MENGUJI KEPATUHAN PEMEGANG IZIN PEMANFAATAN DAN PERDAGANGAN HASIL HUTAN KAYU
2
DAFTAR ISI
RINGKASAN
Ringkasan
1
Pendahuluan
2
Pemantauan Independen
3
Ketidaktaatan dan Penegakan Hukum atas Kinerja Pemilik Izin Pemanfaatan Hasil Hutan dan Industri Kayu di 8 Provinsi
7
Kesenjangan Hasil 42 Penilaian/Verifikasi oleh Lembaga Sertifikasi dengan Hasil Pemantauan Rekomendasi
43
Ancaman utama terhadap kelestarian hutan di Indonesia diantaranya muncul karena adanya alih fungsi kawasan hutan yang berujung terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam memperbaiki tata kelola hutan tertuang dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau disebut SVLK. Sistem ini bersifat mandatori bagi seluruh unit manajemen di bidang kehutanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No. P.30/Menlhk/ Setjen/PHPL.3/3/2016 yang menjamin legalitas dan kelestarian pemanfaatan kayu dan produk turunannya, berasal dari sumber bahan baku yang legal dan sah. Hingga Juni 2018, lebih dari 23 juta ha hutan produksi dan 4.322 industri dan pedagang produk kayu mengantongi Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK). Peran penting dimiliki oleh Pemantau Independen sebagai bagian dari sistem untuk memastikan seluruh pelaksanaan SVLK dari hulu hingga hilir, berjalan secara kredibel dan akuntabel. Meski demikian, Pemantau Independen masih menghadapi sejumlah kendala dalam melakukan perannya, seperti masih sulitnya mengakses data dan informasi, terutama data peredaran kayu, serta adanya kesenjangan dalam menjangkau ‘ruang dan lingkup’ pemantauan dan jaminan keberlanjutan pemantauan. Pada periode Oktober 2019 sampai Juni 2020, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) melakukan serangkaian analisis rantai pasok bahan baku industri primer dan pemantauan lapangan di Provinsi Aceh, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Barat. Secara umum, JPIK menemukan praktik Illegal logging masih marak terjadi. Selain itu, indikasi pelanggaran hukum oleh perusahaan pemegang S-LK maupun perusahaan yang belum bersertifikat masih kerap ditemukan.
Agustus 2020 Š Jaringan Pemantau Independen Kehutanan DISCLAIMER Laporan ini diproduksi dengan dukungan Program FAO-EU FLEGT. Program ini didanai oleh Badan Kerjasama Internasional Swedia, Departemen Pembangunan Internasional Inggris dan Uni Eropa. Pandangan-pandangan yang dinyatakan di sini sama sekali tidak mencerminkan pendapat resmi FAO, Badan Kerjasama Internasional Swedia, Departemen Pembangunan Internasional Inggris atau Uni Eropa.
1
Di tingkat hulu, kayu-kayu ilegal tak berlabel V-Legal dengan mudah beredar diangkut keluar-masuk melalui jalur darat maupun jalur air. Kelalaian pemenuhan kewajiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terindikasi dilakukan oleh oknum pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) melalui pemanenan kayu untuk pembukaan perkebunan sawit. Pengungkapan terhadap indikasi kerjasama pelaku illegal logging dengan oknum aparat pemerintah harus digalakkan sehingga bisa meminimalisir kerugian negara atas hilangnya daya dukung lingkungan (ekosistem), sumber daya hutan, serta habitat satwa liar yang dilindungi. Selain itu, konflik antara pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat lokal/adat, kerap ditemukan di konsesi pemilik S-PHPL. Di tingkat hilir, perusahaan pengekspor produk kehutanan yang telah ber S-LK ditemukan menggunakan produk kayu yang
bersumber dari perusahaan yang tidak bersertifikat sehingga diragukan legalitasnya. Modus tidak mencantumkan jenis kayu pada dokumen yang menerangkan sahnya hasil hutan oleh oknum pemilik izin industri, memungkinkan terjadinya prakrek culas pemanfaatan kayu yang masuk ke dalam daftar CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Appendix II, tanpa memiliki izin edar dan dokumen khusus. Sisa proses produksi dan limbah perusahaan yang belum dikelola dengan baik masih juga ditemukan. Padahal aspek ini menyangkut keberlanjutan ekologi dan kehidupan masyarakat maupun pekerja yang tinggal di sekitar industri. Seiring dengan hal tersebut, penerapan standar K3 (Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja) belum dijalankan secara penuh, sebagaimana diatur dalam standar penilaian/verifikasi (SVLK). 1. Pendahuluan
maupun peruntukkan hutan1.
Indonesia memiliki luas daratan sebesar 187,75 juta ha, yang terbagi menjadi lahan berhutan seluas 93,52 juta ha dan lahan tidak berhutan seluas 94,22 juta ha (KLHK 2019). Sebaran lahan berhutan di dalam kawasan hutan, berurutan dari yang paling luas terdapat di Papua dan Papua Barat, selanjutnya Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Tabel 1). Selama kurun waktu 2011-2018, lahan berhutan Indonesia mengalami penurunan dari 98,7 juta ha menjadi 93,52 juta ha. Penurunan luas lahan berhutan ini terjadi karena adanya kerusakan hutan akibat perubahan fungsi
Perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan atau dikenal dengan istilah alih fungsi kawasan hutan, menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi yang mempengaruhi penurunan tutupan hutan. Dengan demikian, deforestasi dan degradasi hutan merupakan ancaman utama terhadap kelestarian hutan di Indonesia2. Kejadian tersebut biasanya diakibatkan oleh perizinan pembukaan lahan untuk pembangunan infrastruktur, perkebunan, pertambangan dan pemanfaatan hasil hutan. Dalam rangka menjamin kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan hutan,
khususnya pemanfaatan kayu dan produk turunannya, Pemerintah Indonesia membangun dan mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sebagai upaya untuk memperbaiki tata kelola hutan. Sistem ini bertujuan agar kayu yang ditebang, diangkut, diolah, dan diedarkan (diperdagangkan) berasal dari sumber yang legal dan lestari, yang pengelolaan atau pemanfaatannya sesuai dengan peraturan/kebijakan yang berlaku. Sampai dengan Juni 2018, terdapat lebih dari 23 juta ha hutan produksi dan 4.322 industri yang telah bersertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (SILK, KLHK 2018).
Tabel 1. Luas Kawasan Hutan Indonesia Tahun 2018 Hutan Produksi No.
Provinsi
Kawasan Konservasi (Ha)
Hutan Lindung (Ha)
Hutan Produksi Terbatas (Ha)
Hutan Produksi Tetap (Ha)
Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (Ha)
Jumlah Luas Daratan Kawasan Hutan (Ha)
Jumlah Luas Daratan dan Perairan Kawasan Hutan (Ha)
1
Sumatera
5.362.813,73
5.616.777,65
2.835.355,99
7.370.808,62
1.731.046,11
22.830.535,10
22.916.802,10
2
Jabalnusra
1.492.722,27
1.945.762,72
886.647,26
1.829.965,73
78.494,00
5.689.483,98
6.233.591,98
3
Kalimantan
5.169.825,00
7.031.608,00
10.621.683,45
10.794.833,32
3.104.452,88
36.508.915,65
36.722.401,65
4
Sulawesi
4.353.652,00
4.408.681,00
3.143.395,00
1.153.524,00
453.593,00
10.991.962,00
13.512.845,00
5
Maluku dan Maluku Utara
648.037,00
1.211.314,00
1.561.109,00
1.125.429,00
1.888.948,00
6.425.629,00
6.434.837,00
6
Papua dan Papua Barat
10.395.542,00
9.446.872,00
7.739.720,00
6.927.487,00
5.591.015,00
38.153.269,00
40.100.636,00
27.422.592,00
29.661.015,37
26.787.910,70
29.202.047,67
12.847.548,99
120.599.794,73
125.921.113,73
Indonesia
Sumber: Statistik KLHK, 2018 dan analisis JPIK, 2019
2
2. Pemantauan Independen
Tanaman/HTI), IUIPHHK (Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu) dan industri lanjutan (sekunder), IPK (Izin Pemanfaatan Kayu), Eksportir Non Produsen, serta
Untuk memastikan kredibilitas SVLK, Pemantau Independen (PI) merupakan salah satu elemen yang memiliki peran dan fungsi melakukan pemantauan pada seluruh tahapan pelaksanaan SVLK, dari hulu sampai hilir. Pada periode Oktober 2019 sampai Juni 2020, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) melakukan serangkaian pemantauan dan analisis terkait peredaran kayu di Provinsi Aceh, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat. Pemantauan lapangan dilakukan pada beberapa pemegang izin dan unit pengelolaan hutan (Gambar 1), diantaranya: IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam/HPH), IUPHHK-HT (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan
pemantauan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lalan Mangsang Mendis, Hutan Lindung dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling.
Gambar 1. Rantai peredaran kayu hasil pemantauan JPIK di 8 Provinsi
Tabel 2. Pasokan dan Realisasi Penggunaan Bahan Baku Industri Primer di 8 Provinsi Tahun 2019 Provinsi
Aceh
Riau
Sumsel
Bengkulu
Jatim
Banten
Kalbar
Kaltara
Kapasitas per tahun
Jumlah Industri
> 6.000 m³
0
HPH (M³) 0,00
Perum Perhutani (M³)
Land Clearing Penyiapan Lahan HTI (M³)
ILS (Izin Lainnya yang Sah) atau IPK (M³)
Kayu Perkebunan (M³)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
HTI (M³)
Pedagang Kayu Bulat dan Asal Usul Yang Sah (M³)
0,00
0,00
IPHHK Lain (M³) 0,00
Impor Kayu Bulat (M³) 0,00
Jumlah (M³) 0,00
≤ 6.000 m³
13
0,00
0,00
0,00
1.631,88
0,00
0,00
10.318,73
0,00
0,00
0,00
11.963,61
> 6.000 m³
12
41.277,49
22.311.452,00
0,00
8.389,06
4.726,86
0,00
794.029,87
0,00
3.249,76
554.073,00
23.717.210,04
≤ 6.000 m³
12
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
23.025,99
0,00
0,00
0,00
23.037,99
> 6.000 m³
11
4.522,87
12.004.989,67
0,00
38.575,48
0,00
0,00
1.230.244,90
97.092,37
0,00
81.926,31
13.457.362,60
≤ 6.000 m³
25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
31.067,31
0,00
0,00
0,00
31.092,31
> 6.000 m³
1
1.308,06
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1.309,06
≤ 6.000 m³
5
3.466,87
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
19.149,59
582,67
0,00
0,00
23.204,13
> 6.000 m³
121
666.459,84
18,26
130.638,37
41.461,83
42.976,14
50.961,32
2.356.637,90
264.739,30
297.831,36
1.686,26
3.853.531,58
≤ 6.000 m³
255
13.868,32
0,00
52.948,48
332,81
3.835,66
1.731,70
297.857,04
156.031,90
41.128,30
0,00
567.989,21
> 6.000 m³
4
0,00
0,00
1.237,52
0,00
0,00
0,00
81.500,00
0,00
0,00
958,71
83.700,23
≤ 6.000 m³
20
0,00
0,00
7.148,83
0,00
0,00
0,00
15.986,36
0,00
0,00
0,00
23.155,19
> 6.000 m³
9
464.834,63
0,00
0,00
0,00
7.553,10
0,00
16.642,51
0,00
55.036,75
0,00
544.075,99
≤ 6.000 m³
7
161,02
0,00
0,00
2.575,92
425,38
0,00
2.637,93
0,00
0,00
0,00
5.807,25
> 6.000 m³
3
376.829,02
3.922,97
0,00
9.618,91
2.933,06
0,00
0,00
0,00
0,00
82,36
393.389,32
≤ 6.000 m³
5
187,92
101,24
0,00
5.106,39
2.108,65
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
7.509,20
503
1.572.916,04
34.320.484,14
191.973,20
107.692,28
64.558,85
52.693,02
4.879.098,13
518.446,24
397.246,17
638.726,64
42.744.337,71
Jumlah
Sumber: SIRPBBI, KLHK, 2019 dan Analisis JPIK, 2019
3
Hutan Rakyat (M³)
Berdasarkan informasi pada Sistem Informasi Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (SIRPBBI)3, KLHK, sampai dengan tahun 2019 terdapat 503 industri primer di 8 provinsi yang sudah terdaftar dan melakukan pelaporan berkala secara online. Jumlah tersebut belum mencakup keseluruhan industri primer di setiap provinsi. Industri-industri primer dengan kapasitas di bawah 6.000 mÂł per tahun, masih melakukan pelaporan dengan cara manual kepada Dinas Kehutanan di daerah, sehingga data industri tersebut belum seluruhnya terdokumentasi di portal informasi ini (Tabel 2). Pelaporan ke SIRPBBI merupakan prasyarat bagi industri pengolahan primer berdasarkan ukuran kapasitasnya sedangkan pelaporan ke Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH)4, merupakan prasyarat bagi kayu yang diperoleh dari hutan negara, sebelum kayu-kayu tersebut masuk ke industri. Industri yang tidak melakukan pelaporan ke SIRPBBI dapat dikenakan sanksi, sesuai dengan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.1/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/1/2019. Namun demikian, masih terdapat industri primer yang abai dalam memenuhi kewajiban tersebut. Selain itu, informasi tentang industri primer dan industri lanjutan (sekunder) skala kecil yang berpotensi tidak memiliki izin, serta kayu bulat yang berasal dari hutan hak (rakyat) yang belum tercatat ke dalam SIPUHH (Gambar 4), mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada jumlah pasokan kayu bulat yang beredar. Kondisi
Gambar 2. Peredaran kayu bulat di Industri Primer kapasitas >6000 m3 Pertahun
Gambar 3. Peredaran kayu bulat di Industri Primer kapasitas ≤6000 m3 Pertahun
ini menyulitkan untuk mengetahui secara pasti dan aktual jumlah/volume produksi dan pengolahan kayu domestik yang dicakup oleh SIRPBBI dan/atau SIPUHH. Informasi terkait produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK-HA, IUPHHKHT (Gambar 5 dan 6) dan Perhutani, telah dilaporkan ke dalam SIPUHH, dan memiliki Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).
Namun demikian, meskipun terdapat luasan sebesar 15.307 ha Izin IUPHHK-HTR (Hutan Tanaman Rakyat) di Sumsel, Kalbar dan Kaltara, dan IUPHHK-HKm (Hutan Kemasyarakatan) seluas 76.813 ha di 6 lokasi pemantauan (Gambar 7 dan 8), JPIK belum mendapatkan informasi dan data pasti mengenai produksi dan kepemilikan sertifikat oleh pemilik izin. Data dan informasi lainnya yang sulit diakses adalah Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang 4
Sumber: SIPUHH, KLHK 20205
Gambar 4. Produksi kayu bulat di 8 Provinsi Tahun 2019
Sumber: Statistik KLHK, 2018 dan Analisis JPIK, 2019
Gambar 5. Luas dan jumlah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA)
5
Sumber: Statistik KLHK, 2018 dan Analisis JPIK, 2019
Gambar 6. Luas dan jumlah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)
berasal dari pembukaan lahan perkebunan sawit, tambang dan bukaan lahan lainnya, yang kemungkinan belum mengikuti SVLK tetapi belum secara otomatis terkunci oleh SIPUHH6.
Sumber: Statistik KLHK, 2018 dan Analisis JPIK, 2019
Gambar 7. Luas dan jumlah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR)
Salah satu tahapan untuk menuju pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan, maka SVLK harus diperkuat melalui aspek ketelusuran bahan baku pada seluruh rantai pasok kayu. Seluruh kayu maupun produk kayu yang dipasarkan, dapat dilacak asal usulnya melalui sebuah sistem informasi yang bisa menampilkan data dan informasi terkait peredaran kayu dari hulu sampai hilir7. Sistem informasi ini dapat dilakukan melalui penguatan, pengembangan dan pengintegrasian dari beberapa sistem informasi yang ada saat ini. Dengan demikian Pemantau 6
Sumber: Statistik KLHK, 2018 dan Analisis JPIK, 2019
Gambar 8. Luas dan jumlah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK-HKm)
Independen dan publik dengan mudah dapat mengakses dan memperoleh data dan informasi perkembangan produksi kayu dan perdagangannya secara berkala dan terkini. 3. Ketidaktaatan dan Penegakan Hukum atas Kinerja Pemilik Izin Pemanfaatan Hasil Hutan dan Industri Kayu di 8 Provinsi 3.1 Provinsi Riau Provinsi Riau secara geografis, geo-ekonomi, dan politik terletak pada jalur yang sangat strategis karena berada di jalur perdagangan regional di kawasan ASEAN, baik pada masa kini maupun masa yang akan datang. Letak wilayah Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka dengan 7
luas wilayah Âą 8.915.016 ha8 yang diantaranya merupakan kawasan hutan, seluas 5.392.336 ha (Tabel 3). Pada tahun 2000 jumlah industri kehutanan yang beroperasi di Provinsi Riau mencapai 312 unit yang terdiri dari industri kayu lapis (plywood) 10 unit, sawmill 270 unit, moulding 27 unit, chip mill sebanyak 3 unit dan industri pulp dan kertas 2 unit9. Kemudian pada tahun 2005 Dinas Kehutanan Provinsi Riau mencatat terjadi peningkatan jumlah dan kapasitas industri kehutanan di Riau menjadi 576 unit dengan kebutuhan bahan baku mencapai 22,7 juta mÂł/ tahun (Laporan Akhir Penyusunan Model Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut (RPPEG) Provinsi Riau, 2016). Namun demikian, hingga Desember 2019, industri pengelolaan kayu (industri primer) yang terdaftar dan melaporkan rencana dan realisasi penggunaan bahan baku secara online dan berkala ke dalam SIRPBBI hanya 24 unit10. Menjamurnya industri kehutanan di Provinsi Riau menjadi salah satu penyebab degradasi dan deforestasi hutan alam, selain kehilangan hutan karena kebakaran hutan. Berdasarkan hasil analisis Forest Watch Indonesia (FWI) menemukan bahwa Provinsi Riau sebagai provinsi dengan kehilangan hutan terluas dalam periode 2009 - 2013, yaitu sebesar 620 ribu ha. Dimana pada periode
Tabel 3. Luas Kawasan Hutan di Provinsi Riau Kabupaten/Kota
Hutan Lindung
Suaka Alam dan Pelestarian Alam
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Produksi Tetap
Hutan Produksi Dapat dikonversi
Jumlah Luas Hutan
2019
2019
2019
2019
2019
2019
Kuantan Singingi
42.038
51.616
53.182
87.181
76.055
310.073
Indragiri Hulu
20.327
152.939
79.567
119.664
170.106
542.603
Indragiri Hilir
20.005
19.687
152.316
228.709
288.503
709.220
9.284
125.351
64.183
612.069
66.060
876.947
79
74.038
6.310
326.679
13.483
420.589
Kampar
53.657
107.031
114.980
163.160
132.772
571.600
Rokan Hulu
70.579
1.346
120.264
54.939
136.061
383.189
31
82.755
110.471
330.848
65.779
589.883
11.569
7.448
150.758
237.546
149.595
556.916
Pelalawan Siak
Bengkalis Rokan Hilir Kepulauan Meranti
2.503
5.299
150.174
42.962
59.600
260.537
Pekanbaru
-
727
579
1.279
1.618
4.203
Dumai
-
3.568
12.218
130.415
20.376
166.576
230.072
631.805
1.015.003
2.335.450
1.180.008
5.392.336
RIAU
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019
ini juga, kebijakan moratorium izin baru mulai diberlakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya degradasi dan deforestasi hutan11.
Salah satu upaya untuk memastikan legalitas kayu yang beredar dan mewujudkan pengelolan hutan secara lestari dan berkelanjutan, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan menerbitkan peraturan No. 30 Tahun 2016 dan turunannya. Peraturan tersebut mewajibkan seluruh industri kehutanan baik industri primer dan IUILanjutan wajib memiliki SVLK dan menggunakan sumber bahan baku kayu legal dan juga telah memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) dan Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL), serta menggunakan dokumen DKP (Deklarasi Kesesuaian Pemasok) untuk bahan baku kayu yang berasal dari hutan hak (hutan rakyat). Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan SVLK maupun penatausahaan kayu di Provinsi Riau, JPIK melakukan serangkaian pemantauan di Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan industri kayu di Kecamatan Tratak Buluh, Kabupaten Kampar.
Gambar 9. Kayu hasil illegal logging di Sungai Tilan, Desa Tanjung Belit, Rimbang Baling
8
3.1.1 Pembalakan Liar di Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (SMBRBB) merupakan kawasan hutan primer yang berada di wilayah Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Kawasan ini memiliki fungsi ekosistem penting dan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, dengan berbagai macam vegetasi. Rimbang Baling ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Margasatwa12 oleh pemerintah daerah melalui Surat Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.149/V/1982 tanggal 21 Juni 1982 dengan luas 136.000 ha. Kondisi Kawasan Rimbang Baling saat ini sangat memprihatinkan, penyebab utamanya adalah pembalakan liar atau illegal logging yang melibatkan oknum masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Para pelaku illegal logging tersebut memiliki jaringan yang sangat rapi dan diduga kuat dibacking oleh oknum petugas kehutanan serta aparat keamanan13. Tindak kejahatan illegal logging yang dihimpun sejak belasan tahun lalu melalui informasi masayarakat dan berita media, kemudian dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yang berhasil terjaring pada Desember 2017 di Desa 9
Gambar 10. Rakit-rakit kayu ilegal dari Rimbang Baling yang dihanyutkan melalui Sungai Subayang
Gambar 11. Truk bermuatan kayu ilegal dari Rimbang Baling, di Pelabuhan Gema
Gambar 12. Tumpukan kayu di lokasi penimbunan kayu sementara di Desa Gema
Muara Lembu. Berlanjut pada tahun 2018 terjadi dua kasus penangkapan pelaku yang terjadi di Kampung Tuah Indrapura dan Kuantaan Singingi yang dilakukan oleh warga Desa Kuntu Darussalam, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Kedua pelaku telah diamankan pihak aparat kepolisian. Namun tindak kejahatan illegal logging tidak berhenti dan mampu memberi efek jera. Walaupun beberapa kasus berujung pada jeruji besi, namun proses penegakan hukum belum mampu menyasar pada aktor kunci dan cukong kayu. Nyatanya sampai bulan Juli 201914, aparat kepolisian masih melakukan penangkapan pelaku tindak kejahatan tersebut. Pemantauan Lapangan Pada bulan November dan Desember 2019,
JPIK mendapatkan informasi dan pengaduan dari masyarakat yang tinggal di sekitar Rimbang Baling bahwa aktivitas penebangan liar di kawasan tersebut, masih terjadi meskipun aparat keamanan sering telihat keluar masuk kawasan tersebut. Masyarakat beberapa kali melihat oknum petugas (aparat hukum) ikut terlibat dengan menjadi backing dalam kegiatan penebangan liar, sehingga kayu hasil curian dengan mudah diangkut keluar dari kawasan Rimbang Baling. Untuk menindaklanjuti informasi dan pengaduan masyarakat, JPIK melakukan pemantauan di Desa Pangkalan Serai dan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar dan menemukan
rakit-rakit kayu bulat (gelondongan) dihanyutkan melalui Sungai Tilan dan Sungai Subayang. Desa ini menjadi sasaran para pelaku illegal logging karena desa tersebut memiliki anak sungai yang berhubungan langsung (bermuara) pada DAS Subayang, sehingga memudahkan dalam pengangkutan kayu. Kayu-kayu tersebut diangkut dan diedarkan ke sejumlah industri yang berada di Kabupaten Kampar. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, peredaran kayu ilegal tersebut hingga ke Provinsi Jambi dan Sumatera Utara. Hal ini diperkuat dengan ditangkapnya dua orang pelaku illegal logging yang berasal dari Sumatera Utara oleh Polda Riau pada Bulan Mei 202015. Kayu yang dominan diburu oleh para pelaku
10
Aktifitas bongkar kayu lainnya disalah satu industri di Simpang Kambing (koordinat N 0°23'45.42" E 101°25'47.60").
Aktifitas bongkar kayu disalah satu industri di Simpang Kambing (koordinat N 0°23'31.57" E 101°25'23.88")
Aktifitas bogkar kayu di salah satu industri di Lubuk Siam (koordinat N 0°23'29.79" E 101°26'1.46")
Aktifitas lainnya sedang bongkar kayu di salah satu industri di Lubuk Siam (koordint N 0°23’6.49” E 101°26’50.90”)
Gambar 13. Empat truk bermuatan kayu sedang diturunkan di beberapa industri di Simpang Kambing dan Lubuk Siam
illegal logging adalah jenis Meranti. Tokoh masyarakat dan warga setempat menyebutkan bahwa para pelaku illegal logging merupakan masyarakat lokal yang diorganisir dan dipekerjakan oleh cukong kayu yang berasal dari luar wilayah. Kerjasama yang dibangun antara operator lapangan dengan cukong kayu, yaitu melalui pemberian sejumlah uang sebagai modal awal untuk biaya hidup keluarga selama ditinggalkan untuk melakukan penebangan kayu, cukong juga melengkapi kebutuhan pokok selama “mandah” 11
atau beraktivitas di dalam hutan. Setelah beberapa hari melakukan pemantauan di Desa Pangkalan Serai dan Aur Kuning, tim investigator JPIK kembali ke Pekanbaru. Menjelang petang, tim investigator tiba di Pelabuhan Gema. Pemantauan juga dilakukan pada tempat penimbunan kayu sementara di Desa Gema, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar. Tim investigator menemukan tiga unit mobil truk tanpa
“Sampai dengan tanggal 6 Agustus 2020, aktivitas pengangkutan kayu yang berasal dari Rimbang Baling masih terjadi” dilengkapi nomor plat (nomor polisi) bermuatan kayu jenis Meranti, Mentangur dan Medang sedang terparkir di Pelabuhan Gema. Aktivitas pengangkutan kayu biasanya dilakukan sekitar pukul 03.00 pagi hari, menggunakan truk colt diesel dengan ditutupi terpal. Kayu-kayu tersebut diangkut menuju industri yang berada di daerah Teratak Buluh, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar. Tidak ditemukan tanda V-Legal pada batang kayu tersebut. Dari data yang kami kumpulkan, industri-industri yang berada di Teratak Buluh antara lain CV Alam Riau Bertuah, Industri Pengolahan Kayu Rakyat (IPKR) Fadila Ilham Fajri dan IPKR Karminto yang notabene sudah memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK)16. Sampai dengan tanggal
6 Agustus 2020, aktivitas pengangkutan kayu yang berasal dari Rimbang Baling masih terjadi. Bukti pengangkutan kayu terlihat pada gambar 13, pada saat tim JPIK melakukan pemantauan lanjutan, ditemukan beberapa truk bermuatan kayu memasuki Simpang Kambing (Teratak Buluh) dan Lubuk Siam. Informasi nama industri yang menerima kayu dari Rimbang Baling sulit diketahui, karena tidak memasang papan nama. Masyarakat dan pekerja yang berada di sekitar lokasi industri hanya mengetahui beberapa nama pemilik industri tersebut17, bahkan enggan untuk menyebutkan. Ketika pemantau mendekati industri, terjadi larangan dan pengusiran untuk segera menjauh dan pergi dari lokasi tersebut. Menakar Efektifitas Penanganan Laporan dan Penegakan Hukum Pada bulan Januari 2020 Sekretariat Nasional JPIK menyampaikan laporan kepada Direktorat Jendral Penegakan Hukum (GAKKUM), KLHK melalui surat No. 01/ NAS/JPIK/I/20. Laporan tersebut telah direspon oleh pihak Gakkum dengan memberikan informasi bahwa pengaduan tersebut telah dilimpahkan ke Balai Gakkum di Provinsi Riau untuk segera ditindaklanjuti. Pada bulan Mei 2020, Kepolisian Daerah
Gambar 14. Indikasi alur peredaran kayu ilegal dari Rimbang Baling
(Polda) Riau melakukan operasi dan menangkap satu unit truk tronton berisi 1.477 batang atau lebih dari 30 ribu m3 kayu hutan alam hasil pembalakan liar di Suaka Margasatwa Rimbang Baling18. Pengungkapan yang dilakukan Polda Riau menemukan modus pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), yang menerangkan bahwa kayu tersebut atas nama CV Wana Jaya yang beralamat di Kecamatan Bulian, Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi19. Namun, tidak ditemukan dokumen yang kepemilikan sertifikat yang menjelaskan legalitas CV Wana Jaya. Sejak dikeluarkannya
Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Pembalakan Liar, beragam operasi terus digelar. Di Provinsi Riau misalnya, pada saat itu operasi tim terpadu bahkan diketuai langsung Gubernur Riau dan di lapangan dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Riau20. Namun demikian, praktik illegal logging tak kunjung hilang, bahkan aktivitas ilegal ini masih terjadi hingga pertengahan tahun 2020, meskipun Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-1921. Operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh penegak hukum selama ini hanya sebatas menangkap operator lapangan, cukong kayu 12
yang mengorganisir praktik illegal logging ini hampir tidak tersentuh. Kejadian ini diperparah dengan tidak efektifnya fungsifungsi pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah, sehingga oknum yang terlibat dan jaringannya secara leluasa ‘bermain’ dan beraksi di lapangan. Penegakan hukum multidoor untuk menjerat pelaku kejahatan hutan dan lingkungan harus diperkuat melalui penerapan sanksi yang tegas dan berefek jera, agar kasus yang sama tidak terulang di kemudian hari.
3.1.2 Pemantauan CV Alam Riau Bertuah di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau CV Alam Riau Bertuah (ARB) adalah industri pengolahan kayu yang telah memiliki Izin Usaha Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang beralamat di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Industri ini telah memperoleh S-LK dari LVLK Sucofindo sejak tanggal 31 Januari 2013 dan berlaku sampai dengan bulan Desember 2022. Pasokan bahan baku CV ARB salah satunya berasal dari Hutan Rakyat yang berada di Kabupaten
Gambar 15. Rantai peredaran kayu CV Alam Riau Bertuah22
Gambar 16. Gudang kayu CV ARB
13
Pelalawan, Kuantan Singingi, dan Kampar, Provinsi Riau (Gambar 15). Pemantauan Lapangan Dalam rangka menelusuri kayu yang berasal dari Rimbang Baling, tim investigator JPIK mengikuti truk bermuatan kayu yang berasal dari Desa Gema. Truk tersebut melakukan bongkar muat kayu di Jalan Sukakarya (Simpang Kambing), Desa Teratak Buluh, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar. Terdapat banyak industri penggergajian kayu di lokasi tersebut, salah satunya CV ARB, di lokasi ini pemantau menemukan beberapa truk yang terparkir. JPIK mengkonfirmasi keberadaan truktruk tersebut kepada salah satu warga23 yang berada di sekitar industri, beberapa truk tersebut merupakan pemasok kayu bulat yang berasal dari Desa Gema, diduga kuat kayu bulat tersebut merupakan hasil illegal logging dari Rimbang Baling. Selain CV ARB terdapat industri kayu lainnya, seperti Industri Pengolahan Kayu Rakyat (IPKR) Fadilah Ilham Fajri dan IPKR Karminto, yang telah memiliki sertifikat legalitas kayu (S-LK), serta industri-industri lain yang belum diketahui namanya karena tidak memasang plang dan belum bisa dipastikan izinnya. Letak industri satu
3.2 Provinsi Aceh
Gambar 17. Lokasi industri-industri kayu di Simpang Kambing
dengan yang lainnya cukup berdekatan dan diduga kuat terdapat keterkaitan antara industriindustri tersebut. JPIK menemukan tumpukan kayu bulat di dalam industri-industri ini, yang didominasi kayu jenis Meranti. Hasil pantauan udara menemukan empat unit truk sedang bongkar muat kayu bulat di beberapa industri, jenis kayu yang ditemukan di lokasi industri tersebut adalah Meranti dan Mahang. Pantauan udara juga menemukan pembuangan limbah kayu langsung ke Sungai Kampar dan beberapa industri mengelola limbah kayunya dengan cara dibakar. Tindak Lanjut Hasil Pemantauan Untuk menindaklanjuti temuan-temuan investigasi ini, maka Sekretariat Nasional JPIK menyampaikan laporan keluhan kepada PT Sucofindo
Internasional Certification selaku pemberi S-LK CV ARB melalui surat No. 02/ NAS/JPIK/I/2020 pada tanggal 14 Januari 2020. Atas laporan tersebut, pada tanggal 29 sampai 31 Januari 2020, PT Sucofindo melakukan audit khusus untuk memverifikasi atas dugaan penggunaan kayu ilegal dari Rimbang Baling oleh CV ARB. Namun hasil audit khusus yang dilakukan oleh PT Sucofindo tidak menemukan pelanggaran terhadap norma penilaian yang diatur sesuai lampiran 2.5 Perdirjen PHPL No. P.14/PHPL/SET/4/2016. Untuk kasus ini JPIK akan melakukan investigasi lanjutan untuk memastikan kesesuaian antara hasil audit khusus dengan fakta-fakta baru yang terjadi di lapangan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 103/ MenLHK-II/2015 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.865/ MENHUT-II/2014 tanggal 29 September 2014, luas kawasan hutan dan konservasi perairan di Provinsi Aceh adalah Âą 3.558.561,12 ha. Pemerintah Aceh telah memberlakukan kebijakan moratorium logging sebagaimana tertuang dalam Instruksi Gubernur No. 5 Tahun 2007, moratorium diartikan sebagai penghentian sementara seluruh penebangan hutan di Aceh, sehingga seluruh aktivitas pemegang IUPHHK-HA dan HT, serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan yang menyebabkan terjadinya degradasi dan deforestasi harus dihentikan. Kebijakan moratorium ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang Pemerintah Aceh saat itu, demi meletakkan pondasi pengelolaan hutan yang lestari dan berkeadilan24. Pemerintah Aceh melalui Dinas Kehutanan melaksanakan serangkaian kegiatan yang disebut dengan Triple R, yaitu redesign, reforestasi dan reduksi. Redesign adalah langkah untuk menata ulang hutan Aceh yang dimulai dari inventarisasi, yang kemudian dilanjutkan dengan penataan fungsi hutan untuk pembangunan Aceh yang berimbang secara 14
ekologi. Reforestasi, sebagai bagian dari strategi jangka panjang pengelolaan hutan Aceh yang harus dimulai sekarang juga. Terakhir adalah reduksi, yaitu menurunkan laju kerusakan hutan sebagai penunjang implementasi pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Untuk mengetahui perkembangan pengelolaan hutan di Aceh, JPIK Provinsi Aceh melakukan serangkaian pemantauan di provinsi tersebut. Lokasi pemantaun dipilih berdasarkan saran dan masukan para pihak, serta laporan terkait aktivitas illegal logging yang terjadi di kawasan hutan, yang disinyalir kayu-kayu tersebut di pasok ke industri-industri penggergajian kayu. Pemantauan lapangan dilakukan pada IUPHHKHT PT Rencong Pulp & Paper Industry dan Eksportir Non Produsen CV Bidika Pekasa. 3.2.1 Pemantauan Kinerja Hutan Tanaman Industri, PT Rencong Pulp and Paper Industry PT Rencong Pulp and Paper Industry (PT RPPI) merupakan salah satu pemegang IUPHHK-HT seluas 10.384 ha berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh dengan No. 522.51/569/2011, serta perubahan SK No. 522.51/441/2012, dengan jangka waktu selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun. Areal PT RPPI meliputi lima 15
kecamatan, yaitu Kecamatan Nisam Antara, Geuredong Pase, Meurah Mulia, Sawang, dan Paya Bakong di Kabupaten Aceh Utara. Pada tahun 2016, Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) yang terdiri dari masyarakat lokal, mahasiswa pecinta alam dan kelompok masyarakat sipil mendesak Pemerintah Aceh untuk mencabut Izin Usaha pada PT RPPI25. Alasan penolakan tersebut karena kekhawatiran para pihak terhadap dampak yang disinyalir akan terjadinya krisis air bagi kebutuhan hidup warga sebanyak 264.920 jiwa, yang memiliki ketergantungan sumber air pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Mane dan Krueng Pase, karena area izin PT RPPI berada di kawasan hulu kedua DAS tersebut, yang sekaligus memiliki fungsi penyedia air bagi 13 kecamatan dari 27 kecamatan yang ada di Aceh Utara. Selain untuk kebutuhan konsumsi, air yang disuplai oleh kedua DAS tersebut juga digunakan untuk kebutuhan pertanian sawah, setidaknya luas sawah irigasi dalam DAS dimaksud mencapai 17.288 ha yaitu DAS Krueng Pase 8.325 ha, serta DAS Krueng Mane 8.963 ha. Selain itu, mengacu pada Rencana Tata Ruang Kabupaten Aceh Utara, areal PT RPPI merupakan kawasan rawan bencana level menengah dan
tinggi26. Salah satu akibat dari pembukaan wilayah hutan di hulu areal PT RPPI yaitu terjadinya bencana banjir dan tanah longsor pada bulan Desember 2019 di wilayah Kabupaten Aceh Utara yang menyebabkan masyarakat di beberapa wilayah Kabupaten Aceh Utara harus menanggung risiko bencana tersebut27. Temuan Pemantauan JPIK Provinsi Aceh menemukan kegiatan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) yang dilakukan secara masif, namun JPIK Aceh tidak menemukan dokumen sertifikat hasil penilaian/ verifikasi SVLK sebagai bukti pemenuhan terhadap sejumlah peraturan pemanfaatan hasil hutan di portal SILK (Sistem Informasi Legalitas Kayu)28. Hal ini sesuai dengan laporan yang dirilis oleh Auriga, bahwa keberadaan IUPHHK-HTI PT RPPI itu diakui legalitasnya oleh Pemerintah Aceh, tetapi tidak masuk dalam sistem administrasi perkayuan nasional29. Berdasarkan hasil penelusuran SIRPBBI 2019, PT RPPI memasok kayu hasil land clearing untuk penyiapan lahan kepada PT Sinergi Tangguh Alam Raya di Provinsi Aceh, berupa kayu bulat sebanyak 254,03 mÂł. Hal ini terindikasi kuat bahwa kayu yang dihasilkan dan dipasarkan oleh IUPHHK-HA PT RPPI diragukan legalitasnya karena tidak memiliki SVLK. Menurut
berada di luar daerah Perlindungan Satwa Liar dalam area izin PT RPPI.
Gambar 18. Kondisi vegetasi akibat kegiatan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) PT RPPI
pengakuan salah satu manager operasional PT RPPI kepada media yang diberitakan pada tanggal 31 Juli 2019, PT RPPI telah membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) kepada negara sebanyak 1.700 mÂł kayu yang telah ditebang dalam proses land clearing30. Dari 1.700 mÂł yang telah dibayar PSDH-DR-nya, terdapat 1.445,97 mÂł yang belum diketahui kemana kayu PT RPPI tersebut diedarkan. Penelusuran terhadap kesesuaian aktivitas penebangan dengan Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan belum dapat dipastikan, karena JPIK Aceh belum bisa mengakses dokumen RKT, meskipun dokumen tersebut telah dimohonkan secara daring melalui website Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Aceh, namun sampai dengan laporan ini dirilis belum ada respon. JPIK Aceh juga mendapati adanya ketidaksinkronan izin yang diberikan kepada PT RPPI, karena
menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.: P.28/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/7/2018, kewenangan pemberian izin seharusnya ditetapkan oleh Menteri. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan warga Kecamatan Geureudong Pasee yang berada di sekitar lokasi PT RPPI, masih terdapat konflik tenurial antara masyarakat dengan pemilik izin. Hal ini diakibatkan oleh ketidakpastian tata batas hutan PT RPPI. Kekhawatiran hilangnya lahan, ruang kelola terganggu, dan hilangnya habitat satwa liar dilindungi juga dialami oleh masyarakat sekitar konsesi, karena secara umum habitat satwa tersebut
Dari penjelasan diatas dapat dapat di simpulkan bahwa terdapat 3 temuan selama pemantauan yaitu lokasi PT RPPI tumpang tinding dengan lahan masyarakat, sehingga menyebabkan konflik tenurial, penerbitan izin diluar kewenangan dan kehadiran PT RPPI menjadi ancaman terhadap sumber air dan satwa yang dilindungi. 3.2.2 Temuan Pemantauan Pelaksanaan SVLK Eksportir Non Produsen, CV Bidika Perkasa CV Bidika Perkasa adalah salah satu unit manajemen pemilik izin eksportir non produsen di Provinsi Aceh, dinyatakan lulus sertifikasi SVLK sebagaimana hasil audit yang dilakukan oleh PT Sucofindo. Secara keseluruhan dari 3 prinsip, 5 kriteria, 7 indikator 22 verifier, terdapat 14 verifier sesuai dengan norma penilaian, 8 verifier yang tidak diverifikasi (not applicable/NA), dan tidak ada verifier yang tidak sesuai dengan norma penilaian/ verifikasi. Berdasarkan resume hasil audit, dinyatakan bahwa salah satu pemasok produk kayunya adalah perusahaan yang memiliki Izin Usaha Industri Lanjutan (IUI Lanjutan), yang dalam hal ini perlu dipastikan keabsahan asal-usul 16
bahan baku produk yang dihasilkan. JPIK Aceh melakukan penelusuran dengan mendatangi langsung ke lokasi unit manajemen sesuai alamat yang tercantum dalam resume hasil audit CV Bidika Perkasa. Pemantauan terhadap lokasi gudang dilakukan di pagi, siang serta malam harinya. Selain itu juga dilakukan penggalian informasi kepada warga yang berdomisili di sekitar CV Bidika Perkasa, serta melakukan konfirmasi dan klarifikasi atas informasi dan fakta lapangan yang ditemukan oleh JPIK Aceh kepada pihak Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) III Aceh yang berada dibawah koordinasi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh. Pemantauan JPIK Aceh menemukan perbedaan antara alamat yang tertera di resume hasil audit dengan alamat unit manajemen yang sesungguhnya, dimana tanda plang kantor pada lokasi tersebut bukan CV Bidika Perkasa, namun PT Pinang Nusantara Abadi. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, di lokasi tersebut tidak ditemukan aktivitas kegiatan usaha produk kehutanan. Mereka mengetahui lokasi yang dimaksud sebagai lokasi budidaya burung walet, dan sebelumnya lokasi tersebut juga merupakan lokasi penyimpanan pupuk pertanian. Selama pemantauan, gudang 17
Plang menunjukan bukan CV Bidika Perkasa melainkan PT Pinang Nusantara Abadi, ŠJPIK Aceh
Gambar 19. Papan nama yang diklaim sebagai lokasi CV Bidika Perkasa
tidak pernah terbuka, pintu pagar terkunci rapat dan tidak terdapat aktivitas layaknya sebuah tempat usaha. Tindak Lanjut Pemantauan Salah satu upaya yang dilakukan JPIK Aceh dalam menindaklanjuti temuan lapangan adalah melakukan konfirmasi kepada Kepala Desa setempat, untuk memastikan keberadaan dan ativitas CV Bidika Perkasa , serta mengirimkan surat ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Aceh terkait permohonan data dan informasi izin lingkungan/Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) perusahaan tersebut. JPIK Aceh juga mengirimkan surat permohonan data dan informasi ke PT Sucofindo melalui surat No. 01/FP-ACEH/ JPIK/I/2020 tanggal 22 Januari 2020, untuk memastikan profil perusahaan, daftar industri pemasok produk periode Juni s/d Desember 2019, rekapitulasi pemasaran
ekspor, salinan surat perjanjian kerja sama dengan supplier (pemasok) dan salinan dokumen DKP dari supplier ke CV Bidika Perkasa. PT Sucofindo telah merespon surat JPIK Aceh melalui surat No. 0967/SERCOII/VLK/2020 yang menerangkan bahwa CV Bidika Perkasa belum pernah mengajukan dokumen V-Legal dikarenakan industri ini belum pernah melakukan ekspor produk kayu, sehingga data rekapitulasi pemasaran ekspor dan daftar industri pemasok periode Juni s/d Desember 2019 belum ada sampai dengan saat ini. Namun demikian, berdasarkan informasi yang terdapat dalam salinan surat perjanjian kerja sama No. 021/ SPKKS/BDK-MDA/ III/2019 antara CV Bidika Perkasa dengan supplier didapatkan bahwa perusahaan pemasok adalah UD Makmur Djaya Abadi yang beralamat di Desa Birem Bayeun, Aceh Timur. Perjanjian tersebut
untuk pengadaan kayu Serut 4 Sisi (S4S) dengan masa berlaku selama 2 tahun, dimulai tanggal 18 Maret 2019 - 18 Maret 2021. Tidak ditemukan dokumen hasil sertifikasi UD Makmur Djaya Abadi.
3.3 Provinsi Bengkulu Luas hutan di Provinsi Bengkulu Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 420/Kpts-II/99); 920.964,000 ha yang terdiri atas hutan konservasi 451.747,10 ha, hutan lindung seluas 252.042,00 ha dan hutan produksi 217.175,00 ha (Tabel 4). Seluas 700.000 ha dari luas keseluruhan hutan di Provinsi Bengkulu dalam kondisi kritis. Hutan kritis seluas itu tersebar di sembilan daerah tingkat II yang ada di Bengkulu termasuk Kota Bengkulu. Hutan yang kritis di Bengkulu meliputi, hutan lindung, cagar alam, suaka alam, taman nasional dan taman buru31.
Berdasarkan konfirmasi dari PT Sucofindo sebagai lembaga sertifikasi (LS) terkait perbedaan informasi antara alamat yang tertera pada resume hasil audit dengan fakta di lapangan, didapatkan informasi bahwa CV Bidika Perkasa melakukan penyewaan gudang di lokasi tersebut. Menurut konfirmasi CV Bidika Perkasa via telepon, penyewaan gudang tersebut berakhir pada Desember 2019 dan saat ini industri tersebut masih melakukan pencarian tempat penyewaan gudang yang baru. Untuk informasi mengenai salinan dokumen DKP dari supplier produk ke CV Bidika Perkasa pada periode Juni s/d Desember 2019 tidak tersedia, karena tidak ada pengiriman produk dari supplier. Berdasarkan hasil dan tindak lanjut pemantauan, JPIK Aceh menganggap adanya kelemahan dalam pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dan PT Sucofindo, dengan demikian perlu dilakukan investigasi mendalam oleh kedua pihak tersebut untuk memastikan keterpenuhan terhadap peraturan SVLK.
logging yang dilakukan oleh perusahaan CV Marantika pada izin lokasi perkebunan sawit milik PT Citra Sawit Hijau Subur yang berada di Desa Manau IX, Kecamatan Padang Guci Hulu, Kabupaten Kaur, dengan perkiraan volume kayunya mencapai 400 mÂł. Untuk menindaklanjuti laporan tersebut, kemudian WALHI Bengkulu melakukan pemantauan untuk menemukan buktibukti terjadinga illegal logging. 3.3.1 Indikasi Illegal Logging Berkedok Izin Pemanfaatan Kayu Pada Pembukaan Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu CV Marantika mendapatkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK)32 dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Bengkulu dengan No.: 503/01.1040/08/ DPMPTSP-P.1/2019 tanggal 26 September 2019 tentang Pemberian Izin pada izin lokasi perkebunan sawit PT Citra Sawit Hijau Subur di Kabupaten Kaur dengan luas lokasi 2.406 ha dan target volume kayu sebesar 4.408,77
Kerusakan hutan di Bengkulu disebabkan aksi illegal logging, perambahan hutan oleh oknum perusahaan dan masyarakat yang tidak bertanggung jawab pada kawasan hutan lindung, suaka alam, seperti di Kabupaten MukoMuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Rejang Lebong, Seluma, dan Lebong. WALHI Bengkulu mendapatkan laporan dari masyarakat tentang indikasi illegal
Tabel 4 Luas Kawasan Hutan di Provinsi Bengkulu Luas Hutan (Ha) No. 1 2 3 4
Kab/Kota
Hutan Konservasi Bengkulu Utara 226.436,06 Bengkulu Selatan 70.189,42 Rejang Lebong 153.577,32 Kota Bengkulu 1.544,30 Jumlah 451.747,10
Hutan Hutan Lindung Produksi 60.856,00 150.592,56 138.588,00 66.582,44 52.598,00 252.042,00 217.175,00
Jumlah 437.884,62 275.359,86 206.175,32 1.544,30 920.964,10
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2013
18
m3 dengan jumlah produksi sebanyak 1.226 batang33.
Gambar 20. Lokasi IPK CV Marantika pada izin lokasi PT Citra Sawit Hijau Subur
Gambar 21. Tumpukan hasil tebangan CV Marantika
Berdasarkan dokumen IPK CV Marantika tahun 2015, perkebunan sawit PT Citra Sawit Hijau Subur masih dalam tahap Izin Lingkungan, kemudian Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu mengeluarkan persetujuan IPK kepada CV Marantika pada 23 Juli 2019 yang dilanjutkan dengan kajian teknis DLHK Provinsi Bengkulu atas permohonan izin pemanfaatan kayu pada 30 Agustus 2019. PT Citra Sawit Hijau Subur merupakan anak perusahaan perkebunan sawit Ciputra Group34. Berdasarkan dokumen AMDAL 2015, rencana kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit PT Citrasawit Hijau Subur memiliki target luasan lahan budidaya 10.000 ha dan kapasitas Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sebesar 45 ton Tandan Buah Segar (TBS) per jam. Sebaran lahan perkebunan ini terletak di Kecamatan Semidang Gumay, Tanjung Kemuning, Kelam Tengah, Kaur Utara, Padang Guci Hulu, Padang Guci Hilir dan Lungkang Kule. Temuan Pemantauan
Gambar 22. Kayu hasil tebangan CV Marantika berdiameter hingga 1 m
19
Lokasi pemanenan kayu CV Marantika berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Kedurang. Berdasarkan analisis geospasial
Tabel 5. Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) CV Marantika No
Jenis PNBP
Tahun 2017
Tahun 2018
Tahun 2019
1.
PSDH
Rp 20.699.700,-
Rp 16.599.240,-
Nihil
2.
Dana Reboisasi
USD 27.243,48
Nihil
Nihil
Sumber : https://sipnbp.phpl.menlhk.go.id (diakses pada Desember 2019)
WALHI Bengkulu dan titik koordinat yang didapatkan pada saat pemantauan di lapangan pada 7 November 2019, diduga kuat CV Marantika melakukan pemanenan kayu di luar lokasi izin. Analisis tersebut menemukan pemanenan kayu di dalam kawasan HPT Air Kedurang seluas Âą 58 Ha. Sementara
itu, tutupan lahan sisa tebangan kayu IPK milik CV Marantika seluas 79,74 ha. Pemantauan WALHI Bengkulu di lapangan, menemukan tumpukan kayu gelondongan (bulat) dengan jenis Meranti, Kelungku Daun, Mantuke, Seluwai, Balam, Medang, Kruing, Kayu Abang, dan Rimba Campuran di lokasi penebangan.
Penelusuran dan analisis WALHI Bengkulu pada situs resmi Sistem Informasi Penerimaan Negara Buakan Pajak Online (SIMPONI)35, menunjukkan bahwa CV Marantika pada tahun 2018 telah melakukan pembayaran PSDH (Provisi Sumberdaya Hutan) sebesar Rp 16.599.240; namun belum melakukan pembayaran Dana Reboisasi (DR) karena tertulis nihil (Tabel 5). Pada tahun 2019 perusahaan ini juga belum melakukan pemenuhan kewajiban pembayaran PSDH dan DR kepada Negara, padahal pada tahun
Gambar 23. Analisis indikasi sebaran lokasi tebangan CV Marantika
20
Gambar 24. Rantai peredaran kayu CV Marantika
tersebut ditemukan adanya aktivitas pengangkutan kayu hasil tebangan. Hal ini menunjukkan adanya potensi kerugian negara dalam bentuk PNBP dan indikasi korupsi Sumber Daya Alam (SDA) dalam penerbitan izin pemanfaatan hasil hutan kayu36. WALHI Bengkulu melakukan penelusuran lebih lanjut melalui situs SILK, KLHK, hasil penelusuran tersebut tidak ditemukan informasi tentang Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) pada IPK CV Marantika. Hal ini tidak sesuai dengan PermenLHK No. P.30/Menlhk/Setjen/ PHPL.3/3/2016 yang menyebutkan bahwa S-LK wajib dimiliki oleh pemegang IPK. Rantai Peredaran Kayu CV Marantika Dalam rangka menindaklanjuti hasil pemantauan, WALHI Bengkulu telah mengirimkan surat kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Provinsi Bengkulu melalui surat No.: 20/ ED/WALHI BKL/I/2020 tanggal 14 Januari 2020 tentang permohonan data dan informasi yang berkaitan dengan 21
Gambar 25. Alur peredaran kayu CV Marantika
identitas dan legalitas IPK CV Marantika dalam memanfaatkan kayu hasil land clearing di HGU PT Citra Sawit Hijau Subur, namun hingga saat ini belum ada respon dari DPMPTSP Provinsi Bengkulu. WALHI Bengkulu juga membangun komunikasi dengan beberapa media online, upaya ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan publik dan mendorong penegakan
hukum agar melakukan penanganan dan penindakan atas kasus yang terjadi. Atas dorongan tersebut, pada bulan Februari 2020 Kepolisian Resort Kabupaten Kaur melakukan tindakan dan menangkap pelaku illegal logging di lokasi yang sama dengan izin lokasi IPK CV Marantika37. 3.4 Provinsi Sumatera Selatan Sumatera Selatan
memiliki luas wilayah kurang lebih 9,2 juta ha, dimana 3.487.467 ha merupakan kawasan hutan38. Saat ini luasan hutan alam yang kondisinya masih baik hanya sekitar 800 ribu ha. Kerusakan hutan alam ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya akibat dari ekspansi pembangunan HTI. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumsel tahun 2012, luas HTI di Sumatera Selatan mencapai 1.375.312 ha yang dikuasai oleh 19 perusahaan39. Provinsi ini merupakan salah satu provinsi yang memiliki sebaran lahan gambut cukup luas yaitu mencapai ± 1.26 juta ha atau ± 20 persen dari luasan sebaran lahan gambut di Pulau Sumatera. Penyebaran lahan gambut di Sumatera Selatan ini tersebar di beberapa kabupaten, yaitu: Ogan Komering Ilir (OKI) ± 570 ribu ha (45,4 %), Musi Banyuasin dan Banyuasin ± 581 ribu ha (46,2 %), Musi Rawas ± 58 ribu ha (4,6 %), dan Muara Enim hanya sekitar ± 45 ribu ha (3,6 %)40. Keberadaan hutan alam dan lahan gambut yang tersisa di Sumatera Selatan mengalami ancaman serius akibat kebakaran hutan dan lahan, serta perambahan dan illegal logging yang terjadi di berbagai status dan fungsi hutan. Salah satu temuan pemantauan JPIK pada periode Desember 2019 hingga Februari 2020, menemukan aktivitas illegal logging di Hutan produksi Lalan
Mangsang Mendis masih terjadi tepatnya di sekitar Desa Muara Medak, Desa Kepayang dan Desa Merang, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA). 3.4.1 Pemantauan illegal logging pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit III Lalan Mangsang Mendis Desa Muara Medak adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Dimana sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan Hutan Produksi yang didominasi lahan gambut. Di wilayah ini terdapat IUPHHK-HT dan perkebunan milik perusahaan maupun milik masyarakat, sehingga terdapat banyak kanal-kanal yang terhubung ke sungai secara
langsung41. Selama ini dijadikan jalur untuk mengeluarkan kayu dari kegiatan illegal logging yang berasal dari Kawasan Hutan Produksi Wilayah KPHP Lalan Mangsang Mendis. Penelusuran Kayu Hasil Illegal Logging Pada bulan Oktober hingga Desember 2019, JPIK melakukan analisis dan mendapatkan laporan dari masyarakat mengenai aktivitas illegal logging yang terjadi di Dusun Tujuh, Desa Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin yang berada di dalam kawasan Hutan Produksi Wilayah KPHP Lalan Mangsang Mendis yang luasnya mencapai 265.953 ha42. Atas informasi tersebut, pada bulan Februari 2020, JPIK melakukan verifikasi lapangan untuk menemukan bukti bahwa praktik illegal logging tersebut benar terjadi.
Gambar 26. Aktivitas pengangkutan kayu hasil illegal logging di Dusun 7, Muara Medak tahun 2018
22
Tim investigasi menemukan indikasi terjadi aktivitas illegal logging di KPHP Lalan Mangsang Mendis, dengan adanya tumpukan kayu ilegal yang ada di Dusun Tujuh, Desa Muara Medak. Lokasi illegal logging di sekitar Sungai Medak, Sungai Merang serta parit-parit (kanal) sebagai jalur untuk mengeluarkan kayukayu hasil tebangan. Rata-rata kayu yang dikeluarkan dari wilayah
hutan produksi tersebut berukuran Âą 4 m dan sudah berbentuk balok. Praktik ini dilakukan secara berkelompok oleh oknum masyarakat yang berasal dari Desa Muara Medak, dimana cukong kayu memanfaatkan jasa masyarakat dalam kegiatan tersebut. Pihak pertama bertugas untuk melakukan penebangan hingga mengeluarkan kayu illegal ke tempat penimbunan kayu.
Gambar 27. Kayu hasil illegal logging dihanyutkan melalui sungai menuju Dusun 10, Desa Muara Medak
Sumber: Pemantauan JPIK, 2020
Gambar 28. Bagan pelaku illegal logging di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan
23
Kemudian pihak kedua bertugas untuk mengangkut kayu dari lokasi penimbunan menuju lokasi penimbunan kayu yang dimiliki oleh cukong kayu di Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi. Volume kayu yang dihasilkan tergantung dengan jumlah penebang, fasilitas dan modal yang dimiliki, serta kondisi cuaca. Rata-rata dalam satu bulan, satu kelompok bisa mengeluarkan Âą180 batang kayu jenis Meranti, Jelutung, Gelam dan Kayu Rajuk (Rimba Campuran). Ada dugaan bahwa para pelaku praktik illegal logging ini akan dipungut setoran oleh oknum-oknum tertentu, sehingga terkesan kegiatan ini resmi. Informasi dari masyarakat, kayu hasil illegal logging diedarkan ke Provinsi Sumatera Selatan, disusun menjadi rakit dan dikeluarkan/ diangkut melalui aliran sungai dan parit-parit dengan mengunakan ketek (perahu mesin) menuju Dermaga Sungai Bayung Lencir. Sedangkan kayu yang diedarkan ke Provinsi Jambi, ditimbun di salah satu tempat di Dusun Tujuh dan Dusun Lima, Desa Muara Medak, sebelum diangkut dengan menggunakan mobil (truk). Pasca terjadinya kebakaran hutan dan lahan di tahun 2019, sebagian besar aktivitas illegal logging
ini terhenti. Hal tersebut dikarenakan adanya perhatian dari aparat berwajib, pemerintah daerah hingga pemerintah desa, serta upaya pengungkapan kasus oleh wartawan dan kelompok masyarakat sipil. Jika pun masih terdapat praktik tersebut, jumlahnya tidak signifikan. Namun demikian apabila praktik ini dibiarkan, kemungkinan besar kejadian sebelumnya akan terulang kembali. Sementara itu, pada hari Rabu tanggal 01
Gambar 29. Kayu ilegal pasca Karhutla tahun 2019
Sumber: Pemantauan JPIK, 2020
Gambar 30. Alur distribusi kayu
Juli 2020 JPIK mendapat laporan dari masyarakat tentang kegiatan pengangkutan kayu hasil illegal logging melalui aliran sungai dan parit-parit yang melewati dusun 7 dan dusun 10, dimana panjang rangkaian (rakit) kayu tersebut mencapai Âą 200 meter. Berdasarkan informasi dari supir pengakut, kayu bulat tersebut berasal dari kawasan Taman Nasional Berbak Jambi. Tindak Lanjut Pemantauan Untuk menuntaskan
kasus illegal logging tersebut, JPIK telah berkoordinasi dengan KPHP Lalan Mangsang Mendis selaku pengelola kawasan Hutan Produksi tersebut, serta berupaya meningkatkan komunikasi dengan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan Lalan Mangsang Mendis. Atas temuan hasil pemantauan, Sekretariat Nasional (Seknas) JPIK mengirimkan surat pengaduan kepada Gakkum KLHK dengan No. 40/NAS/JPIK/VIII/20. 3.5 Provinsi Banten Provinsi Banten memiliki kekayaan
dan keanekaragaman sumber daya alam hayati yang tinggi, terbukti dengan adanya kawasan konservasi yang berada di wilayah administratif provinsi tersebut yaitu Taman Nasional Ujung Kulon seluas 120.551 ha, Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 42.925,15 ha, Cagar Alam seluas 4.238 ha dan Taman Wisata seluas 528,15 ha. Selain itu, provinsi ini memiliki hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani, di bawah pengelolaan KPH Banten seluas 81.184,34 ha43. 24
Banten - Sentra Industri Karangantu Kabupaten Serang Provinsi Banten – sudah terkenal sejak jaman dulu karena berdekatan dengan pelabuhan jaman kesultanan Banten sebagai pusat perdagangan, di lokasi tersebut menjadi tata niaga peredaran kayu dari luar pulau sampai saat ini. Industri – industri primer pun banyak tumbuh dan berkembang di wilayah Banten. Pasca penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, maka terjadinya pergeseran kewenang dari pemerintah kabupaten ke pemerintah provinsi. Kondisi ini menyebabkan banyak industri primer, baik itu yang berkapasitas besar maupun kecil, luput dari pengawasan Dinas Lingkungan dan Kehutanan Provinsi karena keterbatasan sumber daya manusia. Terbukti dari sekian banyak industri primer yang beroperasi di wilayah Banten, hanya ada sekitar 30 persen saja yang memiliki sertifikat SVLK. Salah satunya dikarenakan masih minimnya pemahaman aparat pemerintah daerah terhadap kewajiban penerapan SVLK bagi seluruh industri pengolahan kayu. Hal ini membutuhkan peran dari para pihak untuk terus mendorong pembenahan tata kelola perdagangan kayu sehingga mampu mencegah praktik25
praktik perdagangan kayu illegal di Provinsi Banten. Pada bulan Desember s/d Januari 2020, JPIK Provinsi Banten melakukan pemantauan terkait peredaran kayu dari luar pulau yang masuk ke Sentra Industri Karangantu di Kabupaten Serang, Provinsi banten. Secara khusus melakukan pemantauan terhadap 1 Industri kayu, yaitu PD. Sinar Agung. 3.5.1 Pelaksanaan SVLK Pada Industri Primer PD Sinar Agung Sejalan dengan semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam di luar Pulau Jawa dan Perhutani di Pulau Jawa, kayu rakyat menjadi alternatif sumber pemenuhan bahan baku bagi industri perkayuan. Provinsi Banten memiliki 3 Sentra industri kayu, diantaranya Sentra Industri I (Serang), Sentra Industri II (Tangerang) dan Sentra Industri III Karangantu,
dengan rata-rata kebutuhan bahan baku kayu sebesar 251.335,56 m³. Sedangkan kayu yang keluar dari Provinsi Banten ratarata 476.800,63 m³ dalam bentuk kayu olahan44. Selain itu, berdasarkan data laporan Rencana dan Realisasi Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) tahun 2019 pasokan kayu hutan rakyat yang berasal dari luar Provinsi Banten sebesar 82.068,64 m3. Kayu rakyat tersebut bersumber dari 10 Provinsi diantaranya Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Papua, Kep. Bangka Belitung, dan Lampung. Berdasarkan pemantauan JPIK Banten, penerapan SVLK di Provinsi Banten masih terdapat sejumlah kendala. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, keterbatasan pemahaman dan sumberdaya di lingkup
Gambar 31. Grafis penerapan SVLK pada industri primer di Provinsi Banten
pemerintahan Banten, menjadi salah satu faktor penyebabnya. Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten menyatakan bahwa ada 73 industri primer yang beroperasi, namun hanya 25 industri yang baru mengikuti SVLK. Selain itu ada 70 industri primer yang telah terkoneksi dengan Sistem Informasi Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (SIRPBBI)45. Salah satu industri primer yang belum berSVLK adalah PD Sinar Agung yang menjadi target pemantauan JPIK Banten pada periode bulan November 2019 hingga Januari 2020. PD Sinar Agung beralamat di Jalan Klenteng No. 27 Kasemen Serang, Provinsi Banten. PD Sinar Agung berdiri sejak 1981 bergerak di bidang penggergajian kayu, produk yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan, material proyek lokal hingga nasional. Pemantauan ini dilakukan untuk menindaklanjuti informasi awal yang bersumber dari masyarakat sekitar industri, terkait pergerakan kayu dari luar pulau yang dipasok ke salah satu perusahaan kayu di wilayah Karangantu yang diragukan legalitasnya. Temuan Pemantauan Hasil penelusuran JPIK Provinsi Banten di lokasi PD Sinar
Gambar 32. Truk dari Lampung melakukan bongkar muat kayu di PD Sinar Agung
Gambar 33. Rantai peredaran kayu PD Sinar Agung
Agung menemukan aktivitas bongkar muat kayu, terlihat adanya beberapa mobil truk besar (Fuso) yang keluar masuk perusahaan dengan nomor plat Wilayah Lampung yang terparkir di depan Industri PD Sinar Agung. Pemantau juga menemukan dalam
satu tapak perusahaan terdapat 2 (dua) entitas industri yang berbeda yaitu CV Bukit Tursina dan PD Sinar Agung, dimana pemilik kedua perusahaan memiliki ikatan keluarga. Hal ini disinyalir digunakan sebagai modus untuk pencucian kayu-kayu ilegal. 26
Untuk mengetahui laporan mutasi kayu pada PD Sinar Agung, JPIK Banten telah dua kali mengajukan surat permohonan data dan informasi dengan No. surat 248/Banten/ PHMN/I/2020 dan No. surat 042/JPIK_ Banten/I/2020 namun tidak ada respon. Selain itu JPIK Banten juga beberapa kali melakukan kunjungan ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Banten, namun informasi yang dimohonkan tidak diberikan. Berdasarkan hasil penelusuran pada sistem informasi RPBBI Online 2019, tidak ditemukan informasi terkait rencana dan realisasi pemenuhan bahan baku industri PD Sinar Agung. Hal ini tidak sesuaikan dengan PermenLHK No. P.1/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/1/2019 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan, pasal 43 yang mewajibkan pemegang IUPHHK untuk menyusun dan menyampaikan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) setiap tahun. 3.6 Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur tahun 2017 memiliki kawasan hutan seluas 1.352.739,01 ha (Tabel 6). Provinsi ini memiliki peranan penting dan strategis dalam peredaran dan perdagangan kayu di Indonesia, khususnya jenis kayu yang bersumber dari hutan 27
alam, hutan tanaman dan hutan hak, dengan memiliki pelabuhan bongkar muat kayu di Gresik, Jawa Timur. Jawa Timur juga memiliki pelabuhan Tanjung Perak untuk tujuan ekspor produk kayu ke seluruh dunia46. Provinsi Jawa Timur juga memiliki indutri primer atau industri penggergajian kayu yang jumlahnya mencapai 1.084 (Tabel 7) dengan kapasitas yang beragam. Banyaknya industri pengolahan kayu menjadi tantangan bagi seluruh pihak untuk memastikan bahwa asal bahan baku yang diterima, diolah, serta diedarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan internasional telah memenuhi aspek
legalitas dan kelestarian sebagaimana peraturan yang berlaku di Indonesia. Sejak Desember 2019, segala bentuk perizinan Tempat Penampungan Terdaftar Kayu Olahan (TPT-KO) di Jawa Timur sudah dihapus sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Jawa Timur No 522/4307/123.4/2020 tanggal 31 Desember 2019. Sehingga pasokan bahan baku Izin Usaha Industri (IUI) dan Tanda Daftar Industri (TDI) berupa kayu gergajian, diperoleh dari industri primer dan sekunder. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, jumlah industri kayu olahan dan gergajian (IUI dan TDI) tahun 2019 di Jawa Timur sebanyak 986
Tabel 6. Luas Kawasan Hutan di Jawa Timur Berdasarkan Peruntukannya, Tahun 2017 No
Fungsi Kawasan
Luas (Ha)
1
Hutan Produksi
803.739,84
2
Hutan Lindung
319.926,83
3
Cagar Alam
10.958,40
4
Suaka Margasatwa
18.008,60
5
Taman Wisata Alam
6
Taman Nasional
7
Taman Hutan Raya
297,5 171.939,54 27.868,30
Total Luas
1.352.739,01
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2017
Tabel 7. Jumlah dan Kapasitas Industri Primer di Jawa Timur No
Kapasitas
Jumlah (unit)
1
Kapasitas produksi ≤ 2.000 m³/tahun
441
2
Kapasitas produksi 2.000 s/d 6.000 m³/tahun
520
3
Kapasitas produksi ≥ 6.000 m³/tahun
123
Total Industri Primer Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2019
1.084
perusahaan. Dari total jumlah industri IUI dan TDI tersebut, industri yang telah berorientasi ekspor sebanyak 205 perusahaan. Pada bulan Oktober sampai November 2019, JPIK Jawa Timur telah melakukan serangkaian pemantauan untuk memotret penerapan SVLK pada 3 (tiga) industri kayu yang berada di Kota Surabaya dan Kabupaten Pasuruan, yaitu 1 (satu) unit eksportir non produsen (CV Indo Pratama Express) dan 2 (dua) unit industri pengolahan kayu (CV Manggalih dan UD Tri Indah Jaya). 3.6.1 Pemantauan Pelaksanaan SVLK pada CV Indo Pratama Express CV Indo Pratama Exprers (CV IPE) adalah perusahaan eksportir non produsen yang produknya dihasilkan atas kerjasama/pasokan dari supplier industri pengolahan kayu primer dan lanjutan. Perusahaan yang beralamat di Kota Surabaya ini telah mendapatkan S-LK sejak bulan Agustus 2019 dari PT Inti Multima Sertifikasi. Berdasarkan hasil riset dan pemantauan JPIK Jawa Timur, ditemukan bahwa produk yang diekspor oleh CV IPE merupakan produk olahan melalui kerjasama perusahaan CV Manggalih dan UD Tri Indah Jaya47. JPIK Jawa Timur menilai adanya kejanggalan atas terbitnya S-LK pada
Gambar 34. Lokasi CV Indo Pratama Expres berdasarkan alamat
CV IPE, dikarenakan CV Manggalih selaku supplier (pemasok) tidak memiliki S-LK, sehingga produk ekspor dari CV IPE diragukan legalitasnya. Hal ini melanggar ketentuan pada Pasal 3 Perdirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari No. 14 Tahun 2016 jo Perdirjen 15 Tahun 2016. Ketika melakukan pengecekan alamat perusahaan, ditemukan hanya rumah dengan ukuran kecil. Kondisi ini tidak mencerminkan sebuah tempat usaha yang memiliki gudang sebagai tempat penyimpanan produk kayu untuk dipasarkan. Berdasarkan hasil wawancara masyarakat di sekitar lokasi, mereka tidak mengetahui bahwa rumah tersebut adalah perusahaan perdagangan kayu ekspor. Ada dugaan bahwa CV IPE hanyalah perusahaan perantara (broker) untuk mengekspor
produk-produk kayu berjenis Sonokeling yang bersumber dari CV Manggalih, khususnya untuk tujuan ke China. 3.6.2 Pemantauan SVLK pada CV Manggalih CV Manggalih merupakan industri kehutanan yang memiliki Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan kapasitas 5000 mÂł per tahun, berdiri sejak tahun 2007 dan memiliki Izin Usaha Tanda Daftar Industri (IUI) sejak bulan Juli 2019. Hasil pemantauan JPIK Jawa Timur pada bulan Maret 2019, industri ini diduga menerima kayu jenis Sonokeling secara ilegal yang ditebang dari Kabupaten Tulungagung. Kemudian pada bulan Oktober 2019, ditemukan juga bahwa bahan baku yang diolah oleh industri tersebut hanya kayu Sonokeling yang didapatkan dari 28
Gambar 35. Bongkar kayu di CV Manggalih
Perhutani Provinsi Jawa Timur dan hutan-hutan Rakyat di Jawa Tengah. Hal ini diperkuat dengan data Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) 2019, bahwa CV Manggalih memiliki 21 pemasok yang terdiri dari Hutan Rakyat dan Perhutani, namun data di RPBBI tidak spesifik menyebutkan tentang jenis kayu yang dipasok. Spesies Sonokeling termasuk ke dalam daftar CITES Appendix II48, perlu izin edar dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi dan peredarannya harus menggunakan dokumen Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar ke Luar Negeri (SATS-LN), serta dokumen SATSDN untuk peredaran di dalam negeri49. Selain itu, pada tahun 2015 CV Manggalih pernah tersangkut kasus kayu Sonokeling ilegal dari Kalimantan50. Pemantau juga mendapati karyawan yang tidak menerapkan standar K3 (Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja) di lokasi industri, sebagaimana yang 29
diatur dalam standar SVLK. 3.6.3 Pemantauan SVLK pada UD Tri Indah Jaya UD Tri Indah Jaya adalah pemilik izin industri primer dan izin Tanda Daftar Industri (TDI) sejak tahun 2012. Pada bulan Oktober 2019 perusahaan ini disertifikasi oleh PT Inti Multima Sertifikasi (PT IMS). Pada bulan November 2019, hasil resume audit S-LK UD
Tri Indah Jaya dimuat di website PT Inti Multima Sertifikasi dan situs SILK yang menyatakan bahwa perusahaan ini telah memenuhi standar dan verifier sesuai PermenLHK 30 tahun 2016. Dari hasil wawancara dengan karyawan perusahaan tersebut, bahan baku yang diolah adalah jenis Kayu Jati dan Sonokeling yang dipasok dari hutan hak yang berada di beberapa Kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, serta dari Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Benerapa informasi yang didapatkan saat pemantauan pada bulan Oktober 2019, sebagai berikut: a) Produk UD Tri Indah Jaya dipasarkan untuk pasar domestik dan juga diekspor melalui
Gambar 36. Lokasi UD Tri Indah Jaya
CV Indo Pratama Express b) Biaya jasa ekspor melalui perusahaan yang memiliki S-LK sebesar 3,5 juta sampai 5 juta rupiah tergantung dari jumlah/volume produk yang diekspor c) Karyawan tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai dengan ketentuan dalam standar K3 yang memadai saat melakukan aktivitas, namun pemantau tidak mendapatkan izin untuk mengambil dokumentasi di area industri. Tindak Lanjut Hasil Pemantauan Berdasarkan temuan pemantauan pada CV IPE, Sekretariat Nasional JPIK telah menyampaikan laporan melalui surat keluhan No. 03/NAS/JPIK/I/2020 pada tanggal 21 Januari 2020 kepada PT IMS, karena client-nya mengekspor produk kayu dari pemasok yang tidak memiliki S-LK. PT IMS memberikan tanggapan bahwa pemberian S-LK telah sesuai dimana pemasok Eksportir Non Produsen didapatkan dari industri yang memiliki S-LK atau Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). Artinya jika industri pemasok tidak memiliki S-LK tetapi memiliki DKP maka hal tersebut sah dan sudah sesuai dengan SE/21/2016. PT IMS menyebutkan bahwa pemasok produk CV IPE
Gambar 37. Rantai peredaran kayu tanpa S-LK di Jawa Timur
dari perusahaan kayu yang bahan bakunya berasal dari hutan rakyat, sehingga tidak wajib untuk memiliki S-LK tetapi cukup dengan DKP. Walaupun JPIK Jawa Timur menemukan pemasok CV IPE merupakan industri besar yang wajib memiliki S-LK. Menindaklanjuti hasil pemantauan CV Manggalih, pada bulan November 2019 JPIK Jawa Timur telah berkoordinasi dengan Balai Pengamanan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup (BPPLHK) Jabalnusra di Surabaya terkait dugaan penampungan kayu ilegal. JPIK Jawa Timur juga berkoordinasi dengan Balai Pengelolaan
Hutan produksi (BPHP) Wilayah VII Denpasar yang berkantor di Bali untuk mengevaluasi atas penerbitan izin sertifikasi Petugas Teknis (Ganis) PHPL pada CV Manggalih. JPIK Jawa Timur juga mendesak CV Manggalih untuk segera menerapkan SVLK pada izin industrinya, melalui Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Atas laporan pemantauan JPIK Jawa Timur, maka Dinas Kehutanan setempat melakukan evaluasi terhadap perusahaanperusahaan industri primer yang belum menerapkan tata usaha kayu sebagaimana peraturan yang berlaku, termasuk CV Manggalih. Berdasarkan data di SILK pada bulan Februari 2020, akhirnya CV Manggalih memiliki 30
S-LK dari PT Inti Multima Sertifikasi. Sebelum bekerjasama dengan CV Indo Pratama Expres, JPIK Jawa Timur mendapatkan informasi bahwa pada periode bulan Februari sampai April 2019 produk kayu olahan CV Manggalih di pasok ke CV Karya Makmur Sejahtera (Kamus) untuk selanjutnya di Ekspor ke China, Selain itu JPIK Jawa Timur juga mendapatkan informasi bahwa kayu Sonokeling yang di olah CV Manggalih berasal dari Tulungagung yang ditebang tidak memenuhi aspek legalitas. Atas temuan tersebut, JPIK telah mengirimkan laporan kepada PT TRIC selaku penerbit S-LK pada CV Kamus. PT TRIC menindak lanjuti laporan JPIK Jawa Timur dengan melalukan audit khusus dan pada bulan Mei 2019 S-LK CV Kamus di cabut51. Pada periode Januari sampai Februari 2020 JPIK bersama koalisi, telah menyusun draft perbaikan PermenLHK No. 30/2016 dimana salah satu poin yang dibahas tentang keberadaan Eksportir Non Produsen yang disinyalir sebagai tempat pencucian kayu ilegal oleh oknum tertentu. JPIK pun mengusulkan redaksi “ATAU DKP” dari Perdirjen No. 14/2016 tentang Eksportir Non Produsen dihapus dan pencabutan SE/21/2016 tentang pelaksanaan SVLK pada Eksportir Non Produsen. Sehingga, Eksportir Non Produsen hanya 31
dapat menerima produk kayu dari industri yang memiliki S-LK dan kayu ber DKP dari industri yang benar-benar layak menggunakan dokumen tersebut. Redaksi “ATAU DKP” tersebut yang menjadi celah masuknya kayu dari IPHHK dan IUI yang tidak memiliki S-LK dengan tujuan ekspor.
3.7 Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat memiliki potensi sumberdaya hutan yang menopang keberadaan industri kehutanan yang ada di Indonesia. Provinsi ini merupakan kawasan penghasil kayu jenis Meranti, Kapur, Keruing, Bangkirai, dan Nyatoh, serta kelompok kayu Rimba Campuran seperti, Kayu Benuang, Bayur, dan Lempung Ipil. Luas wilayah provinsi ini kurang lebih 15 juta ha, dimana 8,2 juta ha berupa hutan dan 1,6 juta ha adalah lahan gambut52. Berdasarkan revisi Pola Ruang Substansi Kehutanan sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, kemudian disetujui Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 936/KptsII/2013 jo. SK Menhut No. 733/Kpts-II/2014, maka ada perubahan luas kawasan hutan menjadi ± 14.680.700 ha53 (Gambar 38).
Lemahnya pengawasan dalam penerbitan DKP oleh Pemerintah Daerah, terutama sejak berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 yang berdampak pada penggeseran kewenangan ke Pemerintah Provinsi, telah banyak menimbulkan permasalahan legalitas kayu. Hasil pemantauan JPIK di tahun 2019, menemukan DKP digunakan untuk pencucian kayu ilegal khususnya jenis Sonokeling yang dalam 5 tahun terahir ini permintaan pasar (ekspor) cukup tinggi.
Luas Kawasan Hutan (Ha) KSA/KPA; 1.595.647 APL; 6186345 HL; 2.270.298
HPT; 2.116.885
PERAIRAN; 138.739 HP; 2.097.484
DPCLS; 69.203
HPK; 206.099 KSA/KPA
HL
HPT
HP
HPK
DPCLS
PERAIRAN
APL
Sumber: Gubernur Kalimantan Barat dalam rangka Monev Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam di Sektor Kehutanan, September 2015 .
Gambar 38. Rincian luas Wilayah Provinsi Kalimantan Barat
Erna Djuliawati yang mulai produksi pada Juni 1981. PT Erna Djuliawati adalah anak perusahaan Lyman Group di bawah Divisi Lyman Timber55, sebuah produsen kayu berkualitas tinggi dan produk bernilai tambah.
Unit Manajemen 25
23
20
15
10
8
5
2 0
Kapasitas 6.000 m3/th
Kapasitas 2.000 s.d 6.000 m3/th
Kapasitas dibawah 2.000 m3/th
Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, 2014
Gambar 39. Jumlah Industri Primer di Provinsi Kalimantan Barat
Sampai dengan akhir tahun 2014, izin industri primer di Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 33 unit dengan kapasitas terpasang mencapai ± 1.119.903 m³/tahun (Gambar 39). Pada periode yang sama, terdapat 17-unit Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan KayuHutan Alam (IUPHHKHA) aktif, dimana 4 unit diantaranya sudah melakukan selfapproval dalam proses pengesahan RKT (Rencana Kerja Tahunan). Kemudian ada 14-unit Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHKHT) aktif dan 6-unit yang tidak aktif (tidak menyusun RKT), serta 6 unit telah dicabut izinnya54. Dalam rangka memastikan pelaksanaan SVLK, maka JPIK melakukan serangkaian pemantauan pada bulan November hingga Desember 2019 di IUPHHK-HA PT Erna Djuliawati, dengan mengacu pada
PermenLHK No. 30 Tahun 2016 dan aturan turunannya. 3.7.1 Tantangan Sulitnya Data dan Informasi Sebagai Pendukung Pemantauan PT Erna Djuliawati PT Erna Djuliawati merupakan salah satu perusahaan pertama dan industri kayu tertua di Kalimantan Barat, yang memulai bisnis perkayuan dan sawmill pada tahun 1965. Pada tahun 1979, perusahaan ini memperluas usahanya melalui pengusahaan dan pemanenan hutan, dengan berdirinya PT
Produk-produk kayu dari perusahaan ini, terutama untuk kebutuhan pasar kayu di Jepang, Korea Selatan, Cina, Amerika Serikat dan negara lainnya, dengan merek ‘Albatros’. PT Erna Djuliawati telah memiliki sertifikat dari berbagai skema yang ada, seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Standar Nasional Indonesia (SNI), International Organization for Standardization (ISO) 9001, Chain-of-Custody (CoC), Japanese Agricultural Standards (JAS), dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). PT Erna Djuliawati memiliki pabrik yang berlokasi di Desa Kayu Tunu, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Izin lokasi IUPHHK-HA berada di
Tabel 8. Perusahaan Pemasok Bahan Baku Industri Primer PT Erna Djuliawati No
Nama Pemasok
Provinsi
1
PT Bintang Lima Makmur
Maluku
2
PT Hutanindo Raya Lestari Timber
Kalimantan Tengah
3
Inhutani I
Kalimantan Timur
4
Inhutani I Unit Kinyit-Simendurut
Kalimantan Utara
5
PT Karda Trades
Kalimantan Tengah
6
PT Mutiara Karlja Permai Unit I
Kalimantan Timur
7
PT Mutiara Karlja Permai
Kalimantan Tengah
8
PT Wana Adiprima Mandiri
Kalimantan Timur
Sumber: SIRPBBI, KLHK 2019 dan Analisis JPIK
32
Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah, dengan luas sebesar 184,206 Ha. Selain itu, PT Erna Djuliawati memiliki supplier kayu dari luar daerah (Tabel 8).
dengan melakukan pelacakan terhadap peredaran kayu di PT Erna Djuliawati, serta melakukan pengecekan aktivitas illegal logging di kawasan hutan (Gambar 40).
Temuan Pemantauan
Penelusuran pada situs SILK, KLHK, PT Erna Djuliawati (PT ED) telah mendapatkan SVLK dari PT BRIK Quality
Pemantauan JPIK dilaksanakan pada periode November hingga Desember 2019,
Gambar 40. Alur peredaran kayu PT Erna Djuliawati
Gambar 41. Barcode dan tanda V-Legal pada bontos kayu hasil tebangan
33
Services. Berdasarkan resume hasil audit, izin usaha ini tidak ditemukan melakukan pelanggaran56. Perusahaan ini juga telah mendapatkan sertifikat PHPL dari PT Mutuagung Lestari. Saat ini, perusahaan beroperasi di Kalimantan Tengah, sedangkan lokasi log pond terletak di Kabupaten Melawi, Kalimantan barat dan lokasi IUIPHHK PT ED terletak di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. JPIK menemukan IUPHHK-HA PT ED melakukan timber cruising sebelum melakukan penebangan. Setelah kayu ditebang dilakukan pemasangan barcode yang di dalamnya tertera logo V-Legal (Gambar 41). Pemasangan barcode ini disematkan pada pohon yang masih berdiri tegak, tunggak yang sudah ditebang, dan kayu bulat (log). Setelah itu, kayu bulat diangkut dengan alat berat dari lokasi penebangan dibawa ke Tempat Penampungan Kayu (TPK Hutan). Selanjutnya kayu dimuat ke truk untuk dibawa ke Tempat Penampungan Kayu (TPK Antara) dan kemudian menuju logpond di Kabupaten Melawi. Namun pemantau menemukan bahwa tunggak kayu yang ditebang tidak ditempeli/dibubuhi barcode. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria 3.1.1 pada Perdirjen PHPL No. 14/2016,
PT Erna Djuliawati, namun belum mendapatkannya. 3.7.2 Lemahnya Pengawasan, Hutan Di Kabupaten Melawi Dikuras Cukong Kayu
Gambar 42. Kayu dimuat di ponton untuk diangkut ke industri
dimana tunggak kayu yang dipanen di areal IUPHHK-HA harus ditempeli barcode untuk dilaporkan dalam Laporan Hasil Produksi (LHP). Pemantauan di logpond, kayu bulat disusun secara manual menjadi rakit-rakit kayu untuk diangkut menuju lokasi penampungan terakhir di Kabupaten Sintang. Setelah itu, kayu tersebut dimuat ke atas ponton (Gambar 42), selanjutnya diangkut ke industri pengolahan. Perjalanan kayu log ke industri membutuhkan waktu kurang lebih 6-7 hari, tergantung kondisi pasang surut air sungai. Apabila kondisi air surut maka membutuhkan waktu yang lebih. Saat pemantauan lapangan, tidak ditemukan kayu yang bersumber dari kawasan hutan di luar konsesi masuk ke dalam rantai pasok. Tindak Lanjut Hasil Pemantauan Mengacu pada standar dan pedoman penilaian pada Perdirjen 14/2016 jo Perdirjen 15/2016 dan hasil penilaian lembaga sertifikasi, PT ED telah memenuhi
aturan yang berlaku. Salah satu contohnya, kayu-kayu yang telah ditebang telah disematkan barcode/VLegal. Namun demikian pemantau masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan dokumen angkutan atau Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK) serta peta RKT. SKSHHK merupakan dokumen pengiriman kayu, dimulai dari wilayah kerja sampai ke industri pengolahan Pada bulan Desember 2019, JPIK mengirimkan surat permohonan data dan informasi kepada PT Mutuagung Lestari melalui surat No. 02/ FP-KALBAR/JPIK/ XII/2020 mengenai peredaran kayu bulat dan penerima kayu dari PT ED, namun sampai dengan saat ini data tersebut belum diberikan. Pada periode yang sama, JPIK juga mengirimkan surat permohonan data kepada PT BRIK Quality Service mengenai rekapitulasi penerimaan kayu beserta identitas penerima dan rekapitulasi pemasaran kayu olahan
Suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat, bahwa Kabupaten Melawi kekayaan alamnya telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer. Namun demikian, kondisi hutan di Kabupaten Kepulauan Melawi sudah kritis akibat aktivitas illegal logging dan konversi lahan untuk perkebunan sawit57. Pada bulan Oktober 2019, JPIK mendapatkan informasi dan laporan dari masyarakat bahwa telah terjadi illegal logging yang masif di Taman Nasional Bukit BakaBukit Raya (TNBBR) dan hutan produksi di Kabupaten Melawi. Untuk merespon kejadian tersebut, JPIK bersama masyarakat setempat melakukan pemantauan pada bulan November hingga Desember 2019. Pemantauan ini dilakukan dengan ground check atas dugaan aktivitas illegal logging di kawasan hutan produksi, serta menelusuri aliran kayu ilegal yang kemungkinan dipasok ke industri pengolahan kayu. Pemantau menemukan adanya tumpukan kayu di koridor PT Sari Bumi Kusuma (PT SBK), Kabupaten Melawi. Polisi masih menyelidiki dari mana asal kayu 34
tersebut, apakah dari Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (TNBBR) atau dari kawasan hutan produksi di Kabupaten Melawi. Selain itu, informasi lain yang didapatkan dari masyarakat, bahwa masih sering ditemukan aktifitas perambahan hutan dan illegal logging, khususnya di wilayah Kabupaten Melawi. Temuan Pemantauan Pemantauan dilakukan di Desa Kahiya, Kecamatan Ella Hilir, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Lokasi ini merupakan tempat terjadinya illegal logging di kawasan hutan produksi. Pemantau menemukan tunggak kayu Keladan dan Medang (Gambar 43). Diperkirakan tunggak jenis kayu Keladan ditebang sekitar 1 tahun lalu, sedangkan tunggak kayu Medang ditebang sekitar 4 bulan lalu. Tunggak pohon hasil tebangan tersebut berada di kaki bukit. Ditemukan 5 titik bekas penebangan yang tidak jauh dari Sungai Kahiya. Proses pengangkutan dari tempat penumpukan kayu ke luar wilayah penebangan dilakukan sebanyak dua kali dalam satu minggu, artinya dalam satu bulan pengangkutan dilakukan sebanyak 8 kali. Dalam sehari, pengangkut mampu mengeluarkan 8 - 14 batang balok per orang sampai ke tempat penumpukan terakhir. 35
Gambar 43. Peta lokasi illegal logging di dalam kawasan hutan
Gambar 44. Grafis praktik illegal logging di Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat
Adapun jenis kayu yang dimanfaatkan, diantaranya adalah Meranti, Belian/Ulin, Medang, Jelutung, Mawang, dan Keladan. Selain itu, pemantau juga menemukan tumpukan kayu yang telah diolah dari jenis kayu Keladan dan Belian/Ulin. Lokasi tumpukan kayu olahan tersebut berada di Dusun Landuk, Desa Kahiya, Kecamatan Ella Hilir, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di Desa Kahiya58, didapatkan informasi sebagai berikut: a) Penindakan sudah dilakukan oleh pihak kepolisian, namun aktivitas illegal logging masih terjadi hingga saat ini; b) Di setiap dusun di Desa Kahiya terdapat cukong/ pemilik modal kayu yang membiayai aktivitas illegal logging, kayu hasil pembalakan liar merupakan pesanan dari masyarakat desa sekitar maupun dari luar desa; c) Masyarakat sudah membuat aturan sesuai dengan hukum adat tentang wilayahwilayah yang tidak boleh dilakukan penebangan kayu. Namun, masih ada beberapa oknum masyarakat yang mengabaikan aturan tersebut; d) Proses
pengangkutan kayu melalui jalur air (Sungai Kahiya) dilakukan pada saat fajar sekitar pukul 02.00 – 03.00 WIB, untuk menghindari pemeriksaan dari pihak kepolisian setempat. Tindak Lanjut Pemantauan Dari hasil pemantauan, masih ditemukan praktik illegal logging di kawasan hutan produksi Kabupaten Melawi. Pemantau telah menyampaikan informasi ke Balai Gakkum untuk melakukan penindakan kepada cukong yang membiayai aktivitas illegal logging. JPIK juga menyampaikan informasi ke Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, agar memberikan pendampingan dan penyadaran kepada masyarakat sekitar kawasan hutan untuk tidak melakukan pembalakan liar di kawasan hutan, khususnya di Kabupaten Melawi. Selain itu, JPIK juga memberi masukan kepada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat untuk melakukan pembinaan dan memberikan dukungan penghidupan masyarakat. 3.8 Provinsi Kalimantan Utara Provinsi Kalimantan Utara memiliki luas wilayah ¹ 75.467,70 km2 atau kurang lebih sepertiga dari luas wilayah provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten terluas adalah
Kabupaten Malinau dan Kota Tarakan merupakan wilayah administratif terkecil. Berdasarkan analisis peta lampiran SK No. 718/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, kawasan hutan mencapai 5.629.112 ha atau sekitar 80% dari luas daratan Provinsi Kalimantan Utara. Kawasan hutan produksi yang terdiri dari hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi yang dapat dikonversi, seluas 3.304.802 ha sedangkan kawasan hutan lindung seluas 1.055.771 ha. Potensi kekayaan sumberdaya alam yang melimpah khususnya hasil hutan kayu, telah menopang keberadaan industri pengolahan kayu, baik untuk skala domestik maupun ekspor. Berdasarkan data yang dihimpun JPIK Kalimantan Utara (2018) Kabupaten Bulungan tercatat memiliki 10 izin usaha pengolahan kayu, diantaranya 7 industri hasil hutan yang tidak aktif dan 3 industri hasil hutan yang masih aktif. Kota Tarakan tercatat memiliki 7 izin usaha pengolahan kayu diantaranya 3 yang tidak aktif dan 4 Industri aktif. Kota Nunukan memiliki 18 izin usaha pengolahan kayu diantaranya 5 Industri yang tidak aktif, 4 industri yang masih tahap proses pengajuan RPBBI, 2 Industri hasil hutan yang masih tahap proses mutasi lokasi dan 7 industri yang tidak melakukan kegiatan fisik (stagnan). Sementara itu, Kabupaten Malinau 36
tidak terdapat perizinan industri hasil hutan dan Kabupaten Tana Tidung dalam tahap pengurusan administrasi dan persyaratan perijinan industri hasil hutan dengan kapasitas 6000 mÂł/ tahun59. Untuk memastikan pelaksanaan SVLK, JPIK Kalimatan Utara telah melakukan pemantauan pada bulan Oktober hingga Desember 2019 pada IUPHHK-HA PT Adimitra Lestari dan perusahaan pengolahan kayu PT Inhutani 1 UMI Juata yang bertujuan untuk mendapat gambaran pelaksanaan SVLK di dua pemegang izin tersebut. Pemantauan mengacu pada PermenLHK No. 30 Tahun 2016 dan aturan turunnya. 3.8.1 PT Inhutani I Umi Juata Tarakan Abaikan Pengelolaan Lingkungan Provinsi Kalimantan Utara Pemantauan pelaksanaan SVLK di Provinsi Kalimantan Utara menemukan ketidakpatuhan pengelolaan lingkungan. Salah satu industri yang belum mengelola limbahnya dengan baik adalah PT Inhutani I UMI Juata. Kondisi ini merupakan kelalaian dan lemahnya pengawasan pemerintah setempat. Padahal, unit manajemen tersebut berinduk di PT Inhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kehutanan dengan produk kayu olahan yang diekspor ke Belgia, Kamboja, Korea, 37
Gambar 45. Gudang dan tumpukan kayu PT Inhutani Unit 1 UMI Juwata
Jepang, Belanda, dan Amerika60. Pada periode bulan November hingga Desember 2019, JPIK Kalimantan Utara melakukan pemantauan PT Inhutani I UMI Juata. Tujuannya untuk melihat secara langsung
proses pengelolaan kayu oleh industri dari tingkat hulu hingga hilir. Termasuk ketaatan pelaporan berkala pengelolaan lingkungan hidup untuk menjalankan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pengawasan
Gambar 46. Pembuangan limbah cair PT Inhutani 1 UMI Juwata
Keselamatan kerja) pada karyawan, seperti tidak dilengkapi Alat Perlindungan Diri (APD). Pemantau tidak dapat mengambil foto di dalam area unit manajemen industri karena keterbatasan akses.
Gambar 47. Alur peredaran kayu PT Inhutani I Umi Juata
Lingkungan (RKL/ RPL). Pemantauan yang dilaksanakan JPIK Kalimantan Utara mengacu pada PermenLHK No. 30 Tahun 2016 dan Perdirjen PHPL No. 14 Tahun 2016 jo Perdirjen PHPL No. 14 Tahun 2016. Pemantauan yang dilakukan JPIK Kalimantan Utara melalui observasi langsung dengan menyisir sempadan pantai sekitar lokasi PT Inhutani I UMI Juata dan pendokumentasian melalui foto udara (Gambar 45). PT Inhutani I UMI Juata mendapatkan S-LK dari PT Mutu Hijau Indonesia (PT MHI). Berdasarkan hasil verifikasi legalitas kayu bahwa industri milik PT Inhutani I UMI Juata telah memenuhi semua prinsip, kriteria, indikator, dan verifier serta norma penilaian sesuai standar Perdirjen PHPL P.14 Tahun 2016 jo. P.15 Tahun 2016. Namun, pemantauan JPIK Kalimantan Utara menemukan beberapa
ketidaksesuaian antara hasil audit/verifikasi dengan kondisi di lapangan, yaitu: a) Tidak sesuai pada verifier 1.1.1.f mengenai dokumen lingkungan, seperti adanya pengabaian unit manajemen pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang tidak sesuai ketentuan, seperti sisa limbah (cair) tidak diproses kembali dan dibuang sembarangan pada pesisir pantai yang berakhir di laut. JPIK juga menemukan limbah kayu yang dibuang sembarangan dan jatuh ke laut dengan jumlah yang cukup besar. b) Tidak sesuai pada verifier 4.1.1.a mengenai prosedur K3. Unit manajemen ini belum sepenuhnya menerapkan standar K3 (Keamanan, Kesehatan, dan
Temuan lain yang didapatkan oleh pemantau bahwa unit manajemen ini tidak memiliki Izin Penimbunan Limbah B3. Hasil wawancara dengan karyawan perusahaan mengatakan bahwa limbah oli bekas mesin pengolahan kayu dibuang ke laut. Hal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 59 ayat 4, Pasal 95 ayat 1 dan Pasal 102, dimana pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. Tindak Lanjut Hasil Pemantauan Berdasarkan hasil temuan lapangan, JPIK Kalimantan Utara telah menyampaikan permohonan data dan informasi ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tarakan mengenai: a) Dokumen Pengelolaan Lingkungan PT Inhutani I UMI Juata; b) Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pengawasan Lingkungan (RKL/RPL); 38
c) Laporan mengenai pengelolaan dan pemantauan lingkungan periode 2019, d) Laporan evaluasi pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), dan e) Informasi kualitas air laut dan udara di sekitar areal industri PT Inhutani I UMI Juata. Namun sampai dengan saat ini, belum ada respon dari pihak DLH Kota Tarakan. JPIK juga mengkonfirmasikan kembali ke pihak DLH setempat via telepon, namun responnya masih tetap sama dengan sebelumnya. Sementara itu, untuk mendapatkan data yang valid tentang laporan mutasi kayu PT Inhutani Unit I UMI Juata, JPIK Kalimantan Utara telah meminta data dan informasi kepada PT Mutu Hijau Indonesia tentang daftar rekapitulasi kayu bulat yang masuk dan keluar dari PT Inhutani I UMI Juata periode bulan Januari s/d November 2019. Permohonan data
dan informasi telah direspon oleh PT Mutu Hijau Indonesia yang menginformasikan pihaknya akan minta persetujuan dahulu kepada kliennya (PT Inhutani Unit I UMI Juata) untuk memberikan data yang dimohonkan. Namun sampai dengan disusunnya laporan pemantauan ini (Agustus 2020), data dan informasi yang diminta belum dipenuhi. 3.8.2 Temuan Pelanggaran Pada PT Adimitra Lestari, JPIK Kalimantan Utara Adukan Ke Lembaga Sertifikasi PT Adimitra Lestari (PT AL) merupakan IUPHHK-HA untuk jangka waktu 45 tahun dengan areal seluas 52.100 ha, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.: SK.202/MENHUTII/2008 tanggal 21 Mei 2008. Konsesi ini terletak di kelompok hutan Sungai Agisan – Sungai Wasan,
Gambar 48. Lokasi PT Adimitra Lestari
39
Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 48). Informasi yang berhasil dihimpun oleh JPIK Kalimantan Utara, PT Adimitra 61% sahamnya dimiliki oleh Letnal Jenderal Purnawirawan Luhut Panjaitan, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia)61. PT AL telah mendapatkan S-PHPL dari PT Inti Multima Sertifikasi. Lokasi areal kerja PT AL berbatasan langsung dengan Malaysia, kawasan hutan dan areal IUPHHK lainnya. Sebelah Utara dengan Negara Malaysia, sebelah Timur dengan perkebunan kelapa sawit PT Bhumi Simanggaris Indah, sebelah Selatan dengan Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi (HP) dan Areal Penggunaan Lain (APL) dan sebelah Barat dengan Hutan Lindung
Gunung Bujukbah dan Kawasan HPT62. Temuan Lapangan JPIK Kalimantan Utara melakukan pemantauan lapangan pada bulan Oktober hingga Desember 2019, yang bermula dari informasi masyarakat yang berada di sekitar konsesi PT AL terkait konflik tenurial. Faktor penyebabnya adalah belum ada kejelasan mengenai batas Desa Tinampak 1 yang berada di areal PT AL, yang terjadi sejak tahun 2011. Hasil penilaian lembaga sertifikasi pada verifier 1.1.3 bernilai sedang. Sampai saat ini gesekan antara PT AL dan masyarakat Desa Tinampak 1 masih terjadi dan belum ada solusi untuk penyelesaian konflik tata batas tersebut. Pemantau menemukan belum adanya kejelasan tentang tata batas PT AL, mengenai deliniasi kawasan operasional perusahaan/pemegang izin dengan kawasan masyarakat adat/lokal. Pada aspek ekologi, PT AL masih kurang maksimal dalam upaya perlindungan dan pengamanan hutan, terbukti adanya perambahan hutan dalam areal konsesi63. Ditemukan juga masyarakat membuka lahan untuk kebun kelapa sawit di areal kerja PT AL yang mengakibatkan sebagian areal PT AL mengalami deforestasi64. Pada aspek produksi, pemantau menemukan
adanya kayu bulat yang berada di logpond PT AL yang tidak dibubuhi barcode dan logo V-Legal (Gambar 49). Pemantauan JPIK Kalimantan Utara di lokasi Tempat Penampungan Kayu (TPK) antara pada areal konsesi PT AL ditemukan kayu bulat berjenis Meranti tidak dibubuhi barcode dan logo V-Legal. Namun pemantau juga mendapati kayu bulat
ber-barcode dan logo V-Legal pada bontos kayu yang diangkut dengan truk dari lokasi penebangan PT AL menuju TPK Antara. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, dimana semua jenis kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam wajib dibubuhi barcode dan tanda V-Legal. Berdasarkan informasi hasil wawancara dengan karyawan perusahaan,
Gambar 49. Kayu bulat yang berada di logpond PT Adimitra Lestari
40
kayu-kayu tersebut digunakan untuk pemenuhan bahan baku industri PT Segara Timber dan/atau PT Sumalindo Jaya Lestari. Temuan lainnya adalah konsultasi publik yang diselenggarakan oleh PT Inti Multima Sertifikasi tidak melibatkan masyarakat yang berada di sekitar konsesi, terutama masyarakat yang berkonflik dengan PT AL. Hal ini menjadi temuan serupa saat JPIK Kalimantan Timur melakukan pemantauan pada PT AL di tahun 201165. Wawancara dengan salah satu karyawan, belum berhasil mendapatkan informasi terkait peredaran kayu PT AL, termasuk
pengiriman kayu ke industri primer, karena proses jual beli kayu (transaksi) dilakukan di logpond. Pemantau juga tidak bisa mendapatkan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK), Laporan Hasil Produksi (LHP). Namun demikian, Pemantau mendapatkan bukti pembayaran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) PT AL tahun 2019 melalui Sistem Informasi Penerimaan Negara Buka Pajak (SI-PNBP)66 tetapi informasi tersebut sulit untuk di cross check karena tidak adanya data hasil produksi/penebangan. Tindak Lanjut
Gambar 50. Alur peredaran kayu PT Adimitra Lestari Kalimantan Utara
41
Pemantauan JPIK Kalimantan Utara telah menyampaikan surat permohonan data dan informasi kepada PT Inti Multima Sertifikasi mengenai laporan mutasi kayu PT AL pada periode bulan Januari sampai dengan bulan Oktober 2019. Respon dari pihak lembaga sertifikasi yaitu pihaknya akan meminta izin terlebih dahulu kepada kliennya (PT AL). Namun sampai dengan saat ini, data dan informasi tersebut belum diberikan. Berdasarkan hasil penelusuran bahwa tidak dibubuhinya barcode dan V-Legal pada bontos kayu bulat di logpond PT AL, JPIK Kalimantan Utara pada awal bulan Januari 2020 telah menyampaikan keluhan kepada PT Inti Multima Sertifikasi. Pada pertengahan bulan Januari 2020, lembaga sertifikasi telah merespon, yaitu akan melakukan audit khusus saat penilikan tahunan yang akan dilaksanakan bulan Maret 2020. Temuan tentang tidak dibubuhinya barcode dan V-Legal pada bontos kayu, Pemantau telah berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Utara. Dengan harapan adanya pengawasan dan pembinaan yang intensif kepada PT AL, sekaligus memfasilitasi penyelesaian konflik tenurial yang terjadi antara PT AL dengan masyarakat di sekitar konsesi.
4. Kesenjangan Hasil Penilaian/ Verifikasi oleh Lembaga Sertifikasi dengan Hasil Pemantauan Temuan ketidaktaatan atau pelanggaran dari Pemantau Independen merupakan salah satu objek pengecekan bagi Lembaga Sertifikasi (LS), guna menjamin kredibilitas dan akuntabilitas hasil verifikasi/penilaian. Informasi ini juga berfungsi untuk meminimalisir kesenjangan antara hasil penilaian/ verifikiasi dengan hasil pemantauan independen, dimana LS hanya terbatas pada pengecekan (check list) keberadaan dokumen dan uji sampling di lapangan, serta pelaksanaanya terbatas hanya pada kurun waktu tertentu. Hal ini menunjukan perlunya penyempurnaan standar
dan pedoman pelaksanaan penilaian/verifikasi, melalui penguatan aspek ketelusuran, pengawasan dan pelaporan berkala. Sehingga dapat mencegah celah terjadinya gap antara hasil penilaian/verifikasi dengan implementasi di lapangan, seperti masuknya kayu yang tidak jelas asal usulnya ke dalam rantai pasok SVLK. Berdasarkan hasil wawancara pada beberapa LS didapati adanya keterbatasan dalam mengakses data dan informasi peredaran kayu yang terdapat di SIPUHH. Padahal data dan informasi tersebut merupakan salah satu acuan dalam memverifikasi data yang disediakan oleh pemegang izin, ketika melakukan penilaian/ verifikasi. Keterbatasan
akses ini berpotensi tidak teridentifikasinya bahan baku yang tidak jelas asal usulnya. Kondisi yang sama dihadapi oleh JPIK ketika melakukan pemeriksaan ulang/cross check temuan pelanggaran hasil pemantauan lapangan. Diperlukan upaya keras dan waktu yang lama untuk mendapatkan data dan informasi resmi dari pemerintah, terutama akses terhadap SIPUHH. Sementara itu, laporan keluhan dari JPIK yang ditindaklanjuti dengan audit khusus oleh LS, sebagian besar hasilnya kurang memuaskan. Hal ini diduga kuat karena adanya pengkondisian, bahkan penghilangan bukti oleh pemilik izin karena audit khusus tersebut dilakukan atas persetujuan pemilik izin,
Sumber: Surat dan Laporan JPIK, 2020
Gambar 51. Permohonan informasi dan laporan hasil pemantauan
42
melalui kompromi antara LS dengan pemilik izin terkait waktu dan kesiapan dalam pelaksanaannya67. Terkait ketidakpuasan atas penanganan laporan oleh LS, JPIK menghadapi kendala dalam melakukan pemantauan lanjutan paska audit khusus. Kendala tersebut diantaranya keterbatasan JPIK dalam mendapatkan informasi lengkap hasil audit khusus, terutama informasi yang berkaitan dengan perkembangan penanganan konflik di konsesi tertentu, serta keterbatasan biaya untuk menjangkau lapangan. Umumnya penyelesaian keluhan yang terjadi hingga saat ini berakhir di Komite Akreditasi Nasional (KAN), meskipun terdapat penanganan oleh penegak hukum untuk beberapa kasus di luar skema sertifikasi (Gambar 51). 5. Rekomendasi Berdasarkan hasil analisis dan pemantauan lapangan, terdapat beberapa permasalahan yang harus segera diselesaikan, dengan demikian JPIK merekomendasikan kepada: a. Pemerintah Pusat dan Daerah - Menindaklanjuti laporan ini dengan melakukan investigasi mendalam, serta melakukan penindakan dan memberikan sanksi yang tegas dan berefek jera kepada perusahaan dan pihakpihak lainnya yang terbukti melanggar, agar kasus yang sama tidak terulang dikemudian hari. - Memperkuat dan meningkatkan 43
koordinasi dalam pelaksanaan SVLK, melalui evaluasi berkala seluruh izin pemanfaatan, pengolahan dan perdagangan kayu/ produk kayu. - Melakukan revisi peraturan SVLK dengan memperkuat pedoman dan standar penilaian/ verifikasi, terutama terkait eksportir non produsen, pengelolaan lingkungan, penggunaan DKP, dan penguatan aspek sosial agar mampu meminimalisir terjadinya konflik antara perusahaan dengan masyarakat lokal/adat. - Mengintegrasikan sistem informasi peredaran kayu dari hulu sampai hilir, termasuk memperkuat sistem yang telah tersedia saat ini, seperti RPBBI (harus mencantumkan jenis/spesies kayu) dan SIPUHH (merekam kayu yang berasal dari hutan rakyat dan hak). - Melakukan penguatan pemantauan independen melalui jaminan atas akses data dan informasi, keamanan dan keselamatan pemantau, serta menjamin keberlanjutan pendanaan bagi kegiatan pemantauan independen. b. Lembaga Sertifikasi - Segera melakukan audit khusus terhadap perusahaanperusahaan yang
menerima kayu dari sumber yang tidak jelas asalusulnya tanpa harus bernegosiasi terlebih dahulu dengan kliennya. - Mencabut semua Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) perusahaan penggergajian kayu yang terbukti melakukan pelanggaran. - Melakukan dan mengembangkan sistem pengawasan terhadap klien/ perusahaan yang disertifikasi di luar dari kegiatan penilikan, serta mengukur dan mendorong kinerja pemegang sertifikat agar dapat melakukan perbaikan secara berkelanjutan. c. Komite Akreditasi Nasional - Meningkatkan pengawasan dan mendorong peningkatan kinerja Lembaga Sertifikasi. - Mencabut akreditasi Lembaga Sertifikasi yang telah terbukti tidak memenuhi prosedur penilaian dan penerbitan sertifikat yang berlaku.
Referensi Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2019 PHPL: Dari Legalitas Menuju Keberlanjutan, JPIK 2019 3 SIRPBBI atau RPBBI Online merupakan aplikasi untuk penyampaian rencana dan realisasi yang terkait dengan pasokan bahan baku industri oleh Pemegang Izin Usaha IPHH Kayu (IUIPHHK), yang ditindak lanjuti dengan pengolahan data oleh KLHK. 4 SIPUHH merupakan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan menyebarkan informasi penatausahaan hasil hutan kayu. 5 http://sipuhh.net/dashboard/produksi_kb.php?level=provinsi, diakses pada 24 Juli 2020 6 Pernyataan KLHK dalam acara outlook SVLK di Jakarta, April 2019 7 Menutup Celah untuk Menjamin Kredibilitas, Catatan Kritis Pemantau Independen, 2019 8 https://www.goriau.com/berita/baca/periode-20182019-indonesia-kehilangan-hutan-462400-ha-akibat-konversi-dan- karhutla.html 9 Analisa Tata Kelola Kehutanan di Provinsi Riau, Jikalahari 2016 10 SIRPBBI, KLHK 2019 11 Hutan Indonesia Yang Terus Tergerus, FWI 2014 12 Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan (UU No. 5/1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). 13 https://kompas.id/baca/utama/2019/07/02/pembalakan-liar-di-rimbang-baling-melibatkan-warga-lokal/ 14 https://www.gatra.com/detail/news/426037/lifestyle/polda-riau-amankan-2-sopir-dan-85-tual-kayu15 https://www.riauonline.co.id/riau/read/2020/05/22/polda-riau-ungkap-praktik-pembalakan-liar-suaka-margasatwa-rimbangbaling 16 https://koranmx.com/baca/9856/kayu-dari-rimba-baling-dibawa-ke-sawmill-teratak-buluh.html 17 Wawancara masyarakat dan pekerja yang berada di sekitar industri di Simpang Kambing dan Lubuk Siam 18 https://www.riauonline.co.id/riau/read/2020/05/22/polda-riau-ungkap-praktik-pembalakan-liar-suaka-margasatwa-rimbangbaling 19 https://news.detik.com/berita/d-5024988/polda-riau-amankan-kayu-ilegal-dari-suaka-margasatwa-rimbang-baling 20 https://www.liputan6.com/news/read/120804/menunggu-bencana-di-riau 21 https://news.detik.com/berita/d-5014690/mengunjungi-sm-rimbang-baling-di-riau-masih-ada-illegal-logging-saat-pandemi/1 22 SIRPBBI, KLHK 2019 dan Hasil Pemantauan JPIK 23 Wawancara masyarakat di sekitar industri 24 Dokumen Informasi Pengelolaan LIngkungan Hidup Tahun 2018 Provinsi Aceh 25 https://www.ajnn.net/news/pemerintah-aceh-didesak-cabut-izin-pt-rencong-pulp-and-paper-industry/index.html, diakses Juli 2020 26 https://sumateranews.co.id/pt-rppi-diduga-langgar-hukum-gempur-berupaya-cabut-izin-operasionalnya/, diakses Juli 2020 27 https://barometernews.id/menyikapi-bencana-banjir-di-aceh-utara/ 28 http://silk.dephut.go.id/ Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No: P.18/Menhut-II/2013, SILK adalah sistem elektronik yang melakukan integrasi pelayanan penerbitan Dokumen V-Legal dan informasi lainnya terkait verifikasi legalitas kayu secara online. 29 https://auriga.or.id/report/getFilePdf/id/report/23/pengaturan_setangah_hati_mengenai_izin_pemanfaatan_kayu_oleh_ masyarakat_adat_di_papua_id.pdf. 30 https://beritakini.co/news/pt-rppi-adalah-perusahaan-investasi-sektor-iuphhk-hti-bukan-pemilik-izin-hph/index.html 31 http://www.walhibengkulu.org/2013/09/permasalahan-dan-data-kehutanan-bengkulu.html 32 Izin Pemanfaatan Kayu atau IPK adalah izin untuk menebang kayu dan/atau memungut hasil hutan bukan kayu sebagai akibat dari adanya kegiatan izin non kehutanan antara lain dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan (Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No. P.62/Menlhk-Setjen/2015). 33 http://pedomanbengkulu.com/2019/11/cv-marantika-terbukti-telah-mengantongi-izin-pemanfaatan-kayu/ 34 https://www.ciputraplantation.co.id/cshs 35 https://sipnbp.phpl.menlhk.go.id 36 https://www.beritamerdekaonline.com/2019/12/10/cv-marantika-pada-izin-lokasi-pt-chs-ngemplang-pajak/ dan www. bengkulutoday.com/ormas-demo-di-mapolres, diakses Juli 2020 37 https://www.myedisi.com/rakyatbengkulu/20200223/222004/buru-pemasok-dan-penebang-kayu-ilegal, diakses Juli 2020 38 Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2013 39 Studi Kasus di Provinsi Sumatera Selatan, Riau dan Jambi oleh FWI, Jikalahari, Walhi Jambi dan WBH, 2014 40 Peta sebaran lahan gambut dan kandungan karbon provinsi Sumatera Selatan, WBH, 2013 41 http://kph.menlhk.go.id/sinpasdok/public/RPHJP/RPHJP_LALAN_MANGSANG_MENDIS.pdf 1
2
44
http://kph.menlhk.go.id/sinpasdok/public/RPHJP/RPHJP_LALAN_MANGSANG_MENDIS.pdf https://dlhk.bantenprov.go.id/read/article/89/KONDISI-HUTAN.html diakses pada 27 Juli 2020 44 Ismatul Hakim dan Haryatno Dwi Prabowo Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor Dinas 45 Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten 46 www.jatimprov.go.id 47 Hasil resume penilaian LVLK PT Inti Multima Sertifikasi tahun 2019 48 https://www.cites.org/eng/app/appendices.php diakses pada 20 Juni 2020 49 Keputusan Menteri Kehutanan No. : 447/Kpts-II/2003 Tentang Tata Usaha Pengambilan Atau Penangkapan Dan Peredaran Tumbuhan Dan Satwa Liar 50 https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/7d521dc7b8a242dd80df5f57fdd7ad07.html 51 http://jpikcelebes.or.id/index.php/berita/jawa-timur/sertifikat-dicabut 52 Indonesia Population, 2015. http://www.worldometers.info/world-population/indonesia-population/ 53 Bahan materi Gubernur Kalimantan Barat dalam rangka Monev Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam di Sektor Kehutanan, September 2015. 54 Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, 2014 55 http://www.timber.lyman.co.id/ 56 http://silk.dephut.go.id/app/Upload/vlk/20200701/6f93197d580713be819e58082050fb7c.pdf 57 http://www.gcftaskforce.org/ diakses pada 04 Maret 2020 58 Wawancara masyarakat dilakukan pada 28 November 2019 di Dusun Tanduk, Desa Kahiya, Kabupaten Melawi 59 Bahan presentasi rangka Monev Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam di Sektor Kehutanan, September 2015 oleh Gubernur Kaliman Utara 60 http://inhutani1.co.id/index.php/produk/ dan http://silk.dephut.go.id 61 https://ekonomi.bisnis.com/read/20131103/44/184423/inilah-16-perusahaan-milik-luhut-pandjaitan 62 http://www.adimitra.co.id/about-us.html?id=ABOUT_US 63 https://kaltim.antaranews.com/berita/7351/adimitra-lestari-komitmen-lestarikan-hutan 64 https://kaltim.antaranews.com/berita/7352/adimitra-lestari-bina-warga-sekitar 65 SVLK Di Mata Pemantau, JPIK 2014 66 http://sipnbp.phpl.menlhk.net:8080/simpnbp/rpt_umkab_now?p_prov=34&p_kab=04&p_um=1906A22ADML&p_ thn=2019&p_pnbp=DR 67 Dari 25 laporan keluhan JPIK sejak Januari 2019, terdapat 7 jawaban dari LS untuk melakukan audit khusus setelah ada komunikasi dengan klien mengenai kesiapan pelaksanaannya. 42 43
45
46
Laporan ini dicetak dengan menggunakan kertas daur ulang dan bersertifikat legalitas kayu
1