Inovasi-Vol06-Mar2006

Page 1


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Majalah INOVASI ISSN: 0917-8376 Volume 6/XVIII/ Maret 2006

EDITORIAL

1

UTAMA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Revitalisasi Konsepsi Wawasan Nusantara Negeri di batas dua samudra menggenggam urat nadi ekonomi dunia Menelusuri Pola Pertumbuhan Industri Perikanan Laut Indonesia: Beberapa Catatan Agenda makro revitalisasi perikanan yang berkelanjutan Silang Persepsi Bertumbal Nelayan Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional) Tumpahan Minyak di Laut dan Beberapa Catatan Terhadap Kasus di Indonesia Berburu harta karun di laut

3 12 16 23 30 33 37 42

IPTEK 1. 2. 3. 4. 5.

Karakteristik dan potensi bioreaktor ikan Pangan Laut: Belajar dari Jepang Satelit Oseanografi Untuk Nelayan Pencemaran suara di laut Mekanisme Pemanfaatan Arowana (Scleropages formosus)

48 53 58 61 67

INOVASI 1. 2. 3. 4.

Menghemat Bahan Bakar dengan Magnet Portabel Liquid crystal elastomers sebagai otot buatan Bagaimana menentukan daerah resapan air tanah ? Perspektif Pertanian dalam Lingkungan yang Terkontrol

71 75 78 81

NASIONAL 1. 2. 3.

Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal Potensi Komunitas dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang: Menuju Restrukturisasi BUMN yang Menuaikan Hasil

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

87 90 95


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

4. 5. 6.

Menyimak Permasalahan Pajak Dalam Meningkatkan Jumlah Wajib Pajak Konstitusionalisme Populis Perspektif Pembangunan Wilayah Pedesaan

99 103 106

HUMANIORA 1. 2. 3.

Muslim indonesia, potensi tersembunyi menuju kejayaan bangsa bahari Awal Puncak Perekonomian Jepang MUI dalam kasus Ahmadiyah: Ditinjau dari Struktur Politik Indonesia

110 115 118

KESEHATAN 1 2. 3.

Penyakit Jantung Bawaan: Haruskah Selalu Berakhir di Ujung Pisau Bedah? Efektivitas Pemberian Kombinasi Vitamin B1, B6, B12 Per Oral Untuk Mengatasi Kelelahan Menyiapkan Perawat yang Siap Berkompetisi di Era Pasar Global

121 126 131

FORUM “Ekonomi Indonesia Pasca Reshuffle�

136

TOKOH

137

SUSUNAN REDAKSI

140

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

EDITORIAL

Reinventing Indonesia Dengan Kelautan Arif Satria arifsatria@gmail.com

Sejarah telah mencatat kita pernah besar sebagai bangsa bahari. Identitas sebagai bangsa bahari tentu tidak saja ditentukan oleh fakta geografis bahwa dua pertiga wilayah kita adalah laut, tetapi juga karena ternyata fakta geografis tersebut berimplikasi pada (a) fakta geopolitis, (b) fakta sosial ekonomis, dan (c) fakta ekologis. Ini perlu dipertegas mengingat seolah kini laut hanyalah merupakan fakta geografis semata. Kita selalu bangga akan luasnya laut kita. Padahal �ruh� laut yang menyimpan kekuatan geopolitis, sosial-ekonomis, dan ekologis seolah telah tercerabut. Pertama, secara geopolitis, wilayah laut kita masih rentan seiring lepasnya SipadanLigitan, tak jelasnya status blok Ambalat, Celah Timor, Pulau Pasir, dan seterusnya yang mengancam keutuhan wilayah kita. Kita berbatasan dengan 10 negara, dan sebagian besar perundingan wilayah perbatasan belum tuntas, yang tentu bisa menjadi bom waktu. Kedua, secara sosial ekonomis, aktivitas di laut masih dikuasai asing, dan seolah kita adalah tamu di rumah sendiri. Kapal asing masih terus mengeruk sumberdaya laut baik secara legal maupun ilegal. Diduga ada 7000 kapal asing yang beroperasi di wilayah laut kita, meski sekarang sudah mulai berkurang berkat kebijakan pemerintah. Kapal asing pula masih terus mendominasi aktivitas pelayaran untuk ekspor-impor, yang pangsa muatannya masih sekitar 90%. Tentu, sebuah ironi besar bahwa potensi sumberdaya hayati dan non-hayati yang cukup besar, namun kemiskinan masyarakat pesisir masih terus terjadi. Secara budaya, anak-anak sudah kehilangan semangat mencintai laut. Budaya cinta laut dapat direfleksikan dengan pemahaman sejak dini tentang dunia laut, kemampuan berenang, serta budaya makan ikan. Di Jepang, berenang merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai anak SD. Berenang menyeberang pulau saat musim panas merupakan hal yang biasa bagi

mereka. Pendidikan kebaharian mereka patut ditiru. Pemaknaan budaya bahari lebih jauh dapat dielaborasi menjadi pola sikap: kerja keras, terbuka, suka tantangan, egaliter, berani mengambil resiko. Meminjam istilah Damanhuri (1996), budaya bahari dengan sifat outward looking dan sejumlah pola sikap mental tersebut merupakan basis bagi etos kewirausahaan. Sementara itu, konsumsi ikan perkapita kita saat ini masih sekitar 23 kg/kapita/tahun, padahal Malaysia sudah mencapai 57 kg/kapita/tahun dan Philippines serta Thailand masing-masing 29 dan 28 kg/kapita/tahun. Budaya makan ikan kita masih rendah. Ketiga, secara ekologis, kita rela �menjual� harga diri bangsa ketika harus mengeruk pasir laut yang merusak lingkungan hanya untuk memenuhi kepentingan perluasan wilayah Singapura yang justru diduga mengancam kita secara geopolitis. Aktivitas daratan yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut masih sulit diatasi, baik oleh para pemodal besar (kehutanan, pencemaran industri, dsb) maupun nelayan kecil yang terus mengebom ikan. Lemahnya kita pada ketiga dimensi kelautan tersebut melemahkan jati diri kita sebagai bangsa bahari. Sehingga, upaya menemukan kembali jati diri sebagai bangsa bahari dapat dilakukan melalui reinventing terhadap tiga dimensi "ruh" kelautan yang telah hilang tersebut dengan satu visi besar. Visi besar tersebut punya tiga hirarki. Pertama, hirarki internasional, yang berisi upaya penguatan posisi dan kedaulatan kita di laut dalam berhubungan dengan dunia internasional. Secara geopolitis, isu batas wilayah mesti segera dituntaskan. Menurut PP No 38 Tahun 2002, ada 92 pulau kecil terluar yang memiliki titik pangkal dan berbatasan dengan negara tetangga. Dan dari 92 pulau kecil tersebut ada 67 yang berbatasan langsung dengan 10 negara lain. Upaya penggalian aspek sejarah dan penguatan hukum internasional sangat penting, dan diikuti langkah proaktif pembangunan 92 pulaupulau kecil di wilayah perbatasan tersebut. Dimensi geopolitis ini berimplikasi pada

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

1


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 dimensi ekonomi karena pada akhirnya menyangkut hak penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hayati dan nonhayati di laut. Selanjutnya, secara ekonomi perlu reposisi dalam perdagangan internasional hasil laut dan menyiasati forum WTO. Kalau dengan Vietnam saja kita sudah terancam, apalagi dengan Thailand dan Cina dalam perdagangan ikan dunia. Karena itu, perbaikan mutu produk dan strategi perdagangan adalah kuncinya. Dulu kita telah berjaya dalam perdagangan internasional, yang kini mesti kita kembalikan lagi. Secara ekologi-politik, keterlibatan kita dalam berbagai Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang mengelola sumberdaya perikanan regional seperti di samudera India, Pasifik, dan bahkan Atlantik menjadi penting agar kita tak dituduh sebagai penungang bebas (free rider). Kedua, hirarki nasional, yang terkait dengan desain pengelolaan (ocean governance) dan pemanfaatan sumberdaya laut nusantara (ocean development). Desain pengelolaan menuntut hadirnya National Oceal Plan yang merupakan payung kebijakan kelautan yang mencoba mensinergikan berbagai kegiatan sosial-ekonomi di laut, mengingat secara ekonomi laut adalah multiguna (multiple-use): perikanan, transportasi, pertambangan, wisata bahari, dan industri maritim. Tentu prinsip pengelolaannya mengacu pada keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi, serta melalui proses institusionalisasi yang desentralistik. Sementara itu desain pemanfaatan berorientasi pada penguatan kita sebagai tuan rumah di laut kita sendiri dalam rangka memakmurkan bangsa ini. Pemberdayaan armada pelayaran dan perikanan nasional mesti menggantikan peran asing melalui tahapan yang jelas. Kebijakan pencabutan ijin kapal ikan asing kecuali bekerja sama dalam membangun industri pengolahan dalam negeri merupakan langkah yang tepat dan merupakan satu tahapan penting dalam mengurangi peran kapal asing di perikanan. Begitu pula pengembangan budidaya laut, bioteknologi,

energi (energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Convertion) dapat menjadi terobosan baru dalam meningkatkan nilai ekonomi sumberdaya laut. Ketiga, hirarki lokal diarahkan pada penguatan peran serta masyarakat untuk mengimbangi peran negara (state) dan pasar (market). Nelayan kita yang kebanyakan miskin telah tercerabut hak-haknya untuk ikut mengelola laut (management right), dan baru diberi hak akses (access right) dan hak menangkap (withdrawal right) saja. Ini seiring trend di dunia bahwa yang sedang giatgiatnya mengupayakan penguatan institusi lokal dalam pengelolaan laut (pesisir). Ini berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memperhatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya ekonomi pesisir. Dengan ketiga hirarki visi kelautan tersebut, upaya reinventing Indonesia sebagaimana pernah digagas Jacob Oetama bukanlah hal yang mustahil. Tentu syaratnya adalah bahwa visi besar tersebut merupakan visi bersama antara pemerintah, pasar, dan masyarakat. Sehingga kekuatan peran ketiganya juga mesti seimbang, jangan sampai timpang seperti sekarang ini. Jangan sampai masyarakat terus jadi korban, seperti kenaikan harga BBM lalu tanpa antisipasi yang tepat yang menyebabkan nelayan makin marjinal. Kasus BBM ini indikator yang paling mudah betapa memang sektor kelautan dan perikanan belum dilirik: satu kondisi yang bisa mengancam upaya �reinventing Indonesia�.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

2


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

UTAMA

Revitalisasi Konsepsi Wawasan Nusantara John Fresly Hutahayan Program Master of Law, Niigata University, Japanese Development Scholarship /JDS 2005 E-mail: jfresly@yahoo.com 1. Pendahuluan Tylla Subijantoro, mahasiswi S-2 ilmu hukum Universitas New Delhi, India, tibatiba mencuri perhatian. Pertanyaannya kepada Presiden Yudhoyono saat kunjungan ke India konon membuat beliau marah. Pasalnya dia membandingbandingkan keadaan di Indonesia saat ini dengan keadaan dan kemajuan yang dicapai negara lain. (Gatra No. 6/Senin, 19 Desember 2005. Berkaitan dengan hal itu Presiden menegaskan bahwa warga negara Indonesia perlu untuk belajar menghargai bangsa sendiri. Bila kita coba renungkan, penegasan Presiden RI tentang perlunya kita membanggakan karya bangsa sendiri tampaknya masih sulit untuk dipahami. Apakah yang dimaksud adalah kita coba menggali nilai-nilai luhur yang pernah ada atau mencari konsep kebangsaan yang sudah dianggap usang? Dalam tataran praktis, rasanya sulit untuk tidak mendebat pandangan Presiden tersebut. Dengan kemudahan mendapatkan informasi tentang perkembangan negara lain, buruknya keadaan Indonesia di segala bidang merupakan fakta yang telah berbicara apa adanya. Globalisasi yang identik dengan pasar terbuka (open market) dan semangat persaingan (competition) membuat Indonesia yang masih dalam transisi demokrasi kehilangan jati dirinya. Katupkatup pengaman sosial tampaknya tidak bekerja dengan baik karena memang tidak mudah untuk mengelola perubahan yang sangat cepat. Itulah salah satu karakteristik dari revolusi teknologi informasi.

Secara normatif, himbauan Presiden tersebut adalah ungkapan keprihatinan akan kemunduran rasa kebangsaan akibat kegagalan rejim Orde Baru dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Lalu timbul pertanyaan, apakah yang harus dilakukan untuk mematuhi himbauan pemimpin negara tersebut? Masih bisakah kita mengangkat nilai-nilai luhur yang selama masa Orde Baru disakralkan dan akhirnya kita campakkan begitu saja karena telah diselewengkan? Masih dapatkah kita berdamai dengan masa lalu dan secara jernih melihat persoalan bahwa yang menjadi penyebab terpuruknya bangsa Indonesia sebenarnya adalah pemimpinnya sendiri yang memanipulasi norma atau nilai-nilai yang ada untuk kepentingannya atau kelompoknya? Masih dapatkah kita menggali nilai-nilai luhur bangsa yang bisa kita jadikan pegangan untuk membangun Indonesia? Tulisan ini mencoba melakukan refleksi tentang himbauan Presiden tersebut dengan mengambil satu gagasan besar “founding father� yaitu konsepsi Wawasan Nusantara. Penulis berargumen bahwa konsepsi Wawasan Nusantara masih relevan untuk membangun nasionalisme bangsa untuk berhadapan dengan masyarakat dunia. Bila sederet pertanyaan diatas dielaborasi, akan terlihat bahwa nilai-nilai kebangsaan yang pernah mendominasi wacana kehidupan masyarakat Indonesia sejatinya masih dapat diwacanakan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

3


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

2. Wawasan Nusantara dan jati diri bangsa Indonesia Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 13 Desember tahun 1957 melalui sautu deklarasi memperkenalkan konsep Wawasan Nusantara, yang menetapkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan. Selanjutnya, melalui konsep yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Juanda, ide “negara kepulauan� mendapatkan pengakuan internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nation Convention on Law of the Sea) memasukkan konsep archipelagic state sebagai konsep hukum internasional (Brownlie, 1995). Hal ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan Indonesia dalam menjadikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai perwujudan dari negara kepulauan Indonesia. Perjuangan Perdana Menteri Djuanda ini, dilanjutkan oleh Menteri Luar Mochtar Kusumaatmadja yang mampu mengartikulasikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai prinsip-prinsip dasar yang dapat mempersatukan Negara RI. Melalui konsepsi Wawasan Nusantara ini, pamor Indonesia meningkat karena konsepsi ini merupakan salah satu terobosan penting khususnya dalam hukum internasional. Sebagaimana diketahui, Indonesia memperjuangkan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai argumen untuk mempersatukan pulau-pulau yang tersebar dari ujung Sumatera sampai Irian Jaya (Papua). Hanya dengan konsep penetapan batas laut wilayah sejauh 12 mil saja akan membuat adanya bagian laut bebas didalam pulau-pulau Indonesia yang dapat diinterpretasikan sebagai laut bebas. Dengan konsepsi negara kepulauan maka kelemahan itu berhasil ditutupi. Semua laut dalam di antara pulau-pulau atau di tengah kepulauan Indonesia sudah tidak dihitung lagi sebagai laut internasional, tetapi sebagai laut pedalaman yang

termasuk sebagai kawasan laut territorial dari suatu negara kepulauan. Konsepsi politik kewilayahan ini dimulai dengan UU. No. 4/Prp/1960 yang dalam Konferensi Hukum Laut III terus diperjuangkan dan berujung pada penerimaan UNCLOS 1982 pada 10 Desember 1982. Pemerintah Indonesia sendiri tak perlu menunggu waktu yang terlalu lama untuk meratifikasi Konvensi tersebut melalui UU No. 17 tahun 1984. Disamping itu mengenai garis batas Indonesia, baik laut wilayah, landas kontinen, maupun zona ekonomi eksklusif juga telah dapat diselesaikan pada era Menlu Mochtar Kusumaatmadja.

Lebih kurang sejak tahun 1969 sampai tahun 1982 ada sekitar 18 persetujuan menyangkut batas dengan negara lain berhasil ditandatangani. Apabila kita hendak bernostalgia, Wawasan Nusantara sebagai suatu tatanan nilai pemersatu bangsa, lahir sejalan dengan tumbuhnya bangsa Indonesia. Secara geografis posisi Indonesia yang diapit oleh dua benua dan dua samudera menjadi suatu mozaik yang utuh apabila diberi kerangka konsepsi Wawasan Nusantara. Pada masa dasawarsa 1980-an ,tidak ada yang dapat membantah kebesaran Indonesia apabila dipandang sebagai satu kesatuan dalam Wawasan Nusantara. Indonesia bukan hanya pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian ataupun Bali semata-mata. Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai arti strategis secara geopolitis baik di kawasan regional maupun internasional. Meskipun demikian, dapat diperdebatkan bahwa kepemimpinan mantan Presiden Soeharto yang otoritarian mempunyai pengaruh besar kepada penerimaan Wawasan Nusantara sebagai alat pemersatu bangsa. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa dengan menerima

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

4


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

konsepsi ini sebenarnya tidak mengakar kuat. Alasannya adalah karena adanya dominasi salah satu suku terhadap sukusuku lain. Dalih persatuan dan kesatuan yang dianggap “Jawa sentris” ini akhirnya menumbuhkan api dalam sekam yang melemahkan jati diri bangsa Indonesia. Ide “nation building“ yang dicita-citakan melalui Pancasila akhirnya mengalami dekadansi nilai, seiring dengan perubahan geopolitis dan perkembangan teknologi informasi. Sehingga banyak pihak yang mengambil kesimpulan bahwa di era globalisasi sekarang ini, nilai-nilai luhur bangsa seperti Wawasan Nusantara tersebut tidak dapat membawa Indonesia keluar dari keterpurukan. Pada awal era reformasi tahun 1998, semua pihak berlomba-lomba berbalik menyerang nilai-nilai yang ada dianggap “sakral” pada masa Orde Baru. Padahal sebagian dari orang-orang tersebut adalah mereka yang paling menikmati hasil pembangunan pada Orde Baru dan bahkan pendukung kuat nilai-nilai tersebut. Akhirnya konsepsi Wawasan Nusantara pun tak luput menjadi salah satu kambing hitam kegagalan Orde Baru. Keadaan ini dilukiskan oleh filsuf Thoreau yaitu ketika ada sekelompok orang-orang di saat Revolusi Amerika, yang seraya mencela tindakan dan kebijakan pemerintah terdahulu, telah mengambil keuntungan dari keadaan tersebut untuk lepas dari dosa masa lalunya. (Downs, Robert B, 1970) 3. Globalisasi dan Dis-orientasi Bangsa Indonesia Runtuhnya Uni Sovyet dan negara sosialis lainnya membawa perubahan drastis dalam tatanan politik. Perang dingin yang ditandai dengan persaingan blok BaratTimur berganti dengan menguatnya hegemoni Amerika Serikat dengan tindakan unilateralisme. Kondisi global ini mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan di Indonesia. Setelah proses reformasi yang dimulai

tahun 1998, peran blok netral melalui politik luar negeri yang bebas dan aktif kehilangan perspektif. Disisi lain ancaman komunisme tidak dapat lagi dijadikan tameng untuk mempertahankan status quo bagi rejim lama yang ingin berkuasa selama mungkin. Ancaman komunisme tidak lagi menjadi momok yang dapat dijual untuk menindas lawan politik. Dengan sendirinya ide demokrasi Pancasila dengan kelima silanya tidak lagi dihadapkan dengan ideologi komunisme tetapi sudah berhadapan langsung dengan ide demokrasi itu sendiri. Globalisasi yang ditandai dengan kemudahan memperoleh informasi global secara real time membuat jargon “demokrasi Pancasila” menjadi kehilangan pamor apabila disandingkan dengan demokrasi gaya “Barat” (liberalisme) yang dipahami sebagai nilai demokrasi yang universal termasuk oleh negara-negara yang dulunya disebut negara komunis. Rejim Soeharto yang berdalih bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang khas Indonesia menjadi kehilangan legitimasinya. Rakyat tidak mungkin lagi disodori ide demokrasi yang “unik” tetapi kenyataaannya dirancang hanya untuk melegitimasi suatu rejim. Rakyat ingin demokrasi di negara-negara bekas komunis seperti yang digambarkan oleh berbagai mass media. Yang terjadi adalah kebebasan yang mengalir deras bagaikan air bah yang cenderung menjadi euphoria. Euphoria yang berkembang mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan. Ini menjadi mantera sakti yang didengungkan dan dipahami masyarakat awam. Atas nama keinginan publik, entah publik yang mana, seringkali menjadi resep sakti untuk bertindak anarkis. Ibarat kuda yang keluar dari kandang dan dikendalikan oleh penunggang yang memang belum pernah naik kuda. Suatu paduan yang sangat berbahaya, penuh kekuatan tapi tidak terkendali. Membabi buta menuntut kebebasan dari pemerintah.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

5


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Bebas tanpa peraturan. Aturan adalah kebebasan. Apapun yang terlihat sebagai perwujudan dari kebebasan dijadikan orientasi untuk menggambarkan demokrasi. Ungkapan “sekarang ini zaman demokrasi bung!� adalah makanan sehari-hari. Tidak sulit untuk menunjukkan bukti bahwa kebebasan dengan kepentingan yang beraneka ragam itu saling berbenturan dan memakan korban. Ditambah dengan intrik-intrik yang dipelopori oleh petualang politik, maka harga demokrasi menjadi suatu hadiah yang teramat mahal untuk sebuah kebebasan. Lambat laun, bangsa Indonesia semakin kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab. Keramahtamahan yang menjadi ciri kepribadian yang khas Indonesia tidak lagi bias dibanggakan. Fenomena ini mengarah kepada menguatnya kepentingan kelompok diatas kepentingan bangsa. Kelompok kelompok masyarakat mulai dari rakyat biasa, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, kelompok agama, golongan dan lain sebagainya terbiasa dan cenderung berfikir untuk kelompok atau golongannya tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih besar. Lebih jauh lagi, sudah sulit menemukan pemimpin yang berpandangan sebagai negarawan. Kita sudah lupa bahwa bangsa Indonesia itu adalah negara kesatuan yang mempunyai falsafah Pancasila. Seiring dengan kondisi politik global, isu terorisme menjadi salah satu masalah besar yang menambah buruknya citra Indonesia dan yang pasti mengganggu stabilitas keamanan dan perekonomian Indonesia. Yang lebih memprihatinkan, sehubungan dengan isu terorisme, sejak beberapa tahun belakangan ini, rasa saling mencurigai diantara sesama komponen

masyarakat semakin meningkat. Pemerintah dihadapkan kepada keadaan yang dilematis. Akhirnya upaya untuk meminimalisir aksi terorisme ini dilakukan dengan hati-hati karena akar permasalahannya begitu kompleks dan sensitif. Hasil amandemen UUD 1945 yang tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila tampaknya masih perlu dijabarkan dalam tatanan praktis kehidupan masyarakat. Masih ada kelompok masyarakat yang menganut pandangan yang berbeda dengan falsafah Negara. Mereka berpandangan bahwa jati diri Indonesia bukan negara kesatuan dan bukan negara yang berlandaskan Pancasila. Perbedaan yang mendasar ini apabila tidak dapat diakomodasikan membuat ancaman disintegrasi bukan suatu ilusi belaka. Keadaan bangsa Indonesia sekarang ini seperti kehilangan orientasi. Reformasi 1998 dapat dipandang sebagai tsunami politik yang membawa duka sekaligus harapan akan berubahnya masa depan bangsa. Paska masa transisi selama lebih kurang delapan tahun merupakan saatnya untuk belajar dari kegagalan dalam penanganan krisis. Saatnya kita duduk tenang dan bersama-sama merumuskan kembali jati diri bangsa Indonesia. 4. Revitalisasi Wawasan Nusantara Sebagai suatu nilai dasar, sebagaimana dikatakan oleh pakar ketahanan nasional, Sayidiman Suryohadiprojo, Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap eksistensi dirinya di tengah-tengah masyarakat internasional. Secara prinsip, Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila. Sedangkan keanekaragaman ras, suku, agama, dan bahasa daerah merupakan khasanah budaya yang dapat menjadi unsur pemersatu bangsa.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

6


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Posisi strategis Indonesia dan kekayaan alam tidak hanya kiasan yang semu tetapi suatu modal untuk memotivasi bangsa untuk bangkit kembali. Kita harus belajar dari pengalaman masa lalu, jangan terbuai dengan kekayaan alam semata tetapi perlu mengkombinasikan kekayaan alam dengan etos kerja keras. Pemahaman ini membawa konsekuensi bahwa pembangunan dan kerjasama internasional yang dijalin perlu dilihat secara komprehensif dari berbagai aspek terkait (poleksosbud-hankam). Jadi tidak semata-mata penekanan kepada pertimbangan ekonomis. Sebenarnya modal politik untuk merevitalisasi Wawasan Nusantara telah dirintis oleh pemerintah sebelumnya. Namun pengakuan internasional terhadap status Indonesia sebagai negara kepulauan ini perlu disikapi bukan sebagai pencapaian puncak perjuangan, melainkan lebih sebagai point of departure untuk memaksimalkan potensi kelautan. Pemahaman ini membawa implikasi diperlukannya perumusan kebijakan kelautan nasional secara terpadu sebagai penjabaran lebih lanjut dari konsepsi kewilayahan nusantara. Dari aspek peraturan perundangan, sejauh ini telah memadai dengan adanya sejumlah peraturan perundangan-undangan nasional di bidang kelautan & perikanan. Diantaranya UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen dan peraturan pendukungnya di bidang eksplorasi migas, UU No. 5 tahun 1985 tentang ZEE Indonesia beserta peraturan pendukungnya di bidang perikanan, serta UU No. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia. Disamping ketentuan perundanganperundangan tersebut, Pemerintah pada 28 Juni 2002 secara serentak juga telah menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah (PP), masing-masing tentang hak lintas damai (PP No. 36 Tahun 2002), hak alur laut kepulauan Indonesia - disingkat sebagai ALKI (PP No. 37 Tahun 2002) serta penentuan daftar koordinat geografis

titik-titik terluar nusantara (PP No. 38 tahun 2002). Peraturan perundangan terakhir ini bahkan memiliki arti yang penting karena memperkuat konsepsi kewilayahan sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan (Indonesia). 4.1 Pasal 25 UUD 1945 Secara konstitusi, legitimasi untuk merevitalisasi wawasan nusantara dapat dirujuk pada . UUD 1945. Ketentuan BAB IX A tentang Wilayah Negara. Walaupun hanya terdiri dari satu pasal saja, yakni pasal 25A merupakan blessing in disgue dari amandemen UUD 1945. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batasbatas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal yang merupakan hasil amanden kedua pada tahun 2000 tersebut merupakan landasan yuridis untuk revitalisasi Wawasan Nusantara. Pada UUD 1945 sebelum amandemen, masalah wilayah negara Indonesia tidakk dicantumkan. Jadi pasal 25A ini mempunyai arti dan makna politis serta strategis sebagai unsur pemersatu bangsa. 4.2. Kebijakan kelautan pertahanan dan ekonomi

di

bidang

Secara politis, pemilihan seorang Jenderal dari Angkatan Laut, Freddy Numbery, sebagai menteri kelautan dan perikanan merupakan modal strategis untuk menyatukan visi Indonesia sebagai negara kepulauan dan bangsa pelaut. Menurut penulis, pemilihan ini bisa jadi merupakan cerminan visi Presiden Yudoyhono dalam hal kebijakan kelautan dengan mempersatukan potensi pertahanan dan potensi ekonomi di bidang kelautan. Potensi pertahanan dan potensi ekonomi juga disebutkan dalam doktrin Angkatan Laut RI (TNI AL) yaitu Eka Sasana Jaya.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

7


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Menurut doktrin ini yang juga dianut oleh banyak Angkatan Laut di dunia, merupakan fakta sejarah bahwa kebesaran suatu bangsa atau negara maritim sangat ditentukan oleh kekuatan lautnya, berupa kekuatan armada niaganya yang mampu berlayar mengarungi samudera untuk melakukan perdagangan. Untuk menjamin keselamatan dari armada niaga, maka dibentuklah suatu kekuatan armada bersenjata yaitu Angkatan Laut. Berdasarkan fakta sejarah tersebut, maka kehadiran angkatan laut untuk memberikan jaminan keamanan di laut, sudah merupakan suatu conditiosinequanon. (http://www.tnial.mil.id/doktrin.php) Namun dalam konteks revitalisasi Wawasan Nusantara, implementasi dari visi kabinet tersebut masih perlu disinergikan dengan berbagai sektor dan kebijakan lainnya. Antara lain buku tentang kebijakan (white paper) Pertahanan RI yang berjudul “Mempertahankan Tanah Air” (Dephankam, 2003) tidak mampu menggambarkan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai konsepsi yang “outward looking”. Buku putih tersebut masih mengedepankan orientasi pertahanan yang bertumpu aspek darat. Seyogyanya Indonesia sebagai sebuah negara yang mempunyai konsep pertahanan yang bertumpu pada pertahanan berjenjang, mengembangkan basis perairan serta dengan pulau-pulau yang bertebaran. (Pertahanan Nusantara). Hal ini sepertinya mengingkari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Mempertahankan negara kepulauan lebih logis bila bertitik tumpu pada Angkatan Laut yang didukung oleh Angkatan Udara dalam kerangka pertahanan terluar (zona penyangga). Sementara lini Darat siap menggelar kekuatannya bilamana perang merambah pada zona pertahanan dan perlawanan daratan.

Indonesia perlu memiliki untuk gertak (deterrence) di laut maupun di udara. Upaya mempertahankan Nusantara dengan tidak mengedapankan peran Angkatan Laut khususnya merupakan strategi yang kurang tepat. Indonesia adalah sebuah negara yang unik di mana memiliki wilayah perairan yang lebih luas dari daratan. Oleh karena itu, sistem pertahanan Nusantara harus menekankan pada kekuatan maritim dan kekuatan dirgantara tanpa mengabaikan kekuatan sistem pulau besar (continental). Tidak tepat bila upaya mempertahankan Nusantara memfokuskan penggunaan strategi pertahanan kontinental ketimbang penggunaan kekuatan maritim dan dirgantara. Karena itu, konsistensi pertahanan Indonesia ke depan harus jelas sesuai predikat Indonesia sebagai ”Negara Kepulauan” yang diakui dunia internasional. Dengan demikian modal sebagai Negara kepulauan seyogyanya perlu segera diberdayakan untuk kepentingan nasional seperti mencegah terulangnya kekalahan Indonesia dalam memperebutkan Pulau Sipadan Ligitan dengan Malaysia. Berkaitan dengan sengketa Ambalat, kekhawatiran hilangnya kembali pulau ini perlu diwaspadai. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa aroma politis dari kasus Ambalat cukup berdampak untuk menaikkan popularitas pemerintahan SBY pada awal pemerintahannya. Demikian pula sinyalemen tenggelamnya pulau Nipah sebagai pulau batas Indonesia dengan Singapura akibat penggerukan pasir oleh pengusaha Singapura dapat ditanggulangi sejak dini. Kembali kepada pengembangan potensi kelautan, masalah ini merupakan isu yang sangat berkaitan dengan revitalisasi Wawasan Nusantara. Pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menunjukan keseriusan pemerintah untuk memberdayakan potensi kelautan sebagai

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

8


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

ujung tombak pengembangan ekonomi kerakyatan. Dengan demikian yang diperlukan untuk mensinerjikannya konsep negara kepulauan dan sektor kelautan adalah sosialisasi dan itikad baik (political will) dari aparat pemerintah yang terkait dengan pengembangan sektor ini. Mulai dari departemen perhubungan, departemen kelautan dan perikanan, departemen perdagangan, aparat perpajakan, imigrasi dan bea cukai dan tentunya Angkatan laut perlu mencari cara komprehensif dan terfokus untuk mensinergikan potensi kelautan. Sejauh ini tampaknya pemerintah belum yakin bahwa sektor ini dapat dijadikan salah satu alternatif pemecahan persoalan ekonomi dan sosial. Sudah begitu banyak konsep yang telah dirintis oleh mantan menteri Rokhmin Damanhuri yang belum diimplementasikan secara menyeluruh. Dari sudut pandang Wawasan Nusantara , paling tidak ada dua keuntungan yang dapat diambil dengan memberdayakan sektor ini. Pertama: pengembangan nelayan dan intensfikasi pelabuhan membuka pasar untuk produk perikanan yang menjadi basis ekonomi kerakyatan non pertanian. Kedua: interaksi kelompok masyarakat yang berbasis pelabuhan seperti interaksi nelayan dari berbagai suku di Indonesia akan membawa dampak sosial yang besar. Komunikasi ini akan menumbuhkan pemahaman baru dalam mensikapi perbedaan dan pada akhirnya menumbuhkan wawasan kebangsaan. Secara tidak langsung pengembangan potensi kelautan akan memberdayakan pulau-pulau di perbatasan dan menyeimbangkan wilayah perbatasan kita yang terisolasi dengan wilayah tetangga. Memajukan wilayah perbatasan yang terpencil ini penting untuk menghindari jurang ekonomi di wilayah perbatasan kita dengan tetangga.

4.3 “Indonesia Society” dan “Indonesia Corporation” bukan suatu ilusi Di era globalisasi masalah dis-orientasi bangsa Indonesia menjadi isu krusial yang harus dicari jalan keluarnya. Masyarakat Indonesia baru yang modern perlu digagas dalam kerangka bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural yang terdiri dari bebagai macam suku bangsa, bahasa dan agama serta kepercayaan dan keyakinan yang beragam. Menerapkan suatu keinginan kelompok saja sama artinya dengan meniadakan keberadaan kelompok lain yang samasama bersepakat membentuk Indonesia sebagai suatu negara dan bangsa. Ini adalah kenyataan yang harus disikapi secara dewasa dan bijak. Lalu adakah harapan untuk membangun suatu masyarakat sosial Indonesia baru? Seperti apakah yang disebut masyarakat sosial Indonesia (Indonesia society)? Mulai dari manakah kita membangunnya kembali. Sungguh suatu pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab dan tidak mudah untuk disepakati. Untuk itu mari kita belajar dari pengalaman Jepang dalam membangun masyarakatnya. Seni untuk menerima pengaruh asing serta menyaringnya untuk diadopsi dengan budaya lokal merupakan keterampilan yang sangat diperlukan. Jepang mempunyai pengalaman dan kemampuan yang unik dalam melakukan hal ini. Akulturasi budaya asing kedalam kebudayaan Jepang dilakukan tanpa menghilangkan budaya Jepang. (Daniel Sosnoski, 1996). Hal ini digambarkan oleh Gregory Clark sebagai suatu keunikan yang didapat dari kemampuan dalam menyerap budaya Cina dan kemudian budaya Barat tanpa diperbudak atau didominasi oleh budayabudaya tersebut. (Jane Withey, 1994). Dari aspek ekonomi, ide untuk membentuk suatu kelompok/entitas yang bernama “Indonesia Corporation” yang pernah dilontarkan oleh beberapa pakar ekonomi pada masa lalu, mungkin bisa diangkat kembali. Strategi Jepang yang berhasil

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

9


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

mensirnegikan pengusaha dengan nilainilai kebangsaannya merupakan contoh yang patut ditiru.

yang bebas dari rasa saling curiga, diskriminasi dan korban adu domba dapat terwujud.

Sebagaimana diketahui, Jepang dalam membangun ekonominya setelah Perang Dunia ke-II dengan kebijakan ekonomi yang dilandasi budaya Jepang. Bahkan pemerintah Jepang secara sistematis membina kelompok perusahaan (zaibatsu) sebagai mesin uang yang akan menghidupi negaranya. Dikatakan bahwa zaibatsu merupakan hal utama dalam membangun perekonomian modern Jepang. (Hidemasa Morikawa, 1992).

5. Kesimpulan

Filosofi yang diterapkan sangat sederhana yaitu kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi atau penghasilan yang nyata (real income) hanya dapat meningkat jika terjadi peningkatan produktivitas. Produktivitas meningkat apabila ada peningkatan dalam nilai dari keluaran (output) dari setiap input buruh/pekerja dan modal. (James C. Abegglen & George stalk, Jr, 1990). Nilainilai semangat militer untuk bekerja keras dan disiplin ditransformasikan menjadi nilai dasar setiap orang Jepang dalam bekerja. Sehingga sekarang kita mengenal bangsa Jepang sebagai bangsa pekerja keras. Dari segi doktrin, konsep wawasan Nusantara bukanlah penyeragaman atau politik melting pot. Ini adalah konsep membangun berdasarkan identitas Indonesia yang majemuk. Persaingan antar bangsa saat ini sudah sangat kompleks. Kita membutuhkan konsep yang mensinerjikan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Ini merupakan strategi untuk mensiasati perubahan global yang sangat dinamis. Produktivitas sudah menjadi standar internasional yang identik dengan produk barang atau jasa itu sendiri. Kita rindu akan adanya “Indonesia Corporation” yang menghasilkan produk andalan yang menjadi “trade mark” dan jati diri bangsa. Seperti pengalaman Jepang, dengan dukungan “Indonesia Corporation” maka masyarakat Indonesia yang sejahtera

Reformasi dalam kehidupan berbangsa di Indonesia memasuki tahap metafomorfosa. Apabila tahun 1998 dikatakan sebagai masa terbentuknya embrio reformasi, maka sejak pemerintahan baru tahun 2004 merupakan titik awal kepompong demokrasi. Setelah mengalami masa euphoria demokrasi dengan berbagai macam suka dan dukanya, maka sudah saatnya kita duduk bersama merenungkan dan mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa masa lalu. Ada dua hal yang penting untuk didiskusikan lebih lanjut yaitu: 1. Demokrasi pada dasarnya bukanlah kebebasan semata-mata. Demokrasi adalah suatu norma yang dilandasi oleh hukum. Hukum yang dibuat, disetujui dan ditaati oleh semua komponen bangsa tanpa kecuali. Semua sama di mata hukum. Tidak ada seorangpun yang kebal terhadap hukum. Hukum memberikan roh kepada demokrasi karena dengan hukum setiap hak seseorang akan berhenti pada saat berhadapan dengan hak orang lain. Demokrasi juga memberikan kewajiban yang menjadi prasyarat suatu tatatan sosial. Dialektika hukum menjadi norma dasar suatu demokrasi. 2. Wawasan Nusantara adalah suatu nilai luhur bangsa yang dapat mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk. Revitalisasi Wawasan Nusantara bisa menjadi visi dan nilai bersama bangsa Indonesiayang dapat diterima oleh semua golongan dan kepentingan. Apabila diterjemahkan dalam misi maka salah satu misi pokok yang diproritaskan adalah pengembangan sektor kelautan. Sebagai negara kepulauan maka pengembangan sektor kelautan akan menjadi ciri khas Indonesia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

10


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Akhir kata, demokrasi sebagai suatu resep generik penyakit masyarakat modern pasti mengalami masa transisi. Pengobatan penyakit bangsa memang harus dilakukan secara bertahap namun terarah. Kita perlu memahami dan mencoba percaya bahwa kebijakan pemerintah yang pahit bagi masyarakat (seperti mengurangi subsidi) merupakan obat yang tidak hanya bersifat suportif maupun simptomatis tetapi menjadi pengobatan yang bersifat kausatif. Hanya dengan sikap mental seperti itu bangsa Indonesia dapat mulai melangkah dan bekerja keras membangun untuk menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera. Jalesveva jaya mahe . Di laut kita jaya. Semoga!. 6. Daftar Pustaka

[2] Brownlie, Ian, Principkle of public international law, Clarendon Press, Oxford, 1995. [3] Down, Robert B, Books That Changed America, 1970, The Macmillan Company, London. [4] Morikawa, Hidemasa, Zaibatsu: The rise and fall of familiy enterprise groups in Japan, University of Tokyo Press, 1992. [5] Sosnoski, Daniel, Introduction to Japanese Culture, 1996, Charles E. Tuttle Company, Tokyo. [6] Weiner, Myron, ed. Modernization The Dynamics of Growth, Basic Books, Inc, New York, 1966 [7] Withey, Jane, Doing Business in Japan: an insider`s guide, Pretince Hall, 1994. [8] United Nation Convention on Law of the Sea, 1982, UN Secretariat. [9] Undang-Undang Dasar tahun 1945 amandemen 2002.

[1] Abegglen, James C and George Stalk, Jr., Kaisha The Japanese Corporation, 1990, Charles E. Tuttle Company, Tokyo.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

11


UTAMA

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Negeri Di Batas Dua Samudra Menggenggam Urat Nadi Ekonomi Dunia Agus S. Djamil Penulis buku ALQURAN DAN LAUTAN (Arasy Mizan, 2004, 612 hal.). Geophysicist, alumnus Stanford University at Palo Alto USA, dan Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta. Moderator dan owner Milis LQ, lautan-quran@yahoogroups.com . Bermukim di Brunei Darussalam. Email: adjamil@gmail.com “Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia. Dan terletak di antara dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik”. Deret definisi lokasi negeri kita ini sudah baku dikenal anak Indonesia sejak masih duduk di bangku SD. Saya coba melihat buku pelajaran SD sekarang, definisi itu masih juga sama dengan waktu saya sekolah 30 tahun yang lalu. Tidak lebih tidak kurang. Kalimatnya dingin dan kurang memotivasi kita. Bahkan ketika Ibu Megawati menyampaikan sambutannya di hadapan masyarakat Indonesia di Brunei tahun 2004 lalu mengungkapkan bagaimana ayahandanya selalu mengingatkannya akan posisi Indonesia itu, kawan saya berbisik, “ah kayak anak SD saja”. Beberapa saat sebelum itu, mendapat kehormatan untuk duduk semeja dengan Presiden Megawati dan Bpk Taufik Kiemas pada saat makan malam itu, saya mencoba mengungkit keunggulan kompetitif kita sebagai negeri di batas dua samudra itu dalam obrolan ringan. Sayang memang, bahwa kita yang tinggal di negeri kepulauan terluas di bumi dan terletak di batas dua samudra ini, justru tidak mengenali diri sendiri. Definisi itu cuma ungkapan beku, kaku dan basa-basi. Sehingga kawan saya yang insinyur itu pun menganggap remeh, sementara pemimpin kita juga tidak mampu mengejawantahkan keunggulan kompetitif dalam kebijakan publik untuk menuju kejayaan bangsa. Kalau kita sadar, posisi negeri kita ini sungguh amat sangat luar biasa

berkahnya. Rentangkan peta bumi, dan perhatikan konstelasi kepulauan kita di tataran dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di muka bumi yang berada pada batas dua samudra. Penghitungan terakhir jumlah pulau di Indonesia adalah 18.108 pulau, dengan Luas Tanah 1.937 juta Km2, Luas Laut Kedaulatan 3.1 juta Km2, Luas Laut ZEE 2.7 juta Km2, Panjang Pantai 81,000 Km. Terlepas dari angka-angka yang ”wah” dalam segi ”jumlah”, negeri kita juga sangat signifikan dalam segi ”posisi”. Ibaratnya, kepulauan Indonesia menempati lokasi strategis Segitiga Emas Kuningan – Thamrin – Gatot Subroto. Di lokasi strategis seperti itu sungguh sayang dan bodoh, kalau hanya sekadar menjual barang asongan, atau membangun warung Tegal. Indonesia harus mampu mengkapitalisasikan lokasi emas dan jalur emas tadi melebihi apa yang sudah dilakukan oleh Singapura. 1. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif sebagai negeri di batas dua samudra yang mendatangkan banyak keuntungan dan tidak dimiliki oleh negeri-negeri lain di muka bumi ini adalah dimilikinya kombinasi beberapa faktor yang sangat menguntungkan: geoekonomi dan geopolitik global, budaya dan peradaban, kondisi fisik-oceanografibiologis, serta dari faktor geofisis-geologis. Dalam geoekonomi dan geopolitik global, Indonesia berada pada titik sangat strategis di persimpangan antara pusatpusat produsen - konsumen. Pada tahun 1998, ada sekitar 44 % pelayaran dunia melalui perairan Indonesia. Sedangkan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

12


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

untuk pelayaran perdagangan di cekungan Asia Pasifik ada sekitar 95 % pelayaran melalui perairan Indonesia, dimana 72 % diantaranya melewati selat Malaka. Industri mesin dan galangan-galangan kapal raksasa di Jepang, Korea, dan Singapore melayani pesanan para pengguna di Timur Tengah, Afrika Barat, dan Eropa yang mana pengiriman mesinmesin berat dan struktur berukuran raksasa itu dimuat dan ditunda (ditarik) melintasi perairan kita. Saat ini lalu lintas perdagangan barang antara China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan dengan negara-negara Uni Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Australi-NZ tumbuh dengan sangat pesat. Asia Timur tumbuh spektakuler, dan dikenal dengan global factories. Kapal-kapal dagang bersliweran dengan komoditas mentah dan barang produk jadi dengan sangat sibuknya melalui perairan kita. Dari segi pasokan bahan baku dan energi, selat Malaka dan selat-selat lain juga memegang peran yang sangat vital. Ada 50,000 kapal per tahun yang melayari celah sempit Selat Malaka saja, diantaranya ada sepertiga (dan semakin meningkat persentasenya) dari armada tanker minyak dunia melewatinya. Kebutuhan energi untuk Jepang dan Korea, 80 % - nya dipasok dari minyak, gas dan LNG yang ditransportasikan melalui Alur-alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). . Pada saat ini, kita memang cuma mengeksport sekitar 1 juta barel minyak mentah per hari. Namun minyak yang dimuat tanker melewati Selat Malaka lebih dari 10 juta barel minyak per hari. Sepuluh kali lipat produksi kita dan tiga kali lebih banyak daripada minyak yang melewati Terusan Suez. Urat nadi perekonomian dunia, ada di tangan Indonesia. Diakui oleh kalangan industri bahwa andai saja selat Malaka tersekat (karena bencana alam, kecelakaan, ataupun masalah keamanan), maka hampir separoh armada pelayaran dunia terpaksa berlayar lebih jauh. Sebagian akan melalui Selat Sunda, Selat Lombok ataupun Laut Banda –ketiganya pun masih di perairan Indonesia–. Dan

apabila kapal-kapal tersebut menempuh perlayaran yang lebih jauh, waktu tempuh juga akan semakin lama. Hal ini menyebabkan kapasitas cadangan armada kapal yang ada akan habis terpakai, sehingga menyebabkan pasaran dunia terpengaruh. Diramalkan, negara-negara di kawasan cekungan Pasifik akan mengalami peningkatan import minyak dan gas sebesar 43 % antara tahun 1997 hingga 2020. Dan saya rasa ramalan ini masih terlalu konservatif. Kebutuhan ini akan menjadikan negara-negara Asia Pasifik ini menjadi semakin tergantung kepada pasokan dari Timur Tengah yang menyimpan sekitar 70% cadangan minyak dunia. Dengan semakin lajunya kebutuhan import minyak oleh China (dan negara-negara Asia Timur) dari Timur Tengah tersebut, maka Selat Malaka secara geopolitik akan semakin memiliki nilai strategis dalam beberapa tahun ke depan. Asia Timur dan Timur Tengah dari tahun ke tahun akan semakin saling tergantung, dan Indonesia yang menguasai jalur perdagangannya seharusnya mendapat berkah berada pada focal point kelancaran transportasi laut mereka. Oleh sebab itu, tidak sulit difahami kenapa pengamat strategi barat mengatakan bahwa Indonesia adalah bedrock dari pertumbuhan ekonomi Asia timur. Posisi Indonesia yang berada di persimpangan jalur emas inipun bagai sumbu sebuah timbangan peradaban. Kepulauan Indonesia terletak di antara dua konsentrasi umat manusia terbanyak di muka bumi (lebih dari 2 Milyar) yaitu China dan India. Dari segi kebudayaan dan peradaban, Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam interaksi dan asimilasi budaya-budaya besar pada zamannya. Sejak dahulu kala, pertukaran budaya di antara dua bangsa dengan peradaban yang tinggi itu, secara tidak langsung juga melibatkan para penguasa di perairan Nusantara ini. Sriwijaya pernah menjadi hub peradaban yang mengakomodasi berbagai bangsa. Samudra Pasai, Jepara, Demak, Ternate, Tuban, Macassar, Bima, Banten, Batavia,

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

13


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Tanjung Pinang, adalah nama-nama yang tercatat dalam pengembara-pengembara dunia. Indonesia juga berada kawasan tektonik yang secara geologis sangat komplek, yaitu tempat terjadinya interaksi dan tubrukan tiga lempeng tektonik besar: Lempeng Indo-Australian, Lempeng Philiphine – Pacific dan Lempeng Eurasia. Pertemuan beberapa lempeng tektonik ini menyebabkan kepulauan kita ini, mempunyai rupa bumi yang cantik, kaya struktur geologi yang memungkinkan banyaknya sumber panas bumi, kaya dengan cekungan sedimen penghasil minyak, kaya dengan kombinasi cekungan laut celuk (deep sea) dan laut dangkal, abadi dialiri pertukaran air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia, aliran air hangat di permukaan dan nyaris beku di kedalamannya, dan masih banyak lagi berkah geofisik, geologis dan ocenografis. Posisi geografis yang sangat unik ini juga mengakibatkan Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah. Peristiwa tektonik yang cukup aktif, selain menimbulkan gempa dan tsunami, juga membawa berkah dengan terbentuknya banyak cekungan sedimen (sedimentary basin). Cekungan ini mengakomodasikan sedimen yang selanjutnya menjadi batuan induk maupun batuan reservoir hydrocarbon. Kadungan minyak dan gas alam inilah yang kini banyak kita tambang dan menjadi tulang punggung perekonomian kita sehingga tahun 1990an. Di Indonesia, cadangan minyak baru dieksplorasi pada 38 cekungan. Minyak dan gas baru diproduksi / dieksploitasi dari 14 cekungan dari sekitar 60 cekungan sedimen yang sudah diidentifikasi di seluruh Indonesia. Lebih dari 20 cekungan yang masih berupa kawasan frontier kebanyakan berada pada kawasan laut. Beberapa temuan besar akhir-akhir ini berada di laut celuk di Selat Makasar. Ini artinya, sebagaimana masa depan industri perminyakan dunia, maka masa depan industri eksplorasi dan produksi perminyakan Indonesia juga akan berada di laut. Teknologi telah memungkinkan

kita untuk memproduksi minyak dari kawasan kedalaman air laut antara 1000 2500 meter, seperti di Selat Makassar saat ini. Keberadaan kepulauan Indonesia di antara dua samudra besar dunia yang mempunyai tinggi permukaan air yang berbeda, menyebabkan terjadinya aliran arus laut dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia dengan debit air yang sangat besar, lebih dari 15 juta meter kubik per detik, dan nyaris �abadi�. Pertukaran air dua samudra ini serta kombinasi rupa bumi dasar laut yang bervariasi topografinya juga mengakibatkan banyak terdapat lokasi upwelling dimana muncul air laut dalam yang dingin dan kaya dengan nutrien untuk makanan ikan dari berbagai jenis ukuran. Jumlah volume air yang sedemikian besar dalam arus laut yang dikenal dengan sebutan ARLINDO (arus lintas Indonesia) ini membawa serta dan mengapungkan sekalian apa saja yang ada di dalamnya, baik berkah maupun tulah. Berkah nampaknya jauh lebih banyak yaitu menjadikan perairan Indonesia ini kaya akan pasokan plankton & nutrien, dan menjadi jalur migrasi mamalia laut, ikan dan juga burung pemangsanya. Tidak mengherankan apabila pada beberapa �kantong� gugusan kepulauan kecil seperti kepulauan Raja Ampat di dekat kepala burung Irian Jaya, mempunyai biodiversitas yang sangat kaya. Jumlah species ikan Demsel di perairan kepulauan itu misalnya, melebihi jumlah species ikan Demsel dari seluruh perairan Australia. Belum lagi spesies terumbu karang lainnya. Tulahnya, banyaknya kapal nelayan asing pencuri ikan di kawasan perairan kita, bahkan hingga menohok ke Laut Jawa. Kepulauan kita uniknya juga tersebar di bawah katulistiwa, sehingga memperoleh aliran air laut dan udara hangat yang sangat ideal dan langgeng. Curah hujan pun sangat tinggi. Cukup untuk membasuh polusi yang menggayuti kota-

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

14


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

kota besar di kepulauan ini. Curah hujan juga memadai untuk mengakselerasi pertumbuhan kembali hutan tropis di jantung kepulauan. 2. Paradigma dan Prioritas Ruangan majalah ini sungguh terbatas untuk mengelaborasi lebih jauh tentang SDA yang ada di Indonesia. Lagi pun, mungkin SDA yang berlimpah ini juga yang telah menina-bobokan kita selama ini. Boleh jadi hanya Indonesia yang berada di batas dua samudra besar yang memiliki berbagai kombinasi berkah dan karunia dari laut dan buminya yang patut disyukuri ini. Faktor-faktor ini berpengaruh kepada perkembangan faktor-faktor lain yang pada gilirannya berpotensi sangat besar bagi memecahkan masalah kronis yang sampai saat ini masih dialami oleh bangsa yang sudah 60 tahun merdeka ini, yaitu: banyaknya kemiskinan, kebodohan dan tingkat kesehatan yang rendah dan

segala anakan persoalannya termasuk Korupsi Kolusi Nepotisme. Sumber Daya Manusia kita perlu diarahkan dengan benar dan terfokus dalam paradigma pembangunan kelautan. Pemerintahan yang mempunyai visi kebaharian yang benar, perlu memfasilitasinya dengan kebijakan dan strategi pembangunan nasional yang berbasis bahari. Dengan demikian apa yang menjadi potensi negeri di batas dua samudra penggenggam urat nadi ekonomi dunia ini tidak hanya mandeg di sini. Tidak berhenti dan terselingkuhkan oleh Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional 25 tahun yang saat ini tidak fokus, berwawasan kontinental, gagal mengidentifikasi keunggulan kompetitif negeri bahari dan oleh karenanya keliru menetapkan prioritas pembangunan nasional.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

15


UTAMA

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Menelusuri Pola Pertumbuhan Industri Perikanan Laut Indonesia: Beberapa Catatan Suadi Mahasiswa Lab. of International Agriculture Development, Graduate School of Agriculture Ibaraki University, Japan E-mail: suadi@ugm.ac.id 1. Pendahuluan Sejak UNCLOS 1982 ditetapkan dan diikuti lahirnya Undang-Undang No. 5/1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), secara geografis 75% wilayah negeri ini merupakan laut. Dari aspek geografi inilah para ahli sejarah ekonomi memulai kajian nusantara [1], dimana peran laut oleh Houben [2] dikatakan “uncontested”. Peran perikanan sebagai salah satu industri di pesisir nampak masih sangat kecil (10% dari PDB Pertanian) dan berdasarkan data yang dilaporkan van der Eng [3] sektor ini masih berada di bawah sektor lainnya dalam kurun waktu lebih dari satu abat terakhir. Sektor perikanan dan kelautan mulai mendapat perhatian lebih ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan lahirnya Departemen Ekplorasi Laut dengan Keppres 136/1999, atau kini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Potensi sumberdaya alam yang besar (Tabel 1) dan daya serap tenaga kerja yang diperkirakan lebih dari 10 juta orang [4] menjadikan sektor ini penting. Pemerintah tahun 2006 ini bahkan menargetkan produksi perikanan mencapai 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 3,1% [5]. Tabel 1. Potensi ekonomi perikanan laut Komoditas Perikanan laut Budidaya laut Budidaya payau Bioteknologi laut Jumlah total

Sumber: Dahuri [4]

Potensi Produksi (mt) Nilai (US$ juta) 5.006 15.101 46.700 46.700 1.000 10.000 4.000 75.801

Perikanan laut diperkirakan menyumbang 78% dari total produksi perikanan tahun 2002 akan menjadi tumpuan sektor ini. Kemiskinan yang berhadapan dengan kerapuhan lingkungan hidup, konflik dan dualisme ekonomi, serta tumpang tindihnya dan tidak berdayanya perangkat kebijakan, merupakan tantangan yang pada gilirannya akan berimbas pada keberkanjutan pertumbuhan sektor ini. 2. Pesisir dan Perikanan: Beberapa Momen Penting 2.1. 1400an-1600an: Commerce”

“Age

of

Abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini [2]. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang [6]. Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of commerce” [6]. Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi [2]. Bagaimana industri perikanan periode ini? Perdagangan mutiara dan kerangkerangan cukup penting [2], namun keterangan Zuhdi [7] tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

16


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

pedalaman menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini. 2.2. 1800an-Petengahan 1900an: Pasang- Surut Perikanan Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran ekonomi wilayah ini. Di Jawa misalnya, Houben [8] membagi menjadi tiga periode yaitu 1) 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan Mataram; 2) periode 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah pedalaman [9]. 3) 18301870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830 [10]. Untuk mendukung ekspor pemerintah membangun pelabuhan, namun pelabuhan yang tumbuh berkarakter menghisap potensi alam dan bumiputera [7]. Keuntungan tanam paksa tidak diterima rakyat, tetapi oleh orang Eropa, pedagang China, importir dan eksportir selain pemerintah Belanda [10]. Tanam paksa juga diperkirakan mendorong penurunan tampilan industri perkapalan [11]. Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan [12]. Bahkan, pada awal abad ke-20 Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan [13]. Jawa dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi [12]. Merujuk pada data van der Eng [3], kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.

Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial [14]. Kebijakan monopoli garam oleh pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si Api-Api telah mengalami kemunduran berarti [13]. Hal yang serupa dan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura [14]. Permasalahan ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai. Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher [12] disebut sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan [7]. Butcher [12] menilai nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan. 2.2. Awal Kemerdekaan dan Akhir Orde Lama: Pertarungan Politik Kebijakan ekonomi era ini banyak yang tidak dilaksanakan karena berbagai pergolakan politik. Strategi pemulihan terus dilaksanakan hingga tahun 1957, namun penampilan memburuk pada waktu Ekonomi Terpimpin yang akhinya menghasilkan kemunduran secara struktural ekonomi Indonesia antara tahun 1940 dan 1965 [15]. Di pertengahan 1960an ekonomi sangat merosot dengan inflasi mendekati 500% [16].

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

17


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah 1) perjuangan Konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, 2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, dan 3) perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan nasional. Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan nusantara, bagi perikanan perangkat kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia [17]. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UUPA (pasal 47 ayat 2). Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara konsep “kepemilikan bersama” dan “kepemilikan tunggal” [18] sebagaimana di Jepang yang memperkuat konsep hak atas sumberdaya ikan dalam perundangan perikanannya [19], konsepsi ini menurut Saad [18] memberikan ruang bagi pengakuan “kepemilikan tunggal”. Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang perikanan [18] ataupun UU Perikanan No. 31/2004.

1951, dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang. 2.3. Orde Baru: Terabaikan dan Dualisme Ekonomi Perikanan Hill [16] dalam studinya tentang ekonomi Indonesia sejak 1966 mencatat berbagai keberhasilan orde baru seperti kemampuan memanfaatkan “durian runtuh” harga minyak yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang berlanjut, perbaikan pendidikan, kesehatan dan gizi, selain beberapa catatan tantangan bagi masa depan. Wie [22] memberikan catatan lain diantara keberhasilan tersebut seperti meluasnya disparitas ekonomi antara yang kaya dan miskin, desa dan kota, bagian barat dan timur Indonesia, dan meningkatnya kroni-konglomerat. Pengelolaan sumberdaya alam yang buruk mendapat sorotan Hill khususnya pengelolaan hutan.

Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan hasil hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari ekstraksi sumberdaya perikanan menurut Pauker [20] mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang kabinet.

Bagaimana perikanan di era ini? Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun (Tabel 2). Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.

Data yang dilaporkan Krisnandhi [21] dapat menjadi acuan perikanan era ini. Setelah mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun

Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

18


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai. Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan ditunjukkan oleh Bailey [23] pada dua kasus penting yaitu 1) introduksi trawl dan purse seine dan 2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin [24] tentang tragedi sumberdaya kepemilikan bersama. Ketika nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov [23]. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983. 2.4. Pasca Reformasi: Harapan menjadi “Prime Mover” Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%). Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik

secara nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 19992001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001. Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional. 3. Pola Pertumbuhan dan Kebutuhan Akan Pengelolaan: Catatan Ringkas Pertumbuhan perikanan dalam jangka waktu 50 tahun terakhir (1951-2001) cukup dinamis (Tabel 2). Pertumbuhan yang tinggi selama periode 1959-1965 diperkirakan tidak terlepas dari upaya untuk medorong perikanan sebagai salah satu penggerak ekonomi, walaupun produktivitas perikanan secara nominal cenderung menurun. Sementara, pertumbuhan produksi yang tinggi selama orde baru terjadi pada era pertenggahan 1970an sampai awal 1980an akibat pesatnya motorisasi perikanan yang mencapai rata-rata di atas 15% per tahun. Pertumbuhan ini sayangnya harus dibayar dengan berbagai konflik. Pertumbuhan produksi dua periode terakhir orde baru semakin mengkhawatirkan karena nelayan tumbuh melampaui produksi perikanan. Pertumbuhan produtivitas nelayan pun negatif dalam dua periode ini (masingmasing -0,3%). Periode tahun 1999-2001 juga tidak terlalu berbeda jauh. Gambaran ini menguatkan dugaan bahwa sumberdaya ikan semakin terbatas untuk pertumbuhan secara berkelanjutan ekonomi pesisir.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

19


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

mendorong Jepang mencari berbagai pola kerja sama dengan negara-negara di Asia termasuk Indonesia khususnya untuk perikanan tuna [27]. Sementara, perikanan Filipina tumbuh di bawah Indonesia pada periode 1996-2001 (2,2%), Thailand seperti halnya Jepang tumbuh negatif dalam periode terakhir (1,1%).

Hasil analisis data FAOSTAT [26] juga menunjukkan pola pertumbuhan produksi perikanan Indonesia dengan kecenderungan yang hampir sama, menurun terutama pada periode terakhir 1996-2001 (2,9%) (periode 1999-2001 hanya 1,9% per tahun). Pola ini tidak berbeda jauh dengan pertumbuhan produksi perikanan beberapa negara di Asia khususnya Jepang, Filipina dan Thailand (Tabel 3). Tabel 2. Keadaan Umum Perikanan Indonesia, 1951-2001 Praduksi*

Periode

(ton)

19511955 19561958 19591965 19661967 19681973 19741978 19791983 19841988 19891993 19941998 19992001

Nelayan

Pertumbuhan (%)

Pertumbuhan (%)

(orang)

Kapal Ikan Motorisasi (unit)

(%)

375

4,9

389.200

7.5

97.340

0,5

418

1,0

537.667

13.1

141.533

1,0

526

7,4

825.286

2.8

206.600

2,5

694

-5,9

866.500

-3.5

244.650

3,4

810

3,5

n.a.

n.a

279.734

2,9

1.083

5,3

825.825

0.9

253.581

7,3

1.459

5,0

1.165.433

5.8

286.599

21,8

2.041

4,8

1.358.172

0.9

316.060

30,4

2.552

4,9

1.650.517

5.2

367.729

35,0

3.419

3,9

2.045.477

4.2

407.018

41,2

3.819

2,5

2.486.144

2.1

458.003

48,0

Sumber: Analsisis Data Sekunder, 2006 (Data tahun 1951-1966 [21], 1969-1986 [23], 1991-2001 [25]) z Angka pembulatan, data yang disajikan adalah nilai rata-rata masing-masing periode

Tabel 3. Pertumbuhan Tahunan Perikanan di Tiga Negara Asia, 1961-2001 Periode

19611965 19661970 19711975 19761980 19811985 19861990 19911995 19962001

Filipina Produksi* Pertumbuhan (ton) (%)

Thailand Produksi* Pertumbuhan (ton) (%)

Jepang Produksi* Pertumbuhan (ton) (%)

445

10,7

265

26,5

4.758

707

7,2

735

15,5

6.155

0,6 6,9

1.011

5,7

1.144

0,5

8.204

0,9

1.173

0,1

1.415

3,5

8.369

0,5

1.166

1,9

1.468

2,7

9.322

1,1

1.362

3,8

1.905

1,7

9.273

-4,1

1.519

-0,7

2.275

3,7

5.827

-8,8

1.572

2,2

2.259

-1,1

4.025

-3,6

Sumber: Analisis Data [26], 2006, z

Angka pembulatan, nilai produksi adalah nilai rata-rata

Perikanan Jepang terus tumbuh terbatas dan negatif pada tiga periode terakhir. Pertumbuhan yang terbatas sejak awal era 1970an terkait dengan semakin meluasnya adopsi UNCLOS 1982 yang membatasi pergerakan perikanan lepas pantai dan samudra negeri ini. Penurunan ini

Kini, eksploitasi perikanan terus meningkat dengan pesat bahkan meliputi tiga dimensi dari daerah penangkapan ikan, sementara upaya konservasi dan rehabilitasi masih terbatas. Setelah Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan tahun 1998 melaporkan sebagian besar sumberdaya ikan diekploitasi secara intensif, hasil pengkajian stok tahun 2001 diketahui 65% sumberdaya diekploitasi pada tingkat penuh atau berlebihan, terutama di wilayah bagian barat Indonesia. Karena itu, peluang industri perikanan akan bertumpu pada kawasan timur Indonesia dan ZEEI [28]. Transformasi struktur perikanan masih tetap menjadi tantangan, sebagaimana juga upaya pengembangan alternatif pendapatan untuk menurunkan tekanan exploitasi sumberdaya. Menuju samudra tidak hanya dibatasi oleh kondisi ini, juga akan oleh berbagai perangkat pengelolaan perikanan dunia misal oleh “Indian Ocean Tuna Commission” (IOTC) dan “International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas” (ICCAT). Sementara, keterbatasan armada perikanan nasional juga menjadi penyebab intensifnya penangkapan ikan ilegal. SEAPA melaporkan setiap tahun 3.000 kapal ikan illegal dari Thailand menangkap ikan di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafura [29]. Pengelolaan sumberdaya perikanan semakin dibutuhkan saat ini dan perlu mendapat porsi perhatian yang besar. Jika Hill [16] telah menunjukkan buruknya pengelolaan hutan, perikanan sebagai suatu sumberdaya yang penuh ketidakpastian (“uncertainties”) baik karena sifat biologi maupun karakter pemanfaatannya yang masih dianggap bersifat “openaccess” dan “common properties” tentu akan lebih menantang. Catatan singkat berikut merupakan beberapa tawaran pengelolaan perikanan:

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

20


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

1) Mempertimbangkan kembali hak atas sumberdaya. Hak sepeti ini mempunyai akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir Indonesia, walaupun sebagian besar tidak berdaya atau hilang karena berbagai perangkat kebijakan nasional. Pemerintah Belanda telah menguatkan tradisi ini dalam ketentuan “Territoriale Zee en Maritene Kringen Ordonantie” (TZMKO) tahun 1939 untuk melindungi nelayan dan konservasi sumberdaya ikan. Pemerintahan Soekarno juga menguatkan dengan UUPA walaupun perangkat di bawahnya tidak ada. Otonomi daerah tentu menjadi harapan bagi upaya ini. 2) Memperkuat sistem MCS (“monitoring, controlling, and surveillance”). Upaya ini terbukti dalam beberapa kasus berhasil mengurangi tekanan eksploitasi oleh perikanan ilegal dan juga menjadi alasan penting peningkatan PNBP perikanan selama periode tahun 2001-2003. MCS juga dapat menjadi salah satu perangkat penting perencanaan pengelolaan perikanan. 3) Perikanan tuna masih akan menjadi daya tarik di ZEEI atau laut lepas dan pengelolaan oleh internasional atas sumberdaya ini semakin menguat kini. Kemampuan diplomasi dengan dukungan pengetahuan biologi sumberdaya dan status pemanfaatannya sangat dibutuhkan. Indonesia tentu memiliki daya tawar yang sangat tinggi untuk perikanan ini terutama dengan diketahuinya daerah pengasuhan sebagian jenis sumberdaya tuna di selatan Jawa-Bali.

perhatian misal melalui program Coremap yang didanai donor internasional. 5) Integrasi perikanan kedalam pembangunan desa. Kelangkaan sumberdaya ikan semakin menyulitkan nelayan untuk memperbaiki kualitas hidupnya, dan kerapuhan lingkungan hidup seperti sedang berjalan seirama dengan kemiskinan. Sementara, orientasi pembangunan perikanan masih bersifat mengejar target. Berkembangannya usaha berbasis kelompok seperti budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan kedalam pembangunan desa secara menyeluruh. Tentu, tersedia banyak teknik dan konsep pengelolaan perikanan, dan diskusi serta upaya pemberdayaannya perlu terus dikembangkan. “Sense of urgency” dan “political will” khususnya dari pemerintah untuk membangun secara berkelanjutan industri ini menjadi salah satu kuncinya. 4. Penutup Industri perikanan laut tumbuh dinamis dalam lintas sejarah ekonomi nasional. Dalam setengah abad terakhir beberapa aspek perikanan cenderung menurun tampilannya, sehingga pengelolaan sumberdaya menjadi kebutuhan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan perikanan dan kelautan. 5. Daftar Pustaka

4) Insentif untuk konservasi dan rehabilitasi sumberdaya perikanan melalui program pengkayaan stok dan rehabilitasi habitat. Produksi masal benih ikan menjadi kunci program pengkayaan stok dan juga upaya pengembangan industri budidaya. Upaya ini sangat potensial berkembang dengan keberhasilan produksi benih beberapa jenis yang terancam misalnya kerapu. Sebelumnya, Indonesia pernah berhasil dengan program “backyard hatchery” untuk udang, namun seiiring dengan surutnya budidaya udang windu, usaha ini juga surut, sebaliknya kini budidaya justru berbalik ke spesies introduksi misal Vannamei. Sementara program pengkayaan stok masih sangat terbatas, rehabilitasi habitat ikan mendapat

[1] Lombard, D., 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu. Bagian I. PT Gramedia. Jakarta [2] Houben, V.J.H., 2002. The Pre-modern Economies of the Archipelago, in Dick, H., et.al. (eds). The Emergence of National Economy: an Economic History of Indonesia, 1800-2000. Southeast Asian Publication Series. Singapore. [3] Van der Eng, P., 2002. Indonesia’s Growth Performance in the 20th Century, in A. Maddison et al. (eds.), The Asian Economies in the Twentieth Century. Edward Elgar. Cheltenham. [4] Dahuri, R. 2004. Strategi Nasional Kelautan dan Perikanan untuk

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

21


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja, dan Pengentasan Kemiskinan. Menteri Kelautan dan Perikanan dalam pertemuan dengan KADIN. 6 Juli 2004. [5] Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan pada acara DKP Outlook 2006 Tanggal 17 Januari 2006. www.dkp.go.id Diakses 1 Februari 2006. [6] Manguin, PY.,1991. The Merchant and the King: Political Myths of Southeast Asian Countries Coastal Polities. Indonesia 52 (Oktober 1991): 41-54. [7] Zuhdi, S., 2002. Cilacap (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya suatu Pelabuhan di Jawa. KPG. Jakarta. [8] Houben, V.J.H., 1994. Trade and State Formation in Central Java 17th-19th Century, in G.J. Schutte (ed). State and Trade in the Indonesian Archipelago. KITLV Press. Leiden. [9] Hoffman, J., 1979. A Foreign Investment: Indies Malay to 1901. Indonesia 27 (April 1979): 65-92. [10] Neil, R.V., 1972, Measurement of Change under the Cultivation System in Java, 1837–1851. Indonesia 14 (October 1972): 89-109. [11] Dick, H.W., 1990. The Indonesian Interisland Shipping Industry. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. [12] Butcher, J.G., 2004. The Closing of the Frontier: A history of the Marine Fisheries at Southeast Asia c. 18502000. Institute of Southeast Asia Study. Singapore. [13] Butcher, J.G. 1996. The Salt Farm and the Fishing Industry of Bagan Si ApiApi, 62 (October 1996): 91-122. [14] Masyhuri, 1996. Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura 1850-1940. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. [15] Booth, A., 2002. Pertumbuhan dan Kemandekan dalam Era Pembangunan Bangsa: Penampilan Ekonomi Indonesia dari 1950-1965, in Lindblad, J.T. (ed). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. [16] Hill, H., 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia sejak 1966: Sebuah Studi

Kritis dan Konprehensif; Penerjemah Tim PAU Ekonomi UGM. Tiara Wacana. Yogyakarta. [17] Likadja, F.E., and D.F. Bessie, 1988. Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan. Ghalia Indonesia. Jakarta. [18] Saad, S., 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta [19] Makino, M., and H. Matsuda, 2005, Co-Management in Japanese Fisheries: Institutional Features and Transaction Costs. Marine Policy 29: 441-450. [20] Pauker, G.J., 1961. Indonesia`s EightYear Development Plan. Pacific Affairs, Vol. 4. No. 2 (Summer, 1961): 115-130 [21] Krisnandhi, S., 1969. The Economic Development of Indonesia’s Sea Fishing Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies 5(1: March 1969): 49-72. [22] Wie, T.K., 2002. The Soeharto Era and After: Stability, Development and Crisis: 1966-2000, in Dick, H., et.al (eds.), The Emergence of National Economy: an Economic History of Indonesia, 1800-2000. Allen and Unwin. Australia. [23] Bailey, C., 1988. The Political Economy of Marine Fisheries Development in Indonesia. Indonesia 46 (October 1988): 25-38. [24] Hardin, G., 1968. The Tragedy of the Commons. Sciences 162 (13 December 1968): 1243–1248. [25] DKP, 2003. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2001, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. [26] FAOSTAT, 2005. http://faostat.fao.org. Diakses Januari 2006. [27] Haward, M., and A. Bergin, 2001. The Political Economy of Japanese Distant Fisheries. Marine Policy (2001): 91101. [28] Widodo, J., and Suadi, Pengelolaan Perikanan Laut. (in press). [29] http://www.seapabkk.org/fellowships/2 002/anucha.html. Diakses 3 Februari 2006.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

22


UTAMA

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Agenda Makro Revitalisasi Perikanan yang Berkelanjutan Luky Adrianto Deputi Direktur Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB); Staf Pengajar Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, FPIK-IPB 1. Latar Belakang Bangsa yang berintegritas adalah bangsa yang mampu memahami sumberdaya dan kemampuan dirinya untuk kemudian memanfaatkannya demi peningkatan kesejahteraan (prosperity) dan kebanggaan (dignity) nasional. Untuk mewujudkan hal ini, maka semangat perubahan (changes) dapat dijadikan sebagai semangat dasar seperti yang disampaikan oleh Evelyn Waugh yang menyatakan �change is only evidence of life� [1]. Semangat perubahan yang berusaha mengubah perilaku berkehidupan masa lalu menuju masa depan yang penuh integritas, kebanggaan dan kesejahteraan yang berkeadilan. Sementara itu, tantangan ekonomi-politik pasca pemilu 2004 masih tetap pada isuisu pemulihan ekonomi nasional, khususnya sektor riel. Dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mampu mencapai angka 4,1%, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam penguatan pondasi ekonomi nasional. Namun demikian, beberapa isu pengelolaan (governance) ekonomi dan politik masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh sektor konsumsi dianggap tidak mencerminkan pertumbuhan riel ekonomi. Sementara itu, kinerja sektor investasi yang secara teoritis mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi riel masih belum seperti yang diharapkan. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah persetujuan Penanaman Modal Asing (PMA) yang pada tahun 2000 mencapai 1.542 proyek dengan total nilai US$ 16,1 miliar, turun menjadi hanya 1.047 proyek dengan nilai US$ 13,6 miliar pada tahun 2003. Kondisi yang sama terjadi untuk Penamanam Modal Dalam Negeri (PMDN) yang turun dari 392 proyek (Rp 98 triliun) pada tahun 2000 menjadi hanya 196 proyek dengan nilai Rp. 50,1 triliun pada tahun 2003 (BKPM, 2004).

Dengan kondisi ini, disinyalir Indonesia akan menjadi hanya tujuan pasar daripada tujuan investasi. Dengan kondisi ekonomi makro seperti tersebut di atas maka isu pemulihan ekonomi yang terkait dengan pemulihan iklim investasi dan peningkatan kesempatan kerja menjadi salah satu agenda utama. Dalam konteks ini, sektor perikanan dan kelautan kemudian menjadi salah satu sektor yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya pemulihan tersebut [2]. Tugas ini tentu tidak ringan, tapi juga bukan hal yang mustahil. Paling tidak ada 5 alasan yang mendasari optimisme sektor ini. Selain faktor kekayaan sumberdaya alam (natural resources endowment) yang dimiliki, menjadikan sektor perikanan dan kelautan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional juga didasari oleh kenyataan bahwa, pertama, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kesadaran akan pentingnya kualitas gizi pangan maka permintaan produk perikanan diperkirakan akan semakin tinggi. Kedua, terkait dengan peningkatan permintaan ini, maka sektor perikanan dan keluatan mampu menghasilkan backward and inward linkages economies dalam struktur perekonomian nasional. Ketiga, dengan berbasis pada sumberdaya alam terbarukan (renewable resources), maka basis pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan. Keempat, pengembangan sektor perikanan dan kelautan termasuk pulau-pulau kecil dapat membantu mengatasi persoalan perbatasan dan revitalisasi fungsi ekonomi, ekologis, budaya dan hankam dari pulau-pulau kecil dan atau pulau terpencil (remote islands) serta menciptakan distribusi kesejahteraan antar wilayah. Terakhir, fokus ke laut menjadikan Indonesia kembali sadar (reinventions) bahwa secara budaya, masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari wilayah pesisir dan laut [2].

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

23


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Namun demikian, secara empiris harus diakui bahwa pembangunan kelautan dan perikanan sebagai penopang utama ekonomi nasional masih memerlukan perjuangan dan kerja keras tanpa henti (endless efforts) dari seluruh stakeholdersnya. Upaya pembangunan sektor ini sesungguhnya dapat dimulai dari skala lokal untuk kemudian dilakukan proses pembelajaran (lessons learned) bagi pembangunan di level di atasnya. 2. Memperkuat Kerangka Pengelolaan Perikanan dan Kelautan Perikanan sebagai Indikator Kelautan Perikanan bukan satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut nasional. Laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan jasa bagi sektorsektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata, pertahanan dan keamanan, serta produksi energi. Namun demikian, sebagai sebuah sistem, perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut [3]. Hal ini terkait dengan premise bahwa perikanan merupakan sistem yang kompleks dan dinamik di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks ruang (space) dan karakteristik. Dengan demikian, pengelolaan perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional [3]. Namun demikian, pendekatan pengelolaan perikanan dan kelautan secara komprehensif tetap diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Ini berarti pendekatan kebijakan kelautan (marine policy) menjadi salah satu prasyarat di mana, dalam konteks platform ini, perikanan menjadi salah satu indikator utamanya. Dekonstruksi Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan, khususnya pada era post-EEZ,. menghadapi tantangan yang besar. Seperti yang ditegaskan oleh Hanna [3], sejarah dan evolusi pengelolaan perikanan global menunjukkan bahwa secara empiris trend hasil-hasil pengelolaan ternyata tidak sesuai dengan karakteristik yang diharapkan. Jangkauan pengelolaan perikanan (management scope) ternyata bersifat dinamik dan variatif, bukan statis. Sementara itu, struktur pengelolaan perikanan pun bersifat kaku (sluggish) dan bukan bersifat adaptif (adaptable). Konsekuensi dari lemahnya pengelolaan perikanan ini adalah produksi perikanan yang terus menurun, kehilangan nilai produktivitas ekonomi, biaya pengelolaan yang tinggi, dan ketidakadilan distribusi kesejahteraan dari sektor ini. Tantangan seperti ini lah yang menjadi landasan bagi platform pembangunan perikanan nasional pasca-Pemilu 2004. Keluaran yang diharapkan tentu bersifat linier dengan indikator kesuksesan pengelolaan yaitu terwujudnya pembangunan perikanan dan kelautan yang berkelanjutan. Dalam konteks ini dekonstruksi dan penguatan sekaligus dari pengelolaan perikanan menjadi prasyarat penting. Secara teoritis, pengelolaan perikanan (fisheries governance) memiliki paling tidak 3 unsur yang perlu diperhatikan yaitu (1) jangkauan pengelolaan (scope), (2) struktur pengelolaan; (3) persoalan biaya transaksi. Dalam konteks jangkauan, pengelolaan perikanan terkait dengan kenyataan bahwa perikanan memiliki multifungsi mulai dari fungsi ekologi, ekonomi, sosial hingga kelembagaan. Hal ini tentu menimbulkan tantangan apakah jangakuan pengelolaan perikanan hanya mencakup satu atau dua fungsi tersebut, atau secara komprehensif mencakup seluruh fungsi yang ada. Walaupun secara teoritis pengelolaan perikanan mampu dilakukan dengan jangkauan komprehensif, namun dalam tataran empiris diperlukan kerja keras dengan visi keberlanjutan perikanan yang kuat dalam penyusunan strategi pengelolaan perikanan di segala level. Sementara itu, dalam hal struktur pengelolaan, Hanna [3] mengindentifikasi bahwa tidak ada bentuk terbaik dari struktur pengelolaan perikanan. Selalu ada kesenjangan (tradeoffs) antara stabilitas

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

24


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

dan fleksibilitas, antara otoritas dan keterwakilan, antara sosial dan individu, dan lain sebagainya. Dalam teori kebijakan, fungsi utama dari struktur pengelolaan perikanan adalah adanya stabilitas dan konsistensi dari pengambilan keputusan ketika sistem atau kondisi senatiasa harus adaptif terhadap perubahan [4]. Dalam konteks ini maka struktur yang baik bagi pengelolaan perikanan adalah struktur yang stabil dalam konteks representasi, distribusi autoritas pengambilan keputusan dan informasi serta mampu memberikan batas yang jelas antara advisory roles dan decision roles. Dalam konteks biaya transaksi, penguatan pengeloaan perikanan perlu memperhatikan ex-ante and ex-post cost dillema. Setiap pengelolaan memerlukan biaya transaksi untuk menjalankan pengelolaan tersebut. Tantangan setiap kebijakan publik adalah bagaimana meminimumkan biaya transaksi ini. Dalam rejim yang menempatkan otoritas sebagai kendaraan utama, ex-ante cost bisa jadi rendah namun tinggi di ex-post cost-nya. Demikian juga sebaliknya. Sistem perikanan yang kompleks dengan interaksi sistem alam dan manusia yang dinamis memerlukan kebijakan pengelolaan yang mampu mengoptimalkan biaya transaksi yaitu mengurangi besaran biaya transaksi dan pada saat yang sama mampu menjaga keadilan dalam distribusi biaya. Ketiga faktor ini lah yang diharapkan dapat menjadi landasan bagi platform penguatan dan dekonstruksi bagi pengelolaan perikanan dan kelautan saat ini dan masa depan. 3. Agenda Perikanan

Makro

Revitalisasi

Perubahan Rejim Perikanan dari Quasi Open Access ke Limited Entry Dimulai dari adagium “the Freedom of the Sea� yang diinisiasi oleh Grotius (1609), rejim pemanfaatan sumberdaya laut dikenal sebagai rejim open acces di mana hampir tidak ada batasan untuk melakukan akses terhadap sumberdaya perikanan di laut. Dalam konteks hukum laut, adagium ini merupakan awal dari perdebatan konsep pengelolaan laut antara penganut mazhab laut terbuka/bebas (mare liberum)

yang dipelopori oleh Grotius dan mazhab laut tertutup (mare clausum) yang di antaranya diiniasi oleh sekelompok pemikir Inggris seperti Welwood dan Selden. Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles [5], paling tidak ada dua makna dalam rejim open access ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas (laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang. Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua menurut Charles [5] seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance) perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola (governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia. Salah satu titik awal dari revitalisasi tata kelola perikanan adalah secara gradual mengubah rejim quasi open acces menjadi limited entry atau paling tidak controlledopen acces. Rejim ini menitikberatkan pada pengelolaan sumberdaya perikanan baik dari sisi input maupun output melalui mekanisme pengaturan use rights. Tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi prasyarat dari penerapan rejim ini karena menyangkut mekanisme pemberian ijin yang adil, transparan dan efisien. Charles [5] memperingatkan bahwa rejim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

25


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Konsepsi limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks perikanan budidaya. Tidak jarang kegiatan budidaya yang sudah established harus kolaps karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap unsur spasialnya. Konsepsi limited entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme fishing right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right) harus mempertimbangkan ”kepada siapa hak tersebut diberikan”. Oleh karena itu, definisi nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang profesional bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku perikanan dalam rejim open access. ”Fit and proper test” terhadap nelayan tidak berorientasi hanya kepada pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan komunitas sehingga menjamin keberlanjutan perikanan dari sisi komunitas seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Kebijakan Total Allowable Effort : Jumlah Nelayan Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system seperti yang disa mpaikan oleh Charles [5], terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua

kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya ”perusahaan”, dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Tipologi nelayan seperti yang telah dijelaskan tersebut di atas dapat digunakan sebagai benchmark bagi penentuan pola-pola relokasi nelayan antar wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Hal ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan seperti kelompok nelayan yang mana yang akan direlokasi, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, informasi tentang dinamika sosial ekonomi masyarakat nelayan baik yang akan direlokasi maupun yang akan menjadi tujuan relokasi harus diketahui dengan baik untuk menghindari kemungkinan distorsi dari tujuan relokasi seperti potensi terjadinya konflik baik konflik vertikal maupun horisontal. Salah satu key factor dalam dinamika sosial ekonomi nelayan adalah informasi dan pengetahuan tentang hak (rights) karena pola relokasi nelayan tetap harus mempertimbangkan konsep perikanan berbasis hak (right-based fisheries) untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan komunitas nelayan sebelum dan sesudah relokasi. Menurut Ostrom and Schlager [6], paling tidak ada dua tipe hak yang penting dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya perikanan yaitu (1) use (operational-level) rights, dan (2) collectivechoice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait dengan proses dan dinamika penangkapan ikan. Dalam tipe ini, beberapa hak penting antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) ke dalam usaha perikanan tangkap baik dalam konteks daerah penangkapan (fishing ground) atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku, pengolahan perikanan, dan lain sebagainya. Masih dalam tipe hak yang pertama (use rights), hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (harvest rights) juga merupakan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

26


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

jenis hak yang penting. Walaupun secara kontekstual berbeda, kepemilikan kedua hak (access and harvest rights) secara bersama-sama merupakan unsur penting dalam keberlanjutan komunitas perikanan. Tanpa pemberian hak tersebut, maka tujuan relokasi nelayan ke tempat yang baru tidak akan tercapai sesuai harapan.

relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip cost effectiveness. Sebagai contoh, kelebihan nelayan di WPP 1 (Selat Malaka) mungkin akan lebih tepat apabila dialihkan ke WPP terdekat yaitu WPP 2 (Laut China Selatan) yang notabene masih relatif dekat dan secara sosial tidak terlalu berbeda.

Tipe hak kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang biasanya diberikan kepada otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan (supra-community). Otoritas ini biasanya adalah pemerintah lokal yang dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan UU No. 32/2004 pasal 18 memegang peran yang penting dalam pengelolaan perikanan. Dalam konteks relokasi nelayan, tipe hak kedua ini menjadi sangat penting karena hak ini terkait dengan unsur �siapa yang mengatur� sebagai pelengkap dari konsep hak yang terkait dengan �siapa yang diatur� seperti yang telah dijelaskan dalam tipe hak pertama (use rights). Selain hak pengelolaan, beberapa jenis hak penting yang masuk dalam ketegori collectivechoice rights adalah hak eksklusi (exclusion right) yaitu hak otoritas untuk menentukan kualifikasi bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan hak akses (access right) maupun panen (harvest right) dan hak alienasi (alienation right) yaitu hak untuk mentransfer dan menjual hak pengelolaan.

Selain itu, termasuk dalam strategi ini adalah kebijakan transformasi nelayan. Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan.

Berdasarkan uraian tentang dua unsur penting dalam masyarakat nelayan yaitu tipologi nelayan dan hak tersebut di atas, maka pola relokasi nelayan yang harus diterapkan dalam konteks pengembangan perikanan tangkap adalah pola-pola yang mampu menjamin keberlanjutan komunitas perikanan di tempat yang baru. Khususnya yang terkait dengan distribusi hak yang adil antara nelayan pendatang (yang direlokasi) dan nelayan lokal (yang menerima relokasi nelayan). Tanpa skema ini maka konflik akan sangat mudah terjadi dan pada akhirnya akan memicu timbulnya biaya sosial (social cost) yang cukup besar. Dalam konteks revitalisasi perikanan, pemberlakuan kebijakan relokasi nelayan harus pula memperhatikan lokasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sehingga

Secara teoritis, transformasi vertikal lebih dipilih sebagai salah satu alternatif kebijakan mengingat bahwa karakteristik komunitas perikanan pada umumnya bersifat artisanal sehingga tidak jarang kegiatan perikanan merupakan satusatunya pilihan hidup bagi masyarakat nelayan. Dengan memindahkan mata pencaharian mereka yang masih masuk dalam sistem perikanan, diharapkan tidak banyak terjadi gejolak sosial ekonomi yang timbul. Sama dengan dalam konteks relokasi nelayan, faktor hak-hak sosial ekonomi masyarakat nelayan yang ditransformasi harus diperhatikan sehingga keberlanjutan masyarakat ini tetap dapat dijaga. Kebijakan Local Fisheries Management Organization Kebijakan ini merupakan adopsi dari salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang disarankan oleh FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1985) yaitu bentuk Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Pada dasarnya, kebijakan ini menitikberatkan pada kerjasama regional (level negara) dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lintas batas seperti untuk kawasan perairan luas (large marine ecosystem) seperti Samudera Pasifik atau Samudera Hindia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

27


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Mengingat karakteristik sumberdaya perikanan Indonesia didominasi oleh sumberdaya perikanan pelagis dan pada umumnya –khususnya ikan pelagis besarmemiliki karakteristik sebagai transboundary species, maka kerjasama perikanan di tingkat lokal (antar kabupaten/kota atau antar propinsi) adalah agenda penting berikutnya. Konflik antar nelayan yang terjadi (Jawa-Kalimantan) adalah contoh betapa konflik harus diselesaikan baik secara kultural maupun struktural. Dalam konteks ini pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (ecosystembased fisheries management) menjadi sangat penting dan dapat diimplementasikan sebagai Local Fisheries Management Organization (LFMO). Kerjasama ini bisa digunakan untuk menentukan alokasi nelayan antar daerah, transformasi nelayan maupun kerjasamakerjasama mutual lainnya seperti kerjasama teknologi perikanan baik dalam konteks eksplorasi, eksploitasi maupun pengolahan hasil perikanan. Skema LFMO dapat mengadopsi pola RFMO yang dikembangkan oleh FAO. Sebagai contoh pola-pola kerjasama antara daerah berbasis joint-fee untuk mengelola sumberdaya perikanan milik bersama dapat dilakukan dengan semangat bahwa sumberdaya perikanan harus dimanfaatkan dan dikelola secara berkelanjutan. Salah satu kendala yang mungkin masih belum menjadikan skema ini sebagai konsep yang operasional adalah bahwa skema ini memerlukan rejim pengelolaan yang tegas (modified limited entry) dengan definisi nelayan dan fishing right yang transparan dan berkeadilan. Definisi nelayan menjadi faktor penting karena pemerintah (baik pusat maupun daerah) masih memegang hak pengelolaan di mana salah satu implementasinya adalah menentukan persyaratan bagi pihak-pihak yang akan mendapatkan hak akses dan hak pemanfaatan sumberdaya perikanan. Seperti yang kita ketahui, rejim perikanan di Indonesia masih bersifat quasi open access sehingga membuat profesi nelayan dianggap sebagai the last resort for employment. Dengan pendefinisian nelayan yang tegas, maka profesi nelayan dapat terjaga kemurniannya dengan tentu saja harus disesuaikan dengan

karakteristik nelayan Indonesia. Dalam konteks global, Jepang adalah negara yang membatasi jumlah nelayan melalui pemberlakuan definisi nelayan seperti yang tercantum dalam UU Koperasi Perikanan-nya. Menurut UU ini, nelayan didefinisikan sebagai orang yang aktif menangkap ikan minimal 92 hari per tahun. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan dapat lebih optimal dengan kejelasan profesi nelayan sebagai ujung tombak pengelolaan sumberdaya perikanan itu sendiri. Optimalisasi Distant Waters Fishing Salah satu peluang pengembangan perikanan yang dapat dijadikan benchmark bagi revitalisasi perikanan nasional adalah pengembangan armada Distant Waters Fishing (DWF). Hal ini sejalan dengan kecenderungan kebijakan perikanan global khususnya tentang regional fisheries management organization yang mencakup perairan trans-nasional untuk komoditas perikanan yang ekonomis penting dan bersifat trans-boundary seperti tuna dan cakalang. Dengan menjadi anggota RFMO maka secara otomatis hak penangkapan ikan akan diperoleh yang artinya membuka peluang bagi pengembangan DWF. Strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong industri perikanan besar untuk terlibat aktif dalam kebijakan DWF, dan membiarkan perikanan rakyat mendominasi perikanan domestik. Strategi ini diperlukan agar optimasi kapasitas perikanan nasional dapat dicapai tanpa harus memberikan biaya korbanan (oppportunity costs) yang besar kepada persoalan konflik ruang dan sumberdaya. 6. Penutup Revitalisasi perikanan merupakan upaya yang tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek dan merupakan upaya jangka panjang dan terus menerus. Revitalisasi perikanan itu sendiri memerlukan prasyarat perubahan di mana diantaranya adalah kemauan untuk mengubah pendekatan sektoral menuju pendekatan integratif untuk mengelola sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

28


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Daftar Pustaka [1] Khasali, R. 2005. Changes. Gramedia, Jakarta. [2] Hanna, S. 1999. Strenthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological Economics Vol. 31 : pp. 275286. [3] Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004. [4] Nohria, N and Gulati, R. 1994. Firms and Their Environments. In : Smelser, N.J. and Swedberg, R. (Eds). The Handbook of Economic Sociology. Princenton University Press. Pricenton, NJ. pp. 529-599. [5] Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK.

[6] Ostrom, Elinor and Edella Schlager.1996. The Formation of Property Right. In Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment ,Hanna, Susan, Carl Folke, Karl-Goran Maler (eds). Island Press : Washington DC, , pp. 130132 [7] Adrianto. L. and Y. Matsuda. 2002. Developing Economic Vulnerability Indices of Environmental Disasters in Small Island Regions. Environmental Impact Assessment Review (22) : 393-414 [8] Adrianto. L and Y. Matsuda. 2004. Assessing Local Sustainability of Fisheries System: a multi-criteria participatory approach with the case of Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan. Marine Policy (forthcoming).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

29


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

UTAMA

Silang Persepsi Bertumbal Nelayan M. Zulficar Mochtar National Program Spesialist USAID Jakarta, Alumnus Cardiff University,Wales, UK bidang kebijakan lingkungan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch – DFW Indonesia. Email : mzulficar@cbn.net.id 1.

Pendahuluan

Berita penahanan 4 orang nelayan tradisional asal Papela, Pulau Rote, bagian Timur Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh petugas Australia dengan alasan memasuki wilayah Australia secara ilegal baru-baru ini memang perlu dicermati serius. Penahanan tersebut merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dengan kasus-kasus sebelumnya. Pada tanggal 12-21 April 2005, dalam upaya memerangi maraknya praktek Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing, Australia menggelar Clear Water Operation, yang berujung pada penangkapan 240 nelayan Indonesia. Malangnya, Kapten kapal KM Gunung Mas Baru, Muhammad Heri, meninggal dalam masa penahanan di Darwin tanggal 28 April 2005). Padahal Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Bea Cukai diikutsertakan dalam operasi tersebut (Solihin, 2005). Demikian pula kasus kematian Mansyur La Ibu, nelayan asal Sikka, Flores yang disekap AL Australia tahun lalu, dan isu pembakaran kapal nelayan atau penahanan lainnya, telah merisaukan berbagai pihak dan menimbulkan tanda tanya besar tentang sikap resmi pemerintah Indonesia. Masalah ini harus dijawab secara arif, tegas, tuntas, dan diproses pada koridor hukum yang menghargai kedaulatan kedua negara. 2. Silang Persepsi Agresif Australia

dan

Kebijakan

Setidaknya ada dua penyebab utama yang memicu berlarut-larutnya kasus ini. Pertama, ketidakjelasan persepsi tentang ‘nelayan tradisional’ yang dipahami oleh Indonesia dan Australia. Melalui kesepakatan yang dikenal dengan MoU Box tahun 1974, kedua negara sepakat mengakomodir nelayan tradisional menangkap ikan di wilayah tertentu di

Australia. Untuk itu, pihak Indonesia beranggapan bahwa nelayan Indonesia telah turun-temurun menangkap ikan di wilayah Australia, adalah nelayan tradisional. Sayangnya, pihak Australia tidak beranggapan demikian. Mengingat para nelayan yang ditangkap umumnya memiliki kapal bermotor, peralatan tangkap, navigasi, dan komunikasi yang diaggap maju, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai nelayan tradisional lagi. Bagi mereka, nelayan Indonesia yang memasuki wilayah Australia lebih berorientasi komersial dengan target sirip hiu dan berbagai spesies lain yang bernilai jutaan dollar. Kedua, penerapan kebijakan agresif pihak Australia. Nelayan Indonesia yang ditangkap di perairan Australia umumnya langsung ditahan di Darwin biasanya 1–2 minggu untuk diinterogasi dan proses lainnya. Dalam berbagai kasus, hampir semua nelayan ditetapkan bersalah dan langsung diterbangkan kembali ke Indonesia, sementara perahu, peralatan, dan sebagainya dibakar atau dimusnahkan. Tragisnya, nelayan tersebut, secara sepihak sering dikategorikan sebagai ‘trans-organized crime’ yang termasuk pencari suaka, pelanggar imigrasi, bahkan sebagai penyelundup. Hal ini disebabkan karena penerapan kebijakan Australia, misalnya Rapid Repatriation (RR) dan AMIS yang cenderung bersifat diskriminatif hanya ditujukan bagi nelayan Indonesia, dan tidak dituangkan dalam perangkat perundang-undangan Australia yang memadai. (Agoes, 2005) Tentang kebijakan yang agresif, bukanlah hal baru bagi Australia. Berbagai kebijakan dari tahun ke tahun telah terbukti mempersempit akses ke lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tradisional Indonesia. Misalnya, perluasan kawasan Australian Fishing Zone (AFZ) dari 3 menjadi 12 mil tahun 1968 menjadikan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

30


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

wilayah tangkapan nelayan berkurang. Melalui kesepakatan MoU Box tahun 1974, penangkapan ikan hanya diperbolehkan pada wilayah 12 mil wilayah tertentu yang diklaim Australia di Laut Timor. Selanjutnya tahun 1979, dengan meluasnya kawasan AFZ dari 12 mil menjadi 200 mil, hak nelayan Indonesia semakin terbatas. Pelarangan penangkapan di pulau Ashmore tahun 1988 dan amandmen MoU Box pada tahun 1989 yang menyempitkan defenisi perikanan tradisional pada wilayah tertentu. Berbagai pembatasan dan kebijakan tersebut terbukti sangat mempengaruhi nelayan Indonesia, utamanya masyarakat Bajo (Stacey, 2001). Pemberlakuan RR dan AMIS yang hanya ditujukan bagi nelayan Indonesia semakin menegaskan hal tersebut.

illegal fishing. Banyak kapal, baik asing maupun berbendera Indonesia yang menangkap ikan di perairan Indonesia, melabuhkan hasil tangkapannya tersebut di negara lain, termasuk Australia, sehingga dalam hal ini, Indonesia adalah negara yang dirugikan. 4. Langkah strategis Pada tanggal 24-26 Agustus 2005 di Jakarta telah dilangsungkan pertemuan bilateral antara Australia dan Indonesia yang berfokus pada upaya membangun kerjasama mengatasi masalah IUU tersebut. Meski pertemuan tersebut memberikan sinyal positif, tetapi tampaknya masih terdapat beberapa hal belum tuntas, sehingga penahanan dan penangkapan masih terus terjadi.

3. Perlunya Sikap Tegas Indonesia Memahami realita tersebut, Indonesia perlu mengambil sikap tegas dan tidak ‘mengorbankan’ nelayannya. Sikap diam maupun keikutsertaan dalam Clear Water Operation, misalnya, secara politis sangat melemahkan posisi nelayan Indonesia, karena terkesan memberikan justifikasi pada kebijakan Australia. Padahal hingga kini, belum ada kerangka bilateral dan payung hukum antara Indonesia dan Australia yang menaungi keikutsertaan Indonesia dalam kegiatan serupa. Tidak dipungkiri pula bahwa setiap negara pantai memiliki hak berdaulat, berdasarkan UNCLOS 1982 pasal 73 (2) dan (4) untuk memeriksa, menangkap, dan melakukan proses pengadilan, terhadap berbagai pelanggaran perikanan di kawasan ZEEnya. Akan tetapi hak ini tidak mencakup pengurungan atau bentuk hukuman badan lainnya. Dengan begitu, kebijakan RR dan AMIS yang diterapkan Australia telah bertentangan dengan UNCLOS. Disamping itu, kebijakan tersebut melanggar prinsip praduga tak bersalah dan menghilangkan peluang nelayan Indonesia untuk melakukan pembelaan atau menebus kapalnya. Nelayan yang ditahan seharusnya diberikan bantuan hukum yang memadai, dan peralatan navigasi dan perlengkapan lain milik nelayan harus dikembalikan, karena dapat menjadi alat pembelaan di persidangan. Hal lainnya, harus dipahami bahwa Indonesia merupakan ‘ladang’ bagi praktek

Ada tiga hal substansial yang perlu dilakukan. Pertama, melakukan amandemen MoU Box 1974 dan memperkuat kebijakan nasional. Kesepakatan MoU Box sudah tidak efektif, karena memberikan persepsi interpretasi bias yang merugikan nelayan Indonesia. Defenisi yang menganggap nelayan tradisional adalah nelayan yang tidak dilengkapi dengan peralatan atau teknologi perikanan yang baik dan perahunya tidak boleh menggunakan motor atau mesin, adalah sumir. Bagaimanapun juga pemanfaatan teknologi adalah bagian dari perubahan peradaban manusia, yang berlaku juga bagi nelayan Indonesia. Penerapan kata ‘tradisional’ yang meniadakan akses teknologi dalam MoU, telah membatasi hak akses bagi nelayan Indonesia yang diperkirakan sejak antara tahun 1908 – 1924 melakukan kegiatan perikanan di wilayah tersebut (Stacey, 2001). Dalam hal ini, pembatasan jumlah dan ukuran kapal yang masuk dan spesies yang boleh ditangkap di wilayah tersebut akan jauh lebih efektif. Amandemen juga sebaiknya menegaskan pihak Australia untuk dapat konsisten menerapkan kebijakan perikanan terhadap nelayan Indonesia, bukan justru menetapkan kebijakan keimigrasian, penyelundupan dan lainnya yang merugikan nelayan Indonesia. Kedua, melakukan kerjasama tingkat regional dalam menuntaskan IUU fishing. Indonesia sangat rawan dengan praktek

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

31


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

illegal fishing yang dilakukan oleh berbagai negara, termasuk Thailand dan Philipina. Untuk itu, kerjasama bilateral saja tidak cukup. Sudah waktunya untuk membingkai upaya penyelesaian kasus IUU tersebut dalam kerangka penyelesaian regional dan komprehensif. Berbagai pengalaman terbaik (best practices) yang diperoleh dari kerjasama bilateral selama ini dapat dijadikan bahan untuk memformulasi kerangka penegakan hukum dan penguatan fondasi kebijakan dan program anti IUU Fishing di Indonesia. Ketiga, mengintensifkan upaya pemberdayaan nelayan tradisional Indonesia yang umumnya miskin. Untuk itu berbagai pendekatan social ekonomi berupa pemberian mata pencaharian, penyuluhan yang intensif, maupun peningkatan kapasitas dalam menangkap

ikan, distribusi data dan informasi perikanan, peningkatan sarana dan berbagai fasilitas, termasuk komunikasi, pendidikan, kesehatan, peralatan navigasi dan perlengkapan lainnya, akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan upaya penangkapan dan menghukum mereka yang sebenarnya hanya ‘tumbal’ dari bias persepsi antara Indonesia dan Australia. 7. Daftar Pustaka [1] Bias Sengketa Nelayan IndonesiaAustralia. Website,http://www.suaramerdeka.com/harian/0 505/04/ked11.htm [2] Penangkapan Nelayan Indonesia, Majalah Gatra〠Oktober 2005. [3] Analisis Peta Teritorial Laut Indonesia http://www.bppsdmk.or.id/data/pasar.php3

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

32


UTAMA

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional) Eko Sri Wiyono Staff pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB, dan kandidat doctor dari Tokyo University of Marine Science and Technology email: eko_ipb@yahoo.com Sering diungkapkan bahwa sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang terpulihkan. Namun, dalam kenyataannya sampai saat ini tak satupun fakta yang mampu menunjukkan kebenaran thesis tersebut. Produksi perikanan dunia terus mengalami penurunan dan bahkan overfishing dan punah. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan sebab-sebab kerusakan perikanan dunia ditinjau dari pendekatan pengelolaan perikanan konvensional serta mencoba mendiskusikan altenatif pengelolaan dan metode pemanfaatan sumberdaya ikan ke depan.

mengembangkan beberapa model pengelolaan perikanan. Model-model pengelolaan perikanan konvensional tersebut kemudian diaplikasikan di berbagai perairan di belahan bumi guna menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Meskipun model-model tersebut terus berkembang dan mengalami perbaikan, namun tak satupun model pengelolaan yang ada mampu menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Ada beberapa alasan yang bisa diungkapkan disini kenapa model-model konvensional pengelolaan sumberdaya ikan tersebut gagal dalam menghambat kerusakan sumberdaya ikan.

1. Manajemen Konvensional

Secara umum, model-model pengelolaan perikanan konvensioanl yang dikembangkan selama ini didasarkan atas positivistic science yang berasumsi bahwa ekosistem alam ini dapat diprediksi dan dikontrol [2]. Dalam kenyataannya, asumsi ini sangat susah untuk dipenuhi. Disamping kemampuan manusia untuk memprediksi perilaku ekosistem alam terbatas, perilaku ekosistem sendiri juga sangat susah untuk diprediksi. Sehingga, model-model yang berbasis kesetimbangan yang banyak diadopsi dalam pengelolaan sumberdaya ikan (seperti nilai maximum sustainable yields, MSY), tidak dapat diterapkan dengan baik. Bukan karena ketersediaan data yang terbatas, tapi yang lebih utama adalah kegagalan dalam mengadopsi perilaku ekosistem [3] dalam modelnya. Sehingga, penentuan reference point (nilai acuan) kapasitas maksimum lingkungan yang menjadi dasar dalam penentuan batas maksimum variabel keputusan (seperti MSY) menemui ketidak-akuratan. Kesalahan, baik itu lebih atau kurang (dari kapasitas maksimum sesungguhnya) akan berdampak yang buruk bagi pengelolaan sumberdaya ikan [4].

Pauly, et al., 2002 [1] mengatakan bahwa kegiatan perikanan (baca: penangkapan ikan) sebenaranya adalah merupakan suatu kegiatan pengejaran atau perburuan hewan air, seperti perburuan hewanhewan darat lainnya seperti rusa, kelinci atau hewan-hewan lainnnya di hutan. Mereka menjelaskan lebih lanjut bahwa tidak ada perburuan yang dilakukan secara industri di dunia ini, kecuali pada sumberdaya ikan. Dapat dibayangkan, apa yang terjadi jika kegiatan perburuan itu dijadikan industri dalam skala besar? Pertimbangan aspek ekonomi akan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek lainnya. Satuan upaya perburuan tersebut akan melebihi kapasitas maksimumnya dan mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumberdaya yang bersangkutan. Dimulai pada awal abad 19 ketika nelayan Inggris mengoperasikan steam trawl, kegiatan perikanan berkembang pesat dan menjadi komoditas industri dan perdagangan. Sadar akan kerusakan yang timbul akibat exploitasi yang “rakus� tersebut, ilmuwan biologi perikanan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

33


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Alasan berikutnya adalah model-model pengelolaan perikanan konvensional yang sebagian besar dikembangkan untuk spesies tunggal pada perikanan industri di belahan bumi utara bagian barat, tidak cocok diterapkan pada perikanan daerah tropis yang notabene berskala kecil dan bersifat multigear-multispecies. Padahal, bumi bagian selatan yang merupakan negara berkembang, dimana perikanannya didominasi oleh perikanan skala kecil, menyumbang hampir 58% produksi perikanan dunia [5]. Perbedaan skala, sistem penangkapan ikan dan ekosistem perairan, menyebabkan model-model konvensional tidak mampu untuk menerangkan kompleksitas perikanan daerah tropis. Pengelolaan perikanan, pada hakekatnya adalah pengelolaan ekosistem, dimana keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya sangat erat hubungan sebab akibatnya. Perubahan pada satu elemen ekosistem akan merubah struktur secara keseluruhan ekosistem tersebut. Ketidak mampuan model untuk menjelaskan kompleksitas perikanan ini, telah diyakini menjadi penyebab perubahan struktur ekosistem perikanan yang pada akhirnya menyebabkan degradasi produksi ikan dan overfishing di hampir seluruh wilayah daerah tropis. Pada sisi lainnya, manajemen perikanan konvensioanal yang hanya terfokus pada stock assessment model yang menafikkan aspek sosial juga disinyalir menjadi salah satu penyebab ketidak-berhasilan modelmodel konvensioanal. Padahal, management perikanan pada hakekatnya adalah suatu upaya untuk mengontrol upaya penangkapan, atau kongkretnya mengatur nelayan, pelaku utama kegiatan perikanan, dalam mengoperasikan alat tangkapnya, kapan, dimana dan seberapa besar kapasitas perikanan yang boleh digunakan. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang dinamika perilaku nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan termasuk di dalamnya aspek sosial-ekonomi nelayan yang melatar-belakanginya, sangatlah penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Hilborn, 1985 [6] mengungkapkan bahwa krisis perikanan cod dan salmon di Canada pada tahun 1980an sebenarnya bukanlah karena ketidak mampuan model dalam memperediksi ekologi semata tapi karena dinafikkannya aspek perilaku

nelayan ini dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Penurunan stok ikan, perubahan komposisi sumberdaya ikan, serta meningkatnya kompetisi antar nelayan, telah mendorong nelayan untuk melakukan upaya-upaya efisiensi dengan menambah daya kapal, teknologi penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan yang kesemuanya mengakibatkan meningkatnya kapasitas penangkapan ikan. Subsidi pemerintah yang tak terencana, juga diyakini telah mendorong nelayan untuk meningkatkan upaya penangkapan ikan. Motorisasi kapal nelayan yang tidak dibarengi dengan upaya peningkatan pemahaman nelayan akan pengelolaan sumberdaya ikan telah menyebabkan meningkatnya tekanan penangkapan di daerah pesisir. Dalam beberapa kasus, nelayan melakukan perubahan atau modifikasi ukuran kapal, alat tangkap atau teknologi penangkapan ikan yang digunakan guna mengelabuhi peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga penghitungan satuan upaya penangkapan dalam model perikanan konvensioanal yang hanya berbasis pada jumlah armada penangkapan akan menyesatkan. Ketidakmampuan model konvensional dalam mengoptimalkan tujuan pengelolaan itu sendiri, juga diyakini menjadi penyebab gagalnya model-model pengelolaan sumberdaya ikan konvensional dalam menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Secara umum, tujuan pengelolaan sumberdaya ikan ditujukan untuk mengoptimalkan tiga tujuan utama, yaitu: ekonomi, biologi dan sosial. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan diharapkan mampu untuk memuaskan aspek ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya sehingga mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya nelayan secara berkelanjutan. Namun demikian, dari ketiga tujuan utama tersebut, khususnya antara tujuan ekonomi dan biologi sangatlah bertentangan dan tidak mungkin untuk dicapai secara bersamaan. Mengoptimalkan ekonomi akan berdampak pada perusakan sumberdaya ikan dan sebaliknya mengoptimalkan sumberdaya ikan (kelestarian sumberdaya ikan) tidak akan mampu memuaskan aspek ekonomi. Perkembangan model pengelolaan sumberdaya ikan yang pada awalnya hanya diukur dengan aspek biologi semata,

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

34


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

maximum sustainable yield (MSY) yang kemudian dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, maximum economic yield (MEY) dan terakhir menjadi optimum sustainable yield (OSY) menunjukkan upaya-upaya perbaikan terhadap model yang ada. Namun, dari ketiga model tersebut, sampai saat ini belum mampu untuk mengoptimalkan seluruh tujuan pengelolaan sumberdaya ikan. Yang ada adalah, dengan nilai acuan MSY yang masih diragukan nilainya itu, sebagian besar negara berkembang mengesampingkan aspek biologi dan sosial dan terus membuka akses penangkapan ikan untuk tujuan devisa negara. 2. Pengelolaan Sumberdaya Ikan ke Depan Selama masih didasarkan pada modelmodel konvensional yang memahami perikanan secara linear, dapat diduga, species tunggal dan kesetimbangan sistem, pengelolaan perikanan tidak akan berhasil. Oleh sebab itu sangat berbahaya jika pengelolaan perikanan khususnya perikanan industri di daerah tropis masih didasarkan pada model-model konvensional ini. Perikanan bukanlah kegiatan ekonomi semata, namun sudah merupakan jalan hidup sebagian besar nelayan kecil di daerah tropis. Oleh karena itu pendekatan sosial-ekologi yang mengakomodasikan aspek ekologi dan sosial dalam suatu sistem layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ke depan. Perikanan harus dipandang sebagai integrasi sistem sosial-ekologi dengan dua arah umpan balik dan sistem adaptasi yang komplek. Pengelolaan perikanan bukan lagi ditujukan untuk menjawab pertanyaan “kemana perikaan ingin kita arahkan?� tetapi “bagaimana kita berubah menuju arah yang dikehendaki?� Pengelolaan sumberdaya ikan yang didasarkan pada nilai acuan (seperti MSY), sudah saatnya dicarikan alternatif penggantinya, dengan menggunakan rujukan arah kecenderungan perkembangan sumberdaya tersebut (misalnya perubahan komposisi hasil tangkapan, ukuran hasil tangkapan, dsb).

Pendekatan ecosystem based management (EBM) untuk pengelolaan sumberdaya ikan mungkin merupakan salah satu metoda alternatif untuk pengelolaan ekosistem sumberdaya ikan yang komplek. The Ecosystem Principles Advisory Panel (EPAP), menyatakan bahwa EBM mengemban sedikitnya 4 aspek utama [7]: (1) interaksi antara target species dengan predator, kompetitor dan species mangsa; (2) pengaruh musim dan cuaca terhadap biologi dan ekologi ikan; (3) interaksi antara ikan dan habitatnya; dan (4) pengaruh penangkapan ikan terhadap stok ikan dan habitatnya, khususnya bagaimana menangkap satu species yang mempunyai dampak terhadap species lain di dalam ekosistem. Bila dalam penjelasan EPAP tidak disebutkan secara langsung tentang bagimana mengelola perilaku orang atau manusia sebagai komponen ekosistem dimana mereka hidup dan memanfaatkan sumberdaya, tetapi sesungguhnya unsur manusia telah masuk di dalamnya. Di lain pihak, the National Research Council of the USA (NRC) dalam definisinya menyebutkan manusia sebagai komponen sekaligus pengguna dalam ekosistem secara langsung serta membedakan antara ekosistem dan pengguna ekosistem tersebut. Disebutkan juga bahwa tujuan akhir dari EBM adalah menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem. Sebagai alat monitoring ekosistem, EBM kemudian dilengkapi dengan indikator ekologi untuk mengukur perubahan ekosistem yang dimaksud. Indikator-indikator ini diupayakan lebih berarti secara ekologi, mudah dipahami dan diterapkan di lapangan. Berdasarkan hasil monitoring ini diharapkan perubahan ekosistem termasuk manusia yang ada di dalamnya mudah dijelaskan, sehingga keadaan ekosistem secara keseluruhan akan diketahui dan tindakan perbaikan dapat dilakukan secapatnya untuk mengatasi kerusakan yang ada. Sebagai contoh, Rochet and Trenkel, 2003 [8] mengelompokkan indikator perubahan sumberdaya ikan menjadi 3 kelompok besar yaitu (1) indicator pada tingkat populasi; (2) indicator pada tingkat antar species ikan dan (3) indicator pada tingkat kelompok ikan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

35


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Pada tataran pelaksanaan, EBM sering disandingkan dengan marine protected area (MPA), yang didefinisikan sebagai suatu wilayah yang populasi sumberdayanya bebas eksploitasi. Tujuan MPA adalah untuk melindungi sumberdaya dari eksploitasi agar sumberdaya tersebut pulih kembali. Disamping meningkatkan ukuran ikan, MPA juga diharapkan mampu mengembalikan stok sumberdaya yang telah rusak. Mous et. al, 2005 [9] dalam kajiannya telah mengungkapkan keunggulan MPA dibandingkan dengan pendekatan konvensional yang menggunakan nilai acuan (seperti MSY). Khususnya bagi pengelolaan perikanan di Indonesia, mereka secara tegas mengusulkan untuk mengganti metoda pendekatan pengelolaan perikanan yang selama ini didasarkan pada nilai MSY dengan MPA. 3. Kesimpulan Sampai saat ini, model-model pengelolaan perikanan terus dikembangkan guna memperbaiki kekurangan model yang telah dikembangkan sebelumnya. Perkembangan ilmu statistika dan komputer juga telah membantu ahli biologi ikan untuk mengembangkan model-model yang lebih rumit. Namun demikian, karena masih berbasis pada model-model konvensional yang bercirikan species tunggal, terpusat pada biologi populasi ikan dan mengesampingkan aspek sosialekologi perikanan dan berasumsi bahwa dinamika perikau populasi dapat diduga, belum juga mampu menghambat kerusakan populasi ikan dunia. Ke depan, karena perikanan dunia hampir 58 % di daerah berkembang beriklim tropis, orientasi pengelolaan perikanan perlu diubah dengan memandang sosial-ekologi perikanan sebagai suatu sistem. Alat pengelolaan perikanan bukan berorientasi pada pengukuran nilai acuan pengelolaan semata namun harus juga berisi metoda bagaimana cara menanggulangi suatu perubahan dalam sistem. Pemahaman yang menyeluruh ini akan memudahkan seorang manajer perikanan mampu untuk memberikan alternatif tindakan ketika suatu elemen sistem mengalami perubahan atau kerusakan. Salah satu metode pendekatan yang sudah dikembangkan untuk pendekatan ini

adalah Ecosystem Based Management (EBM). Daftar Pustaka [1] Pauly, D., Christensen V., GuĂŠnette S., Pitcher T.J., Sumaila, U.R., Walters C.J., Watson, R. and Zeller D. 2002. Towards sustainability in worlds fisheries. Nature 418:689-695. [2] Berkes F. 2003. Alternatives to conventional management: lessons from small-scale fisheries. Environments 31(1):5-19. [3] Holling, C.S. 2001. Understanding the complexity of economic, ecological, and social systems. Ecosystem 4:390405. [4] Wiyono. E.S. 2005. Stok sumberdaya ikan dan keberlanjutan kegiatan perikanan. Inovasi 4:26-30 [5] Food and Agriculture Organization. 2001. The State of World Fisheries and Aquaculture 2000. FAO, Rome, 142 pp. [6] Hilborn, R. 1985. Fleets dynamics and individual variation: why some people catch more fish than others. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science 42:2-13. [7] USA National Marine Fisheries Service. 1999. Ecosystem based fishery management: a report to the Congress by the Ecosystem Principles Advisory Panel. http://www.nmfs.gov/sfa/reports.html [8] Rochet MJ and Trenkel VM. 2003. Which community indicators can measure the impact of fishing? A review and proposal. Canadian Journal Fisheries and Aquatic Science 59: 1032-1043. [9] Mous, P.J., Pet, J.S., Arifin, Z., Djohani, R., Erdmann, M.V., Halim, A., Knight, M., Pet-Soede, L. and Wiadnya G. 2005. Policy needs to improve marine capture fisheries management and to define a role for marine protected areas in Indonesia. Fisheries Ecology and Management 12:259-268

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

36


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

UTAMA Tumpahan Minyak di Laut dan Beberapa Catatan Terhadap Kasus di Indonesia Agung Sudrajad Mahasiswa Program Doktor Universitas Kobe Fakultas Maritim Staff Pengajar Universitas Darma Persada Fakultas Teknologi Kelautan 021d801n@y04.kobe-u.ac.jp , agung_sudrajad@lycos.com 1. Pendahuluan Laut merupakan suatu lahan yang kaya dengan sumber daya alam termasuk keanekaragaman sumber daya hayati yang kesemuanya dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa 70% permukaan bumi ditutup oleh perairan/lautan dan lebih dari 90% kehidupan biomasa di planet bumi hidup di laut (UNEP, 2004). Oleh karenanya lautan merupakan bagian penting dari kelangsungan hidup manusia, kita dapat bayangkan jika lautan kita tercemar/rusak sehingga sebagian dari biomasa itu tercemar. Sementara 60% populasi manusia bumi ini tinggal di 60 km dari sebuah pantai yang sangat bergantung pada hasil laut. Oleh karenanya semua komponen negara bertanggungjawab dan wajib melestarikan kondisi dan keberadaan laut sesuai wujudnya termasuk didalamnya mencegah pencemaran. Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Sumber dari pencemaran laut ini antara lain adalah tumpahan minyak, sisa damparan amunisi perang, buangan dan proses di kapal, buangan industri ke laut, proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah dari transportasi darat melalui sungai, emisi transportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun sumber utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan kapal. Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena akibatnya akan sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut. Badan Dunia Group of Expert on Scientific Aspects of Marine Pollution (GESAMP) mencatat sekitar 6,44 juta ton per tahun masuk kandungan hidrokarbon ke dalam perairan laut dunia [1]. Sumber tersebut antara lain: Transportasi laut sebesar 4,63 juta ton/tahun, instalasi pengeboran lepas pantai sebesar 0,18 juta ton/tahun dan sumber lain

termasuk industri dan pemukiman sebesar 1,38 juta ton/tahun. 2. Tumpahan Minyak di Laut Sumber dari tumpahan minyak di laut beragam sumbernya, tidak hanya berasal dari kecelakaan kapal tanker namun juga akibat beberapa operasi kapal dan bangunan lepas pantai. Operasi Kapal Tanker Produksi minyak dunia diperkirakan sebanyak 3 milyar ton/tahun dan setengahnya dikirimkan melalui laut. Setelah kapal tanker memuat minyak kargo, kapal pun membawa air ballast (sistem kestabilan kapal menggunakan mekanisme bongkar-muat air) yang biasanya ditempatkan dalam tangki slop. Sampai di pelabuhan bongkar, setelah proses bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan juga air ballast yang kotor disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan untuk menjaga agar tangki diganti dengan air ballast baru untuk kebutuhan pada pelayaran selanjutnya. Hasil buangan dimana bercampur antara air dan minyak ini pun dialirkan ke dalam tangki slop. Sehingga di dalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air. Sebelum kapal berlayar, bagian air dalam tangki slop harus dikosongkan dengan memompakannya ke tangki penampungan limbah di terminal atau dipompakan ke laut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat disangkal buangan air yang dipompakan ke laut masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada pencemaran laut tempat terjadi bongkar muat kapal tanker. Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal) Semua kapal secara periodik harus dilakukan reparasi termasuk pembersihan tangki dan lambung. Dalam proses docking semua sisa bahan bakar yang ada dalam tangki harus dikosongkan untuk mencegah terjadinya ledakan dan kebakaran. Dalam aturannya semua galangan kapal harus dilengkapi dengan tangki penampung limbah, namun pada kenyataannya banyak galangan kapal tidak

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

37


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

memiliki fasilitas ini, sehingga buangan minyak langsung dipompakan ke laut. Tercatat pada tahun 1981 kurang lebih 30.000 ton minyak terbuang ke laut akibat proses docking ini [1]. Terminal Bongkar Muat Tengah Laut Proses bongkar muat tanker bukan hanya dilakukan di pelabuhan, namun banyak juga dilakukan di tengah laut. Proses bongkar muat di terminal laut ini banyak menimbulkan resiko kecelakaan seperti pipa yang pecah, bocor maupun kecelakaan karena kesalahan manusia. Bilga dan Tangki Bahan Bakar Umumnya semua kapal memerlukan proses balas saat berlayar normal maupun saat cuaca buruk. Karena umumnya tangki ballast kapal digunakan untuk memuat kargo maka biasanya pihak kapal menggunakan juga tangki bahan bakar yang kosong untuk membawa air ballast tambahan. Saat cuaca buruk maka air balas tersebut dipompakan ke laut sementara air tersebut sudah bercampur dengan minyak. Selain air balas, juga dipompakan keluar adalah air bilga yang juga bercampur dengan minyak. Bilga adalah saluran buangan air, minyak, dan pelumas hasil proses mesin yang merupakan limbah. Aturan Internasional mengatur bahwa buangan air bilga sebelum dipompakan ke laut harus masuk terlebih dahulu ke dalam separator, pemisah minyak dan air, namun pada kenyataannya banyak buangan bilga illegal yang tidak memenuhi aturan Internasional dibuang ke laut. Scrapping Kapal Proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) ini banyak dilakukan di industri kapal di India dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Akibat proses ini banyak kandungan metal dan lainnya termasuk kandungan minyak yang terbuang ke laut. Diperkirakan sekitar 1.500 ton/tahun minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini yang menyebabkan kerusakan lingkungan setempat. Kecelakaan Tanker Beberapa penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan. Beberapa kasus di perairan Selat Malaka adalah karena dangkalnya perairan, dimana kapal berada pada muatan penuh. Tercatat beberapa kasus kecelakaan besar di dunia antara lain pada 19

juli 1979 bocornya kapal tanker Atlantic Empress di perairan Tobacco yang menumpahkan minyak sebesar 287.000 ton ke laut. Tidak kalah besarnya adalah kasus terbakarnya kapal Haven pada tahun 1991 di perairan Genoa Italia, yang menumpahkan minyak sebesar 144.000 ton [1]. 3. Catatan atas Kasus Tumpahan Minyak di Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua benua menjadikan perairan Indonesia sebagai jalur perdagangan dan transportasi antar Negara. Banyak kapal-kapal pengangkut minyak maupun kargo barang yang melintasi perairan Indonesia yang menyebabkan negara kita sangat rentan terhadap polusi laut. Ditambah dengan posisi Indonesia sebagai penghasil minyak bumi, dimana di beberapa perairan dan pelabuhan Indonesia dijadikan sebagai terminal bongkar muat minyak bumi, termasuk juga bermunculannya bangunan pengeboran lepas pantai yang dapat menambah resiko tercemarnya perairan Indonesia. Karena itu di beberapa daerah yang terdapat terminal bongkar muat minyak di kategorikan oleh Pemerintah sebagai kawasan tingkat pencemaran tinggi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Lampung dan Sulawesi Selatan. Tabel 1 memperlihatkan beberapa kasus pencemaran laut akibat tumpahan minyak di Indonesia. Dari rentetan kejadian yang tercantum dalam tabel 1, kita dapat melihat bahwa kecenderungan terjadinya polusi laut akibat tumpahan minyak semakin meningkat. Akibat kejadian ini banyak nelayan kita yang tinggal di sekitar kejadian tidak dapat melaut untuk mencari ikan dan penghasilan mereka semakin menurun. Pencemaran laut ini mengakibatkan matinya ikan-ikan laut dan atau berpindahnya ikan-ikan dari lokasi pantai. Sementara nelayan kita hanya memiliki fasilitas penangkapan yang seadanya, kapal-kapal mereka tidak dapat menangkap ikan lebih jauh dari pantai. Ironisnya lagi tidak jarang aspirasi masyarakat yang berada disekitar kejadian seringkali tidak terwakili dalam hal rehabilitasi dan konpensasi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

38


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

. Tabel 1. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia No 1

Tahun 1975

Lokasi Selat Malaka

2 3

Januari 1975 Desember 1979

4

Pebruari 1979

5

September 1992

Selat Malaka Pelabuhan Buleleng Bali Pelabuhan Lhokseumawe Selat malaka

6 7

Januari 1993 April 1994

Selat Malaka Pelabuhan Cilacap

8 9

1996 Oktober 1997

Natuna Selat Singapura

10

1998

Tanjung Priok

11

1999-2000

Cilacap

12

Oktober 2000

Batam

13

2001

Tegal-Cirebon

14

2003-2005

Kepulauan Seribu

15

Juli 2003

Palembang

16

Juli 2004

Kepulauan Riau

17

September 2004

Cilacap

18

Oktober 2004

Pantai Indramayu

19

2004

Balikpapan

20

Agustus 2005

Teluk ambon

Keterangan Kandasnya kapal tanker Showa Maru yang menumpahkan minyak sebesar 1 juta barel minyak solar tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace Kecelakaan kapal tanker Choya Maru pada Desember menumpahkan 300 ton bensin. Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 1500 kilo liter minyak tanah Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT Nagasaki Spirit yang menumpahkan 13000 ton minyak Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator Tabrakan kapal tanker MV Bandar Ayu dengan Kapal Ikan Tanjung Permata III Tenggelamnya KM Batamas II yang memuat MFO Kapal Orapin Global bertabrakan dengan kapal tanker Evoikos Kandasnya kapal Pertamina Supply No 27 yang memuat solar Robeknya kapal tanker MT King Fisher dengan menumpahkan sekitar 4000 barel Kandasnya MT Natuna Sea dan menumpahkan 4000 ton minyak mentah Tenggelamnya tanker Stedfast yang mengangkut 1200 ton limbah minyak Tergenangnya tumpahan minyak di perairan Kepulauan Seribu Tabrakan antara tongkang PLTU-I/PLN yang mengangkut 363 kiloliter IDF dengan kapal kargo An Giang. Menyebabkan sungai Musi di sekitar kota Palembang tercemar Kapal tanker Vista Marine tenggelam akibat cuaca buruk dan menumpahkan limbah minyak dalam tangki slop sebanyak 200 ton Tumpahan Minyak oleh MT Lucky Lady yang memuat Syria Crude Oil sebanyak 625044 barel. Volume minyak yang tumpah ke perairan adalah sekitar 8000 barel dan menyebar 5 km sepanjang pantai Tumpahan Minyak mentah dari Pertamina UP VI Balongan, tumpahan ini merusak terumbu karang tempat pengasuhan ikan-ikan milik masyarakat sekitar Tumpahan minyak dari Perusahaan Total E dan P Indonesia, membuat nelayan sekitar tidak dapat melaut dalam beberapa waktu Meledaknya kapal ikan MV Fu Yuan Fu F66 yang menyebabkan tumpahnya minyak ke perairan

Sumber: Mass Media dan Pustaka [4] [7]

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

39


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

4. Pencegahan dan Penanggulangan Pemerintah dalam hal ini instansi terkait seperti KLH, Pariwisata, Pendidikan dan Kebudayaan, Perindustrian dan Perdagangan, DKP, TNI AL, Kepolisian Departemen Perhubungan, PERTAMINA dan Pemerintah Daerah menjadi ujung tombak dalam pencegahan dan penanggulangan polusi laut ini. Banyak kasuskasus seperti ini hanya menjadi catatan pemerintah tanpa penanggulangan tuntas. Sebagai contoh adalah kasus pencemaran di Pulau Seribu, dimana diketahui bahwa pencemaran ini sudah terjadi sejak tahun 2003 dan dalam kurun waktu 2003-2004 tercatat berlangsung 6 kali kejadian [2]. Namun sampai saat ini pemerintah belum mampu mengangkat kasus ini ke pengadilan untuk menghukum pelaku apalagi membayar ganti rugi kepada masyarakat sekitar. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah dan kepolisian dalam menuntaskan suatu kasus. Penulis meyakini bahwa Indonesia memang tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut ini. Penulis contohkan Jepang, dalam hal pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut, antara birokrasi, LSM, institusi penelitian dan masyarakat telah terintegrasi dengan baik. Kasus kandasnya kapal tanker milik Rusia Nakhodka (13.157 ton bermuatan 19.000 kilo liter heavy oil) pada Januari 1997 dapat dijadikan contoh keberhasilan negara ini dalam hal penanggulangan tumpahan minyak. Sekitar 6.240 kl tumpah di perairan Jepang dari Propinsi Shimane sampai Niigata. Seluruh aparat baik pemerintahan daerah dan pusat, pusat-pusat penelitian, universitas, LSM dan masyarakat bekerja keras saling membantu dalam penanggulangan bencana ini. Hanya dalam waktu 50 hari seluruh tumpahan dapat diselesaikan. Diakui bahwa prosedur penanggulangan seperti: pemberitahuan bencana, evaluasi strategi penanggulangan, partisipasi unsur terkait termasuk masyarakat, teknis penanggulangan, komunikasi, koordinasi dan kesungguhan untuk melindungi laut dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat menjadi poin utama dalam penanggulangan bencana ini. Untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan polusi laut akibat tumpahan minyak ini terdapat tiga faktor yang dapat dijadikan landasan yaitu aspek legalitas, aspek perlengkapan dan aspek koordinasi. Aspek Legalitas Suatu peraturan yang baik adalah peraturan

yang tidak saja memenuhi persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataan [3]. Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur jelas aspek-aspek pengelolaan dan sanksi bagi pelaku polusi di laut [6]. Namun pada kenyataan dilapangan, aparat hukum sangat sulit mencari bukti untuk dibawa ke pengadilan. Selain peraturan tentang lingkungan hidup juga tentang keselamatan dan pelayaran kapal diatur dalam UU No 21 tahun 1992 yang menyebutkan bahwa setiap kapal yang beroperasi untuk melayani seluruh kegiatan transportasi laut harus berada dalam kondisi laik laut [5]. Dalam lingkup internasional, pada tahun 1954 badan maritim internasional (IMO, International Maritime Organization) menghasilkan konvensi internasional mengenai Pencegahan Pencemaran di Laut oleh Minyak (International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil 1954), konvensi ini lalu diperbaharui pada tahun 1973 yang merupakan upaya awal dalam mengatasi dampak pencemaran di laut. Indonesia yang masuk dalam keanggotaan organisasi ini turut pula wajib melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan oleh IMO. Menjadi tugas pemerintah dan segenap komponen masyarakat untuk menegakkan peraturan-peraturan tersebut. Tugas pemerintah ini harus juga diimbangi dengan dua faktor yaitu pertama adanya fasilitas yang memungkinkan untuk bergerak dinamis, dalam hal ini mencari dan mengumpulkan data lapangan tentang penyebab-penyebab terjadinya suatu kasus pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak di laut dan kedua adalah ketersediaan sumber daya manusia yang memadai. Aspek Perlengkapan Kita tahu bahwa pembersihan laut akibat tumpahan minyak sangat sulit dilakukan, baik dalam hal waktu, kerja yang terus menerus, maupun dalam hal segi biaya yang dibutuhkan. Tiga teknik yang direkomendasikan untuk penanggulangan tumpahan minyak ini yaitu penggunaan spraying chemical dispersants, pengoperasian slick-lickers, dan floating boom [1]. Sementara langkah selanjutnya adalah pembersihan total sisa-sisa minyak baik di permukaan laut ataupun di daerah pantai yang tercemar adalah dengan bioremediation seperti menyemprotkan nitrat dan phosphate ke tumpahan minyak untuk mempercepat kerja bakteri pengurai minyak serta menyemprotkan air/uap tekanan tinggi ke bagian tebing batu karang yang terkena tumpahan. Berkaitan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

40


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

dengan perlengkapan kapal, UU No 21/92 menyebutkan pula tentang perlengkapan kapal baik dalam operasi maupun penanggulangan kecelakaan (termasuk tumpahan minyak). Para produsen minyak dan gas bumi pun sudah memiliki protap (prosedur kerja) dan fasilitas penanggulangan tumpahan minyak yang cukup memadai untuk digunakan dalam penerapan Tier 1 (penanggulangan bencana tumpahan minyak yang terjadi dalam lingkup pelabuhan) dan Tier 2 (penanggulangan bencana tumpahan minyak yang terjadi diluar lingkungan pelabuhan). Penerapan Tier 2 dilakukan secara inter-connection dibawah koordinasi ADPEL (Administrasi Pelabuhan). Hal yang tidak kalah penting dalam aspek ini juga adalah pentingnya penguasaan prosedur dan teknik-teknik penanggulangan tumpahan minyak oleh pelaksana lapangan. Aspek Koordinasi Dalam hal penanggulangan polusi tumpahan minyak di laut, seluruh departemen/instansi terkait seperti yang disebutkan sebelumnya, LSM, dan unsur masyarakat harus dapat berkoordinasi untuk menanggulangi bahaya pencemaran ini. Koordinasi ini sangat penting dilakukan agar pencemaran yang terjadi dapat selesai diatasi sampai tuntas, dimana segenap komponen bahu membahu saling mengisi kekurangan dan saling tukar informasi. Beberapa tahun yang lalu Departemen Kelautan dan Perikanan memulai Gerakan Bersih pantai dan Laut (GBPL) sejak September 2003. Gerakan ini bertujuan untuk mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan laut yang biru dan pantai yang bersih pada lokasi yang telah mengalami pencemaran. Dengan gerakan ini penulis juga mengharapkan bukan hanya didukung oleh pemerintah dan masyarakat, namun juga didukung oleh para pengusaha minyak dan gas bumi yang beroperasi di Indonesia. 5. Penutup

masyarakat kita sangat bergantung pada laut ini. Pencemaran laut akibat tumpahan minyak kian waktu kian menjadi kekhawatiran seluruh lapisan masyarakat atas kelanjutan laut kita dan ketersediaan lahan untuk hidup bagi nelayan kita. Oleh karenanya kegiatan monitoring dan kontrol menjadi sangat penting untuk mencegah dan menanggulangi bahaya pencemaran laut dari tumpahan minyak. Semua pihak instansi/departemen, LSM, TNI AL, Kepolisian harus melakukan koordinasi yang terus menerus. Upaya-upaya penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut akan berjalan efektif manakala memenuhi tiga aspek yang telah dijelaskan diatas (legalitas, perlengkapan dan koordinasi) ditambah dengan ketersediaan anggaran dan pelatihan SDM berkelanjutan. Referensi [1]

Clark R.B, 2003, Marine Pollution, Oxpord University Press, New York.

[2]

Direktur Jenderal Laporan Tahunan

[3]

Husseyn Umar, 2003, Masalah Pembangunan dan Penegakan Hukum Kelautan di Indonesia, Seminar Pemberdayaan Perhubungan Laut Dalam Abad XXI, Jakarta.

[4]

JICA-Dephub, 2002, The Study for The Maritime Safety Development Plan in Republic of Indonesia.

[5]

Presiden RI, 1992, Undang-undang No. 21 Tentang Pelayaran

[6]

Presiden RI, 1997, Undang-undang No. 23 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

[7]

Sofyan, 2001, Desentralisai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Suatu Peluang dan Tantangan, Makalah Falsafah Sain, PPS-IPB.

P2SDKP,

2004,

Menjadi kewajiban kita semua untuk menjaga kelestarian lingkungan laut kita, karena sebagian

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

41


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

UTAMA

Berburu Harta Karun di Laut Agus Supangat Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP-DKP email : agussup@dkp.go.id Temuan Teriakan ‘mangkok...... guci ...... teko ....... kalung .......’ adalah teriakan-teriakan kegembiraan seorang penyelam di pinggir pantai utara Jawa di awal bulan Mei tahun 2004 ketika ia menemukan keramik-keramik Cina berbentuk guci, kepingan emas, perak, berlian, zamrud, mutiara, batu berharga dan porselen dan sebagainya itu pada kedalamam 30 meter di perairan Cirebon. Secara keseluruhan jumlah benda-benda keramik Cina yang berhasil diangkat dalam waktu sebulan adalah sebanyak 2.225 buah keramik (dalam keadaan utuh), 3.535 buah keramik (yang direstorasi) dan 10.265 buah keramik (dalam keadaan pecah/tidak utuh).Total keseluruhan berdasarkan tipologinya bendabenda keramik tersebut berasal dari masa V Dinasti sekitar abad ke-X. Belum lagi penemuan Kapten Michael Hatcher pada tahun 1985 yang sangat menggemparkan sehingga pada waktu itu pemerintah perlu untuk segera memberi perhatian khusus terhadap masalah pengamanan warisan di laut yang tersebar di perairan Nusantara. Penemuan Hatcher yang spektakuler berupa 126 batang emas lantakan dan 160.000 benda keramik dinasti Ming dan Ching dari sebuah kapal VOC Geldermalsen yang karam di perairan Riau pada bulan Januari 1751, telah menyadarkan kita semua bahwa di dasar laut Indonesia tersimpan warisan yang tak ternilai harganya dan perlu untuk diteliti, dilestarikan dan dimanfaatkan. Sejarah Bahari Cerita tentang apa yang terjadi di awal bulan Mei tahun 2004 di pinggir pantura tersebut dan penemuan Hatcher pada tahun 1985 yang spektakuler ternyata sudah lama banyak mempengaruhi pemikiran dan tindakan orangorang di Indonesia, baik yang bergerak dalam

bidang penelitian dan pelestarian maupun dalam bidang pendidikan. Sejarah bahari Nusantara telah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Seabad sebelum orang Eropa pertama bermimpi berpetualang ke Nusantara, daerah tersebut telah menjadi tempat pertemuan yang kaya dan makmur dengan perdagangan lautnya. Setelah keberhasilan perdagangan lokal, hubungan awal perdagangan luar negeri Nusantara adalah dengan India dan Timur Tengah. Hubungan pertama dengan pedagang Arab dan India adalah memperkenalkan rempahrempah dari Maluku,suatu rempah asli Nusantara, kemudian dengan orang-orang Eropa pada abad ke-4. Komoditas dari Nusantara ini pada awalnya dibawa secara bertahap, pertama melalui laut ke India, kemudian melewati daratan melalui rute perdagangan tua ke Timur Tengah dan kotakota pelabuhan di Laut Mediteran dan akhirnya ke Eropa. Selain rempah-rempah, kekayaan dalam komoditas lain juga menggalakkan hubungan perdagangan. Pada abad pertama setelah Roman Emperor Vespasion melarang ekspor emas dari Roma, pedagang-pedagang India melirik ke Nusantara sebagai sumber alternatif impor emas khususnya kepulauan Sumatra dan Jawa. Selain para pedagang Arab dan India ini, bangsa Melayu juga adalah pedagang. Mereka digambarkan sebagai “par exellence yaitu orang-orang laut�. Selama berabad-abad, mereka memainkan peran penting dalam membuat rute awal perkapalan timur ke Cina dan rute barat ke India, Timur Tengah, dan Afrika. Bangsa Cina juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan perdagangan di laut dengan mengekspor keramik-keramik oriental dan barang lain. Sejak abad ke-9, porselen Cina telah ada di Nusantara. Dari pelabuhan di Cina Selatan, kapal-kapal layar Cina

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

42


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 biasanya mengambil satu dari dua rute melalui Asia Tenggara, berlayar ke pantai barat Filipina, melewati Borneo dan Sulawesi ke kepulauan Maluku, atau menyusuri garis pantai Vietnam, Thailand dan Semenanjung Malaka dengan bantuan angin monsoon. Dari sana, mereka bergerak ke arah selatan ke Jawa atau Sumatra atau ke barat ke Samudera Hindia untuk perjalanan jauh ke India dan ke daerah yang lebih jauh lagi. Sebagai daerah yang didominasi laut, perdagangan dan perkapalan di Nusantara pada saat itu telah menjadi ciri khas penting secara politik dan ekonomi selama berabadabad. Pelabuhan perdagangan yang penting di Nusantara adalah Aceh, Pasai dan Kota Cina, Palembang, Banten dan Batavia, Makassar, Seram, Ternate, dsb. Seberapa Banyak Kapal yang Hilang? Jumlah kapal yang hilang dan karam selama berabad-abad di perairan Nusantara sangat banyak sehingga tidak terhitung. Perairan Nusantara ini adalah mimpi para ahli arkeolog bawah air dan para pemburu harta karun yang terwujud karena sejumlah besar kekayaan ada di dasar laut tak tersentuh. Kapal layar Cina telah mengharungi perairan Asia selama berabad-abad dan selama bertahun-tahun telah banyak kapal yang membawa muatan yang hari ini tidak ternilai harganya, tenggelam. Pelayaran dari Portugal ke Atlantik selatan, melalui Samudra Hindia dan ke Asia Tenggara adalah perjalanan yang lama dan bahaya. Sejak tahun 1650, sekitar 800 kapal Portugis berlayar dari Lisabon dimana hampir 150 kapal tidak pernah terdengar lagi. Kemungkinannya hilang tanpa jejak. Antara tahun 1600 dan 1800, English east India Company (EIC) telah kehilangan lebih dari 7000 kapal dan kebanyakannya tenggelam ke dasar laut terbawa bersamanya harta kekayaan. Sementara pada tahun 1808 dan 1809, EIC kehilangan 10 kapal yang

berlayar pulang dan bersamanya hilang juga satu juta sterling lebih. VOC Belanda juga telah kehilangan 105 kapal yang berlayar antara tahun 1602 dan 1794; kapal-kapal yang berlayar pulang 141 kapal antara tahun 1602 dan 1795. periode yang buruk adalah antara tahun 1725-1749 ketika VOC kehilangan 44 kapalnya yang berlayar pulang. Nilai muatan yang dibawa oleh kapal-kapal tersebut sangat besar. Wajar saja jika dikatakan bahwa ada “Harta Karun” bertebaran di perairan Nusantara. Muatan yang Hilang Tidak semua muatan yang ada pada kapal yang hilang di Nusantara berharga hari ini. Setelah tenggelam di laut selama bertahuntahun, banyak muatannya yang hancur, seperti sutra murni Cina, Teh dari Cina, Opium dari Bengal (Bangladesh), Danuan (India) dan Turki, Bahan katun dari Amerika dan Cina,Rempah dari kepulauan Maluku ,Logam dari Eropa seperti besi,Kulit hewan dari Amerika dan Inggris Muatan yang Tidak Hancur Banyak juga kapal yang membawa muatan yang berharga seperti emas, perak, berlian, zamrud, mutiara, batu berharga dan porselen dan keramik Cina dan Jepang. Sebagian besar barang-barang tersebut pernah ditemukan pada kapal karam di perairan Nusantara. Nilai barang yang berharga tersebut tidak terhitung. Berikut sebagai contoh, berdasarkan kajian histories dari rute perdagangan Nusantara antara tahun 1511 hingga akhir 1800-an di perairan Laut Jawa tercatat berbagai musibah sehingga mengakibatkan kapal tenggelam.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

43


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Tabel 1. Sejarah kapal kapal yang tenggelam di perairan laut Indonesia periode 1601-1875 Tahun Keterangan 1601

Pada tanggal 26 Desember, terjadi perang laut antara Armada Belanda dan Portugis di lepas pantai Bantam (Jawa Barat). Armada Belanda terdiri dari empat kapal layar dan satu kapal perang, yaitu GUELDERLAND (520 ton), SEALAND (400 ton), UTRECHT (240 ton), WATCHER (120 ton) dan DOVE (50 ton). Armada portugis terdiri dari 8 kapal layar besar dan 22 kapal perang (nama tidak diketahui). Perang ini berlangsung selama enam atau tujuh hari. Dua kapal layar dan tiga kapal perang Portugis mengalami kerusakan berat sehingga awak kapal mencoba mengelabui lawan dengan cara membakar kapal tersebut, tetapi armada Belanda dapat menghindarinya. Tidak satupun kapal Belanda yang hilang dalam pertempuran ini.

1601

Kapal PIE dibawah komando Pereira De Sande, dalam perjalanan dari Malaka menuju Ambon ketika hilang di bebatuan Peressada di timur laut Jawa. Kapal tersebut diperkirakan membawa emas dan perak.

1611 atau 1613

TRADES INCREASE, kapal EIC seberat 1293 ton sedang berada di pelabuhan Banten melapisi kapal dan belum satu bagian selesai dilapisi kapal jatuh pada satu sisinya dan rusak total. Peristiwa ini menyebabkan banyak awak kapal dan pekerja Jawa yang tewas. Berikutnya kapal dibakar sehingga tenggelam oleh orang-orang Jawa yang marah.

1613

TRADES INCREASE, kapal EIC seberat 1100 ton dibawah komando Sir Henry Middleton berlayar dari Eropa ke bagian timur pada tanggal 1 April 1610. Kapal menabrak sebuah batu ketika memasuki Banten sehingga mengalami kebocoran. Ketika diperbaiki kapal miring dan terbakar sehingga akhirnya dihancurkan oleh orang-orang Jawa.

1617

HECTOR, kapal EIC dengan Kapten William Edwardes, hilang pada bulan Juni di lepas pantai Jawa.

1618

BLACK LION, English East Indiaman (berat kapal tidak diketahui), ketika berlabuh di Batavia pada tanggal 25 Desember, terbakar secara tidak sengaja akibat kecerobohan awak kapal.

1623

REFUGE, kapal EIC yang hilang di lepas pantai Semarang dalam perjalanan dari Inggris menuju Asia.

1627

BANTAM, kapal VOC seberat 800 ton, terbakar pada tanggal 24 Maret di tembok pangkalan pelabuhan Batavia. Muatan kapal langsung diselamatkan tak lama kemudian.

1632

NIJMEGEN, Dutch East Indiaman, hilang dekat Batavia dalam perjalanan pulang pada bulan Agustus. Diperkirakan kapal membawa muatan porselen asia.

1633

BREEDAM, kapal VOC seberat 200 ton dengan Kapten Michiel Vis, tiba di Batavia tanggal 24 Mei 1633. Kapal tersebut karam di dekat Pulau Duizend, Kep.Seribu, Batavia).

1633

DELFSHAVEN, Dutch East Indiaman seberat 400 ton, kapten tidak diketahui, tiba

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

44


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 di Batavia pada tanggal 9 September 1632. Satu tahun kemudian yaitu pada 12 November 1633 kapal tersebut meledak di Batavia akibat kelalaian. 1653

ZEEMEEUW, Dutch East Indiaman seberat 100 ton dengan Kapten Alexander Hendricksz, hilang di bagian timur Batavia.

1657

LILLO, Dutch East Indiaman seberat 240 ton dengan Kapten Jean Laphart, menuju Batavia (via Pernambuco, Sulawesi) dan karam di pintu masuk pelabuhan Batavia.

1658

WINDHOND, kapal VOC seberat 360 ton, hilang di Pulau Boompjes (timur laut Batavia, Jawa) ketika dalam pelayaran lokal.

1663

GRIFFIOEN, Dutch East Indiaman berat 560 ton, kapten tidak diketahui, tiba di Hindia (Batavia) pada 28 Oktober 1647 dan digunakan di ONRUST (diluar Batavia). Kapal tersebut tenggelam pada 16 November.

1670

NIEUWENDAM, Dutch East Indiaman seberat 210 ton, kapten kapal tidak diketahui, tiba di Batavia pada 18 Juni 1663. Kapal tersebut karam di perairan antara Bima dan Makassar di malam hari tanggal 1 Oktober 1670.

1670

STOMPNEUS, kapal VOC dengan Kapten Anthony Von Doorn, tenggelam di Japara oleh kapal EIC, ZANTE.

1684

HUIS TE KLEEF, Dutch East Indiaman seberat 564 ton dengan Kapten Gerrit Albertsz Schellinger, tiba di Batavia pada tanggal 16 Agustus 1675. Dalam perjalanan menuju Palembang kapal tersebut karam karena menabrak gugusan karang dekat kepulauan seribu pada tanggal 1 September.

1684

BODE, Dutch East Indiaman seberat 96 ton dengan Kapten Adriaan Roelofsz van Asperen, tiba di Batavia pada tanggal 18 November 1674. Pada tanggal 13 September, kapal tersebut karam di dekat Kepulauan Seribu.

1686

KROONVOGEL, Dutch East Indiaman seberat 108 ton dan Kapten Lucas Genzenwinner, tiba di Batavia pada tanggal 4 Juli 1676. Pada tanggal 11 Februari 1686, kapal mendarat dan karam di Pulau Alkmaar dekat Batavia.

1690

ZIJPE, Dutch East Indiaman seberat 488 ton deng kapten Jan Modderman tiba di Batavia pada tanggal 12 Mei 1674. Pada akhirnya kapal diledakkan di pelabuhan Batavia.

1697

BRONSTEDE, Dutch East Indiaman seberat 253 ton dengan Kapten Jakob Barendsz Sonbeek tiba ti Batavia pada tanggal 10 Oktober 1686. Sebelas tahun kemudian tanggal 11 Agustus, kapal karam di rute perjalanan ke Semarang akibat kebocoran.

1698

HONSELAARSDIJK, Dutch East Indiaman seberat 722 ton dengan Kapten Kornelis Ole tiba di Batavia pada 28 Februari 1691. Tujuh tahun kemudian kapal karam di rute perjalanan dari Batavia.

1702

SCHELLAG, kapal VOC seberat 290 ton dengan Kapten Jakob de la Palma tiba di Batavia pada tanggal 10 September 1700. Pada malam tanggal 21 November kapal tersebut tenggelam di rute perjalanan dari Batavia.

1719

OEGSTGEEST, kapal VOC seberat 576 ton dengan Kapten Pieter Jansz Bruin hilang di Gresik.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

45


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 1728

OUWERKERK, Dutch East Indiaman seberat 658 ton dengan Kapten Jan de Vos karam dekat Jepara.

1740

VALKENISSE, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten Elias Moeninx tiba di Batavia pada tanggal 12 Januari 1734. Enam tahun kemudian kapal karam di Banten pada bulan September.

1744

KASTEEL VAN WOERDEN, Dutch East Indiaman seberat 850 ton yang hilang setelah menabrak sebuah batu yang berada 14 kilometer (9 mil) dari Pamanukan.

1746

HOFWEGEN, Dutch East Indiaman seberat 650 ton dengan Kapten Jan de Wit tiba di Batavia pada tanggal 7 Oktober 1742. Empat tahun kemudian pada tanggal 1 September, kapal meledak di rute perjalanan dari Batavia.

1765

PIJLSWAART, Dutch East Indiaman seberat 880 ton, hilang di rute perjalanan dari Batavia pada tanggal 24 Februari ketika berlayar pulang ke Belanda.

1784

EUROPA, kapal VOC seberat 1200 ton, menabrak Rock of Indramayu dan tenggelam. Kapal tersebut sedang dalam ekskursi perdagangan inter-Asian.

1789

JONGE FRANK, Dutch East Indiaman seberat 592 ton dengan Kapten Jacob Veer, karam pada bulan Agustus 1788 ketika berada di Tanjung Good Hope sedang memuatkan sebagian barang dari kapal pengangkut barang MARIA untuk pelayaran pulang. Kapal JONGE FRANK kemudian bergerak ke Batavia dan tiba di sana pada tanggal 24 Desember 1789. Kapal ini tenggelam ketika di rute perjalanan dari Batavia, dan muatan dari kapal MARIA dinilai seharga 254.877 florin.

1794

INDUS, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten Matthijs Laurens Koster, tiba di Batavia pada tanggal 20 Mei 1791. Tiga tahun kemudian kapal tersebut terbakar hangus di rute perjalanan dari Batavia.

1795 atau 1796

HERTOG VAN BRUNSWIJK, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten jan Olhof, tiba di Batavia pada tanggal 9 juli 1794. Pada tahun 17995 atau 1796, kapal ini karam di luar wilayah Batavia.

1796

DRAAK, kapal VOC seberat 1150 ton dengan Kapten Anthonie van Rijn, pertama kali tiba di Batavia pada tanggal 13 Juli 1793. Tiga tahun kemudian ketika posisi jangkar di rute perjalanan dari Batavia, kapal disambar kilat dan terbakar musnah.

1817

WENA, kapal Belanda yang karam dekat Batavia ketika berlayar dari Rotterdam ke Batavia. Sebagian muatannya diselamatkan pada saat itu.

1854

ZINGARI, kapal layar Amerika yang berlayar dari Batavia ke Singapura, hilang di Brouwers Shoal pada bulan Juni. Kapten, awak dan penumpang kapal dapat diselamatkan.

1856

ROBERTUS HENDRIKUS, kapal Belanda yang berada di rute jalan Batavia ditemukan terbakar di pagi tanggal 10 Juni tahun itu. Semua usaha untuk mengendalikan api telah dilakukan tetapi sia-sia. Pada siang hari api telah menjalar sehingga akhirnya kapal tenggelam dan hanya haluannya yang terlihat di permukaan air. Kapal ini sedang berlayar ke Semarang membawa ÂŁ80.000 sterling dalam bentuk kepingan uang logam milik pemerintah, 1000 pical timah, 1500 pical kopi dan sejumlah batubara dan karung goni. Tidak diketahui apakah muatan yang hilang tersebut dapat diselamatkan.

1856

CHINA, kapal dagang Inggris dengan Kapten Ayers, sedang dalam pelayaran dari

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

46


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Manilla ke London ketika menabrak karang dekat Kepulauan Seribu pada malam tanggal 29 Juni. Kapal berhasil keluar tetapi langsung tenggelam. Kapten dan awak kapal berjumlah 27 orang terpaksa menaiki perahu dan keesokan harinya mereka dibawa oleh kapal pengangkut barang Amerika, CYHNTIA yang dibawah komando Kapten Barblet. Mereka selamat tiba di Batavia pada tanggal 1 Juli. Kapal CHINA membawa muatan berupa gula. 1857

LIEUTENANT ADMIRAL STELLINGWERF, kapal layar Belanda yang hilang di 7o1’ LS dan 110o27’ BT (Jawa tengah) ketika berlayar dari Semarang ke Singapura. Dikabarkan bahwa kapal membawa mata uang logam senilai US$20.000 - $30.000.

1858

NICHOLAS CEZARD, kapal Prancis yang menabrak karang di Laut Jawa dan tenggelam.

1860

DERKINA TITIA, kapal Belanda dengan Kapten Evink yang berlayar dari Macau ke Jawa, hilang di Pulau Arends pada tanggal 17 September. Awak kapalnya berhasil tiba di Surabaya dengan selamat.

1861

AGATHA MARIA, kapal Belanda yang hilang pada tanggal 17 Juni pada karang dekat Cilacap yaitu di posisi 7o41’ LS dan 109o5’ BT. Kapal sedang berlayar dari Cilacap ke Amsterdam . Usaha penyelamatan dilakukan pada saat itu tetapi hasilnya tidak diketahui.

1862

PIONEER, kapal Amerika yang berlayar dari Manilla ke Liverpool hilang di pulau Karimun Jawa pada tanggal 27 Desember. Awak kapalnya dibawa kembali ke Semarang.

1862 atau awal 1863

SPEED, kapal layar orang Thailand dibawah bendera Inggris berlayar dari Batavia, menabrak pulau Karimun Jawa dan tenggelam. Awak kapalnya dibawa kembali ke Semarang.

1875

NEVA, kapal French Messageries Maritime yang hilang pada tanggal 7 Agustus, 13 kilometer (8 mil) dari Batavia. Kapal tersebut sedang berlayar dari Singapura ke Batavia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

47


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

IPTEK

Karakteristik dan potensi bioreaktor ikan Alimuddin Staf pengajar Jurusan Budidaya Perairan FPIK IPB Bogor, kandidat doktor dari Tokyo University of Marine Science and Technology, dan anggota ISTECS chapter Jepang. E-mail: alimuddin_alsani@yahoo.com Saat ini, produk bioteknologi telah merasuki kehidupan sehari-hari yang mungkin jauh melebihi dari yang kita bayangkan sebelumnya. Teknologi ini telah diaplikasikan dalam berbagai aspek, seperti: (1) untuk memproduksi bahan yang diperlukan bagi industri makanan, misalnya asam sitrat, asam amino dan bahan aditif lainnya; (2) memproteksi tanaman pertanian dari serangan hama dan modifikasi pangan; (3) bidang kedokteran, seperti produksi antibiotik, interferon, vitamin, vaksin dan bahan lainnya; (4) menjaga kondisi lingkungan; (5) energi, misalnya biogas, etanol dan sumber energi lainnya; (6) dalam industri kimia, seperti etilen, aseton, butanol dan bahan-bahan lainnya. Aplikasi yang dicontohkan di atas mungkin belum semuanya disebutkan. Juga, studi dan pengembangan teknologi ini masih terus dilakukan hingga dicapai tingkat produksi yang tinggi meskipun dengan menggunakan organisme inang yang lebih kompleks, bukan hanya organisme satu sel. Mungkin tidak ada seorang pun yang bisa memprediksi seberapa besar protensi pengembangan teknologi ini. Namun yang jelas bahwa arah pengembangan bioteknologi telah melibatkan masyarakat sebagai pengontrol. Salah satu bagian dari bioteknologi yang akan dipaparkan pada kesempatan ini adalah bioreactor. Bioreaktor dapat didefinsikan sebagai alat yang mampu melakukan bioproses, seperti fermenter (IUPAC, 1997). Karena selama ini bioreaktor identik dengan mikroorganisme, maka bioreaktor bisa juga didefinisikan sebagai sebuah peralatan yang menjamin kondisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, misal ragi dan bakteri, untuk melakukan reproduksi (www. bioreactor.net).

Akhir-akhir ini, istilah bioreaktor juga telah melekat pada organisme tingkat tinggi, seperti ikan (termasuk telur ikan), serangga, babi, dan sapi, yang bisa memproduksi protein asing menggunakan teknologi rikombinan protein. Pada kesempatan ini hanya akan diulas mengenai pemanfaatan ikan sebagai sebagai bioreaktor untuk memproduksi bahan-bahan yang berguna untuk manusia atau untuk budidaya ikan (akuakultur) dengan teknik rikombinan protein. Rikombinan protein telah dikembangkan dengan tujuan terapi (Anderson and Krummer, 2002) dan beberapa sistem (organisme inang) seperti disebutkan di atas telah diteliti untuk memperbaiki tingkat produksinya (Houdebine, 2000; Dyck et al., 2003). Namun demikian, setiap sistem tersebut memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Bakteri dapat ditumbuhkan dengan mudah dalam berbagai skala produksi, tetapi folding protein target sering tidak tepat. Meskipun serangga bisa melakukan modifikasi lanjut setelah proses translasi (post-translational modification, PTM) dan menghasilkan protein rikombinan yang relatif banyak, tetapi mereka memiliki pola glikosilasi yang khas yang berbeda dengan hewan bertulang belakang (vertebrata), sehingga protein rikombinan mungkin tidak berfungsi secara penuh. Sementara itu, sel mammalia dapat melakukan PTM walaupun prosesnya kompleks, tetapi penggunaan sistem ini adalah relatif mahal dan secara umum tidak bisa memproduksi protein dalam jumlah yang banyak. Hewan transgenik dapat mengekspresikan protein kompleks dalam jumlah yang berlimpah, namun pembuatan hewan transgenik memerlukan waktu yang panjang dan ada kemungkinan terkontaminasi dengan patogen pada waktu purifikasi protein. Dengan demikian, diperlukan pemilihan sistem yang optimal untuk setiap target protein.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

48


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 1. Karakteristik Bioreaktor Telur Ikan Terdapat beberapa keuntungan menggunakan telur ikan sebagai inang dibandingkan dengan sistem lainnya, seperti jumlah telur ikan betina adalah berlimpah, pembuahan (fertilisasi) dapat dilakukan secara eksternal dan hal ini memudahkan untuk mengintroduksi gen asing pengkode protein target. Juga, embrio ikan dapat dipelihara di air tanpa membutuhkan supplemen, karena mereka berkembang menggunakan nutrien dari kuning telur. Suatu gen asing pengkode protein target (transgen) mulai terekspresi pada fase mid-blastula embrio (Tsai et al., 1995); karena itu, protein rikombinan dapat diproduksi dalam waktu yang relatif singkat (Morita et al., 2004). Morita dan kolega dari Tokyo University of Marine Science and Technology melaporkan bahwa transfer gen dapat dilakukan dengan cepat ke telur ikan dalam jumlah yang banyak. Sebagai contoh, mikroinjeksi transgen dapat dilakukan pada 60 buah telur dalam waktu 1 jam, dan waktu dibutuhkan untuk ekspresi protein hanya 4-5 hari. Juga, penggunaan metode transfer gen lainnya, yaitu elektroforasi dan metode partikel-gun, memungkinkan produksi embrio transgenik secara massal dan cepat. Selanjutnya, beberapa jenis ikan memiliki telur berukuran relatif besar, seperti ikan salmon. Telur ikan yang besar memiliki potensi memproduksi protein rikombinan dalam jumlah banyak dan, untuk ikan yang hidup pada suhu air rendah seperti ikan salmon (sekitar 10oC), mereka dapat digunakan untuk memproduksi protein yang tidak stabil pada suhu 37oC. Penggunaan telur ikan sebagai bioreaktor juga dapat menurunkan biaya produksi. Pada penelitian menggunakan telur ikan trout, tingkat produksi rikombinan hormon luteinizing hormone (LH) sama dengan yang diperoleh pada sistem sel mammalia (Bendig, 1988). Tetapi, sistem sel mammalia membutuhkan media dan bahan supplemen yang harganya mahal, sehingga biaya produksinya menjadi lebih mahal. Telur ikan dapat memproduksi protein yang membutuhkan PTM, seperti yang dibuktikan

dengan keberhasilan produksi hormon LH, yang membutuhkan proses PTM untuk menjadi bioaktif. Embrio ikan juga memiliki keuntungan sebagai bioreaktor dibandingkan dengan hewan peliharaan. Sebagai contoh, produk dari bioreaktor telur ikan akan aman dalam hubungannya dengan kesehatan manusia. Tidak ada yang melaporkan bahwa ikan memiliki protensi sebagai inang patogen untuk manusia. Selanjutnya, penggunaan hewan ternak, seperti babi dan sapi, adalah dibatasi oleh faktor agama di beberapa Negara (termasuk negara kita), sedangkan penggunaan telur ikan tidak menjadi masalah untuk hal ini. Karena itu, diprediksi bahwa embrio ikan dapat digunakan untuk memproduksi berbagai jenis protein, termasuk protein terapeutika. Protein terapeutika yang sudah berhasil diproduksi menggunakan bioreaktor telur ikan adalah Îą-antitripsin (Morita, 2005). 2. Karakteristik Bioreaktor Ikan Bioreaktor dengan tujuan memproduksi insulin menggunakan ikan nila sebagai inang telah dikembangkan oleh Pohajdak et al. (2004). Ikan nila dipilih sebagi model karena memiliki nilai ekonomis penting di daerah tropis. Secara anatomi ikan nila juga memiliki organ islet yang disebut Brockmann bodies (BB). Isolasi organ islet ini tidak memerlukan biaya banyak, dengan prosedur isolasi yang relatif mudah (Yang & Wright, 1995). Bila organ ini ditransplantasi ke tikus yang menderita penyakit diabetes, islet ikan nila mampu mempertahankan kadar glukosa tikus pada tingkat normal (normoglycemia) dalam jangka waktu relatif lama dan memperlihatkan daya toleran terhadap glukosa (Wright et al., 1992; Yang et al., 1997). Meskipun islet ikan tilapia cepat mengalami penolakan (reject) setelah ditransplantasi ke tikus pengerat yang menderita penyakit diabetes (Wright & Pohajdak, 2001), kelangsungan hidup transplan dapat dipertahankan dengan sistem enkapsulasi. Enkapsulasi adalah suatu metode immunoisolasi dimana jaringan islet ditempatkan di belakang sebuah pembatas semi-permiabel yang memungkinkan molekul

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

49


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 berukuran kecil bisa masuk, seperti oksigen, glukosa, dan insulin, tetapi mencegah masuknya molekul besar seperti antibodi dan sel yang berhubungan dengan sistem immun (Yang et al., 1997b; Yang & Wright, 2002). Yang sangat menarik adalah, untuk tujuan enkapsulasi, islet ikan nila lebih baik daripada islet mammalia. Salah satu masalah yang dihadapi oleh penggunaan teknik immunoisolasi adalah islet menjadi hilang sejalan dengan waktu karena pengaruh hipoksia (Wright et al., 1998; Wright & Pohajdak, 2001). Karena ikan nila dapat tumbuh pada kondisi pemeliharaan dengan kepadatan tinggi dengan kondisi lingkungan hipoksia (oksigen rendah) pada suhu air relatif tinggi, maka tidak mengagetkan bila BB ikan nila bisa bertahan dan berfungsi lebih lama dibandingkan islet mammalia pada kondisi hipoksia tinggi (Wright et al., 1998). Selanjutnya, bila dibandingkan dengan islet dari babi, proses produksi dan pemanenan islet donor spesifik dan bebas patogen (SBP) dari ikan nila diprediksi jauh lebih murah untuk per satuan transplantasi (Wright & Pohajdak, 2001; Wright et al., 2004). Namun demikian, BB ikan nila mungkin tidak cocok untuk tujuan klinik xenotransplantasi islet karena sikuens insulin ikan nila hanya 67% sama dengan sikuens insulin manusia (Nguyen, 1995). Meskipun insulin ikan secara biologis adalah aktif di manusia, potensinya hanya sekitar 3050% dan mungkin akan menstimulasi terbentuknya antibodi (Wright & Pohajdak, 2001). Keberhasilan yang dicapai baru-baru ini dalam allotransplantasi islet dari pankreas menunjukkan bahwa cara ini mungkin akan menjadi metode yang atraktif untuk pengobatan penyakit diabetes tipe 1 di masa depan (Ricordi, 2003; Ryan et al., 2002). Namun demikian, kekurangan donor cadaveric pancreata manusia menjadi penghambat bila akan diterapkan secara luas. Meskipun beberapa kemajuan telah dicapai seperti produksi insulin dengan rekayasa genetika menggunakan cell line dan stem cell (Efrat, 2000; Docherty, 2001), pada

prakteknya teknologi ini membutuhkan waktu relatif lama. Meskipun beberapa ahli mengatakan bahwa islet babi adalah ideal. Tetapi, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa penggunaan babi adalah dibatasi oleh faktor agama di beberapa negara. Juga, hasil isolasi islet adalah sedikit, sedangkan biaya yang diperlukan besar bila donor SBP akan diproduksi dalam jumlah banyak (Wright & Pohajdak, 2001; Wright et al., 2004). Selanjutnya, xenotransplantasi islet babi adalah komplikatif dengan kemungkinan adanya transmisi retrovirus endogenous ke resipien (Van der Laan et al., 2000). Telah diketahui bahwa aktivitas insulin babi berbeda dengan insulin manusia, yang ditentukan oleh asam amino terminal pada rantai-B (B-chain). Juga, telah diketahui bahwa sebagian besar ikan mengandung asam amino lisin atau arginin sebagai asam amino terminal pada rantai-B. Karena itu, agar insulin yang diproduksi oleh ikan nila menjadi mirip dengan insulin manusia, maka asam amino treonine (threonine, THR) yang ada pada rantai-B dibuang. Insulin ikan nila yang telah dimodifikasi ini disebut sebagai insulin “humanized” dengan kode “desThrB30”. Penghilangan asam amino THR akan menfasilitasi proses PTM protein insulin secara tepat pada pertemuan antar rantai B dan C. Insulin nila “humanized” ini memiliki potensi aktif dan tidak immonogenik pada manusia. Gen konstruksi insulin “humanized” disuntikkan ke telur ikan nila dan ikan yang positif membawa transgen dipelihara hingga matang gonad dan disilangkan dengan ikan normal untuk membuat keturunan ikan pertama (F1). Ikan F1 yang membawa transgen digunakan untuk mendeteksi produksi insulin “humanzied”. Insulin “humanized” berhasil dideteksi di serum dan juga pada kelompok sel beta (β cell) yang tersebar sepanjang organ BB. Yang bukan sel beta dan jaringan lainnya tidak memproduksi insulin “humanized”. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresinya adalah spesifik sel beta. Purifikasi dan sikuensing rantai-A dan B telah membuktikan bahwa

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

50


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 insulin yang dihasilkan mengalami proses PTM dengan benar. Konsentrasi insulin “humanized” yang diproduksi adalah sekitar 29 nmol, dan insulin endogenous ikan nila adalah 43 nmol. Secara total, dari 33 ekor ikan F1 diperoleh serum insulin sebanyak 91.0 mU/l. Sebagai kesimpulan, bahwa ikan nila transgenik bisa menjadi sumber islet yang relatif murah untuk xenotransplantasi islet klinis. Dibandingkan dengan babi, ikan nila jauh lebih efisien dalam mengkonversi makanan menjadi jaringan tubuh dan menghasilkan sedikit kotoran per berat tubuh. Juga, siklus hidup ikan nila lebih pendek (matang gonad pada umur 6 bulan atau lebih cepat dibandingkan dengan 12 bulan untuk babi). Jumlah anak untuk setiap pemijahan jauh lebih banyak (1000 versus kurang dari 10). Ikan nila betina juga dapat bereproduksi lebih sering (26 kali per tahun versus 2 kali setahun). Ikan nila membutuhkan lebih sedikit ruang pemeliharaan daripada babi (1000 ekor ikan banding 1 ekor babi per satuan ruang yang diperlukan). Dalam sekali transplantasi, biaya yang dibutuhkan bila menggunakan donor SBP ikan nila adalah sekitar 100 kali lebih murah dibandingkan dengan donor dari hewan ternak (Wright & Pohajdak, 2001). 3. Perspektif Percobaan untuk memproduksi protein rikombinan yang memiliki aktivitas farmasitika dan terapetika perlu terus dikembangkan. Rekombinan hormone LH yang diproduksi pada telur ikan mungkin dapat digunakan untuk kepentingan akuakultur. Meskipun beberapa sumber hormone gonadotropin (GtH), seperti ekstrak kelenjar pituitari dan human chorionic gonadotropin (HCG), yang telah digunakan untuk menginduksi perkembangan gonad ikan budidaya (Zohar & Mylonas, 2001), masing-masing memiliki masalah. Untuk ekstrak kelenjar pituitari, pengaruhnya adalah tidak bisa diperkirakan dengan tepat karena besarnya variasi kandungan GtH. Juga koleksi kelenjar pituitari relatif sulit pada ikan tertentu.

HCG telah diproduksi secara komersial tetapi tidak semua ikan memberikan respons yang cukup terhadap injeksi HCG karena GtH bersifat spesifik antar spesies. Bioreaktor telur ikan dapat mengatasi permasalahan tersebut, karena embrio ikan dapat menghasilkan rikombinan GtH yang diperoleh dari berbagai jenis ikan dengan potensi yang konsisten. Selanjutnya, kombinasi bioreaktor telur ikan dan rekayasa protein membuka peluang pembuatan GtH analog dengan potensi dan stabilitas yang tinggi. Lebih lanjut, penggunaan cell line yang membawa rikombinan protein berpeluang untuk diaplikasikan di bidang akuakultur, khususnya untuk pematangan gonad ikan. Akan tetapi, diperlukan tipe sel yang memiliki kemampuan proliferasi tinggi dan tidak ditolak dalam perut ikan. Sel yang mungkin memiliki kemampuan demikian adalah sel sertoli. Namun demikian, sampai saat ini peneliti belum berhasil mengisolasi sel sertoli ikan dan melakukan kultur secara in vitro. Untuk tujuan konsumsi, khusus untuk orang Jepang yang biasa memakan telur ikan mentah, produksi protein terapetika pada bioreaktor telur menjadi lebih efisien karena protein target tidak perlu diekstraksi dan dipisahkan dengan protein endogenous. Juga, karena tidak perlu dimasak, maka protein yang dihasilkan mungkin masih banyak yang utuh dibandingkan dengan yang telah matang. Untuk tujuan ini diperlukan konstruksi gen dengan promoter yang aktif pada fase telur. Untuk produksi insulin “humanized”, diperlukan perbaikan teknik, karena ikan transgenik masih memproduksi insulin endogenous dalam jumlah yang banyak dibandingkan dengan yang “humanized”. Penggunaan stem sel ikan nila yang dipadukan dengan teknologi knockout gen insulin mungkin bisa memecahkan permasalan tersebut. Namun demikian, sampai saat ini teknologi knockout belum bisa dilakukan pada ikan. Secara normal sel-sel terus membelah dan pertumbuhan sel somatik berbanding lurus dengan jumlah sel islet. Maka, jumlah sel islet yang diproduksi oleh ikan dapat ditingkatkan dengan mempercepat

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

51


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 pertumbuhannya melalui over-ekspresi gen hormon pertumbuhan. Daftar Pustaka [1] Anderson D.C., and L. Krummen, 2002, Recombinant protein expression for therapeutic applications. Curr Opin Biotechnol., 13, 117-123. [2] Bendig M.M., 1988, The production of foreign proteins in mammalian cells. Genet Eng., 7, 91-127. [3] Docherty, K., 2001, Growth and develop-ment of the islets of Langerhans: implications for the treatment of diabetes mellitus. Curr Opin Pharmacol, 1, 641-650. [4] Dyck M.K., D. Lacroix, F. Pothier, and M.A. Sirard, 2003, Making recombinant proteins in animals-different systems, different applications. Trends Biotechnol., 21, 394-399. [5] Efrat, S., 2000, Cell replacement therapy for type 1 diabetes. Trends Mol Med, 8, 334-340. [6] Houdebine L.M., 2000, Transgenic animal bioreactors. Transgenic Res., 9, 305320. [7] Http://www.bioreactor.net/eng/biotechnology.html. [8] IUPAC, 1997. IUPAC compendium of chemical terminology http:/www.iupac. org/goldbook/B00662.pdf. [9] Morita T, G. Yoshizaki, M. Kobayashi, S. Watabe, and T. Takeuchi, 2004, Fish eggs as bioreactors: the production of bioactive luteinizing hormone in transgenic trout embryos, Transgenic Res., 13, 551-557. [10] Morita T., 2005, Production of drugs in fish eggs. 2nd Annual Meeting of the Japanese Aquaculture Society. Tokyo University of Marine Science and Technology, 29 January, 2005. (Abstract in Japanese). [11] Nguyen T., J.R. Wright Jr, P.F. Nielsen, and J.M. Conlon, 1995, Characterization of the pancreatic hormones from the Brockmann body of the tilapia: implications to islet xenograft studies. Comp Biochem Physiol, 111, 33-44. [12] Pohajdak, B., M. Mansour, O. Hrytsenko, J. M. Conlon, L. C. Dymond, and J.R. Wright Jr, 2004, Production of transgenic Tilapia with Brockmann bodies secreting [desThrB30] human insulin, Transgenic Res., 13, 313-323.

[13] Ricordi C., 2003, Islet transplantation: a brave new world. Diabetes, 52, 1595-1603. [14] Ryan E.A., J.R. Lakey, B.W. Paty, S. Imes, G.S. Korbutt, N.M. Kneteman, D. Bigam, R.V. Rajotte, and A.M.J. Shapiro, 2002,Successful islet transplantation: continued insulin reserve provides long-term glycemic control. Diabetes, 51, 2148-2157. [15] Tsai H.J., S.H. Wang, K. Inoue, S. Takagi, M. Kimura, Y. Wakamatsu, and K. Ozato, 1995, Initiation of the transgenic lacZ gene expression in medaka (Oryzias latipes) embryos. Mol Mar Biol Biotechnol., 4, 1-9. [16] Van der Laan, L.J., C. Lockey, B.C. Griffeth, F.S. Frasier, C.A. Wilson, D.E. Onions, B.J. Hering, Z. Long, E. Otto, B.E. Torbett, and D.R. Solomom, 2000, Infection by porcine endogenous retrovirus after islet xenotransplantation in SCID mice, Nature, 407, 501-504. [17] Wright J.R. Jr, S. Polvi, and H. MacLean, 1992, Experimental transplantation using principal islets of teleost fish (Brockmann bodies): Long-term function of tilapia islet tissue in diabetic nude mice. Diabetes, 41, 1528-1532. [18] Wright J.R. Jr, H. Yang, and K.C. Dooley, 1998, Tilapia – a source of hypoxiaresistant islets for encapsulation. Cell Transplant, 7, 299-307. [19] Wright J.R. Jr, and B. Pohajdak, 2001, Cell therapy for diabetes using piscine islet tissue. Cell Transplant, 10, 125-143. 20] Wright J.R. Jr, B. Pohajdak, B-Y. Xu, and J.R. Leventhal, 2004, Piscine islet xenotransplantation. ILAR J., 45, 314-324. [21] Yang H., and J.R. Wright Jr, 1995, A method for mass harvesting islets (Brockmann bodies) from teleost fish. Cell Transplant, 4, 621-628. [22] Yang H., B. Dickson, W. O’Hali, H. Kearns, and J.R. Wright Jr, 1997, Functional comparison of mouse, rat, and fish islet grafts transplanted into diabetic nude mice. Gen Comp Endocrinol, 106, 384-388. [23] Zohar Y., and C.C. Mylonas, 2001, Endocrine manipulations of spawning in cultured fish: from hormones to genes. Aquaculture, 197, 99-136.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

52


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

IPTEK

Pangan Laut: Belajar dari Jepang Endang Setyorini Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Faperta, UNS Graduate School of Science and Technology, Kobe University Email: endangsetyorini@gmail.com 1. Pendahuluan

2. Rumput Laut

Kalau sang Khalik telah menciptakan lautan lebih luas dari daratan, maka sangat mungkin bahwa jumlah pangan yang dapat disediakan dari laut untuk segenap makhluk hidup juga lebih banyak daripada yang bisa disiapkan dari daratan. Lalu mengapa kita yang hidup di wilayah yang terkepung laut lebih terfokus mengeksploitasi daratan untuk memperoleh pangan. Kekurangpahaman akan potensi laut dan pesisir sebagai ladang pangan menyebabkan terjadi ketidak-seimbangan pengembangan teknologi penyiapan pangan dari laut dengan dari daratan.

Beragam rumput, atau tepatnya algae laut diduga telah dikonsumsi oleh bangsa Jepang sejak jaman pra-sejarah. Saat ini industrialisasi algae laut menggunakan bahan dasar algae hijau, coklat maupun merah telah menjadikan komoditi ini menjadi yang paling meguntungkan di sektor perikanan negara itu [9]. Diantara komoditas utama berbasis algae laut adalah (1) green laver (aonori) dan porphyra (purple laver nori); (2) laminaria (kombu); (3) wakame, dan (4) hizikia (hiziki). Masing-masing produk tersaji di dalam Gambar 1.

Kini umat manusia makin menyadari bahwa laut bagaikan brankas harta karun bahan pangan yang tidak hanya kaya rasa tetapi juga sarat senyawa gizi dan non-gizi yang mampu meningkatkan kinerja proses metabolisme tubuh atau memperlambat proses deteriorasi organ-organ tubuh (dikenal sebagai pangan fungsional). Bangsa Jepang adalah salah satu contoh masyarakat yang kultur pangannya sangat diwarnai pangan dari laut. Teknologi proses pengolahannya yang berkembang pesat menghasilkan tingginya keragaman jenis produk, disamping terjaganya fungsi sebagai pangan fungsional. Dalam tulisan ini ingin disajikan beberapa contoh produk yang dikonsumsi secara luas di Jepang, namun belum dikembangkan di Indonesia. Juga akan sedikit diulas manfaat masing-masing produk, disamping sekilas teknologi pengolahannya. Tulisan ini diharapkan dapat memberi inspirasi dan motivasi untuk intensifikasi pengembangan pangan dari laut di tanah air. Sebagai dampaknya target peningkatan konsumsi pangan laut di tanah air diharapkan dapat tercapai.

Disamping kandungan vitamin A dan B yang tinggi, aonori juga mengandung polisakarida sulfat yang menunjukkan aktivitas antikoagulasi darah. Aonori dari jenis Monostroma mengandung sekitar 0.2% dimethyl-β-propiothetin yang terbukti efektif mencegah usus buntu dan mengoptimalkan fungsi hati [5]. Purple laver nori lebih luas lagi dikonsumsi, terutama dalam bentuk lembaran kering atau sering disebut hoshinori (Gambar 1). Kandungan protein hoshinori tidaklah menonjol, akan tetapi keberadaan asam amino taurine dalam jumlah yang signifikan memunculkan kemampuannya untuk menjaga fungsi hati [7]. Yang lebih menarik perhatian dari hoshinori adalah tingginya kandungan asam lemak tak jenuh berantai C 18, yaitu linoleat, linolenat, dan arakhidonat. Komponen yang sering disebut sebagai kelompok vitamin F ini sangat dikenal bertindak sebagai pengendali beragam aspek metabolisme. Satu lembar hoshinori (3 g) dilaporkan mengandung 30-45 mg asam eicosapentaenoate (EPA) [1]. Fungsi EPA ini sudah sangat dimahfumi, sehingga sering disubstitusikan ke dalam formula makanan bayi bersama vitamin F lain, asam

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

53


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 dodekaheksaenoate (DHA). Hoshinori cukup dapat diandalkan sebagai sumber vitaminA, B12, dan C serta mineral Zn, Mn, Cu, dan Se.

Senyawa aktif biologis terbaru yang ditemukan dalam hoshinori adalah porphyosin yang terbukti mampu mencegah usus buntu [8].

Gambar 1. Beragam hasil olahan algae laut

Dengan kondisi proses yang terkendali, kandungan gizi dalam hoshinori tidak jauh berubah dari kandungan dalam bahan mentahnya. Proses dasarnya hanya meliputi pencucian, pemotongan, dan pengeringan dalam mesin pengering [6]. Kesederhanaan tahapan proses menyebabkan terhindarnya kehilangan senyawa bioaktif secara berlebihan. 4. Memperkaya ragam produk olahan ikan Masyarakat Indonesia barangkali termasuk bangsa yang sedikit mengkonsumsi ikan atau hasil olahannya. Sekjen Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Dr. Agung Sudarsono menyatakan bahwa tingkat konsumsi ikan nasional hanya 19 kg/kapita/tahun, lebih rendah dari Vietnam maupun Malaysia yang tingkat konsumsinya mencapai 33 kg/kapita/tahun. Tahun depan diupayakan tercapai target konsumsi 23 kg/kapita/tahun [4]. Salah satu kemungkinan penyebab rendahnya tingkat konsumsi itu adalah minimnya keragaman hasil olahan ikan yang memiliki “daya tarik” bagi konsumen lintas usia, suku, dan tingkat sosial. Disamping dipasarkan dalam bentuk segar, ikan juga dipasarkan dalam bentuk produk olahan. Produk olahan ikan “khas” Indonesia yang telah “terindustrialisasi dengan mapan” saat ini tercatat meliputi kerupuk, ikan asin, terasi, pindang, peda dan beberapa yang lain, yang daya tariknya bagi konsumen anak-anak

relatif rendah. Barangkali diantara produk tersebut hanya kerupuk yang mudah diterima konsumen anak-anak. Dengan introduksi produk nugget, ikan mulai luas dikonsumsi masyarakat konsumen kalangan ini. Namun demikian proses pengolahan dan penyiapan nugget menyebabkan produk ini “kurang bersahabat” bagi kesehatan. Produk olahan ikan “kegemaran anak” di Indonesia yang juga sudah menunjukkan gelagat untuk dikelola sebagai industri adalah mpek-mpek dan bakso ikan. Hanya saja masih ada beberapa kelemahan yang perlu dibenahi. Kelemahan tersebut antara lain dalam aspek fleksibilitas, variabilitas, dan kemudahan penyajian; serta pengemasan yang kurang menarik minat konsumen, khususnya kalangan anak-anak. Dalam tulisan ini dicoba disajikan dua macam (diantara puluhan) contoh produk olahan ikan yang sangat luas dikonsumsi di Jepang oleh semua lapisan masyarakat, yaitu surimi dan furikake. Di Jepang sejak abad ke 7 telah dikembangkan dan dikonsumsi secara luas produk olahan ikan berbasis surimi. Surimi dibuat dari ikan berdaging putih yang kemudian diolah menjadi pasta dan akan bertekstur seperti karet (rubbery) setelah diolah. Dari surimi selanjutnya dapat diproduksi beberapa macam makanan dengan karakter bentuk, tekstur, serta aroma yang khas. Kelompok pangan olahan berbasis surimi ini meliputi chikuwa, kamaboko, fish

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

54


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 ball, hanpen, , dan tsumire. Masing-masing produk pada dasarnya menggunakan bahan tepung, putih telur, minyak nabati, sorbitol, protein kedele, dan bumbu sebagai bahan adonan, disamping surimi sebagai bahan utama. Chikuwa berbentuk seperti tabung sebagai hasil pelapisan batang bambu atau logam dengan adonan, yang selanjutnya dikukus atau direbus (Gambar 2). Kamaboko memiliki rasa yang lebih “delicate” dengan tekstur kenyal, serta dapat ditampilkan dalam beragam bentuk (Gambar 2). Penggunaan

kamaboko dalam menu makanan bisa sangat bervariasi mulai dari sup, salad, mie, casserole dan masih banyak lagi. Disamping mudah diterimanya oleh konsumen dan kesederhanaan proses pembuatannya, karakter lain yang menonjol dari produk berbasis surimi adalah nilai manfaatnya bagi tubuh. Segala manfaat dari ikan laut sebagai sumber DHA dan EPA, telur sebagai sumber protein, dan konsentrat kedele sebagai sumber isoflavone dapat diambil dari kelompok makanan ini.

Gambar 2. Hasil olahan daging ikan berbasis surimi

Untuk menggambarkan produk furikake secara mudah adalah dengan membandingkannya dengan produk serupa di Indonesia yaitu abon. Produk ini bisa ditaburkan diatas nasi, bubur, atau dicampurkan untuk mempercantik dan memperlezat onigiri. Berbeda dengan abon yang didominasi oleh daging (hewan darat ataupun ikan), dengan “satu macam” rasa, maka furikake merupakan campuran yang komposisinya bisa sangat beragam. Yang hampir selalu ada adalah daging ikan kering, wijen, dan nori. Jenis ikan yang digunakan dan bahan campurannya bisa apa saja. Karena dalam formulasinya “tidak ada” yang dominan maka dalam hal penampilan, furikake sungguh dapat berperan dalam mempercantik makanan. Disamping itu kemasan produk ini mayoritas dibuat dengan sangat “mengundang” (Gambar 3). Tambahan

keunggulan produk ini adalah penyajiannya sangat mudah, maka tak pelak lagi tingkat konsumsi furikake sangat tinggi. Dari aspek kesehatan, furikake boleh diandalkan sebagai “makanan yang kaya”. Bagaimana tidak, disamping ikan dan nori yang keunggulannya sudah dimahfumi, biji wijen yang hampir selalu bergabung, bisa dikategorikan sebagai pangan fungsional. Antioksidan sesaminol dan sesamolinol menjaga lemak tetap dalam bentuk yang tidak teroksidasi. Bagi staf riset dan pengembangan dalam suatu industri furikake, produk ini dapat menjadi ajang asah kreativitas untuk menyajikannya secara lebih cantik dan berkhasiat.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

55


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 5. Ikan sebagai perisa makanan Dibandingkan dengan kaldu daging (sapi atau ayam), ikan secara luas dipakai sebagai perisa (flavoring agent) dalam hampir semua masakan Jepang. Perisa atau yang dalam bahasa Jepang disebut sebagai dashi, umumnya disiapkan dari katsuo bushi. Katsuo bushi bahkan sering mendapat julukan the flavor of Japan. Pembuatan katsuo bushi

diawali dengan penghilangan usus, tulang, dan kepala ikan tuna segar. Ikan masih beserta kulitnya kemudian direbus, dan akhirnya diasapi 8-9 jam setiap hari berulang sebanyak 10-15 kali. Setelah pengasapan berakhir, sering diinokulasikan kapang Eurotium herbarium untuk menghilangkan bau asap dan anyir. Komponen flavor utama dalam katsuo bushi adalah asam inosinat, yang mampu memberikan rasa gurih.

Gambar 3. Furikake dalam beragam formula

Kapang yang tumbuh akan menyerap air dari dalam tubuh ikan ke permukaan, sehingga pada saat fermentasi berakhir ikan akan menjadi kering dan keras. Tekstur yang semacam ini memungkinkan ikan untuk diserut (Gambar 4). Katsuo bushi ini dijual

dalam bentuk serutan. Tidak seperti kaldu daging yang potensial menyebabkan hipertensi karena tingginya kandungan lemak jenuh dan kholesterol, katsuo bushi justru memiliki komponen bioaktif yang memiliki efek anti hipertensi [2, 3].

Gambar 4. Serutan katsuo bushi dan dashi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

56


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 6. Penutup

Pangan dari laut begitu terintegrasi ke dalam kultur pangan bangsa Jepang, selain karena beragamnya pilihan produk yang mudah diterima konsumen secara luas, tetapi juga karena posisinya sebagai basic ingredients dalam masakan sehari-hari. Tidak ada bentou tanpa dibumbui dashi dan dihiasi nori. Tidak ada perayaan tanpa diwarnai menu pangan laut. Mudah menemui street food murah berbahan pangan laut, sebut saja odenk, takoyaki, ikayaki, dan masih banyak lagi. Cara pengolahan yang tidak rumit juga menjadikan pangan laut di Jepang tetap “fungsional”. Satu hal yang perlu diperhatikan bagi konsumen muslim adalah bahwa beberapa produk yang dijual di Jepang, khususnya nori dan furikake, mesti diteliti kehalalannya. Ada sementara perusahaan produsen kedua produk menambahkan ekstrak daging sebagai

pemberi citarasa. Bagaimanapun juga nori dan furikake halal sangat mudah dijumpai. Apabila keduanya diusahakan diproduksi di tanah air, tentunya akan sangat mudah meramu formulanya sesuai keperluan konsumen tanah air. Target Departemen Kelautan “yang tidak ambisius” untuk meningkatkan angka konsumsi ikan di Indonesia layak didukung. Meskipun jenis habitat atau produk lautan Jepang dengan lautan Indonesia tidak persis sama tetapi pola pemanfaatannya bisa ditiru. Peningkatan konsumsi pangan laut tidak hanya dapat menyelamatkan anak bangsa dari ancaman keterbelakangan (akibat kekurangan iodine, yang banyak terkandung dalam pangan laut), tetapi juga dapat memposisikan profesi nelayan dan yang terkait sebagai favorit. Bukankah nenek moyang kita orang pelaut ?

Daftar Pustaka 1. Dyerberg, J., Bang H. O., Stoffersen, E., Mancada, S., and Vane, J. R., 1978, Eicosapentaenoic acid and prevention of thrombosis and artherosclerosis ?, Lancet, 2, 117-119 2. Fujita, H., Yokoyama, K., Yasumoto, R., and Yoshikawa, M., 1995. Antihypersensitive effect of thermolysin digest of dried bonito in spontaneously hypersensitive rat, Clin Exp Pharmacol Physiol Suppl. 22(1), 304-305. 3. Fujita H, and Yoshikawa, M., 1999. LKPNM: a prodrug-type ACE-inhibitory peptide derived from fish protein, Immunopharmacology, 44(1-2), 123-127. 4. Gatra, 2006, Konsumsi ikan Indonesia masih rendah, 26 Januari 2006 (online) 5. Matano, K., 1959, Studies on precursor of dimethyl sulfide of Ulva sp., and Monostroma sp.,; antigastric ulcer substances

in algae. Ann. Rev. Nat. Inst. Health, 13: 241242 (in Japanese). 6. Nisizawa, K., Noda, H., Kikuchi, R., and Watanabe, T., 1987, The main seaweed foods in Japan, Hydrobiologia 151/152: 5-29. 7. Noda, H., Horiguchi, Y., and Araki, S., 1975, Studies on the flavor substances of nori, the dried laver Porphyra spp. –II. Free amino acids and 5’-nucleotides, Bull. Jap. Sco., sci., Fish, 41: 1299-1303 8. Sakagami, Y., 1983, Biochemistry of marine algae and their application, Kosheisha-Koseikaku, Tokyo: 90-100 (in Japanese) 9. Wildman, R., 1971, Seaweed culture in Japan, Proceedings of the first US-Japan meeting on aquaculture at Tokyo, Japan, Oct. 18-19, 1971.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

57


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

IPTEK

Satelit Oseanografi Untuk Nelayan Fadli Syamsudin Staf Peneliti P3-TISDA BPPT dan Post doctoral fellow di Royal Netherlands Institute for Sea Research, Belanda E-mail: fadli@nioz.nl 1. Pendahuluan Bagi nelayan negara maju, pemakaian satelit oseanografi yang menampilkan citra Suhu Permukaan Laut (SPL) dan sebaran klorofil merupakan hal rutin dan baku untuk memudahkan mereka mencari daerah tangkapan ikan potensial. Sementara untuk nelayan Indonesia masih mengandalkan naluri dan pengalaman semata untuk menangkap ikan. Disamping itu pemakaian teknologi maju, sekalipun sudah baku seperti GPS (Global Positioning System) sebagai alat bantu navigasi yang dapat memandu mereka mencari lokasi yang ditunjukkan citra satelit oseanografi, sampai saat ini masih langka dimiliki nelayan tradisionil Indonesia. Tidak heran apabila sering kita dengar nelayan hilang atau pulang membawa hasil tangkapan sekadarnya, tanpa nilai tambah untuk perbaikan ekonomi keluarga mereka. Aplikasi citra satelit oseanografi yang sudah menjadi kebutuhan dasar nelayan modern di negara maju, masih merupakan barang mahal bagi sebagian besar nelayan kita. Walaupun sebenarnya data tersebut telah tersedia dengan melimpah di media internet dewasa ini, dan hanya diperlukan pengetahuan praktis sederhana membaca citra satelit untuk melacak keberadaan ikan di laut. Sebuah ironi yang tidak semestinya terjadi pada mereka. Artikel ini memberikan petunjuk praktis pada nelayan agar mereka mempunyai kemampuan membaca dan menganalisis citra satelit SPL untuk mencari lokasi ikan. 2. Membaca Citra Satelit Hal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah memeriksa

ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter yang ditampilkan. Apabila kita temukan koordinat pada peta tidak sesuai dengan objek citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk mengembalikannya pada posisi yang benar. Secara visual cukup membuat sebangun antara peta bumi dan hasil citra. Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya terjadi apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan ini diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis proses fisik yang terjadi di laut. Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra satelit biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah Indonesia yang berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat intensif sehingga bias warna pada pengolahan citra sangat mungkin terjadi. Terutama untuk membedakannya dengan rekaman arus yang membawa massa air dingin. Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra satelit dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi massa air dingin oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s) dibandingkan pergerakan awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek citra massa air dingin relatif lebih stabil. Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu dilakukan sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua buah arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras (convergence zone atau front) dan upwelling.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

58


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 3. Analisis Citra Satelit Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa air hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi diisi massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen dan zat hara sebagai sumber makanan fitoplankton.

Secara visual kelimpahan fitoplankton dapat dilihat dari perairan sekitar pantai yang berwarna keruh kehijauan. Tanda ini dapat dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau kesuburan perairan. Gambar 1 adalah citra satelit SPL NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001. Warna putih yang terdapat di sekitar perairan Barat Sumatra adalah awan.

Gambar 1. Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001 di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius (Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P3-TISDA, BPPT

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

59


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 ngkaran ungu terjadi di perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan barat Sumatra. Kedua lokasi ini dapat dijadikan barometer tempat penangkapan ikan (fishing ground).

lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak ditemukan dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai contoh). 4. Penutup

Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus (convergence zone) ataupun massa air hangat dan dingin (front). Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeast ward) sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang pada Musim Timur bergerak ke arah baratlaut (Northwest ward). Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan arus membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi di permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam teori rantai makanan.

Mensejahterakan kehidupan nelayan Indonesia dapat dilakukan pemerintah dengan memberikan informasi terbaru peta sirkulasi arus laut dan kondisi oseanografi hasil analisis citra satelit di seluruh perairan Indonesia setiap harinya melalui media yang dapat dengan mudah dijangkau mereka, seperti radio dan televisi nasional. Apabila hal tersebut dapat diwujudkan pemerintah, maka seorang nelayan dengan kemampuan praktis di atas dapat membaca dan menganalisis citra satelit oseanografi untuk menentukan wilayah tangkapan ikan di sekitar tempat tinggalnya dengan mudah. Hal ini tentunya akan menghemat biaya operasional dan meningkatkan hasil tangkapan mereka. Dengan demikian kita harapkan ada peningkatan kualitas hidup nelayan di Indonesia.

Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar dengan mencari

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

60


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

IPTEK

Pencemaran Suara di Laut Agus Supangat Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP-DKP email : agussup@dkp.go.id 1. Pendahuluan Dengan semakin berkembangnya teknologi kelautan, banyak manfaat yang dapat diambil dari lautan. Namun disamping itu, teknologi itu juga membawa dampak negatip. Pencemaran laut merupakan salah satu dampaknya. Telah banyak pembahasan mengenai masalah pencemaran laut serta ada berbagai macam topik mengenai lingkungan laut serta pencemaran laut. Pencemaran suara di darat telah cukup mempengaruhi manusia serta lingkungan di darat. Sementara tanpa disadari bahwa di laut pun pencemaran suara ini membawa dampak yang cukup berarti bagi kehidupan di laut. Pencemaran suara di laut atau juga dapat disebut kebisingan laut merupakan salah satu issu yang cukup menarik dalam beberapa tahun ini. Studi mengenai dampak pencemaran suara di laut atau bising laut menghasilkan beberapa kesimpulan yang cukup menarik, diantaranya yaitu dampak bising laut ini terutama terhadap mamalia laut. Tidak banyak orang mengetahui bahwa ternyata pencemaran suara di laut juga memberikan dampak yang berarti terhadap mamalia laut serta mahluk hidup lainnya di laut. Karena diketahui bahwa mamalia laut menggunakan suara sebagai alat komunikasi serta untuk kewaspadaan dalam mengenali lingkungannya. Ada beberapa kejadian menarik mengenai pengaruh kebisingan laut ini terhadap mamalia laut atau cetacean. Seperti misalnya yang terjadi di laut Bahamas pada tahun 2000, dimana ditemukan paus yang terdampar dan diduga penyebabnya akibat pengaruh suara dari sonar yang digunakan oleh angkatan laut Amerika.

suara oleh mamalia laut serta bagaimana dampaknya terhadap mamalia laut dan lingkungan laut lainnya.Sehingga diharapkan akan dapat memberikan tambahan wawasan mengenai salah satu bentuk pencemaran yang ada di laut yaitu pencemaran suara atau kebisingan di laut. 2. Suara di Laut 2.1 Apa itu Suara ? Suara merupakan tekanan bolak-balik dan kumpulan molekul dalam medium elastik, yang terdeteksi oleh penerima sebagai perubahan tekanan. Struktur dalam telinga dan juga kebanyakan alat penerima yang dibuat oleh manusia sensitif terhadap perubahan tekanan suara ini. Akibat dari sensitifitas yang dimiliki oleh mahluk hidup ini, maka terdapat batas toleransi terhadap frekuensi tertentu suara yang masih dapat dianggap tidak mengganggu. Apabila kemudian suara itu memiliki frekuensi di luar batas toleransi maka akan dapat menimbulkan gangguan. Seperti halnya di darat, di mana kemajuan setelah revolusi industri meningkatkan tingkat kebisingan yang cukup mengganggu. Begitu juga terjadi di lautan. Mungkin manusia tidak begitu merasakannya. Namun dampak dari kebisingan yang terjadi di laut dapat di lihat perubahan perilaku mamalia laut. Laut sebagai media, di dalamnya ada suara yang bersumber dari fenomena alam, seperti suara yang dibangkitkan oleh hujan, gelombang, gempa bumi dll. Selain itu seiring dengan industrialisasi, pertumbuhan kapal dan anjungan minyak lepas pantai, serta peningkatan penggunaan sonar dalam navigasi dan riset, sehingga menambah suara yang ada dalam lingkungan laut.

Dalam tulisan ini akan dibahas tentang kebisingan di laut, sumbernya, penggunaan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

61


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 2.2 Sejarah Pencemaran Suara di Laut Sebelum tahun 1950 diperkirakan level dari pencemaran suara di laut belumlah terlalu tinggi. Ikan-ikan paus di lautan dapat berkomunikasi satu sama lain dengan lancar menggunakan sonar. Demikian pula hal nya dengan ajing laut untuk keperluan mencari makanan, mencari pasangan dan berkomunikasi satu sama lain. Namun pada penelitian sejak selang tahun 1950-1975 ternyata telah terjadi kenaikan level sebesar sepuluh desibel yang sebelumnya dalam kurun 150 tahun aktifitas manusia di laut berpengaruh sedikit terhadap polusi suara di lautan. Dalam skala tersebut, 10 desibel merupakan suatu angka yang cukup signifikan, yang dalam hitungan logaritmik angka tersebut naik sepuluh kali lipatnya. Suara juga merambat lebih cepat dan lebih jauh di dalam air dibanding di udara. Intensitas tinggi suara di lautan juga tidak berkurang dalam ratusan mil.

3. Sumber Suara di Laut 3.1 Sumber alami Suara di laut yang timbul akibat proses alami terbagi dalam dua yaitu proses fisika serta proses biologi. Proses fisika ini antara lain : aktivitas tektonik, gunung api dan gempa bumi, angin, gelombang. Sedangkan contoh dari aktivitas biologis misalnya suara dari mamalia laut dan ikan. 3.2 Lalu Lintas Kapal Banyak dari kapal-kapal yang beroperasi di laut menimbulkan kebisingan yang berpengaruh pada ekosistem laut dan umumnya berada pada batasan suara 1000Hz. Kapal-kapal Tanker Besar yang beroperasi mengangkut minyak biasanya mengeluarkan suara dengan level 190 desibel atau sekitar 500Hz. Sedangkan untuk ukuran kapal yang lebih kecil biasanya hanya menimbulkan gelombang suara sekitar160170 desibel. Kapal-kapal ini menimbulkan sejenis tembok virtual yang disebut “white noise� yang memiliki kebisingan konstan. White noise dapat menghalangi komunikasi

antara mamalia di laut sampai batas untuk area yang lebih kecil. Selain kapal Tanker juga Kapal-kapal besar lainnya sejenis Cargo yang membawa petikemas memiliki kebisingan yang cukup menimbulkan pencemaran suara di laut.

3.3 Eksplorasi dan Ekspoitasi Gas dan Minyak Kegiatan eksplorasi dan ekspoitasi gas dan minyak banyak menggunakan survei seismik, pembangunan anjungan minyak/rig, pengeboran minyak, dll. Kebanyakan dari survei seismik saat ini menggunakan airguns sebagai sumber suara, alat ini merupakan alat berisi udara yang memproduksi sinyal akustik dengan cepat mengeluarkan udara terkompresi ke dalam kolom air. Metoda tersebut dapat menciptakan suara dengan intensitas sampai dengan 255 desibel. Pengaruhnya terhadap hewan lainnya juga dapat menimbulkan kerusakan pendengaran akibat dari tekanan air yang ditimbulkan. Seperti layaknya penggunaan dinamit, airguns juga berpengaruh terhadap pendengaran manusia secara langsung. Pulsa sinyal akustik ini dapat menimbulkan konflik terhadap mamalia laut, seperti misalnya paus jenis mysticete, sperm, dan beaked yang menggunakan frekuensi suara yang rendah. Begitu juga dalam aktivitas pembangunan rig dan pengeboran minyak dimana dalam operasionalnya setiap hari banyak menghasilkan suara serta menimbulkan kebisingan yang beresiko bagi mamalia laut. 3.4 Penelitian Oseanografi dan Perikanan Pernah diadakan survei dengan menggunakan Acoustic Thermography of Ocean Climate (ATOC) dimana digunakan kanal suara untuk memperlihatkan rata-rata temperatur laut. Sistem ini digunakan untuk penelitian mengenai faktor temperatur laut. Akibatnya terhadap hewan-hewan di laut terbukti bahwa mereka bergerak menjauh (terutama Paus jenis tertentu) namun selang beberapa saat mereka kembali untuk mencari makanan. Deruman dari Speaker yang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

62


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 dipasang berkekuatan 220 desibel tepat di sumbernya, dan terdeteksi sampai dengan 11000 mil jauhnya. Dari penyebab diatas terdapat juga penyebab lainnya yang tidak disebutkan di sini, salah satunya adalah kegiatan perikanan para nelayan yang menggunakan peledak atau pukat harimau yang tidak hanya menimbulkan polusi suara namun juga merusak secara langsung ekosistem di laut itu sendiri.

3.5 Kegiatan Militer Ada beberapa aktivitas yang dilakukan militer yang menghasilkan sumber suara yang menimbulkan kebisingan di laut. Salah satu contohnya yaitu aktivitas kapal naval milik US.Army yang menggunakan sonar aktif ketika berlatih dan dalam aktivitas rutin. Angkatan Laut Amerika (NAVY) pernah mengembangkan suatu sistem yang dinamakan Low Frequency Active Sonnars (LFA) untuk keperluan militernya. Dalam penggunaannya, terbukti bahwa terdapat beberapa efek negatif terhadap kehidupan dan perilaku mamalia di lautan. Terhadap ikan paus efek tersebut ternyata mengganggu jalur migrasi dan untuk jenis ikan paus biru dan

ikan paus sirip adalah terhentinya proses komunikasi satu sama lain. Bahkan setelah melalui beberapa penelitian, maka pengunaan LFA tersebut juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Beberapa penyelam NAVY yang menerima transmisi dari sekitar 160 desibel akibat sistem tersebut terbukti terkena gangguan seperti vertigo, gangguan terhadap gerakan tubuh serta gangguan di daerah perut dan dada. Bukti-bukti lainnya dari pengaruh akibat sonar yang dihasilkan ini di sebutkan oleh Vonk and Martin (1989), Simmonds and Lopez-Jurado (1991), Frantzis (1998) dan Frantzis and Cebrian (1999) mereka menganggap bunyi keras yang ditimbulkan oleh aktifitas militer ini telah menyebabkan terdamparnya paus jenis beaked di Pulau Canary dan Laut Ionia. Selain itu paus jenis sperm mengalami perubahan kelakuan dalam vokalisasi dalam merespons sonar ini. Pendamparan lainnya terjadi pada bulan maret 2000 di Bahama, 17 mamalia laut( termasuk 2 spesies paus jenis beaked dan minke). Pendamparan ini terjadi akibat latihan militer Amerika yang menggunakan sonar.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

63


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 4. Mamalia Laut dan Bunyi 4.1 Mamalia Laut

Ada 3 golongan mamalia yang berkembang di bumi dan beradaptasi di laut. Ketiga golongan ini termasuk didalamnya : paus, lumba-lumbalumba, anjing laut, singa laut,walruse, dugongs, dan sapi laut. Golongan Cetacean terdiri dari 76 spesies mamalia laut yang diketahui sebagi paus, lumba-lumba-lumba, dan ikan lumba-lumba. nenek moyang dari grup ini memasuki laut kira-kira 55 juta tahun yang lalu. Ada berbagai macam Mamalia laut diantara nya berikut ini, dari yang ukurannya terbesar hingga kecil : Paus Biru (Blue whale), Paus Finback, Paus Right atau paus sikat, Paus Sei, Paus Humpback, dan Paus Gray yang termasuk sub Orde Baleen Whale (Mysticete). lalu Paus Sperm, Paus Pembunuh, paus Pilot, Paus putih, Lumba-lumba hidung botol yang termasuk suborde Toothed whales (Odonticeti). Beberapa paus besar jenis baleen seperti grys dan humpback bermigrasi secara musiman biasanya membiakkan pada musim dingin di daerah tropik dan kembali ke kutub pada musim panas. Golongan kedua dari mamalia laut didalamnya termasuk anjing laut, singa laut dan walrus.Berbeda dengan paus mamalia Laut ini menghabiskan sebagian besar waktunya di daratan es. 4.2 Penggunaan Suara oleh mamalia Laut

Pemahaman mengenai pendengaran mamalia laut dan mekanisme aural penting diketahui untuk mengenal potensial efek suara terhadap mereka. Mamalia laut tinggal di lingkungan dimana tidak terdapat cahaya yaitu di kedalaman yang jauh dari permukaan. Pada kedalaman lebih dari 200 meter cahaya tidak lagi menembus laut, dengan keadaan ini maka mamalia laut mengandalkan suara di bandingkan cahaya sebagai alat utama dalam berkomunikasi serta untuk lebih berhati-hati dari keadaan lingkungan sekitarnya.

Selain itu banyak juga mamalia laut yang tinggal di lingkungan yang membatasi penglihatannya, seperti di daerah turbiditas. Maka mamalia laut ini mengandalkan kemampuannya dalam suara. Misalnya lumba-lumba sungai dimana kemampuan penglihatannya terbatas hanya pada membedakan yang gelap dan terang. - Echolocation Echolocation adalah kemampuan binatang dalam memproduksi frekuensi yang sedang atau tinggi serta mendeteksi echos dari suara ini untuk menentukan jarak dari suatu objek, dan untuk mengenali keadaan fisik di sekitarnya. Echolocation ini memberikan informasi yang detail dan akurat tentang keadaan sekeliling. Echolocation ini memproduksi frekuensi tinggi. Contohnya lumba-lumba laut yang menghasilkan frekuensi dari 50 kHz hingga 13 kHz. Frekuensi tinggi yang digunakan mamalia laut ini memberikan resolusi yang tinggi, meskipun bagaimanapun suara frekuensi tinggi memiliki banyak keterbatasan di dalam air. Echolocation ini penting tidak hanya untuk mendeteksi dan menangkap mangsa tetapi juga melihat lingkungan sekitar.

- Navigasi Mamalia laut mysticete diketahui memproduksi frekuensi rendah. Pada frekuensi rendah ini penjalaran suara di lingkungan laut lebih cepat. Suara dengan frekuensi rendah dimana bisa menjalar ke tempat yang jauh dengan cepat. Karena itu mamalia laut menghasilkan suara dengan frekuensi rendah ini untuk bermigrasi seperti misalnya Paus. Gangguan atau kebisingan dengan frekuensi suara yang rendah tentunya menjadi gangguan serius terutama untuk pertahanan mamalia laut. - Komunikasi Dalam berkomunikasi mamalia laut menggunakan suara dengan sinyal akustik tertentu, dimana sinyal ini bervariasi tergantung kebutuhan serta keadaan lingkungan. ada berbagai macam fungsi komunikasi mamalia laut seperti : seleksi intraseksual, seleksi interseksual, memandu anak, memandu kelompok, pengenalan individu, dan menghindari bahaya.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

64


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

- Menarik perhatian mangsa Kegunaan lain dari suara oleh mamalia laut kemungkinan untuk melemahkan atau menarik perhatian mangsa. Hasil riset memperlihatkan bahwa mamalia laut memproduksi sumber suara intens ketika mencari makanan. Informasi mengenai penggunaan suara dalam hal ini sangat terbatas, namun dapat dipahami bahwa mamalia laut menggunakan suara untuk proses biologis yang cukup vital. - Vokalisasi mamalia Laut Ada berbagai macam tipe mamalia laut serta masing-masing menghasilkan frekuensi yang berbeda dari yang frekuensi tinggi (130-150 kHz) hingga frekuensi rendah seperti paus biru (10-15 Hz).

5. Pengaruh Kebisingan Laut 5.1 Kebisingan Laut Sebagai Gangguan Bagi Mamalia Laut

dalam jangka pendek, maka tidak akan terlalu berpengaruh secara signifikan. Namun jika pengaruh dari gangguan ini terus menerus berulang maka dalam jangka panjang akan dapat menimbulkan stress, melemahkan dan pada akhirnya terhadap kelahiran. Penjauhan dari sumber suara harus dikenal sebagai akibat, karena hewan ini mengubah perilaku alaminya. Bagi mamalia laut yang tidak berkelompok sumber suara dapat menjadi sangat berbahaya bagi mereka. Aktivitas lalu lintas kapal disinyalir dapat memisahkan populasi mereka. Hasil observasi ternyata menunjukan sumber suara selain mengakibatkan mamalia menjauh dari sumbernya serta perubahan perilaku ternyata juga berpengaruh terhadap beberapa ikan dan invertabrata. Spesies lain di laut menunjukan reaksi terhadap suara yang masuk ke laut (airgun) dalam level yang sama seperti terhadap mamalia laut yaitu beberapa jenis kura-kura. 5.2 Dampak Kebisingan Laut

Keterbatasan ilmu pengetahuan mengenai perkiraan resiko terhadap mamalia laut berdasarkan banyak asumsi. Contohnya mamalia laut dengan pendengaran berdasarkan range tertentu akan sangat dipengaruhi oleh suara. Mamalia laut yang tidak berkelompok memiliki resiko lebih mudah diserang misalnya pasangan ibu dan anak. Selain itu paus jenis beaked dan sperm dapat mudah diserang dalam perjalanan ke zona dimana kebisingan terkonsentrasi.

Gangguan bunyi-bunyi dapat saja menghasilkan frekuensi atau intensitas yang dapat berbentrokan atau bahkan menghalangi suara/bunyi biologi yang penting, yang menjadikan tidak terdeteksi oleh mamalia laut. Padahal seperti diketahui bahwa suara-suara biologi ini penting seperti untuk mencari mangsa, navigasi, komunikasi antara ibu dan anak, untuk manarik perhatian, atau melemahkan mangsa.

Dapat diasumsikan bahwa tidak ada konsekuensi biologi dari akibat suara yang keras ketika tidak ada respon kelakuan ditemukan. Bagaimanapun dalam penelitian ini perlu diperhatikan perubahan kelakuan mamalia laut sebagai informasi dari pengaruh kebisingan laut tersebut.

klasifikasi efek fisik langsung yang dapat mempengaruhi mamalia laut

Hasil dari data yang telah dikumpulkan di mana kebisingan suara di laut telah menimbulkan efek jangka pendek termasuk dalam memangsa makanan, bersosialisasi, dan vokalisasi serta perubahan perilaku dalam cara menyelam. Akibatnya suara dapat menyebabkan mamalia laut berpindah dari habitatnya sendiri. Jika ini hanya berdampak

Berhubungan langsung : • Merusak telinga • Gangguan pendengaran permanen atau sementara

Tidak Berhubungan langsung : • Merusak jaringan tubuh • Kejang urat yang disebabkan tekanan udara yang tiba-tiba

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

65


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Kelakuan : • Perubahan Perilaku • Modifikasi perilaku • Berpindah tempat dari area (jangka panjang atau pendek)

bidang ini. Padahal dilihat dari penyebab kebisingan laut yang dibahas diatas, sebagian besar ada di Indonesia. Seperti eksplorasi dan eksplotasi gas dan minyak lepas pantai serta padatnya lalu lintas kapal.

Stress : • Menurunkan tingkat kelangsungan hidup • Mudah terserang penyakit • Berpotensi dipengaruhi oleh efek kumulatif yang negatif (misalnya polusi kimia kombinasi dengan stress suara) • Peka terhadap Suara

Informasi mengenai kebisingan laut ini, yang telah mendapat perhatian para ilmuwan di luar negeri seharusnya dijadikan sebagai peringatan awal bagi Indonesia karena hal tersebut banyak terjadi di perairan Indonesia. Untuk itu diperlukan identifikasi daerah dimana terdapat mamalia laut yang rawan terhadap pencemaran suara serta mengusahakan agar di daerah tersebut kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran suaranya bisa dikurangi.

6. Penutup Mamalia laut merupakan bagian dari ekosistem laut yang perlu dilindungi. Polusi suara di laut ternyata berdampak cukup besar bagi mamalia laut bahkan juga bagi makhluk laut lainnya. Sayangnya beberapa riset mengenai pencemaran suara di laut ini masih dilakukan di luar negeri, sementara di Indonesia sendiri belum atau sangat jarang penelitian dalam

Daftar Pustaka [1] WDCS Sciences Report, Ocean of Noise, Whale and Dolphin Conversation Society. (http://www.wdcs.org) [2] Karen N. Scott, International Regulation Of Undersea Noise. [3] http://oceanlink.island.net/index.html [4] http://www.nrdc.org/wildlife/marine/sound/

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

66


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

IPTEK

Mekanisme Pemanfaatan Arowana (Scleropages formosus) Inge Yangesa Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan Master Course Program, Graduate School of International Cooperation Studies, Kobe University E-mail: yangesainge@yahoo.com 1. Pendahuluan

2. Morfologi dan Habitat

Setiap negara yang memiliki kekayaan alam baik tumbuhan maupun satwa dapat memanfaatkan sumber daya hayati anugerah Tuhan tersebut untuk kemakmuran rakyat. Salah satu bentuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar diantaranya adalah perdagangan (pasal 3 dalam [4]). Perdagangan dimaksud tentu bukan perdagangan yang tanpa batas yang terus menerus memanfaatkan selama ada permintaan pasar yang tinggi akan produk tersebut. Perdagangan di sini harus memperhatikan kelangsungan hidup jenis tumbuhan dan satwa liar dimaksud. Kita tentu tidak ingin kejadian punahnya Harimau Bali dan Harimau Jawa, terjadi lagi pada jenis tumbuhan dan satwa liar yang ada saat ini akibat tidak terkendalinya pemanfaatan jenis-jenis tersebut.

Scleropages formosus mempunyai 2 variasi warna yaitu merah dan hijau. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan habitat. Bentuk mulut arowana mengarah ke atas dan mempunyai sepasang sungut pada bibir bawah. Ukuran mulutnya lebar dan rahangnya cukup kokoh. Gigi berjumlah 15-17. Panjang arowana dewasa sangat bervariatif, antara 30-80cm [1].

Salah satu jenis satwa dari kelas pisces ikan yang diperdagangkan dan memiliki ekonomi tinggi adalah arowana atau (Scleropages formosus) khususnya spesies super red (Gambar 1).

atau nilai siluk sub

Pola warna arowana super red sangat khas, lingkaran sisik memancarkan warna merah menyala kekuning-kuningan. Lingkaran merah sisik inilah yang dipercaya membawa keuntungan bagi pemiliknya, semakin tua umur ikan, warna lingkaran sisik keberuntungan akan semakin merah [1]. Taksonomi arowana: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Clas : Pisces Ordo : Osteoglossiformes Family : Osteoglossidae Genus : Scleropages Species : Scleropages formosus (sumber: [3]). 3. Pemanfaatan

Gambar 1. Arowana super red (Scleropages formosus) (Sumber: www.akuariumtmii.or.id/populera.html)

Menurut Allen et. al. (2000 dalam [2]), arowana hidup di sungai dengan dasar berbatu-batu, danau, rawa dan perairan umum yang berarus sedang atau lambat. Mampu hidup di perairan yang sedikit asam (pH 4-6). Pada fase perkembangbiakan, arowana mempunyai kebiasaan menjaga anaknya dalam mulut (mouth breeder). Fekunditas ikan ini berkisar antara 20-60 butir telur yang erat kaitan dengan umur ikan. Pengeraman telur dan mengasuh anak berlangsung antara 1-2 bulan. Anakan arowana mempunyai kuning telur yang akan diserap sebagai makanan dalam waktu 1 bulan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

67


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 sampai ukuran 6-7 cm, setelah itu dilepas induknya karena dianggap sudah dapat mencari mangsa sendiri. Arowana dewasa dikenal hidup menyendiri dan agresif menyerang untuk berkelahi. Arowana aktif berenang di permukaan air pada malam hari untuk mencari mangsa, sedangkan pada siang hari cenderung tinggal di dasar perairan. Makanannya dapat berupa serangga, ikan kecil, udang-udangan (crustacea), dan tanaman air. Penyebaran arowana super red, endemik hanya ada di Kalimantan Barat, terdapat di Kapuas Hulu (Sungai Tawang, Sungai Puyam, Sungai Seriang), dan danau-danau di Kalimantan Barat (Danau Aji, Danau Saih, Danau Maid, Danau Siluk). Pemanfaatan arowana umumnya untuk pets (dipajang dalam aquarium) sebagai sarana hobi, warna sisik yang cerah, gerakan yang lamban tetapi anggun, dan liukan tubuh yang indah bisa menjadi obat stress bagi yang memandangnya. Harga jenis S. formosus (super red) di pasaran dalam negeri ukuran 10 cm sekitar Rp. 4 - 5 juta (tergantung kualitas), sedangkan harga pasaran luar negeri umumnya lebih besar sekitar 2 kali lipat. Etnik China mempercayai bahwa arowana sebagai pembawa hoki/keberuntungan bagi pemiliknya karena dianggap sebagai jenis ikan purba yang belum punah dan mirip dengan naga (ikan naga/dragon fish atau liong) terutama untuk jenis super red yang berasal dari Kalimantan. Pasar ekspor utama ikan ini adalah negara China dan Jepang. Status arowana adalah ikan yang dilindungi Undang-undang (berdasarkan SK Menteri Pertanian No.716/Kpts/Um/10/1980, SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988, Instruksi Dirjen Perikanan No.IK-250/D.4.2955/83K, SK Menteri Kehutanan No.516/Kpts/II/ 1995 dan PP No.7 tahun 1999). Khusus di Kalimantan Barat telah dikeluarkan pengumuman Gubernur mengenai perlindungan arowana. Masuk dalam Red Data Book IUCN tahun 1969 dan tanggal 1 Juli 1975 masuk daftar Appendix I CITES. Karena status ikan ini masuk dalam appendix I CITES, maka perdagangan ke luar negeri jenis ini harus memenuhi aturan international yang ditetapkan oleh The Convention on International Trade in Endangered Species of

Wild Flora and Fauna (CITES). Selain itu, arowana merupakan satwa dilindungi Undangundang negara RI, sehingga pemanfaatannya mulai dari penangkaran, perijinan hingga prosedur ekspor harus memenuhi aturanaturan yang berlaku. 4. CITES The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES), merupakan perjanjian international yang mengatur pengendalian perdagangan jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar serta produk-produknya. Perjanjian ini didirikan tahun 1973 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1975 [8]. Berdasarkan tingkat kelangkaan, CITES membagi jenis tumbuhan dan satwa dalam tiga kategori yaitu Appendix I, II, dan III. Appendix I memuat jenis-jenis yang sudah terancam punah sehingga peredaran dari suatu negara ke negara lain dilarang, kecuali untuk tujuan tertentu yang tidak mengganggu populasinya di alam. Appendix II memuat jenis-jenis yang walaupun saat ini belum terancam punah, namun apabila perdagangan internasional tidak dikontrol maka sudah dipastikan akan terancam punah. Appendix III memuat jenisjenis yang oleh negara tertentu dianggap perlu dikontrol secara internasional, walaupun di negara lain yang merupakan penyebaran jenis tersebut belum dianggap perlu kontrol internasional [7]. Kegiatan perdagangan international menurut ketentuan CITES, diimplementasikan dengan kuota perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan berdasarkan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk setiap kurun waktu satu tahun untuk jenis baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar Appendix CITES baik jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden RI nomor 43 tahun 1978, yang selanjutnya membawa konsekuensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan CITES. Sebagai pelaksana Otoritas Pengelola (Management

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

68


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Authority) CITES di Indonesia adalah Departemen Kehutanan sesuai Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1999. Manfaat Indonesia meratifikasi CITES antara lain yaitu adanya sistem kontrol terhadap perdagangan tumbuhan dan satwa liar. Artinya kontrol perdagangan tidak hanya di negara pengirim, tetapi juga di negara penerima. Perdagangan illegal ke luar negeri yang lolos dari Indonesia, kemungkinan besar tidak akan lolos di negara penerima. Manfaat lain yaitu akan ada bantuan berupa financial dan technical co-operation dari CITES [8]. 5. Perdagangan Arowana ke Luar Negeri Pemanfaatan ikan arowana di awali dari kegiatan pengambilan dari hasil penangkaran. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya (pasal 1 dalam [4]). Kegiatan penangkaran arowana dapat dilakukan oleh orang, Badan Hukum, Koperasi atau Lembaga Konservasi atas ijin Menteri Kehutanan (pasal 9 dalam [4]). Tidak seperti jenis satwa lain baik yang tidak dilindungi maupun dilindungi yang termasuk dalam appendix CITES dan diatur melalui kuota, khusus jenis arowana (S. formosus), walaupun statusnya dilindungi dan masuk dalam Appendix I CITES, namun diperbolehkan untuk dimanfaatkan/ diperdagangkan (kuota bebas, bila ikan tersebut merupakan hasil penangkaran. Unit usaha penangkaran dimaksud khusus jenis Scleropages formosus yang masuk Appendix I CITES harus mendapatkan register dari sekretariat CITES (pasal 21 dalam [5]) sebagai jaminan atas keberhasilan usaha penangkarannya . Register CITES ditetapkan oleh Sekretariat CITES di Swiss setelah mendapat pengusulan dari hasil penilaian oleh Otoritas Pengelola berdasarkan standar kualifikasi penangkaran (pasal 64 dalam [5]) sebagai standar bagi hasil penangkaran yang dinyatakan telah layak untuk dijual.

Setiap unit usaha penangkaran juga wajib menetapkan batasan jumlah hasil penangkaranya sebagai batas maksimal jenis dan jumlah spesimen tumbuhan dan satwa liar yang dapat diambil dari setiap unit usaha penangkaran (pasal 19 dalam [6]). Batasan jumlah hasil penangkaran merupakan spesimen yang dapat digunakan untuk tujuan perdagangan baik di dalam maupun ke luar negeri. Bagi spesies jenis S. formosus, harus merupakan keturunan kedua (F2) dan atau telah dinyatakan sebagai jenis satwa liar yang tidak dilindungi (pasal 21 dalam [5] dan pasal 11 dalam [4]). Arowana yang diperdagangkan tersebut harus diberi tanda (tagging) berupa micro chip yang ditanamkan ke dalam tubuh ikan (Gambar 2 dan 3).

Gambar 2. Micro chip dan alat untuk memasukkan micro chip ke dalam arowana (foto koleksi pribadi)

Gambar 3. Cara memasukkan micro chip ke dalam tubuh arowana (foto koleksi pribadi)

Disamping dapat memanfaatkan spesimen tumbuhan dan satwa liar, setiap unit usaha penangkaran berkewajiban melakukan restocking (pengembalian ke habitat alam) bagi spesimen hasil penangkaran yg telah memenuhi standar kualifikasi penangkaran minimal 10% dari hasil penangkaran (pasal 71 dalam [5]) tentu berlaku syarat dan aturan tertentu. Untuk kegiatan perdagangan ke luar negeri jenis ikan arowana dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang telah memiliki izin sebagai

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

69


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 pengedar ikan arowana ke luar negeri. Izin sebagai pengedar ikan arowana ke luar negeri diterbitkan oleh Direktur Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Pemegang izin sebagai pengedar ke luar negeri dapat mengangkut/mengirim ikan arowana ke luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku yang dilengkapi dengan dokumen CITES-eksport. Beberapa penangkar arowana di Indonesia berada di Jakarta, Bekasi, dan Pontianak. Tabel 1. Data realisasi pemanfaatan arowana (super red) ke luar negeri dari wilayah DKI Jakarta (tahun 2004 dan 2005) 2004 2005 Bulan Keterangan -----ekor---Negara Januari 0 218 tujuan: Pebruari nd 201 1. Brunai Maret 329 304 2. Canada April 130 340 3. China Mei 57 28 4. Hongkong Juni 359 223 5. Jepang Juli 171 370 6. Korea Agustus 326 240 7. Malaysia September 132 191 8. Singapura Oktober 134 208 9. Thailand Nopember 2 nr 10. Taiwan Desember 661 nr Keterangan: nd= tidak ada data, nr= belum terecord (Sumber data : Balai KSDA DKI Jakarta, 2006) Data di atas khusus yang melalui Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, baik tujuan komersil (eksport) oleh perusahaan, maupun non komersil (souvenir) oleh perorangan. Khusus souvenir, per orang maksimal 2 ekor (pasal 41 ayat (5) dalam [6]). 6. Kesimpulan Arowana (Scleropages formosus) merupakan jenis ikan yang dilindungi undang-undang dan masuk dalam list appendix I CITES. Namun perdagangan ikan ini diperbolehkan bila memenuhi ketentuan yang berlaku baik aturan international menurut CITES juga aturan dalam

negeri lainnya. Arowana yang dapat diperjual belikan adalah arowana hasil penangkaran yang teregister di secretariat CITES (Swiss). Register CITES ini merupakan jaminan bahwa unit usaha penangkaran dimaksud berhasil dan memenuhi standar kualifikasi. Namun demikian, setiap usaha penangkaran ditetapkan batasan hasil penangkaran bagi setiap jenisnya berdasarkan fekunditas (tingkat produksi) penangkarannya. Berdasarkan jaminan register dan tingkat produksi itulah maka tidak berlaku kuota bagi setiap unit usaha penangkaran untuk eksport. Daftar Pustaka [1] Emilia, SP. 2002. Mengenal Lebih Dekat Arowana si Ikan Naga. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta [2] Haryono dan Agus Hadiat T. 2005. Metode Survei dan Pemantauan Populasi Satwa" seri kedua - Ikan Siluk. Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI. Bogor [3] Luxmoore, R.A. (1990). Trade and captive breeding of Asian boneytongue in Indonesia. TRAFFIC Bulletin, 11: [4] Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. [5] Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar [6] Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. [7] Siaran pers Departemen Kehutanan No. S.608/II/PIK-1/2004. Kayu Ramin (Gonystylus Spp.) masuk Appendix II dalam Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora Dan Fauna, Cites. [8] The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Report. 2000. The World Conservation Union on the Effectiveness of Trade Measures Contained in The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

70


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

INOVASI

Menghemat Bahan Bakar dengan Magnet Portabel Agung Sudrajad Mahasiswa Doktor pada Fakultas Maritim, Universitas Kobe Staf Pengajar pada Fakultas Kelautan, Universitas Darma Persada 021d801n@y04.kobe-u.ac.jp, agung_sudrajad@lycos.com

Kartika Kus Hendratna Mahasiswa Research pada Fakultas Maritim, Universitas Kobe kartika_kh@yahoo.com

1. Pendahuluan Kenaikan harga dasar bahan bakar di akhir tahun 2005 menghantam segala sendi perekonomian dan kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai cara untuk menghemat energi pun telah dilakukan oleh masyarakat luas dan industri. Seperti mengganti dengan bahan bakar alternatif, melakukan pembatasan bepergian dengan kendaraan, dan banyak lainnya. Terutama di kota-kota besar, para pemilik kendaraan bermotor mencoba untuk berhemat dalam menggunakan bahan bakar kendaraannya. Namun tidak dapat disangkal, pelayanan angkutan umum masih dirasa sebagian warga kota belum nyaman dan aman untuk digunakan. Tak pelak lagi pemakaian kendaraan pribadi untuk keperluan ke kantor, berbelanja, dan bertamasya tidak dapat dihindarkan. Untuk itu tindakan cerdas untuk melakukan penghematan bahan bakar kendaraan menjadi sesuatu yang penting. Magnet, kita tahu belum banyak digunakan untuk keperluan sehari-hari kecuali untuk keperluan industri dan peralatan elektronik. Dalam tulisan ini ditampilkan penggunaan magnet portable untuk menghemat bahan bakar pada kendaraan bermotor, dalam percobaan kali ini diaplikasikan untuk motor diesel. 2. Dasar Teori Magnet portabel yang digunakan dapat dilihat dalam Gambar 1. Ukuran magnet portabel ini dirancang untuk diletakkan di pipa bahan bakar antara tangki service dan motor diesel untuk kendaraan bermotor. Untuk kedepan diperuntukkan juga untuk kendaraan bermotor dengan bahan bakar premium. Dari photo dapat dilihat, bagian tengah yang berlubang adalah

tempat meletakkan pipa bahan bakar yang dimaksud. Magnet portabel ini berukuran 9x6x3.5 cm, dan dapat dipasang dan dilepas sesuai keinginan pemakai. Magnet portable ini dilapisi dengan bahan aluminium. Dalam percobaan ini kami menggunakan 2 tipe magnet, yang pertama magnet dengan kekuatan 2000 gauss dan berikutnya adalah 4200 gauss.

Gambar 1. Photo penampang magnet portabel

Penggunaan magnet ditujukan untuk membantu proses ionisasi di dalam bahan bakar. Ionisasi ini diperlukan agar bahan bakar dapat dengan mudah mengikat oksigen selama proses pembakaran. Jika proses ionisasi ini terjadi dengan baik maka konsumsi bahan bakar akan berkurang karena sedikitnya produk unburned hydrocarbon hasil proses pembakaran bahan bakar. Ukuran struktur molekul bahan bakar akan berubah menjadi ikatan yang lebih kecil setelah bahan bakar terpengaruh magnetisasi [3]. Ukuran molekul yang lebih kecil ini secara langsung akan berakibat pada semakin mudahnya proses pembakaran dalam ruang bakar. Dengan kata lain proses magnetisasi pada bahan bakar akan membuat pembakaran lebih sempurna. Visualisasi proses dapat digambarkan dalam Gambar 2 di bawah ini.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

71


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Magnetic Force Far Infrared Ray

Gambar 2. Pengaruh magnet pada bahan bakar

Bahan bakar masuk ke dalam ruang magnet dari arah kiri (lihat Gambar 2). Kekuatan magnetisasi didalam magnet portable menyebabkan terpecahnya ikatan karbon dalam bahan bakar menjadi bagian-bagian kecil ikatan, sementara itu Far Infrared Ray memperkuat ikatan-ikatan kecil tadi dan memposisikan ikatan tersebut secara beraturan. Ikatan kecil dan beraturan inilah yang menyebabkan mudahnya oksigen bereaksi dengan bahan bakar pada proses pembakaran [1]. 3. Pelaksanaan Percobaan Percobaan dilakukan di laboratorium energi (Energy Engineering Research Laboratorium), Fakultas Maritim, Kobe University, Jepang. Mesin diesel injeksi langsung (Direct engine) tipe NF-19 SK (Horizontal Single Cylinder 4 stroke Diesel Engine: YANMAR NF 19SK) digunakan dalam percobaan. Batasan beban mesin yang digunakan sabagai patokan adalah beban 25% mewakili kondisi idle (kondisi beban mula) dan beban 85% mewakili kondisi Service (kondisi kerja optimum). Kondisi beban penuh tidak dilakukan karena kondisi mesin kurang dapat dipacu pada beban tersebut Banyaknya titik sampling yang diambil adalah 7 titik sampel dengan masing masing titik sampel 1200 rpm, 1350 rpm, 1500 rpm, 1650 rpm, 1800 rpm, 1950 rpm, 2100 rpm, dengan pengambilan data percobaan di tiap titik sebanyak 5 kali. Bahan bakar Marine diesel (Marine Diesel Oil) digunakan dalam percobaan. Bahan bakar dialirkan dari tangki service dan melalui pipa bahan bakar menuju motor diesel, pada pipa bahan bakar tersebut diletakkan magnet portabel. Untuk jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 3.

Gambar 3. Diagram percobaan

Dilakukan tiga kondisi percobaan dalam pengambilan sampel. Kondisi tanpa menggunakan magnet (normal), menggunakan magnet 2000 gauss (2000G) dan menggunakan magnet 4200 gauss (4200G). Detail mesin dan bahan bakar yang digunakan dalam percobaan dapat dilihat dalam Tabel di bawah ini. Tabel 1. Data motor diesel

Item Cylin. Bore and stroke Maximum Volume Maximum Power Rated Continous Power Colling System Weight

Penjelasan Ă˜ 110 x 106 1007 cmÂł 19.0 PS/ 2400 rpm 16.0 PS/ 2400 rpm Radiator 192 kg

Tabel 2. Spesifikasi bahan bakar

Fuel Oil Density of Fuel Oil Carbon Content Calorific Heating Value Water content Nitrogen Content Sulfur Content

Marine Oil 844 kg/mÂł 86.5 % 45130 kJ/Kg 12.7 % 0.017 % 0.733 m/m%

4. Hasil Percobaan 4.1. Temperatur Gas Buang Analisa perubahan temperatur dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan yang terjadi akibat adanya perbedaan kondisi perlakuan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

72


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Normal 2000 G 4200 G

310 290

diesel. Biasanya dicari Diesel dengan daya yang besar tetapi sedapat mungkin kecil dalam konsumsi bahan bakar, sehingga biaya operasional akan dapat ditekan. Dengan digunakannya magnet dalam pipa aliran bahan bakar, menyebabkan pengikatan atom oksigen oleh bahan bakar pada saat proses pembakaran menjadi lebih mudah [1]. Pada akhirnya pembakaran lebih sempurna dan konsumsi bahan bakar menurun.

270

1.0

250 230 1200

1350

1500

1650

1800

1950

Konsumsi Bahan Bakar (l/h)

Temperatur (째 C)

terhadap bahan bakar. Temperatur akan meningkat sesuai dengan peningkatan kecepatan kerja mesin [2]. Pada percobaan ini diambil 3 kondisi yaitu : normal, mengunakan magnet 2000 gauss, dan menggunakan magnet 4200 gauss.

2100

(RPM)

Gambar 4. Temperatur gas buang beban 25%

Normal 2000 G 4200 G

0.9 0.8 0.7 0.6

0.5 1200 1350 1500 1650 1800 1950 2100 (Rpm)

550

Gambar 6. Konsumsi bahan bakar pada beban 25%

500

400 1200

1400

1600

1800

Konsumsi Bahan Bakar (l/h)

Normal 2000 G 4200 G

450

2000

(RPM)

Gambar 5. Temperatur gas buang beban 85%

4.2. Konsumsi bahan bakar (FOC) Besarnya konsumsi bahan bakar (Fuel Oil Consumption / FOC) yang dibutuhkan selama proses operasional motor diesel merupakan salah satu parameter patokan dalam pemilihan

Normal 2000 G 4200 G

2.0 1.6 1.2 0.8 1200 1350

1500 1650 1800

1950 2100

(Rpm)

Gambar 7. Komsumsi bahan bakar pada beban 85%

Dari Gambar 6 dan 7 dapat diketahui manfaat penggunaan magnet yang digunakan dalam pipa aliran bahan bakar dalam mengurangi konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan dalam proses operasional Diesel. Dari percobaan berhasil didapatkan prosentase besarnya penurunan konsumsi bahan bakar. 1.6 Rata2 Konsumsi Bahan

Temperatur yang diukur pada gas buang naik mengikuti pertambahan kecepatan pada motor, seperti terlihat pada Gambar 4 dan 5. Hal ini terjadi karena konsumsi bahan bakar naik mengikuti besarnya beban bekerja pada Diesel. Bahan bakar yang diberi magnet memungkinkan terjadinya pemotongan rantai hidrokarbon yang menyebabkan terbentuknya ion yang memudahkan dalam mengikat oksigen, sehingga pembakaran berjalan lebih baik [1]. Penurunan temperatur dapat diprosentasekan sebagai berikut : Pada beban 25% adalah 1.21% (magnet 2000 G) dan 1.89% (magnet 4200G), Sedangkan pada beban 85% adalah 2.86% (magnet 2000G) dan 3.035% (magnet 4200G).

1.4 1.2 Bakar (lt/h)

Temperatur ( 째C)

600

1

Normal 2000G 4200 G

0.8 0.6 0.4 0.2 0 Beban 25%

Beban 45% Be ban

Gambar 8. Rata-rata konsumsi bahan bakar

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

73


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Dari Gambar 8, prosentase penurunan konsumsi bahan bakar pada beban 25% sebesar 7.05% (magnet 2000 G) dan 8.28% (magnet 4200G), Sedangkan pada beban 85% sebesar 13.11% (magnet 2000G) dan 13.55% (magnet 4200G). Dari pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan magnet pertabel ini konsumsi bahan bakar akan dapat ditekan. Walaupun dalam prosentase terlihat penurunan yang rendah (dibawah 15%) namun dari segi penghematan bahan bakar penggunaan alat ini dapat dijadikan rujukan. Satu hal yang penting adalah pemilihan kekuatan magnetisasi alat ini karena akan menentukan harga magnet.

Penggunaan magnet portabel ini pun menunjukkan penurunan konsumsi bahan bakar sebesar 13-14% pada kondisi beban normal. Penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk menjadikan alat magnet portabel ini benar-benar layak digunakan di masyarakat umum, terutama untuk aplikasi pada motor berbahan bakar premium. Daftar Pustaka [1] Magnetizer and Hidrocarbon Fuel, Http://www.magnetizer.com [2] Lilly,L.R.C., 1984, Diesel Engine Reference Book, Butterworth and Co, chapter 10.

5. Kesimpulan Percobaan penggunaan magnet portabel pada motor diesel menunjukkan performa yang positip pada motor diesel yang diuji. Dengan menggunakan magnet, temperatur gas buang dapat diturunkan, pada akhirnya akan berpengaruh pada karakteristik gas buang.

[3] Zarutskaya, T. and M. Shapiro, 2000, Capture of Nanoparticles by Magnetic Filters, Journal of Aerosol Science, Volume 31, Issue 8, Pages 907-921.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

74


INOVASI

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Liquid crystal elastomers sebagai otot buatan Yusril Yusuf Department of Applied Quantum Physics and Nuclear Engineering, Graduate School of Engineering, Kyushu University, Fukuoka 812-8581, Japan Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281, Indonesia E-mail: yusril@ugm.ac.id 1. Pendahuluan Sebuah aktuator fungsionil dan sebuah otot buatan yang terbuat dari bahan-bahan lunak (soft materials) adalah divais-divais yang diperlukan untuk teknologi masa depan berbasis human engineering dan keselarasan antara mesin dan manusia. Sejauh ini, sebagai contoh, aktuator pada robot-robot sebagian besar berbasis pada motor listrik, namun itu mempunyai beberapa kerugian, seperti misalnya karena keterbetasan ukuran dan bentuk, transmisi yang kompleks, terbuat dari hard materials (sehingga berat dan noisy), dan tidak begitu terkontrol secara akurat. Beberapa tahun terakhir ini, beberapa bahan lunak memperlihatkan respons sensitif mereka terhadap medan listrik yang mana diharapkan dapat berperan sebagai sebuah aktuator baru menggantikan motor-motor listrik pada robot. Karenanya maka kemudian beberapa kandidat aktuator yang terbuat dari bahan-bahan lunak seperti ionic gels, polymer networks dan liquid crystal elastomers (LCEs) diusulkan [1].Salah satu yang paling mungkin adalah LCEs. Namun demikian, hingga saat ini, sebuah dry LCEs memerlukan medan listrik yang sangat tinggi untuk menghasilkan perubahan-perubahan bentuk (shape changes) dan memberikan respons yang masih relative lambat, yang mana itu semua merupakan sifat-sifat negatif bagi aplikasi-aplikasi selanjutnya. Berlatar belakang pada permasalah di atas, studi ini akan difokuskan untuk mencari sebuah bahan di dalam LCE yang memiliki respon cepat dan sensitif terhadap medan listrik sebagai sebuah otot buatan. Pada umumnya, LCEs terdiri dari cross-linked polymer networks dan mesogenic side chains [2]. Memahami mekanisme-mekanisme fisik yang

bertanggung jawab pada efek-efek thermomechanical di LCEs diperlukan untuk membuat

Gb. 1. Gambar skematis untuk prinsip dasar of sebuah electric- driven actuator berbasis bahan-bahan lunak seperti LCE. Medan listrik yang diaplikasikan dirubah menjadi strain.

bahan-bahan fungsionil yang dapat bekerja sebagai temperature-driven actuators atau otototot buatan 3]. Sifat-sifat lainya yang lebih bermanfaat bagi aktuator adalah divais-divais yang mengalami perubahan bentuk bila diaplikasikan sebuah medan listrik dari pada suhu, yaitu disebut sebagai efek-efek elektromekanik (electromechanical effects). Namu demikian, hingga saat ini, sebuah dry LCEs membutuhkan medan listrik yang relatif tinggi, sekitar 1V/Âľm, untuk menghasilkan. efekefek elektromekanik. Gambar 1 memberikan ilustrasi dari prinsip dasar sebuah electric-driven actuator berbasis bahan-bahan lunak. Sebuah medan listrik yang diaplikasikan pada sampel ditransformasikan menjadi sebuah strain (perubahan bentuk). Sementara itu, respons medan listrik dari low molecular weight liquid crystals (LMWLCs) pada plat ber-geometri sejajar dikeketahui sebagai fenomena kooperatif, yaitu sebuah efek tegangan (voltage effect), bukan efek medan (field effect) seperti yang terjadi pada nematic LCEs. Oleh karenanya, LCEs yang mengembang (swollen) oleh nematic LMWLCs diprediksi akan mengalami perubahan bentuk pada tegangan rendah. Makalah ini akan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

75


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 mereview secara singkat efek-efek elecktromekanik pada sebuah polydomain LCE yang sebelumnya dikembangkan (swollen) dengan sebuah nematic LMWLC, 4-n-pentyl-4cyanobiphenyl (5CB), sebagai sebuah otot buatan [4, 5]. Pada studi mengenai swelling dynamics [5], kita memukan bahwa polydomain LCEs mengembang secara isotropic (isotropically) dalam 3D dan kurang lebih 1.8 kali lipat molekul-molekul LMWLC masuk ke dalam polydomain LCE. Dalam eksperimen, sebuah film polydomain LCE dengan ketebalan ~ 25µm dan area ~ 300µm × 150µm disiapkan. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam LMWLC untuk proses swelling diantara dua buah transparent indium tin oxide (ITO) electrodes yang telah dilapisi oleh very clean SiO. Gap di antara cell dikontrol oleh polymer (Mylar) spacer dengan ketebalan 100µm. Gambar 2 memperlihatkan gambaran skematis untuk mekanisme dari efek-efek elektromekanik pada swollen polydomain LCE. Bila sebuah medan listrik diaplikasikan ke sebuah LCE yang terendam oleh LMWLC, molekul-molekul LMWLC akan mengalami reorentasi menjadi sejajar dengan medan. Ini menyebabkan reorientasi pada banyak mesogenic side chains yang kemudian akan mengakibatkan perubahan bentuk pada jaringan (network) dan akibatnya sampel menebal sepanjang E dan menipis pada arah tegak lurus E. Jadi, efek-efek elektromekanik pada swollen LCEs disebabkan oleh efek kooperatif dari LMWLC. Mesogenic side chains dalam swollen LCEs secara efektif dapat berpasangan satu dengan yang lain via molekul-molekul LMWLC yang tersebar di dalam networks. Oleh karena itu sebuah medan listrik yang kecil sekalipun dapat membangkitkan sebuah perubahan bentuk makroskopik pada sebuah swollen LCE. Gambar 3 memperlihatkan dependensi tegangan pada shape changes. Terlihat bahwa sebuah nilai ambang tegangan yang relative kecil, Vth ~ 1.0V, diperoleh untuk mengamati efek elektromekanik. Untuk membandingkan ini dengan dry polydomain LCEs, kita perlu merubah tegangan menjadi medan listrik. Pada dry LCE, perubahan bentuk diamati pada medan

listrik ~1V/µm [6]. Sedangkan, nilai ambang medan listrik untuk swollen polydomain LCE adalah kira-kira 1V/100µm (100µm adalah

Gb. 2. Gambar skematis untuk efek-efek elektromekanik dari sebuah polydomain LCE yang direndam dengan LMWLC tanpa tegangan (kiri) dan dengan tegangan (kanan).

ketebalan cell), ini berarti 100 kali lebih kecil bila dibandingkan dengan dry LCEs. Dalam aplikasinya sebagai otot buatan yang berbasis swollen LCEs, kita mempertimbangkan dua factor pendukung; strain (kontraksi) dan response time. Dalam studi ini, kontraksi maksimum adalah sekitar 14%. Response time adalah sekitar 0.1sec, yang mana jauh lebih cepat (sekitar 100 kali) bila dibandigkan dengan bahan-bahan lunak konvensional.

Gb. 3. Dipendensi tegangan pada perubahan bentuk dari sebuah swollen polydomain LCE. Vth adalah ambang batas untuk perubahan bentuk LCE; Vth ~ 1V.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

76


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Akhirnya, efek-efek elektromekanik yang diamati pada swollen polydomain LCEs adalah sebuah konsekuensi dari efek-efek kooperatif dari LMWLC yang terdapat pada swollen LCE dengan mesogenic side chains pada jaringanjaringan LCE. Sehingga, sebuah medan listrik akan membangkitkan sebuah perubahan bentuk makroskopik. Dari hasil yang diperoleh, kita menyimpulkan bahwa swollen polydomain LCEs adalah sebuah kandidat untuk soft actuators dan otot-otot buatan. Daftar pustaka [1] Ping Xie and Rongben Zhang, 2005, Liquid crystal elastomers, networks and gels: advanced smart materials, J. Mater Chem. 15, 2529-2550. [2] M. Warner and E. M. Terentjev, 2003, Liquid Crystal Elastomers, Oxford University Press, Oxford.

[3] P. G. de Gennes, M. Hubert and R. Kant, 1997, Artificial muscles based on nematic gels, Makromol. Symp. 113, 39-49. [4] Y. Yusuf, J-H Huh, P. E. Cladis, H. R. Brand, H. Finkelmann and S. Kai, 2005, Lowvoltage-driven electromechanical effects of swollen liquid crystal elastomers, Phys. Rev. E, 71, 061702/1-061702/8. [5] Y. Yusuf, Y. Ono, Y. Sumisaki, P. E. Cladis, H.R. Brand, H. Finkelmann and S. Kai, 2004, Swelling dynamics of liquid crystal elastomers swollen with low molecular weight liquid crystals, Phys. Rev. E, 69, 021710/1-021710/9. [6] S. Courty, J. Mine, A. R. Tajbakhsh, and E. M. Terentjev, 2003, Nematic elastomers with aligned carbon nanotubes: New electromechanical actuators, Europhys. Lett., 64(5), 654-660.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

77


INOVASI

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Bagaimana Menentukan Daerah Resapan Air Tanah ? Rachmat Fajar Lubis Graduate School of Science and Technology, Chiba University, Japan E-mail : fajarlubis@graduate.chiba-u.jp Permasalahan sumberdaya air saat ini sudah menjadi suatu permasalahan yang sangat penting di Indonesia, khususnya pulau Jawa, Bali dan kepulauan Nusa Tenggara. Kebutuhan sumberdaya air yang terus meningkat tidak dapat diimbangi oleh siklus air yang relatif tetap. Perubahan lahan akibat tekanan aktifitas penduduk mengakibatkan perubahan badan air yang terbentuk di daratan. Contoh nyata di berbagai wilayah pada saat musim hujan selalu/menjadi banjir, sedangkan pada saat musim kemarau daerah yang sama mengalami kekeringan. Perubahan ini mengakibatkan penduduk di wilayah-wilayah ini, yang pada awalnya bertumpu pada penggunaan air sungai sebagai sumber air bersih mulai beralih kepada penggunaan airtanah. Akibatnya, penggunaan airtanahpun meningkat sangat pesat pada akhir dasawarsa ini. Perkembangan industrialisasi yang tidak dapat diimbangi oleh penyediaan sumber air baku oleh pemerintah merupakan katalis utama dari pemanfaatan airtanah secara besar-besaran. Tidak dapat dihindari, akibat dari eksploitasi berlebih ini mulai terasa dampaknya. Penurunan muka airtanah secara berkala yang mengakibatkan keringnya sumur-sumur setempat, amblesan tanah, intrusi air laut dan banyak lagi. Ketika dampak lingkungan mulai terasa, maka pentingnya upaya konservasi barulah disadari. Sumberdaya air mulai menjadi salahsatu parameter kendali dalam penentuan tata ruang. Khusus untuk airtanah, penentuan tataruang harusalah mengacu kepada siklus airtanah atau model aliran airtanah itu sendiri. Model aliran airtanah itu sendiri akan dimulai pada daerah resapan airtanah (recharge zone). Daerah ini adalah wilayah dimana air yang berada di permukaan tanah baik air hujan ataupun air permukaan mengalami proses

penyusupan (infiltrasi) secara gravitasi melalui lubang pori tanah/batuan atau celah/rekahan pada tanah/batuan. Proses penyusupan ini akan berakumulasi pada satu titik dimana air tersebut menemui suatu lapisan batuan yang bersifat kedap air (impermeabel). Titik akumulasi ini akan membentuk suatu zona jenuh air (saturated zone). Perbedaan kondisi fisik secara alami akan mengakibatkan air dalam zonasi ini akan bergerak/mengalir baik secara gravitasi, perbedaan tekanan, kontrol struktur batuan dan parameter lainnya. Kondisi inilah yang disebut sebagai airtanah. Daerah aliran airtanah ini selanjutnya disebut sebagai daerah aliran (flow zone). Dalam tahap pengaliran ini, airtanah seringkali muncul ke permukaan baik terpotong oleh topografi ataupun akibat kontrol geologi seperti patahan, adanya lapisan batuan kedap air (impermeabel) dan lain sebagainya. Munculnya airtanah ini kembali ke permukaan disebut sebagai mataair, daerah inilah yang disebut sebagai daerah luahan airtanah (discharge zone). Dewasa ini kriteria daerah luahan telah sangat berkembang, terutama akibat aktifitas manusia. Daerah munculnya airtanah ke permukaan akibat pemompaan, apabila cukup intensif dilakukan, bisa dimasukkan kedalam katagori daerah tersebut. Pada saat krisis airtanah terjadi, maka upaya penentuan daerahdaerah ini menjadi pertanyaan terpenting. Cara menentukan daerah resapan dan luahan Dibandingkan dengan daerah luahan, penentuan daerah resapan menjadi lebih sulit dikarenakan tidak ada fenomena di permukaan yang kasat mata. Sedangkan daerah aliran secara umum dapat dikatakan sebagai daerah transisi karena bisa berubah menjadi daerah luahan atau resapan. Hal ini diakibatkan oleh faktor alami

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

78


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 seperti intensitas hujan ataupun buatan seperti aktifitas manusia. Freeze & Cherry [1] mencoba memberikan suatu definisi serta cara mengidentifikasi daerah resapan airtanah ini: • Daerah resapan adalah daerah tempat masuknya air kedalam zona jenuh air sehingga membentuk suatu garis khayal yang disebut sebagai muka airtanah (water table) dan berasosiasi dengan mengalirnya air dalam kondisi jenuh tersebut kearah daerah luahan. • Dalam terminology penggambaran jejaring aliran airtanah (flow net) maka posisi jejaring aliran ini akan bergerak menjauhi muka airtanah. • Daerah ini dapat didefinisikan memiliki komposisi garam dan mineral yang lebih sedikit dibandingkan komposisi dalam daerah luahan dalam satu sistem aliran airtanah yang sama. • Daerah ini dapat ditentukan dengan melihat distribusi dari tumbuh-tumbuhan. • Daerah ini dapat ditentukan dengan melihat penurunan tekanan air berlawanan dengan daerah luahan yang akan mengalami kenaikan tekanan air (kondisi ini dapat diaplikasikan pada saat mengukur tekanan air pada suatu lubang bor secara vertikal) Dalam aplikasinya ternyata hal ini tidaklah terlalu mudah dilaksanakan, hal ini dikarenakan ada beberapa konsep tertulis diatas yang sulit untuk diaplikasikan di Indonesia. Sebagai contoh untuk identifikasi tanaman, ternyata bukanlah hal yang mudah untuk daerah dengan iklim tropis yang bersifat biodiversifikasi. Kuatnya konsepsi teori klasik yang ada saat ini, bahwa daerah resapan pastilah daerah dengan topografi yang tinggi (kendali geomorfologi) juga menjadi salahsatu kendala dalam penentuan daerah resapan yang lebih akurat. Pada kenyataannya pergerakan air di dalam tanah tidak lagi hanya dikendalikan oleh gravitasi tetapi juga oleh kondisi geologinya. Kasus penyusupan airlaut kedalam daratan dapat dijadikan contoh

bahwa pergerakan air di dalam tanah bisa berlaku sebaliknya dari topografi rendah menuju kearah topografi yang lebih tinggi.

Cara menentukan akurat

daerah

resapan

yang

Ini perlu dilakukan dengan memahami model aliran airtanah terlebih dahulu. Untuk memudahkan, aliran airtanah dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi yaitu : - Aliran airtanah regional Ini adalah aliran airtanah secara umum, aliran ini berlangsung dalam satu siklus yang berada pada satu cekungan airtanah yang sama. - Aliran airtanah transisi Dalam cekungan airtanah, ada suatu karakter dimana aliran dapat berfluktuasi mengikuti aliran regional atau lokal tergantung pada beberapa parameter alam yang ada. Karakter inilah yang disebut sebagai aliran transisi. - Aliran airtanah lokal Aliran ini terbentuk akibat adanya perbedaan kondisi alam yang bersifat lokal yang mengkibatkan pola alirannya berbeda dengan pola umum (aliran airtanah regional) Sebagai contoh dalam suatu aliran regional yang berarah utara – selatan, maka apabila diamati lebih seksama (terutama dalam jalur-jalur sungainya) sangat dimungkinkan ditemukan mataair – mataair yang mengalir kearah barat atau timur. Berangkat dari pemahaman ini maka penentuan daerah resapan airtanah haruslah menjadi lebih detail. Diperlukan konsep yang lebih baik. Yaitu penentuan daerah resapan dan luahan untuk ketiga klasifikasi aliran ini. Berangkat dari konsep Toth [2], suatu konsep pemahaman secara lebih terintegrasi perlulah mengamati parameter fisika dan kimia yang ada secara alami pada pergerakan aliran airtanah itu sendiri. Illustrasi secara detail dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

79


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Gambar 1. Konsep penentuan daerah resapan dan luahan airtanah (modifikasi dari Toth[2]) Gambar ini menunjukkan konsep perubahan parameter kimia dan fisika airtanah. Kondisi ideal (digambarkan di wilayah sebelah kiri), menunjukkan pergerakan airtanah hanya dikendalikan oleh aliran gravitasi. Kondisi lainnya dimana pergerakan airtanah dikendalikan tidak hanya oleh gravitasi tetapi juga oleh kondisi topografi dan geologi dapat dilihat pada wilayah yang berundulasi di sebelah kanan gambar. Kembali kepada pertanyaan awal : Apakah metode ini akurat untuk diaplikasikan di Indonesia? Mengingat perbedaan kondisi yang ada dan minimnya data penelitian yang telah ada? Sampai saat ini belum ada jawaban yang pasti. Oleh karenanya upaya pengamatan variasi parameter airtanah yang menerus dan dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia yang memiliki karakteristik yang berbeda, sangatlah perlu dilakukan untuk mendapat jawaban yang tepat.

Ucapan Terima Kasih Tulisan ini diperuntukkan kepada Dr. Arif Satria atas dedikasinya yang luar biasa terhadap majalah ilmiah semi populer : Persatuan Pelajar Indonesia (PPI Jepang), Inovasi On-line selama masa studinya di Jepang serta para peneliti lainnya yang terus bergiat dibidang ketersediaan sumberdaya air yang layak bagi umat manusia di Indonesia dan dunia. Daftar Pustaka [1] Freeze, R.A., Cherry, J.A., 1979, Groundwater, Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ 07632 [2] T贸th, J., 1999, Groundwater as a Geologic Agent: An Overview of the Causes, Process, and Manifestation, Hydrogeology Journal, Vol. 7, p 1-1.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

80


INOVASI

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Perspektif Pertanian dalam Lingkungan yang Terkontrol M.Affan Fajar Falah Mahasiswa Program Doktor, The United Graduate School Of Agriculture Ehime University Staff Pengajar Jur. Teknologi Industri Pertanian FTP UGM Yogyakarta E-mail : affan.fajar@gmail.com 1. Pendahuluan Tanaman dalam kondisi alamiah maupun dibudidayakan dengan pertanian seringkali mengalami stres akibat kondisi lingkungan (environmental stresses). Stres biasanya didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak menguntungkan yang berpengaruh terhadap tanaman. Dalam kasus ini stres karena kondisi lingkungan atau abiotic stresses seperti suhu, kelembaban, salinitas, kekeringan, dan banjir [14]. Dalam produksi tanaman, pemahaman tentang dampak stres akibat kondisi lingkungan penting untuk budidaya pertanian maupun untuk lingkungan tersebut. Dalam banyak kasus, stres biasanya diukur dengan ketahanan tanaman, produksi, pertumbuhan tanaman, kualitas panen atau yang termasuk dalam proses asimilasi yang utama. Berdasarkan estimasi, efek abiotic stress berpengaruh 22% terhadap produktifitas panen yang akan dihasilkan [1]. Beberapa contoh di bawah tentang efek stres karena kondisi lingkungan seperti kekeringan dan banjir, salinitas maupun suhu. Efek kelebihan air atau banjir yang umum adalah kekurangan oksigen, sedangkan kekurangan air atau kekeringan akan mengakibatkan dehidrasi pada tanaman yang berpengaruh terhadap zona sel turgor yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan tanaman [7]. Salinitas dalam pandangan pertanian berarti akumulasi dari garam mineral yang berlebih di atas level optimal. Tanah yang mempunyai salinitas tinggi sering mengandung sejumlah garam seperti Na2SO4, Mg SO4, Ca SO4, MgCl2, KCl, and Na2CO3. Stres akibat kelebihan Na+ dapat mempengaruhi beberapa proses fisiologi dari mulai perkecambahan sampai pertumbuhan tanaman [9].

Suhu sebagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi produksi tanaman secara fisik maupun fisiologis. Secara fisik, suhu merupakan bagian yang dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari dan dapat diestimasikan berdasarkan keseimbangan panas. Secara fisiologis, suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, fotosintesis, pembukaan stomata, dan respirasi. Selain itu, suhu merupakan salah satu penghambat dalam proses fisiologi untuk sistem produksi tanaman ketika suhu tanaman berada diluar suhu optimal terendah maupun tertinggi [8]. Beberapa efek dari stres karena kondisi lingkungan yang disebutkan di atas dapat dikurangi dengan menggunakan sistem pertanian dengan lingkungan yang terkontrol (Controlled Environment in Agriculture (CEA)), sebab CEA dapat mempertahankan dan menstabilkan kondisi lingkungan sesuai kondisi optimal untuk pertumbuhan tanaman. Pertanian dengan lingkungan yang terkontrol, selanjutnya disingkat dengan CEA, merupakan kombinasi antara budidaya pertanian, perkebunan dan rekayasa untuk mengoptimalkan produksi tanaman, peningkatan kualitas panen, dan efisiensi produk. Tanaman dalam CEA sangat mungkin ditumbuhkan secara hidroponik, dimana cara ini menggunakan air sebagai media dengan akar yang ditumbuhkan dalam lapisan film yang tipis. Tanaman dalam CEA dapat dipertahankan kondisi lingkungannya dengan menggunakan pencahayaan tambahan, supplai nutrisi, suhu maupun kelembaban yang dapat dikontrol menggunakan komputer. Media tumbuh yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dapat diformulasikan dan disesuaikan dengan karakter tanaman.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

81


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 2. Lingkungan Terkontrol untuk Produksi Pertanian Pengelolaan CEA dengan baik dapat menyediakan produk segar (termasuk bunga dan tanaman obat) dengan kualitas yang baik dengan sedikit bahan kimia. Lebih lanjut lagi, fasilitas CEA dapat di buat menggunakan larutan nutrisi ataupun air tanah serta dapat dipilih lokasi di daerah pinggiran kota atau desa yang tidak memerlukan alih fungsi lahan pertanian. Dua hal penting dalam pengembangan CEA adalah suhu dan sinar radiasi matahari (pencahayaan). Dua parameter ini sedapat mungkin dikendalikan dengan baik secara seragam dan konsisten setiap harinya. Untuk mendapatkan hasil yang baik kadang dibutuhkan pencahayaan tambahan. Pada saat cuaca mendung atau hujan, dimana sinar matahari tidak maksimal diterima oleh tanaman, pencahaayan buatan ditambahkan untuk meningkatkan sinar yang diterima oleh tanaman untuk proses fotosintesis dan ini membutuhkan tambahan daya listrik. Daya listrik tambahan akan semakin besar apabila ingin menghasilkan tanaman sepanjang tahun dalam berbagai musim dan ini sangat membebani pengelola CEA di berbagai tempat. Beberapa tipe fasilitas CEA yang banyak digunakan oleh para ahli pertanian maupun para petani dan industri pertanian adalah greenhouse, phytotron, growth chamber, dan Controlled Ecological Life-Support System (CELSS). 2.1. Greenhouse CEA yang paling umum dan banyak digunakan adalah greenhouse (rumah kaca). Greenhouse didefinisikan sebagai bangunan tertutup yang transparan untuk menumbuhkan atau melindungi tanaman atau istilah lain didefinisikan sebagai sebuah bangunan yang dapat menyediakan kondisi optimal untuk menumbuhkan tanaman secara memuaskan sepanjang tahun. Faktor yang berpengaruh seperti suhu, sinar matahari, kelembaban, dan udara disediakan , dipertahankan dan didistribusikan secara merata dalam greenhouse pada level yang optimal [3]. Greenhouse yang baik, terutama dalam konstruksinya, bertujuan untuk membuat kondisi cuaca yang diperlukan dan dikendalikan sedapat mungkin sehingga

tanaman dapat tumbuh sepanjang tahun secara optimal. Untuk tujuan ini disyaratkan dalam pembuatan greenhouse adalah mempunyai transmisi cahaya yang tinggi, konsumsi panas yang rendah, ventilasi yang cukup dan efisien, struktur yang kuat, konstruksi, dan biaya operasional yang murah [16]. Greenhouse untuk daerah tropis sangat memungkinkan dan mempunyai banyak keuntungan dalam produksi dan budidaya tanaman. Produksi dapat dilakukan sepanjang tahun, dimana produksi dalam lahan yang terbuka tidak memungkinkan karena adanya hujan yang sering dan angin yang kencang. Kebutuhan dan tujuan utama dari greenhouse dan bangunan konstruksinya untuk daerah tropis adalah 1) melindungi tanaman dari hujan yang sangat lebat yang dapat terjadi secara berlebihan, tingginya radiasi matahari dan angin, 2) efisiensi ventilasi yang tinggi, 3) jangka waktu penggunaan plastik film (sekali dalam satu tahun ) dan 4) pengumpulan air untuk irigasi dalam musim kemarau [16]. Struktur greenhouse di daerah tropis sering menggunakan sisinya untuk melindungi dan mengontrol suhu dengan menggunakan ventilasi alamiah maupun terkontrol dengan dilapisi jala (screens) yang mampu mengurangi serangan serangga dan hama [5]. Di negara Eropa bagian tengah dan utara, greenhouse banyak menggunakan atap dan sisi dari kaca, namun di negara-2 Asia (Jepang, Korea dan China) dan USA seringkali menggunakan atap dan sisi dari plastik. Kebanyakan plastik untuk greenhouse ini digunakan hanya beberapa musim dan bukan tahunan seperti greenhouse dengan kaca. PVC film untuk greenhouses masih mendominasi di Asia. Di Jepang, luas area yang menggunakan PVC film untuk greenhouse meningkat 35,000 ha dalam kurun waktu 20 tahun (1965-85). Di korea, jenis greenhouse seperti ini meningkat 6.3 kali, dari 3,099 ha dalam tahun 1975 menjadi 21,061 ha dalam tahun 1986. Di China menunjukkan pertumbuhan yang dramatis dari 5,300 ha dalam tahun 1978 menjadi 34,000 ha, dalam tahun 1988. Kombinasi pertumbuhan greenhouses dan row covers di China bertambah 96,000 ha hanya dalam 10 tahun. Hampir semua greenhouse yang menggunakan plastik di Asia adalah high tunnels, sedangkan di Eropa dan USA adalah multi-span atau

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

82


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 greenhouse yang terkoneksi. Tidak mengherankan jika China sekarang menjadi pengguna terbesar pertanian menggunakan plastik greenhouse, karena sekitar 1 milyar penduduknya harus diberi makan menggunakan hasil yang didapat dari pertanian [5,15].

Gambar. 2. Phytotron di Kochi University, Jepang (Dokumen pribadi)

Gambar. 1. Plastik greenhouse untuk pertanian di Kochi Prefecture, Jepang (Dokumen pribadi) 2.2. Phytotron Phytotron merupakan greenhouse yang tertutup secara keseluruhan yang digunakan untuk mempelajari pengaruh kondisi lingkungan pada tanaman maupun untuk pertumbuhan tanaman yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang diinginkan, serta untuk memonitor konsumsi gas. Biasanya, phytotron menggunakan kaca untuk atap dan sisinya sehingga dapat menerima sinar matahari secara langsung dan suhu udara serta kelembaban dapat diatur dan disesuaikan. Dalam phytotron ini, tanaman biasanya dibudidayakan menggunakan pot, kotak atau tabung yang dimasukkan dalam ruangan sehingga kondisi lingkungan yang optimal didapatkan dalam ruangan yang terbatas. Keuntungan penggunaan phytotron ini adalah dapat menghasilkan ulang (re-producing) beberapa tipe kondisi lingkungan yang diinginkan dari kondisi yang dingin di antartika sampai daerah gurun maupun tropis. Para peneliti dapat mempertahankan ketepatan kontrol beberapa kondisi lingkungan (sebagai contoh, tipe tanah, suhu udara, level cahaya /sinar yang digunakan, konsentrasi karbon dioksida, kelembaban relatif, dan nutrisi ).Studi tentang beberapa organisme seperti hubungan antara tanaman dan spesies hewan tertentu juga dapat dilakukan.

Beberapa keuntungan lainnya antara lain dapat melakukan studi tentang tanaman tanpa takut terganggu oleh organisme lain, kemudahan dalam replikasi dan manipulasi kondisi lingkungan dan biaya yang relatif tidak terlalu mahal. Dengan menggunakan beberapa bagian ruangan yang cukup besar maka penelitian dapat didesain untuk mengeksplorasi beberapa sensor yang dapat mengindikasikan stres seperti suhu, karbon dioksida, dan polusi udara. Hal ini memberikan kesempatan untuk mendapatkan peningkatan pemahaman dari interaksi yang kompleks antara tanaman dan lingkungan. Phytotron, biasanya hanya digunakan di universitas dan industri pertanian yang cukup besar. 2.2. Growth Chamber Growth Chamber adalah ruangan yang digunakan untuk menumbuhkan tanaman dalam kondisi lingkungan yang tertutup dengan menggunakan cahaya buatan menggunakan lampu. Dalam growth chamber untuk tanaman kondisi lingkungan dapat dipertahankan secara konsisten sesuai yang dikehendaki dengan pengaturan dan operasi yang khusus. Dalam growth chamber ini, kita dapat mengatur radiasi, suhu, kelembaban, karbon dioksida, pergerakan udara, dan juga kontaminasi udara berdasarkan tujuan yang hendak dicapai . Secara umum, pengoperasian growth chamber itu mahal dan membutuhkan persyaratan khusus untuk menjalankan dan mengatur bermacam-macam faktor dengan tingkat presisi yang tinggi [2]. Dalam growth chamber yang umum dan sederhana, radiasi, suhu, dan kelembaban dapat dikontrol dengan baik dan akurat [ 6].

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

83


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Radiasi dalam growth chamber merupakan sumber energi yang digunakan oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Efek radiasi pada tanaman biasanya digunakan untuk mempelajari fotosintesis, fotomorfogenesis, dan energi-bio. Sumber daya untuk radiasi dapat diusahakan dengan menggunakan berbagai macam lampu yang mempunyai emisi spectra dalam tiap lampu antara 300-800 nm. Tipe lampu yang sering digunakan dalam growth chamber adalah : incandescent lamps, fluorescent lamps (cool white phosphor lamps, daylight phosphor lamps, warm white phosphor, deluxe cool white phosphor, gro-lux phosphor and vita-lite phosphor), High Intensity Discharge (HID) lamps, Mercury lamps, Low Pressure Sodium (LPS) lamps, Xenon Lamps, dan Light Emitting Diode (LED) [12]. Dalam growth chamber suhu udara dapat dikontrol dengan baik sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik ataupun ditumbuhkan dengan suhu tertentu. Pengontrolan suhu dalam growth chamber biasanya digunakan untuk mengetahui efek suhu terhadap tanaman atau mempertahankan suhu sehingga kondisinya tetap optimal.Pengukuran dan peralatan sensor yang digunakan dapat dimonitor dengan baik, bahkan pengaturan suhu secara digital computerized systems banyak digunakan dalam growth chamber dimana suhu dapat diamati dan diubah secara cermat tiap menit untuk membuat gradual progress [4]. Kelembaban merupakan salah satu faktor lingkungan yang sulit dimonitor. Pengukuran kelembaban biasanya dikalibrasikan dengan pengukuran kelembaban relatif, sehingga pengaruhnya terhadap status air dalam tanaman dapat dipelajari, juga interaksi dengan tanah, tanaman, dan atmosfer lingkungan dapat dibandingkan secara langsung. Alat yang biasanya digunakan untuk pengukuran kelembaban dalam growth chamber antara lain psychrometers, electrochemical, hair hygroscopic, dew point, and electrocapitative dan biasanya sudah termasuk dalam monitor yang diamati [13].

Gambar. 3. Growth Chamber dengan lampu spesial (warm white fluorescent lamps dengan biru, merah atau far-red fluorescent lamps) (abiko research laboratory) (Dokumen pribadi) 2.3. Controlled Ecological System (CELSS)

Life-Support

Konsep dasar CELSS atau mini-earth ini adalah produksi tanaman untuk bahan makanan menggunakan sistem yang tertutup dengan pencahayaan buatan (artificial lighting) yang dapat diatur intensitas dan waktunya, penambahan CO2 sampai level tertentu yang dibutuhkan tanaman, penggunaan nutrisi sesuai kebutuhan tanaman, kontrol suhu ruangan maupun akar, dan kelembaban ruangan. Semua aspek tersebut dikontrol dan diprogramkan oleh komputer yang terkoneksi dan dapat dipantau dengan tingkat akurasi yang tinggi. Auto-optimization programs dapat dibangun untuk mencari dan mendapatkan kemungkinan fotosintesis tertinggi yang dapat dihasilkan berdasarkan computer-driven manipulation dari variable lingkungan tersebut. Tanaman dapat dipertahankan dalam kondisi yang optimal menggunakan pengaturan dan pengawasan secara hidroponik sehingga penggunaan sumberdaya untuk pengukuran dan eksperimen, hasil panen per sumber daya yang dihasilkan dapat diidentifikasi untuk mendapatkan hasil yang seimbang antara biaya dan hasil panen. Protokol, teknologi, dan informasi umum dari produksi tanaman untuk makanan dalam miniearth program dapat dioptimalkan dengan persyaratan tanaman yang akan dipakai untuk program ini sesuai dengan kondisi yang diinginkan sehingga akan dihasilkan makanan yang berkualitas yang dapat divisualisasikan dan ditunjukkan dengan otomatisasi sistem produksi tanaman menggunakan robot. Teknologi ini

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

84


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 secara ilmiah dapat digunakan secara umum untuk produksi tanaman sebagai bahan makanan dengan persyaratan highly controlled and modified environments dapat terpenuhi. Japan's Mini Earth bertujuan untuk menganalisa material data, khususnya untuk penelitian dalam siklus karbon. Proyek ini dibangun dalam Closed Ecology Experiment Facilities (CEEF) dimana dalam bangunan ini dibungkus dengan perumpamaan seperti luar angkasa buatan, dengan peneliti yang akan tinggal sampai 4 bulan dalam udara dan air yang dapat di recycle. Proyek ini dijalankan oleh Institute for Environmental Sciences (IES),yang berlokasi di Rokkasho-village di Aomori Prefecture, Jepang bagian utara dan mulai dioperasikan secara penuh pada September 2005 [17]. Japan's Mini Earth terdiri atas dua modules yaitu (1) untuk menanam tanaman dan (2) tempat tinggal manusia (researcher) dan pengembangan hewan. Dalam setiap modules mempunyai sistem sirkulasi material yang independen untuk kestabilan parameter lingkungan seperti konsistensi udara dengan sirkulasi oksigen dan karbon dioksida. Juga terdapat pengukuran secara fisiologi dari manusia dan hewan serta tanaman dengan akurat [10]. Amerika Serikat merupakan salah satu pelopor dalam penelitian ini, dan dikembangkan di Kennedy Space Center (KSC) Florida sejak tahun 1985. Pada tahun 2001 proyek ini ditingkatkan dengan menggunakan fasilitas seperti Biomass Production Chamber (BPC). Seperti Japan's Mini Earth, KSC dengan CELSS-nya telah berhasil mengembangkan makanan pokok seperti beras, gandum, dan kedelai. Sedang dijalankan adalah pengembangan tanaman untuk salad dan buah seperti selada, bawang, lobak, tomat, lada dan juga stroberi. Beberapa sayuran dan buahbuahan lainnya juga direncanakan akan diujicobakan karena dapat tumbuh dengan efisien seperti layaknya tomat dan selada. [11].

Gambar. 4. CELSS, Kennedy Space Center, USA [18] 3. Kesimpulan Beberapa efek yang tidak menguntungkan dari stres akibat pengaruh lingkungan seperti suhu tinggi dan rendah, kelebihan ataupun kekurangan air dan salinitas pada tanaman dapat dikurangi dan diatur menggunakan CEA se-maksimalnya. CEA dapat digunakan untuk mempertahankan dan menstabilkan kondisi lingkungan yang mempengaruhi produktivitas produksi tanaman. Supplai energi, terutama energi listrik, sangat dibutuhkan untuk menjalankan CEA dengan baik di universitas, industri pertanian maupun para petani, namun supplai energi listrik ini merupakan salah satu penghambat untuk aplikasi CEA di negeranegara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Selangkah lebih maju lagi dalam pertanian yang modern, CEA merupakan kebutuhan penting untuk optimasi produksi tanaman, menghasilkan kualitas tanaman dan meningkatkan efisiensi produksi dalam budidaya tanaman pertanian. Daftar Pustaka [1] Boyer, J.S., 1982, Plant productivity and environment, Science, 218, 443-448. [2] De Bilderling, N., 1980, Construction and maintenance cost of controlled environment facilities, HortScience 15(4), 479-485. [3] Enoch, H.Z. and Enoch,Y., 1998, The History and geography of the greenhouse, In :

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

85


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Greenhouse Ecosystem, eds : Stanhill, G. and Enoch H.Z., Elsevier, Amsterdam, 1-16.

Circulation Technology. Institute Environmental Sciences. Japan, 3-11.

[4] Hicklenton, P.R. and Heins, R.D., 1997, Temperature, In : Plant Growth Chamber Handbook eds , Langhans R.W. dan Tibbits T.W. Iowa Agriculture State University, Iowa, 31-42.

[11] Sager, J.C., 2005. Advanced Life Support Project : Crop Experiment at Kennedy Space Center. In : Yasuhiro Tako (Ed). Proceeding of The International Symposium on Closed Habitation Experiments and Material Circulation Technology. Institute of Environmental Sciences. Japan, 120-131.

[5] Jensen, M.H., 2000, Plasticulture in the Global Community - View of the Past and Future in The Proceedings of the 15th International Congress for Plastics in Agriculture and 29th National Agricultural Plastics Congress in 2000 at Hershey, PA. in www.plasticulture.org. [6] Langhans, R.W. and Tibbits, T.W., 1997, Plant Growth Chamber Handbook , Iowa Agriculture State University, Iowa.pp 240. [7] Levitt, J., 1980, Responses of Plants to Environmental Stresses, Vol. 1: Chilling, Freezing and High Temperature Stresses, Academic Press, New York, pp 447.

of

[12] Sager, J.C. and Mc Farlane, J.C., 1997, Radiation, In : Plant Growth Chamber Handbook eds , Langhans, R.W. and Tibbits T.W., Iowa Agriculture State University, Iowa, 1-30. [13] Spomer, L.A. and Tibbits,T.W., 1997, Humidity, In : Plant Growth Chamber Handbook eds , Langhans, R.W. and Tibbits T.W, Iowa Agriculture State University, Iowa, 43-64. [14] Taiz, L. and Zeiger, E., 2002, Plant Physiology 3rd Edition. Sinauer Associates, Connecticut, pp 690.

[8] Monteith, J.L., 1977, Climate and the efficiency of crop production in Britian. Phil. Trans. Royal Society of London. B, 281, 277-294.

[15] Takakura, T. and Fang, W., 2002, Climate under cover, Kluwer, Dordrecht, pp190.

[9] Munns, R., 2002, Comparative Physiology of Salt and Water Stress, Plant, Cell and Environment, 25, 239-250.

[16] Zabeltitz, C.V., 1998, Greenhouse Structure, Greenhouse Ecosystem, eds : Stanhill, G dan Enoch HZ, Elsevier, Amsterdam, 17-70.

[10] Nitta, K. and Aiga, I., 2005. The Aim of Closed Habitation Experiments Using the MiniEarth and Its Schedule. In : Yasuhiro Tako (Ed). Proceeding of The International Symposium on Closed Habitation Experiments and Material

[17]

www.ies.or.jp

[18]

www.nasa.gov.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

86


NASIONAL

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal Rudy Fakultas Hukum Universitas Lampung Graduate School of International Cooperation Studies〠Kobe University Email: 051i254i@y05.kobe-u.ac.jp Sebagaimana telah diamanatkan oleh Deklarasi Rio dan Agenda 21, pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya. Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis komunitas ini bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sejak dahulu, komunitas lokal di Indonesia memiliki suatu mekanisme dan aturan yang melembaga sebagai aturan yang hidup di masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam termasuk di dalamnya sumberdaya kelautan. Hukum tidak tertulis ini tidak saja mengatur mengenai aspek ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya kelautan, namun juga mencakup aspek pelestarian lingkungan dan penyelesaian sengketa(Weinstock 1983; Dove 1986, 1990, 1993; Ellen 1985; Thorburn 2000). Namun demikian, sejak dicapainya kemerdekaan Indonesia, kecenderungan yang terjadi adalah sentralisasi kekuasaan. Sejak orde lama sampai berakhirnya orde baru, pemerintah pusat begitu dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan

eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk membangun lokalitasnya. Setelah reformasi tahun 1998, roda pelaksanaan desentralisasi mulai bergulir berlandaskan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 pada tahun 2001. Pada tahun 2004, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diberlakukan untuk mengatur pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Pelaksanaan desentralisasi mempunyai dua efek yang sangat berlawanan terhadap pengelolaan sumber daya kelautan tergantung dari pendekatan dan penerapannya. Desentralisasi akan mengarah pada over eksploitasi dan kerusakan tanpa adanya pendekatan yang baik, namun sebaliknya dapat memaksimalkan potensi sumberdaya kelautan dengan tetap mengindahkan aspek kelestarian dan kelangsungan. prasyarat diperlukan demi tercapainya pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal. Kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya kelautan dan terdapatnya akuntabilitas otoritas lokal merupakan prasyarat utama demi tercapainya pengelolaan sumberdaya kelautan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi (Ribbot 2002). Prasyarat pertama yaitu terdapatnya kewenangan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya kelautan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

87


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Kewenangan ini terdapat dalam bentuk kekuatan hukum dalam pasal 18 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa daerah memiliki kewenangan pengelolaan sumberdaya kelautan. Ketentuan hukum ini merupakan dasar yuridis yang kuat bagi pemerintah daerah dan komunitas lokal untuk mengupayakan pengelolaan yang disesuaikan dengan kepentingan dan kondisi lokal. Terlebih perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan tersebut berbentuk UndangUndang yang menurut hirarki perundangundangan di Indonesia berdasar UU No. 10 Tahun 2004 merupakan peraturan perundangundangan tertinggi setelah UUD 1945. Sehingga kekhawatiran akan dibatasinya kewenangan daerah berdasar Peraturan Pemerintah tidaklah beralasan. Kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan ini ada pada wilayah laut sejauh 12 mil diukur dari garis pantai terluar bagi pemerintah daerah provinsi dan 1/3 dari wilayah laut kewenangan pemerintah daerah provinsi bagi pemerintah kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ini tidak berlaku bagi penangkapan ikan oleh nelayan kecil dalam arti bahwa kewenangan yang diberikan kepada tiap daerah tidak akan membatasi usaha nelayan kecil dalam mencari penghidupan. Ketentuan ini diharapkan dapat menghilangkan praktek-praktek pelarangan bagi nelayan kecil memasuki dan menangkap ikan di wilayah laut daerah tertentu seperti yang terjadi pada awal pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.

dari otoritas lokal memegang peranan penting dalam hal ini. Tidak ada otoritas lokal yang mempunyai akuntabilitas yang sempurna, namun demikian akuntabilitas yang kuat dari otoritas lokal merupakan prasyarat keberhasilan pengelolaan sumberdaya kelautan yang berintikan komunitas lokal. Ketika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lebih memihak pada kepentingan partai politiknya dan melupakan konstituennya, sementara itu kepala daerah baik gubernur maupun bupati lebih memperhatikan kepentingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga yang memilihnya daripada aspirasi komunitas lokal, yang terjadi adalah munculnya elit lokal yang melupakan masyarakatnya. Praktek ini terjadi pada pelaksanaan desentralisasi berdasar UU No. 22 Tahun 1999 dimana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan sistem pemilu bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lebih mendekatkan anggota DPRD kepada partai politiknya. Akuntabilitas lokal mulai menguat setelah pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004. Proses ini secara langsung mendekatkan kepala daerah kepada pemilihnya untuk menjamin terpilihnya ia kembali pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan titik terang dalam penguatan akuntabilitas otoritas lokal. Di tengah kritik-kritik terhadap UU No. 32 Tahun 2004 sebagai upaya re-sentralisasi pemerintah pusat, UU ini memiliki kekuatan utama penunjang keberhasilan pelaksanaan desentralisasi dan pengelolaan sumber daya kelautan berbasis komunitas lokal yaitu penguatan akuntabilitas pemerintah daerah. Dengan dua pondasi utama dalam yaitu penyerahan kewenangan pengelolaan sumberdaya kelautan kepada pemerintah daerah dan terciptanya akuntabilitas otoritas lokal, pelaksanaan desentralisasi akan mendorong terwujudnya pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat di Indonesia.

Prasyarat kedua adalah akuntabilitas otoritas lokal terhadap komunitas lokal. Akuntabilitas

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

88


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Daftar Pustaka [1] Dove, M. (1986) “The practical reason for weeds in Indonesia: peasant vs. state views of Im-perata and Chromolaena,” Human Ecology 14(2): 163-90. [2] ——, ed. (1990) The real and imagined role of culture in development: case studies from Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press. [3] —— (1993) “Smallholder rubber and swidden agriculture in Borneo: a sustainable adaptation to the ecology and economy of the tropical rainforest,” Economic Botany 47(2): 136-47.

[4] Ellen, R.F. (1985) Patterns of indigenous timber extraction from Moluccan rain forest fringes. Journal of Biogeography (12): 559-87. [5] Ribbot, Jesse C. (2002) Democratic Decentralization of Natural Resources: Institutionalizaing Popular Participation. World Resorces Intitute. [6] Thorburn, C.C. (2000) “Changing customary marine resource management practice and institutions: the case of Sasi Lola in the Kei Islands, Indonesia,” World Development 28(8): 1461-1480. [7] Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

89


NASIONAL

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Potensi Komunitas dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang: Menilik Kasus Pulau Tambolongan, Sulawesi Selatan Budiati Prasetiamartati Mahasiswa S3 Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan, IPB. Penerima Beasiwa DAAD Scholarship for Young Indonesian Marine and Geoscience Researchers E-mail: budiati@yahoo.com 1. Pendahuluan Baru-baru ini mencuat kasus terkait dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang oleh suatu komunitas nelayan di Pulau Tambolongan, Selayar, Sulawesi Selatan [1], [2], [3], dan [4]. Komunitas nelayan pulau ini memiliki suatu kawasan terumbu karang di sekitar pulau yang berusaha mereka jaga dengan baik, karena kaya akan sumber daya ikan [5]. Komunitas membuat aturan bahwa penangkapan ikan di kawasan terumbu karang ini hanya bisa dilakukan dengan memancing, dan dilarang menggunakan bom ikan atau bius ikan. Karena mereka menganggap jika kawasan itu hancur oleh bom dan bius ikan maka tidak ada lagi tempat bagi nelayan Tambolongan mencari ikan di sekitar pulau. Kesepakatan aturan dan sanksi telah ditetapkan oleh komunitas di Dusun Lemba yang terdiri dari sekitar 57 KK. Kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan bius ikan berarti melanggar aturan yang telah disepakati, dan harus dicegah. Tantangan aturan lokal semacam ini biasanya datang dari nelayan yang berasal dari luar komunitas, dan dari ada atau tidaknya pengakuan pemerintah di tingkat regional atau nasional terhadap pengaturan kelembagaan semacam ini. Patut disayangkan jika komunitas yang sudah sedemikian rupa memiliki kesadaran untuk memelihara ekosistem terumbu karang dan membuat aturan dalam pemanfaatannya, terkendala karena pandangan bahwa penetapan aturan dan sanksi merupakan kewenangan pemerintah semata. 2. Karakter Sumber Daya Milik Bersama (Commons) Pengelolaan sumber daya di mana suatu komunitas bergantung, telah sekian lama dibahas oleh akademisi dan praktisi, baik

secara teoritis maupun studi empiris. Hardin [6] menyatakan bahwa sumber daya yang tidak ada aturan dalam pemanfaatannya akan berakibat terjadinya “tragedy of the commons”. Pemikiran ini sejalan dengan analisis ekonomi sumber daya yang dilakukan oleh Gordon [7] bahwa sumber daya perikanan tangkap tanpa suatu kepemilikan dan pembatasan akses mengakibatkan terjadinya inefisiensi ekonomi dan tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing). Jika dilihat dari karakteristik sumber dayanya, maka stok ikan di laut, terumbu karang, padang rumput dan hutan, merupakan sumber daya milik bersama (“common-pool resources” atau “commons”). Sumber daya ini sulit membatasi orang untuk memanfaatkannya atau biaya pembatasan (exclusion cost) begitu tinggi. Dengan demikian, setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider), memanfaatkan sumber daya tanpa bersedia berkontribusi terhadap penyediaannya atau pelestariannya. Selain itu, pengambilan suatu unit sumber daya akan mengurangi kesediaan bagi pihak lain untuk memanfaatkannya, atau disebut sebagai karakter substractibility atau rivalry [8]. Akibat karakter ini maka sumber daya milik bersama rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih ('overeksploitasi') atau kerusakan sumber daya. Inilah yang dikatakan sebagai “tragedy of the commons”. Sesungguhnya tragedi bisa terjadi jika tiada pembatasan dan aturan terhadap pemanfaatan sumber daya, atau sumber daya bersifat akses terbuka (open access). 3. Pengelolaan Bersama

Sumber

Daya

Milik

Dengan demikian, alokasi sumber daya milik bersama perlu dilakukan dengan mengatur dua aspek utama, yaitu akses terhadap sumber daya dan aturan pemanfaatannya [8,

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

90 90


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 9, 10, dan 11]. Ini dapat dilakukan melalui mekanisme politis seperti privatisasi (private property rights) atau kepemilikan negara (state property rights) sebagaimana yang direkomendasikan oleh Hardin [6], dan menjadi kebijakan yang diterapkan di banyak negara pada masa itu. Namun, kebijakan ini tidak selalu berhasil dilakukan, terutama pada sumber daya kepemilikan negara, karena pengelola tidak dapat mengatasi paling tidak dua hal penting. Pertama, biaya transaksi yang tinggi dalam penegakan aturan atau penjagaan sumber daya, seperti biaya pengawasan, personil, dsb, sehingga penumpang bebas (free rider) tidak dapat dikontrol. Kedua, tindakan oportunis (opportunistic behavior) berupa perburuan rente (rent-seeking) oleh aparat pengawas lapangan [8]. Temuan empiris di berbagai belahan dunia, baik negara industri maupun negara berkembang, memperlihatkan bahwa karakterstik sumber daya dan karakteristik komunitas mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan baik secara ekologis maupun sosial-ekonomis. Upaya kerjasama sukarela (voluntary collective choice) atau aksi bersama (collective action) ditemukan di perikanan pantai, perikanan darat, pengelolaan hutan, padang rumput [1], [11], dan [12]. Pada tipe pengelolaan ini maka sumber daya dianggap sebagai kepemilikan komunal (communal rights). Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya aksi bersama. Salah satunya adalah karena penghidupan komunitas bergantung pada keberlanjutan sumber daya tersebut, dan sumber daya bersifat langka atau dapat habis, sehingga mereka berusaha menjaganya dan menetapkan aturan dalam pemanfaatannya. Selain itu, aliran manfaat sumber daya laut bersifat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, misalnya ikan mudah berpindah, atau stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain iklim, oseanografi dan hidrologi. Oleh karena itu sulit membatasi kepemilikan dan pemanfaatan suatu sumber daya bagi tiap individu melalui kepemilikan tunggal (private rights), sehingga pilihan terbaik pemanfaatan sumber daya semacam ini adalah kepemilikan kolektif.

Faktor interdependensi sosial dan kelangkaan sumber daya membentuk suatu struktur insentif bagi komunitas atau kelompok pengguna untuk melakukan aksi bersama (collective action) dalam mengatasi masalah alokasi sumber daya. Aksi bersama pengelolaan sumber daya oleh suatu komunitas akan menurunkan biaya transaksi dalam pengawasan dan penegakan aturan, karena adanya interdependensi antar anggota komunitas. Pengambilan keputusan seorang individu tidak mungkin hanya mempertimbangkan biaya-manfaat pemanfaatan sumber daya bagi dirinya, namun juga perlu mempertimbangkan ekspektasi individu lain dalam komunitasnya tentang bagaimana seseorang seharusnya memanfaatkan sumber daya [12]. Ini terkait dengan karakter sosial dalam komunitas pedesaan termasuk di pesisir. Karakter sosial mencakup interdependensi, ekspektasi perilaku individu dan norma timbal-balik (norms of reciprocity). Dengan keberadaan sanksi sosial atau sanksi adat yang disepakati, maka insentif untuk melakukan pelanggaran aturan atau menjadi penumpang bebas bisa ditekan. Norma timbal-balik tergolong ke dalam modal sosial (social capital) yang berpengaruh penting terhadap kerjasama dan keberlanjutan institusi [13], [14], dan [15]. Aturan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut secara komunal bukan sesuatu yang baru di Indonesia, karena telah atau pernah diterapkan, antara lain sasi di Maluku [16], panglima laot di Aceh [17], awig-awig di Lombok [18] dan [19], dan panglima menteng di Sulawesi Selatan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan terdapat aturan lokal pemanfaatan sumber daya yang belum dikenal secara meluas, seperti pengaturan akses dan teknologi penangkapan ikan di suatu kawasan terumbu karang di Pulau Tambolongan oleh komunitas nelayan Dusun Lemba. 4. Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Komunal Pengaturan sumber daya komunal terisolasi dari lingkungan sekitarnya Sebagian besar pengguna sumber berinteraksi dengan pihak lain dalam

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

tidak [11]. daya suatu

91 91


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 lingkungan kelembagaan di luar pengaturan kepemilikan kolektif. Lingkungan kembagaan eksternal ini bisa saja secara langsung atau tidak langsung mendukung atau menghambat organisasi atau pelaksanaan rezim kepemilikan kolektif atau komunal [8] dan [20]. Komunitas nelayan Dusun Lemba memiliki kapasitas untuk mengatur pengelolaan sumber daya terumbu karang yang berada di sekitar pulaunya. Pengelolaan ini dapat dikatakan sebagai pengelolaan berbasis masyarakat atau dikenal sebagai CBM (“community-based management�) yang terbentuk dan dilaksanakan oleh komunitas ini, meskipun tanpa adanya penyuluhan atau pendampingan dari pihak luar. Pengelolaan sumber daya komunal semacam ini hanya dapat berkesinambungan jika memenuhi beberapa syarat atau prinsip tertentu. Salah satunya adalah pengakuan dari lingkungan kelembagaan eksternal, dalam hal ini adalah pemerintah tingkat nasional, regional dan lokal, terhadap hak atau otonomi komunitas untuk mengorganisasi suatu pengaturan kelembagaan komunal [8]. Diakui bahwa aksi bersama atau pengaturan kelembagaan oleh komunitas lokal dalam pembangunan desa, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dipengaruhi oleh (1) struktur institusi makro antara lain hukum, kebijakan, program, dan (2) modal sosial yang mencakup jaringan, peran, norma timbal-balik, nilai, keyakinan [21] dan [22]. Dengan demikian, baik struktur makro, maupun kondisi mikro di suatu komunitas penting dalam membentuk insentif atau disinsentif terhadap aksi bersama. 5. Dukungan Pemerintah Jika telah terdapat suatu pengaturan kelembagaan oleh komunitas, maka peran pemerintah selanjutnya adalah menjembatani agar kelembagaan semacam ini memberikan manfaat sosial-ekonomis dan ekologis, dan membatasi timbulnya eksternalitas negatif. Dorongan dan pengakuan atas hak dan pengaturan komunal merupakan pengakuan atas kemampuan masyarakat untuk mengorganisasi dalam membantu kondisi mereka sendiri, sekaligus menjaga sumber daya alam secara berkelanjutan. Ketiadaan

pengakuan atau dukungan pemerintah, dalam bentuk kebijakan di tingkat regional atau nasional, bisa menurunkan kelangsungan organisasi lokal semacam ini, dan jika terusmenerus terjadi maka masyarakat tidak lagi berupaya membentuk suatu tatanan untuk kepentingan kehidupan sosial-ekonomi dan ekologi dalam jangka panjang. Ini berarti suatu kemunduran bagi upaya pencapaian keberlanjutan pembangunan. 6. Kesimpulan Pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan seperti ekosistem terumbu karang, yang bersifat milik bersama, perlu mengedepankan pengelolaan kolaboratif atau co-management. Karena baik kemampuan pemerintah (government capability) dan kapasitas masyarakat (community capacity) serta interaksi antar keduanya mempengaruhi kinerja pengelolaan dan berdampak pada kinerja sumber daya. Dan pengelolaan kolaboratif hanya dapat berlangsung jika baik kemampuan pemerintah maupun kapasitas masyarakat tinggi [23]. Di samping itu, Folke et al [24] menggarisbawahi bahwa pengelolaan kolaboratif membutuhkan modal sosial yaitu rasa percaya, yang bisa dibangun melalui jaringan kerjasama atau “networkbased governance systems� antara pemerintah dan masyarakat. Kasus Dusun Lemba menunjukkan bahwa telah terdapat kapasitas masyarakat untuk mengelola sumber daya pesisir, namun upaya ini belum sepenuhnya mendapat kepercayaan pemerintah. Pemerintah perlu paling tidak melakukan dua hal: pertama, pengakuan atas kemampuan masyarakat untuk menetapkan aturan dalam pengelolaan terumbu karang; dan kedua, berperan sebagai lembaga mediasi dalam resolusi konflik jika timbul konflik antar komunitas atau antar nelayan, akibat tidak diakuinya aturan komunal ini oleh komunitas atau nelayan lain. 7. Daftar Pustaka [1] Harian Fajar. 22 Desember 2005. Mendung di Desa Tambolongan (1): Trauma, Warga Desa Mengungsi. Online.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

92 92


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 http://www.fajar.co.id/news.php?news id=14482 [Akses 23/12/2005] [2] Harian Fajar. 23 Desember 2005. Mendung di Desa Tambolongan (2): Saat Tertembak, Mudayang Berteriak 'Allahu Akbar'. Online. http://www.fajar.co.id/news.php?news id=14540 [Akses 23/12/2005] [3] Harian Fajar. 24 Desember 2005. Mendung di Desa Tambolongan (3): Anti Bom dan Bius yang Berakhir Maut. Online. http://www.fajar.co.id/news.php?news id=14582. [Akses 25/12/2005] [4] Suara Pembaruan Daily. 12 Desember 2005. Keluarga Tragedi Tambolongan Tiba di Jakarta. Online. http://www.suarapembaruan.com/Ne ws/2005/12/12/ [Akses 25/12/2005] [5] Arif, S. (Sekretaris Bappeda Kabupaten Selayar). 2005. Personal communication. 7 Oktober 2005. [6] Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science 162, 1243-1248 [7] Gordon, H. S. 1954. The economic theory of a common property resource: the fishery. Journal of political economy 62, 124-142 [8] Ostrom, E. 1990. Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge: Cambridge University Press [9] Feeny, D., F. Berkes, B.J. McCay, and J.M. Acheson. 1990. The Tragedy of the Commons: TwentyTwo Years Later. Human Ecology 18(1):1-19 [10] Pomeroy, R.S. and F. Berkes. 1997. Two to tango: the role of government in fisheries co-management. Marine Policy 21(5): 465-480 [11] Dolšak, N. and E. Ostrom (Eds.). 2003. The Commons in the New Millennium, Challenges and Adaptation, MIT Press. [12] Runge, C.F. 1992. Common Property and Collective Action in Economic Development. in Bromley, D.W. Making the Commons Work: Theory, Practice and Policy. California: Insitute for Contemporary Studies. [13] Ostrom, E. 2000. Social capital: a fad or a fundamental concept? In P.

Dasgupta and I. Serageldin, eds. Social Capital: A Multifaceted Perspective, 172-214. Sociological Perspectives on Development series. Washington, D.C.: World Bank. [14] Rudd, M.A. 2001. Accounting for the Impacts of Fishers' Knowledge and Norms on Economic Efficiency. Presented at 'Putting Fishers' Knowledge to Work', UBC Fisheries Centre, Vancouver, BC, August 27-31, 2001. [15] Grafton, R.Q. 2005. Social capital and fisheries governance. Ocean and Coastal Management 48: 753-766 [16] Soselisa, H. 2001. Sasi Laut di Maluku: Pemilikan Komunal dan Hakhak Komunitas dalam Manajemen Sumber daya Kelautan, dalam Sumber daya Alam dan Jaminan Sosial, oleh Franz von BendaBeckmann et al. Yogyakarta: Pustaka Pelajar [17] Baehaqie, A., W.M. Ahmad & Aminuddin. 2005. Pertemuan dan Doa Bersama Lembaga Hukom Adat Laot/Panglima Laot Se-Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 19-20 Februari. Yayasan Laut Lestari Indonesia, Yayasan Puter dan WG for Aceh Recovery. [18] Hidayat, A. 2003. Local Governance of Coral Reef Ecosystems: A Pattern of Local Community in Protecting Marine Biodiversity – Lessons from Gili Indah, Lombok, Indonesia. Presented at CAPRi-IPGRI International Workshop, Rome, Italy, September 29 – October 2 [19] Satria, A. and Y. Matsuda. 2004b. Decentralization Policy: An Opportunity for Strengthening Fisheries Management System? Journal of Environment & Development 13(2): 179-196. Berkes, F. 1985. Fishermen and ‘The Tragedy of the Commons’. Environmental Conservation 12(3): 199-206. [20] Berkes, F. 1985. Fishermen and ‘The Tragedy of the Commons’. Environmental Conservation 12(3): 199-206. [21] Krishna, A. 2002. Active Social Capital: Tracing the Roots of

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

93 93


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Development and Democracy. New York: Columbia University Press. [22] Narayan, D. 1999. Bonds and Bridges: Social Capital and Poverty. Policy Research Working Paper 2167. Poverty Division, Poverty Reduction and Economic Management Network. Washington, D.C.: World Bank. [23] Birner, R. and H. Wittmer. 2004. On the Efficient Boundaries of the State: The Contribution of Transaction Costs Economics to the Analysis of

Decentralization and Devolution in Natural Resource Management. Environment and Planning C: Government and Policy 22 (5): 667 – 685. [24] Folke, C., T. Hahn, P. Olsson, and J. Norberg. 2005. Adaptive Governance of Social-Ecological Sytems. Annual Review of Environment Resources 30:441-73.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

94 94


NASIONAL

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Menuju Restrukturisasi BUMN yang Menuaikan Hasil Muhammad Arfian Manager, Strategic Planning Office, Trend Micro Inc. Anggota Working Group Social Science, ISTECS Chapter Japan E-mail: arfian@mercury.ne.jp 1. Pendahuluan Menteri BUMN dalam berbagai kesempatan menyatakan untuk tidak memberikan penekanan pada kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) [4], yang menjadi strategi terdepan pengelolaan BUMN selama lima tahun terakhir ini. Dalam Master Plan Sebaliknya, orientasi atau fokus perhatian dari Kantor Kementerian BUMN dalam lima tahun mendatang adalah bagaimana agar setiap BUMN berupaya untuk selalu terus menerus menciptakan dan meningkatkan nilai (value creation and improving) perusahaan agar mampu meraih keuntungan (profitabilitas) yang sebesar-besarnya dan mampu meningkatkan kuantitas serta kualitas, baik produk dan layanan kepada konsumen dan masyarakat [2]. Ini menunjukkan bahwa restrukturisasi BUMN, sebagai salah satu kebijakan pokok Kementerian BUMN [3], telah dipilih sebagai strategi utama untuk perbaikan kinerja perusahaan-perusahaan milik negara. Beberapa pihak mengemukakan pesimismenya terhadap proses restrukturisasi yang dipilih pemerintah untuk mengelola BUMN. Beberapa argumen yang terangkum adalah proses restrukturisasi BUMN akan membutuhkan proses yang lama dan ongkos yang besar, karena kurangnya dukungan politik yang kuat dan berkesinambungan,. Selain itu tidak adanya keprihatinan (sense of crisis) pada pemilik saham dan manajer BUMN tentang urgennya restrukturisasi BUMN yang merupakan prasyarat penting dilakukannya restrukturisasi. Sedikitnya jumlah manajer Indonesia yang memiliki kompetensi profesional merestrukturisasi perusahaan juga dikatakan akan menyulitkan proses restrukturisasi BUMN. Restrukturisasi BUMN juga akan menumbuhkan perlawanan sengit yang kemungkinan besar akan timbul dari pihak-pihak yang merasa dirugikan

dengan adanya restrukturisasi BUMN dan adanya pemimpin perusahaan yang memanfaatkan proses restrukturisasi untuk kepentingan sendiri [1]. Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut cukup wajar melihat bagaimana pemerintah memperlakukan BUMN selama ini, walaupun mungkin perlu dilakukan riset yang lebih komprehensif untuk mendapatkan data pendukung untuk beberapa argumen yang disampaikan. Selain itu argumen-argumen yang ada masih menyisakan pertanyaan tentang alternatif strategi yang perlu dipertimbangkan Kementerian BUMN, baik untuk memudahkan proses restrukturisasi tersebut maupun sebagai pengganti strategi restrukturisasi itu sendiri. Kemudian, dalam keadaan Kementerian BUMN sudah berbulat tekad untuk melakukan restrukturisasi BUMN, akan lebih baik jika kita memikirkan langkahlangkah yang perlu dilakukan agar restrukturisasi perusahaan-perusahaan milik negara tersebut dapat dilakukan dengan baik, daripada bersikap pesimis. Karena itu tulisan ini mencoba membahas beberapa hal yang kiranya bisa dilakukan pemerintah untuk menghilangkan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut dalam merestrukturisasi BUMN. 2. Menumbuhkan Sikap Sense of Crisis Sesungguhnya keputusan Kementerian BUMN untuk memprioritaskan restrukturisasi BUMN merupakan salah satu bentuk sense of crisis yang dimiliki pemerintah sebagai pemegang saham BUMN. Kebijakan ini merupakan awal yang bagus untuk memberikan isyarat bahwa pemilik saham BUMN memiliki keprihatinan terhadap keadaan bisnis perusahaan-perusahaan yang dimilikinya. Para direksi/manajer BUMN sebagai pelaksana amanat yang diberikan pemilik saham mestinya merespon keinginan pemilik saham ini dengan cerdas, dengan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

95


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 mulai melakukan manuver-manuver bisnis yang tepat untuk melakukan penyehatan perusahaan yang ditanganinya. Selain itu Presiden RI sebagai atasan Menteri BUMN juga dapat memberikan dukungan yang diperlukan dengan mengkomunikasikan kebutuhan restrukturisasi BUMN ini kepada rakyat Indonesia sebagai stakeholder BUMN. Follow-up yang baik dari Presiden dan aparat pemerintah terkait restrukturisasi BUMN sudah seharusnya bukan hanya dalam bentuk komunikasi kepada stakeholder BUMN, tetapi juga diikuti dengan pengambilan kebijakankebijakan yang mendukung penyehatan BUMN, karena selama ini banyak kebijakankebijakan dan tekanan politik pemerintah yang mengekang atau bahkan merugikan BUMN dalam mengembangkan usahanya. Contohnya ketika Pertamina tidak dibolehkan memiliki kapal LNG dan harus menyewa dari kelompok bisnis yang dekat kekuasaan, padahal bisnis transportasi LNG adalah bisnis menguntungkan, dan Petronas (BUMN Migas Malaysia) menjalankan bisnis tersebut dengan mengoperasikan beberapa kapal LNG yang memberikan kontribusi cukup baik pada performa keuangannya. Kebijakan-kebijakan seperti ini harus diperbaiki pemerintah agar niat politik pemerintah untuk menyehatkan BUMN benar-benar dirasakan secara nyata. Ketika para pemimpin perusahaan BUMN pada tahap awal kurang memiliki sense of crisis, Kementerian BUMN harus memberikan isyarat tersebut kepada para pemimpin BUMN. Tentunya proses ini harus didahului dengan proses pemahaman yang komprehensif terhadap seluruh BUMN yang ada, sehingga diketahui prioritas restrukturisasi bagaimana yang dibutuhkan setiap BUMN. Pemerintah juga mesti memberikan penghargaan yang selayaknya kepada para direksi BUMN yang telah berhasil memperbaiki kinerja perusahaannya, misalnya dengan memberikannya kesempatan untuk memimpin dan merestrukturisasi BUMN yang lebih besar dan strategis. Ini perlu dilakukan agar dapat memotivasi yang lain untuk berbuat yang sama. Proses restrukturisasi sendiri bisa diibaratkan seperti proses pengobatan penyakit yang dilakukan dokter terhadap pasiennya.

Seorang dokter melakukan pemeriksaan terhadap penyakit yang diderita pasiennya, baik secara sederhana maupun menggunakan peralatan-peralatan canggih seperti CT Scan dan kamera mikro. Setelah dilakukan pemeriksaan tentunya diketahui jenis penyakit dan tingkat keseriusan penyakit, apakah hanya sekedar masuk angin yang cukup diberi antibiotik, atau merupakan kanker stadium 3 yang memerlukan pemotongan bagian tubuh yang terkena penyakit. Setelah itu dokter akan menentukan jenis obat yang perlu dikonsumsi pasien tersebut untuk mengobati penyakitnya [5]. Hal seperti ini harus dilakukan oleh Kementerian BUMN untuk mempertegas isyarat keprihatinan yang mendorong kebutuhan dilakukannya restrukturisasi BUMN kepada para pemimpin BUMN, sehingga mereka juga memiliki keprihatinan yang sama.

3. Mewujudkan Restrukturisasi BUMN

Kisah

Sukses

Pada proses selanjutnya Kementerian BUMN selayaknya memberikan prioritas untuk terwujudnya sebuah kisah sukses restrukturisasi BUMN yang dapat dijadikan contoh bagi proses restrukturisasi BUMN yang lain. Pemerintah dapat memfokuskan sumber daya yang ada untuk melaksanakan restrukturisasi sebuah BUMN yang sangat rendah prestasi bisnisnya pada jangka waktu tertentu sehingga dapat menyehatkan perusahaan tersebut dalam jangka relatif pendek. Sebetulnya di antara BUMN ada beberapa perusahaan yang dapat dijadikan obyek pembanding bagi BUMN yang lain dalam melakukan restrukturisasi, misalnya seperti Perum Pegadaian yang terus menghasilkan laba bersih yang terus meningkat selama beberapa tahun terakhir dan mengubah citranya dari perusahaan kurang bergengsi menjadi perusahaan yang patut diperhitungkan. Akumulasi kisah-kisah sukses seperti ini perlu dilakukan dan dikomunikasikan secara intensif dengan para direksi BUMN yang lain sehingga memotivasi mereka untuk memperbaiki kinerja perusahaannya. Masalahnya kemudian seperti argumen pihak yang pesimis terhadap restrukturisasi BUMN

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

96


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 adalah kurangnya manajer Indonesia yang memiliki pengalaman melakukan restrukturisasi perusahaan, apalagi di kalangan manajer BUMN. Jika ini yang menjadi masalah dan para pemimpin BUMN saat ini memang tidak mampu melaksanakan restrukturisasi perusahaannya, selayaknya mereka diganti dengan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan proses restrukturisasi. Pengganti mereka tidak perlu dibatasi dari kalangan manajer Indonesia saja, tetapi bisa saja oleh manajermanajer non-Indonesia yang bisa membawa visi dan semangat baru ke BUMN. Nissan adalah contoh perusahaan yang telah berkali-kali melakukan restrukturisasi dengan pimpinan dari internal perusahaan. Tetapi banyaknya usaha tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan sampai seorang manajer Perancis kelahiran Brazil, Carlos Ghosn, mengambil alih kepemimpinan di perusahaan tersebut. Manajer-manajer Jepang sebelumnya tidak mampu mengubah kinerja Nissan walaupun dengan penutupan beberapa pabriknya, tetapi Ghosn dengan program Turnaround-nya berhasil mengubah haluan Nissan menjadi sebuah perusahaan yang menghasilkan keuntungan dan kembali diperhitungkan dalam kompetisi industri mobil dunia. Jadi pemilik saham BUMN tidak usah terikat dengan hanya memikirkan manajer Indonesia untuk melakukan restrukturisasi, tetapi juga mempertimbangkan para manajer non-Indonesia untuk posisi-posisi pimpinan BUMN. Tentu saja ini dilakukan sambil mempertimbangkan manajer-manajer profesional Indonesia yang memiliki kemampuan, tetapi perlu diperhitungkan juga untuk merestrukturisasi BUMN, walaupun mungkin jumlahnya sedikit. Memasukkan manajer profesional non-Indonesia juga dapat mendorong para manajer Indonesia untuk belajar dari mereka dan menumbuhkan sikap mau bersaing yang sehat. Pemerintah dapat membuat kontrak kerja yang stimulatif dengan para manajer profesional yang diserahi tanggung jawab restrukturisasi BUMN, sehingga mereka termotivasi untuk melakukan penyehatan perusahaan-perusahaan milik negara itu. Ini dapat mencegah terjadinya pemanfaatan proses restrukturisasi untuk kepentingan

sendiri. Dalam kontrak kerja tersebut, perlu dijelaskan dengan komprehensif reward (imbalan) dan punishment (hukuman) yang akan diberikan jika para manajer profesional tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Niat politis yang baik dari Menteri BUMN untuk mencegah oknumoknum di kementeriannya maupun di luarnya melakukan intervensi terhadap proses restrukturisasi yang akan berjalan juga merupakan kunci kesuksesan proses restrukturisasi BUMN. Tidak adanya dukungan politis yang kuat akan mengakibatkan para manajer profesional pelaksana restrukturisasi BUMN menemui benturan-benturan dalam memimpin perusahaannya. 4. Restrukturisasi BUMN Selanjutnya Ke depan, pemerintah selayaknya mempertimbangkan hanya BUMN yang sehat saja yang patut dipertahankan dalam portofolio perusahaan milik pemerintah. Selama ini alasan yang sering diberikan BUMN yang rugi adalah karena mereka harus mewakili pemerintah mengurusi kepentingan umum seperti yang diamanatkan UndangUndang Dasar 1945 kepada pemerintah. Tetapi seharusnya itu bukan alasan yang bisa diterima, karena bagaimanapun mereka masih memiliki kesempatan untuk berusaha dengan efisien sehingga walaupun tidak bisa menghasilkan keuntungan, setidaknya dapat menjaga sumber daya yang digunakan sama dengan pemasukan yang mereka dapatkan. Untuk itu restrukturisasi BUMN merupakan proses yang mau tidak mau harus dilalui oleh pemerintah dan pemimpin BUMN untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satu yang dapat dilakukan misalnya dengan mengubah sistem pemberian penghargaan di BUMN sehingga mendorong para pegawainya untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu, atau dengan melakukan penggabungan beberapa BUMN yang sejenis bidang kerjanya, untuk melakukan penghematan biaya tidak langsung. Walaupun masih ada perdebatan mengenai perlunya pemerintah memiliki perusahaan-perusahaan yang berorientasi bisnis, setidaknya restrukturisasi BUMN menunjukkan tanggung jawab pemerintah selaku pengelola kekayaan negara.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

97


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Setelah restrukturisasi BUMN dilakukan, selanjutnya Indonesia bisa mencontoh yang telah dilakukan Singapura melalui Temasek Holding-nya yang saat ini telah memperluas jaringan bisnisnya tidak saja di Asia Tenggara, tetapi juga di Asia. Temasek Holding sebagai perusahaan yang dibiayai pemerintah dan rakyat Singapura bisa menjadi contoh yang baik bagaimana pemerintah sebuah negara mengelolaj perusahaan-perusahaan miliknya. “Indonesia Inc.” sebagai holding company yang mengatur portofolio BUMN bisa dipikirkan sebagai alternatif lembaga pengelolaan BUMN Indonesia. Pengelolaan BUMN melalui sebuah holding company akan memberikan kesempatan untuk menentukan alokasi sumber daya manajemen yang diperlukan tiap perusahaan yang berada dalam pengelolaan holding company tersebut dengan baik, dan ke depan dapat digunakan sebagai basis ekspansi bisnis Indonesia ke dalam dan luar negeri BUMN yang sehat memberikan keuntungan ganda kepada pemerintah, karena dengan untungnya perusahaan milik negara, pemerintah akan mendapatkan deviden dan pajak, sedangkan jika perusahaan swasta yang untung, maka pemerintah hanya akan mendapatkan pajak saja. Atau jika pemerintah ingin melakukan privatisasi, BUMN yang sudah direstrukturisasi dan sehat ketika dijual akan lebih memiliki daya tarik dan menghasilkan keuntungan lebih baik dibandingkan dengan menjual perusahaan yang kinerjanya rendah, karena itu sudah selayaknya pemerintah terus melakukan penyehatan BUMN melalui restrukturisasi yang dilakukan secara efektif. 5. Penutup Restrukturisasi BUMN dalam rangka efisiensi dan profitisasi BUMN adalah tindakan yang harus dilakukan secepatnya oleh pemerintah sebagai pengelola kekayaan negara. Memang banyak sekali hal yang harus dibenahi agar restrukturisasi BUMN benar-benar dapat berjalan, mulai dari mendapatkan dukungan politik yang kuat sampai dengan peningkatan

motivasi para karyawan BUMN, termasuk juga pemberantasan korupsi dan pencegahan intervensi politik dari pihak-pihak eksternal yang ingin memanfaatkan BUMN untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Tetapi itu jangan menjadi kendala bagi Kementerian Negara BUMN untuk merestrukturisasi BUMN, sebaliknya masalah-masalah yang kemungkinan besar akan dihadapi dalam pelaksanaan restrukturisasi BUMN perlu didaftar dan penyelesaiannya dijadikan prioritas kerja tim restrukturisasi BUMN. Komitmen dan kesungguhan penanggung jawab BUMN dalam merestrukturisasi BUMN menjadi faktor yang sangat penting dalam kesuksesan restrukturisasi dan kita berharap orang-orang yang memiliki komitmen dan kesungguhan yang diberi amanah dalam restrukturisasi BUMN, sehingga benar-benar dapat menjadi usaha yang berkontribusi kepada ekonomi Indonesia memberikan keuntungan kepada pemilik nyata BUMN, yaitu rakyat Indonesia. 6. Daftar Pustaka [1] Muhammad, Suwarsono. "Restrukturisasi BUMN, Privatisasi ke Profitisasi". Jawa Pos, 03/12/2005 [2] Press Release Kantor Kementerian BUMN, Kantor Kementerian BUMN, 26/01/2005 [3] Ringkasan Master Plan Revitalisasi BUMN 2005-2009, Kantor Kementerian BUMN, 2005 [4] Sunarsip, “Menyoal pro-kontra master plan BUMN”. Bisnis Indonesia, 24/02/2005

[5] Yasuda, Ryuji, 企業再生マネジ メント(Kigyo Saisei Manejimento, Manajemen Restrukturisasi Perusahaan), 東 洋 経 済 新 報 社 (Toyo Keizai Shinposha), 2003

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

98


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

NASIONAL

Menyimak Permasalahan Pajak Dalam Meningkatkan Jumlah Wajib Pajak Nufransa Wira Sakti Niigata University Graduate School of Modern Society and Culture Email: frans1108@yahoo.com 1. Pendahuluan Tak bisa dipungkiri, pajak sebagai mesin penghasil uang negara telah menjadi primadona penerimaan negara semenjak berakhirnya era kejayaan minyak yang dulu berfungsi sebagai penghasil utama penerimaan negara. Namun demikian jumlah WP terdaftar yang tercermin dalam jumlah NPWP yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak selama puluhan tahun hanya mencapai sekitar 3.6 juta. Dengan jumlah WP sebanyak itu, tax ratio pajak di Indonesia sangat kecil bila dibandingkan dengan negara teteangga. Dari jumlah 3.6 jutapun hanya sebagian kecil yang aktif. Dari yang aktifpun hanya sebagian kecil yang membayar pajak. Dari yang membayar pajakpun hanya sebagian kecil yang menghitung dan melaporkan pajaknya secara benar. Kewajiban mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dimulai ketika seseorang memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Batas PTKP yang sekarang berlaku adalah sejak tanggal 1 Januari 2006, sebagai berikut: WP lajang Rp13.200.000 per tahun; tambahan Rp 1.200.000 untuk WP yang kawin; tambahan Rp13.200.000 jika istri bekerja; dan tambahan masing-masing Rp1.200.000 untuk tanggungan (maksimal tiga). Dilihat dari batasan penghasilan tersebut, potensi pajak yang dimiliki oleh masyarakat masih sangat besar. Sementara itu target penerimaan negara dari sektor pajak terus ditingkatkan dari tahun ke tahunnya. Perkembangan jumlah wajib pajak dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 1. Perkembangan jumlah wajib pajak WP WP Tahun Orang Jumlah Badan Pribadi 2.485.55 2001 1.690.193 795.361 4 2.899.70 2002 2.020.334 879.375 9 3.294.42 2003 2.327.618 966.802 0 1.047.87 3.670.06 2004 2.622.184 6 0 Sedikitlnya tingkat kontribusi dari Pajak Penghasilan terhadap penerimaan negara secara keseluruhan dapat dilihat dari data selama satu dasawarsa 1990-2000, dimana pajak penghasilan hanya menyumbangkan rata-rata 23.4 persen dari seluruh penerimaan domestik negara. Sementara, masih dari jangka waktu yang sama, sumbangan Pajak Penghasilan terhadap GDP rata-rata hanya 4.11 persen. Di negara maju seperti Amerika, tingkat persentasi terhadap GDP bisa mencapai 49 persen. Bertolak dari pemikiran-pemikiran inilah pemerintah mengambil keputusan untuk meningkatkan jumlah wajib pajak secara jabatan. Yang dimaksud NPWP secara jabatan adalah Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan NPWP kepada orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, namun yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak. Berdasarkan data (pemilik tanah dan bangunan mewah, kapal pesiar, pemegang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

99


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 saham, dan lain-lain) yang dihimpun dari berbagai macam sumber (Pemda, Imigrasi, Dispenda, Bea Cukai dan lain-lain) maka Ditjen Pajak mengirimkan NPWP kepada masing-masing orang yang datanya tersimpan tersebut yang kemudian disebut NPWP secara jabatan. Dalam surat itupun disebutkan kewajiban-kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh WP (misalnya: pasal 21, pasal 25, pasal 29 dan lain-lain). Program ini sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2001 namun lebih dintensifkan lagi secara masal pada tahun 2005 lalu dengan maksud untuk menaikkan jumlah Wajib Pajak menjadi 10 juta. 2. Keluhan Dari Wajib Pajak Banyak sudah keluhan dan lontaran caci maki yang diarahkan ke Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sebagai akibat dari program menaikkan jumlah Wajib Pajak (WP) menjadi sejumlah 10 juta. Bukan hanya itu, kinerja Ditjen Pajak dan aparatnyapun terseret-seret menjadi sasaran kritik dari mulai rakyat biasa sampai kalangan pengusaha. Mengapa hal ini bisa terjadi? Agar persoalan menjadi lebih jelas dan berimbang, maka kita perlu memakai dua kaca mata yang digunakan untuk melihatnya, baik dari sisi masyarakat sebagai WP maupun Ditjen Pajak sebagai institusi di bawah Departemen Keuangan yang bertugas mengelola penerimaan keuangan negara melalui sektor perpajakan. Tulisan ini tidak membahas secara detil semua permasalahan pajak, hanya mencakup permasalahan dasar mengapa akhir-akhir ini terjadi banyak keluhan tentang penetapan NPWP secara jabatan dan banyak orang yang enggan untuk mendaftarkan diri menjadi WP. Masalah muncul ketika masyarakat menerima NPWP secara jabatan tersebut. Ketidakakuratan data menjadi penyebabnya. Ada yang sudah meninggal, yang sudah di PHK, yang sudah pensiun dan bahkan yang belum berpenghasilanpun menjadi sasaran NPWP secara jabatan. Menyimak berbagai macam keluhan yang ditulis di situs berita online melalui Internet, ada dua kategori besar dari kesalahan data ersebut. Yang pertama adalah memang benar datanya tidak valid dan yang kedua adalah adanya

penggunaan nama orang lain dalam suatu transaksi jual beli. Untuk kategori yang pertama memang terlihat dengan jelas bahwa karena keterbatasan waktu, Ditjen Pajak tidak melakukan uji silang (cross check) terhadap data yang diterimanya. Dirjen Pajak sendiri sudah mengakui hal ini dan menyediakan waktu selama 6 bulan untuk melakukan sanggahan. Walaupun prosentase kesalahan datanya kecil, permintaan maaf secara terbuka mungkin diperlukan agar citra Ditjen Pajak membaik. Selain belum dilakukannya uji silang, data yang diterima oleh Ditjen Pajak kemungkinan adalah transaksi yang dilakukan beberapa waktu yang lalu dan kenyataan yang sekarang sudah jauh berbeda. Sedangkan untuk kategori yang kedua, sudah ada indikasi dari awal bahwa ada masyarakat yang membeli hartanya dengan menggunakan nama orang lain agar terhindar dari pajak. Tentu saja penerima NPWP yang tidak mengerti apa-apa akan menjadi bingung dan resah. Kalau saja mereka ingat pernah meminjamkan kartu identitasnya kepada orang lain dan digunakan untuk keperluan transaksi jual beli barang mewah tentunya mereka dapat memberikan sanggahan dan menyebutkan identitas asli orang yang melakukan transaksi. Terlepas dari permasalahan tersebut di atas, sudah sepatutnya Ditjen Pajak melakukan sosialisasi secara besar-besaran terlebih dahulu kepada masyarakat. Kalaupun waktu yang tersedia tidak cukup, paling tidak ada semacam surat keterangan yang dilampirkan dalam NPWP tersebut mengenai tata cara perpajakan yang berlaku serta hak dan kewajiban masyarakat sebagai WP. Kalau saja sosilisasi dilakukan yang menjadikan pemahaman masyarakat tentang pajak meningkat kualitasnya, masyarakat akan suka rela mendaftarkan dirinya menjadi WP. Apalagi kalau masyarakat tahu bila nantinya mereka yang tidak mempunyai NPWP akan dikenakan tarif lebih besar dibandingkan yang memiliki NPWP. Dari banyaknya pertanyaan masyarakat tentang perpajakan, yang sering menjadi pertanyaan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

100


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 mendasar adalah kemana saja larinya uang pajak tersebut? 3. Pajak Sebagai Kontra Prestasi Tidak Langsung

yang diperoleh oleh rakyat berupa fasilitas umum dapat dinikmati dengan baik, tentunya akan meningkatkan kesadaran untuk membayar pajak. 4. Solusi Yang Ditawarkan

Ketika kita membayar listrik, air, telpon maupun jalan tol, kita dapat menikmati secara langsung fasilitas yang diterima oleh instansiinstansi penyedia jasa tersebut. Ini berbeda ketika kita membayar pajak. Seolah-olah kita membayar tanpa menikmati fasilitas apapun dari yang sudah kita bayarkan. Oleh karena itu membayar pajak disebut sebagai kontra prestasi tidak langsung. Sudah sering kali kita dengar maupun kita baca bahwa uang yang dibayar melalui pajak digunakan untuk membangun sekolah, jalan, rumah sakit, keamanan negara dan fasilitasfasilitas umum lainnya dan juga digunakan untuk memberikan gaji kepada kepada pegawai negeri sipil dan ABRI. Semua fasilitas umum dan fasilitas sosial tersebut dibayar melalui pembayaran pajak yang dilakukan oleh rakyat. Namun itu semua tidak bisa dinikmati secara utuh oleh masyarakat karena fasilitas-fasilitas umum yang disediakan oleh negara sangat jauh dari kenyamanan. Juga layanan masyarakat oleh pemerintah sangat buruk kualitasnya. Disinilah beratnya tugas Ditjen Pajak untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya membayar pajak karena berhubungan dengan fasilitas umum yang diberikan oleh instansi di luar Ditjen Pajak. Coba kita bayangkan keluarga sebagai lingkup individu yang paling kecil yang tinggal di komplek perumahan real estate. Setiap keluarga diwajibkan untuk membayar iuran sampah, iuran kebersihan, iuran keamanan dan lain-lain. Dengan senang hati individu tersebut akan membayar iuran-iuran tersebut. Mengapa? Karena semua yang ia bayarkan terlihat jelas manfaatnya dan apabila terjadi kesalahan dia dapat mengadu secara langsung kepada pengelola real estate. Kenapa hal itu tidak bisa terjadi pada ruang lingkup yang besar dalam suatu negara? Walaupun pajak adalah kontra prestasi secara tidak langsung, namun apabila hasil

Solusi yang pertama adalah adanya kesinambungan dari data yang dimiliki oleh Ditjen Pajak. Sudah barang tentu calon Wajib Pajak yang sudah meninggal, perusahaan yang sudah bangkrut atau mobil/rumah mewah yang sudah dijual tidak dapat lagi dijadikan dasar dalam menetapkan sesorang sebagai Wajib Pajak. Untuk itulah diperlukan adanya kesinambungan data dari informasi yang diperoleh oleh Ditjen Pajak melalui pihak ketiga. Pembuatan bank data yang dilakukan oleh Ditjen Pajak sebaiknya memperhatikan kesinambungan data secara berkala sehingga apabila terjadi perubahan data dapat diantisipasi secara cepat. Solusi yang kedua adalah adanya sosialisasi secara masal kepada pembayar pajak untuk memperlihatkan lebih jelasnya kemana larinya uang pajak yang dibayar masyarakat. Untuk itu, perlu digunakan suatu sistem terpadu yang pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Misalnya saja; perlu adanya mekanisme kontrol secara langsung dari masyarakat terhadap proyek pembangunan dan pembuatan proyek pembangunan yang diusulkan langsung oleh masyarakat yang semuanya menggunakan uang pajak dari masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan mengumumkan secara transaparan tentang penggunaan uang dalam APBN secara gamblang dan mudah dipahami oleh rakyat jelata. Jumlah uang dan proyek pembangunan yang dilakukan diumumkan secara luas melalui media masa. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi secara besar-besaran secara langsung dan terbuka tentang penggunaan uang pajak. Salah satu contoh sosialisasi langsung adalah dengan memberikan tulisan/stiker/spanduk pada fasilitas-fasilitas umum. Misalnya pemberian tulisan secara besar dan menyolok: “Rumah Sakit Ini

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

101


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Dibangun Dengan Uang Pajak Anda”, “Uang Pajak Anda Kami Gunakan Untuk Membangun Sekolah Ini” , “Di sini Akan Dibangun Taman Dengan Menggunakan Uang Dari Pajak Anda” dan lain-lain. Tulisan-tulisan semacam itu juga bisa dibuat pada loket layanan masyarakat yang nantinya juga memberikan dampak peningkatan pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil. Misalnya pada loket layanan pembuatan KTP, SIM, passport, kantor polisi/tentara bahkan kantor pelayan pajak dibuat tulisan besar: “Gaji Kami Dibayarkan Melalui Pajak Anda”. Dapat dibayangkan dampak psikologis dari tulisan tersebut bagi masyarakat pemohon layanan dan terlebih lagi terhadap pegawai negeri sipil sebagai pemberi layanan. 5. Kesimpulan Ditjen Pajak mempunyai tugas yang berat untuk mengumpulkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan. Hal ini mustahil dapat dilakukan tanpa kerja sama dari institusi pemerintahan yang lain baik melalui adanya pertukaran data maupun pelaksanaan proyekproyek pembangunan yang dilaksanakan secara jelas dan terukur. Adalah manusiawi apabila orang enggan untuk membayar pajak. Namun apabila mekanisme kontrol dari penggunaan uang pajak yang dibayarkan rakyat dapat dilakukan, akan dapat meningkat kesadaran dari masyarakat terhadap pembayaran pajak. Selain itu juga penanaman pengertian tentang pentingnya pajak dan jelasnya penggunaan uang yang dibayarkan melalui pajak, dapat menumbuhkan rasa keinginan untuk membayar pajak.

Solusi yang ditawarkan memang tampaknya sederhana tapi menyentuh hal paling mendasar dari keengganan masyarakat dalam melakukan kewajiban perpajakan yaitu tidak jelasnya pemakaian uang pajak yang sudah dibayarkan. Tak kenal maka tak sayang, begitu kata pepatah. Bukan tidak mungkin tingkat kesadaran masyarakat akan bertambah ketika makin mengenal fungsi pajak. Mereka akan berbondong-bondong untuk mendaftarkan dirinya sebagai WP, melakukan kewajiban membayar pajak dan bangga apabila mempunyai kartu NPWP. Juga bukan tidak mungkin jika di kemudian hari ada rakyat yang berbicara lantang kepada aparat negara ketika akan bertindak semena-mena ,”Anda jangan macam-macam, gaji anda saya yang bayar melalui pajak”. Kenapa tidak? Daftar Pustaka [1] Dwijugiasteady, Ken, 18 Oktober 2005, “10 Juta NPWP Bukan Datang Dari Langit”, Surat Kabar Harian Bisnis Indonesia [2] Kuswaraharja, Dadan, 2005, Dirjen Pajak Akui Kesalahan NPWP, www.detik.com [3] Peraturan Menteri Keuangan No. 137/ PMK.03/2005, 30 Desember 2005, tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak [4] Sinaga, Shinta, 2005, Mari Belajar Tentang NPWP, www.detik.com [5] Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan [6] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pajak Penghasilan [7] Uppal, J. S, 2000, Taxation in Indonesia, Gajah Mada University Press

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

102


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

NASIONAL

Konstitusionalisme Populis Zainal Arifin Mochtar Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Program LLM Human Rights Law pada Northwestern University, Chicago, USA) E-mail: ucengpushamuii@yahoo.com Sebagai sebuah cita-cita adanya supremasi konstitusi, konstitusionalisme mendapat tepukan hangat sepanjang sejarah. Sejarah konstitusionalisme di pelbagai belahan dunia telah terukur pada wilayah spasio-temporal. Constitution of Athens karya pemikir ternama Yunani, Aristoteles [1]. Ia setidaknya telah menunjukkan keseriusan untuk menggambarkan potret ketatanegaraan serta cita-cita konstitusi dalam membangun konstitusionalime, meski dengan perspektif yang masih terbatas pada beberapa abad sebelum masehi.

mengkritik proses konstitusionalisme di Amerika. Menurutnya, problem paling kontemporer dari konstitusionalime Amerika adalah konstitusi Amerika sudah terlalu jauh dari fungsi konstitutif yang seharusnya diberikan kepada rakyat Amerika. Konstitusi (constitution) ‘mati’ punya kaitan erat dengan kata konstituen (constituent) sebagai konstitusi yang ‘hidup’, namun ironinya yang menentukan konstitusionalisme Amerika adalah para pengacara dan hakim di dalam sidang. Konstitusionalisme Indonesia

Dalam pembagian Aristoteles, terdapat ‘right constitution’ dan ‘wrong constitution’ dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebutnya konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah. Ukuran baik-buruknya konstitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa “political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled” [2]. Kemudian, dunia semakin serius dengan perkataan untuk menjelaskan cita-cita tersebut. Walton H. Hamilton [3] menuliskannya dengan kalimat “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order”. Suatu pandangan yang dapat diartikan sebagai upaya menjaga pemerintahan tetap pada fitrahnya. Bukan sekedar itu, ide konstitusionalisme juga mendapatkan sentuhan modifikasi dengan teori transisional. Rudi G. Teitel [5] termasuk salah satu diantara pencetus ide pemahaman akan konstitusionalisme transisional. Namun dalam wilayah prosesinya, bentuk yang beragam membuat pandangan tidak seragam dan sering berada pada wilayah perdebatan. Mark Tushnet [7] misalnya pada Taking The Constitution Away From The Courts, ia

Indonesia juga punya cita-cita konstitusionalisme. Doktrin orde baru pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada sesungguhnya merupakan itikad cita-cita konstitusionalisme. Namun, konstitusionalisme gaya orde baru diperjuangkan dengan cara monopoli interpretasi penguasa terhadap maksud dari UUD 1945. Sehingga masa itu, konstitusionalisme Indonesia adalah konstitusionalisme penguasa. Ketika orde reformasi yang diikuti dengan Amandemen UUD 1945, konstitusionalime Indonesia mengalami pergeseran. Dicantumkannya Indonesia sebagai negara hukum sedikit menggeser komposisi kekuasaan judisial. Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) berbagi peran. Supremasi MK pada peradilan berbasis konstitusi, dan MA pada basis hukum. Pada ranah legislatif, konstitusi juga mentitahkan DPR sebagai positive legislature dan memberikan ke MK peran sebagai negative legislature. Hal yang sama juga diberikan kepada eksekutif, MK mendapat porsi yang juga lumayan kuat pada prosesi impeachment tampuk pimpinan kekuasaan eksekutif. Harus diakui, pasca amandemen MK adalah the new rising star dan menjadi penafsir tunggal

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

103


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 bagi the soul of the constitution di dalam peradilan ketatanegaraan Indonesia. Problema Konstitusionalisme Indonesia Di sinilah masalah bagi bentuk baru konstitusionalisme Indonesia tersebut. MK seringkali bergerak tanpa melirik pada kehendak konstituen. MK misalnya, ketika memberikan putusan constitutional review terhadap UU Sumber Daya Air lebih banyak terikat pada isi dan bunyi UUD 1945, daripada bunyi dan isi teriakan hati nurani konstituen rakyat Indonesia yang menolak UU tersebut. MK menjadi penafsir konstitusi yang nir-konstituen. MK mengikatkan diri pada konstitusi dan pada saat yang sama membebaskan dari dari pemilik utama konstitusi itu sendiri. Putusan MK yang lainnya juga seringkali menderita hal yang sama, seperti pada UU Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004), UU Pemekaran Papua (UU No. 45 Tahun 1999), dan UU Migas (UU No. 22 Tahun 2001). Konstitusionalisme Indonesia makin lama makin terjebak pada logika ini. yang kemudian telah menulari berbagai lembaga yang ada di dalam konstitusi itu sendiri. Ini yang menyebabkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memaksakan diri untuk belajar ke luar negeri dengan alasan ketakutan jika produk UU-nya akan di-invalidkan oleh MK, bukan ketakutan pada protes masyarakat terhadap produk UUnya. Ketakutan kepada penafsir konstitusi lebih kuat dibanding kepada pemilik utama dari konstitusi. Problema kedua adalah karena jebakan logika keliru konstitusionalisme ini seringkali menjadikan MK seakan over acting. Bahkan bukan hanya secara kelembagaan, tapi juga diderita secara personal pada lembaga tersebut. Seringkali komentar dari pimpinan pada lembaga tersebut menjadi polemik, karena komentar yang berlebihan terhadap suatu perkara yang belum diteliti secara yuridis kelembagaan. Ungkapan yang seringkali sudah merupakan konklusi personal yang mendahului analisa kelembagaan. Hal ini mengingatkan kita pada komentar Ketua MK ketika pelaksanaan sengketa pemilihan umum presiden tahun silam. Komentar tersebut kemudian dikatakan oleh Azyumardi Azra dapat memancing kemarahan banyak pihak [4].

Malangnya, gaya konsklusi mendahului analisa ini juga tertular ke Ketua MA. Contoh paling anyar adalah kasus Pilkada Depok, yang jauh sebelum diajukan PK, Ketua MA sudah terlebih dahulu mem-‘vonis’. Suatu hal seharusnya tidak perlu jika mengingat bahwa proses hukum pada tingkat MA -pada saat itu-, belum berjalan. Konstitusionalisme Populis Yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana merancang konstitusionalisme dengan sisi pelibatan penuh konstituen yakni rakyat itu sendiri. Konstitusionalisme yang meng-up grade peran rakyat dari sekadar memilih melalui pemilu. Ini yang diistilahkan oleh Mark Tushnet adalah bagaimana merancang dan mengadopsi “Populist Constitutional Law” ke dalam sistem konstitusionalisme [6]. Suatu sentuhan terhadap gaya konstitusionalisme sehingga berwajah lebih populis. Dalam term konstitusionalisme populis, pelibatan rakyat banyak lebih diutamanakan. Untuk kasus Indonesia, bisa dimulai dengan prinsip baru tentang pentingnya peranan seluruh rakyat dalam setiap proses ketatanegaraan Indonesia. Lembaga legislatif harus dapat menemukan cara agar mempertinggi intensitas pertemuan dengan konstituennya, bukan dengan mempertinggi intensitas ‘belajar’ ke luar negerinya. Lembaga judisial menemukan formula pelibatan kehendak konstituen dalam putusan perkaranya. MK seharusnya juga terikat pada keinginan seluruh rakyat Indonesia dalam memberikan penafsiran terhadap konstitusi. MK tidaklah hanya terikat pada konstitusi (tekstual), tetapi setiap putusan juga mesti memasukkan fungsi sosiologisnya yakni apresiasi terhadap keinginan masyarakat banyak. Analoginya, jika DPR sebagai positive legislature harus memiliki mekanisme inisiasi, maka MK sebagai negative legislature juga seharusnya memiliki mekanisme yang sama, walaupun mungkin dalam bentuk yang berbeda, misalnya melalui suatu penelitian dan kajian yuridis maupun sosiologis yang mendalam terhadap suatu perkara yang diperhadapkan ke MK. Sedangkan bagi eksekutif tentu saja dengan kesadaran bahwa ia adalah pelayan konstituen.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

104


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Intinya, kepentingan konstituenlah yang harus menjadi tujuan dari segala tindakan ketatanegaraan. Karenanya, konstitusionalisme populislah yang harus diagregasi untuk menutup celah cacat dalam konstitusionalisme Indonesia. Konstitusionalisme yang demokratis dan dapat menjadikan rakyat sebagai pelaku dan bukan hanya sekedar penonton.[ ] Daftar Pustaka [1] Aristotle, 1974, Constitutions of Athens, Hafner Press, New York-USA. [2] Asshiddiqie, Jimly, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpres, JakartaIndonesia.

[3] Hamilton, Walton H., 1931, Constitutionalism, on “Encyclopedia of Social Sciences�, Edwin R.A. Selligman (editor), Mc.Millan Pub. Co, June 1, 1937, New York-USA. [4] Harian Kompas, edisi 3 Agustus 2004 [5] Teitel, Rudi G., 2000, Transitional Justice, Oxford Press, New York-USA. [6] Tushnet, Mark V., 1999, The Possibilities of Comparative Constitutional Law, Yale Law Journal, Volume 108-1225, 1269-85. [7] _______, 1999, Taking Constitution Away From the Court, Princenton University Press, New Jersey-USA.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

105


NASIONAL

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Perspektif Pembangunan Wilayah Pedesaan Kuntoro Boga Andri Staf peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian RI; Mahasiswa program Doctor di The United Graduate of Agricultural Sciences, Kagoshima University. E-mail: kuntoro_boga@hotmail.com 1. Pendahuluan

2. Melepas Ketergantungan Desa dari Luar

Dalam upaya mencapai keberhasilan tujuan pembangunan wilayah pedesaan saat ini, secara umum kita dihadapkan pada banyak tantangan yang sangat berbeda sifatnya dibandingkan pada masa-masa yang lalu. Tantangan pertama berkaitan dengan kondisi eksternal seperti perkembangan internasional yang berhubungan dengan liberalisasi arus investasi dan perdagangan global. Sedangkan yang kedua bersifat internal, yaitu yang berkaitan dengan perubahan kondisi makro maupun mikro dalam negeri. Tantangan internal disini dapat meliputi transformasi struktur ekonomi, masalah migrasi spasial dan sektoral, ketahanan pangan, masalah ketersediaan lahan pertanian, masalah investasi dan permodalan, masalah iptek, SDM, lingkungan dan masih banyak lagi.

Untuk menelaah hubungan ekonomi antara suatu wilayah, kita bisa mengutip pendapat seorang pemikir strukturalis, Galtung [3]. Ia membedakan antara centre yang merupakan pusat pertumbuhan dengan daerah pinggiran (periphery) yang terkebelakang. Hal ini berlaku untuk hubungan keluar ataupun didalam suatu negara. Hubungan yang dihasilkan tersebut digambarkan telah menguntungkan masyarakat di pusat-pusat secara keseluruhan, dan merugikan mayoritas masyarakat di daerah pinggiran. Tanpa disadari, sejak lama kondisi pembangunan desa-kota kita menggambarkan konstruksi mengenai tata hubungan ekonomi domestik yang timpang. Desa telah menjadi komoditas empuk bagi penghisapan surplus ekonomi pusat-pusat pembangunan di kota. Prospek ekonomi rakyat pedesaan sangat dikhawatirkan akan bertambah suram pada masa yang akan datang, jika perilaku elit kekuasaan di seluruh tingkatan tidak mengalami perubahan pola pikir pemihakan terhadap rakyat di desa.

Proses transformasi suatu wilayah pedesaan menjadi suatu daerah agroindustri secara ilmiah telah banyak diulas peneliti dan akademisi dan menjadi tuntutan nyata dalam proses perkembangan modernisasi masyarakat pertanian, karena kegiatan pertanian berada di wilayah pedesaan. Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu. Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.

Dalam tulisannya Arief [2] mengemukakan bahwa urbanisasi penduduk dari sektor pertanian di pedesaan berlangsung akibat adanya investasi dari sektor manufaktur dan jasa yang selama ini masih terfokus di kota/pusat. Ketika kegiatan di kota memberikan tawaran imbalan tinggi kepada penduduk desa yang berpindah, sementara itulah sektor pertanian akan mengalami kelangkaan relatif pekerja. Seiring dengan itu pula, interaksi antar aktor-aktor ekonomi, antar maupun intra sektor, telah menambah keruh keadaan dengan adanya pengambilan keputusan politik yang tidak berpihak kepada rakyat di desa. Sehingga, sektor pertanian, dimana sebagian besar bangsa kita menggantungkan hidupnya, jauh dari

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

106


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 perannya sebagai pondasi pembangunan yang sesungguhnya. Dilain sisi, sektor manufaktur semakin tidak memiliki linkage dengan sektor primer, yaitu pertanian. Ini bisa kita lihat dari besaran volume total impor produk barang primer Indonesia yang semakin meningkat sejak awal 70-an sampai saat ini. Justru ketergantungan kita akan produk barang primer dari luar negri bertambah tinggi. Pergeseran sistem perdagangan internasional komoditas pertanian menuntut kemampuan sektor pertanian kita untuk mampu bersaing menghadapi kekuatan agribisnis multinasional yang selama ini telah menguasai pasar. Dimana dari hasil studi yang dilakukan oleh FAO tahun 1995 terungkap bahwa perdagangan hasil-hasil pertanian masih didominasi oleh negara-negara maju seperti USA, Uni Eropa, Australia dan Kanada dengan pangsa pasar sekitar 86% sedangkan total dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia baru berkontribusi 14%. Saat ini kita dihadapkan kenyataan tingkat pertumbuhan sektor pertanian yang sangat rendah dan meluasnya jumlah penduduk yang menggantungkan hidup di sektor informal musiman, akhirnya menyebabkan efek kemiskinan sosial meluas. Situasi shared poverty atau involusi seperti yang digambarkan oleh Geertz [4] yang terjadi sejak lama di pedesaan kita sekarang ini makin nyata. Bila kita tidak memiliki strategi yang jelas dalam pengembangan potensi pedesaaan jangka panjang, hal ini sangat membahayakan. Penerapan ideologi liberalisasi perdagangan internasional yang disertai liberarisasi arus investasi asing dalam kerangka WTO, APEC ataupun organisasi internasional lainnya dalam situasi likuiditas internasional Indonesia yang belum sehat seperti sekarang, dapat membawa pengaruh negatif dalam pengembangan industri lokal dan menambah beban ekonomi rakyat khususnya di desa. Kekuatan ekonomi domestik, secara substansial, akan tergeser keluar. Rakyat di desa dan Indonesia secara keseluruhan akan memasuki fase ketergantungan yang lebih dahsyat kepada orang luar, atau secara sistematis akan menjadi buruh di atas tanah sendiri.

3. Agroindustri Pedesaan

dalam

Membangun

Integrasi antara konsep agroindustri dan pembangunan desa menjadi penting keterkaitannya dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan investasi, teknologi, serta dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan tingkat ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Wibowo [5] mengemukakan perlunya pengembangan agroindustri di pedesaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar diantaranya: (1) memacu keunggulan kompetitif produk/komoditi serta komparatif setiap wilayah, (2) memacu peningkatan kemampuan suberdaya manusia dan menumbuhkan agroindustri yang sesuai dan mampu dilakukan di wilayah yang dikembangkan, (3) memperluas wilayah sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan yang nantinya akan berfungsi sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan, (4) memacu pertumbuhan agribisnis wilayah dengan menghadirkan subsistem-subsitem agribisnis, (5) menghadirkan berbagai saran pendukung berkembangnya industri pedesaan. Untuk mengaktualisasikan secara optimal strategi tersebut di atas, perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap pembangunan wilayah. Pengalaman yang sangat berharga bagi kita selama ini menjelaskan bahwa program pembangunan desa kurang terkoodinasi dalam suatu sistem yang baik dalam konteks sumberdaya maupun secara fungsional seringkali kurang menjamin dalam tiga hal endurance (daya tahan), integrity (keutuhan) dan continuity (kesinambungan). Pembangunan pertanian haruslah sinergi dari pembangunan wilayah pedesaaan dimana memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

107


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan poin tersebut, dapat dipaparkan bahwa industrialisasi pertanian seharusnya membawa cakrawala baru dalam pembangunan pedesaan. Meningkatkan produktivitas pertanian harus diikuti oleh peningkatan investasi dalam pertanian modern beserta industri pengolahan dan sektor jasa lainnya di desa. Pengembangan kawasan potensial dengan basis pedesaan sebagai pusat pertumbuhan akan mentransformasikan pedesaan menjadi kotakota pertanian (agropolitan). Perkotaan pertanian ini diharapkan dapat mengimbangi interaksi antar wilayah secara sehat yang dapat menimbulkan aspek positif lainnya yaitu mengurangi arus urbanisasi penduduk. Di samping nilai tambah produksi pedesaan akan meningkat, industrialisasi juga akan mencegah berkembangnya pengangguran terdidik di desa, dan mendorong mereka untuk tetap bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya, yang juga sebagai pusat-pusat pertumbuhan. 4. Pembangunan Berkelanjutan

Desa

yang

Dalam situs Walhi [1] tentang pembangunan berkelanjutan, dipaparkan bahwa bahwa pembangunan yang berkelanjutan dapat diartikan secara luas sebagai kegiatankegiatan di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa sekarang tanpa membahayakan daya dukung sumberdaya bagi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana.

pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis. Wibowo [5] mengungkapkan empat aspek umum ciri-ciri spesifik terpenting mengenai konsep agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity). Secara sederhana, equitability merupakan penilaian tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakatnya. Sustainability dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun menghadapi berbagai kendala. Stability merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Productivity adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya. Dimasa yang akan datang, dalam konteks pembangunan pedesaan yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya di desa haruslah dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan, serta menerapkan model pemanfaatan sumberdaya yang efisien. 5. Kesimpulan

Arus globalisasi yang semakin kuat perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak selalu mampu memecahkan masalah ketimpangan sumberdaya. Kebijakan pembangunan harus memberi perhaatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan asetaset di wilayah pedesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem. Walaupun wawasan agroekosistem merupakan sesuatu

Memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi paradigma baru dalam program pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Perubahan kondisi internal dan ekternal yang terjadi menuntut kebijakan yang tepat dan matang dari para pembuat kebijakan dalam upaya pengembangkan potensi wilayah pedesaan. Sudah saatnya menjadikan desa sebagai pusat-pusat pembangunan dan menjadikan daerah ini

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

108


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 sebagai motor utama penggerak perekonomian melalui sektor pertanian.

roda [2]

Pengembangan agroindustri sebagai pilihan model modernisasi pedesaan haruslah dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Untuk itu perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas, dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Agar model pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dapat terwujud diperlukan pedoman pengelolaan sumberdaya melalui pemahaman wawasan agroekosistem secara bijak, yaitu pemanfaatan asset-aset untuk kegiatan ekonomi tanpa mengesampingkan aspek-aspek pelestarian lingkungan. Daftar Pustaka [1] Anonim, Pembangunan Berkelanjutan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi),

[3]

[4]

[5]

(http://www.walhi.or.id/kampanye/glob alisasi/kttpemblan/ind_pf_rio+10_/). Arief, S., 1995, Neo-Kolonialisme, Makalah pada Seminar Ekonomi Rakyat yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa, di Jakarta, 3 Agustus 1995. Galtung, J., 1971, A Structural Theory of Imperialism, Journal of Peace Research 8: 81-117. Geertz, C., 1983, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, terjemahan dari: Agriculture Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1963. Wibowo, R., 1997, Strategi Industrialisasi Pertanian dan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan, Makalah disampaikan pada pelatihan pengkajian sistem usahatani spesifik lokasi dengan pendekatan teknologi terapan adaptif, BPPFP Ciawi-Bogor, 14 Maret -12 April 1997.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

109


HUMANIORA

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Muslim Indonesia, Potensi Tersembunyi Menuju Kejayaan Bangsa Bahari Agus S. Djamil Penulis buku ALQURAN DAN LAUTAN (Arasy Mizan, 2004, 612 hal.). Geophysicist, alumnus Stanford University at Palo Alto USA, dan Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta. Moderator dan owner Milis LQ, lautan-quran@yahoogroups.com . Bermukim di Brunei Darussalam. Email: adjamil@gmail.com Apakah Kelautan dan Perikanan adalah “the Sleeping Giant”? Dan kalau memang “sleeping” atau sedang tidur, siapakah yang bisa membangunkannya? Pertanyaan pertama di atas bermula dari wacana yang saat ini semakin hangat dilontarkan: apakah kelautan dan perikanan dapat menjadi sumber kemakmuran bangsa. Fakta sumber daya alam kelautan dengan letak geografinya yang sangat strategis memang menandaskan hal itu. Tetapi siapa yang sebenarnya berkewajiban membangunkan “raksasa tidur” itu? Tentu saja penduduk kepulauan itu sendiri. Dan mayoritas dari mereka adalah umat Islam, yang bahkan umat terpadat di muka bumi ini, lebih dari 190 juta otak dan otot. Kalau mereka “tidur”, maka tidur jugalah sang raksasa kelautan dan perikanan itu yang didambakan geliat ligatnya. Manusia kepulauan ini ternyata juga pernah ”bangun”. Pencapaian masa lalu pelaut Indonesia sangat mengagumkan. Kalau Ferdinand Magellan dicatat oleh barat sebagai pengeliling dunia pertama, maka pengeliling dunia pertama (circumnavigate) sejati adalah sembilan orang dari kepulauan Indonesia ini. Mereka itu telah berlayar ke barat hingga ke Afrika Barat, direkrut oleh Ferdinand Magellan untuk menjadi awak kapal ekspedisi circumnavigate bumi yang pertama kali pada tahun 1521. Orang-orang kepulauan Mollucas, dari negeri para Malik, negeri para Raja-Raja, atau Al Muluk yang muslim pada waktu itu, telah mengembangkan layar, berniaga ke segala penjuru angin. Jejak pengembaraan laut (seafaring) para nenek moyang kita juga tersebar di penjuru tiga samudra besar dunia ini. Di Bishop Museum di Honolulu kita bisa menyaksikan

bukti penaklukan samudra dan pendudukan pulau-pulau di Samudra Pasifik oleh mereka hingga ke Easter Island di ujung timur. Ke utara melalui Tahiti hingga ke Hawaii dan juga ke ujung selatan hingga New Zealand. Dalam segi bahasa pun, sampai hari ini masih bisa ditelusuri jejak pengembaraan mereka itu. Ke barat, mereka telah menjelajah dan mukim di Madagaskar, bahkan hingga ke Afrika Barat di Samudra Atlantik. Di seluruh dunia saat ini umat Islam memang sedang dituduh, difitnah dan dipojokkan sebagai biang kerok terorisme yang harus diperangi secara global. Tetapi stigma yang dituduhkan ini tidak menghentikan saya untuk meyakini sebaliknya. Muslim Indonesia dengan Al Qur’annya justru mempunyai potensi tersembunyi yang akan mampu menjadi pemandu atau pionir bangsa Indonesia untuk kembali membangunkan the sleeping giant: dunia kelautan dan perikanan. Kembali meraih kejayaan bangsa bahari. Saya justru meyakini bahwa mereka dengan AlQuran-nya itu, adalah satu dari dwi tunggal potensi membangun masa depan Indonesia berbasis kelautan yang jaya, disegani dunia dan turut berperan memfasilitasi kesejahteraan dunia keseluruhan. Satu potensi lain dari dwi tunggal potensi itu adalah, sebagai negara kepulauan terbesar di batas dua samudra terluas di dunia. Sebagian besar kita mungkin sudah tahu, tetapi mungkin masih segelintir saja yang meyakini bahwa posisi negeri kita ini merupakan potensi yang sangat strategis dalam segi geopolitis dan geoekonomis. [Silakan baca artikel “Negeri Di Batas Dua Samudra Menggenggam Urat Nadi Ekonomi Dunia” pada bagian lain edisi ini].

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

110


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Dalam hal keunggulan kita yang berada di batas dua samudra ini, kita selayaknya perlu merenungi makna ayat 19 – 21 surat Ar Rahman (55) ini: “Dia membiarkan dua laut mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan. Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” Sudah sering kita dengar, penafsiran yang merujuk kepada batas mikro antara dua jenis air laut dan munculnya mutiara dan koral. Itu tidak keliru. Tetapi ’batas’ dalam skala makro, Indonesia-lah karunia yang berada di batas dua samudra. Perairan di kepulauan Indonesia adalah sumber kenikmatan yang spektakuler. Karenanya Indonesia memiliki kawasan koral / terumbu karang terlengkap di dunia dan dikenal dengan sebutan The Coral Triangle. Posisi geografis Indonesia ini merupakan keunggulan daya saing (competitive advantage) atas negeri-negeri lain, dalam segi geoekonomis, geopolitis dan geostrategis. 1. INTELEKTUALITAS SPIRITUALITAS

DAN

Sekarang kita masuk ke potensi pertama yang utama, Sumber Daya Manusia, SDM. Manusia yang seutuhnya, dengan otot dan otaknya. Otaknya yang dipenuhi dengan intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas. Kita bicara tentang SDM yang sudah mendapat spirit dan “bekal” lebih dari cukup, namun masih juga awam dan bahkan cuai (ignorant) pada potensi sejati yang ada pada dirinya sendiri dan lingkungannya. Bekal yang cukup bagi penduduk mayoritas Indonesia itu adalah kitab suci AlQuran yang mereka agungkan. Kitab suci ini sungguh tidak melulu berbicara mengenai akherat dan ranah spiritualitas saja. Kitab ini juga lancar berbicara mencapai kejayaan di dunia. Sesuai dengan diturunkannya kitab ini di planet “biru” bumi yang merupakan bola air ini, AlQuran juga secara proporsional banyak bicara tentang laut. Al Quran memuat lebih banyak kata “laut” dari pada kata “darat”.

Kata “laut” muncul di 43 ayat sedangkan kata darat hanya muncul dalam 13 ayat. Kata laut dalam Al Quran itu muncul dalam konteks yang beragam. Ini meyakinkan saya bahwa hint berupa devine revelation inilah yang berpotensi besar menjadikan umat Islam sebagai pionir dan motor menuju kejayaan bangsa bahari. Turun ke laut untuk mencari karuniaNya, beberapa kali ditegaskan di dalam Al Quran seperti dalam terjemahan An Nahl 16:14 berikut. “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan untukmu, agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar , dan kamu mengeluarkan dari lautan itu sesuatu yang kamu kenakan; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”. Demikian pula dalam ayat 12 surat Al Jatsiyah: “Allah menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudahmudahan kamu bersyukur”. Menyitir kedua ayat ini saja, seharusnya umat Islam Indonesia sudah merasa diuntungkan, termotivasi dan bersyukur. Karena mendapat info, bahwa laut sudah difasilitasi oleh Allah SWT agar mereka bisa memperoleh banyak kenikmatan. Laut bukan hanya tempat ikan. Laut adalah juga tempat mendapatkan makanan yang segar, mengentaskan pakaian dan untuk mentransportasikan barang. Perlu difahami bahwa makanan daging segar (lahman thoriyyan) dari laut bukan hanya ikan. “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, …..Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” Ayat Al Maidah (5:96) ini jelas bukan hanya menunjuk kepada makanan berupa ikan, tetapi juga makanan apa saja yang dari laut. Saat ini industri makanan misalnya, telah memanfaatkan produk ekstrak rumput laut (daging batang, lahman, flesh) bagi campuran

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

111


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 produknya agar menjadi lebih segar, renyah, dan nikmat. Misalnya carrageenan (karaginan) dipakai sebagai bahan campuran hampir pada setiap produk makanan: pelembut daging, roti, biskuit, es krim, minuman segar, permen, aneka snek, dlsb. Ayat An Nahl 16:14 juga menyatakan tentang pakaian, “.... dan kamu mengeluarkan dari lautan itu sesuatu yang kamu kenakan”. Pakaian dari laut? Apakah kita saat ini mengenakan pakaian dari laut itu? Ya. Bahkan dalam zaman modern ini, nyaris tak ada satupun pakaian kita yang tidak terbuat dari bahan sintetis berasal dari unsur laut seperti polyester. Bahan-bahan yang nyaman dikenakan tercampur dengan produk petrokimia seperti polyethylene, polypropylene dan sejenisnya. Bahan-bahan petrokimia ini merupakan hasil olahan dari minyak dan gas alam yang dihasilkan dari ubahan unsur hidrogen dan carbon yang hidup di plankton dan fossil yang tertimbun batu serpih / lumpur di laut puluhan bahkan ratusan juta tahun yang lalu. Bahan hasil olahan ini juga dipakai untuk hampir semua consumer product kita: sabun, kosmetik, pasta gigi, bungkus plastik, pewarna, dlsb. Dari ayat yang sama, juga memberi hint tentang kapal. Kapal yang berlayar, juga bukan hanya perahu penumpang. Kata ”Fulku” (yang diterjemahkan sebagai kapal) maksudnya kendaraan terapung dalam segala bentuk dan ukurannya yang hingga ratusan ribu ton. Bahtera atau kapal ini pun merupakan produk teknologi yang di dalam Al Quran disebutkan bahwa pembuatannya berdasarkan wahyu, petunjuk dan pengawasan Allah. “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditengelamkan.” (Hud 11:37). Saya tidak bisa membayangkan bagaimana dunia yang 72 % ditutupi lautan ini bisa “hidup” tanpa kapal. Dan sungguh kita telah dimudahkan dalam hidup ini dengan kemampuan kapal yang bisa terapung dan melaju dengan cepat di atas air. Maju dan mundurnya ekonomi suatu negara hanya bisa

ditentukan dengan kemampuannya mengekspor dan mengimport barang dalam jumlah besar ke dan dari negeri-negeri yang jauh. Anak-anak di Pulau Jawa tidak akan bisa sekolah dengan baik, bila buku, kertas (atau bahan baku kertas) dan alat tulisnya tidak diangkut kapal dari pulau dan negeri lain. Orang Jawa tidak akan bisa makan tempe, kalau kacang kedelenya tidak terangkut kapal dari daratan Cina. Berulang kali Al Quran menyebutkan tentang kapal sebagai suatu karunia untuk kita. Surat Al Isro’ (17:66): “Tuhan-mu adalah yang melayarkan kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu”. Demikian pula surat Luqman(31:31) ini: “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah. Supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur”. Nikmat Allah itu saat ini masih dinikmati oleh orang-orang Norwegia yang memiliki 40% armada kapal dunia. Bukan orang-orang dari negeri kepulauan terbesar di dunia Kapal yang berlalu lalang di perairan Indonesia saat ini, membawa barang eksport ke luar negeri nyaris 95 % adalah kapal asing. Bahkan pelayaran antar pulau, 65 % dilayari juga oleh kapal asing. Seandainya umat yang mencakup 90% penduduk negeri kepulauan ini menghayati makna Al Jatsiyah 12 dan An Nahl 14 tadi, pasti hal yang ironis tadi tidak pernah terjadi. Azas cabotage yang melindungi dunia pelayaran domestik tidak dilecehkan begitu saja dan dicabut oleh pemerintahan Presiden Suharto demi kepentingan sesaat yang menguntungkan pihak asing. Dan “raksasa” kelautan itu tidak tidur ngorok, namun bangkit dan bekerja keras untuk kemakmuran mereka. Masalah energi sekarang dan masa depan juga tidak akan menimpa kita seandainya umat Islam Indonesia ini tidak melupakan laut. Mereka akan sadar bahwa di berada di batas

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

112


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 dua samudra pasti mendatangkan banyak berkah. Untuk bisa memberi solusi masalah keterbatasan energi sekaligus membangunkan “raksasa” kelautan, umat Islam selayaknya “bangun” dan membaca “Dan laut yang di dalam tanahnya ada api”, Al Quran surat Al Thur ayat 6. Apakah ayat ini tidak menginspirasi kita untuk memburu energi alternatif dari lautan? Dari hydrothermal di laut celuk Banda, geothermal di punggungan seluruh pulau yang mencuat dari dasar laut, energi ombak, arus dan tidal, hingga kepada pemanfaatan batas thermoclyne air laut yang bisa dipakai untuk pembangkit listrik OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion)? Batas antara laut-laut yang berlapis-lapis itu pun, diungkapkan dalam ayat ke 40 surat An Nur (24): “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi ombak, yang di atasnya ada ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila ia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. Adanya batas antara lapisan-lapisan di laut ini sungguh suatu karunia yang tak terhingga. Kita telah terlena sekian lama dan merasa asing dengan pesan AlQur’an yang mendorong manusia untuk memperoleh karunia di laut. Umat Islam telah dibuat sibuk (dan sibuk sendiri) dengan pertelingkahan tak berujung, soal fiqih dan firqah, misalnya. Sementara ayat-ayat yang memberikan kunci sukses keduniaan bagi umat justru terlupakan. Bukankah surat Al Qasas ayat 77 menyuruh mereka untuk mengejar akherat tanpa melupakan dunia? Dan doa yang kita bisikkan setiap saat adalah memohon ”kebaikan dunia dan kebaikan akherat”. Kenapa umat Islam Indonesia yang 92 % -nya tinggal di pesisir (coastal area, dalam 100 km dari bibir pantai) dan Al Qurannya lebih banyak menuliskan ”laut” ketimbang ”darat”, malah jengah dengan laut dan memuja daratan.

2.

MENELAAH KEMBALI

Apakah ayat-ayat Al Quran ini masih kurang memotivasi ummat Islam Indonesia untuk menjawab tantangan bangsa Indonesia memajukan kelautannya? Menjawab berbagai isu yang tidak saja terbatas kepada segala aspek perikanan. Namun juga masalah ekonomi, perdagangan, energi, transportasi, industri dan jasa maritim. Tidak kalah pentingnya dalam hal pertahanan, pengawalan keamanan dan keselamatan laut, posisi tawar geopolitis dalam era globalisasi, nilai posisi geoekonomis, dan klaim wilayah yang dijamin UNCLOS (United Nation Convention Law Of the Sea). Sebelum menutup tulisan ini, sebagai pembelajaran, saya ingin sedikit menambah dengan SDM muslim masa lampau yang telah mencatat pencapaian penting dalam sejarah. Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad dari Cordoba, Spanyol telah berlayar meninggalkan Delba (Palos) pada tahun 889. dan berhasil menyeberangi Samudra Atlantik hingga ke benua Amerika. Ini berarti lebih dari 600 tahun sebelum Columbus “menemukan” Amerika. Andaikan penulis Gavin Menzi (2004) benar, ada juga orang muslim lain yang menjejakkan kaki ke benua Amerika lebih dahulu dari Columbus, yaitu Laksamana Cheng Ho pada tahun 1421. Cheng Ho atau Zheng He (1371 – 1433 ) adalah juga seorang muslim. Dia orang kepercayaan dari Kaisar China, Yongle (yang berkuasa 1403–1424), Kaisar ke-3 dari Dinasti Ming. Cheng Ho yang nama aslinya Ma Sanbao (dan nama Arabnya Hajji Mahmud) adalah keturunan dari gubernur Yuan, Sayyid Ajjal Shams al-Din Omar. Muslim pada abad ke-11 juga telah meraih pencapaian yang signifikan dan gemilang. Atlas dunia yang pertama dibuat oleh Al Idrisi (1099-1166) kartografer asal Maroko, pada tahun 1154 saat dia bekerja untuk Raja Roger II di Sisilia. Para saintis, kartographer dan pelaut muslim pada akhir millennium pertama hingga awal millennium kedua itu telah banyak membantu penjelajahan dunia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

113


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Pencapaian umat Islam di masa lalu pun sudah membuktikan sumbangannya yang luar biasa. Hukum dalam AlQuran-nya sudah tegas memacu manusia untuk mencari karunia di laut. Nenek moyang suku-suku nusantarian ini pun jelas sangat akrab dengan lautan dan menorehkan sejarah dan budaya. Lalu mengapa potensi manusia Indonesia, yang berjubel di Jawa dan Sumatra ini masih

juga “tidur�. Masih banyak sekali yang belum membaca Al Qurannya dengan baik, alih-alih mencoba mengatualisasikan perintah divine revelation untuk “turun ke laut�. Lalu dari mana harus mulai membangunkan sang pembangun raksasa tidur, the right people in the right place? Anjurkan mereka menelaah kembali kitab sucinya dengan lebih tekun, dan cerdas.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

114


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

HUMANIORA

Awal Puncak Perekonomian Jepang Purnamawati Mahasiswa Master Fakultas Hukum Jurusan Sejarah Jepang Universitas Kagoshima Pada tahun 1960 setelah Jepang mengalami kekalahan dalam perang dunia kedua (PD II) dan di bawah kekuasaan Amerika, segera memperbaiki kinerja pembangunan ekonominya [1]. Awal puncak kemajuan ekonomi Jepang dimulai pada saat pergantian kabinet PM. Kishi Nobusuke (Kabinet dimulai 25-2-1957 s/d 19-7-1960) ke kabinet PM Ikeda Hayato (Kabinet dimulai 19-7-1960 s/d 9-11-1964) PM Ikeda mengambil kebijaksanaan untuk membangun Jepang di bidang ekonomi setelah hancurnya negara akibat pemboman Hiroshima dan Nagasaki [2].Jepang setelah PD II harus membayar ganti rugi perang dan harus mengubah Undang-undang Dasar Meiji menjadi Undang-undang dasar yang melambangkan kedemokrasian sesuai dengan ketentuan yang diajukan oleh Amerika. Rakyat Jepang pada saat itu juga mengalami depresi karena perekonomian yang tidak stabil dan demokrasi yang harus diterapkan oleh masyarakat Jepang terutama dibidang politik dan kepemerintahan. Sebelum Jepang kalah perang semua kekuasaan dibawah Kaisar Jepang. Setelah Kalah Jepang dan diduduki oleh Amerika maka demokrasi yang Amerika anjurkan harus cepat berlangsung untuk pemulihan masyarakat Jepang [1]. Awal puncak perekonomian Jepang berkembang di mulai pada kabinet PM Ikeda. PM Ikeda menitikberatkan toleransi dan kesabaran. Namun, PM Ikeda mengesampingkan permasalahan perbaikan bentuk UU Jepang. Karena pada saat itu UU Jepang yang berlaku masih ketetapan UU Jepang menurut peraturan Amerika. Pokok kebijakan PM Ikeda dalam bidang ekonomi adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, perbaikan dan peningkatan pokok produksi di dalam negeri. Pemerintah Jepang dalam kebijakan ekonomi, membuka perbaikan di

bidang tehnik, investasi dan supply dari Amerika. Pada tahun 1955 mulai diadakan perjanjian pembayaran gaji pekerja di perusahaan. Pendapatan karyawan dan buruh menjadi naik, dan tingkat konsumsi pun meningkat. Pasar dalam negeri semakin dibutuhkan dan terus berkembang sehingga ekonomi Jepang terus maju. Peningkatan konsumsi terjadi pada televisi, kulkas, mesin cuci, kebutuhan alat elektronik rumah tangga. Secara international Jepang terus berkembang terutama menjadi anggota IMF dan tahun 1965 mata uang Jepang termasuk pertukaran mata uang international. Jepang sebagai grup negara industri dan masuk anggota badan perekonomian international OECD [1]. Bagi para politikus awal kemajuan ekonomi Jepang waktu itu merupakan keuntungan besar tetapi semakin majunya ekonomi Jepang pengikut partai demokratik- liberal semakin menurun. Ini disebabkan karena partai demokratik- liberal berpedoman pada paham konservatif yang menjunjung tinggi adat dan kebiasaan para leluhur. Akibat perekonomian yang meningkat pesan perombakan budaya dan tatanan masyarakat desa dan kota sehingga adat istiadat leluhur semakin pudar. Para petani serta masyarakat desa pindah ke kota untuk mencari kerja dan kehidupan yang lebih baik daripada di desa. Di lain pihak partai sosialis mendapat keuntungan yang besar karena melalui perkembangan besar jumlah para buruh perusahaan terutama di kota besar. Partai Sosialis mempunyai kebijaksanaan untuk mengadakan perubahan di dalam negeri, sehingga pengikut partai sosialis semakin meningkat. Pada tahun 1960 kebijaksanaan pemerintah Jepang memusatkan industri dan peningkatan buruh pekerja dalam kehidupan masyarakat sedangkan partai Demokratik-liberal terus mempertahankan keadaan yang lama berjalan supaya tidak berubah. Jepang masuk

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

115


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 menjadi negara industri maju [2]. Amerika sangat membantu peranan Jepang untuk menjadi negara industri maka Amerika menjalankan strategi militernya yang baru dengan membuka perang dengan Vietnam. Jepang menjadi basis bantuan militer Amerika dalam menghadapi perang dengan Vietnam. Karena dasar tersebut akhirnya Jepang pada masa tahun 60 terus menjadi basis militer Amerika untuk pasukan perang Amerika [1]. Perkembangan yang sangat cepat di dalam Jepang menimbulkan masalah yang kompleks dalam masyarakat. Semakin meningkatnya perbaikan dan keuntungan yang diterima masyarakat semakin banyak masalah kesejahteraan masyarakat. Terjadi ketidakseimbangan antara masyarakat dan perkembangan kota, dan ketidakpuasan pun muncul. Berdasarkan latar belakang tersebut, partai sosialis, mencalonkan gubernur dari pihak partai komunis untuk membantu mengadakan perubahan di dalam negeri. Hasilnya munculnya perubahan baru pada pembentukan daerah otonomi di kota besar [1]. Pada tahun 1972 lahirlah kabinet PM Tanaka Kakuei [2]. Kebijaksanaan PM Tanaka membuka pasar ekspor di luar negeri, membuka kerjasama international dengan Cina, memutus hubungan dengan Taiwan, sedangkan kebijaksanaan dalam negeri membuka kebijaksanaan moneter, memperbesar pasar domestik melalui perluasan investasi publik. Ciri khas pada kabinet PM Tanaka adalah memperbaiki keadaan pulau yang ada di Jepang dengan membuka pekerjaan umum dan pekerjaan pembangunan secara meluas. Akhirnya partai demokratik- liberal menjadi pendukung utama terhadap pembangunan masyarakat desa dengan membuka pekerjaan pembangunan dan pekerjaan umum di seluruh kepulauan Jepang. [1]. Pada saat awal masuknya Jepang menjadi negara industri, di bagian politik terjadi kemajuan terutama dalam kebijaksanaan para partai politik. Pada saat itu disebut Sistem politik tahun 1955 dan sistem politik tahun 1960 [2].

Sebelum sistem politik tahun 1955 dimulai di awali pada saat Yoshida Shigeru (kabinet dimulai 22-5-1946 s/d 24-5-1947 dan 15-101948 s/d 10-12-1954). Yoshida Shigeru sebagai PM tersebut menggunakan kekuatan di bawah kekuasaan Amerika dan ikatan perjanjian San Fransisco. Kebijakan PM Yoshida banyak ditentang para anti Yoshida yang memusatkan gerakan kembalinya ke politik international. Gerakan tersebut mengakibatkan terbentuknya partai demokrasi Jepang (1954) sebagai pemimpinnya Hatoyama Ichiro (kabinet dimulai 10-12-1954 s/d 23-12-1956). Ada sedikit perbedaan pada partai Demokrasi dibandingkan dengan partai Liberal di bidang international, pembaharuan UUD Jepang terutama masalah kebijaksanaan keamanan Jepang-Amerika. Sedangkan di bidang kebijakan pemerintah dan politik hampir sama : 1. Secara ekonomi menjaga kebebasan, 2. Setelah perang berakhir, mempertahankan adat dan budaya serta kebiasaan para leluhur dengan menghargai nilai-nilai yang ada dan modifikasi. 3. Memegang teguh perjanjian antara Jepang dan Amerika dan membangun kembali kekuatan militer [2]. Sedangkan partai sosialis juga mengadakan perbaikan dalam politik. Akhirnya partai demokrasi dan partai liberal membentuk persatuan menjadi satu kesatuan partai. Pada tahun 1954 PM Yoshida terlibat dengan masalah korupsi akhirnya diturunkan. Pada tahun 1955 terbentuk partai demokratik- liberal yang dipimpin oleh Hatoyama ichiro yang konservatif dan terbentuk juga partai sosialis yang baru. Oleh karena itu disebut sistem 55: z Partai demokratik-liberal : konservatif (pengikut: para pedangan, bisnis, pengusaha dan para kapitalis. Kebijaksanaannya mempertahankan perjanjian Jepang Amerika dan mempertahankan UUD z Partai Sosialis : Perubahan (pengikut : para buruh, pengajar, pelajar). Kebijaksanaannya melepaskan perjanjian Jepang Amerika dan mengadakan perbaikan dalam UUD [1] [2]. Perubahan tersebut menjadi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

116


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 perubahan terbesar dalam politik Jepang [1].

terjadi sehingga pertentangan terjadi para polisi dengan penentang [1].

Kebijaksanaan pemerintah setelah sistem politik tahun 1955 terbentuk, pemerintah dikuasai oleh partai demokrasi liberal. Partai demokrasi liberal menetapkan kebijaksanaan dalam negeri sebagai berikut pemeriksaan ulang isi dari ketetapan peraturan hukum (UU), perubahan dan pengaturan secara ketat dalam pelaksanaan pembuatan buku isi sejarah jepang, perbaikan peraturan dalam system kepolisian, menjalankan UUD (Nihon Koku Kenpo), pelaksanaan pemahaman arti demokrasi ke seluruh wilayah Jepang. Bagi para golongan kecil kebijakan tersebut menjadi halangan dan tekanan. Terutama golongan yang ingin mengadakan pembaharuan secara utuh. Gerakan demo

Setelah tahun 1960 Jepang memasuki puncak kemajuan ekonomi sehingga menjadi negara industri. Pada saat itu juga terus berkembang partai lain di Jepang misalnya partai komunis, partai oposisi, partai sosialis terus berkembang dan partai lainnya terus bermunculan [1].

Daftar Buku 1.Owaranai nijuseiki Tonan Ajia Seijishi, Ishikawa shouji Hirai Kazuomi, Horitsu Bunka Basic Books, 2003 2.Seigo Seiji Shi, Ishikawa Masumi, Iwanami Shinsho, 2004

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

117


HUMANIORA

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

MUI dalam kasus Ahmadiyah: Ditinjau dari Struktur Politik Indonesia Saefur Rochmat Dosen Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY; Alumnus S-2 International Relations di Ritsumeikan University, Kyoto – Jepang E-mail: rochmat@yahoo.com 1. Pendahuluan

2. Interpretasi Ajaran-Ajaran Agama

Orang awam menilai MUI adalah suatu lembaga agama, bertugas memberikan arahan agama kepada umat Islam. Arahan MUI dalam bentuk fatwa diyakini murni sebagai masalah agama, karena memang selalu dikaitkan dengan dasar-dasar keimanan (aqidah, Rukun Iman) dan ajaranajaran pokok agama Islam (Rukun Islam).

Al-Qur’an, sebagai sumber utama agama Islam, tidak berubah, tetapi implementasi ajaran-ajarannya memerlukan interpretasi agar operasional di dalam masyarakat. Memang benar Al- Qur’an melarang riba, tetapi dalam operasionalnya terjadi silang pendapat yang sulit dicari titik temunya. Hal ini tidak akan terjadi bila semua pihak punya niat mencari solusi bersama yang diterima semua pihak. Untuk itu, masing-masing harus jujur pada diri-sendiri dan mau melepaskan kepentingan politik yang selalu menjadi duri bagi ukhuwah Islamiyah.

Ajaran-ajaran agama Islam yang terangkum dalam ritual keagamaan (ibadah mahdlah) memang sudah dibakukan dan tidak ada perbedaan fundamental di kalangan ulama, hanya perbedaan furu’iah (khilafiah). MUI memandang dasar-dasar keimanan juga sudah baku; namun harus disadari dalam implementasinya senantiasa terjadi perubahan, mengikuti hukum konteksutalitas dan irama perubahan zaman. Ambil contoh, implementasi konsep kemiskinan memerlukan standar yang berbeda-beda bagi setiap masyarakat, apalagi dalam kurun waktu yang berbeda. Rumusan keluarga miskin yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (BPS) bagi penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) sangat jauh dari memadai bagi mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, karena standarnya hanya bagi mereka yang berpenghasilan kurang dari Rp. 175.000,00 per bulan. Implikasinya, MUI perlu melihat kasus Ahmadiyah dengan kacamata yang berbedabeda; seperti halnya orang tua perlu kacamata positif dan orang muda perlu kacamata negatif, sedangkan yang normal tidak perlu bantuan kacamata kan? Bukankah yang penting agar semua orang bisa membaca, tidak menyalahkan mereka perlu kacamata bantu.

Modifikasi dalam penerapan ajaran-ajaran agama tidak bisa dihindari. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil interpretasi, seperti partikularitas situasi dan kondisi suatu daerah yang menjadi sasaran dakwah. Karenanya hasil ijtihad tidak bisa diklaim murni bersifat obyektif dan karenanya bisa diterapkan di daerah lain tanpa reserve. Harus disadari sifat partikularitas ini; apalagi bila fatwa sudah tidak murni lagi dilihat dari sudut pandang agama tapi sudah berkelindan dengan politik atau dikenal dengan politisasi agama. Memang tidak mungkin memisahkan agama dalam hal ini Islam- dengan politik karena kedudukan agama sebagai sumber nilai-nilai transendental. Apalagi Islam berpretensi sebagai agama hukum, sehingga semua persoalan kehidupan baik private affairs maupun public affairs harus tunduk pada hukum Islam (syari’ah). Sudah seharusnya kalau setiap Muslim berpikir dari sudut pandang syari’ah ini. Hanya mereka berbeda dalam strategi penerapan syariah Islam. Tidak benar tuduhan yang dialamatkan pada mereka yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Kebebasan Beragama dan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

118


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Berkeyakinan (AMKBB) sebagai tidak punya pandangan politik bagi penerapan syari’ah Islam. Hanya saja mereka menggunakan strategi kultural, yang ingin menerapkan syari’ah Islam secara substansial dengan mendakwahkan Islam sebagai rahmatan lil ’alamin (rahmat seluruh alam). Jihad sebagai kewajiban agama yang paling utama tidak dilakukan dengan mengangkat senjata tapi berperang melawan kemiskinan, kebodohan, dan sikap otoriter. Jihad bisa dilakukan oleh siapa saja; semua orang harus berusaha sekuat tenaga sesuai dengan profesinya agar mencapai hasil yang optimal. Inilah kewajiban agama yang paling utama! Ketika Nabi Muhammad SAW pulang dari perang Uhud yang dahsat itu, Nabi malah bersabda bahwa kita baru pulang dari jihad kecil menuju jihad besar. Lalu para sahabat bertanya yang dimaksud denga jiha besar itu. Nabi menjawab jihad besar adalah melawan hawa nafsu. Yang mencengangkan bagi kelompok radikal bila mengetahui dalam Al-Qur’an tidak pernah menggunakan kata-kata jihad untuk menjelaskan peperangan yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW, melainkan dengan kata kootilu dan kata turunannya seperti QS Al-Baqarah 190, 191, 193, 216) (Al-Hilali dan Khan, 1996). 3. MUI: Subyek atau Obyek Politik? Yang ditentang Gus Dur dkk. yang tergabung dalam AMKBB adalah sikap otoriter MUI yang meminta pemerintah menggunakan kekuasaannya agar menutup kegiatan jamaah Ahmadiyah yang dianggap meresahkan masyarakat. Gayung bersam-bung, Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam sambutannya pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-7 tanggal 26 Juli 2005 mengatakan: “Pemerintah akan mengikuti MUI dalam masalah agama“. Terbukti aparat pemerintah (Pemda Bogor) menutup Markas Ahmadiyah di Parung setelah pada 15 Juli 2005 diserbu oleh umat Islam yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII). Sebelumnya MUI

Bogor mengeluarkan fatwa yang menegaskan kembali fatwa MUI tahun 1980 bahwa Ahmadiyah sebagai jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. MUI merasa kuat dapat mendesak pemerintah menutup Markas Ahmadiyah di Parung. Dan mereka akan terus mendesakkan keinginannya pada pemerintah guna menyegel asset jamaah Ahmadiyah di daerah-daerah lain. MUI merasa sedang memainkan kartu politik Islam. Seolah-olah aktor politik hanya mereka. Dan mereka tidak menyadari kalau pihak pemerintah juga sedang bermain politik dengan memainkan kartu MUI ini. 4. Peran MUI dimasa Soeharto Para anggota MUI hendaknya bersikap kritis mengenai keberadaannya yang didirikan oleh mantan Presiden Soeharto. Soeharto hanya concern terhadap kekuasaannya dan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya akan ditempuhnya. Tentu dia akan mencari legitimasi dari agama sebagai sumber nilainilai transendental. Dia sangat lihai memainkan politik devide et impera sehingga MUI tidak merasa kalau sedang dimanfaatkan oleh Soeharto. Pendirian MUI oleh Soeharto adalah suatu bentuk sentralisasi kekuasaan, suatu feature yang sering disalahpahami sebagai salah satu ciri negara modern. Padahal eksistensi negara Barat modern didahului oleh berdirinya berbagai macam organisasi yang memainkan peranan civil society, yang banyak di antaranya adalah organisasiorganisasi keagamaan (Monsma, 1996: 5). Civil society ini menjalankan prinsip check and balance terhadap kekuasaan negara, guna memastikan ciri negara modern yang lain -demokrasi- dapat ditegakkan oleh negara. Karenanya negara-negara yang tergolong demokratis seperti USA dan Inggris tidak melakukan sentralisasi kekuasaan seperti yang dilakukan oleh Soeharto dengan mendirikan MUI, tapi memberikan bantuan keuangan kepada ormas-ormas keagamaan yang ada agar bisa menjalankan fungsi welfare secara maksimal. Tentu Soeharto

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

119


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 tidak mau mengikuti jejak negara modern yang benar, karena kalau civil society kuat maka ambisinya memegang kekuasaan selama-lamanya akan buyar. Soeharto menyadari betul peranan ulama tidak bisa diabaikan, tapi peranan mereka bisa dinetralisir bila mereka dicabut dari basis massanya. MUI dimaksudkan untuk mengkooptasi kelas ulama ini. Bahkan MUI dijadikan alat untuk menandingi eksistensi ormas-ormas keagamaan yang ada, dengan mendirikan cabang-cabang MUI didirikan secara hirakhis di tiap-tiap provinsi dan kabupaten. Selanjutnya Soeharto memainkan kartu trufnya dengan membiarkan elemen-elemen civil society berkelahi antar mereka sendiri, lalu setelah mereka lemah maka Soeharto akan dengan mudah merepresi kelompok yang akan mengancam kekuasaannya. Pada zamannya Soeharto, MUI bukannya satu-satunya wadah bagi usaha kooptasi; hampir semua orang dikelompokkelompokkan dalam satu wadah agar mudah mengaturnya. Guru-guru, misalnya, dikelompokkan dalam PGRI dan yang beragama Islam dalam GUPPI. Istri-istri pejabat dan PNS dikelompokkan dalam Darma Wanita. Organisasi-organisasi juga demikian. Organisasi-organisasi kepemudaan, misalnya, dikelompokkan dalam KNPI dan MUI adalah wadah bagi ormas-ormas Islam (Bisri, 2005).

Memang wadah-wadah itu tidak sepenuhnya dapat mengikat orang-orang atau terutama organisasi-organisasi yang dikelompokkan. Orang-orang atau mereka yang mewakili organisasi yang ditunjuk sebagai pengurus wadah tersebut umumnya menerima dengan setengah hati. Namun mereka tetap dalam kendali Soeharto dan tidak mampu mengembangkan diri secara optimal. 5. Penutup Tulisan ini tidak berpretensi mendukung mereka yang ingin meniadakan keberadaan MUI. Saya yakin peranan MUI bisa diberdayakan atau direvitalisasi kalau mereka yang duduk di dalamnya menyadari akan posisi politisnya dalam konteks yang lebih luas, sehingga mereka dapat mentransformasikan peran MUI dari sekedar alat politik Soeharto. Mudah-mudahan.

Referensi: [1] Al-Hilali, Muhammad Taqiuddin dan Muhammad Muhsin Khan, 1996, The Noble Qur’an, Riyadh: Alharamain. [2] Monsma, Stephen V., 1996, Religious Nonprofit Organizations and Public Money: When Sacred and Secular Mix, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. [3] Bisri, Mustofa, 2005, “Obrolan tentang Fatwa MUI�, Jawa Pos, 9 Agustus 2005.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

120


KESEHATAN

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Penyakit Jantung Bawaan: Haruskah Selalu Berakhir di Ujung Pisau Bedah? Bambang Widyantoro Residen, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta Research Student, Division of Cardiovascular and Respiratory Medicine, Dept. of Internal Medicine, Kobe University Graduate School of Medicine, Kobe E-mail: bambang@med.kobe-u.ac.jp Pendahuluan Di antara berbagai kelainan bawaan (congenital anomaly) yang ada, penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Di Amerika Serikat, insidens penyakit jantung bawaan sekitar 8-10 dari 1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga di antaranya bermanifestasi sebagai kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian penderita.1, 2 Di Indonesia, dengan populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2%, diperkirakan terdapat sekitar 30.000 penderita PJB. Penyakit jantung bawaan adalah penyakit jantung yang dibawa sejak lahir, di mana kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung terjadi akibat gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin.3 Penyebab PJB sendiri sebagian besar tidak diketahui, namun beberapa kelainan genetik seperti sindroma Down dan infeksi Rubella (campak Jerman) pada trimester pertama kehamilan sang ibu berhubungan dengan kejadian PJB tertentu.4 Secara umum terdapat 2 kelompok besar PJB yaitu PJB sianotik (biru) dan PJB non sianotik (tidak biru). PJB sianotik biasanya memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan hanya dapat ditangani dengan tindakan bedah. Sementara PJB non sianotik umumnya memiliki lesi (kelainan) yang sederhana dan tunggal, namun tetap saja lebih dari 90% di antaranya memerlukan tindakan bedah jantung terbuka untuk pengobatannya. Sepuluh persen lainnya adalah kelainan seperti kebocoran sekat bilik

jantung yang masih mungkin untuk menutup sendiri seiring dengan pertambahan usia anak.3, 4 Beberapa masalah yang selama ini timbul adalah bagaimana mendeteksi secara dini adanya PJB dan para orang tua seringkali sangat khawatir bila bayi atau anak mereka harus menjalani operasi bedah jantung terbuka sebagai konsekuensi didiagnosisnya putra-putri mereka sebagai penderita PJB. Tulisan ini akan mencoba menjawab masalah yang kedua, di mana penanganan PJB secara intervensi non bedah kini sudah mulai dikembangkan pada beberapa jenis PJB dengan lesi yang tunggal dan sederhana. Defek Sekat Atrium (Atrial Septal Defect/ASD) Salah satu PJB non sianotik yang sebelumnya harus selalu ditangani dengan tindakan bedah adalah kebocoran sekat serambi jantung (Atrial Septal Defect/ASD). Insidensnya sekitar 6,7% dari seluruh PJB pada bayi yang lahir hidup.5 ASD adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada septum interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fusi septum interatrial semasa janin (Gambar 1).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

121


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 echo-cardiografi, diagnosis ASD dapat ditegakkan.6 Terapi

Gb. 1. Atrial Septal Defect (ASD)3 Berdasarkan lokasi lubang, diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu (1) ASD sekundum, bila lubang terletak pada daerah fosa ovalis, (2) ASD primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum, yang mana ini termasuk salah satu bentuk Atrio-Ventricular Septal Defect (AVSD), dan (3) Sinus Venosus Defect (SVD) bila lubang terletak di daerah sinus venosus dekat muara vena (pembuluh darah balik) kava superior atau inferior.3, 6 Gejala Klinis 1.

2.

Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahun pertama kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade ke4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia).3, 4 Gejala yang muncul pada masa bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran nafas bagian bawah berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk dan panas hilang timbul (tanpa pilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat berupa sesak napas, kesulitan menyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar. Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi (EKG), rontgent dada dan

Seluruh penderita dengan ASD harus menjalani tindakan penutupan pada defek tersebut, karena ASD tidak dapat menutup secara spontan, dan bila tidak ditutup akan menimbulkan berbagai penyulit di masa dewasa. Namun kapan terapi dan tindakan perlu dilakukan sangat tergantung pada besar kecilnya aliran darah (pirau) dan ada tidaknya gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta penyulit lain.4 Sampai 5 tahun yang lalu, semua ASD hanya dapat ditangani dengan operasi bedah jantung terbuka. Operasi penutupan ASD baik dengan jahitan langsung ataupun menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40 tahun, pertama kali dilakukan tahun 1953 oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat, menyusul ditemukannya mesin bantu pompa jantung-paru (cardio-pulmonary bypass) setahun sebelumnya.7 Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat (tidak terlambat) memberikan hasil yang memuaskan, dengan risiko minimal (angka kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Murphy JG, et.al melaporkan survival (ketahanan hidup) paska opearsi mencapai 98% dalam follow up 27 tahun setelah tindakan bedah, pada penderita yang menjalani operasi di usia kurang dari 11 tahun. Semakin tua usia saat dioperasi maka survival akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru.8-11 Namun demikian, tindakan operasi tetap memerlukan masa pemulihan dan perawatan di rumah sakit yang cukup lama, dengan trauma bedah (luka operasi) dan trauma psikis serta relatif kurang nyaman bagi penderita maupun keluarganya. Hal ini memacu para ilmuwan untuk menemukan alternatif baru penutupan ASD dengan tindakan intervensi non bedah (tanpa bedah jantung terbuka), yaitu dengan pemasangan alat Amplatzer Septal Occluder (ASO).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

122


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Terapi intervensi non bedah ASO adalah alat khusus yang dibuat untuk menutup ASD tipe sekundum secara non bedah yang dipasang melalui kateter secara perkutaneus lewat pembuluh darah di lipat paha (arteri femoralis). Alat ini terdiri dari 2 buah cakram yang dihubungkan dengan pinggang pendek dan terbuat dari anyaman kawat Nitinol yang dapat teregang menyesuaikan diri dengan ukuran ASD. Di dalamnya ada patch dan benang polyester yang dapat merangsang trombosis sehingga lubang/komunikasi antara atrium kiri dan kanan akan tertutup sempurna.6 (Gambar 2)

Gb. 2. Penutupan ASD dengan pemasangan ASO (Courtessy of dr. Poppy S. Roebiono, SpJP(K)) Alat ini pertama kali diteliti pada hewan coba sejak tahun 1997, kemudian pada manusia melalui berbagai studi multisenter sampai didapatkan kesimpulan bahwa tindakan ini sangat efektif, aman dan menunjukkan hasil yang sangat baik.12-14 Penutupan ASD secara intervensi non bedah ini menunjukkan hasil yang baik, angka kesakitan periprosedural yang minimal, dapat mengurangi kejadian aritmia atrium dan dapat digunakan pada ASD berdiameter sampai dengan 34 mm. Keuntungan lain adalah risiko infeksi pasca tindakan yang minimal dan masa pemulihan-perawatan di rumah sakit yang lebih singkat, trauma bedah minimal serta secara subyektif dirasakan lebih nyaman bagi penderita dan keluarga karena tidak memerlukan tindakan bedah jantung terbuka.14 Adapun indikasi dari intervensi ASO sama dengan indikasi operasi, namun harus memenuhi beberapa kriteria khusus (Tabel 1).6 Tindakan pemasangan ASO telah mendapat persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002. Data di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita menunjukkan selama periode September 2002-Mei 2004 telah dilakukan pemasangan ASO pada 46 penderita ASD, terdiri dari 14 pasien laki-laki dan 32 perempuan, usia antara 4-58 tahun (rerata 25,5 tahun), 16 di antaranya pasien anak dan 30 pasien dewasa. Angka kematian dilaporkan nol persen.15 Tindakan ini juga sudah dilakukan di beberapa rumah sakit rujukan seperti RS dr. Cipto Mangunkusumo

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

123


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 (Jakarta), RS dr. Sardjito (Yogyakarta), RS dr. Soetomo (Surabaya) dan RS dr. Karyadi (Semarang). Kendala yang masih muncul adalah besarnya biaya yang diperlukan karena harga alat ASO yang relatif mahal, dan belum adanya jaminan pembiayaan kesehatan yang memadai di negara kita. Vida VL, et.al melaporkan bahwa biaya pemasangan ASO di negara berkembang masih lebih tinggi dibandingkan dengan biaya penutupan ASD dengan tindakan bedah konvesional.16 Tabel 1. Kriteria penderita ASD yang akan dilakukan pemasangan ASO.6 1.

ASD sekundum

2.

Diameter kurang atau sama dengan 34 mm

3.

Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat

tanda-tanda

beban

volume

pada

ventrikel kanan 4.

Mempunyai rim minimal 5 mm dari sinus koronarius, katup atrio-ventrikular, katup aorta dan vena pulmonalis kanan

5.

Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan intervensi bedah

6.

Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri

7.

Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Artery Resistance Index = PARi) kurang dari 7 – 8 U.m2

8.

Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.

Penutup Sebagai penutup, kemajuan teknologi kedokteran telah memberikan terobosan baru dalam penanganan salah satu bentuk PJB menggunakan tindakan intervensi non bedah dengan dikembangkannya penggunaan alat Amplatzer Septal Occluder (ASO) untuk menutup ASD. Untuk beberapa jenis PJB lain seperti Persistent Ductus Arteriosus (PDA) dan Defek Sekat Ventrikel (VSD) juga telah dikembangkan bentuk penanganan yang serupa,17 sehingga, kini tidak semua PJB harus berakhir di ujung pisau bedah.

Daftar Pustaka 1. Freed MD. The Pathology, pathophisiology, recognition, and treatment of congenital heart disease. Dalam: Fuster V, Alexander RW, O’Rourke RA (eds). Hurst’s the Heart vol 2, 10th ed, New York: McGraw-Hill 2001; h. 1837-54. 2. Ho KK, Anderson KM, Kennel WB, Grossman W, Levy D. Survival after the onset of congestive heart failure in framingham heart study subjects. Circulation 1993;88:107-15. 3. Brickner ME, Hillis LD, Lange RA. Congenital heart disease in adults (first of two parts). N Engl J Med 1995;333:469-73 4. Seshadri N, Moore JD. Atrial septal defek and patent foramen ovale. Dalam Griffin BP, Topol EJ (eds). Manual of cardiovascular medicine 2nd ed, Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins 2004; h. 421-6. 5. Warnes CA, Deanfield JE. Congenital heart disease. Dalam: Fuster V, Alexander RW, O’Rourke RA (eds). Hurst’s the Heart vol 2, 10th ed, New York: McGraw-Hill 2001; h. 1918-9. 6. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Standar pelayanan medik rs jantung dan pembuluh darah harapan kita. Jakarta: Pusat Jantung Nasional Harapan Kita 2003. 7. Swan L, Gatzoulis MA. Closure of atrial septal defects: is the debate over? Eur Heart J 2003;24:130-2. 8. Murphy JG, Gersh BJ, McGoon MD, Mair DD, Porter CJ, Ilstrup DM et al. Long-term outcome after surgical repair of isolated atrial septal defect: follow up at 27-32 years. N Engl J Med 1990;323:1645-50. 9. Konstantinides S, Geibel A, Olschewski M, Gornandt L, Roskamm H, Spillner G et al. A comparison of surgical and medical therapy for atrial septal defect in adults. N Engl J Med 1995;333:469-73. 10. Shah D, Azhar M, Oakley CM, Cleland JG, Nihoyannopoulus P. Natural history of secundum atrial septal defect in adults after medical or

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

124


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

11.

12.

13.

14.

surgical treatment: a historical prospective study. Br Heart J 1994;71:224-7. Jemielity M, Dyszkiewicz W, Paluszkiewicz, Perek B, Buczkowski P, Ponizynski A. Do patients over 40 years of age benefit from surgical closure of atrial septal defects? Heart 2001;85:300-3. Sharafuddin MJA, Gu X, Titus JL, Urness M, Cerverra-Ceballos JJ, Amplatz K. Transvenous closure of secundum atrial septal defects. Circulation 1997;95:2162-8. H. Fischer G, Stieh KJ, Harding P, Jung O. Transcatheter closure of secundum atrial septal defects with the new self-centering Amplatzer Septal Occluder. Eur Heart J 1999;20:541-9. Chan KC, Godman MJ, Wilson N, Redington A, Gibbs JL. Transcatheter closure of atrial septal defect and interatrial communications with a new self expanding nitinol double disc device (Amplatzer septal occluder):

multicentre UK experience. Heart 1999;82:300-6. 15. Roebiono PS, Harimurti GM, Rahajoe AU. Unpublished data, Divisi Kardiologi Anak, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI-Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta 2004. 16. Vida VL, Barnoya J, O’Connel M, Leon-Wyss J, Larrazabal LA, Castaneda AR. Surgical versus percutaneous occlusion of ostium secundum atrial septal defects: results and cost-effective considerations in a low-income country. J Am Coll Cardiol 2006;47:326-31 17. Fu YC, Bass J, Amin Z, Radtke W, Cheatam JP, Hellenbrand WE, et.al. Transcatheter closure of perimembranous ventricular septal defects using the new Amplatzer Membranous VSD Occluder: results of the U.S. phase I trial. J Am Coll Cardiol 2006;47:319-25.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

125


KESEHATAN

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Efektivitas Pemberian Kombinasi Vitamin B1, B6, B12 Per Oral Untuk Mengatasi Kelelahan Taruna Ikrar, MD., M.Pharm Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (The National Agency for Drug and Food Control Republic of Indonesia) E-mail: ikrar@med.niigata-u.ac.jp 1. Pendahuluan Dewasa ini banyak kombinasi vitamin yang dipromosikan sebagai antikelelahan, biasanya diberikan dalam bentuk suplemen makanan. Suplemen makanan tersebut berisi kombinasi vitamin B1, B6, B12 dan dikonsumsi oleh masyarakat luas. Sebagaimana diketahui, vitamin merupakan nutrien organik yang dibutuhkan dalam jumlah kecil bagi sejumlah fungsi biokimiawi dan tidak disintesis oleh tubuh, sehingga harus dipasok dari makanan. Vitamin B1, B6, B12 berfungsi sebagai koenzim yang memungkinkan transformasi kimia makronutrien dalam metabolisme tubuh, serta secara resmi diindikasikan sebagai neurotropik [9] Di Indonesia kombinasi vitamin B1, B6, B12 dengan dosis tinggi terdapat dalam berbagai nama dagang, dengan kombinasi vitamin B1, B6, B12 yang dalam penelitian ini digunakan Neurobion yang dalam tiap tabletnya mengandung vitamin B1 100 mg, vitamin B6 200 mg, vitamin B12 200 Âľg. Kombinasi vitamin ini dipromosikan sebagai antikelelahan, namun sampai sejauh ini bukti klinis dan penelitian khusus yang melihat efek langsung kombinasi vitamin B1, B6, B12 dalam menghilangkan atau mengurangi kelelahan belum pernah dilakukan [9],[5]. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek pemberian kombinasi vitamin B1, B6, B12 untuk mengurangi kelelahan otot pada tikus yang diinduksi oleh kerja fisik (exercise) melalui pengukuran parameter lama struggling dan akumulasi asam laktat 2. Bahan dan Cara Kerja Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in vivo. Hewan coba yang telah dipuasakan selama 12 jam dibawa ke ruang percobaan, minimal 1 jam sebelum dilakukan

uji renang (swim test). Disiapkan 30 ekor tikus putih galur Sprague Dawley dengan berat badan 150-200 g, yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, yaitu kelompok yang mendapat kombinasi vitamin B1, B6, B12 personde (kelompok vitamin) dan kelompok yang mendapat akuades sebagai kontrol (kelompok kontrol). Pada kelompok vitamin, diberikan tiap sondenya dalam Âą 1 ml larutan yang mengandung 3 mg vitamin B1, 6 mg vitamin B6, dan 6 Âľg vitamin B12.. Dosis vitamin yang digunakan ini adalah kurang lebih 10 kali dosis lazim diberikan pada manusia Setelah mendapat obat atau air suling dilanjutkan uji renang. Pada tikus yang telah diberikan kombinasi vitamin B1, B6, B12 melalui sonde, selanjutnya dilihat lama struggling pada saat di dalam bak renang. Kemudian dibandingkan dengan lama struggling dari tikus yang hanya mendapat air suling Kenaikan kadar asam laktat dalam plasma darah yaitu dengan menghitung selisih kadar asam laktat sebelum dan setelah uji renang. Sampel darah diambil dari ekor dengan memotong sedikit bagian distal ekor tersebut, selanjutnya diurut sehingga darah menetes ke dalam tabung yang telah berisi heparin 15 Âľl. Darah yang ditampung sekitar 0,75 ml, lalu digoyang perlahan-lahan. Selanjutnya diperiksa dengan menggunakan metode spektrofotometer Penelitian ini dilakukan di laboratorium Farmakologi FKUI dan laboratorium Badan POM RI, serta pengukuran kadar asam laktat plasma dilakukan pada RS Duren Sawit Jakarta.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

126


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 2.1. Pengukuran Lama Struggling pada Uji Renang Struggling merupakan periode waktu dalam detik selama tikus percobaan dalam keadaan berenang sekuat tenaga dengan kepala dan kedua tungkai depan berada di atas permukaan air selama 3 kali 5 menit periode pengamatan [12]. Uji renang ini digunakan untuk mengukur secara kuantitatif kelelahan otot yang merupakan modifikasi dari metode yang digambarkan oleh Porsolt dkk [4], [6], [7], [10], [12]. Bak renang berbentuk silinder dengan tinggi 46 cm, dan diameter 30 cm, yang berisi air dengan suhu 25oC sampai ketinggian air 30 cm [12]. Untuk menjaga agar tikus percobaan tetap terapung dibuatkan pelampung dari styrofoam berukuran 3 cm x 3 cm x 1 cm yang diikatkan di belakang punggung. Pelampung tersebut tidak boleh menghambat gerakan dan juga tidak boleh menghambat pernapasan tikus tersebut. Uji renang dilakukan selama 15 menit yang terdiri atas 3 periode, masing-masing 5 menit dengan masa istirahat 15 menit. Diobservasi lamanya tikus berada dalam keadaan struggling [4],[7],[10],[12]. 2.2. Pengukuran Kadar Asam Laktat dalam Plasma Pengukuran kadar laktat dalam darah dilakukan sebagai berikut: a. Disediakan tabung reaksi yang telah berisi 15 µl larutan heparin sebagai anti koagulan. b. Selanjutnya dimasukkan 0,75 ml sampel darah dari ekor tikus coba lalu digoyang perlahan-lahan c. Kemudian darah tersebut disentrifus 3000 RPM selama 15 menit. d. Kemudian plasma diambil 200 µl dengan menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam cup e. Selanjutnya cup tersebut diletakkan pada rak tabung dari spektrofotometer8-10automatic analysis Cobas Mira Plus, untuk mengukur konsentrasi laktat dalam plasma. Penentuan konsentrasi laktat plasma dilakukan dengan menggunakan kits reagen laktat buatan Roche Diagnostic, katalog No. 1822837.

Resapan sampel diukur pada panjang gelombang λ (550nm). Kadar laktat di dalam sampel dihitung dengan rumus Kadar Laktat = (Resapan Uji x Kadar Laktat Standar) Resapan standar

Sebelum digunakan, spektrofotometer dikaliberasi terlebih dahulu dengan menggunakan kalibrator. Selanjutnya kadar laktat kalibrator dibagi serapan yang didapat, akan dicatat oleh alat sebagai faktor (F) perkalian rata-rata (faktor = kadar kalibrator/absorben kalibrator), selanjutnya besar F yang diperoleh ialah 119,124. Untuk pemeriksaan sampel, alat akan membaca resapan sampel yang diperiksa dan secara automatis akan dikalikan dengan F yang telah didapatkan dari kalibrasi, sehingga akan diperoleh kadar asam laktat dari sampel,sehingga: Kadar laktat = Resapan Uji x F Dalam penelitian ini digunakan parameter akumulasi asam laktat yaitu selisih antara kadar asam laktat plasma setelah berenang dikurangi kadar asam laktat plasma sebelum berenang Analisa data dilakukan dengan uji statistik paired t-test untuk mengukur tingkat kelelahan berupa lama struggling dan akumulasi asam laktat, dengan kemaknaan P<0,05 dianggap ada perbedaan bermakna [2]. 3. Hasil 3.1. Recovery Test Dari hasil uji ketelitian terhadap campuran larutan asam laktat dan plasma tikus pada kadar rendah terhadap 15 sampel didapatkan rata-rata (± SD) hasil ketepatan pengukuran 97,80% (± 2,73) dengan coefisien of varian (CV) 2,79%. Data ini menunjukkan bahwa tingkat penyimpangan recovery test pada kadar rendah (30,05 mg/dl, 32,30 mg/dl, 34,55 mg/dl) tidak lebih dari ±10% yang berarti bahwa metode ini terpercaya. Dari hasil recovery test pada kadar tinggi (111,05 mg/dl) didapatkan rata-rata (± SD) hasil ketepatan pengukuran 101 % (+ 1,15) dengan coefisien of variation (CV) 1,13 %.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

127


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Data ini menunjukkan bahwa tingkat penyimpangannya tidak lebih dari ± 10% dari kadar yang sebenarnya, berarti bahwa metode pengukuran yang digunakan juga terpercaya, sehingga dapat digunakan sebagai standar pengujian. 3.2. Pengamatan Lama Struggling

Lama struggling( detik)

Didapatkan hasil lama rata-rata (+ SD) struggling kelompok kontrol dan kelompok vitamin 195,79 (± 58,44) detik sedang yang mendapat vitamin 201,99 (± 56,54) detik dengan P = 0,371. Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok ini terhadap lama struggling tikus kontrol. 300

Kelompok

250

200 Kontrol 150

Vitamin

100

0

3.3. Akumulasi Akibat Exercise

batang data menunjukkan

Asam Laktat Plasma

Pada pengamatan dari tikus yang diberi exercise, berupa uji renang selama 3 kali 5 menit, dengan masa istirahat tiap interval selama 15 menit Kelompok 40 35 30

( mg/dl )

Data hasil penelitian di atas, menunjukkan bahwa vitamin B1, B6, B12 tidak menyebabkan peningkatan lama struggling dan tidak menurunkan akumulasi asam laktat plasma. Hal ini disebabkan karena peran vitamin tersebut berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme aerob, sedangkan tikus coba berada dalam kondisi struggling (berenang dengan sekuat tenaga) sehingga yang terjadi terutama adalah glikolisis anaerob. Metabolisme yang terjadi dalam kondisi anaerob akan menghasilkan hanya 2 ATP dan sisa metabolit berupa asam laktat.

50

Gambar 1. Diagram struggling.Garis vertikal simpang baku (SD)

Kenaikan kadar asam lak tat

Didapatkan hasil kadar akumulasi asam laktat plasma pada tikus kontrol rata-rata (± SD) adalah 22,97 (± 10,06) mg/dl sedang yang mendapat vitamin 22,84 (± 11,72) mg/dl dengan P=0,948 sehingga secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara pemberian kombinasi vitamin B1, B6, B12 terhadap penurunan akumulasi asam laktat plasma dibanding kontrol . 4. Diskusi

25 Kontrol 20

Vitamin

15

Berenang merupakan aktivitas berat yang membutuhkan energi besar. Dengan tersedianya ATP yang memadai, maka kemampuan kontraksi otot dapat dipertahankan sampai batas waktu tertentu. Berenang merupakan aktivitas fisik yang menghabiskan energi + 500 kalori/jam pada manusia dewasa. Energi tersebut diperoleh dari metabolisme anaerob dengan sisa metabolitnya berupa asam laktat [14]. Otot dapat melakukan aktivitas yang sangat kuat selama beberapa detik dengan membutuhkan energi ekstra. Sebagian besar energi ekstra tersebut, dibutuhkan selama kerja berat dalam waktu lebih 5 sampai 10 detik, tetapi kurang dari 1 sampai 2 menit didapatkan dari glikolisis anaerob. Akibatnya, glikogen otot selama kerja berat menjadi berkurang, sedangkan kadar asam laktat darah meningkat [14].

10 5 0

Gambar 3. Diagram batang kenaikan kadar asam laktat dalam plasma setelah exercise. Garis vertikal menunjukan SD

Pada penelitian ini, tikus coba yang diberi exercise berupa uji renang, dilihat kemampuan struggling dan akumulasi asam laktat plasmanya. Struggling merupakan keadaan yang menunjukkan tikus berenang sekuat-kuatnya sebagai insting untuk

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

128


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 bertahan hidup (survive) dalam air karena tikus bukan merupakan binatang air. Keadaan ini menyebabkan metabolisme yang terjadi kemungkinan besar adalah anaerob. Dalam keadaan anaerob terjadi pengurangan ATP dan akumulasi asam laktat sebagai produk sisa metabolit pada otot. Apalagi pada penelitian ini, tikus tersebut telah dipuasakan selama 12 jam, sehingga tikus coba berada dalam keadaan kelaparan. Kondisi kelaparan seperti ini akan mengakibatkan kehabisan energi. Hal ini akan menyebabkan kelalahan, sehingga tikus tersebut tidak mampu lagi untuk berkontraksi [8]. Parameter akumulasi asam laktat sebagai indikator kelelahan diperkuat oleh pendapat Westerblad [13], yang menjelaskan dalam penelitiannya bahwa kelelahan otot disebabkan oleh asidosis intraseluler akibat akumulasi asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat dalam plasma atau otot selama aktivitas berat disebabkan oleh kebutuhan energi yang sangat tinggi, berupa peningkatan kebutuhan energi sekitar 100 kali lipat dibandingkan dengan kondisi istirahat. Dalam kondisi aktivitas yang sangat berat kebutuhan energi diperoleh dari metabolisme anaerob. Dalam keadaan anaerob terjadi metabolisme glukosa yang tidak sempurna dengan hasil akhir berupa 2 ATP ditambah produk sisa berupa asam laktat [13]. Produksi sisa yang berupa asam laktat, setelah mengalami disosiasi menjadi laktat dan H+ merupakan asam kuat. Ion laktat mempunyai efek yang tidak terlalu besar terhadap kontraksi otot, tetapi peningkatan H+ sangat berpengaruh terhadap munculnya kelelahan otot skelet tersebut. Kelelahan otot skelet yang disebabkan oleh peningkatan H+ dibuktikan oleh 2 kenyataan yaitu: 1) penelitian pada kelelahan otot manusia memperlihatkan hubungan yang sangat kuat terjadinya penurunan kekuatan kontraksi otot sebanding dengan penurunan pH (peningkatan keasaman) jaringan otot, dan 2) selanjutnya penelitian pada serat otot skelet menggambarkan dalam keadaan asidosis sel otot akan terjadi reduksi kekuatan isometri dan kecepatan kontraksi otot [13]. Keadaan asidosis sel otot akan menurunkan kemampuan kontraksi otot hingga menimbulkan kelelahan. Keadaan

sarkoplasma atau sel otot dengan asam yang tinggi akan menghambat penglepasan Ca++ dari retikulum sarkoplasma, yang pada akhirnya kontraksi otot tidak dapat terjadi lagi, sehingga menghentikan aktivitas [8],[15]. Secara biokimia peran vitamin B1, B6, B12 diketahui sebagai berikut. Peran vitamin B1 (tiamin) ialah sebagai kofaktor untuk fungsi katalitik dan enzim piruvat dehidrogenase. Tiamin merupakan salah satu koenzim dari kompleks multienzim piruvat dehidrogenase. Enzim ini berperan dalam transformasi dari piruvat menjadi asetil-koA dan selanjutnya memasuki siklus asam sitrat. Tiamin berfungsi sebagai koenzim pada beberapa reaksi enzimatik yang melibatkan pemindahan gugus aldehid dari molekul donor ke molekul penerima. Pada reaksi tersebut tiamin pirifosfat berperan sebagai senyawa antara yang membawa gugus aldehid yang terikat secara kovalen dengan cincin tiazol, misalnya reaksi yang dikatalisis oleh piruvat dekarboksilase, yang merupakan langkah penting dalam katabolisme glukosa. Sehingga dengan demikian, tiamin berperan dalam metabolisme pembentukan energi [1],[3]. Kebutuhan tiamin sebagai koenzim sebanding dengan peningkatan metabolisme karbohidrat. Produksi energi akan meningkat, jika terjadi peningkatan asupan karbohidrat. Bila konsumsi karbohidrat konstan, tidak akan terjadi peningkatan energi, walaupun tiamin pirifosfat ditingkatkan. Bentuk aktif vitamin B6 (piridoksin) adalah piridoksal fosfat. Piridoksal fosfat merupakan koenzim yang berperan dalam metabolisme asam amino berupa reaksi transaminasi, reaksi dekarboksilasi atau aktivasi treonin aldolase. Dalam jalur metabolisme, vitamin B6 berperan sebagai koenzim yang mengkonversi dari alanin menjadi piruvat, leusin menjadi asam Îą-ketoisokaproik selanjutnya menjadi asetil koA, kemudian memasuki siklus Krebs untuk pembentukan energi [3], [9]. Vitamin B12 (kobalamin) berperan sebagai koenzim bagi konversi metilmalonil-koA menjadi suksinil koA. Hal ini merupakan reaksi yang penting dalam lingkup konversi propionat menjadi siklus asam sitrat. Dengan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

129


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 demikian kobalamin berperan dalam proses glukoneogenesis [1]. Dari uraian di atas terlihat bahwa vitamin B1, B6, B12 berperan dalam metabolisme pembentukan energi secara aerob. Kombinasi vitamin tersebut tidak secara langsung menghasilkan energi. Pembentukan energi oleh vitamin ini sangat bergantung pada substratnya [1], [9]. Peningkatan energi sangat bergantung pada kadar kalori suplai makanan yang diberikan Demikian pula peran koenzim tersebut dalam menurunkan akumulasi asam laktat, tidak secara langsung berhubungan dengan pembentukan atau pemakaian asam laktat. Dengan demikian, suplemen kombinasi vitamin B1, B6, dan B12 tidak efektif dalam menurunkan kelelahan pada tikus yang diberi exercise [9],[3]. 5. Kesimpulan Dalam kondisi puasa kombinasi vitamin B1, B6, B12 tidak mengurangi kelelahan pada tikus yang diinduksi oleh exercise. Hal ini ditunjukkan dengan tidak meningkatkan kemampuan berenang dan lama struggling serta tidak terlihat pengaruhnya terhadap akumulasi asam laktat pada tikus yang diberi exercise Daftar Pustaka [1] Bailey SP., Davis JH., and Ahlborn EN., 1993. Neuroendoctrine and substance response to altered brain 5-HT activity during prolonged exercise to fatigue, J Appl Physiol, 74, 3006-3012. [2] Basuki B., 1999, Perbandingan ratarata serta proporsi. In: Tjokronegoro A, Sudarsono S, editors, Metodologi penelitian bidang kedokteran, 3th ed. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 184-194. [3] Billat VL., Richard R., Binsse VM., Koralsztein JP., and Holouzi P., 1998, The VO2 slow component for several exercise depends on type of exercise and is not correlated with time to fatigue, J Appl Physiol, 85, 2118-2124. [4] Frye CA. and Walf AA., 2002, Changes in progeterone metabolites in the hippocampus can modulate open field an forced swim test behavior of proestrous rats, Hormones and Behavior, 41, 306-315.

[5] Hor H, Cheah I., and Guoj, 1999, MIMS of Indonesia. 28th ed. Jakarta, Medimedio, 78-83. [6] Kirby LG., Allen AR., and Lucki I.,1995, Regional differences in the effect of forced swimming on extracellular levels of 5hydroxytryptamine an 5-hydroxynodoleacetic acid, Brain Research, 682,189-196. [7] Kirby LG. and Lucki I., 1997, Interaction between the forced swimming test and fluoxetine treatment on extracelluler 5hydroxytryptamine and 5-hydroxyndoleaceatic acid in the rat, J Pharm and Experimental Ther, 282, 967-976. [8] Kowalchuk JM., Smith SA., Weening BS., Marsh GD., and Paterson DH., 2000, Forearm muscle metabolism studied using 31 P-MRS during progressive exercise to fatigue after ACZ administration, J Appl Physiol, 89,200-209. [9] Mayes PA., 2000, Structure and function of the water-soluble vitamins. In: Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW, editors. Harper’s Biochemistry. 27th ed New York: Mc Gran-Hill, 627-641. [10] Rahman IM., Unnerrstall JR., Pfaff DW., and Cohen RS., 1998, Estrogen alters behaviors and forebrain c-fost expression in ovariectomized rats subjected to the forced swim test, Neurobiology,95, 13941-13946. [11] Sejersted OM., 1992, Electrolyte imbalance in body fluids as a mechanism of fatigue during exercise. In: Lamb DR, Gisolfi KV, editors, Energy metabolism in exercise and sport, New York: Brown and Benchi mark, 149-192. [12] Swain MG. and Maric M., 1997, Improvement In cholestasis-associated fatigue with a serotonin receptor agonist using a novel rat model of fatigue assessment. Hepatology, 25, 291-294. [13] Westerblad H., Allen DG., and Lannergren J., 2000, Muscle Fatique: Lactic acid or inorganic phosphate the major cause?., News Physiol Sci , 17, 17-21. [14] Wilmore JH. and Costill DL., 1994, Physiology of sport and exercise, 10th ed. US of America, Human Kinetics, 318-330. [15]Wirya IW., 2002, Pemberian suplemen kompleks antioksidan pada pelari sprint 200 meter untuk menurunkan kadar laktat darah, Maj Kedokt Indon, 52, 7-10.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

130


KESEHATAN

INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

Menyiapkan Perawat yang Siap Berkompetisi di Era Pasar Global Elsi Dwi Hapsari Afiliasi: Sub Bagian Keperawatan Maternitas, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (PSIK-FK UGM), Yogyakarta, Indonesia; Mahasiswa Program Master pada Department of Maternity Nursing, Faculty of Health Sciences, Kobe University School of Medicine, Japan E-mail: hapsari_erushi@yahoo.com 1. Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini, pengiriman tenaga kesehatan Indonesia ke luar negeri, khususnya perawat, menjadi perbincangan yang cukup hangat di berbagai kalangan. Di tengah semakin meningkatnya jumlah pengangguran terdidik dari tahun ke tahun1), tentu merupakan hal yang melegakan bahwa perawat dari Indonesia dilaporkan berpeluang bekerja di Amerika Serikat (AS) dan negaranegara di Benua Eropa (Inggris, Belanda, Norwegia), Timur Tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Kuwait) dan kawasan Asia Tenggara (Singapura, Malaysia)2-4). Jumlah permintaan berkisar antara 30 orang sampai dengan tidak terbatas5). Kekurangan perawat di dalam negeri merupakan alasan utama negara-negara tersebut untuk menerima tenaga dari luar negeri. Di AS, misalnya, pada 2005 mengalami kekurangan 150.000 perawat, pada 2010 jumlah tersebut menjadi 275.000, pada 2015 sejumlah 507.000, dan pada 2020 menjadi 808.000 perawat. Namun demikian, kekurangan tersebut tersebut menyebabkan mereka lebih berfokus pada bagaimana menghasilkan perawat yang lebih banyak, bukan untuk mencetak perawat yang berpendidikan lebih baik6). Di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan kesehatan SDM Kesehatan (PPSDM Kesehatan) melaporkan bahwa jumlah terbesar Tenaga Kesehatan Profesional Indonesia (TKPI) yang telah bekerja di luar negeri mulai 1989 sampai dengan 2003 adalah perawat (97.48% dari total sebanyak 2494 orang)4). Meskipun jumlah perawat yang bekerja di luar negeri menempati prosentase terbesar dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, masih terdapat

beberapa poin penting yang perlu menjadi perhatian dan ditanggulangi mulai dari saat ini. Tulisan ini mengulas secara singkat tentang persyaratan/ kompetensi yang dibutuhkan agar perawat dapat bekerja di luar negeri, kendala yang muncul dalam proses persiapan pengiriman tenaga perawat Indonesia ke luar negeri, hasil review laporan penelitian tentang perawat yang bekerja di luar negeri dan kemudian penulis mencoba mengidenfikasi peran penting lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia agar dapat mempersiapkan perawat yang siap berkompetisi di era pasar global. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi dan sumbang saran bagi berbagai pihak terkait, terutama bagi lembaga pendidikan keperawatan dan tenaga pendidik perawat di berbagai jenjang pendidikan di tanah air. 2. Persyaratan untuk Bekerja di Luar Negeri Bagi Perawat Pada umumnya persyaratan yang dibutuhkan agar perawat dapat bekerja di luar negeri adalah lulusan Diploma III Keperawatan dengan dua tahun pengalaman kerja5). Selain itu juga terdapat batasan usia, misalnya untuk dapat bekerja di Uni Emirat Arab atau Kuwait, perawat harus berusia kurang dari 35 tahun. Kemampuan berbahasa Inggris disyaratkan pada beberapa negara seperti Inggris (skor IELTS 6) atau AS (skor TOEFL 540)5,7). Syarat penting lainnya adalah lolos ujian NLEX (National Licence Examination)3). Melihat persyaratan yang harus dipenuhi tersebut, kita dapat mengasumsikan bahwa tenaga perawat yang bekerja di luar negeri tentu merupakan perawat pilihan dan mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan dalam memberikan perawatan yang berkualitas.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

131


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 Implikasi dari hal tersebut dapat dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi, perginya perawat yang berkualitas ke luar negeri merupakan suatu keuntungan karena suatu saat mereka akan kembali ke negeri kita dengan memperoleh banyak pengalaman, meningkatnya ketrampilan, dan dapat mengidentifikasi aspek-aspek positif dari negara tempat mereka bekerja. Mereka kemudian dapat menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang mereka peroleh sehingga diharapkan pada akhirnya kualitas keperawatan di Indonesia pun meningkat. Namun demikian, di sisi lain hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa masyarakat kita menerima pelayanan keperawatan dari tenaga perawat dengan kualitas yang berbeda. Lebih lanjut, rasio jumlah perawat Indonesia per 100.000 penduduk masih jauh di bawah negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, atau Thailand. Di Indonesia, terdapat 44 perawat per 100.000, bandingkan dengan 135 perawat di Malaysia, 442 perawat di Filipina, atau 162 perawat di Thailand8). Selain itu, kekhawatiran terjadinya brain drain juga perlu dicermati. Brain drain adalah berpindahnya tenaga profesional yang terampil dari negara asal ke negara lain dimana mereka dapat memperoleh lebih banyak keuntungan seperti keuangan. Di Filipina, misalnya, yang merupakan salah satu pengirim tenaga perawat terbesar, kekhawatiran tersebut mulai terjadi. Bahkan di sana, tenaga kerja dari profesi lain pun sangat berminat untuk belajar menjadi perawat agar selanjutnya dapat bekerja di luar negeri8). Tetapi usaha mencegah perawat untuk bekerja di luar negeri dapat menimbulkan pertanyaan, misalnya tentang hak asasi untuk bekerja dan juga menghilangkan kesempatan untuk dapat belajar pengetahuan dan ketrampilan yang berguna dari negara lain untuk selanjutnya diaplikasikan di negara asal9).

3. Kendala Pada Proses Pengiriman Tenaga Perawat

Persiapan

Dari beberapa laporan diketahui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh para perawat Indonesia adalah kemampuan berbahasa Inggris dan ketrampilan yang masih kurang3,11). Berkenaan dengan ketrampilan perawat Indonesia yang masih kurang, terlihat dari segi skoring NLEX yang masih rendah. Ujian NLEX sendiri merupakan prasyarat perawat Indonesia untuk dapat bekerja di luar negeri. Sebagai gambaran, skor yang diperoleh perawat Indonesia adalah angka 40. Padahal skoring yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50 sampai 70 dan di AS antara 70 sampai 803). Dua hal tersebut tampaknya perlu untuk segera ditanggulangi selain faktor-faktor lain yang belum teridentifikasi dalam tulisan ini. Beranjak dari hal inilah sebenarnya lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia dapat mulai ikut berperan aktif dalam merumuskan strategi yang tepat dalam mendidik calon perawat. 4. Laporan Penelitian Tentang Pengalaman Perawat yang Bekerja di Luar Negeri Laporan tentang pengalaman perawat yang berkerja di luar negeri perlu disampaikan dalam tulisan ini agar kita dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Sampai saat ini penulis belum menemukan laporan penelitian yang terkait dengan pengalaman perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Di lain pihak, kebanyakan laporan penelitian di negara lain terkait topik tersebut menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dilaporkan bahwa alasan yang mendorong seorang perawat untuk bekerja di luar negeri antara lain gaji yang lebih tinggi, prospek karir dan pendidikan yang lebih menjanjikan12). Pada review penelitian oleh Magnusdottir (2005), penelitian Yi & Jezewski (2000) tentang penyesuaian diri 12 Perawat Korea yang bekerja di rumah sakit di AS melaporkan bahwa pada 2-3 tahun pertama mereka bekerja ditandai dengan usaha mengurangi stress psikologis, mengatasi kendala bahasa, dan menyesuaikan diri dengan praktek

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

132


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 keperawatan di USA. Kemudian pada 5 – 10 tahun kemudian ditandai dengan belajar mengadopsi strategi penyelesaian masalah menurut budaya AS dan memelihara hubungan interpersonal. Mereka yang berhasil dalam proses tersebut dilaporkan merasa puas13). Masih dari laporan yang sama, DiCiccoBloom (2004) melaporkan bawa perawat India yang bekerja di AS mengidentifikasi bahwa rasisme dan marginalisasi merupakan issue utama selama mereka bekerja di sana. Hasil penelitian Allan & Larsen (2003) di Inggris menyebutkan bahwa perawat luar negeri yang bekerja di negara tersebut mengalami diskriminasi, eksploitasi, diasingkan oleh rekan kerja, konflik di tempat kerja, dan masalah bahasa13). Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan cukup banyak tantangan yang dihadapi oleh perawat yang bekerja di negara lain. Hal ini semakin menegaskan diperlukannya berbagai antisipasi dan persiapan yang matang bagi perawat sebelum mereka berangkat ke negeri tujuan. 4.Peran Lembaga Pendidikan Keperawatan Adanya kesempatan bagi perawat yang bekerja di luar negeri dapat dilihat sebagai faktor pencetus bagi lembaga pendidikan keperawatan untuk dapat meluluskan perawat berkualitas, yang memenuhi tuntutan masyarakat di dalam dan luar negeri, dan mempunyai kemampuan untuk bekerja lintas negara dengan sistem perawatan kesehatan dan karakteristik masyarakat yang berbeda. Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dengan sekitar 200 suku dan 500 bahasa14) sebenarnya merupakan tempat pembelajaran yang sangat potensial bukan hanya bagi para peserta didik namun juga bagi para tenaga pendidik. Meskipun nantinya mereka bekerja di luar negeri dan menghadapi budaya dan sistem pelayanan kesehatan yang berbeda, namun setidaknya mereka telah mulai belajar dari hal-hal yang ada di sekitar mereka. Dua strategi utama yang perlu dilaksanakan di lembaga pendidikan keperawatan adalah peningkatan kualitas tenaga pendidik dan

peningkatan kualitas keperawatan.

lembaga

pendidikan

Agar dapat mencetak tenaga perawat yang berkualitas internasional, tentu tenaga pendidik perlu menjadikan dirinya sebagai model perawat yang berkompeten. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu pada tingkat dan derajat kualitas yang diharapkan15). Diakui bukan hal yang mudah untuk mencapai standar ini namun bukan berarti tidak dapat dimulai. Kemauan untuk terus belajar, baik yang terkait dengan bidang yang ditekuni maupun yang di luar bidang tersebut, dan terus meningkatkan kemampuan berbahasa asing merupakan modal yang perlu dikuasai. Pendidik juga dituntut untuk mengaplikasikan strategi mengajar yang dapat mengembangkan pola berpikir kritis pada calon perawat sehingga mereka dapat bekerja di komunitas suku dan budaya yang beragam. Strategi yang menyangkut pendidikan keperawatan meliputi upaya peningkatan fasilitas pembelajaran yang memungkinkan peserta didik memperoleh ilmu seluas mungkin. Kesan bahwa banyak pendidikan keperawatan yang cenderung “kejar setoran saja� perlu dibenahi. Ada banyak hal yang dapat dilakukan misalnya dengan melengkapi inventaris perpustakaan, berlangganan jurnaljurnal keperawatan, dan membina kerja sama dengan rumah sakit dan komunitas. Selain itu, sudah diketahui bahwa kesadaran masyarakat tentang pelayanan kesehatan yang berkualitas semakin tinggi. Oleh karena itu, lembaga pendidikan pun perlu lebih menyiapkan para mahasiswanya agar pada saat kontak langsung dengan masyarakat (baik di rumah sakit ataupun di komunitas) mereka telah mempunyai bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup. Fasilitas laboratorium yang kondisinya persis dengan rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan menjadi hal yang sangat perlu untuk dikembangkan di lembaga pendidikan keperawatan. Di tempat tersebut mahasiswa berlatih pengetahuan dan ketrampilan sampai pada tingkat yang diharapkan. Baru kemudian setelah dinyatakan lulus, mereka

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

133


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 dapat mempraktekkannya di rumah sakit dan atau komunitas. Strategi lainnya adalah dengan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain untuk meningkatkan kualitas lulusan. Hal ini telah mulai dilakukan di beberapa lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia, yaitu kerja sama membuat semacam unit pelatihan untuk persiapan perawat bekerja di luar negeri dan merintis pembuatan kurikulum berstandar internasional. Dalam pembuatan kurikulum tersebut, tidak dapat diasumsikan bahwa nilai-nilai yang ada dalam kurikulum suatu negara dapat serta-merta diaplikasikan di negara yang lain, sehingga dibutuhkan saling pengertian, saling menghargai, dan tidak kalah penting, keinginan untuk saling belajar nilai-nilai dari negara masing-masing16). Program pertukaran tenaga pendidik dan mahasiswa keperawatan dari satu institusi ke institusi lain di dalam negeri maupun dengan institusi dari luar negeri perlu untuk dipertimbangkan. Hal ini dapat membantu mereka untuk memperoleh gambaran masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan yang berbeda. Namun demikian, tidak semua lembaga pendidikan dapat melaksanakan hal ini, terutama karena adanya kendala keuangan dalam pelaksanaannya. Salah satu alternatif untuk mengatasinya adalah dengan mengoptimalkan penggunaan internet14). Tanpa harus melakukan perjalanan ke negara lain, tenaga pendidik maupun peserta didik dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan meskipun mungkin dalam prosentase yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan melakukan observasi secara langsung. Selain itu, menghadiri ataupun mengadakan acara konferensi ilmiah, seminar, atau simposium berskala nasional maupun internasional perlu dilakukan untuk membuat dan membina jaringan dengan pihak lain. Segala kegiatan dan strategi yang dilaksanakan perlu dievaluasi secara terusmenerus. Penelitian ilmiah baik oleh tenaga pendidik secara individual maupun secara kelembagaan perlu untuk dilakukan dan dikembangkan sehingga kebijakan yang diambil selanjutnya mempunyai pijakan yang kuat dan bukan hanya berdasarkan asumsi. Terakhir, peran penting lembaga pendidikan keperawatan yang telah teridentifikasi dalam

tulisan ini tidak akan mencapai hasil yang optimal bila tidak diimbangi oleh dukungan, strategi atau kebijakan yang seiring dari pemerintah, organisasi profesi, maupun masyarakat. 5. Kesimpulan Adanya peluang untuk bekerja di luar negeri bagi tenaga perawat Indonesia merupakan hal yang menggembirakan sekaligus dapat dijadikan momentum untuk meningkatan kualitas perawat Indonesia. Lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia mempunyai peran penting dalam mempersiapkan perawat berkualitas dan yang mampu bersaing di era pasar global. 6. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih pada rekan-rekan di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Kobe dan dr. Thohar Arifin atas saran dan masukan yang sangat berharga pada tulisan ini. 7. Daftar Pustaka [1] Jumlah Pengangguran Terdidik Bertambah. Website URL http://www.suaramerdeka.com/harian/050 5/04/ked11.htm [2] Arab Saudi Butuh 500 Tenaga Medis asal Indonesia. Website URL http://www.pusdiknakes.or.id/news/ragam. php3?id=12 [3] Terbuka Lebar Peluang Kerja Perawat di Amerika, Arab dan Eropa. Website URL http://www.pusdiknakes.or.id/news/ragam. php3?id=10 [4] Pemberdayaan Profesi dan Tenaga Kesehatan Luar Negeri. Website URL http://www.bppsdmk.or.id/profil/puspronak es.php3 [5] Analisa Pasar Tenaga Kerja Kesehatan Indonesia di Berbagai Negara. Website URL http://www.bppsdmk.or.id/data/pasar.php3

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

134


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 [6] Bartels, J.E. Educating Nurses for the 21st Century. Nursing and Health Sciences (2005), 7, 221-225. [7] Press Release Pelepasan Perawat ke Amerika Serikat. Website URL http://www.bppsdmk.or.id/data/sekilasinfo. php3?id=17 [8] Basic Data of Human Resources for Health: Density of all nurses per 100 000 population. Website URL http://www.who.int/globalatlas/dataQuery/r eportData.asp?rptType=1(last updated 26 October 2004) [9] Perawat, Dokter Filipina Berbondongbondong ke Luar Negeri. Website URL http://www.pusdiknakes.or.id/news/utama. php3?id=26 [10] Robinson, J.J.A. Nurse Education and Nursing Mobility. International Nursing Review, 2004, 51, hal. 65-66. [11] Kualitas Perawat Harus Ditingkatkan. Website URL http://www.pikiranrakyat.com/cetak/1004/01/1101.htm

[12] Buchan, J. & Calman, L. Summary of The Global Shortage of Registered Nurses: An Overview of Issues and Action. International Council of Nurses. Website URL http://www.icn.ch/global/summary.pdf#sea rch='rationursepopulation' [13] Magnusdottir, H. Overcoming Strangeness and Communication Barriers: A Phenomenological Study of Becoming A Foreign Nurse. International Nursing Review, 2005, 52, hal. 263-269. [14] Menasionalkan Sastra Indonesia. Website URL http://www.kompas.com/kompascetak/0010/07/dikbud/mena08.htm [15] Davis, D., Stullenbarger, E., Dearman, C., et al. Proposed Nurse Educator Competencies: Development and Validation of A Model. Nurse Outlook 2005; 53:206-211. [16] Gerrish, K. The Globalization of the Nursing Workforce: Implications for Education. International Nursing Review, 2004, 51, hal. 65-66.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

135


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

FORUM

Ekonomi Indonesia Pasca Reshuffle Meski cuaca kurang bersahabat karena mendung, berangin dan suhu dingin yang menggigit, tidak mengendorkan antusias pelajar Indonesia di Jepang untuk hadir dalam dialog ekonomi dengan tema “Ekonomi Indonesia Pasca Reshuffle� yang diadakan oleh pengurus PPI-J pada ahad, 11 Desember 2005 di kampus Kaiyodai Shinagawa. Dialog ini dihadiri oleh 3 pembicara, Dr.Prasetijono W.M Joedo (Staff ahli ekonomi pembiayaan perekonomian dan pembiayaan perekonomian-BAPPENAS), Dr.Heru Subiyantoro (Direktur ekonomi dan analisa keuangan-Menkeu) dan Bobby H. Rafinus MBA (Asisten deputy keuanganMenkoekuin). Dialog diawali dengan pemaparan secara umum tentang perekonomian paska tumbangnya sebuah rejim otoriter yang berkuasa selama 30thn. Dimana visi dan misi presiden sangat menentukan kemana arah perekonomian Indonesia akan dibawa. Dengan berakhirnya rejim orde baru maka berakhir pula REPELITA. Kalau di jaman orde baru ada REPELITA dan sejenisnya, maka saat ini visi dan misi perekonomian Indonesia ditentukan oleh visi dan misi presiden. Sehingga kesinambungan antara visi dan misi presiden sebelumnya dengan presiden pengganti menjadi suatu permasalahan tersendiri. Untuk mengatasi hal ini, BAPPENAS telah mengambil inisiatif untuk menjaga kesinambungan pembangnan perekonomian dengan membuat RKP (Rencana Kerja Pemerintah) yang dijabarkan kedalam RPJM(Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) sebagai pengganti REPELITA di masa pemerintahan orde baru untuk menjaga kesinambungan pembangunan perekonomian Indonesia. Iklim politik yang berubah di era reformasi sangat berpengaruh terhadap iklim perekonomian di Indonesia. Dimana sejak tahun 1999, BI menjadi sebuah institusi independen yang lepas dari pengaruh

pemerintah dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Policy moneter yang pada masa sebelumnya ditentukan oleh pemerintah, pada era reformasi adalah murni ditentukan oleh dewan gubernur BI. Visi dan misi perekonomian di era pemerintahan SBY adalah meningkanya kesejahteraan rakyat Indonesia dengan dua indikator, penurunan tingkat pengangguran dan penurunan jumlah penduduak miskin dengan target tingkat pertumbuhan ekonomi 7% sampai tahun 2009 dan inflasi 3%. Pada tahun 2004, yaitu 1 tahun masa pemerintahan SBY, banyak faktor eksternal diluar kontrol pemerintah yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Bencana Tsunami di Aceh, kenaikan harga minyak dunia dari $20 per barel menjadi $60 per barel. Secara keseluruhan menjadi pukulan berat bagi perekonomian Indonesia. Peningkatan suku bunga di Amerika juga sedikit banyak berengaruh terhadap perekonomian dunia termasuk Indonesia. Hal ini memaksa pemerintah (tim ekonomi) untuk mengambil kebijakan yang tidak populis dengan menaikan harga BBM hingga 100%. Yang kemudian diimbangi dengan subsidi langsung kepada rakyat miskin, yaitu BLT(Bantuan Langsung Tunai) sebagai ganti pencabutan subsidi BBM. Hal ini menuai banyak kecaman dan protes di kalangan masyarakat. Pemerintah menyadari bahwa bentuk subsidi BLT adalah bukan the best solution, tapi ini adalah the second atau the third best solution untuk saat ini. Dan sudah disiapkan sebuah exit policy dengan mengalihkan subsidi pada bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan agar masyarakat tidak terjebak dalam kebijakan yang kurang positif dalam membangun karakter bangsa. Dialog berakhir pukul 16:00 JST yang kemudian dilanjutkan dengan acara makan dan foto bersama antara ketiga pembicara dengan para peserta.(CR)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

136


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006

TOKOH

NURULTAUFIQU ROCHMAN Memurnikan Logam Lewat Daur Ulang

bersifat akumulatif di dalam tubuh manusia dan dapat menyebabkan kanker, gangguan ginjal serta menurunkan tingkat kecerdasan pada anak. “Padahal sejak tahun 1980-an, pipa air di seluruh dunia yang terbuat dari kuningan, dicampurkan timbal untuk meningkatkan kinerjanya ketika dibubut. Dengan keluarnya regulasi itu, seluruh pipa air diganti. Akibatnya terdapat begitu banyak limbah kuningan, mau diapakan? Itu masalah besar. Persoalan ini juga terjadi di Eropa,” papar suami Dr. Etik Mardlityati ini.

Dl INDONESIA nama Nurul Taufiqu Rochman mungkin belum banyak dikenal. Tetapi di jepang juga di dunia, khususnya di dunia eco-material (environmental conscious material), nama doktor bidang rekayasa material ini cukup harum. Itu berkat temuannya. Kelahiran Malang, 5 Agustus 1970 ini, menemukan teknologi eliminasi kandungan timbal (Pb) pada logam kuningan melalui daur ulang. Teknologi yang dipatenkan di Jepang pada Mei 2003 itu, membuat jutaan meter kubik limbah kuningan di negara sakura menjadi barang berharga lagi. Bukan itu saja, anak keempat dari lima bersaudara pasangan M. Syafe’i dan Musyarofah ini,juga berhasil menemukan tiga unsur yang dapat memperkuat daya tahan kuningan terhadap korosi. Menurut pria yang menempuh studi S1 hingga S3 di Kagoshima University, Jepang ini, penelitian mengenai teknik pemurnian kuningan tersebut dilatarbelakangi oleh regulasi yang dikeluarkan pemerintah Jepang tahun 2001 tentang keharusan menurunkan kandungan timbal dalam pipa air. Menjelang tahun 2000-an, isu lingkungan dan kesehatan mendapat perhatian besar di Jepang. Pada 1998, diketahui bahwa timbal

Diakui ayah lima anak ini, ia bukan orang pertama yang berusaha mengatasi persoalan itu. Paten pertama mengenal teknologi pemurnian kuningan dimiliki oleh Kobe Steel. Namun begitu, temuan itu tak dapat diaplikasikan karena hanya menurunkan timbal hingga 29% dan membutuhkan biaya sangat besar. Pria yang akrab dipanggil Nurul, pemenang “The Best Innovations and Ideas in Business Award 2005” dari majalah SWA dan penerima Penghargaan Adhidarwa Profesi 2005 dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII) ini terinspirasi oleh temuan Kobe Steel, yang menggunakan unsur kalsium. “Kita selidiki sifat kalsium, kenapa campuran kalsium dan timbal membentuk butiran sangat kecil, Lalu muncul ide balon untuk mengangkat butiran yang sangat kecil itu. Kita pakai silikon sebagai balon. Dengan cara ini kita bisa menurunkan timbal hingga 55%,” ujar Nurul yang dalam penelitian itu bertindak sebagai pimpinan dalam tim yang terdiri dari 10 orang, termasuk 2 profesor dan menjadi satu-satunya non-Jepang dalam tim itu. Belum puas dengan hasil 55%, pria yang selalu juara kelas sejak SD hingga di universitas ini terus mencoba beberapa unsur lain sampai akhirnya ketemu natrium flourida (NaF) yang bisa menurunkan timbal hingga 95%. “Waktu itu kita cari unsur apa

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

137


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 yang bisa bereaksi dengan timbal, kalslum dan silikon, tetapi tidak bereaksi dengan kuningan yang terdiri dari unsur zinc dan tembaga” terang Nurul yang mengaku dengan sangat terbantu oleh sebuah software yang mampu menghitung unsur kimia apa yang bisa bereaksi dengan suatu unsur yang hendak kita eliminasi tetapi tidak bereaksi dengan unsur Iainnya pada suhu tertentu. “Software itu sudah lama saya beli, tapi belum pernah dipakai. Saya beli untuk nanti dipakai di Indonesia. Tetapi karena sudah dikejar deadline, saya teringat pada software itu, iseng-iseng saya pakai, wah ternyata luar biasa,” tambah peneliti muda terbaik LIPI 2004 untuk bidang IPA dan lingkungan ini yang juga merasa “ditolong” oleh ketidaksengajaan yang terjadi saat praktikum. Menurut penerima Fuji-Sankei Award sebagai peneliti terbaik di Jepang ini, berdasarkan hitungan, sesungguhnya senyawa NaF yang diperlukan hanya 0,5%, tetapi karena salah ukur yang dimasukkan ternyata 5%. “Entah bagaimana kok bisa salah. Alhamdulillah, kesalahan itu justru membawa kebaikan,” katanya. Temuan itu kemudian dipadukan dengan unsur-unsur temuannya yang dapat meningkatkan daya tahan kuningan terhadap korosi sehingga menghasilkan kuningan yang bebas timbal sekaligus tahan korosi. “Lima tahun saya melakukan penelitian untuk meningkatkan kekuatan kuningan terhadap korosi. Saya menemukan ada 3 unsur. Dua sudah saya publikasikan, yang satu akan saya patenkan di Indonesia. Yang dua ini saya kelewatan mematenkan. Unsur itu, timah putih (03-0,5%) dan Fosfor (0,07%),” jelas pria yang usai S3 sempat postdoc selama 4 tahun sebagai peneliti tamu, konsultan di Kyusu Tabuchi Company dan peneliti di Kagoshima Prefecfural Institute of Industrial Technology. Empat belas tahun di Jepang, tidak membuat pria berkacamata ini lupa tanah air. Tetapi apa yang membuat pria berkacamata ini memilih pulang ketimbang menerima tawaran sebagai asisten profesor di almamaternya? “Terus terang saya sedih setiap pulang ke Indonesia, selalu menemui masalah kran bocor dan berkarat di rumah. Itu kan

pegangan saya selama di Jepang. Ada semacam panggilan,” ujar Nurul yang Iangsung berkunjung ke beberapa industri sepulangnya ke tanah air pada Februari 2004 - karena ingin segera menentukan tematema penelitian. Menurut Nurul, seorang peneliti memang harus berorientasi pada persoalan-persoalan yang dihadapi industri, agar temuannya tidak mengambang dan bisa Iangsung diaplikasikan. Ia optimis temuannya tersebut bisa juga untuk pemurnian berbagai jenis logam, termasuk baja dan besi.

Untuk tahun ini ada 5 mata penelitian yang dikerjakan Nurul, yang juga sekaligus sebagai pimpinan tim. Di antaranya mengenai teknik pemurnian logam dan pengembangan teknologi nano. Ayah Umar, Ica, Syaffa, Usman dan Fatih ini tidak main-main dengan tekadnya untuk berkarya di tanah air. Pria yang memiliki falsafah bekerja dengan cerdas, keras dan tuntas ini memutuskan untuk total bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Fisika LIPI dan menolak tawaran sebagai dosen. “Saya sudah terjun bebas di sini, ya harus membuahkan hasil. Kalau nyambi nanti malah setengah-setengah, saya tidak ingin

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

138


INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006 gagal di tengah,” ujar pnia yang sebelum kembali ke Indonesia sudah mempersiapkan mental dan tabungan. “Ya tahu sendirilah berapa gaji peneliti di sini. Mudah-mudahan sebelum tabungan habis, sudah bisa menghasilkan karya,” katanya berharap. Semoga harapan pria, yang biasa bekerja hingga pukul 19.00 dan hanya bisa memberi waktu untuk ke Iima anaknya pada akhir pekan ini bisa tercapai. (Disadur dari majalah d’Maestro Mei 2005)

BIODATA NAMA LENGKAP Rochman,

:

Dr. M.

Nurul

Taufiqu Eng

TANGGAL LAHIR: Malang, 5 August 1970 PENDIDIKAN : S3 - Doctor of Engineering,Material Production Engineering (April 1997 – March 2000) S2 - Master of Engineering, Mechanical Engineering (April 1995 – March 1997) S1 - Bachelor of Engineering, Mechanical Engineering (April 1991 – March 1995) AFILIASI SAAT INI : Research Center for Physics, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)

RESEARCH SAAT INI : - eliminasi kandungan timbal (Pb) pada logam kuninga n melalui daur ulang AWARDS

:

1. December 6th, 2005, The Best Innovations & The Best Ideas In Business Award 2005, SWA magazine. 2. November 14-16th, 2005 Indonesian Delegation for attending South East ASIA Materials Network, Singapore. 3. August 12th, 2005, PII Engineering Award 2005 (ADHIDARMA PROFESI AWARD) from Persatuan Insinyur Indonesia. 4. June 26th – July 2nd, 2005, Indonesian delegate for attending The 55th Nobel Laureates Meeting in Lindau, Germany. 5. December 15, 2004, Award from LIPI as the best researcher in the 12th Indonesian Young Researcher Competition (Pemilihan Peneliti Muda Indonesia ke-12) LIPI, Jakarta. 6. March 29, 1995, Fuji-Sankei Award: Award from Sankei News Paper Company, Japan Foreign Ministry and Higashi Nihon House Company as the best researcher in Japan. 7. March 24, 1995, Hatakeyama Award: Award from The Japan Society for Mechanical Engineering (JSME) as the best student at Departement of Mechanical Engineering, Universitas Kagoshima Japan.

AFILIASI DI INDONESIA : Research Center for Physics, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

139


SUSUNAN REDAKSI PENANGGUNG JAWAB

PEMIMPIN REDAKSI

Edy Marwanta

Arif Satria

Ketua Umum PPI Jepang Mahasiswa Tokyo University of Agriculture and Technology (S3)

Dosen Departemen Sosial Ekonomi Perikanan FPIK IPB

REDAKTUR

Candra Dermawan Presiden Power Media Communication Mahasiswa Toyohashi University of Technology (S3) Department of Electronic Information Engineering, Multimedia Communication Laboratory.

Haris Syahbudin Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Departemen Pertanian Mahasiswa Graduate School of Science and Technology, Kobe University (S3) .

140


Taruna Ikrar Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Mahasiswa Niigata University (S3) Department of Cardiology, Faculty of Medicine。

Muhamad Thohar Arifin, Dr. Bagian Anatomi dan Bedah Saraf FK UNDIP RS Dr. Karyadi Semarang Bag Bedah Saraf Rumah sakit Universitas Hiroshima

Dodhik Kurniawan

Muh. Zulkifli Mochtar Husein

Mahasiswa program Japan Advance Institute of Science and Technology (JAIST) (S2)

Mahasiswa Osaka University. Graduate School of Engineering, Infrastructure and Transportation Engineering.

141


Sorja Koesuma

Tonang Dwi Ardyanto

Department of Geophysics Kyoto University

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Mahasiswa University School of Medicine (S3) Department of Pathology, Tottori

Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta

TIM PRODUKSI

Muhammad Arif Kurniawan Mahasiswa di Fakultas Ekonomi Internasional University of Hyogo, Kobe

Hastari Eka Anandhita Mahasiswi Tokyo Institute of Technology (S2) Dept. of Information Processing

142



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.