang dapat mempengaruhi kepuasan pada seni pertunjukan teater. Bram yang ditunjuk menjadi narasumber tunggal didampingi Haris Priadie Bah sebagai moderator, memaparkan hasil riset yang memakan waktu cukup lama, sejak 2009. Dihadapan puluhan undangan dari perwakilan fasilitator gedung seperti Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (GBB TIM), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Salihara, Goethe Institute, dan seniman teater, pada acara workshop bertajuk “Memahami Penonton Teater” - diselenggarakan Yayasan Kelola di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, baru-baru ini, terungkap penonton teater di Jakarta

sangat potensial menonton lagi. bahkan dari “Saya meneliti k a l a n g a n pertunjukkan menengah ke yang berbayar atas. alias tidak gratis. B r a m Ini dipengaruhi melakukan bidang saya penelitiannya di pemasaran. bukan sebagai H a s i l n y a , praktisi atau saya temukan Sri Bramantoro Abdinagoro (berdiri), pembiseniman. Karena penonton teater cara lokakarya didampingi moderator Haris memang Bram itu ternyata kelas Priadie Bah (pimred Dramakala) mengambil menengah ke pendekatan ini sesuai latar belakangnya atas. Untungnya, kelas menengah di pemasaran. Pilihan bidang kesenian atas adalah kelas yang haus akan ini diambil Bram karena sejak kecil hiburan. Indikasi dari kelas menengah senang sama dunia seni, terutama ini, saya temukan pada usia penonton teater. Tapi dia mengklaim tidak salah seni pertunjukkan teater rata-rata dan bermasalah bidang risetnya. 35-44 tahun. Selain itu, sebanyak Karena ada juga bidang marketing 86 persen penonton teater memiliki atau pemasaran pada produk seni tingkat pendidikan rata-rata S1-S2. teater, yaitu produk pertunjukan Indikasi-indikasi ini menunjukkan teater. Karena itu, nilai Bram, penonton teater sudah mapan dengan pertunjukan tidak cukup berkualitas, penghasilan rata-rata Rp 5-10 juta per tapi juga mengandung nilai jual. bulan. Sehingga wajar haus hiburan. Dia mempelajari soal mengapa Tak hanya itu, frekwensi menonton menonton? Karena dunia kesenian itu, teater dan menonton musik klasik kata dia, produknya adalah tontonan. atau symponi merupakan jenis seni Inti dari menonton adalah kepuasan. pertunjukkan yang paling banyak Kalau puas, maka akan datang ditonton dalam setahun terakhir. Rata-

rata lima kali dalam setahun menonton teater. Ini belum bisa disebut sering. Kecuali di atas 10 kali. Sementara hasil riset saya menunjukkan, teater masih merupakan seni pertunjukan yang paling banyak hari pertunjukannya dibanding seni pertunjukkan lain atau 45,3 persen jumlah hari pertunjukkan atau 115 hari dari 360 hari setahun,” sebut Bram yang tampil bernuansa nyeni alias seniman. Kunci dari penonton yang akan kembali menonton teater, nilai dia, didasarkan pada nilai kepuasan. Kalau penonton terhanyut perasaan dan pikiran dalam menonton pertunjukan seni teater, itu berarti puas. Itu yang menunjukkan penelitian Bram bahwa kesenian adalahproduk jasa servis. “Kalau pertunjukkan seni teater sebagai produk, ya, hasilnya hanya sampai di situ alias seperti barang. Habis menonton selesai. Maka itu, diperlukan sarana yang saya sebut flow atau semacam yang menghanyutkan. Bukti dari menghanyut, pertunjukkan itu akan diceritakan pada orang lain sehingga merangsang orang lain itu untuk menonton,” rincinya. (hery)


8

Edisi 11 - Oktober - November 2012 MATA KALA

Kebebasan Berekspresi, Sebuah Kode di Atas Panggung Belum melama waktu ini, dunia digemparkan oleh kehadiran “The Innocence of Moslem” sebuah film kontroversial garapan sutradara Nakoula Basseley Nakoula atau yang lebih dikenal dengan nama Sam Bacile. Film ini mencoba mengangkat kehidupan umat muslim yang digambarkan menyukai kekerasan itu. Dalam film itu juga ada penggambaran dari sosok Nabi Muhammad SAW yang dikisahkan gemar bermain perempuan. Film ini tentu saja bersegera menuai banyak sekali kritikan tajam bahkan kecaman dan kutukan dari berbagai pihak, bukan saja

dari umat muslim itu sendiri tapi juga umat beragama lainnya yang melihat ini sebagai pelecehan sejati-jatinya terhadap bukan hanya umat muslim semata, tapi lebih kepada pelecehan terhadap kedamaian hidup bersama, bersebab film ini memang memiliki potensi sungguh besar merusak suasana ketenangan hidup beragama. Tidak hanya kecaman dan kutukan saja, namun film ini juga mendapat serbuan demontrasi besar-besaran di berbagai belahan dunia yang meminta dengan keras film ini ditarik dari peredaran. Aksi demontrasi ini bahkan menyebabkan kematian dari beberapa orang/pihak yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan produksi film tersebut. Film ini memang bukan kasus yang pertama menuai kecaman dan kritikan, sebelumnya juga ada cukup banyak karya film yang mengalami kasus serupa, sebutlah misalnya “The Da Vinci Code” dengan aktor Tom Hank sebagai bintang utamanya, yang menceritakan bahwa Kristus memiliki anak. Atau yang lebih awal lagi yaitu film tentang saat-saat terakhir Kristus

di Taman Getsemani yang mengalami pencobaan dari iblis dan jatuh dalam pelukan perempuan cantik jelmaan iblis, yakni film “The Last Temptation of Christ” besutan sineas kampiun Martin Scorsese. Berbeda dengan dua film terakhir yang tersebutkan itu yang memiliki unsur estetik dan artistik terjaga, lepas dari muatan isi kebenarannya yang sungguh-sungguh celaka bagi akal sehat dan iman yang teguh, film “The Innocence of Moslem” tidak lebih tidak kurang adalah sampah semata. Dalam panggung seni pertunjukan Indonesia, sejarah juga pernah mencatat beberapa karya yang pernah menuai kritik tajam bahkan pelarangan pentas bersebab tema, pemeristiwaan adegan, bentuk ungkap (visualisasi) dan lain sebagainya itu. Beberapa kasus terkena tuduhan pornografi, amoral, etika sosial dan bahkan politis. Pertanyaan pentingnya adalah, sampai sejauh manakah seorang pekerja seni itu bisa bebas mengekspresikan karya kreatifnya. Sama pentingnya pertanyaan sampai

PANGGUNG UNJUK KEMAMPUAN KEAKTORAN DAN KREATIFITAS DALAM TEATER

2

Kembali digelar pada 21 - 23 Februari 2012 di Prof. Djajusman Auditorium and Performance Hall London School of Public Relations - Jakarta Sudirman Park Office Complex Jl.K.H.Mas Mansyur Kav.35 Jakarta Pusat

Oleh : Harris Priadie Bah

sejauh mana pula masyarakat bisa mengritik serta mengecam dan menolak sebuah karya seni tersebut bahkan sampai melakukan aksi-aksi turun ke jalan guna menghentikan karya seni yang dianggap bermasalah tersebut. Lalu seperti apakah ukuran yang bisa dipakai dan digunakan oleh penyelenggara Negara untuk melakukan pelarangan terhadap sebuah karya seni yang dianggap bisa “mengganggu ketertiban umum”. Kasus “The Innocence of Moslem” ini barangkali bisa menjadi pintu masuk (kembali) bagi kita, baik itu sebagai pekerja seni yang berurusan dengan karya dan ekspresi seninya atau juga masyarakat umum yang mengapresiasi karya seni itu, untuk menjaga dan menghargai nilai-nilai kebebasan di satu sisi dan etika serta norma-norma budaya dan sosial di sisi yang lainnya, agar kehidupan seni dan budaya yang bermutu dan beradab bisa menjadi niscaya di situ, tidak kebablasan.* (HPBah)

DAFTARKAN DIRI DAN GRUP TEATER ANDA UNTUK MENGIKUTI FESTIVAL YANG UNIK DAN MENARIK INI! Hubungi kami di: Sekretariat IDEAL Sudirman Park Office Complex Rukan A9 Jl.K.H.Mas Mansyur Kav.35 Jakarta Pusat 0815 1021 1119 ideal@lspr.edu / ideal.indonesia@yahoo.com

Faiby Jauw Kartadinata Business Development Director PT. Creative Faith Indonesia

INFO dramakala dramakala mengundang Anda untuk mengirimkan kabar/berita yang berisi peristiwa pemanggungan atau di luar panggung (workshop, diskusi, seminar teater) untuk rubrik “Panggung Luar Jakarta” dan juga tulisan tentang pernyataan artistik, serta sikap estetik dari kelompok teater untuk rubrik Manifesto (nir-honor). Tulisan dikirimkan ke ideal. indonesia@yahoo.com.

“My experiences at LSPR - Jakarta have given me foundation i needed to be succesful in my business”

STRATA SATU PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(Bachelor of Arts Degree [Hons] in Communication Studies) Concentration Options :

Public Relations Marketing International Relations

Mass Communication Visual Design Communication & Advertising Performing Arts Communication

Entry Test Gel 1 : Minggu, 4 November 2012 Pendaftaran jalur PMDK & Beasiswa telah dibuka LSPR Jakarta offers a Dual Degree Program in Partnership with: - Curtin University, Perth Australia for Performing Arts Communication - Edith Cowan University, Perth Australia for Mass Communications, Visual Design Communication & Advertising

New Students Registration & Information

Marketing and Admission Office : STIKOM LSPR Campus C, Ground Floor Sudirman Park Campus Jl. K.H. Mas Mansyur, Kav. 35 Jakarta 10220, Indonesia

Hotline : (6221) 251 2277 0815 169 5998 Phone : (6221) 5794 2471 ext. 104 Fax : (6221) 5794 3900 : 22 B9 B8 B7

lspr.edu marketinglspr@lspr.edu


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.