Inovasi-Vol16-Mar2010

Page 1

Vol. 16/XXII/Maret 2010 ISSN 2085-871X

Topik Utama: Pemberantasan Korupsi dan Penegakan Hukum di Indonesia


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

PPI JEPANG Membuka Dunia Untuk Indonesia dan Membuka Indonesia Untuk Dunia

Majalah INOVASI ISSN: 2085-871X Volume 16/XXII/Maret 2010 Halaman EDITORIAL Perang Tanpa Akhir Melawan Korupsi (Murni Ramli)

2

TOPIK UTAMA 1. 2.

Paradigma Baru Pemberantasan Korupsi di Indonesia (Azhar) Quo Vadis Pemberantasan Mafia Peradilan, (Pan Mohamad Faiz)

4 14

IPTEK & INOVASI Mikroenkapsulasi dalam Industri Pangan (Vita Paramita)

19

NASIONAL Pengawasan Terhadap Aparatur Negara Pasca Reformasi (Oce Madril)

28

KESEHATAN Cardiac Biopacemaker (Udin Bahrudin)

36

HUMANIORA 1. 2.

Kontribusi Pemahaman Budaya dalam Penafsiran Majas Metafora Bahasa Jepang (Didik Nurhadi) Ekor Verba -u/-ru sebagai Konstituen Penyambung, Sebuah Pemikiran (Roni)

43 49

CATATAN RISET Legal Stipulation of Educational Implementation (Murni Ramli)

Personnel

in

Indonesia

and

Its

56

KILAS RISET Terapi Sel Punca, Harapan yang Menjanjikan (Udin Bahrudin)

67

REDAKSI Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi Susunan Dewan Editor

68 71

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

1


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

EDITORIAL Perang Tanpa Akhir Melawan Korupsi Murni Ramli Editor Utama Seorang teman bercerita bahwa anaknya mulai pandai menggunakan uang untuk menyogok teman-temannya. Si kecil sering meminta dibelikan alat-alat tulis atau makanan kecil yang ternyata dibagikannya kepada teman-temannya supaya dia tetap diajak sebagai anggota kelompok/geng bermain. Anak-anak mengenal penyalahgunaan uang secara alami dan tidak ada yang dapat memahamkannya bahwa tindakan tersebut adalah tindakan negatif jika orang dewasa tidak turun tangan. Kasus penyalahgunaan uang dan kekuasaan bukan wacana yang muncul pada era modern saja, tetapi dan dapat diduga bahwa penyalahgunaan hukum dan jabatan di dunia lahir semenjak manusia mengenal uang dan kekuasaan. Demikian pula kasus pelanggaran hukum muncul sejak hukum itu belum dibuat dan apalagi setelah diberlakukan. Peperangan melawan tindakan kejahatan melalui penyusunan sistem perundangan dan hukum seakan dua sisi yang senantiasa beriringan. Ketika ada pelanggaran, hukum dibuat, dan segera setelah hukum baru diberlakukan muncullah jenis dan bentuk pelanggaran yang baru. Hukum dan perundangan adalah salah satu tameng antisipasi munculnya pelanggaran yang berketerusan, oleh karenanya mutlak diadakan sekalipun para pelaku dan penontonnya mungkin sudah jenuh. Kasus makelar korupsi “Gayus Tambunan� yang berhasil terungkap bulan Maret 2010 adalah sebuah gambaran tentang ketidakoptimalan niatan aparat hukum dan pemegang jabatan untuk membangun pemerintahan yang bersih. Slogan anti korupsi, kabinet bersih, pejabat bersih hanya terpahami dengan baik oleh sebagian pejabat. Semangat untuk membangun Indonesia dan keberpihakan kepada rakyat jelas hanya dimiliki oleh segelintir orang yang sedihnya barangkali bukan kalangan yang memiliki kekuasaan dan penentu kebijakan. Berbagai kasus penyalahgunaan uang dan kekuasaan yang terjadi di Indonesia utamanya dilakukan oleh pihak-pihak yang justru memahami seluk beluk hukum atau bahkan aparat penegak hukum sendiri. Ketidakmulusan proses penegakan hukum itu bukan karena perundangan atau produk hukum yang tidak sempurna, tetapi cenderung karena lemahnya mental manusia yang menjalankan hukum tersebut. Inovasi Online edisi 16 mengangkat tema pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia. Dua tulisan dalam Topik Utama membeberkan masalah mafia hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pan Mohamad Faiz menjabarkan betapa peliknya upaya penegakan hukum dan sulitnya memberantas mafia hukum di lembaga peradilan di Indonesia. Azhar menuliskan kasus korupsi dan paradigm baru penanganannya.Sebuah tulisan juga ditampilkan dalam rubrik Nasional terkait tema yang dipaparkan oleh Oce Madril yaitu tentang perlunya lembaga Ombudsman dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan aparatur negara di era reformasi. Selain tulisan tersebut, Inovasi Online edisi ini juga menampilkan tulisan Udin Bahrudin tentang Cardiac Biopacemaker yang menyoroti upaya pembuatan alat pacu jantung biologis melalui metoda rekayasa genetika, sebagai alternatif pemakaian alat pacu jantung elektrik yang selama ini dikenal. Tulisan lain dalam bidang iptek dan inovasi ditulis oleh Vita Paramita tentang upaya memperpanjang masa simpan makanan olahan melalui teknik mikroenkapsulasi.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

2


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Rubrik Humaniora kali ini menyajikan dua tulisan bertema linguistik. Keduanya menampilkan wacana pemahaman majas dalam bahasa Jepang dengan mengaitkannya dengan pemahaman budaya yang ditulis oleh Didik Nurhadi, dan Roni menuliskan sebuah pemikiran tentang penggunaan konstituen penyambung dalam bahasa Jepang. Rubrik Catatan Riset menampilkan hasil penelitian tentang peraturan perundangan tentang peningkatan kompetensi pendidik di Indonesia. Tulisan ini menyoroti perundangan yang melatar belakangi sertifikasi guru di Indonesia dan sekaligus implementasinya. Pada bagian akhir disajikan Kilas Riset yang mengulas hasil riset dibidang sel punca untuk kedokteran regeneratif. Selamat membaca.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

3


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

TOPIK UTAMA

Paradigma Baru Pemberantasan Korupsi di Indonesia Azhar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya E-mail: aazhar_2000@yahoo.com 1. Pendahuluan Yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah ”setiap orang yang secara melawan hukum,melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”1 Tindak pidana korupsi dapat digolongkan menjadi tujuh macam yaitu2: a. perbuatan yang merugikan keuangan negara.3 b. suap menyuap.4 c. penggelapan dalam jabatan.5 d. Pemerasan. 6 e. perbuatan curang.7 f. benturan kepentingan dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan barang dan jasa.8 . g. gratifikasi.9 . Menurut Syed Hussien Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption bahwa korupsi bercirikan antara lain: 1) Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang. Biasanya ada persetujuan secara rahasia di antara pegawai yang terkait dengan si pemberi hadiah, dan di kalangan pegawai yang melakukan korupsi ada pengertian tersendiri; 2) Pada umumnya korupsi adalah suatu rahasia, kecuali di tempat yang sudah biasa dilakukan dan merajalela serta mengakar, sehingga setiap individu yang melakukannya sudah tidak menghiraukan lagi untuk melindungi perbuatan mereka dari khalayak ramai; 3) Korupsi melibatkan kewajiban dan keuntungan timbal balik bisa berupa uang atau bukan. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai “penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum.”10 Berdasarkan laporan tahunan dari lembaga internasional yang ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong dalam hasil surveinya tahun 2001, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia bersama Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama Kenya. Pada tahun 2005 PERC mengemukakan

1

Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Korupsi. 3

Pasal 2 dan 3.

4

Pasal 5 (1) a,b, 5 (2) 6 (1) a,b, 6 (2) , 11, 12 (a,b,c,d) dan 13.

5

Pasal 8,9,10 (a,b,c).

6

Pasal 12 (e,f,g).

7

Pasal 7 (1) a,b,c,d, 7 (2), 12 (h).

8

Pasal 12 (i).

9

Pasal 12B juncto Pasal 12 c ).

10

Hamilton-Hart, Natasha. 2001. Anti Corruption Strategies in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies 37(1):65:82.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

4


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

11

bahwa Indonesia masih urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia (Tabel 1). Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup nomor 5 dalam 12 hasil surveinya yang melibatkan negara ASEAN (Tabel 2). Jika kita lihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari administrasi yang sangat mendasar seperti membuat kartu tanda penduduk dan kartu 13 keluarga. Tabel 1. Skor Korupsi di 12 Negara Asia Negara Skor Peringkat Indonesia 9.92 1 India 9.17 2 Vietnam 8.25 3 Philipines 8 4 Cina 7 5 Taiwan 5.83 6 Korsel 5.75 7 Malaysia 5.71 8 Hongkong 3.33 9 Jepang 3.25 10 Singapura 0.9 11 Sumber: Political and economic Risk Consultancy Tahun 2005.

Tabel 2. Index Persepsi Korupsi Negara ASEAN Peringkat Negara IPK 3 Singapura 9.2 56 Malaysia 4.5 84 Thailand 3.4 111 Indonesia 2.8 120 Vietnam 2.7 139 Philipines 2.4 158 Laos 2.0 158 Kamboja 2.0 178 Myanmar 1.3 Sumber: Survei Transparency International 2009.

Tanpa disadari korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar seperti memberi hadiah kepada sanak saudara, teman, dan tetangga. Kebiasaan ini dibawa ke ranah kedinasan dengan memberi hadiah kepada pegawai negeri/pejabat sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Penyalahgunaan budaya ketimuran ini, lama-lama menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata. Di samping itu sistem pengawasan dan peraturan yang ada memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini mendorong para pegawai negeri/pejabat mencari tambahan dengan memanfaatkan fasilitas publik. Bank Dunia mengungkapkan bahwa korupsi di Indonesia terjadi di mana-mana, diberbagai tingkatan golongan pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah melanda

11

Harian Kompas, 19 Maret 2005. www.kompas.com

12

Transparency International. www.transparancy.org

13

Harian Kompas 28 Januari 2009. www.kompas.com. Penilaian dari Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Tersebut didasarkan atas hasil Survei terhadap 350 responden di Jakarta Tentang berbagai masalah Kependudukan dan Pemerintahan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

5


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, peradilan, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 14 yang seharusnya berfungsi untuk memberantas korupsi. Tulisan ini akan membahas tentang permasalahan dan tantangan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, Kemudian, mengulas tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan wewenangnya, Selain itu perlunya paradigma baru pemberantasan korupsi dalam rangka mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi. 2. Permasalahan Pemberatasan Korupsi di Indonesia Selama ini pemberantasan korupsi di Indonesia dilakukan dan menjadi tanggung jawab instansi pemerintah, peradilan, kepolisian, kejaksaan yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di instansi pemerintah dari tingkat kabupaten dan kota hingga departemen di pemerintahan pusat dibentuk inspektorat yang bertugas mengawasi apabila terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi terhadap uang negara. Namun, pada kenyataannya lembaga yang bernama inspektorat ini tidak mampu memberantas korupsi dan bahkan terjebak dalam korupsi tersebut dan terkesan melindungi para koruptor di lingkungannya dari pihak kepolisian dan kejaksaan, sehingga sulit untuk diajukan ke pengadilan. Dengan demikian pemerintahan yang berdasarkan hukum, meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas terhadap pelayanan pada 15 Hal tersebut berdasarkan masyarakat dan memerangi korupsi tinggal harapan belaka. kenyataan bahwa kualitas birokrasi di Indonesia masih sangat buruk. Survei Political and Economic Risk Consultancy tahun 2005 menunjukkan bahwa kualitas birokrasi Indonesia menempati urutan kedua terburuk di Asia dengan skor 8.2 (Skala nilai berkisar dari 0 paling 16 baik hingga 10 paling buruk). Peradilan di Indonesia yang diharapkan akan menjadi benteng terakhir dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia malah menjadi salah satu lembaga terkorup yang dikenal dengan mafia peradilannya. Salah seorang Hakim Agung mengakui masih maraknya mafia 17 peradilan..�Mafia peradilan itu seperti buang angin, tak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan." Almarhum mantan Presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa �sistem peradilan kita 18 masih bisa dibeli.� Jual beli perkara terhadap putusan telah terjadi di berbagai tingkatan dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan bahkan di Mahkamah Agung (MA). Sehingga lembaga ini tidak bisa diharapkan untuk memberantas korupsi. Kejaksaan merupakan salah satu bagian dari Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Lembaga ini sering mengejutkan masyarakat Indonesia. Mafia di kejaksaan tidak hanya terjadi di lingkungan Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, tetapi juga di tingkat Kejaksaan Agung. Reputasi institusi kejaksaan dipermalukan dengan tertangkaptangannya Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap dari Artalita Suryani (Ayin). Jaksa Urip dihukum 20 tahun 19 penjara dan menyeret Kemas Yahya Rahman, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Untung Uji Santoso, Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara, M. Salim, Direktur Penyidikan ke meja hijau. Mereka dicopot dari jabatannya, termasuk bekas Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta 20 Timur Djoko Widodo yang dijatuhi hukuman teguran tertulis.

14 15 16 17

Harian Kompas. 21 Oktober, 2003. www.kompas.com Camdessus, Michel. 1999. Harian Kompas, 26 Mei 2006. Kompas 16 Oktober 2008. www.kompas.com

18

Tempo Interaktif, www.tempo.co.id. 4 Januari 2009.

19

Tempo Interaktif, www.tempo.co.id. 4 September 2008.

20

Tempo Interaktif, 22 Desember 2008. http://www.tempo.co.id

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

6


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Kemudian pada tahun 2009 rakyat Indonesia dikejutkan dengan rekaman pembicaraan yang melibatkan Anggodo Widjojo dan Abdul Hakim Ritonga, Wakil Jaksa Agung di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dimana isi pembicaraan untuk kriminalisasi Bibit dan Chamzah, Ketua KPK. Hal ini menuai kritikan dari berbagai lapisan masyarakat dan memaksa 21 Wakil Jaksa Agung mengundurkan diri. Kepolisian pun mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat Indonesia. Sehingga ada ungkapan bahwa “kalau seseorang kehilangan seekor ayam, lalu mengadu ke polisi, bukan ayam yang kembali akan tetapi menambah kerugian menjadi kehilangan kambing.� Korupsi yang berkembang di lembaga kepolisian dari hal yang sangat kecil seperti pengurusan surat izin mengemudi, pelanggaran lalu lintas, hingga illegal logging, perjudian, bisnis narkoba, obat bius, perampokan, penyelundupan sudah biasa dilakukan oleh oknum aparat kepolisian. Masyarakat yang mengalami tindak kejahatan cenderung untuk tidak melaporkan ke polisi karena adanya rasa takut, prosesnya berbelit belit, makan waktu dan bisa jadi diperas oleh oknum polisi. Masih dalam ingatan tentang keterlibatan beberapa Jenderal Markas Besar Kepolisian dalam kasus penyidikan Bank Negara Indonesia (BNI). Karena tersangka kasus 22 pembobolan BNI menyebutkan ada tiga jenderal terlibat, kasus ini menyeret dan berakhir dengan dihukumnya Komisaris Jenderal Suyitno Landung selama 18 bulan penjara, dan mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia 23 (Kabareskrim Mabes Polri). Sedangkan Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, Direktur Ekonomi 24 Khusus pada Bareskrim Mabes Polri divonis selama 15 bulan. Demikian pula Komisaris Polisi 25 Imam Santoso dan 16 penyidik di Mabes Polri dihukum. Dengan demikian, peradilan, kejaksaan, dan kepolisian bukanlah merupakan lembaga yang bisa diharapkan untuk memerangi korupsi karena banyak oknum di lembaga ini yang melakukan korupsi. Tidak adanya kesungguhan dan komitmen dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pemegang legislasi terhadap pemberantasan korupsi menyebabkan korupsi berkembang biak tanpa terkendali. Media massa maupun Indonesian Corruption Watch mengungkapkan bahwa mayoritas anggota DPR dari berbagai partai telah menerima suap dari lembaga pemerintah dan 26 sektor swasta untuk menentukan atau memasukkan anggaran. Lebih lanjut, komisi tertentu di DPR yang berhubungan dengan anggaran dan pembangunan merupakan tempat basah yang bisa terjadinya transaksi suap untuk meluluskan anggaran. Masih belum hilang dalam ingatan kita, tiga anggota DPR RI dikenai sanksi oleh Badan Kehormatan (BK) DPR karena terlibat pencaloan proyek dana bencana alam yang dianggarkan pemerintah tapi mereka hanya 27 dikenakan sanksi ditarik oleh fraksinya dari anggota Panitia Anggaran DPR. Kemudian pemborosan uang rakyat yang dilakukan 15 anggota DPR RI dengan cara melakukan kunjungan mubazir ke Mesir dengan kedok studi banding tentang perjudian mencengangkan rakyat karena di berbagai tempat di Indonesia sedang ditimpa bencana alam seperti gempa bumi, tsunami yang belum selesai penanggulangannya dan shock karena kenaikan BBM yang 28 lebih dari seratus persen pada tahun 2005. Belum termasuk banyaknya anggota DPR yang masuk penjara karena terlibat kasus korupsi.

21

Tempo Interaktif, 5 November 2009.http://www.tempo.co.id

22

Jawa Pos, 29 desember 2005. www.jawapos.com

23

Kompas, 10 Oktober 2006. www.kompas.com

24

DetikNews, 11 Februari 2007. www.detknews.com

25

Jawa Pos, 8 Januari 2006. www.jawapos.com

26

StraitTimes, 29 November 2001. www.staritimes.asial.com

27

Kompas, 14 Desember 2005. www.kompas.com

28

Antara, Desember 2005. www.antara.co.id

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

7


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Survei yang dilakukan Gallup International yang dilansir oleh Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Transparency Internasional Indonesia, dalam rangka memperingati hari anti korupsi menyebutkan bahwa partai politik merupakan lembaga terkorup sedangkan Dewan Perwakilan 29 Rakyat di Indonesia menjadi lembaga terkorup kedua bersama polisi, dan bea cukai. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak kalah bersaing dalam menandingi jejak DPR RI melakukan money politic dan korupsi. Bahkan beberapa anggota DPRD bersama-sama dengan pemerintah daerah menjual aset pemerintah daerah ke pihak swasta dengan harga di basah standar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), begitu juga korupsi yang dilakukan dalam 30 menggunakan dana operasional. Hal tersebut di atas, menyebabkan masyarakat Indonesia menaruh harapan yang sangat besar terhadap institusi baru yang mempunyai tugas khusus memberantas korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. 3. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Wewenangnya Sebagai salah satu motor penggerak pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat 31 independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3). Tujuan dibentuknya KPK tidak lain adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena institusi kepolisian, kejaksaan, peradilan, dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan larut dan terbuai dalam korupsi itu sendiri. KPK mempunyai kewenangan yang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai lembaga super (super body). Kewenangan yang luar biasa seperti yang diatur dalam Pasal 6 butir b,c,d dan e Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa lembaga ini dapat bertindak mulai dari: a. mensupervisi instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi; b. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; c. melakukan tindak pencegahan tindak pidana korupsi, dan d. memonitor penyelenggaraan pemerintahan negara. Ini berarti dalam menangani kasus korupsi, KPK diberi kewenangan memperpendek jalur birokrasi dan proses dalam penuntutan. KPK mempunyai dua peranan yaitu menjalankan tugas kepolisian dan kejaksaan yang selama ini tidak berdaya dalam memberantas korupsi. KPK juga berwenang untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan 32 korupsi dan terhadap instansi yang melaksanakan pelayanan publik. Selanjutnya, KPK 33 mengambil alih kasus korupsi yang ditangani kepolisian atau kejaksaan apabila : a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti b. proses penanganan tindak pidana korupsi tidak ada kemajuan/berlarut-larut/tertunda tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi e. adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan eksekutif, yudikatif atau legislatif, atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggung jawabkan. 29

Kompas, 23 Desember 2005. www.kompas.com

30

Sriwijaya Post, 3 januari 2005. www.indomedia.com

31

UU No30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

32 33

Pasal 8 ayat 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 9 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

8


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

KPK juga berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana 34 korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelengara negara b. mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat,dan /atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu milyar rupiah). Untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa 35 (extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan kewenangan yang lain, yaitu : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait e. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait f. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungan dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa g. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti luar negeri h. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Selain itu, berdasarkan Pasal 40 UU No 30/2002 tentang KPK, maka KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 untuk menghindari adanya main mata antara tersangka dan penyidik di KPK. Dengan kewenangan yang super tersebut, KPK diharapkan mampu mengeliminasi korupsi secara konseptual dan sistematis. 4. Paradigma Baru dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan hingga saat ini menggunakan paradigma lama yaitu dengan penekanan pada penindakan semata-mata. Mengandalkan kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memberantas korupsi di Indonesia adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dicapai. Hal ini dapat dilihat pada data tahun 2008, ketika KPK menerima 8.000 pengaduan. Dari jumlah tersebut yang diselidiki hanya sebanyak 70 kasus dan 43 perkara yang sedang dalam proses penuntutan, 7 perkara telah berkekuatan hukum tetap, dan 36 21 perkara telah dieksekusi. Dari jumlah pengaduan dibanding dengan yang diselidiki, diproses, berkekuatan tetap sangat kecil sekali persentasinya. Masih banyak lagi kasus korupsi yang terjadi dan belum dilaporkan. Di samping itu timbul dampak negatif yaitu egoisme dan 34

Pasal 11 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

35

Pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

36

Harian Koran Koran tempo, 31 Desember 2008, hal. A6.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

9


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

persaingan kelembagaan yang kontraproduktif dan saling menjatuhkan. Seperti kasus ”Cicak melawan Buaya,” kasus ”celekai mencelakai” antarpimpinan lembaga. Oleh karena itu pemberantasan korupsi di Indonesia harus menggunakan paradigma baru yaitu tidak hanya penekanan pada penindakan tetapi juga dibarengi dengan tindakan preventif. Pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, secara menyeluruh, intensif, berkesinambungan, terpadu dan melibatkan para pemangku kepentingan. Pemberantasan korupsi di Indonesia akan menghadapi berbagai halangan dan rintangan yang maha dahsyat tanpa melibatkan mereka. Para koruptor maupun calon koruptor akan melakukan segala daya upaya untuk mencegat dan mencegah usaha pemberantasan korupsi, dan melindungi jangan sampai aksi korupsinya terbongkar. Bila perlu meminjam kewenangan para penguasa. KPK dapat melaksanakan perannya secara optimal apabila didukung oleh keinginan dan tindakan yang nyata dari pemerintah, masyarakat, pengusaha, akademisi, pengacara, kepolisian, kejaksaan dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemberantasan korupsi. Dukungan pemerintah bukan hanya dengan retorika dan tebar pesona, tetapi harus ada keinginan (political will), tindakan dan harus sejalan antara perkataan dan perbuatan. Apa yang telah dan sedang dilakukan KPK adalah memotong puncak gunung es, sedangkan gunung esnya sendiri masih kekar dan mengakar ke dalam. Hal ini dapat dilihat dari fakta di masyarakat dan berbagai hasil survei yang dilakukan lembaga independen dalam dan luar negeri, maupun KPK sendiri. Paradigma baru pemberantasan korupsi di Indonesia dilaksanakan dengan cara melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Berdasarkan kebijakan korupsi KPK tahun 2008-2011 yang pertama dikatakan bahwa ” Korupsi adalah kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara komprehensif dan 37 melibatkan semua pihak (everyone business), konsisten, dan berkesinambungan.” Namun, dalam kenyataan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih tebang pilih. Banyak kasus korupsi yang sudah jelas statusnya dilihat dari segi pembuktian akan tetapi ditelan bumi. Berdasarkan survei Litbang Media Group tanggal 17 Juni 2008, mayoritas publik (58%) responden menilai KPK tebang pilih sedangkan hanya 29% yang menilai sebaliknya. KPK harus mengevaluasi kinerjanya sehingga dapat memperbaiki diri dan dengan sendirinya akan menghilangkan penilaian tebang pilih dari masyarakat. Kebijakan kedua bahwa ”KPK merupakan lembaga yang disegani dan dihormati, bukan 38 ditakuti.” Apakah tujuan untuk menjadikan KPK menjadi suatu institusi yang disegani dan dihormati sudah tercapai? Di mas media dan pembicaraan orang ramai bahwa KPK adalah institusi yang paling ditakuti. Hal ini terjadi juga dilingkungan penyelenggara negara dan pemerintahan. Banyak aparat yang menahan diri untuk menjadi bendaharawan proyek karena ketakutan terhadap KPK. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kallah pada tahun 2006 mengatakan bahwa pemberantasan korupsi menimbulan ketakutan yang mengakibatkan melambatnya roda pertumbuhan ekonomi. Nampaknya tujuan untuk menjadikan KPK menjadi institusi yang disegani dan dihormati belum tercapai. Untuk itu KPK harus melakukan tindakan yang nyata dalam rangka menjadikan institusi KPK disegani dan dihormati baik oleh institusi penegak hukum lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan maupun para pemangku kepentingan. Dalam hal ini diperlukan sistem, kebijakan, dan peraturan yang jelas dan terpadu sehingga dapat membuat orang nyaman melakukan aktivitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi 39

Kebijakan ketiga ”KPK mengedepankan tidakan pencegahan.” , Upaya pencehagan korupsi secara formal baru dimulai pada Maret tahun 2009 dangan adanya permintaan KPK Ke 37

Rencana Strategik Komisi Pemberantasan Korupsi 2008-2011.

38

Rencana Strategik Komisi Pemberantasan Korupsi 2008-2011.

39

Rencana Strategik Komisi Pemberantasan Korupsi 2008-2011.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

10


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Departemen Pendidikan Nasional dan dinas pendidikan diberbagai daerah untuk menyisipkan pendidikan anti korupsi dalam setiap mata pelajaran di pulau Jawa. Seharusnya dari awal berdirinya KPK tidak hanya mengedepankan penindakan tetapi juga pencegahan. Tindakan pencegahan dapat berupa reformasi birokrasi, karena untuk membasmi korupsi yang penting bukan hanya menangkap koruptor atau dengan refresi, tetapi, lebih dari itu, perbaikan sistem yang memungkinkan orang atau malah menjerumuskan orang atau memaksa orang untuk melakukan korupsi. Membangun sistem pemerintahan yang transparan, berintegritas dan akuntabel adalah suatu keharusan. Meningkatkan demokrasi dan menguatkan masyarakat sipil, meningkatan kebebasan pers yang bertanggung jawab sebagai pilar demokrasi yang keempat dan melibatkan pemangku kepentingan lainnya. Dalam hal ini masyarakat pada umumnya, pemerintah, pengusaha, kalangan akademisi, pengacara, anggota DPR dan DPD, aparat penegak hukum (hakim, jaksa, dan polisi), dan organisasi swadaya masyarakat. Karena korupsi melibatkan lebih dari satu orang pelaku korupsi dan sumber korupsi berasal dari para pemangku kepentingan tersebut. Mereformasi secara menyeluruh di bidang hukum seperti lembaga peradilan dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Menghilangkan celah-celah terjadinya mafia peradilan dan para koruptor serta harmonisasi antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya. Menanamkan, membentuk dan meningkatkan nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan baik formal yang sedang dirintis KPK, maupun non-formal. Selain itu yang lebih penting lagi adalah dengan memberikan contoh dan praktek yang nyata di lingkungan institusi pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bahkan pada tingkatan tadika secara berkesinambungan. Para pejabat tinggi negara harus memberikan contoh teladan kepada bawahan dan masyarakat nilai-nilai antikorupsi seperti yang dilakukan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew. Sehingga bawahan dan masyarakat menghormati, segan dan takut untuk melakukan korupsi. Meningkatkan kerjasama di antara instansi penegak hukum dan instansi lain seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, peradilan dan badan pemeriksa keuangan untuk menyatukan tindakan dan sikap dalam memberantas korupsi. Sehingga timbul gerakan yang masif, dinamis dan harmonis dan menghindari dari egoisme dan revalitas kelembagaan. Melakukan proaktif investigasi (deteksi) untuk mengenali dan memprediksi kerawanan korupsi dan potensi masalah penyebab korupsi secara periodik untuk disampaikan kepada masyarakat. Melakukan perbaikan sistem rekruitmen pegawai, sistem layanan masyarakat, anggaran, administrasi, karir, dan gaji di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meningkatkan integritas dan efektifitas fungsi pengawasan pada masing-masing instansi melalui rekstrukturisasi kedudukan tugas dan fungsi unit/lembaga. Melakukan kajian sistem administrasi negara dan pengawasan terhadap lembaga negara/pemerintahan secara selektif untuk dibenahi sehingga dapat meminimalisasi ruang untuk korupsi. Peningkatan integritas pegawai negeri melalui penciptaan bersama sistem pengukuran kinerja, penegakan kode etik pegawai atau peraturan kepegawaian. Memasyarakatkan pemberantasan korupsi secara komprehensif dan melibatkan semua pihak, konsisten dan berkesinambungan. Harus ditanamkan dalam mindset masyarakat Indonesia bahwa korupsi itu adalah kejahatan yang harus diberantas dan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup setiap orang. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya korupsi dan mendorong masyarakat untuk melaporkan tindak pidana korupsi ke KPK, jika mereka terlibat dan mengetahui langsung Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

11


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

adanya tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 16 UU No 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi: �Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.� Memasyarakatkan penggunaan e-government untuk menghindari kontak fisik antara pengguna jasa pemerintah dan pelayan masyarakat di pemerintahan begitu juga dalam hal proses pengajuan tender di pemerintahan. Sehingga menutup lobang untuk terjadinya korupsi. Meningkatkan taraf hidup dan pendapatan masyarakat dengan cara mendorong dunia usaha dan masyarakat membangun dan membuka lapangan kerja baru. Hal ini sangat mempengaruhi pemberantasan korupsi. Di masyarakat yang berpendapatan tinggi dimana rendahnya angka pengangguran menunjukkan korelasi berkurangnya tingkat korupsi dikalangan pemangku kepentingan seperti yang terjadi di Singapura, Jepang, Hongkong dan Brunei Darussalam. Menggalakkan perlindungan saksi dan korban korupsi sehingga orang berani mengungkapkan terjadinya korupsi. Perlu melaksanakan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengefektifkan Lembaga Perlindungan Saksi. Mendorong lembaga dan masyarakat untuk mengantisipasi kerawanan korupsi (kegiatan pencegahan) dan potensi masalah penyebab korupsi (dengan menangani hulu permasalahan) di lingkungan masing-masing. Kebijakan keempat KPK adalah �upaya represif untuk menimbulkan efek jera dan 40 mengembalikan kerugian negara secara optimal.� Apa yang dilakukan oleh KPK dengan upaya refresif atau penindakan nampak sudah menimbulkan hasil. Karena KPK telah menjadi momok yang menakutkan bagi koruptor di Indonesia. Namun, upaya represif tanpa pencegahan tidak akan dapat memberantas korupsi sampai keakarnya. Begitu juga dengan prestasi yang dicapai oleh KPK dalam pengembalian uang negara dari 1 Januari hingga 15 41 Desember 2009 sebesar Rp 142.290.575.282,00 , suatu angka yang cukup membanggakan. KPK harus bekerja lebih keras lagi karena masih banyak uang negara yang belum dikembalikan. Selanjutnya, mengevaluasi proses penanganan korupsi yang ditangani POLRI, Kejaksaan Agung dan KPK. Meningkatkan teknik penyidikan agar penyidik lebih ahli dan maju dari pelaku korupsi. Menggalakkan koordinasi antar institusi penegak hukum di dalam negeri dan menjalin kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi. Terakhir, harus banyak belajar dari negara-negara yang telah sukses memerangi korupsi seperti Singapura, Jepang dan Hongkong. 3. Kesimpulan Dari uraian di atas nampak jelas bahwa keberadaan KPK sebagai jawaban dari Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan peradilan telah gagal total memberantas korupsi. Korupsi sudah merupakan penyakit masyarakat yang kronis hampir di setiap institusi pemerintah sehingga disebut extra ordinary crime. Keberadaan lembaga superbody seperti KPK sangat diperlukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi dengan menggunakan paradigma lama terbukti tidak dapat membasmi korupsi di Indonesia secara tuntas. Terkesan tebang pilih dan menimbulkan banyak ekses negatifyang banyak memakan tenaga dan waktu para pejabat tinggi dan masyarakat pada umumnya. Untuk itu harus menggunakan paradigma baru yang menekankan tidak hanya 40

Rencana Strategik Komisi Pemberantasan Korupsi 2008-2011

41

Siaran Pers KPK Akhir Tahun 2009.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

12


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

penindakan/refresif tetapi juga pencegahan/preventif secara dini dengan melibatkan pemangku kepentingan. Pemerintah dan KPK harus proaktif dalam mendorong segenap institusi dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran anti korupsi. Sangat diperlukan melibatkan segenap masyarakat untuk membasmi korupsi di Indonesia yang sudah sangat parah. Selain itu terus mendorong perbaikan sistem di lembaga kejakasaan, kepolisian, peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat dan institusi pemerintah yang melayani masyarakat. Pemerintah dan KPK harus meberikan teladan tentang nilai-nilai anti korupsi dan menggugah masyarakat untuk mengantisipasi kerawanan korupsi dan potensi timbulnya penyebab korupsi. Akhirnya, harus banyak belajar dari negara-negara lain yang telah sukses memberantas korupsi dan juga mencari alternatif untuk menggunakan e-government serta meningkatkan taraf hidup dan pendapatan masyarakat. 4. Daftar Pustaka [1] Antara. www. antara.com. [2] Camdessus, Michel. 1999. Good Governance: The IFM’s Role. www.imf.org. [2] Detiknews. www.detiknews.com [4] Hamilton-Hart, Natasha. 2001. Anti Corruption Strategies in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies 37(1):65:82. [5] Kompas. www.kompas.com [6] Rencana Strategik Komisi Pemberantasan Korupsi 2008-2011 [7] Strait Times, 26 Agustus 2000. www.straitimes.asia.com.sg [8] Suara Pembaharuan, 7 Februari 2006. www.suarapembaharuan.com [9] Syed, Hussein, Alatas.1968. The Sociology of Corruption: The Nature, Function, Causes and Prevention of Corruption. Singapore: Donald Moore Press. [10]Tempo Interactive, www.tempo.co.id [11]Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi [12]Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 entang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

13


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

TOPIK UTAMA

Quo Vadis Pemberantasan Mafia Hukum? Pan Mohamad Faiz Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI) Email: pan.mohamad.faiz@gmail.com 1. Pendahuluan “Geger!” Demikian ungkapan yang mungkin tepat untuk melukiskan suasana ingar-bingar dunia hukum di Indonesia pasca peristiwa pemutaran rekaman penyadapan atas ‘perselingkuhan hukum’ dalam proses pembuktian di persidangan Mahkamah Konstitusi menjelang akhir penghujung tahun lalu. Betapa tidak, pemutaran rekaman yang disiarkan secara langsung ke berbagai stasiun televisi dan radio akhirnya membuktikan secara nyata bahwa mafia hukum itu ternyata benar adanya baik berupa wujud maupun jaringannya. Syahdan, publik terkejut dan akhirnya menyeruak hingga turun ke jalan. Fenomena “Cicak versus Buaya” menjadi mahakarya sinetron teranyar di seantero negeri. Tak tanggungtanggung, untuk meredam kontroversi hukum yang berlarut-larut ini, Presiden terpaksa mengeluarkan kebijakan untuk membentuk “Tim 8” menyusul dibukanya PO BOX 9949 dengan Kode “Ganyang Mafia”, hingga pembentukan “Tim Satgas Mafia Hukum”. Prestasi awal memang cukup menggembirakan. Tim Satgas kembali mempertegas betapa mafia hukum telah bersarang hingga ke sudut-sudut sel tahanan ketika mereka menemukan para terpidana kasus korupsi besar ternyata memiliki ruang tahanan yang mewah bak hotel bintang lima. Pertanyaannya kini, apa yang sejatinya harus dilakukan untuk memberantas mafia hukum tatkala hampir sebagian besar fakta dan data yang ada telah terpetakan? Sementara itu, penulis kembali teringat ucapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., ketika 1 membuka acara Debat Publik “Akar-Akar Mafia Peradilan” yang belum lama ini 2 diselenggarakan di Jakarta dengan mengucapkan, “Sudah habis teori di gudang!”. Artinya, hendak ditegaskan lagi olehnya bahwa untuk memecahkan masalah mafia hukum, sudah banyak pihak yang memberikan beragam teori dan menghasilkan studi, cetak biru, kesimpulan, dan rekomendasi, termasuk yang secara resmi dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang bersinggungan langsung dengan permasalahan mafia hukum ini. Namun faktanya, tak banyak perubahan signifikan yang kita rasakan, kalaupun ada sifatnya bagai terapi kejut (shock therapy) saja. Kondisi ini akhirnya menegasikan, benarkah bangsa Indonesia hanya pandai membuat rencana saja, namun tidak pandai menjalankannya? Ataukah memang problematika mengenai mafia hukum ini sangat teramat rumit yang tidak saja telah mengakar, namun juga telah mendarah daging dalam tubuh para oknum pelaku dan institusi hukum? Atas dasar pernyataan dan pertanyaan itulah, tulisan singkat ini justru tidak bermaksud sekedar untuk menambah deret khazanah teori, pun juga tidak berkeinginan untuk menggarami lautan. Akan tetapi, lebih pada wujud representasi kegelisahan intelektual yang mungkin juga sedang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Syukur apabila kemudian dalam goresan ini ternyata terdapat tawaran solusi yang lebih baik dari apa yang telah ada sebelumnya.

1

Mohammad Fajrul Falaakh, ed, Akar-Akar “Mafia Peradilan” di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum),

Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2009. 2

Moh. Mahfud MD, “Pemberantasan Mafia Peradilan: Mendiagnosa Akar Masalah, Menemukan Solusi Terarah”,

Keynote Speech disampaikan dalam Dialog Publik KHN pada 16 Februari 2010 di Jakarta. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

14


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

2. Lahan dan Praktik Mafia Hukum Masyarakat tentu bertanya-tanya bagaimana, kapan, dan darimana sebenarnya awal terjadinya praktik mafia hukum di Indonesia. Hasil telusur penulis, tak ada yang lebih gamblang 3 memberikan jawabannya selain dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebastian Pompe. Menurutnya, wajah peradilan Indonesia mulai berubah suram sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya. Setelah hampir empat dekade dari peristiwa di atas, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam dunia hukum semakin mempertajam giginya. Sebutlah misalnya, proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh oknum-oknum pengacara, institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Ironisnya lagi, para Saksi, Ahli, atau Akademisi yang diminta untuk memberikan keterangan di persidangan dapat ”dipesan” sesuai dengan keinginan terdakwa lewat prakarsa para pengacaranya. Tak terbayangkan seandainya saja dunia akademis lambat laun kian terseret ke lembah praktik hitam mafia hukum, maka Indonesia tinggal menunggu kehancurannya saja. Praktik-praktik tersebutlah yang kemudian dianggap ikut memberi andil atas bertenggernya Indonesia pada peringkat pertama negara terkorup dari 14 negara Asia menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009. Lebih spesifik lagi, International Transparency dalam Global Corruption Barometer pada 2008 menempatkan lembaga peradilan sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia. Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, mencatat 4 (empat) faktor utama yang menyebabkan sistem peradilan Indonesia menjadi terkorup seperti sekarang ini. Pertama, Moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik; Kedua, Budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari masyarakat; Ketiga, Tingginya apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut; Keempat, Kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum sepenuhnya transparan dan profesional; dan Kelima, Rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas 4 praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur. 3. Tersandera Lingkaran Setan Harus diakui bahwa pasca reformasi, pemberantasan terhadap praktik kotor mafia hukum yang menjadi sumber terjadinya korupsi pengadilan (judicial corruption) mencatat beberapa kemajuan. Berbagai peraturan perundang-undangan dilahirkan bersamaan dengan terbentuknya lembaga-lembaga baru, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian, sebagai bentuk kontrol terhadap sistem yang dianggap telah korup.

3

Sebastian Pompe, “The Indonesian Supreme Court: Fifty Year of Judicial Development”, Disertasi Ph.D, Leiden University, 1996. 4 M. Busyro Muqoddas, “Korupsi di Lembaga Peradilan Kita”, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, eds, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hal. 625-640. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

15


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Namun demikian, sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, tak akan optimal perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum 5 (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dalam konteks pemberantasan mafia hukum, apa yang telah dilakukan selama ini barulah menyentuh aspek struktur hukum, sementara substansi hukum dinilai kurang berhasil, apalagi terhadap budaya hukum. Budaya organisasi di banyak lembaga penegak hukum masih menunjukan birokrasi yang terkesan lambat dan cenderung koruptif, sehingga menyebabkan penegakan hukum berjalan tidak optimal. Bagaikan lingkaran setan (the devil circle), antara oknum satu dengan lainnya saling menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling mengancam agar sama-sama tidak membuka kedok hitam praktik mafia hukum yang mereka jalankan selama ini. Apabila sirkulasi kotor ini terusmenerus terjadi dan dipertahankan, maka akan selamanya pula rantai mafia hukum akan sulit diputus dan dibersihkan. Belum lagi terhadap pemegang kebijakan atau pimpinan lembaga yang memang sejak awal telah ”tersandera” dengan tindak perilaku kelamnya, sudah dipastikan tidak akan berani mengambil kebijakan tegas untuk memberikan sanksi terhadap rekan kerja atau bawahannya. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu yang kotor juga”. Sementara itu, mereka yang masih bertahan dengan idealismenya, seringkali tersingkir akibat politik internal kelompok penguasa tertentu. Bahkan bagi kelompok yang selama ini merasa puas atas kesuksesannya melakukan praktik mafia hukum, mereka tidak akan segan-segan untuk ”memutilasi” siapa saja yang berusaha mengancam kenyamanannya, jika perlu menggiringnya hingga ke kursi pesakitan. 4. Menyelamatkan Generasi Sekelumit ilustrasi di atas setidaknya menggambarkan betapa telah akutnya permasalahan mafia hukum, sehingga sudah selayaknya diambil langkah luar biasa untuk menuntaskan masalah yang berkepanjangan ini. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk menyelesaikan masalah tersebut, beragam forum pembahasan telah dilakukan dan beribu jenis solusi sudah seringkali ditawarkan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita harus memberikan apresiasi terhadap segala pemetaan dan solusi yang telah ada itu, sebab tidak dapat dinafikan bahwa terdapat beberapa hasil dalam upaya pemberantasan mafia hukum, sehingga tidak perlu juga untuk menghentikan implementasi upaya eksekusi dari solusi yang disajikan. Namun demikian, beberapa pihak menilai bahwa ternyata laju pengembangbiakan mafia hukum bergerak lebih cepat dari upaya pemberantasannya itu sendiri bahkan mampu menarik generasi baru hingga terjebak ke dalam lingkaran setan. Akibatnya, selisih antara upaya pemberantasan dan pengembangbiakan mafia hukum menjadi negatif nilainya. Berangkat dari fenomena tersebut, maka di tengah belantara solusi yang tengah didedahkan, terdapat satu langkah lain yang masih menjanjikan dan belum pernah dilakukan, namun juga membawa konsekuensi serius, yaitu amputasi satu generasi! Amputasi satu generasi di sini dilakukan dengan cara ”memotong” para aparat hukum yang terindikasi dengan keterlibatan mafia hukum, baik dengan tindakan pemberhentian dengan hormat, tidak hormat apabila terbukti bersalah, atau pengunduran diri secara sukarela dengan konsekuensi diberikannya pemutihan. Pro-kontra dan perlawan terhadap gagasan ini sudah tentu akan terjadi, terlebih lagi dalam menghadapi keguncangan kepemimpinan di masingmasing instansi penegak hukum. Namun di sinilah justru kesempatan bangsa Indonesia untuk menyelamatkan generasi yang belum tercemar perspektif moral dan perilakunya, sehingga mereka dapat diproyeksikan untuk menduduki pucuk-pucuk kepemimpinan dengan harapan 5

Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, New York: W. W. Norton & Company, 1984.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

16


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

tidak akan ada lagi yang merasa tersandera atau terancam untuk mengambil kebijakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam praktik kotor mafia peradilan. Langkah ini memang terbilang cukup drastis karena melompat jauh ke depan di antara varian solusi yang ditawarkan. Filosofis keberangkatan solusi ini berawal dari pidato Cicero di tengahtengah Tribunus ketika mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuang kepala 6 ikan tersebut terlebih dahulu. Pertanyaannya adalah apakah cara ini pernah berhasil dilakukan oleh negara lain? Jawabannya adalah pernah. Salah satu negara bekas bagian Uni Soviet, yakni Georgia, merombak sistem peradilannya dengan memberhentikan semua hakim dan kemudian melakukan rekrutmen baru dengan proses yang ketat, selektif, transparan, dan berbobot. Untuk menghindari adanya intervensi terhadap proses tersebut, rekrutmen sengaja dilakukan bukan di Georgia tetapi di Amerika Serikat. Keputusan fenomenal ini dilakukan karena adanya keinginan yang sama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuka lembaran baru (clean slate) dari 7 gelap gulitanya dunia hukum Georgia. Bilapun langkah ini dianggap cukup ekstrem untuk dijalankan di Indonesia, maka jalan lain yang lebih soft harus dimulai melalui ekor, yaitu dengan melindungi satu generasi di bawah melalui pengawasan dan pembinan sangat khusus untuk membentuk generasi pembaharu dunia hukum di Indonesia. Hanya saja diperlukan sebuah komitmen tinggi dan bersama serta waktu yang relatif panjang dengan dimulai dari target group di tingkat generasi sekolah dasar, perguruan tinggi hukum, hingga para pekerja hukum pemula di berbagai institusi dan lembaga profesi hukum. 5. Peran Civil Society dan Mass Media Perjalanan sejarah Indonesia selalu terekam dan tidak pernah lepas dari sejarah sebuah pergerakan. Setiap peralihan era mulai dari masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga memasuki masa reformasi selau bermula dari kekuatan pergerakan yang dimotori oleh civil society. Berangkat dari tradisi liberal, de Tocqueville merumuskan civil society sebagai semangat untuk membentuk kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara, sehingga menurut Gramsci masyarakat sipil (civil society) menjadi satu dari tiga komponen penting di samping 8 negara (state) dan pasar (market). Dengan mengombinasikan strategi gerakan sosial lama dan baru (old and new social movement), kekuatan civil society juga dapat meluruskan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kehendak rakyat, termasuk dalam konteks pemberantasan mafia hukum. Begitu pula halnya dengan kekuatan mass media sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy) yang digambarkan oleh Robert K. Merton memiliki kekuatan utama sebagai alat kontrol sosial yang ekstensif dan efektif. Sementara itu, Elizabeth menyatakan bahwa mass media setidak-tidaknya memiliki fungsi dan peran dalam pengawasan (surveillance), interpretasi 9 (interpretation), dan transmisi nilai (value transmission). Ilustrasi sederhana tergambarkan betapa peran civil society dan mass media membawa pengaruh dan kekuatan yang maha dahsyat dalam mengungkap konspirasi mafia hukum dan kasus korupsi, seperti misalnya pada kasus “Bibit-Chandra” dan “Bupati Garut”. Tidak saja 6

Robert Harris, Imperium, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej, “Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia” dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, eds, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hal. 553-603. 8 John Ehrenberg, Civil Society, New York: NYU Press Reference, 2009. 9 Elizabeth M. Perse, Media Effects and Society, Routledge, 2001. 7

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

17


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

elemen masyarakat sipil dan NGO begerak sendiri di bawah payung pemberitaan media massa, namun juga secara individual masyarakat mampu menambah amunisi perlawanan melalui media elektronik dan jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan kegiatan citizen journalism lainnya melalui Blog. Tren global seperti di Chile, Maladewa, Maroko, Iran, Filipina, dan Rusia, menunjukan bahwa kekuatan web2.0 atau media sosial (social media) mampu memberikan dukungan terhadap tuntutan transparansi dan akuntabilitas dengan fungsi: (1) Collaborative and crowd-based; (2) De-centralised action and new forms of organisation; dan (3) Empowering. Aktivis sosial, politisi, NGO, aparat pemerintah, dan pelaku bisnis memperlihatkan angka peningkatan dalam menggunakan kekuatan komunikasi dan saling berinteraksi dengan dukungan internet dan 10 media elektronik. Oleh karena itu, Thomas L. Friedman menyatakan bahwa kekuatan ICT (Information and Communication Technolgies), khususnya internet, telah menyebabkan dunia 11 bagaikan lempeng yang datar. Dengan demikian, pemanfaatan dan pengawasan serta penggalian fakta melalui media sosial menjadi penting untuk dikembangkan dalam upaya mendukung pemberantasan mafia hukum, dengan catatan Pemerintah tidak membuat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang membatasi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan berpendapat bagi civil society atau mass media sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945. 6. Penutup Memberantas mafia hukum bukanlah perkara yang mudah karena sifat, jaringan, dan praktiknya yang terselubung. Untuk itu, diperlukan usaha ekstra keras untuk menyelesaikan persoalan mendasar ini yang diyakini telah menjadi faktor penyebab utama atas bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Tak ayal berkembang perumpaman bahwa hukum tajam terhadap masyarakat lemah, namun tumpul terhadap mereka yang berkuasa. Bagaikan problema kemiskinan dan praktik korupsi, mafia hukum memang tak dapat ditumpas hingga titik nol. Namun demikian, optimisme, upaya, dan usaha pemberantasannya tidak pernah boleh berhenti sedikit pun. Satu hal yang perlu kita yakini bahwa setiap langkah penyelesaian apapun itu bentuk dan caranya, sudah pasti akan memiliki konsekuensi, keunggulan, dan kelemahannya masing-masing. Oleh sebab itu, prasyarat utama yang diperlukan untuk menghentikan berlarut-larutnya penyakit berkepanjangan ini yaitu komitmen tinggi dan ketegasan mutlak dari pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini untuk mengawal langsung perang melawan mafia hukum. Apabila tidak, pemberantasan mafia hukum tentu akan terus berputar melewati velodrome yang sama tanpa ujung. Jika demikian jadinya, quo vadis pemberantasan mafia hukum? *** * Penulis adalah Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

10

Transparency International, “Anti-Corruption 2.0: What’s your say on corruption?�, http://www.transparency.org/ news_room/in_focus/2009/your_say_on_corruption, diakses terakhir pada 12 Februari 2010. 11 Thomas L. Friedman, The World is Flat: a Brief History of the Twenty-First Century, Farrar, Straus and Giroux, 2006. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

18


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

IPTEK & INOVASI

Mikroenkapsulasi dalam Industri Pangan Vita Paramita Department of Biotechnology, Graduate School of Engineering, Tottori Uninersity, Japan Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia E-mail: vita_paramita@yahoo.co.id 1. Pendahuluan Mikroenkapsulasi adalah proses fisik dimana bahan aktif (bahan inti), seperti partikel

padatan, tetesan air ataupun gas, dikemas dalam bahan sekunder (dinding), berupa lapisan film tipis. Proses ini digunakan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan untuk melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan.5,27,29,31,38 Ide dasar mikroenkapsulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif membran sel memberikan perlindungan terhadap inti sel dari kondisi lingkungan yang berubahubah dan berperan dalam pengaturan metabolisme sel. Mikroenkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama untuk melindungi bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Penerapan mikroenkapsulasi secara komersial bermula dari pembuatan salinan kertas tanpa kertas karbon oleh National Cash Register. Salinan tercetak ketika tekanan pena memecah mikrokapsul yang mengandung prekursor pewarna yang kemudian diikuti reaksi kimia antara prekursor pewarna di bagian atas halaman dan sumber asam di halaman bagian bawah sehingga terbentuk gambar atau tulisan. Gelatin digunakan sebagai bahan mikrokapsul dan bahan aktif yang 11,36 digunakan adalah prekursor pewarna. Penelitian dan publikasi mengenai teknologi mikroenkapsulasi telah banyak dilakukan dan diterbitkan di berbagai belahan dunia dalam kurun waktu 60 tahun terakhir ini. 6,8,10,31Namun hingga saat ini, masih banyak bidang untuk dikembangkan dengan berbagai modifikasi pada metoda, pemilihan bahan sebagai mikrokapsul maupun bahan yang dimikroenkapsulasi. Penulisan ini ditujukan untuk memberikan gambaran umum mengenai teknologi mikroenkapsulasi yang diterapkan dalam industri pangan, manfaat yang diperoleh, kelebihan maupun kekurangan dalam penerapan, dan perkembangannya dewasa ini. Laporan pertama mengenai aplikasi enkapsulasi dalam industri pangan diterbitkan pada tahun 5 1956 oleh Scultz dan kawan-kawan. Mereka mengkapsulkan minyak sitrus ke dalam sukrosa dan dekstrosa. Produk yang dihasilkan memberikan stabilitas yang baik dan selama 26 penyimpanan citarasa dapat bertahan hingga enam bulan. Proses enkapsulasi juga 30,21,28 diterapkan oleh peneliti-peneliti yang lain. Proses ini berkembang menjadi 32,2,3 25,22,20 mikroenkapsulasi dan berkembang lebih lanjut menjadi nanoenkapsulasi . Core material (oil droplets)

Wall material Core material (oil)

Single core

Void

Multiple core

Gambar 1. Dua jenis struktur utama mikrokapsul

12

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

19


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

2. Ciri-ciri Mikrokapsul Pengelompokan kapsul berdasarkan pada ukuran partikel > 5000 Âľm (makro), 1,0-5000 Âľm 16 (mikro) dan < 1,0 Âľm (nano). Mikrokapsul dapat berbentuk bola, persegi panjang ataupun tak beraturan. Dua jenis struktur utama dari mikrokapsul adalah satu inti (single core) dan banyak inti (multiple core) pada bagian dindingnya (Gambar 1). Mikrokapsul dengan satu inti biasanya diproduksi dengan cara coacervation, droplet co-extrusion dan pemasukan molekul. Model ini biasanya memiliki muatan inti yang tinggi, misalnya 90% dari total berat mikrokapsul. Mikrokapsul dengan struktur banyak inti di bagian dinding umumnya diproduksi menggunakan spray drying. Bahan inti tersebar secara merata di bagian dinding dan bagian tengah mikrokapsul biasanya berupa rongga kosong yang dihasilkan dari pemuaian selama tahaptahap pengeringan akhir. Biasanya, struktur ini memiliki persentasi pelapis hingga 70% dari berat mikrokapsul. Bahan di dalam mikrokapsul disebut sebagai inti, fasa internal, atau pengisi. Bahan inti dapat 10 berupa emulsi, bahan kristalin, suspensi padatan, atapun gas. Isi dalam mikrokapsul dilepaskan dengan berbagai macam mekanisme. Pelapis dapat rusak secara mekanik, misalnya akibat dikunyah, meleleh ketika terekspos dengan panas, terlarut dalam solvent (pelarut). Perubahan pH dapat mengubah kemampuan proses penembusan bahan aktif sehingga mengendalikan pelepasan. Pelapis dari lemak (lipid) dapat terdegradasi akibat enzim lipase dan bahan aktif berdifusi ke lingkungan. Sifat fisik dan kimia dari bahan aktif (seperti kelarutan, difusivitas, tekanan uap, dan koefisien partisi) dan pelapis (seperti ketebalan, porositas dan kemampuan bereaksi) juga mempengaruhi pelepasan bahan aktif. Bahan pelapis yang disebut juga sebagai kulit, dinding, atau membran, dapat berasal dari filmforming (pembuat lapisan tipis) polimer natural atau sintesis. Memilih pelapis harus berdasarkan pada sifat kimia maupun fisik bahan aktif, juga proses yang digunakan untuk membuat mikrokapsul. Bahan pelapis harus tidak larut dan tidak bereaksi terhadap zat aktif. Umumnya, polimer yang tidak larut dalam air digunakan untuk membuat mikrokapsul dengan bahan aktif seperti air, dan polimer yang dapat larut air digunakan untuk mikrokapsul pada bahan aktif organik. Untuk meningkatkan kualitas lapisan, lapisan dibuat beberapa lapis, memiliki sifat yang seperti plastik, cross-linking, juga ada perlakuan pada permukaannya. Ketebalan lapisan 11,12 dimanipulasi untuk meningkatkan permeabilitas dan stabilitas dari mikrokapsul. Gambar 2 memberikan rangkuman secara umum mengenai proses mikroenkapsulasi. 3. Jenis-jenis Mikrokapsul Tujuan utama umum mikroenkapsulasi adalah untuk membuat bahan cairan bersifat seperti padatan. Hal ini menyebabkan beberapa sifat bahan inti menjadi berubah, misalnya sifat aliran bahan dan penangan bahan menjadi lebih mudah dalam bentuk padatan. Bahan yang memiliki higroskopis dapat dilindungi dari kelembaban lingkungan. Selain melindungi zat aktif, proses ini juga bermanfaat untuk menutupi rasa, aroma ataupun yang tidak diinginkan dari bahan aktif. Kestabilan dari bahan yang mudah menguap, sensitif terhadap cahaya, oksidasi atau panas 9,10,12,23 dapat dipertahankan. Hal penting lain dalam proses mikroenkapsulasi bahan makanan 29,38 adalah juga untuk mengatur pelepasan bahan aktif pada waktu yang dikehendaki. Bahanbahan yang berhubungan dengan makanan yang dienkapsulasi meliputi asam, pewarna, enzim, mikroorganime, perasa, lemak dan minyak, vitamin dan mineral, garam, pemanis dan gas. Pemanfaatan enkapsulasi dalam makanan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

20


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Bahan inti

Bahan dinding

Contoh

Contoh:

Penyedap rasa: d-limonene, minyak kayu manis, minyak serai (citral)

Karbohidrat: pati yang dihidrolisa, pati yang dimodifikasi, getah, siklodekstrin

Lipid: minyak ikan, mentega, lemak susu

Protein: protein susu, protein kedelai Bahan lain: gelatin, kitosan, selulosa yang dimodifikasi

Bahan bioaktif: enzim, bakteri asam laktat Gas: karbon dioksida

Sifat-sifat bahan dinding:

Asam: asam sitrat, asam askorbat

Tidak bereaksi dengan bahan inti;

Sifat-sifat bahan inti: Tekanan uap yang tinggi, dapat mempersulit proses penyimpanan; Berat molekul bahan, berpengaruh terhadap difusivitas bahan selama proses; Kelarutan bahan terhadap air, makin mudah larut akan mudah menguap

Mampu memberikan perlindungan maksimal selama proses dan penyimpanan dari kondisi lingkunan; Memiliki alasan ekonomi (harga) yang baik; Melepaskan bahan inti dengan sempurna pada kondisi yang diinginkan; Memiliki kelarutan dan rheological yang baik

Mikroenkapsulasi

Tujuan: Untuk mengurangi pengaruh dari lingkungan luar (mis. cahaya, oksigen dan air); Untuk memudahkan penanganan; Untuk mengatur pelepasan pada waktu yang dikehendaki; Untuk menutupi rasa atau bau yang kurang baik; Metoda fisik: spray drying, spray cooling/chilling, freeze drying, spinning disk, fluidized bed, extrusion, co-crystallization; Metoda kimia: interfacial polymerization; Metoda fisik-kimia: coacervation/fase pemisahan, enkapsulasi molekular, liposome entrapment;

Mikrokapsul (Produk enkapsulasi)

Gambar 2. Alur proses mikroenkapsulasi

12

3.1. Penyedap rasa/perasa Beberapa contoh pemanfaatan enkapsulasi perasa adalah minyak sitrus, minyak peppermint, minyak bawang putih maupun bawang bombay, minyak bumbu-bumbu. Ketertarikan pemanfaatan enkapsulasi dalam bumbu-bumbu terutama dalam proses pembuatan saus. Mikroenkapsulasi perasa pada umumnya menggunakan spray drying meskipun spray cooling/chilling, extrusion, inculsion complexation juga sering digunakan. Spray drying paling Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

21


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

sering digunakan untuk enkapsulasi karena selain murah dalam ongkos produksi juga menghasilkan butiran (powder) yang lebih seragam ukurannya. Bahan-bahan yang umum digunakan untuk menyimpan perasa adalah bahan yang mengandung gula, seperti pati dan gum. Di dalam minyak sitrus terdapat perasa yang meliputi lemon, orange, grape, lime, dan 37 grapefruit. Enkapsulasi minyak sitrus yang disimpan dalam maltodextrin menggunakan proses spray drying memiliki kestabilan yang lebih baik dari pada minyak yang tidak dillindungi. Minyak sitrus sangat mudah mengalami proses oksidasi karena adanya ikatan tidak jenuh pada struktur mono dan sesquiterpenoid-nya. Proses oksidasi menghasilkan rasa yang tidak menyenangkan seperti turpentine. Meningkatkan nilai dextrose equivalent pada maltodextrin memberikan 24,29 perlindungan yang lebih baik pada minyak karena adanya sifat pelindung dari oksigen. Enkapsulasi jinten oleoresin telah dikembangkan di India. Dengan memiliki sifat yang sulit larut dalam makanan berair mengakibatkan bahan ini sulit tercampur merata dalam makanan. Selain itu, mereka sensitif terhadap cahaya, panas dan oksigen, serta memilki waktu simpan yang pendek jika tidak disimpan dengan benar. Penyedap jinten ini mengandung bermacam-macam komponen kimia, termasuk terpen (misalnya pinene, p-cymene,-terpinen), aldehida (misalnya cuminaldehyde, 1,3-p-Mentha dan 3-p-menthen-7-al) dan terpen alkohol (cuminyl alkohol). Penyedap rasa ini memberikan rasa hangat, berbumbu seperti kare, yang didominasi oleh 14 cuminaldehyde. Proses enkapsulasi ini efektif untuk sterilisasi bumbu maupun herbal dengan kehilangan rasa yang minimal. Sehingga, bahan-bahan ini dapat digunakan dengan aman dalam pendingin ataupun jika membutuhakan proses dalam suhu tinggi. 3.2. Enzim Mikroenkapsulasi laktase dikembangkan untuk menghindari adanya hidrolisa laktose sebelum konsumsi. Enzim laktase, yang dihasilkan dalam usus kecil, diperlukan untuk menghidrolisa laktose menjadi glukosa dan galaktosa. Ketiadaan laktase dapat menyebabkan 4 ketidaknyamanan pada proses pencernaan saat mengkonsumsi susu, seperti kram atau diare. Untuk mengatasi masalah ini, enzim laktase ditambahkan pada susu sebelum dikonsumsi. Namun, hal ini mengakibatkan terjadinya proses hidrolasi laktose sebelum dikonsumsi dan mengubah rasa susu empat kali lebih manis dibanding sebelum ditambahkan. Dengan mikroenkapsulasi, laktase yang ditambahkan akan bereaksi dengan laktose setelah dikonsumsi karena rusaknya mikrokapsul akibat proses pencernaan. Bahan pelapis yang memberikan 17,18 efisiensi enkapsulasi hingga 94.9% adalah Medium Chain Triglyceride (MCT). Penambahan enzim secara langsung ke dalam susu pada proses pembuatan keju memberikan hasil tidak seperti yang diinginkan karena hilangnya enzim dalam whey, pendistribusian enzim yang kurang baik sehingga mengurangi kualitas keju. Penambahan enzim yang telah dienkapsulasi menghilangkan masalah akibat penambahan enzim langsung dan mencegah proteolisis yang segera dan ekstensif serta kontaminasi whey. Secara fisik, immobilisasi enzim dalam mikrokapsul terpisah dari substrat dalam campuran dadih susu dan keju selama proses pembuatan keju. Enzim hanya dilepaskan ke dalam matrix keju ketika kapsul rusak selama 1,13 proses pematangan. Lemak susu digunakan beberapa peneliti untuk melapisi enzim yang bertanggung jawab pada penghasil rasa di keju. Keju yang dihasilkan dengan mikrokapsul ini 11 memiliki rasa yang sangat kuat daripada keju tanpa mikroenkapsulasi enzim.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

22


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

3.3. Asam Asam askorbat dapat meningkatkan penyerapan zat besi dari usus dengan mereduksi zat besi menjadi senyawa yang lebih mudah larut dan mudah diserap. Meskipun demikian, asam askorbat merupakan senyawa yang sangat tidak stabil dan mudah hancur dalam pengolah oleh suhu, pH, oksigen dan sinar ultraviolet. Teknik mikroenkapsulasi merupakan aplikasi yang baik untuk mengatasi kekurangan dari asam askorbat. Bahan pelapis yang digunakan adalah polyglycerol monostearate (PGMS) dan Medium Chain Triglyceride (MCT).19 Asam dapat menghasilkan bau yang tidak sedap ketika ditambahkan secara langsung ke makanan. Dengan mikroenkapsulasi, asam dapat ditambahkan pada makanan tanpa bau mencolok hingga kadar tertentu, dimana tanpa mikroenkapsulasi pada kadar yang sama memberikan bau mencolok. Manfaat dari enkapsulasi asam adalah untuk mengatur saat 11 pelepasan, melindungi dari panas dan cahaya. 4. Teknik Mikroenkapsulasi Ada beberapa teknik yang digunakan dalam mikroenkapsulasi makanan. Pemilihan proses berdasarkan pada sensitivitas bahan aktif, sifat fisik dan kimia baik bahan aktif maupun lapisan kulit, ukuran mikrokapsul yang diinginkan, tujuan aplikasi bahan makanan, mekanisme pelepasan bahan aktif, dan alasan ekonomi. Gambar 3 menginformasikan perkembangan teknik mikroenkapsulasi dari tahun 1955 hingga 2005. Metode fisik dari mikroenkapsulasi meliputi spray drying, spray cooling/chilling, freeze drying, spinning disk, fluidized bed, extrusion dan co-crystallization. Proses mikroenkapsulasi secara kimia adalah interfacial polymerization. Proses mikroenkapsulasi baik secara fisik maupun kimia diantaranya coaservation/fase 11,23 pemisahan, enkapsulasi molekular, dan liposome entrapment.

Gambar 3. Perkembangan teknik mikroenkapsulasi di dunia

10

4.1. Spray drying Mikroenkapsulasi menggunakan spray dyring paling banyak digunakan dalam industri pangan karena biayanya relatif lebih rendah. Proses ini fleksibel, dapat digunakan untuk variasi bahan dalam mikroenkapsulasi karena peralatannya mudah diterapkan dalam pengolahan bermacam

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

23


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

bahan dan menghasilkan partikel-partikel yang berkualitas baik dengan distribusi ukuran partikel yang konsisten.5 Bahan makanan yang dikemas dengan cara ini meliputi lemak, minyak, dan penyedap rasa. Pelapisnya dapat berupa karbohidrat, seperti dekstrin, gula, pati, dan gum, atau protein, seperti gelatin dan protein kedelai. Proses mikroenkapsulasi meliputi pembentukan emulsi atau suspensi antara bahan aktif dan pelapis, dan pengkabutan emulsi ke sirkulasi udara kering panas dalam ruang pengering menggunakan atomizer ataupun nozzle. Kadar air dalam droplet emulsi diuapkan akibat kontak dengan udara panas. Padatan yang tersisa dari bahan pelapis menjebak bahan inti. Spray drying berguna untuk bahan makanan yang sensitif terhadap panas karena proses pengeringan berlangsung sangat cepat. Bagaimanapun juga masih terdapat kehilangan bahan aktif yang memiliki titik didih rendah. Sifat fisik dari mikrokapsul tergantung pada suhu udara panas (sekitar 150 — 200°C), derajat dan keseragaman dalam pengkabutan emulsi, kadar kepadatan dari emulsi (30 — 70%), dan suhu emulsi. Keuntungan spray drying mencakup keanekaragaman dan ketersediaan mesin, kualitas mikrokapsul yang tetap baik, berbagai ukuran partikel yang dapat diproduksi, dan kemampuan dispersibilitas yang baik dalam media berair. Beberapa kerugian yang diperoleh di antaranya kehilangan bahan aktif dengan titik didih rendah, adanya proses oksidasi dalam senyawa penyedap rasa, dan keterbatasan pada pilihan 10 bahan dinding, dimana bahan dinding harus dapat larut pada air dengan jumlah yang layak. 4.2. Spinning disk Spinning disk merupakan modifikasi proses dari spray cooling/chilling dengan menggunakan metode atomisasi. Prinsip dari spray cooling/chilling mirip dengan spray drying, namun menggunakan udara dingin dalam proses pengeringannya. Spinning disk melibatkan pembentukan inti suatu suspensi di lapisan cairan dan suspensi ini terletak di atas disk yang berputar dalam kondisi yang mengakibatkan lapisan film jauh lebih tipis daripada ukuran partikel inti. Pemakaian proses ini meningkat dengan cepat sejak tahun 2000 (gambar 3) karena memberikan hasil yang seimbang atau bahkan lebih baik daripada spray drying atau spray 10 cooling/chilling dengan biaya proses yang tidak berbeda. 4.3. Coacervation/Fase pemisahan Teknik coacervation merupakan pemisahan fase cair/cair secara spontan yang terjadi ketika dua polimer yang bermuatan berlawanan (misalnya protein dan polisakarida) dicampur dalam media berair kemudian mengarah ke pemisahan menjadi dua fase. Fase yang lebih rendah disebut (kompleks) coacervate dan memiliki konsentrasi yang tinggi dari kedua polimer. Fase atas disebut sebagai supernatan atau fase kesetimbangan, yang merupakan larutan polimer 35 7 encer. Coacervate digunakan sebagai bahan makanan, misalnya pengganti lemak atau 33 memberi rasa yang mirip daging dan biomaterial, seperti lapisan tipis (film) yang dapat dimakan dan kemasan15. Metode ini sangat efisien dan menghasilkan mikrokapsul dengan ukuran yang lebih bervariarif daripada teknik mikroenkapsulasi yang lain. Proses ini meliputi tiga tahap, pertama, mecampur tiga fase yang saling tidak melarutkan (fase kontinyu atau air, bahan aktif yang akan dimikroenkapsulasi dan bahan pelapis). Kedua, bahan pelapis membentuk lapisan pada bahan inti. Hal ini dicapai dengan merubah pH, suhu atau kekuatan ion yang menghasilkan pemisahan fase (coacervation) dari pelapis dan sebaran inti yang terjebak. Terakhir, bahan pelapis memadat karena adanya panas, crosslinking (hubungan silang) dan teknik desolvasi. Mikrokapsul yang dihasilkan dari pemisahan fase encer memiliki

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

24


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

dinding yang larut air dan bahan aktif yang bersifat menjauhi air (hidrofobik), seperti minyak 11 sayur, penyedap rasa, dan vitamin yang larut dalam minyak. 4.4. Enkapsulasi molekuler Enkapsulasi molekuler juga dikenal dengan nama pemasukan kompleksasi. Proses ini menggunakan cyclodextrin untuk membuat kompleks dan imobilisasi molekul. cyclodextrin digunakan untuk menstabilkan emulsi dan melindungi bahan makanan yang sensitif dari cahaya, panas, dan oksigen. Siklodextrin dapat meningkatkan kelarutan bahan yang bersifat hidrofobik, mengurangi penguapan dari penyedap rasa pada makanan, dan menutupi rasa, aroma, atau warna makanan yang tidak diinginkan. Reaksi umum dalam enkapsulasi molekuler menggunakan prinsip “host-guest�. Kemampuan cyclodextrin untuk membentuk pemasukan kompleksasi dengan molekul tamu memiliki dua faktor kunci. Yang pertama adalah tergantung pada ukuran relatif cyclodextrin dengan ukuran molekul tamu atau kunci tertentu di dalam kelompok-kelompok fungsional tamu. Jika ukuran tamu salah maka tidak akan sesuai untuk masuk ke dalam rongga cyclodextrin. Faktor kritis kedua adalah termodinamik interaksi antara berbagai komponen dari sistem (cyclodextrin, tamu, pelarut). Diperlukan adanya daya dorong dari molekul tamu ataupun daya tarik dari cyclodextrin 34 yang menguntungkan. Dalam hal ini, cyclodextrin memiliki sifat fungsional hidrofilik (mendekati air) pada bagian bawah dan atas strukturnya yang seperti donat dan bersifat hidrofobik (menjauhi air) pada bagian tengah karena terhubung dengan jembatan glikosidik oksigen. Senyawa yang dapat membetuk kompleks dengan cyclodextrin adalah senyawa yang bersifat hidrofobik atau memiliki bagian yang hidrofobik. Bagian hidrofobik dari molekul tamu 11 membentuk interaksi yang stabil non-kovalen dengan bagian tengah cyclodextrin. 5. Kesimpulan Penekanan utama dalam mikroenkapsulasi bahan makanan berkonsentrasi pada peningkatan efisiensi enkapsulasi selama proses dan memperpanjang masa simpan (pengawetan pangan). Mikroenkapsulasi memberikan harapan dalam pengembangan pangan olahan, terutama untuk menghasilkan pangan kering dan pangan yang membutuhkan proses yang minimal dalam penyajiannya. Berbagai macam metoda telah dikembangkan untuk mendapatkan hasil dengan harga terjangkau, waktu proses efisien dan hemat energi. Pemilihan metode mikroenkapsulasi didasarkan pada sifat bahan pangan yang akan dikapsul, jenis kapsul yang diinginkan (dengan inti tunggal atau banyak inti), dan bahan pelapis yang digunakan. Umumnya, spray drying merupakan metode yang paling banyak dipilih untuk mikroenkapsulasi karena cocok untuk produksi yang berkelanjutan dan produk akhir dapat mematuhi standar kualitas yang tepat mengenai distribusi ukuran partikel, bentuk partikel, kadar air sisa, dan kerapatan 8,12,23,24,27 curah. Meskipun demikian metoda yang lain tetap terus dikembangkan, untuk terus meningkatkan nilai efisiensi mikroenkapsulasi dan penerapan yang lebih bervariatif. 6. Daftar Pustaka 1.

Anjani K., K. Kailasapathy, dan M. Philips. 2007. Microencapsulation of enzymes for potential application in acceleration of cheese ripening, International Dairy Journal, 17, 79-86.

2.

Bakan, J.A. 1971. Method of making microscopic capsules, United States Patent, 3,567,650.

3.

Bakan, J.A. 1973. Microencapsulation of food and related products, Food Technology, 27(11), 34–38.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

25


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

4.

Bayless T.M. and N.S. Rosensweig. 1966. A racial difference in incidence of lactase deficiency: A survey of milk intolerance and lactase deficiency in healthy adult males, Journal of the American Medical Association, 197, 968–972.

5.

Desai K.G.H. dan H.J. Park. 2005. Recent developments in microencapsulation of food ingredients. Drying Technology, 23(7), 1361-1394.

6.

Dziezak J.D. 1988. Microencapsulation and encapsulated ingredients. Food Technol., 42(4), 136-51.

7.

Dziezak J.D. 1989. Fat, oils, and fat substitutes, Journal of Food Technology, 7, 66-74.

8.

Gharsallaoui A., G. Roudaut, O. Chambin, A. Voilley, dan R. Saurel. 2007. Applications of spraydrying in microencapsulation of food ingredients: An overview, Food Research International, 40, 1107-1121.

9.

Gibbs, B.F., S. Kermasha, I. Alli, dan C.N. Mulligan. 1999. Encapsulation in the food industry: A review. International Journal of Food Sciences and Nutrition, 50, 213-224.

10. Gouin, S. 2004. Microencapsulation: industrial appraisal of existing technologies and trends. Trends in Food Science & Technology, 15, 330-347. 11. Jackson, L.S. dan K. Lee. 1991. Microencapsulation and the Food Industry, Lebensm.-Wiss. U.Tchnol., 24, 289-297. 12. Jafari S.M., E. Assadpoor, Y. He, dan B. Bhandari. 2008. Encapsulation Efficiency of Food Flavours and Oils during Spray Drying, Drying Technology, 26, 816-835. 13. Kailasapathy K. dan S.H. Lam. 2005. Application of encapsulated enzymes to accelerate cheese ripening, International Dairy Journal, 15(6-9), 929-939. 14. Kanakdande D., R. Bhosale, dan R.S. Singhal. 2007. Stability of cumin oleoresin microencapsulated in different combination of gum arabic, maltodextrin and modified starch, Carbohydrated Polymers, 67, 536-541. 15. Kester J.J. dan O.R. Fennema. 1986. Edible films and coatings: a review, Journal of Food Technology, 40, 47-59. 16. King, A.H. 1995. Encapsulation of food ingredients – a review of available technology, focusing on Hydrocolloids. In Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients, American Chemical Sociaty Symposium Series, 590, 26–39. 17. Kwak H.S., M.R. Ihm, dan J. Ahn. 2001. Microencapsulation of β-Galactosidase with Fatty Acid Esters, Journal of Dairy Science, 84, 1576-1582. 18. Kwak H.S. dan Lee J.B. 2006. Method of removing residual enzymes in enzyme microencapsulation, United States Patent, 7,018, 820. 19. Lee J.B., J. Ahn, J. Lee, dan H.S. Kwak. 2003. The microencapsulated ascorbic acid release in vitro and its effect on iron bioavailability, Archives of Pharmacal Research, 26(10), 874-879. 20. Livney, Y.D. dan Dalgleish D.G. 2009. Casein micelles for nanoencapsulation of hydrophobic compounds. United States Patent, US 2009/0311329 A1. 21. Morotta, N.G., R.M. Boettger, D.H. Nappen, dan C.D. Szymanski. 1969. Method of encapsulating water-insoluble substances and products, United States Patent, 3,455,838. 22. Quintanilla-Carvajal, M.X., Camacho-Díaz, B.H., Meraz-Torres, L.S., Chanona-Pérez, J.J., AlamillaBeltrán, L., Jimenéz-Aparicio, A., dan Gutiérrez-López, G.F. 2010. Nanoencapsulation: a new trend in food engineering processing, Food Engineering Reviews, 2, 39-50. 23. Re, M.I. 1998. Micronecapsulation by spray drying. Drying Technology, 16(6), 1195-1236. 24. Reineccius G.A. 2004. The spray drying of food flavors, Drying Technology, 22(6), 1289-1324. 25. Sanguansri, P. dan Augustin, M.A. 2006. Nanoscale materials development – a food industry perspective, Trends in Food Science & Technology, 17(10), 547-556. 26. Schultz, T.H., K.P Dimick, dan B. Makower. 1956. Incorporation of natural fruit flavors into fruit juice powders. I. Locking of citrus oils in sucrose and dextrose, Food Technology, 10(1), 57–60.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

26


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

27. Shiga H., H. Yoshii, T. Nishiyama, T. Furuta, P. Forssele, K. Poutanen, dan P. Linko. 2001. Flavor encapsulation and release characteristics of spray-dried powder by the blended encapsulant of cyclodextrin and gum arabic, Drying Technology, 67(2), 426-428. 28. Smith, R.A., dan A. Lambrou. 1974. Encapsulated flavoring composition, United States Patent, 3,819,838. 29. Soottitantawat A., H. Yoshii, T. Furuta, M. Ohgawara, P. Forssell, R. Partanen, K. Putanen, dan P. Linko. 2004. Effect of water activity on the release characteristics and oxidative stability of d-limonene encapsulated by spray drying, Journal of Agricultural and Food Chemistry, 52, 1269-1276. 30. Swisher, H.E. 1957. Solid flavoring composition and method of preparing the same, United States Patent, 2,809,895. 31. Thijssen H.A.C. dan W.H. Rulkens. 1968. Retention of aromas in drying food liquids, De Ingenieur, 47, 45-56. 32. Todd, R.D. 1970. Microencapsulation and food industry, Flavor Industry, 1, 78–81. 33. Tolstoguzov V.B., D.B. Izmujov, V.Y. Grinberg, A.N. Marusova, dan V.T. Chekovskaya. 1974. Method of making protein-containing foodstuffs resembling minced-meat, United States Patent, 3,829,587. 34. Valle E.M.M.D. 2004. Cyclodextrins and their uses: a review, Process Biochemistry, 39, 1033-1046. 35. Weibreck F., R.H.W. Wientjes, H. Nieuwenhuijse, G.W. Robijn, dan C.G.d. Kruif. 2004. Rheological properties of whey protein/gum arabic coacervates, Journal of Rheology, 48(6), 1215-1228. 36. White M.N. 1998. The chemistry behind carbonless copy paper, Journal of Chemical Education, 75(9), 1119-11120. 37. Yang R.K. dan N.J. Randolph. 1987. Encapsulation composition for use with chewing gum and edible product, United States Patent, 4,711,784. 38. Yoshii H., A. Soottitantawat, X.-D. Liu, T. Atarashi, T. Furuta, S. Aishima, M. Ohgawara, dan P. Linko. 2001. Flavor release from spray dried maltodextrin/gum arabic or soy matrices as a function of storage relative humidity, Innovative Food Science and Emerging Technologies, 2, 55–61.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

27


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

NASIONAL

Ombudsman dan Pengawasan Terhadap Aparatur Negara Pasca Reformasi Oce Madril Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Indonesia Graduate School of International Development, Governance and Law Program, Nagoya University, Japan Email: ocemadril@yahoo.com

1. Pendahuluan Gerakan reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan ketatanegaraan yang didasarkan pada pemerintahan yang demokratis dan berlandaskan hukum (rule of law). Sebelum reformasi, praktik pemerintahan cenderung diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kondisi tersebut membuat masyarakat tidak percaya pada aparat pemerintah, sehingga untuk memperbaki citra pemerintahan, mutlak diperlukan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan penegakan hukum. Dalam rangka menegakkan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat, maka diperlukan keberadaan lembaga pengawas yang secara efektif mampu mengontrol penyelenggaraan tugas aparat penyelenggara negara. Selama ini, pengawasan secara internal dinilai kurang memenuhi harapan masyarakat dari sisi obyektifitas dan akuntabilitas. Sehingga, dibutuhkan lembaga pengawas eksternal agar mekanisme pengawasan pemerintahan bisa diperkuat dam berjalan secara lebih efektif untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, transparan dan responsif terhadap kebutuhan publik. 2. Pengawasan Sebelum Reformasi Sebelum reformasi, sistem pengawasan diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 15 tahun 1983. Namun, peraturan hukum tersebut tidak memberikan keterangan yang tegas dan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian pengawasan itu sendiri. Menurut George R. Terry, pengawasan adalah `Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan.` Sedangkan Newman berpendapat bahwa `Control is assurance that the performance conform to plan.` Kemudian, Siagian memberikan definisi tentang pengawasan bahwa proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organsasi untuk menjamin agar semua 1 pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Dari pengertian diatas terlihat bahwa pengawasan dititikberatkan pada dua hal, yakni pada proses pelaksanaan kegiatan dan pada tahap evaluasi serta koreksi terhadap pelaksanaan kegiatan. Kedua aspek pengawasan tersebut dilakukan untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas berjalan sesuai dengan tujuan dan hasil yang telah direncanakan. Pengawasan, juga membutuhkan beberapa unsur, yakni : a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas b. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap proses kegiatan yang sedang berlangsung atau yang telah dilaksanakan 2 a. Pengawasan dapat ditindaklanjuti secara administratif maupun yuridis. 1

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000. hal. 36. 2

Ibid.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

28


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Ada tiga jenis mekanisme pengawasan yang dikenal umum. Pertama adalah pengawasan melekat. Bentuk pengawasan ini merupakan suatu mekanisme pengawasan yang mengombinasikan sistem manajemen dan sistem pengawasan atasan langsung. Di dalam pengawasan ini, diharapkan kekurangan-kekurangan dalam suatu instansi pemerintahan dapat diselesaikan dengan cepat, murah dan efisien. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan penggunaan pengawasan melekat sulit dilakukan dalam lingkungan mental-mental aparatur negara yang dinilai koruptif. Penitikberatan pada atasan inilah yang menjadi kendala besar untuk melaksanakan pengawasan melekat dalam suatu lembaga pemerintahan. Padahal tujuan dari adanya pengawasan melekat adalah untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang bersih, transparan, profesional dan memiliki budaya kerja yang baik. Bagaimana dapat menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, transparan, profesional kalau orang-orang di dalamnya pun masih bermental money oriented, menghalalkan segala cara dan bertendensi melakukan praktek-praktek korup. Mereka lupa bahwa menjadi aparat pemerintah bahkan menjadi pejabat adalah menjadi pelayan publik. Bentuk pengawasan lainnya dalam melakukan mekanisme pengawasan terhadap setiap tindakan pemerintah adalah pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional yang mana merupakan bentuk mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh suatu lembaga independen yang memang sengaja dibentuk untuk mengawasi lembaga tertentu menjadi pilihan awal daripada pengawasan melekat. Berdasarkan Inpres No. 15 tahun 1983, subyek yang melaksanakan fungsi pengawasan fungsional adalah: 1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan 2. Inspektorat Jenderal Departemen, aparat pengawasan lembaga non departemen/instansi pemerintah lainnya 3. Inspektorat wilayah provinsi 3 4. Inspektorat kabupaten/kota. Lembaga Pengawas Struktural, seperti Inspektorat Jenderal, selama ini tidak bisa mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan/departemen terkait. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri. Kemudian, Lembaga Pengawas Fungsional, seperti Badan Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan, meskipun tidak bersifat intern namun substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani keluhankeluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan. Kondisi ini membuat lembaga pengawasan struktural maupun fungsional tidak berjalan dengan baik. Bahkan, ada kecenderungan lembaga-lembaga tersebut malah larut dalam prilaku koruptif birokrasi sehingga, pengawasan tidak pernah dijalankan secara serius dan keluhan-keluhan baik yang berasal dari internal birokrasi maupun dari eksternal (masyarakat) tidak dapat ditindaklanjuti secara serius. 3. Munculnya Lembaga Pengawas Eksternal Ketatanegaraan Indonesia menampilkan wajah baru setelah perubahan UUD 1945, yang secara berantai dilakukan MPR selama 4 tahun, sejak 1999 hingga 2002. Reformasi konstitusi di era transisi itu, relatif mampu meletakkan sistem ketatanegaraan anyar yang lebih baik. Tentu

3

Ibid.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

29


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

di sana-sini ada kekurangan hasil perumusan, namun dibandingkan dengan konstitusi sebelum 4 amandemen, UUD 1945 hasil amandemen adalah konstitusi yang lebih demokratis. Salah satu kecenderungan wajah ketatanegaraan Indonesia transisi, serta setelah perubahan UUD 1945 adalah lahirnya lembaga-lembaga `eksternal` yang memiliki kewenangan untuk mengawasi institusi negara (pemerintah). “komisi negara independen� (independent regulatory agencies) maupun lembaga negara non struktural lainnya, seperti komisi eksekutif (executive branch agencies). Bak jamur di musim hujan, semua bidang kenegaraan berlomba menghadirkan komisi negara. Nyatalah bahwa Indonesia tidak imun dari kecenderungan global, yaitu mendirikan lembaga baru di masa transisi pasca pemerintahan otoriter. Salah satu penyebab utamanya adalah lunturnya kepercayaan publik atas lembaga negara konvensional. Ketidakpercayaan publik (public distrust) itu mendorong hadirnya komisi negara yang diidamkan 5 memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya. Jeremy Pope dalam buku berjudul Pengembangan Sistem Integritas Nasional secara sederhana menguraikan bahwa pada saat warga negara melihat ada sesuatu yang salah, ketidakpuasan bermunculan, dan keluhan terhadap lembaga birokrasi pemerintahan tidak ditanggapi, padahal pada saat yang sama sistem penegakan hukum yang menjadi tumpuan akhir memperoleh keadilan sangat lamban, mahal, bersifat publik, dan jauh dari kemudahan 6 (not-user friendly), maka saat itulah Ombudsman mulai banyak dilirik orang. Kondisi negara yang secara ilustratif diuraikan Jeremy Pope tersebut sangat relevan untuk menggambarkan keadaan negara Indonesia pasca reformasi dimana birokrasi masih dinilai sebagai institusi yang korup, tidak efektif dan tidak responsif terhadap kebutuhan publik. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat tidak percaya pada birokrasi pemerintahan. Sikap tidak puas bahkan mengarah pada sikap tidak percaya pada birokrasi merupakan sikap yang membahayakan bagi keberlangsungan pembangunan. Karena bagaimanapun, birokrasi merupakan tulang punggung jalannya roda pemerintahan. Baik buruknya pemerintahan tergantung pada kualitas birokrasinya. Sehingga, adalah suatu keharusan untuk merebut kepercayaan publik terhadap birokrasi. Kepercayaan ini penting agar kedepannya, masyarakat dapat bekerjasama dengan aparat birokrasi sehingga bermanfaat bagi proses jalannya program pemerintahan. 4. Lembaga Ombudsman Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap birokrasi, salah satu langkah penting yang ditempuh pemerintah pasca reformasi adalah dengan memperkuat pengawasan terhadap birokrasi dengan membentuk lembaga pengawas eksternal, yakni lembaga ombudsman. Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berdasarkan Keputusan Presiden nomor 44 tahun 2000. Kemudian, dasar hukum ombudsman diperkuat dalam bentuk Undang-undang (UU), yakni UU nomor 37 tahun 2008. Secara internasional, tidak kurang 65 negara kini memiliki lembaga Ombudsman yang keberadaannya bahkan diatur dalam konstitusi. Ombudsman di negara-negara yang sudah lama memilikinya seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia, dinamai "Parliamentary Ombudsman". Ini terkait dengan para anggotanya dipilih dan diangkat oleh parlemen, sehingga kedudukan mereka sangat kuat. Ombudsman Finlandia dan Polandia diberikan kewenangan untuk mengawasi lembaga peradilan sekaligus menghukum hakim-hakim yang terbukti korup. Kemudian, hampir semua negara eks Komunis di Eropa Timur, termasuk Rusia, kini memiliki sistem Ombudsman; apalagi negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Belanda, Australia dan Selandia Baru. Negara-negara Afrika yang tergolong sebagai negara berkembang seperti 4

Denny Indrayana, Komisi Negara, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, 2007.

5

Ibid.

6

Antonius Sujata, Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi, www.ombudsman.go.id, diakses tanggal 24 Februari 2010.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

30


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Zambia, Ghana, Uganda, Pantai Gading, Burkina Faso dan Kamerun, juga mempunyai 7 Ombudsman. Sehingga, pilihan Indonesia untuk membentuk lembaga Ombudsman tidak terlepas dari trend internasional yang memilih strategi model Ombudsman untuk memperbaiki kualitas pemerintahannya, terutama di negara-negara yang sedang berada dalam proses transisi dari rezim otoriter ke rezim demokrasi. Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni, pertama, bahwa pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara. Kedua, bahwa pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien serta sekaligus merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan. Terakhir, pembentukan Ombudsman sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat agar turut terlibat aktif untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah sehingga akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat ini merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur negara dapat diminimalisasi. Dalam UU Ombudsman ditegaskan bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sasaran utama kerja Ombudsman adalah praktek maladministrasi, yakni perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Terdapat beberapa tujuan pembentukan Ombudsman : a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; c. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik; d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme; e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.

7

Tjipta Lesmana, Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan, Sinar Harapan, 2004.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

31


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Selanjutnya, dinyatakan dalam pasal 2 UU Ombudsman bahwa Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Kemandirian dan independensi Ombudsman dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugasnya Ombudsman dapat bersikap obyektif, transparan, dan mempunyai akuntabilitas kepada publik. 5. Fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas 8 menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. Terkait dengan tugas, Ombudsman mempunyai tugas sebagai berikut : a. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; b. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan; c. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; d. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; e. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan; f. Membangun jaringan kerja; g. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan 9 h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang. Dalam menjalankan fungsi dan tugas, Ombudsman berwenang: a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan; c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; d. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan; e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; f. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; 10 g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi. Selain itu, Ombudsman berwenang: a. Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik; b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.

8

Pasal 6 UU No. 37 tahun 2008.

9

Pasal 7 UU No. 37 tahun 2008.

10

Pasal 8 UU No. 37 tahun 2008.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

32


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Melihat fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman tersebut, jelaslah bahwa pembentukan Ombudsman terutama untuk membantu upaya pemerintah dalam mengawasi jalannya proses pemerintahan. Dengan tujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik yang menerapkan prinsip-prinsip good governance, bersih dari KKN dan meningkatkan pelayanan umum (public service). Terlihat juga bahwa Ombudsman dibentuk untuk memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pengawasan pemerintah. Aspek partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dapat lebih terjamin melalui mekanisme Ombudsman. Sehingga, partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, dapat dilaksanakan secara optimal. Anggota Ombudsman terdiri dari 9 komisioner. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman 11 dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden. Tugas mulai untuk mengawasi aparat pemerintah, mengharuskan komisioner Ombudsman haruslah orang yang cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik. Komisioner juga tidak boleh menjadi pengurus partai politik untuk menjaga kemandirian lembaga. 6. Ombudsman dan Antikorupsi Salah satu tujuan pembentukan Ombudsman dalam UU adalah untuk memberantas dan mencegah korupsi dikalangan aparat pemerintah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa melenyapkan korupsi sampai ke akar-akarnya tidak cukup hanya dengan tindakan represif dengan memberikan hukuman kepada pelaku korupsi. Pemberantasan korupsi harus dimaknai sebagai bentuk tindakan yang komprehenshif, meliputi pencegahan, penindakan, dan perbaikan. Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Lembaga antikorupsi lain, yang juga direkomendasikan dibentuk perundangundangannya meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi, Kebebasan Memperoleh Informasi dan sebagainya. Disamping peran dan kewenangan sebagai pengawas penyelenggaraan pemerintahan, Ombudsman juga berperan dalam proses pemberantasan dan pencegahan Korupsi. Bahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh TAP MPR, sesunggguhnya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersama-sama dengan Komisi Ombudsman Nasional dilihat sebagai dua lembaga yang sama-sama berperan dalam Pemberantasan dan Pencegahan KKN, tetapi masing-masing diberi tugas dan kewenangan untuk memberantas dan mencegah KKN dari sudut dan melalui jalur yang berbeda. Bila Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berperan memberantas KKN yang merupakan tindak pidana, dan karena itu bertindak sebagai Pengawas Kejaksaan dalam hal pemeriksaan dan penuntutan perkara pidana korupsi, yang bahkan dapat menggantikan/mengambil alih peran Kejaksaan itu, maka Komisi Ombudsman Nasional memberantas dan mencegah aspek-aspek KKN dari jalur yang lain, yaitu melalui jalur administrasi dan Penyelenggara Negara, serta melalui pengembangan 12 Asas-asas Umum Pemerintahan yang Benar (Good Governance). Kwik Kian Gie pernah berpendapat bahwa untuk memberantas korupsi harus dimulai dari membersihkan manusia agar bebas korupsi atau setidaknya takut melakukan korupsi. Ia kemudian menawarkan konsep pemberantasan korupsi dengan menggunakan metode pemberian carrot and stick. Menurut Kwik Kian Gie, memberi kesejahteraan dan mempertegas 11

Pasal 14 No. 37 tahun 2008.

12

C.F.G. Sunaryati Hartono, Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Secara Sistemik, dalam Peranan Ombudsman

Dalam Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi serta Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2005. hal. 134. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

33


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

hukuman (carrot and stick) bagi penyelenggara negara/pemerintah seharusnya menjadi starting point yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Tentu saja dengan tidak mengabaikan perbaikan perangkat hukum, kelembagaan, sistem prosedur pengambilan keputusan dan transparansi. Pada tahap inilah, peran Ombudsman sangat dibutuhkan. Sebab selain “menghukum� para pelaku korupsi, tidak kalah penting adalah mengawasi proses pemberian hukuman tersebut apakah sudah sesuai prosedur atau sarat dengan berbagai penyimpangan. Sehingga dalam hal ini, Ombudsman lebih berperan untuk melakukan pencegahan secara dini agar dalam setiap aspek pemberantasan korupsi tidak terjadi penyimpangan atau maladministrasi. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi, Ombudsman lebih berperan guna mencegah terjadinya perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara negara/pemerintah. Peran ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dengan memperbaiki sistem pelayanan umum. Pendapat ini dibangun dengan asumsi bahwa sistem pelayanan umum (termasuk proses penegakan hukum) menjadi tidak berjalan secara baik karena didalamnya sarat dengan praktek-praktek penyelenggaraan negara yang koruptif. Sehingga apabila proses pemberian pelayanan umum diawasi sedemikian rupa, maka setidaknya dapat mencegah 13 adanya peluang bagi penyelenggara negara melakukan tindakan-tindakan yang koruptif. Berbeda dengan tindakan hukum (repressive) bagi Koruptor, maka pencegahan (prevention) terhadap terjadinya praktek-praktek koruptif dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh banyak orang. Apabila kita bisa mencegah praktek-praktek koruptif dalam proses pemberian pelayanan umum seperti misalkan permintaan uang dalam pembuatan KTP, SIM, IMB dan perijinan lainnya, tentu lebih banyak orang yang merasakan dampaknya. Dengan demikian ratusan ribu bahkan jutaan orang di Indonesia dapat memperoleh pelayanan prima tanpa dibebani biaya-biaya tidak resmi yang memberatkan. Oleh karena itu, memasukkan upaya pencegahan korupsi sebagai bagian penting dalam strategi pemberantasan korupsi akan semakin melengkapi dan memperkuat gerakan antikorupsi di Indonesia. Hal ini akan semakin memperjelas peran Ombudsman dalam gerakan antikorupsi di Indonesia. Apabila pemberantasan korupsi dimaknai sebagai bentuk tindakan yang komprehenshif, meliputi pencegahan (preventif), penindakan (represif), dan perbaikan (kuratif), permasalahannya adalah bagaimana mensinergikan peran masing-masing lembaga yang menjadi stakeholder gerakan antikorupsi sehingga menjadi kekuatan yang utuh dari hulu (pencegahan) sampai hilir 14 (perbaikan). 7. Ombudsman di Daerah Untuk konteks Indonesia, dengan luas wilayah kepulauan dan jumlah penduduk yang sangat besar, barangkali tidak mungkin semua masalah maladministrasi publik bisa ditangani oleh Ombudsman nasional secara cepat dan murah. Dalam konteks otonomi daerah, dimana hampir seluruh kewenangan public administration dilimpahkan ke daerah, maka harus dimungkinkan dibentuk Ombudsman daerah yang independen. Pelaksanaan desentralisasi kekuasaan yang tidak diikuti dengan pembangunan sistem akuntabilitas dan pengawasan eksternal yang kuat 15 cenderung akan mengakibatkan terjadinya desentralisasi korupsi. Sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi di daerah, Ombudsman daerah berperan di baris paling depan guna mencegah terjadinya korupsi dan perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara pemerintahan daerah. Peran Ombudsman daerah dalam proses pencegahan korupsi dimulai 13

Antonius Sujata, op.cit.

14

Ibid.

15

Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

34


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

dengan mendorong upaya perbaikan sistem pelayanan umum pemerintahan daerah dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik. 8. Penutup Secara universal diakui bahwa pada hakikatnya Ombudsman mengemban misi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah. Rekomendasi Ombudsman meskipun tidak mengikat (not legally binding) namun secara moral diikuti (morally binding). Ombudsman tidak memberi sanksi hukum sebagaimana Lembaga Peradilan akan tetapi memberi pengaruh kepada aparatur negara. Dengan memperkuat pengawasan, diharapkan pemberian pelayanan kepada masyarakat akan lebih meningkat kualitasnya. Memperoleh pelayanan secara baik dari Penyelengara Negara merupakan sebuah permasalahan penting saat ini yang harus kita atasi. Institusi Ombudsman ingin mengembalikan paradigma bahwa sesungguhnya lembaga pengawasan memiliki peran strategis untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang baik. Terkait pemberantasan korupsi, pendekatan yang dilakukan Ombudsman berbeda dengan fungsi lembaga represif antikorupsi seperti KPK, kejaksaan atau kepolisian. Fungsi Ombudsman lebih tertuju pada perbaikan administrasi guna memastikan bahwa sistem-sistem tersebut membatasi korupsi sampai tingkat minimum, yakni penyelenggaraan administrasi yang transparan, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. 9. Daftar Pustaka 9.1. Daftar buku : Hadjon, Philipus M, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Sujata, Antonius, 2005, Peranan Ombudsman Dalam Rangka Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Serta Penyelenggaraan Pemerinthan Yang Bersih, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta Sujata, Antonius,2002, Ombudsman Indonesia, Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang. Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta

9.2. Daftar peraturan perundang-undangan: Instrruksi Presiden Nomor 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan pemerintahan Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia

9.3. Makalah dan Internet : Hartono, C.F.G. Sunaryati, 2005, Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Secara Sistemik. Indrayana, Denny, 2007, Komisi Negara, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan. Lesmana, Tjipta, 2004, Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan, Sinar Harapan. Masduki, Teten, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya. Sujata, Antonius, Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi.www.ombudsman.go.id

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

35


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

KESEHATAN Cardiac Biopacemaker Udin Bahrudin

Institute of Regenerative Medicine and Biofunction, Tottori University Graduate School of Medical Science, Japan; Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Indonesia E-mail: bahrudin@med.tottori-u.ac.jp

1. Pendahuluan Jantung merupakan organ vital yang bekerja terus-menerus memompa darah ke seluruh bagian tubuh manusia. Fungsi tersebut dapat terlaksana dengan adanya otot yang berkontraksi secara teratur dengan irama yang ditentukan oleh sistem persyarafan jantung serta terkoordinasi dengan sistem syaraf pusat melalui persyarafan otonom simpatis dan parasimpatis. Pada jantung normal, impuls syaraf dihasilkan bagian jantung yang disebut pacemaker yang terletak pada nodus sinoatrial (SA). Pacemaker ini bertanggung jawab dalam proses inisiasi potensial aksi secara ritmik dan diteruskan ke atrium dan ventrikel melalui sistem konduksi jantung yang terdiri dari nodus atrioventrikuler (AV), dan berkas Purkinje (Gambar 1a).

A

B

Nodus SA Bundle His Nodus AV

Serabut Purkinje

Gambar 1. (A) Sistem konduksi jantung, terdiri atas nodus SA, nodus AV, Bundle His, dan serabut Purkinje. Dikutip dari http://n.ecgpedia.org dengan modifikasi. (B) Pacemaker elektronik, generator ditanam di bawah kulit dada, elektroda dalam atrium dan ventrikel kanan dihubungkan dengan generator melalui kabel yang berada dalam pembuluh vena. Dikutip dari http://mykentuckyheart.com.

Gangguan pembentukan potensial aksi pada pacemaker pada nodus SA dan atau gangguan konduksi impuls syaraf menyebabkan gannguan kontraksi jantung. Terapi untuk kelainan seperti ini adalah pemakaian alat pacu denyut jantung (cardiac pacemaker). Sejauh ini, alat yang telah digunakan pada pasien adalah pacu jantung elektronik yang ditanam di bawah kulit dada (Gambar 1b). Implantasi pacemaker diperlukan pada pasien dengan bradikardia (denyut jantung lambat, kurang dari 60 kali per menit) disebabkan oleh disfungsi nodus SA. Kelainan ini banyak ditemukan seiring dengan proses penuaan. Data yang diperoleh dari 28 penelitian yang berbeda menunjukkan median insiden tahunan 0,6% (0% s/d 4.5%) dengan prevalensi total 2,1% (0% s/d 11,9%).30 Manifestasi klinik pasien dengan kelainan ini bervariasi, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah pingsan yang disebabkan oleh aliran darah ke otak berkurang akibat melambatnya atau berhentinya denyut jantung. Bradikardia yang disertai aritmia (ritme jantung tidak normal) dapat memicu terjadinya aritmia ventrikel yang fatal dan gagal jantung. Indikasi lain implantasi pacemaker adalah bradikardia karena disfungsi nodus AV, blok Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

36


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

bivasikuler kronik, blok terkait infark miokardium akut, sindroma sinus carotis hipersensitif, sindroma long-QT, pasien anak dengan penyakit jantung bawaan, dan lain-lain seperti yang telah disebutkan dalam guideline.9 Alat pacu jantung elektronik merupakan terobosan terapi yang bagus untuk menolong pasien dengan gangguan konduksi jantung dan telah terbukti efektif dapat memperpanjang harapan 4,19,12,31 hidup pasien. Meskipun demikian, alat ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: (a) tidak dapat merespons persyarafan otonom untuk menyesuaikan kecepatan denyut jantung sesuai peningkatan kebutuhan pasokan darah bagi tubuh, yaitu saat terjadi perubahan aktivitas fisiologis dan emosi, seperti pada olahraga, stres, istirahat, atau tidur, (b) terkait umur baterai yang memerlukan tindakan operasi berulang untuk mengganti pacemaker atau baterainya saja; (c) kemungkinan elektroda patah, rusak, ataupun kerusakan isolasi kabel pacu jantung sehingga menimbulkan risiko terjadinya infeksi atau trombosis vena, (d) keterbatasan geometris khususnya pada pasien anak dan terlebih bayi baru lahir, yakni ukuran alat pacu yang telah ditanam tidak dapat menyesuaikan dengan pertumbuhan badan pasien dan berakibat pada pergeseran posisi elektrode dan atau generator selama pertumbuhan sehingga memerlukan koreksi ukuran pacemaker berkelanjutan. Dengan adanya berbagai keterbatasan tersebut, muncullah ide kreatif untuk menciptakan alat pacu jantung biologis (cardiac biopacemaker). 2. Biopacemaker Biopacemaker adalah jaringan yang secara langsung atau melalui rekayasa teknologi dipakai sebagai pacemaker pada organ jantung.28 Jaringan dapat diambil dari sel pacemaker tanpa rekayasa genetika, misalnya dari sel punca embrional yang telah berdiferensiasi menjadi sel pacemaker. Bisa juga diambil dari sel yang telah mengalami rekayasa genetika. Prinsip dasar penciptaan biopacemaker dengan rekayasa adalah meningkatkan arus ke dalam sel dan/atau menurunkan arus ke luar sel sehingga terjadi depolarisasi membran sel yang menginduksi denyut jantung. Bagian penting sel pacemaker untuk memproduksi sinyal listrik (potensial aksi) adalah keberadaan kanal-kanal ion yang tersebar baik di membran sel maupun pada retikulum sarkoplasma. Di antara kanal ion tersebut, ada satu kelompok kanal ion yang berperan pada tahap awal (inisiasi) potensial aksi yaitu kanal HCN (hyperpolarized activated and cyclic nucleotide gated). Kanal ini memiliki celah selektif yang dilalui oleh aliran arus listrik ke dalam sel pacemaker yang dikenal dengan simbol If (funny current). Penelitian biopacemaker akhirakhir ini banyak difokuskan pada kanal HCN dan akan diuraikan lebih detail di bagian bawah tulisan ini. 3. Penelitian dan pengembangan Cardiac Biopacemaker Ada beberapa pendekatan yang telah dilakukan untuk menciptakan biopacemaker, yang secara garis besar dibagi menjadi dua metode yaitu rekayasa (transfer) gen dan transplantasi sel. Berikut diulas secara singkat beberapa penelitian pembuatan biopacemaker yang telah dikerjakan. 3.1. Rekayasa (transfer) gen Dengan menggunakan viral vector atau electroporation (syok listrik) untuk memasukkan gen ke 5,14,19-21 dalam jaringan jantung, tempat gen dimasukkan secara langsung ke dalam sel otot jantung untuk membuat atau meningkatkan denyut spontan dalam sel (Tabel 1).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

37


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Penelitian pertama adalah dengan mengekspresikan secara berlebihan (over-expression) 7,8 reseptor adrenergik ß2 untuk meningkatkan sensitivitas respons terhadap catecholamin. DNA 7 yang mengodekan reseptor adrenergik ß2 diinjeksikan ke dalam atrium kanan jantung tikus 8 atau babi . Kedua penelitian ini menemukan terapi gen tersebut dapat meningkatkan denyut jantung dasar sebesar 40–50%. Efek rangsangan syaraf otonom pada denyut jantung tidak dilaporkan pada penelitian ini. Akan tetapi, penelitian lain secara in vitro menunjukkan ekpresi berlebihan reseptor adrenermgik ß2 pada sel jantung fetus tikus meningkatkan denyut jantung 7 dasar maupun saat dirangsang dengan isoprotenol 1 mM sebesar 50%. Tabel 1. Percobaan pembuatan biopacemaker dengan rekayasa gen Model Gen Efek Referens i Tikus reseptor adrenergik Peningkatan kronotropik jantung 7 ß2 Marmot Kir2.1AAA Aktivitas pacemaker tidak tertekan 19 Kv1.4 sintetis Ritme idioventrikuler dengan 13 pemberian metacolin Babi reseptor adrenergik Peningkatan denyut jantung 50% 8 ß2 Anjing Blok AV mHCN2* Denyut atrium spontan 27 mHCN2 Denyut abnormal ventrikel 23 menghilang hMSCs** + mHCN2 Denyut spontan 24 mHCN2 Wt + mutan Penurunan denyut dari 1 pacemaker elektronik Babi Sindrom mHCN1 mutan Pengurangan ketergantungan 33 Sickpada pacemaker elektronik sinus Blok AV hHCN4 Denyut idioventrikuler 3 *mHCN2 = mouse HCN2, **hMSCs = human mesenchimal stem cells Spesies

Penelitian selanjutnya memakai rekayasa konstruksi plasmid adenovirus yang mengodekan 19 kanal ion IK1 (inward rectifier current) yang merupakan arus penyearah ke dalam sel. Plasmid tersebut diinjeksikan ke dalam ruang ventrikel marmot in vivo. IK1 ini merupakan kanal ion yang ekspresinya tinggi pada sel otot atrium dan ventrikel dewasa, tetapi tidak pada sel pacemaker, sehingga diperkirakan kanal ion ini berperan penting dalam menekan eksitabilitas potensial aksi pada sel selain sel pacemaker. Hasilnya, kanal ion IK1 terekspresi pada 20% sel-sel ventrikel 2 dan terjadi penurunan 80% inward rectifier current. Percobaan ini menunjukkan bahwa ekspresi IK1 dominan negatif (Kir2.1AAA) menurunkan arus keluar sel dan meningkatkan kecepatan (rate) pacemaker. Penelitian kelompok lainnya memakai gen HCN yang berperan penting dalam membentuk arus 19,21,22,26,27 utama pacemaker pada jantung yaitu If. Kanal ini memiliki 4 bentuk yaitu isoform 1 sampai 4. Isoform HCN1, HCN2, HCN4, dan HCN mutan dan chimera telah dikembangkan 1,3,19,20,23-25,29 untuk mengoptimalkan kecepatan dan ritme pacemaker. Kemudian juga telah 29 dilakukan rekayasa gen yang menyerupai HCN (HCN-like). Dengan memakai vetor adenovirus, gen HCN2 normal, mutan, dan chimera dimasukkan melalui kateter menuju sistem cabang bundel (bundle branch) jantung anjing yang telah diblok total dengan 13,21,22,27 radiofrequency. Hasilnya, jantung berdenyut dengan ritme dalam kisaran normal serta memperlihatkan respons positif terhadap rangsangan syaraf otonom. Penelitian lain menggunakan gen HCN2 tikus yang dimasukkan ke dalam human mesenchymal stem cells (hMSCs) dengan metode elektroporation lalu diinjeksikan pada dinding ventrikel kiri jantung Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

38


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

24

anjing. Hasilnya, terjadi denyut spontan pada daerah injeksi. Berdasarkan pengalaman penulis, kelemahan metode elektroporation adalah efisiensi transfer gen relative rendah dan toksisitas terhadap sel tinggi. Penggunaan vektor virus memberikan peluang terkirimnya gen ke dalam sel dengan efisiensi tinggi, tetapi ada risiko terjadi efek negatif berupa ekspresi gen yang tidak terduga seperti timbulnya keganasan. 3.2. Transplantasi sel Sel yang menunjukkan karakteristik sel nodus SA ditanam dalam otot jantung dan berdenyut spontan untuk membuat jaringan di sekitarnya berdenyut dan menggerakkan otot jantung (Tabel 2). Penggunaan terapi sel merupakan alternatif untuk menghindari pemakaian vektor viral.

Spesies Marmot Anjing

Babi

Tabel 2. Percobaan pembuatan biopacemaker dengan transplantasi sel Model Sel Efek Referens i Sel punca embrional Menggerakkan otot 33 manusia ventrikel yang diam Ablasi nodus Sel nodus SA dan Denyut dari sel yang 29 AV atrium fetus anjing ditranplantasikan menggerakkan jantung Ablasi nodus Sel nodus SA dan Terbentuk pacing 17 AV atrium fetus manusia fungsional Ablasi nodus Sel nodus SA dan Terbentuk pacing 2 AV atrium fetus babi fungsional Ablasi nodus Sel punca embrional Terbentuk pacing 14 AV manusia fungsional

Percobaan awal dengan tranplantasi sel atrium termasuk di dalamnya sel nodus SA dari fetus anjing pada otot ventrikel kiri anjing yang telah diblok nodus AV-nya. Hasilnya, terbentuk 31 denyut “penyelamat� ventrikel dari daerah transplantasi. Dengan pewarnaan menggunakan antibodi Dystrophin, diketahui bahwa sel transplan berintegrasi dengan sel jantung resipien melalui gap junction. Dua penelitian lain menggunakan sel nodus SA dan atrium fetus manusia ataupun sel nodus SA dan atrium fetus babi pada jantung yang telah diblok pada nodus AV 2,17 menunjukkan hasil positif dengan terbentuknya denyut ventrikel. Stimuli reseptor adrenergik 2,17 beta dengan isoprotenol dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung. Selain pengambilan sel pacemaker dari jantung, sumber lain yang potensial untuk memproduksi biopacemaker adalah sel punca embrional. Kelebihan dari sel punca embrional adalah kemampuannya membentuk gap junction fungsional yang menghubungkan sel transplan dengan sel resipien dan juga dalam hal kemampuannya menghasilkan denyut secara 11,14,15,18 spontan. Pemberian sel punca embrional memicu terbentuknya sel pacemaker pada 14,33 jantung babi yang diblok pada nodus AV. Akan tetapi, ada hal lain yang perlu diperhatikan pada pemakaian sel punca embrional ini, yaitu terkait dengan reaksi penolakan implantasi sel sehingga perlu pemberian obat imunosupresif, di samping adanya risiko timbulnya transformasi keganasan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

39


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

4. Perspektif ke depan Telah diuraikan perkembangan penelitian untuk menciptakan biopacemaker yang terdiri dari transfer gen dengan vektor virus dan transplantasi sel. Isu penting terkait transfer gen adalah terkait pemakaian vektor virus yang dapat menginduksi keganasan. Demikian pula dengan transplantasi sel punca embrional, ada risiko timbul keganasan dan adanya reaksi penolakan dari sel atau organ resipien. Risiko keganasan dapat dihindari dengan pemakaian sel punca embrional yang telah didiferensiasi menjadi sel pacemaker. Saat ini grup kami di Univeritas Tottori sedang berupaya mengisolasi sel pacemaker dari sekian banyak jenis sel hasil diferensiasi. Kami memanfaatkan metode teknologi gen rekombinan untuk menandai sel 20 pacemaker secara spesifik dan kemudian memisahkannya dengan mesin pemilah sel. Meskipun demikian, masih ada isu etika terkait pemakaian sel punca embrional pada manusia. Ada harapan baik dengan telah ditemukannya alternatif lain yaitu sel induced plurypotent stem 35 (iPS). Dengan optimisme bahwa penelitian sel iPS yang saat ini sedang giat dijalankan dapat menemukan metode yang dapat diterapkan dan terjangkau dari segi biaya untuk diterapkan pada pasien. Selain itu, metode fusi sel juga telah dicoba untuk membuat sel pacemaker untuk menghindari pemakaian vektor virus, tetapi masih diperlukan elaborasi lebih dalam secara in 5 vivo. Isu lain adalah optimasi fungsi biopacemaker. Implantasi biopacemaker dan pacemaker elektronik secara tandem13,29 dapat diujicobakan untuk tahap awal uji coba biopacemaker pada binatang percobaan. Pacemaker elektronik diharapkan dapat mengawal fungsi biopacemaker apa bila terjadi kegagalan tiba-tiba, dengan kata lain sebagai penyelamat kegagalan. Sementara biopacemaker memungkinkan respon terhadap syaraf otonom dan juga memperpanjang umur baterai pacemaker elektronik. Metode tandem ini penting untuk diterapkan sampai dapat tercapainya hasil implantasi biopacemaker yang dinilai dengan parameter keselamatan, fungsional, dan durasi. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan sebelum biopacemaker diujicobakan pada jantung manusia adalah adanya risiko migrasi dan pro-aritmia. Meskipun data-data riset yang ada saat ini mendukung untuk aplikasi klinis, masih diperlukan penelitian lebih lanjut sampai keamanan pada pasien dapat dijamin. 5. Daftar Pustaka 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Bucchi A, Plotnikov AN, Shlapakova I, Danilo P Jr, Kryukova Y, Qu J, et al. 2006. Wild-type and mutant HCN channels in a tandem biological-electronic cardiac pacemaker. Circulation. 114: 992-999. Cai J, Lin G, Jiang H, Yang B, Jiang X, Yu Q, Song J. 2006. Transplanted neonatal cardiomyocytes as a potential biological pacemaker in pigs with complete atrioventricular block. Transplantation. 81:10221026. Cai J, Yi FF, Li YH, Yang XC, Song J, Jiang XJ, et al. 2007. Adenoviral gene transfer of HCN4 creates a genetic pacemaker in pigs with complete atrioventricular block. Life Sci. 80: 1746-1753. Chen J, Mitcheson JS, Tristani-Firouzi M, Lin M, Sanguinetti MC. 2001. The S4–S5 linker couples voltage sensing and activation of pacemaker channels. Proc Natl Acad Sci USA. 98:11277–11282. Cho HC, Kashiwakura Y, Marbán E. 2007. Creation of a biological pacemaker by cell fusion. Circ Res. 100:1112–1115. Cohen IS, Brink PR, Robinson RB, Rosen MR. 2005. The why, what, how and when of biological pacemakers. Nat Clin Pract Cardiovasc Med. 2:374–375. Edelberg JM, Aird WC, Rosenberg RD. 1998. Enhancement of murine cardiac chronotropy by the molecular transfer of the human β2 adrenergic receptor cDNA. J Clin Invest. 101: 337-343. Edelberg JM, Huang DT, Josephson ME, Rosenberg RD. 2001. Molecular enhancement of porcine cardiac chronotropy. Heart. 86:559-562. Epstein AE, DiMarco JP, Ellenbogen KA, Estes NA 3rd, Freedman RA, Gettes LS, et al. 2008. ACC/AHA/HRS 2008 Guidelines for Device-Based Therapy of Cardiac Rhythm Abnormalities: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the ACC/AHA/NASPE 2002 Guideline Update for Implantation of

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

40


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

10. 11. 12.

13. 14.

15.

16.

17. 18. 19. 20. 21. 22.

23.

24. 25.

26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.

Cardiac Pacemakers and Antiarrhythmia Devices): developed in collaboration with the American Association for Thoracic Surgery and Society of Thoracic Surgeons. Circulation. 117:e350–408. Friedman RA, Fenrich AL, Kertesz NJ. 2001. Congenital complete atrioventricular block. Pacing Clin Electrophysiol. 24: 1681-1688. Gepstein L. Cardiovascular therapeutic aspects of cell therapy and stem cells. 2006. Ann NY Acad Sci. 1080: 415-425. Hauser RG, Hayes DL, Kallinen LM, Cannom DS, Epstein AE, Almquist AK, et al. 2007. Clinical experience with pacemaker pulse generators and transvenous leads: an 8-year prospective multicenter study. Heart Rhythm. 4:154-160. Kashiwakura Y, Cho HC, Barth AS, Azene E, Marban E. 2006. Gene transfer of a synthetic pacemaker channel into the heart: a novel strategy for biological pacing. Circulation. 114:1682-1686. Kehat I, Khimovich L, Caspi O, Gepstein A, Shofti R, Arbel G, et al. 2004. Electromechanical integration of cardiomyocytes derived from human embryonic stem cells. Nat Biotechnol. 22: 12821289. Kolossov E, Lu Z, Drobinskaya I, Gassanov N, Duan Y, Sauer H, et al. 2005. Identification and characterization of embryonic stem cellderived pacemaker and atrial cardiomyocytes. FASEB J. 19:577-579. Liechty KW, MacKenzie TC, Shaaban AF, Radu A, Moseley AM, Deans R, et al. 2002. Human mesenchymal stem cells engraft and demonstrate site specific differentiation after in utero implantation in sheep. Nat Med. 6:1282–1286. Lin G, Cai J, Jiang H, Shen H, Jiang X, Yu Q, Song J. 2005. Biological pacemaker created by fetal cardiomyocyte transplantation. J Biomed Sci. 12:513-519. Maltsev VA, Rohwedel J, Hescheler J, Wobus AM. 1993. Embryonic stem cells differentiate in vitro into cardiomyocytes representing sinusnodal, atrial and ventricular cell types. Mech Dev. 44:41-50. Miake J, Marban E, Nuss HB. Biological pacemaker created by gene transfer. 2002. Nature. 419:132133. Morikawa K, Bahrudin U, Miake J, Igawa O, Kurata Y, Nakayama Y,et al. 2010. Pacing Clin Electrophysiol. (In press) Plotnikov AN, Shlapakova IN, Kryukova Y, Bucchi A, Pan Z, Danilo P Jr, et al. 2005a. Comparison of mHCN2 and mHCN2-E324A genes as biological pacemakers. Circulation. 112:II-126 (Abstract). Plotnikov AN, Shlapakova IN, Szabolcs MJ, Danilo P Jr, Lu Z, Potapova I, et al. 2005b. Adult human mesenchymal stem cells carrying HCN2 gene perform biological pacemaker function with no overt rejection for 6 weeks in canine heart. Circulation. 112:II-221 (Abstract). Plotnikov AN, Sosunov EA, Qu J, Shlapakova IN, Anyukhovsky EP, Liu L, et al. 2004. A biological pacemaker implanted in the canine left bundle branch provides ventricular escape rhythms having physiologically acceptable rates. Circulation. 109:506–512. Potapova I, Plotnikov A, Lu Z, Danilo P Jr, Valiunas V, Qu J, et al. 2004. Human mesenchymal stem cells as a gene delivery system to create cardiac pacemakers. Circ Res. 94:952-959. Qu J, Barbuti A, Protas L, Santoro B, Cohen IS, Robinson RB. 2001. HCN2 over-expression in newborn and adult ventricular myocytes: distinct effects on gating and excitability. Circ Res. 89:e8– e14. Qu J, Kryukova Y, Potapova IA, Doronin SV, Larsen M, Krishnamurthy G, et al. 2004. MiRP1 modulates HCN2 channel expression and gating in cardiac myocytes. J Biol Chem. 279:43497–43502. Qu J, Plotnikov AN, Danilo P Jr, Shlapakova I, Cohen IS, Robinson RB, Rosen MR. 2003. Expression and function of a biological pacemaker in canine heart. Circulation. 107:1106–1109 Rosen MR. 2007. Conference report: building a biologic pacemaker. J Electrocardiol. 40(6 Suppl):S197–S198. Rosen MR, Brink PR, Cohen IS, Robinson RB. 2004. Genes, stem cells and biological pacemakers. Cardiovasc Res. 64:12–23. Rosenqvist M, Obel IW. 1989. Atrial pacing and the risk for AV block: is there a time for change in attitude? Pacing Clin Electrophysiol. 12:97–101. Ruhparwar A, Tebbenjohanns J, Niehaus M, Mengel M, Irtel T, Kofidis T, et al. 2002. Transplanted fetal cardiomyocytes as cardiac pacemaker. Eur J Cardiothorac Surg. 21: 853-857. Senaratne J, Irwin ME, Senaratne MP. 2006. Pacemaker longevity: are we getting what we are promised? Pacing Clin Electrophysiol. 29:1044–1054.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

41


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

33. Tse HF, Xue T, Lau CP, Siu CW, Wang K, Zhang QY,et al. 2006. Bioartificial sinus node constructed via in vivo gene transfer of an engineered pacemaker HCN channel reduces the dependence on electronic pacemaker in a sick-sinus syndrome model. Circulation. 114:1000–1011. 34. Xue T, Cho HC, Akar FG, Tsang SY, Jones SP, Marban E, et al. 2005. Functional integration of electrically active cardiac derivatives from genetically engineered human embryonic stem cells with quiescent recipient ventricular cardiomyocytes: insights into the development of cell-based pacemakers. Circulation. 111:11–20. 35. Yamanaka S. 2007. Strategies and new developments in the generation of patient-specific pluripotent stem cells. Cell Stem Cell. 1:39–49.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

42


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

HUMANIORA

Kontribusi Pemahaman Budaya dalam Penafsiran Majas Metafora Bahasa Jepang Didik Nurhadi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Surabaya Fakultas Sastra Universitas Hiroshima E-mail: roended@yahoo.com 1. Pendahuluan Bahasa berfungsi referensial mengandung pengertian bahwa bahasa merupakan alat mengungkapkan segala sesuatu, baik sesuatu itu berada dalam alam fikirannya (perasaan, pendapat, emosi), maupun objek yang berada di luar dirinya. Namun, pengungkapan sesuatu hal, kejadian melalui bahasa tersebut dilakukan dengan bermacam-macam bentuk pengungkapan. Pertama, pengungkapan secara langsung terhadap segala sesuatu yang akan diungkapkan melalui bahasa berdasarkan pemikiran umum dan kebiasaan-kebiasaan yang telah umum dilakukan. Kedua, pengungkapan secara tidak langsung atau pengungkapan dengan sudut pandang yang berbeda terhadap segala sesuatu melalui bahasa. Bentuk ungkapan-ungkapan seperti “gakkou no mae ni tatte iru kata wa nihongo no atarashii sensei desu”. <seseorang yang berdiri di depan sekolah adalah guru bahasa Jepang yang baru> atau bentuk lain seperti “sono sensei wa dare ni taishite mo yasashii desu yo”. <guru tersebut selalu berlaku ramah kepada semua orang>. Adalah contoh model pengungkapan objek secara langsung yang memberikan informasi secara jelas melalui bentuk, variasi bahasa yang ada. Lain halnya bila ungkapan-ungkapan seperti “kanojo koso wa watashitachi no megami da”. <hanya pacarlah permata hati kami”, “kare wa suieikai no tobiuo” <dia (laki-laki) adalah raja dalam dunia perenangan> (dalam Yamanashi, 1998:26). Dua ungkapan yang disebutkan terakhir ini merupakan model pengungkapan objek secara tidak langsung dan mengandung makna pengandaian, dalam linguistik dikenal dengan istilah majas. Artinya, kedua contoh ungkapan yang dikemukakan Yamanashi tidak akan bisa dipahami jika mendasarkan pada makna leksikal kata pembentuk kalimat atau ungkapan yang bersangkutan. Kedua kalimat itu hanya bisa dipahami dengan menguraikan makna majas dari ungkapan tersebut. Yamanashi (1998:27) mendefinisikan bahwa majas dimaknai sebagai bentuk ungkapan yang tidak menunjuk pada makna leksikal ungkapan yang bersangkutan, melainkan menunjuk pada makna pengandaian yang berupa perbandingan. Banyak pertimbangan yang mendasari penggunaan majas dalam komunikasi dengan bahasa. Termasuk pertimbangan yang mendasarkan pada alasan yakni untuk menghormati hubungan para penutur bahasanya.Yamanashi (1998;1) menyebutkan bahwa majas sebagai salah satu jenis retorika bahasa, serta tendensi majas dipahami sebagai media retorika untuk menghiasi, mempercantik kata-kata secara bebas. Penggunaan bentuk kata-kata yang “dipoles” tersebut mempunyai alasan selain untuk menyampaikan segala aktivitas sehari-hari secara lebih efektif, juga berperan dalam pengenalan dan penemuan sesuatu agar menciptakan dunia baru yang dinamis. Hal ini berkait dengan konsepsi majas sebagai alat penyampai sesuatu yang berkarakteristik fungsi inti dalam mekanisme bahasa yang dipakai manusia sehari-hari. Hal ini berarti majas merupakan wujud nyata hasil pemikiran manusia.

2. Bahasa Dan Budaya Terdapat berbagai pandangan ihwal hubungan antara bahasa dan budaya. Ada teori yang menyebutkan bahwa bahasa merupakan bagian dari budaya. Dalam pengertian tersebut maka bahasa akan mencerminkan budaya masyarakat penuturnya. Sedangkan pendapat lain yang berbeda pandangan menyebutkan bahwa bahasa dan budaya merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Selain itu, ada juga yang Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

43


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

menyebutkan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh budaya, sehingga bahasa merupakan manifestasi budaya. Serta masih banyak pendangan lain yang menyebutkan hubungan diantara keduanya. Tulisan ini tidak akan memberikan simpulan terkait dengan pendapat mana yang paling tepat menyangkut permasalahan keterkaitan budaya dan bahasa. Namun, penulis sependapat dengan Chaer dan Agustina (1995:216) budaya menyangkut seluruh hal yang terkait dengan kehidupan manusia, termasuk aturan hukum, hasil karya, kebiasaan dan tradisi, termasuk juga komunikasi yang digunakan manusia, yakni bahasa. Mendasarkan pada pendapat tersebut, serta pendapat Silzer (dalam Chaer, 1995:222) maka bahasa dan budaya merupakan dua fenomena terikat, seperti dua anak kembar maupun sekeping mata uang, satu sisi merupakan cerminan budaya, sisi lain merupakan sistem bahasa. 3. Majas dan Pemahamannya Permasalahan pertama yang harus dijelaskan sebelum mengupas tentang majas dalam bahasa Jepang yakni bagaimana bentuk ungkapan tertentu disebut sebagai majas. Perlu diperjelas bahwa ungkapan bahasa disebut majas atau bukan majas tidak harus dibedakan atas perbedaan bentuk ungkapannya, meskipun bentuk ungkapannya sejenis. Nakamura (1989:19) memberikan contoh satu majas dalam kalimat bahasa Jepang. (1) Kusamura no hebi no manako no you ni tsumetaku kagayatte ita. rumput Gen bolamata ular seperti dingin berkilau aspect matanya dingin memancar seperti mata ular yang bersembunyi di rerumputan. Bagian kalimat tersebut yang mengandung bentuk pengandaian, bentuk majas terdapat pada frase yang digaris bawah. Sebenarnya ‘hebi no manako’, bukanlah menyatakan makna sebenarnya “mata seekor ular”. Kesadaran (sebagai unsur terpenting bila dibanding dengan kenyataan) bahwa ungkapan tersebut menyampaikan pesan bukan pada mata seekor ular, tetapi perasaan terhadap sesuatu (kemungkinan seseorang) yang mempunyai bentuk mata yang terlihat tidak wajar, melukiskan kekejaman dan kebengisan. Pemahaman tentang makna majas dari bentuk ungkapan ‘hebi no manako’ seperti ini hanya bisa dipahami jika pelaku komunikasi memahami betul makna lain dibalik makna leksikal ungkapan yang bersangkutan. Morita et.all (2000:105) mendefinisikan Majas yakni, “Hiyu wa, sono taishou no tokuchou ya joukyou o, imi no chigau hoka no go o motte rensou ya ruisui saseru hyougenhou de aru”. <majas merupakan bentuk ungkapan yang maknanya didapat dari analogi, hubungan pikiran untuk menunjukkan karakter, keadaan atas penggunanaan kata lain yang berbeda makna> Mendasarkan pada pendapat-pendapat ini, yang menyebutkan bahwa ungkapan dikatakan sebagai majas disebabkan bentuk ungkapan yang bersangkutan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan minimal bentuk majas yakni adanya pengingkaran atas kebenaran yang diungkapkan atas makna sebenarnya/makna struktur bentuk bahasa yang dipakai dalam ungkapan tersebut. Melalui bentuk bahasa itu, sebenarnya ingin menyatakan sesuatu yang lain. Pertanyaannya, hal apa yang mendasari hubungan bentuk ungkapan tersebut mampu melukiskan sesuatu hal yang lain, sebagai makna kiasan bagian dari majas. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan pendapat Yamanashi (1998:14) yakni: “Tatoerumono to tatoerarerumono, soshite kono tatoe no konkyou to narumono, kono mitsu no yousou wa, hiyuuhyougen no ninchiwaku no juuyou na kousei yousou de aru” Pendapat ini memberikan batasan yang jelas, bentuk ungkapan dalam majas mempunyai unsur pembentuk esensial yang merupakan keharusan pada bentuk yang diakui sebagai majas tersebut. Ketiga unsur tersebut adalah sesuatu/objek yang dibandingkan, sesuatu/objek yang menjadi pembanding, dan alasan hubungan perbandingan tersebut. Unsur yang disebutkan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

44


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

terakhir inilah yang memberikan bukti, alasan dan deskripsi yang dapat dipergunakan sebagai makna bentuk majas tersebut. (2) Sono otoko wa ookami de aru itu Laki-laki Top srigala tobe Laki-laki itu berkarakter licik dan garang Majas merupakan bentuk ungkapan yang didalamnya mengandung pengingkaran kenyataan objek yang sebenarnya ditunjukkan oleh satu bahasa yang digunakan. Mendasarkan pada karakter ini, contoh 2 merupakan bentuk majas dalam bahasa Jepang. Kalimat (2) menunjukkan pengingkaran kenyataan, peminjaman karakter makna yang melekat pada “ookami” untuk menjelaskan karakter yang sama pada “otoko”, kemungkinannya adalah karakter sifat pada orang laki-laki dipersamakan, mirip dengan karakter sifat serigala. Jika mengandalkan penganalisaan komponen makna dengan cara di atas akan belum mampu menyajikan deskripsi karakter makna yang dipertukarkan tersebut. Yamanashi menyajikan satu langkah untuk memperjelas karakter yang dipertukarkan tersebut dengan penggalian karakter khusus pada objek pembandingnya, istilah yang dipakai yakni “kengen tokusei”<manifestasi sifat khas>. Misalnya pada contoh (2) “ookami” sebagai objek pembanding mempunyai manifestasi sifat khusus yakni kebuasan, kegarangan “doumou”, licik, curang “inken”. Karakter inilah yang dipinjam untuk menjelaskan objek yang diperbandingkan dalam contoh kalimat 2 di atas. Bertolok ukur pada pemikiran di atas, peneliti mencoba untuk mendeskripsikan pemahaman makna majas bahasa jepang khususnya majas metafora “inyu” yang dalam pemahaman makanya mendapatkan kontribusi pengetahuan sosial budaya, bahkan dipengaruhi latar sosial budaya masyarakat bahasa Jepang itu sendiri. Bagaimana sumbangan pengetahuan budaya dalam praktik pemahaman makna majas bahasa Jepang akan terlihat pada beberapa kasus bentuk-bentuk majas berikut. 4. Pembahasan Majas (3) Yuki no hada salju gen kulit Kulit yang putih Bentuk majas jenis metafora ini mempunyai makna kiasan pengandaian warna kulit yang berwarna putih. Warna kulit putih dari seseorang (umumnya adalah kulit seorang wanita) dipersamakan dengan warna salju. Peminjaman bentuk ungkapan tertentu untuk mengungkapkan suatu maksud yang lain yang mendasarkan pada konsep kemiripan atau kesamaan “ruijisei” merupakan bentuk majas metafora. Jikalau dianalisis secara mendalam bahwa kemiripan antara warna salju (objek nyata yang sebenarnya) dengan warna kulit seseorang (objek yang diperbandingkan) mempunyai kesamaan kesan diantara kedua objek yang diperbandingkan tersebut. Kesamaan kesan inilah yang mendorong masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan, ketika ingin melukiskan maksud begitu lembut dan putihnya kulit seseorang, menggunakan bentuk ungkapan “yuki no hada”. Kontribusi pengetahuan budaya pada saat menganalisa makna majas ini terlihat pada waktu memahami kata “yuki”. Bagi pembelajar bahasa jepang yang berasal dari negara tropis, dan prinsipnya tidak mempunyai musim yang mampu menurunkan salju, bahkan belum pernah melihat salju tidak akan mampu memahami bahwa salju mempunyai karakter makna mampu memberikan kesan “lembut dan putih”. Pemahaman tentang musim, keadaan alam (dalam pengertian luas merupakan bagian budaya) mampu memberikan kemudahan pemahaman bentuk pengandaian jenis metafora tersebut. Hal ini dapat dibuktikan pula, ketika bahasa tertentu tidak mempunyai karakter musim yang mampu menurunkan salju, maka bentuk ungkapan yang mengusung kata salju pun tidak akan pernah ada. Bentuk majas yang lain seperti: nami, yama, hi no de ikioi, sakura , takane no hana mempunyai merupakan contoh-contoh majas metafora yang karakter yang sama dengan pemaknaan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

45


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

ungkapan yuki no hada. Pemahaman tentang kondisi alam beserta tumbuhan yang melingkupinya menjadi penting dalam pemahaman makna majas yang bersangkutan. (4) Neko to saru kucing dan monyet Seperti kucing dan monyet Majas metafora pada bentuk ungkapan neko to saru memiliki makna kiasan yakni lukisan hubungan yang tidak akan pernah akur, bersahabat dan selaras. Bentuk ungkapan ini muncul berdasarkan pada kesan pada masyarakat Jepang yang mempunyai pandangan, pendapat (sebagai cermin budaya) terhadap hubungan kedua jenis binatang tersebut yang selalu menunjukkan ketidakharmonisan. Kesamaan kesan atas dasar pandangan yang sama terhadap hubungan kedua jenis binatang tersebut dijadikan sebagai pembanding, untuk menyatakan maksud hubungan manusia yang tidak pernah harmonis, selalu menunjukkan gejala permusuhan, saling serang. Pemahaman budaya terlihat jelas waktu menganalisa karakter dan sifat kedua binatang tersebut dalam kehidupan masyarakat Jepang, serta pandangan orang Jepang terhadap kedua binatang tersebut sangat menentukan dalam memahami makna kiasan majas bentuk ini. Contoh metafora lain yang termasuk dalam jenis ini adalah karasu no gyouzui, suzume no namida, ushi no ayumi, inuji ni merupakan beberapa contoh bentuk-bentuk majas metafora yang dalam pemahaman maknanya memerlukan pemahaman pula pada makna pengandaian binatang dalam pemikiran orang Jepang. (5) Shougi daoshi mirip buah catur jatuhnya Layaknya jatuhnya buah catur Majas metafora ini mempunyai makna kiasan ‘satu bagian mengalami keruntuhan atau kehancuran, maka bagian seluruhnya segera menyusul mengalaminya’. Makna majas metafora ini terjadi karena kesamaan analogi ‘ruijisei’ dengan bentuk dan model permainan catur, cermin dari makna leksikal bentuk ungkapan tersebut. Dalam Daijirin Jiten (1995) memberikan penjelasan tentang makna shougi daoshi sebagai berikut. Pertama, dalam bangsa Jepang dikenal pula permainan catur. Kedua, bentuk permainan catur ditata, diatur secara berderet untuk semua buah caturnya. Bila beranalogi satu deret buah catur mengalami keruntuhan, maka akan memberikan efek terhadap deretan buah catur yang lain, begitu seterusnya, sehingga semua buah catur akan mengalami keruntuhan, kejatuhan. Kesan atas bentuk dan model penataan buah catur sebagai salah satu permainan masyarakat Jepang (sebagai bagian dari bentuk seni permainan) dijadikan sebagai pembanding, untuk menyatakan maksud satu bagian mengalami keruntuhan atau kehancuran maka bagian seluruhnya segera menyusul mengalaminya. Pemahaman atas satu bentuk permainan dalam masyarakat Jepang (permainan catur) sebagai bagian dari produk budaya sangat membantu dalam memahami makna metafora jenis ini. Contoh lain dari majas metafora sejenis ini yakni itachi gokko, oyama no taishou, hinoki butai, dan lain sebagainya. (6) Onshitsu sodachi Ruangan dengan suhu tertentu menumbuhkan, merawat Mendidik dengan cara menjaga dari pengaruh di luar lingkungannya Makna dari jenis majas metafora ini banyak terkait dengan sistem mata pencaharian masyarakat Jepang yang terlukis dalam makna kiasan dari majas ini. Pertama, makna majas metafora onshitsu sodachi bersumber pada kesamaan kesan dari kegiatan yang berisi tentang lukisan satu bentuk sistem mata pencaharian dalam kehidupan masyarakat Jepang. Lukisan sistem mata pencaharian berdasarkan makna sebenarnya ungkapan ini yakni satu bangunan atau fasilitas yang dipakai untuk membudidayakan tanaman dengan menjaga kestabilan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

46


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

temperatur, serta menjaga pengaruh buruk dari luar lingkungan. Sedangkan makna kiasan dari majas metafora ini mengibaratkan seseorang yang dididik secara baik dalam dunia yang sempit, dan menjaganya dari pengaruh di luar lingkungan tersebut, bahkan dijadikan sindiran bagi orang yang tidak tahu bagaimana susahnya mejalani kehidupan. Kegiatan yang ditampilkan melalui pemaknaan leksikal/sebenarnya bentuk ungkapan ini dengan makna kiasannya mengandung kesamaan “ruijisei” kesan yang dimunculkan dari kegiatan tersebut. Pemahaman budaya, secara spesifik yakni karakter satu bentuk sistem mata pencaharian di Jepang melatarbelakangi penciptaan majas metafora, serta pemahaman satu model pembudidayaan tanamanan sebagai satu mata pencaharian tertentu (bahkan model ini terus berlanjut sampai sekarang) akan mempermudah dalam memahami makna majas metafora seperti ini. (7) Oni ni kanabou Jin dat. pemukul besi Seseorang yang mempunyai kekuatan yang besar dan didukung dengan senjata yang ampuh Dalam Daijirin jiten (1995) disebutkan bahwa kata oni selain memiliki makna leksikal, kata ini juga digunakan dalam bentuk pengandaian jenis metafora. Makna leksikal kata oni dapat diartikan dalam beberapa makna, misalnya jin, setan, iblis, atau raksasa. Oni juga berarti ruh dari orang yang sudah meninggal. Menurut tradisi, cerita masyarakat Jepang, ruh orang yang sudah mati akan bisa menjelma kembali dan melingkupi kehidupan manusia yang masih hidup. Dalam cerita masyarakat, oni (ruh, setan) dikenal dalam bentuk raksasa yang mempunyai kekuatan besar dan mampu mempengaruhi kehidupan manusia. Cerita dalam agama Budha, manifestasi oni dalam kehidupan masyarakat Jepang, misalnya mampu memberikan kutukan kepada seseorang dengan cara memberikan wajah buruk pada orang tersebut. Selain itu, oni juga akan bisa menampakkan dirinya dalam bentuk wanita dan pria yang sangat menarik. Deskripsi tersebut merupakan karakter makna kata oni yang ada dan muncul berlatar belakang pada pemahaman religi, sistem kepercayaan dalam masyarakat Jepang. Pemahaman ini mampu diajukan sebagai dasar pemikiran dalam proses pemahaman makna kiasan kata oni. 4. Simpulan Para ahli bahasa Jepang menyebutkan bahwa pemahaman makna majas metafora bisa diformulasikan melalui pencarian alasan-alasan, bukti-bukti yang mendasari kesamaan “ruijisei” antara objek yang diperbandingkan dengan pembandingnya. Alasan-alasan atau bukti-bukti inilah yang memberikan warna baru, pandangan baru terhadap suatu objek tertentu, yang pada awalnya hanya disampaikan melalui penggunaan bentuk ungkapan yang lazim dan umum. Penggunaan majas inilah yang membuka jalan untuk memberikan warna baru, menghiasai ungkapan-ungkapan tersebut menjadi lebih menarik dan indah, dan bahkan dari majaslah satu bentuk ungkapan akan meluaskan karakter makna yang disandangnya. Pemahaman budaya dari masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan, dalam hal ini yakni budaya Jepang banyak berkontribusi dalam memperbanyak dan memperluas bukti dan alasan yang mendasari kesamaan “ruijisei” sebagai dasar konsep metafora, guna mendapatkan pemahaman antara objek yang diperbandingkan dengan pembandingnya. Unsur-unsur budaya yang melatarbelakangi dan membantu dalam pemahaman bentuk-bentuk metafora dalam bahasa Jepang, misalnya, karakter kondisi alam dan hasilnya, cara pandang orang Jepang, kesenian, sistem mata pencaharian, dan bahkan religi masyarakat Jepang pun terlukiskan dalam ungkapan majas metafora. Mungkin masih banyak unsur-unsur budaya yang lain yang belum terjelaskan karena keterbatasan sampel data analisis yang diajukan dalam tulisan ini. 5. Daftar Pustaka Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Morita, Yoshiko. 1989. Keesu Sutadii Nihongo no Goi.Tokyo: Oufuu. Nakamura, Akira. 1989. Hiyu no Bunrui ni Kansuru Mondaishuu. Nihongo Gaku., Vol. 4. Tokyo: Meijishoin. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

47


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Subandi. 2000. Terjadinya Makna Idiomatikal Kata Majemuk Bahasa Jepang Ditinjau Dari Konsep Metafora. Verba FBS Unesa, Vol. 8, No. 2. Surabaya: FBS Unesa. Sumarsono dan Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA Pustaka Pelajar Yamanashi, Masaaki. 1995. Ninchi Bunpooron. Tokyo: Hitsuji Shoboo. Yamanashi, Masaaki. 1998. Hiyu to Rikai. Tokyo: Tokyo Daigaku Shuppaikai. Daftar Kamus Muraishi, Shouji. 1986. Kumon no Gakushuu Kokugo Jiten. Tokyo: Kumon Shuppan. Matsumura Akira et.al. (1995) Daijirin jiten dainihan. Tokyou: Sanseidou

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

48


HUMANIORA

INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Ekor Verba -u/-ru sebagai Konstituen Penyambung dalam Bahasa Jepang, Sebuah Pemikiran Roni Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya Fakultas Sastra Universitas Nagoya Email: ronniewae@yahoo.com Abstrak Ekor verba -u/-ru dikenal sebagai konstituen yang menyatakan makna kala tidak lampau (mendatang). Makna kala tidak lampau ini berada pada level konkrit yaitu pada kalimat sehari-hari. Pada level abstrak yaitu dalam pembentukan konstruksi predikat verba, -u/-ru tidak mempunyai makna kala. Contoh yang paling jelas adalah verba dalam bentuk kamus. Konstituen -u/-ru dalam level abstrak inilah yang dalam tulisan ini dapat diposisikan sebagai konstituen penyambung. Misalnya konstituen penyambung -u dalam kalimat sehari-hari ada yang tetap -u, ada yang berubah menjadi -i, -a, dan -e, dan ada juga yang hilang menjadi Ă˜. Selanjutnya, konstituen penyambung -u, -i, -a, -e, dan Ă˜ ini diposisikan sebagai alomorf, yaitu anggota dari sebuah morfem yang sama. Kata-kata kunci: ekor verba –u/-ru, konstituen penyambung, frasa predikat.

1. Pengantar Berbicara mengenai konstituen penyambung, tentu akan membawa angan ke arah kata sambung atau yang dalam bahasa Jepang disebut setsuzokushi. Kata sambung dipergunakan untuk menyambung antara klausa (atau kalimat) yang satu dengan klausa yang lain. Tetapi dalam tulisan pendek ini tidak hendak membahas kata sambung yang digunakan untuk menyambung klausa; namun lebih kecil dari klausa, yaitu frasa. Secara tatabahasa preskriptif, kalimat majemuk terdiri dari beberapa klausa, klausa tersusun dari rangkaian frasa, frasa tersusun dari rangkaian kata, kata terdiri dari rangkaian suku, dan suku terdiri rangkaian fonem (huruf). Dari beberapa satuan lingual ini akan difokuskan pada konstruksi yang disebut frasa. Jadi, konstituen penyambung yang dimaksud terdapat dalam konstruksi frasa. Dalam kajian fungsi sintaksis, kalimat terdiri dari fungsi subjek, fungsi predikat, dan fungsi objek. Dan, dalam tatabahasa tradisional ditambahkan pula fungsi keterangan. Dalam pengisian predikat, masing-masing bahasa akan berbeda. Walaupun demikian, ada jenis kata tertentu yang dipastikan sama secara antar-bahasa dalam pengisian predikat. Artinya, semua bahasa menempatkan jenis kata tersebut di slot predikat. Jenis kata yang dimaksud adalah kata kerja atau verba. Untuk memudahkan pembahasan akan difokuskan pada fungsi predikat yang diisi oleh verba, yaitu predikat verba. Ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dalam tulisan ini: adakah konstituen penyambung dalam konstruksi frasa predikat verba? 2. Verba dalam Bahasa Jepang Verba dalam bahasa Jepang dibedakan menjadi tiga, yaitu verba konsonan, verba vokal, dan verba tidak beraturan. Verba konsonan adalah verba yang akarnya berakhir dengan fonem konsonan atau disebut juga verba dengan ekor kata -u. Misalnya pada verba ka(w)u (membeli), uru (menjual), asobu (bermain), yomu (membaca), dan kaku (menulis), fonem -u yang bergaris bawah adalah ekor kata. (Selengkapnya lihat tabel (1)). Sedangkan, yang menjadi akar verba masing-masing adalah kaw, ur, asob, yom, dan kak (lihat kolom 1c), serta masing-masing akar verba tersebut diakhiri dengan konsonan w, r, b, m, dan k (kolom 1c). Oleh karenanya disebut verba konsonan. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

49


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Verba vokal adalah verba yang berekor kata -ru dan akar verbanya berakhir dengan vokal. Misalnya pada verba miru (melihat) dan taberu (makan), ekor verbanya adalah -ru (bergaris bawah). Akar verbanya adalah mi dan tabe (kolom 1c), serta masing-masing berakhir dengan vocal i dan e (kolom 1d). Oleh karena itu disebut verba vokal. Verba tidak beraturan adalah verba yang sulit ditentukan akar verbanya. Misalnya verba kuru (datang) dan suru (mengerjakan) jika ditambahkan imbuhan -tai (ingin) dan -nai (tidak) menjadi kitai (ingin datang), konai (tidak datang), shitai (ingin mengerjakan), dan shinai (tidak mengerjakan). Di situ sulit untuk menentukan akar verbanya kuru adalah ku, ko, atau ki; akar verbanya suru adalah su atau shi. Dalam tulisan ini hanya berkonsentrasi pada dua jenis verba yang disebut di awal. (1) Jenis Verba dalam Bahasa Jepang Jenis Verba a

Contoh

Konsonan (berekor kata -u)

Vokal (berekor kata -ru) Tidak Beraturan

b ka(w)u motu uru asobu shinu yomu kaku oyogu hanasu miru niru taberu neru suru kuru irassharu

Akar Verba c ka(w) mot ur asob shin yom kak oyog hanas mi ni tabe ne

Konsonan Akhir d w t r b n m k g s i e

Arti e membeli membawa menjual bermain mati membaca menulis berenang berbicara melihat mirip makan tidur mengerjakan datang datang/pergi

3. Konstruksi Frasa Predikat Verba Sebelum masuk pada pembicaraan konstituen penyambung, dalam sub ini akan diulas mengenai konstruksi frasa predikat verba dalam bahasa Jepang. Kita lihat contoh-contoh berikut ini dengan menggunakan verba yomu (membaca). (2)

a. b. c. d.

yomimasu yomitai yomanai yomanakerebanaranai

Pada contoh (2) di atas, yang menjadi konstituen utama atau head adalah akar verba yom dan bukan yomi atau yoma. Sedangkan yang menjadi keterangan atau modifier-nya adalah konstituen yang masing-masing secara berurutan menyatakan kesopanan (2a), keinginan (2b), 1 negative (2c), dan keharusan (2d) masih menjadi tanda tanya . Apakah bentuk modifiernya adalah -masu, -tai, -nai, nakerebanaranai atau -imasu, -itai, -anai, -anakerebanaranai, hal ini masih menjadi perdebatan. Ada ahli yang memosisikan bahwa -masu, -tai, -nai, nakerebanaranai dan -imasu, -itai, -anai, -anakerebanaranai adalah morfem yang sama dengan 1

Mengenai konstituen mana yang menjadi head dan mana yang menjadi modifier dalam konstruksi predikat, ada dua sudut pandang yang berlawanan. Misalnya pada konstruksi predikat tabe-tai (ingin makan), menurut kebiasaan ahli logika yang menjadi head adalah –tai (ingin); sedangkan menurut Lehmann (1973) yang menjadi head adalah tabe(makan). Tulisan ini bersandar pada sudut pandang yang ke dua.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

50


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

2

bentuk yang berbeda . Artinya, dianggap sebagai alomorf. Hal ini bisa kita samakan dengan morfem atau awalan me- dalam bahasa Indonesia. Awalan me- dalam bahasa Indonesia beralomorf dengan men-, mem-, meny-, meng-, dan menge-. Ada juga ahli yang menjelaskan bahwa konstituen yang menyatakan kesopanan, keinginan, negative, dan keharusan masingmasing adalah -masu, -tai, -nai, -nakerebanaranai. Bagaimana dengan buku-buku pelajaran dalam pendidikan bahasa Jepang di luar negeri (di luar Jepang)? Rupa-rupanya dalam buku pelajaran bahasa Jepang seperti “Minna no Nihongo” menggunakan cara yang disebutkan belakangan (ke dua), yaitu -masu, -tai, -nai, dan -nakerebanaranai. Tulisan pendek ini akan mengikuti alur pemikiran yang ke dua. Dengan bersandarkan pada pendapat yang ke dua, maka akar verba pada contoh (2) di atas adalah yom, dan imbuhan yang menyatakan kesopanan, keinginan, negatif, dan keharusan masing-masing adalah -masu, -tai, -nai, -nakerebanaranai. Bagaimana dengan konstituen i dan a yang bergaris bawah pada contoh (2) di atas? Konstituen inilah yang pada tulisan ini diposisikan sebagai konstituen penyambung. Konstituen i bertugas merekatkan akar verba yom- dengan -masu dan -tai, sedangkan konstituen a bertugas merekatkan akar verba yomdengan -nai dan -nakerebanaranai. 4. Dasar Pemikiran Konstituen i dan a sebagai Konstituen Penyambung 4.1. Frasa Nomina Istilah konstituen penyambung ini tidak begitu akrab di perlinguistikan Indonesia. Konstituen penyambung mengindikasikan tugasnya sebagai penyambung antara konstituen yang satu dengan konstituen yang lain. Ibaratnya lem, dia mempunyai tugas merekatkan atau menempelkan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Perhatikan frasa pada contoh bahasa Indonesia dan bahasa Jepang berikut. (3)

Nomina

Bahasa Indonesia Penyam Modifier bung buku Ø saya

Ajektiva

buku buku

Head

Verba

orang

(nya) (yang)

yang

Pak Sugeng mahal

minum

Bahasa Jepang Penyam bung watashi no (saya) Sugeng sensei no taisetsu na (penting) takai Ø ↓ ↓ taka i (mahal) futoru Ø ↓ ↓ futor u (gemuk) Modifier

Head hon (buku) hon hon hon

hito (orang)

Konstituen head dan modifier dalam konstruksi frasa, bahasa Indonesia dan bahasa Jepang memiliki konstruksi urutan yang berlawanan. Bahasa Indonesia menempatkan konstituen head di awal frasa, sebaliknya bahasa Jepang menempatkan konstituen head di akhir frasa. Pada contoh bahasa Indonesia, frasa nomina + nomina buku saya di antaranya tidak membutuhkan penyambung; sedangkan pada buku(nya) Pak Sugeng, konstituen penyambung -nya digunakan secara opsional. Pada frasa nomina + ajektiva buku (yang) mahal, konstituen penyambung yang juga digunakan secara opsional; sedangkan pada frasa nomina + verba, konstituen 2

Lihat bukunya Shirota Shun (1998) dengan judul Nihongo Keitairon.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

51


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

penyambung yang digunakan secara wajib seperti pada orang yang minum. Ajektiva mahal dan verba minum adalah akar kata. Dalam frasa nomina bahasa Jepang dengan konstruksi frasa nomina + nomina watashi no hon (buku saya) dan Sugeng sensei no hon (buku Pak Sugeng), konstituen penyambung no digunakan secara wajib. Dalam konstruksi frasa ajektiva tipe na + nomina taisetsu na hon (buku penting), penyambung na juga digunakan secara wajib. Sedangkan dalam konstruksi frasa ajektiva tipe i + nomina takai hon (buku mahal) dan konstruksi frasa verba + nomina futoru hito (orang gemuk), tidak terdapat penyambung seperti no dalam Sugeng sensei no hon di atas. Akan tetapi pada ajektiva takai (mahal) dan verba nomu (minum) yang menjadi menjadi akar verba masing-masing adalah taka dan futor, serta ekor katanya adalah i dan u. Pada konstituen i dan u setidaknya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah sebagai konstituen yang menyatakan kala (mendatang) dan kemungkinan ke dua tidak menyatakan makna kala. Menilik ajektiva yang selalu menyatakan keadaan maka i pada takai hon agak sulit menemukan contoh yang menyatakan kala mendatang. Demikian pula pada verba futoru (gemuk) juga menyatakan keadaan. Hal ini berbeda dengan verba yang menyatakan kegiatan seperti contoh (4) kaeru (pulang) dan contoh (5) taberu (makan). Konstituen -u pada kaeru dan -ru pada taberu menyatakan kala mendatang. Jika i pada takai dan u pada futoru tidak menyatakan kala, maka dia dapat diposisikan sebagai konstituen penyambung. (4) (5)

Korekara kaeru hito wa mazu jibun no teburu o katazukete kudasai. (Orang yang akan pulang setelah ini, bereskan dulu mejanya sendiri-sendiri) Korekara taberu hito wa te o aratte kudasai. (Orang yang akan makan, silakan cuci tangan)

4.2. Hierarki Penyambungan Teori hierarki penyambungan ini didasarkan pada uraian Verhaar (1996, 318-327). Dalam setiap bahasa terdapat hierarki konstruksi frasa nomina + non-nomina. Dalam frasa dengan konstituen head atau utamanya nomina dan konstituen modifiernya non-nomina, penyambungannya dapat bersifat rapat sehingga tidak diperlukan konstituen penyambung; atau sebaliknya bersifat longgar sehingga konstituen penyambung dipakai secara opsional bahkan wajib. Deretan hierarki penyambungan tersebut membentuk continuum. Perhatikan hierarki penyambungan (6) berikut. (6) Hierarki Penyambungan semakin ke atas semakin rapat

semakin ke bawah semakin longgar

7. 6. 5. 4. 3. 2. 1.

nomina + artikel nomina + deiktik nomina + pronominal interogatif nomina + pembilang nomina + ajektiva 3 nomina + partisipia nomina + klausa relatif

Deret hierarki penyambungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahwa urutan konstruksi frasa nomina + non-nomina tidak dipermasalahkan. Artinya, bisa saja urutannya menjadi non-nomina + nomina. Semakin tinggi (angkanya besar) konstruksi frasa tersebut hubungan antara nomina head dan non-nomina modifier semakin rapat sehingga konstituen penyambung tidak diperlukan; sebaliknya, semakin rendah (angkanya kecil) konstruksi frasa tersebut hubungan antara nomina head dan non-nomina modifier semakin longgar sehingga diperlukan konstituen penyambung. Jika pada salah satu deret hierarki tersebut konstituen penyambung digunakan secara wajib, maka semua deret di bawahnya juga wajib memakai konstituen penyambung. 3

Partisipia (partisipel) adalah verba yang digunakan sebagai ajektiva (Harimurti Kridalaksana, 1993: 156)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

52


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Berdasarkan uraian tersebut di atas, berikut ini penerapan teori hierarki penyambungan frasa nomina + non-nomina dalam bahasa Jepang. (7) Hierarki Penyambungan dalam Bahasa Jepang 7. Jakarta e (ke Jakarta) 6. kono hon (buku ini) 5. dono hito (orang mana) 4. futari *(no) gakusei (dua orang siswa) 3a. kirei *(na) ojoosan (gadis cantik) 3b. utsukushi *(i) ojoosan (gadis cantik) 2. futo *(ru) hiro (orang gemuk) 1. mi *(ru) hito (orang yang melihat) Ket:

Tanda *(_) artinya konstituen yang berada dalam tanda tersebut bersifat wajib hadir

Dari hierarki penyambungan (7) tersebut, dapat diketahui bahwa konstituen penyambung wajib digunakan pada deret nomor 4 yaitu pembilang + nomina. Sehingga, semua deret dibawahnya konstituen penyambung juga wajib digunakan. Dengan demikian, pada deret 3b ajektiva tipe i + nomina, 2 partisipia + nomina, dan 1 verba + nomina, konstituen ekor kata -i dan ekor kata -ru dapat berfungsi sebagai konstituen penyambung. Dengan dasar pemikiran tersebut di atas, ekor verba -u/-ru dalam tulisan ini diposisikan sebagai konstituen penyambung. Sebagai konstituen penyambung, -u/-ru tidak hanya menyambung nomina dan non-nomina dalam frasa nomina, tetapi juga dapat menyambung verba (maksudnya: akar verba) dengan kata bantu predikat dalam konstruksi predikat verba. 5. Dua Level -u/-ru Sampai di sini, telah diuraikan tentang dasar bahwa ekor verba -u/-ru dapat diposisikan sebagai konstituen penyambung dalam konstruksi predikat verba bahasa Jepang. Sebenarnya yang berekor kata -u/-ru tidak hanya verba, konstituen-konstituen yang disebut dengan kata bantu predikat yang menyatakan kesopanan seperti -desu dan -masu juga berekor dengan -u. Demikian pula kata bantu predikat -reru/-rareru (pasif), -seru/-saseru (kausatif), dan -eru/-rareru (kemungkinan) juga berekor dengan -ru. Fungsi -u/-ru baik dalam verba maupun kata bantu predikat hanyalah sebagai pelengkap nama verba dan kata bantu yang bersangkutan. Dalam pembentukan kata maupun frasa ekor -u/-ru tidak mempunyai makna, karena dia hanya sebagai pelengkap sebuah nama. Perhatikan contoh (8) dan (9) berikut. (8)

(9)

Watashi wa korekara sugu ne- -ru. `saya` TOP `setelah ini` `segera` `tidur` FUTURE (Setelah ini saya akan segera tidur) Hayaku ne- -ta- -i. `cepat` `tidur` `ingin` FUTURE (Saya ingin cepat tidur)

Pada contoh (8), predikatnya berkonstruksi akar verba ne- (tidur) dan ditempeli kata bantu predikat yang menyatakan kala mendatang -ru (akan); keseluruhan konstruksinya adalah neru. Pada contoh (9), berkonstruksi akar verba ne- (tidur) + -ta- (ingin) + -i (akan). Dalam hal ini neberasal dari verba neru juga seperti pada contoh (8). Kemudian, apa perbedaan antara neru yang disebut pertama dan neru yang disebut kedua. Di sinilah, rupanya perlu dibedakan antara -ru yang menyatakan makna kala mendatang (8) dan -ru yang tidak mempunyai makna. Pada ru yang pertama berada pada level konkrit, seperti dalam pemakaian sehari-hari. Oleh karena itu disebut dengan -ru pada level konkrit. Sedangkan -ru yang kedua adanya dalam otak penutur dan bersifat abstrak, yang pada tulisan ini disebut dengan -ru pada level abstrak. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

53


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Dengan demikian, -u/-ru dalam verba kau (membeli) taberu (makan) seperti dalam bentuk kamus, kata bantu predikat -desu, -masu, -reru/-rareru, -seru/saseru, dan lain sebagainya bersifat abstrak. Sedangkan, -u/-ru dalam kalimat nyata yang dipakai dalam kalimat sehari-hari bersifat konkrit. Dalam hal ini, -ru dan -u diposisikan sebagai bentuk berbeda dari morfem yang sama atau sering disebut sebagai alomorf. 6. Alomorf -u Sebagai konstituen penyambung, -u/-ru ibaratnya sebuah lem, dia mempunyai tugas menyambungkan antara konstituen akar verba dan konstituen yang dalam tulisan ini disebut dengan kata bantu predikat. Istilah kata bantu predikat ini untuk meng-indonesiakan istilah jodooshi dalam bahasa Jepang. Jenis kata yang disebut kata bantu predikat ini dalam bahasa Jepang mencakup konstituen yang menyatakan kala, aspek, modal, diatesis, dan sebagainya. Para linguis Jepang berbeda-beda dalam mengelompokkan kata bantu predikat ini. Pada tulisan pendek ini, kata bantu predikat didefinisikan sebagai jenis kata yang bersama-sama dengan akar verba membentuk konstruksi predikat. Dalam bahasa Jepang, dipandang dari segi urutan morfem/kata, jenis kata bantu predikat ini berada setelah akar verba. Subbab ini akan membahas tentang jenis bentuk konstituen penyambung secara sekilas. Pembahasan terbatas pada konstituen penyambung -u. Seperti sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa -u/-ru mempunyai dua level. Level abstrak dan level konkrit. Pada level abstrak, -u/-ru tidak mempunyai makna; sedangkan pada level konkrit -u/-ru mempunyai makna kala tidak lampau atau mendatang. Pada level abstrak, konstituen penyambung -u ketika digunakan dalam kalimat sebenarnya (level konkrit) ada yang tetap -u, ada yang berubah menjadi -i, -a, dan -e, serta ada yang hilang (Ă˜) seperti pada tabel (10). Hubungan antara -u, -i, -a, -e, dan Ă˜, dalam tulisan ini diposisikan sebagai alomorf, yaitu anggota dari sebuah morfem (morfem penyambung) yang sama yaitu morfem -u. (10) Alomorf Konstituen Penyambung -u Verba

Penyambung -u i

a yom(n)(membaca) Ă˜

u

iâ†’Ă˜ e

Kata Bantu Predikat -masu (sopan) -tai (keinginan) -yasui (habituatif) -nai (negative) -seru (kausatif) -reru (pasif) -nakerebanaranai (harus) -u (kala mendatang) -e (perintah) -oo (ajakan) -kotogadekiru (mungkin) -mae (urutan: sebelum) -na (larangan) -d(t)a (kala lampau) -d(t)e (bentuk sambung) -ba (pengandaian) -baii (saran)

7. Simpulan Ekor verba -u/-ru selama ini dikenal sebagai konstituen yang menyatakan kala mendatang. Hal ini benar adanya, karena pada level konkrit memang -u/-ru menyatakan makna itu. Akan tetapi, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

54


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

seperti telah diuraikan bahwa -u/-ru juga bisa diposisikan sebagai konstituen penyambung dalam konstruksi predikat verba. Sebagai penyambung dia merangkai akar verba dan kata bantu predikat sebagai satu kesatuan untuk membentuk konstruksi predikat. Konstituen penyambung -u pada kalimat nyata mempunyai alomorf berupa -u, -i, -a, -e, dan Ø. Tulisan ini hanya membahas secara global tentang adanya konstituen penyambung dalam frasa predikat verba. Berdasarkan jenis-jenis kata bantu predikat yang lain, jumlah alomorf konstituen penyambung -u dapat bertambah. Hal ini perlu pembahasan lebih lanjut. Demikian juga halnya dengan konstituen penyambung -ru yang tidak sempat dibahas alomorfnya dalam tulisan pendek ini.

8. Daftar Rujukan Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Lehmann, WP. 1973 “A Structural Principle Of Language And Its Implications” dalam Language Vol. 49 No. 1 Roni. 2009 “Jutsugokumatsu Onso no Keitaioninronteki Ichizuke” dalam Nagoya Daigaku Jimbun Kagaku Kenkyuu Nomor 38, Februari 2009 Shirota Shun, 1998. Nihongo Keitairon. Hitsuji Shoboo Verhaar, JWM. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

55


CATATAN RISET

INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Legal Stipulation of Educational Personnel in Indonesia and Its Implementation Murni Ramli Department of Educational Management, Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University, Japan E-mail: moernier@gmail.com Abstract The study aimed to analyze discourse of the improvement of educational personnel through legal provision in Indonesia, and to discuss the teacher certification system as the new policy for standardization teacher quality. Two National Educational Laws, i.e., Law 2/1989 and Law 20/2003 were compared on the issue of educational personnel. More detailed analysis was focused on the standardization of educational personnel stipulated in Teacher and Lecturer Law No.14/2005. The concept of teacher certification was referred to some ministerial regulations and instructions. To verify the legal provision, interviewed to the related persons had been conducted in three cities in 2007 and 2008. The main findings were the issue of educational personnel has been maturely promoted in Law 20/2003, which can be verified from the comprehensiveness and clarified wording; the standardization of educational personnel were formulated as for entire the nation, but there were some discrimination and dispensation to fix some heterogonous condition of persons and regions; the concept of teacher competence does not meet directly to the necessity of teaching improvement. Key words: teacher certification, teacher quality, teacher qualification, teacher evaluation 1. Introduction It is universally agreed that the quality of teaching and nursing at the school is the main factor influenced student achievement. Some theoretical arguments and empirical studies have been reported to provide evidence of this argument, for example Goldhaber & Brewer (2000) who reported that in mathematics, teacher who have standard certification in USA have significantly th affected student test score. He tested student of grade 12 which were taught by the teachers with probationary certification, emergency certification, private school certification, or no certification compare relatively to the student taught by teacher who has standard certification. The good quality of teaching comes from teacher with outstanding quality too. And teacher quality depends on teacher academic background. This point becomes the basis of categorizing teachers through teacher certification system in Indonesia. Teacher certification comes to be an important issue in many countries with show low student achievement which is tested through the international evaluation, such as TIMMS or PISA. Problems of teacher in Indonesia are the low quality of teacher, the teacher shortage in rural area, and the unbalance of teacher allocatioan (Jalal, 2007). The low quality of teacher in Indonesia can be traced from routes to become a teacher, or the process of teacher assignment. Teacher assignment is various and sometimes not firmly regulated. It is simplified often, for instance, recruitment based on the teaching experience or family relationship, which is commonly happened in many private Islamic schools (madrasah). Madrasah is mostly developed as a part of the modernization of pesantren, the traditional Islamic institution. Senior teachers (about 50 years old) in public or private schools mostly graduated from the SPG Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

56


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

(Sekolah Pendidikan Guru), 1 a 3-year teacher school taking after graduating from lower secondary school, or a few of them completed the courses at a school of education in the 2 national colleges or universities. Those who have a certificate of completion are eligible to be assigned as a civil servant (Pegawai Negeri Sipil or PNS) teaching in public school after passing the national selection for PNS organized by the Ministry of National Education (MONE), and the 3 Ministry of Religion Affairs (MORA) for teacher of religious education (Pendidikan Agama). In many rural and remote areas, teacher shortage becomes the problem of most schools particularly the private schools. Thus, the route to become part time teachers and private school teachers that can be defined as private school route, have been applied traditionally to appoint someone as a teacher. For example, screening teacher candidates based on simple portfolio (e.g., certificate of graduation, curriculum vitae). The unbalance condition between demand and supply of teachers in many provinces also cause what we can define as the emergency teacher, which assigned personnel from non-related academic background, or in the more isolated area such as in the mountainous, teaching is a voluntary work. However, a modern system of teacher recruitment has been commonly employed in some private schools in the big cities. For example, teacher recruitment which is advertised in the mass media, followed by portfolio screening with more complex requirements, examination, teaching practice, and interview. As the problem of teacher shortage has become gradually increased particularly in the urban and rural areas, which directly occurs after the rapid increasing of population or, on the contrary, population declined sharply, the problem of hiring teachers also arises. Thus, alternate teacher routes have to be applied, such as those beings popular in the US since 1960s (Kirby, DarlingHammond & Hudson, 1989; Darling-Hammond, 1990; Zeichner & Schulte, 2001). According to Bliss, it is necessary to bring exceptionally qualified individuals with diverse backgrounds into teacher profession (Bliss, 1990). In Indonesia, the issue of teacher who live under the poverty line and low-quality welfare are blown up as the political issue by the political parties during the governor and mayor election. The issue is also aggrandized by the Teacher Union of Republic Indonesia (Persatuan Guru Republik Indonesia, PGRI) which can be judged as the stimulator of the enactment of Teachers and Lecturer Law in 2005.Usman et.al. (2004) also reported that some primary school teachers engage in additional employment or do side jobs due to the lack of income. Therefore they suggested a policy to improve teacher welfare and teacher allocation. However, what actually being boasted by PGRI as an urgent policy to improve teacher’s good life was captured by government as the need to improve teacher’s quality as well. By all means, government do not want to voluntary increase the salary of teachers as PGRI’s demanding, but as the excess of salary increasing, the minimum competencies of teachers should also be standardized. Therefore, the issue of teacher quality improvement is not just a legal article in the Law of National Educational System No. 20/2003, and further regulated in Teacher and Lecturer Law No. 19/ 2005 (Undang-Undang Guru dan Dosen), but in another aspect, Indonesia has started to develop the teacher/lecturer certification system which will be the basic requirement to entering teaching profession. Certification or licensure for teaching is absolutely and urgently needed as the basic selection of teacher candidates. Kinney defined certification in education as a process of nation licensing, authorizing the holder of the certificate to perform specified services in the schools of the nation. 1

In 1989, all SPG had been integrated as the part of IKIP It is commonly called IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan), but there was significant change in 1999, when via The Presidential Decree, all IKIP changed to University, sometimes called Univeristas Pendidikan or Universitas Negeri X. X is the name of city where the university is located. 3 Dual system of education is controlled by two ministries, the Ministry of National Education (MONE) and the Ministry of Religious Affairs (MORA). The higher education administered by the MORA called IAIN or Institut Agama Islam Negeri. However, all IAIN had been changed to University, with the new nom enclature i.e., UIN or Universitas Islam Negeri (Islamic National University) 2

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

57


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

It is a measurement to insure the quality in the program of instruction when public schools are delegated to be managed under the regional government. He also concluded the common procedures that state in America have mainly apply in professional certification, i.e., classification of positions, specification of duties, lay control of regulations, and assurance of supply to meet the demand (Kinney, 1965). Now, as the first certification system applied in Indonesia, the analysis of legal items concerning teacher certification should be done, which developed based on the questions, first, whether it represents the whole condition of teachers problems in the heterogeneous nation likes Indonesia or just something adopted from abroad. Second, whether it clearly defined the functions, approaches, definition, process, responsibility, and authorization or implication. Those findings will be further applied to study the relation between teacher certification and the quality of teaching. 2. Research Methodology Policy analysis was a main methodology used in this study, followed by some literature study and interview. First, this study was focused on analyzing the following laws and regulations: The Law of National Educational System No. 2/1989 (hereinafter called as Law 2/1989), The Law of National Educational System 20/2003 (hereinafter called as Law 20/2003), The Law 14/2005 on Teacher and Lecturer (called as Law 14/2005), the MONE’s Regulation 18/2007 on In-service Teacher Certification (Regulation 18/2007), the MONE Regulation 16/2007 on Standard of Academic Qualification and Competencies of teachers (Regulation 16/2007),and the MONE’s Instruction on Determination of Scoring of Teacher based on its functional position. Policy analysis were mostly based on model developed by Thomas (1996) for analysing the maturity of Law 2/1989 compare to its former, Law 4/1950. He applied six dimensions, i.e. comprehensiveness, equity, clarity, relevant differentiation, balance of control, and flexibility to juxtapose both laws. Second, the fact of teacher and schooling are captured through interviews with the principals, teachers, staffs of the MONE and the MORA at Regional Level, assessor of teacher certification, and leaders of PGRI chapter Madiun, Semarang and Jakarta. The interview was conducted twice, in April-May, 2007 and February, 2008. The content of interviews was focused on understanding and implementation of teacher certification. 3. Findings and Discussion 3.1. The Conception of Educational Personnel in Law 2/1989 and Law 20/2003 The issue of educational personnel is mentioned in six articles in the National Educational System, both in Law No. 2/1989 and Law No. 20/2003. There is a difference on titling the articles, i.e. in Law 2/1989 the issue of teachers mentioned under the title Educational Personnel (Tenaga Kependidikan), however, in Law 20/2003, it is mentioned as Educators and Educational Personnel (Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Educational Personnel as mentioned in the Law 2/1989 includes educators, teachers, school administrators, government officer works in education. In contrast, Educational Personnel in Law 20/2003 exclude teacher/educator and only covers person who administer and manage the school. The word “Pendidik” means teacher or educator. Law 20/2003 more clearly defines the school administrator and the teacher as different profession. The right of teacher as mentioned in both laws can be categorized as right of payment, right of allowance, right of career guidance and promotion, right of legal protection, right of award, and right of using the educational facilities. However, there is a slight difference on defining the right of career guidance and promotion and right of legal protection. First, right of career guidance and promotion in Law 2/1989 has been defined as the benefit that teacher earns based on his achievement (article 30 verse 2), but in Law 20/2003, this right is received not based on teacher good achievement, but will be received with non discrimination as the component of quality improvement (article 40 verse 1c). Second, the right of legal protection in Law 2/1989 have Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

58


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

been defined as a security guarantee during its duty (article 30 verse 3), but in Law 20/2003, it is defined widely including the patent and copyright (article 40 verse 1d). Table 1. Comparative analysis on the content of two educational fundamental laws Aspect

Law 2 /1989

Law 20/2003

Title of the article

Educational Personnel (Tenaga Kependidikan)

Educators and Educational Personnel (Pendidik dan Tenaga Kependidikan)

Coverage Issue

Terminology, teacher qualification, assignment of non-teacher and foreigners as teachers, rights and obligatory, reward and career development

Terminology, rights and obligatory, regional government role on educational personnel, teacher standardization, teacher certification, reward and allowances, career and quality improvement

Definition and function

Educational personnel (Tenaga Kependidikan): teachers, school administrators, school’s inspector, researchers, educators, librarian, technician, library’s operators Teaching Personnel (Tenaga pengajar): teacher and lecturer

Educational personnel (Tenaga Kependidikan): function to administer, manage, develop, and provide services at school

Function: teaching, training, researching, developing, managing, and providing services in educational field.

Function: professional person, function on planning and conducting schooling/learning, evaluating the result of learning, providing guidance and training, conducting research and community participation.

Rights: obtain salary and allowances from government for the civil servant teacher (PNS) and paid by the foundation for private teachers; get career guidance, work under law protection, rewarded, have the opportunity to use the facilities

Rights: no change

Rights and obligation

Obligation: loyal to Pancasila and national constitution (UUD 1945), respect national culture, work with responsibility and dedication, upgrading knowledge and ability, keep good image as teachers. Teacher qualification

Believe on one God, have a good perspective on carrying out the value of Pancasila and the Constitution, UUD 1945, posses the qualification as teachers

Educator (Pendidik) is teacher and lecturer

Obligation: creating the creative, dynamic, dialogist and delightful learning atmosphere; have the commitment on improving the quality education; become a leader with good image.

Having a minimum qualification or posses certificate as teachers, physically and spiritually health, having ability to gain the aim of national education, posses academic degree from accredited university

Non-educational person and foreigner have chance to teach Reward and Promotion

Given based on teachers ability and performances

Given based on academic background, experience, ability and their performances in educational field.

The role of management

The role of local government is not clearly stated

National government and local government share the role on educational personnel’ management

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

59


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Teachers’ obligations are described dissimilar in both laws. Law 2/1989 article 31 refer to five obligations, i.e. nurture the commitment to Pancasila and the Constitution (both teacher and student); appreciate national tradition/culture; has strong commitment and full of responsibility; improve the quality of profession; and keep the good reputation. While, Law 20/2003 article 40, verse 2 refer to only three obligations, i.e., create the meaningful, fun, creative, dynamic, and communicative learning atmosphere; have a professional commitment to improve the quality of education; showing good performance and personality, and have strong commitment to keep the good reputation of the institution. It can be surmised that Law 20/2003 demands teacher/educator to improve educational quality rather than become a good citizenship who keep loyalty to constitution. Law 2/1989 only hints two requirements to become a teacher, i.e., a candidate have to believe and devout to only One God, possessing a perspective on Pancasila and the Constitution 1945, and have fulfilled the qualification of teacher (article 28, verse 2). What refer as the qualification as teacher is not further explained. In the contrary, Law 20/2003 article 42 describes more complicated requirement, i.e., teacher has to possess minimum qualification and certification suitable with his teaching authority; physically and mentally health; able to achieve the purpose of national education (verse 1); and graduates from the accredited university (verse 2). Promotion and reward for teacher are designated more explicit in Law 20/2003 as mentioned in article 43; those allotments are assigned based on academic background, experience, ability, and career achievement in educational field. Reverse to that, in the Law 2/1989, the allotments are consigned based on the work achievement and teacher capability. In Law 20/2003, government seriously count the academic background and experience, which means senior teachers are scored more than junior, as same as post graduate degree counted more than undergraduate degree. Concerning the teacher quality improvement, Regulation 14/2005 is the first and probably the only detailed document about teachers since Indonesia’s independency. There are 14 articles regulating teacher and lecturer as profession, 33 articles explained about teacher and 35 articles on lecturer issue. The law clarified the term of teachers, teacher qualification, teacher certification, right and obligation, payment and allowance, promotion, relocation, and dismissal, probationary work, career development, reward, professional organization, juridical protection, and vacancy. This law seems to reflect the maturity of management of public services and serious intention of government in regard to improve teacher quality. 3.2. Laws of Teacher Certification: Definition, Function, Process and Implication It is pretty much difficult to use sort of measurements to determine the quality of teachers. Many works stated the importance to examine it through student achievement, such as work did by Goldhaber & Bewer (1996;2000) and Darling-Hammond (2000). However, there are many factors mutually influencing students’ achievement except the quality of teaching. For that reason, the teacher certification in Indonesia is based on the minimum qualification and competency of teacher. The detailed system as refer in Law 20/2003 is described in the following laws: Teacher and Lecturer Law No.14/2005, the Ministry of National Education Regulation No. 18/2007 on In-Service Teacher Certification and the Ministry of National Educational Regulation No. 16/2007 on Teacher Academic Qualification and Teacher Competency. Teacher certification is a formal verification as acknowledgment to teacher and lecturer as 4 professional job , obtained from accredited university. The Regulation 18/2007 has particularly describes the in-service teacher certification (Sertifikasi dalam jabatan), which is designated for teachers who meet the minimum qualification.

4

Law 14/2005 article 1 subsection 12

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

60


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

The minimum qualification means an academic background of teachers which proven by the certificate released by the university or teacher higher education. Most of teacher qualification prior the certification put the minimum a 4–year diploma degree or baccalaureate degree on subject area, and that should be completed in accredited department or faculty as the minimum qualification (Boyd et al., 2007). The Regulation 16/2007 stipulates that the minimum qualification of teacher of all level of education is a 4-year diploma degree (D-IV) or baccalaureate degree. Additional requirement for kindergarten and elementary school’ teacher is majoring in psychology. Thus, only teacher posses D-IV degree or bachelor degree can apply the certificate. The applicant is either public or private schools’ teachers, civil servant or non-civil servant teachers. According to Regulation 18/2007, in-service teacher certification is conducted through competency test, using a portfolio screening. The portfolio screening is as an acknowledgment of teacher experience, which is verified from the following documents: academic qualification, training, teaching experience, learning plan, evaluation from the school administrator and superintendent, academic achievement, professional achievement and invention, take part in scientific forum, participation in educational and social organization, and reward on educational field (article 2). Teacher who passes the portfolio screening will acquire the teacher certificate, and who failed have two options; attempting some activities related to the given matters in portfolio screening, or attending teacher training or courses approved with examination which captures the pedagogy competency, personality competency, and social and professional competency. The result of this exam is used as a reason for acquiring the certificate. Teacher who failed again in the second screening have to attend the third examination (article 5, verses 4-8). There is no detailed explanation about the content of second or third examination, but it is supposed to be similar to the first one. It remains murky whether teacher failed the second exam has another chance or be expelled. Teacher competencies are sort of knowledge, skill, and attitude that teacher and lecturer have 5 to possess and master during his careers . Teacher competencies are further explained in Regulation 16/2007 as four basic competencies, i.e., pedagogy competency, personality competency, social competency and professional competency, each competency is explained according to level of education, i.e., competency of pre-school’s teacher, competency of elementary school’ teacher, and competency on subject matter of elementary, lower and upper secondary schools’ teacher. There is an additional obligation refer to Regulation 18/2007 that teacher who possess certificate have to teach at least 24 hours per week and will acquire the allowance as bigger as monthly payment which will paid on January in the next fiscal year. Before teacher certification system employed in Indonesia, there is also legal license called Akta Mengajar, briefly called as the AKTA-4, for teacher candidate or in-service teacher. This license is a verification obtained after attempting a certain number of courses in Educational University or UIN, particularly for teacher who have no degree from Teacher College or IKIP. Usually AKTA-4 is used to apply a position as a civil servant teacher. The AKTA-4 is still being implemented as well as teacher certification, thus it makes confusing since both are similar in terms on teacher quality improvement, but slightly differ in their purpose. Teacher certification can be argued as a basis for giving teachers some allowances, however, the AKTA-4 is a license to be a civil servant teacher.

5

Law 14/2005 article 1, verse 10.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

61


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

3.3. Measuring Competencies through Portfolio System and Its Problem The process of certification is preceded with the registration, which is organized hierarchically from the lowest administration level in each province to the Educational Personnel College (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, LPTK). At the first year of implementation (2006), there were 10 LPTK assigned by the MONE to certify elementary and middle secondary school teachers. According to a survey on education reported by the MONE in 2006, the percentages of teacher meet the minimum qualification for Elementary School, Lower Secondary, Upper General Secondary, and Upper Vocational School were 15.3%, 60.34%, 82.61%, and 75.54%, 6 respectively . It shows that most of teachers in Elementary School do not meet the minimum requirement to possess the certificate. Therefore, the program should be lead to upgrade the academic degree of those teachers first. It means that government has to allocate the budget for two purposes, first for upgrading teachers who possess academic degrees lower than 4-year diploma degree or bachelor degree, and second for certifying ones who already have acquired the minimum qualification. There was about 2.6 millions teachers had to be certified and the only efficient assessment for those mass target is portfolio. As mentioned above, there are ten items representing the four competencies in portfolio screening: 1) academic qualification (issued by an institution of higher education); 2) profession-related training; 3) teaching experience; 4) planning and syllabus of teaching; 5) evaluation from the principal and evaluator; 6) academic achievement; 7) invention in teaching methodology, 8) participation in seminars and scientific forums; 9) participation in social and educational associations; 10) awards related to profession7. Those documents will be examined by a number of assessors selected through one committee in each LPTK. The assessors have to possess bachelor degree as a minimum academic qualification as well as be employed as the lecturers of LPTK, though it can be criticized that they have lower competencies compare to teachers who already have the similar degree or some are even higher. Table 2. The scoring system of portfolio assessment Components of portfolio Qualification and Main Task Academic qualification Planning and syllabus of teaching Teaching experience Subtotal Career Development Training and professional course Evaluation from the principal and evaluator Academic achievement Invention in teaching methodology Subtotal Professional Support Participation in seminar and scientific forum Participation in social and educational association Awards relevant to educational profession Subtotal Total Source: Teacher Certification site, http://www.sertifikasiguru.org/

Fixed and Predicted Maximum Score 525 160 160 845 200 50 160 85 495 62 48 50 160 1500

6

Data are compilation of percentage of teachers possess minimum the 4-year diploma or bachelor degree by ignoring the major field. Article 1 and 2 of Law 18/2007

7

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

62


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

The screening process is conducted under tight system where sorting of applicants documents have to be finished in a day, and all the process is to be conducted in a closed room during the certain period. The assessors are prohibited to bring the documents outside the room or do the verification at in another place. To fit the time target, certification in a fiscal year plan is 8 scheduled tightly . Scoring system is diverse according to the type of competence and the value of document submitted, for instance, the academic qualification and task as teachers is scored highest among other components, and career development is appraised as second highest, and other professional documents is scored lowest (Table 2). The minimum score for academic qualification in the first category is 300 points, and all components in the category Qualification and Main Task have to be completely filled. The minimum score for training and professional course in the second category should be scored 200 points, and there is an exception for remote schools’ teachers, notably, they have to acquire minimum 150 points. Then, the maximum score of each components in third category should be 100 points, and no component should be scored 0 (zero). Teachers acquire 57% of the prediction maximum score, means 57% of 1500, or equal to 850 points are eligible to obtain the certificate. More detailed scoring system is based on the type and value of documents submitted. For instance, teachers graduated from abroad university; have master or doctoral degree are scored higher than who own bachelor degree. Course or training is scored based on the number of hours and level of organization. Teacher who has teaching experience more than 25 years is counted in the maximum score, compare to junior teachers who have two or four years experience are scored lower. According to the syllabus or plan of learning, teacher has to collect five learning plans which consist of the purpose of learning, selecting and organizing the subject of learning, selecting the resources and learning materials, describing the scenario of learning, and evaluation. In addition, teachers also have to submit evaluation report of their classes done by the principals or evaluators. The latter document is scored higher than the first one. Principal and evaluator also evaluate some personality qualities, such as religious worship, responsibility, honesty, discipline, motivation, communication skill, and team working, which is scored 5 for each. Academic achievement is the certificate or award that teacher get from competitions or finding grandiose invention in education or non-education. It is scored based on level of competition and the relevancy to education. The experiences as instructor for competition participated by students are also counted. Other academic activities, such as writing books, or articles, to be a reviewer, writing teaching module or textbooks, inventing learning tools, submitting report about educational research, and creating an art or technological works, are scored totally 85. The score of publication is divers depend on the level of publications. Competence related to social and professional activities such as seminars, organizations, assignment as school administrators are also scored based on the level of institution. Teacher who passes the portfolio screening will receive a certificate, and also acquire the allowance and payment twice bigger than of the previous one. However, one who failed can choose one of two alternatives, i.e., accomplishing the documents demanded or attending the course or training ended with examination on four basic competencies, which is organized by the teacher higher education. Passing the exam allows teacher to receive certificate, but who 9 failed in one or two subject has a chance to repeat the examination . If teacher fails at last opportunity, his final status will be judged by the provincial administration. 3.4. Teacher Certification and Teacher Payment System Close scrutiny should be paid on whether the documents submitted in are exactly representing teacher qualifications. As one assessor in Semarang Educational Public University said that many teachers do not understand well what kind of those documents, as some of them bring 8 9

Based on interview to one assessor in Semarang Article 2 subsection 5 to 8 Law 18/2007

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

63


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

forth unrelated documents, such as in one case showed that teacher submitted a paper which explained about his social activity as ‘imam’ or leader in praying activities at mosque10. This case might occur since the dissemination of the program is insufficient. However, I think that the social competency should be interpreted in various meaning, and ‘imam’ should be considered as one of social activity among moslem community. Four categories of competencies measured in teacher certification should be critically analyzed whether it is appropriate to select teachers for the certification Since the main problem of low student achievement is probably because of the lack of knowledge in pedagogy, or teachers for secondary schools have problems in mismatch the subject taught, then attention should be lead to academic background. Should participation in social organization be evaluated? If yes, then what the impact is expected? Promising empirical research should be conducted to verify the correlation of those criteria to the student outcomes. Then, if those ten criteria significantly affect student achievement, they should be kept. However if they do not work well, it is necessary to make them more simple. Other consideration is , that a stringent requirement will not be intrigued for young people to challenge teaching. The validation of documents submitted are also becoming untouchable, as some facts found that teacher from same school submitted similar document as copied from his peers. Worst of all, principal also legalized the documents as the true ones. On the contrary, a teacher in Madiun said that his award in national competition is not approval as one document of teacher invention. It is because there are differences of criteria applied by the local government for certification. According to the leader of PGRI chapter Madiun, most of PGRI’s members have the difficulty in writing research papers or, since it is unusual for Indonesian teachers. Some teachers, because of misunderstanding, submitted their undergraduate thesis, others, even paid university student to write for them a scientific report, or copied from published materials. Hence, we can easily understand why only about 49% teachers could get certificate in 2006. To solve the problem, PGRI has organized short training on writing academic paper for its members. However, this effort is just simply purposing to get the certificate, rather than organized as the continuous effort for improve the quality of teachers. As the impacts of teacher certification, there are new phenomena in Indonesia recently, i.e., the number of seminars and training for teachers are mushrooming across the country, followed by the large participation of teachers. Unfortunately, sometimes it does not meet the problem of teaching low performance. Refer to the Regulation 18/2007 article 6, certified teacher will obtain the allowance as much as a month payment after accomplishment of 24 hours lessons per week. Usually the maximum teaching load of one teacher is only 18 hours per week. Thus, some principals in Madiun answered get trouble since in some schools teachers are over supplied. In the era of regional autonomy teacher allotment and allocation are decided by regional government (Kabupaten or Kota, a district under Province) which are in many big cities have over supplied teachers which should be assigned only among the schools in the city. This situation sometime does not match actually the demand of teacher in one school. To anticipate the oversupply teachers, some 11 schools applied Team Teaching (TT) as the approach to meet the 24 hours lesson per week . Thus, teacher’s payment after certification consists of three components, i.e., monthly basic salary, one month payment as allowance of certification, and allowance from regional government. Monthly basic salary according to Government Regulation No.10/2008 on Civil Servant Payment as the minimum base payment is 910,000 rupiah and the maximum is 2,910,000 rupiah (Table 3). Since the amount of regional allowance differs, depends on the regional budget, monthly payment that teacher gets is also diverse among the region. For

10

It is usual in Indonesia, a person who has higher knowledge about Islam is assigned to be a leader in praying together five times a day at mosque. Based on interview of principals in Madiun city conducted in 2007

11

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

64


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

example, the rich province, like DKI Jakarta Province gives 2 millions rupiah, the small region, likes Madiun city provides only 450 thousands rupiah. Supposed that teacher who has the certificate and as fresh graduated from 4-year college (Category III/a) will be paid 1,440,600 rupiah per month in the first year of assignment, and senior teachers possess Bachelor Degree or 4-year Diploma Degree after work for 32 to 33 years will be paid 2,089,000 rupiah monthly as the basic salary. If those teachers live in DKI Jakarta province, they will get about 4,881,200 to 6,170,800 rupiah per month, and for teachers posses Master Degree will get 5,003,000 to 6,354,800 rupiah. Teacher life in a small city likes Madiun will obtain 3,331,200 to 4,628,000 rupiah for the owner of Bachelor Degree owners, and for Master Degree is 3,452,000 to 4,804,800 rupiah. These calculations only fix to the payment for civil servant teachers, mostly served in public schools. Table 3. Civil Servant Payment System in Indonesia 2008 Monthly Payment Category of Civil Servant

(Rupiah) Min

Max

Graduate from Elementary School = Category I/a

910,000

1,230,800

Graduate from Middle Secondary School= Category I/b

982,200

1,297,900

Graduate from Upper Secondary School = Category II/a

1,151,700

1,689,700

Graduate from 1or 2-years Diploma = Category II/b

1,243,000

1,761,100

Graduate from 4-year Diploma or Bachelor = Category III/a

1,440,600

2,089,000

1,501,500

2,177,400

1,565,100

2,269,500

Graduate from Graduate School (Master) or 4-year Medical College or 4-year Pharmaceutical College = Category III/b Graduate from Graduate School (Doctoral Program) = Category III/c

Source : Compiled from the Government Regulation No.10/2008 on Change in Civil Servant’s Salary System. The minimum payment is counted from the year 0 or 1 and the maximum counted after about 2733 years work.

From the economic side, teacher certification costs a lot because it is put as the tools to decide the promotion of teacher payment. Thus, for teachers, this certification means allowance. Some points should be questioned, such as after acquiring the certificate and obtaining the allowance, can we guarantee that the quality of teaching will increase parallel too? Some teachers in Madiun answered that at least they can buy books or attend the training with that allowance. But, others answers it does not affect any for teachers who live under poverty line. Since it is tightly related to teacher’s payment, the teacher certification doubtfully will be continuously run in the future. Moreover, in fact, the budget of teacher certification is also finally taken from the 20% of the national education budget which should be allocated for improving the standard of public schools. 4. Conclusion The effort of redefining the concept of teacher as a profession has been run intensively after the enactment of the National Educational System Law No. 20/2003 and other related regulations. Law 20/2003 reflects the modern system of teacher standardization compare to the former law, Law 2/1989. The educational personnel conceptions in Law 20/2003 are also more mature and advanced. Teacher certification as a verification of teaching profession has been stipulated in the regulations mentioned above. It consists of approach, implementation, and implications or Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

65


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

authorizations. Different from the other countries, the teacher certification in Indonesia is expected to be a two-edged sword; one is for improving the teaching quality and the other is for improving teacher’s welfare. However, it is difficult to implement them incessantly because it is attached to the teacher payment matter. Continuous and systematic approach should be introduced as an effort to improve the quality of teaching and nursing in schools, such as partnership between school and universities, teacher self-appraisal system, school evaluation, and teacher evaluation. In-service certification is also better if it is conducted separately between the certification for senior and the one for junior teachers. In concern with senior teachers, portfolio system based on teaching experience and teaching ability is approval; however, for junior teachers, test-based competency and evaluation of teaching practice is suggested as an appropriate model. 5. References Bjork, C. 2004. Decentralisation in Education, Institutional Culture and Teacher Autonomy in Indonesia. International Review of Education 50(4), 245-262 Bliss, T. (1990). Alternate Certification in Connecticut: Reshaping the Profession. Peabody Journal of Education 67(3): 35-54 Boyd D.; D. Goldhaber; H.Lankford; J. Wyckoff. 2007. The Effect of Teacher Certification and Preparation on Teacher Quality. The Future of Children 17(1): 45-68 Darling-Hammond, L. (1990). Teaching and knowledge: Policy issues posed by alternate certification for teachers. Peabody Journal of Education, 67(3), 123-154. ----------------------------- (2000). Teacher quality and student achievement: A review of state policy evidence. Evaluation Policy Analysis Archives 8 (1). Available : http://www.epaa.asu.edu/epaa/v8n1 Departemen Keuangan. 2008. Ketentuan Pembayaran Kenaikan Gaji PNS, TNI, POLRI dan Hakim. 28 Februari 2008, available on http://www.hukmas.depkeu.go.id/Ind/News/NewsFiscal.asp? link=SP_32_ 280208.htm Goldhaber, D.D., and D.J. Bewer. 1996. Evaluating the Effect of Teacher Degree Level on Educational Performance. Development in School Finance 1996, NCES 97(535), 197210 -------------------------------------------. 2000. Does Teacher Certification Matter? High School Teachner Certification Status and Student Achievement. Educational Evaluation and Policy Analysis, 22 (2),129-145 Jalal, F. 2007. Teachers’ Quality Improvement in Indonesia: New Paradigm and Milestones. th The 20 UNESCO-APEID Hiroshima Seminar on Teacher Education, March, 5-9, 2007 Kinney, L. B. 1965. Professional Standard : Through Licensure or Certification ? The American Journal of Nursing 65 (10) ,118-121. Kirby, S.N., Darling-Hammond, L., & Hudson, L. 1989. Nontraditional recruits to mathematics and science teaching. Educational Evaluation and Policy Analysis, 11(3), 301-323 Thomas, R. M. 1990. Education Law as a Mirror of Maturity: The Indonesian Case. International Review of Education vo. 36 (1), 7-19 Usman, S., Akhmadi, Daniel S. 2004. When Teachers are absent : Where do they go and what the impact on students ? SMERU Research Institute. 2004. Zeichner, Kenneth M and A.K. Schulte. 2001. What we know and don’t know from peerreviewed research about alternative teacher certification programs. Journal of Teacher Education 52(4), 266-282

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

66


KILAS RISET

INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Terapi Sel Punca, Harapan yang Menjanjikan 1. Cell Transplant. 2009; 18(1):899–9. 2. Pacing Clin Electrophysiol. 2010; 33(3):290-303. Terapi sel punca merupakan terobosan dalam kedokteran untuk meregenerasi jaringan atau organ tubuh yang disebabkan karena penyakit, trauma, ataupun proses penuaan. Pada tulisan ini, Kilas Riset mengambil 2 buah artikel hasil kerja putra Indonesia yang sedang belajar di Jepang untuk diulas singkat. Artikel pertama, Marhaen Hardjo (Univ. Hasanudin-Okayama), 1 dkk. melaporkan bahwa tranpantasi cell line yang mereka ciptakan dari rat mesenchymal bone marrow (salah satu jenis sel punca dewasa) dapat menekan proses penyakit liver (fibrosis) dan sekaligus mengembalikan fungsi liver. Satu hal yang menarik dari penelitian ini adalah transplantasi sel hepar (hepatogenic cell) derivat dari cell line tersebut, hasilnya tidak seefektif transplantasi cell line, bahkan juga kalah efektif dibandingkan dengan derivat lainnya yaitu sel lemak (adipogenic cell). Tingkat ekspresi matrix metalloproteinase (MMP)-2 dan MMP-9 ditemukan lebih tinggi pada cell line dibandingkan 2 jenis sel derivatnya. MMP merupakan enzim yang terlibat dalam pemecahan matriks ekstraselular seperti kolagen tipe IV dan V, sehingga temuan ekspresi MMP-2 dan -9 mungkin menjelaskan mengapa transplatasi sel tersebut dapat menekan fibrosis dan meregenerasi fungsi sel hepar. 2

Artikel kedua, bersama Kumi Morikawa, Udin Bahrudin (Univ. Diponegoro-Tottori), dkk. meneliti aplikasi sel punca embional untuk pacemaker jantung. Sel punca embrional tikus dideferensiasi menjadi sel pacemaker dan dipisahkan dengan mesin pemilah sel (flow cytometer) dari berbagai macam sel hasil diferensiasi. Poin utamanya adalah bagaimana menandai sel pacemaker secara spesifik sehingga dapat dikenali oleh mesin pemisah dan meminimalkan kontaminasi sel selain sel pacemaker. Dengan rekayasa teknologi, gen HCN4 yang merupakan penanda sel pacemaker dilabel dengan protein hijau (green fluorescent protein), sehingga sel pacemaker yang tercipta dari sel punca embrional akan mengekspresikan protein hijau yang dapat dikenali oleh mesin pemilah sel. Dilaporkan pula pada penelitian ini bahwa sel pacemaker yang dilabel tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan sel pacemaker hasil diferensiasi sel punca embional asalnya (tanpa label). Kedua artikel di atas merupakan bagian dari upaya transfer teknologi, yang diharapkan dapat diteruskan di Indonesia, sejalan dengan aspirasi dan mimpi Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) untuk menjawab berbagai tantangan di bidang kedokteran regeneratif. (Udin Bahrudin, editor Inovasi).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

67


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi (font: Arial 12 points, bold) Nama penulis-1 (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis-1 (font: Arial 10 points) E-mail: email[at]address.com (font: Arial 10 points, italic) Nama penulis-2 (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis-2 (font: Arial 10 points) E-mail: email[at]address.com (font: Arial 10 points, italic) 1. Inovasi (font: Arial 10 points, bold) Majalah INOVASI (ISSN: 0917-8376) diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (http://www.ppi-jepang.org/) sebagai majalah ilmiah semi-populer berkala dan bersifat on-line untuk menyajikan tulisan-tulisan berbagai topik, seperti IPTEK, sosial-politik, ekonomi, pendidikan, dan topik humaniora lainnya. Majalah INOVASI berfungsi sebagai media untuk mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil penelitian dalam rangka memperkaya wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan. 2. Kategori Artikel Majalah INOVASI menerima naskah baik yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah nonpopuler dengan kategori sebagai berikut: 2.1. Artikel Populer Berisi tentang ide-ide atau gagasan baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan tidak lebih dari 6000 karakter atau maksimal 4 halaman. 2.2. Artikel Non-populer Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lainnya. a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris. b. Judul harus menggambarkan isi pokok secara ringkas dan jelas serta tidak melebihi 10 kata. c. Struktur naskah terdiri atas Pendahuluan, Uraian Isi (metode dan pembahasan), kesimpulan dan daftar pustaka. Judul bab tidak harus seperti struktur naskah tersebut, missal: I. Pendahuluan, II. Uraian‌ Akan tetapi dapat disesuaikan, misal: Perspektif Pertanian 5 tahun masa reformasi (mewakili pendahuluan)‌ dst. Huruf pertama setiap kata dalam judul bab harus ditulis dengan huruf kapital d. Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, hipotesis, pendekatan dan tujuan yang hendak dicapai. e. Uraian isi terdiri dari judul bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang tersedia. Apabila naskah ini menyampaikan hasil penelitian yang khas, judul bab dalam uraian isi dapat terdiri dari Bahan dan Metode serta Hasil dan Pembahasan. f. Sangat disarankan jika dalam uraian isi/pembahasan bersifat kuantitatif. Misal: A lebih besar 10% daripada B, bukan A lebih besar dari B.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

68


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

g. Kesimpulan memuat secara singkat hasil yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat dibuat dengan menggunakan penomoran atau dalam satu paragraph. 3. Format Penulisan Artikel Ukuran kertas: A4; Margin atas: 3 cm; margin kiri, kanan dan bawah: 2.5 cm; tulisan: 2 kolom; spasi: tunggal; jenis huruf: Arial; ukuran: 10 points. Judul, nama penulis, afilisasi penulis dan alamat email ditulis dalam 1 kolom (center). Judul ditulis dengan font Arial, 12 points, bold, huruf kapital. Nama penulis ditulis dengan font Arial, 10.5 points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font Arial, 10 points. Alamat email ditulis dengan font Arial, 10 points, italic. 4. Penulisan Gambar/Ilustrasi Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan jelas (jika gambar/ilustrasi merupakan hasil kutipan). Judul diletakkan di bawah gambar/ilustrasi dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan setiap kata diawali dengan huruf besar, kecuali kata-kata seperti, dan, atau, dalam, kata depan, yang, untuk.

GAMBAR

Gb.1. Judul Gambar/Ilustrasi

5. Penulisan Tabel Judul tabel diletakkan di atas tabel dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan ditulis mengikuti aturan seperti penulisan Judul Gambar.. Tabel.1. Judul Tabel

Frekuensi (kHz) 76.8 104.6 205.1

Standard Deviasi (cm/s) N=10 N=12 6.723 4.751 3.375 2.112 2.418 1.869

6. Pengiriman Naskah Naskah dikirim melalui elektronik mail dalam bentuk attachment file MS Word ke alamat redaksi INOVASI online sebagai berikut: editor.inovasi@gmail.com 7. Daftar Pustaka Daftar pustaka setiap sumber harus dirujuk dan disusun berdasarkan urutan pemunculan dalam naskah dengan menuliskan angka arab subscript (misalnya: 1,2-4). Urutan penulisannya mulai Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

69


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

dari nama pengarang, tahun terbit, judul, nama majalah, volume, halaman. Daftar pustaka diketik dengan menggunakan font 9 39. Bucchi A, Plotnikov AN, Shlapakova I, Danilo P Jr, Kryukova Y, Qu J, et al. 2006. Wild-type and mutant HCN channels in a tandem biological-electronic cardiac pacemaker. Circulation. 114: 992-999. 40. Cai J, Lin G, Jiang H, Yang B, Jiang X, Yu Q, Song J. 2006. Transplanted neonatal cardiomyocytes as a potential biological pacemaker in pigs with complete atrioventricular block. Transplantation. 81:1022-1026. 41. Cai J, Yi FF, Li YH, Yang XC, Song J, Jiang XJ, et al. 2007. Adenoviral gene transfer of HCN4 creates a genetic pacemaker in pigs with complete atrioventricular block. Life Sci. 80: 1746-1753.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

70


INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010

Susunan Dewan Editor Inovasi Penanggung Jawab

Farid Triawan, Ketua PPI-Jepang

Editor Utama

Murni Ramli, Universitas Nagoya

Editor

Agustan, Universitas Nagoya Bambang Widyantoro, Universitas Kobe Udin Bahrudin, Universitas Tottori Oce Madril, Universitas Nagoya Muhareva Raekiansyah, Universitas Nagasaki Haryanto, Universitas Kanazawa Mukti Ali, Universitas Tohoku

Editor Bahasa

Dina Faoziah, TUAT

Reviewer/Editor Tamu Ardiansyah Michwan, Universitas Tohoku Yuniarsih, Universitas Ryukoku Franky Najoan, GRIPS Tokyo Lea Santiar, Universitas Chuo John Fresly Hutahayan, Setjen DPR RI Muhamad Surya, Asahi Shimbun Sholihatun Kiptiyah, KPPU Produksi

Aries Setiawan, Universitas Kyoto

Cover

Udin Bahrudin

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

71


Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.