Dramakala 8

Page 1

drama kala media komunikasi dan informasi teater

2 WACANA

dramakala, Kelas Menengah, dan Teater Kita

3 BERITA UTAMA 4 BERITA UTAMA

Monolog dramakala Fest 2012

“Musuh Politik” Juara, “Wong Asu” dan “Reportoar Air” Nomine

6 KHASANAH

dramakala Fest: Menghidupkan Roh Berteater

Edisi APRIL 20

08 1

2

-M

EI 2012

dramakala Fest 2012

“MUSUH POLITIK” JUARA, “MUSUH POLITIK” JUARA, “WONG ASU” DAN“REPORTOAR “REPORTOAR AIR” “WONG ASU” DAN AIR”NOMINE. NOMINE.


2

Edisi 8 - April 2012 KALA MEMBACA

drama kala Dewan Eksekutif IDEAL Pembina Penasihat Direktur Internal Direktur Eksternal General Manager Koordinator

: Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR : Arswendo Atmowiloto : Chrisdina Wempi : Rafael Jolongbayan : Renata Tirta Kurniawan : Maulia Rori Rarasati

Dewan Redaksi Pimpinan Redaksi Wakil Pimpinan Redaksi Staf Redaksi Editor Layout

: Harris Priadie Bah : Andi Bersama : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Hery Saragih : Malhamang Zamzam : Aditya Nugroho Pratomo

Alamat Redaksi STIKOM The London School of Public Relations - Jakarta Komplek Perkantoran Sudirman Park Jl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35 Jakarta Pusat 10220

Sebermula memang telah dapat dibayangkan animo serta antusias yang besar penghadir untuk menyaksikan pertunjukan dari pada peserta dramakala Fest yang diberlangsungkan sedari tanggal 28 Februari sesampai 29 Februari – tanggal yang spesial bersebab keberadaannya yang setiap empat tahun sekali dalam bilangan kalender berjalan itu. Terbayangkan? Ya, bersebab masyarakat teater Jakarta memang tengah bersemangat dalam kegiatan berteater, baik itu sebagai pengkarya ataupun sebagai penikmat, itu yang pertama dan alasan pembayangan yang kedua adalah karena memang ruang-ruang kreatifitas yang alternatif itu kian dirasakan mendesak dan perlu untuk digagas dan diresponi dengan baik, oleh karenanya kehadiran dramakala Fest menjadi niscaya bagi tujuan dari animo tersebut. Melihat antusias yang diperlihatkan penonton pada saat diberlangsungkannya dramakala Fest tersebut yang mana mereka mesti naik turun lantai 2 dan 3 untuk menyaksikan dua model kompetisi yang diberlangsungkan secara berkekelanjutan tersebut (kompetisi drama pendek di lantai 3 dan kompetisi monolog di lantai 2) tentu saja membuat keterharuan yang bangga pada semua penghadir terutamanya kami, panitia, dan sekaligus dorongan yang kuat bagi kami untuk meneruskan kerja seni ini kedepan dengan lebih baik lagi. dramakala edisi ke 8 ini akan menyampaikan laporan dan catatan-catatan yang menarik dari pada event dramakala Fest kepada anda semua, forum pembaca yang terkasih. Sebagaimana yang juga telah kami sampaikan pada edisi sebelumnya bahwa Edisi ke 8 yang ada di tangan anda semua ini sesungguhnya adalah sambungan dari edisi ke 7. Semoga apa yang kami sampaikan ini boleh memberkati anda semua. Selamat membaca.

Cover Lina Erent - Ipoh - Monolog

Redaksi

WACANA

dramakala Kelas Menengah dan Jurnalisme Teater Kita

P

ara penonton itu adalah penonton tanpa sejarah teater. Pada saat bersamaan, pada cabang seni lain yakni seni rupa muncul kelas menengah baru yang sangat membantu perkembangan seni rupa kontemporer . Muncul kolektor-kolektor dan pemilik galeri yang akrab dengan Art Fair di Basel, Miami, Hongkong atau Singapura. Bienale-bienale di Venesia, Liverpool. Atau lelang-lelang Christie dan Sotheby Bicara. Mereka berusaha membuat infrastruktur seni rupa. Tapi kekuatan mereka sama sekali tidak menetes ke teater kontemporer atau avant garde sebagaimana di barat, industri seni rupa berinteraksi dengan teater. Menurut saya semua itu sebuah fenomena menarik. Dialektika antara kelas menengah kita dengan teater -- masih sebuah proses yang belum terbaca benar. Sebagai sebuah media yang mengkhususkan diri kepada teater, dramakala – menurut saya bisa meluaskan minatnya untuk membaca teater sebagai gejala sosial itu. dramakala juga akan amat membantu bila menurunkan tulisan yang mengulik bagaimana sesung-

guhnya gagasan-gagasan tradisi kita ternyata sanggup memberi sumbangan terhadap teater-teater manca. Misalnya opera Broadway Lion King karya

guhnya sangat berhutang budi pada Rendra? Julie Taymor masa mudanya dibentuk oleh orang-orang teater kita.

Para Peserta Monolog dramakala Fest 2012

Julie Taymor. Di Times Square, New York - tontonan ini sampai kini tetap laris. Pentas paralelnya juga dibuat di Jepang atau Australia. Di Singapura tahun lalu hampir sebulan penuh dipentaskan di Marina. Banyak penonton Indonesia yang saya tahu sengaja datang ke Singapore. Tapi tahukah mereka bahwa Julie Taymor sesung-

Ia nyantrik kepada Rendra. Ia melanglang ke Bali mendirikan teater bersama Ikranegara . Ia ke Yogja belajar kepada Fajar Suharno. Dalam sebuah bukunya ia mengaku bahwa Rendra-lah orang yang paling berperan dalam kehidupan teaternya. Rendralah-orang yang pertama kali meyakinkan dia bahwa dirinya mampu menjadi seorang sutradara.

Segenap Tim dramakala Mengucapkan Terima Kasih Kepada INDRAJA (Ikatan Drama Jakarta Barat) Atas partisipasinya dalam dramakala Fest 2012

Oleh :

Seno Joko Suyono Penulis dan Wartawan

Saya membayangkan dramakala bisa menurunkan liputan khusus tentang apa siapa Julie Taymor. dramakala bahkan bisa mewawancarai sutradara film Frida Kahlo ini mengenai Rendra . Jurnalisme teater belum berkembang benar sampai sekarang. Kritik dan resensi teater selama ini hanya terdapat di majalah dan korankoran. Itupun pada kebanyakan media tidak ditulis dengan serius. Hanya sekelas pemberitaan saja. Dan yang menulis adalah wartawan yang gonta ganti desk — tidak khusus wartawan seni. Belum ada sebuah media teater spesial yang intens mengulas ide-ide, gagasan dan bentuk-bentuk terbaru pemanggungan serta bagaimana teater berinteraksi dengan penontonnya. Mungkin dengan pemicu munculnya opera-opera lokal dan import tersebut di tengah hidup spartan teater underground kita -- dramakala bisa memulai itu.* (sjs)


BERITA UTAMA Edisi 8 - April 2012

3

“Monolog dramakala Fest 2012”

Tubuh, Narasi, dan Penonton

“Sebagai suatu pencapaian gagasan, dramakala Fest patut diacungi dua jempol.” Pedje, sutradara Teater Pohon

d

ramakala Fest telah usai digelar pada tanggal 28-29 Februari 2012, bertempat di STIKOM The London School of Public RelationsJakarta. Inilah peristiwa teater yang dimaksudkan sebagai ruang kemungkinan lain bagi semangat dan kreatifitas berkarya teaterawan. Sebuah ajang kompetisi yang diharapkan mampu memberikan pilihan-pilihan dan nuansa yang unik dan tidak sama dengan festival-festival teater yang telah ada. Kegiatan festival teater yang diselenggarakan oleh IDEAL (Indonesia Drama Educators Association) ini menampilkan 17 aktor pada kategori monolog. Berbagai gaya pertunjukan disuguhkan oleh para monologer selama dua hari pelaksanaan festival itu: realis, simbolis, ekspresionis, dan eksplorasi ketubuhan. Pentas-pentas monolog berlangsung di salah satu kelas STIKOM-LSPR yang disebut sebagai Drama Room. Dalam ruang yang relatif tidak seberapa besar itu, para monologer menjalin keintiman dengan publik penonton. Berikut ini sekelumit reportase dari kreatifitas yang ditunjukkan oleh para aktor monolog dalam dramakala Fest 2012. Geliat Tubuh Lewat permainan yang karikatural, mirip dengan pantomim, Anwari mengisahkan sesosok manusia sejak dia lahir hingga menemui kematian. Manusia itu lahir ke dunia dengan jeritan yang lucu, seperti suara dari tokoh kartun. Lalu dia masuk ke bangku pendidikan. Di sekolah, dia diharuskan untuk upacara, memberi hormat kepada bendera. Tidak cuma itu, dia juga diajari sembahyang dan mengaji. Ternyata, hidup ini hanya menjadi beban. Sosok yang diperankan Anwari itu kelihatan tidak menikmati aktifitas hidupnya. Kotak kayu yang biasa dipakai untuk mengangkut telur atau botol kecap dan saus itu menjadi satu-satunya properti pada pemanggungan Anwari. Kotak kayu itu mengalami perubahan identitas, mulai dari meja belajar sampai keranda. Anwari tampaknya ingin mengatakan bahwa manusia tidak pernah beranjak dewasa atau seringkali gagal memaknai hidup. Melalui permainan tubuhnya yang lentur, Anwari menuturkan absurditas manusia dengan jenaka dan kontemplatif. Tubuhnya mengkerut, menegang, bergerak lincah, dan juga hening-diam dalam khidmat. “Siapakah kamu? Inikah diriku?” Begitulah pertanyaan yang berulang kali dilontarkan oleh Hendra Setiawan. Hendra merangsek ke area penonton, mencari-cari dirinya, berharap menemukan dirinya dalam saku jaket

penonton. Tetapi tidak ada. Dimanakah dia yang dicari-cari oleh Hendra itu? Hendra memainkan seseorang yang kehilangan dirinya. Tubuh itu menjadi asing untuk seseorang yang berada di dalamnya. Keterasingan terhadap diri sendiri itu setidaknya terjadi dalam dua cara. Melalui rambut palsu dan kostum yang dipakai Hendra hingga interaksi Hendra dengan penonton. Tokoh yang dimainkan Hendra dalam monolognya itu, masih juga belum menemukan dirinya meskipun cermin tempat dia berkaca telah dipecahkannya. Dengan pecahan kaca pula, Rian Hamzah mengajak penonton untuk bercermin. Sebuah ajakan untuk merefleksikan diri, merenungi diri dalam kondisi kenyataan yang ada. Tubuh Rian jungkir balik dengan pecahan kaca di tangannya yang memantulkan cahaya lampu ke arah penonton. Berkali-kali dia merindukan ibunya, berbicara kepada ibunya yang entah berada dimana. Harapan ibu dan dongeng orang tua ternyata tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang melingkupi sang anak yang diperankan oleh Rian itu. Teks “ibu” menjadi perwakilan masa lampau yang terasa kontras dengan tubuh Rian yang bertelanjang dada. Waktu memang terus berputar, bergulir seperti butiran tepung yang keluar dari payung hitam Dayat Extro. Bola-bola kecil berjatuhan di sekeliling Dayat: waktu yang menghantarkan ketegangan, apapun bisa terjadi dalam hitungan detik dan kita tidak mengetahuinya. Dayat berlari, mungkin juga melarikan diri dari sesuatu. Atau dia berusaha keras menyelesaikan sesuatu. “Seorang lelaki mengiris waktu dengan tubuhnya yang berdebu,” demikian catatan sinopsis yang tertera dalam buklet pertunjukan Dayat. “Ia mengumpulkan tanda-tanda cuaca yang terburai dari tubuhnya sendiri. Membedah nafasnya dengan nafasnya sendiri, membedah wajahnya dengan wajahnya sendiri, membedah kelaminnya dengan kelaminnya sendiri.” Narasi Beberapa monologer menampilkan narasi dalam pertunjukan mereka. Jean Marais menjadi seorang lelaki tua yang kesepian setelah tidak ada lagi kesibukan-kesibukan yang dapat dilakukannya. Melalui suara serak dan bergetar, lelaki tua itu mengucapkan keheningan dengan lirih, “Kembali... magrib yang kudus mengembalikan ingatanku pada kebencian yang sama, kecemasan yang sama, magrib yang sama dengan magrib-magrib yang telah melewat di tempat ini, adakah magrib yang sama

menyadarkan kelupaanku pada kealpaan...” Dengan permainan yang khusyuk, konsentrasi penuh, Jean membawa penonton ke alam seseorang yang menjalani hari-hari tua nan menderita. Lelaki tua itu lalu menuangkan cairan pembasmi serangga ke dalam gelas dan menenggaknya. Ini menjadi ending yang halus, sekaligus tragis dan menyentak. Sementara Ady Santoso menyuguhkan ironi lapangan kerja yang tidak memberi peluang dan kesempatan lebih lebar lagi untuk banyak orang. Kondisi seperti itu melahirkan sosoksosok seperti Gembrot, tokoh yang diperankan Ady. Gembrot tidak memiliki keterampilan tetapi mau melakukan apa saja dengan imbalan uang. Lain lagi dengan Lina Erent. Aktris yang beberapa kali telah menorehkan prestasi dalam ajang Festival Teater Jakarta ini, berperan sebagai perempuan penjual kopi yang mengalami pemerkosaan di masa lalunya. Harapan-harapan akan kebanggaan terhadap anak-anaknya terganggu oleh masa silam yang suram itu. Tetapi, perempuan itu tidak mau menyerah. Dia berusaha menyalakan api semangat hidupnya, dengan terus berkeliling untuk menjajakan kopi. Kekerasan terhadap perempuan juga menjadi tema cerita pertunjukan monolog oleh Pikiyah. Dengan latar belakang tokoh sebagai tenaga kerja wanita (TKW), Pikiyah meneriakkan penderitaan TKW yang disekap di dalam sebuah ruang sempit. Permainan Pikiyah yang eksplosif seperti hendak menyebutkan deretan kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap TKW yang tidak kunjung habis. Dalam kompetisi monolog dramakala Fest 2012 yang didominasi oleh pemain pria ini, Lina Erent dan Pikiyah menjadi peserta perempuan yang memberi warna tersendiri, terlebih karena penampilan mereka yang penuh energi, sanggup bersaing dengan para pemain pria. Penonton yang Disentuh Monologer Galuh membagikan masker kepada para penonton. “Jangan biarkan mereka masuk tanpa masker,” kata Galuh kepada panitia dramakala Fest. Permintaan Galuh ini cukup mengundang rasa penasaran terhadap apa yang akan ditampilkannya. Penonton menuruti keinginan Galuh, pertunjukan pun dimulai. Ada pula monologer yang mencoba untuk melibatkan penonton menjadi bagian dari pertunjukan mereka. Kelas Drama Room yang merupakan tempat mereka berekspresi memang turut menawarkan godaan pelibatan audiens tersebut. Tetapi hal ini ikut men-

datangkan konsekuensi-konsekuensi untuk monologer. Yudhi, salah satu peserta, melakukan pemesanan yang ketat kepada panitia: tidak ada hadirin yang boleh keluar-masuk selama pertunjukannya. Yudhi berterus-terang bahwa hal tersebut akan sangat mengganggu konsentrasinya. Galuh dan Hendra cukup banyak melakukan intervensi terhadap penonton. Galuh menganggap audiens sebagai buah timun yang dicari-cari kancil. Hadirin ditelitinya, diperhatikan: manakah timun yang sehat dan enak? Zainal Abidin Domba, salah seorang juri, ikut merespon permainan Galuh. Monologer bisa saja mendapat reaksi yang tidak diduga-duga dari penonton. Hal itu membuat pertunjukan menjadi terbuka untuk kemungkinan yang tidak terencanakan. Set-Properti Minimalis Penampilan-penampilan monologer lain dalam dramakala Fest 2012 ini, seperti mengingatkan kembali tentang keutamaan keaktoran. Pertunjukan-pertunjukan mereka hadir dengan set-properti yang minimalis. Miftah yang memainkan penderita AIDS bergulat hanya dengan sehelai selimut. Sementara Andri menggunakan batubatu untuk menciptakan musik sebagai ritme pertunjukan. Lalu monologer Bei membuat perspektif ruang melalui perubahan posisi duduk. Begitu pula Noersan Guntur, Petrus, Pepeng, dan Busro Yusuf Busrok. Performa mereka lebih banyak mengandalkan keaktoran, lengkap dengan segenap modal tubuh, vokal, dan sukma, tanpa beban pada penggarapan set dan properti. Pemenang Setelah dua hari menyaksikan pergulatan ide dan kreatifitas dari para aktor, Dewan Juri yang terdiri dari Arswendo Atmowiloto, Andi Bersama, dan Zainal Abidin Domba memutuskan Anwari sebagai peraih monologer terbaik dengan didampingi oleh Yudhi dan Lina Erent sebagai nominator. dramakala Fest ini dicanangkan menjadi event tahunan yang terus-menerus berupaya menggali pencapaian kreatifitas yang unik dari teaterawan. Hal tersebut membuka kemungkinan bahwa menuju Dramakala Fest berikutnya, serangkaian workshop atau diskusi perlu diwujudkan dengan tema-tema khusus yang merangsang dinamika penciptaan karya pertunjukan.* (dm)


4

Edisi 8 - April 2012 BERITA UTAMA

“MUSUH POLITIK” JUARA, “WONG ASU” DAN “REPORTOAR AIR” NOMINE. “Pelaksanaan dramakala Fest secara keseluruhan sudah bagus. Karena ada ruang alternatif untuk pertemuanpertemuan antara civitas akademik dengan non-akademik yang masuk ke dalam ruangan akademik itu.” Rizal Nasti, ketua Indraja (Ikatan Drama Jakarta Barat)

B

erkaitan dengan pernyataan Jose Rizal Manua, salah satu dewan juri dramakala fest 2012, bahwa drama pendek bukanlah memendekkan drama yang tidak pendek, maka pertunjukan Musuh Politik oleh Teater Pohon sebagai grup terbaik peraih dramakala Award dalam dramakala Fest 2012 tampak melakukan hal itu. Maka, pertunjukan berlangsung dengan tingkat ketegangan dramatis yang cenderung dipaksakan. Sehingga Sang Jenderal yang selalu tegang terus menerus memproyeksikan vokal dan stilisasi tubuh menjadi serak, tegas dan kaku, menjadi type karakter militer yang licik dan keji. Sementara otot dan urat tubuh seolah dipaksa berkontraksi, seakan bisa menjadi klimaks tiada tara kalau darah akan muncrat. Drama-sastra “Musuh Politik” seakan bergeser ke drama tubuh “Sang Jenderal”, membawa karakter itu pada keasingan bagi ruang dan peran lain, hingga waktu hampir menjadi batu. Stage Corner Community sebagai nominator Dramakala Award 2012 melakukan adaptasi dari cerita pendek WongAsu karya Seno Gumilar Aji Dharma, menjadi drama yang tidak berpijak pada konvensi kebanyakan. Tiga tudung serupa kukusan nasi yang dibalik, menjadi sumber cahaya seperti lampion membentuk konfigurasi tiga lingkaran semu di bawahnya. Peran ibu dan anak lelakinya yang bertingkah laku seperti anjing dan bekerja sebagai pemburu anjing, harus memendam dendam karena dianggap sebagai “wongasu” secara “wongasu” dengan sangat “wongasu”oleh masyarakat. Siapa yang mampu me”wongasu”kan dengan sukses selain “wongasu” itu sendiri ? Drama tiga puluh menit yang mengajak kita merenungkan kehidupan saat ini, masih memiliki beberapa kelemahan aksentuasi dramatik dari teknik artikulasi yang mampu diusahakan. Apakah itu disebabkan oleh keberpihakan penggalian dramatik yang menitik-beratkan pada psikologi pemeranan yang berlebihan? Walau pun begitu, bentuk-bentuk stilisasi tu-

buh dan suara yang dilahirkan (baca :ekspresif) sudah mendorong pembentukan karakter peran ke arah type yang koreografis cukup mampu menggelitik bawah sadar untuk merasakan “bulu kuduk berdiri” menyaksikan pertunjukan. Teater Gates dari Rangkasbitung sebagai nominator Dramakala Award 2012 menyajikan pertunjukan yang berjudul Reportoar Air. Drama yang merupakan karya eksplorasi filosofis

Pentas “Musuh Politik”

tentang air dari beberapa bentuk dan fungsinya dalam kehidupan ini, dimainkan oleh beberapa remaja dengan setting menutup lantai panggung dengan plastik untuk menampung air yang tumpah. Pertunjukan mengelola idiomidiom tradisi dan modern menjadi koreografi individual dan gruping yang menyusun kosa kata untuk sastra pertunjukan dari tubuh dan benda-benda, seperti daun pisang, tong dan peranperan dalam pendekatan type karakter yang memberi efek satir menjadi kritik sosial yang renyah dan kontemplasi puitik yang terkadang kehilangan sugesti dramatiknya. Bobot filosofis yang terkandung seolah tidak dipertimbangkan tubuh-tubuh muda yang beraksi untuk itu. Pertunjukan ditutup dengan tayangan ombak lautan pada slideproyektor, seolah ada susunan nilai bahwa, awalnya mengalir dari hulu. Pilar

dramakala Fest 2012 memiliki kecenderungan mendapat apresiasi yang baik, tapi belum berlandaskan sikap konseptual yang proporsional.

Satu jam persiapan untuk melakukan pertunjukan menjadi tidak mencukupi, mencipta lalulintas yang terburu-buru, tapi tidak memaksimalkan keadaan, dari gagasan dan konsep yang seha rusnya sudah dimiliki sampai penyusunan staf, pembagian tugas dan agenda kerjanya. Keadaan yang memotivasi sikap kreatif yang membiarkan seadanya atau berimprovisasi sekadar kegenitan kosmetik semata. Keadaan yang terbentuk dari pilar-pilar, yaitu: manajemen konseptual akademik yang mengelola tata tertib gedung dan pemanggungan, seolah menjadi polisi penjaga konstitusi, mengawasi dengan potensi yang cenderung menjadi pembatas yang memisahkan. Pilar lainnya adalah manajemen dari pengetahuan otodidak yang cenderung sensitif dan subyektif. Hal tersebut mengingatkan pada tayangan televisi, tentang iklan pembersih gigi, di mana ilmiah dan alamiah diperdebatkan, seperti sebuah kerinduan dapat berpadu atau berkeseimbangan. Uniknya, yang menjadi tokoh dalam iklan itu adalah anakanak. Seolah menjadi sindiran buat orang pintar dan orang dewasa. Hal itu mengingatkan kita pada kondisi saat ini. Dan kita, seperti berada di persimpangan, dimana jalan menuju kepintaran dan kedewasaan menjadi dua jalan yang berbeda. Subyektif, obyektif. Dimana posisi super-obyektif yang ditawarkan Stanislavsky dalam metode akting realismenya? Bukankah belajar teater adalah membaca pelajaran kehidupan itu berarti manfaatnya berguna untuk kehidupan? Apakah kegunaan itu sekadar penyematan status dan hasil material, yang mengibarkan bendera legitimasi idealisme identik dengan kemiskinan ? Komunikasi Menurut Rizal Nasti, ketua Indraja (Ikatan Drama Jakarta Barat), pelaksanaan Dramakala Fest secara keseluruhan sudah bagus. Karena ada ruang alternatif untuk pertemuan-pertemuan antara civitas akademik dengan nonakademik yang masuk ke dalam ruangan akademik itu (baca: lingkungan kampus The London School Of Public Relation). “Ini pertemuan luar biasa. Tapi untuk fasilitas pertemuan, panitia mesti memikirkan lagi secara matang. Panitia harus memikirkan tempat yang representatif sebagai pertemuan besar. Itu artinya, bukan lantas pindah tempat dari London School & Public Relation. Tapi bagaimana caranya pihak akademik bekerjasama dengan panitia

harus betul-betul memiliki kemampuan menyiapkan semua itu. Panitia harus berpikir keras bagaimana memfasilitasi pertemuan dari potensi sekolahan dengan yang bukan sekolahan. Jangan sampai tidak nyaman seperti penyelenggaraan dramakala fest kali ini, terutama bagi masyarakat umum yang menjadi penontonnya. Tapi, karena pelaksanaan yang perdana, maka bisa dimaklumi. Tempat yang sempit oleh gang-gang, dan padat orang lalu lalang. Lalu lintas ini jadi seperti pasar,” ujar Rizal Nasti di sekretariat Indraja komplek Gelanggang Remaja, Jakarta Barat. Sehubungan itu, Rizal meminta panitia agar bisa melanjutkan kegiatan seperti ini. Oleh karena itu, persiapan harus dilakukan jauh-jauh hari, sehing-

Pentas “Wong Asu”

ga bisa mengatasi semua masukanmasukan penonton maupun peserta dari penyelenggaraan yang sudah dilaksanakan. “Drama pendek dan monolog itu sub-tema, yang penting sistem rekruitmen peserta pun harus diperbaiki. Panitia harus ketemu langsung dan cek kondisi grup. Pelaksanaan kurasi kali ini tidak akurat, sehingga ada grup yang tidak bisa ikut akibat pengecekan yang tidak maksimal. Jadi, penjelasan akan pelaksanaan harus ditekankan pada tema yang mempertemukan dua sikap yang berbeda. Padahal The London School Of Public Relation khusus mengelola komunikasi. Bukankah sudah seharusnya mampu berkomunikasi secara baik pada calon peserta. Kenapa kostum panitia dan peserta harus berbeda? Antara wajah-wajah yang berpakaian rapih dengan wajah-wajah meratap. Jadi harus digagas pertemuan besar yang lebih siap. Panitia tidak boleh gagap ketika berhadapan dengan peserta yang urakan dari nonakademik, karena ini adalah realitas,“ tukasnya.* (ded, her).


BERITA UTAMA Edisi 8 - April 2012

5

Jose Rizal Manua Juri Drama Pendek

Keragaman Tema dan Pencapaian Eksplorasi Kesan umum yang menonjol adalah semangat berteater yang tinggi dari semua peserta. Namun semangat itu belum didukung oleh kemampuan mempresentasikan atau merepresentasikan lakon secara utuh. Juga tentang bagaimana menghadirkan suspance untuk mengundang keingin-tahuan penonton, berdasarkan struktur dramatik yang dibangun. Capaian kewajaran yang bertolak dari karakter tokoh dan hubungan antar wataknya, nampak belum digali secara mendalam. Dan logika ruang kadang tidak bertolak dari sebab-akibat. Sehingga justifikasi pentas terkesan kurang mantap. Festival berlangsung 28 – 29 Februari 2012 di Prof. DR. Djajusman Auditorium and Performance Hall STIKOM The London School of Public Relation Jakarta. Berikut ulasan singkat juri atas grup peserta.

Grup Pemenang Teater Pohon disutradarai Pedje. Menggarap “Musuh Politik”, adaptasi dari lakon “The Game of Chess” karya Sawyer Goodman. Pertunjukan dibuka dengan siluet dua orang saling membelakangi, tiba-tiba pistol meletus. Darah muncrat di layar. Grup ini berhasil meraih grup terbaik, sutradara terbaik dan pemain pria terbaik (Pedje yang berperan sebagai Harry Mandera). Dua grup yang mendapat nominasi terbaik adalah Teater Stage Corner Community, disutradarai Dadang Badoet dan Teater Gates (Rangkasbitung), sutradara DC.Aryadi. Teater Stage Corner Community mengusung lakon “Wong Asu”, adaptasi Ratu Selvi Agnesia dari cerpen Seno Gumira Ajidarma. Panggung temaram, tampak 3 buah kukusan nasi digantung sebagai lampion. Di tengah agak kebelakang duduk diam di atas ember

hitam, seorang wanita yang sedang melahirkan. Dimainkan dengan baik dan intens oleh Yohana yang mendapat penghargaan sebagai pemain wanita terbaik. Teater Gates mengusung lakon “Repertoar Air” karya/sutradara DC. Aryadi. Grup ini mencoba mengeksplorasi alam dan lingkungan. Tema dan Bentuk Grup peserta lainnya menunjukkan kwalitasnya tersendiri. Seperti Teater Indonesia yang mengusung lakon “Lukisan Hitam Di Atas Kanvas Hitam” karya Ichal Vrigar dan disutradarai Budi Ketjil. Teater Studio Indonesia mengusung lakon“The Doctor” karya NN, sutradara Chandra KudapawanaFarid Ibnu. Pementasan dibuka dengan manusia-manusia yang membeku. Teater Stageman Art Indonesia, judul lakon “Mimpi dan Sebongkah Balok Es” karya Ayak MH, sutradara Anto

Ristargie. Latar peristiwa digambarkan dengan meja rias di kanan pentas dan balok es di kiri pentas. Teater Alamat, mengusung lakon “Konsep” karya dan sutradara Budi Yasin Misbach. Kondom menjadi sebab pertengkaran. Teater Topeng Arena, lakon “Lusivert”, karya/sutradara Sriwidodo. Adeganadegan berlangsung dalam bentuk siluet, seperti dalam wayang. Teater Merah Maroon mengangkat tema “fabel”, berjudul “Kucing Liar Belang Sembilan” karya/sutradara Tmr Joule. Bercerita tentang kucing-kucing untuk mengkritisi moral manusia. Teater Tukang mengusung lakon “Mencari Jati Diri”, karya dan sutradara Nanang Hamzah. Diawali dengan empat lelaki berjajar di belakang panggung, membelakangi penonton. Ketika mereka berbalik, nampak mulut-mulut mereka yang dilakban hitam.* (jrz)

KHASANAH

dramakala Fest: Menghidupkan Roh Berteater

A

da yang tidak biasa di Kampus B, akhir Februari 2012 lalu. Puluhan orang turun dari lantai tiga ke lantai dua, untuk kemudian satu jam kemudian naik lagi. Dan kemudian turun lagi. Dan naik lagi. Mulai dari siang hingga petang.Gerakan naik turun, berlangsung selama dua hari. Yang tidak biasa itu adalah karena mereka yang naik turun selama ini dikenal sebagai pelaku teater atau pekerja teater, atau dramawan. Bisa sutradara, pemain, penata rias, atau penonton. Mereka ini selain berasal dari Jakarta, juga dari Banten, dari Tasikmalaya, Surabaya bahkan Madura. Peristiwa ini terjadi saat diselenggarakan dramakala Fest, festival teater yang membuat adrenalin dunia teater terpompa semangatnya. dzzzramakala : The One and Only Sebelumnya perlu dijelaskan dulu. Yang dimaksudkan Kampus B, adalah salah satu kampus dari STIKOM The London School of Public Relations-Jakarta (LSPR), yang berlokasi di Sudirman Park, Jakarta. Perguruan tinggi yang memahami dan mengelola bidang komunikasi ini memang banyak dikenal menggeluti pentas drama.Tak kurang dari seratus judul pentas pernah dipanggungkan. Dan selalu bertambah jumlahnya, karena setiap tahun puluhan pentas berlangsung, dimainkan oleh para mahasiswi-mahasiswa. Di kampus lantai tiga, terletak sebuah

Ruangan bernama Prof. Dr. Djajusman Auditorium and Performance Hall, yang saat itu menjadi tempat berlangsungnya festival drama pendek. Sedangkan di lanta dua, ada ruang bernama Drama Room, tempat berlangsungnya festival monolog. Karena tak mau ketinggalan, mereka yang selesai nonton drama pendek, turun ke bawah untuk menonton monolog. Dan kembali naik. Jarak jeda waktu diatur dan memungkinkan untuk itu.

diskusi secara nasional, dan media secara khusus. Keterpaduan ini lebih memungkinkan mewadahi dan mengembangkan peristiwa berteater di negeri yang nyaris meninggalkan akar budayanya sendiri. Ironi Suasana Berteater Yang namanya festival teater saat ini agak-agak langka, setelah dimanjakan di era 70-an dengan berbagai kegiatan oleh Dewan Kesenian

“Gerakan naik turun, berlangsung selama dua hari. Yang tidak biasa itu adalah karena mereka yang naik turun selama ini dikenal sebagai pelaku teater atau pekerja teater, atau dramawan. “ Kegiatan ini bertajuk dramakala Fest, atau Festival dramakala, yang diambil dari nama tabloid khusus mengenai teater. Barang kali pula dramakala adalah satu-satunya media yang terbit berkala secara khusus membahas soal-soal teater. Sebagai media the one and only, diharapkan sekaligus menjadi newsletter, menjadi media utama. dramakala sendiri diterbitkan oleh IDEAL, Indonesia Drama Educators Association, di bawah upaya LSPR. Yang menarik dari asosiasi semacam ini, memberi kemungkinan untuk ada, untuk menjalin hubungan dengan asosiasi serupa di luar negeri. Dengan kata lain kemungkinan perkembangan teater menemukan pijakan kokoh. Baik dari segi organisasi, adanya pementasan, atau bahkan festival, serta

Jakarta. Mulai dari lomba penulisan naskah drama setiap tahun, festival teater di lima kota di Jakarta, disusul diskusi atau seminar tingkat nasional. Di samping pementasan dari “dewa teater” seperti Rendra, Teguh Karya, Arifin C. Noer, dan pentas rutin di berbagai kota. Masa keemasan teater surut seirama dengan kepulangan abadi, dan sepinya sanggar yang didirikan. Masih ada grup atau kelompok teater sebagai kelanjutan, di antaranya adalah Teater Koma yang ditangani oleh Ratna dan Nano Riantiarno yang masih berkarya sampai saat ini.Selebihnya sayup-sayup tapi tak sampai. Kampus-kampus juga kota-kota seperti Medan, Bandung, Makassar, Solo, Yogya yang dulu merupakan produsen teater, menjadi mandul. Negeri ini nyaris menjadi neg-

Oleh :

Arswendo Atmowiloto Penulis dan Budayawan

eri tanpa teater, justru di saat jenis sinetron dari 10 stasiun siar bisa mencapai 37 jam sehari. Ironis memang, tapi inilah gambaran yang timpang dan terpampang di depan kita. Ada satu dua pentas drama musikal seperti Laskar Pelangi – diteruskan dari novel dan film yang sukses, atau bertumpu pada tradisi seperti Matah Hati , namun ini bukan digerakkan suasana berteater, melainkan bertumpu pada pribadipribadi. Maka dramakala Fest menjadi sesuatu yang istimewa : sebagai wadah terhormat untuk mengekspresikan diri. Beberapa peserta dari daerah yang berombongan naik bis, mengikuti festival bukan karena hadiah semata, melainkan karena ruang berskala nasional tidak ada. Penggiat teater yang mengikuti festival dari generasi yang sudah lama berkiprah, dan beberapa wajah-wajah baru—tidak baru sama sekali. Dan kalau penyelenggaraan ini bisa kontinyu setiap tahun misalnya, suasana dan atmosfer berteater akan menemukan kekuatan yang sebenarnya. Suasana yang memungkinkan kreativitas inilah yang diperlukan. Pengalaman pribadi saya menuliskan naskah teater—antara lain Bayiku yang Pertama, Sang Pangeran, Surat Ketiga dari Jakarta, Sang Pemahat—untuk anak-anak-- lahir dalam kondisi penulisan sayembara. (Bersambung…)


6

Edisi 8 -April 2012 SEBELUM PERTUNJUKKAN

Teater Stasiun

”Tragedi Kaum Sabun Colek hanya mendapat perhatian bila sudah membuat got mampet dan sebarkan aroma tak sedap” Sekilas Teater Stasiun Berdiri tahun 1993 atas prakarsa para aktifis karang taruna kelurahan Angke. Nama stasiun sendiri diambil lebih karena kedekatan tempat tinggal teman-teman dari stasiun angke dipinggiran Jakarta Barat.Setelah tahun 1994 keanggotaan teater stasiun bukan cuma hanya kedekatan tempat tinggal, tapi lebih karena kedekatan pemikiran dan idealisme. Beberapa yang pernah dimainkan oleh grup ini, antara lain, Fajar Sadiq (Emil Sanosa), Tanda Silang (Eugene Oneil), Pinangan (Anton P Checov), Karakhoush (Vredy Kasta Marta), Bui (Akhudiat), Nyanyian Angsa (Anton P. Checov), Teroris (Albert Camus). Selain pernah menjadi juara umum pada Festival Teater Karang Taruna se-Jakarta Barat tahun 1993. Teater Stasiun pada tanggal 11 april 1996 dinobatkan sebagai grup senior karena sudah berhasil selama tiga (3) kali berturut-turut sejak tahun 1994, 1995 dan 1996,

menjadi juara pada Festival Teater Jakarta tingkat DKI Jakarta. Tentang Naskah Kata “sabun colek” mengingatkan kita pada deterjen yang umum dipakai masyarakat pinggiran, kaum saluran got mampet, penghuni rumah petak kontrakan kumuh semerawut yang terhempas dan putus dari narasi besar kebijakan politik. Lakon sabun colek mengandung pengertian kisah yang mengetengahkan situasi dan kondisi yang tanpa pilihan. Seperti menegaskan kestatisan antara harapan dan keputusasaan. Dilema pada situasi hidup yang berputar seperti lingkaran, tokoh seperti terikat pada situasi ketidak bebasan, hingga waktu seakan berhenti. Dipenuhi logika dan perasaan yang sukar dicerna akal. Kisah yang remeh temeh, ala kadarnya, dan kurang terperhatikan oleh kita. Kisah yang

Sutradara : Edian Munaedi

sering berlalu tanpa tanda baca dari penyimak yang cenderung mengerling pada kehidupan kaum menengah atas. Berbeda dengan lingkungan saluran got, merupakan pojokan sampah yang menggunung dan bau menyengat. ”Tragedi Kaum Sabun Colek hanya mendapat perhatian bila sudah membuat got mampet dan sebarkan aroma tak sedap” Konsep Penyutradaraan. Teater Stasiun kali ini coba mengangkat persoalan nyata dari lingkungannya sendiri. Dengan mengamati dan berinteraksi, teater stasiun menemukan beberapa persoalan yang kami rangkum dalam beberapa pragment dengan memberi judul: 1. Knalpot Bajaj. 2. Got mampet 3. Ojek Prihatin dengan judul besar “Repertoar Sabun Colek” Pada dasarnya setiap pragmen mempunyai kekuatan masing-masing

dengan persoalan yang berbeda tetapi mempunya pesan dan kekuatan rasa yang sama. Persoalan perempuan menjadi catatan tersendiri pada pertunjukan kali ini. Tiga fragment ini kami ramu dengan keseimbangan artistic yang bergerak dan minimalis. Baik pada benda benda maupun pada blocking pengadeganan. Akan ada benda benda yang datang dan pergi. Masingmasing benda akan menjadi penanda dan bersinergi dengan teks-teks lain, seperti manusia, kalimat, cahaya, warna dan bunyi. Ini upaya mencari arus bawah persoalan orang bawah. Kekuatan setiap fragmen terletak pada bahasa keseharian mereka, dari mulai pngucapan, tekanan maupun kebiasaan mereka yang masih menggunakan bahasa ibu. Disamping keluguan logika pada setiap tokohnya akan menjadi penguat lain pada problem kaum pinggiran ini.

Suasana Latihan

BERITA UTAMA

Andi Bersama Juri Monolog

A

nwari memang mengungguli kedua rekannya itu yang keduanya pemonolog asal Jakarta. Ia tidak menggunakan naskah cerita. Hampir sepenuhnya pencapaian-pencapaian artistiknya bertumpu pada eksplorasi tubuhnya. Teks hanya selintasan dimanfaatkan untuk menguatkan momen-momen dramatik yang bermunculan hasil dari eksplorasi tubuhnya. Ia paham persis betapa tema “kelahiran” janin yang diberi judul Gen akan kuat manakala momen-momen dramatik yang tercipta akan menguatkan bangunan situasi, sepenuhnya bertumpu pada kelenturan otot-otot dan gelombang ritmik energi plus indrawi-indrawi dari tubuhnya. Untuk pencapaiannya ini, ia tampak bersungguh-sungguh, total pada fokus irama ritmik gerak janin dalam rahim. Totalitas konsentrasinya tampak kuat pada sisi ini. Ditunjang pula oleh penguasaan otot-otot tubuhnya yang cukup lentur, pada gilirannya

Anwari Menang, Lina, Yudhi Nomine ruang panggung (Drama Room) di rangkaian momen-momen dramatik lantai tiga The London School of Public bergelinjangan menyertai teks-teks Relation berukuran sekitar 4 X 6 m – yang mengangkut perjalanan cerita. tempat tujuh belas pementasan mono- Keduanya bermain rileks. Sosok tokoh log- dilangsungkan, sangyang menjadi fokus penggup memunculkan imaji bak gulir teks cerita mereka rahim besar janin. Tentu kuasai. Dalam hal satu ini, latihan yang tidak sebentar Lina dan Yudhi memiliki poin adalah kunci keberhasilanseimbang. Keduanya berhanya ini. sil menciptakan bangunan Dua rekan Anwari, situasi dengan fokus pada Lina Eren dan Yudhi Kurnipergeseran-pergeseran awan, tampak belum sebersituasional dengan sang hasil Anwari menciptakan sosok terus hadir di dalamimaji ruang panggung demi nya. Maka alur cerita pun menguatkan situasi dramajadi jelas maksud dan pesan Yudhi K. “Tertawa” yang ingin tersampaikantik dari cerita teks yang masing-masing dibawakannya. Lina Eren nya. mengusung cerita Ipoh karya Arthur S Para pemonolog yang belum Nalan dan Yudhi mengusung Tertawa beruntung, sebagian besar yang terlikarya Yudhi sendiri. Latihan yang rela- hat adalah masih tampak relatif kurangtif belum seketat Anwari agaknya yang nya kesungguhan dalam latihan, terumenyebabkan kedua pemonolog ini tama ketika momen-momen dramatik belum berhasil menciptakan seluruh meminta perhatian penuh untuk ter-

open-i, tersusun dengan nyaris tanpa bolong-bolong. Tapi di luar mereka adalah Hendra Setiawan yang tampil ketat dengan pencapaian-pencapaian eksplorasi tubuhnya. Yang belum meyakinkan muncul dari pencapaian eksploratif dalam bentuknya yang imajinatif adalah sesuatu yang disebutsebut dalam teks sebagai yang telah melakukan penyusupan-penyusupan ke dalam jiwa sang sosok yang pada gilirannya telah menghilangnya jiwa “tubuh yang asli”. Pencapaian imaji ini agaknya yang menghalangi sang sosok belum tampak rileks bermain dalam penyusuran ke ruang-ruang penonton. Yang juga cukup menonjol dalah Galuh dan Pikiyah. Keduanya memiliki kesanggupan tampil menyertai Hendra Setiawan. Galuh belum seluruhnya berhasil membangun situasi tekstual. Sementara Pikiyah cenderung terlalu lancar dalam permainannya.* (ab)


PANGGUNG LUAR JAKARTA Edisi 8 - April 2012

Jalan Panjang ke Ruang Publik

7

Kondisi manusia modern Indonesia di perkotaan, besar-menengah-kecil telah memasuki kondisi di mana dirinya hampir-hampir menjadi sejenis robot dari suatu sistem produksi yang dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan kapital. Dari lingkungan tradisi yang tak sepenuhnya dipahami dan dijalani secara intensif akibat moderenisme yang sepotong potong, dan pada sisi lain tata ruang modern di dalam dunia pendidikan kita, terasa artifisial, maka muncullah individu-idividu yang serba gugup jika berhadapan dengan ruang lain, bahkan yang semula menjadi cikal bakal dirinya: tetangga dekat atau warung di seberang kampung. Perubahan tata ruang akibat politik-ideologi pembangunan membuat seseorang tak lagi bisa menyapa dengan akrab secara personal; pertemuan bersifat professional dan di antara itu terdapat berbagai stempel yang menjadi tameng yang membuat seseorang tak lagi bisa kita temui secara otentik. Kondisi manusia modern Indonesia di perkotaan, besar-menengahkecil telah memasuki kondisi di mana dirinya hampir-hampir menjadi sejenis robot dari suatu sistem produksi yang dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan kapital. Dan di situ pulalah kehidupan kesenian kita, khususnya teater, mengarungi arus itu dengan dalih yang bersifat copy paste: tak penting benar argumentasi mendasar, yang diutamakan bagaimana meraih sebagian, syukur, jika memenuhi seluruh biaya produksi. Itulah juga yang menjadi realitas, kenapa banyak grup yang disebut sebagai grup-grup kebanggaan kini hanya bermain dari satu proposal ke proposal lainnya dengan harapan funding bisa dirayunya, sebagai upaya untuk melanjutkan kehidupan kesenian, betapapun beban nista yang dipikulnya. Tentu, kita bisa melacak seja-

rah tata ruang sosial kita dalam beberapa dekade terakhir, yang dimulai oleh rejim Orba, dan dilanjutkan oleh rejimrejim lainnya: menjadi komoditas, dan paling mendasar ketika sistem bersifat paranoia akibat militerisasi dan kaum sipil yang bersifat fundamentalis, mengakibatkan tubuh sosial dan personal menjadi kambing hitam di dalam tata ruang kehidupan: kecurigaan bermunculan setiap saat, dan di antara itu, pat gulipat dalam memandang tata ruang ikut dimainkan: birokrasi dan politik perijinan peninggalan rejim Orba masih berlaku sebagai alat kontrol terhadap warga, dan memiliki dampak ekonomis: ‘amplop’ menjadi tujuan bagi pengelola wilayah sipil, polisi maupun militer. Itulah gambaran yang masih berlaku dan menjadi bagian dari kehidupan senibudaya, khususnya seni pertunjukan (baca: teater), yang dalam hal ini, kasus di Padang Panjang, Sumatera Barat, ketika jaringan teater di kota itu yang dimotori oleh komunitas Sakata ingin menyelenggarakan peringatan World Theatre Day 2012, tanggal 26-27 Maret, dengan tema Panggung Publik Sumatera. Tema ini menjadi sesuatu yang penting bagi orang teater dan warga Padang Panjang, sehubungan dengan upaya bagaimana teater modern bisa memasuki ruang-ruang publik di kota yang memiliki sebuah lembaga pendidikan seni, ISI (Institut Seni Indonesia), yang selama ini dituding “hanya bermain di lingkungannnya sendiri, dan masyarakat sekitarnya tak mengenal produk atau kegiatan lembaga pendidikan yang dikenal di dunia kesenian”.

Singkat kata, ingin menyapa, berdialog dengan lingkungan sosialnya dengan cara yang lebih konkrit. Namun, niat baik nampaknya tak selalu mendapatkan sambutan semestinya. Realitas sosial politik di selingkungan birokrasi sipil, polisi-militer masih menggunakan kaca mata kuda rejim Orba, menganggap kegiatan itu membutuhkan perijinan. Dan dibalik perijinan, tentu saja pat gulipat, betapapun Wakil Walikota Padang Panjang telah merestui dan ikut mendukung kegiatan itu. Maka, berbulan-bulan persiapan berbagai grup dan pekerja teater secara harus berhadapan dengan birokrasi yang tak acuh. Di Stasiun Padang Panjang, salah satu ruang yang ingin digarap, terpaksa ditinggalkan, karena pengelola stasiun meminta bayaran sebesar tiga juta rupiah, sementara sebuah lapangan yang dikelola oleh instansi militer, koramil, dibalik dalih birokrasi ini dan itu, ujung-ujungnya meminta biaya, dan beberapa ruang lainnya idem ditto. Namun, di antara birokrasi yang bebal dan korup, nampaknya sebagian warga masih memiliki kecerdasan kultural, dan dengan terbuka menerima grup teater dan monolog serta mime theatre untuk hadir dihadapan mereka, dan dengan antusias ikut mengelola ruang yang akan diisi oleh pekerja kesenian. Di Pasar Sayur Padang Panjang, grup Ruang 9 yang menyajikan “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” karya Arifin C. Noer, dan mime theatre yang mengusung “Batu” dari hasil riset di bekas lokasi pertambangan batubara

Sawahlunto disaksikan oleh sekitar dua tiga ratus warga. Sementara itu, sehari sebelumnya Sakata menyajikan lakon disebuah pertambangan batu kapur Bukit Tui dengan tema dan bahasa lokal “Dongeng Mande Dari Bukit Tui” walaupun hanya beberapa warga pengolah batu kapur, namun terasa akrab. Dan yang paling menarik, monolog “Complicated” karya Kurniasih Zaitun, dengan pola tukang obat, terasa menjadi bagian dari kehidupan Kompleks Pertokoan Pasar Padang Panjang. Sambutan warga nampak antusias pada beberapa sajian di halaman Gedung Sjafei, khususnya garapan Yusril Katili, “Orang-Orang Bawah Tanah”, yang diawali dengan iringan musik dari kampus ISI-PP ke lokasi, yang memancing minat warga untuk mengikutinya. Sementara itu beberapa monolog dan performance art nampak dinikmati karena unsur interaktif dengan publik. Walaupun untuk monolog “Malin Kundang” karya Lee Production terasa gagap. Dan kegagapan itu tentu dirasakan bukan hanya oleh mereka, tapi kita semuanya, karena segregasi sosial semakin kuat. Dalam konteks masalah itulah, teater mesti kembali menyusun strategi kehidupannya, menciptakan relasi-relasi baru yang didasarkan kepada sejarah sosial dirinya. Jika tidak, dia akan senantiasa seperti ikan di dalam akuarium, hanya menjadi hiasan. Halim HD. Networker Kebudayaan, di Solo.

SETELAH PERTUNJUKKAN

Teater Madania Pentaskan “Badai Matahari”

Kabar Teater Dari Hasil Belajar Pengembangan Anak Didik di Sekolah Standar Internasional

13

April 2012 jam 19.00 di lobi gedung dipamerkan lukisan siswasiswi, sebelum pertunjukan berjudul Badai Matahari, sebuah adaptasi naskah “Mencari Taman” karya Noorca M. Massardi, yang merupakan produksi ketiga Teater Madania akan disajikan. Tampak hadirin yang didominasi orang tua siswa-siswi telah meramaikan ruangan. “Sekolah Madania menyadari teater adalah pelatihan bekerja dalam sebuah tim. Juga membelajarkan disiplin, kepedulian pada sekitar, baik terhadap lingkungan, suasana mau pun orang lain. Dengan teater, pelajar belajar menyimak persoalan, lalu mengekspresikan diri secara terkendali. Dengan menampilkan teater sebagai bagian dari kegiatan sekolah, Madania berusaha tidak hanya mencerdaskan pelajar, tapi juga mengembangkan pribadinya yang berkarakter dengan teater” (Putu Wijaya) “Di sekolah Madania sangat ditekankan berkembangnya sikap inklusif dan pembentukan karakter, mengingat anak-anak kita adalah pewaris dan penerus perjuangan bangsa yang se-

cara kultural dan agama sangat pluralistik. … Sebagai calon-calon pemimpin, sejak dini mereka perlu kita siapkan untuk menghadapi realitas sosial yang demikian komplek dengan bekal karakter yang kuat dan sikap pembelajar seumur hidup, tanpa disertai keunggulan moral dan intelektual, alam Indonesia yang kaya raya ini tidak akan menjamin bangsa ini sejahtera dan hidup bermartabat. … (Prof. Dr. Komaruddin Hidayat) Saat penonton memasuki ruang teater, Master of Ceremony, Shahnaz Haque menyambut dengan ucapan selamat datang dan terima kasih atas kesediaan hadir orang tua siswa-siswi. “Kalau pun setelah lulus, anak-anak kita tidak menjadi seniman, minimal mereka telah merasakan menjadi anak panggung. Suatu ketika mereka berhasil menjadi direktur perusahaan, mereka akan merasakan bahwa menjadi anak panggung itu menyenangkan. Dan mereka akan berbagi, memberi kesempatan pada anak-anak yang lain” ujarnya. Susunan duduk penonton mengarah pada pola pemanggungan prosce-

nium. Namun stage yang tidak tertutup tampak tidak menggunakan wings, lebih mengesankan teater arena. Tampak pilar-pilar gemuk dengan ketinggian gradatif (semakin ke belakang semakin tinggi), yang ditanam pohon kering diatasnya, berpola simetris di kiri-kanan-belakang panggung. Ada lingkaran besar serupa bulan tergantung dikanan atas menempel di backdrop hitam, yang dihadapannya tampak trap suatu ketinggian. Dibagian kiri tengah panggung tampak trap lebih pendek. Muncul pemain sejumlah lebih dari 120 orang seperti Opening Ceremony. Mereka adalah siswa-siswi dari jurusan Teater, Musik dan Art, mulai dari Grade 3 sampai Grade 12 dengan sutradara Abdul Aziz Wahyudi, S, Sn. Kisah dimulai dari anak bernama Kasih yang tinggal dikota padat dan bising, polusi udara, dan radiasi. Dimana sumber daya alam tidak dimanfaatkan dengan bijaksana. Keinginan orang tua agar anak-anaknya senang, nyaman dan bahagia tidaklah cukup. Maka, menjelmalah tokoh imajinasi dongeng anak mengejawantah lewat tokoh boneka, hewan dan alam seb-

agai sahabat anak, karena persahabatan adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Anak-anak bermain dengan ringan seolah tanpa beban ditiap pengadegan, pun dalam koregrafi, paduan suara, ensamble gitar dan biola menyusun kelancaran dramatik. Lingkaran bulan menjadi slide proyektor video cuplikan ungkapan orang-orang, guru dan orang tua. Tokoh Kasih, Sang Matahari dan Bulan berkesan berbakat aktris. Ada adegan para pemain turun dari stage dan mendatangi orang tua mereka, lalu menciumnya. Tampak kenyamanan anak-anak bermain dengan lincah dan gembira, meski pada saat bersedih. Tiada gading yang tak retak, begitu pun pertunjukan Badai Matahari yang tidak terdukung dengan penataan cahaya yang maksimal, seperti tampak pada beberapa adegan, ekspresi para pemain kekurangan cahaya. Balancing volume dan dimensi audio dari adegan yang live dengan komputer yang kurang mendapat perhitungan yang tepat. Selamat buat Teater Madania!* (ded)


8

la a k a m Edisi 8 - April 2012 GALERI FOTO dra 2 1 0 2 t Fes

media partner :


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.