Inovasi vol22 1 mei2014

Page 1


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

Dewan Redaksi Pembina: M. Iqbal Djawad PhD Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia, Tokyo, Jepang Penanggung Jawab : Teuku Muhammad Roffi Ketua Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang Pemimpin Redaksi Irandi Pratomo (Hiroshima University) Departemen/Staf Redaksi Enrikko Hazemi (Tohoku University), Muhammad Rifqi (Tohoku University), Suherman (Hokkaido University), Ganes Shukri (ĹŒsaka University), Ruben Abdulrachman (Waseda University), Alvin Mariogani (Tokyo University of Agriculture and Technology), Hendro Mulyo Widiyanto (The University of Electro-Communications, Tokyo) Technical Committee/Reviewer TICA 2013 Andante Hadi, D. Eng | Bayu Indrawan, D. Eng | Martin Leonard Tangel, D. Eng | Muhammad Aziz, D. Eng |Dr. Nurrahmi Handayani | Satriya Oktaviano, D. Eng | Sri Hastuty, D. Eng | Agus Bedjo, Phd.|Ajeng Pramono, M.S. | Atik Wintarti, M.T. | Batari Saraswati, Phd. | Bentang Arief Budiman, M. Eng | Eko Yuniarsyah, M.T. | Gerald Ensang Timuda, M. Eng | Larasati Arrum, M.Si. | Manahan Siallagan, Phd. | Muhammad Febry, M. Eng | Bayu Prabowo, D. Eng | Muhammad Syamsiro, M.T. | Okki Dwichandra Putra, M. Si. | Radon Dhelika, M. Eng | Tirto Soenaryo, M. Eng | Topan Setiadipura, M. Eng | Vektor Dewanto, M. Eng | Adiyudha Sadono, B. Eng | Andi Muhammad Pramatadie, S.T. | Ashlih Dameitry, S.T. | Ayu Dahlianti, S.T. | Firman Azhari, S.T. | Irwan Liapto Simanullang, S.T. | Nur Akmalia Hidayati, S.Si. | Nurul Fajri, B. Eng | Pribadi Mumpuni Adhi, S.T. | Samratul Fuady, S.T. | Sidik Soleman, S.T.

Desain Grafis dan Foto : Hendro Mulyo Widiyanto (The University of Electro-Communications, Tokyo), Nurina Sevrina (Ritsumeikan Asia Pacific University), Enrikko Hazemi (Tohoku University), Banung Grahita (Tokyo Metropolitan University/Institut Teknologi Bandung). Admin Situs : Ahmad Ridwan Tresna Nugraha (Tohoku University) Situs: io.ppijepang.org E-mail: editor.inovasi@yahoo.com

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

2


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

DEWAN REDAKSI

2

DAFTAR ISI

3

EDITORIAL

7

TENTANG TICA Tokyo Tech Indonesia Commitment Award M. Iqbal Djawad, Ph.D. Yuriko Sato, Ph.D.

PANITIA TICA 2013

8 9 10

Dewan Kepanitiaan

PEMENANG TICA 2013 Sekilas Abstrak dari Tiga Artikel Pemenang TICA 2013

12

8 Finalis [Juara 2] Kulit Kacang sebagai Sumber Bahan Baru untuk Produksi Intermediate Bahan Bakar Bio-jet

13

Kode Modular 1 Dimensi untuk Penyelesaian Masalah Spasial Dependen Kinetik sebagai Fitur Tambahan dari SRAC

18

Pemanfaatan Bentonite dan Organo-Bentonite Dalam Mengolah Limbah Cair Industri Farmasi

24

Prediksi Pola Mutasi Virus Flu Burung Menggunakan Hidden Markov Model

30

[Juara 1] Perancangan, Pemodelan Kinematik, dan Implementasi Robot Ikan Autonomous untuk Penginderaan Perairan

35

Uji Toksisitas Akut Menggunakan Metode Flow-Through Test Dengan Daphnia Magna Sebagai Hewan Uji Pada Efluen IPAL Industri Pelapisan Logam

41

[Juara 3] Pasar Wisata Barukoto, Penekanan pada Integrasi Fungsi Pasar Terhadap Bangunan Bersejarah Kota Tua Bengkulu

45

Identifikasi Profil dan Perilaku Green Consumer dalam Rangka Peningkatan Green Market Share di Indonesia

51

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

3


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

50 Finalis Analisis Praktis Metode Wait and Weight Dalam Penanganan Gas Kick pada Operasi Pengeboran Migas

57

Implementasi Jaringan Saraf Tiruan Sebagai Alat Bantu Deteksi Infeksi Saluran Kemih Melalui Citra Bakteri Pada Urin

63

Implementasi Jaringan Saraf Tiruan Sebagai Alat Bantu Identifikasi Anemia pada Citra Sel Darah Merah

68

Analisis Dinamik dan Perancangan Sistem Pengarah Gerak pada Kereta Monorel Berbasis Model Benda Jamak

74

Pengaruh Temperatur Setting Terhadap Kinerja AC Split

80

Potensi Mikroorganisme Lokal (MOL) dari Pepaya (Carica papaya) terhadap Produktivitas Padi (Oryza sativa) dengan Metode Penanaman System of Rice Intensification (SRI)

84

Pengolahan Lindi Sampah Pasar Menjadi Biogas Secara Anaerobik

90

Realisasi Fiksi Sains Melalui Teknologi Metamaterial

96

Analisis Kandungan Air di Sekitar Pembangunan Bendungan Universitas Diponegoro Menggunakan Metode Geolistrik Konfigurasi Schlumberger

102

Studi Kualitas Air Tanah Pada Daerah Aliran Sungai Karst Di Sekitar Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Indonesia

108

Uji Aktivitas Antiinflamasi Hati Interferon Alfa 2b Mutein 2 Titik pada Hewan yang Diinduksi Karbon Tetraklorida

114

Penggunaan Material Lokal Bambu Petung (Dendrocalamus asper) sebagai Solusi Kerusakan Jembatan di Daerah Terpencil

120

Potensi Biogas untuk Skala Rumah Tangga sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti Kayu Bakar di Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen

126

Swasembada Energi dengan Mengembangkan Potensi Oil Shale di Indonesia

132

Bioetanol Dari Tongkol Jagung Yang Telah Di-Pretreatment dengan Steam Explosion Disertai Perendaman HCl 1%: Pengaruh Penambahan Volume Crude Enzyme Dan Waktu Fermentasi

135

Nangka sebagai Bahan Baku Pembuatan Bio-etanol dan Bio-oil dengan Prinsip Kilang Hijau

140

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

4


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

Potensi Dari Impelementasi Pasir Besi Yogyakarta dan Batu Bara Lokal Pada Proses Tanur Tinggi Untuk Meningkatkan Mampu Saing Produk Besi Indonesia

145

Minimalisasi Resiko Penyakit Jantung Koroner Melalui REINKARNASI (Review, Kolaborasi dan Optimalisasi) Teknologi Mikrobial : Konsumsi Yoghurt Bawang Merah

150

Pengaruh Waktu Aging pada Sintesis zeolit ZSM-5 dari Lumpur Lapindo dan Zeolit Alam

154

ZELUNDO (Zeolit Sintetis Lumpur Lapindo): Inovasi Teknologi Rekayasa Material Katalis pada Proses Perengkahan Katalitik Fraksi Minyak Bumi (FCC)

159

Studi Karakteristik Torefaksi Komponen Sampah Kota Pada Temperatur Dekomposisi Hemiselulosa

163

Alat Pengawet Ikan Hemat Energi dan Pereduksi Logam Berat Berbahaya Berbasis Fotokatalitik Nanopartikel Co Doped ZnO

167

Simulasi Penggunaan Bahan Berubah Fasa untuk Menghambat Kenaikan Temperatur Dinding Panel Surya

172

Implementasi Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) sebagai Akselerasi Menuju Masa Depan Ramah Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

181

Komputasi Terapan Berbasis Jaringan Saraf Tiruan untuk Mendeteksi Suara Anak Autis

186

Transformasi Gen Amorfa-4,11-dien Sintase (ads) dengan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 pada Kultur In Vitro Artemisia annua L. untuk Meningkatkan Kadar Artemisinin

192

Pengembangan Prototipe Certification Authority untuk Layanan Short Message Service pada Platform Android

197

Analisis Unsur Plagiarisme pada Karya Tulis Ilmiah dengan Menggunakan Algoritma Text Mining Melalui Metode Pendekatan Semantik

203

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

5


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

Rancang Bangun Sistem Pendeteksian dan Monitoring Harmonisa Menggunakan Metode DFT

209

Perancangan Sistem Pemeriksaan Kondisi Klem Sambungan Transformator 150/20 KV untuk Implementasi Condition Based Maintenance

215

Sistem Klasifikasi Sel Darah Putih Berbasis Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Saraf Tiruan

221

Teknik Kendali Konverter Daya Satu-Fasa Dua Arah

227

Perancangan Sistem Teleskop Radio dengan GNU Radio dan USRP

233

Simplifikasi Pengendali PID-Fuzzy dan Implementasinya pada PLC

239

Bu Dombat, Bleaching Bulu Domba Batur Sebagai Upaya Meningkatkan Nilai Ekonomis Desa Batur

243

Tata Kelola Air Lokal di Wilayah Peri Urban

248

Attendance in Public Transportation : Sistem Baru Sebagai Solusi Masalah Kemacetan di Jakarta

254

Tele-Compact City: Inovasi Konsep Penataan Kota Masa Depan Berwawasan Lingkungan untuk Mempertahankan Telapak Ecologi dan Mereduksi Mobilitas di Indonesia

260

Pasar Botol sebagai Pasar Ramah Lingkungan yang Tahan Gempa dan Kebakaran

266

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

6


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

Editorial Edisi Khusus :

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award (TICA) 2013 Semangat kompetisi telah terbukti menjadi salah satu motivasi yang mampu melipatgandakan semangat berinovasi. Inovasi Online kali ini mempersembahkan hasil-hasil inovasi para pelajar Indonesia dalam semangat Tokyo Tech Indonesian Commitment Award 2013. Hasil-hasil riset dan studi terunggul dari seluruh Indonesia berkompetisi dan 50 terbaik diantaranya tersaji dalam edisi khusus inovasi online kali ini. TICA merupakan lomba penulisan artikel ilmiah untuk mahasiswa tingkat sarjana di seluruh Indonesia. Inisiatif para pelajar Indonesia di Tokyo Institute of Technology yang tergabung dalam PPI Jepang komisariat Tokodai (PPIJ Tokodai) ini dimulai sejak 2010 dengan semangat membangun kapabilitas inovasi, pengetahuan, dan teknologi. Pada 2013 ini, TICA mengusung tema “Future Energy toward Sustainable Development�. Topik-topik studi dan penelitian dikelompokkan ke dalam tiga bagian: 1. Ilmu & rekayasa sosial, yang meliputi ilmu ekonomi, manajemen industri, arsitektur dan perencanaan wilayah, teknik lingkungan, dsb. 2. Teknik elektro & ilmu komputer, yang meliputi teknik elektro, elektronika, teknik tenaga listrik, ilmu & sistem informasi, robotika & mekatronika, teknik kendali, ilmu komputer, dsb. 3. Ilmu & teknologi terapan, yang meliputi teknik fisika, kimia, biologi, matematika , astronomi, biologi & bioteknologi, teknik material & metalurgi, teknik nuklir, teknik sipil, teknik biomedika, dsb.

Technology (Titech). Tentu ini kesempatan yang baik bagi para pemenang karena selain wisata dan mengenal budaya Jepang secara langsung, dalam kunjungan ini para pemenang berkesempatan untuk bertemu profesor dan peneliti di Titech. Bukan tidak mungkin para pemenang bisa mendapatkan jalan untuk melanjutkan studinya di Jepang. TICA merupakan sumbangsih riil para pelajar di Jepang, khususnya di Titech menjalankan peran sebagai jembatan penghubung antara Indonesia dengan Jepang. Dengan semangat kompetisi dalam berinovasi, rekan-rekan pelajar di Indonesia ditantang untuk menghasilkan karya terbaiknya kemudian difasilitasi untuk berkunjung ke Titech dan membuka kesempatan-kesempatan emas lainnya di masa yang akan datang. Karya-karya unggul pelajar Indonesia itu, kini terhadir di hadapan Anda sekalian, dalam edisi khusus Inovasi Online: Tokyo Tech Indonesian Commitment Award 2013. Selamat merasakan getaran kebangkitan inovasi Indonesia dan semangat pelajar Indonesia!

Salam inovasi, PPIJ, kita! Indonesia, Jaya!!

Teuku Muhammad Roffi, Ketua Umum PPI Jepang 2013-2014

Tiga orang pemenang TICA mendapatkan hadiah berupa kesempatan mengunjungi Tokyo Institute of

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

7


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

Tentang TICA M. Iqbal Djawad, Ph.D

Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo Perkenankan saya sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Tokyo mengucapkan selamat dan apresiasi yang tinggi kepada seluruh peserta TICA ( Tokyo Tech Indonesian Commitment Award) 2013 yang terselenggara atas usaha keras dari para mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang Komisariat Tokodai, Tokyo. Sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, bahwa pembangunan ekonomi diarahkan kepada peningkatan daya saing dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Dalam hal ini, maka penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ilmu Pengetahuan serta Teknologi (Iptek) merupakan salah satu pilar penting untuk mewujudkan hal tersebut sehingga kita bersama - sama harus mendorong proses peningkatan kualitas SDM dan Iptek ini. Indonesia adalah negara yang dikaruniai hampir semua prasyarat untuk mampu menjadi kekuatan besar dalam perekonomian dunia. Kekayaan sumberdaya alam yang beragam dan melimpah, jumlah penduduk yang besar dan keragaman budaya, serta posisi geostrategis yang mempunyai akses ke jaringan mobilitas global. Untuk mewujudkan hal tersebut, Indonesia memerlukan suatu transformasi ekonomi yang bisa dipercepat melalui penguasaan sains dan teknologi. Untuk itu pengintegrasian beberapa elemen yang tercantum dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang didasari oleh semangat not business as usual, dan melibatkan seluruh stakeholder. Salah satu point penting dalam elemen ini adalah menetapkan strategi memperkuat kemampuan SDM dan Iptek nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap Koridor Ekonomi. Point ini dapat menjadi cara untuk meningkatkan kualitas produk nasional sehingga produk dalam negri dapat bersaing dengan produk – produk dari luar dan mendorong masyarakat kita untuk lebih mencintai produk nasional. Untuk itulah TICA 2013 secara tidak langsung ikut memberikan kontribusi yang sangat kuat terhadap transformasi ekonomi yang akan membawa Indonesia ke negara yang disegani dan berada di papan atas negara-negara maju dunia pada tahun 2030. Dengan tema Future Energy toward Sustainable Development, TICA Award 2013 ini juga telah memberikan pelajaran dan membagikan ilmu pengetahuan bagaimana sebaiknya teknologi memberikan kontribusi ke pembangunan berkelanjutan di masa depan, dan yang lebih penting lagi TICA Award 2013 telah memberikan kesempatan kepada para peneliti muda dari seluruh Indonesia untuk memperlihatkan daya inovasi, kreatifitas dan kapabilitas mereka sebagai anak-anak muda yang akan berperan dalam peningkatan kesejahteraan manusia umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya. Maju terus TICA Award ! Â

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

8


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

Yuriko Sato, Ph.D. Associate Professor International Student Center and Dept. of Environmental Science & Technology Tokyo Institute of Technology In March 2010 when Mr. Farid Triawan was the president of PPI all Japan, PPI Tokodai held a one day seminar in Tokyo Tech on “Indonesia Japan Cooperation to Create Innovative Human Resources for Sustainable Development” and started Tokyo Tech Indonesian Commitment Award (TICA). I was very much impressed by PPI Tokodai members’ real commitment to realize the topic of the seminar, which was Creation of Innovative Human Resources for Sustainable Development of Indonesia. But at that time I just thought that it was a special activity just for the year. However, as you know, TICA continued. And this is the 4th TICA Award Ceremony. It is not easy for the students living in Tokyo to raise funds necessary to invite the young Indonesian students to Japan because the commodity price in Tokyo is very expensive. I heard that PPI Tokodai OBs and OGs donated considerable amount of money for TICA. I am very impressed. It shows the PPI Tokodai members’ unity and real commitment for the Development of Indonesia. Tokyo Tech’s Education Goal is to foster the scientists and engineers, who not only master high skills and knowledge but also embrace noble spirit and take actions to contribute to the society. By knowing the continuation of TICA, I come to realize that PPI Tokodai members are embodying our educational goal. We are really proud of you. Indonesia is an emerging country. When I meet the people working in Japanese companies, many of them say that they are now looking for Indonesian students who can work for their companies. It reflects the rapid development of Indonesia and charms of the Indonesian market for Japan. Indonesia is a leading country in ASEAN, which will establish ASEAN Economic Community in 2015. In this new development stage, the Creation of Innovative Human Resources will be further more important for Sustainable Development of Indonesia. I hope that the young undergraduate students who receive TICA top prize today will further make efforts to develop your abilities and contribute to your country as innovative human resources, following the good example of PPI Tokodai members. And I also wish the further success of the present and former PPI Tokodai members in your given environment. I think you are the treasures for Indonesia, for Japan and for the world.

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

9


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

PANITIA TICA 2013 Bentang Arief Budiman

Ketua PPI Tokyo Institute of Technology 2012-2013 Bentang datang ke Jepang sejak 2011 untuk program magister terintegrasi doktoral di departemen Teknik Mesin TItech (Mechanical Science and Technology, Graduate School of Science and Engineering). Pria asal Depok ini sebelumnya mengenyam pendidikan sarjana di Teknik Mesin, Institut Teknologi Bandung. “PPI Tokodai sangat menyadari bahwa kerja membangun sumber daya manusia yang unggul tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama pada seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu lah TICA 2013 hadir sebagai salah satu upaya menghidupkan peluang tersebut sebagai kekuatan bangsa.”

Irwan Liapto Simanullang

Ketua TICA 2013

Irwan datang ke Jepang sejak 2012 untuk program magister terintegrasi doktoral bidang Teknik Nuklir TItech. Pria asal Medan ini sebelumnya mengenyam pendidikan sarjana bidang Teknik Nuklir, Universitas Gadjah Mada. “Penyelenggaraan TICA diharapkan dapat menambah pengetahuan, komunikasi, dan motivasi terkait dengan bidang keteknikan. Selain itu kami berharap adanya pengembangan konsep-konsep dan aplikasi yang dapat digunakana oleh pemerintah maupun industri dalam menjalankan pembangunan bangsa.”

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

10


EDISI KHUSUS

Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

Steering Commitee

Bentang Arief Budiman, M. Eng (koor.) Nur Ahmadi, M. Eng Gerald Ensang Timuda, M. Eng

Organizing Committee Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Korbid Kerjasama Korbid IT & media Korbid Humas Paper review adm. Korbid acara puncak

: Irwan Liapto Manullang, S.T. : Nurul Fajri, B. Eng : Nur Akmalia Hidayati, S.Si. : Nisrina Setyo Darmanto, S.T. : Andi M. Pramatadi, S.T. : Dadan Ari Wibowo, B.Eng. : Ashlih Dameitry, S.T. : Haris Reza Septiano : Ilham Naharudinsyah

Technical Committee/Reviewer Andante Hadi, D. Eng Bayu Indrawan, D. Eng Martin Leonard Tangel, D. Eng Muhammad Aziz, D. Eng Dr. Nurrahmi Handayani Satriya Oktaviano, D. Eng Sri Hastuty, D. Eng Agus Bedjo, Phd. Ajeng Pramono, M.S. Atik Wintarti, M.T. Batari Saraswati, Phd. Bentang Arief Budiman, M. Eng Eko Yuniarsyah, M.T. Gerald Ensang Timuda, M. Eng Larasati Arrum, M.Si. Manahan Siallagan, Phd. Muhammad Febry, M. Eng Bayu Prabowo, D. Eng

Muhammad Syamsiro, M.T. Okki Dwichandra Putra, M. Si. Radon Dhelika, M. Eng Tirto Soenaryo, M. Eng Topan Setiadipura, M. Eng Vektor Dewanto, M. Eng Adiyudha Sadono, B. Eng Andi Muhammad Pramatadie, S.T. Ashlih Dameitry, S.T. Ayu Dahlianti, S.T. Firman Azhari, S.T. Irwan Liapto Simanullang, S.T. Nur Akmalia Hidayati, S.Si. Nurul Fajri, B. Eng Pribadi Mumpuni Adhi, S.T. Samratul Fuady, S.T. Sidik Soleman, S.T.

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

11


Tokyo Tech Indonesian Commitment Award

EDISI KHUSUS

Pemenang TICA 2013 Juara 1 Perancangan, Pemodelan Kinematik, dan Implementasi Robot Ikan Autonomous untuk Penginderaan Perairan Alissa Ully Ashar, M. Akbar J, Arief Syaichu Rohman Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Abstrak - Perancangan mekanik-elektronik dari robot ikan dan pemodelan kinematik untuk pergerakannya yang meliputi perger akan lur us, berbelok, dan naik-turun telah berhasil diimplementasikan. Robot ikan ini dirancang dengan dua joint untuk mengadopsi pergerakan carangiform fish yang bergerak dan mengatur pergerakannya dengan menggunakan 1/3 bagian dari tubuhnya. Selain itu, dua metode untuk menghasilkan pergerakan naik dan turun diujicobakan, yaitu metode pectoral fin dan metode weight moving dan ditemukan bahwa metodepectoral fin lebih efektif. Selain pemodelan kinematik untuk pergerakannya, robot ikan ini juga juga dilengkapi‌selengkapnya hlm. 35.

Juara 2 Kulit Kacang sebagai Sumber Bahan Baru untuk Produksi Intermediate Bahan Bakar Bio-jet Jindrayani Nyoo Putro, Suryadi Ismadji, Felycia Edi Soetaredjo Jurusan Teknik Kimia, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Surabaya.

Abstrak - Secara luas sumber daya alam bisa dijadikan sebagai bahan baku yang ber kelanjutan untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi, hal ini juga sekaligus mengur angi biaya bahan baku pembuatan bahan bakar dan ramah lingkungan.Bahan bakar generasi ke-2 dari biomassa lignoselulosa yaitu kulit kacang memiliki prospek yang baik sebagai sumber daya alam yang berlimpah dan murah. Konversi kulit kacang sebagai bahan lignoselulosa melalui dua proses‌ selengkapnya hlm. 13.

Juara 3 Pasar Wisata Barukoto, Penekanan pada Integrasi Fungsi Pasar Terhadap Bangunan Bersejarah Kota Tua Bengkulu Robi Aria Samudra, Ikaputra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Abstrak - Pasar Baru Koto adalah pasar yang terletak ditengah Kota Tua Bengkulu yang merupakan kawasan wisata sejarah unggulan di Provinsi Bengkulu. Namun oleh beberapa sebab, kondisi Pasar Baru Koto saat ini sudah ditinggalkan pedagang maupun pelanggannya. Perbaikan fisik sudah beberapa kali dilakukan, namun masih terlihat satu per satu kios yang tutup. Pasar wisata menjadi alternatif pemecahan dari permasalahan yang ada disini. Pasar Wisata Baru Koto adalah suatu area penunjang wisata sebagai pusat jual beli souvenir, kerajinan rakyat, makanan, dan jajanan tradisional, yang menyajikan atmosfer tradisional dari bangunan-bangunan bersejarah Kota Tua Bengkulu. Lengkap dengan taman, ‌ selengkapnya hlm. 45.

Vol. 22 No. 1, Mei 2014

12


Kulit Kacang sebagai Sumber Bahan Baru untuk Produksi Intermediate Bahan Bakar Bio-jet 3HDQXWÂś 6KHOO DV D 1HZ 5HVRXUFH IRU ,QWHUPHGLDWH Bio-jet Fuel Production a

Jindrayani Nyoo Putroa Pembimbing: Suryadi Ismadjib dan Felycia Edi Soetaredjoc

Email: jindranyoo@yahoo.com, bEmail: suryadiismadji@yahoo.com, cEmail: felyciae@yahoo.com Jurusan Teknik Kimia, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kalijudan 37, Surabaya 60114, Indonesia.

A bstrak - Secara luas sumber daya alam bisa dijadikan sebagai bahan baku yang ber kelanjutan untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi, hal ini juga sekaligus mengurangi biaya bahan baku pembuatan bahan bakar dan ramah lingkungan. Bahan bakar generasi ke-2 dari biomassa lignoselulosa yaitu kulit kacang memiliki prospek yang baik sebagai sumber daya alam yang berlimpah dan murah. K onversi kulit kacang sebagai bahan lignoselulosa melalui dua proses yang akhirnya bisa menjadi intermediate bahan bakar biojet. Pertama adalah tahap delignifi kasi kulit kacang menggunakan larutan Na O H dan hidrolisa biomassa lignoselulosa menggunakan sub-critical water . Produk akhir yang didapatkan dari proses hidrolisa adalah levulinic acid yang dapat ditingkatkan untuk menggantikan bahan bakar jet A-1. Dalam penelitian ini, akan dibahas pengaruh temperatur selama konversi levulinic acid dari biomassa lignoselulosa dan morfologi kulit kacang setelah melalui berbagai tahapan proses. Kata Kunci : L ignoselulosa, sub-critical water , intermediate biojet.

Abstract- Renewable resources are widely considered for a sustainable raw material for biofuel production to replace petroleum based fuels, also reduce economy cost and enviromental friendly. T he 2nd-generation biofuels from lignocellulosic biomass for H[DPSOH SHDQXWÂś VKHOO KDV JUHDW SURVSHFW DV D UHVRXUFH ZKLFK LV DEXQGDQW DQG FKHDS &RQYHUVLRQ RI WKH SHDQXW VKHOO DV D lignocellulosic material is going through two process to a final product which can be an inter mediate biojet fuel. F irst is delignification of peanut shell by using Na O H solution and hydrolysis the lignocellulose biomass using sub-critical water method. T he final product is levulinic acid, liquid fuel which can be upgraded to biojet fuel as a substitution fuel for jet A-1. In this wor k, we will investigate the effect of temperature to levulinic acid conversion from the lignocellulose biomass dan morphology of peanut shell after going through several stages. Keywords : L ignocellulose, sub-critical water, inter mediate biojet.

1.

Pendahuluan

Menipisnya bahan bakar fosil, meningkatnya harga minyak mentah dan masalah pemanasan global yang memprihatinkan menyebabkan perhatian dunia mengarah ke sumber energi terbarukan. Pada saat ini pemanfaatan biomassa lignoselulosa dapat memberikan jalur alternatif untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar dan produksi bahan-bahan kimia. Berdasarkan kesiapan bahan baku yang dipakai, bahan bakar dibedakan menjadi bahan bakar primer dan sekunder. Bahan bakar primer seperti kayu bakar dan lemak hewan digunakan secara langsung untuk pemanasan, memasak dan produksi listrik. Bahan bakar sekunder seperti biodiesel dan bioetanol terbagi menjadi tiga generasi, generasi pertama yang berasal dari bahan pangan sebagai bahan baku untuk produksi bahan bakar. Produksi bahan bakar generasi pertama ini mempunyai kerugian yaitu adanya batasan lingkungan dan ekonomi, karena seiring dengan meningkatnya produksi bahan bakar maka akan terjadi persaingan lahan yang digunakan antara produksi pangan dan kapasitas produksi bahan bakar. Persaingan ini menyebabkan situasi kekurangan bahan pangan yang parah, dimana lebih dari 800 juta jiwa di dunia sedang menderita masalah kelaparan dan gizi buruk [1]. Berbeda dari generasi pertama, bahan bakar

generasi kedua dihasilkan dari produk samping pertanian dan sisa-sisa dari perindustrian yang tidak bersaing dengan produksi bahan pangan [1]. Yang terakhir adalah bahan bakar generasi ketiga yang berasal dari mikroalga, dimana perawatan mikroalga sendiri membutuhkan banyak biaya serta desain proses yang efektif untuk mendukung perkembangan tumbuh mikroalga. Sehingga untuk generasi ketiga masih sangat sulit diterapkan di Indonesia. Akhir-akhir ini, lignoselulosa menarik perhatian para peneliti dunia dengan jumlahnya yang melimpah dan sifatnya yang carbon neutral , dimana bahan ini sama sekali tidak memberikan efek buruk terhadap lingkungan tetapi membantu mengatasi masalah efek gas rumah kaca, karena sintesa lignoselulosa hanya mengambil energi dari matahari, CO2 dan H2O dari lingkungan, bahkan melepaskan O2 yang berguna untuk kehidupan makhluk hidup lainnya [2]. Lignoselulosa terdiri dari tiga komponen utama: selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa adalah polisakarida dengan rantai linier yang mengandung unit Č• 4) glukosa, yang merupakan polimer organik paling banyak di bumi [3]. Komponen lain dari lignoselulosa adalah hemiselulosa, polimer amorf kompleks yang bergantung dari derajat percabangannya [4]. Komponen yang ketiga adalah lignin merupakan polimer kompleks yang terbentuk dari unit phenylpropane : coumaryl, coniferyl dan sinapyl .

13


Berdasarkan sifat alaminya, lignin sangat stabil karena struktur kimianya mengelilingi serat hemiselulosa dan selulosa untuk memperkuat struktur suatu tanaman [5]. Biomassa lignoselulosa ini mempunyai struktur yang rumit dan kompleks, sehingga pemanfaatan material ini untuk menjadi bahan bakar sering kali mengalami kendala dimana jaringan ikatan lignin-hemiselulosa-selulosa sangat kuat (Gambar 1). Untuk mengatasi hal tersebut, pretreatment sangat penting dilakukan. Banyak jenis pretreatment lignoselulosa yang sudah diteliti menggunakan a mmonia fiber explosion (AFEX) [7], CO2 explosion [8], stea m explosion [9], ionic liquids (IL) [10], organic solvent [11], hot water [12] dan hidrolisis asam [13]. Akan tetapi, prosesproses tersebut memiliki kelemahan yaitu bahan-bahan kimia pembuatan IL sangat mahal, membutuhkan netralisir kondisi pH untuk kondisi asam, dan memakan banyak tenaga listrik untuk proses pemanasan. Produksi bahan bakar dari biomassa lignoselulosa bisa dilakukan pada berbagai jalur konversi, seperti biokimia (menggunakan enzim dan mikroorganisme), termokimia (temperatur/tekanan tinggi) dan hidrolisis [14,15]. Proses konversi dilakukan dalam reaktor sub-critical water. Metode sub-critical water (SCW) ini bisa diartikan seperti hot compressed water (HCW) atau likuifikasi hidrotermal pada rentang suhu 100 - 374oC dengan kondisi tekanan tinggi [16,17]. Keunikan metode ini adalah pelarut yang digunakan yaitu air yang dikenal sebagai pelarut alam untuk konversi biomassa dengan sifat alamiah yang unik, air bisa menjadi reaktan dan juga katalis pada kondisi tekanan tertentu [18]. Maka dari itu, dalam proses penelitian ini tidak ada penambahan katalis asam ataupun basa, karena air menghasilkan ion hidroksil atau proton yang bertindak sebagai katalis pada kondisi yang bertekanan. Jalur reaksi konversi lignoselulosa sangat rumit dan menghasilkan beberapa produk intermediate , seperti hydroxymethylfurfural, levulinic acid dan formic acid [19]. Levulinic acid telah diidentifikasi sebagai salah satu platform kimia utama dengan rantai pendek fatty acid yang terdiri dari kelompok keton karbonil dan asam karboksilat, dan kehadiran dari dua kelompok tersebut membuat senyawa ini memiliki sistem reaktifitas yang unik [20,21]. Sebagai salah satu platform kimia utama, levulinic acid memiliki potensi sebagai senyawa kimia yang serbaguna untuk aditif bahan bakar, pembentukan polimer, herbisida, farmasi, intermediate kimia dan penambah rasa [22]. Beberapa biomassa lignoselulosa dari limbah pertanian sudah diteliti untuk konversi levulinic acid sebagai intermediate bahan bakar seperti tunggul jagung [23], ampas tebu [24] dan batang gandum [25]. Kacang merupakan hasil produk pertanian terkenal yang kaya akan protein dan serat. Di Indonesia, angka produksi kacang ini mencapai 1.150.000 ton tiap tahunnya pada 2012 [26]. Dengan jumlah produksi kacang sebesar ini, maka akan ada banyak limbah dari penggunaan kacang sebagai produksi pangan, yaitu sebesar 276.000 ton tiap tahunnya [27]. Kulit kacang ini tidak bisa dimanfaatkan lebih lanjut dan menjadi limbah organik yang berdampak pada lingkungan. Maka dengan adanya pemanfaatan kulit kacang ini sebagai intermediate biojet akan membantu pemerintah menyelesaikan permasalahan limbah di Indonesia sekaligus menambah nilai guna dari kulit kacang yang awalnya tidak berguna.

Pada penelitian ini, kulit kacang akan dikonversi menjadi levulinic acid tanpa menggunakan bantuan katalis dan prosesnya dilakukan pada berbagai temperatur. Sebelum proses hidrolisa, kulit kacang terlebih dahulu diolah dengan larutan NaOH untuk proses delignifikasi dengan tujuan untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa, merusak kristalinitas selulosa, meningkatkan porositas biomassa agar selulosa lebih mudah terdegradasi ke bentuk molekul yang lebih sederhana dan meningkatkan yield glukosa selama keseluruhan proses penelitian, karena degradasi selulosa dari biomassa sangat sulit diakibatkan oleh ikatan struktur lignin dalam biomassa [28]. Hingga saat ini, masih belum ada penelitian yang membahas konversi levulinic acid menggunakan metode sub-critical water tanpa bantuan katalis. Karena penambahan katalis seperti mineral acids menyebabkan efek korosi pada peralatan, pengolahan pada hasil akhir yang rumit (bentuk cair katalis menyatu dengan levulinic acid) dan memperburuk kondisi lingkungan. Dengan metode sub-critical water ini diharapkan bisa mengatasi masalah penambahan katalis asam, sehingga lebih ramah lingkungan. Selanjutnya hasil akhir akan dikarakterisasi menggunakan Gas Chromatography (GC) dan kulit kacang akan dianalisa untuk mengetahui keadaan morfologi lignoselulosa selama proses penelitian ini menggunakan teknik Scanning Electron Microscope (SEM).

G ambar 1. Struktur lignoselulosa [6]

2. E ksperimental 2.1. Bahan baku dan bahan kimia Kulit kacang didapatkan dari sebuah industri kacang yang terletak di kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Kulit kacang dibersihkan dengan air, dan dikeringkan di oven selama 3 jam dengan suhu 70oC untuk mengurangi kadar air dari biomassa. Selanjutnya, kulit kacang yang kering dihancurkan menggunakan grinder. Semua bahan kimia yang dipakai dalam penelitian ini didapatkan dari Sigma Aldrich, Singapura sebagai bahan analitis dan dipakai langsung tanpa purifikasi. 2.2. Karakterisasi bahan baku Karakterisasi ini dilakukan untuk mengetahui komposisi karbohidrat, lignin dan ekstraktif (bahan non-struktural) dalam kulit kacang berdasarkan prosedur eksperimen yang dipakai dalam karakterisasi ini berdasarkan prosedur Laboratory Analytical Procedures (LAPs) dari National (NREL) dengan Renewable Energy Laboratory menggunakan alat Dionex Accelerated Solvent Extractor (ASE) model 200 [29,30]. Kulit kacang kering dihancurkan dan diayak sehingga didapatkan ukuran partikel antara 200 dan 700 Âľm yang

14


akan dipakai dalam karakterisasi bahan baku ini. Kulit kacang diletakkan pada tempat ekstraksi di ASE dengan etanol 95% wt. pada suhu 100oC dan 103 psi selama 20 menit untuk mengekstrak material non-struktural. Sisa dari ekstraksi (material struktural) dikeringkan dan jumlah ekstraktif ditentukan dengan perbedaan berat. Karbohidrat dan lignin dalam kulit kacang ditentukan dengan dua tahap hidrolisa asam untuk memisahkan biomassa ke fraksi yang lebih sederhana. Pertama, ekstrak kulit kacang kering dilarutkan di 72% wt. H 2SO4 dioperasikan pada suhu 30oC selama 60 menit dengan pengadukan, lalu dilarutkan dengan aquades sebanyak 4% wt. Tahap kedua adalah larutan dihidrolisa dalam autoklaf selama 1 jam pada suhu 121oC, dan difiltrasi melalui filter vakum untuk memisahkan filtrat dari acid insoluble residue . Filtrat dianalisa menggunakan High Performance Liquid Chromatograph/HPLC (Jasco, Jepang) yang dilengkapi dengan detektor Jasco 830-RI Intelligent RI dan kolom Cosmosil sugar-D untuk menentukan komposisi karbohidrat. Acid soluble lignin diukur menggunakan Shimadzu UVmini-1240 UV-VIS Spectrophotometer . Untuk menentukan jumlah Klason lignin dan abu di kulit kacang, acid insoluble residue diletakkan dalam furnace dengan temperatur dan waktu tertentu. 2.3. Pretreatment biomassa lignoselulosa Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk memutus ikatan lignin dalam biomassa lignoselulosa dengan metode yang dinamakan delignifikasi. Bubuk kulit kacang kering dilarutkan dengan larutan NaOH 25% wt. Dan dipanaskan pada suhu 80oC selama 36 jam. Pada pretreatment ini, warna larutan akan menggelap karena lignin akan larut dalam larutan NaOH. Setelah proses delignifikasi selesai, bubuk biomassa dipisahkan dari larutan NaOH dengan bantuan alat filtrasi. Kemudian bubuk dinetralisir dengan aquades dan dikeringkan di oven pada suhu 100oC selama 4 jam untuk menghilangkan air dan sisa NaOH yang terdapat dalam bubuk kulit kacang. 2.4. Konversi biomassa ke levulinic acid Konversi dilakukan dengan bubuk biomassa yang sudah melalui tahap delignifikasi, dan dilakukan dengan metode sub-critical water. Reaksi hidrolisa dijalankan pada reaktor batch bertekanan tinggi (volume = 150 mL, ID = 5,2 cm, tinggi = 8,5 cm). Sistem keseluruhan dilengkapi thermocouple, pressure gauge, pemanas elektrik, dan semua pipa terbuat dari stainless steel . Reaktor juga dibantu dengan gas Nitrogen untuk memberi tekanan selama proses dan mempertahankan larutan dalam fase cair. Lignoselulosa yang sudah didelignifikasi dilarutkan dengan aquades dan diletakkan dalam reaktor sub-critical water, lalu reaktor ditutup dengan delapan M8 sekrup. Selanjutnya, sistem dilewati gas Nitrogen (kemurnian 99,9%) yang didaptkan dari PT. Aneka Gas. Larutan dipanaskan sampai temperatur tertentu (180oC dan 200oC) selama 6 jam dengan laju pemanasan sebesar 20oC/menit dan tekanan dijaga konstan 30 bar. Waktu reaksi mula-mula terjadi pada saat temperatur dan tekanan pada sistem mencapai titik yang sudah diatur. Temperatur pada sistem dikontrol dengan kontroler tipe PID dan tekanan dijaga pada kondisi isobar dan isotermal. Setelah reaksi selesai, pemanas dimatikan dan reaktor didinginkan pada tekanan atmosfer

sampai suhu 50oC. Kemudian produk akhir dipindahkan dari reaktor dan dipisahkan dari kulit kacang dengan filter vakum, lalu dianalisa menggunakan Gas Chromatography (GC Hewlett Packard Plus 6890) yang dilengkapi dengan flame ionization detector (FID) pada suhu 250oC dan kolom kapiler DB-WAXetr (30 m x 0,53 mm x 1 Âľm). Oven GC dijaga pada suhu 125oC selama 5 menit, dipanaskan hingga 180oC dengan laju pemanasan 15oC/menit dan suhu dipertahankan selama 12 menit. Helium digunakan sebagai carrier gas dengan laju alir 37cm/s pada suhu 40oC. Sampel diinjeksikan sebanyak 1ÂľL dengan split ratio sebesar 1:10. Kulit kacang dikeringkan di oven pada suhu 100 oC selama 8 jam untuk karakterisasi morfologi menggunakan SEM. 3. H asil dan Pembahasan 3.1. Karakterisasi kulit kacang Karakterisasi komponen bahan baku dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur dari NREL, untuk mengetahui kandungan karbohidrat, lignin dan ekstraktif. Karbohidrat dalam kulit kacang terikat dengan struktur lignin, sedangkan material non-struktural seperti ekstraktif bisa dianalisa dengan metode ekstraksi. Dalam analisa karbohidrat dan lignin dibagi menjadi 2 tahap hidrolisa, pertama kulit kacang diberi asam sulfat sebanyak 72% wt. untuk menghidrolisa lignin dan karbohidrat. Selanjutnya campuran ini dihidrolisa lagi di dalam autoklaf, untuk memecah struktur karbohidrat ke bentuk yang lebih sederhana. Sehingga campuran ini nantinya difiltrasi dan didapatkan filtrat yang dianalisa dengan HPLC dan cairan yang akan dianalisa dengan UVVIS Spektrofotometer. Kelompok lignin dibagi menjadi dua berdasarkan analisa ini yaitu Klason lignin merupakan bagian lignin yang tertinggal dalam biomassa setelah proses fraksinasi dan acid-soluble residue adalah bagian lignin yang terlarut dalam proses hidrolisa menggunakan asam sulfat. Berdasarkan hasil analisa ultimat (Tabel 1), dapat diketahui bahwa kulit kacang merupakan material organik yang cocok digunakan dalam pembuatan biojet karena mengandung karbohidrat dalam jumlah tinggi (48,9%) dan kandungan lignin yang cukup rendah (33%). T abel 1. H asil analisa ultimat dari kulit kacang K omposisi Jumlah (% berat kering) K arbohidrat G lucan 28,1% Xylan 18,2% A rabinan 2,1% G alactan 0,3% M annan 0,2% L ignin K lason lignin Acid soluble redisue

33,0% 2,2%

E kstraktif A bu L ain-lain

7,5% 6,3% 2,1%

3.2. Morfologi Kulit Kacang Karakterisasi ini dilakukan untuk mengetahui kondisi morfologi bahan baku pada 3 kondisi yaitu sebelum dan sesudah pretreatment serta sesudah konversi kulit kacang menjadi levulinic acid. Dari gambar 2 bisa diketahui dengan jelas perbedaan morfologi setelah 3 tahap yang berbeda dalam penelitian ini. Pada kondisi awal (Gambar 2 A)

15


morfologi kulit kacang yang sudah dihancurkan memiliki bentuk kristal yang kompleks dan selulosa masih dilindungi oleh hemiselulosa dan lignin pada bagian luar. Setelah proses delignifikasi, morfologi kulit kacang berubah drastis dengan adanya kerusakan di bagian lignin dan diikuti oleh sedikit hemiselulosa yang ikut terlarut dalam larutan NaOH 25% wt. Sehingga bisa dilihat pada gambar 2 (B) morfologi kulit kacang memiliki rongga-rongga akibat rusaknya lignin dan hemiselulosa. Pada proses hidrolisa kulit kacang menggunakan metode sub-critical water (gambar 2 C), biomassa lignoselulosa mengalami degradasi kristalinitas selulosa dan jaringan hemiselulosa yang rusak, sehingga kulit kacang bisa dimanfaatkan lebih lanjut untuk pembuatan intermediate biojet.

!

!"

#"

adalah 200 - 220oC [35], dimana hasil penelitian ini juga memiliki yield levulinic acid optimum pada suhu reaksi 200oC. 4. K esimpulan Kulit kacang merupakan biomassa yang memiliki prospek cukup baik untuk menjadi bahan baku pembuatan intermediate biojet dengan yield maksimum sebesar 78%. Pada proses hidrolisa sub-critical water kulit kacang, temperatur berperan penting dalam pembentukan levulinic acid antara lain untuk merusak kristalinitas selulosa dan hemiselulosa sebagai titik awal pemutusan rantai karbon dalam tahap pembentukan HMF lalu dilanjutkan menjadi intermediate biojet levulinic acid. 4.1. Pengembangan Hasil Hasil penelitian berupa levulinic acid ini nantinya bisa diteliti lebih lanjut menjadi bahan bakar biojet terbarukan dengan menggunakan proses hidrogenasi tanpa menggunakan katalis dengan metode sub-critical water . Pengembangan hasil menjadi biojet ini nantinya akan dikarakterisasi sesuai dengan spesifikasi standar internasional ASTM D1655 untuk bahan bakar Jet A-1 yang digunakan secara internasional sebagai bahan bakar pesawat terbang saat ini. Karakterisasi dan kandungan biojet yang dilakukan adalah kadar total sulfur maks. 0,3% wt., kadar aromatik maks. 0,1% vol., flash point min. 38oC, densitas pada 15oC antara 775-840kg/m3, freezing point maks. -47oC, viskositas pada -20oC maks. 8cSt dan energy density min. 42.8MJ/kg.

$"

U C A P A N T E R I M A K ASI H

G ambar 2. H asil SE M kulit kacang (A) sebelum pretreatment , (B) sesudah pretreatment dan (C) hidrolisa

3.3. Pengaruh Suhu Hidrolisis lignoselulosa menjadi intermediate biojet ini sangat rumit dan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan levulinic acid adalah temperatur proses reaksi [31]. Konversi dijalankan pada 2 suhu yang berbeda untuk mengetahui bagaimana pengaruh suhu dalam pembentukan levulinic acid yaitu 180 dan 200oC. Berikut ini adalah reaksi konversi kulit kacang menjadi levulinic acid: Selulosa Glukosa HMF LA + FA

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Department of Chemical Engineering, National Taiwan University of Science and Technology, atas bantuannya dalam karakterisasi bahan baku dalam penelitian ini. D A F T A R PUST A K A [1]

[2]

Humin

[3]

Pada reaksi ini juga didapati humin yang merupakan produk sampingan dari biomassa yang dihidrolisa, dimana kehadiran humin ini tidak diharapkan karena akan menurunkan yield produk levulinic acid [32]. Penyebab timbulnya endapan humin disebabkan oleh HMF dan glukosa dalam larutan selama proses hidrolisa [33,34]. Yield levulinic acid yang terbentuk pada suhu 200oC lebih tinggi dengan hasil maksimum sebesar 78%, sedangkan suhu hidrolisa 180oC membentuk HMF beserta produk sampingan berupa humin dengan yield levulinic acid 34% dikarenakan konversi selulosa yang kurang sempurna dalam reaksi. Menurut Rackemann dan Doherty, suhu reaksi optimum untuk mendapatkan yield optimum levulinic acid

[4]

*HMF = Hydroxymethylfurfural, LA = Levulinic acid, FA = Formic acid

[5] [6] [7]

[8]

G. Dragone, B. Fernandes, A. A. Vicente, dan J. A. Teixeira, ³Third generatLRQ ELRIXHOV IURP PLFURDOJDH ´ Current Research, Technology and Education Topics in Applied Microbiology and Microbial Biotechnology, FORMATEX, pp.1355-1366, 2010. 6 /LX / 3 $EUDKDPVRQ GDQ * 0 6FRWW ³%LRUHILQHU\ (QVXULQJ biomass as a sustainable renewable source of chemicals, materials, DQG HQHUJ\ ´ Biomass and Energy, vol. 39, pp.1-4, 2010. - $ 0HOHUR - ,JOHVLDV GDQ $ *DUFLD ³%LRPDVV DV UHQHZDEOH feedstock in standard refinery units. Feasibility, opportunities and FKDOOHQJHV ´ Energy Environ. Sci., vol. 5, pp.7393-7420, 2012. E. G. Rodriguez, O. M. P. Rivera, L. J. Enriquez, J. A. Ramirez, dan 0 9D]TXH] ³$FLG K\GURO\VLV RI ZKHDW VWUDZ $ NLQHWLF VWXG\ ´ Biomass and Bioenergy, vol. 36, pp.346-355, 2012. P. Azadi, O. R. Inderwildi, R. Farnood, dan ' $ .LQJ ³/LTXLG IXHOV K\GURJHQ DQG FKHPLFDOV IURP OLJQLQ $ FULWLFDO UHYLHZ ´ Renewable and Sustainable Energy Reviews, vol. 21, pp.506-523, 2013. : 2 6 'RKHUW\ 3 0RXVDYLRXQ GDQ & 0 )HOORZV ³9DOXH-adding to cellXORVLF HWKDQRO /LJQLQ SRO\PHUV ´ Industrial Crops and Products, vol. 33, pp.259-276, 2011. S. P. S. Chundawat, L. Chang, C. Gunawan, V. Balan, C. McMahan GDQ % ( 'DOH ³*XD\XOH DV D IHHGVWRFN IRU OLJQRFHOOXORVLF biorefineries using ammonia fiber expDQVLRQ $)(; SUHWUHDWPHQW ´ Industrial Crops and Products, vol. 37, pp.486-402, 2012. M. FitzPatrick, P. Champagne, M. F. Cunningham dan R. A. :KLWQH\ ³$ ELRUHILQHU\ SURFHVVLQJ SHUVSHFWLYH 7UHDWPHQW RI

16


[9]

[10]

[11]

[12]

[13]

[14] [15] [16]

[17] [18]

[19]

[20]

[21] [22]

[23] [24]

[25]

[26] [27]

lignocellulosic materials for the production of value-DGGHG SURGXFWV ´ Bioresource Technology, vol. 101, pp.8912-8922, 2010. S. H. Blanquet, D. Zheng, N. L. Ferreira, C. Lapierre and S. %DXPEHUJHU ³(IIHFW RI SUHWUHDWPHQW DQG HQ]\PDWLF K\GURO\VLV RI wheat straw on cell wall composition, hydrophobicity and cellulase DGVRUSWLRQ ´ Bioresource Technology, vol. 102, pp.5938-5946, 2011. D. Yang, L. X. Zhong, T. Q. Yuan, X. W. Pen dan R. C. Sun. ³6WXGLHV RQ WKH VWUXFWXUDO FKDUDFWHUL]DWLRQ RI OLJQLQ KHPLFHOOXORVH DQG cellulose fractionated by ionic liquid followed by alkaline extraction IURP EDPERR ´ Industrial Crops and Products, vol. 43, pp.141-149, 2013. 6 * :HWWVWHLQ ' 0 $ORQVR ( , *XUEX] GDQ - $ 'XPHVLF ³$ roadmap for conversion of lignocellulosic biomass to chemicals and IXHOV ´ Current Opinion in Chemical Engineering, vol. 1, pp.218-224, 2012. U. H. Mantila, K. Marjamaa, Z. Merali, A. Kasper, P. D. Bot, A. S. -DDVNHODLQHQ . :DOGURQ . .UXXV GDQ 7 7DPPLQHQ ³,PSDFW RI hydrothermal pre-treatment to chemical composition, enzymatic GLJHVWLELOLW\ DQG VSDWLDO GLVWULEXWLRQ RI FHOO ZDOO SRO\PHUV ´ Bioresource Technology, vol. 138, pp.156-162, 2012. M. Nuruddin, A. Chowdhury, S. A. Haque, M. Rahman, S. F. Farhad, 0 6 -DKDQ GDQ $ 4XDL\\XP ³([WUDFWLRQ DQG FKDUDFWHUL]DWLRQ RI cellulose microfibrils from agricultural wastes in an integrated ELRUHILQHU\ LQLWLDWLYH ´ Cellulose Chemistry and Technology, vol. 45(5-6), pp.347-354, 2011. R. E. H. Sims, W. Mabee, J. N. Saddler, dan 0 7D\ORU ³$Q overview of second generation biofXHO WHFKQRORJLHV ´ Bioresource Technology, vol. 101, pp.1570-1580, 2010. D. M. Alonso, J. Q. Bond, dan - $ 'XPHVLF ³&DWDO\WLF FRQYHUVLRQ RI ELRPDVV WR ELRIXHOV ´ Green Chemistry, vol. 12, pp.1493-1513, 2010. I. N. Ahmed, P. l. T. Nguyen, L. H. Huynh, S. Ismadji, dan Y. H. Ju, ³%LRHWKDQRO SURGXFWLRQ IURP Melaleuca leucadendron shedding bark ¹ Simultaneous saccharification and fermentation at high solid ORDGLQJ ´ Bioresource Technology, vol. 136, pp.213-221, May 2013. S. S. Toor, L. Rosendahl, dan $ 5XGROI ³+\GURWKHUPDO OLTXHIDFWLRQ RI ELRPDVV $ UHYLHZ RI VXEFULWLFDO ZDWHU WHFKQRORJLHV ´ Energy, vol. 36, pp.2328-2342, 2011. P. Daorattanachai, S. Namuangruk, N. V. Empikul, N. Laosiripojana, dan . )DXQJQDZDNLM ³ -Hydroxymethylfurfural production from sugars and cellulose in acid- and base-catalyzed conditions under hot FRPSUHVVHG ZDWHU ´ Journal of Industrial and Engineering Chemistry, vol. 18, pp.1893-1901, 2012. T. S. Jeong, C. H. Choi, J. Y. Lee, dan . . 2K ³%HKDYLRUV RI glucose decomposition during acid-catalyzed hydrothermal hydrolysis of pretreated Gelidium a mansii, ´ Bioresource Technology, vol. 116, pp.435-440, 2012. R. Weingarten, Y. T. Kim, G. A. Tompsett, A. Fernandez, K. S. Han, E. W. Hagaman, Wm. C. Conner Jr., J. A. Dumesic, dan G. W. +XEHU ³&RQYHUVLRQ RI JOXFRVH LQWR OHYXOLQLF DFLG ZLWK VROLG PHWDO ,9 SKRVSKDWH FDWDO\VWV ´ Journal of Catalysis, vol. 304, pp.123-134, 2013. C. Chun, M. Xiaojian, dan & 3HLOLQ ³.LQHWLFV RI OHYXOLQLF DFLG formation from gluFRVH GHFRPSRVLWLRQ DW KLJK WHPSHUDWXUH ´ Chinese J. Chem. Eng., vol. 14(5), pp.708-712, 2006. H. Ren, Y. Zhou, dan / /LX ³6HOHFWLYH FRQYHUVLRQ RI FHOOXORVH WR levulinic acid via microwave-DVVLVWHG V\QWKHVLV LQ LRQLF OLTXLGV ´ Bioresource Technology, vol. 129, pp.616-619, 2013.S. Dutta, S. De, dan % 6DKD ³$GYDQFHV LQ ELRPDVV WUDQVIRUPDWLRQ WR K\GUR[\PHWK\OIXUIXUDO DQG PHFKDQLVWLFV DVSHFWV ´ Biomass and Bioenergy, pp.1-15, 2013, in press. S. Dutta, S. De, dan % 6DKD ³$GYDQFHV LQ ELRPDVV WUDQsformation to 5-K\GUR[\PHWK\OIXUIXUDO DQG PHFKDQLVWLFV DVSHFWV ´ Biomass and Bioenergy, pp.1-15, 2013, in press. M. O. S. Dias, T. L. Junqueira, O. Cavalett, L. Gv. Pavanello, M. P. Cunha, C. D. F. Jesus, R. M. Filho, dan $ %RQRPL ³%LRUHILQHULHV IRU the production of first and second generation ethanol and electricity IURP VXJDUFDQH ´ Applied Energy, vol. 109, pp.72-78, 2013. W. Hui, L. Jiajia, L. Yucai, G. Peng, W. Xiaofen, M. Kazuhiro, dan & =RQJMXQ ³%LRFRQYHUVLRQ RI XQ-pretreated lignocellulosic materials by microbial consortium XDC- ´ Bioresource Technology, vol. 136, pp.481-487, 2013. )RUHLJQ $JULFXOWXUDO 6HUYLFH ³:RUOG $JULFXOWXUDO 3URGXFWLRQ ´ LQ United States Department of Agriculture, June 2013. C. L. Butts, R. B. Sorensen, R. C. Nuti, M. C. Lamb, dan W. H. )DLUFORWK ³3HUIRUPDQFH RI (TXLSPHQW IRU ,Q-Field Shelling of Peanut

IRU %LRGLHVHO 3URGXFWLRQ ´ American Society of Agricultural and Biological Engineers, vol. 52(5), pp.1461-1469, 2009. [28] X. Zhao, F. Peng, K. Cheng daQ ' /LX ³(QKDQFHPHQW RI WKH enzymatic digestibility of sugarcane bagasse by alkali-peracetic acid SUHWUHDWPHQW ´ Enzyme and Microbial Technology, vol. 44, pp.17-23, 2009. [29] A. Sluiter, B. Hames, R. Ruiz, C. Scarlata, J. Sluiter, D. Templeton, dan D. &URFNHU ³'HWHUPLQDWLRQ RI VWUXFWXUDO FDUERK\GUDWHV DQG OLJQLQ LQ ELRPDVV ´ 1DWLRQDO 5HQHZDEOH (QHUJ\ /DERUDWRU\ 15(/ 73-51042618, 2011. [30] A. Sluiter, R. Ruiz, C. Scarlata, J. Sluiter, dan D. Templeton, ³'HWHUPLQDWLRQ RI H[WUDFWLYHV LQ ELRPDVV ´ 1DWLRnal Renewable Energy Laboratory, NREL/TP-510-42619, 2008. [31] Z. Yang, H. Kang, Y. Guo, G. Zhuang, Z. Bai, H. Zhang, C. Feng, GDQ < 'RQJ ³'LOXWH-acid conversion of cotton straw to sugars and levulinic acid via 2-VWDJH K\GURO\VLV ´ Industrial Crops and Products, vol. 46, pp.205-209, 2013. [32] $ 7DNDJDNL 6 1LVKLPXUD GDQ . (ELWDQL ³&DWDO\WLF 7UDQVIRUPDWLRQV of Biomass-Derived Materials into Value-$GGHG &KHPLFDOV ´ Catal. Surv. Asia , vol. 16, pp. 164-182, 2012. [33] W. Liu, Y. Hou, W. Wu, Z. Liu, Q. Liu, S. Tian, dan K. N. Marsh, ³(IILFLHQW &RQYHUVLRQ RI &HOOXORVH WR *OXFRVH /HYXOLQLF $FLG DQG Other Products in Hot Water Using SO2 DV D 5HFRYHUDEOH &DWDO\VW ´ Ind. Eng. Che. Res., vol. 51, pp.15503-15508, 2012. [34] / .XSLDLQHQ - $KROD GDQ - 7DQVNDQHQ ³.LQHWLFV RI JOXFRVH GHFRPSRVLWLRQ LQ IRUPLF DFLG ´ Chemical Engineering Research and Design, vol. 89, pp.2706-2713, 2011. [35] ' : 5DFNHPDQQ GDQ : 2 6 'RKHUW\ ³5HYLHZ 7KH FRQYHUVLRQ RI lignocellulosics WR OHYXOLQLF DFLG ´ Biofuels, Bioprod. Bioref., vol. 5, pp.198-214, 2011.

17


Kode Modular 1 Dimensi untuk Penyelesaian Masalah Spasial Dependen Kinetik sebagai Fitur Tambahan dari SRAC One Dimension Modular Code to Solve Spatial Dependent Kinetic Problem as Additional Feature of SRAC 1,2

Rezki Meidiono1,a dan Andang Widi Harto2,b

Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. aEmail: rezki.meidiono@mail.ugm.ac.id, . bEmail: andang@ugm.ac.id

Abstrak- Telah berhasil dibuat kode modular 1 dimensi untuk menyelesaikan masalah spasial dependen kinetik sebagai fitur tambahan dari SRAC. Kode ini dirancang untuk melengkapi SRAC dalam perhitungan transien yang sangat penting bagi perancangan reaktor nuklir. Pembuatan kode dilakukan dengan menyelesaikan persamaan difusi transien 2 grup. Parameterparameter neutronik didapatkan melalui TWIGL Benchmark Problem. Hasil perhitungan divalidasi dengan melihat produk antara hasil perhitungan persamaan difusi transien 2 grup dengan hasil perhitungan persamaan adjointnya. Pengintegrasian dengan SRAC dilakukan dengan pembacaan parameter-parameter neutronik hasil dari kode-kode pendukung seperti PIJ dan CITATION. Kata Kunci—Kode modular, perhitungan transien, spasial dependen kinetik, SRAC. Abstract- One dimension modular code to solve spatial dependent kinetic problem as additional feature of SRAC had been successfully made. The code was designed to complete SRAC in transient calculation which is very important when designing nuclear reactor. The code was made by solving 2 group transient diffusion equation. The neutronic parameters were taken from TWIGL Benchmark Problem. The result of the calculation was validated by taking product of 2 group transient diffusion equation results and its adjoint equation results. The integration of the code with SRAC was done by reading neutronic parameters which were obtained from auxiliary code such as PIJ and CITATION. Keywords—Modular code, transient calculation, spatial dependent kinetic, SRAC.

I. PENDAHULUAN A. Pengenalan SRAC SRAC adalah system code yang dikembangkan oleh Japan Atomic Energy Agency (JAEA) untuk analisis neutronik yang diaplikasikan untuk berbagai jenis tipe reaktor . SRAC terdiri atas berbagai pustaka data neutron dan lima kode neutronik diantaranya adalah PIJ yang didasarkan pada collision probability method yang teraplikasi untuk 16 model geometri, ANISN(1D) dan Twotran(2D) yang didasarkan pada teori transport, dan TUD(1D) dan CITATION(multi-D) yang didasarkan pada teori difusi neutron[1]. Kode-kode yang terdapat di dalam SRAC hanya dapat menganalisis masalah neutronik yang statis (tidak bergantung waktu) dan belum dapat menyelesaikan persoalan transien, misalnya pada waktu start-up atau pada pemasukan/penarikan batang kendali. SRAC ditulis menggunakan bahasa pemrograman fortran dan dijalankan pada sistem operasi UNIX atau Unix-like seperti Linux. B. Kinetika Reaktor Nuklir Analisis kinetika reaktor nuklir memiliki peranan yang sangat penting dalam keselamatan reaktor. Peristiwa transien dapat ditemui pada saat start-up maupun pada pemasukan/penarikan batang kendali.

Pada praktiknya, analisis kinetika reaktor nuklir banyak dilakukan dengan menyelesaikan persamaan one-point kinetic yang mengasumsikan secara implisit bahwa perubahan fluks neutron terhadap waktu terjadi secara seragam di seluruh bagian teras reaktor. Hal ini hanya berlaku ketika misalnya, batang kendali diturunkan/dinaikkan secara seragam di dalam teras dan tidak berlaku ketika adanya penarikan/pemasukan batang kendali di titik-titik tertentu secara lokal. Untuk menganalisis perubahan fluks neutron secara lokal, diperlukan penyelesaian persamaan kinetik yang bergantung ruang. Persamaan ini disebut persamaan spatial dependent kinetic. Makalah ini akan membahas mengenai pembuatan kode berdasarkan pada penyelesaian persamaan spatial dependent kinetic dan pengintegrasiannya dengan SRAC sebagai suatu system code yang utuh. II. PENYELESAIAN PERSAMAAN SPATIAL DEPENDENT KINETIC A. TWIGL Benchmark Problem TWIGL Benchmark Problem adalah masalah transien dua dimensi dengan input step maupun ramp. Pada persoalan ini, TWIGL Benchmark Problem akan dimodifikasi menjadi satu dimensi saja dan input yang digunakan adalah input step. Pada TWIGL Benchmark

18


Problem, jumlah energi grup yang digunakan adalah 2 grup dengan 1 fraksi neutron kasip. Modifikasi 1 dimensi ditunjukkan dengan menggunakan daerah yang dibatasi oleh garis merah pada Gambar 1. Input step pada region 1 dengan menarik batang kendali sehingga 0.0035 > , ( ) = , (0) 0.0 . Parameter-parameter berupa koefisien difusi(D), tampang lintang makroskopik serapan( ) , tampang lintang makroskopik hamburan( ), tampang lintang makroskopik fisi( ), neutron spectra ( ), kecepatan neutron (v), dan parameter-parameter neutron kasip ( ) dari persoalan ini ditunjukkan pada Tabel 1.

Secara matematis, oleh Sutton dan Aviles (1996) neraca neutron dapat dinyatakan sebagai Pers. (1) [2] ( , ) 1 ( , )

= +

,

+ (1

)

+ dimana

( , ) ( , )

=

( , )

,

( , )

( , )

(1)

+

,

,

,

dan populasi neutron kasip Pers. (2) [2] ( , )

( , )

( , )

,

, ,

,

( , )

,

=

dapat dinyatakan dengan

( , )

,

( , )

( , )

(2)

Pada keadaan steady state, suku akumulasi Pers. (1) dan Pers. (2) menjadi 0, dan Pers. (2) menjadi Pers. (3) ( , 0) =

Gambar 1. TWIGL Benchmark Problem Termodifikasi 1 D

Tabel 1. Parameter-parameter TWIGL Benchmark Problem

( , 0)

,

( )

( )+

,

( )

( ) ( )

,

+

B.

Forward Spatial Dependent Kinetic Neraca neutron pada teras reaktor dapat dinyatakan sebagai = Suku generasi neutron disumbangkan oleh prompt neutron dari hasil fisi maupun neutron kasip (delayed neutron) akibat aktivitas dari nuklida hasil fisi. Suku kehilangan neutron dapat disebabkan antara lain kebocoran difusi, serapan bahan bakar, dan hamburan neutron ke tingkat energi yang lebih rendah.

(3)

dengan mensubtitusi Pers. (3) ke Pers. (1), maka akan didapatkan Pers. (4)

=

Dipilihnya TWIGL Benchmark Problem adalah karena untuk menghindari proses mendesain teras reaktor dari awal mengingat makalah ini hanya terfokus pada pembuatan kode modular saja.

( , 0)

,

( ) ( )

( )

(4)

Untuk t<=0.0, maka diselesakan Pers. (4) yang tidak bergantung waktu untuk mendapatkan harga fluks neutron di awal untuk menyelesaikan Pers. (1) dan Pers. (2) secara simultan. Metode penyelesaian adalah dengan metode yang biasa digunakan untuk penyelesaian persaman diferensial parsial secara numerik seperti yang terdapat dalam Ban (2011)[3]. Penyelesaian secara spasial menggunakan metode Finite Volume Method Ban (2011) memberikan persamaan difusi yang telah terdiskritisasi terhadap waktu pada Pers. (5)[3]

+

( , + , ( , +

=

,

+

,

) ( , + ) ( , + ( , +

( , +

) +

)

) ) ( , +

,

( , )

) (5)

19


dan populasi neutron kasip diberikan sebagai Pers.(6)[3] ( , +

) =

( , ) + ( , +

+

)

( , )

(6)

dimana, ( , +

) =

,

,

( , +

) =

,

= (1

)

,

) ) +

( , +

)

1

(9)

[

( , ) +

( , )+

1

(7) (8)

, ,

, ,

+

( , )]

( , )

(10)

( , )

( , ) = + = exp ( 1 = =

( , +

+

,

( , ) =

,

( , +

1

[

, ,

( , ) exp(

( , )]

)

,

1

( , )

(11) (12)

)

exp (

exp (

)

)

Gambar 2 Relative Power dari Reaktor dengan Input Fungsi Step

Tetapi perbedaan dengan one-point kinetic problem adalah perubahan profil fluks neutron terhadap waktu. Gambar 3 memperlihatkan perubahan profil fluks neutron cepat terhadap waktu, sedangkan Gambar 4 memperlihatkan perubahan profil fluks neutron termal terhadap waktu.

(13) (14)

Untuk t=0.0 s, Maka populasi neutron kasip diberikan seperti pada Pers. (3) dan memberikan Pers. (15) ( , 0) =

,

( , 0)

( , 0)

(15)

dan dari syarat steady state Pers.(1), maka ( , 0) = 0

(16)

Dari Pers. (4), (5), (6), (15), dan (16) dapat disusun sebuah kode (program komputer) untuk menyelesaikan persoalan ini. Kode ini akan memberikan output berupa profil perubahan power yang terintegrasi ruang terhadap waktu dan profil fluks neutron pada waktu yang ditentukan.

Gambar 3 Perubahan Fluks Neutron Cepat terhadap Waktu

C. Hasil Eksekusi Program Keluaran dari program ditunjukkan oleh Gambar 2. Dari hasil ini diketahui bahwa reaktor akan mengalami peningkatan daya sebesar tujuh kali dari daya semula. Peningkatan daya ini bisa diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan operasi dari reaktor. Waktu yang digunakan pada kode adalah 0.5 detik. Sangat menarik untuk dicermati bahwa respons dari reaktor menunjukkan profil yang hampir sama dengan onepoint kinetic problem.

Gambar 4 Perubahan Fluks Neutron Termal terhadap Waktu

20


Dari Gambar 4 dapat terlihat adanya kenaikan fluks neutron termal di region 1 (local perturbation) di titik mana batang kendali ditarik yang mengakibatkan perubahan tampang lintang makroskopik serapan dari neutron termal. Hasil ini sangat menarik karena dapat memberikan gambaran yang nyata dalam fenomena transien di dalam teras alih-alih penyelesaian one point kinetic yang hanya memberikan pendekatan kasar bahwa di dalam teras terjadi perubahan fluks neutron yang seragam terhadap waktu[4]. III. VALIDASI KODE MENGGUNAKAN PERSAMAAN ADJOINT A. Persamaan Adjoint Spatial Dependent Kinetic van Rooijen dan Lathouwers (2008) memberikan persamaan adjoint untuk spasial dependen kinetik pada Pers. (17) [5] ( , ) 1 ( , ) ( , ) = , ( , ) +

( , )

,

+ (1 +

)

( , )

( , )

,

( , )+

( , )

,

(17)

dan persamaan neutron kasip secara adjoint diberikan pada Pers.(18) [5] ( , ) ( , ) ( , ) = , , +

,

) =

( ,

(18)

dimana parameter dan didefinisikan berdasarkan kuantitas yang ingin dilihat. Diambil power sebagai kuantitas fisik yang ingin dilihat dan parameternya adalah tampang lintang makroskopik fisi dan parameter tersebut hanya muncul pada time step akhir seperti yang dilakukan oleh van Rooijen dan Lathouwers (2008)[5]. Maka

( ,

,

) = (1 +

,

=

+ +

( ,

,

( ,

)

)

(25)

( , )+

1

( , )] ( , )

( , )+

1

(24)

( , )

(26)

( , )

( , ) = +

1

[

, ,

= 1

) ,

1

) +

[

,

= exp ( 1 exp ( =

( , )

,

( ,

,

( , + )

)

exp (

( , )

( , )] (27)

)

(28) exp (

)

)

(29) (30)

Pada perhitungan secara numerik, fungsi deta dirac sangat sulit untuk diimplementasikan sehingga didekati dengan

=

,

untuk [

, ].

B. Hasil Perhitungan Adjoint Keluaran dari program berupa adjoint relative power ditunjukkan oleh Gambar 5. Gambar 6 memperlihatkan perubahan profil fluks adjoint neutron cepat terhadap waktu, sedangkan Gambar 7 memperlihatkan perubahan profil fluks adjoint neutron termal terhadap waktu.

( , ) ( ) (19) (20) = 0 Dari perhitungan yang dilakukan oleh Chiba (2012)[6], penyelesaian dari persamaan adjoint ini ditunjukkan oleh Pers. (21) dan (22) =

+

( , ( ,

,

,

+

,

,

( ,

) ) ( ,

( , ( , )

( ,

) ) = ( ,

)+

) =

+

,

) ( , )

( , )+ ( ,

)

(21) ( , )

(22)

Gambar 5 Adjoint Relative Power dari Reaktor dengan Input Fungsi Step

dimana ( ,

) =

,

( ,

)

( ,

)

(23)

21


1 2

x

Gambar 6 Perubahan Fluks Adjoint Neutron Cepat terhadap Waktu

Gambar 7 Perubahan Fluks Adjoint Neutron Termal terhadap Waktu

C. Produk dari Forward dan Adjoint Chiba (2012) memberikan hubungan antara Adjoint Flux dan Forward Flux dalam bentuk Pers (31)[6] ( )

( ) =

(31)

dimana

1 v1 V

1 v2

C1 ... C2

Suku sebelah kiri Pers. (31) dapat diambil pada sembarang waktu. Hal ini dikarenakan nilai x+ tergantung terhadap pilihan sumber Q+ dan suku sebelah kanan dalam hal ini adalah total daya reaktor. Suku sebelah kiri merupakan produk antara adjoint dan forward sedangkan suku sebelah kanan merupakan respons dari sistem yang bernilai konstan. Maka dapat dikatakan bahwa validasi dapat dilakukan dengan melihat produk dari hasil persamaan adjoint dan persamaan forward. Produk dari kedua persamaan ini diperlihatkan pada Gambar 8 yang menunjukkan bahwa kode telah tervalidasi.

Gambar 8 Produk dari Adjoint dan Forward

IV. INTEGRASI KODE DENGAN SISTEM SRAC Integrasi dengan sistem SRAC dapat dilakukan dengan melakukan penentuan parameter-parameter yang diperlukan untuk kalkulasi seperti koefisien difusi(D), tampang lintang makroskopik serapan( ) , tampang lintang makroskopik hamburan( ) , tampang lintang makroskopik fisi( ), neutron spectra ( ), kecepatan neutron (v), dan parameterparameter neutron kasip ( ) terlebih dahulu. Parameter-parameter perhitungan ini didapatkan dengan mengeksekusi PIJ dan CITATION. Langkah kerja dari program ini ditunjukkan oleh Gambar 9.

1 ... 1

dan

22


START

PIJ untuk keadaan awal

PIJ untuk keadaan akhir perturbasi

Tampang Lintang Makroskopik Kec.Neutron ,dan Koef. Difusi

Tampang Lintang Makroskopik , Koef. Difusi, dan Kec.Neutron

V. KESIMPULAN A. Kesimpulan Telah berhasil dirancang kode modular 1 dimensi untuk penyelesaian masalah spasial dependen kinetik sebagai fitur tambahan dari SRAC dengan menggunakan metode Finite Volume Method dan metode dalam penyelesaian persamaan diferensial parsial. Kode ini telah berhasil divalidasi menggunakan hubungan antara persamaan Forward Spatial Dependent Kinetic dan persamaan adjointnya. Kode ini diharapkan mampu untuk menutupi kekurangan SRAC dalam analisis transien pada reaktor nuklir. B. Pengembangan Selanjutnya akan dikembangkan kode untuk menyelesaikan persamaan transien bergantung ruang (spatial dependent kinetic) dengan geometri yang bermacam-macam seperti silinder dan bola 1 dimensi maupun Cartesian 2 dimensi agar dapat memudahkan analisis terhadap reaktor-reaktor nuklir di masa depan.

CITATION

Parameter-Parameter Neutron Kasip, Fluks Neutron Awal, Power Relative Awal

DAFTAR PUSTAKA Nuclear Library (txt/binary file)

[1] [2]

Program Spasial Dependen Kinetik

[3] [4]

Display (txt file atau program plotter )

[5] [6]

K. Okumura, T. Kugo, K. Kaneko, and K. Tsucihashi, SRAC 2006: A Comprehensive Neutronics Calculation Code System, Japan Atomic Energy Agency, 2007 T.M Sutton and B.N Aviles, “Diffusion theory methods for spatial kinetics calculations.” Progress in Nuclear Energy, vol 30, pp. 119-182, 1996 Y.Ban, “Development of unified numerical scheme for spatially dependent kinetic equation,” Master Thesis of Nagoya University, 2011. [in Japanese] W.M. Stacey, Nuclear Reactor Physics: Second Edition, WileyVCH, 2007. W.F.G. Van Rooijen, and D. Lathouwers, “Sensitivity analysis for delayed neutron data.” Annals of Nuclear Energy, vol 35, pp. 2186-2194, November 2008 G.Chiba, “Adjoint equation for spatially dependent kinetic equation,” unpublished.

END Gambar 9 Flow Chart Integrasi Kode dengan Sistem SRAC

Untuk memudahkan pengintegerasian dengan SRAC, maka kode dibuat menggunakan bahasa pemrograman fortran yang merupakan bahasa pemrograman pada SRAC dengan compiler gfortran. Eksekusi kode dilakukan pada sistem operasi linux (Ubuntu 12.04) yang merupakan sistem operasi untuk menjalankan SRAC sehingga hasil yang didapatkan akan akurat. Untuk memudahkan eksekusi, maka dapat pula kode ini ditulis dalam bentuk command script . sh yang memudahkan untuk membaca data, mengkompilasi program, dan eksekusi program dalam waktu yang berurutan sesuai skrip yang telah ditulis.

23


Pemanfaatan Bentonite dan Organo-Bentonite Dalam Mengolah Limbah Cair Industri Farmasi The Use of Bentonite and Organo-Bentonite for the Treatment of Pharmaceutical Wastewater Merry Anggraini1, Suryadi Ismadji2

1

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Email: merryanggrani78@yahoo.co.id, 2 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Email: suryadiismadji@yahoo.com A bstrak

Metode adsorpsi pada proses pengolahan limbah merupakan metode yang cocok. Dikatakan cocok karena merupakan metode yang efektif, murah, dan pelaksanaannya yang sederhana. Adsorben yang digunakan adalah bentonite alami dan tanah liat modifikasi (organo-bentonite), dimana telah ditambahkan surfaktan TTAB ( Tetradecyl Trimethyl Ammonium Bromide ) sebagai agen modifikasinya, guna meningkatkan daya serap dari bentonite itu sendiri terhadap komponen amoksilin maupun ampisilin. Aplikasi proses adsorpsi dengan menggunakan bentonite dan organo-bentonite sebagai adsorben juga akan dilakukan dalam sistem multikomponen (binary system) dan limbah sesungguhnya dari sebuah industri farmasi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa nilai CEC bentonite lebih besar organo-bentonite, karena pada organobentonite telah terjadi pertukaran dengan kation dari surfaktan TTAB, sehingga hanya kemungkinan kecil yang dapat bertukar lagi dengan methylene blue. Dan juga dapat dilihat dari hasil penelitian, bahwa ternyata organo-bentonite lebih efektif dibandingkan bentonite natural baik dalam limbah sintetik yang mengandung single-komponen maupun multikomponen, dan limbah nyata dari sebuah industri farmasi. Hal tersebut dapat diketahui dari konsentrasi akhir (setimbang) yang diperoleh setelah penelitian, dengan menggunakan spektrofotometer. Selain itu, persen removal yang dapat dilakukan oleh organo-bentonite mencapai tingkat 98% dibandingkan bentonite natural. Kata Kunci ² proses adsorpsi, TTAB, organo-bentonite.

Abstract

Adsorption method was a suitable method for waste treatment process. It was said a suitable method because adsorption method was effective, cheap, and simple. Adsorbents are natural bentonite and modified clay-material (organo-bentonite), where had been added TTAB surfactant (Tetradecyl Trimethyl Ammonium Bromide) as a modifying agent, to improve the adsorption capacity of bentonite to adsorp a moxicillin and a mpicillin components. The application of adsorption process using bentonite and organo-bentonite as the adsorbents was also done in multicomponent system (binary system) and real waste from a pharmacy indsutry. Based on WKH H[SHULPHQW¶V UHVXOW , could be knoKH H[SHULPHQW¶V UHVXOWZQ WKDW &(&¶V YDOXH RI EHQWRQLWH ZDV ELJJHU WKDQ RUJDQR bentonite, because it had been done the cation exchange between bentonite and TTAB surfactant, so just a little possible that the cation of organo-bentonite could change with methylene blue. And it also could be seen from the result, that organo-bentonite was more effective than natural bentonite, in synthetic waste, that contained singlecomponent or multicomponent, and the real waste from a pharmacy industry. It could be known from the final concetration (equilibrium) which was obtained from the experiments, using spectrofotometer. Beside that, percentage removal that could be done by organo-bentonite, which reached 98%, better than natural bentonite. Keywords² adsorption process, T T A B, organo-bentonite

I. PENDAHULUAN Seiring dengan maraknya industri berbasis farmasi, limbah antibiotik yang dihasilkan juga semakin meningkat. Bahkan, dalam limbah tersebut masih terkandung antibiotik dalam jumlah yang besar dan masih saja terjadi pembuangan limbah langsung ke sungai yang menimbulkan efek negatif bagi ekosistem di dalamnya. Beberapa kandungan beracun yang terdapat dalam limbah antibiotik ada beraneka macam, salah satunya adalah amoksilin dan ampisilin [1-3]. Amoksilin dan ampisilin dalam dunia farmasi memiliki racun dan berdampak buruk bagi ganggang, organisme kelas rendah dan jaringan makanan. Dampak yang ditimbulkan tidak langsung terjadi tetapi perlahan-lahan dalam berjalannya waktu dapat merusak keseimbangan lingkungan. Maka dari itu, limbah yang masih mengandung amoksilin dan ampisilin perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan [4-8].

Selain memberi dampak ke lingkungan dan ekosistem di dalamnya, juga memberikan dampak bagi manusia. Dampak yang ditimbulkan yaitu pada beberapa orang yang memiliki kekebalan tubuh kurang baik, antara lain muntah-muntah, sakit kepala ringan hingga berat, ruam kulit yang terasa gatal dan panas, sakit perut, mual-mual, kesulitan bernapas, diare, bibir dan pipi bengkak kemerahan, lidah kelu hingga tidak bisa berbicara dengan baik, dan keadaan tidak sadarkan diri. Dampak negatif yang cukup membuat bulu kuduk berdiri itu membuat orang semakin berhati-hati dalam menggunakan amoksilin dan ampisilin. Bahkan, dampak negatif yang terburuk bila tidak waspada, dapat membunuh manusia dalam waktu kurang dari tiga minggu setelah mengkonsumsinya [9-14]. Proses pengolahan limbah yang biasanya dilakukan terhadap limbah amoksilin dan ampisilin ada banyak cara, antara lain ozonasi, filtrasi membran, dan proses adsorpsi. Dari beberapa proses pengolahan limbah antibiotik tersebut, diperoleh bahwa proses pengolahan limbah yang paling efektif dan cocok digunakan dalam indsutri (dalam arti

24


murah) adalah dengan proses adsorpsi, yang efisien untuk menghilangkan kontaminan dari suatu limbah cair yang umumnya dihasilkan oleh industri farmasi, yaitu amoksilin dan ampisilin. Selain itu, metode adsorpsi merupakan metode yang sederhana dan murah. Adsorben yang digunakan adalah bentonite yang dimodifikasi dengan surfaktan tetradecyl trimetyl a monium bromide (TTAB) sebagai adsorben, dimana bentonite merupakan adsorben alternatif yang tersedia dalam jumlah besar di alam Indonesia, murah, dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Surfaktan TTAB yang digunakan sebagai agen modifikasi berutujuan untuk meningkatkan daya serap dari bentonite itu sendiri sehingga dapat menyerap lebih banyak komponen antibiotik tersebut dalam limbah yang dihasilkan. Karena itu, organo-bentonite yang digunakan tersebut akan lebih efektif dibandingkan bentonite saja untuk pengolahan limbah antibiotik tersebut [15-18]. Pada kenyataannya, dalam limbah industri farmasi akan mengandung lebih dari satu jenis komponen, maka dari itu akan dilakukan proses adsorpsi ini dalam sistem multikomponen (binary adsorption) dimana adsorben yang digunakan dapat menyerap amoksilin dan ampisilin sekaligus dalam waktu yang bersamaan, yaitu bentonite dan organo-bentonite. II. CARA KERJA Dalam penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu: 1) tahap persiapan larutan surfaktan, 2) tahap persiapan bentonite tanpa modifikasi, 3) tahap aktivasi bentonite dengan surfaktan, 4) tahap karakterisasi bentonite dan organo-bentonite, 5) tahap pengukuran nilai CEC ( Cation Exchange Capacity) dari bentonite dan organo-bentonite, 6) tahap adsorpsi dari amoksilin dan ampisilin dengan bentonite dan organo-bentonite dalam sistem single, 7) tahap adsorpsi dari amoksilin dan ampisilin dengan bentonite dan organo-bentonite dalam sistem multikomponen (binary system), 8) tahap analisis persen removal amoksilin dan ampisilin yang berhasil direduksi oleh bentonite dan organo-bentonite dalam sistem single dan multikomponen, serta 9) tahap aplikasi dalam limbah sebenarnya (dari suatu industri di Sidoarjo, Jawa Timur) dengan menggunakan organo-bentonite. T ahap persiapan larutan surfaktan 1 gram surfaktan tetradecyl trimethyl a mmonium bromide (TTAB) dilarutkan dalam air sebanyak 50 mL. Kemudian diaduk hingga homogen selama ¹ 2 menit. T ahap persiapan bentonite tanpa modifikasi 10 gram bentonite dihancurkan hingga menjadi serbuk, kemudian diayak hingga ukuran +80/-100 mesh. Kemudian, dicuci dengan air dan diletakkan di oven pada suhu 100°C, selama 24 jam. Kemudian, bentonite yang telah di-oven tersebut, dihancurkan hingga menjadi serbuk, kemudian diayak hingga ukuran +80/-100 mesh, dan akhirnya bentonite siap digunakan. T ahap aktivasi bentonite dengan surfaktan Bentonite dihancurkan hingga menjadi serbuk, kemudian diayak hingga ukuran +80/-100 mesh. Kemudian 10 gram bentonite dicampur dengan larutan surfaktan yang telah

siap. Dilakukan pengadukan hingga homogen selama 1 jam. Setelah 1 jam, barulah campuran di-microwave selama 5 menit, kemudian dicuci dengan air dan diletakkan di oven pada suhu 100°C, selama 24 jam. Kemudian, bentonite yang telah di-oven tersebut, dihancurkan hingga menjadi serbuk, kemudian diayak hingga ukuran +80/-100 mesh, dan akhirnya bentonite modifikasi siap digunakan. T ahap karakterisasi bentonite dan organo-bentonite Karakterisasi struktur layer dari permukaan bentonite dan organo-bentonite dengan menggunakan metode XRD ( X-Ray Diffraction). Karakterisasi gugus fungsi pada permukaan bentonite dan organo-bentonite dengan menggunakan FT-IR ( Fourier Transform-InfraRed). Karakterisasi morfologi permukaan dari bentonite dan organo-bentonite dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy). T ahap pengukuran nilai C E C dari bentonite dan organobentonite 10 gram methylene blue dilarutkan dalam 1000 mL aquades dan dimasukkan ke dalam botol coklat. Bentonite ditimbang 1 gram dan ditambahkan 100 mL aquades, kemudian diletakkan di atas hotplate magnetic stirrer dan diaduk dengan kecepatan 700 rpm. Ditambakan 1 mL methylene blue ke dalam campuran tersebut sambil tetap diaduk pada 700 rpm. Ditunggu selama 3 menit, dan diambil 1 tetes larutan campuran dan diteteskan pada kertas saring. Ditambahkan lagi 1 mL methylene blue jika warna mengumpul dan di sekelilng lapisan batas tidak timbul warna biru akibat methylene blue bebas. Jika tes sudah positif, maka CEC dari Bentonite dapa dihitung dengan persamaan berikut ini : (1) Dimana : CEC = cation exchange capacity (mek/g) m = mass of adsorbent (gram) V = volume of Metylnene Blue (mL) T ahap adsorpsi dari amoksilin dan ampisilin dengan bentonite dan organo-bentonite dalam sistem single Dibuat larutan induk dengan konsentrasi 300 mg/L untuk masing-masing amoksilin kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Sebagai adsorben, digunakan bentonite dan organo-bentonite, dengan massa 0,1 ¹ 1 gram yang ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer yang masing-masing mengandung 100 mL larutan amoksilin. Kemudian, labu erlenmeyer tersebut di-shaking water bath dengan suhu dijaga pada 30°C, dan pada kecepatan 1000 rpm selama waktu setimbang (4 jam). Setelah 4 jam, larutan dipisahkan antara endapan dan cairannya menggunakan centrifuge separator pada kecepatan 3000 rpm selama 6 menit. Konsentrasi akhir dari amoksilin yang terkandung dalam filtrat dianalisa dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 252,2 nm. Begitu pula untuk larutan ampisilin, dilakukan dengan tahap yang sama dan konsentrasi akhir dianalisa menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 245,8 nm.

25


T ahap adsorpsi dari amoksilin dan ampisilin dengan bentonite dan organo-bentonite dalam sistem multikomponen (binary system) Dibuat larutan induk dengan konsentrasi total 300 mg/L yang mengandung amoksilin dan ampisilin kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Sebagai adsorben, digunakan bentonite dan organo-bentonite, dengan massa 0,1 ¹ 1 gram yang ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer yang masing-masing mengandung 100 mL larutan yang mengandung amoksilin dan ampisilin. Kemudian, labu erlenmeyer tersebut di-shaking water bath dengan suhu dijaga pada 30°C, dan pada kecepatan 1000 rpm selama waktu setimbang (4 jam). Setelah 4 jam, larutan dipisahkan antara endapan dan cairannya menggunakan centrifuge separator pada kecepatan 3000 rpm selama 6 menit. Konsentrasi akhir dari amoksilin maupun ampisilin yang terkandung dalam filtrat dianalisa berurutan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 252,2 nm untuk amoksilin dan 245,8 nm untuk ampisilin.

Co = konsentrasi awal dari suatu zat (mg/L) Ce = konsentrasi akhir dari suatu zat (mg/L) III. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi yang telah diperoleh dengan menggunakan XRD, FT-IR, maupun SEM dapat dilihat berikut ini beserta penjelasannya.

T ahap analisis persen removal amoksilin dan ampisilin yang berhasil direduksi oleh bentonite dan organobentonite dalam sistem single dan multikomponen Analisis persen zat beracun dalam filtrat yang berhasil direduksi oleh bentonite adalah dengan menganalisa konsentrasi awal sebelum dilakukan proses adsorpsi dan konsentrasi akhir dari limbah setelah proses adsorpsi untuk amoksilin dan ampisilin baru kemudian dilakukan penghitungan persen zat beracun berdasarkan data konsentrasi awal dan konsentrasi akhir tersebut.

Perhitungan persen removal zat beracun dalam limbah Persen removal zat beracun dalam limbah diperoleh dari perbandingan konsentrasi akhir dengan konsentrasi awal yang yang telah diukur menggunakan spektrofotometer. Persen removal dapat diperoleh dengan menggunakan rumus : C o - Ce (2) Removal (%) u 100% Co

G ambar 1. K akarterisasi X R D dari bentonite (A) and organobentonite (B)

Dari gambar 1, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan tempat untuk gugus-gugus yang terkandung dalam bentonite dan organo-bentonite yang mana terjadi karena pertukaran di bagian interlayer bentonite itu sendiri sehingga memperbesar d-spacing dari organo-bentonite dengan adanya penambahan surfaktan. 100

80

60

%T

T ahap aplikasi dalam limbah sebenarnya (dari suatu industri di Sidoar jo, Jawa T imur) dengan mengguna kan organo-bentonite Limbah farmasi difilter untuk mengurangi partikel padatan yang terkandung. Kemudian, dianalisa konsentrasi mula-mula dari amoksilin maupun ampisilin dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 252,2 nm untuk amoksilin dan 245,8 nm untuk ampisilin. Limbah itu dituang ke dalam labu erlenmeyer sebanyak masing-masing 100 mL. Organo-bentonite ditimbang 0,1-1 gram dan ditambahkan ke dalam 100 ml larutan tersebut. Kemudian, labu erlenmeyer tersebut di-shaking water bath dengan suhu dijaga pada 30°C, dan pada kecepatan 1000 rpm selama waktu setimbang (4 jam). Setelah 4 jam, larutan dipisahkan antara endapan dan cairannya menggunakan centrifuge separator pada kecepatan 3000 rpm selama 6 menit. Konsentrasi akhir dari amoksilin maupun ampisilin yang terkandung dalam limbah dianalisa berurutan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 252,2 nm untuk amoksilin dan 245,8 nm untuk ampisilin.

40

20

0 4000

TTA-Bentonite Raw bentonite

3000

2000

1000

Wavelength (1/cm)

G ambar 2. Spektrum F T -I R dari bentonite (garis merah) dan organo-bentonite (garis hitam)

Dari gambar 2, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan gugus, dimana pada bentonite tidak ada gugus C-H stretching dan C-H bending (for alkyl group), tetapi muncul di organo-bentonite, sehingga membuktikan bahwa terjadi

Dimana :

26


ikatan antara bentonite dan surfaktan TTAB di bagian interlayer.

G ambar 3. A nalisa SE M pada bentonite (A) dan organobentonite (B)

Dari gambar 3, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan tekstur permukaan dari bentonite yang semula terlihat halus menjadi kasar yang merupakan tekstur permukaan dari organo-bentonite, yang disebabkan adanya modifikasi dari surfaktan TTAB terhadap bentonite pada bagian interlayer. Hasil penelitian dalam tabel hubungan antara removal zat beracun (amoksilin dan ampisilin) terhadap konsentrasi larutan akhir yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut : T abel 1. T abel H asil K eberhasilan M engurangi A moksilin dalam limbah sintetik dengan Bentonite M assa Bentonite (gram) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2,0 2,1 2,2

K onsentrasi awal (Co, mg/L) 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356

K onsentrasi a khir (C t, mg/L)

% removal

325,937 305,547 285,158 264,842 244,526 224,283 204,149 184,089 164,138 144,370 124,857 105,710 87,148 69,499 53,348 39,427 28,611 20,937 15,858 12,497 10,195 8,550

7,383 14,751 22,109 29,445 36,771 44,065 51,317 58,515 65,608 72,552 79,200 85,295 90,342 93,840 95,886 97,032 97,710 98,155 98,452 98,675 98,844 98,972

T abel 2. T abel H asil K eberhasilan M engurangi A mpisilin dalam limbah sintetik dengan Bentonite M assa Bentonite (gram) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2,0 2,1 2,2

K onsentrasi awal (Co, mg/L) 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063

K onsentrasi akhir (C t, mg/L)

% removal

324,951 297,872 270,863 243,958 217,158 190,568 164,188 138,227 112,859 88,540 66,004 46,611 31,831 22,083 16,108 12,369 9,958 8,281 7,093 6,185 5,451 4,892

7,701 15,392 23,064 30,706 38,318 45,871 53,364 60,738 67,944 74,851 81,252 86,761 90,959 93,728 95,425 96,487 97,172 97,648 97,985 98,243 98,452 98,610

Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2, dapat dilihat bahwa tingkat keberhasilan bentonite dalam mengurangi kandungan zat beracun dalam limbah buatan (sintetik) sangatlah tinggi. Terbukti dari hasil perolehan dari percobaan hanya dengan menggunakan bentonite natural yang belum dimodifikasi, seperti untuk mereduksi tingkat kandungan amoksilin dan ampisilin sampai tingkat removal yang berturut-turut adalah 98,972% dan 98,610%. Metode ini telah biasa digunakan dalam industri, apalagi dilihat dari sisi biaya, dimana harga metode pengolahan yang digunakan sangat murah, yaitu adsorpsi dengan menggunakan adsorben bentonite, dimana bentonite mudah didapat karena tersedia di alam, dan masih banyak yang belum digunakan dengan baik. T abel 3. T abel Perolehan H asil K eberhasilan M engurangi A moksilin dalam limbah sintetik dengan Organo-bentonite M assa Organobentonite (gram) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0

K onsentrasi awal (Co, mg/L)

K onsentrasi a khir (C t, mg/L)

% removal

346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356 346,356

299,884 254,647 209,959 169,180 126,465 86,673 51,594 18,672 10,597 5,262

13,417 26,478 39,381 51,154 63,487 74,976 85,104 94,609 96,940 98,481

T abel 4. T abel Perolehan H asil K eberhasilan M engurangi A mpisilin dalam limbah sintetik dengan O rgano-b entonite M assa Organobentonite (gram) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

K onsentrasi awal (Co, mg/L)

K onsentrasi a khir (C t, mg/L)

% removal

352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063 352,063

300,548 249,979 206,788 159,301 112,464 67,374 44,162

14,632 28,996 41,264 54,752 68,056 80,863 87,456

27


K onsentrasi akhir (C t, mg/L) 25,208 13,039 6,972

% removal 92,840 96,296 98,020

Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4, dapat dilihat bahwa tingkat keberhasilan organo-bentonite sangatlah tinggi, apalagi setelah dilakukan modifikasi terhadap bentonite dengan ditambahkan surfaktan. Penambahan larutan surfaktan tetradecyl trimethyl a mmonium bromide (TTAB) ke dalam bentonite berguna untuk mengubah sifat bentonite yang semula hidrofilik menjadi hidrofobik, sehingga dapat menyerap komponen yang hidrobik, seperti contoh dalam hal ini yaitu amoksilin dan ampisilin. Selain itu, dapat dilihat bahwa dengan semakin banyaknya penambahan bentonite ke dalam penggunaan, maka semakin tinggi pula tingkat penyerapan terhadap komponen beracun yang ditunjukkan dengan konsentrasi akhir amoksilin dan ampisilin yang sangat rendah berturut Âą turut yaitu 5,262 mg/L dan 6,972 mg/L, diikuti dengan persen removal yang diperoleh untuk amoksilin dan ampisilin berturut-turut adalah 98,481% dan 98,020%. Berikut akan diberikan gambar hubungan antara massa adsorben yang ditambahkan dengan % removal yang berhasil dihilangkan dalam kandungan limbah sebelum dibuang ke lingkungan baik untuk amoksilin dan ampisilin dengna menggunakan bentonite dan organo-bentonite dapat dilihat pada gambar 4. % removal dari tanah liat terhadap amoksilin

110 100 90

A

80 70 60 50 40

110 100 90 80

A

70 60 50

% removal 75% amoksilin % removal 25% ampisilin

40 30 20 10 0 0,0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

1,0

1,1

massa organo-bentonite yang dibutuhkan, gram

110 100 90 80 70

B

60 50 40 30 20

% removal untuk 50% amoksilin % removal untuk 50% ampisilin

10 0 0,0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

1,0

1,1

massa organo-bentonite yang dibutuhkan, gram

110 100 90 80 70

C

60 50 40 30 20

% removal untuk 25% amoksilin % removal untuk 75% ampisilin

10 0 0,0

30

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

1,0

1,1

massa organo-bentonite yang dibutuhkan, gram

20

organo-bentonite natural bentonite

10 0 0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1,4

1,6

1,8

2,0

2,2

2,4

Massa tanah liat yang diperlukan, gram 110

% removal dari tanah liat terhadap ampisilin

% removal untuk 75% amoksilin dan 25% ampisilin

K onsentrasi awal (Co, mg/L) 352,063 352,063 352,063

% removal untuk 50% amoksilin dan 50% ampisilin

M assa Organobentonite (gram) 0,8 0,9 1,0

beracun, seperti amoksilin dan ampisilin, dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding dengan bentonite.

% removal untuk 25% amoksilin dan 75% ampisilin

T abel 4. T abel Perolehan H asil K eberhasilan M engurangi A mpisilin dalam limbah sintetik dengan O rgano-b entonite (L anjutan)

G ambar 5. A plikasi organo-bentonite dalam adsorpsi biner terhadap amoksilin dan ampisilin dalam 75 % amoksilin dan 25% ampisilin (A), 50% amoksilin dan 50 % ampisilin (B), dan 25% amoksilin dan 75 % ampisilin

100 90 80 70

B

60 50 40 30 20

organo-bentonite natural bentonite

10 0 0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1,4

1,6

1,8

2,0

2,2

2,4

Massa tanah liat yang diperlukan, gram

G ambar 4. H ubungan massa adsorben dengan % removal amoksilin (A) dan ampisiln (B) yang berhasil dilakukan antara bentonite dan organo-bentonite

Dapat dilihat dari gambar 4, bahwa tingkat penghilangan kandungan beracun dalam limbah, seperti amoksilin dan ampisilin lebih tinggi dengan menggunakan organo-bentonite yang mencapai 98% baik untuk amoksilin maupun ampisilin, dimana membuktikan bahwa organobentonite tersebut dapat lebih efektif menyerap komponen

Dari gambar 5, dapat dilihat bahwa selain dalam sistem adsorpsi single, ternyata setelah diaplikasikan dalam kondisi yang disesuaikan dengan kenyataan, dimana terdapat multikomponen (binary system), organo-bentonite dapat menyerap dengan baik komponen amoksilin dan ampisilin. Daya serap amoksilin akan lebih baik karena amoksilin memiliki berat molekul yang lebih besar dibanding ampisilin. T abel 5. T abel Perolehan H asil K eberhasilan M engurangi L imbah Industri untuk K andungan A moksilin dengan O rgano-b entonite M assa Organobentonite (gram) 0,102 0,211 0,308 0,511 0,741

K onsentrasi awal (Co, mg/L)

K onsentrasi a khir (C t, mg/L)

% removal

243,700 243,700 243,700 243,700 243,700

218,533 197,980 168,619 128,771 102,765

10,4 18,9 30,7 46,6 57,4

28


T abel 5. T abel Perolehan H asil K eberhasilan M engurangi L imbah Industri untuk K andungan A moksilin dengan O rgano-b entonite (L anjutan)

M assa Organobentonite (gram) 0,924 1,321 1,514

K onsentrasi awal (Co, mg/L) 243,700 243,700 243,700

K onsentrasi akhir (C t, mg/L) 65,854 33,975 13,422

% removal 73,1 84,1 93,8

T abel 6. T abel Perolehan H asil K eberhasilan M engurangi L imbah Industri untuk K andungan A mpisilin dengan O rganob entonite M assa Organobentonite (gram) 0.102 0.211 0.308 0.511 0.741 0.924 1.321 1.514

K onsentrasi awal (Co, mg/L)

K onsentrasi a khir (C t, mg/L)

% removal

111,756 111,756 111,756 111,756 111,756 111,756 111,756 111,756

97,231 84,725 73,024 45,590 35,100 21,383 13,717 5,245

12,9 24,3 34,5 59,0 69,6 80,0 85,8 92,9

Berdasarkan tabel 5 dan tabel 6, dapat dilihat bahwa organo-bentonite telah berhasil mereduksi tingkat kandungan amoksilin dan ampisilin dalam binary syste m, dengan persen removal yang cukup baik, mencapai 93,8% untuk amoksilin dan 92,9% untuk ampisilin dalam limbah. % removal dari amoksilin dan ampisilin dengan organo-bentonite

modifikasi lebih besar dibandingkan pada organo-bentonite. Hal tersebut dikarenakan kation pada organo-bentonite telah digantikan oleh kation surfaktan yang memiliki ukuran lebih besar sehingga kecil kemungkinan untuk terjadi pertukaran ion lagi pada organo-bentonite. IV. KESIMPULAN Hasil persen removal yang terbaik diberikan oleh organo-bentonite, dan dengan persen removal hingga 98%, baik untuk kandungan amoksilin maupun ampisilin dalam limbah sintetik maupun sebenarnya. Selain itu, dalam sistem multikomponen (binary adsorption), organo-bentonite saja yang digunakan karena dari sistem single, dibuktikan bahwa organo-bentonite yang lebih efektif. DAFTAR PUSTAKA [1] [2]

[3]

[4]

100 90 80 70

[5]

60 50 40

[6]

30 20

organo-bentonite untuk penyerapan ampisilin organo-bentonite untuk penyerapan amoksilin

10 0 0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1,4

1,6

massa organo-bentonite yang dibutuhkan, gram

G ambar 6. G ambar hubungan antara massa adsorben dengan % removal amoksilin dan ampisilin yang berhasil dilakukan dengan organo-bentonite

Berdasarkan gambar 6, dapat dilihat bahwa persen removal yang berhasil dilakukan oleh organo-bentonite dalam sistem biner dengan menggunakan limbah sesungguhnya dapat berhasil dengan baik, yang ditunjukkan dengan kenaikan garis yang semakin tinggi persen removalnya. Cation E xchange Capacity ( C E C ) Penentuan CEC bertujuan untuk mengukur kapasitas maksimum kation yang dapat diserap oleh bentonite, dimana dalam percobaan ini digunakan zat warna sebagia pengukurnya. Hasil keadaan CEC yang didapat adalah pada saat penambahan metylene blue sebanyak 7 mL. Beirikut nilai CEC yang dapat diperoleh oleh organobentonite adalah :

[7] [8] [9] [10] [11]

[12]

[13] [14] [15]

Sedangkan nilai CEC pada bentonite natural setelah penambahan 13 mL methylene blue adalah sebagai berikut. CEC = 40,6006 Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kapsitas pertukaran kation pada bentonite murni tanpa

[16] [17] [18]

$NVX = 7XQF 2 ³$SSOLFation of biosorption for penicillin G removal FRPSDULVRQ ZLWK DFWLYDWHG FDUERQ´ 3URFHVV %LRFKHPLVWU\ 40 (2005) 831-847. .XUQLDZDQ $ 6XWLRQR + ,QGUDVZDWL 1 ,VPDGML 6 ³Removal of basic dyes in binary system by adsorption using rarasaponinbentoniteH 5HYLVLWHG RI H[WHQGHG /DQJPXLU PRGHO´ &KHPLFDO Engineering Journal, 189-190 (2012) 264-274. Putra, E.K., Pranowo, R., Sunarso, J., Indraswati, N., Ismadji, S. ³3HUIRUPDQFH RI DFWLYDWHG FDUERQ DQG bentonitee for adsorption of amoksilin from wastewDWHU 0HFKDQLVPV LVRWKHUPV DQG NLQHWLFV´ Water Research, 43 (2009) 2419-2430. Rahardjo, A.K., Susanto, M.J.J., Kurniawan, A., Indraswati, N., ,VPDGML 6 ³0RGLILHG 3RQRURJR bentonite e for the removal of DPSLFLOOLQ IURP ZDVWHZDWHU´ -RXUQDO RI +D]DUGRXs Material, 190 (2011) 1001-1008. <DQJ 6 &DUOVRQ . ³5RXWLQH PRQLWRULQJ RI DQWLELRWLFV LQ ZDWHU DQG ZDVWHZDWHU ZLWK D UDGLRLPPXQRDVVD\ WHFKQLTXH´ :DWHU Research, 38 (2004) 3155-3166. Kummerer K. ³Drugs in the environment: emission of drugs, diagnostic aids and disinfectants into wastewater by hospitals in relation to other sources²a review.´ Chemosphere. 2001;45 (6¹ 7):957¹69. Resource Conservation and Recovery Act 42 U.S.C. s/s 6901 et seq (1976). http://www.epa.gov/region5/defs/html/rcra.htm. Accessed September 14th 2012. $QRQLP ³Amoksilin´ KWWS HQ ZLNLSHGLD RUJ ZLNL Amoksilin. Accessed September, 18th 2012. AH F S DRU G INF ORMATION 2006 (2006 ed.). American Society of Health-System Pharmacists. 2006. Anonim. http://www.chemeca2012.com/abstract/22.asp. September, 18th 2012 Kurniawan, A., Kosasih, A. N., Febrianto, J., Ju, Y.H., Sunarso, J., ,QGUDVZDWL 1 ,VPDGML 6 ³(YDOXDWLRQ RI FDVVDYD SHHO ZDVWH DV lowcost biosorbent for Ni-sorption : Equilibrium, kinetics, WKHUPRG\QDPLFV DQG PHFKDQLVP´ &KHPLFDO Engineering Journal, 172 (2011) 158-166 Kurniawan, A., Sutiono, H., Ju, Y.H., Soetaredjo, F.E., Ayucitra, A., <XGKD $ ,VPDGML 6 ³8WLOL]DWLRQ RI UDUDVDSRQLQ QDWXUDO VXUIDFWDQW for organo-bentonite preparation : Application for methylene blue removal IURP DTXHRXV HIIOXHQW´ 0LFURSRURXV DQG 0HVRSRURXV Materials, 142 (2011) 184 - 193 Anonim. ³Bentonitee.´ http://id.wikipedia.org/wiki/ Bentonitee. Accessed December, 12th 2012. Atkins, P. W., "Physical Chemistry", Oxford University Press, 6th ed., 1998,ISBN 0-19-850101-3 Anonim. ³Adsorption Isotherm.´ http://www.chemistrylearning.com/adsorption-isotherm/. Accessed September, 18th 2012. Demirbas, E. Kobya, M, Senturk, E. Ozkan, T. (2004). Water S A 30 (4), pp 533 -539. Armenante, Piero M.. ³Adsorption.´ http://cpe.njit.edu/dlnotes/CHE685/Cls11-1.pdf. Haghseresht, F. And G.Q. Lu, ³Adsorption characteristic of phenolic compounds onto coal-reject-derived adsorbents.´ Energy and Fuels, 1998. 12(6) : p. 1100-1107.

29


!"#$%&'()%*+,-%./+01*21%.345%678521%91/72%:47 ;7/7<=%6+<==7<5*5<%!"##$%&'()*+,&'+#$!>+%-8>%!"#$%&'()%./+01?813<%3@%$A15<%"<@47+<B5 91/72%6785813<2%C21<=%D100+<%65/*3A%630+4 65/?+4%E+?3<15>(F5 (F&

E7/725<%"4G7%H3GI78+/%05<%J4+*8/3<1*5F%C<1A+/21852%K50L5>%6505F%M3=N5*5/85O%5JG514P%G5/?+4OL+?3<15>QG514O7=GO5?O10 ) %E7/725<%"4G7%H3GI78+/%05<%J4+*8/3<1*5F%C<1A+/21852%K50L5>%6505F%M3=N5*5/85O% ?JG514P%@51B5>Q7=GO5?O10

!"#$%&'! "!"# $ %#&#'( $ )*&#+,-,' $ .,",/ $ .,0# $ +*'1,-20 $ %*&%,/,1, $ 1,'( $ 0*",/ $ )*'1*%,%-,' $ %,'1,- $ -*),02,' $ 32 $ .*"#&#/ $ 3#'2,4 5#3,/'1, $ )*'(,",)2 $ )#0,.2 $ 3,' $ 02'((2'1, $ 6&*-#*'.2 $ +*',0,#",'(,' $ (*'*02-, $ )*'1*%,%-,' $ 72&#. $ 2'2 $ )#3,/ $ %*&-*)%,'( $ 3,' )*'1*%,&4$8,"$2'2$)*'9,32$0,'0,'(,'$%*&,0$%,(2$#+,1,$+*'(*'3,"2,'$0*&/,3,+$72&#.$2'24$:"*/$-,&*',$20#;$+&*32-.2$+<",$)#0,.2$72&#.$6"# %#&#'($3,+,0$)*'9,32$+*&2'(,0,'$,=,"$0*&/,3,+$+*&-*)%,'(,'$72&#.$2'24$>*'*"202,'$2'2$)*'((#',-,' $ !"##$%&'()*+,&'+#$-$ #'0#)*",02/$.*-#*'.$+&<0*2'$72&#.$6"#$%#&#'($.*?,&,$-<)+#0,.2<',"$3,'$)*'((#',-,'$,"(<&20),$720*&%2$#'0#-$)*)&*32-.2$+<",$)#0,.2 .#,0#$.*-#*'.$+&<0*2'$72&#.$6"#$%#&#'(4$>*'*"202,'$2'2$)*)%,'32'(-,'$/,.2"$+&*32-.2$3,&2$)<3*"$)*'((#',-,'$3,0,$+*",02/,'$1,'( 023,- $ 32.*9,9,&-,' $ 3*'(,' $ 3,0, $ +*",02/,' $ 1,'( $ 32.*9,9,&-,'; $ 3,' $ 9#(, $ )*)%,'32'(-,' $ /,.2" $ +&*32-.2 $ 3,&2 $ %*%*&,+, $ )<3*" )*'((#',-,'$3,0,$+*",02/,'$1,'($32+*?,/$)*'9,32$%,(2,'@%,(2,'$-*?2";$32),',$+*?,/,'$1,'($32(#',-,'$,3,",/$A;$B;$CD;$DA;$BAA;$CAA; 3,'$EAA4$F,&2$+*'*"202,'$2'2$32-*0,/#2$%,/=,$/,.2"$+&*32-.2$3,&2$)<3*"$)*'((#',-,'$3,0,$+*",02/,'$1,'($32.*9,9,&-,'$3,'$32+*?,/ 3*'(,' $ #-#&,' $ B $ )*'(/,.2"-,' $ &,0,@&,0, $ ,-#&,.2 $ 0*&%,2-; $ 1,20# $ GE4HGI4 $ J-,' $ 0*0,+2; $ .*?,&, $ #)#); $ /,.2" $ +&*32-.2 $ 3,&2 $ )<3*" )*'((#',-,'$3,0,$+*",02/,'$1,'($023,-$32.*9,9,&-,'$)*'(/,.2"-,'$&,0,@&,0,$,-#&,.2$1,'($"*%2/$%,2-;$1,20#$GC4KLI;$32),',$&,0,@&,0, ,-#&,.2$/,.2"$+&*32-.2$3,&2$)<3*"$)*'((#',-,'$3,0,$+*",02/,'$1,'($32.*9,9,&-,'$,3,",/$MD4KAI4& #$%$"#&'()(*)+&,"-.&"/&+&'01"2)334'"5$+67*"5734.1"5734."8+43)6%)9/,%+$(%! "J72,'$2'6"#*'N,$2.$,$3,'(*&<#.$3*.*,.*$0/,0$/,.$?,#.*3$),'1$3*,0/.$=<&"3=23*4$5#0,%2"201$,'3$/2(/$6&*O#*'?1$<6$(*'*02? &*,..<&0)*'0$),-*$0/2.$72&#.$3*7*"<+$,'3$.+&*,3$*,.2"1$,'3$),-*$0/2.$72&#.$6<&)23,%"*$?/,""*'(*.$6<&$?<'0&<"$*66<&0.4 $P/*&*6<&*; +&*32?02<'$<6$,72,'$2'6"#*'N,$72&#.$)#0,02<'.$?,'$%*$,'$*,&"1$=,&'2'($<6$0/*$3*7*"<+)*'0$<6$0/2.$72&#.4$P/2.$.0#31$#.*3$/233*'$),&-<7 )<3*"$0<$0&,2'$+&<0*2'$.*O#*'?*.$<6$,72,'$2'6"#*'N,$72&#.$?<)+#0,02<',""1$,'3$#.*3$720*&%2$,"(<&20/)$0<$+&*32?0$)#0,02<'.$+,00*&'$2'$, +&<0*2'$.*O#*'?*$<6$,72,'$2'6"#*'N,$72&#.4$P/2.$.0#31$?<)+,&*3$0/*$&*.#"0.$<6$)<3*"$#.2'($#',"2('*3$0&,2'2'($3,0,$,'3$,"2('*3$0&,2'2'( 3,0,;$,'3$,".<$?<)+,&*3$0/*$&*.#"0.$<6$.<)*$)<3*".$#.2'($0&,2'2'($3,0,$."2?*3$2'0<$.<)*$.),""*&$+2*?*.;$=/*&*$0/*$."2?2'($.2N*$#.*3$=*&* A;$B;$CD;$DA;$BAA;$CAA;$,'3$EAA4$P/2.$.0#31$./<=*3$0/,0$0/*$&*.#"0.$<6$)<3*"$#.2'($,"2('*3$0&,2'2'($3,0,$,'3$#.2'($."2?2'($.2N*$<6$B +&<3#?*.$0/*$,7*&,(*$7,"#*$<6$,??#&,?1$,0$%*.0;$=/2?/$2.$GE4HGI4$8<=*7*&;$2'$(*'*&,";$0/*$&*.#"0.$<6$)<3*"$#.2'($#',"2('*3$0&,2'2'( 3,0,$+&<3#?*.$,7*&,(*$7,"#*$<6$,??#&,?1$%*00*&;$=/2?/$2.$GC4KLI;$=/*&*$0/*$,7*&,(*$7,"#*$<6$,??#&,?1$<6$)<3*"$#.2'($,"2('*3$0&,2'2'( 3,0,$2.$MD4KAI4 #4:;7+3,((,"(%&"%.-/$%0(&,")/12&!"##$%&'()*+,&'+#$-2&3)$#"45",$&'+#$-

"O%%%%.JRS$DCTC$R % % % 678521 % =+< % G+G141*1 % U5<N5* % U+<87* % 05< % 05I58 G+<=5*1U58*5<%>145<=<N5%U5=15<%4+<=*5I%05/1%=+<F%07I41*521 5857%1<A+/21O%$*5<%8+85I1F%2+L57>%1<1F%L+<12%N5<=%I541<=%7G7G 05/1 % G78521F % N5<= % 012+U78 % G78521 % 8181*F % % 50545> % >5214 % 05/1 I+<==5<815< % <7*4+38105 % 87<==54 % 0545G % =+<O % H505<=,*505<=F I+/7U5>5< % 0545G % 2+*7+<2 % SR$ % 05I58 % G+<N+U5U*5< I+/7U5>5< % I505 % 81<=*58 % I/38+1< % N5<= % G+G7<=*1<*5< 3/=5<12G+%7<87*%U+/85>5<%>107I%8+/>505I%U5>5<%*1G15%N5<= 2+>5/72<N5%G+G581*5<O % % % V501521F % I5I5/5< % 8+/>505I % U5>5< % *1G15 % 8+/8+<87F % 05< U+U+/5I5%I/32+2%U1343=12%05I58%G+<N+U5U*5<%G78521%I505%=+<O $*5< % 8+85I1F % 85<I5 % 505<N5 % I+<=5/7> % 1<1F % =+< % 05/1 % 2+G75 3/=5<12G+ % >107I % 8+85I % G+<=545G1 % G78521F % 5*1U58 % 05/1 I+/7U5>5<%N5<=%0181GU74*5<%34+>%I/32+2%*+>107I5<%187%2+<01/1O %%%91/72%@47%U7/7<=%G+G141*1%81<=*58%G78521%N5<=%/+4581@%81<==1 N5<= % G+/7I5*5< % *5/5*8+/1281* % 05/1 % A1/72 % VR$O % D54 % 1<1 012+U5U*5< % 34+> % 81<==1<N5 % 45L7 % *+2545>5< % 2+45G5 % I/32+2

8/5<2*/1I21 % =+<3G % A1/72 % @47 % U7/7<=F % N5<= % 012+U5U*5< % 34+> /+<05><N5 % *+8+41815< % VR$ %I34NG+/52+% W(XO % !1<==1<N5 % 45L7 *+2545>5< % 1<1 % G+<=>5214*5< % @+<3G+<5 % 01G5<5 % U5<N5* =+<38NI+%A1/72%N5<=%U+/U+05%U+/21*74521%U+/25G5%I505%1<5<=F 0+<=5< % G521<=,G521<= % A1/72 % U+/I38+<21 % G+G141*1 % 81<=*58 ."/%$00%N5<=%U+/U+05%I505%41<=*7<=5<%1<5<=%W&XO%%Y4+>%*5/+<5 45L7 % *+2545>5< % N5<= % 81<==1 % 1<1F % A1/72 % @47 % U7/7<= % G+G141*1 *+G5GI75<%U+/505I8521%N5<=%?+I58%I505%41<=*7<=5<%U5/7%W)XO %%%K+<3G%A1/72%@47%U7/7<=%8+/U5=1%*+%0545G%Z%2+=G+<%G34+*74 VR$%N5<=%8+/I125>O%[+=G+<8521%=+<3G%I505%A1/72%@47%U7/7<= 1<1 % G+G705>*5< % 8+/L501<N5 % /+*3GU1<521 % =+<+81* % G+45471 I+<585745<=5< % 2+=G+< % I505 % 1<5<= % N5<= % 8+/1<@+*21 % 34+> % 075 A1/72%N5<=%U+/U+05%I505%2558%N5<=%25G5%W-XF%2+>1<==5%2+U75> 0/)("%%N5<=%2+U+47G<N5%8105*%G+<745/%G+<L501%G7<=*1<%7<87* G+<745/%I505 %G5<7215F %01G5<5 %>54 %1<1 %G+/7I5*5< %2587%05/1 U+U+/5I5%*+G7<=*1<5<%L545<%%8+/L501<N5%I5<0+G1O % % % H+G5GI75< % U+/U5=51 %0/)("%% A1/72 % 1<@47+<B5 % 7<87* G+<7<L7**5< % 2+4+*81A1852 % 2I+21+2 % 012+U5U*5< % 8+/785G5 % 34+> A5/1521%0545G %=+<%>+G5==4781<1<O%678521%=+<+81*%0545G%=+<

30


!"##$%%&'()*)* + ,$*% + #"*,"-$-.$* + /'-/()('/) + /"-'$! + $/$# $#)*0+('*%%$&+1$2$(+/"3$4$+/)%*)5).$*+#"*%'-$!+."#$#2'$* 240(")*+!"##$%%&'()*)*+6)4'/+'*('.+#"*%).$( +4"/"2(04 +2$1$ 2"4#'.$$*+/"&+)*$*%7+8'($/)+/"2"4()+)*)+2$1$+6)4'/+5&'+-'4'*% 1$2$( + #"*%'-$! + 1$4) + ,$*% + ()1$. + #$#2' + #"*%)*5"./) + /"& #$*'/)$+#"*9$1)+#$#2'+#"*,"-$-.$*+)*5"./)+2$1$+#$*'/)$ :;<7 +++=$*,$.+2"*"&)()+,$*%+("&$!+-"4'/$!$+#"*,"&)1).)+/)5$(+6)4'/ )*)>+#"*%$#$()>+1$*+#"#4"1)./)+."3"*1"4'*%$*+6)4'/+)*)>+1$* #"*"#'.$* + 6$./)* + ,$*% + "5".()5 + #"&$?$* + 2"*,$.)( + "2)1"#) )*)7 + @"&$)* + 2"430-$$* + -)0&0%)/> + #"(01" + .0#2'($/)0*$& + 9'%$ 1$2$( + #"*,"1)$.$* + )*504#$/) + ,$*% + -"4%'*$ + '*('. + '2$,$ 2"*3"%$!$* + ("4!$1$2 + 2"4."#-$*%$* + 6)4'/ + 5&' + -'4'*% + )*)7 A"*%$* +#"*%%'*$.$* +#"(01"+.0#2'($/)0*$&>+1$($ +-)0&0%)/> /"2"4()+1$($+%"*0#+6)4'/+#)/$&*,$>+1$2$(+1)0&$!+1$*+1)$*$&)/)/ #"*%%'*$.$*+#"(01"+1$&$#+)&#'+.0#2'("4>+#$("#$().$>+$($' (".*).+/"!)*%%$+1)1$2$(.$*+)*504#$/)+-"4%'*$+,$*%+#'*%.)* /'&)( + 1)."($!') + #"&$&') + 2"430-$$* + -)0&0%)/7 + B&"!+ .$4"*$ + )('> 2"*"&)()$*+)*)+#"*$?$4.$*+/'$('+24"1)./)+("4!$1$2+20&$+#'($/) 1$4) + /'$(' + 6)4'/ + 5&' + -'4'*% + #"*%%'*$.$* + #"(01" +!"##$% &'()*+ , -*#$.7 + A"*%$* + #"*"#'.$* + 24"1)./) + ("4!$1$2 + 20&$ #'($/)+1$4)+/'$('+6)4'/+5&'+-'4'*%>+1)!$4$2.$*+!$&+)*)+1$2$( #"*,"1)$.$*+2"4)*%$($*+$?$&+ +("4!$1$2+2"4."#-$*%$*+6)4'/ 5&'+-'4'*%7 CC7+++DEFEGCHCIF+HEJKICH

2$1$+6)4'/+5&'+-'4'*%+.$4"*$+CJA+!$*,$+#"*,"1)$.$*+/$&$! /$('+/"%#"* +1$4) +/'$('+ %"*0# + 6)4'/ +5&'+ -'4'*%+ ,$*%+1$2$( 1)$./"/+/"3$4$+-"-$/+0&"!+2'-&).7 + + +A$($+2"&$()!$*+2$1$+2"*"&)()$*+)*)+#"4'2$.$*+/'$('+1$5($4 1$4) + 2$/$*%$* + /".'"*/ + 240(")* + 6)4'/ + 5&' + -'4'*% + ,$*% 1)1$2$(.$* +1"*%$*+#"#$/$*%.$* +()$2+/".'"*/ +240(")*+6)4'/ 5&'+-'4'*%+2$1$+/'$('+($!'*+1"*%$*+/".'"*/+240(")*+6)4'/+5&' -'4'*%+2$1$+($!'*+/"("&$!*,$>+1)#$*$+."1'$+/".'"*/+240(")* )*) + !$4'/ + -"4$/$& + 1$4) + ."&'$4%$ + 240(")* + ,$*% + /$#$7 + S$& + )*) 1).$4"*$.$* + 2"*"&)()$* + )*) + !$*,$ + #"*%%'*$.$* + /$&$! + /$(' /"%#"*+%"*0#+6)4'/+5&'+-'4'*%+/"!)*%%$+2"4&'+1)2"4!$().$* $%$4+."1'$+/".'"*/+240(")*+6)4'/+5&'+-'4'*%+,$*%+1)2$/$*%.$* -"4$/$& + 1$4) + /"%#"* + ,$*% + /$#$7 + A$&$# + 1$($ + 2"&$()!$* + )*)> /".'"*/+240(")*+6)4'/+5&'+-'4'*%+2$1$+/'$('+($!'*+#"4'2$.$* /".'"*/+240(")*+/"-"&'#+#'($/)+1$*+/".'"*/+240(")*+6)4'/+5&' -'4'*% + 2$1$ + ($!'* + /"("&$!*,$ + #"4'2$.$* + /".'"*/ + 240(")* /"("&$!+#'($/)7+D"#$/$*%$*+/".'"*/+240(")*+6)4'/+5&'+-'4'*% )*)+1)&$.'.$*+#'&$)+1$4)+($!'*+UVVW+/$#2$)+UVVQ>+1)#$*$+1$4) 2"#$/$*%$*+/".'"*/+240(")*+6)4'/+5&'+-'4'*%+)*)+1)1$2$(.$* &)#$ + 1$($ + 2"&$()!$*> + ,$*% + #"4'2$.$* + 2$/$*%$* + /".'"*/ 240(")* + 6)4'/ + 5&' + -'4'*% + '*('. + ($!'* + UVVWRUVVZ + /$#2$) 1"*%$* + UVVORUVVQ> + 1"*%$* + 9'#&$! + 1$($ + /"3$4$ + ."/"&'4'!$* 1$4)+($!'*+UVVW+/$#2$)+UVVQ+/"-$*,$.+TWO[Q+2$/$*%+/".'"*/ 240(")*+6)4'/+5&'+-'4'*%7+A)$%4$#+$&)4+1$4)+2"#-"*('.$*+1$($ 2"&$()!$*+)*)+1$2$(+1)&)!$(+2$1$+\$#-$4+T7+@"&$*9'(*,$>+1$($ 2"&$()!$* + )*) + 1)%'*$.$* + '*('. + #"#-"*('. + #01"& + 24"1).()5 #"&$&')+240/"/+2"#-"&$9$4$*7

+ + +L!$*% +$/0,'.0+ :M<+#"*%"#-$*%.$*+/)/("#+2"4)*%$($*+$?$& '*('. + #"#4"1)./) + ."3"*1"4'*%$* + 6)4'/ + 5&' + -'4'*% + 1) + #$/$ 1"2$* + #"*%%'*$.$* + #"(01" + 2"*$&$4$* + -"4-$/)/ + .$/'/ + 1$* &0%).$ +12334+ '*('. + #"#$1'.$* + /"&'4'! + 2"*%"($!'$* + 1$&$# /'$('+/)/("#+2"4)*%$($*7+N)$*%+1$*+K0'+:O<+#"*%"#-$*%.$* #01"& + .0#2'($/)0*$& + '*('. + #"#4"1)./) + (4$*/#)/) + $*($4 /2"/)"/+1$4)+6)4'/+5&'+-'4'*%+#"*%%'*$.$*+#"(01"+.&$/)5).$/) 1'$+."&$/+2$1$+1$($+()4'$*+ +,$*%+-"4)/)+&)#$+20&$+#0&".'&"4 ,$*%+1)!$/)&.$*+1$4) +1".0#20/)/) +2$."( +5'+$.$/7+K"#'1)$*> P$*%+$/0,'.0+:Q<+#"*%"#-$*%.$*+#01"&+.0#2'($/)0*$&+'*('. #"#4"1)./)+(4$*/#)/)+6)4'/+5&'+-'4'*%+1$4)+'*%%$/+."+#$*'/)$ #"*%%'*$.$*+#"(01"+*%$,6.'77,7288*(/,+$6/*(,-'6!"%$+2$1$ 1$($+,$*%+-"4)/)+/"4)-'+('9'!+4$('/+('9'!+2'&'!+('9'!+6)4'/+5&' -'4'*%+1$4)+/'-(,2"+,$*%+-"-"1$7 +++="4-"1$+1"*%$*+2"*"&)()$*R2"*"&)()$*+/"-"&'#*,$>+2"*"&)()$* )*) + #"*%"#-$*%.$* + /'$(' + #01"& + .0#2'($/)0*$& + '*('. #"#4"1)./) + 20&$ + #'($/) + 1$4) + /'$(' + 6)4'/ + 5&' + -'4'*% #"*%%'*$.$* +!"##$% , &'()*+ , -*#$.+ 1"*%$* + 1$($ + -"4)/) /".'"*/ + 240(")* + 6)4'/ + 5&' + -'4'*% + S;FT + ,$*% + -"4$/$& + 1$4) C*10*"/)$+2$1$+($!'*+UVVW+/$#2$)+UVVQ7 CCC7+++8IHEJCIG+AIF+8EHBAE I7++++A$($ + + +A$($ +,$*%+1)%'*$.$* +2$1$+2"*"&)()$* +)*) +$1$&$! +/".'"*/ 240(")* + 6)4'/ + 5&' + -'4'*% + S;FT + ,$*% + -"4$/$& + 1$4) + C*10*"/)$ 2$1$+($!'*+UVVW+/$#2$)+UVVQ+,$*%+1)1$2$(.$*+1$4)+9%1.2$%3' :$7$'(6! , ;'/'<'7$+ XCJAY7 + A$($ + )*) + ."#'1)$* + 1)2)/$!.$* #"*9$1)+-"4.$/+("4/"*1)4)+-"41$/$4.$*+($!'*+)/0&$/)7+D"*"&)()$* )*)+!$*,$+#"*%%'*$.$*+/$&$!+/$('+%"*0#+1$4)+1"&$2$*+%"*0#

!"#$"%&'(&!"#$%#&'()"%'*+&,+-./0#-'!#.#'*+)#."1#-

=7++++D"&$()!$* + + + D$1$ + 2"*"&)()$* + )*)> +!"##$% , &'()*+ , -*#$.+ XS88Y 1)%'*$.$* + '*('. + #"&$()! + 1$($ + /".'"*/ + 240(")* + 6)4'/ + 5&' -'4'*%7 + S88 + #"4'2$.$* + /$&$! + /$(' + #"(01" + ,$*% + -$*,$. 1)%'*$.$*+'*('.+#"*,"&"/$).$*+-"4-$%$)+2"4#$/$&$!$*+1$&$#

31


!"#$%& ' !"("%)(*+$,"-$. ' /010*," ' 10+(#02$% ' 1*(,0"% ' 345. +0%0+6-$% ' &0% ' 3785. ' 10%90:$:$*$% ' !$%9$- ' 3775. ' #$% ' :6&$ 1*0#"-/"'/,*$"%';"*6/'37<5='>??'+0+"2"-"'!0!0*$1$'-020!"@$% 9$%& ' +0%:$#"-$%%9$ ' 2$9$- ' 6%,6- ' #""+120+0%,$/"-$% ' 1$#$ -$/6/ ' /010*," ' "%". ' /010*," ' !$@A$ ' 10+!02$:$*$% ' #$2$+ ' >?? #$1$,'#"2$-6-$%'2$%&/6%&'#$*"'#$,$'+0%,$@.'#$1$,'+0%0*"+$ +$/6-$% ' #$2$+ ' :6+2$@ ' !0/$*. ' #$% ' :6&$ ' #$1$, ' +0%0*"+$ +$/6-$%'#0%&$%'1(2$'9$%&',"#$-':02$/= '''B$#$'10%02","$%'"%".'/0!6$@'+(#02'1*0#"-,")'#"!0%,6-'+02$26" 1*(/0/ ' 10+!02$:$*$% ' +0%&&6%$-$% ' 7C ' 10*$%D$%&$% ' #$,$ 102$,"@$% ' 9$%& ' !0*!0#$= ' E6:6@ ' 10*$%D$%&$% ' #$,$ ' 102$,"@$% 10*,$+$ ' #"#$1$,-$% ' #0%&$% ' +0+0D$@ ' #$,$ ' 102$,"@$% ' 9$%& ,02$@'#"!0%,6-'/0!026+%9$'+0%:$#"'!$&"$%F!$&"$%'-0D"2'/0/6$" #0%&$%'6-6*$%'9$%&',02$@'#",0%,6-$%.'9$",6'8.'7.'<G.'G8.'788. <88. ' #$% ' C88. ' /0#$%&-$% ' ,6:6@ ' 10*$%D$%&$% ' #$,$ ' 102$,"@$% !0*"-6,%9$'#"#$1$,-$%'#0%&$%'+0%90:$:$*-$%',0*20!"@'#$@626 #$,$'102$,"@$%'9$%&',02$@'#"!0%,6-'/0!026+%9$'+0%&&6%$-$% $2&(*",+$'H00#20+$%FI6%/D@'37J5.'#"+$%$'KLMNO?G8'37C5 #0%&$%'&$1'!6-$'/0!0/$* 'F78'#$%'&$1'0-/,0%/"'/0!0/$* 'F8=G #"&6%$-$%'6%,6-'+0%"2$"'@$/"2'10%90:$:$*$%='N0,02$@'",6.'#$,$ 102$,"@$% ' "%" ' #"10D$@ ' +0%:$#" ' !$&"$%F!$&"$% ' -0D"2 ' /0/6$" #0%&$% ' 6-6*$% ' 9$%& ' ,02$@ ' #",0%,6-$%. ' /$+$ ' /010*," /0!026+%9$='B0*26'#"10*@$,"-$%'!$@A$'#$2$+'10+0D$@$%'#$,$ 102$,"@$% ' "%". ' 6-6*$% ' 8 ' !0*$*," ' !$@A$ ' #$,$ ' 102$,"@$% ' ,"#$#"10D$@'+0%:$#"'!$&"$%F!$&"$%'-0D"2.'/0#$%&-$%'6%,6-'6-6*$% !'2$"%%9$.'#0%&$%'!'$#$2$@'7.'<G.'G8.'788.'<88'#$%'C88.'!0*$*," !$@A$'#$,$'102$,"@$%'#"10D$@'#0%&$%'/0,"$1'1$/$%&'/0-60%/ 1*(,0"%'1$#$'#$,$'102$,"@$%'#0%&$%'$/$+'$+"%('#$*"'#0*0,'-0F7 /$+1$"'#0*0,'-0F!' +0%:$#"'/6!'#$,$'102$,"@$%'10*,$+$.'#0*0, -0FP!"#Q'/$+1$"'#0*0,'-0F$!'+0%:$#"'/6!'#$,$'102$,"@$%'-0#6$ #$%'/0,0*6/%9$='M20@'-$*0%$'",6.'$-$%',0*#$1$,'%'!6$@'/6!'#$,$ 102$,"@$%'6%,6-'/6$,6'#$,$'102$,"@$%.'#"+$%$'%'#"#$1$,-$%'#$*" 1$%:$%&'/0-60%/'1*(,0"%',0*1$%:$%&'1$#$'#$,$'102$,"@$%'#"!$&" #0%&$% ' 10D$@$% ' 9$%& ' #"&6%$-$% ' #$% ' -0+6#"$% ' @$/"2%9$ #"!62$,-$% ' -0 ' $,$/= ' B0*/$+$$% ' "%" ' #$1$, ' #"2"@$, ' 1$#$ ' P7Q. #"+$%$ '&' $#$2$@ ' #$,$ ' 102$,"@$% ' 9$%& ' #"&6%$-$%. ''' $#$2$@ !0/$*'10D$@$%'9$%&'#"&6%$-$%.'#$%'%'$#$2$@':6+2$@'10D$@$% 9$%& ' ,0*!0%,6-= ' R0+6#"$%. ' /0!6$@ ' >?? ' #"!0%,6- ' 6%,6/0,"$1'/6!'#$,$'102$,"@$%',0*/0!6,'#$%'/0,"$1'>??'#"/$+!6%& +0%:$#" ' /$,6 ' /0@"%&&$ ' +0+!0%,6- ' /0!6$@ ' +(#02 ' 1*0#"-,") 9$%& '6,6@' 6%,6-' /6$,6' #$,$ '102$,"@$%= ' S$#".' +(#02 ' 1*0#"-,") 1$#$ ' 10%02","$% ' "%" ' +0*61$-$% ' /6$,6 ' -6+162$% ' #$*" ' >?? 9$%&'/$2"%&'!0*/$+!6%&'+0+!0%,6-'/0!6$@'>??'9$%&'20!"@ !0/$*. ' #"+$%$ ' :6+2$@ ' >?? ' 1$#$ ' /6$,6 ' +(#02 ' 1*0#",") !0*&$%,6%& ' 1$#$ ' :6+2$@ ' 10D$@$% ' 9$%& ' #"&6%$-$% ' 6%,6+0+0D$@ ' #$,$ ' 102$,"@$%= ' M20@' -$*0%$ ' ",6. ' #$*" ' 10*$%D$%&$% #$,$'102$,"@$%'/010*,"'#"'$,$/.'#"#$1$,-$%'7C'$*/",0-,6*'+(#02 1*0#"-,") ' !0*!0#$ ' 9$%& ' ,0*!0%,6-. ' #"+$%$ ' +$/"%&F+$/"%& +(#02'1*0#"-,")'#$1$,',0*#"*"'#$*"'/$,6'$,$6'20!"@'>??'9$%& /$2"%&'!0*/$+!6%&=

%()*+%&+'

!

"

,-. /0%123 ! & " ' ''''''''''''''''P7Q

' ' ' B$#$ ' 10%02","$% ' "%". ' $2)$!0, ' /"+!(2 ' #$% ' :6&$ ' -0$#$$% ,0*/0+!6%9" ' #$*" ' >?? ' 9$%& ' #"&6%$-$% ' +0*61$-$% ' -0F<8

/"+!(2'#$*"'$/$+'$+"%('#$%'#",$+!$@'/"+!(2'#$*"'&$1'PTFUQ 6%,6- ' #$,$ ' 102$,"@$% ' 9$%& ' #"/0:$:$*-$%= ' V*/",0-,6* ' 6+6+ +0%&0%$" ' +(#02 ' 1*0#"-,") ' "%" ' #$1$, ' #"2"@$, ' 1$#$ ' W$+!$* ' <. /0#$%&-$%'#"$&*$+'$2"*'#$*"'1*(/0/'102$,"@$%'"%"'#$1$,'#"2"@$, 1$#$'W$+!$*'J=

!"#$"%&'(&!"#$%&'%(")*+(+),-.&/)0"&.$'%$1

!"#$"%&)(&2$34"3+)!/$")0"-#&#)0&/3%$536

'''N02$%:6,%9$.'/0,"$1'+(#02'1*0#"-,")'"%"'#"2$,"@'+0%&&6%$-$% 2"+$'#$,$'102$,"@$%'9$%&',02$@'#"!0%,6-'/0!026+%9$'/0@"%&&$ /0,"$1'+(#02'1*0#"-,")'+0+"2"-"'2"+$'@$/"2'1*0#"-/"'#$*"'#$,$ 102$,"@$% ' 9$%& ' !0*!0#$= ' R0+6#"$%. ' @$/"2 ' 1*0#"-/" ' /0D$*$ -0/026*6@$% ' #$*" ' 2"+$ ' #$,$ ' 102$,"@$% ' ,0*/0!6, ' #"#$1$,-$% #0%&$% '+0%&@",6%&'*$,$F*$,$'@$/"2 '1*0#"-/" '#$*" '-02"+$'#$,$ 102$,"@$% ' ,0*/0!6,= ' X$2$+ ' 10%02","$% ' "%". ' !"(19,@(% ' 37G5 #"&6%$-$%'6%,6-'"+120+0%,$/"'>??= Y=''''B*0#"-/" ' ' ' B*0#"-/" ' #$*" ' /6$,6 ' /0-60%/ ' 1*(,0"% ' ;"*6/ ' )26 ' !6*6%& #",0+6-$% ' #0%&$% ' D$*$ ' +0%D$*" ' :$26* ' -0$#$$% ' ,0*/0+!6%9" 9$%&'1$2"%&'+6%&-"%'1$#$'/6$,6'+(#02'1*0#"-,")'!0*#$/$*-$% /6$,6'#0*0,'/"+!(2'9$%&'#"$+$,".'#"+$%$'1$#$'10%02","$%'"%". /6$,6'#0*0,'/"+!(2'9$%&'#"$+$,"'$#$2$@'/6$,6'/0-60%/'1*(,0"% ;"*6/')26'!6*6%&'/0!026+'+6,$/"'#$%'@$2'"%"',02$@'#"-0,$@6". /0#$%&-$% ' :$26* ' -0$#$$% ' ,0*/0+!6%9" ' $#$2$@ ' /6$,6 ' /0-60%/

32


!"#$%&'()&"*+(,-*(.*"*'/(+%$%-01(2*$0+&3(4&20'0(10-(&'&(.%-*2 4&5%$01*& ( 40' ( 4&10"0!50' ( *'$*5 ( 4&$%2*50' ( 2%-0-*& ( !"#+%+ !"%4&5+&6 ( 7"%4&5+& ( +%5*%'+ ( !"#$%&' ( )&"*+ ( ,-* ( .*"*'/ ( &'& 4&$%2*50'(4%'/0'(2%'80-0'50'(0-/#"&$20()&$%".&(!040(2#4%!"%4&5$&,6(9-%1(50"%'0(+*0$*(2#4%-(!"%4&5$&,(!040(!%'%-&$&0' &'&($%"4&"&(40"&(+0$*(0$0*(-%.&1(:;;(<0'/(+0-&'/(.%"+02.*'/3 2050(+%5*%'+(!"#$%&'()&"*+(,-*(.*"*'/(<0'/(&'/&'(4&!"%4&5+& !#-0(2*$0+&'<0(8*/0(!%"-*(4&!%=01(2%'//*'050'(*5*"0'(<0'/ +020 ( 4%'/0' ( *5*"0' ( <0'/ ( 4&/*'050' ( *'$*5 ( 2%2%=01 ( 40$0 !%-0$&10'6(>%2*4&0'3(+%$&0!(.0/&0'(+%5*%'+(!"#$%&'()&"*+(,-* .*"*'/(<0'/($%-01(4&!%=01(&'&(4&!"%4&5+&(2%'//*'050'(:;; <0'/(.%"+%+*0&0'3 (4&20'0 (.%"+%+*0&0' (<0'/(4&205+*4(4&+&'& 040-01(.01?0(.0/&0'(5%@!( 40"&(+%5*%'+(!"#$%&'(<0'/(4&!%=01 4&!"%4&5+&(2%'//*'050'(:;;(5%@!(40"&(2#4%-(!"%4&5$&,(<0'/ 4&/*'050'(40'(!(040-01(*"*$0'(.0/&0'(40"&(+%5*%'+(!"#$%&'(40' 8*/0(*"*$0'(:;;(!040(2#4%-(!"%4&5$&,6(>%2*4&0'3(+%-*"*1 .0/&0' ( 40"& ( +%5*%'+ ( !"#$%&' ( 10+&- ( !"%4&5+& ( &'& ( 4&+02.*'/ 2%'804&(+0$*(+%1&'//0(4&10+&-50'(+*0$*(+%5*%'+(!"#$%&'()&"*+ ,-*(.*"*'/(10+&-(!"%4&5+&(<0'/(*$*16(A&0/"02(0-&"(40"&(!"#+%+ !"%4&5+&(&'&(40!0$(4&-&10$(!040(B02.0"(C6

!"#$"%&'(&!"#$%#&'()"%'*%+,-,'*%-."/,"

A6((((D)0-*0+&(:0+&( ((E&-0&(05*"0+&(4&/*'050'(*'$*5(2%'/%)0-*0+&(10+&-(!"%4&5+&3 4&20'0 ( "*2*+0''<0 ( 040-01 ( 8*2-01 ( 0+02 ( 02&'# ( <0'/ ( +020 !040 ( 4%"%$ ( <0'/ ( +020 ( 40"& ( 5%4*0 ( +%5*%'+ ( !"#$%&' ( <0'/ 4&.0'4&'/50'3(<0&$*(+%5*%'+(!"#$%&'(10+&-(!"%4&5+&(40'(+%5*%'+ !"#$%&'(+%$%-01(2*$0+&3(4&1&$*'/3(-0-*(4&.0/&(4%'/0'(!0'80'/ +%5*%'+ ( !"#$%&' ( $%"+%.*$3 ( 40' ( 5%2*4&0' ( 4&50-& ( 4%'/0' ( FGG6 7%"+0200' (&'&(40!0$ (4&-&10$ (!040(HIJ3 (4&20'0 (!( 040-01 (4%"%$ 40"&(+%5*%'+(!"#$%&'3("(040-01(!0'80'/(40"&(+%5*%'+(!"#$%&'3(# 040-01(+%5*%'+(!"#$%&'(10+&-(!"%4&5+&3(40' ($( 040-01(+%5*%'+ !"#$%&' ( +%$%-01 ( 2*$0+&6 ( 7%"-* ( 4&!%"10$&50' ( .01?0 ( 5%4*0 +%5*%'+ ( !"#$%&' ( &'& ( 10"*+ ( 2%2&-&5& ( !0'80'/ ( <0'/ ( +020 +%1&'//0 ( 0!0.&-0 ( 5%4*0 ( +%5*%'+ ( &'& ( $&405 ( 2%2&-&5& ( !0'80'/ <0'/(+0203(2050(5%4*0(+%5*%'+(&'&(!%"-*(4&+%8080"50'($%"-%.&1 401*-*6 "

! #! '($ !

%&&' !'F

"

) FGG

((((((((((((((((((HIJ

( ( ( K#'$#1 ( 40"& ( !%"1&$*'/0' ( '&-0& ( 05*"0+& ( &'& ( 040-01 ( 0!0.&-0 $%"40!0$(+%.*01(+%5*%'+(!"#$%&'(10+&-(!"%4&5+&(4%'/0'(+*+*'0' 0+02 ( 02&'# ( L;MMNO ( 40' ( +%5*%'+ ( !"#$%&' ( +%$%-01 ( 2*$0+& 4%'/0' ( +*+*'0' ( 0+02 ( 02&'# ( L;MMO6 ( A0!0$ ( 4&-&10$ ( .01?0 5%4*0 ( +%5*%'+ ( !"#$%&' ( &'& ( .%-*2 ( +%8080" ( +%1&'//0 ( 5%4*0 +%5*%'+(!"#$%&'(&'&(!%"-*(4&+%8080"50'($%"-%.&1(401*-*6(M%$%-01 5%4*0 ( +%5*%'+ ( !"#$%&' ( &'& ( 4&+%8080"50'3 ( <0'/ ( 2%'/10+&-50' +%5*%'+(!"#$%&'(4%'/0'(+*+*'0'(L;MMNO(40'(L;MM@O3(2050 5%4*0 ( +%5*%'+ ( !"#$%&' ( &'& ( 40!0$ ( 4&1&$*'/ ( '&-0& ( 05*"0+&'<06 A0!0$(4&-&10$(40"&(5%4*0(+%5*%'+(!"#$%&'(<0'/($%-01(+%8080"(&'& .01?0(5%4*0(+%5*%'+(!"#$%&'(&'&(2%2&-&5&(P(.*01(0+02(02&'# <0'/ ( +020 ( !040 ( 4%"%$ ( <0'/ ( +0203 ( 40"& ( $#$0- ( C ( .*01 ( 0+02 02&'#( <0'/ ( 040 ( !040 ( 5%4*0 ( +%5*%'+ ( !"#$%&' ( $%"+%.*$6 ( 9-%1 50"%'0(&$*3('&-0&(05*"0+&(40"&(5%4*0(+%5*%'+(!"#$%&'(&'&(040-01 HP(Q(CJ(R(FGG(S(TUV6 WX6(((:YMWZ(AYE(7D;[Y:YMYE ( ( ( A%'/0' ( 2%'//*'050' ( !%"0'=0'/0' ( 40$0 ( !%-0$&10' ( <0'/ .%".%40@.%403(FC(2#4%-(!"%4&5$&,(4&.%'$*5(!040(!%'%-&$&0'(&'&6 M%$%-01(&$*3()0-&40+&(+&-0'/(-&!0$(FG(4&/*'050'(*'$*5(2%'&-0& %,%5$&)&$0+(10+&-(!"%4&5+&(40"&(20+&'/@20+&'/(2#4%-(!"%4&5$&, &'&3 ( 4&20'0 ( 5%2*4&0' ( 4&!&-&1 ( +0$* ( 2#4%- ( !"%4&5$&, ( <0'/ 2%'/10+&-50' ( 10+&- ( )0-&40+& ( $%".0&56 ( A%'/0' ( )0-&40+& ( +&-0'/ -&!0$(FG(&'&3(*'$*5(+%$&0!(40$0(!%-0$&10'(<0'/(4&/*'050'3(40$0 !%-0$&10'( &'& ( 4&!0"$&+& ( 5%( 40-02 ( FG(+*.( 40$0( 4%'/0' (*5*"0' <0'/(+0206(>%2*4&0'3(40"&(FG(+*.(40$0($%"+%.*$3(+%.*01(+*. 40$0 ( 4&!&-&1 ( +%.0/0& ( 40$0 ( )0-&40+& ( <0'/ ( 4&/*'050' ( *'$*5 2%'/*8& (2#4%- (!"%4&5$&,3 (40'(\(+*.(40$0 (+&+0'<0 (4&/*'050' +%.0/0&(40$0(!%-0$&10'(*'$*5(2%-0$&1(2#4%-(!"%4&5$&,6(7"#+%+ &'& ( 5%2*4&0' ( 4&*-0'/& ( +%.0'<05 ( FG ( 50-& ( 4%'/0' 20+&'/@20+&'/(40"&(FG(+*.(40$0(4&/*'050'($%!0$(+%50-&(+%.0/0& 40$0 ( )0-&40+& ( 40' ( +&+0'<0 ( 4&/*'050' ( +%.0/0& ( 40$0 ( !%-0$&10'6 >%2*4&0'3 ( 10+&- ( !"%4&5+& ( "0$0@"0$0 ( 40"& ( 5%@FG ( 40$0 ( )0-&40+& 4&1&$*'/(*'$*5(2%'/10+&-50'(%+$&20+&($*'//0-(10+&-(!"%4&5+& +*0$*(2#4%-(!"%4&5$&,6 ( ( (A0!0$(4&-&10$(!040(]0.%-(F3(10+&-()0-&40+&(2#4%-(!"%4&5$&, <0'/ ( 4&.%'$*5 ( 2%'//*'050' ( 40$0 ( !%-0$&10' ( <0'/ ( $&405 4&+%8080"50'(40'(4&!%=01(4%'/0'(*5*"0'(G3(F3(IU3(UG3(FGG3(IGG3 40' ( CGG ( 2%'/10+&-50' ( '&-0& ( 05*"0+& ( "0$0@"0$0 ( \I6PTV (^ IG6_GV6(M%-0&'(&$*3(!%2%=010'(40$0(!%-0$&10'(4%'/0'(*5*"0' IU(2%'/10+&-50'('&-0&(05*"0+&("0$0@"0$0($%".0&53(4%'/0'(10+&\I6TUV(^(IG6_FV6(A0!0$(4&-&10$(8*/0(.01?0(!%2%=010'(40$0 !%-0$&10' ( 2%'804& ( .0/&0'@.0/&0' ( 5%=&- ( $&405 ( $%"-0-* .%"!%'/0"*1(!040('&-0&(05*"0+&(10+&-(!"%4&5+&6 )"$*+&,(&!#0#'*-)#0"1#2'3".#/'!",-4#4#%/#2 7%=010' G F IU UG FGG IGG CGG N0$0@N0$0

;&'&2*2 HVJ C6_T C6_T C6TC C6TC C6_T C6_T C6_T C6_C

;05+&2*2 HVJ FGG FGG FGG FGG FGG FGG FGG FGG

N0$0@N0$0 HVJ \I6I_ \I6PC \I6TU \I6CC \I6I\ \I6I` \I6I` \I6PT

A%)&0+& HVJ IG6TC IG6_T IG6_F IG6_G IG6_G IG6_I IG6T` IG6_G

33


! "#$%&'()*!+(&(!,(-#.!/!&(+(0!&'.'1(0!-(12(!1(3'.!4(.'&(3' $5&#. ! +6#&'70'8 ! 9(): ! &'-#)0%7 ! $#)::%)(7() ! &(0( ! +#.(0'1() 9(): ! &'3#;(;(67() ! &() ! &'+#<(1 ! &#):() ! %7%6() ! =* ! >*! /?* ! ?=* >==*!/==*!&()!@==!$#):1(3'.7()!)'.('!(7%6(3'!6(0(A6(0(!9(): .#-'1!-%6%7*!9('0%!B?CD=E!F!/GCH?EC!I7()!0#0(+'*!+#$#<(1() &(0( ! +#.(0'1() ! &#):() ! %7%6() ! > ! +(&( ! $5&#. ! +6#&'70'8 ! ')' $#):1(3'.7()!)'.('!(7%6(3'!6(0(A6(0(!0#6-('7*!9('0%!J@CGJE !F >?C@?EC !K(+(0!&'.'1(0!;%:(!-(12(!+#$#<(1()!&(0(!+#.(0'1() $#);(&' ! -(:'()A-(:'() ! 7#<'. ! -#6+#):(6%1 ! +(&( ! )'.(' ! (7%6(3' 1(3'. ! +6#&'73'* ! &'$()( ! 3#$(7') ! 7#<'. ! +#$#<(1() ! 9(): &'.(7%7()*!$(7(!)'.('!(7%6(3'!6(0(A6(0(!1(3'.!+6#&'73'!$#);(&' .#-'1!-('7C!L.#1!7(6#)(!'0%*!+#$#<(1()!&(0(!+#.(0'1()!&#):() %7%6()!>*!9():!(60')9(!(&(.(1!-(12(!MNN!&'-#)0%7!%)0%7 0'(+ ! > ! (3($ ! ($')5 ! +(&( ! &(0( ! +#.(0'1()* ! $#):1(3'.7() ! )'.(' (7%6(3' ! 1(3'. ! +6#&'73' ! 0#6-('7* ! 3#&():7() ! +#$#<(1() ! &(0( +#.(0'1()!&#):()!%7%6()!=*!9():!(60')9(!(&(.(1!-(12(!3#-%(1 MNN ! &'-#)0%7 ! %)0%7 ! 7#3#.%6%1() ! &(0( ! +#.(0'1() $#):1(3'.7()!)'.('!(7%6(3'!1(3'.!+6#&'73'!0#6-%6%7C !"#$%&'(&!"#"$%&'"#()"*$!(+&,","-."* O#<(1() = > /? ?= >== /== @== R(0(AR(0(

N')'$%$ PEQ =C/= BCGG @CJH =C/= =CBD =C/= =C/= /C>B

N(73'$%$ PEQ >== >== >== >== >== >== >== >==

R(0(AR(0( PEQ H/CH> J@CGJ J>CHB BBCHB BGCH> B@C=J HBCD/ B?CD=

K#4'(3' PEQ D?CH/ >?C@? /=CB> /@C?H /HCD/ D=C=/ DDCD@ /GCH?

SC!!!"TUVNOWXIY!KIY!UIRIY ! ! ! W)0%7 ! $#):()0'3'+(3' ! +#67#$-():() ! 4'6%3 ! 8.% ! -%6%):* +#)#.'0'() ! ')' ! $#)<5-( ! %)0%7 ! $#$6#&'73' ! +5.( ! $%0(3' ! &(6' 3%(0%!4'6%3!8.%!-%6%):C!>@!$5&#.!+6#&'70'8!!-#6-(3'37()!!"##$% &'()*+,-*#$.!&'-#)0%7!+(&(!+#)#.'0'()!')'C!K(6'!7#A>@!$5&#. +6#&'70'8!9():!&'-#)0%7*!&'7#0(1%'!-(12(!1(3'.!+6#&'73' !&(6' $5&#. ! +6#&'70'8 ! 9(): ! &'-#)0%7 ! $#)::%)(7() ! &(0( ! +#.(0'1() 9():!&'3#;(;(67()!&()!&'+#<(1!&#):()!%7%6()!>!$#):1(3'.7() )'.('!(7%6(3'!6(0(A6(0(!0#6-('7*!9('0% !J@CGJE !F!>?C@?EC!I7() 0#0(+'*!3#<(6(!%$%$*!1(3'.!+6#&'73'!&(6'!$5&#.!+6#&'70'8!9(): &'-#)0%7!$#)::%)(7()!&(0(!+#.(0'1()!9():!0'&(7!&'3#;(;(67() $#):1(3'.7() ! )'.(' ! (7%6(3' ! 6(0(A6(0( ! 9(): ! .#-'1 ! -('7* ! 9('0% J/CDHE!F!/=CB=E*!&'$()(!)'.('!(7%6(3'!6(0(A6(0(!1(3'.!+6#&'73' &(6' ! $5&#. ! +6#&'70'8 ! 9(): ! &'-#)0%7 ! $#)::%)(7() ! &(0( +#.(0'1() !9(): ! &'3#;(;(67() ! (&(.(1 !B?CD=E !F !/GCH?EC! L.#1 7(6#)( ! '0%* ! $5&#. ! +6#&'70'8 ! ')' ! &(+(0 ! &':%)(7() ! 3#-(:(' +#6'):(0() ! (2(. ! 0#61(&(+ ! +#67#$-():() ! $%0(3' ! &(6' ! 3%(0% 4'6%3!8.%! -%6%):C! U#.(') !'0%*!$#05&#! +6#&'73' ! ')' ! ;%:( !&(+(0 -#6:%)(!%)0%7!+#)#.'0'()!-#6'7%0)9(!$#):#)(' !+6#&'73' !+5.( $%0(3'!4'6%3!8.%!-%6%):C ! !!W)0%7!+#)#.'0'()!-#6'7%0)9(!$#):#)('!+6#&'73'!+5.(!$%0(3' 4'6%3 ! 8.% ! -%6%):* ! +#)%.'3 ! $#)9(6()7() ! %)0%7 ! $#)::%)(7() (63'0#70%6 ! MNN ! 9(): ! -#6-#&( ! %)0%7 ! $#$-#)0%7 ! $5&#. +6#&'70'8C!U#.(')!'0%*!+#)::%)(()!$#05&#!9():!-#6-#&(!3#.(')

MNN ! ;%:( ! &(+(0 ! &'.(7%7() ! 3#1')::( ! 1(3'. ! +6#&'73' ! &(+(0 &'-()&'):7()!&() !&'1(6(+7() !$#)&(+(07() !1(3'. !9():!.#-'1 -('7C ! WZIOIY!,TRVNI!"IUVM ! ! !O#)%.'3!'):')!-#60#6'$(!7(3'1!7#+(&(![('\(1*!UC!"5$C*!NC "5$C!9():!0#.(1!$#$-'$-'):!+#)%.'3!&(.($!$#)9#.#3('7() +#)#.'0'()!')'C KI[,IR!OWU,I"I ]>^ ! ! U0#<1 ! _C* ! `'5): ! `C* ! U<15.0'33#7 ! ZC* ! a#-30#6 ! RCbC* ! V)&#+#)&#)<# ! 58 T45.%0'5)(69 ! ()& ! N%0(0'5)(. ! R(0#3 ! I80#6 ! ,6()3$'33'5) ! 58 ! I4'() V)8%#)\( ! S'6%3#3 ! 05 ! U2')#* ! _5%6)(. ! 58 ! S'65.5:9* !HD*! PDQ* ! P>JJJQ* >BHBA>BB@C ]/^!!!!K5$'):5!TC*!N(60')#\AU(.(3!TC*!U5-6')5![C*!&#!.(!,566#!_CZC*!O560#.(!IC* L60')!_C*!X5+#\!b(.')&#\!ZC*!O#6#\Ac6#)(!OC*!S'..()%#4(!YC*!Y(;#6(*!RC* ,1# ! d%(3'3+#<'#3 ! PTe06#$#.9 ! M#0#65:#)#5%3Q ! Y(0%6# ! 58 ! S'6(. ! RYI b#)5$#!O5+%.(0'5)3f!c'5.5:'<(.!R#.#4()<#!g!(!R#4'#2*!b#)#* !@=*!P>Q* P>JB?Q*!>ABC ]D^ ! ! U%(6#\ ! KC ! XC* ! T45.%0'5) ! 58 ! I4'() ! V)8%#)\( ! S'6%3#3* ! S#0#6')(69 N'<65-'5.5:9*!H@*!P>A/Q*!P/===Q*!>?A/HC ]@^!!!!,1#!a56.&!M#(.01!L6:()'\(0'5)!b.5-(.!V)8.%#)\(!O65:6($!U%64#'..()<# Y#02567* ! T45.%0'5) ! 58 ! M?Y> ! I4'() ! V)8.%#)\( ! S'6%3#3 ! ') ! I3'(* T$#6:'):!V)8#<0'5%3!K'3#(3#3*!>>*!P>=Q*!P/==?Q*!>?>?g>?/>C ]?^!!!!b($-(69()!IC*!,%\'754!IC*!O(\9)')(!bC*!c54')!YC*!c(.'31!IC*!".'$54 IC*!T45.%0'5)!58!01#!R#<#+056!c')&'):!O1#)509+#!58!V)8.%#)\(!I!PM?Q S'6%3#3*!S'65.5:9*!D@@*!P/Q*!P/==GQ*!@D/g@DBC ]G^ ! ! ! h1(): ! _C* ! X% ! _C* ! h1(): ! bC* ! I ! M9-6'& ! ")52.#&:#A-(3#& ! O6#&'<0'5) N#015&!856!I4'()!V)8.%#)\(!T(6.9!a(6)'):*!O65<##&'):3!58!01#!VTTT V)0#6)(0'5)(. ! Z5)8#6#)<# ! 5) ! U930#$3* ! N() ! ()& ! Z9-#6)#0'<3* ! P/==JQ* G>HAG//C ]H^! ! !d'():!`C*!"5%!hC*, O6#&'<0'5)!58!V)0#63+#<'#3!,6()3$'33'5)!856!I4'() V)8.%#)\( ! I ! S'6%3 ! c(3#& ! 5) ! ( ! c(<7A+65+(:(0'5) ! Y#%6(. ! Y#02567* N(01#$(0'<(.!()&!Z5$+%0#6!N5&#..'):*!?/*!P>>A>/Q*!P/=>=Q*!/=G=A/=G?C ]B^ ! ! a(): ! _C* ! h15% ! iC* ! "5% ! hC* !L)# ! Z.(33 ! U%++560 ! S#<056 ! N(<1')# ! 856 O6#&'<0'):!I4'()A05A1%$()!,6()3$'33'5)!58!I4'()!V)8.%#)\(!I!S'6%3* O65<##&'):!58!01#!VTTT!V)0#6)(0'5)(.!Z5)8#6#)<#!5)!Z5$+%0#6!U<'#)<# ()&!I%05$(0'5)!T):')##6'):*!D*!P/=>/Q*!>B@A>BBC ]J^!!!M(%33.#6!KC*!"65:1!IC*!N'()!VC!UC*!U;5.()&#6!"C*!O650#')!N5&#..'):!W3'): M'&&#)!N(6754!N5&#.3f!I)(.93'3!58!b.5-')*!O65<##&'):3!58!01#!M(2('' V)0#6)(0'5)(.!Z5)8#6#)<#!5)!U930#$!U<'#)<#3*!>*!P>JJDQ*!HJ/AB=/C ]>=^!!"65:1!IC*!N'()!VC!UC*!M(%33.#6!KC*!I!M'&&#)!N(6754!N5&#.!,1(0![')&3 b#)#3 ! ') ! TC ! Z5.' ! KYI* ! Y%<.#'< ! I<'&3 ! R#3#(6<1* !//* ! P//Q* ! P>JJ@Q* @HGBA@HHBC ]>>^!T&&9!UC*!N%.0'+.#!I.':)$#)0!W3'):!M'&&#)!N(6754!N5&#.3*!O65<##&'):3 58 ! 01# ! ,1'6& ! V)0#6)(0'5)(. ! Z5)8#6#)<# ! 5) ! V)0#..':#)0 ! U930#$3 ! 856 N5.#<%.(6!c'5.5:9*!P>JJ?Q*!>>@A>/=C ]>/^ ! !U'):1!bC!cC*!Z5$+%0(0'5)(. !N5&#.'): !()&!O6#&'<0'5)!58 !01# !M%$() V$$%)5&#8'<'#)<9 ! S'6%3 ! PMVSQ ! U06(')3* ! O65<##&'):3 ! 58 ! VTTT V)0#6)(0'5)(. ! _5')0 ! U9$+53'( ! 5) ! V)0#..':#)<# ! ()& ! U930#$3* ! P>JJBQ* B@AJ>C ]>D^!Y##&.#$()!UC!cC*!a%)3<1!ZC!KC*!I!b#)#6(.!N#015&!I++.'<(-.#!05!U#(6<1 856!U'$'.(6'0'#3!')!01#!I$')5!I<'&!U#j%#)<#3!58!,25!O650#')3*!_5%6)(. 58!N5.#<%.(6!c'5.5:9*!@B*!PDQ*!P>JH=Q*!@@DA@?DC ]>@^ ! M#)'7588 ! UC* ! M#)'7588 ! _C ! bC*! I$')5 ! I<'& ! U%-30'0%0'5) ! N(06'<#3 ! 865$ O650#')!c.5<73*!O65<##&'):3!58!01#!Y(0'5)(.!I<(&#$9!58!U<'#)<#3!58!01# W)'0#&!U0(0#3!58!I$#6'<(*!BJ*!P//Q*!P>JJ/Q*!>=J>?g>=J>JC ]>?^!!Z5<7!OC!_C*!I)0(5!,C*!Z1():!_C!,C*!c'5+9015)f![6##.9!I4('.(-.#!O9015) ,55.3 ! 856 ! Z5$+%0(0'5)(. ! N5.#<%.(6 ! c'5.5:9 ! ()& ! c'5')856$(0'<3* c'5')856$(0'<3*!/?*!P>>Q*!P/==JQ*!>@//g>@/DC

34


! !

Perancangan, Pemodelan Kinematik, dan Implementasi Robot Ikan Autonomous untuk Penginderaan Perairan Design, Kinematic Modeling, and Implementation of Autonomous Robot Fish for Underwater Sensing Alissa Ully Ashar1,a, M. Akbar J2,b, Arief Syaichu Rohman 3,c 1,2,3

Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung, Bandung. aEmail : alissa.ully.a@students.itb.ac.id! b Email : Muhammad.akbar.j@students.itb.ac.id c Email : arief@stei.itb.ac.id

A bstrak ¹ Perancangan mekanik-elektronik dari robot ikan dan pemodelan kinematik untuk pergerakannya yang meliputi pergerakan lurus, berbelok, dan naik-turun telah berhasil diimplementasikan. Robot ikan ini dirancang dengan dua joint untuk mengadopsi pergerakan carangiform fish yang bergerak dan mengatur pergerakannya dengan menggunakan 1/3 bagian dari tubuhnya. Selain itu, dua metode untuk menghasilkan pergerakan naik dan turun diujicobakan, yaitu metode pectoral fin dan metode weight moving dan ditemu kan bahwa metode pectoral fin lebih efektif. Selain pemodelan kinematik untuk pergerakannya, robot ikan ini juga juga dilengkapi sensor navigasi seperti infra merah dan Inertial Navigation System (I NS) sehingga mampu bergerak secara autonomous. Pemantauan parameter navigasi utama seperti yaw, pitch , roll , dan heading telah berhasil diterapkan untuk pengecekan posisi dan arah pergerakan. Robot ikan ini juga telah dilengkapi dengan sensor untuk pengambilan data ter kai t kualitas air sehingga sangat potensial untuk melaksanakan fungsi penginderaan perairan secara efektif dan efisien. Kata Kunci ² Robot ikan, pemodelan kinematik, inertial navigation system , pectoral fin A bstract ¹ M echatronics design of fish robot and kinematic modeling for its movements including straight, turn, and up-down movements are successfully implemented. T he fish robot is designed with two joints to adopt the movement of carangiform fish which creates motion and controls its movements by using 1/3 of its body. T wo methods for producing up-down motion are investigated, namely the pectoral fin and weight moving method and it is found that for this particular robot pectoral fin me thod is more effective. In addition to kinematic modeling for its movement, the fish robot is also equipped with navigation sensor such that infrared and Inertial Navigation System (I NS) so that it can move autonomously. M ain navigation parameters such as yaw, pitch, roll, and heading are successfully monitored for evaluation of positions and movements. T he fish robot is also equipped with sensor to obtain data related to water quality and wifi for data transmission. T hus the robot is highly potential for effective and efficient underwater sensing tasks. Keywords ² F ish robot, kinematic modeling, inertial robotic system, pectoral fin

I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai luas lautan empat kali lebih besar daripada luas daratan [1]. Hal ini yang menjadi dasar pentingnya pengawasan perairan di Indonesia secara berkesinambungan. Tingginya biaya pada teknologi jelajah perairan seperti ROUV (R emotely Operated Underwater Vehicle ) ataupun teknologi kapal selam lainnya menyebabkan kurangnya tingkat pengawasan perairan Indonesia. Biomimetic merupakan penerapan konsep struktur, morfologi ataupun fungsi dari makhluk hidup tertentu terhadap robot atau desain teknik lainnya. Bidang ini mulai banyak dikembangkan karena kelebihannya yang ramah terhadap habitat alami makhluk hidup. Robot ikan merupakan salah satu contoh penelitian pada bidang biomimetic. Robot ikan dirancang sehingga menyerupai ikan dan dapat bergerak di dalam air seperti ikan pada umumnya. Negara-negara maju banyak melakukan penelitian terkait robot ikan yang berfungsi untuk mengawasi perairan dari segi kualitas perairan, keamanan, maupun fungsi-fungsi lainnya.

Jindong Liu, et al. mengimplementasikan pergerakan carangiform fish pada robot ikan [2]. Robot ikan tersebut bisa mengadaptasi pola pergerakan sesuai carangiform fish dengan baik di dalam akuarium, namun tidak ditemukan laporan mengenai penerapan sistem navigasi. Penelitian terkait pengawasan perairan juga dilakukan oleh T. B. Koay, et al. yang mengembangkan platform AUV (Autonomous Underwater Vehicle) yang dilengkapi dengan DSAAV ( Distributed Software Architecture for Autonomous Vehicle ) untuk sistem navigasi [3]. Di Indonesia, penelitian AUV untuk melakukan pengawasan perairan masih sangat minim. Oleh karena itu, pengembangan robot ikan menjadi sangat penting sebagai platform penelitian AUV di Indonesia. Robot ikan yang dikembangkan pada penelitian ini dirancang untuk dapat melakukan pergerakan lurus, belok dan naik-turun menyerupai carangiform fish, dilengkapi dengan sistem navigasi, dan sensor untuk pengambilan data. Carangiform fish merupakan salah satu jenis pergerakan ikan yang banyak diadopsi karena performanya sangat baik untuk gerak lurus dan belok [4]. Robot ikan ini juga diberi beberapa sensor navigasi seperti infra merah dan INS ( Inertial

35


! !

Navigation System) sehingga, selain bisa dikendalikan dari jarak jauh ( remote), robot ikan ini juga bisa bergerak secara autonomous. Robot ikan ini diharapkan mampu menggantikan ROUV maupun kapal selam untuk melaksanakan fungsi pengawasan perairan secara efektif dengan biaya yang jauh lebih efisien. )*+,-!.-/-+

II. PERANCANGAN A. Gambaran Umum 1. Perancangan Hardware Berdasarkan model kinematic dari mekanisme pergerakan robot ikan yang telah dijelaskan, perancangan robot ikan telah dibuat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 2 menunjukkan arsitektur dari konfigurasi sistem robot ikan secara keseluruhan.

servomotor

!

!

! Pectoral fin

batteries !

!

!

!

!

!

&')!?&0*+/526! '2,5@2/5-0! )>7/*9A

;-<*+!):==6>

!

Pusat pemrosesan yang menggunakan Arduino UNO (atmega 328) menerima catu daya dari baterai li-po 2 cell 7.4 V. Didalam arduino ini lah terdapat perintah untuk sensor infra merah, temperatur, dan INS untuk mengambil data. Selain itu, arduino ini berfungsi untuk mengirim sinyal PWM ( Pulsed Width Modulation) ke servo motor yang akan menggerakkan joint-joint robot ikan dan penggerak lainnya.

C audal fin

!

"#$#%&'(

G ambar 3. D F D L evel 0 dari Sistem O perasi Robot I kan

microprocessor

! !

&01+2+*3

45+*6*77! 8-99:0582/5-0

Robot ikan ini dibagi menjadi beberapa bagian : x Obstacle sensors x Wireless Communication x Servomotors x Accessories (baterai, caudal & pectoral fin, dll) x INS (Inertial Navigation System) x Microcontroller O bstacles Sensors

)*07-+! %*9=*+2/:+

! 45+*6*77 J-99:0582/5-0

&')

servomotor

G ambar 1. Skema M ekanik-E lektronik Robot I kan

&01+2+*3!D

!

$2//*+>

.*9-+5

.-/-+!&&&

J-99203 F(%(

F(G(

F(%(

F(%(

! '(H&I()&

Microprocessor

PW M signal

&01+2+*3!C

.-3:6!B*=262

.-3:6!$2320

F(%(

'(H&I()&

Joint 1 '(H&I()& F(%(

Joint 2 Information /command Pectoral Fin Obstacle Sensor

F(%(

)*07-+! /*9=*+2/:+

&01+2+*3!E

2. Perancangan Software Perancangan software robot ikan yang dikembangkan secara keseluruhan dapat digambarkan dengan Data F low Diagra m (DFD) yang meliputi DFD level 0 (Gambar 3) dan DFD level 1 (Gambar 4).

.-/-+!&

.-/-+!&&

.-/-+!&H

!

load

G ambar 2. Diagram Blok Sistem Robot I kan

'(H&I()&

F(%(

G ambar 4. D F D L evel 0 dari Sistem O perasi Robot I kan

B. Kinematika Gerak Ikan Robot ikan dirancang untuk melakukan pergerakan seperti carangiform fish. Robot ikan pada paper ini didesain dengan posisi awal melayang (F = W) untuk memudahkan pergerakan naik atau turun. Pergerakan maju dan pergerakan berbelok

36


! ! memanfaatkan 2 joint yang berada pada bagian ekor. Jointjoint ini berfungsi menghasilkan gaya dorong kedepan dengan adanya osilasi dari caudal fin yang dibentuknya. Pergerakan robot ikan ini dapat digolongkan sebagai pergerakan jenis BCF (body and/or caudal fin). BCF biasa dikategorikan kedalam anguilliform, subcarangiform, carangiform, dan thunniform [5]. 1. Pergerakan Lurus Gambar 5 mendeskripsikan pola pergerakan carangiform fish beserta strukturnya.. Pergerakan ikan dengan pola gerak carangiform adalah gerakan mengombak dari ! atau 1/3 bagian tubuhnya kearah caudal fin[6]. Selain itu, pola gerak carangiform menggunakan pergerakan pectoral fin untuk melakukan pergerakan naik atau turun.

ߠ௜ ሺ‫ݐ‬ሻ ൌ ‫ܣ‬௜ ሺ߱‫ ݐ‬൅ ߮௜ ሻ ൅ ‫ܭ‬௜

(2)

ߠ௜ = sudut pada joint ke-i ‫ܣ‬௜ = amplitude osilasi untuk servo ߱ = kecepatan sudut osilasi ߮௜ = phase joint ke-i ‫ܭ‬௜ = Konstanta belok, dalam derajat 3. Pergerakan Naik dan Turun Pergerakan naik-turun padaberbagai jenis ikan digolongkan menjadi 5 mode yaitu water tank method, pectoral fin, head movement, tail movement, dan weight moving method[7]. Mode yang diimplementasikan pada robot ikan adalah pectoral fin method karena sesuai dengan tipe pergerakan ikan yang diadopsi yaitu carangiform fish. Selain pectoral fin method, weight moving method juga diimplementasikan sebagai perbandingan. 3.1 Pectoral F in Method

G ambar 5. T ampak atas model fisika dari pergerakan carangifor m[6]

!

2. Pergerakan Belok Gerakan berbelok pada robot ikan ini dihasilkan dengan mengadopsi turning mode seperti Gambar 6.

G ambar 7. Pectoral F in Method

Pada metode ini, robot ikan menggunakan sirip samping (pectoral fin) untuk bergerak naik atau turun. untuk dapat memanfaatkan gaya angkat dari sirip dalam metode ini diperlukan kecepatan berenang robot ikan yang relatif tinggi. Oleh karena itu, mode ini kurang cocok untuk sistem kontrol yang sensitif.

Metode pectoral fin sebagai mekanisme untuk robot ikan terdapat 2 mode yaitu mode lead-lag angle dan feathering[8]. Pada implementasi robot ikan, mode yang digunakan adalah mode lead-lag angle seperti ditunjukkan pada Gambar 8 dimana sirip akan berosilasi disepanjang sumbu z. Persamaan yang digunakan untuk mode lead-lag angle adalah Pers. (3). ߚ ൌ ߚܽ ൅ ߚܽ݉ ߱‫[ ݐ‬8]

!

ߚܽ ݀ܽ݊ ߚܽ݉ adalah amplitude dan ߱ adalah angular frequency.

G ambar 6. M ekanisme pergerakan belok [4]

Pergerakan robot ikan menggunakan dua joint pada bagian ekor yang berosilasi mengikuti Pers. (1). ߠ௜ ሺ‫ݐ‬ሻ ൌ ‫ܣ‬௜ ሺ߱‫ ݐ‬൅ ߮௜ ሻ

(3)

(1)

Robot ikan dengan dua buah joint dibagian ekor ini memiliki frekuensi osilasi yang sama untuk tiap joint nya, akan tetapi dengan fasa yang berbeda 90 derajat. Osilasi ini akan terus dilakukan saat pergerakan berbelok. Secara umum, persamaannya menjadi Pers. (2).

!"axis ȕ tail

head y-axis x-axis

G ambar 8. Osilasi Pectoral F in terhadap sumbu-z

37


! !

!

!"#$#%&'

Mekanisme osilasi pectoral fin dapat dilihat pada Gambar 9 dimana pectoral fin berosilasi kearah garis hitam ketika pergerakan naik dan garis merah ketika pergerakan turun.

!

!

!

!

!

!

!

G ambar 9. Osilasi Pectoral F in T ampak Samping

3.2. Weight Moving Method Pada metode ini, robot ikan mempunyai mekanisme untuk menggerakkan sebuah! beban (weight) kearah depan atau belakang (forward or back direction). Robot ikan bergerak keatas atau kebawah dengan perubahan pergerakan yang G ambar 8. Weight Moving disebabkan perpindahan dari Method beban tersebut. Kelemahan dari metode ini yaitu diperlukan thrust yang cukup besar untuk melakukan pergerakan naik atau turun. Konfigurasi mekanik yang dirancang untuk metode ini dapat dilihat pada Gambar 9 dimana terdapat beban pada bagian bawah robot ikan yang dapat bergeser. Untuk bergerak maju dan lurus, maka beban harus diletakkan tepat di titik pusat massa dari robot ikan. Sedangkan untuk bergerak naik, beban harus digeser sehingga berada di belakang titik pusat massa. Begitu juga sebaliknya, untuk bergerak turun,maka beban harus digeser sehingga berada di depan titik pusat massa. Center of mass

!

!

upward

! !

!

!

!

!

!downward

G ambar 9. K onfigurasi M ekanik Weight Moving Method

C. Sistem Navigasi Sistem navigasi yang diimplementasikan pada robot ikan menggunakan MEMS Inertial Measure Unit 10-DOF. Gambar 11 menunjukkan diagram blok dari sistem navigasi tersebut.

G ambar 10. Diagram Blok A H RS (A ttitude H eading Reference System)

Perhitungan heading dilakukan dengan menggunakan magnetometer yang telah dikompensasi dengan sudut roll, pitch, dan yaw. Sistem navigasi ini juga menghasilkan parameter navigasi lainnya seperti percepatan, kecepatan, dan posisi yang digunakan untuk pemantauan pergerakan robot ikan. III. IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN

A. Hardware ("%&#)*

("%&#)+

G ambar 11. H asil A khir Produk Robot I kan

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan bodi robot ikan adalah resin, fiber cloth, erosil, katalis, dan pigmen. Sedangkan Caudal fin dan pectoral fin robot ikan terbuat dari acrylic(3mm). Pada uji coba robot ikan, posisi awal robot ikan dibuat agar berada dibawah permukaan air atau melayang untuk memudahkan robot ikan melakukan pergerakan naik atau turun. Oleh karena itu, diperlukan penambahan beban didalam robot ikan itu sendiri. Spesifikasi robot ikan dapat dilihat pada Tabel 1. T abel 1. Deskripsi robot ikan

Panjang Total Panjang kepala Panjang badan Lebar Tinggi Berat (posisi awal melayang)

95 cm 20 cm 25 cm 22 cm 25 cm 8 kg

38


! ! B. Pengujian Pergerakan Robot Ikan Pengujian Robotina dilakukan di kolam diving sasana olah raga ITB. Pengujian yang dilakukan menjadi 4 tahap yaitu pengujian pergerakan lurus, pengujian pergerakan belok kiri, pengujian pergerakan belok kanan, dan pengujian pergerakan naik Âą turun. Posisi awal Robotina dibuat gara berada di posisi melayang. Posisi awal Robotina sekitar 5 cm dibawah permukaan air. T abel 2. H asil Pengukuran K ecepatan Robot I kan 1

Percobaan 1 2 3 4 5

Jarak 1.40 m 2.0 m 3.0 m 2.0 m 3.0 m

W aktu 20 s 26s 35 s 23s 34 s

K ecepatan 0.07 m/s 0.08 m/s 0.086 m/s 0.087 m/s 0.088 m/s

Gambar 12 menunjukkan hasil uji coba dari pergerakan naikturun pada robot ikan dimana sumbu x menandakan jumlah uji coba yang dilakukan dan sumbu y menandakan angle yang dibentuk dari pergerakan sirip tersebut. Pergerakan sirip ini membentuk sudut kemiringan maksimum 38 derajat untuk pergerakan naik dan 45 derajat untuk pergerakan turun. Pergerakan sirip ini juga menghasilkan thrust dengan kecepatan sekitar 0.8 m/s. 2.

Uji coba Weight Moving Method

Sebelum melakukan pengujian, harus dicek terlebih dahulu titik pusat massa dari Robotina. Setelah melakukan pengecekan, titik pusat massa Robotina berada pada 10 cm dibelakang sirip. Sehingga beban pada posisi awal (yaitu posisi Robotina stabil diam) harus ditempatkan tepat di titik pusat massa. Data yang didapatkan dapat dilihat pada Gambar 13.

Pada pengukuran pertama ini, robot ikan menggunakan satu buah servo untuk gerak ekornya yaitu servo bagian belakang. Dari percobaan yang dilakukan,kecepatan rata-rata untuk robot ikan ini adalah 0.0822 m/s. T abel 3. H asil Pengukuran K ecepatan Robot I kan 2

Percobaan Jarak W aktu K ecepatan 0.8 m 4.5 s 0.18 m/s 1 0.8 m 4.87s 0.16 m/s 2 1.0 m 6.01 s 0.17 m/s 3 1.0 m 5.72s 0.17 m/s 4 0.8 m 4.28 s 0.19 m/s 5 Pengukuran kedua menggunakan 2 servo pada bagian ekor robot ikan sehingga dihasilkan kecepatan yang lebih besar. Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 2, kecepatan ratarata robot ikan adalah 0.174 m/s. Uji coba up-down motion (pectoral fin method) !"#"$%&'()*)+,-+%.ƒ)%

1.

45)%012-%6'*,'*-3-+%% +-)3%$"*"+%

(" '" &"

!"#"$%3'()*)+,-+%.Íźáˆť%

%' 0-!45+-/!+4 67-/75!+4!3899

%" $'

:7;0-<!67-/75!+4 3899

$" #' #" ' " "

' #" #' $" $' 7-*-3%/'*,'8'*-+%9'2-+%.0(:%

%"

G ambar 13. H asil U ji Coba Weight Moving Method

Warna biru adalah hasil uji coba ketika beban digeser sehingga berada didepan center of mass dari robot ikan. Sedangkan warna merah merupakan hasil uji coba ketika beban digeser sehingga beban beradadi belakang center of mass. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa tidak ada respon ketika beban digeser ke belakang center of mass. Hal ini dikarenakan keterbatasan panjang dari bodi robot ikan yang tidak memungkinkan untuk menggeser beban lebih dari 5 cm di belakang center of mass. Perbandingan antara pectoral fin method dan weight moving method dapat dilihat pada Tabel 5. T abel 5. Pectoral fin vs Weight Moving

%" $"

*+,-!.+/0+12!3+/0+-

#" " "

#

$

% & ' /'*012--+%3'%

(

)

G ambar 12. H asil U ji Coba Pergerakan Naik-T urun

39


! !

C. Pengujian Navigasi 1. Pengujian sudut Yaw-Pitch-Roll Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui orientasi robot ikan setiap waktunya. Nilai ini diperlukan robot ikan untuk kompensasi heading serta untuk perhitungan posisi robot ikan terhadap koordinat globalnya. Pengujian sudut Yaw-PitchRoll dilakukan untuk dua kondisi, yaitu pada saat kondisi diam dan bergerak.

naik dan turun dengan menggunakan metode pectoral fin dengan perubahan sudut maksimum 37 derajat untuk pergerakan naik dan 45 derajat untuk pergerakan turun. Metode pectoral fin lebih efektif untuk diterapkan pada robot ikan dibanding metode weight moving. Ssitem navigasi pada robot ikan telah diimplementasikan dengan menggunakan MEMS 10-DOF dan berhasil melakukan pembacaan heading, sudut Yaw-Pitch-Roll sehingga dapat diketahui orientasi pergerakan robot ikan. Sistem navigasi ini dapat disempurnakan dengan adanya GPS untuk melakukan pemantauan pergerakan robot ikan. UCAPAN TERIMA KASIH

G ambar 14 .Pengujian Y aw-Pitch-Roll

Hasil dari pengujian terhadap sudut Yaw-Pitch-Roll ini sudah sesuai dengan yang diharapkan. Nilai-nilai sudut tersebut ditampilkan secara real time berdasarkan perubahan nilai sudut Yaw-Pitch-Roll pada sensor MEMS 10 Dof. Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa besar eror dari pembacaan sudut Yaw-Pitch-Roll saat diam adalah sekitar 2 derakat sedangkan ketika bergerak sekitar 6 derajat.

Selama melaksanakan tugas akhir ini, penulis mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada DIKTI selaku sponsor, M. Fadhli Zakiy dan M. Akbar J selaku anggota tim, Bapak Ir. Arief Syaichu Rohman selaku pembimbing I, Bapak Dr. Ary Setijadi Prihatmanto selaku pembimbing II, dan Bapak Dr. Hilwadi Hindersyah selaku pembimbing III yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian ini. REFERENSI [1]

2. Pengujian Heading Robot Ikan Pembacaan heading dilakukan untuk melihat arah gerak robot ikan. Pembacaan ini menggunakan magnetometer yang dikompensasi dengan nilai sudut yaw, pitch, dan roll.

Junzhi Yu, Long Wang, Min Tan. A fra mework for Biomi metic Robot )LVKÂśV 'HVLJQ DQG ,WV 5HDOL]DWLRQ. American Control Conference. June 8-10. USA

[2]

Jindong Liu, and Huosheng Hu, Biological Inspiration : F rom

Carangiform F ish to Multi-Joint Robotic Fish, Hournal of Bionic Engineering 7, 2010 [3]

T.B.Koay, et al., S TARF IS H Âą A Small Tea m of Autonomous Robotic

[4]

HIRATA, Koichi, et al., Study on Turning Performance of a Fish

[5]

Pichet Sucbsaiprom dan Chun-Liang Lin. F ish-Tail Modelling for F ish

F ish, Indian Journal of Geo-Marine Sciences Vo.40(2) , 2011

G ambar 15 .Pengujian Y aw-Pitch-Roll

Berdasarkan hasil dari pengujian terhadap heading ini(Gambar 5) dapat dilihat bahwa hasil perhitungan heading memiliki galat hingga 10 derajat ketika diarahkan menuju sudut 190 derajat. Nilai eror ini dapat diakibatkan karena pengaruh dari benda-benda yang mengandung muatan magnetic disekitarnya. IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat dari peelitian ini yaitu robot ikan dapat melakukan pergerakan lurus dan berbelok dengan mengadopsi pergerakan carangiform fish. Thrust yang dihasilkan dari pergerakan caudal fin menghasilkan kecepatan sekitar 0.174 m/s. Selain melakukan pergerakan lurus dan berbelok, robot ikan dapat melakukan pergerakan

Robot Robot. International Symposium on Computer, Consumer, and Control. 2012 [6]

Junzhi Yu, Long Wang, Min Tan. A fra mework for Biomi metic Robot )LVKÂśV 'HVLJQ DQG ,WV 5HDOL]DWLRQ. American Control Conference. June 8-10. USA

[7]

www.nmri.go.jp . Diakses pada tanggal 5 Desember 2012.

[8]

Guan, Zhenying. 3D Locomotion Biomi metic Robot Fish with Haptic

Feedback. Deakin University. 2012

40


UJI T O K SISI T AS A K U T D E N G A N M E T O D E F L OW T H RO U G H T EST D E N G A N D AP H N I A M A G N A SE B A G A I H E W A N UJI P A D A E F L U E N IP A L I N D UST R I P E L A PISA N L O G A M A C U T E T O X I V I TY T EST USI N G F L OW T H RO U G H T EST M E T H O D WI T H D AP H N I A M A G N A AS T EST A N I M A L O N A N E L E C TROPL A T I N G I N D USTRI Âś6 ::73 E F F L U E N T Sandra Cory C larisa T arigan 1 dan Dwina Roosmini 2 Program Studi Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Bandung 1 scclarisa@gmail.com Program Studi Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Bandung 2 dwinaroosmini@yahoo.com !"#$%&'( Di Indonesia, Sungai Citarum termasuk kategori sungai super prioritas. Salah satu indutri yang mengalirkan air buangannya ke Sungai Citarum adalah industri elektroplating. Limbah cair yang dihasilkan industri ini mengandung logam berat. Proses pengolahan yang dilakukan di instalasi ini adalah pengolahan fisik dan berpedoman kepada baku mutu yang ditetapkan untuk industri elektroplating, dimana parameter yang harus diturunkan terfokus pada parameter fisika dan kimia. Walau sudah ada peraturan yang mengatur baku mutu parameter fisika dan kimia dan monitoring efluen industri dilakukan secara berkala, dalam beberapa penelitian pada Sungai Citarum masih ditemukan kandungan pencemar yang membahayakan biota akuatik serta masyarakat yang memakai air Sungai Citarum sebagai air baku. Hingga saat ini, di Indonesia belum ada baku mutu yang mengatur mengenai parameter toksisitas air limbah. Di beberapa negara telah dikembangkan uji kelayakan efluen limbah industri dilihat dari tingkat toksisitasnya. Uji toksisitas pada penelitian ini menggunakan hewan uji Daphnia magna untuk mendapatkan nilai LC50 yang didapatkan dari dua tahapan uji, uji pendahuluan ( range-finding test) dan uji definitif. Dari uji toksisitas akut yang dilakukan, 17,096% diperoleh sebagai nilai LC50. Selain memperoleh LC50, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui karakterisasi efluen industri pelapisan logam serta mendapatkan pengetahuan mengenai pelaksanaan uji toksisitas akut menggunakan metode continuous flow (flow-through test). K ata kunci: uji toksisitas akut, flow-through test, Daphnia magna , efluen, LC50 ! "#$%&'(%) In Indonesia, Citarum River is categorized as a super priority river. One of the industries that discharge their water into the Citarum River is the electroplating industry. The produced discharged water contains heavy metal. The treatment conducted in this installation is a physical treatment process and guided by quality standards established for the electroplating industry, where the para meters to be derived focused on the physical and chemical para meters. Though we have the regulations that sets the standard for every effluent from industry, in few experiments conducted to exa mine the water quality of Citarum river still can be found toxicant that is potentially dangerous to the aquatic biota and the citizen who take advantage from Citarum water as their main source for water. Up until now, Indonesia does not have any standards governing the toxicity of waste water parameters. Therefore, the WWTP effluent quality monitoring is generally carried out by the physical and chemical method. In some countries, a feasibility test for the industrial wastewater effluent that exa mines effluent from toxicity point of view has been developed. This toxicity test use Daphnia magna as test animal to get the value of LC 50 which can be obtained from two steps of test, range-finding and definitive test. F rom this acute toxicity test, 17.096% has been obtained as the value of LC 50. Besides to get LC 50, this research also aim to know the characteristic of electroplatingÂśV LQGXVWU\ ::73 HIIOXHQW DQG WR JHW the knowledge of application of acute toxicity test with continuous flow method (flow-through test).

Keywords: acute toxicity test,flow-through test, Daphnia magna, effluent, LC 50

1

41


I.

PENDA H U LUAN Di Indonesia, sungai mempunyai fungsi yang strategis dalam menunjang pengembangan suatu daerah, dan sering kali sungai mempunyai multi fungsi yang vital, diantaranya sebagai sumber air minum, industri dan pertanian atau juga pusat listrik tenaga air serta mungkin juga sebagai sarana rekreasi air. Salah satu sungai yang memiliki fungsi strategis adalah Sungai Citarum. Sungai Citarum merupakan sungai lintas Kabupaten/Kota dan terpanjang di provinsi Jawa Barat, yaitu sekitar 300 km. Sungai ini memiliki berbagai pemanfaatan untuk menunjang kebutuhan air di Provinsi Jawa Barat, juga menunjang 80% kebutuhan air baku di DKI Jakarta. Untuk skala nasional, Citarum termasuk kategori sungai super prioritas berdasarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri No. 19/1984; Menteri Kehutanan No. 059/1984 dan Menteri Pekerjaan Umum No. 124/1984. Pada tahun 2012, NGO Greenpeace melakukan beberapa eksperimen untuk menentukan kualitas air Sungai Citarum. Hasil analisis sampel menunjukkan adanya kandungan Krom heksavalen (Cr6+) dan beberapa logam berat lainnya yang berada pada level yang mengkhawatirkan. Karena sifatnya yang tidak dapat diurai (persisten), logam berat dapat terus terakumulasi di jaringan tubuh mahluk hidup melalui rantai makanan (bioakumulasi) dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Pencemaran air sungai disebabkan oleh banyaknya air limbah yang masuk ke dalam sungai Citarum yang berasal dari limbah industri, domestik, rumah sakit, peternakan, pertanian, dan sebagainya. Salah satu indutri yang mengalirkan air buangannya ke Sungai Citarum adalah industri elektroplating yang menjadi objek penelitian ini. Limbah cair yang dihasilkan industri ini mengandung logam berat. Proses pengolahan yang dilakukan di instalasi ini adalah proses pengolahan fisik. Pengolahan di IPAL ini berpedoman kepada baku mutu yang ditetapkan pada untuk industri elektroplating, dimana parameter yang harus diturunkan hanya terfokus pada parameter fisika dan kimia. Hingga saat ini, di Indonesia belum ada baku mutu yang mengatur mengenai parameter toksisitas air limbah sehingga jarang sekali dilakukan pemantauan terhadap parameter tersebut. Oleh karena itu, monitoring kualitas efluen IPAL pada umumnya dilakukan dengan metode fisika dan kimia. Di beberapa negara telah dikembangkan uji kelayakan suatu efluen limbah industri dengan tidak hanya berpatokan pada parameter fisika dan kimia saja, tetapi juga pada yang mengukur dari tingkat toksisitasnya. Dengan uji toksisitas, efluen limbah

industri diuji untuk mengetahui tingkat dan efek toksisitasnya terhadap organisme air. Uji toksisitas merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan yang berfungsi untuk mengetahui apakah effluen yang masuk ke badan air penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi tertentu. I I. T I NJ A U A N PUST A K A A . U ji Toksisitas Uji toksikologi atau juga bisa disebut sebagai uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk pemantauan rutin suatu limbah. Menurut APHA (1975)[1], uji hayati dapat juga didefinisikan sebagai percobaan yang menggunakan organisme hidup untuk mengetahui atau mengukur adanya pengaruh dari satu senyawa atau lebih, faktor lingkungan dan kombinasi lainnya serta reaksinya terhadap senyawa kimia. Uji toksisitas ini dapat dilakukan baik di laboratorium ataupun di tempat (on site) dengan ijin dari yang berwenang (EPA, 1992)[2]. Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan uji merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan yang berfungsi untuk mengetahui apakah efluen atau badan perairan penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi yang menyebabkan toksisitas akut. Parameter yang diukur biasanya berupa kematian hewan uji, yang hasilnya dinyatakan sebagai nilai LC50. Lethal concentration (LC) merupakan perkiraan konsentrasi toksikan yang berada di luar tubuh organisme yang menyebabkan respons berupa kematian organisme uji. LC50 merupakan konsentrasi yang menyebabkan 50% kematian hewan uji (LC50) dalam waktu yang relatif pendek, contohnya LC50-48 jam berarti konsentrasi yang mematikan 50% organisme yang didedahkan selama 48 jam. B. M etode F low-ThroughTest Terdapat empat metode dalam melakukan uji toksisitas. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah flow-through test. F low-through test biasanya dilakukan dengan konsentrasi efluen yang digunakan pada static test. Perbedaannya adalah pada flowthrough test, efluen yang digunakan dialirkan secara terus menerus, sedangkan pada static test efluen yang digunakan tidak mengalir atau statis berada dalam cha mber test. Hewan uji dijaga agar tetap berada dalam cha mber test. Beberapa kelebihan penelitian pada air mengalir dibandingkan dari pada air statis, antara lain: 1. Memberikan evaluasi toksisitas akut yang lebih mewakili sumber toksikan terutama jika sampel dipompakan secara kontinu langsung dari sumber;

2

42


2. Konsentrasi DO dalam wadah uji lebih terpelihara; 3. Dapat digunakan pada faktor beban (biomassa) yang lebih tinggi; 4. Kemungkinan toksikan hilang karna penguapan, adsorpsi atau degradasi lebih kecil Kekurangan dari metode ini adalah: 1. Memerlukan jumlah sampel yang besar begitu pula dengan air pengecer yang diperlukan; 2. Peralatan uji lebih kompleks, mahal dan memerlukan pemeliharaan dan pengawasan yang lebih banyak; 3. Memerlukan tempat yang lebih besar; 4. Sesuai dengan jumlah tenaga yang diperlukan maka sulit untuk dapat dilakukan secara multipel. H ewan U ji Daphnia magna Kriteria organisme yang cocok untuk digunakan sebagai uji hayati tergantung dari beberapa faktor: x Organisme harus sensitif terhadap material beracun dan perubahan lingkungan; x Penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak; x Mempunyai arti ekonomi, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional; x Mudah dipelihara dalam laboratorium x Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dari parasit; x Sesuai untuk kepentingan uji hayati ( American Public Health Association, 1976)[1] Hewan uji yang dipilih pada penelitian ini adalah Daphnia magna . Daphnia memiliki siklus hidup yang relatif singkat, dapat diaklimatisasikan pada kondisi laboratorium dan sensitif pada berbagai bahan pencemaran ekosistem perairan (Cooney, 1995) [3]. Ada banyak uji yang telah dilakukan yang menggunakan Daphnia sebagai hewan uji (Khan and Khan, 2008)[4]. Daphnia magna merupakan organisme yang tepat untuk dijadikan organisme uji hayati (bioassay) karena organisme ini sangat sensitif terhadap berbagai macam polutan dan mudah dikultur di akuarium. I I I. M E T O D O L O G I Terdapat dua tahap dalam uji toksisitas akut, yaitu uji pendahuluan dan uji definitif. Uji definitif dilakukan dengan menggunakan reactor flow-through test dan menggunakan hewan uji Daphnia magna . Daphnia magna yang digunakan berumur kurang dari 24 jam. Dari uji definitif diperoleh nilai LC50 yang diukur dengan menggunakan program Probit. I V . H ASI L D A N P E M B A H ASA N U ji Toksisitas

Uji Pendahuluan (Range-finding test) Dari uji ini diperoleh nilai LC50 dari tiga sampel seperti ditunjukkan pada T abel 1. T abel 1 Nilai LC50 Uji Pendahuluan H ari L C 50 Rentang 36,86 % 25-50 % 1 52,02 % 50-100 % 3 19,61 % 12,5-25 % 5 Uji Definitif Uji definitif dilakukan dengan memilih variasi konsentrasi yang paling toksik dari rentang konsentrasi uji pendahuluan. Dari hasil tersebut diproleh 5 variasi konsentrasi efluen yang baru, yaitu 12,5%, 15%, 18%, 21% dan 25%. Dari uji definitif ini diperoleh nilai LC50 sebesar 17,096 %. Uji definitif berlangsung selama 96 jam dengan periode pengamatan setiap 24 jam. Setiap pengamatan dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter fisika seperti ditunjukkan pada T abel 2. T abel 2 Nilai Tertinggi dan Terendah Parameter Fisika Selama Uji Definitif (96 Jam) Nilai pH DO Suhu K onduktivitas (mg/l) (o C) (mS) 6,67 29 1,72 Tertinggi 9,17 4,18 26,3 0,33 T erendah 8,25 Pengukuran parameter dilakukan untuk melihat apakah kondisi tempat uji toksisitas berperan pada imobilitas yang terjadi pada hewan uji. pH larutan bervariasi mulai dari 8,25 sampai 9,17. Daphnia tumbuh optimum pada pH 8,5-9,5. Untuk parameter DO, angka yang terukur bervariasi mulai dari 4,18 sampai 6,67 mg/l. Daphnia dapat hidup dalam air dengan DO mendekati nol sampai lewat jenuh, tetapi kondisi oksigen terlarut yang optimum bagi Daphnia adalah 4-6 mg/l. Dapat dilihat bahwa untuk parameter pH dan DO tidak berada dalam kondisi ekstrim yang dapat menyebabkan imobilitas yang terjadi pada hewan uji. Selama uji definitif, suhu larutan bervariasi mulai dari 26,3-29oC. Dahnia magna dapat hidup baik pada rentang suhu 18-26oC. Walaupun demikian, Daphnia magna dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan hidupnya. Sebelum digunakan dalam uji toksisitas, Daphnia magna telah dikultur selama 4 minggu di tempat yang sama dengan tempat uji toksisitas. Selama proses kultur, suhu larutan dicatat secara berkala setiap pagi, siang, dan sore. Suhu yang terukur selama kultur tidak berbeda jauh dengan suhu larutan saat uji toksisitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Daphnia magna telah beradaptasi dengan lingkungan yang memiliki rentang suhu 26-29oC, dan parameter ini tidak

3

43


mempengaruhi imobilitas Daphnia magna secara signifikan. Pada parameter konduktivitas, nilai yang terukur berkisar antara 0,33-1,72 mS. Konduktifitas yang optimum bagi Daphnia magna adalah 0,5 mS. Dengan konduktivitas yang terukur pada larutan uji, ada kemungkinan parameter konduktivitas mempengaruhi imobilitas pada Daphnia magna lebih daripada parameter pH, DO, dan suhu. T abel 3 Karakteristik Efluen dan Influen WWTP Selama Uji Definitif Penga matan

24 48 72 96

jam jam jam jam

K esada han (mg/l Ca C O3 )

176,04 162,79 138,18 157,11

Sali nitas (o/oo)

1,40 0,80 1,70 2,10

TSS Influ en (mg/l )

15,33 18,67 22,33 17

TSS E flu en (mg /l)

15,3 17 25,3 22,7

A lkali nitas (mg/l Ca C O3 )

390 440 545 530

A mo nia (mg/l )

0,29 -0,04 0,96 0,17

Angka yang ditandai dengan penulisan tebal dan miring adalah angka tertinggi dan terendah untuk setiap parameter. Pada T abel 3 ditunjukkan hasil pengukuran di laboratorium untuk masing-masing parameter. Untuk parameter TSS, baku mutu yang ditetapkan pada Kepmen LH No. 51 tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair adalah 20 mg/l. Pada beberapa waktu, terdapat sampel yang melebihi baku mutu, bahkan terdapat TSS pada efluen yang lebih besar dari TSS influen. Hal ini bisa disebabkan karena pada bak efluen, logam berat yang terkandung mengendap setelah air melewati bak sedimentasi, sehingga endapan yang terbentuk terbawa sampai bak efluen. Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam. Nilai pH cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi alkalinitas. Untuk data pengamatan 48, 72 dan 96 jam, nilai pH cenderung tinggi saat alkalinitas lebih besar dan pH cenderung lebih kecil saat alkalinitas lebih rendah. Namun untuk data pengamatan 24 jam, walaupun memiliki nilai alkalinitas terkecil, tetapi tidak diikuti dengan nilai pH terkecil. Kondisi salinitas mempengaruhi kondisi internal hewan air. Semakin tinggi salinitas, semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian pada Daphnia. Pada uji definitif ini, dapat dilihat bahwa nilai salinitas yang terukur kecil, sehingga tidak menyebabkan imobilitas pada Daphnia. Pada parameter kesadahan, nilai yang terukur memiliki rentang dari 138,18-176,04 mg/l CaCO3. Kesadahan yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam air dengan kesadahan tinggi akan membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam air.

Air dengan nilai pH rendah maka bentuk yang dominan adalah amonium (NH4+), sebaliknya bila nilai pH tinggi maka yang dominan adalah amonia (NH3). Amonia adalah bentuk yang paling beracun dari ammonia. Pada larutan uji definitif yang memiliki sifat basa, bentuk yang paling dominan adalah NH3. Namun dari hasil pengukuran, konsentrasi amonia yang terukur sangat kecil, bahkan ada nilai yang mencapai minus. Dengan demikian, kandungan amonia pada efluen cair tidak berkontribusi secara signifikan pada imobilitas hewan uji. V . K ESI M PU L A N Setelah dilakukan analisis karakteristik air efluen dan influen dari IPAL PT. Y, terdapat beberapa parameter fisika-kimia yang masih melebihi baku mutu. Parameter tersebut adalah pH dan TSS. Nilai LC50 yang didapat dari uji toksisitas akut menggunakan reaktor flow through test adalah 17,096 %. Pada saat uji definitif, parameter yang memiliki kemungkinan mempengaruhi imobilitas hewan uji adalah konduktivitas. U C A P A N T E R I M A K ASI H Ucapan terima kasih penulis ungkapkan kepada Dept. Riset dan Inovasi ITB dan Pertamina Foundation yang mendanai dan mendukung penelitian ini. D A F T A R PUST A K A [1] APHA (American Public Health Association). (1995). Standard Methods for Exa mination of Water and Wastewater, 20 th Edition. APHA, Washington, DC. [2] USEPA (United States Evironmental Protection Agency). (2002). Methods for Measuring the Acute Toxicity of Effluents and Receiving Waters to F reshwater and Marine Organism, F ifth ed, EPA-821-R-02-012, Office of Water (4303T), Washington, DC. [3] Cooney, J.D. 1995. F reshwater Tests. In: Rand, G.M. (Ed.)., Funda mentals of Aquatic Toxicology. Effects, Environmental F ates and Risk Assessment. 2nd Edition. Taylor and Fracis Washington DC., p: 71-102. [4] Khan M.A.Q and Khan M.A., 2008. Effect of Temperature on Water F lea Daphnia magna . Nature Precedings : hdl : 10101/npre.2008.1909.1.

4

44


TICA 2013 ke-4 Pasar Wisata Baru Koto Penekanan pada Integrasi Fungsi Pasar Terhadap Bangunan Bersejarah Kota Tua Bengkulu The 4th TICA 2013 Baru Koto Tourism Market The Emphasis on the Integration of Market Function Relating to Bengkulu Old City’s Historical Buildings 1

Robi Aria Samudra1,a dan Ir. Ikaputra M.Eng., Ph.D2,b

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. aEmail: robiarias@studio-mandala.com 2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. bEmail: ikaputra_2001@yahoo.com

Abstrak- Pasar Baru Koto adalah pasar yang terletak ditengah Kota Tua Bengkulu yang merupakan kawasan wisata sejarah unggulan di Provinsi Bengkulu. Namun oleh beberapa sebab, kondisi Pasar Baru Koto saat ini sudah ditinggalkan pedagang maupun pelanggannya. Perbaikan fisik sudah beberapakali dilakukan, namun masih terlihat satu-persatu kios yang tutup. Pasar wisata menjadi alternatif pemecahan dari permasalahan yang ada disini. Pasar Wisata Baru Koto adalah suatu area penunjang wisata sebagai pusat jual beli souvenir, kerajinan rakyat, makanan, dan jajanan tradisional, yang menyajikan atmosfer tradisional dari bangunan-bangunan bersejarah Kota Tua Bengkulu. Lengkap dengan taman, plaza, dan panggung terbuka tempat atraksi kesenian rakyat, diharapkan memberi paradigma baru kepada masyarakat mengenai ruang perbelanjaan yang mampu memperkenalkan kekayaan budaya setempat. Kata Kunci- pasar tradisional, wisata, identitas kota, integrasi sejarah, Bengkulu. Abstract- Pasar Baru Koto- located in the Kota Tua Bengkulu- is a superior historical tourism area. But for some reason, it’s been abandoned by its buyer and seller. Though physical maintenance has been severally done, the stalls keep closing one by one. The new concept of this traditional market is needed to remove its negative label as a dirty, unsave, uninteresting place. Baru Koto Tourism Market is a tourism supporting site to Bengkulu Old City that acts as a center of souvenirs, handicrafts, foods, and traditional foods, with traditional atmosphere by historical buildings of Bengkulu Old City around it. Completed with parks, plazas, and outdoor stages for art performances, this market's design is in the aim to grant a new paradigm of bargaining or shopping place which introduces treasures of culture of the area to the people. Keywords-traditional markets, tourism, identity of city, historical integration, Bengkulu.

I. PENDAHULUAN A. Reintepretasi Pasar Tradisional Pasar seharusnya tidak menjadi sekedar tempat perdagangan saja, disanalah tempat untuk menemukan budaya otentik daerah. Seperti yang diketahui, setiap daerah memiliki cara-cara khas dalam proses tawar menawar. Kekuatan Personal interaction yang ada dalam pasar tradisional tidak akan ditemui di pasar modern. Efek terburuk jika pasar tradisonal tidak dipertahankan adalah keberadaanya akan tergantikan oleh pasar modern. Pertanyaannya adalah apa yang membedakan antara kota satu dan kota yang lainnya?Ketika kota tidak memiliki sesuatu yang benar-benar orisinal.

Gambar 1. Pasar Tradisional dan Pasar Modern

B. Pasar di Tengah Nuansa Tradisonal Kota Tua Bengkulu Masyarkat di Kota Tua Bengkulu yang beragam asal maupun karakternya memiliki hubungan yang erat dengan sejarahnya. Hubungan ini terlihat jelas dari adanya aktivitas pada pemukiman tua maupun di bangunan-bangunan peninggalan sejarah yang masih terjaga sampai saat ini.

45


Gambar 2. Kota Tua Bengkulu

Pada tahun 1984 di Kota Tua Bengkulu resmi didirikan pusat perdagangan Pasar Baru Koto. Namun, kondisi pasar barukoto saat ini sudah ditinggalkan pedagang maupun pelanggannya.

Konsep baru dari pasar-pasar tradisional dibutuhkan, terbukti dengan sekedar mendengar kata “Pasar Tradisional� saja akan menimbulkan konotasi negatif tentang suatu tempat yang kotor,tidak aman, dan dianggap sudah tidak menarik lagi. Satu-satunya sektor lokal yang mampu menghidupkan pasar ini adalah kuliner malam. Walaupun dalam bentuk semi permanen, namun para pedagang kaki lima (PKL) di sini mampu menawarkan keberagaman pilihan yang terjangkau ditambah nuansa tradisional. Redesain Pasar Baru Koto merupakan langkah upaya perbaikan performa pasar eksisting melihat adanya potensi lingkungan sekitar, sehingga diharap dapat menimbulkan paradigma baru mengenai tempat perbelanjaan. Pasar wisata menjadi alternatif pemecahan dari permasalahan yang ada disini. Pasar wisata merupakan konsep yang menggabungkan kegiatan transaksi jual beli dan kegiatan rekreasi dalam satu kesatuan yang masing-masing unsur kegiatan tersebut dapat saling berintegrasi, selaras, dan saling mendukung.

Gambar 3. Pasar Baru Koto Bengkulu 2012

Gambar 4. Eksisting Kawasan Wisata Kota Tua Bengkulu Diagram 1. Penurunan Jumlah Pedagang dan Penyebab Penurunan Kualitas Pasar Baru Koto Bengkulu

Dengan potensi lokasi dan nuansa sejarah yang ada, tidak cukup menghadirkan suasana berbelanja yang ramai. Kondisi bangunan maupun konten yang ada didalamnya dianggap sudah tidak relevan lagi untuk menjadi pusat perdagangan, malah berkesan memutus kesatuan bangunan bersejarah disekitarnya.

Diagram 2. Aktivitas Pasar Baru Koto 1984-2012

C. Pasar sebagai Pendukung Wisata Pasar yang kondisinya kian tereduksi umumnya memiliki tema general dengan fasilitas maupun konten yang monoton menyebabkan setiap pasar tidak memiliki karakter yang kuat.

II. ANALISIS Kota Tua Bengkulu yang strategis memiliki kelengkapan akses kendaraan karena merupakan lokasi tujuan Wisata. Kawasan ini juga memiliki kelengkapan elemen pembentuk identitas kota, diantaranya: Landmark (Benteng Marlborough), District (Kampung Cina), Path (Jalan Ahmad Yani), dan Node (Monumen Thomas Parr). Diantara potensi tersebut ditemukan beberapa permasalahan dasar yang dapat dijabarkan sebagai berikut: x Permasalahan jalur sirkulasi (akses kendaraan, pejalan kaki, parkir, dan entrance) yang memutus kejelasan ruang terbuka publik. x Kesatuan yang hilang antara Benteng Marlborough dan Monumen Thomas Parr - analisis fisik berupa tracing kawasan menemukan adanya hal baru, yaitu ditemukannya axis imajiner yang menghubungkan antara Benteng Marlborough dan Monumen Thomas Parr yang berjarak 200 meter. Namun karena pola tata masa bangunan baru yang berkembang di Kota Tua bengkulu memutus kesatuan antara kedua bangunan ini. x Penurunan kualitas ingkungan akibat berhentinya pembangunan terowongan bawah tanah dan perkembangan Industri Walet. x Terbatasnya atribut pendukung kenyamanan wisatawan.

46


Gambar 5. Sketsa Analisis Karakteristik Bangunan Bersejarah Kota Tua Bengkulu

Gambar 8. Intervensi Pengembangan

Gambar 6. Analisis Pemanfaatan Ruang Kota Tua Bengkulu

Pada skala mikro juga terdapat beberapa permasalahan penyebab kegagalan fungsi Pasar Baru Koto, diantaranya: x Penataan PKL di area pinggir pasar menyebabkan hubungan visual pasar dengan lingkungan luar terhalangi PKL. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya agresi dari pemilik toko untuk meletakkan barang dagangannya ke area pedestrian. x Bercampurnya sirkulasi kendaraan dengan pejalan kaki. x Minimnya diversifikasi fungsi.

2. Market as Development Media for Craftsmen and Street Vendors Dengan menjadikan pedagang kaki lima sebagai elemen pasar wisata, maka upaya penanganan terhadap masalah yang ditimbulkannya terletak pada bagiamana cara menghubungkan pedagang kaki lima dengan elemen pasar wisata lainnya sehingga secara fungsional tidak mengganggu fungsi ruang lainnya. Strategi Pentahapan dan Relokasi x Tahap Satu : Penghancuran Stuktur Permanen. x Tahap Dua : Pembangunan dan Pemindahan Zona PKL x TahapTiga : Pengembangan PKL

Gambar 7. Sirkulasi, Zonasi Fungsi, dan Penggunaan Kios Pasar Baru Koto 2012

Gambar 9. Pasar sebagai Wadah Pengembangan Pengerajin dan Pedagang Kaki Lima

Modernisasi kota yang tak terkontrol menyebabkan kesatuan kawasan menghilang, hingga dirasakan adanya ruang ambigu yang tampak kacau. Pasar Baru Koto keadaannya tidak berbeda, ruang harus dirancang selaras dan terbuka sehingga pengunjung bisa mengisinya dengan aktivitas.

3. Existing Urban form, Creating New Form Ekspresi bangunan dirancang melalui pengabstraksian pola dan karakteristik bangunan sejarah sekitar. Sehingga meskipun baru dan bersifat kontras, harmonisasi dengan lingkungan tetap mampu dihadirkan.

III. KONSEP A. Konsep Makro 1. Tourism Market Integration Concept as Tourism Upholding Facility Idenya adalah untuk menciptakan sebuah pasar yang seolah tumpah ke lansekap kota dan pada saat yang sama mengundang pengunjung masuk dari luar. Pasar Wisata Baru Koto sebagai poros aktivitas wisata karena seperti yang diketahui bahwa setiap orang memerlukan kelengkapan, atraksi, dan pencapaian kawasan wisata yang baik dimana belum ditemui pada Kota Tua Bengkulu saat ini.

Gambar 10. Proses Harmonisasi Fasad Pasar

47


B. Konsep Mikro 1. Connection Affirmation Concept through Networking Grid Design and Imaginary Axis Circulation pattern arrangement through grid improvement- kejelasan sirkulasi pasar menjadi pertimbangan utama dalam awal perancangan. Pola sirkulasi pada pasar yang umumnya berbentuk grid dikombinasikan dengan pola radial untuk memberikan keteraturan dan keterbacaan pada pasar. Axis as connector- axis penyesuaian grid dimulai dari titik tengah Monumen Thomas Parr, sebagai upaya pengembangan axis imajiner yang menghubungkan Thomas Parr dan Fort Marlborough.

4. Outdoor and Indoor Space Diffusion through Transitional Space Arcade as transitional space- keberhasilan mengenai sifat, kualitas, dan keamanan ruang publik ditandai dengan cara sebuah ruang tetap dapat menghargai ruang luar dengan baik. Tepi pasar didefinisikan sebagai arcade yang menciptakan zona transisi dari kawasan sejarah ke pasar.

Gambar 14. Pembauran Ruang Dalam dan Luar melalui Ruang Transisi

Gambar 11. Penegasan Koneksi melalui Perancangan Jaringan Grid dan Axis Imajiner

2. Optimization Space through Flexibility Event-based market development through convertibility and expansibility system- melalui pengembangan sistem konvertabilitas, satu lingkungan pasar selain menjadi kegiatan jual beli juga dapat dikombinasikan sekaigus dengan fungsi kegiatan pertunjukan, informasi, maupun promosi untuk publik. Pada saat dibutuhkan, sistem ekspansibilitas bermanfaat memberikan ruang kesempatan bagi pasar agar dapat menumpahkan kegiatannya keluar .

5. Zig-zag Layouting Development as an Effort to Create Dynamic Movements Semakin banyak peluang berekspresi akan menciptakan suasana perdagangan yang lebih baik. Layout zig-zag dapat secara efektif mengakomodasi pergerakan kedua sisi.

Gambar 15. Pengembangan Zig-zag Layout upaya Pergerakan yang Dinamis

6. Circulation Separation Concept for Pedesrian Comfort Maximizing the two layers- memisahkan 2 layer utama secara vertikal, kenyamanan wisatawan didapat dengan tanpa diganggu oleh sirkulasi kendaraan seperti yang terjadi pada pasar eksisting.

Gambar 12. Pengoptimalan Ruang melalui Fleksibilitas

3. Concentration of Activity with Node Distribution Even distribution of interaction nodes- pola pergerakan utama yang ditegaskan sebelumnya dalam sistem grid nyatanya memiliki persilangan disetiap sudutnya. Hal ini memberi kesempatan ruang untuk menciptakan simpul interaksi secara seimbang di lingkungan pasar. Thomas Parr Monument as heart of market- untuk memperjelas orientasi pendatang, keberadaan Monumen Thomas Parr dimanfaatkan sebagai pusat pola node interaksi yang dirancang dalam satu kesatuan dengan jaringan sirkulasi grid pasar. Hingga monumen ini dapat dianalogikan sebagai jantung Pasar Wisata Baru Koto.

Gambar 16. Pemisahan Sirkulasi untuk Kenyamanan Pejalan Kaki

7. Recreational Concept in Space Zoning System Cognitive recreation zone as anchor- kegiatan pertunjukan, informasi, maupun promosi untuk publik dapat terwadahi dalam satu area dengan sistem konvertabilitas.

Gambar 17. Sistem Zonasi Ruang Gambar 13. Pengkonsentrasian Aktivitas dengan Pembagian Node

48


8. Leveling Concept as an Effort of Enclosure Combination and Market Transparency Secondary territoriality provision as aggression reduction effort- dengan konsep leveling, memungkinkan adanya pemisahan ruang yang tegas sehingga permasalahan reaksi agresi dari pemilik kios sidewalk ke depan toko pada kasus sebelumnya dapat teratasi.

Gambar 23. Denah Elevated Plaza

Gambar 18. Leveling upaya Pemaksimalan Transparansi Pasar

IV. DESAIN Gambar 24. Denah Urban-Forest Zone

Gambar 25. Denah Culinary Zone Gambar 19. Siteplan

Gambar 20. Penyelarasan Tampak

Gambar 26. Denah Street Vendors Zone Gambar 21. Potongan Radial

Gambar 22. Denah Retail Zone Gambar 27. Perspektif Aerial View

49


Gambar 28. Perspektif Plaza

Gambar 29. Perspektif Retail Zone

Sebelum merancang bangunan baru yang dapat selaras ditengah lingkungan bersejarah, sebagai arsitek ditutut untuk memahami pola, karakteristik, dan potensi bangunan bersejarah sekitar secara menyeluruh. Identitas utama kota yang umumnya memiliki nilai sejarah sifatnya tidak bisa berubah, untuk itu pembangunan fasilitas baru tidak perlu berupaya tampil menonjol sendiri karena beresiko dapat menenggelamkan keberadaan bangunan sekitarnya. Kawasan jauh lebih bernilai ketika ruangnya mampu menyajikan secara jelas adanya benang merah masa lalu, masa kini, dan prediksi masa depan. PENGEMBANGAN (FUTURE WORK) Setelah sukses berpartisipasi pada event diskusi dan pameran arsitektur skala nasional seperti ARSAPEX 2013 dan JUTAP 50 Anniversary, sebagai bentuk sumbang saran kepada pengembangan pembangunan di Bengkulu, pada tanggal 12 Agustus 2013 presentasi laporan Tugas Akhir secara mandiri di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Bengkulu mendapatkan apresiasi sangat baik oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Bengkulu. Apresiasi positif dari pihak pemerintah kota membuat konsep dari karya ini digunakan menjadi acuan dasar dalam lelang Project Perancangan Pasar Baru Koto. Menurut informasi yang didapatkan, proses lelang dimulai pada akhir tahun 2013 dan saat ini pihak Dinas Pekerjaan Umum Kota Bengkulu sedang berupaya membentuk koordinasi dengan dinas-dinas terkait untuk mendukung suksesnya pengembangan kawasan wisata strategis ini. DAFTAR PUSTAKA Behrens, R. and V Watson, “Making urban places: Principles and guidelines for layout planning - contemporary policy issues,” UCT Press, Cape Town, 1996. Davies, Llewelyn. “Urban Design Compendium,” Executive Group Urban Land Institute, Urban Development/Mixed-Use Council, 2000.

Gambar 30. Perspektif Tower dan Elevated Plaza

De Chiara, Joseph and John Callender, 1983. “Time-Saver Standards for Building Types 2nd Edition,” Mc Graw Hill, Singapore, 1983. Depdikbud, “Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Kolonialisme di Daerah Bengkulu,” Depdikbud, Jakarta, 1983.

dan

Leggett, Stanton, Brubaker, C. William Aaron and Cohodes, Arthur S. Shapiro, “Planning Flexible Learning Places,” McGraw-Hill, New York, 1977. Marlina, Endy, “Panduan Perancangan Bangunan Komersial,” CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2008. Novita, Aryandini, “Perkembangan Arsitektur Kota Bengkulu Masa Kolonial. Berita Penelitian Arkeologi,” Balai Penelitian Palembang. (Online), (diakses tanggal 3 Juni 2012), 1998. Shadily, Hassan, “Ensiklopedi Indonesia,” Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 1984.

Gambar 31. Perspektif Culinary Zone

V. KESIMPULAN Kebudayaan pasti secara alami akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun perubahan yang diinginkan adalah perubahan yang tetap memelihara karakter inti dan menyesuaikannya dengan kondisi saat ini.

Wiryomartono, A. Bagoes P, “Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia,” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995. Wolfgang, Schueller, “High Rise Building Structures,” John Wiley and Sons, New York, 1977.

50


Identifikasi Profil dan Perilaku Green Consumer dalam Rangka Meningkatkan Green Market Share di Indonesia Identification of Green Consumer Profile and Behavior in Order to Increase Green Business Market Share in Indonesia 1

Khaira Al Hafi, 2Erlinda Muslim

1 2

Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok, Email: khaira.al@ui.ac.id

Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok, Email: erlinda.muslim@ie.ui.ac.id

Abstract- Rencana pembangunan jangka panjang Indonesia (2005-2015) PHQJNODLP WXMXDQ ³,QGRQHVLD +LMDX´ 9LVL LQL MXJD WHODK dijawantahkan pada Rencana Pembangunan jangka Menengah 2010-2014 yang mengandung peraturan dan tujuan spesifik yang relevan dengan pembangunan ber kelanjutan dan managemen lingkungan & sumber daya alam. Namun, agar industri dan bisnis ramah lingkungan dapat ber kembang secara mandiri dan tidak hanya bergantung pada motif pemerintah, pelaku industri dan bisnis harus memiliki pemahaman demand/mar ket orientation.O leh karena itu, GLEXWXKNDQ SHPDKDPDQ PHQJHQDL SHULODNX ³JUHHQ FRQVXPHU´ \DQJ NRPSUHKHQVLI 3HQHOLWLDQ LQL EHUWXMXDQ XQWXN PHQJLdentifikasi segmen pembeli produk hijau, mengevaluasi variabel yang dapat membedakan kelompok konsumen hijau dengan yang non konsumen hijau, dan memahami alasan dan perilaku konsumen hijau di Indonesia. Dengan menggunakan questionair mandiri dan sampling non probabilitas, peneliti menemukan bahwa : K eputusan pembelian produk hijau tidak disebabkan oleh hanya satu atribut produk, setiap kategori produk memiliki ILWXU ³JUHHQ´ VSHVLILN \DQJ VDQJDW PHPSHQJDUXKL NHSutusan pembelian konsumen, dan kebanyakan konsumen, walaupun menganggap penting eksistensi perusahaan yang mengadopsi sistem manufaktur dan kampanye hijau, namun tidak mengetahui kebijakan perusahaan apa saja yang telah benar-benar dilaksanakan. K ata kunci: atribut, konsumen, hijau, pemasaran, produk Abstract- ,QGRQHVLD¶V ORQJ WHUP GHYHORSPHQW SODQ - FODLPHG JRDO RI ³*UHHQ ,QGRQHVLD´ 7KLV YLVLRQ KDV DOVR EHHV VWDWHG LQ the 2010-2014 M edium-Term Development Plant that contains spesific rules and objectives related to sustainable development and management of natural resources and environment. However, in order to develop industrial and friendly-environment business which is not only depend on direct supporting from government, industry and business should have an under standing of green consumer comprehensively. T his study aims to identify the segment of purchaser of green consumer and understand green FRQVXPHU¶V EHKDYLRU LQ ,QGRQHVLD %\ XVLQJ VHOI-administered questionaire and non probability sampling, researchers found that : decision of purchasing green products is not caused by only one product atribute, each category of product has spesific green features that influences consumer purchasing decision, and most consumers does not know in ditail how the green company a ctually implemented green decision despite they considers that is important for the company to adopt green manufacturing system and campaign. K eywords!"attribute, consumer, green, mar keting, product

I. PENDAHULUAN Ekspansi industri dan bisnis, baik jasa maupun manufaktur, skala domestik dan global dalam memenuhi kebutuhan konsumen dengan berbagai varian produk telah menginisiasi keresahan konsumen di seluruh dunia. Sebab, dampak proliferasi produk terhadap lingkungan dapat mengancam eksistensi populasi. Menurut Grewal et al [1], masyarakat telah menjadi kuatir dan takut ketika melihat data statistik sampah yang terkumpul, terutama pada negaranegara maju Sampah-sampah ini dapat berupa produk buangan dari pabrik, sampah dari kemasan produk konsumen,

produk-produk yang sulit didaur ulang bahkan prihatin dengan penggunaan yang berlebihan pada energi dan sumber daya alam. Di negara berkembang, keprihatinan ini adalah pada jumlah dan cara pembuangan maupun pemrosesannya yang dipicu oleh minimnya teknologi. Alibeli [2] menyatakan bahwa pembahasan mengenai isu lingkungan di negara-negara maju telah diawali dan dikembangkan sejak tahun 1990an yang menyatakan bahwa kebiasaan dan perilaku pembelian konsumen saat ini diarahkan kepada isu pemeliharaan lingkungan. Menurut Shrum et al [3], di Amerika Serikat, beberapa studi polling secara konsisten menunjukkan bahwa mayoritas penduduk

! !

51


AS memandang diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang enviromentalis Penelitian lainnya, dirujuk oleh Fraj et al [4], dilakukan oleh sebuah organisasi polling, Roper Organization yang PHQXQMXNNDQ EDKZD VHJPHQ SDOLQJ ÂľKLMDXÂś GLantara konsumen telah berlipat ganda pada periode tahun 1990 hingga 1993. Pada polling lainnya di tahun 1990 oleh sebuah agen Ferry Jaolis 116 periklanan J. Walter Thompson menunjukkan fakta bahwa sebanyak 82% dari responden menyebutkan bahwa mereka akan membayar sedikitnya 5% lebih mahal untuk produk yang ramah lingkungan, naik sekitar 49% dari tahun sebelumnya . Fraj juga menampilkan sebuah riset terkini yang dilakukan oleh majalah Advertising Age yang dihelat oleh Yankelovich Clancy Shulman yang menemukan bahwa 70% dari keseluruhan responden menyebutkan bahwa keputusan pembelian sebuah produk atau merek regular telah dipengaruhi oleh pesan ramah lingkungan pada periklanannya selain dari label dan kemasan produk. Sementara itu, Indonesia sebagai negara berkembang yang tengah memacu pertumbuhan ekonomi menggunakan sejumlah besar sumber daya alam yang masih mencemari lingkungan dan menimbulkan limbah baik dari aktivitas industri maupun rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan posisi Indonesia yang masih berada di bawah kriteria green economy dengan Human Development Index (HDI) 6.17 dan Ecological Footprint 1.2. Oleh karena itu,dibutuhkan upaya menerapkan konsep konsumsi dan produksi berkelanjutan (Sustainable Consumption and Production/SCP) dan ekonomi hijau dalam konteks pembangunan yang pro-poor, pro-job, pro-growth dan proenvironment. Komitmen Indonesia sendiri dalam mendukung implementasi green economy ditunjukkan dengan berbagai macam kebijakan. Menurut Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya saat membuka Konferensi ke-10 Asia Pasific Roundtable for Sustainable Consumption and Production (APRSCP) di Yogyakarta dari tanggal 9-11 November 2011, Indonesia sendiri telah menerapkan kebijakan industri hijau seperti program 3R (Reduce, Reuse, Recycle), pengawasan bahan baku industri ramah lingkungan, produksi bersih, kampanye keseimbangan hutan alam, menjaga air dari pencemaran, dan efisiensi energi Namun, agar industri dan bisnis ramah lingkungan dapat berkembang secara mandiri, pelaku dan bisnis harus memiliki pemahaman demand/market orientation. Menurut Kim [5], lebih dari empat dekade, strategi perusahaan yang berorientasi pasar dipandang oleh akademisi dan praktisi sebagai pilar utama untuk mencapai kinerja perusahaan yang unggul baik pada perusahaan manufaktur maupun pada perusahaan jasa Menurut Do Paco et al [6], konsep pemasaran menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi seperti market share dan profitabilitas tergantung pada kemampuan perusahaan dalam menentukan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran dan memuaskannya dengan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pesaingnya. Oleh karena itu, untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan mendalam dibutuhkan penelitian dan studi pemahaman segmentasi dan profil demografi market di Indonesia terkait dengan green dan noon green consumers di Indonesia.

II.

METODOLOGI

Populasi dan Sampel Peneliti menggunakan prosedur penentuan ukuran sampel non-probabilitas (non-probability sampling). Cooper dan Schlinder [7] mendefinisikan non-probability sampling sebagai prosedur penentuan besar sampel dimana setiap anggota dari sebuah populasi target penelitian tidak memiliki peluang yang sama untuk diikutkan sebagai sampel terpilih dalam sebuah penelitian. Prosedur ini sesuai karena target responden yang akan disurvei harus memenuhi kriteria tertentu yang relevan dengan penelitian yang dijalankan Populasi penelitian adalah masyarakat urban yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia seperti Padang, Batam, Jakarta, Bandung, Malang, Yogyakarta, dan Makassar. Penyebaran questioner dilakukan secara online melalui grup social media yahoo mailinglist, facebook, google+ dan media online dua arah : skype. Jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 610 sampel. Jumlah sampel yang diukur telah melebihi jumlah minimal responden dalam penelitian yang menggunakan alat analisa diskriminan menurut Hair et al [8] . Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh langsung dari responden target yang relevan dengan penelitian, oleh karena itu jenis data yang akan diolah merupakan data primer. Data primer dikumpulkan karena kedekatannya dengan fakta di lapangan dan tingginya kontrol akan error pada saat pengumpulannya Cooper dan Schlinder,. Sumber data bersifat eksternal, yang murni menggambarkan karakteristik atau fenomena di lapangan (di luar organisasi atau perusahaan). Prosedur pengumpulan data Survei dilakukan dengan menggunakan instrumen selfadministered questionnaire mengenai : a. Deskripsi singkat dari penelitian yang sedang dijalankan. b. Prosedur pengisian kuesioner. c. Resiko dan manfaat dari partisipasi responden. d.Kolom kesediaan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Setelah pengenalan penelitian dan deskripsi singkat mengenai isu preservasi lingkungan dan green products knowledge, responden diminta memberikan opininya mengenai keseluruhan variabel dalam penelitian. Setelah opini diberikan, responden diminta untuk memberikan pernyataan mengenai niat pembelian terhadap green products untuk mengidentifikasi green purchasers Responden diminta untuk merespon keseluruhan item kuesioner tanpa meninggalkan item yang tidak dapat direspon.

! !

52


III. HASIL

"#$ %&'()*++'( ,&'-./+*

!!"

*$

"*$

)*++'( ,&'-./+*

#$"

'&$ '"$

#)23"

#**$ 3(2&"

#"*$

&(2(" .

G ambar 4. Persentase Usia G ambar 1. Persentase G reen Consumer 1.

A nalisa Non Green Consumer )$

3%$

*$

'($

&($

"*$ 5.6-718,

"#$

#&$

4$

#**$

9.,:.0.

#"*$

;-<=>?.

9@AB .

G ambar 5. Persentase Pendidikan Terakhir %$ 0121(3.*1'4(/+'51617(8'9&*/1-8(161(-1:1(:+'8-( 4*++'(6*&5.;7(58(61-1*1' <1*81'(4*++'(6*&5.;7(/1-8=(-+58387(58(61-1*1' >4*++'(6*&5.;7>(?+@./(7+*-+581(58(*+718@+*A61-1*( @8'43.'41'(-121 B1*41(4*++'(6*&5.;7(7+*@1@.(/1=1@

#4$ *$

34$

3"$ ##$

"*$

#**$

#"*$

*2C<!#D***D*** C<#D***D***2C<"D***D*** C<"D***D***2C<#"D***D***

G ambar 2. Alasan tidak membeli produk hijau 2. a.

E!C<!#"D***D***

A nalisa Green Consumer Moderate Green Consumer

")$

*$

&'$

"*$ +,-.

&*$

#**$

#"*$

*$

/.0-1. .

G ambar 3.Persentase Gender

.

G ambar 6. Persentase pemasukan

#4$

#"$

"*$ #**$ 9.F.!<8GH=-!G806.0!-7H!=-06IH06.0 9.F.!J.0F.!?80K>L. 9.F.!<8GH=-!G806.0!I878J.1.0! I>07H?7-!7.F.!G.0!I8=H.,6.

G ambar 7. Alasan Pembelian Produk Hijau

! !

53


A nalisa H igh Green Consumer

b.

"#$

%&$

'$

"'$

(''$ )*+,

%"$

("'$

.

0#$

&$

-,.+/, '$

G ambar 8.Persentase Gender

#"$

(4$

"'$

(''$

9,F,!<8GH=+!G8.6,.!+7H!=+.6IH.6,.

%0$

9,F,!J,.F,!?8.K>L, '$

"'$ (12#"

(''$ #32%"

("'$

9,F,!<8GH=+!G8.6,.!I878J,/,.!I>.7H?7+! 7,F,!G,.!I8=H,*6,

%323" .

.

G ambar 9. Persentase Usia

4$ 03$ 1$

'$

M8/+I,!7,F,!?8?<8*>=8J! *8I>?8.G,7+!H./HI! ('$ ?8?L8=+.F,!G,*+! /8?,.NI8=H,*6,

"&$

"'$ 5,6+7/8*

G ambar 12. A lasan Pembelian Produk H ijau

(''$

9,*:,.,

;+<=>?,

("'$

M8/+I,!7,F,!?8.68/,JH+! I8/8*78G+,,..F,!G,*+! ?8G+,

9@AB .

G ambar 10. Persentase Pendidikan T erakhir

(%$ #($

#4$

M8/+I,!7,F,!78G,.6! L8*,G,!G+! <,7,*N/>I>N7H<8*?,*I8/! G,.!7,F,!?8=+J,/.F,!

(3$

("$

#4$

'$ ('$ 0'$ #'$ %'$ "'$ '$

"'$

(''$

("'$

.

'2C<!(D'''D''' .

C<(D'''D'''2C<"D'''D'''

G ambar 13. Situasi yang mempengaruhi keputusan pembelian produk hijau

C<"D'''D'''2C<("D'''D''' E!C<!("D'''D'''

.

G ambar 11. Persentase pemasukan .

! !

54


J;/?80;/!K;619 E1B181? 5./14101?!B1?0C/ I1@8?@<8B1? =?1HB!F.?@1?!B.6121? 3410!-.2.9101?GB.H1?08B1? 5/CF;B!7./7191?!2;2; DC784<2.E.F1!6C0C/ :1/1?@!A4.B0/C?8B :;19<=1>;/1? 3410!5.67./289 -./012

+)$ "&$ +($ ('$ "($ "'$ "%$ (#$ "%$ "*$ "&$ (&$ "*$ ""$ "%$ (*$ ()$ (&$ "($ (&$ "%$ "%$ ""$ (+$ "'$ "&$ "*$ (#$ "%$ "'$ "'$ ('$ "#$ "&$ ""$ (%$ "&$ ")$ "#$ ()$ "%$ "#$ ")$ (*$ "#$ "($ "&$ (&$

5./;21911?!0./2.7;0! 6.61B18!2820.6!E/CF;B28! F1?!6.?@91284B1?!E/CF;B! /1619!48?@B;?@1?

&+$

5./;21911?! 6.6E./48910B1?! B.E.F;481?!E1F1!82;! 48?@B;?@1?!P!68214?>1! 6.414;8!B.@8101?!2C2814Q!F44! R

*%$

,$ ",$ #,$ %,$ &,$ (,,$ L1/@1!E/CF;B!98M1;!8?8!0./414;!61914!719B1?!M8B1! F871?F8?@B1?!F.?@1?!E/CF;B!78121

5./;21911?!4.789! 0/1?2E1/1?!F1416!914! B.161?1?!F1?!/828BC! E.?@@;?11?!E/CF;B?>1

5/CF;B!98M1;!M.?82!8?8!M1/1?@!101;!08F1B!0./2.F81!F8! E121/1? 5/CF;B!/.N8.O?>1!08F1B!7./B;148012!101;!719B1?!08F1B! 1F1!2.98?@@1!21>1!08F1B!F1E10!6.67.F1B1??>1!F1/8! E/CF;B!78121 =1>1!08F1B!6.67;0;9B1?!E/CF;B!98M1;!M.?82!8?8

#)$

,$ ",$ #,$ %,$ &,$(,,$ G ambar 16. Asosiasi A tribut G reen Company yang diyakini oleh G reen Consumers T abel 1. Pengetahuan mengenai Inisatif Perusahaan yang Ramah Lingkungan !

Attributes Saya tidak mengetahui bahwa perusahaan ini adalah green company

G ambar 14. K endala dalam M embeli Produk Hijau

Marth atilaar (%)

Intel (%)

89.34

75.89

7.86

6.67

8.89

1.32

Unile ver (%)

Toyota (%)

Sinar Mas (%)

79.15

74.11

10.06

3.24

Bio far ma (%)

Ne stle (% )

77.76

79. 10

74. 87

7.56

8.56

6.2 3

7.4 4

8.79

6.84

7.5 5

9.9 7

Saya mengetahui bahwa perusahaan ini adalah green company namun tidak mengetahui kebiajakn secara ditail

-;/1?@!E.?08?@ 5.?08?@ =1?@10!E.?08?@ ,$

(,$

",$

+,$

#,$

*,$

G ambar 15. T ingkat K epentingan Sebuah Perusahaan M enghasilkan Produk H ijau atau M enggunakan Sistem Produksi ramah Lingkungan

Perusahaan ini menjual produk hijau Perusahaan ini mengadops

! !

55


i sistem produksi ramah lingkungan

Perusahaan ini melakukan kampanye hidup ramah lingkungan

3.44

5.56

1.44

6.67

4.44

3. 67

3.20

3.58

1.23

1.09

2.40

3.4 5

IV. DISKUSI 1. Green Consumer dibagi menjadi High Green dan Moderate Green. High Green Consumer adalah kategori konsumen yang memiliki satu dari perilaku berikut : banyak membeli produk hijau,sebagian besar produk yang dibeli adalah produk hijau, atau membeli produk hijau secara periodik. Moderate Green Consumer adalah konsumen yang telah membeli produk hijau secara operiodik. 2. High Green Consumer lebih berkomitmen dan proaktif membeli produk hijau, memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai produk hijau, dan memiliki motif utama kepedulian pada masalah lingkungan dan kesehatan sebagai faktor utama pendukung keputusan pembelian. Moderate Green Consumer pertama kali membeli produk hijau karena didorong oleh perasaan ingin tahu. High Green Consumer juga lebih tua berdasarkan usia, lebih berpendidikan, dan lebih berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan moderate green consumer 3. Ketika sedang berada di toko/awalayan, 41 % konsumn membandingkan harga produk hijau dengan produk konvensional berdasarkan beberapa perspektif seperti kepentingan kesehatan (70%) dan kualitas (66%) 4. Sebagian besar high green consumer mengambil keputusan pembelian saat melihat informasi produk sedangkan motif moderate green consumer adalah rekomendasi keluarga atau teman 5. 93 % konsumen memiliki pendapat bahwa perusahaan dianjurkan segera bertransformasi menjadi green company. Namun, di sisi lain sebagian besar responden tidak menyadari atau tidak dapat mengingat kembali inisiatif kebijakan green company yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut. a) Nestle [9] telah berkomitmen memproduksi produk hijau : naturnes ( produk dengan komposisi 100 % organik ) san kemasan Nestle terbaru telah menggunakan 25 % plastik yang bisa disaur ulang b) Unilever [10]! telah mengadopsi sistem manufaktur hijau dalam rangka mereduksi 63 % penggunaan air bersih pada setiap ton produksi dan mereduksi 39% emisi CO2 pada setiap ton produksi. c) Intel [11]! ! ! telah melakukan berbagai kampanye hijau diantaranya : Climate Savers Computing Inisiative dan Plug in to recycling campaign. Intel juga telah membangun kerjasama dengan organisasi lingkungan seperti Green Greed dan Chicago Climate Exchange.

d) Toyota [12]! ! telah membangun sistem pasok yang mengutamakan efisiensi energi bagi seluruh jaringan opabriknya di seluruh dunia. e) Marthatilaar [13] mengkampanyekan produk dengan 5. komposisi organik asli Indonesia 9 f) Sinar Mas [14] telah mengkampanyekan program rehabilitasi hutan yang telah dilakukan di Riau dan kalimantan Timur. 6. Harga, Ketersediaan di pasaran, dan kurangnya petunjuknya pada green product adalah kendala utama yang menghambat keputusan pembelian green product. 2. 7. Atribut green company yang paling terasosiasi dalam 3 pikiran konsumen adala perusahaan yang telah mengadopsi sistem produksi hijau dan perusahaan yang yang melakukan kampanye hijau sebagai bagian dari kebijakan CSR perusahaan. V. KESIMPULAN Hasil penelitian mengenai identifikasi dan perilaku green consumer ini diharapkan dapat menjadi input postif untuk aplikasi kampanye ramah lingkungan berupa; 1. Memberikan informasi kepada perusahaan bisnis mengenai profil green consumer sehingga dapat merumuskan strategi pemasaran yang lebih akurat terkair dengan green product yang ditawarkan 2. Memberikan pedoman kepada pemerintah dalam melakukan kampanye konsumsi green product kepada masyarakat Indonesia. VI.REFERENSI [1] [2] [3]

[4] [5] [6]

[7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14]

Grewal, Dhruv DQG /HY\ 0LFKDHO ´0DUNHWLQJ´ 0F*UDZ +LOO International Edition New York, USA $OLEHOL 0DGDOOD $ ´(QYLURQPHQWDO &RQFHUQ $ &URVV 1DWLRQDO $QDO\VLV´ Journal of International and Cross-Cultural S tudies, Volume 3, 1-10 Shrum,L.J.Mcarty,.JRKQ $ /RZUH\ 7LQD 0 ´%X\HU Characterictics of the Green Consumer and Their Implication for $GYHUWLVLQJ 6WUDWHJ\´ Journal of Advertising , Vol.XXIV,Number 2, 71-82 )UDM (OHQD DQG 0DUWLQH] (YD ´,QIOXHQFH RI SHUVRQDOLW\ RQ HFRORJLFDO FRQVXPHU EHKDYLRU´ Journal of Consumer Behavior 5, 167-181 .LP <HRQVKLQ ³$QWHFHGHQWV RI *UHHQ 3XUFKDVH %HKDYLRU $Q Examination of Collectivism, Environmental Concern, aQG 3&(´ Advances in Coonsumer Research Volume 32, 592-599 Do Paco, Armina M. Finisterra, Raposo, Mario Lino Barata, and )LOKR GDQ :DOWHU /HDO ³,GHQWLI\LQJ WKH JUHHQ FRQVXPHU $ VHJPHQWDWLRQ VWXG\´ Journal of Targeting, Measure ment and Analysis for Marketing, Vol. 17, 1, 17-25. &RRSHU 'RQDOG 5 GDQ 6FKLQGOHU 3DPHOD 6 ³%XVLQHVV 5HVHDUFK 0HWKRGV´ 0F*UDZ +LOO ,QWHUQDWLRQDO (GLWLRQ 1HZ <RUN USA. +DLU HW DO ³0XOWLYDULDWH $QDO\VLV´ 3HDUVRQ *OREDO (GLWLRQ 6DGGOH River, New Jersey, USA. (2013) The Nestle website. [Online]. Available: http://www.nestle.com/ (2013) The Unilever website. [Online]. Available : http://www.unilever.com/ (2013) The Intel website. [Online]. Available: http://www.intel.com/ (2013) The Toyota website. [Online]. Available: http://www.toyota.com/ (2013) The Marthatilaar website. [Online]. Available: http://www.marthatilaar.com/ (2013) The Sinar Mas website. [Online]. Available: http://www.sinarmas.com/

! !

56


Analisis Praktis Metode Wait and Weight Dalam Penanganan Gas Kick pada Operasi Pengeboran Migas Practical Analysis of The Wait and Weight Method to Control Gas Kick in Oil and Gas Drilling Operations

M. Derian Zachary1,a, Ade Anggi N.S.2, Afriandini P. S.3, M. Dwipa Alfantra P.4dan Dr.-Ing. Bonar T.H. Marbun.3,c 1,2,3,4 3

Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung. aEmail: derianzachary@yahoo.com, Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung. cEmail: bonar.marbun@tm.itb.ac.id

A bstrak - Di dalam proses pemboran terdapat berbagai macam masalah yang dapat ter jadi. Salah satunya adalah masuknya fluida yang tidak diinginkan ke dalam sumur, hal ini disebut dengan kick. K ick ini dapat berupa air, liquid for masi ataupun gas. Nam un dalam pembahasan ini penulis memfokuskan pada kick berupa gas (gas kick). Untuk menanggulangi kick dibutuhkan suatu metode kontrol sumur yang sesuai dan efektif untuk dilakukan. M etode wait and weight merupakan salah satu metode kontrol sumur dengan menggunakan prinsip penambahan densitas fluida kill untuk mengimbangi tekanan for masi sumur dan menanggulangi problematikanya. Dalam makalah ini dibahas tentang penerapan, analisis dan sistemati ka penggunaan metode wait and weight . Sehingga dengan pemahaman yang baik ter kait metode ini, tentang kelebihan dan kekurangannya, diharapakan dapat meningkatkan kiner ja efektif, efisien, dan aman saat pengoperasiannya di lapangan. Kata Kunci ²G as kick; K ontrol sumur; M etode W ait and weight; fluida kill; O perasi aman

Abstract- In the drilling process there are various problems that can occur. O ne is the inclusion of unwanted fluids into the well, it is called a kick. T his kick can be water, liquid or gas for mation. However, in this discussion the author focuses on a gas kick. Need a well control methods used to overcome the kick, proportionally and effectively. Wait and weight method is one method of well controls, using the addition of killing fluid density to offset the well formation pressure in order to overcome the well problem. T his paper will discuss the implementation, analysis and systematic use of wait and weight method. So with a good understanding of this methods, about the advantages and disadvantages, improving the performance of effective, efficient, and safe operation in the field could be done. Keywords²G as K ick; Well Control; W ait and Weight M ethod; kill fluid; Safe operation

I. PENDAHULUAN Merupakan sebuah penerapan yang umum selama proses pemboran sumur migas, untuk membuat kondisi overbalance, yakni ketika tekanan hidrostatik lebih besar daripada tekanan formasi yang diantisipasi pada setiap titik di dalam lubang untuk menjaga kontrol utama dari sumur. Selain itu, selama proses operasi pemboran, nilai overbalance ini biasanya memberikan peluang manipulasi dari drillpipe tanpa menyebabkan fluida formasi masuk ke dalam lubang sumur, kecuali jika terdapat terlalu banyak pergerakan dari drillpipe. Konsep itu dikenal dengan margin overbalance , yang pada umumnya memberikan ruang bagi tekanan berlebih dengan nilai sekitar 300-500 psi, walaupun pada beberapa area, sumur berhasil dibor dengan metode underbalance dengan biaya yang lebih mahal. Pada dasarnya konsep tersebut mengaplikasikan prinsip kenaikan tekanan hidrostatik yang diatur sedemikian rupa di atas tekanan fluida formasi sehingga memberikan faktor keamanan (safety factor ) yang dapat membuat kontrol lebih efektif terhadap sumur. Selama proses mematikan sumur, kenaikan tekanan ekstra dari berat lumpur ini dapat menyebabkan masalah ketika mengontrol sumur. Berat lumpur ini memerlukan ketahanan

ekstra dari backpressure pada annulus casing dalam tujuannya untuk menjaga tekanan bawah sumur tetap konstan. Sebagai hasilnya, pada sumur yang memiliki rekahan marginal atau tekanan breakdown, sangat memungkinkan tekanan ekstra tersebut menyebabkan rekahan dari formasi, yang nantinya akan mengakibatkan efektivitas kontrol dari sumur menurun.

Kick Kick adalah perpindahan fluida ke atas lubang bor dikarenakan influx fluida formasi yang tidak diinginkan. Kick terjadi apabila tekanan hidrostatik fluida pemboran lebih kecil dari tekanan formasi. Kick yang tidak diketahui, atau yang diizinkan untuk tetap terjadi akan mengangkat fluida dari sumur. Jika hal itu dibiarkan terlalu lama maka kick dapat menimbulkan blow out. Ketika kick terjadi, tindakan penanggulangan harus segera dilakukan oleh kru secara efektif dan aman untuk membuat sumur kembali bisa dikontrol. F aktor Ekspansi Gas Ketika mensirkulasikan kick yang berupa gas keluar dari sumur, tekanan dari gas akan menurun secara pesat hingga mencapai tekanan atmosfer. Seiring dengan penurunan

57


tekanan, gas tersebut juga akan mengalami pengembangan. Seberapa besar gas tersebut akan mengembang adalah fungsi dari komposisi gas dan temperatur awal serta akhir. Itulah yang disebut faktor ekspansi gas, dan untuk keperluan aplikasi di lapangan dari prinsip-prinsip well control , faktor ekspansi gas ini penting untuk dipahami. Hal ini juga penting agar personel dapat merespon dan menyiapkan peralatan untuk mengantisipasi ekspansi gas yang akan terjadi.

Migrasi Gas Pengamatan harus selalu dilakukan terhadap tekanan penutupan. Tekanan dapat naik seiring dengan migrasi gas ke atas melewati fluida sumur ketika ditutup. Migrasi gas dapat meningkatkan tekanan lubang sumur sehingga terjadi kerusakan formasi atau peralatan. Lebih jauh lagi, kondisi tersebut dapat mengakibatkan formation da mage atau underground blowout. Untuk itu pemahaman terkait migrasi gas ini sangatlah penting, sehingga bisa dilakukan antisipasi segera dengan memanipulasi choke untuk menghasilkan tekanan tubing atau tekanan drillpipe yang konstan. Sebab jika tekanan tersebut konstan maka tekanan bawah sumur juga konstan, sehingga migrasi gas dapat dicegah dengan tidak adanya perbedaan tekanan yang signifikan antara tekanan bawah sumur dan tekanan penutupan (permukaan). Kick yang berupa liquid Minyak, air, dan air asin mendekati fluida incompressible . Fluida tersebut tidak akan mengembang sampai jumlah tertentu seiring dengan penurunan tekanan. Karena sifat tersebut, maka proses pemompaan dan laju pengembalian akan bernilai sama. Kick yang berupa liquid ini tidak akan mengembang seiring proses sirkulasi di dalam lubang sumur, sehingga tekanan casing atau tekanan penutupan tidak akan meningkat seperti yang terjadi pada kick yang berupa gas. Kebanyakan influx air ternyata mengandung sejumlah kecil gas terlarut yang akan membuat bentuk tekanan permukaannya berpola sama seperti yang terjadi selama gas kick, tetapi dalam derajat yang lebih kecil. Oleh karena itu terkadang perlu dilakukan kontrol terhadap kick jenis ini ( liquid kick ) dengan penanganan yang sama seperti yang dilakukan untuk kick berupa gas. Akan tetapi makalah ini akan lebih fokus pada penanganan kick bertipe gas. Ukuran Kick Hal penting yang harus diingat adalah semakin lama waktu yang diperlukan untuk menganalisa kick dan memulai prosedur mengontrol kick tersebut, maka semakin besar ukuran kick tersebut dan akan semakin sulit untuk dikontrol. Semakin besar kick, semakin tinggi nilai tekanan casing. Dampaknya kick akan semakin berbahaya dan cenderung memicu blow out. Untuk itu sangat penting untuk bisa mengestimasi ukuran kick, secara efektif, dari perubahan tekanan yang terbaca pada pressure gauge di permukaan.

II. PEMBAHASAN

Metode U mum Penanggulangan Kick Tujuan dari berbagai metode penanggulangan kick adalah untuk mensirkulasikan semua fluida kick yang menginvasi lubang sumur. Mekanismenya adalah dengan mensirkulasikannya menggunakan berat kill mud yang cukup ke dalam sumur tanpa membiarkan lebih banyak fluida masuk ke dalam lubang sumur, dengan menjaga tekanan hidrostatik kill mud agar lebih besar dari tekanan formasi. Jika dilakukan dengan baik, cara ini mampu meminimalisasi kerusakan pada formasi di sekitar lubang sumur. Operasi tersebut dilakukan berulang-ulang sampai semua fluida kick berhasil disirkulasikan ke permukaan. Sebab pada dasarnya, kill mud menyediakan keseimbangan hidrostatik antara sumur dan formasi saat proses sirkulasi. Hal ini yang mendasari mekanisme penanggulangan kick dengan pendekatan constant bottomhole pressue (BHP). Pada dasarnya ada 2 jenis prinsip metode penanggulangan kick: 1. Prinsip T ekanan Bawah Sumur K onstan (Constant B H P) Ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk menanggulangi kick dengan prinsip ini yaitu: x Metode Driller (Metode dua kali sirkulasi) x Metode wait and weight (metode satu kali VLUNXODVL GDQ ELDVD GLNHQDO VHEDJDL ³PHWRGH engineer´ DWDX PHWRGH WHNDQDQ drillpipe konstan) x Metode concurrent Dari berbagai metode tersebut, yang akan dibahas pada makalah ini adalah metode wait and weight, dimana pada metode ini kick disirkulasikan dengan sekali proses sirkulasi saja. Pembahasan tersebut akan meliputi prosedur penanggulangan kick, perhitungan metode, serta kelebihan dan kekurangan dari metode tersebut. 2. Model U-T ube Kondisi lubang sumur dalam proses pengeboran dapat dideskripsikan dengan model U-tube. Pada model U-tube di bawah ini, tekanan drillpipe (Pdp) akan lebih kecil daripada tekanan anulus (Pa) pada keadaan sumur ditutup. Hal ini terjadi karena pada anulus terdapat fluida kick yang pada umumnya berupa gas yang memiliki gradien tekanan hidrostatik yang lebih kecil daripada gradien tekanan hidrostatik lumpur.

. G ambar 1. Model U-WXEH VXPEHU ³'ULOOLQJ (QJLQHHULQJ´ +HULRWW-Watt University)

58


Dalam makalah ini khususnya, akan lebih jauh dibahas mengenai metode penanggulangan kick yang menerapkan konsep constant BHP yakni metode wait and weight (HQJLQHHU¶V PHWKRG).

Metode Wait and Weight Metode wait and weight atau yang disebut juga dengan metode engineer, merupakan metode penanggulangan kick dengan satu tahap sirkulasi. Lain halnya dengan metode Driller yang mensirkulasikan kick dengan menggunakan lumpur lama, metode engineer menyirkulasikan kick dengan menggunakan fluida kill yang dikombinasikan dengan tekanan sirkulasi pompa. Penanggulangan kick dengan menggunakan metode engineer ini dibagi menjadi beberapa tahapan berdasarkan waktu dan kegiatan untuk menanggulanginya, antara lain : 1. Saat K ick terdeteksi Indikator penting yang perlu diperhatikan dalam mendeteksi kick antara lain; naiknya laju alir penembusan, penambahan lumpur pada mud pit, penurunan tekanan sirkulasi, dan lainlain. Dalam hal ini, ketika satu indikasi sudah terdeteksi maka metode penanggulangan kick harus segera dilakukan, langkah yang utama adalah dengan menutup sumur. 2. Saat Penutupan sumur Kick yang masuk ke dalam sumur tidak hanya terjadi ketika melakukan pengeboran namun hal ini juga dapat dipicu ketika melakukan proses tripping (efek swabbing). Oleh karena itu prosedur penutupan sumur ketika tripping dan pengeboran terbagi dua \DQJ XPXPQ\D GLVHEXW GHQJDQ ³ 6´: Prosedur penutupan saat pengeboran : 1. Space out : mengambil drillstring dan menempatkan tool joint 2. Shut- down : hentikan pemompaan lumpur 3. Shut-in : tutup annular preventer atau pipe ra m preventer paling atas. Cek kembali bahwa sumur tertutup dan alirannya terhenti. Buka valve HCR. Prosedur penutupan saat tripping : 1. Stab valve : membuka penuh safety valve (posisi terbuka) di drillstring. Tutup safety valve. 2. Space out : menempatkan tool joint. 3. Shut in : tutup annular preventer atau pipe ra m preventer paling atas. Cek kembali bahwa sumur tertutup dan alirannya terhenti. Buka valve HCR.

4. Pembuatan F luida K ill untuk Penanggulangan K ick dan Desain Tekanan Sir kulasi Jika metode driller menggunakan tekanan untuk mengatasi kick, pada metode ini tekanan dikonversikan menjadi densitas fluida kill yang bertujuan untuk mengatasi tekanan formasi dan menanggulangi kick dalam sumur. Untuk itu perlu dilakukan prosedur dalam mendesain densitas dari mud yang akan digunakan. Dalam proses ini diperlukan penghitungan dan pencatatan beberapa parameter, antara lain : x Tekanan drillpipe x Tekanan bottomhole reservoir yang digunakan untuk x Mud weight mengimbangi kick x Tekanan maksimum permukaan pada casing yang diperbolehkan (MAASP ataupun MISCP) x Maksimum penambahan volume berlebih selama proses sirkulasi Dalam desain tekanan sirkulasi, diperlukan suatu faktor keamanan untuk melaksanakan prosedur tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat densitas fluida kill sedikit lebih besar dari densitas seharusnya ataupun dengan memberikan margin tekanan kepada sumur sebesar 200 psi melalui choke. 5. Proses Sir kulasi F luida K ill Proses sirkulasi dimulai dengan mengatur tekanan sesuai ICP dan laju pompa disesuaikan dengan kebutuhan. Fase tekanan yang idealnya diaplikasikan digambarkan dalam grafik di bawah ini

3. Stabilisasi Sumur untuk M endapatkan SI DPP dan SI C P Setelah sumur ditutup, tekanan yang terbaca pada gauge di drillpipe dan casing tidak langsung dicatat, tapi perlu ditunggu sejenak hingga stabil. Tekanan inilah yang disebut dengan Shut in Drillpipe Pressure pada drillpipe dan Shut in Casing Pressure pada casing. Kemudian fluida kill bisa disirkulasikan ke dalam sumur dengan Intial Circulating Pressure (ICP) yang diperoleh dari pengurangan SIDPP dengan pressure loss. G ambar 2. Profil tekanan sirkulasi dan annular dalam proses penanggulangan kick dengan metode wait and weight (sumber: ³:HOO &RQWURO IRU WKH 5LJ-6LWH 'ULOOLQJ 7HDP´ $EHUGHHQ 'ULOOLQJ Schools & Well Control Training Centre)

59


Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa Metode wait and weight dapat dikategorikan menjadi 2 fase utama yaitu, fase awal sirkulasi hingga fluida kill sampai bit dan fase dari bit hingga ke permukaan. a. F ase 1 (saat awal sir kulasi hingga fluida kill sampai bit) Saat awal sirkulasi, pompa dinyalakan, lalu fluida kill disirkulasikan. Dalam fase ini perlu diperhatikan 2 hal penting ketika melakukan sirkulasi yakni tekanan dan laju alir. Keduanya diatur menggunakan choke. Peningkatan laju alir dengan choke dilakukan agar sesuai dengan laju alir penanggulangan yang telah didesain, dan agar tidak menambah friksi yang ada pada lumpur dan sumur. Bersamaan dengan itu pengaturan choke juga berfungsi agar tekanan casing dan tekanan sumur tetap terjaga, serta menghindari terjadinya backpressure . Karena backpressure yang terjadi terus menerus akan menyebabkan kerusakan pada formasi. b. F ase 2 (saat sir kulasi setelah fluida kill sampai bit hingga ke per mukaan). Tahap ini merupakan saat fluida kill mulai masuk ke dalam anulus. Pada saat mulai masuk ini pengaturan choke yang ada adalah bertujuan untuk mempertahankan tekanan drillpipe. Hal ini sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Pada awal tahap ini tekanan sirkulasi akan dipertahankan pada suatu tekanan akhir yang disebut dengan F inal Circulation Pressure (FCP). Pada tahap ini kick yang berupa gas akan semakin mengembang seiring dengan naiknya gas kick. Hal ini menyebabkan tekanan casing atau annulus akan naik. Nilai kenaikan ini akan berkurang jika kick juga mengandung liquid. Dengan masuknya fluida kill ke dalam sumur akan mengurangi tekanan pada casing. Hal ini diilustrasikan dalam gambar dibawah ini

penanganan khusus untuk menjaga tekanan drillpipe tetap konstan. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi laju alir pompa sehingga tekanan drillpipe dapat diatur kembali agar sesuai dengan perencanaan. Setelah sesuai kembalikan aliran pompa pada laju semestinya dan alirkan semua kick keluar sumur. Untuk memastikan bahwa kick sudah tersirkulasi seluruhnya maka pompa dimatikan dan sumur ditutup. Jika kick sudah keluar semua maka tekanan pada casing dan drillpipe akan menuju 0 psi. Jika ternyata masih belum maka lakukan sirkulasi kembali dengan parameter sebelum sumur ditutup. Jika sudah 0 psi, buka choke untuk memastikan tidak ada fluida yang mengalir. Lalu buka kembali annular preventer, kemudian sirkulasikan dan kondisikan sumur pada operasi normal.

Perhitungan Metode Wait and Weight Beberapa parameter yang diperlukan dalam perhitungan metode wait and weight perlu sejelas mungkin didefinisikan dan ditentukan agar eksekusi penanggulangan kick menjadi lebih optimal. Berikut beberapa parameter yang harus ditentukan dan diperhitungkan dalam penanganan kick dengan engineer method : SI C P (Shut in C asing Pressure) Penentuannya langsung dibaca dalam alat pengukur tekanan dipermukaan casing, yang prinsipnya secara matematis adalah: SIDPP = Tekanan Formasi Âą Tekanan hidrostatik lumpur di dalam drillstring SI DPP (Shut in D rill-pipe Pressure) Bila pipa bor tidak memakai klep balik (back valve pressure ) SIDPP dapat dibaca langsung pada alat pengukur tekanan di stand pipe . Jika memakai alat tersebut, maka bisa menggunakan prinsip sirkulasi lambat (S low pump rate test) atau memakai grafik. Prinsipnya secara matematis ialah: SICP = Tekanan formasi Âą tekanan hidrostatik lumpur di anulus Âą Tekanan hidrostatik dari influx Pf (Tekanan Formasi) P f 6,'33 ČĄml . D

G ambar 3 . E fek fluida kick pada tekanan anulus (sumbeU ³'ULOOLQJ (QJLQHHULQJ´ +HULRWW-Watt University)

Dalam tahap 2 ini hal paling sukar adalah ketika kick sudah mencapai permukaan. Idealnya gas kick harus dikeluarkan (bleed off) dengan cepat supaya dapat mempertahankan tekanan drillpipe tidak melebihi batas yang ditentukan (karena akan dapat menyebabkan formasi rekah). Jika tidak dapat mengeluarkan dengan cepat maka dibutuhkan suatu

ČĄ k (Berat jenis K ick) SICP SIDPP

U k U ml 0.052 . hk ČĄmb (Berat jenis lumpur baru) SIDPP U mb U ml Tmin 0.052 . D T

Y 11.7 d h d p

I C P ( Initial Circulating Pressure ) ICP = SIDPP + P loss

(1)

(2)

(3) (4)

(5)

Harga P loss bisa dicari langsung dengan cara pemompaan pelan (S low pump rate test) atau dihitung dengan memakai rumus :

60


P loss = P sc + P dc + P dp + P b + Pdca + P dpa (6)

ta = tk =Va/vs

* aliran dalam pipa :

'Pp (penurunan tekanan pompa)

Ploss

'Pp

PV V . L

90000 . d p2

YL 225 . dp

ª1,6 .V § 3n 1 ¡º .¨ ¸   d p Š 4 šŸ

Ploss

n

K '.

L 300 . d p

(7)

* aliran di anulus :

PV V . L

Ploss

60000 d h d p

2

º ª  2,4 .V . §¨ 2n 1 ¡¸  d h d p Š 3 š Ÿ 

Ploss

YL 200 . d h d p

n

K ' .L 200 . d h d p

L .T 300 . d h d q

Ploss

(8)

* aliran di pahat : U m .V n2 P loss 1120 0.32 . Q Vn AN

(9) (10)

F C P ( F inal Circulating Pressure ) FCP Ploss( la ma) . FCP

U mb U ml

ICP SIDPP . U mb U ml

(11)

M A ASP ( Maximum Allowable Annular Surface Pressure )

MAAS P = (grad rekah Âą grad mud)* TVD

(12)

Perhitungan kondisi yang diperoleh P surf (T ekanan ma ksimum casing) ‍ ÜŁâ€ŹŕľŒ ͲǤͲ͡ʹáˆşßŠŕŻ ŕŻ• ྆ ߊ௠ŕŻ&#x; áˆťâ€ŤÜŚâ€ŹŕŹľ ྆ ܲ௞ ŕľ… ܲ௼ ྆ ͲǤͲ͡ʹ ߊ௠௕ ŕľ… ͲǤͲ͡ʹ ߊ௠௕ ‍܌‏ 1/ 2

Psurf

A ÂŞ A2 0.052 . Umb . P b . hk . Z surf . Tsurf Âş ÂŤ Âť 2 ÂŹ4 Tb . Z b Âź

(13) V ks (Volume pertambahan di tangki ma ksimum) V ks

§ § A ¡ ª A 2 0.052 . U mb . P b . hk . Z surf . Tsurf º1 / 2 ¡ ¸ Ca ¨ ¨ ¸   ¸ ¨Š 2 š 4 Tb . Z b  Ÿ Š š 0.052 . U mb

(14) ts (waktu total penanggulangan) ts = tl + tp + ta tp = Vp/vs

tp

(18) i

III. KESIMPULAN

L .T 300 . d p

Ploss

ICP F CP . t

(17)

(15) (16)

Berdasarkan pemaparan terkait penanggulangan kick dengan metode wait and weight maka dapat disimpulkan bahwa metode ini memiliki beberapa keunggulan dan juga kekurangan, dan ini bisa dijadikan pertimbangan dalam pemilihannya untuk dieksekusi di lapangan. Kelebihan dari metode ini adalah: ! Hanya memakai satu tahap sirkulasi saja ! Tekanan pada Surface Pressure cenderung rendah ! Tekanan pada Casing Pressure cenderung rendah ! Kinerja pompa dapat dibilang lebih rendah dibandingkan metode driller ! :DNWX VLUNXODVL ³on-choke ´ \DQJ PLQLPXP Kekurangan dari metode ini adalah: x Kalkulasi perhitungan yang jauh lebih kompleks dibandingkan metode driller x Membutuhkan lumpur baru dan kemampuan mud mixing yang akurat x Waktu yang dibutuhkan hingga kick dikeluarkan cukup lama karena harus menunggu hingga lumpur baru selesai dibuat, dan ini dapat menyebabkan terjadinya pipe sticking atau migrasi gas x Membutuhkan cukup banyak personel Jadi dengan pemahaman yang komprehensif tentang metode ini, maka operasi pengeboran dapat lebih efektif dan efisien. Karena selain mampu memilih metode penanggulangan gas kick dengan tepat, setiap personel dapat bekerja dengan baik dan mampu menyiapkan peralatan yang sesuai, sehingga tercipta operasi yang aman saat pengeboran berlangsung.

Pengembangan Metode Wait and Weight Metode wait and weight dapat dikembangkan menjadi suatu metode pengontrolan sumur yang baru ataupun memberikan penambahan koreksi terhadap suatu kondisi-kondisi tertentu. Salah satu pengembangan yang ada adalah meode partisi yang menggunakan sistem partisi ketika melakukan sirkulasi. Metode ini ditujukan untuk menghasilkan suatu tekanan casing dan tekanan drillpipe yang lebih rendah. Hal ini umumnya dilakukan pada sumur yang sangat dalam, volume kick yang besar, dan zona loss yang besar pada daerah wellbore. Selanjutnya diperlukan juga suatu pengembangan metode ini untuk digunakan pada sumur berdiameter kecil. Karena pada kasus tersebut sering terjadi kenaikan friksi di dalam sumur, terutama annulus, sehingga diperlukan suatu koreksi agar kick dapat ditanggulangi tanpa mengakibatkan kerusakan formasi ataupun timbul kick lainnya.

61


UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Terima kasih kepada keluarga dan teman-teman yang membantu menyemangati dan menyusun tiap bagian dari makalah ini, khususnya kepada dosen Teknik Pemboran, Mas Bonar, terima kasih atas bimbingannya. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat yang luas. DAFTAR SIMBOL SIDPP : Shut in Drill Pipe Pressure SICP : Shut in Casing Pressure MAASP : Maximum Allowable Annular Surface Pressure : tekanan Formasi Pf

Uk

U mb T dh dp Y ICP FCP

: Berat Jenis Kick : Berat Jenis lumpur baru : Trip margin : Diameter lubang : diameter pipa : Yield point : Initial Circulating Pressure : F inal Circulating Pressure DAFTAR PUSTAKA

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

$GDPV 1HDO ³'ULOOLQJ (QJLQHHULQg : A Complete Well Planning $SSURDFK´ 3HQQ:HOO %RRNV 7XOVD 2NODKRPD Bourgoyne, A.T., Millheim, K.K., Chenevert, M.E., and Young F.S.. ³$SSOLHG 'ULOOLQJ (QJLQHHULQJ´ 6RFLHW\ RI 3HWUROHXP (QJLQHHUV ³'ULOOLQJ (QJLQHHULQJ´ +HULRW-Watt University. )OHFNHQVWHLQ : : 0LWFKHO % - ´5HPRYDO RI D .LFN :LWK WKH 3DUWLWLRQ 0HWKRG´ 63( 0DUHW *UDFH 5 ' ³%ORZRXW DQG :HOO &RQWURO +DQGERRN´ *XOI 3URIHVVLRQDO Publishing. 2003. +RUQXQJ 0 5 ³.LFN 3UHYHQWLRQ 'HWHFWLRQ DQG &RQWURO 3lanning and Training Guidelines for Drilling Deep High-3UHVVXUH *DV :HOOV´ 63( 19990. February 1990. .DVWRU 5 / DQG /HWEHWWHU 6 & ³([WUD ,QFUHPHQWV RI 3UHVVXUH RU 0XG Weight Safety Factors Added During Well Killing Procedures Can Be 8QVDIH´ 63( October 1974. 0RRUH 3UHVWRQ / ´'ULOOLQJ 3UDFWLFH 0DQXDO 6HFRQG (GLWLRQ´ 3HQQ:HOO Books. Tulsa,Oklahoma. 1986. 3ULQFH 3 . &RZHO ( ( ´6OLPKROH :HOO .LOO $ 0RGLILHG &RQYHQWLRQDO $SSURDFK´ 63( )HEUXDUL 5DELD +XVVDLQ ³:HOO (QJLQHHULQJ &RQVWUXFWLRQ´ ³:HOO &RQWURO )RU 7KH 'ULOOLQJ 7HDP´ 5LJWUDLQ70 'ULOOLQJ :HOO Services Training.2001. ³:HOO &RQWURO IRU WKH 5LJ-6LWH 'ULOOLQJ 7HDP´ $EHUGHHQ 'ULOOLQJ Schools & Well Control Training Centre. 2002. ³:HOO &RQWURO 0DQXDO´ 6DXGL $UDPFR 2FWRber 2002. ³:HOO &RQWURO 0DQXDO ,´ :HOO &RQWURO 6FKRRO 1RYHPEHU

62


Implementasi Jaringan Saraf Tiruan Sebagai Alat Bantu Deteksi Infeksi Saluran Kemih Melalui Citra Bakteri Pada Urin Implementation of Neural Networks as a Urinary Tract Infection Detection Tools Through Image Bacteria In Urine 1,2,

Zecha Anugrah N1,a, Delima Ayu Saraswati 2,b dan Suryani Dyah Astuti 3,c 3Prodi S1 Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. a Email: zechazenith@gmail.com, bEmail: delima_namaku@yahoo.com, cEmail: suryanidyah@unair.ac.id

A bstrak - Infeksi Saluran K emih (IS K ) adalah penyakit yang disebabkan oleh tumbuhnya bakteri dalam jumlah tertentu di sepanjang saluran kemih. Pendeteksian IS K dilakukan dengan pemeriksaan kultur urin yang memakan waktu lama dan biaya yang mahal. Penelitian ini bertujuan untuk alat bantu deteksi IS K melalui citra bakteri pada urin untuk membantu mempersingkat biaya dan waktu pendeteksian. M asukan pada perangkat lunak adalah citra bakteri pada urin. C itra bakteri diolah dengan metode pengolahan citra grayscaling, thresholding dan segmentasi citra sehingga didapatkan ciri citra yang merepresentasikan bakteri pada urin. K eluaran dari perangkat lunak dibagi menjadi tiga kelas, IS K bakteri Eschericia coli , IS K bakteri Klebsiella sp , dan urin normal. T ingkat akurasi perangkat lunak ini sebesar 97 %, dengan parameter laju pembelajaran 0.25 dan pengurangan laju pembelajaran 0.10. Kata Kunci ²Jaringan Saraf T iruan, C itra Bakteri, Pengolahan C itra

Abstract- U rinary T ract Infection (U T I) is a disease caused by bacteria growing in a certain amount along the urinary tract. U T I detection is detect by urine culture examination that needs a long time and costly. T his study is aim to be a U T I detection tools via the image of bacteria in the urine to prevent a long time detection and also the cost. Input on software is the image of the bacteria in the urine. Images of bacteria treated with image processing method within grayscaling, thresholding, and image segmentation. T hose steps is to obtain images that represent characteristics of bacteria in the urine. O utput of the software is divided in to three classes, U T I caused by Escherichia coli, U T I caused by K lebsiella sp, and nor mal ur ine. T he accuracy of this software is 97%, with a learning rate parameter 0.25 and a reduction in the rate of learning 0.10. K eywords² Neural Networ ks, Image of Bacteria, Image Processing.

I. PENDAHULUAN ISK adalah kolonisasi bakteri di berbagai segmen di saluran kemih, vagina atau daerah uretra, dimana uretra merupakan saluran yang menuju saluran kemih. Bakteri dapat masuk melalui uretra dan kemudian dapat berjalan hingga kandung kemih dan bahkan ginjal [1]. ISK merupakan penyakit infeksi kedua terbanyak. ISK dapat menyerang wanita maupun pria, baik di tingkat anak Âą anak maupun dewasa. Penyakit ini lebih banyak menyerang kaum wanita dibanding pria dengan tingkat perbandingan 9:1. Hal ini diakibatkan oleh uretra wanita yang pendek sehingga memudahkan bakteri mencapai kandung kemih [2]. 90% penyebab ISK diakibatkan oleh infeksi organism Eschericia coli [3]. Diagnosis ISK dilakukan dengan pemeriksaan biakan urin dengan waktu yang relatif lama, biaya lebih mahal dan tersedia di pusat pelayanan kesehatan yang lengkap. Hal inilah yang menjadi dasar untuk membangun sistem alat bantu deteksi bakteri penyebab ISK berbasis jaringan saraf tiruan melalui citra bakteri pada urin yang berguna untuk mempersingkat waktu dan biaya yang mudah terjangkau. Pemanfaatan jaringan saraf tiruan dalam identfikasi bakteri dalam urin telah dilakukan dengan memanfaatkan

metode SOM dan tingkat keberhasilan sebesar 90% [4]. Penggunaan pengolahan citra digital mikroskopik urin telah digunakan juga untuk mendeteksi ada dan tidaknya bakteri [5]. Penelitian ini menggunakan jaringan saraf tiruan metode LVQ yang dapat mengklasifikasikan masukan secara berkelompok ke dalam kelas yang telah didefinisikan melalui jaringan yang telah dilatih [6]. Ulasan di atas menjadi dasar penelitian ini, sebagai metode alternatif dalam identifikasi dan penentuan bakteri penyebab ISK. Program meliputi grayscale, thresholding menggunakan metode Otsu, penghitungan area bakteri dan urin normal, penghitungan keliling bakteri dan urin normal serta penentuan bakteri penyebab ISK menggunakan jaringan saraf tiruan (JST). Adapun model JST yang digunakan adalah model Learning Vector Quantization (LVQ) . Metode ini digunakan untuk melakukan pembelajaran pada lapisan kompetitif yang terawasi. Lapisan kompetitif akan mengklasifikasikan vektor Âą vektor input. Jika 2 vektor input mendekati sama, maka lapisan kompetitif akan mengelompokkan kedua vektor input kedalam kelas yang sama [7]. Pola masukan dibagi menjadi 3 kelompok, yakni ISK akibat bakteri Eschericia coli, ISK akibat bakteri Klebsiella sp, dan urin normal. Dengan demikian sampel citra bakteri Eschericia coli dan citra

63


bakteri Klebsiella sp untuk kasus ISK dan citra urin normal untuk keadaan sehat, digunakan dalam masa pelatihan JST. II. DASAR TEORI

Grayscaling Grayscaling adalah proses untuk merubah citra warna menjadi citra gradasi warna hitam dan putih. Perhitungan matematis untuk mendapatkan nilai grayscale (gs) adalah rerata dari nilai unsur warna dasar, merah (m), hijau (h), biru (b). Perhitungan matematis ditunjukkan pada Pers. (1). Gs = m + h + b.

Learning Vector Quantization (LVQ) Arsitektur LVQ baik digunakan untuk mengklasifikasikan masukan secara berkelompok ke dalam kelas yang telah didefinisikan melalui jaringan yang telah dilatih. LVQ memiliki masukan n dan mengelompokkan ke dalam keluaran m. Pada proses pelatihan jaringan ini akan membandingkan nilai dari vektor yang dilatih dengan semua elemen pemroses. Jarak terkecil antara vektor yang dilatih dengan elemen pemrosess akan menentukan kelas dari data yang dilatih. Vektor target yang digunakan untuk inisialisasi jaringan LVQ memiliki distribusi target yang sama sebagai data pelatihan jaringan yang dilatih sehingga dapat dipastikan kelasnya [11].

(1)

Thresholding Thresholding adalah cara untuk mengatur jumlah grayscale pada citra sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat digunakan untu merubah citra menjadi deretan bilangan biner. Hasil yang diperoleh dari langkah ini adalah citra dengan dua warna. Masukan pada operasi thresholding adalah tipe gambar grayscale dan memiliki keluaran dengan citra biner, yakni citra yang mengandung hanya piksel hitam dan piksel putih saja, yang menunjukkan segmentasi citra. Intensitas threshold merupakan aplikasi threshold yang hanya bergantung pada parameter tunggal [8]. Metode thresholding dapat dilakukan dengan Metode Otsu. Metode ini menentukan nilai ambang dengan menggunakan analisis diskriminan [9]. Citra masukan merupakan citra yang telah dirubah kedalam skala keabuan kedalam dua daerah yang berbeda secara otomatis tanpa membutuhkan bantuan user untuk memasukkan nilai ambang. Pendekatan yang dilakukan dengan metode otsu adalah dengan analisis diskriminan yaitu menentukan suatu variabel yang dapat membedakan antara dua atau lebih kelompok yang muncul secara alami. Analisis diskriminan akan memaksimumkan variabel tersebut agar dapat membedakan antara dua atau lebih kelompok yang muncul secara alami. Analisis diskriminan akan memaksimumkan variabel tersebut agar dapat membagi foreground dan background. Jaringan Saraf Tiruan (JST) Jaringan saraf tiruan merupakan sistem pemroses informasi yang memiliki karakteristik tampilan menyerupai jaringan saraf biologis. Jaringan saraf tiruan telah banyak dikembangkan secara umum sebagai model matematis dari saraf biologis, dengan asumsi sebagai berikut : 1. Pemrosesan informasi terdapat pada beberapa elemen sederhana yang disebut neuron. 2. Sinyal akan berjalan diantara beberapa neuron yang berakhir pada rantai penghubung. 3. Setiap rantai penghubung memiliki bobot, dimana dalam jaringan saraf tiruan yang has adalah melipatgandakan sinyal yang ditransmisikan. 4. Setiap neuron memiliki fungsi aktivasi sebagai masukan yang kemudian digunakan untuk menentukan keluaran [10].

III. METODOLOGI Perolehan Data Pengumpulan data sampel penelitian meliputi perolehan sampel urin penderita ISK akibat bakteri Eschericia coli dan Klebsiella sp. Sampel urin tersebut kemudian dilakukan proses kultur bakteri dan pengecatan gram bakteri guna memastikan bakteri penyebabnya. Setelah dilakukan kultur bakteri dan pengecatan gram bakteri dilakukan diagnosa oleh dokter patologi klinik. Hasil pengecatan gram bakteri akan digunakan untuk proses pembuatan preparat bakteri Eschericia coli dan Klebsiella sp. Hasil dari pengumpulan data, diperoleh data sampel untuk kriteria ISK Eschericia coli, ISK Klebsiella sp, dan urin normal masing Âą masing 40 data. Seluruh citra yang diperoleh berformat jpeg, dengan ukuran 50x50 pixel . Perancangan Program Secara garis besar, program terdiri atas proses grayscaling,binerisasi citra dengan metode thresholding, penghitungan area, penghitungan keliling dan Implementasi JST dalam penentuan bakteri penyebab ISK, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 1.

G ambar 1. A lur Prosedural Program Deteksi Bakteri Penyebab IS K

64


Sampel yang didapatkan berupa preparat hasil pengecatan gram bakteri yang telah di diagnosa oleh dokter. Preparat tersebut kemudian diamati secara mikroskopis dan dilakukan proses capturing untuk mendapatkan citra bakteri penyebab ISK. Citra yang didapatkan kemudian dilakukan proses croping untuk mendapatkan sel bakteri tunggal dengan ukuran citra sebesar 50x50 piksel. Hasil croping akan diproses menggunakan grayscaling dan thresholding yang kemudian dilakukan penghitungan area dan keliling objek dengan menghitung piksel yang berwarna putih. Penghitungan Area Objek Area objek adalah harga skalar yang menyatakan jumlah keseluruhan piksel sel tunggal bakteri penyebab ISK. Harga ini diperoleh dengan menjumlahkan piksel-piksel area sel tunggal bakteri penyebab ISK yang bernilai 1 pada citra biner yang telah diperoleh. Penghitungan Perimeter Objek Perimeter objek adalah harga skalar yang menyatakan jumlah outline dari piksel sel tunggal bakteri penyebab ISK. Harga ini diperoleh dengan menjumlahkan piksel outline yang terhubung pada piksel sel tunggal bakteri penyebab ISK. Pelatihan JST Hasil penghitungan area dan perimeter kemudian menjadi masukan untuk Jaringan Saraf Tiruan (JST). Metode JST yang digunakan adalah Learning Vector Quantization (LVQ). Tahap pelatihan menggunakan 28 data dari setiap kelas. Proses pelatihan berlangsung hingga syarat terpenuhi. Syarat yang tidak terpenuhi kemudian akan menghentikan proses pelatihan. Proses pelatihan yang terhenti akan menampilkan bobot akhir pelatihan, dimana bobot akhir ini digunakan untuk inisialisasi bobot pada proses pengujian JST. Akurasi data pelatihan dapat diketahui dari uji kecocokan data pelatihan terhadap data target sebagai hasil diagnosa dokter. Presentasi akurasi data pelatihan didapatkan dari perbandingan antara jumlah data pelatihan yang cocok dengan target dan jumlah keseluruhan data pelatihan yang dikalikan dengan 100%. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebanyak 120 data melewati serangkaian proses croping, grayscaling, thresholding, penghitungan area objek, dan penghitungan perimeter objek. Kemudian data dibagi menjadi dua, yaitu 84 data pelatihan dan 36 data pengujian untuk implementasi JST. Kedua kelompok data meliputi semua kelas, yakni ISK Eschericia coli , ISK Klebsiella sp, dan urin normal. Data pengujian digunakan dalam penghitungan tingkat akurasi dari program yang telah dibuat.

G ambar 2. H asil Proses Grayscale M asing Âą M asing K elas. (a) Bakteri Eschericia coli , (b) Bakteri Klebsiella sp, (c) U rin Normal Hasil Thresholding Dalam tahap ini, threshold setiap citra pada data berbedabeda. Perolehan nilai threshold dari setiap data didapatkan dengan memanfaatkan metode Otsu. Hasil proses thresholding dapat dilihat pada Gambar 3.

G ambar 3. H asil Proses Thresholding M asing Âą M asing K elas. (a) Bakteri Eschericia coli , (b) Bakteri Klebsiella sp, (c) U rin Normal Hasil Penghitungan Area Objek Tahap ini dilakukan dengan menghitung jumlah piksel yang bernilai satu dari citra hasil proses thresholding. Hasil Penghitungan Perimeter Objek Tahap ini dilakukan dengan bantuan program Matlab sehingga didapatkan citra dengan keliling objek berwarna putih, sedangkan background objek berwarna hitam. Gambar hasil operasi perimeter dapat dilihat pada Gambar 4.

G ambar 4. H asil Proses Perimeter M asing Âą M asing K elas. (a) Bakteri Eschericia coli , (b) Bakteri Klebsiella sp, (c) U rin Normal Hasil Pelatihan JST Pelatihan jaringan menggunakan data masing-masing kelas sebanyak 28 buah. Parameter pelatihan jaringan yang digunakan yakni laju pelatihan ÄŽ VHEHVDU SHQJXUDQJDQ ODMX SHODWLKDQ GHFÄŽ VHEHVDU PLQLPXP laju pelatihan sebesar 0.001, dan maksimum iterasi sebesar 100. Tampilan pelatihan jaringan dapat dilihat pada Gambar 5.

Hasil Grayscaling Grayscale merupakan metode untuk merubah citra warna menjadi citra keabuan. Contoh hasil proses grayscaling dapat dilihat pada Gambar 2.

65


G ambar 5. T ampilan H asil Pelatihan JST Hasil Pengujian JST Pengujian jaringan dilakukan dengan menggunakan data citra diluar data citra pelatihan. Data yang digunakan pada proses pengujian sebanyak 12 data dari masing-masing kelas. Bobot akhir yang didapatkan pada proses pelatihan digunakan sebagai inisialisasi bobot awal pada proses pengujian. Tampilan pengujian jaringan dapat dilihat pada Gambar 6.

Tombol buka gambar digunakan untuk membuka folder berisi gambar yang akan dicari fiturnya. Tombol derajat keabuan berisi perintah untuk proses grayscale. Tombol biner berfungsi untuk merubah citra dari skala keabuan menjadi biner sehingga tombol ini berisi perintah untuk binerisasi citra. Hasil proses binerisasi citra dapat digunakan untuk menghitung area objek. Tombol perimeter digunakan untuk merubah citra biner menjadi citra dengan outline citra objek. Hasil proses perimeter citra dapat dilakukan penghitungan perimeter sehingga dapat diketahui nilai perimeternya. V. KESIMPULAN Melalui serangkaian proses pengolahan citra, yang terdiri atas metode grayscaling, thresholding untuk binerisasi citra, penghitungan area dan perimeter objek serta jaringan saraf tiruan Learning Vector Quantization (LVQ), sistem yang telah dibuat mampu mendeteksi bakteri penyebab ISK melalui citra bakteri pada urin. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkat akurasi program mencapai 97%. Meski tingkat akurasi program telah tercapai namun masih perlu adanya tambahan fitur yang digunakan sebagai masukan pada JST, tambahan variasi data bakteri penyebab ISK, serta tambahan filter pada pengolahan citra sehingga hasil yang didapatkan akan lebih maksimal. DAFTAR PUSTAKA

G ambar 6. T ampilan H asil Pengujian JST Hasil Pengolahan Citra Hasil pengolahan citra memuat langkah ± langkah pengolahan citra yang digunakan dalam mendapatkan fitur citra sebagai masukan dalam JST metode LVQ, yakni area dan perimeter objek. Tampilan hasil pengolahan citra ditunjukkan pada Gambar 7.

G ambar 7. T ampilan H asil Pengolahan C itra

[1] Samirah, dkk. 2006. ³3ROD GDQ 6HQVLWLYLWDV .XPDQ GL 3HQGHULWD ,QIHNVL S aluran .HPLK´. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vol 12. No 3. Hlm 110. [2] Potts, Jeannette M. 2004. Essential Urology: A Guide to Clinical Practice. Humana Press, New Jersey. [3] Betz, Cecily Lynn, Sowden, Linda A. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 5. Cetakan I. EGC, Jakarta. [4] Saraswati, Delima Ayu. 2011. Analisis Odor Urine Untuk Mendeteksi Infeksi S aluran Kemih Dengan Menggunakan Sensor Quartz Crystal Microbalance (Q CM) dan Self Organizing Map (S OM). Tugas Akhir Program Pascasarjana Teknik Elektro ITS. [5] Saraswati, Delima Ayu dan Setiawardhana. 2012. ³6LVWHP 3HQGHWHNVLDQ %DNWHUL 'HQJDQ +LVWRJUDP %LQHU 3DGD &LWUD 'LJLWDO´. Jurnal MIPA. Vol 14. No 2. Hlm 12. [6] Putra, Darma. 2010. Pengolahan Citra Digital . Penerbit Andi, Yogyakarta. [7] Kusumadewi, Sri. 2004. Artificial Intelligence (Teknik dan Aplikasinya). Graha Ilmu, Yogyakarta. [8] Dougherty, Geoff. 2009. Digital Image Processing for Medical Applications. Cambridge University Press, UK. [9] Putra, Darma. 2004. Binerisasi Citra Tangan Dengan Metode Otsu. Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Udayana [10] Fausett, Laurne. 1994. Funda mentals of Neural Networks (Architectures, Algorithms, and Application). Prentice-Hall, New Jersey. [11] Demuth, Howard and Beale Mark. 2000. Neural Network Toolbox 8VHU¶V *XLGH. The MathWorks, Inc. [12] Cahyoanggoro, Roy. 2009. Pengenalan Bahan Ki mia Obat Pada Ga mbar Kromatografi Dengan LVQ . Skripsi Program Sarjana Teknik Elektro ITS. [13] Hidayati Nurul dan Warsito Budi. 2010. Prediksi Terjangkitnya Penyakit Jantung Dengan Metode Learning Vector Quantization. Media Statistika. Vol 3. No 1. Juni. [14] Saraswati, Delima Ayu dan Setiawardhana. 2012. ³6LVWHP 3HQGHWHNVLDQ %DNWHUL 'HQJDQ +LVWRJUDP %LQHU 3DGD &LWUD 'LJLWDO´. Jurnal MIPA. Vol 14. No 2. Hlm 12. [15] Wu, Qiang et al. 2008. Microscope Image Processing. Academic Press of Elsevier, USA.

66


[16] Wuryandari, M D. Afrianto Irawan. 2012. Perbandingan Metode Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation dan Learning Vector Quantization Pada Pengenalan Wajah. Jurnal Komputer dan Informatika. Edisi 1. Vol 1. Maret.

67


Implementasi Jaringan Saraf Tiruan Sebagai Alat Bantu Identifikasi Anemia pada Citra Sel Darah Merah Implementation of Neural Networks as a Tool to Help Identify Anemia Using Image of Red Blood Cells 1,2,3

Osmalina Nur Rahma1,a, Delima Ayu Saraswati2,b, Suhariningsih3,c Program Studi S1 Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya. a osmalina.nur.rahma@gmail.com, bdelima_namaku@yahoo.com, csuhariningsih.unair@gmail.com

A bstrak - A nemia defisiensi besi (A D B) termasuk dalam anemia mik rositik hipok romik karena memiliki ukuran sel darah merah lebih kecil dari ukuran normal dan memiliki H emoglobin (H b) lebih rendah dari normal yang timbul akibat ber kurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis (proses pemataQJDQ VHO GDUDK PHUDK 3HQHOLWLDQ EHUMXGXO ³,PSOHPHQWDVL -DULQJDQ 6DUDI 7LUXDQ 6HEDJDL $ODW %DQWX ,GHQWLILNDVL $QHPLD SDGD &LWUD 6HO 'DUDK 0HUDK´ PHQFRED PHODNXNDQ DQDOLVLV RWRPDWLV EHUGDVDUNDQ citra sel darah sebagai upaya untuk membantu mempermudah pemer iksaan laboratorium dalam mengidentifikasi A D B dengan biaya yang lebih murah dibanding alat analisa darah otomatis. Penelitian ini terdiri dari dua tahapan program. T ahap pertama, yaitu program untuk identifikasi anemia mik rositik hipok romik diawali dengan pengolahan citra digital (pre-processing, segmentasi dan operasi morphologi) untuk mendapatkan fitur area sel darah merah dan fitur area ak romia sentral sebagai masukan jaringan saraf tiruan (JST) model Perceptron. T ahap kedua, yaitu program deteksi sel darah berbentuk pensil/pipih untuk mengidentifikasi A D B. Program deteksi sel pensil diawali dengan pengolahan citra digital ( pre-processing, segmentasi dan operasi morphologi) untuk mencari nilai eksentrisitas sel darah yang digunakan sebagai masukan JST Perceptron. Nilai akurasi untuk identifikasi A D B dengan menggunakan JST Perceptron adalah sebesar 92.3%. Kata Kunci ² Jaringan syaraf tiruan, Perceptron, A nemia Defisiensi Besi (A D B), Pengolahan C itra. A bstract- I ron deficiency anemia (I D A) included in microcytic hypochromic anemia due to red blood cell has a size smaller than normal and has a hemoglobin (H b) lower than normal which arise due to reduced supply of iron for erythropoiesis (red blood cell maturation process). T he study entitled " Implementation of Neural Networ ks as a Tool to H elp Identify A nemia Using Image of Red Blood C ells " is trying to perform automatic image analysis of blood cells in an effort to facilitate laboratory tests in identifying I D A with a lower cost than the automated blood analyzer. T he study consisted of two phases of program. T he first program for identifying hypochromic microcytic anemia begins with image processing (pre-processing, segmentation and morphological operations) to get the red blood cell area features and the central ak romia area features as input for neural networ k (N N) models Perceptron. T he second program is a detection of pencil-shape blood cells for identifying I D A . Detection of pencil-shape blood cells begins with image processing (pre-SURFHVVLQJ VHJPHQWDWLRQ DQG PRUSKRORJLFDO RSHUDWLRQV WR ILQG WKH YDOXH RI EORRG FHOOVœV eccentricity that used as input for N N models Perceptron. T he accuracy for the identification of I D A using N N models Percept ron is equal to 92.3%. K eywords² Neural Networ ks, Perceptron, I ron Deficiency A nemia, image processing.

I.

PENDAHULUAN

Salah satu jenis anemia yang banyak dijumpai di negara-negara berkembang adalah anemia defisiensi besi (ADB). Anemia defisiensi besi (ADB) termasuk dalam anemia mikrositik hipokromik karena memiliki ukuran sel darah merah lebih kecil dari ukuran normal dan memiliki kadar Hemoglobin (Hb) lebih rendah dari normal [8]. Pemeriksaan laboratorium untuk tes deteksi anemia sebagian masih menggunakan perhitungan manual dan sebagian telah menggunakan alat analisa darah otomatis. Pemeriksaan laboratorium dengan perhitungan manual yaitu analisa CBC ( Complete Blood Cell) dilakukan oleh dokter atau teknisi laboratorium dengan melihat sampel darah di bawah mikroskop. Analisis yang dilakukan di bawah mikroskop membutuhkan waktu yang lebih lama dan konsentrasi yang lebih tinggi dalam menganalisa sel darah. Selain itu hasil analisa tidak memiliki bukti citra sehingga

tidak dapat dianalisis oleh banyak dokter. Sedangkan pemeriksaan laboratorium otomatis analisa darah dilakukan secara otomatis oleh alat (blood analyzer), sehingga prosesnya lebih cepat namun kelemahannya adalah harganya yang relatif mahal. Sebagai upaya otomatisasi dalam menganalisis sel darah telah dilakukan beberapa penelitian dengan menggunakan pengolahan digital dan jaringan saraf tiruan, diantaranya adalah Diaz Hartadi [7], Laila Madyo Aprilianti dan Koredianto Usman [2] menghitung jumlah sel darah merah tanpa mengarah pada klasifikasi suatu penyakit. Marlina Eva Riyanti [15] mendeteksi dan mengklasifikasi penyakit anemia hemolitik, anemia hemoglobinopati dan anemia defisiensi besi berdasarkan bentuk sel darah merah menggunakan pengolahan citra digital. Elly Warni [25] dan Zulkifli Tahir, dkk [21] membedakan citra sel darah normal dan abnormal menggunakan pengolahan citra digital dan jaringan saraf tiruan berdasarkan morfologi bentuk sel darah merah.

68


Beberapa penelitian tersebut menjadi dasar dilakukannya penelitian ini sebagai upaya untuk membantu mempermudah pemeriksaan laboratorium dalam mengidentifikasi anemia defisiensi besi dengan biaya yang lebih murah dibanding alat analisa darah otomatis. Penelitian ini terdiri dari dua tahapan program. Tahap pertama, yaitu program untuk identifikasi anemia mikrositik hipokromik diawali dengan pengolahan citra digital (preprocessing, segmentasi dan operasi morphologi) untuk mendapatkan fitur area sel darah merah dan fitur area akromia sentral sebagai masukan jaringan saraf tiruan (JST) model Perceptron. Tahap kedua, yaitu program deteksi sel darah berbentuk pensil/pipih untuk mengidentifikasi ADB. Program deteksi sel pensil diawali dengan pengolahan citra digital (pre-processing, segmentasi dan operasi morphologi) untuk mencari nilai eksentrisitas sel darah yang digunakan sebagai masukan JST Perceptron. II. DASAR TEORI A. Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi (ADB) adalah kondisi kurangnya sel darah merah dan hemoglobin akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis (pembentukan sel darah merah) [17]. Bentuk eritrosit yang biconcav menyebabkan hemoglobin terkumpul lebih banyak di bagian tepi sel. Oleh sebab itu, bagian tepi eritrosit kelihatan lebih merah (okisifilik) dari bagian sentralnya. Bagian sentral yang kelihatan lebih pucat disebut akromia sentral. Akromia sentral pada sel darah merah normal memiliki luas antara 1/3-1/2 kali diameter [21]. Akromia Sentral

B. Thresholding Proses threshold akan menghasilkan citra biner, yaitu citra yang memiliki dua nilai tingkat keabuan (hitam dan putih). Secara umum proses pengambangan citra warna atau citra grayscale untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut: [14] ͳǥ Ý‚áˆşâ€ŤÝ”â€ŹÇĄ â€ŤÝ•â€Źáˆť ŕľ’ Üś .... (2.1) Ýƒáˆşâ€ŤÝ”â€ŹÇĄ â€ŤÝ•â€Źáˆť ŕľŒ ŕľœ Ͳǥ Ý‚áˆşâ€ŤÝ”â€ŹÇĄ â€ŤÝ•â€Źáˆť ŕľ? Üś Dengan g(x,y) adalah citra biner dari citra warna atau citra grayscale f(x,y), dan T menyatakan nilai ambang (threshold). C. Operasi Morphologi Pengolahan citra morphologi adalah cara untuk mengekstraksi atau memodifikasi informasi tentang bentuk dan struktur objek di dalam gambar [5]. 1. Operasi Clear Border Clear border adalah aplikasi rekonstruksi morphologi untuk membersihkan border obyek ini digunakan untuk menghilangkan noise-noise kecil yang menyentuh border citra. [14]. 2. Operasi F illing Holes F illing holes ini digunakan untuk mengisi bagian tengah yang berlubang. Agar dapat mengisi lubang, titik di setiap lubang (holes), fm, diberi nilai 1 (untuk citra biner) disemua titik sampai mencapai tepi border, 1- f [6]. Íł ྆ Ý‚áˆşâ€ŤÝ”â€ŹÇĄ â€ŤÝ•â€Źáˆť Ý…Ý‚ áˆşâ€ŤÝ”â€ŹÇĄ â€ŤÝ•â€Źáˆť ÜžÝ â€Ť Ý‚ Ý…ÝŒÝ Ý? Ü˝Ý€Ü˝ÝŒ ܽ݀ܽݎ‏ Ý‚௠áˆşâ€ŤÝ”â€ŹÇĄ â€ŤÝ•â€Źáˆť ŕľŒ ቄ Ͳ ‍ݑÝ?Ý… ÝŠÝ…Ü˝ÝˆÝ Ý?‏ .... (2.2)

Akromia Sentral

Gambar 3 Proses filling holes pada citra [22] Gambar 1 Perbandingan luas akromia sentral pada sel darah normal dan sel darah hipokromik (kadar Hb rendah) ADB termasuk dalam anemia mikrositik hipokromik sehingga memiliki ukuran sel lebih kecil dari ukuran sel darah normal serta kadar hemoglobin yang lebih rendah dari kadar hemoglobin normal. Oleh karena itu akromia sentral sel darah merah ADB lebih lebar dibanding akromia sentral sel darah normal. Selain itu pada penderita ADB, umumnya memiliki beberapa sel darah merah yang berbentuk pensil atau disebut elliptocytes [3].

D. Perceptron Perceptron termasuk salah satu bentuk jaringan saraf yang sederhana. Perceptron biasanya digunakan untuk mengklasifikasikana suatu tipe pola tertentu yang sering dikenal dengan pemisahan secara linier [9]. Garis pemisah antar daerah positif dengan daerah nol memilki pertidaksamaan : .... (2.3) w1x1 +w2x2 E ! Č™ Garis pemisah antar daerah negatif dengan daerah nol memilki pertidaksamaan : .... (2.4) w1x1 +w2x2 + b < -Č™ x1

w1

x2

w2

xn

wn

Fungsi jumlah

Threshold/ bias

wm bobot

Gambar 2 Hapusan darah penderita ADB yang menunjukkan elliptocytes [3]

Fungsi aktivasi

1

Gambar 4 Perceptron sebagai kosep dasar jaringan saraf tiruan

69


Secara sistematis pemrosesan informasi pada Perceptron dirumuskan oleh persamaan fungsi jumlah dan persamaan fungsi aktivasi step bipolar:

y

B. Perancangan Program

n

xi w j T ÂŚ i 1

Íł ݆݅݇ܽ ‍ ̴݊݅ݕ‏ŕľ? ß Ü˝â€ŤÝ‘Ü˝Ý?‏ Ͳǥ ݆݅݇ܽ ྆ ß ŕľ‘ ‍ ̴݊݅ݕ‏ྑ ß Ý‚áˆşâ€ŤÝŠÝ…Ě´Ý•â€Źáˆť ŕľŒ ŕľ? ྆ͳǥ ݆݅݇ܽ ‍ ̴݊݅ݕ‏ŕľ? ŕľ†ß III. METODOLOGI A. Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dilakukan dengan mengcapture preparat hapusan darah menggunakan mikroskop digital yang langsung terhubung ke komputer/laptop. Sampel hapusan darah diperoleh melalui Laboratorium klinik Prodia dan data penelitian terdahulu, yaitu penelitian 0DUOLQD (YD 5L\DQWL \DQJ EHUMXGXO Âł Deteksi Dan Klasifikasi Penyakit Anemia (Defisiensi Besi, Hemolitik Dan Hemoglobinopati) Berdasarkan Struktur F isis Sel Darah Merah Menggunakan Pengolahan Citra Digital ´ Jumlah keseluruhan data sebanyak 68 citra, yang terdiri dari 38 citra sel darah merah penderita anemia mikrositik hipokromik dan 30 citra sel darah bukan penderita mikrositik hipokromik. Dari 38 citra sel darah merah penderita anemia mikrositik hipokromik tersebut terdapat 8 citra yang termasuk dalam sel darah penderita ADB. Masing-masing data tersebut kemudian di crop untuk mendapatkan 4 citra sel darah merah tunggal pada tiap data. Sehingga total data menjadi 272 citra, terdiri dari 152 citra sel darah penderita mikrositik hipokromik dan 120 citra sel darah bukan penderita anemia mikrositik hipokromik.

Gambar 5 Jumlah keseluruhan data

Gambar 6 Alur rancangan program C. Perhitungan Area Sel Darah Merah Tahap perhitungan area sel darah merah diawali dengan proses konversi citra grayscale menjadi citra biner thresholding. Proses thresholding menggunakan menyebabkan sel darah merah berlubang, oleh karena itu dilakukan proses filling holes untuk mengisi bentuk sel yang berlubang [11]. Setelah lubang terisi, kemudian dihitung jumlah seluruh piksel sel darah merah (piksel berwarna putih) untuk mendapatkan area sel darah merah. D. Perhitungan Area Akromia Sentral Tahap perhitungan area sel darah merah diawali dengan proses konversi citra grayscale menjadi citra biner menggunakan thresholding. Proses thresholding dapat membedakan area sel darah merah dengan area akromia sentralnya, namun area akromia sentral tidak dapat langsung dihitung karena memiliki warna yang sama dengan background. Fitur area akromia sentral didapatkan dengan menghitung jumlah piksel area cincin sel darah merah yang berwarna putih atau jumlah piksel sel darah merah sebelum dilakukan filling holes. Fitur area akromia sentral dapat diketahui dengan mengurangi area sel darah merah dengan area cincin. Area akromia sentral menunjukkan besarnya kadar hemoglobin dalam darah. E. Penenetuan Anemia Defisiensi Besi Fitur hasil pengolahan citra menjadi input untuk JST Perceptron. Citra sel darah merah tunggal akan diidentifikasi oleh jaringan saraf tiruan Perceptron menjadi kelompok sel darah penderita anemia mikrositik hipokromik dan sel darah bukan penderita anemia mikrositik hipokromik. Hasil identifikasi JST akan menunjukkan sel darah tidak menderita anemia defisiensi besi (bukan ADB) bila sel darah tersebut bukan merupakan anemia mikrositik

70


hipokromik. Hasil identifikasi yang menunjukkan sel darah pasien merupakan sel darah anemia mikrositik hipokromik, akan dilanjutkan dengan pencarian sel darah merah berbentuk pensil menggunakan JST Perceptron. Proses pencarian sel darah berbentuk pensil untuk identifikasi sel darah merah ADB dan bukan ADB dilakukan dengan mendeteksi sel darah berbentuk pensil pada citra sel darah merah sebelum proses croping. Pendeteksian sel berbentuk pensil diawali dengan thresholding untuk memisahkan (segmentasi) sel darah merah dengan background kemudian dilanjutkan dengan operasi morphologi clear border untuk menghilangkan noise dan operasi morphologi filling holes untuk mengisi lubang akibat proses thresholding. Proses pelabelan komponen digunakan untuk mencari nilai eksentrisitas masing-masing sel darah merah. Nilai eksentrisitas tersebut digunakan sebagai masukan JST Perceptron untuk mengidentifikasi anemia defisiensi besi (ADB). Keberadaan sel berbentuk pensil menunjukkan bahwa sel darah tersebut adalah sel darah penderita anemia defisiensi besi (ADB). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengolahan Data Citra digital preparat sel darah merah yang diperoleh dari hasil captrue di crop sehingga didapatkan citra sel darah merah tunggal. Citra sel darah tunggal di proses menggunakan pengolahan digital, meliputi: grayscale, segmentasi dan operasi morphologi untuk mendapatkan nilai fitur sebagai masukan JST Perceptron 1. Pre-Processing Pre-processing ini meliputi proses greyscale menggunakan MATLAB yang bertujuan untuk mengubah citra RGB menjadi citra yang memiliki derajat keabuan 0255.

Gambar 10 (a) Citra RGB, (b) Citra greyscale 2. Segmentasi Proses selanjutnya adalah citra disegmentasi untuk memisahkan sel darah merah dengan background citra. Segmentasi dilakukan dengan memberikan nilai ambang (threshold) tertentu sehingga menghasilkan citra biner, yaitu citra yang memiliki nilai 0 (hitam) dan 1 (putih).

Gambar 7 Hasil proses segmentasi 3. Operasi Morphologi Operasi morphologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah operasi clear border dan operasi filling holes. Operasi clear border diperlukan untuk menghilangkan citra yang tidak butuhkan yang menempel atau bersinggungan dengan border citra hasil proses croping. Contoh penggunaan clear border pada penelitian ini adalah seperti gambar 9

Gambar 8 (a) Hasil croping, (b) Hasil Segmentasi, (c) Hasil proses clear border Operasi morphologi selanjutnya adalah operasi filling holes. Operasi filling holes dibutuhkan untuk melakukan penghitungan ukuran atau area sel darah merah dan area akromia sentral.

Gambar 9 (a) Hasil segmentasi yang telah melalui proses clear border, (b) Hasil proses filling holes Proses filling holes dilanjutkan dengan perhitungan area sel darah merah dan area akromia sentral, yaitu dengan menghitung jumlah piksel warna putih. Area akromia sentral dapat diketahui dengan mengurangkan hasil perhitungan ukuran sel darah merah dengan jumlah piksel warna putih sebelum proses filling holes. B. Proses Identifikasi Anemia Mikrositik Hipokromik Fitur yang digunakan untuk pelatihan jaringan Perceptron dalam mengidentifikasi anemia mikrositik hipokromik adalah fitur area sel darah merah, fitur area akromia sentral dan perbandingan fitur ukuran sel darah merah dengan fitur area akromia sentral. 1. Pelatihan JST untuk Identifikasi Anemia Mikrositik Hipokromik Data yang digunakan pada proses pelatihan JST untuk identifikasi anemia mikrositik hipokromik sebanyak 180 data citra sel darah merah tunggal, yang terdiri dari 100 citra sel darah penderita mikrositik hipokromik dan 80 citra sel darah bukan penderita mikrositik hipokromik. Tabel 1 menunjukkan data hasil pelatihan jaringan Perceptron untuk identifikasi anemia mikrositik hipokromik. Tabel 1 Hasil pelatihan jaringan Perceptron Laju pembelajaran

Error

0.1 0.5 1

0.000001 0.0001 0.01

w1

w2

-19.5 260.5 -97.5 1302.5 -195 2605

w3

b

epoh

0.2537 1.2688 2.5376

0.4 2 4

17 17 17

Proses pelatihan menghasilkan nilai w1, w2, w3 dan b, masing-masing adalah bobot akhir dari fitur pertama, bobot akhir dari fitur kedua, bobot akhir dari fitur ketiga dan bobot akhir bias. Bobot-bobot akhir tersebut nantinya akan digunakan dalam proses pengujian. Akurasi proses pelatihan mencapai 100% 2. Pengujian JST untuk Identifikasi Anemia Mikrositik Hipokromik Data yang digunakan untuk proses pengujian sebanyak 92 data, terdiri dari 40 citra bukan penderita mikrositik hipokromik dan 52 citra bukan penderita mikrositik hipokromik.

71


Bobot fitur dan bobot bias yang digunakan dalam proses pengujian jaringan Perceptron ini adalah bobot akhir fitur dan bobot akhir bias yang diperoleh dari proses pelatihan atau pembelajaran. Hasil pengujian jaringan Perceptron untuk identifikasi anemia mikrositik hipokromik dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Hasil pengujian jaringan Perceptron Laju pembelajaran Error akurasi 0.1 0.01 92.3913% 0.5 0.0001 92.3913% 1 0.000001 92.3913% Proses pengujian menunjukkan bahwa dari 92 data yang diuji, terdapat 85 data yang benar dan 7 data yang salah, sehingga tingkat akurasi jaringan Perceptron adalah 92.3913%.

1C. PROSES IDENTIFIKASI ANEMIA DEFISIENSI

BESI (ADB) Proses identifikasi Anemia Defisiensi Besi (ADB) dilakukan dengan mendeteksi sel berbentuk pensil. Proses Cropping yang ini diawali dengan proses croping. dilakukan bukan untuk mencari sel darah tunggal melainkan hanya untuk menghilangkan lingkaran hitam hasil bayangan lensa mikroskop. Proses dilanjutkan dengan grayscale dan segmentasi. Segmentasi dilakukan dengan menggunakan threshold metode otsu pada toolbox matlab. Operasi morphologi clear border dibutuhkan untuk menghilangkan noise dan menghilangkan citra yang tidak perlu yang menempel pada border citra kemudian dilakukan filling holes untuk mengisi lubang yang ditimbulkan akibat proses segmentasi. Deteksi atau pencarian sel berbentuk pensil dilakukan dengan menggunakan JST Perceptron berdasarkan nilai eccentricity sel darah merah. Pencarian nilai eccentricity tiap sel darah merah membutuhkan operasi pelabelan komponen. Dengan pelabelan komponen ini ciriciri mendasar dari masing-masing sel darah merah dapat dihitung. Nilai eksentrisitas sel darah merah merah dapat diketahui dengan toolbox matlab berikut : properties = regionprops(labeledImage, 'eccentricity'); eccentricities = [props.Eccentricity]; Proses Deteksi sel darah merah berbentuk pensil dapat dilihat pada gambar 11 dan 12.

Gambar 11 Deteksi sel pensil pada sel darah ADB

Gambar 12 Deteksi sel pensil pada sel darah bukan ADB Data input merupakan data hasil crop, sedangkan data biner adalah data hasil proses grayscale yang

dilanjutkan dengan proses segmentasi, operasi clear border, operasi filling holes dan pelabelan komponen. Gambar 4.6 menunjukkan adanya sel darah merah yang berbentuk pensil sehingga dinyatakan sebagai sel darah penderita ADB, sedangkan pada gambar 4.7 tidak terdapat sel darah merah yang berbentuk pensil sehingga sel darah tidak dinyatakan sebagai sel darah penderita ADB (bukan ADB). 1. Pelatihan JST untuk Identifikasi Anemia Defisiensi Besi (ADB) Data yang digunakan pada proses pelatihan JST untuk proses deteksi sel pensil dalam mengidentifikasi anemia defisiensi besi (ADB) adalah 25 citra anemia mikrositik hipokromik sebelum proses croping, yang terdiri dari 5 citra ADB dan 20 citra bukan ADB. Data masukan untuk proses pelatihan deteksi sel pensil adalah nilai eccentricity sel darah merah. Tabel 3 menunjukkan data hasil pelatihan jaringan Perceptron untuk deteksi sel pensil dalam mengidentifikasi ADB. Tabel 3 Hasil pelatihan jaringan Perceptron Laju Error w b epoh pembelajaran 0.1 0.000001 0.10524 -0.1 3 0.5 0.0001 0.5262 -0.5 3 1 0.01 1.0524 -1 3 Bobot akhir dan bobot bias tersebut nantinya akan digunakan dalam proses pengujian. Proses pengujian dilakukan untuk mendapatkan tingkat akurasi dengan menguji kecocokan hasil identifikasi JST terhadap data target yang merupakan hasil diagnosa dari lab. 2. Pengujian JST untuk Identifikasi Anemia Defisiensi Besi (ADB) Proses pengujian jaringan Perceptron untuk proses deteksi sel pensil dalam mengidentifikasi anemia defisiensi besi (ADB) sama dengan proses pengujian data pelatihan, namun data yang digunakan pada proses pengujian jaringan Perceptron berbeda dengan data untuk pelatihan. Data yang digunakan untuk proses pengujian sebanyak 13 data, terdiri dari 3 citra sel darah penderita ADB dan 10 citra sel darah bukan penderita ADB Bobot dan bobot bias yang digunakan dalam proses pengujian jaringan Perceptron ini adalah bobot akhir dan bobot akhir bias yang diperoleh dari proses pelatihan. Hasil pengujian jaringan Perceptron untuk deteksi sel pensil dalam mengidentifikasi ADB dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Hasil pengujian jaringan Perceptron Laju pembelajaran Error akurasi 0.1 0.01 92.3077% 0.5 0.0001 92.3077% 1 0.000001 92.3077% Dari 13 citra anemia mikrositik hipokromik sebelum proses croping, didapatkan hasil pengujian bahwa hanya 1 data yang tidak sesuai dengan target hasil diagnosa dari lab. Sehingga hasil akurasi pendeteksian sel darah berbentuk pensil ini mencapai 92.3077%. V. KESIMPULAN Fitur area sel darah merah dan fitur area akromia sentral diketahui dengan menghitung jumlah piksel citra

72


yang berwarna putih. Fitur area sel darah merah dibandingkan dengan fitur area akromia sentral sehingga diperoleh nilai perbandingan fitur. Nilai fitur area sel darah, fitur area sentral dan perbandingan fitur digunakan sebagai masukan JST Perceptron utuk mengidentifikasi anemia mikrositik hipokromik. Selanjutnya dilakukan proses deteksi atau pencarian sel berbentuk pensil menggunakan JST Perceptron berdasarkan nilai eccentricity sel darah merah untuk mengidentifikasi ADB. Sel darah yang memiliki sel berbentuk pensil merupakan penderita anemia defisiensi besi (ADB). Nilai akurasi untuk identifikasi ADB mencapai 92.3%. JST Perceptron dapat diimplementasikan untuk mengidentifikasi ADB, namun karena akurasi program kurang dari 95% maka penelitian ini masih belum dapat diimplementasikan dalam bidang medis. Penambahan fitur serta penambahan jumlah data dibutuhkan dalam penelitian mendatang untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal. UCAPAN TERIMA KASIH Terima Kasih kepada Laboratorium dan Klinik Prodia, Marlina Eva Riyanti serta semua pihak yang turut membantu dalam penelitian ini.

[16] [17]

[18]

[19] [20] [21]

[22] [23]

[24]

DAFTAR PUSTAKA [1] Ahmad, Usman. 2005. Pengolahan Citra Digital dan Teknik Pemrogra mannya . Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. ISBN:979-756-072-6 [2] Aprilianti, Laila Madyo. Usman, Koredianto. Nugroho, Hertog. 2008. Perhitungan Sel Darah Merah berbasis Pengolahan Citra Digital . Prosiding Seminar Nasional IV UTY. Yogyakarta. [3] Bain, Barbara J. 2006. Blood Cells: a Practical Guide . 4th Edition. Blackwell Publishing, Inc. ISBN-13: 978-1-4051-4265-6. [4] Chen Wu, Ann. Lesperance, Leann. Bernstein, Henry. 2002. Article KHPDWRORJ\ ³6FUHHQLQJ IRU ,URQ 'HILFLHQF\´. Pediatrics in Review Vol.23 No.5 May 2002 . page 171-177. [5] Dougherty, Geoff. 2009. Digital Image Processing for Medical Applications. Published in the United States of America by Cambridge University Press, New York. ISBN-13 978-0-511-53343-3 [6] Gonzales, Rafael C. and Wood, Richard E. 2002. Digital Image Processing. Second edition. Upper Saddle River, New Jersey 07458: Prentice-Hall,Inc. ISBN : 0-201-18075-8 [7] Hartadi, Diaz dan Sumardi, R.Rizal Isnanto. 2004. S imulasi Perhitungan Sel Darah Merah. Transmisi, Vol.8 No.2 Hal.1-6. [8] Hove,L.Van,. Schisano,T,.Brace,L. 2000. Anemia Diagnosis, Classification, and Monitoring Using Cell-Dyn Technology Reviewed for the New Millennium. Laboratory Hematology 6:93-108. Carden Jennings Publishing Co. [9] Kusumadewi, Sri. 2004. Membagun Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab&Excel Link . Yogyakarta: Graha Ilmu. ISBN :979-3289-91-0 [10] McConnell, Thomas H. 2007. The Nature of Disease Pathology for the Health Professions. Philadelphia,PA. Lippincott Wiliams & Wilkins. ISBN-13: 978-0-7817-5317-3. [11] Pamungkas, Adi. 2012. Perhitungan Otomatis Jumlah Sel Darah Merah dan Identifikasi F ase Plasmodium F alciparum Menggunakan Operasi Morfologi . Skripsi Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Matematika. Universitas Diponegoro Semarang. Juli 2012 [12] Praida, Arthania Retno. 2008. Pengenalan Penyakit Darah Menggunakan Teknik Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan . Tugas Akhir Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia. [13] Prasetyo, Eko. 2011. Pengolahan Citra Digital dan Aplikasinya Menggunakan Matlab. Yogyakarta: ANDI. ISBN : 978-979-29-27030 [14] Putra, Darma. 2010. Pengolahan Citra Digital . Yogyakarta: ANDI. ISBN: 978-979-29-1443-6 [15] Riyanti, Marlina Eva. 2009. Deteksi Dan Klasifikasi Penyakit Anemia (Defisiensi Besi, Hemolitik Dan Hemoglobinopati) Berdasarkan

[25]

[26]

Struktur F isis Sel Darah Merah Menggunakan Pengolahan Citra Digital. Tugas Akhir Program Studi S1 Teknik Telekomunikasi, Institut Teknologi Telkom. Bandung Russ, John C. 2007. The Image Processing Handbook. 5thedition. United States of America: Taylor & Francis Group,LLC. ISBN 08493-7254-2 Sapp, J.Philip. Eversole, Lewis R. George P. Wysocki. 2008. Contemporary oral and maxillofacial pathology. Chapter 12: Diseases of Blood page 394-395. Mosby. University of Michigan. ISBN 0323017231, 9780323017237. Saraswati, Delima Ayu dan Setiawardhana. 2011. S istem Pendeteksian Bakteri dengan Histogram Citra Biner . Jurnal Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Vol. 14 No 2, Juli 2011. ISSN: 0852-4556 Siang, J. 2005. Jaringan Syaraf Tiruan & Pemrogramannya Menggunakan Matlab. 2nd edition. Yogyakarta: Penerbit Andi. Sumathi, S. Paneerselvam, Surekha. 2010. Computational intelligence paradigms: theory & applications using MATLAB . United States of America : Taylor & Francis Group, LLC. ISBN 978̻1̻4398̻0902̻0 Tahir, Zulkifli,dkk. 2012. Analisa Metode Radial Basis Function Jaringan Saraf Tiruan untuk Penentuan Morfologi Sel Darah Merah (Eritrosit) Berbasis Pengolahan Citra . Laboratorium Kecerdasan Buatan. Jurusan Teknik Elektro, Universitas Hasanuddin. Forum Pendidikan Tinggi Teknik Elektro Indonesia (FORTEI) 2012 Tcheslavski, Gleb V. 2009. Morphological Image Processing: Basic Algorithms. Spring 2009. http://ee.lamar.edu/gleb/dip/index.htm Usman, Koredianto. Perhitungan Sel Darah Merah Bertumpuk Berbasis Pengolahan Citra Digital dengan Operasi Morfologi. Seminar Nasional Informatika 2008. UPN Veteran. 24 Mei 2008. ISSN: 1979-2328 Uthman, Ed. 1998. Understanding Anemia . University Press of Mississippi. ISBN-10: 1578060389 ISBN-13: 9781578060382 Warni, Elly. 2008. Penentuan morfologi sel darah merah (eritrosit) Berbasis pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan. Jurnal Ilmiah ³(OHNWULNDO (QMLQLULQJ´ 8QLYHUVLWDV +DVDQXGGLQ 9ROXPH 07/No.03/Oktober-Desember/2009. Wu,Qiang. Merchant,Fatima A. Castleman, Kenneth R. 2008. Microscope Image Processing. www.books.elsevier.com. ISBN: 9780-12-372578-3

73


TICA 2013 ke-4 Analisis Dinamik dan Perancangan Sistem Pengarah Gerak pada Kereta Monorel Berbasis Model Benda Jamak The 4th TICA 2013!Dynamic Analysis and Motion Guidance System Design on Monorail Train with Multi-body Model Cahyono Iriawan1,a, Andi Isra Mahyuddin2,b

Departemen Teknik Mesin, Institut Teknologi Bandung, Bandung. aE-mail: cahyono.iriawan@gmail.com b E-mail: andiisra@yahoo.com A bstra k- K ebutuhan a kan moda transportasi massal dengan ketepatan waktu yang baik, aman dan nyaman, menjadi dasar pembangunan sistem monorel di Jakarta. K ereta monorel a kan menjadi transportasi umum sehingga harus diverifikasi sesuai standar yang berlaku. A nalisis dinamik, yang digunakan untuk verifikasi kenyamanan dan keamanan kereta monorel, dila kukan dengan simulasi berbasis computer yang memanfaatkan perangkat luna k. K ereta monorel dimodelkan sebagai sistem benda jama k dengan penurunan persamaan gera k berdasar kan metode Lagrange . T rek dan badan kereta diasumsikan ka ku dan model roda mengguna kan tipe F iala . Profil permukaan trek dibuat mengguna kan metode pendekatan kurva sinus dengan mengacu pada standar ISO 8608. K enyamanan penumpang kereta dievaluasi melalui standar ISO 2631, sedangkan verifikasi faktor keamanan kereta monorel meliputi analisis modus getar, analisis kesehatan petugas kereta dan analisis beban struktur. Dengan struktur trek yang ada, tidak ada frekuensi pribadi gera k sinergi yang berinterferensi antara sistem kereta dan trek. Ditinjau segi kenyamanan dan kesehatan, walau disimulasikan pada kondisi operasi ma ksimum, kualitas kereta monorel ini tergolong sangat baik. Permasalahan muncul pada analisis beban struktur yaitu ketika kereta monorel melaju pada belokan, a kan muncul gaya ter konsentrasi pada sebuah roda pengarah. Perancangan sistem pengarah gerak memungkinkan ter jadinya distribusi gaya pengarah yang baik.

Kata Kunci Âą Kereta monorel, metode Lagrange, tipe F iala , sistem pengarah gerak Abstract- T he extreme traffic jam in many cities, especially Jakarta, calls for a mass transportation system that is reliable, safe and comfortable. M onorail train will be a public transport, hence, the quality of train must be verified with the cur rent standard. Dynamic analysis which used for comfort and safety validation will be car ried out by computer-aided simulation. M ultibody modeling utilize L agrange method to derive the equation of motion. T hese equations are solved to obtain the dynamic characteristic of monor ail train. Monorail track and carbody assumed to be rigid, while the wheels are modeled as F iala type. T rack profile for simulation is constructed based on ISO 8606. 3DVVHQJHU FRPIRUW ZKLFK LV WKH PDLQ IDFWRU RI WUDLQÂśV YLEUDWLRQ TXDOLW\ EH HYDOXDWHG EHlow ISO 2631. T he safety in monorail train are including modal analysis, health criteria and structural strength analysis. W ith the cur rent track structure, no interferenced natural frequency between train and track is found. Result of simulation show that the designed bogie meet the comfort and safety criteria, even at the maximum operation. However, a large concentrated structural load occurs on the front guiding wheel during curving motion. T he design of motion guidance system has successfully distribute guide loads well. Keywords - Monorail train, Lagrange method, Fiala type, motion guidance system. I. PENDAHULUAN Untuk mendefinisikan karakteristik dari kendaraan, digunakan validasi eksperimental. Biaya dan waktu pengujian eksperimental yang tidak sedikit dan kadang menjadi beban manufaktur menyebabkan sebagian besar kendaraan yang memiliki sistem kompleks

menggunakan pengujian eksperimental berbasis simulasi komputer untuk memprediksi karakteristiknya. Salah satu kendaraan yang memiliki sistem yang kompleks adalah kereta monorel. Kereta monorel memiliki beberapa komponen berbeda dibanding kereta api. Kereta monorel memiliki sistem roda dan ban karet, yang memungkinkan perjalanan yang lebih nyaman. Sama dengan kereta api

74


pada umumnya, kereta monorel memiliki isu penting dalam hal dinamika geraknya, yang meliputi kualitas keamanan dan kenyamanan. Kualitas keamanan meliputi kekuatan struktur, resonansi frekuensi pribadi dan penurunan kesehatan akibat efek ekspos getaran. Untuk mendefinisikan kualitas keamanan dan kenyamanan, simulasi harus dilakukan pada kondisi kritis dengan laju kereta maksimum. Analisis kekuatan struktur akan difokuskan pada metode untuk menurunkan besar gaya terkonsentrasi pada roda pengarah, yang akan disolusikan oleh perancangan sistem pengarah gerak. II. MODEL BENDA JAMAK Model kereta monorel terdiri dari beberapa benda kaku dan elemen elastik. Model ini menggunakan referensi kerangka inersia[1] untuk mendefinisikan sistem koordinatnya, termasuk sistem koordinat tetap umum dan pribadi.

G ambar 3. Lokasi Pemasangan Pegas Udara

C. Batang Traksi (Traction Rod) Batang traksi dimodelkan menggunakan pegas linier pada arah longitudinal tanpa karakteristik peredaman. Kekakuan pegasnya, didapat dari sifat tarik baja, adalah 1.9 milyar N/m. Seperti pada gambar 4, setiap gerbong memiliki dua buah batang traksi.

G ambar 4. Lokasi Pemasangan Batang Traksi G ambar 1. Model Benda Jamak Kereta Monorel

A. Badan Kereta ( Carbody) Badan kereta monorel dimodelkan sebagai benda kaku dengan 6 derajat kebebasan, seperti pada gambar 2. Massa badan kereta pada kondisi kosong adalah 9739 kg dan pada kondisi penuh adalah 25325 kg.

D. Peredam Lateral (Lateral Damper) Peredam lateral dimodelkan menggunakan peredam linier pada arah lateral. Nilai koefisien peredamannya adalah 40 kN.s/m. Seperti pada gambar 5, setiap gerbong memiliki empat buah peredam lateral.

G ambar 5. Lokasi Pemasangan Peredam Lateral

Penghenti Benturan Lateral ( Lateral Bumpstop) Penghenti benturan lateral dimodelkan menggunakan gaya kontak antara titik dan bidang. Bidang memodelkan permukaan bogie dan beberapa titik diletakkan pada permukaan badan kereta. Ketika salah satu titik menembus bidang, maka akan muncul gaya viskos elastic dengan konstanta kekakuan pegas sebesar 4000 kN/ dan koefisien peredaman sebesar 4000 N.s/m. Jarak awal/celah antara bidang dan titik adalah 0.02 meter. Setiap gerbong memiliki 4 penghenti benturan lateral. E.

G ambar 2. Benda kaku dengan 6 derajat kebebasan [1]

Pegas Udara ( Air Spring) Pegas udara dimodelkan menggunakan model Nishimura[2] untuk arah vertikal dan pegas linier untuk arah lateral. Nilai kekakuan pegas ekivalen pada arah vertikal dan lateralnya adalah 200 kN/m and 170 kN/m. Nilai peredaman pegas arah vertikal adalah 13 kN.s/m. Seperti pada gambar 3, setiap gerbong (badan kereta) memiliki 4 pegas udara.

B.

Rangka Bogie ( Bogie F ra me ) Rangka bogie dimodelkan sebagai benda kaku dengan 6 derajat kebebasan. Setiap gerbong memiliki 2 buah rangka bogie. Massa rangka bogie adalah 4935 kg. F.

75


G.

Ban Dan Roda ( Tire and Wheel ) Ban dan roda dimodelkan dengan model F iala [3].

menggunakan formula Lagrange dengan metode Park sebagai solusi persamaannya. Simulasi ini menggunakan metode Lagrange untuk menurunkan persamaan gerak. (1) ௜ ሺ‫ݍ‬ǡ ‫ݐ‬ሻǤ ‫ݍ‬ሷ ൌ ࢌ௜ ሺ‫ݍ‬ǡ ‫ݍ‬ሶ ǡ ‫ݐ‬ሻ + ۱ ௜ ሺ‫ݍ‬ǡ ‫ݐ‬ሻǤ ࣅ ࢎሺࢗǡ ‫ݐ‬ሻ ൌ Ͳ (2) డࢎ ௜୘ (3) ۱ ൌ ౐ డ௤

G ambar 6. Struktur Model F iala[3]

i.

Simulasi ini menggunakan metode Park untuk menjadi solusi numerik. ௣ (4) ‫ݍ‬௜ାଵ ൌ Ͷ‫ݍ‬௜ െ ͸‫ݍ‬௜ିଵ ൅ Ͷ‫ݍ‬௜ିଶ െ ‫ݍ‬௜ିଷ

Roda Penggerak ( Driving Wheel ) Setiap bogie memiliki 4 buah roda penggerak.

‫ݒ‬௜ାଵ ൌ ‫ݒ‬௜ାଵ ൅

ii. Roda Pengarah ( Guide Wheel ) Setiap bogie memiliki 4 buah roda pengarah.

௣ ܽ௜ାଵ

iii. Roda Penyeimbang (Stabilizing Wheel ) Setiap bogie memiliki 2 buah roda penyeimbang.

Unloaded tire radius Vertical stiffness constant Lateral stiffness constant Critical da mping ratio Static coefficient of friction Dyna mic coefficient of friction Longitudinal creep stiffness Cornering stiffness Toroidal tire radius Average tire deflection Average tire load

Ն ఋ௤೔శభ

(5)

൅ మ (6) ܽ௜ାଵ ൌ Ն Simulasi dinamik akan menggunakan trek lurus, sedangkan simulasi linier akan digunakan untuk menghitung frekuensi pribadi dari sistem kereta monorel. Simulasi Dinamik ( Dyna mic S imulation) Simulasi ini akan menggunakan laju operasi maksimum pada trek lurus yaitu 80 km/jam. Kondisi kereta dalam keadaan tanpa penumpang. A.

T abel 1. Parameter Roda dan Ban

Parameter Roda dan Ban

ఋ௤೔శభ

G. i

G. ii & iii

0,45

0,26

1.000.000

325.000

500.000

100.000

0,75

0,75

1

1

0,8

0,8

100.000

100.000

100.000

55.000

0,15

0,132

0,028

0,01

32

3,3

Trek Monorel ( Monorail Track ) Trek monorel diasumsikan kaku sehingga geometri makro dan mikronya digunakan sebagai sumber eksitasi kereta monorel. Geometri makro meliputi gradien, superelevasi dan kurva belok, sedangkan geometri mikro meliputi ketidakteraturan permukaan. Ketidakteraturan permukaan dipakai dengan panduan ISO 8608 : 1995 di kelas A, seperti yang terlihat pada gambar 7.!! Trek monorel terdiri atas 5 ketidakteraturan permukaan yang berbeda. Ketidakteraturan tersebut dibuat dengan metode aproksimasi sinusoidal menggunakan 2000 gelombang sinus dengan sudut fasa acak.

G ambar 13. Pecepatan vertikal pada bogie depan; RMS = 0.241 m/s2

H.

G ambar 14. Pecepatan vertikal pada bogie belakang; RMS = 0.272 m/s2

G ambar 15. Pecepatan lateral pada bogie depan; RMS = 0.076 m/s2

G ambar 8. Ketidakteraturan Untuk Roda Penggerak

III. SIMULASI DAN DATA Pogorelov[6] mendeskripsikan persamaan diferensial aljabar untuk dinamika benda jamak

G ambar 16. Pecepatan lateral pada bogie belakang; RMS = 0.082 m/s2

76


Simulasi Linier ( Linear S imulation) Simulasi linier digunakan untuk mengkalkulasi nilai frekuensi pribadi tiap mode getaran pada benda kaku di kereta monorel.

B.

T abel 2. 10 mode pertama frekuensi pribadi kereta monorel

Moda

F rekuensi (H z)

Swaying (Carbody)

1.593

G ambar 21. Kurva Pembobotan Vertikal dan Lateral [8] [9]

Bouncing (Carbody)

1.348

Rolling (Carbody)

0.823

Pitching (Carbody)

1.561

Didapat nilai percepatan RMS yang telah dibobotkan untuk arah vertikal adalah 0.2595 m/s2 dan untuk arah lateral adalah 0.0375 m/s2.

Yawing (Carbody)

1.765

Pitching (Bogie)

0.676

Yawing (Rear Bogie)

4.159

Bouncing (Bogie)

4.217

Yawing (F ront Bogie)

4.535

Rolling (F ront Bogie)

4.593

Rolling(Rear Bogie)

4.719

T abel 3. 10 mode pertama frekuensi pribadi trek monorel[7]

IV. PENGOLAHAN DATA Mengacu pada ISO 2631-1:1997 [8] dan ISO 2631-4:2003[9], data getaran dari kendaraan jalur tetap harus dievaluasi menggunakan beberapa metode, yang paling umum adalah metode total RMS.Namun metode ini tidak cocok untuk kondisi getaran transien, sehingga harus diuji menggunakan faktor crest[8], yang memiliki batas atas 9. ௔ ݂ܽ݇‫ ݐݏ݁ݎܿ ݎ݋ݐ‬ൌ ೢǡ೘ (7) ௔ೢǡೝ೘ೞ

Pada kereta monorel ini, faktor crest untuk arah vertikal adalah 3.5 dan untuk arah lateral adalah 7.4. Karena nilai faktor crest untuk kedua arah dibawah 9, makan metode total RMS dapat digunakan. Menggunakan faktor pembobot untuk arah vertikal (Wb) dan lateral (Wd),!!

A.

Panduan Kesehatan Seperti yang diatur oleh ISO 2631, kesehatan tubuh manusia umumnya akan menurun apabila diekspos oleh getaran pada jangka waktu tertentu. భ

ܽ௩௛ ୀ ሺ݇௫௢ ଶ Ǥ ܽ௪௫ ଶ ൅ ݇௬௢ ଶ Ǥ ܽ௪௬ ଶ ൅ ݇௭௢ ଶ Ǥ ܽ௪௭ ଶ ሻమ (8) Untuk meningkatkan akurasi model, seperti yang diukur oleh Funakoshi,et.al.[10] pada kendaraan roda empat, percepatan RMS pada arah lateral dan longitudinal memiliki nilai yang cukup dekat, sehingga pada perhitungan ini diasumsikan percepatan longitudinal dan lateral memiliki nilai yang sama Menggunakan pengkali arah lateral,longitudinal dan vertikal berturut-turut, ݇௬௢ ൌ ݇௫௢ ൌ ͳǤͶ dan ݇௭௢ ൌ ͳ, didapatkan percepatan total untuk panduan kesehatan adalah 0.2699 m/s2.

G ambar 22. Kurva standar kesehatan terhadap ekspos getaran dari ISO 2631 [8]

Titik merah menunjukkan perpotongan dari kurva standar kesehatan[8] dengan percepatan total untuk panduan kesehatan pada kereta monorel. Dari perpotongan ini dapat diketahui durasi maksimum ekspos getaran untuk petugas kereta monorel adalah 20.6 jam. B.

Panduan Kenyamanan Sepeti yang diatur oleh ISO 2631, ada beberapa tingkat kualitas kenyamanan terhadap getaran. భ

ܽ௩௖ ୀ ሺ݇௫௢ ଶ Ǥ ܽ௪௫ ଶ ൅ ݇௬௢ ଶ Ǥ ܽ௪௬ ଶ ൅ ݇௭௢ ଶ Ǥ ܽ௪௭ ଶ ሻమ (9) Sepeti pada panduan kesehatan, menggunakan pengkali arah lateral,longitudinal dan vertikal berturutturut, ݇௬௢ ൌ ݇௫௢ ݇௭௢ ൌ ͳ, didapatkan percepatan total untuk panduan kenyamanan adalah 0.2649 m/s2.

77


G ambar 23. Zona standar kenyamanan terhadap ekspos getaran dari ISO 2631 [8]

Garis merah menunjukkan tingkat kenyamanan dari kereta monorel pada simulasi ini yang dikategorikan nyaman, dimana merupakan zona terbaik dari ISO 2631. V. SISTEM PENGARAH GERAK A.

Latar Belakang Salah satu masalah struktur pada kereta monorel adalah gaya pengarah.

G ambar 26. Dimensi Utama Sistem Pengarah Gerak

B. i.

Model Komponen Batang Setir Batang setir dimodelkan menggunakan pegas linier tanpa peredam yang memiliki konstanta pegas sebesar 20 juta N/m, dimana setiap bogie yang dipasang sistem pengarah gerak memiliki empat buah batang setir. ii.

Lengan Setir Lengan setir dimodelkan menggunakan benda kaku dengan satu derajat kebebasan yaitu arah rotasi vertikal terhadap rangka bogie. Setiap bogie yang dipasang sistem pengarah gerak memiliki dua buah lengan setir. C.

G ambar 24. Gaya dan Torsi pada Kereta Monorel

Seperti yang disimulasikan oleh Goda, et.al.[11], gaya pengarah pada bogie depan lebih besar dibandingkan bogie belakang. Di sisi lain, kereta monorel memiliki struktur vertikal yang mirip dengan bis roda empat, yang hanya memiliki perbedaan pada roda pengarah dan penyeimbang. Bis tidak memiliki roda pengarah karena bis memiliki sistem setir. Mengadaptasi sistem setir bis dan geometri trek yang melengkung, dirancang sebuah sistem pengarah gerak. Prinsip kerja sistem pengarah gerak ini adalah mengubah secara langsung gaya yang diterima roda pengarah menjadi torsi penyelarasan pribadi yang menyebabkan munculnya sudut setir atau sudut slip pada roda penggerak.

Simulasi Dan Verifikasi Simulasi ini menggunakan radius terkecil yang dilalui kereta monorel saat masuk ke zona depot, yaitu 40 meter dengan laju maksimum 10 km/jam dan superelevasi sebesar 4%. Kondisi kereta dalam keadaan kosong.

G ambar 27 . Gaya Pengarah Tanpa Sistem Pengarah Gerak; Gaya maksimum = 24 kN

G ambar 28 . Gaya Pengarah Dengan Sistem Pengarah Gerak; Gaya maksimum = 9.5 kN

Melakukan evaluasi efek dari pemasangan sistem pengarah gerak terhadap momen penyelarasan pribadi[12].

G ambar 25. Skema Setengah Bagian Sistem Pengarah Gerak

Konfigurasi ini memungkinkan roda pengarah hanya memutar roda penggerak saja, tanpa memutar rangka bogie. Sistem pengarah gerak ini hanya dipasang pada kedua ujung bogie terluar dari sistem kereta monorel.

Gambar 29. Momen Penyelarasan Pribadi (SA T) T anpa Sistem Pengarah Gerak; Momen min. and maks.= 700 N.m dan -1,200 N.m

78


C.

G ambar 30. Momen Penyelarasan Pribadi (SAT) Dengan Sistem Pengarah Gerak; Momen min. and maks. = 800 N.m dan -800 N.m

Parameter penting lain yang harus dicek dari simulasi ini adalah sudut setir[12]. Berdasarkan persamaan 10, dengan jarak lateral antar roda sebesar 0.4 meter, jarak longitudinal antar roda sebesar 1.6 meter dan radius putar sebesar 40 meter, ௟ ௟ ! (10)! ܴ௧ ൌ ೟ೢ ൅ ೢ್ ! ଶ

௦௜௡ఏೞ

Didapatkan sudut setir sebesar 2.3 derajat

Sistem Pengarah Gerak Data simulasi pada beberapa parameter kerja menunjukkan bahwa sistem pengarah gerak secara efektif menurunkan dan mendistrinusikan gaya pengarah pada seluruh roda pengarah. Momen penyelerasan pribadi pada roda penggerak-pun terdistibusi merata dan seimbang antara nilai maksimum dan minimum. Parameter lain yaitu sudut setir/sudut slip, ternyata memiliki nilai yang cukup dekat antara hasil analitik dengan simulasi. Data simulasi menunjukkan nilai 2.3 derajat dan hasil analitik menunjukkan nilai 2.9 derajat. Perbedaan nilai tersebut tidak terlalu signifikan, disebabkan adanya perbedaan metode dan beberapa asumsi dalam pehitungan. VII. KESIMPULAN x Kereta monorel dengan spesifikasi ini dikategorikan ³1\DPDQ´ \DLWX ]RQD NHQ\DPDQDQ WHUEDLN GDQ WLGDN membahayakan kesehatan petugas kereta yang diatur oleh standar ISO 2631. x Kemungkinan adanya resonansi frekuensi pribadi pada gerakan sinergis tergolong rendah. x Sistem pengarah gerak secara efektif menurunkan gaya pengarah yang terkonsentrasi dan mendistribusikannya pada roda pengarah lain. UCAPAN TERIMA KASIH

G ambar 31. Sudut Setir Dengan Sistem Pengarah Gerak Besar sudut min. and maks. = 2.9 derajat .

VI. ANALISIS A.

Panduan Kesehatan Dan Kenyamanan Mengacu pada gambar 22, jam kerja maksimum untuk seorang petugas kereta monorel adalah 20.6 jam. Dengan mengasumsikan ada dua pergantian petugas sehari dengan waktu operasi 24 jam, maka setiap petugas kereta mendapat waktu 12 jam kerja. Menurut penduan kesehatan[8], untuk percepatan RMS yang ada dan waktu ekspos sebesar 12 jam, kereta monorel ini dikategorikan aman terhadap penurunan kesehatan. Dengan panduan kenyamanan[8] yang ada, kereta monorel ini dikategorikan dalam zona terbaik yaitu nyaman. Modus Getar ( Modal Analysis) Analisis modus getar berfokus pada terjadinya resonansi antara gerakan sinergis dari kereta monorel dengan trek. Analisis modus getar dimasukkan dalam analisis dinamik karena kemunculan resonansi antara kereta monorel dengan trek monorel sangat berbahaya. Gerakan sinergis yang akan dievaluasi meliputi arah vertikal an lateral. Menggunakan simulasi linier oleh Lee, et.al.[7], frekuensi lentur vertikal pertama adalah 2.993 Hz dan frekuensi lentur lateral pertama adalah 1.797 hz. Dibandingkan dengan frekuensi gerak vertikal dan lateral kereta monorel secara berturut-turut yaitu 1.348 Hz dan 1.593 Hz, resonansi antara lentur vertikal trek dan gerak vertikal kereta cukup rendah, begitu pula dengan lentur lateral trek dan gerak lateral kereta.

B.

Puji syukur pada Tuhan Yesus atas rahmat-Nya, terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Prof.Dr.Ir. Andi Isra Mahyuddin sebagai dosen pembimbing, Prof. Pogorelov sebagai pengembang perangkat lunak dan seluruh jajaran staf Industri Kereta Api Indonesia. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

[8] [9]

[10] [11] [12]

Shabana, A. A. Dyna mics of Multibody Systems, 3 rd edition. John Willey & Son. 2005. Presthus, M. Deriviation of Air Spring Model Para meters for Train S i mulation. Lulea University of Technology. 2002:059. Wong, J.Y. Theory of Ground Vehicles. 4th Edition. Wiley. 2008 ISO 8608. Mechanical Vibration ± Road Surface ProfilesReporting of Measured Data . ISO, 1995. Rill, G. Vehicle dyna mics. University of Applied Sciences. 2006 Pogorelov, D. Differential-algebraic Equations in Multibody System Modelling. Bryansk State Technical University. Bryansk, Russia. 1998 Lee, C.H.,Kim, C.W., Kawatani, M.,Nishimura, N., Kamizono, T. Dyna mic Response Analysis of Monorail Bridges under Moving Trains and Riding Comfort of Trains . Engineering Structures, 27(14): 1999-2003. 2005-12. ISO 2631-1. Evaluation of human exposure to whole-body vibration ± Part 1 : General requirements. 1997. ISO 2631-4. Evaluation of Human Exposure to Whole-body Vibration ± Part 4 : Guidelines for the evaluation of the effects of vibration and rotational motion on passenger and crew comfort in fixed-guideway transport systems. 2001. Funakoshi, M., Taoda, K., Tsujimura, H., Nishiyama, K. Measurement of Whole-body Vibration in Taxi Driver s. Journal of Occupational Health, 46: 119-124. 2004. Goda, K., Nishigaito, T., Hiraishi, M., Iwasaki, K. A Curving S i mulation for a Monorail Car . Mechanical Engineering Research Laboratory, Hitachi, Ltd. 2003. Smith, N.D. Understanding Para meters Influencing Tire Modelling. 2004. Formula SAE Platform.2003.

!

79


PENGARUH SETTING TEMPERATUR TERHADAP KINERJA AC SPLIT Putri Hidayati*

1,

2

Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung. aEmail: polban@polban.ac.id, Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung. bEmail: cwachjoe@windowslive.com

Abstrak- Salah satu upaya dalam meningkatkan kinerja sistem dan menurunkan konsumsi energi adalah dengan melalui kegiatan konservasi energi. Konservasi energi dapat dilakukan pada sistem pengkondisian udara, sistem kelistrikan dan sistem termal. Salah satu bentuk kegiatan konservasi energi pada sistem pengkondisian udara adalah melalui setting temperatur ruang. Pada penilitian ini, kapasitas AC yang digunakan adalah tiga kapasitas yaitu, 1 PK, 1,5 PK dan 2 PK. Metode pengkajian kinerja Air Conditioning (AC) meliputi perhitungan detail COP (Coeficient of Performance) dan efek refrigerasi yang ditinjau dari fluida eksternal yaitu udara. Hasil penilitian bahwa, terdapat hubungan linear antara temperatur setting dengan konsumsi energi, efek refrigerasi dan COP. Penurunan temperatur setting dari 25 oC ke 17 oC menyebabkan penurunan konsumsi energi secara linear, peningkatan efek refrigerasi dan peningkatan COP secara linear. Pada kapasitas AC 1 PK diperoleh penurunan konsumsi energi dari setting temperatur 25 oC ke 17 oC sebesar 37,13 %, kenaikan efek refrigerasi sebesar 9,34% dan kenaikan COP sebesar 38,14%. Untuk kapasitas AC 1,5 PK diperoleh penurunan konsumsi energi sebesar 38,59%, kenaikan efek refrigerasi sebesar 7,72% dan kenaikan COP sebesar 43,26%. Dan untuk kapasitas AC 2 PK diperoleh penurunan konsumsi energi sebesar 42,78%, kenaikan efek refrigerasi sebesar 9,65% dan kenaikan COP sebesar 43,2%. Kata Kunci— Konservasi energi, COP, Efek refrigerasi, Temperatur setting, Konsumsi energi Abstract- An effort to improve performance system and reduce energy consumption is through energy conservation. Energy conservation can be done in air conditioning systems, electrical systems and thermal systems. One form of energy conservation on the air conditioning system is through the setting of room temperature. On this research, the capacity of the air conditioning is used is the three capacities, 1 PK, PK 1.5 PK and 2PK. Method of assessment of Air Conditioning performance is details calculation of COP (Coeficient of Performance) and refrigeration effect in term of external fluid (air). Results of that study, there is a linear relationship between settings temperature to energy consumption, the effect of refrigeration and COP. Lowering of setting temperature from 25oC to 17 oC, decrease of consumption energy linearly, increase the refrigeration effect and increase the COP linearly. On 1 PK capacity of Air Conditioning from setting temperature 25 oC to 17 oC is obtained 37,13% decreasing of energy consumption, increasing of refrigeration effect as big as 9,34% and increasing COP is 38,14%. For 1,5 PK capacity of Air Conditioning is obtained 38,59% decreasing of energy consumption, increasing of refrigeration effect as big as 7,72% and increasing COP is 43,26%. And for 2 PK capacity of Air Conditioning is obtained 42,78% decreasing of energy consumption, increasing of refrigeration effect as big as 9,65% and increasing COP is 43,2%. Keywords— Energy Conservation, COP, Refrigeration effect, Setting temperature, Energy consumption.

I. PENDAHULUAN Pada Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa pengguna sumber energi dan pengguna energi yang menggunakan sumber energi dan/atau energi lebih besar atau sama dengan 6.000 (enam ribu) setara ton minyak per tahun wajib melakukan konservasi energi melalui manajemen energi. Mengingat bahwa, Indonesia terletak di daerah tropis sehingga AC (Air Conditioning) adalah salah satu mesin konversi yang masih luas penggunaanya terutama pada gedung-gedung publik dan komersial. Diketahui bahwa konsumsi energi untuk sistem pengkondisian udara pada bangunan publik maupun bangunan komersial mencapai 66% dari total konsumsi energi [8]. Menanggapi hal tersebut, adanya peraturan pemeritah untuk sistem tata udara yaitu Peraturan Menteri ESDM No.14 Tahun 2012 Bab III tentang pelaksanaan penghematan energi, bahwa suhu ruang kerja diatur antara 24oC hingga 27oC dengan kelembaban relatif antara 55% hingga 65%.[7]. Secara tidak langsung dapat diketahui bahwa ada keterkaitan antara setting temperatur AC terhadap konsumsi energi, efek refrigerasi dan kinerja AC.

Perkembangan teknologi sistem pengkondisian udara, range setting temperatur AC berkisar antara 16 oC hingga 30 o C, hal tersebut membuktikan bahwa range temperatur AC dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan tingkat kenyamanan manusia. Range temperatur sedemikian rupa memiliki dampak terhadap kinerja sistem pengkondisian udara. Apalagi jika ditinjau dari kapasitas AC yang berbeda sesuai kebutuhan pendinginanya. II. METODOLOGI Setting temperatur berpengaruh terhadap kinerja sistem pengkondisian udara, pada penilitian sebelumnya terjadi penurunan COP sebesar 35 % sebagai akibat perubahan temperatur inlet udara evaporator. temperatur udara masuk evaporator sangat berpengaruh pada temperatur evaporasi dan kapasitas pendinginan (Qev) Elsayed et.al. [3] Metodologi pembahasan studi eksperimen mengenai pengaruh efek temperatur ruang terhadap kinerja sistem pengkondisian udara mengikuti proses siklus kompresi uap. Siklus kompresi uap memanfaatkan fluida bertekanan tinggi

80


pada suhu tertentu, fluida bertekanan tinggi jika dibiarkan mengembang akan menjadi lebih dingin. 2.1 Siklus Kompresi Uap Siklus refrigerasi kompresi-uap merupakan kebalikan siklus Carnot, di mana fluida kerja yaitu refigeran harus menguap seluruhnya sebelum dikompresi pada kompresor.[2]. Gambar untuk sistem kompresi uap diperlihatkan pada Gambar 1.

h4

= Entalpi refrigerant masuk evaporator, (kJ/kg)

Dalam mengevaluasi kinerja sistem, ada dua faktor yang dipertimbangkan yaitu, efek refrigerasi atau kapasitas pendinginan yang ditinjau dari fluida eksternal yaitu udara dan konsumsi energi listrik [5]. Besarnya efek refrigerasi tergantung pada temperatur ruang, temperatur ambien dan kelembapan. Efek refrigerasi dalam sistem refrigerasi berasal dari hukum termodinamika pertama dimana energi kinetik dan energi potensial diabaikan [5]. Besarnya efek refrigerasi dihitungan menggunakan persamaan (4): ER =

– hu in)

(4)

Persamaan (4) adalah ER = Efek Refrigerasi (kJ/kg) = Laju aliran massa udara yang disirkulasikan (kg/s) hu out = Entalpi udara pada temperatur dan kelembaban ambien (kJ/kg) hu in = Entalpi udara pada temperatur dan kelembaban masuk evaporator (kJ/kg)

Gambar 1. Skema siklus kompresi uap

Proses-proses yang terjadi dalam sistem kompresi uap antara lain: proses 1-2: Uap jenuh dari evaporator masuk menuju kompresor dimana tekanannya dinaikkan. Suhu juga akan meningkat, sebab sebagian energi yang menuju proses kompresi dipindahkan ke refrigeran. proses 2-3 : Superheated gas bertekanan tinggi dari kompresor menuju kondensor. Pada tahap ini refrigeran bertekanan dan bersuhu tinggi dikondensasikan. Proses kondensasi pada tahap ini biasanya menggunakan udara atau air. proses 3-4 : saturated liquid yang sudah dikondensasi dan bertekanan tinggi melewati peralatan ekspansi, dimana akan terjadi penurunan tekanan dan pengendalian laju aliran refrigeran menuju tahap 4-1. proses 4’-1 : refrigeran cair dari proses ekspansi dalam evaporator akan menyerap panas dari lingkungan, biasanya udara atau air. Selama proses ini cairan merubah bentuknya dari cair menjadi gas. Prestasi Air Conditioning dinyatakan dalam COP (Coefisient of Performance). [2]. Besarnya COP pada sistem kompresi uap dinyatakan dalam persamaan-persamaan berikut: COPR=

(1)

Qev = h1 – h4

(2)

QC = h2 – h1

(3)

Untuk konsumsi energi input diperoleh berdasarkan pada bagian outdoor, yaitu kompresor. Besarnya konsumsi energi input dapat dihitung menggunakan persamaan (5): (5) Persamaan (5) adalah Win = Daya input pada kompresor (kW) V = Tegangan input pada sisi kompresor (Volt) I = Arus pada sisi kompresor (A) = Besarnya faktor daya yang dihasilkan pada sisi kompresor. Dari persamaan (4) dan persamaan (5) diperoleh besarnya COP sebagai berikut: COPR =

(6)

Secara matematis besarnya nilai persamaan (6) sesuai dengan persamaan (1). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Data dari hasil pengukuran utama yaitu temperatur dan kelembaban baik temperatur dan kelembapan ruang maupun ambien yang di plot pada software CAT-T3 (Computer Aided- Thermodynamic) sehingga diperoleh entalpi udara. Parameter-parameter data hasil kajian dan pengukuran ditunjukkan sebagai berikut:

Persamaan (1), (2) dan (3) adalah COPR = Coefisiensi performance sistem refrigerasi Qev = Efek pendinginan yang terjadi dievaporator (kJ/kg) Qc = Besarnya proses komresi pada kompresor (kJ/kg) h1 = Entalpi refrigeran masukan kompresor, (kJ/kg)

81


Gambar 4. Hubungan setting temperatur terhadap konsumsi energy

Gambar 2. Hubungan setting temperatur terhadap COP

Gambar 2 menunjukkan bahwa COP yang dihasilkan turun secara linear dengan peningkatan temperatur setting. Pada AC 1 PK diperoleh COP terendah pada setting 25 oC sebesar 1,93 dan tertinggi pada setting 17 oC sebesar 3,12 dan diperoleh kenaikan COP sebesar 38,14%. Untuk AC 1,5 PK COP tertinggi pada setting temperatur 17 oC sebesar 3,49 dan terendah pada setting 25 oC sebesar 1,98, diperoleh kenaikan COP sebesar 43,26%. Hal yang sama dengan AC 2 PK, COP terendah sebesar 2,01 pada setting 25 oC dan tertinggi sebesar 3,53 pada setting 17 oC, diperoleh kenaikan COP sebesar 43,2%. Sebagai akibat penurunan temperatur setting, efek refrigerasi mengalami kenaikan sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 4 menunjukkan dampak bahwa dengan kenaikan temperatur setting terjadi kenaikan konsumsi energi, Pada AC 1 PK diperoleh penurunan konsumsi sebesar 42,78%, Untuk AC 1,5 PK sebesar 38,59% dan AC 2 PK sebesar 37,13 %. Sebagai dampak peningkatan konsumsi energi akibat dari peningkatan temperatur setting maka biaya operasi semakin meningkat, hal ini diperlihatkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan temperatur setting terhadap biaya operasi

Gambar 3. Hubungan setting temperatur terhadap efek refrigerasi

Gambar 3 menunjukkan bahwa efek refrigerasi naik secara linear dengan penurunan temperatur setting. Dengan penurunan temperatur setting diperoleh kenaikan efek refrigerasi sebesar 9,34% untuk AC 1 PK, 7,72 % untuk AC 1,5 PK dan 9,65% untuk AC 2 PK. Selain itu perubahan temperatur setting berdampak pada besarnya konsumsi energi sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.

Gambar 5 menunjukkan bahwa dengan peningkatan temperatur setting diperoleh biaya operasi yang semakin besar. Hubungan tersebut naik secara linear. Pada AC 1 PK diperoleh kenaikan biaya operasi sebesar 42,78% sebagai akibat peningkatan setting temperatur ruang, dan untuk AC 1,5 PK sebesar 38,59% dan AC 2 PK sebesar 37,13 %. Dengan menggunakan setting 25oC sebagai baseline, diperoleh penghematan seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Penghematan Per tahun Kap. AC Var. temp o

1 PK

C

25

1,5 PK 2 PK Penghematan /tahun Rp/jam

0

0

0

82


23

4.800,00

1.920,00

33.600,00

21

10.560,00

30.960,00

76.800,00

19

15.360,00

48.000,00

108.000,00

17

20.460,00

84.480,00

148.800,00

Tabel 1 menunjukkan bahwa penghematan tertinggi adalah pada setting 17oC baik 1 PK, 1,5 PK dan 2 PK. IV. KESIMPULAN 1) Pengaturan temperatur ruang berdasarkan Peraturan Menteri ESDM pada Bab III Pasal 13 tentang penghematan energi melalui sistem tata udara tidak secara spesifik mengatur temperatur AC, namun lebih pengaturan tingkat kenyamanan udara berdasarkan standar SNI. 2) Pengaturan temperatur ruang sebesar 24 oC hingga 27 oC, pada AC split menyebabkan peningkatan rasio kompresi, jika dipandingkan dengan setting temperatur ruang 17 oC. 3) Untuk setiap AC diperoleh kecendrungan kenaikan COP dengan penurunan setting temperatur. Dengan penurunan setting temperatur diperoleh kenaikan COP sebesar 38,14 % untuk AC 1 PK, 43,26 % untuk AC 1,5 PK dan 43,2 % untuk AC 2 PK. 4) Untuk setiap kapasitas AC, diperoleh kecendrungan kenaikan efek refrigerasi dengan peurunan setting temperatur ruang. Dengan penurunan setting temperatur diperoleh kenaikan efek refrigerasi sebesar 7,72% untuk AC 1 PK, 9,34 % untuk AC 1,5 PK dan 9,65% untuk AC 2 PK. 5) Semakin meningkat setting temperatur ruang , konsumsi energi pada kompresor semakin meningkat. Semakin besar kapasitas AC, maka konsumsi energi semakin besar. diperoleh penurunan konsumsi sebesar 42,78%, Untuk AC 1,5 PK sebesar 38,59% dan AC 2 PK sebesar 37,13 %. 6) Untuk setiap AC diperoleh kecendrungan kenaikan biaya operasi dengan peningkatan temperatur setting. Diperoleh pengematan tertinggi pada AC 1 PK sebesar Rp 20.460,00 untuk AC 1,5 PK sebesar Rp 84.480,00 dan untuk AC 2 PK sebesar Rp 148.800,00.

DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9]

ASHRAE Handbook, “Refrigeration Thermofisical Properties of Refrigeran”, American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers, Inc, Atlanta 2009. Dossat, R.J. “Principles of Refrigeration”,second Edition, John Wiley & sons, New York,1978. Elsayed, Amr.O dan Hariri, Abdulrahman, “Effect of Condenser Air Flow on the Performance of Split Air Conditioner”, Jurnal LowEnergy Architecture, World Renewable Energy, Saudi Arabia: 2011. F. Wilbert, Stoecker, Industrial Refrigeration Handbook, 1996. Izham, M.N dan Mahlia. T.M.I, “Effect of Ambient Temperature and Relative Humidity on COP of A Split Room Air Conditioner” Journal of Energy & Environment , Vol. 2, No. 2, 35 -38, 2010 Lippsmeier, Georg, Bangunan Tropis Jakarta: Erlangga, 1994. Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral No 14 Tahun 2012. Soegijanto, Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau dari Aspek Konservasi Energi pada Bangunan Gedung, 1999. Yu Wu-Chou, Lee Jia-Twu, “Study of Indoor Temperature and Comfort Index Effect by Air -conditioning System”, Asia Pacific Conference on Environmental Science and Technology Advances in Biomedical Engineering, Vol.6, 2012.

83


Potensi Mikroorganisme Lokal (MOL) dari Pepaya (Carica papaya) terhadap Produktivitas Padi (Oryza sativa) dengan Metode Penanaman System of Rice Intensification (SRI) Potential of Local Microorganisms (MOL) from Papaya (Carica papaya) to Paddy Plant (Oryza sativa) Productivity with System of Rice Intensification (SRI) Planting Method 1

Hamida Amalia1,a dan Pingkan Aditiawati2,b

Kelompok Keahlian Bioteknologi Mikroba, Institut Teknologi Bandung, Bandung. aEmail: hamidamalia@alumni.itb.ac.id 2 Kelompok Keahlian Bioteknologi Mikroba, Institut Teknologi Bandung, Bandung. bEmail: pingkan@sith.itb.ac.id

Abstrak- System of Rice Intensification (SRI) adalah metode untuk meningkatkan produksi padi dengan menggunakan mikroorganisme lokal (MOL) sebagai salah satu komponennya. Larutan MOL dihasilkan dari proses fermentasi pepaya, air kelapa, dan gula merah yang diinkubasi selama 15 hari dengan pengadukan 3 hari sekali. MOL berumur 15 hari disiramkan ke tanah padi dengan dosis 1:8 untuk aplikasi pertama dan kedua serta 1:5 hingga aplikasi ketujuh. Hasil isolasi dan identifikasi dari larutan MOL menunjukkan adanya 2 spesimen bakteri, yakni Acinetobacter sp. dan Bacillus sp. Padi ditanam dengan 4 macam variasi perlakuan; tanah tanpa larutan MOL (TM-), tanah dengan larutan MOL (TM+), tanah dan kompos tanpa larutan MOL (TKM-), serta tanah dan kompos dengan larutan MOL (TKM+). Pada hari ke-138 setelah penanaman, dilakukan pemanenan bulir. Rataan bulir per polibag dari TM-, TM+, TKM-, dan TKM+ berturut-turut adalah 18,26 g; 21,36 g; 42,41 g; dan 35,68 g. Produksi bulir perlakuan TKM- dan TKM+ menunjukkan hasil yang signifikan terhadap perlakuan TM- dan TM+ (p > 0,05) namun antara perlakuan TKM- dan TKM+ satu sama lain tidak menunjukkan perbedaan yang siginifikan. Kata Kunci—identifikasi bakteri; Oryza sativa; produktivitas padi; MOL pepaya; SRI. Abstract- System of Rice Intensification (SRI) is a method for increasing rice production with the usage of local microorganisms (MOL) as its component. Used MOL mixture was fermentation product consisting of papaya, coconut water, and palm sugar, incubated in 15 days with once in 3 days stirring. 15-day MOL was given to the paddy plant soil with 1:8 dosage in the first and the second application and 1:5 dosage until the seventh applications. Isolation and identification result from 15-day MOL mixture showed that there were 2 bacteria specimens, Acinetobacter sp. and Bacillus sp. Paddy plants were planted with 4 treatment variations; they were soil without MOL mixture (TM-), soil with MOL mixture (TM+), soil and compost without MOL mixture (TKM-), and soil and compost with MOL mixture (TKM+). On 138th day after planting, it was harvesting accomplished for grains. Average grain weight per polybag in TM-, TM+, TKM-, and TKM+ were 18.26 g, 21.36 g, 42.41 g, and 35.68 g respectively. TKM- and TKM+ showed significant outputs over TM- and TM+ (p > 0.05) but TKM- and TKM+ themselves were not significantly different to each other. Keywords—bacterial identification; Oryza sativa; paddy plant productivity; papaya MOL; SRI.

I. PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris namun ironisnya belum bisa memenuhi kebutuhan makanan pokok penduduknya sendiri. Pada tahun 2012 saja, Indonesia mengimpor beras sebanyak 670 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri1. Di sisi lain, pertanian di Indonesia juga kurang ramah lingkungan sebab masih maraknya penggunaan pupuk berbasis kimia buatan. Penggunaan pupuk buatan tersebut mengakibatkan penurunan kesuburan tanah dan ketidakseimbangan pH2.

System of Rice Intensification (SRI) merupakan salah satu solusi untuk menangani permasalahan produktivitas padi dengan 4 buah prinsip utama, yakni penanaman bibit muda yang sehat, pengurangan kepadatan tanaman, peningkatan kualitas tanah dengan bahan organik, serta pengurangan dan pengontrolan penggunaan air3. Sementara Mikroorganisme Lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang terdapat pada cairan fermentasi terbuat dari bahan-bahan organik yang berkelimpahan di tempat tertentu. Larutan MOL biasa dipakai oleh petani sebagai pelengkap dari metode SRI, memiliki peran untuk menyuburkan tanaman dan tanah dibarengi dengan penggunaan kompos sebagai campuran media tanam4.

84


Penambahan mikroba khususnya bakteri ke dalam tanah, diharapkan mampu meningkatkan penyerapan mineral oleh tanaman 5. Pepaya dipakai sebagai bahan larutan MOL karena mengandung air, karbohidrat, mineral, dan vitamin6 yang diharapkan dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan MOL. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan penelitian tentang bakteri dalam larutan MOL pepaya yang berperan meningkatkan produktivitas padi sekaligus penentuan efektivitas metode SRI terhadap benih padi lokal dengan peran MOL di dalamnya. II. METODE PENELITIAN A. Pembuatan Larutan MOL Pepaya (Carica papaya) sebanyak 2 kg yang telah dihancurkan dicampur dengan 50 g gula merah yang telah dicacah dan ditambah air kelapa hingga 5 l. Toples ditutup dengan kertas atau kain selama 15 hari dengan pengadukan 3 hari sekali di dalam suhu ruang. Sampel diambil bersamaan dengan pengadukan untuk pengukuran pH dan penghitungan jumlah mikroba. Setelah itu, larutan MOL ditutup dengan tutup toples yang dihubungkan oleh selang ke air steril untuk membuang gas dari larutan MOL. B. Persiapan Penanaman Sebelum dicampurkan, terlebih dahulu tanah dan kompos diambil sampelnya guna dihitung jumlah bakteri di dalamnya. Uji coba pada padi terdiri 4 perlakuan, yakni tanah tanpa MOL (TM-) atau kontrol, tanah dengan larutan MOL (TM+), tanah dan kompos 1:1 tanpa larutan MOL (TKM-), serta tanah dan kompos 1:1 dengan larutan MOL (TKM+). Saat perlakuan TM+ dan TKM+ disiram dengan larutan MOL, perlakuan TM- dan TKM- hanya disiram dengan air. Setiap variasi diulang sebanyak 6 kali di dalam wadah polibag berukuran 40 x 40 cm, berlokasi di Rumah Kaca Gedung Pusat Antar Universitas, ITB. Penataan letak dilakukan dengan cara Rancangan Acak Kelompok (RAK). Seminggu sebelum penanaman, 125 ml larutan MOL dengan konsentrasi 1:8 diaplikasikan ke setiap polibag perlakuan TM+ dan TKM+ serta dilakukan penyiraman terhadap semua perlakuan. C. Penanaman dan Pemeliharaan Semaian padi (Oryza sativa) varietas Mekongga berumur seminggu dipindahkan ke setiap polibag dengan aturan setiap polibag ditanami oleh 1 semaian. Padi disiram sebanyak 2 hari sekali dan dilakukan penyiangan serta penggemburan pada 7 – 42 hari setelah tanam (HST). Pada 7 HST, dilakukan penyiraman ke tanah dengan konsentrasi larutan MOL 1:8. Sedangkan pada 14 – 42 HST, larutan MOL diberikan dengan konsentrasi 1:5, masing-masing dengan volume 125 ml per polibag. Selang waktu untuk masing-masing pemberian larutan MOL ialah 7 hari. D. Pengambilan Sampel Media Tanam dan Tanaman Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, yakni pada 0, 48, 102, dan 138 HST. Pada 0 dan 48 HST diambil sampel media tanam untuk dilakukan pengujian terhadap konsentrasi

makronutrien tanah. Sementara, pada 48 dan 102 HST, dilakukan pengambilan sampel tanaman untuk menghitung jumlah anakan dan penimbangan massa kering akar. Bulir dipanen pada 138 HST. E. Isolasi, Identifikasi, dan Penghitungan Total Bakteri Sampel yang telah melalui pengenceran berseri diinokulasikan ke dalam medium Nutrient Agar (NA) dengan metode sebar (spread). Koloni yang kemudian tumbuh dihitung dan koloni yang berbeda dipilih serta dimurnikan dengan cara four way streak di NA sebanyak 3 kali dan dilakukan pewarnaan Gram serta uji biokimia untuk diidentifikasi. Karakteristik yang muncul dicocokkan dengan panduan determinasi Bergey’s Manual! of Determinative Bacteriology, 9th ed. F. Pengujian Konsentrasi Makronutrien Sampel media yang berada di rhizosfer diambil sebanyak 500 g dan diukur konsentrasi makronutriennya di Laboratorium Penguji Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran. Makronutrien yang diukur adalah pH, P2O5 (spektrofotometri Olsen), kalsium (atomic absorption spectroscopy/AAS), kalium (flame photometer), dan magnesium (AAS). G. Pengukuran Jumlah Anakan, Massa Kering Akar, dan Massa Bulir Pada anakan, dilakukan penghitungan jumlah dari setiap perlakuan. Sementara untuk akar, dilakukan pencucian dari tanah dan kompos dan dikeringkan di dalam oven 70°C selama 72 jam. Akar yang telah kering ditimbang dengan neraca analitik. Bulir yang telah dipanen ditimbang pula dengan neraca analitik. H. Analisis Statistika Data yang didapat dari pengukuran massa akar, massa bulir, dan jumlah anakan padi kemudian dianalisis menggunakan software SPSS 13 dengan prinsip ANOVA. Uji lanjutan Duncan dilakukan saat hasil dari analisis ANOVA menampilkan hasil yang signifikan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Inkubasi Larutan MOL Sepanjang inkubasi selama 15 hari, terjadi perubahan fisik yang paling mencolok pada hari ketiga, ditandai dengan naiknya volume, berubahnya bau menjadi seperti bau alkohol, dan timbulnya bintik putih pada permukaan larutan MOL. Dengan demikian, telah terjadi produksi alkohol, ester aromatik, aldehida, dan asam yang merupakan hasil metabolisme mikroba amilolitik7. Kenaikan volume terjadi akibat produksi gas dan permukaan putih diduga merupakan hasil kolonisasi ragi. Perubahan fisik ini sejalan dengan perubahan pH dan jumlah bakteri seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Nilai pH yang turun tepat pada hari ketiga dari 4,3 ke 2,9 terjadi bersamaan dengan jumlah bakteri yang konsentrasinya juga meningkat pada titik tersebut, dari orde 108 cfu g-1 menjadi orde 1010 cfu g-1. Ini menandakan peningkatan proses

85


metabolisme oleh mikroba amilolitik pada hari ketiga sehingga dihasilkan asam yang mampu menurunkan nilai pH. Selepas hari ketiga, pH dan jumlah mikroba cenderung stabil meskipun terdapat sedikit fluktuasi. Stagnansi tersebut dipengaruhi oleh terbatasnya nutrien dalam larutan MOL dan pH yang cenderung asam, mengakibatkan pertumbuhan bakteri terhambat dengan sendirinya hingga jumlah bakteri yang hidup hampir sama dengan di awal inkubasi yakni pada kisaran orde 108 cfu g-1.

10

6

4 6 3 4

2

2

1

0

0 0

3

6

9

12

pH

5

8

Log Jumlah Bakteri

Karakteristik Jenis pewarnaan Bentuk Warna koloni Enzim oksidase Enzim katalase Asam dari glukosa Indol dari triptofan Reduksi nitrat Degradasi pati

Acinetobacter sp. Gram negatif batang putih negatif positif positif

Bacillus sp. Gram positif batang putih positif positif positif

positif

positif

negatif negatif

positif positif

Penemuan 2 jenis bakteri yang dominan ini turut membuktikan bahwa penurunan pH mampu menekan pertumbuhan mikroba yang merugikan. Bakteri patogen dengan jumlah yang tidak dominan menyebabkan bakteri tersebut kalah bersaing dengan bakteri lain untuk tumbuh di media NA dan tidak terdeteksi pada saat identifikasi.

pH

15

Hari ke-

Gambar 1. Perbandingan log jumlah bakteri dengan perubahan pH. Kondisi lingkungan: pH awal larutan MOL 4,3; suhu Âą25o C; lama inkubasi: 15 hari, media: NA.

Pengamatan selama inkubasi membuktikan bahwa fermentasi larutan MOL ternyata tidak memengaruhi jumlah bakteri, melainkan memengaruhi pH larutan MOL. Lingkungan yang menjadi asam tersebut diduga berfungsi untuk membatasi jumlah mikroba patogen yang hidup di dalam larutan MOL sehingga mikroba yang bermanfaat akan mendominasi di sana. B. Identifikasi Bakteri dari Larutan MOL Hasil dari inokulasi dengan metode sebar menunjukkan bahwa terdapat 2 jenis bakteri yang dominan pada media NA. Setelah dilakukan identifikasi, diketahui bahwa 2 bakteri tersebut adalah Acinetobacter sp. dan Bacillus sp. dengan karakteristik yang tercantum dalam Tabel 1. Berdasarkan karakteristik dari uji biokimia, Acinetobacter sp. dan Bacillus sp. merupakan jenis bakteri yang mampu mensintesis indol. Indol adalah senyawa pembentuk hormon indol asam asetat (IAA). Dengan kata lain, ketika fermentasi larutan MOL berlangsung, ada kemungkinan dihasilkannya hormon pertumbuhan8 yang jika disiram ke tanaman, akan memberikan efek secara langsung terhadap tanaman. Menurut literatur, Acinetobacter sp. memang merupakan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR)9 bersama dengan Bacillus sp.10 yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui senyawa-senyawa yang dihasilkannya. Bacillus sp. sendiri merupakan genus yang terkenal mampu melarutkan mineral tanah sehingga lebih mudah diserap oleh tanaman11. Bakteri-bakteri yang ada tersebut diharapkan mampu berinteraksi sinergis dengan tanaman sehingga produktivitas tanaman dapat meningkat.

C. Produktivitas Padi Produktivitas tanaman padi diukur dari 3 sisi, yakni selisih jumlah anakan antara 48 dan 102 HST, selisih massa kering akar antara 48 dan 102 HST, dan yang paling utama, massa bulir saat 138 HST. 48 dan 102 HST dipilih karena padi masih mengalami fase vegetatif, saat jumlah anakan masih mengalami perkembangan. Dalam kaitannya dengan jumlah anakan, aplikasi larutan MOL tidak memberikan pengaruh yang signifikan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2. Jika dibandingkan dengan TM- atau kontrol, TM+ tidak memiliki perbedaan nilai yang signifikan meskipun terdapat peningkatan jumlah. Di sisi lain, pada TKM- dan TKM+ terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan TM-. Akan tetapi, antara TKM- dan TKM+ tidak terjadi perbedaan nilai yang signifikan, bahkan TKM+ sedikit mengalami penurunan jumlah anakan. 35

b

30 Jumlah Anakan

7

Log cfu g-1

12

Tabel 1. Karakteristik Bakteri pada Larutan MOL

b

ab

25 20 15

a

10 5 0 TM-

TM+

TKM-

TKM+

Perlakuan

Gambar 2. Selisih jumlah anakan antara 48 dan 102 HST. Diagram batang menunjukkan rataan Âą standar deviasi (N = 6). Nilai-nilai yang ada berbeda secara signifikan kecuali memliki huruf yang sama (ANOVA, uji lanjutan Duncan, p > 0,05).

Berdasarkan Gambar 2 tersebut pula, dapat dilihat bahwa peranan yang paling besar untuk meningkatkan jumlah anakan

86


Massa Kering Akar (g)

7

c

6 5

b

ab

4 3 2

a

1 0 TM-

TM+

TKM-

TKM+

Perlakuan

Gambar 3. Selisih massa kering akar antara 48 dan 102 HST. Diagram batang menunjukkan rataan Âą standar deviasi (N = 6). Nilainilai yang ada berbeda secara signifikan kecuali memliki huruf yang sama (ANOVA, uji lanjutan Duncan, p > 0,05).

Bulir adalah parameter produktivitas padi yang paling penting sebab bulir atau buah padi adalah bagian yang dipanen dari tanaman padi. Ditinjau dari pengamatan massa kering akar dan jumlah anakan, bulir padi dari perlakuan TKM+ diduga tidak akan berbeda jauh dari perlakuan TKM-. Melalui uji ANOVA dengan uji lanjutan Duncan, hipotesis tersebut terbukti. Perlakuan dengan kompos (TKM-, TKM+) memproduksi bulir yang berbeda nyata dengan perlakuan tanpa kompos (TM-, TM+) akan tetapi, antara perlakuan TKM- dan TKM+ dianggap memiliki nilai yang sama, bahkan rataan perlakuan TKM+ berada di bawah rataan perlakuan TKM-. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa penambahan

larutan MOL pada tanah berkompos berpotensi memiliki daya hambat untuk menekan produktivitas padi, mulai dari jumlah anakan, massa akar, hingga massa bulir. Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan mengapa fenomena tersebut bisa terjadi, ditinjau dari dinamika konsentrasi makronutrien. 70 b

60 Massa Bulir (g)

dipegang oleh kompos, bukan larutan MOL. Ini dikarenakan setelah pemberian kompos (TKM-), jumlah anakan berbeda secara signifikan dengan kontrol (TM-) akan tetapi pemberian larutan MOL kepada tanah berkompos (TKM+) tidak mampu mendongkrak jumlah anakan dibandingkan dengan tanah berkompos saja (TKM-). Kompos dalam terminologi SRI berfungsi sebagai penyedia ruang di tanah agar oksigen dapat masuk dan membantu pertumbuhan akar12,13. Apabila akar tumbuh dengan optimal, nutrisi yang didapat pun akan meningkat dan membantu pemunculan anakan yang lebih banyak pula. Untuk mengetahui apakah pemberian kompos dan larutan MOL berpengaruh terhadap pertumbuhan akar, dilakukan pengambilan sampel pada akar dan massa keringnya ditimbang, seperti data yang tersaji pada Gambar 3. Hasil yang ada mendukung hipotesis sebelumnya bahwa pemberian kompos (TKM-, TKM+) mampu meningkatkan massa akar secara signifikan dibandingkan kontrol (TM-). Larutan MOL yang diberikan pada perlakuan dengan tanah (TM+) sebenarnya memiliki potensi untuk menaikkan massa akar dibandingkan dengan kontrol. Namun, ketika dikombinasikan dengan kompos (TKM+), yang terjadi justru penurunan massa yang cukup signifikan dibandingkan dengan yang tanpa larutan MOL (TKM-). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saat fase vegetratif, pemberian larutan MOL yang dikombinasikan dengan kompos, justru malah menurunkan produktivitas padi dalam konteks massa akar.

50

b

40 30

a

a

20 10 0 TM-

TM+

TKM-

TKM+

Perlakuan

Gambar 4. Massa bulir pada 138 HST. Diagram batang menunjukkan rataan Âą standar deviasi (N = 6). Nilai-nilai yang ada berbeda secara signifikan kecuali memliki huruf yang sama (ANOVA, uji lanjutan Duncan, p > 0,05).

D. Dinamika Konsentrasi Makronutrien Pada tanaman padi, makronutrien terpenting mencakup nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium14. Selain nitrogen yang memiliki kemungkinan didapatkan dari udara, keempat makronutrien yang lain didapatkan langsung dari tanah atau dari pupuk yang sengaja diberikan. Pemberian inokulum bakteri ke dalam tanah diketahui mampu meningkatkan penyerapan makronutrien tersebut15. Sampel untuk makronutrien ini diambil saat 0 HST dan 48 HST. Berdasarkan Gambar 5, penambahan kompos pada 0 HST secara umum menunjukkan peningkatan kandungan makronutrien. Artinya, selain memberikan ruang bagi oksigen untuk masuk ke tanah, kompos juga berfungsi sebagai sumber nutrisi bagi tanaman. Menurut literatur, keuntungan lain dari penambahan kompos adalah air terikat dengan baik16 sehingga pH tanah mampu dipertahankan di kondisi mendekati pH 7. Kestabilan pH tersebut menjamin ketersediaan nutrisi secara lengkap di tanah17. Pemeriksaan dari laboratorium tanah mendukung pernyataan tersebut dengan hasil untuk perlakuan tanpa kompos, pH berada di sekitar 5,7 dan dengan kompos di sekitar 6,4. Sampel 48 HST secara umum menunjukkan perubahan konsentrasi untuk setiap jenis perlakuan. Pada perlakuan TM-, TKM+, dan TKM-, tren yang umumnya terjadi adalah penurunan konsentrasi makronutrien di rhizosfer. Ini menandakan bahwa tanaman menyerap makronutrien di sekitarnya. Di satu sisi, perlakuan TM+ memberikan anomali yaitu naiknya konsentrasi makronutrien di rhizosfer secara umum. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, TM+ memiliki massa akar yang lebih besar dibandingkan kontrol. Akan tetapi, pertambahan akar ini tidak sejalan dengan laju penyerapan mineral oleh akar tanaman.

87


Gambar 5. Konsentrasi makronutrien pada 0 dan 48 HST, dari kiri atas searah jarum jam, P2O5, kalium, magnesium, dan kalsium. Kondisi lingkungan: suhu Âą29o C; kelembapan Âą85% dalam wadah polibag di rumah kaca. Keterangan perlakuan: tanah (TM-), tanah dengan larutan MOL (TM+), tanah berkompos (TKM-), tanah berkompos dengan larutan MOL (TKM+).

Selisih massa kering akar pada TM+ lebih kecil dibandingkan TKM+ seperti yang tertera pada Gambar 3. Penghambatan pertumbuhan akar tersebut disebabkan oleh ketiadaan kompos di dalam media tanam sehingga akar sulit melakukan pemanjangan akar dengan cepat. Panjang akar berbanding lurus dengan luas daerah penyerapan akar yang digunakan untuk menyerap nutrisi dari tanah. Dengan demikian, luas daerah penyerapan pada akar TM+ lebih kecil dibandingkan luas daerah penyerapan pada akar TKM+ dengan penambahan MOL yang sama banyaknya. Ini mengakibatkan akumulasi konsentrasi makronutrien di area rhizosfer yang menyebabkan konsentrasi makronutrien naik pada 48 HST. Kondisi konsentrasi makronutrien di rhizosfer TKM+ juga mengalami gejala yang sama dengan produktivitas padi, yakni mengalami peningkatan dibandingkan kontrol namun tidak lebih baik dari TKM- yang tidak diberi larutan MOL. Permasalahan tersebut bisa ditinjau dari perlakuan pemberian larutan MOL itu sendiri. Asumsi sebelumnya mengatakan bahwa penambahan inokulum bakteri dapat meningkatkan keterserapan nutrisi

tanaman. Namun, jika terlalu banyak inokulum bakteri yang ditambahkan, yang terjadi malah sebaliknya sebab bakteri yang terlalu banyak bisa menyebabkan keterbatasan makronutrien di tanah sehingga tanaman tidak mendapatkan suplai makronutrien yang cukup18. Untuk mengetahui jumlah bakteri yang ada di dalam media tanam, disajikan data di Gambar 6. Dari grafik, terlihat bahwa masing-masing komponen yaitu tanah, kompos, dan larutan MOL telah mengandung bakteri dengan jumlah tertentu. Kompos memiliki bakteri dengan jumlah terbanyak, diikuti oleh larutan MOL dan tanah. Saat kompos dan tanah dicampurkan, kemungkinan jumlah bakteri bisa dikatakan cukup sehingga mampu meningkatkan produktivitas padi dari segi jumlah anakan, massa akar, dan massa bulir. Akan tetapi, saat larutan MOL ditambahkan ke dalam ekosistem tersebut, produktivitas padi tidak bisa didorong lebih optimal lagi sebab terjadi kompetisi di dalam tanah untuk memerebutkan nutrisi. Kondisi penyerapan nutrisi yang tidak optimal pada akar menyebabkan pertumbuhan padi yang tidak pula. Pada titik krusial inilah penggunaan larutan MOL

88


yang terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi di lapangan harus dikaji kembali. Sebab berdasarkan hasil yang telah didapat, penambahan kompos lah yang justru berperan meningkatkan produktivitas padi secara signifikan. Larutan MOL yang diaplikasikan pada campuran tanah-kompos (TKM+) justru menekan pertumbuhan padi dibandingkan dengan yang tanpa penambahan larutan MOL (TKM-).

DAFTAR PUSTAKA [1]

[2] [3]

9

[4]

8

Log cfu g-1

7

[5]

6 5

[6]

4 3

[7]

2

[8]

1 0

[9] Kompos

Tanah

MOL

Sumber Bakteri

Gambar 6. Log jumlah bakteri dari kompos, tanah, dan larutan MOL. Kondisi lingkungan: suhu ±25o C, media: NA

[10] [11]

IV. KESIMPULAN Larutan MOL pepaya mengandung bakteri yang potensial untuk meningkatkan produktivitas padi, yakni Acinetobacter sp. dan Bacillus sp. dengan pH yang rendah untuk menekan pertumbuhan mikroba patogen. Acinetobacter sp. dan Bacillus sp. diketahui adalah bakteri PGPR yang mampu menghasilkan senyawa untuk mendorong peningkatan produktivitas tanaman serta meningkatkan keterserapan nutrisi ke tanaman. Rataan bulir per polibag dari TM-, TM+, TKM-, dan TKM+ berturutturut adalah 18,26 g; 21,36 g; 42,41 g; dan 35,68 g. Produksi bulir perlakuan TKM- dan TKM+ menunjukkan hasil yang signifikan terhadap perlakuan TM- dan TM+ (p > 0,05) namun antara perlakuan TKM- dan TKM+ satu sama lain tidak menunjukkan perbedaan yang siginifikan. Hal ini terjadi akibat pada rhizosfer TKM+ terdapat bakteri dalam jumlah yang terlalu banyak sehingga terjadi kompetisi nutrisi di antara bakteri dan asupan makronutrien ke tanaman turut berkurang.

[12] [13] [14] [15] [16] [17] [18]

Rosalina, “Realisasi Impor Beras 2012 di Bawah Kuota” January 3, 2013 13:12 in http://www.tempo.com/read/news/2013/01/03/090451774/RealisasiImpor-Beras-2012-di-Bawah-Kuota accessed August 22, 2013 08:18. M. Affeld, “Advantages & Disadvantages of Natural & Chemical Fertlilzers” in http://homeguides.sfgate.com accessed July 17, 2013 17:39. SRI-Rice Online, “SRI Methodologies” in http://sri.ciifad.cornell.edu accessed July 17, 2013 17:57. M. Purwasasmita and A. Sutaryat, Kompos dan MOL: Rekayasa Ruang Bioreaktor Tanaman Menggunakan Bahan Setempat. Bandung: Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, 2011, pp. 14. R. M. Atlas, Microbial Ecology: Fundamentals and Applications, 3rd edition. Redwood City, CA: The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc., 1993, pp. 73. J. F. Morton, Fruits of Warm Climates. Miami: Julia F. Morton, 1987, pp. 1510. K. H. Steinkraus, Industrialization of Indigenous Fermented Foods. Boca Raton: CRC Press, 2004, pp. 247. R. M. Atlas, Microbial Ecology: Fundamentals and Applications, 3rd edition. Redwood City, CA: The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc., 1993, pp. 73. F. D. Rokhbakhsh-Zamin, Sachdev, N. Kazemi-Pour, A. Engineer, K. R. Pardesi, S. Zinjarde, P. K. Dhakephalkar, and B. A. Chopade., “Characterization of plant-growth-promoting traits of Acinetobacter species isolated from rhizosphere of Pennisetum glaucum,” J. Microbiol. Biotechnol., vol. 21(6), pp. 556-566, June 2011. I. Ahmad, J. Pichtel, and S. Hayat, Plant-Bacteria Interactions: Strategies and Techniques to Promote Plant Growth. New Jersey: John Wiley & Sons, 2008, pp.6. N. Vasanthi, L. M. Saleena, and S. A. Raj, “Concurrent release of secondary and micronutrient by a Bacillus sp.,” Am-Euras. J. Agric. & Environ. Sci., vol. 12 (8), pp. 1061-1064, 2012. M. Purwasasmita and A. Sutaryat, Kompos dan MOL: Rekayasa Ruang Bioreaktor Tanaman Menggunakan Bahan Setempat. Bandung: Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, 2011, pp. 2. I. Anas, O. P. Rupela, T. M. Thiyagarajan, N. Uphoff, “A review of studies on SRI effects on benificial organisms in rice soil rhizospheres,” Paddy Water Environ., vol. 9, pp. 53-64, 2012. K. M. Ramanathan and K. K. Khrisnamoorthy. “Nutrient uptake by paddy during the three main stages of growth,” Plant and Soil, vol. 39, pp. 29-33, 1973. S. Uroz, C. Calvaruso, M. P. Turpault, and P. Frey-Klett, “Mineral weathering by bacteria: ecology, actors and mechanisms,” Trends Microbiol., volume 17, issue 8, pp. 378–387, August 2009. M. Purwasasmita and A. Sutaryat, Kompos dan MOL: Rekayasa Ruang Bioreaktor Tanaman Menggunakan Bahan Setempat. Bandung: Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, 2011, pp. 2-3. T. L. Jensen, “Soil pH and the Availability of Plant Nutrients,” Plant Nutrition Today, No. 2, Fall 2010. R. M. Atlas, Microbial Ecology: Fundamentals and Applications, 3rd edition. Redwood City, CA: The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc., 1993, pp. 73.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Dodi Ade Wahyu Rachmanto, rekan sesama tugas akhir, yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan moral serta Cecep Saepurnawan dari DPKLTS yang telah membimbing penulis dalam teknis penanaman padi.

89


TICA 2013 Ke Âą 4 Judul Bahasa Indonesia: Pengolahan Lindi Sampah Pasar Menjadi Biogas Secara Anaerobik The 4th TICA 2013 English Title: Treatment Of Garbage Market Leachate Into Biogas By Anaerobic Process Asep Saiful Bihar1,a, Faridl Hidayatullah2,b, Nendry Nurramdani Solihah3,c, Ir. Mukhtar Ghazali, M.Sc 4,d, Ir. Endang Kusumawati, M.T5,e 1,2,3

a

TEKNIK KIMIA, POLITEKNIK NEGERI BANDUNG, BANDUNG. Saifulasep99crb@gmail.com, bfaridlhidayatullah@gmail.com, cnendrynurramdani@gmail.com 4.5 TEKNIK KIMIA, POLITEKNIK NEGERI BANDUNG, BANDUNG. d muhtar_2008@yahoo.com, ekusumawati_uk@yahoo.co.uk

Abstrak- Sampah pasar yang sudah membusuk akan mengeluar kan cairan (lindi) yang berpotensi mencemari lingkungan. Pengolahan lindi sampah pasar secara anaerobik mer upakan salah satu cara untuk mencegah ter jadinya pencemaran . L indi sampah pasar dapat dijadikan substrat untuk produksi biogas yang mer upa kan sumber energi alternatif saat ini. Penelitian ini bertuj uan untuk menentukan kondisi operasi optimum pada proses pengolahan lindi sampah menjadi biogas dengan mengetahui pengaruh variasi air, starter (kotoran sapi), dan substrat (lindi) ter hadap biogas yang dihasilkan. Pada penelitian ini lindi sampah pasar yang digunaka n berasal dari Pasar C iroyom K ota Bandung. Untuk mempercepat proses pembentuk kan biogas digunakan starter kotoran sapi segar yang diambil dari Desa C igugur G irang, K ecamatan Parongpong, K ab. Bandung Barat. Pada tahap pelaksanaan digunakan rea ktor anaaerobik dengan kapasitas 35 L , yang dilengkapi pompa untuk mensir kulasi cairan dan penampung gas ber kapasitas 8,35 L . Metode penelitian dilakukan dengan memvariasikan volume starter, air dan lindi dengan perbandingan masing-masing adalah 1:1:1 untuk reaktor 1 (R1); 1: 1,5 :1 untuk reaktor 2 (R2) dan 1 : 2,5 : 1 untuk rea ktor 3(R3). Parameter uji yang diguna kan pada penelitian ini adalah p H , C O D, VSS, konsentrasi C H 4, dan volume biogas. Hasil analisis parameter tersebut digunakan untuk menentuk kan kondisi optimum yang diindikasikan dengan penur unan C O D tertinggi, volume biogas terbesar, persentasi C H 4 tertinggi dan waktu pembentukan biogas tercepat. Dari ketiga variasi yang dila kukan, reaktor 2 (R2) merupa kan reaktor yang memiliki kondisi optimum dengan penur unan C O D sebesar 81% , perolehan volume biogas terbanyak sebesar 50,540 L dengan waktu pembentuk kan tercepat yaitu pada hari ke 18 dan persentase C H 4 tertinggi sebesar 65% . K ata kunci Âą instr uksi : sampah pasar, lindi (substrat), kotoran sapi (starter), biogas, degradasi, variasi, kondisi optimum

Abstract- G arbage mar ket that has been rotted will produce liquid (leachate) that could potentially contaminate the environment. G arbage leachate mar ket treatment by anaerobic system is one method to prevent pollution. It can be a substrate for biogas production, and it is an alter native energy source today. T his research aims to determine the optimum operating conditions in the leachate treatment process into biogas by determine the effect of variations in the volume ratio of starter (cow waste), wat er, and substrate (leachate) of the biogas generated. In this research the use of mar ket waste leachate der ived from C iroyom Mar ket, Bandung city . To speed up the process of the for mation of biogas used starter of fresh cow waste that is taken from C igugu r G irang village, Parongpong, W est Bandung. During the implementation phase, anaerobic reactor used with 35 L capacity equipped with a pump to circulate the fluid and gas storage that has capacity 8,35 L . T he methods of research conducted by varying the vo lume of starter, water and leachate with a ratio of 1:1:1 respectively for reactor 1 (R1); 1: 1.5: 1 for reactor 2 (R2) and 1: 2.5: 1 for reactor 3 (R3). T est parameters used in this research were p H , C O D, VSS, C H 4 concentration, time of biogas formation and volume of biogas. T he results of the analysis parameters that used to deter mine optimum conditions indicated by the highest C O D reduction, the largest biogas volume, the highest percentage of C H 4 and biogas formation fastest time. F rom the three variations that do, reactor 2 (R2) is a reactor which has the optimum conditions with C O D reduction of 81% , the acquisition of the largest biogas volume of 50,540 L with the fastest time of the for mation on 18 days and the highest percentage at 65% C H 4. K eyword Âą instr uction : mar ket gerbage, leachate (substrat), cow waste (starter), biogas, degradation, variation, optimum condition

90


I.

PENDAHULUAN

Latar belakang penelitian ini yaitu, sampah merupakan salah satu permasalahan besar di kota-kota di Indonesia khususnya kota Bandung. Produksi sampah di kota Bandung tahun 2013 mencapai 1000 ton per hari (Imas dan Lilis, 2013). Sampah tersebut terdiri dari sampah pasar, rumah tangga dan kawasan komersial (pasar, mall, hotel, tempat rekreasi, dan perkantoran) namun hanya sekitar 75% saja yang dapat ditangani. Hal tersebut dikarenakan kurangnya armada pengangkut sampah juga berkurangnya lahan. Oleh karena itu perlu penanganan khusus untuk mengolah sampah tersebut agar tidak menimbulkan masalah lain seperti pencemaran lingkungan dan timbulnya bibit penyakit. Pasar merupakan salah satu sumber penghasil sampah terbanyak di kegiatan suatu kota. Sampah pasar selain berasal dari aktivitas di pasar juga berasal dari sampah buangan warga sekitar pasar. Kota Bandung mempunyai sekitar 16 Tempat Penampungan Sampah (TPS) yang diletakan di sekitar pasar dan menghasilkan sampah dengan volume total 750 ton per hari. Namun tidak semua volume sampah yang tertumpuk di TPS dapat diangkut menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sebagai contoh TPS Gegerkalong dan TPS Sarijadi merupakan TPS yang sampahnya belum semua dapat diangkut setiap harinya (Detik Bandung, 2013). Sebagian besar dari sampah yang dihasilkan pasar merupakan jenis sampah organik, yang berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan yang mempunyai sifat mudah membusuk. Sampah pasar merupakan sumber kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (air, udara, dan tanah) terutama sampah organik. Penumpukan sampah di sekitar pasar dapat menimbulkan bau yang berasal dari pembusukkan komponen organik. Selain itu sampah yang sudah membusuk akan menghasilkan lindi (air sampah) yang dapat mencemari air, tanah, dan dapat menimbulkan berbagai macam bibit penyakit patogen seperti diare, hepatitis dan lainnya. Hal ini disebabkan pada sampah tersebut banyak bakteri yang tumbuh. Lindi ini dapat bersifat toksik apabila sampah organik disatukan dengan sampah non organik. Selain itu tingkat kemampuan degradasi air lindi di alam rendah, hal ini ditandai dengan rendahnya nilai rasio BOD/COD (Trihadiningrum, 1995). Proses anaerob merupakan salah satu teknologi yang dapat mengolah lindi menjadi biogas. Pengolahan ini menjadi pilihan karena menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar rumah tangga. Perolehan biogas dapat dipercepat dengan penambahan kotoran sapi sebagai starter, dimana kotoran sapi merupakan sumber bakteri untuk memperoleh biogas. dengan komposisi yang memenuhi syarat untuk dibakar, yaitu dengan kadar metan (CH4) 55 Âą 65 % (Sumber : Energy Resources Development dalam Endang Y, 2008). Biogas dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi karena mempunyai nilai bakar yang tinggi dibandingkan bahan bakar yang lainnya. Salah satu jenis reaktor biogas yang dapat digunakan untuk mengolah lindi menjadi biogas adalah tipe Floating Drum Reactor . Reaktor ini memiliki bagian penampung gas berupa drum yang dapat naik turun akibat adanya gas yang terbentuk. Drum ini dapat bergerak naik turun yang berfungsi untuk menyimpan gas hasil fermentasi dalam digester. Pergerakan drum mengapung pada cairan yang tergantung dari jumlah gas yang dihasilkan. Keuntungan dari reaktor ini adalah dapat melihat secara langsung volume gas yang tersimpan pada drum dari pergerakannya. Selain itu tempat penyimpanan yang terapung membuat tekanan gas konstan. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan sampah pasar menjadi biogas secara anaerobik menggunakan reaktor tipe floating drum skala laboratorium.

Pada penelitian sebelumnya dilakukan dengan menggunakan reakor Anaerobic Digester W8 sistem fixed drum. Kapasitas reaktor 4,25 liter dan dilakukan secara batch dan kontinyu. Namun pada penelitian tersebut hanya dilakukan pada ruang lingkup penurunan COD dan efisiensi pengolahan reaktor terhadap lindi. Lindi yang digunakan pun adalah lindi TPA Sarimukti yang pada dasarnya terdiri dari senyawa organik dan anorganik. Tujuan penelitian ini adalah menentukan kondisi operasi optimum pada proses pengolahan lindi sampah menjadi biogas dengan mengetahui pengaruh variasi air, starter (kotoran sapi) dan substrat (lindi sampah pasar) terhadap biogas yang dihasilkan. II.

METODOLOGI PENELITIAN

Tahap Pelaksanan terdiri dari : 1. Analisis awal Pada tahap ini dilakukan analisis awal yaitu pengukuran nilai COD ( Chemical Oxygen Demand) , pH dan VSS (volatile suspended solid) kotoran sapi dan lindi. 2. Tahap aklimatisasi Tahap aklimatisasi ditujukan agar starter dapat beradaptasi dengan substrat (lindi) yang akan diolah. Pada tahap ini lindi dimasukan bertahap untuk memenuhi perbandingan yang telah ditentukan yaitu (substrat : starter : air) sebesar : Reaktor 1 =1:1:1 (R1) Reaktor 2 = 1 : 1,5 : 1 (R2) Reaktor 3 = 1 : 2,5 : 1 (R3) Proses dilakukan secara batch dengan manggunakan reaktor volume 35 liter. Pemasukkan lindi dilakukan bertahap selama 3 hari sampai perbandingan volume tercapai, hal ini dilakukan agar starter mengalami adaptasi (aklimatisasi). 3. Tahap Analisis Pada tahapan ini dilakukan analisis parameter-parameter pengolahan pada tiap reaktor. Parameter yang diukur antara lain : a. COD Pengukuran COD dilakukan sedikitnya 2 hari satu kali. Pengukuran COD dilakukan untuk mengetahui profil penurunan COD selama proses pengolahan berlangsung. b. pH Pengukuran pH dilakukan selama setiap hari. Pengukuran pH ini dilakukan untuk mengetahui profil perubahan pH selama proses berlangsung. c. Volatile Suspended Solid Pengukuran Volatile Suspended Solid (VSS) dilakukan untuk mengetahui profil perubahan jumlah mikroorganisme yang ada dalam reaktor. Pengukuran VSS dilakukan seminggu sekali. d. Volume gas yang terbentuk Volume biogas diukur setiap hari. e. Kandungan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) Pengukuran kandungan gas CH4 dan CO2 dilakukan sedikitnya 2 kali setiap minggu. Pengukuran dilakukan di Labolatorim Kualitas Udara Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung. f. Uji nyala Uji nyala dilakukan untuk mengetahui gas yang dihasilkan dapat dibakar atau tidak. g. Temperatur Pencatatan temperatur dilakukan setiap hari.

91


4.

Penentuan Komposisi Optimum Pada tahap ini dilakukan penentuan kondisi optimum dari data-data yang didapatkan selama tahap analisis, dengan mempertimbangkan beberapa parameter sebagai berikut : a. Waktu pembentukkan biogas yang tercepat. b. Persentase metana (CH4) tertinggi. c. Volume biogas terbanyak. d. Penurunan COD tertinggi. 2.1 Diagram alir penelitian A. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Persiapan (Pengambilan kotoran sapi dan sampah pasar)

Tahap aklimatisasi (Variasi perbandingan kotoran sapi, air dan sampah pasar) menggunakan reaktor volume 35 liter dengan operasi batch

Tahap Analisis Analisis parameter COD, pH, VSS, temperatur, volume gas dan komposisi gas

Pentuan kondisi optimum

B.

G ambar 2.1 Diagram alir tahapan penelitian Diagram alir penentuan kondisi optimum dapat dilihat pada Gambar 2.2 Pengadukan

Kotoran Sapi

Air

Lindi

Reaktor 1 1:1:1

Reaktor 2 1 : 1,5 : 1

Reaktor 3 1 : 2,5 : 1

Pembentukkan biogas

Pembentukkan biogas

Pembentukkan biogas

Produk biogas

Produk biogas

Produk biogas

Analisis komposisi biogas Penentuan Kondisi Optimum G ambar 2.2 Diagram penentuan kondisi optimum

Keterangan : Umpan lindi diberikan secara bertahap selama 3 (tiga) hari sampai mencapai perbandingan yang diinginkan. III.

PEMBAHASAN

Pada tahap penelitian, reaktor yang digunakan sebagai anaerobic digester ini dirancang untuk kapasitas 35 Liter sebanyak 3 buah yaitu reaktor 1 (R1), reaktor 2 (R2), dan reaktor 3 (R3). Reaktor ini dilengkapi dengan saluran inlet, saluran outlet gas, dan saluran sirkulasi yang dilengkapi pompa. Reaktor yang digunakan dilengkapi thermometer 150 oC untuk mengetahui temperatur proses anaerobik. Jenis reaktor yang digunakan adalah jenis floating drum 35 Liter dengan volume penampung gas sebesar 8,35 Liter. 3.1 K arakteristik Awal Pada penelitian ini, biogas dihasilkan dari perombakan senyawa-senyawa organik yang terkandung pada lindi. Lindi yang digunakan adalah berasal dari pembusukan sampah pasar Ciroyom, Kota Bandung, sedangkan starter berupa kotoran sapi berasal dari peternakan daerah Desa Cigugur, Kecamatan Parangpong, Kabupaten Bandung Barat. Tabel 3.1 memperlihatkan hasil analisis karakteristik awal substrat dan starter. T abel 3.1 K arakteristik awal substrat dan starter. No Parameter Substrat (lindi) Starter 1 COD (mg/L) 8000 19800 2 VSS (mg/L) 62440 58468 3 pH 5,83 7,5 4 DO (mg/L) 0,6 0,5 5 Temperatur (oC) 26,7 25,8 Pada Tabel 3.1 dapat dilihat nilai COD ( Chemical Oxygen Demand) starter lebih tinggi dari substrat (lindi), artinya kandungan bahan organik yang ada dalam kotoran sapi lebih besar dibandingkan lindi. Namun dalam penelitian ini nilai tersebut tidak akan memberikan dampak yang signifikan karena pada saat pencampuran akan terjadi pengenceran. Nilai COD starter akan turun seiring dengan berlangsungnya proses aklimatisasi (setelah pencampuran). Keberhasilan proses aklimatisasi akan terlihat dari terbentuknya biogas. Pada karakteristik awal nilai pH lindi dan starter berada dalam suasana asam dan netral sehingga perlu dinaikkan, karena pH yang baik untuk proses degradasi senyawa organik menjadi biogas adalah pada rentang 6,5 Âą 7,5 (Woon, 2007), namun pada penelitian ini tidak pH tidak dinaikkan dengan pertimbangan selama proses anaerobik akan terjadi penurunan pH yaitu pada proses asidifikasi dan asetogenesis, dan kemudian netralisasi pH pada tahap metanogenesis. DO ( Dissolved Oxygen) yang disyaratkan untuk terjadinya degradasi anaerobik pada produksi biogas adalah kurang dari atau sama dengan 0,5 mg/L (Sunyoto, 2012). DO yang terlalu besar akan menyebabkan penurunan produksi metana pada digester anaerobik. Pada karakteristik awal, nilai DO starter dan substrat telah mendekati yang disyaratkan, sehingga tidak dilakukan penurunan nilai DO. Temperatur optimum yang disyaratkan pada proses degradasi anaerobik oleh mikroorganisme adalah pada rentang 2537 oC (Reynold, 1982). Pada karakteristik awal nilai temperatur berada pada rentang yang dipersyaratkan. 3.2 A klimatisasi Proses aklimatisasi adalah proses penyesuaian dari mikroba agar mampu mendegradasi senyawa-senyawa organik (Rahayu, 2010). Biogas akan dihasilkan pada hari ke 4 Âą 5 sesudah bahan di masukan ke dala m digester dan hasil opti mum biogas akan dicapai pada hari ke 20-25 (Mayasari dkk, 2010).

92


'$$$ &$$$ (% %$$$

(& (' $

*

# %& %! &$ &* &# '& $%&'(#)*%+,#&-./#

# !"#

"(0(12%1#567#34#<%&'(##

$

"(0(12%1#!"#34#$%&'(# (&

"

('

! $) $

rentang tersebut, bakteri penghasil metana akan mulai menghasilkan gas metan seperti yang terlihat pada Gambar 4.4. 3.3.2 T emperatur Temperatur ketiga reaktor berkisar 25-37oC, rentang ini merupakan rentang temperatur mesofilik, yaitu 25-37oC (Reynold, 1982). Pada temperatur ini mikroorganisme sudah mampu untuk berkembang biak dan melakukan proses metabolismenya dalam suasana anaeobik. 3.3.3 Penur unan C O D ( Chemical Oxygen Demand) Pada penelitian ini analisis COD digunakan untuk mengetahui kemampuan degradasi senyawa organik pada lindi menjadi gas CH4 (metana). Hubungan antara COD dengan waktu dapat dilihat pada Gambar 3.2.

567##8269:;#

Pada penelitian ini tahap aklimatisasi mikroba dilakukan selama tiga hari. Setelah hari ke-4 penampung gas sudah mulai naik. Hal ini mengindikasikan bahwa mikroba di dalam reaktor sudah mulai berkembang biak dan sudah terjadi proses adaptasi (aklimatisasi). 3.3 Parameter Proses A naerobik Parameter proses yang dianalisis adalah sebagai indikasi pembentukan biogas, di mana parameter analisis ini meliputi derajat keasaman (pH) sebagai indikasi tahapan metabolisme di dalam digester (reaktor), COD sebagai indikasi penguraian senyawa organik, VSS sebagai pendekatan indikasi kehidupan mikroorganisme, dan kuantitas, kualitas dan kandungan biogas sebagai indikasi keberhasilan terjadinya pembentukan biogas. Parameter-parameter proses yang dianalisis meliputi COD setiap 2 hari sekali, VSS setiap 3 hari sekali, pH dan temperatur setiap hari,dan analisis kualitas serta kandungan gas setiap 3 hari sekali yang dilakukan selama 3 (tiga) minggu. 3.3.1 Derajat K easaman Substrat (p H) Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap parameter pH dari hari pertama sampai hari ke-32 untuk memastikan pH berada pada rentang optimum. Untuk mendegradasi senyawa organik , pH optimum mikroba berada pada rentang 6,5-7,5 (Woon,2007). Hubungan antara pH dengan waktu (hari ke-) dapat dilihat pada gambar 31.

%$

&$

'$

(%

$%&'(#)*%+,#&-./# G ambar 3.1 H ubungan p H vs waktu (hari ke-) Menurut Reynold (1982), tahapan proses pembentukan biogas diawali dengan penurunan nilai pH (tahap asidogenesis), di mana pada kondisi ini terjadi hidrolisis rantai karbon panjang pada lindi seperti karbohidrat dan protein menjadi senyawa karbon organik rantai pendek yang kemudian akan diubah menjadi senyawa asam. Asam yang terbentuk adalah asam organik. Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada rentang waktu dari hari pertama sampai hari ke-13 (Gambar 4.1). Pada hari ke-1 sampai hari ke-13 pH turun untuk ketiga reaktor dengan rentang 6,2 Âą 6,6. Pada rentang ini juga penghasil asam, seperti asam butirat, asam propionate, dan asam asetat sedang berkembang pada tahapan asidifikasi (asetogenesis, pH 4,8 - 6,5) (Reynold, 1982). Pada saat yang bersamaan akan terbentuk buffer yang akan menetralisir pH. Pada hari ke-14 sampai hari ke-15, terlihat kenaikan pH secara exponensial hingga rentang pH berkisar 6,8. Hal ini menunjukkan pada rentang tersebut bakteri penghasil asam membentuk suasana yang ideal untuk bakteri penghasil metan. Sedangkan bakteri pembentuk gas metan menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam (Reynold, 1982). Pada hari ke 15 Âą 31 nilai pH berada pada kondisi stasioner (mendekati netral) yaitu pada rentang 6,7 Âą 7, hal ini sesuai dengan pH optimum untuk pertumbuhan bakteri anaerob adalah pada rentang 6,8 -7 (Yadvika, 2004). Selama range pH stasioner ini berlangsung, bakteri penghasil metan akan terus mensintesis senyawa asam asetat menjadi metan (biogas). Pada

G ambar 3.2 H ubungan C O D vs W aktu COD awal untuk ketiga reaktor adalah masing-masing 2600 untuk reaktor 1, 1700 untuk reaktor 2, dan 2800 untuk reaktor 3. Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa ketiga reaktor mengalami penurunan COD dari hari pertama sampai hari ke-32 dengan nilai penurunan COD 1905 mgO2/L atau 72% pada reaktor 1 (R1), 2237 mgO2/L atau 81% untuk reaktor 2 (R2), dan 2574 mgO2/L atau 91% untuk reaktor 3 (R3). Dari ketiga reaktor tersebut penurunan tertinggi terjadi pada reaktor 3 (R3) dengan nilai COD akhir sebesar 227 mgO2/L. Penurunan COD untuk ketiga reaktor ini terjadi karena adanya proses degradasi senyawa organik pada lindi yang dikonversi menjadi metana. Penurunan COD dari hari ke-4 sampai dengan hari ke15, mikroorganisme lebih banyak mengkonversi COD atau senyawa organik kompleks pada lindi (substrat) menjadi senyawa organik sederhana (rantai pendek) seperti asam butirat, asam propionat dan sedikit asam asetat, sementara sebagian kecil sudah terkonversi menjadi metana. Sedangkan pada hari ke 15 sampai ke 32 proses degradasi terjadi untuk mengkonversi asam-asam organik menjadi CH4 (metana). Proses degradasi ini didukung oleh pH optimum yang terjadi dalam reaktor seperti yang diuraikan pada Gambar 4.1 yaitu pada hari ke 15 Âą 32. 3.3.4 VSS ( Volatile Suspendid Solid) Volatile suspended solid (VSS) merupakan pendekatan untuk memperkirakan jumlah mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengolahan lindi (Reynold, 1982). Hubungan antara nilai VSS dengan waktu dapat dilihat pada Gambar 3.3.

93


#%""" !$""" !#""" !""""

'& '% "

&"

%"

!"

'!

+,-./%&0,12%-34*% G ambar 3.3 H ubungan M L VSS vs W aktu Nilai VSS mewakili jumlah mikroba yang terkandung dalam reaktor, Dari Gambar 3.3, dapat dilihat nilai VSS untuk ketiga reaktor berada pada rentang 38000 mg/L sampai 43000 mg/L. Nilai VSS tidak terlalu berfluktuatif. Hal ini menunjukan bahwa mikroorganisme sudah beradaptasi untuk mendegradasi senyawa organik pada lindi menjadi asam asam rantai pendek dan metan (CH4). Secara keseluruhan untuk ketiga reaktor VSS mengalami penurunan, hal ini dikarenakan terjadi pengenceran kandungan organik dalam campuran yang terjadi karena senyawa organik terurai menjadi senyawa asam organik yang selanjutnya dikonversi menjadi metana (Eckenfelder, 1979). 3.3.5 K omposisi Biogas Kandungan biogas terdiri atas metana (CH4), karbondioksida (CO2), oksigen dan sedikit nitrogen, amoniak dan hidrogen sulfida (H2S) (Hambali, 2007). Parameter biogas yang dianalisis pada penelitian ini adalah presentasi gas metana. Hubungan persentase gas metana dengan waktu dapat dilihat pada Gambar 3.4.

$" :%;0<%

(" #"

'&

%"

'% '!

" &"

%"

)""" #""" !"""

'&

%"""

'%

&"""

'!

" "

)

&"

&)

%"

%)

!"

+,-./%&=,12%-34*%

:%;0<%78%+,-./%

"

#>?/'3%@2>(,8%A31=,12%78%9,-./% #>?/'3%@2>(,8%&&'"*%

!"#$$%&'()"*%

0/5/6(,6%#$$%78%9,-./%

Pada rentang hari ke 15 sampai dengan akhir penelitian, persentasi CH4 pada R1 CH4 mencapai 56%, pada R2 65% dan pada R3 sebesar 57%. Persentasi dari ketiga reaktor tersebut sudah memenuhi syarat untuk dijadikan bahan bakar. Hal ini ditunjukkan dengan warna biru dan nyala yang besar pada saat uji bakar. Kandungan gas metana yang merupakan syarat untuk terjadinya pembakaran adalah 55% (Harahap, 1978). Jika dilihat dari ketiga reaktor kandungan CH4 yang paling cepat memenuhi syarat bakar sebanyak 55% adalah pada reaktor R2, dengan waktu pembentukan pada hari ke-18. Pembentukan CH4 dengan konsentrasi 55% diikuti oleh 2 reaktor lainnya, yaitu hari ke-23 untuk reaktor 1 dan hari ke-25 untuk reaktor 3. 3.3.6 Volume B iogas Pada penelitian ini volume biogas untuk ketiga reaktor mulai terbentuk pada hari ke-4 yang diindikasikan dengan naiknya tangki penampung gas. Hubungan antara volume biogas dengan waktu dapat dilihat pada gambar 3.5.

!"

+,-./%&=,12%-34*% G ambar 3.4 H ubungan % C H 4 vs Waktu Pada Gambar 3.4, dapat dilihat kadar gas CH4 (metana) sudah mulai terbentuk pada hari ke-8 dan memiliki persentasi 6% untuk reaktor 1 (R1), 17% untuk reaktor 2 (R2) dan 8% untuk reaktor 3 (R3). Untuk ketiga reaktor dari hari ke 8-32 kadar CH4 meningkat secara signifikan, hal ini dikarenakan terjadi degradasi senyawa organik sederhana, seperti asam asetat, pada substrat (lindi) menjadi gas CH4. Keberhasilan degradasi dipengaruhi oleh kondisi pH dalam reaktor. Sesuai dengan analisis pH yang sudah diuraikan sebelumnya nilai pH selama proses berlangsung dalam kondisi optimum dimana pada hari ke-14 nilai pH mulai naik secara signifikan menuju rentang pH yang stasioner antara 6,7-7. Pada rentang pH ini produksi metan berlangsung dengan baik.

G ambar 3.5 Volume biogas perhari vs waktu Dari Gambar 3.5 terlihat volume biogas mengalami kenaikan untuk ketiga reaktor mulai hari ke-4 sampai hari ke-15 dengan rata-rata volume biogas per hari sebesar 1,52 L untuk R1 ; 1,94 L untuk R2 dan 1,68 L untuk R3. Adanya kenaikan volume biogas menunjukan degradasi senyawa organik (lindi) berlangsung dengan baik yang sudah terbentuk mulai hari ke-4 (Reynold, 1982). Pada hari ke-16 sampai hari ke-28 volume biogas yang terbentuk perharinya semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh jumlah senyawa organik yang terkandung dalam substrat sudah mulai berkurang, maka proses degradasi per harinya pun berkurang. Pada hari ke-29 reaktor R1 dan reaktor 3 R3 sudah tidak lagi menghasilkan biogas sedangkan untuk reaktor R2 masih tetap menghasilkan biogas. Pada reaktor 1 dan 3, berhentinya produksi biogas dapat terjadi karena beberapa faktor: 1. Netralnya pH dalam reaktor yaitu pada hari ke-28 sebesar 7,2 untuk R1 dan 7,04 untuk R3. Hal ini mengindikasikan asam-asam organik sudah habis terurai, sehingga bakteri penghasil metan tidak lagi mendapat asupan makanan yang dibutuhkan (Reynold, 1982). 2. Senyawa organik kompleks sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan makanan bagi keseluruhan mikroba dalam reaktor R1 dan reaktor R3. Pada reaktor satu, jumlah mikroba yang banyak dengan kebutukan makanan yang sedikit, pada hari ke-28 menyebabkan berhentinya proses metabolisme anaerobik. Sedangkan reaktor R3, dengan jumlah mikroba sedikit (encer), dan senyawa

94


organik yang tersedia pun sangat sedikit, maka metabolisme menghasilkan biogas juga terhenti. 3.3.1 Volume B iogas K umulatif Hubungan volume biogas kumulatif dengan waktu dapat dilihat pada Gambar 3.6

[6] [7]

!"#$%&'()"*+,'6"%$#+2)7'8,'0+12$'

!"#$%&'()"*+,'-%./'

'!!!! [8]

&!!!! %!!!! $!!!!

("

#!!!!

(#

"!!!!

($

[9] [10]

! !

"!

#!

$!

[11]

0+12$'-3+4)'1&5/'

G ambar 3.6 Volume biogas akumulatif vs waktu Pada Gambar 3.6 dapat dilihat kenaikan volume kumulatif biogas untuk ketiga reaktor hamper sama. Perolehan total biogas sebanyak 39,5 L untuk reaktor R1, 50,5 L untuk reaktor R2 dan 43,7 L untuk reaktor R3. Dari ketiga reaktor, perolehan biogas terbesar terjadi pada R2. Hal ini menunjukkan variasi perbandingan volume kotoran sapi, air dan lindi pada reaktor 2 (R2) merupakan variasi yang paling tepat. Dengan melihat waktu pembentukan biogas, volume biogas yang terbentuk, dan persentase CH4 (metana) yang dihasilkan, maka reaktor 2 (R2) dipilih sebagai reaktor yang memiliki kondisi yang paling optimum. IV KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan, kondisi operasi optimum terjadi pada reaktor 2 (R2) dengan variasi antara starter (kotoran sapi) : air : substrat (lindi) sebesar 1 : 1,5 : 1 dengan penurunan COD sebesar 2237 mg O2/L atau 81%, waktu pembentukkan gas tercepat yaitu pada hari ke-18 dengan perolehan biogas sebesar 50,5 Liter dan persentasi gas CH4 tertinggi sebesar 65%. Reaktor 2 (R2) memiliki nilai pH pembentukan metana pada range pH 6,8-7,1 dan nilai MLVSS pada range 38000 mg/L Âą 42000 mg/L.

[12] [13] [14]

486/sampah-masih-menggunung-di-16-tps-kota-bandung (diakses 15 Januari 2013) Haryati, Tuti. 2006. Biogas: Li mbah Peternakan Menjadi Sumber Energi Alternatif . Wartazoa. 16: 160-169. Imas, Lilis. 2013. PD Pasar Kota Bandung : Volume Lawrence and McCarty, 1967. Kinetics of Methane Fer mentation in Anaerobic Waste Treatment. Tech. Rep. Department of Civil Engineering, Stanford University California. Mayasari, Herlina Dewi, dkk.. 2010. Pembuatan Biodigester dengan Uji Coba Kotoran Sapi Sebagai Bahan Baku . Laporan tidak ditebitkan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Mindriyani, 1993. Proses Pengolahan S ecara Anaerob. Pusat Antar Untiversitas Bidang Bioteknologi. Institut Teknologi Bandung. Mufti, Faradina. 2009. Biogas. http://faradlinam.blogspot.com/2009/11/ biogas.html (diakses pada 18 Januari 2013) Priambodho, K. 2005. Kualitas Air Lindi Pada Tempat Pe mbuangan Akhir Sa mpah Galuga Kabupaten Bogor tersedia online dalam :http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1410 9/C05pkr.pdf (diunduh pada 18 Januari 2013) Reynold, 1982. Unit Operations and Processes in Enviromental Engineering, PWS Publisher. Boston. Speece, R.E. 1996. Anaerobic Biotechnology for Industrial Wastewaters. Archae Press Nashville. Tennessee. Yulistiawati, E. 2008. Pengaruh Suhudan C/N Rasio Terhadap Produksi Biogas Berbahan Baku Sa mpah Organik S ayuran tersedia online dalam :http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1218 3/F08eyu.pdf?sequence=2 (diunduh 9 September 2012) LAMPIRAN Api biogas

DAFTAR PUSTAKA [1] Budiastuti, H. 2009. Jobsheet Praktikum Pengelolaan Li mbah Industri . Bandung : Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung. [2] Da Costa, Joaquim. 2011. Opti masi Produksi Biogas pada Anaerobic Digester Biogas Type Horizontal Berbahan Baku Kotoran Sapi dengan Pengaturan Suhu dan Pengadukan. Thesis tidak diterbitkan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. [3] Doerr, Beth dan Nate Lehmkuhl. 2008. Methane Digesters. Florida: Echo. [4] Eckenfelder, William Wesley. 1979. Principles of Water Quality Management . CBI Publishing Company. Boston. [5] Gandapurna ma, B. 2013.Sa mpah Masih Menggunung di 16 TPS Kota Bandun . http://bandung.detik.com/read/2013/01/03/120623/2132118/

Reaktor

Penampung gas

95


TICA 2013 ke-4 Realisasi Fiksi Sains Melalui Teknologi Metamaterial The 4th TICA 2013 Realization of Science Fiction Through Material Technology

A bstrak- 3HQHOLWLDQ WHQWDQJ ³5HDOLVDVL )LNVL 6DLQV 0HODOXL 7HNQRORJL 0HWDPDWHULDO´ PHPEDKDV PHQJHQDL PHWDPDWHULDO yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan masyarakat pembaca tentang pemanfaatan teknologi metamaterial dalam mewujudkan fiksi sains dan juga berdampak positif dalam membantu kesejahteraan hidup manusia. Penelitian ini dilakukan dengan teknik studi kepustakaan. Penulis membaca sejumlah referensi mengenai teknologi menghilangkan suatu objek dari penglihatan untuk memper kaya tulisan. Penelitian ini menyajikan realisasi dan verifi kasi dari pemanfaatan metamaterial yang dirancang untuk menekan total hamburan cahaya. M etamaterial mengungkapkan beberapa properti yang paling menarik yang pernah dilihat pada bahan dan akan memiliki potensi untu k mengubah industri dengan cara yang mendasar. A pli kasi bisa sangat luas mulai dari ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, dan bahkan bidang seni.

Kata Kunci: Metamaterial, Gelombang E lektromagnetik, Difraksi, Spektrum Cahaya, Indeks Bias. A bstract-Research on " Realization of Science F iction T hrough M etamaterial T echnology " discusses the metamaterial that aims to deepen the knowledge of the reading public about the use of technology in realizing metamaterial science fiction and also have a positive impact in helping the welfare of human life. T his research was conducted with library research techniques. W riters read a number of references to the technology removes an object of vision to enrich w riting. T his study presents the realization and verification of the use of metamaterial that is designed to reduce the total light scattering. M etamaterial properties reveals some of the most exciting I have ever seen in the material and will have the potential to change the industry in a fundamental way. A pplications can be very wide ranging from science, infor mation and communication technology, and even the arts.

Keywords: Metamaterial, E lectromagnetic Waves, Diffraction, Light Spectrum, Bias Index.

I PENDAHULUAN Teknologi tembus pandang sudah lama menjadi penelitian para ilmuwan. Militer juga membutuhkan teknologi ini dalam memperdaya musuh. Implikasinya, militer kerap menggunakan teknik kamuflase dengan mengenakan pakaian dan perlengkapan yang warnanya serupa dengan latar belakang tempat bertempur dalam rangka mengelabuhi pandangan musuh. Misalnya ketika bertempur di hutan, para tentara mencoreng wajahnya sedemikian rupa dan membawa dedaunan di sekujur tubuhnya agar tampak seperti pohon.

Ketika terlibat dalam pertempuran dengan medan bersalju, umumnya para tentara memakai pakaian serba putih. Helm yang mereka pakai pun berwarna putih. Dengan demikian posisi mereka tidak mudah terlihat musuh karena serupa dengan warna salju. Teknik kamuflase semacam ini mengadopsi sifat mimikri pada bunglon.

96


Pada tahun 2004, teknologi metamaterial sudah mulai diperkenalkan. Namun, penggunaannya masih sangat sederhana dalam membuat pemakainya seolah-olah tembus pandang pada benda dua dimensi sehingga teknologinya dapat dikatakan belum sempurna. Ketertarikan akan memecahkan misteri di balik teknologi ini akhirnya membuahkan hasil dan merealisasikan bahwa suatu benda dapat dibuat tembus pandang seperti hal fiksi yang sering kita lihat dalam film Harry Potter. Penemuan ini benar-benar membuat perubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Hanya beberapa tahun yang lalu seluruh ilmuwan ternama dunia masih yakin bahwa tidak ada satupun material yang bisa membuat manusia menghilang. Itu benar-benar tidak mungkin, karena itu melanggar semua hukum alam yang diketahui manusia. Opini itu ternyata bisa terbantahkan .Bahkan, para ilmuwan memprediksi bahwa dalam sepuluh tahun ke depan metamaterial ini akan mampu menghilangkan pesawat.

G ambar 1. Metamaterial bertugas sebagai media pembelok cahaya, sehingga benda tiga dimensi yang dilapisi metamaterial tidak akan tertangkap oleh mata.

II PEMBAHASAN Metamaterial adalah material-material buatan yang tidak tersedia dalam alam. Metamaterial terbuat dari campuran magnesium florida, teflon, dan serat komposit menggunakan teknologi nanomaterial. Metamaterial ini mampu membelokkan cahaya di sekitar objek sehingga objek itu tidak memantulkan cahaya. Akibatnya, objek itu tidak tertangkap oleh mata. Sifat metamaterial adalah transparan bila terpapar oleh cahaya matahari. Hal tersebut yang membuatnya mampu menghilangkan benda tiga dimensi dari pandangan (Engheta, 2006 : 7). Sistem ini bekerja seperti air di sekitar sebongkah batu yang menonjol di permukaan air. Aliran air ibarat menembus badan batu untuk selanjutnya meneruskan alirannya. Padahal air membelok sedemikian rupa dan kemudian meneruskan alirannya di belakang badan batu. Meski demikian, para peneliti di Berkeley menyatakan beberapa kendala dalam mewujudkan jubah yang sama persis seperti yang dimiliki Harry Potter. Pertama, bahan tersebut hanya mampu bekerja dalam panjang gelombang atau warna tertentu. Kedua, bahan tersebut berupa metal yang rentan. Ketiga, masih sulit memproduksi bahan semacam itu dalam skala yang luas. M etamaterial T embus Pandang Pengembangan metamaterial oleh Prof. Xiang Zhang ini membiarkan gelombang radio dan cahaya yang mengenainya untuk terus mengalir, bukannya dipantulkan. Seperti aliran air di sekitar batuan yang menonjol di permukaan sungai. Cahaya yang jatuh di atasnya selalu dibelokkan sehingga tak pernah memantul. Oleh karena itu, bayangan si pemakai jubah berbahan metamaterial ini seperti tidak terlihat oleh mata. Sesuai hukum fisika, benda hanya terlihat oleh mata jika terdapat cahaya yang dipantulkan benda dan jatuh ke retina mata.

G ambar 2. Sebuah ilustrasi tentang bagaimana ikan dalam air terlihat oleh pengamat, dengan garis merah yang menandai pembiasan cahaya dan garis-garis ungu mewakili jalan menuju tempat ikan terlihat, yang ditampilkan di atas lokasi yang sebenarnya.

Ditinjau dari segi indeks bias suatu material, maka material terbagi atas dua jenis, yaitu PIM ( positive index material ) dan NIM ( negative index material ) (Engheta, 2006 : 87) . PIM adalah material yang memiliki indeks bias positif, sedangkan NIM adalah material yang berindeks bias negatif. Indeks bias didefinisikan sebagai n= c/v

(1)

dengan c = kecepatan cahaya dan v = kecepatan penjalaran gelombang elektromagnetik dalam suatu medium. Selain itu, n juga bisa dirumuskan dalam persamaan maxwell sebagai n2= em

(2)

dengan e adalah dielektrik relatif dan m adalah permeabilitas magnet relatif. Dari persamaan tersebut, kita bisa mendapatkan dua nilai n. Yaitu Nilai positif sebesar n= (em)1/2

(3)

Nilai negatif sebesar n= Âą (em)1/2

(4)

97


Jika dikonstruksikan dengan benar, metamaterial dapat mencapai indeks bias negatif. Saat gelombang elektromagnetik seperti cahaya bergerak dari indeks medium yang rendah ke indeks medium yang lebih tinggi, gelombang tersebut belok menuju garis perpendikuler ke permukaan. Namun, jika cahaya memasuki material berindeks negatif, gelombang berbelok ke arah yang berlawanan, seolah-olah dipantulkan di luar garis secara tegak lurus. Jubah tembus pandang tersebut merupakan VXDWX ³PDQWHO NDUSHW´ GDUL VLOLNRQ EHUVWUXNWXU QDQR \DQJ menyembunyikan keberadaan benda±benda yang diletakkan dibawahnya dari pendeteksian optikal. Sementara karpet itu sendiri masih bisa dilihat, tonjolan dibawah objek tersebut menghilang dari pandangan. Kilauan sinar pada tonjolan tersebut menunjukkan suatu rekleksi yang identik pada sinar yang terefleksi dari permukaan yang datar, maksudnya objek itu sendiri secara esensial telah dibuat tidak terlihat pandangan. Manusia berhasil menemukan teknologi yang memungkinkan suatu benda menjadi tidak terlihat karena tembus pandang. Hal itu dilakukan dengan memanipulasi RSWLN 8QWXN PHZXMXGNDQ µPDQXVLD WUDQVSDUDQ¶ GLEXWXKNDQ bahan retro reflektif khusus (permukaannya dipenuhi semacam manik-manik) sehingga bisa membelokkan cahaya. Alam telah menyediakan benda-benda yang dapat membelokkan cahaya seperti air, es, udara, berlian, kaca, dan safir. Suatu bahan yang permukaannya penuh dengan manikmanik kaca akan mengikat cahaya dengan proses yang disebut refraksi. Akibatnya cahaya yang datang dipantulkan kembali melalui jalan yang sama, sehingga pengamat mendapatkan lebih banyak cahaya yang terefleksikan. Dengan demikian, pengamat akan melihat refleksi yang lebih terang.

tersebut dipasang kamera video digital yang berfungsi merekam gambar di belakang orang yang bersangkutan. Oleh komputer, gambar yang telah direkam diproses sedemikian rupa sehingga menghasilkan image yang realistik pada saat diproyeksikan. Kemudian proyektor menerima image dari komputer dan menyorotkannya ke sebuah alat yang disebut combiner. Cermin tembus pandang yang setengahnya terbuat dari perak itu mempunyai sifat benar-benar memantulkan cahaya. Cermin tersebut bertugas memantulkan image dari proyektor ke arah orang yang mengenakan jubah. Jubah itu berfungsi seperti layar film yang memantulkan cahaya secara langsung ke arah sumbernya, yaitu cermin. Suatu benda akan terlihat mata apabila ada cahaya. Ketika ada sinar datang, permukaan benda akan memantulkan sinar yang diterimanya. Lalu kumpulan cahaya yang dipantulkan tersebut bergerak dari benda menuju mata dan menembus lensa mata. Selanjutnya lensa mata membiaskan dan menjatuhkan cahaya secara terbalik di retina mata. Sinar yang jatuh di retina mata diubah menjadi sinyal-sinyal listrik dan diteruskan ke bintik kecil di bagian belakang otak yang merupakan pusat penglihatan oleh saraf-saraf neuron. Kemudian sinyal listrik tersebut diterima sebagai sebuah bayangan setelah mengalami sederetan proses. Dalam bintik kecil yang berada di bagian belakang otak yang sama sekali gelap dan terlindung dari cahaya itulah penglihatan terjadi. Mekanisme pemantulan cahaya juga menjadi dasar penelitian penelitian bahan pembuat jubah ajaib. Ilusi optik yang menjadi pondasi penelitian cara menghilangkan suatu objek dari pandangan mata terjadi karena mata pengamat terpedaya. Hal itu mungkin terjadi lantaran kesalahan penangkapan mata manusia.

G ambar 3. Ilustrasi percobaan yang dilakukan ilmuwan jepang

Pada tahun 2004, ilmuwan Jepang bekerja keras menghilangkan objek dengan menjadikannya transparan. Caranya, seseorang mengenakan mantel dari bahan retro reflektif khusus yang kedap cahaya. Di belakang orang

G ambar 4. Sifat reflektif cahaya pada permukaan metamaterial

98


Cahaya yang dipantulkan jubah ke arah cermin akhirnya jatuh ke mata orang yang mengamati, Karena cahaya yang dipantulkan jubah mengandung image pemandangan di belakang orang yang memakai jubah, maka efek tembus pandang pun terjadi.

Metamaterial juga memungkinkan kita untuk menyembunyikan objek dari bentuk yang paling dikenal terhadap kemungkinan serangan untuk pertahanan militer (menyembunyikan objek strategis dan lain-lain). Namun, metamaterial bukan hanya tentang tembus pandang visual membuat bangunan anda "tak terlihat", namun juga untuk gelombang gempa agar bisa masuk desain bangunan standar dalam 10 tahun. Cloaking wifi / sel jaringan dari interferensi dari jaringan lainnya bisa meningkatkan bandwidth jaringan. Sebagian juga bisa untuk cloaking permukaan monitor anda agar dapat mengurangi ketegangan mata dan menghapus refleksi.

Meta material untuk Lensa Super

G ambar 5. Contoh penggunaan metamaterial yang disisipkan ke dalam pakaian

Metamaterial juga digunakan untuk membuat lensa super yang memungkinkan kita untuk melampaui batas difraksi lensa normal tergantung pada ukuran pengaturan geometrid an bahan-bahan yang digunakan. Teknologi metamaterial juga dapat digunakan untuk membuat chip lebih kecil melalui lensa resolusi tinggi, mikroskop super, dan lensa kamera telepon mobile yang lebih baik, transfer daya nirkabel yang lebih fokus, pencitraan satelit yang lebih baik, sel surya yang lebih efisien, laser yang lebih fokus dan masih terbuka untuk alat-alat lainnya yang memiliki lensa. Namun untuk saat sekarang, teknologi lensa super masih terbatas pada satu frekuensi dan belum ke spektrum cahaya terlihat tapi rintisan ini telah dibuka. Selanjutnya lensa super dapat diterapkan pula pada jenis gelombang lainnya, akustik, seismik dan magnetik misalnya mikrofon yang sangat peka sekaligus aman untuk perangkat mobile.

Meta material untuk bidang Mekanika

G ambar 6. Percobaan penyisipan metamaterial dalam jubah sehingga terlihat tembus pandang.

Meta material untuk Gelombang Metamaterial memperoleh sifatnya yang dapat membuat suatu benda menjadi tembus pandang melalui interaksinya dengan gelombang.

Metamaterial dapat membalikkan indeks bias cahaya, namun teknologi terbaru juga mengungkapkan bahwa metamaterial juga dapat digunakan untuk membalikkan sifatsifat bahan di luar bidang optik (karakter mekaniknya). Sebagai contoh, ketika metamaterial kita tekan ke dalam sepotong busa elastis atau balon, normalnya, busa akan tertekuk ke dalam. Namun dengan metamaterial, kita dapat membuat busa menyembul ke arah luar menuju arah gaya datang / melawan tekanan jari kita. Jadi, sifat mekanisnya juga terbalik. Ini adalah penemuan terbaru yang dibuat pada tahun 2012. Aplikasi teknologi metamaterial akan sangat luas meliputi teknologi sneakers (sepatu yang lebih nyaman), casing handphone yang lebih baik yang tidak pecah ketika anda menjatuhkannya

99


Antena WI F I yang lebih baik Intelektual Ventures Nathan Myhrvold baru-baru ini menemukan antena metamaterial yang akan membantu meningkatkan bandwith koneksi internet anda. Masingmasing unsur antena metamaterial dapat disetel untuk mengarahkan gelombang radio. Demikian juga, ini berarti ponsel yang lebih baik karena menghemat energi. Dan di sisi operator ponsel ini berarti membuat transceiving data yang lebih hemat daya.

Membalik Arah Waktu Salah satu teori liar yang juga berkembang karena hadirnya metamaterial adalah proses untuk membalik arah waktu. Seperti kita ketahui, jika anda menjatuhkan handphone anda dan kemudian pecah berantakan, sedikit yang bisa anda lakukan. Namun dengan metamaterial, sebuah benda bisa dipasang semacam blue print komponennya (atau semacam DNA teknis). Hal ini memungkinkan rekonstruksi ulang handphone anda ke keadaan semula. Bukan dengan merakit ulang komponennya namun dengan membalik karakteristik bahannya pada level mikroskopis.

Kuantum Levitasi Penemuan lain dari teori bahan akan mengerucut dan mempengaruhi atau saling mempengaruhi. Teori itu datang dari teori Bossen Einstein, yakni ketika suatu bahan didinginkan pada suhu mutlak (sekitar -273oCelcius) akan membuat bahan tersebut mengungkapkan karakteristik asli dari atom-atom penyusunnya. Jadi, di sisi yang lebih eksperimental, metamaterial dapat menciptakan bahan campuran besi yang bisa melayang secara statis (kuantum levitasi) yang telah menjadi daya tarik tersendiri karena teori di bidang ini masih belum terpecahkan sepenuhnya). Mahasiswa dari Tel Aviv University (TAU) PHQXQMXNNDQ HIHN Âľpengunci kuantumÂś atau Âľperangkap kuantumÂś DWDX \DQJ GLVHEXW Quantum Levitation dalam konferensi tahunan Association of Science di Maryland, Amerika Serikat (AS).

G ambar 8. Mahasiswa ini memperagakan bagaimana magnet beku bisa melayang di mana pun ia meletakkannya di dalam medan magnet saat kondisinya di balik. Bahkan benda ini berjalan melingkari trek dengan posisi sama.

Manfaat Jubah Ajaib Bagi Dunia Pertahanan Untuk membuat jubah ajaib seperti yang dimiliki Harry Potter memang masih banyak tantangannya. Namun hal itu bukan tidak mungkin bisa diwujudkan, mengingat penelitian yang dilakukan dari tahun ke tahun semakin menunjukkan realisasi jubah ajaib itu kian dekat. Bagi dunia militer dan pertahanan, tentunya keberadaan akan alat itu akan memberikan sejumlah manfaat seperti: 1. Dapat melengkapi teknologi siluman kendaraan tempur. 2. Memudahkan penyerangan kepada musuh. Dengan kondisi yang tidak dapat terlihat oleh mata, maka seorang tentara akan lebih mudah berjalan ke markas lawan atau ke arah pasukan lawan untuk melakukan serangan. 3. Memudahkan kegiatan mata-mata dan pengintaian terhadap musuh, tersangka teroris, ataupun pihak-pihak yang diduga hendak melakukan kerusuhan.

G ambar 7. Magnet beku yang melayang di atas rel dalam pengaruh medan magnet.

100


III. KESIMPULAN Metamaterial ini mampu membelokkan cahaya di sekitar objek sehingga objek itu tidak memantulkan cahaya. Akibatnya, objek itu tidak tertangkap oleh mata. Metamaterial memperoleh sifatnya yang dapat membuat suatu benda menjadi tembus pandang melalui interaksinya dengan gelomban. Ilusi optik yang menjadi pondasi penelitian cara menghilangkan suatu objek dari pandangan mata terjadi karena mata pengamat terpedaya.

U C A PA N T E R I M A K ASI H Penulis berterimakasih kepada Ibu Endang Soegiartini sebagai dosen pembimbing dan sebagai dosen pengampu mata kuliah Konsep Pengembangan Ilmu Pengetahuan ITB, yang kembali mengingatkan ilmu-ilmu fisika, astronomi, kimia, dan matematika serta memberikan masukan atas penulisan paper ini. Juga kepada keluarga yang memberikan dukungan baik dukungan moral maupun materiil. Tak lupa terimakasih diberikan kepada teman-teman Fakultas Teknologi Industri - E yang bersedia meluangkan waktu untuk bertukar pikiran dan memberi semangat.

R E F E R E NSI Engheta, Nader. 2006 . Meta material dala m F isika dan Eksplorasi Teknik. Pennsylvania: aWiley-IEEE Press pp 78146 [2] http://www.faktailmiah.com/2013/03/27/metascreen-ultratipis-setahap-mewujudkan-mantel-tembus-pandang-ala-harrypotter.html diakses tanggal 10 Agustus 2013 pukul 14.00 WIB [3] http://iopscience.iop.org/1367-2630/15/3/033037/ diakses tanggal 10 Agustus 2013 pukul 14.00 WIB [4]http://www.teknologiterbaru.com/home/teknologibahanterb arumetamaterialyangeksotis diakses tanggal 10 Agustus 2013 pukul 14.00 WIB [5] http://majalahakuanaksaleh.com/jubah-meta-materialsaingan-jubah-penghilang-harry-potter/ diakses tanggal 10 Agustus 2013 pukul 14.00 WIB [6] http://un2kmu.wordpress.com/2009/09/20/metamaterialsebuah-teknologi-yang-akan-membuat-jubah-ajaib-harrypotter-menjadi-kenyataan/ diakses tanggal 10 Agustus 2013 pukul 14.00 WIB [1]

101


A N A L ISIS K A N D U N G A N A I R D I SE K I T A R P E M B A N G U N A N B E N D U N G A N U N I V E RSI T AS D IP O N E G O R O M E N G G U N A K A N M E T O D E G E O L IST RI K K O N F I G U R ASI SC H L U M B E R G E R Seftyand S Briyantara(1,a), Agnis Triahadini(1,b), Anjar Evita(1,c), Dr. Eng. Udi Harmoko, M.Si(2,a) (1)

Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto SH Tembalang Semarang E-mail : seftyand.briyantara@student.undip.ac.id (1,a), Anvta79@gmail.com (1,c), agnistriahadini@yahoo.co.id (1,b) (2) Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto SH Tembalang Semarang E-mail : diansya5@gmail.com

A bstrak Metode geolistrik merupakan metode geofisika yang menggunakan medan potensial listrik bawah permukaan sebagai objek pengamatan utamanya. Kontras resistivity yang ada pada batuan akan mengubah potensial listrik bawah permukaan tersebut sehingga bisa kita dapatkan suatu bentuk anomali dari daerah yang kita amati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk analisis kandungan air di sekitar bendungan Undip. Penelitian ini menggunakan metode geolistrik dengan konfigurasi Schlumberger. Instrumen yang digunakan adalah resistivitymeter yang dilengkapi dengan empat buah elektroda yang memiliki kemampuan dalam pembacaan output respon tegangan akibat arus yang diinjeksikan ke dalam permukaan tanah melalui dua buah elektroda arus dan dua buah elektroda potensial. Dalam penelitian ini digunakan software ip2win untuk pengolahan datanya. Dari hasil pengolahan data terlihat bahwa lapisan batuan yang menyusun daerah di sekitar bendungan Universitas Diponegoro didominasi oleh lempung (basah) namun juga ada lempung (kering) yang ada di permukaan pada line 1. Berdasarkan nilai resistivitas batuan yang diperoleh terdapat air permukaan yang ada pada batuan sedimen dan air tanah alami yang juga pada batuan sedimen. Kata Kunci: Resistivitas, Schlumberger, ip2win, air

Abstract Geoelectric resistivity method is a geophysical method that uses an electric potensial field under the surface as the main object of observation. Resistivity contrasts that exist in the rock will change the electrical potential under the surface so that we can get some form of regional anomalies that we observe. The purpoVH RI WKLV UHVHDUFK LV WR DQDO\VLV ZDWHU FRQWHQW LQ DURXQG 8QGLSÂśV GDP This research used the resistivity geoelectric method with Schlumberger configuration. The instrument which is used a Resistivitymeter with four electrodes that able to read the output of voltage respon as consequence current that has been injected in the land surface through two potential electrodes and two current electrodes. This study used ip2win software for processing the data obtained. F rom the results of data processing is seen that at 8QGLSÂśV GDP OLWKRORJ\ FRQVLVW RI WZR layers i.e. clay (dry) and clay (wet), but it dominated by clay (wet). F rom the rock value resistivity, there are surface water on the sedi ment rock dan nature ground water also on sedi ment rock. Key words: Resistivity, Schlumberger, ip2win, water I. P E N D A H U L U A N Salah satu proyek pembangunan yang sedang dilakukan oleh Universitas Diponegoro adalah proyek pembangunan bendungan/waduk Universitas Diponegoro. Proyek pembangunan bendungan ini rencananya akan digunakan sebagai area rekreasi bagi mahasiswa dan atau bisa juga digunakan untuk penelitian mahasiswa. Mega proyek ini telah berlangsung !

beberapa bulan dan baru selesai sekitar 40%. Selain itu bendungan ini juga digunakan untuk penilaian/akreditasi universitas dan diharapkan Universitas Diponegoro selain menjadi universitas yang unggul juga menjadi universitas yang nyaman, hijau dan asri nantinya. Dalam pembangunan bendungan ini tentunya tidak akan terlepas dari air. Oleh karena itu

1

102


dibutuhkan penyelidikan geofisika untuk mengetahui cadangan air yang ada di sekitar bendungan Universitas Diponegoro. I I. L A N D ASA N T E O R I Sakka (2001) mengatakan bahwa tujuan survey geolistrik tahanan jenis adalah mengetahui perbedaan tahanan jenis ( resistivitas) bawah permukaan bumi dengan melakukan pengukuran di permukaan bumi. Pengukuran dengan konfigurasi schlumberger menggunakan 4 elektroda, masing-masing 2 elektroda arus dan 2 elektroda potensial dimana telah dilakukan oleh Azhar dan Gunawan Handayani (2004) dengan pemodelan berskala laboratorium untuk mengukur tahanan jenis suatu bahan. Ilustrasi garis ekuipotensial yang terjadi akibat injeksi arus ditunjukkan pada dua titik arus yang berlawanan di permukaan bumi (Gambar 1).

Gambar 1. Pola aliran arus dan bidang ekipotensial antara dua elektroda arus dengan polaritas berlawanan (Bahri, 2005) Beda potensial yang terjadi antara MN yang disebabkan oleh injeksi arus pada AB adalah : οܸ ൌ ܸெ െ ܸே (1) οܸ ൌ ߩൌ

ூఘ ଵ ቂቀ ଶగ ஺ெ

ଵ ଵ ቁെቀ ஻ெ ஺ே

ଶగ ቂቀ

భ భ భ భ ି ቁିቀ ି ቁቃ ಲಾ ಳಾ ಲಿ ಳಿ

ଵ ቁቃ ஻ே

(2) (3)

Sehingga, ߩൌ݇

!

ο௏ ூ

Dengan I adalah arus dalam Ampere, ¨V adalah beda potensial dalam Volt, ૉ adalah tahanan jenis dalam Ohm meter dan k adalah faktor geometri elektroda dalam meter, maka: ݇ൌ

ଶగ భ భ భ భ ቂቀ ି ቁିቀ ି ቁቃ ಲಾ ಳಾ ಲಿ ಳಿ

(5)

k merupakan faktor koreksi geometri dari konfigurasi elektroda potensial dan elektroda arus. Pengukuran geolistrik ini dilakukan pada 3 lintasan. Setiap lintasan memiliki bentangan 400 meter. Alat yang digunakan dalam pengukuran geolistrik ini yaitu resistivitymeter. Bumi tersusun atas lapisan-lapisan tanah yang nilai resistivitas suatu lapisan tanah atau batuan tertentu berbeda dengan nilai resistivitas lapisan tanah atau batuan lainnya. Nilai resistivitas ini dapat diketahui dengan menghubungkan battery dengan sebuah Ammeter dan elektroda arus untuk mengukur sejumlah arus yang mengalir ke dalam tanah, selanjutnya ditempatkan dua elektroda potensial dengan jarak a untuk mengukur perbedaan potensial antara dua lokasi (Utama, 2005). A. K onfigurasi Schlumberger Metode geolistrik tahanan jenis memiliki beberapa konfigurasi, yaitu konfigurasi Schlumberger, konfigurasi Wenner, konfigurasi dipole-dipole dan konfigurasi Square. Konfigurasi yang umumnya digunakan yaitu konfigurasi Schlumberger. Setiap konfigurasi elektroda mempunyai metode perhitungan tersendiri untuk mengetahui nilai ketebalan dan tahanan jenis batuan di bawah permukaan. Nilai tahanan jenis semu tergantung pada geometri konfigurasi elektroda yang digunakan, atau yang sering didefinisikan sebagai faktor geometri ( K ). Susunan elektroda arus dan tegangan konfigurasi Schlumberger seperti tampak pada gambar 1.

(4)

2

103


Gambar 1. Susunan elektroda konfigurasi Schlumberger

Harga resistivitas berbagai jenis tanah/batuan dan air sebagaimana terlihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Tahanan jenis berbagai batuan dan air (Telford, 1990).

I I I. M E T O D E P E N E L I T I A N Penelitian dilakukan di sekitar pembangunan bendungan Universitas Diponegoro. Tahapan kegiatannya meliputi survei pendahuluan termasuk mencari lintasan (line) yang akan dilalui, pengambilan data geolistrik, pengolahan data geolistrik dan interpretasi. Pengambilan data resistivitas menggunakan Resistivitymeter NANIURA Model NRD 22 S. Elektroda arus dan elektroda potensial menggunakan batang besi sepanjang 50 cm. Susunan elektroda metode

resistivity menggunakan konfigurasi Schlumberger spasi elektroda potensial dimulai dari 1m, 1.5m, 2m, 5m, 10m, 20m dan seterusnya sampai bentangan maksimum sesuai dengan kondisi di lapangan. Tahapan pengolahan data pertama kali dengan menghitung nilai apparent resistivity ȡD dengan memasukkan nilai V , I , A B/2, M N dan k ke dalam program Microsoft Excel . Selanjutnya interpretasi dan pemodelan perlapisan batuan menggunakan software ip2win.

I V . H ASI L D A N P E M B A H ASA N Pengukuran geolistrik tahanan jenis dilakukan di sekitar pembangunan bendungan Universitas Diponegoro, persisnya terletak pada koordinat S 7° 3.136' E110°26.588' dengan elevasi 209 m untuk line 1, S 7° 3.292' E110°26.834' dengan elevasi 211 m untuk line 2, dan S 7° 2.891' E110°26.761' dengan elevasi 210 m untuk line 3. Berikut adalah peta lokasi pengukuran geolistrik menggunakan bantuan Google Earth.

!

3

104


Gambar 2. Peta lokasi pengambilan data geolistrik Dari pengolahan data yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut.

Gambar 3. Hasil pemodelan line 1 menggunakan software ip2win

Gambar 4. Hasil pemodelan line 2 menggunakan software ip2win

!

4

105


Gambar 5. Hasil pemodelan line 3 menggunakan software ip2win

Tabel 2. Hasil interpretasi lapisan tanah dan air untuk line 1 T ahanan Jenis (ɏm) 14.8 ± 95.1 28.7 ± 71

L itologi

A ir

K edalaman (m)

Lempung (kering) Lempung (basah)

Air permukaan (batuan sedimen) Air permukaan (batuan sedimen)

0 ± 3.3 3.3 ± 84.3

Tabel 3. Hasil interpretasi lapisan tanah dan air untuk line 2 T ahanan Jenis (ɏm) 8.88 ± 14.3 7.48 ± 56.1 3.83 ± 47.1

L itologi

A ir

K edalaman (m)

Lempung (basah) Lempung (basah) Lempung (basah)

Air tanah alami (batuan sedimen) Air tanah alami (batuan sedimen) Air tanah alami (batuan sedimen)

0 ± 2.43 2.43 ± 7.38 7.38 ± 35.8

Tabel 4. Hasil interpretasi lapisan tanah dan air untuk line 3 T ahanan Jenis (ɏm) 27 ± 75.5 13.1 ± 64.3

L itologi Lempung (basah) Lempung (basah)

V. K ESI M PU L A N Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa lapisan batuan yang menyusun daerah di sekitar bendungan Universitas Diponegoro didominasi oleh lempung (basah) namun juga ada lempung (kering) yang ada di permukaan pada line 1. Untuk air yang diteliti, berdasarkan nilai resistivitas yang diperoleh terdapat air permukaan yang ada pada batuan sedimen dan air tanah alami yang juga pada batuan sedimen. Ketersediaan air yang cukup ini akan

!

A ir

K edalaman (m)

Air permukaan (batuan sedimen) 0 ± 3.4 Air permukaan (batuan sedimen) 3.4 ± 35.8 membantu dalam proses pembangunan bendungan Universitas Diponegoro. Untuk mengetahui lebih detail jenis dan tebal lapisan batuan, maka perlu dilakukan pengeboran untuk memperoleh sampel batuan. Sampel batuan diuji di laboratorium Mekanika Tanah untuk mengetahui sifat - sifat fisik dan mekanik tanah, sehingga dapat digunakan untuk penelitian yang lain. U C A P A N T E R I M A K ASI H Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Eng. Udi Harmoko, M.Si selaku pembimbing kami. Kalab. Geofisika

5

106


Universitas Diponegoro atas ijin peminjaman alat Âą alatnya. Tidak lupa kepada teman Âą teman kami, Mas Akbar, Mas Bagus, Aliya, Rizal, Yayan, Alifa, Saiful, Wildan, Wisnu, Indah, Anggit, yang telah membantu pengambilan data, kami ucapkan banyak terima kasih. D A F T A R PUST A K A Azhar dan Gunawan Handayani, 2004. Penerapan Metode Geolistrik Konfigurasi Schlumberger untuk Penentuan Tahanan Jenis Batubara, Jurusan GeofĂ­sika Terapan ITB, Bandung. Bahri. 2005. Hand Out Mata Kuliah Geofisika Lingkungan Dengan Topik Metoda Geolistrik Resistivitas, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITS, Surabaya

Sakka, 2002. Metoda Geolistrik Tahanan Jenis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ¹ UNHAS, Makassar. Telford, W.M., Geldart, L.P., Sheriff, R.E. DQG .H\V ' $ ³ Applied Geophysics, QG (GLWLRQ´. Cambridge University Press, Cambridge: London, New York, Melbourne.

!

6

107


TICA 2013 ke-4 Studi Kualitas Air Tanah Pada Daerah Aliran Sungai Karst Di Sekitar Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Indonesia The 4th TICA 2013 Groundwater Quality Study in Karst Watershed Area on Merakurak Subdistrict, Tuban District, Indonesia Pambudi, Setia1, Sulistijo, Budi2 1

Mahasiswa Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Bandung. Email: pambudi.setia@ymail.com, 2 Dosen Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Bandung. Email: budis@mining.com

A bstrak- K ualitas air dapat dilihat dari besaran ion-ion yang ter kandung di dalamnya. Dengan berbagai macam ion-ion ini juga dapat dilakukan studi untuk mengklasifikasikan air serta melihat bagaimana air terdistribusi di bawah tanah. Penelitian ini dilakukan dengan melihat hubungan antara daerah aliran sungai dengan mengklasifikasikan air dari masingmasing daerah aliran sungai tersebut dengan dilihat komponen zat padat terlarutnya, daya hantar listriknya, kesadahannya, serta keberadaan dari ion-ion utama yang ter kandung. Penelitian ini memperlihatkan pola konektivitas masing-masing daerah aliran sungai yang dinilai mempunyai arah aliran airtanah yang serupa. Dengan analisis hubungan antara zat padat terlarut, daya hantar listrik, dan kesadahan serta analisis Piper Diagram didapatkan bahwa airtanah di daerah penelitian ini merupakan air yang berasal dari daerah batugamping tetapi air yang berada di daerah utara telah terintrusi oleh air laut sehingga kesetimbangan ionnya berubah. Dengan analisis Chadha Diagram menunjukkan bahwa di selatan merupakan daerah resapan air sedangkan ke arah utara menjadi daerah pertukaran ion dan ada sebagian daerah yang merupakan daerah terintrusi air laut. Dengan analisis-analisis tersebut dibuat suatu analisis pola konektivitas antara daerah aliran air sungai yang menunjukkan bahwa secara umum airtanah mengalir dari wilayah selatan ke arah utara menuju laut. K ata kunci²Daerah A liran Sungai, K ualitas, K onektivitas Airtanah. A bstract- W ater quality can be seen from ionic amount consisting the water. T he study has been done by classifying the water and also analyzing how waters distributes underground. Study also done by analyzing cor relation between nearby watershed and classifying groundwater in each area of watershed by analyze some component like, total dissolved solid, electric conductivity, hardness, and ionic amount consisting the water. T his study analyze connectivity pattern of groundwater in each area of watershed that estimated have similar groundwater flows direction. W ith analysis of total dissolved solid, electr ic conductivity, hardness, and also Piper Diagram analysis, this study get information that groundwater around study area came from limestone area, but some water on northern area have been intruded by sea water so ionic stability had changed. C hadha Diagram analysis also gives some information that the southern area of study area are infiltration area but the northern area are ionic change area and on some area there have been intruded by sea water. W ith those information, study continued with analysis of connectivity pattern in watershed areas. T he result of the analysis is generally groundwater flows from southern area to north and ended to sea. K eywords²W atershed, G roundwater Q uality, G roundwater Connectivity

1.

Pendahuluan

Karst merupakan adalah satu bentuk khusus dari suatu daratan yang terdapat goa-goa dan sistem air bawah tanah dan dicirikan oleh adanya batuan yang mudah larut seperti batu gamping (Ford dan Williams, 2007). Pertumbuhan daerah karst ini tidak terlepas dari adanya air yang mengaliri daerah tersebut. Kualitas air, khususnya airtanah, sangat berpengaruh terhadap

kehidupan warga sekitar karena merupakan salah satu sumber kehidupan. Dari data kualitas air juga dapat ditentukan hubungan aliran airtanah antara setiap daerah aliran sungai yang berhubungan. Dengan adanya data kualitas kimia air yang dimiliki dapat dibuat suatu penelitian yang melihat hubungan antara tiap-tiap daerah melalui kualitas kimia air. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui parameter kualitas airtanah antara tiap-

108


tiap daerah aliran sungai yang berbeda. Selain itu dari data hubungan tersebut dapat diketahui pola konektivitas aliran air tanah pada daerah aliran sungai yang berdekatan. Ada berbagai macam metode yang dipergunakan dalam penelitian kali ini. Yang pertama adalah dengan menggunakan analisis Piper Diagram yang mengklasifikasikan fasies hidrokimia, dimana fasies ini merupakan fungsi dari litologi, kinetika larutan, dan pola aliran dari akuifer (Back dalam Fetter, 2001). Kedua adalah Diagram Chadha yang juga dapat digunakan untuk menginterpretasikan proses hidrokimia dalam 4 kuadran (Thilagavath, 2012). Yang ketiga adalah dengan melihat hubungan antara nilai zat padat terlarut, daya hantar listrik, dan kesadahan air. 2.

Kondisi Umum Daerah Penelitian

Anggota Ngrayong yang merupakan perselingan antara batu gamping dan lempung, Formasi Paciran terdiri dari batu gamping pejal dan batu gamping dolomitan, lalu Aluvium yang merupakan rombakan dari Formasi Paciran dan Tuban berupa pasir, lanau, dan kerikil. Pada daerah penelitian ini terdapat 4 Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yang digunakan acuan dalam pembuatan penelitian. Keempat DAS ini memiliki luas yang beragam yaitu DAS 1 seluas 8.204,65 Ha, DAS 2 seluas 9.606,03 Ha, DAS 3 seluas 11.758,38 Ha, dan DAS 4 seluas 8.402,77 Ha. Keempat DAS ini dianggap sebagai daerah tangkapan hujan dan ada yang masuk ke dalam tanah, selain itu ada juga yang terlimpas di permukaan tergantung media di permukaannya. Pembagian DAS ini berdasarkan keadaan morfologi daerah penelitian dan aliran sungai utama secara umum. (Gambar 2)

Penelitian dilakukan di sekitar daerah Tuban, Provinsi Jawa Timur. Kecamatan yang dilakukan penelitian antara lain Kecamatan Merakurak, Kecamatan Kerek, Kecamatan Tambakboyo, Kecamatan Jenu, serta sebagian Kecamatan Montong. Koordinat GDHUDK LQL EHUDGD GL ƒ Âś ´ Âą ƒ Âś ´ OLQWDQJ VHODWDQ GDQ ƒ Âś Âą 112° bujur timur. Menurut Situmorang dan Van Vessem (1992), daerah penelitian termasuk dalam kelompok Lajur Rembang yang tersusun oleh batuan karbonat tanpa batuan gunung api, dimana pengendapan pada umumnya terjadi di laut dangkal tidak jauh dari pantai (Gambar 1).

G ambar 2. Peta DAS Daerah Tuban

3. Data Penelitian

G ambar 1. Peta Geologi Daerah Tuban

Litologi pembentuk daerah ini diliputi oleh Formasi Tuban yang secara umum merupakan perselingan dari batu gamping dan batuan lain, Formasi Mundu yang berkarakteristik batu napalan,

Pada penelitian ini digunakan data sampling airtanah yang mereprentatifkan keseluruhan daerah penelitian ini. Selanjutnya sampel air yang dimiliki dikirim ke Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan untuk dilakukan pengujian fisika dan kimia air. Selanjutnya data kimia air tersebut diolah dengan Piper Diagram, Chadha Diagram dan Stiif Diagram. Masing pengolahan dilakukan dengan mengelompokkan sampel air berdasarkan daerah aliran sungai tempat sampel diambil (Tabel 1). T abel 1. Daftar Sampel Air Berdasarkan DAS DAS 1 MA08 MA10 MA11 sum9 S06

DAS 2 MA02 MA Brubulan MA Gemuntur S07 S10

sum1 sum2 sum3 sum4 sum5

DAS 3 Sndg Kerokan Sbr Gemblung

DAS 4 MA09 S08 S12 S13 S14

109


S21 S22

Bor Tlogowaru S11 S15 S16 S17 S18 S20 S28 S29

sum6 sum7 sum8 sum10 sum11 sum12 sum13 sum14 sumur wali

4. Hasi l Penelitian 4.1. Analisis Piper Diagram Piper Diagram digunakan untuk mengklasifikasikan fasies hidrokimia berdasarkan perbedaan komposisi kimianya. Sehingga dengan menggunakan Piper Diagram ini dapat mengidentifikasi jenis sampel air yang digunakan dalam penelitian ini. Piper Diagram untuk keempat DAS ditunjukkan oleh gambar 3.

lempung. Kemungkinan material dolomitan juga ikut tertransportkan menjadi lempung tersebut dan memberikan andil ke konsentrasi ion Mg2+ tersebut. Pada piper diagram DAS 2, sebagian besar sampel air masih berada pada daerah klasifikasi Ca2+ + Mg2+ HCO3- yang menandakan sampel-sampel tersebut berasal dari air yang melewati daerah karst. Pada sampel S 16, S 17 dan S 28 menunjukkan bahwa sampel air tersebut termasuk klasifikasi Na + +K+ - Cl+SO42-, menurut studi geolistrik yang dilakukan pada daerah tersebut, keadaan bawah permukaan disana telah terintrusi oleh air laut sehingga kandungan ionion tersebut menjadi tinggi. Sedangkan pada sampe S 07 dan sum4 yang termasuk klasifikasi Ca 2++Mg2+ Âą Cl-+SO42-, untuk S 07 dapat dilihat bahwa kandungan SO42--nya sangat tinggi dikarenakan pencemaran oleh pupuk maupun pembakaran sampah di dekat sumur, untuk sum4 kemungkinan dikarenakan terkena dampak dari intrusi air laut tetapi karena posisinya lebih jauh daripada sampel S 28 maka pengaruhnya menjadi tidak begitu besar. Pada piper diagram DAS 3 menunjukkan bahwa kedua sampel tersebut masuk ke dalam klasifikasi Ca2++Mg2+ Âą SO42- dan sesuai dengan keadaan geologi bawah permukaannya. Pada piper diagram DAS 4 menunjukkan bahwa kelima sampel tersebut merupakan air yang berasal dari karst, tetapi karena adanya gangguan dari intrusi air laut sehingga ion-ion pada tiap sampel air tersebut tercampur dan menyebabkan semua sampel tersebut tidak memiliki klasifikasi yang umum. 4.2. Analisis Hubungan Daya Hantar Listrik, Zat Padat Terlarut Dengan Kesadahan

G ambar 3. Piper Diagram Seluruh Sampel Air

Pada piper diagram di DAS 1, sebagian besar sampel air pada daerah tersebut masuk ke klasifikasi Ca2++Mg2+-HCO3-. Hal ini sesuai dengan keadaan geologinya yang merupakan daerah karst. Selain yang masuk klasifikasi tersebut adalah sampel S 21 dan S22. Sampel S 21 masuk ke dalam klasifikasi Na++K+HCO3-, berdasarkan sumber-sumber ion utama air ion Na+ dan K+ berasal dari mineral lempung maupun feldspar, hal ini bersesuaian dengan dengan keadaan bawah permukaannya pada peta geologi yaitu berupa aluvail sungai yang bermaterialkan lempung. Sampel S22 masuk dalam klasifikasi Mg2+-HCO3-, ion Mg2+ dapat berasal dari lempung maupun dolomit. Pada peta geologi, daerah tempat pengambilan sampel tersebut termasuk dalam alluvial sungai yang bermaterialkan

Kesadahan merupakan suatu ciri umum yang biasa ditemukan di daerah karst. Dengan membandingkan antara komponen kesadahan dengan daya hantar listrik dan zat padat terlarut (TDS) dapat dilihat ciri dari air pada suatu daerah seperti ditunjukkan oleh grafik pada gambar 4 s.d. 7.

G ambar 4. Grafik Hubungan Daya Hantar Listrik, Zat Padat Terlarut, Dengan Kesadahan DAS 1

110


G ambar 5. Grafik Hubungan Daya Hantar Listrik, Zat Padat Terlarut, Dengan Kesadahan DAS 2

Hubungan antara daya hantar listrik dan kesadahan hampir sama dengan hubungan antara daya hantar listrik dan kesadahan, dikarenakan sumber dari daya hantar listrik ini juga berasal dari ion-ion yang terkandung di dalam air. Kesadahan cukup berpengaruh pada daya hantar listrik juga dikarenakan pada daerah studi ini dikontrol oleh keadaan geologinya yaitu daerah karst yang banyak memberikan pengaruh pada konsentrasi ion Ca 2+ maupun Mg2+ yang merupakan sumber dari kesadahan. Pada DAS 4 pengaruh yang diberikan lebih kecil dibandingkan yang lain dikarenakan sumber dari daya hantar listrik ini juga dipengaruhi oleh ion lain yang cukup besar jumlahnya, yaitu Na + dan K+ yang berasal dari intrusi air laut. 4.3. Analisis Chadha Diagram Pada diagram Chadha (Gambar 8), ditunjukkan bahwa sebagian besar sampel air masuk ke dalam klasifikasi kuadran 1 yang merupakan air resapan. Sebagian yang lain masuk ke dalam klasifikasi pada kuadran 3 dan 4 yang merupakan tipe air dekat laut dan pertukaran ion basa (ion Ca2+ dan Mg2+ digantikan

G ambar 6. Grafik Hubungan Daya Hantar Listrik, Zat Padat Terlarut, Dengan Kesadahan DAS 3 Kuadran 4

Kuadran 1

Kuadran 3

Kuadran 2

dengan ion Na+ dan Mg2+ akibat keadaan litologi bawah permukaannya). G ambar 8. Chadha Diagram Keempat DAS G ambar 7. Grafik Hubungan Daya Hantar Listrik, Zat Padat Terlarut, Dengan Kesadahan DAS 4

Grafik tersebut (Gambar 4 s.d. 7) memperlihatkan bahwa kenaikan zat padat terlarut akan cenderung memberikan dampak kepada kenaikan nilai kesadahannya yang terjadi pada DAS 1 dan 2. Pada grafik yang ditunjukkan oleh DAS 3 juga menunjukkan hal yang sama, tetapi datanya belum dapat mewakili keseluruhan DAS tersebut. Pada DAS 4 terlihat bahwa kenaikan nilai kesadahannya menjadi lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang lain, hal ini dikarenakan kenaikan zat padat terlarutnya bukan berasal dari pelarutan ion dengan valensi lebih dari 1 melainkan berasal dari ion Na+ dan K+ yang kemungkinan berasal dari intrusi air laut.

Pada sampel DAS 1, yang masuk ke klasifikasi selain kuadran 1 adalah sampel S 21 dan S 22. Sampel S 21 dan S 22 masuk ke dalam kuadran 2 dan 3. S 21 masuk ke dalam kuadran 3 dikarenakan kandungan Na+ nya melebihi jumlah kandungan Ca2+ maupun Mg2+, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari litologi di sekitar sumur yang berupa alluvial dan memberikan ion Na+ yang berasal dari lempung Sedangkan untuk S 22 masuk ke dalam kuadran 2 dikarenakan kandungan Cl- nya lebih besar dari ion HCO3-, jika dilihat dari kandungan yang HCO3- yang di bawah rata-rata sumur di dekat sumur tersebut maka air dalam sumur tersebut berasal dari limpasan air hujan yang belum terlalu lama mengalir di bawah permukaan sehingga belum banyak terkandung ion karbonat.

111


Pada sampel DAS 2, secara umum sampelnya masuk ke dalam kuadran 1 lalu ada sebagian yang masuk ke dalam kuadran 2, 3 maupun 4. Untuk sampel yang masuk ke dalam kuadran 4 disebabkan oleh adanya intrusi air laut seperti ditunjukkan pada sampel S 16, S 17 dan S 28. Sampel sum 4 yang masuk ke kuadran 2 disebabkan oleh pengaruh air laut yang berasal dari daerah di utaranya (S 28) tetapi efeknya yang tidak terlalu besar sehingga tidak masuk ke dalam kuadran 4. Sampel S 11 dan Bor Tlogowaru masuk ke dalam kuadran 3 disebabkan oleh pengaruh litologi bawah permukaannya yang berupa lempung dan berpengaruh ke kandungan ion Na+-nya. Pada sampel DAS 3, kedua sampel masuk ke dalam kuadran 1 dikarenakan keadaan bawah permukaannya yang berupa karst. Pada sampel DAS 4, tidak ada klasifikasi umum dari semua sampel karena berada pada perbatasan antar kuadran. Hal ini disebabkan oleh air dari daerah karst yang mengandung ion utama Ca2+, Mg2+ dan HCO3bertemu dengan intrusi air laut yang Clsehingga mengandung Na+ dan menyebabkan jumlah ionnya akan saling meniadakan jika menggunakan klasifikasi diagram Chadha.

hal serupa. Pada beberapa sampel airtanah yang memiliki bukan merupakan kategori air dari karst di DAS 1 seperti S 21 dan S 22, hal ini diakibatkan dari

G ambar 9. Model Aliran Airtanah Berdasarkan Nilai Kualitas (Lintasan 1)

4.4. Model Aliran Airtanah Pada DAS Yang Berdekatan Pada pembuatan model ini juga dibuat 2 model dengan lintasan yang berbeda, yaitu yang pertama adalah dari daerah Desa Montong ke utara hingga ke arah laut, yang kedua adalah dari Desa Kerokan hingga Kecamatan Jenu dan berujung ke laut di timur laut daerah penelitian. Dasar yang digunakan pada pembuatan model ini adalah analisis perbandingan daya hantar listrik, zat padat terlarut dan kesadahan, analisis Piper Diagram, analisis Chadha Diagram, data Stiff Diagram di sepanjang lintasan, serta keadaan geologi bawah permukaan berdasarkan peta geologi regional. Hasil model aliran airtanahnya ditunjukkan oleh gambar 9 dan 10. Secara umum, aliran air pada lintasan 1 melewati Formasi Paciran yang satuan batuannya berupa batu gamping. Hal ini bersesuaian dengan keadaan airtanahnya yang memiliki kandungan Ca2+ dan HCO3- yang tinggi. Dari analisis sebelumnya Piper Diagram dan Chadha Diagram juga mengungkapkan

G ambar 10. Model Aliran Airtanah Berdasarkan Nilai Kualitas (Lintasan 2)

keadaan bawah permukaannya yang merupakan alluvial sungai tetapi kandungan Ca2+ dan HCO3- nya tetap tinggi, dari hal ini dindikasikan bahwa air yang berasal dari Formasi Paciran masuk ke daerah alluvial sungai tersebut. Berdasarkan analisis sebelumnya juga, airtanah di DAS 4 merupakan air dari daerah batu gamping yang

112


telah mulai tercampur dengan ion lain seperti Na+ dan Cl-. Hal ini dimungkinkan berasal dari keadaan litologi bawah permukaannya dan juga mulai adanya intrusi air laut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada DAS 4 tersebut airtanahnya berasal dari DAS 1 dan untuk daerah yang letaknya dekat dengan pantai akan terpengaruh oleh air laut. Pada lintasan 2 yang melewati DAS 3 dan DAS 2 juga masih dikontrol oleh adanya formasi Paciran di bawahnya. Secara umum di sepanjang lintasannya ditemukan sampel airtanah yang berkarakteristik dari batu gamping baik dari mata air maupun air sumur. Hal ini juga bersesuaian dengan analisis Piper Diagram maupun Chadha Diagram. Jika dilihat dari morfologi bukit yang membatasi DAS 3 dan DAS 2 serta keberadaan sumur yang sulit ditemukan di dekatnya maka dapat dilihat bahwa air tanah yang berada pada perbatasan daerah ini merupakan air tanah yang jauh dari permukaan dan dapat dianalisis bahwa antara DAS 3 dan DAS 2 tidak terhubung dengan baik. Air tanah pada DAS 3 akan cenderung mengalir ke arah timur laut mengikuti Sungai Gembul. Untuk DAS 2 mulai di Desa Pongpongan ditemukan air yang kandungan ion Na+ dan Cl- yang di atas rata-rata sampel air lainnya. Hal ini mengindikasikan adanya intrusi air laut ke sistem airtanahnya sampai ke daerah sana, hal ini juga bersesuaian dengan analisis yang telah dilakukan sebelumnya. 5. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dengan analisis Piper Diagram, tiap DAS dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut: x DAS 1 dan DAS 3 masuk klasifikasi Ca+MgHCO3 yang menunjukkan bahwa airtanah di sana berasal dari daerah karst atau yang didominasi batu gamping. x DAS 2 sebagian besar masuk klasifikasi Ca+Mg-HCO3 yang menunjukkan bahwa airtanah disana berasal dari daerah karst dan sebagian lainnya masuk ke klasifikasi lain akibat pengaruh dari keadaan bawah permukaannya maupun pengaruh dari intrusi air laut. x DAS 4 tidak memiliki klasifikasi umum seperti DAS yang lain akibat pengaruh kondisi bawah permukaannya dan intrusi air laut. 2. Dengan analisis hubungan zat padat terlarut, daya hantar listrik, dan kesadahan didapat hasil sebagai berikut: x Keseluruhan DAS memiliki hubungan yang serupa pada perbandingan zat padat terlarut dengan daya hantar listrik.

x Kenaikan nilai kesadahan memberikan andil terhadap kenaikan nilai zat padat terlarut dan daya hantar listrik, tetapi khusus untuk DAS 4 nilai kenaikannya tidak sebesar DAS yang lain akibat pengaruh ion-ion lain yang bervalensi 1 (Na+, K+) 3. Dengan analisis Chadha Diagram, tiap DAS dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut: x DAS 1 sebagian besar masuk ke dalam kuadran 1 yang merupakan klasifikasi air resapan. Tetapi ada sebagian sampel yang masuk ke kuadran 2 & 4 yang merupakan daerah pertukaran ion. x DAS 2 sebagian besar masuk ke dalam kuadran 1 yang merupakan klasifikasi air resapan. Tetapi ada sampel lain yang masuk kuadran lain akibat pertukaran ion maupun intrusi dari air laut. x DAS 3 seluruh sampelnya masuk ke kuadran 1 yang merupakan klasifikasi air resapan. x DAS 4 seluruh sampelnya tersebar di keempat kuadran akibat keadaan bawah permukaannya maupun intrusi air laut. 4. Model aliran airtanah yang dibuat berdasarkan keseluruhan analisis yang telah dibuat maupun keadaan geologi bawah permukaannya menunjukkan bahwa antara DAS 1 dan 4 memiliki konektivitas yang baik pada alirannya dilihat dari morfologi yang landai dan nilai besaran ion utamanya yang menunjukkan kemenerusan aliran, tetapi pada DAS 2 dan 3 konektivitasnya kurang baik akibat morfologinya yang curam sedangkan dilihat dari nilai besaran ion utamanya tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4]

[5]

Fetter, C.W., Applied Hydrogeology , Prentice Hall, New Jersey, 2001. Ford, D. dan Williams, P., Karst Hydrogeology and Geomorphology, John Wiley & Sons Ltd, West Sussex, England, 2007. Situmorang, R.L. dan Van Vessem, E. J., Peta Geologi Lembar Jatirogo, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, 1992. Thilagavath R. dkk., A Study on Groundwater Geochemistry and Water Quality in Layered Aquifers System of Pondicherry Region, Southeast India, Springer, Applied Water Science, 253-269, 2012. Sulistijo, B. dan Kusumo, A.D., Dokumen Desain Tambang Batukapur Daerah Temandang, LAPI ITB, Bandung, 2013.

113


Uji Aktivitas Antiinflamasi Hati Interferon Alfa 2b Mutein 2 Titik pada Hewan yang Diinduksi Karbon Tetraklorida Liver Antiinflammation Activity Test Interferon Alpha 2b Two Points Mutein in Carbon Tetrachloride Induced Animals Tan Paramita W1,a, Dr. Heni Rachmawati2,b, Dr. rer. nat. Catur Riani3,c, dan Dr. I Ketut Adnyana4,d 1,2,3,4

Sains dan Teknologi Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Bandung. aEmail: tan.paramita@fa.itb.ac.id, b Email: h_rachmawati@fa.itb.ac.id, cEmail: catur@fa.itb.ac.id, dEmail: ketut@fa.itb.ac.id

Abstrak Âą ,QWHUIHURQ ÄŽ E PDQXVLD K,)1ÄŽ E GLNHQDO VHEDJDL SURWHLQ WHUDSHXWLN VWDQGDU XQWXN SHQJREDWDQ SHQ\ akit hepatitis B dan C. A kibat eliminasinya yang sangat cepat melalui ginjal, perlu dila kuk an modifikasi pada struktur nya dengan teknik sitedirected mutagenesis melalui substitusi kodon sistein pada posisi 2 dan 99 dengan asam aspartat. Bentuk mutein dari UK,)1ÄŽ E telah terbukti memiliki profil far ma kokinetik dan stabilitas lebih baik dibanding bentuk natifnya , sehingga perlu diuji lebih lanj ut efe k far makologinya pada model hewan. Studi anti inflamasi hati kronis dila kukan pada tikus yang diinduksi karbon tetraklorida VHFDUD LQMHNVL LQWUDSHULWRQHDO GXD NDOL VHPLQJJX VHODPD PLQJJX %DLN EHQWXN QDWLI GDQ PXWHLQ UK,)1ÄŽ E GLEHULNDQ —J SHU tikus secara injeksi intramuskular, sedangkan silima rin diberikan per oral 200 mg/kg bb. O bat uji dan obat pembanding diberikan dua kali seminggu selama 6 minggu. 3DUDPHWHU ELRNLPLD VHUXP GDUDK PHQXQMXNNDQ EDKZD UK,)1ÄŽ E PXWHLQ & ' & ' PHPLOLNL HIHN WHUDSL \DQJ OHELK EDLN GDODP PHQXUXQNDQ NDGDU $/7 $67 GDQ $/3 VHGDQJNDQ UK,)1ÄŽ E QDWLI GDSDW meningkatkan kadar albumin GDQ PHQXUXQNDQ NDGDU ELOLUXELQ 3URILO KLVWRORJL KDWL GDQ JLQMDO SDGD NHORPSRN REDW XML UK,)1ÄŽ E mutein C2D C99D menunj uk kan perbaikan struktur organ yang lebih baik dibandingkan bentuk natifnya. H asil penelitian menunj uk kan EDKZD UK,)1ÄŽ E PXWHLQ & ' & ' memiliki efe k antiinflamasi yang lebih baik dibanding bentuk natifnya. Kata Kunci ² Interferon alfa 2b re kombinan, mutein, natif, overp roduksi, SDS-P A G E

Abstract - +XPDQ LQWHUIHURQ ÄŽ E K,)1ÄŽ E LV NQRZQ DV VWDQGDUG WKHUDSHXWLF SURWHLQ IRU KHSDWLWLV % DQG C treatment. Due to rapid elimination through renal clearance, structure modification needs to be developed with site-directed mutagenesis technique by VXEVWLWXWLQJ F\VWHLQ FRGRQV DW SRVLWLRQV DQG ZLWK DVSDUWLF DFLGV UK,)1ÄŽ E PXWHLQ & ' & ' KDV EHHn proved to have better phar macokinetic profile and stability than its native for m. T herefore, this research is aimed to test its phar macologi cal effect in animal model. C hronic hepatic inflammation in rat was induced using carbon tetrachloride given by intraperitoneal injection WZLFH D ZHHN IRU IRXU ZHHNV 1DWLYH DQG PXWHLQ IRUPV RI UK,)1ÄŽ E ZHUH DGPLQLVWUDWHG E\ LQWUDPXVFXODU LQMHFWLRQ —J SHU UDW while silymarin was given orally 200 mg/kg B W . T he treatment were given twice a wee k for six weeks. Bioche mical parameter in EORRG VHUXP VKRZHG WKDW UK,)1ÄŽ E PXWHLQ & ' & ' VKRZHG EHWWHU WKHUDSHXWLF HIIHFW LQ UHGXFLQJ OHYHO RI $/7 $67 DQG $/3 ZKHQ UK,)1ÄŽ E QDWLYH SURYHG WR LQFUHDVH DOEXPLQ OHYHO DQG GHFUHDVH ELOLUXELQ OHYHO +LVWRORJLFDO DQDO\VLV RI OLYHU Dnd kidney in UDWV WUHDWHG ZLWK UK,)1ÄŽ E PXWHLQ & ' & ' JURXS VKRZHG EHWWHU LPSURYHPHQW LQ RUJDQ VWUXFWXUH FRPSDUHG WR LWV QDWLYH IRUP Keywords² Recombinant interferon alpha 2b, mutein, native, overproduction, SDS-PA G E

I. PENDAHULUAN Hepatitis C virus (HCV) merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia maupun di seluruh dunia. Infeksi virus hepatitis C dikenal sebagai kontributor utama penyakit kronis pada hati, meliputi hepatitis kronis, sirosis hati, dan hepatocellular carcinoma [7]. Menurut data dari organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2000, angka kejadian infeksi virus hepatitis C di Indonesia mencapai 2,4% dari seluruh penduduk (sekitar 7 juta penduduk). Virus hepatitis C genotipe 1 merupakan genotipe yang paling sering ditemukan di Indonesia (sekitar 60-65%) dan sulit disembuhkan. Di dunia, virus hepatitis telah menyerang hingga dua miliar penduduk. Saat ini diperkirakan 400 juta penduduk sedang terinfeksi hepatitis B dan sekitar 170 juta menderita infeksi hepatitis C. Indonesia sendiri menempati peringkat ketiga dunia setelah China dan India untuk penderita hepatitis. Jumlah penderita hepatitis B dan C di

Indonesia diperkirakan mencapai 30 juta orang. Setengahnya diduga memiliki penyakit liver kronis, 10 persen diantaranya menjadi kanker hati. Protein terapeuWLN UK,)1ÄŽ E SHUWDPD NDOL GLVHWXMXL 8QLWHG States Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1986 untuk terapi leukemia hairy cell dan saat ini sebanyak QHJDUD WHODK PHQJJXQDNDQ UK,)1ÄŽ E XQWXN EHUEDJDL macam terapi hepatitis dan kanker [4,8]. 3URGXN UK,)1ÄŽ E \DQJ WHODK GLSDVDUNDQ WHUVHEXW PHPLOLNL kekurangan yaitu waktu paro eliminasinya pendek akibat bersihan ginjal yang cepat. Waktu paronya berkisar antara 7 hingga 9 jam. Hal ini berdampak pada singkatnya waktu tinggal rata-rata obat dalam tubuh (mean residence ti me atau MRT) sehingga perlu dilakukan peningkatan frekuensi pemberian obat untuk menghasilkan efek terapeutik yang diinginkan. Peningkatan frekuensi pemberian obat sangat

114


berpengaruh terhadap kenyamanan pasien dan peningkatan efek samping obat. 'DODP UDQJND SHQLQJNDWDQ SURILO IDUPDNRNLQHWLN UK,)1ÄŽ E telah dilakukan modifikasi melalui substitusi asam amino sistein pada posisi 2 dan 99 dengan asam aspartat menggunakan teknik site-directed mutagenesis. Modifikasi WHUVHEXW PHQJKDVLONDQ EHQWXN PXWHLQ UK,)1ÄŽ E \DQJ memiliki profil farmakokinetik lebih baik daripada bentuk natifnya [6]. Aktivitas terapeutik bentuk mutein UK,)1ÄŽ E SHUOX GLXML lebih lanjut. Penelitian ini difokuskan pada penentuan aktivitas terapi rhI)1ÄŽ E EHQWXN PXWHLQ VHFDUD in vivo pada WLNXV :LVWDU MDQWDQ GHQJDQ UK,)1ÄŽ E EHQWXN QDWLI GDQ silimarin sebagai obat pembanding. Induksi inflamasi dilakukan dengan karbon tetraklorida sebagai senyawa hepatotoksik. Parameter keberhasilan induksi ditunjukkan dengan adanya perbedaan bermakna nilai indeks organ, biokimia serum darah, dan pengamatan histologi antara kelompok kontrol positif dan kontrol normal. II. DATA DAN PEMBAHASAN A. Overproduksi, Isolasi, Purifikasi, dan Karakterisasi UK,)1ÄŽ E 1DWLI GDQ MuteinC2D C99D 2YHUSURGXNVL SXULILNDVL GDQ NDUDNWHULVDVL UK,)1ÄŽ E QDWLI dan mutein C2D C99D telah berhasil dilakukan. Karakterisasi dengan SDS-PAGE (Gambar 1) menunjukkan munculnya pita berukuran 37 kDa pada washing ke 2 dan 3 serta eluat ke 1, 2, 3, dan 4.

G ambar 2 . Karakter LVDVL KDVLO SHPXUQLDQ WDKDS UK,)1ÄŽ E natif (A) dan mutein C2D C99D (B). (M = marka, C L = crude lysate, F T = flow trough, W = washing)

Hasil karakterisasi dengan SDS-PAGE setelah pemurnian ulang dengan kolom afinitas nikel memberikan pita tunggal pada flow trough dan washing ke 1. Flow trough dan washing NH SDGD UK,)1ÄŽ E QDWLI GDQ PXWHLQ & ' & ' dihitung konsentrasinya menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 595 nm. BSA ( bovine serum albumin) digunakan sebagai parameter penentuan kurva kalibrasi dengan persamaan garis y = 0,02286x + 0,248095, R! = 0,98. Persamaan garis yang diperoleh digunakan dalam penghitungan konsentrasi protein yang diperoleh dari hasil purifikasi tahap kedua dengan kolom afinitas nikel. T abel 1. H asil Pengukuran .RQVHQWUDVL UK,)1ÄŽ E 1DWLI GDQ Mutein C2D C99D dengan Spektrofotometer UV-Vis

No.

Sampel

$ ÄŽ QP

C (Âľg/mL)

1.

)7 UK,)1ÄŽ E QDWLI

0,336

60,126

2.

: natif

0,323

70,625

3.

)7 UK,)1ÄŽ E mutein C2D C99D

0,351

71,3246

4.

: UK,)1ÄŽ E mutein C2D C99D

0,349

52,427

A

B G ambar 1. .DUDNWHULVDVL +DVLO 3HPXUQLDQ UK,)1ÄŽ E 1DWLI $ dan Mutein C2D C99D (B). (M = marka, C L = crude lysate, F T = flow trough, W = washing, E = eluat )

Pita yang diperoleh menunjukkan bahwa protein belum murni karena masih terlihat pita pengotor dengan ukuran di EDZDK N'D 8QWXN PHPSHUROHK SURWHLQ UK,)1ÄŽ E QDWLI dan mutein C2D C99D yang lebih murni dilakukan purifikasi lebih lanjut menggunakan kolom afinitas nikel dan dikarakterisasi dengan SDS-PAGE (Gambar 2).

UK,)1ÄŽ E

B. Nilai Indeks Organ Karbon tetraklorida merupakan senyawa hepatotoksin yang banyak digunakan dalam model hepatotoksik. Induksi karbon tetraklorida pada hewan uji menimbulkan efek akut seperti kerusakan pada hati (pembengkakan, perubahan level enzim dalam hati, jaundice) dan kerusakan ginjal (nefritis, nefrosis, proteinuria). Proses biotransformasi karbon tetraklorida (CCl4) di hati dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (CYP)-2E1 dengan kofaktor NADPH mengubahnya menjadi bentuk radikal triklorometil (CCl-) yang akan berinteraksi dengan atom O menjadi bentuk reaktif triklorometilperoksi radikal (CCl O). Bentuk radikal tersebut mampu berikatan dengan protein dan lipid atau memisahkan atom hidrogen dari lemak tak jenuh untuk menginduksi peroksidasi lemak dan mengubah retikulum

115


endoplasma, mereduksi sintesis protein, dan meningkatkan level enzim transaminase dalam serum darah. TNF-Į WXPRU QHFURVLV IDFWRU-Į PHUXSDNDQ PHGLDWRU utama pada berbagai eksperimen model kerusakan hati. Peningkatan level TNF-Į PHQJLQGXNVL JHQ SURLQIODPDWRUL yang meliputi iNOS (nitric oxide synthase) dan COX2 (cyclooxygenase-2). Kerusakan hati dan inflamasi akan menimbulkan kerusakan hati yang lebih parah disertai fibrosis dan sirosis. Inhibisi terhadap sitokin dan enzim proinflamatori menjadi salah satu alternatif untuk mengobati penyakit inflamasi hati kronis [1]. Salah satu parameter kerusakan hati yang dapat diamati adalah peningkatan bobot organ bila dibanding terhadap kontrol normal (Tabel 2). Induksi karbon tetraklorida 30% dalam minyak zaitun menyebabkan pembengkakan hati yang ditunjukkan dengan peningkatan indeks organ hati yang berbeda bermakna (p<0,05) antara kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol normal. Pemberian obat uji UK,)1Į E PXWHLQ & ' & ' MXJD PHQXQMXNNDQ DGDQ\D perbedaan bermakna (p<0,05) dengan kelompok kontrol positif sehingga dapat disimpulkan adanya indikasi penyembuhan kerusakan hati, meskipun perbedaan tidak ditemui pada kelompok yang diobati dengan silimarin 200 mg/kg bb. Nilai indeks organ hati kelompok obat uji UK,)1Į E PXWHLQ & ' & ' MXJD PHQXQMXNNDQ SHUEHGDDQ bermakna (p<0,05) terhadap kelRPSRN REDW XML UK,)1Į E natif yang mengindikasikan penyembuhan yang lebih baik GHQJDQ REDW XML UK,)1Į E PXWHLQ & ' & ' 3DGD LQGHNV organ ginjal, tidak terlihat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol normal dengan kontrol positif namun dijumpai pada NHORPSRN REDW XML UK,)1Į E QDWLI GDQ PXWHLQ C2D C99D (p<0,05). Data peningkatan indeks organ tersebut berkorelasi dengan efek yang ditimbulkan oleh induksi karbon tetraklorida. Bentuk radikal dari karbon tetraklorida mampu berikatan secara kovalen dengan lipid pada membran sel, memungkinkan kalsium masuk ke dalam sel hati secara berlebih dan menimbulkan pembengkakan sel. Pembengkakan hati juga dapat disebabkan karena rusaknya sel hepatosit atau munculnya fibrosis yang menyebabkan pengerasan hati. Pembengkakan dan pengerasan hati yang ditimbulkan menyebabkan peningkatan bobot organ. C. Parameter Biokimia Serum Darah Gejala patologis yang teramati pada pasien dengan penyakit hati kronis mampu menjelaskan perubahan biokimia yang terjadi dalam darah. Munculnya nekrosis yang berkembang pada sel hepatosit mampu mengubah struktur arsitektur hati dan menandai peningkatan enzim parenkimal dalam serum darah dan ketidakmampuan hati dalam menjalankan fungsinya. (Gornall, 1986) Nekrosis hati adalah terjadinya gangguan integritas membran plasma, keluarnya isi sel dan timbulnya respon inflamasi. Respon ini menyebabkan banyak sel yang mati. Hal ini ditandai dengan peningkatan serum transaminase (ALT dan AST), bilirubin serum, serum alkalin fosfatase (ALP), gamma glutamil transferase (GGT), dan dehidrogenase laktat, selama 24 jam setelah pemberian. Fungsi hati secara normal digambarkan dengan keseimbangan aktivitas enzim transaminase (AST, ALT, dan ALP) yang ditemukan pada konsentrasi tinggi dalam sitoplasma sel hati. Pada kerusakan hati, ketidakstabilan

lisosom akibat induksi CCl4 menyebabkan pelepasan enzim tersebut ke aliran darah. Kadar ALT, AST, dan ALP yang tinggi dalam serum darah merupakan indikasi bahwa sel mengalami lisis atau kematian sehingga enzim yang seharusnya berada dalam sel berpindah ke dalam serum darah. Peningkatan konsentrasi enzim AST, ALT, ALP, dan bilirubin serum yang disertai dengan penurunan kadar albumin dan total protein dapat digunakan untuk diagnosis kerusakan hati pada model hepatotoksik dengan induksi CCl4. Kelompok kontrol normal memiliki aktivitas ALT berbeda bermakna (p<0,05) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol positif yang menunjukkan adanya indikasi kerusakan hati sehingga menyebabkan peningkatan enzim alanin transaminase (tabel 3). ALT merupakan aminotransferase dominan yang ditemui pada pasien dengan penyakit hati karena enzim ini tetap pada konsentrasi tinggi lebih lama bila dibanding enzim aminotransferase lainnya. Penurunan kadar ALT, AST, dan ALP ditunjukkan pada kelompRN REDW XML UK,)1Į E PXWHLQ & ' & ' GDQ REDW pembanding silimarin yang memiliki perbedaan bermakna terhadap kelompok kontrol positif (p<0,05). Silimarin merupakan flavonoid kompleks yang berasal dari tanaman milk thistle atau Silybium marianum L. Silimarin memiliki empat mekanisme utama yakni sebagai antioksidan, imunomodulator, antiinflamasi, dan antifibrosis (Luper, 1998) Menurut Muriel & Mourelle, pada hewan yang diinduksi karbon tetraklorida, silimarin berperan menjaga fungsi dan struktur membran hepatosit dengan cara mencegah terjadinya perubahan struktur fosfolipid akibat pemberian karbon tetraklorida serta dengan memperbaiki aktivitas ALP dan GGT (gamma glutamil transpeptidase). Aktivitas silimarin dalam mencegah lipid peroksidase berperan dalam menghambat terjadinya pelepasan enzimenzim transaminase ke dalam darah sehingga dapat menurunkan level ALT dan AST dalam serum darah. Kadar albumin dalam tubuh cenderung rendah pada pasien dengan kerusakan hati. Hal ini berkaitan dengan fungsi hati dalam mensintesis albumin yang mengalami penurunan perlahan pada penyakit hati akut dan banyak digunakan sebagai parameter spesifik bagi penyakit hati kronis. Penurunan kadar albumin disertai peningkatan kadar bilirubin pada hewan yang diinduksi karbon tetraklorida merupakan representasi ketidakmampuan hati dalam menjalankan fungsi normalnya. Secara umum, hati berperan dalam proses metabolisme dan eliminasi senyawa-senyawa biologi seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Albumin merupakan salah satu jenis protein yang dimetabolisme di hati. Adanya kerusakan pada hati menyebabkan penurunan kadar albumin seperti pada tabel 4 yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna penurunan kadar albumin pada kontrol positif bila dibandingkan terhadap kontrol normal (p<0,05). Kemampuan hati dalam mensekresikan zat-zat seperti garam empedu, kolesterol, bilirubin, dan lesitin juga menurun akibat adanya kerusakan sel hati yang disebabkan oleh induksi dengan karbon tetraklorida. Bilirubin sebagai produk hasil destruksi sel-sel darah merah yang sudah tua mengalami proses konjugasi di hati dan disekresikan di empedu. Konsentrasi bilirubin meningkat dalam darah disebabkan antara lain oleh peningkatan produksi,

116


penurunan konjugasi, penurunan sekresi dari hati atau hambatan pada saluran empedu. Banyak jenis penyakit hati seperti halnya penyakit-penyakit lain (misalnya kenaikan destruksi sel-sel darah merah) menyebabkan konsetrasi serum bilirubin meningkat. Pada penyakit hati kronis, konsentrasi serum bilirubin umumnya normal hingga jumlah kerusakan hati cukup signifikan dan adanya sirosis. Hasil penelitian (tabel 4) menunjukkan adanya peningkatan level bilirubin pada sampel serum darah kelompok kontrol positif yang berbeda bermakna terhadap kontrol normal (p<0,05). Peningkatan kadar albumin terlihat paling baik pada NHORPSRN REDW SHPEDQGLQJ VLOLPDULQ GDQ UK,)1ÄŽ E QDWLI sedangkan penurunan kadar bilirubin terlihat paling baik

SDGD NHORPSRN UK,)1ÄŽ E QDWLI 0HNDQLVPH VLOLPDULQ GDODP menghambat lipid peroksidase, meningkatkan kandungan sel GSH (glutathione sti mulating hormone), regulasi permeabilitas membran, serta meningkatan stabilitas membran pd kerusakan xenobiotik berperan dalam mengembalikan hati untuk bekerja sesuai fungsi normalnya. UK,)1ÄŽ E VHQGLUL WHUPDVXN VDODK VDWX VLWRNLQ GDlam sistem imun yang berperan mengaktivasi makrofag dan menghambat inflamasi (berhubungan dengan jalur COX2). Hambatan dalam proses inflamasi berperan mencegah terjadinya kerusakan sel hepatosit sehingga dapat menjalankan fungsi normalnya.

T abel 2. Indeks Organ Tikus Setelah Diinduksi Dengan Karbon Tetraklorida Selama 4 Minggu dan Pemberian Obat Selama 6 Minggu

Indeks Organ (%) Kelompok

Dosis Hati

Ginjal

Limpa

Jantung

Kontrol Positif (N=4)

0

3,55 Âą 0,360

0,30 Âą 0,029

0,19 Âą 0,047

0,30 Âą 0,014

Kontrol normal (N=3)

0

293 Âą 0,327*

0,29 Âą 0,067

0,15 Âą 0,032*

0,29 Âą 0,022

UK,)1ÄŽ E 1DWLI 1

0.5 Âľg/tikus

3,35 Âą 0,275

0,32 Âą 0,007*

0,19 Âą 0,008

0,32 Âą 0,063

3,03 Âą 0,275*b

0,32 Âą 0,026*

0,19 Âą 0,029a

0,25 Âą 0,028*ab

3,47 Âą 0,352

0,31 Âą 0,031

0,19 Âą 0,011

0,30 Âą 0,026

UK,)1ÄŽ E 0XWHLQ 1 0.5 Âľg/tikus Pembanding Silimarin (N=4)

200 mg/kg bb

T abel 3 . Konsentrasi A LT, AST, A LP Serum Darah Tikus Setelah Diinduksi dengan Karbon Tetraklorida Selama 4 Minggu dan Pemberian Obat Selama 6 Minggu

Parameter Kelompok

Dosis ALT (U/L)

AST (U/L)

ALP (U/L)

Kontrol Positif (N=4)

0

54,75 Âą 7,32

140,75 Âą 16,07

214,00 Âą 41,004

Kontrol normal (N=3)

0

43,67 Âą 13,051*

136,67 Âą 39,273

176,33 Âą 60,929

UK,)1ÄŽ E 1DWLI 1

0.5 Âľg/tikus

53,50 Âą 7,895

125,00 Âą 22,847

203,75 Âą 4,992

UK,)1ÄŽ E 0XWHLQ 1

0.5 Âľg/tikus

46,50 Âą 3,873*b

113,25 Âą 8,016*a

158,75Âą 34,913*b

Pembanding Silimarin (N=4)

200 mg/kg bb

43,50 Âą 6,351*

97,00 Âą 13,089*

185,50 Âą 34,103*

T abel 4. Konsentrasi Albumin dan Bilirubin Dalam Serum Darah Tikus Setelah Diinduksi Dengan Karbon Tetraklorida Selama 4 Minggu dan Pemberian Obat Selama 6 Minggu

Parameter Kelompok

Dosis Albumin (g/dL)

Bilirubin (mg/dL)

Kontrol Positif (N=4)

0

2,62 Âą 0,429

1,04 Âą 0,061

Kontrol normal (N=3)

0

3,24 Âą 0,378*

0,87 Âą 0,151*

117


UK,)1Į E 1DWLI 1

0,5 µg/tikus

2,93 ± 0,299*

0,56 ± 0,062*

UK,)1Į E 0XWHLQ 1

0,5 µg/tikus

2,89 ± 0,164*

0,72 ± 0,033*ab

200 mg/kg bb

2,94 ± 0,191*

0,64 ± 0,069*

Pembanding Silimarin (N=4)

D. Uji Histologi Salah satu gambaran patologis yang dapat teramati dari kerusakan hati akibat efek toksik karbon tetraklorida adalah nekrosis hati sentrilobular dan perlemakan hati difus. Penumpukan lemak yang terjadi biasa ditemui pada sel parenkim hati. Gambaran tersebut ditemukan pada pengamatan histologi organ hati dengan pewarnaan HE (hematosilin dan eosin) kelompok kontrol positif yang diinduksi dengan karbon tetraklorida. Kelompok tersebut memiliki arsitektur hati tidak beraturan, sel hepatosit mengalami kerusakan dan menumpuk di bagian tengah dekat vena sentral (gambar 3 kelompok kontrol positif). Perbaikan sel yang ditandai dengan degenerasi hepatosit terlihat pada kelompok obat pembanding silimarin dan obat XML UK,)1Į E PXWHLQ & ' & ' $UVLWHNWXU KDWL NHGXD kelompok tersebut menunjukkan struktur yang mendekati kondisi normalnya seperti yang terlihat pada gambar 3 kelompok kontrol normal dengan sel hati diantara sinusoid yang tersusun meradial tanpa adanya penumpukan lemak. Silimarin berperan menjaga stabilitas dan permeabilitas membran hati untuk mencegah masuknya agen hepatotoksik ke dalam hepatosit. Aktivitas silimarin sebagai promotor sintesis RNA ribosomal memungkinkan terjadinya stimulasi regenerasi hati [2]. Aktivitas tersebut yang mempengaruhi proses perbaikan sel hepatosit pada hewan yang diinduksi NDUERQ WHWUDNORULGD 6HGDQJNDQ UK,)1Į E VHFDUD XPXP berperan dalam menghambat terjadinya inflamasi yang ditimbulkan oleh berbagai sitokin seperti TNF dan IL-1

sehingga struktur sel hepatosit secara bertahap mengalami perbaikan dan mencegah timbulnya nekrosis. Gambaran patologi organ ginjal pada gambar 4 menunjukkan perbedaan struktur yang signifikan antara kelompok kontrol positif dengan kelompok kontrol normal. Adanya induksi karbon tetraklorida pada kelompok kontrol positif menyebabkan timbulnya inflamasi atau pembengkakan pada kapsula Bowman dalam glomerulus. Ukuran kapsula Bowman yang tidak mengalami perubahan SDGD NHORPSRN REDW XML UK,)1Į E QDWLI GDQ PXWHLQ & ' C99D serta obat pembanding silimarin dapat menjadi tolok ukur efek terapi yang ditimbulkan oleh pengobatan dengan UK,)1Į E GDQ VLOLPDULQ Organ limpa merupakan organ yang sangat berkaitan dengan sistem limfoid. Sistem ini berperan dalam menjalankan fungsi imunitas tubuh. Induksi senyawa hepatotoksin seperti karbon tetraklorida seharusnya mempengaruhi sistem imun dalam tubuh. Namun, pada pengamatan histologi organ limpa tidak terlihat adanya perbedaan diantara kelima kelompok (gambar 5). Pengamatan histologi dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan aktivitas regenerasi sel yang ditimbulkan oleh pemberian obat uji maupun obat pembanding. Profil KLVWRORJL RUJDQ KDWL GDQ JLQMDO SDGD REDW XML UK,)1Į E mutein C2D C99D menunjukkan adanya efek terapi yang lebih baik dibanding bentuk natifnya.

G ambar 3. Pengamatan H istologi Organ H ati dengan pewarnaan H E (hematosilin dan eosin).(a) kontrol positif; (b) kontrol normal; F REDW XML UK,)1Į E QDWLI G obat u ML UK,)1Į E PXWHLQ & ' & ' H obat pembanding silimarin. Tanda lingkaran menunjukkan kerusakan sel hepatosit dan nekrosis. Tanda panah menunjukkan vena sentral yang menjadi pusat radial susunan hepatosit.

118


G ambar 4. Pengamatan H istologi Organ Ginjal dengan pewarnaan H E (hematosilin dan eosin).(a) kontrol positif; (b) kontrol normal; F REDW XML UK,)1ÄŽ E QDWLI G REDW XML UK,)1ÄŽ E PXWHLQ & ' & ' H REDW SHPEDQGLQJ VLOLPDULQ 7DQGD OLQJNDUDQ PHQXQMXNNDQ struktur medullary ray yang tersusun rapi. Tanda panah menunjukkan kapsula Bowman.

G ambar 5. Pengamatan H istologi Organ Limpa dengan pewarnaan H E (hematosilin dan eosin).(a) kontrol positif; (b) kontrol QRUPDO F REDW XML UK,)1ÄŽ E QDWLI G REDW XML UK,)1ÄŽ E PXWHLQ & ' & ' H REDW SHPEDQGLQJ VLOLPDULQ

DAFTAR PUSTAKA

III. KESIMPULAN Berdasarkan uji aktivitas in vivo yang dilakukan terhadap SURWHLQ XML UK,)1ÄŽ E QDWLI GDQ PXWHLQ & ' & ' GLVLPSXONDQ EDKZD UK,)1ÄŽ E PXWHLQ C2D C99D menunjukkan efek antiinflamasi lebih baik dibandingkan UK,)1ÄŽ E EHQWXN QDWLI PHQXUXW QLODL LQGHNV RUJDQ parameter biokimia berupa ALT, AST, ALP serta profil histologi organ hati dan ginjal. Studi lebih lanjut seperti ekspresi protein dan gen yang terlibat pada inflamasi hati kronis perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran serta PHNDQLVPH NHUMD UK,)1ÄŽ E SDGD PRGHO \DQJ GLXML

[1]

[2] [3] [4] [5] [6]

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Dr. Heni Rachmawati sebagai dosen pembimbing utama, Dr. rer. nat. Catur Riani dan Dr. I Ketut Adnyana sebagai dosen pembimbing serta atas bimbingan, saran, dan dukungannya selama proses pengerjaan penelitian. Penulis menyadari banyaknya kekurangan dan berharap agar penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan terutama di bidang kefarmasian.

[7]

[8]

Domitrovic, R., H. Jakovacb, G. Blagojevi, ³Hepatoprotective Activity of Berberine is Mediated by Inhibition of TNF-Ď &2;-2, and iNOS Expression in CCl4-intoxicated Mice´, Toxicology, 280, 33¹43, 2011. Fraschini, F., G. Demartini, D. Esposti, ³3KDUPDFORJ\ RI 6LO\PDULQ´, Clin Drug Invest, 22(1):51-65, 2002. Gornall, A. G., Applied Biochemistry of Clinical Disorders, USA : J. B. Lippincott Company, 1986, p 221-223. Jemal, A., Brat F., Center, M.M., Ferlay, J., Ward, E. dan Forman, D., ³Global Cancer Statistics´ A Cancer Journal for Clinicians , p. 61, 69-90, 2011. /XSHU 6 ³A Review of plants used in the treatment of liver disease: Part 1´, Altern Med Rev, 3(6), 410, 1998. Ningrum, R.A., Substitusi Residu Sistein Menjadi Aspartat Pada Interferon Alfa-2b Manusia Melalui Rekayasa Protein Serta Kajian Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Antiproliferasi dan Waktu Tinggal Dalam Tubuh, Sekolah Farmasi, ITB, Bandung (2012) Utama, A. GNN ³Genotype Diversity of Hepatitis C Virus (HCV) in HCV-assosiated Liver Disease Patients in Indonesia´, Official Journal of The International Association for the Study of the Liver , 1, 2010. Wang, Y.S.,Youngster, S., Grace, M., Bausch, J., Bordens, R. dan :\VV ' ) ³Structural and biological characterization of pegylated recombinant interferon alpha-2b and its therapeutic implications´, Advanced Drug Delivery Review, 54, p. 547¹570, 2002.

119


Penggunaan Material Lokal Bambu Petung ( Dendrocalamus asper ) sebagai Solusi Kerusakan Jembatan di Daerah Terpencil The Use of Local Materials Petung Bamboo ( Dendrocalamus asper ) as Bridge Damage Solutions in Remote Areas 1

Erik Wahyu Pradana1,a, Ali Awaludin2,b

Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. aEmail: ewpradana@gmail.com 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. bEmail: ali.awaludin@ugm.ac.id

Abstrak- Salah satu material yang dapat digunakan pada struktur deck jembatan gantung pejalan kaki adalah bambu. Penggunaan bambu dirasa sangat menguntungkan karena mudah diperoleh, ringan, penger jaannya tidak memerlukan teknologi khusus, dan sifatnya sebagai bahan alam ramah lingkungan. T ulisan ini menyajikan perbandingan hasil perancangan dan analisis struktur deck jembatan gantung pejalan ka ki dengan bentang 30, 40, dan 50 m menggunakan bambu Petung. Jembatan gantung pejalan kaki dirancang dengan tipe bentang luar bebas (side span free). Struktur deck dirancang sebagai struktur rangka batang 3D dengan lebar 2 m dan tinggi 1,5 m serta disambung dengan baut menggunakan pengisi mortar. K abel utama ( main cable) berdiameter 22 mm dan kabel penggantung ( hanger) berdiameter 16 mm digunakan pada ketiga bentang jembatan. Dari hasil analisis pada elemen struktur truss samping (vertikal) bentang 30 m diperlukan 4 buah bambu Petung berdiameter 12 cm. Sedangkan pada bentang 40 m dan 50 m diperlukan 4 buah bambu Petung berdiameter 14 cm. Berdasar kan analisis lendutan diketahui bahwa lendutan yang ter jadi pada ketiga bentang masih berada dibawah lendutan izin. Berdasar kan kebutuhan penampang bambu, kemudahan pelaksanaan, dan lendutan yang ter jadi, bambu Petung mampu untuk digunakan sebagai material struktur deck jembatan gantung pejalan kaki untuk bentang 30, 40, dan 50 m. Kata Kunci ²jembatan gantung pejalan kaki, struktur deck , bambu Petung. Abstract- One kind of materials that can be used in pedestrian suspension bridge deck structure is bamboo. The use of bamboo is considered very beneficial because it is easily obtained, lightweight, the process does not require any special technology, and its eco-friendly natural material. This writing provides a comparison between design dan analysis result of pedestrian suspension bridge deck structure with 30, 40, and 50 m span using Petung bamboo.Pedestrian suspension bridge designed as side span free type. Deck structure designed as space truss structure with 2 m wide and 1.5 tall as well as is connected with bolted connection with mortar filler. The main cable with 22 mm in diameter dan hanger with 16 mm in diameter is used for all three bridge spans. Based on the analysis result of side truss structure (vertical) in 30 m span require 4 culms of Petung bamboo with 12 cm in diameter. While the 40 m and 50 m span require 4 culms of Petung bamboo with 14 cm in diameter. Based on the deflection analysis, it was found that the deflection occurs in all three bridge spans is still less than the allowable deflection. Based on the necessity of bamboo, ease of implementation, and deflection, Petung bamboo can be used as a structural material for pedestrian suspension bridge deck with 30, 40, and 50 m span. Keywords²pedestrian suspension bridge, deck structure, Petung bamboo.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jembatan yang merupakan bagian dari jaringan transportasi memiliki posisi yang sangat penting dalam menunjang kelancaran lalu lintas. Jembatan berfungsi sebagai penghubung daerah yang terpisah oleh sungai, jurang, rawa, selat, dan rintangan lainnya. Dengan adanya jembatan, daerah yang terpisah mendapatkan akses untuk terhubung sehingga waktu tempuh perjalanan dapat dipersingkat dan biaya transportasi yang dikeluarkan dapat berkurang. Oleh karena itu fungsi jembatan tidak hanya sebagai penghubung daerah yang terpisah namun juga berperan dalam terciptanya pemerataan wilayah dan ekonomi secara terpadu.

Namun demikian, di Indonesia masih banyak daerah yang belum memiliki akses untuk terhubung dengan daerah lain akibat rusaknya jembatan atau bahkan belum dibangunnya jembatan (lihat Gambar 1). Mengingat pentingnya jembatan dalam menunjang kegiatan masyarakat sehari-hari serta mendorong terciptanya pemerataan wilayah dan ekonomi, pembangunan jembatan di daerah pedesaan dirasa sudah sangat mendesak. Oleh karena itu diperlukan desain jembatan yang kuat, awet, murah, dan mudah dalam pelaksanaannya. Penggunaan material lokal seperti bambu dirasa sangat menguntungkan karena mudah diperoleh, ringan, pengerjaannya tidak memerlukan teknologi khusus, serta sifatnya sebagai bahan alam ramah lingkungan.

120


masing sifat mekanika tersebut diperoleh dari hasil analisis statistik dari beberapa pengujian yang sebelumnya pernah dilakukan T abel 1. Sifat Mekanika Bambu Petung

G ambar 1. Kerusakan Jembatan di Banten, Indonesia (sumber: http://www.dunia.news.viva.co.id)

Penggunaan bambu sebagai material struktur jembatan sudah pernah dilakukan oleh Morisco pada tahun 1994 untuk jembatan rangka batang (truss) dengan bentang 12 m. Pada perkembangannya, penggunaan bambu sebagai material struktur jembatan untuk bentang yang lebih panjang telah berhasil dilakukan. Di Indonesia, jembatan bambu dengan bentang 22 m telah berhasil dibangun di Bali. Sedangkan di Kolumbia, jembatan bambu dengan bentang 52 m juga telah berhasil dibangun. Selama ini desain jembatan bambu menggunakan tipe rangka batang ( truss), pelengkung ( arch), atau kombinasi keduanya. Mengingat pesatnya perkembangan penggunaan bambu sebagai material struktur jembatan, maka alternatif desain dan analisis struktur untuk tipe jembatan yang lain seperti tipe jembatan gantung (suspension bridge ) perlu dilakukan. Tulisan ini menyajikan perbandingan hasil perancangan dan analisis struktur deck jembatan gantung pejalan kaki dengan bentang 30, 40, dan 50 m menggunakan bambu Petung. Perancangan dilakukan dengan mengacu pada Pedoman dan Pelaksanaan Konstruksi Jembatan Gantung untuk Pejalan Kaki (2007) dan RSNI T-02-2005 Standar Pembebanan untuk Jembatan. Untuk memudahkan proses perancangan, analisis struktur dilakukan dengan bantuan software SAP 2000 v.11. B. Bambu Petung sebagai Material Struktur Bambu Petung ( Dendrocala mus asper ) adalah salah satu jenis bambu yang sering digunakan sebagai material struktur. Bambu jenis ini mempunyai rumpun yang agak rapat dan dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan air laut. Batang bambu Petung berwarna hijau kekuningan dengan panjang batang dapat mencapai 10-14 m. Bambu Petung dikenal sebagai bambu yang memiliki diameter batang yang besar. Diameter bambu Petung bervariasi antara 6-15 cm. Sifat fisika dan mekanika bambu Petung harus diketahui agar dihasilkan desain deck jembatan gantung pejalan kaki yang aman, nyaman, dan ekonomis. Sifat fisika bambu Petung yang perlu diketahui diantaranya adalah kerapatan (density) dan kadar air. Bambu Petung memiliki kerapatan sekitar 0,64 gr/cm3 dan kadar air sekitar 9,43%. Beberapa sifat mekanika bambu Petung yang perlu diketahui dalam perancangan dan analisis struktur dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai masing-

No. Jenis Pengujian 1 Kuat lentur rata-rata 2 Kuat tarik sejajar serat rata-rata 3 Kuat tekan sejajar serat rata-rata 4 Kuat tekan tegak lurus serat rata-rata 5 Kuat geser sejajar serat rata-rata 6 Modulus elastisitas lentur rata-rata 7 Modulus elastisitas lentur percentil ke-5 (sumber: Irawati dan Saputra, 2012)

(MPa) 134,972 228 49,206 24,185 9,505 12888,477 4614,060

Sifat mekanika bambu sangat dipengaruhi oleh keberadaan nodia (ruas) bambu. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kuat tarik bambu dengan nodia lebih rendah dibanding bambu tanpa nodia. T abel 2. Kuat Tarik Bambu dengan Nodia dan Tanpa Nodia No.

Jenis Bambu

1 Ori 2 Petung 3 Hitam 4 Legi 5 Tutul 6 Galah 7 Tali (sumber: Morisco, 1999)

Tanpa Nodia (kg/cm2) 2910 1900 1660 2880 2160 2530 1515

Dengan Nodia (kg/cm2) 1280 1160 1470 1260 740 1240 552

II. GEOMETRI DESAIN DAN BEBAN RENCANA A. Geometri Desain Struktur deck jembatan gantung pejalan kaki didesain dengan geometri seperti pada Gambar 2. d

h1 y

L1

p p

h2 L3

L2

G ambar 2. Geometri Desain Deck Jembatan

Detail geometri desain struktur deck jembatan gantung pejalan kaki untuk bentang 30, 40, dan 50 m dapat dilihat pada Tabel 3. T abel 3. Data Geometri Desain Deck Jembatan Data Perancangan L1 L2 L3 h1 h2 y d p Lebar deck

Bentang 30 m 6m 30 m 6m 1,5 m 5,5 m 2,5 m 3m 1,25 m 2m

Bentang 40 m 8m 40 m 8m 1,5 m 6,5 m 2,5 m 4m 1,25 m 2m

Bentang 50 m 10 m 50 m 10 m 1,5 m 7,5 m 2,5 m 5m 1,25 m 2m

B. Beban Rencana Beban rencana yang bekerja pada struktur deck jembatan gantung pejalan kaki berupa beban titik yang bekerja pada titik buhul ( joint), beban terdistribusi merata yang bekerja pada

121


batang struktur ( fra me), dan beban berjalan. Beban rencana tersebut antara lain berupa beban mati, beban hidup, beban kendaraan, dan beban angin. Beban mati berupa berat sendiri struktur dan beban mati tambahan berupa berat mati lantai 0,035 kN/m, berat mati sandaran 0,018 kN/m, berat mati mortar pengisi 0,039 kN/m, serta berat baut dan pelat buhul yang diasumsikan sebesar 10% berat sendiri struktur. Beban hidup sebesar 5 kN/m2 bekerja dalam dua kondisi pembebanan yaitu pembebanan simetri dan asimetri. Pada beban hidup simetri, beban bekerja sepanjang bentang jembatan. Sedangkan pada beban hidup asimetri beban hanya bekerja pada setengah bentang jembatan. Beban kendaraan rencana yang bekerja pada deck jembatan sebesar 20 kN. Beban ini dimodelkan sebagai beban berjalan yang bekerja pada bagian tengah deck jembatan. Beban angin rencana yang bekerja pada deck jembatan sebesar 1,3 kN/m2. Beban angin yang bekerja dipengaruhi oleh luas ekivalen deck jembatan dan pylon jembatan yaitu sebesar 30% luas total akibat desain struktur yang berupa rangka batang ( truss). Masing-masing beban rencana bekerja dengan kombinasi beban seperti pada Tabel 4. T abel 4. Kombinasi Beban Rencana Beban Rencana Berat Sendiri Beban Mati Tambahan Beban Hidup Simetri Beban Hidup Asimetri Beban Kendaraan Beban Angin

D DA LS LA MV W

1 ; ;

Kombinasi Beban Rencana 2 3 4 5 6 ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;

7 ; ; ; ;

III. PERBANDINGAN ANALISIS STRUKTUR A. Penamaan Elemen Struktur Deck Jembatan Untuk memudahkan proses perancangan dan analisis struktur, selanjutnya dilakukan penamaan pada masing-masing elemen struktur deck jembatan gantung pejalan kaki seperti pada Gambar 3.

G ambar 3. Penamaan E lemen Struktur Deck Jembatan

B. Perbandingan Nilai Gaya-Gaya Dalam Maksimum Proses analisis struktur dimulai dengan mengidentifikasi beban rencana yang bekerja pada struktur. Selanjutnya dilakukan asumsi awal terhadap penampang batang struktur (fra me) untuk kemudian dilakukan analisis struktur hingga diperoleh penampang ekonomis. Analisis struktur deck jembatan gantung pejalan kaki ini dilakukan dengan bantuan software SAP 2000 v.11. Output dari software SAP 2000 berupa gaya-gaya dalam yang bekerja pada batang struktur (fra me) akibat beban rencana yang bekerja pada struktur. Perbandingan gaya-gaya dalam maksimum pada struktur deck jembatan gantung pejalan kaki bentang 30, 40, dan 50 m dapat dilihat pada Tabel 5.

T abel 5. Perbandingan Nilai Gaya-Gaya Dalam Maksimum Elemen Struktur Gelagar Melintang (Atas) Gelagar Melintang (Bawah) Ikatan Angin Pengaku Lateral Truss Samping (Horizontal Atas) Truss Samping (Horizontal Bawah) Truss Samping (Vertikal) Truss Samping (Diagonal) Âą Daerah Tumpuan Truss Samping (Diagonal) Âą Daerah Lapangan

Aksial Tarik (kN) 1,781 2,426 1,141 2,760 35,457 28,624 4,936 95,790 1,781

Bentang 30 m Aksial Tekan (kN) 1,670 0,415 1,327 3,906 52,234 40,711 25,412 111,258 1,670

Momen Lentur (kNm) 0,733 1,064 0,886 0,029 3,129 2,936 30,435 9,629 0,733

Selanjutnya output software SAP 2000 v.11 pada Tabel 5 tersebut digunakan sebagai input analisis kebutuhan penampang bambu Petung sehingga diperoleh penampang bambu Petung yang mampu mendukung beban rencana dengan lendutan struktur di bawah lendutan izin. Struktur aman mendukung beban rencana jika nilai SF ( S afety factor ) • /HQGXWDQ VWUXNWXU GLEDWDVL / GLPDQD / DGDODK bentang jembatan. Sebagai contoh hitungan diambil gaya-gaya dalam yang bekerja pada elemen struktur Truss Samping (Horizontal Bawah) bentang 30 m yang menggunakan 2 buah penampang bambu Petung diameter 12 cm (lihat Gambar 4).

Aksial Tarik (kN) 1,901 2,366 1,140 2,906 55,681 35,943 4,964 139,908 1,901

Bentang 40 m Aksial Tekan (kN) 1,741 0,421 1,581 3,896 56,543 52,441 26,334 155,270 1,741

Momen Lentur (kNm) 0,725 0,974 0,894 0,026 3,129 2,991 49,409 10,670 0,725

Aksial Tarik (kN) 1,758 2,458 1,169 2,630 60,756 39,035 4,806 151,452 1,758

Bentang 50 m Aksial Tekan (kN) 1,586 0,404 1,792 3,883 72,681 60,959 49,097 171,165 1,586

Momen Lentur (kNm) 0,718 0,946 0,940 0,021 20,401 3,156 54,322 11,180 0,718

G ambar 4. Susunan Penampang Bambu Petung

122


Proses hitungan selengkapnya adalah sebagai berikut: Panjang segmen bambu : 1,25 m Jumlah segmen bambu : 2 buah : 0,12 m Diameter luar bambu (d1) : 0,096 m Diameter dalam bambu (d2) : 0,012 m Tebal bambu ( t) Luas netto bambu : 0,00814 m2 Ix : 2,759 x 10-4 m4 Iy : 1,202 x 10-5 m4 y : 0,06 m 1. Gaya aksial tarik Tegangan tarik izin bambu Petung ()œW) = 116000 kN/m2 = 28,624 kN Gaya aksial tarik ( P ) = P/An Tegangan aksial tarik ( ft) = 28,624 / 0,00814 m2 = 3515,163 kN/m2 = 116000 / 3515,163 SF (S afety F actor) • 2.

2. Gaya aksial tekan Tegangan tekan izin bambu Petung dengan memperhitungkan faktor tekuk adalah sebagai berikut:

= 2,936 x 0,06 / (1,202 x 10-5) = 14657,571 kNm = 134972 / 14657,571 SF (S afety F actor ) = 9 • 3 (OK) 4. Kombinasi gaya aksial tarik dan momen lentur Tegangan lentur yang terjadi lebih besar dibanding tegangan aksial sehingga terjadi tegangan tekan pada sisi atas penampang dan tegangan tarik pada sisi bawah penampang. Kontrol tegangan tarik pada sisi bawah penampang ݂௕ Ý‚௧ ŕľ… ŕľ‘ ͳǥͲ ‍ܨ‏ᇹ ௧ ‍ܨ‏ᇹ௕ ;͡ͳ͡ǥͳ͸; ͳ͜͸͚͡ǥ͚͡ͳ ŕľ… ŕľ‘ ͳǥͲ ͳͳ͸ͲͲͲ ͳ;͚͜͝ʹ ” 2.

Kontrol tegangan tekan pada sisi atas penampang Ü°Ý â€ŤÝ‚ Ý?Ý?‏௖ ݂௕ ྆ Ý‚௧ ŕľŒ ŕľ‘ ͳǥͲ! ‍ܨ‏Ԣ௕ ‍ܨ‏Ԣ௕ ͳ͜͸͚͡ǥ͚͡ͳ ྆ ;͡ͳ͡ǥͳ͸; ч Ď­Í•ĎŹ! ϭϯϰϾϳώ ” (OK)

K e = 1,00 l e= K e x L = 1 x 1,25 = 1,25 m (Âś05 = 0,69 x (Âśw = 0,69 x 12888477 = 8893049 kN/m2 ͳǥʹͲʹ š ͳͲିହ ‍܍‏ ŕľŒ ͲǥͲ;ͺ â€ŤÝŽâ€ŹŕľŒඨ ŕľŒඨ ͲǥͲͲͺͳ͜ ‍ܣ‏ ‍ܨ‏௖ா ŕľŒ

ߨ ଶ â€ŤÜ§â€ŹÔ˘ŕŹ´ŕŹš ŕľŒ ͺʹ͝ͳͺǥʹʹ͚ áˆşÝˆŕŻ˜ Č€â€ŤÝŽâ€ŹáˆťŕŹś

áˆş

͜͝͝͝ǥ͡Ͳ͜ ଶ Íł ͳ͜͸͚͡ǥ͚͡ͳ áˆť ŕľ…áˆş áˆť ŕľ‘ ͳǥ ͜͝͝͝ǥ͡Ͳ͜ ͜ͳͳͳ͚ǥͳʹ͝ ͳ;͚͜͝ʹ ͳ྆ ͺʹ͝ͳͺǥʹʹ͚

” 2.

‍ܨ‏௖‍ ×›â€ŹŕľŒ ͜͝ʹͲ͸ Â? Č€Â?ଶ Üż ŕľŒ Ͳǥͺ ‍ܼ‏௣ ŕľŒ

5. Kombinasi gaya aksial tekan dan momen lentur ݂௖ Íł ݂௕் áˆş áˆťŕŹś ŕľ… áˆş áˆť ᇹ ŕľ‘ ͳǥͲ Ý‚ ‍ ܨ‏௕் ‍ܨ‏Ԣ௖ ͳ྆ ௖ ‍ܨ‏௖ா௫

Íł ŕľ… ‍ܨ‏௖ா Ȁ‍ܨ‏௖‍כ‏ Íł ŕľ… ‍ܨ‏௖ா Ȁ‍ܨ‏௖‍ ×›â€ŹŕŹś ‍ܨ‏௖ா Ȁ‍ܨ‏௖‍כ‏ ྆ ඨáˆş áˆť ྆ ŕľŒ Ͳǥͺ;͸! Í´Üż Í´Üż Üż

‍ܨ‏Ԣ௖ ŕľŒ ‍ܨ‏௖ ‍ܼ‏௣ ŕľŒ ͜ͳͳͳ͚ǥͳʹ͝ Â? Č€Â?ଶ

C. Kebutuhan Penampang Bambu Petung Setelah diketahui gaya-gaya dalam pada struktur deck jembatan akibat beban rencana yang bekerja, selanjutnya dilakukan analisis struktur hingga diketahui kebutuhan penampang bambu Petung untuk setiap bentang deck jembatan. Perbandingan kebutuhan penampang bambu Petung pada struktur deck jembatan gantung pejalan kaki bentang 30, 40, dan 50 m dapat dilihat pada Tabel 6. T abel 6. Kebutuhan Penampang Bambu Petung

Tegangan izin bambu Petung ()ÂśF) = 41117,129 kN/m2 Gaya aksial tekan ( P )

= 40,711 kN

Tegangan aksial tekan ( f c)

= P/An

No.

Elemen Struktur

1

Gelagar Melintang (Atas)

2

Gelagar Melintang (Bawah)

= 40,711 / 0,00814 = 4999,504 kN/m2 SF (S afety F actor)

= 41117,129 / 4999,504 = 8 • 2.

3. Momen lentur Momen lentur izin bambu Petung ()Âśb) = 134972 kNm Momen lentur ( M) = 2,936 kNm Tegangan lentur ( fb) = My/I

3

Ikatan Angin

4

Pengaku Lateral

5

Truss Samping (Horizontal Atas)

6

Truss Samping (Horizontal Bawah)

30 m

Bentang 40 m

50 m

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

Ă˜ 12 cm

123


No.

Elemen Struktur

7

Truss Samping (Vertikal)

8

Truss Samping (Diagonal) ± Daerah Tumpuan

9

Truss Samping (Diagonal) ± Daerah Lapangan

30 m

Bentang 40 m

50 m

Ø 12 cm

Ø 14 cm

Ø 14 cm

Ø 12 cm

Ø 12 cm

Ø 12 cm

Ø 12 cm

Ø 12 cm

Ø 12 cm

D. Konfigurasi Susunan Penampang Bambu Petung Setelah kebutuhan penampang bambu Petung diketahui, selanjutnya bambu Petung disusun sesuai dengan konfigurasi perencanaan. Perbandingan konfigurasi susunan rangka batang (truss) bambu Petung pada struktur deck jembatan gantung pejalan kaki bentang 30, 40, dan 50 m dapat dilihat pada Tabel 7 yang disajikan dalam gambar 3D. T abel 7. Konfigurasi Susunan Penampang Bambu Petung Bentang 30 m

Bentang 40 m

Bentang 50 m

Pada Gambar 5 dapat dilihat bentuk undeformed dan deformed struktur jembatan gantung pejalan kaki akibat beban rencana.

G ambar 5. Defleksi (Lendutan) Struktur Deck Jembatan

F. Analisis kebutuhan alat sambung baut Pada struktur deck jembatan gantung pejalan kaki berikut digunakan sambungan bambu menggunakan baut dengan pengisi mortar. Perancangan sambungan diawali dengan analisis moda kegagalan sambungan untuk memprediksi jenis kegagalan sambungan yang mungkin terjadi beserta nilai tahanan lateralnya. Jumlah kebutuhan baut dapat ditentukan dengan membandingkan gaya aksial yang terjadi pada batang struktur terhadap nilai tahanan lateral sambungan. Tahanan lateral sambungan dapat diprediksi dengan metode EYM ( European Yield Model ). Beberapa parameter yang perlu diketahui pada analisis tahanan lateral sambungan adalah sebagai berikut: Kuat tumpu bambu sejajar serat (feb//) : 51,072 MPa Kuat tumpu bambu tegak lurus serat (febŏ) : 30, 643 MPa !!!.XDW WXPSX EDPEX GHQJDQ VXGXW ș WHUKDGDS serat ( F HEș) dihitung dengan persamaan Hankinson: ‫ܨ‬௘௕ȀȀ ‫ܨ‬௘௕ୄ ‫ܨ‬௘ఏ ൌ ‫ܨ‬௘௕ȀȀ ‫݊݅ݏ‬ଶ ߠ ൅ ‫ܨ‬௘௕ୄ ܿ‫ ݏ݋‬ଶ ߠ T abel 9. .XDW 7XPSX %DPEX GHQJDQ 6XGXW ș 7HUKDGDS 6HUDW Kuat Tumpu Bambu (MPa) fHEș

E. Kontrol Lendutan Struktur Lendutan struktur berkaitan dengan kenyamanan selama masa layan struktur sehingga harus dibatasi pada nilai tertentu. Lendutan struktur jembatan gantung pejalan kaki dibatasi sebesar 1/200 L, dimana L adalah bentang jembatan. Lendutan struktur deck jembatan gantung pejalan kaki bentang 30, 40, dan 50 m dapat dilihat pada Tabel 8. T abel 8. Kebutuhan Penampang Bambu Petung Bentang Jembatan 30 m ǻizin = 150 mm 30 m ǻizin = 150 mm 30 m ǻizin = 150 mm

Lendutan (mm)

Keterangan

39

Aman

55

Aman

68

Aman

0o 51,072

6XGXW ș

39o 50o 40,404 36,710

Contoh analisis tahanan lateral sambungan menggunakan baut dengan pengisi mortar. Bambu utama Dluar : 120 mm Ddalam : 96 mm Bambu samping Dluar : 120 mm Ddalam : 96 mm G : 0,64 : 51,072 MPa feb : 16,8 MPa few R : 3,04 : 12 mm tbm : 12 mm tbs twb : 48 mm : 96 mm tws

90o 30,643

bambu

124


d : 22,225 mm Myb : 569321 Nmm Moda kegagalan Is ! Üź ŕľŒ Ý‚ŕŻ˜௪ ݀‍Ý?‏௪ௌ ŕľ… Ý‚ŕŻ˜ŕŻ• Ý€áˆşÍ´â€ŤÝ?‏௕ௌ áˆť! Z = 63,086 kN Moda kegagalan Im ! Üź ŕľŒ Ý‚ŕŻ˜௪ ݀‍Ý?‏௪௕ ŕľ… Ý‚ŕŻ˜ŕŻ• ݀‍Ý?‏௕௠Z = 31,543 kN Moda kegagalan IIIs A = 0,75 B = 102,240 C = -6617,999 ! Üź ŕľŒ Ý‚ŕŻ˜ŕŻ• ݀‍Ý?‏௕ௌ ŕľ… Ý‚ŕŻ˜௪ Ý€ܾଶ Z = 31,506 Moda kegagalan IV ! D = 11023,171 b2 = 40,496 ! Üź ŕľŒ Ý‚ŕŻ˜ŕŻ• ݀‍Ý?‏௕ௌ ŕľ… Ý‚ŕŻ˜௪ Ý€ܾଶ Z = 28,741 kN Tahanan lateral sambungan per satu bidang geser SF = 2 Z/SF = 28,741/2 = 14,371 kN (per baut per bidang geser) Pada Tabel 10 disajikan nilai tahanan lateral sambungan 3 batang bambu Petung dan pada Tabel 11 disajikan nilai tahanan lateral sambungan 4 batang bambu Petung. T abel 10. Tahanan Lateral Sambungan 3 Batang Bambu Petung Sudut (o) 0 90

Tahanan lateral sambungan per baut per bidang geser (kN) 14,371 11,953

T abel 11. Tahanan Lateral Sambungan 4 Batang Bambu Petung Sudut (o) 0 39 50 90

Tahanan lateral sambungan per baut per bidang geser (kN) 14,371 13,109 12,672 11,953

Contoh analisis kebutuhan alat sambung baut Sebagai contoh hitungan, digunakan gaya batang maksimum yang bekerja pada elemen struktur Truss Samping (Horizontal Bawah) bentang 30 m. Gaya aksial = 28,624 kN Tahanan lateral baut per 1 bidang geser = 12,672 kN Tahanan lateral baut 2 bidang geser = 25,343 kN Jumlah kebutuhan baut = 28,624 / 25,343 = 1,129 buah, dipasang 2 buah baut G. Analisis kebutuhan material Kebutuhan material pada struktur deck jembatan gantung pejalan kaki bentang 30, 40, dan 50 m dapat dilihat pada Tabel 12. Dalam tabel tersebut disajikan kebutuhan penampang bambu, baut, dan volume mortar pengisi sambungan untuk setiap bentang struktur deck jembatan gantung pejalan kaki.

T abel 12. Kebutuhan Material Struktur Deck Jembatan No.

Elemen Struktur

1

Lantai Bambu (m) Sandaran (m) Sandaran Ă˜ 10 cm (m) Tiang Sandaran Ă˜ 12 cm (m) Tiang Sandaran Ă˜ 14 cm (m) Rangka Bambu (m) Rangka Bambu Ă˜ 12 cm (m) Rangka Bambu Ă˜ 14 cm (m) Gelagar Melintang Ă˜ 12 cm (m) Ikatan Angin Ă˜ 12 cm (m) Pengaku Lateral Ă˜ 12 cm (m) Baut dan Mur (buah) Mortar (m3)

2

3 4 5 6 7 8

30 m 412,5

Bentang 40 m 550

50 m 687,5

150 62,5 0

200 0 82,5

250 0 102,5

1626 0 125 96 112,5 408 3,546

1719 495 165 128 148,5 560 5,129

2398 615 205 160 184,5 988 6,848

IV. KESIMPULAN Tulisan ini menyajikan perbandingan hasil perancangan dan analisis struktur deck jembatan gantung pejalan kaki dengan bentang 30, 40, dan 50 m menggunakan bambu Petung. Dari hasil perancangan dan analisis yang dilakukan didapat kebutuhan penampang bambu Petung sebagai berikut: pada bentang 30 m semua elemen struktur deck jembatan gantung pejalan kaki membutuhkan bambu Petung berdiameter 12 cm, sedangkan pada bentang 40 m dan 50 m semua elemen struktur deck jembatan gantung pejalan kaki membutuhkan bambu Petung berdiameter 12 cm kecuali pada elemen struktur truss samping (vertikal) dibutuhkan bambu Petung berdiameter 14 cm. Untuk penggunaan kabel utama (m ain cable) berdiameter 22 mm dan kabel penggantung (hanger) berdiameter 16 mm, lendutan yang terjadi pada ketiga bentang masih berada di bawah lendutan izin. Dari hasil perancangan, analisis struktur, dan analisis lendutan (defleksi) diketahui bahwa bambu Petung mampu digunakan sebagai material struktur deck jembatan gantung pejalan kaki baik untuk bentang 30 m, 40 m, maupun 50 m. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3]

[4] [5] [6] [7]

[8]

Anonim, 2007, Perencanaan dan Pelaksanaan Konstruksi Jembatan Gantung untuk Pejalan Kaki, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Anonim, 2005, Standar Pembebanan untuk Jembatan (RS NI T-022005), BSN, Jakarta. $ $ZDOXGLQ ³$SOLNDVL (<0 0RGHO SDGD $QDOLVLV 7DKDQDQ /DWHUDO Sambungan Sistem Morisco-Mardjono: Sambungan Tiga Komponen Bambu dHQJDQ 0DWHULDO 3HQJLVL 5RQJJD ´ Prosiding S INARBAMBU Yogyakarta , pp. 6-10, Januari 2012. D. E. Breyer, K. J. Fridley, and K. E. Cobeen, 1998, Design of Wood Structures AS D , Fouth Edition, McGraw-Hill Companies, Inc. USA. I. Anggraeni, dan B. HerbXGLPDQ ³6WXGL 3DUDPHWHU 'HVDLQ 'LPHQVL Elemen Struktur Jembatan Gantung Pejalan Kaki dengan Bentang 120 P ´ Media Teknik Sipil , pp. 125-132, Juli 2008. , 6 ,UDZDWL GDQ $ 6DSXWUD ³$QDOLVLV 6WDWLVWLN 6LIDW 0HNDQLND %DPEX 3HWXQJ ´ Prosiding S INARBAMBU Yogyakarta, pp. 60-65, Januari, 2012. 0 $ 6DWWDU ³7UDGLWLRQDO %DPERR +RXVLQJ LQ $VLD 3UHVHQW 6WDWXV GDQ )XWXUH 3URVSHFWV ´ Proceedings of the Vth International Ba mboo Workshop and the IVth International Ba mboo Congress. Bali, pp. 1-13, Juni, 1995. W. F. Chen and L. Duan, 2000, Bridge Engineering Handbook, CRC Press, USA.

125


Potensi Biogas untuk Skala Rumah Tangga sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti Kayu Bakar di Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen Biogas Potential for Household Scale as Alternative Energy Sources on Firewood Subtitution in Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen Imron Abdi Santoso, Feronica Fatimah, Ahmad Agus Setiawan S.T.,M.Sc.,Ph.D. Jurusan Teknik Fisika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Email: Imron.abdi@mail.ugm.ac.id

Abstrak- K uantitas kayu ba kar sebagai komoditi utama bahan ba kar memasak masyarakat pedesaan semakin ber kurang. A lih-alih menggunakan minyak tanah, biaya yang diguna kan ternyata sangat tinggi. H al ini hampir dialami selur uh masyarakat pedesaan, ti dak ter kecuali masyarakat Desa Bukuran, K ecamatan K alijambe, K abupaten Sragen. Di sisi lain, desa ini memiliki potensi biomassa yang tinggi terutama dalam penerapan energi biogas yang tentunya jauh lebih murah dibanding kayu bakar, ataupun minyak tanah . Potensi biogas di desa ini ditandai dengan adanya hewan terna k berupa sapi yang dimiliki oleh hampir setiap rumah. Proses pembuatan biogas sendir i dapat dilakukan oleh setiap rumah tangga dengan membangun reaktor pribadi. Reaktor ini memiliki bagian-bagian antara lain inlet, digester, pipa gas, outlet, dan lubang bio-slur ry. Selain dapat meringankan biaya konsumsi, dengan biogas masyarakat akan terdidik untuk mengguna kan energi terbarukan yang pada saat ini sangat gencar diber itakan.

Kata kunci - Biogas, Biomassa, E nergi terbarukan Abstract- T he quantities of firewood, as the main comodity of rural comunities for cooking is getting decreased. T ry to change it to use kerosene, the cost is very high. A lmost all rural peoples get this situation, including desa Bukuran, K ecamatan K alijambe, K abupaten Sragen. In other side, this village has a high potentiality on biomassa energy especially on the application of biogas energy which is cheaper than using firewood or kerosene. T his potention is mar ked by the habbit of the villagian that raising some cows in most every houses. T he biogas procces can be done by building their own reactor in their own house. T he reactor has some parts, such as inlet, digester, gas pipe, outlet, and bio-slur ry hole. Besides being able to decrease the cost of consumption, using biogas will educate the villagian for using renewable energy which is cur rently very highly discussed now.

Keywords Âą Biogas, Biomass, Renewable E nergy

126


I.

PENDAHULUAN

K eadaan Desa Bukuran Desa bukuran merupakan desa yang terletak jauh dari pusat kota Solo. Daerahnya sangat terpencil, terletak 80 km dari pusat kota Solo, dan 0,8 km dari Museum Fosil Sangiran. Luasnya 5,8 km2 dengan mayoritas penduduknya ber matapencaharian sebagai petani padi dan peternak sapi. Kondisi Desa Bukuran saat ini masih tidak cukup baik. Jalanan yang rusak, kesejahteraan warganya yang masih rendah dan akses tempat umum yang sulit merupakan masalah utama yang dihadapi oleh warganya. Dan salah satu masalah yang sangat vital bagi mereka adalah akses untuk mendapatkan bahan bakar untuk memasak seperti minyak tanah, ataupun gas LPG. Sebenarnya, bahan bakar utama yang biasanya digunakan oleh warga untuk memasak ialah kayu bakar. Penggunaan kayu bakar ini sudah menjadi kebiasaan warga sejak lama. Namun, semakin hari persediaan kayu bakar di desa Bukuran semakin menipis dan menuntut warganya untuk mulai menggunakan bahan bakar konvensional seperti minyak tanah ataupun LPG. Dalam kenyataannya akses untuk mendapatkan minyak tanah ataupun LPG bagi warga Desa Bukuran saat ini masih sulit. Selain jalanannya yang rusak, toko penyedia bahan bakar tersebut terletak cukup jauh dari desa Bukuran. Toko penyedia bahan bakar tersebut berada di Pasar Gemolong, puluhan km dari desa Bukuran. Dengan kondisi warga desa yang masih jarang menggunakan kendaraan bermotor, tentunya cukup sulit untuk mengakses toko tersebut.

Dengan jumlah sapi yang dimiliki tiap rumah ratarata 2 ekor, dan jumlah kotoran yang dikeluarkan satu ekor sapi per harinya rata-rata sebanyak 10 kg maka tiap rumah menghasilkan kotoran sapi sebanyak rata-rata 20 kg. Selama ini kotoran sapi tersebut hanya digunakan sebagai campuran pupuk untuk sawah-sawah mereka, itupun tidak semuanya. Sisanya dibuang begitu saja sampai akhirnya bercampur dengan tanah dan tidak terpakai. Kotoran sapi adalah salah satu bahan biomassa yang sangat potensial. Unsur metan (CH4) yang terkandung didalamnya sangat berpotensi untuk dimanfaatkan, terutama menggunakan proses digestifikasi biogas. Dengan jumlah kotoran sapi yang dihasilkan sebanyak 20 kg setiap harinya, warga desa Bukuran memiliki potensi pemanfaatan energi biomassa yang besar lewat produksi biogas ini. Selain itu, gas metan (CH4) yang dihasilkan lewat proses biogas ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar memasak. Warga desa bisa memanfaatkannya untuk menggantikan kayu bakar, minyak tanah, bahkan gas LPG yang selama ini mereka gunakan. Dengan menggunakan bahan baku berupa kotoran hewan ternak mereka sendiri, biaya yang mereka keluarkan untuk biogas pun jauh lebih murah dibanding dengan kayu bakar ataupan minyak tanah bahkan gas LPG. Dengan memanfaatkan potensi ini, diharapkan bisa memperbaiki kondisi ekonomi dan kesejahteraan warga desa Bukuran.

Potensi desa B ukuran Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh warga desa ini adalah budaya profesi yang mereka miliki. Hampir seluruh warganya ber matapencaharian sebagai petani dan peternak. Biasanya mereka memiliki lahan persawahan untuk ditanami padi, dan memiliki beberapa ekor sapi yang kandangnya ditempatkan di halaman belakang rumah mereka.

! !"#$"%&'(&)*+,-./&$/*0".&1,."&2343%"-

127


II. STUDI PUSTAKA A. Dasar biogas Biogas merupakan salah satu renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak dan gas alam. Akhir-akhir ini diversifikasi penggunaan energi menjadi isu yang sangat penting karena berkurangnya sumber bahan baku minyak. Pemanfaatan limbah peternakan untuk memproduksi biogas dapat memperkecil konsumsi sumber energi komersial seperti minyak tanah juga penggunaan kayu bakar.

hidrolisis, pengasaman dan metanogenik. Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C:N, temperatur, keasaman juga jenis digester yang dipergunakan. Kondisi optimum yaitu pada temperatur sekitar 32-35o atau 50-55oC dan pH antara 6,8 Âą 8. Pada kondisi ini proses pencernaan mengubah bahan organik dengan adanya air menjadi energi gas. Biogas umumnya mengandung gas metan (CH4) sekitar 60% -70% yang bila dibakar akan menghasilkan energi panas sekitar 1000 Btu/ft 3.

Biogas dihasilkan oleh proses pemecahan bahan limbah organik yang melibatkan aktivitas bakteri anaerob dalam kondisi anaerobik dalam suatu digester. Pada dasarnya proses pencernaan anaerob berlangsung atas tiga tahap yaitu

Di banyak negara berkembang juga di negara Eropa dan Amerika Serikat, biogas sudah umum digunakan sebagai energi pengganti yang ramah lingkungan. Sementara di Indonesia yang mempunyai potensi limbah biomassa yang melimpah, biogas belum dimanfaatkan secara maksimal.

1.Hidrolisis

!"#$#%&'(

2.Pengasaman

)#$*%&'(

(C6H10O5)n + n(H2O) Selulosa

(C6H12O6)n + n(H2O) glukosa CH3CHOHCOOH asam laktat CH3CH2CH2COOH asam butirat

n(C6H12O6) glukosa

CH3CHOHCOOH asam laktat CH3CH2CH2COOH + CO2 + H2 asambutirat CH3CH2OH + CO etanol

+&',(#",'*(-'.('#*%/%#( 3.Metanogenik

4H2 + CO2 CH3CH2OH + CO2 CH3COOH + CO2 CH3CH2CH2COOH + 2H2 + CO2

2H2O + CH4 CH3COOH + CH4 CO2 + CH4 CH3COOH + CH4

0"1'.'(2(345( !"#"$%&'%()*+%,-./-$0*1"$%#"2%.-0"$%,"3"%,+42-2%/54#"2%

128


! B. Keunggulan Biogas Tidak bisa dipungkiri bahwa konsumsi kayu bakar selalu meningkat setiap tahunnya. Salah satu faktor yang mendukung fenomena ini adalah naik dan tidak konstannya harga minyak tanah. Harga minyak tanah yang ditetapkan oleh pemerintah adalah Rp 3.000,00 per liternya. Namun, bisa dipastikan bahwa harga tersebut akan jauh lebih tinggi saat dijual oleh distributor ke konsumen. Mulai tahun 2009, pemerintah menggalakkan program konversi minyak tanah ke gas. Tujuannya untuk memangkas subsidi minyak tanah, yang semula 35 triliyun menjadi 17,5 triliyun atau setara dengan 50% subsidi minyak tanah pada 2008. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi keuangan negara. Sebagai gantinya pemerintah

menggalakkan konversi bahan bakar minyak menjadi LPG. Namun dalam realita malah timbul masalah baru, yaitu masyarakat pedesaan masih sulit untuk mendapatkan LPG untuk bahan bakar memasak sehari-hari. Dan tentunya untuk mendapatkannya pun harus dengan harga yang mahal. Jika diperhatikan permasalahan ini tentu sangat erat dengan kondisi masyarakat desa Bukuran yang memiliki potensi biomassa yang sangat tinggi melalui ternak sapi masyarakatnya. Jika dianalisis, penggunaan biogas tidak mengeluarkan biaya konsumsi, tidak seperti minyak tanah, ataupun LPG. Satu-satunya biaya yang dikeluarkan dalam penggunaan biogas ini adalah pembangunan reaktornya.

Berikut merupakan tabel perbandingan anggaran pemakaian biogas dengan bahan bakar yang lain: !"#$%&'(&)$*#"+,-+."+&"+.."*"+&#"/"+&#"0"*&1$1"2"0

Jenis bahan bakar

Harga bahan bakar

Minyak tanah Gas lpg

Rp 3.000/liter Rp 70.000/tabung

Biogas

Rp 0

Kayu bakar

Rp 5.000/ikat

Nilai ekonomis Periode Harga perhari penggunaan 2 liter untuk sehari Rp 3.000 1 tabung untuk 10 Rp 7.000 hari pemakaian 20kg kotoran sapi Rp 1.111 (asumsi peralatan untuk 2 jam masa manfaat 5 tahun) 2 hari pemakaian Rp 2.500

Kondisi diatas merupakan kondisi yang sifatnya ideal, belum mempertimbangkan biaya akomodasi ataupun polusi yang dihasilkan. Setiap bahan bakar memang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Namun, dengan kondisi desa Bukuran bisa disimpulkan bahwa biogas adalah pilihan yang paling tepat. C. Biogas skala rumah tangga Pada dasarnya, teknologi biogas merupakan teknologi yang fleksibel terhadap ukurannya. Umumnya, reaktor biogas berukuran sangat besar, sekitar 12 m3. Pemanfaatannya pun tentu dalam skala besar, bisa untuk satu desa. Namun, reaktor yang besar akan membutuhkan sumber masukan yang besar pula. Sedangkan untuk skala rumah tangga, ukuran reaktor bisa diperkecil menyesuaikan dengan jumlah kotoran sapi yang diproduksi per harinya. Harus diingat pula bahwa kapasitas reaktor akan berbanding

Biaya beban pertahun

Harga peralatan

RP 1.980.000 Rp 2.520.000

Rp 50.000 Rp 350.000

Rp 400.000

Rp 2.000.000

Rp 900.000

Rp 0

lurus dengan tekanan dan kuantitas gas metan yang dihasilkan. Berikut adalah tabel informasi perbandingan kuantitas bahan baku dan ukuran reaktor. !"#$%&3(&)$*#"+,-+."+&04"+5-5"2&-+645&,$+."+&404*"+&,-.$25$*

No

Volume reaktor biogas (m3)

Produksi gas per hari (m3)

1 2 3 4 5

4 6 8 10 12

0,8 ± 1,6 1,6 ± 2,4 2,4 ± 3,2 3,2 ± 4,2 4,2 ± 4,8

Kotoran hewan yang dibutuhkan per hari (kg) 20 ± 40 40 ± 60 60 ± 80 80 ± 100 100 ± 120

Jumlah ternak yang dibutuhkan 3±4 5±6 7±8 9 ± 10 11 ± 12

129


Untuk skala rumah tangga, kategori satu merupakan pilihan yang tepat dengan mengacu keadaan desa Bukuran juga tentunya. D. Kecocokan dengan desa Bukuran Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hampir semua warga desa Bukuran memiliki ternak sapi. Rata-rata masyarakatnya memiliki 2 ekor sapi di setiap rumah mereka. Profil rumah warganya pun hampir seragam. Rumah dan bangunan inti berada di bagian depan, sedangkan untuk kandang sapi, toilet, dan tempat menjemur pakaian berada di bagian belakang.

kedalam outlet. Setelah dari outlet, kotoran sisa reaksi akan masuk ke lubang bio-slu r ry untuk bisa dimanfaatkan sebagai campuran pupuk. Digester harus mendapatkan perhatian khusus. Pemilihan bentuk digester akan sangat mempengaruhi kuantitas dan tekanan gas yang dihasilkan, sama pentingnya dengan ukuran digester tersebut. Secara umum ada dua jenis digester yang digunakan, horizontal dan vertikal. Pemilihan keduanya tersebut didasari oleh kontur dan tekstur tanah pembuatan. Model yang paling baik adalah jenis vertikal, karena tekanan yang dihasilkan lebih tinggi. Model horizontal muncul karena dalam beberapa kasus ada tanah yang terlalu keras untuk digali, atau mengandung batuan sehingga sulit digali.

!"#$"%&'(&)*+,-%",.&/%01.*&%+"23"2&%+#"4&5"%3"

Pembangunan reaktor biogas akan dilakukan di halaman belakang. selain dekat dengan kandang, juga dekat dengan dapur. Hal ini akan mempermudah kita dalam menyalurkan gas dari reaktor. E. Pembuatan Reaktor Pembuatan reaktor biogas dan sistem pendukungnya untuk ukuran besar tidak berbeda dengan ukuran kecil. Umumnya sistem akan terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5.

Inlet Digester Outlet Pipa gas Lubang bio-slurry

Inlet merupakan tempat memasukkan kotoran sebelum dimasukkan di digester. Sebelum dimasukkan ke digester, kotoran dicampur dengan air terlebih dahulu dengan perbandingan 1:1 untuk mempermudah proses digesterifikasi. Digester merupakan komponen utama dalam sistem biogas. Disini, kotoran akan diproses secara alami menjadi gas metana. Umunya, kotoran akan berada di sini dalam waktu dua minggu sebelum akhirnya masuk

!"#$"%&6(&78"9-0%&40%.:02-"*&;9.%.<&="2&%8"9-0%&>8%-.9"*&;9"2"2<&

Berdasarkan tabel Perbandingan kuantitas input dengan ukuran digester , untuk menghasilkan minimal 0,8 Âą 1,6 m gas setiap harinya dibutuhkan minimal 3 sampai 4 ekor sapi. Sedangkan rata-rata setiap rumah memiliki 2 ekor sapi yang nantinya kotorannya akan digunakan untuk masukan atau inlet. Tentunya apabila reaktor akan dibuat per rumah maka inlet tidak akan cukup untuk produksi gas setiap harinya. Jadi karena minimal untuk satu reaktor dibutuhkan sapi sebanyak 3-4 ekor maka bisa dibuat 1 reaktor untuk 2 rumah. Keuntungannya hal ini menyebabkan biaya pembangunan dibagi dua sehingga tidak terlalu membebani, tetapi kerugiannya adalah susah dalam membagi gas hasil produksi secara adil.

130


Selain itu dilihat dari tabel perbandingan kuantitas input dengan ukuran digester di atas, dengan maksimal inlet sebanyak 40 kg dapat menghasilkan gas paling banyak sebesar 1,6 m2 atau hanya dapat digunakan selama 4 jam waktu memasak. Apabila dibagi kepada 2 rumah maka masing-masing rumah hanya dapat mengguanakan bahan bakar biomassa ini selama 2 jam perhari. Sehingga bahan bakar ini tidak dapat sepenuhnya menggantikan kayu bakar. Masing-masing rumah masih harus menyediakan kayu bakar sebagai cadangan bahan bakar sehari-hari.

!

!!!!

"#$%#&!'()#*#!+,*#-!./.*,$!%/01#.

F.

Proses Perawatan

Setelah sistem biogas dibangun, kita hanya perlu memasukkan umpan kedalamnya secara kontinyu. Sistem akan tidak stabil dalam 2 minggu pertama, namun setelahnya akan stabil dengan syarat penggunaan dan pengisian yang kontinyu. Digester harus tetap diisi dan jangan dibiarkan kosong. Dalam waktu dua minggu tersebut, produksi gas metan masih akan berfluktuasi. Jadi, proses memasak menggunakan gas hasil biogas ini baru bisa dilakukan dua minggu setelah proses biogas dimulai. Digester akan menghasilkan gas yang ditransmisikan melalui pipa menuju kompor. Bagian ini juga penting karena sering terjadi kebocoran pipa dan perlu perhatian khusus dalam perawatan. Pengecekan pipa dilakukan secara rutin, minimal satu minggu sekali. Outlet dan lubang slurry memiliki prinsip kerja yang sama, namun berbeda penggunaannya. Outlet bersifat tertutup untuk menjaga sifat anaerob-nya karena berdekatan dengan digester. Sedangkan lubang slurry bersifat terbuka, karena outputnya akan digunakan lagi sebagai campuran pupuk. Selain perawatan secara teknis, perlu juga diadakan perawatan yang bersifat umum. Pembentukan organisasi pengelola biogas akan sangat diperlukan warga desa Bukuran. Organisasi pengelola ini akan berada dibawah kordinasi pengurus Desa Bukuran itu sendiri. Kepengurusan pengelola ini pun akan diisi oleh para warga desa Bukuran sendiri. Keberadaan organisasi ini sangat dibutuhkan warga desa Bukuran. Selain lokasi desa yang terpencil dan jauh dari akses informasi yang cepat, media seperti internet pun

belum ada sehingga proses belajar hanya bisa dilakukan secara langsung melalui organisasi ini. Organisasi pengelola biogas ini akan berfungsi sebagai ³SDUWQHU´ SDUD SHPLOLN reaktor biogas. mereka bisa belajar mengenai biogas, saling berdiskusi dengan pemilik reaktor lainnya, bertanya apabila terdapat masalah pada reaktornya, dan sebagainya. III. KESIMPULAN Masyarakat desa Bukuran memiliki masalah dalam hal pemenuhan bahan bakar memasak. Mereka biasa menggunakan kayu bakar untuk bahan bakar memasak. Namun, kuantitas kayu bakar yang disediakan alam semakin sedikit jumlahnya. Beralih ke minyak tanah ataupun LPG pun masih sulit dikarenakan akomodasi yang sulit. Namun, desa Bukuran memiliki potensi biomassa yang tinggi. Penggunaan biogas akan sangat cocok diterapkan disini. Walaupun tidak dapat sepenuhnya menggantikan kayu bakar sebagai bahan bakar utama masyarakat, namun biogas ini akan sangat membantu di saat kayu bakar semakin berkurang ketersediannya. Selain menghemat biaya, biogas milik pribadi juga akan menghemat tenaga. DAFTAR PUSTAKA [1] Model Instalasi Biogas Indonesia ¹ Biogas Rumah !"#$$$ %&&'())***+,-'.+/00/12+30,$ !4#$$$ 52/6%$789-:$78;0;0<$"==><$?29-@-.-$;-:$A2:/6B8-:$?2-9&0C$D80/-.$ E9-1-$F210,'09$5-:8$52C:-9<$D-1-8$D2.-C$A2:/2,G-:/-:$H29-:8.-.8$ A2C&-:8-:+$ !I#$$$ 56&8$J-C@-&8<$"==><$D80/-.($K,G-%$A2&2C:-9-:$@-:/$H2:B-;8$E6,G2C$ L:2C/8$M1&2C:-&8N<$D0/0C<$D-1-8$A2:218&8-:$52C:-9+$$ !O#$ 5PQMR"=S4RA-:;6-:RA2:618.-:RT611$ !>#$ %&&'())***+*81-@-%8:;0:2.8-+30,)9216C-%-:)90;2R*81-@-%

131


Swasembada Energi dengan Mengembangkan Potensi Oil Shale di Indonesia Self-sufficiency Energi by Developing Oil Shale in Indonesia Fahmi Fahrurozi1,a, Dian Dianti Avoressi2,b dan Ahmad Agus Setiawan,ST,.M.Sc.,Ph.D3,c 1,2

Jurusan Teknik Fisika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. afahmifhrz@gmail.com, b dian.dianti.a@ugm.ac.id 3 Jurusan Teknik Fisika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. cahmadagus@gmail.com

Abstrak- Paper ini menjelaskan tentang energi alternatif yang potensial di indonesia namun belom dik enal luas oleh masyarakat. Selama ini, penggunaan energi di indonesia dominan pada bahan bakar fosil. Padahal telah diketahui bahwa cadangan bahan bakar fosil di bumi khususnya di Indonesia terbatas. Sebenarnya Indonesia memiliki berbagai energi alternatif yang sayangnya belum dikembangkan secara optimal, antara lain, panas bumi, angin dan matahari. Selain energi alternatif tersebut, ada juga suatu s umber energi alternatif lain yaitu oil shale. Oil shale adalah batuan sedimen yang mengandung bahan ± bahan organik yang disebut kerogen yang dengan teknik tertentu bisa menghasilkan bahan bakar berupa liquid dan gas. Besarnya potensi oil shale yang ada dan jika dikelola dengan baik bukanlah hal yang mustahil Indonesia bisa menghilangkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil bahkan bisa menjadi eksportir bahan bakar alternatif ini. Kata kunci²sumber energi alternatif, bahan bakar fosil, oil shale. Abstract- T his paper explain about potential alternative energy in Indonesia but not known by the people. During this time, energy consumption in Indonesia is dominant to fossil fuel. Inspite of known that fossil fuel deposits on earth especially in Indonesia is limited. Actually Indonesia has various of alternative energy which not yet developed optimally, such as geothermal, wind and solar. Beside this alternative energy, there is an other alternative energy source namely oil shale. Oil shale is an organic-rich fine- grained sedimentary rock containing kerogen which by specific technique can produce fuel in the form liquid and gas. T he potential of oil shale and if it properly managed in Indonesia is not imposible can omit addiction of fossil fuel even can be exportir of this alternative fuel. Keywords²alternative energy sources, fossil fuels, oil shale .

I. PENDAHULUAN Cadangan minyak bumi di dunia khususnya di Indonesia semakin menipis. Hal ini dikarenakan penggunaan minyak bumi yang tidak sebanding dengan persediaannya. Berdasarkan data yang dirilis oleh British Petroleum (BP) dalam Statistical Review of World Energy pada tahun 2013, cadangan minyak bumi (proven oil reserves) di Indonesia hanya tersisa 3,7 miliar barrel atau 0,2% dari jumlah cadangan minyak dunia saat ini. Masih menurut BP, dengan produksi minyak mentah rata ± rata sebesar 942 ribu barrel per hari dan konsumsi minyak per harinya mencapai 1,43 juta barrel artinya Indonesia masih mengalami defisit minyak mentah rata ± rata sebesar 488 ribu barrel per hari dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan asumsi produksi dan konsumsi yang tidak berubah, diperkirakan jumlah ini akan habis dalam kurun waktu 11 tahun lagi. Sejauh ini belum juga ditemukan lapangan minyak baru, sulit untuk berharap ada penemuan cadangan ± cadangan minyak baru dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, Indonesia harus mengembangkan sumber energi alternatif lain. Salah satu solusinya adalah oil shale. Oil shale adalah batuan

karbonat yang mengandung sejumlah material sedimen organik padat yang disebut kerogen. II. METODOLOGI

Dari oil shale , dapat diproduksi minyak buatan yang biasa disebut shale oil dimana prosesnya dinamakan shale oil extraction. Shale oil extraction ini mengubah kerogen dalam oil shale menjadi shale oil dengan pyrolisis, hydrogenation atau thermal dissolution. Hydrogenation atau thermal dissolution mengekstrak minyak menggunakan donor hidrogen, pelarut atau gabungan keduanya. Sedangkan pyrolisis merupakan metode ekstraksi tertua dan yang paling sering digunakan. Pada proses ini, oil shale dipanaskan tanpa oksigen sampai kerogennya terurai menjadi condensable shale oil vapor dan non-condensable combustible oil shale gas. Oil vapor dan oil shale gas kemudian dikumpulkan dan didinginkan sehingga menghasilkan shale oil. Pyrolisis ini dibedakan menjadi dua proses yaitu ex situ dan in situ. Saat proses ex situ, oil shale dipecahkan menjadi bentuk yang lebih kecil lalu dinaikkan ke permukaan tanah

132


untuk dipanaskan. Suhu yang digunakan untuk memanaskan dimana penguraian oil shale terjadi tergantung pada lamanya proses. Biasanya dimulai pada suhu 300°C (570°F) dan berjalan dengan lebih cepat dan lebih baik pada suhu yang lebih tinggi. Jumlah minyak yang diproduksi akan maksimum saat suhunya berada diantara 480 ± 520 °C (900 ± 970 °F). Namun pada proses ex situ, perlu dipikirkan biaya untuk mengangkat batuan tersebut dari dalam tanah ke permukaan. Selain itu, diperlukan suatu tempat untuk membuang batuan yang sudah diambil minyaknya tersebut. Sedangkan pada proses in situ, pemanasan oil shale dilakukan di bawah permukaan tanah dengan menyuntikkan fluida panas pada susunan bebatuan atau menggunakan sumber pemanas linear atau planar yang diikuti oleh konduksi dan konveksi termal untuk mendistribusikan panas menuju daerah sasaran. Penguraian oil shale dapat berlangsung pada suhu serendah 250°C (480°F). Suhu dibawah 600°C (1110°F) akan lebih baik digunakan guna mencegah penguraian batu kapur dan dolomit pada batuan dan dengan demikian membatasi emisi karbon dioksida dan konsumsi energi.

G ambar 1. In situ pyrolisis dengan batang pemanas

Selain dapat diubah menjadi shale oil, oil shale bisa juga diubah dalam bentuk gas menjadi shale gas dengan metode shale gas extraction. Shale gas adalah gas yang secara alami terdapat di dalam batuan sedimen yang halus yang dinamakan shale. Berjuta ± juta tahun yang lalu, lumpur dan endapan yang ada di lautan purba mengandung tanaman dan sisa ± sisa binatang. Karena itulah sedimen itu mengandung bahan bahan organik yang terendap menjadi padat dan dengan perubahan suhu dan tekanan sehingga membentuk shale. Material organik ini melalui proses penguraian disebabkan oleh temperature dan tekanan menghasilkan oil and gas yang terbentuk dalam beberapa tipe batu seperti sandstone dan li mestone sebagai penampung oil and gas. Gas alam yang terdapat di dalam shale itulah yang disebut shale gas. Shale gas harus dieksploitasi dengan teknik horizontal drilling. Karena eksploitasi shale gas secara mendatar akan jauh lebih efektif dibandingkan secara vertical.

G ambar 2. P roses shale gas extraction

Pertama, dilakukan pengeboran arah vertical untuk meletakan pipa dan alat alat lainnya. Setelah mencapai kickoff point, bornya di belokan sehingga menjadi horizontal

G ambar 3. K eadaan pipa di dalam tanah

Setelah dilakukan pengeboran horizontal, steel casing dimasukan dilanjutkan dengan sementasi lubang bor. Selanjutnya dimasukan perforated pipe gun. Pipa ini memiliki lubang tempat bahan peledak untuk membuat lapisan shale nya retak. Setelah lapisan shale retak, air bertekanan tinggi diinjeksi kedalam agar memperlebar retakan sehingga gas yang terperangkap di dalam shale bisa bebas. III. PEMBAHASAN !!!Indonesia kaya akan sumber daya energi termasuk oil shale yang saat ini belum dikembangkan dan tersebar hampir di seluruh cekungan tanah air. Untuk shale oil , berdasarkan data dari EIA (Energy Information Administration), Indonesia memiliki 8 miliar barrel dari total 345 miliar barrel shale oil yang ada di dunia. Sedangkan untuk shale gas, terdapat 70.000 tcf (trillion cubic feet ) sumber shale gas di dunia. Dimana negara adidaya yaitu Amerika Serikat mengandung 13% dari total cadangan dunia. Sementara China 11% dan

133


Indonesia diperkirakan memiliki 10-20% sumber shale gas dari total keseluruhan yang tersebar di Sumatra Utara sebanyak 338 tcf, Sumatera bagian tengah 558 tcf, Sumatra Selatan 964 tcf, Kalimantan Timur 1723 tcf dan Papua Barat sebanyak 6480 tcf. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan cadangan gas konvensional yang terbukti hanya sebesar 106 tcf. Dan masih banyak lagi potensi shale oil dan shale gas di Indonesia yang belum tereksplorasi. Dengan krisis energi fosil saat ini bukan tidak mungkin oil shale bisa menjadi sumber energi utama di masa mendatang. Pada awal tahun 1900, Amerika Serikat telah lebih dahulu meneliti oil shale . Namun pada saat itu, harga bahan bakar fosil lebih ekonomis dibandingkan dengan harga minyak dari oil shale. Sehingga negara itu untuk sementara beralih menggunakan bahan bakar fosil (fossil fuel ). Hal itu berlangsung cukup lama sampai saat ini cadangan fossil fuel mulai terbatas. Amerika Serikat kembali mengembangkan oil shale bahkan menjadi eksportir utama dari shale oil . Dari pengembangan oil shale ini, Amerika Serikat telah memenuhi 30% kebutuhan energi domestik dan diperkirakan naik menjadi 50% pada tahun 2040. Mulai dari sekarang Indonesia harus visioner dalam mengatasi krisis energi fosil dengan mengembangankan dan mengelola sendiri oil shale . Banyak titik yang belum di eksplorasi dan mungkin Indonesia memiliki potensi oil shale yang lebih besar dari negara adidaya tersebut. Jika oil shale ini dikembangkan dengan baik dan benar maka Indonesia bisa mengatasi krisis energi di masa mendatang dan tidak memiliki ketergantungan terhadap negara Âą negara eksportir minyak. Bahkan Indonesia bisa mengalahkan Amerika Serikat sebagai eksportir utama shale oil dan shale gas di dunia mengingat letak Indonesia yang lebih strategis dan lebih dekat dengan pasar Asia timur. Lalu mengapa harus oil shale ? Ada banyak manfaat yang akan diterima oleh Indonesia dengan pengembangan oil shale ini. Saat Indonesia mampu mengolah sendiri oil shale menjadi shale oil , Indonesia tidak akan lagi memiliki ketergantungan terhadap negara pengekspor minyak. Kebutuhan minyak di dalam negeri akan mampu diatasi dengan shale oil. Bahkan jangka panjangnya, mungkin Indonesia mampu menjadi eksportir shale oil. Jumlah cadangan oil shale di Indonesia cukup banyak dan masih ada kemungkinan untuk berpotensi lebih banyak lagi. Oil shale ini merupakan persiapan sumber energi utama di masa depan saat sumber daya yang tidak bisa diperbaharui seperti minyak bumi, fosil dan batu bara semakin menipis. Selain itu jika dibandingkan dengan batu bara, emisi karbon yang dihasilkan oleh oil shale akan lebih rendah. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua hal pasti memiliki positif dan negatifnya. Begitu juga oil shale . Dengan proses ekstraksi yang lebih sulit dari ekstraksi minyak

konvensional, biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan shale oil akan lebih mahal. Namun, kini mulai muncul teknologi in situ dimana biayanya dapat lebih murah karena proses pemanasan dilakukan di dalam tanah sehingga tidak perlu mengeluarkan oil shale dari bawah tanah. Untuk shale gas, akan timbul ketakutan yang disebabkan oleh rawannya kebocoran yang mungkin terjadi. Hal ini dapat diatasi dengan memilih material yang tepat dan tahan lama yang bisa dikonsultasikan terlebih dahulu dengan ahlinya. Selain itu, diperlukan air dalam jumlah yang besar pada proses produksi shale gas. Namun, air tersebut dapat diperoleh salah satunya dengan cara menampung air hujan yang turun ke bumi. Mungkin hal ini tidak akan berjalan sepanjang tahun dikarenakan musim hujan di Indonesia hanya berlangsung pada waktu tertentu. Tetapi setidaknya ini akan mengurangi biaya untuk kebutuhan air. IV.

KESIMPULAN

Dengan terbatasnya bahan bakar fosil, seharusnya negara Âą negara di dunia khususnya Indonesia tidak lagi banyak berharap pada bahan bakar yang satu ini. Harus ada perubahan yang dibuat. Oil shale dirasa mampu menjadi alternatif dari bahan bakar fosil. Setidaknya, dalam jangka pendek, pengembangan dan penggunaan oil shale dapat menghemat pemakaian bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui tersebut. Potensi oil shale yang ada di Indonesia harus dimaksimalkan guna menjadikan oil shale sumber energi masa depan. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

http://tambangnews.com/berita/utama/407-cadangan-oil-shale-mulaidipetakan.html. https://en.wikipedia.org/wiki/Oil_shale http://en.wikipedia.org/wiki/Shale_oil_extraction http://migasreview.com/eia-indonesia-miliki-8-miliar-barel-shaleoil.html http://www.geofisikaugm2012.com/2013/03/mengenal-shale-gassebuah-energi-non.html http://finance.detik.com/read/2013/07/09/105908/2296569/4/cadanganminyak-indonesia-tinggal-tersisa-11-tahun-lagi http://www.isa.org/

134


Bioetanol Dari Tongkol Jagung Y ang T elah DiPretreatment dengan Steam E xplosion Disertai Perendaman H C l 1% : Pengaruh Penambahan Volume Crude E nzyme Dan W aktu F ermentasi Bioethanol F rom Corn Cobs W hich Pretreated By Steam E xplosion W ith H C l 1% Immersion: Volume C rude E nzyme A nd F ermentation T ime E ffect Anita Yuliviana1, Ery Susiany2 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Email: anitayuliviana.eay@gmail.com, 2 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Email: ery.srt@gmail.com 1

A bstra k

Bioetanol merupakan salah satu jenis dari biofuel yang dapat diproduksi dari bahan organik yang memiliki kandungan selulosa. Tongkol jagung adalah limbah pertanian dengan kandungan selulosa yang cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh volume crude enzyme yang ditambahkan dan waktu fermentasi terhadap jumlah bioetanol yang dihasilkan. Ada 3 tahap proses dalam penelitian ini, yaitu: (1) pretreatment serbuk tongkol jagung, (2) pembuatan crude enzim dan (3) fermentasi pembentukan bioetanol. Tongkol jagung sebagai bahan baku dihancurkan dan dikeringkan hingga mencapai ukuran 12/20 mesh, kemudian di-pretreatment dengan stea m explosion disertai perendaman HCl 1%. Fermentasi pembentukan bioetanol dilakukan dengan metode simultaneous saccharification and fermentation (SSF) menggunakan S accharomyces cerevisiae dengan penambahan crude enzyme 10 mL, 20 mL, dan 30 mL, sedangkan waktu fermentasi adalah 24, 48, 72, 96 dan 120 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioetanol yang dihasilkan pada penambahan crude enzyme 30 mL lebih tinggi (0,214 g bioetanol/g tongkol jagung) dibandingkan dengan pada penambahan crude enzyme 20 mL (0,119 g bioetanol/g tongkol jagung), dan penambahan crude enzyme 10 mL (0,081 g bioetanol/g tongkol jagung) pada waktu fermentasi 120 jam. K ata kunci: bioetanol, tongkol jagung, pretreatment , SSF , penambahan volume crude enzyme , dan waktu fer mentasi

Abstract Bioethanol is one type of biofuel that can be produces from high cellulose materials. Corn cobs is an agricultural waste which contains high cellulose. Therefore, it can be used as raw material for bioethanol production. The aim of this research is to study the effect of volume crude enzyme on the a mount of bioethanol production. There are 3 main stages in this study, i.e. (1) pretreatment of corn cobs, (2) hydrolisis of crude enzyme and (3) fermentation of bioethanol. Corn cobs were dried and crushed up to size of 12/20 mesh, then pretreated with stea m explosion after immersed in H Cl 1% solution. The fermentation was conducted by simultaneous saccharification and fermentation (SS F) using S accharomyces cerevisiae with 10 mL, 20 mL, and 30 m L volume crude enzyme. The result showed that the fermentation of ethanol produced with 30 mL crude enzyme (0,214 g ethanol/g corn cobs) was higher compared to the fermentation with 20 mL crude enzyme (0,119 g ethanol/g corn cobs) and 10 mL crude enzyme (0,081 g ethanol/g corn cobs). Keywords : bioethanol, corn cobs, pretreatment, SS F , fermentation time and volume crude enzyme

I.

PENDAHULUAN

Di Indonesia jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah padi. Banyak daerah di Indonesia yang berbudaya mengkonsumsi jagung, antara lain Madura, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dll. Seiring dengan kebutuhan jagung yang cukup tinggi, maka akan bertambah pula limbah yang dihasilkan dari industri pangan dan pakan berbahan baku jagung. Limbah yang dihasilkan diantaranya adalah tongkol jagung yang biasanya tidak dipergunakan lagi ataupun nilai ekonominya sangat rendah. Namun, tongkol jagung memiliki kandungan senyawa berkarbon berupa selulosa yang dapat

mencapai jumlah hingga 41% [1]. Hal ini mengindikasikan bahwa tongkol jagung berpotensi sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Oleh sebab itu, pada penelitian ini digunakan tongkol jagung sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Tongkol jagung dikecilkan ukurannya dan dilakukan pretreatment dengan menggunakan metode stea m explosion disertai perendaman dengan larutan HCl 1%, di mana HCl encer berfungsi sebagai katalis untuk memecah komponen lignoselulosa. Sebenarnya, sudah cukup banyak penelitian mengenai hal tersebut, tetapi pada penelitian ini digunakan crude enzim (enzim selulase) yang dihasilkan oleh Trichoderma reesei (hasil regenerasi menggunakan media

135


potato dextrose agar (PDA)) untuk proses hidrolisa dalam pembuatan bioetanol. Oleh sebab itu, bioetanol yang dihasilkan akan menjadi lebih murah dibandingkan dengan membeli enzim seperti pada penelitian-penelitian terdahulu. Kebanyakan penelitian terdahulu dilakukan dengan memproduksi bioetanol menggunakan enzim komersial, namun beberapa tahun belakangan ini cukup sering dijumpai penelitian yang dimulai dengan pembuatan crude enzim hingga dihasilkan bioetanol. Penelitian ini dilakukan dengan memproduksi crude enzim selulase dengan bantuan Trichoderma reesei . Enzim selulase dapat diproduksi dari mikroba selulotik baik kapang maupun bakteri. Kapang selulotik yang biasa digunakan dari jenis Trichoderma , Aspergillus dan Penicillium. Sedangkan bakteri yang bisa menghasilkan selulase adalah Pseudomonas, Cellulomonas, Bacillus, Micrococcus, Cellovibrio, dan Sporosphytophaga . Diantara semua jenis kapang selulotik, Trichoderma reesei adalah kapang yang paling banyak diteliti karena mampu mensekresikan selulase sekitar 80% [2]. Crude Enzim selulase yang dihasilkan digunakan untuk menghidrolisa selulosa menjadi glukosa, di mana glukosa yang dihasilkan akan diubah oleh S accharomyces cerevisiae menjadi bioetanol. Fermentasi etanol merupakan aktivitas penguraian gula (karbohidrat) menjadi senyawa etanol dengan mengeluarkan gas CO2, fermentasi ini dilakukan dalam kondisi anaerob atau tanpa adanya oksigen [3]. Umumnya, produksi bioetanol menggunakan mikroba S accharomyces cerevisiae . Mikroba ini dapat digunakan untuk konversi gula menjadi etanol dengan kemampuan konversi yang baik, tahan terhadap etanol kadar tinggi, tahan terhadap pH rendah, dan tahan terhadap temperatur tinggi [4]. Proses pembuatan bioetanol dilakukan dengan metode S imultaneous S accharification and F ermentation (SSF). SSF adalah kombinasi antara hidrolisis menggunakan enzim selulase dan yeast S. cerevisiae untuk fermentasi gula menjadi etanol secara simultan. Proses SSF sebenarnya hampir sama dengan dengan proses yang terpisah antara hidrolisis dengan enzim dan proses fermentasi, hanya dalam proses SSF hidrolisis dan fermentasi dilakukan dalam satu reaktor. Keuntungan dari proses ini adalah polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi poliskarida karena monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu dengan menggunakan satu reaktor dalam prosesnya akan mengurangi biaya peralatan yang digunakan [5]. Kekurangan dari metode ini adalah perbedaan suhu optimum dari yeast (35oC) dan enzim (40-50oC) [6]. Produksi etanol dari lignoselulosa bergantung pada berbagai faktor, seperti: Konsentrasi glukosa mula-mula hasil hirolisa, strain yang digunakan untuk fermentasi, dan kehadiran komponen-komponen inhibitor [7]. Penelitian ini bertujuan untuk mencari pengaruh penambahan volume crude enzim dan waktu fermentasi terhadap jumlah bioetanol yang dihasilkan. Fermentasi pembentukan bioetanol dilakukan dengan metode simultaneous saccharification and fermentation (SSF) menggunakan S accharomyces cerevisiae pada suhu 35oC dan variasi penambahan crude enzim sebesar 10 mL, 20 mL, dan 30 mL.

II.

CARA KERJA

Pertama-tama dilakukan pretreatment terhadap bahan baku pembuatan bioetanol, yaitu tongkol jagung. Tongkol jagung dipotong-potong dan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. Setelah kering dihancurkan dengan menggunakan blender hingga ukurannya cukup kecil dan diayak untuk mendapatkan serbuk jagung dengan ukuran 12/14 dan14/20 mesh. Serbuk tongkol jagung dengan ukuran 12/14 mesh dan 14/20 mesh dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Kemudian serbuk tongkol jagung distea m explosion dengan menggunakan autoklaf. Sebelum dilakukan stea m explosion serbuk tongkol jagung direndam dahulu dengan larutan HCl untuk pretreatment dengan stea m explosion + perendaman HCl. Sedangkan untuk serbuk tongkol jagung yang dimaksudkan untuk pretreatment dengan stea m explosion saja langsung dimasukkan ke dalam autoklaf tanpa dilakukan perendaman menggunakan larutan HCl. Setelah keluar dari autoklaf, serbuk tongkol jagung dikeringkan dengan menggunakan oven. Setelah itu, serbuk tongkol jagung berukuran 12/14 mesh yang telah di pretreatment dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 1 gram, kemudian disterilisasi. Dimasukkan 4 mL nutrisi enzim secara aseptik ke dalam erlenmeyer berisi 1 gram serbuk tongkol jagung 12/14 mesh yang telah disterilisasi. Ditambahkan 1 mL (1,9!108 sel/mL) suspensi Trichoderma reesei yang ditumbuhkan pada media PDA secara aseptik juga, lalu diinkubasi pada suhu 30째C selama 96 jam (4 hari). Pembuatan crude enzim ini dilakukan dengan fermentasi padat. Hasil fermentasi selama 4 hari tersebut ditambahkan 40 mL Tween 80 0,1% dan di-shaker selama 1 jam. Hal tersebut dilakukan untuk mengekstrak enzim selulase hasil fermentasi. Kemudian dipisahkan padatan dan cairannya dengan menggunakan corong Buchner, lalu filtratnya dipisahkan lagi dengan menggunakan centrifuge untuk menghasilkan cairan crude enzim yang lebih jernih. Crude enzim selulase yang dihasilkan digunakan dalam pembuatan bioetanol. Pembuatan bioetanol dilakuan dengan metode simultaneous saccharification and fermentation (SSF), di mana proses sakarifikasi dan fermentasi dilakukan secara serentak. Sehingga, ketika enzim selulase menghidrolisa selulosa menjadi glukosa, maka secara bersamaan pula glukosa yang dihasilkan akan dipakai S accharomyces cerevisiae untuk menghasilkan bioetanol. Pembuatan bioetanol dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Serbuk tongkol jagung berukuran 14/20 mesh yang telah di pretreatment dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 3 gram, kemudian disterilisasi. Dimasukkan 15 mL nutrisi bioetanol steril, 2 mL buffer asetat steril, 10 mL yeast inokulum sebagai starter, dan variasi crude enzim sebanyak 10 mL, 20 mL dan 30 mL ke dalam erlenmeyer berisi serbuk tongkol jagung yang telah disterilisasi, setelah itu ditutup dengan leher angsa. Diinkubasi pada suhu 35째C selama 24 jam, 48 jam, 72 jam, 96 jam, dan 120 jam. Setelah diinkubasi, dilakukan pemisahan antara padatan dan cairan dengan menggunakan corong buchner. Hasil filtratnya diuji kadar glukosa dengan metode DNS (Goldbeck, 2012) dan kadar bioetanolnya dengan metode dikromat (Anwar dkk, 2012).

136


Crude enzim yang digunakan merupakan enzim yang masih belum dimurnikan sehingga masih mengandung pengotor-pengotor, sehingga volume crude enzim yang ditambahkan dan waktu fermentasi pembentukan bioetanol merupakan salah satu variabel yang penting untuk dicari kondisi optimumnya. Kondisi optimum yang dimaksud adalah volume crude enzim dan waktu di mana pembentukan bioetanol maupun hidrolisa selulosa menjadi glukosa berjalan dengan baik. Hal tersebut akan ditandai dengan proses fermentasi pada penambahan volume crude enzim dan waktu yang menghasilkan yield bioetanol tertinggi. Waktu fermentasi yang diperlukan sangat tergantung dari karakteristik substrat yang digunakan. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dipilih variabel penambahan crude enzim 10 mL, 20 mL, dan 30 mL sedangkan waktu fermentasinya adalah 24, 48, 72, 96, dan 120 jam.

III.

menjadi glukosa, maka secara bersamaan pula glukosa yang dihasilkan akan dipakai S accharomyces cerevisiae untuk menghasilkan bioetanol. Oleh sebab itu, kondisi awal yang menghambat kinerja enzim selulase ditambah dengan glukosa yang dipakai oleh S accharomyces cerevisiae dalam memproduksi bioetanol menjadi penyebab utama dari rendahnya kadar glukosa yang teranalisa untuk penambahan crude enzim sebesar 30 mL.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini tongkol jagung digunakan sebagai bahan pembuatan crude enzim selulase maupun pembuatan bioetanol. Crude enzim yang dihasilkan diuji dengan menggunakan metode CMCase ( Carboxymethyl Celullulase assay) dan FPase ( F ilter Paper assay) dengan hasil : CMCase = 0,0219 IU/mL dan FPase = 0,04248 IU/mL. Uji CMC menyatakan aktivitas dari endo-Č•-1,4glukanase dalam memecah struktur amorf pada selulosa, sedangkan uji FPase biasanya digunakan untuk penentuan aktivitas enzim lengkap. Kemudian, setelah didapatkan crude enzim, dilakukan fermentasi pembentukan bioetanol pada variasi penambahan crude enzim 10 mL, 20 mL, dan 30 mL. Hasil dari fermentasi pembentukan bioetanol diuji glukosa sisa fermentasi dan kadar bioetanol yang dihasilkan. 1. Pengaruh Volume E nzim yang Ditambahkan T erhadap G lukosa yang Dihasilkan. ! Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa semakin banyak jumlah crude enzim yang ditambahkan, semakin sedikit konsentrasi glukosanya, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Glukosa yang dianalisa merupakan glukosa sisa fermentasi, yaitu glukosa hasil hidrolisa dikurangi glukosa yang digunakan untuk pembentukan bioetanol. Pada tiap suhu, penambahan volume crude enzim sebesar 10 mL menghasilkan konsentrasi glukosa tertinggi, kemudian diikuti oleh penambahan volume crude enzim sebanyak 20 mL, dan yang memiliki konsentrasi glukosa paling rendah adalah dengan penambahan crude enzim sebanyak 30 mL. Pada awalnya, penambahan crude enzim sebesar 30 mL memiliki kandungan glukosa yang paling tinggi. Kondisi awal inilah yang menghambat kinerja enzim selulase untuk menghidrolisa selulosa menjadi glukosa, karena glukosa dalam jumlah yang tinggi akan menjadi inhibitor bagi enzim selulase yang membuat kinerja enzim itu sendiri terhambat dan menurun [8]. Penelitian ini menggunakan metode simultaneous saccharification and fermentation (SSF), di mana proses sakarifikasi dan fermentasi dilakukan secara serentak. Sehingga, ketika enzim selulase menghidrolisa selulosa

G ambar 1. H ubungan A ntara K onsentrasi G lukosa dan Waktu F ermentasi pada suhu 35o C

Pada Gambar 1. dapat dilihat bahwa penambahan crude enzim sebanyak 10 mL menghasilkan glukosa dengan konsentrasi paling tinggi, kemudian diikuti dengan penambahan crude enzim sebanyak 20 mL, dan yang terakhir, konsentrasi glukosa yang terkecil dengan penambahan crude enzim sebanyak 30 mL. Ditinjau dari proses hidrolisa dengan penambahan 10 mL crude enzim, glukosa yang terbentuk pada suspensi tidak setinggi konsentrasi glukosa yang dihasilkan pada penambahan 20 mL dan 30 mL crude enzim. Hal ini dikarenakan kinerja enzim menjadi lebih baik karena konsentrasi glukosa yang kecil tidak menjadi inhibitor bagi enzim selulase, sehingga enzim selulase dapat menghidrolisa selulosa menjadi glukosa dengan lebih baik [9]. Selain itu, glukosa sisa fermentasi yang dianalisa telah digunakan untuk pembentukan bioetanol. Di samping itu, dapat juga diakibatkan oleh penambahan enzim yang tidak proporsional dalam menghasilkan glukosa (proses hidrolisa) yang mengakibatkan kinerja enzim dalam merubah selulosa menjadi glukosa terhambat [8]. Crude enzim yang digunakan merupakan enzim yang masih memiliki banyak komponen-komponen pengotor yang dapat menghambat kinerja dari enzim itu sendiri. Jika dilihat dari laju pembentukan glukosa (hidrolisa) pada Gambar 1, proses sakarifikasi pada hasil percobaan menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa mengalami kenaikan pada jam ke-0 sampai ke-48 kemudian konsentrasinya menurun pada jam ke-72 hingga jam ke-120. Kenaikan glukosa yang signifikan pada hari pertama hingga hari ke-2 (jam ke-0 hingga ke-48) dapat disebabkan karena adanya bagian a morf (selulosa yang dapat larut) [10] pada substrat tongkol jagung yang mudah dihidrolisa oleh enzim selulase, sehingga pembentukan glukosa hasil hidrolisa dari bagian a morf tersebut terjadi dengan cepat [11]. Sedangkan

137


penurunan konsentrasi glukosa pada jam ke-72 hingga jam ke-120 dapat disebabkan karena hidrolisa yang dilakukan oleh enzim adalah dari kristal selulosa yang terdapat pada substrat tongkol jagung. Di mana kristal selulosa lebih sukar untuk dihidrolisa oleh enzim, sehingga mengakibatkan konsentrasi glukosa yang terbentuk lebih rendah dan cenderung menurun [12]. 2. Pengaruh Volume E nzim yang Ditambahkan T erhadap E tanol yang Dihasilkan.

G ambar 2. H ubungan A ntara K onsentrasi Bioetanol dan Waktu F ermentasi pada suhu 35o C 12

12 Waktu vs Konsentrasi glukosa pada 35oC o

Waktu vs Konsentrasi bioetanol pada 35 C

10

8

8

6

6

4

4

2

2

0

Konsentrasi glukosa (mg/ml)

Konsentrasi bioetanol (mg/mL)

10

0 0

24

48

72

96

120

Waktu fermentasi (jam)

G ambar 3. H ubungan A ntara W aktu F er mentasi T erhadap K onsentrasi Bioetanol dan G lukosa Sisa F er mentasi Pada Suhu 35o C

Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi bioetanol tertinggi dihailkan dengan penambahan crude enzim sebanyak 30 mL, lebih tinggi daripada konsentrasi bioetanol yang dihasilkan dengan penmabahan crude enzim sebanyak 20 mL, dan konsentrasi bioetanol terendah dihasilkan dengan penambahan crude enzim sebensar 10 mL. Hal ini dikarenakan penambahan crude enzim sebanyak 30 ml untuk fermentasi pembentukan bioetanol menghasilkan glukosa yang lebih kecil dibandingkan penambahan crude enzim yang lebih sedikit (10 ml dan 20 ml), sehingga dapat menghasilkan bioetanol dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi glukosa yang tinggi akan mengganggu cerevisiae sehingga S accharomyces metabolisme menghambat pembelahan sel selanjutnya dan mempengaruhi

bioetanol yang dihasilkan. Konsentrasi glukosa yang tertinggilah yang menyebabkan konsentrasi bioetanol yang dihasilkan dengan penambahan volume crude enzim 10 mL merupakan konsentrasi bioetanol yang terendah. Jika dilihat pada Gambar 3, bioetanol yang terbentuk lebih tinggi dari glukosa sisa fermentasi, hal ini disebabkan karena metabolisme S. cerevisiae pada kondisi anaerob adalah dengan merubah 1 mol glukosa (C6H12O6) menjadi 2 mol karbon dioksida (CO2) dan 2 mol etanol (C2H5OH), sehingga 1 mol glukosa dapat menghasilkan 2 mol etanol. Namun, hal ini tidak dapat dibuktikan dengan perhitungan, karena metode yang digunakan merupakan metode SSF di mana proses hidrolisa selulosa menjadi glukosa dan pembentukan glukosa menjadi bioetanol terjadi secara bersamaan. Sehingga tidak diketahui secara jelas berapa jumlah glukosa yang dihasilkan dan berapa jumlah glukosa yang dipakai untuk menghasilkan bioetanol. Penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai hubungan antara konsentrasi glukosa sisa fermentasi dan konsentrasi bioetanol yang terbentuk akan lebih mudah dipahami dengan melihat Gambar 3. Secara singkat bahwa pada jam ke-0 hingga jam ke-24 konsentrasi glukosa meningkat karena pada waktu ini merupakan fase hidrolisa di mana enzim selulase dengan aktif memecah selulosa menjadi glukosa dan juga adanya struktur selulosa amorf pada serbuk tongkol jagung yang digunakan sebagai substrat yang merupakan bagian dari selulosa yang lebih mudah untuk dihidrolisa oleh enzim selulase. Aktivtas enzim dalam memecah struktur amorf tersebut dinyatakan dalam CMCase (carboxy-methyl cellulose assay). Bioetanol yang dihasilkan juga meningkat seiring meningkatnya konsentrasi glukosa karena adanya kesesuaian penambahan volume crude enzim dan konsentrasi glukosa yang merupakan sumber bagi S accharomyces cerevisiae untuk dikonversi menjadi bioetanol. Kemudian untuk jam ke-24 sampai jam ke-72 konsentrasi glukosa yang dihasilkan cenderung konstan begitu pula dengan konsentrasi bioetanol yang dihasilkan, hal ini menunjukkan bahwa pada fase ini laju pembentukan glukosa dan pemakaian glukosa untuk diubah menjadi bioetanol adalah setara, sehingga terlihat pada Gambar 3 baik konsentrasi bioetanol yang dihasilkan maupun konsentrasi glukosa sisa fermentasi cenderung konstan pada waktu tersebut. Sedangkan pada jam ke-72 hingga jam ke-120 pembentukan bioetanol naik secara signifikan disertai dengan penurunan jumlah glukosa sisa fermentasi, hal ini dikarenakan lebih banyak glukosa yang dipakai oleh S accharomyces cerevisiae untuk menghasilkan jumlah etanol yang lebih banyak tersebut.

IV.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioetanol yang dihasilkan pada penambahan crude enzyme 30 mL lebih tinggi (0,214 g bioetanol/g tongkol jagung) dibandingkan dengan pada penambahan crude enzyme 20 mL (0,119 g bioetanol/g tongkol jagung), dan penambahan crude enzyme 10 mL (0,081 g bioetanol/g tongkol jagung) pada waktu fermentasi 120 jam. Semakin banyak volume crude enzim yang ditambahkan, maka semakin tinggi pula konsentrasi bioetanol

138


yang dihasilkan, namun semakin sedikit konsentrasi glukosa yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA [1.] !"#$"%&'()*'+)',"$"#"-&'!""#$%&'()*+,-./% 01,-2+,-34,3-(/%5(24,*"6+&'./01&',2%3"-'4"' +-563"-'7'89):';"-%<#) =>)? ,2@65#<#$362A&' B)*' C-$9&' ;)()*' D5$-9@9&' ,)C)&' 7,3#*% 8()932,26% :6;*)% 7(1312+(% <2-*% =*>-"?36@*% A-*4'"#(-)2% -((+(*% <(6@26% 739+,-2,% B(-2)*% 82#*% 7(92@2*% C2,21*+% D*#-"1*+*+% :6;*)2,*>% 82#2% 8-"#3>+*% E*"(,26"1)' E5-#2%' ;<9F-9A"A' G9H94<32A' I-9F<A&'J9%).&'D9).&'CF-<%'>K.L:'FF'>>' =L)? M2H"%<#NO&'8)D*'M99<49#O'+)*'!22<P&'C)B8)&':,'26"1% ?-")% 1*@6"4(1131"+*4% 9*")2++$% ,(4'6"F(4"6")*4% G(-?"-)264(% *6% +'"-,F/% )*##1(F% 26#% 1"6@F,(-)&' "%A"Q<"-&'("A"HR"-'>KK1:'FF'L/L' [4.] S<#2-#<&'D)*'TAH562#39&';)*'U53-<A#9)&'8()932,26% 9*"(,26"1%#(6@26%E26,326%7244'2-").4(+% 4(-(H*+*2(%#2-*%I13>"+2%D2+*1%D*#-"1*+*+%E*J*%<3-*26&' GTSTC'UIV(WDI'EXVYDCZ&'J9%)'.&'D9)'.&'!"R-52-<' >K.L:'FF'L0[1> =\)? U2HA5-<&'S)*'+9]2#'S)*'S2-4<2A'Y)*';2<^5#<'S)*' M"-H2#A62@'M)*',<P2#2-O9'C)*'B-2A"362';)*! ƒ•‹Â?‹Â? Ǥǥ Dz ‡Â?ƒÂ?ˆƒƒ–ƒÂ? ‡Ž—Ž‘•ƒ ƒ‰ƒ• Â?–—Â? B-945OA<'W3@2#9%'S"%2%5<'U2O2-<_<O2A<'42#' ‡”Â?‡Â?–ƒ•‹ ‡”‡Â?–ƒÂ? †‡Â?‰ƒÂ? Â?œ‹Â? ›ŽƒÂ?ƒ•‡dzǥ SCGCYC&'IWGDXZX+T&'JXZ)'..&'DX)'.&'CBYTZ' >KK`:'.`[>1)' =a)? X@$-"#&' G)*' Y549%_&' C)*' +2%R"&' S)*' b2NN@<&' +)&' 7*)31,26("3+% 7244'2-*?*42,*"6% 26#% K(-)(6,2,*"6% "?% 7,(2)F8-(,-(2,(#% &"-6% 7,"H(-% 2,% D*@'% <-.F =2,,(-%&"64(6,-2,*"6%?"-%K3(1%:,'26"1%8-"#34,*"6&' >KKa&' 8@"H<N2%' W#$<#""-<#$&' Uc"4"#&' Z5#4' V#<Q"-A<36&'"#d.Ke&'0aL[0a/)' =`)? 8@2#4"%&' C)G)*' 8@2#4-2A"O@2-&' +)*' Y24@<O2&' G)*' Y2Q<#4"-&' Y)*' Y2Q<#4-2' B)&' E*"4"6H(-+*"6% "?% 8(6,"+(%73@2-+%*6,"%:,'26"1$%L%5(H*(M%26#%K3,3-(% <*-(4,*"6+/% ;<93"N@#9%9$6' 2#4' S9%"N5%2-' ;<9%9$6' Y"Q<"c'J9%)'ad.e&'E2#52-<'>K..:'FF'K.L' !"#$ Anwar, N., A. Widjaja, et al. 2010. Peningkatan untuk kerja hidrolisis enzimatik jerami padi menggunakan ca mpuran selulase kasar dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger . Makara Sains. 14(2): 113-116.% !&#$ Miyamoto, K., Renewable Biological System For Alternative Sustainable Senergy Production. , in F AO Agricultural Services Bulletin1997.% !'(#$ Gong, C.S. and G.T. Tsao, eds. Cellulase and Biosynthesis Regulation. Annual Report on Fermentation Process, ed. D. Pelman. 1979, Academic Press: New York.%

Wang N.S., 2009. Cellulose degradation. Department of Chemical Engineering. University of Maryland.% !')#$ Ikwebe, J. and A. Harvey, Intensification of bioethanol production by simultaneous saccharification and fermentaton (SS F) in an Oscillatory Baffled Reactor (OBR). Bioenergy Technology, 2011. p. 381-388.%

!''#$

139


Nangka sebagai Bahan Baku Pembuatan Bio-etanol dan Bio-oil dengan Prinsip Kilang Hijau Jackfruit as the Raw Material for the Production of Bio-etanol and Bio-oil based on Biorefinery Principle Cynthia Widjaja1,a, Jennifer Pieter Soetardji2,b dan Yovita Djojorahardjo3,c

1,2,3,4

Pembimbing: Suryadi Ismadji4,d Jurusan Teknik Kimia, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. aEmail: cynthia_cw7@yahoo.co.id, b Email: jenniferpieter13@gmail.com, cEmail: yovita.djojorahardjo@gmail.com d Email: suryadiismadji@yahoo.com

Abstrak - K risis energi menimbulkan munculnya berbagai penelitian untuk pengembangan produksi bio-fuel. K etersediaan minyak, arang dan sumber gas alam yang terbatas diper kirakan akan habis pada abad berikutnya. Biomassa mendapatkan sejumlah perhatian sebagai bahan baku ber kelanjutan dalam produksi energi, terutama untuk sektor transportasi. Limbah buah nangka yang berlimpah di Indonesia membuatnya berpotensi sebagai salah satu bahan baku kilang hijau untuk pembuatan bio-fuel di mana biji nangka dapat diolah menjadi bio-etanol dan kulit nangka dapat diolah menjadi bio-oil. Pembuatan bio-oil dengan proses pirolisis dilakukan dalam reaktor fixed-bed dengan variasi suhu antara 400-600Âş C untuk dipelajari kondisi suhu optimum di mana suhu merupakan parameter terpenting. H asil bio-oil maksimum (64,5% ) diperoleh pada kondisi suhu 550 o C. Seiring meningkatnya suhu (hingga 550o C), hasil biooil meningkat. Namun, peningkatan suhu lebih lanjut mengakibatkan penurunan hasil bio-oil. Pembuatan bio-etanol dilakukan dengan proses hidrolisis subkritis dalam reaktor subkritis untuk memecah selulosa dalam biji nangka dengan variasi suhu 110-140o C dan dilanjutkan dengan fermentasi glukosa menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae. H asil bio-etanol maksimum (17,13% ) diperoleh pada suhu 130 o C. K ata K unci-kilang hijau, pirolisis, hidrolisis subkritis, bio-etanol, bio-oil

Abstract- The energy crisis contributed to the development of bio-fuel production. Petroleum, charcoal and natural gas sources are limited and will be exhausted by the next century. Biomass has received considerable attention as a sustainable feedstock that can replace diminishing fossil fuels for the production of energy, especially for the transportation sector. Jackfruit waste is abundant in Indonesia make it potentially as one of the green refinery feedstock for the manufacture of bio-fuel where jackfruit seeds can be processed into bio-ethanol and jackfruit peels can be processed into bio-oil. Manufacture of bio-oil by pyrolysis process carried out in a fixed-bed reactor with a temperature variation between 400-600o C to learn the optimum temperature conditions where the temperature is the most important parameter. The maximum yield of bio-oil (64.5%) was obtained at 550o C. The yield of bio-oil initially increased with temperature (up to 550o C) then further increase of temperature resulting in decreasing bio-oil yield. Manufacture of bio-ethanol made by the subcritical water hydrolysis using subcritical reactor to break down carbohydrate in jackfruit seeds with temperature variations 110-140o C and continued with glucose fermentation using yeast Saccharomyces cerevisiae. Result maximum bio-ethanol (17.13%) is obtained at a temperature 130 o C. Keywords²biorefinery, pyrolysis, subcritical water hydrolysis, bio-ethanol, bio-oil

I. PE N D A H U L U A N Meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil di dunia menimbulkan beberapa masalah yaitu menipisnya ketersediaan bahan baku yang tidak terbarukan yang mengakibatkan krisis energi dan meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada iklim dunia. Adanya pertimbangan terhadap masalah tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini menyebabkan peningkatan jumlah penelitian terhadap sumber energi alternatif terbarukan, salah satunya adalah penelitian tentang bio-fuel. Bio-etanol, bio-diesel, dan bio-oil dapat digolongkan dalam bio-fuel. Biomassa mendapatkan sejumlah perhatian sebagai bahan baku berkelanjutan dalam produksi energi, terutama untuk sektor transportasi. Proses yang terjadi dalam produksi bahan bakar hidrokarbon dari biomassa adalah (i) mengurangi kandungan

oksigen yang cukup besar dari bahan baku induk untuk meningkatkan kepadatan energi dan (ii) menciptakan ikatan C-C dalam biomassa untuk meningkatkan berat molekul produk hidrokarbon [1]. Nangka berpotensi sebagai salah satu bahan baku kilang hijau untuk pembuatan bio-fuel di mana biji nangka dapat diolah menjadi bio-etanol dan kulit nangka dapat diolah menjadi bio-oil . Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan provinsi NTB, daerah penghasil buah nangka yang cukup besar di Indonesia, menyebutkan bahwa provinsi NTB menghasilkan limbah organik berupa kulit dan biji nangka sekitar 150.000 ton per tahun [2]. Kandungan volatile matter dalam kulit nangka yang cukup tinggi (74%) merupakan salah satu pertimbangan yang membuatnya cocok untuk diproduksi menjadi bio-oil di mana volatile matter menyatakan banyaknya senyawa organik yang dapat menguap dalam proses pirolisis. Pirolisis merupakan

140


proses dekomposisi senyawa organik dalam biomassa menjadi gas, bio-oil (cairan), dan char (padatan) tanpa adanya kehadiran oksigen [3]. Bio-oil memiliki beberapa keunggulan dari bahan bakar fosil. Di antaranya, sedikitnya emisi SOx yang dihasilkan karena biomassa hanya mengandung belerang yang sedikit dan bio-oil menghasilkan 50% lebih rendah emisi NOx dari minyak solar dalam sebuah turbin gas [4]. Dalam kandungan organik biji nangka, kadar karbohidratnya yang tinggi membuatnya cocok untuk diolah menjadi bio-etanol. Hidrolisa karbohidrat menjadi glukosa dilakukan dengan proses hidrolisis subkritis. Fermentasi dengan ragi Saccharomyces cerevisiae akan mengubah glukosa menjadi bio-etanol. Subkritis bersifat stabil karena adanya tekanan yang meningkatkan titik didih, atau dengan memanaskannya dalam wadah tertutup dengan ruang atas, di mana zat cair dalam kesetimbangan dengan uap pada tekanan uap jenuh, berbeda dengan pemanasan normal yang berada pada tekanan atmosfer dan suhu diatas titik didih air [5]. Etanol memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi (35%) sehingga terbakar lebih sempurna, mempunyai nilai oktan yang tinggi, dan mengandung emisi gas CO yang rendah. I I. M E T O D E PE N E L I T I A N II.1. Persiapan Bahan Baku Kulit dan biji nangka yang telah diperoleh dari pasar buah di Malang, Jawa Timur, Indonesia dicuci dengan air mengalir secara berulang-ulang hingga bersih dari kotoran dan pasir. Setelah itu, kulit dan biji nangka dikeringkan dalam oven pada suhu 110oC selama 24 jam untuk mengurangi kandungan air dalam kulit dan biji nangka. Kulit dan biji nangka yang telah kering dikecilkan ukurannya menggunakan JANKE & KUNKEL micro hammer mill . Untuk mendapatkan serbuk kulit dan biji nangka dengan ukuran 80/100mesh digunakan screen. II.2. Pembuatan Kulit Nangka Menjadi Bio-oil II.2.1. Analisa Bahan Baku Untuk mengetahui karakteristik kulit nangka dilakukan analisa ultimat, proksimat, dan gravimetrik. Analisa ultimat kulit nangka menggunakan Perkin-Elmer 2400 CHNS/O elemental analyzer untuk mengetahui kandungan karbon (C), nitrogen (N), Hidrogen(H), Oksigen, dan Sulfur (S) dalam kulit nangka. Analisa proksimat kulit nangka menggunakan prosedur ASTM D4442-07 untuk kandungan air, ASTM E1755-01 untuk kandungan abu, dan ASTM D-3175-11 untuk kandungan senyawa volatil. Untuk kandungan karbon yang terdapat pada serbuk kulit singkong didapat dari kalkulasi persentasi kandungan air, abu, dan senyawa volatil. Analisa gravimetric mengukur kadar stabilitas termal dengan menggunakan TGA/DSC 1 STAR System (Mettler -Toledo). II.2.2. Proses Pirolisis Proses pirolisis kulit nangka menjadi bio-oil menggunakan sistem reaktor fix bed (reaktor fix bed, kondensor, dan tempat produk yang dihasilkan). Laju pemanasan dikontrol dengan FID type controller. 200 gram serbuk kulit nangka

dimasukkan ke dalam reaktor dan dialirkan gas nitrogen dengan laju 4 L/menit untuk menghindari keberadaan oksigen dalam reaktor. Kemudian, reaktor dipanaskan pada suhu yang diinginkan (400-600oC), sistem temperatur diatur oleh FID controller dengan laju pemanasan 20oC/menit. Gas-gas dan uap dihasilkan dari pemecahan kulit nangka pada suhu yang tinggi kemudian melewati kondensor bertingkat dua. Uap yang bisa terkondensasi akan berubah menjadi produk cair (bio-oil ) dan kemudian dikumpulkan dalam penampung hasil produk bio-oil. Pada pintu keluar dari sistem kondensor, filter kapas akan digunakan untuk menangkap beberapa senyawa volatil yang mempunyai tekanan parsial rendah. Uap yang tidak bisa terkondensasi bersama dengan gas nitrogen pembawa akan melewati pengukur meter gas dimana volume gas yang keluar akan tercatat. Setelah proses pirolisis selesai, sistem didinginkan sampai suhu kamar. Padatan (karbon) dalam reaktor dikumpulkan dalam penampung hasil produk karbon. II.2.3. Analisa Produk Analisa kandungan fisika dan kimia dalam bio-oil meliputi nilai kalor menggunakan bom kalorimeter, pH menggunakan pH meter, viskositas kinematik menggunakan viskosimeter Brookfield (Tipe DV III Ultra), densitas menggunakan piknometer, kadar air menggunakan titrator Karl-Fisher, dan titik nyala dengan menggunakan alat Pensky-Martens Closed Tester Metode ASTM D93. II.3. Pembuatan Biji Nangka Menjadi Bio-etanol II.3.1. Persiapan katalis Bentonite dicuci hingga bersih kemudian dikeringkan dalam oven 110qC. Bentonite lalu ditumbuk dengan mortar dan diayak dengan vibrator screener hingga diperoleh partikel berukuran 60-80 mesh. Bentonite tersebut diaktivasi dengan asam fosfat (H3PO4) 10%. Aktivasi ini dilakukan dalam sebuah labu leher tiga yang dilengkapi dengan refluks kondensor pada suhu 80qC selama 2 jam. II.3.2. Hidrolisis subkritis 10 gram serbuk biji nangka, 1 gram serbuk bentonite yang telah diaktivasi, dan 100 mL akuades dimasukkan pada reaktor subkritis yang dilengkapi dengan pengaduk. Dialirkan gas nitrogen dalam reaktor hingga tekanan dalam reaktor 20 bar. Hidrolisis dilakukan dengan reaktor subkritis pada suhu yang diinginkan (110qC, 120qC, 130qC,dan 140qC) selama 2 jam. Setelah proses hidrolisis selesai, reaktor didinginkan hingga mencapai suhu kamar. Larutan hasil hidrolisis subkritis difiltrasi terlebih dahulu untuk memisahkan katalis dan padatan yang tersisa dengan larutan glukosa yang akan diuji lebih lanjut. II.3.3. Uji glukosa Sebelum larutan glukosa diproses lebih lanjut untuk menjadi bioetanol, perlu dilakukan uji glukosa secara kuantitatif. Uji glukosa dilakukan agar mengetahui suhu proses yang dapat memperoleh jumlah glukosa secara optimal. Uji glukosa

141


dilakukan secara kuantitatif menggunakan metode DNS dengan spektrofotometer UV-Vis. II.3.4. Fermentasi Proses fermentasi pembuatan bio-etanol ini dilakukan pada larutan glukosa hasil hidrolisis dengan yield tertinggi. Mulamula larutan glukosa hasil hidrolisis disterilisasi dalam autoklaf, kemudian dalam larutan tersebut ditambahkan ammonium fosfat yang berfungsi sebagai sumber nitrogen dan fosfor untuk perkembangbiakan yeast . Kemudian dalam larutan glukosa ditambahkan sejumlah fermipan (yeast) dari strain Saccharomyces cerevisiae dan diinkubasi selama beberapa hari. II.3.5. Uji alkohol Uji alkohol dilakukan untuk mengetahui banyaknya alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi larutan glukosa dengan yield tertinggi. Alkohol yang terbentuk dianalisa dengan menggunakan gas chromatography (GC Shimadzu-2014).

Dari analisa ultimat, kadar karbon yang tinggi (63,6%) menyatakan bahwa senyawa organik yang dihasilkan pada proses pirolisis umumnya akan berupa senyawa hidrokarbon. Keberadaan oksigen yang menempati urutan kedua terbesar (27,9%) setelah karbon menunjukkan kemungkinan terbentuknya senyawa organik yang mengandung atom oksigen seperti alkohol, eter, aldehida, keton, asam karboksilat, ester, dan lain-lain. Kadar sulfur (0,1%) dan nitrogen (1,2%) yang rendah menunjukkan prospek yang besar bagi bio-oil yang dihasilkan menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan. III.1.2. Analisis Thermogravimetric Analysis (TGA) TGA digunakan untuk mengetahui stabilitas termal dari kulit nangka selama proses pemanasan. Pengurangan berat yang disebabkan oleh lepasnya senyawa volatil diamati sebagai fungsi suhu. Gambar 1 menunjukkan kurva TGA kulit nangka. 120

I I I. H ASI L D A N PE M B A H ASA N

100

80

weight (%)

III.1. Hasil dan Pembahasan Pembuatan Kulit Nangka menjadi Bio-Oil III.1.1. Analisa Proksimat dan Ultimat Kulit Nangka Hasil analisa proksimat dan ultimat kulit nangka dapat dilihat pada tabel 1.

60

40

20

T abel 1. K arakteristik K ulit Nangka

A nalisis Proksimat A ir A bu Volatile matter K arbon tetap

K adar (% b/b) 4,8 2 74 19,2

A nalisis

0

K adar (% b/b)

Ultimat Karbon Hidrogen Oksigen

63,6 7,2 27,9

Nitrogen Belerang

1,2 0,1

Dalam analisa proksimat, diperoleh data bahwa kulit nangka memiliki senyawa volatil yang cukup tinggi (74%). Pada proses pirolisis, senyawa volatil ini akan diuapkan menjadi uap yang dapat terkondensasi dan tidak dapat terkondensasi. Uap terkondensasi inilah yang disebut bio-oil. Dengan demikian, proses pirolisis kulit nangka dapat menghasilkan fraksi bio-oil yang cukup tinggi. Air dalam kulit nangka akan ikut terkondensasi dan bercampur dalam bio-oil sehingga mempengaruhi kemurnian bio-oil. Rendahnya kandungan air (4,8%) dalam kulit nangka menyatakan bahwa bio-oil yang dihasilkan memiliki kemurnian tinggi. Kadar karbon tetap menunjukkan jumlah char (arang) yang dihasilkan cukup tinggi (19,2%). Kualitas arang yang diperoleh dipengaruhi oleh banyaknya abu dalam kulit nangka. Kadar abu yang rendah (2%) menyatakan bahwa kulit nangka dapat berpotensi untuk dijadikan karbon aktif.

0

200

400

600

800

Temperature, oC

G ambar 1. T G A K ulit Nangka

Di bawah suhu 200oC, pengurangan berat oleh kulit nangka disebabkan oleh penguapan kadar air dari struktur padatannya. Berat kulit nangka menurun dengan signifikan pada suhu 200400oC. Hal ini disebabkan, terjadinya dekomposisi selulosa dan hemiselulosa dalam kulit nangka. Pada suhu diatas 400oC, pengurangan berat kulit nangka disebabkan oleh dekomposisi lignin. III.1.3. Pengaruh Suhu terhadap Yield Bio-oil yang Dihasilkan Data pengaruh suhu dalam reaktor pirolisis terhadap yield bio-oil yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2. T abel 2. Pengaruh suhu terhadap yield bio-oil yang dihasilkan

Suhu (oC) 400 450 500 550 600

Yield Bio-oil (%) 43,7 52,6 60,3 64,5 61,4

Berdasarkan Tabel 2, yield bio-oil (tar) yang dihasilkan meningkat seiring naiknya suhu dalam reaktor pirolisis. Pada suhu 550oC, diperoleh bio-oil dengan hasil maksimal (64,5%). Namun, yield bio-oil mulai berkurang pada saat suhu reaktor

142


lebih dari 550oC karena terjadi secondary cracking. Apabila suhu terlalu tinggi, akan terjadi cracking terhadap uap organik yang dapat terkondensasi menjadi senyawa yang lebih sederhana berupa gas seperti CO2, CH4, CO, dan lain-lain. Kenaikan suhu mengakibatkan semakin banyak senyawa volatil menguap menjadi uap organik yang tidak dapat terkondensasi sehingga yield gas terus meningkat. Terdapat peningkatan yield gas secara signifikan saat terjadi secondary cracking yaitu suhu lebih dari 550oC. Yield char yang dihasilkan semakin menurun seiring berkurangnya suhu karena kandungan volatil yang terdapat pada kulit nangka menguap dan terkonversi menjadi bio-oil dan gas.

III.2.1. Pengaruh Suhu Hidrolisis terhadap Yield Glukosa yang Dihasilkan Data pengaruh suhu proses hidrolisis terhadap yield glukosa yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.

III.1.4. Karakteristik Bio-oil Hasil karakteristik kandungan fisika dan kimia dalam biooil yang diperoleh pada suhu optimum (550oC) dapat dilihat pada Tabel 3.

Suhu pada proses hidrolisis mempunyai pengaruh yang sangat besar pada pembentukan glukosa. Pada kondisi subkritis, air akan diubah menjadi ion-ion H+ dan OH-, dimana ion OH- akan menyerang gugus-gugus aromatis sehingga karbohidrat dapat diputus dengan mudah oleh ion H+. Dengan adanya katalis bentonit termodifikasi, jumlah ion H+ yang ada dalam larutan naik secara signifikan karena sifat permukaan dari bentonite termodifikasi ini adalah cenderung ke asam yang akan menghasilkan ion-ion H+. Dengan bertambahnya ion H+ dalam larutan, maka bertambah pula kemampuan sistem untuk memutus rantai karbohidrat menjadi gula-gula lebih sederhana. Kelebihan dari katalis yang termodifikasi dengan H3PO4 ini adalah dapat menyumbangkan H+ nya saat kondisi subkritis sehingga meningkatkan kemampuan air untuk menghidrolisa karbohidrat, dan pada saat kembali ke tekanan dan suhu kamar, H+ tersebut akan kembali tertempel pada gugus silanol bentonite sehingga dapat digunakan berkali-kali dan mudah dipisahkan dari filtrat glukosa. Yield dari glukosa juga meningkat seiring naiknya suhu karena naiknya suhu akan mempercepat laju ionisasi air menjadi H+ dan OH- dan juga laju reaksi hidrolisis sehingga dalam waktu yang sama dapat menghasilkan glukosa yang lebih banyak. Namun dilihat dari data pada beberapa percobaan, pada suhu terlalu tinggi justru yield glukosa agak sedikit menurun. Hal ini mungkin terjadi karena glukosa mulai terkaramelisasi pada suhu 140qC sehingga yield glukosa agak berkurang.

T abel 3. K andungan F isika dan K imia dalam Bio-oil (550o C)

Properti

Bio-oil

Nilai kalor (Mj/kg) Ph Viskositas kinematik (cSt) pada 40ÂşC Densitas (kg/dm3) pada 20ÂşC Kadar padatan pirolisis (%berat) Kadar abu (%berat) Kadar air (%berat) Titik nyala(ÂşC)

29,3 4,7 32,2 1,2 0,1 0,07 14,8 84

ASTM 7544 min 15 maks 125 1,1-1,3 maks 2,5 maks 0,25 maks 30 min 45

Sebelum bio-oil digunakan sebagai bahan bakar, diperlukan karakterisasi untuk mengetahui kualitasnya. Karakterisasi biooil yang diperoleh dari hasil pirolisis pada kondisi optimum (550oC) dapat dilihat dalam Tabel 3 dan sesuai dengan standar ASTM 7544. Nilai kalor yang tinggi akan meningkatkan jumlah kalor yang dihasilkan bio-oil sehingga kualitasnya semakin meningkat. pH bio-oil bersifat asam karena adanya senyawa asam seperti asam format, asam asetat, asam propanoat, asam butanoat, dan lain-lain. Kadar padatan pirolisis merupakan salah satu properti yang cukup penting dalam aplikasi penggunaan bio-oil. Idealnya, semakin kecil kadar padatan, kualitas bio-oil semakin bagus karena kadar padatan yang tinggi dapat menyebabkan penyumbatan dan erosi pada pipa atau sistem perpompaan. Kadar padatan yang tinggi akan mengganggu stabilitas bio-oil sehingga viskositas dapat berubah setelah jangka waktu tertentu. Kadar abu dalam bio-oil berhubungan dengan kadar padatan pirolisis karena padatan pirolisis mengandung abu. Dengan menghilangkan padatan dalam bio-oil , maka kadar abu dalam bio-oil juga akan berkurang [6]. Viskositas yang tinggi akan menyebabkan proses atomisasi yang buruk dan pembakaran tidak sempurna [7]. III.2. Hasil dan Pembahasan Pembuatan Biji Nangka menjadi Bio-Etanol

T abel 4. % K onversi Selulosa pada P roses Hidrolisa Subkritis

Suhu (oC) 110 120 130 140

Yield Glukosa (%) 56,8% 59,3% 64,78% 60,11%

III.2.2. Kadar Bio-Etanol yang diperoleh Fermentasi dilakukan pada larutan glukosa dengan yield tertinggi dengan bantuan ragi Saccharomyces cerevisiae . Larutan hasil hidrolisa tersebut disaring terlebih dahulu menggunakan Buchner kemudian diperoleh filtrat sebanyak 40 mL. Filtrat tersebut yang kemudian difermentasi dengan ragi Saccharomyces cerevisiae. Dari analisa GC, diperoleh yield etanol sebesar 17,13% (v/v). I V. K ESI M PU L A N Yield bio-oil yang dihasilkan dari proses pirolisis kulit nangka berkisar antara 43,7% sampai 64,5%. Yield maksimal diperoleh pada suhu 550oC. Karakterisasi bio-oil yang

143


diperoleh dari hasil pirolisis pada kondisi optimum (550 oC) sesuai dengan standar ASTM 7544. Yield glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis subkritis biji nangka berkisar antara 56,8% sampai 64,78%. Yield maksimal diperoleh pada suhu 130oC. Yield bio-etanol yang diperoleh dari proses fermentasi larutan glukosa pada yield tertinggi adalah 17,13%.

U C A PA N T E R I M A K ASI H Penulis mengucapkan terima kasih kepada Department of Chemical Engineering, National Taiwan University of Science and Technology, atas bantuannya dalam karakterisasi bahan baku dalam penelitian ini. D A F T A R PUST A K A [1] D.M. $ORQVR - 4 %RQG DQG - $ 'XPHVLF ³&DWDO\WLF FRQYHUVLRQ RI ELRPDVV WR ELRIXHOV ´ Green Che m istry, University of Washington, November 2010. [2] BPS, 2012. Tabel Produksi Buah Nangka Seluruh Provinsi di Indonesia. www.bps.go.id. Accessed in August 2013. [3] Y.K. Park, M.L. Yoo, H.S. Heo, H.W. Lee, S.H. Park, S.C. Jung, S.S. 3DUN DQG 6 * 6HR ³Wild reed of Suncheon Bay: Potential bio-energy VRXUFH ´ Renew. Energy., vol 42, pp 168-172, 2012. > @ 6 ;LX DQG $ 6KDKED]L ³%LR-oil production and upgrading research: A UHYLHZ ´ Renewable and Sustainable Energy Reviews , vol 16, pp 4406¹ 4414, 2012. > @ * =KX ; =KX = ;LDR ) <L < 0D DQG : -L ³Kinetics of glucose production from cellulose by hydrolysis in sub-FULWLFDO ZDWHU ´ Advance Materials Research, vol 347-353, pp 2672-2678, 2012. > @ $ 3DWWL\D 6 6XNNDVL DQG 9 *RRGZLQ ³Fast pyrolysis of sugar cane and FDVVDYD UHVLGXHV LQ IUHH IDOO UHDFWRU ´ Energy, vol 44, pp 1067-1077, 2012. > @ 9 9ROOL DQG 5 . 6LQJK ³3URGXFWLRQ RI ELR-oil from de-oiled cakes by WKHUPDO S\URO\VLV ´ Fuel, vol 96, pp 579-585, 2012.

144


Potensi Dari Impelementasi Pasir Besi Yogyakarta dan Batu Bara Lokal Pada Proses Tanur Tinggi Untuk Meningkatkan Mampu Saing Produk Besi Indonesia ___________________________________________ The Potentiality of Yogyakarta Iron Sands and Domestic Coal Implementation in Blast Furnace to Increase The Competitiveness of Indonesia Iron Product 1,2

3

Vincent Irawan1,a, Niken Anggraini2,b , and Prof, Dr, Ir, Johny Wahyuadi M, Soedarsono, DEA 3,c

Department of Metallu rgy and Materials Engineering, University of Indonesia, Depok. a Email: vincent.irawan@u i.ac.id, b Email: n iken.anggrain i@ui.ac.id,

Department of Metallurgy and Materials Eng ineering, University of Indonesia, Depok. c Email: johny.ws@metal.ui.ac.id

Abstrak- Industri pe mbuatan besi di Indonesi a sangat te rgantung pada bi ji h besi dan kok as i mpor. Harga ti nggi se rta k el angk aan dari bi ji h besi dan kok as menye babk an produ k besi lok al suli t be rsai ng di pasar dari segi harga. Pasi r Besi Yogyak arta yang l e bih murah dan mudah di da pat di usul k an untuk mengganti bi jih besi i mpor dan pe nggunaan batu bara lok al untu k me ngu rangi pe nggunaan kok as. N amun pe ngol ahan pasi r besi de ngan tanu r ti nggi konve nsional mene mui banyak ke ndal a, se hi ngga modi fi k asi umpan dan parame te r proses di pe rl uk an. K alk ul asi untu k ke basaan, rasio pel e t-sinte r dan pe nggunaan batu bara ak an di be rik an agar di pe rol eh hasil yang opti mal . Pe rubahan suhu bl ast, e ne rgy ki ne ti k bl ast dan pe nggunaan Pulverised Coal I njection -re ndah kok as ak an di papa rk an untu k me mpe rol eh proses yang opti mum. K e untungan dari pe nggunaan me tode i ni adal ah pe ningk atan mampu saing dari pro du k besi lok al , mengu rangi ekspor bahan tambang dan pe rbai k an pe re konomi an Indonesi a di sek tor pe rtambangan. Kata Kunci ² Pasi r Besi Yogyak arta, tanu r ti nggi , modi fi k asi proses, pe rhi tungan ekonomis

Abstract- Iron mak i ng i ndustry in Indonesi a is highl y de pe nde nt on i mporte d i ron ore and cok es. High pri ce and scarci ty of i ron ore and cok es i mpart the di ffi cul ty of domesti c i ron product to compe te i n te rms of pri ce . Yogyak arta Iron S ands whi ch are che ape r and e asy to obtaine d wi ll be propose d as re pl ace me nt for i mporte d i ron ore and local ste am coal will be use d to re duce the cok es consumption. Due to the di ffi cul ty of i ron sands processing by bl ast fu rnace , the modi fi cations of fee d and pro cess parame te r are necessary. C al cul ation of basi ci ty, coal usage and pe ll e t-sinte r ratio of fee d are gi ve n to obtai n the opti mum product. C hange of blast te mpe ratu re , bl ast ki ne ti c ene rgy and utili z ation of l ess-cokes Pul ve rize d C oal In jection are introduce d to achi e ve the opti mum process. T he advantages by usi ng this me thod are the e nhance me nt of domesti c i ron p rodu ct compe ti ti ve ness, re duction of di rect se l li ng of mi ning produ ct and the i nte nsi fi cation of Indonesi a economi cal val ue in the mi ni ng sector. Keywords² Yogyak arta I ron S ands, bl ast fu rnace , process modi fi cation, economi cal cal cul ation

I. PENDAHULUAN Bijih besi p rimer, sebagai salah satu sumber utama dalam produksi besi, terus mengalami pening katan harga d i pasar dunia dalam dekade terakhir karena permintaan yang tinggi dari Cina, Brazil, Australia dan India [1]. Tingg inya permintaan mendorong industri pertambangan untuk mening katkan produksi dengan memperluas eksplorasi mereka [2]. Seh ingga sumber kadar bijih besi primer t inggi akan berku rang secara s ignifikan . Selain itu , kokas sebagai salah satu ko mponen pent ing untuk membuat besi juga mengalami kasus yang sama.

Saat in i, pembuatan besi di Indonesia sangat bergantung pada bijih besi primer, kokas dan besi tua sebagai sumbernya. Pada tahun 2011, Indonesia memprodu ksi sekitar 4.75 juta ton besi untuk memenuhi permintaan do mestik besi sekitar 9.5 juta ton [4]. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku pembuatan besi, Indonesia harus mengimpo r 1.7 juta ton bijih besi p rimer dari negara lain [5]. Ju mlah yang besar dari bijih besi primer impor telah membuat b iaya produks i besi / baja mening kat. Hasilnya adalah harga besi lokal dalam negeri menjad i sangat mahal d ibandingkan dengan harga besi yang diimpo r da ri negara lain , sepert i Ch ina dan India[4].

1

145


Gamba r 1. Ha rga Bi ji h Besi di Pasar D uni a

Selain dari sisi harga, cadangan deposit yang menurun men jadi masalah baru bagi b ijih besi. Tingginya permintaan bijih besi primer telah menyusutkan ju mlah deposit seperti ditunjukkan pada Gambar. 2.

Meskipun ju mlahnya berlimpah, batu bara Indonesia tidak dapat diubah men jadi kokas. Karena adanya perbedaan dalam ko mposisi dan kualitas, sehingga pemanfaatan batubara Indonesia hanya diekspor untuk penggunaan termal, misalnya seperti sumber energi kereta loko motif (13). Selain batu bara, Indonesia memiliki seju mlah besar deposit pasir besi, d i Nusa Tenggara Timu r dan Jogjakarta, ju mlah besi deposit pasir adalah 57.1 juta ton dan 36.1 juta ton [7,11]. Eksplorasi pasir besi d i Indonesia selama ini hanya untuk proses benefisiasi. Konsentrat yang dihasilkan akan diekspor ke negara negara lain , seperti Ch ina dan Jepang. Tanpa pemurnian lebih lan jut, t indakan in i merug ikan Indonesia karena penjualan langsung barang mineral menyebabkan nilai jualnya sangat rendah. Dalam rangka untuk menyelesaikan masalah ini, pasir besi dan batubara dalam negeri akan diman faatkan sebagai umpan dalam proses tanur tinggi. Deposit yang besar dan harga mu rah dari pasir besi dan batubara dalam negeri akan menguntungkan industry pembuatan besi di Indonesia. Selain itu, adanya Undang-Undang Mineral dan Batu Bara tahun 2014, yang melarang pen jualan langsung bahan- bahan alam tanpa diproses lebih lanjut akan membantu imp lementasi dari gagasan ini. II. KAJIAN LIT ERATUR

A.

Gambar 2. Hubungan Antara Juml ah Deposit Terk splorasi dan Deposit Te rsisa

Oleh karena itu kebutuhan untuk menemu kan pengganti dari bijih besi primer sebagai bahan baku utama men jadi sangat diperlu kan. Indonesia memiliki banyak cadangan batubara, terutama di Su matera dan Pulau Kalimantan sepert i dapat dilihat pada Gambar. 3.

Deposit dan Ko mposisi dari Pasir Besi Indonesia

Di Indonesia, pasir besi masih kurang dimanfaatkan dan sering kali dio lah bukan untuk tujuan pembuatan besi. Pada tahun 2003, sekitar 249.409 ton pasir besi digunakan untuk industri semen nasional. Bahkan, eksplorasi pasir besi telah dilakukan d i Cilacap dan hanya diekspor ke Jepang tanpa pemurnian lebih, sejak tahun 1971[12]. Pasir besi mengandung berbagai pengotor, seperti TiO2 , V2 O5 , SiO2 , MgO, Al2 O3 , dan P2 O5 [8]. Deposit pasir besi banyak tersebar di Indonesia, dan candangan terbesar berada di Yogyakarta. Seh ingga memungkinkan pasir besi ini dapat dipasok secara rutin sebagai bahan baku pembuatan besi lokal tanpa harus terhalang oleh b iaya dan faktor t ransportasi. T abe l 1. Perki raan Deposit Pasi r Besi di I ndonesi a

Gambar 3. Deposit Batu Bara D i I ndonesi a

2

146


Total kandungan besi dalam pasir besi Yogyakarta relatif tinggi dibanding kan dengan pasir besi dari Ch ina, meskipun kandungan Titaniu m Oksida juga relatif t inggi untuk pasir besi Indonesia. Harga Pasir Besi Yogyakarta pada Oktober 2012 berkisar di harga US $ 48 - 50 / ton [9]. Hal ini relatif rendah dibandingkan dengan harga bijih besi yaitu sekitar US $ 150 / ton. Berdasarkan alasan ini, kemungkinan untuk menggunakan pasir besi Yogyakarta sebagai bahan baku untuk mengurangi biaya produksi besi sangat baik.

B.

T abe l 2. Komposisi Bi ji h Besi

Permasalahan Dari Ek strak si Pasir Besi di Indonesia

Proses yang umu m digunakan untuk memproduksi besi adalah proses tanur tinggi dan reduksi langsung. Tanur tinggi adalah pengolahan besi yang paling banyak digunakan di dunia [10]. Produktivitas yang tinggi dan biaya investasi yang rendah, membuat blast furnace sebagai suatu proses yang sangat mungkin untuk diadopsi di Indonesia. Proses reduksi langsung seperti HYL Process sudah diterapkan di Indonesia, dan sudah dijalankan oleh PT. Krakatau Steel [11]. Dalam tanur tinggi, Vanadium dan Titaniu m dari pasir besi akan bereaksi dengan Karbon dan membentuk Vanadium Karbida dan Titanium Karbida. Kedua senyawa ini akan meningkatkan viskositas terak, serta mampu basah antara terak dan cairan logam [12]. Akibatnya, ekstraksi pasir besi dengan tanur tinggi men jadi sulit. Pasir besi juga mengalami beberapa masalah ket ika digunakan sebagai umpan dalam proses reduksi langsung, misalnya pada proses HYL, pelet pasir besi masih memiliki kekuatan dan porositas dibawah persyaratan, dan tingkat metalisasi masih sangat rendah [11]. Satu-satunya proses reduksi langsung, yang hanya menggunakan umpan pasir besi, mampu dilaku kan oleh N.Z. Steel di Selandia Baru dengan proses rotary k iln [6]. Dalam kuliah umu mnya pada tanggal 24 Oktober 2012, Ir. Irvan Kamal M BA, sebagai Presiden Direktur PT. Krakatau Steel menjelaskan bahwa biaya investasi rotary kiln untuk memproses pasir besi sangat tinggi. Berbeda dengan pasir besi di Selandia Baru, yang berkisar 850 juta ton, di Indonesia hanya sekitar 160 juta ton dan lokasi yang tersebar [6,8]. Faktor-faktor ini menjadi kendala untuk mengembangkan pengolahan pasir besi berbasis reduksi langsung. B eber apa per us ah aan bes i di Cin a telah ber h asil menge mbangk an tek nologi pe ngolah an pas i r bes i de ngan tan ur tinggi sejak tahun 1997, namun dalam hal in i pasir besi bukanlah umpan utama. Namun, temuan in i tentu memberikan titik terang dalam memp roduksi besi dengan tanur tinggi

C. Modifik asi dari Umpan Pasir Besi untuk Proses Tanur Tinggi Pada dasarnya modifikasi dilakukan untuk menurunkan viskositas terak. Hal in i dapat dicapai dengan men ingkat kan kandungan kebasaan dan kadar besi agar melewat i n ilai krit is. Kadar besi harus sekitar 51-52% dan kebasaan harus tinggi, sekitar 2-2,4 [12]. Konsentrat pasi besi Yog karta b iasanya memiliki kandunga besi sekitar 54-59%, sedangkan pada bijih besi b iasanya memiliki kandungan besi yang lebih t inggi yaitu sekitar 65%. Sehingga untuk mencapai nilai optimu m perlu d ilaku kan pencampuran antara b ijh besi dan pasir besi. Pencampu ran bijih besi dan pasir besi d ilaku kan dengan proses sintering.

T abl e 3. Komposisi Pasi r Besi Yogyakarta

Tujuan dari pencampuran in i adalah untuk me ningk atk an k adar tot al bes i, me ningk atk an k ek uatan, dan u nt uk me ngur angi ju ml ah Tit aniu m Nitr i da dan Ti taniu m K ar bi da di ter ak .

D. Modifik asi Para meter Tanur Tinggi Tu juan dari mod ifikasi ini adalah untuk mening katkan mampu p roses dari terak. Pulverized Coal In ject ion (PCI) merupakan salah satu metode pent ing untuk mening katkan kemampuan tanur t inggi dalam memproses pasir besi. Penggunaan PCI telah terbukt i dapat mencegah pembentu kan Titaniu m Oks ida di dekat tuyere perap ian dan mampu men ingkat kan fluid itas sehingga memungkin kan terak untuk d isadap [12].

Gambar 3. S k e ma Ke rja PC I dal am Proses T anu r T i nggi

Berdasarkan komposisi pasir besi Yogyakarta, penggunaan PCI menjadi menguntungkan. Kandungan Titanium Oksida yang tinggi dapat diatasi dengan menggunakan metode PCI. Akibatnya, pembentukan Titanium Karbida dan Titanium Nitrida di terak dapat dikurangi. Tujuan lain dari PCI adalah untuk mengurangi konsumsi kokas. Penelitian sebelumnya menunjukkan penggunaan kokas dapat dikurangi dari 800 kg / ton menjadi 430 kg / ton dengan menggunakan batu bara pada proses PCI sekitar 130 kg / ton [12].

3

147


Selain menutupi lubang sadap, viskositas tinggi dari terak akan mengisi zona kolom dan tungku dari tanur tinggi, sehingga mengurangi permeabilitas udara. Akibatnya aliran gas panas akan terhambat dan proses reduksi pasir besi akan terganggu karena tidak mempero leh cukup energi. Un tuk mengatas i h al ini, e nergi k ineti k dan s uhu blast har us ditingk atk an u ntuk me masti k an proses re duk si tidak terganggu oleh ak u mulasi ter ak .

Kokas yang dibutuhkan untuk umpan sinter adalah 63,8 kg dan untuk b ijih pelet adalah 344 kg berdasarkan perhitungan di atas. Jadi, u mpan t anur tinggi ak an me ngan du ng du a k omponen pe nting, yaitu pellet bi ji h bes i dan s inter pas i r bes i agar dapat di peroleh h as il yang opti mal.

III. M ETODE M ODIFIKASI

Pada bagian in i, akan d ibandingkan harga u mpan dari metode yang disarankan dengan harga umpan dari metode konvensional.

Perhitungan Ca mpuran dari S inter Bijih Besi dan Pasir Besi Untuk menghitung jumlah besi dari bijih besi dan pasir besi yang ditambahkan, persamaan di bawah ini dapat digunakan:

Total Besi (k g) = 0.6735 x Total Berat Bijih Besi (kg)

(1)

Total Besi (k g) = 0.43 xTotal Berat Pasir Besi (k g)

(2)

. Dengan asu msi total u mpan s inter adalah 1000 kg dan rasio b ijih besi dan pasir besi adalah 2: 8. Kemud ian akan didapat kan 200 kg b ijih bes i dan pas ir bes i 800 kg dan total keselu ruhan dari besi sekitar 479,67 kg atau sekitar 52.18%. Hal in i sesuai dengan n ilai min imu m u mpan agar dapat diproses dalam tanur tingg i [12]. Untuk mendapatkan terak yang mampu d iproses, kebasaan harus bernilai 2,0. Kebasaan dapat dih itung dengan persamaan berikut

Basasitas = C a O / S i O 2

(3)

Oleh karena itu perlu penambahan 64,78 kg kapur / ton untuk rasio 2: 8. Jumlah kapur yang ditambahkan lebih tinggi dari normal. Alasannya basasitas yang tinggi akan menurunkan viskositas terak. Seh ingga proses penyadapan dapat dengan mudah dilakukan. Kokas juga perlu d itambahkan ke dalam campuran umpan sinter sekitar 60 kg / ton campuran untuk menjamin kekuatan dan proses reduksi yang baik [12]. Sehingga pada tahap awal ak an dilak uk an pe ncampur an bi jih bes i, pas i r bes i, k ok as, dan k apur pada j u mlah yang s udah dite ntuk an

Perhitungan Ek ono mis

a)

Umpan Pasir Besi x Proses : Tanur Tinggi dan PCI x Komponen Umpan : Sinter Pasir Besi-Bijih Besi, Pelet Bijih Besi, Kokas, Batubara(PCI), Kapur x Total Kadar Besi Pada Umpan : 52 % x Target Produks i : 1 ton besi

T abe l 4. Total Juml ah dan Harga dari Si nter Pasi r B esi -Bi ji h Besi Tipe Konsentrat Pasir Besi Konsenrat Bijih Besi Kokas Batubara Kapur Pelet Bijih Besi Total

Kok as dala m Umpan S inter (k g) = 60 x Total Berat S inter (4) (Ton) Kok as dala m Umpan Pelet (k g) = 430 x Total S intered F eed (Ton) (5)

Harga Satuan

800 kg

$ 60 / ton

200 kg 344 kg 130 kg 64.78 kg 800 kg 2338.78 kg

$ 150 / ton $ 300 / ton $ 100 / ton $ 75 / ton $ 150 / ton

Harga Total $48 $30 $103.20 $13 $4.60 $120 $318.80

b) Umpan Bijih Besi x x

x

Pena mbahan Pellet Bijih Besi, Kokas dan Batu Bara Untuk meningkatkan kandungan keseluruhan dari besi dalam umpan, penggunaan pellet bijih besi perlu dilakukan. Dengan asumsi kokas yang digunakan adalah 430 kg / ton dan kadar besi pelet sekitar 65%, maka perlu ditambahkan 800 kg pellet bijih besi kedalam 1000 kg umpan sinter agar diperoleh 1 ton besi. Total kokas dalam pakan dan pakan pelet sinter dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Jumlah

Co mponents of Feed : Sintered Iron ore, Pelletized Iron ore, Coke, Coal (PCI), Limestone Total Grade of Feed : 60 % Target of Production : Produce 1 ton of pig iron

T abe l 5. Total U nit and Price of I ron O re Uti l ization Tipe Umpan Bijih Besi Kokas Batubara Kapur Total

Jumlah

Harga Satuan

1666 kg 716.4 kg 216.58 kg 34.62 kg 2633.6 kg

$ 150 / ton $ 300 / ton $ 100 / ton $ 75 / ton

Harga Total $250 $215 $22 $3.00 $490.00

Dapat dilihat dari table di atas, bahwa biaya dari penggunaan pasir besi sebagai u mpan jauh lebih rendah dibanding proses ekstraki yang hanya menggunakan bijih besi. T ot al pengur ang an bi aya pr oduk s i dengan menggu nak an me tode yang dig agas adal ah sebes ar 34

4

148


% diban di ng metode k on ve ns ional. Sehingga dapat dis impul k an me tode ini ek onomis unt uk diter apk an pada tanur tinggi.

VII. REFERENSI [1]

Keuntungan Dengan menggunakan metode yang digagas, ketergantungan produksi besi nasional terhadap bijih besi dan kokas dapat dikurangi. Sehingga pengurangan biaya produksi secara signifikan dapat dicapati. Selain itu dengan menggunakan pasir besi dan batu bara lokal berarti meningkatkan perekonomian Indonesia dan selaras dengan Undang-Undang Mineral tahun 2014 ( UU MINERBA Tahun 2014)

Penge mbangan di Masa Depan Uji coba perlu dilaku kan untuk mengetahui keabsahan dari gagasan ini. Meskipun pada saat ini di Indonesia masih belum ada tanur tinggi yang beroperasi, PT. Krakatau Steel dan POSCO sedang mengembangkan proses tanur tinggi di Cilegon, Banten. Diharapkan, pada proses pengolahan tanur tinggi tersebut, dapat digunakan gagasan ini. Dalam rangka pemanfaatan pasir besi lokal secara efektif dan peningkatan mampu saing dari produk besi lokal. V. KESIMPULAN Indonesia memiliki deposit pasir besi dan batu bra yang tinggi. Tetapi penggunaan pasir besi dan batu bara lokal, hanya sebatas benefisiasi kemud ian dijual langsung ke Hal ini dapat disebabkan kurangnya teknolog i yang memungkinkan untuk pengolahan pasir besi dan pemanfaatan batubara. Dalam paper in i, proses yang disarankan adalah : x Penggunaan sinter dari campuran pasir besi dan bijih besi sebagai salah satu umpan tanur tinggi. x Penggunaan sinter pasir besi-b ijih besi dan pellet bijih besi sebagai u mpan tanur t inggi x Penggunaan batubara sebagai agen peredu ksi pada metode PCI x Peningkatan energy kinetik dari blast dan temperature dari blast

[2] [3]

[4] [5]

[6] !! [7] [8] [9]!

[10]

[11] [12] [13]

Increasing Demand of Iron Ore, (2012), Weblog, [Online], www .reuters .com /article /2013/07/29 /ironore-declineidUSL4N0FM19K20130729 accessed 20 August 2013 [accessed 5 June 2013, 14.00 WIB] Exploration of iron ore sources. (2012).Weblog. [Online] www.roperld.com/science/minerals/iron.htm accessed 20 August 2013 [accessed 5 June 2013, 15.00 WIB]. Krakatau Steel builds USD 621.81 million blast furnace project. (2012). W eblog. [O nline] http://www.newsi dx.com /en /news/101/economic-g rowth -in2013-at-68-bank -indonesia [accessed 5 Juni 2013, 14.00 W IB] Konsumsi Baja 2012 Diproyeksikan Naik di atas 20%, (2012) . W ebl og. [O nline] http: // www .steelindonesia.com /m ain.asp? cp=ne wsdetai l &i d=1017 [accesse d 5 Juni 2013, 15.00 W IB ] Laporan Market Intelligence Perkembangan Baja di Indonesia. (2008). Weblog. [Online] http://www.datacon.co.id/Baja2008Ind.html [accessed 5 Juni 2013, 15.00 WIB]. The Saga of New Zealand Steel. (2013). Weblog. [Online] http://www.techhistory.co.nz/IronSands/Iron1.htm [accessed 5 Juni 2013, 15.00 WIB]. Bambang N. Widi., ³Laporan Hasil Penyelidikan Tinjau Endapan Pasir Besi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur´. PT. Ever Mining,- ,-, (2005) Rochani, S., Pramusanto, Sariman, Anugrah, R.I., ³The Current Status of Iron Minerals in IndonesiD´ R&D Centre for Mineral and Coa l Technology, vol. 11, pp.1-7,( 2008) Jogja Magasa Produksi Pasir Besi Agustus 2013, (2013). Weblog. [Online] http://www.indonesiafinancetoday.com/read/22007/Jogja-MagasaProduksi-Pasir-Besi Agustus-2013 [accessed 5 Juni 2013, 14.00 WIB] Bai, Y.G., Cheng, S.S., Bai, Y.M., ³Analysis of VanadiumBearing Titanomagnetite Sintering Process by Dissection of Sintering Bed´ Journal of Iron and S teel Research, 2011, vol.18(6), pp. 8-15, (2010) Arif. A., -,´ Keberadaan Pasir Besi T itan di Indonesia dan Kemungkinan Pemanfaatannya di Depan´, Pusat Penelitian Metalurgi Lipi, vol.19(2), pp. 35-43, (2004) Fu. W, Wen Y., Xie H. 2011. ³Development of Intensified Technologies of Vanadium-Bearing T itanomagnetite Smelting´. Journal of Iron and S teel Research, vol. 18 (4), pp. 7-10, (2011) Suharno, B. Modul Mata Kuliah Pembuatan Besi dan Baja, Universitas Indonesia, Depok (2013)

Kalku lasi telah dilaku kan dan dapat d ilihat bah wa p roses ini mampu mengurang i b iaya bahan mentah secara signifikan. Pengurangan biaya dapat d isebabkan berku rangnya konsumsi kokas dan bijih besi. A kibatnya, harga jual dari besi lo kal dapat ditekan dan diharapkan mampu bersaing dengan besi impor dari segi harga.Selain itu gagasan ini selaras dengan UU M INERBA Tahun 2014. Kedepannya, diharap kan gagasan ini dapat diimp lementasikan pada tanur tinggi yang sedang dikembang kan oleh PT. Krakatau Steel dan POSCO. VI. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterima kasih kepada Mr. J.C. selaku pendukung utama selama proses penulisan ini. Dan terima kasih juga untuk pembimb ing kami, Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi M. Soedarsono, DEA. atas arahan dan bimb ingannya selama in i.

5

149


M I N I M A L ISASI R ESI K O PE N Y A K I T J A N T U N G K O R O N E R M E L A L U I R E I N K A R N ASI (R E V I E W , K O L A B O R ASI D A N O PT I M A L ISASI) T E K N O L O G I M I K R O B I A L : K O NSU MSI Y O G HURT BA W AN G M ERA H M I N I M I Z A T I O N O F T H E R IS K O F C O R O N A R Y H E A R T D ISE ASE T H R O U G H R E I N C A R N A T I O N (R E V I E W , C O L L A B O R A T I O N A N D O P T I M I Z A T I O N) M I C R O B I A L T E C H N O L O G Y : C O NSU M PT I O N O F R E D O N I O N Y O G H U R T 1,2

Devi Yuryana Hastuti1,a, Faturrahman2,b Program Studi Biologi, Universitas Mataram, Mataram. a loka_vye@yahoo.com b faturjr@gmail.com

A bstra k - Peningkatan kadar kolesterol pada darah manusia merupa kan salah satu faktor resiko yang diindikasi berhubungan dengan penyakit jantung koroner. Beberapa penelitian in vitro dan in vivo menunjuk kan bahwa bakteri asam laktat strain tertentu memiliki kemampuan untuk mengasimilasi kolesterol. K emampuan asimilasi kolesterol tersebut ternyata dipengaruhi oleh jumlah populasi bakteri asam laktat yang bergantung pada keberadaan senyawa prebiotik dalam medium pertumbuhannya. Salah satu sumber senyawa prebiotik potensial yang jumlahnya berlimpah adalah bawang merah. T ujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar potensi bawang merah dalam meningkatkan kemampuan asimilasi kolesterol bakteri asam laktat. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratoris dengan mengguna kan r ancangan acak lengkap factorial. H asil yang diperoleh menunjuk kan bahwa kemampuan asimilasi kolesterol bakteri asam laktat yang di suplementasi bawang merah memiliki persentase asimilasi kolesterol yang lebih tinggi dibanding bakteri asam laktat yang tidak disuplementasi bawang merah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa suplementasi bawang merah dapat meningkatkan kemampuan asimilasi kolesterol bakteri asam la ktat yang selama ini dikenal sebagai kultur starter dalam pembuatan produ k probiotik. Kata Kunci Âą Asimilasi kolesterol, bakteri asam laktat, bawang merah, prebiotik, probiotik A bstract - Increased levels of cholesterol in the human blood is one of the risk factors that indicated associated with coronary heart disease. Several studies in vitro and in vivo indicates that a particular strain of lactic acid bacteria have the ability to assimilate cholesterol. T he ability of the cholesterol assimilation was influenced by the amount of lactic acid bacteria populations that depend on the existence of prebiotic compounds in the medium growth. O ne potential source of prebiotic compounds are abundant is red onion. T he purpose of this research is to find out how big the potential of onion in the increased ability of lactic acid bacteria in cholesterol assimilation. T his was an experimental laboratory study using a factorial completely randomized design. Results of the analysis and synthesis of cholesterol-assimilating ability shows that lactic acid bacteria in supplementation onion has a percentage higher cholesterol assimilation than lactic acid bacteria that do not in supplementation onion. So, it can be concluded that supplementation of red onion can increase the ability of cholesterol-assimilating bacteria of lactic acid that has been known as starter cultures in production of probiotic products. Key Words Âą C holesterol assimilation, lactid acid bacteria, red onion, prebiotic, probiotic I. PENDAHULUAN Kelebihan kolesterol dalam tubuh akibat intake kolesterol yang berlebih dari makanan saat ini diklaim sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit jantung koroner (PJK) [1] [2]. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), penyakit jantung koroner merupakan penyebab nomor satu kematian di Indonesia dan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun [3]. Tahun 1975 kematian akibat penyakit jantung hanya 5,9%, tahun 1981 meningkat sampai dengan 9,1%, tahun 1986 melonjak menjadi 16% dan tahun 1995 meningkat menjadi 19%. Sensus nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung koroner adalah sebesar 26,4% [4]. Kelebihan kolesterol dalam tubuh pada dasarnya dapat diatasi atau dikeluarkan dari tubuh melalui mekanisme sintesis asam empedu sebagai produk akhir dari penggunaan kolesterol [2]. Akan tetapi ekskresi kolesterol dalam bentuk asam empedu tidak cukup untuk mengimbangi kelebihan

intake kolesterol dari makanan, sehingga diperlukan mekanisme lain yang dapat mengimbangi kelebihan intake kolesterol tersebut. Selama ini bakteri asam laktat (BAL) dianggap mampu memetabolisme kolesterol dari makanan dalam usus halus sehingga tidak diserap oleh tubuh [5]. Namun demikian, tidak semua BAL memiliki kemampuan tersebut. Liong dan Shah [6] menyatakan Bifidobacterium infantis 17930, memiliki kemampuan dekonjugasi garam empedu paling tinggi dan aktivitas Bile salt hydrolase (BSH) lebih baik. Berikutnya, pada tahun 2010 hasil penelitian Nursini menunjukkan bahwa Lactobacillus sp F2.13, strain endogen Indonesia mampu menurunkan kadar kolesterol total sebesar 33%. Penelitian mengenai hal yang sama juga dilakukan oleh Sujaya et al. [7] dengan menggunakan strain L. rha mnosus SKG34 yang diisolasi dari susu kuda Sumbawa. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa strain L. rha mnosus SKG34 tersebut mampu menurunkan kadar kolesterol sebesar 28,5%.

150


Kemampuan BAL dalam memetabolisme kolesterol selain dipengaruhi oleh strainnya juga dipengaruhi oleh populasinya. Hal ini berdasarkan pada fakta bahwa bakteri akan mampu menjalankan fungsinya apabila sudah memenuhi jumlah populasi minimal (quorum). Sehingga, untuk dapat memenuhi jumlah minimal tersebut perlu dilakukan pemberian substrat atau senyawa tambahan yang mampu meningkatkan pertumbuhan populasi yang dikenal sebagai senyawa prebiotik [8]. Senyawa prebiotik dapat berupa karbohidrat sederhana dalam bentuk oligosakarida, khususnya fruktooligosakarida (FOS). FOS secara alami terdapat di dalam saluran pencernaan tetapi tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan [9] [10]. Di alam FOS tersedia dalam jumlah yang melimpah. Bawang merah ( Allium cepa ) misalnya mengandung FOS sebanyak 2-6% [11] yang ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan Lactobacillus casei secara in vitro [12]. Berdasarkan uraian di atas maka eksplorasi bakteri asam laktat yang mampu memetabolisme kolesterol dengan baik menjadi sangat penting untuk dilakukan. Hal tersebut dilakukan melalui proses mereview sejauh mana perkembangan penelitian mengenai hal terkait yang kemudian pemanfaatannya dikolaborasikan dengan penemuan-penemuan lainnya yang dapat mengoptimalkan pemanfaatannya menjadi salah satu produk kesehatan. II. PEMBAHASAN A. Review

Penelitian Mengenai Bakteri Asa m Laktat sebagai Agen Penurun Kadar Kolesterol Penelitian tentang khasiat bakteri asam laktat dalam mengatasi kelebihan kolesterol menunjukkan bahwa setiap bakteri asam laktat membutuhkan dosis, frekuensi dan durasi pengobatan yang berbeda-beda. Beberapa mekanisme telah dihipotesiskan, yang meliputi dekonjugasi enzimatik asam empedu oleh bile salt hidrolase (BSH), asimilasi kolesterol, pengendapan kolesterol, pengikatan kolesterol pada dinding sel, penggabungan kolesterol ke dalam membran sel selama pertumbuhan, konversi kolesterol menjadi coprostanol dan produksi asam lemak rantai pendek setelah fermentasi dengan adanya [5]. Empedu sebagai produk akhir kolesterol yang disintesis di dalam hati larut dalam air yang disimpan dan terkonsentrasi di kantong empedu, kemudian dilepaskan ke dalam duodenum pada pencernaan makanan yang di dalamnya terkandung kolesterol, fosfolipid, asam empedu terkonjugasi, pigmen empedu dan elektrolit. Setelah itu, asam empedu yang tidak diserap oleh usus akan dikeluarkan bersama dengan feses. Dalam sebuah penelitian in vitro, Jones et al. [13] mengevaluasi peran BSH dalam mereduksi kolesterol menggunakan Lactobacillus plantarum 80 (pCBH1). BSH adalah enzim yang bertanggung jawab terhadap dekonjugasi garam empedu dalam sirkulasi enterohepatik. Dikemukakan bahwa aktivitas BSH mampu menghidrolisis asam glycodeoxycholic terkonjugasi dan asam taurodeoxycholic, mengarah ke dekonjugasi dari glyco-dan tauro-asam empedu.

Usman [14] melaporkan bahwa strain Lactobacillus gasseri dapat mereduksi kolesterol dari media percobaan melalui pengikatan dengan permukaan sel. Kimoto et al. [15] kemudian memperkuat dugaan tersebut dengan mengevaluasi penghapusan kolesterol selama pertumbuhan dengan cara membandingkan antara sel-sel yang hidup dengan sel-sel yang sengaja dimatikan. Mereka menemukan bahwa yang sel-sel yang dimatikan masih dapat menghilangkan kolesterol dari media. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian kolesterol terikat pada permukaan sel. Kolesterol juga dapat direduksi melalui penggabungannya dengan membran sel selama pertumbuhan. Kimoto et al. [15] mengamati perbedaan dalam pola distribusi asam lemak untuk sel hidup yang di dalam media pertumbuhannya mengandung kolesterol dengan media yang tidak ada kolesterolnya. Hasilnya menunjukkan lipid paling banyak ditemukan di membran, yang berarti kolesterol dimasukkan ke dalam membran sel. Penggabungan kolesterol ke dalam membran sel meningkatkan konsentrasi asam lemak jenuh dan tidak jenuh, menyebabkan kekuatan membran meningkat dan resistensi seluler selanjutnya tinggi terhadap [16]. Kolesterol di dalam usus dapat juga dikonversi menjadi coprostanol yang langsung dapat dikeluarkan bersama feses. Hal ini mengurangi jumlah kolesterol yang diserap, yang mengarah ke berkurangnya konsentrasi kolesterol dalam serum. Kemungkinan konversi kolesterol menjadi coprostanol oleh bakteri telah diteliti oleh Chiang et al. [17]. Hasil penelitian mereka menemukan bahwa dehidrogenase kolesterol / isomerase yang dihasilkan oleh bakteri seperti Sterolibacterium denitrificans bertanggung jawab untuk mengkatalisis transformasi kolesterol. Penelitian terbaru dari Lye et al. [16] mengevaluasi konversi kolesterol menjadi coprostanol oleh strain Lactobacillus seperti Lactobacillus acidophilus, L. bulgaricus dan L. casei ATC C 393 melalui tes fluorometric. Mereka mendeteksi keberadaan kolesterol reduktase intraseluler dan ekstraseluler dalam semua strain yang digunakan yang menunjukkan kemungkinan konversi intraseluler dan ekstraseluler kolesterol menjadi coprostanol. Konsentrasi kolesterol dalam medium juga mengalami penurunan pada fermentasi oleh bakteri asam laktat disertai dengan peningkatan konsentrasi coprostanol. Untuk membuktikan mekanisme ini maka mereka juga melakukan evaluasi lebih lanjut dengan cara diberikan secara langsung kepada manusia untuk mengubah kolesterol menjadi coprostanol di dalam usus sebagai penurun kolesterol darah.

Bawang Merah sebagai Sumber Prebiotik Prebiotik adalah bahan pangan yang tidak dapat dicerna namun memberikan efek yang menguntungkan terhadap flora intestinal dengan cara menstimulasi pertumbuhan dan keaktifan satu atau lebih jenis bakteri menguntungkan [18]. Sejalan dengan pendapat tersebut Fuller [19] juga telah terlebih dahulu mendefinisikan prebiotik sebagai bahan yang tidak tercerna di dalam tubuh atau dikenal dengan istilah nondigestible food ingredient yang berfungsi memicu aktivitas pertumbuhan yang selektif terhadap satu jenis atau lebih bakteri penghuni kolon yang bermanfaat. Prebiotik pada umumnya adalah karbohidrat dalam bentuk oligosakarida (oligofruktosa) dan dietary fiber (inulin). Beberapa makanan secara alamiah mengandung

151


B. Kolaborasi Yoghurt adalah salah satu jenis susu fermentasi yang paling populer. Yoghurt merupakan hasil fermentasi susu dengan menggunakan bakteri asam laktat sebagai starternya. Fermentasi didifinisikan oleh Hariyadi et al. [20] sebagai suatu proses yang memanfaatkan aktivitas metabolisme mikroba untuk menghasilkan senyawa antara, produk akhir, metabolit sekunder maupun biomassa. Proses fermentasi juga dapat memperbaiki sifat fungsional produk seperti tekstur, penampakan, dan flavor [21]. Penelitian Akalin et al., [22], menunjukkan bahwa Bifidobacteria yang diberi penambahan FOS sebagai prebiotik dalam yogurt yang disimpan pada suhu 4ÂşC dapat bertahan selama 28 hari dan jumlahnya lebih dari 106 cfu/g, sementara tanpa penambahan FOS, yogurt hanya bertahan 7 hari. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Kusumawati [12] yang menunjukkan FOS yang berasal dari bawang merah mampu meningkatkan pertumbuhan Lactobacillus casei secara in vitro. C. Optimalisasi Vrese et al. [23] menyatakan tidak semua produk yoghurt sama dengan minuman kesehatan, dengan alasan bahwa bakteri asam laktat yang terdapat pada yoghurtyoghurt tradisional ternyata tidak mampu bertahan hidup hingga usus halus. Sehingga, untuk dapat mempertahankannya sampai ke usus halus dan dapat bekerja secara optimal maka perlu ditambahkan prebiotik ke dalam produk yoghurt tersebut, dalam hal ini penambahan ekstrak bawang merah. Selain membantu mempertahankan bakteri asam laktat sampai di usus dengan selamat, keberadaan ekstrak bawang merah tersebut juga membantu meningkatkan populasi (pertumbuhan) serta meningkatkan kemampuan asimilasi kolesterol bakteri asam laktat tersebut. Penambahan ekstrak bawang merah ke dalam yoghurt akan meningkatkan pertumbuhan populasi bakteri asam laktat secara cepat selam proses fermentasi. Sehingga, pada saat yoghurt tersebut dikonsumsi oleh manusia maka bakteri asam laktat yang ada di dalamnya dapat langsung bekerja untuk mengasimilasi kolesterol (sudah mencapai quorum). Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa isolat bakteri asam laktat lokal Lombok yang diisolasi dari susu kerbau memiliki kemampuan asimilasi kolesterol yang tinggi, yaitu mencapai 75% dengan adanya penambahan ekstrak bawang merah ke dalam media pertumbuhan isolat yang digunakan. Sementara, kemampuan asimilasi kolesterol isolat yang di dalam media pertumbuhannya tidak ditambahkan ekstrak bawang merah kemampuan asimilasi kolesterolnya berada di bawah 20%. Ini berarti keberadaan bawang merah sebagai penyedia senyawa prebiotik, dalam hal ini FOS mampu meningkatkan kemampuan asimilasi kolesterol isolat yang digunakan.

!"#$#%&"#'()%*"+*,)%'-./

oligosakarida. Misalnya frukto oligosakarida (FOS) dapat ditemukan dalam bawang merah, bawang putih, asparagus, dan kacang kedelai. Dari data yang diambil dari Food Resource, Oregon State University , dapat diketahui bahwa bawang merah merupakan salah satu sumber dari senyawa prebiotik khususnya FOS dengan kandungan sebesar 2-6%.

%! $!

,-./-012345-20 *-6-.70895-:

#!

;<=3012345-20 *-6-.70895-:

"! ! &'(" &'() &'(# *'(+ 0*1#"'2")%&+

G ambar.

Persentase aktivitas masing-masing isolat

asimilasi

kolesterol

oleh

Aktivitas asimilasi kolesterol oleh keempat isolat bakteri asam laktat tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang juga menggunakan strain lokal seperti Nursini [24] dan Sujaya et al. [7] yang hanya berkisar antara 25 Âą 35% sementara pada penelitian ini persentase asimilasi kolesterolnya mampu mencapai 75,55% pada isolat SKD2. Proses asimilasi kolesterol oleh keempat isolat BAL selama masa inkubasi diduga terjadi melalui proses penggabungan kolesterol dengan membran sel selama pertumbuhan. Kolesterol yang bergabung dengan membran sel menyebabkan perubahan komposisi asam lemak dari selsel [15]. Perubahan komposisi tersebut memungkinkan terjadinya peningkatan konsentrasi lemak jenuh sehingga kekuatan membran meningkat dan resistensi seluler selanjutnya tinggi terhadap lisis [16]. Kolesterol yang tergabung ke dalam membran sel tersebut tidak didegradasi tetapi tersedia sebagai inklusi yang akan dimanfaatkan sebagai perkusor metabolisme [25]. III. KESIMPULAN Suplementasi bawang merah dapat meningkatkan kemampuan asimilasi kolesterol bakteri asam laktat yang selama ini dikenal sebagai kultur starter dalam pembuatan produk probiotik. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak Program Studi Biologi, Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Kimia Dasar, Laboratorium Imunobiologi dan Laboratorium Kimia Analitik atas kerja sama yang baik selama ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Paniangvait P, King AJ, and Germain BG. Cholesterol Oxides in Foods of Animal Origin. J. Food Sci., 60: 1159-1175, (1995). [2] King, M.W. Cholesterol and Bile Synthesis and The Medical Biochemistry. Metabolism. http://themedicalbiochemistrypage.org/ cholesterol.html. Diunduh 06 September 2012, (2010).

152


Sitopoe, M. Kolesterol Fobia . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, (1993). [4] Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Nasional 2001: Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia . Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, (2003). [5] Ooi, L.G. and M. T. Liong. Cholesterol-Lowering Effects of Probiotics and Prebiotics: A Review of in vivo and in vitro. Int. J. Mol. Sci. , 11(6): 2499Âą2522, (2010). [6] Liong, M.T. and N.P. Shah. Bile Salt Deconjugation and BSH Activity of Five Bifidobacterial Strains and Their Cholesterol Co-precipitating Properties. Food Res. Int. Journal , 38: 135-142, (2005). [7] Sujaya, I.N., Y. Ramona, N.P. Widarini, N.P. Suariani, N.M.U. Dwipayanti, K.A. Nocianitri dan N.W. Nursini. Isolasi dan Karakteristik Bakteri Asam Laktat dari Susu Kuda Sumbawa. J. Vet., 9(2) : 52 Âą 59, (2008). [8] Wijayanti, R. Kualitas Mikrobiologis Yoghurt S inbiotik Susu Ka mbing dengan Bubuk dari F ruktooligosakarida (F O S) sebagai Sumber Prebiotik Sela ma Penyimpanan. Bogor: IPB, (2007). [9] Tomomatsu, H. Health Effects of Oligosaccharides. Food Technology, Oct: 61-64, (1994). [10] Bird, A.R. Prebiotics: A Role for Dietary Fibre and Resistant Starch. Asia Pacific Journal Clinical Nutrition, 8: S32-S36, (1999). [11] Spiegel, J.E. Safety and Benefits of Fructooligosaccharides as Food Ingredients. J. Food Technology, 85-90, (1994). [12] Kusumawati. Pengaruh Senyawa Prebiotik dari Bawang Merah (Allium cepa) terhadap Pertumbuhan Bakteri Probiotik. Majalah F armasi Airlangga, 5(1), (2005). [13] Jones ML, Chen H, Ouyang W, Metz T, Prakash S. Microencapsulated Genetically Engineered Lactobacillus plantarum 80 (pCBH1) for Bile Acid Deconjugation and Its Implication in Lowering Cholesterol. J. Biomed. Biotechnol, 1:61Âą69, (2004) [14] Usman, H.A.. Viability of L. gnsseri and its cholesterol binding and antimutagenic activities during subsequent refrigerated storage in nonfermented milk. JDairy Sci 82:2536-2542, (1999.) [15] Kimoto H, Ohmomo S, Okamoto T. Cholesterol Removal from Media by Lactococci. J. Dairy Sci. 85:3182Âą3188, (2002). [16] Lye HS, Rusul G, Liong MT. Removal of Cholesterol by Lactobacilli via Incorporation of and Conversion to Coprostanol. J. Dairy Sci. 93:1383Âą1392, (2010). [17] Chiang YR, Ismail W, Heintz D, Schaeffer C, van Dorsselaer A, Fuchs G. Study of Anoxic and Oxic Cholesterol Metabolism by Sterolibacterium denitrificans. J. Bacteriol. 190:905Âą914, (2008). [18] Ruspriana, D. Konsumsi dan Persepsi Manfaat Minuman Probiotik Pada Remaja Putri (Studi Kasus Di SMAN 1, SMAN 2, Dan SMAN 3 Kota Bogor). Skripsi. Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Bogor, (2008). [19] Fuller, R.. Probiotic : The Scientific Basis. Chapman and Hall, London, (1992). [3]

[20] Hariyadi, R. T., N. Anjaya, Suliantari, L. Nuraida, dan B. Satiawiharja. Penuntun Praktikum Teknologi Fermentasi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, Institut Pertanian Bogor. Bogor, (2001) [21] 0DÂśULIDK 8 Pengaruh Penambahan Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang dan Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Terhadap Mutu Yoghurt. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor, (2008). [22] Akalin, A. S., S. Fenderya and N. Akbulut. Viability and activity of Bifidobacteria in yogurt containing fructooligosaccharide during refrigerated storage. J. Food Sci. and Technol.. 39: 613 Âą 621, (2004). [23] Vrese M., Anna S., Bernd R., Susanne F., Christiane L., Jurgen S.. Probiotic Compensation for Lactase Insufficiency. American Journal Clinical Nutrition. http://www.ajcn.org. Diunduh 15 September 2012, (2001). [24] Nursini, N.W.. Kolonisasi Lactobacillus sp. F2.13 dalam Saluran Pencernaan dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol Tikus Putih (Rattus norvegicus). Tesis S2 Program Studi Bioteknologi Pertanian, Universitas Udayana. Tidak dipublikasikan, (2010). [25] Dora, A. Pereira and R. G. Glenn. Cholesterol Assimilation by Lactic Acid Bacteria and Bifidobacteria Isolated from the Human Gut. Appl. Environ. Microbiol., 68(9): 4689Âą4693, (2002).

153


PENGARUH WAKTU AGING PADA SINTESIS ZEOLIT ZSM-5 DARI LUMPUR LAPINDO DAN ZEOLIT ALAM THE INFLUENCE OF AGING TIME ON SYNTHESIS OF ZSM-5 ZEOLITE FROM LAPINDO MUD AND NATURAL ZEOLITE 1,2

Muhibullah A.S.A1,a, Hurul Aini As Silmi2,b dan Wega Trisunaryanti3,c

Jurusan Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. aEmail: muhibullah.asa91@gmail.com, b Email: aini.hurul92@gmail.com 3 Jurusan Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. cEmail: wegatri@yahoo.com

A bstrak - L umpur akibat pengeboran P T . L apindo B rantas di Sidoar jo, Jawa T imur, dapat dimanfaatkan sebagai sumber silika untuk mensintesis katalis ZSM -5 dari zeolit alam. Variasi konsentrasi Na O H (2 M , 4 M dan 6 M selama 10 jam), variasi waktu aging (30 menit, 6 jam dan 24 jam), variasi dealuminasi, variasi rasio Si/A l dilakukan untuk mengetahui kondisi optimum pada sintesis katalis tesebut. A ktivasi zeolit alam dilakukan dengan kalsinasi melalui perlakuan dengan asam klorida untuk memperoleh zeolit alam d engan keasaman dan k ristalinitas optimum. K atalis ZSM -5 yang diperoleh pada proses optimum kemudian dianalisis dengan Atomic Absorption Spectrophotometry, X-Ray Diffraction dan F ourier-Transform Infra Red. K ondisi optimum memperoleh silika dari lumpur L apindo dapat terbentuk dengan menggunakan Na O H 6 M selama 10 jam. Proses dealuminasi untuk menghasilkan silika dengan kandungan yang tinggi dari lumpur L apindo tidak efektif dilakukan. F asa k ristalin ZSM -5 hanya dapat diperoleh pada waktu aging selama 24 jam dengan rasio nisbah molar Si O 2/A l2 O 3 25 dan Na2 O/A l 2 O 3 7,4 pada temperatur k ristalisasi 190o C selama 15 jam. Kata Kunci ² Zeolit ZSM-5, lumpur L apindo, zeolit alam, dealuminasi.

Abstract- T he mudflow from the mining activity of P T . L apindo B rantas in Sidoar jo, E ast Java, have a potential application as a silica source to synthesize ZSM -5 catalyst with natural zeolite. Concentration of Na O H variations (2 M , 4 M and 6 M for 10 hours), aging time (30 minutes, 6 hours and 1 day), dealumination time and Si/A l ratio were perfor med to study the optimal condition to syn thesize ZSM -5. Natural zeolites activation were perfor med with hydrochloric acid to get the optimum acidity and cristallinity. T he ZSM -5 C atalyst from the optimum process then were that could be analyzed by A tomic A bsorption Spectrophotometry, X -Ray Diffraction and Fourier-T ransfor m Infra Red method. T he optimum condition to get silica from L api ndo M ud can be used with Na O H 2 M for 10 hours. Dealumination process to get silica with high yields was not effective. C rystalline phase ZSM -5 could be performed with aging time for 1 day with a molar ratio of Si O 2/A l2 O 3 25 and Na2 O/A l 2 O 3 7,4 with crystallization temperature 190o C for 15 hours. Keywords² ZSM-5 zeolite, L apindo M ud, natural zeolite, dealumination.

I. PENDAHULUAN Semburan lumpur Lapindo dengan laju semburan mencapai 148.000 m3/hari telah menimbulkan dampak kerugian yang luar biasa (Agustanto, 2007). Hingga saat ini penelitian terkait pemanfaatan lumpur Lapindo masih terbatas pada pembuatan bahan bangunan, seperti yang dilakukan oleh Setyowati (2009) dan Karimah (2008). Padahal kadar total silika dalam lumpur Lapindo mencapai 80,59% (Rahman, 2006) sehingga perlu dicari kemungkinan lain dalam pemanfaatan lumpur Lapindo menjadi suatu produk yang lebih bernilai ekonomis. Seiring meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), maka kebutuhan katalis ZSM-5 untuk proses konversi metana menjadi bahan bakar juga meningkat. Namun harga katalis ini sangat mahal dan sampai saat ini Indonesia masih mengimpornya dari negara lain. Untuk mengatasi penyediaan

katalis bagi industri pengolahan minyak bumi, maka perlu dikembangkan penelitian terhadap preparasi katalis. Proses konversi metana menjadi bensin harus melibatkan suatu reaksi dengan katalis yang mempunyai pori berskala molekular. Pada penelitian ini akan disintesis ZSM-5 sebagai katalis yang dapat digunakan untuk reaksi tersebut karena pori ZSM-5 yang berukuran 5,1 x 5,5 Ă… (Kasmui et al., 2009). Hal ini membuat material tersebut cocok digunakan untuk berbagai macam aplikasi seperti pertukaran kation dan sebagai penyaring molekul-molekul pengotor. Penggunaan ZSM-5 dalam skala industri yang paling penting adalah pada proses fluid catalytic cracking (FCC) (Thursfield, 1996). Bensin yang dihasilkan akan memiliki nilai oktan tinggi serta lebih ramah lingkungan, baik dari segi emisi gas yang ditimbulkan maupun pembakarannya, sehingga kualitas bensin hasil konversi metana akan lebih baik kualitasnya dibandingkan bensin yang ada (Bressler dan Maher, 2007).

154


Dengan memanfaatkan zeolit alam Wonosari yang relatif murah, diharapkan dapat dihasilkan katalis yang memiliki karakter yang selektif untuk mengkonversi metana menjadi fraksi bensin yang lebih bermanfaat. II. TINJAUAN PUSTAKA Pembuatan ZSM-5 dari berbagai bahan alam pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Chareonpanich et al. (2004), Putro dan Prasetyo (2007), Zahrina (2008), Kim et al. (2006) berhasil mensintesis zeolit ZSM-5 dari berbagai bahan alam seperti baku abu sekam padi dan abu sawit pada kondisi reaksi berbeda-beda. Berdasarkan komposisi Si dan Al, zeolit dapat dikelompokan menjadi zeolit bersilika rendah, sedang dan tinggi, seperti yang ditunjukkan pada tabel 1. T abel 1. T ipe zeolit berdasar kan K enaikan Rasio Si/A l (O udejans, 1985). Tipe zeolite A X Y Mordenit ZSM-5

Rasio Si/Al 1 1-1,5 1,5-3 5 >15

Komposisi Unit sel

Tipe SBU

Na12(AlO)2(SiO2)12.27H2O Na86(AlO)86(SiO2)106.26H2O Na56(AlO)56(SiO2)136.25H2O Na8(AlO)8(SiO2)40.24H2O Na4(AlO)4(SiO2)92.16H2O

D4R D6R D6R 5-1 5-1

Sintesis ZSM-5 secara langsung dari lumpur Lapindo sangat sulit dilakukan, sebab dalam struktur lumpur tidak tersedia kerangka silika alumina. Hal ini karena komposisi utama lumpur Lapindo berupa 71,43% clay yang bersifat amorphous (Noerwasito, 2006). Kelemahan penggunaan zeolit alam adalah rasio Si/Al yang masih rendah. Sementara berdasarkan tabel di atas, syarat penting sintesis ZSM-5 adalah rasio Si/Al harus lebih besar dari 15. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan material kaya silika pada zeolit alam. Dengan berbagai perlakuan, atom-atom Si akan terdistribusi secara merata dan tertata dalam kerangka yang stabil. Zeolit alam akan memberikan kerangka silika alumina yang memadai dan menyediakan permukaan katalis yang luas. Harga keasaman katalis yang semakin tinggi akan berakibat pada konversi hasil dari metana menjadi bensin yang semakin besar (Trisunaryanti dan Rodiansono, 2005). Penambahan lumpur Lapindo sebagai sumber silika akan menutupi kelemahan zeolit alam yang memiliki rasio Si/Al rendah. Berdasarkan table 2 tampak bahwa di dalam lumpur Lapindo terdapat kadar Al dan Fe yang cukup signifikan jumlahnya. Logam-logam tersebut merupakan pengotor yang tak diinginkan, sehingga harus dilakukan proses dealuminasi terlebih dahulu untuk memperoleh silika murninya. Menurut Khairinal dan Trisunaryanti (2000) dealuminasi dengan asam menjadi paling efektif disebabkan terjadinya reaksi antara asam klorida dengan alumunium yang ada di kerangka sehingga proses dealuminasi menjadi efektif. Kerangka zeolit alamakan mengalami pembukaan dan akan terjadi proses penghilangan atom Al. Kerangka yang ditinggalkan oleh atom Al diharapkan dapat disisipkan oleh Si yang bersumber dari lumpur Lapindo.

T abel 2. H asil analisa kimia lumpur L apindo dengan SE M -X R D (Noerwasito, 2006). Unsur Na K Mg K Al K Si K KK Ca K Fe K Total

Persen Massa 1,17 1,75 13,27 25,67 1,93 1,54 7,89 100,00

Senyawa Na2O MgO Al2O3 SiO2 K2O CaO FeO

Persen Massa 1,57 2,90 25,07 54,92 2,32 2,16 10,15 100,00

Teknik dealuminasi dengan asam mineral telah sukses diterapkan pada proses dealuminasi mineral erionit (Zhdanov dan Novikov, 1966), mordenit (Belenkaya et al., 1967), offretit (Hernandez et al., 1985) dan ZSM-5 (Kornatowski et al., 1989). Proses dealuminasi pada mordenit dengan asam mineral setelah ditinjau menggunakan spektroskopi 27Al dan 29 Si MAS NMR dan menunjukkan bahwa pada permulaan proses dealuminasi, sekitar empat gugus Si-OH secara stoikiometri akan mengekstraksi satu gugus Al. Namun dealuminasi lebih lanjut dinyatakan tidak memiliki pengaruh lebih jauh, yang ditunjukkan oleh berkurangnya jumlah defect dari logam Al (Beyer, 2002).

G ambar 1. Proses dealuminasi pada lokasi kerangka aluminum dalam struktur mordenit (Beyer, 2002). Stabilitas kristalinitas produk ZSM-5 yang dihasilkan dapat diketahui dengan membandingkan harga d sebelum dan sesudah proses pengembanan. Selain itu juga untuk memastikan bahwa framework zeolit alam dapat dipertahankan dan tidak mengalami kerusakan selama proses preparasi katalis. Analisis secara kuantitatif dilakukan menggunakan standar JCPD S Power Diffraction F ile logam Al untuk mengetahui komposisi ZSM-5 yang disintesis. Puncak kristalinitas untuk ZSM- EHUDGD SDGD GDHUDK Č™ 7,96; 8,91; 14,00; 14,87; 20,92; 23,28; 23,97; 24,52; serta 26,66. Apabila ZSM-5 yang disintesis menunjukkan puncakpuncak pada daerah tersebut pada hasil XRD, maka dapat disimpulkan struktur ZSM-5 telah terbentuk. Berdasarkan penelitian (Khatamian dan Irani, 2009), peningkatan rasio Si/Al dalam zeolit akan menurunkan kristalinitas ZSM-5. Pada proses ini diharapkan rasio Si/Al yang dihasilkan akan mencapai harga optimum tanpa penurunan kristalinitas secara drastis sehingga kristalinitas ZSM-5 masih tetap terjaga. Puncak kristalinitas pada XRD umumnya muncul pafa puncak 2Č™ = 7 Âą 10. Sementara analisis dengan TEM dilakukan untuk mengetahui morfologi dari ZSM-5 dan dapat diketahui seberapa jauh pertumbuhan kristal ZSM-5 di dalam pori.

155


III. METODE PERCOBAAN

Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah lumpur Lapindo, zeolit alam Klaten, Larutan Asam Klorida 37 % (Merck), Natrium Hidroksida (Merck), kertas pH indikator, vaselin, Larutan Asam Fluorida (Merck), Larutan Asam Nitrat 65% (Merck), Larutan Asam Sulfat 97% (Merck) serta akuades. Preparasi lumpur Lapindo Batuan lumpur Lapindo ditumbuk sampai lembut menggunakan mortar dan lumpang. Kemudian direndam dengan akuades dalam gelas beker sambil diaduk selama 24 jam menggunakan magnetic stirrer. Lumpur tersebut lalu disaring menggunakan buchner dan dikeringkan dalam oven. Kemudian ditumbuk kembali sampai halus. Dealuminasi lumpur Lapindo Lumpur yang telah dipreparasi kemudian diaduk dengan larutan HCl 37 % dengan perbandingan 1 : 5 pada temperatur 90 oC selama 30 menit menggunakan alat refluks. Setelah itu disaring dengan buchner dan dicuci dengan akuades sampai pH mendekati 7. Lumpur yang telah diaktivasi kemudian dikeringkan dalam oven dan ditumbuk kembali sampai halus. Sintesis Natrium Silikat Sintesis natrium silikat dilakukan dengan variasi konsentrasi NaOH, pH serta sumber silikanya. Lumpur Lapindo diaduk dalam larutan NaOH selama 10 jam pada temperatur 90 oC menggunakan alat refluks. Sumber silika tersebut disintesis menjadi natrium silikat yang divariasi dengan dan tanpa dealuminasi. Lumpur Lapindo yang tanpa dealuminasi dilakukan variasi konsentrasi NaOH dan pH pada saat pembentukan natrium silikat. Karakterisasi Natrium Silikat Karakterisasi Natrium silikat dilakukan dengan menggunakan Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS) untuk mengetahui kandungan Si dan Al dalam natrium silikat dari lumpur Lapindo tersebut.Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dibuat larutan standar Si dan Al. Larutan standar tersebut dibuat dengan melarutkan natrium silikat menggunakan larutan HF, HNO3 dan H2SO4 dengan komposisi tertentu. Preparasi Zeolit Alam Zeolit alam direndam dengan akuades dalam gelas beker sambil diaduk selama 24 jam menggunakan magnetic stirrer. Zeolit tersebut lalu disaring menggunakan buchner dan dikeringkan dalam oven. Kemudian ditumbuk sampai halus. Sintesis ZSM-5 Sintesis ZSM-5 dilakukan pada rasio nisbah molar SiO2/Al2O3 = 25 dan Na2O/Al2O3 = 7,4 pada temperatur 190 o C selama 18 jam. Sintesis ZSM-5 dilakukan dengan cara sebagai berikut : zeolit alam dicampur dalam akuades (suspensi 1). Natrium silikat dari lumpur Lapindo dicampur

dengan akuades (suspensi 2). Selanjutnya suspensi 1 dicampur dengan suspensi 2 (suspensi 3). Ke dalam suspensi 3 ditambahkan NaOH dan dilakukan variasi waktu pengadukan (aging), yaitu 30 menit, 6 jam dan 24 jam. Kemudian dimasukkan dalam autoklaf pada temperature 190 oC selama 18 jam. Hasil yang diperoleh kemudian dicuci dengan akuades dan dikeringkan di dalam oven. Kristal ZSM-5 yang diperoleh kemudian ditumbuk sampai halus.

Karakterisasi ZSM-5 Karakterisasi produk ZSM-5 dilakukan dengan menggunakan Fourier Transfer Infra Red (FTIR) Spectroscopy dan X- Ray Difraction (XRD). Kedua karakterisasi ini merupakan analisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dengan menggunakan XRD dimaksudkan untuk mengetahui keberadaan ZSM-5 dalam produk sintesis. Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi 10 puncak tertinggi dari difraktogram yang diperoleh. Sedangkan analisis kualitatif menggunakan spektroskopi FTIR dilakukan untuk mengkarakterisasi struktur kerangka dasar ZSM-5 yang dihasilkan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesis Natrium Silikat dari lumpur Lapindo Beberapa prosedur telah dilakukan untuk membuat natrium silikat dari lumpur Lapindo. Sintesis yang dilakukan mengggunakan variasi konsentrasi NaOH, yaitu pada 2 M, 4 M dan 6 M selama 10 jam. Berdasarkan penampakan produk yang diperoleh, menunjukkan bahwa silika yang dihasilkan menggunakan konsentrasi NaOH 6 M lebih putih dibandingkan yang lainnya. Hasil ini menjelaskan bahwa kadar silika yang terdapat pada produk tersebut sangat tinggi. Oleh karena itu, kondisi optimum untuk memperoleh silika dengan kadar yang sangat tinggi dari lumpur Lapindo adalah pada konsentrasi NaOH 6 M selama 10 jam. Secara teoritis, untuk memperoleh kadar silika yang lebih tinggi lagi maka perlu dilakukan dealuminasi terlebih dahulu pada lumpur Lapindo. Hal ini dilakukan bertujuan untuk menghilangkan pengotor dan mengurangi kandungan aluminium yang terdapat pada lumpur Lapindo.Oleh karena itu dilakukan dealuminasi pada lumpur lapindo. Proses dealuminasi dilakukan menggunakan HCl 6 N selama 30 menit sebelum dilakukan sintesis natrium silikat. Akan tetapi proses tersebut memberikan hasil yang kurang dapat diharapkan. Hal ini telihat dari penampakan silika yang diperoleh, dimana warna yang terlihat kurang putih dan sedikit coklat. Penampakan tersebut menunjukkan kurang berhasilnya proses sintesis silika dari lumpur Lapindo. Sintesis ZSM-5 dengan variasi waktu aging Sintesis ZSM-5 dilakukan dengan rasio molar SiO2/Al2O3 25 dan Na2O/Al2O3 7,4 pada temperatur kristalisasi 190 oC selama 15 jam. Sebelum sintesis terlebih dahulu dilakukan variasi waktu aging dari komposisi nisbah molar yang digunakan. Waktu aging yang digunakan adalah 30 menit, 6 jam serta 24 jam. Dalam sintesis ZSM-5 tanpa templat

156


organik, diperlukan beberapa reagen yang harus digunakan yaitu sumber silika, sumber alumina, serta sumber alkali.Pada penelitian ini digunakan sumber silika berupa natrium silikat dari lumpur Lapindo, sumber alumina dari zeolit alam, serta sumber alkali dari NaOH. Ketiga reagen tersebut dilakukan aging dengan variasi waktu yang telah ditentukan kemudian dilakukan sintesis dengan proses kristalisasi. Produk yang diperoleh dari waktu aging 30 menit serta 6 jam berupa suspensi larutan sedangkan dari waktu aging 24 jam berupa kristal berwarna kuning kecoklatan. Untuk mengetahui keberhasilan sintesis dari ketiga produk tersebut maka dilakukan karakterisasi menggunakan XRD dan FTIR.

Karakterisasi Produk ZSM-5 T abel 2. H asil kara kterisasi X R D produk zeolit variasi waktu aging ZSM-5 aging 30 menit ZSM-5 aging 6 jam ZSM-5 aging 24 jam

нд (derajat) 25,66

Identifikasi fase

26,18

Kuarsa

24,67

ZSM-5

Analsim

Perbandingan data puncak ZSM-5 standar dengan ZSM-5 yang disintesis pada waktu aging berbeda-beda ditampilkan pada tabel diatas, berdasarkan data yang ditampilkan pada tabel diatas, terlihat bahwa ZSM-5 berhasil disintesis pada waktu aging 24 jam yang memiliki puncak tertinggi pada VXGXW нд o, dimana puncak tersebut mengindikasikan adanya karakteristik kristalin ZSM-5. Gambar 2c menunjukkan difraktogram ZSM-5 yang berhasil disintesis dengan variasi waktu aging 24 jam. Berdasarkan difraktogram yang ditampilkan pada gambar 2c, terlihat bahwa 3 puncak tertinggi pada difraktogram tersebut menunjukkan fasa ZSM-5 dan produk lain selain ZSM-5. Fasa tersebut antara lain ZSM SDGD нд o VRGDOLW SDGD нд o ; serta kuarsa SDGD нд o. Analsim merupakan produk antara pada konversi zeolit alam menjadi ZSM-5 (Simparmin, 1999). Difraktogram yang ditampilkan pada gambar 2b mengindikasikan tidak terbentuknya fasa ZSM-5. Difraktogram tersebut menunjukkan zeolit yang disintesis pada waktu aging 6 jam. Ketiga puncak tertinggi dari difraktogram tersebut PHQXQMXNNNDQ DGDQ\D IDVD DQDOVLP SDGD нд o ; 16,03o dan 30,76o. Difraktogram pada gambar 2a juga mengindikasikan tidak terbentuknya fasa ZSM-5. Difraktogram dari zeolit yang disintesis pada waktu aging 30 menit yang ditampilkan gambar 2a menunjukkan fasa campuran, yaitu EHUXSD DQDOVLP SDGD нд o ; NXDUVD SDGD нд o ; VHUWD VRGDOLW SDGD нд o.

G ambar 2.Difraktogram zeolit hasil waktu aging 30 menit (a) 6 jam (b) 24 jam (c) Berdasarkan spektogram infra merah yang ditampilkan pada gambar 3, dimana spektogram tersebut menunjukkan serapan dari zeolit yang disintesis pada waktu aging 24 jam. Terlihat adanya pita serapan karakteristik dari ZSM-5 pada bilangan gelombang 987 cm-1 (rentang asimetri (Si,Al)O4), 732 cm-1 (rentang simetri (Si,Al)O4), 1450 cm-1 (rentang asimetri ikatan Si-O-Si) , 671 cm-1 (vibrasi cincin polihedral), 470 cm-1 (cincin 5-1 struktur kristalin ZSM-5), 439 cm-1 (vibrasi tekuk ikatan (Si,Al)O4). Menurut Jacob dan Marten (1987), seluruh zeolit merupakan fasa metastabil dan dapat berubah menjadi struktur lain selama selang waktu tertentu selama proses aging. Oleh karena itu, fasa ZSM-5 dimungkinkan dapat terbentuk pada waktu aging yang lebih lama, yaitu 24 jam.

G ambar 3. Spektogram F T I R zeolit hasil aging 24 jam

157


V. KESIMPULAN Kondisi optimum memperoleh silika dari lumpur Lapindo dapat terbentuk dengan menggunakan NaOH 6 M selama 10 jam. Konsentrasi yang lebih rendah dari itu tidak dapat memberikan kadar silika yang tinggi. Sedangkan proses dealuminasi untuk menghasilkan silika dengan kandungan yang tinggi dari lumpur Lapindo tidak efektif dilakukan. Fasa kristalin ZSM-5 hanya dapat diperoleh pada waktu aging selama 24 jam dengan rasio molar SiO2/Al2O3 25 dan Na2O/ Al2O3 7,4 pada temperatur kristalisasi 190oC selama 15 jam. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Gadjah Mada yang telah mensponsori penelitian ini melalui program Hibah Penelitian Kolaborasi Dosen-Mahasiswa. kami juga berterima kasih kepada laboran di berbagai laboratorium FMIPA UGM atas bantuannya demi kelancaran penelitian. Dan terakhir, terima kasih kepada tim Hibah Penelitian Kolaborasi Dosen-Mahasiswa yang setia melakukan lembur penelitian di lab. Kimia Fisika FMIPA UGM.

[14] W. Trisunaryanti dan Rodiansono, ³Activity Test and Regeneration of NiMo/Z Catalyst for Hydrocracking of Waste Plastic Fraction to Gasoline Fraction´, Indo. J. Chem. , 5 (3), 261±268. 2005. [15] Khairinal dan W. Trisunaryanti, ³Dealuminasi Zeolit Alam Wonosari dengan Perlakuan Asam dan Proses Hidrotermal´, Prosiding Seminar Nasional Ki mia VIII, Yogyakarta, 2000. [16] S. P. Zhdanov dan B. G. Novikov, Dokl Akad Nauk SSSR Ser Khi m. 16:1107. 1966. [17] Belenkaya, M. M. Dubinin, and Krishtofori, IsvAkad Nauk SSSR 2164. 1967. [18] Hernandez, R. Ibarra and F. Figueras, Acta Phys Chem (Szeged), 31:81. 1985. [19] Kornatowski, M. Rozwadowski, A. Gutsze and K. E. Wisniewski, ³Zeolites as catalysts, sorbents and detergent builders ± applications and innovations´. Proceedings of an International Symposium, Stud Surf Sci Catal 46, 567. 1989. [20] M. KHATAMIAN and M. IRAN, ´Preparation and Characterization of Nanosized ZSM-5 Zeolite Using Kaolin and Investigation of Kaolin Content, Crystallization Time and Temperature Changes on The Size and Crystallinity of Products´, J. Iran. Chem. Soc., Vol. 6, No. 1 187194. 2009.

DAFTAR PUSTAKA [1]

B. P. Agustanto, ³Pemerintah Tidak Bisa Hentikan Semburan Lumpur Lapindo´, Media Indonesia Online Edisi Minggu, 25 Maret 2007, diakses tanggal 24-03-2012. [2] W. E. Setyowati, ³Penggunaan Campuran Lumpur Lapindo Terhadap Peningkatan Kualitas Genteng Keramik´, Dina mika Teknik S ipil, Volume 9, Nomor 1, Januari 67-75. 2009. [3] R. Karimah, ³Potensi Lumpur Lapindo Sebagai Bahan Baku Tambahan Pembuatan Batu Bata´, Skripsi, Universitas Brawijaya, Malang, 2008. [4] T. Rahman, ³Nanoteknologi Dapat Diterapkan Atasi Lumpur Lapindo´, Pusat Penelitian Fisika, LIPI, http://eprints.undip.ac.id/4064/1/makalah_ fix_Reska_Damayanti_%25_Retno_M.pdf, diakses tanggal 21-04-2012. [5] Kasmui, Nanik S. dan Subiyanto, ³Perubahan Ukuran Rongga Pada Modifikasi Molekul Zeolit ZSM-5 Dengan Variasi Rasio Si/Al dan Variasi Kation Menggunakan Metode Mekanika Molekuler´, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009. [6] A. Thursfield and M. W. Anderson, ³13C Solid-State NMR Studies of Methanol Adsorbed on a Series of Acidic Microporous Zeotype Materials´, J. Phys. Chem., 100, 6698-6707. 1996. [7] D. C. Bressler, and K. D. Maher, ³Pyrolysis of triglyceride materials for the production of renewable fuels and chemicals´, bioresource technology 90 (2007) 2351 ± 2368, Canada. 2007. [8] M. Chareonpanich, T. Namto, P. Kongkachuichay, J. Andlimtrakul, ³Synthesis of ZSM-5 Zeolite from Lignite Fly Ash and Rice Husk Ash´, Journal of Fuel Processing Technology 85 (2004) 1623- 1634. 2004. [9] L. A. Putro dan D. Prasetyo, ³Abu Sekam Padi Sebagai Sumber Silika Pada Sintesis Zeolit ZSM-5 Tanpa Menggunakan Templat Organik´, Akta Ki mindo,Vol. 3 No. 1 Oktober (2007) 33±36. 2007. [10] I. Zahrina, ³Sintesis ZSM-5 Tanpa Templat Dari Zeolit Alam dan Abu Sawit´, Jurnal Teknologi Proses Vol.7 (1), (2008) 68-73. 2008. [11] S. D. Kim, H. N. Si, W. P. Jun and J. K. Wha, ³Organic-Free Synthesis of ZSM-5 with Narrow Crystal Size Distribution Using Two-Step Temperature Process´, J. Microporous Mesoporous Matter, (2006) 181188. 2006. [12] J. S. OUDEJANS, ³Zeolites Catalysts in some Organic Reactions´, Netherland Foundation for Chemical Research (S ON), Holland. 1985. [13] T. Noerwarsito, Blok Lempung Porits, Laboratorium Struktur-Arsitektur ITS, Surabaya, 2006.

158


ZELUND O (Zeolit Sintetis Lumpur Lapindo): Inovasi Teknologi Rekayasa Material Katalis pada Proses Perengkahan Katalitik Fraksi Minyak Bumi (FCC) Zelundo (Zeolit Sintesis Lumpur Lapindo) Synthetic Zeolite of Lapindo Mud : Technology Innovation of Catalyst Material on Fluid Catalytic Craking (FCC) Processing 1,2

Ilham Azmy1,a, Fany Rahmansah2,b dan Widyastuti3,c

Departemen Teknik Material dan Metalurgi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. a ilhamazmy@yahoo.co.id, b fanyrahmansah@ymail.com 3 Departemen Teknik Material dan Metalurgi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. cwiwid@mat-eng.its.ac.id

Abstrak - Bencana luapan lumpur lapindo yang ter jadi di kota Sidoar jo, Jawa T imur seja k tahun 2006 bukan hanya membawa masalah seperti penduduk yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan lapangan peker jaan dan sebagainya, namun juga menimbulkan masalah bagi lingkungan. Setelah diteliti kandungan dari lumpur ternyata mengandung zat yang berbahaya seperti Cobalt, C admium dan lainnya. Pemanfaatan lumpur sejauh ini hanya sebatas pada pembuatan bahan bangunan seperti genteng dan batu bata yang ternyata ber kekuatan rendah dan kurang bernilai secara ekonomis. Disisi lain, Pertamina sejauh ini harus mengimpor katalis perengkah katalitik fraksi minya k bumi untuk mengolah minya k mentah menjadi minyak siap pakai. Salah satu katalis perengkah minyak bumi tersebut bisa berupa zeolite sintesis. Penelitian ini membuktikan bahwa lumpur lapindo bisa diolah dan diubah menjadi zeolite sintesis alam yang bisa diguna kan sebagai katalis perengkah minya k bumi. Dari hal tersebut Pertamina mampu mengurangi impor kata lis karena teknologi dan sumber daya alam kita mampu menghasilkan zat tersebut. H al ini membawa keuntungan bagi masyarakat setempat, bagi pemerintah dan tentunya bagi dunia industri. Zeolit sintesis tersebut dibuat berbentuk silinder dengan mengguna kan alat Pelletizer. Sedangkan proses pembuatan zeolite sendiri mengguna kan Rea ktor yang intinya adalah mengubah rantai panjang alkena menjadi alkane. Sebelum dari Reaktor tentunya melalui proses preparasi, pemansan, aktivasi dan netralisasi dilanjutkan penceta kan. K esimpulan dari penelitian ini adalah bahwa katalis hasil dari sintesis lumpur lapindo bisa digunakan untuk memproses minyak bumi menjadi bensin dan solar. Kata Kunci - L umpur L apindo, Zeolit Sintetik, K atalis Abstract- L apindo M ud disaster has happened in Sidoar jo city, E ast Java since 2006 not only brought problems like homeless and jobless to inhabitant but also caused environment problem. Some of researches state that contens of this mud are danger substances like Cobalt, C admium and others. T he utilization of mud as far as building materials such as roof and bric that both low strength and less in economics. In other side, Pert amina until now must import fuel catalyst craked for change uncooked oil to useful oil. O ne of fuel catalyst craked can like synthetic zeolite. T his project prove that L apindo mud can change be synthetic zeolite. For that, Pertamina could reduce numbers of catalyst import because our resources and our technology can produce its. Synthetic zeolite shaped by Pelletizer so it shaped cylinder like pellet. M aking processing use reactor for change long chain A lkena (C n H 2n) to short chain A lkana (C n H 2n+2). Before it, through preparation process, heating, activation, neutralization and continue to molding. T herefore, catalyst from lapindo mud can use for process uncooked oil change to useful oil. Keywords- L apindo mud, Synthetic zeolite, catalyst

159


I.

INTRODUCTION

Sandblast activity in Lapindo disaster has never end made suffer financial loss, one of them is environment destroyed. Indonesia Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB) stated that heavy metal contained in Lapindo mud such as Cd, Cr, As, Hg had upper limit to be dangerous substances. And, researcher from Bogor Institute of Agricultural (IPB) said that mud brought bacteria and could threat healthy of humans. Ascertainable, lapindo mud clustered in dangerous poisonous material (B3). Data from Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) clarify amount of mud that out from the earth about 100.000 m3 daily. As far as lapindo mud just use for buildings material mixing like paving block or ceramic house floor. Undeveloped penetration technology can answer about utility of lapindo mud on big scale. In other side, requirement of cracking catalyst in Indonesia very high that is 17- 20 ton. All this requirement supplied by importing from foreign country with price US$ 1,6- 2 per kilogram. Pertamina as consumer of biggest catalyst needed its for process crude oil to be gasoline, diesel oil and others. So, all catalyst must imported its. And 2006, selling of catalyst product for gas emission converter that produced by Finlandia is $ 12.2 billion, $13 billion at 2007 and predicted will achieve $18 billion at 2014. Whereas, our resources and technology capable to production cracking catalyst from all appearance both basic material and operation condition. Prof. Dr. Triyono SU, the lecturer in UGM said that already any movement for initiate and development catalyst be autonomous. Indonesian Catalyst Society has improved technology process with use natural zeolite as catalyst cracking for asphalt and transformation process from alkana to alkena on fluid catalytic cracking (FCC) process. II.

METHOD AND EXPERIMENT PROCEDURE

A. Chemical contains on Lapindo mud In blastup area and porong river has dirtied by heavy metal like Cadmium (Cd) and Lead (Pb). Known that lead degree reach 164 more times from uppperlimit that a limited given. Basic from Depudi Bidang TPSA- BPPT testing, the analyse result of lapindo mud have mineral and chemical contain that come true to be basic material of ceramic and cement, mostly silica contens in there. The analyse result of lapindo mud in Siring area is : TABLE 1 ANALYSIS RESULT METAL ON MATERIAL BY SEM Âą EDX

Every day, 100.00 m3 lapindo mud out from earth. In 2007 volume of mud reach 12 million per cubic or equal with one million tronton truck in 12 meter cubic size. Finally made of embankment to intercept and retain mud.

B. Straight effect of didaster

Elemen t Na K Mg K Al K

Mass Error 1.17 1.75 13.27

%

Error % 1.1 1 1.09

Compound Na2O MgO Al2O3

Mass % 0.43 0.6 4.12

1.57 2.9 25.0 7 25.67 1.18 SiO2 Si K 54.9 7.65 2 Cl K 0.91 0.65 Cl 0.91 0 KK 1.93 0.98 K2O 2.32 0.41 Ca K 1.54 1.31 CaO 2.16 0.32 Fe K 7.89 2.54 FeO 10.1 1.18 5 Total 100 100 14.71 Minister of Ocean and Fishery, Freedy Numberi stated that Lapindo mud disaster caused failed in earthen dam a landmass of 989 hectare and also caused lose out 10.9 billion annualy. And planning to throw mud pass through Porong river go to sea can cause more bad effect that is more vast fish area got undermud.

C. Zeolite characteristic Chemical and physical properties of zeoilt are aluminiumsilicate that hydration LmAlxSiyOz_nH2O, from alkali metal and sand alkali (mostly Ca and Na), m, x, y and z are numbers from 2 and 10, n is coefisien of H 2O, and L is a metal. On empirical scale zeolite could write (M+, M2+) Al2O3gSiO2_zH2O, M+ is Na or K and M2+ is Mg, Ca or Fe, g and z are coefisien number. The colors of zeolite are varian. Some of them are white, blue, red, brown and others. Density of zeolite between 2.0 until 2.3 g/cm3 with smooth and soft shape. Zeolite structure could clustered on three component, that is aluminosilicate framework, empty space interrelated have contents metal cation and water molecule on occluded fase. Zeolite had form alumino silicate crystal that composed of positive ion from metal alkali ions and sand alkali in three dimension crystals framework. [5]

Fig. 1 Zeolite draft that shaped by four bond of Oxygen atoms with one Si atom Shynthetic zeolite can produce with hydotremal process and most of them in unstable condition. In petrochemical industry, zeolite use for catalyst on Fluid Catalytic Cracking (FCC) process. Design of FCC reactor could process about 13.000 until 125.000 barel crude oil daily (1 barel equal with 159 Liters). Generally, hydrocracking catalyst grouped by two types that is amorphous and zeolite. Amorphous type will maximal on kerosene and diesel product, whereas zeolite type will maximal on naptha product. On process, alkane had long chain will cut by hot zeolite to be alkane had short chain.

160


Composition silica on lapindo mud very high. Contens of aluminat (AIK) is 25.07 % and contens of Silicate (SiK) is 54.92 %. And the teory said that the best structur Y if ratio of Si Al

2

!"

#$%"

The value is bottom limited that material can say zeolite Y. The ideal ratio value between Si and Al is 2 until 2.3 III.

RESULT AND DISCUSSION

This persentase of Si and Al able to make synthetic zeolite. The ratio of both are Si Al

!"

54.92 25.07

= 2.19 From composition, lapindo mud can category as basic material zeolite Y that rich silicone and have most stabile structure with minimum energy. Otherside, building on zeolite mineral teory composed of metal alkali and sand alkali most of Ca and Na with pattern LmAlxSiyOz_ NH2O. L can substitute with metal such as Mg, Ca, Fe, Li, Sr or Ba. In fact, metals in lapindo mud can mold zeolite . This strengthen oxide degree Mg is 2.9 %, Na is 1.57%, Ca is 2.16% and Fe is 10.15 %. Its can arrange zeolite component. So the conclusion is lapindo mud can make synthetic zeolite factual their composition. Zeolite contact with oil only in few minutes. After it, zeolite process will be deactive because zeolite pores had closed. The closed pores can miss and zeolite can activate through calsinasi step by step. [3] The important comersial process doing with pure shnythetic in laboratorium use hydrogel and amourph. The outline of processing divide two steps, that is preparation and activation. Preparation step is needed to get zeolite that already to process. This step like reduction size and siftering. All of this step us machine. Natural zeolite will use for catalyst must activate first. Activate with dealuminasi and calsinasi. Activation process with study of zeolite diameter and molarity of NH4Cl. Activation process concerning to etanol converter on catalyst testing with dehydration etanol process. Zeolite activation can be doing with warming up or add chemical reagent. Warming up activation on truning dryer with water degree about 40% and temperature at 230 0C for 3 hours. Add reagent on activate basin with NaOH and H2SO4 purpose to get anted temperature on activation.

Process to make synthetic zeolite as many six steps. The first step survey location to take basic mud. Edge area is best place because solidification process is the fastest and so far from center of blustup. The second step is preparation. Wet lapindo mud must be sunbathe and then enter to oven with temperature at 600C for drying process. After dry, lapindo mud smoothed with equipment Los Angeles Abrasion and look after 200 mesh of size. The third step is warming- up process. Lapindo mud wash with aquades to get out pollutant and drying in oven with temperature 110- 120 0C for 4 hours. In this process Cl and anhidrat will release. Warming up guarantee product quality. The fourth step is activation chemical substances. Mud enter to HCl solution 1N for 24 hours and then be filtered. Activation mechanism can get out pollutant and Pb metal. The fifth step is neutralization process. Mud burn in furnace with temperature 450 0C for 2 hours. The purpose of neutralization to activate effect temperature for dry mud. The pores of mud will change. And the final step is molding of zeolite. Powder of lapindo mud will mold by Pelletizer machine. This machine make powder change to solid cylinder of zeolite.

Fig. 3 Form of final shynthetic zeolite like pellet This zeolite can function as catalyst on Fluid Catalytic Cracking (FCC) process. Catalyst will benefit by Pertamina to process crude oil to be gasoline, oil diesel and others. IV.

Contains of aluminate and silicate on lapindo mud very possible to form synthetic zeolite. Zeolite Y composed of lapindo mud can use for fluid catalytic cracking. Catalyst from lapindo mud synthetic can use for process crude oil to be gasoline, diesel oil and others. V.

ACKNOWLEDGMENT

This study was supported by the Ministry of National Education and Culture Indonesia, Indonesia Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB) , WALHI and Fitria Hayati, master catalyst from Bandung Institute of Technology (ITB) Bandung. VI. 1. 2.

Fig. 2 Activation process lapindo mud with HCl solution

CONCLUSION

3.

REFERENCE

Bateman, A. M & Jensen, M. L., 1981, Economic mineral deposits, 3rd ed, John Wiley & Sons, NewYork. Ehlers, E. G. & Blatt, H,, 1982, Petrology: Igneous, sedimentary, and metamophic, W.H. Freeman & Co, San Fransisco. Harjanto, S, 1987, Lempung, zeolit, dolomit, dan magnesit: Jenis, sifat _fisik, cara terjadi dan penggunaanya,

161


4.

5. 6.

Publikasi Khusus Direktorat Sumberdaya Mineral, direktoat Sumberdaya Mineral,irjen Geologi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia, Jakarta, h. 108-166. Hay, R. L., 1966, Zeolites and zeolitic reactions in sedimentary rocks, Dept. Geology and Geophysics, University of Califonia, Berkeley, California. Kamariah, Fajriyanto.2009.Pemanfaatan lumpur lapindo sebagai komposit ramah lingkungan berbasis fiber reinforced concrete (FRC).Universitas Islam Indonesia

7.

8. 9.

Purwadi, B., Pariadi, Kamulyan. B. & Ariseno. A., 1998, Pemanfaatan zeolit alam Indonesia sebagai adsorben limbah cair dan media uidasi dalam kolom fluidasi. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Teknik(Engineering) v. 10/1, p. 13-25 Sherman, J, D, 1999, Synthetic zeolites and other microporous oxide molecular sieves, Colloquium Paper Proc. Natl. Acad. Sci. Vol. 96, p. 3471-3478. Wahyuni, Suci. 2009. Adsorbsi logam Zn(II) pada zeolit A yang disintesis dari abu dasar batu bara PT IPMOMI PAITON dengan metode batch. Kimia FMIPA-ITS, Surabaya

162


TICA 2013 ke-4 Studi Karakteristik Torefaksi Komponen Sampah Kota Pada Temperatur Dekomposisi Hemiselulosa The 4th TICA 2013 Characteristics Study of Municipal Solid Waste Torrefaction at Decomposition Temperature of Hemicellulose A drian Rizqi I rhamna Teknik Mesin, Institut Teknologi Bandung, Bandung, email: ar.irhamna@gmail.com Kontak Pembimbing. email: toto@termo.pauir.itb.ac.id; email: pandji@termo.pauir.itb.ac.id A bstra k Torefaksi merupakan proses perlakuan panas untuk meningkatkan nilai kalor suatu bahan bakar dengan cara menghilangkan air dan mengurangi sebagian volatile matter dengan kondisi lingkungan yang inert pada temperatur menengah (200-300 째C). Torefaksi biasanya dilakukan pada biomassa yang mengandung lignoselulosa. Pada penelitian ini, torefaksi diterapkan pada komponen sampah kota yang diketahui memiliki banyak kandungan lignoselulosa. Nasi, kulit jeruk, kulit pisang, ranting dan daun merupakan komponen sampah yang dimodelkan untuk mewakili komponen sampah kota yang lainnya. Kendala dalam penelitian ini adalah komponen sampah kota memiliki sifat yang heterogen sehingga setiap komponen sampah kota memiliki karakteristik torefaksi yang berbeda. Perbedaan karakteristik torefaksi tersebut akan dikaji dengan melakukan pengujian pada torefaksi batch untuk setiap komponen sampah kota. Parameter utama dalam perumusan karakteristik sampah kota adalah Temperatur Torefaksi Hemiselulosa, Massa Produk dan Nilai Kalor Produk. K ata K unci - Torefaksi Batch, Sampah Kota, Hemiselulosa, Nilai Kalor

Abstract Torrefaction is a process ther mal treatment to improve calorifc value of solid fuel by evaporating water and dispel a part of volatile matter. Torrefaction process conducts in the absence of oxygen and in the mild temperatures (200-300 째C). Torrefaction is utilized for biomass which contains lignocelluloses. In this research, torrefaction is applied on the municipal solid waste which expected contains lignocelluloses. Rice, Orange Peels, Banana Peels, Branches, and Leaves are selected components to represent municipal solid waste. The problem is every municipal solid waste has different characters and properties. Those differencesof municipal solid wastes are investigated by experiment of batch torrefaction. The main para meters which investigate in the experiment is torrefaction temperatures, yield mass of products, and calorific value of products. Keywords - Batch torrefaction, municipal solid waste , lignocelluloses, and calorific value. I. P E N D A H U L U A N Penelitian tentang torefaksi komponen sampah kota telah dilakukan di Laboratorium Termodinamika ITB [1] [2] [3]. Hasil dari penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa komponen sampah kota sangat berpotensi sebagai bahan bakar padat alternatif. Dengan proses torefaksi, peningkatan densitas energi terjadi pada komponen sampah kota. Meskipun sangat berpotensi, torefaksi pada sampah kota masih memerlukan beberapa langkah sehingga perumusan metode hingga pembuatan peralatan skala pilot bisa terealisasi. Torefaksi secara simultan merupakan cara yang paling mudah untuk mengolah sampah kota. Namun demikian, penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya belum mampu memberikan masukan yang baik untuk pengembangan proses torefaksi simultan. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan karakter dari

komponen sampah kota sehingga dapat menjadi masukan yang cukup untuk pengembangan proses torefaksi simultan. I I. T O R E F A K SI P A D A L I G N OSE L U L OSA Sampah kota didominasi oleh sampah organik padat yang dominan mengandung Hemiselulosa, Selulosa, dan Lignin. Hal tersebut dapat ditemui terutama pada sampah yang berasal dari tumbuhan hijau. Untuk kebutuhan keseragaman teori, sampah lain yang juga memiliki potensi rantai karbon panjang, juga diperlakukan seperti sampah yang mengandung lignoselulosa. Torefaksi adalah proses perlakukan panas yang dilakukan pada temperatur menengah (200-300 째C) di lingkungan bebas oksigen atau inert. Proses torefaksi akan menyebabkan terjadinya proses dekomposisi pada

163


lignoselulosa, terutama pada komponen hemiselulosa. Tahapan dekomposisi pada lignoselulosa dapat dilihat pada G ambar 1 di bawah.

G ambar 1: Proses fisik dan kimia yang ter jadi selama proses torefaksi lignoselulosa berlangsung [4].

Proses dekomposisi juga dapat diketahui dengan melakukana analisis pada massa dari produk torefaksi, seperti yang disajikan pada G ambar 2. Semakin kecil massa produk yang terbentuk, menandakan semakin banyak dekomposisi yang terjadi selama proses torefaksi. Hal tersebut juga berarti densitas energi yang terdapat dalam produk yang lebih banyak terdekomposisi lebih besar dibandingkan yang terdekomposisi lebih sedikit. Kemiringan dari kurva penurunan massa menandakan kecepatan dari proses dekomposisi tersebut. Nilai gradien terbesar menunjukkan bahwa proses dekomposisi terjadi paling banyak di sekitar kemiringan garis tersebut.

G ambar 2: Proses ter mografimetri pada cotton wood dan turunannya (Shafizadeh 1971) [5]

Fi

belum dilakukan secara detil pada temperatur dekomposisi lignoselulosa. Temperatur dekomposisi lignoselulosa ini dipilih karena temperatur tersebut berlangsung pada temperatur menengah di bawah 300 째C. Jika temperatur dekomposisi terlampau tinggi, pada temperatur dekomposisi maksimum komponen Selulosa atau Lignin, maka proses yang terjadi adalah proses yang biasa disebut dengan pirolisis. Torefaksi dilakukan pada komponen sampah kota yang telah dipilih untuk mewakili seluruh komponen sampah kota. Nasi, Kulit Jeruk, Kulit Pisang, Ranting, dan Daun adalah komponen sampah kota yang dipilih karena memiliki kandungan rantai karbon dan memiliki jumlah yang besar pada komponen sampah kota [1]. Investigasi karakter komponen sampah dilakukan pada temperatur dekomposisi hemiselulosa dalam waktu tinggal yang sama. Temperatur dekomposisi hemiselulosa yang dipilih adalah 180, 215, 250, 285, 320 째C. Temperatur yang dipilih pada penelitian kali ini lebih detil dibandingkan penelitian sebelumnya [1]. Waktu tinggal untuk proses torefaksi adalah 45 menit untuk memastikan seluruh proses dekomposisi hemiselulosa telah terjadi [1]. Pengujian dilakukan pada Reaktor Torefaksi Batch, seperti pada penelitian sebelumnya [1]. I I I.2. E ksperimen G ambar 3 di bawah ini merupakan hasil dari eksperimen torefaksi komponen sampah kota dengan menggunakan Reaktor Torefaksi Batch. Berdasarkan G ambar 3, secara umum, semakin tinggi temepratur torefaksi akan menyebabkan semakin besar dekomposisi yang terjadi pada sampel komponen sampah kota. Ketika proses dekomposisi telah selesai, maka kurva penurunan massa akan memperlihatkan bentuk asimtotik terhadap sumbu x di akhir pengujian. Namun demikian, terdapat perbedaan pada hasil yang diperoleh pada kurva penurunan massa pada torefaksi nasi. Kurva penurunan pada nasi tidak menunjukkan kurva perilaku asimtotik di akhir proses dekomposisi. Berdasakan penemuan spesifik ini, maka investigasi khusus akan dilakukan pada penelitian lainnya [6].

(a)

I I I. ST U D I K A R A K T E R IST I K T O R E F A K SI I I I.1. Penentuan K ondisi O perasi Sebenarnya, studi karakteristik torefaksi ini telah dilakukan pada penelitian sebelumnya [1]. Namun demikian, pada penelitian sebelumnya, penelitian torefaksi

(b)

164


(c)

(d)

(e) G ambar 3: Dekomposisi yang ter jadi pada torefaksi komponen sampah kota: (a) Nasi, (b) K ulit Jeruk, (c) K ulit Pisang, (d) Ranting, dan (e) Daun.

I I I. 3. A nalisis Selanjutnya, analisis dilakukan terhadap massa dari produk torefaksi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui dekomposisi terbesar yang terjadi diantara setiap komponen sampah kota. Secara umum, sema kin tinggi temperatur dekomposisi hemiselulosa akan menyebabkan sema kin besar dekomposisi yang ter jadi. Namun demikian, terdapat beberapa juga anomali yang terjadi pada seperti yang dapat dilihat pada G ambar 3 di atas. Analisis ini dilakukan setelah melihat hasil dari pengujian nilai kalor produk torefaksi komponen sampah kota. Setelah itu, pengujian nilai kalor dilakukan pada produk torefaksi komponen sampah kota. G ambar 4 di bawah ini memperlihatkan nilai kalor untuk setiap produk torefaksi komponen sampah kota dibandingkan dengan nilai kalor pada kondisi awalnya. Nilai kalor yang ditampilkan adalah H igher H eating V alue (HHV).

(a)

(b)

(c)

(d)

(e) G ambar 4: Perbandingan H H V antara produk torefaksi pada beberapa temperatur dengan kondisi awalnya : (a) Nasi, (b) K ulit Jeruk, (c) K ulit Pisang, (d) Ranting, dan (e) Daun.

165


Berdasarkan apa yang diperlihatkan pada G ambar 4, secara umum, nilai kalor produk torefaksi komponen sampah kota memiliki nilai kalor yang sema kin tinggi dengan sema kin tinggi temperatur dekomposisi hemiselulosa. Anomali juga terjadi pada pengujian ini. Beberapa komponen sampah kota justru mengalami penurunan nilai kalor ketika ditorefaksi pada temperatur 320 °C. Secara ringkas, analisis terhadap massa dan nilai kalor produk torefaksi disajikan pada T abel 1. T abel 1 Dekomposisi terbesar dan H H V produk tertinggi dari produk torefaksi batch Komponen sampah kota Nasi Kulit Jeruk Kulit Pisang Ranting Daun

Dekomposisi terbesar Temperatur Massa Torefaksi Produk (oC) (%) 250 25 320 11 285 38 180 27 320 30

HHV tertinggi Temperatur HHV Torefaksi (kkal/kg) (oC) 300 5423 320 6802 215 5334 285 5781 320 6225

4.

5.

6.

6ROLG )XHO´ 3URFHHGLQJV RI WKH th International Conference on Cooling and Heating Technologies, 9-11 December 2010, Bandung, Indonesia. J.S. Tumuluru, S. Sokhansanj, C. T. Wright, and R. D. Boardman, ³%LRPDVV 7RUUHfaction Process Review and Moving Bed Torrefaction 6\VWHP 0RGHO 'HYHORSPHQW´ 5HVHDUFK UHSRUW IRU WKH 8 6 Department of Energy at INL and ORNL, 2010. P.C.A. Bergman, A.R. Boersma, J.H.A. Kiel, M.J. Prins, K.J. 3WDVLQVNL ) - - * -DQVVHQ ´7RUUHIDFWLRQ IRr Entrained-flow *DVLILFDWLRQ RI %LRPDVV´ 5HVHDUFK UHSRUW IRU (QHUJ\ UHVHDUFK &HQWUH of Netherlands (ECN), 2005. Toto Hardianto, Dliya Izzharul Haq, Nathanael Tandian, and Aryadi 6XZRQR ³6WXG\ RQ +HDW 7UHDWPHQW &KDUDFWHULVWLFV RI 5LFH (Starch) Components in Municipal Solid Waste During Its Conversion to High Calorific Value Solid Fuel by using 7RUUHIDFWLRQ´ 3URFHHGLQJV RI WKH ,QWHUQDWLRQDO &RQIHUHQFH RQ )OXLG and Thermal Energy Conversion 2013, Semarang, Indonesia.

Hasil analisis di atas, dua parameter masukan, yaitu massa produk dan HHV dari produk torefaksi, menjadi pertimbangan utama dalam menentukan desain Torefaksi Simultan. Dalam hal ini, HHV lebih diutamakan karena alat yang digunakan lebih handal daripada peralatan yang digunakan untuk mengukur kurva penurunan massa produk torefaksi. I V . K ESI M PU L A N Berdasarkan Temperatur Dekomposisi Hemiselulosa (180320 °C): 1. Secara umum, semakin tinggi temperatur torefaksi, akan menghasilkan dekomposisi hemiselulosa yang semakin besar. Dekomposisi yang semakin besar akan menyebabkan semakin besar densitas energi yang ada di dalam komponen sampah kota. 2. Secara umum, semakin tinggi temperatur torefaksi akan menghasilkan produk dengan nilai kalor yang tinggi. Temperatur disekitar 285°C merupakan temperatur yang menghasilkan nilai kalor yang relatif tinggi untuk kelima komponen sampah kota. V. PE N G E M B A N G A N Analisis serta kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, akan digunakan sebagai dasar dalam perumusan parameter desain Torefaksi Simultan Komponen Sampah Kota. D A F T A R PUST A K A 1.

2.

3.

Amrul, Aryadi Suwono, Ari Darmawan Pasek, and Toto Hardianto, ³$ 6WXG\ RQ ,QGRQHVLDQ 0XQLFLSDO 6ROLG :DVWH 3RWHQWLDO IRU High Calorific Value E\ 7RUUHIDFWLRQ 3URFHVV´ 3URFHHGLQJV RI WKH International Conference on Fluid and Thermal Energy Conversion 2009, Tongyeong, South Korea. Aryadi Suwono, Amrul, Ari Darmawan Pasek, and Toto Hardianto, ³6ROLG )XHO )URP 7RUUHILHG 0XQLFLSDO 6ROLG :DVWH ³ Proceedings of Renewable Energy 2010, 27 June ¹ 2 July, 2010, Pacifico Yokohama, Yokohama, Japan. Amrul, Aryadi Suwono, Ari Darmawan Pasek, Toto Hardianto. 2010. ³7KH ,QIOXHQFH RI 0XQLFLSDO 6ROLG :DVWH &RPSRQHQWV &RPSRVLWLRQ on Main Parameters of Torrefaction to Produce High Calorific Value

166


TICA 2013 ke-4 Alat Pengawet Ikan Hemat Energi dan Pereduksi Logam Berat Berbahaya Berbasis Fotokatalitik Nanopartikel Co Doped ZnO The 4th TICA 2013 Preservatives Equipment Low Energy for Fish and reducing Hazardous Heavy Metals Based Photocatalytic Co doped ZnO Nanoparticles Fajar Budi Laksono1,a, Arif Sony Wibowo2,b, Ahmad Balya Bashir3c, Alfin Darari4d, Nor Basid Adiwibawa Prasetya5e 1,2,3

Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang. 1fajarbudilaksono@gmail.com 4 Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang 5 Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang, 5norbasidap@gmail.com

A bstrak - Berbagai organisme laut seperti ikan di I ndonesia sudah banyak tercemar logam berat. Jika ikan ini dijadikan sebagai bahan ma kanan akan berbahaya bagi kesehatan(Moeljanto. 2002). Sehingga untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan solusi untuk mengurangi logam berat berbahaya sekaligus mengawetkan ikan melalui metode sederhana yaitu menggunakan fotokatalis. T ujuan dari inovasi ini adalah menciptakan sistem pengawetan ikan hemat energi yang mampu mereduksi logam berat melalui reaksi fotokatalitik menggunakan cahaya tampak. Nanopartikel Co Doped Zn O merupakan salah satu material fotokatalitis. M aterial fotokatalis memiliki aktivitas antibakteri dan dapat mereduksi logam berat ( W ang, 2011). Co doped Zn O disintesis menggunakan metode sol gel. H asilnya berupa larutan homogen berwarna ungu bening. Dari analisis didapatkan bandgap Z n O terdoping Co sebesar 2,28 e V dan dari analisa SE M didapatkan ukuran partikel rata-rata Co-doped Z n O adalah 60 nm. H asil dari pengawetan ikan selama 18jam yaitu ikan memiliki bau yang tidak menyengat, tekstur kenyal, lendir sedikit sehingga dapat disimpulkan dari parameter fisik ikan tersebut masih dalam kondisi layak untuk dimakan. U ji logam berat C r 6+ pada ikan dilakukan menggunakan Spektrometer U VVis. H asil analisa menunjukan ber kurangnya logam berat C r 6+ dengan konsentrasi 100 ppm menjadi 11,502 ppm setelah ikan ditempatkan pada alat pengawet. Sehingga dapat disimpulkan alat ini dapat mengurangi kadar logam berat pada ikan. K ata K unci : Alat Pengawet dan Pereduksi Logam Berat, F otokatalis, Nanopartikel Co Doped ZnO

Abstract- Variety of marine organisms such as fish in Indonesia has been a lot of heavy metal polluted. If the fish is used as a food ingredient can be har mful to health (Moeljanto. 2002). So as to overcome these problems required a solution to reduce dangerous heavy metals as well as a simple method of preserving fish through the use of photocatalysts. T he purpose of this innovation is to create energy efficient fish preservation system that is able to reduce heavy metals through the photocatalytic reaction using visib le light. Co doped Z n O nanoparticles is one fotokatalitis material. Photocatalyst material has antibacterial activity and can reduce heavy metals (Wang, 2011). Co doped Z n O synthesized using sol gel method. T he result is a translucent purple homogeneous solution. O btaine d from the analysis of Co doped Zn O bandgap of 2.28 e V and from SE M analysis found an average particle size of Co-doped Z n O is 60 nm. Results of preserving fish during the fish have 18jam smell pungent, chewy texture, a little mucus so it can be concluded fro m the physical parameters of the fish are still in decent condition to be eaten. T est heavy metal C r6 + to the fish is done using a U V-Vis spectrometer. T he analysis shows reduction of heavy metal C r6 + with a concentration of 100 ppm to 11.502 ppm after fish were placed in a preservative tool. It can be concluded that these tools can reduce the levels of heavy metals in fish. Keywords : Preservatives E quipment Low E nergy for F ish, Photocatalytic, Co doped Z n O Nanoparticles

167


I. PENDAHULUAN Ikan merupakan bahan pangan yang cukup digemari oleh masyarakat Indonesia. Ikan sangat baik dikonsumsi karena memenuhi kebutuhan gizi dan mengandung senyawa penting seperti asam amino esensial, asam lemak jenuh, omega 3 (Vikosa, pentanoat) dan DHA (Dokosa Heksa Enoat) (Lloyd, 1992). Tetapi dalam pemanfaatannya ikan memiliki kelemahan yaitu sifatnya yang mudah busuk setelah ditangkap (Nurhadi dkk, 2011) dan memiliki kandungan logam berat berbahaya seperti Pb, Hg, Cd, Cu, Cr dan Zn yang cukup tinggi (Sutarto, 2007). Pengawetan ikan selama ini dilakukan dengan beberapa metode yaitu pembekuan dengan freezer atau kulkas, pengasapan, pengasinan dan penambahan bahan pengawet (Nurhadi dkk, 2011). Masing-masing proses pengawetan tersebut memiliki kelemahan seperti pada proses pembekuan diperlukan energi yang tinggi dan menimbulkan hasil samping seperti freon yang berbahaya bagi lingkungan. Pada proses pengasapan dihasilkan emisi gas berbahaya CO serta rasa dan tekstur ikan menjadi berubah. Pada proses pengasinan terjadi perubahan rasa, dan penggunaan bahan pengawet pada ikan dan kerang akan menimbulkan bahaya bagi konsumen (Winarno, 2004). Kelemahan berbagai sistem pengawetan tersebut harus dapat diatasi dengan suatu inovasi teknologi hemat energi yang membuat ikan terhindar dari proses pembusukan serta mereduksi logam berat berbahaya pada ikan dan kerang tanpa merubah rasa rasa, tekstur dan gizi dari makanan tersebut. Nanoteknologi di dunia saat ini berkembang begitu pesat. Salah satu contohnya adalah nanopartikel ZnO, zat fotokatalis berharga ekonomis (Daneshvar, 2007). Prinsip kerja fotokatalis ZnO adalah ketika zink oksida berukuran nano terkena sinar UV maka akan membentuk senyawa super oksida yang dapat mendegradasi berbagai senyawa organik(Seery et al, 2008). Salah satu senyawa yang dapat didegradasi adalah asap rokok. sehingga apabila ZnO tersebut dilapiskan ke zat lain seperti kaca maka ZnO tersebut dapat mendegradasi bakteri di lingkungan sekitarnya apabila diinisiasi dengan sinar UV. Zink oksida (ZnO) memiliki kelemahan yaitu hanya bisa diinisiasi dengan sinar UV (Liu et al, 2011), padahal di bumi ini sumber cahaya yang banyak ditemukan adalah cahaya tampak sehingga perlu dilakukan modifikasi terhadap material tersebut agar bekerja pada cahaya tampak. Salah satu solusi dari masalah ini adalah melapisi ZnO dengan Cobalt (Co)(Reddy, 2013). Pelapisan ZnO dengan Cobalt (Co) akan menaikan aktivitas pendekomposisian senyawa organik hingga panjang gelombang 550 nm(Reddy, 2013) atau dapat dikatakan Co doped ZnO sebagai fotodegradasi cahaya tampak. Dengan modifikasi tersebut maka aktivitas ZnO sebagai fotokatalis untuk mendegradasi senyawa organik seperti Bkteri yang mebuat kebusukan pada ikan. Bakteri dan logam berat berbahaya merupakan senyawa yang dapat direduksi oleh proses fotokatalis. Material yang memiliki efek fotokatalis dapat mereduksi bakteri hingga 98,7% dengan menggunakan cahaya (Wang, 2011). Selain itu material dengan efek fotokatalis dapat mereduksi logam berat

berbahaya seperti Cr(VI) hingga 80% (Slamet, 2003). Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan apabila Co doped ZnO dilapiskan pada kaca maka Co doped ZnO tersebut dapat memberikan efek antibakteri yang mengakibatkan ikan terhindar dari proses pembusukan serta mengurangi logam berat berbahaya pada ikan sehingga ikan akan lebih aman dikonsumsi. Dari berbagai fakta diatas maka salah satu inovasi yang akan menjadi solusi pemecahan masalah terhadap sistem pengawetan dan logam berat berbahaya pada ikan adalah dengan membuat alat pengawet dan pereduksi logam berat berbahya pada ikan dan kerang dengan Co doped ZnO. Alat tersebut berfungsi mengawetkan ikan dengan adanya aktivitas antibakteri yang tinggi serta dapat mereduksi logam berat berat berbahaya pada ikan. Alat dari Co-doped ZnO ini juga hemat energi dikarenakan dalam sistem pengawetannya hanya membutuhkan energi dari lampu biasa, kelebihan lain dari alat ini juga tidak merusak rasa, tekstur dan gizi karena ikan dan kerang hanya akan disinari cahaya tampak. Selain itu alat pengawet dan pereduksi logam berat berbahaya ini mudah diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi lingkungan karena tidak menghasilkan hasil samping. II. Material dan Metode A. Bahan Zn asetat, Isopropanol, Aseton, Air deionisasi, Kobalt nitrat, MEA yang didapatkan di toko kimia di daerah Semarang Jawa Tengah. Bahan lainnya adalah ikan segar yang didapatkan dari Pasar Obong Semarang. Bahan selanjutanya adalah pelat kaca dan lampu. B. Metode 1) Sintesis Co-doped ZnO Sintesis nanopartikel ZnO dilakukan dengan metode sol gel yaitu metode pembuatan material berukuran nano secara bottom-up. Keunggulan metode sol gel adalah proses dapat dilakukan pada suhu rendah, mudah untuk dilakukan karena menggunakan bahan-bahan yang mudah didapatkan. Pada sintesis ZnO digunakan prekursor Zn(CH3COO2)2.2H2O sebagai sumber Zn dan isopropanol (IPA: (CH3)2CHOH), monoetanolamin (MEA: HOCH2CH2NH2) dan kobal nitrat (CoNO3.6H2O). Pembuatan nanopartikel ZnO dengan melarutkan Zn Asetat kedalam larutan propanol dan monoetanolamin pada temperatur ruang dengan konsentrasi 0,3M Zn Asetat dengan perbandingan molar 1:1 dan kemudian distirer selama 1 jam. Hasil yang terbentuk larutan berwarna putih bening. Setelah itu tambahkan kobal nitrat dengan perbandingan dengan Zn 10:1(Zn: 10, Co: 1) dan dilstirer selama 7 jam. Hasilnya berupa larutan homogen berwarna ungu bening. 2) Pelapisan Co-oped ZnO terhadap Plat Kaca Setelah didapatkan Co-doped ZnO selanjutnya dilakukan pembuatan plat kaca Co-doped ZnO dengan sistem pelapisan menggunakan metode spray. Metode spray ini dimaksudkan agar kaca terlapisi dengan Co-doped ZnO secara merata, beriku adalah proses pelapisan Co-doped ZnO pada kaca :

168


Gambar 4. Proses Pelapisan Jera mi menggunakan semen

4.

Dilakukan penambahan kaca sebagai kontrol secara visual pada alat.

Gambar 1. Skema Pelapisan ZnO pada kaca

3) Pembuatan Prototype Alat pengawet Ikan Setelah didapatkan plat kaca yang dilapisi N-doped TiO2 dan nano zeolit selanjutnya dilakukan pembuatan alat pengawet dan pereduksi limbah berbahaya pada ikan dan kerang dengan design kerangka luar alat menggunakan logam atau plastik polimer. Tetapi untuk meminimalisasi biaya alat ini dapat dibuat menggunakan limbah seperti jerami dan papan kayu bekisting. Tahap pembuatan alat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pembuatan cetakan persegi dari papan kayu bekisting dengan ukuran (100 x 10 x 100) cm.

Gambar 5. Pena mbahan Kaca pada alat sebagai kontrol visual

5.

Dilakukan perbanyakan dinding hingga menjadi 3 bagian.

Gambar 6. Perbanyakan dinding menjadi 3 bagian

6. Gambar 2. Pembuatan Cetakan dengan Papan Kayu Bekisting

2.

Dilakukan pemotongan jerami dengan panjang 10 cm dan dilakukan pengisian jerami tersebut pada cetakan.

7. Gambar 3. Pengisian dan Pemadatan Jera mi Pada Cetakan

3.

Dilakukan pemasangan 2 partisi dinding sehingga membentuk kubus dengan atap menggunakan limbah papan kayu bekisting..

Gambar 7. Pemasangan 3 Partisi Dinding

Pemasangan plat kaca yang dilapisi Co-doped dan pemasangan lampu dengan cahaya tampak dengan daya 12 watt sebanyak 2 buah.

Selanjutnya dilakukan pelapisan terhadap permukaan jerami menggunakan semen dicampur nano zeolit.

Gambar 8. Pemasangan Plat Kaca N-doped TiO 2 dan La mpu

8. Pembuatan tempat ikan dengan menggunakan limbah papan kayu bekisting.

169


Dari grafik terlihat bahwa terbentuk puncak pada range cahaya tampak yaitu 542.50 nm. Jika dikonversi dengan persamaan max planck: Eg :

Gambar 9. Pembuatan Tempat Ikan

9. Pemasangan partisi dinding yang tersisa pada bagian belakang alat.

(1)

Didapatkan bandgap Nanopartikel ZnO terdoping Co sebesar 2,28 eV. Hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa ZnO terdoping Co yang terlapis dapat bekerja pada cahaya tampak dengan efisiensi pemanfaatan cahaya tampak sebesar 47,33%. 2 Analisis Morfologi Kristal Tujuan dilakukan analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) adalah untuk menganalisa permukaan dan tekstur ZnO:Co yang terlapis, menganalisa morfologi dan ukuran kristal yang terlapis pada kaca lampu.

Gambar 10. Pemasangan Partisi Dinding pada Bagian Belakang Alat

10. Pemasangan pintu bagian depan alat dengan bahan limbah papan kayu bekisting.

Gambar 11. Pemasangan Pintu Pada Alat

Pengggunaan limbah jerami dan papan kayu bekisting pada alat tersebut tidak hanya mengurangi biaya produksi alat tetapi juga membuat alat tersebut menjadi lebih ringan dan unik. Desain dari alat pengawet dan pereduksi logam berat berbahaya ini masih dapat terus berkembang dan masih perlu adanya perbaikan untuk menanggulangi kelemahan pada alat ini.

Gambar 13.a Gambar 13.b Gambar 13.c Berdasarkan hasil SEM (Scanning Electron Microscopy) diatas dapat disimpulkan bahwa: a. Pada perbesaran SEM 1.000x terlihat bahwa meterial terlapis secara bagus dan merata. b. Pada perbesaran SEM 10.000x terlihat bahwa nanopartikel ZnO doping Co berbentuk kristal bulat, terlapis secara kuat, rapat/merata. c. Pada perbesaran SEM 30.000x menunjukkan bahwa material terlapis dengan ukuran hampir sama yaitu rata-rata 40nm. B. Pelapisan ZnO pada kaca Tujuan analisa EDS (Energy Dispersed Spectroscopy) adalah untuk mengetahui komposisi senyawa yang terlapis pada kaca lampu.

.III. Hasil dan Diskusi A. Sintesis Co-doped ZnO 1 Analisis Celah Energi dari Materisl ZnO Tujuan dilakukan analisa ini adalah untuk mengetahi celah energi dari senyawa hasil sintesis yang terbentuk. Dari celah energi dapat dianalisa apakah senyawa ini dapat bekerja pada cahaya tampak(cahaya lampu) atau tidak.

Gambar 14. Spektra E D S Co-Doped ZnO

Gambar 12. Hasil Pengujian Spektrofotometri UV-VIS

Dari hasil pengujian EDS dapat diketahui komposisi yang ada pada lapisan lampu. Mulai dari material kaca lampu dan senyawa yang terlapis pada kaca lampu. Dari data EDS terlihat bahwa sudah terlapis senyawa ZnO:Co dengan kandungan senyawa ZnO yaitu sebesar 52.12% dan Co

170


sebesar 4,15%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa senyawa ZnO:Co.terlapis secara sempurna. C. Hasil Pengujian Alat Pengawet Ikan

Gambar 15. Hasil Pengawetan dengan Alat

Setelah 18 jam ikan yang diawetkan dengan alat ini memiliki bau yang tidak menyengat. Selain itu ikan juga memiliki tekstur kenyal. Sedangkan dari parameter lendir ikan yang diawetkan menggunakan alat tersebut memiliki sedikit lendir sehingga dapat disimpulkan dari parameter fisik ikan tersebut masih dalam kondisi layak untuk dimakan. Uji logam berat pada ikan menggunakan alat tersebut yaitu Cr6+ dilakukan menggunakan Spektrometer UV-Vis. Hasil dari fotokatalitik menunjukan berkurangnya logam berat yang tadinya Cr6+ dengan konsentrasi 100 ppm disinari dengan cahaya tampak Cr6+ menjadi 11,502 ppm. Sehingga dapat disimpulkan dengan menggunakan alat ini dapat mengurangi kadar logam berat pada ikan.

Kanade K.G., Kale B.B., Aiyer R.C., Das B.K., (2006), Effect Of Solvents On The Synthesis Of Nano-Size Zinc Oxide And Its Properties, Materials Research Bulletin, Vol. 41, hal. 590Âą 600 Moeljanto. 2002. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya: Jakarta Nurhadi; Ilza, M.; Syahrul, 2011, Effects of Guava Leaf Extract (Psidium guajava) on Quality Enhancement of Fresh Tilipia (Oreochromis niloticus), University of Riau: Indonesia Slamet; Syakur, R.; Danumulyo, W., 2003, Pengolahan Limbah Logam Berat Chromium (VI) Dengan Fotokatalis TiO2, Universitas Indonesia: Jakarta Seery, Michael K., Reenamole Gorgekutty, and Suresh C. Pillai, 2008, A Highly Efficient Ag-ZnO Photocatalyst: Synthesis, Properties, and Mechanism,School of Chemical and Pharmaceutical Sciences, Dublin Institute of Technology, Dublin 8, Ireland Wang, H.; Tang, B.; Li, X.; Ma, Y., 2011, Antibacterial Properties and Corrosion Resistance of Nitrogen-doped TiO2 Coatings on Stainless Steel. Taiyuan University of Technology: China Winarno, F.G, 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia: Jakarta

KESIMPULAN Alat pengawet ikan ini sangat berpotansi untuk dikembangkan dan diaplikasikan di masyarakat. Alat ini dapat mengawetkan ikan dan mereduksi logam berat berbahaya pada ikan hanya dengan menggunakan lampu cahaya tampak. Alat juga tidak menghasilkan hasil samping berbahaya dan hemat energi. A. Pengembangan Alat ini nantinya dapat dijadikan lebih portabel dan dipasang pada cargo penyuplai ikan. Banyak kasus terjadi pembusukan ikan ketika sedang dalam perjalanan jauh sehingga dengan alat ini ikan dapat tetap segar hingga sampai ke tangan masyarakat. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang setulus- tulusnya kepada bapak Nor Basid Adiwibawa P, S.Si., M.Sc. selaku pembimbing pada penelitian ini, atas segala nasihat dan bimbingannya dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Daneshvar, 2007, Preparation and Investigation of Photocatalytic Properties of ZnO Nanocrystals: Effect of Operational Parameters and Kinetic, World Academy of Science, Engineering and Technology 29 2007 Liu, Xu; Liu, Zhongqing; Jian Zheng, Xin Yan, Dandan Li, Si Chen, Wei Chu, 2011, Characteristics of N-doped TiO2 nanotube arrays by N2plasma for visible light-driven photocatalysis, College of Chemical Engineering, Sichuan University: China Lloyd, Richard. 1992. Pollution and Freshwater Fish, The Buckland Foundation. Oxford. 18-40

171


!"#$%&'"()*+,,$+&&+(-&.&+(-*/$0&.(1&'&($+2$3( 4*+,.&#0&2(5*+&"3&+(6*#7*/&2$/(8"+9"+,()&+*%( !$/:&( !"#$%&2";+(;<().&'*(=.&+,*(4&2*/"&%'(>'&,*(2;( ?+."0"2(6*#7*/&2$/*(@"'*(;<(!;%&/()&+*%(A&%%( (

Ilman Nuran Zaini1,a, Yuli Setyo Indartono2,b; Aryadi Suwono3,c 1,2,3 Teknik Mesin, Institut Teknologi Bandung, Bandung. ailmanuran@students.itb.ac.id, b indartono@termo.pauir.itb.ac.id, caryadi@termo.pauir.itb.ac.id A bstra k - E nergi surya merupa kan salah satu jenis energi terbarukan yang banya k dimanfaatkan dewasa ini. M etode yang umum diguna kan dalam memanfaatkan energi surya adalah dengan mengubahnya menjadi energi listrik melalui panel surya/photovoltaic. Salah satu kendala dalam mengguna kan panel surya adalah tingkat efisiensinya yang menurun seiring kenaikan temperatur panel. Penggunaan bahan berubah fasa ( Phase Change Material - P C M) adalah salah satu upaya yang dapat diguna kan untuk menghambat kenaikan temperatur panel surya. K ena ikan temperatur diharapkan dapat dihambat dengan memanfaatkan efek penyimpanan kalor laten yang muncul ketika bahan tersebut berubah fasa dari padat menjadi cair. Pada penelitian ini dilakukan simulasi komputasional dengan mengguna kan perangkat lunak F L U E N T untuk mengetahui efek penggunaan bahan berubah fasa terhadap kenaikan temperatur panel surya. Bahan berubah fasa yang diguna kan adalah minyak kelapa dan minya k kelapa sawit (C P O).Dari simulasi yang dilakukan, diketahui bahwa dinding panel surya yang menggunakan kelapa sawit memiliki temperatur rata-rata lebih rendah dibanding dengan panel surya normal dengan selisih rata-rata mencapai 3,6o C . Penggunaan minya k kelapa sawit sebagai bahan berubah fasa lebih efektif dibanding minya k kelapa karena memiliki temperatur leleh yang lebih tinggi dibanding temperatur lingkungan. Selain itu, ketebalan optimum bahan berubah fasa yang digunakan pada panel surya didapatkan sebesar 80 mm. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan berubah fasa mampu menghambat kenaikan temperatur dinding panel surya. A bstract- Solar energy is one type of renewable energy that is widely used today. Technology commonly used in harnessing solar energy is solar cell/ photovoltaic (P V) that convert solar energy into electricity. O ne challenge in solar cell technology is low efficiency and efficiency reduction as temperature increases. Phase change materials (P C M) can be used to inhibit the rise in solar cell temperature. L atent heat storage capability of the P C M , which is produced when the P C M melts, is responsible to keep solar cell temperature low. In this research, computational simulation using F L U E N T software is used to study effects of phase change materials usage in the solar cell. Coconut oil and palm oil were used as P C M in this research. F rom the simulation result, it can be seen that surface temperature of P V with P C M is lower than that of normal P V . T he difference of average surface temperature between both P V is 3.6o C . T he use of palm oil as a phase change material is more effective than coconut oil because its melting temperature is higher than ambient temperature. In addition, the optimum thickness of the phase change material used in solar panels is 80 mm. F rom the results of this study, it can be concluded that the use of phase change materials could inhibit the rise in wall temperature of solar panels. I. Pendahuluan Energi merupakan salah satu kebutuhan utama manusia. Saat ini sumber energi yang digunakan di dunia masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil, seperti minyak, gas alam, dan batubara, merupakan sumber energi tak terbarukan yang jumlahnya akan selalu menipis seiring dengan penggunaannya. Oleh karena itu, penggunaan sumber energi terbarukan sebagai pengganti sumber energi tak terbarukan perlu ditingkatkan. Usaha untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan sudah dilakukan di Indonesia. Gambar 1 menunjukkan persentase penggunaan beberapa jenis sumber energi saat ini dan target yang ditetapkan Pemerintah untuk tahun 2025.

Salah satu sumber energi terbarukan yang jumlah penggunaannya terus meningkat adalah energi surya. Energi surya dapat diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan panel photovoltaic (PV) atau panel surya. Penggunaan panel surya di dunia saat ini telah mencapai kapasitas 70 GW dengan peningkatan yang signifikan pada periode 2010-2011 sebesar 30 GW atau 74%. Jerman masih menjadi negara pengguna sel surya yang terbesar [1]. Efisiensi panel surya yang umum digunakan saat ini mencapai 15-17%. Efisiensi panel surya tersebut masih tergolong rendah. Angka tersebut menyatakan bahwa hanya 15-17% dari total energi surya yang dapat diubah menjadi energi listrik.

172


G ambar 1 K omposisi sumber energi di Indonesia.

ܶ௣௔௡௘௟ merupakan temperatur permukaan panel sel surya dan ܶ௟௜௡௚ adalah temperatur lingkungan sekitar. Nilai koefisien perpindahan panas konveksi/ convective heat transfer coefficient (CHTC) ݄ bergantung pada kondisi fisik di sekitar panel. Konveksi yang terjadi merupakan kombinasi antara konveksi bebas dan konveksi paksa sehingga nilai ݄ terdiri dari koefisien konveksi bebas ( ݄௕௘௕௔௦ ) dan koefisien konveksi paksa (݄௣௔௞௦௔ ). Pada kondisi cuaca cerah yang tidak berangin, proses perpindahan panas lebih banyak disebabkan oleh konveksi bebas, sebaliknya pada kondisi cuaca berangin konveksi paksa akan lebih dominan. Nilai ݄ dapat dihitung melalui persamaan:

!

Salah satu aspek yang berpengaruh pada efisiensi panel surya adalah temperatur operasionalnya. Kenaikan temperatur panel surya akan mengakibatkan penurunan daya listrik yang dihasilkan [2]. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi panel surya adalah dengan menghambat kenaikan temperatur panel surya. Bahan berubah fasa memiliki kemampuan untuk menyimpan panas dengan jumlah yang besar dengan memanfaatkan sifat kalor laten yang dimilikinya. Penyerapan panas oleh bahan berubah fasa mulai terjadi ketika bahan mencapai temperatur lelehnya. Pada penelitian ini akan dilakukan pemodelan dan simulasi numerik 2D menggunakan program paket CFD ( Computational F luid Dyna mics) untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan berubah fasa pada panel surya. I I. K omponen Penyusun Panel Surya Panel sel surya terdiri dari beberapa lapisan yang berbeda materialnya tergantung dari jenis teknologi yang digunakan. Terdapat enam lapisan utama penyusun panel sel surya, yaitu: kaca pelindung, lapisan anti-reflective coating (ARC), sel surya, lapisan ethylene vinyl acetate (EVA), logam pelapis, dan lapisan tedlar PVF. Tabel 1 menjabarkan nilai dari sifat material penyusun utama modul sel surya yang diperlukan untuk pemodelan dan simulasi. T abel 1 Sifat material penyusun model sel surya [3]. Konduktivitas Massa Kapasitas Ketebalan Lapisan Termal k Jenis ȡ Panas Spesifik (m) (W/mK) (kg/m3) c (J/kgoC) Kaca 0,003 1,8 3000 500 pelindung Sel surya 225 x 10-6 148 2330 677 Tedlar 0,0001 0,2 1200 1250

I I I. Perpindahan Panas pada Panel Surya Temperatur pada permukaan panel surya dapat ditentukan dengan mempertimbangkan kasus perpindahan panas yang terjadi antara panel sel surya dengan lingkungan sekitar. Tiga bentuk perpindahan panas yang terjadi pada panel sel surya adalah konduksi, konveksi, dan radiasi. x Konveksi Hukum pendinginan Newton menyatakan pertukaran energi secara konveksi dari suatu permukaan terhadap lingkungan sekitar terjadi secara proporsional sesuai dengan perbedaan temperatur keseluruhan antara permukaan dan lingkungan sekitar. Total perpindahan panas konveksi pada panel sel surya dirumuskan dengan : ‫ݍ‬௞௢௡௩ ൌ െ݄௞ ή ‫ ܣ‬ή ൫ܶ௣௔௡௘௟ െ ܶ௟௜௡௚ ൯

(2)

݄ൌ

തതതത ܰ‫ ݑ‬ή ݇௨ௗ௔௥௔ ‫ܮ‬

(3)

Pada Persamaan (3) tersebut ݇௨ௗ௔௥௔ adalah konduktivitas termal udara dan L adalah panjang panel. Untuk mengkombinasikan nilai ݄௕௘௕௔௦ dan ݄௣௔௞௦௔ dapat digunakan Persamaan (4) [3], య

ଷ ଷ ݄ ൌ ට݄௞ି௕௘௕௔௦ ൅ ݄௣௔௞௦௔

(4)

Komponen koefisien perpindahan panas konveksi yang lebih dominan dapat ditentukan melalui perbandingan nilai ‫ݎܩ‬Ȁܴ݁ ଶ . Jika ‫ ݎܩ‬Τܴ݁ ଶ ‫ ͳ ا‬, maka perpindahan panas lebih didominasi oleh konveksi paksa, sementara jika ‫ݎܩ‬Τܴ݁ ଶ ‫ͳ ب‬ berarti konveksi bebas lebih dominan. Jika nilai ‫ݎܩ‬Ȁܴ݁ ଶ mendekati 1 maka kedua konveksi memiliki pengaruh yang signifikan [3]. ! Konveksi bebas തതതത ) pada konveksi Penentuan nilai bilangan Nusselt ( ܰ‫ݑ‬ bebas dilakukan dengan mengasumsikan panel sel surya sebagai kasus plat vertikal. Pada bagian belakang panel, untuk seluruh bilangan Rayleigh ( ܴܽ ), berlaku persamaan sebagai berikut [3]: തതതത ܰ‫ ݑ‬ൌ ቈͲǡͺʹͷ ൅

Ͳǡ͵ͺ͹ଵȀ଺ ቉ ሾͳ ൅ ሺͲǡͶͻʹȀܲ‫ ݎ‬ሻଽȀଵ଺ ሿ଼Ȁଶ଻

(5)

dengan nilai ܴܽ dan ܲ‫ ݎ‬masing-masing ditentukan melalui persamaan: ܴܽ ൌ ‫ ݎܩ‬ή ܲ‫ݎ‬

(6)

‫ ݎܩ‬ൌ

݃ߚሺܶ௣௔௡௘௟ െ ܶ௟௜௡௚ ሻ‫ܮ‬ଷ ‫ݒ‬ଶ

(7)

ܲ‫ ݎ‬ൌ

ܿߤ ݇

(8)

dengan ‫ ݎܩ‬adalah bilangan Grashof, ݃ adalah percepatan gravitasi, dan ߚ adalah koefisien ekspansi termal volumetrik. Sementara ܿ dan ߤ masing-masing menyatakan kapasitas panas spesifik dan viskositas dinamik udara yang dievaluasi menggunakan temperatur film. Besar temperatur film merupakan nilai rata-rata dari temperatur panel dan temperatur lingkungan. Persamaan untuk menghitung nilai koefisien perpindahan panas bebas di atas dapat digunakan pada kasus plat yang memiliki kemiringan dengan sudut tertentu dengan cara mengganti ݃ dengan ݃ܿ‫ߠݏ݋‬, sementara ߠ adalah besar sudut panel terhadap sumbu vertikal.

173


Pada bagian depan panel berlaku persamaan: തതതത ൌ ͲǡͳͶൣሺ‫ݎܲݎܩ‬ሻଵȀଷ ൅ ሺ‫ݎܩ‬௖௥ ሻଵȀଷ ൧ ൅ Ͳǡͷ͸ሺ‫ݎܩ‬௖௥ ܲ‫ߠݏ݋ܿݎ‬ሻଵȀସ (9) ܰ‫ݑ‬

untuk ͳͲହ ൏ ‫ ߠݏ݋ܿݎܲݎܩ‬൏ ͳͲଵଵ dan ͳͷ଴ ൏ ߠ ൏ ͹ͷ଴ . Nilai bilangan kritis Grashof, ‫ݎܩ‬௖௥ , merupakan nilai ketika bilangan Nusselt mulai menyimpang dari karakter laminer. Untuk besar ߠ sama dengan 150, 300, 600, dan 700, nilai ‫ݎܩ‬௖௥ masing-masing adalah 5x109, 2x109, 108, dan 106 [3]. ! Konveksi paksa Konveksi paksa memiliki peran yang paling besar dalam menentukan respon termal dari panel surya. Penelitian telah banyak dilakukan untuk memprediksi nilai koefisien konveksi paksa, CHTC ( ݄௣௔௞௦௔ ), pada permukaan panel. Penelitian tersebut dilakukan melalui pendekatan analitis berdasarkan teori dasar perpindahan panas, simulasi numerik, pengukuran menggunakan terowongan angin (wind tunnel), dan pengukuran lapangan dengan kondisi riil. Dalam memprediksi nilai CHTC dipertimbangkan geometri dari sistem panel sel surya yang umumnya dibagi menjadi : plat datar dan miring yang terpasang pada dinding ( wall-mounted flat and inclined plates), kubus yang terpasang pada dinding Referensi

(wall-mounted cube), kolektor surya yang terpasang di atap ( roof-mounted solar collector ), dan permukaan bangunan (building surface ). Pada banyak kasus, penelitian dilakukan untuk membangun persamaan relasi antara ݄௣௔௞௦௔ (W/m2K) dengan kecepatan udara referensi ‫( ݒ‬m/s) untuk berbagai kondisi permukaan panel. Ringkasan mengenai persamaan relasi nilai CHTC, beserta metode dalam mendapatkannya disajikan pada Tabel 2. x Radiasi Bentuk persamaan umum untuk menyatakan perpindahan panas radiasi ditunjukkan pada Persamaan (17). ‫ݍ‬௥௔ௗ ൌ ߝߪ‫ܣ‬൫ܶ௦ ସ െ ܶ௣௔௡௘௟ ସ ൯

Dalam proses pemanasan panel surya, ‫ݍ‬௥௔ௗ menyatakan iradiasi sinar matahari yang mengenai permukaan panel (‫ܫ‬௥௔ௗ ሻ, ߝ adalah emissivitas material panel, ߪ adalah konstanta boltzmann (5,67 x 10-8), ‫ ܣ‬adalah luas permukaan panel, dan ܶ௦ menyatakan temperatur sumber radiasi [3].

T abel 2 Persamaan-persamaan C H T C pada panel surya [Error! Reference source not found.]. Persamaan K eterangan

Test et al. (1981)

݄ ൌ ʹǡͷ͸‫ ݒ‬൅ ͺǡͷͷ

(10)

Shalpes dan Charlesworth (1998)

݄ ൌ ʹǡʹ͸‫ݒ‬௥ ൅ ͳͳǡͻ ሺͲǡͷ ൏ ‫ݒ‬௥ ൏ ͸ǡ͹ሻ atau ݄ ൌ ͻǡͳ‫ݒ‬௥଴ǡହ଻

(11)

Sparrow dan Tien (1977)

Shao et al. (2009)

݄ ൌ ͸ǡͻͳ‫ ݒ‬൅ ͵ǡͻ

(13)

Kumar dan Mullick (2010)

݄ ൌ ሺ͸ǡͻͲ േ ͲǡͲͷሻ ൅ ሺ͵ǡͺ͹ േ Ͳǡͳ͵ሻ‫ ݒ‬atau, ݄ ൌ ሺ͸ǡ͸͵ േ ͲǡͲͷሻ ൅ ሺ͵ǡͺ͹ േ Ͳǡͳ͵ሻ‫ ݒ‬଴ǡ଼ ‫ିܮ‬଴ǡଶ

(14)

Loveday dan Taki (1996)

݄ ൌ ʹǡͲͲ‫ݒ‬௥ ൅ ͺǡͻͳ atau, ݄ ൌ ͳ͸ǡͳͷ‫ ݒ‬଴ǡଷଽ଻

(15)

Emmel et al. (2007)

݄ ൌ ͷǡͳͷ‫ ݒ‬଴ǡ଼ଵ (windward wall) ݄ ൌ ͷǡͳͳ‫ ݒ‬଴ǡ଻଼ (horizontal roof)

(16)

௛ ఘ௖ು ௩ഀ

ቁ ܲ‫ ݎ‬ଶȀଷ ൌ Ͳǡͻ͵ͳܴ݁ ିଵȀଶ

(12)

Nilai ܶ௦ dapat dihitung melalui Persamaan (18) sebagai berikut, ‫ܫ‬௥௔ௗ ሺͳ ൅ ܽ௧௡௛ ሻ ൅ ߝ௧௡௛ ή ߪ൫ܶ௧௡௛ ସ െ ܶ௟௜௡௚ ସ ൯ ܶ௦ ൌ ቈܶ௟௜௡௚ ସ ൅ ቆ ቇ቉ ʹߪ

(18)

Pada Persamaan (18), ܽ௧௡௛ adalah albedo atau reflektifitas permukaan tanah di sekitar lokasi panel surya, ߝ௧௡௛ menyatakan emisivitas permukaan tanah, dan ܶ௧௡௛ adalah temperatur permukaan tanah [4]. x Konduksi Pada kondisi tunak atau steady state, besar heat flux dalam perpindahan panas konduksi dapat dinyatakan melalui Persamaan (19) di bawah ini. ‫ݍ‬௫ ᇱᇱ ൌ ݇

οܶ ‫ܮ‬

(17)

(19)

Lingkungan alam, ‫ ݒ‬diukur 1 m dari permukaan panel yang memiliki kemiringan 40!, aliran laminar. Panel berukuran 1,8m x 0,9m pada atap bangunan berlantai 1 dengan kemiringan 35!, menghadap arah angin bertiup (windward). ‫ݒ‬௥ diukur pada ketinggian 1,5 m dari permukaan atap. Skala model untuk plat dengan kemiringan tertentu. ‫ݒ‬ఈ adalah kecepatan aliran udara di permukaan atas plat. Atap horizontal, bangunan berlantai 9, ‫ ݒ‬diukur pada ketinggian 1,6 m dari atap. Metode napthalene VXEOLPDWLRQ +DQ\D EHUODNX MLND ǻ7! !C. Plat datar terpasang pada atap horizontal. ‫ ݒ‬pada ketinggian 0,15 m dari perumkaan plat. Panel terpasang pada dinding windward dari bangunan 8 lantai, terletak di tengah dinding lantai 6. ‫ݒ‬௥ adalah kecepatan pada ketinggian 11 m dari atap. 3D CFD steady, model RSM. Bangunan 8 m x 6 m x 2,7 m terisolasi. v pada ketinggian 10 m. Sudut insiden 0°.

Pada persamaan di atas, ݇ menyatakan konduktivitas termal material, ‫ ܮ‬adalah jarak antar dua sisi yang memiliki temperatur berbeda, dan οܶ menyatakan beda temperatur antar dua sisi yang ditinjau [5]. I V . Bahan Berubah F asa Pengertian dari bahan berubah fasa / phase change materials (PCM) adalah bahan yang dapat mengalami perubahan fasa padat-padat, cair-gas, dan padat-cair. PCM jenis perubahan padat-padat biasanya memiliki temperatur perubahan yang sangat tinggi yang melebihi batas untuk digunakan secara praktis. Sementara itu, PCM jenis cair-gas umumnya jarang digunakan mengingat besarnya volume yang dibutuhkan ketika terjadi perubahan fasa. PCM jenis padat-cair merupakan jenis yang paling banyak digunakan baik pada skala penelitian maupun aplikasi dalam dunia keseharian mengingat nilai kalor laten dan konduktivitas termalnya yang baik

174


sehingga mudah digunakan. Kendala dalam penggunaan PCM jenis padat-cair terletak pada fenomena subcooling, segregasi, dan korosi [6]. Penggunaan bahan berubah fasa untuk menyimpan energi kalor telah banyak diterapkan saat ini. PCM menyerap energi dalam jumlah besar sebagai kalor laten pada temperatur transisi fasa yang konstan (lihat Gambar 2), dengan demikian PCM dapat digunakan sebagai penyimpan panas secara pasif. PCM jenis padat-cair telah banyak dimanfaatkan sebagai pengatur temperatur pada berbagai macam aplikasi. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, PCM terbukti dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam usaha penurunan temperatur pada berbagai komponen elektronik dan bangunan. Bahan berubah fasa yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak kelapa. Sifat kalor laten beserta temperatur leleh dari kedua minyak dijabarkan pada Tabel 3.

G ambar 2 Penyimpanan kalor laten [6].

!

G ambar 3 Situasi pengujian panel surya di atas atap lantai 4 gedung P A U I T B.

!

G ambar 4 Model 2D panel surya.

!

T abel 3 Sifat termal minyak kelapa dan minyak kelapa sawit. Sifat

M inyak K elapa

M inyak K elapa Sawit (C P O)

Kalor laten (kJ/kg)

22,26

10,1

7HPSHUDWXU 6ROLGXV ஈ&

̱ͳͺ

̱͵ͳ

7HPSHUDWXU /LTXLGXV ஈ&

̱ʹʹ

̱Ͷͷ

V . Pemodelan dan Simulasi Model panel surya yang dibuat dalam penelitian ini adalah model 2D dengan dimensi disesuaikan dengan geometri panel surya yang di uji. Tinggi dan lebar panel yang terukur masingmasing adalah 0,7dan 0,5 meter. Ketebalan lapisan penyusun sel surya yang dimodelkan didapat dari literatur dimana tebal lapisan kaca adalah 3 mm dan tedlar 0,5 mm. Luas penampang rectangular tube penampung bahan berubah fasa adalah 27x38,1 mm2. Untuk menentukan nilai kondisi batas diperlukan data variabel kondisi lingkungan. Variabel yang diukur adalah temperatur lingkungan, kecepatan angin, dan iradiasi sinar matahari. Selain variabel lingkungan, data daya keluaran dari panel surya juga diperlukan dalam menentukan nilai kondisi batas. Pengukuran tersebut dilakukan dari pagi hingga sore hari dengan interval waktu pengukuran setiap 10 menit. Nilai variabel yang terukur akan diubah menjadi nilai kondisi batas yang terdiri dari temperatur radiasi, koefisien konveksi, dan free strea m temperatur melalui persamaan-persamaan yang didapat dari literatur. Jenis kondisi batas pada sisi-sisi panel surya dijabarkan pada Tabel 4. Setelah model dibuat, proses selanjutnya adalah melakukan simulasi komputasional menggunakan perangkat lunak FLUENT. Simulasi yang dilakukan merupakan simulasi dengan kondisi unsteady dengan ukuran time step sebesar 2 detik.

!

T abel 4 Daerah kondisi batas dan jenis kondisi batasnya. No. 1 2 3

4

Daerah K ondisi Batas Dinding depan panel surya Dinding atas dan bawah Dinding belakang panel, batas antar lapisan penyusun panel, batas antar PCM, dan bagian depan PCM Bagian belakang PCM

Jenis K ondisi Batas wall - radiasi dan konveksi wall - adiabatik wall - coupled

wall ± temperatur konstan

V I. H asil Pengukuran K ondisi L ingkungan dan Nilai K ondisi Batas Pengukuran data variabel kondisi lingkungan dilakukan pada tanggal 1 Desember 2012. Data hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai iradiasi yang tercatat cukup fluktuatif. Hal tersebut disebabkan kondisi langit saat pengujian berlangsung cukup berawan. Saat matahari tertutup awan, nilai iradiasi yang tercatat menunjukkan penurunan yang drastis, sebaliknya saat matahari tidak lagi tertutup awan iradiasi kembali meningkat tajam. Kurva daya yang dihasilkan panel surya terlihat mengikuti tren kurva iradiasi. Saat iradiasi meningkat, maka daya yang dihasilkan turut meningkat, sebaliknya jika iradiasi menurun maka daya yang dihasilkan juga menurun. Sementara itu, temperatur lingkungan yang terukur menunjukkan variasi nilai yang tidak terlalu berbeda. Temperatur lingkungan yang tercatat berkisar di angka 22-28oC dengan rata-rata temperatur lingkungan sebesar 25,34oC. Temperatur ekivalen sumber radiasi untuk dinding depan panel dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (18). Nilai ܽ௧௡௛ yang digunakan sebesar 0,3, sementara itu ߝ௧௡௛ sama dengan nilai emisivitas material beton yaitu sebesar 0,85. Temperatur permukaan tanah ( ܶ௧௡௛ ) yang digunakan adalah 30oC. Iradiasi yang mengenai permukaan dinding depan panel tidak seluruhnya diserap sebagai energi panas oleh panel, sebagian dari iradiasi tersebut diubah oleh panel menjadi energi listrik. Oleh sebab itu, nilai iradiasi yang digunakan dalam

175


900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 7:30

iradiasi ini dinyatakan melalui temperatur sumber radiasi sebesar 102oC (375 K). Temperatur tersebut dipilih karena menggambarkan kondisi iradiasi yang diterima panel pada saat kondisi puncak yaitu pada siang hari. Energi panas dari iradiasi masuk ke dalam lapisan panel surya hingga ke bagian bahan berubah fasa secara konduksi. Meningkatnya temperatur panel menyebabkan lapisan tipis bahan berubah fasa yang menempel pada permukaan panel mulai mencair. Perubahan temperatur pada dinding depan panel dapat dilihat pada Gambar 7. Pada Gambar 8, terlihat kontur perubahan fraksi padat-cair pada daerah bahan berubah fasa saat menit ke-20, 40, 70, 120, 150, dan 240. Perbedaan fraksi ditandai melalui perbedaan warna. Warna merah menandakan fraksi seluruhnya cair, sementara warna biru menandakan fraksi seluruhnya padat.

35 30 25 20 15 10

Daya (W) T emperatur (0 C) K ecepatan (m/s)

I radiasi (W/m2)

proses simuasi merupakan selisih dari iradiasi terukur dengan daya yang dihasilkan panel.

5 8:30

0 9:30 10:30 11:30 12:30 13:30 14:30 Waktu (W I B)

Iradiasi

Temperatur lingkungan

Kecepatan angin

Daya keluaran

G ambar 5 G rafik iradiasi, kecepatan angin, temperatur lingkungan, dan daya keluaran yang terukur.

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 7:30

30 25 20 15 10 5 8:30

9:30

0 10:30 11:30 12:30 13:30 14:30

G ambar 7 K urva temperatur rata-rata dinding depan panel surya.

!

K oefisien K onveksi (W/m2 K ) K ecepatan A ngin (m/s)

7HPSHUDWXU ŕŽˆ&

Pada Tabel 2 telah dijabarkan berbagai persamaan pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung nilai koefisien perpindahan panas konveksi paksa. Persamaan (13) dari Shao [3] dinilai paling baik untuk memodelkan kondisi perpindahan panas konveksi pada penelitian ini dikarenakan kemiripan antara kondisi pengujian yang dilakukan oleh Shao [3] dan yang dilakukan pada penelitian ini. Pengujian yang dilakukan Shao [3] dilakukan di lantai sembilan sebuah gedung. Kondisi tersebut menyerupai pengujian pada penelitian ini yang juga dilakukan di gedung bertingkat. Dengan melihat pertimbangan tersebut maka digunakan persamaan Shao [3] untuk mendapatkan nilai koefisien perpindahan panas konveksi. Data nilai kondisi batas hasil perhitungan menggunakan persamaan-persamaan di atas dijabarkan melalui grafik pada Gambar 6.

!

Waktu (W I B) Temperatur lingkungan

Temperatur sumber radiasi

Koefisien Konveksi

Kecepatan angin

G ambar 6 Nilai kondisi batas yang digunakan dalam simulasi.

V I I.

H asil Simulasi

! Proses perubahan fasa PCM Simulasi pemanasan panel dengan iradiasi yang konstan dilakukan untuk mengetahui perubahan situasi pada bahan berubah fasa. Pada simulasi ini, panel berisi bahan berubah fasa terkena iradiasi pada dinding depannya. Keberadaan

G ambar 8 K ontur fraksi padat-cair bahan berubah fasa.

Dari Gambar 8 terlihat bahwa awal proses pencairan terjadi dari titik yang berada pada bagian atas daerah sekitar permukaan belakang panel. Pencairan tersebut mulai terjadi saat temperatur bahan berubah fasa sudah melewati temperatur solidusnya yaitu 31oC. Seiring berjalannya waktu, panas yang masuk terus merambat ke sisi belakang bahan berubah fasa dan mengakibatkan proses pelelehan PCM terus melebar. Titik B pada kurva Gambar 7 merupakan titik ketika pelelehan bahan berubah fasa mulai terjadi. Dimulainya pelelehan ini disertai oleh kenaikan temperatur yang mulai terhambat. Jika dibandingkan, kenaikan temperatur sebelum

176


titik B lebih tajam dibanding setelah titik B. Dari titik A sampai B terjadi kenaikan temperatur sebesar 0,47 oC/menit, sementara dari titik B sampai C sebesar 0,05oC/menit. Temperatur dinding panel akan kembali naik ketika seluruh bagian pada lapisan PCM yang menempel pada dinding belakang panel sudah meleleh. Pada gambar kontur fraksi, hal tersebut diperlihatkan ketika seluruh garis dinding belakang berhimpit dengan daerah merah (lihat bagian D pada Gambar 8). Kenaikan temperatur ini akan berakhir ketika seluruh PCM pada rectangular tube sudah berubah menjadi cair. Hal tersebut terjadi pada menit ke-240 (bagian F pada Gambar 8). Setelah melewati titik F, kurva kenaikan temperatur kembali terlihat landai. Pada tahap ini, sistem panel surya sudah mencapai kondisi steady.

memiliki temperatur tertinggi. Temperatur yang tinggi menyebabkan massa jenis PCM tersebut menurun sehingga PCM dapat mengalir naik menuju dinding bagian atas. Sementara itu, aliran yang memiliki kecepatan cukup tinggi juga terjadi pada daerah dinding belakang PCM. Aliran ini mengalir mengarah pada sumbu negatif. Pada bagian tengah PCM, kecepatan aliran relatif rendah.

G ambar 10 Vektor aliran fluida P C M .

Temperatur pada sistem panel-PCM terdistribusi mengikuti kontur pencairan bahan berubah fasa. Pada saat pelelehan belum terjadi pada PCM, temperatur dinding panel terdistribusi secara merata. Perambatan kenaikan temperatur terjadi secara merata pada daerah PCM yang secara keseluruhan masih padat. Hal yang berbeda mulai terlihat ketika PCM mulai meleleh. Sepanjang proses pelelehan PCM, terjadi perbedaan temperatur yang mencolok pada daerah-daerah PCM. Temperatur terendah terjadi pada daerah PCM yang masih berbentuk padat. Perbedaan ini mengakibatkan temperatur dinding panel tidak lagi terdistribusi secara merata melainkan terjadi perbedaan yang mencolok antara temperatur ujung atas panel dan bawah panel. Kontur distribusi temperatur panel-PCM dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 10 memperlihatkan vektor aliran yang terjadi pada PCM. Kecepatan aliran fluida pada suatu titik dipengaruhi oleh temperatur pada titik tersebut. Semakin tinggi temperatur PCM maka sirkulasi aliran semakin deras. Pada Gambar 11 dapat dilihat kurva perbedaan kecepatan komponen vertikal dari aliran PCM sepanjang garis di bagian tengah sistem pada saat menit ke-240. Dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa kecepatan aliran tertinggi terjadi daerah sekitar dinding panel dengan alirah mengarah pada sumbu y positif atau melawan arah percepatan gravitasi. Hal ini disebabkan pada daerah belakang dinding panel, PCM

& K ecepatan komponen vertikal (10-4 m/s)

G ambar 9 K ontur distribusi temperatur panel surya dan P C M .

! Validasi simulasi dan prediksi temperatur panel Validasi model dan simulasi dilakukan dengan membandingkan temperatur dinding panel surya hasil pengukuran pada pengujian yang dilakukan dengan hasil dari simulasi. Model dan kondisi batas yang digunakan dalam simulasi ditentukan sedemikian rupa agar mendekati kondisi sebenarnya.

# $ % %

%'%$

%'%#

%'%&

%'%(

"$ "#

K edalaman (m)

G ambar 11 K urva kecepatan komponen vertikal aliran P C M pada bagian tengah sistem.

!

Nilai kondisi batas yang digunakan dalam proses validasi merupakan hasil pengukuran yang dilakukan pada tanggal 1 Desember 2012 dengan nilainya dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Gambar 12 menunjukkan temperatur rata-rata dinding depan panel hasil pengujian dan simulasi. Pengujian dilakukan dengan meletakkan panel surya yang tidak menggunakan

177


bahan berubah fasa di atas permukaan atap gedung secara horizontal. Data temperatur dinding panel tercatat mulai pukul 7.30 hingga 10.40. Sementara itu, simulasi dilakukan untuk memprediksi temperatur dinding dari dua macam panel yaitu panel yang tidak menggunakan bahan berubah fasa dan panel yang menggunakan bahan berubah fasa. Bahan berubah fasa yang digunakan adalah minyak kelapa sawit (CPO). Dari grafik Gambar 12 dapat dilihat bahwa hasil simulasi untuk panel tanpa PCM menunjukkan temperatur yang mendekati hasil pengujian. Untuk rentang waktu pukul 7.30 sampai 10.40 temperatur rata-rata dinding panel berdasarkan pengujian didapat sebesar 38,22oC dan hasil simulasi didapat sebesar 36,88oC. Selisih temperatur rata-rata dari kedua hasil didapat sebesar 1,34oC, dengan selisih temperatur terbesar terjadi pada pukul 10.30 yaitu 6,7oC. Dari hasil simulasi

tersebut, pemodelan yang telah dibuat dapat disimpulkan sudah cukup baik sehingga dapat digunakan untuk simulasi-simulasi selanjutnya. Selain untuk validasi, simulasi juga dilakukan untuk membandingkan prediksi temperatur antara panel yang tidak menggunakan CPO dan yang menggunakan CPO. Dengan menggunakan data lingkungan pada pukul 7.30 hingga 14.10, dapat diprediksi temperatur dinding kedua panel. Dari hasil simulasi, secara umum panel yang menggunakan CPO memiliki temperatur dinding yang lebih rendah dibanding panel normal. Hingga pukul 14.10, temperatur rata-rata panel yang menggunakan CPO didapat sebesar 34,96 oC. Temperatur tersebut 3,6oC lebih rendah dibanding temperatur rata-rata panel tanpa CPO yang tercatat sebesar 38,7oC.

''

+"" *"" )""

&'

("" '""

&"

&""

%'

%""

I radiasi (W/m2)

7HPSHUDWXUH ŕŽˆ&

'"

$""

%"

#""

$' ),%"

*,%"

+,%"

#",%"

##,%"

#$,%"

#%,%"

" #&,%"

Waktu (W I B) Pengujian Tanpa CPO

Simulasi tanpa CPO

Simulasi dengan CPO

G ambar 12 T emperatur rata-rata dinding depan panel surya hasil pengukuran dan simulasi.

Sepanjang durasi waktu simulasi, panel dengan CPO hampir selalu menunjukkan temperatur lebih rendah dibanding dengan panel normal. Temperatur panel dengan CPO yang lebih tinggi terjadi antara lain pada pukul 10.30. Pada pukul 10.30, terjadi penurunan iradiasi matahari secara signifikan akibat awan yang melintas. Iradiasi tercatat menurun dari 673 W/m2 pada pukul 10.10, menjadi 302 W/m2. Penurunan iradiasi ini diikuti oleh naiknya kecepatan angin yang mengenai permukaan panel. Hal-hal tersebut mengakibatkan terjadi proses pendinginan panel dengan jumlah kalor yang signifikan keluar dari panel menuju lingkungan. Pada kondisi lingkungan yang sama, panel dengan PCM akan mengalami pendinginan dengan laju yang lebih lambat karena memiliki thermal inertia lebih tinggi dibanding dengan panel normal. Thermal inertia merupakan kemampuan suatu sistem untuk mempertahankan temperatur yang dimilikinya. Semakin tinggi thermal inertia pada panel maka semakin sukar bagi panel untuk mengalami perubahan temperatur. ! Perbedaan minyak kelapa dan minyak kelapa sawit sebagai PCM Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara minyak kelapa sawit dan minyak kelapa terhadap temperatur dinding panel, dilakukan sebuah simulasi pemanasan panel dengan iradiasi yang konstan. Jenis pemanasan yang digunakan berupa perpindahan panas radiasi dengan besar temperatur sumber radiasi 102oC (375 K). Initial value temperatur, atau dalam hal ini berarti temperatur awal panel saat simulasi dimulai, dipilih sebesar 27oC. Temperatur tersebut ditentukan berdasarkan

Iradiasi

!

temperatur lingkungan lokasi pengujian (kampus ITB) yang berkisar antara 25-30oC. Gambar 13 menunjukkan kurva kenaikan temperatur dinding depan hasil simulasi dari panel normal, panel dengan minyak kelapa, dan panel dengan minyak kelapa sawit. Dari kurva pada Gambar 13 terlihat bahwa temperatur panel normal mengalami peningkatan yang tajam sejak awal. Kondisi steady panel normal tercapai pada saat time step 1200. Setelah mencapai kondisi steady, temperatur dinding panel normal cenderung konstan pada temperatur sekitar 82 oC dan tidak lagi menunjukkan kenaikan yang signifikan. Dari kurva Gambar 13 terlihat bahwa temperatur panel normal mengalami peningkatan yang tajam sejak awal. Kondisi steady panel normal tercapai pada saat time step 1200. Setelah mencapai kondisi steady, temperatur dinding panel normal cenderung konstan pada temperatur sekitar 82 oC dan tidak lagi menunjukkan kenaikan yang signifikan. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh panel yang menggunakan bahan berubah fasa. Kurva temperatur panel dengan PCM menunjukkan kenaikan temperatur dengan laju yang lebih lambat dibanding dengan panel normal. Pada awal proses pemanasan, panel dengan minyak kelapa sawit mengalami kenaikan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan panel minyak kelapa. Sementara itu, pada temperatur 27oC, minyak kelapa berada dalam kondisi sudah mencair sehingga pada kurva temperatur panel minyak kelapa tidak menunjukkan adanya proses penghambatan kenaikan temperatur. Dengan laju peningkatan temperatur yang relatif konstan, temperatur panel minyak kelapa akan melebihi panel minyak kelapa sawit seiring

178


berjalannya waktu dengan selisih temperatur hingga 1,6 oC. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa minyak kelapa sawit lebih tepat digunakan sebagai bahan berubah fasa untuk panel surya yang dioperasikan pada daerah dengan kondisi lingkungan seperti Kota Bandung.

7HPSHUDWXU ŕŽˆ&

75

7HPSHUDWXU ŕŽˆ&

85 75

65 55 45 35

65

25

55

0

45

2000

4000

6000 Time step

35 25 0

1000

2000

3000

4000

40 mm

5000

T ime Step

90 mm

!

T abel 5 T abel waktu pencairan P C M dengan perbedaan ketebalan P C M .

Panel Menggunakan Minyak Kelapa Sawit Panel Tanpa PCM

T ebal P C M 40 mm 60 mm 80 mm 90 mm

!

W aktu Pencairan (menit) 60 100 150 160

! Pengaruh orientasi sudut panel Untuk mengetahui pengaruh orientasi sudut panel dengan PCM pada temperatur dindingnya, dilakukan simulasi pada radiasi konstan untuk panel dengan posisi dudut terhadap sumbu horizontal sebesar 0o, 45o, dan 90o. Hasil simulasi disajikan pada Gambar 15 dalam bentuk kurva perubahan temperatur terhadap waktu. Dari Gambar 15 dapat diketahui bahwa perbedaan sudut panel berpengaruh terhadap tinggi temperatur penghambatan. Pada kurva di atas, ketiga panel akan mengalami kenaikan temperatur dengan laju yang sama hingga mencapai time step 600. Seiring berjalannya waktu, masing masing panel memiliki tingkat kenaikan temperatur yang berbeda-beda. Pada panel bersudut 90o (vertikal), temperatur lebih lambat naik jika dibandingkan dengan yang lain. Sementara itu, panel bersudut 0o mengalami kenaikan temperatur yang paling cepat dibanding panel yang lain.

7HPSHUDWXU ŕŽˆ&

! Pengaruh tebal bahan berubah fasa Simulasi yang selanjutnya dilakukan adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan tebal bahan berubah fasa yang dilekatkan ke dinding belakang panel. Simulasi dilakukan dengan membuat beberapa model sistem panel surya-PCM dengan ketebalan masing-masing PCM adalah 40, 60, 80, dan 90 mm. Minyak kelapa sawit digunakan sebagai PCM. Kondisi batas yang digunakan dalam simulasi ini adalah konstan dengan temperatur sumber radiasi sebesar 102 oC (375 K). Gambar 14 menunjukkan temperatur dari keempat dinding depan panel berdasarkan hasil simulasi. Pada kurva temperatur tersebut, terlihat bahwa keempat panel dengan ketebalan PCM yang berbeda memiliki temperatur penghambatan yang sama. Saat pemanasan mulai terjadi dan PCM belum berubah fasa, temperatur panel akan naik dengan cepat. Setelah mulai terjadi proses pencairan PCM, kenaikan temperatur dinding keempat panel akan terhenti pada Âą58oC. Selama seluruh PCM yang berada di dalam rectangular tube belum mencair, temperatur panel konstan pada temperatur tersebut. Kenaikan temperatur kembali terjadi setelah seluruh PCM mencair. Perbedaan tebal PCM menandakan perbedaan volume PCM yang digunakan. Semakin tebal PCM, maka semakin besar volume PCM yang digunakan. Volume PCM yang semakin besar mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk melelehkan seluruh PCM akan semakin lama. Kurva pada Gambar 14 menjelaskan hal tersebut. Pada Tabel 5 dijabarkan waktu yang dibutuhkan pada masing-masing sistem panel surya-PCM untuk mencairkan seluruh PCM. Tabel tersebut menunjukkan bahwa antara PCM dengan tebal 80 mm dan 90 mm, perbedaan durasi waktu pencairan antara kedua PCM cukup dekat yaitu 10 menit. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tebal optimum PCM untuk digunakan dalam sistem panel surya pada penelitian ini adalah sebesar 80 mm. Tebal PCM yang melebihi 80 mm akan memiliki efek pada panel surya yang tidak berbeda jauh.

80 mm

10000

G ambar 14 K urva temperatur dinding depan panel surya dengan perbedaan tebal bahan berubah fasa.

Panel Menggunakan Minyak Kelapa

G ambar 13 K urva temperatur dinding depan panel dengan dua jenis bahan berubah fasa.

60 mm

8000

105 95 85 75 65 55 45 35 25 0

500

Sudut 90

1000

1500 Time Step Sudut 45

2000

2500

3000

Sudut 0

G ambar 15 K urva temperatur dinding depan pada panel yang memiliki sudut terhadap sumbu horizontal sebesar 0o, 45o, dan 90o.

Pada Gambar 16, terlihat bahwa pada durasi waktu yang sama, bahan berubah fasa pada panel yang memiliki sudut 90 o

179

!


lebih cepat meleleh dibanding pada panel yang lain. Hal ini disebabkan karena pada panel dengan posisi vertikal, sirkulasi aliran fluida bahan berubah fasa lebih mudah terjadi. Aliran fuida muncul ketika terdapat perbedaan massa jenis material yang disebabkan oleh perbedaan temperatur. Semakin tinggi temperatur fluida maka semakin rendah massa jenisnya. PCM yang memiliki temperatur lebih tinggi akan mengalir menuju arah yang berlawanan dengan arah percepatan gravitasi. Pada sistem panel-PCM, temperatur tertinggi berada disekitar dinding panel surya sehingga kecepatan tertinggi fluida terjadi pada daerah tersebut.

1. 2. 3.

4.

5. 6.

7.

! G ambar 16 K ontur fraksi padat-cair dan kecepatan vektor pada panel bersudut 0o, 45o, dan 90o.

D A F T A R PUST A K A REN21, Renewables 2012 Global Status Report , REN21 Secretariat, Paris, 2012. E. Radziemska, Performance Analysis of a PhotovoltaicThermal Integrated System, International Journal of Photoenergy, 2009. S. Armstrong, dan W.G. Hurley, A Thermal Model for Photovoltaic Panels Under Varying Atmospheric Conditions, Applied Thermal Engineering, 30 : 14881495, 2010. W. T. Matthew, W. R. Santee, L. G. Berglund, Solar Load Inputs for U S ARIEM Thermal Strain Models and The Solar Radiation-Sensitive Components of The WBGT Index, USAREIM Technical Report, U.S. Army Research Institute of Environmental Medicine, 2001. F. P. Incropera, D. P. Dewitt, T. L. Bergman, A.S. Lavine, Introduction to Heat Transfer , Edisi 5, John Wiley & Sons, New York, 2005. D. Wheelan, The Use of Phase Change Materials in Building Temperature Regulation Applied PostConstruction, Thesis, Trinity College, Dublin, Ireland, 2011. M. Ravikumar, P.S.S. Srinivasan, Phase Change Material as A Thermal Energy Storage Material for Cooling of Building, Journal of Theroretical and Applied Information Technology, 503-511, 2008.

T abel 6 K ecepatan aliran P C M pada panel bersudut 0o, 45o, dan 90o.

Perbedaan kecepatan fuida yang terdapat pada ketiga panel surya dapat dilihat pada Tabel 6. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pada panel surya dengan sudut 0o, PCM memiliki kecepatan alir tertinggi jika dibandingkan panel dengan sudut lain. Pada panel tersebut, PCM mengalir dengan rentang kecepatan 3,15 x 10-4 sampai 0,2 x 10-5 m/s. Kecepatan alir terendah terjadi pada panel bersudut 90o dengan rentang kecepatan 0,94 x 10-4 sampai 0,13 x 10-9 m/s. V I I I. K esimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. x Penggunaan bahan berubah fasa dapat menurunkan temperatur rata-rata dinding panel surya hingga 3,6째C. x Untuk penggunaan di wilayah Bandung yang memiliki temperatur lingkungan berkisar antara 27-30째C, minyak kelapa sawit lebih efektif digunakan sebagai bahan berubah fasa dibanding dengan minyak kelapa dalam menghambat kenaikan temperatur dinding panel surya. x Tebal bahan berubah fasa berpengaruh terhadap lama penghambatan kenaikan temperatur dinding panel surya. Ketebalan optimum bahan berubah fasa didapat sebesar 80 mm. Sementara orientasi sudut panel berpengaruh terhadap laju pencairan bahan berubah fasa. Bahan berubah fasa pada panel dengan posisi vertikal akan lebih cepat mencair dibanding panel dengan posisi horizontal.

180


Implementasi Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) sebagai Akselerasi Menuju Masa Depan Ramah Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Implementation FishCo Hitech (Fish Ecology High Technology) as Acceleration Towards the Future Based Sustainable Coastal Community Development

1,2

Pembimbing : Ir. Dewa Gede Raka W., MSc Muhammad Alfid Kurnianto, Jefri Anjaini dan Meilania Berlianto

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Universitas Brawijaya, Malang. aEmail: alfidkurnianto@ub.ac.id,

Abstrak- Indonesia merupakan negara kepualauan terbesar didunia dengan potensi kekayaan perikanan mencangkup 37 % dari jumlah spesies ikan di dunia dan termasuk salah satunya adalah spesies Udang Barong ( Panulirus spp). Spesies Udang Barong (Panulirus spp) adalah salah satu komoditas utama perikanan karang dengan jumlah permintaan yang terus meningkat. Namun, pe ningkatan per mintaan ini tidak sejalan dengan upaya pembudidayaannya, sampai sekarang belum ada metode budidaya dari udang barong ini. untuk itu perlu sebuah terobosan baru yang berupaya menyelamatkan dan melindungi potensi sumberdaya yang ber kelanjutan dengan penerapan F ish Sanctuary GLPDQD NDPL PHPSHUNHQDONDQ NRQVHS ³ Ecososmi (E cology, Social and E conomics)´ .RQVHS pembangunan ekonomi masyarakat dari segi sosial dan kepedulian lingkungan, salah satu metode budidaya Panulirus spp dan teknologi habitat rumah ikan dengan penerapan inovasi F ishco H itech . T ujuan dari implementasi teknologi ini adalah pengabdian masyarakat untuk menciptakan kesadaran masyarakat pantai sebagai alternatif pelestarian keanekaragaman sumberdaya hayati dan pemanfaatan panorama alam berbasis pemberdayaan masyarakat. Selain itu dapat dikembangkan sebagai wilayah ekowisata bahari dan F ish Sanctuary yang berdampak pada sosial masyarakat lokal sehingga teknologi F ishco H itech dapat berlanjut dan berdampak pada keuntungan finansial. Sehingga daerah yang menerapkan konsep dan teknologi ini dapat menjadi trendsetter bagi wilayah pesisir lainnya di Indonesia. Kata Kunci ²F ish Sanctuary, F ishco H itech, E cososmi, Panulirus Spp Abstract- Indonesia is the largest archipelagic country in the world with a wealth of potential fishery covers 37 % of the number of fish species in the world and one of them is the Barong shrimp species ( Panulirus spp .) Barong shrimp species ( Panulirus spp) is one of the main commodities reef fisheries with the increasing number of requests. However, this increased demand is not in line with th e efforts of cultivation, until now there has been no method of cultivation of shrimp this barong. T he need for a new breakthrough that trying to save and protect the sustainable resource potential with the application of F ish Sanctuary, where we introduced the concept of " E cososmi (E cology, Social and E conomics) " . T he concept of community economic development in terms of social and environmenta l concerns, one of Panulirus spp cultivation methods and technology with the implementation of fish habitat house F ish C o H itech innovation. T he purpose of the implementation of this technology is to create awareness of community service as an alternativ e to coastal communities biodiversity and bio-resources utilization of natural scenery based on community empowerment. Mor eover, it can be developed as an area of marine ecotourism and F ish Sanctuary that impact on the local communities so that social technologies can continue F ish Co H itech and impact on financial gain. So that the area to apply the concepts and technology can be a trendsetter for other coastal areas in Indonesia. Keywords²F ish Sanctuary, F ishco H itech, E cososmi, Panulirus Spp

I. 1.1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia dengan tingkat keragaman hayati mencapai 37% dari spesies ikan di dunia. Salah satu tempat dengan sumber daya hayati inggi di miliki oleh pantai lenggoksono, malang selatan. Daerah ini memiliki potensi sumber daya hayati perikanan yang begitu besar, yaitu dari genus panulirus spp dan potunus pelagicus. Dari tahun ke tahun, permintaan akan species tersebut sebagai konsumsi semakin meningkat, tetapi tidak di

imbangi oleh upaya perlindungan dan pembudidayaannya. Selama ini nelayan mengambil species ini menggunakan peledak, padahal peledak tersebut akan menghancurkan habitat panulirus spp tersebut. Selama ini masyarakat desa lebih fokus terhadap penangkapan panulirus spp yang memiliki tingkat ekonomis yang tinggi, tetapi hal itu membuat masyarakat tidak peduli terhadap habitat species tersebut karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu di perlukan upaya sustainable biodiversity untuk tetap menjaga kelestarian potensi udang barong atau panulirus sp dengan upaya perlindungan udang barong serta pelestarian habitatnya. Maka

181


perlu upaya Fish Sanctuary di daerah ini, di mana kami memperkeQDONDQ NRQVHS ³ (NREDU (NRZLVDWD %DKDUL ´ Konsep pembangunan ekonomi masyarakat dari segi sosial dan peduli lingkungan,salah satunya metode budidaya panulirus spp dengan teknologi habitat rumah ikan, penerapan inovasi Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) masa depan yang ramah lingkungan Dari paparan diatas, penulis memiliki gagasan dalam mengembangkan wilayah Pujiharjo untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan wilayah pesisir tersebut berupa pengembangan kawasan wisata bahari berbasis masyarakat yang tetap menjaga kelestarian ekosistem alami yang berkelanjutan. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan ikut menjaga kelestarian alam. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik mengangkat paper dengan juGXO ³,PSOHPHQWDVL )LVKFR +LWHFK (Fish Ecology High Technology) sebagai Akselerasi Menuju Masa Depan Ramah Lingkungan berbasis Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi Kasus : Pesisir Pantai Lenggoksono0DODQJ ´ 8SD\D LQL NLUDQ\D PDPSX PHPEDQWX SHPHULQWDK dalam upaya melindungi ekosistem, khususnya ekosistem terumbu karang, serta menambah pendapatan masyarakat pesisir yang tinggal di Pantai Lenggoksono. 1.2 Tujuan dan Manfaat 1. Memberikan pengetahuan mengenai alternatif kebijakan perikanan tangkap berbasis ekosistem dengan penekanan pada peranan KKL (kawasan konservasi laut) sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang nantinya disampaikan kepada masyarakat pengunjung. 2. 0HQJDQDOLVD SHQJDUXK GDUL PHWRGH ³)LVK (FRORJ\ +LJK 7HFKQRORJ\´ WHUKDGap perikanan sustainable & rehabilitasi terumbu karang. 3. 0HQMHODVNDQ SHQHUDSDQ PHWRGH ³)LVK (FRORJ\ +LJK 7HFKQRORJ\´ LQL VHKLQJJD GDSDW GLMDODQNDQ ROHK masyarakat pesisir. 4. 0HPDSDUNDQ NHXQJJXODQ PHWRGH ³)LVK (FRORJ\ +LJK 7HFKQRORJ\´ LQL VHEDJDL NRQVHS Fish Sanctuary masa depan yang ramah lingkungan 5. Peningkatan pendapatan masyarakat nelayan di pantai Lenggoksono dari panulirus spp. II. RUMUSAN GAGASAN A. Potensi udang barong sebagai obyek budidaya teknologi Fishco Hitech Udang Karang (Panulirus spp.), yang merupakan salah satu dari marga yang termasuk famili Panuliridae (Subani et al., 1982), biasanya terdapat pada kedalaman 10-15 m dan hidup di tempat-tempat yang berbatu karang, di daerah pasir yang berbatu karang halus atau di tempat-tempat yang berbau karang di sekitar pulau-pulau. Udang Karang adalah merupakan salah satu komoditi perikanan laut yang mempunyai peranan penting dalam menunjang ekspor perikanan laut di Indonesia.

Tabel 2. Nilai Jual Udang Barong Jenis Udang H arga/kg Udang hitam

50000

Udang Hijau

130000

Udang Mutiara

140000

Udang Batik

75000

Udang Bambu

50000

Sumber : Alhikmat, 1999 Potensi Pantai Lenggoksono sebagai daerah implementasi F ishco Hitech Pantai Lenggoksono cukup potensial untuk pengembangan usaha budidaya udang karang. Hal ini terlihat dari banyaknya nelayan yang mengandalkan usahanya untuk menangkap biota karang, salah satu diantaranya adalah udang bbarong (lobster). Udang barong memiliki gizi dan nilai ekonomi yang sangat tinggi sebagai komoditi ekspor maupun di pasar domestik. Udang barong memiliki prospek yang baik sehingga dijaga dan dipelihara mutu dan kesegarannya sampai siap untuk dikonsumsi (Alhikmat, 1999).Struktur hunian Ecology of )LVK¶V +DELWDW terdiri dari atap, dinding, dan pondasi. Berikut adalah bentuk fisik dari (FRORJ\ RI )LVK¶V +DELWDW yang akan dijadikan prototype. B.

G ambar 1. Bentuk F isik F ishco H itech

C. Solusi yang Pernah Ditawarkan Permintaan akan produksi perikanan karang sangat besar, tetapi khusus genus panulirus spp sampai sekarang belum ada metode budidayanya, padahal permintaan panulirus spp biasanya di gunakan sebagai menu seafood di restaurant. Sehingga implementasi Fishco Hitech dengan konsep³ Ecososmi (Ecology, Social, Economics) ini adalah konsep teknologi yang baru dan tepat guna. Pada saat ini pemerintah memberlakukan sistem KKLD sebagai upaya pencegahan over fishing terhadap sumberdaya perikanan tanpa terkecuali udang barong. Kawasan konservasi perairan atau kawasan konservasi laut adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah didasarkan pada prinsip-prinsip pengaturan penggunaan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan, pengelolaan berbasis masyarakat, pertimbangan kearifan lokal, dan pertimbangan bukti ilmiah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan.

182


D.

Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) sebagai Akselerasi Menuju Masa Depan Ramah Lingkungan

Lokasi implementasi Fishco Hitech Pada proses implementasi fishco hitech didasarkan prinsip: menjaga habitat ikan di perairan laut. Sehingga dalam pemilihan lahan untuk desain teknologi ini tidak dilakukan dengan cara merusak ekosistem dasar laut yang terdapat di sana, tetapi hanya menempati ruang kosong dalam ekosistem tersebut. 2. Struktur Fishco Hitech a. Atap Atap pada bagian atas fishco hitech dibuat merata dengan dilapisi biobriket, yang pada bagian tengahnya diberi lubang dengan bentuk lingkaran dengan diameter sebesar 50cm.

telur serta anak-anak ikan,cumi,rajungan,udang sebagainya (Fungsi Spawning & Nursery Ground).

dan

1.

1m

G ambar 4. . Biobriket pada F ishco H itech

Tempurung kelapa yang sudah dipotong dan disusun sedemikian rupa diletakkan pada perairan yang kondisi terumbu karangnya baik,agar larva planula karang cepat menempel pada media tempurung kelapa.Media peletakan pada kedalaman lima hingga sepuluh meter. Setelah planula karang telah menempel,maka fishco hitech telah siap dipindahkan ke daerah atau kawasan yang keanekaragaman hayati (biodiversiti)-nya relatif kurang,dalam hal ini terumbu karang dan asosiasinya.

G ambar 2. . Bentuk fisik F ishco H itech (tampak atas)

b. Dinding Dinding pada fishco hitech terbagi menjadi dua, yaitu sisi kanan-kiri dan depan-belakang.Pada bagian kanan dan kiri dibuat baling-baling yang dapat memutar bila sewaktu-waktu teraliri arus. Di samping baling-baling dibiarkan terbuka agar aliran lebih mudah untuk masuk dan memutar baling yang ada di sisi depannya.

G ambar 3. . Baling-baling F ishco H itech

Pada bagian depan dan belakang dibuat seperti pintu masuk dan pintu keluar yang bagian tengahnya diberi lubang dengan besar diameter 50 cm. c. Pondasi Pondasi fishco hitech dibuat dari bahan bekas puing-puing bangunan material beton yang sudah tidak terpakai.Beton selanjutnya dapat dilapisi aluminium atau cat yang dapat menghindari korosi. Beton tersebut di desain berbentuk rumah dengan model segitiga berlapis dan elips dimana dinding bagian luar dilapisi biobriket yang terbuat dari limbah tandan kelapa sawit tidak dimanfaatkan.Biobriket ditempel di setiap dinding bagian luar sampai merata yang akan berfungsi sebagai tempat menempelnya substrat terumbu karang,menciptakan areal pemijahan dan perlindungan bagi

G ambar 5. . Batu Penahan F ishco H itech

Selain itu, untuk penahan supaya prototype fishco hitech menggenang di laut, pada bagian bawahnya diberi batu kali yang besar. Selanjutnya prototype ini diikat dengan tali tambang pada tiap sisi yang akan dihubungkan dengan batu sebagai beban. E. Langkah-Langkah Strategis Implementasi Fishco Hitech Program perencanaan pengembangan Kawasan Perlindungan Laut (Fish Sanctuary) berbasis masyarakat di Pujiharjo Kecamatan Tirtoyudo Kabupaten Malang, dengan menggunakan konsep pembangunan ekonomi masyarakat dari segi sosial dan peduli lingkungan,salah satunya metode budidaya panulirus spp dengan teknologi habitat rumah ikan, penerapan inovasi Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) masa depan yang ramah lingkungan yang juga terdiri dari tahap persiapan, evaluasi tengah kegiatan, evaluasi akhir. Adapun konsep pemikiran Metode Pelaksanaan Program Sebagai berikut :

183


G ambar 6. Teknik Konservasi Pemberdayaan Masyarakat Lenggoksosno

G ambar 7. Skema Pemikiran/Kerangka Berfikir 1. Persiapan pelaksanaan Tahap persiapan pelaksanaan dilakukan dengan perijinan lokasi, pemetaan potensi, perencanaan progam. a. Perijinan lokasi, dilakukan dengan mendatangi langsung lokasi pembinaan yang bertempat di Pantai Lenggoksono dan menghubungi pihak Perhutani sebagai pengelola Pantai Lenggoksono. b. Penentuan sektor wisata yang akan dikembangkan dengan berdiskusi bersama perwakilan masyarakat Lenggoksono dan DKP sebagai pihak pengelola. c. Perencanaan progam pengelolaan kawasan pesisir. 2. Sosialisasi a. Penyuluhan tentang pentingnya menjaga kelestarian keanekaragaman terumbu karang. b. Pengenalan tentang kebijakan yang mengatur masalah fish sanctuary. c. Pengenalan tentang pentingnya peran masyarakat Lenggoksono dalam menjaga kelestarian keanekaragaman terumbu karang dan potensi udang barong bagi generasi masa depan / anak cucu. d. 3HQJHQDODQ WHQWDQJ SHQHUDSDQ PHWRGH ³)LVK (FRORJ\ +LJK 7HFKQRORJ\´ VHUWD NHXQJJXODQQ\D sehingga dapat dijalankan oleh masyarakat pesisir. III. KESIMPULAN a. Inti Gagasan Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) Hal pokok dari dirancangnya Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) ini adalah sebagai bentuk inovasi teknologi habitat rumah ikan untuk masa depan ramah lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat pesisir. Dengan potensi

udang barong sebagai obyek budidaya fishco hitech yakni komoditi ekspor penting perikanan Indonesia. Dalam konsep desain untuk Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology), maka struktur teknologi dibagi menjadi 3 bagian penting, yaitu bagian atap dengan memanfaatkan biobriket, dinding terdapat baling-baling serta pintu masuk dan pintu keluar untuk ikan atau pun udang barong, pondasi fishco hitech dibuat dari bahan bekas puing-puing bangunan meterial beton yang sudah tidak terpakai lagi. Diharapkan dengan diimplementasikan Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) ini, masyarakat mulai menyadari bahwa betapa pentingnya pelestarian keanekaragaman sumberdaya perikanan, bukan malah mengeksplorasi tanpa memperhatikan keberlanjutannya. Selain itu membuat wilayah pesisir Pantai Lenggoksono sebagai wilayah ekowisata bahari dan Fish Sanctuary yang berdampak pada sosial masyarakat lokal sehingga pengaplikasian konsep Fishco Hitech dapat berlanjut dan berdampak pada keuntungan finansial. Sehingga daerah ini dapat menjadi trendsetter bagi wilayah pesisir lainnya di Indonesia. b. Teknik Implementasi Gagasan Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) Agar gagasan Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) terimplementasikan, maka diperlukan kerja sama antara ketiga komponen pihak pendukung terselenggaranya Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology). Sebelum Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) ini bisa terealisasikan, maka seorang peneliti, yang dalam hal ini adalah dari kalangan mahasiswa yang masih menempuh studi di perguruan tinggi harus senantiasa mengembangkan desain fishco hitech agar menjadi teknologi yang sempurna dan tepat guna. Setelah diimplementasikannya fishco hitech di kawasan pesisir maka akan diawasi oleh pihak masyarakat setempat. Peran pemerintah dalam kegiatan ini yakni mensosialisasikan konsep fishco hitech kepada masyarakat umum serta memberikan perlindungan berupa peraturan agar implementasi fishco hitech dapat berjalan lancar. c. Prediksi Keberhasilan Gagasan Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) Dengan direalisasikannya Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) ini di kawasan pesisir Pantai Lenggoksono, maka akan didapatkan banyak manfaat, yang pertama adalah bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai dan mengalami kesulitan dalam bisang perekonomian dikarenakan semakin menurunya kuantitas penangkapan hasil perikanan pantai, maka dengan adanya teknologi habitat rumah ikan ini dapat mengembalikan jumlah penangkapan nelayan khususnya udang barong. Sedangkan yang kedua, Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) dapat dijadikan sebagai obyek penambah daya tarik bagi kawan pantai yang memiliki keindahan laut dan masih perawan sehingga dapat dijadikan obyek wisata bahari. Konsep Fishco Hitech (Fish Ecology High Technology) yang unik dan tidak ditemukan di daerah manapun ini dapat

184


menjadi nilai tambah bagi obyek wisata tersebut sehingga dapat dijadikan mata pencaharian tambahan bagi masyarakat. Selain itu dengan adanya implementasi teknologi tepat guna ini dan membantu pemerintah dalam mengembangkan wilayah pesisir yang kurang mendapat perhatian, serta membuat wilayah konservasi untuk pengentasan desa tertinggal dan meningkatkan pendapatan daerah. DAFTAR PUSTAKA Adrianto. 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. IPB Press [2] Hendro Sangkoyo et al. 2011. Pengembangan Pusat Keunggulan Mariti m-Selat Malaka Menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan. Penerbit Dewan Riset Nasional. Jakarta [3] Alhikmat, Asep S a msul. 1999. Studi usaha Penangkapan udang Barong (Panulirus spp) di Muara Binuangeun Keca matan Malingping kabupaten Lebak. Bogor : IPB. [4] Subani, W., B. S andhotomo dan K.Suwirya, 1982. Penelitian tentang pertumbuhan dan beberapa para meter biologi udang pantung (Panulirus homarus) di perairan pantai selatan Bali. Laporan Penelitian Perikanan Laut No.24 : 57-65.

[1]

185


Komputasi Terapan Berbasis Jaringan Saraf Tiruan untuk Mendeteksi Suara Anak Autis Applied Computing Based Artificial Neural Network for Voice Detection Autistic Children 1,2

Royan Dawud Aldian,a, Endah Purwanti,b dan Soegianto Soelistiono3,c

Teknobiomedik, Universitas Airlangga, Surabaya. aEmail: royandawud-09@fst.unair.ac.id, b Email: endah-p-1@fst.unair.ac.id 3 Teknobiomedik, Universitas Airlangga, Surabaya. cEmail: soegianto@fst.unair.ac.id

Abstrak - Dalam penelitian ini telah dikembangkan pemer iksaan secara otomatis untuk mengklasifikasikan suara anak nor mal atau autis mengguna kan te knologi komputasi moder n yaitu komputasi berbasis jaringan saraf tiruan. K eunggulan te knologi komputasi adalah kemampuannya dalam mengolah dan menyimpan data. Da lam penelitian ini, fitur suara digital diperoleh dari koefisien linier predictive coding metode autokorelasi dan telah ditransfor masikan dalam domain fre kuensi mengguna kan fast fourier transform , yang kemudian diguna kan sebagai input Jaringan Saraf T ir uan metode backpropagation sehingga dapat dibedakan suara anak nor mal dan autis secara otomatis. H asil pengujian jaringan backpropagation menunj uk kan bahwa keber hasilan kemampuan klasifikasi untuk data uj i suara anak nor mal adalah sebesar 100 % dan untuk data uj i dengan suara anak autis j uga sebesar 100 % . T ingkat keber hasila n sistem klasifikasi mengguna kan metode backpropagation untuk keselur uhan data uj i adalah sebesar 100 % . Kata Kunci ² A utisme, Jaringan Saraf T ir uan, Backpropagation, Linier Predictive Coding, F ast F ourier Transform.

Abstract- In this research we have been developed an automatic investigation to classify nor mal child ren voice or autistic by using moder n computation technology that is computation based on artificial neural networ k. T he super iority of this computation technology is its capability on processing and saving data. In this research, digital voice features are gotten from the coefficient of linier predictive coding with autocor relation method and have been transfor med in frequency domain using fast four ier transfor m, which used as input of artificial neural networ k in backpropagation method so that will ma ke the diffe rence between nor mal children and autistic automatically. T he result of backpropagation method shows that successful classification capability for nor mal children voice experiment data is 100% whereas, for autistic children voice exper iment data is 100% . T he success rate using bac kpropagation classification system for the entire test data is 100% . Keywords² A utism, A rtificial Neural Networ k, Bac kpropagation, L inier Predictive Coding, F ast Four ier T ransfor m.

I. PENDAHULUAN Tanda-tanda autisme muncul pada tahun pertama dan sebelum anak berusia 3 tahun. Menurut data dari UNESCO pada tahun 2011, terdapat 35 juta orang penyandang autisme di seluruh dunia. Rata-rata, 6 dari 1000 orang di dunia telah mengidap autisme. Di Amerika Serikat, autisme dimiliki oleh 11 dari 1000 orang. Sedangkan di Indonesia, perbandingannya 8 dari setiap 1000 orang. Angka ini terhitung cukup tinggi mengingat pada tahun 1989, hanya 2 orang yang diketahui mengidap autisme [1]. Walau para ahli menyatakan selama bertahun-tahun bahwa anak autis bersuara lain saat berbicara jika dibandingkan dengan anak normal, belum ada cara praktis menggunakan vokalisasi sebagai bagian dari diagnosa atau proses pemeriksaan yang sejalan dengan autisme [2]. Dalam penelitian Oller dkk (2010) dihasilkan alat yang prinsip kerjanya dengan cara merekam percakapan anak sepanjang hari dan kemudian memasukkan data tersebut ke dalam program komputer khusus. Hasil rekaman suara akan dibandingkan dengan database yang sudah disimpan pada software berupa suara dari anak-anak yang memang sudah diketahui memiliki kondisi autis. Akan tetapi dalam penelitian

tersebut database yang digunakan masih terbatas Bahasa Inggris saja, sehingga penggunannya belum optimal apabila digunakan untuk mendeteksi anak yang bersuara dan berlogat Bahasa Indonesia. Kemajuan teknologi dalam bidang komputasi saat ini berkembang pesat. Teknologi komputasi dapat digunakan dalam pengolahan dan penyimpanan data. Jaringan saraf Tiruan (JST) merupakan salah satu metode komputasi yang memiliki banyak kelebihan, seperti kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan prediksi yang polanya non linier, waktu penyelesaian yang cepat dan robust terhadap missing data. Di dalam penelitian ini, metode backpropagation berbasis JST digunakan untuk mengklasifikasikan suara anak sehingga dapat dibedakan suara anak normal atau autis secara otomatis. II. TEORI A. Autisme Sejauh ini belum ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Untuk menetapkan diagnosis gangguan autisme para klinisi sering menggunakan pedoman DSM IV. Gangguan Autisme didiagnosa berdasarkan DSMIV. Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara seksama

186


mengamati perilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya [3]. Gangguan autisme dimulai dan dialami pada masa kanakkanak. Autisme infantil (autisme pada masa kanak-kanak) adalah gangguan pervasif atau Pervasive Developmental Disorders (PDD) yang meliputi ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukan dengan penguasaan yang tertunda, echolalia (meniru/membeo), mutism (kebisuan, tidak mempunyai kemampuan untuk berbicara), pembalikan kalimat dan, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya, rasa takut akan perubahan, kontak mata yang buruk, lebih menyukai gambar dan benda mati [3]. Secara umum ada beberapa gejala autisme yang akan tampak semakin jelas saat anak telah mencapai usia 3 tahun, yaitu: gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal,gangguan dalam bidang interaksi sosial, gangguan pada bidang perilaku, gangguan pada bidang perasaan/emosi, gangguan dalam persepsi sensoris [4]. B. Proses Pencuplikan Sinyal Proses pencuplikan sinyal ini dilakukan dengan menggunakan sound card yang terdapat pada personal computer. Pencuplikan dilakukan pada kecepatan 8000 Hz dengan resolusi 8 bit (1 byte) sehingga didapat data sebanyak 8000 byte tiap detik. Kecepatan pencuplikan tersebut dilakukan dengan didasarkan asumsi bahwa sinyal percakapan (speech) berada pada daerah frekuensi 300-3400 Hz sehingga memenuhi kriteria Nyquist yang menyatakan [5] : ݂௦ ൒ ʹ݂௛ ݂௛ ൌ ݂௜௡ ‫݅݃​݃݊݅ݐݎ݁ݐ‬

(1)

Linier Predictive Coding Linear Predictive Coding (LPC) sangat luas digunakan untuk pengenalan suara disebabkan hasil pengenalan suara yang didapat dengan menerapkan LPC cukup baik bahkan lebih baik dari metode-metode yang dikenal sebelumnya [6]. Suatu sinyal ucapan yang masuk disegmentasi atau dibingkai dengan panjang bingkai (frame) tertentu. Terhadap sinyal ucapan terbingkai dilakukan penjendelaan yang dapat dilakukan menggunakan jendela hamming, yang memiliki persamaan [7]: ʹߨ݊ ‫ݓ‬ሺ݊ሻ ൌ ͲǡͷͶ െ ͲǡͶ͸ ܿ‫ ݏ݋‬൬ ൰ ǡ Ͳ ൑ ݊ ൑ ܰ െ ͳ ሺʹሻ! ܰെͳ C.

dimana n = 0,1,...M-1; dan M adalah panjang frame, sehingga didapatkan sinyal ucapan terbingkai yang telah dijendelakan menggunakan jendela hamming dengan urutan: ‫ݏ‬௡ ሺ݉ሻ ൌ ‫ݏ‬ሺ݊ ൅ ݉ሻ Ǥ ‫ݓ‬ሺ݊ሻ ǡ Ͳ ൑ ݉ ൑ ܰ െ ͳ ሺ͵ሻ Analisis LPC dilakukan menggunakan metode autokorelasi yang mengasumsikan bahwa sinyal memiliki nilai sama dengan nol untuk interval di luar daerah yang dianalisa (0 d n d N-1). Berikut ini bentuk persamaan fungsi autokorelasi:

ேିଵିሺ௜ି௞ሻ

ܴ௡ ሺ݅ െ ݇ሻ ൌ

‫ݏ‬௡ ሺ݉ሻ ‫ݏ‬௡ ሺ݉ ൅ ݅ െ ݇ሻ ሺͶሻ

௠ୀ଴

Jika fungsi autokorelasi bersifat simetris Rn(k)=Rn(-k), sehingga persamaan LPC dapat dinotasikan sebagai: ௣

෍ ܴ௡ ሺȁ݅ െ ݇ȁሻ ƶ௞ ൌ ܴ௡ ሺ݅ ሻǡ ͳ ൑ ݅ ൑ ‫ ݌‬ሺͷሻ ௞ୀଵ

Nilai koefisien-koefisien LPC didapat dengan menyelesaikan persamaan matrik berikut: ܴ௡ ሺͳሻ ܴ௡ ሺͳሻ ܴ௡ ሺʹሻ ‫ܴ ڮ‬௡ ሺ‫ ݌‬െ ͳሻ ܽଵ ܴ௡ ሺͲሻ ‫ۍ‬ ‫ ܴۍ ې ۍ ې‬ሺʹሻ ‫ې‬ ܴ௡ ሺͳሻ ܴ௡ ሺͲሻ ܴ௡ ሺͳሻ ‫ܴ ڮ‬௡ ሺ‫ ݌‬െ ʹሻ ܽଶ ‫ێ‬ ‫ ێ ۑ ܽێ ۑ‬௡ ‫ۑ‬ ሺʹሻ ܴ௡ ሺͳሻ ܴ௡ ሺͲሻ ‫ܴ ڮ‬௡ ሺ‫ ݌‬െ ͵ሻ ‫ ێ ۑ‬ଷ ‫ ۑ‬ൌ ‫ܴێ‬௡ ሺ͵ሻ ‫ۑ‬ ‫ܴ ێ‬௡‫ڮ‬ ‫ڮ‬ ‫ڮ‬ ‫ڮ‬ ‫ڮ‬ ‫ێ‬ ‫ۑ ڮ ێ ۑ ڮێ ۑ‬ ‫ڮ‬ ‫ڮ‬ ‫ڮ‬ ‫ڮ‬ ‫ڮ‬ ‫ێ‬ ‫ۑ ڮ ێ ۑ ڮێ ۑ‬ ‫ܴۏ‬௡ ሺ‫ ݌‬െ ͳሻ ܴ௡ ሺ‫ ݌‬െ ʹሻ ܴ௡ ሺ‫ ݌‬െ ͵ሻ ‫ܴ ڮ‬௡ ሺͲሻ ‫ܽۏ ے‬௣ ‫ܴۏ ے‬௡ ሺ‫݌‬ሻ‫ے‬

(6)

Fast Fourier Transform Fast Fourier Transform merupakan penyederhanaan dari Discrete Fourier Transform (D FT). Untuk sinyal waktu diskrit x(n), maka DFT dari sinyal diberikan oleh :

D.

ேିଵ ௝ଶగ௡௞ ே ǡ ‫Ͳ ݇ݑݐ݊ݑ‬

‫ ܪ‬ሺ݇ሻ ൌ ෎ ݄ሺ݊ሻ ݁ ି

൑ ݇ ൑ ሺܰ െ ͳሻ ሺ͹ሻ

௡ୀ଴

Algoritma Fast Fourier Transform (FFT) merupakan prosedur penghitungan DFT yang efisien sehingga akan mempercepat proses penghitungan DFT. Bila diterapkan pada kawasan waktu maka algoritma ini disebut juga sebagai FFT penipisan dalam waktu atau decimation-in-time (DIT). Penipisan kemudian mengarah pada pengurangan yang signifikan dalam sejumlah perhitungan yang dilakukan pada data kawasan waktu. Persamaan (7) menjadi : ேିଵ

‫ܪ‬ଵ ሺ݇ሻ ൌ ෍ ݄ሺ݊ሻ ܹே௡௞ ǡ ‫ Ͳ ݇ݑݐ݊ݑ‬൑ ݇ ൑ ሺܰ െ ͳሻ ሺͺሻ ௡ୀ଴ ೕమഏ೙ೖ ಿ

dimana faktor ݁ ି

ೕమഏ೙ೖ ಿ

ܹே௡௞ ൌ ݁ ି

akan ditulis sebagai :

ൌ ܿ‫ ݏ݋‬ሺʹߨȀܰሻ െ ݆ ‫ ݊݅ݏ‬ሺʹߨȀܰሻ ሺͻሻ

Akhiran n pada Pers. (8) diperluas dari n=0 sampai dengan n=N-1, bersesuaian dengan nilai data h(0), h(1), h(2), h(3)...h(N-1). Runtun bernomor genap adalah h(0), h(2), h(4)....h(N-2) dan runtun bernomor ganjil adalah h(1), h(3)....h(N-1). Kedua runtun berisi N/2-titik. Runtun genap dapat ditandakan h(2n) dengan n=0 sampai n=N/2-1, sedangkan runtun ganjil menjadi h(2n-1). Kemudian Pers. (8) dapat ditulis ulang menjadi :

187


ேȀଶିଵ

ேȀଶିଵ

݄ሺʹ݊ሻ ܹேଶ௡௞

‫ܪ‬ଵ ሺ݇ሻ ൌ ෍ ேȀଶିଵ

௡ୀ଴

ଶሺଶ௡ାଵሻ௞

൅ ෍ ݄ሺʹ݊ ൅ ͳሻ ܹே

ேȀଶିଵ

௡ୀ଴

ൌ ෍ ݄ሺʹ݊ሻ ܹேଶ௡௞ ൅ ܹே௞ ෍ ݄ሺʹ݊ ൅ ͳሻ ܹேଶ௡௞ ǡ Ͳ ൑ ݇ ൑ ሺܰ െ ͳሻ ሺͳͲሻ ௡ୀ଴

௡ୀ଴

௡௞ , maka Pers. Selanjutnya dengan menggantikan ܹேଶ௡௞ ൌ ܹேȀଶ

(10) menjadi : ேȀଶିଵ

‫ܪ‬ሺ݇ሻ ൌ ෍ ௡ୀ଴

ேȀଶିଵ ௡௞ ݄ሺʹ݊ሻ ܹேȀଶ

݇ ൅ ܹܰ

III. METODE PENELITIAN Data penelitian berupa rekaman suara anak berjumlah 26 data yang terdiri dari 19 data suara anak normal dan 7 data suara anak autis. Data yang digunakan untuk training JST sebanyak 20 data dan untuk testing sebanyak 6 data. Semua data diambil dari anak normal dan autis yang meiliki usia pada rentang 3-7 tahun. Klasifikasi suara anak menggunakan JST metode Backpropagation. Diagram alir penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.

௡௞ ෍ ݄ሺʹ݊ ൅ ͳሻ ܹேȀଶ ሺͳͳሻ ௡ୀ଴

B. Jaringan Saraf Tiruan JST merupakan representasi buatan dari otak manusia yang mencoba mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia.

G amba r 3. Diagram Alir Penelitian Hasil perekaman kemudian dibaca untuk mendapatkan bentuk diskrit dari sinyal ucapan sehingga siap untuk dilakukan pemrosesan sinyal. Tahap pemrosesan sinyal suara bertujuan untuk mengekstraksi sinyal dari data rekaman suara sehingga didapatkan fitur sinyal terekstraksi yang selanjutnya digunakan sebagai input jaringan saraf tiruan. G amba r 1. Model Tiruan dari Neuron JST terdiri dari beberapa simpul (node) yang merupakan elemen pemroses. Setiap simpul tersebut memodelkan sebuah sel saraf biologis (neuron). Hubungan antar simpul di capai dengan bobot koneksi ( weight). Perubahan yang terjadi selama proses pembelajaran adalah perubahan nilai bobot. Salah satu metode untuk melakukan pembelajaran lapisan kompetitif yang terawasi adalah backpropagation. Backpropagation adalah sebuah metode sistematik untuk pelatihan multilayer jaringan saraf tiruan. Metode ini memiliki dasar matematis yang kuat, obyektif dan algoritma ini mendapatkan bentuk persamaan dan nilai koefisien dalam formula dengan meminimalkan jumlah kuadrat galat error melalui model yang dikembangkan [8].

G amba r 2. Arsitektur Backpropagation [8]

G amba r 4. Alur Ekstraksi Sinyal Suara Menggunakan LPC Metode Autokorelasi

188


Pembacaan data suara diikuti dengan analisis dengan menggunakan LPC. Hasil dari analisis LPC yang berupa koefisien LPC dibuat template-nya dengan menggunakan metode autokorelasi, sehingga diperoleh representasi dari koefisien. Urutan pengolahan sinyal hingga diperoleh nilainilai representasi koefisien LPC metode autokorelasi dapat dilihat pada Gambar 4. Analisis LPC dimulai dengan menentukan nilai-nilai parameter yang dibutuhkan dalam proses ekstraksi, antara lain orde sinyal yang memiliki simbol p, kemudian panjang frame yang memiliki simbol t, panjang frame akan menentukan jumlah segmen yang didapat dari pemecahan sinyal awal. Proses selanjutnya adalah melewatkan setiap segmen yang didapatkan dengan menggunakan Hamming Window dan kemudian koefisien LPC didapat dengan menggunakan metode autokorelasi pada setiap segmen yang ada, jika koefisien LPC dari seluruh segmen telah diperoleh, maka koefisienÂąkoefisien tersebut disimpan dalam bentuk codebook-codebook untuk digunakan dalam proses selanjutnya. Kemudian semua codebook dari koefisian LPC tersebut akan ditranformasikan ke dalam domain frekuensi menggunakan Fast Fourier Transform (FFT). Seluruh data mendapatkan pencuplikan dengan poin yang sama, yatu 512 pada saat FFT, sehingga didapatkan matriks fiturset berukuran 512x1 untuk setiap file rekaman suara. Data input untuk masukan JST Backpropagation sudah didapat setelah matriks fiturset dari proses FFT masing-masing data rekaman terbentuk. Klasifikasi rekaman suara dilakukan menggunakan metode Backpropagation. Algoritma Backpropagation adalah sebagai berikut: - Inisialisasi bobot awal dengan nilai random yang cukup kecil - Tetapkan : maximum epoch, target,(t), learning rate ÄŽ - Inisialisasi : Epoh = 0 MSE = 1 - Kerjakan langkah-langkah berikut selama : Epoch < Maximum Epoch MSE > Target Error 1. Epoch +Epoch + 1 2. Untuk tiap-tiap pasangan elemen yang akan dilakukan pembelajaran, kerjakan: F eedforward : a. Tiap-tiap unit input (Xi L ÂŤ Q PHQHULPD sinyal xi dan meneruskan sinyal tersebut ke lapisan yang ada di atasnya (lapisan tersembunyi). b. Tiap-tiap unit pada suatu lapisan tersembunyi (Zi, j=1 ÂŤ S PHQMXPODKNDQ VLQ\DO-sinyal input terbobot: ŕ­Ź

ÂœĚ´Â‹Â?ŕ­¨ ŕľŒ „ͳ୨ ŕľ… ŕˇ? š୧ ˜୧୨ áˆşÍłÍ´áˆť ୧ୀଵ

dengan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya:

Âœŕ­¨ ŕľŒ ˆ ቀœ୧୏ ŕ­¨ á‰ áˆşÍłÍľáˆť dan sinyal tersebut dikirimkan ke semua unit di lapisan atasnya (unit-unit output). c. Tiap-tiap unit output (Yk N ÂŤ P menjumlahkan sinyal-sinyal input terbobot. ௣

›̴‹Â?ŕ­Š ŕľŒ „ʹ୊ ŕľ… ŕˇ? Âœŕ­§ ‍ݓ‏୨୊ áˆşÍłÍśáˆť ୧ୀଵ

dengan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya: › ŕľŒ ˆྍ›୧୏ ŕ­Š ྯ áˆşÍłÍˇáˆť dan sinyal tersebut dikirimkan ke semua unit di lapisan atasnya (unit-unit output). Backpropagation : d. Tiap-tiap unit output (Yk N ÂŤ P PHQHULPD target pola yang berhubungan dengan pola input pembelajaran kemudian dihitung informasi errornya: É Í´ŕ­Š ŕľŒ áˆşÂ– ŕ­Š ྆ ›୊ áˆť ÂˆÔ˘ áˆşÂ›Ě´Â‹Â?ŕ­Š áˆť É”ʹ୨୊ ŕľŒ É ŕ­Š ‍ݖ‏୨ Ȟʹ୊ ŕľŒ É ŕ­Š

(16) (17) (18)

kemudian dihitung koreksi bobot dan bias yang akan digunakan untuk memperbaiki nilai wjk dan b2k : Č&#x;™୨୊ ŕľŒ Ƚɔʹ୨୊ Č&#x;„ʹ୊ ŕľŒ ȽȞʹ୊

(19) (20)

e. Tiap-tiap unit tersembunyi (Zj, M ÂŤ S menjumlahkan delta input dari unit-unit yang berada pada lapisan di atasnya : ŕ­Ť

É Ě´Â‹Â?ŕ­¨ ŕľŒ ŕˇ? É Í´ŕ­Š ™୨୊ áˆşÍ´Íłáˆť ŕ­Šŕ­€ଵ

nilai tersebut dikalikan dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk menghitung informasi error : É Íłŕ­¨ ŕľŒ É Ě´Â‹Â?ŕ­¨ ÂˆÔ˘áˆşÂœĚ´Â‹Â?ŕ­¨ áˆť É”ͳ୧୨ ŕľŒ É Íłŕ­¨ ‍ݔ‏୨ Ȟͳ୨ ŕľŒ É Íłŕ­¨

(22) (23) (24)

kemudian dihitung koreksi bobot dan bias yang akan digunakan untuk memperbaiki nilai vij dan b1j : Č&#x;˜୧୨ ŕľŒ Ƚɔͳ୧୨ Č&#x;„ͳ୨ ŕľŒ ȽȞͳ୨

(25) (26)

f. Tiap-tiap unit output (Yk N ÂŤ P PHPSHUEDLNL ELDV GDQ ERERWQ\D M ÂŤ S wjk (baru) = wjk ODPD ÇťZjk

(27)

189


b2k (baru) = b2k ODPD ÇťE k

(28)

g. Tiap-tiap unit tersembunyi (Zk, N ÂŤ S PHPSHUEDLNL ELDV GDQ ERERWQ\D L ÂŤ Q vij (baru) = vij ODPD ÇťYij b1j (baru) = b1j ODPD ÇťE j

(29) (30)

3. Hitung Mean Squared Error (M S E) Setelah melalui tahap training dan diperoleh bobot-bobot akhir (wjk), maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian dengan algoritma pengujian sebagai berikut : 1. Inisialisasi: bobot (wjk) bias (b2k) 2. Masukkan data rekaman suara terekstraksi yang akan diuji (xi, i=1,2,3,...,n) 3. Tetapkan target (t), 4. Kerjakan untuk i=1 sampai n a. Tiap-tiap unit input (Xi L ÂŤ Q PHQHULPD sinyal xi dan meneruskan sinyal tersebut ke lapisan yang ada di atasnya (lapisan tersembunyi). b. Tiap-tiap unit pada suatu lapisan tersembunyi (Zi, M ÂŤ S PHQMXPODKNDQ VLQ\DO-sinyal input terbobot: ŕ­Ź

(a) (b) G amba r 5. Sinyal Asli Sampel Suara Anak Kemudian masing-masing sinyal suara akan mengalami penjendelaan dengan Hamming Window. Hasil penjendelaan sinyal anak normal (Gambar 6.a) dan anak autis (Gambar 6.b). Sinyal hasil dari penjendelaan kemudian masuk ke dalam proses LPC dengan menggunakan metode autokorelasi pada setiap segmen yang ada sehingga didapatkan koefisien LPC untuk anak normal (Gambar 7.a) dan anak autis (Gambar 7.b). Proses berikutnya adalah Fast Fourier Transform (FFT) yang dilakukan setelah didapat koefisien LPC sebanyak 512 poin setiap datanya, yaitu untuk anak normal (Gambar 8a) dan anak autis (Gambar 8b). FFT ini dilakukan untuk meningkatkan kinerja software karena membedaka pola kata antara satu dengan pola kata yang lain dengan semakin jelas.

(a) (b) G amba r 6. Windowed Signal

ÂœĚ´Â‹Â?ŕ­¨ ŕľŒ „ͳ୨ ŕľ… ŕˇ? š୧ ˜୧୨ áˆşÍľÍłáˆť ୧ୀଵ

dengan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya: Âœŕ­¨ ŕľŒ ˆ ቀœ୧୏ ŕ­¨ á‰ áˆşÍľÍ´áˆť

(a) (b) G amba r 7. LPC Metode Autokorelasi

dan sinyal tersebut dikirimkan ke semua unit di lapisan atasnya (unit-unit output). c. Tiap-tiap unit output (Yk N  P menjumlahkan sinyal-sinyal input terbobot. ௣

›̴‹Â?ŕ­Š ŕľŒ „ʹ୊ ŕľ… ŕˇ? Âœŕ­§ ‍ݓ‏୨୊ áˆşÍľÍľáˆť ୧ୀଵ

dengan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya: › ŕľŒ ˆྍ›୧୏ ŕ­Š ྯ áˆşÍľÍľáˆť dan sinyal tersebut dikirimkan ke semua unit di lapisan atasnya (unit-unit output). d. Output (y) berupa nilai klasifikasi data (x) IV. HASIL PENELITIAN Data yang digunakan pada penelitian ini berupa rekaman suara yang terdiri dari 2 jenis yaitu suara anak normal dan autis. Data tersebut ditampilkan pada sebuah plot yang menunjukkan gambar sinyal suara anak normal (Gambar 5a) dan anak autis (Gambar 5.b).

(b) G amba r 8. Sinyal FFT dari Koefisien LPC Ekstraksi fitur pada setiap sinyal rekaman suara menggunakan LPC metode autokorelasi dan FFT menghasilkan 512 parameter input bagi metode klasifikasi Backpropagation. Untuk mendapatkan parameter optimal jaringan Backpropagation dilakukan beberapa variasi jumlah neuron pada hiden layer, epoch dan learning rate. Selama proses training didapatkan variasi training terbaik dengan jumlah neuron pada hiden layer 5, epoch 300 dan learning rate 0,1 karena JST lebih cepat mencapai kestabilan pada poin 100% dan memiliki penghentian pembelajaran paling kecil daripada variasi-variasi yang lainnya. Tampilan utama software hasil penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 9. Pada software deteksi suara anak autis ini user bisa menggunakan file rekaman suara ataupun merekam

190


suara secara real ti me sebagai input data diagnosa. Untuk meningkatkan kecerdasan software, penulis telah merancang panel penambahan database, dimana file rekaman suara dari anak yang sudah didiagnosa dokter dalam kondisi normal atau autis bisa ditambahkan ke dalam database sebelumnya. User dapat menuliskan kode diagnosa tertentu untuk membedakan

file rekaman suara anak normal atau autis. Dengan demikian diharapkan software deteksi suara anak autis yang dirancang akan terus belajar dan memperkaya database sehingga semakin handal dalam pendeteksian suara anak baik normal maupun autis.

G amba r 9. Tampilan Utama Software Deteksi Suara Anak Autis Sinyal rekaman suara yang digunakan dalam pengujian jaringan Backpropagation berjumlah 6 buah data. Data tersebut terdiri dari 4 data rekaman suara anak normal dan 2 data rekaman anak autis. Hasil pengujian jaringan Backpropagation menunjukkan bahwa keberhasilan kemampuan klasifikasi untuk data uji suara normal adalah sebesar 100%, sedangkan untuk data uji dengan suara anak autis adalah sebesar 100%. Tingkat keberhasilan sistem klasifikasi menggunakan metode Backpropagation untuk keseluruhan data uji adalah sebesar 100 %. V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu: 1. Dapat didesain dengan pemrograman MATLAB, sistem identifikasi suara anak autis berbasis jaringan saraf tiruan Backpropagation, dalam hal ini menggunakan ekstraksi metode LPC Autokorelasi untuk mengekstrak data rekaman suara, diikuti dengan proses FFT denagn 512 poin untuk mengubah sinyal suara dari domain waktu ke domain frekuensi untuk mempertajam informasi yang digunakan menjadi masukan dalam JST. 2. Pembelajaran JST yang paling optimal dalam penelitian ini menggunakan jumlah neuron pada hiden layer 5, epoch 300 dan learning rate 0,1.

3. Sistem deteksi suara anak autis menggunakan jaringan saraf tiruan, dengan memanfaatkan metode Backpropagation dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosa suara anak dengan tingkat akurasi 100% untuk suara normal, dan 100% untuk suara anak autis. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6]

[7] [8]

112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme, Republika Online. Diakses pada 2 Juli 2013 K. Oller, Warren, dkk, Automated Vocal Analysis of Naturalistic Recordings from Children with Autism, Language Delay, and Typical Development. PNAS, USA, 2010 Kaplan and Saddock, Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychiatry, USA, 1994 Budiman, Melly, Makalah Simposium Pentingnya Diagnosa Dini dan Penatalaksanaan Terpadu pada Autisme, Surabaya, 1998 Santoso, Budi, dkk, Modul Pengolahan Sinyal Digital, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Surabaya, 2012 David, Frederikus, Penggunaan Prosesor Sinyal Digital Keluarga TMS320 Sebagai Alat Pengenalan Suara Manusia Dengan Algoritma DTW (Dynamic Time Warping), Universitas Kristen Petra, Surabaya, 1996. Rabiner, L., Biing-Hwang Juang, Fundamentals Of Speech Recognition, New Jersey: Prentice Hall, 1993 Kusumadewi, Sri, Membangun Jaringan Saraf Tiruan Menggunakan MATLAB dan EXCEL LINK, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2004

191


TICA 2013 ke-4 Transformasi Gen Amorfa-4,11-dien Sintase (ads) dengan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 pada Kultur In Vitro Artemisia annua L. untuk Meningkatkan Kadar Artemisinin The 4th TICA 2013 Transformation of Amorpha-4,11diene Synthase (ads) Gene with Agrobacterium tumefaciens AGL-1 to Enhance the Concentration of Artemisinin in In Vitro Culture of Artemisia annua L. 1

Nur Chamidah1,a

Sains dan Teknologi Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Bandung. aEmail: nur.chamidah@itb.ac.id

Abstrak- Artemisinin, diisolasi dari Artemisia annua L. merupakan senyawa seskuiterpen lakton endoperoksidase yang digunakan untuk antimalaria. Konsentrasi artemisinin pada tanaman ini sangat rendah sehingga dibutuhkan peningkatan konsentrasi artemisinin melalui transformasi genetik. Transformasi pada kultur in vitro Artemisia annua dilakukan dengan Agrobacterium tumefaciens AGL-1. Pada penelitian ini dilakukan pengoptimalan kondisi transformasi menggunakan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 yang membawa vektor pCAMBIA1303-ads dan dilakukan pada OD600 0,5; 0,8; 1,0 dengan metode vakum infiltrasi sehingga efisiensi transformasi menjadi lebih tinggi. Hasil transformasi dianalisis berdasarkan ekspresi transien !-glukuronidase (GUS) dan artemisinin yang dihasilkan diukur kadarnya menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Kondisi transformasi yang terbaik diperoleh pada OD600 1,0 dengan frekuensi transformasi sebesar 80,608% + 0,002 sedangkan pada OD600 0,5 dan 0,8 frekuensi transformasi sebesar 47,863% + 0,259 dan 69,593% + 0,135. Kadar artemisinin diukur menggunakan KCKT dan terjadi peningkatan kadar dibandingkan dengan kultur yang tidak ditransformasi. Transformasi yang dilakukan pada OD600 0,5; 0,8; dan 1,0 masing-masing menghasilkan artemisinin dengan kadar 37,754 + 0,022; 58,910 + 0,059; dan 74,881 + 0,034 ppm sedangkan kadar artemisinin dari kultur yang tidak ditransformasi sebesar 23,039 ppm + 0,032. Kultur in vitro hasil transformasi genetik pada OD600 1,0 meningkatkan produksi artemisinin sebesar 3,25 kali dibandingkan kultur yang tidak ditransformasi. Kata Kunci; Artemisia annua L., artemisinin, gen ads, OD600, transformasi. Abstract- Artemisinin, is isolated from Artemisia annua L. is a sesquiterpene lactone endoperoxide and it is used as an antimalarial drug. The concentration of artemisinin in this plant is quite low, so enhancement of its concentration is needed through genetic transformation. Transformation of Artemisia annua L. in in vitro culture used Agrobacterium tumefaciens AGL-1 with pCAMBIA1303ads vector. In this research, optimization of transformation conditions was performed to obtain the higher frequency of transformation. An Agrobacterium-mediated transformation was developed at OD600 0.5, 0.8, and 1.0 by vacuum infiltration method. The results were analyzed based on transient !-glucuronidase (GUS) expression and the yields of artemisinin were measured by high performance liquid chromatography (HPLC). The best transformation condition was obtained at OD600 1.0 with the frequency of transformation was 80.608% + 0.002, while the frequency of transformation of OD600 0.5 and 0.8 was 47.863% + 0.259 and 69.593% + 0.135. The yields of artemisinin were measured by HPLC and they were increased more than the untransformed culture. Transformation performed at OD600 0.5, 0.8, and 1.0 respectively produced 37.754 + 0.022; 58.910 + 0.059, and 74.881 + 0.034 ppm of artemisinin, while the yield of untransformed artemisinin culture was 23.039 ppm + 0.032. Transformed in vitro culture at OD600 1.0 enhanced the production of artemisinin 3.25 times higher than untransformed culture Keywords; ads gene, Artemisia annua L., artemisinin, OD600, transformation.

I. PENDAHULUAN Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium sp. yang menginfeksi manusia. Salah satu jenis parasit tersebut dapat menyebabkan malaria yang mematikan karena menyerang otak [1]. Pada tahun 2012, malaria masih menjadi penyakit dengan jumlah kasus yang tinggi terutama pada anak berusia di bawah 15 tahun [2]. Berdasarkan data

dari Badan Kesehatan Dunia, jumlah kasus malaria yang terjadi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan namun angka kesembuhan yang dicapai masih kecil [2]. Pencapaian angka kesembuhan yang masih kecil ini disebabkan oleh resistensi parasit Plasmodium sp. terhadap obat antimalaria yang telah banyak digunakan. Resistensi ini dikarenakan penggunaan obat antimalaria tunggal dalam jangka waktu yang lama. Resistensi parasit Plasmodium sp. terhadap obat antimalaria yang sudah dilaporkan terjadi pada pengobatan

192


malaria menggunakan klorokuin, obat antimalaria pilihan pertama yang banyak digunakan oleh masyarakat sehingga pengobatan menggunakan antimalaria pilihan pertama klorokuin ini sudah tidak efektif lagi [3]. Artemisinin merupakan senyawa metabolit sekunder dari Artemisia annua golongan seskuiterpen lakton endoperoksida [4]. Senyawa lain turunan artemisinin yang ditemukan pada Artemisia annua misalnya artemeter dan artesunat yang memiliki kadar yang lebih tinggi dibandingkan senyawa artemisinin namun penggunaan senyawa ini memiliki efek samping yang lebih berbahaya dibandingkan dengan senyawa artemisinin sehingga penggunaannya sebagai obat antimalaria tidak disarankan [5]. Penggunaan senyawa artemisinin sebagai obat antimalaria dalam bentuk terapi kombinasi berbasis artemisinin telah direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2005 [6]. Artemisinin mulai dikembangkan setelah diketahui efektivitas artemisinin terhadap malaria yang mengalami resistensi [7]. Senyawa artemisinin yang selama ini digunakan berasal dari tanaman Artemisia annua. Pada awalnya artemisinin diperoleh melalui ekstraksi tanaman Artemisia annua namun kadar artemisinin yang dapat diisolasi dari tanaman Artemisia annua hanya 0,01–0,8% dari berat kering [7]. Hal ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan senyawa artemisinin dengan metode isolasi menjadi sulit karena tidak dapat mengimbangi tingginya kebutuhan senyawa artemisinin sebagai obat antimalaria sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi senyawa artemisinin pada tanaman Artemisia annua. Beberapa tahun terakhir, banyak dilakukan penelitian melalui rekayasa genetika untuk meningkatkan kadar senyawa artemisinin pada Artemisia annua seperti menekan ekspresi gen pengkode enzim skualen sintase (SQS) [8] serta overekspresi gen pengkode enzim fanesil difosfat sintase (FPS) [9]. Penelitian yang dilakukan pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) menunjukkan bahwa ekspresi gen pengkode enzim amorfa-4,11-dien sintase (ADS) menghasilkan akumulasi amorfa-4,11-dien pada tanaman transgenik [10]. Amorfa-4,11-dien berperan sebagai prekursor awal pada jalur biosintesis artemisinin yang selanjutnya diubah menjadi produk akhir artemisinin [11]. Gen ads yang mengendalikan ekspresi enzim ADS dikonstruksi pada vektor ekspresi pCAMBIA1303 kemudian ditransformasikan pada kultur Artemisia annua menggunakan Agrobacterium tumefaciens sehingga gen tersebut dapat terekspresi pada kultur dan produksi artemisinin mengalami peningkatan [12]. Strain Agrobacterium tumefaciens yang digunakan adalah AGL-1 yaitu strain yang efisiensi transformasinya mencapai 70,91% dari total eksplan daun Artemisia annua yang digunakan [13]. Transformasi kultur Artemisia annua dengan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 yang mengandung gen ads dapat meningkatkan kadar artemisinin. Peningkatan kadar artemisinin dipengaruhi oleh kondisi Agrobacterium tumefaciens AGL-1 yang membantu proses transformasi gen ads ke dalam Artemisia annua. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengoptimalan kondisi kultur Agrobacterium tumefaciens AGL-1 yang digunakan untuk mentransformasi gen tersebut pada OD600 0,5; 0,8; dan 1,0 sehingga didapatkan kondisi

transformasi yang optimal untuk meningkatkan artemisinin pada kultur Artemisia annua L.

kadar

II. HASIL DAN DISKUSI A. Kultur Artemisia annua L. Kultur Artemisia annua yang digerminasi dari biji tumbuh pada media Murashige-Skoog (MS) pada hari ke-3 setelah inkubasi. Setelah berusia 30 hari, kultur Artemisia annua dipindahkan ke media MS-subkultur untuk selanjutnya disubkultur setiap 30 hari menggunakan media MS-subkultur. Setelah disubkultur, Artemisia annua tumbuh baik dengan morfologi daun yang hijau dengan ukuran yang normal dan ukuran batang yang normal seperti pada Gambar 1. Hal ini dikarenakan adanya penambahan KNO3 sebagai sumber nitrogen dan NaH2PO4 sebagai sumber fosfat serta peningkatan jumlah vitamin MS yang digunakan. Adanya penambahan sumber nutrien ini membantu kultur Artemisia annua tumbuh lebih baik karena tersedianya nutrisi yang cukup. Selain itu, kondisi kultur juga diperhatikan dengan meningkatkan fotoperiodesitas selama 16 jam sehingga membantu meningkatkan laju fotosintesis kultur Artemisia annua. Kondisi aerasi juga dimodifikasi dengan memberikan lubang tanpa mengurangi kondisi steril dari kultur dengan memberikan kertas penahan 80 g/m2 sehingga tidak terjadi hiperhidrisitas karena uap air yang dihasilkan dari proses transpirasi kultur dapat berdifusi keluar dari wadah kultur serta gas etilen yang dihasilkan oleh kultur tidak merusak perkembangan kultur.

Gambar 1 Kultur in vitro Artemisia annua L. usia 14 hari

B. Transformasi dengan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 Eksplan daun Artemisia annua ditransformasi menggunakan Agrobacterium tumefaciens AGL-1-ads. Eksplan daun yang dipilih merupakan daun kedua dan ketiga dari kultur Artemisia annua. Hal ini dikarenakan daun kedua dan daun ketiga berada pada tingkat pertumbuhan yang memiliki regenerasi yang tinggi sehingga lebih stabil ketika diberikan perlakuan dari luar. Agrobacterium tumefaciens AGL-1 digunakan sebagai media transformasi ke dalam kultur Artemisia annua karena memiliki tingkat ekspresi yang paling tinggi yaitu sebesar 70,91% [13]. Agrobacterium tumefaciens AGL-1 yang digunakan telah dikonfirmasi keberadaan gen ads yang dikandungnya dengan mengamplifikasi gen tersebut menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan primer spesifik. Primer yang digunakan berupa primer F 5’GTCCCATGGCCATGTCACTTACAGAAG3’ dan Primer R ’GGATACTAGTTATAGTCATAGGATAAACG3’.

193


Amplikon yang dihasilkan dikonfirmasi menggunakan elektroforesis gel agarosa 1% pada dapar TAE 1!. Hasil konfirmasi gen ads tersebut seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Konfirmasi gen ads (L: marka DNA 1kb; 1,2,3: sampel koloni tunggal; K: kontrol positif)

Transformasi kultur Artemisia annua dilakukan pada OD600 0,5; 0,8; dan 1,0 dari Agrobacterium tumefaciens AGL-1 yang digunakan. OD600 merupakan indikasi dari densitas bakteri yang tumbuh didalam kultur yang diukur menggunakan Spektofotometer UV-Vis pada panjang gelombang tetap 600 nm. Pada dasarnya, semakin tinggi densitas dari kultur bakteri yang digunakan maka semakin tinggi frekuensi transformasi yang terjadi. Hal ini dibuktikan sesuai dengan hasil percobaan yang dilakukan bahwa pada OD600 yang lebih besar, transformasi yang terjadi semakin besar dan dilihat dari hasil ekspresi transien GUS. Penggunaan OD600 0,5; 0,8; dan 1,0 didasarkan bahwa pada titik tersebut efisiensi transformasi menggunakan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 cenderung tinggi karena proporsi dari ruang interaksi dengan densitas bakteri yang digunakan seimbang. Transformasi menggunakan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 pada kultur Artemisia annua ditingkatkan dengan penambahan senyawa fenolik berupa asetosiringon. Senyawa fenolik ini membantu menghidupkan sinyal virulen pada Agrobacterium tumefaciens AGL-1 sehingga membantu meningkatkan efisiensi transformasi pada tanaman. Proses transformasi ini terjadi karena adanya vektor biner pada Agrobacterium tumefaciens AGL-1 yang mengandung gen

virulen yang berperan untuk menginfeksi tanaman dan gen TDNA yang dimanfaatkan untuk mentransfer materi genetik dari bakteri ke dalam tanaman sehingga materi genetik dapat terintegrasi bersama dengan tanaman. C. Analisis Transien GUS Transformasi yang dilakukan menggunakan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 dianalisis menggunakan metode analisis ekspresi transien GUS. GUS merupakan protein hasil ekspresi gen gusA yang berada pada plasmid ekspresi pCAMBIA1303. Hasil ekspresi gen gusA berwarna biru setelah direaksikan dengan senyawa x-gluc. Warna biru yang muncul dianalisis menggunakan perangkat lunak ImageJ untuk menghitung luas pewarnaan biru pada daun yang menginterpretasikan hasil ekspresi gen gusA. Adanya gen gusA pada bagian daun menandakan bahwa proses transformasi terjadi pada bagian daun yang terwarnai biru seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 Hasil Pewarnaan Histokimia GUS OD600 0,5; 0,8; 1,0

Eksplan daun yang dianalisis menggunakan transien GUS diukur persen daun yang terwarnai biru. Pengukuran ini diperlihatkan pada Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4 Pengukuran hasil pewarnaan histokimia GUS OD600 0,5; 0,8; 1,0

194


Gambar 4 di atas merupakan hasil analisis perlakuan pada OD600 0,5; 0,8; dan 1,0. Masing-masing OD600 dilakukan pengulangan perlakuan sebanyak tiga kali. Pada masingmasing gambar terdapat 2 sisi, sisi kiri merupakan luas daun terwarnai, sedangkan gambar pada sisi kanan merupakan luas total daun yang ditransformasi. Untuk mengetahui profil dari perlakuan ini, masing-masing hasil pengukuran dirata-rata dan dibandingkan nilai rasio antara luas daun yang terwarnai dengan luas daun total. Hasil pengukuran tersebut memberikan hasil seperti yang dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1 Pengaruh OD600 terhadap tingkat ekspresi transien GUS pada Artemisia annua OD600

Persen Pewarnaan Histokimia GUS

Tingkat Ekspresi

0,5

47,863% + 0,256

1

0,8

69,593% + 0,135

1,45

1,0

80,608% + 0,002

1,68

Hasil analisis ekspresi transien GUS dengan perangkat lunak ImageJ memberikan hasil bahwa pada OD600 1,0 frekuensi transformasi yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan transformasi menggunakan tingkat OD600 yang lebih kecil yaitu sebesar 80,608% + 0,002 sedangkan pada OD600 0,5 frekuensi transformasi yang terjadi sebesar 47,863% + 0,259 dan pada OD600 0,8 sebesar 69,593% + 0,135. Hasil ekspresi transien GUS merepresentasikan ekspresi gen ads. Hal ini berdasarkan letak gen gusA dan gen ads saling berdampingan dan berada setelah promotor CAMV35 sehingga ekspresi dari kedua gen tersebut bersamaan. Ketika ekspresi transien GUS teramati, hal ini menunjukan adanya ekspresi dari gen ads yang ditandai dengan peningkatan produksi artemisinin. D.

Analisis Artemisinin dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Peningkatan produksi artemisinin pada kultur Artemisia annua yang ditransformasi dengan Agrobacterium tumefaciens AGL-1-ads diukur menggunakan KCKT. Sebelum dilakukan pengukuran terhadap kadar artemisinin, dilakukan modifikasi struktur artemisinin karena senyawa golongan sesquiterpen lakton tidak memiliki gugus kromofor. Dengan modifikasi yang dilakukan melalui penambahan natrium hidroksida akan mengubah struktur artemisinin menjadi senyawa Q292 yang kurang stabil namun mampu menyerap UV pada panjang gelombang spesifik 292 nm. Untuk meningkatkan stabilitas senyawa artemisinin hasil modifikasi dilakukan penambahan asam asetat sehingga senyawa Q292 berubah menjadi senyawa Q260 yang bersifat lebih stabil dan dapat menyerap UV pada panjang gelombang spesifik 260 nm. Senyawa Q260dapat diukur menggunakan KCKT dengan detektor DAD pada panjang gelombang 260 nm. Rendahnya kadar artemisinin di dalam tanaman yaitu 0,01– 0,8% menyebabkan pengukuran kadar artemisinin dengan KCKT sulit dilakukan karena adanya batas deteksi KCKT. Dengan pertimbangan ini, perlu dilakukan metode spike menggunakan artemsinin baku standar yang diketahui

konsentrasinya untuk meningkatkan keterukuran senyawa Q260. Adanya selisih antara konsentrasi artemisinin baku standar sebagai standar adisi dengan konsentrasi terukur merupakan konsentrasi yang sebenarnya dari kadar artemisinin yang berhasil diekstraksi. Pengukuran konsentrasi ini berdasarkan kurva kalibrasi yang dibuat dari seri konsentrasi artemisinin baku standar dengan konsentrasi 0, 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm dengan R2 yang dihasilkan sebesar 0,9957. Nilai R2 yang mendekati angka 1 menunjukkan bahwa kurva kalibrasi yang didapatkan memiliki korelasi antara konsentrasi dengan luas area di bawah kurva. Selanjutnya kurva kalibrasi digunakan untuk mengukur kadar artemisinin sampel dengan cara mengekstrapolasi titik pada persamaan kurva kalibrasi yang didapatkan. Kadar artemisinin sampel eksplan daun yang ditransformasi menggunakan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 diukur menggunakan KCKT dan didapatkan terjadi peningkatan produksi artemisinin sesuai dengan peningkatan OD600 yang digunakan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara banyaknya bakteri yang digunakan untuk menginfeksi tanaman dengan frekuensi transformasi yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap artemisinin sampel, pada 500 mg eksplan daun kering dari kultur Artemisia annua yang ditransformasi pada OD600 0,5 menghasilkan artemisinin sebesar 37,754 ppm + 0,022, pada OD600 0,8 sebesar 58,910 ppm + 0,059, dan pada OD600 1,0 dihasilkan artemisinin sebesar 74,881 ppm + 0,034. Dari hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa di antara ketiga OD600 yang digunakan untuk transformasi, pada OD600 yang lebih tinggi dihasilkan frekuensi transformasi yang juga lebih tinggi. Pada OD600 1,0 terjadi peningkatan produksi artemisinin sebesar 3,25 kali lebih besar dibandingkan dengan produksi artemisinin yang terjadi pada kultur yang tidak ditransformasi, yaitu sebesar 23,039 ppm + 0,032. Hasil ini sesuai dengan hasil ekspresi transien GUS yang meningkat dan pada OD600 1,0 menghasilkan frekuensi transformasi yang paling tinggi. III. KESIMPULAN Transformasi gen ads menggunakan Agrobacterium tumefaciens AGL-1 pada kultur in vitro Artemisia annua L. dengan OD600 1,0 dapat meningkatkan produksi artemisinin 3,25 kali dengan kadar artemisinin sebesar 74,881 ppm + 0,034. DAFTAR PUSTAKA [1]

A. Das, M. Sharma, and B. Gupta, “Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax: So Similar, Yet Very Different,” Journal Parasitol Res, 105, pp.1169-1171, 2009. [2] D. Buonsenso, and L. Cataldi, “Watch Out for Malaria: Still Leading Cause of Child Death Worldwide,” Italian Journal of Pediatrics, vol 36, pp. 58, 2010. [3] J.J. Juliano, M. Randrianarivelojosia, B. Ramarosandratana, F. Ariey, V. Mwapasa, S.R. Meshnick, “Nonradioactive HeteroduplexTRacking Assay for the Detection of Minority-Variant Chloroquine-Resistant Plasmodium falciparum in Madagascar,” Malaria Journal, vol 8, pp. 47, 2009. [4] D. Ro, E.M. Paradise, M. Quellet, K.J. Fisher, K.L. Newman, J.M. Ndungu, K.A. Ho, R.A. Eachus, T.S. Ham, J. Kirby, M.C.Y. Chang, S.T. Withers, Y. Shiba, R. Sarpong, J.D. Keasling, “Production of The

195


Antimalarial Drug Precursor Artemisinic Acid in Engineered Yeast,” Nature, Vol 440, pp. 940-943, 2006. [5] P.J. Weathers, S. Elkholy, K.K. Wobbe, “Artemisinin: the Biosynthetic Pathway and Its Regulation in Artemisia annua, A Terpenoid-Rich Species,” Journal In vitro Cell. Dev. Biol. – Plant, Vol 42, No. 4, pp. 309-317, 2006. [6] T. Herpen, K. Cankar, M. Nogueira, D. Bosch, H.J. Bouwmeester, J. Beekwilder, “Nicotiana benthamiana as a Production Platform for Artemisinin Precursors,” PloS ONE, vol 5(12), e14222, 2010. [7] B. Liu, H. Wang, Z. Du, G. Li, H. Ye, “Metabolic Engineering of Artemisinin Biosynthesis in Artemisia annua L.,” Journal Plant Cell Rep, vol 30, pp. 689-694, 2011. [8] Y. Zhang, K.H. Teoh, D.W. Reed, L. Maes, A. Goossens, D.J.H. Olson, A.R.S. Ross, P.S. Covello, “The Molecular Cloning of Artemisinic Aldehyde !11(13) Reductase and Its Role in Glandular Trichomedependent Biosynthesis of Artemisinin in Artemisia annua,” The Journal of Biological Chemistry, vol 283(31), pp. 21508, 2008. [9] D. Chen, H. Ye, G. Li, “Expression of a Chimeric Farnesyl Diphosphate Synthase Gene in Artemisia annua L. Transgenic Plants via Agrobacterium tumefaciens-mediated Transformation,” Plant Sciences, vol 155, pp. 179-185, 2000. [10] T.E. Wallaart, H.J. Bouwmeester, J. Hille, L. Poppinga, N.C. Maijers, “Amorpha-4,11-diene Synthase: Cloning and Functional Expression of a Key Enzyme in the Biosynthetic Pathway of the Novel Antimalarial Drug Artemisinin,” Planta, vol 212(3), pp. 460-5, 2001. [11] G. Pu, D. Ma, H. Wang, H. Ye, B. Liu, “ Expression and Localization of Amorpha-4,11-Diene Synthase in Artemisia annua L.,” Journal Plant Mol Biol Rep, vol 10.1007/s11105-012-0472-0, 2012. [12] B. Ghosh, S. Mukherjee, S. Jha, “Genetic Transformation of Artemisia annua by Agrobacterium tumefaciens and Artemisinin Synthesis in Transformed Cultures,” Journal Plant Science, vol 122, pp. 193-199, 1997. [13] A. Chahyadi, Transformasi Genetik Artemisia annua L. Menggunakan Agrobacterium dalam Rangkan Produksi Artemisinin, tesis magister, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, 2011.

196


Pengembangan Prototipe Certification Authority untuk Layanan Short Message Service pada Platform Android Certification Authority Prototype Development for Short Message Service in Android Platform Daniel Widya Suryanata dan Dr. Ir. Rinaldi Munir, M. T. Departemen Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Email: 13509083@std.stei.itb.ac.id Departemen Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Email: rinaldi@informatika.org Abstrak- Pada saat ini, salah satu media yang secara luas digunakan untuk berkomunikasi adalah Short Message Service (SMS). SMS murah dan dapat digunakan pada ponsel apapun. Di sisi lain, penipuan via SMS juga meningkat, dan alasan utamanya adalah karena tidak adanya otorisasi pada SMS itu sendiri. Tanda tangan digital adalah sebua solusi untuk memastikan otentikasi SMS yang dikirim, tetapi tanda tangan digital rentan terhadap serangan man in the middle. Satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengimplementasikan infrastruktur kunci publik untuk SMS, dimana terdapat certification authority di dalam infrastruktur tersebut. Certification authority sederhana untuk SMS memungkinkan untuk diimplementasikan pada seluruh platform ponsel cerdas. Pada makalah ini, model certification authority tersebut diimplementasikan dalam bentuk aplikasi Android. Sertifikat digital pengguna dibuat sesuai dengan masukan pengguna dan disimpan pada basis data server. Aplikasi tersebut mampu menambahkan tanda tangan digital di akhir SMS kemudian mengirim SMS tersebut. Aplikasi tersebut juga mampu melakukan verifikasi tanda tangan digital pengirim pesan. Algoritma yang digunakan untuk tanda tangan digital adalah RSA dan SHA-1. Kata kunci---Certification Authority, Infrastruktur Kunci Publik, Tanda Tangan Digital, Short Message Service, Android Abstract- Nowadays, one widely used media for communicating is Short Message Service (SMS). SMS is cheap and can be used in any cell phone. Meanwhile, SMS fraud is increasing as well, and the main reason is because there is no authorization of the SMS itself. Digital signature is a solution to ensure sender’s message authentication, but digital signature is prone to the man in the middle attack. One way to overcome this problem is by implementing public key infrastructure for SMS, which has certification authority element inside the infrastructure. Simple certification authority for SMS is possible to be implemented in all smartphone platforms. In this paper, the certification authority model is implemented as Android application. User’s digital certificate is generated in accordance with user’s input and the certificate is saved in the server database. The application is able to add digital signature in the end of SMS and then send the SMS. The application is also able to do digital signature verification from the sender. Algorithm RSA and SHA-1 are used for the digital signature. Keywords—Certification Authority, Public Key Infrastructure, Digital Signature, Short Message Service, Android

I. PENDAHULUAN SMS adalah media yang secara luas digunakan untuk berkomunikasi dan jumlah SMS yang dikirim meningkat dari tahun ke tahun. Sebanyak 9,8 triliun SMS dikirim pada tahun 2012, jumlah ini meningkat dari tahun 2011 dimana SMS dikirim sebanyak 7,8 triliun [1]. Jumlah penipuan via SMS juga meningkat. Enam puluh sembilan persen dari pengguna SMS mendapatkan spam atau SMS yang tidak diinginkan [2]. Tanda tangan digital merupakan suatu cara untuk mengatasi permasalahan tesebut. Tanda tangan digital dibuat dengan menandatangani hasil hash dari pesan menggunakan kunci privat pengirim. Kemudian penerima menggunakan kunci publik pengirim untuk melakukan verifikasi pesan. Tanda tangan digital adalah metode yang sangat baik untuk memastikan keotentikan pesan, karena jika ada pihak ketiga, yang ingin diakui sebagai pengirim yang sah, tidak memiliki kunci privat dari pengirim yang sah, pihak ketiga tersebut

tidak akan diakui sebagai pengirim yang sah oleh pihak yang melakukan verifikasi. Apabila tanda tangan digital hanyalah satu-satunya metode yang digunakan untuk melakukan verifikasi keotentikan pesan, metode tersebut akan rentan terhadap serangan man in the middle. Sebagai contoh, Alice ingin mengirim sebuah pesan kepada Bob dengan menggunakan tanda tangan digital di akhir pesan tersebut. Skenario normalnya adalah Alice menghitung nilai hash dari pesan tersebut kemudian Alice menandatangani (mengenkripsi) pesan tersebut menggunakan kunci privatnya. Ketika Bob menerima pesan Alice, Bob mengambil kunci publik Alice dan melakukan verifikasi (mendekripsi) tanda tangan digital Alice menggunakan kunci publik tersebut. Bob juga menghitung nilai hash dari pesan yang dikirim tanda tanda tangan digital tersebut. Apabila nilai keduanya sama, maka dapat disimpulkan bahwa pesan tersebut otentik. Tetapi bagaimana apabila Malory, seorang pihak ketiga, berpura-pura menjadi Alice? Yang harus ia lakukan hanyalah mendapatkan pesan yang dikirim oleh Alice,

197


menghapus tanda tangan digital Alice, menandatangani pesan tersebut menggunakan kunci privatnya, dan mengirimnya kepada Bob. Terakhir, ia harus meyakinkan Bob bahwa kunci publiknya adalah kunci publik Alice. Bob tidak memiliki cara untuk memastikan keotentikan kunci publik Alice. Maka Certification Authority (CA) menjadi sangat penting. CA melakukan verifikasi kunci publik pengirim sehingga tidak ada seorang pun dapat berpura-pura menjadi pengirim yang sah. Salah satu penelitian mengenai tanda tangan digital pada SMS adalah penelitian karya Putranto [3] yang membahas mengenai implementasi tanda tangan digital pada SMS. Namun penelitian tersebut mengabaikan peranan CA. Makalah ini akan membahas mengenai CA aplikatif untuk SMS. II. KOMPONEN CERTIFICATION AUTHORITY A. Tanda Tangan Digital dan Sertifikat Digital Tanda tangan digital adalah suatu nilai kriptografis yang bergantung pada pesan dan pengirim pesan, bukan tanda tangan pengirim yang di-digitasi dengan alat scanner [4]. Untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital, penerima hanya perlu untuk mengambil tanda tangan digital yang terletak di akhir pesan, mendekripsinya dengan kunci publik pengirim, menghitung nilai hash dari pesan, dan mencocokan keduanya. Apabila hasil keduanya sama, maka tanda tangan digital tersebut bernilai valid. Skema detil tanda tangan digital dapat dilihat pada Gambar 1. Skema Tanda Tangan Digital.

Gambar 1. Skema Tanda Tangan Digital [4]

Kunci publik pengguna disimpan dalam bentuk sebuah sertifikat digital. Selain mengandung informasi mengenai kunci publik, sertifikat digital juga berisi informasi lain mengenai pengguna serta masa berlaku sertifikat digital tersebut. B. Certification Authority Certification Authority adalah suatu elemen dari infrastruktur kunci publik. Infrastruktur kunci publik dapat diartikan sebagai suatu infrastruktur yang memungkinkan penggunanya untuk membuat kunci publik, mempertukarkan, dan memverifikasi kunci publik orang lain untuk tujuan berkomunikasi dengan aman. Infrastruktur kunci publik

memiliki beberapa tujuan, yaitu memastikan bahwa pengirim dan penerima adalah pengirim dan penerima yang seharusnnya berkomunikasi, bukan seseorang yang menyamar sebagai pengirim atau pun penerima. Tujuan kedua adalah untuk memastikan terjaganya integeritas data [5]. Sebuah infrastruktur kunci publik memiliki beberapa elemen [5] yaitu Certification Authority (CA) yang bertugas untuk membuat sertifikat digital, mengatur informasi status sertifikat digital dan mengeluarkan Certificate Revocation List (CRL), mempublikasikan sertifikat digital dan CRL, dan mengatur archives. Elemen kedua adalah Registration Authority yang mengurus pendaftaran pengguna yang akan menggunakan CA. Elemen ketiga adalah repositories yang merupakan suatu basis data untuk menyimpan semua sertifikat digital yang dikeluarkan CA. Elemen keempat adalah archives yang bertugas sebagai tempat penyimpanan jangka panjang. Elemen terakhir adalah pengguna infrastruktur kunci publik yang terbagi menjadi subjek dan relying party. III. ANALISIS PERANGKAT LUNAK A. Analisis Masalah Sebelum merancang perangkat lunak yang memenuhi syarat sebuah CA, berbagai analisis perlu dilakukan, yaitu: 1. Pemilihan algoritma tanda tangan digital. Algoritma tersebut harus menghasilkan tanda tangan digital yang cukup panjang sehingga cukup aman untuk digunakan namun cukup pendek agar tidak memakan tempat terlalu banyak pada SMS 2. Penyimpanan kunci privat oleh pengguna. Kunci privat tersebut sebaiknya diletakan di tempat yang sulit untuk dijangkau oleh pengguna untuk memberikan pengamanan lebih kepada kunci privat. 3. Metode penyebaran kunci publik kepada pengguna lainnya. 4. Usia dari pasangan kunci pengguna dan CA. Usia tersebut sebaiknya tidak terlalu singkat dan tidak pula terlalu panjang. Apabila usia pasangan kunci terlalu panjang, maka pasangan kunci tersebut akan relatif lebih tidak aman, sedangkan apabila usia pasangan kunci terlalu pendek, proses revocation akan lebih sering terjadi. Pasangan kunci CA memiliki usia yang lebih panjang dibandingkan usia pasangan kunci pengguna, hal ini dikarenakan pentingnya peran pasangan kunci CA, yaitu untuk menandatangani seluruh sertifikat digital pengguna. Apabila sertifikat CA memiliki usia yang singkat, maka seluruh sertifikat digital pengguna yang ditandatangani oleh kunci privat CA tersebut harus di-revoke dan hal ini membutuhkan biaya yang besar apabila jumlah sertifikat digital pengguna besar. B.

Analisis Solusi Jawaban dari seluruh pertanyaan yang ada pada analisis masalah: 1. Algoritma tanda tangan digital adalah algoritma RSA 512 bit. Algoritma tersebut dipilih karena tanda

198


2. 3.

4.

tangan digital yang dihasilkan akan dapat dimasukan ke dalam 1 pesan SMS. Algoritma untuk mencari nilai hash yang digunakan adalah algoritma SHA-1. Kunci privat pengguna disimpan pada tempat penyimpanan internal Android yang sulit dijangkau oleh pengguna. Kunci publik pengguna akan disebarkan dengan cara direktori yang dapat diakses oleh semua pengguna, namun pengguna tidak dapat melihat seluruh sertifkat digital pengguna yang ada di repository, melainkan hanya dapat mengakses sertifikat digital pengirim pesan saja. Hal ini bertujuan untuk melindungi kerahasiaan nomor telepon pengguna lainnya. Usia pasangan kunci pengguna adalah 1 tahun sedangkan usia pasangan kunci CA adalah 5 tahun. IV. RANCANGAN PERANGKAT LUNAK

CA yang dibangun terdiri dari 2 aplikasi yang berbeda, yaitu aplikasi client dan aplikasi server. A. Rancangan Aplikasi Client Aplikasi client berbentuk aplikasi Android dan pemakai dari aplikasi client ini hanya pengguna saja. Pada aplikasi client, pengguna dapat membuat sertifikat digital, memeriksa keabsahan sertifikat digital serta tanda tangan digital yang terkandung di dalam SMS, serta menandatangani pesan. Pada menu membuat sertifikat digital, pengguna harus memasukkan informasi yang berupa nama pengguna, alamat pengguna, alamat email pengguna, serta nomor HP pengguna. Sertifikat digital unik berdasarkan nomor HP, maka apabila ada nomor HP yang sama yang sudah tersimpan pada basis data server, permintaan pembuatan sertifikat digital tersebut akan ditolak. Apabila seluruh informasi tersebut memenuhi format yang benar, data tersebut akan dikirim pada server dan nilai kunci privat pengguna akan disimpan ke dalam penyimpanan internal Android. Pada menu memeriksa keabsahan sertifikat digital, pengguna dapat memeriksa keabsahan dari SMS yang telah diterima oleh pengguna. SMS tersebut disimpan ke dalam basis data yang ada pada aplikasi client. Berikut adalah seluruh kemungkinan kasus untuk hasil verifikasi suatu SMS: 1. Sertifikat digital pengirim tidak terdaftar pada server. Hal ini terjadi apabila SMS tersebut berasal dari nomor yang belum memiliki sertifikat digital resmi yang terdaftar pada basis data server. 2. SMS tidak mengandung tanda tangan. Hal ini terjadi apabila sertifikat digital pengirim dikenali namun SMS tersebut tidak mengandung tanda tangan digital atau tanda tangan digital tidak benar formatnya. 3. Sertifikat digital pengguna telah di-revoke. Hal ini terjadi apabila sertifikat digital pengguna terdaftar pada server dan SMS mengandung tanda tanda tangan digital, namun sertifikat digital pengirim telah di-revoke oleh server sehingga menyebabkan tanda tangan digital tersebut tidak valid.

4.

Sertifikat digital CA tidak valid. Hal ini terjadi apabila sertifikat digital pengguna terdaftar pada server, SMS mengandung tanda tangan, dan sertifikat digital penggna belum di-revoke. Namun Sertifikat digital CA itu sendiri tidak valid. Sehingga menyebabkan sertifikat digital pengguna dan tanda tangan digital pada SMS tidak valid. 5. Sertifikat digital pengirim tidak valid. Hal ini terjadi apabila sertifikat digital pengguna terdaftar pada server, SMS mengandung tanda tangan, sertifikat digital penggna belum di-revoke, sertifikat digital CA valid, namun sertifikat digital pengguna tidak valid apabila dicocokan menggunakan sertifikat digital CA. Hal ini mengakibatkan tanda tangan yang terkandung dalam SMS menjadi tidak valid. 6. Tanda tangan digital pada SMS tidak valid. Hal ini terjadi apabila sertifikat digital pengguna terdaftar pada server, SMS mengandung tanda tangan, sertifikat digital penggna belum di-revoke, sertifikat digital CA valid, dan sertifikat digital pengguna juga valid, namun nilai dari tanda tangan digital tersebut tidak valid apabila dicocokan menggunakan sertifikat digital pengguna. 7. Tanda tangan digital pada SMS valid. Hal ini terjadi apabila keenam hal diatas tidak terjadi, yang berarti pesan tersebut otentik. Pada menu menandatangani pesan, pengguna diminta untuk mengetikkan nomor HP penerima yang dapat dipisahkan dengan tanda koma apabila pengguna ingin mengirim ke lebih dari satu penerima. Pengguna juga diminta untuk mengetikkan pesan. Setelah itu aplikasi client akan secara otomatis menambahkan tanda tangan digital pengguna pada akhir SMS dengan menggunakan kunci privat pengguna. Gambar 2 menunjukkan tampilan beberapa layar dari aplikasi client, yaitu tampilan pembuatan sertifikat digital (gambar kiri), penandatanganan pesan (gambar tengah), dan verifikasi tanda tangan digital (gambar kanan).

Gambar 2. Tampilan Aplikasi Client

B. Rancangan Aplikasi Server Aplikasi server berbentuk website dan pemakai dari aplikasi server ini adalah pengguna dan administrator. Pada aplikasi server, pengguna dapat melakukan log in untuk mengubah password pengguna pada website CA, atau pun melakukan permintaan revocation sertifikat digitalnya kepada

199


administrator. Username dan password pengguna untuk masuk ke dalam website diberikan saat pengguna membuat sertifikat digital dengan cara dikirimkan via email. Untuk mengganti password, pengguna hanya perlu memasukkan password lama, password baru, dan sekali lagi memasukkan password baru, apabila password lama yang dimasukkan benar dan password baru sama dengan password baru yang dimasukkan sekali lagi, maka password akan sukses diganti. Sedangkan untuk mengirimkan permintaan revocation kepada administrator, pengguna hanya perlu mengisi kolom alasan mengapa ingin diadakan revocation setelah itu revocation akan dilakukan. Pada aplikasi server, administrator dapat melihat permintaan revocation sertifikat digital yang dikirim oleh pengguna. Setelah melihat permintaan revocation, administrator berhak untuk me-revoke sertifikat digital pengguna. Pada menu ini, administrator cukup menekan tombol ‘Revoke’ untuk melakukan revocation sertifikat digital pengguna. Sebuah email secara otomatis akan dikirim pada pengguna untuk mengabarkan bahwa revocation berhasil dilakukan. Selain itu, administrator juga dapat melakukan revocation sertifikat digital CA. Hal ini dapat dilakukan apabila administrator merasa sertifikat digital CA sudah tidak aman lagi atau pun karena hilangnya kunci privat CA. Sama seperti revocation sertifikat digital pengguna, administrator hanya perlu menekan tombol ‘Revoke Sertifikat Digital CA’ untuk melakukan revocation sertifikat digital CA. Apabila dilakukan revocation sertifikat digital CA, seluruh sertifikat digital pengguna yang ditandatangani oleh sertifikat digital ini akan di-revoke dan sebuah email akan dikirim pada pengguna untuk mengabarkan hal ini. Setelah revocation sertifikat digital CA dilakukan, pembuatan sertifikat digital CA yang baru akan otomatis dilakukan. Tampilan layar utama aplikasi server dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Tampilan Aplikasi Server

V. IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN Implementasi dilakukan dengan menggunakan bahasa Java untuk aplikasi client serta bahasa HTML dan PHP untuk aplikasi server. Versi minimum SDK dari Android yang harus dimiliki oleh aplikasi client adalah versi 10. Framework PHP yang dipakai adalah CodeIgniter_2.1.3.

Beberapa pengujian dilakukan terhadap perangkat lunak yang dibangun. Pengujian-pengujian tersebut dilakukan untuk menguji keamanan dari perangkat lunak. Pengujian dibedakan menjadi 2, yaitu pengujian pada aplikasi server dan pengujian pada aplikasi client. Pada aplikasi server, dilakukan pengujian SQL injection dan Cross Site Scripting (XSS). Pengujian ini dilakukan untuk melihat masukan pengguna pada kolom yang dapat diisi pada aplikasi server, yaitu pada menu pengguna. SQL injection diuji coba pada saat log in dan pada saat pengguna mengubah password. Sedangkan XSS diuji coba saat pengguna mengubah password dan memasukkan alasan revocation sertifikat digital. Sedangkan pada aplikasi client, pengujian keamanan dilakukan dengan menguji masukan yang dimasukan pengguna pada kolom-kolom yang dapat diisi yaitu pada menu pembuatan sertifikat dan penandatanganan pesan. Pengguna harus memasukkan alamat email dan nomor HP yang valid. Contoh dari pesan yang diberi tanda tangan digital dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Uji Penambahan Tanda Tangan Digital Pesan Awal Nilai Kunci Privat Nilai N

Pesan Akhir

halo, ini pengujian 5949627741552382781841572326345033246801159666579 1804658064339423174793273772241025055120917523551 5823909159571172789174435418163241380805021694314 54677846432771747 2778341011083577586336507225265896327733074587900 3995412029325446294255795781952279761111678912809 4150801461279915243946500377234512469094368200736 5716045253238957221 halo, ini pengujian---begin IndoneCA--1w21hoj8mpxab6woy9f0rhxunv5knxw3jvgapanyd0ckypx32 5hf81xofixittgorpkpzq9hb9yk1796sh4g60li0w2y2roiqggonv vej96---end IndoneCA---

Selain pengujian tersebut, dilakukan beberapa pengujian. Pengujian lainnya meliputi waktu yang dibutuhkan oleh aplikasi CA client untuk membuat sertifikat digital, menandatangani pesan, serta melakukan verifikasi pesan. Pengujian ini dilakukan terhadap beberapa ponsel Android yang memiliki spesifikasi berbeda untuk melihat performa dari masing-masing ponsel tersebut. Pengujian performansi tersebut dilakukan pada 2 jenis ponsel Android, yaitu: 1. Samsung Galaxy 5 I5500 yang memiliki spesifikasi versi Android 2.1, RAM 256 MB, dan kecepatan CPU sebesar 600 MHz. 2. Samsung Galaxy Gio S5660 yang memiliki spesifikasi versi Android 2.3.4, RAM 278 MB, dan kecepatan CPU sebesar 800 MHz. 3. Samsung Galaxy Tab 7.0 yang memiliki sepesifikasi versi Android 3.2, RAM 1 GB, dan kecepatan CPU 1,2 GHz. 4. Samsung Galaxy S3 I9300 yang memiliki spesifikasi versi Android 4.0.4, RAM 1 GB, dan kecepatan CPU sebesar 1,4 GHz.

200


5.

Asus TF300TG yang memiliki spesifikasi versi Android 4.0, RAM 1 GB, dan kecepatan CPU 1,2 GHz. Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian pada pembuatan pasangan kunci pengguna. Dilakukan tiga kali pengulangan pada pengujian ini dan hasil dari pengujian ini adalah jenis ponsel tidak menentukan lamanya waktu pembuatan kunci. Hal ini dikarenakan bilangan yang dibangkitkan bersifat acak sehingga apabila nilai bilangan acak tersebut besar, waktu komputasi yang dibutuhkan juga akan semakin besar. Hasil pengujian performansi penandatanganan pesan ditunjukkan pada Tabel 3, sementara pengujian performansi verifikasi tanda tangan digital ditunjukkan pada Tabel 4. Pada kedua uji performansi tersebut, jenis ponsel sangat menentukan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kedua hal tersebut. Waktu yang dibutuhkan oleh Samsung Galaxy S3 lebih sedikit disbanding waktu yang dibutuhkan oleh Samsung galaxy Gio. Pada pengujian panjang SMS yang dihasilkan setelah tanda tangan digital ditambahkan, nilai kunci privat dan nilai N pengguna memengaruhi panjang pesan yang dihasilkan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Dapat dipastikan bahwa panjang tanda tangan digital yang ditambahkan pada akhir pesan SMS tidak akan melebihi 1 SMS. Berikut adalah pesan yang digunakan dalam pengujian ini: 1. Pesan 1 (pada Tabel 5): “halo”. 2. Pesan 2 (pada Tabel 6): “Pemberitahuan, besok tolong berkumpul jam 6 tepat, terima kasih”. 3. Pesan 3 (pada Tabel 7): “kriptografi dapat diartikan sebuah studi mengenai teknik matematis yang berkaitan dengan aspek keamanan informasi seperti kerahasiaan, integritas data, otentikasi, dan nir penyangkalan”.

jam 6 tepat, terima kasih

Tabel 4. Uji Verifikasi Tanda Tangan Digital Pesan

Waktu (ms) Samsung Galaxy 5

Samsung Samsung Samsung Asus Galaxy Gio Galaxy Tab Galaxy S3 TF300TG 7.0

halo + (tanda tangan digital)

1015

830

276

175

232

Pemberitahua n, besok tolong berkumpul jam 6 tepat, terima kasih + (tanda tangan digital)

1865

1487

393

317

436

halo

836

799

481

325

180

Nilai kunci privat yang digunakan pada Tabel 5, Tabel 6, dan Tabel 7 adalah: 1. Kunci Privat 1: 17345417581851476343098197271073592900438721 43742617681347806362292746329621995319120691 61206818396751549101208673891592668765752076 3825266585387721550446000131201947. 2. Kunci Privat 2: 17010384286456948568607336752025265822770583 28574049723019820903851514827106709226133816 55682945625762912139483143550378896665640744 17758791552258381594130269316341. 3. Kunci Privat 3: 29115805878136402583805740364204359582338623 31427503040302244518469259071245027745444689 92036888211368425905195456870091135778736402 1796518723876131344276496936068945. Sedangkan nilai N yang digunakan adalah: 1. N1: 27811998154825187540624677568377299579045942 97194300973700634173888596800469575243049533 18504010927902585906460411395600956249259506 7484718673013971286771688388513349. 2. N2: 33472153406319298949565210580988798350570092 98065645526544438301106966269338429823102885 57619716424099473403123292069810069515377615 8566218210549855622289958174572067. 3. N3: 30461185361953798570818202564303459153519560 71557246636395532289329657596944087510182032 54067772826557240720386333586480638364668193 8663732412805499649735047119892357.

Pemberitahua n, besok tolong berkumpul

1631

1427

735

398

376

Tabel 5. Uji Panjang SMS Pesan 1

Tabel 2. Uji Pembuatan Pasangan Kunci Jenis HP

Waktu 1 (ms)

Waktu 2 (ms)

Waktu 3 (ms)

Samsung Galaxy 5

859

2092

778

Samsung Galaxy Gio

668

1600

722

Samsung Galaxy Tab 7.0

576

447

159

Samsung Galaxy S3

828

427

405

Asus TF300TG

1282

212

286

Tabel 3. Uji Penandatanganan Pesan Pesan

Waktu (ms) Samsung Galaxy 5

Samsung Samsung Samsung Asus Galaxy Gio Galaxy Tab Galaxy S3 TF300TG 7.0

201


Tabel 6. Uji Panjang SMS Pesan 2

Untuk pengembangan selanjutnya, akan sangat baik apabila: 1. Registration Authority diimplementasikan karena pada makalah ini, seluruh masukan identitas pengguna dianggap valid, sedangkan infrastruktur kunci publik yang ideal melakukan validasi terhadap identitas pengguna. 2. Komunikasi antara client dan server hendaknya memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi. Hal ini dapat diimplementasikan dengan melakukan enkripsi terhadap pesan yang dikirim. 3. Algoritma tanda tangan digital yang lebih efisien, seperti Elliptic Curve Digital Signature Algorithm, hendaknya dipakai. Hal ini bertujuan untuk memperpendek kunci pengguna. UCAPAN TERIMA KASIH

Tabel 7. Uji Panjang SMS Pesan 3

Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat bantuan dan rahmat-Nya lah makalah ini dapat diselesaikan. Terima kasih kepada Dr. Ayu Purwarianti M.T. yang telah memberikan opini kedua kepada penulis. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh dosen, tata usaha, dan karyawan Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung yang telah secara langsung maupun tidak langsung membantu penulisan makalah ini. Penulis juga berterima kasih pada teman-teman penulis yang telah bersedia penulis tanyai dalam pembuatan aplikasi CA ini, yaitu Edwin Lunando, Georgius Rinaldo, Hartono Sulaiman Wijaya, dan Irvan Jahja. Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan makalah dan pengerjaan aplikasi ini yang namanya tidak dapat disebut satu per satu. DAFTAR PUSTAKA [1] [2]

KESIMPULAN DAN PENGEMBANGAN Model Certification Authority tidak hanya dapat diimplementasikan pada website saja, namun juga pada SMS. Certification Authority tersebut dapat diimplementasikan dengan aplikasi client-server. Aplikasi Android menjadi aplikasi client yang dipakai oleh pengguna dan berfungsi untuk membuat sertifikat digital, memastikan keabsahan sertifikat digital CA dan pengguna, serta menandatangani SMS. Sedangkan website menjadi aplikasi server dan befungsi untuk melakukan revocation sertifikat digital pengguna dan CA, membuat sertifikat CA, serta sebagai repository CA. Tanda tangan digital cocok untuk SMS. Hal ini dibuktikan dengan pemrosesan yang tidak memakan banyak waktu pada saat membuat sertifikat digital, menandatangani pesan, maupun melakukan verifikasi pesan. Selain itu tanda tangan digital yang tidak akan melebihi 1 SMS juga merupakan trade off yang sesuai.

[3]

[4] [5]

CMO Council, “Facts Tagged With SMS”. Diperoleh 16 Juli 2013, dari http://www.factbrowser.com/tags/sms/, November 2012. Pew Research Center, “Facts Tagged With SMS”. Diperoleh 16 Juli 2013, dari http://www.factbrowser.com/tags/sms/, Agustus 2012. Putranto, A Kurniawan Dwi, “Penerapan Digital Signature pada Aplikasi SMS Android”, dari http://informatika.stei.itb.ac.id/~rinaldi.munir/Kriptografi/20112012/Makalah2-2012.htm, Mei 2012. Munir, R, “Diklat Kuliah IF3058, Kriptografi”, penerbit Informatika, Bandung, 2009. Kuhn, D R, Hu, V C, Polk, W T, Chang, S J, “Introduction to Public Key Technology and the Federal PKI Structure”, dari http://www.nist.gov, Februari 2001.

202


Analisis Unsur Plagiarisme pada Karya Tulis Ilmiah dengan Menggunakan Algoritma Text Mining Melalui Metode Pendekatan Semantik An Analysis of Plagiarism Elements in Scientific Writing Using the Text Mining Algorithm through a Semantic Approach Rhiza S Sadjad Muhaimin Hading Mukarramah Yusuf Pratiwi Hamdhana AM rhiza@unhas.ac.id hading.muhaimin@aiesec.net pratiwihamdhana@gmail.com mukarramah.yusuf@gmail.com Jurusan Teknik Elektro, Universitas Hasanuddin, Makassar Abstrak- Plagiarisme merupakan suatu tindakan dimana para pelakunya melakukan penjiplakan atas hasil karya orang lain, baik itu berupa benda ataupun karya tulis. Plagiarisme sendiri sudah menjadi bagian dari tindak pidana yang mutlak di mata hukum. Di kalangan pelajar/mahasiswa, plagiarisme merupakan tindakan yang sudah sangat sering dijumpai, khususnya pada dokumen teks. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya hal tersebut, salah satunya yakni mendeteksi unsur plagiarisme dari sebuah karya tulis yang dianggap memiliki kemiripan/indikasi kesamaan dengan karya-karya tulis sebelumnya, melalui sebuah sistem yang menggunakan algoritma Text Mining dengan metode pendekatan semantik. Sistem ini dibuat dengan tujuan untuk membantu menganalisis dan mendeteksi kemiripan beberapa dokumen yang dicurigai mengandung unsur plagiarisme dengan menampilkan derajat kemiripan dari setiap dokumen tersebut. Sistem yang dibuat ini merupakan pondasi dasar yang kelak dapat dikembangkan untuk membuat aplikasi yang lebih detail dalam menilai dan mendeteksi unsur plagiarisme pada karya tulis. Dengan menggunakan metode tersebut, dilakukan pengujian terhadap 8 dokumen, 1 dokumen sebagai query. Hasil tersebut menunjukkan bahwa salah satu dokumen memiliki tingkat kesamaan yang tinggi terhadap query. Kata kunci - Plagiarisme, Algoritma Text Mining, Karya Tulis, Semantik. Abstract- Plagiarism is an act in which the actors replicating other people’s work, either in the form of objects or papers. According to the law policy, plagiarism has become a criminal action. Plagiarism is often found in students’ life, mostly about text documentations. There are several of ways to detecting plagiarism elements in scientific writing. This paper purpose to indicates similarities with the prior scientific writings by a system text mining algorithm through a semantic approach method. This system is developed to analyze and detect similarities of some documents suspected having plagiarism elements by showing the similarity degree of each document. It was created as the basic foundation that can be developed later to make more detail application in assessing and detecting the plagiarism elements in a scientific writing. Using this method are examined 8 documents, using 1 of documents as a query. It is clearly shown that 1 of the documents strongly similar to the query. Keywords- Plagiarism, Text mining Algorithm, Scientific writing, Semantic

I.

PENDAHULUAN

Plagiarismeadalah pengakuan terhadap karya orang lain baik berupa tulisan, ide ataupun gagasan sebagai hasil karya sendiri tanpa menyebutkan referensinya [8,5]. Pada dasarnya plagiarisme tidak hanya menyangkut masalah tentang pengakuan hak cipta atau karya orang lain tetapi juga sebagai pembohongan publik dengan mengatakan bahwa karya tersebut merupakan karya aslinya. Kejujuran adalah etika dalam melakukan segala sesuatu, begitupun dalam melakukan sebuah penelitian atau penulisan karya ilmiah. karena kebohongan dapat berakibat fatal bagi para peneliti, institusi akademis ataupun organisasi yang mensponsori penelitian tersebut [2,6]. Beberapa penelitian terkait mengenai sistem pendeteksi plagiarisme telah dilakukan sebelumnya, salah satunya oleh Audi Novanta, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Audi Novanta melakukan penelitian untuk membuat aplikasi pendeteksi plagiarisme dengan menggunakan algoritma Smith-Waterman secara terkomputerisasi [5]. Namun ada beberapa hal yang kurang dari penelitian tersebut yaitu penelitian tersebut hanya dapat membandingkan dua buah dokumen dalam sekali proses dan hanya memberikan nilai positif kepada kata yang sama, artinya penelitian tersebut menghitung jumlah kata yang sama antar dokumen, padahal terkadang ada dokumen yang memiliki jumlah kata yang sama sekitar 50% tetapi jika diteliti lebih jauh dan dimaknai sebenarnya dokumendokumen tersebut berbeda. Oleh karena itulah, kami kemudian berinisiatif untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pendeteksi plagiarisme tersebut, dengan melakukan beberapa penelitian yang lebih detail khususnya dalam perbandingan kata, yang tidak hanya membandingkan jumlah katanya, melainkan juga meneliti lebih dalam makna kata dan kalimat yang

203


terkandung melalui metode pendekatan semantik. Selain itu dapat mendeteksi 3 dokumen atau lebih. Tujuan utama dari penelitian ini adalah membangun suatu sistem aplikasi yang dapat menganalisis unsur plagiarisme pada karya tulis ilmiah dengan menggunakan algoritma text mining melalui metode pendekatan semantik. Selain itu sistem ini hanya dapat digunakan pada karya tulis ilmiah berbahasa Indonesia dan berupa file text, artinya gambar dan tabel akan diabaikan. II. SISTEM ANALISIS UNSUR PLAGIARISME Cara kerja sistem analisis unsur plagiarisme dapat dilihat pada Gambar 1 dimana skema tersebut merupakan proses pendeteksian tanpa semantik. Sedangkan, proses semantik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan membentuk kata benda majemuk. Kata benda majemuk terbentuk dengan bantuan tagging terhadap kata-kata dalam dokumen-dokumen tersebut. Penelitian part-of-speech tagger dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Alfan dan Purwarianti [7]. Tagging kemudian membentuk benda majemuk yang akan membentuk token baru yang terdiri dari beberapa kata. Token perkata akan memiliki makna yang berbeda dengan token yang terbentuk dari kata benda majemuk. Pendekatan semantik dengan kata benda majemuk dapat dilihat pada gambar 3 dan menggunakan aturan-aturan sebagai berikut : Jika dalam dokumen yang telah di “tag” terdapat susunan kata seperti di bawah ini dan berlaku sebaliknya secara acak maka di bentuk sebuah token baru yang berupa gabungan dari beberapa kata yang memiliki makna yang berbeda jika hanya token satu kata. Minimal terdapat dua aturan tagging dibwah ini yang bertemu atau bedekatan. • NNP+NNG+NN+VBT • NN+NNP+NNG+NN • NNG+NN+JJ • RB+JJ

Jika tidak memenuhi aturan-aturan diatas maka, maka kata tersebut tetap menjadi satu token (satu kata). Jika aturan-aturan tersebut terpenuhi, ,maka secara otomatis akan terbentuk frase atau kata benda majemuk. Contoh token kata benda majemuk yang terbentuk : • Indonesia/NNP merupakan/VBT negara/NN • memiliki/VBT pola/NN curah/NN hujan/NN • Kota/NN Makassar/NN • pola/NN hujan/NN monsoon/NN • kondisi/NN geografis/JJ • Indonesia/NNP berbeda-beda/JJ • tugas/NN akhir/JJ • lebih/RB baik/JJ • terlebih/RB dahulu/JJ Keluaran system berupa nilai bobot(W) dokumendokumen terhadap query. Nilai bobot diperoleh dari perhitungan TF-IDF sesuai dengan Pers. (1). = = = =

× ×

(1)

Dimana : = = adalah bobot term terhadap dokumen = = adalah kemunculan term terhadap dokumen D = Jumlah semua dokumen dfj =adalah jumlah dokumen yang mengandung term tj[1, 3, 4] Jika hanya menggunakan nilai W, hasil yang diproreleh terkadang cukup sulit untuk mendeteksinya oleh karenanya dibutuhkan perhitungan sudut cosinus query terhadap dokumen. Perhitungan tersebut menggunakan rumus vector space model. Untuk memperoleh nilai besar sudut tersebut digunakan Pers. (2). Hasilnya berupa besar sudut kemiripan dokumen-dokumen terhadap query. Indikasi pengukuran tingkat plagiarisme adalah antara 00–900(derajat). Gambaran hubungan antara query dan dokumen pembanding dalam sebuah vektor dapat dilihat pada Gambar. 2

Q d1 d2 d3 t Gambar. 2 Model vector space [4]

cosSim

Gambar . 1 Skema Perhitungan TF-IDF& Vector Space Model (Non Semantik)

,

= =

⃗ × × ⃗ = ⃗ × | ⃗|

Dimana : t = kata di dalam dokumen d = dokumen q = query [1, 3, 4 ]

∑ ∑

(

× ×

) ∑ (2)

204


• • •

Dokumen-dokumen yang menggunakan metode ASTAR dan ANFIS Dokumen-dokumen yang menggunakan metode SVM dan ANFIS Dokumen-dokumen yang menggunakan metode Neural Network Tabel. 1 Sampel Skripsi

Menggabungkan satu Token : NNP+NNG+NN+VBT NN+NNP+NNG+NN NNG+NN+JJ RB+JJ

No

Dokumen

Tujuan

Metode

A

Prediksi Curah Hujan di Wilayah Makassar

Adaptive Neuro Fuzzy Inferensi System (ANFIS)

B

Prediksi Curah Hujan di Wilayah Makassar

Adaptive Spline Threshold Autoregression (ASTAR)

Tetap 1 kata (tagging) 1 token

Yes Perhitungan TF-IDF dan Vector Space Model masingmasing dokumen terhadap query

Stop

C Gambar. 2 Skema penggabungan beberapa kata menjadi token (pembentukan kata benda majemuk)

III. PENGUJIAN SISTEM Kami melakukan pengujian terhadap dokumendokumen yang tertera pada Tabel 1. Sampel dokumendokumen pada tabel 1 adalah skripsi dari mahasiswamahasiswa jurusan Teknik Elektro Universitas Hasanuddin untuk menyelesaikan program Srata-1. Sampel yang di pilih adalah dokumen yang hampir memiliki tema yang sama yaitu skripsi yang bertujuan untuk prediksi curah hujan di wilayah makassar. Skripsi tersebut juga di tinjau dari metode yang di gunakan, ada yang menggunakan metode AI(SVM, ANFIS dan Neural Network) dan Statistik (ASTAR). Selanjutnya sampel tersebut klasifikasikan ke dalam beberapa jenis pengujian, yakni : 1. Umum Di mana keseluruhan skripsi akan dibandingkan secara bersama-sama, dengan memilih salah satu judul sebagai query. 2. Tujuan Sama, Metode Berbeda Membandingkan dokumen-dokumen yang memiliki tujuan yang sama namun diproses dengan cara yang berbeda, dalam kasus ini terdapat 2 bagian : • Dokumen-dokumen dengan judul “Prediksi Curah Hujan di Kota Makassar...” • Dokumen-dokumen dengan judul “Prediksi Nilai Tukar Valuta Asing...” dan dengan judul “Deteksi Illegalloging…” 3. Tujuan Berbeda, Metode Sama Membandingkan dokumen-dokumen yang menggunakan metode yang sama namun untuk tujuan yang berbeda, dalam hal ini terdapat tiga bagian :

D

E

F

G

H

Prediksi Curah Hujan di Wilayah Makassar Prediksi Curah Hujan di Wilayah Makassar Prediksi Curah Hujan di Wilayah Makassar Prediksi Nilai Tukar Valuta Asing Prediksi Nilai Tukar Valuta Asing Deteksi Illegal Logging

Genetic Algorithm – Neural Netwrok Radial Basis Function Neural Network

Support Vector MachineFuzzy Logic

Penulis Mirna Andriani dan Khusnul Khatimah Mansur Gunawan Tari Mangopo dan Yosef Rudolf Lisu Michael Palinggi T dan Andarias Eno Sutan Faizal Lubis dan Ika Safitri Ismail Andita Dani Ahmad dan Andi Triska Maulana

Adaptive Spline Threshold Autoregression (ASTAR)

Sofyan Tandungan dan Andika A. Hakim

Support Vector Machine (SVM)

Helfi Febe Wijaya dan Dewi Lestari

Wavelet Neural – Network

Aninditya Nurul Jafar dan Mustafa Mathar

IV. HASIL PENGUJIAN SISTEM Berikut adalah hasil pengujian berdasarkan klasifikasi dokumen-dokumen di atas, hasil yang di peroleh berupa nilai weight term (W) tiap dokumen, dan besar sudut antara query dan dokumen-dokumen pembanding. Untuk hasil

205


besar sudut (Vektor space/VS) pengukuran tingkat plagiarisme adalah antara 00–900(derajat), dengan penjelasan singkat bahwa jika nilai yang di peroleh : a. 00 = Memiliki unsur plagiarisme 100% b. 00<x> 450= Memiliki unsur plagiarisme ± 50% c. 450<x>900=Memiliki unsur plagiarisme antara 49%-1% d. 900 = Memiliki unsur plagiarisme kurang dari 1% Setiap pengujian dipilh satu dokumen sebagai query. Hasil tersebut nantinya yang akan menjukkan seberapa mirip dokumen-dokumen tersebut terhadap dokumen yang menjadi query. Hasilnya juga membandingkan antara sistem yang tidak menggunakan semantik (! S) dan sistem yang menggunakan semantik (S) (menjadikan kata benda majemuk/ frase sebagai token). Hal ini dilakukan untuk mengetahui sebarapa besar perbedaan antara tidak semantik dan semantik, dengan parameter dan rumus perhitungan yang sama yaitu perhitungan weigth term (W) dan besar sudut (VS), perbedaan hanya terdapat pada token yang terbentuk. Berikut contoh hasil pengujian sistem : 1. Umum Menjadikan dokumen F sebagai query, dan dokumen A, B, C, D, E, G, dan H menjadi dokumen pembandingnya. Hasil pengujuian dengan kategori umum dapat dilihat pada tabel 2. Tabel. 2 Hasil pengujian Umum

Hasil Dokumen

G H A B C D E

Weight (W) (! S) S 774.574 490.191 153.952 97.822 133.527 54.573 752.328 622.863 231.025 148.054 206.376 131.504 306.025 144.644

Besar Sudut (VS) (! S) S 47.339 55.3667 89.4316 89.3995 89.1981 89.2266 63.1392 69.3389 89.2805 88.7872 88.4725 88.6905 89.0323 88.9531

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa dengan perhitungan W tanpa semantik menunjukkan dokumen G memiliki nilai terberat kemiripannya terhadap dokumen F yaitu 774.574 dan menurut perhitungan sudut vektor space tanpa semantik di peroleh nilai 47.3390. Nilai ini menunjukkan bahwa dokumen G mendekati nilai 50% kemiripan (450). Hal ini dikarenakan kedua dokumen tersebut bertema sama yakni “nilai tukar valuta asing”, sehingga kemungkinan besar pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai nilai tukar valuta asing berasal dari sumber yang sama, namun setelah pengujian dengan sistem semantik, bobot yang di hasilkan menurun 284.383, dan besar susut yang di hasilkan meningkat ± 80, atau dengan kata lain nilai kedua dokumen dianggap tidak begitu mirip jika dianalisi lebih lanjut. Tetapi, karena nilainya masih berkisar di antara ± 500, maka tidak ada salahnya kedua dokumen ini diberi perhatian lebih untuk dianalisis lebih lanjut baik membandingkan secara manual atau dengan sistem yang jauh lebih baik ke depannya. Hal lainnya yang perlu diperhatikan lebih adalah dokumen B. Hal ini dikarenakan metode yang digunakan

dokumen B sama dengan motode dokumen F yakni “ASTAR” sehingga sistem mendeteksi adanya kemiripan yang signifikan di bandingkan dokumen-dokumen lainnya. 2.

Tujuan Sama, Metode Berbeda Dokumen-dokumen dengan judul “Prediksi Curah Hujan di Kota Makassar...” . Terdapat lima dokumen (A-E). Dokumen yang dijadikan query adalah dokumen D, dokumen A, B, C dan E menjadi dokumen pembandingnya. Hasil pengujian prediksi curah hujan di kota makassar dapat dilihat pada tabel 3. Tabel. 3 Hasil pengujian Prediksi Curah Hujan di Kota Makassar

Hasil Dokumen

E A B C

Weight (W) (! S) S 296.928 144.513 156.772 82.6438 179.685 115.461 226.167 163.063

Besar Sudut (VS) (! S) S 85.692 85.4993 77.7107 87.4819 86.7259 87.3489 81.6003 76.7693

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa dengan perhitungan W tanpa semantik menunjukkan dokumen A yang sebelumnya di katakan memiliki tingkat kesamaan tertinggi terhadap dokumen D di bandingkan dokumen lainnya. Tetapi setelah dilakukan pengujian pada sistem semantik, hasilnya berubah menjadi dokumen C yang memiliki tingkat kemiripan tertinggi di bandingkan tiga dokumen lainnya. Hal ini dikarenakan dokumen D dan C memiliki kesamaan metode dan tujuan, yaitu metode tentang neural network dan hujan. Hasil yang diperoleh menujukkan nilai 76.76980, nilai tersebut hanya kurang ±140dari 900. Dokumen-dokumen dengan judul “Prediksi Nilai Tukar Valuta Asing...” dan dengan judul “Deteksi Illegalloging…” . Dokumen F menjadi query dan dokumen G dan H menjadi pembandingnya. Hasil pengujian Prediksi Nilai Tukar Valuta Asing dapat dilihat pada tabel 4. Tabel. 4 Hasil pengujian Prediksi Nilai Tukar Valuta Asing

Hasil Dokumen

G H

Weight (W) (! S) S 396.965 226.675 85.4925 56.3029

Besar Sudut (VS) (! S) S 41.869 58.249 88.2702 87.6033

Dari tabel 4, dapat dilihat dokumen G sebelumnya dikatakan memiliki unsur kemiripan sebab nilai yang diperoleh dibawah 450dan bobotnya berbeda jauh dengan dokumen H. Tetapi setelah dilakukan proses semantik, sistem mengatakan perubahan yang cukup berbeda, bahkan melewati angkat 500, yang membuktikan bahwa dokumen tersebut berbeda, tetapi tetap harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Hal ini dikarenakan kedua dokumen tersebut membahas tentang “nilai tukar valuta asing” sedangkan dokumen H membahas tentang deteksi illegalogging. 3.

Metode Sama, Tujuan Berbeda Dokumen-dokumen yang menggunakan metode ASTAR di bandingkan dengan metode ANFIS. Dokumen B menjadi query dan dokumen A dan F menjadi pembandinya.

206


Hasil pengujian metode ASTAR dan ANFIS dapat dilihat pada tabel 5.

– Neural Netwrok dan Radial Basis Function Neural Network.

Tabel. 5 Hasil pengujian metode ASTAR dan ANFIS

V. PENUTUP Dari penelitian yang telah kami lakukan untuk mendeteksi unsur plagiarisme terhadap dokumen-dokumen tersebut dengan membandingkan hasil sitem semantik dan sistem tidak semantik dapat diketahui bahwa dokumendokumen dengan tujuan yang sama tetapi menggunakan metode yang berbeda, tidak memiliki tingkat kemiripan yang signifikan. Sedangkan dokumen-dokumen yang memiliki metode yang sama namun tujuan berbeda cenderung menghasilkan angka kemiripan yang tinggi ketika dianalisis dengan menggunakan metode non semantik, namun akan berkurang ketika dianalisis lebih lanjut dengan metode semantik. Namun,hasil yang diperoleh dari penelitian ini tidak lantas menunjukkan dan menilai dokumen-dokumen yang nilainya cenderung tinggi telah melakukan tindaka plagiarisme, hanya saja dengan angka-angka yang ditunjukkan, maka dengan mudah dapat diketahui dokumen mana saja yang butuh perhatian lebih dan analisis lebih lanjut apakah memang dokumendokumen tersebut mirip ataukah tidak sama sekali. Sistem ini masih perlu dikembangkan lebih lanjut, sehingga kelak mampu memberikan hasil yang lebih baik dalam menganalisis dan membandingkan dokumendokumen dan tidak hanya terbatas pada karya tulis ilmiah saja, namun juga dokumen lainnya. Penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam dalam menganalisis kemiripan dokumen perlu dilakukan ke depannya, baik itu pengembangan dalam pemaknaan kata pada metode semantik ataukah menemukan metode-metode lainnya yang jauh lebih baik dalam menganalisis dokumen. Bahkan jika memungkinkan sistem yang dihasilkan kelak akan mampu secara langsung dan detail mendeteksi apakah dokumen tersebut melakukan plagiarisme atau tidak sama sekali.

Hasil Dokumen

F A

Weight (W) (! S) S 368.761 279.957 290.795 134.862

Besar Sudut (VS) (! S) S 72.1092 72.7663 65.8415 67.2773

Dari tabel 5 , dapat diketahui bahwa dokumen B memiliki unsur kesamaan dengan kedua dokumen yang menjadi pembandingnya yaitu dokumen F dan A, karena nilai yang diperoleh juga tidak begitu jauh berbeda. Perlu diberikan perhatian terhadap ketiga dokumen tersebut. Hal ini dikarenakan dokumen B dan A membahasa tentang hujan, sedangkan dokumen B dan F memiliki metode yang sama yaitu ASTAR. Dokumen-dokumen yang menggunakan metode SVM dengan metode ANFIS. Dokumen E menjadi query dan dokumen A dan G menjadi pembandingnya. Hasil pengujian metode SVM dan metode ANFIS dapat dilihat pada tabel 6. Tabel. 6 Hasil Hasil pengujian metode SVM dan metode ANFIS

Hasil Dokumen

G A

Weight (W) (! S) S 384.716 305.845 306.147 163.158

Besar Sudut (VS) (! S) S 70.6195 65.0236 68.6656 72.8713

Dari tabel 6 dapat dokumen G yang di uji pada program tidak semantik memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengujian dengan semantik, hal ini menunjukkan bahwa dokumen tersebut memilik unsur kemiripan, walaupun hanya berbeda ±50dari sebelumnya. Karena dokumen E dan G menggunakan metode yang sama yaitu SVM. Berbeda halnya dengan dokumen A yang memberikan hasil perubahan sudut yang lebih mendekati tidak mirip (900), walaupun sama-sama membahas tentang prediksi curah hujan. Dokumen-dokumen yang menggunakan metode Neural Network. Dokumen D menjadi query dan dokumen C dan H yang menjadi pembandingnya. Hasil Pengujian metode Neural Network dapat dilihat pada tebel 7. Tabel. 7 Hasil Pengujian metode Neural Network

Hasil Dokumen

C H

Weight (W) (! S) S 417.227 173.092 121.315 70.1399

Besar Sudut (VS) (! S) S 38.5807 66.0852 88.9831 87.0442

Berdasarkan data dalam tabel 7 dapat dilihat bahawa dokumen D dan C memiliki tingkat kemiripan yang sangat tinggi ketika di uji pada sistem tidak semantik, tetapi terjadi pula perubahan yang cukup besar sekita ±300setelah diuji pada sistem semantik. Sekalipun nilai yang dihasilkan cukup berbeda, kedua dokumen tersebut tetap harus diperhatikan lebih jauh karena kedua dokumen tersebut membahas tentang prediksi curah hujan di wilayah makassar dengan metode yang hampir sama yaitu Genetic Algorithm

DAFTAR PUSTAKA [1] Ao,Sio-Long; Oscar Castillo, Xu Huang (ed.). 2011. Intelligent Control and Computer Engineering. New York : Spinger [2] Daymon,Christine dan Immy Holloway. 2002. “Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relation dan Marketing Communications. Terjemahan oleh Cahya Wiratama.2008.Yogyakarta : Bentang [3] Feldman, Ronen dan James. 2007. “The Text Mining Handbook : Advanced Approaches in Analyzing Unstructured Data. New York : Cambridge University Press [4] John,Elder(ed.).2012. “Pratical Text Mining and Statistical Analysis for Non-Structured Text Data Applications. Oxford : Academic Press [5] Novanta, Audi. 2009. “Pendeteksi Plagiarisme pada Dokumen Text dengan Menggunakan Algoritma SmithWaterman”. Skripsi Medan : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara [6] Sare, Yuni dan Petrus Citra. 2011. Antropologi SMA/MA XII. Jakarta : Grasindo

207


[7] Wicaksono, Alfan Farizki dan Ayu Purwarianti. “HMM Based Part-of-Speech Tagger for Bahasa Indoensia. Proceedings of 4th International MALINDO (Malay and Indonesian Language) Workshop, 2nd . August 2010 [8] Winaryo, Yunita; Totok Suhardiyanto;Ezra M Choesin. 2004. “Karya Tulis Ilmiah : Sosial Menyiapkan, Menulis dan Mencermatinya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

208


Rancang Bangun Sistem Pendeteksian dan Monitoring Harmonisa Menggunakan Metode DFT Design of Harmonics Detection and Monitoring System Using DFT Method 1,2

Dimas Okky Anggriawan!,a, Ardyono Priyadi2,b, Mauridhi Hery Purnomo3,c Department of Electrical Engineering, ITS, Surabaya. aEmail: dimas.okky09@mhs.ee.its.ac.id, b Email: priyadi@ee.its.ac.id 3 Department of Electrical Engineering, ITS, Surabaya, chery@ee.its.ac.id

Abstrak ² Dewasa ini per kembangan teknologi yang pesat membuat peningkatan beban ± beban non linier. H al ini akan menyebabkan gelombang arus dan tegangan pada sistem tenaga listrik terdistorsi atau yang sering disebut harmonisa sehingga mengakibatkan keamanan dan kualitas pada sistem tenaga listrik terganggu. Untuk mengatasi permasalahan harmonisa pada sistem tenaga listrik diperlukan integrasi antara pengukuran dan pefilteran. O leh karena itu, dalam penelitian ini, dibuat rancangan prototipe untuk mendeteksi dan memonitoring harmonisa. Prototipe menggunakan mikrokontroller A V R A T mega 16 sebagai perangkat untuk akusisi data antara C T-235 dan personal computer 0HWRGH DQDOLVLV \DQJ GLJXQDNDQ XQWXN PHQGDSDWNDQ QLODL 7+'஘ DGDODK discrete fourier transform (D F T) dan digunakan software Borland Delphi 7.0 untuk menampilkannya. Prototipe ini mampu mendeteksi keberadaan harmonisa 15 atau frekuensi 750 H z dengan rata ± rata kesalahan pembacaan arus r.m.s pada beban linier dan non-linier sebesar 20,4% dan 19%, kemudian rata - UDWD NHVDODKDQ SHPEDFDDQ QLODL 7+'஘ SDGD EHEDQ OLQLHU GDQ QRQ - linier sebesar 40% dan 64%. Kata Kunci ² monitoring harmonisa, M ikrokontroller A V R atmega 16, Analog to Digital Converter (A D C), metode D F T , T H D i. Abstract² Nowadays, fast development of technology make increasing a non linear loads. T his matter will cause a cur rent waveform and a voltage waveform in power system is distorted or often is called harmonics so result a safety and a quality in power system is disturbed. For overcome the problem of harmonics in power system be required integration between measurement and filtering. T herefore, at this research, be made a prototype design to detect and monitoring harmonics. Prototype will use a microcontroller A V R A T mega 16 as devices to a data acquisition between C T-235 and P C . A n analysis method that be used to get a T H D i value is discrete fourier transform (D F T) and software borland delphi 7.0 to display. T his prototype can detect presence of harmonics 15 or frequency 750 H z with er ror reading for cur rent r.m.s of a linear loads and a non ± linear loads is 20.4% and 19%, then er ror reading for T H D i value of a linear loads and a non ± linear loads is 40% and 64%. Keywords² H armonics monitoring, M icrocontroller A V R A T mega 16, A nalog to Digital Converter (A D C), D F T method, T H D i.

analizer tetapi mempunyai kelemahan yaitu power quality analizer memiliki harga yang mahal, tidak dapat dipasang secara permanen untuk melakukan pemantauan dan terbatas penggunaannya pada satu produsen yang sama (satu jenis merk) sehingga sulit terintegrasi dengan sistem SCADA [2]. Oleh karena itu, pada paper ini akan membuat prototipe pendeteksi dan monitoring harmonisa dengan menggunakan CT-235 untuk mendapatkan data analog dari gelombang arus pada sistem tenaga listrik dan metode analisis Discrete Fourier Trasnform (DFT) untuk mengubah gelombang arus dalam domain waktu menjadi domain frekuensi. Prototipe menggunakan mikrokontroller sebagai interface antara current transformer dengan personal computer yang bertujuan untuk mengolah data analog menjadi data digital untuk dianalisis di personal computer. Borland delphi sebagai software untuk menampilkan gelombang output ADC, gelombang arus, nilai arus r.m.s, spektrum arus dalam domain frekuensi dan nilai THDi.

I. PENDAHULLUAN Penggunaan beban ± beban non linier seperti yang terdapat pada inverter, rectifier, lampu fluorescent dengan elektronik ballast, komputer, mesin fotocopy, mesin fax, televisi, UPS, Variable Speed Drive (VSD) untuk motor asinkron atau motor DC menyebabkan gelombang arus dan tegangan pada sistem tenaga listrik terdistorsi atau yang sering disebut harmonisa yeng mengakibatkan keamanan dan kualitas dari sistem tenaga listrik terganggu. Banyak kerugian yang diakibatkan oleh timbulnya harmonisa salah satunya adalah pada sistem distribusi, aliran harmonisa dapat menurunkan kualitas daya ( Power Quality) dan menyebabkan timbulnya beberapa masalah seperti terjadinya overload sistem akibat kenaikan nilai arus r.m.s, overload konduktor netral, peningkatan temperatur pada konduktor yang bisa mengakibatkan terbakarnya konduktor, terjadi salah ukur pada KWH -meter dan menurunnya umur pakai dan keandalan peralatan tenaga listrik yang digunakan [1]. Alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran harmonisa adalah power quality

1

209


II. URAIAN PENELITIAN Penelitian yang dilakukan dalam merancang prototipe pendetekksian dan monitoring harmonisa meliputi tiga tahap yaitu pembuatan desain akusisi data, pembuatan software analisis harmonisa, pengujian prototipe sistem pendeteksian dan monitoring harmonisa. Gambar 1 menunjukkan diagram blok prototipe pendeteksian dan monitoring harmonisa

G ambar 2. Rangkain buffer pada prototipe

Resistor variabel pada gambar 2 berfungsi mengubah gelombang arus menjadi gelombang tegangan. IC LM358N sebagai penyangga gelombang tegangan untuk diteruskan pada rangkaian inverting a mplifier . Tegangan yang masuk pada rangkaian inverting a mplifier akan berubah menjadi tegangan yang bernilai negatif dan sesuai dengan gain yang dihasilkan. Nilai gain didapatkan dari persamaan 1 dan rangkaian inverting a mplifier dapat dilihat pada gambar 3 .

Vout

Rf Vi Ri

(1)

!

G ambar 1. Diagram blok pendeteksian dan monitoring harmonisa

A. Pembuatan Desain Akusisi Data Desain akuisisi data dibuat untuk komunikasi antara CT-235 dan mikrokontroller. Rancangan desain dibuat berdasarkan spesifikasi antara CT-235 dengan Mikrokontroller yang didapatkan dari pengujian dengan menggunakan alat ukur standar seperti voltmeter PSY600V dan multimeter BKPRECISION. Nilai parameter dari hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 1 yang akan digunakan pada bagian analisis harmonisa dalam merepresentasikan gelombang arus. Mikrokontroller sebagai perangkat untuk melakukan proses ADC memiliki spesifikasi input data analog antara 0 Âą 5 V. Pengolahan gelombang arus dari CT-235 ke mikrokontroller bertujuan untuk mengubah gelombang arus menjadi gelombang tegangan dan menaikkan offset-nya supaya bisa terdeteksi oleh mikrokontroller. Pengolahan gelombang arus dimulai dengan membuat rangkaian buffer yang dapat dilihat pada gambar 2

G ambar 3. Rangkaian inverting amplifier pada prototipe

Hasil dari rangkaian inverting a mplifier akan masuk pada rangkaian inverting adder a mplifier . Rangkaian ini akan menjumlahkan tegangan dari rangkaian inverting a mplifier dengan tegangan DC dari power supply sehingga tegangan yang dihasilkan dari rangkaian inverting adder a mplifier adalah tegangan yang sudah naik offset-nya. Rangkaian pada inverting adder a mplifier ditunjukkan pada gambar 4

V out

(

Rf Ri

Vi

Rf Ri

V cc )

(2)

T abel 1. Nilai parameter akuisisi data (C T-235 dan mikrokontroller) Parameter

nilai

Keterangan

Rasio CT

2000

Rasio primer dan sekunder CT

Rp CT

270

Resistor terpasang pada output CT

Gain

1,004

Gain pada akuisisi data

Offset

2,491

Offset pada akuisisi data

Rasio CT

0.16

Menunjukkan hasil yang linier

G ambar 4. Rangkaian inverting adder amplifier pada prototipe

2

210


X (m)

B. Pembuatan Software Analisis Harmonisa Pembuatan perangkat akuisisi pada prototipe dilanjutkan dengan pembuatan software analisis harmonisa menggunakan software Borland Delphi 7.0 dengan melalui beberapa langkah yaitu mengubah data analog menjadi digital di mikrokontroller, pembacaan sinyal dari mikrokontroller, pengkondisian sinyal dan analisis Harmonisa menggunakan metode DFT. Diagram blok pembuatan software analisis harmonisa dapat dilihat pada gambar 5. Adanya proses mengubah data analog menjadi digital di mikrokontroller karena pengolahan data pada bagian analisis harmonisa di software Borland Delphi menggunakan data digital . mikrokontroller mengatur nilai dari baud rate, jumlah bit ADC, pengaturan USART dan time delay untuk bisa berkomunikasi dari perangkat prototipe dengan personal computer. Hasil dari proses mengubah data analog menjadi data digital dapat dilihat pada tabel 2.

N 1

x ( n) e ÂŚ n

j 2Smn N

(5)

0

Bentuk rectangular dari persamaan 5 dinyatakan dalam persamaan 6.

X (m)

N 1

x(n)[cos( ÂŚ n 0

2Snm 2Snm ) j sin( )] N N

(6)

Hasil dari persamaan 6 memiliki nilai riil dan imajiner sehingga untuk mendapatkan nilai X(m) dengan cara

X (m)

X (m) riil jX (m)imajiner

X (m)

X 2 (m) riil X 2 (m)imajiner ‘ tan 1

(7)

X (m) riil X (m)imajiner

(8)

Keterangan:

X (m) riil

2Snm ) N 0 N 1 2Snm ÂŚ x(n) sin( ) N n 0

N 1

x(n) cos( ÂŚ n

X (m)ima jiner

(9) (10)

m,n = sampel input dalam fungsi waktu ÂŤ1-1) metode DFT memberikan hasil amplitudo X (m) dalam domain frekuensi yang nilainya digunakan untuk mendapatkan nilai 7+'ŕŽ˜ PHODOXL SHUVDPDDQ

G ambar 5. Diagram blok pembuatan software analisis harmonisa T abel 2. Nilai parameter hasil proses A D C di mikrokontroller parameter

Nilai

N

Keterangan

Baud rate

115,200 kbps

Kecepatan pengiriman data

Bit ADC

8

Jumlah bit

Ti me delay

0,4 mili detik

Kecepatan sa mpling rate

Clock

1000 kbps

Jumlah clock maksimum

T H Di

I input

AD C x5) xoffset 255 Vx 2000 270 (

2

2

i1

(11)

i n adalah amplitudo arus pada harmonisa ke n i 1 adalah amplitudo arus pada frekuensi dasar

Dalam mempresentasikan gelombang arus dalam bentuk aslinya memerlukan pengkondisian sinyal dengan menggunakan persamaan 4 sesuai dengan pengolahan gelombang pada bagian akusisi data.

V input

in ÂŚ n

seluruh hasil dari gelombang arus, arus r.m.s, spektrum arus GDQ QLODL 7+'ŕŽ˜ GLWDPSLONDQ GDODP VHEXDK view form yang dibentuk sebuah unit.

C.Pengujian Prototipe Prototipe pendeteksian dan monitoring harmonisa menghasilkan beberapa panel yaitu panel bentuk gelombang dalam nilai ADC, panel bentuk gelombang arus, nilai arus U P V SDQHO EHQWXN VSHNWUXP DUXV GDQ QLODL 7+'ŕŽ˜ +DVLO GDUL pembuatan prototipe akan diuji dengan alat ukur standar FLUKE 43B pada beban linier 275 Watt dan non-linier komputer dengan beban 125 Watt. Gambar 6 menunjukkan rangkaian pengujian prototipe.

(3) (4)

Bagian utama pada pembuatan software analisis harmonisa adalah metode DFT yang menghasilkan spektrum arus untuk GLJXQDNDQ GDODP SURVHV PHQGDSDWNDQ QLODL 7+'ŕŽ˜ 0HWRGH DFT ditunjukkan pada persamaan 5 [3].

3

211


T abel 4. H asil pengukuran Inverting Amplifier pada prototipe Tegangan input (V)

III. HASIL PENGUJIAN DAN ANALISIS

0,413

0,24%

2

0,669

0,669

0%

3

0,757

0,757

0%

4

0,888

0.888

0%

Rata Âą rata

0,06%

1,004

0,44

0,439

0,23%

0,654

1,004

0,66

0,658

0,30%

0,884

1,004

0,89

0,887

0,34%

0,994

1,004

1

0,998

0,20%

Rata -rata

0,26%

V input DC (E2)

V Output (V)

V Output hitung (V)

Kesalahan Relatif (%)

0,12

2,491

2,62

2,611

0,3%

0,36

2,491

2,86

2,851

0,32%

0,59

2,491

3,02

3,081

0,23%

0,76

2,491

3,26

3,251

0,28%

Rata - Rata

0,28%

Pada tabel 5 nilai yang tercantum pada kolom mempunyai kesalahan relatif pembacaan sebesar 0,28% terhadap alat ukur standar. D.Pengujian Output AD C Pengujian prototipe pada output ADC perangkat akuisisi data bertujuan untuk mengetahui besarnya kesalahan dari proses konversi data analog ke digital. Data hasil pengujian output ADC pada prototipe dapat dilihat pada tabel 6.

Kesalahan relatif (%)

0,412

0,438

V input DC (E1)

T abel 3. H asil pengukuran rangkaian buffer pada prototipe

1

Kesalahan relatif (%)

T abel 5. H asil pengukuran inverting adder amplifier prototipe

A.Pengujian Rangkaian Buffer Data tegangan output dari hasil pengujian rangkaian buffer ditunjukkan pada tabel 3.

Tegangan output (V)

Tegangan Out hitung (V)

C.Pengujian Rangkaian Inverting Adder A mplifier Pada prototipe besarnya E2 yang merupakan sumber DC didesain dengan nilai sebesar 2,491 V. Data tegangan output hasil pengujian rangkaian inverting adder a mplifier ditunjukkan tabel 5.

Pengujian prototipe pada beban linier 275 Watt dan non Âą linier 275 Watt bertujuan untuk mengetahui kualitas prototipe pendeteksian dan memonitoring harmonisa. Pengujian pada prototipe ini dilakukan dengan 2 tahap yaitu pengujian pada perangkat prototipe dan pengujian hasil dari prototipe. Pada pengujian perangkat prototipe dilakukan dengan melakukan pengujian pada rangkaian buffer, rangkaian inverting a mplifier, rangkaian inverting adder a mplifier dan pengujian output ADC. Pada pengujian hasil prototipe dilakukan dengan pengambilan data level arus r.m.s, bentuk gelombang arus, spektrum arus hasil metode DFT, level THDi. Hasil pengukuran ini dibandingkan dengan alat ukur standar seperti multimeter BK-PRECISION dan FLUKE 43B untuk mengetahui besarnya kesalahan relatif pembacaan pada pendeteksian prototipe.

Tegangan input (V)

Tegangan Out (V)

Pada tabel 4 nilai yang tercantum pada kolom mempunyai kesalahan relatif pembacaan sebesar 0,26% terhadap alat ukur standar.

G ambar 6. Skematik rangkaian pengujian prototipe

No

Penguat (Gain)

T abel 6. H asil pengukuran output A D C pada prototipe

Pada tabel 3 nilai yang tercantum pada kolom mempunyai kesalahan relatif pembacaan sebesar 0,06% terhadap alat ukur standar.

Tegangan output ADC (V)

Kesalahan relatif (%)

No

Tegangan input (V)

1

2,44

2,439

0,04%

2

2,011

1,998

0,64%

3

1,768

1,756

0,67%

4

1,546

1,547

0,06%

Rata Âą rata

0,35%

Pada tabel 6, nilai yang tercantum pada kolom mempunyai kesalahan relatif pembacaan sebesar 0,35% terhadap alat ukur standar. Pengujian perangkat prototipe menunjukkan hasil kesalahan relatif pembacaan pada rangkaian buffer 0,06%, rangkaian inverting a mplifier 0,26%, rangkaian inverting adder a mplifier 0,28% dan pengujian output ADC 0,35%. Hal ini berarti perangkat pada prototipe memiliki kinerja yang baik

B.Pengujian Rangkaian Inverting Amplifier Pada prototipe besarnya Ri = 14,84 Kohm dan Rf = 14,9 Kohm. Data tegangan output dari pengujian rangkaian inverting amplifier ditunjukkan pada tabel 4.

4

212


T abel 7. H asil pengukuran arus r.m.s oleh prototipe pada beban linier 275 Watt

untuk digunakan sebagai perangkat akusisi data prototipe dalam mendeteksi dan monitoring harmonisa. E.Pengujian Bentuk Gelombang Arus Pengujian bentuk gelombang arus dilakukan untuk mengetahui kemampuan prototipe dalam mempresentasikan ulang bentuk gelombang arus yang telah mengalami proses konversi ADC di perangkat akuisisi data. Hal ini menjadi penting mengingat proses analisis harmonisa yang dilakukan oleh prototipe berdasarkan pada bentuk gelombang arus. Bentuk gelombang arus dari data disimpan dalam bentuk .txt oleh prototipe. Pada gambar 7 dan 8 menunjukkan hasil bentuk gelombang arus pada prototipe untuk data SinyalArus7.txt yang tersimpan.

Level arus (A)

Data yang disimpan Prototipe

Prototipe

SinyalArus6.txt

0,907

1,14

0,204

20,4%

SinyalArus7.txt

0,907

1,14

0,204

20,4%

SinyalArus8.txt

0,907

1,14

0,204

20,4%

SinyalArus9.txt

0,907

1,14

0,204

20,4%

0,204

20,4%

FLUKE

Rata-rata

Kesalahan (A)

Kesalahan relatif (%)

T abel 8. H asil pengukuran arus r.m.s oleh prototipe pada beban non - linier 125 Watt Data yang disimpan Prototipe

Gambar 8

Level arus (A)

Kesalahan (A)

Kesalahan relatif (%)

Komputer7.txt

0,37

0,31

0,19

19%

Komputer8.txt

0.37

0,31

0,19

19%

Komputer10.txt

0,37

0,31

0,19

19%

Komputer12.txt

0,37

0,31

0,19

19%

0,19

19%

Rata-rata

Pada tabel 7 dan tabel 8, nilai rata - rata kesalahan relatif pembacaan yang tercantum dari hasil pengukuran nilai arus r.m.s dari prorotipe dibandingkan dengan FLUKE 43B adalah 20,4% dan 19%.

G ambar 7. Bentuk gelombang arus di prototipe pada data Sinyal A rus6.txt hasil pengukuran beban linier 275 Watt

G.Pengujian Spektrum Arus dari Metode DFT Hasil Spektrum arus dari Metode DFT pada prototipe yang ditampilkan pada bagian view form borland delphi dapat dilihat pada gambar 9 dan 10. Gambar 10

Harmonisa keluar pada frekuensi kelipatan 50 Hz

G ambar 8. Bentuk gelombang arus hasil pengukuran beban linier 275 Watt di prototipe pada sampel 1 Âą 150 dari data Sinyal A rus7.txt

G ambar 9. Nilai amplitudo pada frekuensi dasar dan kelipatannnya dari hasil proses D F T pada data Sinyal A rus7.txt

Hasil pengujian prototipe pada gambar 8 menunjukkan prototipe mampu menunjukkan bentuk gelombang arus dari beban linier 275 Watt. F.Pengujian Level Arus r.m.s pada Prototipe Data level arus r.m.s dari prototipe akan dibandingkan dengan data FLUKE 43B sehingga bisa diketahui berapa kesalahan relatif yang terjadi dari prototipe dalam melakukan pengukuran arus r.m.s. hasil pengujian level arus r,m,s pada prototipe dengan beban linier 275 Watt dan beban non - linier bisa dilihat pada tabel 7 dan tabel 8 berikut ini

G ambar 10. Nilai frekuensi pada frekuensi dasar dari hasil metode D F T pada data Sinyal A rus7.txt

5

213


Spektrum arus pada gambar 9 dan 10 menunjukkan frekuensi dasar 50 Hz mempunyai nilai amplitudo yang lebih besar daripada yang lain dan nilai amplitudo pada frekuensi kelipatan dari frekuensi dasar 50Hz muncul dengan nilai yang lebih kecil. Spektrum arus dari metode DFT akan digunakan prototipe untuk mendDSDWNDQ QLODL 7+'ŕŽ˜

pada prototipe untuk mendeteksi dan monitoring harmonisa dapat disimpulkan yaitu 1. Komunikasi serial antara mikrokontroller dengan personal computer memiliki keterbatasan dalam time delay dengan nilai maksimum sebesar r 400 mikro detik. 2. Pada proses ADC menggunakan jumlah 8 bit sehingga resolusinya sebesar 0.02 Volt. 3. Metode DFT dalam mengolah data gelombang arus dalam domain waktu ke dalam bentuk domain frekuensi belum bisa secara realtime tetapi data gelombang arus disimpan terlebih dahulu. 4. Pengukuran level arus r.m.s prototipe memiliki rata rata kesalahan relatif pembacaan dengan FLUKE 43B pada beban linier dan non linier adalah 20,4% dan 19%. 5. Pengukuran level THDi prototipe memiliki rata Âą rata kesalahan relatif pembacaan dengan FLUKE 43B pada beban linier dan non linier adalah 40% dan 64%. 6. Prototipe yang dibuat dalam tugas akhir ini mampu memantau keberadaan harmonisa arus hingga orde 15 (frekuensi 750 Hz). Untuk meningkatkan kemampuan dan daya guna dari prototipe maka rekomendasi yang bisa diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah memerlukan sensor arus yang memiliki akurasi dan spesifikasi yang tinggi, pada proses ADC bisa menggunakan IC yang lebih baik, device komunikasi serial yang mampu meningkatkan software borland delphi dalam penerimaan data, menggunakan metode transformasi lain yang lebih kuat dalam perubahan frekuensi dan pengintergrasian dengan web server.

, 3HQJXMLDQ /HYHO 7+'ŕŽ˜ SDGD 3URWRWLSH Pengujian tingkat THDi pada beban linier 275 Watt dan beban non Âą linier 125 Watt ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari prototipe untuk mendeteksi dan monitoring THDi yang merupakan tujuan utama dari penelitian ini. Data OHYHO 7+'ŕŽ˜ GDUL SURWRWLSH DNDQ GLEDQGLQJNDQ GHQJDQ )/8.( 43B sehingga bisa diketahui berapa rata Âą rata kesalahan relatif pembacaan yang terjadi dari prototipe dalam melakukan SHQJXNXUDQ OHYHO 7+'ŕŽ˜ +DVLO SHQJXNXUDQ OHYHO 7+'ŕŽ˜ SDGD prototipe dengan beban linier 275 Watt dan beban non - linier bisa dilihat pada tabel 9 dan 10 sebagai berikut T abel 9. +DVLO SHQJXNXUDQ QLODL 7+'ŕŽ˜ ROHK SURWRWLSH SDGD EHEDQ linier 275 Watt Beban Linier

THDi FLUKE 43B (%)

Kesalahan Relatif (%) Prototipe (%)

Bebanlinier1.txt

2%

2,8%

40%

Bebanlinier2.txt

2%

2,8%

40%

Bebanlinier3.txt

2%

2,8%

40%

Bebanlinier4.txt

2%

2,8%

40%

Rata Âą rata

40%

T abel 10. H asil pengukuran nilai T H Di oleh prototipe pada beban non - linier 125 Watt Beban non Linier

THDi FLUKE 43B

Kesalahan Relatif (%)

[1] Arrillaga, J., Watson, N.R., ³3RZHU 6\VWHP +DUPRQLFV Second (GLWLRQ´, John Wiley & Sons Ltd, England, Ch. 1, 2, 5, 2003 [2] TDPD $ ( ³ Desain S istem Pendeteksian dan Monitoring Harmonisa Berbasis LabVIEW Menggunakan Metode Transformasi S´ ,76 %DE ,, Surabaya, 2012 [3] <X < ;X < /LX ; ³5HVHDUFK RI ,PSURYHG ,WHUDWLYH DFT Method in +DUPRQLF &XUUHQW 'HWHFWLRQ´ 3RZHU and Energy Engineering Conference (APPEEC) Asia-Pasific, Wuhan, 2011 [4] 6HWLDZDQ $ ³.DMLDQ 3HQJDUXK +DUPRQLVD 7HUKDGDS Sistem Tenaga /LVWULN´ -XUQDO Eltek, Vol. 05, No. 02, Oktober, 2007 [5] IEEE Standard 519- ³Recommended Practices and Requirements for Harmonic Control in Electrical Power Systems´ ,QVWLWXWH RI (OHFWULFDO DQG Electronics Engineers, 1993 [6] Karimi-*KDUWHPDQL * 0 ,UDYDQL 0 5 ³0HDVXUHPHQW RI Harmonics of Time 9DU\LQJ )UHFXHQFLHV´ ,((( 9RO 2005 [7] Zheng, E., Liu = 0D / ³6WXG\ RQ +DUPRQLF 'HWHFWLRQ Method based on ))7 DQG :DYHOHW 7UDQVIRUP´ 6LJQDO Processing System (ICSPS), Dalian, 2010

Prototipe

komputer5.txt

84%

137%

63%

komputer6.txt

84%

137%

63%

komputer7.txt

84%

139%

65%

komputer8.txt

84%

139%

65%

Rata Âą rata

DAFTAR PUSTAKA

64%

Pada tabel 9 dan 10, nilai rata Âą rata kesalahan relatif pembacaan prototiSH GDUL KDVLO SHQJXNXUDQ QLODL 7+'ŕŽ˜ dibandingkan dengan alat ukur standar FLUKE 43B adalah 40% dan 64%. Hal ini dikarenakan sensor arus CT-235 dari prototipe memiliki kesalahan pembacaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan sensor arus dari FLUKE 43B dan kesalahan pembacaan pada proses komunikasi serial antara perangkat keras dengan software. IV. KESIMPULAN Keseluruhan proses penelitian ini yang meliputi studi literatur, perancangan dan pengujian prototipe, analisis data

6

214


TICA 2013 ke-4 Perancangan Sistem Pemeriksaan Kondisi Klem Sambungan Transformator 150/20 KV untuk Implementasi Condition Based Maintenance The 4th TICA 2013 Condition Assessment System Design of Connection Clamp Transformer 150/20 KV for Condition Based Maintenance Implementation 1,2

Prasidhi Artono1,a dan Rachmawati Wangsaputra2,b

Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung, Bandung. aEmail: prasidhiartono@gmail.com, b Email: rwangsap@mail.ti.itb.ac.id

A bstrak - K lem sambungan merupakan komponen yang sangat esensial dalam menunjang kiner ja transfor mator pada G ardu Induk (G I). K ondisi klem sambungan perlu untuk diamati secara efektif dan efisien. M akalah ini ditulis untuk merancang sistem pemer iksaan kondisi komponen klem sambungan transformator 150/20 K V di P T Perusahaan L istrik Negara (P L N) yang dirasa bermasalah oleh P L N dalam rangka implementasi Condition Based Maintenance (C B M). Sistem pemeriksaan kondisi klem sambungan dirancang dengan menggunakan parameter suhu klem dan suhu konduktor pada beban tertentu yang mengalir pada transformator dengan PHPEHQWXN QLODL EDWDV ı GDQ QLODL EDWDV ı %DWDV NHQGDOL GLVXVXQ GHQJDQ SHQGHNDWDQ UHJUHVL SROLQRPLDO $GDSXQ Hstimasi nilai batas dilakukan dengan metode Backpropagation Network (BPN). Sistem pemeriksaan kondisi dirancang untuk keseluruhan proses akuisisi data hingga tampilan Graphical User Interface (G U I) yang mampu menampilkan batas kendali suhu klem dan suhu konduktor secara otomatis berdasar kan metode regresi polinomial dan BPN. Kata Kunci ² backpropagation network , condition based maintenance , klem sambungan, statistical process control

Abstract- Connection clamp is an essential component which supports transformer perfor mance in substation. Its condition is necessary to be controlled effectively and efficiently. T his paper is w ritten in order to improve the condition assessment system of connection clamp transfor mer 150/20 K V at P T Perusahaan L istrik Negara (P L N) for Condition Based M aintenance (C B M) implementation. Connection clamp conditiRQ DVVHVVPHQW V\VWHP LV GHVLJQHG XVLQJ FODPS DQG FRQGXFWRU¶V WHPSHUDWXUH DV SDUDPHWHUV DW FHUWDLQ ORDG YDOXHV WR VKDSH OLPLW YDOXH ı DQG OLPLW YDOXH ı &RQWURO OLPLW LV IRUPHG E\ SRO\QRPLDO UHJUHVVLRQ DSSURDFK 0H anwhile, limit value is estimated by Backpropagation Networ k (BPN) method. Condition assessment system is designed for the whole data acquisition process until G raphical User Interface (G U I) display which can show the condition of connection clamp automatical ly built upon polynomial regression and BPN method. Keywords² backpropagation networ k, condition based maintenance, connection clamp, statistical process control

I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan yang dialami PLN ialah tidak akuratnya sistem pemeriksaan kondisi klem sambungan. Seringkali kondisi klem sambungan dianggap buruk, padahal pada kenyataannya klem sambungan berada pada kondisi baik. Ada kalanya kondisi klem sambungan dianggap baik, padahal pada kenyataannya klem sambungan berada pada kondisi buruk. Apabila terjadi kesalahan pemeriksaan, maka akan timbul pemborosan biaya pemeliharaan dan juga shutdown pada Gardu Induk (GI). Shutdown pada GI dapat mengakibatkan kinerja transformator terganggu serta menyebabkan pemadaman listrik yang dapat mengurangi kualitas pelayanan PLN. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa fungsi klem sambungan sangat penting untuk menunjang fungsi transmisi dan distribusi tenaga listrik yang

dilakukan PLN. Salah satu kelebihan penerapan Condition Based Maintenance (CBM) ialah pemantauan kondisi komponen yang berkelanjutan [1]. Teknik dan metode yang dapat digunakan ialah Statistical Process Control (SPC). SPC mampu memantau variabilitas kondisi klem sambungan yang ditunjukkan oleh parameter kondisi pada tingkatan beban tertentu secara aktual. Makalah ini ditulis untuk menjelaskan perancangan batasan kendali dengan SPC serta bentuk tampilan Graphical User Interface (GUI) terotomatisasi yang dihasilkan dalam rangka implementasi CBM di PLN.

II. KAJIAN LITERATUR Perancangan sistem pemeriksaan kondisi telah dilakukan

215


untuk komponen transformator [2]. Landasan teori yang mendasari penulisan makalah ini ialah teori tentang CBM, SPC, serta hubungan antara beban dan suhu pada komponen listrik GI. A. Condition Based Maintenance (CBM) CBM merupakan teknik pemeliharaan berdasarkan kondisi aktual suatu komponen [3]. Penggunaan tools statistik sangat kentara digunakan pada pengambilan data untuk CBM. Sedikitnya terdapat 3 (tiga) tugas utama yang harus dilakukan untuk mengimplementasi CBM, yakni menentukan parameter kondisi, mengamati parameter kondisi, dan menentukan nilai batas untuk parameter kondisi [4]. Dari nilai batas tersebut digunakan suatu tindak lanjut pemeliharaan berdasarkan tingkat variabilitas yang ditimbulkan dari parameter kondisi. Dengan demikian, CBM memiliki kelebihan untuk mengurangi biaya pemeliharaan yang tidak perlu, mengurangi jumlah personil yang dibutuhkan, mempercepat proses pemeliharaan, dan memperlambat waktu penuaan klem sambungan. B. Statistical Process Control (SPC) SPC merupakan suatu tools pemantau proses berdasarkan statistik yang dapat digunakan untuk melihat variabilitas yang terjadi pada parameter kondisi [5]. Tujuan utama SPC ialah untuk memperoleh sinyal abnormalitas ketika kondisi proses telah bergeser dari target batas kendali yang ingin dicapai [6]. Tools SPC yang paling umum digunakan untuk mengidentifikasi variabilitas ialah peta kendali. Pada Gambar 1, peta kendali untuk klem sambungan yang sesuai dengan distribusi normal terdiri GDUL EDWDV 覺 GDQ EDWDV 覺

dengan tingkat kepercayaan 99.87% dan 95% berturut-turut. Daerah kondisi dibagi menjadi 3 (tiga) region, yakni region 9 untuk kondisi baik, region 6 untuk kondisi sedang, dan region 1 untuk kondisi buruk. Dengan penggunaan batas kendali, karakteristik suhu klem dan suhu konduktor dapat dipantau dengan baik untuk menentukan tindak lanjut pemeliharaan berdasarkan kondisi klem sambungan. Region 9 (Baik)

Region 6 (Sedang)

demikian, dapat dikatakan bahwa beban dan suhu memiliki hubungan yang sangat erat. Gambar 2 menunjukkan adanya hubungan dependensi antara beban yang mengalir pada suatu komponen listrik dan suhu yang terdapat pada komponen yang bersangkutan.

G ambar 2. H ubungan Beban dan Suhu [7]

III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian secara umum dilakukan sesuai dengan Gambar 3. Real problem menghasilkan suatu formulasi masalah yang selanjutnya dilakukan tahapan perancangan. Adapun tahapan perancangan terdiri dari 3 (tiga) langkah, yakni pengamatan dengan thermovisi, perhitungan nilai batas, dan pemodelan batas kendali. Berdasarkan output dari tahap perancangan, maka selanjutnya dilakukan analisis dan implementasinya di lapangan untuk menghasilkan kondisi aktual klem sambungan. Permasalahan Langkah: Formulasi Masalah

1

Output:

Pengamatan dengan Thermovisi

Beban, Suhu Klem, & Suhu Konduktor

Perhitungan Nilai Batas

Nilai Batas 1 dan 6 Suhu Klem & Suhu Konduktor

Pemodelan Batas Kendali

Batas Kendali 1 dan 6 Suhu Klem & Suhu Konduktor

2

Perancangan

Region 1 (Buruk) 3

Analisis

95%

Implementasi

G ambar 3. M etodologi Penelitian

99.87% X double bar

+1.645覺

+3覺

G ambar 1. Region Peta K endali

C. Hubungan antara Beban dan Suhu Beban merupakan besar muatan listrik yang disebabkan oleh pergerakan elektron-elektron yang mengalir melalui suatu klem sambungan [7]. Pergerakan elektron tersebut tidak mampu dialirkan seluruhnya oleh klem sambungan dan konduktor sehingga terkonversi menjadi energi panas. Dengan

IV. FORMULASI MASALAH & PERANCANGAN Formulasi masalah dibentuk ke dalam suatu diagram input output permasalahan yang menjelaskan tentang elemen masalah, tujuan, ukuran kinerja, parameter sistem, input tak terkendali, input terkendali, dan action seperti yang tertera pada Gambar 4. Dari formulasi masalah ini, maka gambaran umum transformasi sistem dari sistem yang bermasalah ke

216


sistem ideal terbentuk. Input T ak T er kendali Parameter kondisi klem sambungan berupa suhu klem dan suhu konduktor

Input T er kendali Status klem sambungan

Action Sistem pemeriksaan dan perawatan klem sambungan yang baik

E lemen M asalah: Tujuan: Mengembangkan suatu metode yang dapat mempertahankan keandalan fungsi klem sambungan Decision Maker: Supervisor GI Cigereleng Alternatif Solusi: Penggunaan SPC, sistem pemeriksaan kondisi terotomatisasi, pendekatan regresi & BPN Konteks: Menghasilkan sistem pemeriksaan kondisi yang mampu memantau kondisi aktual klems sambungan untuk mempertahankan keandalan fungsi klem sambungan

U kuran K iner ja Kondisi klem sambungan dapat dipantau dengan baik untuk implementasi CBM di PLN T ujuan Klem sambungan memiliki keandalan yang baik

Parameter Sistem Batas kendali yang dapat melakukan pemantauan kondisi berdasarkan parameter kondisi klem pada tiap beban

G ambar 4. Diagram Input O utput M asalah

Berdasarkan elemen masalah yang ada, yakni sistem pemeriksaan kondisi yang tidak akurat, dapat ditentukan suatu tujuan, yakni klem sambungan yang memiliki keandalan yang baik. Untuk meraih tujuan tersebut, maka ukuran kinerja yang dapat dilakukan ialah pemantauan kondisi klem sambungan yang baik dan akurat. Oleh sebab itu, dalam memantau kondisi klem sambungan dibutuhkan suatu parameter sistem yang mampu menampilkan batas kendali dari suhu klem dan suhu konduktor. Pada dasarnya, makalah ini ingin mencari hubungan yang terbentuk antara beban dan suhu yang terdapat pada klem sambungan. Adapun suhu yang dimaksud adalah suhu klem dan suhu konduktor., Dengan demikian, parameter kondisi yang diamati pada makalah ini hanya suhu klem dan suhu konduktor pada tingkatan beban tertentu. Tahapan perancangan dimulai dari pengumpulan data. Pengumpulan data menggunakan logsheet atau catatan beban per jam untuk mengetahui karakteristik beban harian yang mengalir melalui klem sambungan. Dari catatan tersebut dihasilkan suatu jangkauan beban dari 975 Âą 1500 A. Berdasarkan jangkaun tersebut, dibentuk 7 (tujuh) buah kelas beban seperti yang tertera pada Tabel 1. T abel 1. Pengelompokan K elas Beban Kelas 1 2 3 4 5 6 7

Beban (A) 1012.5 1087.5 1162.5 1237.5 1312.5 1387.5 1462.5

A. Pengamatan dengan Thermovisi Pengambilan data beban dan suhu dilakukan oleh 2 (dua) orang. Orang pertama melakukan pengamatan pada panel beban listrik yang menunjukkan fluktuasi beban yang mengalir pada suatu waktu. Apabila beban menunjukkan

angka pada kelas beban tertentu, maka orang kedua segera melakukan thermovisi sehingga dapat diperoleh besar suhu klem dan suhu konduktor pada nilai beban tertentu. Sampel suhu klem dan suhu konduktor diambil sebanyak 20 subgrup untuk keseluruhan kelas beban dan masing-masing subgrup diambil sebanyak 3 (tiga) sampel. Pada akhirnya dapat diperoleh nilai beban, suhu klem, dan suhu konduktor yang menjadi dasar perhitungan nilai batas 1 dan batas 6. B. Perhitungan Nilai Batas Perhitungan nilai batas dimulai dari perhitungan nilai ratarata suhu klem dan suhu konduktor ( X bar), nilai rata-rata suhu klem dan suhu konduktor untuk tiap kelas beban ( X doublebar), dan standar deviasi dari nilai rata-rata X bar (SXbar). Setelah dilakukan perhitungan X bar, X doublebar, dan SXbar, maka selanjutnya dihitung nilai batas 1 dan nilai batas 6. Nilai batas 1 dan nilai batas 6 merupakan dasar dibentuknya batas kendali. Adapun aturan yang mendasari dihitungnya nilai batas ialah suhu klem menggunakan batas kendali atas, sedangkan suhu konduktor menggunakan batas kendali bawah yang ditunjukkan dengan persamaan

x1,6

x ( z1,6

(1)

sx ) / n

Variabel x1,6 menunjukkan nilai batas 1 dan 6. Variabel x menunjukkan rata-rata dari xbar yang telah dihitung sebelumnya. z1,6 menunjukkan nilai standar dari x (nilai z1 adalah 3 dan nilai z6 adalah 1.645). Adapun sx menunjukkan standar deviasi xbar dan n menunjukkan ukuran sampel dalam makalah ini, yakni 3 (tiga) sampel tiap subgrupnya. Dalam aplikasinya, suhu klem hanya membutuhkan batas kendali atas saja sehingga persamaan (1) hanya menggunakan tanda operasi penjumlahan. Suhu konduktor hanya membutuhkan batas kendali bawah saja sehingga persamaan (1) hanya menggunakan tanda operasi pengurangan. Hasil dari perhitungan nilai rata-rata, nilai batas 1, dan nilai batas 6 untuk suhu klem dan suhu konduktor ditunjukkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. T abel 2. Nilai Batas Suhu K lem Beban (A) 1012.5 1087.5 1162.5 1237.5 1312.5 1387.5 1462.5

Rata-Rata 35.19 36.80 38.43 39.80 40.69 42.54 43.26

Batas 1 36.75 38.03 39.20 41.11 41.60 43.49 43.71

Batas 6 36.05 37.48 38.85 40.52 41.19 43.06 43.50

T abel 3. Nilai Batas Suhu K onduktor Beban (A) 1012.5 1087.5 1162.5 1237.5 1312.5 1387.5 1462.5

Rata-Rata 28.85 29.00 30.34 30.98 31.89 33.79 34.78

Batas 1 27.99 27.68 29.88 30.09 31.59 33.00 34.45

Batas 6 28.38 28.28 30.09 30.49 31.73 33.35 34.60

217


C. Pemodelan Batas Kendali Pemodelan batas kendali dilakukan dengan 2 (dua) alternatif, yakni pemodelan dengan regresi polinomial dan pemodelan dengan Backpropagation Network (BPN). 1. Regresi Polinomial Regresi polinomial mampu menggambarkan dengan baik hubungan yang terbentuk antara beban dan masing-masing nilai batas. Regresi polinomial orde rendah, dalam hal ini kuadratik (orde 2), merupakan model regresi yang paling banyak digunakan untuk memodelkan pola karena memiliki koefisien determinasi (R2) dan signifikansi F yang sangat baik serta mean square error (MSE) yang lebih rendah dibandingkan dengan regresi linear dan eksponensial. Tabel 4 menunjukkan persamaan polinomial untuk batas kendali suhu klem dan suhu konduktor.

Jaringan yang dirancang menggunakan 1 (satu) buah input beban dan 1 (satu) buah target nilai batas suhu klem dan suhu konduktor. Layar tersembunyi yang digunakan ialah 1 (satu) layar dengan 5 (lima) buah neuron tersembunyi. Fungsi transfer yang digunakan ialah sigmoid bipolar dengan range [1,1]. Metode pelatihan yang digunakan ialah pelatihan dengan penurunan gradien (gradient descent). Adapun parameter yang digunakan ialah parameter epochs 1000, laju pemahaman ( learning rate) 0.3, dan momentum 0.6. Batas kendali yang dihasilkan BPN ditunjukkan oleh Gambar 7.

T abel 4. Nilai Batas Suhu K lem

Gambar 5 mengilustrasikan batas kendali yang terbentuk untuk pemeriksaan kondisi klem sambungan dengan regresi polinomial.

G ambar 7. Batas K endali BPN

V. ANALISIS DAN IMPLEMENTASI

G ambar 5. Batas K endali Regresi Polinomial

2. Backpropagation Network (BPN) BPN merupakan salah satu metode yang terdapat pada jaringan saraf tiruan ( artificial neural network ) yang mampu melakukan estimasi suatu nilai dengan pelatihan tertentu [8]. Nilai batas suhu klem dan suhu konduktor diprediksi dengan BPN yang terlebih dahulu dilakukan pelatihan jaringan neural. Gambar 6 menunjukkan arsitektur jaringan yang dibentuk pada BPN untuk memodelkan nilai batas.

Input Beban

Layar Tersembunyi

Output Nilai Batas

G ambar 6. A rsitektur Jaringan BPN

A. Analisis Analisis dilakukan terhadap batas kendali yang telah disusun. Batas kendali yang dibentuk oleh regresi polinomial memiliki performansi MSE yang cukup baik. MSE terbesar ialah nilai batas 1 konduktor dengan nilai 0.257, sedangkan MSE terkecil ialah nilai batas 6 klem dengan nilai 0.088. Adapun koefisien determinasi (R2), yang menunjukkan seberapa baik suaian yang dilakukan oleh model, menghasilkan nilai yang sangat baik dengan persentase suaian di atas 97% untuk seluruh nilai batas. Model regresi secara khusus telah dilakukan tahap uji coba di PLN dan dihasilkan persentase validitas yang sangat tinggi, yakni 80% dan 75% secara berturut-turut untuk batas kendali suhu klem dan suhu konduktor. Batas kendali yang dibentuk oleh BPN menghasilkan MSE yang lebih baik dibandingkan dengan regresi polinomial. MSE yang terbesar ialah 0.1926 untuk nilai batas nilai batas 6 konduktor, sedangkan MSE terkecil ialah 0.0401 untuk nilai batas 1 klem. Dengan demikian, BPN menunjukkan performansi yang lebih baik dibandingkan dengan regresi polinomial. Akan tetapi, BPN tidak mampu menampilkan pola yang membentuk hubungan antara beban dan suhu sehingga menyulitkan penerapan model pemeriksaan kondisi klem sambungan di lapangan. Adapun pada makalah ini dirancang 2 (dua) buah alternatif pemodelan yang dapat digunakan operator, yakni regresi polinomial kuadratik dan BPN karena masing-masing model memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

218


B. Implementasi Bentuk implementasi sistem pemeriksaan kondisi dirancang dalam bentuk Graphical User Interface (GUI) yang memiliki kapabilitas untuk menampilkan batas kendali dalam bentuk grafik. Namun, terlebih dahulu disusun bentuk implementasi dalam penentuan tindak lanjut pemeliharaan berdasarkan kondisi klem sambungan yang telah melalui tahapan face validity dengan expert seperti yang tertera pada Tabel 5. T abel 5. Penentuan K ondisi K lem Sambungan Kondisi DARURAT SEGERA PERIKSA

Suhu Klem %DWDV .OHP

Suhu Konduktor %DWDV .RQGXNWRU

BAIK

%DWDV .OHP %DWDV .OHP

BAIK

<Batas 6 Klem

PERIKSA MAX. 30 HARI SANGAT BAIK

%DWDV .OHP %DWDV .OHP <Batas 6 Klem

%DWDV .RQGXNWRU %DWDV .RQGXNWRU <Batas 6 Konduktor %DWDV .RQGXNWRU <Batas 6 Konduktor %DWDV .RQGXNWRU

GUI dirancang berdasarkan user requirements yang dibutuhkan oleh operator sebagai pengguna sistem. Pada dasarnya terdapat panel input data beban, suhu klem, dan suhu konduktor. Kemudian data tersebut diplot pada suatu koordinat axis. Koordinat axis tersebut dapat memanggil batas kendali hasil perancangan berupa regresi polinomial kuadratik dan BPN. Fungsi yang menghasilkan tindak lanjut pemeliharaan kondisi klem sambungan ditanamkan pada program sehingga GUI dapat menampilkan secara otomatis kondisi aktual berdasarkan Tabel 5. Gambar 8 mengilustrasikan tampilan GUI yang dapat langsung diimplementasikan di lapangan.

ke depannya sehingga diperlukan suatu teknik akuisisi data yang terotomatisasi. Perlu diketahui, terdapat 4 (empat) jenis klem yang dapat menggunakan model pemeriksaan ini, yakni klem transformator IX, X, VI, dan VII. Teknik akuisisi data dimulai dari penggunaan alat thermovisi yang terotomatisasi dan terstandarisasi, transfer data, serta tampilan GUI dalam suatu panel kontrol. 1. Akuisisi Data Akuisisi data dapat menggunakan suatu penopang yang mampu melakukan standarisasi jarak, tinggi, dan sudut thermovisi klem sambungan. Akuisisi data dilakukan dengan suatu konveyor yang bergerak 2 (dua) arah sehingga penopang dapat melakukan pengamatan secara otomatis pada jenis klem yang bersangkutan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.

G ambar 9. A kuisisi Data T hermovisi

2. Transfer Data Data hasil thermovisi dapat diunggah melalui jaringan lokal (LAN) dengan F ile Transfer Protocol (FTP) sebagai basis komunikasi data antar komputer [9]. Setelah alat thermovisi melakukan pemotretan klem sambungan, maka data tersebut dapat dikoneksi dengan kabel ke dalam suatu perangkat lunak bawaan F lir Quickreport sehingga dapat diketahui citra radiasi infra merah yang dihasilkan klem sambungan seperti yang diilustrasikan pada Gambar 10. Berdasarkan citra radiasi infra merah untuk keempat jenis klem tersebut, maka dapat dihasilkan model pemeriksaan kondisi yang telah dirancang sebelumnya.

G ambar 8. G U I

GUI merupakan bagian utama yang dikembangkan dalam meningkatkan kinerja pemeriksaan kondisi klem sambungan. Suatu sistem pemeriksaan kondisi real time dapat dirancang

219


VI. KESIMPULAN Makalah ini telah berhasil mencari hubungan yang terbentuk antara beban dan suhu yang terdapat pada klem sambungan sehingga batas kendali untuk pemantauan kondisi klem sambungan dapat dihasilkan. Kondisi klem terbukti dapat menggunakan parameter suhu klem dan suhu konduktor karena merupakan implikasi dari adanya aliran beban yang mengalir pada klem sambungan. Berdasarkan pengamatan thermovisi, maka batas kendali dapat dirancang dengan tingkat kepercayaan 95% 覺 dan 99.87% (3覺 untuk suhu klem dan suhu konduktor. Begitu pula tindak lanjut pemeliharaan berdasarkan kondisi klem sambungan dapat dihasilkan dengan akurat sehingga keseluruhan rancangan pemeriksaan kondisi dapat diimplementasikan dengan proses akuisisi data, transfer data, dan tampilan GUI yang terotomatisasi. UCAPAN TERIMA KASIH G ambar 10. C itra H asil T her movisi

3. Tampilan GUI Kemampuan pengenalan terhadap bentuk klem sambungan diperlukan sehingga dapat secara otomatis diperoleh besar suhu klem dan suhu konduktor. Gambar 11 mencantumkan contoh bentuk tampilan GUI yang terbentuk untuk keempat jenis klem sambungan dengan Multi Computer View (MCV). Pada MCV dihasilkan output utama berupa kondisi aktual klem sambungan berdasarkan hasil citra hasil thermovisi pada Gambar 10.

Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hendrik Maryono, PT PLN P3B Jawa Bali, dan Laboratorium Sistem Produksi ITB yang senantiasa mendukung dilakukannya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1]

[2]

[3] [4] [5] [6] [7] [8] [9]

Wu, B., Tian, Z., Chen, M. (2010). Condition based maintenance optimization using neural network based health condition prediction. Montreal. Apandi, D.H. (2010). Pembentukan model condition assessment transformator 150/20 KV sebagai tahap inisiasi implementasi ConditionBased Maintenance (CBM) di PT PLN Persero. Tugas Akhir Sarjana TIITB. Ben-daya, M., Deffuaa, S.O. (2000). Maintenance, modeling, and opti mization. Boston. Klwer Academic Publisher. Levitt, J. (2003). Complete guide to preventive and predictive maintenance. New York. Industrial Press Inc. Dileo, M., Manker, C., Cadick, J. (1999). Condition based maintenance. Texas. Cadick Corporation. Montgomery, D.C. (2009). Statistical Quality Control, A Modern Introduction. New York. John Wiley and Sons Pte. Ltd. Seb繹k, M. (2009). Diagnostics of electric equipments by means of thermovision. University of Zllna. Hagan, M.T., Demuth, H.B., Beale, M. (1996). Neural Network Design. Boston. PWS Publishing Company. Yam, R.C.M., Tse, P.W., Li, L., Tu, P. (2001). Intelligent predictive decision support system for condition-based maintenance. The International Journal of Advanced Manufacturing Technology. pp.383391.

G ambar 11. Multi Computer View

220


Sistem Klasifikasi Sel Darah Putih Berbasis Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Saraf Tiruan White Blood Cell Classification System Based on Digital Image Processing and Neural Network 1,2

Firdaus Ismail Sholeh1 dan Agus Harjoko2

Jurusan Ilmu Komputer dan Elektronika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1 Email: firdaus_is@mail.ugm.ac.id, 2 Email: aharjoko@ugm.ac.id

Abstrak- Pemeriksaan darah selama ini kebanyakan masih dilakukan dengan pengamatan oleh manusia terhadap apusan darah menggunakan mikroskop. Metode ini sederhana dan murah tetapi memakan waktu lama, melelahkan, dan rentan terjadi kekeliruan. Salah satu perhatian khusus pada pemeriksaan darah adalah pemeriksaan sel darah putih dimana sel darah putih terdiri dari beberapa jenis dan bervariasi penampakannya, sehingga penentuan jenisnya rentan mengalami kekeliruan karena sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh pengamat. Pada penelitian ini dilakukan implementasi otomatisasi dalam pengidentifikasian sel darah putih pada citra darah dan penentuan jenisnya, dimana citra darah diperoleh melalui mikroskop digital. Penelitian ini difokuskan pada metode pengidentifikasian sel darah putih melalui segmentasi citra menggunakan metode pengolahan citra digital dan sistem klasifikasi jenis sel menggunakan jaringan saraf tiruan propagasi balik. Metode segmentasi citra sel darah putih yang dikembangkan mampu mengidentifikasi keseluruhan sel darah putih dari semua citra darah yang didapatkan dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan selama 1,228 detik. Metode klasifikasi citra sel darah putih dengan jaringan saraf tiruan propagasi balik mampu menghasilkan akurasi klasifikasi sebesar 92%. Kata Kunci— sel darah putih, klasifikasi, pengolahan citra digital, jaringan saraf tiruan, propagasi balik. Abstract- Blood tests mostly still done through observation by the human to blood smear using a microscope. This method is simple and cheap but it is time consuming, tedious, and error prone. One particular concern in blood tests is the examination of the white blood cells in which the white blood cells consist of several types and their appearance may vary, making the determination of the type prone to error because it depends on the the observer’s knowledge and experience. In this research, the automation in the identification of white blood cells in the blood images and determination of their type, where the blood images are obtained by a digital microscope, is implemented. This research is focused on the identification method using image segmentation of white blood cells based on digital image processing and classification system based on back propagation neural network. The method for image segmentation of white blood cells from the blood images is able to identify overall white blood cells from all blood images with the average time by 1.228 seconds. The image classification method of white blood cells with back propagation neural network is able to generate classification accuracy by 92%. Keywords— white blood cells, classification, digital image processing, neural network, back propagation.

I. PENDAHULUAN Pemeriksaan darah merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan setiap hari di laboratorium pada pusat-pusat kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas. Pemeriksaan darah selama ini kebanyakan masih dilakukan melalui pengamatan oleh manusia terhadap apusan darah menggunakan mikroskop. Metode ini paling sederhana dan murah tetapi memakan waktu lama, melelahkan, dan rentan terjadi kekeliruan karena metode ini bergantung pada kemampuan pengamat. Seiring perkembangan teknologi, saat ini terdapat metode untuk mengakuisisi citra darah dari sediaan apusan darah yang terpasang pada mikroskop melalui kamera digital. Kamera tersebut terhubung dengan komputer sehingga memungkinkan komputer melakukan pengolahan data citra darah yang didapat. Pada penelitian ini dilakukan implementasi otomatisasi dalam pemeriksaan sel darah putih yang meliputi

pengidentifikasian sel darah putih pada citra darah dan penentuan jenisnya. Pemeriksaan sel darah putih sendiri berperan dalam diagnosis beberapa penyakit seperti AIDS, kanker, dan leukimia. Sel darah putih terdiri dari beberapa jenis dan bervariasi penampakannya, sehingga penentuan jenisnya rentan mengalami kekeliruan karena sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh pengamat. Dalam pemeriksaan darah, sel darah putih diklasifikasikan menjadi lima jenis yaitu neutrofil, limfosit, monosit, easinofil, dan basofil. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan menguji metode dan konfigurasi yang tepat untuk kasus klasifikasi jenis sel darah putih yang terdapat pada citra darah. Manfaat dari penelitian ini adalah metode yang dikembangkan dapat diaplikasikan untuk memudahkan kinerja dan meminimalisir terjadinya kekeliruan dalam pemeriksaan sel darah putih. Proses otomatisasi pemeriksaan sel darah putih diawali dengan akuisisi citra darah. Selanjutnya dilakukan pengolahan citra untuk mendapatkan citra sel darah putih. Proses

221


segmentasi citra sel darah putih dari citra darah sangat krusial karena hasil dari proses ini berpengaruh terhadap akurasi fitur yang diekstrak, sehingga berpengaruh juga terhadap proses penentuan jenisnya. Proses akuisisi citra sangat mempengaruhi keadaan dan kualitas citra, sehingga pada penelitian ini dikembangkan metode segmentasi yang sesuai untuk data citra yang telah didapatkan peneliti, yaitu citra yang didapat dari apusan darah dalam kondisi baru. Setelah citra sel darah putih didapatkan melalui proses segmentasi, dilakukan perhitungan untuk mendapatkan fitur yang digunakan untuk proses klasifikasi penentuan jenis selnya. Penampakan sel darah putih dapat bervariasi untuk masing-masing jenisnya, sehingga dapat digunakan machine learning untuk membentuk sistem klasifikasi dengan cara belajar dari variasi data yang diberikan. Salah satu metode machine learning yang populer untuk klasifikasi adalah jaringan saraf tiruan. Pada penelitian ini proses klasifikasi jenis sel darah putih menggunakan jaringan saraf tiruan dengan sistem pembelajaran propagasi balik yang telah terbukti efektif pada beberapa kasus klasifikasi yang tidak menentu. II. TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan metode segmentasi sel darah putih dari citra darah secara otomatis menjadi menarik perhatian para peneliti karena proses segmentasi memegang peranan penting dalam otomatisasi proses klasifikasi secara keseluruhan. Salah satu metode segmentasi citra sel darah putih yang dikembangkan adalah metode berbasiskan Fuzzy C-Means (FCM) Clustering. Theera-Umpon [1] melakukan segementasi pada citra darah sumsum tulang dengan metode Fuzzy Clustering menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut dikombinasi sehingga menjadi bagian nukleus dan non-nukleus berdasarkan kemiripan. Metode ini merupakan metode segmentasi yang baik dan menghasilkan klasifikasi yang baik dibandingkan dengan segmentasi yang dilakukan oleh manusia. Segmentasi berbasis klasterisasi dengan FCM juga dikembangkan oleh Chinwaraphat, dkk. [2] dengan membagi citra menjadi empat bagian: nukleus sel darah putih, sitoplasma sel darah putih, plasma darah dan sel darah merah. FCM standar dimodifikasi untuk menghilangkan klasterisasi yang salah akibat kemiripan warna piksel antara sitoplasma dan plasma darah dengan melakukan beberapa kali iterasi pada sebaran penggantian warna yang salah berdasarkan data warna tetangga yang berdekatan. Hasil penelitiannya menunjukkan metode tersebut membuat ekstraksi area nukleus dan sitoplasma lebih efisien dibanding FCM standar. Segmentasi berbasis operasi morfologi dikemukakan oleh Dorini, dkk [3] untuk pemisahan nukleus dan sitoplasma sel darah putih dari citra darah. Dorini mengeksplorasi properti scale-space pada toggle operator untuk meningkatkan akurasi segmentasi. Metode ini dapat diaplikasikan untuk citra dalam jumlah banyak dan terbukti cukup baik untuk berbagai tampilan sel dan kualitas citra. Sebuah framework dikembangkan oleh Sadeghian, dkk. [4] untuk melakukan segmentasi sel darah putih menggunakan

konsep integrasi operasi dalam pengolahan citra digital. Metode ini terdiri dari dua tahap yaitu segmentasi bagian nukleus berbasiskan analisis morfologi dan segmentasi sitoplasma dengan pemisahan berbasiskan intesitas warna (thresholding). Hasil penelitiannya menunjukkan akurasi dari metode ini adalah 92% untuk segmentasi nukleus dan 78% untuk segmentasi sitoplasma. Hiremath, dkk. [5] mengembangkan metode untuk mengidentifikasi dan menglasifikasi 3 jenis sel darah putih: limfosit, monosit dan neutrofil pada citra darah. Mereka menggunakan segmentasi berbasis warna dan mengekstrak fitur-fitur geometri dari setiap segmen untuk mengidentifikasi dan menglasifikasi jenis-jenis sel tersebut. Selain segmentasi, mereka menggunakan aturan perbandingan sederhana sebagai metode klasifikasi berdasarkan fitur-fitur geometri seperti luas area, perimeter, circularity, rasio perbandingan ketinggian terpanjang dan terpendek, ekuidiameter, dan rasio perbandingan antara nukleus dan sitoplasma. Dalam tesisnya, Ratnasari [6] membuat perangkat lunak untuk identifikasi dan klasifikasi jenis sel darah putih. Untuk identifikasi, digunakan metode cropping dengan beberapa tahapan dalam pemisahan warna citra yang bukan sel darah putih yaitu dengan pemisahan warna citra dasar kaca preparat, penghilangan warna sel darah merah, dan penghilangan noise. Untuk klasifikasi, digunakan aturan perbandingan sederhana terhadap data ciri luas area, perimeter, dan bilangan euler untuk setiap jenis sel darah putih. III. METODE A. Akuisisi Citra Untuk mendapatkan citra digital darah digunakan kamera yang dihubungkan ke komputer melalui port USB. Kamera dipasang ke mikroskop untuk menangkap citra dari sediaan apusan darah yang telah diperbesar oleh lensa obyektif dan lensa okuler. Rancangan konfigurasi perangkat keras untuk akuisisi citra darah ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Konfigurasi Perangkat Keras untuk Akuisisi Citra Mikrokopis Darah

. Pada penelitian ini didapatkan 59 citra mikroskopis darah. Sampel salah satu citra darah yang didapatkan ditunjukkan pada Gambar 2. Dari 59 citra darah tersebut didapatkan 76 sel darah putih. Sampel potongan citra masing-masing jenis sel ditunjukkan pada Tabel 1.

222


B. Metode Segmentasi Citra Sel Integrasi beberapa operasi pengolahan citra digunakan untuk proses segmentasi citra sel darah putih dari citra darah. Pada metode ini dilakukan segmentasi citra sel darah putih secara keseluruhan dan dilanjutkan segmentasi bagian nukleus. Alur proses algoritma untuk segmentasi citra sel darah putih ditunjukkan pada Gambar 2.

5. Penghalusan bentuk sel Selanjutnya dilakukan operasi morfologi closing dan opening penghalusan bentuk sel dan dilanjutkan dengan filtrasi area untuk penghilangan noise. Kemudian hasil citra biner tersebut dijumlahkan dengan citra darah untuk mendapatkan citra sel darah putih.

Gambar 2. Sampel Citra Mikroskopis Darah Tabel 1. Sampel Potongan Masing-masing Jenis Sel Jenis sel

Neutrofil

Limfosit

Monosit

Eosinofil

Basofil

Sampel potongan sel

Tahapan-tahapan utama segmentasi citra sel darah putih dirancang sebagai berikut. 1. Pengurangan noise Proses segmentasi diawali dengan melakukan operasi median filtering untuk mengurasi noise yang timbul pada saat akuisisi citra darah. 2. Penghilangan area sel darah merah dan sitoplasma Berdasarkan pengamatan pada citra secara umum, terdapat 3 area utama pada citra yaitu area sel darah putih, sel darah putih, dan sitoplasma. Area sel darah merah yang memiliki intensitas warna merah yang dominan dan area sitoplasma yang memiliki intensitas warna hijau yang dominan dapat diekstrak dengan mudah. Hasil ekstraksi dari area sel darah merah dan sitoplasma digunakan untuk mendapatkan calon area sel darah putih dengan operasi binarisasi dan penambahan. 3. Penghilangan area sel trombosit dan noise Hasil dari proses ini berupa citra biner yang dimungkinkan terdapat beberapa area noise yang bukan merupakan area sel darah putih. Selain itu juga dimungkinkan terdapat area sel trombosit yang memiliki warna mirip dengan warna sel darah putih, tetapi dapat dibedakan dari ukurannya. Untuk membersihkan area-area tersebut, digunakan operasi morfologi opening. Selanjutnya dilakukan filtrasi area utnuk membersihkan noise. 4. Region growing Untuk beberapa citra, citra biner hasil proses diatas masih belum sepenuhnya mancakup area sel darah putih disebabkan terdapat warna piksel sitoplasma yang menyerupai warna sel darah merah sehingga ikut terhapus pada proses sebelumnya. Untuk itu dilakukan proses region growing untuk memperluas area yang ada agar dapat mencakup seluruh area sel darah putih.

Gambar 2. Diagram Algoritma Segmentasi Citra Sel Darah Putih

Setelah citra sel darah putih didapatkan, dilakukan segmentasi bagian nukleus dari citra sel darah putih tersebut. Rancangan algoritma segmentasi citra nukleus ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Algoritma Segmentasi Citra Nukleus

Berdasarkan pengamatan pada citra sel darah putih, bagian nukleus mempunyai intensitas warna biru yang lebih menonjol dari bagian sitoplasma, sehingga segmentasi dapat dilakukan

223


dengan ekstraksi intensitas warna biru dan thresholding. Dilanjutkan dengan pembersihan noise dengan pengisian lubang (hole filling) dan dilanjutkan dengan filtrasi area. Selanjutnya, dengan operasi penambahan dengan citra sel darah putih, didapatkan citra nukleus. C. Sistem Klasifikasi Jenis Sel Jaringan saraf tiruan digunakan sebagai sistem komputasi untuk menentukan jenis sel darah putih berdasarkan fitur citra sel. Arsitektur jaringan saraf tiruan yang digunakan adalah propagasi balik dengan lapisan masukan yang terdiri dari 7 unit (sesuai dengan jumlah fitur sel yang diekstrak), sebuah lapisan tersembunyi dengan beberapa unit, dan lapisan keluaran yang terdiri dari 5 unit (sesuai dengan jumlah jenis sel darah putih). Setiap unit masukan yang terhubung dengan setiap unit tersembunyi dan setiap unit tersembunyi yang terhubung ke setiap unit keluaran dihubungkan dengan fungsi aktivasi sigmoid biner. Gambar 4 menunjukkan rancangan arsitektur jaringan saraf tiruan yang digunakan untuk klasifikasi jenis sel darah putih.

Luas area

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Perimeter

Kebundaran

Rasio Nukleus

Rata-rata Intensitas Red

Rata-rata Intensitas Green

Rata-rata Intensitas Blue

Lapisan Masukan

Lapisan Tersembunyi

putih yang dikembangkan adalah 92,05%. Beberapa sampel area hasil segmentasi ditunjukkan pada Tabel 2. Sedangkan keenam hasil segmentasi yang kurang tepat ditunjukkan pada Tabel 3. Garis berwarna putih menunjukkan batas area sel dan garis warna kuning menunjukkan batas area nukleus. Tabel 2. Sampel Hasil Area Segmentasi Citra Sel Darah Putih No Jenis Sel Potongan Citra Area Hasil Sel Segmentasi 1 Neutrofil

2

Limfosit

3

Monosit

4

Eosinofil

5

Limfosit

6

Neutrofil

7

Neutrofil

8

Monosit

Neutrofil

Limfosit

Monosit

Eosinofil

Basofil

Lapisan Keluaran

Gambar 4. Arsitektur Jaringan Saraf Tiruan untuk Klasifikasi Jenis Sel Darah Putih

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Segmentasi Citra Sel Secara umum, dengan metode segmentasi yang dikembangkan, sistem dapat mengidentifikasi keberadaan sel darah putih yang termuat di dalam citra darah. Permasalahan yang timbul adalah seberapa tepat pencarian keseluruhan piksel yang termasuk dalam area sel. Berdasarkan pengamatan terhadap 76 citra sel, ditemukan 6 citra sel yang kurang baik tersegmentasi keseluruhan pixel area selnya. Dengan demikian, berdasarkan perhitungan perbandingan berbasis obyek, dapat diukur akurasi dari metode segmentasi sel darah

Kesalahan segmentasi karena under growing, seperti yang terjadi pada citra sel nomor 1, 2, 3, 4, dan 6 pada Tabel 3, dapat diatasi dengan melebarkan parameter jangkauan intensitas region growing, akan tetapi hal tersebut menyebabkan overgrowing pada banyak kasus dimana sel darah putih bersinggungan dengan sel darah merah karena terdapat banyak kemiripan intensitas warna untuk beberapa bagian pada kedua sel. Kesalahan segmentasi karena over growing seperti yang terjadi pada citra nomor 5, dapat diatasi dengan operasi morfologi dengan elemen struktur yang berbentuk lingkaran berukuran besar, akan tetapi operasi tersebut dapat menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk proses segmentasi menjadi lebih lama.

224


Tabel 3. Hasil Area Segmentasi Citra Sel yang Kurang Tepat No Jenis Sel Potongan Area Hasil Citra Sel Segmentasi 1 Neutrofil

2

Neutrofil

3

Neutrofil

4

Neutrofil

5

Limfosit

6

putih pada suatu citra darah adalah 1,228 detik. Dengan menggunakan perhitungan akurasi berbasis obyek, metode mempunyai akurasi 92,05%. Metode segmentasi masih dapat dikembangkan lagi untuk memperoleh kecepatan dan tingkat akurasi yang lebih baik. Metode klasifikasi citra sel darah putih dengan jaringan saraf tiruan propagasi balik mampu menghasilkan akurasi klasifikasi cukup baik pada konfigurasi yang tepat. Berdasarkan hasil percobaan didapatkan konfigurasi jaringan saraf tiruan propagasi balik yang paling baik pada percobaan dengan 15 unit tersembunyi, batasan maksimal 5000 epoch dan koefisien pembelajaran 0,3. Pada beberapa kali percobaan yang dilakukan dengan konfigurasi tersebut, pelatihan berjalan rata-rata selama 5,187 detik, menghasilkan rata-rata MSE sebesar 0.5076, akurasi memorisasi rata-rata sebesar 98,7%, dan akurasi generalisasi rata-rata sebesar 92%. Penelitian dapat dilanjutkan dengan jumlah data citra yang lebih banyak agar sistem klasifikasi yang dihasilkan semakin baik. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada pengelola Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UGM yang telah memberikan bantuan dalam pengambilan data citra mikroskopis darah.

Basofil

DAFTAR PUSTAKA B. Sistem Klasifikasi Pengujian performa klasifikasi dilakukan dengan melakukan sejumlah percobaan pelatihan, pengujian terhadap kelompok data pelatihan (memorisasi), dan pengujian terhadap kelompok data pengujian (generalisasi). Inisialisasi bobot pada jaringan saraf tiruan dilakukan secara acak sehingga menyebabkan hasil akhir proses pelatihan dapat berbeda-beda. Oleh karena itu percobaan dilakukan 5 kali untuk setiap pasangan nilai parameter unit tersembunyi dan koefisien pembelajaran. Hasil percobaan dengan beberapa variasi parameter ditunjukkan pada Tabel 4. Dari beberapa percobaan tersebut, dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah unit tersembunyi tidak selalu meningkatkan performa akurasi. Performa akurasi yang baik dan stabil dicapai pada pelatihan dengan 10 hingga 15 unit tersembunyi dan dengan nilai koefisien pembelajaran 0,3 hingga 0,7. Semakin banyaknya epoch dapat menyebabkan nilai eror pelatihan semakin kecil, akan tetapi waktu yang dibutuhkan meningkat, sedangkan nilai akurasi cenderung tetap setelah 5000 epoch.

[1]

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

N. Theera-Umpon, “Patch-Based White Blood Cell Nucleus Segmentation Using Fuzzy Clustering”, ECTI Transactions on Electrical Engineering, Electronics, and Communications, Vol. 3, No. 1, pp. 15-19, 2005. S. Chinwaraphat, A. Sanpanich, C. Pintavirooj, M. Sangworasil, dan P. Tosranon, “A Modified Fuzzy Clustering for White Blood Cell Segmentation”, The 3rd International Symposium on Biomedical Engineering (ISBME 2008). L.B. Dorini, R. Minetto, dan N.J. Leite, “White Blood Cell Segmentation Using Morphologicaloperators and Scale-Space Analysis”. Proceedings of the XX Brazilian Symposium on Computer Graphics and Image Processing, 2007. F. Sadeghian, Z. Seman, A.R. Ramli, B.H.A. Kahar, dan M.I. Saripan, “A Framework for White Blood Cell Segmentation in Microscopic Blood Images Using Digital Image Processing”, Biological Procedures Online Vol. 11, No. 1, 2009. P.S. Hiremath, P. Bannigidad, dan S. Geeta, “Automated Identification and Classification of White Blood Cells (Leukocytes) in Digital Microscopic Images”, IJCA Special Issue on “Recent Trends in Image Processing and Pattern Recognition”, 2010. F.D. Ratnasari, “Identifikasi dan Klasifikasi Jenis Sel Darah Putih Dengan Pengolahan Citra Digital”, Tesis, Program Studi Ilmu Fisika, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2010).

III. KESIMPULAN Sistem klasifikasi citra sel darah putih yang dikembangkan dengan integrasi operasi pengolahan citra untuk segmentasi citra sel dan jaringan saraf tiruan propagasi balik untuk sistem klasifikasi jenis sel, dapat teruji dengan cukup baik. Metode segmentasi citra sel darah putih yang dikembangkan mampu mengidentifikasi keseluruhan sel darah putih. Ratarata waktu yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi sel darah

225


Tabel 4. Hasil Pengujian Sistem Klasifikasi dengan Variasi Parameter Batasan Epoch

Unit Tersembunyi

10

15

1000

20

25

30

10

15

5000

20

25

30

10

15

10000

20

25

30

Koefisien Pembelajaran

Rata-rata MSE

Rata-rata Waktu Pelatihan (detik)

Rata-rata Memorisasi (%)

Rata-rata Generalisasi (%)

0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9 0,1 0,3 0,5 0,7 0,9

4,30094 3,00526 2,68491 1,99749 2,09434 4,4872 3,12955 2,39181 2,00582 2,18107 28,1614 3,70273 2,7779 2,54137 2,34417 83,56148 45,79456 20,9197 8,03119 3,26569 87,5946 91,99995 87,79407 72,27185 68,204 1,94408 0,83685 0,34375 0,21717 0,47573 2,03371 0,5076 0,75852 0,48436 0,48684 2,28524 0,62785 0,83908 0,51324 0,70663 39,23522 0,99792 0,89609 0,9139 0,79963 83,38945 45,63862 47,41543 1,41963 29,00831 1,06566 0,41698 0,70592 0,4051 0,10285 1,02638 0,31733 0,10681 0,30342 0,40231 1,18514 0,81148 0,40632 0,20323 0,50201 4,03854 0,41784 0,50614 0,50407 0,50224 74,45525 19,50688 1,01447 1,00652 0,60298

0,733 0,724 0,726 0,725 0,719 1,029 1,022 1,037 1,023 1,027 1,321 1,333 1,335 1,345 1,326 1,639 1,637 1,638 1,639 1,636 1,947 1,939 1,948 1,942 1,949 3,656 3,651 3,658 3,634 3,644 5,199 5,187 5,193 5,189 5,204 6,743 6,731 6,73 6,728 6,704 8,229 8,223 8,253 8,261 8,235 9,761 9,784 9,78 9,753 9,746 7,328 7,328 7,331 7,31 7,32 10,407 10,382 10,365 10,381 10,359 13,459 13,486 13,433 13,401 13,425 16,436 16,525 16,506 16,539 16,485 19,586 19,596 19,659 19,609 19,59

88,7 93,04 94,35 94,35 94,35 88,26 93,04 93,91 95,22 95,22 61,74 91,3 91,3 94,35 93,91 27,39 44,35 38,26 76,52 88,7 27,83 20,44 19,56 20,87 36,96 95,22 97,83 98,7 99,13 98,26 95,22 98,7 97,83 98,26 98,26 93,91 97,83 96,96 97,83 96,96 39,13 96,52 96,52 96,96 97,39 21,74 46,52 23,05 95,65 67,39 96,96 98,26 96,96 98,26 99,57 96,96 98,7 99,57 98,7 98,26 96,09 96,52 98,26 99,13 97,83 85,65 98,26 97,83 97,83 97,83 29,13 66,52 95,65 96,09 97,39

83,33 84 84,67 80,67 84,67 83,33 85,33 84 87,33 86 60,67 86 83,34 84 82,67 25,33 44 36 72,67 78 26,67 20,67 17,33 21,33 36 82,67 86 91,33 84 85,33 82,67 92 86 86,66 88,67 82 88,67 86 82 83,33 34 86,67 83,33 78,67 81,33 24 44,67 22,67 78 58 82 84,67 85,33 82 90,67 86 90 88,66 84,67 82,67 82,67 85,33 85,33 88,67 80,67 79,33 84,67 81,33 83,33 81,33 30 58,67 81,33 80,67 78

226


TICA 2013 ke-4 Judul Bahasa Indonesia: Teknik Kendali Konverter Daya Satu-Fasa Dua Arah The 4th TICA 2013 English Title : A Control Method for Single-Phase Bidirectional Converters Masramdhani Saputra, Yos Prabowo, dan Pekik Argo Dahono Teknik Tenaga Listrik, Institut Teknologi Bandung, Email: masramdhani@students.itb.ac.id Email: yosprabowo@students.itb.ac.id Teknik Tenaga Listrik, Institut Teknologi Bandung, Email: pekik@konversi.ee.itb.ac.id Abstrak – Suatu teknik kendali untuk konverter daya satu fasa dua arah diusulkan pada makalah ini. Konverter daya tersebut dapat bekerja sebagai penyearah, inverter, ataupun konverter daya statis. Untuk memenuhi mode kerja tersebut diperlukan suatu pengendali arus. Suatu pengendali hysteresis yang telah dimodifikasi, diusulkan pada makalah ini. Frekuensi penyaklaran yang seimbang pada saklar semikonduktor dapat dicapai tanpa menghilangkan kemampuan respon cepat dan pembatas arus pada pengendali hysteresis konvensional. Teknik kendali yang diusulkan telah berhasil diimplementasikan dengan FPGA. Hasil eksperimen dicantumkan untuk meverifikasi teknik kendali yang diusulkan Kata Kunci – Inverter, hysteresis, FPGA, bidirectional Abstract –This paper presents a new control strategy for single-phase bidirectional converters. The converter can be operated as a rectifier, an inverter, and as a static VAR compensator, i.e. four-quadrant of operation. The key of this capability is the current controller of the converter. A new hysteresis current controller is proposed in this paper. The proposed hysteresis current controller able to distribute evenly power semiconductor switching stresses without sacrificing the fast response feature and simplicity advantages of conventional hysteresis current controller. The proposed controller has been successfully implemented digitally by using an FPGA board. Experimental results are included to show the validity of the proposed controller. Index Terms – Inverter, hysteresis, FPGA, bidirectional. I. PENDAHULUAN Krisis energi fosil adalah salah satu isu yang menjadi topik diskusi di seluruh belahan dunia. Salah satu alternatif dari permasalahan tersebut adalah penggunaan sumber energi terbarukan yang memiliki keuntungan cadangan energi relatif besar serta tidak menimbulkan polusi [1]. Tuntutan akan energi terbarukan ini juga berlaku pada sistem energi listrik. Pembangkitan terdistribusi (distributed generation), merupakan metode yang sedang dikembangkan saat ini untuk menghubungkan sumber-sumber energi terbarukan ke sistem jaringan [1]. Pembangkitan terdistribusi tersebut diintegrasikan dalam suatu sistem yang disebut microgrid. Pada sistem microgrid dapat dimungkinkan adanya transfer daya baik dari sisi DC ke AC maupun sebaliknya. Gambar 1 menunjukkan skema microgrid. Untuk memenuhi hal tersebut dibutuhkan konverter daya dua-arah [1]-[3]. Konverter daya memiliki dua mode kerja, yakni sebagai penyearah dan inverter terhubung jala-jala. Saat bekerja sebagai inverter, daya dapat dikirimkan menuju grid baik dari sumber energi terbarukan maupun komponen penyimpan energi baterai. Saat bekerja penyearah konverter daya dapat mengalirkan daya ke baterai ataupun alat elektronik yang membutuhkan tegangan DC.. Pada makalah ini, diusulkan suatu teknik kendali untuk konverter daya satu-fasa dua arah. Suatu pengendali hysteresis baru digunakan untuk mengendalikan arus sisi AC. Teknik kendali yang diusulkan mengggunakan pengendali hysteresis pita ganda dengan tambahan

rangakaian penyeimbang [4]. Dengan menggunakan pengendali tersebut, frekuensi penyaklaran pada saklar semikonduktor dapat terdistribusi dengan merata. Hasil eksperimen dicantumkan untuk memverifikasi pengendali yang diusulkan.

Gambar. 1. Ilustrasi konverter daya dua arah pada microgrid

II. KONVERTER DAYA SATU-FASA DUA ARAH Gambar 2(a) dan (b) menunjukkan konverter daya satu-fasa dua arah yang diusulkan. Konverter tersebut dapat bekerja baik ssebagai penyearah PWM maupun inverter terhubung jala-jala. Lac merepresentasikan segala nilai induktansi yang terhubung bus AC [5]. Cdc adalah filter sisi DC. Rdc merepresentasikan tahanan yang

227


terhubung antara sumber energi terbarukan atau komponen penyimpan energi dan bus DC. Pada mode penyearah PWM, Gambar 2(a), arus sisi AC dan tegangan sisi DC harus dikendalikan agar didapat faktor daya satu pada sisi AC. Pada mode inverter, besaran daya aktif ataupun reaktif harus dapat dikendalikan. Dengan kata lain, konverter daya bekerja sebagai kompensator daya statis. Gambar 2(b) menunjukkan aliran daya dari sisi DC menuju sisi AC. Daya aktif dan reaktif yang harus dialirkan menuju sisi AC dengan kandungan harmonisa sekecil mungkin [6]-[8]. Pada mode ini, tegangan keluran inverter harus sinkron dengan tegangan sisi AC.

III.

PENGENDALI ARUS HYSTERESIS

A. Pengendali Hysteresis Pita Tunggal Skema kendali dari pengendali arus hysteresis pita tunggal ditunjukkan pada Gambar 3. Pada kendali jenis ini, inverter akan menghasilkan tegangan keluaran positif ketika arus menyentuh batas bawah pita hysteresis. Sementara, tegangan keluaran negatif dihasilkan ketika arus menyentuh batas atas pita hysteresis. Tegangan keluaran yang dihasilkan dari kendali jenis ini menyerupai bentuk tegangan keluaran pada kendali PWM. Berdasarkan model inverter pada Gambar 2(b), tegangan keluaran rata-rata dapat diasumsikan berubah-ubah secara sinusoidal dengan frekuensi fundamental keluaran:

vab  Vm sin   kVdc sin 

(1)

dimana k=Vm/Vdc adalah indeks modulasi.

(a)

Gambar 3. Pengendali hysteresis pita tunggal

(b) Gambar 2. (a) Penyearah PWM satu fasa dan (b) Inverter terhubung jala-jala dengan teknik kendali yang diusulkan Seperti yang dapat diamati pada Gambar 2(a) dan (b), komponen utama dari rangkaian kendali adalah PLL dan pengendali arus. PLL berfungsi untuk mensinkronkan arus referensi AC dengan tegangan sisi AC. Dengan mensinkronkan arus sisi AC pada mode penyearah, faktor daya satu dapat dicapai pada sisi masukan penyearah. Pada mode inverter terhubung jala-jala, PLL digunakan sebagai komponen utama untuk menentukan besaran daya aktif ataupun reaktif yang dialirkan menuju sisi AC. Selain PLL, pengendali arus memegang peranan paling penting pada teknik kendali ini. Dari sekian banyak pengendali arus yang telah dikenalkan, pengendali arus hysteresis sering menjadi pilihan karena mudah diimplementasikan dan secara alami mampu membatasi arus yang dikendalikan. Pengendali arus sangat penting untuk mengendalikan arus sisi AC secara langsung. Dengan mengendalikan arus secara langsung, konverter lebih aman dari arus lebih dan mudah dioperasikan secara paralel

Ketika transistor S1 dan S4 menerima sinyal ON, tegangan keluaran positif dihasilkan. Periode ON ini akan bertahan sama riak arus keluaran menyentuh batas atas pita hysteresis. Sehingga, selama periode ON, riak arus berubah dari –h ke +h. Nilai h dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut:

h

Vdc  v ab TON  h L

(2)

dimana TON adalah waktu ON dari saklar S1 dan S2. Berdasarkan persamaan (2), waktu ON dapat dituliskan: TON 

2hL Vdc  v ab

(3)

Selama periode OFF, ketika S1 dan S4 menerima sinyal OFF,

v  V

dc . Pada periode yang tegangan keluaran bernilai negatif, ab disebut TOFF ini, riak arus berubah dari +h ke –h. sehingga dapat dituliskan:

h 

 Vdc  v ab TOFF  h L

(4)

berdasarkan (4), waktu OFF dapat dituliskan: TOFF 

2hL Vdc  v ab

(5)

228


Berdasarkan pers. (3) and (5), periode penyaklaran dapat dinyatakan menjadi

Ts  TON  TOFF 

4Vdc hL Vdc  vab Vdc  vab 

(6)

dengan menggunakan (1) dan (6), frekuensi penyaklaran dapat dihitung menggunakan persamaan berikut fs 

1  Vdc   1  k sin  1  k sin   Ts  4hL 

Ts  TON  TOFF 

f s , av

 k2    f 1  2  

(10)

Persamaan diatas hanya berlaku pada siklus positif dari frekuensi fundamental. Selama siklus negatif dari frekuensi fundamental tegangan keluaran, periode penyaklaran dapat dituliskan dengan menggunakan metode yang sama. Karena alasan kesimetrisan dari kerja inverter, periode penyaklaran dari satu siklus tegangan keluaran fundamental dapat dituliskan

(7) Ts 

frekuensi penyaklaran rata-rata pada frekuensi fundamental adalah s sm

2Vdc hL Vdc  vab vab

V

2Vdc hL dc

 v ab  v ab

(11)

kemudian, frekuensi penyaklarannya adalah (8)

dimana

f s  1 / Ts  f smd 1  k sin   k sin 

(12)

dimana

f sms 

Vdc 4hL

(9)

adalah frekuensi penyaklaran maksimum. Pada kendali arus hysteresis, riak arus keluaran bernilai konstan tetapi frekuensi penyaklaran rata-rata berubah dipengaruhi indeks modulasi. Frekuensi penyaklaran rata-rata akan bernilai maksimum ketika indeks modulasi bernilai nol.

B. Pengendali Hysteresis Pita Ganda Skema kendali ini ditunjukkan pada Gambar 4. Pada kendali ini, sepasang saklar (sebagai contoh S1 dan S2) dikendalikan oleh pita dalam hysteresis dan pasangan saklar lainnya (S3 dan S4) dikendalikan oleh pita luar hysteresis. Karena lebar pita berbeda, maka riak arus keluaran biasanya ditentukan oleh pita dalam yang memiliki lebar lebih kecil. Pita luar bekerja jika riak arus terlepas dari kendali pita dalam. Tegangan keluaran inverter akan memiliki karakteristik unipolar menyerupai tegangan keluaran pada PWM carrier-based unipolar asimetris..

f smd 

Vd 2hL

(13)

Frekuensi penyaklaran rata-rata pada frekuensi fundamental adalah 2 k f s ,av  f smd   k  2

(14)

Frekuensi penyaklaran rata-rata maksimum akan didapat pada indeks modulasi k=2/π. Frekuensi penyaklaran rata-rata maksimum adalah d f smax , av  f sm

2

2

(15)

Perbandingan antara (8) dan (14) menunjukkan pada riak arus keluaran yang sama, frekuensi penyaklaran rata-rata kendali arus hysteresis pita ganda lebih rendah dari kendali arus hysteresis pita tunggal. Frekuensi penyaklaran rata-rata akan bernilai nol ketika indeks modulasi bernilai nol juga. Namun, pada kendali pita ganda, saklar-saklar pada inverter memiliki frekuensi penyaklaran yang tidak seimbang. Sehingga, kapabilitas dari saklar-saklar inverter tidak bisa dimaksimalkan untuk mendapatkan tegangan keluaran yang lebih baik.

C. Pengendali Hysteresis Yang Diusulkan Sebagaimana ditunjukkan pada bagian sebelumnya bahwa teknik PWM unipolar simetris menghasilkan urutan penyaklaran yang optimal tetapi tidak memiliki fitur untuk mengendalikan arus keluaran. Pada sisi yang lain, kendali arus pita ganda konvensional memiliki kemampuan untuk mengatur arus keluaran tetapi memiliki urutan penyaklaran yang tidak optimal. Pada bagian ini, kedua kelebihan dari teknik PWM unipolar simetris dan kendali arus hysteresis pita ganda akan digabungkan [ 4].

Gambar 4, Pengendali hysteresis pita ganda Periode penyaklaran dapat dinyatakan dengan

Pada sebuah periode keluaran fundamental, urutan penyaklaran pada teknik kendali PWM unipolar simetris ditunjukkan pada Gambar 5(b). Pada Gambar 5(a) ditunjukkan urutan keluaran dari kendali arus hysteresis pita ganda konvensional. Untuk menggabungkan kelebihan dari kedua teknik kendali tersebut, urutan penyaklaran pada Gambar 5(a) harus dimodifikasi menjadi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5(b)..

229


1

S1 0 1

S4

\

0

(a)

kendali arus hysteresis pita-ganda. Sinyal C dan Counter C tidak memiliki pengaruh pada active state (11 dan 00). Jika sebuah active state telah dipilih oleh pembanding pita-ganda, S1’ dan S4’ akan memiliki keadaan yang sama dengan S1 dan S4, berturut-turut, tanpa memperhatikan keadaan sinyal C dan counter C. Jika sebuah zero state dipilih, maka zero state lainnya akan dipilih jika zero state yang terpilih sama dengan zero state sebelumnya. Pada satu periode sinyal counter C, dua zero state yang berbeda digunakan.

1

Rangkaian logika yang bersesuaian dengan prinsip ini ditambahkan pada kendali arus hysteresis pita-ganda sehingga didapatkan urutan penyaklaran yang sama dengan teknik PWM unipolar.

S1 0

1

S4 0

(b) Gambar 5.(a) Pola penyaklaran pada pengendali hysteresis pita ganda dan (b) pola penyaklaran pada PWM unipolar Kondisi penyaklaran inverter dapat direpresentasikan oleh kondisi penyaklaran pasangan saklar inverter (S1-S4). Selama setengahsiklus positif, urutan penyaklaran inverter pada PWM unipolar simetris adalah 01,11,10,11,01,11,10,11,01,…. dan 10,00,01,00,10,00,01,00,10,… selama setengah-siklus negatif. Pada kendali arus pita-ganda konvensional, didapatkan urutan penyaklaran 01,11,01,11,01,… pada setengah-siklus positif, dan

IV. TEKNIK KENDALI KONVERTER DAYA SATUFASA DUA ARAH A. Inverter Terhubung Jala-Jala Gambar 2(b) menunjukkan mode inverter terhubung jala-jala dan rangkaian kendalinya. Kendali yang diusulkan merupakan kendali loop tertutup. Sebuah blok Phase Locked Loop (PLL) digunakan pada kendali yang diusulkan sehingga sudut fasa arus keluaran terhadap tegangan jaringan dapat dikendalikan. Kendali arus yang diusulkan adalah kendali arus hysteresis pita ganda dengan rangkaian penyeimbang penyaklaran [4]. Arus keluaran inverter dibandingkan dengan arus referensi yang dibentuk berdasarkan data keluaran PLL. Dengan menggunakan kendali arus hysteresis pita ganda, maka secara alami didapatkan tegangan keluaran inverter yang serupa dengan tegangan keluaran inverter PWM unipolar, yang cenderung memiliki harmonisa tegangan yang rendah dibanding bentuk tegangan keluaran bipolar. Rangkaian peneyimbang penyaklaran digunakan untuk mengatasi permasalahan hysteresis pita ganda yang memiliki beban penyaklaran yang tidak seimbang pada kedua lengan penyaklaran [4]. Gambar 6 menunjukkan rangkaian penyeimbang penyaklaran yang digunakan.

10,00,10,00,10,… selama setengah-siklus negatif. Dapat terlihat bahwa pada PWM unipolar negatif, kondisi zero state (10 dan 01) digunakan bergantian baik pada setengah-siklus positif dan negatif. Satu siklus penuh terdiri dari dua zero state dan dua active state. Pada kendali hysteresis pita-ganda konvensional, hanya zero state 01 digunakan selama setengah-siklus positif dan zero state 10 untuk setengahsiklus negatif. Untuk mendapatkan urutan yang mirip dengan PWM unipolar simetris, kedua zero state haru digunakan bergantian pada kendali arus hysteresis pita-ganda baik pada setengah-siklus positif maupun negatif. Untuk mencapainya, dibutuhkan sinyal yang menunjukkan penggunaan dari zero switching state. Sinyal ini direpresentasikan dengan sinyal C yang didapatkan dari operasi Exclusive-OR (XOR) dari keadaan S1 dan S4. Sinyal lain yang diperlukan adalah sinyal yang menandakan bahwa siklus penuh penyaklaran telah dilakukan. Sinyal ini disebut Counter C. Sinyal ini berubah ketika sinyal C berubah dari low ke high. Baik sinyal C dan Counter C digunakan untuk merubah sinyalsinyal pada S1 dan S4 untuk mendapat S1’ dan S4’ seperti yang diharapkan. Sinyal S1 dan S4 didapatkan dari sinyal penyaklaran dari

Gambar 6. Rangkaian penyeimbang frekuensi penyaklaran

B. Penyearah PWM Satu Fasa Gambar 2(a). menunjukkan operasi penyearah PWM. Dengan menggunakan Hukum Kirchoff Tegangan, tegangan induktor dapat dinyatakan sebagai berikut:

=

=

(16)

dimana k bernilai 1, -1, dan 0. Tabel 1 memperlihatkan bermacam kondisi penyaklaran yang mungkin dicapai oleh penyearah. Persamaan (16) dan Tabel 1 menunjukkan arus masukan pada topologi ini dapat dikendalikan sepenuhnya dengan syarat nilai tegangan keluaran harus lebih besar dari tegangan masukan [8].

230


Sehingga pada mode kerja penyearah memerlukan pengendali arus AC dan tegangan DC. Tabel 1. Konfigurasi saklar pada penyearah PWM satu fasa Vac

S1

S2

S3

S4

k

negative

ON

OFF

OFF

ON

1

negative

ON

OFF

ON

OFF

0

positive

OFF

ON

ON

OFF

-1

positive

OFF

ON

OFF

ON

0

Gambar 7. Skema umum rangkaian implementasi (a) Mode inverter (b) Mode penyearah PLL harus dipastikan dapat mengunci frekuensi dan sudut fasa dari tegangan jaringan. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 8(b) dimana nilai sudut yang dihasilkan PLL untuk membangkitkan gelombang sinus sudah memiliki frekuensi dan sudut fasa yang sama dengan tegangan jaringan.. Gambar 9(a) menunjukkan arus keluaran inverter pada perintah arus 5 A rms dengan faktor daya satu. Perubahan referensi arus secara tiba-tiba ditunjukkan pada Gambar 9(b). Pada t = 0.029 s, perintah arus berubah dari 2 A rms menuju 2.5 A rms. Dapat terlihat dengan jelas arus keluaran mampu mengikuti perubahan nilai perintah arus.

Gambar 2(a) memperlihatkan penyearah PWM dan pengendali yang diusulkan. Sistem kendali terdiri atas dua lup tertutup. Lup luar mengendalikan tegangan keluaran sedangkan lup dalam mengendalikan arus masukan. Pengendali tegangan yang digunakan adalah pengendali konvensional jenis PI sedangkan pengendali arus yang digunakan adalah pengendali arus jenis hysteresis pita ganda dengan rangkaian penyeimbang frekuensi penyaklaran. (a)

V. HASIL EKSPERIMEN Tahapan implementasi dimulai dengan pembuatan konverter daya satu fasa jembatan penuh dengan empat buah saklar terkendali penuh.Pada eksperimen ini dipilih MOSFET IRFP460 速 sebagai saklar semikonduktor. Semua rangkaian kendali diimplementasikan secara digital pada FPGA Xlinx速 Spartan III Generation V. Skema umum implementasi baik untuk mode kerja inverter maupun penyearah dapat dilihat pada Gambar 7(a) dan (b). Tabel 2. Parameter implementasi

Parameter

Vac

Vdc

Lac

Cdc

pita dalam

pita luar

Value

55 V rms

100V

10mH

9.9 mF

Iref +/0.125A

Iref +/0.25A

Gambar 8(a) dan (b) menunjukkan hasil pengujian pengendali hysteresis pada mode kerja inverter terhubung jala-jala. Dapat diamati bahwa arus yang dikendalikan memiliki bentuk sinusoidal seperti gelombang referensi. Selain itu, frekuensi penyaklaran baik pada kaki yang bekerja berdasarkan pita luar maupun pita dalam relatif sama.

(a)

(b)

Gambar 8.(a) Frekuensi penyaklaran pada setiap saklar seimbang dan (b) Blok PLL sinkron dengan tegangan sisi AC Gambar 10 menunjukkan kemampuan inverter untuk mengatur beda fasa antara tegangan dan arus. Terlihat bahwa inverter dapat bekerja pada faktor-daya 1 (Gambar 10(a)), faktor-daya lagging (Gambar 10(b)), dan faktor-daya leading (Gambar 10(c)).. Gambar 11. menunjukkan mode kerja inverter ketika arah daya berbalik menuju sisi DC. Pada kondisi ini, mode kerja menjadi sebuah penyearah

(a)

(b)

Gambar 9.(a) Arus keluaran inverter dengan PF = 1 dan (b) Respon arus keluaran terhadap perubahan referensi arus mendadak

(b)

231


(a)

(b)

Gambar. 13. (a) Tegangan dan arus keluaran terhadap perintah referensi dan (b) Tegangan keluaran terhadap perubahan beban

VI. KESIMPULAN

Gambar 10. (a) PF ≈ 1 (b) PF lagging (c) PF leading

Perancangan teknik kendali untuk konverter daya satu fasa duaarah telah diverifikasi dengan eksperimen. Konverter dapat bekerja sebagai kompensator daya statis pada mode inverter. Pada mode kerja penyearah, faktor daya satu sisi masukan dan tegangan keluaran yang dapat dikendalikan, dapat direalisasikan pada penelitian ini.

VII. [1]

Gambar 11. Daya mengalirk dari sisi AC menuju sisi DC pada mode

[2]

inverter Mode penyearah pada konverter ditunjukkan pada Gambar 12. Pada Gambar 12, penyearah menyuplai beban DC sebesar 200W. Arus AC dan tegangan AC sefasa. Dengan kata lain, faktor daya satu dapat dicapai pada mode penyearah.

[3] [4] [5] [6]

Gambar 12.Faktor daya satu pada mode penyearah

[7] [8]

Pada Gambar 13(a), tegangan referensi berubah secara tiba-tiba dari 65 V menjadi 90 V. Dapat dilihat bahwa tegangan keluaran penyearah mampu mengikuti perintah referensi tegangan yang berubah tiba-tiba. Gambar 13(b) menunjukkan tegangan keluaran saat terjadi perubahan beban secara tiba- tiba. Tegangan keluaran penyearah dapat kembali menuju referensi yang bernilai 100 V saat kondisi tunak.

DAFTAR PUSTAKA

G.R. Yu, and J.S. Wei, “Fuzzy Control of a Bi-directional Inverter with Nonlinear Inductance for DC Microgrids,” Proc. 2011 IEEE International Conference on Fuzzy Systems, June 27-30, 2011, Taipei, Taiwan. S. B. Kjaer, J. K. Pedersen, and F. Blaabjerg, “A Review of Single-Phase Grid-Connected Inverters for Photovoltaic Modules,” IEEE Transactions on Industry Applications Vol. 41 No .5, Sep/Oct 2005. D. Dong, “Modeling and Control Design of a Bidirectional PWM Converter for Single-Phase Energy Systems,” Virginia Polytechnic Institute and State University. 2009. P.A. Dahono, “New Hysteresis Current Controller for Single-Phase Full-Bridge Inverter,”IET Power Electronics, 2009, 2, (5), pp.585-594. N. Mohan, T. Undeland, and W. Robins, “Power Electronics: Converters Applications and Design,” Wiley Text Books, Third Edition, 2002, ISBN: 0471226939. “Characteristics of the Utility Interface for Photovoltaic (PV) Systems,”IEC 61727 CDV (Committee Draft for Vote), 2002. “IEEE Standard for Interconnecting Distributed Resources With ElectricPower Systems,” IEEE Std. 1547, 2003. J.Rodriguez, J.Dixon, and J. Espinoza, “PWM Regenerative Rectifiers : State of the Art,”IEEE.

232


Perancangan Sistem Teleskop Radio dengan GNU Radio dan U SRP Designing Radio Telescope System with GNU Radio and USRP 1

Bramantyo Ibrahim Supriyatno1,a dan Andriyan Bayu Suksmono2,b

Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung, Bandung. aEmail: Bramantyo.i.s@s.itb.ac.id, 2 Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung, Bandung. bSuksmono@stei.itb.ac.id

Abstrak - Paper ini a kan menjelaskan bagaimana per ancangan sistem radio teleskop dengan mengguna kan G NU Radio dan USRP. Sistem yang dirancang mencakup sistem perangkat keras dan j uga sistem pengolahan sinyal. Sistem yang telah dirancang diuji dengan simulasi menggunakan G N U Radio dan j uga implementasi pada USRP. Kata Kunci ²Instruksi; Teleskop Radio, Software-defined Radio, GNU Radio, USRP .

Abstract- T his paper will explain how to design the r adio telescope system with G N U Radio and USRP. Designed system includes system hardware and signal processing systems. Designed system tested by G N U Radio simulator and USRP implementation. Kata Kunci ²Instruksi; Teleskop Radio, Software-defined Radio, GNU Radio, USRP .

I. PENDAHULUAN Teleskop radio adalah suatu alat yang terdiri dari antenna, penguat dan penerima yang digunakan untuk menangkap gelombang radio yang dipancarkan oleh benda-benda langit seperti bintang. Teleskop radio biasa digunakan pada ilmu astronomi untuk mengetahui karakteristik dari suatu benda langit sebagai contoh kandungan gas pada suatu bintang. Dalam observasi benda langit sebenarnya ada berbagai cara yaitu dengan menggunakan gelombang cahaya, gelombang infra merah, gelombang mikro , maupun gelombang sinar gamma. Semua cara tersebut memiliki peranan masing-masing dalam observasi. Sebagai contoh radiasi gelombang elektromagnetik dengan frekuensi radio tidak dapat dideteksi oleh teleskop dengan menggunakan gelombang cahaya, namun bias dideteksi oleh antenna pada teleskop radio, begitu pula sebaliknya. Sehingga pengunaan cara yang berbeda dalam observasi benda langit bersifat saling melengkapi. Karena memanfaatkan gelombang elektromagnetik dalam penerapannya, teleskop radio memiliki karakteristik sama seperti teleskop lainnya. Radio teleskop harus ditempatkan pada daerah yang bebas oleh interferensi, atau menggunakan frekuensi yang relative tidak terpakai pada suatu daerah. Hal ini bersesuaian dengan teleskop cahaya dimana penempatannya tidak diperkenankan terkena polusi cahaya. Pada penerapannya, sistem teleskop radio memiliki komponen yang hampir sama dengan sistem penerima gelombang radio dalam sistem komunikasi. Teleskop radio terdiri dari antenna penerima, penguat dan penerima. Selain itu dilakukan pengolahan sinyal untuk mendapatkan hasil dari sinyal radio yang diterima.

Teleskop radio biasanya menggunakan satu frekuensi tertentu sebagai frekuensi operasinya, namun hal tersebut bisa menjadi masalah karena benda langit mungkin memiliki tingkat energy yang berbeda di stiap frekuensi sehingga keleluasan pemilihan frekuensi operai akan sangat membantu dalam observasi benda langit. Keleluasaan pemilihan frekuensi kerja akan menjadi masalah pada setiap komponen sistem teleskop radio. Diperlukan antenna, penguat dan penerima yang berbeda jika mengunakan frekuensi yang berbeda. Namun hal tersebut bisa diatasi dengan berkembangnya teknologi Software Defined Radio adatu biasa disingkat S DR.

Software Defined Radio atau disingkat S DR adalah suatu perangkat radio yang komponen bloknya bisa diatur dengan menggunakan software. S DR biasanya terdiri dari dua komponen, yaitu komponen perangkat lunak dan komponen perangkat keras. Salah satu S DR yang terkenal adalah WinRadio dan GNU Radio. Dengan penggunanaan S DR dalam komponen teleskop radio, keleluasaan pemilihan frekuensi kerja dapat dilakukan lebih mudah dengan syarat antenna dan penguat memiliki lebar frekuensi kerja yang cukup besar.

II. SISTEM TELESKOP RADIO BERBASISKAN S DR A. Prinsip dasar astronomi radio Teleskop radio memanfaatkan perbedaan besar daya yang dipancarkan oleh benda-benda luar angkasa untuk membuat citra dari suatu daerah di luar angkasa. Seiring dengan berputarnya bumi, teleskop radio akan merekam besar daya dari benda-benda langit. Dengan mengubah sudut elevasi dan sudut

233


inklinasi dari antenna penerima, besar data dari berbagai kordinat akan didapatkan, sehingga citra dari suatu daerah di langit akan didapatkan.

Square-law detector pada dasarnya adalah operasi perkalian sinyal dengan sinyal itu sendiri. Sinyal yang masuk ke dalam sistem pengolahan sinyal merupakan sinyal kompleks dimana sinyal tersebut terdiri dari sinyal imajiner dan sinyal riil. Kedua sinyal tersebut dikalikan terhadap sesamanya lalu dijumlahkan. Penjumlahan dari kedua sinyal tersebut akan menghasilkan besar daya dari sinyal yang diterima. Blok ketiga dari sistem pengolahan sinyal ini adalah ti m e average. Blok time average ini memiliki fungsi seperti berikut

‫ ݁݃ܽݎ݁ݒܽ݁݉݅ݐ‬ൌ Gambar 1. Besar Intensitas dalam Jansky berbanding dengan frekuensi

Besaran intensitas yang digunakan dalam radio astronomi biasanya dalam bentuk jansky (Jy).

ͳ‫ ݕܬ‬ൌ ͳͲିଶ଺

ௐ ௦ ௠మ

B. Sistem Pengolahan Sinyal dari Teleskop Radio Pada dasarnya pengolahan sinyal pada teleskop radio ditujukan untuk mendapatkan daya dari benda-benda luar angkasa pada frekuensi tertentu, membuang komponen derau, dan juga mendapatkan komponen daya rata-rata. Struktur pengolahan sinyal dari teleskop radio ditunjukan oleh ilustrasi dibawah ini

‫݂ ׬‬ሺ‫ݔ‬ሻ ‫݀݋݅ݎ݁݌‬

tujuan dari penggunaan blok time average adalah untuk mengambil nilai rata-rata dari sinyal yang diolah dengan perioda tertentu. Pada blok ini bisa diterapkan low-pass filter karena besar power rata-rata dari suatu sinyal sama dengan besar komponen D C (Direct Current) dari sinyal tersebut. Maka dari pada itu dibutuhkan filter low-pass yang membuang frekuensi tinggi dari sinyal Blok tambahan yang biasa digunakan pada sistem teleskop radio adalah blok fast fourier transform (fft) plot. Blok ini m4gengandung operasi transformasi fourier diskrit dimana transformasi ini mengubah sinyal diskrit pada domain waktu kedalam sinyal diskit pada domain frekuensi diskrit. Persamaan fft bisa dilihat pada persamaan dibawah ini C. Sistem Perangkat keras dari Teleskop Radio

Sinyal

BPF

Square-law detector

Integrator

Sistem pengolahan sinyal dari teleskop radio terdiri dari beberapa blok. Blok selanjutnya adalah filter. Filter yang digunakan pada blok pertama ini adalah filter band-pass filter dengan frekuensi cut-off yang ditentukan untuk melewatkan gelombang dengan frekuensi yang akan diamati. Lebar dari pass band pada filter akan menetukan resolusi dari pengamatan radio astronomi. Jenis filter yang digunakan pada sistem pengolahan ini adalah finite impulse response (fir) filter. Filter fir digunakan karena pengamatan radio astronomi memiliki parameter waktu. Dimana waktu tersebut menunjukan kordinata dari benda yang diamatai. Filter fir memberikan delay pada setiap frekuensi yang linear sehingga cocok untuk penerapan radio astronomi. Blok selanjutnya dari sistem pengolahan sinyal pada teleskop radio adalah Square-law detector. Square-law detector berguna sebagaia pengubah nilai sinyal menjadi besar daya. Pengertian dari square-law detector ditunjukan rumus dibawah ini. ܵ‫ ݁ݎܽݑݍ‬െ ‫ ݎ݋ݐܿ݁ݐ݁ܦ ݓܽܮ‬ൌ ሺܴ݅​݈݅ሻଶ ‫ כ‬ሺ‫ݎ݆݁݊݅ܽ݉ܫ‬ሻଶ

sistem perangkat keras dari radio teleskop memiliki banyak kesamaan dengan sistem perangkat komunikasi satelit pada umumnya. Perangkat keras yang dibutuhkan oleh sistem teleskop radio mencakup antenna, low-noise amplifier (LNA) dan penerima.

Mixer

LNA

Receiver

antenna yang dipakai pada radio teleskop umumnya beberbntuk parabola. Antenna parabola dipakai karena memiliki pola radiasi yang cukup tajam. Besar gain dari antenna parabola besesuaian dengan persamaan seperti berikut.

‫ ݊݅ܽܩ‬ൌ ߟ‫ ܦ‬ൌ ߟ

Ͷߨ ߠଵ߶ଵ

besar gain pada antenna akan juga bersesuain dengan persamaaan berikut

ߟ‫ ܦ‬ൌ ߟ Ͷߨ

‫ܣ‬௣ ߣଶ

234


III. PERANCANGAN SISTEM TELESKOP RADIO dari kedua persamaan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan diameter antena yang lebih besar, akan didapatkan gain antenna yang lebih besar pula, selain itu besarnya gain antenna akan mempengaruhi pola radiasi dari antenna. Semakin besar gain antenna akan memperkecil lebar dari berkas utama. Semakin kecil berkas utama akan meningkatkan tingkat sensitivitas dari teleskop radio. Blok perangkat keras lainnya yang dibutuhkan oleh sistem teleskop radio adalah low-noise amplifier (LNA). LNA biasa digunakan juga pada sistem komunikasi radio dimana kanal komunikasinya memilki redaman yang besar sehingga sinyal komunikasi memiliki daya yang hampir mendekati daya noise. LNA memiliki parameter yaitu noise figure (N F), gain, dan linearitas. Besar nilai NF akan sangat mempengaruhi kinerja dari teleskop radio karena besar sinyal yang akan dideteksi oleh sistem radio teleskop sangat rendah. Sehingga nilai NF yang besar akan mempermudah deteksi sinyal radio astronomi. Perangkat keras yang dibutuhkan pada sistem radio teleskop lainnya adalah penerima atau Receiver. Pada dasarnya receiver ini hanya menunjukan besar daya yang diterima . Receiver bisa berupa hanya power meter ataupun berupa sistem digital. Penggunaan power meter biasa akan memeberikan keuntungan dari sisi biaya. Sedangkan penggunaan sistem digital akan memberikan keuntungan dalam hal perekaman data dan juga pengolahan data. D. GNU Radio dan USRP

GNU Radio adalah software-defined radio yang bersifat opensource dan gratis. GNU Radio mengakomodir penyusunan blok-blok pengolahan sinyal radio dengan perangkat lunak. GNU Radio memiliki graphical user interface (G UI) yang mempermudah desain system radio yang kita inginkan.

Untuk realisasi perngakat radio, GNU Radio membutuhkan perangkat keras. Perangkat keras yang biasa digunakan dan sesuai dengan GNU Radio adalah Universal Software Radio Periphera (U SRP). U SRP sendiri pada dasarnya adalah suatu FPGA yang digabungkan dengan perangkat keras yang biasa ada pada system radio seperti mixer, LNA, dan penguat.

Perancangan sistem teleskop radio menggunakan SDR terbagi dalam 2 bagian yaitu perancangan sistem perangkat keras dan juga perancangan sistem perangkat lunak pada SDR. Pengujian hanya dilakukan sampai tahap implementasi pada USRP. Terdapat juga batasan-batasan perangkat keras dan perangkat lunak dalam perancangan system. Batasan-batasan tersebut adalah : 1.

2. 3. 4. 5.

Antenna penerima yang bisa digunakan adalah antenna parabola dengan diameter 3m, 5.5m, dan 6m. LNA yang digunakan memilik gain 25 dB. Digunakan USRP N210 dengan rentang frekuensi antar 100MHz sampai dengan 2100MHz. USRP juga memiliki sensitivitas -110 dBm. Digunakan kabel RG-8. Kecepatan pencuplikan yang diperkenankan adalah dibawah 30MS/detik.

Batasan-batasan tersebut dibuat karena keterbatasan alat yang tersedia di Laboratorium Telekomunikasi Radio dan Gelombang Mikro (LTRGM) Institut Teknologi Bandung dan Laboratorium Peneropongan Bintang Bosccha Institut Teknologi Bandung. A. Perancangan Sistem Pengolahan Sinyal Sistem pengolahan sinyal dirancang dengan bantuan gnuradiocompanion yang merupakan graphical-user-interface dari perangkat lunak gnuradio. Blok-blok pengolahan sinyal yang dipakai pada sistem pengolaha sinyal terdiri dari U H D, bandpass filter, complex to mag2, single-pole iir, dan 1 keep M. Blok UHD adalah blok penghubung dari sistem perangkat lunak ke sistem perangkat keras. Pada dasarnya blok ini terdiri dari 3 parameter utama yaitu frekuensi tengah, sample per second dan gain. Parameter frekuensi tengah akan memberikan nilai frekuensi tengah pada mixer di USRP. Frekuensi tengah ini akan menjadi frekuensi pengamatan dari radio teleskop. Parameter yang kedua adalah sample per second (sps). Besar sps akan berpengaruh pada lebar pita yang akan digunakan pada USRP. Parameter terakhir yang digunakan adalah gain. USRP memiliki penguat yang besar penguatannya bisa diatur menggunakan software. Parameter gain ini menunjukkan seberapa besar penguat yang dikehendaki. Blok band-pass filter akan melewatkan sinyal dengan lebar tertentu pada frekuensi tertentu juga. Parameter pada bad-pass filter yang digunakan adalah low cut-off frequency, high cut-off frequency, transition width, decimation, window dan gain. Parameter low cut-off frequency dan high cut-off frequency menentukan dimana frekuensi akan dilewatkan dan juga seberapa lebar frekuensi yang akan dilewatkan. Transition width akan memnentukan lebar daerah transisi. Decimation adalah parameter yang digunakan untuk melakukan proses

235


down-sa mpling pada sinyal yang dilewatkan. Parameter ini penting digunakan karena proses down-sampling akan memberikan keuntungan dalam komputasi. Blok complex to mag^2 berfungsi sebagai square-law detector. Blok ini bertujuan untuk mendapatkan nilai power dari sinyal yang diterima. Prinsip dari blok ini adalah mengalikan sinyal dengan sinyal itu sendiri. Hasil dari perkalian tersebut akan menghasilkan nilai power.

Penguatan didapatkan oleh antenna direksional dan juga dengan LNA. Antenna yang digunakan memiliki diameter 6m. Dengan persamaan direktivitas antenna maka

ߨ ଶ ‫ ܦ‬ଶ ߨ ଶ ͸ଶ ൌ ൌ ͹ͻ͸ͲǤͶʹͺ ߣଶ ͲǤʹͳଶ ൌ ͵ͻǤͲͲͻ݀‫ܤ‬

݀݅‫ ݏܽݐ݅ݒ݅ݐ݇݁ݎ‬ൌ

Blok single-pole iir filter bertujuan sebagai rangkaian ti me average. Blok ini berfungsi untuk mengambil nilai rata-rata pada periode tertentu dari suatu sinyal. Blok single-pole iir filter memiliki fungsi respon frekuensi seperti berikut

Demikian juga antenna dengan diameter 3 dan 5.5 meter memiliki direktivitas sebesar 33.04 dB dan 38.30 dB. Jika diasumsikan antenna parabola memiliki efektivitas sebesar 0.6 maka gain dari antenna parabola dikurangi 2.21 dB.

ߙ ͳ െ ሺͳ െ ߙሻ‫ି ݖ‬ଵ ‫ݕ‬ሺ݊ሻ ൌ ‫ ݔ‬ሺ݊ሻ ൅ ሺͳ െ ߙሻ‫ݕ‬ሺ݊ െ ͳሻ

Selain itu digunakan juga LNA dengan gain sebesar 25 dB. Dan juga kabel RG-8 yang memiliki loss sekitar 6 dB / 30 meter.

‫ ܪ‬ሺ‫ ݖ‬ሻ ൌ

Fungsi respon frekuensi ini juga menunjukan sifat low-pass filter karena pada dasarnya pengambilan nilai rata-rata dari suatu sinyal adalah pengambilan nilai direct current dari suatu sinyal. Penerapan low pass filter dengan cut-off frequency yang sangat rendah akan melewatkan komponen direct current dari sinyal yang diterima. Blok terakhir dari sistem pengolahan sinyal dari sistem radio teleskop adalah blok 1 keep M blok ini bertujuan untuk memotong data rate dari sinyal. Tujuan pemotongan data rate bertujuan untuk meringankan proses komputasi. B. Perhitungan Link-budget dari sistem teleskop radio

Maka dengan menjumlahkan semua perhitungan diatas didapatkan hasil

‫ ݐ݁݃݀ݑܾ ܽݏ݅ݏ‬ൌ ͺͶǤͷ െ ͵ͻǤͲͲͻ െ ʹͷ ൅ ͸ ൅ ʹ ൌ ʹͺǤͶͻͳ݀‫ܤ‬ Begitu pula dengan antenna parabola dengan diameter 3 dan 5.5 meter menghasilkan sisa 33.531 dB dan 29.191dB. Dari hasil perancangan perangkat keras dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan alat yang ada, deteksi sinyal radio astronomi hanya bisa dilakukan pada sumber gelombang dengan kekuatan lebih besar dari 103 Jansky. Untuk deteksi sumber sinyal yang lebih kecil dibutuhkan antenna yang lebih besar atau LNA dengan gain yang lebih besar

Diasusmsikan bahwa radio teleskop akan mendeteksi sinyal dengan besar 1Jy. 1 Jy =

ௐ௔௧௧

ͳͲିଶ଺ ௠మ ு௭

Dengan aperture isotropis pada frekuensi 1420 MHz , peanjang gelombang = 0.21 m,

‫ܣ‬௣ ൌ

IV. HASIL PERANCANGAN A.

Hasil Simulasi

Simulasi dilakukan dengan menggunakan Companion dengan skema seperti dibawah

GNU Radio

ߣଶ Ͷߨ

Didapatkan besar aperture sebesar 3.35 x 10-3. Jika menggunakan lebar pita sebesar 1MHz, maka nilai 1 Jy sebanding dengan

ͳ‫ ݕܬ‬ൌ ͳͲିଶ଺ ‫͵ݔ‬Ǥ͵ͷ‫ିͲͳݔ‬ଷ ‫ݐݐܹܽ ଺Ͳͳݔ‬ ൌ ͵Ǥͷͷ‫ିͲͳݔ‬ଶହ ܹܽ‫ݐݐ‬ ൌ െʹʹͶǤͶͻ݀‫ ݉ܤ‬ൌ െͳͻͶǤͶͻͷ݀‫݉ܤ‬ Sedangakna sensitivitas dari penerima USRP N210 dengan daughter board WBX adalah -110 dBm, maka dibutuhkan penguatan sebesar 84.5dB.

dari skema diatas didapatkan hasil seperti berikut frekuensi 50kHz

Amplitudo

Power 5

0

10

0

236


20

100kHz

103kHz

105kHz

150kHz

dapat dengan baik melakukan pengolahan sinyal. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan amplituda sinyal masukan dan amplitude sinyal keluaran. Besar amplitude sinyal keluaran merupakan hasil kuadrat dari sinyal masukan. Selain itu, dari hasil simulasi comb-of filter, dapat disimpulkan bahwa proses memfilteran pada GNU Radio dapat berjalan dengan baik, hal ini terlihat dari perubahan nilai keluaran pada tiap sub-struktur seiring dengan perubahan frekuensi.

0

40

0

5

6.266

10

25.065

20

100.26

40

401.05

5

25.04

10

100.174

20

400.69

40

1602.789

5

6.266

10

25.066

20

100.266

40

401.064

5

0

10

0

20

0

40

0

B. Hasil Implementasi dengan menggunakan USRP Dilakukan juga implementasi dengan menggunakan U SRP N210. Implementasi dilakukan dengan menggunakan personal computer yang dihubungkan dengan kabel koneksi gigabit Ethernet. Tujuan dari implementasi ini adalah untuk mengecek apakah struktur pengolahan sinyal yang telah dirancang mampu diterapkan ke perangkat keras.

selain itu juga dilakukan simulasi comb-of-filter dari sitem radio teleskop dengan menggunakan GNU Radio Companion.

Dari hasil implementasi didapatkan hasil sebagai berikut amp freq 100-105 105-110 110-115 115-120 6.2 103k 0.0299 0 0 0 107k 0 0.0244 0 0 110k 0.01 0.012 0 118k 0 0 0 0.025 Dari hasil yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa system comb-of filter yang diimplemetasikan pada U SRP memberikan hasil yang baik, hal ini dapat dilihat dari perubahan nilai keluaran dari sub-struktur seiring dengan perubahan frekuensi. Nilai kerluaran yang kecil disebabkan oleh redaman propagasi gelombang dan juga arah propagasi yang tidak sesuai karena arah antenna tidak saling berhadapan.

dan didapatkan hasil sebagai berikut amp

freq

0-250k

5

0 125k 250k 375k 500k 625k 750k 875k

24.523 25.233 6.13 0 0 0 0 0

250k500k 0 0 6.37 24.523 6.374 0 0 0

III. KESIMPULAN 500k750k 0 0 0 0 6.135 24.52 6.378 0

750k1000k 0 0 0 0 0 0 6.13 24.49

Dari hasil yang didapatkan, penggunaan S DR pada aplikasi radio teleksop memberikan hasil yang baik. Selain itu penggunaan S DR juga memberikan keleluasaan pemilihan frekuensi kerja dari sistem radio teleskop. Selain itu penggunaan S DR juga memberikan keleluasaan dalam hal pengolahan sinyal. Sistem pengolahan sinyal dapat dengan mudah diubah sesuai dengan kebutuhan pengamatan. Pengembangan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah pembuatan adaptive interference cancelling filter . selain itu memungkinkan juga untuk pembuatan sistem interferometry menggunakan S DR.

Hasil darin simulasi sistem pengolahan sinyal, GNU Radio

237


DAFTAR PUSTAKA [1]

[2] [3] [4]

Nor'asnilawati binti Salleh , Mohd Khairul Hisham bin Ismail (2010) : Listening To Jupiter's Signal Using Radio Telescope Recorder, International Confrence On Computer Design And Applications , 1,278282. Cynthia, F. (2006) : A Simple Radio Telescope Operating at Ku Band for Educational Purposes , IEEE Antennas and Propagation Magazine, 48, 144-152.S P Behnke1, D. Soberal2, S. Bredeweg1, B. Dunne1, A. Sterian1, and D. Furton: Senior Capstone: A Software Defined Radio Design for Amateur Astronomy, http://www.aoc.nrao.edu/events/synthesis/2004/presentations.html.

238


TICA 2013 ke-4 Judul Bahasa Indonesia: Simplifikasi Pengendali PID-Fuzzy dan Implementasinya pada PLC The 4th TICA 2013 English Title : Simplification of PID-Fuzzy Controller and Its Implementation on PLC 1,2,3

Hari Maghfiroh1,a, Oyas Wahyunggoro2,b dan A.I. Cahyadi3,c

Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, U GM, Yogyakarta. a E mail: hari.maghfiroh@gmail.com, b E mail: oyas@te.ugm.ac.id c E mail: adha.ima m @ugm.ac.id

A bstrak - Penggabungan A lgoritma F uzzy dengan PI D atau disebut PI D-F uzzy dimaksutkan agar sistem PI D dapat lebih adaptif dalam menangani perubahan kondisi pada sistem. K ebanyakan sistem PI D-F uzzy yang ada menggunakan F uzzy untuk men-tuning ketiga parameter PI D( K P , K I , dan K D ). Jika hardware yang digunakan canggih tentunya tidak begitu masalah, tetapi keterbatasan kemampuan hardware membuat sistem pengendali yang baik dan simpel dicari. Pada penelitian ini dilakukan penyederhanaan sistem PI D ± F uzzy dengan tujuan algoritma lebih sederhana dan komputasi lebih cepat. Sistem yang diusulkan diuji coba dalam simulasi M A T L A B maupun implementasi pada P L C untuk pengendalian kecepatan motor D C dan memberikan hasil yang memuaskan.

Kata Kunci ²PI D, F uzzy, motor D C Abstract- Combination between F uzzy Logic and PI D known as PI D ± F uzzy is done to make controller more adaptive to the system changes. T here are a lot of PI D ± F uzzy structure, but almost of it use F uzzy to tune all of three parameters in PI D ( K P , K I , and K D ). If the hardware that used is powerful, its not a problem. O n the other hand, there are some limitations in hardware so that simple controller with good perfor mance is needed. In this research, simplification of PI D ± F uzzy is done to make a simple and fast computation of controller algorithm. Proposed system is simulated in M A T L A B and implemented on P L C to control the speed of D C motor. Both simulation and implementation give a good result. Keywords²PI D, F uzzy, D C motor

I. PENDAHULUAN PID(Proporsional Integral Derivatif) adalah salah satu pengendali yang telah lama digunakan [1] karena kemudahan dan kesederhanaan aplikasinya [2][3]. Menurut H. Maghfiroh salah satu kekurangan PID adalah kemempuannya turun ketika kondisi sistem berubah( tidak adaptif) [4]. Untuk mengatasi hal ini, para ilmuwan menggabungkan PID dengan algoritma lain seperti PID - Fuzzy [2] [5] [6], PID ± Neural Netwok [2] [7], PID ± Algoritma Genetika [2] [8]. Pada sistem PID-Fuzzy, Fuzzy dipakai untuk men-tuning nilai parameter PID(KP, KI, dan KD) sehingga nilainya dapat berubah menyesuaikan kondisi sistem(pengendali bersifat adaptif). Banyak struktur PID ± Fuzzy yang diusulkan para ilmuwan diantaranya oleh H.Liu [3] yaitu Fuzzy untuk mentuning ketiga parameter PID(KP, KI, dan KD). Sistem tersebut memiliki kinerja yang cukup baik, tetapi membutuhkan prosesor yang kuat jika diimplementasikan pada hardware karena komputasi untuk men-tuning ketiga parameter PID secara online cukup berat. Sedangkan A.K. Nugroho mengusulkan PID ± Fuzzy dengan Fuzzy hanya mentuning nilai KP, nilai KI dan KD konstan. Akan tetapi, setelah

melakukan uji ulang, tuning pada bagian KP saja tidak begitu memberikan pengaruh yang signifikan. Pada penelitian ini, diusulkan sistem PID ± Fuzzy dengan menggunakan struktur PID yang lain dan dirancang sedemikian rupa sehingga tuning Fuzzy hanya untuk parameter KP tetapi dapat berpengaruh pada parameter lain (KI dan KD). Sistem, yang diusulkan disimulasikan dengan MATLAB Simulink dan diimplementasikan pada PLC dengan plan motor DC. II. PID - FUZZY PID Secara umum ada dua struktur PID yaitu: paralel dan serial [4]. Blok diagram PID paralel ditunjukkan pada Gambar 1.a dengan Persamaan (1.a), sedangkan blok diagram PID serial ditunjukkan pada Gambar 1.b dengan Persamaan (1.b). Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada susunan paralel katiga parameter PID saling independent, sedangkan pada susunan seri KP mempengaruhi nilai KI dan KD.

A.

\ሺWሻ ൌ .3 ቂHሺWሻ ൅ ሺ., ‫ ׬ כ‬HሺWሻGWሻ ൅ ቀ.' ‫כ‬

GHሺWሻ GW

\ሺWሻ ൌ ሺ.3 ‫ כ‬HሺWሻሻ ൅ ሺ., ‫ ׬ כ‬HሺWሻGWሻ ൅ ቀ.' ‫כ‬

(1.a)

ቁቃ

GHሺWሻ GW

(1.b)

239


Sistem Fuzzy yang dipakai menggunakan fungsi keanggotaan segitiga dengan lima keaggotaan(NB, NS, ZE, PS, dan PB) dengan input berupa error(E) dan perubahan error(CE) sedangkan outputnya nilai parameter PID, Gambar 5. Setiap blok Fuzzy memiliki 25 aturan sehingga untuk sistem ini ada 75 aturan. Pada tahap defuzzifikasi digunakan metode Centroid.

(a)

G ambar 3 PI D paralel - F uzzy

(b) G ambar 1 Struktur PI D (a) Paralel (b) Serial

B.

Fuzzy Logika Fuzzy adalah algoritma pengambilan keputusan yang berdasarkan logika pikiran manusia[9]. Logika Fuzzy telah banyak digunakan dalam dunia kontrol, dan sering disebut Fuzzy Logic Controller(FLC). Ada tiga komponen utama dalam FLC yaitu: Fuzzifikasi, Inferensi dan Rule Base, serta Defuzzifikasi[10] [11], Gambar 2. Keuntungan utama dari pengendali ini adalah tidak memerlukan model matematis sistem secara tepat [12] [13].

G ambar 4 Subsistem F PI D

G ambar 2 K omponen F uzzy [10]

III. SIMPLIFIKASI PID-FUZZY Pada penelitian ini diusulkan sistem PID-Fuzzy dengan simplifikasi, yaitu dengan menggunakan Fuzzy hanya untuk men-tuning satu parameter PID yaitu KP. Seperti disebutkan sebelumnya, kebanyakan sistem PID-Fuzzy yang telah ada yaitu Fuzzy untuk men-tuning ketiga parameter PID, menggunakan struktur PID paralel. Sistem yang diusulkan disini dengan menggunakan PID serial sehingga perubahan nilai pada KP juga mempengaruhi nilai KI dan KD. Nilai awal parameter PID pada simulasi ditentukan dengan auto tuning MATLAB.

A. PID (parallel) ± Fuzzy Blok diagram simulasi sistem PID paralel ± Fuzzy(FP paralel) dapat dilihat pada Gambar 3. Susunan FP paralel terletak dalam subsistem FPID, Gambar 4. Terlihat masing ± masing parameter(KP, KI, dan KD) di-tuning oleh satu komponen Fuzzy.

G ambar 5 F ungsi K eanggotaan F uzzy

B. PID (serial) ± Fuzzy Sistem PID serial ± Fuzzy(FP seri) disusun mengunakan PID serial, Fuzzy hanya dipakai untuk mentuning K P. Seperti dijelaskan sebelumnya, pada PID serial, perubahan nilai KP juga mempengaruhi KI dan KD sehingga diharapkan hanya dengan mengubah nilai KP keseluruhan sistem kendali dapat lebih adaptif. Komponen Fuzzy yang dipakai sama dengan yang digunakan pada FP paralel tetapi disini hanya membutuhkan sepertiga aturannya(25 aturan) karena parameter PID yang di-tuning hanya KP. Pengurangan jumlah aturan ini diharapkan dapat meringankan komputasi sistem, apalagi untuk sistem yang menggunakan prosesor ber-clock rendah seperti PLC yang banyak dipakai di industri. Susunan PID serial-Fuzzy yang dipakai pada simulasi ditunjukkan pada Gambar 6.

240


set-point. Sedangkan FP seri dapat mencapai set-point dengan cepat dan tanpa overshoot. Pembuatan sistem ini berdasarkan hasil simulasi dengan sedikit penyesuaian dengan hardware. Selain komputasi yang lama, FP paralel juga memerlukan waktu yang lama untuk menentukan aturan Fuzzy dibanding FP seri karena jumlah aturan yang dipakai lebih banyak.

G ambar 6 PI D serial Âą F uzzy

C. Hasil S imulasi dan Analisa Gambar 7 menunjukkan hasil simulasi sistem FP paralel dan FP seri. Terlihat FP seri memiliki settling time yang lebih cepat dan tidak terjadi overshoot, sedangkan pada PF paralel terjadi overshoot. Ketika set-point sistem diturunkan dari 1 menjadi 0,6 , FP seri dapat mengikuti dengen lebih cepat dan tanpa undershoot, sedangkan pada FP paralel masih terjadi undershoot. Terakhir, ketika terjadi noise pada sample ke-800 kedua pengendali memberikan respon yang hampir sama. G ambar 9 Respon H ardware PI D-F uzzy

G ambar 7 Respon Simulasi PI D-F uzzy

IV. IMPLEMENTASI HARDWARE Sistem PID Âą Fuzzy yang telah dibuat kemudian diimplementasikan pada PLC untuk kendali kecepatan motor DC dengan susunan seperti Gambar 8. Implementasi pada PLC ini dipilih karena PLC banyak dipakai di industri dan untuk mengetahui signifikansi reduksi aturan Fuzzy yang telah dilakukan.

V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa baik dari hasil pengujian simulasi maupun implementasi hardware dapat disimpulkan bahwa: 1) Hasil simplifikasi sistem PID-Fuzzy yang menggunakan PID parallel menjadi PID serial memberikan kesederhaan dalam penyusunannya. 2) Sistem PID serial Âą Fuzzy mampu mengurangi beban komputasi sistem sehingga respon yang dihasilkan lebih cepat. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM yang telah memfasilitasi penelitian ini. DIKTI yang memberikan Beasiswa Unggulan kepada Penulis dan semua pihak yang membantu penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA

G ambar 8 Susunan A lat Pengujian

Sistem diuji dengan set-point 500 rpm dan waktu cuplik data 0,05 detik, kemudian data dirata-rata setiap sepuluh cuplik untuk mengurangi riak pada kurva yang dihasilkan. Penentuan nilai awal parameter PID dilakukan dengan metode Ziegler Âą Nichols Quarter Decay. Gambar 9 menunjukkan grafik hasil pengujian. Grafik warna biru adalah hasil dari FP paralel sedang grafik warna merah adalah hasil dari FP seri. Terlihat FP paralel memiliki rise time yang lebih cepat, tetapi lama mencapai set-point dan terjadi osilasi sebelum mencapai

[1]0 $UDNL ³3,' &RQWURO ´ PID control in Control systems, Robotics and Automation, vol. II, no. Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS), Developed under the Auspices of the UNESCO, Eolss Publishers, Oxford,UK., 1989. [2]C. Karray, Fakhreddine O.;De Silva, Soft Computing and Intelligent Systems Design. Harlow, England: Pearson Education, 2004. [3]+ /LX ³$OJRULWKP RI )X]]\ 3,' 3DUDPHWHUV 6HOI WXQLQJ $QG LWV UHDOL]DWLRQ LQ 3/& 6\VWHP ´ LQ International Conference on Computational Aspect of Social Networks, 2010, no. 1, pp. 561¹564. [4]H. Maghfiroh, O. Wahyunggoro, A. I. Cahyadi, and S. Praptodiyono, ³3,'-Hybrid Tuning to Improve Control Performance in Speed &RQWURO RI '& 0RWRU %DVH RQ 3/& ´ LQ International Converence on Instrumentation Control and Automation(ICA), 2013, no. Figure 1, pp. 233¹238. [5]- 5XVQDN ³1HZ WHFKQLTXHV IRU 3,' &RQWUROOHU 'HVLJQ ´ QR &KLHQ pp. 903¹908, 2003. [6]. 6 7DQJ . ) 0DQ 6 0HPEHU * &KHQ DQG 6 .ZRQJ ³$Q 2SWLPDO )X]]\ 3,' &RQWUROOHU ´ YRO QR SS ¹765, 2001.

241


[7]W. Yan, D. :DQJ 3 -LD DQG : /L ³7KH 3:0 VSHHG UHJXODWLRQ RI '& PRWRU EDVHG RQ LQWHOOLJHQW FRQWURO ´ YRO QR [8]' 6 3HUHLUD 6 0HPEHU DQG - 2 3 3LQWR ³*HQHWLF $OJRULWKP %DVHG System Identification and PID Tuning for Optimum Adaptive ContURO ´ QR SS ±28, 2005. [9]/ $ =DGHK ³)X]]\ /RJLF &RPSXWLQJ ZLWK :RUGV ´ IE E E TRANS ACTION S ON F UZZY SYS TEMS, vol. 4, no. 2, pp. 103±111, 1996. [10]3 + % .D]HPLDQ ³,QWHOOLJHQW )X]]\ 3,' &RQWUROOHU ´ LQ LQ Application of Fuzzy Control, Genetic Algoritms and Neural Nerworks, vol. 2, R.Lowen and A.Verschoren, Eds. Springer, 2008, pp. 241±260. [11]T. J.Ross, F UZZY LO GIC WITH ENGINEERING . Singapore: John Wiley & Sons, 2010. [12]- ;LDR ³6SHHG &RQWURO 6\VWHP %DVHG RQ ,PSURYHG )X]]\-PID hybrid &RQWURO IRU 'LUHFW &XUUHQW 0RWRU ´ SS ±395, 2010. [13]0 +DP]D 4 =DKLG ) 7DKLU = .KDOLG DQG 5 5HKPDQ ³5HDO-Time &RQWURO RI DQ ,QYHUWHG 3HQGXOXP $ &RPSDUDWLYH 6WXG\ ´ LQ 2011 F rontier of Information Technology, 2011, no. 2, pp. 183±188.

242


Bu Dombat, Bleaching Bulu Domba Batur Sebagai Upaya Meningkatkan Nilai Ekonomis Desa Batur Bu Dombat, Bleaching %DWXU 6KHHSÂśV :RRO 7R Increase Economic Value of Society In Batur M. Saddam Nashadaqu, Dr. Ir. Didi Dwi Anggoro, M. Eng. Departement of Chemical Engineering, Diponegoro University, Semarang. adambook93@gmail.com Departement of Chemical Engineering, Diponegoro University, Semarang. anggoro@alumni.undip.ac.id A bstrak- Batur adalah nama desa sekaligus kecamatan di K abupaten Banjarnegara, Jawa T engah, Indonesia. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Desa ini memiliki banyak ke kayaaan alam seperti hasil pertanian berlimpah dan hewan ternak yang banyak. Domba batur merupakan hewan ternak terbanyak populasinya. A da sekitar 17.154 domba batur pada tahun 2009. Domba Batur adalah hasil persilangan dengan Domba M erino dari A ustralia, memiliki bulu yang bisa dipanen berupa wol. Wol ini dapat dijual dan digunakan sebagai bahan pembuat kerajinan tangan seperti boneka. Namun, masyarakat batur belum dapat memanfaatkan bulu domba batur ini. M ereka menganggap itu sebagai limbah yang biasa dibuang atau digunakan untuk menggantikan kapuk dalam bantal. Ini karena bulu domba ini sulit diber sihkan. M ereka pernah mencoba membersihkannya dimana biayanya hingga Rp 40.000,00/ K g serta memerlukan waktu hingga 7 hari. Jadi diperlukan inovasi untuk membersihkan bulu domba secara efisien. M etode bleaching merupakan metode yang dapat digunakan. Pencucian bulu domba dengan metode ini menggunakan air, detergen, lisol dan H 2 O 2. Dengan menggunakan metode ini, biaya pencucian menjadi Rp 19.500,00/ K g dan waktu yang dibutuhkan 5 hari. Sosialisasi, simulasi, dan evaluasi merupakan langkah-langkah yang digunakan untuk menerapkan metode ini kepada masyarakat. C ara ini diharapkan dapat mengambil kembali kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan bulu domba batur sehingga dapat bernilai ekonomis. Kata Kunci : bleaching ; domba batur, wol.

Abstract- Batur is the name of the village as well as districts in Banjar negara, C entral Java, Indonesia. T he village has a lots of natural resources such as abundant crops and many far m animals. Batur sheep is animal far m which is the most number in population. T h ere were 17,154 batur sheep in 2009. It is the result of crossbreeding with merino sheep from A ustralia. It has wool that can be harvested . T his wool can be sold and can be used as material for handicrafts such as doll. However, the society in Batur has not been able to manage the wool from batur sheep. T hey regard it as a waste so they disposed it or usually use it to substitute cotton in the pil low. T his is because the wool is difficult to clean. T hey had been tried to clean it but the cost is Rp 40,000/kg and take a long t ime until 7 days to clean it. T hus it is necessary to find an innovation how to clean the wool more efficiently. Bleaching method is one method that can be used. Wool washing process using this bleaching method is by using water, detergent, lysol, and H 2 O 2. By used this method the cost for cleaning is Rp 19,500/kg and the time is 5 days. Socialization, simulation, and evaluation are steps which used to apply this method in society. T his system is expected to take back public trust to manage and utilize the wool so it can be economically valuable. Keywords: bleaching; batur sheep; wool.

I. PENDAHULUAN Domba merupakan salah satu hewan ternak yang mudah untuk dijinakkan oleh manusia. Pada mulanya diternakkan pertama kali sekitar 9000-11000 tahun yang lalu di Mesopotamia. Awalnya domba hanya dipelihara untuk diambil daging, susu, dan kulitnya. Namun, bukti arkeologis dari patung-patung yang ditemukan di situs arkeologis di Iran menunjukkan bahwa domba telah diambil bulunya (wol) sudah sejak 6000 M. Bulu domba dapat dipanen sebagai wol. Namun, tidak semua domba di Indonesia dapat dipanen menjadi wol. Salah satu domba di Indonesia yang dapat dipanen bulunya sebagai wol ialah domba batur yang terdapat di desa Batur, Kecamatan Banjarnegara. Ciri-ciri domba batur diantranya tubuh besar dan panjang, kaki cendrung pendek dan kuat, domba jantan maupun betina tidak memiliki tanduk, kulitnya

relatif tipis dibandingkan dengan domba garut, kibas, maupun gembel tetapi bulunya tebal, serta warna bulu dominan putih dan menutupi seluruh tubuh hingga muka.

G ambar 1. Domba Batur

243


Keunggulan utama Domba Batur ini adalah berat badannya. Untuk domba jantan dewasa berkisar antara 90-140 kg dan domba betina 60-80 kg, serta tinggi badan domba jantan dapat mencapai 75 cm dan tinggi domba betina 60 cm. Domba Batur ini memang istimewa montok/gemuk, pada umur dua tahun domba jantan umumnya sudah bisa mencapai bobot 100 kg dan betina 80 kg. Bahkan, domba jantan yang bagus dapat mencapai bobot 140 kg. Domba dengan bobot seperti ini biasanya dijadikan pejantan. Domba Batur adalah hasil persilangan dengan Domba Merino dari Australia, memiliki bulu yang bisa dipanen berupa wol. Bulu Domba Batur harus dicukur tiap 4-6 bulan sekali. Batur adalah nama desa di kecamatan Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Batur berada di Kaki Gunung Petarangan dan berjarak kurang lebih sebelas kilometer sebelah barat Dataran Tinggi Dieng. Desa-desa di sekitar Batur, antara lain Desa Sumberejo di sebelah timur dan Desa Wanayasa di sebelah barat. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani, tetapi ada juga profesi lain yang mereka geluti seperti PNS, buruh, jasa sosial, dll. Profesi petani merupakan profesi terbanyak yang digeluti oleh masyarakat Batur. Saat ini tingkat pendidikan akan mempengaruhi pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka keterampilannya juga akan semakin banyak sehingga prospek pekerjaannya akan semakin bagus juga. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Batur yang masih kurang. Masyarakat Desa Batur masih banyak yang hanya mengecap bangku sekolah hingga SD, bahkan tidak sedikit dari penduduk yang tidak pernah sekolah. Tentu saja hal ini membatasi keterampilan mereka. Berikut data para pencari kerja menurut tingkat pendidikan pada masyarakat Desa Batur pada tahun 2010: T abel 1. Banyaknya Pencari K er ja M enurut T ingkat Pendidikan M enurut Desa di K ecamatan Batur T ahun 2010

Sumber data : - Registrasi Penduduk Keca matan Batur Tahun 2010 yang telah diolah kembali dengan SP2000

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa para pencari kerja di Batur yang bersekolah paling banyak hanya melanjutkan pendidikan hingga tingkat SD. Sementara jumlah

penduduk yang tidak pernah bersekolah sama sekali sangat banyak. Hal ini menyebabkan profesi sebagai petani paling banyak dilakukan oleh penduduk setempat. Selain itu, keadaan alam yang subur yang berada di kaki gunung, membuat warga lebih memilih untuk berprofesi sebagai petani. Tanaman yang dihasilkan oleh petani setempat seperti kubis, kentang, kacang-kacangan, bawang, dll. Daerah Desa Batur yang subur juga menyebabkan banyak hewan ternak yang cocok hidup di tempat ini. Sehingga ada juga penduduk yang berprofesi sebagai peternak. Hewan ternak yang berada di Desa Batur cukup banyak. Berikut jenis dan jumlah hewan ternak yang terdapat di Desa Batur: T abel 2. Banyaknya T ernak Besar dan K ecil M enurut Desa dan Jenisnya di K ecamatan Batur T ahun 2010

Sumber data: Statistik Pertanian Keca matan Batur 2008

Dari data di atas, terlihat bahwa domba merupakan hewan terbanyak yang dipelihara oleh penduduk setempat. Hal ini berarti pemanfaatan domba untuk di olah bulunya sangat berpotensi sehingga dharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis masyarakat. Namun, melihat profesi dari penduduk yang mayoritasnya petani maka pemanfaatan bulu dombat ini sangat kurang, sebab hasil pertanian lebih menjanjikan dari pada peternakan. Hasil pertanian di daerah ini sangat baik salah satu buktinya daerah ini menjadi daerah penghasil kentang terbaik se-Indonesia yakni kentang dieng atau kentang granola. Berdasarkan data BPS pertanian. Kecepatan Batur produksi kentang pada tahun 2010 mencapai 137.775 ton. Sebaliknya hasil peternakan khususnya domba batur ini masih belum bisa dioptimalkan padahal domba ini memiliki kualitas bulu yang baik untuk benang wol. Mereka hanya memanfaatkan daging dan susunya. Sementara bulu yang tebal serta memiliki kualitas yang baik belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Mereka hanya menggunakan bulu domba sebagai pengganti kapuk pada bantal bahkan tak jarang mereka membuangnya. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan pada Laboratorium Biologi Universitas Diponegoro diperoleh panjang serat rata-rata dan kehalusan rata-rata dari bulu domba batur ini ialah 45-66mm dan 45 Mic. Ini berarti

244


kualitas bulu domba ini hampir sama dengan bulu domba merino. Sebenarnya pemanfaatan bulu domba batur ini pernah dilakukan yakni hanya sebagai bahan baku pembuatan kerajinan. Namun, karena biaya pengolahan lebih mahal dari pada harga jual maka pembuatan kerajinan berhenti. Adapun harga pengolahan bulu domba misalnya untuk pencuciannya saat itu ialah Rp 40.000,00/Kg. Harga ini tentu terlalu tinggi, selain itu juga memakan waktu yang sangat lama yakni 7 hari untuk sekali pencucian. Oleh karena itu, diperlukan proses pencucian yang efektif serta bersih untuk meningkatkan nilai ekonomis bulu domba ini sehingga masyarakat dapat memanfaatkan bulu domba yang tersedia sangat banyak ini seoptimal mungkin dengan biaya pengolahan yang lebih murah. Diharapkan dengan demikian masyrakat akan melirik sektor peternakan domba yang tentu saja akan mengakibatkan pendapatan masyarakat dari peternakan akan meningkat juga. Pada program ini diharapkan masyarakat Desa Batur dapat memiliki keterampilan dalam mengelola bulu domba sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis dari bulu domba tersebut. Salah satunya proses pencucian yang efektif serta menghasilkan bulu domba yang bersih. Metode yang dapat digunakan dalam proses pencucian ini ialah metode bleaching. Bulu domba dari hasil pencucian dari metode bleaching ini diantaranya dapat dijadikan bahan kerajinan tangan maupun dapat dijual sebagai barang intermediet berupa washing wool. Sehingga dengan demikian masyarakat desa batur khususnya para peternak domba batur akan lebih sejahtera. II.

PEMBAHASAN

A. Metode Masyarakat Desa Batur pada awalnya hanya menggunakan air dan detergen dalam jumlah banyak untuk mencuci bulu domba. Cara ini memakan biaya yang banyak dari segi bahan, memerlukan waktu yang lama yakni hingga 7 hari serta hasil yang kurang bersih dan putih. Untuk itulah diperlukan sebuah inovasi untuk menghasilkan bulu domba yang lebih bersih dan putih dengan cara yang efektif serta waktu yang lebih singkat. Methode yang dapat digunakan ialah method bleaching. Pencucian bulu domba dengan metode bleaching ini dilakukan menggunakan teknik pemutihan wol dengan menggunakan air, detergen, lisol,dan H2O2 (Nuruddin, 2006). Ada beberapa langkah dalam menggununakan metode bleaching ini. Berikut langkah-langkah pencucian bulu domba dengan menggunakan metode bleaching: 1. Merendam bulu domba yang masih kotor Perendaman dilakukan dengan menggunakan air bersih tanpa campuran bahan apapun selama Âą12 jam. Perendaman wol dengan air selama 12 jam mampu melepas sebagian

kotoran sehingga meningkatkan kebersihan dan warna putih wol. Selanjutnya hasil perendaman dibilas dengan air sebanyak 3 kali kemudian dikeringkan. 2. Pencucian menggunakan detergen Hasil pengeringan dari perendaman pada proses sebelumnya kemudian direndam kembali menggunakan detergen selama Âą30 menit. Proses Pencucian dengan deterjen pada wol diutamakan untuk menghilangkan kotoran berupa minyakminyak yang tidak larut atau lepas selama perendaman dengan air. Selain itu penggunaan detergen bertujuan juga untuk menghilangkan bau domba dan bau tanah dari bulu domba. Konsentrasi detergen yang digunakan ialah 0.3%, dengan basis 10 liter air (30 g/ 10 l air). Selanjutnya hasil perendaman tersebut dibilas dengan air sebanyak 3 kali kemudian dikeringkan. 3. Pencucian menggunakan lisol Hasil pengeringan sebelumnya kemudian direndam menggunakan lisol selama Âą2 jam. Penggunaan egar ampuh untuk membunuh mikrookrganisme serta membuat bulu domba menjadi lebih bersih. Konsentrasi lisol yang digunakan ialah 1 % basis 10 liter (100 ml/ 10 l air). Selanjutnya dibilas 3 kali dengan air kemudian dikeringkan lagi. 4. Pencucian dengan menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) 30% Hasil pengeringan selanjutnya direndam kembali dalam H2O2 30% serta sedikit detergen selama Âą5 menit dalam keadaan mendidih. Penggunaan H2O2 agar bulu domba menjadi lebih putih yang sebelumnya berwarna kekuningkuningan. Adapun penambahan detergen secukupnya agar bulu domba menjadi lebih bersih serta menghilangkan bau dari H2O2. Konsentrasi H2O2 30% yang digunakan ialah 1.5% dengan basis 2 liter air (30 ml/ 2 l air).Tujuannya agar dididihkan hasil pengeringan menggunakan H2O2 konsentrasi 1,5% basis 2 liter. Bulu domba dimasukkan saat larutan campuran air, H2O2, dan detergen mulai dari larutan mendidih. Setelah itu dibilas dengan air sebanyak 3 kali dan kemudian dikeringkan. Penggunaan metode bleaching yang terdiri dari tahapan menghasilkan bulu domba yang lebih bersih serta waktu yang lebih singkat. Selain itu dengan menggunakan metode bleaching ini diperoleh biaya pencucian yang lebih murah yakni Rp 19.500,00/Kg. Harga tersebut meliputi harga bulu kotor sebesar Rp 5.000,00/Kg, harga pekerja sebesar Rp. 12.000,00/hari selama 5 hari dengan waktu kerja 7 jam/hari. Ditambah harga bahan pencuci berupa detergen (3%W dalam 10 liter air), lisol (1% V dalam 10 liter air), H2O2 (1,5%V dalam 2 liter air) yang totalnya sebesar Rp 2.500,00/kg bulu domba hingga bersih. Sehingga didapatkan harga Rp 19.500,00/Kg. Jadi, biaya yang dikeluarkan dengan sistem bleaching jauh lebih murah hampir 2 kali lipat dari biaya awal yakni sebesar Rp 40.000,00/Kg. Selain itu waktu serta tahapan pencucian menjadi lebih singkat dibandiangkan

245


metode konvensional yang sebelumnya digunakan oleh masyarakat. Diharapkan dengan metode ini masyarakat mengetahui cara pencucian bulu domba yang lebih efektif denga biaya murah dan waktu lebih cepat serta hasil yang lebih bersih dan putih. Sehingga bulu domba batur ini lebih bernilai ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. B. Prosedur Pelaksanaan Program Pelaksanaan program terbagi menjadi 3 tahap, yaitu sosialisasi, simulasi praktek, dan evaluasi. Berikut penjelasan dari masing-masing tahap: 1. Tahap Sosilisasi Tahap ini merupakan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya kepada masyarakat petani dan pengrajin Desa Batur sebagai sasaran pengenalan bulu dombat untuk digunakan sebagai kerajinan rumah tangga serta prores pencuciannya yang efektif dibanding pencucian biasa dengan detergen saja. Sosialisasi bertujuan untuk memberikan penyuluhan kepada para peternak dombat dan pengrajin dalam menggunakan metode bleaching pada proses pencucian bulu domba di mana metode ini lebih efektif, murah, dan memerlukan waktu lebih singkat dibandingkan metode konvensional yang mereka gunakan sebelumnya. Sehingga diharapkan dengan penyuluhan tersebut masyarakat akan kembali memanfaatkan bulu dombat untuk digunakan menjadi barang kerajinan serta produk intermediet berupa washing wool yang dapat diekspor sehingga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

G ambar 2. Penyuluhan Keunggulan Metode Bleaching Kepada Masyarkat Desa Batur

2. Tahap Simulasi Praktek Pada tahap simulasi praktek merupakan tahap terpenting dari program ini. Tahap ini akan dilakukan pelatihan pencucian bulu dombat hingga menjadi bersih. Pada proses ini kami menjelaskan teknisnya secara detail kepada peternak domba desa Batur bagaimana penerapan metode bleaching dalam pencucian bulu domba. Tidak hanya menjelaskan, kami juga

langsung menunjukkan setiap proses dalam pencucian bulu domba dengan metode bleaching seperti perendaman setiap tahapannya, pengeringan, dan pengukuran konsentrasi berbagai larutan. Sehingga masyarakat dapat langsung mempraktekkan apa yang kami ajarkan.

G ambar 3. Simulasi Praktek Metode Bleaching Kepada Masyarakat Desa Batur

3. Tahap Evaluasi Tahap evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa paham pengetahuan masyarakar Desa Batur dalam mencuci bulu domba menjadi bersih dan putih serta mengetahui keterampilan yang sudah didapat oleh peternak dombat dan pengrajin untuk memanfaatkan bulu dombat sebagai bahan kerajinan. Selain itu penting untuk mengetahui akan pemahaman mengenai keuntungan atau nilai tambah yang dihasilkan dengan memanfaatkan bulu dombat ini. C. Hasil Yang Dapat Diperoleh Dari Program Dari berbagai tahap yang kami lakukan hasil Âąhasil berikut: 1. Proses dan hasil pencucian menjadi lebih baik Seperti yang telah dikatahui bahwa masyarakat desa Batur belum optimal memanfaatkan bulu domba batur padahal bulu ini memiliki kualitas yang mirip dangan domba merino. Untuk itu digunakan metode bleaching agar bulu domba dapat dibersihkan secara efektif. Berikut perbandingan hasil proses pencucian antara menode bleaching dengam konvensional: T able 3. Perbandingan H asil Proses Pencucian M etode Bleaching dengan K onvensional Perbandingan H arga T ahap C uci Bahan L ama Waktu K ualitas

Konvensional Rp 40.000,00/Kg 6 kali Detergen 7 days Rusak

M etode

Bleachng 19.500,00/Kg 4 kali Detergen, Lisol, H2O2 5 days Bagus

246


intermediet berupa washing wool. Washing wool ini biasanya digunakan untuk pembuatan sweater dan jaket terutama di wilayah yang dingin misalnya negara-negara di Eropa, Asia Timur, dll. Penjualan bulu domba berupa washing wool ke negara-negara tersebut tentu saja akan meningkatkan pendapatan masyarakat Desa Batur. III. G ambar 4. Bulu Domba Yang Masih Kotor

G ambar 5. Bulu Domba Yang Telah Dibersihkan Dengan Metode Bleaching

2. Pemanfaatan Bulu Domba Sebagai Bahan Kerajinan Tangan Bulu domba yang telah dibersihkan menggunakan metode bleaching dapat digunakan sebagai bahan baku kerajinan tangan sehingga dapat bernilai lebih ekonomis. Beberapa kerajinan tangan yang dapat dibuat dari bulu domba ialah seperti boneka dan syal.

G ambar 6. Boneka Dari Bulu Domba

KESIMPULAN

Domba batur merupakan domba yang memiliki kualitas bulu yang dapat dijadikan wool sehingga dapat bernilai eknomis. Penggunaan metode bleaching dalam proses pencucian bulu domba batur sangat efektif sebab biayanya lebih murah waktu lebih singkat, dan hasil lebih baik faripada metode konvensional yang digunakan oleh masyarakat desa Batur sebelumnya. Dengan metode ini diharapkan masyarakat desa Batur akan kembali memanfaatkan bulu domba sebagai bahan kerajinan tangan bahkan dapat dijual sebagai produk intermediet berupa washing wool sehingga masyarkat menjadi lebih sejahtera. UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur saya panjatkan kepada Allah sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Didi Dwi Anggoro, M.Eng. atas bimbingan beliau selaku dosen pembimbing dalam menyelesaikan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Nuruddin. ³Pengaruh Konsentrasi Bahan Pembersih dan Pemutih Terhadap Mutu Serat Wol Hasil Pengolahan ´ S.Pt. skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 2005. [2] Yamin, M and S. Rahayu. ³Pengolahan Limbah Bulu Domba untuk Kerajinan Hiasan Dinding dan Reset ´. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 1995. [3] Siwi Gayatri and Migie Handayani ³Peran Domba Batur Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga di Batur Fakultas Peternakan, Kabupaten Banjarnegara´ Universitas Diponegoro, Semarang. 2005. [4] Prasetyo, E. Mukson, B.M. Setiawan W. Sumekar. 2004. Profil Pengembangan Kawasan Agribisnis Propinsi Jawa Tengah.Laporan Penelitian Universitas Diponegoro. [5] DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH. 2004.Statistik Peternakan Propinsi Jawa Tengah. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah.

G ambar 7. Syal Dari Bulu Domba

3. Penjualan Bulu Domba Berupa Washing Wool Selain dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kerajinan tangan, bulu domba dapat juga dijual sebagai barang

247


Tata Kelola Air Lokal di Wilayah Peri Urban (Studi Kasus: Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat)

From Local Water Privatization to Local Water Governance in Peri Urban Area (Case Study: Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat) 1

Atika Nurcahaya, ST 1,a dan Ir. Heru Purboyo H.P, D.E.A., Ph.D 2,b !Perencanaan

Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Institu Teknologi Bandung (ITB), Bandung. aEmail: atika.nurcahaya@yahoo.com, 2 Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Institu Teknologi Bandung (ITB), Bandung. bEmail: purboyohp@gmail.com

Abstrak- Dalam undang-undang, pengelolaan air di Indonesia dikendalikan oleh negara. Institusi yang melakukan pengelolaan tersebut adalah P D A M (Perusahaan Daerah A ir Minum). K eterbatasan pelayanan yang diberikan pemerintah mendorong komunitas di wilayah peri urban untuk melakukan penyediaan air secara mandiri. Namun, dalam praktiknya terdapat kasus unik di Desa W angunsari, K ecamatan Lembang, K abupaten Bandung Barat yaitu berupa privatisasi lokal. Praktik ini dilakukan oleh beberapa pihak yang memiliki peran dan keuntungan masing-masing. Makalah ini bertujuan untuk menggali informasi ter kait praktik privatiasi lokal di Desa Wangunsari dan memberikan rekomendasi dalam pengelolaan air yang tepat. M elalui penelusuran data primer dan sekunder, analisis akan menjelaskan elemen dalam tata kelola air di wilayah tersebut. Berdasar kan hasil analisis diketahui ba hwa pengelolaan berbasis komunitas bisa dilakukan dengan membuat suatu local water governance. Kata Kunci ²Instruksi; common pool resources, kapasitas komunitas, water governance , dan wilayah peri urban.

Abstract- In the legislation, water management in Indonesia is controlled by the state. Regional W ater Supply Company (P D A M) is a formal institution that provides water for public. Government has limitations in services area so community in peri urban are a should provide the water independently. However, there is a unique case in Desa W angunsari, K ecamatan Lembang, K abupaten Bandung Barat. T his practice called local privatization and managed by local privates with their own roles. T his paper aims to explor e the information about local privatization in Desa W angunsari and provides recommendations of appropiate water management. T hrough searching of primary and secondary data, an anaysis to determine the element in water governance in the area is car ried out. Based on the results of analysis, it is known that community-based management is possible with local water governance. Keywords²Instructions; common pool resources, community capacity, peri urban area, and water governance.

I. PENDAHULUAN Perencanaan adalah mengoptimalkan sumber daya alam untuk penggunaan di masa depan. Seorang planner harus memperhatikan sustainable development sebagai tujuan perencanaan. Air merupakan salah satu sumber daya alam yang perlu dikelola secara optimal karena kebutuhannya semakin meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk namun ketersediaan terbatas. Air merupakan kebutuhan dasar sehingga kepemilikannya disebut common resources, sumberdaya yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna memperoleh keuntungan. Secara sederhana, air tidak dimiliki oleh siapapun namun bisa dinikmati oleh siapapun. Pemahaman ini tercemar karena adanya keterbatasan dan kesempatan yang ada. Pengelolaan yang tepat diharapkan bisa menjadi solusi dan mengantisipasi krisis air. Diskusi terkait tata kelola air dunia dipertanyakan relevansi dan kesesuaiannya dengan skala dan keterlibatan aktor yang terlibat. Bentuk penyediaan air, pengelolaan air, keterbatasan sosial dan teknis membutuhkan water governance sesuai skala pelayanan.

Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang privatisasi lokal dalam penyediaan air di Desa Wangunsari kemudian memberi rekomendasi bentuk pengelolaan berbasis komunitas yang tepat. Makalah ini akan fokus pada pengelolaan air bersih yang tidak terlayani pemerintah. Pengelolaan air membutuhkan manajemen air, manajemen infrastruktur, manajemen komunitas dan tata kelola itu sendiri. Dalam merekomendasikan bentuk tata kelola yang tepat perlu analisis kondisi dan kebutuhan wilayah. Pertanyaan dalam makalah ini adalah : 1. Apa saja yang diperlukan dalam tata kelola air di wilayah peri urban? 2. Bagaimana bentuk pengelolaan air di Desa Wangunsari? 3. Apa saja elemen yang dibutuhkan dalam local water governance ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif membutuhkan data yang dikumpulkan melalui survey langsung ke lapangan dan wawancara. Kemudian data dianalisis dengan bahan literatur yang digunakan. Hasil analisis juga didukung oleh penelitian sebelumnya di wilayah yang sama. Informasi survey lapangan dan hasil studi sebelumnya akan dibandingkan dengan kondisi ideal berdasarkan teori yang

248


ada. Makalah ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama yaitu pendahuluan, bagian kedua adalah pembahasan dan bagian ketiga adalah kesimpulan. II. PEMBAHASAN Bagian ini akan membahas mengenai teori terkait pengelolaan air sebagai kebutuhan dasar, penyediaan air di wilayah peri urban, kapasitas komunitas, water governance , dan praktik privatisasi lokal di wilayah penelitian. Selanjutnya pemaparan informasi yang berasal dari data survey lapangan dan studi literatur, serta hasil analisis stakeholder dan kualitatif yang akan dideskripsikan untuk menjelaskan keadaan pengelolaan di Desa Wangunsari.

Pengelolaan Air sebagai Kebutuhan Dasar Pergeseran makna air dalam klasifikasi barang ekonomi menyebabkan perubahan pengelolaan yang dilakukan. Pergeseran tersebut berawal dari barang publik yang bisa dinikmati oleh siapapun secara bebas, kemudian muncul beberapa masalah seperti adanya penggunaan berlebih sehingga mengurangi manfaat orang lain. Kemudian para ahli menyebutkan bahwa air merupakan bagian dari CPR (common pool resources) yang berarti tidak terdapat pengkhususan namun ada persaingan untuk memanfaatkannya. CPR adalah sistem yang menghasilkan jumlah unit terbatas sehingga penggunaan satu orang mengurangi jumlah unit sumberdaya yang tersedia untuk orang lain (Ostrom, Gardner, dan Walker, 1994). Ketika unit seperti air, bernilai tinggi dan banyak orang cenderung mengambil keuntungan untuk diri sendiri sehingga mengakibatkan eksternal negatif kepada orang lain. Masalah yang muncul akibat CPR antara lain adalah adanya pemanfaatan oleh orang lain dan mengurangi manfaat pihak lain, ketidakmerataan alokasi, adanya free rider (orang yang ingin mendapatkan manfaat dari CPR namun tidak ikut memelihara), dan tragedy of the commons. Selain itu, Tragedy of the commons terjadi saat nilai tinggi dan akses terbuka publik dimana pihak yang terlibat atau pihak yang berwenang tidak membuat rezim pemerintahan yang efektif (Hardin, 1968). Tindakan mempergunakan air secara bebas tanpa batas merupakan salah satu penyebab masalah pengelolaan CPR tidak berjalan dengan baik. Ostrom menyebutkan delapan prinsip untuk menghindari masalah tersebut berupa batasan siapa saja yang dapat menggunakan sumberdaya tersebut, kesesuaian aturan, pemanfaatan dan kondisi setempat, keputusan secara kolektif, pengawasan, sanksi, mekanisme konflik, pengakuan terhadap hak pengelolaan, dan nested enterprise yaitu penggunaan, pengaturan, monitoring, penegakan aturan, resolusi konflik, dan kegiatan governance dikelola dalam beragam lapisan dan perusahaan yang menetap. Makna air menjadi barang ekslusif saat pengguna mengeluarkan sejumlah uang, walaupun maksudnya adalah biaya pemeliharaan yang harus ditanggung bersama. Sedangkan untuk air sebagai CPR dikelola secara kolektif menunjukkan bahwa pengelolaan oleh komunitas adalah

bentuk yang paling tepat karena komunitas mempunyai rasa kepemilikan atas sumberdaya tersebut.

Penyediaan Air di Peri Urban Penyediaan air bersih bisa dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun komunitas. Berdasarkan water wheel (Allen, 2006), penyediaan air bersih di wilayah peri urban bisa dilakukan oleh pemerintah, komunitas, swasta atau kerjasama pemerintah dan swasta. Praktik yang terjadi dapat dibedakan menjadi needs-driven dan policy-driven. Allen (2006) membuat klasisfikasi akses penyediaan air bersih di peri urban berdasarkan penelitian di lima wilayah studi yaitu Chennai, Dar es Salaam, Greater Cairo Region, Mexico D.F, dan Caracas. Komponen utama dalam penyediaan air adalah sistem sumber, sistem transmisi, dan sistem distribusi. Bentuk penyediaan air secara umum dibedakan menjadi individual water supply system dan community/public water supply system (Chatib, 1996 dalam Apriliyana, 2013). Sistem komunal adalah sistem yang memiliki ketiga kompenen utama sehingga lebih kompleks dalam bentuk penyediaannya. Penyediaan air publik oleh pemerintah Indonesia dilakukan Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM). Namun pemerintah daerah belum bisa memberikan pelayanan dengan baik, pengelolaan komunal menjadi alternatif. Selain menjadi alternatif dalam penyediaan, sistem komunal juga bertujuan untuk meingkatkan rasa kepemilikan dalam komunitas. Sistem penyediaan air bersih komunal biasanya dilakukan di permukiman atau kompleks perumahan. Pengelolaan dilakukan oleh masyarakat atau badan pengelola khusus selain pemerintah yang berbasis masyarakat. Badan pengelola adalah pengurus yang merupakan bagian dari komunitas dan memiliki tanggungjawab dalam hal pelayanan kepada anggota komunitas. Badan pengelola tersebut memiliki kebijakan dan aktor yang berperan didalamnya. Penduduk perkotaan yang memilih mengelola secara komunitas dikarenakan merasa sanggup atau tidak puas dengan pelayanan pemerintah, sedangkan penduduk di wilayah peri urban memilih pengelolaan komunal karena belum terjangkau pelayanan dari pemerintah. Komunitas harus mempunyai inisiatif dan kapasitas untuk mengelola air bersih secara komunal. Kapasitas komunitas adalah karakteristik dari komunitas yang mempengaruhi kemampuan dalam mengindetifikasi, memobilisasi dan menempatkan permasalahan sosial dan kesehatan masyarakat (McLeroy, 1996 dalam Goodman et al, 1998). Kapasitas Komunitas dan Water Governance Kapasitas komunitas memiliki beberapa indikator antara lain partisipasi masyarakat, kepemimpinan, keahlian, sumberdaya, jaringan antarorganisasi dan sosial, rasa memiliki dalam komunitas, pemahaman terhadap sejarah komunitas, kekuatan komunitas, nilai komunitas, dan refleksi kritis (Goodman et al, 1998). Dalam mengakomodasi kapasitas tersebut diperlukan manajemen komunitas yaitu kapabilitas komunitas untuk mengontrol, mempengaruhi dan mengembangkan sistem air bersih dan sanitasi (Mc Common et al, 1990). Sedangkan

249


dalam pengelolaan air bersih terdapat water management dan water governance. Jika water management cenderung pada pencapaian tujuan dan performa manajemen, water governance cenderung pada penetapan keputusan bersama. Lautze (2011) menyatakan ada tiga hal dalam governance yaitu proses, berlangsung melalui lembaga, dan melibatkan aktor. Sedangkan secara khusus, water governance mengacu pada kekuasaan dan distribusi dalam masyarakat, bagaimana keputusan diambil dan sejauh mana partisipasi masyarakat dalam proses (WWDR, 2003). Pada intinya, water governance berkaitan dengan bagaimana masyarakat mengakses dan mengontrol sumberdaya air dan manfaatnya (Slinger, Hermans, Gupta, Zaag, Ahlers, dan Mostert, 2011). Dalam keberjalanan suatu tata kelola air, diperlukan juga pemahaman akan water management . Water governance merupakan salah satu isu yang berkembang dalam penyediaan air di dunia. Air merupakan isu yang memiliki batasan antara sosial dan sistem secara teknis. Tata kelola yang baik (good governance) harus bisa menemukan kombinasi antara keterbatasan tersebut. Tata kelola air fokus pada proses dan akan berjalan jika proses berkaitan dengan sistem yang mendasarinya dipahami, (UNESCO, 2011). Perbedaan secara geografi, sosial budaya dan sejarah menjadi alasan mengapa tata kelola air di setiap wilayah berbeda (Gupta, 2011). Ketika berbicara governance maka kondisi good governance yaitu partisipasi, desentralisasi, akuntabilitas, transparansi, dan bertanggunjawab diharapkan muncul untuk mencapai keadilan. Keadaan ideal untuk mencapai sustainable development belum menjadi perhatian di beberapa wilayah karena adanya keterbatasan dalam menyediakan air bersih. Local water governance akan beririsan dengan manajemen komunitas yang diharapkan dapat mengelola air bersih dengan baik. Pengelolaan air termasuk dalam infrastruktur, maka dari itu diperlukan manajemen infrastruktur dalam jangka waktu pendek dan panjang. Governance yang mengurus infrastruktur tersebut harus memiliki kapasitas berupa fleksibilitas dalam adaptasi manajemen air dan mampu mengintegrasikan antara kebijakan yang berlaku dengan keuangan, manajerial, institusional dan elemen sosial (Satijin dan Brinke, 2011). Elemen sosial sangat penting karena butuh komunitasi dan partisipasi atas keputusan yang akan diambil. Berdasarkan kasus pembuatan infrastruktur dam di Belanda, ada tujuh elemen penting dalam tata kelola infrastruktur yaitu sumberdaya lingkungan, unit yang dikelola, institusi, skala, pengetahuan, aktor, dan distribusi biaya pengeluaran dan keuntungan (Slinger, Hermans, Gupta, Zaag, Ahlers, dan Mostert, 2012).

Privatisasi Lokal di Desa Wangunsari Dalam isu penyediaan air secara global, sedang ramai diperbincangkan masalah privatisasi dalam pelaksanaannya. Hal ini merupakan salah satu alasan beberapa organisasi dunia untuk mengintegrasikan dan membatasi penggunaan air. Pengelolaan yang dilakukan diharapkan mampu memperbaiki kinerja pemerintah dalam penyediaan air bersih. Peri urban

juga memiliki praktik privatisasi seperti penjualan dari mobil tangki dan membeli air kemasan dalam policy-driven, atau membeli air dari tangki mobil informal, penjualan melalui gerobak, dan penjualan dari sumur dalam needs-driven. Salah satu bentuk peluang penjualan air adalah mata air yang terletak di lahan pribadi seperti yang terjadi di India. Sedangkan di Indonesia, kepemilikan akan air tanah secara tidak tertulis merupakan hak pemilik lahan. Walaupun dalam undang-undang dinyatakan pemerintah memegang kekuasaan penuh atas air, namun kontrol pengelolaan dan kewajiban pemerintah untuk mengelola air di seluruh wilayah Indonesia masih belum terlaksana. Air sebagai barang komoditas dirasakan oleh pemilik lahan yang mempunyai mata air. Kemudian desakan kebutuhan didorong dengan kesempatan untuk mencari keuntungan, ada beberapa pihak yang menggunakannya untuk melakukan privatisasi lokal (Gambar 1). Privatisasi lokal yang terjadi di Desa Wangunsari secara umum memiliki karakteristik underground economy (Feige, 1990) yaitu bentuk penyediaan air bersih dilakukan secara informal dan kegiatan ekonomi yang dilakukan juga bersifat tidak tercatat oleh pihak terkait. Pihak yang terlibat dalam penyediaan air bersih melayani sejumlah pelanggan dengan kualitas pelayanan dan tarif yang berbeda-beda, begitu pula yang dilakukan oleh pihak privatisasi lokal. G ambar 1. Ilustrasi Privatisasi Lokal Dalam Penyediaan Air di Desa Wangunsari Peluang Bisnis

Kondisi Masyarakat Air adalah Kebutuhan Dasar Masyarakat

+

Belum ada pelayanan dari pemerintah/swasta

Memiliki mata air di lahan pribadi Kesadaran akan Air dapat dijadikan Komoditas

Privatisasi Lokal Penyediaan dan Pengelolaan Air Informal Keuntungan Pribadi Underground Economy

Desa Wangunsari, yang menjadi kasus studi penelitian ini, memiliki pengelolaan yang sedikit unik yaitu berbasis privatisasi lokal. Desa Wangunsari di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat memiliki luas 379,28 ha dan jumlah penduduk sebanyak 9.993 jiwa. Desa Wangunsari berada di daerah pegunungan dan berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Ketersediaan mata air di daerah ini melimpah dan akses menuju mata air sangat mudah. Sebanyak 97% penduduk di desa tersebut menggunakan mata air sebagai sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan domestik. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan air penduduk disana adalah status ekonomi, jumlah penghuni rumah, dan kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian di desa ini sudah tidak mendominasi seperti dulu. Belum masuknya layanan

250


pemerintah dan demand masyarakat berupa kebutuhan air dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk melakukan kegiatan privatisasi lokal. Supply yang ditawarkan oleh pelaku privatisasi adalah air dengan kualitas dan kuantitas sesuai dengan tarif yang ditetapkan. Kesadaran bahwa air bisa dijadikan barang komoditas menjadikan bentuk pengelolaan di wilayah ini berbeda dengan wilayah peri urban lain. Pada awalnya, praktik ini berjalan secara swasembada masyarakat. Sekelompok masyarakat memanfaatkan mata air yang ada untuk dialiri ke rumah masing-masing. Untuk biaya pemasangan pipa dari mata air ke tempat penampungan ditanggung bersama, kemudian biaya saluran dari tempat penampungan ke rumah ditanggung sendiri. Masyarakat sempat melakukan collective action sampai pada suatu saat pemilik lahan sadar bahwa air bisa dijadikan barang komoditas pada tahun 1990-an. Kemudian pertumbuhan penduduk semakin meningkat dan jumlah rumah semakin bertambah membuat sistem penjualan ini semakin berkembang. Mekanisme jual beli dilakukan secara sederhana. Calon konsumen memutuskan untuk membeli mata air atau hanya menyewa dengan jangka waktu tertentu. Jumlah mata air di Desa Wangunsari adalah 37 titik menurut data potensi desa, namun pada kenyataannya jumlah titik mata air yang tersedia jauh lebih banyak. Setiap mata air memiliki kualitas dan kuantitas yang berbeda sehingga jumlah penggunanya pun berbeda. Mata air yang berkapasitas kecil hanya bisa digunakan kurang lebih oleh 10 rumah. Sedangkan mata air terbesar mampu memenuhi kebutuhan puluhan hingga dua ratusan rumah. Setiap mata air dikelola oleh orang yang berbeda, namun tidak menutup kemungkinan mata air berbeda dikelola oleh orang yang sama. G ambar 2. Salah Satu Sumber Mata Air

pengelola juga bervariasi sesuai kesepakatan dan sumber mata air, berkisar antara Rp 5.000,00 Âą Rp 40.000,00. Biaya pemasangan sistem mini pam adalah Rp 3.000.000,00 Âą Rp 3.500.000,00. Tarif bulanan yang ditetapkan menggunakan sistem meteran, yaitu 10 m3 pertama Rp 40.000,00 dan 1 m3 selanjutnya Rp 5.000,00. Kelebihan yang ditawarkan sistem manual adalah tarif yang relatif murah dan bisa dijangkau masyarakat dan kekurangannya adalah pemborosan karena air mengalir terus menerus serta penataan jaringan pipa yang kurang teratur. Sedangkan kelebihan yang ditawarkan sistem mini pam adalah penghematan air dengan menggunakan sistem tarif meteran dan kekurangannya adalah tarif yang relatif mahal untuk penduduk setempat. Bentuk penyediaan dari mata air hingga menuju konsumen akhir melalui beberapa proses. Sumber mata air akan ditampung dalam transmisi berupa bak kontrol, selanjutnya jaringan pipa mengalirkan air kepada penyimpanan berupa bak penampungan. Jumlah konsumen utama mata air bisa dilihat dari pipa yang berada di bak penampungan. Selanjutnya pipa tersebut akan mendistribusikan air ke rumah-rumah konsumen. Dalam sistem mini pam, terdapat pompa yang digunakan untuk menaikkan posisi air menuju transmisi atau bak kontrol yang lebih tinggi sehingga jangkauan pelayanan dapat diperluas. Sistem Gravitasi

G ambar 3. Mekanisne Sistem Manual

Sumber

Transmisi

Penyimpanan

Distribusi

Ada dua sistem pemasangan yang dikenal oleh penduduk, yaitu sistem manual dan sistem mini pam. Sistem manual lebih murah dibanding sistem mini pam namun kualitas air yang diterima sesuai dengan sumber mata air. Sistem manual menetapkan mekanisme kepemilikan menjadi hak milik dan hak sewa. Sedangkan sistem mini pam, kualitasnya baik karena berasal dari satu mata air dan kapasitasnya besar. Sistem mini pam hanya memberikan hak sewa kepada konsumen. Selain itu, perbedaannya ada pada tarif yang ditetapkan. Tarif pemasangan sistem manual sekitar Rp 3.000.000,00 Âą Rp 4.500.000,00 untuk hak milik dan Rp 700.000,00 untuk hak sewa. Tarif bulanan yang ditarik

Konsumen

Berdasarkan hasil survey lapangan, pengelolaan mata air yang terjadi melibatkan beberapa pihak. Praktik privatisasi lokal yang terjadi melibatkan beberapa pihak yang membentuk mata rantai. Melalui hasil wawancara dan analisis stakeholder, ditemukan bahwa setiap pihak tersebut memiliki peran dan

251


keuntungan masing-masing. Pembagian peran secara umum dapat dibedakan menjadi pemilik lahan, pemilik/penyewa mata air, pengelola, konsumen I, dan konsumen II. T abel 1. Peran Masing-Masing Pihak dalam Penyediaan Air Bersih No

Posisi

1.

Pemilik Lahan

2.

Pemilik/Peny ewa Sumber Mata Air

3.

Pengelola

4.

Konsumen I

5.

Konsumen II

Deskripsi Peran Pihak yang secara sadar memperjualbelikan mata air yang ada di lahan miliknya dan perannya hanya sebatas menjual atau menyewakan mata air kepada orang lain. Pihak yang membeli atau menyewa lahan sesuai kesepakatan yang ada mata airnya, kemudian mengelola mata air untuk dijual atau disewa kepada konsumen. Pihak yang bertanggungjawab dalam pemasangan instalasi awal dan pengecekan berkala dari bak penampungan hingga ke sumber air. Pihak yang terdaftar sebagai pengguna mata air oleh pengelola. Pihak yang menggunakan sambungan tetangga untuk mendapatkan air tanpa terdaftar dalam data pengelola.

Satu lagi keunikan dalam praktik privatisasi lokal ini adalah konsumen I dapat menjual air miliknya kepada orang lain yaitu konsumen II dan jumlahnya bisa lebih dari satu rumah karena air yang didapatkan mengalir terus menerus. Keuntungan konsumen I adalah bisa menetapkan tarif yang diingikan kepada konsumen II. Dengan begitu, konsumen II adalah konsumen bayangan yang datanya tidak diketahui oleh pengelola. Dalam sistem mini pam, akan sulit untuk melakukan penjualan dari konsumen I ke konsumen II karena tarif yang ditetapkan berdasarkan meteran, sehingga praktik jual beli air hanya dilakukan oleh konsumen sistem manual kepada tetangga sekitar rumahnya. Praktik privatisasi lokal berbasis pengelolaan air ini memiliki kendala baik teknis maupun non teknis. Kendala teknis berkaitan dengan saluran pipa yang rusak akibat aktivitas masyarakat atau bencana alam. Kendala non teknis berupa pencurian air, retribusi oleh pemerintah yang tidak jelas, serta adanya tunggakan pembayaran. Pencurian air terjadi ketika akses sambungan air ke rumah secara bebas bisa didapatkan oleh orang lain. Secara umum, masalah yang melibatkan beberapa pihak diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau dibiarkan saja oleh pihak yang terlibat. Dalam pelaksanaannya, penelitian ATP (ability to pay) dan WTP (willingness to pay) telah dilakukan untuk melihat reaksi atau tanggapan dari konsumen praktik privatisasi lokal yang terkjadi. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Wangunsari memiliki kemampuan lebih besar daripada kemauan dalam menggunakan praktik ini (Apriliyana, 2013). Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat terpaksa menggunakan sistem ini karena terdapat kesepakatan yang tidak terlulis terkait kepemilikan air di lahan milik pribadi.

II. KESIMPULAN Bagian ini akan menjelaskan kesimpulan hasil studi dan rekomendasi dari penelitian terkait pengelolaan air di wilayah peri urban, khususnya Desa Wangunsari. Ada beberapa kekurangan yang terjadi dalam praktik privatisasi yang terjadi di Desa Wangunsari. Kekurangannya masih ada beberapa penduduk yang tidak mampu menggunakan jasa privatisasi tersebut sehingga mencuri air milik orang lain, pemborosan air, dan tidak transparan kepada pemerintah desa. Peran para aktor pengelola hanya peran sekedarnya karena tujuannya adalah mencari keuntungan. Namun kelebihan penduduk Desa Wangunsari adalah memiliki kapastias komunitas ditunjukkan dengan collective action dalam pengelolaan air, kemampuan teknis dalam memperbaiki jaringan air masing-masing, dan masih kuatnya kekeluargaan diantara penduduk desa. Selain itu pemilik lahan paham akan negara memegang kuasa atas air tanah dan tidak berniat menjual kepada perusahaan atau swasta yang lebih besar, menujukkan bentuk kepedulian dengan mengelola air skala kecil untuk masyarakat setempat. Kondisi agar penduduk Desa Wangunsari tetap memperoleh keuntungan namun dapat membatasi penggunaan air kemudian merupakan bentuk pertimbangan dalam menuju kondisi ideal. Berdasarkan teori kepemilikan, posisi air sebagai barang ekonomi, prinsip pengelolaan CPR, kapasitas komunitas dan manajemen komunitas, water management, dan manajemen infrastruktur, maka penerapan local water governance diharapkan mampu mengakomodasi kebutuhan pengelolaan air di wilayah peri urban, khususnya Desa Wangunsari. Penerapannya berbasis komunitas sehingga elemen-elemen didalamnya terdiri dari penduduk setempat. Secara sederhana elemen yang diperlukan untuk membentuk local water governance adalah aktor, aturan atau kebijakan, dan batasanbatasan. Aktor adalah elemen utama yang menggerakkan tata kelola yang memiliki fungsi manajemen, pengawasan, pengetahuan, dan kekuasaan. Pihak yang dilibatkan berupa pemerintah daerah, masyarakat, dan ahli atau profesional. Pemerintah bertindak sebagai pengawas di wilayah eksplorasi dan dapat memberikan intervensi yang sesuai dengan peraturan. Masyarakat adalah aktor penting yang bertugas mengawasi dan mengontrol penggunaan sumberdaya air. Selain itu, partisipasi masyarakat dibutuhkan secara langsung dan tidak langsung dalam pengelolaan, pemeliharaan dan pengambilan keputusan. Agar pengambilan keputusan dapat efektif, bisa dilakukan perwakilan masyarakat berdasarkan sumber atau pengelola mata air yang digunakan. Ahli atau profesional adalah orang dengan kemampuan manajemen yang baik. Tim ahli bisa terdiri dari beberapa orang yang paham terkait finansial, infrastruktur air yang akan dikembangkan, dan lingkungan atau geologi. Peran-peran para aktor sangat menentukan keberlangsungan tata kelola yang dijalankan. Ahli finansial akan mengelola keuangan mulai dari biaya dan keuntungan yang diperoleh, ahli insfrastruktur adalah orang yang paham secara teknis tentang penyediaan air yang digunakan di wilayah tersebut, sedangkan ahli geologi bisa

252


berasal dari dalam ataupun luar wilayah untuk memantau kondisi lingkungan terutama air tanah yang digunakan. Fungsi tersebut akan dibagi menjadi fungsi internal dan eksternal untuk mengintegrasikan kebijakan local water governance dengan kebijakan yang lebih tinggi diatasnya. Elemen kedua adalah kebijakan dan peraturan. Kebijakan berasal dari kesepakatan aktor yang secara tidak langsung harus mendukung tujuan perencanaan secara umum yaitu sustainable development dan kesejahteraan masyarakat dalam memanfaatkan air. Peraturan yang ditetapkan bisa berasal dari peraturan pemerintah yang disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Kebijakan yang ditetapkan harus bisa mengembalikan status air sebagai milik bersama untuk meningkatkan rasa memiliki. Selanjutnya elemen terakhir adalah batasan-batasan yang harus ditetapkan, yaitu infrastruktur, skala pelayanan, dan sumbedaya air yang digunakan. Dalam batasan infrastuktur perlu dipertimbangkan besaran unit yang dikelola, jaringan pipa yang akan dibuat, dan jangka waktu baik proses pembuatan maupun masa ketahanan infrastruktur. Hal ini diperlukan untuk pengecekan dan pemeliharaan berkala. Skala pelayanan yang diperlukan dapat berupa data cakupan wilayah, siapa saja yang boleh menggunakan dan untuk apa saja keperluannya. Terakhir adalah batasan penggunaan sumbermata air, yaitu prinsip penghematan dalam penggunaan air yang berlebih dengan menerapkan tarif meteran yang ditetapkan berdasarkan keputusan bersama. Pencapaian keadilan dalam good governance harus dimulai dengan menerapkan partisipasi, desentralisasi, akuntabilitas, transparansi, dan bertanggungjawab. Penerapan local water governance ini bisa dilakukan di wilayah peri urban lain atau di wilayah rural yang belum memiliki local water governance agar dapat memulai membatasi penggunaan air dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam secara mandiri. Proses menuju sustainable development memang panjang, namun hal tersebut bisa dijalani jika proses sederhana seperti menghemat air segera dimulai.

Kabupaten Bandung Barat. Tesis Magister Perencanaan Wilayah dan Kota. Bandung: Institut Teknologi Bandung. [3] Goodman, Robert M., Marjorie A Speers, Kenneth McLeroy, Stephen Fawcett, Michelle Kegler, Edith Parker, Steven Rathgeb Smith, Terrie D Sterling dan Nina Wallerstein. 1998. Identifying and Defining the Dimensions of Community Capacity to Provide a Basis for Measure ment. Health Education & Behavior, Vol.25 (3): 258-278 (June 1998). [4] Feige. Edgar L. 1990 . Defining and Estim ating Underground and Infor m al Econom ies: The New Institional Econom ic Econom ics Approach. University of Winsconsin-Madison: Published in World Development, Vol. 18. No. 7. [5] Gupta, Joyeeta. 2011. An Essay On Global Water Governance and Research Challenges. 3UHVHQWHG DW D ZRUNVKRS ³3ULQFLSOHV RI JRRG JRYHUQDQFH DW GLIIHUHQW ZDWHU JRYHUQDQFH OHYHOV´ KHOG on 22 March 2011 in Delft, the Netherlands. [6] Hardin, Garret. 1968. Tragedy of The Commons. Science 162 : 1243 ¹ 1248. [7] Lautze, J., S. De Silva, et al. 2011 . Putting the Cart Before the Horse: Water Governance and IWRM LQ ³1DWXUDO 5HVRXUFHV )RUXP´ SS 1¹8. [8] Nurcahaya, Atika. 2013 . Privatisasi Lokal dala m Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih di Wilayah Peri Urban (S tudi Kasus: Desa Wangunsari, Keca m atan Le mbang, Kabupaten Bandung Barat) . Tugas Akhir Perencanaan Wilayah dan Kota. Bandung: Institut Teknologi Bandung. [10] Ostrom, Elianor, Roy Gadner, et al. 1994. Rules, Ga mes, and CommonPool Resources. United States of America : University of Michigan Press. [11] Satijin, Bert, Wilfried ten Brinke. Governance Capasities for Adaptive Water Manage ment. 3UHVHQWHG DW D ZRUNVKRS ³3ULQFLSOHV RI JRRG JRYHUQDQFH DW GLIIHUHQW ZDWHU JRYHUQDQFH OHYHOV´ KHOG RQ 0DUFK in Delft, the Netherlands. [12 Slinger, Jill, Leon Hermans, et al. 2011. The Governance of Large Dams ¹ A New Researh Area. 3UHVHQWHG DW D ZRUNVKRS ³3ULQFLSOHV RI JRRG JRYHUQDQFH DW GLIIHUHQW ZDWHU JRYHUQDQFH OHYHOV´ KHOG RQ 0DUFK in Delft, the Netherlands.

UCAPAN TERIMA KASIH Puji Syukur Penulis Panjatkan kepada Allah swt. yang selalu memberikan nikmat. Terimakasih kepada orang tua dan keluarga yang selalu mendukung, serta dosen-dosen yang selalu membimbing. Kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kecamatan Lembang dan Desa Wangunsari yang memberikan data, serta narasumber yang memberikan informasi, Penulis juga mengucapkan terimakasih. Makalah ini salah satu bentuk karya yang akan dipersembahkan untuk Indonesia. DAFTAR PUSTAKA [1] [2]

Allen, Adriana, Julio D Davila, et al. 2006. The Peri-urban Water Poor: Citizens or Consumers. Environment and Urbanization. (2006) 18 : 333 Âą 351. Apriliyana, Muhammad Iqbal. 2013. Analisis Pe mbiayaan Air Minum Masyarakat yang Me m anfaatkan Sumber Mata Air dala m Pe menuhan Kebutuhan Air Domesitik di Desa Wangunsari Keca m atan Le mbang

253


Attendance in Public Transportation : Sistem Baru Sebagai Solusi Masalah Kemacetan di Jakarta Attendance in Public Transportation : A New System As Solution of Traffic Jam Problem in Jakarta Muhammad Reza Fahlevi, Rhaptyalyani Department of Civil Engineering, Sriwijaya University, Indralaya. mrezaf93@gmail.com, rhapty.alyani@gmail.com Abstrak Âą Urbanisasi yang terjadi di Jakarta terus meningkat. Hal tersebut membuat semakin bertambah jumlah penduduk yang ada. Salah satu tujuan banyaknya masyarakat yang berubanisasi ke Jakarta adalah karena peluang kerja yang cukup menjanjikan. Dampak dari banyaknya jumlah pekerja yang ada di Jakarta membuat kegiatan bertransportasi semakin meningkat terutama menuju ke tempat kerja sehingga menimbulkan kemacetan. Dengan adanya langkah Âą langkah pemerintah DKI Jakarta untuk membenahi transportasi perkotaan dirasa tidaklah cukup. Untuk itu, perlu adanya sebuah sistem yang mengatur khususnya para pekerja sebagai pengguna jalan tebesar di Jakarta menggunakan transportasi umum untuk pergi bekerja. The number of urbanization always increase every year. It makes amount of population grows up. The one of purpose why many peoples comes to Jakarta is because there are many big opportunities to work. The impact of large number of workers has made transportation activity to go to office increase,therefore traffic jam happened. All of steps made by government of DKI Jakarta to fix urban transportation is not enough. So, we need a system which organize worker in order to they must go to office use public transportation. Keywords : worker, public transportation tingginya tingkat investasi di Jakarta yang membuat terbukanya lapangan pekerjaan di sana. Masyarakat desa berbondong Âą bondong pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib I. PENDAHULUAN dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Dengan banyaknya jumlah pekerja yang ada dan akan terus bertambah Urbanisasi merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh membuat aktivitas bertransportasi dari rumah menuju ke kota Jakarta. Puncak urbanisasi tiap tahunnya terjadi saat kantor semakin tinggi. Sedangkan pertumbuhan jalan hanya selepas perayaan hari raya Idul Fitri. Hal ini dapat berdampak 0,01 % (Pusat Informasi Transportasi Perkotaan). Hal tersebut pada jumlah penduduk di Jakarta yang semakin bertmabah. tentunya sangat mengkwatirkan. Pada tabel 1.1 dapat dilihat bahwa tingkat urbanisasi di Jakarta Bila dilihat lebih dalam mengenai jumlah perjalanan yang mencapai 100 %, bahkan prediksi sampai tahun 2025 pun dilakukan masyarakat DKI Jakarta dari rumah menuju ke tetap menunjukan angka yang sama. kantor bedasarkan data Trip Generation, maka akan di dapat data sebagai berikut : T abel 1.1 T ingkat U rbanisasi di Indonesia, 1990 - 2025

Sumber: Sensus Penduduk 1990, 2000, 2010, dan Survei Penduduk A ntar Sensus (SUP AS) 1995, 2005

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat berurbanisasi ke Jakarta. Salah satu faktor utamanya adalah

Sumber : M engurangi K emacetan Di Jakarta G rafik 1.1 Trip Generation

254


Dari Grafik 1.1 bisa dilihat bahwa aktivitas dalam bertransportasi paling banyak adalah dari rumah menuju ke tempat kerja yang memakan porsi sebnayak 48 %. Porsi yang hampir dari setengah dari keseluruhan aktivitas bertransportasi tersebut. Hal ini menandakan bahwa perjalanan dari rumah menuju kantor atau tempat berkerja sebagai penyumbang terbesar dalam kemacetan. Bila ditelusuri lebih mendetail mengenai sektor kelembagaannya, maka akan menghasilkan data sebagai berikut : - Sektor swasta = 44 % -

Sektor pemerintahan = 4 %

( Mengurangi Kemacetan Di Jakarta, 2008 ) %HUGDVDUNDQ KDVLO ULVHW 0$56 ,QGRQHVLD GDODP ³ Indonesian &RQVXPHU 3URILOH ´ menunjukan bahwa 78,4 % dari pekerja di Jakarta lebih suka menggunakan kendaraan pribadi ( mobil dan motor pribadi ), sementara yang memilih angkutan umum hanya 18,1 % pekerja. Bila kebiasaan tersebut terus berlanjut, maka kemacetan di Jakarta pun akan semakin parah. T abel 1.2 A lat T ransportasi yang Digunakan M enuju T empat K er ja

sistem Three in One , pengaturan jam masuk sekolah, dan yang akan direncanakan peranturan mengenai Sistem Ganjil Genap. 2.1.1

Sistem Three in One adalah kebijakan pemerintah yang dibentuk oleh S K G ubernur 4104/2003 dengan tujuan untuk mengurangi kepadatan arus lalu lintas pada jam tertentu dan pada wilayah yang disebut protokol. Kebijakan ini mewajibkan para pengguna jalan yang memakai kendaraan roda empat untuk membawa minimal tiga orang termasuk pengendara dalam satu mobil. Tujuannya diberlakukan kebijakan ini adalah agar membatasi masyaratak dalam menggunakan kendaraan pribadi di ruas Âą ruas jalan protokol dan memilih transportasi yang efektif dan effisien. Dalam pelaksanaan program ini ternyata tidak cukup efektif untuk mengatasi kemacetan. Terbukti jalan protokol seperti Jalan Jendral Sudirman yang terdapat pusat perkantoran dan bisnis masih terjadi kemacetan. Belum lagi efek samping dari kebijakan tersebut adalah dengan hadirnya para joki. Banyak diantara pengguna jalan tersebut mengeluarkan uang lebih untuk menyewa joki demi bisa melewati jalan Âą jalan protokol. 2.1.2

Sumber : Indonesian Consumer Profile 2008, M ARS Indonesia

Dikarenakan banyaknya jumlah pekerja yang menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi bekerja, maka dibutuhkan sebuah regulasi agar para pekerja tersebut mau menggunakan transportasi umum untuk pergi bekerja. II. PEMBAHASAN 2.1

K ebijakan Pemerintah dalam M eningkatkan Jumlah Pengguna T ransportasi Umum

Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah khususnya pemerintah DKI Jakarta telah membuat kebijakan Âą kebijakan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta dengan cara meningkatkan jumlah pengguna transportasi umum. Kemacetan di Jakarta sendiri sudah dimulai semenjak awal tahun 1990. Serangkaian kebijakan dan rekaya lalu lintas telah dilakukan. Dalam penerapan kebijakan dalam mengatasi kemacetan ada yang efeknya benar Âą benar terasa oleh masyarakat dan ada yang tidak terlalu berarti. Kebijakan Âą kebijakan yang diambil oleh pemerintah DKI Jakarta, seperti

Sistem Three in One

Pengaturan Jam Masuk Sekolah

Pengaturan jam masuk sekolah adalah kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam mengatur pengguna jalan secara bergantian dengan tujuan mengurai kemacetan dipagi hari. Para siswa masuk sekolah setengah jam lebih pagi dari sebelumnya, yaitu dari jam 7.00 menjadi jam 6.30 pagi. Kebijakan yang telah dilaksanakan sejak 5 Januari 2009 ini berhasil mengurai kemacetan sebesar 14 %. Berdasarkan pemantauan di TMC Polda Metro Jaya terlihat puncak kemacetan yang terjadi pada pukul 6.30 Âą 09.00 pagi dibeberapa jalan yang digunakan anak sekolah sudah mulai terurai. Salah satu contoh adalah jalan Cibubur Junction Âą cawing, kepadatan lalu lintas yang biasanya terjadi hingga pukul 09.00 WIB, saat ini pukul 08.00 WIB telah terurai. Dibeberapa ruas jalan, kecepatan relatif lebih cepat, sebagai contoh Cibubur Âą Jati Padang biasanya ditempuh dalam waktu 55 menit, setelah terurai menjadi 35 menit. Bahkan beberapa ruas jalan menuju sekolah dan sekitarnya setelah pukul 06.30 jalan sudah terurai. 2.1.3

Sistem Ganjil Genap

Sistem Ganjil Genap adalah sistem yang bertujuan untuk membatasi volume kendaraan dengan cara menentukan kendaraan dengan dua angka terakhir nomor plat kendaraan berupa genap atau ganjil saja yang boleh melewati suatu jalan pada waktu tertentu. Diharapkan nantinya masyarakat memulai untuk membiasakan diri menggunakan transportasi umum. Sistem Ganjil Genap merupakan kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang belum dilaksanakan. Hal itu dikarenakan masih banyak kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, seperti

255


belum selsainya memproses database guna keperluan Electronic Registration and identification (ERI), dan fasilitas penunjang yang belum lengkap. Kebijakan Sistem Ganjil Genap sangat diragukan keefektifannya dalam mengatasi kemacetan. Hal tersebut bila dilihat dari daya beli masyarakat akan kendaraan masih cukup tinggi. Berdasarkan data Polda Metro Jaya pada tahun 2011 pertambahan kendaraan (sepada motor dan mobil) mencapai 1.130 unit per hari. Masyarakat bisa saja membeli kendraan lagi. Sehingga, mereka bisa memiliki kendaraan dengan nomor plat ganjil dan genap yang bisa mereka gunakan sesuai dengan aturan yang ada mengenai Sistem Ganji Genap. Belum lagi saat ini Pemerintah Indonesia akan melaksanakan program mobil murah yang harganya berkisar delapan puluh juta-an. Tentunya akan semakin memudahkan masyarakat mendapatkan kendaraan baru. Dari penjelasan mengenai kebijakan pemerintah untuk mengurangi kemacetan, dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang paling efektif dalam mengurangi kemacetan adalah kebijakan Pengaturan Jam Masuk Sekolah. Hal itu terbukti dengan besarnya persentasi pengurangan kemacetan, yaitu sebesar 14 %. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan jumlah pengguna transportasi umum untuk mengurangi kemacetan bila ditinjau dari objek kebijakannya, maka kebanyakan kebijakan tersebut mengatur para pengguna jalan itu sendiri. Berbeda dengan kebijakan Ganjil Genap yang menekankan pada kendaraan. Dari situ dapat disimpulkan, bahwa pemerintah berpendapat kalau mengatur para pengguna jalan adalah yang paling penting. Untuk itu, perlu adanya suatu kebijakan mengenai meningkatkan jumlah pengguna transportasi umum yang lebih efektif dari yang telah ada sebelumnya dengan cara mengatur para penggunanya khususnya para pekerja sebagai pengguna jalan terbesar di Jakarta, yaitu sebesr 48 %. Untuk menigkatkan jumlah pengguna transportasi umum pemerintah terus membenahi segala kebutuhan yang ada agar masyarakat mau untuk menggunakan transportasi umum. Pemerintah akan menambah jumlah armada bus Transjakarta sebanyak 684 unit pada akhir tahun ini. Berdasarkan http://www.transjakarta.co.id/ Jumlah armada bus transjakarta saat ini sebanyak 669. Sehingga nantinya jumlah bus transjakarta akan berjumlah sebanyak 1.353 unit. Tidak sampai disitu saja, pemerintah terus melakukan peremajaan bus kopaja yang ada. Pemerintah juga akan mempersiapkan moda transportasi baru yaitu MRT yang berbasis rel serta monorel. Langkah Âą langkah yang diambil pemerintah tersebut diharapkan akan meningkatkan jumlah pengguna transportasi umum sehingga kemacetan akan terurai. Namun, merubah kebiasaan suatu masyarakat tidaklah mudah. Perlu adanya sebuah sistem yang mengharuskan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Diharapkan dengan transportasi yang semakin baik ditambah kebijakan sistem yang mengharuskan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum dapat mewujudkan cita Âą cita Jakarta yang bebas macet.

2.2 Attendance in Public Transportation System Untuk menyelesaikan persoalan tingginya penggunaan transportasi pribadi yang ada di Jakarta. Penulis merancang sebuah sistem yang disebut dengan sistem AIPT. Sistem AIPT adalah singkatan dari Attendance in Public Transportation atau dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai absensi di dalam angkutan umum. Sistem ini diterapkan untuk para pekerja di suatu daerah. Tujuannya adalah agar para pekerja menggunakan transportasi umum saat pergi ke tempat kerja. Jadi, bila dilihat dari arti kata dan objek kebijakannya dapat disimpulkan, bahwa sistem AIPT adalah sistem dimana mengharuskan para pekerja untuk menggunakan transportasi umum untuk pergi bekerja dengan cara meletakan alat absensi kantor di dalam sebuah transportasi umum. Hal tersebut membuat para pekerja mau tidak mau harus menggunakan transportasi umum untuk pergi bekerja karena alat untuk membuktikan mereka hadir atau tidaknya di kantor saat hari kerja diletakan di dalam sebuah angkutan umum. Angkutan umum di sini hanyalah sebatas angkutan umum yang dikelola oleh pemerintah. Sistem AIPT dibuat karena berdasarkan oleh data yang telah disebutkan pada latar belakang, bahwasanya data Trip Generation terbesar di Jakarta adalah para pekerja yang bertransportasi dari rumah ke kantor dengan persentase sebesar 48 %. Dari 48 % mereka yang bertransportasi ke kantor, 78,4 %-nya menngunakan transportasi pribadi sebagai kendaraannya. Hanya 18,1 % yang menggunakan kendaraan umum untuk pergi ke tempat kerja.

G ambar 2.1 Sejumlah lahan yang dibutuhkan untuk membawa penumpang yang sama: mobil, sepeda dan bus. Sumber : Poster yang dipamer kan di kantor Perencanaan M uenster, Agustus 2001

Diharapkan dengan sistem AIPT dapat menjadi soslusi dalam meningkatkan jumlah pengguna transportasi umum serta mengurangi angka kemacetan yang disebabkan banyaknya para pekerja yang bertansportasi dari rumah menuju ke tempat kerja dengan menggunakan kendaraan pribadi. Sistem ini juga

256


diharap menjadi sistem yang lebih baik dan efektif dari sistem Âą sistem yang telah ada. 2.3

Prosedur Sistem Transportation

Attendance

in

Public

Dalam penerapan sistem AIPT diperlukan suatu aturan agar sistem tersbut dapat berjalan baik. Sehingga sistem ini dapat bekerja secara maksimal dalam mengurangi angka kemacetan khususnya kemacetan yang disebabkan oleh banyaknya jumlah pekerja yang menggunakan kendaaraan pribadi untuk pergi bekerja. 2.3.1

Penentuan Penerapan Sistem AIPT

Untuk menerapkan sistem AIPT perlu adanya seleksi dalam penentuan siapa saja yang diwajibkan untuk melakukan absensi di dalam angkutan umum. Sistem AIPT tidak bisa diterapkan pada seluruh pekerja yang ada di Jakarta. Hal itu dikarenakan tidak semua tempat kerja menggunakan sistem absensi, misalnya usaha kecil yang tidak menerapkan sistem absensi kepada pekerjanya. Dalam pengkatagorian tempat pekerja secara garis besar dibagi dua, yaitu sektor pemerintah dan sektor swasta. Meskipun dalam persentase masyarakat Jakarta yang bekerja di sekotor swasta lebih tinggi, yaitu sebesar 44 % sedangkan pada sektor pemerintah hanya sebesar 4 %, itu tidak menjadi indikasi bahwa penerapan sisitem AIPT tersebut berlaku pada persentase tertinggi saja. Penerapan sistem AIPT pada suatu kantor bergantung dari jumlah pekerja yang ada di kantor tersebut. Penerapan dengan berdasarkan jumlah dilakukan karena untuk mempermudah dalam pendataan pekerja secara keseluruhan yang nantinya akan dimasukan ke dalam database sistem absensi. Jumlah minimum pekerja dalam suatu tempat kerja mutlak diperlukan. Sehingga nantinya tidak ada tumpang tindih antara kantor yang satu dan yang lainnya saat sistem ini akan diterapkan. Dalam menentukan jumlah minimum pekerja yang harus dimiliki sebuah kantor sehinngga kantor tersbut diwajibkan atau tidak dalam penerapan sistem AIPT bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : A. Menentukan jumlah minimum secara langsung, seperti 500, 800, atau 1000 pekerja per kantor.

transportasi umum khususnya yang dikelola oleh pemerintah tentunya mereka tidak bisa untuk melakukan absensi di dalam kendaraan umum tersebut. Mereka mungkin menggunakan kendaraan umum, namun bukan yang dikelolah oleh pemerintah. Contoh lain dari tidak bisanya sistem AIPT diterapkan pada pakaerja adalah tidak mungkin seorang pekerja harus menempuh jarak yang lebih jauh hanya untuk melakukan proses absensi di dalam bus. Padahal para pekerja tersebut tinggal bersebelahan atau dekat dengan kantornya. Tentulah hal tersbut sangat tidak efisien. Dengan beberapa kemungkinan yang tidak memungkinkan seorang pekerja mengikuti sistem AIPT yang berhubungan dengan tempat tinggal, maka perlu adanya ketentuan lain yang menjadi penentu seorang pekerja bisa atau tidak diterapkan sistem AIPT. Adapun beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam penentuan penerapan sistem AIPT yang berhubungan dengan tempat tinggal sebagai berikut : A. Jarak pekerja dari tempat tinggal menuju ke kantor. Bila seorang pekerja tinggal hanya berjarak beberapa meter dan memungkinkan seorang pekerja tersebut hanya dengan berjalan kaki, maka pekerja tersebut tidak diberlakukan sistem AIPT. B. Seorang pegawai tinggal di suatu daerah yang cukup jauh dari kantor, sehingga pegawai tersebut harus menggunakan alat transportasi namun karena ketidak tersediaan angkutan umum yang diterapkan sistem AIPT di dalamnya, maka pekerja tersebut tidak bisa diberlakukan sistem AIPT C.

Pekerja yang tempat tinggalnya memiliki jarak yang jauh dari kantor, sehingga memaksa pekerja untuk menggunakan alat transportasi untuk pergi bekerja dan telah tersedia angkutan umum yang dipakai untuk penerapan sistem AIPT menuju tempat kantornya, maka pekerja tersebut diwajibkan untuk diberlakukan sistem AIPT.

Beberapa pertimbangan di atas dapat berubah, jika pekerja tersbut pindah dari tempat tinggalnya semula, maka untuk perpindahan tersbut pekerja harus melapor kepada pihak yang berwenang agar dilakukan pendataan ulang.

B. Memakai data rata Âą rata jumlah pekerja dalam suatu kawasan untuk nantinya diterapkan pada daerah itu sendiri, seperti Jakarta Barat 200 pekerja per kantor, Jakarta Utara 300 pekerja per kantor. C. Melakukan studi kelayakan jumlah pekerja minimum perkantor. 2.3.2

Pendataan Tempat Tinggal

Bila jumlah minimum pekerja suatu kantor telah terpenuhi untuk diwajibkan menerapkan sistem AIPT, maka perlu ada peninjauan kembali mengenai tempat tinggal pekerja tersebut. Para pekerja yang tidak memiliki akses untuk menggunakan

257


2.4.1

Mesin Absensi

Saat ini ada berbagai macam mesin absensi yang tersedia dengan berbagai macam cara kerja. Ada yang menggunakan sidik jari, bentuk wajah, hingga menggunakan lensa mata untuk sebagai bukti identitas. Teknologi yang semakin maju saat ini membuat sistem keamanan dalam proses absensi semakin baik. Sehingga tingkat kecurangan saat melakukan proses absensi dapat ditekan. Saat ini mesin absensi yang paling baik adalah dengan menggunakan lensa mata. Mesin ini telah banyak digunakan oleh perkantoran yang ada di Jepang. Namun, sistem ini memeliki kelemahan bila diterapkan untuk sistem AIPT karena nantinya akan sangat lambat dalam melakukan proses absensi. Hal tersebut dapat memakan waktu yang cukup lama, sehingga bisa membuat antrian yang lama saat proses absensi berlangsung. Penulis telah melakukan pengujian mengenai alat yang aman, akurat, dan cepat. Penulis meneliti kecepatan dan keamanan pada mesin absensi yang menggunakan bentuk wajah sebagai alat identitas diri. Alat yang digunakan adalah solution x6. Mesin tersebut memiliki keamanan yang tinggi karena menggunakan bentuk wajah yang tidak bisa ditiru dan dipalsukan. Dalam proses pendataanya juga berjalan cepat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis didapat bahwa kecepatan saat proses pendeteksian wajah hingga perekaman data memakan waktu tidak lebih dari satu detik. Data hasil rekaman pun langsung masuk ke komputer. 2.4.2

G ambar 2.2 contoh flowchart yang bisa digunakan dalam sistem A IP T

2.4

Pelaksanaan Sistem A IP T

Pelaksanaan sistem AIPT haruslah ditunjang dengan teknologi yang maju. Tujuannya adalah agar sistem ini dapat berjalan dengan baik. Dalam pelaksanaannya teknologi yang digunakan untuk melakukan proses absensi harus menggunakan alat yang cepat dalam mengambil data, akurat, serta aman dari tindakan kecurangan yang dapat merugikan kantor. Sistem yang diterapkan juga harus mendukung konektivitas antara kantor dan transportasi umum yang di pakai. Tujuannya agar data absensi yang diterekam bisa langsung masuk ke pendataan dari pihak kantor. Hal tersebut agar pekerja tidak dirugikan bila terjadi kesalahan saat proses absensi yang membuat bukti kehadiran pekerja tidak sampai ke pihak kantor. Peraturan Âą peraturan mengenai sistem AIPT juga diperlukan guna menunjang sistem ini dapat berjalan lebih baik.

Peletakan alat

Untuk mempermudah dan mempercepat proses absensi agar nantinya tidak terjadi antrian yang panjang dan lama saat proses absensi, maka perletakan alat dan jumlah alat yang digunakan harus ditentukan juga. Alat yang digunakan sebaiknya berjumlah dua buah yang di letakan di setiap depan pintu masuk kendaraan. Jadi, mereka yang masuk ke dalam kendaraan langsung melakukan proses absensi lalu duduk di bangku kendaraan. Untuk mengantisipasi jumlah yang pekerja yang banyak, maka mesin yang digunakan paling tidak sebanyak dua buah. Masing Âą masing mesin absensi memiliki perannya masing Âą masing. Mesin yang pertama khusus bagi pegawai dengan nomor induk pegawai adalah bilangan ganjil pada angka terakhir dan mesin yang kedua khusus bagi pegawai dengan nomor induk pegawai bilangan genap pada angka terakhir. Jika nomor iduk pegawai menggunakan huruf, maka yang dilihat adalah urutan huruf. Misal, A adalah gajinl karena urutan satu dan B adalah genap karena urutan dua. 2.4.3 Pengaturan Jam Pengaturan jam dilakukan dengan tujuan agar dapat mengefisiensikan kerja alat. Sistem AIPT ini harus dibuat dalam suatu rentang waktu. Misal, dimulai pukul 06.00 Âą 09.00 pagi. Setelah itu alat di tutup dan tidak bisa digunakan lagi. Bagi pekerja yang datang terlambat bisa melakukan proses absensi langsung di kantor dengan konsekuensi mereka datang dihitung datang terlambat ke kantor. Mereka yang

258


datang terlambat bisa menggunakan kendaraan pribadi. Hal itu karena pada saat jam masuk telah selesai biasanya kemacetan di jalan sudah terurai. Bila kita tinjau dari tujuan diterapkannya sistem AIPT ini adalah untuk mengurangi kemacetan. Sehingga bila kemacetan telah terurai, maka sistem ini tidak diperlukan lagi. 2.4.4

Sistem Informasi

Diperlukan suatu sistem informasi agar data yang terekam melalui mesin absensi dapat tersampaikan sesuai tempat kerja masing Âą masing pekerja. Dengan adanya sistem informasi yang baik, maka diharapkan tidak ada para pekerja yang dirugikan bila sudah melakukan proses absensi.

DAFTAR PUSTAKA Prijanto, Mengatasi Kemacetan Di Jakarta ,Buku Coklat, 2008, http://kantongprijanto.wordpress.com/karyatulis/mengurai-kemacetan-di-jakarta/ Llyod Wright dan Karl Fjellstrom, Modul 3A, Opsi Angkuta Masal, Transportasi Berkelanjutan: Panduan Bagi Pembuat Kebijakan di Kota-kota Berkembang, TZ Verlagsgesellschaft mbH, Eschborn, 2002. MARS Indonesia, Indonesian Consumer Profile (ICP) 2008, 2008, http://marsnewsletter.wordpress.com/2009/04/17/78pekerja-di-jakarta-berkendaraan-pribadi-ke-tempatkerja/ kompas.com

jakarta.okezone.com http://m.merdeka.com/jakarta/apa-itu-sistem-ganjilgenap.html G ambar 2.3 Contoh sistem informasi yang dapat digunakan untuk sistem A IP T

III. KESIMPULAN Saat ini sangat banyak usaha pemerintah dalam membenahi transportasi umum, seperti penambahan armada bus Transjakarta, peremajaan Kopaja, mepersiapkan moda transportasi baru, yaitu MRT dan monorel. Pemerintah DKI Jakarta juga terus berupaya membuat kebijakan- kebijakan atau sistem- sistem agar penduduknya memilih menggunakan transportasi umum. Namun pada kenyataannya masyarakat masih banyak menggunakan transportasi pribadi. Hal tersbut dikarenakan belum adanya kebijakan yang benar - benar mengikat individu dari masyarakat Jakarta untuk menggunakan transportasi umum. Untuk itu, dengan adanya sistem AIPT ini dapat mengikat individu dari masyarakat Jakarta khususnya dari kalangan pekerja yang dimana mereka sebagai pengguna transportasi terbanyak di Jakarta untuk menggunakan transportasi umum menuju ke tempat mereka bekerja masing Âą masing. Semua itu bertujuan untuk meningkatkan jumlah pengguna transportasi umum demi mewujudkan cita Âą cita warga Jakarta agar terbebas dari macet.

259


Tele-Compact City: Inovasi Konsep Penataan Kota Masa Depan Berwawasan Lingkungan untuk Mempertahankan Telapak Ecologi dan Mereduksi Mobilitas di Indonesia Tele-Compact City: An Innovation Concept to Manage Future City for Maintain Ecological Footprint and Reduce Mobility in Indonesia 1,2

Sabaruddin1,a, Amilatush Sholichah2,b, I Putu Gde Aristita ST., MT.3,c

Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. aEmail: uddinsabar@ymail.com, b Email: ami_sholichah@yahoo.com 3 Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. cEmail: ariastita@gmail.com

Abstrak- Pertumbuhan kota-kota di I ndonesia ditandai dengan adanya gejala urban sprawl yaitu meluasnya kawasan kota ke wilayah pinggirannya. U rban sprawl mengkonversi kawasan lindung seperti pertanian menjadi kawasan per mukiman. Dampaknya akan mengurangi daya dukung lingkungan dengan mengurangi kapasitas telapak ekologis kota. Disamping itu tumbuhnya kawasan kota baru di pinggiran akan memicu pertumbuhan mobilitas penduduk menuj u pusat kota. K ebija kan pengaturan tata r uang mer upakan alat dalam menyelesaikan per masalaahn ini. Sejauh ini pemer intah sudah mela kukan berbagai hal dalam menyelesaikan per masalahan urban spr awl. Diantaranya perbaikan dan pengadaan kenderaan umum massal dan pengadaan pelayanan publik di sub urban. A lter natif solusi yang ditawar kan pemerintah hingga saat ini dinilai masih belum optimal. T er lihat dari kondisi kota-kota besar di Indonesia semakin menunj ukan tingginya angka urban sprawl. O leh karena itu perlu suatu konsep penataan r uang yang efe ktif dalam mereduksi per masalaahn urban sprawl sehingga kota sebagai pusat pertumbuhan e konomi dapat j uga berfungsi sebagai wadah aktivitas manusia yang ber kelanj utan K onsep ini memadukan fungsi ruang yang kompa k dengan multi penggunaan (multi use) dan te knologi infor masi untuk menggantikan mobilitas penduduk. Penerapan konsep tele-compact city membutuhkan jangka waktu yang panjang. A kan tetapi, kemaj uan teknologi konstr uksi telekomunikasi saat ini sudah mendukung penerapan konsep tele-compact city. K onsep ini diharapkan dapat diaplikasikan pada kota-kota besar di Indonesia. Kata Kunci: Mobilitas penduduk, tele-compact city, telapak ekologis, urban sprawl. Abstract- C ity Development in I ndonesia is characterized by symptoms of the urban sprawl that cause the widespread the city to suburbs. U rban sprawl cause converting protected a reas like agriculture into the neighborhoods. Its will reduce the power support of environment by reducing the capacity of ecological footprint. I n addition, the growth of the new town in suburb will increasing mobility of the population towards the city centre. Spatial policy is a tool in completing this problem for examples repairing and supplying of vehicle mass and improving the p ublic service in the sub urban. Alter native solutions offered the Government are still not optimal. Seen from the big cities in Indonesia show that numbers of urban sprawl is still high. T herefore, its needs an effective spatial concept to reduce urban sprawl problems so that the city as a center of economic growth can also serve as sustainabil ity of human activities. T his concept combines the compact space with multiple usage and infor mation technology to replace the human mobility. T he implementation of tele-compact city requires a long period. However, the progress of construction technology of telecommunications is cur rently already supporting the implementation of tele-compact city concept. T he concept is expected to be applied to the major cities in Indonesia. Keywords: Mobility of population, tele-compact city, the ecological foot print, urban sprawl.

I. PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin meningkat setiap tahun menimbulkan demand terhadap lahan semakin besar. Kota di Indonesia mengantisipasi hal tersebut dengan pembangunan kota yang mengeksplorasi daerah sub urban yang dikenal dengan urban sprawl. Menurut Northam, dalam Firman (2004), urban sprawl mengarah kepada ekspansi dari pemusatan kawasan perkotaan melebihi ukuran awalnya sehingga mengakibatkan pengembangan kota yang semakin besar dan tidak terkontrol. Urban sprawl melibatkan konversi

lahan kawasan pinggiran kota menjadi kawasan perkotaan yang sebelumnya tidak digunakan sebagai kawasan perkotaan sehingga mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan permukiman di sub urban dan meningkatnya mobilitas penduduk ke pusat kota. Urban sprawl mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan. Aktivitas manusia bergantung pada biosfir yang memberikan sejumlah besar pasokan Sumber Daya Alam (SDA) secara terus menerus untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Konsumsi SDA dan dampaknya terhadap ekosistem didefinisikan sebagai ecological foot print atau telapak

! !

260


ekologis. Kondisi di kota-kota besar telapak ekologis mengalami nilai defisit artinya kota sudah tidak mampu menampung kapasitas didalamnya (Asesseang, 2012) Berdasarkan hasil penelitian Ewing dari Rutgers University dan Pendall dari Cornell University, dalam Frumkin (2002), fenomena urban sprawl dapat memberikan dampak terhadap kualitas hidup yang dikaitkan dengan transportasi (pergerakkan/mobilitas penduduk), dampak ini ditunjukkan dengan orang yang hidup di wilayah yang mengalami urban sprawl cenderung melakukan perjalanan dengan jarak yang cukup besar, memiliki beberapa kendaraan, banyak menghirup udara kotor, resiko terhadap kecelakaan lalu lintas sampai pada kematian dan kurangnya pejalan kaki dan tempat pemberhentian. Pemerintah seharusnya menjadi aktor utama yang berperan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Kebijakan pengaturan tata ruang merupakan tools dalam menyelesaikan permasalahan ini. Sejauh ini pemerintah sudah melakukan berbagai hal dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, diantaranya kebijakan pengadaan, perbaikan angkutan umum massal, dan pengadaan pelayanan public di daerah sub urban. Alternatif solusi yang ditawarkan oleh pemerintah hingga saat ini dinilai masih belum optimal. Terlihat dari kondisi eksisting pada kota-kota besar di Indonesia menunjukan gejala urban sprawl bahkan semakin meluas. Oleh karena itu, perlu suatu konsep penataan ruang yang efektif dalam mereduksi permasalahan urban sprawl sehingga kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dapat juga berfungsi sebagai wadah aktivitas manusia yang berwawasan lingkungan. Adapun tujuan penulisan ini adalah: (1) Menggambarkan gejala urban sprawl di kota-kota besar Indonesia; (2) Menganalisa dampak urban sprawl terhadap telapak ekologis dan mobilitas penduduk kota; serta (3) Merumuskan konsep tele-compact city sebagai solusi inovatif dan implemetatif untuk mempertahankan telapak ekologis dan mereduksi mobilitas penduduk kota. Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan masyarakat tentang konsep kota berwawasan lingkungan serta konsep perencanaan kota yang inovatif sebagai salah satu implementasi utama pembangunan berkelanjutan dewasa ini. II. KAJIAN PUSTAKA A. Kondisi Urban Sprawl di Indonesia Fenomena Urban Sprawl di Indonesia telah terjadi di kota-kota besar seperti Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi) dan wilayah Surabaya Metropolitan Area (SMA) terdiri dari Kota Surabaya sebagai pusat dan Kabupaten Sidoarjo, Gresik, dan Bangkalan sebagai wilayah pinggiranya. Serupa dengan perkembangan wilayah lainnya, perkembangan penduduk di wilayah pinggiran SMA (kecuali Bangkalan) lebih pesat jika dibandingkan dengan pusat kotanya (LPPM ITS, 2007).

G ambar 1. Fenomena Urban Sprawl di Surabaya

Sumber: Mahriyar, 2010

Sebagai contoh di Kota Surabaya, kecamatankecamatan yang mengalami tingkat pertumbuhan penduduk yang paling tinggi sampai ke tingkatan sedang dari migrasi adalah kecamatan-kecamatan yang berada di kawasan pinggiran Kota Surabaya, terutama di Surabaya bagian barat yaitu di Kecamatan Pakal, Benowo, dan Asemrowo. Sedangkan pertumbuhan penduduk pada kawasan Surabaya pusat dan utara cenderung memiliki jumlah pertumbuhan penduduk yang lebih rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di Kota Surabaya pada saat ini lebih tinggi di kawasan sub urban yang pada akhirnya dapat menimbulkan fenomena urban sprawl (Mahriyar, 2010). B. Dampak Urban Sprawl Fenomena urbanisasi di Indonesia ternyata menimbulkan perkembangan wilayah pinggiran perkotaan yang tidak terkendali, atau yang lebih dikenal dengan istilah urban sprawl. Fenomena ini terjadi karena migrasi penduduk tidak mampu lagi ditampung di pusat kota sehingga meluber ke wilayah pinggirannya. Urban Sprawl memang mengakibatkan berkembangnya wilayah pinggiran yang bersifat perdesaan menjadi perkotaan. Namun demikian, fenomena ini juga menimbulkan spatial mismatch, yaitu orientasi pergerakan penduduk tetap ke pusat kota karena di daerah sprawling tidak tersedia fungsifungsi pendukungnya. Gejala spatial mismatch ini menimbulkan mobilitas yang sangat masif antara pusat kota dengan daerah pinggirannya dan juga bertambahnya ecological footprint (telapak ekologis) di suatu kota (Ariastita, 2010).

! "#!Urban Sprawl $%!

!&"'($)*"')+!

b. Urban Sprawl dan Pola di

Gerbangkertasusila G ambar 2. Pola Pergerakan Memusat di K ota-kota Besar Indonesia

! !

261


Dari gambar di atas, terlihat bahwa kota memiliki daya tarik yang cukup besar sehingga menyedot energi yang ada disekitarnya. Pertambahan penduduk semakin meningkat akibat kota telah melakukan penggabungan (aglomerasi) dengan wilayah sekitarnya. Perkembangan ini terlihat dari pertambahan jumlah penduduk yang sangat signifikan, pertambahan luas kota dan lain-lain. Sebagai contoh, pertambahan penduduk di kawasan Gerbangkertasusila terjadi penambahan mencapai 5,26% pada tahun 2007, 3,34% pada tahun 2008, dan 2% pada tahun 2010 (BPS, 2010).

-

U rban Sprawl

Urban sprawl berdampak pada pemenuhan telapak ekologis (ecological footprint) dan tingginya mobilitas. Telapak ekologis merupakan kemampuan sumber daya alam sebagai penyedia kebutuhan penduduk. Beberapa komponen telapak ekologi diantaranya persedian lahan pertanian, lahan peternakan, lahan perikanan, karbon, lahan terbangun dsb. Fenomena urban sprawl yang mengakibatkan pemusatan penduduk di suatu kota sehingga kota akan kekurangan telapak ekologi (Asesseang, 2012).

Kebutuhan ecological footprint Lahan Pertanian Lahan Peternakan Lahan Perikanan Karbon Lahan Terbangun

! !

-

!

Penataan Ruang yang menyediakan telapak ekologi dan mereduksi mobilitas

Meningkatnya Mobilitas Meningkatnya polusi Kemacetan!

!

G ambar 3. Ilustrasi E ffect yang Ditimbulkan Urban Sprawl Sumber : Asesseang, 2012

! !

Hal ini tentunya membutuhkan penataan tata ruang yang mampu mereduksi angka kebutuhan telapak ekologi di suatu wilayah. Seperti halnya di Gerbangkertosusila biokapasitas kebutuhan ekological footprint dapat dikatakan kurang baik karena nilainya jauh dibawah

telapak ekologis. Nilai ideal biokapasitas tersebut adalah 1,03 gha/orang (Asesseang, 2012). Artinya kondisi daya dukung lahan sebagai penyedia sumber daya alam di Gerbangkertosusila mengalami defisit.

T abel 1. T elapak E cologis Per kotaan G erbangkertosusila

L and Use

T E Produktion gha gha/orang 1.466.520 0,15 Agriculture 61.762 0,01 Land farms 101 0 Forest 2.921.091 0,31 Fishery 619.931 0,07 Carbon 2.916.914 0,31 Awakened land 7.986.319 0,84 *Keterangan: Satuan Gha: Global hektar/Orang

T E Import gha gha/orang 2.349.652 0,25 0 0 417.950 0,04 34.962 0 17.780 0 2.820.343 0,30

T E E kspor gha gha/orang 141.130 0,01 0 0 0 0 74 0 14.808 0 156.012 0,02

T E Consumtion gha gha/orang 3.675.042 0,39 61.762 0,01 418.050 0,04 2.955.980 0,31 622.903 0,07 2.916.914 0,31 10.650.650 1,12

Sumber: Asesseang, 2012

Peningkatan mobilitas transportasi menjadi masalah umum kawasan metropolitan. Angkutan umum terlihat kurang diminati dan kecenderungan untuk memilih kendaraan pribadi. Akibatnya kemacetan sering terjadi dan berdampak pada polusi udara dan pencemaran lingkungan. III. METODOLOGI Pengumpulan data yang dilakukan menggunakan beberapa metode-metode yaitu tinjauan pustaka dan tinjauan media. Metode pendekatan pada proses analisa

yang dilakukan dalam penulisan ini adalah analisis deskriptif dan analisis komparatif. IV. PEMBAHASAN A. Konsep Tele-Compact City Gagasan Tele-Compact City ini muncul dari permasalahan kota di dunia yang semakin padat dan berkembang hingga membentuk kota yang lebih besar seperti metropolitan hingga megapolitan. Hal ini juga terjadi di Indonesia kota membentuk wilayah megapolitan

! !

262


seperti Jabodetabek (Jakarta) dan Gerbangkertasusilo (Surabaya). Dampak dari permasalahan ini berakibat semakin menurunnya telapak ekologis dan semakin meingkatnya mobilitas penduduk dari pinggiran menuju pusat kota sehingga kepadatan (densiti) dan persebaran (diversivikasi) menjadi terpusat di pusat kota inti. Hal ini tentunya menimbulkan banyak masalah, antara lain kota menjadi semakin padat dan menjadi tidak beraturan (sporadis), persebaran yang tidak merata (diversitas), design massa bangunan yang tidak teratur dan kepadatan penduduk (densitas), dan berkurangnya cadangan lahan untuk supply energi. Tele-Compact City sendiri merupakan konsep penataan kota yang diwujudkan dalam penataan struktur ruang kota (berpola) dan mereduksi mobilitas. TeleCompact city ini bertujuan untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan (Sustainable Development). Kota berkelanjutan dapat diwujudkan melalui bentuk kota kompak, menyediakan telapak ekologis kota, preservasi ruang terbuka hijau dan ekosistem yang sensitif, mengurangi mobilitas, penciptaan lingkungan orientasi komoditas dan pengalokasian perumahan yang layak dan terjangkau. Adapun instrumen untuk mencapai konsep telecompact city adalah sebagai berikut: 1. Membentuk Stuktur Ruang yang Berpola dan mix use Pendekatan Compact city adalah meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk permukiman, mengintensifkan aktifitas ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, dan memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan serta sistem permukiman dalam rangka mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan, sosial, dan global, yang diperoleh dari pemusatan fungsifungsi perkotaan (Jenks, 2000). Compact city merujuk pada permukiman yang terikat secara koheren, teridentifikasi dan terkait secara spasial baik yang EHUMDODQ VHEDJDL ÂľVHOI-contDLQHG IXQFWLRQDO XQLWÂś GHQJDQ ÂľVSLOO-RYHUÂś \DQJ WHUEDWDV :LOD\DK LQL GLMDODQNDQ GHQJDQ EDVLV ÂľFRPSOHPHQWDULWLHVÂś DWDX VLQHUJL DQWDU ORNDVL \DQJ berbeda atau dengan aglomerasi secara luas atau VHEDJLDQ NRQXUEDVL DWDX ÂľXQLW SHUNRWDDQ SROLVHQWULVÂś (Bailey dan Turok, 2001 dalam Gunawan 2006). 2. Menambah Telapak Ekologis melalui Green Belt

Mekanisme untuk menahan urban sprawl dengan membuat batasan hijau. Green belt ini juga berfungsi untuk memberikan ruang untuk telapak ekologis. Green belt bisa digunakan untuk memenuhi komponen dari telapak ekologis seperti lahan pertanian, peternakan, perikanan, karbon dan lahan terbangun. 3. Urban Redevelopment ³8UEDQ 5HGHYHORSPHQW´ menekankan pembangunan kembali ke pusat kota. Program ini bertujuan untuk mengoptimalkan pembangunan yang dikonsentrasikan di dalam kota. (Roychansyah, 2006). 4. Konsolidasi Konsolidasi lahan adalah model pembangunan yang berkaitan dengan pengadaan dan penataan tanah untuk kepentingan sarana dan prasarana (Mahriyar, 2008). 5. Transit Oriented Development Mendorong pembangunan pada simpul-simpul transit transportasi. Melalui struktur ruang yang telah terbentuk, simpul-simpul akan terbentuk dan menjadi penghubung dari satu CBD (Central Business Districk) menuju CBD lainnya. 6. Sosial Ekonomi Penerapan dibidang sosial ekonomi perlu diterapkan terlebih dahulu dalam tahap policy, berupa pengaplikasian konsep dalam rencana tata ruang, kemudian dapat diterapkan prinsip insentif dan disinsentif . 7. Konsep Telekomuting Telecommuting mempunyai arti yang sederhana yakni melakukan pekerjaan kantor di tempat yang berada terpisah dari tempat kerja menggunakan teknologi telekomunikasi. Telecommuting merupakan bagian dari berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi yang dapat dikategorikan ke dalam empat hal. Transportasi yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT-based transportation); outsourcing dari layanan dan produksi (services and production outsourcing); perjalanan yang diakibatkan dengan adanya teknologi informasi; dan komunikasi (ICT-induced travel. Pengembangan kawasan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT-intensive districts) (trafficsolutions.info, 2012).

T abel 2. Jenis Pe ker jaan yang Dapat Menggunakan T elekomutting

T ipe Pekerjaan Data Entry

Rapat Editor Dokumen Promosi dan Publikasi Penataan Keuangan Perusahaan

Teknologi Telecommuting yang bisa D iterapkan Aplikasi online (contoh SKPD online (e-gov, e-proc) yang ada di dinas-dinas pemerintahan) dengan dukungan : x Menggunakan jaringan privat (VPN) yang menghubungkan aplikasi di kantor dengan komputer yang ada di rumah. x Menanam kabel jaringan (fiber optic) yang dihubungkan antar distrik x Menggunakan smart phone dengan dukungan koneksi internet Aplikasi NetMeeting, yahoo Messenger, Mailing List, e-calendar, audio video conference, e-room. Aplikasi Pengolah Kata (Word Processing), aplikasi pengolah kata pada cloud computing Web conference (aplikasi online yang biasa digunakan dalam promosi produk baru, seminar online, training online yang dihadiri oleh banyak partisipan), e-commerce Aplikasi manajemen keuangan, e-banking, mobile banking. Sumber : Hasil Analisa, 2012

! !

263


!

!"#$%&%'%(%)*

x Pertumbuhan Penduduk Kota semakin sporadis x Pola prilaku konsumsi SDA semakin meningkat x Tingginya mobilitas penduduk x Menurunnya ruang untuk telapak ecologi

Diversitas Densitas (Persebaran Design Aksesibilitas

K O NSE P T E L E - C O M PA C T C I T Y

1. 2. 3. 4. 5. 6.

M ain Concept Pembangunan Kota Kompak dan banyak fungsi (m ix use) Menyediakan Telapak Ekologis Kota Preservasi Ruang terbuka Hijau & Ekosistem yang sensitif Mengurangi Mobilitas Penciptaan lingkungan orientasi Komoditas Pengalokasian perumahan yang layak dan terjangkau

T O O LS 1. 2. 3. 4. 5.

Membentuk Stuktur Ruang yang berpola dan mix use Menambah Telapak Ekologis melalui Green Belt Urban redevelopment Konsolidasi Transit Oriented Development

F isi k Sarana

1. 2. 3.

Win-win Solution Pembatasan pembangunan Prioritas Bengunan Vertikal

Sosial-E konomi

1. 2. 3.

Pre-emption right Pencabutan hak lahan Pengalihan hak lahan

H ukum-A dminist rasi

! Teknologi informasi dalam bisnis, pendidikan,perdagangan dan lain-lain

K onsep Telekomuting

Menyediakan Telapak Ekologis dan Mereduksi Mobilitas G ambar 4. K onsep Tele- Compact City

B. Hubungan Compact City dengan Telecommuting Konsep compact city akan fokus pada pembangunan vertikal (mix used) sehingga menambah proporsi ruang terbuka. Namun hal ini belum mampu mengurangi angka mobilitas masyarakat. Untuk itu diperlukan perpaduan compact city dan telecommuting

untuk mengurangi mobilisasi melalui teknologi berbasis internet yang berdampak pada menurunnya angka kemacetan. Dengan berkurangnya mobilisasi dan penambahan telapak hijau akan mengurangi angka polusi serta menambah kenyamanan dalam suatu kawasan.

! !

264


L and C onsolidation

G reen Belt

Before

A fter

T ransit O riented Development

U rban redevelopment!

T elecommuting

G amba r 5. G ambaran K onsep Tele-Compact City V. KESIMPULAN

Tele-Compact City merupakan sebuah gagasan konsep penataan ruang kota yang menitikberatkan pada pembangunan kawasan kota yang padat dan berpola mix use pada suatu wilayah terpusat dan mengoptimalkan teknologi informasi dan komunikasi dalam aktivitas ekonomi perkotaan konsep ini dapat meminimalkan mobilitas dan mempertahankan telapak ekologis sehingga terwujud kota yang hemat energi, dan berkelanjutan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6]

Ariastita, P.G., L ahan T erlantar di Per kotaan: E ksplorasi Permasalahan dan Upaya Penanganannya, ITS, Surabaya, 2008. Ariastita, P.G., Dilema Per kembangan Per kotaan dan E fisiensi E nergi: M enuju K ebi jak an Pengembangan Per kotaan di M asa Depan, Seminar Nasional Cities, 2011. Asesseang, E., Implik asi Perhitungan T elapak E kologis, Perumusan K ebijak an Penataan R uang di K SN Per kotaan G erbangkertasusila, 2012. Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, Rencana Tata Ruang Wilayah K ota Surabaya 2003-2013, 2003. Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, Data L and Use K ota Surabaya 2009, 2010. Badan Pusat Statistik, Surabaya Dalam A ngka 2008/2009, 2010.

[7] [8] [9]

[10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17]

Firman, T., 2004. L and Conservation and U rban Development in T he Northen Region of W est Java, I ndonesia, Urban Studies, Vol.34, (No.7, 2004). Frumkin, H., 2002. U rban Sprawl and Public H ealth, Public Health Report, Association of School of Public Health, Vol.117. Gunawan, D., The Ideas of Compact City and Its Relevance to T he Current Urban Development in Indonesia, A Reflection from The Netherlands Experinces, Thesis of Master Degree Programme Perencanaan Wilayah dan Kota Âą Institut Teknologi Bandung dan University of Groningen, Bandung, 2006. Jenks, Mike, dan Burgess, R., Compact C ities: Sustainable U rban Forms for Developing C ountries, Spon Press, London, 2000. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyrakat (LPPM-ITS), Proposal Peneltian F enomena U rban Sprawl di Surabaya M etropolitan A rea, ITS, Surabaya, 2007. Mahriyar, M.Z., K onsep Compact C ity sebagai Solusi M asalah T ranspor tasi Perkotaan di Surabaya, Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia, Medan, 2010. Pemerintah Kota Surabaya, L aporan F ak ta dan A nalisa Perencanaan A wal Penyusunan M asterplan T ransportasi di K ota Surabaya, Pemkot Surabaya, Surabaya, 2005. Roychansyah, M.S., Paradigma K ota K ompak, Solusi M asa Depan T ata R uang K ota?, INOVASI, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang, Vol.7, (No.XVIII, Juni 2006). trafficsolutions.info., Telecommuting - A Work Option, (2012, Februari 29), http://trafficsolutions.info/telecom/html Technology, P.T., Intel White Paper, (2005, Januari 20), http://www.ctiforum.com/train/intel/english/practical%20telecommu ting%20technologies.pdf Yunus, H.S., M egapolitan: K onsep, Problematika, dan Prospek , Pustaka Pelajar, Jakarta, 2006.

! !

265


TICA 2013 ke-4 Pasar Botol sebagai Pasar Ramah Lingkungan yang Tahan Gempa dan Kebakaran The 4th TICA 2013 Bottle Market as Eco-Friendly Market that Withstand Earthquakes and Fires Rohmatun Inayah Teknik Sipil, Universitas Indonesia, Depok. Email: rohmatun.inayah21@gmail.com, Email: rohmatun.inayah@yahoo.com Abstrak- Pasar merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, baik sebagai tempat pemenuh kebutuhan, roda perekonomian maupun sarana bersosialisasi. Pasar di Indonesia sangat identik dengan kesan kotor, kumuh dan tidak teratur. Hal ini membuat masyarakat semakin enggan berbelanja ke pasar dan lebih memilih untuk berbelanja di supermarket yang nyaman dan aman. Permasalahan yang kerap terjadi di pasar Indonesia antara lain kotor, becek, kumuh, sempitnya lahan parkir dan penataan lapak yang tidak teratur. Pasar-pasar di Indonesia juga kerap kali mengalami kebakaran hingga menelan kerugian milyaran rupiah. Oleh karena itu, penulis mencoba menciptakan inovasi baru berupa pasar botol sebagai pasar ramah lingkungan. Pasar botol merupakan pasar yang terbuat dari botol plastik bekas kemasan air mineral. Selain ramah lingkungan dan lebih hemat dalam pembangunannya, pasar botol juga tahan gempa dan kebakaran. Pasar botol yang didesain menyerupai rumah gadang ini tentu akan lebih menghemat lahan dan lebih mencerminkan kebudayaan Indonesia. Kata Kunci—Instruksi; pasar, botol air mineral, PET, rumah gadang. Abstract- The market is a very important part in the life of society, as a place of fulfillment of needs, economy activity and as socializing place. Market in Indonesia is identical with the impression of a dirty, rundown and irregular. This makes people more reluctant to buy into the market and prefer to shop at supermarkets that are comfortable and safe. The problem that often occurs in Indonesia are dirty, muddy, dirty, narrow parking spaces and irregular arrangement of stalls. Markets in Indonesia have often suffered fire to swallow losses of billions of dollars. Therefore, the author tries to create a new form of market innovations bottle as eco-friendly market. Bottle market is a market that is made out of plastic bottles of mineral water packaging. Besides more efficient and eco-friendly in its construction, the market also withstand earthquake and fire. Bottle market is designed to resemble the gadang house. This certainly will save more land and more reflective of the culture of Indonesia. Keywords—Instructions; market, mineral water’s bottle. PET, gadang house.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasar merupakan salah satu sarana vital bagi masyarakat Indonesia baik di kota maupun desa. Sebagai sarana penting, masih banyak permasalahan yang dihadapi pasar di Indonesia. Kondisi pasar yang kotor dan kumuh membuat masyarakat merasa kurang nyaman untuk berbelanja di pasar. Selain itu, keterbatasan lahan serta penataan lapak pedagang yang tidak teratur membuat kesan pasar menjadi semakin semrawud. Pasar di Indonesia juga rentan mengalami kebakaran karena desain eksterior maupun interiornya banyak menggunakan kayu sebagai bahan bangunannya. Menurut artikel VOA, pada tahun 2011 produksi air kemasan mencapai 17 milyar liter yang membutuhkan botol plastik sampai 500.000 ton per tahun. Ini berarti dalam setahun dihasilkan 500.000 ton limbah botol plastik. Limbah botol tersebut sebagian didaur ulang kembali dan sisanya

masih belum dikelola dengan baik sehingga hanya menjadi tumpukan sampah yang dapat merusak lingkungan. Melihat berbagai permasalahan tersebut, penulis mencoba memberikan inovasi pasar botol sebagai pasar ramah lingkungan yang tahan gempa dan kebakaran. B. Tujuan Penulisan Karya ilmiah ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui permasalahan apa saja yang terjadi pada pasar di Indonesia dan mencoba mencari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut melalui inovasi pasar botol sebgai pasar ramah lingkungan. II. TINAJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik Limbah Botol Plastik Kemasan Air Mineral Botol plastik kemasan air mineral berbahan dasar PET (polyethylene terephthlate) dan merupakan botol yang hanya

266


dapat digunakan sekali pakai. Dalam pengolahannya tidak terlepas dari zat senyawa beracun, seperti bisphenol A (BPA), nikel, etilbenzena oksida, etilen dan benzen. PET merupakan jenis plastik yang memiliki karakteristik sebagai berikut. Densitas : +- 1.4 g/cm3 Modulus young (E) : 2800-3100 MPa Tensile strength : 55-75 MPa Temperatur glass (Tg) : 75 C Titik leleh : 260 C Konduktivitas thermal : 0.24 W/(m.K) Kapasitas panas spesifik : 1.0 kJ/(kg.K) Penyerapan air (ASTM) : 0.16 Viscositas intrinsik : 0.629 dl/g Indeks refraksi (nD) : 1.57-1.58 Batas elastisitas : 50-150% PET mudah larut dalam asam sulfat, asam nitrat, triflouro asetat, fenol, meta kresol, dan tetrakloroetan. Bila dipanaskan pada suhu tingggi dengan adanya air, PET akan terhidrolisa. PET unggul karena titik leleh yang relatif tinggi, kestabilan dimensi baik, kekakuan-kekuatan mekanik-ketahanan impact tinggi, serapan air-koefisien ekspansi termal rendah.. B. Desain Rumah Gadang Rumah gadang merupakan rumah daerah Sumatera Barat. Sejumlah ahli konstruksi di Sumatera Barat sepakat bahwa Rumah Gadang Minangkabau memiliki arsitektur tahan gempa dan memenuhi syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodratnya. Menurut Eko Alfares, Dosen Arsitektur Fakultas Teknil Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, badan rumah segi empat dan membesar ke atas (trapesium terbalik) menjadikan bangunan tersebut ramah gempa. Jika ditarik garis dari sisi-sisi trapesium terbalik tersebut ke bawah, maka akan bertemu satu titik dipusat bumi. Bangunan rumah yang membesar ke atas ini juga berfungsi membebaskan dari terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memudahkan sirkulasi udara sehingga memberikan hawa yang segar. Sementara itu, Darmansyah ahli konstruksi dari Lembaga Penanggulangan Bencana Alam, Sumatera Barat, menyebutkan dari sisi ilmu konstruksi bangunan rumah gadang jauh lebih maju setidaknya 300 tahun dibanding konstruksi yang ada di dunia pada zamannya. Bentuk rumah gadang membuat Rumah Gadang tetap stabil menerima guncangan dari bumi. Getaran yang datang dari tanah terhadap bangunan terdistribusi ke semua bangunan. Rumah gadang tidak menggunakan paku sebagai pengikat, tetapi berupa pasak sebagai sambungan membuat bangunan memiliki sifat sangat lentur. Selain itu kaki atau tiang bangunan bagian bawah tidak pernah menyentuh bumi atau tanah. Tapak tiang dialas dengan batu sandi. Menurutnya, batu tersebut akan

berfungsi sebagai peredam getaran gelombang dari tanah, sehingga tidak mempengaruhi bangunan di atasnya. Ketika ada getaran gempa bumi, Rumah Gadang hanya akan berayun atau bergoyang mengikuti gelombang yang ditimbulkan getaran tersebut. III. PASAR BOTOL SEBAGAI PASAR RAMAH LINGKUNGAN YANG TAHAN GEMPA DAN KEBAKARAN A. Desain Bangunan Pasar Pasar botol didesain menyerupai rumah gadang dengan dua lantai. Badan bangunan pasar dibuat segiempat dan membesar ke atas menyerupai trapesium terbalik agar tahan gempa. Seluruh dindingnya terbuat dari botol plastik kemasan air mineral yang diisi pasir dan kemudian dikaitkan satu sama lain menggunakan pasak dan tali sebagai pengikat. Dengan menggunakan pasak dan tali sebagai pengikat maka bangunan pasar akan bersifat lebih lentur sehingga bangunan akan berayun mengikuti arah gelombang saat terjadi getaran. Adapun tiang atau kaki bagian bawah menggunakan kayu yang kemudian ditahan oleh batu. Botol plastik yang berbahan PET ini memiliki titik leleh hingga 260 C sehingga membuat bangunan pasar tahan kebakaran. Bahan plastik ini akan membuat temperatur di dalam bangunan tetap stabil pada suhu 18 C sehingga sangat cocok untuk daerah beriklim tropis seperti di Indonesia. Adapun bagian kolong pasar akan digunakan sebagai lahan parkir bagi pengunjung pasar sehingga lebih menghemat penggunaan lahan. Karena menggunakan bahan berupa limbah botol plastik maka biaya yang diperlukan untuk membuat pasar botol akan jauh lebih murah hingga sepertiga dari biaya pembangunan pasar dengan bahan batu bata dan semen. Kelemahan pasar botol ini adalah tinggi bangunan hanya terbatas hingga tiga tingkat karena bobot botol pasir yang telah diisi pasir. B. Desain Interior Pasar botol terdiri dari dua lantai. Lantai 1 digunakan untuk lapak pedagang bahan makanan seperti sayur-sayuran, buahbuahan, telur, ikan, ayam dan daging. Lantai 2 merupakan lapak pedagang peralatan rumah tangga, pakaian, sandal dan sepatu. Semua bahan interior menggunakan bahan bekas seperti kursi dari bekas ember cat dan meja lapak pedagang yang terbuat dari limbah botol plastik. Sebisa mungkin menghindari penggunaan kayu karena kayu merupakan zat yang mudah terbakar.

267


IV. KESIMPULAN Pasar di Indonesia memiliki berbagai maslah seperti kondisi pasar yang kotor, kumuh, lapak yang belum tertata rapi dan kerap kali mengalami bencana kebakaran. Pasar botol merupakan pasar tradisional berbahan dasar botol plastik kemasan air mineral yang didesain menyerupai rumah gadang. Pasar botol sebagai pasar ramah lingkungan, tahan gempa dan kebakaran merupakan solusi yang tepat guna mengatasi permasalahan yang terjadi pada pasar di Indonesia DAFTAR PUSTAKA

Haluan. 2012. Desain Rumah Gadang, Ramah Gempa. <http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=ar ticle&id=14548:desain-rumah-gadang-ramah-gempa&catid=1:haluanpadang&Itemid=70 >

268


Enrikko Hazemi | Irandi Pratomo | Hendro Mulyo W Nurina Sevrina | Muhammad Rifqi | Suherman Ganesh Shukri | Alvin Mariogani | Farah Fitriani Chairul Akmal | Suksmandhira Harimurti | Rizki Amelia Dimas Andrianto

Š Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPIJ) Š Biro Konten dan Publikasi website : io.ppijepang.org All rights reserved 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.