PRODUK
ANSIS
®
analisis situasi
JA R IN GA N S URV E I I NI SI ATI F
5th Edition Februari 2016
DAFTAR ISI 1
PENDAHULUAN
4
HUKUM ADAT DALAM BINGKAI
9
HUKUM NASIONAL
PENGELOLAAN SUMBER DAYA
keunggulan hukum nasional
dalam wilayah adat ACEH
“
..otonomi khusus Aceh membuat hukum nasional terbagi dua, pertama jenis Peraturan Daerah (Perda) biasa yang disebut dengan qanun, dan ke dua, Perda Syariah atau Qanun Syariah seperti Qanun Jinayah (pidana Islam) yang diberi wewenang menetapkan sanksi (uqubat) melebihi otoritas aturan setingkat Perda biasa..”
PENDAHULUAN Di Aceh, hanya wilayah adat mukim dan gampong yang diberi wewenang memiliki dua hukum sekaligus, hukum nasional dan hukum adat . Adapun Provinsi dan kabupaten/kota hanya dapat diatur dengan hukum nasional. Bedanya, otonomi khusus Aceh membuat hukum nasional terbagi dua, pertama jenis Peraturan Daerah (Perda) biasa yang disebut dengan qanun, dan ke dua, Perda Syariah atau Qanun Syariah seperti Qanun Jinayah (pidana Islam) yang diberi wewenang menetapkan sanksi (uqubat) melebihi otoritas aturan setingkat Perda biasa. ANSIS JSI Vol. V - Februari 2016
8
ALAM ACEH MELALUI QANUN MUKIM
RUJUKAN
JARINGAN SURVEI INISIATIF HEAD OFFICE
Jl. Syiah Kuala, Lr. Nyak Bintang, Gp. Lamdingin, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh-23127 INDONESIA Telp. (0651) 6303 146 Web: www.jsithopi.org Email: js.inisiatif@gmail.com
EDITORIAL STAFF
EDITOR IN CHIEF Aryos Nivada WRITERS Affan Ramli LAY OUT & Cover Teuku Harist Muzani SENIOR EXPERT ANDI AHMAD YANI, CAROLINE PASKARINA, ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI, MONALISA, FAHRUL RIZA YUSUF
1
“.. di Aceh, masih ada pembeda lainnya. Hukum nasional mengenal hukuman fisik atau kekerasan seperti cambuk dan penjara. Hukum adat menolak seluruh bentuk hukuman kekerasan fisik . ..”
Tapi apapun itu, qanun jinayah tetaplah bagian dari hukum nasional, yang dalam hal ini mengadopsi norma-norma dari hukum fikih Islam (taqnin ahkami fiqhiyah). Proses taqnin ahkami fiqhiyah (mengundang-undangkan hukum fikih Islam) dapat juga dilakukan di wilayah adat mukim dan gampong.
Dalam konteks Aceh, lembaga-lembaga adat dan lembaga-lembaga pemerintahan adat dibedakan satu sama lain. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006 ditetapkan 13 lembaga adat di Aceh. Namum disisi lain wilayah mukim memiliki lembaga-lembaga pemerintahan, yang dalam qanun tiga kabupaten (Aceh Besar, Bener Meriah, Harus diakui selama ini terjadi falasi dalam dan Pidie) tentang pemerintahan mukim menyebutmembedakan antara ‘hukum nasional’ dan ‘hukum kannya sebagai pemerintahan adat. Dimana pemeradat’ di Aceh dan mungkin juga di Indonesia. Keke- intahan adat ini dikelola oleh sebagian dari 13 lemliruan paling kentara adalah menjadikan unsur ‘ter- baga adat yang sudah ditetapkan melalui UUPA 2006 tulis’ dan ‘tidak tertulis’ sebagai esensi pembeda. Hukum nasional adalah hukum tertulis dan hukum adat Berbeda dari hukum nasional yang bergerak adalah hukum tidak tertulis yang hidup dalam mas- dari atas ke bawah (hirarki) sehingga aturan di tingyarakat. Definisi ini tidak memenuhi lima hukum kat terbawah harus sesuai dengan aturan di atasnya universal definisi (kulliyatul khamsah) yang diaju- dan disetujui oleh pemerintah di atasnya, hukum kan oleh pendiri ilmu logika, Aristotles. Yaitu genus, adat bergerak dari bawah ke atas sehingga tidak perspesies, diffirentia, aksidental umum dan aksiden- lu disetujui oleh aturan dan pemerintahan yang lebtal khusus. Terutama identifikasi differentia (esensi ih tinggi. Sebagaimana dinyatakan oleh UUD 1945, pembeda satu gagasan dengan gagasan lainnya) gagal negara mengakui dan menghormati hukum adat. dilakukan. Sebagaimana saya sebutkan di bagian adat Artinya hukum adat hanya memerlukan ‘pengakuan’ dan hukom dari makalah ini, bahwa sebagian hukum dan penghormatan dari lembaga pemerintahan di adat Aceh sudah tertulis sejak tahun 1607 (Ito, 1984). tingkat yang lebih tinggi, bukan ‘persetujuan’. Hukum Sehingga menjadikan unsur ‘tertulis’ dan ‘tidak ter- adat selain tidak memerlukan persetujuan dan perstulis’ sebagai pembeda hukum nasional dan hukum esuaian dengan hukum nasional, secara teknis huadat tidak dapat diterima. kum adat juga tidak mengikuti sistematika penulisan hukum nasional yang terdiri dari judul, pembukaan, Pembeda lainnya yang diajukan lebih masuk batang tubuh, penutup, penjelasan (bila diperlukan), akal. Hukum nasional adalah aturan-aturan yang dan lampiran (bila diperlukan). Hukum adat ditulis dibuat oleh pemerintahan di semua tingkatan negara dalam format yang berbeda-beda dari satu tempat yang mengikuti sistem hirarki hukum sebagaimana dengan tempat lain, karena tidak memiliki format diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 baku. tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di Aceh, peraturan nasional selanjutnya diatur Di Aceh, masih ada pembeda lainnya. Hukum melalui qanun nomor 5 tahun 2011 tentang Tatacara nasional mengenal hukuman fisik atau kekerasan Pembentukan Qanun. Hukum nasional dapat dib- seperti cambuk dan penjara. Hukum adat menolak uat di wilayah adat mukim dan gampong, merujuk seluruh bentuk hukuman kekerasan fisik. Hal ini diapada pasal 8 UU no.12 tahun 2011. Adapun hukum tur dalam pedoman penyelenggaraan peradilan adat adat adalah aturan yang dibuat oleh pemerintahan yang dikeluarkan Majlis Adat Aceh (MAA). Peradilan di wilayah adat baik melalui musyawarah dengan adat di Aceh dapat memberlakukan berbagai bentuk seluruh anggota komunitas adatnya maupun melalui sanksi seperti nasehat, peringatan, minta maaf di kesepakatan di kalangan lembaga-lembaga adat atau depan umum, ganti rugi, diusir dari gampong, penlembaga-lembaga pemerintahan adat yang telah cabutan gelar adat, dikucilkan dalam pergaulan, dan diberi otoritas membuat hukum. diboikot (MAA, 2008).
2
ANSIS JSI Vol. V - Februari 2016
Segala bentuk kekerasan seperti pemukulan dan penganiaan tidak dibenarkan dalam aturan adat. Pembeda yang lebih utama dan substansial antara hukum nasional dan hukum adat di Aceh menurut pandangan saya terletak pada doktrin hukumnya. Hukum adat menganut doktrin klasik: “apa yang baik maka hukum memerintahkannya dan apa yang buruk maka hukum melarangnya.” Doktrin ini membuat hukum adat, secara teoritis tidak dapat dipisahkan dari etika (moral sosial). Ini mensyaratkan pembuktian ontologis, ‘baik itu ada’ dan ‘buruk itu ada (faktual)’. Jadi, gugatan terhadap kebaradaan baik dan buruk dalam realitas dan asumsi filosofis tentang baik-buruk hanyalah opinian belaka sangat bertentangan dengan doktrin dasar hukum adat.
Sebagai contoh, menebang pohon kayu yang berada dekat sumber mata air dapat merusak sistem air di lokasi tertentu adalah buruk dan melindungi pohon dalam ukuran tertentu dari sumber mata air yang dapat menjamin keberlansungan jangka panjang fungsi mata air itu adalah baik. Memonopoli lahan untuk satu keluarga ribuan hektar yang menyebabkan anggota masyarakat di sana terpaksa menjadi buruh pemilik lahan adalah buruk dan membatasi penguasaan lahan untuk masing-masing keluarga agar distribusi lahan lebih meluas adalah baik. Tindakan yang dibuktikan baik inilah yang diperintahkan oleh hukum adat dan tindakan-tindakan buruk tersebut dilarang dalam hukum adat di Aceh.
“.....Hukum adat menganut doktrin klasik: “apa yang baik maka hukum memerintahkannya dan apa yang buruk maka hukum melarangnya.”. ..”
ANSIS JSI Vol. V - Februari 2016
3
HUKUM ADAT DALAM BINGKAI HUKUM NASIONAL Pelekatan nilai baik dan buruk pada satu tindakan dibangun atas kesimpulan akal praktis (practical reason), bukan berbasis teks apapun (termasuk wahyu).1 Jika baik dan buruk diputuskan melalui teks wahyu, maka hal itu disebut hukum agama (atau di Aceh pra-Indonesia disebut hukom). Mengikut filsafat etika Misbah Yazdi (2005) dan Ali Shomali (2011), sebuah tindakan dapat dilekatkan nilai baik dan buruk berdasarkan tiga hal, pertama, baik dan buruk itu melekat pada tindakan itu sendiri, ke dua, baik dan buruk harus dilihat dari tujuan sebuah tindakan diambil, dan ke tiga, nilai baik dan buruk ditentukan oleh konteks sebuah tindakan diambil. Ketiga hal ini mengukuhkan ontologi baik dan buruk dalam realitas independen, meski pelekatannya pada beberapa tindakan masih memerlukan analisis yang benar terhadap konteks dimana tindakan itu dilakukan. Sebagai contoh, dalam adat aceh berbohong itu baik jika untuk menyelematkan nyawa seseorang, meskipun nyawa seorang pencuri. Tindakan bohong dan jujur tidak dapat dilekatkan nilai baik dan buruk sebelum menganalisis konteks dimana dan kapan tindakan itu diambil. Keberadaan baik dan buruk akhirnya sangat bergantung pada keberadaan fitrah (komposisi primordial yang dikongsikan semua manusia dalam semua ruang-waktu). Dalam filsafat hukum adat Aceh, manusia memiliki fitrah yang dapat terjaga dan menyempurna, juga pada saat yang sama dapat terluka dan rusak. Pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan manusia lah yang menentukan dan mempen1 Akal praktis (practical reason) dibedakan dengan akal teoritis. Dalam filsafat Islam biasa digunakan istilah aqal amali atau hikmah amali yang di Indonesia lebih sering digunakan dengan akal budi.
4
garuhi kondisi fitrahnya, berkembang atau terlukai. Pikiran dan tindakan yang dapat membantu perjalanan fitrah manusia menyempurna adalah pikiran dan tindakan yang baik. Sebaliknya, pikiran dan tindakan yang dapat melukai dan merusak fitrah merupakan pikiran dan tindakan yang buruk. Hukum ini berlaku pada tindakan individual dan tindakan sosial sekaligus. Intinya, jika pandangan filsafat etika menafikan keberadaan fitrah, maka pada saat yang sama argumentasi tentang keberadaan baik dan buruk tidak mungkin dapat dipertahankan. Hukum nasional tidak dibangun di atas filsafat hukum seperti ini. Mengingat moral dianggap sesuatu yang abstrak dan tidak dapat diuji secara ilmiah positivisme. Doktrin dasar hukum nasional adalah ‘keteraturan’ dan ‘kepastian hukum. Baik-buruk hanyalah opini dan kesepakatan sebagaimana halnya keberadaan bahasa. Hukum nasional karena dibangun berdasarkan positivisme hukum maka hanya berpegang pada prinsip-prinsip Friedmann (1996)sebagaimana dikutip Johni Najwan (2010)- adalah 1. hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being), 2. tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, 3. analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang-undang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis, 4. keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan soANSIS JSI Vol. V - Februari 2016
sial, kebijaksanaan, dan moralitas, 5. penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian. Posisi sentral konsep baik-buruk dalam filsafat hukum adat tergantikan dengan konsep baru yang biasa disebut ‘kepentingan’ (interest) dan ‘para pihak (stakeholders) dalam studi hukum nasional. Teks hukum nasional selalu mengacu pada tarik menarik kepentingan berbagai pihak (atau para pihak) yang dianggap ada dalam sebuah komunitas bangsa (nation). Prinsip dasarnya adalah hukum nasional harus menjamin kepentingan nasional yang tidak pernah dapat diketahui nilai baik-buruknya. Seringkali kepentingan nasional itu adalah pembodohan publik, menyembunyikan sebuah realitas sesungguhnya bahwa kepentingan nasional selalu diwakili oleh kepentingan pemilik modal (kapitalis). Dari perspektif studi hukum kritis, teks hukum tidak pernah netral, selalu ada kepentingan pihak tertentu yang dimenangkan. Sebuah undang-undang kelautan atau kehutanan dalam hukum nasional pasti memenangkan kepentingan kekuatan pasar karena partai politik pembuat undang-undang itu bekerja melayani pemodal. Berbeda dengan sebuah aturan adat kelautan dan kehutanan2 disusun berdasarkan pembuktian ada tindakan di laut yang dipandang baik seperti membantu nelayan yang rusak mesin perahunya di tengah lautan, lalu dinyatakan sebagai tindak wajib dilakukan oleh seluruh anggota nelayan di laut Aceh dan ada tindakan yang dipandang buruk seperti mengkapling (memonopoli) wilayah laut tertentu untuk perusahaan-perusahaan swasta, lalu dilarang oleh hukum adat laut. Bukan hanya tindakan, juga terdapat pikiranpikiran (nalar) yang dipandang baik dari perspektif hukum adat. Yaitu kolektifisme (komunalisme), persandingan (bukan kompetisi), perdamaian (keharmonisan sosial), penghidupan berkelanjutan, dan spiritualisme (melihat segala sesuatu di alam semesta memiliki jiwa-batin) merupakan pikiran-pikiran yang dinilai baik untuk penyempurnaan fitrah manusia dan masyarakat. Sebaliknya, individualisme, kompetisi (pertandingan), akumulasi tanpa batas (berorientasi pertumbuhan materi sebesar-besarnya meski merusak dan mengekploitasi alam dan manu-
sia), dan materialisme (segala sesuatu hanya materi terinderawi dan bernilai ekonomi) adalah pikiranpikiran nalar yang buruk karena melukai fitrah manusia dan masyarakat. Itu artinya, sebuah aturan tidak bisa disebut hukum adat meskipun dibuat oleh lembaga-lembaga adat dan disepakati melalui musyawarah komunitas adat jika tidak berangkat dari pengakuan pada keberadaan baik-buruk sebagai muatan dalam pikiranpikiran tertentu dimana tindakan-tindakan yang lahir dari pikiran-pikiran itu juga bermuatan nilai baik-buruk pula. Sebab doktrin ini jika dihilangkan, maka akan digantikan dengan doktrin baru, hanya kepentinganlah yang ada. Proposisi-proposisi ini tidak menafikan sebagian dari isi hukum hanya mengatur tindakan-tindakan yang tidak bernilai moral, tidak baik juga tidak buruk. Itulah aturan-aturan yang dibuat hanya untuk ketertiban dan keteratutan belaka. Misalnya, berkendaraan di jalur kiri atau kanan keduanya tidak bernilai moral, tidak baik dan juga tidak buruk. Aturan-aturan jenis ini di Aceh disebut reusam (prosedur tetap). Jika melanggar keteraturan dapat menyebabkan kecelakaan dan kerugian orang lain, pada saat itulah memilih jalur kiri dan kanan kemudian bernilai moral. Hukum adat dan hukum nasional karena itu bertolak dari doktrin yang berbeda. Hukum adat berangkat dari ontologi bioetic (etika kehidupan sosial) dan hukum nasional berangkat dari ontologi interest (kepentingan para pihak). Hukum nasional positivis menafikan keberadaan bioetic. Hukum adat mengakui adanya interest tetapi harus dikalahkan jika berlawanan dengan bioetic. Di sinilah letak supremasi bioetik dalam hukum adat.
2 Di Aceh, aturan adat kelautan disebut hukum adat laot dan aturan kehutanan disebut hukum adat uteun ANSIS JSI Vol. V - Februari 2016
5
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM ACEH MELALUI QANUN MUKIM Dalam pengamatan saya, partai-partai politik di Indonesia bekerja membuat hukum nasional dengan bersetia penuh pada doktrin ini. Sejauh ketertiban, keteraturan, dan kepastian hukum dapat dicapai maka konsep nilai baik dan buruk pada tindakan sosial yang berelasi dengan ontologi fitrah manusia benar-benar tidak berguna. Seluruh pengetahuan yang menopang sistem hukum nasional Indonesia juga tidak membuktikan keberadaan nilai moral sosial dan fitrah tersebut. Menariknya, hukum-hukum nasional yang dibuat oleh pemerintahan masyarakat hukum adat (selanjutnya disingkat pemerintahan adat) di tingkat mukim dan gampong berangkat dari premis-premis dasar filsafat hukum adat.
nifikan. Penguasaan merupakan aspek legal. Dalam aspek ini, perhatian harus difokuskan pada ihwal alas hak, kewenangan, otorita, hak, kewajiban, dan tanggung jawab. Sedangkan pengelolaan merupakan aspek manajerial. Pada aspek ini sumber daya alam dikaji dalam bentuk bagaimana perencanaan, koordinasi, pengurusan, pemanfaatan, dan pengawasan. Buruknya sistem pengelolaan sumber daya alam di Aceh berawal dari tidak jelasnya sistem penguasaan. Workshop Pakar Desember 2014 mencatat setidaknya ada beberapa hal terkait dengan buruknya sistem penguasaan dan pengeloaan sumber daya alam selama ini, antara lain : (1) Aspek Koordinasi SKPA Sektor SDA , (2) Ketimpangan Penguasaan & Pengelolaan SDA, (3) Angka Kemiskinan dan Pengangguran, (4) Konflik Penguasaan & Pengelolaan SDA, (5) Konflik Manusia dan Satwa, (6) Bencana Ekologi, (7) Kerusakan Hutan (8) Pencemaran Lingkungan, (9) Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat dan (10) Penegakan Hukum.
Pemerintahan adat di Aceh selalu konsisten memenangkan supremasi bioetik dalam semua jenis hukum yang mereka bentuk, baik hukum adat maupun hukum nasional. Kesetiaan masyarakat hukum adat pada supremasi bioetik dalam membuat hukum nasional lebih mudah dipertahankan karena komunitas tidak memiliki ketergantungan ekonomi pada perusahaan-perusahaan perkebunan, pertambangan, Sementara itu masyarakat Mukim telah memikehutanan, dan jenis perusahaan lainnya yang ek- liki sistem pengetahuan dan praktik terkait tata kuasploitatif. sa dan tata kelola sumber daya alam dalam berbagai ruang penghidupan seperti kawasan hutan (uteun/ Saya perlu ajukan contoh hukum nasional (ber- uten), kebun pinggiran hutan (seuneubok), padang bentuk qanun) di wilayah adat sebagai bukti emperis pengembalaan (padang meurabe/pereweren), sungai dari pemikiran yang telah diajukan di atas. Dalam hal (krueng/weh), hingga pantai dan laut (laot). Menurut ini saya memilih qanun-qanun mukim yang menga- Sanusi M. Syarif (2015), pola penguasan dan pengelotur tentang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya lan sumber daya alam berbasis adat di Aceh bertumalam di wilayah adat mereka. Sebelumnya, perlu pu pada beberapa aspek, yaitu : diperjelas perbedaan konsep penguasaan dan penPengaturan penguasaan dan tata kelola berbasis geloaan dalam konteks sumberdaya alam. Menurut adat mukim atau persekutuan mukim, (2) Proses penTaqwaddin Husin (2015), antara penguasaan dan gaturan pemanfaatan bersifat partisipatif, (3) Pengapengelolaan terdapat perbedaan makna yang sig- kuan dan Perlindungan hak-hak bersama (komunal)
6
ANSIS JSI Vol. V - Februari 2016
dan hak warga, (4) Pendistribusian hak berdasarkan keadilan dan kepatutan, (5) Pengambilan keputusan berbasis adat dan mufakat. Keputusan-keputusan, (6) Akomodatif terhadap kepentingan kelompok rentan, (7) Adaptif terhadap perubahan zaman, (8) Pengutamaan keberlanjutan sumber daya alam dan keberlanjutan pemanfaatan, (9) Penerapan Pengurangan risiko bencana, (10) Pengutamaan Pencegahan kerusakan lingkungan, (11) Pengawasan berbasis masyarakat, dan (12) Penindakan dan penegakan aturan berbasis adat.
Putusan MK 35/2012 tersebutlah yang mendasari mukim-mukim menetapkan aturan adat tentang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam melalui qanun mukim masing-masing. Saya mengumpulkan Qanun Mukim Gandapura Timu (Kab. Bireuen), Qanun Mukim Balee Labang (Kab. Bireuen), Qanun Mukim Leutung (Kab. Pidie), Qanun Mukim Kunyet (Kab. Pidie), Qanun Mukim Lango (Kab. Aceh Barat). Qanun-qanun tersebut semua ditulis mengikuti format dan sistematika hukum nasional. Selain itu, beberapa mukim memilih mengatur penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam mereka Sistem penguasaan dan pengelolaan dengan hukum adat, seperti Mukim Simpang Tiga sumber daya alam berbasis adat mendapat (Kab. Bener Meriah), Mukim Lampanah (Kab. Aceh Besar), dan Mukim Lamteuba (Kab. Aceh Besar).
legitimasi yang kuat setelah Putusan MK 35/2012 dibaca tgl 16 Mei 2013, antara lain berisi : (a) Kata “negara” dalam pasal 1 angka 6 UU 41/1999 bertentangan dgn UUD 1945, sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal tsb “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” (vide hal 186), (b) Pasal 5 (1) dan (2) bertentangan dgn UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekukuatan hukum mengikat, (c) Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya” (h.187). ANSIS JSI Vol. V - Februari 2016
Dalam Qanun Mukim Lango misalnya, konsepsi penguasaan (tata kuasa) dan konsepsi pengelolaan (tata kelola) dipisah pengaturannya. Terkait tata kelola diatur dalam beberapa pasal. Sedangkan terkait tata kuasa diatur dalam Pasal 3 dengan rincian sebagai berikut :
1. Seluruh wilayah hutan adat mukim dikuasai bersama oleh masyarakat adat mukim dan dilaksanakan oleh pemerintahan mukim; 2. Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ; kewenangan mengatur, kewenangan menetapkan hubungan hukum (memberi izin), kewenangan memberikan persetujuan, kewenangan mengelola, kewenangan mengawasi dan kewenangan menegakkan adat
7
3. Imeum Mukim dalam menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan musyawarah mukim; 4. Musyawarah Mukim sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dihadiri oleh sekurang-kurangnya unsur imeum mukim, tuha peut mukim, imeum chik, lembaga adat mukim, para keuchik dan imeum meunasah dalam wilayah mukim.
bersama-sama, dan pembatasan penguasaan pribadi. Singkatnya, meskipun qanun-qanun ini merupakan hukum nasional tetapi ditulis berbasis doktrin supremasi bioetik. Sebuah doktrin yang tidak mungkin punya tempat dalam di gedung partai-partai politik, DPR semua tingkatan, dan kantor-kantor pemerintahan yang berada di luar wilayah adat. Terutama di luar wilayah adat Aceh. Saya kira ini kontribusi besar masyarakat hukum adat dalam pembentukan hukum nasional. Sebuah kontribusi yang perlu diteruskan ke wilayah lebih luas di luar wilayah adat. [] *****
Demikian pula dalam qanun-qanun mukim lainnya, seperti Gandapura Timu, Leutung, dan Kunyet semua ditulis berbasis nalar komunalisme, penghidupan berkelanjutan, memastikan keharmonisan sosial, dan spiritualisme. Aturan-aturannya memastikan penjagaan, distribusi meluas, pemanfaatan
rujukan • Hannan Hassan, Mohammad (2014), Islamic Legal Thought and Practices of Seventeenth Century Aceh: Treating the Others. PhD Dessertation McGill University Montreal, Quebec, Canada. • Husin, Taqwadin (2015), Penguasaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Adat di Aceh. Makalah disampaikan dalam worskhop pakar mengembakan model penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis adat di aceh. Tanggal 23 April 2015 di Hotel Lading, Banda Aceh. • Ito, Takeshi (1984), The World of the Adat Aceh, a Historical Study of the Sultanate of Aceh. PhD diss., Australian National University. • Majlis Adat Aceh (2008), Pedoman Peradilan Adat di Aceh, Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel. • Najwan, Johni (2010), Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum. Jurnal Ilmu Hukum, Vol 2 No 3. http://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/view/199/176 • Syarif, S. M (2015), Pola Penguasaan dan Pengeloaan Sumberdaya Alam Berbasis Adat di Aceh. Makalah disampaikan dalam worskhop pakar mengembakan model penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis adat di aceh. Tanggal 23 April 2015 di Hotel Lading, Banda Aceh. •
Shomali, Mohammad A (2001). Ethical Relatifism, An Analysis of the Foundation of Morality. London: ICAS.
• Yazdi, Taqi Misbah (2006). Meniru Tuhan, Antara yang Terjadi dan yang Mesti Terjadi. Jakarta: Al-Huda.
8
ANSIS JSI Vol. V - Februari 2016